PAPER Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Media Ekstrak Tauge (MET) dengan Pupuk Urea Terhadap Kadar Protein Spirulina sp. pada Media Dasar Air Laut Dwi Riesya Amanatin (1509 100 063) Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013 Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui untuk mengetahui kombinasi konsentrasi Media Ekstrak Tauge (MET) dan pupuk urea yang dapat menghasilkan kadar protein Spirulina sp. tertinggi. Kombinasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: P1 : MET 2% dan pupuk urea 80 ppm, P2 : MET 2% dan pupuk urea 100 ppm, P3 : MET 2% dan pupuk urea 120 ppm, P4 : MET 4% dan pupuk urea 80 ppm, P5 : MET 4% dan pupuk urea 100 ppm, P6 : MET 4% dan pupuk urea 120 ppm, P7: MET 6% dan pupuk urea 80 ppm, P8: MET 6% dan pupuk urea 100 ppm, P9: MET 6% dan pupuk urea 120 ppm, dan P10 : pupuk walne. Hasil pengukuran nilai Optical Density (OD) menunjukkan bahwa perlakuan P5 memiliki nilai OD tertinggi sebesar 0,7465. Hasil uji ANOVA (pada p> 0,05) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kombinasi MET dengan pupuk urea terhadap kadar protein Spirulina sp. sementara hasil uji Dunnet terhadap kadar protein Spirulina sp. menunjukkan bahwa P5 memiliki perbedaan nyata terhadap kontrol dengan kadar protein tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu sebesar 20,99%. Kata Kunci: Media Ekstrak Tauge (MET), Pupuk Urea, Spirulina sp., Kadar protein. Abstract This research was conducted to determine the combination effect of Tauge Extract Medium (TEM) and urea concentrations that can produce highest protein content of Spirulina sp. Combinations are as follows: P1: MET 2% and urea 80 ppm, P2: MET 2% and urea 100 ppm, P3: MET 2% and urea 120 ppm, P4: MET 4% and urea 80 ppm, P5: MET 4% and urea 100 ppm, P6: 4% and urea MET 120 ppm, P7: MET 6% and urea 80 ppm, P8: MET 6% and urea 100 ppm, P9: MET 6% and urea 120 ppm, and P10: walne. Optical Density (OD) measurement result values showed that treatment of P5 has the highest OD value of 0.7465. ANOVA test results (at p> 0.05) indicate that there are significant response of MET combination with urea on Spirulina sp. protein content. While Dunnet test results on Spirulina sp. protein content showed that P5 had real difference to control the protein content of 20.99%. Keywords: Tauge Extract Medium (TEM), Urea, Spirulina sp., Protein content. PENDAHULUAN Perkembangan jumlah penduduk dunia yang semakin meningkat, memiliki implikasi terhadap berbagai sektor. Salah satu sektor yang menjadi perhatian adalah sektor pangan dan masalah gizi buruk yang mengancam penduduk dunia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2010) menunjukkan bahwa, prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9%, dan 4,9% diantaranya mengalami gizi buruk. Artinya, dengan penduduk Indonesia yang mencapai 237,6 juta jiwa, minimal terdapat 11,46 juta jiwa penduduk yang terancam gizi buruk. Anak yang mengidap gizi buruk akan mengalami gangguan tumbuh
kembang yang mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa. Kondisi faktual tentang ancaman kerawanan pangan dan gizi buruk tersebut membutuhkan perhatian serius berupa penyediaan sumber nutrisi, salah satunya adalah protein. Dalam upaya memenuhi kekurangan sumber protein tersebut, dapat dihasilkan dari protein nabati, hewani, serta mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai sumber protein adalah cyanobacteria Spirulina sp. karena kemampuan regenerasi yang cepat, tidak tergantung musim dan tidak membutuhkan lahan yang luas (Syarwani, 2008).
Nutrisi Spirulina banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan karena mengandung protein 60–71%, lemak 8%, karbohirdrat 16%, dan vitamin serta 1,6% Chlorophyll-a, 18% Phycocyanin, 17% βCarotene, dan 20 – 30 % γ-linoleaic acid dari total asam lemak (Jongkon, 2008). Spirulina sp. juga telah digunakan sebagai suplemen atau makanan pelengkap oleh penduduk Afrika sebagai sumber makanan tradisional (Susanna dkk., 2007). Kandungan nutrisi Spirulina sp.yang lengkap terutama protein yang tinggi menyebabkan Spirulina sp. memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein. Pemenuhan kebutuhan nutrien untuk Spirulina sp. sangat bergantung pada ketersediaannya dalam medium kultur. Komposisi nutrien yang lengkap dan konsentrasi nutrien yang tepat menentukan produksi biomassa dan kandungan gizi Spirulina sp. Jenis pupuk yang banyak dipilih masyarakat dalam kultur Spirulina sp. adalah jenis PA (Pro Analisis) yang sudah distandarkan seperti pupuk Walne, Guillard, dll. Mahalnya harga pupuk jenis PA menjadi dasar pencarian pupuk alternatif pada kultur Spirulina sp. yang mampu menghasilkan nutrisi serta kepadatan sel yang tinggi, dengan harga yang ekonomis dan mudah diperoleh oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah media ekstrak tauge (MET). Penambahan ekstrak tauge (MET) telah diaplikasikan pada mikroalga marga Chlorella spp. (Prihantini, 2005) dan Scenedesmus sp. (Prihantini, 2007). Media tersebut mengandung unsur makro terutama fosfat dalam jumlah yang tinggi. Selain itu dilengkapi pula dengan unsur mikro, mineral, asam amino dan vitamin (tiamin, riboflavin, piridoksin, triptofan, asam pantotenat, vitamin K dan vitamin C) yang berperan sebagai growth factor dalam pertumbuhan alga (Anonim, 2004). Selain fosfat, unsur makro lain yang mendukung penyusun senyawa dalam sel, termasuk protein dan klorofil untuk fotosintesis Spirulina sp. adalah nitrogen. (Chrismadha dkk., 2006). Namun unsur nitrogen ini tidak tersedia dalam MET, sehingga diperlukan penambahan jenis pupuk lain sebagai sumber nitrogen yaitu pupuk urea. Urea (CO(NH2)2) merupakan pupuk komersil yang ekonomis serta memiliki kandungan Nitrogen yang tinggi mencapai 46% (Anonim, 2009). Apabila urea terlarut akan terbentuk ion amonium (NH4+) yang akan diubah menjadi glutamat sebagai salah satu penyusun asam amino dengan bantuan glutamin
