The Effect of Positif Emotion, Response of Shopping Environment, Interaction with Salesperson, and Hedonic Shopping Value on Impulse Buying: Case study of Carefour, Superindo and Mirota Kampus Hypermarket
Santi Noermawati (Correspondnet Author) Yogyakarta State University
Abstract Impulse buying could be described as unplanned and often uncontrolled urge to buy products. Various antecedents have been proposed to provide evidence people act this behavior. However few scholars investigate specific individual motives, and external endorsements within hypermarket buyer behavior. This study explores Positif Emotion, Response of Shopping Environment, Interaction with Salesperson, and Hedonic Shopping Value as antecedents of impulse buying. The results show that although Positif Emotion, Interaction with Salesperson, and Hedonic Shopping related to impulse buying, only hedonic shopping has a direct effect on impulse buying sighificantly. Implications and suggestions for future research are discussed.
Keywords:
Positif
Emotion,
Response
of
Shopping
Environment,
Interaction with Salesperson, Hedonic Shopping Value, Impulse Buying
The Effect of Positif Emotion, Response of Shopping Environment, Interaction with Salesperson, and Hedonic Shopping Value on Impulse Buying: Case study of Carefour, Superindo and Mirota Kampus Hypermarket
Capturing actual impulsive behavior in controlled settings has proven to be quite challenging for researchers (Luo, 2005; Wells, Parboteeah, Valacich, 2011). Different of individual motives are predicted to have different behavior to buy (Rook and Fisher, 1995; Hausman, 2000). However, environment support and bias able to influence the action of buyers (Fisher, 1993). Hence impulse buying behavior was suggested to have diferrent antecedent (Jones et al., 2003; Beatty and Ferrell, 1998; Koufaris, 2002). Researcher found various antecedent of impulse buying behavior. Different setting of shopping activities such as online and off line was found on different reason of buy impulsively (Wells, et al, 2011). Accordingly major of antecedent such as individual and environment characteristics and generally accepted. However, problematic aspects of capturing actual impulse buying behavior are discussed by researchers to assess various factors to influence actual impulse buying behavior (Beatty and Ferrell, 1998; Adelaar et al., 2003; Dutta et al., 2003; Parboteeah et al.; 2009, Phau and Lo, 2004). Individual characteristics such as motives, want, and needs are predicted to have an effect on impulse buying. Researchers show that individuals can differ considerably in their general tendency to be impulsive as well as individual characteristic (Rook and Fisher, 1995; Weun et al., 1997). However impulse behavior can not be explained by individual reason alone (Reisman, 2002). Various endorsement and situation of environment are
suggested to have different tendency on impulse buying (Wells, et al, 2011). Hypermarket as convenience markets are predicted to have various behaviors on buying impulsively. However previous study found that individual characteristics such as positive emotion and hedonic shopping value, dan external factors such as salesperson actions have different effect on impulse buying. Accordingly this study suggests that simoultaneuous effect of individual characteristics and external endorsement to have effect on impulse buying.
Literature Review Impulse Buying Mayoritas pembelian dipasar swalayan dilakukan dengan cara impuls, khusunya bila pemaparan sebelumnya terhadap iklan telah membangun semacam pengenalan mereka (Engel,et al., 1995).Menurut Premananto (2007) Pembelian impulsif adalah sebagian dari pembelian yang tidak terencana, disebabkan oleh ekspose dari stimulus dan diputuskan langsung di lokasi belanja. Thomson,et al. dalam Semuel (2007), mengemukakan bahwa ketika terjadi pembelian impulsif akan memberikan pengalaman emosional lebih daripada rasional, sehingga tidak sebagai suatu sugesti, menurut penelitian Rook dalam Engel,et al. (1995), pembelian berdasar impuls mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik ini: 1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual yang langsung ditempat penjualan. 2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.
