Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Diterbitkan oleh: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal
PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dewan Penyunting: Ketua: Irwansyah Anggota: Abrar Saleng Muhammad Ashri M. Guntur Hamzah Abdul Razak Achmad Ruslan Aminuddin Ilmar Anshori Ilyas Slamet Sampurno Suwondo Penyunting: M. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Pati; Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra; Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus. Staf: Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus. Desain Grafis & Layout: Ahsan Yunus Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang dimuat merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan pendapat redaksi dan/atau Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit setiap bulan September, Januari, dan Mei. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Ruang Dapur Jurnal Lt. 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar. Tel: +62811442470 +6281342439090 Fax: +62411-584686 E-mail:
[email protected]
ii
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal
PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Volume
ISSN: 2087-2291 2 Nomor 2, Januari 2013 Halaman 173-332
Pengawasan Peredaran Obat Tradisional di Kota Singkawang
Rudy Susanto, Faisal Abdullah, Sabir Alwy...............................................
Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana
Mila Gustiana Ansary, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar...................
Penerapan Sarana Hukum dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Medis di RSUD Salewangang Maros
Imran Haris, Irwansyah, Muhammad Ashri...............................................
Pelaksanaan Peraturan Kawasan Tanpa Asap Rokok pada Tempat Umum sebagai Perwujudan Hak Atas Kesehatan Masyarakat
Zakiah Darajat, Abdul Razak Thaha, Abdul Razak...................................
Penataan Penerapan Doktrin Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) pada Perseroan Terbatas di Sulawesi Selatan
Lisa Valda, Oky Deviany Burhamzah, Wiwie Heryani................................
Pengawasan sebagai Sarana Penegakan Hukum pada Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit
Muthaharah, M. Yunus Wahid, Muhammad Djafar Saidi...........................
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan di Kabupaten Merauke
Emiliana Rahail, Andi Sopyan, M. Syukri Akub.........................................
Perjanjian Pengalihan Kredit (Over Credit) atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Audrey Kotandengan, Nurhayati Abbas, Nurfaidah Said...........................
173-186
187-205
207-226
227-248
249-268
269-289
291-306
307-332
Biodata Penulis Persyaratan Penulisan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
iii
Dari Redaksi
Salam hormat, Puji syukur tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013 ini. Berbeda pada edisi sebelumnya, pada edisi kali ini, redaksi memuat 8 (delapan) hasil penelitian tanpa mengangkat tema khusus, namun secara umum memuat hasil penelitian seputar penegakan hukum kontemporer. Tak lupa redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas kerjasamanya, sehingga penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini berjalan sebagaimana mestinya. Begitu pula kepada seluruh pihak yang selama ini mendukung, baik dalam penyusunan hingga pada penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013. Akhir kata, penerbitan jurnal ilmiah ini tentu saja masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, segala masukan, kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca senantiasa kami harapkan demi perbaikan dalam penerbitan selanjutnya. Selamat membaca.
Redaksi
iv
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENGAWASAN PEREDARAN OBAT TRADISIONAL DI KOTA SINGKAWANG
Rudy Susanto, Faisal Abdullah, Sabir Alwy
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENGAWASAN PEREDARAN OBAT TRADISIONAL DI KOTA SINGKAWANG Oleh: Rudy Susanto1*, Faisal Abdullah2, Sabir Alwy2 Dinas Kesehatan Kota Singkawang, Kalimantan Barat Jl. Alianjang No. 11, Singkawang Barat, 79112, Kota Singkawang, Kalimantan Barat 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract This study aims to investigate the control of traditional medicine distribution in Singkawang city; and find out the factors that inhibit the controlling process. Another objective is to analyse the scope of regulations about it. This research was conducted as a sociological/empirical descriptive legal research in Singkawang city by using qualitative data. The results reveal that the control of traditional medicine distribution in Singkawang city has not been optimally conducted. There are some factors inhibiting the controlling process, including limited human resources (in terms of quantity and quality), lack of financial support in the implementation of the controlling program, and the low level of public awareness and compliance (both as consumers and business owners) in participating in the controlling efforts to prevent the distribution of traditional medicine, that does not meet the formal requirements. Substantially, the current regulation seems to be sufficient in managing the distribution of traditional medicine. However, in the implementation, it is necessary to set up clear criteria of business owners who have the rights to sell traditional medicine. The criteria can be used as guidance in determining business owners who will be the objects of controlling process Keywords: Control, Distribution, Traditional Medicine . Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang; dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya serta cakupan materi peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan dapat terwujud pelaksanaan pengawasan yang optimal. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis/empiris yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif, Lokasi penelitian di Kota Singkawang. Hasil penelitian menunjukkan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang belum berjalan secara optimal. Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengawasan yaitu keterbatasan sumber daya manusia baik kuantitas maupun kualitas, kurangnya dukungan finansial dalam pelaksanaan program pengawasan serta rendahnya tingkat kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku konsumen maupun pelaku usaha dalam berpartisipasi melakukan upaya pengawasan guna mencegah peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Secara substansi peraturan perundang-undangan yang ada dirasa cukup memadai mengatur peredaran obat tradisional namun pada aturan pelaksananya secara teknis perlu diatur lebih jelas kriteria pelaku usaha yang berhak menjual produk obat tradisional sebagai pedoman pelaksana dalam menetapkan pelaku usaha yang nantinya menjadi objek pengawasan. Kata kunci: Pengawasan, Peredaran, Obat Tradisional Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Penggunaan obat tradisional yang berasal dari bahan alam sebagai upaya dalam pemeliharaan kesehatan atau pengobatan akhir-akhir ini semakin popular, Obat tradisional dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK), Pasal 1 angka (4) dinyatakan sebagai salah satu dari bentuk sediaan farmasi. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Pasal 58 (a) menyatakan pembinaan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk menjaga terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan. Pada aspek peredaran obat tradisional sebagai suatu produk yang digunakan masyarakat pengawasannya diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) pada Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan adalah usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku serta memenuhi prinsipprinsip daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas).1 Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sediaan farmasi (Obat tradisional) sebagai amanat UUK Pasal 98 ayat (4). Disisi lain adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada kepentingan yang diamanahkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran negara untuk mensejahterakan rakyatnya.2 Fungsi pengawasan peredaran obat tradisional pihak pemerintah dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hal ini didasarkan pada Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Didaerah (Kota Singkawang) fungsi pengawasan dilaksanakan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kalimantan Barat, sebagai unit pelayanan teknis yang berada di tingkat provinsi. Selanjutnya Dinas Kesehatan Kota Singkawang juga bertanggung jawab melaksanakan fungsi pengawasan peredaran obat Sujamto, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan Edisi Revisi, Cet II,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 19-20 2 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.180 1
176
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
tradisional sebagai amanat Pasal 55 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Daerah. Dalam pengawasan peran serta masyarakat baik selaku konsumen maupun sebagai pelaku usaha sangatlah penting untuk menciptakan kenyamanan berusaha dan terpenuhinya hak-hak serta kepentingan keduabelah pihak. N.H.T Siahaan menyatakan konsep hukum perlindungan konsumen tidak hanya berisi rumusan-rumusan tentang hak-hak dan kepentingan konsumen, tetapi juga hak-hak dan kepentingan produsen yang berimbang, proporsional, adil dan tidak diskriminatif.3 Sejalan dengan pernyataan tersebut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan kewajiban pelaku usaha yang diatur UUPK merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang “ditargetkan” untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha.4 Definisi hukum menurut Oxford English Dictionary adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya.5 Menurut Achmad Ali, dalam membahas tentang hukum maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen yaitu struktur, substansi dan kultur hukum, atau yang dikenal dengan 3 unsur sistem hukum (three element of legal system) oleh Lawrence M. Friedman. Ketiga komponen tersebut terkait sangat erat dengan “fungsi hukum” dan “tujuan hukum” dimana hubungan timbal balik kesemuanya menurt Achmad Ali merupakan “hakikat hukum” oleh karenanya hal itu sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan hukum.6 Ketika pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional dipahami sebagai suatu bentuk amanat peraturan perundang-undangan (produk hukum) untuk dilaksanakan, maka untuk mengukur keberhasilannya penulis menggunakan teory diatas sebagai pisau analisis dalam menilai esensi penegakan hukum (pelaksanaan pengawasan) yang juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.7 Problematika pelaksanaan hukum sebagai peraturan atau perundang-undangan terkait erat dengan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat. Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling N.H.T. Siahan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk , (Jakarta: Penta Rei,2005) hlm. 13 4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 33-34 5 Achmad Ali (a), Menguak Tabir Hukum. Cet. Ke-3 (Bogor : Ghalia Indonesia,2011) hlm. 27 6 Achmad Ali (b), Menguak Teori hukum (Legal Theory) dan teory peradilan (Judicialprudance). Edisi 1. Cet. Ke-3 (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010) hlm. 203-207 7 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1. Cet.11, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2012), hlm. 8-9 3
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
177
berhubungan, di mana kesadaran hukum dan ketaatan hukum tersebut sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di masyarakat.8 Dengan memahami ketaatan hukum menurut H.C Kelman yang oleh Achmad Ali di formulasikan menjadi: (a) Ketaatan bersifat compliance; (b) Ketaatan bersifat identification; (c) Ketaatan bersifat internalization suatu peraturan atau perundang-undangan tidak hanya dapat dinilai efektif atau tidaknya dilaksanakan dimasyarakat melainkan juga kualitas keefektifannya. 9 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan di atas, selanjutnya dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya? 2. Sejauh mana cakupan materi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peredaran obat tradisional di Kota Singkawang dalam mewujudkan pelaksanaan pengawasan yang optimal? METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Singkawang Kalimantan Barat, Kantor Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat (BBPOM), Kantor Dinas Kesehatan (DINKES) Kota Singkawang, Kantor Lembaga Perlindungan Konsumen Kota Singkawang (LPKSM) dan sarana distribusi peredaran obat tradisional di 5 kecamatan wilayah Kota Singkawang. Jenis penelitian ini adalah hukum sosiologis/empiris yang bersifat deskriptif. dengan pengolahan data secara kualitatif. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sarana distribusi yang menjual obat tradisional yang ada di Kota Singkawang, seluruh aparatur Balai Besar Pengawasan Obat Dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat, seluruh Pegawai Dinas Kesehatan Kota Singkawang Seluruh Petugas LPKSM Kota Singkawang dan masyarakat Kota Singkawang. Berdasarkan populasi penelitian tersebut di atas, maka ditetapkan sampel penelitian yang akan peneliti wawancarai dengan dua tehnik, (1) Dengan Quota Sampling yaitu: 50 orang masyarakat selaku konsumen dan 50 orang masyarakat selaku pelaku usaha (10 toko obat, 10 apotek, 10 penjual jamu keliling, 10 penjual jamu menetap, 10 toko/warung) yang Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 299 Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 348-349
8
9
178
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
merupakan penjual/pengecer obat tradisional di 5 Kecamatan wilayah Kota Singkawang. (2) Dengan Proporsive Sampling yaitu: 4 orang petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi Kalimantan Barat, terdiri dari Kepala Bidang Pengawasan dan Penyidikan, Kepala Seksi Pengawasan, Kepala Seksi Penyidikan dan Kepala Bidang Sertifikasi Dan Layanan Informasi Konsumen. 3 orang petugas Dinas Kesehatan Kota Singkawang Yaitu: Sekretaris Dinas Kesehatan, Kepala Seksi Farmasi dan Alkes serta Staf Pelaksana Pengawasan. 2 orang petugas LPKSM Kota Singkawang terdiri dari ketua dan pelaksana pengawasan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Temuan penelitian pada Tabel 1 memperlihatkan, jumlah pelaku usaha yang mendistribusikan obat tradisional di Kota Singkawang cendrung mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah apotek dan tokoh obat yang semula pada tahun 2008 masing-masing hanya 13 dan 20 sarana, namun pada tahun 2012 menjadi 18 sarana untuk apotek dan 23 sarana untuk tokoh obat. Hal ini menunjukkan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang semakin mudah di jangkau/didapatkan masyarakat untuk tujuan pengobatan maupun pemeliharaan kesehatan. Mengenai Kelompok penjual jamu menetap, penjual jamu keliling dan warung atau toko yang juga menjual produk-produk obat tradisional baik DINKES Kota Singkawang maupun BBPOM Kalimantan Barat mengakui tidak mempunyai data akan hal tersebut. Tabel 1. Status pelaku usaha yang mendistribusikan produk obat tradisional di Kota Singkawang tahun 2010-2012 No.
Kelompok Pelaku usaha
2008 2009 1. Apotek 13 15 2. Toko obat berizin 20 21 3. Penjual jamu menetap 4. Penjual Jamu keliling 5. Warung/took Sumber: Data sekunder DINKES Kota Singkawang Tahun 2012
Tahun 2010 16 22 -
2011 17 21 -
2012 18 23 -
Adapun pada Tabel 2 memperlihatkan, petugas Dinas Kesehatan Kota Singkawang yang melakukan pengawasan hanya berjumlah 2 orang, sedang petugas di Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat berjumlah 14 orang dengan jenis pendidikan formal bervariasi. Di sisi lain, petugas pengawasan BBPOM dibekali keterampilan dan pengetahuan khusus yang berhubungan dengan kegitan pengawasan Untuk instansi DINKES Kota Singkawang Menurut Yearmiwirinar,10 sampai saat ini petugas Dinas Kesehatan belum pernah Kepala Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Singkawang. Wawancara, 13 Desember 2012. 10
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
179
mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus dibidang pengwasan. Tabel 2. Pendidikan formal petugas pengawas pada Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat serta Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan DINKES Kota Singkawang No. 1 2 3 4 5
Pendidikan Terakhir S1 Umum Apoteker D3 Farmasi SMF SMU
Jumlah
BBPOM Jumlah (orang) 1 7 4 2 14
DINKES Jumlah (orang) 1 1 2
Sumber: Data sekunder BBPOM dan DINKES Kota Singkawang Kalimantan Barat Tahun 2012
Mengenai keterlibatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam kegiatan pengawasan sebagaimana yang diamanatkan UUPK dari informasi dilapangan yang diperoleh bahwa diwilayah Kota Singkawang belum ada terbentuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada 48 orang (48%) masyarakat baik selaku pelaku usaha maupun konsumen di Kota Singkawang memiliki pengetahuan tentang perannya dalam melakukan pengawasan, dengan menjawab mengetahui bahwa masyarakat dapat turut berperan dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran obat tradisional. 52 orang (52%) sisanya tidak memiliki pengetahuan tentang perannya dalam melakukan pengawasan, dengan menjawab tidak tahu. Tabel 3. Pengetahuan masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha mengenai perannya dalam pengawasan peredaran obat tradisional No. 1 2
Kelompok Masyarakat Masyarakat selaku konsumen Masyarakat selaku pelaku usaha Frekuensi Persentase
Kategori Jawaban Tahu Tidak tahu 18 32 30 20 48 52 48% 52%
Jumlah 50 50 100
Sumber: Data primer diolah 2012
Tabel 4 menunjukkan dari 48 orang kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang peranannya dalam pengawasan peredaran obat tradisional hampir semunya yaitu 45 orang (93,75%) benar-benar paham tentang mekanisme pengawasan, dengan menjawab bahwa mekanisme pengawasan yang dapat dilakukan masyarakat yaitu dengan cara melapor atau mengadu kepada Dinas Kesehatan atau Balai POM jika melihat atau mencurigai obat tradisional yang tidak memenuhi syarat beredar di lingungannya, 3 orang (6,25%) sisanya tidak mampu menjelaskan (tidak paham). 180
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Tabel 4. Pemahaman masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha mengenai mekanisme pengawasan yang dapat di lakukan dalam peredaran obat tradisional No. 1 2
Kelompok Masyarakat Masyarakat selaku konsumen Masyarakat selaku pelaku usaha Frekuensi Persentase
Kategori Jawaban Paham Tidak Paham 15 3 30 0 45 3 93,75% 6,25%
Jumlah 18 30 48
Sumber: Data primer diolah 2012
Tabel 5 memperlihatkan bahwa ada 56 orang (56%) masyarakat baik konsumen maupun pelaku usaha di Kota Singkawang memahami cara memilih obat tradisional yang baik, dengan menjawab obat tradisional yang baik untuk digunakan harus mencantumkan nomor registrasi dan kondisi fisiknya baik isi maupun kemasan tidak rusak, serta terdapat waktu kadaluarsa produk. Sisanya 44 orang (44%) menjawab tidak tahu. Tetapi dapat dilihat bahwa kelompok masyarakat yang paham lebih banyak pada kelompok pelaku usaha sedangkan masyarakat pengguna (konsumen) lebih banyak tidak memahami hal tersebut. Tabel 5. Pemahaman masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha tentang cara pemilihan obat tradisional yang baik No. 1 2
Kelompok Masyarakat Masyarakat selaku konsumen Masyarakat selaku pelaku usaha Frekuensi Persentase
Kategori Jawaban Paham Tidak Paham 19 31 37 13 56% 44% 56% 44%
Jumlah 50 50 100
Sumber: Data primer diolah 2012
Tabel 6 memperlihatkan, dari 56 orang yang memahami cara memilih obat tradisional yang baik, diberikan pertanyaan lanjutan untuk mengetahui prilakunya dalam membeli obat tradisional, hanya 30 orang (53,58%) dari mereka yang benar-benar menerepkan/ mensyaratkan untuk memeriksa kriteria obat tradisional yang baik ketika melakukan pembelian, sisanya 26 orang (46,62%) mengaku tidak memnerapkannya. Tabel 6. Prilaku masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha dalam pembelian obat tradisional No. 1 2
Kelompok Masyarakat Masyarakat selaku konsumen Masyarakat selaku pelaku usaha Frekuensi Persentase
Mensyaratkan kriteria OTRAD yang baik sebelum membeli Iya Tidak 9 10 21 16 30 26 53,58% 46,42%
Jumlah 19 37 56
Sumber: Data primer diolah 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
181
Untuk melihat tingkat kesadaran masyarakat Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 21 orang pelaku usaha, kebanyakan kualitas ketaatannya sangat rendah dengan 9 orang (42,86%) menyatakan alasan ketaatanya semata-mata karena takut sanksi (compliance), sisanya 7 orang (33,33%) pelaku usaha obat tradisional memiliki kualitas ketaatan bersifat identification Hanya 5 orang (23,81%) pelaku usaha yang memiliki kualitas ketaatan bersifat internalization dimana mereka menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Tabel 7. Kualitas ketaatan masyarakat selaku pelaku usaha dalam penyediaan obat tradisional yang baik sesuai ketentuan No. 1 2 3 4 5
Kelompok Pelaku Usaha Apotek Toko Obat berizin Penjual jamu menetap Jamu keliling Warung/toko Frekuensi Persentase
Kualitas Ketaatan Compliance Identification Internalization 6 3 0 0 0 9 42,86%
0 0 3 4 0 7 33,33%
3 1 0 1 0 5 23,81%
Jumlah 9 4 3 5 0 21
Sumber: Data primer diolah 2012
Pelaksanaan Pengawasan Peredaran Obat Tradisional di Kota Singkawang Penelitian ini memperlihatkan, apabila pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional dipahami sebagai suatu bentuk amanat peraturan perundang-undangan (produk hukum) untuk dilaksanakan, maka untuk mengukur keberhasilannya sebagai esensi dari efektifitas penegakan hukum penulis menggunakan teory three element of legal system oleh Lawrence M. Friedman. Dari hasil Penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) yang peneliti lakukan dapat dikatakan: Secara substansi dengan melakukan pengkajian terhadap produk-produk hukum yang berhubungan dengan pengawasan peredaran obat tradisional secara umum dapat dikatakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peredaran obat tradisional (UUK, UUPK dan PP No. 72 Tahun 1998, Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan) dirasa telah memberikan pengaturan yang cukup memadai mengenai pengolahan, produksi, peredaran, pengembangan obat tradisional termasuk terdapat beberapa pasal yang hubungannya dengan hak dan kewajiban serta peran aktif masyarakat baik selaku konsumen maupun pelaku usaha dalam kegiatan pengawasan serta terdapat pasal yang mengatur masalah sanksi baik administrasi, pidana (kurungan dan denda), maupun perdata (ganti rugi). 182
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Walau demikian Amanat pasal 107 UUK mengaskan ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang seharusnya merupakan aturan pelaksana sebagaimana dimaksud tersebut setelah 4 (empat) tahun di undangkan belum juga terbentuk. Kenyataan ini memaksa instansi terkait (BBPOM dan DINKES Kabupaten/Kota) dalam upaya pengawasan dan pembinaan peredaran obat tradisional masih mengacu pada PP No.72 Tahun 1998 yang pada prinsipnya merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992. Selain itu UUK Pasal 101 (ayat 1) dan PP No.72 Tahun 1998 Pasal 15 (ayat 2), secara substansi menurut amatan peneliti pengaturannya dirasa terlalu luas. sehingga mengantarkan pada pengrtian bahwa obat tradisional dapat diedarkan atau dijual oleh siapa saja dengan batasan yang kurang jelas. kenyataan ini justru menjadi salah satu faktor penyulit dalam melakukan pembinaan dan pengawasan oleh instasi terkait karena akan menyebabkan luasnya objek yang menjadi target pengawasan dan pembinaan yang berujung pada sulitnya penyediaan data base pelaku usaha yang falid. Pada UUPK mengenai ketentuan tuntutan ganti rugi pada Pasal 19 ayat (3). Menegaskan bahwa pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, hal ini menurut peneliti dengan kata lain dapat berarti jika tuntuan yang diajukan konsumen lebih dari 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi maka pelaku usaha tidak lagi punya tanggung jawab memberikan ganti rugi. Keadaan ini secara substansi sangat tidak relevan jika diterapkan untuk produk sediaan farmasi seperti obat tradisional karena bisa saja efek negatif yang ditimbulkan baru kelihatan lebih dari 7 (tujuh) hari pemakaian. Dari unsur struktur hukum (penegak hukum) dari hasil penelitian menunjukkan petugas yang melakukan pengawasan dari instansi pemerintah (BBPOM dan DINKES Kota Singkawang) secara umum mengalami masalah dari segi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang melakukan pengawasan, sejalan dengan pendapat ini hasil wawancara dengan Yusmanita11, menytakan dari 14 (empat belas) orang personil seksi pengawasan hanya 9 (sembilan) orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pengawas lapangan menurut beliau BBPOM provinsi Kalimantan Barat memerlukan minimal 20 orang tenaga pengawas lapangan. Masalah serupa diungkapkan A.Kismed ,Plt Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Singkawang (wawancara, 21 Februari 2013), bahwa DINKES Kota Singkawang menurut beliau semestinya memiliki 10 tenaga pengawas lapangan pada kenyataannya hanya 2 orang petugas yang tersedia. Kepala Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat. Wawancara, 28 Desember 2012.
11
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
183
Dari segi sarana dan prasarana baik BBPOM maupun DINKES Kota Singkawang sejauh ini tidak mengalami kendala, namun kurangnya dana oprasional guna pelaksanaan program pengawasan peredaran obat tradisional dirasakan sebagi faktor penghambat bagi DINKES Kota Singkawang, hal ini dinyatakan Yearmiwirinar, Kepala Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan Dinkes Kota Singkawang (wawancara, 13 Februari 2013). Selanjutnya penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku konsumen maupun pelaku usaha merupakan element penting dari unsur ketiga yaitu kultur hukum, hasil penelitian menunjukkan pengetahuan masyarakat akan kriteria obat tradisional yang baik (sesuai ketentuan) baik pada konsumen maupun pelaku usaha masih cukup rendah, disisi lain tingkat kesadaran untuk berperan aktif melakukan pengawasan serta kualitas ketaatan untuk bersikap sesuai ketentuan yang berlaku dalam memilih dan menggunakan obat tradisional baik masyarakat konsumen maupun pelaku usaha juga rendah. hal ini perlu di tindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk lebih memaksimalkan kegiatan pengawasan serta peningkatan program komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam meilih, menggunakan serta mendistribusiakan obat tradisonal yang baik sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya peningkatan penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat tersebut penting mengingat kesadarn hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan dimana sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di masyarakat. Secara keseluruhan dari hasil penelitian diketahui terdapat empat faktor dominan yang menghambat pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang yakni; kurangnya kuantitas dan kualitas tenaga pengawas, kurangnya dukungan dana oprasional pelaksanaan program terutama pada instansi DINKES Kota Singkawang (mewakili ketidak sempurnaan unsur struktur hukum) dan kurangnya pengetahuan, kesadaran dan ketaatan hukum baik pelaku usaha maupun masyarakat konsumen sehingga mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat untuk berperan aktif dalam kegitan pengawasan peredaran obat tradisional (mewakili ketidaksempurnaan unsur kultur hukum). Ke empat faktor tersebut menunjukkan kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang dilakukan di Kota Singkawang saat ini belum optimal dan perlu tindakan korektif yang memadai agar tujuan pengawasan obat tradisional yang efektif dan efisien dapat terwujud. Jika dilihat berdasarkan teori tiga unsur sistem hukum (three element of legal system) oleh Lawrence M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum yang merupakan esensi efektifitas penegakan/pelaksanaan hukum. Keempat faktor penghambat tersebut diatas ditambah ketidaksempurnaan unsur substansi hukum dengan 184
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
belum dibentuknya peraturan pelaksana yang semestinya sebagai amanat undang-undang serta luasnya pengaturan dalam peraturan perundangan-undangan yang ada mengenai objek pengawasan yang boleh menjual obat tradisional menunjukkan adanya kelemahan/ ketidaksempurnaan tiga unsur sistem hukum, sekaligus menunjukkan bahwa pengawasan peredaran obat tradisional di wilayah Kota Singkawang sebagai amanat peraturan perundang-undangan (produk hukum), dalam pelaksanaannya belum efektif dan perlu penyempurnaan agar kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang optimal dapat terwujud. PENUTUP Kesimpulan 1. Secara substansi peraturan perundang-undangan yang ada cukup memadai mengatur peredaran obat tradisional, namun pada aturan pelaksananya secara teknis perlu diatur lebih jelas kriteria pelaku usaha yang berhak menjual produk obat tradisional, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan sebagai pedoman pelaksana dalam menetapkan pelaku usaha yang nantinya menjadi objek pengawasan. 2. Pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang belum berjalan secara optimal, meskipun telah dilakukan berbagai langkah-langkah pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun dengan segala keterbatasan belum mampu merangkul semua kelompok objek pengawasan seperti penjual jamu keliling maupun warung/toko yang menyalurkan obat tradisional. 3. Faktor dominan yang menghambat pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang yaitu jumlah dan kualitas tenaga pengawas dan dukungan finansial yang kurang memadai, serta rendahnya kepedulian dan peran aktif masyarakat baik selaku pelaku usaha maupun konsumen dalam kegiatan pengawasan akibat dari rendahnya pengetahuan, kesadaran dan ketaatan akan ketentuan yang berlaku. Saran 1. Perlu pengaturan lebih lanjut yang lebih jelas, baik dengan membentuk Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Kebijakan mengenai kriteria pelaku usaha yang boleh menjual obat tradisional dan menghimbau atau mewajibkan kepada setiap pelaku usaha yang akan melakukan penjualan obat tradisional untuk melaporkan diri kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, agar tersedia data pelaku usaha yang valid sehingga memudahkan kegiatan pembinaan dan pengawasan. 2. Pemerintah (BBPOM dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) hendaknya memiliki data yang lengkap mengenai seluruh pelaku usaha yang menjual/menyalurkan obat Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
185
tradisional, sehingga kegiatan pengawasan dan pembinaan peredaran obat tradisional dapat memberikan hasil yang optimal. 3. Tingkat pengetahuan, kesadaran dan ketaatan serta peran aktif masyarakat perlu ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah dan efektifitas kegiatan penyuluhan serta penyebarluasan informasi mengenai obat tradisional yang baik kepada masyarakat. 4. Hendaknya pembuat kebijakan di instasi pemerintah yang terkait pengawasan peredaran obat tradisional, memperhatikan kebutuhan akan dukungan dana operasional dan kualitas serta kuantitas tenaga pengawas yang berorientasi pada luas wilayah dan jumlah sarana yang diawasi agar kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang optimal dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Edisi 1. Cet. Ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. __________. 2011. Menguak Tabir Hukum, Cet. Ke-3. Bogor: Ghalia Indonesia. Ahmadi Miru dan Sutaman Yudo. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Cet. Ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. N.H.T Siahan. 2005. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet 1. Jakarta: Penta Rei. Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1. Cet.11. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sujamto. 1988. Beberapa pengertian dibidang pengawasan, Edisi Revisi, Cet. Ke-2. Jakarta: Ghalia Indonesia.
186
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
Mila Gustiana Ansary, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA Oleh: Mila Gustiana Ansary1*, M. Syukri Akub2, Syamsuddin Muchtar3 Kejaksaan Negeri Makassar Jl. Amannagappa No. 29, 90111, Makassar 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
E-mail:
[email protected]
*
Abstract The presence of the witness is essential in the process of disclosure of a criminal case. Understanding the importance of the position of a witness is necessary for their protection. An institution that can accommodate and provide protection to the witness Witness and Victim Protection Agency (Agency). Agency role in witness protection is responsible for dealing with the protection of witnesses based on the duties and authority as set forth in Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While the implementation of witness protection by the Agency in practice often encounter obstacles both internally and externally. Keywords: Protection of Law, Witness, Victim, LPSK Abstrak Keberadaan saksi sangatlah penting dalam proses pengungkapan suatu kasus pidana. Memahami akan pentingnya posisi seorang saksi diperlukan perlindungan bagi mereka. Sebuah lembaga yang dapat mengakomodir dan memberikan perlindungan terhadap saksi yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peran LPSK dalam perlindungan saksi adalah bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan pelaksanaan perlindungan saksi oleh LPSK dalam praktik sering menghadapi kendala baik yang bersifat intern maupun ekstern. Kata kunci: Perlindungan Hukum, Saksi, Korban, LPSK
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Dalam konteks penegakan hukum pidana menurut sistem peradilan pidana (criminal justice system)1 Indonesia sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan lainnya, yang dimulai dari fase pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan) oleh Penyelidik dan Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negesi Sipil (PPNS), penuntutan oleh Penuntut Umum (Kejaksaan), pemeriksaan pengadilan oleh hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, sampai eksekusi putusan pengadilan, peran masyarakat sangatlah besar, khususnya dalam peranannya menjadi saksi terhadap tindak pidana yang terjadi. Sebagaimana diketahui, peranan saksi yang melihat atau mendengar terjadinya tindak pidana sangatlah penting, karena keterbatasa Adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut negara hukum jumlah penyelidik dan penyidik (Polisi dan PPNS) menjadikan penyelidik dan penyidik tidak dapat secara langsung mengetahui semua tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Polisi dan PPNS sebagai penyelidik atau penyidik, mengetahui tindak pidana yang terjadi di masyarakat dari laporan dan pengaduan dari anggota masyarakat. Dalam konstalasi inilah peran masyarakat dengan budaya hukumnya mempengaruhi kinerja penegakan hukum pidana. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangatlah penting sehingga keterangan saksi dijadikan salah satu di antara lima alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; dan e) Keterangan terdakwa. Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat bukti yang sah, menunjukkan tentang pentingnya alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara pidana.2 Salah satu alat bukti yang sah yang hampir selalu ada dan diperlukan dalam setiap perkara pidana adalah keterangan saksi. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran Muchamad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=46, diakses pada 13 September 2012. 2 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Hal. 187. 1
190
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.3 Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan hukum terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana. Kondisi saksi yang berada pada posisi yang lemah, justru Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan mengancam dengan pidana apabila saksi tidak datang untuk memberikan keterangan setelah menerima panggilan dari penegak hukum. Selanjutnya KUHAP mewajibkan saksi untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan keterangan tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan keterangan dengan sungguhsungguh dengan apa yang diketehui, baik yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi. Berbicara tentang kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-undang memberikan hak bagi saksi berupa perlindungan bagi saksi itu sendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Dengan jaminan perlindungan hukum tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan saksi tidak lagi merasa takut untuk memberikan kesaksian terhadap suatu perkara pidana dalam proses persidangan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu perwujudan perlindungan hak asasi manusia dalam hal ini perlindungan hak saksi dan korban. Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden dan merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Surastini Fitriasih, “Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil”, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53, diakses pada 13 September 2012. 3
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
191
Dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban serta terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat khususnya bagi perlindungan terhadap saksi agar berani dalam memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum. RUMUSAN MASALAH Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini, lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menyajikan gambaran tentang perlindungan hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia dan menganalisis permasalahan tersebut secara cermat dan objektif. Jenis Data Penelitian Untuk penelitian normatif empiris menggunakan peraturan perundang-undangan dan data yang diperoleh langsung dari responden sebagai data primer, sedangkan untuk data sekundernya melalui studi kepustakaan. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan, pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan daftar pertanyaan (kuesioner). Sesuai dengan jenis data seperti yang dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Studi kepustakaan. Terhadap data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan artikel ilmiah yang berhubungan dengan perlindungan saksi. b. Wawancara. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan melalui tatap muka secara langsung dengan cara tanya jawab kepada responden yang dipandang kompoten 192
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
dengan penelitian. Analisis Data Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari responden melalui wawancara akan dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan responden melalui wawancara sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kewenangan dan Tanggung Jawab LPSK LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun tanggung jawab LPSK dalam hal perlindungan saksi,4 antara lain: a. Memberikan rasa aman kepada para saksi dalam memberikan keterangan dalam semua tahapan proses peradilan hukum pidana; b. Memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada para saksi yang akan, sedang dan atau telah memberikan keterangan sehubungan dengan perkara pidana tertentu; c. Mendayagunakan berbagai sumberdaya kemampuan dan anggaran negara untuk melakukan perlindungan, bantuan, dan perwujudan hak-hak saksi berkenaan dengan proses peradilan pidana terhadap kasus-kasus tertentu; d. Melakukan upaya perlindungan saksi sesuai kewenangan yang ditentukan oleh ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku; e. Membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban proses pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi; dan f. Membuat laporan berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR-RI dan Presiden RI. Salah satu tanggung jawab LPSK adalah membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan sampai membuka informasi yang justru telah ditetapkan sebagai rahasia oleh LPSK dan UU No Abdul Haris Semendawai, Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia. Di#sampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas Hukum-UI, Jakarta, 2011, hal. 20. 4
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
193
13 Tahun 2006. Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR juga seharusnya menjadi rekan dari LPSK baik sebagai pendukung program LPSK maupun pemberi rekomendasi yang membantu pengembangan program LPSK itu sendiri. Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu: 1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29), 2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29), 3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1), 4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32), 5. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34). Dari jabaran tersebut, tugas dan kewenangan LPSK dikelompokan menjadi empat tugas dan kewenangan pokok yakni: 1. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Perlindungan Saksi. 2. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan Restitusi Korban. 3. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Bantuan Korban. 4. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kerjasama. Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK yang seharusnya dapat dimasukkan dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, yakni: 1. Wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan : a. bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan; b. penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan; c. konsultasi bagi para saksi; dan d. hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan; 2. Wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi dan orang-orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara dan layanan-layanan lainnya. 3. Wewenang untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi. 194
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Peran LPSK dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan keterangan dari saksi merupakan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana atau bisa di katakan juga saksi bisa menjadi kunci untuk menerangkan suatu kasus pidana. Pada saat saksi akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihakpihak tertentu. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan pada pemeriksaan keterangan saksi bahkan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut KUHAP dimulai de ngan mendengarkan saksi, walaupun dalam permulaan sidang hakim menanyakan identitas dari terdakwa dan jaksa membacakan surat dakwaan, sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Menjadi saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga Negara. Kesadaran orang yang menjadi saksi merupakan tanda bahwa orang tersebut telah taat dan sadar hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan karena saksi yang takut untuk memberikan keterangan yang ia ketahui tentang suatu tindak pidana yang ia lihat dan dengar sendiri, ini disebabkan karena saksi telah mendapat ancaman dari pihak tertentu. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana sudah seharusnyalah perlu diciptakan keadaan yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tentang suatu tindak pidana yang telah terjadi dan tanpa ada rasa takut memberikan laporan atau keterangan kepada aparat penegak hukum demi terungkapnya kebenaran atas suatu peristiwa tindak pidana. Saksi harus diberikan perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut atau khawatir jiwanya terancam oleh pihak tertentu untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum akan memudahkan terungkapnya fakta di dalam proses peradilan pidana.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
195
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses penegakan hukum pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Keberadaan Undang-undang Perlindungan saksi dan korban diharapkan menjadi terobosan di dunia peradilan di Indonesia. Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum acara pidana atau perundangundangan lainnya belum memberikan perlindungan hukum khususnya bagi saksi untuk dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Respon yang baik terhadap keberadaan LPSK ini tampak dari meningkatnya laporan dan pengaduan dari saksi kepada LPSK. Berdasarkan hasil penelitian, laporan dan pengaduan terhadap LPSK selalu mengalami peningkatan sejak dibentuknya LPSK pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Peningkatan perlindungan saksi yang dilakukan oleh LPSK dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Data saksi yang telah mendapat perlindungan LPSK sejak Agustus 2008 - Desember 2012 Tahun
Jumlah saksi yang dilindungi LPSK
2008 2009 2010 2011 2012
10 74 94 266 511
Sumber: LPSK, 2012
Dari data di atas dapat dilihat bahwa sejak berdirinya LPSK pada bulan Agustus tahun 2008 sampai dengan bulan Desember tahun 2012, jumlah saksi yang mendapat perlindungan dari LPSK selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini disebabkan karena LPSK telah membuat berbagai sistem dan mekanisme yang memudahkan saksi untuk mengakses dan berkomunikasi dengan LPSK, sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai prosedur dan tahapan yang harus dilalui saksi untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK. Peningkatan ini juga disebabkan karena sambutan masyarakat atas keberadaan dan peran LPSK semakin meningkat. Keberadaan LPSK memberi harapan masyarakat akan adanya penegakan hukum yang lebih baik di Indonesia. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Abdul Haris Semendawai selaku Ketua LPSK yang menyatakan: Dalam rentang waktu dari 2008 hingga 2010, lembaga ini baru menerima empat kasus. Sementara hingga September 2011, telah mencapai empat kasus. Sejak berdiri 2008, laporan permintaan perlindungan saksi dari Sulsel total delapan kasus.5
5
196
Wawancara pada tanggal 26 November 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Permohonan perlindungan berasal dari kasus pembunuhan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat penegak hukum. Tentu permintaan yang masuk tidak kami terima semua, ada beberapa hal yang harus dilengkapi. Disinyalir masih banyak kasus serupa, tapi enggan dilaporkan, terutama di daerah yang akses informasinya cukup sulit. Kami telah meneliti intensitas terjadinya tindak kekerasan terhadap saksi dan hasilnya cukup banyak. Namun, karena letak LPSK dengan tempat kejadian jauh mengakibatkan laporan yang masuk terbilang kecil.6 Perlindungan hukum yang diberikan UU PSK terhadap saksi dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan, “Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.” Perlindungan hukum terhadap saksi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah berupa kekebalan yang diberikan kepada saksi untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan maupun kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi bersifat pasif maupun aktif. Hal ini diperkuat dengan pendapat Anggota LPSK Tasman Gultom,7 yang menyatakan: LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dapat bersifat pasif maupun aktif. Pasif artinya LPSK menunggu permohonan dari saksi yang ingin mendapatkan perlindungan, sedangkan aktif artinya tim dari LPSK dapat terjun langsung ke lapangan untuk langsung memberikan perlindungan tanpa harus ada permohonan dari saksi. LPSK memberikan perlindungan secara aktif dapat dilihat dalam kasus Mesuji dimana LPSK telah menjemput “bola” terlebih dulu, dalam kerangka pemberian perlindungan. LPSK menemukan saksi mengalami penderitaan dan trauma yang mendalam sehingga perlu percepatan penanganan proses penegakan hukum agar konflik tidak berkepanjangan di masyarakat, serta memberikan kepastian hukum terhadap saksi dalam kasus tersebut. Adapun kriteria kasus yang dijemput bola LPSK, adalah kasus yang spesifik dan menonjol. Kasus yang berpotensi membahayakan saksi menjadi prioritas untuk segera diantisipasi. Berdasarkan hasil penelitian, saksi-saksi yang dilindungi LPSK sebagian besar mulai dilakukan perlindungan sejak awal penyelidikan karena sebagian besar saksi sudah merasa terancam dan sering diteror pada saat penyelidikan khususnya untuk perkara tindak pidana korupsi, contohnya pada kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian, dimana salah satu saksinya yakni Mantan Direktur Jenderal Peternakan Rahmat Hardiansya. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini.com/home/ index-berita/3260-lpsk-akan-buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pada bulan Agustus 2012. 7 Wawancara pada tanggal 26 November 2012. 6
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
197
Kementerian Pertanian, Prabowo Respatiyo Caturroso telah memperoleh perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Perlindungan itu diberikan karena Prabowo yang kini menjabat staf ahli Menteri Pertanian merupakan saksi dalam kasus suap pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian dan memohon kepada LPSK untuk dilindungi karena ia mengaku sering mendapat ancaman melalui teleponn sejak menjadi saksi dalam kasus tersebut. Sepanjang tahun 2012, 22 dari 30 saksi yang meminta perlindungan ke LPSK sebelumnya mengalami ancaman serangan balik dari pihak yang dirugikan akibat laporan atau kesaksiannya. Serangan balik ini dilakukan mulai dari dilaporkan tindak pidana lain, teror, sampai upaya percobaan pembunuhan terhadap saksi.8 Ketua LPSK, menegaskan:9 Kondisi ini mencerminkan potensi ancaman dan serangan balik terhadap saksi dalam kasus korupsi sangat besar. Korupsi merupakan kategori tindak pidana terorganisir, sehingga potensi ancaman terhadap saksi dilakukan secara terorganisir karena melibatkan pihak yang berpengaruh dan posisi ‘kuat’.Tingginya potensi ancaman terhadap saksi dalam tindak pidana korupsi ini seharusnya didukung dengan upaya aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati dalam menangani proses hukum tindak pidana korupsi. Seharusnya aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap potensi ancaman terhadap para saksi dalam tindak pidana korupsi, yakni dengan merahasiakan identitas saksi dan proses pemeriksaan yang kondusif sehingga membuat saksi nyaman dan tidak khawatir akan keselamatan jiwanya ketika diperiksa. Pada dasarnya perlindungan bagi saksi di Indonesia yang diberikan Negara melalui LPSK sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini difokuskan pada tindak pidana/kasus-kasus tertentu seperti penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/ psikotropika, tindak pidana terorisme dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya, tetapi pada kenyataannya perlindungan dan bantuan bagi saksi saat ini bukan hanya diperlukan untuk tindak pidana atau kasus-kasus tertentu seperti dimaksud penjelasan Pasal 5 ayat (2) tersebut melainkan tindak pidana umum lainnya yang bersentuhan dengan konflik sosial di Indonesia terutama masyarakat di wilayah luar Jakarta dan luar pulau Jawa yang sedikit lebih sensitif dengan permasalahan hukum yang dialami. Hal ini sesuai dengan data pada LPSK, bahwa jenis tindak pidana yang dimasukkan permohonan perlindungan hukum oleh saksi ke LPSK lebih banyak berasal dari tindak pidana umum.
Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia “22 dari 30 Saksi Korupsi Alami Serangan Balik”, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Agustus 2012. 9 Ibid. 8
198
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Kendala yang Dihadapi LPSK LPSK dalam memberikan layanan pemberian perlindungan memiliki tugas untuk menjamin agar saksi dapat memberikan keterangan pada setiap proses pemeriksaan perkara pidana atas apa yang ia dengar, lihat, dan ia alami sendiri dengan aman tanpa adanya ancaman atau intimidasi dari pihak manapun, sehingga dapat memberikan kontribusi secara optimal dalam mengungkap suatu tindak pidana. Namun, LPSK dalam menjalankan tugasnya, sering menghadapi kendala sehingga hasil kerja LPSK menjadi tidak optimal. Berdasarkan hasil penelitian, kendala-kendala LPSK selama menjalankan tugasnya memberikan perlindungan hukum bagi saksi diidentifikasi ke dalam 2 (dua) kategori, faktor internal dan eksternal LPSK, sebagai berikut: Kendala internal Dari segi kedudukan LPSK Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan kedudukan LPSK berada di Jakarta. Bisa dibayangkan jika LPSK dipusatkan di Jakarta, jelas akan sulit menangani permohonan yang telah dikabulkan LPSK pada waktu yang bersamaan. Jelas, di tingkat operasional, perlu desentralisasi penanganan. Untuk mengatasi hal tersebut, UU PSK memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di wilayah atau daerah lain jika hal tersebut dianggap menjadi peran yang sangat penting untuk pemberian perlindungan. Pilihan UU PSK memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis wilayah Republik Indonesia yang sangat luas dan akses informasi maupun komunikasi yang terbatas baik antara wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya, dan kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi di luar wilayah Jakarta. Perwakilan LPSK di daerah bisa didirikan ditingkat wilayah tertentu (antar propinsi) atau dapat juga didirikan di tiap propinsi atau dalam kondisi khusus (penting dan mendesak) LPSK perwakilan bisa juga didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka LPSK mendirikan kantor perwakilannya. Banyaknya permohonan perlindungan dari daerah menjadi indikasi bahwa warga daerah lebih rentan terkena dampak hukum. Banyaknya jumlah permohonan dari daerah luar Jakarta tersebut bertolak belakang dengan keberadaan LPSK yang hanya berada di Jakarta sehingga membuat para pemohon kesulitan untuk meminta perlindungan. Untuk menampung pemohon perlindungan yang ada di daerah, LPSK bahkan harus menjemput bola sekaligus terus menyosialisasikan fungsi lembaga ke daerah-daerah. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
199
Masalah atas minimnya kewenangan dari LPSK dalam praktiknya dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi dari pekerjaan yang harus dilakukan LPSK. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam melaksanakan sebagian dari tugas-tugasnya LPSK akan tergantung pula dengan keberadaan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu, maka ketergantungan akan kerjasama dari institusi lainnya harus segera disadari oleh LPSK, dalam konteks ini ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian yakni adanya problem eksistensi antar lembaga negara maupun antar instansi pemerintah bisa dikatakan tidak akan pernah hilang. UU PSK sebenarnya sudah menentukan kewenangan dari LPSK, maka untuk membantu dan mendukung kerja-kerja LPSK harus segera membuat (pemetaan) daftar kewenangan dan turunan kewenangan yang telah dimandatkan oleh UU PSK. Setelah melakukan pemetaan, LPSK sebaiknya melihat kembali beberapa kelemahan dari kewenangan dan menutupinya dengan menetapkan dalam sebuah keputusan internal LPSK. Walaupun nantinya keputusan LPSK akan terbatas dapat diterapkan di luar LPSK. Namun dengan melakukan pemetaan kebutuhan, (tentunya untuk memperbesar kewenangan) LPSK bisa juga menggunakan perjanjian-perjanjian atau membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan berbagai instansi lainnya, tentunya dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan menggunakan model SKB atau perjanjian pemerintah ini diharapkan masalah kewenangan antar lembaga dapat diminimalisir. Dari segi anggaran UU PSK menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu ruang lingkup dari pengeluaran adalah pengunaan atau pendirian tempat perlindungan atau “rumah aman” untuk para saksi maupun orang terkait dengan saksi, misalnya keluarga saksi. Anggaran menggunakan rumah aman harus ada dalam program perlindungan. Apakah LPSK ingin membangun sendiri atau menyewa dari pihak-pihak lainnya. Biaya lain yang akan dibutuhkan oleh LPSK adalah berkenaan dengan biaya-biaya khusus yang dikeluarkan untuk perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi. Beberapa hal yang mempengaruhi besarnya biaya tiap kasus yang dilindungi meliputi berbagai faktor, termasuk di dalamnya adalah apakah saksi memiliki keluarga yang membutuhkan perlindungan, waktu yang dihabiskan oleh saksi di tempat tinggal sementara, standar kehidupan saksi, dan hak saksi atas bantuan keuangan. Adanya berbagai macam faktor yang mempengaruhi biaya dan ketidakpastian pengeluarannya di masa yang akan datang akan membuat makin sulit untuk memprediksi dengan tepat jumlah biaya yang akan dikeluarkan untuk membantu saksi. 200
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Dari segi SDM, terkait dengan kemampuan LPSK menangani dan menindaklanjuti permohonan yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini didukung oleh pendapat Tasman Gultom,10 yang menyatakan, “Jumlah permohonan yang masuk ke LPSK tidak sebanding dengan jumlah personil LPSK, namun dengan jumlah yang sedikit kami berusaha untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.” Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang mungkin paling sering dialami saksi ketika berhadapan dengan LPSK adalah terlalu lamanya proses pengambilan keputusan mengenai diterima atau tidaknya permohonan perlindungan yang diajukan saksi yang harus menunggu Sidang Paripurna dimana hal ini disebabkan karena kurangnya personil dari LPSK sendiri untuk bisa menangani dalam waktu yang bersamaan semua permohonan yang masuk ke LPSK yang meningkat dari tahun ke tahun. Ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini belum mengakomodasi dan memberikan kewenangan LPSK untuk menentukan sistem manajemen SDM sendiri. Sebagai gambaran, kriteria perlindungan antara lain; memenuhi kualifikasi pengalaman perlindungan pribadi, penanganan senjata, hukum dan psikologi, memenuhi integritas menjaga rahasia, memenuhi profil psikologis mengubah peran, merekrut jenis pegawai yang lazim dan fleksibel (pegawai tetap, pegawai kontrak/honorer, dan tenaga sukarela), menentukan kebijakan rotasi staf setiap 3-5 tahun (untuk pengembangan karir, pencegahan korupsi dan sifat pekerjaan yang menuntut produktivitas tinggi)11. Perlu juga memuat ruang lingkup kemandirian sistem manajemen SDM LPSK yang berbasis kompetensi atau meritrokrasi. Misalnya seperti persyaratan menjadi pegawai LPSK, kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai, pola kepangkatan, ketentuan mengenai penyertaan jenjang kepangkatan pegawai yang dipekerjakan ke dalam jenjang kepangkatan di LPSK, dan dasar yang kuat terhadap aturan mengenai gaji, honorarium, serta hak-hak lain bagi pegawai LPSK. Keberhasilan program kerja LPSK hanya dapat dicapai jika adanya dukungan baik dari segi penambahan jumlah personil maupun sumber daya manusia yang baik dari kalangan pegawai atau staf yang bekerja di LPSK. Karena itulah maka keberadaan dukungan staf yang berintegritas tinggi, profesional, berkualitas dan memiliki produktifitas yang tinggi sangatlah penting dalam kerja LPSK terutama jika dikaitkan dengan misi yang spesifik dari kerja-kerja perlindungan saksi yang menuntut kedisiplinan dan kerahasiaan yang sangat tinggi. Wawancara pada tanggal 26 November 2012. Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk.go.id/upload/ MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012. 10 11
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
201
Kendala eksternal Dari segi koordinasi LPSK dalam melakukan perlindungan terhadap khususnya terhadap saksi tentunya menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi lain. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK dalam melakukan perlindungan saksi dapat berkoordinasi dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh saksi. Oleh karena itu pula, hubungan antar lembaga tersebut harus didukung dan difasilitasi oleh Presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang membawahi masing-masing departemen atau lembaga terkait lainnya. Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi sehingga menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam melindungi saksi. Salah satu masalah yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihak-pihak terkait yang berwenang khususnya aparat penegak hukum. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling utama dari LPSK yaitu melindungi saksi. Padahal, pemberian perlindungan saksi dan korban mustahil memutus peran berbagai pihak terkait. Dari pihak penegak hukum misalnya, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, advokat, dan hakim. Berdasarkan hasil penelitian, banyak aparat penegak hukum yang belum mengetahui keberadaan LPSK. Padahal, LPSK yang dibentuk pada 8 Agustus 2008 lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berkaitan langsung dengan aparat penegak hukum. Hal ini diperkuat dengan pendapat Tasman Gultom,12 yang menyatakan, “LPSK sudah sering melakukan sosialisasi ke daerah di luar Jakarta namun sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui keberadaan LPSK khususnya bagi aparat penegak hukum contohnya ada seorang hakim di Pengadilan Negeri di Jakarta yang mengatakan LPSK itu LSM dari mana.” Hal yang sama juga disampaikan Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi, dan Humas LPSK, Hotma David Nixon13, yang mengatakan, “Mayoritas aparat penegak hukum tidak kenal LPSK. Apakah LSM atau lembaga negara? Bahkan, jaksa, hakim, kepolisian, tidak tahu.” Wawancara pada tanggal 26 November 2012. Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6.com/ read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada bulan Agustus 2012. 12 13
202
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Ironis memang, jika bahkan penegak hukum sendiri yang tidak mengenal LPSK, itu sangat menyedihkan, dan bukan hanya aparat penegak hukum yang tidak mengetahui adanya LPSK sebagai lembaga negara yang membidangi masalah perlindungan saksi dan korban, tetapi anggota DPR juga ada yang tidak mengetahui keberadaan lembaga ini. Anggota DPR Komisi X Deddy ‘Miing’ Gumelar saja tidak tahu apa itu LPSK ketika dia dipindahkan ke Komisi III bidang hukum. Ada juga seorang hakim di Bekasi yang mengira LPSK itu sebuah LSM. LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagian-bagian dimana LPSK tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi tugas dan wewenang lembaga penegak hukum lainnya. Misalnya masalah peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama dengan pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Artinya, dengan mengharmonisasikan perbedaan yang ada maka diharapkan LPSK dapat menjadi lembaga yang komplemen yang dapat berguna bagi lembaga-lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Intimidasi dari pihak tertentu Selain aspek koordinasi di atas, kendala yang juga sering dihadapi LPSK dalam menjalankan tugasnya adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin menghalangi LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi. Contohnya pada kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan terdakwa 12 prajurit Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo yang saat ini sudah masuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Militer (Dilmil) II-11 Yogyakarta. Salah satu bukti dari pentingnya peran LPSK dalam memberikan perlindungan hukum bagi saksi kasus penyerangan Lapas Cebongan tersebut adalah dengan mengajukan permohonan penggunaan video teleconference ke Mahkamah Agung untuk beberapa saksi yang tidak ingin bersaksi secara langsung didepan pengadilan karena masih mengalami trauma pasca kejadian penyerangan tersebut dimana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara umum menyatakan bahwa saksi yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa dan dapat didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Permohonan LPSK tersebut telah mendapat persetujuan MA dimana MA menyetujui penggunaan alat bantu video conference untuk proses pemberian kesaksian Cebongan di Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
203
Pengadilan Militer II–11 Yogjakarta Meskipun MA telah menyetujui penggunaan alat bantu video conference, namun berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU Perlindungan Saksi dan Korban, penggunaan alat tersebut harus berdasarkan persetujuan hakim. PENUTUP Kesimpulan Perlindungan terhadap saksi dilakukan berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam setiap proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Hadirnya LPSK dengan segala kewenangan, tanggung jawab dan peran yang diembannya merupakan sebuah pencapaian penting dalam konteks pemenuhan hak saksi. Namun dalam menjalankan tugasnya, LPSK sering mengalami kendala baik yang bersifat internal maupun kendala yang bersifat eksternal. Selain itu, adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu dapat pula mempengaruhi peran LPSK dalam memberikan perlindungan hukum bagi saksi. Saran Untuk optimalisasi perlindungan hukum terhadap saksi dibutuhkan peran pemerintah bersama-sama LPSK untuk lebih fokus lagi melakukan sosialisasi tentang perlindungan hukum terhadap saksi yang tidak hanya berpusat di ibukota setiap propinsi saja tetapi diharapkan dapat sampai ke tingkat pedesaan agar masyarakat dapat mengetahui dan mudah memahami apa hak-hak mereka ketika menjadi saksi dan tidak takut lagi memberi kesaksiannya. Keberadaan LPSK mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu khususnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan pekara pidana di Indonesia. Meningkatnya jumlah perlindungan terhadap saksi dari tahun ke tahun menjadi dasar bagi LPSK untuk segera membentuk kantor perwakilan LPSK di luar wilayah Jakarta karena sebagian besar permohonan perlindungan lebih banyak berasal dari daerah luar Jakarta.
204
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
DAFTAR PUSTAKA Abdul Haris Semendawai. 2011. Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia. Disampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas Hukum-UI, Jakarta. Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6. com/read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada bulan Agustus 2012. Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia “22 dari 30 Saksi Korupsi Alami Serangan Balik”, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Agustus 2012. Muhammad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/? pilih=news&mod= yes&aksi=lihat&id=46, diakses pada 13 September 2012. Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk. go.id/upload/MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012. Rahmat Hardiansya. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini. com/home/index-berita/3260-lpsk-akan-buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pada bulan Agustus 2012. Surastini Fitriasih, 2012. Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op= viewarticle&artid=53, diakses pada 13 September 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
205
206
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENERAPAN SARANA HUKUM DALAM PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) MEDIS DI RSUD SALEWANGANG MAROS Imran Haris, Irwansyah, Muhammad Ashri
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENERAPAN SARANA HUKUM DALAM PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) MEDIS DI RSUD SALEWANGANG MAROS Oleh: Imran Haris1*, Irwansyah2, Muhammad Ashri3 1
Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros Jl. Poros Makassar-Maros Km. 3, Maros
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract The results showed that the application of environmental law compliance instruments has not optimal it is seen from the technical aspects of the operation, there are still officers who have not obeyed in the process of sorting medical waste and non-medical waste. In administrative aspect application of environmental law compliance instruments such as environmental quality standards already qualified quality standards air incinerator, the Environment management and environmental monitoring effort documents as aprerequisiteto apply for environment permit. There is low compliance and adherence toresponsible business and/or activity of the licensing aspect especially hazardous and toxic waste management license and not optimal application of sanctions for discovery violations in the management of medical hazardous and toxicwaste. Compliance and enforcement of environmental law sinfluenced by legislation, the law enforcer, facilities and infrastructure, society and culture of law Keywords: Medical Hazardous Andtoxicwaste, Enforcement of Environmental Laws Abstract Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan instrumen penaatan hukum lingkungan belum optimal hal ini dilihat dari aspek teknis operasional masih terdapat petugas yang belum taat dalam melakukan proses pemilahan limbah medis dan non medis. Aspek administratif penerapan instrumen penaatan hukum lingkungan diantaranya baku mutu lingkungan sudah memenuhi syarat baku mutu udara insinerator, adanya dokumen UKL-UPL sebagai prasyarat dalam pengajuan izin lingkungan. Masih rendahnya kepatuhan dan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap aspek perizinan terutama izin pengelolaan limbah B3 dan belum optimalnya penerapan sanksi atas temuan pelanggaran dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis. Penaatan dan penegakan hukum lingkungan dipengaruhi oleh faktor peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya hukum Kata kunci: Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Penegakan Hukum Lingkungan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.1 Adanya kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, Industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah Bahan Berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik perlu dibuat dan diterapkan suatu sistem manajemen pengelolaan, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak, kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/ badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum. Untuk menunjang pelaksanaan program-program tersebut, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai manajemen pengelolaan limbah B3, hak, dan kewajiban instansi/ badan usaha yang dipimpin dan kesadaran untuk melindungi lingkungan dari pencemaran dan perusakan.2 Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap sekaligus sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), (Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2010), hlm 1. 2 Ibid. hlm. 3. 1
210
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
pelayanan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non medik menggunakan teknologi yang dapat mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.3 Dalam beberapa tahun belakangan, industri rumah sakit Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, sejak tahun 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan jumlah rumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus. Pada tahun 2009 terdapat 1.523 rumah sakit di Indonesia, jumlah ini naik 10,7% menjadi 1.686 unit pada tahun 2011.4 Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selain membawa dampak positif, rumah sakit juga membawa dampak negatif yaitu menghasilkan limbah selama kegiatannya, salah satunya yaitu limbah medis. Limbah medis rumah sakit dikategorikan sebagai limbah B3 dengan kode limbah D227 seperti disebutkan dalam Lampiran I PP No. 18 Tahun 1999 jo PP 85 Tahun 1999. Yang termasuk limbah medis antara lain limbah infeksius, patologi, benda tajam, farmasi, sitotoksis, kimia, radioaktif, kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam yang berat yang tinggi.5 Limbah medis yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan hanya 10 sampai 25% saja, sedangkan sisanya sebesar 75 - 90% dihasilkan oleh limbah domestik.6 Walaupun jumlah limbah medis yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan limbah domestik, namun limbah medis berpotensi besar dalam menimbulkan risiko terhadap kesehatan apabila tidak ditangani dengan baik. Selain itu, akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit baik bagi para dokter, perawat, teknisi, dan semua yang berkaitan dengan pengelolaan rumah sakit maupun perawatan pasien dan pengunjung RS . Berdasarkan data WHO, rata-rata produksi limbah rumah sakit di Negara-negara berkembang berkisar 1-3 kg/TT/hari, sedangkan di Negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika mencapai 5-8 kg/TT/hari.7Berdasarkan data Ditjen PP & PL Tahun 2011, diperkirakan timbulan limbah medis dalam 1 tahun sebanyak 8.132 ton dari 1.686 RS di seluruh Indonesia. Timbulan limbah medis dari rumah sakit sekitar 0,14 kg/TT.hari, dengan komposisi 80% limbah non infeksius, 15% limbah patologi & infeksius, 1% limbah benda Wiku Adisasmito, Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 2 4 Depkes, RI, Kebijakan Kesehatan Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, (Jakarta: Ditjen PP & PL, 2011). 5 Depkes, RI, Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah Cair di Rumah Sakit. (Jakarta : Direktorat Jenderal PPM & PPL dan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 2006). 6 Pruss, E.Giroult & Rushbrook, Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, (Jakarta: Penerbit EGC, 2005), hlm 3. 7 World Health Organization (WHO), Waste Management Guidelines, (Geneva: Switzerland, 1999). 3
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
211
tajam, 3% limbah kimia & farmasi. Namun, sejauh ini pengelolaan limbah medis rumah sakit di Indonesia masih dibawah standar professional belum sepenuhnya benar dan aman sehingga berpotensi mencemari lingkungan sekitar rumah sakit. Bahkan banyak rumah sakit yang membuang dan mengolah limbah medis secara sembarangan. Tahun 2009, kegiatan kajian di 6 RS (di Kota Medan,Bandung & Makasar) oleh Ditjen Penyehatan Lingkungan dan didukung WHO,hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa 65% RS telah melakukan pemilahanantara limbah medis dan limbah domestik (kantong plastik kuning dan hitam),tetapi masih sering terjadi salah tempat dan sebesar 65% RS memiliki insineratordengan suhu pembakaran antara 530 – 800 ºC, akan tetapi hanya 75% yangberfungsi. Pengelolaan abu belum dilakukan dengan baik. Selain itu belum adainformasi akurat timbulan limbah medis karena 98% RS belum melakukan pencatatan.8 Mayoritas rumah sakit di Indonesia kurang memperhatikan masalah pengelolaan limbah khususnya limbah medis B3. Dengan alasan tidak memiliki lahan pengolahan limbah yang cukup hingga alasan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk mengelola limbah B3 nya sehingga banyak yang membiarkan limbah B3 nya dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah akhir , dan jika terkontaminasi masyarakat sekitarnya akan sangat berbahaya dan menimbulkan masalah kesehatan baru diantaranya tetanus, infeksi, pencemaran udara dan pencemaran air tanah ataupun sanitasi air di sekitarnya. Pengelolaan limbah medis merupakan suatu rangkaian yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dengan pengelolaan limbah tersebut maka rantai siklus perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah medis B3 sampai penimbunan akhir oleh pengolah limbah medis B3 dapat diawasi.9 Pengelolaan limbah B3 rumah sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan rumah sakit sesuai Kepmenkes No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah medis B3 rumah sakit.10 Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dijelaskan, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Selanjutnya Depkes, RI, Kebijakan Kesehatan Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, (Jakarta; Ditjen PP & PL, 2011). 9 Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 311-312. 10 Sebagaimana dikutip pada laman website: www.pd.persi.co.id, Manajemen Limbah Rumah Sakit, diakses 7 Desember 2012. 8
212
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
pada Pasal 65 ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dijelaskan pula kewajiban pada Pasal 67 UUPPLH bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal 162 UUK mempertegas bahwa: Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan yang optimal hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan kesehatan yang menggunakan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotif), Pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) secara menyeluruh dan berkesinambungan. Untuk itu rumah sakit mempunyai peranan yang penting dan menentukan sebagai sarana dalam melangsungkan kegiatan kepalayanan kesehatan. Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Sebagai rumah sakit umum daerah yang memberikan pelayanan publik dibidang kesehatan sudah selayaknya melakukan upaya pengelolaan limbah medis secara optimal demi terwujudnya lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas ,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dasar hukum pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros? 2. Bagaimanakah instrumen hukum lingkungan yang digunakan dalam Penaatan Pengelolaan Limbah B3 Medis di RSUD Salewangang Maros? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maros dengan objek penelitiannya pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Salewangang, Maros. Dasar pertimbangan peneliti memilih Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang karena Rumah Sakit ini merupakan pusat rujukan bagi semua Puskesmas dan klinik yang ada di Kabupaten Maros. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
213
Jenis dan Tipe Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan dua metode penelitian, yaitu penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dan penelitian yuridis empiris. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh staf di Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros dan masyarakat yg bertempat tinggal di sekitar rumah sakit, yang keseluruhannya berjumlah 119 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yang meliputi: a. Petugas instalasi penghasil limbah medis: 9 orang; b. Kepala Instalasi Perbekalan Sarana Rumah Sakit: 1 orang; c. Petugas Sanitasi Rumah sakit: 3 orang; d. Petugas Insenerator Rumah Sakit: 1 orang; e. Cleaning Services RS. Salewangang Maros: 5 orang; f. Direktur: 1 orang; g. Masyarakat di sekitar RS. Salewangang Maros: 5 orang; dan h. Petugas Pengawasan, BLHD Kab. Maros: 2 orang. Jenis dan Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder (secondary data) dan data primer (primary data). Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan; pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan daftar pertanyaan (kuesioner).Sesuai dengan sumber data seperti yang dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara : Analisis Data Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. 214
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dasar Hukum Pengaturan Pengelolaan Limbah B3 Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip–prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam UUPPLH sebagai pengganti Undang-undang No. 23 Tahun 1997. Pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 1 angka (23) UUPPLH adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 59 ayat (7) UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Memerhatikan ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti. Adapun Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 saat ini yaitu: Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP No. 18 Tahun1999), yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP No. 18 Tahun 1999) Berdasarkan Pasal 8 PP 85/1999, mengenai limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran Tabel I, Tabel 2 PP 85/1999, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) PP 85/1999 dan atau ayat (4), maka limbah tersebut merupakan limbah B3, jika limbah tersebut berdasarkan uji karekteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif, dan/atau berdasarkan pengujian toksikologi limbah tersebut bersifat akut dan/atau kronik. Pengelolaan Limbah B3, berdasarkan Pasal 1 angka (3) PP 18/1999 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Memerhatikan kembali ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti, maka PP No. 18/1999, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan PP No. 85/1999. PP No. 18/1999 sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 85/1999 dinyatakan masih tetap berlaku, maka ketentuan mengenai Perizinan dalam Pengelolaan Limbah B3, di atur dalam Pasal 40 PP No. 18/1999. Pelaksanaan Pengelolaan Limbah B3 Medis di RSUD Salewangang Maros Karakteristik limbah B3 medis di RSUD Salewangang Maros Berdasarkan hasil penelitian antara lain diketahui bahwa limbah B3 yang dihasilkan oleh RSU Salewangang Maros merupakan limbah B3 dari sumber spesifik sebab limbah Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
215
tersebut berasal dari sisa proses suatu kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian limbah dengan Kode Limbah D227. Hal ini mengacu pada apa yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Kepastian tentang teridentifikasinya limbah medis RSU Salewangang Maros sebagai limbah B3 juga dapat dilihat dari terpenuhinya beberapa kriteria limbah B3 sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PP No. 85 Tahun 1999, antara lain: ”…limbah tersebut memiliki karakteristik…beracun dan/atau bersifat dan/atau menyebabkan infeksi dan/atau bersifat korosif” Dengan telah terpenuhinya beberapa unsur dari tahapan di atas maka uji toksikologi tidak lagi diperlukan, sebab limbah medis yang dihasilkan RSU Salewangang Maros menurut PP No. 85 Tahun 1999 telah teridentifikasi sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Berikut ini jenis limbah B3 medis yang dihasilkan RSUD Salewangang Maros dijabarkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis limbah B3 medis berdasarkan sumbernya Sumber Poliklinik Rawat Inap
Ruang Bedah/Operasi
Ruang Bersalin UGD ICU Laboratorium
Apotek Radiologi
Jenis Limbah Medis Jarum suntik, spoit, sarung tangan disporable,kapas bekas darah atau cairan tubuh, masker disposable Jarum suntik, spoit, selang infus, plabot infus, placon, kateter, kassa bekas, sarung tangan disposable, masker disposable, botol/ampul obat, kapas/perban yang terkena darah atau cairan tubuh, selang transfusi darah, alkohol swab. Sarung tangan disposable, jarum suntik, masker disposable, spoit, selang infus, botol infus, kateter, pisau bedah yang rusak, jaringan tubuh, kantong darah, benang operasi, kassa bekas cairan tubuh/darah, dressing, penutup kepala. Jarum suntik, spoit, sarung tangan disposable, masker disposable, selang infus, plabot infus, pembalut bekas, sisa darah, kateter, botol/ampul obat, placenta, dressing Jarum suntil, spoit, selang infus, botol infus, kateter, sarung tangan disposable, masker disposable, botol/ampul obat, kassa, kapas/perban yang terkena darah atau cairan tubuh. Jarum suntik, spoit, selang infus, botol infus, kateter, sarung tangan disposable, masker disposable, botol/ampul obat, kapas/perban yang terkena darah atau cairan tubuh Spoit, pot sputum, pot urine/faeces, reagent, bahan-bahan kimia, kaca slide, patahan ujung pipet, serum, kapas, masker disposable, sarung tangan disposable, alkohol swab, serum, wadah spesimen/bekas sedian dari kegiatan patologi Obat kadaluarsa, sisa racikan obat, krim/salep yang tidak tersimpan dalam tube yang tidak bersegel Jarum suntik, spoit, sarung tangan disposable, masker disposable
Sumber: Data primer yang diolah, 2012
216
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa unit yang menjadi sumber penghasil limbah medis berupa limbah infeksius yaitu Rawat Inap, Poliklinik, Ruang Bedah, Ruang Bersalin, UGD, ICU, Laboratorium. Limbah patologi dihasilkan oleh Ruang Bedah, Ruang Bersalin,Laboratorium. Limbah kimia dihasilkan oleh laboratorium. Limbah farmasi dihasilkan apotek, sedangkan limbah benda tajam dihasilkan hampir seluruh sumber kecuali apotek. Dalam hal timbulan limbah medis diperoleh dengan melakukan perhitungan terhadap rekapitulasi jumlah limbah medis. Untuk mengetahui rataan timbulan dari masing-masing sumber dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Limbah B3 Medis Berdasarkan Jenis Pelayanan No.
