CERBER
Laily Lanisy Bagian 1
K
ent State University terletak di kota kecil Kent di timur laut Ohio. Seperti kampus-kampus di Amerika lainnya, kampus ini begitu tenang dan damai. Padang-padang rumput yang luas mengelilingi setiap bangunan, sementara pohon-pohon mapel rindang berjajar di sepanjang jalanan kampus yang mulus. Hijau merupakan warna dominan selama musim semi, musim panas dan permulaan musim gugur seperti sekarang ini. Dua bulan lagi daun-daun mapel yang berwarna hijau itu akan berubah menjadi kuning, oranye dan merah yang cerah yang akan memberi warna tersendiri pada kampus. Untuk saat ini yang menjadi hiasan kampus adalah tubuh-tu-
buh molek berbikini yang berbaring di padang rumput di depan asrama-asrama mahasisiwa yang sedang menikmati sisa-sisa matahari musim panas. Indi baru saja ke luar dari salah satu bangunan tua yang merupakan tempat kuliah bagi mahasiswa yang memperdalam ilmu ekonomi. Tubuhnya yang ramping terbungkus oleh jeans berwarna biru tua dan kemeja berwarna putih dengan gambar-gambar abstrak yang sewarna dengan celananya. Langkahnya ringan melintasi padang rumput yang berhiaskan bunga-bunga dandelion. Tas yang tergantung di pundaknya bergoyang seirama dengan gerak tubuhnya. Sekali-sekali dia membenahi rambut yang ter-
gerai hingga pundaknya, tetapi angin sore yang berhembus agak kencang akan merusaknya kembali. Dia berniat untuk pulang ke asrama dengan bus, namun melihat banyaknya orang yang berkerumun di halte, niatnya pun urung. Dia memutuskan untuk berjalan kaki. Untung asramanya tidak begitu jauh, hanya beberapa blok dari tempatnya berdiri sekarang dan berada di lingkungan kampus. Tetapi baru saja dia berjalan beberapa meter, sebuah Subaru berwarna biru berhenti di dekatnya. Juan, mahasiswa dari Spanyol menjulurkan kepalanya ke luar. “Halo, Indi! Ayo kuantar,” ajaknya. “Hola, Juan!” Indi membalas salam Juan dan mengangguk pasti. Kebetulan, pikirnya. Juan membukakan pintu untuknya dan Indi masuk dengan santai. Diletakkannya bukubuku tebal yang dibawanya di antara dirinya dan Juan. “Cómo estás, Juan? Cuánto tiempo sin verte,” Indi menanyakan kabar Juan ketika Juan sudah siap untuk menjalankan mobilnya kembali. “Hahaha …Muy bien. Dari mana kami bisa berbahasa Spanyol dengan baik?” Juan penasaran. “Kamu yang mengajariku, masa lupa,” jawab Indi. Juan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum hangat. Mobil yang mereka naiki melewati auditorium yang penuh dengan patung-patung kontemprer. Indi paling senang melewati daerah ini karena patung-patung itu mengingatkan dirinya pada taman Ismail Marzuki. Sebuah plakat besar tergantung di dekat sebuah patung pria telanjang dengan tulisan “Kita Bakar Akron Malam Ini” “Kamu datang ke stadion nanti malam?” tanya Juan yang juga membaca plakat itu.Indi menggeleng sambil menarik napas panjang. “Aku harus bekerja nanti malam,” jawabnya sedih. Ada pertandingan sepak bola nanti malam dan lawannyapun tak tanggung-tanggung, Akron, musuh bebuyutan Kent. Berarti Kenny’s, rumah makan dimana dia bekerja akan penuh dan dia terpaksa harus kerja keras. Itu bagian yang tidak disukainya. “Kamu masih bekerja di Kenny’s?” tanya Juan.