sintase (GS) dan glutamin 2-oxoglutarat aminotransferase (GOGAT) ( Laura, 2006). Pengaruh pupuk urea sebagai sumber nitrogen dalam kultur mikroalga telah diaplikasikan pada Scenedesmus sp. yang menunjukkan peningkatan pertumbuhan sel (Goswami, 2011). Melalui kombinasi MET dan pupuk urea yang sesuai diharapkan dapat memberikan solusi berupa pupuk alternatif yang ekonomis dalam kultur Spirulina sp. sebagai super food dalam penanggulangan ancaman gizi buruk dan kerawanan pangan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi konnsentrasi MET dan pupuk urea yang dapat menghasilkan kadar protein Spirulina sp. tertinggi. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2013 di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Program Studi Biologi ITS Surabaya. Analisis kadar protein Spirulina sp. dilakukan di Laboratorium Pakan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Botol kultur 3000 ml, botol kultur 1000ml, selang, aerator, gelas ukur, beaker glass, pipet volume, pipet tetes, erlenmeyer, corong, termometer, pH indikator, hand salino refraktometer, pengaduk, lampu TL 40 watt, mikroskop, autoklaf, selang, aerator, dan Spektrofotometer UV-VIS. Bahan-bahan yang digunakan yaitu Kultur murni Spirulina sp.diperoleh dari Laboratorium Pakan Alami Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, tauge kacang hijau (Phaseolus radiatus), media urea ((NH2)2CO), media Walne, kapas, kassa, alumunium foil, aquadest steril, dan air laut yang telah disterilisasi. Cara Kerja Sterilisasi Peralatan Kultur Botol kultur, selang aerator, gelas ukur, gelas ukur, beaker glass, pipet tetes, pipet volume, pengaduk, cawan petri dan erlenmeyer dicuci bersih menggunakan detergen dan kemudian dibilas dengan aliran air kran. Setelah bersih, peralatan gelas yang tahan panas disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Sedangkan peralatan yang tidak tahan panas disterilkan
dengan larutan clorox selama 24 jam dan direndam dengan air tawar selama 24 jam. Sterilisasi Air Laut Air laut komersil diukur salinitasnya menggunakan refraktometer, dan diencerkan dengan menambahkan aquades hingga diperoleh salinitas air laut 20 promil (Suminto, 2009). Kemudian air laut tersebut dimasukkan ke dalam botol kultur dan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Pembuatan Pupuk dalam Kultur Spirulina sp. Pupuk yang digunakan dalam kultur Spirulina sp. terdiri dari kombinasi MET dan pupuk urea pada beberapa konsentrasi. Tahap pembuatan MET dilakukan dengan membuat larutan stok (v/v). Sebelum diolah, tauge kacang hijau seberat 300 gr dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkannya. Tauge tersebut kemudian direbus dalam 1500 ml akuades yang mendidih selama 1 jam. Air rebusan tauge berupa ekstrak disaring menggunakan kain kassa dan kapas agar terpisah dari tauge. Selanjutnya, ekstrak tauge disterilisasi secara bertahap (tyndalisasi) pada suhu 1000C selama 1 jam, dilakukan tiga kali berturut-turut dengan selang waktu 24 jam (Prihantini, 2007). Konsentasi MET yang akan dikombinasikan dengan pupuk urea terdiri dari: 2%, 4% dan 6% yang dibuat dari larutan stok (v/v). Sementara pupuk urea yang digunakan merupakan pupuk komersil yang berbentuk serbuk dengan konsentrasi 80 ppm (Suminto, 2009), 100 ppm dan 120 ppm. Pupuk urea tersebut kemudian dilarutkan pada air laut dan MET. Uji Pendahuluan a) Pembuatan Kurva Pertumbuhan Spirulina sp. Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan dalam dua tahap. Tahap yang pertama yaitu pembuatan kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada media air laut untuk menentukan waktu terjadinya fase eksponensial sebagai dasar dalam pembuatan starter Spirulina sp. Pada tahap ini bibit Spirulina sp. yang diperoleh dari Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo diambil sebanyak 10% dari volume media dan dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi 450 ml air laut. Kemudian dihitung kepadatan sel Spirulina sp. setiap 24 jam hingga mencapai fase stasioner dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang 680 nm (Borowitzka dan Lesley, 1988). Melalui pengukuran rapat optis tersebut dapat diketahui waktu terjadinya fase eksponensial sebagai dasar dalam pembuatan starter Spirulina sp. Bibit Spirulina sp. 50 ml
450 ml
Dihitung kepadatannya dengan spektrofotometer UVVIS pada panjang gelombang 680 nm
Dibuat kurva
Gambar 5. Skema pertumbuhan tahap 1.