Jenis Pelayanan
1
Polikklinik Rawat Inap : - Perawatan Anak - Perawatan Dewasa - Perawatan VIP Melati - Perawatan VIP Anggrek - Perawatan Kelas I & II - ICU UGD Ruang Bedah Ruang Bersalin Laboratorium Jumlah
2
3 4 5 6
Rataan Harian Limbah Medis (Kg) % 0,86 4,75 47,32 8,57 0,63 1,92 1,47 1,26 2,85 0,44 1,63 9,00 3,74 20,65 1,17 6,46 2,14 11,82 18,11 100
Sumber: Data primer yang diolah, 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sumber yang menghasilkan limbah medis paling banyak yaitu ruang rawat inap sebesar 8,57 kg (47,32%) dan yang paling sedikit yaitu poliklinik sebesar 0,85 kg (4,75%). Hal ini dikarenakan di poliklinik hanya melakukan pemeriksaan diagnostik saja dan tidak melakukan tindakan medis seperti ruang bedah. Dalam hal pemilahan limbah medis masih ditemukan pemilahan yang salah tempat seperti yang terjadi di polik gigi terdapat tissu dan botol plastik kemasan air mineral dimasukkan kedalam kantong plastik limbah B3 medis. Hasil wawancara didapatkan informasi bahwa memang terkadang terjadi pemilahan yang tidak pada tempatnya. Hal ini dikarenakan kantong plastik yang digunakan untuk limbah B3 medis dan limbah non B3 medis menggunakan kantong plastik hitam. Di samping itu juga masih ada petugas yang tidak taat dalam memilah dan membuang limbah medis tidak sesuai jenisnya sehingga ada limbah yang tercampur antara limbah medis dan limbah non medis. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
217
Hasil wawancara dengan petugas kesehatan lingkungan RSUD Salewangang,11 menjelaskan bahwa untuk mengantisipasi tercampurnya antara limbah medis dan limbah non medis kami sudah melakukan sosialisasi dengan memasang prosedur tetap (protap) penanganan limbah medis di masing-masing ruangan. Berdasarkan hasil observasi di salah satu kamar di ruang perawatan ditemukan botol infus bekas dan kassa, perban yang dibuang ke dalam wadah limbah non medis. Hasil wawancara dengan kepala ruangan perawatan didapatkan informasi bahwa botol infus bekas dan kassa, perban dibuang ditempat sampah non medis karena pada saat penggantian cairan infus, perawat lupa mengambil botol infus bekas dan kassa, perban sisa pembersihan luka. Kemudian oleh penjaga pasien membuang ditempat sampah yang ada di kamar.12 Pengaturan khusus yang mengatur tentang pengelolaan limbah medis padat diatur dalam Lampiran IV (Pengelolaan Limbah) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/MENKES/ SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Hasil Penelitian ditemukan wadah sampah yang dilapisi dengan kantong plastik berwarna hitam untuk limbah medis yang seharusnya wadah Limbah medis menggunakan label (warna kantong plastik/kontainer) berwarna kuning untuk limbah infeksius, patologi dan anatomi. Masih terdapat petugas yang belum taat dalam melakukan proses pemilahan limbah medis dan limbah non medis sesuai dengan Prosedur Tetap (Protap) Penanganan Limbah Medis RSUD Salewangang Maros dan Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/ SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Pada lampiran IV disebutkan bahwa pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah dan limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti bocor dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak membukanya. Dalam kegiatan pengumpulan limbah B3 medis perlu diperhatikan ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf (a) PP 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, dimana disebutkan bahwa setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab. Dengan demikian, kegiatan pengumpulan limbah B3 medis wajib memperoleh izin dari instansi yang bertanggung jawab. Namun perlu diketahui bahwa kegiatan pengumpulan limbah B3 seperti dimaksud Pasal 40 ayat (1) huruf (a) di atas hanya ditujukan bagi pelaku Yulfitriani, Petugas Kesehatan Lingkungan RSUD Salewangang Maros (kutipan wawancara tanggal 15 November 2012) 12 Sunarni, Kepala Perawatan VIP Melati RSUD Salewangang Maros (kutipan wawancara tanggal 18 November 2012) 11
218
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
usaha dan/atau kegiatan yang tidak mengolah sendiri limbah B3 tetapi menyerahkan kepada pusat-pusat pengolahan yang telah mendapat izin dari Bapedal. Jadi kewajiban untuk memperoleh izin bagi kegiatan pengumpulan limbah B3 tidak berlaku bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang mengolah sendiri limbah B3 seperti yang dilakukan di RSUD Salewangang Maros. Berdasarkan hasil pengamatan pengumpulan limbah B3 medis dilakukan pada waktu pagi (pukul 06.30–09.00) dan sore (pukul 15.00–17.00). Waktu pengumpulan Limbah B3 medis sebaiknya sesegera dan sesering mungkin sebab jika lebih sering dikumpulkan maka langkah berikutnya yakni pengangkutan akan lebih mudah dilaksanakan, sehingga mikroorganisme tidak sempat berkembang biak di dalamnya dan resiko terbakar, terkena racun atau terinfeksi limbah B3 medis dapat dihindarkan baik terhadap petugas kesehatan, pasien, keluarga pasien, pengunjung dan masyarakat yang ada disekitar RSUD Salewangang. Hal tersebut penting sebab dapat memengaruhi proses selanjutnya dari upaya pengelolaan limbah B3 medis di RSUD Salewangang Maros, sekaligus merupakan bagian dari upaya merealisasikan tujuan pengelolaan limbah B3 seperti dimaksud dalam Pasal 2 PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Pengangkutan limbah B3 medis Diatur berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir (14) PP No.18 tahun 1999
tentang
Pengelolaan Limbah B3. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengangkutan limbah B3 medis yang dilakukan di RSUD Salewangang Maros adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 medis yang berasal dari penghasil dan/atau dari pengumpul untuk selanjutnya di proses dalam tahap akhir, yakni pemusnahan ataupun penimbunan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keseluruhan kegiatan pengelolaan limbah B3 medis di RSUD Salewangang dilakukan dalam lingkungan internal rumah sakit sehingga kegiatannya berada langsung dibawah koordinasi dan tanggung jawab pihak pengelola rumah sakit. Begitu pula halnya dengan kegiatan pengangkutan sebagai salah satu unsur dari keseluruhan sistem pengelolaan limbah B3 medis. Olehnya itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) huruf (b) PP No. 18 tahun 1999 yang membebankan kewajiban bagi pengangkut limbah B3 untuk memiliki izin pengangkutan dari menteri perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab (Bapedal), tidak berlaku lagi bagi pengangkutan limbah B3 medis di RSUD Salewangang, sebab izin tersebut ditujukan bagi pelaku usaha dan atau kegiatan yang menyerahkan pengelolaan limbah B3 kepada pihak lain. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
219
Hasil pengamatan terlihat bahwa pengangkutan limbah B3 medis di RSUD Salewangang Maros dilakukan dengan menggunakan gerobak yang terbuka dan didalamnya tidak ada sekat pemisahan antara limbah medis dan limbah non medis. Jadi baik limbah medis maupun non medis masih diangkut dalam gerobak yang sama pada saat yang bersamaan pula. Jadi pengangkutan limbah B3 medis ke TPS dengan kondisi kondisi yang tidak memenuhi standar. Setelah tahap pengangkutan, tahap selanjutnya yaitu menyimpan limbah medis di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3 medis. Berdasarkan hasil observasi dilokasi TPS limbah B3 medis ditemukan tumpukan limbah medis yang berada dalam kantong plastik hitam dan tidak dimasukkan ke dalam tempat penampungan sementara limbah B3 medis yang telah disiapkan. Pengaturan tentang lama penyimpanan limbah B3 medis di atur dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yakni penyimpanan limbah medis padat harus sesuai dengan iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama 48 jam dan musim kemarau paling lama 24 jam. Hasil penelitian didapatkan bahwa Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 medis RSUD Salewangang Maros sudah sudah sesuai dengan Keputusan Kepala Bapedal No. KEP-01/BAPEDAL/09/1995 Tentang Tata Cara persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3 yakni persyaratan bangunan penyimpanan kemasan limbah B3 memiliki rancang bangun yang sesuai dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan dan/akan disimpan. Pengolahan limbah B3 medis Pengolahan limbah medis dengan menggunakan insinerator harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Kepala Bapedal No. KEP03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas insinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Insinerator yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi. Penimbunan Penimbunan hasil pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengolahan limbah B3. Penimbunan limbah B3 harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun persyaratannya. Meskipun limbah B3 yang akan ditimbun sudah diolah 220
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
sebelumnya, tetapi limbah tersebut masih berpotensi mencemari lingkungan. Untuk mencegah pencemaran akibat timbulan lindi, maka limbah B3 harus ditimbun pada lokasi yang memenuhi persyaratan teknis tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan limbah B3 medis hasil pengolahan dengan cara pembakaran menghasilkan residu. kemudian abu tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam dan ditampung untuk selanjutnya dilakukan penimbunan. Penimbunan berlokasi tidak jauh dari Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3 medis. Penimbunan dilakukan dengan alasan sudah aman dan tidak ada tempat untuk membuang residu tersebut. Penimbunan residu hasil pengolahan didasarkan pada Pasal 25 ayat (2) PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dijelaskan: ”Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari usaha dan/atau kegiatannya sendiri”. Pendekatan Penaatan Hukum Pengelolaan Limbah B3 Medis di RSUD Salewangang Maros Baku mutu lingkungan Untuk mengetahui kualitas udara saat pembakaran limbah B3 medis, RSUD Salewangang melakukan uji emisi udara insinerator yang dilakukan bekerja sama dengan Laboratorium Uji Dan Kalibrasi BBIHP Makassar Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementrian Perindustrian. Metode sampling pemeriksaan emisi insinerator dilakukan saat insinerator beroperasi. Parameter yang digunakan dalam pemantauan emisi udara insinerator sesuai Keputusan Kepala Bapedal Nomor 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Baku Mutu Insinerator. Berikut ini hasil Uji emisi insinerator RSUD Salewangang Maros (Tabel 3). Tabel 3. Hasil uji emisi insinerator RSUD Salewangang Maros
Parameter
Satuan
Hasil
Baku Mutu
Partikel Sulfur dioksida (SO2) Nitrogen dioksida (NO2) Hidrogen Fluorida (HF) Hidrogen Khlorida (HCl) Karbon Monoksida (CO) Arsen (As) Kadmium (Cd) Khromium (Cr) Timbal (Pb) Merkuri (Hg) Opasitas
mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3
31,93 24,05 140,34 < 0,5 14,64 30,92 < 0,02 < 0,005 < 0,1 0,1804 < 0,05 10
50 250 300 10 70 100 1 0,2 1 5 0,2 10
Metode uji/Teknik SNI 19-7117.12-2005 SNI 19-7117.3.1-2005 SNI 19-7117.5-2005 SNI 19-7117.9-2005 SNI 19-7117.8-2005 SNI 19-7117.10-2005 SNI 19-7117.20-2005 SNI 19-7117.20-2005 SNI 19-7117.20-2005 SNI 19-7117.20-2005 SNI 19-7117.20-2005 SNI 19-7117.11-2005
Sumber: Diolah dari Hasil Uji Emisi Insinerator RSUD Salewangang, 2012 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
221
Berdasarkan hasil uji emisi insinerator menunjukkan bahwa parameter-parameter yang dilakukan pemeriksaan masih di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) artinya memenuhi syarat baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan merupakan instrumen yang berguna bagi pengelolaan lingkungan hidup, karena undang-undang itu sendiri menegaskan supaya tidak melanggar baku mutu lingkungan. AMDAL/UKL-UPL Instrumen AMDAL sangat berperan dalam pengaturan pengelolaan limbah B3. Dengan adanya instrumen ini, maka hukum memberikan beberapa kewajiban tertentu kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 untuk melakukan pemantauan atau pengelolaan terhadap limbah B3 yang dihasilkan. Dengan demikian resiko tercemarnya atau rusaknya lingkungan dapat diperhitungkan dan kegiatan penanggulangannya dapat segera dilaksanakan. Selanjutnya Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengeni Dampak Lingkungan. Berdasarkan lampiran I Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bidang Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya disebutkan bahwa untuk kegiatan pengolahan limbah B3 secara thermal dengan menggunakan insinerator wajib memiliki Amdal kecuali mengolah limbah B3 yang dihasilkan sendiri dan berasal dari 1 (satu) lokasi kegiatan. Dengan kata lain bahwa pengolahan limbah B3 dengan menggunakan insinerator yang dilakukan RSUD Salewangang berasal dari 1 (satu) lokasi kegiatan. Artinya pengelolaan limbah B3 di RSUD Salewangang Maros tidak wajib Amdal tetapi wajib UKL-UPL. Berdasarkan telaah dokumen UKL/UPL operasional RSUD Salewangang Maros adalah rumah sakit tipe C yang akan dioperasionalkan (dilaksanakan) oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Merupakan kegiatan yang tidak wajib AMDAL, namun kegiatan ini wajib membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) karena dalam proses kegiatannya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 494/VII/Tahun 2003 tentang Jenis kegiatan dan/atu usaha yang wajib dilengkapi dengan UKL dan UPL di Propinsi Sulawesi Selatan dan Surat Edaran Bupati Maros No. 660.1/02/ Bapedalda/2001, tanggal 4 maret 2001 tentang Kewajiban Penyusunan AMDAL atau UKL/ UPL bagi pengusaha/ kegiatan proyek. 222
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Pemantauan lingkungan pada dasarnya adalah suatu kegiatan/upaya yng dilakukan oleh pemrakarsa dan instansi terkait lain karena dianggap berwenang untuk memantau dampak aktivitas yang dilakukan. Selain itu, UPL juga dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui sejauh mana UKL telah dilakukan pemrakarsa, apakah lingkungan telah dikelola dengan bijaksana atau tidak sesuai dengan kesepakatan dan aturan yang ada. Untuk memperoleh hasil pemantuan yang akurat dan independen, maka pemantauan dilakukan dengan melibatkan instansi terkait, baik yang dilakukan secara rutin maupun yang insidentil.Pemantauan rutin akan dilakukan oleh pihak RSUD Salewangang Kabupaten Maros sendiri. Pemeriksaan sampel, selain diuji di laboratorium yang telah dipersiapkan juga akan diuji instansi yang terkait, sebagai pembanding atau kontrol. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, maka uraian pemantauan lingkungan meliputi sumber dan jenis dampak yang dipantau, sifat dan tolak ukur dampak, cara atau teknik pemantauan, parameter yang dipantau, lokasi pemantauan, waktu pemantauan dan institusi pelaksana pemantuan lingkungan. Jenis–jenis dampak yang diperkirakan akan timbul dari kegiatan tersebut adalah penurunan kualitas udara, gangguan hidrologi, gangguan transportasi kerusakan badan jalan,kesempatan kerja/berusaha, pendapatan, keresahan masyarakat, gangguan kesehatan masyarakat, estetika dan sanitasi lingkungan. Perizinan Tata Laksana perizinan pengelolaan limbah B3 tersebut, diatur dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (Permen LH No. 18/2009). Selanjutnya ditemukan pula pengaturannya dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 18 Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan tersebut kegiatan pengumpulan dan pengangkutan wajib memperoleh izin dari instansi yang bertanggung jawab. Namun perlu diketahui bahwa kegiatan pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 seperti dimaksud Pasal 40 ayat (1) huruf (a) di atas hanya ditujukan bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang tidak mengolah sendiri limbah B3 tetapi menyerahkan kepada pusat-pusat pengolahan yang telah mendapat izin dari Bapedal. Jadi kewajiban untuk memperoleh izin bagi kegiatan pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 tidak berlaku bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang mengolah sendiri limbah B3 seperti yang dilakukan di RSUD Salewangang Maros. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
223
Berdasarkan telaah dokumen dan wawancara dengan Kepala Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD Salewangang diperoleh informasi terkait perizinan kegiatan pengelolaan limbah B3 medis pihak rumah sakit belum memiliki izin pengelolaan limbah B3 seperti izin penyimpanan sementara limbah B3, izin pengoperasian insinerator dengan alasan masih dalam tahap pengurusan izin. Hasil wawancara dengan Kepala IPSRS RSUD Salewangang13 menginformasikan bahwa izin TPS limbah B3 dan isinerator kami masih sementara proses dikarenakan insinerator yang ada itu baru dan mulai dioperasikan sejak akhir Desember 2012. Izin insinerator diterbitkan oleh kementrian lingkungan hidup, sedangkan untuk TPS limbah B3 juga baru digunakan januari 2013 dan izinnya diterbitkan Bupati. Dalam UUPPLH, Perizinan merupakan instrumen preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup. Terdapat 2 (dua) jenis izin yakni izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebgai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36) Audit lingkungan Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2013 tentang Audit lingkungan hidup dijelaskan bahwa Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyarata hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Audit lingkungan dilakukan bertujuan untuk menentukan apakah pelaksanaan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) sesuai dengan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah direncanakan diterapkan dengan benar dan dipelihara. Kegiatan lain yang dilakukan dalam audit lingkungan adalah memeriksa dan mengidentifikasi resiko-resiko lingkungan yang berarti, antara lain yang berkaitan dengan : a. Penggunaan bahan masukan dan smber daya alam, proses atau kegiatan rumah sakit dan limbah yang dihasilkan termasuk limbah B3; b. Identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, limbah B3 serta potensi kerusakan yang mungkin timbul. Sedangkan fungsi dari audit lingkungan pada rumah sakit antara lain meliputi di dalamnya: Rahmawati, Kepala Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD Salewangang Maros (kutipan wawancara tanggal 2 November 2012) 13
224
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
a. Upaya peningkatan penaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan lingkungan hidup misalnya, standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi lainnya seperti minimisasi limbah B3. b. Dokumentasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan, standar operasi, prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tanggap darurat, pemantuan dan pelaporan serta perubahan pada proses; c. Jaminan untuk menghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan d. Bukti keabsahan perkiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dlam dokumen AMDAL; e. Upaya perbaikan pembangunan sumber daya melalui penghematan penggunaan bahan, minimisasi limbah dan identifikasi kemungkinan proses daur ulang. f. Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan, misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi sumber daya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan terhadap materi yang terkandung dalam tesis ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelolaan Limbah B3 Medis merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. yang medis bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. 2. Penerapan pendekatan penaatan dalam pengelolaan limbah B3 medis di RSUD Salewangang Maros dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan yang berkaitan dengan Baku Mutu Lingkungan, Amdal/ UKL-UPL, Perizinan, Audit Lingkungan Saran Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran dalam tesis ini, yaitu: 1. Perlu kiranya memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah B3 medis kepada petugas sehingga masing-masing pihak mengetahui peran dan tanggung jawabnya dengan melakukan sosialisasi kepada petugas dan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
225
perlunya pemahaman tentang penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas yang berhubungan langsung dengan limbah B3 medis demi menjaga kesehatan dan keselamatan kerja. 2. Dan diharapkan adanya tindak lanjut atas temuan kasus pelanggaran hasil pengawasan penaatan dan peningkatan koordinasi lintas sektor dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.Perlunya perhatian khusus dari pihak rumah sakit terkait dengan perizinan tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3 medis dan izin pengoperasian insinerator. DAFTAR PUSTAKA Mas Achmad Santosa. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta: ICEL. Pruss, E. Giroult, dan P. Rushbrook. 2005. Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Setiyono. 2010. Sistem Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Wiku Adisasmito. 2009. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ______________. 2012. Audit Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Raja Grafindo Persada. World Health Organisation. 1999. Waste Management Guidelines, Geneva: Switzerland. _______________________. 2005. Management of solid Health Care Waste at Primary Health Care Centres. Geneva: Switzerland. Sumber lainnya: Koesnadi Hardjasoemantri. 1994. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Makalah dalam Penataran Penegakan Hukum Lingkungan.
226
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PELAKSANAAN PERATURAN KAWASAN TANPA ASAP ROKOK PADA TEMPAT UMUM SEBAGAI PERWUJUDAN HAK ATAS KESEHATAN MASYARAKAT Zakiah Darajat, Abdul Razak Thaha, Abdul Razak
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
261
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PELAKSANAAN PERATURAN KAWASAN TANPA ASAP ROKOK PADA TEMPAT UMUM SEBAGAI PERWUJUDAN HAK ATAS KESEHATAN MASYARAKAT Oleh: Zakiah Darajat1*, Abdul Razak Thaha2, Abdul Razak3 1
Bagian Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar E-mail:
[email protected]
*
Abstract This research aim the implementation of the local regulations in the free cigarettesmoke public places. The research is an empirical and juridical research which makes use of the quantitative and qualitative data. The methods used in collecting the data were observation, questionnaire, and interviews. The research location were Panakukang Mall, Grand Clarion Hotel & Convention and hotel Anging Mammiri. The result of the research revealed that the contents of the Local Regulations of Makassar city about the no-smoke areas has not comply with the higher legal regulations. The implementation of the above regulations has not been carried out as prescribed. As for the factors influencing people to obey the regulations were their knowledge about the regulations, the understanding about the dangers of smoking cigarettes, and the legal behavior of the law-enforcing personnel. Other factors were environment factor, fear of sanction, understanding the purpose of the regulations affecting people to obey the regulations the realization of the community’s right for health. Keywords: KTAR, Public Place, Health Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan peraturan Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, kuesioner, dan wawancara. Lokasi penelitian di Makassar pada Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih terdapat materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok yang belum harmonis dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Pelaksanaan KTAR belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan. Faktor-faktor yang memengaruhi orang untuk menaati peraturan adalah pengetahuan tentang peraturan, isinya dan memahami bahaya merokok dan asap rokok, perilaku hukum dan petugas atau tenaga yang menegakkan aturan. Selain itu faktor lingkungan, takut sanksi, memahami tujuan peraturan juga memengaruhi orang untuk menaati peraturan sehingga terwujud hak atas kesehatan. Kata kunci: KTAR, Tempat Umum, Kesehatan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum sebagai barometer untuk mengukur suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati.1 Hak atas kesehatan telah dijamin oleh konstitusi Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di sisi lain, kesehatan adalah hak fundamental bagi setiap warga. Pemenuhan hak atas kesehatan sangat berhubungan dan bergantung dengan pemenuhan hak lainnya. Hak atas kesehatan pada prinsipnya tidak terlepas dari hak-hak dasar manusia yang lain seperti hak pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan perlindungan hukum.2 Tanpa badan yang sehat, seseorang akan sulit beraktivitas atau memperoleh hak-hak lainnya. Pada tataran internasional, hak asasi manusia atas kesehatan telah diakui, sebagaimana dijabarkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan dengan tegas: Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain karena keadaan yang berada di luar kekuasaannya.3 Kewajiban negara semakin dipertegas setelah pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Bulan September 2005 yang dijabarkan dalam UU No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Secara khusus Pasal 12 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa Negara pihak dalam kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Soeryo Respationo. Politik Hukum di Indonesia, Kajian dari Perspektif Negara Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 18, No. 1, Maret 2010, hlm. 57 2 Majda El. Muhtaj. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ed. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 153. 3 Ibid. 1
230
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Menurut Katerina Tomasevski,4 hak atas kesehatan terkait dengan upaya minimalisasi dampak lingkungan bagi kehidupan manusia. Kenyataannya, lingkungan yang sehat masih jauh dari harapan. Salah satu perilaku yang semakin hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok. Merokok merupakan suatu perilaku yang tidak sehat, selain berbahaya bagi diri sendiri terlebih lagi pada orang lain yang memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih dan terhindar dari segala bahan cemaran yang dikeluarkan oleh asap rokok orang lain. Merokok telah memberikan implikasi besar terhadap lingkungan yang tidak sehat dan merokok dapat pula memberikan dampak yang lebih besar terhadap status kesehatan masyarakat kita secara keseluruhan.5 Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di mana-mana, mudah menemui orang merokok. Betapa merokok merupakan bagian hidup masyarakat. Dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak mudah untuk menurunkan terlebih menghilangkannya.6 Banyak pula yang beranggapan bahwa merokok adalah hak asasi manusia. Salah kaprah semacam ini menimbulkan hal-hal yang kurang baik di tengah masyarakat. Hak Asasi Manusia adalah relasi warga negara dengan Pemerintah, dimana Pemerintah harus memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Adapun hak-hak asasi tergabung dalam hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya.7 Sementara, merokok bukanlah salah satu bagian dari hak baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, merokok sama sekali bukanlah Hak Asasi Manusia. Merokok adalah pilihan bagi setiap orang. Namun, meskipun sebuah pilihan, ada konsekuensi lain yang harus dilakukan, yakni menghormati orang lain agar tidak terkena dampak (asap rokok) si perokok ini. Dalam hal ini, negara selaku pemilik otoritas kebijakan dan hukum, wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat, kepada tiap warga negara, termasuk bebas dari asap rokok ini. Untuk itu kebijakan seperti Kawasan Tanpa Rokok dilakukan.8 Penggunaan rokok dalam jangka waktu lama dan jumlah rokok yang dihisap dapat memengaruhi lama hidup, produktivitas dan perekonomian keluarga, dan lebih lanjut lagi akan memicu terjadinya berbagai penyakit kronik dan keganasan, yang kesemuanya akan 4 5 6
Majda El. Muhtaj. Op.cit., hlm. 156. Sukri Palutturi. Kesehatan Itu Politik, Ed. 1, Cet.1, (Semarang: Karya Aksara, 2010). hlm. 105. M.N. Bustan. Epidemologi: Penyakit Tidak Menular, Cet. 2, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2007), hlm.
204. 7 Baca, penjelasan lebih lengkapnya diatur dalam Kovenan Sipil Politik dan Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya. 8 Komnas HAM. Naskah Akademik RUU Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control Tahun 2012, hlm. 52-53.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
231
berakhir dengan kematian. Penyebab kematian utama yang disebabkan oleh karena rokok adalah penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, dan kanker paru. Jenis penyakit kanker lain yang bisa terkait dengan rokok adalah kanker kantong kemih, ginjal, kanker leher rahim, kanker esophagus, dan kanker pankreas.9 Merokok semakin memperburuk akibat dari kemiskinan, karena belanja tembakau telah mengalihkan penghasilan rumah tangga dari makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik pada 2001, kelompok berpenghasilan tertinggi membelanjakan 7,47 persen uangnya untuk membeli rokok, sedangkan kelompok berpenghasilan terendah mencapai 9,1 persen. Himpitan ekonomi yang berat, justru disikapi dengan memperberat himpitan itu. Rokok menjadi jalan keluar bagi mereka sekedar untuk menikmati kesenangan hidup.10 Seperti yang diungkapkan oleh Sigmund Freud, merokok adalah kesenangan yang paling hebat dan paling murah dalam hidup. Inilah anomali dari industri rokok. Ia tampil seperti pahlawan yang mensponsori banyak acara seperti pertandingan olahraga, konser musik, beasiswa, dan berbagai kegiatan yang lain, tapi di belakang itu ia juga menebar teror penyakit.11 Selama ini kebiasaan merokok dianggap sebagai hal yang biasa saja. Merokok dianggap tak menimbulkan gangguan dan tak dirasakan sebagai gangguan. Anggapan yang sama berlaku bagi anggota keluarga yang merokok. Jumlah perokok meningkat dan meluas dari waktu ke waktu mulai di lingkungan rumah tangga hingga ke berbagai fasilitas publik. Kebiasaan yang tadinya dianggap “biasa saja” mulai dan semakin dirasakan mengganggu lingkungan, bahkan mengancam keselamatan dan hajat hidup masyarakat luas. Sebatang rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis zat kimia dimana 69 zat diantaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Berbagai bahaya merokok diantaranya penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan, penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah, dan penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS.12 Dengan berbagai dampak merokok, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009 mengeluarkan fatwa tentang rokok. Fatwa tersebut berupa merokok di depan umum hukumnya haram. Jumlah perokok di kota berjulukan “Anging Mammiri” ini mencapai 287.300 orang atau 22,1 persen dari total penduduk Makassar. Sementara rata-rata konsumsi dari perokok itu adalah 10,6 batang per hari. Sedang dari tingkatan usia, jumlah perokok usia 5-9 tahun Suharjo B. Cahyono. Gaya Hidup dan Penyakit Modern, Cet. Ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 109. 10 Zulkifli. Thank You for Smoking, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008). hlm. 12-13. 11 Ibid., hlm. 14. 12 Harian Kompas Rabu, 21 Januari 2009, Available at: http://www.kompas.com/read/ xml2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat, diakses 10 Nopember 2010. 9
232
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
sebesar 0,8 persen, 10-14 tahun tercatat 2,2 persen, dan selebihnya pada kalangan usia dewasa atau produktif.13 Jumlah perokok di Indonesia kira-kira berjumlah 57 juta, yaitu satu dari tiga (34%) penduduk Indonesia adalah perokok, dan jumlah ini meningkat sebesar 26% sejak tahun 1995. Jumlah perokok laki-laki berjumlah 65% sedangkan perokok perempuan berjumlah 5%. Pada usia remaja (13-15 tahun), 12% di antaranya adalah perokok (lakilaki berjumlah 24%; perempuan berjumlah 2%). Rokok menyebabkan lebih dari 80% laki-laki dan hampir 50% perempuan meninggal karena kanker paru-paru. Perokok pasif diperkirakan menyebabkan kematian sekitar 600.000 kematian dini setiap tahunnya di dunia. Diperkirakan 700 juta anak-anak di dunia, sekitar 40% dari jumlah keseluruhan anak-anak di dunia terpapar asap rokok orang lain di dalam rumahnya. Di Indonesia, 85% rumah tangga terpapar dari asap rokok, estimasinya adalah delapan perokok meninggal karena perokok aktif, satu perokok pasif meninggal karena terpapar asap rokok orang lain. Berdasarkan perhitungan rasio ini, maka sedikitnya 25.000 kematian terjadi dikarenakan terpapar asap rokok orang lain di Indonesia. Bayi yang terpapar asap rokok, baik masih dalam kandungan atau setelah dilahirkan, ada peningkatan risiko kelahiran bayi premature dan memiliki Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) serta berlipat ganda risiko untuk sindrom kematian bayi mendadak. Dihitung berdasarkan anak-anak yang terpapar asap rokok orang lain, terdapat 50-100% risiko untuk terjangkit penyakit sistem pernafasan dan peningkatan akibat penyakit infeksi telinga.14 Lembaga Demografi mencatat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok pada tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5% dari total kematian di Indonesia.15 Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih dari lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta sampai tahun 2020, dengan 70% kematian terjadi di negara sedang berkembang. Berdasarkan gambaran tersebut menunjukkan rokok telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu segera ditangani secara serius. Indonesia merupakan negara terbesar ke-5 di dunia yang memproduksi tembakau. Dari segi jumlah perokok, Indonesia merupakan negara terbesar ke-3 di dunia setelah China dan India.16
Antara News. 11 Juni 2011. Available at: http://makassar.antaranews.com/berita/28840/laranganmerokok-masih-sebatas-imbauan-moril, diakses 26 Desember 2012 14 Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012. Pengendalian Tembakau, Selamatkan Nyawa Selamatkan Uang, Advocacy Tool, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Ditjen PP & PL, hlm. 2. 15 M.N. Bustan. Op.cit., hlm. 204. 16 Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, hlm. 1. 13
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
233
Beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang telah memiliki kebijakan kawasan bebas asap rokok dalam berbagai bentuk seperti Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Surat Edaran, dan sebagainya bertujuan mengendalikan dan mengatur perokok. Namun terkadang masih ditemukannya orang merokok pada kawasan bebas asap rokok, padahal asap rokok tidak boleh mengganggu masyarakat lain. Melindungi anak-anak dan warga negara yang tidak merokok dari paparan asap rokok merupakan kewajiban negara. Kebijakan tentang peraturan merokok di tempat umum terutama ditujukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya terpapar asap rokok. Asap rokok terbukti dapat membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan, sehingga perlu dilakukan tindakan perlindungan terhadap paparan asap rokok, termasuk di tempat umum. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Makassar pada bulan Agustus 2011 mengenai
pendapat responden tentang lokasi atau tempat
pemberlakuan KTR di Kota Makassar. Hasil survey menunjukkan bahwa sarana kesehatan, tempat umum, dan tempat Kerja merupakan lokasi/tempat-tempat yang menjadi prioritas tertinggi dengan persentase pendapat berkisar antara 90-95%. Sedangkan untuk lokasi lain, pendapat responden juga memandang perlu untuk lokasi-lokasi seperti tempat belajar mengajar (89,3%), angkutan umum (86,0%), arena bermain anak (79,0%), tempat ibadah (79,1%) dan sarana olahraga (77,5%). Tempat umum menempati urutan ke-dua setelah sarana kesehatan mengenai perlunya pemberlakuan KTR. Berikut beberapa penerapan ketentuan hukum tentang kawasan tanpa rokok di beberapa kabupaten/kota, dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Ketentuan hukum di daerah tentang kawasan tanpa rokok No.
Wilayah
1 2
Kota Bogor Kota Payakumbuh
3
Provinsi DKI Jakarta
4 5
Kota Palembang Provinsi Bali
6
Kota Surabaya
7 8
Kabupaten Sragen Kota Tangerang
9
Kota Padang Panjang
10
Kota Semarang
11
Kota Makassar
Regulasi Lokal Perda No.12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Perda No.15 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok Pergub DKI Jakarta No.88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok Perda No. 07 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Perda No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok Perda No.1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok Perda No. 5 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok Perda No. 8 Tahun 2009 tentang Kawasan bebas asap Rokok dan Kawasan Tertib Rokok Perwali No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok Perwali No. 13 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Sumber: Naskah Akademik RUU Pengesahan FCTC tahun 2012
234
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Seperti terlihat pada tabel 1 di atas, Kota Makassar telah mengeluarkan Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok pada delapan tempat dalam wilayah Kota Makassar. Kedelapan tempat tersebut yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, fasilitas olahraga, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Sejalan dengan Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 tahun 2011, saat ini DPRD Kota Makassar telah menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Namun terkadang suatu peraturan menunjukkan terjadinya tumpang tindih (overlaping), saling bertentangan atau ketidakserasian antar peraturan perundang-undangan. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah sejauhmana pelaksanaan Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 terkait Kawasan Bebas Asap Rokok pada tempat umum dalam mewujudkan hak atas kesehatan masyarakat? METODE PENELITIAN Tipe dan Desain Penelitian Pada prinsinya, penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum empiris dengan model penelitian yuridis sosiologis yaitu tipe penelitian yang bermaksud melakukan uji terapan terhadap suatu produk hukum dalam realitas sosial, dengan tujuan untuk mengetahui kesesuaian antara Law in Book and Law In Action, yang dalam hal ini adalah melihat harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar tentang Kawasan Bebas Asap Rokok, sejauhmana pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) dan faktor-faktor yang memengaruhi orang untuk menaati atau tidak menaati peraturan, dengan menggunakan daftar pertanyaan, pengamatan, dan wawancara. Kemudian dianalisis secara deskriptif, yaitu memaparkan dan menjelaskan data yang ditemukan dalam penelitian, dan dilanjutkan dengan analisis secara preskriptif. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dengan mengkaji secara Normatif (studi dokumen berupa bahan hukum) pada Ranperda Kota Makassar tentang Kawasan Bebas Asap Rokok dan Empirik (studi data lapangan), dengan menjelaskan pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) di Kota Makassar dan faktor-faktor yang memengaruhi ketaatan pada peraturan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
235
Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa Kota Makassar adalah Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yang merupakan pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia dan juga menjadi tempat tujuan wisata yang memungkinkan bertambahnya populasi sehingga dapat berdampak pada aktivitas yang memengaruhi lingkungan. Selain itu, saat ini Kota Makassar telah menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang ditetapkan berdasarkan sifat, karakteristik, atau ciri khas yang sesuai dengan kepentingan penelitian. Pada penelitian ini populasinya adalah tempat umum yakni mal/pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat dan bintang satu. Jumlah mal di Kota Makassar sebanyak 7, dimana ada 1 yang tidak berfungsi (Makassar Mal) sehingga jumlahnya ada 6, yakni: Mal Ratu Indah, Mal Panakkukang, Mal GTC (Global Trade Centre), MTC Karebosi, Makassar Town Square, dan Trans studio Mal.17 Jumlah hotel bintang empat sebanyak 6 dan hotel bintang satu sebanyak 12. Sampel Sampel adalah perwakilan dari populasi, karena mengingat tidak semua populasi akan diambil datanya, maka perlu ditetapkan perwakilannya. Berdasarkan populasi penelitian tersebut di atas, maka ditetapkan sampel penelitian dengan metode non probability sampling yaitu bahwa setiap individu dalam populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama sebab tidak dilakukan secara acak. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel secara purpossive sampling,18 dengan kriteria bahwa mal yang diteliti atau dipilih adalah mal terbesar dengan jumlah pengunjung terbanyak, yang memiliki food court, dan memiliki bioskop yaitu: Mal Panakkukang. Sedangkan hotel bintang empat yang terpilih adalah Grand Clarion Hotel & Convention dan hotel bintang satu adalah Hotel Anging Mammiri, dimana General Managernya masing-masing adalah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan dan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Kota Makassar.
Wikipedia Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pusat_perbelanjaan_di_ Makassar, 3 September 2012, diakses 20 Desember 2012. 18 Mukti Fajar & Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 282. 17
236
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Teknik Pengumpulan Penelitian lapangan (field research) Pada penelitian lapangan ini penulis menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), metode wawancara dengan responden, kemudian dilanjutkan dengan metode indepth interview (wawancara mendalam) dengan pihak-pihak yang mengetahui tentang materi yang penulis bahas, dan melakukan pengamatan langsung. Penelitian kepustakaan (library research) Pengumpulan data melalui studi dokumen, yaitu pengumpulan data yang bersumber pada peraturan perundang-undangan, tulisan-tulisan ilmiah serta sumber-sumber tercatat lain yang terkait dengan materi yang penulis bahas. Analisis Data Data primer dan sekunder yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan dianalisis. Teknik analisis data yang digunakan yakni dengan menganalisis secara deskriptif dan preskriptif yaitu menggambarkan atau memaparkan temuan atau data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa materi muatan yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar, pelaksanaan peraturan dan faktor pengetahuan tentang isi peraturan, perilaku, dan petugas penegak yang memengaruhi masyarakat untuk mematuhi atau tidak mematuhi peraturan, kemudian melakukan argumentasi atas hasil penelitian atau memberikan penilaian (preskriptif) tentang apa yang seyogyanya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.19 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Tempat Umum Penelitian tentang pelaksanaan peraturan kawasan bebas asap rokok di Kota Makassar mengacu pada Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Meskipun pada judul peraturan berbeda, namun yang menjadi kajian/penelitian adalah bagaimana pelaksanaan kawasan bebas asap rokok pada tempat umum di Kota Makassar yang dapat dilihat dari: a. Indikator ruang lingkup kawasan bebas asap rokok dengan mengetahui sejauhmana kesiapan instansi terkait dalam upaya merealisasikan perwali dengan berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan serta kendala dan solusi dari kendala yang dihadapi melalui wawancara dengan informan kunci (key informant).
