Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah
WAHANA HIJAU Pelindung Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Ketua Dewan Redaksi Bachtiar Hassan Miraza Sekretaris Dewan Redaksi Sirojuzilam Program Doktor Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Staf Redaksi Rahim Matondang Syaad Afifuddin S Jhon Tafbu Ritonga H.B. Tarmizi Subhilhar Sekretariat dan Distribusi Muhammad Yusuf dan Nurleli Alamat Ruang Studio Program Studi PWD (S2) / Perencanaan Wilayah (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Jl. Prof. T. Maas Kampus USU Medan 20155 Telp. (061) 8212453
WAHANA HIJAU Vol.1, No.1
Hal. : 1-44 Medan, Agustus 2005 ISSN: 1858-4004
i
Kata Pengantar Di hadapan kita telah hadir Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU, jurnal yang diterbitkan oleh Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana USU. Jurnal ini merupakan jurnal nomor perdana dan akan terbit secara teratur, tiga kali dalam setahun. Sama halnya dengan kegiatan jurnal lainnya maka Jurnal WAHANA HIJAU akan tampil dengan berbagai hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti, para ahli maupun pemikir, yang berasal dari Unversitas Sumatera Utara. Namun demikian, jurnal ini akan lebih bernilai lagi jika para penulis juga berasal dari universitas dan lembaga ilmiah lainnya, sehingga tulisan yang dimuat menjadi lebih beragam dan memiliki efektifitas yang tinggi. Dengan demikian jurnal ini terbuka bagi siapa saja, yang ingin menyumbangkan karya ilmiahnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Wahana Hijau mengandung makna potensi, sebuah kekuatan muncul dari sebuah penelitian dan pemikiran maupun perencanaan. Kekuatan ini akan mengolah sumberdaya yang dimiliki, fisik maupun nonfisik, yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari potensi inilah suatu wilayah dibangun dan dikembangkan untuk mensejahterakan masyarakat. Tiada pembangunan tanpa perencanaan dan tiada pembangunan terkecuali untuk kesejahteraan. Namun seindah-indahnya sebuah perencanaan, perwujudannya akan ditentukan oleh para pelaksana pembangunan itu sendiri. Kita perlu melahirkan pelaksana yang berwawasan perencanaan. Antara perencana dan pelaksana pembangunan harus bekerja berdampingan dan harus diikat oleh suatu benang merah yang tulus dan saling memahami. Terima kasih disampaikan pada semua penulis yang telah menyumbangkan tulisannya bagi penerbitan nomor perdana ini, baik hasil dari sebuah penelitian maupun sebagai hasil dari suatu pemikiran. Bersama ini pula kami mengundang para penulis dan peneliti lainnya, untuk menyumbangkan karya ilmiahnya bagi penerbitan nomor mendatang. Kesinambungan penerbitan jurnal ini tidak terlepas dari prinsip kerjasama sesama ahli dan peneliti. Dari sinilah kita bekerja untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi penerbitan Jurnal WAHANA HIJAU bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan masyarakat banyak. Amin.
Dewan Redaksi
ii
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah
WAHANA HIJAU WAHANA HIJAU
Vol.1, No.1
Hal. : 1-44
Medan, Agustus 2005
ISSN: 1858-4004
DAFTAR ISI Isu – Isu Strategis Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pengembangan Wilayah Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif Marlon Sihombing
Hal. 1 - 9
Regional Planning and Development (Kasus Medan) Sirojuzilam
Hal. 10 - 14
Analisis Kebijakan Fiskal Kota Medan di Era Otonomi Daerah Kasyful Mahalli
Hal. 15 - 20
Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Agus Purwoko Kebijakan Perencanaan Pembiayaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan Abdul Kadir Pengelolaan Terpadu Banjir Kota Medan Gindo Maraganti Hasibuan, HB. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Zulad
iii
Hal. 21 - 26
Hal. 27 - 34 Hal. 35 - 44
iv
PENGEMBANGAN WILAYAH MELALUI PARADIGMA PERENCANAAN PARTISIPATIF Marlon Sihombing Abstract Regional Development Through participation planning paradigm basically is a concept of regional development that realies on people centred development. It means that knowledge and integrated role and human potential in the regional development effort is needed. This article theoretically analyses to explain how regional people as a key element is supported to act and has capability to manage other elements in the realization of regional development. Keywords: Regional development, Participation Pengembangan Kawasan Konsep pengembangan kawasan yang konvensional sangat bertumpu pada berbagai asumsi: bahwa tingkat hidup masyarakat akan meningkat dengan adanya pertumbuhan ekonomi; pertumbuhan ekonomi itu tercapai dengan percepatan industri dan percepatan industri ini akan terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan (di perkotaan), dan dari pusat-pusat pertumbuhan ini akan menebar ke sekitarnya, proses globalisasi akan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan tadi dengan pusat pertumbuhan global dan sekaligus akan mempercepat pertumbuhan itu. Oleh karena itu perlu rencana pengembangan kawasan yang tersentralisir untuk mendorong pertumbuhan dan industrialisasi (Moeljarto 2004). Akan tetapi dalam kenyataan hipotesis makro ekonomi ini tidak selalu signifikan teruji. Dalam masa-masa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun 80an, ternyata tetesan pembangunan itu tidak terasa bagi masyarakat miskin terutama di perdesaan. Justru yang terjadi adalah urbanisasi dan eksploitasi kota terhadap desa yang semakin mempersulit posisi masyarakat miskin dan perdesaan. Keadaan ini menuntut pergeseran paradigma pembangunan dari paradigma pertumbuhan menuju people centred development yang memperlakukan manusia sebagai yang utama dalam pembangunan melalui kontribusi masing-masing serta partisipasi dan peningkatan setiap pelaku ekonomi. Paradigma demikian juga menuntut kerangka spasial bagi pengembangan kawasan dalam hal ini harus dapat menjawab berbagai persoalan mendasar yang berkaitan
dengan kontribusi, partisipasi dan produktivitas penduduk dari pelapisan sosial bawah. Hal ini mencakup: 1. Bagaimana masyarakat kecil dan miskin yang perlu mendapat perhatian dapat ikut serta dalam proses pembangunan, hal ini mencakup dari tahap pengambilan keputusan, penetapan pelaksanaan dan evaluasi. 2. Bagaimana agar keterkaitan antar-sektor sampai ditingkat perdesaan dapat ditingkatkan dan disinergikan. 3. Bagaimana membangun unit-unit, potensi-potensi perdesaan dalam meningkatkan dinamika ekonomi perdesaan yang lebih baik. 4. Bagaimana model perencanaan yang dapat mengorganisir potensi-potensi tadi khususnya dalam pengembangan teritorial perdesaan. Hal inilah pokok-pokok persoalan yang akan dibahas mengenai pengembangan kawasan melalui konsep paradigma perencanaan partisipasi yang mengutamakan manusia di dalam pembangunan dan lebih populer dikenal people centred development atau pembangunan yang berwawasan kemasyarakatan. Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang banyak atau publik (Nugroho & Dahuri 2004). Karena berlandaskan ilmiah, maka
1
Tabel 1. Paradigma Pembangunan Karakter Fokus Peran Pemerintah Sumber Utama Struktur Adm. (Birokrasi) Proses Perencanaan Partisipasi Kendala
Pertumbuhan (growth) Industri Enterpreneur Modal Vertikal Sentral Objek Marginalisasi
Paradigma Kebutuhan Pokok (basic needs) Pelayanan Service provider Anggaran/Administratif Vertikal Sentral/Desentral Objek Keterbatasan Anggaran
perencanaan pembangunan haruslah tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan validitas keilmuan (scientific validity) dan relevansi kebijakannya. Didorong oleh motif ini, perencanaan pembangunan mengalami perkembangan yang cukup dinamis baik secara teoritik maupun paradigmatik. Perkembangan itu dapat ditelusuri sejak pembangunan telah dipandang sebagai proses perubahan sosial masyarakat terencana yang telah merupakan fenomena pembangunan yang dapat dicatat sejak sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini adopsi perencanaan ekonomi dalam upaya negara-negara sedang berkembang untuk membangun sangat mewarnai perencanaan pembangunan yang diterapkan. Ironisnya proliferasi perencanaan ekonomi dengan menggunakan indikatorindikator ekonomi makro ini berlangsung dalam kenyataan lebih banyak negara-negara yang mengalami kegagalan daripada yang berhasil, walaupun telah dibarengi dengan sistem perencanaan, birokrasi yang ketat dan otoriter. Apa yang dapat kita pahami dari pengalaman ini adalah, bahwa "perencanaan pembangunan" tidak dapat bertahan pada satu sosok yang tunggal. Perencanaan pembangunan harus mengadaptasi tuntutan lingkungan, serta variasi dinamika perubahan yang terjadi. Kompleksitas dan multidimensionalitas permasalahan pembangunan serta selaras dengan mempertahankan scientific validity dan relevance telah mendorong lahirnya berbagai paradigma pembangunan. Secara diakronik dapat dijajarkan mulai dari paradigma perencanaan ekonomi yang lebih kita kenal sebagai paradigma pertumbuhan (growth), paradigma pembangunan yang mengacu pada kebutuhan pokok (basic needs)dan paradigma pembangunan yang berpusat pada
2
Humanis (people centred dev.)
Manusia Enabler/facilitator Kreativitas/komitmen Horizontal Desentral (Bottom up) Partisipatif subjek Struktur dan prosedur attitude perlu dirubah
manusia (people centred development). Ketiga kategori umum paradigma pembangunan ini tentu punya kharakter yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan itu dapat digambarkan seperti yang terlihat pada Tabel 1. Perbandingan karakter paradigma di atas perlu dipahami untuk menganalisis "perencanaan partisipatif" sebagai tema utama tulisan ini. Kalau kita bandingkan terutama antara paradigma pertumbuhan dan kebutuhan pokok terhadap paradigma humanizing yang sudah cukup populer sejak tahun 80-an hingga saat ini (GBHN 1993; Pembangunan manusia seutuhnya) di Indonesia, sudahlah seharusnya memiliki atau berada pada suatu kondisi ketatapemerintahan yang baik (good governance) yang menempatkan manusia benar sebagai yang utama dalam pembangunan (subjek), dengan implikasinya; pemerintah (birokrasi) lebih berperan sebagai fasilitator; membangkitkan kreativitas manusia dan masyarakat untuk mengwujudkan selfsustaining capacity dengan model perencanaan yang partisipatif. Sebenarnya telah lama, secara retorik masyarakat ditempatkan sebagai subjek dalam pembangunan, tetapi dalam realitanya mereka masih selalu menjadi objek dan bahkan marginal dalam pembangunan itu. Dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia pernah dikenal unit spasial supra desa yang dikenal dengan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP), namun dalam prakteknya UDKP hanya diartikan sebagai wilayah pembangunan yang segala proses pembangunan berada dalam komando camat. Konsep pembangunan kawasan hanya diartikan sebagai dalam artian administratif belaka (Moeljarto 2004). Akhirnya masyarakat masih menjadi bulan-bulanan
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
elite yang ingin disebut sebagai pahlawan pembangunan. Bagi masyarakat kecil sering pembangunan tanpa arti atau bahkan menjadi petaka oleh karena pembangunan yang menggusur mereka. Sehingga lebih lanjut dapat kita bertanya: Apakah ada perencanaan pembangunan? Atau kalau ada pembangunan itu untuk siapa? Pertanyaan seperti ini wajar dilontarkan sampai saat ini ketika kita memperhatikan tidak adanya perubahan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat tertentu secara signifikan dari tahun ke tahun misalnya. Kehidupan Ajo Sukaramai Medan misalnya dari dulu tidak ada berubah dan justru sebaliknya malah banyak menurun pendapatannya, petani kita juga demikian, pedagang kaki lima dan lain-lain. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa di tempat lain atau sektor lainnya ada juga yang berhasil serta menggembirakan, menggembirakan juga terhadap anggota masyarakat, seperti Kota Limpung, Jawa Tengah, Kota Majalaya di Bandung adalah sebagai contoh-contoh kota yang dapat dikatakan sukses membangun melalui kunci sukses pendekatan perencanaan partisipatif yang dinikmati masyarakat. Di dalam penerapan pendekatan pembangunan perencanaan partisipatif ini, perencanaan partisipatif telah dianggap menjadi sarana yang ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan pembangunan termasuk dengan persoalan kemiskinan. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa pembangunan akan berhasil apabila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan, formulasi, implementasi, kemanfaatan, dan evaluasi. Perhatian partisipasi masyarakat ini lebih jauh dibahas oleh Cohen dan Up Off melalui kriteria kondisi jawaban setiap peserta terhadap berpartisipasi untuk: what, who, whom, how, artinya partisipasi itu harus jelas: apa, siapa yang harus berpartisipasi, dengan siapa, serta bagaimana. Dalam pendekatan pembangunan seperti ini, penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi harus lebih baik agar kemampuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan serta mengawasi jalannya pembangunan pun akan semakin meningkat, karena semakin tinggi penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi akan semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengawasi (Baswir 2003). Oleh sebab itu reinterpretasi dan refungsionalisasi UDKP dalam rangka pengembangan wilayah sesuai dengan konsep pembangunan kerakyatan itu sangat relevan dan tepat untuk dilakukan apalagi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan perdesaan di Indonesia wajib memperhatikan; kepentingan masyarakat desa, kewenangan desa, kelancaran pelaksanaan investasi, pelestarian lingkungan hidup, keserasian kepentingan antar-kawasan dan kepentingan umum hal ini dimaksud harus mencakup: 1. Perhatian pada alokasi sumber yang cukup pada unit teritorial dalam skala ekonomi yang memungkinkan multiplier dalam agroindustri, konstruksi, transportasi, perdagangan dan lain-lain. 2. Mengwujudkan keterkaitan antar-sektor pada unit teritorial yang mengwujudkan optimalisasi efek sinergi. 3. Investasi yang sinergi membuka peluang kerja bagi masyarakat miskin, dalam arti menyerap tenaga kerja. 4. Pembangunan kawasan harus diartikan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat secara optimal dapat memanfaatkan sumber daya alam 5. Pengembangan industri yang resourcesbased yang menjadi komoditas unggulan. 6. Dalam menggalakkan pengembangan kawasan ini perlu kebijakan-kebijakan dualisme, dalam arti ada kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat selain mendorong industri perdesaan. Untuk menerapkan hal ini berbagai prakarsa untuk menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Upaya pembukaan ruang publik diyakini dapat meningkatkan kualitas keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan, mengendalikan dan memperoleh sumberdaya bersama yang tadinya hanya dikuasai oleh negara. Saat ini pembukaan ruang-ruang publik dapat dilihat sebagai demokratisasi, partisipasi dan good governance. Pada akhir-akhir ini upaya ini bahkan telah mendorong lahirnya LSM, forum-forum warga, asosiasi dan lain-lain tempat berembuk, berkomunikasi, mengambil keputusan, merumuskan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama secara mandiri, walaupun di sisi lain harus diakui banyak kendala, keterbatasan dan
Marlon Sihombing: Pengembangan Wilayah Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
3
menuntut kesabaran lebih, untuk melalui jalur pilihan perencanaan partisipatif ini. Akan tetapi bagi Kota Majalaya yang telah menerapkan model perencanaan ini dengan baik, persoalan pemindahan pedagang kaki lima, revisi rencana detil tata ruang, menangani masalah perkotaan dan lain-lain terasa menjadi lebih ringan ketika ruangruang publik seperti forum warga telah fungsional. Demikian halnya yang dialami oleh BAPPEDA Padang Pariaman, tidak lagi direpoti oleh pesanan dan tekanan proyek. Selama ini BAPPEDA menjadi pasar pesanan proyek tapi dengan bekerjanya perencanaan partisipatif ini, BAPPEDA Padang Pariaman telah bebas proyek pesanan (Perform 2003). Dengan ringkas Bupati Padang Pariaman mengatakan perencanaan partisipatif akan berjalan apabila mempercayai masyarakat agar dipercayai oleh rakyat. Oleh sebab itu apabila kita ingin menumbuh kembangkan sense of belonging, sense of accountability yang diperlukan, maka perlulah kiranya juga kita mengubah manajemen pembangunan yang mengacu pada structural efficiency (birokrasi Weber), menjadi manajemen pembangunan yang lebih berbasis partisipasi masyarakat (community based resource management) yang didukung oleh kepemimpinan (leadhership) yang komit dengan masyarakat, perubahan sikap dan juga fleksibilitas administrasi keuangan pemerintah yang mengacu kinerja agar dapat mengikuti tuntutan perubahan dalam proses pembangunan. Dalam konsep manajemen berbasis partisipasi masyarakat ini juga tersirat bahwa perlakuan terhadap partisipasi masyarakat bukan hanya dalam arti kontributif dan sebagai alat. Akan tetapi lebih daripada itu yaitu menjadi tujuan yang akan memberdayakan masyarakat itu sendiri (empowerment). Sehingga dengan sendirinya melalui partisipasi ini proses demokratisasi akan terwujud dan melembaga dengan sendirinya karena: 1) masyarakat turut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang masalah mereka, 2) memperluas peluang pendidikan politik, sebab dengan kesempatan ini mereka akan semakin terlatih dalam menyusun skala prioritas dan menentukan kompromi diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, 3) partisipasi ini akan
4
semakin memperkuat solidaritas masyarakat lokal (Islamy 2001). Sebenarnya metode pembangunan partisipatif ini telah lama diperkenalkan oleh seorang tokoh gerakan pembangunan masyarakat Cina dengan sederhana oleh: Y.C. Yen 1920, di mana menurut pandangannya dalam pembangunan yang memberdayakan masyarakat itu haruslah menerapkan (Moeljarto M. 1987): 1). Go to the people - pergi mendatangi masyarakat yang hendak diberdayakan; 2). Live among the people - hidup dan tinggallah dengan mereka supaya kita mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhannya; 3). Learn from the people - belajarlah dari mereka supaya dapat dipahami apa yang ada dibenak mereka dan potensi apa yang mereka miliki; 4). Plan with the people - ajak dan ikutkan masyarakat dalam proses perencanaan 5). Work with the people - ajak dan libatkan mereka dalam proses pelaksanaan rencana; 6). Start with what the people know mulailah dari apa yang masyarakat telah tahu dan pahami; 7). Build on what the people have bangunlah sesuatu dari modal apa yang masyarakat punyai; 8). Teach by showing, learn by doing ajarilah masyarakat dengan contoh konkrit/nyata; 9). Not a showcase, but a pattern - jangan dipameri mereka dengan sesuatu yang menyilaukan, tetapi berikanlah kepada mereka suatu pola; 10) Not odds and ends, but a system - jangan tunjukkan kepada mereka sesuatu yang aneh dan akhir dari segalanya, tetapi berikanlah kepada mereka suatu sistem yang baik dan benar; 11) Not piecemeal, but integrated approach - jangan menggunakan pendekatan yang sepotong-sepotong, tetapi pendekatan menyeluruh dan terpadu; 12) Not to conform, but to transform - bukan penyesuaian cara/model, tetapi transformasi model; 13) Not relief, but realese - jangan berikan penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk menyelesaikan masalahnya.