3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan,” “menggetarkan,” atau “liar.” 4. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan. Perspektif mengenai impulse buying yang paling dasar berfokus pada faktor eksternal yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Menurut Buedincho (2003) faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi pembelian impulsif antara lain adalah harga, kebutuhan terhadap produk atau merek, distribusi masal, pelayanan terhadap diri sendiri, iklan, displai toko yang menyolok, siklus hidup produk yang pendek, ukuran yang kecil dan kesenangan untuk mengoleksi. Dengan dasar penjelasan di atas maka impulse buying merupakan kegiatan untuk berbelanja tanpa kontrol diri dengan sedikit atau tanpa pertimbangan mendalam. Alasannya adalah pengalaman emosional yang lebih daripada rasional, karenanya pembelian pun dilakukan. Sehingga kebanyakan
pembelian
dilakukan
pada
barang-barang
yang
tidak
diperlukan. Kategori pembelian impulsif dapat dibagi menjadi empat klasifikasi sebagai berikut ini:
1. Pure impulse, pembelian dilakukan murni tanpa rencana atau terkesan mendadak. Biasanya terjadi setelah melihat barang yang dipajang di toko dan muncul keinginan untuk memilikinya saat itu juga.
2. Reminder impulse, pembelian dilakukan tanpa rencana setelah diingatkan ketika melihat iklan atau brosur yang ada di pusat perbelanjaan. 3. Suggestion impulse, pembelian dilakukan tanpa terencana pada saat berbelanja
di
pusat
perbelanjaan.
Pembeli
terpengaruh
karena
diyakinkan oleh penjual atau teman yang ditemuinya pada saat belanja. 4. Planned impulse, pembeli melakukan pembelian karena sebenarnya sudah direncanakan tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan maka pembelian dilakukan dengan membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda
Emosi Positif Pada dasarnya pendekatan psikologi mengajukan pandangannya mengenai perilaku manusia bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat dari formulasi yang dilakukan Lewin (dalam Negara, 2002) dari hasil formulasi tersebut ditemukan bahwa perilaku merupakan fungsi dari kepribadian dan lingkungan. Dari hubungan ketiganya kemudian diamati lebih mendalam oleh Mehrabian dan Russel dengan memasukkan variable mediasi yakni faktor emosi individu. Hal ini sejalan dengan paradigma S-O-R yang mendasarinya. Taman dalam Tirmizi,et al. (2009) menemukan hubungan positif emosi positif, keterlibatan dan mode fashion yang berorientasiimpuls membeli dengan dorongan keseluruhan perilaku pembelian dari konsumen. Menurut Park,et al. (2006) emosi adalah sebuah efek dari mood yang merupakan faktor penting konsemuen dalam kputusan pembelian. Faktor perasaan/emosi merupakan konstruk yang bersifat temporer karena
berkaitan dengan situasi atau objek tertentu. Perasaan seperti jatuh cinta, sempurna, gembira, ingin memiliki, bergairah, terpesona, dan antusias, dari berbagai studi, disinyalir memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kecenderungan melakukan impulse buying (Premananto, 2007). Emosi positif didefinisikan
sebagai
suasana
hati
yang
mempengaruhi
dan
yangmenentukan intensitas pengambilan keputusan konsumen.(Watson dan Tellegen dalam Tirmizi,et al., 2009). Namun lebih luas perlu dibedakan mengenai emosi yang berkaitan dengan keputusan pembelian misalnya emosi yang diciptakan merek, stimuli yang ada dan emosi yang sifatnya lebih luas. Hal tersebut dikemukakan oleh Shiv dan Fedorikhin dalam Premananto (2007) dengan mengklasifikasikan emosi menjadi task-induced affect yang dinyatakan sebagai ‘affective reaction that arise directly from the decision task itself’ dan ambient affect yang dinyatakan sebagai ‘affective states that arise from background condition such as fatigue and mood.’ Emosi positif yang dirasakan konsumen akan mendorong konsumen untuk mengakuisisi suatu produk dengan segera tanpa adanya perencanaan yang mendahuluinya dan sebaliknya emosi yang negatif dapat mendorong konsumen untuk tidak melakukan pembelian impuls (Premananto, 2007).