Ibid., hlm. 183-184.
19
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
237
b. Indikator Kewajiban pimpinan atau penanggung jawab kawasan bebas asap rokok pada Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri dengan melihat sejauhmana penerapan dari peraturan kawasan bebas asap rokok pada ketiga tempat penelitian melalui pengamatan dan wawancara dengan pengelola kawasan termasuk General Manager. c. Indikator Sanksi dengan mengetahui pendapat informan mengenai sanksi administrasi yang tertera pada Perwali, bagaimana penerapan sanksi pada kawasan Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri, dan saran jenis sanksi yang akan dimuat pada Ranperda. Informasi ini diperoleh melalui wawancara. Indikator ruang lingkup kawasan bebas asap rokok Penerapan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) di Kota Makassar berdasarkan Peraturan Walikota Makassar No. 13 tahun 2011 telah berjalan sejak Bulan Mei 2011. Implementasi KBAR diharapkan mampu melindungi masyarakat akan bahaya kesehatan yang ditimbulkan akibat asap rokok. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115 Ayat (2) yang menyatakan Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya. Pada Peraturan Walikota (Perwali) Makassar, yang menjadi ruang lingkup kawasan adalah: a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; b. Tempat Proses Belajar Mengajar; c. Tempat Anak Bermain; d. Tempat Ibadah; e. Fasilitas Olahraga; f. Angkutan Umum; g. Tempat Kerja; dan h. Tempat Umum. Kawasan huruf a sampai dengan huruf f merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas pagar terluar, sedangkan kawasan huruf g dan huruf h merupakan kawasan yang bebas asap rokok hingga batas kucuran air dari atap paling luar, dan Pimpinan atau Penanggung Jawab kawasan dapat menyediakan kawasan merokok di luar gedung sesuai persyaratan. Dinas Kesehatan Kota Makassar telah melaksanakan jajak pendapat kepada 210 orang dewasa (83 laki-laki dan 123 perempuan) yang dipilih secara acak (berusia 15 tahun ke atas) pada bulan Agustus, 2011 pada 14 kecamatan di Kota Makassar. Tujuan utama dari 238
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
jajak pendapat ini adalah untuk menilai opini publik mengenai peraturan Kawasan Tanpa Rokok 100% untuk semua tempat kerja, tempat umum dan transportasi umum. Mengenai kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait, mengacu pada Pasal 11 Peraturan Walkota Makassar No. 13 Tahun 2011 bahwa dalam rangka mewujudkan kawasan tanpa rokok, kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Makassar berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dapat berupa bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dan pimpinan atau penanggung jawab kawasan. Sedangkan Pengawasan dapat berupa pemantauan atas ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku pada kawasan tanpa rokok. Pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan disesuaikan dengan ruang lingkup kawasan tanpa rokok. Kegiatan pembinaan dan pengawasan pada tempat umum seperti mal dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Sedangkan pembinaan dan pengawasan terhadap tempat umum seperti hotel dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Menurut salah seorang staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Makassar yang mengikuti sosialisasi dan pelatihan petugas pengelola kawasan tanpa rokok, Ibrahim20 mengatakan bahwa setelah sosialisasi, kami menindaklanjutinya. Berikut petikannya: “...setelah mengikuti sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan, kami telah melakukan koordinasi kepada pengelola mal dan melakukan pemantauan terhadap Mal Panakkukang.” Sedangkan menurut Kepala Seksi Sarana Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar Andi Engka21 mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan pembinaan dan pengawasan terkait khusus kawasan bebas asap rokok. Berikut petikannya : “...kami tidak pernah melakukan pembinaan dan pengawasan terkait khusus Kawasan bebas asap Rokok karena belum ada Surat Keputusan Tim Pembina yang dikeluarkan oleh Walikota, dan belum ada petunjuk teknis pembinaan dan pengawasan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.” Selanjutnya setelah dikonfirmasi dengan Dinas Kesehatan, Hj. Maulidarni, SKM., M.Kes mengatakan bahwa Surat Keputusan Tim Pembina Kawasan Tanpa Rokok belum ada karena menunggu Perdanya. Dari hasil wawancara dengan informan kunci, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembinaan dan pengawasan kawasan bebas asap rokok di Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri belum berjalan karena menunggu keluarnya Peraturan Daerah Kota Makassar. Jadi kendala yang dihadapi adalah belum adanya perda, sehingga yang menjadi solusi adalah Ranperda segera dibahas dan disahkan Wawancara, 18 September 2012. Wawancara, 21 September 2012.
20 21
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
239
menjadi Perda, sebagai upaya perlindungan masyarakat dari paparan asap rokok sehingga dapat terwujud hak atas kesehatan masyarakat. Indikator kewajiban pimpinan/penanggung jawab kawasan bebas asap rokok Indikator kewajiban pimpinan/penanggung jawab kawasan bebas asap rokok dapat diketahui melalui hasil pengamatan dan wawancara. Pengamatan dilakukan pada 3 tempat yaitu gedung Mal Panakkukang, gedung Grand Clarion Hotel & Convention, dan gedung Hotel Anging Mammiri Makasar. a. Hasil pengamatan pada Gedung Mal Panakkukang Makassar Hasil pengamatan yang dilakukan pada gedung Mal Panakkukang Makassar dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah. Tabel 2. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Gedung Mal Panakkukang Kota Makassar Tahun 2012 No. 1
Indikator Ditemukan orang merokok di dalam gedung
2
Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama
3
Ada ruang khusus merokok
4
Ditemukan asbak, korek api di dalam gedung
5
Tercium bau asap rokok di dalam gedung Ditemukan puntung rokok di dalam gedung
Ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain
6 7
Ya
Sumber: Data Primer
240
Tidak
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Lokasi/Gedung Solaria, RM.Borobudur, Kopi Tiam, Kiiliney Kopi Tiam, Exelco, roppan, Joyful Bakery & Café, Texas Chicken, J.Co, Sosialita, Coffee Toffee, Tong Tji Tea Bar, Campina House, NAV karaoke, Ta Wan Hanya pada tempat/ruanganruangan yang dibolehkan merokok D’Cost terdapat ruangan khusus merokok (ruang isolasi) Killiney, Exelco, J.Co, Ta Wan, Nav, Kopi Tiam, roppan Nav, J.Co, Kopi Tiam J.Co, Killiney, Exelco, Kopi Tiam, NAV Exelco
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada Mal Panakkukang: a. ditemukan orang merokok di dalam gedung pada ruangan yang membolehkan merokok (smooking area). Kondisi ruangan merokok dilengkapi dengan alat sirkulasi udara (exhaust) tetapi tidak dibatasi oleh dinding, sehingga memungkinkan asap rokok dapat berpindah ke ruangan bebas asap rokok. Namun ada juga yang merokok pada ruangan yang dilarang merokok seperti di solaria dan rm. Borobudur. b. Tidak ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama, sebagai gambaran kawasan bebas rokok atau kawasan bebas asap rokok. Tanda larangan merokok hanya terlihat pada tempat-tempat dilarang merokok seperti di diamond food court, rm. Solaria, a&w, joyful bakery & café, roti boy, bread talk, pizza hut, coffee toffee, bread factory, kfc, rm. Borobudur, cinema xxi, dan bioskop panakkukang 21; c. Terdapat ruangan khusus merokok (ruang isolasi) yang dilengkapi exhaust dan dinding pemisah antara ruangan merokok dengan ruangan dilarang merokok, hanya ada di rumah makan d’cost; d. Ditemukan asbak, korek api di dalam gedung yakni di killiney, exelco, j.co, ta wan, nav, kopi tiam, roppan. Bahkan di nav (tempat bernyanyi) menjual rokok; e. Tercium bau asap rokok di dalam gedung yakni di nav, j.co, dan kopi tiam; f. Ditemukan puntung rokok di dalam gedung yakni di j.co, killiney, exelco, kopi tiam, dan nav; g. Ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain seperti terlihat di Exelco berupa asbak, standing poster mild, Killiney berupa asbak, NAV berupa asbak. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa Mal Panakkukang Makassar belum menerapkan peraturan yang sesuai persyaratan. Hal ini dikarenakan pemahamanan konsep KBAR yang berbeda antara pihak manajemen mal dengan konsep KBAR yang sesuai peraturan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep KBAR bagi pengelola dan pimpinan/penanggung jawab kawasan berbeda dengan konsep KBAR yang terdapat dalam peraturan sehingga tempat khusus merokok ditemukan dalam gedung (tidak sesuai persyaratan). b. Hasil pengamatan pada Gedung Grand Clarion Hotel & Convention Hasil pengamatan yang dilakukan pada gedung Grand Clarion Hotel & Convention Makassar dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini:
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
241
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Grand Clarion Hotel & Convention Makassar Tahun 2012
No. 1 2
Indikator Ditemukan orang merokok di dalam gedung Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama
Ya
Tidak
Lokasi/Gedung Lobby
3
Ada ruang khusus merokok
4
Ditemukan asbak, korek api di dalam gedung Tercium bau asap rokok di dalam gedung Ditemukan puntung rokok di dalam gedung
Hanya pada ruangan/kamar dilarang merokok Tersedia ruang isolasi khusus merokok Iya di lobby
Pada area lobby
Di lobby dan ruangan khusus merokok (ruang isolasi)
5 6
7
Ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain
Sumber: Data Primer
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada Grand Clarion Hotel & Convention Makassar: a. ditemukan orang merokok di dalam gedung pada ruangan yang membolehkan merokok (smooking area). Di lobby terdapat ruang yang boleh merokok dan juga ruang dilarang merokok. Kondisi ruang merokok di lobby dilengkapi dengan alat sirkulasi udara (exhaust) dan hanya berjarak beberapa meter saja dengan ruang bebas asap rokok, sehingga memungkinkan asap rokok dapat berpindah dari ruang merokok ke ruang bebas asap rokok yang juga berada di lobby; b. tidak ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama, sebagai gambaran Kawasan Bebas Rokok atau Kawasan Bebas Asap Rokok. Tanda larangan merokok hanya terlihat pada ruangan/kamar dilarang merokok yang berada di lantai 08, 09, 10, 12, 16, dan 17 sebanyak 288 kamar, ruang pertemuan dan Grand Ballroom, di beberapa bagian lobby; c. terdapat ruangan khusus merokok (ruang isolasi) yang dilengkapi exhaust, asbak yang berada di lantai 2; d. ditemukan asbak, korek api di dalam gedung yakni di lobby, Kamar Boleh Merokok (Smoking Room) yang berada di lantai 05, 06, 07, 11, dan 15 sebanyak 297 kamar; 242
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
e. tercium bau asap rokok di dalam gedung yakni di lobby; f. ditemukan puntung rokok di dalam gedung yakni di lobby; g. tidak ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa grand Clarion Hotel & Convention Makassar belum sepenuhnya menerapkan peraturan kawasan bebas asap rokok. Hal ini dikarenakan pihak manajemen belum memahami konsep KBAR yang tertera dalam peraturan. Namun hotel ini telah memilah kamar smooking (50,8%) dan no smooking (49,2%). Hasil wawancara dengan pengelola mengatakan bahwa apa yang ada di Perwali sudah diterapkan di hotel. Khusus karyawan dilarang keras merokok pada jam istirahat dan hanya merokok pada tempat yang telah ditentukan yaitu di dekat office supir dan koperasi yang merupakan ruang terbuka, dilengkapi dengan asbak dan tempat duduk. c. Hasil pengamatan pada Gedung Hotel Anging Mammiri Makassar Hasil pengamatan yang dilakukan pada Hotel Anging Mammiri Makassar dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini: Tabel 4. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Hotel Anging Mammiri Makassar Tahun 2012 No.
Indikator
1
Ditemukan orang merokok di dalam gedung Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama Ada ruang khusus merokok Ditemukan asbak, korek api, dll di dalam gedung Tercium bau asap rokok di dalam gedung Ditemukan puntung rokok di dalam gedung Ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain
2 3 4 5 6 7
Ya
Tidak
Lokasi/Gedung Lobby, kamar
Hanya terdapat di ruangan pertemuan Tidak ada Lobby, kamar
Lobby
Lobby Lobby, kamar
Sumber: Data Primer
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
243
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada Hotel Anging Mammiri : a. Ditemukan orang merokok di dalam gedung yakni di lobby; b. Tidak ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama, sebagai gambaran kawasan bebas rokok atau kawasan bebas asap rokok. Tanda larangan merokok hanya terlihat pada ruangan pertemuan; c. Tidak terdapat ruangan khusus merokok (ruang isolasi); d. Ditemukan asbak, korek api di dalam gedung yakni di lobby. Bahkan ada toko kecil di dalam hotel dan menjual rokok; e. Tercium bau asap rokok di dalam gedung yakni di lobby; f. Ditemukan puntung rokok di dalam gedung yakni di lobby; g. Ditemukan indikasi kerja sama dengan industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dan lain-lain seperti terlihat di lobby berupa asbak mild. Hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa Hotel Anging Mammiri Makassar belum menaati peraturan kawasan bebas asap rokok. Hal ini dikarenakan pemahamanan konsep KBAR yang baru saja diketahui pada saat sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, sehingga masih memerlukan waktu untuk menerapkannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan General Manager Hotel Anging Mammiri22 mengenai konsep Kawasan bebas asap Rokok dapat dilihat pada petikan berikut ini: “...Seperti yang telah disampaikan pada sosialisasi bahwa berdasarkan Perwali Makassar Nomor 13 Tahun 2011 yang menyangkut kesehatan masyarakat bahwa tempat merokok tidak mengganggu orang lain. Di hotel ini, di bagian luar ada sedikit anjungan dibuat sebagai tempat merokok. Saat ini, belum ada pemisahan kamar boleh merokok dan tidak boleh merokok, dengan pemikiran bahwa hanya perokok sendiri yang kena dampaknya, tetapi ke depannya akan dipikirkan untuk pilahan kamar. Pada ruang pertemuan tidak boleh merokok, tetapi kami siapkan koridor di teras lantai lima yang merupakan ruang terbuka.” Dengan berdasar pada hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola kawasan termasuk General Manager pada tiga tempat penelitian dapat disimpulkan bahwa ketiganya belum menerapkan peraturan kawasan bebas asap rokok khususnya pada tempat khusus merokok yang harus berada di ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara. Hal ini disebabkan karena belum dipahaminya konsep KBAR, dimana Perwali masih berumur lebih satu tahun yang masih memerlukan upaya sosialisasi secara kontinyu agar semua orang dapat mengetahuinya, secara perlahan akan menerapkannya sehingga dapat terwujud hak atas kesehatan masyarakat. 22
244
KS, 55 tahun, 25 September 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Indikator sanksi Indikator Sanksi pada penelitian ini adalah melihat bagaimana pendapat informan mengenai sanksi administrasi yang tertera pada Perwali, penerapan sanksi pada kawasan Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri, dan saran jenis sanksi yang akan dimuat pada Ranperda. Penerapan sanksi pada kawasan Mal Panakkukang sudah ada yakni bila ada karyawan tenant yang melanggar maka akan didenda Rp. 150.000,- begitupula di Grand Clarion Hotel & Convention juga menerapkan sanksi bagi tamu yang melanggar dengan denda Rp. 1.000.000,- sedangkan di Hotel Anging Mammiri belum menerapkan. Berikut petikan hasil wawancara dengan pengelola kawasan: “….kita telah menerapkan sanksi bila ada yang melanggar di mal ini dengan merokok pada area yang dilarang merokok berupa denda Rp. 150.000,-”23 Menurut Webber bahwa untuk adanya hukum dibutuhkan paksaan menuju terciptanya suatu pola perilaku (conformity) dengan menghukum perilaku menyimpang.24 Di Singapura, perokok yang merokok di KTR akan dikenai denda oleh pengadilan hingga $10.000. Singapura sangat ketat dalam mengatur hal ini karena memiliki visi untuk menjadi negara bebas rokok dan mampu menurunkan prevalensi perokok dari 20% (37% laki-laki, 3% perempuan) pada tahun 1984 menjadi 12,6% (21,9% laki-laki, 3,4% perempuan) pada tahun 2004.25 Di Thailand dikenakan denda maksimal 2000 Baht.26 Sedangkan di Indonesia seperti Kota Bogor memiliki Perda kota Bogor No. 12 tahun 2009 tentang KTR dengan ancaman kurungan paling lama 3 hari atau denda paling banyak Rp 1 juta rupiah bagi pelanggaran KTR. Sanksinya ini jauh lebih ringan dibandingkan di Kota Surabaya yang mencapai denda paling banyak Rp 5 juta atau kurungan paling lama 3 bulan.27 Surabaya Plaza Hotel adalah salah satu contoh KTR. Setahun setelah Perda lahir, hotel ini menerapkan dengan ketat KTR. Setiap kamar memiliki deteksi asap rokok, dimana sensor akan berbunyi bila ada yang merokok di kamar, begitupula di seluruh area di hotel termasuk toilet dan lobi, setiap pelanggaran dikenakan denda Rp. 1 juta per satu pelanggaran. Sejak Februari 2009 sampai 2012 telah terkumpul dana denda sekira Rp 300.000.000. Pemikiran bahwa meskipun sebagai besar orang Indonesia suka merokok tetap ada juga orang yang tidak suka merokok dan asap rokok. Inilah segmen yang digarap di hotel ini. Awalnya, tingkat hunian menurun dalam 2 minggu pertama. Ini termasuk SS, 22 tahun, 25 September 2012. Satjipto Rahardjo. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Cet. Ke-II, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 205. 25 Komnas HAM. Op.cit., hlm. 58-59. 26 Ibid., hlm. 72. 27 Ibid., hlm. 64. 23
24
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
245
pertaruhan bisnis. Namun kini hotel tersebut justru memiliki banyak pelanggan tetap dan omzet makin meningkat. Penegakan KTR dan KTM lebih mengandalkan Komitmen dari pihak pengelola.28 Dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar memuat sanksi administrasi bagi pimpinan atau penanggung jawab kawasan dan sanksi perorangan bagi setiap orang yang melanggar peraturan, namun belum mencantumkan jenis sanksinya. Dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dalam Peraturan Daerah (Perda), sanksi pidana yang dimuat tentunya yang bersifat ringan dan berkaitan dengan tindak pidana yang juga ringan seperti misalnya larangan merokok di tempat keramaian dan sebagainya. Sedangkan ketentuan pembebanan pidana yang lebih berat, tentu harus dimuat dalam undang-undang, bukan dalam peraturan daerah. Karena ketentuan pidana itu pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan derajat kebebasan warga negara, sehingga apabila hendak ditentukan pembebanannya kepada warga negara haruslah terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari para wakil rakyat. Bentuk peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai produk legislatif itu memang ada dua macam, yaitu undang-undang dan peraturan daerah. Undangundang dibentuk oleh DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden, sedangkan peraturan daerah dibentuk oleh DPRD atas persetujuan bersama dengan Kepala Pemerintah Daerah.29 PENUTUP Kesimpulan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan terkait dengan persyaratan tempat khusus merokok pada Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri karena pemahaman yang berbeda mengenai konsep KBAR. Salah satu hotel telah memilah kamar dengan smooking Ibid., hlm. 66. Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang, Cet. Ke-II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 161. 28 29
246
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
room dan no smooking room. Ketiga General Manager mempunyai komitmen untuk menerapkannya setelah Perda sudah ada agar terwujud hak atas kesehatan masyarakat. Saran Pelaksanaan kawasan bebas asap rokok khususnya di Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri Kota Makassar dan pada tempat umum lainnya seyogyanya menyesuaikan dengan peraturan terutama setelah keluarnya Peraturan Daerah, penataannya secara bertahap dan pelaksanaannya bersifat memaksa dengan tetap memperhatikan kultur masyarakat. Pemerintah Kota Makassar disarankan untuk melibatkan artis sebagai duta bebas rokok dan seyogyanya memberikan reward atau penghargaan kepada pimpinan atau penanggung jawab kawasan atau institusi yang telah menerapkan kawasan bebas rokok atau kawasan bebas asap rokok dan dapat dijadikan contoh bagi kawasan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Jimly Asshiddiqie. 2011. Perihal Undang-Undang, Cet. 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. M.N. Bustan. 2007. Epidemologi: Penyakit Tidak Menular, Cet. 2. Jakarta: Rinneka Cipta. Majda El. Muhtaj. 2008. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Mukti Fajar & Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Cet. KeII. Yogyakarta: Genta Publishing. Suharjo B. Cahyono. 2012. Gaya Hidup dan Penyakit Modern, Cet. 5. Yogyakarta: Kanisius. Sukri Palutturi. 2010. Kesehatan Itu Politik, Ed. 1, Cet.1. Semarang: Karya Aksara. Zulkifli. 2008. Thank You for Smoking. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Sumber lainnya: Soeryo Respationo. Politik Hukum di Indonesia, Kajian dari Perspektif Negara Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 18, No. 1, Maret 2010. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012. Pengendalian Tembakau, Selamatkan Nyawa Selamatkan Uang, Advocacy Tool, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Ditjen PP & PL. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
247
Komnas HAM. 2012. Naskah Akademik RUU Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control Tahun 2012. Harian Kompas Rabu, 21 Januari 2009, Available at:
http://www.kompas.com/read/
xml2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat,
diakses
10 Nopember 2010. Antara News. 11 Juni 2011. Available at: http://makassar.antaranews.com/berita/28840/ larangan-merokok-masih-sebatas-imbauan-moril, diakses 26 Desember 2012 Wikipedia Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pusat_perbelanjaan_ di_Makassar, 3 September 2012, diakses 20 Desember 2012.
248
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENERAPAN DOKTRIN MENYINGKAP TABIR PERSEROAN (PIERCING THE CORPORATE VEIL) PADA PERSEROAN TERBATAS DI SULAWESI SELATAN Lisa Valda, Oky Deviany Burhamzah, Wiwie Heryani
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENERAPAN DOKTRIN MENYINGKAP TABIR PERSEROAN (PIERCING THE CORPORATE VEIL) PADA PERSEROAN TERBATAS DI SULAWESI SELATAN Oleh: Lisa Valda1*, Oky Deviany Burhamzah2, Wiwie Heryani3 Magister Hukum Kenotariatan PPs Universitas Hasanuddin Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 3 Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 1
2
E-mail:
[email protected]
*
Abstract The objectives of the research were to investigate and comprehend to what extend the impact the community’s legal culture towards the implementation of the doctrine of piercing the corporate veil in the activity practice of the limited liability company in South Sulawesi. This was a normative juridical and legal sociological research, i.e. the research focusing to examine rules or norms or doctrines in positive law. The research was carried out in several regions in South Sulawesi such as: Makassar, Pangkep, and Pare-pare. The research result indicates that the application of the doctrine of piercing the corporate veil its realilty is still influenced by the community’s legal culture of the businessmen who have different social instruments, the social values they practice, social stratification, and the community’s thinking level from where the doctrine comes from. Besides, for a part of the corporate agents, the doctrine is still regarded “unfamiliar”. In fact, the research still finds that the limited liability companies which are formed the corporate bodies do not separate between the corporate properties and personal properties of the committee members. They make the legal facilities only as the masks (guises) to justify (to legalize) their real actions which are contradictory with the regulation of Acts. Director Board in this case also acts as Commissaries and also as the shareholders. Keywords: Doctrine, Piercing, Corporate Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaruh kultur hukum masyarakat terhadap pelaksanaan doktrin piercing the corporate veil dalam praktik kegiatan Perseroan Terbatas di Sulawesi Selatan. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sosiologi hukum, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan-penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma atau doktrin-doktrin dalam hukum positif. Penelitian ini diadakan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu Makassar, Pangkep, dan Pare-Pare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan doktrin Piercing the Corporate Veil dalam realitasnya masih dipengaruhi oleh kultur hukum masyarakat para pelaku usaha yang berbeda perangkat sosialnya, nilai-nilai sosial yang dianutnya, stratifikasi sosialnya, serta taraf pemikiran masyarakatnya di mana doktrin ini berasal. Selain itu doktrin ini masih dianggap tidak familiar, ternyata dalam Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
penelitian masih ditemukan perusahaan-perusahaan Perseroan Terbatas yang berbentuk badan Hukum namun tidak ada pemisahan antara harta kekayaan perusahaan dengan harta pribadi pengurusnya. Mereka menjadikan sarana hukum itu hanya sebagai “kedok” (topeng) saja untuk menjustifikasi (melegalkan) atau membenarkan tindakannya yang sesungguhnya bertentangan dengan aturan hukum. Direksi dalam hal ini juga merangkap sebagai Komisaris dan juga sebagai pemegang saham. Kata kunci: Doktrin, Piercing, Perusahaan PENDAHULUAN Perekonomian yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia, juga perlu dukungan lembaga Perseroan Terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang tentunya digerakkan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut juga dengan Perseroan) sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan dalam berusaha. Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.Kegiatan usaha dari perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan dengan peraturan- peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau harta kekayaan tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang perorangan yang dinilai memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum serta mempertahankan haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat. Ketentuan tersebut dapat ditemukan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 519 Kitab Undang252
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya di tulis KUHPdt) yang menyatakan: Ada barang yang bukan milik siapa pun, barang lainnya adalah milik negara, milik perusahaan atau milik perorangan.1 Dalam era globalisasi, dimana masing-masing sistem hukum dari negara yang satu mempengaruhi sistem hukum negara lainnya, maka pemerhati hukum wajib mengetahui implikasi percampuran berbagai sistem hukum yang bersumber dari sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum di Indonesia karena banyak dari sistem hukum negara lain kini telah di-reseptie (diterima) sebagai hukum positif di Indonesia. Sistem hukum negara lain yang mempengaruhi dan diterapkan di Indonesia sebagian besar terdapat pada lapangan hukum ekonomi, termasuk pada corporate law. Doktrin-doktrin hukum modern yang bersumber dari sistem hukum Anglo Saxon (Inggris-Amerika) maupun sistem hukum Continental (Eropa) sangat mempengaruhi sistem hukum perseroan di Indonesia. Pengaruh itu sangat nampak pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan korporasi, sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya ditulis UUPT). Doktrin-doktrin hukum, seperti piercing the corporate veil, fiduciary duty, prinsip kehati-hatian (corporate prudential), business judgment rule, intra vires, ultra vires, public document rule, doctrine of separate legal personality of company, dan lain-lain, kini mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan dalam lapangan hukum perseroan, termasuk digunakannya dalam argumentasi dalam proses litigasi. Munculnya reformasi hukum ekonomi tersebut tidak terlepas dari adanya semangat menciptakan perusahaan yang berdasarkan asas good corporate governance, dengan menyeimbangkan berbagai kepentingan yang melingkupi perseroan, baik kepentingan shareholder, stakeholder, maupun organ-organ perseroan.Oleh karena itu, mengetahui berbagai doktrin hukum dari sistem hukum tersebut sangat penting sekali, baik yang telah diimplementasikan dalam hukum positif di Indonesia maupun belum, serta perkembangannya.2 UUPT dibentuk dalam era globalisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila berbagai doktrin hukum mempengaruhi isi dari UUPT tersebut, termasuk doktrin hukum dari negara common law system. Badan hukum sebagai subjek hukum yang berhubungan hukum dengan subjek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat dialamatkan kepada Frans Satrio Wicaksono. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta: Visimedia, 2009), hlm 1-2. 2 Try Widiyono. Direksi Perseroan Terbatas Keberadaan,Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm 1-2. 1
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
253
badan hukum yang lainnya. Sekalipun dalam bertindak, badan hukum tersebut diwakili oleh Direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap merupakan hubungan hukum antara subjek hukum. Namun demikian, Direksi yang merupakan salah satu organ perseroan dari badan hukum itu mempunyai hubungan dan tanggung jawab secara intern perseroan. Dimaksudkan hubungan intern perseroan adalah hubungan hukum antara pemegang saham, RUPS, Komisaris dan Direksi. Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan pemegang saham, Direksi, dan Komisaris, yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masingmasing. Hal-hal tersebut memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (premittere) kepada pemegang saham, Komisaris, dan Direksi.3 Ciri utama Perseroan Terbatas adalah merupakan subjek hukum yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham, anggota Direksi, dan Komisaris. Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham ini pada mulanya merupakan masalah yang kontroversial, karena ada yang berpendapat bahwa tanggung jawab pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak boleh lebih dari nilai saham yang diambilnya, sesuai dengan pengertian kata “terbatas” dalam nama badan hukum itu sendiri. Pendapat ini sejalan dengan hakiki dari Perseroan Terbatas itu sendiri dan prinsip ini masih valid. Persoalannya adalah apakah prinsip di atas harus berlaku secara absolut/mutlak, bahkan dalam situasi tertentu di mana perseroan sebenarnya hanya merupakan “alter ego” dari pemegang sahamnya, sehingga perseroan dipakai sebagai kedok usaha pemegang saham dalam membatasi risiko kerugian yang timbul, sebagai akibat keterlibatannya dalam perseroan, baik untuk kepentingan pribadi maupun alasan lain. Dalam hal ini diperlukan keberanian untuk memberikan kesimbangan dalam penerapan prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham. Dengan demikian, terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham. Hal-hal tertentu tersebut antara lain apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.4 Prinsip piercing the corporate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, Direksi, dan atau Komisaris dalam hal-hal Ibid, hlm 80-81. Chatamarrasjid Ais. Menyingkap Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil ), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 2-4. 3 4
254
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
tertentu dapat menjadi tidak terbatas. Secara universal prinsip piercing the corporate veil dilakukan dalam hal sebagai berikut: a) Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu; b) Badan-badan hukum terpisah secara artifisial; c) Berdasarkan hubungan kontraktual; dan d) Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Jadi apabila diimplementasikan dalam UUPT mengenai pelanggaran prinsip piercing the corporate veil, secara sempit dapat diartikan bahwa Direksi tidak melakukan prosedur hukum untuk meminta kepada Menteri Hukum dan HAM guna pengesahan perseroan menjadi badan hukum. Doktrin piercing the corporate veil merupakan doktrin utama dalam hukum perseroan, guna memberikan arah bagaimana seharusnya seorang pemegang saham, Komisaris, dan Direksi bertindak dan berbuat. Arah ini sekaligus menetapkan batasan-batasan, yang apabila dilanggar, mengakibatkan hilangnya limitative tanggung jawab terbatas dan berubah menjadi tanggung jawab tidak terbatas. Doktrin piercing the corporate veil ini sekaligus juga menyibak tabir hukum perseroan dalam hubungan intern antara pemegang saham, Komisaris, dan Direksi, termasuk pertanggungjawabannya.5 Oleh karena itu, dalam penerapannya, diduga bahwa dalam banyak hal, doktrin ini di Indonesia masih sulit diterapkan, satu dan lain hal, karena adanya perbedaan sistem hukum di Indonesia dibandingkan dengan asal dan berkembangnya doktrin hukum ini. Ibarat hewan, doktrin piercing the corporate veil ini berasal dan berhabitat di daerah yang mempunyai lingkungan sistem hukum Anglo Saxon, dengan sistem hukum Common Law, tetapi hewan tersebut dibawa ke Indonesia, yang berhabitat sistem hukum EropaContinental. Sehingga melahirkan suatu issue bahwa doktrin piercing the corporate veil yang di ”receptie” (diakomodir) ke dalam UUPT, dalam penerapannya belum bersesuaian dengan kultur hukum masyarakat Indonesia. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Sejauhmanakah Implementasi doktrin piercing the corporate veil dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas? 2. Bagaimanakah pengaruh kultur hukum masyarakat Indonesia terhadap pelaksanaan doktrin piercing the corporate veil dalam praktik kegiatan Perseroan Terbatas di Indonesia?
5
Try Widiyono, Op.cit, hlm 85-86.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
255
METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sosiologi hukum, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan-penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma atau doktrin-doktrin dalam hukum positif. Penelitian yuridis normatif dan sosiologi hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema sentral penelitian dan metode penerapan peraturan perundang-undangan (sosiological approach) yang berkenaan dengan efektifnya suatu Undang-undang. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu Makassar, Pangkep dan Pare-pare. Dipilihnya lokasi penelitian ini, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa Kota Makassar selain merupakan pusat perdagangan dan Industri di Sulawesi Selatan, juga merupakan daerah strategis berdirinya beberapa perusahaanperusahaan yang berbentuk Badan Hukum (PT), termasuk pula di daerah Pangkep dan Parepare yang masih merupakan wilayah Sulawesi Selatan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan, terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas. Selanjutnya, sampel penelitian ditentukan dalam kuota tertentu sesuai dengan kebutuhan data dan sifat representatif dari heterogenitas dan karakteristik populasinya, dengan menggunakan teknik penarikan sampel secara purposive sampling. Sampel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1. 2 (dua) orang nara sumber dari Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. 2. 2 (dua) orang nara sumber dari Pengadilan Negeri Makassar. 3. 2 (dua) orang nara sumber dari Pengadilan Negeri Parepare, 4. 3 (tiga) orang nara sumber dari Notaris di kota Pare-pare. 5. 7 (tujuh) orang nara sumber dari pelaku Perseroan Terbatas Terbuka, Perseroan Terbatas Tertutup, Perseroan Terbatas Perseorangan. Jenis dan Sumber Data a. Data primer diperoleh secara langsung dilapangan dari responden penelitian dengan melakukan wawancara kepada responden penelitian, yaitu : 1. Para pelaku Perseroan Terbatas, 2. Notaris selaku pihak yang berwenang dalam pembuatan akta pendirian Perseroan 256
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Terbatas. 3. Pihak dari Pengadilan Negeri dalam kaitannya mengenai Pasal 7 ayat 6 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 4. Pihak dari Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM dalam kaitannya sebagai pihak yang berwenang dalam Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas. b. Data sekunder merupakan data yang dapat mendukung keterangan-keterangan atau menunjang kelengkapan dari data primer yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yaitu: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari ketentuan perundang-undangan di
bidang hukum perseroan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, literatur-literatur yang relevan, dan jurnal-jurnal penelitian serta arsip-arsip, dokumen-dokumen atau rekamanrekaman data yang ada. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder diolah secara deskriptif kualitatif, yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. Untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar fenomena gejala dan teori. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman didalam melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan penerapan suatu aturan perundang-undangan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Doktrin Piercing The Corporate Veil ke dalam Perseroan Terbatas di Sulawesi Selatan Globalisasi bisnis dan terbukanya cakrawala hukum perusahaan di Indonesia Pada dasarnya kehadiran hukum dalam masyarakat bertujuan untuk mengintegrasi dan mengkoordinasi kepentingan-kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Olehnya itu, hukum harus mampu mengitegrasikan kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga dampak dari benturan-benturan kepentingan yang akan timbul dapat Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
257
teratasi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ditujukan untuk mengitegrasikan kepentingan antara organ-organ perseroan dengan pihakpihak lainnya yang terkait melalui suatu pengaturan di bidang hukum perseroan. Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia tidak hanya saling bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Realita ini menempatkan negara untuk benarbenar dan bersungguh-sungguh mengikuti dan mengembangkan hukum bisnis secara global, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakan hukumnya. Di era globalisasi saat ini, di mana hubungan antar warga dunia, tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang, komunikasi semakin canggih, menyebabkan dunia tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Perekonomian yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan terus berlanjut pada masa mendatang, juga perlu dukungan lembaga Perseroan Terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang tentunya digerakkan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas. Globalisasi, khususnya dalam bidang korporasi merupakan keniscayaan yang mau tidak mau harus direspon baik oleh negara maupun pelaku perseroan atau bisnis itu sendiri. Kondisi empiris ini, mengindikasikan bahwa harmonisasi hukum, khususnya yang mengatur aktivitas bisnis, bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga telah menjadi prasyarat fungsional agar institusi bisnis dan aktivitas para pelakunya dapat diterima dalam “pergaulan ekonomi dunia” yang semakin mengglobal. Kebutuhan akan doktrin ke dalam Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang 258
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan dalam berusaha. Sebagaimana dalam UUPT pada batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi juga pertanggungjawaban hukum dapat dimintakan terhadap pemegang sahamnya.Bahkan, penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain, seperti Direksi dan Komisaris. Menurut Sakinah,6dari PT. Bosowa Group, bahwa sampai pada batas-batas tertentu doktrin tersebut, khususnya doktrin Piercing the Corporate Veil dalam penerapannya sudah dapat diberlakukan dan sudah diakomodir dalam hukum Indonesia, meskipun banyak akselerasi, dan adaptasi yuridis yang masih harus dilakukan, dan ini merupakan tugas kita semua sebagai pelaku-pelaku usaha, khususnya yang berkecimpung dalam dunia perusahaan, terlebih khusus lagi pada PT. Bosowa Group ini yang boleh dikatakan adalah “perusahaan keluarga” dimana tanggung jawabnya tidak terbatas.Namun demikian bukan berarti doktrin piercingthe corporate veil tidak dapat diterapkan.Walaupun dalam penerapannya nanti dibutuhkan pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai aspek dan dampaknya bagi perusahaan. Memang benar bahwa sampai batas-batas tertentu, teori piercing the corporate veil ini diakui dalam berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tersebut, yang kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, Direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas. Hanya saja, menurut hemat penulis tentunya untuk bisa menerapkan teori piercing the corporate veil ini, perlu kearifan, kehati-hatian, dan pemikiran yang komprehensif dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Karena dalam cakrawala hukum yang demikianlah teoripiercing the corporate veil tersebut dapat efektif berlakunya. Jika visi seperti ini diabaikan oleh para pelaku usaha dan penegak hukum, dapat dipastikan bahwa penerapan teori piercing the corporate veil inijustru akan menimbulkan counter productive dan ketidak seimbangan dalam perusahaan.
