ATSUM I
K E M E W 6 AK
YA\<; TERTUDA
) )
KPIHIVASGAX TAXG n im V D A Oleh: Atsumi
ISBN : KDT
I
Ftwira&u, u»,:wc;[
979 - W
-q -l
Penerbit IDAYUS Jakarta
Hak Cipta Dihndungi Undang-undang pada: Pengarang DKerbrtkar oteh DicetaK oleh
CV Idayus PT Demina
lustras V'jlr
Tommy
llustrasi isi
Tommy
Ceiakan peitama
1996
2
Daftar Isi
•
Daftar Is i.................................................................
3
-
Kata Pengantar......................................................
5
1.
Mimpi ......................................................................
7
2.
Menjadi Anak yang Baik .......................................
19
3.
Tanggung Jawab dan Pengabdian......................
32
4.
Menjadi Pahlawan .................................................
46
++*
3
Kata Pengantar Baku adaiah salah satu faktor penunjang yang utama daiam usaha mencerdaskan bangsa. Darinya dapat diserap berbagai informasi yang berguna bagi pembentukan kepribadian anak. Lewat cerita ini, pengarang mencoba menumbuhkan srfat kepahlawanan pada diri anak-anak. Jiwa kepahiawanan itu sendiri tumbuh tanpa disadari, sejalan dengan situasi dan kondisi, di mana anak tersebut tinggal, dan itu bisa terjadi pada siapa pun. Semoga cerita ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, serta bisa mengantisipasi tokoh-tokoh pahiawan dari cerita-cerita impor yang akhir-akhir ini masuk membanjiri negeri kita. Wassaiam Pengarang
5
X.
MIMPI
Jajang tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu dan keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. la menatap sekelilingnya, sekedar meyakinkan kalau ia masih berada di kamarnya. Kreeeet! terdengar suara pintu kamar dibuka perlahanlahan. Seorang wanita setengah tua memasuki kamar. Akhir-akhir ini, sengaja Jajang tidak pernah mengunci pintu kamar tidurnya, agar ibunya bisa masuk setiap saat bila ia membutuhkannya. "Kau mimpi lagi?" tanya wanita tua itu sambil mendekati Jajang yang tengah terduduk di atas balai-balai. "Ya, Bu!" jawab Jajang sambil memijit-mijit dahi mencoba mengusir rasa pening di kepalanya. Wanita tua itu duduk di samping Jajang, kemudian membantu memijit leher dan kedua bahu putranya. "Tak perlu dirisaukan. Mimpi itu pasti datang lagi bila kau selalu mengingatnya. Apalagi rumah kita sangat ber-
7
dekatan dengan jalur kereta api. Setiap saat kau akan mendengar suara kereta api yang lewat," hibur ibunya. "Kenapa tidak dari dulu mimpi itu datang? Bukankah kita sudah cukup lama tinggal di sini!" kata Jajang sambil menoleh ke arah ibunya. 'Bahkan sebelum aku lahir, Ibu dan mendiang Ayah sudah menetap di sini. Kenapa mimpi itu baru datang akhir-akhir ini?" Jajang menatap berkeliling ke arah dinding kamarnya. la seakan mencari jawaban atas pertanyaannya. Wanita tua itu hanya menghela napas panjang. "Sudahlah, sebentar lagi hari akan subuh. Kau harus segera ke masjid untuk salat subuh," ibunya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ya, Bu,“ Jajang turun dari balai-balai. la menarik ujung sarung yang dikenakan hingga menyelimuti tubuhnya. “Ceritakanlah pada Wak Haji, mungkin ia bisa membantumu!" ibunya mencoba mengingatkan, sesampainya Jajang di depan pintu. Jajang hanya menganggukkan kepala. Setelah itu, ia pun berjalan menembus dingin dan pekatnya pagi. Dari jauh terdengar bunyi kereta api. Suara itu terdengar makin bising ketika kereta api melewati jembatan. Kemudian kembali terdengar semakin menjauh seiring langkah Jajang menuju masjid. Seusai salat subuh, masjid kembali lengang. Jajang masih berada di sana ditemani seorang lelaki setengah tua, lalu Jajang menceritakan tentang mimpinya kepada orang tua itu.
6
“Sudah berapa kali kau bermimpi seperti itu, Jang?" tanya lelaki tua itu sambil menatap ke arah Jajang penuh selidik. Jajang terdiam sejenak. la mencoba mengingat-ingat. “Sudah empat kali Wak Haji, saya bermimpi yang sama. Saya jadi takut kalau akan pergi tidur," ujarnya dengan cemas. Orang tua itu tersenyum, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. la mengelus-elus ujung kumis dan jenggotnya yang telah memutih. “Jang, bersabarlah..., karena dengan bersabar dan menyerahkan diri kepada-Nya, semua masalah insya Allah akan teratasi. Rasulullah pernah bersabda, bila kau ber mimpi yang baik, ceritakanlah pada semua orang dan bersyukurlah kepada-Nya, karena mimpi itu datang dari-Nya, tetapi apabila kau bermimpi yang buruk, janganlah diceritakan kepada orang lain, dan mintalah pe'tolongan padaNya. Sesungguhnya mimpi itu datangnya dari setan..,," ungkap Wak Haji panjang lebar. Dengan duduk bersila Jajang mendengarkan ucapan orang tua itu dengan penuh perhatian. "Yang terpenting lagi, jangan lupa berdoa sebelum tidur,“ lanjutnya. Jajang kini merasa lega. la tidak takut lagi tentang mimpinya. la percaya penuh pada semua perkataan Wak Haji. Ketika meninggalkan masjid, ada seulas senyum tersungging di bibirnya.
9
Jajang sedang menceritakan mimpinya kepada Wak Haji. 10
Pukul 06.30 pagi, Jajang sudah berada di atas sepedanya. Sekotak telur ayam berada di belakang sadel sepeda. Kotak kayu itu diikat dengan kuat, agar tidak terlepas apabila sepeda dipacu agak cepat. "Setelah menyerahkan kotak yang berisi telur itu ke warung Mak Ijoh, aku harus segera ke sekolah," ucapnya dalam hati, kemudian ia membelokkan sepedanya memasuki halaman sebuah warung makan. Walau masih pagi, tempat itu sudah banyak dikunjungi orang. Jajang menyandarkan sepedanya di bawah pohon nangka yang tumbuh di halaman depan warung. Kemudian ia membawa kotak berisi telur itu ke dalam warung. "Sudah ramai, ya Mak?" tanyanya sambil memberikan kotak itu pada Mak Ijoh, pemilik warung. "Maklum saja, ini hari pasar, Jang," jawabnya sambil meletakkan kotak di atas meja. Kemudian ia bergegas ke dalam. Tidak lama kemudian telah kembali dengan mem bawa baskom plastik. "Berapa jumlahnya, Jang?" tanya Mak Ijoh. "Seperti permintaan Emak. Bahkan aku lebihkan dua puluh butir. Kalau-kalau Emak nanti kekurangan." "Bagus itu, Jang," ungkap Mak Ijoh sambil memindahkan isi kotak dan menghitungnya ke dalam baskom. Warung Mak Ijoh buka lebih awal dibanding warung lainnya. Tempat itu menjadi tempat ramai disinggahi orang yang akan pergi dan baru pulang dari pasar. Sambil menunggu Mak Ijoh menghitung telur, Jajang melihat orang-orang yang sedang makan di warung Mak Ijoh. Matanya tertumbuk ke arah dua orang lelaki yang
11
duduk di sudut warung. Jajang kenal betul pada mereka. Itu Pak Udin dan Pak Eman, sahabatkarib mendiang ayahnya. Kedua lelaki itu tampak sedang terlibat percakapan yang serius. "Jadi besok kau tidak akan datang ke balai desa?" "Entahlah, Kang. Soalnya saya masih harus membetulkan genting rumah yang bocor." "Justru orang seperli kamu yang harus datang ke pertemuan itu," tegas Pak Eman. "Kenapa? Saya hanya mengambil kayu dan ranting dari pohon yang kering. Jadi saya tidak pemah merusak hutan," sanggah Pak Udin. "Merusak atau tidak, kau kan orang yang sering keluar masuk hutan. Itu sudah cukup mewajibkan kamu untuk ikut pertemuar nanti." Pak Udin menelan ludah. la tampaknya tidak mau diperintah, tetapi di hadapan Pak Eman ia merasa segan. "Kalau begitu, si Otong, si Oyib, si Engkus, dan Nyi Emeh juga harus datang ke pertemuan itu," protesnya. "Tentu saja, semua orang yang berurusan dengan hu tan dan semua warga harus datang ke balai desa hari Minggu lusa," tegasnya. "Baik Pak RW ,' tukas Pak Udin tidak berani lagi membantah. Jajang yang sejak tadi mendengarkan percakapan antara Pak Eman dan Pak Udin kaget ketika Mak Ijoh menyebut nama. "Benar. Jang, semuanya seratus dua puluh butir.