Respon Lingkungan Belanja Dalam penelitian ini lingkungan mengacu pada rangsangan fisik dan sosial yang ada di dalam toko ritel modern, termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko, produk dalam toko) dan perilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang ada disekitar dan apa saja yang mereka
lakukan), karena hal tersebut merupakan bagian penting yang perlu diciptakan pemasar untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Menurut Paul Peter dan Jerry Olson (1999), lingkungan terdiri dari dua macam, yaitu: Lingkungan makro dan lingkungan mikro. Faktor-faktor lingkungan makro seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik, dan kondisi alam mempunyai pengaruh
umum
atas
perilaku,
seperti
ketika
keadaan
ekonomi
mempengaruhi jumlah belanja rumah tangga, mobil, dan barang, sedangkan, faktor-faktor lingkungan mikro yang berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan seseorang berpengaruh langsung pada perilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan. Peter dan Olson (1999) juga membagi lingkungan menjadi dua aspek dan dimensi yaitu aspek lingkungan sosial dan aspek lingkungan fisik. Aspek lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi elemen yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Mehrabian dan Russel (1974) menyatakan bahwa respon afektif lingkungan atas perilaku pembelian dapat diuraikan oleh 3 variabel yaitu: pleasure, arousal dan dominance. Pleasure mengacu pada tingkat dimana individu merasakan baik, penuh kegembiraan, bahagia yang berkaitan dengan situasi tersebut. Pleasure diukur dengan penilaian reaksi lisan ke lingkungan (bahagia sebagai lawan sedih, menyenangkan sebagai lawan tidak menyenangkan, puas sebagai lawan tidak puas, penuh harapan sebagai lawan berputus asa, dan santai sebagai lawan bosan). Konseptualisasi terhadap pleasure dikenal dengan lebih suka, kegemaran, perbuatan positif. Arousal mengacu pada tingkat dimana seseorang merasakan siaga, digairahkan atau situasi aktif. Arousal secara lisan dianggap sebagai laporan
responden, seperti pada saat dirangsang, ditentang, dan diperlonggar dan dalam pengukurannya digunakan metode semantic differential, dan membatasi arousal sebagai sebuah keadaan perasaan yang secara langsung ditaksir oleh laporan verbal. Beberapa ukuran nonverbal telah diidentifikasi dapat dihubungkan den sesungguhnya membatasi sebuah ukuran dari arousal dalam situasi sosial. Dominance
ditandai
dengan
laporan
responden
yang
merasa
dikendalikan sebagai lawan mengendalikan, mempengaruhi sebagai lawan dipengaruhi, terkendali sebagai lawan diawasi, penting sebagai lawan dikagumi, dominan sebagai lawan bersikap tunduk, dan otonomi sebagai lawan dipandu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Semuel (2005) disimpulkan bahwa variabel respon lingkungan belanja berpengaruh terhadap pembelian tidak terencana.
Interaksi Antara Pelanggan Dengan Pelayan Toko (Park dan Lennon, 2006) menemukan bahwa perilaku impulse buying hampir secara exclusive dikendalikan oleh rangsangan. Pembelipembeli impulsif kemungkinan besar terbuka dan fleksibel terhadap pikiran pembelian tiba-tiba atau pembelian yang tidak diduga-duga. Karena bisa jadi, saat dihadapkan pada keputusan membeli, konsumen seringkali membutuhkan persetujuan dan opini orang-orang di sekitar mereka. Bisa dari pasangan, keluarga, teman dekat, dan tak luput pula pendapat dari Sales Person/SPG yang berada di toko, tempat mereka akan membeli produk. Kepercayaan konsumen pada opini wiraniaga (pelayan toko) harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi promosi (Engel,et al.,
