DOI: https://doi.org/10.17969/jtipi.v8i2.5822
http://Jurnal.Unsyiah.ac.id/TIPI
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Open Access Journal KARAKTERISTIK PATI UBI JALAR KREM (Ipomea batatas) TERMODIFIKASI HMT PADA BERBAGAI KONDISI KADAR AIR DAN TEMPERATUR SWEET POTATO (Ipomea batatas) STARCH CHARACTERISTIC OF LOCAL VARIETY USING HEAT MOISTURE TREATMENT WITH DIFFERENT LEVEL OF MOISTURE CONTENT AND TEMPERATURE Virna Muhardina1, Lukmanul Hakim1, Zaidiyah2*, Anshar Patria2, Ismail Sulaiman2 INFO ARTIKEL Submit: 8 Agustus 2016 Perbaikan: 3 September 2016 Diterima: 8 September 2016 Keywords: sweet potato, starch, hmt, swelling solubility, sem
ABSTRACT The aim of this study is to modify local variety sweet potato starch (cream flesh color) in order to produce the optimal dried-noodle based starch. Native starch was maintained in varied water content (20%, 25% and 30%) and heat moisture treatment (HMT) by exposing the starch in high temperature, i.e. 90°C, 95°C, 100°C and 110°C for 3 h. The treated starch was analyzed using some parameters such as: swelling power, solubility, SEM (scanning electron microscopy) and total dietary fiber. Based on this study, swelling power shows decreasing as increasing both HMT temperature and starch water content. In other hand, solubility shows not significant different among all treatments. The treated-starch granule which is exposed to high temperature has irregular shape compared to granule in lower temperature. Furthermore, total dietary fiber shows significant different among the starch moisture content and the temperature treatment. HMT modification at 100°C and starch water content of 30% is chosen as the best results.
1. PENDAHULUAN
Ubi jalar (Ipomea batatas L.) dikenal sebagai tanaman pangan sumber karbohidrat terbesar keempat setelah beras, jagung dan ubi kayu (Hasanuddin, 2003). Ubi jalar adalah suatu tanaman akar yang tinggi kandungan karbohidratnya dan dapat menjadi sebagai pengganti bahan makanan pokok atau sebagai pelengkap. Tanaman ini juga merupakan salah satu komoditi pangan lokal yang berpotensi untuk mensubstitusi tepung terigu. Zuraida dan Supriapti (2008) menyatakan bahwa tepung ubi jalar mempunyai kadar abu dan serat yang lebih tinggi serta kandungan karbohidrat dan kalori 1Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, 23111, Indonesia 2Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia. *email:
[email protected]
yang hampir setara dengan tepung terigu. Hal ini mendukung pemanfaatan tepung ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat yang dapat disubstitusikan pada produk terigu dan turunannya yang bernilai tambah bagi kesehatan. Penggunaan produk setengah jadi seperti pati ubi jalar merupakan salah satu alternatif yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai bidang termasuk bidang teknologi pangan. Akan tetapi penggunaannya masih sangat terbatas karena sifat-sifat fungsional alaminya. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi terhadap pati ubi jalar alami untuk memperbaiki karakteristik fisiko kimia pati. Salah satu metode yang digunakan adalah metode heat moisture treatment (HMT). HMT adalah salah satu metode modifikasi fisik yang relatif lebih aman dibandingkan dengan modifikasi kimia. Metode modifikasi ini juga mampu untuk mengubah sifat-sifat fungsional pati (Stute, 1992) HMT dilakukan dengan perlakuan pati pada suhu tinggi, diatas suhu gelatinisasi (80-120°C)
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08, No. 02 , 2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala
61
dengan kadar air yang terbatas (18-27%). Umumnya perlakuan hydrothermal tersebut dapat mempengaruhi suatu peningkatan suhu gelatinisasi dan perubahan rentang gelatinisasi, swelling power dan solubility yang akhirnya dapat merubah sifat fungsionalnya. Oleh karena itu suhu dan kadar air HMT menjadi faktor dalam penelitian ini. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh modifikasi dengan menggunakan metode HMT (heat moisture treatment) terhadap karakteristik pati ubi jalar dari daerah Aceh (ubi jalar krem) untuk produk mie kering berbasis pati dalam kondisi yang terkontrol. 2. MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar varietas lokal yang daging umbinya berwarna krem. Sampel diperoleh dari petani lokal di daerah Saree Aceh Besar. Alat yang digunakan adalah thermometer, waterbath, alumunium foil, oven, baskom, saringan 100 mesh, pisau, dan blender. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri atas 2 faktor, pengaturan kadar air pati alami (kadar air sebelum HMT) (W) yang terdiri dari 3 taraf (w1=20%, w2=25%, w3=30%) dan suhu HMT (T) yang terdiri dari 4 taraf (t1=80°C, t2=90°C, t3= 100°C, t4=110°C). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 36 satuan percobaan. Ekstraksi Pati Ubi jalar dicuci, dikupas, dihaluskan dengan cara diparut dan diekstrak menggunakan air distilat dengan rasio air dan ubi jalar adalah 1:1, dan kemudian disaring, untuk memperoleh filtrat. Ampas hasil saringan (cake) ditambah kembali dengan air distilat pada rasio air:cake = 1:0,5, dikocok sampai merata dan disaring melalui saringan yang sama untuk memperoleh filtrat ke2. Kemudian filtrat 1 dan 2 dicampur, dibiarkan selama 6 jam, dan air diganti setiap 3 jam. Air dan sedimen/endapan dipisahkan, dan sedimen yang diperoleh merupakan pati basah yang kemudian dikeringkan semalaman menggunakan oven pada temperatur 50°C. Pati kering tersebut dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh dan disimpan dalam kontainer tertutup (Collado dan Corke, 1997).