“Ke mana lagi?” keluh Indi. “Jarang orang mau memperkerjakan mahasiswa asing macam kita, Juan. “Jam berapa kamu bisa bebas?” “Sekitar jam sembilan. Ada apa?” “Ada pertemuan KFS seusai pertandingan.” “Di mana?” tanya Indi antusias. “Apartemen Tom.” “Apartemen Tom?” ulang Indi. Nada suaranya mengherankan Juan. Setelah diam beberapa saat dia bertanya. “Ada apa, Indi?” “Hmm?” “Ada apa dengan Tom dan kamu? Kalian sekarang jarang terlihat bersama lagi. Ada masalah?” “Tak ada apa-apa, Juan. Mengapa kamu tanyakan itu?” “Kamu tidak datang ke pesta Home Coming dan kulihat Tom datang bersama Ursula, kupikir …” “Oh, Tom berhak untuk bergaul dengan siapa saja,” potong Indi walau dia agak kaget juga. Tepat saat itu mobil mereka telah berada di depan asrama Indi. Juan menghentikan mobilnya. “Gracias, Juan,” ucap Indi sambil ke luar. “Sampai nanti malam.” “Kamu akan datang?” tanya Juan heran. ”Tentu saja aku datang. Kamu pikir aku tidak akan datang?” goda Indi. Juan mengangkat kedua bahunya. “Perlu kujemput?” “Tidak usah repot-repot, Juan, aku akan datang sendiri,” sahut Indi. “Indi, …” panggil Juan ketika Indi mulai memasuki halaman asrama. “Ya?” Indi memutar tubuhnya dengan indah. “Beri tahu aku kalau kamu benar-benar putus dengan Tom. Aku tidak keberatan untuk menggantikan posisinya.” “I’ll keep it in mind,” jawab Indi sambil tertawa keras. Juan juga tertawa kemudian menjalankan subarunya. Sesudah mobil Juan menghilang dari pandangan barulah Indi memasuki halaman asrama. Tom sudah mendapatkan ganti. Ursula memang tepat untuk Tom, pikir Indi sambil berjalan. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang kosong pada dirinya.
“Indi, bukankah itu yang kau inginkan? Tetapi mengapa kamu kecewa sekarang?” tanya otak Indi. Indi menggelengkan kepalanya dengan keras. Kemudian matanya memandang ke atas ke mega-mega yang berarak. Ya, mengapa aku harus kecewa? Kemudian dia memasuki asrama lewat pintu samping. Melihatlihat kalau ada surat untuknya walau dia tahu pasti tak mungkin sepucuk surat pun yang dialamatkan untuk dirinya. Sesudah itu dia masuk lift menuju ke kamarnya di tingkat empat. Diane, teman sekamar Indi belum datang ketika Indi sampai di kamarnya. Diletakkannya semua buku-buku serta tasnya di lantai yang beralaskan karpet cokelat muda, pilihannya bersama Diane. Kemudian dia membaringkan dirinya di tempat tidur sambil matanya menerawang ke seluruh penjuru kamar. Tiba-tiba matanya terpaut pada meja kecil yang terletak di antara tempat tidurnya dengan tempat tidur Diane. Di atas meja kecil itu ada sebuah figura dempet untuk dua foto ukuran postcard. Salah satunya sudah terisi foto Jimmy, pacar Diane yang mengenakan seragam sepak bola Kent dengan sebuah bola di tangan dan senyum lebar di bibirnya. Dia tampak begitu gagah. Sedang figura yang satunya kosong. Di situ dulu terpasang foto Tom yang juga mengenakan seragam sepak bola Kent dengan bola di tangan serta senyum lebar di bibirnya. Dan dia juga begitu gagah. Tetapi foto itu telah Indi lepas
pada akhir musim semi yang lalu. “Indi, mengapa kamu lepas foto Tom?” Indi ingat Diane menanyakan itu dengan heran waktu melihat dia melepas foto Tom. “Aku ingin suasana baru. Itu saja.” “Kamu bertengkar dengan Tom?” tebak Diane. Indi menggeleng. ‘Tidak. Tidak ada pertengkaran. Hanya aku dan Tom sudah memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri. Kamu tahu aku dan Tom sangat bertolak belakang.” “Karena dia putih dan kamu kuning?” jerit Diane emosi.”Demi Tuhan, Indi, sekarang bukan jamannya lagi.” “Bukan masalah kulit, Diane. Tapi lihatlah kami. Kami sangat berlainan. Tom begitu sabar, pendiam, setia, penuh pengertian sedang aku … Aku adalah kebalikannya, tidak bisa tenang, cerewet, besar mulut dan mau menang sendiri. Apakah mungkin dua kutub dipersatukan?” “Aku ingin tanya dari manakah ide konyol itu berasal? Darimu atau dari Tom?” “Dari kami berdua,” jawab Indi bohong. Ide itu seratus persen berasal darinya. Tom sama sekali tidak setuju. Dia terlampau mencintai Indi dan ide untuk berpisah itu begitu menggusarkan hatinya. Mereka bertengkar hebat ketika Indi mengemukakan keinginannya. Tapi bukanlah Indi kalau dia mau menyerah. dia mengemukakan berbagai alasan dari yang masuk akal hingga yang asal ngomong. Keputusannya adalah mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Sekali dia berkata putus maka putuslah hubungan itu. Beberapa hari kemudian Tom pulang ke Swiss dan berada di sana selama musim panas tanpa pamit pada Indi dan kembali lagi ke Kent pada permulaan semester juga tanpa memberi tahu kedatangannya pada Indi. Mereka belum bertemu lagi sejak pertengkaran hebat itu. Dan kini Tom telah mendapatkan ganti, bisik Indi. Dengan malas dia bangkit dari tempat tidurnya kemudian membuka laci meja dan mengambil sebuah potret. Bukan potret Tom tetapi potret Diane. Potret itu lalu dipasang di figura yang kosong di samping potret Jimmy. Sekarang di figura dempet itu yang terlihat adalah sepasang remaja yang sangat serasi, bukan lagi dua pemuda tampan dan gagah yang sedang memegang bola. Sesudah puas memandang foto Diane dan Jimmy, Indi bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Ditatap wajahnya lama di kaca. Dia merasa ada sesuatu yang lain dalam wajah itu tetapi tidak berhasil menemukan dimana letak kelainannya. Kemudian dia menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu dan berjalan ke luar. * KENNY’S memiliki semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi salah satu restoran cepat saji favorit. Letaknya begitu strategis, berhadapan dengan pintu gerbang utama Universitas Kent. Bangunannya dirancang secara malang, apik dan artistik yang memaksa mata untuk terpukau bila memandangnya. Dan yang terpenting Kenny’s mempunyai pelayanpelayan yang prima dan terpilih. Semuanya tampan dan cantik. Mungkin inilah faktor utama yang menyebabkan pengunjung Kenny’s selalu berlimpah. Setiap malam halaman parkir di sisi kiri dan belakang rumah makan selalu penuh apalagi setiap akhir pekan dan hari-hari dimana Unversitas Kent menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola. Pelayan-pelayan yang terlatih itu sempat dibuat kelabakan oleh pembeli yang tumplek, yang puas hanya bisa duduk di dalam mobil mereka sendiri di tempat parkir karena tempat duduk yang disediakan di dalam dan diluar bangunan induk telah terisi oleh orang-orang yang datang lebih awal. Malam ini termasuk salah satu malam yang padat. Disamping Kent menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola, malam ini adalah malam minggu. Indi yang bertugas melayani pembeli bersama gadis lainnya hampir-hampir tidak sempat untuk bernapas lagi. Sebentarsebentar dia harus menggunakan interkom yang menghubungkan dirinya dengan dapur untuk mendiktekan kembali makanan yang dipesan pembeli sementara itu jari-jari tangannya bergerak cepat di atas mesin hitung dan dia dituntut pula untuk selalu mengembangkan senyum profesionalnya. Belum selesai dia melayani seorang pembeli, pembeli yang lain sudah berteriak tidak sabar. “Sibuk, Indi?” tanya seorang gadis yang sudah berdiri di depan Indi. “Ya Tuhan, Cecil!” seru Indi. “Hampir aku tidak mengenalimu,” lanjut Indi sambil tersenyum. Bukan senyum profesionalnya lagi tapi senyum seorang gadis yang kelelahan. Cecil tertawa sambil menyebutkan makanan yang diinginkannya.