1995). Di segmen usaha retail, pemilik merek perlu benar-benar membekali SPG dengan skill khusus untuk merekomendasikan produk yang benarbenar sesuai kondisi dan kebutuhan konsumen. Pelayan took hadir di toko untuk mengatasi masalah konsumen ketika mereka menghadapi keputusan pembelian sulit. Pelayan toko perlu ada di sana untuk membantu saran pertimbangan dan membuat keputusan pembelian konsumen menjadi lebih mudah. Hasil riset terakhir menunjukkan bahwa semakin banyak orang cenderung meminta pendapat Pelayan toko yang berada di toko, untuk membantu keputusan pembelian. Apalagi ketika pembelian produk bersifat impulse buying-pembelanjaan yang tidak direncanakan- ketika konsumen dalam
kondisi
'terdesak'
merasa
harus
membeli
dan
memiliki
barang/produk segera saat itu juga. Perilaku pelayan toko dapat mempengaruhi segala kemungkinan yang terjadi di titik beli. Mereka dapat mengubah keragu-raguan antara membeli atau tidak membeli (Peter dan Olson, 1999). Bahkan menurut Engel, et al. (1995) Potensi untuk mempengaruhi konsumen selama berbelanja dapat dipengaruhi secara kuat oleh staf garis depan pengecer. Ini menunjukkan bahwa rangsangan merek melalui interaksi antara pelanggan dan pelayan toko mampu mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian terutama yang bersifat impulse buying. Han,et al., 1991; Park dan Lennon, (2006) menemukan bahwa impulse buying dipengaruhi oleh kuantitas dari interaksi dengan pelayan toko didalam toko. (Hoch dan Lowenstein, 1991; dalam Park dan Lennon, 2006)Daya tarik emosional akan produk yang diinginkan sepanjang interaksi dengan pelayan toko dapat menstimuli pembeli-pembeli untuk menerima
gagasan pembelian tiba-tiba dan pembelian yang tidak diduga –duga selama berbelanja.
Hedonic Shopping Value Hedonic shopping value merupakan bagian dari instrument pengalaman belanja. Menurut Negara (2002) Pengalaman belanja adalah cerminan dari instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan (hedonic shopping value), nilai yang mencerminkan instrumen manfaat belanja (utilitarian shopping value) dan tingkat sumber daya yang dibelanjakan dan jumlah dari nilai belanja seseorang (resources expenditure). Hedonic shopping value menurut Semuel (2005) mencerminkan instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti: kesenangan dan hal - hal baru. Konsumsi hedonis meliputi aspek tingkah laku yang berhubungan dengan multisensory, fantasi dan konsumsi emosional yang dikendalikan oleh manfaat seperti kesenangan dalam menggunakan produk dan pendekatan estetis (Hirschman dan Holbrook dalam Rachmawati, 2009). Tawar dan menawar adalah dua pengalaman berbelanja yang berhubungan
dengan
kenikmatan
dalam
berbelanja
(Sherry
dalam
Rachmawati, 2009), oleh karena itu disarankan bahwa pengalaman pembelian mungkin adalah lebih penting dibanding memenuhi keinginan hedonis berhubungan dengan konsumsi hedonis (Hausman,2000; Piron (1991), Rook,1987 dalam Park,etal.,2005 dalam Rachmawati, 2009). Menurut Rachmawati (2009) konsumen lebih mungkin terlibat dalam impulse buying ketika mereka termotivasi oleh keadaan hedonis atau alasan
ekonomi, seperti kesenangan, fantasi dan sosial atau kepuasaan emosional. Menurutnya pulasejak tujuan pengalaman belanja untuk mencukupi kebutuhan hedonis, produk yang akan dibeli ini nampak seperti terpilih tanpa perencanaan dan mereka menghadirkan suatu peristiwa impulse buying.