kerja
pembuatan
kurva
Sedangkan tahap yang kedua yaitu pembuatan kurva pertumbuhan pada masingmasing media perlakuan untuk menentukan waktu terjadinya fase eksponensial sebagai dasar dalam menentukan waktu pemanenan Spirulina sp. Metode yang dilakukan sama dengan tahap pertama, bedanya pada tahap ini Spirulina sp. ditumbuhkan pada media perlakuan yang terdiri dari P1 sampai dengan P10. Perlakuan Penelitian Perlakuan dalam media kultur Spirulina sp. ini yaitu kombinasi konsentrasi MET dan pupuk urea serta kontrol berupa pupuk walne sebagaimana berikut : Pupuk 1 (P1) : MET 2% + pupuk urea 80 ppm Pupuk 2 (P2) : MET 2% + pupuk urea 100 ppm Pupuk 3 (P3) : MET 2% + pupuk urea 120 ppm Pupuk 4 (P4) : MET 4% + pupuk urea 80 ppm Pupuk 5 (P5) : MET 4% + pupuk urea 100 ppm Pupuk 6 (P6) : MET 4% + pupuk urea 120 ppm Pupuk 7 (P7) : MET 6% + pupuk urea 80 ppm Pupuk 8 (P8) : MET 6% + pupuk urea 100 ppm Pupuk 9 (P9) : MET 6% + pupuk urea 120 ppm Kontrol (K) : pupuk walne Sebanyak sepuluh perlakuan di atas digunakan sebagai pupuk pada kultur Spirulina sp. yang dilakukan dalam skala 3000 ml. Botol kultur tersebut telah berisi kombinasi MET dengan pupuk Urea dan air laut (P1 hingga P9) maupun pupuk walne dengan air laut (P10). Kemudian diinokulasikan bibit Spirulina sp. sebanyak 10% dari volume media, yaitu sebanyak 300 ml. Konsentrasi pupuk urea sebesar 80 ppm, 100 ppm dan 120 ppm didasarkan pada penelitian Utomo (2005)
menggunakan pupuk komersil yang terdiri dari urea 80 ppm, ZA 20 ppm, TSP 30 ppm. Selain itu Goswami (2011) aplikasi pupuk urea pada kultur Scenedesmus sp. menunjukkan bahwa, OD tertinggi diperoleh pada penambahan urea 0.1 g/L. Sementara konsentrasi MET sebesar 2%, 4% dan 6% didasarkan pada hasil penelitian Prihantini (2007), bahwa mikroalga Scenedesmus sp. dapat tumbuh dengan baik (kepadatan sel tinggi) pada konsentrasi MET 4%. a)
Pembuatan Starter Spirulina sp. Pembuatan starter Spirulina sp. dilakukan pada media air laut dengan cara yang sama seperti pembuatan kurva pertumbuhan tahap 1. Bedanya pada permbuatan starter, kultur hanya dilakukan sampai fase pertumbuhan eksponensial yang didasarkan pada hasil pembuatan kurva (gambar 5). Kemudian starter dimasukkan ke dalam media perlakuan sebanyak 10% dari volume media kultur. Setelah itu starter Spirulina sp. ditebar pada media perlakuan dalam botol kultur yang terdiri dari air laut buatan, media walne, serta kombinasi MET dan pupuk urea. Kemudian media kultur tersebut segera diaerasi dan diberi pencahayaan lampu TL 40 watt. Bibit Spirulina sp. 200 ml
1800 ml air laut
Dikultur hingga fase eksponensial
Starter
Gambar 6. Skema kerja pembuatan starter.
b)
Pemanenan Spirulina sp. Pemanenan Spirulina sp. dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial yang didasarkan pada hasil penelitian Fogg (1975) yang menyatakan bahwa kapasitas fotosintetik sel alga pada fase pertumbuhan logaritmik dengan metabolit utama protein. Pemanenan dilakukan melalui filtrasi dengan menggunakan plankton net dengan mesh 0,060 µm. Sel Spirulina yang telah terkumpul dicuci dengan air destilasi untuk menghilangkan kelebihan garam dan sisa-sisa media yang menempel pada permukaan sel. Kemudian hasil saringan Spirulina sp. dipindahkan ke cawan petri untuk dianalisa kadar proteinnya dengan metode Kjeldahl (Uslu dkk., 2009).