Ini uang hasil penjualan telur yang lain," ujar Mak Ijoh sambil menyerahkan beberapa lembar uang ribuan. Kemudian Mak Ijoh memberikan baskom berisi telur itu kepada pembantunya. "Sebenarnya akan ada pertemuan apadi balai desa itu, Mak? tanya Jajang setelah memasukkan uang itu ke da lam sakunya. "Emak tidak tahu apa-apa. Katanya, hari Minggu nanti seluruh warga khususnya yang sering keluar masuk hutan, diharuskan hadir ke balai desa. Itu saja yang Emak tahu." "Ada apa ya?" Jajang seakan bertanya pada dirinya sendiri. "Katanya di balai desa akan ada penyuluhan dari Pak Kades yang bam," pembantu Mak Ijoh menyela pembicaraan. "Penyuluhan tentang apa, Mang Ule?’ tanya Jajang kepada pembantu Mak Ijoh itu. Tentang pencegahan bahaya banjir dan tanah longsor, Jang," terangnya lebih lanjut. "Ah, jangan terlalu dipercaya, Jang! Dasar si Ule, tahu dari mana dia," Mak Ijoh menyangsikan keterangan pem bantunya. Sumpah, Mak. Itu semua kata Pak Eman, bahkan beliau juga menyuruh saya agar hadir ke sana. Saya kan biasa mencari kayu di hutan untuk kayu bakar di warung ini," kata Mang Ule meyakinkan majikannya. 1Buat apa ada penyuluhan segala, desa kita tidak pernah kebanjiran. Malah para karuhun (arwah para leluhur) telah melindungi desa kila sejak dulu, ujar Mak Ijoh dengan penuh keyakinan. 13
"Betul Mak, itu dikarenakan desa kha berada jauh di atas aliran sungai, tetaoi bagaimana dengan nasib penduduk desa yang ada di lebak sana. Pasti mereka sangat menderita karena harus menerima luapan air sungai sehabis hujan lebat." "Wah, benar juga, Emak memang bodoh. Habis Emak tidak sekolah sih." "Tidak ada yang bodoh, Mak. Yang ada hanya orang yang tidak tahu saja," Jajang mencoba menirukan kalimat yang seung diucapkan ayahnya, apabila ia agak malas belajar. Mak Ijoh tersenyum mendengar perkataan anak yang ada di hadapanrya. "Kau memang pintar. Mirip ayahnu. kalau dia masih ada pasti sangat bangga padamu," pujinya sambil mengacur gkan ibu jari dan mengedipKan seoelah mata. Ah, Emak bisa saja," Jajang jadi rikuh Ngomong-ngomong apa ibumu diundang juga ke pertemuan itu?" Ja;ang mengemyitkan dahinya. ■Rasanya tidak. Ibu tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu." Kalau "idak, hari Minggu besok, suruh kemari ibumu, si Ule ’kan oergi ke balai desa. Biar ibunu yang ■membanlu Emak di sini." 'Boleh, nanti saya sampaikan," ucap Jajang. "Saya titip dulu kotak telurnya, Mak. Nanti saya ambJ sepulang sekolah."
14
Setelah pamit, Jajang memacu sepedanya kembali, menuju jalan raya. la tidak ingin terlambat tiba di sekolah. Dengan kecepatan seperti itu, Jajang butuh waktu lima belas menit untuk sampai di sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya memang cukup jauh. Semula ia agak malas untuk pergi ke sekolah. la ingin bersekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya saja. "Pak Soleh, Kepala Sekolah Dasar Hurip itu sahabat Ayah sejak kecil," ujar ayahnya ketika masih hidup. Itulah yang menjadi alasan kenapa ayahnya berkeras hati menyekolahkan Jajang di tempat itu. Karena jaraknya agak jauh, sampai kelas dua Jajang kerap diantar ayahnya dengan membonceng sepeda. Naik kelas tiga Jajang sudah enggan diantar ayahnya. "Malu, kalau Ayah mengantar saya. Padahal saya bisa pergi ke sekolah dengan berjalan kaki," pinta Jajang pada ayahnya. Sejak kelas tiga itulah, Jajang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Setelah ayahnya meninggal dunia. barulah Jajang menyadari kalau gagasan ayahnya menyekolahkan dia di tempat itu benar. Buktinya ia masih bisa melanjutkan sekolahnya di sana. Pak Soleh telah menjadi 'Bapak Asuh’ baginya. Bahkan Pak Soleh membelikan Jajang sebuah sepeda agar tidak terlambat datang ke sekolah. Sedangkan sepeda mendiang ayahnya telah lama dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Lagi pula sepeda sebesar itu kurang cocok bagi anak seusia Jajang. Tidak lama kemudian Jajang telah tiba di pintu gerbang sekolah. Tampaknya hampir semua muridtelah berkumpul, menunggu lonceng tanda masuk kelas dipukul. Jajang turun dari sepedanya dan menyelinap di antara mereka
15
■Jang..! tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya. Jajang menoleh ke arah datangnya suara. la melihat Omat, Yana, Oyan, dan Agus melambai-lambaikan tangannya. Jajang membalas lambaian itu sambil membimbing se pedanya ke tempat parkir. "Kok, lelat lagi, Jang?" tanya Oyan, setelah Jajang mendekat. 'Aku harus mengantar telur dulu." "K am j mimpi buruk lagi semalam?" Jajang hanya mengangguk. Seram tidak mimpinya, Jang?" tanya Agus ikut nimbrung. Jajang menarik napas panjang. "Ayolah ceritakan, apa mimpimu itu?' desak Agus penasaran. Jajang menoleh ke arah Oyan. Yang ditatap mengangkat bahunya. 'Dia mendesak ingin tahu tentang mimpimu itu. aku suruh menanyakan langsung padamu,1' kata Oyan men coba membela diri. 'Mimpi tentang kereta api, ya?" Agus mencoba menebak. 'Ya. aku mimpi ditabrak kereta api!" "Seakan-akan aku melintasi rel kereta api deka! rumahku, tiba-tiba saja sebuah kereta muncul di hadapanku. Dan..." Jajang tidak mampu meneruskan ceritanya. Semuanya membisu. 16
"Sudahlah, kata Abahku mimpi itu bunganya tidur," potong Omat. Kalau mimpi bunga tidur, buah tidurnya apa? tanya Agus. "Ya..., barangkali air liur yang ada di bantal," jawab Omat seenaknya Tentu saja membuat mereka tertawa. "Ngomong-ngomong, sepulang sekolah nanti kita akan berlatih kembali kan?" Yana mengingatkan pada sebuah rencana. "Tentu saja, ini latihan yang terakhir bagi kita sebelum hari Minggu nanti kita bertempur melawan kesebelasan anak-anak kota," tegas Oyan. "Kita akan bermain bola di mana?" tanya Jajang. "Di lapangan seperti biasa. Lagi pula anak-anak sekitar situ pun akan berlatih di sana. Kita bisa jadikan mereka sebagai lawan tanding, jawab Oyan. "Gagasan yang bagus," Jajang memuji rencana sahabatnya itu. Tiba-tiba suara lonceng tanda masuk berbunyi. Muridmurid bergegas masuk ke kelasnya masing-masing. Jajang dan teman-temanya yang lain telah duduk di ruangan kelas. Beberapa saat kemudian Pak Herman, guru kelas lima memasuki ruangan. Setelah mengucapkan salam, ia berdiri di depan kelas. Kabarnya hari Minggu besok, anak kelas lima akan bermain sepakbola?" tanyanya. "Benar, Pak, jawab Jajang mewakili teman-temannya. ' Dengan siapa?"