6
Hasil wawancara dengan bagian Legal PT. Bosowa Group pada tanggal 22 Mei 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
259
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ahdarisa,7 dari PT. Semen Tonasa Pangkep, bahwa doktrin piercing the corporate veil ini tidak terdapat dalam KUHD, tetapi secara sangat simpel diatur dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggungjawab secara hukum hanya terbatas pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggungjawab tersebut dapat ditembus (piercing).Tidak terkecuali pada PT. SEMEN TONASA Pangkep. Beberapa contoh fakta yang mestinya dapat diterapkannya doktrin piercing the corporate veil adalah : a. Permodalan yang tidak layak. b. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi. c. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan. d. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum. Dari uraian di atas, menurut hemat penulis bahwa untuk kasus pada Perseroan Terbuka (Tbk) seperti pada PT. Semen Tonasa Pangkep, doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan secara proporsional. Hal itu juga diakui oleh Ahdarisa dalam wawancara yang peneliti lakukan bahwa pada PT. Semen Tonasa, tidak ada kendala untuk penerapan doktrin Piercing the Corporate Veil.Hal ini sudah lama dipahami oleh pihak PT. Semen Tonasa Pangkep. Artinya bahwa dari penelitian yang penulis lakukan pada PT. Semen Tonasa, dapat di jelaskan bahwa doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada bentuk PT seperti pada PT. Semen Tonasa Pangkep jika hal-hal yang terkait dimungkinkannya penerapan doktrin piercing corporate veil ituterpenuhi. Berbeda dengan KUHD yang tidak memperkenalkan secara tegas tentang pemberlakuan teori Piercing the Corporate Veil, maka UUPT telah dengan tegas mengatur tentang teori ini walaupun pengaturannya sangat simpel, tidak lengkap, dan terkesan sambil lalu saja. Dengan demikian, banyak penjabaran dari doktrin ini seperti baru saja disebutkan diatas tidak tertampung sama sekali. Sehubungan dengan itu pula, undang-undang hanya memberikan 4 (empat) kemungkinan agar teori piercing the corporate veil dapat diberlakukan.Hal ini tentunya berlaku secara ekslusif. Keempat kemungkinan penerapan teori piercing the corporate veil tersebut diperinci dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu sebagai berikut: a. Jika persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. b. Pemegang saham yang bersangkutan dengan itikad buruk, secara langsung atau tidak, memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Hasil wawancara dengan Bagian Legal dan manajemen PT. SEMEN TONASA Pangkep, tanggal 6 Juni 2012. 7
260
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
c. Ikut terlibatnya pemegang saham dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. d. Pemegang saham secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, secara langsung atau tidak, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Menurut UUPT, jika salah satu diantara keempat faktor tersebut terjadi, pemegang saham yang bersangkutan dapat dimintakan tanggung jawab secara pribadi. Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, menarik pula untuk penulis kemukakan apa yang dijelaskan dalam hasil wawancara penulis dengan Anwar Ali,8 bahwa PT. Bosowa Group sebagai salah satu Perseroan Terbatas yang merupakan salah satu bentuk perusahaan keluarga. Sejak awal pendirian, dan dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih terjadi pembauran antara harta pribadi pendiri dan harta perseroan. Pada dasarnya dalam praktik pelaksanaan pada perseroan keluarga ini tidak lagi terdapat adanya keterbatasan dalam tangungjawab sebagaimana keterbatasan tanggungjawab yang merupakan ciri khas dari bentuk Perseroan Terbatas. Untuk PT. Bosowa Group pada hakikatnya terbagi atas beberapa anak perusahaan, yang masing-masing anak perusahaan tersebut dipimpin oleh direktur yang membidangi perseroan tersebut.Selain itu, ada beberapa dari anak perusahaan yang sudah merupakan perusahaan terbuka. Penerapan prinsip piercing the corporate veil sebenarnya bukanlah hal yang sederhana karena akan memerlukan pembuktian yang dalam kasus-kasus tertentu tidaklah mudah. Selain dari itu, sebagaimana diketahui bahwa Piercing the Corporate Veil sering kali dibebankan bukan hanya kepada pihak pemegang saham akan tetapi juga kepada Direksi sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: 1) Permodalan perseroan yang tidak layak; 2) Penggunaan dana perseroan secara pribadi; 3) Ketidaklengkapan formalitas perseroan; 4) Terdapat penipuan, penggelapan atau transfer modal secara tidak layak; 5) Sangat dominannya pemegang saham atau komisaris dalam kegiatan bisnis perseroan. Contoh kasus: Presiden Direktur PT. Masaro Radiokom, Putranefo A.Prayogo, divonis dengan hukuman penjara enam tahun dan denda Rp.200 juta. Putranefo terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) departemen Kehutanan tahun 2006-2007 yang merugikan Negara senilai Rp. 89,3 milyar. Karena perbuatannya, Putranefo melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Putranefo juga harus membayar uang pengganti senilai Rp. 83,3 milyar.Uang pengganti tersebut harus Hasil wawancara dengan bagian Legal PT. Bosowa Group pada tanggal 28 Mei 2012.
8
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
261
dibayar paling lama satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, harta benda Putranefo akan disita atau dilelang. Jika harta bendanya tidak mencukupi, akan dipenjara selama dua tahun.9 Dari kasus di atas, menurut hemat penulis sangatlah jelas bahwa kesalahan Direksi terhadap perusahaan telah merugikan Negara.Putranefo telah melakukan kesalahan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi. Pengadilan telah menjatuhkan hukuman kepada Putranefo, dalam hal ini nampaklah bahwa doktrin piercing the corporate veil untuk kasus seperti ini sudah pasti bisa diterapkan, doktrin ini telah menerobos tanggung jawab Direksi bahkan sampai keharta pribadi Direksi. Dalam beberapa hal, menurut analisis penulis, bahwa pemberlakuan teori piercing the corporate veil juga berlaku bagi komisaris sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 114 ayat (3) UUPT. Artinya dalam hal-hal tertentu pihak Komisaris secara pribadi pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenar-benarnya dilakukan oleh perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak Pemegang Saham dan pihak Direksi, maka pihak Komisaris merupakan pihak yang paling sedikit dikejar oleh teori piercing the corporate veil ini. Pihak Komisaris merupakan the last target dari penerapan teori piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang pihak Komisaris dalam perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain halnya pihak Direksi misalnya, yang mempunyai tugas mewakili dan menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan/investor, sehingga tanggung jawabnya menjadi besar. Pemberlakuan teori piercing the corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Jika komisaris tidak melaksanakan fiduciary dutykepada perseroan; (lihat Pasal 114 ayat (2), ayat (6) UUPT) 2. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar; (lihat Pasal 69 ayat (3) UUPT) 3. Kepailitan perusahaan karena kelalaian komisaris (lihat Pasal 115 ayat (1) UUPT). Pengaruh Kultur Hukum Masyarakat Indonesia Terhadap Pelaksanaan Doktrin Piercing the Corporate Veil Efektifvitas hukum turut ditentukan oleh perubahan hukum maupun perubahan sosial. Dengan kata lain, ketaatan dan ketidaktaatan terhadap hukum, juga berkaitan dengan perubahan sosial. Suatu kaidah hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warga masyarakat, jelas akan sulit untuk mengharapkan ketaatan dari warga masyarakat tersebut. Perubahan sosial senantiasa mengubah pula kebutuhan warga masyarakat, dan Sebagaimana dikutip pada laman website: (http:/nasional.kompas.com/read/2011/03/29/1832589/ Putranefo.Divonis.Enam.Tahun) Diakses 12 Mei 2011. 9
262
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
senantiasa mengubah pula nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengubah sistem pembagian kekuasaan, mengubah struktur ekonomi dan sosial, mengubah stratifikasi sosial. Keseluruhan perubahan tersebut mau tidak mau merupakan panggilan agar hukum melakukan campur tangan di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Robert Seidman, “the law of the non transferrability of law” (hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya). Jadi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, kita tidak dapat begitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita untuk langsung diberlakukannya. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras, antar hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya sudah serasi. Namun, belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, termasuk Indonesia yang berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda stratifikasi sosialnya, dan berbeda taraf pemikiran masyarakatnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan (PT) yang tidak pernah melakukan Rapat Umum Pemegang saham. Sebagaimana wawancara penulis dengan Nurliah Fattah,10 yang menjelaskan bahwa selama berdirinya PT. Mulya Raya hingga sekarang belum pernah mengadakan rapat, baik itu rapat pertama kali, rapat tahunan dan rapat luar biasa, dikarenakan para pemegang saham merupakan anak-anak mereka sendiri yang masih dibawah umur. Mengenai modal, baik modal dasar modal yang disetor dan ditempatkan tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam anggaran dasar. Pelaksanaan dan penyelenggaraan Perseroan sepenuhnya dijalankan oleh yang bersangkutan sendiri selaku Komisaris, hal ini dikarenakan pihak yang bertindak sebagai Direktur (adalah suami dari Komisaris sendiri), menurut pengakuannya bahwa yang bersangkutan (Direktur Utama) tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Begitu pula dengan apa yang dikemukakan oleh Abidin Sattung,11 terhadap perusahaan yang dipimpinnya yang merupakan perusahaan keluarga, di mana sahamsaham perusahaannya terbagi dan dimiliki saudara-saudara dari Direktur sendiri. Ada percampuran harta pribadi Direktur Utama dan harta perusahaan. Akan tetapi sepenuhnya pelaksanaan kegiatan dijalankan oleh Direktur sendiri tanpa campur tangan pemegang saham yang lain. Pemegang saham yang lain selaku wakil Direktur dan Komisaris hanya bertindak pasif dan tidak pernah melakukan rapat seperti apa yang diatur dalam UUPT. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yangsmid Rahman.12 Hasil wawancara dengan Komisaris PT.Mulya Raya Pare-Pare, tanggal 18 Juni 2012. Hasil wawancara dengan Direktur PT Bahtera Mulya Pare-Pare tanggal 19 Juni 2012. 12 Hasil wawancara dengan Direktur PT.Tirasa Utama Pare-Pare tanggal 19 Juni 2012. 10 11
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
263
Dengan demikian, menurut hemat penulis untuk kasus di atas, pelaku-pelaku perseroan telah menjadikan sarana hukum itu hanya sebagai “kedok” (topeng) saja untuk menjustifikasi (melegalkan) atau membenarkan tindakannya yang sesungguhnya bertentangan dengan aturan hukum. Hal ini penulis istilahkan dengan “penyeludupan hokum.” Dalam praktiknya, organ-organ perseroan yang lain itu hanya sebagai “boneka”, yang sesungguhnya keberadaan mereka hanya secara de jure saja, dan mereka sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa tentang perusahaan itu sendiri. Mereka sesungguhnya tidak mempunyai fungsi dan menjalankan peran mereka sebagai organ-organ perseroan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini masyarakat sadar dengan keberadaan hukum, akan tetapi masyarakat itu sendiri tidak taat dengan hukum. Hal ini terjadi karena pemahaman, pendapat, ide-ide, serta opini-opini masyarakat sehingga hukum itu menjadi tidak efektif. Untuk Perseroan Terbatas yang kepemilikan sahamnya secara de jure dimiliki oleh beberapa orang pemegang saham, sementara secara de facto saham perusahaan tersebut hanya dimiliki oleh satu orang bahkan terdapat perusahaan yang pemegang sahamnya dimiliki oleh suami istri tanpa perjanjian kawin dan anak-anak yang masih dibawah umur. Sementara dalam hukum Indonesia tidak dibenarkan hal yang demikian. Dalam hukum keluarga, suami dan istri tanpa perjanjian kawin dianggap satu pihak, begitu juga dengan anak-anak yang masih dibawah umur yang masih dibawah kekuasaan orang tuanya, Oleh karena itu menurut hemat penulis, hal ini jelas bisa berakibat bahwa doktrin piercing the corporate veil tidak dapat diterapkan. Piercing the corporate veil hanya bisa diterapkan pada perusahaan-perusahaan (Perseroan Terbatas) yang secara de jure dan de facto telah memenuhi kriteria sebagai Badan Hukum. Untuk selanjutnya, sejauhmana pengujian dan pemeriksaan subtantif dan pemeriksaan formil yang dilakukan oleh menteri Hukum dan HAM dalam hal permohonan pendirian suatu Perseroan Terbatas (PT), dijelaskan oleh Agus Rianto13 bahwa dalam Pasal 9 UUPT, untuk setiap pendirian PT para pendiri bisa bermohon sendiri atau melalui notaris harus mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memperoleh pengesahan pendirian Perseroan Terbatas itu sebagai badan hukum, melalui format-format isian komputer elektronik Sistem Administrasi Badan Hukum (yang semula disingkat Sisminbakum dan kemudian menjadi SABH) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UUPT. Manakala menurut Menteri tidak ada keberatan untuk diberikannya pengesahan tersebut, maka Menteri akan menerbitkan keputusan. Dari keputusan-keputusan Menteri Hasil wawancara dengan Kasubdit Badan Hukum Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM Jakarta tanggal 11 Juni 2012. 13
264
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
yang selama ini diterbitkan akan terbaca, ternyata bahwa keputusan Menteri yang memberikan pengesahan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap Format Isian Akta Notaris Model I dan dokumen perlengkapannya serta salinan akta pendirian yang bersangkutan, Menteri berpendirian telah dipenuhinya syaratsyarat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Rudhi Prasetya,14 dalam realitanya di masyarakat, dikenal istilah Perseroan Terbatas Kosong atau PT Kosong adalah suatu Perseroan Terbatas yang sudah tidak menjalankan kegiatan lagi yang pasiva dan aktivanya sudah dalam keadaan nihil. Seyogianya dengan terjadinya PT Kosong segera disusul dengan “likuidasi” (pembubaran). Namun dalam kenyataannya acapkali PT Kosong ini dibiarkan. Adapun alasannya kemungkinan masih ada pihak yang ingin mengambil alih/membeli saham Perseroan Terbatas ini, sebab sekalipun Perseroan Terbatas ini sudah tidak mempunyai aset lagi, namun Perseroan Terbatas ini masih mempunyai apa yang dinamakan “goodwill”. Adapun yang dimaksud bahwa Perseroan Terbatas ini masih mempunyai goodwill, artinya Perseroan Terbatas ini tetap masih mempunyai relasi, khususnya tetap masih mempunyai izin-izin (yang biasa dinamakan sebagai lisensi). Relasi dan Lisensi ini kadangkala mempunyai nilai ekonomis, atas dasar mana ada pihak yang bersedia membeli saham PT Kosong. Sedangkan dalam praktik yang dimaksudkan dengan “saham kosong” adalah suatu saham di mana pemegang saham yang bersangkutan tidak memasukkan modal. Menurut hukum tidak mungkin seseorang pemegang saham tidak pernah membayar uang pemasukan ke kas perseroan. Jadi, dalam pengertian “saham kosong” itu tidak berarti bahwa dari saham tersebut sama sekali tidak ada penyetoran modal. Bahwa dalam saham kosong itu tetap ada uang pemasukan, namun dalam hal ini yang membayar uang pemasukan bukan sipemegang saham yang bersangkutan sendiri, melainkan orang lain yang membayarkannya untuk dan atas nama sipemegang saham. Khusus untuk pendirian Perseroan Terbatas yang tergolong sebagai “PT Khusus”, lazimnya untuk pengesahannya ini terlebih dahulu dipersyaratkan telah adanya rekomendasi dari Menteri Teknis yang membidangi kegiatan riil yang akan dijalankan oleh Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Adapun yang dimaksudkan dengan dengan PT Khusus adalah suatu Perseroan Terbatas yang dalam hubungan dengan sektor kegiatan memerlukan persyaratan khusus untuk memperoleh izin usaha yang diadakan karena adanya suatu politik tertentu dari Pemerintah di sektor yang bersangkutan, atau mungkin pula sektor kegiatan usaha tersebut akan berhubungan atau berkait dengan banyak orang dalam masyarakat. Khusus untuk Perseroan Terbatas yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, 14
Rudhi Prasetya. Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 63-67.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
265
terlebih dahulu diperlukan izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Terkait dengan issue dalam masyarakat adanya Perseoan Terbatas yang pemilik sahamnya Tunggal, tidak pernah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham, Modalnya fiktif, hal itu di luar tanggung jawab Ditjen AHU tetapi tanggung jawab Notaris yang kita (Ditjen AHU) percayakan kepada mereka termasuk akta-akta yang dibuat Notaris pada saat pendirian Perseroan Terbatas yang dimohonkan pengesahannya. Ditjen AHU tidak melakukan penelitian/pengujian sejauh itu, mengingat banyaknya permohonan yang masuk ke Ditjen AHU. Demikian pula hal yang sama dikemukakan oleh Ella Yuniara15. Dari apa yang dikemukakan di atas, menurut hemat penulis bahwa ketidaksesuaian yang terjadi antara apa yang seharusnya sebagaimana telah di atur dalam UUPT, tidaklah berjalan sebagaimana diharapkan, hal ini karena tidak berjalannya sistem koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan, pendapatpendapat dan pemahaman-pemahaman serta ide-ide masyarakat mengenai hukum itu sendiri turut pula mempengaruhi berlaku efektifnya suatu aturan.Mulai dari permohonan pendirian Perseroan Terbatas sampai kepada permohonan pendaftarannya sebagai Badan Hukum.Notaris sebagai pihak yang membuat akta pendirian sepatutnya meneliti kebenaran materiil (de facto) persyaratan-persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pihak yang bermohon untuk pendirian sebuah Perseroan Terbatas. Jika perlu Notaris mengarahkan pihak pemohon. Selain itu menurut hemat penulis, Ditjen AHU seharusnya pula mengecek dan meneliti kebenaran data yang diajukan kepadanya terkait dengan permohonan Perseroan Terbatas untuk menjadi Badan Hukum. Hal ini mengingat bahwa sistem permohonan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas secara on line sangatlah besar kemungkinan orang memanfaatkan celah untuk berspekulasi.Kemudian diperparah lagi dengan tidak adanya sanksi yang tegas di dalam UUPT ketika suatu perseroan dalam realitanya pemegang saham yang merangkap sebagai Direktur, juga sebagai Komisaris. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian pada temuan hasil penelitian di atas, penulis menyimpulkan pokok bahasan sebagai berikut: 1. Implementasi doktrin Piercing the Corporate Veil sampai pada batas-batas tertentu, dapat diberlakukan dan sudah diakomodir dalam hukum Indonesia, meskipun banyak akselerasi, dan adaptasi yuridis yang masih harus dilakukan, dan ini merupakan tugas Hasil wawancara dengan Kasi PT Terbuka Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM Jakarta tanggal 11 Juni 2012. 15
266
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
bagi pelaku-pelaku usaha, khususnya yang berkecimpung dalam dunia perusahaan. Selain itu bahwa dalam penerapannya dibutuhkan pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai aspek dan dampaknya bagi perusahaan. 2. Penerapan doktrin Piercing the Corporate Veil dalam realitasnya masih dipengaruhi oleh kultur hukum masyarakat para pelaku usaha yang berbeda perangkat sosialnya, nilai-nilai sosial yang dianutnya, stratifikasi sosialnya, serta taraf pemikiran masyarakatnya di mana doktrin ini berasal. Selain itu doktrin ini bagi sebagian pelakupelaku perseroan masih dianggap tidak familiar, ternyata dalam penelitian masih ditemukan perusahaan-perusahaan PT yang berbentuk badan Hukum namun tidak ada pemisahan antara harta kekayaan perusahaan dengan harta pribadi pengurusnya. Mereka menjadikan sarana hukum itu hanya sebagai “kedok” (topeng) saja untuk menjustifikasi (melegalkan) atau membenarkan tindakannya yang sesungguhnya bertentangan dengan aturan hukum. Direksi dalam hal ini juga merangkap sebagai Komisaris dan juga sebagai pemegang saham. Hal ini penulis istilahkan dengan “penyelundupan hukum”. Saran 1. Seharusnya ada aturan yang tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa tidak boleh adanya rangkap jabatan seperti Direksi merangkap sebagai Komisaris dan sekaligus sebagai pemegang saham, atau lebih tepatnya lagi dalam istilah yang dikenal dalam masyarakat sebagai “pemegang saham tunggal”. 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diharapkan menjadi peraturan yang komprehensif melingkupi berbagai aspek perseroan, yang akhirnya mencapai tujuan dari peraturan ini yaitu, memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan sosialisasi dan komunikasi yang berkelanjutan atas undang-undang ini.
DAFTAR PUSTAKA Chatamarrasjid Ais. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Frans Satrio Wicaksono. 2009. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Jakarta: Visimedia. Rudhi Prasetya. 2010. Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
267
Try Widiyono. 2008. Direksi Perseroan Terbatas Keberadaan,Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab, Bogor: Ghalia Indonesia. Sumber lainnya: Kompas Online. 2011. Sebagaimana dikutip pada laman website: (http:/nasional.kompas. com/read/2011/03/29/1832589/Putranefo.Divonis.Enam.Tahun) Diakses 12 Mei 2011.
268
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENGAWASAN SEBAGAI SARANA PENEGAKAN HUKUM PADA PENGELOLAAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT
Muthaharah, Yunus Wahid, Muhammad Djafar Saidi
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENGAWASAN SEBAGAI SARANA PENEGAKAN HUKUM PADA PENGELOLAAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT Oleh: Muthaharah1*, M. Yunus Wahid2, Muhammad Djafar Saidi2 1
Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Jl. Jenderal Sudirman No. 4, Sinjai
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract The result show that the implementation of monitoring as an instrument of environmental law enforcement has not been implemented optimally, either by BLHD monitoring, internal monitoring by the hospital and external monitoring by the local community hospital. It is characterized by the low compliance/adherence to aspects of the hospital responsible by licensing and regulations in the field of environment. Attention to environmental management has not been considered as a priority in running the hospital. So the possibility of environmental contamination has occurred, but has not been recognized by the society due to ignorance and the hazards that are encountered. The availability of monitoring personnel both in quantity and quality, lack of funding, lack of coordination and attitude of hospital management into factors that hinder the implementation of the monitoring. Keywords: Monitoring, Environmental Law Enforcement, Hospital Wastewater Treatment Abstract Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan sebagai instrumen penegakan hukum lingkungan belum dilaksanakan secara optimal, baik pengawasan oleh BHLD, pengawasan internal rumah sakit dan pengawasan eksternal oleh masyarakat sekitar rumah sakit. Hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya kepatuhan/ketaatan penanggung jawab rumah sakit terhadap aspek perizinan dan ketentuan perundangundangan di bidang lingkungan hidup. Perhatian terhadap pengelolaan lingkungan hidup belum dianggap sebagai hal prioritas dalam menjalankan kegiatan rumah sakit. Sehingga kemungkinan telah terjadi pencemaran lingkungan hidup, tetapi belum disadari oleh masyarakat karena ketidaktahuan dan ketidaktanggapan masyarakat akan bahaya yang sedang dihadapi. Faktor ketersediaan tenaga pengawas baik secara kuantitas dan kualitas, minimnya pendanaan, kurangnya koordinasi dan sikap pengelola rumah sakit merupakan factor penghambat dalam pelaksanaan pengawasan. Kata kunci: Pengawasan, Penegakan Hukum Lingkungan, Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Bumi dan segala isinya diciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu anugerah dan karunia yang sangat sempurna dan seimbang. Hal ini telah ditegaskan dalam Firman Allah SWT QS. Al-Mulk ayat (3) yang artinya, “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Selanjutnya ditegaskan pula dalam Surah AlA’raf ayat (56) bahwa, ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdolah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat kepada orangorang yang berbuat baik.” 1 Ketentuan yang tercantum dalam Firman Allah SWT di atas, pada hakikatnya memerintahkan kepada setiap manusia untuk selalu menjaga keseimbangan serta tidak melakukan tindakan semena-mena yang mengakibatkan timbul efek adanya kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan untuk jangka panjang. Terlaksananya Pembangunan Jangka Panjang dan Berkelanjutan (Sustainable Development) tersebut memerlukan pengetahuan yang serius, baik dari segi yuridis maupun teknis dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Indonesia sebagai Negara dengan konsep Negara hukum Kesejahteraan (welfare state), yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat telah mengamanatkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Komitmen tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28 H ayat (1), menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,disebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengawasan yang intensif terhadap suatu usaha atau kegiatan merupakan salah satu bentuk pencegahan dini untuk menjaga agar lingkungan tidak rusak semakin parah. Pengawasan dilakukan terhadap tingkat pentaatan pananggungjawab usaha atau kegiatan terhadap ketentuan perundang-undangan sehingga dapat mencegah secara dini terjadinya pelanggaran yang berakibat tercemarnya lingkungan. Pengawasan merupakan salah satu sarana penegakan hukum lingkungan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan di bidang lingkungan hidup.
1
272
Tafsir Al-Quranul Karim
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Pengawasan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasaan dan penegakan hukum. Permasalahan lingkungan hidup pada rumah sakit mulai banyak di persoalkan. Pesatnya pertumbuhan pembangunan rumah sakit selain memberikan konstribusi positif dalam program peningkatan kesehatan masyarakat. Namun pada sisi lain, limbah yang dihasilkan merupakan ancaman tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup dan bagi kesehatan masyarakat. Hasil penelitian pengolahan limbah cair RS yang dilakukan di beberapa Rumah Sakit di Sulawesi Selatan, antara lain di RS Islam Faisal kota Makassar tahun 20092 dan RS Lasinrang di Kabupaten Pinrang tahun 20063 menunjukkan bahwa kualitas limbah cair medis yang melalui proses pengolahan oleh kedua rumah sakit tersebut tidak memenuhi baku mutu limbah cair Berdasarkan data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 7 rumah sakit di kota Makassar tidak memilki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), diantaranya RS Akademis, RS Stellamaris, RS Labuang Baji, RS Grestelina, RS Awal Bros dan RS Ibnu Sina. Diduga rumah sakit tersebut membuang limbah secara langsung ke laut melalui saluran air bawah tanah. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya rumah sakit yang meliris laporan pengolahan limbah ke publik. Masih banyaknya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang terjadi, mengindikasikan masih lemahnya peranan penegakan hukum, terutama penegakan hukum administrasi.4 Menurut Badan Lingkungan Hidup Daerah (BHLD) Kota Makassar, minimnya pengawasan yang dilakukan terhadap rumah sakit yang tidak memilki Instalasi Pengolahan Limbah, terkendala oleh keterbatasan anggaran. Besarnya anggaran yang dikeluarkan dalam satu kali pengujian menjadi alasan lemahnya pengawasan dan pemeriksaan secara berkala.5 Fakta empiris sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa ada kecendrungan lemahnya intensitas pelaksanaan pengawasan dan hal ini berdampak pada belum terwujudnya pelaksanaan penegakan hukum. Oleh sebab itu, relevan apabila dalam rangka Maswarah. 2006. Studi Kualitas limbah Cair di RSU Lasinrang Kab. Pinrang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 3 Warina. 2009. Pengelolaan dan Kualitas Limbah Cair Medis di RS Islam Faisal Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 4 Harian Seputar Indonesia Makassar tanggal 31 Mei 2012. 5 Ibid. 2
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
273
mengefektifkan penegakan hukum administrasi, maka seyogyanya dimulai dari upaya yang sifatnya preventif yakni melalui pelaksanaan pengawasan. Melalui upaya preventif, diharapkan penyelesaian secara represif melalui pengadilan dapat diminimalkan. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap pengolahan limbah cair rumah sakit sebagai sarana penegakan hukum lingkungan? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan pengawasan
terhadap
pengolahan limbah cair rumah sakit? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada instansi Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar yang merupakan lembaga teknis pemerintah daerah kota Makassar di bidang lingkungan hidup. Badan Lingkungan Hidup Daerah merupakan unsur penunjang pemerintah daerah kota Makassar yang salah satu fungsinya adalah melakukan pengawasan penaatan terhadap setiap kegiatan dan/atau usaha yang ada diwilayah kota Makassar, termasuk kegiatan rumah sakit yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Lokasi penelitian juga dilakukan RS Labuang Baji dan RS Haji serta di wilayah pemukiman penduduk dikedua rumah sakit tersebut yaitu masyarakat di kelurahan Labuang Baji, Kelurahan Mamajang Dalam dan Kelurahan Balang Baru yang berpotensi terkena dampak dari kegiatan rumah sakit terutama dari limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit. Jenis dan Tipe Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris (penelitian hukum sosiologis), sedangkan tipe penelitiannya adalah dilakukan secara deskriptif yaitu tipe penelitian yang diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian (seorang, lembaga, masyarakat) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya, yang dikaitkan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari antara lain Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah/PPLHD atau pegawai negeri yang 274
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
mendapatkan surat tugas untuk melaksanakan pengawasan lingkungan hidup pada Instansi BLHD dan tenaga pengawas (sanitasi) di rumah sakit serta pihak-pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan limbah rumah sakit dan pencemaran yang ditimbulkannya, termasuk masyarakat yang bertempat tinggal disekitar rumah sakit yang berpotensi terkena dampak dari kegiatan rumah sakit. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu penarikan sampel yang didasarkan atas pertimbangan tertentu. Sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah seluruh pejabat pengawas Lingkungan Hidup Daerah BLHD Kota Makassar atau Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan melaksanakan pengawasan lingkungan hidup yaitu sebanyak 14 orang, tenaga pengawas(sanitasi) limbah cair di RSUD Labuang Baji dan RSUD Haji masing-masing sebanyak 1 orang, serta kelompok masyarakat yang berada disekitar rumah sakit yaitu kelompok masyarakat disekitar RSUD Labuang baji berjumlah 15 orang (20% dari sekitar 80 rumah yang berada didekat RSUD Labuang Baji), dan kelompok masyarakat disekitar RSUD Haji yang berjumlah 15 orang (20% dari sekitar 75 rumah yang berada didekat RSUD Haji) dengan pertimbangan bahwa kedua rumah sakit tersebut berada pada kawasan pemukiman penduduk dan termasuk rumah sakit yang diduga tidak memiliki instalasi IPAL. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara menguraikan kenyataankenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, lalu diinterpretasikan secara sistematis dengan persoalan yang ada, terutama yang mengatur tentang pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan limbah dan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang bisa ditimbulkan. Selanjutnya, dikelompokkan dan diinterpretasi dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan konstruksi hukum serta dianalisis secara yuridis kualitatif.6 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dasar Hukum Pengaturan Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Rumah sakit dalam melaksanakan berbagai kegiatannya menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas. Hal ini mempunyai konsekuensi perlunya pengolahan limbah rumah sakit sebagai bagian dari penyehatan lingkungan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan. Terkait dengan upaya pengolahan limbah cair, terdapat beberapa aturan yang mengatur tentang pengolahan limbah cair rumah sakit, yaitu:
6
Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. (Bandung. Mandar Maju, 2008), hlm. 34.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
275
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012, tentang Izin Lingkungan. 3. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 4. Kepmen LH No. 58 tahun 1995, tentang baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah sakit. Berdasarkan Kepmen LH No. 58 tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah sakit pasal (7) disebutkan mengenai kewajiban penanggung jawab rumah sakit. 5. Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, limbah cair rumah sakit harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpangannya. b. Saluran pembungan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup, kedap air dan limbah harus mengalir dengan lancar serta terpisah dengan saluran air hujan. c. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersamasama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang mememnuhi persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah perkotaan. d. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian limbah yang dihasilkan e. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air limbah harus dilengkapi/ditutup dengan grill. f. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan sebagai Sarana Penegakan Hukum pada Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Penegakan hukum lingkungan hidup merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan secara administrasi, keperdataan dan kepidanaan. Untuk itu penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif, yaitu upaya penegak hukum mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dan dapat juga 276
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
dilakukan secara represif, yaitu upaya penegak hukum kepada siapa yang melanggar ketentuan-ketentuan
perundangan
yang
berlaku.