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Program
Program Output
Task requirements
Beneficiary needs
Target Group
Distinctive Competence
Expression
Organization Decition Making
Gambar 1. Hubungan Sinergis antar-Program Konsep perencanaan partisipatif ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali dan menyelesaikan permasalahannya. Karena dengan model partisipatif ini kemampuan: a) antisipasi dan mempengaruhi perubahan, b) membuat kebijakan/keputusan, c) memanfaatkan sumber-sumber untuk mencapai tujuantujuan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pandangan Korten (1980) dengan teori kesesuaiannya; mengatakan: kekuatan program akan dicapai dengan adanya hubungan yang sinergis antara program yang dirumuskan dengan organisasi pelaksana serta target group. Melalui pendekatan seperti inilah kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut serta dalam pembangunan. Demikian dengan masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola seperti ini harus dipahami bahwa yang memahami masalahnya itu adalah masyarakat (individu yang bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/pemerintah). Selanjutnya dengan pengikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ini sekaligus akan mensinergikan kekuatan melalui penyusunan program-program yang berbasis pada potensi yang dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli di bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu pada model model pembangunan tertentu (Sutyastie 2005). Dengan kepercayaan untuk memberi kesempatan pada masyarakat ini sekaligus juga akan melahirkan self sustaining dan capacity masyarakat yang semakin kokoh dan dapat bersaing dalam dinamika ekonomi masyarakat yang berkembang.
Tantangan dalam Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah pada Era Otonomi Daerah Dalam pembangunan kewilayahan di Indonesia di mana Indonesia yang memiliki latar belakang keanekaragaman kondisi sangatlah membutuhkan perencanaan yang lebih spesifik supaya pembangunan yang dilaksanakan dapat bertumpu kepada spesifikasi sosial dan wilayahnya masingmasing suatu model perencanaan yang harus memperhatikan dan menghargai variasi lokal. Kharakter lokal harus benar-benar dapat dipahami bagaimana warna dan potensi sosial budaya ekonomi-pertanian-lingkungan hidup untuk dijadikan sebagai tumpuan penyusunan rencana. Dalam praktek hal ini dilakukan dengan sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia, yang meliputi pendekatan top-down dan bottom up. Proses top-down dimulai dari pembahasan GBHN oleh MPR diikuti dengan penyusunan PROPENAS oleh pemerintah pusat untuk memberikan arahan untuk tujuan, kebijakan, dan program pembangunan nasional. Rencana stratejik pembangunan (RENSTRA) disusun berdasarkan PROPENAS dan diikuti dengan penyusunan rencana pembangunan nasional tahunan (REPETA) yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan nasional. RENSTRA menekankan program untuk mencapai misi yang telah dinyatakan dalam PROPENAS, sedangkan REPETA memberikan program dan kegiatan yang lebih terperinci untuk menghubungkan rencana pembangunan pemerintah dengan anggaran pembangunan pusat untuk tahun yang akan datang. Berbagai dokumen kunci dalam perencanaan dan anggaran dirangkum dalam Tabel 2 (Mudrajad 2004).
Marlon Sihombing: Pengembangan Wilayah Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
5
Tabel 2. Dokumen dalam Perencanaan Dokumen Kebijakan
Bentuk Hukum
GBHN
TAP MPR
PROPENAS (Program Pembangunan Nasional)
Undang-Undang
Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan)
UU Tahun 2000
Renstra (Rencana Strategis)
Keputusan Menteri
Poldas (Pola Dasar Pembangunan Daerah)
Peraturan Daerah (Perda)
Propeda (Program Pembangunan Daerah)
Peraturan Daerah (Perda)
Renstra Daerah
Keputusan Kepala Daerah dan Kepala Dinas
Repetada (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah)
Peraturan Daerah (Perda)
Fungsi Setiap lima tahun sekali, MPR menyiapkan garis besar kebijakan secara langsung kepada presiden sekaligus pemilihan presiden Propenas mencakup kebijakan lintas sektor dan prioritas dimana pemerintah wajib memenuhi amanat GBHN tersebut. Ini merupakan masukan bagi menterimenteri dan daerah untuk membangun dan mengintegrasikan dokumen kebijakan dan program Rencana pembangunan tahunan menjelaskan prioritas anggaran pembangunan yang merupakan bagian dari anggaran tahunan. Rencana strategis pusat dan agen daerah, berdasarkan INPRES 7/1999 terhadap manajemen kinerja sektor publik. Secara luas menjelaskan kebijakan pembangunan untuk daerah. Kebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan kapasitas daerah yang memenuhi undang-undang nasional, termasuk Propenas Perencanaan strategis dari Kepala Daerah dan agen, menjelaskan visi, misi dan program. PP 108 merekomendasikan instrumen ini kepada Kepala Daerah. Ini merupakan dasar pidato akuntabilitas Kepala Daerah. Tiap daerah mengembangkan rencana pembangunan tahunan berdasarkan Renstra dan bahan kajian terkait.
Kinerja Anggaran Berdasarkan Peraturan Pemerintah 105/2000 Sumber: Berbagai sumber, World Bank (2003) dalam Nugroho 2004. APBD
Peraturan Daerah (Perda)
Selanjutnya pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharuskan menyusun pola dasar pembangunan (POLDAS), sebagai rencana induk yang menggabungkan visi, misi, arah dan strategi pembangunan daerah dalam jangka menengah dan panjang. Berdasarkan POLDAS, pemerintah daerah juga menyiapkan Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) untuk lima tahun ke depan, Rencana pembangunan Stratejik Daerah (RENSTRADA), dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA), yang sesuai dengan PROPENAS, RENSTRA, dan REPETA di tingkat nasional. Diharapkan pemerintah daerah mempertimbangkan strategi pembangunan nasional dalam proses perencanaan daerahnya. Secara prinsip, koordinasi antartingkatan pemerintah yang berbeda dilakukan melalui konsultasi dalam pertemuan koordinasi perencanaan pembangunan. Proses top-down perencanaan pembangunan tahunan dimulai ketika setiap tingkat pemerintahan memberikan acuan dan
6
keputusan anggaran tahunan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Beberapa dokumen kunci dalam perencanaan dan anggaran daerah disajikan pada Tabel 2. Proses bottom up, seperti yang dianjurkan dalam kerangka prosedural, merupakan proses konsultasi dimana setiap tingkat pemerintahan menyusun draft proposal pembangunan tahunan berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan dibawahnya. Proses ini mulai dari musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus), musyawarah pembangunan desa (Musbangdes), yang dipimpin oleh Kepala Desa dan dihadiri oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), LKMD, LSM, dan perwakilan Kecamatan. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk menyusun proposal proyek yang akan diajukan ke tingkat yang lebih atas (kecamatan). Pertemuan ini diadakan antara bulan Mei dan Juli. Proposal dari tingkat desa dipadukan dalam pembahasan pertemuan tingkat kecamatan (UDKP = Unit Daerah Kerja
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Pembangunan), yang umumnya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli. Dalam pertemuan ini seluruh proyek-proyek dibahas untuk melihat mana yang tidak efektif, tumpang tindih dan bukan prioritas tingkat kecamatan. Selanjutnya, proposal terpilih dibahas kembali dalam rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang Kabupaten/Kota) dengan tujuan untuk menyeleksi proposal yang paling tepat untuk diajukan oleh kecamatan. Rapat ini dikoordinir oleh Bupati untuk Kabupaten dan Walikota untuk Kota yang dihadiri oleh semua pejabat yang terkait dan juga perwakilan dari provinsi. Selanjutnya diteruskan pada tingkat provinsi (Rakorbang Provinsi), yang dilaksanakan antara bulan Juli dan September. Peserta pertemuan ini meliputi perwakilan dari pemerintah pusat, pejabat provinsi dan kabupaten/kota yang terkait. Akhirnya seluruh proposal yang telah terhimpun di Provinsi diusulkan ke rapat koordinasi pembangunan nasional (Rakorbangnas) di BAPPENAS yang dihadiri oleh Gubernur, Bupati/Walikota, kepala BAPPEDA dan perwakilan dari Departemen Dalam Negeri dan menterimenteri lain yang terkait. Pertemuan ini dilaksanakan pada bulan Oktober atau November di Jakarta. Berdasarkan pembahasan dalam Rakorbangnas, pemerintah pusat memutuskan proposal proyek yang akan dibiayai dengan APBN untuk tahun berikutnya. Pendekatan bottom up ini secara bertingkat dan bertahap dijelaskan dengan sederhana oleh Kunarjo (2002): 1. Musyawarah Pembangunan (Musbang) Tingkat Desa/Kelurahan. Musbang Desa dipimpin oleh kepala desa atau lurah yang dibimbing oleh Camat dan dibantu oleh Kepala Urusan Pembangunan Desa. Musyawarah desa ini menginventarisasi potensi desa, permasalahan-permasalahan desa serta menyusun usulan program dan proyek yang dibiayai dari swadaya desa, bantuan pembangunan desa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi dan APBN. 2. Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan. Temu karya dipimpin oleh camat dan dibimbing oleh Bappeda Kabupaten/Kota dan dibantu oleh Kepala Kantor Pembangunan Desa Kabupaten atau Kota
yang bersangkutan. Tujuannya membahas kembali rencana program yang telah dihasilkan Musbang Desa. 3. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten. Rapat koordinasi ini membahas hasil Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan yang dipimpin oleh Ketua Bappeda Kabupaten. Dalam rapat ini usulan-usulan program dan proyek dilengkapi dengan sumber-sumber dana yang berasal dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi, APBN, Program Bantuan Pembangunan, maupun Bantuan Luar Negeri dan sumber dana dari Perbankan. Usulan dari Bappeda Kabupaten/Kota disampaikan kepada Gubernur, Ketua Bappenas dan Mendagri. 4. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Provinsi Hasil rumusan dari Rakorbang Kabupaten/Kota dan usulan proyekproyek pembangunan dibahas bersamasama dengan Biro Pembangunan dan Biro Bina Keuangan, Sekretariat Wilayah atau Provinsi serta Direktorat Pembangunan Desa Provinsi. Ketua Bappeda Provinsi mengkoordinasikan usulan rencana program dan proyek untuk dibahas dalam Rakorbang Provinsi yang dihadiri lembaga vertikal dan Bappeda Kabupaten/Kota. 5. Konsultasi Nasional Pembangunan Hasil Rakorbang Provinsi diusulkan ke Pemerintah Pusat melalui Forum Konsultasi Nasional. Forum ini dipimpin oleh Bappenas dan dihadiri oleh wakilwakil Bappeda Provinsi serta wakil Depdagri dan departemen teknis tertentu. Hasil dari forum ini dibahas Bappenas sebagai masukan untuk penyusunan proyek-proyek yang dibiayai APBN. Daftar proyek yang telah dipadukan antara kebijakan sektoral dan keinginan daerah disusun dalam buku Satuan Tiga untuk disampaikan kepada DPR sebagai Lampiran Nota Keuangan. Di atas kertas nampaknya akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal, karena sebagian besar proposal proyek yang
Marlon Sihombing: Pengembangan Wilayah Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
7
diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat. Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal (proses bottom up), perencanaan pembangunan daerah sebenarnya masih berada dalam kontrol pemerintah pusat. Keadaan ini sangat betolak belakang dengan upaya peningkatan kinerja wilayah terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan social, ekonomi serta kelestarian lingkungan wilayah. Kita harus pahami bahwa permasalahan wilayah akan sejajar dengan perubahan dan perkembangan penduduk dan kegiatannya. Untuk itulah, seharusnya konsep perencanaan bottom up itu harus diterapkan dengan komitmen yang tinggi terhadap melokalkan perencanaan yang diharapkan akan menguatkan kelembagaan dan proses-proses pelaksanaan perencanaan tersebut. Pendekatan ini selain akan lebih menekankan pengembangan lokal juga akan bertumpu pada manusia local sebagai elemen kunci pengembangan wilayah. Pendekatan ini memang sangat enak didengarkan dan akan hanya utopia (anganangan) kalau tidak dengan komitmen yang kuat terutama oleh pemerintah sebagai penanggung jawab pembangunan. Dari praktek pendekatan perencanaan bottom up ini dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sering dihadapi masalah-masalah sebagai berikut: 1. Propenas dan Propeda bukanlah rencana yang kontinu sebab hanya dipersiapkan lima tahun sekali. Seperti halnya dengan Poldas, perencanaan tersebut tidak menjelaskan output dan hasil serta tidak berhubungan dengan anggaran, kendati defInisinya secara umum sebagai program pembangunan. 2. Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down dan bottom up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan Propenas.
8
3. Perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. Hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut. 4. Bahwa perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan daripada memandang anggaran secara keseluruhan. (Nugroho 2004). Penutup Sangat wajar apabila masyarakat mempertanyakan hasil pembangunan yang terjadi, terutama apabila hasil-hasil pembangunan itu tidak menjangkau dan bahkan apabila menimbulkan malapetaka ataupun ancaman bagi mereka. Perencanaan partisipatif adalah satu cara terbaik untuk menjawab hal tersebut. Dalam perencanaan partisipatif masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan sejak dini. Namun dalam penerapannya perlu dilakukan secara cerdas, karena pertanyaan berikut seperti: untuk apa mereka berpartisipasi, bagaimana cara berpartisipasi kembali akan muncul. Dalam hal ini pemahaman kondisi masyarakat, potensi, lingkungan, tantangan, hambatan perlu dipahami. Demikian pendekatan persuasif dan perberdayaan, kemandirian perlu dikembangkan dengan kemauan yang ikhlas, leadership yang kuat, administrasi keuangan yang dapat mengikuti proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pertanggungjawaban dan dengan demikian apabila hal ini dapat diterapkan dalam pembangunan pengembangan kawasan, maka persoalan-persoalan yang bisa terjadi dapat diminimalisir, sebab masyarakat telah memahami pembangunan yang dicanangkan demikian dengan permasalahanpermasalahannya. Di sisi lain dalam perencanaan pembangunan ini keanekaragaman kondisi wilayah dan spesifikasi sosial harus mendapat perhatian karena sinergisitas potensi wilayah (SDA), potensi sumber daya manusia akan teraktualisasi dengan lebih kuat (melembaga). Saat ini, paradigma yang mengandalkan pembangunan lokal telah mendapat perhatian besar, dalam hal mana peran dan potensi manusia lokal menjadi elemen kunci diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan pengembangan kawasan
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
ini. Akan tetapi paradigma inipun akan hanya menjadi utopia yang enak dibaca dan didengar kalau tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui pemberian kepercayaan yang lebih luas bagi lokal demikian dengan komitmen pemerintah melalui lembaga maupun aparat terkait. Daftar Pustaka Baswir, Revrison, 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan, Tulisan, Jakarta, Elsam. Eka, Chandra, dkk, 2003, Membangun Forum Warga, Jakarta, AKATIGA. Islamy M.I., 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah, Makalah. Kuncoro, Mudrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Yakarta, PT. Gelora Aksara, Perform, PDPP, Edisi 2/4, 2003. Kuncoro, Mudrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Yakarta, PT. Gelora Aksara,Perform, PDPP, Edisi 2/4, 2003. Nugroho, Iwan & R. Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, Jakarta, LP3ES. Tjokrowinoto, Moelijarto, 1987, Politik Pembangunan, Jakarta,Tiara Wacana. Tjokrowinoto, Moelijarto, 2003, Pembangunan Dilemma dan Tantangan, Jakarta, Pustaka Pelajar. Sutyastie, S. Remy, 2005, Hand Out. Sihombing, Marlon, 1991, Implementasi Pembangunan Masyarakat Desa Melalui PIRBUN, Tesis UGM.
Marlon Sihombing: Pengembangan Wilayah Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
9
REGIONAL PLANNING AND DEVELOPMENT (KASUS MEDAN) Sirojuzilam Abstrak Tantangan di dalam penanganan pembangunan daerah perkotaan adalah bagaimana kota ditangani dengan sistem manajemen kota yang baik dan terarah. Perencanaan kota yang baik hendaklah disusun sedemikian rupa sehingga permasalahan kota dapat diminimalisir. Pendekatan sistem dan komprehensif adalah cara yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah kota.Beban kota dengan berbagai indikator haruslah diamati dan direncanakan sejak dini dan berorientasi ke depan. Kata kunci: Regional planning, Regional development Pendahuluan Berbagai permasalahan yang selama ini dapat dilihat adalah penanganan masalah banjir, transportasi dan kemacetan, kebersihan dan persampahan, penataan PKL, Ruang Terbuka Hijau yang tidak memadai, permukiman kumuh dan lain-lain. Permasalahan ini hendaklah dilakukan secara terkoordinasi dan terencana yang selama ini sangat kurang dirasakan. Penanganan yang komprehensif dan terintegrasi serta melibatkan masyarakat adalah hal yang segera harus dilakukan. Community planning dan parcipatory planning adalah pendekatan yang dapat dipergunakan, sehingga masyarakat merasakan bahwa kota Medan adalah milik bersama bukan hanya dirasakan oleh pihak tertentu. Dengan mempertimbangkan existing conditions Medan masa lalu, saat ini dan memperkirakan masa datang, maka secara deskriptip komprehensip dicoba menelaah persoalan-persoalan sosio-ekonomi dan pembangunan ke depan. Kota dan Regional Development Dalam upaya pembangunan regional, masalah yang terpenting yang menjadi perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat keterbukaannya. Dalam sistem wilayah mobilitas barang maupun orang atau jasa
10
relatif bersifat lebih terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup. Pertumbuhan wilayah dapat terjadi sebagai akibat dari penentu endogen atau eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar wilayah, atau kombinasi dari keduannya. Dalam model-model ekonomi makro disebutkan bahwa ekonomi penentu internal pertumbuhan wilayah adalah modal, tenaga kerja, tanah (sumberdaya alam), dan sistem sosio-politik, sedangkan menurut model ekspor pertumbuhan, industri ekspor dan kenaikan permintaan adalah penentu pokok pertumbuhan wilayah yang bersifat eksternal. Proses terjadinya pertumbuhan wilayah dipengaruhi berbagai faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Belum adanya teori yang menyeluruh menyebabkan pertumbuhan wilayah dapat dipandang dari berbagai sudut. Kuznets (dalam Jhingan, 1990) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi, sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduk atau masyarakat. Berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, dan terus mendorong perkembangan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam kenyataannya banyak fenomena tentang pertumbuhan ekonomi wilayah. Kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan menjadi permasalahan utama dalam pertumbuhan wilayah.