17
"Dengan anak kola Pak. Mereka leman-teman sepupunya si Oyan.1' "Hati-hali! Bapak tidak ingin ada perkelahian.1' "Jangan khawatir, Pak. Kami telah melakukan perlandingan persahabatan setiap tiga bulan sekali. ini pertandingan sepakbola yang ketiga kalinya dengan mereka,11 ungkap Jajang meyakinkan gurunya. "Bagaimana hasilnya?" Karena ada Jajang, kita selalu menang Pak. Dia ujung tombak yang hebat. Tidak ada musuh yang bisa menghalanginya untuk mencetak gol," puji Oyan dengan berapiapi, disambut tepuk tangan yang meriah oleh teman-teman sekelasnya. Jajang jaUi sal ah tingkah. la lersipu malu. “Kalah alau menang tidak menjadi masalah, yang terpenling kalian telah melakukan sesuatu yang terpuji. Ini bisa menjadi contoh bagi siswa lainnya. Karena itu, bapak akan mengusulkan kepada Kepala Sexclah agar seKolah kita sering melakukan pertandingan persahabatar resmi dengan sekolah lainnya." Pak Herman mengakhiri pembicaraanya, disambut dengan tepuk tangan meriah seisi kelas.
18
•
MENJADI ANAK YANG BAIK
Hari hampir menjelang sore. Jajang memacu sepedanya agak cepat. Setelah melewati batas desa, ia membelokkan arah laju sepedanya meninggalkan jalan raya utama memasuki jalan pedesaan. Desa Sindanggiri terletak tidak jauh dari jalan utama lintas selatan Jawa Barat. Selain terletak di jalur lalu lintas yang cukup ramai, desa itu dialiri juga oleh Sungai Ciponggol. Sungai itu membelah desa menjadi dua bagian. Desa yang terletak di sebelah barat sungai tersebirt Desa Sindanggiri Kulon, sedang yang terletak di sebelah timur disebut Desa Sindanggiri Wetan. Letak desa jauh di atas Sungai Ciponggol. Ini dikarenakan Desa Sindanggiri merupakan desa perbukitan. Mata pencarian penduduknya selain menanam padi, sebagian besar mereka juga menanam sayuran. Di sebelah utara desa terdapat sebuah bukit yang cu kup besar. Orang desa menyebutnya "Pasir Bagong". Bukit itu dinamakan seperti itu, karena di sana banyak sekali
19
berkeliaran babi-babi hutan. Binatang-binalang liar ilu hidup di antara padang erih (ilalang) yang tumbuh menyelimuti sebagian besar daerah Pasir Bagong. Pada musim panen binatang-binalang liar itu sering merusak ladang serta kebun-kebun penduduk. Mereka memangsa apa saja yang dijumpainya. Bahkan ada beberapa ekor di antaranya yang masuk ke dalam pemukiman pen duduk. Karenanya menjelang musim panen para penduduk beramai-ramai mengadakan pemburuan di Pasir Bagong, tempat hewan-hewan itu berkembang biak. Pada musim perburuan, Jajang sekali-kali diajak oleh ayahnya. Pikiran Jajang menerawang pada kenangan semasa ayahnya masih hidup. ‘ Kenaoa babi-babi hutan itu, sering masuk ke dalam desa, Yah?" tanya Jajang pada ayahnya ketika itu. 'Ini dikarenakan habitat (lingkungan hidup) mereka semakin sempit. Sebagian besar telah dijadikan ladang dan kebun sayuran. Sedangkan populasi (perlambahan jumlahnya) mereka semakin bertambah. Akibatnya mereka kelaparan dan masuk ke dalam desa untuk mencari makanan," jelasnya ketika itu. Pak Arif terdiam sejenak. Pandangannya menatap berkeliling. "Ketika Ayah masih kecil, bukit-bukit di sekitar Pasir Bagong itu adalah hutan, tempat tinggal binatang-binatang liartersebut," lanjutnya sambil menunjuk ke arah bukit-bukit di sekitar Pasir Bagong yang kini telah ditanami sayursayuran. "Hutan itu sudah tidak ada lagi. Para penduduk telah menebangi pepohonannya dan menyulap bukit-bukit itu
20
menjadi kebun-kebun sayuran. Tentunya ini telah mempersempit habitat babi-babi hutan tersebut," sambungnya. Jajang jadi mengerti kenapa hewan-hewan liar itu harus diburu dan dibinasakan. Padahal semua itu bukan kesalahan mereka semata. Penyebabnya adalah kita sendiri yang kurang bijaksana dalam menggali dan mengolah kekayaan alam. Desa Sindanggiri Kulon dan Sindanggiri Wetan dihubungkan oleh sebuah jembatan mobil dan sebuah jembatan kereta api. Jembatan kereta api biasanya juga dilalui oleh orang-orang yang memiliki rumah di sekitar rel kereta api, sebagai jalan pintas untuk menuju rumahnya. Jajang telah sampai di tepi jembatan kereta api itu. la turun dari sepedanya. Kemudian dengan hati-hati ia menyeberangi jembatan kereta api sambil memegangi kedua setang sepedanya. Menyeberangi jembatan kereta api harus memiliki keberanian yang besar. Jembatan itu hanya terdiri dari rangka besi dan bantalannya saja. Bila kita lengah dan ceroboh, bisa-bisa terperosok dan jatuh ke bawah. Padahal jarak antara sungai dengan jembatan sangat dalam. Jajang tidak dapat membayangkan apabila seseorang terperosok dan jatuh dari jembatan. Keberanian saja belum cukup. la harus tahu, saat-saat kereta akan lewat, kalau salah perhitungan orang bisa terlindas kereta api ketika ia masih berada di tengah jem batan. Jajang tidak takut. la berani dan tahu persis kapan saja waktu kereta api akan lewat. Ayahnya telah mengajarkan bagaimana caranya menumbuhkan keberanian menyebe rangi jalan kereta, kapan saja waktunya kereta api akan
21
lewat. Jajang dengan ayahnya sering melewati jembatan itu apabilasepulang dari desaseberangsetelah menghadiri undangan selamatan. Kini pun Jajang masih tetap melewati jembatan itu, apabila ia pjlang sekolah atau pulang dari pasar. Jalan melewati jembatan kereta api itu adalah jalan pintas yang terdekat menuju rumahnya. Letak rumahnya memang agak terpencil dari pemukiman penduduk. Ketika pertama kali Jajang diajak ayahnya untuk menyeberangi jembatan kereta api itu, ia hampir menangis karena takut sekali, tetapi ayahnya selalu memberi keyakinan. "Kamu tidak perlu takut. Buyutmu bersama penduduk lainnya pernah ikut membangun jembatan ini. Kakekmu dan ayanmu ini telah ikut juga memelihara jembatan ini. Kelak kau akan menggantikan mengawasinya. Jembatan ini bisa menjadi lambang keperkasaan. Bentuknya yang kokoh sangat tahan, walau terlimpa hujan dan panas selama berpuluh-puluh tahun, kecuali jika tanah tempat pondasinya longsor. Itu sama dengan kehidupan keluarga kita. Sejak nenek buyut dulu, keluarga kita telah ditempa dengan penderitaan, tetapi tetap kukuh dan siap menghadapi setiap tantangan hidup,'' ucap ayahnya dengan bersemangat pada suatu ketika. Bagaimana kalau jembatan itu roboh, Yah?" Pak Arif terhenyak. la terdiam sejenak. "Tak mungkin roboh, sebelum ada penggantinya. Bahkan dia tidak akan roboh sebelum dirobohkan." tegasrya. "Jadi jembatan ini akan diganti, Yah?"