Penegakan
hukum
lingkungan
(environmental enforcement) harus dilihat sebagai suatu alat. Tujuan penegakan hukum lingkungan adalah penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan kedalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur baku mutu limbah atau emisi. Yahya Harahap menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan ini berkaitan dengan salah satu hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas pencemaran lingkungan atau environmental protection.7 Penegakan hukum administrasi merupakan salah satu cara atau strategi dalam mendorong penaatan terhadap standar, baku mutu dan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Dibandingkan dengan penegakan hukum pidana dan keperdataan, penegakan hukum administrasi walaupun ada unsur paksaan (force), namun jenis penegakan hukum ini memiliki fungsi pencegahan (preventive). Melalui pengawasan yang konsisten dan teratur maka berbagai bentuk pelanggaran izin dan peraturan perundangundangan yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dapat dicegah sedini mungkin. Dengan demikian pengawasan merupakan “jantung” dari penegakan hukum administratif. Perangkat pengelolaan lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin (terutama izin lingkungan atau izin yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup) dapat dijadikan tolok ukur pelaksanaan pemantauan atau pengawasan penaatan dalam kemasan penegakan hukum administrasi. Hasil pengawasan inilah yang dapat ditindaklanjuti dengan pembinaan dan atau penjatuhan sanksi administratif. Sanksi administratif dapat berbentuk peringatan, paksaan pemerintah, pembekuan kegiatan, bahkan penutupan kegiatan. Kegiatan pengawasan penaatan lingkungan hidup diatur dalam UUPPLH, Bab XII Pasal 71 sampai dengan Pasal 75. Adapun Aparat penegak hukum administrasi yang dimaksud dalam UUPPLH adalah Menteri, Gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditetapkan menteri, atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Kepala Daerah dapat menunjuk pejabat yang berwenang melakukan pengawasan pada institusi terkait dengan masalah lingkungan. Penegakan hukum yang bersifat preventif ini pada dasarnya menitik beratkan pada upaya pengawasan aktif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum administrasi. Pengawasan ini dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan perundangan yang ada untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Mekanisme Ibid hal 23
7
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
277
pengawasan ini dapat dilakukan secara berkala dan impromptu sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan penegakan hukum secara represif dilakukan terhadap pelaku yang benar-benar telah melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik secara pidana atau perdata Pengawasan Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengawasan lingkungan hidup merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pegawai Negeri yang mendapat surat tugas untuk melakukan pengawasan lingkungan hidup atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di pusat atau daerah (KepMen Lingkungan Hidup No.56 tahun 2002) Adapun tujuan pengawasan lingkungan hidup adalah untuk memantau, mengevaluasi dan menetapkan status ketaatan penanggungjawab usaha dan atau kegiatan terhadap: 1. Kewajiban yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. 2. Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan sebagaimana tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) atau persyaratan lingkungan yang tercantum dalam izin yang terkait. Adapun sasaran pengawasan lingkungan hidup adalah untuk mendapatkan data dan informasi secara umum berupa fakta-fakta yang menggambarkan kinerja atau status ketaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan, serta perizinan yang terkait. Pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu tugas dan wewenang dari pemerintah daerah sesuai dengan amanat Pasal 63 UUPPLH, Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Makassar. 278
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Pelaksanaan pengawasan penaatan merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 67 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup. Adapun ruang lingkup pengawasan menurut ketentuan di atas meliputi: 1. Pengawasan terhadap aspek peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari: a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. b. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999. c. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut. d. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. e. Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. f. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. g. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. h. Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang terkait. 2. Pengawasan terhadap aspek perizinan meliputi berbagai jenis perizinan, antara lain: a. Izin Usaha; a. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) b. Izin Pembuangan Limbah Cair; c. Izin Pengelolaan Limbah B3; d. Izin Pembuangan Limbah (dumping) ke laut; e. Izin Lainnya yang terkait. 3. Selanjutnya kegiatan pengawasan terhadap aspek kesiagaan dan tanggap darurat meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Ketersediaan sarana dan Prasarana Pencegahan dan Penanggulangan Darurat yang disesuaikan dengan resiko musibah yang mungkin terjadi. b. Ketersediaan catatan terhadap perbaikan peralatan yang terus diperbaharui. c. Ketersediaan pelatihan tata cara penanggulangan tanggap darurat secara berkala kepada pekerja maupun masyarakat di sekelilingnya. d. Adanya pemisahan antara peralatan laik pakai dengan yang rusak disertai pelabelan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
279
(tag) yang menunjukkan keadaan yang rusak (out-of-service). e. Ketersediaan dan penggunaan peralatan dan pakaian pelindung personal f. Ketersediaan alat-alat pendeteksi dini keadaan darurat. g. Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran disetiap unit kegiatan (tabung pemadam kebakaran Automatic sprinkler). h. Ketersediaan alat deteksi suatu kebocoran B3. i. Ketersediaan peralatan bantuan pernapasan di dekat tempat masuk ruangan gas beracun yang berfungsi dengan baik. j. Ketersediaan peralatan P3K di lokasi. k. Ketersediaan tanda-tanda peringatan (dilarang merokok, tegangan tinggi, bahaya gas beracun, hati-hati) terpasang. l. Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP). BLHD Kota Makassar merupakan Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) Pemerintah Kota Makassar, yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup.Pembentukan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar sesuai paragraph 8 pasal 38 Peraturan Daerah Kota Makassar No.3 tahun 2009 tanggal 7 Mei 2009 tentang pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassar dimana dalam kedudukannya sebagai lembaga teknis Perangkat Daerah Pemerintah Kota Makassar. Dalam struktur organisasi BLHD Kota Makassar, fungsi pengawasan dan pemantauan dilaksanakan oleh Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran dan mempunyai dua sub bidang yaitu Subbidang Pengendalaian pencemaran Air, Udara dan Tanah dan Subbidang Pengawasan Limbah B3 dan Domestik. Adapun tugas dan fungsi pokok Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran tertuang dalam Perwali Kota Makassar No. 47 Tahun 2009 pasal (9) tentang Uraian jabatan Struktural pada BLHD. Menurut data dari BLHD Kota Makassar, di kota Makassar terdapat sebanyak sekitar 200 buah rumah makan/restoran,sekitar 188 hotel dan jumlah industri sebanyak 200 buah, Rumah Sakit Umum sebanyak 17 buah, Rumah Bersalin 14 buah, dan Puskesmas sebanyak 20 buah. Semua usaha/kegiatan diatas berpotensi untuk menimbulkan pencemaran lingkungan hidup sehingga perlu mendapat pengawasan dan pemantauan lingkungan hidup oleh BLHD Kota Makassar. Profil Aparat Pengawas Lingkungan Hidup Optimal tidaknya hasil yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan pengawasan, turut ditentukan oleh kualitas dan kuantitas aparat pengawas yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas tersebut. Pada Tabel 1 di bawah ini menunjukkan profil tenaga 280
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
pengawas lingkungan hidup yang bertugas di BLHD Kota Makassar dari aspek latar belakang pendidikan maupun jumlah tenaga pengawas. Tabel 1. Tingkat pendidikan formal tenaga pengawas lingkungan hidup BLHD Kota Makassar No. 1. 2. 3. 4.
Kualifikasi Pendidikan Srata dua Srata Satu Diploma SMA dan sederajat Jumlah
Jumlah
Persentase
2 9 1 2
14,3% 64,3% 7,1% 14,3%
14
100%
Sumber: Data Primer BLHD Kota Makassar tahun 2012
Selanjutnya pada Tabel 2 di bawah ini menggambarkan bahwa dalam rangka peningkakan kemampuan dan kompetensi sebagai aparat pengawas, maka dari 14 orang tenaga pengawas pada BLHD Kota Makassar, telah mengikuti berbagai jenis Pendidikan dan Latihan (Diklat). Tabel 2. Pendidikan dan pelatihan tenaga pengawas lingkungan hidup No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Pendidikan dan Pelatihan Pelatihan AMDAL Pelatihan Pengawasan Air dan Udara Pelatihan Limbah B3 Tidak pernah mengikuti pelatihan
Jumlah 9 6 3 5
Sumber: Data Primer BLHD Kota Makassar Tahun 2012
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah aparat pengawas lingkungan hidup sebanyak 14 orang dengan rincian latar belakang pendidikan formil yaitu S2 sebanyak 2 orang, S1 sebanyak 9 orang, diploma sebanyak 1 orang dan lainnya sebanyak 2 orang. Dan sebanyak 9 orang yang telah mengikuti Diklat dibidang Lingkungan Hidup antara lain Diklat AMDAL, Diklat Air dan Udara, Diklat Limbah B3 dan sisanya sebanyak 5 orang belum pernah mengikuti Pendidikan dan Latihan di bidang Lingkungan Hidup. Salah satu yang menjadi kendala dalam ketersediaan tenaga pengawas adalah adanya mutasi pegawai negeri sipil, sehingga tenaga pengawas yang telah dilantik sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup kemudian mengalami mutasi menyebabkan berkurangnya tenaga pengawas di BLHD Kota Makassar. Berdasarkan jumlah tenaga pengawas diatas sebanyak 14 orang sangat tidak sebanding dengan jumlah usaha ataupun industry yang akan diawasi dan dipantau yaitu sebanyak 200 buah rumah makan/restoran,188 hotel dan kurang lebih 200 buah industri, 17 buah Rumah Sakit Umum, 14 buah Rumah Sakit Bersalin dan 44 buah Puskesmas Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
281
sehingga pengawasan lingkungan hidup yang optimal belum dapat tercapai. Selain itu masih terdapat tenaga pengawas yang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang lingkungan hidup, sehingga dapat mempengaruhi kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pengawas. Pelaksanaan Pengawasan Pengolahan Limbah Cair Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengawasan lingkungan hidup merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pegawai Negeri yang mendapat surat tugas untuk melakukan pengawasan lingkungan hidup atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di pusat atau daerah.8 Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara dengan nara sumber yang berkompeten yaitu Kasubid Pengendalian Pencemaran Air, Udara dan Tanah dan Kasubid Pengawasan Limbah B3 dan Domestik, terdapat 2 jenis pengawasan yang dilakukan BLHD Kota Makassar terhadap pengolahan limbah cair rumah sakit yang beroperasi dikawasan kota Makassar, yaitu: Pengawasan pasif Pengawasan pasif adalah pengawasan yang bersifat administratif. Pengawasan ini dilaksanakan dengan cara memeriksa dan membuat tanggapan terhadap laporan hasil pengawasan dan pemantauan pengolahan limbah cair rumah sakit yang dikirim dari setiap rumah sakit ke BLHD Kota Makassar setiap enam bulan sekali. Kewajiban rumah sakit untuk memberikan laporan pengelolaan lingkungan diatur dalam UUPPLH Pasal 68. Dengan melakukan pengawasan yang bersifat administrasi, akan dapat diketahui profil pengolahan limbah cair rumah sakit dan riwayat ketaatan rumah sakit dalam memenuhi ketentuan izin dan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun pengawasan yang bersifat pasif ini belum dapat dilakukan dengan optimal. Hal ini dapat dilihat dengan tidak terdokumentasikannnya riwayat ketaatan rumah sakit dalam pengolahan limbah cairnya secara lengkap dan rutin pada BLHD Kota Makassar. Sebagian besar pengelola rumah sakit tidak menyerahkan laporan pelaksanaan pengolahan limbah cairnya secara periodik. Sehingga hal ini menyebabkan data ketaatan rumah sakit
8
282
KepMen Lingkungan Hidup No.56 tahun 2002
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
terhadap peraturan terkait tidak bisa disajikan secara akurat. Padahal menurut Kasubid Pengawasan Limbah B3 dan Domestik, setiap rumah sakit telah diinformasikan sebelumnya tentang jadwal penyetoran laporan/dokumen pengolahan limbah cair, namun hal tersebut kurang mendapatkan tanggapan yang serius dari pihak rumah sakit.9 Pengawasan aktif Adalah bentuk pengawasan yang dilakukan dengan mengambil data primer, dengan melakukan pemeriksaan langsung/inspeksi ke suatu rumah sakit terhadap kewajiban rumah sakit dalam melakukan pengolahan limbah cairnya, termasuk memeriksa langsung kualitas air limbah yang dihasilkan oleh outlet IPAL. kegiatan pengawasan ini dapat berupa kegiatan kunjungan incognito (courtessy). Bentuk lainnya adalah pemeriksaan mendadak (inspeksi mendadak). Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk cross check, yaitu klarifikasi data dan mendapatkan bukti atas adanya sangkaan terhadap data yang kurang wajar dan sifat pemeriksaan ini adalah insidentil. Berdasarkan hasil pengawasan dan pemantauan ini maka profil pengelolaan limbah sarana pelayanan kesehatan dapat selalu diperbaharui dan riwayat pentaatan pengelolaan limbahnya akan selalu terdata. Pelaksanaan pengawasan ini berpedoman pada kepmen LH No. 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penaatan Pengawasan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup. Dalam kegiatan pengawasan lingkungan hidup Rumah Sakit khususnya dalam pengolahan limbah cair RS, tenaga pengawas BLHD Kota Makassar melakukan kegiatan antara lain: 1. Memeriksa Dokumen Pengelolaan Lingkungan 2. Memeriksa kondisi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Rumah Sakit. 3. Melakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan terhadap parameter air limbah Rumah Sakit . 4. Melakukan dokumentasi disetiap pengawasan dan pemantauan lingkungan hidup rumah sakit. 5. Membuat berita acara hasil pengawasan air limbah rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pengawasan Limbah B3 dan domestik dan Kepala Sub Bidang Pengendalian Pencemaran Air, Udara dan Tanah10 bahwa pengawasan dan pemantauan pengolahan limbah cair rumah sakit idealnya dilaksanakan secara periodik 2x setahun. Namun dalam pelaksanaannya dilapangan hal tersebut belum bisa dilaksanakan secara optimal karena keterbatasan tenaga pengawas dan anggaran
9
Wawancara dengan A. Hamdani tanggal 13 November 2012 Wawancara tanggal 2 November 2012
10
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
283
yang tidak memadai, sehingga tidak semua rumah sakit dapat dilakukan pengawasan dan pemantuan lingkungan hidup secara berkala 2x setahun tapi hanya beberapa rumah sakit saja. Sehingga secara umum, frekuensi pengawasan hanya dapat dilakukan maksimal sebanyak 1x dalam setahun untuk setiap rumah sakit. Hasil pengawasan kemudian dilaporkan kepada Kepala BLHD Kota Makassar, BLHD Propinsi dan Kementrian Lingkungan Hidup setiap 6 bulan. Baku mutu limbah cair rumah sakit BLHD Kota Makassar mengukur parameter limbah cair Rumah Sakit mangacu pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup. Parameter limbah cair yang ditetapkan dalam Pergub ini agak lebih ketat dibandingkan dengan parameter limbah cair yang diatur oleh Kementrian Lingkungan Hidup No 58 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Rumah Sakit. Berdasarkan Pergub No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan lingkungan Hidup lampiran II poin D.2 Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan RS terdapat beberapa parameter yang wajib dilakukan uji mutu lingkungan dan tidak boleh melebihi dari batas yang ditentukan (Tabel 3). Tabel 3. Baku mutu air limbah, berdasarkan Pergub No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup No. 1 2
3
Parameter FISIKA - Suhu KIMIA - pH - BOD - COD - DO - NH3 Bebas - TSS Mikrobiologi - MPN Coliform
Satuan
Batas Max
Spesifikasi Metode
°C
30°C
SNI 06-6989.23-2005
mg/sL mg/L mg/L mg/L mg/L
6,0-9,0 30 70 (-) 0,1 30
SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-2503.1991 SNI 06-2504.1991 SNI 06-6989.14-2004 Fotometrik SNI 06-6989.03-2004
Jumlah/100 mL 10.000
IKM/5.4.9/BTKL-MKS
Sumber: Data Primer BLHD Kota Makassar, Tahun 2012
Dalam melaksanakan pengawasan pengolahan limbah cair rumah sakit, BLHD Kota Makassar tidak melakukan pemeriksaan parameter limbah cair secara lengkap terhadap semua rumah sakit. BLHD Kota Makassar hanya melakukan pemeriksaan/pengujian terhadap parameter pH dan DO saja. Adapun rumah sakit yang dilakukan pemeriksaan parameter baku mutu air limbah secara lengkap yaitu sebanyak 3 rumah sakit saja antara lain RS Wahidin, RS Pelamonia dan RS Ibnu Sina. Salah satu faktor yang menjadi kendala 284
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
adalah mahalnya biaya dalam melakukan pengujian parameter limbah cair rumah sakit dan minimnya peralatan yang dimiliki oleh BLHD Kota Makassar, sehingga pemeriksaan lengkap dan rutin dengan menggunakan fasilitas laboratorium lingkungan yang terakreditasi hanya dapat dilakukan untuk 3 rumah sakit saja dari 17 rumah sakit umum tipa A dan B yang ada. Hal tersebut berakibat tidak dapat dikumpulkannya informasi dan fakta lapangan yang lengkap dan valid.11 Pengawasan pasif yang belum optimal dan tidak diikuti dengan pengawasan aktif yang maksimal, menyebabkan BLHD Kota Makassar belum memiliki data/fakta yang akurat terhadap tingkat ketaatan rumah sakit dalam mematuhi peraturan perundangundangan yang ada. Padahal data dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh tenaga pengawas dapat digunakan dalam menerapkan sanksi administrasi, perdata maupun pidana, sehingga validitas data tersebut sangat penting. Sehingga secara tidak langsung hal tersebut berpengaruh dalam penegakan hukum lingkungan. Kendala dalam melaksanakan tugas pengawasan antara lain:12 a. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai dibandingkan dengan usaha/kegiatan yang akan diawasi. Adanya mutasi pagawai terhadap tenaga pengawas yang telah mengikuti Diklat Lingkungan Hidup menjadi salah satu penyebab minimnya jumlah tenaga pengawas lingkungan hidup di BLHD Kota Makassar. b. Pendanaan yang masih minim. Padahal salah satu kunci pengawasan adalah pemeriksaan/pengujian terhadap effluent air limbah rumah sakit. Tetapi hal tersebut belum dilakukan secara optimal karena terkendala oleh mahalnya biaya untuk melakukan pengujian tersebut. c. Peralatan pengujian yang tidak lengkap. d. Masih kurangnya informasi/pemahaman tentang peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup khususnya oleh pengelola rumah sakit. e. Rendahnya partisipasi masyarakat, terutama dalam mengajukan gugatan ataupun pengaduan terhadap pencemaran lingkungan hidup disekitar mereka. Kendala-kendala di atas berakibat secara langsung terhadap belum optimalnya pelaksanaan pengawasan limbah cair rumah sakit, baik pengawasan yang bersifat pasif maupun yang bersifat aktif. Jenis Pelanggaran yang Ditemukan dalam Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Berdasarkan data yang diperoleh dari BLHD Kota Makassar sejak tahun 2010 sampai 2013 ditemukan beberapa pelanggaran terkait peraturan yang berlaku yang diantaranya Wawancara Kasubid Pengendalian Pencemaran Air, Udara, dan tanah tanggal 12 November 2012 Ibid.
11
12
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
285
masih terdapat kesamaan permasalahan dalam pengelolaan lingkungan dari pengawasan tahun sebelumnya, yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pelanggaran pengolahan limbah cair rumah sakit tahun 2010-2012 No.
Jenis pelanggaran yang ditemukan
Jumlah RSU
1
Memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) Tidak memiliki IPAL
16 1
2
Memiliki Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) Tidak memiliki IPLC
2 15
Melaksanakan pelaporan pemantauan air limbah secara periodik Tidak melaksanakan pelaporan pemantauan Melakukan pencatatan debit harian air limbah Tidak melakukan pencatatan Memiliki saluran air limbah yang terisah dari air hujan Tidak memiliki
5 12 2 15 15 2
3 4 5
Sumber: Data Primer BLHD Kota Makassar, Tahun 2013
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 17 rumah sakit umum yang ada dikota Makassar hampir semua Rumah Sakit Umum Tipe A dab B telah memiliki Instalasi pengolahan Air Limbah (IPAL). Hanya 1 rumah sakit saja yang belum memiliki IPAL. Rumah sakit tersebut masih melakukan pengolahan limbah cairnya dengan menggunakan konsep septictank konvensional. Walaupun sebagian besar Rumah Sakit Umum yang ada di Kota Makassar telah memilki IPAL untuk pengolahan limbah cairnya, namun tidak semua instalasi yang dimiliki itu layak sehingga sebagian besar air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak memenuhi parameter yang telah ditetapkan atau telah melewati baku mutu yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan. Salah satu penyebabnya karena masih minimnya tenaga teknis IPAL di rumah sakit yang dapat mengontrol operasional IPAL yang ada di rumah sakit . ( wawancara Kasubid Pengendalian Pencemaran Air tanggal 12 Maret 2013). Setelah IPAL, aturan yang lainnya adalah memasang alat ukur debit harian di bagian outlet. Namun aturan ini tidak dipatuhi oleh sebagian besar rumah sakit, Selain itu, diwajibkan pula mempunyai dokumen Izin Pembuang Limbah Cair (IPLC) untuk pembuangan limbah cair ke lingkungan yang sebelumnya telah memenuhi baku mutu lingkungan. Sedangkan aturan bagi limbah cair sebelum mencapai IPAL dan setelahnya adalah saluran pembuangan yang kedap air serta dipisahkan dengan saluran air hujan. Mengingat salah satu hambatan dalam penegakan hukum salah satunya adalah izin yang lebih mengarah pada penonjolan kebutuhan administratif.13 13 Muh. Erwin. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 120.
286
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Secara umum, sebagian besar rumah sakit yang beroperasi di Kawasan Kota Makassar belum memenuhi persyaratan teknis tersebut. Pembuangan limbah cair rumah sakit yang tidak memenuhi baku mutu ini akan berpotensi mencemari air tanah (air sumur penduduk), air permukaan (sungai-sungai) serta mencemari laut. Dapatkah dibayangkan bagaimana kondisi lingkungan kawasan ini untuk waktu yang akan datang setelah terbangun dan beroperasinya berbagai kegiatan di dalamnya. Padahal menurut Pasal 65 ayat (1) UUPPLH, ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Strategi penanganan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh BLHD Kota Makassar mengacu kepada konsep kebijakan berupa pembinaan. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang disampaikan oleh Kasubbid Pengawasan Limbah B3 dan domestik bahwa BLHD Kota sebagai salah satu Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Makassar sebaiknya mengedepankan aspek pembinaan dengan penegakan hukum administrasi. Hal ini sesuai dengan sifat kelembagaan BLHD sebagai aparat birokrasi dan sekaligus memenuhi asas ultimum remedium sebagaimana dianut oleh UUPPLH, dimana aspek hukum pidana baru diberlakukan apabila sanksi administrasi dan/atau sanksi hukum lainnya tidak efektif. Adapun sanksi pencabutan izin usaha belum pernah dilakukan oleh BLHD Kota Makassar, demikian halnya dengan penjatuhan sanksi perdata maupun pidana. Kegiatan pegawasan limbah cair di RSUD Labuang Baji Secara operasional, RSUD Labuang Baji membebaskan rata-rata 140 m³ air limbah per hari, dimana 117 m³ merupakan air limbah umum, dan 23 m³ merupakan air limbah klinis/medis. Air limbah yang dibebaskan ini kualitasnya melampaui baku mutu lingkungan yang berlaku sehingga mempunyai potensi untuk terinfiltrasi/perkolasi dan menyebar lebih luas ke badan air lain. Dalam Struktutur Organisasi Badan Pengelola RSUD Labuang Baji, manajemen Pengelolaan Lingkungan berada pada Sub Bagian Umum/Lingkungan. Tenaga sanitasi di RSUD Labuang Baji sebanyak 11 orang dengan rincian D3 kesling sebanyak 4 orang,SMA sebanyak 4 orang, SMP sebanyak 2 orang dan tenaga swakelola sebanyak 2 orang. Salah satu yang menjadi kendala dalam pengawasan dan pemantauan pengolahan limbah cair RSUD Labuang Baji menurut Mustamin,Ka.Instalasi Sanitasi RSUD Labuang Baji, tanggal 13 Maret 2013 adalah minimnya alokasi anggaran khususnya dalam melaksanakan pemeriksaan berkala terhadap kualitas limbah cair RS, sehingga kegiatan pemeriksaan berkala terhadap kualitas effluent limbah cair yang seyogyanya dilakukan minimal 2x setahun hanya dapat dilakukan maksimal sebanyak 1x setahun. Keterlambatan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
287
anggaran yang keluar dan dalam jumlah yang tidak mencukupi merupakan kendala yang utama dalam melaksanakan pengolahan limbah cair rumah sakit. Sedangkan pengawasan yang dilakukan BLHD Kota Makassar, hanya dilakukan sebanyak 1x dalam setahun dan sejauh ini belum pernah memberikan sanksi baik teguran maupun sanksi administrasi lainnya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. BLHD Kota Makassar hanya memberikan masukan dan saran untuk memperbaiki lagi pengolahan limbah cair rumah sakit. Berdasarkan data diatas, secara garis besar RSUD Labuang baji belum melaksanakan pengawasan pengolahan limbah cair secara optimal. Walaupun kualitas air limbah RSUD Labuang Baji yang dibuang ke lingkungan melampaui batas Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan dalam peraturan, namun sejauh ini belum pernah ada keluhan ataupun pengaduan dari warga sekitar rumah sakit yang terkait dengan pencemaran limbah cair rumah sakit, baik yang disampaikan langsung PENUTUP Kesimpulan Berangkat dari indikator penelitian, sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan dan analisis di atas, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pengawasan terhadap pengolahan limbah cair rumah sakit masih belum berjalan secara efektif baik oleh BLHD, internal rumah sakit dan pengawasan eksternal oleh masyarakat sekitar rumah sakit. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan/ketaatan penanggung jawab rumah sakit terhadap aspek perizinan dan ketentuan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Hal tersebut berpotensi cukup besar terhadap pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. Banyaknya pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan perundang-undangan dalam pengolahan limbah cair rumah sakit menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum melalui upaya yang sifatnya preventif melalui pengawasan masih belum dapat dilaksanakan secara efektif. 2. Pelaksanaan pengawasan dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, anggaran, koordinasi dan sikap pengelola lingkungan rumah sakit. Keempat hal tersebut dapat menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan pengawasan. Saran 1. Perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang kompeten di bidang lingkungan hidup, khususnya tenaga pengawas lingkungan hidup dan 288
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
pengelola kesehatan lingkungan rumah sakit serta peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan tenaga pengawas dengan kuantitas dan kualitas yang memadai merupakan salah satu kunci pelaksanaan pengawasan yang optimal. 2. Perlunya keterlibatan masyarakat terutama disekitar rumah sakit yang memperoleh dampak langsung dari pencemaran limbah cair rumah sakit ataupun melalui LSM yag relevan, untuk menjalin kemitraan berperan dalam pengawasan sosial, yang berupa pemberian saran, usul serta kepedulian terhadap lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 70 UUPPLH untuk mendukung optimalnya pelaksanaan pengawasan. DAFTAR PUSTAKA Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. Maswarah. 2006. Studi Kualitas limbah Cair di RSU Lasinrang Kab. Pinrang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Muhammad Erwin. 2008. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: PT. Refika Aditama. Warina. 2009. Pengelolaan dan Kualitas Limbah Cair Medis di RS Islam Faisal Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Sumber lainnya: Harian Seputar Indonesia Makassar tanggal 31 Mei 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
289
290
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI KABUPATEN MERAUKE
Emiliana Rahail, Andi Sopyan, M. Syukri Akub
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI KABUPATEN MERAUKE Oleh: Emiliana Rahail1*, Andi Sopyan, M. Syukri Akub Fakultas Hukum Universtas Musamus Merauke Jl. Kamizaun Mopah Lama, Merauke, 99611, Papua 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract Indonesian positive law now specifically set form of protection against victims of crime (rape victim) both in the prevention, management and resolution of cases, although the implementation has not gone up. This study aimed to (1) form of legal protection for victims of crime of rape in Merauke Regency, (2) Efforts to do to provide legal protection for victims of crime of rape in Merauke. The experiment was conducted in Merauke. Sampling was done purposively sampled based on the determination of specific objectives set out in the study. The data was collected through observations, interviews and documentation. Data were analyzed with qualitative normative analysis. The results showed that victims of rape are victims both times (revictimisasi), because there are often blamed and not given maximum protection. It is important to provide protection for victims of crime and rape are considering losses due to post-rape victim. Forms of legal protection for victims of crime (rape) in Merauke Regency can be 1. Provision of adequate space in the Special Service Police Resort Merauke, 2.adanya assistants from Merauke district government agencies namely Women Empowerment and Family Planning Merauke and social institutions that Integrated Service Centre for Women and Children Merauke district that serves accompany victims and families, 3. Good attitude of law enforcement officers who handle cases of rape so victims feel comfortable. Keywords: Form of Protection, Remedy Abstrak Hukum positif Indonesia saat ini sudah mengatur secara khusus bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana kejahatan (korban perkosaan) baik dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan penyelesaian kasus, walaupun dalam pengimplementasian belum berjalan maksimal. Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan di Kabupaten Merauke, (2) Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan di Kabupaten Merauke. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Merauke. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu penetapan sampel berdasarkan tujuan tertentu yang ditetapkan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis dengan analisis normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban pemerkosaan menjadi korban kedua kali (revictimisasi), karena masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan maksimal. Penting untuk memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
adalah mengingat akibat dan kerugian yang dialami korban pasca perkosaan. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan (perkosaan) di Kabupaten Merauke dapat berupa: 1) Penyediaan fasilitas Ruang Pelayanan Khusus yang memadai di Kepolisian Resort Merauke; 2) Adanya tenaga pendamping dari instansi Pemerintah Kabupaten Merauke yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke dan lembaga sosial yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Merauke yang berfungsi mendampingi korban dan keluarga; dan 3) Sikap yang baik dari aparat penegak hukum yang menangani kasus perkosaan agar korban merasa nyaman. Kata kunci: bentuk perlindungan, upaya hukum
PENDAHULUAN Hukum positif Indonesia saat ini sudah mengatur secara khusus bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana kejahatan, baik dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan penyelesaian kasus, walaupun dalam pengimplementasian belum berjalan maksimal. Penerapan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari sudut hukum acara pidana, kedudukan korban tindak pidana masih sangat pasif karena kepentingannya sebatas diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Orientasi hukum selama ini selalu ditujukan kepada penanganan tindak pidana kejahatan untuk mengubah dan memberikan sanksi hukum kepada para pelanggarnya. Dari keadaan ini terbentuk dua implikasi pokok yaitu kurangnya perlindungan hukum bagi korban dan putusan Hakim yang kurang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku dan masyarakat. Kehidupan dan perkembangan sosial dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, banyak terjadi tindak pidana kejahatan dengan kekerasan terutama kekerasan seksual tindak pidana perkosaan terhadap perempuan dan anak-anak. Tindak pidana perkosaan cukup mendapat perhatian dari berbagai pihak yaitu: Pemerintah, masyarakat, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis pada masalah sosial terhadap perempuan dan anak-anak, praktisi dan pemerhati masalah-masalah sosial dengan kekerasan. Tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan klasik yang termasuk dalam kategori delik kekerasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk melampiaskan nafsu seksual terhadap korban yaitu perempuan dan anak dengan memanfaatkan kelemahan fisik korban, situasi dan kondisi yang merugikan pihak korban. Tindakan sewenang-wenang oleh pelaku terhadap keberadaan dan citra seksual perempuan telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki ternyata berdampak jauh pada kehidupan perempuan. Perempuan terpaksa harus selalu siap untuk menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan baik secara fisik maupun secara psikis. 294
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Perkosaan merupakan tindak pidana kesusilaan yang meresahkan, kadang kala tindak pidana ini disertai dengan tindak pidana lain, misalnya pencurian, penganiayaan bahkan pembunuhan. Modus operandi tindak pidana ini semakin meningkat dari segi kualitas, kadang dilakukan dengan cara sangat biadab misalnya perkosaan dilakukan di depan sesama pelaku. Kerugian yang ditimbulkan tindak perkosaan tidak terbatas pada kerugian fisik saja melainkan dapat berupa kerugian non fisik, berupa penderitaan yang sangat membebani kehidupan korban. Akibat tindak pidana perkosaan membuat korban tidak lagi menikmati kehidupan tenang dan aman. Korban merasa malu, merasa telah dinodai, merasa harga diri telah dihancurkan, korban selalu dikejar kecemasan dan kekuatiran akan kegadisan yang hilang dan bisa dipersoalkan oleh suami jika korban menikah. Korban perkosaan seringkali
menjadi korban ganda yaitu selain penderitaan
tekanan psikologis, juga dalam penyelesaian kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan termasuk dalam hal pembuktian pelaku tindak pidana perkosaan karena pada umumnya peristiwa ini terjadi tanpa kehadiran orang lain. Banyak tindak pidana perkosaan telah diproses ke pengadilan. Tetapi dalam penyelesaian kasus, pelaku tidak dijatuhi hukuman maksimal sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPid). Pasal yang mengatur tentang perkosaan yaitu pasal 285 KUHPid. Unsur-unsur objektif yang terkandung dalam Pasal 285 KUHPid, yaitu:1 1) barangsiapa; Menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal 285 KUHPid maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana perkosaan 2) dengan kekerasan atau; Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kekerasan, bahkan didalam yurisprudensi pun tidak dijumpai adanya suatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti yang setepattepatnya bagi kata kekerasan tersebut. 3) dengan ancaman akan memakai kekerasan; Tentang apa yang dimaksud dengan ancaman akan memakai kekerasan itu pun, Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasannya. Lamintang dkk. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 97. 1
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
295
4) memaksa; Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita itu sendiri. Hal ini kiranya sudah jelas, bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh pelaku atau oleh salah satu seorang dari para pelaku. 5) seorang wanita; Bagi kejahatan terhadap kesusilaan, KUHPid telah menyebutkan adanya berbagai wanita yaitu: a. Wanita yang belum mencapai umur dua belas tahun pasal 287 ayat (2) kuhpid, b. Wanita yang belum mencapai umur lima belas tahun pasal 287 ayat (1) kuhpid dan pasal 290 angka tiga kuhpid, c. Wanita yang belum dapat dinikahi pasal 288 ayat (1) kuhpid, d. Wanita pada umumnya. Adapun yang dimaksud dalam pasal 285 kuhpid ialah wanita pada umumnya. 6) mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan; Undang-undang mensyaratkan bahwa perbuatan mengadakan hubungan kelamin yang dipaksakan oleh pelaku harus dilakukan di luar perkawinan. 7) dengan dirinya. Dimaksud dengan dirinya ialah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan Merujuk pada unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHPid di atas, menurut Andi Hamzah2 bagian inti delik perkosaan adalah: 1) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 2) Memaksa. Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu tidak dapat melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan. 3) Dengan perempuan yang bukan istrinya. Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak dinikahi secara sah. Andi Hamzah. Delik-Delik Tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 15. 2
296
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
4) Terjadi persetubuhan. Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut. Walaupun rumusan pasal tersebut tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang pasal 285 KUHPid, tetapi dengan dicantumkan unsur memaksa dalam rumusan ketentuan pidana dalam pasal 285 KUHPid kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti dimaksudkan pasal 285 KUHPid harus dilakukan dengan sengaja. Unsur kesengajaan tersebut harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh Hakim pada sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku tindak pidana perkosaan dan oleh Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa pelaku melanggar pasal 285 KUHPid. Perbuatan memaksa merupakan perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.3 Alasan utama yang menyebabkan banyak kasus tindak pidana perkosaan tidak diketahui atau disembunyikan oleh korban sendiri dan tidak dilaporkan oleh korban atau keluarga kepada aparat penegak hukum untuk diproses secara hukum dikarenakan korban merasa malu dan tidak ingin aib dirinya diketahui oleh orang lain dan korban merasa takut akan ancaman pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan korban apalagi pada sebagian besar kasus tindak pidana perkosaan, pelaku selalu menganiaya korban terlebih dahulu. Korban secara psikologis sangat tertekan sehingga dapat berdampak buruk pada keadaan mental dan kejiwaan dan juga dapat berpengaruh pada proses penegakan hukum dalam penyelesaian kasus tersebut untuk mewujudkan rasa keadilan sesuai harapan korban dan masyarakat. Diharapkan dari pengaduan korban perkosaan, maka kasus dapat terbuka dan segera dilakukan proses pemeriksaan di tingkat Kepolisian agar korban dapat memperoleh perlindungan hukum dan rasa keadilan. Kedudukan korban pada peristiwa pidana sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian atas perbuatan pelaku, maka berdasarkan hukum positif pihak korban dapat menuntut kerugian atau meminta ganti rugi terhadap pihak terpidana. Hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari Chazawi Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63. 3
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
297
perlindungan terhadap HAM di bidang jaminan sosial. Hal ini merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik oleh lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif maupun oleh lembaga sosial. Dibutuhkan perhatian serius dan perlindungan hukum optimal bagi korban tindak pidana perkosaan. Baik dilakukan melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu secara terpadu dan terintegrasi terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan agar tujuan dari pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum bagi masyarakat dapat tercapai. Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak pidana perkosaan akan selalu berkembang secara kualitatif maupun kuantitatif dan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Di kabupaten Merauke, tindak pidana perkosaan termasuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Tingginya peredaran dan konsumsi minuman keras (miras) termasuk miras lokal menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan. Lebih buruk lagi bahwa tindak pidana ini menjadi salah satu mata rantai penyebaran penyakit HIV/AIDS, dimana penderita HIV/AIDS di kabupaten Merauke termasuk dalam kategori jumlah yang tertinggi di Provinsi Papua. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya terkait bagaimanakah dasar hukum mengenai pengaturan dan bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan di Kabupaten Merauke? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan di Kabupaten Merauke dilakukan di Kepolisian Resort Merauke, Pengadilan Negeri Merauke, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Merauke. Tipe Penelitian Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana perkosaan menggunakan spesifikasi yaitu deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskripsikan terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan.Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. 298
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Teknik Pengumpulan Data 1. Data primer, diperoleh dari aparat penegak hukum yaitu hakim yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana perkosaan pengumpulan data diperoleh dengan cara wawancara, yaitu: a. Wawancara, dilakukan terhadap nara sumber (informan) secara langsung sebagai sumber informasi agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, serta cita-cita informan dalam perkara tindak pidana perkosaan di Kabupaten Merauke; b. Studi Dokumen: mempelajari dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan penyelesaian perkara melalui jalur peradilan. Dokumen dimaksud antara lain, tuntutan hukuman dan putusan Pengadilan. 2. Data Sekunder, diperoleh melalui telaah studi dokumenter, buku-buku teks ilmiah, jurnal, hasil penelitian, dan dokumen-dokumen resmi instansi penelitian, browsing yaitu mencari data dan informasi melalui media internet. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Polisi pada Kepolisian Resort Merauke dan Hakim pada Pengadilan Negeri Merauke. Dalam memilih sampel digunakan metode purposive sampling artinya sampel ini ditetapkan berdasarkan adanya tujuan tertentu yang ditetapkan dalam penelitian ini. Analisis Data a. Normatif: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. b. Kualitatif: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan belum diatur secara tegas dalam penerapan dan pelaksanaan hukum pidana di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Diharapkan agar setiap Warga Negara Indonesia (WNI) terutama Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
299
perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan (seksual) dapat memperoleh perlindungan hukum dan rasa keadilan. Faktor belum dapat diterapkan perlindungan hukum yang maksimal terhadap korban tindak pidana perkosaan dapat disebabkan oleh penetapan Undang-undang, aparat penegak hukum, budaya dan adat istiadat masyarakat, masih terbatasnya sarana dan fasilitas penunjang. Menjadi paradigma dasar bahwa korban perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, karena Negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban perkosaan sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945 BAB XA Mengenai HAM. Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan merupakan menjadi bagian dari perlindungan terhadap HAM. Bagi WNI perlindungan HAM dijamin dalam UUD NRI 1945. Rumusan HAM yang masuk dalam UUD NRI 1945 dapat dibagi ke dalam berbagai aspek, yaitu: Penting untuk memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami korban pasca perkosaan. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis. Penderitaan korban tindak pidana perkosaan dalam proses peradilan dapat dibagi sebagai berikut: 1. Sebelum sidang pengadilan a. Korban tindak pidana perkosaan menderita secara fisik, mental dan sosial karena korban berusaha melapor pada polisi dalam keadaan sakit dan tertekan jiwa. b. Untuk kepentingan pembuktian adanya tindak pidana perkosaan, korban dengan menahan malu harus menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya kepada polisi. c. Korban merasa takut dengan ancaman pelaku. Bila korban melaporkan perbuatan pelaku, maka korban akan menerima pembalasan. 2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan Korban tindak pidana perkosaan harus hadir dalam persidangan pengadilan atas ongkos sendiri untuk menjadi saksi. Korban dalam memberikan kesaksian harus mengulang cerita mengenai pengalaman pahit dan membuat rekonstruksi peristiwa perkosaan. Korban dihadapkan pada pelaku sekaligus orang yang dibenci. Selain itu korban harus menghadapi pengacara pelaku yang berusaha menghilangkan kesalahan pelaku. Jaksa dalam peradilan pidana, mewakili pihak korban. Tetapi dapat terjadi perwakilan Jaksa tidak menguntungkan korban. Tidak jarang terjadi bahwa korban menghadapi pelaku tindak pidana perkosaan yang lebih mampu secara mental, fisik, sosial. Disini perlu 300
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
disediakan pendamping atau pengacara untuk membela pihak korban tindak pidana perkosaan. 3. Setelah sidang pengadilan Korban tindak pidana perkosaan masih menghadapi berbagai macam kesulitan, terutama tidak mendapat ganti kerugian dari siapapun. Pemeliharaan kesehatan tetap menjadi tanggungannya. Korban tetap dihinggapi rasa takut akan ancaman dari pelaku. Ada kemungkinan korban tidak diterima dalam keluarga serta lingkungannya seperti semula. Penderitaan mental bertambah, pengetahuan bahwa pelaku tindak pidana perkosaan telah dihukum bukanlah penanggulangan permasalahan. Setelah mengetahui beratnya penderitaan korban akibat perkosaan, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada korban (perkosaan) yang diimplementasikan dalam peraturan perundang- undangan sebagai produk hukum yang berpihak kepada korban (perkosaan). Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Asas manfaat Perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. b. Asas keadilan Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan. c. Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. d. Asas kepastian hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
301
pada saat melaksanakan tugas-tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang di derita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/ uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain: a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. b. Konseling Umumnya diberikan kepada korban sebagai akibat dari dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus kesusilaan c. Pelayanan/Bantuan Medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan ke Kepolisian untuk ditindak lanjuti. d. Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan harus diberikan baik diminta atau tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. Dalam Pasal 6 huruf b Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan, “korban dalam pelanggaran 302
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
HAM yang berat berhak untuk mendapatkan bantuan rehabilitasi psiko-sosial, yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.” e. Pemberian Informasi Berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memberikan peranan sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi pengawasan masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Melalui pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2008 tanggal 8 Agustus 2008 diharapkan perlindungan terhadap korban kejahatan akan lebih memadai, guna mendukung terciptanya proses penegakan hukum yang adil. Lembaga ini hendaknya dibangun berdasarkan perspektif korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif baik oleh masyarakat dan pemerintah melalui aparat penegak hukum seperti: pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, bantuan hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang adil terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan HAM serta instrumen penyeimbang yang menjadi dasar filosofis pentingnya korban kejahatan dan keluarganya memperoleh perlindungan. Perkembangan penanganan perkara tindak pidana Perkosaan di Kabupaten Mererauke dalam tiga tahun terakhir yaitu tahun 2010 sampai tahun 2012 sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Data penanganan tindak pidana perkosaan pada Kepolisian Resort Merauke No. 1. 2. 3.