Parameter Pengamatan a) Penghitungan Kepadatan Spirulina sp. Penghitungan kepadatan sel Spirulina sp. dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 680 nm setelah 24 jam penebaran awal, hingga mencapai fase pertumbuhan stasioner. Pengukuran OD dilakukan pada panjang gelombang 680 nm, karena pada panjang gelombang tersebut mampu diserap oleh klorofil a. Dasar pemakaian spektrofotometer ini adalah untuk mengukur kerapatan optik dari suatu zat yang berwarna (Borowitzka dan Lesley 1988). Tujuan dari pengukuran rapat optis kultur adalah untuk menentukan kepadatan sel pada fase eksponensial yang berkaitan dengan penentuan waktu inokulasi Spirulina sp. pada media perlakuan dan penentuan waktu pemanenan. Selanjutnya dibuat grafik pertumbuhan Spirulina sp.untuk mengetahui kepadatan sel pada tiap fase tumbuhnya. b)
Analisa Kadar Protein Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl menurut AOAC (1995). Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan tablet Kjeldhal sebanyak ¼ bagian kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat. Panaskan labu tersebut di atas pemanas Kjeldahl dalam almari asam. Pemanasan baru dihentikan jika sudah tidak berasap dan warna larutan menjadi hijau (membutuhkan waktu ± 1,5 jam). Biarkan beberapa saat sampai labu menjadi dingin. Masukkan 50 ml aquades kedalam labu destilasi yang telah diisi dengan batu didih (pecahan kaca). Tuangkan larutan yang ada dalam labu Kjeldhal ke dalam labu destilasi. Labu Kjeldhal dibilas denga 50 ml aquades sedikit demi sedikit. Tambahkan 30 ml larutan NAOH 40% sedikit demi sedikit lalu tutup dengan sumbat karet dan goyang-goyang secara pelan (usahakan tidak ada uap yang keluar dari labu destilasi). Siapkan Erlenmeyer yang telah diisi dengan 25 ml larutan H2SO4 0,1 N dan 3 tetes indikator metal merah. Kemudian labu destilasi dirangkai denga pendingin Liebiegh menggunakan pipa bengkok. Uap NH3 yang keluar dtampung dalam Erlenmeyer yang berisi larutan H2SO4 dan indikator tersebut. Alirkan air melalui pendingin Liebiegh dan nyalakan api Bunsen. Proses destilasi dihentikan jika larutan dalam labu destilasi tinggal 1/3 bagian. Hasil
destilasi yang ditampung dalam Erlenmeyer dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi jingga. Kadar protein (%) = (A – B) x N NaOH x 14,007 x 6,25 x 100% Mg sampel A : volume NaOH untuk titrasi sampel B : volume NaOH untuk titrasi larutan blanko N NaOH : normalitas HCl (0,1 N)
14,007 : berat atom N 6,25 : faktor konversi protein
Parameter Pendukung Parameter pendukung dalam penelitian adalah suhu, pH, dan salinitas. Pengukuran suhu menggunakan termometer, pengukuran pH menggunakan kertas pH indikator dan pengukuran salinitas menggunakan refraktometer. Pengukuran terhadap suhu, pH, dan salinitas dilakukan setiap hari untuk mendukung data dari parameter utama. Rancang Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 1 faktor yang terdiri dari kombinasi konsentrasi MET dengan pupuk urea serta kontrol dalam kultur Spirulina sp. Perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari 10 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Analisis Data Data penelitian dianalisa dengan menggunakan ANOVA untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi MET dengan pupuk urea dan kontrol terhadap kadar protein Spirulina sp. dengan hipotesa sebagai berikut : Ho : kombinasi konsentrasi MET dan Urea pada media kultur Spirulina sp. tidak berpengaruh terhadap kadar protein Spirulina sp. H1 : kombinasi konsentrasi MET dan Urea pada media kultur Spirulina sp. berpengaruh nyata terhadap kadar protein Spirulina sp. Jika H1 diterima atau terdapat pengaruh penambahan kombinasi MET dan pupuk urea terhadap kadar protein Spirulina sp., maka dilanjutkan dengan Uji Dunnet pada taraf kepercayaan 95% (α=0,05) untuk mengetahui signifikansi perbedaan tiap perlakuan dengan kontrol.
PEMBAHASAN Nutrisi yang tersedia dalam media kultur Spirulina sp. memiliki pengaruh terhadap kandungan nutrisi dalam sel Spirulina sp., salah satunya protein (Suminto, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi konsentrasi Media Ekstrak Tauge (MET) dengan pupuk Urea yang dapat menghasilkan kadar protein tertinggi. Metode dalam penelitian ini diawali dengan pembuatan kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada media air laut yang akan digunakan sebagai dasar dalam pembuatan starter, dan dalam media perlakuan yang terdiri dari kombinasi konsentrasi MET dengan Urea sebagai dasar dalam penentuan masa panen. Starter yang telah memasuki fase pertumbuhan eksponensial diinokulasikan sebanyak 10% ke dalam masing-masing media perlakuan dalam skala 3 liter. Kemudian kultur Spirulina sp. diaerasi dan diletakkan dibawah lampu TL hingga mencapai fase puncak pertumbuhan. Selanjutnya dilakukan pemanenan dengan menggunakan plnakton net dan dibilas dengan air destilasi. Hasil saringan kemudian dianalisis kadar protein kasar dengan menggunakan metode Kjeldahl. Selain itu dilakukan pengukuran kualitas media kultur yang terdiri dari suhu, salinitas dan pH. Kurva Pertumbuhan Spirulina sp. Hasil kurva pertumbuhan Spirulina sp. yang dikultur pada media air laut menunjukkan bahwa fase puncak pertumbuhan diperoleh pada hari ke-2 seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Gambar 7. Grafik kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada media air laut.
Hasil kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada media air laut menunjukkan bahwa pada hari ke-2 mencapai puncak populasi tertinggi. Sedangkan kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada masing-masing media perlakuan menunjukkan fase pertumbuhan yang berbedabeda sebagaimana pada gambar 8.