22
"Ya, pihak Perumka tengah merencanakan akan membuat jembalan yang baru di samping jembatan yang sudah ada." "Jembalan lama akan dirobohkan tidak, Yah?" "Tidak, mereka akan membiarkan jembatan itu sebagai sebuah peringatan sejarah." Jembatan itu masih berdiri kokoh, tetapi ayahnya telah meninggal menghadap Yang Mahakuasa. Pak Arif tidak akan pemah sempat melihat jembatan baru dibuat. Errtah mengapa jembatan baru itu sampai kini belum juga dibangun. 1 (etahuilah olehmu, Jang. Telah ribuan bahkan mungkin jutaan orang menyeberangi Sungai Ciponggol. Jem batan itu telah banyak menolong orang. Itu bisa menjadi prinsip hidup Kita. Menolong orang dengan tanpa pamrih. Tanamkan baik-baik prinsip hidup seperti itu pada dirimu. Tolonglah orang yang membutuhkar bantuanmu tanpa harus mengharapkan imbalannya." Jajang membenarkan ucapan ayahnya. Ini sama seper ti yang diucapkan Wak Haji, guru mengajnya itu. Bahwa menolong orang tanpa mengharapkan imbalan adalah se buah perbuatan yang mulia. Tuhanlah yang akan menilai dan membalasnya kelak di akhirat. Setelah menyeberangi jembatan, Jajang tersadar dari lamunannya, ia kembali mengayuh sepedanya. Ketika sampai di tempat pos penjaga lintasan, ia berhenti sejenak. Pandangannya menyelidiki ke arah bangunan yang tidak seberapa besar itu, tetapi tidak ada seorang pun yang berada di sana. Jajang melirik jam tangannya. Sebentar lagi kereta api sore akan melintas. la melihat ke sekitamya. Saat sore 23
seperti ini terkadang ada juga kendaraan yang melintasi rel kereta api. Jajang turun dari sepedanya, kemudian ia membawa sepedanya menepi ke arah pos penjagaan. la membuka pintu pos yang memang tidak terkunci. Setelah menunggu beberapa saat terdengar tandatanda kereta api akan lewal, Jajang menatap sekelilingnya. la melihat sebuah 1ruk dan sepeda motor bergerak ke arahnya. Jajang bergegas ke Ija r dari pos dan menurunkan pintu lintasan kereta. Truk dan sepeda motor berhenti, saat yang hampir bersamaan terlihat sebuah kereta dengan kecepatan tinggi melintasi lempal itu. Setelah kereta lewat, Jajang kembali membuka pintu lintasan. Pengemudi truk dan sepeda motor itu tersenyum, dan melambaikan langannya ke arah Jajang. Anak lelaki itu membalasnya dengan tersenyum pula. Jajang merasa bahagia. Hari ini ia telah melaksanakan tugas, menolong orang seperti apa yang diamanatkan ayahnya. Jajang menatap ke arah langit. Melihat awan yang berarak. la mencoba mencari bayangan ayahnya di sana. Jajang yakin ayahnya akan bangga atas apa yang telah ia lakukan tadi. la menarik napas panjang dan kembali mengambil sepedanya untuk meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya. Kembali terlinlas dalam benak Jajang, tentang pekerjaan yanglurun menurun digeluti kakek buyut sampai ayah nya itu. Haruskah diwariskan kepadanya. Rasanya Jajang belum bisa menjawabnya. Pernah ayahnya menanyakan cita-cita anak satu-satunya itu, tetapi Jajang tidak bisa menjawabnya. 24
"Mengapa? Apakah kau tidak punya cita-cila?" selidik ayahnya ketika itu. Jajang menggelengkan kepalanya. "Apakah kau dan teman-lemanmu tidak pernah membicarakan tentang cita-cita kalian kelak?" "Pernah, Yah. Si Ibro ingin jadi mantri pasar, si Oyan ingin jadi petani, dan si Engkus ingin jadi lenlara," tegas Jajang. "Kalau kau, Jang?" Jajang hanya tersenyum sambil menatap ayahnya. "Ayo katakan saja," desak ayahnya. "Jajang hanya ingin belajaryang rajin dan menjadi anak yang baik saja serta bebas bermain sepakbola dengan teman-teman Jajang," jawabnya dengan nada pelan. Pak Aril menepuk bahu anaknya itu. "Mengapa kau takut untuk mengutarakannya. Kau bisa bercita-cita setinggi apa pun, tidak akan ada yang melarangnya. Semakin linggi cita-citamu, semakin bagus. Itu bisa memacu semangatmu untuk meraihnya, tetapi kita jangan lupa, bahwa Tuhanlah yang akan menentukan semuanya." "Apakah Ayah sewaklu kecil juga punya cita-cita?" tanya Jajang. "Tentu!" "Apakah cita-cita Ayah itu terlaksana?" "Ya! Seperti sekarang ini," jawab Pak Arif tegas. "Ayah dulu bercita-cita ingin bekerja seperti kakek dan buyutmu. Nyatanya dta-cita itu terlaksana sekarang!" 25
Pengcnxjdi trjk fty (eiserr/um dan melambaikan largan ke arah Jajang. 26
Jajang hanya termenung. Apakah dirinya harus mengikuti jejak ayahnya? la kagum dan bangga pada sifat-sifat ayahnya. Tentang semangat dan kemauannya yang keras. Pak Arif contoh orang 1ua yang pantang menyerah menghadapi kekerasan hidup. Dia juga sangat mencintai keluarganya, anak, dan istrinya. Jajang ingin memiliki semangat hidup seperti ayahnya, tetapi ia tidak ingin memiliki pekerjaan seperti ayahnya. la teringat akan ucapan Wak Haji, bahwa manusia dilahirkan dengan garis kodrat hidup yang berbeda-beda. Tinggal bagaimana usaha manusia itu sendiri urrtuk meraihnya. Dengan begilu sebetulnya ia tidak perlu takut alau cemas apabila ia memiliki cita-cita tidak sama dengan kakek buyut serta ayahnya. **+ Jajang memacu sepedanya menuju rum ah. Di depan pintu rumah, ibunya menunggu dengan perasaan cemas. "Assalamualaikum,11 ujarnya sambil menghampiri ibu nya, kemudian mencium tangan kanannya. "Maaf, Bu. Jajang pulang terlambat,' ucapnya. "Mengapa?" sambil membukakan pintu. Jajang tidak segera masuk. la ragu takut ibunya marah. *Ee.., kami tadi latihan sepakbola dulu." Ibunya tersenyum sambil menganggukkan kepala. la tahu kalau anaknya itu tidak berbohong. Pakaian anaknya oenuh dengan debu. Itu sudah menjadi tanda kalau Jajang berkata jujur.
27
"Kami akan melakukan pertandingan kembali dengan anak-anak kota itu, Bu," kala Jajang sambil melepaskan sepatunya. "Mengapa sampai sesore ini, nanti kau sakit," kata ibunya sambil menuju ke meja makan. "Tidak usah, Bu. Jajang tadi sudah makan,1'kata Jajang ketika dilihat ibunya akan menyiapkan makanan untuknya. "Si Oyan tadi membawa makanan banyak sekali. Sebelum berlatih kami makan dulu. Makannya nanti saja sehabis salat magrib, Bu." Ibunya menoleh ke arah Jajang, kemudian ia membereskan kembali makanan yang tadi akan disiapkannya. "Bu, tadi Jajang mampir dulu ke pos." Ibunya hanya bergumam. la berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju yang tadi tengah dijahitnya, dan duduk di hadapan putranya. Jajang membuka baju seragamnya. "Mengapa kau masih daiang ke pos, Jang?" tanya ibunya sambil menoleh sebentar ke arah Jajang, kemudian kembali meneruskan jahitannya. "Sore seperti tadi, kereta banyak yang lewat, Bu," Jajang mencoba memberi alasan. "Itu tidak perlu kau lakukan." Jajang terdiam sesaat. la memandang ke arah ibunya. "Melakukan sesuatu yang baik, bukanlah sesuatu yang jelek, kan, Bu?" Ibunya hanya tersenyum. Dia masih tetap menekuni pekerjaannya.