“Dua double cheeseburger, medium well dengan onion panggang dan lettuce, dua fries sedang, dua strawberry pie, Bob,” ulang Indi melalui interkom. “Delapan belas dolar enam puluh lima sen, Cecil,” katanya pada Cecil. “Kamu datang ke pertandingan tadi?” tanya Indi sambil menanti Cecil mengambil uangnya. “Wah, hebat sekali Swiss kita…. Dia mencetak dua touch down. Seharusnya kamu melihatnya bermain tadi,” jawab Cecil sambil mengulurkan satu lembar dua puluh dolar. Indi tersenyum lucu, sebenarnya dia tidak memerlukan komentar Cecil. Semua orang di restoran itu telah membicarakannya. Tom, si pirang dari Swiss dapat mencetak dua touch down berturut-turut di saat pertandingan hampir berakhir sehingga permainan yang tadinya draw bisa dimenangkan Kent dengan empatbelas angka. “Kamu tidak datang ke apartemen Tom?” ganti Cecil yang bertanya. “Begitu tugasku selesai aku akan kesana. Nancy seharusnya sudah datang untuk menggantikanku sekarang.’ Jawab Indi sambil meyerahkan uang kembalian. ‘Kamu tidak datang?’ Indi balik bertanya. Sementara itu makanan yang dipesan Cecil datang melalui roda berjalan. Indi meraihnya dan diletakkan di atas baki. Sesudah ditambahkan dengan dua gelas minuman, baki itu diserahkan pada Cecil. “Aku tidak bisa datang, ada kencan yang agak serius. Aku akur-akur saja pada putusan rapat nanti,” jawab Cecil sambil mengedipkan sebelah matanya. Indi tersenyum senang. Mereka tidak bisa ngobrol lama karena pembeli di belakang Cecil sudah menanti dengan tak sabar. Nancy yang ditunggu-tunggu Indi muncul jam sembilan lebih sepuluh menit. Sepuluh menit terlambat dari waktu yang seharusnya. “Dari mana saja, Miss Nancy Drew? Ada misteri yang harus kamu pecahkan?” tanya Indi dongkol. Nancy tersenyum malu dan berdiri di samping Indi siap mengambil alih tugas. “Maaf, Indi, aku tidak bisa ke luar dari stadion tadi. Penuh sesak,” jawab Nancy. “Oh ya, aku ketemu Tom tadi, dia titip salam dan cintanya buatmu,” sambungnya. Indi mencibir, dia tahu Tom tidak bakalan titip salam lagi untuk dirinya. Apalagi cinta. Kemudian Indi menepuk bahu Nancy sebagai
tanda tugas telah diserahkan. “Indi …” panggil Nancy. “Kerja yang baik,” sahut Indi tanpa menoleh. Sesudah mengganti pakaian kerja Kenny’s dengan pakaian biasanya Indi segera ke luar dari kamar ganti dan mau pergi diam-diam lewat pintu belakang. Ternyata di depan dapur dia dihadang oleh Kenneth Finch si pemilik restoran. “Mau ke mana kau?” tanya Ken heran. “Pulang tentu saja,” sahut Indi “Tidak sekarang, Indi. Kamu lihat kita begitu kewalahan dan sangat memerlukan tenaga saat ini,” kata Ken. Indi menggerakkan kepala -nya dengan gerakan yang lucu. “Sorry, Boss. Sekarang sudah jam sembilan lewat seperempat dan tugasku sudah berakhir tadi jam sembilan,” jawab Indi acuh sambil melewati Ken. “Jangan jual mahal kamu!’ sergah Ken. Indi membalik dan tersenyum kocak. “Aku ada keperluan penting Ken. Ada rapat KFS.” “Apa itu?” tanya Bob, si juru masak yang ikut mendengar pembicaraan mereka. “KFS. Kent’s Foreign Students. Kumpulan mahasiswa-mahasiswa asing,” jawab Indi. “Dan aku harus berada di sana karena aku salah seorang pengurusnya.” “Baiklah,” Ken mengalah. “Aku tahu kemauanmu tidak bisa dicegah. Di mana rapat itu diadakan?” “Apartemen Raintree,” jawab Indi jujur. Ken dan