Hypotheses Emosi Positif Pada dasarnya pendekatan psikologi mengajukan pandangannya mengenai perilaku manusia bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat dari formulasi yang dilakukan Lewin (dalam Negara, 2002) dari hasil formulasi tersebut ditemukan bahwa perilaku merupakan fungsi dari kepribadian dan lingkungan. Dari hubungan ketiganya kemudian diamati lebih mendalam oleh Mehrabian dan Russel dengan memasukkan variable mediasi yakni faktor emosi individu. Hal ini sejalan dengan paradigma S-O-R yang mendasarinya. Taman dalam Tirmizi,et al. (2009) menemukan hubungan positif emosi positif, keterlibatan dan mode fashion yang berorientasiimpuls membeli dengan dorongan keseluruhan perilaku pembelian dari konsumen. Menurut Park,et al. (2006) emosi adalah sebuah efek dari mood yang merupakan faktor penting konsemuen dalam kputusan pembelian. Faktor perasaan/emosi merupakan konstruk yang bersifat temporer karena berkaitan dengan situasi atau objek tertentu. Perasaan seperti jatuh cinta, sempurna, gembira, ingin memiliki, bergairah, terpesona, dan antusias, dari berbagai studi, disinyalir memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kecenderungan melakukan impulse buying (Premananto, 2007). Emosi positif
didefinisikan
sebagai
suasana
hati
yang
mempengaruhi
dan
yangmenentukan intensitas pengambilan keputusan konsumen.(Watson dan Tellegen dalam Tirmizi,et al., 2009). Namun lebih luas perlu dibedakan mengenai emosi yang berkaitan dengan keputusan pembelian misalnya emosi yang diciptakan merek, stimuli yang ada dan emosi yang sifatnya lebih luas. Hal tersebut dikemukakan oleh Shiv dan Fedorikhin dalam Premananto (2007) dengan mengklasifikasikan emosi menjadi task-induced affect yang dinyatakan sebagai ‘affective reaction that arise directly from the decision task itself’ dan ambient affect yang dinyatakan sebagai ‘affective states that arise from background condition such as fatigue and mood.’ Emosi positif yang dirasakan konsumen akan mendorong konsumen untuk mengakuisisi suatu produk dengan segera tanpa adanya perencanaan yang mendahuluinya dan sebaliknya emosi yang negatif dapat mendorong konsumen untuk tidak melakukan pembelian impuls (Premananto, 2007).
Respon Lingkungan Belanja Dalam penelitian ini lingkungan mengacu pada rangsangan fisik dan sosial yang ada di dalam toko ritel modern, termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko, produk dalam toko) dan perilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang ada disekitar dan apa saja yang mereka lakukan), karena hal tersebut merupakan bagian penting yang perlu diciptakan pemasar untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Menurut Paul Peter dan Jerry Olson (1999), lingkungan terdiri dari dua macam, yaitu: Lingkungan makro dan lingkungan mikro. Faktor-faktor lingkungan makro seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik, dan kondisi alam mempunyai pengaruh umum atas perilaku, seperti ketika keadaan ekonomi mempengaruhi jumlah
belanja rumah tangga, mobil, dan barang, sedangkan, faktor-faktor lingkungan mikro yang berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan seseorang berpengaruh langsung pada perilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan. Peter dan Olson (1999) juga membagi lingkungan menjadi dua aspek dan dimensi yaitu aspek lingkungan sosial dan aspek lingkungan fisik. Aspek lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi elemen yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Mehrabian dan Russel (1974) menyatakan bahwa respon afektif lingkungan atas perilaku pembelian dapat diuraikan oleh 3 variabel yaitu: pleasure, arousal dan dominance. Pleasuremengacu pada tingkat dimana individu merasakan baik, penuh kegembiraan, bahagia yang berkaitan dengan situasi tersebut. Pleasure diukur dengan penilaian reaksi lisan ke lingkungan (bahagia sebagai lawan sedih, menyenangkan sebagai lawan tidak menyenangkan, puas sebagai lawan tidak puas, penuh harapan sebagai lawan berputus asa, dan santai sebagai lawan bosan). Konseptualisasi terhadap pleasure dikenal dengan lebih suka, kegemaran, perbuatan positif. Arousal mengacu pada tingkat dimana seseorang merasakan siaga, digairahkan atau situasi aktif. Arousal secara lisan dianggap sebagai laporan responden, seperti pada saat dirangsang, ditentang, dan diperlonggar dan dalam pengukurannya digunakan metode semantic differential, dan membatasi arousal sebagai sebuah keadaan perasaan yang secara langsung ditaksir oleh laporan verbal. Beberapa ukuran nonverbal telah diidentifikasi dapat dihubungkan den sesungguhnya membatasi sebuah ukuran dari arousal dalam situasi sosial.