28
'Sudah enam bulan, sejak Ayah meninggal, pos itu masih tetap kosong," ujar Jajang setergah bergumam. "Sebentar lagi pasti ada orang yang akan menempatinya." ■Jajang senang bisa melakukannya. Ayah pun pasti bangga atas apa yang Jajang kerjakan," Jajang tersenyum sambil menatap langit-langit ruangan. "Asal tidak mengganggu waktu belajarmu, Ibu tidak akan melarang, tetapi kau harus ingat Jang, pekerjaan itu berbahaya Nanti setelah Perumka menugaskan orang untuk menempati tempat itu, sebaiknya kau tidak pergi lagi ke sana," ujar ibunya. "Oh, ya. Kapan pertandingan sepakbola itu dilakukan?" ibunya mencobanya mengalihkan pembicaraan. ' Minggu besok, Bu." "Jadi, Sabtu besok kau masih berlatih?" "Ya. untuk terakhir kalinya." Jajang bangun dari duduknya, kemudian menggerakgerakan kakinya seperti memperagakan orang sedang ber main bola. Ibunya tersenyum melihat tingkah putranya. "Kami harus memenangkannya kembali, karena itu ka mi harus berlatih keras." Jajang berlari-lari kecil mengelilingi ruangan. Setelah terasa capek ia kembali duduk di kursinya. "Anak-anak kota itu juga pasti telah berlatih keras untuk menghadapi pertandingan ini," ucapnya dengan terengahengah.
29
‘ Sudahlah, kamu ini sudah lelah, kenapa harus lari-lari lagi!" ibunya mengingatkan. "Oh ya, apakah Ibu diundang ke pertemuan di balai desa, Minggu besok?" "Tidak. Memangnya ada apa?" tanya ibunya. “Katanya ada penyuluhan tentang penghijauan dan pencegahan bahaya tanah longsor.' "Pak Kades yang baru itu memang bijaksana, telapi sangat sulit meyakinkan penduduk di sini, agar mendukung rencananya. Mereka tidak merasakan langsung bahaya alam itu," ibunya berhenti sejenak. la menatap dalam wajah putranya. ' Lagi pula buat apa mereka mengundang kita. Tak akan ada yang dapat kita sumbangkan buat mendukung rencana mereka. Sejak ayahmu meninggal, tak ada lagi yang mau peduli pada nasib kita," kata ibunya, lalu terdiam sesaat. Untung kita menerima uang tunjangan pensiun ayah mu dan masih diperbolehkan tinggal di rumah dinas ini. Itu pun hanya untuk sementara saja. Bila pengganti ayahmu telah datang, kita harus segera meninggalkan tempat ini." Jajang menatap ibunya. "Kita akan pindah ke mana, Bu?" ' Ke rumah kakek dan nenekmu. Walau agak jauh, tetapi rumah itu cukup luas untuk ditempati oleh kakek beserta kita,' lanjut ibunya sambil masih menekuni pekerjaannya. "Tentu saja agak merepotkanmu, karena jarak rumah itu dengan sekolahmu akan bertambah jauh." "Tidak apa, Bu.'
30
Jajang tidak mau membuat ibunya bersedih. la ingat akan pesan mendiang ayahnya. "Kau jangan sering membuat ibumu bersedih. Jadilah seorang anak yang baik." "Kalau Ibu lak akan pergi ke balai desa, Mak Ijoh meminta Ibu agar dalang ke warungnya.11 "Untuk apa?" ' Membantu Mak Ijoh. Mang Ule kan pergi ke balai desa ikut pertemuan itu." Ibunya menghela napas panjang. "Va, nanti Ibu ke sana." Mentari mulai condong ke arah barat. Jajang memasukkan sepedanya ke dapur, setelah itu ia bergegas menuju Kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
31
3.
TANGGUNG JAWAB DAN PENGABDIAN
Sudah seharian lebih hujan turun terus menerus. Diawali dengan hujan gerimis di pagi hari, lama kelamaan makin bed am bah besar. Seakan tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Menjelang malam, hujan makin lebat, yang disertai gemuruh bunyi guntur dan kilatsambung menyambung. Itu semua menjadikan orang enggan keluar rumah. Mereka lebih senang tiduran di atas balai-balai atau ngobrol di ruang tengah, sekadar membicarakan hal apa saja yang akan terjadi, seusai hujan lebat seperti itu. Air sungai mulai meluap. Gemuruhnya terdengar sam pai jauh, berbaur dengan suara angin yang bertiup kencang. Di beberapa tempat ada pohon tumbang karena tersapu badai. Jajang tampak terbaring di atas balai-balai. Tubuhnya diselimuti sarung rapat-rapat. Sejak sore tadi dia berusaha memejamkan matanya, tetapi tidak bisa. Tidak jauh dari balai-balai, ibunya tengah menjahit pakaian-pakaian yang
32
robek. Sekali-kali ia melihat ke arah Jajang yang terbaring gelisah. "Bagaimana badanmu, Jang, masih demam?" tanyanya Dia tahu betul kalau pulranya Hu belum lertidur. "Agak mendingan, Bu," jawab Jajang. "Kalau masih demam, sebaiknya minumlah salu lagi obat itu sebelum kau tidur." Jajang tidak menjawab. Dia hanya bergumam. Itulah akibatnya, bila kau memaksakan diri bermain sepakbola di lengah hujan lebat. Padahal sebaiknya dipakai istirahat saja, sebelum pertandingan besok. Itu lebih baik." "Besok pun Jajang sembuh, Bu," ujar Jajang sambil membetulkan letak tidurnya. la menatap langit-langit ruangan. Pandangannya menerawang jauh ke belakang. Ketika ayahnya masih hidup, pada saat hujan seperti ini, Jajang sering disuruh ibunya mengantar makanan ke pos buat ayahnya. Tempat itu tidak terlalu jauh, tetapi cukup merepotkan berjalan ke sana da lam keadaan hujan seperti ini. Sudah enam bulan sejak ayahnya meninggal, belum ada lagi orang yang bersedia menempati tempat itu. Tidak ada seorang pun penduduk sekitar desa ini yang mau menerima pekerjaan sebagai penjaga pintu kereta api. Padahal jalan yang melintasi jalur kereta api itu tidaklah ramai. paling-paling dilewati oleh mobil atau gerobak yang mengangkut sayuran. Itu pun sangat jarang sekali. Bekerja sebagai penjaga pintu lintasan kereta api membutuhkan tanggung jawab dan pengabdian yang besar, tetapi itu saja belum cukup bagi penduduk di sekitamya. 33
Mereka lebih senang bekerja di ladang dan sawah atau berjualan di pasar, daripada harus menunggui kereta api lewal seharian penuh. Sedangkan bagi mendiang ayahnya, pekerjaan itu menjadi kebanggaan tersendiri. "Buyutmu, kakekmu adalah pekerja penjaga lintasan pintu kereta api. Ayah bangga bisa meneruskannya. Peker jaan ini warisan leluhur, sebentar lagi akan turun padamu," Jajang terkenang ucapan ayahnya suatu ketika sambil menepuk dadanya. Apa gajinya besar, Yah," tanya Jajang ketika itu. "Gaji bukanlah satu-satunya tujuan, yang terpenting tanggung jawab serta pengabdian kita terhadap peker jaan," jelasnya. Bahkan Ayah ketemu ibumu juga garagara Ayah menolongnya membawakan belanjaannya. la akan menyeberang lintasan kereta api itu," ujarnya sambil tertawa. "Kraaaak! BuuumK Jajang tersentak dari lamunannya. la bangun dari berbarmgnya. Jajang dan ibunya saling berpandangan. "Ibu mendengar suara itu?* tanya Jajang meyakinkan pendengarannya. "Ya, Ibu juga mendengarnya," jawab ibunya. Mereka kembali menajamkan pendengarannya, tetapi suara itu tidak terdengar lagi, tersapu oleh suara hujan dan gemuruh air sungai. Jajang turun dari balai-balai. "Jajang harus melihatnya, Bu." "Jangan!" cegah ibunya. "Kau masih demam. Hujan di luar sangat deras. Sebaiknya nanti sesudah reda."
34
Ibunya sangat cemas melihat keadaan putranya. "Tidak! Jajang harus berbuat sesuatu. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di sekitar rel kereta api," sambil mengambil lampu sorot dan jas hujan dari dalam lemari pakaian. Ibunya membawa topi dan membantu memakaikan jas hujan pada putranya. Setelah semuanya siap Jajang membuka pintu, bersiap akan keluar. ' Hati-hati!, Jang! kalau lerasa pusing, sebaiknya cepat pulang." "Jajang akan ingat pesan Ibu," katanya sambil pannit dan berlari-lari kecil menembus derasnya hujan. Ibunya menatap Jajang dengan cemas, hingga tubuh putranya hilang ditelan pekatnya malam. Jajang telah sampai di pinggir rel. la menghidupkan lampu sorotnya dan memulai memeriksa rel kereta yang dilaluinya dengan teliti. Sejauh itu tidak ditemukan tandatanda kerusakan jalur kereta api. Langkah Jajang semakin menjauh mendekati sungai. Jantungnya tiba-tiba oerdebar kencang. Pandangannya ditajamkan ke depan. Dia tidak melihat bayangan jembatan kereta yang melintasi sungai. Padahal Jajang yakin walau dalam hujan dan gelapnya malam, ia akan bisa melihat jembatan putih itu. Jajang semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya ia setelah sampai di pinggir sungai. Jembalan itu telah lenyap. Samar-samar dalam gelap ia masih melihat puing-puing jembatan di antara deru air yang mengalir dengan derasnya. Jembatan itu telah runtuh diamuk luapan air sungai.
35
"Jangan!" cegah ibunya, ’Kau masih demam. Hujan di luar sangat !ebat, sebaiknya nanti kaiau sudah reda ’ 36
Untuk beberapa saat dia hanya terpaku. Mulutnya ternganga. Matanya melotot karena bingung apa yang harus ia lakukan. "Astagfirullah.. !" latersadar dan mengusap mukanya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan segera berlari menuju rumah. Kepalanya mulai terasa pusing, tetapi dia tidak peduli. Jajang lerus berlar,. Sesampainya di pintu rumah, Jajang mengetuknya dengan keras sambil berteriak-teriak. 'Bu... Ibu, bukakan pintu!!" "Ada apa, Jang?" tanya ibunya dengan nada cemas, setelah pintu terbuka. "Jajang pinjam petromaksnya, Bu," katanya dengan napas terengah-engah. la segera masuk ke dalam rumah. "Ada apa, Jang?1' "Jembatan kereta api itu roboh, Bu," jawab Jajang sam bil melepaskan lampu petromaks dari gantungannya. "Sebaiknya dilaporkan pada pihak Perumka. Kau bisa meminjam telepon di rumah Pak Teddy," saran ibunya. "Tidak ada waktu lagi, Bu. Sebentar lagi kereta akan lewat. Sebaiknya Ibu saja yang menelepon. Jajang harus berbuat sesuatu." ' Menghentikan kereta api yang akan lewal?" Kenapa tidak, kalau itu bisa Jajang lakukan." Tiba-tiba terdengar suara peluit kereta dari kejauhan. Jajang dan ibunya saling berpandangan.
37
"Bu, kereta itu telah datang. Jajang harus mencegahnya," ujarnya, lalu dia menyambar lampu petromaks dan bergegas menuju pintu. "Jang, jangan!" ujar ibunya setengah berteriak men coba melarang putranya pergi. Jajang tidak peduli dia berlari ke luar rumah. "Jang! Ingat nasib ayahmu dulu!' kembali ibunya ber teriak. Langkah kakinya terhenti sejenak, mendengar nama ayahnya disebut-sebut. la menoleh ke belakang. Jajang melihat ke arah ibunya. Wanita tua itu berdiri di depan pintu rumah. Kedua pipinya dibanjiri oleh air mata "Jang, jangan pergi. Kau kan ingat bagaimana nasib ayahmu dulu Jajang menggelengkan kepalanya. la menggigit bibir, berusaha menahan air matanya. la ingat pesan ayahnya. Seorang lelaki pantang mengeluarkan air mata, walau dalam Keadaan apa pun." Setelah menguatkan hatinya, Jajang membalikkan tubuhnya dan berlari kembali menuju rel kereta api. Oh. Tuhan! lindungilah anakku! kata ibunya yang ha nya bisa m enatap sambil mendoakan keselamatan putranya. Jajang terus berlari dengan cepat. Rasa pening di ke palanya makin menjadi-jadi. la kembali teringat perkataan ibunya tadi tentang nasib ayahnya. Tidak terasa air mata membasahi pipinya bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuhnya. Jajang masih ingat dengan jelas atas musibah yang menimpa ayahnya. Malam itu hujan turun dengan deras. la 38
menemani ayahnya di pos penjagaan. Itu sering dilakukan Jajang, apabila esok harinya libur sekolah. Ketika itu ayah nya telah mendapat tanda-tanda bahwa kereta sebentar lagi akan lewat. Tiba-tiba Mang Adul datang tergopohgopoh ke pos. ■pak Arif, tolong itu kerbau-kerbau saya ngambek di tengah rel," ujarnya. Pak Arif terkejut bukan main, kereta sebentar lagi akan lewat. Ini sangat berbahaya, bisa terjadi lubrukan yang fatal. Pak Arif dan Jajang berlari mengikuti langkah Mang Adul. Hanya beberapa meter dari pos, mereka melihat segerombolan kerbau di atas rel kereta api. 'Mengapa Mang Adul baru menggiring kerbaunya malam-malam begini?" "Tadi Mang pikir hujan akan cepat reda. Mang berteduh dulu, tetapi hujan turun sampai maiam. Tak ada jalan lain Mang harus menggiring kerbau-kerbau itu walau malam telah larut," kata Mang Adul memberikan alasan. "Padawaktu Mang meninggalkantegalan lancar-lancar saja, tetapi sesampai di rel, kerbau-kerbau itu mogok berjalan. Seperti ada kekuatan gaib yang menghalanginya," lanjutnya setengah berbisik. Pak Arif dan Mang Adul dibantu Jajang berusaha keras menghalau kerbau-kerbau itu dengan berteriak-teriak. Ker bau-kerbau itu mulai bisa dihalau, tetapi ada seekor kerbau yang membandel. Ayah Jajang berusaha menghalau ker bau itu sendirian. Tiba-tiba kereta itu datang seperti kilat. Jajang hanya bisa menjerit di pinggir rel. Kejadiannya begitu cepat. Kerbau itu memang bisa dihalau. Tabrakan itu bisa dihindari, tetapi harus dibayar mahal. Ayahnya 39
terserempet kereta api. Ayahnya sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari, oleh karena lukanya cukup parah nyawanya lidak dapal diselamatkan lagi akhimya meninggal dunia. Jajang jadi maklum kalau tadi ibunya sangat mengkhawatirkan keselamatannya. Peristiwa itu masih membekas di hati ibunya. la tidak mau kalau putra satu-satunya mengalami nasio yang sama dengan ayahnya. Jajang telah berada di pinggir rel. Dia berlari dengan kencang menuju arah jembatan yang runtuh. Kemudian langkahnya terhenti kira-kira dua puluh meter dari bibir sungai. la meletakkan lampu petromaksnya di tengah rel kereta api. Kemudian Jajang melepaskan bajunya. Bunyi peluit keretaterdengar semakin mendekat. Dia menajamkan pandangannya ke depan. Setelah belokan, jalan kereta api menuju sungai memang lurus dan agak panjang. Itulah satu-satunya harapan Jajang untuk bisa menghentikan laju kereta api. Tiba-tiba ia tersentak. Jajang menjadi ragu. Mimpi buruknya kembali melintas di benaknya. Bagaimana kalau gagal, bukan saja kereta itu yang jatuh ke sungai, tetapi ia pun akan terlanggar kereta api. Tubuhnya akan tercabikcabik. Mimpinya itu akan menjadi kenyataan! Mimpi itu akan menjadi kenyataan! Mimpi itu akan menjadi kenyataan! T ubuhnya jadi menggigil, keringat dingin mengucur bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuhnya. la menjadi takut. Bagaimana nasib ibunya kalau ia tertabrak kereta api? Siapa yang akan mengurus ibunya? Rasa takut perlahan-lahan membunuh keberaniannya. Jajang menjadi bingung. Suara kereta api semakin mendekat. Jajang se-
40
makin tidak bisa membendung air matanya. Dalam kebingungannya, kini ia benar-benar menangis. Tiba-tiba wajah Wak Haji melintas di benaknya. "...mintalah pertolongan pada-Nya. Sesungguhnya mimpi Duruk itu datangnya dari setan..." Hilang wajah guru ngajinya itu berganti muncul bayangan ayahnya. "...yang lebih utama tanggung jawab dan pengabdian..." latertegun sejenak, berusaha mengumpulkan kembali keberaniannya. "Bismillahirrahmaanirrahiim!" Setelah keberaniannya muncul kembali, ia melangkah ke rel. la berdiri dengan tegak. Tangan kanannya memegang lampu petromaks, dan tangan kirinya melambai-lam • baikan bajunya. Bunyi kereta semakin mendekat. Dari balik tikungan terlihat seberkas cahaya. Itu menandakan sebentar lagi kereta akan membelok menuju ke arah jembatan yang roboh, sekaligus menuju ke arah Jajang. Kereta api telah membelok. Jajang kini bisa melihat sebuah lampu besar yang menyorot, bergerak ke arahnya. Itu lampu depan kereta api. Jajang segera mengangkat lampu petromaksnya tinggi-tinggi. Tangan kirinya melambai-lambaikan baju yang tadi dikenakannya. Kereta api itu semakin mendekat. Tubuh Jajang menggigil, keringat dingin kembali mengucur di tubuhnya. Jajang tak kuasa lagi melihat ke depan. la memejamkan matanya. Tiba-tiba terdengar suara berderil nyaring. Timbul percikan-percikan api karena gesekan roda kereta dengan rel.