62
Modifikasi HMT pati ubi jalar Kadar air pati alami yang digunakan diatur sesuai dengan perlakuan (w1=20%, w2=25%, w3=30%) dengan cara menambahkan air destilat dan disimpan pada suhu 5-6°C selama 12 jam. Kemudian pati tersebut dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu yang digunakan diatur sesuai dengan perlakuan (t1=80°C, t2=90°C, t3= 100°C, t4=110°C) selama 3 jam. Setelah itu pati segera didinginkan untuk menghindari proses gelatinisasi lanjutan dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50°C. Pati yang sudah diberi perlakuan tersebut, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Kemudian dihaluskan dan diayak dengan ayakan 100 mesh (Collado et al., 2001). Jumlah air destilat yang ditambahkan dapat ditentukan berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa. Contoh perhitungan kesetimbangan massa (misal berat pati 200 gram dan kadar air 25%) adalah sebagai berikut: (100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2 (100% - 11,49%) x 200 g = (100% - 25%) x BP2 88,51% x 200 g = 75% x BP2 177 g = 75% x BP2 BP2 = 236 Jumlah aquades = BP2 - BP1 = 236 g - 200 g = 36 g Keterangan: KA1= Kadar air pati kondisi awal KA2= Kadar air pati yang diinginkan BP1= Bobot pati pada kondisi awal BP2= Bobot pati setelah mencapai KA2 Analisa Kadar air (AOAC, 2000) Sampel sebanyak 2 g dimasukan ke dalam cawan almunium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-105°C sampai bobot konstan. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang.
Kadar air (%) =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
x 100%
Analisa pembengkakan dan kelarutan pati (swelling and solubility) (Tester dan Morrison, 1990). Sampel sebanyak 0,2 gram diletakkan didalam tabung sentrifus dan ditambahkan 10 ml air distilat. Sampel kemudian diequilibrasi pada suhu 25°C selama 5 menit dan kemudian diletakkan didalam waterbath pada suhu 95°C selama 30 menit. Kemudian didinginkan pada suhu 20°C selama 1 menit. Setelah itu sampel pati di sentrifus pada kecepatan 3.500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan gel dan supernatan. Gel yang ada
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08, No. 02 , 2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala
kemudian ditimbang sebagai parameter terhadap kekuatan pembengkakan pati. Swelling power = (berat gel + container)-(berat sampel + container)/berat sampel Supernatan diletakkan diatas petridish dan dikeringkan pada suhu 100°C selama 4 jam untuk menghitung jumlah pati yang terlarut. Supernatan dikeringkan untuk mengukur kelarutan pati. Kelarutan pati = kering/sample) x 100%
(Berat
supernatan
Scanning Electron Micoscopy (SEM) Morfologi permukaan granula pati garut diamati dibawah Scanning Electron Microscope (SEM) tipe JSM-5000. Serbuk pati diletakkan di atas tempat sampel (specimen stub) dengan menggunakan isolasi double-side. Sampel kemudian dilapisi dengan emas dengan menggunakan ion coater, lalu dimasukkan ke dalam instrumen SEM. Struktur pati diamati di layar monitor dengan menggunakan skala pembesaran 500 dan 800 kali. Hasil pengamatan kemudian difoto dengan menggunakan kamera digital (Goldstein dkk., 1992). Analisis Rheologi Bahan Pangan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) Pengukuran dengan RVA mencakup fase proses pemanasan dan pendinginan pada pengadukan konstan (160 rpm). Ditimbang 3,5 gram sampel tepung pati dalam wadah yang telah disediakan untuk alat RVA dan campurkan dengan 25 ml air hingga terbentuk bubur. Kadar air pati sudah diketahui 14%. Sampel yang telah tercampur dimasukkan ke dalam alat RVA, Pada fase pemanasan, suspensi tepung dipanaskan dari suhu 50°C hingga 95°C dengan kecepatan 6°C/menit. RVA akan mengaduk bubur dan memanaskannya. lalu dipertahankan pada suhu tersebut (holding) selama 5 menit. Setelah fase pemanasan selesai, pasta dilewatkan pada fase pendinginan, yaitu suhu diturunkan dari 95°C menjadi 50°C dengan kecepatan 6°C/menit, kemudian dipertahankan pada suhu tersebut selama 2 menit. Instrumen RVA memplot kurva profil gelatinisasi sebagai hubungan dari nilai viskositas (cP) pada sumbu y dengan perubahan suhu (°C) selama fase pemanasan dan pendinginan pada sumbu x. Pengukuran viskositas maksimum (peak viskositas) akan terekam sebagai kurva oleh RVA (Steffe, J.F. 1996)