Dominance ditandai dengan laporan responden yang merasa dikendalikan sebagai lawan mengendalikan, mempengaruhi sebagai lawan dipengaruhi, terkendali sebagai lawan diawasi, penting sebagai lawan dikagumi, dominan sebagai lawan bersikap tunduk, dan otonomi sebagai lawan dipandu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Semuel (2005) disimpulkan bahwa variabel respon lingkungan belanja berpengaruh terhadap pembelian tidak terencana.\
Interaksi Antara Pelanggan Dengan Pelayan Toko (Park dan Lennon, 2006) menemukan bahwa perilaku impulse buying hampir secara exclusive dikendalikan oleh rangsangan. Pembelipembeli impulsif kemungkinan besar terbuka dan fleksibel terhadap pikiran pembelian tibatiba atau pembelian yang tidak diduga-duga. Karena bisa jadi, saat dihadapkan pada keputusan membeli, konsumen seringkali membutuhkan persetujuan dan opini orang-orang di sekitar mereka. Bisa dari pasangan, keluarga, teman dekat, dan tak luput pula pendapat dari Sales Person/SPG yang berada di toko, tempat mereka akan membeli produk. Kepercayaan konsumen pada opini wiraniaga (pelayan toko) harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi promosi (Engel,et al., 1995). Di segmen usaha retail, pemilik merek perlu benar-benar membekali SPG dengan skill khusus untuk merekomendasikan produk yang benarbenar sesuai kondisi dan kebutuhan konsumen. Pelayan took hadir di toko untuk mengatasi masalah konsumen ketika mereka menghadapi keputusan pembelian sulit. Pelayan toko perlu ada di sana untuk membantu saran pertimbangan dan membuat keputusan pembelian konsumen menjadi lebih mudah. Hasil riset terakhir menunjukkan bahwa semakin banyak orang
cenderung meminta pendapat Pelayan toko yang berada di toko, untuk membantu keputusan pembelian. Apalagi ketika pembelian produk bersifat impulse buying-pembelanjaan yang tidak direncanakan- ketika konsumen dalam
kondisi
'terdesak'
merasa
harus
membeli
dan
memiliki
barang/produk segera saat itu juga. Perilaku pelayan toko dapat mempengaruhi segala kemungkinan yang terjadi di titik beli. Mereka dapat mengubah keragu-raguan antara membeli atau tidak membeli (Peter dan Olson, 1999). Bahkan menurut Engel, et al. (1995) Potensi untuk mempengaruhi konsumen selama berbelanja dapat dipengaruhi secara kuat oleh staf garis depan pengecer. Ini menunjukkan bahwa rangsangan merek melalui interaksi antara pelanggan dan pelayan toko mampu mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian terutama yang bersifat impulse buying. Han,et al., 1991; Park dan Lennon, (2006) menemukan bahwa impulse buying dipengaruhi oleh kuantitas dari interaksi dengan pelayan toko didalam toko. (Hoch dan Lowenstein, 1991; dalam Park dan Lennon, 2006)Daya tarik emosional akan produk yang diinginkan sepanjang interaksi dengan pelayan toko dapat menstimuli pembeli-pembeli untuk menerima gagasan pembelian tiba-tiba dan pembelian yang tidak diduga –duga selama berbelanja.