Gambar 8. Kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada masing-masing perlakuan. Keterangan: Pupuk 1 (P1) : MET 2% pupuk urea 80 ppm Pupuk 2 (P2) : MET 2% pupuk urea 100 ppm Pupuk 3 (P3) : MET 2% pupuk urea 120 ppm Pupuk 4 (P4) : MET 4% pupuk urea 80 ppm Pupuk 5 (P5) : MET 4% pupuk urea 100 ppm
Pupuk 6 (P6) : MET 4% pupuk urea 120 ppm Pupuk 7 (P7) : MET 6% pupuk urea 80 ppm Pupuk 8 (P8) : MET 6% pupuk urea 100 ppm Pupuk 9 (P9) : MET 6% pupuk urea 120 ppm Kontrol (P10) : pupuk walne
Berdasarkan kurva pertumbuhan pada gambar 8 di atas terlihat bahwa kelimpahan sel Spirulina sp. tertinggi terdapat pada perlakuan P5 dengan OD 0,747, dan terendah terdapat pada perlakuan P1 dengan kisaran OD 0,102. Sementara perlakuan P10 menggunakan pupuk walne memiliki nilai OD 0,200. Kurva pertumbuhan Spirulina sp. pada gambar 8 menunjukkan bahwa, pada perlakuan P10 memiliki pola pertumbuhan yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan karena pupuk walne merupakan pupuk yang biasa digunakan sebagai media kultur Spirulina sp., sehingga Spirulina sp. telah teradaptasi untuk tumbuh dalam media yang diberi pupuk walne. Namun setelah memasuki fase adaptasi, Spirulina sp. membutuhkan nutrisi yang cukup banyak untuk melakukan pertumbuhan hingga mencapai fase eksponensial dengan kelimpahan sel yang tinggi. Sedangkan pada pupuk walne umumnya memiliki kandungan unsur hara yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan media kultur yang lainnya, seperti kandungan Nitrogen dalam bentuk (NH4)6.Mo7O24.4H2O hanya sebesar 0,009 mg/liter yang tersedia hanya dalam jumlah sedikit (Tabel 13). Nitrogen merupakan unsur yang dibutuhkan dalam pertumbuhan sel Spirulina sp. (Borowitzka, 1988).
Sementara pada perlakuan P5 dengan komposisi 100 ppm urea dengan 4% MET (Media Ekstrak Tauge) memiliki puncak pertumbuhan yang paling tinggi dengan OD mencapai 0,747. Sedangkan puncak pertumbuhan Spirulina sp. terendah terdapat pada perlakuan P1 (MET 2% dan pupuk Urea 80 ppm) dengan OD sebesar 0,102. Hal ini disebabkan karena nitrogen merupakan unsur hara yang diperlukan dalam pembentukan klorofil, dimana klorofil sangat dibutuhkan untuk proses fotosisntesis. Ketika unsur nitrogen diturunkan konsentrasinya maka pembentukan klorofil menjadi terhambat yang mengakibatkan proses fotosintesis menjadi terhambat. Terhambatnya proses fotosintesis tersebut mengakibatkan pertumbuhan Spirulina sp. menjadi terhambat pula. Pertumbuhan Spirulina sp. yang rendah juga terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi nitrogen yang tinggi (pupuk Urea lebih dari 100 ppm). Hal ini disebabkan karena adanya batas maksimum penggunaan nutrien dari medium oleh sel sehingga terjadi penghambatan proses biosintesisnya terutama biosintesis protein. Reaksi yang terjadi jika urea dilarutkan dalam air yaitu : H2N-CO-NH2 + 2H2O 2NH3 + H2CO3. Wardhany (2008) menambahkan bahwa NH3 yang terlalu banyak dalam media kultur dapat bersifat racun dan mengakibatkan sel mencapai kondisi jenuh sehingga akan mengganggu aktivitas dalam proses metabolisme. Analisa Kadar Protein Berdasarkan kurva pertumbuhan di atas selain dapat diketahui pola pertumbuhan Spirulina sp., dapat diketahui pula waktu terjadinya puncak pertumbuhan pada masingmasing perlakuan yang akan digunakan untuk menentukan waktu pemanenan. Perlakuan penambahan pupuk P1, P2 dan P4 mengalami puncak pertumbuhan pada hari ketiga, pupuk P6 dan P9 pada hari keempat, pupuk P3, P7, P8 dan P10 pada hari kelima, serta perlakuan P5 pada hari keenam. Berdasarkan hasil analisis (ANOVA) dengan P<0,05 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kombinasi konsentrasi MET dan urea terhadap kadar protein Spirulina sp. Sementara berdasarkan uji Dunnet menunjukkan hasil sebagaimana pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji Dunnet kadar Protein Spirulina sp. Pupuk
Perlakuan
Kadar protein
P1
2% tauge 80 ppm urea
6,737 a
P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
2% tauge 100 ppm urea 2% tauge 120 ppm urea 4% tauge 80 ppm urea 4% tauge 100 ppm urea 4% tauge 120 ppm urea 6% tauge 80 ppm urea 6% tauge 100 ppm urea 6% tauge 120 ppm urea Walne
7,167 a 13,422 7,488 a 20,997 11,849 13,712 14,623 8,032 a 7,987 a
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Dunnet dengan taraf kepercayaan 95%
Gambar 9. Kadar Protein Spirulina sp. pada masingmasing perlakuan Keterangan: Pupuk 1 (P1) : MET 2% pupuk urea 80 ppm Pupuk 2 (P2) : MET 2% pupuk urea 100 ppm Pupuk 3 (P3) : MET 2% pupuk urea 120 ppm Pupuk 4 (P4) : MET 4% pupuk urea 80 ppm Pupuk 5 (P5) : MET 4% pupuk urea 100 ppm
Pupuk 6 (P6) : MET 4% pupuk urea 120 ppm Pupuk 7 (P7) : MET 6% pupuk urea 80 ppm Pupuk 8 (P8) : MET 6% pupuk urea 100 ppm Pupuk 9 (P9) : MET 6% pupuk urea 120 ppm Kontrol (P10) : pupuk walne
Hasil pengujian kadar protein kasar Spirulina sp. pada gambar 10 dapat diketahui bahwa perlakuan P5 dengan komposisi MET 4% dan Urea 100 ppm menunjukkan kadar protein yang tertinggi sebesar 20,99%. Hal ini disebabkan karena perlakuan P5 yang mengalami puncak pertumbuhan pada hari keenam, memiliki kelimpahan sel yang paling tinggi dibandingkan perlakuan lain. Kandungan protein yang tinggi pada perlakuan P5 tersebut menunjukkan bahwa nutrien yang terdapat pada media kultur Spirulina sp. tersebut telah sesuai dengan kebutuhan nutrien Spirulina sp. Perlakuan P5 tersebut juga menunjukkan bahwa unsur Nitrogen yang terdapat pada Pupuk Urea telah menjalankan fungsinya dengan baik, yang
ditunjukkan dengan tingginya kelimpahan sel serta kadar protein Spirulina sp. Nitrogen merupakan makronutrien yang mempengaruhi pertumbuhan Spirulina sp. dalam aktifitas metabolisme sel seperti katabolisme maupun asimilasi khususnya biosintesis protein (Borowitzka, 1988). Nitrogen juga merupakan bahan penting penyusun asam amino, amida, nukleotida, dan nukleo protein, serta essensial untuk membelahan sel sehingga nitrogen penting penting untuk pertumbuhan (Gardner, 1991). Berdasarkan hal tersebut, maka pada saat konsentrasi nitrogen dalam media kultur optimal, Aktifitas metabolisme sel juga berjalan dengan baik, termasuk sintesis klorofil, karena kandungan klorofil yang tinggi akan menyebabkan proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik dan pertumbuhan Spirulina sp. akan lebih optimal. Namun di sisi lain, jika dalam media kultur Spirulina sp. kekurangan unser nitrogen seperti pada perlakuan dengan dosis pupuk Urea kurang dari 100 ppm dikombinasikan dengan MET 2%, 4% dan 6% memiliki kadar protein yang rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya unsur N, mengingat nitrogen merupakan nutrien yang banyak dibutuhkan untuk pertumbuhan Spirulina sp. (Wijaya, 2006), sintesis asam amino didalam sel (Colla dkk, 2005) serta sebagai unsur penting dalam pembetukan klorofil (Isnasetyo dan Kurniastuti, 1995). Kadar protein yang rendah juga terjadi apabila nitrogen dalam media kultur Spirulina sp. berlebih, seperti pada perlakuan P3, P6 dan P9. Hal ini disebabkan karena penyerapan ammonium lebih mudah dilakukan oleh Spirulina sp. daripada nitrat (NO3), karena ammonium dapat melalui membrane sel secara langsung. Sedangkan nitrat mengalami proses traslokasi karena membrane tidak bersifat permeable terhadap nitrat (Riffiani, 2010). Selain itu MET yang dikombinasikan dengan pupuk urea juga mempunyai banyak peranan diantaranya: Mangan (Mn) sebagai komponen struktural membran kloroplas (laura, 2006) dan merupakan aktivator enzim pada reaksibterang fotosintesis (Prihantini, 2007), magnesium (Mg) berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan asam amino dan klorofil (Laura, 2006), Besi (Fe) berperan dalam sintesis klorofil dan sintesis protein-protein penyusun kloroplas, Seng (Zn) diperlukan dalam proses pembentukan klorofil dan mencegah kerusakan molekul klorofil (Bidwell, 1979).
Sedangkan apabila dalam media kultur kekurangan mikronutrien dalam bentuk Mn dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena Mn merupakan aktivator enzim pada proses fotosintesis (Laura, 2006). Karbohidrat yang dihasilkan melalui proses fotosistesis selain digunakan untuk pertumbuhan juga untuk respirasi seluler. Apabila hasil fotosintesis berkurang maka karbohidrat yang tersisa setelah sebagian digunakan dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk pertumbuhan sel (Prihantini, 2007). Kandungan nutrisi berupa protein pada Spirulina sp., selain pengaruhi oleh pupuk juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media pemeliharaan. Faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan maupun kandungan nutrisi Spirulina sp. diantaranya suhu media, salinitas dan pH (Vonshak, 1986). Hasil pengamatan kualitas air yang meliputi suhu, salinitas dan pH media kultur Spirulina sp. dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 10. Hasil pengukuran kualitas air (suhu, salinitas dan pH) media kultur Spirulina sp. pada masing-masing perlakuan. Keterangan: Pupuk 1 (P1) : MET 2% pupuk urea 80 ppm
Pupuk 6 (P6) : MET 4% pupuk urea 120 ppm
Pupuk 2 (P2) : MET 2% pupuk urea 100 ppm Pupuk 3 (P3) : MET 2% pupuk urea 120 ppm Pupuk 4 (P4) : MET 4% pupuk urea 80 ppm Pupuk 5 (P5) : MET 4% pupuk urea 100 ppm
Pupuk 7 (P7) : MET 6% pupuk urea 80 ppm Pupuk 8 (P8) : MET 6% pupuk urea 100 ppm Pupuk 9 (P9) : MET 6% pupuk urea 120 ppm Kontrol (P10) : pupuk walne
Berdasarkan gambar 10 dapat diketahui bahwa hasil pengukuran parameter kualitas air pada kultur Spirulina sp. dengan pupuk kombinasi MET (Media Ekstrak Tauge) dan pupuk Urea serta kontrol menunjukkan nilai suhu, salinitas dan pH yang berbeda. Hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu media berkisar antara 200C -260C. Ciferri (1983) menyatakan, suhu optimal untuk Spirulina sp. adalah 320C- 350C. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa suhu pada media kultur Spirulina sp. pada perlakuan P1 hingga P10 tidak menunjukkan kondisi suhu optimal yang mendukung pertumbuhan, karena hasil 0 pengukuran suhu hanya mencapai 26 C. Selain itu pada gambar 10 dapat diketahui pula bahwa perlakuan P5 dengan kelimpahan sel paling tinggi memiliki suhu media tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain. hal tersebut dapat terjadi karena tingginya kelimpahan sel Spirulina sp., mengingat suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme. Suhu juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air (Kordi dkk., 2007 dalam Suminto, 2009). Hasil pengukuran Nilai salinitas media kultur berkisar antara 20‰ - 27‰. Utomo (2005) menyatakan bahwa salinitas yang optimal untuk pertumbuhan Spirulina sp. adalah berkisar antara 15-30 ‰. Adanya peningkatan salinitas pada media disebabkan karena aktifitas metabolisme yang tinggi memberikan pengaruh peningkatan suhu media dan memicu terjadinya penguapan. Salinitas media kultur yang tinggi menunjukkan tekanan osmotik yang tinggi pula. Hal ini berkaitan dengan penyerapan nutrien untuk metabolismenya (Handayani, 2002). Sementara hasil pengukuran pH media tumbuh Spirulina sp. pada masing-masing perlakuan menunjukkan nilai pH 7 hingga 8. Peningkatan nilai pH pada media perlakuan pH disebabkan karena terjadinya penguraian protein dan senyawa nitrogen lain. Amonium (NH4+), merupakan bentuk senyawa nitrogen organik yang telah mengalami penguraian (Prihantini, 2005). Amonium dihasilkan melalui proses disosiasi amonium hidroksida. Amonium hidroksida merupakan amonia yang terlarut
dalam air. Menurut Goldman dan Horne (1983), reaksi pembentukan amonium adalah sebagai berikut: NH3 + H2O NH4OH NH4+ + OH-. Bila reaksi di atas bergerak ke kanan maka konsentrasi amonium di dalam media akan meningkat dan pH media menjadi basa. Menurut Cole (1994), pH yang tidak dapat meningkat lagi disebabkan adanya sistem buffer alami berupa gas CO2 terlarut yang terdapat dalam media kultur. Gas CO2 terlarut yang terdapat dalam media akan menjadi asam karbonat yang akan terurai menjadi ion-ion karbonat dan ion bikarbonat. Reaksi kesetimbangan antara CO2 terlarut, asam karbonat, ion bikarbonat, dan ion karbonat akan menyebabkan nilai pH bergeser pada kisaran 7-8 dan tidak meningkat lagi. Pengontrolan pH pada suatu media kultur sangat penting untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan sel Spirulina sp. Ciferri (1983) menyebutkan bahwa pH yang baik untuk pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 7-11. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu kombinasi konsentrasi Media Ekstrak Tauge (MET) dengan pupuk urea yang dapat menghasilkan kadar protein tertinggi adalah pada perlakuan P5 yang memiliki komposisi 100 ppm pupuk urea dan 4% MET, dengan kadar protein sebesar 20,997%. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Danish Food Corporation. foodcop.dk/fcbd.det [28 Juni 2012]. Anonim. 2009. Urea. www.pupukkaltim.com [02 September 2012]. Anonim.
2012. Pupuk urea. www.ozgroup.com/urea.html [13 September 2012].
Association of Official Analytical Chemyst (AOAC). 1995. Official Method of Analysis of the Association of Offial Analytical of Chemist. The Association of Official Analytical Chemyst. Inc., Arlington. Atlas, R. M. 1997. Principles of Microbiological 2nd edition. Wm. C. Brown Publisher, Chicago. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2010). Kementerian
Kesehatan Jakarta.
Republik
Indonesia,
Becker, E. W. 1994. Microalgae: Biotecnology and Microbiology. Cambridge University Press, Cambridge. Bidwell, R.G.S. 1979. Plant physiology. 2nd ed. Mac Millan Publishing, New York. Bold,H.C, dan Wynne,M.J. 1978. Introduction to the Algae Second Edition. PreticeHall Mc. Engelwood Cliffs, New York. Borowitzka, A.M., dan Lesly B. J. 1988. Microalgal Biotechnology. Cambridge University Press, Australia. Chrismadha, T., Lily P. dan Yayah M. 2006. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Fosfor terhdap Pertumbuhan, Kandungan Protein, Karbohidrat dan Fikosianin pada Kultur Spirulina fusiformis. Berita Biologi Vol. 8 No. 3. Ciferri,
O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiological Reviews. Vol. 47 No. 4 hal 558-570.
Cole G.A. 1994. Textbook of Limnology. Waveland Press Inc., Illinois. Costa, J. A. V., Luciane M. C. dan Paulo D. F. 2003. Spirulina platensis Growth in Nitrogen Open Raceway Ponds Using Fresh Water Suplemented with Carbon, Nitrogen and Metal Ions. Z. Naturforsch. 58c. Hal. 76-77. Davies, B. H. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. Academic Press, London. Fogg,
G. E. 1987. Algal Cultures and Phytoplankton Ecology. The Univercity of Wiconsin Press, Medison.
Fogg, G. E., dan B. Thalce. 1975. The Blue Green Algae. Academica Press Inc, Ltd, London.