Investasi dan perkembangan ekspor di suatu wilayah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi, karena selain menghasilkan pendapatan juga menciptakan efek penggandaan (multiplier) pada keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut, sehingga sangat penting diamati dua aspek pokok, yaitu: 1) pentingnya peranan kekayaan alam suatu daerah pada berbagai tingkat pembangunan ekonomi dan 2) faktorfaktor yang mempengaruhi besarnya Multiplier Effect dari sektor ekspor terhadap keseluruhan perekonomian daerah. Di sisi lain yang menjadi pokok perhatian dalam kerangka perencanaan wilayah adalah cultural base yang mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dan berakar dalam konteks kehidupan kemasyarakatan. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan, maka perlu dipikirkan komponen-komponen pembangunan yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, modal dan teknologi. Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, di samping menunjukan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha – usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya. Perencanaan wilayah yang lebih terfokus pada perencanaan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan dilaksanakannya community planning dan participatory planning. Jadi dengan demikian perencanaan wilayah adalah penerapan metode ilmiah dalam pembuatan kebijakan publik dan upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain publik untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Kota dan Regional Planning Dari analisis singkat di atas jika diamati dengan cermat dan teliti, maka dampak pembangunan regional (regional development) sangat terkait dengan perkembangan kota itu sendiri. Dengan demikian pembangunan regional (regional
Sirojuzilam: Regional Planning and Development (Kasus Medan)
development) mempunyai arti dan dampak yang luas sekaligus tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi (economic setting), akan tetapi melibatkan aspek institusional (institutional setting), sosial (social setting) dan lingkungan (ecological setting), keempat aspek itu merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan terintegrasi satu sama lainnya. Pendekatan yang berorientasi pada segi supply (supply oriented approach), belum tentu sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya.Hal lain yang menarik adalah cara pandang yang sangat bercorak ekonomi. Mungkin sudah saatnya di samping memakai para ahli ekonomi, hendaknya menggunakan tenaga-tenaga ahli/pakar dari disiplin nonekonomi yang diharapkan mampu melihat masalah pembangunan secara lebih spesifik. Peran pemerintah dalam segi supply memang dirasakan sangat penting. Di samping itu pula dimensi permintaan (demand oriented approach) perlu mendapat pertimbangan, karena sejalan dengan tujuantujuan pembangunan masyarakat kota. Keseimbangan antara kedua pendekatan tersebut akan mengarah kepada pembangunan kota yang terintegrasi dan terkoordinasi serta bersifat komprehensif yang dilakukan atas dasar kerja sama dengan masyarakat pemakai. Perkembangan Kota Sebagai suatu objek analisis, maka tulisan ini mencoba untuk mengamati perkembangan kota Medan sebagai sebuah studi. Kota Medan adalah merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. Perkembangan kota Medan juga telah melampaui batas wilayah administratifnya. Perkembangan wilayah kota Medan telah sampai pada daerah Sunggal, Binjai, Tanjung Morawa, Tembung, Labuhan Deli, Belawan, Pancur Batu dan daerah sekitarnya. Untuk lebih jelasnya, kita dapat mengamati perkembangan kota Medan yang merupakan kota Metropolitan di Indonesia wilayah Barat. Dewasa ini Medan telah berkembang demikian pesatnya, sehingga telah melampaui wilayah administratifnya, yang mengakibatkan terlahirnya konsep Mebidang Metropolitan Area (MMA) yang meliputi kawasan kota Medan, beberapa kecamatan di kabupaten Deli Serdang dan kota Binjai. Kegiatan
11
ekonomi Medan dengan proses industrialisasinya mampu mempercepat diversifikasi barang dan jasa dalam kuantitas yang besar dan ketersediaan (availability) yang tak putus-putus. Proses industrialisasi Medan dapat menggerakkan kegiatan di berbagai sektor ekonomi termasuk jasa, yang menuntut ketersediaan prasarana dan sarana yang semakin meningkat kualitas serta skalanya. Perkembangan Medan yang dewasa ini sedang mengalami proses industrialisasi yang cukup menonjol . Dapat diperkirakan pada masa depan proses transformasi ekonomi akan diikuti proses perubahan spasial akan semakin meluas dan menjangkau banyak wilayah sekitarnya. Hal itu merupakan ciri wilayah Mega-Urban. Dan menilik dampak-dampak yang ditimbulkannya, apakah perkembangan kota besar ini harus dikelola atau justru dihindari? Selain keadaan tersebut di atas, perkembangan pembangunan kota Medan menjurus pada perkembangan perekonomian dualistik. Hal ini dapat kita lihat, di mana pada satu sisi mulai dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan super modern seperti: Mega Mall, Shopping Center bertaraf internasional (misalnya: City Town Square, Palladium, dll.) bahkan bukan tidak mungkin Medan berkembang kearah cibercity dengan pemanfaatan Information and Technology (IT), sementara pada sisi sebelahnya, tersebarlah perumahan-perumahan yang tidak layak huni terutama di bantaran sungai. Hal lain yang perlu mendapat sorotan, yaitu tentang perkembangan industri yang padat modal (capital intensive) dan keberadaannya berdampingan dengan industri kecil yang padat karya (labor intensive). Keadaan ini tidak mungkin dihindari atau diingkari sebagai akibat atau dampak dari perkembangan kota ke depan. Sementara itu di lain pihak masyarakat berpendapatan rendah banyak yang pindah ke pusat kota. Kebijakan dan strategi pembangunan kota di negara-negara berkembang terhadap kota-kota besar harus diamati dengan lebih arif dan bijaksana, karena akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Seperti perumahan kumuh, kemacetan lalu-lintas, pencemaran lingkungan, penurunan kualitas hidup, buruknya sanitasi, kriminalitas dan lain-lain. Strategi pembangunan kota sangat perlu untuk memperhatikan strategi
12
pengembangan kota menengah (intermediate cities) dan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) baru untuk mengimbangi perkembangan kota besar. Apabila memungkinkan sangat urgen untuk pengaturan jalur hijau (green belt) guna membatasi perkembangan fisik kota besar. Namun kenyataannya, sebagian besar strategi ini kurang berhasil mencapai tujuannya. Dengan kata lain, kota besar terus berkembang dengan pesat karena keunggulan ekonomi (urbanization economies) yang dimilikinya, dan migrasi dari desa ke kota besar yang tidak dapat dihindari. Lebih lanjut akibatnya, pembangunan kota secara internal: perbaikan lingkungan kumuh, pengadaan rumah murah, dan lainnya menjadi kurang efektif karena kalah berpacu dengan pesatnya perkembangan penduduk kota. Barangkali inilah yang menjadi perhatian Pemko Medan sekaligus mengilhami untuk membangun sejuta rumah. Kota Medan Terkini Perubahan yang sangat cepat di bidang teknologi di atas makin menimbulkan keharusan bagi tiap ekonomi, sektor dan perusahaan untuk meningkatkan proses industrialisasi. Kegiatan ekonomi dengan proses industrilisasi mampu mempercepat diversifikasi barang dan jasa dalam kuantitas yang besar dan ketersediaan (availability) yang tak putus-putus. Proses industrialisasi dapat menggerakkan kegiatan di berbagai sektor ekonomi termasuk jasa, yang menuntut ketersediaan prasarana dan sarana yang semakin meningkat kualitas serta skalanya. Perkembangan Medan di wilayah barat Indonesia, merupakan salah satu kota metropolitan di Sumatera yang dewasa ini sedang mengalami proses industrialisasi yang cukup menonjol. Secara historis geografis Medan mempunyai nilai Comparative Advantage. Dapat diperkirakan pada masa depan proses transformasi ekonomi akan diikuti proses perubahan spasial akan semakin meluas dan menjangkau banyak wilayah. Merebaknya kerjasama pembangunan spasial lintas batas di beberapa wilayah akan semakin memacu proses perubahan tersebut. Di bawah kerjasama ekonomi ASEAN Indonesia telah melihat munculnya tiga inisiatif cross border spatial cooperation, yaitu IMT – GT
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
(Indonesia – Malaysia – Thailand Growth Triangle). Karena perkembangan semakin meluas, maka kerjasama tersebut melibatkan semua pihak terutama kerjasama sektor swasta di ASEAN yang semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Di masa mendatang Medan akan lebih berkembang sebagai growth center yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah lainnya karena manfaat dari mesin ekonominya dan growth triangle hasil IMTGT. Dapat diestimasikan ke depan: di bawah pelaksanaan AFTA 2003, APEC 2010/2020 dan WTO/GATT, bahwa proses industrialisasi, komersialisasi perekonomian yang disertai proses spatial development secara bersama-sama akan menciptakan konfigurasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) yang semakin berubah cepat di masa yang akan datang. Hal ini akan menciptakan lingkungan usaha (business environment) yang bersifat turbulence (bergejolak), yang disertai peningkatan jumlah, jenis serta kualitas persaingan dan dihadapi oleh perusahaanperusahaan, kelompok industri, sektor-sektor, wilayah-wilayah dan perekonomian nasional secara keseluruhan. Hal ini akan berlaku baik bagi dimensi barang maupun jasa pada setiap perekonomian. Perubahan konfigurasi SWOT ini akan menimbulkan keharusan pada setiap lembaga (institution) termasuk yang bergerak di bidang ekonomi untuk melakukan langkah-langkah penyesuaian; yang sebagiannya akan menjurus kepada perubahan mendasar. Bersamaan dengan pengurangan tingginya tembok tarif dan nontarif di bidang perdagangan, ketentuan ini akan mengakibatkan munculnya persaingan yang semakin tajam di antara perusahaanperusahaan asing dan domestik sampai pada tingkatan terendah. Berdasarkan beberapa indikator sosial menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) semakin meningkat, bersamaan dengan ukuran keluarga yang semakin kecil. Tingkat Melek Huruf Kelompok Usia Dewasa (Adult Literacy Rate) telah pula meningkat cepat dan Harapan Hidup Waktu Lahir (Life Expectancy) semakin naik baik pria maupun wanita. Kejadian ini pula menunjukkan adanya kenaikan pada pendatan per kapita yang dibarengi oleh semakin berkurangnya
Sirojuzilam: Regional Planning and Development (Kasus Medan)
jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan absolut. Pada akhirnya proses transformasi demografi tersebut telah menimbulkan gejala consumer boom, baik di kota maupun di desa. Hal ini terlihat pada peningkatan pada permintaan bagi sandang, pangan perumahan, pendidikan, kesehatan, liburan, bahkan kehidupan kerohanian. Penutup Perkembangan dan pembangunan kota sangat erat kaitannya dengan masalah perencanaan dan pengembangan wilayah. Perkembangan Ilmu Perencanaan Wilayah saat ini terus mengalami perkembangan yang cukup berarti. Sektor industri merupakan salah satu leading sectors di daerah ini, sehingga Medan merupakan pusat perdagangan nasional dan internasional Indonesia bagian barat. Medan juga merupakan daerah yang menjadi sentra bagi ekspor non-migas di Indonesia bagian barat, karena Medan memiliki pelabuhan udara dan laut yang bertaraf internasional. Di samping itu Medan memiliki letak geografi berdekatan dengan sentra industri dan perdagangan internasional. Hal ini akan sangat menunjang pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama dengan beberapa negara terutama ASEAN, IMT GT dan kota kembar. Daftar Pustaka Azis, Iwan Jaya, 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Jakarta, LPFE-UI. Badan Pusat Statistik, 2000. Pendapatan Regional (PDRB) Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota 1993 – 1999, Medan, Badan Pusat Statistik. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara, 1993. Studi Evaluasi Sistem Perwilayahan Pembangunan di Sumatera Utara. Tidak diterbitkan. Bendavid-Val, Avrom, 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, 4th Edition, New York, Praeger Publisher. Esmara, Hendra, 1986. Politik Perencanaan Pembangunan. Teori Kebijaksanaan dan Praktek, Jakarta, Gramedia.
13
Hil, Hal, 1989. Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970. London, Oxford University Press. Richardson, Harry W., 1991. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, Terjemahan Paul Sitohang, Jakarta, LPFE-UI.
14
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL KOTA MEDAN DI ERA OTONOMI DAERAH Kasyful Mahalli Abstract Fiscal decentralization is one of the big issues in regional development in Indonesia. Most regions depend on regional tax in pushing their economic growth. Along 2000-2003 the average tax ratio in Medan municipality is 0,40% which means that the authority could only taxing 0,4% of total output in the region. In other hand, the econometric calculation shows that regional tax has negative correlation with economic growth. The local government however has a contrary policy: growth oriented targeting or local revenue targeting. In the future, the leviathan model should be considered for local revenue targeting. Kata kunci: Desentralisasi fiskal, Tax ratio, Pendapatan asli daerah, Pertumbuhan ekonomi Pendahuluan Sejalan dengan berbagai tuntutan dan keperluan untuk mendorong desentralisasi dan otonomi, telah diundangkan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan yang cukup kuat dalam mengimplementasikan otonomi yang seluasluasnya dan bertanggung jawab yang mampu mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sehingga sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masayarakat secara cepat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program-program yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya; latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya
dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik 2002). Dengan telah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Konsekuensinya adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya dan akhirnya menyebabkan terjadinya orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik. Dalam kenyataannya, pemerintah sendiri perlu menstimulir pembangunan ekonomi melalui APBN. Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan
15
barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Namun kecenderungan ke arah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan efektivitas pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Beranjak dari pemikiran ini, patut dipertanyakan sejauh mana Kabupaten/Kota melaksanakan kebijakan fiskal dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dalam era otonomi daerah. Tulisan ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi pola pengeluaran Pemerintah kota Medan sejak berlakunya otonomi daerah. 2. Menganalisis kebijakan fiskal utamanya pengeluaran pembangunan. 3. Merumuskan kebijakan fiskal yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah kota Medan. Perkembangan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Kota Medan Dalam kurun waktu 2000-2003, ekonomi kota Medan tumbuh rata-rata sebesar 5,11%% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang dominan terjadi pada sektor penggalian (11,17%), sementara sektor industri mengalami pertumbuhan yang terendah (3,20%). Pertumbuhan sektor penggalian yang tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebesar 24,87%, sementara pada tahun yang sama sektor pertanian, bangunan dan angkutan mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2000 s.d. 2003 Atas Dasar Harga Konstan No 1 2 3 4 5 6 7
16
Lapangan Usaha/ Sektor Pertanian Penggalian Industri Listrik, Gas & Air Bangunan Perdagangan Angkutan
Tahun
RataRata
2000 9,43 24,87 3,25
2001 4,68 8,83 4,96
2002 6,88 9,60 0,50
2003 4,49 1,38 4,08
4,92
5,42
6,67
7,98
6,25
15,36 3,82 9,84
14,13 2,01 9,11
4,05 3,90 6,05
5,65 3,61 8,58
9,80 3,34 8,40
6,37 11,17 3,20
No 8 9
Lapangan Usaha/ Sektor Keuangan Jasa PDRB
Tahun 2000 1,41 5,06 5,40
2001 6,31 2,24 5,22
2002 7,24 2,80 4,50
2003 5,32 4,42 5,32
RataRata 5,07 3,63 5,11
Sumber: Pendapatan Regional Kota Medan Tahun 1994-2003
Pada tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Kota Medan mengalami penurunan sebesar 18% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan di seluruh sektor ekonomi kecuali sektor industri dan sektor keuangan. Pada tahun ini sektor penggalian mengalami penurunan yang sangat drastis menjadi 8,82%. Pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2002 terus mengalami penurunan. Sektor industri hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,50% begitu juga dengan sektor bangunan dan angkutan yang mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di tahun 2003, pertumbuhan ekonomi kota Medan kembali bangkit dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,32%, lebih tinggi 0,82% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari dari dorongan kondisi ekonomi makro terutama turunnya tingkat bunga yang merangsang kegiatan sektor riil. Sektor yang mulai bergairah pada tahun 2003 ini adalah sektor industri, utilitas, bangunan, angkutan dan jasa. Sementara sektor pertanian, penggalian, perdagangan dan keuangan mengalami pertumbuhann yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kota Medan, APBD kota Medan mengalami peningkatan yang signifikan selama kurun waktu Tahun 2000-2003. Selama periode ini APBD mengalami pertumbuhan sebesar 41,77%, sedangkan PAD mengalami pertumbuhan rata-rata 40,18% per tahun dan dana perimbangan mengalami pertumbuhan sebesar 35,52%. Belanja rutin mengalami pertumbuhan ratarata 38,70% per tahun sementara belanja pembangunan tumbuh sebesar 49,83% per tahun. Namun bila dilihat dari nilai kontribusi terhadap total APBD, PAD hanya menyumbang sebesar rata-rata 21,60%, sedangkan dana perimbangan memberikan
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 2. APBD Kota Medan Tahun 2000 s.d. 2003 No
Item
Tahun Anggaran 2001 2002
2000 1 2 3 4
Sisa Anggaran Tahun Lalu PAD Dana Perimbangan Pinjaman Pemerintah Daerah
12.242.061.000 58.033.917.000 171.174.701.000 -
6 6 7
Bagian Lain Penerimaan yang Sah Belanja Rutin Belanja Pembangunan APBD
180.436.184.000 61.014.495.000 241.450.679.000
3.341.389.000 80.967.590.000 322.283.646.000 328.324.516.000 78.268.109.000 406.592.625.000
30.586.687.000 129.103.734.000 451.316.101.000 52.500.000.000 524.653.679.000 138.852.843.000 663.506.522.000
2003 10.160.617.000 224.098.694.000 577.334.229.000 163.697.663.000 667.822.588.000 307.468.615.000 975.291.203.000
0,70 0,60
(%)
0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2000
2001
2002
2003
T ahun
Gambar 1. Perkembangan Tax Ratio Kota Medan kontribusi rata-rata 69,34%. Sementara belanja rutin menyerap rata-rata 75,76% dari total belanja daerah. Untuk melaksanakan pembangunan kota yang terstandardisasi dengan menjadikan kota medan sebagai kota metropolitan, dengan fisiknya yang modern, yang didukung oleh infrastruktur ekonomi dan sosial yang lengkap dan handal, dengan masyakarat yang menguasai iptek, imtaq, dan diwarnai oleh adanya mobilitas orang, produksi, dan perdagangan yang tinggi dan berskala besar, serta memiliki daya tarik, kekayaan, dan kekuatan kebudayaan yang tinggi, sekaligus merupakan pusat kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi regional maupun internasional, pemerintah kota Medan membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk dapat mewujudkan rencana yang telah ditetapkan dalam Rencana Stratejik Pemerintah Kota Medan tahun 2001-2005. Sumber pendapatan pemerintah kota Medan salah satunya adalah melalui Pendapatan Asli Daerah yang salah satu komponennya bersumber dari Pajak Daerah. Pada tahun 2003, pajak daerah menyumbang sebesar 56,56% ke dalam Pendapatan Asli Daerah dan merupakan sumber pendapatan yang tertinggi dibandingkan dengan sumber pendapatan asli
daerah yang lainnya. Retribusi daerah memberikan kontribusi sebesar 39,38% sedang lain-lain PAD yang sah dan laba perusahaan daerah memberikan kontribusi masing-masing 3,60% dan 0,46%. Kontroversi Antara Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi Salah satu fenomena menarik dalam melihat perkembangan ekonomi daerah adalah dengan melihat seberapa besar kemampuan daerah dalam menarik pajak atas produksi daerah pada tahun tertentu. Selama periode tahun 2000 s.d. 2003 terlihat bahwa tax ratio kota Medan hanya sebesar rata-rata 0,40% per tahun. Hal ini berarti bahwa pemerintah kota Medan hanya mampu menarik pajak sebesar 0,4% dari total produksi yang dihasilkan. Angka ini jelas sangat kecil dibanding dengan normal tax ratio bagi negara sedang berkembang sekalipun yaitu 16 persen. Dengan perkataan lain bila produksi yang dihasilkan oleh keseluruhan sektor berjumlah Rp 1.000 pajak yang mampu di tarik hanya sebesar Rp 40. Kondisi ini juga menunjukkan masih banyaknya potensi pajak yang selayaknya dapat digali oleh pemerintah kota Medan di masa yang akan datang.