Hedonic Shopping Value Hedonic shopping value merupakan bagian dari instrument pengalaman belanja. Menurut Negara (2002) Pengalaman belanja adalah cerminan dari instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan (hedonic shopping value), nilai yang mencerminkan instrumen manfaat belanja (utilitarian shopping value) dan
tingkat sumber daya yang dibelanjakan dan jumlah dari nilai belanja seseorang (resources expenditure). Hedonic shopping value menurut Semuel (2005) mencerminkan instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti: kesenangan dan hal - hal baru. Konsumsi hedonis meliputi aspek tingkah laku yang berhubungan dengan multisensory, fantasi dan konsumsi emosional yang dikendalikan oleh manfaat seperti kesenangan dalam menggunakan produk dan pendekatan estetis (Hirschman dan Holbrook dalam Rachmawati, 2009). Tawar dan menawar adalah dua pengalaman berbelanja yang berhubungan dengan kenikmatan dalam berbelanja (Sherry dalam Rachmawati, 2009), oleh karena itu disarankan bahwa pengalaman pembelian mungkin adalah lebih penting dibanding memenuhi keinginan hedonis berhubungan dengan konsumsi
hedonis
(Hausman,2000;
Piron
(1991),
Rook,1987
dalam
Park,etal.,2005 dalam Rachmawati, 2009). Menurut Rachmawati (2009) konsumen lebih mungkin terlibat dalam impulse buying ketika mereka termotivasi oleh keadaan hedonis atau alasan ekonomi, seperti
kesenangan,
fantasi
dan
sosial
atau
kepuasaan
emosional.
Menurutnya pulasejak tujuan pengalaman belanja untuk mencukupi kebutuhan hedonis, produk yang akan dibeli ini nampak seperti terpilih tanpa perencanaan dan mereka menghadirkan suatu peristiwa impulse buying.
H1 = Positive emotion has positive effect on impulse buying H2 = Response of Shopping Environment has positive effect on impulse buying
H3 = Interaction with Salesperson has positive effect on impulse buying H4 =Hedonic shopping value has positive effect on impulse buying
Method Samples Convenient sampling was conducted by this study to collect data from buyers at hypermarket in Yogyakarta Indonesia such as Carefour, Indomaret and Mirota Kampus. One hundreds and eighty copies of questionnaire were distributed. The majority of respondents were female (57.8%) and in the range of 18 to 25 years old (48.3%). Average of respondent has high school (53.89%) and undergraduate (28.3%). They are work to government (42.2%) and in study (38.9%).
Measurements Positive Emotion is measured using four items were adopted from the questionnaire developed by Kacmar and Baron (1999). A sample item: ‘‘People in this organization attempt to build them up by tearing others down.’’ A 5-point rating scale was used to evaluate respondents Positive Emotion Response of Shopping Environment is measured using three items were adopted from the questionnaire developed by Kacmar and Baron (1999). A sample item: ‘‘People in this organization attempt to build them up by tearing others down.’’ A 5-point rating scale was used to evaluate respondents Response of Shopping Environment Interaction with Salesperson is measured using six items were adopted from the questionnaire developed by Kacmar and Baron (1999). A sample item:
‘‘People in this organization attempt to build them up by tearing others down.’’ A 5-point rating scale was used to evaluate respondents Interaction with Salesperson Hedonic Shopping Value is measured using three items were adopted from the questionnaire developed by Chunling Yu and Mike Bastin (2010). A sample item: ‘‘It seems that I explore a new world when I go shopping.’’ A 5-point rating scale was used to evaluate respondents Hedonic Shopping Value Impulse Buying is measured using six items adopted from the questionnaire developed by Weun, Jones, and Beatty (1998). A sample item: ‘‘When I go shopping, I buy thing that I had not intended to purchase.’’ A 5-point rating scale was used to evaluate respondents Impulse Buying
Analysis This study was conducted involving confirmatory factor analysis (CFA) and structural equation modeling (Anderson and Gerbing, 1988). Data with listwise deleting of missing values was used for the LISREL analysis, resulting in a final sample size of 180. Overall measurement of model fit was assessed with four indices: the χ2 statistics; the comparative fit index (CFI, Bentler, 1990); the goodness-of-fit index (GFI, Jo¨reskog and So¨rbom, 1988); and rootmean square error of approximation (RSMEA, Vandenberg and Lance, 2000). Hierarchical regressionanalysis was used to examine the mediating and moderating effect proposed in this study. Pertaining to the measurement model, CFA result yielded support for the 5-factor model, indicating the distinctiveness of the four constructs in this study. The chi-
square value was 2.83 significantly lower than 3 and fit for model (χ2= 266.31, df =94, p <0.01; CFI = 0.93, RFI=0.87, NFI=0.90, GFI = 0.84, RMSEA = 0.086) Figure 3 presents the model of CFA.