Tahun 2010 2011 2012 Total
Frekuensi (F) 28 20 27 75
Prosentase (%) 37.3 26.7 36 100
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Data pada tabel 1.menunjukkan bahwa perkara perkosaan yang dilaporkan pada Kepolisian Resort Merauke dari tahun 2010-2012 berjumlah 75 kasus. Masing-masing berjumlah 28 kasus (37.3 %) pada tahun 2010, 20 kasus (26.7 %) pada tahun 2011 dan 27 Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
303
kasus (36 %) pada tahun 2012. Tabel 2. Data penanganan tindak pidana perkosaan pada Pengadilan Negeri Merauke No. 1 2 3
Tahun 2010 2011 2012 Total
Frekuensi (F) 27 20 27 74
Prosentase (%) 36.5 27 36.5 100
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Tabel 2 menunjukkan bahwa perkara perkosaan yang ditangani pada Pengadilan Negeri dari tahun 2010-2012 berjumlah 74 kasus. Masing-masing berjumlah 27 kasus (36.5%) pada tahun 2010, 20 kasus (27 %) pada tahun 2011 dan 27 kasus (36.5 %) pada tahun 2012. Tabel 3. Data usia korban tindak pidana perkosaan No. 1. 2. 3.
Tahun
1-10 4 2 3 9 12
2010 2011 2012 Total Prosentase (%)
Kelompok Usia 11-20 21-30 22 1 16 2 24 0 62 3 82.7 4
31-40 1 0 0 1 1.3
Jumlah 28 20 27 75 100
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Tabel 3 menunjukkan data usia korban perkosaan dari tahun 2010-2012. Masingmasing usia 1-10 berjumlah 9 kasus (12%), usia 11-20 berjumlah 62 kasus (82.7 %), usia 21-30 berjumlah 3 kasus (4 %) dan usia 31-40 berjumlah 1 kasus (1.3 %). Tabel 4. Data usia pelaku tindak pidana perkosaan No.
Tahun
1. 2. 3.
2010 2011 2012
11-20 6 5 11
Kelompok Usia 21-30 31-40 14 6 14 1 11 5
41-50 2 0 0
Jumlah 28 20 27
Total
22
39
12
2
75
Prosentase (%)
29.3
52
16
2.7
100
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Tabel 4 menunjukkan data usia pelaku perkosaan dari tahun 2010-2012. Masingmasing usia 11-20 berjumlah 22 kasus (29.3%), usia 21-30 berjumlah 39 kasus (52 %), usia 31-40 berjumlah 12 kasus (16 %) dan usia 41-50 berjumlah 2 kasus (2.7 %) 304
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Tabel 5. Data kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke No. 1 2 3
Tahun 2010 2011 2012 Total
Frekuensi (F) 6 6 7 19
Prosentase (%) 31.6 31.6 36.8 100
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Tabel 5 menunjukkan bahwa perkara perkosaan yang dilaporkan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke dari tahun 20102012 berjumlah 19 kasus. Masing-masing berjumlah 6 kasus (31.6%) pada tahun 2010, 6 kasus (31.6 %) pada tahun 2011 dan 7 kasus (36.8 %) pada tahun 2012. Tabel 6. Data kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Merauke No.
Tahun
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
1
2012
2
100
2
100
Total Sumber: Data Hasil Olahan 2012
Tabel 6 menunjukkan bahwa perkara perkosaan yang dilaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Merauke dari tahun 2012 berjumlah 2 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Merauke yang baru dibentuk pada tahun 2012 belum di kenal oleh masyarakat sehingga fungsinya belum efektif. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapt disimpulkan bahwa korban tindak pidana perkosaan mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis, korban perkosaan termasuk korban ganda. Pemerintah wajib memberikan perlindungan melalui peraturan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada korban dan pelayanan aparat penegak hukum wajib memberikan rasa aman bagi korban. Dalam konteks perlindungan hukum terhadap korban perkosaan, ada upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
305
pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan HAM serta instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan dan keluarganya memperoleh perlindungan. Saran Berdasarkan temuan penelitian di atas, seyogianya aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada korban perkosaan dapat membantu korban untuk mendapatkan hak yang dimungkinkan. Selain itu, dibutuhkan upaya dalam mengoptimalkan fungsi Pusat Pelayanan Terpadu Pelayanan Perempuan dan Anak yang telah dibentuk oleh Pemerintah Daerah, sehingga tingginya korban perkosaan dapat ditekan dan selanjutnya dicegah. Dari aspek korban, korban perkosaan sangat membutuhkan dukungan moril, karena itu peran keluarga, lingkungan dan masyarakat sangat penting dalam melakukan langkah-langkah pencegahan (preventif). DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 2011. Delik-Delik Tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika. Chazawi Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lamintang. P.A.F dan Theo. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika. Sumber lainnya: Tim Jaringan Pendokumentasian Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua. 2010, Stop Sudah Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Perempuan Papua 1963-2009. Edisi Laporan 19 April 2010, Merauke.
306
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PERJANJIAN PENGALIHAN KREDIT (OVER CREDIT) ATAS KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)
Audrey Kotandengan, Nurhayati Abbas, Nurfaidah Said
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PERJANJIAN PENGALIHAN KREDIT (OVER CREDIT) ATAS KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) Oleh: Audrey Kotandengan1*, Nurhayati Abbas2, Nurfaidah Said2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 1
2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract Credit home equity loan are loans given by banks to customers for purchase of land and/or buildings owned in order to pay installments to the bank mortgage lenders. The research was conducted as an empirical juridical study. The research samples were obtained by using the purposive sampling method. This study used primary data obtained from interviews with stakeholders, and secondary data as supporting data obtained from primary and secondary legal materials. The data were analyzed by using descriptive qualitative method. The result reveal that unrecorded credit take-over is applicable only for people who make it (the seller and the buyer). The bank will only consider the seller as the legitimate bank debtor, so that the buyer as the recipient of the credit take-over will not obtain adequate legal protection. Keywords: Credit Agreement, Take-Over
Abstrak Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk membeli tanah dan/atau bangunan guna dimiliki dengan membayar angsuran cicilan kepada bank pemberi kredit. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Sampel penelitian ditetapkan dengan purposive sampling. Data yang diteliti meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari informasi yang di dapat dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, dan data sekunder merupakan data yang mendukung keteranganketerangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari bahan hukum, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, data tersebut di analisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengalihan kredit (over kredit) secara di bawah tangan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja dalam hal ini pihak penjual dan pembeli, di mana pihak bank tetap hanya mengakui pihak penjual sebagai debitur bank yang sah sehingga pihak pembeli selaku penerima pengalihan kredit tersebut tidak memperoleh perlindungan hukum yang kuat. Kata kunci: Perjanjian Kredit, Pengalihan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan Iingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Hal mengenai pembangunan perumahan dan permukiman itu diatur oleh pemerintah dalam suatu peraturan perundang-undangan tentang Perumahan dan Permukiman, yang mana dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pembangunan sektor perumahan dan permukiman. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adapun realisasi dari pembangunan perumahan dan permukiman dilaksanakan melalui berbagai program, antara lain Program Perumahan Rakyat, Program Penyediaan Air Bersih, dan Program Penyehatan Lingkungan Permukiman dan juga dilaksanakan lewat program penunjangnya yang berupa pengembangan sistem pembiayaan, pengembangan teknologi perumahan dan permukiman yang memberi dukungan operasional dalam rangka pembangunan fisik perumahan dan permukiman, serta pemantapan dan peningkatan kelembangaan maupun penyiapan peraturan perundang-undangan. Adanya pembangunan ekonomi sudah tentu menimbulkan perubahan sosial kemasyarakatan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat umum. 310
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Perkembangan yang pesat di bidang hukum sangat diperlukan guna mengimbangi pertumbuhan ekonomi tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 33 UUD NRI 1945, yang mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi harus ditata dalam peraturan perundang-undangan.1 Dalam hal demikian terlihat jelas keterkaitan sistem ekonomi dan sistem hukum, di mana pembangunan hukum mendukung proses tumbuh kembangnya perekonomian nasional. Perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat disertai tantangan yang semakin luas perlu selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.2 Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya termasuk dengan mendorong peran pihak swasta untuk memberikan sumbangsih yang signifikan dalam mewujudkan pembangunan perumahan atau hunian bagi masyarakat. Pihak swasta disini dapat berperan sebagai Pengembang (developer) dapat pula berperan sebagai pihak penyedia dana yakni sebagai pihak Bank. Hal pokok yang menjadi perhatian khusus terkait dengan pemenuhan perumahan adalah kemampuan atau daya beli masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki kemampuan finansial, bukan menjadi masalah untuk membeli rumah, tapi bagi masyarakat yang secara finansial tidak memiliki kemampuan atau berpenghasilan rendah, maka tentu merupakan suatu kesulitan untuk membeli rumah dengan cara tunai (buy cash). Oleh karena itu, bank sebagai penyedia dana hadir dengan memberikan fasilitas kredit yang dikenal dengan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Secara umum KPR adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk membantu anggota masyarakat guna membeli sebuah bangunan rumah berikut tanahnya, untuk dimiliki dan dihuni sendiri. Ketentuan tipe rumah, uang muka, jangka waktu dan maksimal kredit, disesuaikan dengan ketentuan bank. Jaminan pokok KPR adalah tanah dan bangunan rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR tersebut. Pemilikan rumah melalui fasilitas KPR saat ini menjadi alternatif pilihan yang banyak menarik minat masyarakat. Dengan fasilitas KPR ini, masyarakat dapat memiliki rumah dengan cara kredit atau secara mengangsur dan sudah dapat menempati rumah tanpa harus melunasi harga rumah terlebih dahulu. Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal.20. 2 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hal. 327. 1
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
311
Nasabah KPR yang karena kebutuhan ekonomi atau sebab-sebab lainnya, bermaksud untuk mengalihkan rumah yang menjadi objek KPR tersebut kepada pihak lain atau disebut juga pengalihan kredit (over credit). Pengalihan kredit (over credit) artinya mengalihkan kewajiban untuk melunasi kredit dari pihak satu ke pihak lainnya yang mana dalam praktik pengalihan kredit (over credit) pemilikan rumah tersebut seringkali dilakukan oleh pihak debitur kepada pihak lain dengan alasan kondisi keuangan. Selain hal tersebut di atas, yang juga menjadi alasan bagi debitur untuk melakukan pengalihan atas objek perjanjian kredit adalah untuk menghindari terjadinya wanprestasi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar objek perjanjian kredit tidak disita oleh pihak bank selaku kreditur. Adapun cara pengalihan yang seringkali ditempuh oleh debitur antara lain dengan menjual kembali atau mengalihkan apa yang menjadi objek dalam perjanjian kredit tersebut kepada pihak yang mampu dan berkeinginan untuk melanjutkan pembayaran angsuran kredit pemilikan rumah tersebut. Meskipun objek perjanjian kredit tersebut masih dalam agunan bank, yang mana berarti sertipikat sebagai tanda bukti kepemilikan yang sah atas objek perjanjian kredit tersebut masih berada di bank sampai agunan tersebut lunas. Selain daripada itu, hal pengalihan ini seringkali juga dilakukan tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari bank yang bersangkutan dan dilakukan dengan perjanjian pengalihan kredit secara di bawah tangan antara para pihak. Padahal dalam prosedur formal pengalihan kredit pemilikan rumah tersebut harus dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan terlebih dahulu dari pihak bank. Baik perjanjian kredit maupun perjanjian pengalihan kredit, keduanya merupakan bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan tunduk pada hukum perjanjian. Pada dasarnya suatu perjanjian dibuat untuk lebih memberikan kekuatan hukum dalam pelaksanaan suatu transaksi. Oleh karena itu, dalam merancang suatu perjanjian yang baik harus dapat merumuskan segala hak dan kewajiban utama para pihak, objek perjanjian, dan kaidah-kaidah tentang hal-hal yang harus diantisipasi sebagai akibat hukum yang muncul dari pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Lembaga hukum over credit sendiri hanya mengacu pada Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak. Dengan mekanisme over credit pihak Debitur menjual rumah KPR nya kepada pihak ketiga. Hanya saja rumah (termasuk sebidang tanah tempat berdiri rumah tersebut) yang dijadikan objek jual beli masih dalam status jaminan (Hak Tanggungan) di Bank. Sejatinya perjanjian over credit ini memberikan kemudahan bagi pihak yang melakukan over credit karena dengan mudah mendapatkan rumah dengan harga yang terjangkau, sekaligus menyelamatkan kelangsungan proses Kredit Pemilikan Rumah yang 312
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
tentunya berujung pada stabilitas ekonomi. Dalam perjanjian KPR yang dibuat antara bank dan debitur pengguna fasilitas KPR telah tertuang suatu klausula yang menyebutkan bahwa setiap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dengan sepengetahuan bank. Bank telah menerapkan ketentuan-ketentuan yang sejauh mungkin menghindari adanya peralihan hak tanpa sepengetahuan bank. Namun ternyata dalam praktik di masyarakat, perjanjian over kredit atau alih debitur atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tidak selalu melibatkan pihak Bank (kreditur), masih ditemukan peralihan tanah dan bangunan melalui notaris dan melalui akta di bawah tangan antara dua pihak yaitu debitur lama dan debitur penerima pengalihan kredit. Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi oleh debitur baik seluruhnya maupun sebagian akan merupakan kerugian bagi bank.3 Kerugian dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank. Oleh karena itu, sekecil apa pun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit, untuk pengamanannya dapat ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan ketentuan hukum.4 Praktik over credit dilakukan antara debitur lama selaku penjual dengan debitur baru selaku pembeli melalui perjanjian pengikatan jual beli di bawah tangan atau dengan akta Notaris. Pihak pembeli over credit dikuasakan untuk membayar cicilan kepada Bbnk selaku kreditur tetapi tetap menggunakan atas nama debitur lama. Faktanya, bahwa debitur baru selaku pihak yang dikuasakan tersebut menggantikan posisi debitur lama untuk melanjutkan sisa angsuran pada bank namun bank sama sekali tidak mengetahuinya. Jika dalam pelaksanaanya pihak yang menerima over kredit tidak mengalami kesulitan dalam pembayarannya maka tidak menimbulkan persoalan, sebaliknya akan menimbulkan permasalahan jika pihak penerima over kredit dengan sesuatu alasan tidak melakukan pembayaran cicilan. Dalam kondisi tidak sanggup membayar tersebut setelah beberapa jangka waktu tertentu sesuai perjanjian, bank mengajukan somasi untuk pembayaran dan setelah tidak melaksanakan somasi maka bank melakukan permohonan eksekusi melalui bank atas atau atas kekuasaan sendiri sesuai perjanjian. Umumnya dalam keadaan demikian, pihak pembeli atau penerima over credit melakukan perlawanan kepada bank dengan alasan 3 4
M. Bahsan, Hukum Jaminan Kredit Perbankan, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2007, Hal.21 Ibid., Hal.105
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
313
bahwa atas objek tersebut telah dialihkan atau dijual oleh debitur lam amelalui over credit.5 Umumnya pihak bank tetap melakukan eksekusi dengan alasan bahwa peralihan hak melalui over credit antara debitur lama dengan debitur baru atau pembeli over credit adalah bertentangan dengan perjanjian KPR. Dalam keadaan seperti ini tentunya tidak ada perlindungan hukum yang dapat diberikan untuk pembeli over credit, begitupula pihak debitur lama tidak dapat dilindungi atas perbuatan pengalihan alih debitur tesebut dan pihak bank berada pada posisi yang menguntungkan oleh karena terdapat klausula yang melarang alih debitur atas tanah dan/atau bangunan tanpa sepengetahuan bank pemberi kredit. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan sebelumnya, dirumuskan rumusan masalaha sebagai berukut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah tangan terhadap keabsahan kepemilikan rumah objek KPR? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum pihak penerima pengalihan kredit dalam perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah tangan? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang akan dilakukan adalah di kota Makassar karena kota Makassar sebagai barometer kegiatan bisnis di Sulawesi dan sebagai gerbang kegiatan perekonomian di kawasan Indonesia Timur. Sebagai pusat kegiatan bisnis atau perekonomian dan berbagai macam bank berdiri di Makassar baik bank pemerintah maupun bank swasta juga bankbank asing. Penelitian dilakukan di Bank BTN Cabang Makassar karena Bank BTN sebagai pelopor bank yang memberikan fasilitas KPR. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yuridis dan empiris. Pendekatan secara yuridis karena penelitian ini bertitik tolak dengan menggunakan kaidah hukum yaitu ditinjau dari sudut hukum perjanjian dan berbagai peraturan perundangan-undangan. Sedangkan pendekatan secara empiris karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang konsekwensi hukum dari perbuatan over credit tanpa melibatkan bank sebagai pemberi kredit (kreditur). Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal.25 5
314
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nasabah KPR Bank BTN cabang Makassar pada periode Oktober-Desember 2012. Adapun sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu pemilihan sampel yang dilakukan dengan cara menentukan sendiri sampel yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Sampel dalam penelitian ini ialah nasabah pengguna fasilitas KPR Bank BTN sebanyak 5 (lima) orang dan Notaris/PPAT sebanyak 3 (tiga) orang. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer meliputi dokumentasi yaitu melakukan pencatatan data secara langsung dari dokumen/bahan-bahan yang isinya berkaitan dengan masalah penelitian. 2. Data Sekunder meliputi: a. Wawancara, yaitu dialog langsung dan secara terstruktur beupa tanya-jawab dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dapatkan sebelumnya. b. Kuesioner yaitu menyediakan daftar pertanyaan tertulis yang disusun secara sistematis kepada para responden yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara deduksi logis (syllogisme) yaitu suatu analisis yang ditujukan terhadap data sesuai dengan ladasan teori untuk memahami sifat-sifat fakta atau gejala yang benar-benar berlaku baik yang positif maupun normatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Perjanjian Pengalihan Kredit (Over Credit) di Bawah Tangan Terhadap Keabsahan Kepemilikan Rumah Objek KPR Pengalihan kredit dalam KPR yang dilakukan secara di bawah tangan dapat diartikan bahwa pengalihan tersebut terjadi tanpa sepengetahuan pihak bank pemberi kredit. Dalam penulisan tesis ini dilakukan studi kasus terhadap pengalihan kredit KPR pada Bank BTN yang dilakukan tidak dihadapan pejabat yang berwenang. Adapun bentuk pengalihan tersebut adalah pengalihan terhadap tanah dan bangunan (rumah) yang menjadi objek jaminan dalam KPR BTN. Perjanjian kredit BTN merupakan persetujuan pemberian kredit oleh PT Bank Tabungan Negara (BTN) kepada debitur guna pembelian sebuah bangunan (rumah) berikut Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
315
tanahnya. Adapun perjanjian kredit tersebut hanya mengikat pihak bank BTN selaku pemberi pinjaman dan debitur selaku peminjam. Hasil penelitian mengenai praktik Pengalihan hak kredit/over kredit pada Perumahan Anging Mamiri Residence khususnya pada tipe rumah sederhana yaitu tipe 46/112 M2 pada periode Oktober-Desember 2012. Dari 20 (dua puluh) responden yaitu konsumen atau calon nasabah debitur yang akan membeli rumah Perumahan Anging Mamiri Residence pada tipe rumah sederhana dapat disimpulkan: 1. 85% (delapan puluh lima persen) konsumen membeli pada developer dengan cara mengajukan Kredit Pemilikan Rumah baik pada PT (Persero) Bank Tabungan Negara (BTN) atau pada bank swasta yang ada kerjasama dengan developer. 2. 10% (sepuluh persen) membeli secara over kredit dengan menggunakan tata cara pengikatan jual-beli dan kuasa yang dilakukan dihadapan notaris. 3. 5% (lima persen) over kredit dengan tata cara alih debitur atau novasi subyektif pasif. Terhadap debitur yang melakukan pengalihan, penjualan atau apapun yang berkaitan dengan perjanjian kredit tersebut sama sekali tidak dibenarkan oleh bank BTN. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit hanya mengikat pihak bank dan debitur pertama saja. Dengan demikian, segala bentuk pengalihan, penjualan atau apapun yang dilakukan oleh debitur pertama terkait dengan perjanjian kredit tersebut yang mana dilakukan tanpa adanya izin tertulis terlebih dahulu dari bank BTN adalah tindakan wanprestasi dan segala bentuk tindakan tersebut tidak akan mengikat pihak ketiga yaitu debitur baru. Meskipun sebenarnya di antara debitur pertama dan debitur baru telah dilakukan suatu tindakan hukum berupa pengalihan debitur. Sehingga, terhadap tindakan tersebut di atas pihak bank hanya akan tetap menganggap debitur pertama yang melakukan perjanjian kredit dan perjanjian kredit tersebut tidak berlaku bagi pihak ketiga atau debitur baru. Dasar bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian dikuatkan dengan adanya Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: ”Perjanjian hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya”. Jadi dalam hal ini tidak mengikat pihak ketiga yaitu pihak yang menerima pengalihan kredit dari debitur pertama, karena perjanjian dalam KPR hanya mengikat pembeli (debitur) pertama dengan bank dan tidak mengikat pembeli secara di bawah tangan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak bank. Menurut Dino Irwin Tengkano,6 pengalihan kredit yang dilakukan debitur secara di bawah tangan seringkali terjadi di lingkungan masyarakat dalam praktik perbankan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena debitur terbentur masalah keuangan sehingga debitur tersebut tidak sanggup lagi untuk melunasi dan membayar angsuran
6
316
Wawancara dengan Notaris di Jakarta pada tanggal 25 Desember 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
atau cicilan kredit KPR tiap bulannya sesuai yang telah diperjanjikan dengan pihak bank pemberi kredit. Peralihan hak atas tanah dan bangunan dengan cara alih debitur secara di bawah tangan antara para pihak tanpa melibatkan notaris terdapat beberapa keuntungan dan kelemahan yaitu: 1. Keuntungannya: a. Prosesnya lebih mudah dan cepat. b. Biaya relatif lebih murah. c. Suku bunga dan angsuran tetap/tidak berubah. 2. Kelemahannya: a. Pada prinsipnya secara legalitas (dari segi hukum) tidak dapat dibenarkan, sebab pengalihan hak atas sesuatu yang masih menjadi agunan Bank, tanpa sepengetahuan pihak Bank yang bersangkutan dari segi hukum tidak dapat dibenarkan. b. Apabila kreditnya lunas maka sertipikat (agunan) hanya dapat diserahkan oleh pihak Bank kepada pihak I (penjual), karena sertipikat masih atas nama pihak I. Kecuali pihak pembeli dapat menunjukkan kepada pihak Bank surat kuasa secara notariil dari pihak penjual untuk pengambilan sertipikat tersebut. c. Apabila pihak I meninggal dunia, maka dimungkinkan ahli warisnya akan tetap mengakui bahwa tanah dan rumah tersebut masih menjadi haknya, meskipun pihak pembeli menunjukkan bukti kuitansi pembayaran. Dan apabila hal ini diproses secara hukum (gugatan) maka pihak ahli waris mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat. d. Apabila debitur lama (penjual) tidak beritikad baik dan datang ke bank untuk melunasi sisa kreditnya, maka bank akan menyerahkan sertipikat rumah yang telah dijual kepada yang bersangkutan. Pengalihan kredit pada Bank BTN yang dilakukan secara di bawah tangan dapat diartikan merupakan suatu tindakan pengalihan kredit (over kredit) yang dilakukan hanya di antara para pihak saja dan tanpa sepengetahuan pihak bank. Tindakan tersebut oleh bank dianggap sebagai tindakan hukum sepihak dan karenanya pihak bank pemberi kredit, dalam hal ini Bank BTN tetap mengakui pihak debitur pertama sebagai pihak yang terikat dengan perjanjian kredit tersebut. Akibatnya muncul risiko yang besar bagi pihak debitur yang menerima pengalihan. Hal ini dikarenakan segala sesuatu mengenai objek dan pemilikan rumah yang menjadi agunan dalam perjanjian kredit serta semua data yang masih disimpan oleh bank pemberi kredit terkait dengan perjanjian kredit tersebut masih tetap tertulis dan terdaftar atas nama debitur yang mengalihkan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
317
Hal-hal yang menjadi alasan terjadinya penggantian debitur dalam pengalihan kredit (over kredit) tersebut di atas, antara lain: a. Keluarga dari debitur lama, yang lebih mampu untuk dapat membayar dan melunasi pembayaran angsuran atau cicilan kredit KPR yang telah tertunggak oleh debitur lama; b. Debitur baru merasa pernah berhutang budi pada debitur lama dan dengan sukarela menyediakan diri untuk menggantikan debitur lama dalam memenuhi kewajibannya terhadap bank pemberi kredit; c. Karena masih kurangnya kesadaran masyarakat akan akibat yang ditimbulkan dari dilakukannya pengalihan kredit secara di bawah tangan. Hal ini tentu saja mempengaruhi keberadaan sertipikat yang diberikan oleh Bank BTN dalam proses KPR tersebut di mana sertipikat masih tertulis atas nama debitur pertama. Pencantuman nama pada sertipikat tersebut disesuaikan dengan perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak debitur pertama dengan pihak bank. Yang mana pihak bank hanya mengetahui dan mengenal debitur yang melakukan perjanjian kredit dengan Bank BTN. Sedangkan, peralihan hak atau balik nama sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak dari debitur pertama kepada debitur yang menerima pengalihan secara di bawah tangan tidak dapat dilaksanakan, karena peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan apabila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal tersebut diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa: ”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Akibat dari pengalihan kredit yang dilakukan secara di bawah tangan tersebut maka debitur yang menerima pengalihan kredit yang sudah melunasi angsuran kreditnya dan bermaksud untuk mengambil sertipikat objek KPR yang masih disimpan oleh bank pemberi kredit serta melakukan balik nama ke atas nama pihak debitur yang menerima pengalihan, diperlukan suatu surat kuasa yang dibuat di hadapan Notaris untuk memperoleh kepastian hukum. Dalam praktiknya, mengenai perjanjian pengikatan jual beli dan surat kuasa merupakan suatu kesatuan akta yang dibuat oleh Notaris dalam rangka kepastian hukum mengenai pengalihan hak kredit atau pelimpahan kewajiban angsuran kredit di antara para pihak. Selain akta tersebut, Notaris juga membuat suatu surat kuasa dari pihak debitur pertama kepada pihak debitur yang menerima pelimpahan kewajiban, yang mana surat 318
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
tersebut dipergunakan untuk pengambilan sertipikat setelah dilakukannya pelunasan kredit. Dengan demikian pada saat pengambilan sertipikat yang masih disimpan oleh bank pemberi kredit sebagai bentuk jaminan atas pengambilan kredit KPR oleh debitur penerima pengalihan kredit, tidak perlu lagi menghadirkan debitur pertama untuk mengambil sertipikat di bank pemberi kredit, sehingga pihak debitur yang menerima pengalihan dapat langsung mengambil sertipikat dan dokumen-dokumen yang terkait dengan tanah dan/atau bangunan tersebut, dengan membawa dokumen-dokumen pelengkap, yaitu: a. Bukti pelunasan pembayaran dari bank; b. Pembayaran premi asuransi kebakaran apabila belum pernah dibayar atas rumah tersebut; c. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; d. Surat kuasa (notariil) untuk pengambilan sertipikat asli. Adanya akta pengikatan jual beli dan kuasa yang terkait dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), khususnya dalam hal pengalihan hak kredit atau pelimpahan kewajiban angsuran Kredit Pemilikan Rumah dalam praktik perbankan, yang terjadi baik dalam bank swasta maupun bank pemerintah khususnya Bank BTN, sampai dengan saat ini belum dapat diterima sepenuhnya oleh pihak bank tersebut. Hal ini terkait dengan tindakan pengalihan kredit yang dilakukan debitur, di mana pihak bank tetap tidak mengakui tindakan pengalihan secara di bawah tangan dan apabila tindakan tersebut diketahui pihak bank maka tentu pihak bank akan selalu menyarankan untuk dilakukan tindakan alih debitur atau segera melunasi kredit tersebut. Tindakan pengikatan jual beli dan kuasa yang terjadi di antara para pihak merupakan tindakan intern yang terjadi hanya di antara para pihak dan dianggap sebagai perjanjian di bawah tangan, meskipun terkadang pengikatan jual beli dan kuasa tersebut telah dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Notaris. Hal ini dikarenakan dalam tindakan ini tidak melibatkan pihak bank sebagai pemberi kredit, sehingga bank hanya mengakui pihak debitur pertama yang terikat dengan perjanjian kredit dengan pihak bank saja beserta semua data yang terkait dengan agunan rumah tersebut, yang mana semuanya masih tercantum dan terdaftar atas nama debitur pada bank tersebut. Terkait dengan tindakan pengikatan jual beli dan kuasa tersebut di atas, pihak bank hanya dapat mengakui surat kuasa pengambilan sertipikatnya saja, yaitu surat kuasa pengambilan sertipikat apabila pelunasan kredit telah dilaksanakan. Tindakan debitur dalam hal pengalihan kredit secara di bawah tangan, yang merupakan pengalihan tanpa persetujuan pihak bank mengandung suatu risiko besar yang harus dihadapi oleh pihak debitur yang menerima pengalihan atau pelimpahan kewajiban Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
319
angsuran dari debitur pertama. Akibat dan permasalahan yang harus dihadapi oleh pihak debitur penerima pengalihan kredit tersebut, antara lain: 1. Terjadinya wanprestasi pada debitur. Tindakan debitur pertama untuk mengalihkan kreditnya atau melimpahkan kewajiban angsurannya kepada pihak lain merupakan salah satu cara yang sering ditempuh guna menghindari terjadinya wanprestasi pada debitur tersebut. Debitur pertama berusaha mencari jalan keluar dengan menjual atau mengalihkan kewajiban angsuran kreditnya kepada pihak lain yang dianggap sanggup untuk melanjutkan angsuran kreditnya. Apabila pengalihan kredit dilakukan sesuai dengan peraturan bank pemberi kredit, maka segala permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara prosedural dari bank pemberi kredit, yaitu menjadi tanggung jawab debitur penerima pengalihan itu sendiri. Namun, dalam praktiknya yang sering terjadi adalah sebagian masyarakat masih menggunakan cara pengalihan kredit secara di bawah tangan yaitu hanya dilakukan di antara para pihak, yang mana berarti segala risiko yang timbul masih melibatkan pihak debitur pertama yang terikat dengan pihak bank. 2. Kerugian-kerugian yang diderita oleh debitur. Perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) apabila ditinjau dari peraturan perbankan sangat merugikan debitur, dimana dalam perjanjian kredit yang merupakan kontrak atau perjanjian baku, terdapat klausula yang secara tidak terinci ditentukan oleh pihak bank, yaitu: - Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit debitur macet. - Nasabah debitur diwajibkan untuk tunduk pada segala peraturan yang telah ada dan yang masih akan ditentukan kemudian oleh bank. - Nasabah debitur harus memenuhi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank. - Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti rugi yang diderita oleh debitur sebagai akibat dari tindakan tersebut. - Kelalaian debitur dibuktikan secara sepihak oleh pihak bank semata-mata. - Penetapan dan perhitungan bunga bank yang seringkali merugikan debitur. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas menyebabkan kedudukan debitur menjadi semakin lemah. Hal ini dikarenakan bilamana terjadi hal seperti kredit macet ataupun ketika agunan tersebut laku terjual maka pihak bank masih tetap meminta kehadiran debitur pertama untuk menerima sisa pengembalian uang atau pembayaran. Sedangkan, pihak debitur penerima pengalihan kredit tidak dapat menerima uang pengembalian 320
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
tersebut karena tidak ada kuasa untuk melakukan penerimaan atau pengembalian uang. Selain kerugian-kerugian yang terkait dengan agunan dan kepemilikan rumah yang tidak jelas, pihak debitur penerima pengalihan kredit juga mengalami beberapa kerugian lainnya, antara lain yaitu: a. Bilamana mengalami wanprestasi, tidak dapat mengalihkan lagi baik secara di bawah tangan atau melalui alih debitur. b. Tidak dapat melakukan penjualan agunan secara di bawah tangan. c. Alternatif penyelesaian dengan pihak bank apabila rumah tersebut sampai disita atau masuk dalam Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dan Badan Urusan Piutang Lelang Negara (BUPLN), maka tetap harus menghadirkan debitur pertama untuk menerima pengembalian uangnya dari bank, sedangkan pihak debitur pertama kadangkala sulit untuk ditemui, atau telah meninggal dunia atau bahkan tidak diketahui tempat tinggalnya yang terakhir. d. Tidak dapat memanfaatkan fasilitas asuransi yang terkait dengan agunan rumah tersebut. e. Jangka waktu kredit dan pelunasan yang lama menyebabkan tarif pajak menjadi semakin tinggi. Pajak tersebut antara lain yang terkait dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang mana harus menanggung pajak penjual dan pembeli. Kerugian yang paling fatal dari kerugian-kerugian tersebut di atas yang harus diderita oleh debitur penerima pengalihan kredit adalah bilamana telah masuk dalam kategori Non Performance Loan dari bank, sehingga bank akan mengambil tindakan-tindakan, berupa penyitaan aset atau agunan ataupun perintah pengosongan dengan segera. Hal-hal tersebut dapat dilakukan oleh pihak bank, dengan alasan bahwa rumah KPR tersebut masih merupakan agunan bagi pihak bank dan karenanya pihak bank berhak untuk memperlakukan agunan tersebut sesuai dengan peraturan perbankan. Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak dan kewajiban dari debitur KPR adalah berbanding terbalik dengan hak dan kewajiban bank yang termuat dalam perjanjian kredit rumah KPR. Perlu ditegaskan di sini bahwa dalam perjanjian kredit rumah KPR, hak dan kewajiban debitur terdiri atas penyerahan tanah dan bangunan (rumah) yang dibiayai sebagai jaminan bank dan diikat dengan Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (5) huruf b, c dan d perjanjian kredit bank BTN, terhadap objek jaminan tersebut ditegaskan bahwa debitur tidak diperkenankan untuk menyewakan kepada pihak lain, dijual atau dengan cara apapun juga dibebankan atau dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pihak bank, walaupun perjanjian pengalihan kredit Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
321
ini merupakan bentuk perjanjian yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Akan tetapi mengingat objek pengalihan kredit disini adalah bangunan (rumah), maka para pihak juga harus mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perumahan. Hal ini penting agar transaksi yang dilakukan tidak akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman. Terkait dengan Hak Tanggungan atas objek jaminan dalam KPR tersebut di atas, maka salah satu bidang hukum yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan tindakan hukum pengalihan kredit (over kredit) adalah hukum jaminan. Pemberian fasilitas kredit memang memerlukan jaminan keamanan bagi pemberi kredit. Secara hukum, jaminan berfungsi untuk menutup hutang debitur jika debitur wanprestasi. Dengan demikian, jaminan merupakan salah satu unsur penting sekaligus sarana perlindungan hukum bagi bank BTN (kreditur) dalam menjamin pelunasan hutang debitur. Lembaga jaminan memang banyak bentuknya dan salah satunya adalah Hak Tanggungan. Keberadaan lembaga jaminan berupa Hak Tanggungan sangatlah penting terutama jika dilihat dari objek Hak Tanggungan itu sendiri yaitu tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah. Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah atau dikenal sebagai Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hak tanggungan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk hak jaminan. Selain terkait dengan hak jaminan, hak tanggungan juga terkait dengan aspek lain, yakni perkreditan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak tanggungan pada dasarnya mengandung 3 (tiga) aspek yaitu hak jaminan atas tanah, kegiatan perkreditan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.7 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2, cet. 3, Ind-Hill Co, Jakarta, 2009, hal.142 7