Kasyful Mahalli: Analisis Kebijakan Fiskal Kota Medan di Era Otonomi Daerah
17
Tabel 3. Hasil Estimasi Fungsi Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) terhadap Pengeluaran Pemerintah (Gov) dan Pajak Daerah (Tax) Variable C GOV TAX
Coefficient 2536199. 2.74E-05 -0.000112
Std. Error 112523.2 3.98E-06 2.78E-05
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.970565 0.966037 144091.7 2.70E+11 -211.0932 2.189867
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Dengan menggunakan data tahun 2000 s.d. 2003, hasil kajian empiris atas hubungan antara PDRB dengan belanja pemerintah dan pajak daerah menunjukkan adanya hubungan yang positif antara perkembangan ekonomi (PDRB) dengan belanja pemerintah, namun PDRB berhubungan negatif dengan pajak daerah sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Dari hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak daerah yang pada era otonomi daerah merupakan sumber andalan pemerintah kota Medan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain bila pajak daerah naik, maka akan berdampak pada penurunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah umumnya keliru dalam menjalankan otonomi daerah utamanya bila dikaitkan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah daerah selalu mengedepankan pengutipan pajak daerah namun mengabaikan pertumbuhan eknonomi. Seyogianya, pemerintah daerah memacu pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu baru melakukan pengutipan pajak daerah. Dengan cara ini, investor akan tertarik menanamkan modalnya. Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoretis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak,
18
t-Statistic 22.53933 6.894663 -4.020028
Prob. 0.0000 0.0000 0.0015 4364277. 781872.6 26.76165 26.90651 214.3286 0.000000
permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 2 menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun ilegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 2 juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respons harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviatan ini
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Gambar 2. Model Leviatan dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal. Penutup Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sejalan dengan itu pemerintah daerah seringkali mengeluarkan peraturan daerah dengan dalih peningkatan PAD. Peraturan daerah yang diperlukan daerah adalah yang mampu meningkatkan kinerja ekonomi, sosial dan politik daerah itu sendiri. Tetapi perlu diingat, bahwa munculnya Perda yang ada jangan sampai mematikan kegiatan ekonomi itu sendiri (diseconomic) atau bahkan menimbulkan restriksi (trade barriers) perdagangan antardaerah sendiri yang akhirnya menurunkan kesejahteraan daerah itu sendiri. Untuk itu, daerah perlu mengembangkan kerjasama horizontal dan vertikal (horizontal and vertical integration) dengan daerah maupun pemerintahan di tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya implementasi desentralisasi fiskal ini memerlukan tuntutan perubahan yang mendesak di berbagai sektor baik dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan kata lain, dalam pengelolaan manejemen daerah masih diperlukan waktu dan keseriusan dari segala pihak. Upaya untuk meningkatkan PAD di masa mendatang seyogianya dilakukan melalui peningkatan taxing power antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing tax atau piggy backing system. Bagi Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh untuk memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Untuk itu, PBB dan BPHTB disarankan dialihkan menjadi pajak Daerah
dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut. Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari pajak daerah ditentukan oleh 2 (dua) hal, yaitu: dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Model Leviathan mengatakan bahwa pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi secara teoretis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang maksimal. Kondisi ini tergantung oleh respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Teori ini seyogianya dapat dijadikan pertimbangan utama bagi pemerintah daerah dalam upaya menggali sumber-sumber keuangan yang berasal dari pajak daerah yang tidak selalu berorientasi pada pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk mencapai total penerimaan yang maksimal. Daftar Pustaka Anonymous, Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Anonymous, 2004, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Medai Grafika Utama, Yogyakarta. Asryad, Lincoln, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, PT.BPFE, Yokyakarta, Cetakan Pertama, Yokyakarta. Departemen Dalam Negeri RI Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, Otonomi Daerah Tahun 2002, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Daerah Direktorat Jenderal. Ebel, Robert D. and Yilmaz, Serdar, 2002, On the Measurement and Impact of Fiscal Decentralization, World Bank Institute, Washington DC, USA
Kasyful Mahalli: Analisis Kebijakan Fiskal Kota Medan di Era Otonomi Daerah
19
Musgrave, Richard. A and Musgrave, Peggy. B, 1989, Public Finance in Theory and Practice, Fifth Edition, McGraw Hill International, Singapore. Morris, Nick, 2002, Fiscal Capacity and Expenditure at Different Level of Governments, Asian Development Bank, Tasman Economics, Australia. Prakoso, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, Tim Ull Press, Cetakan Pertama. Sidik, Machfud, 2002(a), Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal; Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar “Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, 13 Maret, Jogjakarta Sidik, Machfud, 2002(b), Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Makalah yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Tema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002 Sidik, Machfud, 2002(c), Format Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional, Makalah yang disampaikan pada Seminar “Public Sector Scorecard, 17-18 April, Jakarta Usman, Syaikhu, 2002, Regional Autonomy in Indonesia; Field Experiences and Emerging Challenges, Makalah yang disampaikan pada The 7th PRSCO Summer Institute/The 4th IRSA International Conference “Decentralization, Natural Resources and Regional Development in Pacific Rim, 20-21 Juni, Bali.
20
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU (MANGROVE) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PANTAI DI KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT Agus Purwoko Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan masyarakat pantai setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Dari analisis statistik terhadap data diketahui bahwa pendapatan rumah tangga, keragaman jenis biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan antara kondisi sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove ternyata berbeda secara signifikan pada taraf keyakinan 95%. Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Secara kuantitatif terjadi penurunan pendapatan responden akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan. Kata kunci: Hutan bakau, Mangrove, Pendapatan, Masyarakat pantai Pendahuluan Umumnya ekosistem hutan bakau merupakan sumber daya alam (natural resources) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat, mengingat hutan bakau mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang. Selain itu, potensi ekonomi hutan ini cukup tinggi dengan didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong kerusakan ekosistem hutan bakau dan laju kerusakan umumnya berlangsung cepat. Ekosistem hutan bakau di kecamatan Secanggang saat ini telah mengalami kerusakan. Menurut laporan Universitas Sumatera Utara (1999), di wilayah ini telah terjadi berbagai bentuk kerusakan ekosistem hutan bakau yang berupa penebangan liar/pencurian kayu, perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar, pencemaran sungai dan pemukiman. Okupasi lahan yang terjadi pada tahun 1999 mencapai 3.650 ha (24%)
yang meliputi 1.600 ha untuk kegiatan pertambakan, 1.800 ha untuk kebun kelapa sawit dan 250 ha dikonversi untuk penggunaan lainnya. Selanjutnya dilaporkan bahwa bentuk-bentuk pengrusakan meningkat secara drastis sejak tahun 1995, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Bahkan Dinas Perikanan dan Kelautan (2002) melaporkan adanya kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini yang sudah mencapai tingkat yang cukup parah. Berdasarkan data hasil interpretasi citra landsat TM tahun 2002 dilaporkan bahwa hutan bakau yang ada di kecamatan Secanggang tinggal 4.450,2 ha dari luas potensial sebanyak 9.000 ha. Hal itu berarti secara bentang fisik telah terjadi kehilangan/alih fungsi sebanyak 5.549,8 ha (61,7%). Ekosistem hutan bakau sangat terkait dengan masyarakat pantai (Departemen Kehutanan, 1997). Sehingga, kerusakan pada ekosistem hutan bakau akan terkait dengan perekonomian masyarakat pantai secara keseluruhan. Sebaliknya, perilaku
21
masyarakat pantai juga masih cenderung destruktif terhadap ekosistem hutan bakau. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dengan adanya kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap pendapatan nelayan dalam tataran rumah tangga secara kuantitatif dan ilmiah. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan nelayan setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan Desember tahun 2004. Desa terpilih yang menjadi lokasi penelitian adalah Jaring Halus dan Kwala Besar, dikarenakan kedua desa ini berada di sekitar ekosistem hutan bakau, memiliki garis pantai yang panjang dan hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian yang terkait langsung dengan sektor perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2002). Adapun data yang digunakan berupa data primer (wawancara) dan data sekunder (literatur). Untuk mendapatkan gambaran dampak kerusakan, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji-t mached pair untuk mengetahui signifikansi perbedaan beberapa indikator yang dianalisis pada saat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Nurgiyantoro, dkk., 2000). Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui sejauh mana perbedaan yang terjadi pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Hasil dan Pembahasan Analisis pendapatan sebelum dan sesudah kerusakan dilakukan dengan pendekatan nilai kiwari (precent value approach) dikarenakan terdapat perbedaan
22
preferensi terhadap nilai sumber daya alam seiring dengan perubahan waktu. Keragaman jenis biota tangkapan dianalisis melalui jenis-jenis yang menjadi langka atau hilang (pendekatan frekuensi perjumpaan) dan tinjauan persepsi masyarakat terhadap populasi dan keragaman jenis-jenis biota laut tangkapan nelayan. Adapun kemudahan bekerja dan berusaha serta kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan sesudah terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove di lokasi studi. Dari analisis statistik dan analisis kuantitatif terhadap data diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Keragaman jenis biota tangkapan nelayan Melalui uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan keragaman jenis biota tangkapan diperoleh hasil di mana t-hitung (20,65) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti keragaman jenis biota tangkapan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 1). Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Terdapat beberapa jenis ikan yang dahulu sering tertangkap nelayan, namun sekarang sudah tidak pernah dan/atau sangat jarang tertangkap lagi, di antaranya jenis-jenis bawal, kepiting bakau, kerapu, udang kapur, udang tiger, kakap, pari, senangin, cumi-cumi, gembung, tengiri, udang ambai, udang galah dan ikan selampai. Secara umum, semua jenis biota laut mengalami penurunan frekuensi penangkapannya. Adanya dampak yang signifikan dari kerusakan ekosistem mangrove terhadap keragaman biota tangkapan nelayan ini karena menurut Anonious (1997), pada rantai makanan di habitat ekosistem hutan bakau, biomasa hutan (contoh: daun, ranting dan bunga) mengalami dekomposisi menjadi partikel bahan organik (dentritus). Dalam
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 1. Paired Samples Test untuk Data Keragaman Jenis Paired Differences 95% C offid Interval the Difference Std.
Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.30 6
Std E ean Deviation M .8794
.1117
Lower
Upper
2.08 31
2.52 98
t 20.6 1
df
Sig (2-tailed) .000
61
Tabel 2. Pendapatan Rata-Rata Berdasarkan Kelompok Profesi (2004)
No
Kelompok Pekerjaan Pokok
Jumlah Pendapatan (Rp/Bln) Sebelum Kerusakan (SB)
Sesudah Kerusakan (SK)
Perbedaan SB & SK (Rp/Bln)
Perbedaan Relatif (%)
1 Aparat Desa
1,597,100
1,187,214
409,886
25.66
2 Pedagang
2,518,409
1,673,318
845,091
33.56
3 Nelayan
2,088,721
1,388,061
700,660
33.54
4 Pembuat Arang
1,298,750
1,020,833
277,917
21.40
5 Pembudidaya
2,340,611
1,378,148
962,463
41.12
6 Pengolah Ikan
1,410,000
1,100,000
310,000
21.99
7 Pengumpul kayu
1,338,750
825,000
513,750
38.38
8 Petani
1,280,000
800,000
480,000
37.50
9 PNS
1,709,833
1,210,500
499,333
29.20
1,999,233
1,331,771
667,462
33.89
Rata-rata
proses dekomposisi, serasah hutan bakau berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing palychaeta. Berbagai jenis udang yang menjadi sumber tangkapan utama masyarkaat di desa Jaring Halus juga berada pada rantai ini, yang berarti berkorelasi sangat dekat terhadap ketersediaan dentritus di ekosistem hutan bakau. Jenis-jenis Crustacea penting seperti udang ini secara langsung memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua yang biasanya didominasi oleh jenisjenis ikan-ikan karnivor berukuran kecil. Predator berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga.
2. Pendapatan rumah tangga Dari hasil uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan keluarga masyarakat pantai diperoleh hasil dimana t-hitung (7,11) lebih besar dari t-tabel (1,995) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti pendapatan keluarga masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 3). Secara kuantitatif diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan pendapatan keluarga masyarakat pantai akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,-/bulan atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan, meskipun penurunan tersebut terjadi secara variatif antarkelompok pekerjaan pokok (Tabel 2).
Agus Purwoko: Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai…
23
Tabel 3. Paired Samples Tests untuk Data Pendapatan
Sebelum Pair 1 Sesudah
Mean
Paired Differences 95% Interval of the Difference Std. Std. Deviation Mean Lower Upper
66746
812685.8 93840.87 480480.0 854444.0
t 7.11
df
Sig. (2-tailed)
74
.000
Tabel 4. Paired Samples Test untuk Data Ketersediaan Bahan Baku dan Komoditas Perdagangan Paired Differences 95% C offid Interval the Difference Std.
Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.6290
Std E Deviation Mean 1.0748
.1365
Kelompok pekerjaan pokok yang paling tinggi tingkat penurunannya adalah nelayan pembudidaya dengan proporsi penurunan sebesar 41,12% dari total pendapatan semula. Hal ini dikarenakan komoditas yang dibudidayakan di wilayah studi adalah jenis-jenis ikan kerapu, jenahar, udang dan kepiting bakau yang selama daur hidupnya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem hutan bakau/mangrove berdampak langsung terhadap ketersediaan bibit kegiatan budidaya, sehingga sebagian besar kegiatan budidaya laut maupun payau yang tidak lagi berjalan. Pada kasus subsektor perdagangan, penurunan nilai pendapatan riil juga terjadi, namun secara relatif tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan meskipun volume fisik komoditas perdagangan menurun namun nilai nominal transaksi menjadi lebih besar akibat kenaikan harga komoditas perikanan, sehingga profit margin yang diambil oleh pedagang bisa menjadi lebih tinggi. Selain itu, adanya penurunan volume komoditas perdagangan menyebabkan pelaku usaha di subsektor perdagangan hasil laut menyusut, sehingga komoditas perdagangan yang ada terdistribusi kepada pedagang yang masih eksis dengan proporsi yang lebih besar. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab relatif konstannya pendapatan pedagang.
24
Lower 2.356 1
Upper 2.9020
t 19.260
df 61
Sig (2-tailed) .000
3. Ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan Dari hasil uji-t matched pair untuk untuk menguji signifikansi perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan diperoleh hasil di mana t-hitung (19,20) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 4). Sebelum kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan bahwa bahan baku dan komoditas perdagangan “tersedia dalam jumlah cukup” sampai dengan “tersedia dalam jumlah banyak,” namun setelah terjadi kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan “tersedia dalam jumlah terbatas” sampai dengan “tidak tersedia”. Penurunan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan dampak yang penting mengingat kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih berkutat pada aktivitas mengolah dan/atau mendistribusikan hasil alam beserta kebutuhan pendukungnya, sehingga sumber daya alam merupakan bahan baku/objek utama dari aktivitas usaha masyarakat nelayan. Usaha-usaha yang lazim ditemukan di lingkungan nelayan, termasuk di lokasi penelitian di antaranya pengolahan hasil laut, budidaya hasil laut (ikan, kepiting, udang) dan distribusi/pemasaran hasil laut
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 5. Paired Samples Test untuk Data Kesempatan Kerja dan Berusaha Paired ff Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.677
95% Interval of the Difference
Std Std. Deviation Mean 1.238
Lower
.157
Upper
2.362
2.991
Sig (2-tailed)
t
df
17.02
61
.000
Tabel 6. Kondisi Kesempatan Bekerja dan Berusaha Sebelum dan Sesudah Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (2004) No
Kategori
Sebelum Kerusakan Sesudah Kerusakan Perubahan Jumlah (Resp) % Jumlah (Resp) % Jumlah (Resp) %
1
Mudah
34
54.8
1
1.6
-33
-53.2
2
Agak Mudah
19
30.6
2
3.2
-17
-27.4
3
Biasa
7
11.3
4
6.5
-3
-4.8
4
Agak Sulit
2
3.2
28
45.2
26
41.9
5
Sulit
0
0.0
27
43.5
27
43.5
Jumlah
62
100.0
62
100.0
0
0.0
yang kesemuanya bergantung dari hasil tangkapan dari alam. Kegiatan usaha pendukung seperti pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan rumah tangga juga terkait dengan keberadaan usaha di atas. 4. Kemudahan bekerja dan berusaha Dari hasil uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan kemudahan bekerja dan berusaha diperoleh hasil di mana t-hitung (17,02) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti kemudahan bekerja dan berusaha masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 5). Dampak kerusakan ekosistem hutan mangrove terhadap kesempatan kerja dan berusaha secara kuantitatif cukup berarti, di mana 85,4% masyarakat pantai berpendapat bahwa sebelum kerusakan mereka “agak mudah” sampai dengan “mudah” mendapatkan kesempatan kerja dan berusaha, namun setelah terjadinya kerusakan terjadi sebaliknya di mana 88,7% menyatakan “agak sulit” sampai dengan “sulit” mendapatkan kesempatan bekerja dan berusaha (Tabel 6). Berkurangnya hasil tangkapan berakibat pada berkurangnya volume
aktivitas ekonomi di lokasi penelitian, yang secara langsung berakibat pada menurunnya kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan. Berkurangnya hasil tangkapan berupa jenisjenis ikan yang bisa dibudidayakan (seperti kerapu, jenahar, kepiting bakau) menyebabkan berkurangnya pelaku usaha dan volume usaha budidaya, yang berakibat pada berkurangnya tenaga kerja langsung maupun tidak langsung yang terlibat. Tenaga kerja langsung yang terlibat dalam budidaya ikan kerapu misalnya adalah tenaga kerja pengelola (memberi pakan dan mengurus keramba) dan penjaga keramba, sedangkan tenaga kerja tidak langsung yang terlibat misalnya tenaga pencari dan pemasok pakan ikan, pencari dan pengumpul bibit, pembuat keramba, pengangkut produk dan lain sebagainya. Penurunan hasil tangkapan juga berakibat menurunnya kegiatan usaha pengolahan hasil laut. Kegiatan usaha pengolahan hasil laut yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian antara lain pembuatan ikan asin (pengeringan), pembuatan keripik ikan cincang rebung dan pembuatan terasi udang (blacan). Semua usaha pengolahan tersebut bergantung kepada ketersediaan bahan baku berupa ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan. Berkurang atau bertambahnya kegiatan usaha
Agus Purwoko: Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai…
25
pengolahan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh ada atau tidaknya bahan baku, terutama pada kasus usaha pengeringan ikan, pengolahan terasi udang dan pengolahan keripik ikan cincang rebung. Dengan demikian, perubahan hasil tangkapan berdampak pada penurunan kesempatan kerja bagi masyakat pantai, terutama bagi anggota keluarga seperti anak-anak dan kaum wanita. Penutup Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) berdampak secara nyata terhadap pendapatan masyarakat pantai melalui penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan, pendapatan keluarga, ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan serta kesempatan kerja dan berusaha masyarakat pantai secara signifikan. Oleh karena itu disarankan agar: (1) Pemerintah daerah bersama masyarakat harus segera melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap arti pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi kelangsungan hidup mereka, (2) Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan semua pihak yang terkait berupaya mengembangkan bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pantai yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak sekedar eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara lestari melalui pendekatan budaya (kultur) serta sinergi dengan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), (3) Pemerintah daerah melakukan upaya antisipatif guna mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat pantai akibat menurunnya pendapatan serta kesempatan kerja dan berusaha.