Figure 2 presents the model of CFA.
The model of fit showed that The chi-square value was 2.83 significantly lower than 3 and fit for model (χ2= 266.31, df =94, p <0.01; CFI = 0.93, RFI=0.87, NFI=0.90, GFI = 0.84, RMSEA = 0.086). It is found that Positive Emotion has a significant positive effect on impulse behavior (β = 0.160), Response of Shopping Environment has a significant positive effect on impulse behavior (β = 0.13), Interaction with Salesperson has a significant negative effect on impulse behavior (β = -0.14), and Hedonic Shopping Value has a significant positive effect on impulse behavior (β = 0.43). However the
correlation matrix showed that
Interaction with Salesperson does not
significant related to impulse buying.
0.34
EP1
0.33
EP2
0.36
EP3
0.78
RS5
0.79
RS7
0.56 0.59 0.56
0.44 0.42
EP
0.77
0.53
H14
0.30
H15
0.55 0.88
0.49
H16
0.74 0.76
0.45
H17
0.83 0.62
0.31
H18
0.54
H19
0.43
IB22
0.49
IB
-0.14
0.53 0.63
Int13
IB21
0.59
Int8
0.12
0.49
RS 0.13
0.30
IB20 0.16
0.79
Int 0.43
H
Figure 3 The Effect of Positif Emotion, Response of Shopping Environment, Interaction with Salesperson, and Hedonic Shopping Value on Impulse Buying Table 1 Mean, Standard deviation, cronbach alpha, and correlation matrix Mean 3.63 1. Positif Emotion 3.54 2. Response of Shopping Environment 3.74 3. Interaction with Salesperson 2.99 4. Hedonic Shopping Value 3.23 5. Impulse Buying N = 180 figures in parentheses are α reliability. **p <0.01; *p <0.05.
SD .661 .761 .663 .778 .816
1 .783 ** .356 ** .339 ** .643 ** .419
2
3
4
5
.323 ** .294 .753 ** ** .319 .234 .875 ** ** .231 .076 .500 .756
Table 2 Different Respond on various market Construct
Hypermarket
Mean
F
Sign
Positive Emotion
carefour
3.6278
.004
.996
.317
.729
1.469
.233
.411
.664
3.311
.039
Response of Shopping Environment Interaction with Salesperson Hedonic Shopping Value Impulse Buying
superindo
3.6333
mirotakampus
3.6389
carefour
3.5917
superindo
3.5583
mirotakampus
3.4833
carefour
3.8083
superindo
3.8000
mirotakampus
3.6250
carefour
2.9194
superindo
3.0167
mirotakampus
3.0417
carefour
3.1222
superindo
3.1111
mirotakampus
3.4444
Kesimpulan: -
Tidak ada perbedaan pengaruh IDV-DV pada ketiga hypermarket
-
Ada perbedaan (nilai F) dari ketiga hypermarket pada variable IB
(p<.05)
Discussion
Reference: Luo, X.:2005,
"How Does Shopping with Others Influence Impulsive
Purchasing?," Journal of Consumer Psychology (15) 4, pp. 288-294 Wells, JD, Parboteeah, V., and Valacich, JS.: 2011, Online Impulse Buying: Understanding the Interplay between Consumer Impulsiveness and
Website Quality, Journal of the Association for Information Systems 12, Issue 1, pp.32-56 Reisman, DA.: 2002, The institutional economy: demand and supply, Edward Elgar PublisingLimited, MPG Book Ltd, Cornwall Chunling Yu and Mike Bastin, 2010, Hedonic shopping value and impulse buying behavior in transitional economies: A symbiosis in the Mainland China marketplace, Journal of Brand Management , 18, 105 – 114 Weun, Seugnoog, Michael A. Jones, and Sharon E. Beatty, 1998, The Development and Validation of the Impulse Buying Tendency Scale, psychological Reports, 81, 1123-1133