Bob terbahak mendengar jawaban itu. “Mengapa kalian tertawa? Ada yang lucu?” tanya Indi curiga. “Di apartemen Tom, kan?” goda Bob masih dengan tawa. “Mas bodo!” Indi menjawab sambil berlalu. Dia baru saja akan membuka pintu belakang ketika Ken memanggilnya kembali. “Ada apa?” tanya Indi jengkel. “Gaji minggu ini tidak kamu ambil? Tdak butuh uang?” tanya Ken. Wajah Indi yang tadinya keruh kini jadi cerah kembali. Kelelahannya sirna mendengar kata-kata itu. “Gila, hampir lupa aku kalau hari ini hari Sabtu,” gumamnya sambil mengikuti Ken memasuki ruang kerjanya. Ruang itu berbeda dengan ruang-ruang lain yang berada di restoran, kecil dan penuh dengan buku-buku literatur. Jika restoran itu tidak seramai seperti sekarang ini ,
Ken akan menenggelamkan dirinya dalam bukubuku tersebut. Ken mahasiswa Arsitektur, teman kuliah Tom. Sementara Ken menulis cek untuknya, Indi duduk di kursi putar sambil menggerak-gerakkan kursi itu ke kiri dan ke kanan. ”Indi, Kamu benar-benar putus dengan Tom?” tanya Ken, mendongakkan wajahnya dari buku cek yang sedang dihadapinya. “Sorry tidak bisa memberi jawaban. Itu masalah pribadi.” “Wow, jadi aku belum kamu anggap dekat untuk mengetahui rahasiamu.’ “Kalau rahasiaku kuberitahukan kepadamu, boss, namanya bukan rahasia lagi,” jawab Indi. Ken tertawa sambil menandatangani cek yang tadi tertunda. Cek itu kemudian diulurkan kepada Indi yang segera disahut dengan cepat. “Makasih, Ken,” teriak Indi dan menghilang meninggalkan Ken yang termenung di depan buku ceknya. * Indi ke luar melalui pintu belakang kemudian berjalan lewat jalan samping menuju ke jalan raya. Angin malam berhembus dingin. Indi merapatkan jaketnya dan mempercepat langkahnya untuk mengurangi dinginnya malam. Di langit ada sepotong bulan yang berusaha untuk mengirimkan sinarnya ke bumi, tetapi kalah oleh terangnya lampu-lampu sepanjang jalan itu. Sisa-sisa pertandingan masih terlihat. Bar-bar dan restoran-restoran penuh dengan manusia yang sedang merayakan kemenangan Kent. Di depan setiap bar dan restoran terdapat tulisan-tulisan dengan lampu berwarna-warni yang intinya memberi semangat kepada kesebelasan Kent. Tetapi yang membuat Indi tersenyum adalah tulisan di depan Dorado Bar. Di situ tertulis’ Tom, kutraktir kamu di sini. Setelah melewati Ramada Inn, Indi membelok ke kanan. Jalan di depannya kini gelap, hanya lampu-lampu mercury kecil saja yang menjadi penerang jalan. Indi agak gentar. Tom melarangnya jalan di tempat ini sendirian. Tapi itu dulu. Dulu sebelum dia sadar bahwa dia bukan pasangan yang baik bagi Tom. Sekarang Tom tak berhak untuk melarangnya lagi. Dia adalah dia. Ketika melewati sebuah bangunan yang siangnya digunakan untuk bengkel dan malamnya dibiarkan kosong, ketakutan Indi tidak tertahankan lagi. Pernah seorang mahasiswa Kent