Dinas Perikanan dan Kelautan. 2002. Peta Potensi Perikanan Kabupaten Langkat. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat. Stabat. Nurgiyantoro, B., Gunawan, Marzuki. 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Universitas Sumatera Utara. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Kab. Langkat dan Langkat Timur Laut. Makalah Seminar Pelestarian dan Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Daftar Pustaka Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
26
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBIAYAAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PERDESAAN Abdul Kadir Abstrak Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendefenisikan makna daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004).Dalam rangka mengimplementasikan kewenangan tersebut dibutuhkan pembiayaan yang besar yaitu berupa sumber keuangan yang sangat penting perannya, dan juga sebagai upaya daerah untuk meningkatkan kemandiriannya baik dalam peningkatan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat maupun untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan tugastugas pemerintahan lainnya. Kata kunci: Pembiayaan dan Pembangunan berkelanjutan Pendahuluan Salah satu sumber keuangan tersebut berasal dari sumber pendapatan daerah. Pendapatan daerah ini merupakan tolok ukur keberhasilan daerah dalam menjaga kesinambungan otonomi daerah maupun kemampuan daerah terutama pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk itu tentu dalam upaya menjaga kesinambungan dimaksud diperlukan peningkatan peran serta masyarakat antara lain dalam bentuk melaksanakan kewajiban membayar Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan pungutan daerah lainnya. Kondisi tersebut dapat memunculkan upaya meningkatkan pendapatan daerah, daerah harus mampu melaksanakan pemungutan yang intensif, wajar dan layak dengan tetap berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan kebijakan/kepentingan nasional baik terhadap sumber-sumber yang ada maupun dalam menggali sumber-sumber pendapatan baru. Mengingat pentingnya peranan Pendapatan Daerah sebagai sumber pembiayaan bagi daerah, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen yang mempunyai peran yang sangat penting antara lain sebagai berikut:
1. Dari segi penyelenggaraan pemerintahan: berfungsi sebagai soko guru kelestarian otonomi daerah. 2. Dari segi pelaksanaan pembangunan: berfungsi sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan di daerah. Dalam hubungan tersebut banyak hal yang diperlukan dan dibutuhkan diantaranya di bidang kebijakan perencanaan sumber pendapatan untuk membiayai pembangunan berkelanjutan di samping untuk penyelenggaraan pemerintahan, tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut akan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap keteraturan dan kelancaran dari keseluruhan proses pembiayaan pembangunan. Dengan adanya sumber pendapatan tersebut, pembiayaan dapat diarahkan seoptimal mungkin dengan menumbuh kembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat, dengan memperhatikan aspek kelestarian sumber daya yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian sangat diperlukan pemberdayaan dalam pengembangan potensi antar daerah, Kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsi bahkan lebih jauh lagi antar provinsi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pembangunan dan pengembangan sentra-sentra dan sektor-
27
sektor unggulan, melalui pembiayaan berupa konsorsium atau saling dukungan bersama secara bergulir akan memberikan daya guna yang optimal pemanfaatannya, sehingga dampak langsung akan memberikan daya dukung meningkatkan perekonomian masyarakat termasuk mendukung prasarana/sarana infrastruktur pengembangan sentra-sentra produksi industri dan perekonomian dari karakteristik potensi berupa sektor-sektor unggulan di wilayah perkotaan atau di perdesaan yang bersangkutan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah salah satu dasar kebijakan yang mutlak ditetapkan dalam menyikapi perkembangan dalam menetapkan kebijakan pembangunan dari semua tingkatan secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Dengan demikian, maka pembangunan berkelanjutan merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan dan masyarakat tetapi juga bagi pemerintah yang berkewajiban dalam menetapkan kebijakan pembangunan, dengan tujuan fungsi lingkungan hidup dan kesamaan derajat antar generasi serta menumbuhkan kesadaran terhadap hak dan kewajiban dari segenap komponen pemerintahan, stakeholder dan masyarakat secara keseluruhan dalam melindungi dan melestarikan lingkungan hidup secara terpadu. Hal ini juga memberi instrumen kebijakan dalam setiap menetapkan kebijakan di bidang pengelolaan sumber pajak dan retribusi daerah harus memperhatikan aspek lingkungan. Perumusan Masalah Kebijakan di bidang pembiayaan daerah yang secara spesifik sumber pendapatan daerah secara khusus telah diatur oleh undang-undang baik mengenai sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga mengenai jenis kewenangan bagi provinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Hal ini merupakan dilematis bagi daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan sumber pembiayaannya sebagai implementasi penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga daerah berupaya menggali potensi sumber pembiayaan dari peluang dan celah-celah
28
kewenangan yang ada bahkan kadang kala rambu-rambu atau koridor yang ditetapkan kurang dicermati, sehingga dapat mengakibatkan beban masyarakat yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi terutama bagi pelaku ekonomi dan dunia usaha. Oleh sebab itu dalam makalah yang singkat ini penulis ada membuat dua permasalahan yang berkaitan dengan judul makalah di atas: 1. Bagaimana kebijakan perencanaan pembiayaan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pembangunan berkelanjutan di wilayah perkotaan dan perdesaan? 2. Bagaimana penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dengan kenyataan perekonomian yang terjadi dalam masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan? Analisis dan Pembahasan a. Kebijakan Perencanaan Pembiayaan yang Dilakukan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan. Konsistensi kebijakan dalam era globalisasi dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan ke ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang semakin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor atau golongan ekonomi yang lebih maju (golongan ekonomi kuat). Peranan pemerintah makin di tuntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan dan pemberdayaan. Penyelenggara pemerintah negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada citacita keadilan sosial (Pasal 33 UUD 1945). Untuk itu, keserasian dan keterpaduan antarberbagai kebijakan pembangunan harus diupayakan baik pada tingkat nasional dan daerah. Pengentasan kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemeliharaan prasarana dasar, serta
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
peningkatan kuantitas, kualitas dan diversifikasi produksi yang berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi impor harus pula dijadikan prioritas dalam agenda kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Wawasan pembangunan berkelanjutan yang mengandung arti sebagai suatu proses pemenuhan generasi mendatang dan pentingnya menumbuhkan rasa memiliki dari setiap pelaku atau pemeran pembangunan segenap bangsa Indonesia diantaranya dari komponen pemerintahan, dunia usaha/pelaku ekonomi dan masyarakat luas. Dengan demikian dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui upaya mengejar pertumbuhan ekonomi secara maksimal harus dibarengi dengan aspek pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat mengantisipasi dan meningkatkan adanya upaya untuk pemanfaatan sumber daya alam secara berkelebihan, di mana sumber daya alam itu semakin bersifat terbatas. Dalam hubungan tersebut bahwa setiap kebijakan perencanaan pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah harus diarahkan pada wawasan pembangunan berkelanjutan, sehingga dapat memberikan keseimbangan arah dan program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa mendatang, baik yang hidup di dalam wilayah perkotaan maupun hidup di wilayah perdesaan. Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan di daerah dalam pembangunan dimulai dengan perencanaan (planning), pemrograman (programming) dan diikuti dengan penganggaran (budgeting). Setiap program perlu dirinci lebih lanjut ke dalam proyek-proyek pembangunan dan realisasinya perlu anggaran. Perencanaan diperlukan untuk menentukan langkah-langkah kegiatan yang akan tersusun dan dituangkan dalam anggaran. Adapun bahan perencanaan yang baik adalah data dan ramalan (forecasting). Dalam hubungan dengan perencanaan pembiayaan, tentunya berhubungan dengan kebijakan di bidang pembiayaan. Untuk mencapai target jumlah pembiayaan pembangunan seperti dijelaskan di muka. Maka perlu ditempuh beberapa kebijaksanaan yang dapat mendorong
tercapainya peningkatan sumber pembiayaan tersebut. Kebijaksanaan ini terutama mencakup aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek pemerintahan. Mengingat sebagian besar dari sumber-sumber pembiayaan pemerintah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka koordinasi perencanaan antara sektoral, baik tingkat daerah maupun pusat sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai target pembiayaan tersebut. Pada sisi yang lain eksistensi pemerintah daerah adalah juga sebagai instrumen untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal sebagai basis bagi penciptaan kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan masyarakat di capai melalui penyediaan pelayanan publik baik yang bersifat pelayanan dasar (basic services) maupun penyediaan pelayanan untuk mengembangkan sektor unggulan daerah (core competence). Pada akhirnya muara dari kebijakan desentralisasi adalah bagaimana pemerintah daerah mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik baik yang berbentuk pelayanan dasar untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) dari masyarakat maupun untuk menyediakan pelayanan dalam mengembangkan sektor unggulan yang ada di daerah yang bersangkutan. Penyediaan pelayanan publik dilakukan melalui proses yang demokratis yang ditandai oleh adanya transparansi, akuntabilitas dan keterlibatan masyarakat dalam proses pelayanan publik tersebut. (Sabarno 2004). Pencapaian sasaran target perencanaan pembiayaan Pemerintah Daerah akan dilakukan melalui kebijaksanaan yang serasi antara usaha meningkatkan pendapatan atau penerimaan daerah dengan usaha untuk lebih menghemat belanja rutin. Kebijaksanaan dari segi penerimaan di bagi atas : 1. Kebijaksanaan untuk mengusahakan peningkatan bantuan Pemerintah Pusat, baik dalam bentuk subsidi rutin terutama sekali dalam bentuk subsidi pembangunan. 2. Kebijaksanaan dalam usaha meningkatkan pendapatan asli daerah. (Kamaluddin 1987). Perencanaan pembiayaan dewasa ini tidak mendorong pada pemerintah daerah
Abdul Kadir: Kebijakan Perencanaan Pembiayaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan…
29
dari euforia otonomi menjadi otonomi yang berorientasi untuk menggali sumber pungutan baru, yang kadang kala lebih memfokuskan aspek budgetair (pembiayaan) dibanding aspek regeling (pengaturan/pengendalian) terutama terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup. Salah satu untuk tidak banyaknya aneka ragam jenis sumber pungutan daerah diperlukan pengkajian dengan mengutamakan pengembangan pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai subjek pungutan, yang pada gilirannya mempunyai ketahanan ekonomi yang ampuh dan mapan, sehingga meningkatkan kemampuan dalam penyisihan penghasilannya atau sebagai pembayaran atas pelayanan pemerintah yang diterimanya, yang dalam hal ini lebih adanya penonjolan yang bersifat partisipatif dan pada gilirannya akan meningkatkan perannya dalam pembangunan sebagaimana yang diharapkan maksud dari pelaksanaan otonomi daerah. Dengan adanya sumber bagi hasil pajak provinsi yang cukup signifikan kontribusinya sebagai sumber pembiayaan pada APBD kabupaten/kota setiap tahunnya, dimana pemanfaatannya secara penuh melalui kebijakan pemerintah yang bersangkutan. Hal ini tentunya bagi hasil, yang diperoleh pemerintah kabupaten/kota yang potensi objek pungutan pajak tersebut relatif kecil, maka perolehannya dari aspek potensial kecil pula dan tentu berharap akan di topang dari perhitungan aspek pemerataan. Oleh karenanya diasumsikan dana yang diperoleh pada 1 (satu) tahun anggaran terkesan kurang mencukupi pembiayaan program atau kegiatan pembangunan di daerahnya. Dengan demikian kontribusi yang diperoleh kurang bermakna jika diperuntukkan dalam membiayai prioritas kawasan sentra pengembangan dan produksi potensi dari karekteristik/spesifikasi di wilayah tersebut terutama pengembangan pusat-pusat ekonomi dan merupakan sektor unggulan daerah dengan memperhatikan aspek pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
30
b. Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dengan Kenyataan Perekonomian yang Terjadi dalam Wilayah Masyarakat Perkotaan Maupun Masyarakat Perdesaan. Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional mengatakan pengertian wilayah mengacu pada ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Wilayah memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia serta posisi geografis yang dapat diolah dan dimanfaatkan secara efisien dan efektif, melalui sebuah perencanaan komprehensif dalam mendorong tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu kesatuan geografis maka wilayah memiliki potensi bagi dijalankannya aktifitas pembangunan dan pengembangan wilayah, dimana wilayah dalam suatu daerah terdapat 2 yaitu wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Setiap wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda, yang memerlukan analisis dan kebijakan serta manajemen pengelolaan yang berbeda, yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan wilayah adalah daerah yang homogen dan daerah perencanaan. Perbedaan yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut : 1. Tidak tersedianya sumber daya manusia dan sumber daya alam secara merata, termasuk di dalamnya kondisi fisik wilayah. 2. Terdapatnya keterbatasan prasarana dan sarana ekonomi seperti jalan, jembatan, pelabuhan (akses ke luar wilayah) energi listrik, lembaga keuangan, telekomunikasi dan lain sebagainya. 3. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi, biaya transportasi, pasar, pendidikan, kesehatan serta tekonologi dan lain sebagainya. Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana dan sangat mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan hasil ekstraksi sumber daya alam, tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya ikut diperhitungkan dalam perhitungan pendapatan nasional. Lalu para ahli mulai memadukan antara aspek ekologis dan aspek ekonomis dalam perumusan kebijaksanaan nasional. Pada tingkat aplikasi dan pelaksanaan, pemerintah bersama-sama rakyat banyak juga ikut bertanggung jawab, tidak saja terhadap degradasi lingkungan tetapi juga terhadap kebijakan publik yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan (Arifin 2001). Menurut Korten (1985) dan Friedmann (1992), kegagalan perencanaan dan pembangunan di berbagai belahan dunia selama ini disebabkan antara lain karena orientasi perencanaan yang terlalu keatas, dalam artian terlalu diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah, sektor swasta, serta sekelompok masyarakat yang telah mapan. Perencana cenderung mengagungkan kemampuan “profesionalnya” dan menyusun rencana-rencana pembangunan dari belakang meja, tanpa berusaha memahami aspirasi dan kemampuan rakyat kebanyakan. Programprogram pembangunan yang diusulkan dan diimplementasikan cenderung tidak kena sasaran dan kurang direspon dan bermanfaat bagi rakyat kebanyakan. Lebih lanjut, program-program pembangunan juga cenderung tidak berkelanjutan, oleh karena tidak seoptimal mungkin memobilasasi sumber daya rakyat. Pembangunan atau pengembangan, dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau suatu keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya, dalam hal ini penduduk setempat. Sebaliknya pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki, guna meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga kualitas hidup orang lain. Jadi, pengembangan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan, serta kemampuan untuk merealisasikannya. Di sini mulai kelihatan masalah dasarnya, yaitu motivasi. Ia lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan. Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan.
Pada tingkat awal itulah aspek lingkungan hidup harus diintersep, dan aturan-aturannya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini memintakan pengertian, kesadaran dan disiplin hidup. Pembangunan berkelanjutan merupakan standar yang tidak hanya ditunjukkan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi kebijaksanaan pembanguan. Artinya, dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan. Sumber daya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antargenerasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang destruktif (merusak) yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. (Syahrin 2003). Perencanaan Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan Kota bukan saja merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi tapi juga merupakan konsentrasi dari semua aspek kegiatan kehidupan manusia. Bagi yang telah mendalami masalah yang dihadapi pembangunan ekonomi secara makro, tentu tidak jauh beda dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pembangunan ekonomi secara mikro. Masalah ekonomi adalah masalah dari suatu aspek kehidupan manusia, yang saling terkait dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang lain (sosial, politik, dan budaya). Aspek-aspek tersebut melahirkan sejarah, kelembagaan, pandangan hidup dan sebagainya yang khas. Sebuah kota dalam hubungan tata ruang meliputi hubungan ke dalam (internal relationship) dan hubungan ke luar (eksternal relationship), atau intra regional relationship dan inter regional relationship atau endogenious dan eksogenious. Berbagai faktor dapat menimbulkan dampak terhadap kondisi dan lingkungan suatu kota, berupa kemacetan-kemacetan di segala bidang dan pencemaran. Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi, seperti kemiskinan, kesehatan yang buruk, pendidikan yang rendah, transportasi yang
Abdul Kadir: Kebijakan Perencanaan Pembiayaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan…
31
tidak lancar, kekumuhan lingkungan pemukiman dan sebagainya. Adapun rincian dari masalahmasalah perkotaan adalah sebagai berikut: 1. masalah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan; 2. masalah pengangguran di wilayah perkotaan; 3. masalah pendapatan di wilayah perkotaan, baik pendapatan kota maupun pendapatan perkapita penduduk kota; 4. masalah pemanfaatan tanah (land use) dan nilai tanah; 5. masalah pengangkutan (transportasi); 6. masalah infrastruktur 7. masalah fasilitas pelayanan 8. masalah-masalah lain yang khas Semua masalah di atas dapat diangkat aspek ekonominya sebagai suatu aspek ekonomi yang khas, baik mikro maupun makro. Masalah kota di Indonesia dinilai lebih kompleks. Ada 3 (tiga) masalah pokok yang diidentifikasikan Sukanto, yaitu: a. Masyarakat kota di Indonesia masih memperlihatkan ciri-ciri masyarakat pedesaan yang lebih menonjol yaitu sikap acuh tak acuh. b. Masyarakat kota di Indonesia masih lemah dalam kesadaran hukum. c. Penegakan hukum masih lemah. Menurut Samuelson (1980) bahwa kota-kota tumbuh dengan pesat dan urbanisasi dipandang sebagai suatu proses yang saling menguntungkan antara desa dan kota. Namun sekitar abad 20-an, urbanisasi mulai dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Tingkat penghidupan di wilayah perkotaan tidak lagi dapat mempertahankan lingkungan yang layak dan sehat. Di Indonesia masih perlu mendorong pertumbuhan dan pembesaran kota-kota. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Artinya, aktifitas ekonomi di wilayah perkotaan perlu didorong dengan penawaran tenaga kerja yang cukup. Sektorsektor ekonomi perkotaan memang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dan kalau didorong perkembangannya akan mengangkat pendapatan rata-rata penduduk yang semakin meningkat. Dengan keterkaitan yang baik antara kegiatan ekonomi perkotaan dan pedesaan di sekelilingnya maka akan mendorong pula
32
peningkatan pendapatan rata-rata penduduk pedesan. Hal ini merupakan bagian dari rencana pembangunan, di mana dari waktu ke waktu jumlah penduduk yang berdiam di kota-kota akan didorong ke arah yang semakin seimbang dengan yang berdiam di wilayah pedesaan. Dalam sejarah perkembangan ekonomi makro keterkaitan wilayah ini telah menjadi dasar bagi berkembangnya perdagangan yang saling menguntungkan baik antar wilayah maupun diantara sub-sub wilayah sendiri baik disebabkan oleh adanya faktor perbedaan yang bersifat mutlak ataupun perbedaan sifat relatifnya, seperti perbedaan sumber daya, perbedaan biaya, dan perbedaan keuntungan (comparative advantage). Terdapat kurang lebih 1,9 – 2,2 milyar masyarakat di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin yang hidup pada wilayah perdesaan yang marginal, dengan kondisi ekologi yang mengkhawatirkan. Sebagian besar dari mereka bergantung pada sistem pertanian dengan hasil yang rendah (kurang dari 1 ton per hektar) dan memiliki tingkat resiko kegagalan yang tinggi dalam proses produksinya (Gubbels 2003). Pembangunan perdesaan merupakan proses yang dicirikan dengan keterlibatan sejumlah aktor pada berbagai sektor yang berbeda-beda seperti para petani, eksekutif pemerintahan, legislatif, serta para pelaku bisnis, dimana kesemuanya memberikan kekuatan penggerak pada pembangunan desa itu sendiri. Pembangunan di perdesaan akan bersifat khas antara satu dengan yang lainnya (European Rural Development 2003). Pembangunan perdesaan pada dasarnya lebih dari hanya sekedar membangun sektor pertanian. Strategi pembangunan perdesaan menitikberatkan pada upaya untuk membangun sektor pertanian yang lebih “sehat”. Tujuan utama dari pembangunan di perdesaan adalah: a. Menumbuhkan output dan pendapatan lokal. b. Penciptaan lapangan pekerjaan. c. Peningkatan distribusi pendapatan. d. Peningkatan kualitas hidup masyarakat. e. Pemberdayaan masyarakat (Schutjer 1991). Ciri-ciri pembangunan ekonomi perdesaan yang didasarkan pada prinsip
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
pembangunan ekonomi yang berbasiskan masyarakat (Carry 1970): a. Masyarakat sendiri yang membuat dan mengimplementasikan keputusan mengenai apa yang ingin dicapai dari pembanguna. b. Pembangunan didasarkan pada inisiatif dari masyarakat itu sendiri, (proses leadership). c. Masyarakat dapat menggunakan sumber daya yang berasal baik dari internal atau eksternal wilayah untuk mencapai perubahan yang dimaksud. d. Adanya partisipasi masyarakat (sistem yang demokrasi). e. Merupakan proses yang komprehensif. f. Perubahan pada masyarakat merupakan sesuatu yang penting sebagai dasar pencpaian tujuan yang diharapkan. Pertumbuhan pusat-pusat metropolitan yang besar selalu menghasilkan back wash effect kepada wilayah sekelilingnya. Trickling down effect dari modernisasi telah gagal meningkatkan kesejahteraan golongan miskin, khususnya mereka yang berada di pedesaan. Pertumbuhan ekonomi telah menyedot pendapatan wilayah (capital fligt from rurals to urbans) memang telah terbukti sebagai suatu kenyatan. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana dan sangat mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat perkotaan dan masyarakat perdesaan sangat jauh berbeda. Perbedaan yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut: 1. Tidak tersedianya sumber daya manusia dan sumber daya alam secara merata, termasuk di dalamnya kondisi fisik wilayah. 2. Terdapatnya keterbatasan prasarana dan sarana ekonomi seperti jalan, jembatan, pelabuhan (akses ke luar wilayah) energi listrik, lembaga keuangan, telekomunikasi dan lain sebagainya. 3. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi, biaya transportasi, pasar, pendidikan, kesehatan serta tekonologi dan lain sebagainya.