41
Rupanya masinis berusaha mengerem laju kereta, tetapi kereta masih tetap bergerak menuju ke arah Jajang. Laju kereta semakin perlahan, semakin mendekati Ja jang. Hanya beberapa sentimeler dari tempat Jajang berdiri kereta pun berhenti. Jajang tidak bisa lagi menguasai tubuhnya. Rasa takut dan pusing di kepalanya sudah tidak tertahankan lagi. la pun terjatuh dan pingsan. Masinis meloncat dari kereta diikuti oleh beberapa orang lainnya. "Aku tadi melihat seseorang berdiri di atas rel," teriaknya. Ketika sampai di bagian depan kereta, mereka terkejut mendapatkan seorang anak bertelanjang dada terbaring di atas rel. Di sampingnya tergeletak sebuah lampu petromaks dan selembar baju. Masinis itu segera memegang pergelangan tangan Ja jang. la berusaha memeriksa denyut nadi anak lelaki itu. "Bagaimana?" tanya salah seorang lelaki yang ikut turun dari kereta. "Masih hidup. Mengapa dia nekad berdiri di alas rel?" "Mungkin mau bunuh diri!" "Tidak mungkin. Masa mau bunuh diri bawa-bawa petromaks dan melambai-lambaikan bajunya segala." "Mungkin anak gila, Pak!" yang lain memberikan pendapat. Pak Masinis menggelengkan kepalanya. "Dia masih mengenakan celanaseragam SD. Rasanya ia sengaja ingin menghentikan laju kereta. la ingin memberitahukan sesuatu pada kita. kata masinis itu. 42
Jajang berdiri di rei kereta api, tangan kanannya merregang lampu petromaks dan tangan kirinya mefambai-iambalkan bajunya. 43
Tiba-tiba seorang di antara mereka berleriak sambil menunjuk ke depan. "Jembatan itu hilang!" Semuanya tersentak. Mereka serempak memandang ke depan ke arah jembatan yang roboh. "Cepat bawa anak ini ke dalam kereta!" kata Masinis itu memerintahkan beberapa orang agar membawa Jajang ke dalam kereta. Kemudian bersama yang lainnya iabergegas menuju pinggiran sungai. Untuk sesaat mereka cuma membisu. Tidak ada sepatah kata pun bisa keluar dari bibir mereka masing-masing. Mereka hanya terlongo menatap puing-puing jembatan yang hancur. Hujan yang turun membasahi tubuh sudah tidak mereka rasakan lagi, karena terselaput rasa takut. Mereka tidak dapat membayangkan apabila kereta yang sarat penumpang itu terjatuh ke dalam sungai yang tengah meluap. "Anak itu telah berusaha menyelamatkan kita, walau dia harus mengorbankan jiwanya sekalipun." ujaryang lainnya dengan haru. Pak Masinis diikuti beberapa orang lainnya berjalan pelan-pelan meninggalkan pinggiran sungai. Rasa terkejut dan ketakutan masih membayangi mereka. Sementara itu, semakin banyak orang yang turun dari kereta. Mereka ingin mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi sehingga kereta yang mereka tumpangi berhenti mendadak. Anak siapa dia?" tanya Pak Masinis pada orang yang disuruh membawa Jajang ke dalam kereta. Dia belum sadar. Saya rasa dia tinggal di sekitar tempat ini," jawabrrya.
44
Pak Masinis mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sebaiknya kita segera menghubungi stasiun, agar se mua perjalanan kereta api yang menuju ke sini dihentikan!" ujar Pak Masinis sambil bergegas kembali ke dalam kereta. Hujan mulai mereda, tetapi suara guntur dan kilat masih terdengar. Kini hampir separuh penumpang kereta api ber ada di pinggiran sungai.
45
•
MENJADI PAHLAWAN
Oyan membantingkan tubuhnya dengan kesal di atas rum pul. la gemas sekali, sampai peluit terakhir tidak satu gol pun bisa dijanngkan timnya ke gawang lawan. Sebaliknya pihak lawan bersorak kegirangan menyambut kemenangan yang baru saja dira hnya. Tentu saja mereka sangat gembira, karena ini kemenangan yang pertama. Pada dua pertemuan yang lalu, mereka selalu dikalahkan oleh anak-anak kelas lima SD Hurip. Padahal selama pertandingan tadi anak-anak SD Hurip selalu menekan mereka, tetapi tidak satu gol pun dapattercipta. Itulah yang menyebabkan Oyan, kaplen kesebelasan SD Hurip men jadi kesal bercampur geram. "Sial! Kali ini memang sial! umpatnya sambil memukulmukulkan tinjunya pada rumput lapangan. Omat mendekat. "Sudahlah Yan. Kita kan hanya kalah satu nol," hiburnya.
46
"Satu nol, lima nol, sepuluh nol, sama saja. Kita tetap kalah!" ujar Oyan "Ya..., kita memang tidak beruntung kali ini. Anggap saja kekalahan ini sebagai kemenangan yang tertunda," kata Omat dengan maksud menghibur Oyan. ' Aku malu.' "Pada siapa?" 1Ya, pada sepupuku si Tori ilu," sambil menunjuk ke arah sepupunya yang menjadi kapten kesebelasan lawan. Tanpak Toni masih sibuk menerima ucapan selamat dari kawan-kawannya, ilu membuat Oyan semakin geram. Masalah malu lentu saja semua ikul malu. Bukan ha nya kau saja," kata Yana yang dari tadi berada di dekat Oyan mulai nimbrung. 1Masalahnya bukan hanya itu. Si Oyan tadi sesumbar di hadapan si Toni, bahwa dia yakin akan mengalahkan anak-anak dari kota itu. Kalau si Oyan tidak dapat menga lahkan mereka, dia akan mengganti ongkos si Toni pulang ke kota," terang Udin sambil tersenyum sinis ke arah Oyan. 1Ooo...begi1u," kata Omat dan Yana hampir berbarengan. 1Kamu sih terlalu sombong, Yan!" lanjut Omat. 'Aku 'kan tidak tahu kalau si Jajang tidak akan datang. Aku jadi benci sama dia. Besok kalau bertemu di sekolah, akan kutinju dia," ancamnya berapi-api. Mereka semua lerdiam. Membetulkan apa yang dikatakan Oyan. Tadinya Jajang adalah satu-satunya yang menjadi harapan mereka untuk bisa menretak gol ke gawang lawan, tetapi pada pertandingan ini Jajang tidak hadir.