322
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Dengan demikian, perbuatan hukum berupa pengalihan kredit terkait erat dengan Hak Tanggungan. Hal mana terlihat dari status rumah KPR (yang biasanya berstatus HGB) merupakan hak jaminan yang dibebani hak tanggungan oleh Bank BTN pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu (kredit KPR), yang mana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada bank BTN terhadap kreditur-kreditur lain. Oleh karena itu, debitur pertama yang melakukan pengalihan kredit rumah kepada debitur lainnya (penerima pengalihan) sebenarnya secara hukum tidak dapat begitu saja melakukan pengalihan kredit secara di bawah tangan. Hal ini dikarenakan rumah sebagai objek jaminan tersebut masih berstatus KPR yang juga dibebani dengan Hak Tanggungan. Perlindungan Hukum Debitur dan Bank sebagai Kreditur atas Objek KPR Pembelian rumah KPR melalui pengalihan kredit yang dilakukan secara di bawah tangan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan jual beli. Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kepada pembeli kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Jual beli tanah dan bangunan melalui pengalihan kredit yang dilakukan secara dibawah tangan melekat 2 (dua) dimensi hukum yaitu hukum kebendaan dan hukum perjanjian. Dengan demikian, pelaksanaan pengalihan harus memperhatikan 2 (dua) dimensi hukum tersebut. Debitur yang mengalihkan kredit dan debitur yang menerima pengalihan kredit rumah KPR, masing-masing bertindak selaku penjual dan pembeli memiliki hak dan kewajiban. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan dokumen-dokumen agunan kredit, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk melanjutkan pembayaran harga agunan yang telah disepakati. Pasal 1457 KUH Perdatamenegaskan bahwa: Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Penjualan rumah KPR dengan cara pengalihan kredit, merupakan perbuatan hukum jual beli adalah perjanjian yang bersifat konsensual, yang mengandung konsekwensi debitur yang menerima pengalihan kredit (pembeli) terikat dengan kewajiban untuk membayar harga pembelian, sedangkan debitur yang mengalihkan kredit (penjual) terikat untuk menyerahkan kebendaan berupa rumah KPR yang dijual tersebut.8
8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Jual Beli, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.125.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
323
Sebagai suatu bentuk penguasaan atas rumah, hak harus diimbangi dengan kewajiban. Yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang. Hak dan kewajiban memiliki hubungan yang erat di mana hak senantiasa mencerminkan kewajiban dan demikian pula sebaliknya. Hak tidak untuk digunakan oleh pemiliknya secara mutlak, akan tetapi harus digunakan dalam menjalankan peran sosialnya guna kepentingan masyarakat pada umumnya. Mengingat adanya hubungan yang erat antara hak dan kewajiban maka para pihak yang memiliki hak seringkali juga dibebani dengan kewajiban. Hal ini berlaku pula terhadap debitur yang penerima pengalihan dan debitur yang mengalihkan kepemilikan rumah objek KPR secara di bawah tangan dalam rangka menjalankan perannya masing-masing. Pada dasarnya alih debitur objek KPR di Bank BTN tidak dilarang sepanjang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan bank pemberi kredit atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam hal ini aturan hukum yang berkaitan dengan jual beli maupun ketentuan lainya yang berkaitan dengan hak tanggungan. Beberapa langkah yang paling ideal dalam melakukan pengalihan kredit di bawah tangan yaitu: a. Sebelum terjadinya pengalihan kredit secara di bawah tangan, debitur pertama diberi kesempatan untuk menyelesaikan segala kewajibannya terlebih dahulu, terutama yang terkait dengan pembayaran angsuran kredit yang wajib dibayar setiap bulannya kepada pihak bank. Itikad baik debitur selaku pihak yang melakukan perjanjian kredit dengan bank pemberi kredit sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. b. Pembeli (debitur baru) sebaiknya melakukan balik nama sertipikat melalui proses alih debitur secara resmi. Alih debitur tersebut dapat dilakukan dengan membuktikan terlebih dahulu keabsahan perjanjian tersebut dan apabila perjanjian tersebut dapat terbukti, maka proses alih debitur dapat dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang. c. Memberikan informasi yang jelas dan terperinci mengenai segala risiko yang dapat merugikan pembeli (debitur baru). Risiko tersebut dapat berupa proses panjang yang harus dipenuhi dalam melakukan proses balik nama sertipikat dan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). d. Apabila pembeli (debitur baru) telah melunasi seluruh kewajiban hutang atas nama debitur pertama dan telah menerima pernyataan lunas dari bank maka debitur baru pada waktu akan mengambil dokumen-dokumen seperti sertipikat dan IMB harus dapat menunjukkan Akta Notaril yang didalamnya menyatakan bahwa telah terjadi 324
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
pemindahan dan pengalihan hak atas rumah KPR dari debitur pertama kepada debitur baru yang menerima pengalihan kredit tersebut. Kemudian kepada debitur baru akan diberikan kuasa guna pengambilan dokumen-dokumen terkait seperti sertipikat dan IMB dari pihak Bank BTN. Segala hal mengenai surat jual beli secara di bawah tangan yang dibuat antara debitur pertama dan debitur baru harus mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri. Bilamana debitur baru tidak dapat memenuhi hal tesebut diatas, maka proses penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Bank sama sekali tidak mengizinkan seorang debitur untuk mengalihkan over credit secara dibawah tangan oleh debitur yang terikat perjanjian kredit dengan bank, dengan demikian bank menganggap bahwa kehadiran debitur baru selaku pembeli dibawah tangan sama sekali tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat perjanjian kredit dengan seorang debitur. Tidak ada perlindungan hukum apapun yang dapat diberikan terhadap pembeli dibawah tangan terhadap objek jaminan yang terikat perjanjian kredit dengan bank dengan alasan sebagai berikut: a. Tanah dan bangunan objek jaminan KPR adalah obyek jaminan yang terikat Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang KPR debitur. b. Dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) telah diperjanjikan bahwa debitur dilarang untuk mengalihkan dan atau melepaskan haknya atas obyek jaminan tanpa seizin dan persetujuan pihak bank selaku kreditur. c. Jika terjadi pengalihan rumah KPR secara di bawah tangan maka debitur telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian yang telah disepakati bahkan lebih jauh debitur telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni tanpa hak telah melakukan perbuatan yang dapat merugikan pihak lain; d. Peralihan hak atas tanah terjadi dengan ditandatanganinya akta peralihan hak atas tanah di hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sehingga apabila peralihan hak atas tanah dilakukan secara di bawah tangan adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Sehingga secara hukum debitur lama adalah tetap sebagai pemilik yang sah atas tanah dan bangunan objek jual beli dibawah tangan tersebut. Oleh karena perjanjian jual beli di bawah tangan terhadap objek jaminan KPR tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka seorang pembeli akan mengalami hambatan dalam proses pengambilan sertifikat pada bank yang terikat hak tanggungan oleh karena berdasarkan perjanjian kredit bank hanya memberikan sertifikat kepada debitur yang terikat perjanjian kredit. Kesulitan akan dihadapi oleh pembeli dibawah tangan apabila Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
325
penjual tidak bersedia atau tidak ada itikad baik untuk menghadap bank atau tidak lagi diketahui keberadaanya. Dengan demikian perlindungan hukum bagi debitur pembeli over credit di bawah tangan tersebut sangat lemah. Terdapat 2 (dua) permasalahan pokok dalam pembelian tanah dan bangunan over credit secara dibawah tangan yang akan dihadapi pembeli adalah sebagai berikut: 1. Debitur telah melunasi utang KPR kepada bank tetapi sertifikat tidak diserahkan oleh bank karena debitur selaku pembeli over credit tidak terikat perjanjian kredit atau bukan pihak dalam perjanjian kredit dengan bank. 2. Debitur baru tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun atas objek yang dibelinya termasuk mengalihkan atau menjual atau dijadikan objek jaminan kredit karena tidak ada alas hak apapun yang bersifat otentik yang mendukung perbuatan hukum tersebut. Dalam menghadapi kondisi tersebut, pihak pembeli over credit tidak ada pilihan lain selain melakukan gugatan dihadapan Pengadilan Negeri dengan menggugat debitur lama dan bank untuk menyerahkan sertifikat hak milik atas tanah dan bangunan yang dibelinya tersebut dengan dasar perjanjian jual beli dibawah tangan tersebut. Jika pengadilan memutuskan bahwa jual beli tersebut adalah sah dan pembeli sebagai pembeli yang beritikad baik serta bank dihukum untuk menyerahkan sertifikat tersebut kepada penggugat maka akan memudahkan pembeli untuk mengambil setifikat tersebut pada bank dan bank tidak mengalami kesulitan untuk menyerahkan sertifikat kepada bank dengan dasar putusan tersebut, dengan demikian ini adalah bentuk perlindungan hukum kepada pembeli. Namun sebaliknya jika pengadilan memutuskan: 1. Jual beli tersebut adalah tidak sah atau tidak berkekuatan hukum. 2. Menyatakan penjual adalah penjual yang tidak benar atau beritikad buruk (setelah dalam pertimbangannya bahwa objek jual beli antara Penggugat dan Tergugat terikat jaminan KPR). 3. Menyatakan pembeli objek KPR adalah pembeli yang ceroboh. 4. Menyatakan tindakan bank tidak menyerahkan sertifikat atas nama Tergugat (Penjual) kepada Penggugat adalah beralasan hukum. Dalam praktiknya, terdapat putusan pengadilan bahkan telah menjadi jurisprudensi yang membatalkan transaksi jual beli dalam masyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa jurisprudensi sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1816K/Pdt/1989 tanggal 22-10-19929 yang menyatakan bahwa: 9
326
Himpunan Jurisprudensi Perdata Mahkamah Agung tahun 1969-1997.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai yang beritikad baik, karena pembelian dilakukan dengan ceroboh, ialah pada saat pembelian ia sama sekali tidak meneliti hak dan status para penjual atas tanah terperkara. Karena itu ia tidak pantas dilindungi dalam transaksi itu. 2. Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 380K/Sip/1975 tanggal 15-4-197610 yang menyatakan bahwa: Untuk sahnya perjanjian jual beli tanah diperlukan syarat terang dan penguatan dari pejabat yang berwenang. Apabila pengadilan telah memutuskan seperti tersebut di atas, dengan menolak gugatan penggugat maka penggugat atau pembeli over credit dibawah tangan akan terus mengalami kesulitan dan tidak ada kepastian hukum atas tanah yang dibelinya tersebut selain tetap berusaha menghadirkan debitur lama dihadapan bank. Sedangkan perlindungan hukum bagi bank selaku kreditur adalah terdapat pada perjanjian KPR dan Ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 14 ayat (5) Perjanjian Kredit Bank BTN11 secara tegas menentukan bahwa pihak debitur dilarang untuk menjual, menegalihkan, menghibahkan atau menukar atau tindakan apapun yang bermaksud mengalihkan objek jaminan yang tersebut perjanjian ini tanpa sepengetahuan kreditur. Pasal 14 ayat (5) Perjanjian Kredit Bank BTN, dengan ditanda tanganinya perjanjian ini maka debitur berdasarkan perjanjian ini tidak diperkenankan atau dilarang untuk melakukan jual beli, tukar menukar, menghibahkan atau tindakan apapun yang bermaksud mengalihkan tanah dan bangunan tersebut dalam perjanjian ini kepada pihak lain tanpa sepengetahuan atau dengan cara apapun tanpa seiizin kreditur, jika debitur dengan sengaja dan tanpa alasan apapun juga mengingkari perjanjian ini maka perbuatan tersebut apapun bentuknya adalah batal demi hukum dan bank dapat melakukan tindakan segera untuk mengsongkan objek jaminan KPR ini setelah diberitahukan kepada debitur secara patut. Dengan demikian, nyata bahwa bank tidak memberikan celah apapun atau bahkan dilarang untuk melakukan transaksi jual beli objek jaminan KPR tanpa melibatkan bank atau Notaris, hal ini membawa akibat hukum bahwa tidak ada perlindungan hukum apapun kepada pembeli selain mengajukan gugatan dihadapan pengadilan yang tentunya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Selain perlindungan sebagaimana klausula perjanjian KPR tersebut, bank selaku kreditur juga dilindungi dengan UndangUndang Hak Tanggungan. 10 11
Ibid., Perjanjian KPR Bank BTN
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
327
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT memberikan hak istimewa (privilege) atau memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit de preference) dalam tangan siapa pun obyek itu berada (droit de suite).12 Pasal 7 UUHT menyebutkan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada yang berarti bahwa hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada walaupun telah dialihkan kepemilikannya. Pengalihan hak atas rumah dan tanah secara hukum baru terjadi apabila telah dilakukannya jual beli yang aktanya dibuat dengan Akta PPAT dan kemudian ada balik nama sertipikat menjadi atas nama pembeli. Dengan demikian, rumah itu masih milik debitur yang menjadi jaminan hutangnya kepada Bank. Jual bel rumah KPR di Bank BTN secara di bawah tangan oleh debitur yang belum melunasi hutangnya, merupakan suatu perbuatan melawan hukum karena rumah KPR itu merupakan benda jaminan hutang debitur kepada Bank BTN, sehingga Bank BTN dapat menuntut debitur untuk memberikan ganti kerugian dan segera melunasi seluruh sisa hutangnya. Penjualan rumah KPR di bawah tangan oleh debitur, tidak menghapuskan kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada Bank BTN. Bank BTN sebagai pemegang jaminan dapat melakukan pembatalan atas jual beli rumah KPR oleh oleh debitur lama yang dilakukan di bawah tangan. Surat jual beli yang dibuat di bawah tangan dalam arti tidak melalui Pejabat Umum (PPAT) tidak dapat dipakai sebagai alat balik nama sertifikat dari debitur lama kepada debitur baru. Karena akta jual beli di bawah tangan tidak dapat digunakan sebagai alas hukum balik nama sertipikat, maka dapat dikatakan jual beli tanah itu belum pernah terjadi. Tindakan penyelamatan kredit apabila diketahui terjadi alih debitur dibawah tangan atas objek KPR sebagai berikut: a. Bank dapat memperingatkan kepada debitur segera melunasi seluruh sisa hutang sebab meskipun rumah KPR telah dialihkan/dijual, secara hukum tidak menghilangkan kewajiban debitur, dengan kata lain debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya. b. Tindakan atau perbuatan debitur dengan menjual rumah KPR, tanpa seizin bank, bank sebagai pemegang jaminan rumah KPR, dapat membatalkan penjualan rumah tersebut, jika bank menghendaki. Secara yuridis, sebenarnya belum pernah terjadi jual beli, karena untuk sahnya jual beli (berikut rumah), harus ada akta jual beli dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah 12
328
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
balik nama sertipikat atau balik nama. c. Bank dapat melakukan upaya hukum eksekusi atas obyek jaminan KPR yang telah diikat dengan Hak Tanggungan, dalam hal ini Bank BTN adalah pemegang Hak Tanggungan, yang dapat melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi berdasarkan Perjanjian KPR dan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Menurut Earli Fransiska Leman,13 hal yang paling sering dalam praktik pelaksanaan perjanjian baik dibawah tangan maupun dengan akta otentik adalah adanya kekeliruan penafsiran tentang kekuatan mengikat suatu perjanjian, apalagi jika para pihak menafsirkan bukan berdasarkan penafsiran hukum itu sendiri tetapi penafsiran berdasarkan kepentingan masing-masing. Asas kebebasan berkontrak sama sekali tidak bersifat mutlak. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya consensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh pernyatan sepakat dari pihak lainnya. Dengan demikian kesepakatan antara kreditur (bank) dan debitur dalam perjanjian kredit KPR merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pasal 1332 KUH Perdata memberikan arah mengenai kebebasan bagi kreditur dan debitur untuk membuat perjanjian kredit KPR sepanjang yang menyangkut objek perjanjian. Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apapun, dan hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian. Rumah KPR mempunyai nilai ekonomis, dan dengan demikian dapat dijadikan objek perjanjian. Lebih lanjut Pasal 1338 KUH Perdata menentukan tentang berlakunya asas itikad baik dalam melaksanakan perjanjian kredit KPR. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian kredit KPR dilaksanakan, tetapi juga sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian kredit KPR itu dibuat. Hal ini berarti perjanjian kredit KPR yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan menyebabkan perjanjian kredit KPR tersebut tidak sah. Dengan demikian asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan pihak bank sebagai kreditur dan pihak debitur dalam membuat perjanjian kredit KPR tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya. Oleh karenanya, dalam suatu perjanjian kredit KPR hendaknya memenuhi asas kebebasan berkontrak, asas konsensualitas, asas kekuatan mengikat, asas itikad baik, asas keseimbangan, asas kebiasaan, asas kepastian Ibid.
13
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
329
hukum, dan asas formalitas. Namun, apabila perjanjian pengalihan kredit (over credit) dilakukan dengan akta notaril, maka perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada debitur penerima pengalihan kredit berdasarkan akta notariil yang dibuat antara debitur pertama dan debitur kedua selaku penerima pengalihan. Akta notariil tersebut yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Surat Kuasa untuk mengambil dokumen dan Surat Kuasa untuk bertindak atas nama debitur pertama untuk bertindak sebagai penjual dalam proses balik nama. Apabila debitur pertama sulit untuk dihubungi maka debitur kedua tidak perlu menghadirkan debitur pertama untuk menandatangani Akta Jual Beli karena debitur kedua dapat bertindak atas diri debitur pertama berdasarkan surat kuasa yang dibuat secara notariil. Debitur kedua tidak memperoleh perlindungan hukum apapun dari bank pemberi kredit oleh karena tidak ada hubungan hukum antara debitur kedua selaku penerima pengalihan kredit (over kredit) dengan bank pemberi kredit. Namun, perlindungan hukum didapatkan dari debitur pertama berdasarkan hubungan hukum dengan debitur pertama yaitu perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda) yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”, dalam hal ini debitur pertama dan debitur kedua penerima pengalihan over kredit wajib mematuhi segala isi dari perjanjian yang dibuat antara mereka. Hal penting dalam membuat isi dari perjanjian tersebut juga harus memiliki itikad baik sebab isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menjadi undangundang bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan diberlakukannya Pasal 1338 KUH Perdata tersebut, diharapkan dapat mencegah terjadinya suatu masalah dikemudian hari oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Namun hal ini sering tidak diperhatikan oleh para pihak yang membuat perjanjian sehingga sering bermunculan masalah mengenai terhadap perjanjian yang dibuat. Masalah yang sering muncul tidak lain dari hal wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, apabila terjadi hal seperti itu, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap pihak yang telah melanggar isi dari perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” 330
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya alih debitur objek KPR di Bank BTN tidak dilarang sepanjang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan bank pemberi kredit atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam hal ini aturan hukum yang berkaitan dengan jual beli maupun ketentuan lainya yang berkaitan dengan hak tanggungan. Namun, pelaksanaan perjanjian jual beli rumah secara over kredit (alih debitur) melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank BTN hanya mengakui atau mengenal 2 (dua) cara, yaitu melalui Bank BTN secara resmi atau melalui Notaris, sedangkan alih debitur melalui perjanjian di bawah tangan tidak diakui karena tanpa melibatkan bank BTN atau tanpa melibatkan pejabat yang berwenang seperti Notaris. 2. Perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah tangan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja dalam hal ini debitur yang mengalihkan kredit dan debitur yang menerima pengalihan kredit, pihak bank tetap hanya mengakui debitur pertama yang mengajukan proses KPR di bank yang sah, sehingga debitur penerima pengalihan kredit tersebut tidak memperoleh kepastian dan perlindungan hukum oleh karena debitur penerima pengalihan kredit tidak mempunyai hubungan hukum dengan bank. Oleh karena itu, perjanjian pengalihan kredit hendaknya dilakukan secara resmi atau dengan akta notariil sehingga debitur penerima pengalihan kredit memperoleh kepastian dan perlindungan hukum berdasarkan perjanjian over kredit tersebut. Demikian pula dengan peran seorang Notaris yang harus dapat memberikan saran dan masukan kepada debitur yang mengalihkan kredit maupun pihak penerima pengalihan kredit agar perjanjian pengalihan kredit (over credit) tersebut dibuat secara notariil dan dalam bentuk akta otentik. Saran 1. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan secara over credit melalui Bank BTN diharapkan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama sehingga masyarakat yang berminat membeli tanah dan bangunan secara over credit tdak menganggap sebagai suatu hambatan, begitupula agar masyarakat pembeli objek KPR secara over credit agar dilakukan melalui proses resmi yaitu melalui bank pemberi kredit atau melalui notaris agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami hambatan dan masyarakat mendapat kepastian hukum apabila terjadi masalah dengan debitur lama atau debitur baru dikemudian hari. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
331
2. Diharapkan pihak bank, selalu memperhatikan dan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan melakukan analisis kredit secara cermat, teliti dan mendalam dari berbagai aspek berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku secara universal dalam dunia perbankan, untuk menghindari atau mengantisipasi munculnya pengalihan kredit secara tidak resmi, begitupula debitur penerima over credit untuk mencari informasi yang seluas-luasnya kepada bank mengenai kondisi kredit debitur lama dan menghindari pengalihan kredit diluar dari ketentuan bank guna menghindari terjadinya berbagai masalah yang berkaitan dengan objek KPR secara over credit. 3. Itikad baik, kecermatan, ketelitian serta mengedepankan prinsip kehati-hatian dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli secara over credit objek KPR harus menjadi landasan utama guna menentukan pilihan proses pengalihan kredit yang dipilih dan sejauh mungkin menghindari peralihan kredit secara dibawah tangan karena secara hukum tidak diakui yang membawa konsekuensi rendahnya perlindungan hukum dan membawa akibat tidak adanya kepastian dan perlindungan hukum. DAFTAR PUSTAKA Frieda Husni Hasbullah. 2009. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2, cet. 3. Jakarta: Ind-Hill Co. Hasanuddin Rahman. 1995. Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2003. Jual Beli. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Muhammad Bahsan. 2007. Hukum Jaminan Kredit Perbankan. Jakarta: PT. RajaGrafindo. Muhamad Djumhana. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Rachmadi Usman. 1999. Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah. Jakarta: Djambatan. Sumber lainnya: Mahkamah Agung Republik Indonesia. Himpunan Jurisprudensi Perdata Mahkamah Agung Tahun 1969-1997.
332
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Biodata Penulis Rudy Susanto, S.Si., Apt Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Farmasi Univerisitas Achmad Dahlan, Yogyakarta tahun 2002. Menempuh pendidikan Profesi Apoteker pada tahun 2003. PNS pada Dinas Kesehatan Kota Singkawang. Alamat instansi: Jl. Alianjang No. 11, Kec. Singkawang Barat, 79112, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.S., DFM Lahir di Pare-Pare, 24 Juni 1963. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1987. Meraih Magister Kependudukan tahun 1993 pada Program Pascasarjana Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih tahun 2007 pada Program Pascasarjana Unhas. Mengikuti Program Diploma Forensic and Human Rights tahun 2003 di Belanda. Sejak tahun 2008 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Unhas. Saat ini, penulis menduduki tugas lain sebagai Staf Ahli Menteri Pemuda & Olahraga. Dr. Sabir Alwy, S.H., M.H Lahir di Makassar, 5 Januari 1959. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1990. Kemudian, meraih Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Gadja Mada pada tahun 2002. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2008 pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Saat ini sebagai Dosen Tetap Bagian Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Unhas. Juga menduduki tugas lain sebagai Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). E-mail:
[email protected] Mila Agustina Ansary, S.H Lahir di Kendari, 5 Agustus 1980. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas pada Tahun 2002. Saat ini sedang mengikuti Program Pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas, yang diselenggarakan atas Kerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung Angkatan III. Setelah diangkat menjadi Jaksa Penuntut Umum, saat ini bertugas pada Kejaksaan Negeri Makassar sejak tahun 2005. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H Lahir di Soppeng, 24 November 1953. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1978. Menyelesaikan pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Unhas tahun 1998. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2006 pada Program Pascasarjana Unhas. Pada tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Unhas. Juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Unhas. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
377
Biodata Penulis Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. Lahir di Beutang, Polewali Mandar, 24 Oktober 1963. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1987. Gelar Magister dan Doktor Ilmu Hukum diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Peserta Sandwich Program dalam rangka Research Doctoral di Utrecht University, Belanda. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas periode 2004-2008 dan periode 2008-2012. E-mail:
[email protected] Imran Haris, SKM Lahir di Maros, tanggal 21 Agustus 1978. Menammatkan pendidikan strata satu (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin tahun 2002. Sementara menempuh pendidikan Program Magister (S2) Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas tahun 2013, sebagai peserta tugas belajar Kementerian Kesehatan dan didukung beasiswa dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPSDMK) Kementerian Kesehatan Angkatan I. Saat ini bekerja sebagai PNS pada Dinas Kesehatan Kabupaten Maros sejak tahun 2003. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H Lahir di Sinjai, 18 Oktober 1966. Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sejak tahun 2009. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1989. Meraih Gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga tahun 1998. Meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2007. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H Lahir di Parepare, 5 Oktober 1964. Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Lulus S1 (1988) di Fak. Hukum Unhas; S2 (1994) di PPs Universitas Indonesia; dan S3 (2008) di PPs Unhas. Penulis pernah menjabat Pembantu Dekan I (Bidang Akademik) Fak. Hukum Unhas (2002-2006). Karya Ilmiah/Populer yang dihasilkan, antara lain dipublikasikan pada: Majalah “Hukum dan Pembangunan”, Jurnal Ilmu Hukum “Amanna Gappa”, “Hukum dan Dinamika Masyarakat”, “Supremasi”, Harian Kompas, dan “The Indonesian Journal of International Law”. Saat ini aktif dalam kegiatan penelitian dan pembelajaran pada Program Sarjana, Pascasarjana (Magister dan Doktor) di almamaternya. E-mail:
[email protected]
378
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc Lahir di Tual, Maluku, 23 Maret 1949. Menyelesaikan Program Pendidikan Dokter (dr) pada Fakultas Kedokteran Unhas. Kemudian, meraih Master Science (M.Sc) pada Program S2 SEAMO Pascasarjana Universitas Indonesia. Gelar Doktor dalam bidang Gizi pada Program S3 Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Indonesia. Saat ini sebagai Guru Besar Ilmu Gizi & Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas & Direktur Program Pascasarjana Unhas. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H Lahir di Makassar, tanggal 29 Oktober 1957. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1982. Kemudian, meraih Magister Hukum tahun 2001 pada Program Pendidikan Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Unhas. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2005 pada Program Pascasarjana Unhas. Sejak tahun 2006 diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Negara dan Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Unhas. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Unhas periode 2002-2006. Zakiah Darajat, SKM Mahasiswa Program Magister (S2) Bagian Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terdaftar sebagai peserta tugas belajar Kementerian Kesehatan dan atas dukungan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Saat ini, bekerja sebagai staf Dinas Kesehatan Kota Makassar. E-mail:
[email protected] Lisa Valda, S.H Lahir di Samarinda, 6 November 1969. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1994. Saat ini menempuh pendidikan Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. E-mail:
[email protected] Dr. Oky Deviany Burhamzah, S.H., M.H Lahir di Makassar, 6 September 1965. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1988. Kemudian, meraih Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Unhas tahun 2001. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2009 pada Program Pascasarjana Unhas. Pernah mengikuti IPR Training for Lawyer tahun 2001 di Jepang. Peserta Sandwich Program dalam rangka Research Doctoral di Utrecht University, Belanda. Saat ini sebagai Dosen Tetap Bagian Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Unhas.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
379
Biodata Penulis
Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H Lahir di Makassar, 25 Januari 1968. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada tahun 1994. Meraih gelar Magister Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin tahun 2002. Menyelesaikan studi Doktor Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin di tahun 2008. Saat ini, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail:
[email protected] Muthaharah, SKM Lahir di Makassar, 18 Maret 1979. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas tahun 2001. Menempuh pendidikan S2 pada Program Magister Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana Unhas tahun 2013 sebagai peserta tugas belajar Kementerian Kesehatan dan atas dukungan Beasiswa dari BPPSDMK (Badan Pengembangan SDM Kesehatan) Kementerian Kesehatan. Menjadi PNS sejak tahun 2006 dan saat ini bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H., M.Si Lahir di Bone, 1 Agustus 1957. Dosen pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sejak tahun 1985. Menyelesaikan pendidikan S2 pada Prodi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan (S3) Ilmu Hukum Bidang Hukum Lingkungan pada PPs Universitas Hasanuddin. Diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 2007. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H Lahir di Pare-Pare, 11 November 1952. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1980. Kemudian, meraih Magister Hukum tahun 1997 pada pendidikan Magister di bidang Ilmu Hukum Pajak pada Program Pascasarjana Unhas. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum Pajak diraih pada tahun 2006 pada Program Pascasarjana Unhas. Sejak tahun 2008 diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pajak pada Fakultas Hukum Unhas. Juga sebagai Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Unhas. Emiliana Rahail, S.H Lahir di Merauke, 21 Oktober 1970. Meraih gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura tahun 1994. Melanjutkan Pendidikan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas. Saat ini sebagai Staf Pengajar dan Wakil Rektor II Universitas Merauke, Propinsi Papua. E-mail:
[email protected] Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
383
Prof. Dr. Andi Sopyan, S.H., M.H Lahir di Selayar, 5 Januari 1962. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1985. Tahun 1994 meraih Magister Hukum tahun pada Program Pendidikan Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Unhas. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2004 pada Program Pascasarjana Unhas. Terhitung sejak tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Unhas. Pernah menjadi Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Audrey Kotandengan, S.H Lahir di Makassar, 19 Agustus 1983. Menyelesaikan Program Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar. Sejak tahun 2010 Mengikuti Program Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Unhas. Saat ini magang pada Kantor Notaris/PPAT Hustam Husain, S.H.,M.Kn di Makassar. E-mail:
[email protected] Prof. Dr. Nurhayati Abbas, S.H., M.H Lahir di Pare-Pare, 1 Mei 1945. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1976. Kemudian, meraih Magister Hukum tahun 1996 pada Program Pendidikan Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unhas. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2002 pada Program Pascasarjana Unhas. Saat ini sebagai Guru Besar Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Unhas sejak tahun 2004. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.A Lahir di Makassar, tanggal 21 Juni 1960. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1985. Tahun 1999 meraih Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Unhas. Gelar Magister Kajian Wanita diraih pada tahun 2002 pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2008 pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Saat ini sebagai Dosen Tetap Bagian Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Unhas. Juga menduduki tugas lain sebagai Ketua Program Studi (KPS) Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Unhas.
384
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PERSYARATAN PENULISAN
JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
1. Naskah merupakan laporan penelitian orisinal yang dibuat secara mandiri atau berkelompok dan belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Isi tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum dan ditulis dalam tata bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. 3. Sistematika penulisan sedapatnya memuat: Judul (tidak lebih dari 12 kata; Nama Penulis (tanpa gelar akademik); Abstrak maksimal 100 kata yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian, serta kata kunci. 4. Sistematika penulisan terdiri dari: PENDAHULUAN; RUMUSAN MASALAH; METODE PENELITIAN; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN; PENUTUP; serta Daftar Pustaka (tersusun secara alpabetis). 5. Setiap naskah menggunakan teknik pengutipan Footnote. 6. Daftar pustaka atau rujukan sedapatnya bersumber dari jurnal ilmiah lain atau sejenisnya, dengan kisaran waktu terbit kurang dari 10 tahun terakhir. 7. Penulisan dilakukan dengan aplikasi pengolah kata MS Word dengan menggunakan Font Times New Roman ukuran 12 dengan jarak spasi 1,5 pada kertas ukuran A4. 8. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 halaman (termasuk daftar pustaka). Ketentuan margin yaitu: top dan left margin 4 cm, right dan bottom margin 3 cm. Tulisan diserahkan kepada redaksi berupa satu rangkap print-out dan soft copy dalam bentuk CD-RW, berisi file tulisan dalam format doc. 9. Penulisan tidak menggunakan pemisahan bab dengan angka. Pembagian antara Judul, Sub Judul, Sub Anak Judul dilakukan dengan urutan sebagai berikut: CAPITAL BOLD; CAPITAL; Bold; Bold Italic; dan Italic. 10. Tabel (jika ada) dbuat dengan model terbuka (tanpa garis vertikal). 11. Penulis melampirkan curriculum vitae singkat yang meliputi nama lengkap, gelar akademik, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, lembaga tempat bertugas, jabatan yang dipangku (jika ada) alamat lengkap (lembaga, rumah serta nomor telepon kantor, rumah dan HP) serta alamat e-mail. 12. Setiap tulisan akan ditelaah oleh mitra bestari dan jika diperlukan, redaksi akan mengirim kembali tulisan untuk diperbaiki sebelum dimuat. Pengiriman naskah perbaikan dilakukan melalui e-mail kepada alamat e-mail redaksi. 13. Tulisan yang tidak dimuat dapat diambil kembali pada redaksi. Jurnal Penelitian Hukum terbit setiap bulan Januari, Mei dan September. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245. Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090 E-mail:
[email protected] Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
385
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013