Gardner FP., Pierce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta. Goldman
C.R. dan Limnology. Auckland.
A. J. Horne. McGraw-Hill,
1983. Inc.,
Goswami, Chandra D. 2011. Scenedesmus dimorphus and Scenedesmus quadricauda : Two Potent Indigenous Microalgae Strains for Biomass Production and CO2 Mitigation - A Study on their Growth Behavior and Lipid Productivity under Different Concentration of Urea as Nitrogen Source. Journal of Algal Biomass Utilization Vol. 2 No. 4 Hal 2-4. Hariyati, R. 2008. Pertumbuhan dan Biomassa Spirulina sp. dalam Skala Laboratoris. Bioma Vol. 10 No. 1. Imamura, dan Asayama. 2009. Sigma Factors for Cyanobacterial Transcription. Gene Regulation and Systems Biology 65–87. Isnansetyo, A dan Kurniastuti, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius, Yogyakarta. Jongkon P., Siripen T dan Richard D. L. 2008. Phytoremediation of Kitchen Wastewater by Spirulina platensis (Nordstedt) Geiteler: Pigment content, Production Variable Cost and Nutritonal Value. Maejo International Journal of Science and Technology. Vol. 2 No. 02 hal. 159 – 171. Kawaroe, Mujizat. 2008. Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bahan Bakar, IPB Press, Bogor. Kurniasih. 2001. Komposisi Nutrisi dan Pigmen Spirulina platensis Galur Lokal INK pada Berbagai Konsentrasi Nitrogen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Laura, B dan Paolo G. 2006. Algae: Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology. CRC Press, Boca Raton New York.
Mussagy A. 2006. An Experimental Study of Toxin Production in Arthrospira fusiformis (Cyanophyceae) Isolated from African Waters. Toxicon Vol. 48. Nurani, F. R., Endang D. M. dan A. Shofi M. 2012. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Azolla pinata terhadap Pertumbuhan Populasi Spirulina platensis. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 4 No. 1 hal 5-6. Pareek, A dan Srivastava, P. 2001. Optimum Photoperiod for the Growth of Spirulina platensis. Journal Phytol Vol. 14. Prihantini, N. B., Berta P. dan Ratna Y. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam Medium Ekstrak Tauge (MET) dengan Variasi pH Awal. Makara Sains Vol. 9, No. 1 hal. 1. Prihantini, Nining Betawi et al., 2007. Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (MET) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus Isolat Subang. Makara Sains Vol. 11 No. 1 hal. 1. Resmawati, M. B., Endang D. M. dan Laksmi S. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Limbah Ikan Lemuru Sardinella sp. Terhadap Kepadatan Populasi Spirulina platensis. Journal of Marine and Coastal Science Vol 1 No. 1. Richmond A. 1986. Handbook of Microalga Culture: Biotechnology and Applied Phycology. CRC Press, New York. Richmond A. E. 1990. Handbook of Microalgal Mass Culture. CRC Press, New York. Spolaore P. 2006. Comercial Application of Microalgae. Journal of bioscience and bioenginering. Vol. 2 Hal. 101. Suantika G. Dan Deri H. 2009. Efektivitas Teknik Kultur Menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu, dan Kontinyu terhadap Produktivitas dan Kualitas Kultur Spirulina sp. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 14 No. 2 Hal. 48-49.
Suminto. 2009. Penggunaan Jenis Media Kultur Teknis terhadap Produksi dan Kandungan Nutrisi Sel Spirulina platensis. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 2 hal. 53-54. Susanna D., Zakianis, Hermawati E., Adi H. K. 2007. Pemanfaatan Spirulina platensis sebagai Suplemen Protein Sel Tunggal (PST) Mencit (Mus musculus). Makara Kesehatan Vol. 11, No. 1 hal. 45. Syarwani, Much. 2008. Pembuatan Protein Sel Tunggal dari Aspergillus oryzae yang Diperkaya dengan Mineral Ca dan P. Jurnal Teknologi Separasi Vol. 1, No. 2 hal. 182. Tadros, M. G., W. Smith, dan Joseph. 1995. Yield and Quality of Cyanobacteria Spirulina maxima in Continous Culture Inresponse to Sodium Chloride. J. app. Biochem and Biotechnol. Vol 5 No. 52. Thenawidjaya. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Uslu, Leyla H, Isik O., Sayin S. dan Yasar D. 2009. The Effect of Temperature on Protein and Amino Acid Composition of Spirulina platensis. Journal of Fisheries & Aquatic Sciences Vol. 26 No. 2. Utomo N. B. P., Winarti dan Erlina A. 2005. Pertumbuhan Spirulina platensis yang dikultur dengan Pupuk Inorganik (Urea, TSP dan ZA) dan Kotoran Ayam. Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 4 No. 1. Vonshak,
A. 1997. Spirulina: Growth, Physiology and Biochemistry. Taylor and francis, london.
Vonshak. A. 1985. Microalgae, Laboratoy Growth Techniqies and Outdoor Biomass Productions. Pergamon press. Oxford, New York. Darley
W.M. 1982. Algal Biology: a Physiological Approach. Blackwell Scientific Publications, Oxford.
Widianingsih et al,. 2008. Kandungan Nutrisi Spirulina platensis yang Dikultur pada Media yang Berbeda. Ilmu Kelautan Vol. 13, No.3 hal. 169. Wijaya. S. A. 2006. Pengaruh Pemberian Konsentrasi Urea yang Berbeda Terhadap pertumbuhan Nannochloropsis oculata. Skiripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 2-3. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.