47
"Kenapa Jajang tidak datang, ya? Padahal dia paling tepat bila berjanji," gumam Omal seakan pada dirinya sendiri. "Mungkin dia sakit," ujar Udin mencoba membela temannya itu. "Omong kosong!! Aku bend dia!!! Mana mungkin dia sakit. Kemarin, waktu latihan terakhir dia baik-baik saja,11 sergah Oyan masih kesal. Kembali semua terdiam. Omat memandang kosong ke depan. Yana hanya bisa mencabuti rumput. Udin tertunduk lesu. Oyan benar. keKalahan kali ini memang menyakitkan. Ketidakhadiran Jajang menjadikan segalanya kacau. "Karena ketidakhadiran si Jajang, rencana yang telah kita susun susah payah jadi berantakan," lanjulnya. Umpatan Oyan jadi terhenti ketika Toni bersama be berapa temannya datang menghampiri. "Selamat buat kalian, ya," ujarnya setelah mendekat. Oyan mendelik. Toni malah tertawa. "Jangan lakut Yan, aku tidak akan meminta uarig yang kau janjikan itu," ujar Toni. Oyan hanya bisa tersenyum kecut. Sebenarnya kalian yang pantas -nenang, kalau saja Jajang ada di antara kalian," lanjut Toni. Kenapa kau sangat peduli pada si Jajang," ujar Oyan dengan nada datar. Aku kagum pada sahabatmu itu." Oyan, Omat, Udin, Yana, dan beberapa anggotatimnya heran mendengar pernyataan Toni.
48
"Apakah kalian belum tahu, apa yang telah terjadi pada Jajang?" tanya Toni. Dia melihat gurat keraguan pada wajah orang-orang di hadapannya. "Si Rahman tadi membeli koran mingguan di perempatan jalan sana. Coba bacalah," sambil meminta selembar koran dari salah seorang temannya, dan menyerahkannya pada Oyan. Di halaman depan tertulis dengan huruf cetak yang cukup besar "JAJANG TELAH MENYELAMATKAN PARA P E N U M P A N G K E R ETA API CE PAT BANDUNG SURABAYA". Oyan bersama yang lainnya saling berebut, ingin membaca isi berita itu. "Jajang sekarang berada di rumah sakit," ucap Oyan dengan haru setelah selesai membaca isi berita. "Kita harus menjenguknya sekarang," usul Omat. Semua serempak berdiri. "Ayo, kita ke rumah sakit!" ajak Oyan. Semua anak-anak bergegas mengambil sepedanya masing-masing. "Yan!" teriak Toni memanggil sepupunya. "Ada apa?" "Boleh Kami ikut?'1 pinta Toni mewakili teman-temannya. "Tentu. pasti Jajang gembira kalian ikut menjenguk. Ayo!1' ajak Oyan. "Tapi kami tak bawa sepeda." "Ayo kita masing-masing boncengan saja." 49
Tidak beberapa lama kemudian, sekitar dua puluh lebih sepeda telah melaju di jalan raya, menuju rumah sakil. Rumah sakit ilu adalah rumah sakil satu-satunya yang berada di kota kecamatan mereka. Bangunannya tidak terlalu besar, namur cukup untuk memberi pertolongar pertama pada si pasien. Apabila si pasien ternyata sakitnya tidak terlalu parah, dia diperbolehkan dirawat inap di sana, tetapi apabila si pasien ternyata menderita penyakit yang berat, pihak rumah sakit akan mengirimnya ke rumah sakit besar di kota yang berjarak lebih kurang 12 kilometer dari sana. Menjelang siang mereka tiba di sana. Rumah sakit itu tampaknya telah ramai dikunjungi para pembesuk. Setelah memperoleh keterangan, Oyan dan leman-temannya bergegas menuju ke ruangan di mana Jajang dirawat. Di depan ruangan itu telah banyak orang berkumpul. Ada beberapa wartawan dan orang berseragam. Dari atribut yang dikenakannya orang tahu mereka itu adalah pegawai dari Perumka. Teman-teman Jajang tidak diperbolehkan masuk bersamaan. Mereka harus bergiliran. Oyan, Omat, Yana, dan Toni mendapat gilirin pertama. Di dalam ruangan tampak Jajang terbaring lemah, ditemani ibunya. Ada juga Pak Yusut, petemak ayam yang biasa telur ayamnya dijajakan Jajang ke warung-warung. Juga Pak Eman, dan para tetua desa lainnya. Jajang tersenyum ketika dilihatnya Oyan serta kawankawan lainnya memasuki ruangan. "Yan, maal aku tidak bisa ikul main,' kata Jajang lemah sambil menjabat tangan sahabatnya.
50
"Wah, tak apa. Aku maklum, malah aku bangga padamu," kata Oyan dengan berbisik haru. Omat berdehem kecil mendengar perkalaan sahabatnya itu. Oyan mendelik ke arahnya. Yang dilirik hanya tersenyum. "Bagaimana sepakbolanya, menang tidak?" tanya Ja jang menyegarkan suasana. "Tanpa kaniu mana mungkin kita menang." "Ah, masa!" "Ya, tanya saja pada lawan kita!" sambil menarik lengan Toni ke hadapan Jajang. "Toni!' ujar Jajang tersendat. la tak menyangka kalau orang yang masuk bersama dengan sahabat-sahabatnya itu adalah Toni. "Selamat, Jang. Kau memang hebat. Kau menjadi pahlawan karena telah menyelamatkan penumpang Kereta Api," katanya sambil menjabat tangan Jajang. "Ya, ya. Jajang kini jadi orang terkenal. Dia sudah masuk koran," tambah Omat. Kalau kita ingin masuk koran, bagaimana caranya, ya?"tanya Yana. Mudah saja. Khusus buat kamu, tabrakkan saja dirimu pada kereta api. Pasti ditanggung masuk koran," gurau Oyan sempat membuat tertawa semua pembesuk yang hadir Karena Jajang masuk koran, perusahaan bapak jadi merugi," kata Pak Yusuf menyela. ‘ Kenapa, Pak?" tanya Oyan.
51
! ' "
"Yan, maafaku tidak bisa ikut main,” kata Jajang sambil menjabal tangan sahabatnya.
52
"Bapak telah kehilangan untuk beberapa saat pengantar telur yang terbaik, mungkin sampai Jajang sembuh," kata Pak Yusuf dengan raut muka sedih. "Jangan khawatir, Pak, kami akan menggantikan Ja jang, sampai dia sembuh dari sakitnya. Ya kan, Mat!" Oyan minta persetujuan sahabat-sahabatnya. “Ok, Bos!" jawab Omat dan Yana serempak. "Alhamdulillah." Pak Yusuf mererrtangkan kedua tangannya dengan tersenyum. "Tetapi honornya tetap diberikan pada Jajang," tambah Oyan. Tentu!" Hei, kalian tidak usah begitu!" ujar Jajang mencoba memprotes. "Sudah tak apa-apa. Anggap saja ini sebagai rasa setia kawan di antara kita," lanjut Oyan sambil memegang erat tangan Jajang. diikuti oleh Omat. Yana, dan Toni. Mereka tertawa bersama. Setiap musibah pasti ada hikmahnya," Pak Eman ikut berbicara. "Kejadiar ini bisa bapak bawa ke pertemuan di desa siang ini. Ternyata penghijauan dan pencegahan bahaya longsor harus segera dilakukan Mungkin saja secara tidak langsung penduduk desa kita tidak merasakan akan adanya musibah itu. Ternyata sangat merugikan bagi orang lain, karena kabarnya akibat luapan air sungai itu, telah mengakibatkan banjir melanda desa lebak sana," kata Pak RW mengakhiri pembicaraannya. Semua terdiam, ruangan jadi hening.
53
£etelah empat hari dirawat, akhirnya Jajang diperbolehpulang. Keesokan harinya ia telah bersekolah kembali seperti semula. Selama dalam perawatan hingga ia sudah ber^da di rumah, banyak sekali orang yang mengunjunginya terutama para penumpang kereta api yang merasa berf1ij1ang budi padanya. 0ermacam-macam ucapan selamat dan hadiah telah diter'ma ole^ Jajang. Yang lebih menggembirakan, dari piha^ Perunr|ka1Jajang berserta ibunya diundang datang ke kant^r Pusal untuk menerima penghargaan dan beasiswa. Di s ^ p in g itu mereka diperbolehkan menempati rumah dina^ selama mereka masih menginginkannya pengan kejadian itu pula, pihak Perumka dan warga seki*arnYa rnengadakan perundingan. Dari hasil kesepakata*1, mereka menunjuk beberapa warga untuk menjadi penjaga pintu lintasan kereta api.
54
CATATAN