Analisa serat (AOAC, 1992) Dihaluskan bahan dan ditimbang 2 gram, dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 ml, ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih (1.25 g H2SO4 pekat/100 ml = 0.25 N H2SO4) selama 30 menit dan digoyang-goyangkan. Suspensi disaring dengan menggunakan kertas saring dan residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci dengan aquades mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring sampai air cucian tidak berasam lagi. Lalu residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring kedalam erlenmeyer kembali dengan spatula, sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (1.25 g NaOH/100 ml = 0.31 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer. Kemudian didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang-goyangkan selama 30 menit. Disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya yang telah dipijarkan, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci dengan aquades mendidih dan kemudian dengan ±15 ml alkohol 95%. Kertas saring dikeringkan dengan isinya pada 110°C sampai tercapai berat konstan (1-2) jam, dan diinginkan dalam desikator. Ditimbang. Berat residu = berat kasar. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air Nilai kadar air pati yang telah mengalami modifikasi berkisar antara 7,32-16,36%. Sedangkan nilai kadar air pati sebelum mengalami modifikasi yaitu sekitar 1,99–3,53%. Nilai kadar air awal penting untuk dilakukan karena untuk mengetahui banyaknya jumlah air yang harus ditambahkan pada pati ubi jalar yang akan dimodifikasi dengan metode HMT dengan kadar air sesuai perlakuan. Kadar air pati termodifikasi cenderung meningkat dengan naiknya suhu dan tingkat pengaturan kadar air pada saat modifikasi. Jumlah air yang ditambahkan pada saat modifikasi terperangkap pada intragranular pati sehingga meningkatkan kadar air pati termodifikasi pada akhirnya. Proses HMT menyebabkan konformasi molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten (Collado dan Corke, 1999). Hal ini disebabkan suhu yang tinggi cenderung mengakibatkan struktur intragranular pati menjadi semakin kompak dan berada di daerah kristalin karena terjadi perubahan struktur molekul pati. Kandungan air dapat terperangkap dalam intragranular pati sehingga menyebabkan air sulit untuk keluar. Berdasarkan Pranoto dkk.
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08 , No. 02 , 2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala
63
(2014) kekuatan ikatan intramolecular pati membutukan suhu tinggi agar dapat memecah ikatan hydrogen yang terbentuk tersebut. Selain itu kadar air pati juga dipengaruhi oleh topografi tempat tumbuh, umur panen, proses pengeringan, jenis dan sumber pati. Swelling power dan solubility Berdasarkan hasil penelitian diperoleh interaksi antara jumlah kadar air yang ditambahkan dan temperatur modifikasi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap nilai swelling power. Nilai swelling power tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pengaturan kadar air 25% dan suhu modifikasi 100°C (W2T3) dan yang terendah terdapat pada perlakuan kadar air 30% dan pada suhu yang sama (W3T3). Nilai swelling power pada penelitian ini berkisar antara 5,8210,09 g/g (db) lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Pranoto dkk. (2014) yang memperoleh nilai antara 16.98 to 20.64 g/g (db).