2. Saran 1. Perlunya program yang terperncana dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan baik di wilayah perkotaan maupun di perdesaan. Pembiayaan berupa konsorsium atau saling mendukung bersama secara bergulir dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di wilayah perkotaan atau perdesaan di dalam sektor-sektor unggulan yang merupakan suatu gagasan yang cerdas untuk di-action-kan oleh pemerintah daerah. 2. Perlunya pemerintah wilayah (provinsi) untuk menjembatani (turun langsung dalam setiap kebijakan perencanaan pembiayaan pembangunan dengan memperhatikan serta mengaplikasikan kehendak dari masyarakat dan bukan hanya membuat kebijakan perencanaan pembangunan melalui belakang meja) perbedaan yang terjadi antara perkembangan pembangunan di wilayah perkotaan dengan pembangunan yang ada di perdesaan. Agar terciptanya pembangunan yang berkelanjutan secara merata dan bukan tidak berlanjutnya pembangunan Daftar Pustaka Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia: Perspektif Ekonomi, Etika dan Praktis Kebijakan. Airlangga. Jakarta. Friedmann, J. 1992. “Empowerment: The Politics of Alternative Development.” Dalam Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah. Volume 1. Nomor 1. Edisi 2005. Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah. Volume 1. Nomor 1. Edisi 2005 Kamaluddin, Rustian. 1987. Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. Korten, F. 1985. “Community Participation: A Management Perspective on Obstackles and Options”. Dalam Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah. Volume 1. Nomor 1. Edisi 2005
Abdul Kadir: Kebijakan Perencanaan Pembiayaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan…
33
Mustopadidjaja, AR. 2003. Dimensi-Dimensi Pokok Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. LANRI. Jakarta. Syahrin, Alvi. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press. Tjiptoherijanto, Prijono. 2003. Kependudukan Birokrasi dan Reformasi Ekonomi. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Wirutomo, Paulus. 2003. Membangun Masyarakat “Adab”: Memanusiakan Manusia. CV. Cipruy, Jakarta Zen, M.T. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah: Memberdayakan Manusia. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah.
34
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
PENGELOLAAN TERPADU BANJIR KOTA MEDAN Gindo Maraganti Hasibuan, H.B. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Z. Abstrak Penanganan banjir kota Medan yang telah dilaksanakan selama ini difokuskan pada alur sungai saja (in-stream) yaitu Sungai Deli dan anak-anak sungainya, Sungai Percut inipun belum selesai secara keseluruhan (baru 50%) dari rencana, akibat adanya masalah pembebasan tanah dan belum menyentuh pada pengelolaan DAS (off-stream) terpadu, khususnya penanganan konsep tata ruang secara konsekuen, serta belum adanya kelembagaan yang mengelola banjir di kota Medan dan DAS Deli secara terpadu termasuk di dalamnya pengelolaan sampah sebaiknya Single Authority ataupun otoritas khusus mengingat Sungai Deli dan anak–anak sungainya merupakan lintas kabupaten/kota. Kata kunci: Banjir, Single authority, Floodway, Pengelolaan banjir terpadu, Pengelolaan DAS terpadu, Mitigasi Latar Belakang Kota Medan yang berpenduduk 2.210.743 jiwa ini pada malam hari dan hampir mencapai 2,6 juta jiwa pada siang hari (terdapat + 400 ribu jiwa sebagai commuters) memiliki luas wilayah 26.510 Ha (265,10 km2), atau 3,6% dari luas keseluruhan provinsi Sumatera Utara. Kota ini dilintasi Sungai Deli, Babura, Belawan, Percut dan anak-anak sungainya yang berpotensi sebagai saluran pembuangan air hujan untuk mengatasi banjir dan air limbah. Kejadian banjir di kota Medan yang hampir rata-rata 10-12 kali/tahun sangat dipengaruhi oleh kondisi DAS Deli dan DAS Belawan di daerah hulu. Mencakup kabupaten Karo, kabupaten Deli Serdang dan kota Medan, serta disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu: 1. banjir akibat kiriman dari daerah hulu dan 2. banjir di kota Medannya sendiri akibat kondisi drainase kota yang sangat buruk (poor drainage), (untuk jelasnya lihat Gambar 1). Bencana banjir di kota Medan sebagian besar terjadi di sepanjang Sungai Deli. Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dengan luas 481,62 km2 berawal dari pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian 1.725 m di atas permukaan laut hingga pantai Selat Malaka. Sungai Deli dengan panjang 75,8 km mengalir melalui kota Medan yang berada di bagian hilir DAS Deli dengan ketinggian berkisar 0–40 m di atas
permukaan laut. Sungai ini merupakan saluran utama yang mendukung drainase kota Medan dengan cakupan luas wilayah pelayanan sekitar 51% dari luas kota Medan. Terbatasnya peningkatan kapasitas Sungai Deli dengan metode perbaikan sungai oleh karena banyaknya bangunan, baik bangunan perumahan, perkantoran maupun industri di sepanjang sungai. Dari hasil studi yang telah dilaksanakan pada daerah SWS Belawan-Belumai-Ular melalui “The Study on Belawan-Padang Integrated River Basin Development” (JICA, 1992), terdapat luas daerah genangan + 9000 ha (lihat Gambar 2) yang terdiri dari daerah permukiman, industri dan areal transportasi yang semua ini terjadi antara lain disebabkan akibat penampang sungai/anak sungai melalui daerah potensial tersebut semakin kecil disebabkan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, bertambahnya aliran permukaan, kerusakan daerah tangkapan air di hulu sungai, dan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat di mana sering membuang sampah ke sungai/ anak sungai dan sangat minimnya biaya operasi dan pemeliharaan untuk bangunan drainase yang sudah ada, di antaranya adalah merekomendasikan upaya untuk pengendalian banjir kota Medan berupa pembuatan saluran banjir kanal (floodway). Kemudian studi dilanjutkan dengan “The Detailed Design Study on Medan Flood Control Project” (Departemen KIMPRASWIL, 2001). Dengan pembuatan banjir kanal (floodway) diharapkan akan
35
memotong puncak banjir pada Sungai Deli sebelum memasuki daerah kota Medan dan kemudian mengalirkannya sebahagian ke Sungai Percut. Penanganan masalah banjir kota Medan selama ini baru difokuskan pada bagian alur sungai saja (in-stream) dan belum menyentuh pada pengelolaan DAS (offstream) seperti pekerjaan perbaikan sungai (river improvement) dan pembangunan floodway yang tengah berlangsung saat ini dikerjakan oleh Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara Cq. Proyek Banjir Medan, baru mencapai 50%. Sedangkan penanganan drainase kota Medan dilakukan oleh Proyek Medan Metropolitan Urban Development Project (MMUDP) untuk drainase primer mencapai 75% dan Pemko Medan untuk drainase sekunder dan kota mencapai 100% (pekerjaan rutin setiap tahun). ILUSTRASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DLM DAS hujan
Wil. Administrasi A (Kab.Karo)
hujan
ura Bab gai Sun Sungai Deli
Wil. Administrasi B (Deli Serdang)
Wil. Administrasi C (Medan) Belawan
Gambar 1. Ilustrasi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam DAS Areal Areal Demonstrasi Demonstrasi Banjir Banjirdi di Kota KotaMedan Medan ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1 ATM.1
ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2 ATM.2
RAYA RAYA RAYA IUM IUM IUM RAYA RAYA RAYA IUM IUM IUM RAYA RAYA RAYA JL.ALUMIN JL.ALUMIN JL.ALUMIN IUM IUM IUM JL.ALUMIN JL.ALUMIN JL.ALUMIN JL.ALUMIN JL.ALUMIN JL.ALUMIN
UJUNG UJUNG UJUNG JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU UJUNG UJUNG JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU UJUNG JL.KRAKATAU UJUNG UJUNG UJUNG JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU
OO O ORS OO RSRS OO ORS RS RS DADA DA RSRS RS DA DA DA SUSU SU DA DA DA SU S SSU SSU SYO SU S SSUSU YOYO SS SYO YO YO JL. JL. JL. YOYO YO JL. JL. JL. JL.JL. JL.
SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5 SDel.5
SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4 SDel.4
Jl.Jl.Jl. Jl.Pel Jl.Jl.Pel Pel Jl.Pel Jl.Jl.Pel Pel itaita ita Pel Pel Pel itaita ita itaitaita SPelita SPelita SPelita SPelita SPelita SPelita SPelita SPelita SPelita
JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU JL.KRAKATAU
JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL JL.BILAL
SK.3 SK.3 SK.3 SK.3 SK.3 SK.3 SK.3 SK.3 SK.3
SK.2 SK.2 SK.2 SK.2 SK.2 SK.2 SK.2 SK.2 SK.2
Areal demonstrasi Sujono
SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5 SBdr.5
JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA UJUNG UJUNG UJUNG JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA UJUNG UJUNG UJUNG JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA UJUNG UJUNG UJUNG
Rel Rel el Medan-Binj KA M edan-B KA R Medan-Binjai K A ai injai RA Rel Rel el Medan-Binj KA M edan-B injai KA K Medan-Binjai ai RA Rel Rel el Medan-Binj KA M edan KA K Medan-Binjai -B ai injai
SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA JL.GAPERTA
JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA
Bela w an Sei Belawan Belawan Sei Sei
Bela w an Sei Belawan Belawan Sei Sei
Bela w an Sei Belawan Belawan Sei Sei
SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3 SBdr.3
AC.3 AC.3 AC.3 AC.3 AC.3 AC.3 AC.3 AC.3 AC.3
JL .D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK JL .D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK JL .D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK JL.D.SINGKARAK
Jl.Jl.Jl. Perkutut Perkutut Perkutut Perkutut Jl.Jl.Jl. Perkutut Perkutut Perkutut Jl.Jl.Jl. Perkutut Perkutut
SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5 SSik.5
SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4 SBambu.4
AC.1 AC.1 AC.1 AC.1 AC.1 AC.1 AC.1 AC.1 AC.1
JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA JL.ASRAMA
JL.PINANG JL.PINANG JL.PINANG BARIS BARIS BARIS JL.PINANG JL.PINANG JL.PINANG BARIS BARIS BARIS JL.PINANG JL.PINANG JL.PINANG BARIS BARIS BARIS
SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2 SBdr.2
SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4 SBdr.4
SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7 SSik.7
JL.KAPTEN JL.KAPTEN JL.KAPTEN JL.KAPTEN JL.KAPTEN JL.KAPTEN MUSLIM MUSLIM MUSLIM MUSLIM JL.KAPTEN JL.KAPTEN JL.KAPTEN MUSLIM MUSLIM MUSLIM MUSLIM MUSLIM
SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4 SSik.4
Ma Ma M ak kro kro ro
Ma kro Ma kro M ak ro Ma Ma M kro kro ak ro
SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3 SSik.3
JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT SUBROTO SUBROT SUBROTO O JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT SUBROT SUBROTO SUBROTO O JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT JL.JEND.GATOT SUBROTO SUBROT SUBROTO O
SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 SP.6 Pabrik Jl.Jl. Pabrik Pabrik Jl. Tenu Tenun Tenun n Jl.Jl. Jl. Pabrik Pabrik Pabrik Tenun Tenun Tenu n Jl. Jl.Jl. Pabrik Pabrik Pabrik Tenun Tenu Tenun n
JL.D.I JL.D.I.PAN JL.D.I.PANJAITAN .PA NJAITAN JAITAN
JL.D.I . PA NJAITAN JL.D.I.PANJAITAN JL.D.I.PAN JAITAN
JL.D.I.PAN JL.D.I.PANJAITAN JL.D.I . PA NJAITAN JAITAN
JL.K.H.WAHID JL.K.H.WAH JL.K.H.WAH H ASYIM ID H ASYIM ID HASYIM
SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2 SPerpus.2
SBamb SBambu.1 SBambu.1 u.1 SBamb SBambu.1 SBambu.1 u.1 SBamb SBambu.1 SBambu.1 u.1 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4 PMas.4
PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3 PMas.3
SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3 SDel.3
SK.5 SK.5 SK.5 SK.5 SK.5 SK.5 SK.5 SK.5 SK.5
SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1 SBAmln.1
SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5 SBbr.5
SK.6 SK.6 SK.6 SK.6 SK.6 SK.6 SK.6 SK.6 SK.6
SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2 SDel.2
SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1 SBVhr.1
SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBbr.4 SBGub SBGub SBGub SBGub SBGub SBGub SBGub SBGub SBGub
JL.ABDULLAH JL.ABDUL JL.ABDULLAH LAHLUBIS LUBIS LUBIS JL.ABDUL JL.ABDULLAH JL.ABDULLAH LAHLUBIS LUBIS LUBIS JL.ABDUL JL.ABDULLAH JL.ABDULLAH LAHLUBIS LUBIS LUBIS
JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI JL.SETIABUDI
PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 PMar.1 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4 SK.4
SBambu.3 SBambu.3 SBamb u.3 SBambu.3 SBambu.3 SBamb u.3 SBambu.3 SBambu.3 SBamb u.3
SBbr.2 SBbr.2 SBbr.2 JL.GAJAH JL.GAJAH JL.GAJAH SBbr.2 SBbr.2 MADA SBbr.2 MADA MADA JL.GAJAH JL.GAJAH JL.GAJAH SBbr.2 SBbr.2 MADA SBbr.2 MADA MADA JL.GAJAH JL.GAJAH JL.GAJAH MADA MADA MADA
SP.2 SP.2 SP.2 SP.2 SP.2 SP.2 SP.2 SP.2 SP.2
JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR MUDA MUDA MUDA JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR MUDA MUDA MUDA JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR JL.ISKANDAR MUDA MUDA MUDA
Sei BENGAWAN Sei BENGAWAN Sei BENGAWAN Sei Sei Sei BENGAWAN BENGAWAN BENGAWAN Sei BENGAWAN Sei BENGAWAN Sei BENGAWAN
JL.K.H.WAH ID H ASYIM JL.K.H.WAHID JL.K.H.WAH ID HASYIM H ASYIM JL.K.H.WAH JL.K.H.WAH JL.K.H.WAHID H ASYIM ID H ASYIM ID HASYIM
JL.R JL.R JL.R JL.R JL.R JL.R AYA AYA AYA JL.R JL.R JL.R AYA AYA AYA SUN SUN SUN AYA AYA AYA SUN SUN SUN GGA GGA GGA SUNG SUNG SUNG GGA GGA GGA LLL GAL LLL GAL GAL
JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM JL.DARUSSALAM
JL.GAGAK JL.GAGAK JL.GAGAK HITAM HITAM HITAM JL.GAGAK JL.GAGAK JL.GAGAK HITAM HITAM HITAM JL.GAGAK JL.GAGAK JL.GAGAK HITAM HITAM HITAM
SP.3 SP.3 SP.3 SP.3 SP.3 SP.3 SP.3 SP.3 SP.3
JL.SEI BATANGHARI JL.SEI JL.SEI BATANGHARI BATANGHARI JL.SEI JL.SEI JL.SEI BATANGHARI BATANGHARI BATANGHARI JL.SEI JL.SEI JL.SEI BATANGHARI BATANGHARI BATANGHARI SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1 SSik.1
LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.2 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1 LD.1
SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SBKera.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1 SDel.1
OOO TO TO TO SUBROT SUBROT SUBROT TOSBGS.2 TO TO OT OT SBGS.2 SBGS.2 SUBRO TSUBRO TSUBRO TOT SBGS.2 SBGS.2 SBGS.2 SUBRO SBGS.2 JL.GAT JL.GAT JL.GATTTSUBRO TSUBRO SBGS.2 SBGS.2 SBGS.1 SBGS.1 SBGS.1 JL.GATO JL.GATO JL.GATO SBGS.1 SBGS.1 JL.GATO JL.GATO JL.GATO SBGS.1 SBGS.1 SBGS.1 SBGS.1 SP.4 SP.4 SP.4 SP.4 SP.4 SP.4 SBGS.3 SBGS.3 SBGS.3 SP.4 SP.4 SP.4 SBGS.3 SBGS.3 SBGS.3 SBGS.3 SBGS.3 SBGS.3
SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SP.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 SBdr.1 Jl.Jl.Jl. Kasuari Kasuari Kasuari Jl.Jl.Jl. Kasuari Kasuari Kasuari Jl.Jl.Jl. Kasuari Kasuari Kasuari
PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2 PMar.2
SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2 SBKera.2
SDmr SDmr SDmr SDmr SDmr SDmr SDmr SDmr SDmr
SP.5 SP.5 SP.5 SP.5 SP.5 SP.5 SP.5 SP.5 SP.5
JL.GATOT JL.GATOT JL.GATOT SUBROTO SUBROTO SUBROTO JL.GATOT JL.GATOT JL.GATOT SUBROTO SUBROTO SUBROTO JL.GATOT JL.GATOT JL.GATOT SUBROTO SUBROTO SUBROTO
SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2 SSik.2
PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3 PMar.3
SBambu.2 SBambu.2 SBamb u.2 SBamb SBambu.2 SBambu.2 u.2 SBambu.2 SBambu.2 SBamb u.2
PPP PPP EKI EKI EKI IP IPIP EKI EKI EKI JL.S JL.S JL.S SEK SEK SEK JL.S JL.S JL.S JL. JL. JL.
AC.2 AC.2 AC.2
AC.2 AC.2 AC.2 JL.JE JL.JE JL.JE AC.2 AC.2 AC.2 JL.JE JL.JE JL.JE ND.G ND.G ND.G JL.JE JL.JE JL.JE ND.G ND.G ND.G ATOT ATOT ATOT ND.G ND.G ND.G ATOT ATOT ATOT ATOT SUBR SUBR ATOT ATOT SUBR SUBR SUBR SUBR SUBR OTO OTO SUBR SUBR OTO OTO OTO OTO OTO OTO OTO
PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4 PMar.4
SK.1 SK.1 SK.1 SK.1 SK.1 SK.1 SK.1 SK.1 SK.1
SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6 SSik.6
SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SMisbah.1 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2 SBVhr.2
JL.SEI ASAHAN JL.SEI JL.SEI ASAHAN ASAHAN JL.SEI ASAHAN JL.SEI ASAHAN JL.SEI ASAHAN JL.SEI ASAHAN JL.SEI ASAHAN JL.SEI ASAHAN
SBAmln.3 SBAmln SBAmln.3 .3 SBAmln.3 SBAmln.3 SBAmln .3 SBAmln.3 SBAmln SBAmln.3 .3
PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.1 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2 PMas.2
SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2 SBAmln.2
JL .SEI JL.SEI JL.SEI PADANG PADANG PADANG PADANG PADANG JL .SEI JL.SEI PADANG JL.SEI PADANG PADANG PADANG JL .SEI JL.SEI JL.SEI
Areal demonstrasi Jalan Asia
JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR JL.Dr.MANSYUR SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1 SSel.1
SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 SBHalat.2 JL.PELANG JL.PJL.PELA ELAI NGI NGI JL.PELANG JL.PJEL L.PELA AI NGI NGI JL.PELANG JL.PJL.PELA ELAI NGI NGI
JL.STM JL.STM JL.STM
JL.STM JL.STM JL.STM
SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1 SBtn.1
Jl. Jl. A Jl. Alfa A lfalah lfalah lah
JL.SISINGAM JL.SI JS L.SISING IN GAM A NGAR ANG AM ANG AJ ARA A ARAJA JA
Legend JL.SISINGAM JL.SI JL.SISING S IN GAM A NGAR ANG AM ANG ARA AJ A ARAJA JA JL.SISINGAM JL.SI JS L.SISING IN GAM A NGAR ANG ARA AM ANG AJ JA A ARAJA
JL.STM JL.STM JL.STM
JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN KATAMSO KATAMSO KATAMSO JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN KATAMSO KATAMSO KATAMSO JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN JL.BRIGJEN KATAMSO KATAMSO KATAMSO
SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1 SBHalat.1
SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1 SBbr.1
A lfalah Jlfl.alah Jl. A Jl. Alfa lah
Flooded areas 10 Sept 2003
A lfalah Jl. lfalah Jl. A Jl. Alfa lah
Jl. Suk Jl. a SJl. Suka uka Pura PuraPura
JL.BRIGJ J L.BR J L.BRIGJ IG J EN KEN KATAM ENK J L.BR J L.BRIGJ JL.BRIGJ ATAMSO AT IG JEN EN AM SO SO EN J L.BR J L.BRIGJ K ATKATAM JL.BRIGJ K ATAMSO IG JEN EN AM SO SO EN K ATAMSO K ATKATAM AM SO SO
Witteveen+Bos
SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1 SPos.1
Areal demonstrasi Dr Mansyur
Jl. S uk a Jl. Suk a Jl. Suka PuraPura Pura Jl. Suk Jl. a SJl. ukSuka Pura a PuraPura
SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1 SSls.1
SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2 SBtn.2
0
1
2
JL.SISING JL.SISING JL.SISING JL.SISING JL.SISING JL.SISING AMANGA AMANGA JL.SISINAMANGA JL.SISIN JL.SISIN AMANGA AMANGA AMANGA SMRaja.2 SMRaja.2 SMRaja.2 RAJA RAJA GAMANGRAJA GAMANG GAMANG SMRaja.2 SMRaja.2 SMRaja.2 RAJA RAJA RAJA ARAJA ARAJA ARAJA SMRaja.2 SMRaja.2 SMRaja.2
3 km
SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1 SMRaja.1
Gambar 2 Areal Demonstrasi Banjir di Kota Medan
36
Dari ketiga institusi yang ada yaitu Proyek Banjir Medan, Proyek MMUDP dan Pemko Medan masih belum ada koordinasi yang baik menyangkut pembangunan maupun khususnya pemeliharaan sungai dan drainase di kota Medan yang berakibat tidak jelas siapa mengerjakan apa dan tanggung jawabnya apa. Akibat daripada ini jika terjadi banjir baik di sungai maupun drainase, ketiga instansi/lembaga saling menyalahkan. Sebenarnya secara struktural ada UPT/Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Belawan – Belumai – Ular Dinas Pengairan Sumatera Utara yang mengurus masalah Operasi dan Pemeliharaan (OP) sungai di wilayah ini demikian juga dengan Balai Pengelolaan DAS Wampu – Ular yang mengurus masalah konservasi hutan pada DAS Deli, namun pada kenyataannya kedua Balai ini tidak kelihatan fungsinya, apakah hal ini disebabkan tidak tersedianya dana OP dimaksud dan dana untuk pengelolaan DAS Deli Hulu. Permasalahan Yang menjadi permasalahan dalam penanganan banjir di kota Medan adalah belum adanya institusi pengelola banjir terpadu di kota Medan dan institusi pengelola DAS Deli terpadu, sehingga tidak jelas pembagian tugas antar-instansi terkait khususnya penanganan DAS hulu, DAS tengah dan tanggung jawab untuk OP untuk sungai utama, anak sungai, drainase tersier/kota dalam upaya mengurangi banjir di kota Medan dan belum adanya peranserta masyarakat untuk memelihara drainase di lingkungannya Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut: 1. Mengusulkan perlunya dibentuk kelembagaan atau institusi pengelola terpadu banjir kota Medan dan DAS Deli. 2. Melihat sejauh mana pengaruh dan fungsi Medan Flood Control terhadap tata air dan pengurangan banjir di kota Medan dengan: a. Sebelum dan sesudah adanya Medan floodway. b. Perbaikan dan pengaturan sungai dan anak sungai Deli dan anak– anak sungainya.
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
3.
4.
c. Review Perencanaan dan penanganan drainase kota Medan. Mengusulkan komitmen Pemprovsu dan Pemko Medan untuk mengalokasikan biaya pemeliharaan sungai dan drainase di kota Medan. Upaya memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan drainase di lingkungannya masing-masing dan kota Medan secara umumnya.
Analisis dan Pembahasan Dari uraian di depan bahwa kejadian banjir di kota Medan sangat dipengaruhi oleh kondisi DAS Deli, kondisi drainase yang sangat buruk di kota Medan serta belum adanya lembaga terpadu untuk pengelolaan banjir kota Medan dan DAS Deli. Selanjutnya perlu kita bahas hal-hal sebagai berikut: 1. Land Use Planning dan Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Aliran Berdasarkan data penggunaan DAS Deli (Arli, 1998), kelihatan bahwa dari segi tata ruang sudah menyalahi aturan yang berlaku di mana seharusnya luas hutan sesuai UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah 30% dari luas DAS (48,162 ha) seharusnya 16.000 ha, kenyataannya hanya bersisa 3.655 ha (7,59%), malahan luas tanaman campuran mencapai 16.000 ha, perlu dilakukan review penataan ruang dan land use pada DAS deli ini, untuk lebih jelasnya lihat Tabel 1. Tabel 1. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli Kelas Hutan Belukar Kebun Rakyat Kebun Coklat/Kelapa Sawit/Kelapa Sawah Tanaman Campuran Tegalan Perkebunan Tembakau Alang – alang Rawa Pemukiman Lain – lain Jumlah DAS Deli
Luas (Ha)
Luas (%)
3.655 2.068 285
7,59 4,29 0,59
2.284
4,74
8.143 16.154 1.836 5.628 479 69 5.374 2.187 48.162
16,91 33,54 3,81 11,69 0,99 0,14 11,16 4,54 100
Menurut Kivell, lahan sebagai kekuatan dan lahan sebagai basis dari sistem perencanaan (land as the basis of the planning system) dan lahan sebagai lingkungan (land as environment) yang kalau kita lihat jika hal ini kita terapkan dalam pelaksanaan land use planning maka susunan tabel di atas dapat sesuai dengan UU tentang Kehutanan tersebut. Perubahan tata guna lahan, urbanisasi, penebangan hutan atau penghutanan kembali mempengaruhi aliran sungai dan menyebabkan perubahan aliran nyata (Linsley, 1989). Sementara menurut Chow (1988), laju urbanisasi membawa pengaruh langsung pada masalah kepadatan penduduk dan kerapatan bangunan. Kerapatan bangunan meningkat maka luasan daerah yang kedap air menjadi besar sehingga volume aliran permukaan menjadi naik dan laju infiltrasi menjadi menurun secara proporsional. Dampak yang diakibatkan dengan meningginya volume limpasan langsung adalah debit puncak (peak discharge) menjadi besar yang selanjutnya menimbulkan masalah banjir pada musim penghujan. 2. Aspek Lingkungan Perkotaan dan Masalah Kota di Indonesia Dalam lingkup tanggung jawab pemerintah dan komisi perencanaan kota, analisis dampak lingkungan merupakan suatu alat yang sangat kuat untuk mempersatukan berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. Menurut Afifuddin (2002) lingkungan memiliki definisi: “agregat (kumpulan) dari seluruh kondisi eksternal dan pengaruh-pengaruh”, maka lingkungan menjadi bahan pertimbangan yang tidak dapat diabaikan dalam perencanaan kota. Karenanya lembagalembaga pemerintah hendaknya waspada terhadap konsekuensi lingkungan atas usulan-usulan kegiatan dan proyek serta konsekuensi tersebut dipahami sebagai bagian integral dari keputusan dan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Masalah kota di Indonesia dinilai lebih komplek. Ada tiga masalah pokok yang diidentifikasikan Sukanto (2001), yaitu: a. Masyarakat kota di Indonesia masih memperlihatkan ciri-ciri masyarakat pedesaaan yang lebih menonjol yaitu sikap acuh tak acuh.
Gindo Maraganti Hasibuan, H.B. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Z.: Pengelolaan Terpadu Banjir Kota Medan
37
b. Masyarakat kota di Indonesia masih lemah dalam kesadaran hukum. c. Penegakan hukum masih lemah. Pada butir b dan c, hal ini merupakan hal yang penting di kota Medan dikarenakan masih banyak masyarakat yang bermukim di bantaran sungai/anak sungai akibat pendapatan yang pas-pasan dan mahalnya harga tanah di kota, yang seharusnya berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No.5 Tahun 1995 tentang garis sempadan sungai dilarang bermukim di bantaran sungai/anak sungai di samping dapat mengganggu kapasitas pengaliran sungai juga berbahaya jika sewaktu-waktu sungai banjir. Demikian juga dengan kondisi drainase yang sangat buruk/dangkal dan kadang-kadang penuh sampah di hadapan rumah-rumah penduduk yang bilamana hujan turun akan penuh dengan aliran, akhirnya menjadi banjir dan tergenang yang sebenarnya jika mereka sadar harus ikut memelihara sebagai bagian menjaga lingkungan di sekitarnya. 3. Aspek Manajemen Tata Air Kota Medan Saat Ini Berdasarkan studi JICA (1996) untuk mengurangi debit banjir Sungai Deli dan anak-anak sungainya yang melalui kota Medan (banjir kiriman) dan mengurangi masalah genangan akibat poor drainage di kota Medan (hujan lokal) dilakukan pelaksanaan sebagai berikut: a. Membangun floodway dan perbaikan serta pengaturan Sungai Deli dan anakanak sungainya (diharapkan dengan adanya floodway ini akan mengurangi debit banjir Sungai Deli ± 120 m3/detik dari debit banjir Q 15 tahunan (315 m3/detik), diharapkan dapat menurunkan tinggi muka air Sungai Deli yang sangat berguna bagi masyarakat yang tinggal di Sungai Deli hilir. Namun akibat ada masalah pembebasan tanah, realisasi fisik baru mencapai 50%). Dengan selesainya Medan floodway diperkirakan adanya dampak mitigasi terhadap perekonomian kota Medan ± Rp 200 miliar/banjir atau Rp 2–2,4 triliun/tahun (frekuensi terjadinya banjir 10–12 kali/tahun). b. Membangun drainase primer dan sekunder kota Medan oleh Proyek MMUDP saat ini realisasi fisik mencapai
38
75%, namun banyak permasalahan akibat slop drainase tidak sesuai dengan rencana. c. Drainase tersier dan kota oleh Pemko Medan merupakan pekerjaan rutin tahunan. d. Pengelolaan DAS hulu dan tengah, seharusnya oleh Dinas Kehutanan Prov. SU, namun belum dilaksanakan, sehingga masalah sedimentasi dari hulu terus meningkat berakibat pekerjaan normalisasi yang dilakukan Proyek Banjir Medan dalam waktu 5-10 tahun ke depan akan dipenuhi oleh sedimen kembali. Pada kenyataannya perencanaan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh ketiga lembaga/instansi di atas belum terkoordinasi dan terpadu, menyebabkan implementasi dan pelaksanaan maupun pemeliharaan sungai dan bangunan sungai/drainase yang sudah dibangun tidak dapat dilaksanakan dengan baik, tidak jelas siapa mengerjakan apa dan tanggung jawabnya apa. Sebagai contoh kondisi drainase Jl. Asia (lihat Gambar 5), karena tidak ada pemeliharaan oleh Pemko Medan untuk drainase kotanya (malahan tertutup sedimen dan batu) dan Sungai Keranya urusan Provinsi, demikian juga pemeliharaan Sungai Selayang dan Sungai Putih, seharusnya tanggung jawab Dinas Pengairan Prov. SU dan drainase kotanya sendiri merupakan tanggung jawab Pemko Medan, mengapa tidak menjadi tanggung jawab bersama? Padahal menurut Anwar (2004) kelembagaan mempunyai arti sebagai aturan main (rules of the game), organisasi yang melaksanakan rules of the game, yang artinya bila organisasi itu mengerti apa tugas pokok dan fungsinya, maka berjalanlah organisasi itu dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. 4. Aspek Operasi dan Pemeliharaan (OP) Menurut Ramu (1998) bahwa untuk biaya operasi pemeliharaan tahunan bangunan pengairan diperlukan dana + 4% dari investasi yang pernah diinvestasikan pada suatu konstruksi dengan pembagian sebagai berikut: √ √ √ √
Operasi Pemeliharaan Bencana alam dan raktifikasi Total
0,7% 1,3% 2,0% 4,0%
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 2. Perbandingan Belanja Publik 5 Dinas Selama 5 Tahun Terakhir DINAS KESEHATAN
DINAS KOPERASI
DINAS PENDIDIKAN
TOTAL ANGGARAN 4 DINAS
DINAS PERTAMANAN
9.289.726.000
231.840.000
18.520.000
4.604.991.000
14.145.077.000
6.376.521.000
2002
26.938.727.000
2.718.875.000
20.368.000
4.475.038.000
34.153.008.000
11.288.715.000
2003
60.401.222.000
6.804.468.000
105.492.000
3.013.366.000
70.324.548.000
96.782.872.300
2004
37.005.058.500
4.012.000.000
2.137.712.600
14.182.719.000
57.337.490.100
119.835.362.039
2005
38.539.581.750
5.075.000.000
525.000.000
18.147.805.000
62.287.386.750
114.096.853.954
APBD THN
DINAS PU
2001
Sumber: Panitia Anggaran DPRD Medan 2005
Sebagai informasi dana yang sudah diinvestasikan untuk Sungai Deli dan anakanak sungainya adalah ± Rp 500 miliar demikian juga dana yang sudah diinvestasikan untuk drainase kota Medan baik MMUDP maupun Pemko Medan adalah sebesar Rp 500 Juta, sehingga total investasi adalah ± Rp 1 triliun. Berdasarkan teori Ramu di atas Pengairan harus menyediakan dana OP tahunan sebesar Rp 20 miliar, pada kenyataan hanya tersedia Rp 1 miliar/tahunnya dan Pemko Medan yang seharusnya dana OP tahunan adalah Rp 20 miliar hanya tersedia Rp 3 miliar/tahunnya. Dari Tabel 2 di atas seharusnya belanja publik Dinas PU harus lebih besar dari Dinas lainnya di mana untuk Dinas PU rata-rata dialokasikan Rp 38 milyar/pertahunnya harus ditingkatkan menjadi Rp 75 s.d. 80 milyar/tahun dengan sasaran dana sejumlah Rp 37 s.d. 40 milyar dapat digunakan untuk dana operasi pemeliharaan drainase di kota Medan. Jika ini dilaksanakan maka akan terjadi pengurangan yang signifikan terhadap genangan banjir di kota Medan, tidak seperti saat ini belanja publik Dinas Pertamanan yang justru sangat menyolok. 5.
Aspek Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pemeliharaan Drainase dan lzingkungan Menurut Argo (2005); Pengembangan komunitas (community development); pembangunan yang dimulai dengan masyarakat menyatakan keinginannya untuk masa depannya. Jadi pada prinsipnya bahwa setiap pembangunan baik fisik, non-fisik perlu sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat agar masyarakat terlibat di dalam
proses pembangunan dan proses pemeliharaan setelah pembangunan itu selesai. Sehingga peran fasilitator dalam pembangunan masyarakat, sebagai yang diinformasikan Korten (1994), peran fasilitator dalam pembangunan masyarakat dimulai dengan: a. donor, charity; b. memberikan setelah mengenali kebutuhan masyarakat yang akan menguntungkan mereka; c. membantu dalam kesejahteraan masyarakat dengan turut merencana masa depan masyarakat; d. terlibat dalam tindak politis. Pada kenyataan di lapangan pada saat Kelompok I Mahasiswa Program Doktor Perencanaan Wilayah USU melakukan penelitian dalam rangka tugas Perencanaan Wilayah di kota Medan pada Bulan Mei 2005 yang lalu, ternyata masyarakat tidak peduli dengan kondisi drainase yang ada di depan rumah ataupun lingkungannya yang rata-rata kedalaman hanya 10 cm di mana pada awalnya kedalaman drainase adalah 60 cm, akibat daripada minim atau tidak adanya pemeliharaan maka sedimen atau sampah masuk di dalamnya, yang berakibat jika hujan turun 1 jam saja maka akan terjadi banjir atau genangan di lokasi ini. Hasil wawancara dengan masyarakat di lokasi Jl. Garuda Raya bahwa aparat Pemerintah Kecamatan/Desa khususnya Kepala Lingkungan tidak berperan untuk melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi menangani OP drainase, padahal mereka siap bergotong royong dan siap membayar iuran.
Gindo Maraganti Hasibuan, H.B. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Z.: Pengelolaan Terpadu Banjir Kota Medan
39
Konsep dan Penanggulangan 1. Membuat Master Plan Mitigasi Banjir Kota Medan (Sungai dan drainase Kota) melalui Perencanaan Wilayah Sungai Deli Terpadu dan Menyeluruh Dari hasil pembahasan di depan dan hasil penelitian bahwa kejadian banjir di kota Medan disebabkan antara lain minimnya biaya pemeliharaan drainase yang ada, tidak adanya peranserta masyarakat untuk ikut memelihara drainase tersebut, kurangnya koordinasi dan tanggung jawab masing-masing instansi yang menangani masalah banjir (baik akibat meluapnya sungai dan drainase kota), adanya perubahan tata ruang pada DAS hulu dan banyaknya daerah retensi sawah berubah menjadi permukiman. Karenanya perlu dilakukan perencanaan wilayah sungai yang holistik, terpadu dan menyeluruh yang melibatkan semua stakeholder dari hulu sampai dengan hilir. Menurut Bachtiar (2005) khususnya perencanaan penggunaan ruang wilayah tercakup pada kegiatan perencanaan tata ruang antara lain: perencanaan river basin, pengelolaan dan pengendalian banjir, drainase kota, land use planning dan sebagainya. Menurut Penulis sendiri perencanaan wilayah adalah tahapantahapan kegiatan terkoordinir untuk mencapai tujuan tertentu pada waktu tertentu berorientasi ke masa depan dalam satu wilayah dan karenanya melalui makalah ini Penulis mengusulkan perlunya membentuk kelembagaan terpadu banjir kota Medan dan DAS Deli untuk mitigasi banjir kota Medan dengan melaksanakan konsep Perencanaan Wilayah Sungai (DAS) Deli terpadu dan menyeluruh (integrated dan komprehensif). Ad.a. Untuk DAS Deli hulu dalam rangka konservasi perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1). Review konsep tata ruang yang sesuai dengan RUTR Provinsi/Kabupaten. 2). Rehabilitasi hutan dan lahan terdiri dari: a) Reboisasi (Dinas Kehutanan) b) Penghijauan yang terdiri dari: - Hutan Rakyat - Civil Works (Cekdam, Dam, turus
40
jalan, kolam resapan, dll.). Ad.b. Alternatif rencana untuk mitigasi banjir akibat banjir kiriman di kota Medan adalah sebagai berikut: 1) Membangun Lau Simeme Dam di hulu Sungai Deli, namun memerlukan banyak pembebasan tanah yang sulit dilakukan, sehingga dijadikan untuk program jangka panjang, namun untuk jangka pendeknya melaksanakan perbaikan dan pengaturan Sungai Deli, Babura dan anak-anak sungainya. 2) Melanjutkan pembangunan Medan floodway (yang saat ini dalam proses pelaksanaan) dapat mengurangi 1/3 debit banjir Sungai Deli (± 120 m3/detik) di lokasi Titi Kuning untuk dialirkan ke Sungai Percut dengan prakiraan tinggi muka air Sungai Deli akan berkurang, sangat bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Deli bagian hilirnya. Namun saat ini baru mencapai 50% akibat adanya masalah pembebasan tanah. Ditambah melaksanakan perbaikan dan pengaturan Sungai Deli dan anak-anak sungainya. Saat ini baru mencapai < 50%, sehingga harus tetap dilanjutkan (alternatif 2 adalah yang dilaksanakan oleh Proyek Banjir Medan saat ini). Ad.c. Prinsip perencanaan kawasan di tepi Sungai Deli, Babura dan anak-anak sungainya. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk menyebabkan penggunaan lahan di kawasan tepi air ikut dimanfaatkan antara lain untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, komersial, agrobisnis, permukiman, transportasi dan pelabuhan. Kawasan tepi air memiliki karakteristik/keunikan dan amat bervariasi tergantung dari keadaan geografis, sejarah, budaya, kepentingan politik dan berbagai potensi yang dimiliki oleh kota tersebut. Khusus banyaknya permukiman penduduk/lokasi komersial di sepanjang bantaran Sungai Deli, Babura dan anak-anak sungainya harus memenuhi Perda No.5 Tahun 1995 Pemda Sumut tentang Garis Sempadan harus mempunyai garis sempadan 5-15 m untuk melewatkan debit banjir dan sebagai jalan inspeksi dalam upaya menata lingkungan/kebersihan dan utamanya
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 3. Perkiraan Pendapatan dari Retribusi PDAM, PLN dan PBB setiap tahunnya PDAM
PLN
PBB
Jumlah Rp
298,809
393,890
253,000
-
Perkiraan Dana yg didapat pertahun asumsi @Rp 5000,-/bln/pelanggan
17,928,540,000
23,633,400,000
1,265,000,000
42,826,940,000
Perkiraan Dana yg didapat pertahun asumsi @Rp 10,000,-/bln/pelanggan
35,857,080,000
47,266,800,000
2,530,000,000
85,653,880,000
Jumlah Pelanggan / Konsumen
Sumber: PDAM Tirtanadi Medan, PLN, dan PBB Medan (2005) dan data diolah.
penyelamatan jiwa manusia. Prinsip perancangan kawasan tepi air ini menurut Isfa (2003) dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengembangan kawasan khususnya pembangunan baru kawasan tepi air, tapi tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan wacana bagi pembangunan kembali (redevelopment) atau konservasi. Ad.d. Review perencanaan dan penanganan drainase kota Medan. Untuk hal ini diperlukan review dimensi drainase yang ada di kota Medan dan peranserta masyarakat untuk memelihara saluran drainase di lingkungannya dan tidak membuang sampah ke drainase. 2.
Usul Pembiayaan Dana Operasi dan Pemeliharaan (OP) Tahunan Seperti yang sudah dibahas di depan bahwa pekerjaan drainase Proyek MMUDP telah selesai 75% dan Dinas PU Medan telah selesai 100%, sedangkan pekerjaan sungai dan anak-anak Sungai Deli baru mencapai 50%. Guna kelestarian sarana dan prasarana yang sudah dibangun diperlukan sharing dana OP ± Rp 50 miliar/tahun yang merupakan persentase 4% dari nilai aset drainase yang sudah dibangun, diasumsikan telah mencapai ± Rp 1 triliun dengan alokasi sebagai berikut: • Rp 25 miliar sharing Pemprovsu untuk OP Sungai Deli dan anak-anak sungainya. • Rp 25 miliar sharing Pemko Medan untuk OP Drainase kota Medan. Hal ini perlu menjadi perhatian khususnya Pemko Medan yang jika kita lihat pada Aspek OP kondisi saat ini di depan dana untuk Dinas Pertamanan mencapai Rp 114 miliar/tahun dibandingkan dengan dana
Dinas PU hanya Rp 38 miliar/tahun. Untuk itu perlu suatu kebijakan publik dan politik agar dana PU ditingkatkan menjadi Rp 75–80 miliar/tahun, dimana dana sebesar Rp 37–40 miliar dapat digunakan untuk dana pemeliharaan drainase kota Medan. Jika ini terealisir akan terjadi perubahan yang signifikan pada pengurangan banjir di kota Medan. Alternatif lain untuk mencari dana OP drainase dan sungai di kota Medan adalah dengan cara masyarakat ikut dilibatkan membiayai OP sebagai berikut: 1. Setiap rumah tangga/toko/hotel/industri /instansi diwajibkan membayar retribusi banjir di kota Medan atau; 2. Mengambil kontribusi dengan asumsi Rp 5.000 s.d. Rp 10.000,- /pelanggan/bulan untuk PDAM, PLN. Sedangkan untuk PBB/tahun dengan perhitungan seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dengan asumsi mengambil Rp 5.000,- /pelanggan/bulan baik untuk PDAM dan PLN serta PBB/tahun, dalam setahun diperoleh dana sejumlah Rp 42,8 milyar suatu nilai yang hampir sama dengan kebutuhan dana pemeliharaan sungai dan drainase yang ada di Medan setiap tahunnya yaitu Rp 40-50 miliar/tahun. Apabila asumsi Rp 10.000,- maka akan diperoleh dana sejumlah Rp 85,6 milyar/ tahun yang jika ini dapat direalisasikan, maka banjir akan berkurang secara signifikan di kota Medan, agar pelaksanaannya lebih tertib perlu diusulkan untuk dibentuk institusi/kelembagaan terpadu pengelola banjir kota Medan dan DAS Deli yang dapat berbentuk dinas khusus atau otorita khusus tentunya harus dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara.
Gindo Maraganti Hasibuan, H.B. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Z.: Pengelolaan Terpadu Banjir Kota Medan
41
Hal lain yang bisa dilakukan dengan adanya dana ini adalah pengelola terpadu atau kelembagaan dapat memberikan insentif ke kabupaten Karo dan kabupaten Deli Serdang baik berupa dana langsung, ataupun program agar masyarakat di daerah tangkapan air di DAS Deli hulu dan tengah ikut memelihara kelestarian hutan dan lingkungan di lokasi ini. Hal ini yang sebenarnya harus dilakukan oleh Pemko Medan kepada Pemkab Karo dan Pemkab Deli Serdang. 3.
Usulan Pengembangan Komunitas, Peranserta Masyarakat dalam Pemeliharaan Drainase di Kota Medan Dari hasil penelitian bahwa peranserta masyarakat untuk memelihara drainase di depan rumah ataupun lingkungannya sangat minim sekali. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi terhadap mereka bahwa drainase di depan rumah ataupun di lingkungan harus dipelihara oleh masyarakat yang ada di sekelilingnya, selain itu peran aparat Pemerintah setempat belum optimal dalam memberdayakan potensi masyarakat yang ada sehingga masyarakat kurang responsif terhadap lingkungannya sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut peran aktif Pemerintah, Lembaga Swasta ataupun LSM dalam memberdayakan potensi masyarakat untuk mengatasi dan pengelolaan banjir di lingkungannya adalah suatu kebutuhan yang mendesak. Menumbuh-suburkan semangat gotong royong, sadar lingkungan adalah salah satu solusi agar drainase dapat terawat dan terpelihara dengan baik sehingga banjir secara bertahap dapat dikurangi. Khusus untuk masyarakat yang bermukim pada DAS hulu dan tengah agar tetap menjaga kelestarian hutan dan lingkungan tempat tinggalnya serta bercocok tanam yang tidak menimbulkan masalah erosi. Untuk hal ini perlu sosialisasi dan pemberdayaan khusus. 4.
Usulan Pembentukan Lembaga Terpadu untuk Mengelola Banjir Kota Medan dan DAS Deli Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa 60% responden menyampaikan pendapat bahwa untuk mengatasi banjir kota Medan diperlukan satu lembaga/institusi khusus. Walaupun saat ini sudah ada beberapa lembaga yang mengelola banjir,
42
namun belum ada kerjasama dan keterpaduan sehingga dalam mengatasi banjir tidak jelas siapa mengerjakan apa dan tanggung jawabnya apa. Berdasarkan kondisi tersebut maka dipandang perlu diusulkan dibentuk Lembaga Pengelolaan Terpadu tersebut. Dengan maksud dan tujuan adanya suatu kelembagaan di tingkat provinsi, karena Sungai Deli lintas kabupaten/kota sesuai UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pasal 15 yang mempunyai tugas yang jelas dan tegas untuk dapat berkoordinasi dengan semua stakeholder yang ada pada DAS Deli tersebut, yang muaranya adalah upaya untuk mitigasi banjir di kota Medan. Di mana hal ini sudah dilaksanakan di Australia dan Malaysia, sehingga tidak terjadi grey problem area yang selalu terjadi di Indonesia. Di mana sebelumnya kekuatan politik, menurut Anthony (1987) sangat berperan untuk membentuk lembaga terpadu ini, karena bersifat single authority sehingga diperlukan satu kebijakan publik serta sosialisasi kepada seluruh masyarakat dan kekuatan politik pada DAS Deli tersebut. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Untuk jelasnya pembagian tugas siapa mengerjakan apa sebagai koordinatornya ataupun lembaga yang membawahinya perlu dibentuk institusi/kelembagaan terpadu untuk pengelolaan banjir kota Medan dan DAS Deli yang anggotanya terdiri dari semua stakeholder dan dinas terkait dengan SK.Gubernur Sumatera Utara, dapat berbentuk otoritas khusus. Termasuk komitmen dana OP sebesar Rp 50 miliar/tahun yang merupakan sharing antara provinsi Sumatera Utara dengan Pemko Medan dan kabupaten terkait lainnya. b. Alternatif lain pencarian dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan sungai dan drainase di kota Medan melalui peranserta masyarakat pelanggan PDAM, PLN, PBB dengan menarik dana Rp 5.000 – Rp 10.000/bulan diperoleh jumlah Rp 42 – Rp 85 miliar/tahun, dapat membiayai OP sungai dan drainase kota Medan dan kelembagaan terpadu pengelola banjir kota Medan dan DAS Deli
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
c. Adanya kelembagaan terpadu pengelolaan banjir kota Medan dan DAS Deli akan berperan dan bertindak sebagai perencana, pelaksana dan intinya sebagai pengawasan/kontrol terhadap perizinan garis sempadan sungai untuk bangunan/rumah sepanjang Sungai Deli dan Babura maupun kontrol terhadap land use planning, persampahan yang sudah ditetapkan mulai dari DAS hulu, tengah dan hilir. Dan jika ini terwujud maka kerugian tahunan sebesar Rp 2Rp 2,4 triliun dapat dihindari minimal dikurangi. d. Pemberdayaan masyarakat melalui capacity building dan peran aktif aparat kelurahan untuk sadar tidak membuang sampah ke sungai dan saluran drainase kota dan harus ikut berpartisipasi aktif untuk memelihara saluran drainase di depan rumahnya masing-masing maupun lingkungan sekitarnya. 2. Saran a. Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Kesepakatan (MOU) antara Pemprovsu, Pemko Medan, kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Karo tentang kerjasama di bidang Perencanaan Wilayah Sungai dan Manajemen Pengendalian Banjir Kota Medan (saat ini dalam proses) perlu segera dilaksanakan. b. Perlu membuat pedoman siaga banjir kota Medan yang intinya melaksanakan sistem siaga banjir di kota Medan dengan melibatkan Instansi Pemko Medan, Pemkab Deli Serdang dan Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara. c. Pengelolaan terpadu DAS Deli antarinstansi terkait khususnya penanganan DAS Hulu untuk konservasi lahan dan pembuatan bangunan-bangunan penahan laju sedimen dan bangunan lainnya sehingga sedimentasi dari Daerah Hulu dapat dicegah dan tidak menjadi pendangkalan di Daerah Tengah dan Hilir yang saat ini sedang dilakukan pekerjaan normalisasi dan pembuatan tanggul oleh Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara melalui Proyek Pengendalian Banjir
dan Pengamanan Pantai Medan dan Sekitarnya. d. Khusus untuk penyelesaian masalah pembebasan tanah Medan floodway perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dengan melibatkan semua institusi terkait dan semua stakeholder serta masyarakat yang terlibat di dalamnya bahwa pembangunan yang ada ini memerlukan pengorbanan dalam rangka membantu saudarasaudara kita yang tinggal di bantaran Sungai Deli bagian hilir yang secara teknis bila floodway ini telah berfungsi dapat mengurangi debit banjir Sungai Deli ± 120 m3/detik dan tentunya dapat menurunkan tinggi muka air Sungai Deli hilir yang sangat berguna bagi masyarakat yang tinggal di Sungai Deli hilir. e. Konsep kawasan tepi air dengan cara pembangunan rumah sesuai dengan garis sempadan dan menghadap ke sungai serta melaksanakan program pengendalian banjir non-struktural (resettlement) ke rumah susun perlu dipikirkan untuk jangka panjang. Daftar Pustaka Anthony James Catanese, 1987, The Politics of Planning and Development. Miraza, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah ISEI, Bandung. Evaluasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Medan dan Sekitarnya Dalam Rangka Pemanduserasian Pengelolaan SWS Belawan-Belumai, 2002, Laporan Akhir, PT.Gapura Nirwana Agung, Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang Proyek Pendayagunaan Penataan Ruang Nasional dan Daerah, Medan. Gindo, dkk., 2005, Laporan Hasil Penelitian Pengelolaan Terpadu Banjir Medan dan DAS Deli, Medan. Hasibuan, G.M,, 2004, Banjir Medan Permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya, Harian Waspada, Medan. Hasibuan, G.M, 2004, Banjir Medan Hubungannya dengan Kondisi Degradasi DAS Deli, Seminar, Hotel Emerald Garden, Medan.
Gindo Maraganti Hasibuan, H.B. Tarmizi, Asren, Ramli, Darwin Z.: Pengelolaan Terpadu Banjir Kota Medan
43
Isfa Sastrawati, 2003, “Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air Kasus Kawasan Tanjung Bunga”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.14 No.3. JICA Main Report, 1992, The Study on Belawan Padang Integrated River Basin Development, Medan. JICA, 1996, The Detailed Design Study on Medan Flood Control Project Final Report. -------------, PP No.35 tahun 1991. Ramu, 1998, Teori OP untuk Bangunan Pengairan, Jakarta. Sinar Irwansyah, 2004, Kajian Sistem Mitigasi Bencana Banjir Sungai Deli dan Percut untuk Pengendalian Banjir Kota Medan, Medan. Sukanto Reksohadiprodjo, 2001, Ekonomi Perkotaan, BPFE UGM, Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
44
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005