diperkosa di tempat ini. Indi bergidik. Dipercepat langkahnya, setengah berlari. Dia baru bisa bernapas lega ketika melihat apartemen Raintree yang terang di hadapannya. Setelah menenangkan napasnya barulah Indi memasuki lobi apartemen itu. Di sana ada beberapa pasang muda-mudi yang sedang pacaran. Indi segera menuju ke deretan anak tangga. Apartemen Tom ada di tingkat tiga dan biasanya Indi menggunakan lift untuk menuju ke sana, tapi kali ini Indi memilih untuk menggunakan tangga biasa. Dia baru saja menyadari bahwa sebenarnya dia enggan dan takut untuk berjumpa dengan Tom, tetapi untuk berbalik dan melewati daerah yang baru saja dia lewati dia lebih tak mau lagi. Jadi untuk mengulur-ulur waktu digunakannya tangga itu. Keraguan Indi mencapai puncaknya ketika dia telah berdiri di depan pintu apartemen Tom. Masuk...Tidak... Masuk…Tidak…Masuk. Ya Tuhan, mengapa aku begini pengecut? Mengapa aku tidak berani menghadapi Tom? Bukankah aku sendiri yang memilih keadaan macam ini? Aku harus menunjukkan kepada Tom bahwa aku konsekwen dengan putusanku dulu untuk tetap berkawan. Kemudian pelan-pelan diketuknya pintu itu. Suara langkah terdengar mendekat sejenak kemudian pintu terkuat. Antonio, mahasiswa dari Italia yang membukakan pintu untuknya. “Buon giorno, Tonino!” Indi memberi salam dalam bahasa Italia. Tersenyum manis, dia tidak tampak gundah. Tonino adalah panggilan akrab bagi Antonio. Antonio membalas salam Indi dalam bahasa Italia pula dan mempersilahkan Indi masuk. Di dalam sudah banyak mahasiswa dan mahasisiwi yang kumpul. Indi melihat Tom duduk di samping Ursula, gadis Austria yang pergi ke pesta Home Coming dengan Tom. Tom tampak agak kaget melihat siapa yang datang. “Halo semua!” teriak Indi berusaha untuk bersikap biasa walau sebenarnya dia canggung setengah mati. Kemudian dia duduk di samping Kahar mahasiswa dari Malaysia dan berbisikbisik dalam bahasa Melayu. “Hei, Tom, kudengar kamu baru pulang dari Swiss ada ole-ole untukku?” tanya Indi selang beberapa saat. Tom terhenyak mendengar pertanyaan Indi yang tak disangka-sangka itu. Dia hanya bisa tersenyum kecut dan memandang Indi
tajam. Indi tersenyum penuh kemenangan. Kau lihatlah aku, Tom, aku bisa sesantai ini dan kamu tidak. Kemudian diraihnya keripik kentang yang ada di depannya dan mulai makan. Sementara itu matanya mengawasi seluruh apartemen. Tidak banyak yang berubah. “Bisa kita teruskan pembicaraan kita?” Hans Norwegia, si ketua KFS memulai. “Boleh aku tahu ini tentang apa?” sela Indi. “Lebih baik kuulangi dari awal sehingga yang tadi belum datang bisa mendengarnya,” kata Ursula sambil melihat ke notes yang dibawanya. Gadis itu begitu manis dan feminin. Mata biru dan rambut pirangnya mirip milik Tom. Mereka berdua sangat serasi, pikir Indi sambil memandang Ursula yang duduk di samping Tom. “Kita merencanakan untuk pergi ke Jackson Port, Canada pada akhir pekan yang akan datang,” ucap Ursula lembut. Indi harus iri pada kelembutan suara Ursula. “Yang bertanggung jawab dalam perjalanan ini adalah Tom dengan dibantu oleh Tonino, Alberto dan Juan.” Selama Ursula berbicara itu Indi melihat kalau mata Tom selalu memandang Ursula. Dan pandangannya lain, pikir Indi yang tiba-tiba merasa berduka. Cemburu? Tidak, bantah Indi sengit. “Oke, Tom, kamu mau menjelaskan rencanamu?” Ursula memberi Tom kesempatan. Sebelum Tom memulai berbicara dia memandang semua temannya satu per satu, tetapi ketika sampai pada Indi dengan cepat dipindahkan ke yang lainnya, seakan memandang Indi begitu menusuk hatinya. Indi menyadari hal itu pula tetapi pura-pura tak tahu. “Begini. . . Kita berangkat hari Jum’at pagi jam 8 dari Auditorium. Juan telah menyewa greyhound untuk kita. Dan kita akan makan siang di Cleveland. Saya kira Indi bersedia mengurusi makanan kita seperti waktu-waktu yang lalu.” Katanya. Kali ini Indi terpaksa harus memandang Tom tanpa ekspresi. “Bukannya aku menolak, tapi aku ingin menjadi wisatawan biasa. Setiap kali kita mengadakan acara, aku selalu sibuk. Bahkan aku sering harus mengeluarkan uang dari sakuku sendiri,” kata Indi. Kalimat terakhir cuma gurauan saja. Luis, temannya dari Chile tertawa ngakak mendengar penolakan Indi. “Apalagi harus berurusan dengan anak-
anak Amerika Selatan macam Luis,” sambung Indi tidak mengacuhkan tawa Luis. “Makannya banyak. Tidak ingat pembagian jatah. Bagaimana kalau kali ini kita serahkan pada gadis Amerika Selatan? Nibia, misalnya.” usul Indi. Nibia yang namanya disebut berteriakteriak protes. “Ayo Nibia, terima usul itu,” dorong Luis. “Nanti kubantu kamu. Kita bisa mendapatkan keuntungan dari kerja ini, seperti yang biasa Indi dapatkan,” Indi tersenyum lebar mendengar kata-kata Luis. “Bagaimana, Nibia?” Tom bertanya ke Nibia. Dia merasa Indi menolak tugas itu karena kali ini dia yang bertanggung jawab. Nibia bimbang. “Tentu saja kamu tidak akan bekerja sendirian. Aku pasti membantumu demikian pula Wiwan, Keiko dan yang lain-lainnya. Kamu hanya mengkoordinasikan saja. Oke?” tanya Indi. “Si,” jawab Nibia akhirnya setuju. Sesudah urusan perjalanan selesai, maka pertemuan dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol santai. Indi berjalan ke dapur untuk mencari minuman. Tanpa disengaja ketika melewati meja belajar Tom, dia melihat kalau foto dirinya yang biasanya dipasang di situ sudah tidak ada lagi. Indi tercenung. Kemudian dia membuka lemari es untuk mencari minuman yang diinginkannya dan berusaha melupakan hal tersebut. “Aku tidak mempunyainya,” tiba-tiba terdengar suara Tom. Indi tidak menyangka kalau Tom sudah berdiri di belakangnya. Waktu dia berjalan menuju dapur tadi dia melihat Tom masih bercakapcakap dengan Ursula. “Sudah lama aku tidak membeli gingerale,” lanjut Tom. Gingerale adalah minuman kegemaran Indi dan Tom dulu selalu menyimpan di lemari es untuknya. Indi memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak apa-apa, susu pun jadi,” jawab Indi sambil mengeluarkan karton susu. Dia menuangkan sedikit ke dalam gelas yang dibawanya dan menawarkan pada Tom kalau dia juga mau. Tom menggeleng sambil matanya menatap langsung ke mata Indi. Indi melihat mulut Tom terbuka siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi mulut itu kembali terkatup rapat. Mengapa jadi begini kaku? keluh Indi. Bukan ini yang kukehendaki. Aku tidak
ingin Tom menyintaiku lagi tapi tidak lantas jadi begini jauh. “Bagaimana keluargamu di Swiss, Tom?” tanya Indi berusaha mencairkan suasana. “Baik-baik,” jawab Tom sambil memandang Indi lama. Indi kecut menyadari bahwa pandangan Tom masih seperti dulu, dalam dan lembut. Indi menghindari pandangan itu, tetapi tangan Tom lebih cekatan diraihnya bahu Indi dan memaksanya untuk menatap matanya. “Indi…” suara Tom bergetar. Indi menggelengkan kepalanya. “Mengapa kamu membohongi dirimu sendiri? Kamu masih mencintaiku,” bisik Tom sambil matanya tak lepas dari mata Indi. “Tidak!” jawab Indi sambil melepaskan diri dari tangan Tom. Kemudian dia berjalan setelah memberikan sebuah senyum yang tidak bisa ditafsirkan artinya oleh Tom. (BERSAMBUNG)