sebelum proses modifikasi (Gambar 3). Semakin tinggi nilai kadar air pada saat modifikasi akan memberi batasan terhadap nilai swelling power dan secara umum menjadi menurun. Nilai swelling power dipengaruhi oleh adanya amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam granula pati. Ketika pati dipanaskan didalam air, amilosa yang terdapat didaerah amorph akan mengembang secara terus menerus sehingga akan menentukan tingkat pengembangan dari pati tersebut (Tester dan Morisson, 1990). Penurunan nilai HMT dapat disebabkan selama proses HMT berlangsung terdapat peningkatan interaksi peningkatan ikatan molecular seperti rantai amilosa–amilosa dan rantai amilosaamilopektin (Gunaratne dan Hoover, 2002) tetapi hal ini dapat menyebabkan hilangnya pembentukan formasi double helix dari molekul pati dan hal ini juga dapat menghambat terjadinya penetrasi molekul air ke dalam granula pati. Hal ini dapat terjadi karena adanya proses kristalinitas. Sedangkan pada penelitian ini nilai kelarutan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan. Pada prinsipnya ketika pati dipanaskan pada suhu tinggi untuk beberapa jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan lemahnya ikatan molekul dari intermolecular pati. Kekuatan ikatan dari granula pati semakin lemah dan berkelanjutan. Ketika pati tersebut dipanaskan dalam air maka struktur kristalin dapat rusak dan molekul air akan mengikat gugus hidroksil bebas dari amilosa dan amilopektin melalui ikatan hidrogen. Granula Pati Granula pati ubi jalar baik yang alami ataupun dimodifikasi mempunyai bentuk bulat dan poligonal (Ginting dkk., 2005; Pranoto dkk., 2014).
Gambar 3. (a) Grafik hubungan interaksi kadar air pati dan suhu modifikasi terhadap nilai pembengkakan (swelling), (b) Grafik hubungan interaksi kadar air pati dan suhu modifikasi terhadap kelarutan pati termodifikasi (w1=20%, w2=25%, w3=30%, t1=80°C, t2=90°C, t3= 100°C, t4=110°C). Nilai swelling power cenderung menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi, serta dengan meningkatnya kadar air yang ditambahkan
64
Gambar 4. Scanning electron microscopy (SEM) Granula pati (A) suhu 80oC dan (B) granula pati modifikasi 110oC. Dari Gambar 4 dan 5 tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan, hanya terlihat bahwa granula pati yang termodifikasi pada suhu yang lebih tinggi lebih banyak yang bentuk dan ukurannya tidak lagi sama seperti granula pati yang dimodifikasi pada suhu yang lebih rendah.
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08 , No. 02 ,2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala
Hal ini dapat disebabkan terganggunya rantai amilosa akibat proses thermal berulang pada HMT. Menurut Pranoto dkk. (2014) HMT tidak memodifikasi secara kimia granula pati hanya membatasi tingkat gelatinisasi, karena sebahagian sifat birefrigence granula pati masih terlihat.
selama HMT menyebabkan granula pati lebih resisten terhadap panas, sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi lagi untuk mulai tergelatinisasi. Hal tersebut terjadi karena selama proses HMT memungkinkan terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin dengan amilopektin pada bagian amorphous, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi dkk., 2005). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pati modifikasi secara HMT lebih tahan dan stabil terhadap proses pemanasan.
Gambar 5. Scanning electron microscopy (SEM) Granula pati (A) suhu 90oC dan (B) granula pati modifikasi100oC
Total Serat Kasar Total serat kasar (TDF) diasosiasikan dengan daya cerna dan dikelompokkan sebagai pati yang tidak tercerna. Proses HMT dapat memperlambat proses pencernaan pati yang berhubungan dengan nilai indeks glikemik yang rendah. Nilai total serat kasar pada penelitian ini cenderung meningkat dengan adanya peningkatan suhu perlakuan HMT dan kadar air yang ditambahkan.
Sifat Pasta Pati Suhu gelatinisasi atau suhu pembentukan pasta adalah suhu pada saat mulai terjadi kenaikan viskositas suspensi pati bila dipanaskan atau sering dikenal dengan suhu awal gelatinisasi (SAG). Apabila suhu terus meningkat, akan terjadi peningkatan gelatinisasi maksimum. Peristiwa gelatinisasi terjadi karena adanya pemutusan ikatan hidrogen sehingga air masuk ke dalam granula pati dan mengakibatkan pengembangan granula (Smith, 1982). Suhu gelatinisasi yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 77–85°C dan menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.005). Collado dan Corke (1997) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi ubi jalar berkisar antara 78,3 – 84,1°C.
Gambar 8. Grafik hubungan interaksi kadar air pati dan suhu modifikasi terhadap serat pati termodifikasi (w1=20%, w2=25%, w3=30%, t1=80oC, t2=90oC, t3= 100oC, t4=110oC).
Berdasarkan Tabel 9, suhu gelatinisasi setelah modifikasi naik. Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai menyerap air atau dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dengan semakin tingginya suhu
TDF menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air pati serta kondisi suhu pada proses terjadinya HMT. Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya oleh Senanayake dkk. (2014) and Pranoto dkk. (2014). Metode HMT dapat merubah karakteristik pati dengan cara meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati dan meningkatkan kecenderungan retrogradasi (Adebowale dkk.,
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08 , No. 02 , 2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala
65
2005). Struktur kristalin pati menjadi lebih baik dengan cara diexpose pada suhu tinggi (diatas suhu gelatinisasi) sehingga pati tergelatinisasi sempurna (Gambar 8). 4. KESIMPULAN Kondisi modifikasi pati secara HMT terbaik yang diperoleh pada penelitian ini berdasarkan analisa sifat pati dan karakter mie kering yang dihasilkan adalah perlakuan HMT pada suhu 100°C dan pada kadar air 30% menghasilkan kadar air pati yang rendah (8-10%) dengan tingkat swelling (6%) dan solubility (4%) yang terbatas, total serat kasar 4-5% dan profil suhu gelatinisasi pati 84°C). DAFTAR PUSTAKA Adebowale, K.O., Owolabi, B.I.O., Olawumi, E.K., dan Lawal O.S. 2005. Functional Properties of Native Physically and Chemically Modified Breadfruit Starch. Industrial Crops and Product. 21: 343-351. Collado, L.S. dan Corke, H. 1997. Properties of starch noodles as affected by sweet potato genotype. Cereal Chemistry 74(2): 182-187. Collado, L.S. dan Corke, H. 1999. Heat moisture treatment effect on sweet potato starches differing in amylose content. Food Chemistry 65:339-346. Collado, LS. L.B. Mabesa. C.O. Oates. dan II Corke. 2001. Bihon type of noodles from heat-moisture treated sweet potato starch. J. Food Sci. 66(4): 604-609.
66
Goldstein, J. I, D. E. Newbury, P. Echlin, D. C. Joy, A. D. Romig, JR., C. E.Lyman, C. Fiori, dan E. Lifshin. 1992. Scanning electron microscopy and X-ray microanalysis: A text for biologist, materials Scientist, and cytologists, 2nd ed. Plemun Press, New York, New York, 820 p Gunaratne,A dan Hoover, R. 2002. Effect of Heat Moisture Treatment on the structure and physicochemical properties of tubers and root starches. Carbohydrate polymer 49:425-437 Huang YC, Lai HM. 2010. Noodle quality affected by different cereal starces. Journal food Engineering 97:135-143 Lase, V.A., Juliati, E dan Lubis LM. 2013. Mie tipe bihun dari pati heat moisture treatment dari empat varietas ubi jalar. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 24:89-96 Lii, C. dan Chang, S. 1981. Characterisation of red bean (Phaseolus radiatus var. Aurea) starch and its noodles. Journal Food Science. 46:78-81. Mariyani, N. 2010. Studi Pembuatan Mie Kering Berbahan Baku Tepung Singkong dan Mocal (modified cassava flour). Jurnal Sains Terapan. IPB. Bogor. Pranoto,Y., Rahmayuni., Haryadi dan Rakshit, S.K. 2014. Physicochemical Properties of Heat Moisture Treated Sweet Potato Starches of Selected Indonesian Varieties. International Food Research Journal. 21(5): 2031-2038. Rapid Visco Analyzer (RVA), Manual. 1994. Senayake, S., Gunaratme, A., Ranaweera, K.K.D.S., dan Bamunuarachchi, A. 2014. Effect of Heat Moisture Treatment on Digestibility of Different Cultivars of Sweet Potato (Ipomea batatas) Starch. Food Science and Nutrition. 2(4): 398-402. Steffe, J.F. 1996. Rheological Methods in food Processing Engineering. 2nd edition. East Lansing. Freeman Press. Tester, R.F. dan Morrison, W.R. 1990. Swelling gelatinization of cereal starches: Effect of amylopectin, amylase and lipids. Cereal Chemistry 67: 551-557 Zuraida, N dan Supriati, Y. 2001. Sweet potato farming as sources for food alternative and carbohydrate diversification. Bulletin of Agrobio 4(1), 13-23
JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 08, No. 02 , 2016 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala