Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Jurnal
Magister Hukum Udayana (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Vol. 11 No. 2 :
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Susunan Dewan Redaksi Publikasi Karya Ilmiah
Jurnal
ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Volume 4
Nomor 4
PENANGGUNG JAWAB Dr. N Ketut Supast Dharmawan, SH., M.Hum., LLM. PEMIMPIN REDAKSI Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH., MH. SEKERTARIS PEMIMPIN REDAKSI Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH. DEWAN REDAKSI Prof. Dr. I Gust Ngurah Warocana, SH., MH Prof. Dr. I Made Arya Utama., SH., M.Hum. PENYUNTING AHLI MITRA BESTARI Prof. Tom Suryo Utomo, SH., LLM., Ph.D (UGM) Dr. Edmon Makarm, SH., S.Kom., LLM (UI) Prof. Dr. Efa Laela Fakhrah, SH., MH.(UNPAD) Are Afransyah, SH., M.I.L., Ph.D (UI) PENYUNTING AHLI Dr. Putu Tun Cakabawa Landra, SH., M.Hum. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum. Dr. I Wayan Wryawan, SH., MH. Dr. I Gust Ketut Arawan, SH., MH. Dr. I Gede Yusa, SH., MH. Dr. N Nyoman Sukert, SH., MH. Dr. Desak Putu Dew Kash, SH., M.Hum Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn PENYUNTING TEKNIS Cokorde Dalem Dahana, SH., M.Kn I Made Dedy Pryanto, SH., M.Kn I Nyoman Bagastra, SH., MH.
Desember 2015
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
SEKRETARIAT Gust Ayu Raka Wratn A.A. Istr Agung Yunana, SE Made Mustana, SE Made Dandy Pranajaya, S.Sos., M.AP Alamat Penyuntng dan Sekretarat : Program Stud Magster (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana Gedung Pascasarjana Lanta I, Jl. PB. Sudrman Denpasar – Bal Telepon : +62 (361) 246 354 E-Mal: mag
[email protected].d http://ojs.unud.ac.d/ndex.php/jmhu
Gambar Cover: Dew Saraswat (Dew Ilmu Pengetahuan). Foto dambl dar ruang depan gedung Pasca Sarjana Unverstas Udayana
Journal Policy Udayana Master Law Journal (Jurnal Magister Hukum Udayana) adalah Jurnal Ilmah Hukum yang dtujukan untuk mempublkaskan naskah hasl kajan dan peneltan d bdang hukum dar para penstud (dosen, mahasswa, penelt ), ahl hukum dan prakts yang berkatan dengan Hukum Bsns, Hukum Perdata, Hukum Pemerntahan, Hukum Pdana, Hukum Keparwsataan, HAM serta Hukum & Masyarakat dalam lngkup lokal, nasonal dan nternasonal yang orsnal dan belum pernah dpublkaskan. Proses Review dlakukan dengan Peer Review (Blind Review) terkat substans dan tekns. Udayana Master Law Journal (Jurnal Magister Hukum Udayana) dterbtkan secara online dan eds cetak dalam empat (4) kal setahun (Me, Jul, September dan Desember). Udayana Master Law Journal (Jurnal Magister Hukum Udayana) menuju Jurnal Akredtas Nasonal & saat n terndex pada DOAJ (Drectory of Open Access Journals), Google Scholar, IPI (Indonesan Publcaton Index) dan EBSCO, Journal TOCs, OAJI, ResearchBb, Academc Keys.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : v
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu, Atas asung wara nugraha Ida Hyang Wdh Wasa / Tuhan Yang Maha Esa mengakhr tahun 2015 n kam dapat menghadrkan Jurnal n kehadapan pembaca. Artkel-artkel yang kam hadrkan pada Volume 4 No. 4 n terdr dar artkel para dosen / pengajar Magster (S2), Dosen Fakultas Hukum dan para mahasswa Magster (S2) Ilmu Hukum Unverstas Udayana. Mengawal artkel Jurnal n adalah Izzah Amla Fasal dengan artkel Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pariwisata Seksual Anak Di Bali. Putr Kusuma Sanjwan membahas tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pembangunan Pelabuhan Pariwisata Sebagai Pendukung Pariwisata Bali. Selanjutnya dbahas Kewenangan Komisi Kejaksaan oleh Putu Indrawan Ariadi. Implementasi Nilai-Nilai Agama Hindu Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Adat Di Bali dbahas dalam tulsan Putu Rzky Straputra. Kemudan dsusul dengan tulsan Pluralisme Hukum Dalam Perbuatan Hukum Pengangkatan Anak Di Bali oleh I Gust Agung Ayu Sukma Sanjwan. Dlanjutkan dengan tulsan para dosen dar Fakultas Hukum UNUD, yatu dar Sr Utar membahas tentang Implementasi Tanggungjawab Negara Terhadap Kewajiban Konstitusional Warga Negara Mengikuti Pendidikan Dasar Di Desa Terpencil Kabupaten Bangli. N Luh Gede Astaryan membahas Kewenangan Pemerntah Dalam Pembentukan Peraturan Kebjakan dan Made Gde Subha Karma Resen mengkaj terkat Inovas Daerah. Berturut-turut kam sajkan artkel dar Made Somya Putra, Indah Permatasar, Made Gede Arthadana, Kadek Putra Ark Pesona, Anak Agung Ngurah Agung Satrya Dana, I Gede Pranajaya, I Ketut Ngastawa, I Ketut Purna Astha dan kembal tulsan dosen FH UNUD yakn Made Suksma Prjandhn Dev Salan mengambl judul Pengaturan City Hotel Berkarakter Chain Hotel Sebagai Salah Satu Bentuk Usaha Jasa Pariwisata Di Indonesia (Studi Kasus Di Bali). Sebaga pamungkas dar 18 artkel Volume 4 No. 4 n kam sajkan tulsan dar Kadek Agus Sudarawan yang membahas Transfer Of Undertaking Protection Of Employment (Tupe) Dalam Dunia Ketenagakerjaan Indonesia (Diantara Potensi Dan Hambatan). Semoga jurnal yang kam hadrkan kal n semakn banyak mengnspras serta menmbulkan kegarahan untuk menuls, terutama bag pembaca krts d kalangan akadems. Saran dan krtk tetap dbutuhkan sebaga upaya penyempurnaan eds jurnal selanjutnya d tahun 2016. Selamat Tahun Baru 2016 dan selamat membaca. Om Shanti Shanti Shanti Om.
Denpasar, Desember 2015 Redaks v
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 4, No. 4 : v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... DAFTAR ISI ..............................................................................................................
v v
Pariwisata Seksual Anak : Upaya Perlindungan Anak Berkaitan dengan Sex Child Tourism ....................................................................... Izzah Amla Fasal
626
Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pembangunan Pelabuhan Pariwisata sebagai Pendukung Pariwisata Bali ...................................................... Putr Kusuma Sanjwan
634
Kewenangan Komisi Kejaksaan terhadap Tugasnya untuk Melakukan Pengawasan Khususnya kepada Kewenangan Penuntut Umum .......................... Putu Indrawan Arad
645
Implementasi Nilai-nilai Agama Hindu terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Adat di Bali ...................................................................................... Putu Rzky Straputra
654
Pluralisme Hukum dalam Perbuatan Hukum Pengangkatan Anak di Bali ........ I Gust Agung Ayu Sukma Sanjwan
661
Implementasi Tanggungjawab Negara Berkaitan Dengan Hak Atas Pendidikan Dasar Bagi Warga Negara Di Desa Terpencil Kabupaten Bangli ........................ N Ketut Sr Utar, I Made Udana
669
Inovasi Daerah (Releksi dan Pengaturan Inovasi Daerah di Indonesia) ....................................... Made Gde Subha Karma Resen
680
Kewenangan Pemerintah dalam Pembentukan Peraturan Kebijakan ........................................................................ N Luh Gede Astaryan
688
Penyelesaian Wicara Melalui Peradilan oleh Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali ............................................................................ I Made Somya Putra
700
v
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana • (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : v
Kewenangan Menguji Konstitusionalitas Peraturan Daerah terhadap UUD 1945 ................................................................... Indah Permatasar
713
Peranan Sidik Jari dalam Mengungkap Pelaku Tindak Pidana di Tingkat Penyelidikan Polda Bali .......................................................................... Made Gede Arthadana
720
Konstruksi Sanksi Administratif Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 .......................................................................... Kadek Putra Ark Persona
729
Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam Penyelenggaraan Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ....................................................................................... Anak Agung Ngurah Agung Satrya Dana
736
Pengaturan Pengangkatan Sekretaris Daerah untuk Mewujudkan Netralitas Pegawai Negeri Sipil Daerah .................................................................. I Gede Pranajaya
747
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-017/PUU-I/2003 terhadap Perlindungan Hukum Hak Dipilih .......................................................... I Ketut Ngastawa
757
Kontradiksi Implementasi Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Kota Denpasar ............... I Ketut Purna Astha
770
Pengaturan City Hotel Berkarakter Chain Hotel sebagai Salah Satu Bentuk Usaha Jasa Pariwisata di Indonesia (Studi Kasus di Bali) ....................... Made Suksma Prjandhn Dev Salan
783
Pengaturan Prinsip Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) dalam Dunia Ketenagakerjaan Indonesia (Diantara Potensi dan Hambatan) ........................................................................... 796 Kadek Agus Sudarawan
v
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana • (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : v
v
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PARIWISATA SEKSUAL ANAK : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERKAITAN DENGAN SEX CHILD TOURISM Oleh: Izzah Amila Faisal1 ABSTRACT Tourism is the one of the main revenue in Indonesia. A large of number tourists comes to Indonesia every day with the different country, culture and aim. Base on our international visitor that come from different country, they bring together with their culture when visit Indonesia. Therefore tourism has the positive and negative impact for our culture. As Indo people we have to keep save our basic identity from the acculturation. But in other hand tourism have some negative effect. Child Sex tourism is the issue of this paper and become one of the phenomena that occur in Indonesian tourism. Even though Indonesia have the national and international regulation that protect child from sex exploitation, but in the real life still ind the same issue regarding child sex tourism. The purpose of this research is to ind and identify the factor that be the main cause of child sex tourism to be able to conclude the efforts of legal protection rights of children and also against sex child tourism practice and protect the from any kind of sexual crime practice. As we know that the children are our future generation that must be protected all of their rights. Law enforcement oficers together with the government need more improvement efforts to against sexual crime practice specialy that happen with the children in Indonesia. Keywords: Child sex tourism, sex exploitation
I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Parwsata merupakan salah satu penyumbang devsa negara terbesar yang berasal dar Bal dan merupakan sektor pendapatan utama dan andalan negara Indonesa.2 Namun apabla parwsata tdak dtangan dan djalankan dengan bak maka akan berdampak negatf sepert kerusakan terhadap nla dar suatu sen dan budaya, 1
2
626
Mahassw Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat Jalan Pulau Seram Gang Tarakan Buntu No. 3 Denpasar, e-mal: m
[email protected] Irandka Prabhata, 2015, Meningkatkan Pariwisata Bali Melalui Kepastian Penegakan Hukum atas Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok Dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 10 Tahun 2011, Jurnal Magster Hukum Udayana, Vol.8 No.1 Tahun 2015, Magster Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, hlm.3.
hancurnya ekosstem serta pelanggaran terhadap norma agama, adat stadat, kesuslaan dan hak asas manusa pada suatu daerah destnas wsata. Berwsata merupakan hak setap orang dan hak asas setap manusa yang telah daku oleh hukum nasonal dan juga nternasonal.3 Namun hak tersebut harus dlakukan untuk kegatan postf. Namun belakangan n hak berwsata sudah mengganggu eksstens hak anak, karena sudah marak terjadnya parwsata yang berdampak negatf bag tumbuh kemabang anak, yatu parwsata seksual anak. Hak anak merupakan salah 3
Eva Laher, 2015, Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusi, Jurnal Magster Hukum Udayana Vol.8 No.1 Tahun 2015, Magster Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, hlm.3.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
satu aspek yang harus dperhatkan dalam perkembangan parwsata karena dalam ndustr parwsata sangat besar potens yang dtmbulkan untuk terjadnya kejahatan seksual pada anak. Kejahatan seksual terhadap anak merupakan masalah global d mana anak-anak mengalam berbaga macam bentuk kekerasan sepert hukuman terhadap isik, pemaksaan dalam pekerjaan yang berbahaya sepert pertambangan, sampah, seks komersal dan perdagangan narkoba serta terjadnya dskrmnas, perkawnan dini, dan pornograi.4 Pengakuan atas eksstens anak sebaga subyek hak asas manusa yang memlk art khusus, dapat dlhat dengan diratiikasinya Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989 dan juga dalam Kode Etk Parwsata. Konvens hak anak memlk suatu katan hukum bag setap negara yang ikut meratiikasinya. Konvensi hak anak juga membentuk suatu komte yang dkenal dengan sebutan CRC (Committee on the Rights of the Child) yang berfungs untuk memontor kemajuan yang dbuat oleh negara phak terhadap kewajbannya menurut ketentuan yang tercantum dalam konvens dan protokol operasonalnya.5 Dalam kode etk parwsata, eksplotas seksual yang dlakukan terhadap anak-anak sangat bertentangan dengan tujuan dasar dar parwsata. Oleh sebab tu, eksplotas seksual terhadap anak harus dlarang sekeraskerasnya serta dberkan sanks yang tegas dan berat bag para pelaku. Namun sampa saat n konds tersebut belum teratas. Hal n
4
5
Irwanto, 2008, Menentang Pornograi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, ECPAT, Jakarta, hlm.6. Erca Harper, 2009, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation, PT. Grasndo, Jakarta, hlm. 204.
terlhat dar adanya akses yang memudahkan kegatan tu terjad merupakan penyebab utamanya. Namun sampa saat n konds tersebut belum teratas. Hal n terlhat dar adanya akses yang memudahkan kegatan tu terjad merupakan penyebab utamanya. Parwsata seksual anak merupakan salah satu bentuk dar kejahatan seksual yang tmbul dar hasl suatu pergeseran nla parwsata dan merupakan suatu tndak kejahatan seksual pada anak. Para pelaku wsatawan seks anak dapat berasal dar negara lan yang basa dsebut sebaga wsatawan asng serta berasal dar dalam neger yang dsebut sebaga wsatawan domestk atau orang lokal yang melakukan perjalanan wsata d dalam negara mereka sendr. Permasalahannya adalah dengan adanya wsatawan asng maupun domstk yang berlbur maupun pada akhrnya menetap d suatu daerah yang membawa pengaruh negatf yatu menggunakan jasa anak sebaga pemuas hasrat seksual yang saat n lebh dkenal dengan parwsata seks anak karena mayortas menggunakan layanan atau akomodas parwsata d daerah wsata. Pengaruh tersebut mengakbatkan suatu perubahan sosal, dmana bsa mengarah pada perubahan yang tdak dkehendak sepert contoh pergeseran nla parwsata. Pergeseran nla merupakan masalah sosal pada zaman modern yang danggap sebaga penyakt sosal, dan pada umumnya dkenal sebaga penyakt masyarakat.6 Dengan kata lan penyakt tersebut merupakan produk sampngan, atau merupakan konsekuens yang tdak dharapkan dar system soso-
6
Kartn Kartono, 2005, Patologi Sosial : Jilid 1, Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.6.
627
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
kultural zaman sekarang, dan berfungs sebaga gejala sosal tersendr.7 Resko yang membahayakan masa depan anak juga dapat terjad blamana anak-anak terlbat ataupun dpaksa untuk masuk dalam ndustr seksual. Hal tersebut merupakan suatu tndak pelanggaran terhadap hak asas anak. Keterlbatan anak d dalam bsns seks komersal hampr terjad dsemua Negara dan belum ada penanganan secara serus dalam hal tersebut. Sebelum menndaklanjut dalam upaya hukum, maka harus dketahu terlebh dahulu akar permasalahannya yatu faktor yang mempengaruh anak terlbat dalam parwsata seks tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneltan yang dlakukan adalah peneltan yang berkatan dengan ” Parwsata Seksual Anak : Upaya Perlndungan Anak Berkatan Dengan Sex Child Tourism”. 1.2 1. 2.
Rumusan Masalah Apakah faktor penyebab teradnya parwsata seksual anak? Bagamana upaya menngkatkan perlndungan hukum terhadap anak terhadap dampak negatf dar perkembangan parwsata ?
anak serta perlndungan hukum terhadap anak yang menjad korban dar parwssata seksual anak. II.
Metode Penelitian Metode peneltan yang dlakukan adalah metode hukum normatf. Metode hukum normatf dsebut juga sebaga peneltan hukum teorts/ doktrnal dengan fokus kajan yang terletak pada nventarsas hukum postf, asas-asas dan doktrn hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sstematk hukum, taraf snkronsas hukum, perbandngan hukum, dan sejarah hukum.8 Peneltan hukum normatf n akan mengkaj dan menganalss mengena faktor penyebab terjadnya parwsata seksual anak dan bentuk perlndungan hukum yang dberkan oleh negara pada anak yang menjad korban. Jens pendekatan yang dgunakan dalam peneltan n adalah pendekatan perundangundangan, serta pendekatan konsep dengan menggunakan teknk analss bahan hukum berupa teknk analss deskrptf yang bertujuan untuk membahas permasalahan sebagamana sebelumnya telah durakan.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengembangkan pengetahuan dbdang perlndungan anak dar bahaya kejahatan seksual khususnya parwsata seksual anak yang
III. HASIL DANPEMBAHASAN 3.1 Faktor penyebab teradinya pariwisata seksual anak di daerah pariwisata Bali Berkut n ada beberapa faktor yang menjad pendorong pendukung utama dalam hal terjadnya parwsata seks anak n, antara lan:9
2.
8
1.3 1.
Tujuan Khusus Untuk menganalss dar pada faktor penyebab terjadnya parwsata seksual 7
628
Ibid.
9
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.81-99. John Paul Mank, 2011, Peran United Nations World Tourism Organization (Unwto) Dalam Program Pemberantasan Eksploitasi Seksual Anak Dalam Industry Pariwisata Di Brazil Tahun 2006-2012, Universitas Riau, Sumatera Utara, hlm.4.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.1.1 Faktor Eksternal Dkatakan sebaga faktor utama terhadap terjadnya penyebab terjadnya parwsata seks anak yang berawal dar adanya permntaan dar wsatawan bak asng maupun lokal yang dakbatkan dar banyaknya promos yang dlakukan oleh para penyeda jasa prosttus atau prostitution supplier. Penyeda jasa prosttus tersebut basanya menawarkan atau mengajak korban dengan cara memberkan bujukan dengan cara yang bergammula memberkan pekerjaan dan uang dalam waktu yang sngkat, serta bujukan lannya kepada anak-anak agar mau terjun ke dalam duna prosttus. D sampng tu dapat juga dlakukan dengan modus penpuan berkedok penyalur atau agen tenaga kerja dengan member harapan atau janj mendapatkan pekerjaan yang lebh bak.10 Berbaga macam promos yang dlakukan para jasa penyalur prosttus tersebut mengatakan bahwa anakanak yang terlbat dalam hal n lebh aman dar jangktan penyakt menular seksual dkarenakan pengalaman anak-anak tersebut tdak sebandng dengan orang dewasa yang terlbat d duna prosttus. Wsatawan akan lebh tertark dar adanya promos n dengan memllh anak-anak darpada orangorang dewasa dkarenakan alasan keamanan kesehatan serta menjadkan sebuah trend baru d duna prosttus terhadap adanya parwsata seksual anak. Pemasaran prosttus n dtunjang pula dengan perkembangan teknolog yatu melau fasltas nternet atau online dmana pemasok jasa prosttus anak dapat memasang nformas sehngga memudahkan pelaku seks dalam hal
transaks.11 Trend dapat merubah gaya hdup yang sangat mempengaruh perubahan sosal sepert dengan adanya parwsata seksual anak n yang pada nantnya akan menark banyak mnat para wsatawan seksual anak. 3.1.2 Faktor Internal Faktor nternal dapat dkatakan sebaga faktor sekunder terhadap terjadnya parwsata seks anak karena faktor n ada dsebabkan adanya factor utama atau prmer yatu adanya permntaan dar wsatawan. Permasalahan ekonom merupakan masalah yang mengakbatkan anak yang menjad korban parwsata seksual dkarenakan tdak terpenuhnya kebutuhannya secara keuangan atau inansial. Kebutuhan primer yang belum terpenuh tersebut sepert kurangnya perhatan terhadap penddkan yang mengakbatkan anak-rendahnya kemampuan ntelektual sehngga dengan mudah masuk dan terjerumus dalam duna prosttus yang domnan menjanjkan terpenuhnya kebutuhan inansial bagi anak-anak tersebut sepert kengnan dalam hal kepemlkan suatu barang mewah sehngga mereka memlk pemkran untuk menghaslkan uang dengan cara yang cukup sngkat dan juga dengan mudah. Permasalahan selanjutnya adalah dalam lngkungan keluarga (permasalahan keluarga) yang berakbat kurangnya perhatanyang dberkan kepada anak dar orangtuanya. Prosttus dapat dkatakan sebaga sebuah jarngan yang ddukung oleh berbaga macam teknolog oleh sebab tu akan dengan cepat bergerak dan membuat pengaruh negatve pada setap anak yang telah terjerumus d dalamnya. 11
10
Vctor Malarek, 2008, Menyibak Perdagangan Seks Dunia, Seramb Ilmu Semesta, Jakarta, hlm.27.
Jm Walter and Patrca H. Davs, 2011, Human Traficking, Sex Tourism, and Child Exploitation on the Southern Border, Southern Methodst Unversty, hlm.11.
629
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Namun faktor yang palng domnan yang saat n djumpa adalah faktor ekonom yang penyebab utamanya adalah kemsknan. Berdasarkan hasl wawancara dengan Kompol Putu Narash, selan faktor kemsknan ada faktor lannya yang mendukung tmbulnya eksplotas seksual pada anak yatu kengnan dar anak sendr dkarena tuntutan perkembangan zaman. Maksud darpada tuntuan perkembangan zaman adalah dapat dlhat dar gaya hdup modern yang lebh cenderung hedons yang pada saat n dalam oleh anak-anak. Pemenuhan kebutuhan hdup yang sangat terbatas mendorong anak tersebut melakukan berbaga macam cara agar dapat mengkut perkembangan zaman yang sarat akan unsur modern dan cenderung hedons, karena orang tua yang berpengahslan mnm, menyebabkan anak-anak tersebut mencar jalan pntas yang negatf yatu dengan menjual drnya ke lak-lak hdung belang. Berdasarkan hasl wawancara dar seorang anak yang berusa 18 Tahun dan bekerja pada salah satu Spa yang menyedakan sensas seksual dengan nama yang dsamarkan, sebut saja Moza. memlk pekerjaan sebaga teraps dar sebuah Spa sensas merupakan suatu hal yang belum pernah dbayangkan olehnya, dan yang melatarbelakang anak tersebut bekerja adalah karena ajakan seorang teman dan juga hanya sebatas mengkutnyadan baru djalankan selama 1 bulan belakangan. Teman yang mengajak anak tersebut merupakan seorang muckar dar Spa tempatnya bekerja, sebut saja Jeje. Menyenangkan hat orang tua merupakan salah satu tujuan Moza bekerja agar menghaslkan uang. D ss lan, orang tua Moza tdak mengetahu pekerjaan sepert apa yang dgelut oleh anaknya. Berdasarkan 630
hasl wawancara dar muckar Spa tu, mengena zn yang dajukan Spa tersebut adalah ddaftarkan sebaga Salon. Hal n dkarenakan apabla ddafatarkan dengan konds Spa yang djalankan adalah Spa yang menawarkan sensas maka tdak akan dznkan untuk beroperas karena sudah jelas melanggar uandang-undang. 3.2
Upaya meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak dari perkembangan pariwisata di Bali Para penegak hukum sudah seharusnya memberkan perhatan yang lebh untuk perlndungan hukum bag masyarakat. Berdasarkan undang-undang perlndungan anak No. 35 Tahun 2014 kewajban memberkan perlndungan kepada anak ddasarkan pada asas non-dkrmnas, asas kepentngan yang terbak untuk anak, asas hak untuk hdup, kelangsungan hdup, dan perkembangan, serta asas penghargaan terhadap pandangan atau pendapat anak.12 penegakan hukum sebaga upaya perlndungan terhadap anak dalam hal tertentu juga dapat dlakukan oleh phak swasta ataupun masyarakat guna mewujudkan de ataupun konsep dan juga kadah hukum, bak tertuls maupun tdak yang bersfat normatf yang terwujud dalam fakta maupun kasus dalam kehdupan masyarakat.13 3.2.1 Upaya Perlindungan Hukum Preventif Phlpus Hadjon memberkan konsep tentang teor perlndungan hukum
12
13
Rka Saraswat, 2009, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Ctra Adtya Bakt, Bandung, hlm.25-26. Munr Fuady, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, PT. Ctra Adtya Bakt, Bandung, hlm.107.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
yakn, perlndungan hukum preventf dan perlndungan hukum represf. Maka dar tu upaya yang dlakukan dalam mencegah terjadnya eksplotas seksual yang berupap arwsata seks terhadap anak adalah berupa: 1. Pengaturan dalam sudut pandang normatf yatu berupa Peraturan Perundang-Undangan, Pemberan sanks yang berat terhadap pelaku merupakan hal yang harus dperhatkan dalam sudut pandang perundang-undangan. Dalam pemberan sanks yang berat tersebut harus dperhatkan juga pada motf pelaku, tujuan pelaku melakukan tndak pdana, cara pelaku melakukan tndak pdana dan motf korban. 2. Memaksmalkan Knerja Lembaga Perlndungan Anak Lembaga n perlu ddukung setdaknya oleh pekerja sosal, pskolog, ahl hukum dan dokter dengan maksud agar lembaga n dapat mencapa tujuan yang dngnkan dengan bak. 3.2.2 Upaya Perlindungan Hukum Represif Dlakukan dengan pemberan resttus serta kompensas dengan tujuan pengembalan kerugan yang dalam oleh korban baik isik ataupun psikis. Selain itu dapat juga dengan dadakannya rehabltas dan juga pelayanan meds terhadap korban. Selan upaya hukum d atas, selaku Kant I Subdt IV N Nyoman Sukern memaparkan mengena upaya yang dlakukan polr untuk melndung anak dar eksplotas seksual, antara lan: 1. Membangun unt pelayanan perempuan anak (uppa) yang akan menangan kasus yangg menmpa anak, merujuk
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
ke Rumah Sakt, Shelter, Pskolog d seluruh kepolsan ndonesa (Mabes Polr-Polres) 2. Menngkatkan kemampuan personl Polr (khususnya polwan dan polr yang darahkan untuk menangan hal-hal yang terkat perempuan dan anak yang senstf gender dengan menggunakan fasltas ruang pelayanan khusus) 3. Menngkatkan kerjasama dan koordnas dengan nstans terkat dan lembaga swadaya masyarakat terkat 4. Melakukan sosalsas bekerjasama dengan nsan pers bak melalu meda cetak dan elektronk 5. Kerjasama dengan kepolsan asng melalu Interpol dan SLO yang ada d ndonesa. Peraturan hukum mengena perlndungan anak pada awal mulanya sudah datur melalu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, namun karena d dalamnya tdak tercantum cukup kuat mengena kepentngan pelaku, maka drevs dengan peraturan baru yatu Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Dsn saatnya para penegak hukum untuk lebh memperhatkan mplementas dar undang-undang n. Selan upaya yang telah dlakuakan oleh negara yang masuk ke dalam nstrument nasonal, organsas nternasonal juga memlk peranan yang pentng dalam melakukan upaya perlndungan. Organsas Internasonal merupakan pola kerjasama yang melntas batas-batas negara, yang ddasar struktur organsas yang jelas dan lengkap serta dharapkan atau dproyekskan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsnya secara berkesnambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapanya tujuan-tujuan yang dperlukan serta 631
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dsepakat bersama, bak antara pemerntah dengan pemerntah maupun antara sesama kelompok non-pemerntah pada negara yang berbeda.14 Oleh karena tu, peranan darpada organsas nternatsoal adalah: 1. Sebaga tempat menggalang suatu kerjasama dan untuk mencegah serta dalam hal pengurangan ntenstas daripada suatu konlik. 2. Sebaga wadah untuk bermusyawarah serta menghaslkan keputusan yang menguntungkan bagkepentngan bersama. 3. Sebaga lembaga ndpenden dalam hal pelaksanaan suatu kegatan sosal kemasyarakatan. IV. SIMPULAN & SARAN 4.1 Simpulan 1. Faktor domnan yang menjad latar belakang dar tmbulya parwsata seksual anak terdr dar faktor ekstern dan ntern. Faktor ekstern adalah perkembangan zaman untuk mengkut lifestyle dan juga memenuh kebutuhan terser. Faktor ntern adalah permasalahan utamanya yatu faktor perekonoman keluarga. 2. Upaya-upaya perlndungan terhadap hak anak mash harus terus drancang dan harus ada penguatan brokras d Indonesa sehngga nasb anak-anak bsa lebh terlndung. Upaya tersebut harus lebh mengupayakan agar hak anak lebh dlndung agar tdak terjad penngkatan tndak pdana eksplotas seksual anak, apabla sudah terjad maka perlndungan anak sebaga 14
632
Teuku May Rudy, 2009, Administrasi & Organisasi Internasional, Reika Aditama, Bandung, hlm.3.
korban harus lebh dperhatkan hingga anak tersebut dapat beraktiitas normal kembal sepert upaya terhadap pengawasan terhadap anak-anak, upaya pencegahan agar anak terhndar dar bahaya eksplotas seksual, upaya perawatan apabla anak sudah menjad korban, dan upaya rehabltas. 4.2 1.
2.
Saran Pemerntah bersama dengan para penegak hukum harus melakukan realsas secara bersungguh-sungguh dan melakukan penegakan brokras atas peraturan-peraturan yang telah ada serta membuat undang-undang dan perjanjan baru jka perlu yang lebh tegas dan mengkat. Hal tersebut dapat dlakukan dengan pembenahan dar seg fasltas yang ada untuk menaung perlndungan hak terhadap anak maupun pembenahan dar penegakan hukum dar ss kualtas dan kuanttasnya Pengawasan yang lebh dperketat terhadap tempat yang terndkas beresko tngg terjadnya eksplotas seksual anak serta memperketat kekuatan hukum d daerah yang wsatanya sedang berkembang, Pemerntah bersama para penegak hukum harus lebh gencar dalam hal edukas melalu sosalsas kepada anak, remaja dan orang tua tentang bahaya dar eksplotas seksual karena semakn banyak yang mengetahu maka akan lebh gampang untuk upaya pencegahan.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munr., 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, PT. Ctra Adtya Bakt, Bandung. Harper, Erka., 2009, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation, PT. Grasndo, Jakarta. Irwanto, 2008, Menentang Pornograi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, ECPAT, Jakarta. Kartono, Kartn., 2005, Patologi Sosial : Jilid 1, Raja Graindo Persada, Jakarta. Laher, Eva., 2015, Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusi, Jurnal Magster Hukum Udayana Vol.8 No.1 Tahun 2015, Magster Hukum Unverstas Udayana, Denpasar. Menyibak Malarek, Vctor., 2008, Perdagangan Seks Dunia, Seramb Ilmu Semesta, Jakarta. Mank, John Paul., 2011, Peran United Nations World Tourism Organization (Unwto) Dalam Program Pemberantasan Eksploitasi Seksual Anak Dalam Industry Pariwisata Di Brazil Tahun 2006-2012, Universitas Riau, Sumatera Utara. Prabhata, Irandka., 2015, Meningkatkan Pariwisata Bali Melalui Kepastian Penegakan Hukum atas Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok Dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 10 Tahun 2011, Jurnal Magister
Vol. 4, No. 4 : 626 - 633
Hukum Udayana, Vol.8 No.1 Tahun 2015, Magster Hukum Unverstas Udayana, Denpasar. Saraswat, Rka., 2009, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Ctra Adtya Bakt, Bandung. Sunggono, Bambang., 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Graindo Persada, Jakarta. Teuku May Rudy, 2009, Administrasi & Organisasi Internasional, Reika Adtama, Bandung. Walter Walters, Jm and Davs, Patrca H., 2011, Human Traficking, Sex Tourism, and Child Exploitation on the Southern Border, Journal of Appled Research on Chldren: Informng Polcy for Chldren at Rsk: Vol. 2: Iss. 1, Artcle 6, Southern Methodst Unversty.
633
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PEMBANGUNAN PELABUHAN PARIWISATA SEBAGAI PENDUKUNG PARIWISATA BALI Oleh : Putri Kusuma Sanjiwani1 ABSTRACT Bali Province is a province that relies on regional revenue in the tourism sector. Equitable development between North Bali South Bali require assistance through the form of government policy. One of the Bali provincial government policy is to break the waves of tourists is to build the port infrastructure development of tourism. Theory authority and policy concepts used to solve the problems concerning the form of government policy in the Bali Provincial Tourism Port infrastructure development as the carrying capacity of tourist distribution in promoting tourism in Bali. Normative research used in analyzing problems of government authority between state-owned enterprises and local goverment in accordance with regulations Indonesian republic. Explores the principle of decentralization adopted by the government system in Indonesia with a delegation of authority from the central government to local governments. Tourism ports is essential to be realized as one of the factors of sustainable tourism in Bali. Keywords : tourism of law, government, tourism port
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provns Bal merupakan Provns yang mengandalkan Pemasukan Asl Daerah (PAD) utama d dalam sektor parwsata. Persangan global membuat masyarakat lokal dan Pemerntah Daerah lebh aktf untuk melakukan pembenahan parwsata yang berbass budaya sesua dengan Kode Etk Parwsata Internasonal dmana pembangunan mula mengarah pada pembenahan d dalam nfrastruktur pendukung parwsata. Gerbang utama untuk wsatawan masuk ke Pulau Bal adalah melalu dua jalur yatu jalur laut dan 1
634
Mahassw Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat Jalan Batuyang, Perum Taman Asr Blok A No. 8 Batubulan, e-mal: kusuma.sanjwan@gmal.com
jalur udara. Bandara Internasonal sebaga nfrastruktur jalur udara dan pelabuhan sebaga nfrastruktur jalur laut Pengembangan dan pembangunan parwsata Provns Bal antara pengembangan dan pembangunan parwsata Bal Utara dengan Bal Selatan memlk perbedaan atau ketimpangan yang cukup siginiikan. Bal Selatan mengalam perkembangan dan pembangunan yang lebh pesat dan sangat jauh dbandngkan dengan Bal Utara. Umumnya, wsatawan berkunjung ke sebuah daerah tujuan wsata memlk motvas yang berbeda-beda. Berbaga macam bentuk perjalanan parwsata dgunakan untuk dapat memenuh motvas wsatawan dalam melhat hal-hal yang baru d daerah tujuan wsata. Wsatawan yang tersebar berttk fokus bak dalam akomodas dan daerah tujuan wsata
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
yang terpusat d Bal Selatan. Sebaga bentuk pemecah gelombang wsatawan yang terfokus d Bal Selatan, Pemerntah Daerah Provns Bal sedang mengejar ketmpangan tersebut dengan pembangunan sarana nfrastruktur parwsata berupa Pelabuhan Parwsata. Sepert yang telah kta ketahu bahwa Indonesa merupakan negara martm, Indonesa memlk luas wlayah peraran lebh besar dbandngkan luas wlayah daratan dengan perbadngan 2/3 luas wlayah merupakan peraran dengan panjang gars panta sepanjang 81.000 km, maka dar tu efektiitas Pelabuhan dapat melengkapi penunjang parwsata secara keseluruhan. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonom Indonesa 20112025 menetapan kordor ekonom Bal – Nusa Tenggara sebaga pntu gerbang parwsata nasonal. Pembangunan d sektor Parwsata merupakan plhan utama dar Pemerntah Pusat maupun Pemerntah Daerah dengan membuat kebjakan dalam pemerataan parwsata khususnya Pemerntah Provns Bal dalam pendstrbusan wsatawan antara Bal Utara dengan Bal Selatan. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonom Indonesa adalah sebuah roadmap yang dsusun sebaga upaya untuk melakukan transformas ekonom untuk mendorong aktvtas perekonoman sekalgus mempercepat pertumbuhan ekonom untuk menngkatkan daya sang2. Parwsata menduduk perngkat no. 4 setelah komodt perkebunan sepert ekspor kelapa sawt, ekspor karet dan komodt pertambangan mnyak dan batu bara yang 2
PKPS Bappenas. 2011. Sustanng Partnershp (Meda Informas Kerjasama Pemerntah dan Swasta) Eds Khusus Konektvtas Nasonal. Infrastuktur Reform Sector Development Program (IRSDP), Jakarta.
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
merupakan penyumbang devsa tertngg d Indonesa sebelum tahun 2015. Persangan d dalam pasar global telah mencptakan adanya perubahan besar bag perkembangan perekonoman Indonesa, adanya persangan harga telah membuat jatuhnya harga jual komodt ekspor d Indonesa. Perstwa n menyebabkan pengambl alhan poss dmana parwsata muncul menjad komodt utama penyumbang devsa atau prmadona devsa terbesar d Indonesa. Pergerakan arus pemasukan devsa membuat Pemerntah Pusat menaruh perhatan khusus pada bdang parwsata. Pelabuhan Parwsata merupakan nfrastruktur pentng d dalam pendstrbus wisatawan yang eisien untuk negara martm sepert Indonesa yang berbentuk kepulauan. Indonesa memlk bentang alam yang sangat luas dan ndah dmana perjalanan pelayaran parwsata menjad sangat menark untuk dlakukan. Kedalaman laut sebuah pelayaran parwsata dealnya memlk kedalaman + 16 meter sedangkan Provns Bal hanya sebatas + 6 meter dengan dermaga untuk pelabuhan relatf pendek sehngga kapal – kapal pesar atau kapal – kapal berukuran besar tdak dapat berlabuh d peraran Indonesa khususnya d Provns Bal. Pemerataan pembangunan dalam sektor parwsata d Bal dapat dsebar dengan dbentutuknya pelabuhan– pelabuhan baru yang khusus dbangun untuk melayan transportas parwsata. Beberapa ttk tertentu d beberapa Kabupaten d Bal memlk potens yang cukup bak sebaga Pelabuhan Parwsata. Menurut stus online Republka, Kementran Perhubungan mengucurkan dana mencapa Rp.458 Mlar untuk pembangunan nfrastruktur pelabuhan 635
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
d Bal3. Adapun kanddat pelabuhan yang akan dbenah adalah : 1. Pelabuhan Tanah Ampo d Kabupaten Karangasem 2. Pelabuhan Gunaksa d Kabupaten Klungkung 3. Pelabuhan Benoa d Kota Denpasar 4. Pelabuhan Glmanuk d Kabupaten Jembrana Pengembangan pelabuhan dan pemsahan pelabuhan yang khusus untuk parwsata dan bersandarnya kapal-kapal pesar atau kapal-kapal komersl lan yang membawa wsatawan dengan pelabuhan yang berttk fokus pada bongkar muat, perkanan atau pet kemas harus mula dperhtungkan dan drealsaskan untuk pemerataan perkembangan parwsata d Bal. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang telah durakan datas, maka dapat dtark sebuah permasalahan yatu kajan mengena bentuk kebjakan Pemerntah Daerah Provns Bal dalam pembangunan nfrastruktur Pelabuhan Parwsata sebaga daya dukung pendstrbusan wsatawan d dalam memajukan parwsata Bal. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam peneltan kebjakan Pemerntah Daerah Provns Bal dalam pembangunan nfrastruktur Pelabuhan Parwsata sebaga daya pendukung parwsata Provns Bal memlk dua tujuan umum dan tujuan khusus yatu : 3
636
Republka News. 2015. Empat Pelabuhan d Bal Segera Drampungkan. Republka Onlne, Mahaka Group.(http://www.republka.co.d/berta/koran/ nusantara-koran/15/02/06/njc8sf25-empat-pelabuhand-bal-segera-drampungkan)
1.
Tujuan Umum Untuk mengetahu bagamana bentuk pengaturan hukum dan bentuk kebjakan pemerntah sesua dengan pembagan urusan antara Pemerntah Pusat dengan Pemerntah Daerah sesua dengan kewenangan yang dmlk Pemerntah Daerah dalam kewenangannya mengelola aset-aset daerah sesua dengan otonom dan asas desentralsas yang danut oleh sstem pemerntahan d Indonesa. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahu bagamana dampak dar bentuk kebjakan Pemerntah Daerah dalam menjalankan kewenangan sesua denga peraturan perundang-undangan dalam menngkatkan pertumbuhan dan perkembangan parwsata khususnya parwsata Provns Bal, menyembangkan antara pengembangan dan pembangunan parwsata Bal Utara dengan Bal Selatan. Hal n menjad hal utama dmana parwsata merupakan salah satu komodt utama Negara Kesatuan Republk Indonesa. II.
METODE PENELITIAN Peneltan mengena bentuk kebjakan Pemerntah Daerah Provns Bal dalam pembangunan nfrastruktur Pelabuhan Parwsata adalah menggunakan metode peneltan normatf, yatu menelt bagamana kebjakan pemerntah d dalam membuat suatu kebjakan bak berupa produk hukum atau kebjakan pemerntah lannya dalam upaya memecahkan permasalahan yang terjad. Peneltan n menggunakan pendekatan konseptual yatu agar dapat menganalss suatu permasalahan sesua dengan konsep kebjakan, dan dengan stud dokumen yatu menganalss suatu permasalahan dengan aturan yang berlaku sesua dengan peraturan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
perundang-undangan d dalam herark tata urutan perundang-undangan yang berlaku d Indonesa. Peneltan n menggunakan bahan hukum yatu bahan hukum prmer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum prmer yang dgunakan adalah keseluruhan peraturan sesua herark tata urutan perundangundangan dmula dar Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republk Indonesa, Undang-Undang, Peraturan Pemerntah dan seterusnya yang berhubungan dengan peneltan n. Bahan hukum sekunder adalah pandangan-pandangan para sarjana mengena kebjakan pemerntah, data-data yang d dapat dar buku yang berhubungan dengan peneltan n serta kajan-kajan lan yang dapat dunduh melalu nternet. Bahan-bahan hukum maupun nformas penunjang yang dperoleh akan dolah dan danalss melalu langkah-langkah deskrps, nterpretas, konstruks, evaluas, argumentas dan stematsas4. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Tinjauan Umum Pelabuhan Pariwisata Pelabuhan umumnya merupakan sebuah tempat untuk bersandar atau berlabuhnya kapal-kapal, aktvtas bongkar muat barang, nak turunnya penumpang, berbaga aktvtas lannya sepert bersfat olahraga atau wsata bahar dan merupakan tempat terbelakang yang dentk dengan pemukman serta nuansa kumuh dar masyarakat ekonom lemah. Ctra pelabuhan
4
Program Stud Magster Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Unverstas Udayana. 2008. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan tesis Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Unverstas Udayana, Denpasar.hlm.13-15
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
pada masa modern saat n khususnya bag daerah yang Pendapatan Asl Daerah (PAD) mengandalkan sektor parwsata mengalam perubahan, pelabuhan saat n menjad jantung kegatan awal dmulanya parwsata dan ttk awal bag wsatawan untuk mengenal budaya suatu daerah. Pelabuhan datur secara jelas d dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pelabuhan ada d bawah kementran Kementran Koordnator bdang Kemartman, dmana Kementran n membawah empat kementran yatu : 1. Kementran Perhubungan 2. Kementran Kelautan dan Perkanan 3. Kementran Parwsata 4. Kementran Energ dan Sumber Daya Mneral Pada hrark peraturan perundangundangan d Indonesa, pelabuhan datur d dalam : 1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 2. Peraturan Pemerntah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan 3. Peraturan Menter Perhubungan No: PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut Pelabuhan Parwsata merupakan hal yang bersfat baru d Indonesa dan tdak semua Provns atau daerah memlk Pelabuhan Parwsata. Pelabuhan Parwsata berbeda dengan Pelabuhan Internasonal yang bersfat sebatas hanya sebaga tempat untuk nak dan turunnya penumpang tetap Pelabuhan Parwsata dkhususkan untuk kegatan keparwsataan termasuk sebaga tempat awal para wsatawan yang datang untuk melakukan aktiitas berwisata. Sebuah Pelabuhan Parwsata harus memperhatkan kadah-kadah tata ruang tradsonal yang 637
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
mengadops tata ruang wlayah suatu negara. Pengkhususan d dalam pembedaan Pelabuhan Parwsata dar pelabuhan pada umumnya adalah untuk membuat suatu proil baru atau wajah baru dan penctraan berbass budaya dar suatu daerah tujuan wsata. Pelabuhan parwsata rata-rata dkunjung oleh beberapa moda transportas laut dantaranya : 1. Kapal Pesar (cruise line) Terdr dar mega cruise ship, small cruise ship (yacht), luxury cruise ship, ocean cruise ship dan expedition cruise ship. 2. Kapal Layar 3. Boat Sfat moda transportas laut yang bersandar d Pelabuhan Parwsata memlk cr khusus yatu dgunakan untuk berwsata dan moda transportas tu bersfat menjelajah dengan berorentas pada sebuah perjalanan yang berpndah-pndah dar satu tempat ke tempat yang lan dalam waktu yang tdak lama (tdak pulang atau tdak menetap). Basanya perjalanan wsata akan dlakukan dalam waktu selama berbulan-bulan. Pelabuhan parwsata dapat dgolongkan menjad tga jens pelabuhan, yatu : a. Port of call Pelabuhan yang dgunakan untuk kapal pesar berlabuh untuk sementara atau beberapa saat, kapal pesar melakukan aktvtas menurunkan penumpang yang akan mengunjung suatu objek wsata dan kemudan wsatawan akan nak ke kapal untuk melanjutkan perjalanan kembal. b. Turnaround port Pelabuhan yang khusus melayan pelabuhan wsata dmana kapal pesar akan memula pelayaran dan kembal 638
dar pelayarannya, dan terdapat aktvtas wsatawan untuk nak dan turun kapal. Basanya akan ada banyak yacht atau perahu berlayar yang menambatkan jangkarnya d ss-ss pelabuhan. c. Home Port Pelabuhan dmana kapal pesar memula dan mengakhr perjalanannya, perbedaannya adalah pelabuhan n dlengkap dengan fasltas docking untuk perbakan kapal. Pelabuhan Parwsata memlk daya dukung dalam pengembangannya. Pelabuhan Parwsata tdak hanya sekedar berdr dan menunggu wsatawan untuk datang tetap Pelabuhan Parwsata Indonesa ddukung oleh rute-rute perjalanan wsata. Kementran Parwsata dan Ekonom Kreatf memlk dua rute dalam Indonesian Sailing Destination dar kategor kapal-kalap besar sampa kapal – kapal kecl yang akan mengellng Indonesa untuk tujuan berwsata. Menurut Agus Pryono, Drektur Industr Parwsata, Kementran Parwsata dan Ekonom Kreatf Republk Indonesa dalam Kongres Martm Indonesa d Yogyakarta pada 2324 September 2014, Indonesa merupakan jalur palayaran parwsata dar Darwn to Dl, Darwn to Ambon Race, Darwn to Saumlak, Darwn to Bal Race, Darwn to Kupang Rally, Sal Indonesa, dan Sngapore Straght Regatta. 3.2. Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam Merealisasikan Pelabuhan Pariwisata di Provinsi Bali Suatu Provns akan mengkut arah kebjakan dar pemerntah daerah setempat yang kepala pemerntahannya dpegang oleh Gubernur, begtu juga untuk daerah
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Berkut adalah rute Indonesia Sailing Destination untuk kapal-kapal kecl yang Gambar 1 (Sumber : Kementran Parwsata dan Ekonom Kreatf)
Berkut adalah rute Indonesia Sailing Destination untuk kapal pesar dan kapal-kapal besar yang dapat dlalu d Indonesa untuk berwsata Gambar 2 (Sumber : Kementran Parwsata dan Ekonom Kreatf)
kabupaten atau kota akan akan mengkut arah kebjakan pemerntah oleh pemerntah daerah setempat yang dkepala oleh Bupat atau Walkota. Setap daerah atau provns memlk kebjakan yang berbeda-beda dalam pengembangan parwsata sesua dengan budaya dan keadaan bentang alam daerah tersebut. Menurut Dye yang dkutp oleh Wnarno, kebjakan adalah sebaga plhan pemerntah untuk melakukan atau tdak
melakukan sesuatu (whatever governments choose to do or not to do)5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerntah Daerah menganut asas desentralsas dengan pelaksanaan pembagan admnstras secara dekonsentras dan kewenangan secara delegas. Pemerntah 5
Bud Wnarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Meda Pressndo,Yogyakarta.
639
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pusat sebaga pemegang kekuasaan tertngg negara dengan dkepala oleh Presden membawah kewenangan dalam pengaturan poltk luar neger, keamanan, yusts, moneter dan iskal nasional, dan agama. Pemerntah Daerah Provns dan Kabupaten dberkan kewenangan delegas d dalam pengelolaan dan pengembangan parwsata tetap tetap dalam pengawasan Pemerntah Pusat dan bertanggungjawab secara penuh kepada Pemerntah Pusat. Pemerntah Daerah sebaga perpanjangan tangan Pemerntah Pusat yatu Pemerntah Daerah Provns Bal melalu Dnas Parwsata membaca tandatanda atau peluang dar pengembangan Pelabuhan sebaga Pelabuhan Parwsata dalam memajukan Parwsata Bal. Parwsata saat n dapat dkatakan sebaga gaya hdup (life style) dan menjad aktvtas yang wajb bag masyarakat modern. Sesua dengan konsep kebjakan menurut Islamy, suatu kebjakan memlk tga elemen yatu6: 1. Identiikasi dari tujuan yang ingin dcapa 2. Taktk atau strateg dar berbaga langkah untuk mencapa tujuan yang dngnkan 3. Penyedaan berbaga nput untuk memungknkan pelaksanaan secara nyata dar taktk atau strateg. Kebjakan pembangunan Pelabuhan Parwsata memerlukan arah kebjakan dar Pemerntah Daerah untuk merealsaskan Pelabuhan Parwsata sebaga sebuah alternatf baru dalam promos destnas parwsata. Rencana pembangunan Pelabuhan Parwsata d Provns Bal berdasarkan :
6
640
Islamy, Irfan. 2007. Prnsp-prnsp Perumusan Kebjaksanaan Negara. Jakarta: Bum Aksara.hlm.17.
1.
Rencana Tata Ruang Wlayah Provns Bal 2. Rencana Tata Ruang Kabupaten 3. Tatanan Transportas Wlayah Provns Bal PT. Pelndo merupakan Badan Usaha Mlk Negara yang memegang kewenangan pengelolaan Pelabuhan Benoa dan Pelabuhan Tanah Ampo sedangkan Pemerntah Daerah hanya memlk kewenangan pada pengelolaan Pelabuhan Glmanuk d Kabupaten Jembrana dan Pelabuhan Gunaksa d Kabupaten Klungkung. Kewenangan PT. Pelndo yang dberkan oleh Peraturan Pemerntah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan danggap menjad sebuah polemk yang menyebabkan adanya pertentangan terhadap Kewenangan Pemerntahan Daerah. Pelmpahan wewenang pelabuhan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 memberkan pelmpahan wewenang delegas dar Pemerntah Pusat kepada Pemerntah Daerah, dmana dalam kewenangan pelabuhan masuk ke dalam kewenangan kelautan yang menjad urusan plhan dar Pemerntah Daerah. PT Pelndo sebaga Badan Usaha Mlk Negara berpedoman pada asas lex specilais derogat legi generalis dmana dalam hal n Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerntah Daerah tdak mengatur secara rnc tentang Pelabuhan khususnya dalam pengelolaan dan pembangunan Pelabuhan Parwsata sedangkan Pemerntah Daerah asas lex superiori derogat legi inferiori dmana Peraturan Pemerntah tdak boleh bertentangan dengan Undang-Undang sesua dengan hrark peraturan perundangundangan. Konlik norma terjadi antara Undang-Undang No.23 Tahun 2014 dengan Peraturan Pemerntah No 69 Tahun 2001.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pelabuhan Parwsata merupakan suatu hal yang baru d dalam kategor pelabuhan dan suatu produk baru dalam pengembangan parwsata. Adanya perlakuan stmewa dalam pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan Parwsata dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerntah No. 38 Tahun 2007 merupakan sebuah kewenangan delegas yang memberkan kewenangan kepada Pemerntah Daerah untuk dapat merealsaskan Pelabuhan Parwsata. Kewenangan pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan Parwsata n harus datur lebh rnc lag d dalam sebuah produk hukum berupa peraturan perundangundangan agar Pelabuhan Parwsata dapat terealsaskan sebaga sebuah daya dukung baru pendstrbusan wsatawan untuk parwsata berkelanjutan. 3.3. Dampak Pelabuhan Pariwisata Bagi Perkembangan Pariwisata Provinsi Bali Keparwsataan menurut UndangUndang No. 10 Tahun 2009 merupakan keseluruhan kegatan yang terkat dengan parwsata dan bersfat multdmens serta multdspln, parwsata merupakan kebutuhan setap orang dan negara serta nteraks antara wsatawan dan masyarakat setempat, sesama wsatawan, pemerntah, pemerntah daerah dan pengusaha. Pelabuhan parwsata merupakan salah satu pendukung pengembangan parwsata dalam pengembangan usaha jasa transportas parwsata yang bergerak dalam penyedaan angkutan khusus untuk kebutuhan dan kegatan parwsata. Bal merupakan salah satu tujuan dar pelayaran parwsata nternasonal, negara atau daerah.
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
Pelabuhan Parwsata merupakan gateway dar Provns Bal, Pelabuhan parwsata dbangun untuk merangkul wsatawan asng sepert wsatawan asal Eropa dan Amerka memlk gaya berplesran dengan menggunakan Kapal Pesar (cruise line). Apabla pelabuhan parwsata dapat dkelola dengan bak dan berkelanjutan maka tdak menutup kemungknan Pelabuhan Parwsata juga akan menjad tujuan wsata. Pembangunan destnas parwsata merupakan program utama drektorat jenderal pengembangan destnas parwsata dengan enam pokok kegatan yatu : a. penngkatan perencanaan destnas dan nvertas parwsata b. pengembangan daya tark wsata c. pengembangan ndustr parwsata d. pemberdayaan masyarakat d destnas wsata e. pengembangan wsata mnat khusus, konvens, nsentf, dan even serta dukungan manajemen dan tugas tekns pengembangan destnas parwsata lannya Pembangunan destnas parwsata n akan efektf apabla Provns Bal mampu secara sembang dan berkesnambungan Provns Bal mengusahakan adanya pemerataan dstrbus wsatawan dantara pengembangan dan pembangunan Bal Utara dan Bal Selatan. Adanya Pelabuhan Parwsata d empat ttk sentral Pulau Bal dapat membantu wsatawan lebh banyak menjangkau Bal Utara dan tdak terpusat d Bal Selatan. Rencana Pelabuhan Parwsata yatu d Pelabuhan Tanah Ampo d Kabupaten Karangasem akan membantu dstrbus wsatawan d areal Bal Tmur dan Bal Utara, Pelabuhan Gunaksa d Kabupaten Klungkung akan membantu dstrbus 641
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
wsatawan d Bal Tengah, Pelabuhan Benoa d Kota Denpasar akan membantu dstrbus wsatawan d Bal Selatan dan Pelabuhan Glmanuk d Kabupaten Jembrana akan membantu dstrbus wsatawan d Bal Barat dan Bal Utara. Pelabuhan parwsata member dampak bak berupa dampak postf maupun dampak negatf d dalam parwsata yatu : 1. Dampak Postf a. Perkembangan Bal Utara akan menjad lebh menngkat dalam sektor parwsata. b. Pemerataan pembangunan d sektor parwsata dengan pembangunan parwsata yang berbass parwsata budaya. c. Pendstrbusan wstawan yang terorgansr dengan bak akan membuat PAD daerah Kabupaten atau Kota menjad bertambah. d. Destnas parwsata d Bal Utara akan semakn berkembang. e. Bal Utara akan menjad parwsata alternatf bag Parwsata Bal yang berttk fokus lebh banyak d Bal Selatan. 2. Dampak Negatf a. Kapan pesar akan mendatangkan wsatawan dalam jumlah banyak dan hanya berplesran dalam jangka waktu sebentar atau tdak menetap (mass tourism). b. Adanya dualsme pengelolaan d dalam PT. Pelndo dan Pemerntah Provns Bal apabla belum adanya Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang mengatur sstem pengelolaan Pelabuhan Parwsata.
642
c. Adanya lmbah-lmbah kapal yang dapat mencemar panta d sektar Pelabuhan Parwsata. Mass tourism yang menjad ketakutan bag sebuah destnas parwsata dapat dtanggulang dengan adanya pemlahan wsatawan yang datang berkunjung. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Keparwsataan telah mencakup pengaturan mengena parwsata secara general. Wsatawan yang datang walaupun dalam jumlah banyak haruslah mereka yang datang untuk tdak hanya sekedar berplesran tetap mereka yang akan tnggal dan berkontrbus banyak dalam daya tark wsata tersebut. Wsatawan kapal-kapal pesar dar Eropa dan Amerka merupakan wsatawan exclusve yang tdak akan sekedar datang lalu tdak memberkan kontrbus apa-apa d dalam pembangunan parwsata. IV. PENUTUP 4.1. Kesimpulan Parwsata Bal merupakan sebuah aset yang bak bag kemajuan Pendapatan Asl Daerah Provns dan menjad salah satu penyumbang devsa terbesar sampa saat n. Adanya dualsme kewenangan antara Pemerntah Daerah Provns Bal dalam merealsaskan Pelabuhan Parwsata dan untuk pengelolaan Pelabuhan Parwsata dengan PT. Pelndo sebaga Badan Usaha Mlk Negara sebaga perwaklan Pemerntah Pusat dalam memelhara aset-aset negara membuat adanya konlik norma antara Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerntah Daerah dan Peraturan Pemerntah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntah Daerah dan Pemerntah Daerah Kabupaten atau Kota dengan Peraturan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pemerntah No. No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan. Kewenangan delegas yang dpegang oleh Pemerntah Daerah dengan Pelabuhan Parwsata menjad urusan plhan dar Pemerntah Daerah menyebabkan adanya tark menark dengan PT. Pelndo untuk mengelola Pelabuhan Parwsata yang akan segera drealsaskan. Adanya dampak postf dan negatf d dalam pembanguan Pelabuhan Parwsata harus lebh dperhatkan dmana dampak postf utama d dalam pembangunan Pelabuhan Parwsata adalah menyasar adanya pembangunan Bal Utara yang saat n pertumbuhan parwsatanya mash sangat lemah serta penngkatan Pendapatan Asl Daerah d masng-masng Daerah Kabupaten atau Kota yang ada d Bal. Dampak negatf yang palng dtakut dar sebuah Pelabuhan Parwsata adalah adanya mass toursm d dalam pendstrbusan wsatawan. Mass tourism akan membawa dampak buruk dmana wsatawan yang datang hanya sekedar berkunjung dan tdak memberka feedback bag pemasukan daerah. 4.2. Saran Pemerntah Pusat selaku pemegang kekuasaan tertngg d dalam suatu tatanan sstem pemerntahan antara Pemerntah Pusat dan Pemerntah Daerah, harus segera merancang regulas hukum berupa aturan yang bersfat khusus d dalam pengelolaan sebuah Pelabuhan Parwsata yang dmana Parwsata merupakan sebuah urusan plhan dar sebuah Daerah bak Daerah Provns dan Daerah Kabupaten atau Kota. Konlik norma dapat menyebabkan ketdaklancarannya sebuah project dar Pemerntah Daerah untuk dapat mengembangkan daerahnya sendr sesua dengan otonom daerah.
Adanya Analss Dampak Lngkungan atau AMDAL yang dapat memeberkan referens d dalam pembangunan Pelabuhan Parwsata. Kerusakan alam yang terjad bak tu d darat, laut maupun udara juga dapat mempengaruh parwsata tu sendr. Adanya empat ttk Pelabuhan Parwsata akan memberkan dampak bag peraran d Pulau Bal. Provns Bal juga memlk kendahan alam laut yang harus djaga sebaga wsata bahar unggulan d Indonesa sepert Amed dan Pemuteran. DAFTAR PUSTAKA Teori dan Bud Wnarno. 2002. Proses Kebijakan Publik. Meda Pressndo,Yogyakarta. Islamy, Irfan. 2007. Prnsp-prnsp Perumusan Kebjaksanaan Negara. Jakarta: Bum Aksara. PKPS Bappenas. 2011. Sustanng Partnershp (Meda Informas Kerjasama Pemerntah dan Swasta) Eds Khusus Konektvtas Nasonal. Infrastuktur Reform Sector Development Program (IRSDP), Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntah Daerah (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2004 Nomor 125). Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 5587). Peraturan Pemerntah No 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2001 Nomor 127).
643
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Peraturan Pemerntah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntah Daerah Provns dan Pemerntah Daerah Kabupaten / Kota. (Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 4737). Artikel Republka News. 2015. Empat Pelabuhan d Bal Segera Drampungkan. Republka Onlne, Mahaka Group. (http:// www.republka.co.d/berta/koran/ nusantara-koran/15/02/06/njc8sf25empat-pelabuhan-d-bal-segeradrampungkan)
644
Vol. 4, No. 4 : 634 - 644
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KEWENANGAN KOMISI KEJAKSAAN TERHADAP TUGASNYA UNTUK MELAKUKAN PENGAWASAN KHUSUSNYA KEPADA KEWENANGAN PENUNTUT UMUM Oleh : Putu Indrawan Ariadi1 ABSTRACT Legal writing on the authority of the commission is entitled to the prosecutor’s duty to carry out supervision authority speciically to the public prosecutor. The background of the writing of this law is the increasing distrust and dissatisfaction of the public on the performance of law enforcement agencies and institutions secaara public prosecutor’s ofice in particular. The method in this research is using normative where in the writing of this law into the background issues penelituan is going to commissions and the prosecutor in the line of duty to supervise the performance of the public prosecutor and what are the constraints commission prosecutor in supervision where the constraint is divided into two parts: internal constraints and external constraints. In the study found that in order to carry out the process of supervision of the public prosecutor, the prosecutor commission can not directly supervise, why is that? this is because there is an internal watchdog in the body prosecutor who take a stand if there is a public prosecutor alleged violation. Constraints of commission prosecutor in carrying out the control can be internal constraints such an evil do not want sightings of the prosecutor who was in trouble, while the external constraints such as obstruction by certain groups who want to impede the work of the commission prosecutor. Therefore let fungis of the prosecutor commission is enforced to match the function of other commissions in Indonesia is the role bgitu stand out and let people participate in helping carry out the task of the prosecutor’s commission. Keywords : Prosecutorial Commission, Supervision, prosecutor. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang D Indonesa pada umumnya ada hak yang dberkan kepada seluruh masyarakat yatu berupa hak atas pengakuan, perlndungan, kepastan hukum, dan yang palng pentng adalah perlakuan yang sama dhadapan hokum atau yang dsebut juga dengan stlah (Equality before the law). Pengaturan mengena hak-hak warganegara tu menjad prnsp utama 1
Mahasswa Program Magster (S2) Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat: Jalan Padang ndah VII No. 22, Padang Samban Kelod, Denpasar Barat, Emal: putu_ndrawan_arad@ yahoo.com
Negara Indonesa. Kelemahan yang serng terjad d Indonesa saat n adalah serngnya terjad penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum tu sendr yang ujungnya secara halus memangkas hakhak dar warga Negara d hadapan hukum. M. Scheltema mengatakan “Setap negara hukum pada prnspnya terdapat empat asas utama yatu asas kepastan hukum, asas persamaan, asas demokras, asas bahwa pemerntah dbentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat.”2 Namun 2
Marwan Efefendy, 2001, Peran dan Fungs Kejaksaan Republik Indonesia Dari Perspektif Hukum, Graika, Yogyakarta, hlm.142.
645
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
pada pelaksanaannya terhadap hal tersebut serng kal terjad penyalahgunaan dalam prakteknya. Dalam system peradlan hokum d Indonesa khususnya,Asas kepastan hukum yang notabennenya dterapkan dalam sstem peradlan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakman dtambah dengan perkembangan hukum d dalam masyarakat yang berkembang sepert saat n, maka dbentuklah Undang-Undang Republk Indonesa No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang secara luas bertujuan untuk membatas dan member rambu rambu agar tdak terjad penyalahgunaan wewenang serta pemangkasan hak hak yang ada pada masyarakat khususnya d muka hukum.3 Salah satu yang merupakan bagan dar penegak hukum khususnya kejaksaan dwajbkan untuk ambl peran pentng dalam proses penegakkan hukum d Indonesa yatu dengan melakukan perlndungan terhadap kepentngan umum, penegakan hak asas manusa, serta pemberantasan tndak pdana korups, kolus dan nepotsme pada umumnya. Untuk melaksanakan kewajbannya, Kejaksaan yang secara khusus mendapat kewenangan dalam melakukan penuntutan wajb mewujudkan kepastan hukum dalam kehdupan bernegara, keadlan dan kebenaran berdasarkan hukum dan dengan memperhatkan dan menjunjung tngg nla berdasarkan keagamaan, kesuslaan, kesopanan, kemanusaan, keududkan hukum, serta keadlan ddalam kehdupan bermasyarakat.4 3
4
646
Achmad Al, 2009, Pengawasan Knerja Kejaksaan Indonesa, Kencana Prenada Meda Group, Jakarta, hlm.212. Syamsul Wahdn, 2012, Dimensi Penegakan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.43.
Dalam menjalankan tugasnya jaksa dalam melakukan kewenangannya dlndung oleh kode etk profes, Kode etk nlah yang berfungs untuk mencegah adanya turut serta terhadap ntervens dar pemerntah maupun masyarakat ddalam proses jaksa untuk menerapkan hak hak warga negara dhadapan hukum.5 Kode etk nlah yang mengatur tantang batasan terhadap hal apasaja yang boleh maupun yang tdak boleh dlakukan oleh jaksa dalam melakukan tugasnya. Kejaksaan pada perkembangan saat n mendapat sorotan khusus oleh masyarakat, namun pada umumnya tdak hanya terhadap kejaksaan saja sorotan tersebut dberkan oleh masyarakat, hal n karena ketdak puasan masyarakat terhadap knerja mereka. Aparat penegak hukum khususnya dan anggota kejaksaan pada khususnya dnla tdak belum memberkan rasa keadlan bag masyarakat d muka hukum sehngga beberapa waktu terakhr n masyarakat merasakan kalau kata “adl” sudah menjad suatu hal yang susah untuk ddapat. Masyarakat serng kurang begtu paham dengan aturan hukum menjad bulanbulanan aparat penegak hukum, smak saja beberapa waktu lalu dmana seorang nenek dseret dmuka persdangan dkarenakan tuduhan mencur sebatang kayu bakar, dan mash banyak lag contoh contoh kasus lannya. Serng sekal perbuatan oknum penegak hukum yang yang menympang dlaporkan kepada nstans oknum tersbut masng masng, namun pada prakteknya laporan tersebut berhent dan hlang, entah sampa mana proses terhadap laporan 5
E. Sumaryono,1995, Etika Profesi Hukum, Kansus, Yogyakarta, hlm.35.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
masyarakat tersebut, khusus untuk oknum jaksa yang berwenang adalah Kejaksaan Agung. Faktanya laporan yang dajukan oleh masyarakat tersebut tdak ada kejelasan atas apa tndak lanjut yang sudah dlakukan oleh nstans tersebut. Penyalah gunaan maupun penympanagan yang telah dlakukan oleh aparat penegak hukum yang dalam peneltan n dkhususkan kepada Jaksa. Kualtas aparat penegak hukum sepanjang n drasa kurang memuaskan, mayortas reportnya sangatlah tdak memuaskan meskpun demkan tdaklah sedkt yang memlk report memuaskan.6 Sebaga salah satu lembaga yang serng dkrtk buruk, kejaksaan saat n wajb untuk merubah sstem pengawasan terhadap drnya sendr, apabla tdak segera melakukan perbakan bukan tdak mungkn pada waktu mendatang kejaksaan akan semakn bobrok bahkan akan hancur atau bsa juga untuk dbubarkan. Amanat Undang-Undang tentang kejaksaan bsa djadkan landasan untuk menjawab atas upaya dbentuknya Koms Kejaksaan khususnya dalam membantu untuk melakukan pengawasan terhadap jaksa yang menjalankan fungsnya sebaga penuntut umum. Keberadaan koms kejaksaan sebelumnya telah datur dalam Perpres No. 18 tahun 2005 tentang koms kejaksaan RI yang dmana pembentukan Koms Kejaksaan bertujuan untuk menngkatkan kualtas dan kuanttas kejaksaan secara umum dan anggota kejaksaan pada khususnya. Keterbatasan manusa dalam hal nlah yang harus kta sadar, atasan tdak 6
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumn, Bandung, hlm.143.
selalu bsa mengawas bawahannya dengan sebak mungkn, oleh karena tu mengngat telah dtentukan oleh UU No.16 Tahun 2004 dalam Pasal 38 Undang-Undang yang menyatakan “untuk menngkatkan kualtas knerja kejaksaan, presden dapat membentuk sebuah koms yang susunan dan kewenangannya datur oleh presden”. Berdasarkan uraan datas, maka penuls mengankat judul mengena kewenangan koms kejaksaan terhadap tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap penuntut umum. 1.2 1)
2)
Rumusan Masalah Bagamanakah sstem kerja koms kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap penuntut umum? Kendala apa sajakah yang ddapat koms kejaksaan terhadap fungsnya melakukan pengawasan terhadap penuntut umum?
1.3
Tujuan Penelitian Bagan n mengurakan mengena apa yang ngn dcapa oleh Penelt terkat dengan masalah yang terdapat ddalam tubuh koms kejaksaan. Tujuan Penelt adalah untuk mengetahu dan mencar data yang akan danalss dalam upaya menjawab permasalahan hukum yang dajukan, yatu : 1) Untuk memperoleh dan menganalss data tentang faktor yang menjad dasar pertmbangan koms kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap tugas jaksa sebaga penuntut umum. 2) Untuk mengetahu kendala koms kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap knerja jaksa.
647
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Untuk memperoleh dan menganalss data tentang kendala bag koms kejaksaan dalam mengkualiikasikan bahwa jaksa tersebut telah melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya sebaga penuntut umum. II. Metode Penelitian 2.1. Jenis Penelitian Pada peneltan n, jens peneletan yang dgunakan adalah peneltan hukum normatf yang dsebut juga dengan peneltan hukum dogmatk (dogmatic law research)7. 2.2. Jenis Pendekatan Peneltan n bertumpu pada peneltan normatve dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dmana dgunakan untuk mengkaj peraturan-peraturan perundang-undangan dan lterature yang terkat dan relevan dengan permasalahan yang dbahas. 2.3. Sumber Bahan Hukum 1) Bahan hukum prmer, yatu bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang koms kejaksaan, kejaksaan, tugas jaksa sebaga penuntut umum, yatu : Ktab Undang-Undang Hukum Pdana dan Ktab Undang undang Hukum Acara Pdana, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republk Indonesa, Peraturan Presden Nomor 18 tahun 2005 tentang Koms Kejaksaan. 2) Bahan hukum sekunder, berupabuku dan lteratur yang menyangkut tentang 7
648
Peter Mahmud Marzuk, 2009, Berbagai Macam dan Bentuk Penelitian Hukum, Kencana Prenada Meda Group, Jakarta, hlm.35.
pembahasan penuls.
yang
dangkat
oleh
2.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Metode yang dgunakan dperoleh dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, lteratur-lteratur, maupun jurnal yang berkatan dengan peneltan n, kemudan terkat dengan persoalan datas dteruskan melalu analsa bahan-bahan hukum tersebut. 2.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Teknk pengolahan yang dgunakan dalam peneltan n menggunakan argumentas, deskrps, sstematsasa serta ntepretas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. SISTEM KERJA KOMISI KEJAKSAAN UNTUK MELAKUKAN PENAWASAN TERHADAP PENUNTUT UMUM Secara umum pengertan jaksa djabarkan dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dalam Pasal 1 (1) mejelaskan mengena apa tu jaksa, yatu adalah pejabat yang secara fungsonal yang deberkan kewewenang untuk menjad penuntut umum dan menjalankan putusan pengadlan yang telah berkekuatan hukum tetap serta kewewenang lannya sesua dengan yang telah dtentukan oleh Undangundang, oleh karena tu jaksa lah satu-satunya pejabat Negara yang berwenang untuk menuntut terdakwa dmuka persdangan. Ketentuan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 menjelaskan dalam Pasal 1 (2), tentang sapa dan apa penuntut umum
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
tu, penuntut umum adlah jaksa yang dber kewewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakm. Pada dasarnya JPU wajb menjunjung tngg terhadap kesamaan dalam kedudukan hukum setap masyarakat d hadapan hukum (equality before the law) hal nlah yang menjad tugas jaksa sebaga penuntut umum secara umum. Penuntut umum memlk wewenang melakukan penuntutan terhadap sapapun yang ddakwa karena telah melakukan suatu tndak pdana. Pproses untuk dlmpahkannya perkara yang berwenang adalah cara untuk mengadl berdasarkan ketentuan dalam pasal 14 KUHP menjelaskan, bahwa wewenang penuntut umum antara lan : a. Menerma dan memerksa berkas perkara penydkan dar penydk. b. Mengadakan prapenuntutan apabla ada kekurangan pada penydkan dengan memperhatkan pasal 110 ayat 10 dan pasal 4 KUHP, dengan memberkan petunjuk dan rangka penyempurnaan penydkan dar penydk. c. Memberkan perpanjangan penahanan, pelaksanaan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah kasus perkaranya dlmpahkan oleh penydk. d. Membuat surat dakwaan. e. Melmpahkan perkara ke pangadlan. f. Menyampakan kepada terdakwa tentang ketentuan har, waktu perkara dsdangkan yang dserta dengan surat pangglan, bak kepada terdakwa maupun kepada saks untuk datang pada sdang yang telah dtentukan. g. Melakukan penuntutan. h. Menutup perkara dem kepentngan hukum.
.
Mengadakan tndakan lan dalam lngkup tugas dan tanggung jawab sebaga penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan. j. Melaksanakan penetapan hakm. Berdasarkan ketentuan datas, sebaga penuntut umum haruslah melmpahkan berkas perkara yang sudah lengkap tersebut ke pengadlan untuk nantnya segera dproses. Secara khusus kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang serng mendapat krtk keras haruslah segera mengambl skap agar nantnya tdak semakn menghancurkan tubuh kejaksaan tersebut, oleh karena tu wajblah untuk selalu berkordnas dalam melakukan pengawasan terhadap lembaganya dengan koms kejaksaan pada khususnya. Adanya Koms Kejaksaan merupakan saran dar Undang-Undang No.16 tahun 2004 tantang kejaksaan. Pasal 38 UndangUndang tersebut member amanat untuk sebuah jawaban atas tujuan terbentuknya Koms Kejaksaan yang memlk tugas untu membantu mengawas jaksa sebaga penuntut umum. Koms Kejaksaan dbentuk sesua dengan ketentuan Undang-Undang kejaksaan tujuan salah satunya untuk menakkan kualtas dar knerja jaksa. Tugas untuk memantauan dan menla atas seluruh anggota d dalam tubuh kejaksaan tentunya merupakan tugas yang sangat berat untuk dlakukan oleh Koms Kejaksaan jka djalankan sendr tanpa ada bantuan dar phak manapun. Harkrstut Harkrsnowo, mengungkapkan bahwa sebenarnya tugas yang dberkan pada jaksa yatu: 649
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
1.
To enforce the law on behalf of the people in the name of the state, and 2. To ensure that justice is accomplished by not procsecuting those for whom evidence is lacking or whose guilt is in serious doubts. Berdasarkan kutpan kutpan datas menyatakan kalau jaksa yang notabenenya sebaga penuntut umum memlk wewenang khusus yang dmana penegak hukum lannya tdak memlk kewenangan tu. Ada tga komponen yang sangat berpengaruh dalam PLO (professional legal organization) tersebut, yatu: sumber daya manusa, nstans dan sub lan dalam system peradlan (hakm, penydk serta advokat).8 Dalam Undang-Undang kejaksaan maupun PP No. 30 Tahun 1980 pengawasan dlaksanakan dengan cara melekat, yatu pengawasan langsung dar seorang atasan turun langsung untuk mengawas anak buahnya menurut herark yang yang dwujudkan kedalam aturan yang sesua dengan DP3 (daftar penlaan pelaksanaan pekerjaan) dan eksamnas, hal n rskan menimbulkan konlik kepentingan didalam tubuh kejaksaan tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, Koms Kejaksaan dalam hal menentukan dugaan pelanggaran peraturan kednasan maka yang dlakukan adalah dengan menjalankan langkah-langkah sepert memperhatkan perlaku jaksa, yatu aturan yang dgunakan sebaga panduan untuk mengatur tngkah laku Jaksa terhadap pelaksanaa tugas dan fungs jabatannya. Secara gars besar, tugas dan wewenag dar koms kejaksaan sesua dengan yang 8
650
Teguh Prasetyo & Abdul Halm Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.367.
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
sudah datur dalam Peraturan Presden nomor 18 tahun 2005 cukup memada untuk melakukan perubahan d dalam tubuh kejaksaan pada umumnya, hal n drasa cukup bsa untuk menngkatkan knerja lembaga kejaksaan dalam menegakkan hukum, banyak pendapat yang mengatakan bahwa apabla kejaksaan memerksa anggotanya sendr ujungny tdak akan terlhat kebenarannya, hal nlah yang ng dhapus agar jaksa dapat menjalankan tugasnya dengan benar benar tulus khlas. 3.2. Kendala komisi kejaksaan dalam melakukan pengawasan. 1. Kendala internal. Ada beberapa kendala yang dalam oleh Koms Kejaksaan yatu antara lan adalah dar faktor nternal dar tubuh kejaksaan tu sendr. Faktor nternal tu sendr adalah pelaksanaan tugas koms kejaksaan terganjal pada tdak boleh dlakukannya ntervens terhadap kelancaran tugas kednasan jaksa serta dlarang untuk melakukan ntervens dalam hal kemandran jaksa terkat dengan penuntutan, hal n bsa dblang sebaga salah satu ntervens dar tubuh kejaksaan tu sendr, ada beberpa dugaan yang muncul yatu antara lan kejaksaan tdak ngn keburukan dar tubuh lembaganya tercum oleh masyarakat pada umumnya. Keberadaan koms kejaksaan yang bertugas untuk melakukan pengawasan danggap tdak sepenuhnya menyenangkan, koms kejaksaan yang pada tujuan pembentukannya memlk tujuan yang bak danggap justru akan menjatuhkan kejaksaan, banyak tantangan yang ddapat dalam menjalankan tugasnya. Pelaksanaan pengawasan n memeng drasa kurang efektf dan berlarut-larut
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam proses pemerksaannya serta terbatas mengena akses untuk mengetahu bak proses maupun hasl dar pemerksaan tu sedr. Berdasarkan hal tersebut pembaharuan d bdang pengawasan d Kejaksaan lebh dfokuskan pada penerapan transparans, partspas dan akuntabltas serta penjabaran tata cara pengawasan. Koms Kejaksaan melakukan cara untuk mengantspas masalah d atas yatu dengan cara membangun snerg dengan phak kejaksaan, yang artnya menjaln persahabatan dengan phak kejaksaan, akan tetap d ss lan koms kejaksaan melakukan pemantauan atas knerja jaksa dan pegawa kejaksaan. Metode n drasa dapat memberkan akses bag koms kejaksaan untuk memantau knerja jaksa dan pegawa kejaksaan tanpa rasa curga dan salng tukar menukar nformas antara koms kejaksaan dengan kejaksaan agung pada khususnya. Kebjakan dan keputusan dar nternal kejaksaan sendr jarang memberkan efek jera bag oknum jaksa yang terbukt bersalah, padahal serngkal aspek pdana atas perbuatannya sudah memenuh unsur. Namun, kebanyakan jaksa nakal Cuma menerma sanks admnstrats dar pmpnannya. 2.
Kendala eksternal. Banyak kendala eksternal yang ddapat oleh koms kejaksaan antara lan, kendala dar kepentngan kelompok tertentu yang yang cenderung ngn menghambat knerja dar koms kejaksaan tersebut. Selan tu juga koms kejaksaan terkendala dengan nformas yang sangat mnm d dapat, hal n dkarenakan berbaga macam factor antara lan, faktor dar kejaksaan tu sendr yang
sangat menjaga nama bak dar nstansnya tersebut d muka umum. Sangat logs bahwa dalam prakteknya tdak satu nstanspun yang pada dasarnya ngn membuka ab d dalam tubuh nstansnya sendr d hadapan publk, nlah yang justru membuat kejaksaan semakn tdak dapat d kontrol oleh koms keljaksaan. Faktor rendahnya sanks yang dkenakan kepada oknum jaksa bermasalah bukan menjad satu-satunya faktor yang menjad penghambat dalam pengawasan terhadap knerja jaksa dan pegawa kejaksaan. Longgarnya pengawasan terhadap knerja kejaksaan pada umumnya dpandang turut ambl bagan pada eksstens jaksajaksa nakal. Dalam hal n, koms kejaksaan seharusnya berperan besar menjalankan fungsnya. Selan tu juga peran koms kejaksaan yang seharusnya sangat pentng sepert halnya koms-koms lan yang ada d Indonesa n kurang muncul. Sepert kta ketahu bahwa peran koms yudsal, koms pemberantasan korups, dan koms lannya sangat santer dalam pembertaan untuk menangan sengketa, n sangat berbeda jauh dengan apa yang d alam oleh koms kejaksaan. Dalam artan bahwa keberadaan koms kejaksaan d Negara Indonesa n kurang mendapat tempat d hat masyarakat Indonesa d karenakan apa yang menjad tugas dan kewenangannya tdak dapat d jalanjakan sebak mungkn d karenakan hambatan dar berbaga faktor pendukung.9
9
Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Graika, Jakarta, hlm.16.
651
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IV. PENUTUP 4.1. Simpulan Secara gars besar, dapat dtark suatu kesmpulan yatu sebaga berkut : 1. Proses kerja dan pengawasan oleh koms kejaksaan terhadap tugas jaksa dlakukan sebaga berkut yatu Menerma laporan dar masyarakat bahwa dalam suatu nstans kejaksaan telah terjad penyalah gunaan kewenangan dalam pelaksanaan tugas jaksa sebaga penuntut umum. Selambat-lambatnya dalam kurun waktu tga (3) bulan atau Semblan puluh (90) har apabla phak pengawas d dalam kejaksaan tersebut belum selesa menangan perkara yang ada maka perkara tersebut d ambl alh oleh koms kejaksaan. Setelah selesa d tangan, laporan tersebut d berkan kepada jaksa agung muda pengawasan, dan setelah tu Jaksa Agung Muda pengawasan tersebut yang berwenang untuk memberkan sanks. Sanks tersebut dapat berupa: Hukuman dspln rngan berupa: a) Teguran lsan. b) Teguran tertuls. c) Pernyataan tdak puas secara tertuls. Hukuman dspln sedang berupa: a) Penundaan kenakan gaj berkala untuk waktu palng lama satu tahun. b) Penurunan gaj sebesar satu kal kenakan gaj berkala untuk waktu palng lama satu tahun. c) Penundaan kenakan pangkat untuk waktu palng lama satu tahun. Hukuman dspln berat berupa: a) Penurunan pangkat ke pangkat yang setngkat lebh rendah untuk waktu palng lama satu tahun. 652
b) c)
2. a.
b. 1)
2)
Pembebasan dar tugas dan jabatan untuk sementara. Pemberhentan dengan tdak hormat atas sebagan PNS atau pengunduran dr sebaga PNS. Kendala Koms Kejaksaan dalam melakukan pengawasan adalah: Kendala nternal yatu: 1) Pelaksanaan tugas koms kejaksaan terganjal pada sfat tdak boleh melakukan ntervens terhadap tugas jaksa. 2) keberadaan koms kejaksaan yang bertugas untuk melakukan pengawasan danggap tdak sepenuhnya menyenangkan, Kendala eksternal yatu: Kendala dar kepentngan kelompok tertentu yang yang cenderung ngn menghambat knerja dar koms kejaksaan tersebut. Koms Kejaksaan terkendala dengan nformas yang sangat mnm d dapat, hal n dkarenakan berbaga macam faktor antara lan, faktor dar kejaksaan tu sendr yang sangat menjaga nama bak dar nstansnya tersebut d muka umum.
4.2. Saran Dengan memperhatkan keseluruhan rangkaan mengena peran dan mekansme kerja koms kejaksaan, maka penuls dalam kesempatan n mempunya saran-saran sebaga berkut: a. Perhal mengangkat peran koms kejaksaan agar setara dengan peran koms-koms lannya yang ada d Indonesa, maka hendaklah masyarakat pada umumnya dan kejaksaan pada khususnya berperan dalam proses
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 645 - 653
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
b.
pengawasan terhadap knerja jaksa penuntut umum maupun pegawa kejaksaan. Kta sebaga masyarakat yang ngn selalu d lndung oleh hukum yang adl, hendaklah berskap transparan apabla ada perbuatan menympang yang dlakukan oleh aparat penegak hukum kta, jangan segan-segan untuk melaporkan apa yang menjad kesalahan mereka.
Biodata Penulis: Putu Indrawan Arad, SH Jl. Padang ndah VII No. 22, Padang samban kelod, Denpasar barat 082146364972 Putu_ndrawan_arad@yahoo.com
DAFTAR BACAAN Buku Marwan Efefendy, 2001, Peran dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia Dari Perspektif Hukum, Graika, Yogyakarta Achmad Al, 2009, Pengawasan Kinerja Kejaksaan Indonesia, Kencana Prenada Meda Group, Jakarta Dimensi Syamsul Wahdn, 2012, Penegakan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta E. Sumaryono,1995, Etika Profesi Hukum, Kansus, Yogyakarta Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumn, Bandung Peter Mahmud Marzuk, 2009, Macam dan Bentuk Penelitian Hukum, Kencana Prenada Meda Group, Jakarta Teguh Prasetyo & Abdul Halm Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Graika, Jakarta
653
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI AGAMA HINDU TERHADAP PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ADAT DI BALI Oleh: Putu Rizky Sitraputra ABSTRACT Research on the implementation of the values of Hinduism to the completion of customary criminal acts in Bali. Most of the population adheres to Balinese Hinduism, daily activities always adhered to the concept of Tri Hita Karana, which in turn is continuously executed. Human relationships with others based on the nature of mind that is communal or kinship based pleh soul. To set the level of a good life together customs regulations grow and develop with imbued the values of Hinduism. Customary rules and formulate actions that are required, allowed or prohibited as village members must perform the obligations to the village, prohibition for people who are dirty entering the sacred area. Incestuous copulation cases which occurred in Bali only charged criminal under national law alone. Actually, should also be reviewed from the local community sector appropriate sanctions in order to satisfy the sense of justice. The values of Hinduism derived from Hindu law aims to balance the natural result of gross misconduct perpetrator intercourse, judicial practice provides an opportunity for the judge to impose sanctions customary in accordance with Law number 48 of 2009, which states the court in addition must contain reasons and grounds of this decision, as well must contain a speciic article of the source of unwritten law that formed the basis for the judge. Hindu religious values in the practice of judicial consideration by the judge and the efforts made in the traditional village of indigenous criminal offense. The method used is empirical research methods to conduct ield research in which cases occur. The procedure for sampling used is purposive sampling. The data is processed and analyzed qualitatively. The results showed that the judicial practice in cases of promiscuity in state court Amlapura not consider matters relating to the values of Hinduism. Efforts made in the traditional village settlement gamia gamana customs offense is to apply awig awig traditional village or Paruman each indigenous villages. Key Words : Customs, Hindu religion, Pakraman Village
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehdupan agama hndu d bal sangat unk dan kompleks. Hampr setap bdang kehdupan umatnya dresap oleh nla-nla ajaran agama hndu. Sehngga kadangkadang agak sult untuk membedakan dan memsahkan antara pelaksanaan kehdupan beragama dan adat-stadat. Sebagamana dketahu bersama agama mempunya sfat unversal dan sfat subjektf serta senstf yang beralaskan pada suatu kepercayaan 654
dan keyaknan serta sult dterma oleh pemkran yang lmah. Warga masyarakat hndu d bal sejak turun temurun sudah mengenal hubungan antara tuhan, manusa serta manusa dengan manusa lannya, serta manusa dengan makhluk hdup lannya. Keterkatan hubungan antara ketga komponen n dyakn memberkan kesembangan hdup secara nyata.1 1
I Gust Ketut Sutha, 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, Lberty, Yogyakarta, hlm.2.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Hubungan antara pencpta, manusa, dan tumbuhan lama-kelamaan djadkan pedoman hdup dan kebasaan yang akan menumbuhkan kesadaran bersama untuk menjaga dan melestarkan kesembangan yang sudah bak n. Ketka ada gangguan sepert pembunuhan, pencuran, dan pencabulan yang merupakan tndak pdana umum oleh masyarakat bal dlakukan rtual upacara agar konds alam bsa kembal sepert semula. Berbeda dengan KUHP yang menyatakan setap delk yang dlakukan dkenakan pdana penjara dan denda untuk membuat jera pelaku kejahatan. Seorang krmnal menurut hukum agama hndu, tdak begtu dpedulkan melankan hasl dar perbuatan pdananya yang dtuntut pertanggungjawaban.2 Berdasarkan ajaran agama hndu ada tga kerangka dasar yang terjaln dalam satu kesatuan yatu : Falsafah, Etka, Rtual. Kerangka dasar tersebut harus dpegang dan petunjuk bag umat beragama hndu. Selan ketga kerangka dasar tersebut agama hndu juga mempunya kepercayaan yang mutlak yang dsebut panca sradha yakn : Percaya dengan adanya sang hyang wdh, percaya dengan adanya atma, percaya dengan karmaphala, percaya denga renkarnas, percaya dengan moksa (kebahagan yang kekal). Kenyataan n memberkan suatu gambaran bahwa secara langsung ajaran agama turut memberkan warna dan corak terhadap perkelakuan masyarakat dalam kehdupan adat. Pertumbuhan hukum adat sudah tentu ddukung oleh rasa keadlan dar masyarakat yang kemudan menjelmakan apa yang semula dnamakan adat stadat, 2
I Made Wdnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, hlm.5.
yang secara terus menerus dpelhara, sehngga menghaslkan kepastan hukum ddalam penerapannya pada kehdupan sehar-har. Kepastan tersebut lahr bukan semata-mata dterapkan secara terus menerus ddalam kehdupan sehar-har akan tetap lebh dar tu yatu merupakan adat-stadat yang kemudan menjad kadah hukum yang mampu memberkan jamnan dalam mengatur masyarakat pendukungnya. Hakm dalam memutuskan suatu perkara sangat bergantung pada ketentuan pasal 10 KUHP yakn pdana mat, pdana penjara, pdana kurungan, pdana denda. Ketentuan pdana tersebut tdak memperhatkan kepentngan masyarakat atau dalam hal n kepentngan dar korban. Masyarakat d kehdupan seharharnya apabla ada seseorang melakukan pelanggaran dan yang menyebabkan kerugan dar phak korban maka wajb orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk dkenakan hukuman termasuk membayar gant kerugan sebesar yang dmnta oleh korban. Praktek d pengadlan walaupun dberkan dasar oleh undang-undang darurat 1 tahun 1951, hakm dharapkan beran menggal hukum yang berkembang d masyarakat yakn hukum pdana adat, tetap kasus-kasus yang menurut hukum yang hdup d masyarakat sebenarnya mash danggap sebaga hal yang dapat dtuntut pdana. Berart hakm lebh cenderung untuk berpegang teguh pada asas legaltas. Hal n dapat dlhat pada kasus gama gemana d sngaraja. 1.2 1.
Rumusan Masalah Apakah hakm mempertmbangkan nla-nla agama hndu dalam praktek peradlan ? 655
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.
Upaya-upaya apa yang dlakukan desa adat dalam penyelesaan tndak pdana adat d Bal?
Tujuan Penelitian Tujuan dar dsusunnya tulsan n adalah untuk mengetahu hakm mempertmbangkan nla-nla agama hndu dalam praktek peradlan dan upaya-upaya yang dlakukan desa adat dalam penyelesaan tndak pdana adat d Bal.
adat masyarakat desa setempat. Pengolahan dan analss data secara analss kualtatf yatu suatu uraan yang mengandung suatu anals secara sstemats logs.3
1.3
II.
Metode Penelitian Dalam peneltan n penuls menggunakan metode peneltan yurds emprs. Peneltan yurds emprs bertujuan untuk mempelajar peraturan perundangundangan yang dpergunakan dalam menangan kasus delk adat Gama Gemana, dengan melakukan peneltan ke lapangan dmana kasus tersebut terjad. Jens data yang dgunakan dalam peneltan n adalah data lapangan dan data kepustakaan. Data kepustakaan dnventarsas dar bahanbahan hukum prmer, dan bahan hukum sekunder. Data lapangan dlakukan dengan observas ddaerah sampel. Teknk penentuan sampel yang dgunakan adalah teknk non probability sampling yatu tdak semua subyek atau ndvdu mendapat kemungknan yang sama untuk djadkan sampel. Jens teknk non probabilty sampling yang dgunakan dalam peneltan n adalah Purposive Sampling, berdasarkan penjajakan awal peneltan dlakukan d desa sudaj, kabupaten buleleng. Teknk pengumpulan data yang dgunakan berupa kepustakaan yakn catatan-catatan dar hasl peneltan, hasl karya pakar hukum yang dkumpulkan melalu stud dokumen dan wawancara bersumber dar tokoh-tokoh 656
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Yuridis Pdana adalah suatu pendertaan yang dberkan kepada pelaku kejahatan yang djatuhkan oleh kekuasan yang berwenang untuk menjatuhkan pdana atas nama negara sebaga penanggungjawab dar ketertban hukum umum terhadap pelanggaran norma. Tndak pdana menurut, Wrjono Prodjodkoro mengunakan berart suatu perbuatan yang pelakunya dapat dkena pdana. Begtu pula Sudarto, mengatakan bahwa “penghukuman” berasal dar kata dasar “hukum” sehngga dapat dartkan sebaga menetapkan hukuman atau memutuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu perstwa tdak hanya menyangkut bdang hukum pdana saja, tetap juga menyangkut hukum perdata.4 Pengetan adat adalah kebasaankebasaan yang serng djumpa ddalam masyarakat, djadkan pedoman untuk berprlaku sehngga apabla terdapat perlaku yang menympang dan menyebabkan kekacauan dapat dkena sanks sesua dengan daerah setempat.5 Soepomo menjelaskan adat dkatakan hukum apabla d ukur dar rasa hukum tradsonal dan merupakan hukum yang
3
4
5
Amrudn dan Zaenal Askn, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.26. Sudarto, 2003, Hukum Pidana, Alumn Cet. 4, Bandung, hlm.7. Satjpto Rahardjo, 1998, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bnacpta, Bandung, hlm.23.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
hdup karena penjelmaan perasaan hukum yang nyata dar para rakyat. Pdana adat merupakan suatu reaks adat dar tap-tap gangguan kesembangan yang melanggar rasa keadlan dan kepatutan yang hdup dmasyarakat dengan kewajban pemulhan kembal suatu keadaan menjad normal.6 3.2
Pertimbangkan Nilai-Nilai Agama Hindu Dalam Praktek Peradilan Hukum pdana adat juga mempunya sumber hukum sama dengan bdang hukum lannya. sumber hukum adalah tempat dmana kta dapat menemukan hukum dan mempengaruh s hukum. Sumber hukum tdak tertuls adalah kebasaankebasaan yang dtaat oleh masyarakat adat yang bersangkutan dar sejak dulu hngga sekarang dan berkelanjutan. Sumber hukum tertuls dar hukum pdana adat adalah peraturan-peraturan yang dtulskan sepert sastra dresta (ktab-ktab agama), paswara (keputusan) MDP, Parsadha Hndu Dharma, karya-karya lmah tokoh-tokoh agama.7 Kasus-kasus persetubuhan sedarah pernah terjad d bal dan penyelesaannya dalam praktek peradlan hanya menggunakan Pasal 294 ayat (1) KUHP yang menyatakan “barangsapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, trnya, anak angkatnya, anak d bawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemelharaannya, penddkan atau penjagaannya dserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, dancam dengan pdana penjara palng lama tujuh tahun”. 6
7
Soepomo, 1983, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramta, Jakarta, hlm.43. Wayan P. Wnda dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentas dan Publkas Fakultas Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, hlm.3.
Ajaran agama hndu yang tertuang dalam manawa dharmasastra pasal 171 dan 17, buku XI menyatakan “a yang telah melakukan hubungan badan dengan wanta saudara kandungnya, dengan wanta belum kawn, dengan str teman atau dengan str anak yang melanggar tempat tdur dwajbkan melakukan tapa”. Pasal berkutnya menyatakan “a berhubungan dengan anak dar saudara perempuan ayah, yang hampr sama dengan saudara perempuan bu atau anak dar saudara lak bu, dsuckan dengan melakukan tapa bulan”. Delk adat sepert yang tertuang dalam penjelasan ktab tersebut dsebut gama gamana.8 Delk adat gama gamana n pernah terjad d desa sudaj, kecamatan dawan yakn seorang ayah yang bernama GPY tega menghaml anak kandungnya sendr bernama LY yang mash duduk d bangku SMA. Kejadan tersebut terpergok saat LY memerksakan dr pada bdan d kota sngaraja oleh warga bernama I Kadek Fajar. Selama n LY tnggal bersama ayahnya saja sektar lma tahun yang lalu, karena bunya juga pernah dhaml ayahnya tanpa dnkah. Keterangan kelan desa pakraman sudaj, bapak Sunuada bahwa kejadan tersebut telah membuat leteh (kotor) desa dan harus dbershkan sehngga keduanya dkenakan sanks adat berupa upakara mepepada dan mecaru labuh gentuh. Apabla tdak sanggup melaksanakan upakara tersebut yang bersangkutan akan d kasepekang (keluarkan dar desa), baya upacaranya sendr sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupah) harus dbayarkan oleh GPY dan desa adat yang melaksanakannya. Kasus persetubuhan 8
I Gede Pudja dan Tjok Ra Sudharta, 1978, Manawa Dharma Sastra (Manawa Dharmacastra, Dtjen Bmas Hndu dan Budha, Jakarta, hlm.21.
657
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sedarah n hanya dselesakan secara adat tanpa adanya proses hukum. Melhat peranan sanks adat lebh pentng dar hukum pdana nasonal yang termuat dalam Ktab Undang-Undang Hukum Pdana berart pemdanaan nasonal tdak efektf dan memberkan rasa keadlan. Menurut ketentuan Rancangan KUHP 2012, Pasal 54 ayat (1) dan (2) termuat de kesembangan yakn menyelesakan konlik yang ditimbulkan oleh tindak pdana, memulhkan kesembangan, dan mendatangkan rasa dama dalam masyarakat. Pemdanaan merupakan suatu proses dan sebelum proses berjalan, karenanya peranan hakm sangat pentng sekal. Ia merumuskan sanks pdana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pdana bag terdakwa dalam kasus tertentu. Sebagamana dketahu putusan PN Amlapura Nomor 34/Pd.B/1994/PN.AP menyatakan terdakwa I Wayan Raka terbukt secara sah dan meyaknkan bersalah melakukan tndak pdana “perbuatan cabul dengan anak kandungnya, anak trnya, anak pungutnya yang dbawah pengawasannya belum cukup umur”. Menghukum terdakwa tersebut oleh karenanya dengan pdana penjara selama : 1 (tahun) 3 (bulan). Dengan pertmbangan hakm menurut unsur-unsur perbuatan pdana yang terkandung dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP yakn: • Barang sapa pada dasarnya menunjuk pada subyek hukum atau pelaku tndak pdana, dmana subyek hukum dmaksud adalah orang perorangan yang dpandang mampu bertanggungjawab secara hukum atas perbuatannya tersebut • Melakukan perbuatan cabul menunjuk pengertan segala perbuatan yang 658
•
melanggar kesuslaan atau kesopanan persetubuhan termasuk pula dalam pengertan perbuatan cabul Dengan anaknya yang belum dewasa mengandung pengertan anak yang pada saat kejadan persetubuhan berlangsung baru berusa 17 tahun dalam hal mana usa tersebut merupakan anak yang belum dewasa.
3.3
Upaya-Upaya yang Dilakukan desa adat dalam penyelesaian tindak pidana adat di Bali Penyelesaan delk adat yang berakbat terganggunya kesembangan keluarga atau masyarakat, walaupun adakalanya perkaranya sampa dtangan oleh alat negara, dapat dtempuh dengan cara melalu prbad dan atau keluarga yang bersangkutan atau dtangan kepala kerabat, kepala adat, kepala desa, dan alat negara.9 Apabla terjad delk adat dan kepadanya dmntakan penyelesaannya oleh phak warga desanya yang mengadu, maka kepala desa adat dapat menyelenggarkan peradlan desa bertempat d bala desa. Untuk keperluan tu a akan berusaha antara lan : Menerma dan mempelajar pengaduan yang dsampakan kepadanya. Memerntahkan perangkat desa/kepala dusun untuk menyeldk kasus perkara, dengan menghubung para phak yang bersangkutan. Mengundang para phak yang berselsh, para saks, untuk ddengar keterangannya. Membuka persdangan dengan menawarkan perdamaan d antara 9
Otje Salman Soemadnngrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumn, Bandung, hlm.43.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
kedua phak, jka dpandang perlu dapat dlaksanakan sdang tertutup. Memerksa perkara, mendengarkan keterangan saks, pendapat para sesepuh desa, kepala dusun yang bersangkutan dan lannya.10 Carta penyelesaan delk adat yang dlaksanakan oleh kepala desa tdak jauh berbeda dar cara penyelesaan kepala adat, yatu bukan mencar sapa yang benar dan yang salah tetap berusaha untuk mewujudkan kedamaan antara kedua phak dan pulhnya kembal kesembangan yang terganggu. Kasus yang terjad d Dusun Tegeh ternyata Pengadlan Neger tdak mempertmbangkan atau memutuskan mengena kewajban adat terhadap pelaku tndak pdana adat gama gamana. Hal n ddasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 285 KUHP dan Pasal 294 (1) KUHP yang menurut ancaman pdananya sesua Pasal 10 KUHP tdak secara tegas mencantumkan pdana kewajban adat. Karenanya masyarakat desa adat yang tertmpa kasus delk adat gama gamana d desa selat dan desa purwakert mengambl langkah-langkah penyelesaan secara adat terhadap kasus tersebut. Desa adat selat oleh lembaga adatnya berdasarkan awg-awg menyelesakan perbuatan pdana gama gamana tertuang dalam Pasal 48 ayat 3 huruf a menyatakan “berzna yang termasuk lokka sanggraha dan gama gamana yang sampa ketahuan/ dtangkap oleh str dlaporkan kepada prajuru adat akan dkenakan sanks denda terhadap kedua pelaku melalu musyawarah desa”. Sedangkan untuk desa purwakert 10
Hlman Hadkusna, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.245.
hukum untuk menyelesakan gama gemana belum datur dalam awg-awg hanya melalu musyawarah desa saja. Penyelesaan pelanggaran pdana adat gama gamana pada desa adat selat dapat durakan sebaga berkut: a. Melakukan pembayaran denda kepada desa berupa dua karung beras dan 2 pasang kelapa muda. b. Melaksanakan upacara mecaru balk sumpah guna menyuckan kembal alam yang dlakukan oleh pandta c. Dasngkan dar desa adat dan tdak dperkenankan kembal mekrama desa, setelah pelaku selesa menjalan masa penahanan d lembaga permasyarakatan. IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Pertmbangan nla-nla agama hndu dalam praktek peradlan oleh putusan hakm d pengadlan sngaraja belum dlaksanakan, padahal pengenaan sanks adat sangat dperlukan untuk menjaga kesembangan akbat gangguan yang terjad. Undang-Undang Dasar Negara Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 5 ayat (3) sub b UU darurat 1 tahun 1951 serta Pasal 50 ayat (1) aturan kekuasaan kehakman mendukung penjatuhan sanks pdana adat bak secara eksplst maupun mplst. Hal tersebut terlhat dalam pertmbangan amar putusan perkara perbuatan pdana adat d PN Sngaraja. 2. Upaya yang dlakukan untuk menyelesakan delk adat d bal pada kasus gamia gemana adalah upakara mecaru balk sumpah dan mepepada oleh desa adat sudaj. Penjatuhan sanks 659
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
adat tersebut mengacu pada awgawg desa adat masng-masng dengan dserta paruman atau pertemuan guna untuk memantapkan dan member keadlan bag s pelanggar. 4.2 1.
2.
Saran Hakm dalam memutuskan perkara adat perlu mempertmbangkan sosorelgus masyarakat setempat sebaga bentuk langkah antspatf futurstk sehngga tercapanya kesembangan cosms dengan tdak melupakan ketentuan pemdanan sebagamana datur dalam KUHP. Perlu adanya tndakan tegas berupa pengusran dar desa adat setempat dan dberhentkan menjad warga desa (krama desa) apabla tdak memenuh kewajbannya untuk melaksanakan upacara penyembangan alam akbat penympangan perlaku s pelanggar.
DAFTAR PUSTAKA Buku Amrudn dan Zaenal Askn, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Hadkusna, Hlman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Pudja, I Gede dan Tjok Ra Sudharta, 1978, Manawa Dharma Sastra (Manawa Dharmacastra, Dtjen Bmas Hndu dan Budha, Jakarta. Rahardjo, Satjpto, 1998, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bnacpta, Bandung. Soemadnngrat, Otje Salman, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumn, Bandung. 660
Vol. 4, No. 4 : 654 - 660
Soepomo, 1983, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramta, Jakarta. Sudarto, 2003, Hukum Pidana, Alumn Cet. 4, Bandung. Sutha, I Gust Ketut, 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, Lberty, Yogyakarta. Wdnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung. Wnda, Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentas dan Publkas Fakultas Hukum Unverstas Udayana, Denpasar.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PLURALISME HUKUM DALAM PERBUATAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK DI BALI Oleh: Oleh : I Gusti Agung Ayu Sukma Sanjiwani1 ABSTRACT Children have an important signiicance in the family. Adoption means taking the responsibility of other people’s children from their biological parents in legal way therefore the children have the same status in the family. In Balinese Custom’s law, Peperasan ceremony is an absolute requirement for adoption process. Based on Government Regulation No. 54 Year 2007 about Adoption on Article 8 Adoption customary local habits; and Adoption by the legislation. Adoption not only solved the national law but also the religious affair. Starting from these ideas, pluralism of law in the adoption of legal acts in Bali interesting to examine. Keywords : Pluralism, Customary Law, Adoption I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak memlk makna dalam keluarga, sebagamana : (1) anak merupakan pelanjut suatu generas keluarga ; (2) anak merupakan tujuan darpada sebuah pernkahan ; (3) seorang anak sebaga ahl wars; (4) anak sebaga andalan kedua orang tua apabla orang tua sudah tdak mampu ; (5) dan dalam kepercayaan adat d Bal, anak dpercaya dapat menghantarkan arwah leluhurnya menuju surga. Atas pertmbangan tersebut, maka pantas apabla anak dberkan perlndungan oleh negara. Menurut pendapat Soepomo pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang melepaskan anak dar katan sebuah kekeluargaan dengan orang tua kandung yang memasukkan dengan cara memberkan anak tersebut ke dalam 1
Mahasswa Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal. Alamat JL Tukad Balan GG 43 No 2 Denpasar, e-mal: ssukmasanjwan@ gmal.com.
keluarga bapak angkatnya dan anak tersebut statusnya menjad sepert anak kandung. Hal tersebut terdapat penjelasan bahwa anak angkat tersebut memlk kedudukan yang sama dengan anak kandung dalam suatu hal tertentu.2 Mengangkat anak atau yang dsebut adops adalah tndakan atau perbuatan mengambl anak bak tu dar orang lan maupun dar keluarga sehngga akan terjad hubungan keluarga yang sama dengan anak kandung sendr. Dalam masyarakat hukum adat Bal hubungan kekeluargaannya adalah patrlneal sesua dengan gars keturunan Bapak. D dalam Hndu, anak lak-lak dharapkan dalam konteks sekala anak laklak Hndu menjad ahl wars, dan dalam konteks niskala selan sebaga penerus keturunan, a juga wajb melanjutkan pemujaan dan penyelenggaraan upacara keagamaan terutama d pura keluarga. Maka 2
R. Soepomo, 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramta, Jakarta, hlm.103.
661
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
seseorang yang tdak memlk anak lak-lak serngkal dlakukan perbuatan mengangkat anak sebaga penerus keluarganya. Berdasarkan PP No 54 Tahun 2007 mengena Pengangkatan Anak dalam Pasal 8 Pengangkatan anak antar warga negara Indonesa sesua melput : a. Pengangkatan anak dsesuakan dengan adat kebasan setempat; dan b. Pengangkatan anak dsesuakan dengan peraturan perundang-undangan. Pengaturan nasonal tentang pengangkatan anak datur juga berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlndungan Anak dan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 12 Pengangkatan anak dlakukan untuk kepentngan kesejahteraan anak yang dlaksanakan dluar adat dan kebasaan, dlakukan berdasarkan Peraturan Perundangundangan. Konsep duna nyata (sekala) dan duna gab dsebut juga (niskala) adalah hal yang tdak dapat dtnggalkan dar kehdupan bermasyarakat d Bal yang religious. Oleh karena tu pelaksanaan pengangkatan anak tdak hanya berhubungan dengan keluarga, dalam masyarakat (banjar) melankan juga berhubungan dengan leluhur yang bersemayam dalam sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Ida Sang Hyang Widhi. Pengangkatan anak bukan hanya katan berdasarkan lahryah semata, melankan juga katan rohanah. Pengangkatan anak tdak hanya dselesakan secara hukum nasonal melankan juga merupakan urusan keagamaan yang melbatkan betara-betar (roh leluhur). Dengan demkan, sahnya pengangkatan anak tersebut tmbul akbat 662
hukum yang berkatan dengan hubunganhubungan dengan hukum kekeluargaan. Bagamana mengena pengangkatan anak yang dlakukan hanya berdasarkan hukum adat Bal. Dalam proses pengangkatan anak, sangatlah pentng dpenuhnya persyaratanpersyaratan dalam pengangkatan anak. Bertolak dar pemkran tersebut maka pluralsme hukum dalam perbuatan hukum pengangkatan anak d Bal menark untuk d kaj. 1.2. Rumusan Masalah Sesua dengan paparan latar belakang tersebut, dapat dtark rumusan permasalahan sebaga berkut: 1. Bagamana pengaturan tentang pengangkatan anak secara substans nasonal dan adat ? 2. Bagamana konsekuens hukum mengena pengangkatan anak dlhat dar sudut pandang hukum adat Bal ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam peneltan adalah untuk memaham dan menganalsa tentang pluralsme hukum dalam perbuatan hukum pengangkatan anak d Bal. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk membahas berkatan hasl dar pengaturan tentang pengangkatan anak secara substans nasonal dan adat. 2.
Untuk memaham dan mengetahu konsekuens hukum terhadap pengangkatan anak dlhat dar sudut pandang hukum adat Bal.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
II.
METODE PENELITIAN Peneltan n adalah peneltan hukum normatf, karena mengena taraf perbedaan pandangan antara dua sstem hukum, yatu hukum yang tertuls dan hukum tdak tertuls. Pendekatan yang dlakukan terhadap peneltan yang mencakup n adalah pendekatan konseptual dan perundangundangan. Sebagmana bahan hukum yang dgunakan yatu bahan hukum prmer terdr dar peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder terdr dar bukubuku, lteratur dan pendapat para sarjana yang sesua dengan permasalahan yang akan dangkat. III. PEMBAHASAN 3.1. Pengaturan mengenai Pengangkatan Anak Secara Substansi Nasional dan Adat Unsur-unsur dalam Negara Hukum menurut Fredrch Julus Stahl yang dlham oleh Immanuel Kant adalah : 1. Sesua dan mengedepankan hak-hak asas manusa 2. Dapat memberkan perlndungan hak asas manusa dengan bak oleh sebab tu penyelenggara negara berdasarkan trias politica 3. Pemerntah berdasarkan UndangUndang 4. Jka pemerntahan yang berlandaskan Undang-Undang mash drasakan melanggar hak asas manusa maka dadl secara peradlan admnstras.3 Mengena pengaturan yang menyangkut mengena prosedur pengangkatan anak 3
Astm Ryanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbt Yapemdo, Bandung, hlm.274.
secara hukum d Indonesa datur secara khusus melalu PP No 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak Pasal 1 Anak angkat adalah anak yang haknya dalhkan dar lngkungan kekuasaan keluarga orang tua, wal yang sah, atau orang lan yang bertanggung jawab atas perawatan, penddkan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lngkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadlan. Berdasarkan Pasal 12 Ayat 1 syarat anak angkat adalah berumur 18 tahun, merupakan anak yang dterlantarkan atau terlantar, berada d dalam asuhan keluarga atau d dalam lembaga pengasuhan anak dan membutuhkan perlndungan khusus dan sebagamana datur dalam Pasal 13 dalam undang-undang n orang tua harus memlk syarat-syarat sehat secara jasman dan rohan, berusa palng rendah 30 tahun dan palng tngg 55 tahun, memlk agama sama dengan calon anak angkat, Memlk kelakuan yang bak dan tdak pernah dhukum karena melakukan tndak kejahatan, status pernkahan 5 tahun, tdak pasangan sejens, tdak atau belum memlk anak atau hanya mempunya satu orang anak, mampu dalam keadaan ekonom dan socal, memlk persetujuan anak dan zn tertuls orang tua atau wal dar anak, membuat pernyataan tertuls bahwa pengangkatan anak adalah dem kepentngan yang bak bag anak, kesejahteraan dan perlndungan anak, adanya laporan sosal dar pekerja socal setempat, telah mengasuh calon anak angkat palng sngkat 6 bulan, sejak zn pengasuhan dberkan dan memperoleh zn menter atau kepala nstans sosal. Anak angkat adat pada prnspnya anak angkat orang lan yang dangkat oleh suatu suatu keluarga dkarenakan da tdak 663
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
memlk anak sama sekal. Jad anak angkat secara adat n dapat perempuan dan dapat juga lak-lak.4 Dalam desa adat d Bal pada umumnya yang dangkat sebaga anak angkat adat adalah anak lak-lak. Menurut pendapat H.L.A Hart “ the most prominent general feature of the law at all time and places is that its existence means that certain kinds of human conduct are no longer option, but in some sense obligatory”.5 (sfat hukum yang harus dtaat membuat tuntutan berperlaku manusa pada stuas tertentu tdak lag adalah plhan melankan menjad suatu keharusan dan kewajban). Dalam katannya dengan pengangkatan anak, terdapat 2 konstruks hukum nasonal dan hukum adat yang memlk cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Berkatan dengan perbuatan hukum pengangkatan anak, dalam hukum adat Bal Pengangkatan anak dapat dpandang sah dengan akbat-akbat yang mendapat perlndungan hukum apabla telah dlakukan acara pengangkatan anak yang dsebut pemerasan atau wdwdana.6 Acara pemerasan adalah upacara yang wajb dan dalam rangkaan perbuatan yang melput upacara-upacara keagamaan dengan memaka sajen-sajen yang dselenggarakan oleh seorang rohanawan (pedanda, pemangku) dan dsakskan oleh phak-phak berwenang. Menurut I Wayan Ben dan Sagung Ngurah, menyatakan : Dalam masyarakat
4
5
6
664
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawal Pers, Jakarta, hlm.251. H.L.A Hart, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford, hlm.6. Wayan P. Wnda dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentas dan Publkas Fakultas Hukum Unverstas Udayana, hlm.96.
hukum adat Bal pengangkatan anak danggap sah apabla telah dlaksanakan berdasarkan dengan prosedur dan persyaratan yang telah sesua dengan hukum adat Bal, sepert persetujuan dar beberpa phak yatu Dewa Saks, Manusa Saks serta adanya Sar.7 Pendapat tersebut menyebutkan sahnya pengangkatan anak menurut hukum adat Bal harus seusa persetujuan sesua dengan yang dsebutkan. Dewa saks dwujudkan dengan upacara Peras, sedangkan Manusa Saks pengumuman terhadap orang tua pengangkat anak tersebut yang dlakukan d banjar atau d desa dmana yang bersangkutan yang tunduk pada hukum adatnya. Upacara meperas sebaga syarat mutlak bag sahnya pengangkatan seorang anak. Ter Haar memberkan pendapatnya bahwa pengangkatan anak mempunya sfat sebaga perbuatan hukum yang rangkap, bersfat magis religious, terang dan tuna.8 Dalam pendapat tersebut perbuatan hukum pengangkatan anak memlk sfat : 1. Adanya dua perbuatan hukum yang harus dlalu, yang satu phak melepaskan anak tersebut dar katan kekeluargaan orangtua kandung dan phak lan memasukkan anak tersebut ke dalam katan kekeluargaan orangtua angkatnya. 2. Magis religious dartkan pengangkatan anak dserta upacara penyerahan benda sebaga penggant anak 3. Terang dmaksudkan agar pengangkatan anak danggap sah, harus dsakskan prajuru desa dan 7
8
I Wayan Ben dan Sagung Ngurah, 1989, Hukum Adat Di dalam Yurisprudensi Indonesia, Surya Jaya, Denpasar, hlm.16. N Nyoman Sukert, 2012, Hak Mewaris Perempuan dalam Hukum Adat Sebuah Studi Kritis, Udayana Unversty Press, Denpasar, hlm.15.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
selanjutnya dumumkan secara luas d desa pekraman. 4. Tuna dmaksudkan bahwa pengamblan anak dserta dengan penyerahan benda sebaga penggant penggant anak tersebut sebelum dlakukan upacara. Dalam hukum adat Bal juga harus memenuh persyaratan sepert yang datas pertama dlakukan upacara keagamaan yatu upacara pemerasan dan kemudan anak yang dperas dsarkan dan dumumkan ke banjar atau desa pekraman untuk menggantkan kedudukan orangtua angkatnya untuk dapat menjalankan hak dan kewajbannya d banjar atau desa pekraman. Magis religious dsn dmaksudkan adalah upacara pemerasan. Terang dmaksudkan pada saat dsarkan ke banjar sedangkan tuna dmaksudkan dalam hal penyerahan benda kepada orangtua sebaga penggant penggant anak, benda tersebut basanya asaperadeg (seperangkat pakaan) yatu pakaan adat Bal. Persyaratan bag anak yang dangkat menurut hukum adat Bal, harus memenuh beberapa syarat yatu a. Anak yang belum dewasa b. Usanya lebh muda darpada yang mengangkat c. Dutamakan anak lak-lak. Apabla yang dangkat anak perempuan dan nantnya dngnkan menjad penerus gars keturunan secara hukum adat Bal, anak tersebut dubah status hukumnya menjad berstatus laklak (purusa) dengan jalan dterapkan sebaga sentana rajeg melalu cara perkawnan ke dalam atau perkawnan kaceburn.
3.2. Konsekuensi Hukum Mengenai Pengangkatan Anak Dilihat Dari Sudut Pandang Hukum Adat Bali Sstem kekeluargaan patrlneal atau kebapaan dalam masyarakat Bal dsebut dengan nama kepurusa atau purusa. Prnspprnsp dalam sstem kekeluargaan kepurusa sama dengan sstem kekeluargaan dalam Ktab Manawa Darmasastra, yang dkenal sebaga ktab hukum Hndu.9 Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat d Bal dkatakan dan djwa oleh ajaran Agama Hndu. Pengangkan anak d Bal secara umum dkenal dengan nama “Nyenta Nayang” dengan perbuatan hukum nyenta nayang, status anak menjad berubah, perubahan n terjad dengan perbuatan hukum berganda (double rechtshandelling) yatu :10 1. Perbuatan hukum yang memlk tujuan untuk melepaskan anak yang orang lan dar katan keluarganya. Basanya dlakukan dengan cara pembakaran benang, dan membayar secara adat, yatu berupa serbu kepeng, dan satu stel pakaan. 2. Memasukkan anak ddalam lngkup keluarga yang mengangkat yang d kenal dengan nama “dperas”. Tujuan pengangkatan anak adalah untuk meneruskan kelangsungan kehdupan dalam suatu keluarga. Meneruskan kelangsungan keluarga artnya melanjutkan segala hal dan kewajban dalam hubungannya dengan masalah parahyangan, pelemahan dan pawongan. Akbat hukum terhadap sstem kekeluargaan secara patrlneal d Bal, menyebabkan kedudukan anak lak-lak 9 10
Ibid, hlm.78. Djaren Saragh, 1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsto Bandung, hlm.121.
665
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
keberadaannya sangat menonjol, termasuk jka dhubungkan dengan warsan. Keadaan tersebut pada dasarnya dkarenakan anak lak-lak d dalam masyarakat hukum adat d Bal d sampng keberadaannya sebaga penerus keturunan juga memlk kewajban pada kegatan adat keluaga. Kehdupan pada desa adat, datur dengan perangkat hukum yang dkenal dengan hukum adat. D Bal dsebut dengan awg-awg atau dresta. Bentuk awig-awig ada yang tertuls ada yang tdak tertuls. Awig-awig antara desa satu dengan yang lannya berbeda alasannya antara lan : Desa adat daku sebaga persekutuan hukum yang otonom artnya desa adat berhak membuat aturannya sendr penegakkan dan menyelesakan masalah sepanjang yang menyangkut kehdupan desanya dan pengakuan atas “desa mewacara” (masngmasng desa mempunya tatanan adatnya sendr).11 Dalam hal pengangkatan anak pada setap desa adat d Bal memlk awgawg yang berbeda-beda. Indonesa menggunakan sstem hukum yang memlk sfat pluralstk (pluralisme hukum), hukum yang ada dan berlaku tdak hanya dalam pengertan hukum tertuls yang dcptakan oleh negara yang dsusun oleh lembaga legslatf bersama presden. Indonesa juga mengaku hukum adat dengan sstem hukum agama.12 Konsekuens hukum dalam hal pengangkatan anak sesua dengan hukum adat Bal dan hukum nasonal dapat berjalan bersamaan semash tdak 11
12
666
Wayan P. WInda, 2008, Bali Mewacara Gagasan Suatu Hukum Adat (Awig-Awig) dan Pemerintahan di Bali, Pusat Peneltan Hukum Unverstas Udayana, hlm.29. Ben Ahmad Saeban, H. Encup Supratna, 2012, Antropologi Hukum, Pustaka Seta, Bandung, hlm.333.
bertentangan dengan ketentuan undangundang. Perbedaan yang dapat dlhat dar pengangkatan anak, jka melhat d Indonesa / hukum nasonal anak yang dangkat bsa anak adops dar orang lan maupun anak dar gars keturunan lak-lak maupun dar perempuan sedangkan pengangkatan anak sesua dengan hukum adat Bal mengangkat anak lak-lak dan dserta upacara pemerasan yang danggap dan status anak sudah sah menurut hukum adat Bal. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan hukum adat daku sepanjang: (1) mash hdup; (2) berdasarkan dan sesua dengan perkembangan masyarakat; (3) berdasarkan dengan prnsp negara kesatuan Republk Indonesa dan; (4) datur dalam undang-undang. Dengan demkan, ketentuan yang tercermn d dalam hukum adat harus menyesuakan dengan hukum nasonal, artnya hukum adat yang berlaku dalam perkembangannya tdak boleh bertentangan dengan hukum nasonal. Apabla bertolak belakang terhadap dua hukum n, dalam prnsp teor hukum dsebut dengan pluralsme yang lemah oleh sebab hukum adat perlu dlakukan pembnaan terhadap kebasaan yang tdak sesua dengan perkembangan zaman dengan menghlangkan deskrmnas yang terjad.13 Secara persyaratan pengangkatan anak sesua dengan adat Bal tdak banyak terdapat perbedaan dengan hukum nasonal, hanya saja hukum adat Bal sesua dengan agama hndu dan keberadaannya d tuangkan tertuls dalam bentuk awig-awig dan kebasaan.
13
R. Subekt, 1974, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Makamah Agung, Alumn, Bandung, hlm.124.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IV. PENUTUP 4.1 Simpulan 1. Berdasarkan tnjauan terhadap pengangkatan anak secara substan nasonal datur dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlndungan Anak, UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Peraturan Pemerntah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan berdasarkan hukum adat Dewa Saks upacara peras dan Manusa Saks, serta adanya Sar. 2. Konsekuens hukum dalam hal pengangkatan anak dlhat dar sudut pandang hukum adat Bal harus menyesuakan dr dengan arah hukum negara atau hukum nasonal, artnya dalam pengaplkasannya hukum adat yang sudah berlaku d dalam desa adat tdak boleh bertentangan dengan Hukum Mengena Pengangkatan Anak yang dlhat dar sudut pandang hukum adat Bal bahwa hukum adat Bal harus menyesuakan dr dengan arah hukum d Indonesa, artnya hukum adat yang berlaku tdak bertentangan dengan hukum negara. 4.2 1.
2.
Saran Setap anak yang dangkat harus dlndung dan dberkan kepastan hukum bak tu secara hukum nasonal maupun secara adat mengena status sebaga anak dan hak- hak yang melakat terhadap anak. Kepada Parsadha Hndu Dharma dan Majels Utama Desa Pakraman
d Bal sebaknya melakukan penyesuaan hukum adat Bal tentang kedudukan anak angkat dengan harapan agar hukum adat yang dmaksudkan dsesuakan dengan perkembangan yang ada d dalam masyarakat dan sebaknya mengkut prosedur pengangkatan anak secara Hukum Nasonal dem mencapa kepastan Hukum. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku H.L.A Hart, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford, h. 6. Penetja, Gede 2004, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Nadha Mandr, Denpasar Ryanto, Astm 2006, Teori Konstitusi, Penerbt Yapemdo, Bandung. Saeban, Ben Ahmad, H. Encup Supratna, 2012, Antropologi Hukum, Pustaka Seta, Bandung. Saragh, Djaren 1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsto Bandung. Subekt, R, 1974, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Makamah Agung, Alumn, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawal Pers, Jakarta. Sukert, N Nyoman 2012, Hak Mewaris Perempuan dalam Hukum Adat Sebuah Studi Kritis, Udayana, Unversty Press, Denpasar. Wayan P. Wnda, 2008, Bali Mewacara Gagasan Suatu Hukum Adat (AwigAwig) dan Pemerintahan di Bali, Pusat Peneltan Hukum Unverstas Udayana. Wnda, Wayan P dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga 667
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Dokumentas dan Publkas Fakultas Hukum Unverstas Udayana. Undang-Undang Undang-undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlndungan Anak PP No 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.
668
Vol. 4, No. 4 : 661 - 668
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IMPLEMENTASI TANGGUNGJAWAB NEGARA BERKAITAN DENGAN HAK ATAS PENDIDIKAN DASAR BAGI WARGA NEGARA DI DESA TERPENCIL KABUPATEN BANGLI Oleh: Ni Ketut Sri Utari, I Made Udiana ABSTRACT The purpose of this study is to analyze the implementation of Article 31 (2) of the Constitution 1945 concerning the right of education for citizens, especially in remote village of Bangli Regency, Bali Province. The type of this research is empirical legal research. The study showed that the Government has provided a central school in one building both for elementary and junior high school so called “Satap” (School in one roof) in order to fulill its constitutional obligation for the people in slop of mountains in the remote village of Bangli Regency. For this efforts are supported by education funding of the National Government distributes budget operational school (BOS), grants of educational facilities from Government Budget of Bali Province (APBD Bali) as well as Block Grand from the National Government Budget (APBN). However, those budgets are still considered relatively very small. For the better implementation of the right of education, therefore the efforts of government need to be improved as well as budgeting for the remote village should be prioritized, increased and supervised. Keywords: state responsibility, basic education, remote village. II. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Amanat Pasal 31 ayat 2 UUD NRI 1945, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sstem Penddkan Nasonal, dan PP No.47 Tahun 2008 Tentang Wajb Belajar menetapkan bahwa Pemerntah dan pemerntah daerah menjamn terselenggaranya program wajb belajar mnmal pada jenjang penddkan dasar (SD dan SMP) tanpa memungut baya. D ss lan konds pengunungan d Kabupaten Bangl juga dungkap dalam Bal Post1 Kepala Desa Subaya Nyoman Dantara mengungkapkan bahwa program wajb belajar 9 tahun yang selama n dgalakkan
1
Bal Post Senen, 14 Jul 2014. Tempat Sekolah Jauh Tap Tahun Belasan Sswa SD d Subaya Tak Melanjutkan.hlm.15. kol 2,3,4,5,6.
pemerntah belum bsa berjalan sepenuhnya ddesanya. Angka putus sekolah sangat tngg. Tahun 2012 dar 22 sswa yang lulus SD tak seorangpun melanjutkan ke SMP Tahun 2013 dar 20 sswa yang lulus SD hanya 2 orang yang melanjutkan ke SMP Tahun 2014 dar 17 orang yang lulus SD hanya 4 orang yang melanjutkan ke SMP. Ada beberapa faktor yang berpengaruh, yang terutama kemsknan, jauhnya tempat sekolah (sektar 8 klo dan belum ada transportas umum dan jalan belum memada). Dalam usa muda mereka bekerja jad buruh pengaspal jalan, petan dan pembantu rumah tangga d daerah perkotaan. 669
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Bal yang merupakan destnas parwsata, yang menyumbang banyak pada penermaan negara ternyata dpelosok desa mash saja belum terpenuhnya hak atas wajb belajar 9 tahun dengan beragam alasan dan faktor utama adalah:2 kemsknan masyarakat, konds wlayah d phak pemerntah dan Satuan Pengelola Penddkan Dasar belum optmal member data yang vald dan mutakhr, dan kepncangan APBD antar Kabupaten/ Kota, dsampng karena ada penyalahgunaan atau belum tepat sasaran. Upaya yang harus dlakukan adalah kasustk per- Kabupaten/ Kota dan Sekolah. Kata kunc adalah akuras pendataan secara menyeluruh dar lapsan terbawah sangat pentng, sehngga perencanaan menyentuh kebutuhan nyata dan realsasnya bsa tepat sasaran. Dar faktor-faktor penyebab yang durakan d atas menark untuk dtelt bagamana pelaksanaan dan hambatan apa yang dhadap oleh Pemerntah Kabupaten Bangl dan solus pemecahan masalah yang ada dalam usaha memenuh tanggungjawab Negara terhadap Kewajban Konsttusonal Warga Negara Warga Negara Mengkut Penddkan Dasar.Dplhnya Kabupaten Bangl dengan pertmbangan bahwa APBD Kabupaten kecl serta wlayahnya berbukt sehngga banyak desa-desa/ daerah terpencl dbalk bukt, yang kemungknan anak-anak tdak masuk sekolah atau putus sekolah. Apa
langkah pemerntah dalam upaya memenuh hak atas wajb belajar semblan tahun sepert amanat UUD NRI 1945 dan bagamana peran pemerntah Provns Bal dan Pemerntah dalam mengatas masalah tersebut. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagamana pengelolaan dan pemenuhan hak atas penddkan dasar d Kabupaten Bangl? 2. Kendala-kendala apakah yang dhadap berkatan dengan pengmplementasan tanggungjawab negara terhadap pemenuhan hak warga negara memperoleh penddkan dasar d desa terpencl Kabupaten Bangl ? 3. Bagamana bentuk koordnas dengan Pemerntah Propns Bal dalam pemecahan masalah pemenuhan hak atas penddkan dasar? 1.3. Tujuan penelitian: 1. Menggal dan menganalss pengelolaan dan pemenuhan hak atas penddkan dasar d Kabupaten Bangl 2. Menelusur dan menganalss hambatan dan solus dalam pemenuhan hak wajb belajar penddkan dasar bag warganya. 3. Mengungkap hubungan koordnas antara Pemerntah Pusat; pemerntah Propns dan Kabupaten dalam pemenuhan kewajban konsttusonal atas hak memperoleh penddkan dasar. II.
2
670
N Ketut Sr Utar, dkk.2014. Peneltan: Implementas Tanggungjawab Negara Terhadap Kewajban Konsttusonal Warga Negara Mengkut Penddkan Dasar, Program Stud Magster (S2) Ilmu Hukum Unud.Denpasar Terhadap Kewajban Konsttusonal Warga Negara Mengkut Penddkan Dasar.
TINJAUAN PUSTAKA Pasal 28 C ayat (1) UUDNRI 1945 dan Pasal 31 (1) UUDNRI 1945 menekankan bahwa hak mendapatkan penddkan adalah hak asas manusa.Khusus dalam Pasal
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
31 (2) UUDNRI 1945 menentukan setap warga negara wajb mengkut penddkan dasar dan pemerntah wajb membayanya. Jad khusus kepada warga negara Indonesa ada kewajban atau keharusan mengkut penddkan dasar dan pemerntah wajb membaya, dengan asums akan melahrkan warga negara yang cerdas, bsa membaca, berhtung, membaca dan menuls. Penddkan adalah proses pembelajaran dan pengalaman, bak mengena keterampilan/ keahlian, kesehatan isik maupun moraltas. Manusa tumbuh selalu melalu proses belajar, sehngga kewajban member penddkan tdak hanya kewajban keluarga atau orang tua, juga masyarakat dan negara. Kebjakan Nasonal mengena penddkan datur dalam UU No. 20Tahun 2003 Tentang Sstm Penddkan Nasonal. Pasal 1 angka 1 merumuskan: Penddkan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta ddk secara aktf mengembangkan potens drnya untuk memlk kekuatan sprrtual keagamaan, pengendalan dr, keprbadan, kecerdasan, akhlak mula, serta keteramplan yang dperlukan drnya, masyarakat, bangsa dan negara. Penyelenggaraan sstem penddkan Nasonal adalah dalam rangka mencapa tujuan negara yakn mencerdaskan kehdupanbangsa.Penyelenggara penddkan bukan hanya tugas negara, tetap juga tugas orangtua atau keluarga dan masyarakat. Peran masyarakat terutama dalam pendran sekolah-sekolah suasta dalam bentuk yayasan. Penyelenggaraan penddkan nasonal setelah era reformas ddasarkan atas
prnsp demokras (pemerataan penddkan), desentralsas, keadlan dan menjunjung tngg hak asas manusa dalam kehdupan bangsa dan negara.Prnsp-prnsp n berdampak pada kandungan, proses dan managemen sstem penddkan nasonal.(Pasal 4 UU No.20 Tahun 2003). Penddkan nasonal berfungs mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat agar peserta ddk dapat mengembangkan potensnya menjad manusa yang berman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mula, sehat, berlmu, cakap, kreatf, mandr dan menjad warga negara yang demokrats serta bertanggung jawab.(Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003) Setap warga negara yang berusa tujuh sampa lma belas tahun wajb mengkut penddkan dasar (Pasal 6 UU No.20 Tahun 2003). Orang tua dar anak usa wajb belajar, berkewajban memberkan penddkan dasar kepada anaknya. Yang dmaksud dengan penddkan dasar adalah jenjang penddkan yang melandas penddkan menengah, sepert Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtdyah (MI) atau bentuk lan yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawyah atau bentuk lan yang sederajat.(Pasal 17 UU No.20 Tahun 2003).Jad pada prnspnya tanggungjawab terhadap pemenuhan hak atas penddkan adalah tanggungjawab orang tua, masyarakat dan negara.Khusus untuk penddkan dasar adalah kewajban negara untuk membaya. III. METODE PENELITIAN 3.1 Tpe Peneltan: Pada dasarnya tpe peneltan n adalah tpe peneltan hukum emprs, karena menelt adanya
671
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.2
3.3
3.4
672
(das sein), bagamana pelaksanaan senyatanya d Kabupaten Bangl, khususnya berkatan dengan desa – desa yang letaknya d pegunungan. Lokas Peneltan: Dplhnya Kabupaten Bangl dengan pertmbangan bahwa wlayahnya pegunungan dan penduduk tersebar dbalk bukt, APBD rendah dan banyak anak-anak yang putus sekolah karena kemsknan dan jauhnya letak sekolah dar tempat tnggal mereka. Dsampng tu Kabupaten Bangl letaknya palng dekat dar Denpasar, dan kabupaten n ada dwlayah pegunungan Bal Tengah yang berbukt dan dataran tngg.Walaupun dalam kenyataan yang banyak menyumbang anak putus sekolah adalah Kabupaten Buleleng dan Karangasem, Kabupaten Bangl danggap dapat mewakl penduduk pegunungan d Bal.Tujuannya untuk mengenal faktor hambatan dan upaya yang dlakukan dalam mengatas persoalan pemenuhan tanggungjawab negara terhadap hak mendapat penddkan dasar 9 tahun. Sumber data: Sumber data peneltan n adalah data prmer dan data sekunder. Data prmer dperoleh dar pejabat yang terkat sebaga nforman: Dnas Penddkan dan Olahraga (Dskkpora) Propns Bal; Dnas Penddkan dan Olahraga Kabupaten Bangl.Data sekunder bersumber dar koran, berta, peraturan perundang-undangan dan meda nternet. Tehnk Pengumpulan Data: Tehnk pengumpulan data prmer dengan metode wawancara terstruktur dengan pedoman wawancara.Hal n drasa
3.5
cukup karena terkat dengan kebjakan pemerntah.Untuk data sekunder dengan melakukan penelusuran peraturan perundang-undangan dan kebjakan d bdang penddkan dan penelusuran bahan bacaan lannya. Tehns analss data: Data yang dperoleh ada dua macam: data kualtatf dan data kuanttatf, tetap danalss secara kualtatf, yakn pada kualtas atau s data.Data kualitatif ini kemudian, diklasiikasi dan dianalisis berdasarkan klasiikasi permasalahan dalam peneltan.Setelah ddeskrpskan dlakukan evaluas dan argumentas dan dtark kesmpulan. Hasl peneltan n bersfat deskrptf analss yang akan member gambaran tentang mplementas pemenuhan hak konsttusonal anak untuk mengkut penddkan dasar
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sumber Daya dan Kebijakan Pengelolaan Pendidikan Dasar di Kabupaten Bangli Kabupaten Bangl memlk penduduk sebanyak 213.808 orang dan luas wlayahnya 520,81 klometer (data 2010).Wlayahnya terdr dar dataran tngg pegunungan, tdak memlk panta. yang terdr dar 4 kecamatan: Kecamatan Bangl, Kecamatan Kntaman, Kecamatan Susut, Kecamatan Tembuku.Kecamatan Kntaman memlk wlayah yang palng luas dan penduduknya tersebar d lereng-lereng bukt dan lembah yang letaknya terpencl d sektar Danau Batur. Alamnya yang sejuk dan cantk menjad objek parwsata dan salah satunya adalah Penelokan, Bukt Penulsan, Desa Trunyan yang sudah sangat terkenal, dan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
objek wsata lannya.Salah satu desa yang lokasnya sangat jauh terpencl adalah Desa Blanth dan Desa Subaya d Kecamatan Kntaman, tetap mash bsa terjangkau dengan alat transportas, sehngga, menurut Bapak Drs. I Nyoman Subrata,M.M Kabddkdas Propns Bal bahwa d Bal katagor desa terpencl sudah dhapus3. Kabupaten Bangl memlk sekolah dasar sebanyak 119 SD. No. 1 2 3 4
Kecamatan Bangl Susut Tembuku Kntaman
Jumlah
Jumlah SD 34 SD 14 SD 21 SD 52 SD 119 SD
Jumlah sswa SD= 22.814 orang dan sswa SMP=10.994 orang. APBD Kabupaten Bangl, khususnya PAD sangat terbatas dan belum mampu memberkan bea sswa bag sswa mskn. Semua guru/ pegawa PNS sudah danggarkan dan dgaj dar Dana Alokas Umum dan pegawa/ guru honor Kabupaten dbebankan pada APBD Kabupaten Bangl.4 4.2
Kendala-kendala dan Solusi terhadap masalah yang dihadapi Kabupaten Bangli. Kendala utama adalah keclnya APBD dan wlayah yang luas dan berbukt serta penduduk tersebar d antara bukt-bukt. Baya oprasonal sekolah tergantung pada dana BOS dan sumbangan orangtua sswa (yang dputuskan oleh Kepala Sekolah dan
3
4
Bapak Drs. I Nyoman Subrata,M.M Kepala Bdang Penddkan Dasar Dsdkpora Propns Bal, dalam wawancara Senen, 21 September 2015, jam. 10.30 d Kantor Dsdkpora Propns Bal. I Nengah Danta Haryana,S.Pd,MA. Kabd Dkdas Kabupaten Bangl, wawancara har Selasa 29 September 2015, jam 10.00 d Kantor Dkdspora Kabupaten Bangl.
Komte sekolah). Dalam upaya mengatas wlayah yang terpecl dan jarak yang jauh d Kabupaten Bangl dbentuk sekolah satu atap, yakn SD dan SMP sepert: Tabel 3. Sekolah Satu Atap di Kabupaten Bangli. N0
KECA MATAN
NAMA SEKOLAH
1.
Susut
Satap Pengiyangan
2.
Tembu ku
Satap Desa Kubu Suwih 1. 2. 3. 4. 5.
3.
Kintamani
6.
Satap. 1 Kayu Selem Desa Songan Satap2. Desa Gunung Bau Satap3. Banjar Pradi Songan Satap 4. Desa Pingan Satap 5. Desa Siakan (sudah ada lembaga belum punya kepala sekolah) Satap 6 Desa Subaya (baru proses pembangunan gedung dan bagi penduduk dapat mengikuti kelas jauh).Ini adalah jawaban terhadap masalah yang diungkap Bali Post 2014.(catatan penulis)
Sumber: I Nengah Danta Haryana,S.Pd,MA
Tujuan membentuk Satap n agar anakanak dapat bersekolah sampa SMP dan tetap bsa membantu orang tua mencar nafkah d kampungnya, sepert bertan, berkebun dan beternak. Kalau toh nant mencar pekerjaan ke kota, mereka lebh dewasa dalam penddkan.Pemda Kabupaten Bangl berusaha mendorong agar Kepala-kepala sekolah dan jajarannya d kecamatan dan desa aktf berpartspas melakukan pendataan anak-anak terutama untuk mencegah anak putus sekolah.Pembentukan Satap 6 Desa Subaya (baru proses pembangunan gedung dan bag penduduk dapat mengkut kelas jauh) adalah solus bag pemenuhan hak atas penddkan dasar. 4.3
Bentuk Koordinasi dengan Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah Pusat Untuk mengatas kesenjangan penddkan antara perdesaan dan 673
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
perkotaan,Pemerntah Pusat, Propns dan Kabupaten bekerja bersama-sama dan melakukan koordnas bak mengena fasltas sarana penddkan maupun sumber daya guru. Trobosan yang dlakukan pemerntah untuk baya penddkan dasar adalah melalu pemberan dana hbah. Untuk lebh memudahkan memaham mengena dana hbah untuk sekolah dan bea sswa untuk masyarakat mskn dapat dlhat dalam tabel berkut.
Tabel.5. REKAPITULASI BOS TIAP KABUPATEN/KOTA TAHUN 2015 UNTUK SEKOLAH NON TERPENCIL
Tabel 4. DANA HIBAH PENDIDIKAN DASAR KABUPATEN/KOTA Sumber
Nama
Besarnya
Diberikan langsung oleh pemerintah pusat untuk biaya oprasional sekolah diterima lewat rekening sekolah
Rp. 800.000 untuk SD x jumlah siswa SMP Rp.1000.000
H i b a h B l o c k Grand
Langsung dari pemerintah Pusat, satuan pendidikan/sekolah akan menyampaikan proposalnya langsung ke pemerintah pusat, dan dipertanggungjawabkan oleh satuan pendidikan tersebut,
Sesuai dengan proposal
Bea Siswa Miskin
Usulan datang dari sekolah, kekecamatan , dinas Kabupaten dan sampai ke provinsi, oleh propinsi ditetapkan dengan SK tentang siapa yang berhak menerima, penyaluran bea siswa ini kemudian disalurkan lewat sekolah dan pengawasan/ verifikasi dilakukan oleh Diknas Provinsi
Siswa SD Rp.620.000/ tahun SMP Rp.890.000,pertahun
H i b a h Bansos u n t u k Kabupaten d a n sekolah
Diselenggarakan oleh Disdikpora Provinsi, sarana dan prasarana langsung dan diawasi juga oleh Disdikpora Provinsi
Lihat Tabel.8
AP BN
A P B D Provinsi Bali
Kab/Kota
SD
SMP
SD
SMP
Total
1
Badung
59.115
26.496
47.292.
26.496.
73.788.
2.
Bangli
22.814
10.994
18.251,2
10.944.
29.195,2
3.
Buleleng
69.813
34.426
55.850,4
34.426.
90.276,4
4.
Gianyar
47.638
22.167
38.110,4
22.167.
60.277,4
5.
Jembrana
25.258
12.294
20.206,4
12.294.
32.500,4
6.
Karang asem
45.600
20.339
36.480.
20.339.
56.819.
7.
Klungkung
17.838
9.385
14.270,4
9.385.
23.655,4
8.
Tabanan
37.877
19.821
29.805,6
19.821.
49.626,6
9.
Denpasar
83.742
37.877
66.993,6
37.877.
104.870,6
409.075
193.749
327.260.
193.749.
521.009.
Total Prov. Bali
Jumlah Siswa
Sumber: Data Bidang Dikdas Dikdispora Prov Bali
Cara penyaluran
Dana BOS
Jumlah Dana per-jutarupiah
No.
isi
Dana BOS n untuk baya oprasonal sekolah dan tap sekolah memperoleh sebanyak jumlah sswa kal tarf yakn SD Rp.800.000 x sswa, sedangkan SMP/ sederajat Rp.1000.000 x sswa/tahun. Untuk sekolah-sekolah yang jumlahnya sswanya kurang dar 60 orang, tetap dhtung 60 orang, karena baya oprasonal setap sekolah hampr sama.5 Ketentuan n menguntungkan untuk sekolah-sekolah yang terpencl d pegunungan,khususnya Kabupaten Bangl. Pemerntah Provns Bal dalam APBD juga meluncurkan Hbah berupa Bea Sswa Mskn (BSM) yang dterma oleh sswa yang orang tuanya mskn sesua dengan persyaratan yang ada, dan Bantuan Sarana kepada sekolah-sekolah d kabupaten/ kota d Bal.
Sumber: wawancara dengan Kepala Bdang Dkdas Provns Bal.
Untuk melhat bagamana mplementas kebjakan Pemerntah Pusat dalam mengalokaskan Dana BOS dapat dlhat dalam Tabel 5 dan 6,7 berkut n
674
5
Peraturan Menter Penddkan dan Kebudayaan RI No.161 Tahun 2014 tentang Jukns Penggunaan dan Pertanggungjawaban Dana Bos 2015., dunduh dar www.bos.kemendkbud.go.d, 19-Oktober 2015
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Tabel.6. REKAP BEASISWA SISWA MISKIN JENJANG SD TAHUN 2015 KUOTA NO
KABUPATEN / KOTA
1
BULELENG
439
2
JEMBRANA
174
3
TABANAN
265
4
BADUNG
172
5
GIANYAR
217
6
BANGLI
119
7
KLUNGKUNG
84
8
KARANGASEM
328
9
DENPASAR
21
JUM LAH SISWA
JUMLAH SEKOLAH
JUMLAH DANA (Rp1.000) 15,614,080,
25,184 3.395
2.104.900. 2,667.860,
4.303
1.096.160.
1768
1.812.260.
2.923
2.586.640.
4.172 1,590
985,800. 8.001.100.
12,905
48.980.
79
TOTAL
34,917,780,
56,319
Sumber: Data Bdang Dkdas Dkdspora Prov Bal
Tabel.7. REKAP BEASISWA SISWA MISKIN JENJANG SMP TAHUN 2015 KUOTA NO
KABU PATEN /KOTA
JUM LAH SEKO LAH
1
BULELENG
69
2
JEMBRANA
21
3
TABANAN
31
4
BADUNG
14
5
GIANYAR
37
6
BANGLI
27
7
KLUNGKUNG
22
8
KARANGASEM
45
9
DENPASAR
8
TOTAL
274
JUM LAH SISWA
JUMLAH DANA (Rp1.000)
9,311 960 989 566 1,400 2,150 1,304 4,317 69 21,066
8,286,790, 854,400, 880,210, 503,740, 1,246,000, 1,913,500, 1,160,560, 3,842,130, 61,410, 18,748,740,
Sumber: Data Bdang Dkdas Dkdspora Prov Bal
Dar data d atas dapat dlhat urutan sswa penerma BSM palng banyak adalah Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem dan yang ketga adalah Kabupaten Bangl, keempat Kabupaten
Tabanan yang wlayahnya terdr dar perbuktan dan berbatasan satu dengan lannya.Syarat-syarat untuk memperoleh BSM dprortaskan kepada keluarga mskn yang terdaftar sebaga KK yang mendapat tunjangan sosal (data Dnas Sosal) dan bag yang tdak terdaftar juga dmungknkan apabla memenuh krtera yang dtetapkan dalam Keputusan Kepala Dsdkpora Propns Bal6. Dar penelusuran asal penerma BSM Kabupaten Bangl, maka Kecamatan Kntaman sekolah desa terpecl yang palng banyak menerma BSM sepert: SDN Blandngan = 110 orang; SDN Subaya = 121 orang; SDN Songan 5 = 77 orang; SDN Songan 6 = 117 orang; SDN Songan 7 = 103 orang; SDN Songan 8 = 60 orang; SDN Trunyan 2 = 75 orang; SDN Trunyan 3 = 75 orang; SDN 6 Yang Ap = 117 orang Kabupaten Bangl dalam rangka wajb belajar menerma hbah tahun 2015 sebaga berkut: BSM SD sebesar Rp. 2.586.640.000; SMP sebesar Rp 1,913,500,000 Bantuan Prasarana dar Provns Bal sebesar Rp. 1.523.000.000. Hbah dar Pemerntah Pusat berupa BOS SD dan SMP Rp. 29.195.200.000 Hbah Block Grand (untuk Kabupaten Bangl ada 2: Sekolah Satu Atap Tembuku dan SMP Gurukula d Kubu, masng-masng memperoleh sebesar Rp.295.154.000,- kal 2 = Rp.590.308.000. 6
Syarat-syarat pemberan Bea Sswa Bag Sswa Mskn SD,SPM,SMA dan SMK. Dtetapkan d Denpasar 23 Oktober 2014 Oleh Kepala Dnas Penddkan Pemuda dan Olahraga Propns Bal TIA Kusuma Wardan,SH,MM dunduh dar www.balprov.go.d 25 Agustus 2015 Tentang Syarat BSM.
675
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Dar apa yang tersaj d atas koordnas dan snkronsas data perencanaan, pelaksanaan dan evaluas penyelenggaraan Wajb Belajar antara Kabupaten (dengan jajarannya terbawah), Provns dan Pemerntah pusat harus selalu bekerjasama dengan bak.Ujung tombak realsas perencanaan wajb belajar adalah Pemerntah Kabupaten. Pembagan wewenang dan tugas antara Pemerntah, Provns dan Kabupaten secara sederhana dapat dgambarkan dalam tabel berkut:
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
Bagan.1. Koordinasi dan Sinkronisasi Penyelenggaraan Wajib Belajar
Tabel 8: PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PROPINSI, KABUPATEN/ KOTA MENGENAI WAJIB BELAJAR No 1.
2
Wewenang Pemerintah Pusat
Provinsi
Tugas • • •
Menentukan kebijakan nasional standar Nasional Menangani masalah lintas provinsi
•
Melaksanakan kebijakan pemerintah Menentukan kebijakan standar provinsi Menangani masalah lintas kabupaten
• • • •
3
Kabupaten/ Kota
• • •
•
Melaksanakan kebajakan pemerintah dan provinsi Menentukankebijakan kabupaten Menentukan standar kabupaten. Melaksananakan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Wajib Belajar Peremajaan data
Sumber: dolah dar hasl pembahasan.
676
Ujung tombak perencanaan ada d desa (Sekolah Dasar) sesua dengan konds nyata dan standar yang dtetapkan, data/ proposal dsampakan ke kecamatan, dar kecamatan ke Kabupaten, ke provns kemudan ke pemerntah pusat.Data dar bawah n kemudan dbuatkan anggaran belanja dalam APBN, mengalr sebagan pada Provns, Kabupaten sesua posnya masng-masng. V. PENUTUP 5.1. Smpulan Dar hasl dan pembahasan drumuskan kesmpulan sebaga berkut. 1. Kabupaten Bangl memlk penduduk sebanyak 213.808 orang dan luas wlayahnya 520,81 klometer. Wlayahnya terdr dar dataran tngg pegunungan, tdak memlk panta dan satu-satunya kabupaten d Bal yang tdak memlk panta. Terdr dar 4 kecamatan yakn: Kecamatan Bangl, Kecamatan Kntaman,
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.
Kecamatan Susut dan Kecamatan Tembuku. Kecamatan Kntaman memlk wlayah yang palng luas dan penduduknya tersebar d lerenglereng bukt dan lembah yang letaknya terpencl d sektar Danau Batur.Salah satu desa yang lokasnya sangat jauh terpencl adalah Desa Blanth dan Desa Subaya d Kecamatan Kntaman, tetap mash bsa terjangkau dengan alat transportas, sehngga, menurut Kabddkdas Propns Bal bahwa d Bal katagor desa terpencl sudah dhapus.APBD Kabupaten Bangl, khususnya PAD sangat terbatas dan belum mampu memberkan bea sswa bag sswa mskn. Semua guru/ pegawa PNS sudah danggarkan dan dgaj dar Dana Alokas Umum dan pegawa/ guru honor Kabupaten dbebankan pada APBD Kabupaten. Kendala utama adalah keclnya APBD dan wlayah yang luas dan berbukt serta penduduk tersebar d antara bukt-bukt. Baya oprasonal sekolah tergantung pada dana BOS dan sumbangan orangtua sswa (yang dputuskan oleh Kepala Sekolah dan Komte sekolah). Dalam upaya mengatas wlayah yang terpecl dan jarak yang jauh d Kabupaten Bangl dbentuk sekolah satu atap (sekolah dasar dan SMP): ada 8 buah satap d Kabupaten Bangl. Kecamatan Susut ada Satap Pengyangan, Kecamatan Tembuku ada Satap Desa Kubu Suwh; Kecamatan Kntaman ada 6 yatu: Satap. 1 Kayu Selem Desa Songan, Satap2. Desa Gunung Bau, Satap3. Banjar Prad Songan, Satap 4. Desa Pngan, Satap 5 Desa Sakan (sudah
3.
ada lembaga belum punya kepala sekolah), Satap 6 Desa Subaya (baru proses pembangunan gedung dan bag penduduk dapat mengkut kelas jauh), Untuk mengatas kesenjangan anggaran penddkan antara perdesaan dan perkotaan, Pemerntah Pusat, Propns dan Kabupaten bekerja bersama-sama dan melakukan koordnas bak mengena fasltas sarana penddkan maupun sumber daya guru. Trobosan yang dlakukan pemerntah untuk baya penddkan dasar adalah melalu pemberan dana hbah. Pemerntah Pusat meluncurkan dana BOS dan Hbah Block Grand, dan Pemerntah Provns Bal meluncurkan BSM dan hbah bantuan sarana. Dar penelusuran asal penerma BSM Kabupaten Bangl, maka Kecamatan Kntaman sekolah desa terpecl yang palng banyak menerma BSM Kabupaten Bangl dalam rangka wajb belajar menerma BSM SD sebesar Rp. 2.586.640.000; SMP sebesar Rp 1,913,500,000;Bantuan Prasarana dar Provns Bal sebesar Rp. 1.523.000.000. Hbah dar Pemerntah Pusat berupa BOS SD dan SMP Rp. 29.195.200.000, Hbah Block Grand (untuk Kabupaten Bangl ada 2: Sekolah Satu Atap Tembuku dan SMP Gurukula d Kubu, masng-masng memperoleh sebesar Rp.295.154.000,kal 2 = Rp.590.308.000. Walaupun otonom ada pada Kabupaten khusus untuk wajb belajar n pemerntah berusaha memenuh tanggungjawab negara atas hak memperoleh penddkan dasar d desa terpencl. 677
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
5.2 Saran 1. Masalah hak atas penddkan adalah bagan dar hak ekonom, sosal dan budaya dan memerlukan campur tangan negara yang luas bak dalam perencanaan,pelaksanaan, menetapkan standar kebjakan, maupun evaluas terutama dalam mewujudkan tujuan negara yakn: mencerdaskan kehdupan bangsa.Tanggung Jawab pemenuhan hak n bukan hanya tanggungjawab negara, tetap juga masyarakat dan orangtua (melalu komte sekolah). Usaha pemerataan penddkan dasar sesua dengan kewajban konsttusonal negara sudah berusaha dpenuh oleh negara dan sangat tergantung pada sumber daya yang dmlk. Wujudnya dalam bentuk dana hbah BOS dan Block Grand dar Pemerntah Pusat dan Bea Sswa untuk sswa keluarga mskn (sudah dgant dengan stlah Keluarga harapan) yang langsung masuk rekenng sekolah. Untuk d Kabupaten Bangl khususnya d desa terpencl sepert Banjar Subaya, walaupun penduduknya sangat sedkt dan jumlah sswa wajb belajar kurang dar 20 orang, sudah dusahakan dbentuk Sekolah satu atap, SD dan SMP.Suatu hal yang patut dpuj dar pemerntah Kabupaten Bangl dan Provns Bal.Demkan juga untuk desa-desa terpencl dlembah kaldera danau Batur lannya. 2. Koordnas dan snkronsas penyelenggaraan penddkan harus selalu dlakukan antara pemerntah pusat, provns dan kabupaten/ Kota. Penddkan menentukan kualtas bangsa. Pemerntah Kabupaten dengan 678
3.
jajaran terbawahnya, khususnya satuan penddkan harus terus melakukan pendataan dan melaporkan konds anak ddk dan kemampuan penduduk (peremajaan data) dan membuat proposal untuk pembangunan masyarakat. Peranan masyarakat dan pers sangat pentng untuk terus mengawas penggunaan dana hbah agar tepat sasaran walaupun mash relatve kecl, jangan sampa dselewengkan. Partspas masyarakat dan pers sangat pentng terbukt masalah d Desa Subaya segera dtndak lanjut oleh pemerntah Provns Bal.
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI. Republk Indonesa. Undang Undang Dasar Negara Republk Indonesa 1945. -------, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sstm Penddkan Nasonal -------, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerntahan Daerah -------, Peraturan Pemerntah Republk Indonesa Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagan Urusan Pemerntahan Antara Pemerntah, Pemerntahan DaerahPropns, dan Pemerntahan Daerah Kabupaten/ Kota (LNRI Tahun 2007 Nomor 82). -------, Peraturan Pemerntah No.47 Tahun 2008 Tentang Wajb Belajar L N R I Tahun 2008 Nomor 90 dan TLNRI Nomor 4863 -------,Peraturan Pemerntah Republk Indonesa No. 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Penddkan LNRI Tahun 2008 Nomor 91.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 669 - 679
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
-------,Peraturan Pemerntah RepublK Indonesa No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasonal Penddkan LN.RI Tahun 2005 No.41dan sebagamana dubah dengan Peraturan Pemerntah Republk Indonesa No.32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerntah Republk Indonesa No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasonal Penddkan LNRI Tahun 2013 Nomor 71. ------- Peraturan Menter Penddkan dan Kebudayaan No.51 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Tehns Penggunaan Dana Bantuan Oprasonal Sekolah dan Laporan Keuangan Bantuan Oprasonal Sekolah. ------ Peraturan Menter Penddkan dan Kebudayaan RI No.161 Tahun 2014 tentang Jukns Penggunaan dan Pertanggungjawaban Dana Bos 2015. dunduh dar www.bos.kemendkbud. go.d, 19-Oktober 2015.
Negara Mengkut Penddkan Dasar, Program Stud Magster (S2) Ilm Hukum Unud.Denpasar INFORMAN I Nyoman Subrata, Drs.M.M Kepala Bdang Penddkan Dasar Dsdkpora Propns Bal beserta staff. d Kantor Dsdkpora Propns Bal Senen, 21 September 2015, jam. 10.30 I Nengah Danta Haryana,S.Pd,MA. Kabd Dkdas Dkdspora Kabupaten Bangl beserta staff d Kantor Dkdspora Kabupaten Bangl Jalan Brgjen Ngurah Ra No.82 Bangl Selasa 29
Kepala Dnas Penddkan Pemuda dan Olahraga Propns Bal. 2014. Syaratsyarat pemberan Bea Sswa Bag Sswa Mskn SD,SPM,SMA dan SMK. Dtetapkan d Denpasar 23 Oktober 2014.dunduh dar www. balprov.go.d 25 Agustus 2015 Tentang Syarat BSM Bal Post Senen, 14 Jul 2014.Tempat Sekolah Jauh Tap Tahun Belasan Sswa SD d Subaya Tak Melanjutkan. Hal.15 kol 2,3,4,5,6. N Ketut Sr Utar, dkk.2014. Laporan Peneltan: Implementas Tanggungjawab Negara Terhadap Kewajban Konsttusonal Warga
679
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
INOVASI DAERAH (Releksi dan Pengaturan Inovasi Daerah di Indonesia) Oleh: Made Gde Subha Karma Resen1 ABSTRACT Regional Innovation is an important factor to encourage competitiveness and prosperity in the region. Innovation is a collaborative process to improve effectiveness and eficiency in the Region. Innovation cannot run sporadically and partially, particularly at the level of regulation and governance. Relection on experience shows, government apprehensive to innovate in the Region. Criminalization of policy, euphoria of corruption eradication causing poor innovation in the Region, so it should be given the rule that provides the lexibility to innovate without diminishing accountability or in formulating innovation policy, should be based on the principles in the running of innovation.. Through the juridical analysis of substance of the Law 23/2014, have been set related to regional innovation. There is the possibility of expanding the activities of government, with narrowing of the risk of criminal prosecution. Key Words: Regional Innovation, Local Government, Regional Innovation System
I.
Pendahuluan Indonesa yang lebh bak, kalmat tersebut tdak jarang terucap dan tersurat pada momen nasonal, pembertaan d meda, maupun pdato-pdato pemerntah (Pusat/Daerah). Sehngga tmbul pertanyaan, apakah Indonesa belum bak? Apakah tujuan bangsa telah tercapa? Apakah dnamka daerah, nasonal, regonal dan nternasonal dapat terakomodr? Apakah aturan hukum d Indonesa telah efektf? Apakah knerja dar pemerntah pusat dan daerah telah berjalan dengan bak? Lebh khusus lag yang menjad fokus utama pada tulsan n, apakah otonom dan desentralsas telah berjalan sebagamana dcta-ctakan?
Menanggap pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya menelusuri dan mereleksi pada event terdahulu untuk djadkan acuan dan cermnan bag pelaksanaan otonom daerah dmasa yang akan datang. Irfan Rdwan Masum mengungkapkan “dar ss ekonom, otonom Daerah justru seolah menjad beban. Ekonom baya tngg muncul akbat penerapan otonom Daerah.”2 Semangat otonom belum berjalan, jka damat dar propors belanja Pusat dan Daerah, belanja Pusat mencapa angka Rp.1. 249 trlun mash jauh lebh besar dar pada belanja Daerah yang besarnya Rp.592 trlun. Ironsnya, separuh dar belanja Pusat,
2
1
680
Penuls adalah Staf Pengajar (Dosen) d Fakultas Hukum Unverstas Udayana. e-mal: subhakarma. skr@gmal.com
Irfan Rdwan Masum adalah Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Admnstras Fakultas Ilmu Sosal dan Poltk Unverstas Indonesa. Lhat dalam: Haran Kompas, “Problem Belum Terjawab: Inkonsistensi Pemerintah Hambat Undang-Undang Pemerintahan Daerah,” Kams 24 Aprl 2014,hlm.2.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sebesar Rp.637 trlun dpergunakan untuk semua kementeran dan lembaga d Pusat.3 Beberapa surve menunjukkan belum terwujudnya plhan rasonal tujuan bernegara dalam kerangka welfare state dan konseps governance d Indonesa. Berkenaan dengan salah satu su kesejahteraan yang menjad su publk, beberapa tm penelt dar Power, Welfare and Democracy (PWD) Project,4 memberkan hasl pada peneltannya bahwa terdapat “kernduan” dan kebutuhan terhadap gagasan negara kesejahteraan (welfare state), Negara yang mengurus pelayanan dasar warganegaranya (sepert penddkan dan kesehatan). Dar aturan hukum terkat dengan otonom daerah (Undang-Undang Pemerntahan Daerah), aturan hukum yang cepat berubah/ damandemen dsatu ss menunjukkan responsvtas terhadap kednamkaan tap ss yang lan menmbulkan prasangka bahwa formulas 3
4
Paparan Menter Dalam Neger (Gumawam Faus) dan Ketua Koms II DPR (Agun Gunandjar Sudarsa) saat semnar nasonal bertajuk “Satu Dekade Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,” d Jakarta, 23 Aprl 2014. Lhat dalam: Ibd. Power, Welfare dan Democracy (PWD) Project merupakan kerjasama antara Unverstas Gadjah Mada (Jurusan Poltk dan Pemerntahan) dan Unversty of Oslo. Pengumpulan data melbatkan 117 orang penelt lokal, penelt mengumpulkan data dar 628 nforman yang memlk pengetahuan dan keterlbatan mendalam terhadap su yang dtelt, tersebar d 30 Kabupaten/Kota d 24 Provns d Indonesa. Tujuan dar surve adalah mengevaluas tantangan dan peluang demokras d Indonesa berbass pada kerangka Davd Beetham sebaga pijakan dasar. Beetham mendeinisikan demokrasi sebaga “control popular terhadap urusan publk dan polts berbass persamaan hak warga negara”. Surve n telah dlakukan sebanyak 2 (dua) kal 2003/2004 dan 2007. Lhat dalam: Rngkasan Ekseskutf Power, Welfare and Democracy Project, 2014 “Demokrasi di Indonesia: Antara Patronase dan Populisme”, kerjasama antara Unverstas Gadjah Mada (Jurusan Poltk dan Pemerntahan) dan Unversty of Oslo serta ddukung oleh The Royal Norwegan Embassy, hlm. 2-3.
substans pengaturannya yang “dangkal” dan tdak futurstk. Permasalahan juga terlhat pada dsharmon produk-produk hukum daerah dengan aturan hukum d atasnya. Dan lebh fatal lag, eufora pemberantasan korups, menmbulkan ketakutan bag penyelenggara pemerntahan untuk melakukan novas-novas d daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerntahan yang lebih efektif, dan lebih eisien dalam rangka menngkatkan dan meramu dametral kesejahteraan dan pertumbuhan pembangunan.5 Dari penekanan-penekanan releksi pada latarbelakang d atas, pentng danalsa dan djabarkan pengaturan novas daerah dalam kerangka penyelenggaraan pemerntahan daerah d Indonesa, sebagamana paradgma novas n djabarkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah. II. 2.1
PEMBAHASAN Penguatan Sistem Inovasi Daerah di Indonesia Gagasan tentang novas d daerah nampaknya bukanlah hal yang baru, dan telah ada sebelum dundangkannya UndangUndang No. 23 Tahun 2014. Pada tanggal 3 Me 2012 dundangkannya Peraturan Bersama Menter Negara Rset dan Teknolog Republk Indonesa dan Menter Dalam Neger Republk Indonesa Nomor:
5
Made Gde Subha Karma Resen dan I Ketut Tjukup, Planning The Diametrical Growth Of Development And Welfare (Legal Aspects Of Human Capital Investment Towards Quality Improvement Of Indonesian Labor Force), Internatonal Journal of Busness, Economcs and Law, Vol. 6, Issue 4 Aprl 2015. Dapat dakses onlne pada: http://jbel. com/wp-content/uploads/2015/05/Law39_PAID_ IJBEL_KARMA_Plannng-The-Dametral-Growth_ Template-IJBEL-and-SEAJBEL-vol.-6-Apr-2015Subha-Karma-Tjukup_D39.pdf.
681
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sstem Inovas Daerah. Pertmbangan dar dkeluarkannya peraturan bersama n adalah dalam rangka penngkatan kapastas pemerntahan daerah, daya sang daerah, dan pelaksanaan masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonom Indonesa 20112025. Dalam peraturan bersama tersebut, novas dmaksud adalah kegatan peneltan, pengembangan, penerapan, pengkajan, perekayasaan, dan pengoperasan yang selanjutnya dsebut keltbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan prakts nla dan konteks lmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan lmu pengetahuan dan teknolog yang telah ada ke dalam produk atau proses produks. Inovas merupakan faktor pentng untuk mendukung daya sang daerah. Langkah-langkah novas merupakan rangkaan elaboratf guna menngkatkan efektiitas dan eisiensi di daerah. Inovasi dsadar tdak dapat berjalan secara sporads dan parsal, harus merupakan kolaboras antar aktor-aktor yang salng bernteraks dalam suatu sstem yang dsebut sebaga sstem novas. Peraturan bersama tersebut, memberkan pengertan sstem novas daerah sebaga, keseluruhan proses dalam satu sstem untuk menumbuhkembangkan novas yang dlakukan antar nsttus pemerntah, pemerntah daerah, lembaga keltbangan, lembaga penddkan, lembaga penunjang novas, duna usaha, dan masyarakat d daerah. Keseluruhan proses tersebut, dtuangkan dalam kebjakan-kebjakan pengutan sstem novas daerah, dalam bentuk kebjakan nasonal yang dprakarsa 682
oleh kementran yang dtuangkan dalam rencana strategs lma tahunan kementran. Pada provns, kabupaten dan kota. Gubernur menetapkan kebjakan pengutan sstem novas daerah d provns dan kabupaten/kota dwlayahnya, sedangkan Bupat/Walkota menetapkan kebjakan pengutan sstem novas daerah d kabupaten/kota. Kebjakan Gubernur, Bupat/Walkota tertuang dalam roadmap penguatan sstem novas daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk perode 5 (lma) tahun dan Rencana Kerja Pemerntah Daerah (RKPD) untuk perode 1 (satu) tahun. Pada tahun pertama dundangkannya peraturan bersama n, beberapa daerah telah menjalankan roadmap penguatan sstem novas daerah, sepert Kabupaten Sleman. Inovas darahkan pada 2 (dua) plar yatu sektor pertanan novatf dan pengembangan UMKM berbass klaster.6 Beberapa meda juga membertakan, lahrnya gagasangagasan novas daerah, sepert dgagasnya konsep kota cerdas, pemerntah daerah ddorong untuk melakukan novas dan pembaharuan dalam pelayanan berbass teknolog nformas. Menjad persoalan adalah belum terdapatnya landasan hukum novas daerah dengan menggunakan teknolog nformas, sebagamana secara faktual perstwa n terjad d DKI Jakarta. Penerapan e-budgeting yang dgunakan oleh Gubernur DKI Basuk Tjahaya Purnama dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2015.7 6
7
Roadmap Penguatan Sstem Inovas Daerah (SIDa) Kabupaten Sleman, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman, 2013. Landasan Hukum Inovas Kota Cerdas, 17 Jun 2015, dapat dakses pada www.kompasana.com/landasanhukum-novas-kota-cerdas_552b1588f17e610d6cd6 23d4 dakses pukul 12.54 Wta, Mnggu 03 Januar 2016.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Kekhawatran atas krmnalsas merupakan salah satu faktor penyebab, kecendrungan langkah novas tersebut tdak mendapatkan dukungan penuh. Menjawab persoalan tersebut, guna memperkuat sstem novas daerah, kementeran dalam neger mula menyapkan rancangan peraturan pemerntah yang dtargetkan tuntas pada November 2016. Empat hal pentng yang sampa saat n belum tersentuh dalam sstem novas daerah yatu; tata kelola pemerntahan, layanan publk, pemberdayaan masyarakat, dan daya sang.8 2.2
Inovasi Daerah Dan Pengaturannya Pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah Inovas daerah, datur dalam Pasal 386, pada ayat 1 datur bahwa, novas yang dapat dlakukan oleh pemerntah daerah merupakan dalam rangka menngkatkan knerja penyelenggaraan pemerntahan daerah. Inovas-novas tersebut merupakan semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerntahan daerah. Bentuk-bentuk pembaharuan dapat dlakukan dengan penerapan atas haslhasl lmu pengetahuan dan teknolog dan temuan-temuan baru dalam penyelenggaraan pemerntahan. Pengaturan n mempertegas upaya snergstas antara pemerntah daerah dengan berbaga stakeholders dalam rangka penngkatan penyelenggaraan pemerntahan daerah serta daya sang daerah. Pandanganpandangan pembaharuan n menjauhkan tpe
penyelenggaraan manajeral yang otokratk maupun paternalstk.9 Admnstras dan manajemen pemerntahan adalah keseluruhan proses penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerntahan dan pembangunan pada semua tngkat dan satuan organsas, ds dengan manusa dan sumber-sumber daya lannya yang harus dmanfaatkan secara optmal, berdaya guna dan berhasl guna.10 Setap tahapan pentng proses penyelenggaraan tugas-tugas tersebut akan adaptf terhadap perkembangan, jka terbuka peluang adanya pembaharuan dan/atau novas. Inovas tersebut terumuskan dalam kebjakan-kebjakan, dalam merumuskannya harus mengacu pada prnsp-prnsp, d antaranya; peningkatan eisiensi, perbaikan efektvtas, perbakan kualtas pelayanan, tidak ada konlik kepentingan, berorientasi pada kepentngan umum, dlakukan secara terbuka, memenuh nla-nla kepatutan, dan dapat dpertanggungjawabkan haslnya tdak untuk kepentngan dr sendr. Terdapat 8 (delapan) prnsp sebaga langkah-langkah merumuskan kebjakan novas daerah. Paradgma Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, semakn mengedepankan partspas rakyat dalam mengajukan nsatf, usulan terhadap novas. Hal n dapat dcermat pengaturannya pada Pasal 388, bahwa nsatf novas selan berasal dar kepada daerah, anggota DPRD, aparatur spl negara, perangkat-perangkat daerah, akan tetap juga nsatf tersebut dapat berasal dar anggota masyarakat. Usulan novas yang berasal dar anggota 9
8
Perkuat Inovas Daerah, Kemendagr Sapkan RPP UU Pemerntahan Daerah, 21 Desember 2015, dapat dakses pada http://komnfo.jatmprov.go.d/read/ umum/perkuat-novas-daerah-kemendagr-sapkanrpp-uu-pemerntah-daerah Dakses pukul 01.03 Wta, Mnggu 03 Januar 2016.
10
Sondang P. Sagan, 2014, Filsafat Administrasi, eds Revisi, Jakarta, Penerbit Sinar Graika Offset, hlm. 34-35. C.S.T Kansl, Crstne S.T. Kansl, J Hanny Posumah, dan Sad Aneke Rukah, 2009, Hukum Administrasi Daerah, Jakarta, Penerbt Jala Permata Aksara, hlm.63.
683
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
masyarakat,dsampakan kepada DPRD dan/ atau kepada pemerntah Daerah. Berbaga bentuk atau wujud partspas anggota masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerntahan yang telah dpraktekkan beberapa negara, sebagamana drangkum oleh Ahmad Sukard,11 sepert; pengalaman Negara Flpna pada tahun 1986 pasca rezm otorter Ferdnand Marcos. Langkah sukses dalam reformas sstem pemerntahan daerah, d antaranya: (1) pelmpahan kekuasaan kepada daerah dalam penyedaan pelayanan dasar masyarakat, (2) penngkatan sumber dana bag untunt pemerntah daerah, dan (3) yang terpentng adalah pemberan partspas masyarakat dalam berbaga aspek kegatan daerah. Pengalaman d Afrka Selatan juga menunjukkan hal serupa (setelah keruntuhan rezm apartheid), partspas warga menjad faktor determnan dalam mencapa kesuksesan pelaksanaan desentralsas. Dar beberapa contoh tersebut menunjukkan adanya koherens antara partspas anggota masyarakakat dengan penyelenggaraan pemerntahan. Selanjutnya usulan novas juga dapat dajukan oleh anggota DPRD, usulan tersebut dtetapkan dalam rapat parpurna, usulan tersebut selanjutnya dsampakan kepada kepala daerah untuk dtetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebaga novas daerah. Keberadaan Perkada karena, dpersyaratkan bahwa, jens, prosedur dan metode penyelenggaraan pemerntahan daerah yang bersfat novatf dtetapkan dengan Perkada. Selanjutnya novas daerah yang akan dlaksanakan oleh keala daerah, harus d laporkan kepada menter, pelaporan
tersebut melput cara dalam melakukan novas, dokumentas bentuk-bentuk novas serta hasl novas yang kan dcapa. Pelaksanaan novas yang dlakukan oleh daerah-daerah selanjutnya akan dnla oleh Pemerntah Pusat dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang berkatan dengan peneltan dan pengembangan. Guna menngkatkan “garah” bernovas pemerntah pusat memberkan rewards dan/atau nsentf kepada pemerntah daerah yang berhasl melaksanakan novas. Begtupun bag ndvdu atau perangkat daerah yang berhasl melakukan novas, rewards dan/atau nsentf dberkan oleh pemerntah daerah. Eufora penanganan korups, penyelenggaraan pemerntahan yang bersh dan bebas dar korups, penyelewengan dan berbaga macam maladmnstras, menyebabkan banyak pemerntah daerah d Indonesa tdak “kondusf” menyelenggarakan pemerntahan d tengah suasana paradoks, begtu juga terkat dengan anggaran daerah, APBD tdak terserap optmal, sehngga pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan pembangunan terhambat. Bachrul Amq dalam peneltannya menunjukkan bahwa “…ada hubungan yang kuat antara banyaknya pengungkapan tndak pdana korups dengan fenomena rendahnya penyerapan APBD…Para pejabat pemerntah daerah tdak segan-segan mengaku bahwa para pejabat d lngkungannya takut berurusan dengan hukum.”12 Pemerntah seolah-olah menjad “safety player” menempatkan dana daerah dalam bentuk deposito, sertiikat Bank Indonesa (SBI).13 12
11
684
Akhmad Sukard, 2009, Participatory Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbt LaksBang PRESSndo, hlm.3-4.
13
Bachrul Amq, 2010, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbt LaksBang PRESSndo, hlm.5. Ibid, hlm.6-7.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Bercermin dan mereleksi dari persoalan tersebut, pengaturan novas daerah “dperhalus,” untuk menngkatkan nsatfnsatf dalam rangka perbakan kualtas penyelenggaraan pemerntahan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 389 yang menegaskan bahwa “Dalam hal pelaksanaan novas yang telah menjad kebjakan Pemerntah Daerah dan novas tersebut tdak mencapa sasaran yang telah dtetapkan, aparatur spl negara tdak dapat dpdana.” Jamnan tersebut tentu saja ddasarkan pada prnsp akuntabltas, terkat dengan perencanaan, tata kelola serta output dar sasaran yang telah dtetapkan, sejauh tdak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, asas-asas umum pemerntahan yang bak, ddasarkan pada itikad baik, tidak terdapat konlik kepentingan serta dapat dpertanggungjawabkan haslnya tdak untuk kepentngan dr sendr. Berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 jis Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerntahan Daerah serta Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Admnstras Pemerntahan, dsatu ss telah terjad perluasan wlayah admnstras dalam kebjakan penganggaran dan d ss lannya terjad penyemptan wlayah pdana korups.14 Terjad perubahan fundamental dengan pendekatan yang tdak hanya terfokus pada kerja atau rutntas dalam penyelenggaraan pemerntahan, akan tetap nampak juga adanya penghargaan serta perlndungan terhadap ponr-ponr yang bernsatf dengan novas-novasnya kearah perbakan. Dalam penjelasan Undang14
W. Rawan Tjandra, Inovas, Dskres, dan Korups, Selasa 22 September 2015, dapat dakses pada http:/ nasonal.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/ Inovas.DIskres.dan.Korups?page=all dakses pada pukul 02.39 Wta, Mnggu 03 Januar 2016.
Undang Pemerntahan Daerah djelaskan bahwa, “Majunya suatu bangsa sangat dtentukan oleh novas yang dlakukan bangsa tersebut. Untuk tu maka dperlukan adanya perlndungan terhadap kegatan yang bersfat novatf yang dlakukan oleh aparatur spl negara d Daerah dalam memajukan Daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreatvtas Daerah untuk menngkatkan daya sang Daerah. Untuk tu perlu adanya krtera yang obyektf yang dapat djadkan pegangan bag pejabat Daerah untuk melakukan kegatan yang bersfat novatf. Dengan cara tersebut novas akan terpacu dan berkembang tanpa ada kekhawatran menjad obyek pelanggaran hukum. Inovas daerah semakn mendekatkan pemerntah daerah untuk mencapa tujuan negara dan tujuan otonom, pemerntah daerah lebh “luwes,” dalam perencanaan (planning) sebaga keseluruhan proses pemkran dan penentuan secara akurat tentang kegatan yang akan dlakukan dmasa yang akan datang, untuk pencapaan tujuan yang telah dtentukan, serta dalam tata kelola (governance) dengan pendekatan fungsonal,15 dalam rangka pengelolaan yang lebih efektif, eisien dan akuntabel. III. PENUTUP Inovas d daerah sebelumnya terganjal oleh aturan hukum yang belum mengakomodr kebutuhan kebjakan yang mengarah pada novas, praktek-praktek penyelenggaraan pemerntah yang mash rentan adanya paraktek-praktek KKN, sehngga menmbulkan kekhawatran. 15
Made Gde Subha Karma Resen, Government As An Entrepreneur (Good Governance In Functonal Approach), South East Asa Journal of Contemporary Busness, Economcs and Law, Vol.
685
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Krmnalsas kebjakan, “Safety player” menjad jargon penyebab matnya nsatf dan upaya novas. Berlakunya Undang-Undang Pemerntahan Daerah serta Undang-Undang Admnstras Pemerntahan, memungknkan memperluas kegatan pemerntah, termasuk perluasan wlayah admnstras dalam kebjakan penganggaran, dengan penyemptan terhadap rsko pemdanaan (sepert korups yang terkorelas dengan penyelenggaraan pemerntahan). DAFTAR PUSTAKA Amq, Bachrul., 2010, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, LaksBang PRESSndo. Kansl, C.S.T., Kansl, Crstne S.T., Posumah, J Hanny., dan Rukah, Sad Aneke., 2009, Hukum Administrasi Daerah, Jakarta, Jala Permata Aksara. Sukard, Akhmad., 2009, Participatory Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, LaksBang PRESSndo. Sagan, Sondang P., 2014, Filsafat Administrasi, eds Revs, Jakarta, Penerbit Sinar Graika Offset. Haran Kompas, “Problem Belum Terjawab: Inkonsistensi Pemerintah Hambat Undang-Undang Pemerintahan Daerah,” Kams 24 Aprl 2014. Rngkasan Eksekutf Power, Welfare and Democracy Project, 2014 “Demokrasi di Indonesia: Antara Patronase dan Populisme”, kerjasama antara Unverstas Gadjah Mada (Jurusan Poltk dan Pemerntahan) dan Unversty of Oslo serta ddukung oleh The Royal Norwegan Embassy. 686
Made Gde Subha Karma Resen dan I Ketut Tjukup, Planning The Diametrical Growth Of Development And Welfare (Legal Aspects Of Human Capital Investment Towards Quality Improvement Of Indonesian Labor Force), Internatonal Journal of Busness, Economcs and Law, Vol. 6, Issue 4 Aprl 2015. Dapat dakses onlne pada: http://jbel.com/wpcontent/uploads/2015/05/Law39_ PAID_IJBEL_KARMA_PlannngThe-Dametral-Growth_TemplateIJBEL-and-SEAJBEL-vol.-6-Apr2015-Subha-Karma-Tjukup_D39.pdf Made Gde Subha Karma Resen, Government As An Entrepreneur (Good Governance In Functional Approach), South East Asa Journal of Contemporary Busness, Economcs and Law, Vol. 7, Issue 4 August, hlm, 6-10. Dapat dakses onlne pada: http://seajbel. com/wp-content/uploads/2015/09/ KLIBEL7_Law-103.pdf Roadmap Penguatan Sstem Inovas Daerah (SIDa) Kabupaten Sleman, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman, 2013. Landasan Hukum Inovas Kota Cerdas, 17 Jun 2015, dapat dakses pada www.kompasana.com/landasanhukum-novas-kota-cerdas_ 552b1588f17e610d6cd623d4 dakses pukul 12.54 Wta, Mnggu 03 Januar 2016. Perkuat Inovas Daerah, Kemendagr Sapkan RPP UU Pemerntahan Daerah, 21 Desember 2015, dapat dakses pada http://komnfo.jatmprov. go.d/read/umum/perkuat-novasdaerah-kemendagr-sapkan-rpp-uu-
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 4, No. 4 : 680 - 687
pemerntah-daerah Dakses pukul 01.03 Wta, Mnggu 03 Januar 2016. W. Rawan Tjandra, Inovasi, Diskresi, dan Korupsi, Selasa 22 September 2015, dapat dakses pada http:/nasonal.kompas.com/ read/2015/09/22/16000041/Inovas. DIskres.dan.Korups?page=all dakses pada pukul 02.39 Wta, Mnggu 03 Januar 2016. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 5587). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Admnstras Pemerntahan Peraturan Bersama Menter Negara Rset dan Teknolog Republk Indonesa dan Menter Dalam Neger Republk Indonesa Nomor: 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sstem Inovas Daerah. Biodata Penulis Nama : Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn Alamat : Jl. Campuhan No. 12 Br. Sash, Batubulan, Sukawat, Ganyar Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Unverstas Udayana/ Jl. P. Bal No. 1 Denpasar No Tlp/HP : 081999912339 e-mal: subhakarma.skr@gmal.com
687
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEBIJAKAN Oleh : Ni Luh Gede Astariyani1 ABSTRACT Shifting the notion countries formal law into state law meteriil (wefare staat) within the meaning of the welfare state agency or oficial Administrative often take a variety of speciic policy measures, among others, creating what is commonly called policy rule(beleidsregel). Such products can not be separated from the association Freies ermessen. In order setting is a rule or rules of conduct set that regulation (Regeling) can be found in the legislation (Algemeen verbindende voorschriften) internal rules that apply to the (interne regelingen) and policy (beleidrege). Establishing the policy rule (beleidsregel) is located on the beoordelingsruimte (space considerations) given by the legislators to oficials or governing bodies to take action on its own initiative public law that is setting, determination and positive action to resolve the problem- governance problems faced. Freis ermessen only intended use in the public interest. Freis ernessen implementation should be morally accountable to God Almighty, uphold the dignity and the degree of human dignity and the values of truth and justice, promoting unity and oneness, for the sake of joint / public interest. Tests on policy rule is more geared to doelmatigheid guided by the general principles of good governance Keywords: Authority And Policy Rule I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengaturan dalam konsttus yatu Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa Negara Indonesa adalah negara hukum mengandung yang memlk art luas tentang keberlakuan prnsp negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) sepert d pada negara lan. Dalam negara hukum kesejahteraan (welfare state) dmana tugas pemerntah yang palng utama adalah memberkan pelayanan umum atau mengusahkan kesejahteraan bag setap warga negara, dan memberkan perlndungan bag warga negara dalam pelaksanaan pemerntahan. Wllem Konnjnenbelt, menyatakan unsure-unsur
pentng gagasan tentang negara hukum yatu: a. kekuasaan memerntah ddasarkan pada kewenangan yang dperoleh dar UUD dan atau UU (wetmatigheid van bestuur); b. Perlndungan HAM oleh pemerntah (grondrechten); c. Adanya pemsahan kekuasaan , yang bermbang dan salng mengawas (machtsverdeling); dan d. Setap tndakan pemerntahant dkontrol oleh badan peradlan yang menla secara bebas sahnya perbuatan tersebut (rechterlijke controle).2
1
2
688
Penuls Dosen Fakultas Hukum Unverstas Udayana, emal: astaryan
[email protected]
Wllem Konjnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Admnstratef Recht, Lemma, hlm.36 – 37.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
D dalam lteratur rechtsstaat en Sturing yang dtuls oleh Bevens dnyatakan bahwa kekuasaan peme-rntah (bestuur) yang menjad objek hukum admnstras adalah kekuasaan negara d luar kekuasaan legslatf dan yudsl yang lebh dkenal dengan stlah bestuur. Konsep bestuur mengandung konsep sturing (sturen). Konsep sturen pada dasarnya mengandung unsur-unsur: 1) Sturen merupakan kegatan kontnu; kekuasaan pemerntah dalam menerbtkan zn men-drkan bangunan dan lan-lan. 2) Sturen berkatan dengan peng-gunaan kekuasaan; konsep keku-asaan adalah konsep hukum publk.. 3) Sturen melput bdang d luar kekuasaan legslas dan yudsal, namun kekuasaan n lebh luas dar kekuasaan eksekutf. Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara mengatur tentang asas Penyelenggaraan kebjakan dan manajemen Aparatur Spl Negara yatu dalam Pasal 2 pada prnspnya asas tersebut antara lan : a. pengaturan kepastan hukum; b. profesonaltas; c. proporsonaltas; d. keterpaduan; e. delegas; f. netraltas; g. akuntabltas; h. efektif dan eisien; . keterbukaan; j. nondskrmnatf; k. persatuan dan kesatuan; l. keadlan dan kesetaraan; dan m. kesejahteraan. Dalam penyelenggaraan pemerntahan bentuk penerapan asas kepastan hukum d-
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
laksanakan berupa penyelenggaraan kebjakan dan Manajemen ASN dengan mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadlan. Sfat aktf pemerntah sepert yang dgambarkan dalam konsep sturen dmaksudkan dalam bertndak tdak terbatas pada perbuatan keputusan atau pengaturan saja melankan kut serta dalam perumusan kebjakan dan evaluas kebjakan. Sturen berkatan dengan penggunaan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan harus dlandaskan pada azas negara hukum, azas demokras dan azas nstrumental. Azas negara hukum berkatan dengan azas wet en rechtmatig van bestuur. Azas demokras berkatan dengan azas keterbukaan dan tdak sekedar adanya badan perwaklan rakyat, tetap juga memberkan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengamblan keputusan. Azas nstrumental berkatan dengan hakekat hukum admnstras sebaga nstrumen. Dalam katan n azas efektiitas (doeltreffenheid: hasl guna) dan eisiensi (doelmatigheid: daya guna) harus dperhatkan dalam pelaksanaan pemerntahan. Kekuasaan pemerntahan tdak hanya sebaga kekuasaan terkat melalu prnsp wetmatigheid saja, tetap dalam batas tertentu memlk ruang dskres tdak murn. Dskres murn merupakan kebebasan untuk memutuskan secara mandr. Sedangkan dskres tdak murn adalah kebebasan untuk melakukan nter-pretas terhadap ketentuan norma hukum yang samar-samar. Untuk menjangkau kekuasaan dskres d beberapa negara dewasa n dalam katan dengan rechtmetigheid van bestuur dkembangkan asas-asas umum pemerntahan yang bak dalam penyelenggaraan pemerntahan. Asasasas pemerntahan yang bak tersebut apabla 689
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dkatkan dengan asas-asas penyelenggaraan negara dalam Undang-Undang No 28 Tahun1999 yang oleh Penjelesan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN Tahun 2004 dsamakan dengan asas-asas umum pemerntahan yang bak, dsebutkan bahwa asas umum penyelenggara negara yang bak adalah asas yang menjunjung tngg norma kesuslaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersh dan bebas dar korups kolus dan nepotsme. Pada prnspnya asas-asas umum pemerntahan yang bak yatu asas-asas hukum yang harus dperhatkan oleh para penyelenggara negara.3 Apabla dasumskan hukum admnstras adalah pemerntahan yang sah, maka azas keabsahan dalam pemerntahan memlk 3 fungs yatu : 1. Untuk penyelenggara pemerntahan azas keabsahan berperan sebaga dasar hukum penyelenggaraan pemerntahan (bestuurs-normen); 2. Untuk penerapannya bag yang dkena pengaturan azas keabsahan berfungs sebaga alasan peng-ajuan gugatan terhadap tndak pemerntahan (beroepsgronden); dan 3. bag lembaga peradlan (hakm) azas keabsahan berfungs sebaga dasar pengukan suatu tndak pemerntahan (toetsingsgronden). 1.2
Rumusan Masalah Dengan mengkaj pada asas negara hukum dan kekuasaan pemerntah maka dalam negara hukum segala tndakan d dasarkan atas hukum, karena teor negara 3
690
I Nyoman Suyatna, 2011, Rngkasan Dsertas : Asas-asas Umum Pemerntahan Yang Bak Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Program Stud Doktok Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unverstas Brawjaya, Malang, hlm.39.
hukum ddasarkan atas asas legaltas, apakah dalam negara hukum pemerntah dapat membuat kebjakan. II.
Metode Penelitian Penulsan n menggunakan jens peneltan hukum normatf dengan pendekatan konsep, pendekatan hstores, pendekatan ilsafat, pendekatan kasus dan pendekatan kontekstual terkat penerapan hukum. Dalam peneltan hukum normatve menggunakan sumber bahan hukum yang dgunakan adalah bahan hukum prmer dan bahan hukum sekunder.Metode Pengumpulan Bahan Hukum dengan stud dokumentas. Analss Bahan Hukum dalam kajan n adalah teknk menggunakan tekns analss deskrps, nterpretas dengan berpedoman pada paradgma nterpretvsme, sstematsas, argumentas dan evaluas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kewenangan Pemerintah Dalam Tata Pengaturan A. Hamd S. Attamm d dalam pdato purna bakt yang berjudul Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebjakan (Hukum Tata Pengaturan) mengunakan stlah tata pengaturan pertama kal . Dalam katannya dengan tata pengaturan : Tata berart aturan, susunan, sstem.4 peraturan, cara. Pengaturan berart proses, cara, perbuatan mengatur.5 Maka dapat dsmpulkan pengertan tata pengaturan adalah suatu aturan atau kadah tentang perbuatan mengatur yang bentuk pengaturannya (regeling) dapat djumpa pada 4
5
W.J.S.Poerwadarmnta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Eds Ketga, Bala Pustaka Jakarta, hlm.1024. Ibid, hlm.65.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende voorschriften) peraturan ntern yang berlaku ke dalam (interne regelingen ) dan peraturan kebjakan (beleidrege ). Pengaturan (regeling) memlk makna lebh luas dar pada peraturan perundangundangan (wetgeving) dan keputusan (beschiking) Dalam tata pengaturan yang menjad bagannya adalah Peraturan Perundang-undangan dalam Konteks Hukum Tata Negara dan Peraturan Kebjakan yang masuk dalam Hukum Admnstras Negara. Attamm menyatakan tata pengaturan mencakup semua jens peraturan perundangundangan yang memang merupakan satu rangkaan yang berkatan semua peraturan kebjakan yang serngkal format, bentuk serta daya katnya drasakan masyarakat tdak berbeda dengan peraturan perundangundangan.6 Dalam katannya dengan fungs-fungs negara Van Vollenhoven yang membag atas empat fungs (catur praja) yatu regeling (pengaturan), bestuur ( pemerntah dalam art sempt ketataprajaan), politie (keamanan), dan rechtspraak (peradlan).7 Fungs bestuur, politie, rechtspraak dewasa n telah berkembang menjad bestuursrecht, politierecht, rechtspraaksrecht nampaknya fungs regeling belum menjad regelingrecht. Dlhat dar kewenangan pembentukan pengaturan dalam suatu negara terhadap warga negara dan penduduk secara umum (dar seg adresssat) dan secara abtsrak (dar yang datur) beserta ketentusn sanks 6
7
A.Hamd.S.Attamm Attamm, A.Hamd S. 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pdato Purna Bahakt Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Unverstas Indonesa, hlm.17. Dana Halm Koentjoro, 2004, Hukum Admntrs Negara, Ghala Indonesa, hlm 17.
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
pemaksa dan sanks ketentuan pdana, pada hakekatnya dalah fungs legslatve yang bersumber pada volunte generale. Pemerntah yang dapat berwujud raja atau penguasa merupakan lembaga perantara antara rakyat dan negara dan bertugas melaksanakan peraturan tersebut. Hanya dalam perkembangannya yang datang kemudan pelaksanaan fungs reglementer dan berdasarkan fungs eksekutf ddasarkan pada peraturan negara yang lebh tngg dalam wujud kewenangan atrbus dan delegas, oleh karena tu dlhat dar fungs pengaturan oleh negara ( staatliche rectssetzung ) dperlukan adanya suatu tata pengaturan. Dalam tata pengaturan tentunya harus dlhat dar apa permasalahannya. Adanya kelompok yang beranggapan bahwa hukum yang mengatur kewenangan tersebut dan atrbus serta delegasnya termasuk dalam Hukum Tata Negara. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum yang mengatur keputusan dalam art umum (besluiten) termasuk keputusan (besluit) pembentukan undang-undang ke dalam Hukum Admnstras Negara, akan memasukkan Hukum Tata Pengaturan ke dalam Hukum Admnstras Negara. Namun ada yang berpendapat bahwa hukum yang mengatur kehdupan kenegaraan perlu dbag. Untuk menelaah dalam konteks HAN dan pengembangannya dewasa n d Indonesa. Tetap sebelum menelaah dalam konteks HAN tersebut, secara gars besar perlu dsnggung beberapa pengertan tentang negara msalnya Negara Hukum (rechtstaat), Negara Nasonal (nasional statae ), Negara Terrtoral Modern (modern territorial state) dan mengena Kekuasaan Negara (public power) dalam pembagan atau pendelegasan serta kebjaksanaan negara ( public policy) yang mempengaruh perkembangan HAN. 691
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Menurut pendapat Henz Schaffer yang dkutp oleh Attmm menyatakan bahwa masalah-masalah teorts dan prakts tentang lmu pembentukan hukum (rechtssetzungslehre) tdaklah hanya melput pembentukan undang-undang ( gezet ) dalam art formal semata-mata, melankan juga melput pembentukan seluruh peraturan yang berlaku umum.8 Menurut pendapat Van der Vles yang dkutp oleh Attamm dalam dsertasnya mengemukakan pengaturan (regeling) alah dalam bentuk peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende voorschriften), peraturan ntern yang berlaku ke dalam bag lembaga penyelenggara (interne regelingen), dan peraturan kebjakan (beleidregels). Menurut Jmly Asshddqe terdapat empat kategor peraturan tertuls yang pentng mendapat perhatan yatu : 1). Bentuk peraturan perundang-undangan yang umum, memlk keberlakuan umum, bersfat abstrak, karena tdak menunjuk kepada hal kongkret yang sudah ada sebelum peraturan tu dtetapkan ; 2). Bentuk Peraturan perundang-undangan yang khusus karena subyek yang daturnya, yatu dengan keberlakuan bag subyek hukum tertentu; 3). Bentuk Peraturan perundangundangan yang khusus karena wlayah berlakunya wlayah lokal tertentu ; 4). Bentuk Peraturan perundang-undangan yang khusus karena daya kat maternya berlaku nternal.9 Bentuk dan jens pengaturan tertuls yang dkenal dengan peraturan atau “regels, 8 9
692
A. Hamd.S.Attamm Attamm, op.cit, hlm.18. A.Hamd.S.Attamm Attamm,1993, op.cit, hlm.18.
regulations dan legislatin” dan bentukbentuk statutory instruments lannya sangat beranekaragam. Bahkan ada pula dalam bentuk tertentu sebaga policy rules atau beleidregels dalam bentuk peraturan kebjakan dan bukan peraturan perundangundangan. Keanekaragaman peraturanperaturan tu yang merupakan tata pengaturan keberadaannya sangat tergantung pada : 1). Tngkatan kepentngan ; 2). Relevans mater muatan yang hendak daturnya ; 3). Lembaga atau organ jabatan kenegaraan dan pemerntahan yang dber wewenang untuk menetapkannya menjad peraturan. Dalam penyelenggraaan pemerntahan negara terdapat dua jens peraturan yang berlaku secara berdampngan yatu peraturan perundang-undangan dan peraturan kebjakan. Mengngat kedudukan badan admnstras negara sedemkan pentng dan menentukan, maka peraturan kebjakan dalam bentuk peraturan maupun dalam bentuk keputusan bak d pusat maupun d daerah yang berfungs pengaturan. Fungs pengaturan adalah bagan yang essensal dar Negara Republk Indonesa sebaga negara hukum sosal ( sociale rechtstaat), dalam art bahwa sociale rechtstaat tu tdak mungkn mencapa tujuan atau tdak mungkn menjad kenyataan tanpa adanya tata pengaturan dalam bentuk peraturan kebjakan yang merupakan perwujudan kebebasan bertndak oleh Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang tdak terkat. Apabla dperhatkan pandangan tersebut, maka kenyataannnya dalam praktk pemerntahan daerah, nampaknya peraturan kebjakan dewasa n, banyak yang bersfat
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
mengatur dan bahkan mengkat warga secara umum. Hal n merupakan masalah karena badan atau pejabat yang mengeluarkan keputusan tdak memlk kewenangan untuk mengatur, lebh-lebh untuk mengkat warga secara umum. Tugas pemerntahan tdak hanya menerapkan ketentuan yang tertuls dalam dalam pengaturan karena pembuat hukum tdak akan mamapu memperhtungkan stuas kongkrt yang tmbul dalam penerapannya. Pergeseran pemkan negera hukum forml menjad negara hukum meterl ( wefare staat) tdak mungkn segala sesuatu dtur dalam peraturan perundang-undangan dengan kompleksnya tugas pemerntah, badan pemerntah yang dlakukan pemerntah, badan-badan pembuat undangundang berkecendrungan memberkan lebh banyak kebebasan untuk melaksanakan pemerntahan.10 3.2
Peraturan Kebijakan Penyelenggaraan kebjakan pemerntah merupakan penentuan kebjakan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang darahkan untuk penngkatan pelayanan dan pemberdayaan dalam rangka penyelenggaraan kepentngan umum kesejahteraan masyarakat. Pemerntah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerntahan dbebankan oleh pembentuk Undang-undang serngkal terjad, bahwa tndakan pelanggaran berupa kebjakan dalam bentuk peraturan yang dtujukan kepada masyarakat. Peraturan tersebut terjad tanpa mempunya wewenang membuat peraturan. Gejala n tdak 10
Phlpus M Hadjon, 1988, PengertianPengertian dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Besturhandeli),hlm.44.
dapat dkatakan sebaga bentuk Peraturan Perundang-undangan, sedangkan dtnjau dar fungs atau mater muatannya mrp dengan Peraturan Perundang-undangan. Dalam katannya dengan pengatrbusan dan pendelegasan A.Hamd. S.Attamm mengemukakan : Selan jens dan bentuk peraturan perundang-undangan yang dbentuk berdasarkan fungs legslatve, dperlukan bag penyelengara kebjakan pemerntahan yang tdak terkat (vrijbeleid) pun tentunya akan dkeluarkan juga berbaga peraturan kebjakan (beleidsregel) yang dadasrkan pada kewenangan eksekutf.11 Peraturan kebjakan (beleidsregel) terjad dalam bentuk yang berlanan, melakukan pemerntah yang bebas ( tdak terkat). Penyelenggaraan pemerntahan yang tdak terkat n member kesempatan bebas bag fungs pengaturan secara admnstratf akbatnya dapat dbayangkan betapa banyaknya peraturan perundang-undangan dan peraturan kebjakan yang belum tentu semuanya memenuh syarat asas perundangundangan dan asas kebjakan yang patut. Dengan demkan maka dalam praktk penyelenggaraan pemerntahan terdapat jens peraturan yang dapat berlaku secara berdampngan, yatu peraturan perundangundangan dan peraturan kebjakan. Kedua jens peraturan perundang-undangan tu dalam kenyataan tdak mudah untuk dbedakan dan dsamakan. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebaga penentu kebjakan dewasa n serngkal melakukan tndakan-tndakan berupa keputusan yang 11
A.Hamd S. Attamm, 1993, op.cit, hlm.5.
693
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
tdak memenuh syarat menurut hukum sama sekal sehngga muncul dalh fries ermessen dan dem kepentngan umum atau pembangunan. Untuk menghndar dan mengantspas hal tersebut perlu dupayakan agar peraturan kebjakan memenuh syaratsyarat asas pemerntahan yang bak dan patut. Dapat dsmpulkan bahwa yang berdasarkan kebebasan bertndak dapat mempunya kekuatan mengkat sebaga : 1. Memlk kekuatan mengkat apabla pembentukannya berdasarkan kewenangan delegas suatu undangundang. 2. Apabla pembentukannya berasal dar kebebasan penlaan atau kebebasan nterpretas. 3.2.1 Dasar Pembuatan. Menurut Belfante peraturan perundang-undangan semu adalah : Tndakan hukum admnstras yang bukan merupakan peraturan umum yang mengkat yang tmbul menurut peraturan untuk tu dalam Hukum Tata Negara atau dtetapkan oleh badan yang dnyatakan berwenang, dalam Hukum Tata Negara untuk perundangundangan dalam art materal, melankan dalam bentuk kebjaksanaan yang bentuk penerapannya dalam bdang hukum admnstras12 Peraturan kebjakan (beleidsregel) dbentuk sebaga perwujudan Fries Ermessen (discretionary power) yatu kewenanagan
12
694
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan pemerintah yang dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hlm.109.
yang berkarakter Fries Ermessen dalam bentuk tertuls dan mengkat pada warga. Mater muatan pengaturannya memuat aturan umum (algemene regel) tersendr yang melampau cakupan kadah ( materialsphere) peraturan perundang-undangan yang dbuat pengaturan secara operasonal.Lembaga yang membuat peraturan kebjakan (beleidsregel ) tdak memlk kewenangan membentuk perundang-undangan namun secara tdak langsung mengkat para warga sebagamana halnya dengan kadah-kadah “ juridische regels”. Dapat dsmpulkan bahwa bentuk peraturan kebjakan bukanlah peraturan perundang-undangan. Karena lembaga yang membentuk peraturan kebjakan tdak memlk kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan (wetgevende bevoegdheid). Bentuk peraturan kebjakan tdak langsung mengkat secara hukum, tetap mempunya relevans hukum. Pembentukan peraturan kebjakan (beleidsregel) ddasarkan pada adanya beoordelingsruimte (ruang pertmbangan) agar mengambl tndakan hukum publk yang bersfat pengaturan yang dberkan pembentuk undang-undang kepada pejabat atau badan-badan pemerntahan atas nsatf sendr. Insatf n berupa tndakan nyata yang postf guna menyelesakan masalahmasalah penyelenggaraan pemerntahan yang dhadap pada saat tertentu yang memerlukan pengaturan . Ruang pertmbangan (beoordeling sruimte) dkenal ada 2 bentuk yatu subjectieve beoordelingsruimte dan objectieve beoordelingsruimte. Subjectieve beoordelingsruimte mengandung pengertan ruang pertmbangan yang bersfat umum dan bebas semata-mata berdasarkan pertmbangan subyektf. Istlah lan dar
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
subjectieve beoordelingsruimte adalah beoordelingsvrijheid, discretionaire bevvoeghdheid, freies ermessen dan beleidsvrijheid. Objectieve beoordelingsruimte mengandung pengertan adanya ruang pertmbangan yang bersfat nterprestas yang dberkan pembentuk undang-undang kepada pejabat atau Badan Admnstras Negara untuk melaksanakan tndakan hukum publk menurut stuas konds dan obyek permasalahan yang obyektf. Ruang pertmbangan yang dberkan oleh pembentuk undang-undang umumnya hanya dengan crtera yang samarsamar..13 Peraturan kebjakan yang dbentuk ddasarkan atas kebebasan bertndak harus dber lmt / batas atau tolak ukur, apapun bentuk kebebasan yang akan dpergunakan hendaknya harus ada ruang yang dberkan oleh pembentuk undangundang sehngga wewenang untuk bebas bertndak, sehngga tdak terjad penyalah gunaan wewenang atau sewenang-wenang. Penerapan asas kebebasan bertndak dalam peraturan kebjakan merupakan bentuk skap tndak organ pemerntahan. Menurut J.B.J. M. Ten Berrge adalah bentuk kebebasan yang dznkan / dbolehkan oleh peraturan perundang-undangan bag organ pemerntahan untuk membentuk keputusan dapat dbedakan dalam kebebasan kebjaksanaan dan kebebasan penlaan, yatu : 1. Dalam bentuk kebebasan kebjaksanaan dalam bentuk (wewenang dskret dalam art sempt) bla Peraturan Perundang-
undangan member kesempatan kepada organ pemerntahan wewenang tertentu, sedangkan organ bebas untuk (tdak) menggunakannya meskpun syarat-syarat bag penggunaannya secara sah dpenuh ; 2. Dalam bentuk kebebasan penlaan (wewenang dskret) dalam art yang tdak sesungguhnya) ada, menurut hukum dserahkan kepada organ pemerntahan untuk menla secara mandr dan eksklusf apakah syaratsyarat bag pelaksanaan wewenang secara sah telah terpenuh sehngga dbentuk pengaturan dalam bentuk peraturan.14 Ann Sedman dalam bukunya Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Masyarakat Yang Demokrats menyatakan pembatasan dalam pembentukan Peraturan Kebjakan :15 1. Adanya batas kewenangan yang dberkan dalam undang-undang utama pada nstans yang membentuk peraturan ; 2. Pembenutkan peraturan Tdak dbenarkan adanya pertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan lannya ; 3. Adanya keharusan untuk memenuh ketentuan-ketentuan dalam hhukum admnstras negara . Dalam pembentukan peraturan kebjakan menurut Sjachran Basah menyatakan adanya pembatasan keleluasan dalam menentukan kebjakan dengan dua 14
13
Lukman,Marcus 1997, Eksistensi Peraturan Kebijakan Dalam Bidang Perencanaaan Dan Pelaksanaaan Rencana Pembangunan Di Daerah Serta Dampak Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Dsertas UNPAD Bandung, hlm. 187-189.
15
J.B.J.M.Ten Berge, et al, 1991, Pengantar Hukum Peizinan, dsuntng oleh Phlpus M.Hadjon, Utrecht, hlm.8. Sedman, Ann et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis, Terjemahan ELIPS Jakarta hlm.374.
695
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
batas yatu adanya pembatasan batas atas dan pembatasan dalam bentuk batas bawah. Batas atas adalah adalah ketaat asasan ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas taat asas yatu bentuk pengaturan yang berederajat lebh rendah tdak boleh bertentangan dengan peratura yang lebh tngg. Batas bawah adalah peraturan yang dbuat tdak boleh melanggar hak dan kewajban asas manusa16. 3.2.2. Karakteristik Peraturan Kebijakan Van Kreveld mengemukakan, peraturan kebjakan umumnya mempunya cr-cr berkut : a. Bentuk peraturan tu bak secara langsung maupun tdak tanpa ada dasar kewenangan dar UndangUndang Dasar atau pada Undangundang; b. Peraturan tu dapat : (1). Dalam bentuk tdak tertuls dalam bentuk rangkaan keputusan nstans pemerntah yang berdr sendr untuk menyelenggarakan kewenangan pemerntahan yang tdak terkat ; (2). Dtetapkan dalam bentuk tertuls oleh suatu nstans pemerntah. c. Bentuk pengaturan untuk bertndak dalam menyelenggarakan kewenangan pemerntahan yang tdak terkat17 Karakter dan cr menunjukkan peraturan kebjakan bukan Peraturan Perundang-undangan. Dlhat dar seg sfat mater Peraturan Kebjakan menurut Ten Berge : 16
17
696
Sjahran Basah, 1992, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak administrasi Negara, Alumn Bandung, hlm.3-5. A.Hamd.S.Attamm I, op.cit, hlm.11.
“Peraturan Kebjakan (beleidsregel) hanya bsa tmbul bla wewenangwewenang pemerntahan tdak terkat secara mutlak. Peraturan Kebjakan dalam praktek pemerntahan, … melalu aturan-aturan kebjakan dber s pada norma-norma yang hendak dtetapkan guna kepentngan perlndungan.Aturan-aturan kebjakan dber s norma-norma yang hendak dtetapkan guna kepentngan perlndungan. Aturan-aturan kebjakan tdak bersandar pada suatu wewenang umum yang dtark dar pendelgasan sehngga bukan merupakan bentuk pengaturan. Suatu konsekuens pentng dar hal n adalah bahwa warga ( masyarakat ) tdak dapat dkat oleh aturan-aturan kebjakan. Namun organ pelaksana memang mengkat dr sendr.”18 H.M.Laca marzuk mengemukakan unsur-unsur peraturan kebjakan antara lan: 1. Dkeluarkan oleh pejabat pemerntah fries ermessen sebaga bentuk dalam pengaturan, yang setelah tu dumumkan keluar guna dberlakukan kepada warga ; 2. Mater muatan dmaksud pada nyatanya telah merupakan peraturan umum (generale rule) tesendr, jad tdak lag sekedar sebaga petunjuk pelaksanaan operasonal sebagamana tujuan semula dar peratuan kebjakan tu sendr ; 3. Badan atau pejabat tu, sama sekal tdak memlk kewenangan membuat peraturan umum (generale rule) 18
J.B.J.M.Ten Berge, op.cit, hlm.41.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sedemkan, namun tetap dpandang ligimated mengngat peraturan kebjakan atau beledregel dmaksud tdak lan dar perwujudan fries ermessen yang dber bentuk tertuls.19 Pada subjectieve beoordelingsruimte atau ruang pertmbangan bebas dsebut juga dengan stlah boordelingvrijheid. Terdapat tga boordelingvrijheid dan tga beleidsregel yatu : (1). Binnen – wettelijke boordelingvrijheid yatu peraturan kebjakan yang lahr dar kebebasan mempertmbangkan ntra legal. (2). Buiten-wettelijke boordelingvrijheid yang melahrkan kebebasan pertmbangan ekstra legal. Tdak memlk landasan undang-undang ataupun Peraturan Perundangundangan yang jelas, alasan pembenarnya semata-mata dtekankan pada asas doelmatigheid, kebasaankebasaan admnstras dan asas-asas pemerntahan yang layak ; (3) Tengen-wettelijke boordelingvrijheid yang melahrkan kebebasan pertmbangan kontrak legal. Tengenwettelijke boordelingvrijheid dbag lag menjad. : Tengen-wettelijke beleid(a). sregel yang pembentuk kannya ddasarkan pada Binnen-wettelijke boordelingvrijheid yatu peraturan kebjakan yang menympang peraturan perundang-undangan yang memlk landasan yurds yang jelas; 19
H.M. Laca Marzuk, 1996, Peraturan Kebijakan (beleidregel), bahan penataran hukum admnstras dan hukum lngkungan, FH Unv. Arlangga Surabaya 4-12 Januar, hlm.1.
(b). Tengen - wettelijke beleidsregel yang pembentukkannya d dasarkan atas bestuurbevoegdheid yatu peraturan kebjakan yang menympang Undang-undang atau Peraturan Perundang-undangan yang tdak memlk landasan yurds yang jelas.20 3.2.3. Landasan Keabsahan dalam Pembentukan. Pembentukan peraturan kebjakan apabla dkaj dar landasan keabsahan mempunya nla keadlan dan kemanfaatan keberlakuan peraturan kebjakan yang dtetapkan oleh pejabat atau badan admnstras untuk memberkan arahan bag bawahan serta mengatur berbaga kepentngan dan poss hukum dalam masyarakat. Peraturan kebjakan tdak memlk nls kepastan hukum karena tdak ada dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan melankan perwujudan Fries Ermessen (discretionary power). Penggunaaan freies Ermessen sehubungan dengan pengaturan operasonal yang ada awalnya Raja menyusun garsgars besar sebaga petunjuk ke dalam sebaga permulaan langkah untuk mencegah kebjakasanaan yang berubah-ubah tdak menentu, yang kemudan gars-gars besar kebjakan tu dpublkaskan. Peraturan Kebjakan tdak engkat langsung secara hukum tetap memlk relevans hukum dan dtujukan kepada badan atau Pejabat Admnstras Negara sendr. Penerapan freis ernessen hanya dtujukan bag kepentngan umum. Freis ernessen tersebut harus dapat 20
Marcus Lukman, 1997, op.cit, hlm. 190-196.
697
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dpertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengutamakan persatuan dan kesatuan, dem kepentngan bersama, menjunjung tngg harkat dan derajat martabat manusa serta nla-nla kebenaran dan keadlan,Pengujan terhadap peraturan kebjakan lebh darahkan kepada doelmatigheid dan arena batu ujnya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerntahan yang layak. IV. PENUTUP 4.1 Simpulan Penyelenggara pemerntahan tdak hanya menerapakan ketentuan dalam bentuk pengaturan yang lebh tngg karena pembentuk peraturan perundang-undangan tdak akan mamapu memperhtungkan stuas kongkrt yang tmbul dalam penerapannya. Pergeseran pemkan negera hukum forml menjad negara hukum meterl (wefare staat) dalam art negara kesejahteraan mengaharuskan pemerntah selaku penyelenggara pemerntahan serngkal menempuh berbaga bentuk kebjakan dengan membentuk pengaturan berupa peraturan kebjakan (beleidsregel, policy rule). Pembentukan peraturan kebjakan tdak terlepas dar penerapan freies ermessen . Dalam tata pengaturan kadah tentang perbuatan mengatur yang pengaturannya (regeling) dalam bentuk peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende voorschriften ) peraturan ntern yang berlaku ke dalam (interne regelingen) dan peraturan kebjakan (beleidregel ). Pembentukan peraturan kebjakan (beleidsregel) dadasrkan pada adanya beoordelingsruimte (ruang pertmbangan) yang dberkan pembentuk undangundang kepada pejabat atau badan-badan 698
pemerntahan dengan nsatf sendr mengambl tndakan hukum publk berupa , penetapan maupun tndakan nyata yang postf pengaturan guna menyelesakan masalahmasalah penyelenggaraan pemerntahan yang dhadap pada saat tertentu . Freis ernessen dtujukan dem kepentngan umum dan harus dpertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengutamakan persatuan dan kesatuan, menjunjung tngg harkat dan derajat martabat manusa serta nla-nla kebenaran dan keadlan, dem kepentngan bersama / kepentngan umum. Bentuk pengujan terhadap peraturan kebjakan lebh darahkan kepada aspek kemanfaat (doelmatigheid) dengan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan pemerntahan yang bak DAFTAR PUSTAKA A.Hamd.S.Attamm, 1993, Hukum Tentang Perundang-Undangan Dan Peraturan Kebijakan ( Hukum Tata Pengaturan), Pdato Purna Bahakt Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Unverstas Indonesa. Basah, Sjahran 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap dan Tindak Administrasi Negara, Alumn Bandung. Berge J.B.J.M.Ten Splet, et al, 1991, Pengantar Tentang Hukum Peizinan, Utrecht. Dana Halm Koentjoro, 2004, Hukum Adminitrsi Negara, Ghala Indonesa. Hadjon, Phlpus M 1988, Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Besturhandeling). Marcus, Lukman 1997, Eksistensi Tentang Peraturan Kebijakan Dalam Bidang
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 4, No. 4 : 688 - 699
Perencanaaan Dan Pelaksanaaan Rencana Pembangunan Di Daerah Serta Dampak Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, UNPAD Bandung. Marzuk, H.M. Laca 1996, Peraturan Kebijakan (beleidregel), bahan penataran hukum admnstras dan hukum lngkungan, FH Unv. Arlangga Surabaya 4 -12 Januar, hlm. 1. Suyatna, I Nyoman 2011, Rngksssn Dsertas: Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Program Stud Doktok Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unverstas Brawjaya, Malang. Ann Sedman, et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Masyarakat Hukum Yang Demokratis, Terjemahan ELIPS Jakarta Usfunan, Johanes 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta. W.J.S.Poerwadarmnta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Bala Pustaka Jakarta. Wllem & Konjnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Lemma Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesaa Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersh dan bebas dar Korups, Kolus dan Nepotsma Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang No 5 Tahun 1986 tentang Peradlan Tata Usaha Negara Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara.
699
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PENYELESAIAN WICARA MELALUI PERADILAN OLEH MAJELIS UTAMA DESA PAKRAMAN (MUDP) PROVINSI BALI Oleh : I Made Somya Putra1 ABSTRACT This study aim to describe and analyze in debt about the basic authority in resolving Main Assembly of Pakraman Village or Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Province speech by justice and how to talk through the judicial settlement process by MUDP Bali Province. This research used normative legal research based legal document research and library research. The conclusion in this study, that authority obtained MUDP Bali to inish the speech obtained a mandate by Council Decision No. 050 Main Pakraman / Kep / Psm1 / MDP Bali / III / 2006 concerning the results of the Great Pasamuhan I MDP Bali and Completion of speech through the courts by MUDP Bali has been arranged by the Decision of the MDP Bali Number: 002 / Skep / MDP Bali / IX / 2011 on the Implementation Guidelines and Technical Guidelines Speech by Assembly Resolution Pakraman (MDP) Bali as a form of autonomy that is owned by Pakraman. Keywords: Dialogue, Justice, Main Assembly of Pakraman Village (MUDP) Bali Province I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 sebagamana dubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya dsebut Perda Desa Pakraman), Desa Pakraman2 memlk hakhak tradsonal. Salah satu hak tradsonal
1
2
700
Penelt adalah Mahasswa Program Stud Magster (s2) Ilmu Hukum, Jurusan Hukum Dan Masyarakat, yang berprofes sebaga Prakts Hukum (Advokat), berkantor d Lembaga Advokas Dan Bantuan Hukum Indonesa (LABHI)-Bal, Alamat Jln. Pulau Buru, No.3, Blog : lawyersnbal.wordpress.com, E-Mal : somyaputra@gmal.com, Hp. 081805585011. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat ( KMHA) d Propns Bal yang mempunya satu kesatuan trads dan tata krama pergaulan hdup masyarakat umat Hndu secara turun temurun dalam katan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunya wlayah tertentu dan harta kekayaan sendr serta berhak mengurus rumah tangganya sendr (Baca : Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 sebagamana dubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman).
Desa Pakraman adalah membuat awigawig,3 d sampng menyelenggarakan pemerntahan sendr, serta menyelesakan persoalan-persoalan hukum yang terjad d wlayahnya, bak yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat. Dalam perkembangannya kemudan Desa Pakraman memlk beberapa masalah yang tdak semua dapat dselesakan secara nternal Desa Pakraman. Untuk tulah dperlukan suatu keputusan Majels Utama Desa Pakraman (MUDP) Provns Bal untuk menyelesakan perkara adat tersebut. Berdasarkan Pasal 14 Perda Desa Pakraman, Majels Desa Pakraman (MDP) Provns Bal yang berkedudukan d bu kota propns dsebut Majels Utama Desa Pakraman 3
I Wayan Surpha memberkan pengertan awg-awg yatu berupa peraturan yang mengatur pergaulan hdup untuk mewujudkan tata kehdupan yang ajeg dalam masyarakat (baca : I Wayan Surpha, 1993, Eksistensi Desa Adat di Bali, Penerbt PT. Upada Sastra, Denpasar, hlm.26).
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
(MUDP) yang merupakan MDP yang memlk tngkat tertngg datas Majels Madya Desa Pakraman (MMDP) yang berkedudukan d bukota kabupaten/kota, dan Majels Alt Desa Pakraman ( MADP), berkedudukan d bukota kecamatan. Pasal 16 dan Ayat (1) dan Ayat (2) Perda Desa Pakraman mengatur tentang Tugas dan wewenang MDP Provns Bal. Khusus untuk masalah penyelesaan kasuskasus adat Kewenangan MUDP Provns Bal hanyalah sebaga penengah saja untuk kasuskasus adat murn yang tdak terselesaka pada tngkat desa, namun ternyata MDP Provns Bal tdak hanya menjad penengah saja, tetap juga sebaga pemutus dalam perkara adat. Perkara adat yang bukan termasuk dalam perkara perdata maupun pdana, namun termasuk perkara adat murn d Bal kemudan dsebut dengan wicara.4 Dar uraan tersebut d atas, Keputusan MUDP Provns Bal tersebut ternyata memlk kontrovers dar aspek yursds dmana dalam realta MUDP Provns Bal sudah menyelesakan wicara dengan cara memutus bukan menengah atau melakukan medas, sementara dalam aturan hukum yang terseda, MUDP Provns Bal hanya berwenang menengah sengketa adat atau wicara saja bukan untuk memutus, tupun terbatas pada sengketa sebagamana tercantum dalam Pasal 16 Perda Desa Pakraman. 4
Wicara atau perkara adat adalah perkara yang muncul karena sengketa adat atau pelanggaran norma hukum adat Bal, bak tertuls maupun tdak tertuls (catur dresta) yang djwa oleh nla-nla agama Hndu, yang tdak termasuk sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut hukum negara (Baca : Majels Desa Pakraman, 2012, Purwaka Tata Cara Penyelesaian Wicara Oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bal Cet-I, Majels Utama Desa Pakraman (MUDP) Bal, Denpasar).
1.2
Rumusan Masalah Dar latar belakang yang telah dsajkan tersebut, maka dapatlah dkemukakan rumusan masalah, antara lan : 1.2.1 Apa dasar kewenangan MUDP Provinsi Bali dalam menyelesaikan Wicara melalui Peradilan? 1.2.2 Bagaimana proses penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan peneltan dalam peneltan n dbedakan menjad tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun penjelasan masng-masng tujuan dmaksud adalah : 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum peneltan n adalah untuk memaham dan mengetahu tentang aspek hukum Penyelesaan Wicara bak yang bersumber dar hukum adat maupun ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan ketertban, keamanan dan kedamaan wlayah Bal, khususnya wlayah Desa Pakraman. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk memaham dan menganalss dasar kewenangan MUDP Provns Bal dalam menyelesakan Wicara melalu peradlan. 2. Untuk mengetahu dan mengAnalss proses penyelesaan Wicara melalu peradlan oleh MUDP Provns Bal. II.
METODE PENELITIAN Peneltan n sesua permasalahannya yatu penyelesaan wicara melalu Peradlan oleh MUDP Provns Bal adalah tergolong 701
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam peneltan normatf yatu peneltan yang dlakukan dengan mengkaj peraturanperaturan hukum yang ada. Sedangkan pendekatan yang dlakukan adalah pendekatan konseptual. Peneltan n menggunakan bahan hukum prmer, bahan hukun sekunder dan bahan hukum terser. Bahan hukum prmer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa ( UUD NRI) Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asas Manusa ( Selanjutnya dsebut UU HAM), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah (selanjutnya dsebut UU PEMDA), Perda Desa Pakraman, Anggaran Dasar Majels Desa Pakraman Bal Tahun 2004 (selanjutnya dsebut AD/ART MDP Bal), Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bal/III/2006 tentang Hasl-hasl Pasamuhan Agung I MDP Bal, Keputusan Majels Utama Desa Pakraman (MDP) Bal Nomor : 01/Kep/ Psm-2/MDP Bal/X/2007 tentang Hasl-hasl Pasamuhan Agung II MDP Bal. Sedangkan Bahan Hukum sekunder yang dgunakan adalah pandangan, doktrn para sarjana yang terdapat dalam lterature maupun artkel yang membantu pemahanam bahan hukum prmer, termasuk pula bahan hukum terser sepert kamus dan bahan dar nternet. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Dasar Hukum Kewenangan Penyelesaian Perkara Adat Oleh Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Desa Pakraman adalah KMHA yang daku oleh Negara. Pengakuan tersebut termuat dalam Pasal 18 B Ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republk Indonesa 702
Tahun 1945. Selan tu pengakuan atas hakhak tradtonalnya juga dhormat sebaga bentuk denttas budaya dan hak masyarakat sebagamana dtegaskan dalam Pasal 28I ayat (2 Pasal 18 B Ayat (2) Undang-undang dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945. Selan konsttus, Pasal 2 ayat (9) UU PEMDA juga menyebutkan pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradsonalnya sepanjang mash hdup dan sesua dengan perkembangan masyarakat dan prnsp NKRI. Ketentuanketentuan sebaga pengakuan Negara atas Kesatuan Masyarakat Hukum Adat melandas terbtnya Perda Desa Pakraman. Pasal 16 ayat (1) butr c Perda Desa Pakraman menegaskan tentang tugas Majels Desa Pakraman yang menyebutkan “Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas melaksanakan setiap keputusan-keputusan Paruman Majelis dengan aturan-aturan yang ditetapkan”. Berdasarkan kewenangan MUDP Provns Bal yang ternyata dperoleh dar peraturan perundang-undangan dalam menyelesakan wicara yang ada maka sudah nyata dan jelas bahwa MUDP Provns Bal mendapat kewenangan secara delegas5 dar Perda Desa Pakraman.
5
Kewenangan yang dperoleh dar konsttus secara atrbus, delegas, maupun mandat.Atrbus menunjuk pada kewenangan yang asl atas dasar konsttus (UUD), delegas dtegaskan sebaga pelmpahan wewenang kepada organ pemerntahan yang lan dan mandat bertndak atas nama pember mandat (Baca : F.A.M. Stronk dalam Abdul Rasyd Thalb, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Ctra Adtya Bakt, Bandung, hlm.219).
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.2
Kewenangan Otonom Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Dalam Penyelesaian Wicara Majels Desa Pakraman (MDP) Provns Bal dbentuk oleh seluruh Desa Pakraman pada har Sukra (Jumat) Wage, wuku Krulut, Isaka Warsa 1925, tanggal 27 Februar 2004, d Wantlan Pura Samuan Tga, Desa Pakraman Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Ganyar, dengan demkan Majels Desa Pakraman adalah dervas Desa-Desa Pakraman yang dbentuk oleh masyarakat, dalam hal n adalah masyarakat hukum adat Bal. Kewenangan Desa Pakraman yang telah dkukuhkan dalam Pasal 6 Perda Desa Pakraman. Kewenangan nlah yang ddervaskan kepada Majels Desa Pakraman melalu Pasamuhan Agung maupun Paruman Agung.6 Selan pengakuan dar negara yang djamn dalam konsttus, Desa Pakraman juga memlk hak otonom dalam menyelesakan permasalahan yang terjad sebagamana datur dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) UU HAM terkat pengakuan KMHA memlk hak asas manusa, yang wajb dlndung dan dperhatkan oleh hukum, masyarakat, dan Pemerntah, bahkan juga denttas budayanya serta hak atas tanah ulayat yang dmlk ddalamnya. Khusus d Provns Bal, dengan adanya Perda Desa Pakraman sebenarnya sudah memperlhatkan adanya kepastan hukum terhadap Hak Otonom7 tersebut. Sedangkan Majels Desa Pakraman (MDP), dem mewujudkan penyelesaan wicara sebaga hak otonom Desa Pakraman maka 6
Pasal 1 Angka 16 Perda Desa Pakraman menegaskan bahwa “ Paruman agung adalah sdang utusan prajuru desa pakraman se-Bal yang mempunya kekuasaan tertngg d Propns”
telah mengeluarkan 2 (dua) buah Keputusan, antara lan : 1. Keputusan MUDP Nomor 050/Kep/ Psm-1/MDP Bal/III/2006 tentang Hasl-hasl Pasamuhan Agung I MDP Bal, pada Lampran III butr 2 : “MDP d semua tngkatan secara berjenjang berkewenangan menyelesakan persengketaan adat yang tdak berhasl dselesakan d tngkat kerta desa/ prajuru desa d Desa Pakraman”. 2. Keputusan MUDP Nomor : 01/Kep/ Psm-3/MDP Bal/X/2010 tentang Hasl Pasamuhan Agung MDP Bal Tahun 2010 yang menyatakan adanya Program Unggulan, antara lan : Butr 4 : “Mengoptmalkan peran dan fungs Desa Pakraman beserta jajaran Majels Desa Pakraman dalam menyelesakan kasus-kasus adat berdasarkan hukum adat Bal.” Butr 5 : “Memperjuangkan penyelesaan wicara yang telah dselesakan oleh Desa Pakraman dan jajaran MDP Bal supaya mendapat legtmas lembaga peradlan Negara.”
7
Dalam katan n, sepert yang d kemukakan Dharmayudha dalam Wnda, bahwa stlah otonom atau otonom, semula berart peraturan sendr atau mempunya hak atau kewenangan untuk membuat peraturannya sendr. Kemudan stlah otonom tersebut berkembang menjad pemerntahan sendr (Baca : Wayan P.Wnda, 2004, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali, LPM Unverstas Udayana, Denpasar, hlm.31).
703
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Berdasarkan sfat otonom tersebut maka dapat dnla bahwa hukum memberkan pengertan yang jelas dan tegas berupa8 : 1) Bahwa semua hal yang terkat dengan permasalah adat murn d Bal yatu yang bukan termasuk ranah hukum Pdana, juga bukan termasuk ranah hukum Perdata umum, dan bukan juga dalam unsur Tata Usaha Negaranya, maka kewenangan untuk menyelesakan dan/atau sekalgus memutus berada secara otonom pada Desa Pakraman (DP) dan seterusnya sampa pada Majels Utama Desa Pakraman (MUDP) Bal. 2) Bahwa Majels Desa Pakraman, adalah Lembaga Adat yang dbentuk dar sfat otonom Desa Pakraman sehngga bukanlah merupakan Lembaga Tata Usaha Negara. Dan Prajuru (Pengurus) Desa Pakraman maupun Majels Desa Pakraman dalam semua tngkatan bukanlah Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demkan Putusan-Putusan Desa Pakraman, Putusan-Putusan Majels Desa Pakraman, dan PutusanPutusan Majels Utama Desa Pakraman bukanlah Putusan Tata Usaha Negara 3) Bahwa Majels Utama Desa Pakraman (MUDP) Bal sebaga Lembaga Tertngg masyarakat hukum adat Bal tdak memlk lembaga atasan sehngga Keputusan-Keputusannya 8
704
Penjelasan n juga pernah dsampakan oleh Majels Utama Desa Pakraman sebaga Tergugat dalam perkara sengkata Semta-Mulung (Ganyar) akbat adanya Surat Keputusan (SK) Nomor 003/ktps/ MDP/ BALI/IV/2007, tertanggal 11 Aprl 2007 tentang Pemekaran Banjar Mulung menjad Desa Pakraman Mulung (Baca : Putusan Pengadlan Tngg Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 85/B/2012/PT.TUN. SBY, tertanggal 10 September 2012, Jo. Putusan Pengadlan Tata usaha Negara Denpasar Nomor : 05/ G/2012/PTUN DPS, tanggal 8 Me 2012).
bersifat inal dan mengikat semua krama (warga) adat beserta Lembaga Adat Bal yang bersangkutan. Dengan memperhatkan dasar hukum hukum yang ada dmaa selan datur dalam Peraturan Perundang-Undangan juga terdapat hukum yang buat oleh Desa Pakraman sendr, maka Desa Pakraman termasuk sebaga kelompok sosal yang memlk kemampuan untuk mengatur rumah tangganya sendr. Desa Pakraman adalah social ield (kelompok sosal) mempunya kapastas untuk membentuk hukumnya sendr (self-regulaton) yang dserta dengan kekuatan memaksa agar dtaat.9 3.3
Analisa Kewenangan MUDP Provinsi Bali Dalam Menyelesaikan Wicara Melalui Peradilan Eksstens Desa Pakraman mendapat pengakuan dalam peraturan perundangundangan d Indonesa termasuk dalam kewewenangannya untuk menyelesakan kasus adat murn yang terjad dalam lngkungan wlayahnya agar terbna kerukunan dan tolerans antar warga masyarakat. Dengan demkan maka kewenangan MDP Provns Bal dalam menangan dan menyelesakan wicara adat Bal dalam katan n merupakan dervatve dar kewenangan Desa Pakraman yang dputuskan melalu Paruman dan/atau Pasamuhan Agung.10 9
10
Sally Falk Moore, 1983. Law and Social Change : The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study, Law as a process, an Anthropological approach, Routledge and Kegan Paul, London, hlm.78. AD/ART MDP Bal, pasal 22 (3) huruf f menyebutkan, bahwa “Paruman Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berwenang menetapkan keputusan dan ketetapan lainnya yang dianggap perlu”
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Peraturan Daerah termasuk daku dalam herark peraturan perundang-undangan. Khusus untuk masalah penyelesaan kasuskasus adat, kewenangan MUDP Provns Bal terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2) Perda Desa Pakraman, Namun ternyata kemudan, MDP Provns Bal tdak hanya menjad penengah saja, tetap juga sebaga pemutus dalam perkara adat. Dalam Pasal 16 ayat (1) butr c Perda Desa Pakraman yang menyebutkan “Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas melaksanakan setiap keputusan-keputusan Paruman Majelis dengan aturan-aturan yang ditetapkan”, maka dtentukan bahwa MUDP Provns Bal berhak untuk menjalankan hasl – hasl Paruman MDP Provns Bal. Kemudan pada Keputusan MUDP Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bal/III/2006 tentang Hasl-hasl Pasamuhan Agung I MDP Bal, pada Lampran III butr 2 : “MDP di semua tingkatan secara berjenjang berkewenangan menyelesaikan persengketaan adat yang tidak berhasil diselesaikan di tingkat kerta desa/prajuru desa di Desa Pakraman”, ternyata Desa Pakraman melalu MUDP Provns Bal berhak melakukan peradlan kalau dkehendak oleh para phak yang bersengketa. Dengan demkan pula kemudan MUDP Provns Bal lalu melakukan penyelesaan wicara melalu peradlan. Dar Pasamuhan Agung I MDP Bal tulah kewenangan untuk mengadl wicara tu muncul, sehngga letak dar pemberan kewenangan menyelesakan perkara adat untuk MUDP Provns Bal bukanlah berasal dar peraturan perundang – undangan atau delegas dar konsttus, melankan dar hak otonom yang dmlk oleh Desa Pakraman. Dalam hal n, Desa Pakraman member
kekuasaan kepada MUDP Provns Bal untuk mengatur tekns peradlannya. Hal n berart Desa Pakraman telah memberkan mandat kepada MDP Provns Bal untuk menyelesakan wicara melalu peradlan. Negara telah memberkan perlndungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat11 bak melalu peraturan perundang-undangan maupun mplementas hak yang dterma oleh masyarakat adat, walaupun dasar pengakuan secara hukumnya berbeda dar hukum negara, namun sebenarnya tdak ada perbedaan pokok antara hukum negara dan hukum rakyat. Bahkan sebenarnya hukum negara dan hukum adat salng melengkap untuk pembangunan hukum. 3.4 Proses Penyelesaian Perkara Adat Melalui Peradilan Oleh Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali 3.4.1 Cara Penyelesaian Wicara Melalui Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Penyelesaan wicara melalu MUDP Provns Bal datur dalam Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/ Skep/MDP Bal/IX/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tekns Penyelesaan Wicara oleh Majels Desa Pakraman (MDP) Bal. Dalam petunjuk pelaksana penyelesaan wicara, penyelesaan wicara dapat dlakukan dengan cara kekeluargaan 11
Masyarakat Adat adalah sebaga kelompok masyarakat yang memlk asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geograis tertentu, serta memiliki sistem nla, dolog, ekonom, poltk, budaya, sosal, dan wlayah sendr (Baca : Panta Adhoc I DPD RI, 2009, Naskah Akademi Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Mater Uj Sahh, Dewan Perwaklan Daerah Republk Indonesa, hlm.91).
705
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
melalu perundngan langsung para phak yang terlbat dan wicara, penyelesaan wicara secara perdamaan dengan perantaraan (medas) phak ketga, bak perorangan maupun lembaga lan atau Majels Desa Pakraman (MDP) sesua jenjang, dan Penyelesaan wicara dengan dserahkan kepada Majels Madya Desa Pakraman (MMDP) untuk mendapatkan keputusan. Kalau d MMDP tdak apat menyelesakan wicara yang ada, maka wicara akan dselesakan oleh MUDP Provns Bal melalu peradlan agar mendapat keputusan. wicara tersebut Penyelesaan mengadung konsekuens yurds moral terhadap phak yang mawicara. Yurds moral tersebut adalah lahr dar asas – asas yang ada dalam penyelesaan wicara.12 Dalam penyelesaan wicara dengan cara kekeluargaan para phak dtuntut untuk memlk tkad bak dan nat yang kuat untuk menyelesakan wicara yang dhadap. Para phak senantasa menjaga hubungan dan komunkas, walaupun dalam alternatve yang dtawarkan dberkan peluang untuk tawar menawar. Dsnlah kemudan dadakan kesepakatan untuk tdak mempublkaskan suasana atau substans pembcaraan bak secara langsung maupun tdak langsung, sebelum hasl resm dperoleh.
12
706
Penyelesaan wicara patut senantasa memperhatkan dan mempertmbangkan tga asas yatu Pertama : Kalasyaan, yatu dterma secara tulus khlas oleh phak yang mawicara, Kedua : Kasujatian, yatu konds objektf yang dhadap oleh masyarakat. Ketga : Kapatutan, yatu kebakan berdasarkan hukum adat Bal dan awig-awig Desa Pakraman bak tertuls maupun tdak tertuls (catur dresta) yang sesua dengan perkembangan zaman dan nla-nla agama Hndu (baca : Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tekns Penyelesaan Wcara oleh Majels Desa Pakraman (MDP) Bal).
Salah satu persyaratan adalah para phak dwajbkan untuk menyapkan juru bcara yang tdak dapat dgant kecual dalam hal mendadak sepert sakt, mennggal duna atau dhentkan oleh phak yang menghendaknya, sehngga mengena waktu, tempat, substans pembahasan sangat pentng untuk dsepakat. Namun yang palng pentng dalam penyelesaan wicara melalu kekeluargaan adalah ketaatan terhadap asas (satya) untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dbuat, yang pada hakekatnya kesepakatan tersebut dakhr dengan matur piuning (upacara mohon jn kepada dewata) kalau selesa. Matur piuning tersebut merupakan wujud penyelesaan secara niskala (sesuatu tdak terlhat). Tugas Bandesa (pemmpn adat) dalam medas juga sangat pentng dalam penyelesaan wicara. Tugas bendesa dbedakan menjad 2 yatu tugas Bandesa MUDP ketka phak lan sebaga perantara (medator) dan ketka sebaga Bandesa MUDP yang menjad perantara (medator). Pada akhrnya tugas medator adalah menemukan solus atas wicara yang terjad, karenanya pentng kemudan dlakukan sebuah pemahaman terlebh dahulu mengena kedudukan medator sebelum dlakukannya medas yang harus dtuangkan dalam pernyataan. Setelah terjad pemahaman dan akhrnya sepakat untuk menyelesakan wicara melalu keputusan MUDP Provns Bal, baru kemudan phak yang menghendak penyelesaan wicara melalu memutus oleh MUDP Provns Bal membuat permohonan kepada MUDP Provns Bal. Dalam Petunjuk Pelaksana Tata Cara Penyelesaan Wicara, Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IX/2011 datur cara pengajuan permohonan penyelesaan wicara secara dputuskan MDP,yatu : (1) melamprkan penyelesaan oleh Bandesa Desa Pakraman dan MDP sesua jenjang; (2) melamprkan kronologs perstwa dan/atau pokok permasalahan; (3) mengajukan tawaran penyelesaan dan dasar pertmbangan penyelesaan; (4) tembusan kepada Bandesa Pakraman setempat dan/atau phak-phak yang mawicara. Syarat-syarat tersebut harus dpenuh terlebh dahulu sebelum dlakukannya tahapan-tahapan dan pedoman dalam penyelesaan wicara melalu peradlan oleh MUDP Provns Bal.
3.4.2 Hukum Acara Penyelesaian Wicara oleh MUDP Provinsi Bali Tahapan-tahapan tersebut dkenal dengan dudonan (tahapan) dan pedoman. Dudonan dan Pedoman tersebut merupakan hukum acara peradlan d MUDP Provns Bal. Pedoman Pasukertan Sabha Kerta MDP Provns Bal datur dalam Lampran 4 Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/ IX/2011. Tahapan pemerksaan (Panureksan) oleh Panureksa dawal dengan matur piuning dengan banten pejat d ruang Panureksan yang dkemudan barulah dapat dbuka oleh pmpnan pemerksan yang dsebut Manggala Panureksa, dengan menyatakan dbuka atau tertutup bag umum, yang dtanda dengan pengetokan palu. Manggala Panureksa wajb untuk memnta
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
penjelasan denttas yang mewakl phak yang mawicara. Phak-phak yang mewakl tersebut haruslah prajuru (pengurus) desa atau krama desa (warga desa) setempat yang mpl (tercatat) d Desa Pakraman yang bersangkutan setelah denttas para phak jelas barulah kemudan djelaskan terlebh dahulu tata tertb pemerksaan berdasarkan petunjuk pelaksana dan petunjuk tekns (juklak-jukns) tata cara penyelesaan wicara dmana juklak-jukns tersebut dlakukan oleh panyarikan (sekretars) Panureksa. Hal yang palng awal dlakukan adalah selambat-lambatnya sehar sebelum Pasukertan Sabha Kerta dlakukan harus dsapkan terlebh dahulu mengngatkan anggota Sabha Kerta untuk hadr dalam pasukerta, menyapkan berkas wicara beserta dengan lamprannya. Menyapkan ruang pasukertan sesua dengan format juklak-jukns Pasukertan Sabha Kerta dan menyapkan konsums dan admnstras lan secukupnya karena pasukertan bsa terjad secara marathon. Pasukertan dpmpn oleh Bandesa MUDP Provns Bal dengan tahapan : sebelum Pasukertan Sabha Kerta dmula, terlebh dahulu dawal dengan matur piuning dengan banten pejati pada tempat yang patut ruang Pasukertan, barulah kemudan pmpnan Pasukertan memerksa daftar hadr dan mencocokkan dengan jumlah anggota Sabha Kerta dan Panureksan yang hadr dmana yang hadr sudah kourum maka barulah kemudan Pasukertan dbuka atau tertutup untuk umum. Setelah hal tersebut terpenuh maka pedoman selanjutnya adalah penjelasan kronologs Panureksan dan Paruman Panureksan dmana haslnya selanjutnya dberkan kepada Sabha Kerta. Barulah 707
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
kemudan Sabha Kerta berwenang untuk memerksa, mempelajar, menla dan mengambl keputusan atas wicara yang dhadap. Setelah memerksa, mempelajar, menla dan mengambl keputusan, dlakukan Pasukertan untuk memutuskan dan menyepakat keputusan yang dambl Sabha Kerta dengan putusan yang dtandatangan oleh seluruh anggota Sabha Kerta Dan dtanda dengan ketok palu 3 (tga) kal. Dengan adanya juklak-jukns yang dbuat MUDP Provns Bal, maka memperlhatkan MUDP Provns Bal ngn sekal membuat hukum acara peradlan yang cepat, sederhana dan baya rngan. Istlah pemerksaan pembuktan dalam peradlan tersebut dnamakan Panureksan yang berart pemerksaan, sedangkan pemerksanya Panureksa. sendr dsebut dengan Peradlan untuk mendapat keputusan oleh MUDP Provns Bal sendr dnamakan Sabha Kerta. Dan untuk persdangannya Pasukertan. Istlah-stlah dnamakan tersebut merupakan cr kekhasan yang dmlk peradlan d dalam MUDP Provns Bal, yang juga membuktkan adanya sfat otonom dar Desa Pakraman yang menjelma dalam MUDP Provns Bal. 3.4.3 Analisa Terhadap Penyelesaian Wicara Melalui Peradilan Oleh MUDP Provinsi Bali Sebuah peradlan MUDP Provns Bal semata-mata untuk menunakan tugas dan wewenang yang damanatkan dalam Pasal 16 Perda Desa Pakraman. Ketka Desa Pekraman memlk permasalahan yang kemudan menjad perkara adat murn (wicara) maka reaks adat merespon untuk mengembalkan keadaan menjad sembang. 708
Selanjutnya ajaran memutus, bahwa suatu perselshan tdak mungkn dgarap secara penyelesaan, sehngga perlu adanya suatu langkah yang bersfat tegas dan jelas dengan tdak usah menghawatrkan konsekwenskonsekwens yang tmbul tentang kembal tdaknya keadaan semula yang telah terganggu.13 Penyelesaan wicara acara memutus adalah penyelesaan yang dambl berupa peradlan dmana para phak adalah phak yang bersengketa menyerahkan segala keputusannya kepada phak III untuk mengadl dan mengakhr tunuk kepada keputusan tersebut dan melaksanakan keputusan tersebut maka harusnya para phak harus mengetahu dan menerapkan asas Kalasyaan, Kasujatan dan Kapatutan yang dtetapkan dalam Keputusan MUDP Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tekns Penyelesaan Wicara oleh Majels Desa Pakraman (MDP) Bal. Dar segala ketentuan maupun mekansme atau hukum acara penyelesaan wicara tersebut peradlan oleh MUDP Bal yang ada, MUDP sebaga tngkatan tertngg dar MDP Provns Bal telah memberkan sebuah kepastan bahwa Desa Pekraman telah memlk cara sendr dalam menyelesakan wicara. Oleh karena penyelesaan wicara telah dtugaskan kepada MUDP Bal melalu Keputusan MUDP tentang hasl-hasl Pasamuhan Agung I MDP Bal. Hal yang perlu dcermat dalam keputusan tersebut adalah adanya permohonan dar MUDP Bal untuk dukungan dan pengamanan keputusan, yang 13
Moh.Koesno, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Arlangga Unversty Press, hlm.49.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
ternyata menjad hal yang sangat pentng. Dukungan dan pengamanan keputusan dtujukan lembaga lan sepert pemerntahan dnas (non adat) untuk membantu MUDP Bal. Hal n memperlhatkan keputusan tersebut sebenarnya tdak dapat deksekus oleh MUDP Bal apabla tdak dtaat. MUDP Bal sangat ketergantungan dengan ketaatan para phak terhadap asas-asas peradlan d MUDP Bal yang berlaku pada para phak. Dampak negatf dar permohonan tersebut adalah otonom desa pakraman dapat tergradas oleh karena masuknya phak d luar adat yang dengan dalh pengamanan atau menegakkan keputusan MUDP tetap ternyata memperlhatkan ntervens pada skap otonom Desa Pakraman. Dalam sebuah sstem peradlan, ujung dar peradlan tu sendr adalah sebuah eksekus. Kalau permasalahan tersebut terjad pada nternal Desa Pakraman, maka tentunya Desa Pakraman dapat menggerakkan satuan pengamanan sepert pacalang untuk melaksanakan Keputusan yang dbuat oleh Desa Pakraman kalau ternyata yang dkenakan putusan melakukan perlawanan. Sangat berbeda halnya dengan MDP Bal yang merupakan sebuah lembaga adat yang lahr bukan sebaga Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA). Sehngga pentng kemudan ketka Keputusan tersebut akan dberlakukan nantnya dlakukan oleh Para phak yang berwicara secara sungguhsungguh. Menjad persoalan ketka ternyata Keputusan MUDP Bal tersebut mendapat penolakan dar Phak yang merasa drugkan, bahkan MUDP Bal dapat menjad phak yang dgugat. Oleh karena tu, legtmas MUDP Bal ketka terjad penolakan terhadap keputusan yang tmbul akan dpertaruhkan.
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
MUDP Bal sebaga lembaga pembuat keputusan dalam sebuah wicara memerlukan pranata untuk melegtmaskan keputusan yang telah dbuat kepada para phak yang berwicara. Pranata tersebut adalah sebuah badan kelengkapan bag Sabha Kerta MUDP Bal, yang bertugas untuk mengawal setap Keputusan yang dhaslkan. Dalam hal n menurut penelt seharusnya dbentuk sebuah lembaga yang termasuk dalam kelembagaan MUDP Bal untuk melakukan eksekus semacam juru sta pada Pengadlan Umum. Kekhawatran terhadap akbat penolakan para phak yang merasa drugkan dapat dantspas dengan membentukan lembaga pendukung sebuah keputusan. Bag phak yang drugkan tentunya harapan untuk mendapat keputusan yang adl tdak terpenuh dalan Peradlan oleh MUDP Bal. Oleh Karena tu, selan pencegahan perlawanan dar phak yang merasa drugkan dengan cara membuat keputusan yang bak, juga harus dserta dengan penanggulangan berupa sebuah lembaga eksekus dar MUDP Bal. IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dar keseluruhan uraan pembahasan tersebut, akhrnya dapat dambl suatu kesmpulan sebaga berkut : 1. Bahwa kewenangan yang dperoleh MUDP Provns Bal untuk wicara melalu menyelesakan peradlan dperoleh secara mandat berdasarkan Keputusan MUDP Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bal/III/2006 tentang Hasl-hasl Pasamuhan Agung I MDP Bal. Perda Desa Pakraman tdak secara tegas mengatur tentang kewenangan MUDP Provns Bal 709
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.
710
dalam menyelesakan wicara melalu peradlan, namun dalam Pasal 16 Ayat (1) butr c menentukan bahwa Majels Desa Pakraman (MDP) Bal mempunya tugas untuk melaksanakan setap keputusan-keputusan Paruman Majels dengan aturan-aturan yang dtetapkan, lalu Desa Pakraman melalu Paruman Agung I pada tanggal 27 Februar 2014 memberkan kewenangan kepada Majels Desa Pakraman untuk menyelesakan wicara dengan cara memutus atau melalu peradlan, sehngga kewenangan MUDP Bal dalam menyelesakan wicara melalu peradlan merupakan mandat yang dberkan oleh Desa Pakraman. Proses penyelesaan wicara ddahulu dengan adanya permohonan dar phak yang mawicara dengan memenuh terlebh dahulu konsekuens dan persyaratan yang dtetapkan oleh MUDP Bal. Setelah dterma baru kemudan Bandesa Agung MUDP Bal menetapkan Tm Panureksa, Tm Panureksa nlah yang kemudan memerksa berkas yang ada, setelah selesa dlakukan pemerksaan baru Panureksa membuat kemudan rekomendas kepada Sabha Kerta MUDP Provns Bal, yang pada akhrnya Sabha Kerta MUDP Provns Bal membuat keputusan untuk menyelesakan wicara yang ada. Peradlan oleh MUDP Provns Bal telah datur sedemkan rupa berdasarkan dalam Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk
Tekns Penyelesaan Wicara oleh Majels Desa Pakraman (MDP) Bal sebaga bentuk otonom yang dmlk oleh Desa Pakraman. Namun ternyata dalam proses pelaksanaan keputusan yang dbuat, MUDP Bal tdak memlk lembaga eksekus yang berwenang untuk mengeksekus keputusan yang dbuat sehngga MUDP Provns Bal memerlukan bantuan dar phak d luar adat untuk membantu dan mengamankan pelaksanaan keputusan MUDP Provns Bal tersebut ketka terjad penolakan. 4.2
Saran Berdasarkan uraan dar pembahasan serta kesmpulan yang telah dsampakan, akhrnya dapat dkemukakan beberapa saran-saran sebaga berkut : 1. Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesa merupakan Negara Hukum, sehngga segala kewenangan harus datur secara hukum. Perda Desa Pakraman tdak mengatur secara tegas kewenangan yang dmlk MUDP Provns Bal untuk menyelesakan wicara secara peradlan, untuk tu secara hukum perlu memperjelas status kewenangan otonom Desa Pakraman dengan merevs Peraturan Daerah tentang Desa Pakraman, dengan menambah ketentuan tentang kewenangan MDP Bal untuk menyelesakan wicara bak melalu medas maupun melalu peradlan. 2. Dalam sebuah lembaga peradlan dperlukan lembaga eksekus untuk mengeksekus keputusan yang d telah dbuat. MUDP Provns Bal ternyata
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
tdak memlk lembaga eksekus untuk melaksanakan keputusan yang dbuat, sehngga memerlukan bantuan dar phak d luar adat untuk melaksanakan keputusan MUDP Provns Bal. Bantuan dar phak luar adat untuk mengeksekus keputusan adat sama saja dengan ntervens terhadap otonom desa adat yang ada untuk tu dperlukan lembaga eksekus untuk pelaksanaan keputusan MUDP Provns Bal. Dengan demka pentng untuk membentuk dan menguatkan lembaga adat yang bertugas untuk melakukan eksekus terhadap Keputusan MUDP Bal. DAFTAR BACAAN DPD RI, Panta Adhoc I, 2009, Naskah Akademi Rancangan UndangUndang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Mater Uj Sahh, Dewan Perwaklan Daerah Republk Indonesa Koesno, Moh, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Arlangga Unversty Press, hal. 49 Majels Desa Pakraman, 2012, Purwaka Tata Cara Penyelesaian Wicara Oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali Cet-I, Majels Utama Desa Pakraman (MUDP) Bal, Denpasar. Moore, Sally Falk, 1983. Law and Social Change : The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study, Law as a process, an Anthropological approach, Routledge and Kegan Paul, London.
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
Putusan Pengadlan Tngg Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 85/B/2012/PT.TUN. SBY, tertanggal 10 September 2012, Jo. Putusan Pengadlan Tata usaha Negara Denpasar Nomor : 05/G/2012/ PTUN DPS, tanggal 8 Me 2012) Stronk, F.A.M. dalam Abdul Rasyd Thalb, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Ctra Adtya Bakt, Bandung Surpha, I Wayan, 1993, Eksistensi Desa Adat di Bali, Penerbt PT. Upada Sastra, Denpasar. Wnda, Wayan P, 2004, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali, LPM Unverstas Udayana, Denpasar. DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asas Manusa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagamana telah dubah dengan Peraturan Daerah Provns Bal No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bal/ III/2006 tentang Hasl-hasl Pesamuhan Agung I MDP Bal) Keputusan Majels Utama Desa Pakraman (MDP) Bal Nomor : 01/Kep/Psm-2/ MDP Bal/X/2007 tentang Hasl-hasl 711
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pasamuhan Agung II MDP Bal Keputusan Majels Utama Desa Pakraman Bal Nomor : 002/Skep/MDP Bal/ IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Tekns Penyelesaan Wicara oleh Majels Desa Pakraman (MDP) Bal) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MDP Bal.
712
Vol. 4, No. 4 : 700 - 712
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945 Oleh : Indah Permatasari1 ABSTRACT The local government is given authority by the constitution to establish local regulations. Problems are arise when there are local regulation that not compatible with the constitution. The next question that arises is who is authorized to examine local regulations that not compatible with the constitution. In contrary with those considerations, the substantial problems are formulated into two, regulations about examine local regulations with the constitution and who is authorized to examine local regulations with the constitution. This legal research is normative legal research. This research used the statute approach and conceptual approach. Legal materials analysis techniques that are used in this research are description and interpretation techniques. There is no regulation about examine local regulations with the constitution. The way that can be done to examine local regulations with the constitution is lodge a judicial review to the Supreme Court and than lodge a constitutional review to the Constitutional Court. The other way to do is through a constitutional complaint, but this mechanism is not owned by the Constitutional Court. The establishment of examine local regulations with the constitution is important to provide legal certainty and the protection of constitutional rights to the citizens. Keywords: Constitution, Constitutional Court, Local Regulations, Supreme Court. I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Peraturan daerah merupakan produk hukum yang berada d bawah undangundang. Peraturan daerah memlk peran sebaga sarana legslas dalam pemerntahan daerah.2 Secara substansal, peraturan daerah mengatur mengena urusan rumah tangga d bdang otonom dan tugas pembantuan dan/atau penjabaran mengena peraturan perundang-undangan.3 1
2
3
Mahasswa Program Magster (S2) Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat: Jalan Tunggul Ametung Gang X/25 Kec. Denpasar Utara Kota Denpasar, Emal: ndah.permatasar5175@ yahoo.com. H.M Laca Marzuk, Prinsip-Prinsip Peraturan Daerah, Jurnal Konsttus, Volume 6 Nomor 4, Eds 2009, Sekretarat Jendral dan Kepanteraan Mahkamah Konsttus, hlm.1. I Nengah Suantra,dkk., 2015, Buku Ajar & Klinik Manual Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah, Udayana Unversty Press, Denpasar, hlm.76.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa peraturan daerah berada dbawah undang- undang. Konsekuens dar ketentuan pasal datas alah peraturan daerah tdak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebh tngg. Proses pembentukan peraturan daerah yang mater muatannya konsttusonal, bukanlah hal yang mudah. Tdak menutup kemungknan bahwa dtemukan peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada d atasnya. Berdasarkan hal tersebut maka dperlukan lembaga yang berwenang untuk menguj konsttusonaltas peraturan daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang berada d atasnya. Lembaga yang
713
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dberkan kewenangan untuk menguj peraturan daerah terhadap undang-undang adalah Mahkamah Agung. Hal tersebut merupakan kewenangan yang dberkan oleh UUD 1945 khususnya ketentuan Pasal 24 A ayat (1). Permasalahan yang kemudan muncul alah apabla mater muatan peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Mater muatan peraturan daerah tentu saja memlk kemungknan melanggar hak asas manusa atau bersfat dskrmnatf. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah sapakah lembaga yang berwenang untuk menguj peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 tdak mengatur mengena lembaga negara yang memlk kewenangan untuk menguj konsttusonaltas peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Kekosongan norma hukum tersebut terlhar dalam Pasal 24C ayat 1 dan Pasal 24A UUD 1945. Kedua ketentuan pasal tersebut tdak mengatur mengena lembaga negara yang berwenang melakukan pengujan terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Tdak adanya pengaturan mengena lembaga negara yang berwenang untuk menguj mater muatan peraturan daerah apabla bertentangan dengan UUD 1945 tentu saja menmbulkan suatu pertanyaan. Kekosongan hukum mengena hal n tentu saja dapat merugkan hak konsttusonal warga negara akan berlakunya peraturan daerah tersebut. Hak-hak yang datur dalam UUD 1945 adalah hak konsttusonal. Hak-hak yang datur dalam UUD 1945 tu mencangkup hak-hak yang tergolong ke dalam hak warga 714
negara (citizen right) maupun hak-hak yang tergolong ke dalam hak asas manusa (human rights).4 Hak konsttusonal yang dmlk oleh warga negara tersebut tentu saja harus dlndung dan djamn oleh Negara Republk Indonesa sebaga negara hukum. Tdak menutup kemungknan bahwa terdapat warga negara yang merasa hak konsttusonalnya drugkan akan berlakunya suatu peraturan daerah yang bertentangan dengan konsttus. Kekosongan norma hukum mengena lembaga yang berwenang untuk menguj peraturan daerah terhadap UUD 1945 tentu saja dapat menmbulkan kerugan bag warga negara pencar keadlan. Berdasarkan hal tersebut penuls tertark untuk menelt “Kewenangan Menguji Konstitusionalitas Peraturan Daerah Terhadap UUD 1945.” 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dpaparkan, maka dkemukakan dua permasalahan pokok yatu: 1. Bagamana pengaturan mengena pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945? 2. Sapakah lembaga negara yang berwenang melakukan pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dalam peneltan hukum n adalah: 1. Tujuan Umum: untuk mengetahu dan menganalsa pengaturan mengena 4
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar Graika, Jakarta, hlm.39.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.
pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945. Tujuan Khusus: untuk mengetahu dan menganalsa lembaga negara yang berwenang menguj peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945.
II. 2.1
Metode Penelitian Jenis penelitian Peneltan merupakan peneltan hukum normatf. Peneltan hukum normatf mencangkup peneltan terhadap asas-asas hukum, sstematk hukum, taraf snkronsas vertkal dan horzontal, perbandngan hukum dan sejarah hukum.5 Sudkno Mertokusomo menyatakan pendapatnya, menurut belau peneltan hukum yang menelt kadah atau norma merupakan peneltan hukum normatf.6 Peneltan n adalah peneltan hukum normatf yang menganalss mengena kadah atau norma karena yang dbahas ddalam peneltan n alah mengena kekosongan norma hukum mengena pengaturan kewenangan menguj konsttusonaltas peraturan daerah terhadap UUD 1945. 2.2 Jenis Pendekatan Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dpergunakan dalam peneltan n. Pendekatan undang-undang (the statute approach) dlakukan dengan mempergunakan undang-undang maupun regulas berkenaan dengan permasalahan yang akan danalss.7
5
6
7
Soerjono Soekanto dan Sr Mamudj, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.14. Sudkno Merokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,hlm.37. Peter Mahmud Marzuk, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Meda Group, Jakarta, hlm.93.
Pendekatan perundang-undangan dpergunakan untuk mengkaj peraturan perundang-undang yang akan dpergunakan untuk membahas permasalahan yang dkaj. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dpergunakan dalam peneltan tess n dkarenakan peneltan n nantnya akan membahas mengena konsep hukum yang memlk keterkatan dengan permasalahan yang dkaj khususnya konsep judicial review. 2.3
Sumber Bahan Hukum Bahan hukum terdr dar bahan hukum prmer, sekunder, dan terser.8 Peraturan perundang undangan dan putusan-putusan hakm tergolong kedalam bahan hukum prmer.9 Adapun peraturan perundangundangan yang dpergunakan adalah: UUD NRI Tahun 1945, UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan yang berkatan dengan bahan hukum prmer dsebut sebaga bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder dalam peneltan n melput karya tuls hukum yang berada dalam majalah (artkel), pendapat para pakar hukum, buku hukum, dan artkel dar perkembangan nformas nternet. Bahan hukum terser, adalah bahan yang menjelaskan hal-hal yang berkatan dengan bahan hukum prmer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum terser yang dgunakan berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesa, dan kamus lmah. 8 9
Ibid. Ibid.,hlm.141.
715
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknk stud dokumen dpergunakan sebaga teknk pengumpulan bahan hukum. Teknk stud dokumen pada dasarnya dpergunakan atas bahan hukum yang relevan dengan peneltan. 2.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Teknk analss bahan hukum yang dpergunakan dalam peneltan n adalah teknk deskrps dan teknk nterpretas. Salah satu cara penemuan hukum yang dapat memberkan penjelasan tentang s dar undang-undang dsebut sebaga Interpretas atau penafsran10 Penafsran teleologs dan penafsran oleh hakm atau pengadlan (judicial interpretation) dpergunakan untuk menganalss permasalahan yang ada dalam peneltan n. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengaturan Mengenai Pengujian Peraturan Daerah Terhadap UUD 1945 Kewenangan untuk membuat atau menetapkan peraturan daerah dberkan kepada pemerntah daerah. Peraturan daerah dpergunakan untuk melaksanakan otonom dan tugas pembantuan. UUD 1845 mengatur mengena kewenangan yang dberkan kepada pemerntah daerah khususnya dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6). Kewenangan pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945 memang tdak datur dalam konsttus maupun peraturan perundang-undangan. UUD 1945 hanya 10
716
Ahmad Rfa, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Graika, Jakarta.,hlm.61.
mengatur kewenangan menguj peraturan daerah terhadap undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Hal tersebut merupakan kewenangan yang dberkan oleh UUD 1945 khususnya ketentuan Pasal 24A ayat (1). Adapun s ketentuan Pasal 24 A ayat (1) adalah menentukan bahwa Mahkamah Agung memlk kewensngsn untuk peraturan perundang-undangan d bawah undangundang yakn termasuk peraturan daerah terhadap undang-undang. Mahkamah Agung memlk kewenangan untuk menyatakan tdak sah suatu peraturan perundang-undangan d bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada datasnya atau pembentukannya tdak sesua dengan aturan yang ada. Apabla peraturan daerah tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada datasnya maka Mahkamah Agung dalam putusannya dapat menyatakan bahwa mater muatan atau peraturan daerah tersebut tdak memlk kekuatan hukum mengkat. Mahkamah Konsttus, apabla dlhat dalam ketentuan Pasal 24 C ayat (1) juga tdak memlk kewenangan untuk menguj konsttusonaltas peraturan daerah apabla bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 hanya memberkan kewenangan untuk menguj undang-undang terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konsttus. Dar ketentuan pasal datas dapat dketahu bahwa UUD 1945 maupun undang-undang yang lannya tdak mengatur mengena kewenangan pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945. Pengkonstruksan pengaturan mengena kewenangan pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945 pentng
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
untuk dlakukan. Hal n dkarenakan tdak menutup kemungknan munculnya peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Setap pemerntah daerah memlk kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah yang merupakan konsekuens dterapkannya otonom daerah. Peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan UUD tentu saja dapat menmbulkan permasalahan, salah satu contohnya alah peraturan daerah d Tolkarang. Kasus tersebut menjad contoh bahwa adanya peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan konsttus khususnya Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Adanya peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan konsttus tersebut tentu saja dapat merugkan hak konsttusonal warga negara. UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) secara tegas menentukan bahwa Negara Indonesa adalah negara hukum. Negara yang berdasarkan Hukum yang menjamn keadlan bag warganya merupakan cr negara hukum.11 Salah satu unsur Negara Hukum (Rechtsstaat) menurut J.F Sthal alah adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusa. Konsekuensnya alah Negara Republk Indonesa yang merupakan negara hukum wajb untuk melndung hak-hak konsttusonal warga negaranya. Perlndungan hak konsttusonal warga negara dalam hal n dapat dlakukan dengan cara pengkonstruksan norma hukum mengena pengaturan pengujan peraturan daerah terhadap UUD.
11
Hotma P.Sbuea, ,2010, Asas Negara Hukum,Peraturan Kebijakan& Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, hlm.48.
3.2
Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Pengujian Terhadap Peraturan Daerah yang Bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Agung hanya berwenang menguj peraturan daerah terhadap undangundang, sedangkan Mahkamah Konsttus berwenang menguj konsttusonaltas undang-undang dengan batu uj UUD. Hal tersebut menmbulkan suatu pertanyaan mengena lembaga manakah yang berwenang melakukan pengujan terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Permasalahan kemudan muncul apabla terdapat seorang warga negara yang merasa hak konsttusonalnya drugkan atas berlakunya peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Lembaga manakah yang harus dtuju oleh warga negara pencar keadlan tersebut untuk melndung hak konsttusonalnya. Warga negara yang merasa drugkan hak konsttusonalnya atas berlakunya peraturan daerah memlk hak untuk mengajukan permohonan agar peraturan daerah yang bertentangan dengan konsttus tersebut dbatalkan. Cara yang dapat dtempuh oleh warga negara tersebut terdr dar prosedur yang cukup panjang. Pertama, warga negara tersebut harus mengajukan pengujan peraturan daerah terhadap undang-undang ke Mahkamah Agung terlebh dahulu. Setelah Mahkamah Agung menyatakan dalam putusannya bahwa peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang, maka maka warga negara yang drugkan hak atau kewenangan konsttusonalnya tersebut dapat melakukan permohonan pengujan undang-undang tersebut ke Mahkamah Konsttus. 717
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Kedua, undang-undang yang menjad payung berlakunya perda tersebut dajukan ke Mahkamah Konsttus untuk duj konsttusonaltasnya terhadap UUD 1945, bak dar seg mater muatannya maupun prosedur pembentukannya. Melalu prosedur yang cukup panjang tersebut dapat dketahu bahwa pengujan peraturan daerah yang bertentangan dengan konsttus dmungknkan untuk dlakukan. Sehngga peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan konsttus dapat dnyatakan tdak memlk kekuatan hukum mengkat. Permasalahan baru dapat muncul apabla peraturan daerah tersebut dnyatakan tdak bertentangan dengan undang-undang oleh Mahkamah Agung dalam putusannya. Padahal, tdak menutup kemungknan bahwa peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menmbulkan permasalahan yang baru mengena sapakah lembaga yang berwenang untuk menguj konsttusonaltas peraturan daerah tersebut. Tdak menutup kemungknan bahwa terdapat peraturan daerah yang mater muatannya bertentangan dengan konsttus namun tdak bertentangan dengan undang-undang. Berkatan dengan permasalahan tersebut I Dewa Gede Palguna menyatakan bahwa permasalahan tersebut tergolong kedalam objek pengaduan konsttusonal (constitutional complaint). Pengaduan konsttusonal adalah pengaduan atau gugatan yang dajukan oleh perorangan ke mahkamah konsttus terhadap perbuatan (atau kelalaan) suatu lembaga publk yang mengakbatkan terlanggarnya hak-hak konsttusonalnya12. Mekansme pengaduan
konsttusonal n memang sampa saat n belum dmlk oleh Mahkamah Konsttus Indonesa. Penambahan kewenangan untuk menguj peraturan daerah terhadap UUD 1945 merupakan hal yang logs hal n dkarenakan Mahkamah Konsttus merupakan lembaga negara yang bertugas mengawal pelaksanaan konsttus sekalgus mencegah terjadnya pelanggaran terhadap Mahkamah Konsttus konsttus.13 juga merupakan pelndung (protector) konsttus.14 Pada hakekatnya, Mahkamah Konsttus berfungs untuk mengawal konsttus tetap berjalan secara konssten (the guardian of constitutions).15 Penambahan kewenangan n dapat dlakukan melalu penafsaran hakm (judicial interpretation). Berdasarkan fungs dan tugas Mahkamah Konsttus tersebut tdak menutup kemungknan bahwa Mahkamah Konsttus dberkan kewenangan untuk menguj peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. IV. PENUTUP 4.1 Simpulan Pengujan konsttusonaltas peraturan daerah terhadap UUD 1945 memang tdak datur dalam konsttus maupun peraturan perundang-undangan. Pengujan konsttusonaltas peraturan daerah terhadap
13
14
15
12
718
I Dewa Gede Palguna, op.cit., hlm.1.
Patrals Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUDNRI Tahun 1945, Sinar Graika, Jakarta,hlm.178. Maruarar Sahaan, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, Sinar Graika, Jakarta,hlm.7. Nomensen Snamo, 2012, Hukum Tata Negara Suatu Kajian Kritis tentang Kelembagaan Negara, Permata Aksara, Jakarta,hlm.89.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
UUD 1945 dapat dlakukan dengan cara mengajukan pengujan peraturan daerah terhadap undang-undang ke Mahkamah Agung. Setelah tu undang-undang tersebut duj konsttusonaltasnya terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konsttus. Cara lan yang dapat dlakukan alah melalu pengaduan konsttusonal, namun kewenangan n belum dmlk oleh Mahkamah Konsttus Indonesa. 4.2
Saran Dar seg substans hukum, kepada pembentuk undang-undang dharapkan untuk menyusun suatu norma hukum mengena kewenangan pengujan peraturan daerah terhadap UUD 1945. Pengkonstruksan norma hukum tersebut dperlukan dem kepastan hukum dan perlndungan hak konsttusonal terhadap warga negara. DAFTAR BACAAN Buku Akbar, Patrals, 2013,Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUDNRI Tahun 1945, Sinar Graika, Jakarta. Marzuk, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Meda Group, Jakarta. Merokusumo, Sudkno, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar Graika, Jakarta. Rfa, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Graika, Jakarta. Sahaan, Maruarar, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, Sinar Graika.
Vol. 4, No. 4 : 713 - 719
Sbuea, Hotma P.,2010,Asas Negara Hukum,Peraturan Kebijakan& AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta Snamo, Nomensen, 2012, Hukum Tata Negara Suatu Kajian Kritis tentang Kelembagaan Negara, Permata Aksara, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sr Mamudj, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Suantra, I Nengah,dkk., 2015, Buku Ajar & Klinik Manual Klinik Perancangan Produk Hukum Daerah, Udayana Unversty Press, Denpasar. Jurnal Marzuk, H.M Laca, Prinsip-Prinsip Peraturan Daerah, Jurnal Konsttus, Volume 6 Nomor 4, Eds 2009, Sekretarat Jendral dan Kepanteraan Mahkamah Konsttus, Jakarta. Perundang-undangan UUD NRI Tahun 1945 UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan. Biodata Penulis: Indah Permatasar, SH Jalan Tunggul Ametung X/25 Denpasar 082341417215 ndah.permatasar
[email protected]
719
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PERANAN SIDIK JARI DALAM MENGUNGKAP PELAKU TINDAK PIDANA DI TINGKAT PENYELIDIKAN POLDA BALI Oleh : Made Gede Arthadana1 ABSTRACT The scientiic paper entitled ingerprint role in uncovering criminal investigation at Polda Bali. The method used is the method of empirical research with normative and empirical approaches, legal materials used are the primary legal materials do research at Polda Bali and secondary legal materials using literature and oficial documents. The investigation by the police is to obtain the truth based on actual facts. One of the investigation conducted by the police using ingerprint identiication. Fingerprints have two properties namely latent ingerprint and a real ingerprint. Methods ingerprints obtained by gathering evidence at crime scenes. But the weakness of the ingerprint that is easily damaged and quickly disappear, therefore the police must stand guard the crime scene in order to collect ingerprint evidence. Keywords: Investigation, Police, Fingerprint I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dkatakan bahwa Indonesa adalah Negara hukum. Dengan n menunjukkan bahwa Indonesa memlk hukum dan berusaha berdr tegak menjadkan hukum sebaga tang penyangga kekuatan Negara Republk Indonesa. Dalam penegakan hukum d Indonesa terlaksana pada proses beracara pdana, sebagamana dalam penyelesaan kasuskasus tndak pdana kejahatan tentunya melalu proses penyeldkan yang akan memunculkan fakta-fakta atau buktbukt yang berfungs sebaga petunjuk untuk menemukan tersangka.2 Menurut Soerjono Soekanto, ada empat faktor yang
mempengaruh penegakan hukum tersebut yakn; faktor hukumnya sendr, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasltas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat atau lngkungan hukum berlaku atau dterapkan dan yang terakhr faktor kebudayaan.3 Dalam upaya membuat terang suatu perkara kejahatan, salah satu proses penyeldkan oleh kepolsan yakn dengan mengambl sdk jar yang bertujuan untuk pengenalan kembal terhadap denttas seseorang (pelaku, korban).4 Ada tga dall Ilmu sdk jar, yatu; setap orang mempunya cr gars sendr dan tdak sama dengan orang lan, sdk jar terbentuk sejak jann berusa 120 har dan seperangkat sdk jar dapat drumus atau dsmpan dengan 3
1
2
720
Mahasswa Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat Jl. Yudstra No.23 Denpasar, e-mal:
[email protected] Roml Atmasasmta, 1984, Bunga Rampai KRIMINOLOGI, CV. Rajawal, Jakarta, hlm.109.
4
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawal, jakarta, hlm.45. And Hamzah, 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Tehnik dan Sarana Hukum, Cet.I, Ghala Indonesa, Jakarta, hlm.21.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sstemats.5 Dengan adanya teknk sdk jar n akan dapat membantu phak kepolsan untuk menghndar salah menentukan seseorang sebaga pelaku tndak pdana (error impersonal).6 Hal n sesua dengan tujuan hukum acara pdana yatu kebenaran sejat atau materl adalah kebenaran yang harus dtemukan dan dwujudkan dalam pemerksaan perkara pdana. Sfat penyeldkan tu sendr adalah guna memperoleh kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya. “Identiikasi terhadap pelaku dapat dlakukan melalu seluruh atau salah satu cara: Tanda-tanda badanah (signalement) sepert tngg badan, warna kult, rambut, hdung, bentuk muka, skap dan seterusnya, Foto atau potret s pelaku, Jejak (sdk) jar (daktiloskopi), Modus operand atau cara kerja s pelaku. Identiikasi sidik jari mempunyai arti yang sangat pentng bag penyeldk untuk membuat terang suatu perkara pdana dan mengungkap sapa pelaku tndak pdana tersebut, maka para penyeldk harus berusaha untuk menjaga agar jangan sampa barang bukt berupa sdk jar yang terdapat atau tertnggal d tempat kejadan perkara menjad hlang ataupun rusak. Hasl pemerksaan tentang sdk jar dlakukan oleh Petugas Unit Identiikasi Daktiloskopi Kepolsan Negara Republk Indonesa.7 Sdk jar sangat berperan pentng pada proses penyeldkan, karena tdak jarang juga phak kepolsan salah menentukan 5
6
7
Tm Bddaktum Pusdent Bareskrm Polr, 2001, Materi Hajar Bidang Departemen Daktiloskopi Umum, Jakarta, hlm.9. Soeslo, 1974, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Poltea, Bogor, hlm.1. Markas Besar Kepolsan Negara Republk Indonesa, 1986, Penuntun Daktiloskopi, Subdirektorat Identiikasi Direktorat Reserse Polri, Jakarta, hlm.5 dan 7.
seseorang sebaga tersangka / pelaku kejahatan. Hal nlah yang menjad acuan kepolsan untuk mendapatkan kebenaran sejat bahwa sdk jar tersebut berperan pentng dalam proses penyeldkan bag kepolsan untuk mengungkap kasus tndak pdana agar mampu mewujudkan kebenaran dan keadlan dalam masyarakat. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dpaparkan d atas, maka ddapat suatu permasalahan yatu kajan mengena peranan sdk jar dalam mengungkap pelaku tndak pdana d tngkat penyeldkan Polda Bal. 1.3. Tujuan Penelitian Peneltan mengena peranan sdk jar dalam mengungkap pelaku tndak pdana d tngkat penyeldkan Polda Bal mempunya tujuan umum dan tujuan khusus. 1. Tujuan Umum: untuk mengetahu bagamana phak kepolsan dapat bekerja secara efektf dalam mengungkap pelaku tndak pdana d tngkat penyeldkan Polda Bal dengan menggunakan metode sdk jar yang dharapkan mampu untuk mewujudkan cta hukum acara pdana yatu kebenaran sejat. 2. Tujuan Khusus: untuk mempelajar lebh mendalam tentang masalahmasalah yang berkatan dengan masalah sdk jar dan mengetahu peranan atau metode sdk jar dalam membantu phak kepolsan Polda Bal untuk mengungkap pelaku kejahatan.
721
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
II.
METODE PENELITIAN Metode yang dlakukan adalah merupakan peneltan emprs. Dalam upaya pemecahan masalah maka pendekatan dlakukan secara normatf dan emprs yatu pendekatan normatf mengkaj permasalahan melalu peraturan-peraturan atau norma-norma hukum yang berlaku, sedangkan pendekatan emprs dlakukan dengan mengkaj permasalahan berdasarkan praktek atau kenyataan yang ada d dalam masyarakat.8 Bahan hukum yang dgunakan adalah bahan hukum prmer dan sekunder. Bahan hukum prmer adalah bahan yang dperoleh dengan melakukan peneltan lapangan, yatu Polda Bal dengan melakukan wawancara langsung dengan nforman dan UUDNRI 1945. Sedangkan bahan hukum sekunder dbantu dengan lteratur-lteratur, dan dokumen-dokumen resm.9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Peranan Sidik Jari dalam Mengungkap Pelaku Tindak Pidana di Tingkat Penyelidikan Polda Bali Dmula penanganan terhadap tempat kejadan perkara agar pemerksaan terhadap sdk jar yang dtemukan d TKP terjaga dengan sebak-baknya sehngga haslnya dapat dpergunakan untuk membuat terang suatu perkara kejahatan khususnya dapat mengetahu pelakunya, melput: 1. Tndak pertama d tempat kejadan perkara, dan
8
9
722
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Graika, Jakarta, hlm.35. Soerjono Soekanto dan Sr Mamudj, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. VI, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.13.
Pengolahan tempat kejadan perkara.10 Adapun tndakan pertama d tempat kejadan perkara yang harus dlakukan kepolsan segera setelah terjadnya tndak pdana yatu: 1. Menjaga status quo dar TKP, artnya menutup dan menjaga tempat tu agar jangan sampa keadaan berubah. 2. Pertolongan pertama pada s korban, mencatat dan menemukan denttas korban, dantaranya; • Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K). • Membawa korban ke rumah sakt, apabla mash ada tanda-tanda kehdupan, sebelumnya member tanda letak korban. • Apabla korban mennggal, barkan mash d TKP sampa selesa penanganan TKP. • Mencatat dan menemukan denttas korban. 3. Membatas, menutup dan menjaga, melput: • Tempat kejadan perkara dtutup dengan member pembatas dengan gars pols. • Lakukan penjagaan untuk mempertahankan TKP agar tdak berubah. 4. Menangkap, menahan dan menyta, melput: • Mencar tersangka d sektar TKP. • Melarang orang lan yang tdak berkewajban kut masuk areal TKP. • Menyta barang bukt. 5. Mengumpulkan bukt-bukt: • Bukt-bukt mat pada TKP dan saks serta tersangka.
2.
10
Hamn Soeraamdjaja, 1984, Pedoman Penanganan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
•
6.
7.
Saks-saks; mencatat nama, psahkan satu sama lan namun dber batasan dantara saks berbcara satu sama lan. • Tersangka; lakukan penggeledahan, ntrogas secukupnya. Mengamankan berkas-berkas, yatu; • Sedapat mungkn mencegah rusaknya bukt-bukt d TKP (sdk jar). • Untuk menghndar pengaruh cuaca berkan perlndungan terhadap bukt-bukt (sdk jar) d TKP. Membuat proses perbal pendapatan, yatu: • Membuat catatan-catatan (bagamana perstwa dketahu, keadaan tempat, orang-orang yang terdapat d tempat tu, tndakan-tndakan yang dlakukan, perubahan-perubahan yang dbuat, keterangan-keterangan lannya), membuat gambar sketsa.11
Dalam melakukan pengolahan d TKP yang merupakan kegatan untuk mencar, mengumpulkan, menganalsa, mengevaluas, petunjuk-petunjuk, keterangan, bukt serta denttas tersangka, tndakan yang dlakukan oleh kepolsan dalam melakukan pengamatan TKP adalah: 1. Pengamatan Umum, yatu mempelajar stuas umum suatu TKP. Sepert; mengamat keseluruhan stuas TKP, menentukan batas luas penutup TKP, memperkrakan jalan keluarnya pelaku ke dan dar TKP, memperkrakan alat-alat yang dpergunakan 11
Harun M. Husen, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Cet I, Rneka, Jakarta, hlm.106107.
2.
3.
4.
pelaku melakukan kejahatan, dan memperhatkan tanda-tanda adanya perlawanan atau tndakan kekerasan. Melakukan pemotretan, yatu kegatan yang harus dlakukan atas stuas TKP beserta segala jejak dan barang bukt yang terdapat d dalamnya dengan tujuan untuk mengabadkan stuas TKP, memberkan gambaran nyata tentang stuas dan konds TKP, membantu melengkap kekurangan-kekurangan d dalam kegatan pengolahan TKP yang dapat berupa kekurangan-kekurangan dalam pencaran maupun pencatatan barang bukt, kekuranganteltan dalam pembuatan sketsa. Dalam sebuah potret dar suatu TKP dapat saja dlhat adanya barang bukt yang terselp msalnya d bawah kurs yang belum dtemukan dalam pencaran pada kegatan pengolahan TKP. Dengan demkan pemotretan keadaan asl TKP dan pemotretan keadaan TKP setelah dlakukan pengolahan TKP harus dtempuh juga. Pembuatan Sketsa dlakukan dengan menggambarkan stuas TKP, memungknkan dlakukan suatu rekonstruks bla dperlukan d kemudan har. Penanganan bukt-bukt obyektf ada 2 yatu; penanganan korban mat (mayat), penanganan jejak-jejak dan barang bukt. Bukt obyektf adalah bukt-bukt mat atau bukt-bukt isik yang ditemukan di TKP yang tdak dpengaruh oleh unsur-unsur subyektiitas, seperti bukti-bukti hidup yang dpengaruh oleh faktor-faktor kuat lemahnya daya ngatan seseorang, adanya kepentngan prbad. 723
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
5.
Bukt subyektf, adalah segala keterangan yang dperoleh bak dar para saks maupun tersangka yang berhubungan dengan tndak pdana yang terjad. Nla bukt dar keterangan n sfatnya subyektf karena sangat dpengaruh oleh faktor daya ngat maupun kepentngan prbad dar s pember keterangan. 6. Pengorgansasan team pengolah TKP, yatu untuk memperoleh hasl pengolahan TKP yang maksmal, dperlukan suatu pembagan kerja yang memada yang dsesuakan dengan bentuk dan sfat permasalahan yang dhadap. Bag TKP yang sederhana, pelaksanaan pengolahan TKP cukup dlakukan satu atau dua orang petugas saja, tap bag TKP yang besar dalam kasus-kasus yang sangat meresahkan masyarakat dperlukan suatu team yang bertugas khusus mengolah TKP. Team tersebut terdr dar; petugas pemotret dan pembuat sketsa, petugas pencar dan pengumpul jejak dan barang bukt, petugas penghubung dan wawancara.12 Sdk jar yang dtemukan d TKP, menurut AKP Dewa Nyoman Megawasa, selaku Kasi Identiikasi Polda Bali dibedakan atas : 1. Sdk jar laten, yatu sdk jar yang tdak dapat dlhat langsung oleh mata dan untuk dapat melhatnya dengan jelas dperlukan teknk pengembangan. Sdk jar nlah yang palng banyak dtemukan d TKP. 2. Sdk jar yang dapat dlhat langsung oleh mata yang dkenal dengan nama 12
724
Ibid, hlm.29.
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
sdk jar nyata. Sdk jar nyata berasal dar jar-jar yang kotor karena tanah, ol, darah, dan tnta. Namun, menurut I Made Patra bagan team Identiikasi Polda Bali mengatakan apabla dalam melakukan tndakan pertama dtemukan bekas sdk jar d TKP maka sdk jar tersebut harus damankan dar sentuhan orang-orang yang berada d TKP agar sdk jar tdak terhapus atau berubah, melndung bekas sdk jar tersebut dar gesekan benda-benda lan dan cuaca apabla bekas sdk jar tersebut dtemukan d ruang tersebut sehngga bekas sdk jar tersebut tdak hlang atau rusak. Kemudan Bapak I Wayan Suardana bagian Identiikasi Polda Bal menambahkan bahwa: 1. Bekas sdk jar yang dtemukan tersebut dbedakan terlebh dahulu jensnya. (apakah termasuk jens sdk jar laten atau sdk jar nyata) sehngga dapat dpersapkan peralatan guna melakukan pemerksaan yang dperlukan. 2. Mempersapkan alat-alat yang dgunakan untuk mengambl sdk jar yang dtemukan d TKP antara lan: • Kamera; kamera n sangat pentng artnya d dalam melakukan pemotretan terhadap bekas sdk jar yang dtemukan d TKP karena bertujuan merekam dmana bekas sdk jar tersebut dtemukan apabla benda-benda dmana bekas sdk jar tersebut melekat tdak dapat dbawa serta oleh penyeldk untuk dgunakan sebaga bukt pada pemerksaan selanjutnya dan untuk memudahkan d dalam melakukan pemerksaan bandng d laboratorum kepolsan.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
•
•
Adapun kamera yang dgunakan untuk memotret sdk jar yang dtemukan d TKP yatu; Kamera yang drancang khusus memotret sdk jar yang memlk sumber cahaya sendr serta fokus yang tetap dan dlengkap dengan batera. Kamera n dapat memotret sdk jar sesua dengan ukuran sesungguhnya. Kamera nlah yang serng dgunakan untuk memotret sdk jar yang dtemukan d TKP. Kamera reproduks (copy camera), yatu kamera yang basanya dpasang pada trpod dan memlk sumber cahaya sendr. Kamera n beserta perlengkapannya basanya terdapat d ruang pemotretan dan tdak dbawa ke TKP. Kemudian ilm yang digunakan oleh kedua kamera n adalah ilm yang menghasilkan kontras yang bak sepert; Contrast Process Ortho atau Contrast Process Pan. Sarung tangan, yatu bertujuan untuk melndung tangan dar pengaruh bahan-bahan kma yang dgunakan d dalam pemerksaan sdk jar dan untuk mencegah jangan sampa ada penambahan sdk jar pada benda dmana bekas sdk jar tersebut melekat. Tas koper sebaga tempat penympanan alat-alat dan bahanbahan yang dgunakan untuk pengembangan sdk jar laten yang dtemukan d TKP, alat-alat
dan baahan-bahan tersebut adalah; Plastik ilter transparan Kuas kaca mkroskop lampu senter guntng powder/serbuk (serbuk alumnum, serbuk berwarna htam, sebuk bewarna abuabu). Krstal-krstal yodum Larutan nhdrn yang dkemas dalam botol Larutan perak ntrat yang dkemas dalam botol Larutan gentan volet. Setelah menjelaskan tahap pertama dalam melakukan pemerksaan, kemudan Bapak I Nyoman Megawasa selaku Kas Identiikasi Polda Bali menambahkan mengena tahap kedua yang merupakan tahap teknk pemerksaan terhadap sdk jar yang dtemukan d TKP, yatu: 1. Pemerksaan sdk jar yang dtemukan d TKP dapat dlakukan langsung d TKP atau dapat juga dlakukan d laboratorum kepolsan. 2. Melakukan pencaran dan pengumpulan sdk jar laten pada benda-benda yang dduga ada bekas sdk jarnya. 3. Melakukan pemotretan terhadap sdk jar laten yang dtemukan sebelum dan sesudah dangkat. 4. Melakukan pengangkatan sdk jar laten dengan plastk transparan. 5. Pemerksaan bandng d laboratorum.
725
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.2. Hal-Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Pada Waktu Mengirim Sidik Jari Ke Laboratorium / Unit Identiikasi Untuk teknk pengamblan sdk jar yang akan dbawa ke laboratorum atau unit identiikasi, tentu harus diperhatikan mengena cara-cara pengrmannya dar TKP ke laboratorium atau unit identiikasi Polda Bal, yatu sebaga berkut: • Benda-benda yang dketahu ada bekas sdk jar harus dambl dengan hathat. • Gunakan sarung tangan sewaktu mengambl agar tdak terjad penambahan sdk jar. • Pengrman melalu kurr dan dbawa sedemkan rupa yang pentng bekas sdk jar tdak terhapus. • Apabla hasl pengamblan sdk jar diangkat dengan ilter yang berisi bekas sdk jar setelah dlekatkan pada kartu alas dapat dsmpan atau dmasukkan dalam amplop. • Sertakan surat permohonan pemerksaan sdk jar. Dar penjelasan Bapak I Made Oka Pujawan bagian Identiikasi Polda Bali tersebut maka seorang pols pada waktu mengrm bekas sdk jar yang dtemukan d TKP harus dlakukan dengan sangat hat-hat mengngat kelemahan yang dmlk oleh bekas sdk jar yatu mudah rusak, terhapus atau hlang dan demkan hal-hal pentng yang harus dperhatkan oleh seorang pols pada waktu mengrm sdk jar ke laboratorum atau unit identiikasi Polda Bali.
3.3. Manfaat Yang Diperoleh Dengan Menggunakan Sistem Sidik Jari Dalam Upaya Mengungkapkan Pelaku Kejahatan Mengungkap suatu perkara kejahatan dengan sempurna merupakan kewajban bag seorang pols. Namun d dalam mengungkap suatu perkara merupakan pekerjaan yang tdak mudah bag seorang pols. Tdak jarang pols dalam melaksanakan tugasnya akan banyak menghadap rntangan dan kesultan. Untuk dapat mengetahu dengan jelas pelaku dar kejahatan tersebut, seorang pols memerlukan suatu sarana atau metode dalam katannya dengan pengungkapan suatu perkara kejahatan salah satu metode yang dterapkan kepolsan adalah metode indentiikasi sidik jari. Sarana ini diperoleh dengan mengumpulkan barang bukt dan bekas-bekas yang palng tepat dgunakan sebaga sarana untuk mengetahu pelaku kejahatan tersebut adalah bekas sdk jar yang tertnggal d TKP. Dr. Schnekert sewaktu menjad kepala Kantor Pusat Dactyloscope d Berln pernah membuktkan bahwa tap-tap jar yang ddapat dar tempat kejahatan, setelah dperksa asal dar jar-jar tangan mana, kemudan dcocokkan dengan kumpulan tap-tap jar dar penjahat-penjahat yang pernah dtangkap mendapatkan hasl yang memuaskan dan bahkan sebagan besar tertangkap karena tap-tap jar tu.13 Berdasarkan uraan tersebut, maka dapat dkatakan bahwa sdk jar yang dtemukan d TKP mempunya peranan pentng karena sdk jar yang dtemukan d
13
726
Karjad, 1971, Tindakan dan Penyidikan Pertama di Tempat Kejadian Perkara, Poltea, Bogor,hlm.54.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
TKP dapat dgunakan oleh kepolsan sebaga sarana membuat terang atau mengungkap perkara kejahatan khususnya menemukan dan mengetahu pelaku kejahatan dengan tepat. Sdk jar berkatan erat dengan bukt permulaan, yatu sebaga keterangan saks ahl. Sdk jar laten yang terdapat d TKP harus dbuatkan berta acara pengangkatan sdk jar laten dan hasl dar pemerksaan sdk jar laten dbuat dalam Berta Acara Pemerksaan Sdk Jar Laten yang dbuat berdasarkan pendapat ahl. Peranan sdk jar sebaga barang bukt erat katannya dengan bukt permulaan. Keterkatan sdk jar dengan barang bukt adalah secara tdak langsung. Barang bukt dapat dbag dalam 3 macam, yatu: 1. Benda-benda yang dpergunakan untuk melakukan tndak pdana. 2. Benda-benda yang dpergunakan untuk membantu tndak pdana. 3. Benda-benda yang merupakan hasl tndak pdana.14 Barang bukt yang d dapat d TKP akan dlakukan penytaan. Barang bukt yang telah dsta maka akan dlakukan pemerksaan guna kepentngan pembuktan dalam tahap penydkan. Dar hasl pengembangan pemerksaan terhadap barang bukt akan ddapat data tambahan sepert sdk jar laten yang basanya tertnggal pada barang bukt dan sdk jar laten yang tertnggal dapat dpergunakan sebagai bahan identiikasi. Maka dari itulah sdk jar menjad metode yang palng efektf bag phak kepolsan dalam membuat terang suatu perkara kejahatan.
14
IV. PENUTUP 4.1. Simpulan Sdk jar mempunya peran pentng dalam upaya menemukan atau mengetahu pelaku kejahatan. Upaya untuk menemukan atau mengetahu pelaku kejahatan akan lebh mudah apabla d tempat kejadan perkara dtemukan jejak-jejak sdk jar. Karena sdk jar yang dtemukan d tempat kejadan perkara dapat dgunakan sebaga sarana atau metode identiikasi. Sidik jari tersebut mempunya sfat-sfat pokok yatu; tdak ada dua orang yang memlk sdk jar yang sama dan tdak akan berubah seumur hdup. Berdasarkan sfat-sfat pokoknya, sdk jar merupakan sarana atau metode identiikasi untuk menemukan atau mengetahu pelaku kejahatan hngga sekarang dsampng tu akbat salah tangkap dapat dhndarkan melalui metode identiikasi sidik jari. 4.2. Saran Mengngat akan peranan sdk jar dalam upaya untuk menemukan pelaku kejahatan, hendaknya pols semaksmal mungkn dapat tetap menjaga keaslan tempat kejadan perkara (status quo), dan pols benar-benar dapat memanfaatkan sdk jar yang dtemukan d tempat kejadan perkara tersebut sebaga langkah awal atau sarana untuk mengidentiikasi pelaku kejahatan apabla tempat kejadan perkara dtemukan jejak-jejak sdk jar.
Tm Bddaktum Pusdent Bareskrm Polr, Op.Cit. hlm.34.
727
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
DAFTAR PUSTAKA BUKU Atmasasmta, Roml, 1984, Bunga Rampai KRIMINOLOGI, CV. Rajawal, Jakarta Hamzah, And, 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Tehnik dan Sarana Hukum, Cet.I, Ghala Indonesa, Jakarta Husen, M. Harun, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Cet I, Rneka, Jakarta Karjad, 1971, Tindakan dan Penyidikan Pertama di Tempat Kejadian Perkara, Poltea, Bogor Markas Besar Kepolsan Negara Republk Indonesa, 1986, Penuntun Daktiloskopi, Subdirektorat Identiikasi Direktorat Reserse Polri, Jakarta Soekanto, Soerjono dan Mamudj, Sr, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. VI, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta Soeraamdjaja, Hamn, 1984, Pedoman Penanganan TKP (Tempat Kejadian Perkara), Jakarta Soeslo, 1974, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Poltea, Bogor Tm Bddaktum Pusdent Bareskrm Polr, 2001, Materi Hajar Bidang Departemen Daktiloskopi Umum, Jakarta Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Graika, Jakarta PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945. 728
Vol. 4, No. 4 : 720 - 728
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KONSTRUKSI SANKSI ADMINISTRATIF PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 Oleh: Kadek Putra Arik Persona1 ABSTRACT The study describes the overlap of arrangements of administrative sanctions in the Law No. 12 of 2011 with the construction of administrative sanctions in the Local Regulation of Bali Province No. 2 of 2012. The arrangements of administrative sanctions according to Law No. 12 of 2011 are stipulated in appendix II number 64 which stipulates that the substance in the form of administrative sanctions or civil sanctions for the violation of these norms are formulated into one part (chapter) with the norms that impose administrative sanctions or civil sanctions, and in appendix II number 65 which regulates if there is more than one norm that provides administrative or civil sanctions, administrative sanctions or civil sanctions are formulated in the last chapter of the section. Thus, it does not formulate the provision of sanctions that also contains criminal sanctions, civil penalties and administrative sanctions in one chapter. The arrangements of administrative sanctions in the Local Regulation of Bali Province No. 2 of 2012 are stipulated in Chapter XIV of Article 33 paragraph (1), (2), and (3), thus it is contrary to the provisions of Appendix II of Law of the Republic of Indonesia Number 12 of 2011 numbers 64 and 65. Keywords: Administrative Sanctions, Local Regulation, Tourism
I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Teknolog nformas memberkan pengaruh yang besar kepada setap orang untuk melakukan perjalanan wsata ke berbaga tempat d duna. Setap orang berhak untuk melakukan perjalanan ke daerah lan bak dalam satu negara maupun ke negara lan. Berbaga macam motfas yang menyebabkan seseorang melakukan perjalanan antara lan adalah untuk bekerja, berwsata, sekolah, tugas Negara, dan lannya. Melakukan perjalanan ke luar wlayah atau melepaskan dr dar aktiitas sehari-hari dengan tujuan mencari 1
Mahasswa Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal. Alamat Jl. Sudamala Gang I Nomor 24 Semawang Sanur, e-mal: ark_persona@ yahoo.com
kesenangan dan kenyamanan merupakan salah satu tujuan hdup dar seseorang. Setap orang akan berusaha untuk meluangkan waktu dan menyshkan sebagan kecl dar penghaslannya untuk dapat melakukan perjalanan wsata dalam setap tahunnya. Klasiikasi wisata terdiri dari beberapa jenis antara lan hburan, sprtual, alam, budaya, makanan, dan berbaga macam lannya yang semakn har semakn berkembang. Bal memlk cr tersendr dalam duna wsata yatu mengedepankan budaya sebaga ujung tombak daya tark penkmat wsata sehngga mampu menghaslkan pendapatan negara yang berguna untuk mensejahterakan masyarakat. Budaya dan agama d bal merupakan dua hal yang tdak dapat dpsahkan. Banyak rtual budaya dalam melaksanakan upacara agama yang mampu 729
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
menark orang untuk datang ke pulau yang terkenal dengan sebutan pulau serbu pura. Tngkat kejenuhan manusa dewasa n mencptakan peluang yang sangat menguntungkan terhadap perkembangan aspek parwsata. Perkembangan parwsata dewasa n memberkan peluang bag pertumbuhan ekonom d Indonesa. Investas d ndustr keparwsataan mengalam pertumbuhan yang sangat pesat. Pembentukan karakter pembangunan parwsata harus djalankan secara berkelanjutan.2 Hal –hal yang menjad prortas untuk dperhatkan dalam mencptakan parwsata yang bak adalah terjaganya sumber daya alam, tngkat kesadaran pelaku dalam duna wsata, keamanan, koordnas yang sold antara nstans yang terkat, dan kecakapan dan keteramplan dalam merumuskan sebuah kebjakan keparwsataan yang memenuh kebutuhan generas saat n tanpa harus merusak, menghlangkan, dan mengurang pemenuhan kebutuhan generas yang akan datang. Parwsata yang bak akan tercpta jka datur dengan bak. Konteks kata atur yang dmaksud dawal sejak pembentukan aturan, dapat dlaksanakannya, dan adanya sstem peradlan yang bak terhadap pelanggarannya. Investor memlk kewajban yang harus dtaat dalam menjalan usaha d sektor parwsata. Kewajban-kewajban yang harus dtaat oleh nvestor datur dalam peraturan perundang-undangan. Kadah yang bak akan mencptakan tatanan kehdupan masyarakat yang tertb. Jka masyarakat sudah tertb maka secara otomats keamanan akan terjaga. Keamanan merupakan salah satu unsur yang sangat pentng dalam penerapan 2
730
Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramta, Surabaya, hlm.1.
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
kegatan wsata d Bal. Upaya mencptakan keadaan yang harmons dawal dengan mencptakan tatanan norma yang bak. Dar sudut pandang penyusunan sebuah norma merupakan kewenangan yang dmlk oleh pemerntah daerah dan DPRD. Kerjasama yang bak sangat dtuntut dalam menghaslkan pengaturan yang melndung kepentngan warga secara absolut. Kewenangan untuk membentuk sebuah tatanan norma d Indonesa merupakan kompetens dar phak eksekutf dan legslatf. Berbeda halnya dengan trias politica yang menganut paham pemsahan kekuasaan secara mutlak sehngga dalam menyusun, merancang sebuah aturan merupakan murn wewenang dar pejabat legslatf, sedangkan phak pemerntah secara penuh hanya dalam batas melaksanakannya. Provns Bal memlk regulas terkat dengan keparwsataan budaya Bal. Keparwsataan budaya Bal datur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012. Hal-hal yang datur adalah mengena kumpulan kadah yang membebankan kewajban terhadap penyelenggara dan wsatawan. Sebaga wujud penerapan negara hukum, aturan yang telah dtetapkan tdak membedakan perlakukan antara wsatawan dar dalam neger dan wsatawan dar luar negara republk Indonesa. Dsusunnya kewajban dan hak dalam sebuah aturan yang bersfat lokal merupakan pencermnan dar sstem negara berdasar atas hukum yang menentukan bahwa pemerntahan dlaksanakan berdasarkan ketentuan undangundang. Kewajban yang harus dtaat oleh pengusaha parwsata d dalam Pasal 27. Setap pengusaha parwsata yang melangar ketentuan Pasal 27 Peraturan Daerah Bal Nomor 12 Tahun 2012 dkenakan sanks admnstratf yang datur dalam Bab XIV
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pasal 33. Pengaturan sanks admnstratf dalam Peraturan daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012 bertentangan dengan ketentuan Pengaturan sanks admnstratf dalam lampran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraan latar belakang datas, maka penuls merumuskan permasalahan sebaga berkut : 1. Bagamanakah pengaturan sanks admnstratf menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ? 2. Bagamanakah konstruks pengaturan sanks admnstratf Peraturan Daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012 ? 1.3
Tujuan Penelitian peneltan n secara umum bertujuan untuk mengetahu konstruks Peraturan Daerah Keparwsataan Bal. Sedangkan yang menjad tujuan khusus adalah : 1. Untuk mengetahu pengaturan sanks admnstratf menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 2 Untuk mengetahu konstruks pengaturan sanks admnstratf Peraturan Daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012. II.
Metode Penelitian Jens peneltan hukum normatf yang mengacu pada adanya konlik norma antara Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan dengan Peraturan Daerah Keparwsataan Budaya Bal terkat dengan konstruks sanks admnstratf. Jens pendekatan yang dgunakan pada penulsan karya tuls lmah
n adalah pendekatan perundang-undangan, konsep, dan sstemats. Kajan perundangundangan sangat pentng karena merupakan dasar pjakan dalam menelt dan su sebuah masalah.3 III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Perancangan sanksi administratif Sebagamana yang dkutp oleh Profesor Dr. A. Hamd Attamn dar Burkhard Krem menyatakan bahwa lmu pengetahuan tentang Perundang-undangan terklasiikasi ke dalam dua bagian yaitu teori Perundang-undangan dan lmu perundangundangan.4 Segala kegatan dalam penyelenggaraan Negara harus berdasarkan atas Hukum yang berlaku. Penyelenggaraan pemerntahan berdasarkan atas Hukum dengan tujuan mencptakan keadlan dan melndung hak hak rakyat. Hukum akan melndung hak-hak rakyat dan mampu mengendalkan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya. Penyelenggaraan pemerntahan akan berjalan dengan bak apabla ada aturan Hukum yang mengaturnya. Penyelenggaran pemerntahan yang berdasarkan atas Hukum akan mencptakan suatu keadaan yang tenteram, adl, dan sejahtera. Keadaan yang tenteram, adl, dan sejahtera dapat dwujudkan karena telah djamnya perlndungan terhadap hakhak asas manusa. Sah atau tdaknya tndakan pemerntah berttk tolak pada undangundang. Pemerntah dalam melakukan tndakan hukum tdak dperkenankan dluar ketentuan yang telah dtentukan. Wewenang 3
4
Johnny Ibrahm, 2012, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi, Bayumeda Publshng, Malang, hlm.302. H. Azz Syamsuddn, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Graika, Jakarta, hlm.18.
731
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
pemerntah lahr dar tga hal anatara lan adalah berdasarkan perntah langsung dar undang-undang, pelmpahan wewenang, dan mandat. Pembuatan hukum merupakan salah satu peran fungs legslatf. Konteks negara hukum menyatakan adanya pembagan kekuasaan yang terdr dar pembentuk aturan, pelaksanana, dan penegak hukum. unsur yang pertama merupakan unsur yang sangat pentng karena akan menentukan ketertban umum dalam sebuah negara. Tga hal yang harus mendapat perhatan lebh dar penyusun aturan adalah mengupayakan agar semaksmal mungkn terhndar dar tumpang tndh pengaturan, kekosongan hukum, dan pengaturan yang kabur. Aturan hukum yang multtafsr dapat mencptakan kekuasaan pemerntahan represf yang menyebabkan tdak dperhatkannya kepentngan orangorang yang dperntah.5 Tumpang tndh pengaturan dapat terjad secara vertkal dan horzontal. Aturan yang tdak selaras secara langsung mengakbatkan terjadnya konlik kewenangan. Sebagai contoh pembentukan peraturan daerah merupakan kewenangan pemerntah daerah, namun d ss lan terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pemda dapat melbatkan nstans vertkal dalam pembentukannya. Kata dapat merupakan kata yang tdak memlk kepastan hukum karena memlk art untuk tdak mewajbkan. Pejabat fungsonal perancang yang memlk legaltas hanya terdapat d nstans Kemenkumham. tenaga perancang tersebut telah mengkut penddkan dan pelathan secara profesonal dan memlk kompetens yang sangat bak. 5
732
Phlpe Nonet and Phlp Selznck, 1978, and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper Cholopon Books, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, hlm.29.
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
Karena pengaturan yang tdak jelas maka kewenangan tm perancang hukum dan ham d daerah tdak dapat memaksakan dr untuk kut terlbat d setap pemkab atau pemprov. Sumber daya manusa yang tdak memlk keahlan dan kemampuan dalam menyusun sebuah draft aturan akan mencptakan aturan yang sangat tdak bak. Konlik kepentingan harus dihindari jika ngn mencptakan sebuah rule yang mampu mengakomodr kebutuhan masyarakat. Tahap perencanaan dlaksanakan dengan penyusunan naskah akadems. Dalam tahap n akan menamplkan urgens sebuah aturan. Penyusunan peraturan daerah harus sesua dengan mater muatan yang telah memlk legaltas. Mater muatan sebuah peraturan adalah releksi dari nilai kepastian, keadlan dan kemanfaatan. Perhatan khusus yang wajb dperhatkan adalah terpenuhnya syarat formal dan syarat materal agar tdak terbentuk aturan yang cacat hukum. aturan yang cacat dapat terjad jka legal drafter tdak mengndahkan acuan yang telah dtentukan. Dasar pengenaan sanks secara umum dbag menjad tga jens yatu sanks pdana, sanks perdata dan sanks admnstras. Jens jens sanks admnstratf pada umumnya terdr atas pencabutan jn, penarkan keputusan dan adanya denda. Pengaturan sanks admnstratf menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 datur dalam lampran II Undang-Undang Republk Indonesa nomor 12 tahun 2011 angka 64 dan angka 65. Sanks admnstratf dalam perancangan peraturan daerah tdak boleh datur dalam bab tersendr. Ketentuan hal tersebut datur setelah frasa atau pasal yang memberkan larangan. Aturan yang bak
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
adalah aturan yang sesua dengan ketentuan perancangan perundang-undangan. 3.2
Konstruksi Pengaturan Sanksi Administratif Peraturan Daerah Bali Nomor 2 Tahun 2012 Peraturan perundang–undangan yang dbuat merupakan aturan tertuls yang dbuat oleh pejabat negara yang berwenang dan mengandung sanks yang tegas terhadap seseorang yang melanggar ketentuan aturan tersebut. Aturan yang bak adalah peraturan yang tdak multtafsr dan responsf. Membentuk suatu peraturan perundangundangan harus memlk tujuan yang jelas. Aturan yang dbentuk harus mampu mencptakan rasa adl bag seluruh rakyat dan tdak terjad dskrmnas terhadap kaum atau golongan tertentu. Secara gars besar dalam pembentukan peraturan perundangundangan harus bersfat responsf yang mengandung art bahwa peraturan perundangundangan tersebut memang dbutuhkan oleh masyarakat. Agar suatu peraturan perundangundangan memlk kekuatan mengkat maka peraturan perundang-undangan harus dbentuk oleh lembaga negara. Pada umumnya kewenangan lembaga negara dalam membentuk peraturan perundangundangan datur dalam konsnttus Negara tersebut. Hukum tdak menggunakan persyaratan untuk mengkat manusa melalu kesadaran sehngga dapat juga dpandang berasal dar kengnan pemegang kekuasaan tertngg, yatu yang hanya memlk hak dan tdak memlk kewajban, atau berasal dar kehendak sang pencpta.6 Undang-undang
dapat dbag dalam dua tngkatan, yatu Undang-Undang dalam tngkatan yang lebh tngg dan Undang-Undang dalam tngkatan yang lebh rendah. Secara herark, susunan dan tngkatan undang-undang adalah dmula dar ketentuan yang lebh tngg baru secara berturut-turut dsusul dengan tngkatan undang-undang yang lebh rendah.7 Undangundang yang bermartabat lebh tngg dar undang-undang basa dsebut Undangundang Dasar (UUD) yang d dalam bahasa belanda dsebut grondwet.8 Peraturan hukum d Indonesa dsusun secara sstemats sehngga tdak dapat dtafsrkan secara sendr.9 Undang-Undang yang bermartabat lebh tngg dar UndangUndang basa dsebut Undang-undang Dasar (UUD) yang d dalam bahasa belanda dsebut grondwet.10 Manfaat suatu kadah merupakan sfat sosologs yang memaparkan mengena desakan kebutuhan masyarakat sesua dengan kenyataan yang berkembang.11 Sebuah tatanan aturan bersfat umum yang berart bahwa tdak dperuntukan menganalsa secara perorangan sehngga memlk daya mengkat secara luas.12 Kewenangan badan hukum membuat aturan merupakan sumber legaltas dar sebuah kadah hukum13 Secara sstemats 7
8
9 10 11
12
13 6
E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum, Kansus, Yogyakarta, hlm.201.
Chanur Arrasjd, 2006, Dasar Dasar Ilmu Hukum, Sinar Graika, Jakarta, hlm.54. Hlman Hadkusuma, 2010, Bahasa Hukum Indonesia, PT Alumn, Bandung, hlm.45. Yudha Bhakt Ardhwsastra, Op. Cit, hlm.10. Hlman Hadkusuma, Op. Cit, hlm.45. Jmly Asshddqe, 2011, Perihal Undang-undang, PT Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.118. Yulandr, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.25. Bambang Sutyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press , Yogyakarta, hlm.43.
733
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
perlu mengndah nla-nla perjenjangan norma agar tdak terjad benturan regulas. Aturan yang menjad dasar adalah aturan yang bersfat abstrak yang memaparkan mengapa perlunya pengaturan atau hukum yang dcta-ctakan kemudan dlmpah ke pengaturan yang sfatnya lebh nyata ke aturan yang sfatnya dapat dlaksanakan. Aturan konkrt bersumber pada sprt aturan yang abstrak. Semangat pengaturan khusus merupakan hasl pengalhan tanggung jawab aturan datasnya. Sebuah aturan tdak akan bermanfaat jka tdak memlk sanks. Dmasukannya sebuah hukuman merupakan upaya pencegahan agar masyarakat tdak beran melakukan pelanggaran. Nat dar penyusun aturan dalam memasukan sebuah sanks dapat dkatakan merupakan tndakan bersfat prevenmtf, namun penghukuman dar aparat merupakan tndakan represf. Penyusun aturan wajb memlk moral, mental dan pemahaman sprtual yang bak agar tdak melahrkan produk hukum yang berbahaya bag kalangan masyarakat banyak. Hukum adalah sesuatu hal yang danggap benar oleh sebagan besar masyarakat. Konstruks Peraturan Perundanganundangan d Indonesa terkat dengan pengaturan sanks admnstratf dalam pembentukan Peraturan Daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012 dapat dkaj menggunakan pendekatan penafsran Peraturan Perundangundangan secara sstemats dengan melakukan analsa dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Konstruks pengaturan sanks admnstratf dalam pembentukan Peraturan Daerah harus sesua dengan ketentuan dalam Lampran II Undang-Undang RI nomor 734
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
12/2011 angka 64 yang mengatur bahwa mater tentang sanks admnstratf datur dalam satu bagan pasal yang melarangnya dan tdak dbuat dalam bab tersendr. Sanks admnstratf yang datur dalam Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 2 Tahun 2012 tdak sesua dengan ketentuan yang telah datur dalam Lampran ke II Undang-Undang 12 tahun 2011 butr 64. Konstruks sanks admnstratf yang datur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Prov. Bal juga wajb mengacu pada bagan lampran 2 butr 65. Pengaturan sanks admnstratf dalam Peraturan Daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012 datur dalam bab xv Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3), sehngga bertentangan dengan ketentuan dalam Lampran II Undang-Undang Republk Indonesa nomor 12 tahun 2011 angka 64, dan angka 65. Ketentuan pengaturan dar sebuah peraturan yang lebh rendah tdak boleh bertentangan dengan ketentuan pengaturan dar aturan yang lebh tng. Peraturan daerah tdak boleh bertentangan dengan UndangUndang, karena menurut hrark peraturan perundang-undangan kedudukan Peraturan Daerah lebh rendah dar undang-undang. IV. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan 1. Pengaturan sanks admnstratf menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 datur dalam lampran II angka 64 dan angka 65. 2. Pengaturan sanks admnstratf dalam Peraturan Daerah Bal Nomor 2 Tahun 2012 datur dalam Bab XIV tentang Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3), dan tdak datur setelah ketentuan yang memberkan larangan.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 729 - 735
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
4.2 1.
2.
Saran Pengaturan sanks admnstratf dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tahun 2011 merupakan acuan bag peraturan daerah tngkat I Bal dalam mengkonstruks sanks admnstratf. Ketentuan pengaturan sanks admnstratf dalam Perda Provns Bal tentang keparwsataan harus sesua dengan ketentuan pengaturan saks admnstratf pada lampran II angka 64 dan angka 65 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011.
Yudha Bhakt Ardhwsastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT Alumn, Bandung. Yulandr, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, PT Raja Graindo Persada, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Bambang Sutyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press , Yogyakarta. Chanur Arrasjd, 2006, Dasar Dasar Ilmu Hukum, Sinar Graika, Jakarta. E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum, Kansus, Yogyakarta. H. Azz Syamsuddn, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Graika, Jakarta. Hlman Hadkusuma, 2010, Bahasa Hukum Indonesia, PT Alumn, Bandung. Jmly Asshddqe, 2011, Perihal Undangundang, PT Raja Graindo Persada, Jakarta Johnny Ibrahm, 2012, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi, Bayumeda Publshng, Malang. Phlpe Nonet and Phlp Selznck, 1978, and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper Cholopon Books, New York, Hagerstown, San Fransisco, London. 735
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh: Anak Agung Ngurah Agung Satrya Diana1 ABSTRACT Licensing is one of the fundamental problems in the administration of the licensing applicant investment in Indonesia . Licensing is one of the very important irst step in starting a business activity which is a testament to the legality of an otherwise legitimate business activities or the permissibility of a person or legal entity to conduct business activities . With the enactment of Law No. 25 of 2007 on Investment has shown that the character of a paradigmatic shift in the organization of centralized to decentralized investment in Indonesia , with the authority given to the Government of Blood to organize affairs in the administration of Investment mandatory . Especially with the issuance of Presidential Decree No. 27 Year 2009 on One Stop Services in the Field of Investment , is expected to provide legal certainty to investors who want to invest in an area designated by the legislation in force . The Province of Bali has established Investment and Licensing Agency Bali Province as Provincial Tool to Investment ( PDPPM ) , which has been granted delegation of authority from the Governor of Bali to host Investment in accordance with the authority granted by the laws and existing undnagan . However, there are shortcomings in the regulation of the Governor of Bali Delegation Authority in the Field Licensing and Nonperizinan To the Head of Investment and Licensing province of Bali , which does not include the authority to issue permissions to Investment based on legislation in the ield of investment , so that in case PDPPM this as an institution in Bali province can not provide legal certainty associated with the licensing application iled by investors in doing business in Bali Province in accordance with the issuance authority. (Keywords : Licensing , Nonperizinan , Authority , PTSP in the Field of Investment)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perznan merupakan salah satu permasalahan yang mendasar bag pemohon perznan dalam penyelenggaraan penanaman modal d Indonesa. Perznan merupakan salah satu langkah awal yang pentng dalam memula kegatan usaha. Kepemlkan perznan sesua ketentuan yang berlaku 1
736
Mahasswa Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal. Alamat Perum Dalung Perma Blok TT/5 Br. Taman Trta, Dalung, Kuta Utara Badung, e-mal: satryadana.ngurah@gmal. com
merupakan suatu bukt legaltas bag suatu kegatan usaha yang dnyatakan sah atau dperbolehkannya seseorang atau badan hukum untuk melakukan kegatan usaha. Tanpa bukt legaltas tersebut, kegatan usaha yang bersangkutan berada dalam konds nformal. Bukt legaltas yang dbutuhkan oleh penanam modal merupakan bentuk perlndungan dan kepastan hukum bag para phak yang terlbat dengan kegatan usaha yang bersangkutan. Dengan art lan, apabla usaha yang dlakukan tdak dlengkap dengan dokumen legaltas yang dbutuhkan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, akan sult bag suatu kegatan usaha untuk mengembangkan usahanya d Indonesa. Dengan lahrnya Undang-Undnag Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 4724) telah menunjukan terjadnya perubahan paradgma yang bercorak sentralstk menjad desentralsas dalam penyelenggaraan penanaman modal d Indonesa. Hal n juga dtegaskan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah selanjutnya drubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 5587), yang dsebutkan bahwa bak Pemerntah Provns maupun Pemerntah Kabupaten/Kota hanya memlk kewenangan d bdang Penanaman Modal sebaga urusan wajb Pemerntah, Pemerntah Provns dan Pemerntah Kabupaten/Kota. Pasal tersebut kemudan dtndaklanjut dengan dterbtkannya Peraturan Pemerntah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntahan Daerah Provns, dan Pemerntahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republk Indonesa Nomor 4737), yang dpertegas dalam Pasal 2 ayat (4) yang menekankan urusan wajb d bdang penanaman modal yang merupakan salah satu dantara 31 (tga
puluh satu) urusan wajb yang dserahkan kepada Pemerntah Daerah. Pendelegasan wewenang melalu corak desentralsas dar Pemerntah Pusat kepada Pemerntah Daerah dalam bdang Penanaman Modal, palng tdak telah memberkan hembusan angn segar kepada Pemerntah Daerah untuk membuat kebjakan sendr d bdang Penanaman Modal. Berdasarkan klm desentralsas tersebut, Pemerntah Kabupaten/Kota dan Provns dharapkan segera membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pntu Bdang Penanaman Modal. Hal n dpertegas kembal dengan dterbtkannya Peraturan Menter Dalam Neger Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pntu yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan suatu perznan dan non perznan yang proses pengolahannya dmula dar tahap permohonan sampa dengan tahap dterbtkannya dokumen yang dlakukan dalam satu tempat. Hal n dmaksudkan untuk menngkatkan kualtas layanan publk dan memberkan akses yang lebh luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publk agar terwujudnya pelayanan publk yang cepat, murah, mudah, transparan, past dan terjangkau dan menngkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publk. Dalam penyelenggaran penanaman modal d Indonesa sebaga pelaksana Pasal 26 ayat (3) dar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah dterbtkan Peraturan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal. Dalam Pasal 1 ayat 4 Peratuan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal 737
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dsebutkan bahwa : Pelayanan Terpadu Satu Pntu, yang selanjutnya dsngkat PTSP adalah kegatan penyelenggaraan suatu Perznan dan Nonperznan yang mendapat pendelegasan atau pelmpahan wewenang dar lembaga atau nstans yang memlk kewenangan Perznan dan Nonperznan yang proses pengelolaannya dmula dar tahap permohonan sampa dengan tahap terbtnya dokumen yang dlakukan dalam satu tempat. Dan dalam Pasal 10 djelaskan bahwa : Penyelenggaraan PTSP d bdang Penanaman Modal oleh Pemerntah Daerah dlaksanakan oleh pemerntah provns dan pemerntah kabupaten/kota. Dalam Pasal 11 juga djelaskan bahwa : (1) Penyelenggaraan PTSP d bdang Penanaman Modal oleh pemerntah provns dlaksanakan oleh PDPPM. (2) Dalam menyelenggarakan PTSP d bdang Penanaman Modal sebagamana dmaksud pada ayat (1), Gubernur memberkan Pendelegasan Wewenang pemberan Perznan dan Nonperznan d bdang Penanaman Modal yang menjad urusan pemerntah provns kepada kepala PDPPM. (3) Urusan pemerntah provns sebagamana dmaksud pada ayat (2), melput: a. urusan pemerntah provns d bdang Penanaman Modal yang ruang lngkupnya lntas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengena pembagan urusan pemerntahan antara Pemerntah dan pemerntahan daerah provns; dan b. urusan Pemerntah d bdang Penanaman Modal sebagamana 738
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
dmaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang dberkan Pelmpahan Wewenang kepada Gubernur. PDPPM dalam hal n djelaskan berdasarkan Pasal 1 ayat 7 adalah : Perangkat Daerah Provns bdang Penanaman Modal, yang selanjutnya dsngkat PDPPM adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerntahan daerah provns, dengan bentuk sesua dengan kebutuhan masng-masng pemerntah provns, yang menyelenggarakan fungs utama koordnas d bdang Penanaman Modal d Pemerntah Provns. Sebaga pedoman dalam penyelenggaraan penanaman modal yang merupakan penjabaran dar Pasal 15 ayat (1) Peratuan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal telah dterbtkan Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perznan dan Nonperznan Penanaman Modal dalam Pasal 7 dsebutkan : (1). Penyelenggaraan PTSP d bdang Penanaman Modal oleh pemerntah provns sebagamana dmaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dlaksanakan oleh PDPPM / Instans Penyelenggara PTSP. (2). Untuk penyelenggaraan PTSP bdang Penanaman Modal sebagamana dmaksud pada ayat (1), Gubernur memberkan pendelegasan wewenang pemberan Perznan dan Nonperznan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
atas urusan pemerntahan d bdang Penanaman Modal yang menjad kewenangan Pemerntah Provns kepada Kepala PDPPM/nstans Penyelenggara PTSP. (3). Urusan Pemerntahan d Bdang Penanaman Modal yang menjad kewenangan Pemerntah Provns yang dselenggarakan oleh PDPPM/nstans penyelenggara PTSP terdr atas : a. urusan Pemerntah Provns d bdang Penanaman Modal yang ruang lngkupnya lntas Kabupaten / Kota berdasarkan Peraturan Perundangundangan mengena pembagan urusan pemerntahan antara Pemerntah dan Pemerntah Daerah Provns; b. urusan Pemerntah d bdang Penanaman Modal yang dberkan pelmpahan wewenang kepada Gubernur: dan c. urusan Pemerntah Provns yang dtetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perznan dan Nonperznan Penanaman Modal dalam Pasal 1 ayat 6 menyebutkan Perznan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan Penanaman Modal yang dkeluarkan oleh Pemerntah dan Pemerntah Daerah yang memlk kewenangan sesua dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 7 dsebutkan Nonperznan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasltas
iskal dan noniskal, serta informasi mengena Penanaman Modal, sesua dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam proses penyelenggaraan perznan dan nonperznan dlakukan melalu Sstem Pelayanan Informas dan Perznan Investas Secara Elektronk sebagamana yang dsebut dalam Pasal 1 ayat 37 yatu: Sstem Pelayanan Informas dan Perznan Investas Secara Elektronk, yang selanjutnya dsebut SPEPISE, adalah system elektronk pelayanan Perznan dan Nonperznan yang terntegras antara BKPM dengan Kementeran/Lembaga Pemerntah Non Kementeran yang memlk kewenangan Perznan dan Nonperznan, Badan Pengusahaan KPBPB, Admnstrator KEK, PDPPM, PDKPM, dan Instans Penyelenggara PTSP d Bdang Penanaman Modal. Hal n kemudan memunculkan interpretasi adanya konlik norma dalam peraturan perundang-undangan tersebut d atas dan peraturan pelaksananya terkat dengan lembaga penyelenggara PTSP d Bdang Penanaman Modal dan tngkat kewenangan antara Pemerntah, Pemerntah Provns dan Pemerntah Kabupaten/Kota sehngga tujuan dar PTSP d bdang Penanaman Modal yang bertujuan untuk membantu Penanam Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas iscal, dan informasi mengena Penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan merngankan atau menghlangkan baya pengurusan Perznan dan Nonperznan sesua dengan yang dtegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal.
739
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah durakan d atas, maka drumuskan permasalahan mengena kewenangan Pemerntah Provns Bal dalam penyelenggaraan penanaman modal d Provns Bal dan penyelenggaraan kewenangan penerbtan perznan d bdang penanaman modal. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan peneltan d sn dapat dikualiikasikan atas tujuan yang bersifat umum (het doel van het onderzoek) dan tujuan yang bersfat khusus (het doel in het onderzoek), sebaga berkut : 1.3.1. Tujuan Umum. Secara umum, peneltan n bertujuan untuk mengembangkan lmu hukum, khususnya bdang hukum pemerntahan melalu pemahaman tentang kewenangan penerbtan perznan dan nonperznan d bdang penanaman modal. 1.3.2. Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum d atas, yang menekankan pada aspek normatfnya, maka tujuan khusus dar peneltan n sesua dengan permasalahan d atas adalah : a. Untuk mengkaj dan menganalss secara hukum terhadap kewenangan Pemerntah Provns Bal dalam penyelenggaraan penanaman modal d Provns Bal. b. Untuk memaham dan menganalss terhadap penyelenggaraan kewewenangan penerbtan perznan dan nonperznan d bdang penanaman modal.
II.
Metode Penelitian Peneltan merupakan ”suatu upaya pencaran” dan bukannya sekedar mengamat dengan peneltan terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang d tangan.Peneltan merupakan terjemahan dar bahasa Inggrs yatu research yang berasal dar kata ”re” (kembal) dan ”to search” (mencar). Dengan demikian secara hariah berarti ”mencari kembal”2 Dsampng tu juga, peneltan merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan lmu pengetahuan maupun teknolog. Hal n dkarenakan peneltan bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sstemats, metodelogs dan konssten.3 2.1. Jenis Penelitian Jens peneltan dalam peneltan n adalah peneltan hukum normatf, bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan sejauhmana perundang-undangan tertentu seras secara vertkal atau mempunya keserasan secara horsontal apabla menyangkut perundangundangan menyangkut bdang yang sama.4 Peneltan hukum normatf yang dmaksud, juga merupakan peneltan hukum doktrnal yang dsebut sebaga peneltan perpustakaan atau stud dokumen. Dmaksudkan demkan karena peneltan n dlakukan atau dtujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertuls atau bahan-bahan hukum yang lan, sedangkan sebaga peneltan perpustakaan atau stud 2
3
4
740
Bambang Sunggono, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm. 2728. Soerjono Soekanto dan Sr Mamudj, 1986, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.1. Ibid, hlm.74.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dokumen, peneltan n labh banyak dlakukan pada bahan hukum yang bersfat sekunder yang ada d perpustakaan.5 Peneltan n berangkat dar adanya konlik norma berkaitan dengan penyelenggaraan perznan dan non perznan d bdang penanaman modal. Oleh karena tu, penelitian ini dapat dikualiikasikan sebagai peneltan hukum normatf dengan fokus peneltan terhadap bahan-bahan hukum yang berkatan dengan pokok permasalahan. Dengan kata lan, peneltan n menekankan kepada peneltan bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab permasalahan penyelenggaraan perznan dan nonperznan d bdang penanaman modal. Dalam membahas pokok permasalahan akan ddasarkan pada hasl peneltan kepustakaan, bak terhadap bahan hukum prmer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum terser. 2.2. Jenis Pendekatan Peneltan n mempergunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach), yang dlakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulas yang bersangkut paut dengan su hukum yang sedang dtangan. Melalu pendekatan demkan akan membuka kesempatan bag penelt untuk mempelajar dan menelt konsstens suatu undang-undang dengan undang-undang lannya atau antara undang-undang dan Undang Undang Dasar atau antara regulas dan undang-undang.6
5
6
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Graika, Jakarta, hlm.31. Peter Mahmud Marzuk, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Mula, Jakarta, hlm.93.
Berdasarkan pendekatan tersebut selanjutnya ngn mengkaj perundangundangan d bdang penanaman modal, khususnya mengena penyelenggaraan perznan dan nonperznan d bdang penanaman modal, terkat dengan konsstensnya terhadap beberapa perundang-undangan tentang Penanaman Modal. Peneltan n juga menggunakan pendekatan analss konsep hukum (analitical & conceptual approach), yatu dengan menganalsa konsep hukum yang menyangkut regulas d bdang Penanaman Modal yang dkatkan dengan konsep PTSP d Bdang Penanaman Modal, Perznan, Nonperznan, konsep wewenang, serta dengan mengkatkannya dengan teor-teor hukum yang relevan dengan masalah d atas. Juga menggunakan pendekatan sejarah hukum (historical approach), untuk mengkaj atau menelusur perkembangan hukum yang ada katannya dengan masalah hukum dalam peneltan n, sepert peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku yang mengatur tentang regulas d Bdang Penanaman Modal, dsampng juga menggunakan pendekatan perbandngan (comparative approach). Namun demkan, pendekatan yang palng domnan dpergunakan dalam peneltan n adalah pendekatan perundangundangan. Secara hukum dalam peraturan perundang-undangan, yang dbenarkan secara akademk berdasarkan teor, konsep, asas-asas dan pandangan dar para sarjana. 2.3. Sumber Bahan Hukum Dalam peneltan n, bahan hukum yang dpergunakan berasal dar beberapa sumber, antara lan :
741
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
a.
b.
742
Bahan hukum prmer; berupa peraturan perundang-undangan yang ada katannya dengan masalah peneltan d atas, sepert : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerntah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntahan Daerah Provns, dan Pemerntahan Daerah Kabupaten/Kota, Peratuan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal, Peraturan Menter Dalam Neger Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pntu, dan Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perznan dan Nonperznan Penanaman Modal, serta peraturan perundang-undangan lannya yang ada katannya dengan peneltan datas. Bahan hukum sekunder; adalah bahanbahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum prmer. Atau juga merupakan bahan hukum yang member penjelasan mengena bahan hukum prmer, sepert hasl peneltan atau hasl karya lmah kalangan hukum serta buku-buku lteratur serta tulsan-tulsan hukum lannya yang relevan dengan masalah yang d bahas, yatu mengena kewenangan Pemerntah Provns Bal dalam
c.
penyelenggarakan penanaman modal d Provns Bal dan penyelenggaraan kewenangan penerbtan perznan d bdang penanaman modal. Bahan hukum terser; yakn bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum prmer dan bahan hukum sekunder yang dperoleh dar kamus hukum, ensklopeda, serta dokumendokumen penunjang lannya.
2.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknk pengumpulan bahan hukum dlakukan dengan mengnventarsas, menyusun berdasarkan subyek, selanjutnya dikaji / dipelajari, kemudian diklasiikasikan sesua dengan pokok masalah yang dbahas dalam peneltan n. Teknk n dsebut juga dengan teknk stud dokumentas dengan mengunakan alat bantu berupa kartu kutpan berdasarkan pengarang/penuls (subyek) maupun tema atau pokok masalah (obyek).7 3.5. Tehnis Analisis Analss dalam peneltan merupakan bagan yang sangat pentng karena dengan analsa nlah bahan hukum yang ada akan nampak manfaatnya dalam memecahkan masalah.8 Bahan hukum yang dperoleh melalu nvestarsas peraturan Perundangundangan, snkronsas vertkal dan horsontal dan kajan pustaka, danalss secara kualtatf dan selanjutnya dsajkan dalam bentuk deskrps, yang merupakan teknk dasar yang dapat berart uraan apa adanya terhadap suatu konds atau poss 7
8
Wnarno Surachmad, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tersto, Bandung, hlm.257. P. Joko Subagyo, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rneka Cpta, Jakarta, hlm.104.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dar proposs-proposs hukum atau non hukum.9 Analss dapat drumuskan sebaga suatu proses penguraan secara sstemats dan konssten terhadap gejala-gejala tertentu.10 Adapun dasar penggunaan analss secara normatf, karena bahan hukum dalam peneltan n mengarah pada kajan-kajan yang bersfat teorts dalam bentuk asasasas, konseps-konseps atau pandanganpandangan serta kaedah hukum. Bahan-bahan hukum yang telah dkumpulkan danalss dengan langkah dskrps, sstematsas, nterpretas, evaluas dan argumentas. Dskrps mencakup s maupun Bahan hukum struktur hukum postf.11 yang telah dkumpulkan dar peneltan pada awalnya dolah dan ddeskrpskan dan dtentukan pokok permasalahannya. Bahan hukum yang ddeskrpskan dan dtentukan pokok masalahnya, hal tu dpaka landasan evaluas Kewenangan Pemerntah Provns Bal dalam penyelenggaraan Penanaman Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. III. Hasil dan Pembahasan 3.1. Rincian Tugas Pokok Badan Penanman Modal dan Perizinan Provinsi Bali. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bal Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rncan Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal yang merupakan 9
10
11
Anonm, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penelitian Tesis Ilmu Hukum, 2006, Program Stud Magster Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana, hlm.10. Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawal, Jakarta, hlm.137. Phlpus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember – Desember, Surabaya.
turunan dar Pasal 172 Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organsas dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provns Bal dsebutkan bahwa : Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal adalah sebaga unsur pendukung tugas kepala daerah yang mempunya tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebjakan daerah d bdang penanaman modal dan perznan. Sedangkan fungsnya adalah : a. Perumusan kebjakan tekns bdang Penanaman Modal dan Perznan; b. Pemberan dukungan atas penyelenggaraan pemerntahan daerah bdang penanaman modal dan perznan; c. Pembnaan dan pelaksanaan tugas bdang penanaman modal dan perznan; dan d. Pelaksanaan tugas lannya yang dberkan oleh Gubernur sesua dengan tugas dan fungsnya. 3.2. Pengaturan Lembaga/Instansi Penyelenggara Penanaman Modal di Provinsi Bali. Keberadaa lembaga tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerntah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organsas Perangkat Daerah, Peraturan Menter Dalam Neger Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organsas dan Tata Kerja Unt Pelayanan Perznan Terpadu d Daerah dan Peraturan Menter Dalam Neger Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelayanan Perznan Terpadu Satu Pntu dan bukan mengacu kepada Peraturan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal yang merupakan penjabaran dar Undang-Undang 743
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal datur dalam Pasal 172 Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organsas dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provns Bal dan Peraturan Gubernur Bal Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rncan Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal dan dengan n telah dlmpahkan penandatangan Perznan sebanyak 36 dan Nonperznan sebanyak 16 dar Gubernur Bal kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal berdasarkan Peraturan Gubernur Bal Nomor 62 Tahun 2013 tanggal 31 Desember 2013. Namun demkan dalam Peraturan Gubernur tersebut tdak terdapat pelmpahan kewenangan terkat dengan penerbtan perznan d bdang Penanaman Modal berdasarkan peraturan tekns yatu: Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perznan dan Nonperznan Penanaman Modal selaku lembaga Perangkat Daerah Provns Bdang Penanaman Modal (PDPPM) d Provns Bal. Dalam upaya memberkan kepastan hokum terhadap penanam modal yang ngn menanamkan modalnya d Provns Bal yang semestnya dapat dterbtkan oleh Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal berdasarkan kewenangan yang telah dberkan dalam peraturan perundangundangan d bdang Penanaman Modal dengan sendrnya tdak dapat dterbtkan 744
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
mengngat dalam pelmpahan kewenangan yang dberkan oleh Gubernur Bal kepada Kepala Badan Penanman Modal dan Perznan Provns Bal tdak datur d dalamnya. Adapun Perznan d Bdang Penanaman Modal yang semestnya dapat dterbtkan berdasarkan kewenangan yang dberkan adalah: Izn Prnsp Penanaman Modal; Izn Usaha; Izn Prnsp Perluasan Penanaman Modal; Izn Usaha Perluasan; Izn Prnsp Perubahan Penanaman Modal; Izn Usaha Perubahan; Izn Prnsp Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal; dan Izn Usaha Penggabungan Perusahaan, sedangkan Nonperznan dsampng memfasltas permohonan perznan penanaman modal asng yang mash menjad kewenangan Badan Koordnas Penanaman Modal Republk Indonesa, juga terkat dengan pemberan nsentf/kemudahankemudahan dan pemberan nformas tentang penyelenggaraan Penanaman Modal. IV. Penutup 4.1. Simpulan Berdasarkan uraan tersebut d atas maka dapat dsmpulkan sebaga berkut : 1. Bahwa kewenangan Pemerntah Provns Bal dalam penyelenggarakan penanaman modal d Provns Bal mash rancu dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku d bdang Penanaman Modal d Indonesa. 2. Bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan penerbtan perznan d bdang penanaman modal perlu dlakukan penngkatan sumber daya manusa dan nfrastruktur penunjang dsampng tetap melakukan koordnas dengan nstans dan lembaga yang menangan penanaman modal.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
4.2. Saran Adapun saran yang dapat dkemukakan dalam hal n adalah : 1. Perlunya dlakukan kajan ulang terhadap Peraturan Gubernur Bal tentang Pelmpahan Kewenangan d Bdang Perznan dan Nonperznan kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Prznan Provns Bal yang mengacu pada peraturan perundangundangan d bdang penanaman modal sehngga dapat memberkan kepastan hukum bag penanam modal yang mengajukan permohonan perznan d bdang penanaman modal sebaga lembaga PDPPM d Provns Bal berdasarkan kewenangannya. 2. Perlunya dterbtkan Standar Operasonal dan Prosedur dalam penyelenggaraan penanaman modal, menerbtkan Standar Pelayanan Mnmal, melengkap nfrastruktur yang kurang dan terlebh lag menngkatkan sumber daya manusa terutama pada poss Front Ofice dan Back Ofice yang menangan langsung permohonan sampa penerbtan dokumen perznan yang dmohonkan. DAFTAR PUSTAKA Buku Anonm, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penelitian Tesis Ilmu Hukum, 2006, Program Stud Magster Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana. Hadjon, Phlpus M., 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif) dalam Yurdka Nomor 6 Tahun IX, Nopember – Desember, Surabaya.
Marzuk, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Mula, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Mamudj, Sr, 1986, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawal, Jakarta. Subagyo, P. Joko, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rneka Cpta, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Surachmad, Wnarno, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tersto, Bandung Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Graika, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah dan Perubahannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah Peraturan Pemerntah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntahan Daerah Provns, dan Pemerntahan Daerah Kabupaten/ Kota Peratuan Presden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pntu d Bdang Penanaman Modal. 745
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Peraturan Menter Dalam Neger Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pntu. Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordnas Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perznan dan Nonperznan Penanaman Modal Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organsas dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provns Bal. Peraturan Gubernur Bal Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rncan Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal Peraturan Gubernur Bal Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelmpahan Kewenangan Dbdang Perznan dan Non Perznan Kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perznan Provns Bal
746
Vol. 4, No. 4 : 736 - 746
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PENGATURAN PENGANGKATAN SEKRETARIS DAERAH UNTUK MEWUJUDKAN NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH Oleh : I Gede Pranajaya1 ABSTRACT Governance and development efforts to implement national and local levels can run smoothly largely depends on the perfection of the State apparatus, which in its function must be professional and neutral character of the inluence of all groups and political parties, and does not discriminate in providing services to the community in order to realize the welfare of society. To realize the neutrality of the State Apparatus, the central government is trying to give a neutral space of the apparatus of government both at central and local levels, however, the reality is often found to realize it is not easy. Various allegations of lack of neutrality of State Apparatus including regional secretary still often expressed by the public, especially during the General Election of Regional Head and Deputy Head of the candidates came from previously elected regional head (incumbent). It is not separated from the vagueness of the norm (vogue norm), associated with the illing of the post of secretary of the province are included in the Position Leader High as stipulated in Article 19 paragraph (3) of Law No. 5 of 2014 on the Reform of Civil State, stating for High leadership positions deined competency requirements, qualiications, rank, education and training, track record position and integrity, as well as other necessary requirements. The above provisions are not clear in stating the requirements that must be met by candidates for secretary of the province to ensure neutrality. This study is a normative law research that examines the ingredients literature that primary legal materials and secondary law. This study uses the approach of legislation and approach the concept. In the data collection is done by steps searches theories, concepts, principles, and an inventory of rule of law relating to the research problem. The conclusion relating to the cases in this study, namely charging Position Leader Higher done in an open and competitive among Civil Servants by taking into account the requirements of competence, qualiications, rank, education and training, track record positions, and intergitas and other requirements needed in accordance with the legislation relects to realize the secretaries of provincial oficials were neutral. Keywords: neutrality, competence, Position openly charging
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 Pasal 1 ayat (1) menegaskan Negara Indonesa alah Negara Kesatuan berbentuk Republk. 1
Mahassw Magster Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat Jalan Gurta 4 no 8A Denpasar Bal, e-mal: gedepranajaya21@gmal. com@gmal.com
Dalam Negara Kesatuan Republk Indonesa kedaulatan negara adalah tunggal, artnya Pemerntah Pusat memegang kekuasaan secara penuh. Namun mengngat Negara Indonesa sangat luas terdr dar atas puluhan rbu pulau besar dan kecl, dan penduduknya terdr dar beragam suku bangsa, beragam etns, beragam golongan, dan memeluk agama yang berbeda-beda maka tdak mungkn jka segala sesuatunya 747
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
durus seluruhnya oleh Pemerntah Pusat yang berkedudukan d bukota negara. Sehngga untuk mengurus penyelenggaraan pemerntahan negara sampa kepada seluruh pelosok daerah maka perlu dbentuk suatu pemerntahan daerah, sesua dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945.2 Pemerntahan Daerah dalam Negara Kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerntahan Nasonal. Suatu Negara dsebut kesatuan, apabla dalam lngkungan Negara tu terdapat daerah yang dsebut Negara.3 Negara Kesatuan adalah Negara tunggal, Negara yang terdr dar satu Negara saja, betapapun besar dan keclnya. Hubungan kedalam maupun keluar adalah kesatuan.4 Sejalan dengan tu, kebjakan yang dbuat dan dlaksanakan oleh Pemerntah Daerah merupakan bagan dar urusan negara yang dlaksanakan oleh Pemerntah Pusat. Pembedanya adalah terletak pada bagamana memanfaatkan kearfan, potens, inovasi, daya saing, dan kreatiitas Daerah untuk mencapa tujuan nasonal d tngkat lokal yang pada glrannya akan mendukung pencapaan tujuan nasonal secara keseluruhan sebagamana damanatkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 adalah melndung segenap Bangsa Indonesa dan seluruh Tumpah Darah Indonesa dan memajukan kecerdasan kehdupan Bangsa dan kut melaksanakan ketertban duna yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaan 2
3
4
748
Sunarno Sswanto, 2012, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Graika, Jakarta, hlm.54. Ellydar Chadr, 2008, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Pasca Perubahan UndangUndang Dasar 1945, Total Meda, Yogyakarta, hlm.57. Busrzalt, H.M, 2013, Hukum Pemda, Otonomi, dan Implikasinya, Total Meda, Jakarta, hlm.18.
abad, dan keadlan sosal. Tujuan nasonal tersebut hanya dapat tercapa melalu pembangunan yang bertujuan untuk menngkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun kehdupan demokras yang lebh bak. Kelancaran penyelenggaraan pemerntahan dan pelaksanaan pembangunan nasonal tu terutama sekal tergantung pada kesempurnaan Aparatur Negara.5 Kesempurnaan Aparatur Negara pada pokoknya tergantung dar kesempurnaan pegawa neger. Sementara tu, demokras yang dmaksud adalah pemerntahan yang menjamn dan lebh berphak pada rakyat, memberkan kemerdekaan yang nyata kepada rakyat dalam menyampakan asprasnya dalam kehdupan poltk bangsa dengan tanpa adanya tekanan poltk atau poltk yang merugkan rakyat. Untuk dapat mewujudkan netraltas pemerntahan bak d d tngkat d pusat maupun d tngkat daerah sudah merupakan tekad dar pemerntah, mengngat netraltas Aparatur Negara sangat dbutuhkan bag organsas pemerntahan yang ms utamanya adalah mengatur dan melayan dan memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Ketdaknetralan juga akan menyebabkannya kacaunya manajemen kepegawaan, tdak berjalannya pola karer yang benar karena ddomnas oleh unsur kekuasaan, serta penyelenggaraan pemerntahan yang jauh dar profesonalsme. Penegasan yang mengarahkan netraltas aparatur pemerntahan dtuangkan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, dsebutkan 5
Hartn, Sr Setajen Kadarsh dan Sudrajat Ted, 2010, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Graika, Jakarta, hlm.98.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
bahwa Pegawa Aparatur Spl Negara harus bebas dar pengaruh dan ntervens semua golongan dan parta poltk. Berdasarkan ketentuan tersebut Pegawa Aparatur Spl Negara sebaga unsur aparatur negara harus netral dar pengaruh semua golongan dan Parta Poltk, dalam memberkan pelayanan kepada masyarakat harus berlaku adl dan netral. Ketentuan n berlaku bag seluruh aparatur pemerntahan bak yang berada d tngkat pusat maupun daerah termasuk sekretars daerah provns yang merupakan jabatan karer tertngg pada pemerntah daerah. Namun dalam realtanya tdaklah mudah untuk mewujudkan netraltas pada aparatur pemerntahan n. Berbaga tudngan ketdaknetralan sekretars daerah, termasuk d Daerah Bal mash serng dkemukakan masyarakat melalu meda massa terutama pada waktu pemlhan umum kepala daerah dan wakl kepala daerah yang salah satu calonnya berasal dar kepala daerah sebelumnya (incumbent). Dengan kata lan tdak jarang jabatan sekretars daerah ds oleh orang-orang yang mempunya hubungan poltk yang kuat dengan parta poltk atau berjasa dengan kepala daerah terplh dalam pemlhan kepala daerah dan wakl kepala daerah. Para Tm Sukses dar Pegawa Neger Spl sudah barang tentu mendapat mbalan/kompensas dar yang telah dlakukannya. Secara normatf fenomena sepert tersebut d atas tdak terlepas dar terjadnya kekaburan norma terkat dengan pengsan jabatan sekretars daerah provns yang merupakan jabatan eselon I.b, dmana sesua dengan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, setara dengan jabatan pmpnan tngg madya. Berdasarkan Pasal 108 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Spl Negara, dtentukan bahwa pengsan jabatan pmpnan tngg utama dan madya pada kementeran kesekretaratan lembaga negara, lembaga non struktural,dan nstans daerah dlakukan dkalangan PNS dengan memperhatkan syarat kompotensi, kualiikasi, kepangkatan, penddkan dan lathan, rekam jejak jabatan, dan ntegrtas serta persyaratan lannya yang dbutuhkan sesua dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. D dalam ketentuan tersebut d atas tdak mengatur secara tegas mengena syarat-syarat yang wajb dpenuh oleh calon sekretars daerah provns yang dapat menjamn netraltasnya. Oleh karena tu perlu dlakukan pengkajan mengena permasalahan datas yang selanjutnya akan durakan ddalam karya lmah n. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang datas, dapat drumuskan permasalahan sebaga berkut: 1. Produk hukum apakah yang mengatur pengangkatan pejabat dalam pengsan jabatan sekretars daerah provns? 2. Persyaratan apakah yang harus datur dalam peraturan perundang-undangan terkat dengan pengangkatan pejabat sekretars daerah provns untuk dapat mewujudkan pejabat Sekretars Daerah Provns yang netral? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, peneltan bertujuan untuk pengembangan lmu hukum terutama bdang Hukum Admnstras, Hukum Pemerntahan Daerah dan Hukum Kepegawaan yang berkatan dengan 749
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
pengangkatan sekretars daerah dalam upaya mewujudkan netraltas Pegawa Neger Spl Daerah. Adapun tujuan khususnya adalah untuk mengkaj dan menganalss persyaratan yang dtentukan dalam Peraturan PerundangUndangan terkat dengan pengangkatan Jabatan Sekretars Daerah Provns telah mencermnkan upaya mewujudkan pejabat sekretars daerah provns yang netral atau belum. II.
METODE PENELIAN Metode yang dgunakan dalam Peneltan n adalah dengan peneltan hukum normatf. Ddalam melakukan peneltan normatf, maka akan memula dar suatu perstwa hukum dan selanjutnya akan dcar rujukan pada sstem norma, sepert peraturan perundang-undangan, asasasas hukum maupun doktrn-doktrn hukum yang dajarkan para ahl untuk mencar konstruks hukum maupun hubungan hukum.6 Sesua dengan permasalahan yang dkaj maka pendekatan yang dpergunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Adapun sumber bahan hukum yang dpergunakan dalam peneltan hukum normatf, mempergunakan bahan hukum prmer dan sekunder.7 Bahan hukum prmer terdr dar beberapa jens peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur mengena pengangkatan sekretars daerah provns dan netraltas aparatur spl negara. 6
7
750
Mukt Fajar Nd & Yulanto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative & Empiris, Pustaka Belajar, hlm.36 Johny Ibrahm, 2011, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumeda Publshng, Malang, hlm.57.
Sedangkan bahan hukum sekunder yang dgunakan melput buku-buku ataupun lteratur-lteratur hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana yang relevan dengan permasalahan yang dtelt. Keseluruhan bahan hukum tersebut dkumpulkan dengan mempergunakan stud kepustakaan yang kemudan danalss dengan teknk deskrps dan teknk nterprestas.8 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Produk Hukum yang Mengatur Pengangkatan Pejabat dalam pengisian jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Jmly Asshddqe mengemukakan bahwa Indonesa adalah negara hukum.9 Danutnya negara hukum d Indonesa dtegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 yang menyatakan Negara Indonesa adalah negara hukum. Hal n berart, bahwa Negara Indonesa dalam melaksanakan aktvtas kenegaraannya harus berdasarkan hukum yang berlaku. Secara Konsttusonal Negara Indonesa menganut prnsp Negara Hukum yang dnams atau welfare state, dengan demkan tugas pemerntah begtu luas. Pemerntah wajb memberkan perlndungan kepada masyarakat yang salah satunya d bdang hukum.10
8
9
10
Anonm, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Stud Magster (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana, hlm.30. Jmly Asshddqe, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Graika, Jakarta, hlm.132. SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Lberty, Yogyakarta, hlm.52.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Prnsp Negara Hukum d Indonesa juga dkemukakan oleh Anwar C, yang menyatakan bahwa unsur Negara Hukum Indonesa, yatu : a. Ada UUD yang mnmal mengatur pembagan dan pembatasan kekuasaan dalam Negara, adanya perlndungan HAM. b. Supremas Hukum (Supremacy of Law). c. Persamaan dalam hukum (Due Proces of law). d. Peradlan bebas dan tdak memhak. e. Peradlan Tata Usaha Negara. f. Peradlan Tata Negara (Constitutional Court). g. Perlndungan hukum terhadap Hak Asas Manusa. h. Bersfat demokras (Democratitiehe Rechstaat).11 Dengan danutnya negara hukum maka pemerntah dan lembaga-lembaga negara yang lan dalam melaksanakan tndakan apapun harus dlandas hukum atau harus dapat dpertanggungjawabkan secara hukum. Sesua denga pendapat A. Hamd S. Atamm, yang menyatakan Indonesa adalah Negara berdasarkan atas Hukum (Rechtstaat).12 Menurut Burken bahwa suatu negara dapat dkatakan sebaga negara hukum (rechtaat) apabla memenuh syarat-syarat: 1. Azas legaltas. Setap tndakan pemerntahan harus ddasarkan atas peraturan perundang-undangan (watterlijk gronslag. Dengan landasan 11
12
Anwar C, 2011, Teori dan Hukum , Konstitusi, Paradigma Kedudukan dalam UUD 1945 Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, Instrans Publshng, Malang, hlm.57. Dasrl Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rneka Cpta, Jakarta, hlm.27.
n, undang-undang sendr merupakan tumpuan dasar tndak pemerntahan. Dalam hubungan n pembentukan undang-undang merupakan bagan pentng dar negara hukum. 2. Pembagan kekuasaan. Syarat n mengandung makna bahwa kekuasaan negara tdak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. (grondrechten), 3. Hak-hak dasar merupakan sasaran perlndungan dar pemerntahan terhadap rakyat dan sekalgus membatas kekuasaan pembentuk undang-undang. 4. Pengawasan pengadlan bag rakyat terseda. Sesua dengan syarat-syarat dapat dsebutnya sebaga negara hukum dar Burken pada syarat pertama yatu azas legaltas, apabla dkatkan dengan pengangkatan sekretars daerah provns dwujudkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan perundang-undangan lannya yang mengatur pengangkatan sekretars daerah provns. Sehubungan dengan azas legaltas dalam pengangkatan sekretars daerah provns datur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, Peraturan Pemerntah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerntah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawa Neger Dalam Jabatan Struktural dan Peraturan Menter Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformas Republk Indonesa Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengsan Jabatan Pmpnan Tngg Secara Terbuka Dlngkungan Instans Pemerntah. Jabatan Struktural adalah kedudukan yang menunjukkan tugas dan tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS 751
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam rangka memmpn suatu organsas. Pengangkatan Pegawa Neger Spl (PNS) dalam jabatan struktural antara lan dmaksudkan untuk membna karer PNS dalam jabatan struktural dan kepangkatan sesua dengan persyaratan yang dtetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sekretars daerah provns adalah jabatan eselon Ib yang merupakan jabatan struktural tertngg pada pemerntah daerah provns, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, eselon Ib setara dengan jabatan pmpnan tngg madya. Mengena Pengangkatan Jabatan pmpnan tngg madya datur dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, dsebutkan bahwa untuk setap jabatan pmpnan tngg dtetapkan syarat kompotensi, kualiikasi, kepangkatan, penddkan dan pelathan, rekam jejak jabatan dan ntegrtas, serta peryaratan lan yang dbutuhkan. Selanjutnya mengena pengsan jabatan pmpnan tngg madya d nstans daerah datur dalam Pasal 114 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara sebaga berkut: (1) Pengsan jabatan pmpnan tngg madya d tngkat provns dlakukan oleh pejabat Pembna kepegawaan dengan terlebh dahulu membentuk panta seleks. (2) Panta seleks sebagamana dmaksud pada pmpnan tngg madya untuk setap 1 (satu) lowongan jabatan. (3) Tga calon nama pejabat pmpnan tngg madya yang terplh sebagaman dmaksud pada ayat (2) dsampakan kepada pejabat Pembna kepegawaan. (4) Pejabat Pembna kepegawaan 752
(5)
mengusulkan 3 (tga) nama calon pejabat pmpnan tngg madya sebagamana pada ayat (3) kepada Presden melalu menter yang menyelenggarakan urusan pemerntahan dalam neger. Presden memlh 1 (satu) nama dar 3 (tga) nama calon yang dsampakan untuk dtetapkan sebaga pmpnan tngg madya.
Lebh lanjut d dalam Pasal 5 Peraturan Pemerntah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawa Neger Spl Dalam Jabatan Struktural, dtentukan bahwa peryaratan Pegawa Neger Spl yang akan dangkat dalam jabatan struktural, antara lan: berstatus Pegawa Neger Spl, serendah-rendahnya memlk pangkat satu tngkat d bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualiikasi dan tingkat penddkan yang dtentukan, semua unsur penlaan prestas kerja bernla bak dalam dua tahun terakhr, memlk kompotens jabatan yang dperlukan, sehat jasman dan rohan. Pengsan jabatan pmpnan tngg secara terbuka datur dalam Peraturan Menter Pendayagunaan Aparatur dan Reformas Brokras Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengsan Jabatan Pmpnan Tngg Secara Terbuka D Lngkungan Instans Pemerntah, d mana dalam lamprannya antara lan dsebutkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, antara lan mengamanatkan bahwa pengsan jabatan pmpnan tngg utama dan madya pada kementeran, kesekretaratan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan nstans Daerah dlakukan secara terbuka dan kompettf d kalangan PNS dengan memperhatkan syarat kompetens,
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
kualiikasi, kepangkatan, pendidikan dan lathan, rekam jejak jabatan, dan ntegrtas serta peryaratan lan yang dbutuhkan sesua dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dlakukan pada tngkat nasonal. Pada dasarnya Peraturan Menter Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformas Brokras Nomor 13 Tahun 2014 tersebut merupakan pedoman bag Pemerntah bak d Pusat maupun Daerah dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Negara khususnya mengena pengsan jabatan pmpnan tngg utama dan madya termasuk sekretars daerah provns yang merupakan jabatan pmpnan tngg madya d daerah provns. Oleh karena tu, secara subtans dalam pengsan jabatan sekrtetars daerah provns harus berpedoman pada Peraturan Menter Pendayagunaan Aparatur dan Reformas Brokras Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengsan Jabatan Pmpnan Tngg Secara Terbuka d Lngkungan Instans Pemerntah. Peraturan perundang-undangan tersebut datas, adalah merupakan landasan hukum yang dtetapkan oleh Pemerntah dalam pengangkatan sekretars daerah provns, dan dengan daturnya pengangkatan sekretars daerah provns dalam suatu produk hukum akan dapat dhndarnya tndakan sewenang-wenang dar pemerntah atau badan yang mempunya kewenangan dalam pengangkatan sekretars daerah provns. 3.2
Persyaratan yang Menjamin Netralitas dalam pengangkatan Pejabat Sekretaris Daerah Provinsi Berbcara mengena netraltas brokras telah dtegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Spl Negara yang menyebutkan bahwa Pegawa Aparatur Spl Negara harus bebas dar pengaruh dan ntervens semua golonagan dan parta poltk. Ketentuan tersebut merupakan perwujudan kebjakan dan manajemen Aparatur Spl Negara (ASN) yang menganut asas netraltas, yakn untuk mencptakan pegawa Aparatur Spl Negara yang profesonal dan berknerja, sehngga dapat memberkan pelayanan secara adl dan netral menjad perekat dan pemersatu bangsa. Maka dar tu untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publk, tugas pemerntahan, dan tugas pembangunan profes dan manajemen Pegawa Aparatur Spl Negara berdasarkan pada Sstem Merit atau perbandingan antara kualiikasi, kompetens, dan knerja yang dmlk oleh calon dalam rekrutment, pengangkatan, penempatan, dan promos pada jabatan yang dlaksanakan secara terbuka dan kompettf, sejalan dengan tata kelola pemerntahan yang bak. Pengangkatan Pegawa Neger Spl dalam jabatan merupakan salah satu bagan dar kebjakan dalam manajemen Pegawa Neger Spl. Pada penjelasan lebh lanjut, jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas dan tanggungjawab, wewenang dan hak seorang Pegawa Neger Spl dalam suatu jabatan dalam suatu organsas negara. Pada pengangkatan dalam jabatan dkenal dengan adanya stlah jabatan karer. Jabatan karer merupakan jabatan struktural dan fungsonal yang hanya dapat dduduk oleh Pegawa Neger Spl setelah memenuh syarat yang dtentukan. Selanjutnya Jabatan struktural merupakan kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawa Neger Spl dalam 753
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
memmpn satuan organsas negara. Pengangkatan Pegawa Neger Spl dalam jabatan Struktural antara lan dmaksudkan untuk membna karer Pegawa Neger Spl dalam jabatan sesua dengan persyaratan yang dtetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku Mengena Pengangkatan Pegawa Neger Spl Dalam jabatan tertentu datur dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, dmana ddalamnya menyebutkan bahwa pengangkatan Pegawa Neger Spl dalam jabatan tertentu berdasarkan perbandngan obyektif antara kompetensi, kualiikasi, dan peryaratan yang dbutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualiikasi, dan persyaratan yang dmlk oleh pegawa. Lebh lanjut untuk pengangkatan Pegawa Neger Spl dalam jabatan pmpnan tngg madya pada daerah provns, yatu sekretars daerah provns berdasarkan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, dlakukan secara terbuka dan kompettf d kalangan Pegawa Neger Spl dengan memperhatkan syarat kompetens, kualiikasi, kepangkatan, pendidikan dan lathan, rekam jejak jabatan, ntegrtas serta peryaratan lan yang dbutuhkan sesua dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Untuk pengsan jabatan struktural sekretras daerah provns datur dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, yatu Pembna Kepegawaan yang kalau d daerah provns adalah gubernur mengambl langkah–langkah dengan membentuk Panta Seleks (Pansel), dmana Panta Seleks (pansel) memlh 3 (tga) nama calon untuk lowongan tersebut dan dsampakan 754
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
kepada Penjabat Pembna Kepegawaan dan selanjutnya Penjabat Pembna Kepegawaan mengusulkan 3 (tga) nama calon pejabat pmpnan tngg madya tersebut kepada Presden melalu Menter Dalam Neger. Lebh lanjut Presden dbantu oleh Tm memlh 1 (satu) nama dar 3 (tga) nama calon yang dsampaakan untuk dtetapkan sebaga pejabat pmpnan tngg madya atau sekretars daerah provns. Melalu yang mekansme yang dlakukan secara terbuka yang dapat dkut oleh seluruh Pegawa Neger Spl yang memenuh syarat untuk dapat dangkat dalam jabatan struktural sekretars daerah, serta melalu Panta Seleks (Pansel) yang dbentuk oleh Penjabat Pembna Kepegawaan kewenangan Penjabat Kepegawaan Daerah hanya mengusulkan 3 (tga) nama dar hasl plhan yang dsampakan Panta Seleks (Pansel) kepada Presden melalu Menter Dalam Neger untuk dtetapkan salah satunya sebaga sekretars daerah provns, akan menjamn seorang penjabat sekretars daerah yang netral dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajbannya sebaga seorang sekretars daerah. IV. PENUTUP 4.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sepert yang telah durakan d atas, maka dapat dambl suatu smpulan sebaga berkut : 1. Produk hukum yang mengatur pengangkatan jabatan sekretars daerah provns yang merupakan jabatan pmpnan tngg madya datur dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, yang menyebutkan bahwa untuk setap jabatan pmpnan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
2.
tngg dtetapkan syarat kompetens, kualiikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelathan, rekam jejak jabatan dan ntegrtas serta persyaratan lan yang dbutuhkan sesua dengan peraturan perundang-undangan, dan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerntah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemndahan dan Pemberhentan Pegawa Neger Spl yang dangkat dalam jabatan struktural harus memenuh syarat untuk dangkat dalam jabatan struktural. Pengangkatan sekretars daerah provns yang merupakan jabatan pmpnan tngg madya, dtetapkan berdasarkan kompetensi, kualiikasi, kepangkatan, penddkan dan pelathan, rekam jejak jabatan dan ntegrtas, serta persyaratan lan yang dbutuhkan, dan mekansmenya melalu seleks terbuka bag seluruh Pegawa Neger Spl dalam lngkup wlayah provns yang memenuh syarat untuk dapat dangkat sebaga pejabat struktural sekretars daerah provns telah mencermnkan upaya mewujudkan penjabat sekretars daerah provns yang netral.
4.2 Saran Saran yang dapat dberkan adalah : 1. Bahwa dalam pembnaan karer dan menjaga netraltas Pegawa Neger Spl, maka pengangkatan Pegawa Neger Spl dalam jabatan struktural sekretars daerah provns yang merupakan jabatan tertngg d daerah provns harus dlakukan secara terbuka dengan persyaratan serta mekansme harus berpedoman pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
2.
Aparatur Spl Negara. Bahwa sampa saat n belum dterbtkan peraturan pemerntah sebaga peraturan pelaksanaan dar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara, maka dem adanya kepastan hukum dalam pengangkatan jabatan sekretars daerah perlu segera dterbtkan peraturan pemerntah sebaga peraturan pelaksanaan dar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Spl Negara dan bag Pegawa Neger Spl yang bertndak tdak netral dalam pemlhan kepala daerah dan wakl kepala daerah agar dkenakan sanks yang tegas sesua dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA Hartn, Sr Setajen Kadarsh dan Sudrajat Ted, 2010, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Snar Grafka, Jakarta. Anonm, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Stud Magster (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana. Jmly Asshddqe, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Snar Grafka, Jakarta. Sunarno Sswanto, 2012, Hukum Pemerintahan Daerah, Snar Grafka, Jakarta. Sistem Ellydar Chadr, 2008, Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Total Meda, Yogyakarta. 755
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Busrzalt, H.M, 2013, Hukum Pemda, Otonomi, dan Implikasinya, Total Meda, Jakarta. Hartn, Sr Setajen Kadarsh dan Sudrajat Ted, 2010, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Snar Grafka, Jakarta. Mukt Fajar Nd & Yulanto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative & Empiris, Pustaka Belajar. Johny Ibrahm, 2011, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumeda Publshng, Malang. SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Lberty, Yogyakarta. Anwar C, 2011, Teori dan Hukum , Konstitusi, Paradigma Kedudukan dalam UUD 1945 Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, Instrans Publshng, Malang. Dasrl Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rneka Cpta, Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Spl Negara.
756
Vol. 4, No. 4 : 747 - 756
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11-017/ PUU-I/2003 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM HAK DIPILIH Oleh I Ketut Ngastawa1 ABSTRACT Paper that had the title: “Juridical implications of the Constitutional Court Decision Number 011-017/PUU-I/2003 on the Legal Protection for the Rights to be Eelected.” This explores two issues: 1) how the legal protection of the settings selected in the state system of Indonesia ; 2) what are juridical implications of the Constitutional Court Decision Number 011-017/ PUU-I/2003 on the legal protection for the rights to be elected. To solve both problems, this paper uses normative legal research methods. Approach being used is the statute approach, case approach, and a conceptual approach. Further legal materials collected were identiied and analyzed using descriptive analysis techniques. Legal protection for the right to be elected in the state system of Indonesia can be traced from the 1945 opening, the articles in the body of the 1945 Constitution, Article 27 paragraph (1), Article 28D (1) and paragraph (3) and Article 28 paragraph (3) 1945 Second Amendment, MPR Decree Number XVII/ MPR/1998, Article 43 of Law Number 39 of 1999, Article 21 of the Universal Declaration of Human Rights, and Article 25 of the International Covenant on Civil and Political Rights. Discussion of the juridical implications of the Constitutional Court Decision Number 011017/PUU-I/2003 on the legal protection for the rights to be elected have been included: a) only on the juridical implications of representative institutions no longer marked with speciied requirements as stipulated in Article 60 letter g of Law Number 12 Year 2003 in Law Number 10 Year 2008; b) juridical implications of the political ield for the right to be elected is the absence of any discriminatory treatment in legislative product formed by the House of Representatives and the President as well as products of other legislation forward. Keywords: Juridical Implications of the Constitutional Court Decision Number 011-017/ PUU- I/2003, Legal Protection, the Rights to be Elected I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada tanggal 24 Februar 2004 Mahkamah Konsttus telah menjatuhkan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003. Perkara a quo merupakan uj materl (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003. Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUUI/2003 amarnya menyatakan: 1) mengabulkan 1
Mahasswa Program Magster (S2) Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Alamat : Jln Letda Jaya No.20C Denpasar, emal : ketut-ngastawa@ gmal.com
permohonan pengujan undang-undang yang dajukan oleh sebagan Pemohon; 2) menyatakan Pasal 60 huruf g UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Pemlhan Umum Anggota Dewan Perwaklan Rakyat, Dewan Perwaklan Daerah, dan Dewan Perwaklan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945; 3) menyatakan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tdak mempunya kekuatan hukum mengkat. Mahkamah Konsttus dalam perkara a quo mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g. Indonesa secara konsttusonal melarang 757
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
adanya perlakuan dskrmnas. Dalam UUD 1945 berbaga perlakuan dskrmnatf dlarang sesua Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) yuncto Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas Manusa yuncto Pasal 21 Deklaras Unversal Hak-Hak Asas Manusa (DUHAM) dan Pasal 25 Kovenan Internasonal Tentang Hak-Hak Spl dan Poltk. Dalam Putusan a quo salah satu Hakm Konsttus memberkan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang mengatakan bahwa Pasal 60 huruf g seolah-olah tdak selalu sejalan dengan semangat yang terkandung dalam beberapa pasal UUD 1945. Adanya pembatasan tersebut tdak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua. Sedangkan Mahkamah Konsttus berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g tdak relevan dengan upaya rekonslas nasonal, Indonesa yang lebh demokrats dan berkeadlan. Pandangan Mahkamah Konsttus tersebut adalah sesua dengan tugas dan wewenangnya sebaga pengawal konsttus, penafsr konsttus, pengawal demokras2 sekalgus sebaga pelndung hak konsttusonal warga negara3. Dengan tugas dan wewenang tersebut, akhrnya melalu Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011017/PUU-I/2003 mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g dnyatakan bertentangan dengan Konsttus. Pencabutan terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g karena dnyatakan sebaga 2
3
758
Jmly Asshddqe, 2006a, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta, Konsttus Press, Cet. I, hlm.105. Jenedjr M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konsttus Press, hlm.7.
pengngkaran terhadap hak-hak asas warga negara atau dskrmnas terhadap hak konsttusonal (constitutional rights) warga negara terkat keyaknan poltk. Pengngkaran tersebut tdak saja pada UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 melankan juga konvens nternasonal tentang hak asas manusa (UDHR dan ICCPR). Substans Pasal 60 huruf g merupakan hak poltk warga negara yang dmanfestaskan sebaga hak dplh (hak plh pasf). Sesua dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsttus menyebutkan bahwa Mahkamah Konsttus berwenang mengadl pada tngkat pertama dan terakhr yang putusannya bersifat inal. Menginggat mplkas atas putusan Mahkamah Konsttus yang bersfat inal and binding serta bersfat erga omnes, maka putusannya langsung memperoleh kekuatan hukum sejak ducapkan dan tdak ada upaya hukum yang dapat dtempuh.4 Dengan demkan, dapat dmakna bahwa d satu ss putusan Mahkamah Konsttus member jamnan terhadap perlndungan hak asas manusa, termasuk terhadap perlndungan hak dplh di sisi lain putusannya bersifat inal dan tdak ada upaya hukum lan serta mengkat semua phak. Berdasarkan uraan d atas menunjukkan bahwa keberadaan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tdak saja menunjukkan adanya konlik norma melankan normanya pun kabur. Dengan latar belakang tersebut, penuls tertark untuk menuls: ”Implkas Yurds Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/ 4
Maruarar Sahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Konsttus Press, hlm.208.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PUU-I/2003 Terhadap Perlndungan Hukum Hak Dplh.” 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang d atas, masalah dapat drumuskan sebaga berkut: 1) bagamana pengaturan perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraan Indonesa? 2) apa mplkas yurds Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/ PUU-I/2003 terhadap perlndungan hukum hak dplh?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dar peneltan n adalah untuk: a) mengetahu bagamana pengaturan perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraan Indonesa; b) sebaga bahan dalam pengembangan lmu hukum terutama terkat mplkas yurds Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/UUI/2003 terhadap perlndungan hukum hak dplh. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dar peneltan n adalah untuk: a) mendekrpskan dan menganalss pengaturan perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraan Indonesa; b) mendekrpskan dan menganalss mplkas yurds Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap perlndungan hukum hak dplh. II.
METODE PENULISAN Metode peneltan pada dasarnya merupakan cara lmah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.5
Jens peneltan dalam tess n menggunakan metode peneltan hukum normatf,6 yatu suatu prosedur peneltan lmah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logka lmu hukum dar ss normatf, terutama berkatan dengan Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUU- I/2003 yang membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g. Dalam peneltan n dgunakan pendekatan undang-undang (statute approach), yakn menelt undang-undang yang mempunya relevans terkat dengan pemenuhan hak poltk, terutama hak dplh. Pendekatan kasus (case approach) dgunakan untuk menelt putusan a quo yang membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g. Selanjutnya, pendekatan konseptual (conceptual approach) dlakukan dengan mempelajar pandangan, konsep, prnsp, norma hukum, bak norma hukum nasonal maupun norma hukum nternasonal (deklaras dan konvens), terutama terkat dengan perlndungan hukum hak dplh. Sumber bahan hukum yang dgunakan dalam peneltan n adalah sumber bahan hukum prmer antara lan: UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999, UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 24 Tahun 2003, UU Nomor 10 Tahun 2008, UU Nomor 42 Tahun 2008, Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUU-I/2003, Deklaras Unversal Hak-Hak Asas Manusa, serta Kovenan Internasonal Tentang Hak-Hak Spl dan Poltk. Sedangkan sumber bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, jurnal hukum dan bahan hukum terser berupa kamus. Pengumpulan bahan hukum dlakukan melalu nventarsas. Langkah selanjutnya 6
5
Sugyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Bandung, Alfabeta, hml.18.
Johnny Ibrahm, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang. Bayumeda Publshng, hlm.57.
759
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
adalah mengidentiikasi dan mengkaji atau menelaah bahan-bahan hukum dmaksud. Pengolahan dan menganalss bahan hukum yang terkumpul, bak bahan hukum prmer, sekunder maupun terser danalss secara deskrptf. Dengan demkan, tulsan n bersfat analss dskrptf. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Perlindungan Hukum Hak Dipilih dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraa Indonesa dapat dcermat dar Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan peraturan perundangan-undangan, termasuk deklaras maupun konvens nternasonal tentang hak asas manusa, khususnya tentang perlndungan hukum hak dplh. Dalam konteks n, hal tersebut tdak dapat dlepaskan dengan konseps negara hukum maupun konseps kedaukatan rakyat vis a vis merupakan bagan dar hak asas manusa (HAM) sebaga tercermn dalam Alena I sampa Alena IV Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dalam Alena IV dnyatakan: “Kemudan dar pada tu untuk membentuk suatu pemerntahan Negara Indonesa yang melndung segenap bangsa Indonesa dan seluruh tumpah darah Indonesa…dalam suatu Undang-Undang Negara Indonesa, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republk Indonesa yang berkedaulatan rakyat...” Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa Konsttus Negara Republk Indonesa dmana sstem pemerntahan Negara Republk Indonesa ddasarkan atas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat serng dmakna sebaga bentuk pemerntahan 760
yang berpaham demokras dmana bentuk pemerntahan dan pemerntah dplh oleh rakyat. Sejalan dengan uraan tersebut, bla dkatkan dengan pengaturan perlndungan hukum hak dplh, maka hal tersebut dapat dtelusur dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945. Perlndungan hukum menjad bagan dar hak asas manusa yang telah datur dalam Konsttus Negara Republk Indonesa. Sebelum menelusur muatan mater hak asas manusa, terutama terkat dengan pelndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraan Indonesa, maka pada uraan berkut durakan tentang termnolg, konsep maupun pandangan tentang perlndungan hukum. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarmnta, durakan bahwa perlndungan dartkan sebaga tempat berlndung, dar hal (perbuatan dan sebaganya) memperlndung.7 Perlndungan hukum bag rakyat d Indonesa sebaga akbat dar tndakan hukum pemerntah ada beberapa kemungknan, tergantung dar nstrumen hukum yang dgunakan pemerntah. Instrumen hukum pemerntah yang lazm dgunakan adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dbentuk atau sebaga produk DPR bersama Presden. Perlndungan hukum sebaga akbat dterbtkannya peraturan perundangundangan dapat dtempuh melalu permohonan uj materl (judicial review) 7
WJS Poerwadarmnta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Bala Pustaka, Cet. XV., Hlm.670. Lhat juga Anton M. Moelyono (Peny.), 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen Penddkan dan Kebudayaan Republk Indonesa,hlm.52.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsttus. Permohonan uj materl (judicial review) yang dajukan ke Mahkamah Agung melngkup pengujan peraturan perundangundangan d bawah undang-undang (sesua dengan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1984 Tentang Mahkamah Agung, LN-RI Tahun 2004 Nomor 9). Sedang permohonan uj materl (judicial review) ke Mahkamah Konsttus melngkup pengujan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 (sesua dengan Pasal 10 ayat (1) butr a UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsttus, LN-RI Tahun 2003 Nomor 98). Oleh karena tu, menurut Sald Isra bahwa judicial review menjad salah satu cara untuk menjamn hak-hak kenegaraan yang dmlk oleh seseorang warga negara pada poss dametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan, termasuk undang-undang.8 Pengaturan hak asas manusa dalam Konsttus Negara Republk Indonesa datur dalam Pasal 27 sampa Pasal 34. Pengaturan hak asas manusa dalam Konsttus tersebut mengandung makna bahwa negara mengaku keberadaan hak asas manusa, termasuk perlndungan hukum tentang “bersamaan kedududukan dalam hukum dan pemerntahan”. Hal tersebut datur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut secara konsttusonal dapat dmakna bahwa setap warga negara mempunya kedududukan yang sama d dalam hukum dan pemerntahan. Dalam konteks n,
buny ketentuan konsttusonal tersebut dapat juga dmakna bahwa setap warga negara mempunya kedudukan yang sama d dalam hukum dan pemerntahan. Setap warga negara mempunya hak dplh yang sama dengan warga Negara lannya. negara menjamn adanya perlndungan hak asas manusa, termasuk perlndungan hukum terhadap hak dplh. Pengaturan hak asas manusa dalam UUD 1945 Pasca Perubahan telah mengalam perubahan yang signiikan dan perumusannya menjad sangat lengkap. Oleh karena tu, Jmly Asshddqe menyebut UUD 1945 merupakan salah satu undang-undang dasar yang palng lengkap memuat perlndungan hak asas manusa.9 Pengaturan hak asas manusa secara khusus datur dalam Bab XA “Hak Asas Manusa”, dar Pasal 28A sampa Pasal 28J. Pengaturan hak asas manusa, khususnya terkat perlndungan hukum secara rnc datur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua. Secara konsttusonal, setap orang berhak atas pengakuan, jamnan, perlndungan, dan kepastan hukum yang adl serta perlakuan yang sama dhadapan hukum. Demkan pula bahwa setap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerntahan. Oleh karena tu setap orang berhak bebas dar perlakuan yang bersfat dskrmnatf atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlndungan terhadap perlakuan yang bersfat dskkrmnatf. Dar ketentuan konsttusonal tersebut menunjukkan bahwa negara,
8
9
Sald Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT. RajaGraindo Persada, hlm.293.
Jmly Asshddqe, 2006b, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jld II), Jakarta, Sekretarat Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konsttus Republk Indonesa, hlm.104-105.
761
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
terutama pemerntah berkewajban untuk menghormat (to resfect), memenuh (to fulill), dan melndung (to protect) hak asas manusa setap warga negara. Dalam katan n, negara member pengakuan, jamnan, perlndungan dan kepastan hukum yang adl serta perlakuan yang sama dhadapan hukum. Jamnan atas pelaksanaan hak asas manusa tersebut sepenuhnya menjad tanggung jawab negara, khususnya pemerntah. Bagamana negara menghormat, memenuh, dan melndung hak asas manusa tersebut merupakan tanggung jawabnya. Penegasan terhadap tanggung jawab dan kewajban tersebut, dsebutkan dalam Pasal 28I ayat (4) dmana: “:Perlndungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asas manusa adalah tanggung jawab negara, terutama pemerntah”. Sedangkan bagamana menegakkan dan melndung hak asas manusa, dsebutkan dalam Pasal 28I ayat (5) dmana: “Untuk menegakkan dan melndung hak asas manusa sesua dengan prnsp-prnsp negara hukum yang demokrats, maka pelaksanaan hak asas manusa djamn, datur dan dtuangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan uraan d atas jelas menunjukkan bahwa hak asas manusa sebaga hak konsttusonal (constitutional rights) warga negara telah menjad tekad dan komtmen negara untuk menghormat, memenuh, dan melndungnya. Oleh karena tu menjad kewajban dan tanggung jawab negara untuk menghormat, memenuh, dan melndung hak asas manusa tersebut. Sejalan dengan uraan d atas, sesungguhnya UUD 1945 Perubahan Pertama sampa Keempat (dar tahun 1999 sampa tahun 2002) merupakan produk Gerakan Reformas dmana rakyat dan 762
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
bangsa Indonesa menuntut dadakannya amandemen terhadap UUD 1945. Mater muatan UUD 1945 tdak dapat dlepaskan dar tekad dan semangat rakyat, bangsa Indonesa, termasuk lembaga-lembaga Negara dan seluruh Aparatur Pemerntahan untuk menghormat, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengena hak asas manusa. Tekad dan semangat tersebut tertuang dalam Tap MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998. Dalam perkembangan selanjutnya dan sekalgus sebaga tndaklanjut atas tekad dan semangat tersebut tercermn dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 yang dsahkan pada tanggal 23 September 1999 (LN-RI Tahun 1999 Nomor 165) sebaga salah satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hak asas manusa. Jka dtelusur mater muatan UU Nomor 39 Tahun 1999 tersebut, ternyata dadops menjad mater muatan UUD 1945 Perubahan Kedua, khususnya terkat tentang hak asas manusa. Namun, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 secara khusus dmuat ketentuan normatf terkat tentang “hak dplh” sebaga durakan pada “Bagan Kedelapan: Hak Turut Serta dalam Pemerntahan” dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2). Adanya ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa perlndungan hukum hak dplh sebaga hak setap warga negara wajb dlndung. Untuk mengmplementaskan hak dplh sebaga bagan dar hak asas manusa tersebut dtentukan dalam peraturan perundanganundangan dan dengan tetap berpegang melalu mekansme pemungutan suara yang mengedepankan asas langsung, umum, bebas , dan rahasa serta judul dan adl (asas luber dan jurdl).
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pada bagan lan harus daku bahwa Negara Republk Indonesa sebaga negara merdeka memang tdak dapat dlepaskan dengan norma-norma hukum nternasonal. Dalam hal n termasuk deklaras maupun konvens nternasonal tentang hak asas manusa. Dengan demkan, sebagamana durakan sebelumnya bahwa Proklamas Kemerdekaan Negara Republk Indonesa pada tanggal 17 Agustus 1945 sebaga tercermn dalam Pembukaan UUD 1945 sarat dengan kandungan amanat kemerdekaan, kebebasan, kesetaraan, dan keadlan. Sebaga Negara yang dproklamaskan dalam suasana Perang Duna II, maka suasana yang berkembang d duna nternasonal menjad perhatan dan kepedulan para founding fathers bangsa ketka tu. Masyarakat nternasonal melalu Majels Umum Perserkatan Bangsa-Bangsa telah mencetuskan Deklaras Unversal HakHak Asas Manusa (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM terdr atas 30 pasal, tdak saja memuat hak spl dan hak poltk melankan hak ekonom, hak sosal, dan hak budaya. Dalam konteks hak dplh sebaga bagan dar hak poltk, dalam DUHAM datur dalam Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Apa yang dtentukan dalam Pasal 21 DUHAM tersebut memberkan landasan moral bag setap negara untuk memberkan penghormatan, jamnan dan pemenuhan, dan perlndungan terhadap hak-hak poltk, terutama hak dplh bag setap warga negara. Pelbatan dalam pemerntahan, bak secara langsung maupun tdak langsung merupakan hak. Untuk mewujudkan hak poltk tersebut, setap warga negara mempunya kesempatan dan kedudukan hukum yang sama. Tdak ada perlakuan dskrmnatf.
Setelah munculnya DUHAM, pada tahun 1966 PBB mengeluarkan Kovenan Internasonal Tentang Hak-Hak Spl dan Poltk (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR). Pada hakekatnya munculnya ICCPR n tdak lan adalah untuk member perhatan dan perlndungan terhadap hak asas manusa, khususnya terkat dengan hak spl dan hak poltk yang menjad fondas bag terpenuh dan terwujudnya hak-hak asas manusa, terutama hak spl dan hak poltk wargan negara. Hak dplh sebaga bagan dar hak poltk, dalam ICCPR dtentukan dalam Pasal 25 butr (a), butr (b), dan butr (c). Dengan ketentuan Pasal 25 ICCPR tersebut menunjukkan bahwa setap warga negara mempunya hak dan kesempatan yang sama tanpa ada perbedaan dalam menjalankan hak poltknya, terutama dalam menggunakan hak dplh. Penggunaan hak dplh tersebut dlakukan melalu mekansme Pemlham Umum. Mekansme dmaksud tetap berpegang pada asas kerahasan dan bebas untuk memlh sesua kehendak para pemlh. Berdasarkan uraan d atas, nampaklah bahwa pengaturan perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraa Indonesa tdak saja tercermn dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 melankan juga datur dalam peraturan perundang-undangan, bak dalam Tap MPRRI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 39 Tahun 1999 maupun dalam DUHAM dan ICCPR.
763
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.2
Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011017/PUU-I/2003 Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 dtentukan bahwa Mahkamah Konsttus berwenang mengadl pada tngkat pertama dan terakhr yang putusannya bersifat inal. Selanjutnya dalam Pasal 47 dtentukan bahwa putusan Mahkamah Konsttus memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesa ducapkan dalam sdang pleno terbuka untuk umum. Itu berart bahwa putusan Mahkamah Konsttus langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak ducapkan dan tdak ada upaya hukum yang dapat dtempuh.10 Oleh karena tu, putusan Mahkamah Konsttus bersfat inal and binding. Kekuatan mengkat putusan Mahkamah Konsttus berbeda dengan putusan peradlan basa. Kekuatan mengkat tdak hanya bag phak-phak yang berperkara, sepert: Pemohon, Termohon, Pemerntah, DPR/ DPD ataupun phak terkat yang dznkan memasuk proses perkara melankan juga mengkat bag semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wlayah Republk Indonesa. Putusan dmaksud berlaku sebaga hukum sebagamana hukum dbentuk oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Presden). Hakm Mahkamah Konsttus dkatakan sebaga Negative Legislator yang putusannya bersfat erga omnes yang dtujukan pada semua orang.11 Pada analss berkut, terutama terkat dengan Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUU-I/2003 berkut durakan tentang: a) mplkas yurds hanya pada lembaga perwaklan, b) Implkas 10 11
764
Maruarar Sahaan, 2005, Ibid., hlm.208. Maruarar Sahaan, Ibid.
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
yurds terhadap perlndungan hukum hak dplh. 3.2.1 Implikasi Yuridis Putusan Hanya pada Lembaga Perwakilan Keberadaan hak dplh telah dakomodas dalam Pemlhan Umum Legslatf. Dalam hal n mesk sesungguhnya permasalahan berhubungan dengan hak dplh, namun pada dasarnya adalah untuk semua jabatan publk. Pasal 60 huruf g dcabut atau dbatalkan keberlakuannya sesua dengan Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februar 2004 seharusnya djadkan landasan yurds oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Presden). Dalam pembentukan undangundang berkutnya, terutama UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemlhan Umum Anggota Dewan Perwaklan Rakyat, Dewan Perwaklan Daerah, dan Dewan Perwaklan Rakyat Daerah (LN-RI Tahun 2008 Nomor 51) tdak lag mencantumkan persyaratan sebagamana dmaksud Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 (Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2008). Dengan demkan, mplkas yurds Putusan Mahkamah Konnsttus Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap perlndungan hukum hak dplh nampak konkret dalam UU Nomor 10 Tahun 2008, yatu dengan tdak lag mencantumkan persyaratan yang dskrmnatf. Pembentuk undang-undang, bak DPR bersama Presden menjadkan Putusan Mahkamah Konsttus tersebut sebaga landasan yurds dalam membentuk undang-undang. Namun, semangat berbeda terlhat manakala DPR bersama Presden membentuk undang-undang selan UU Nomor 10 Tahun 2008 dmana untuk jabatan publk yang bersfat strategs mash mencantumkan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
persyaratan “terlbat secara langsung atau tdak langsung dengan pemberontakan PKI”. Adanya kalmat “terlbat langsung atau tdak langsung dengan pmberontakan PKI” dmakna sebaga bekas anggota organsas terlarang PKI, termasuk organsas massanya, atau bukan orang yang terlbat langsung dalam G.30.S/PKI. Dalam konteks n, pencantuman persyaratan tersebut terdapat pada syarat calon Presden dan Wakl Presden sebagamana dmaksud dalam Pasal 5 huruf q UU Nomor 42 Tahun 2008. Dalam perspektf hak asas manusa, pencantuman persyaratan sebagamana dmaksud Pasl 5 huruf q UU Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan hak konsttusonal (constitutional rights) warga negara, bak sebagamana dtentukan dalam Konsttus Negara Republk Indonesa, peraturan perundang-undangan Indonesa maupun dalam nstrumen nternasonal tentang hak asas manusa. Dalam Konsttus Negara Republk Indonesa, negara terutama pemerntah menjamn penghormatan, pemenuhan, dan perlndungan terhadap hakhak asas manusa, terutama memberkan perlndungan hukum hak dplh kepada setap warga negara. Oleh karena hak asas manusa merupakan hak konsttusonal (constitutional rights) warga negara, maka telah seharusnya menjad dasar dalam pengakomodasan hak-hak warga negara dalam persamaan kedudukan hukum dan pemerntahan, termasuk untuk mencalonkan dr sebaga pemmpn tertngg neger n, yatu sebaga Calon Presden dan Calon Wakl Presden dalam suatu Pemlhan Umum.
Konds sebagamana dkemukakan d atas merupakan bentuk dskrmnas dalam bdang poltk. Dskrmnas dalam konteks n merujuk kepada perlakuan yang tdak adl terhadap ndvdu warga negara tertentu. Secara umum, dskrmnas memberlakukan perbedaan peraturan atas pemberlakuan secara tdak adl, bak terkat suku, ras, agama, antar golongan, kelamn, kondisi isik, kepercayaan, aliran politik, dan lannya. Dalam perspektf Pemlhan Umum Presden dan Wakl Presden yang ddasarkan pada UU Nomor 42 Tahun 2008 yang mash mencumkan persyaratan calon Presden dan calon Wakl Presden harus bebas dar keanggotaan PKI maupun smpatsannya merupakan bentuk perlakuan dskrmnas terhadap hak poltk warga negara. Konds tersebut tdak boleh terjad, apalag kebjakan dskrmnatf tersebut dlakukan oleh negara. Negara sebaga phak yang seharusnya menghormat, memenuh, melndung, dan bertanggung jawab untuk memastkan terpenuhnya hak konsttusonal (constitutional rights) warga negara tersebut berlaku tanpa dskrmnas. Dalam konteks rekrutmen kepemimpinan seharusnya direleksikan pada pengakomodasan seluruh warga negara untuk secara sehat, fair dan terbuka berkompets ddasarkan pada hak asas manusa yang menekankan tdak ada pembatasan, penympangan, dan perlakuan dskrmnas. Pemlhan Umum sebaga sarana perwujudan demokras tdak seharusnya ternoda dengan adanya pembatasan hak partspas poltk warga negara. Ketentuan UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut sudah tdak relevan dalam menumbuhkan budaya hukum yang demokrats sejalan dengan 765
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
konseps Negara Republk Indonesa sebaga Negara hukum. Dalam perspektf n kranya Putusan a quo tersebut seharusnya djadkan sebaga landasan untuk mengakomodaskan hak warga negara, terutama hak dplh dalam Pemlhan Umum Presden dan Wakl Presden dan Pemlhan Umum untuk jabatan publk yang lannya. Dengan demkan, pengakomodasan atas Putusan a quo harus dperluas, sehngga tdak saja menjad landasan yurds untuk Pemlhan Umum anggota legslatf melankan untuk semua jabatan publk, bak pada bdang legslatf, eksekutf (dalam hal n Presden dan Wakl Presden) maupun pada jabatan yudkatf. Sebaga nstrumen nternasonal yang juga dakomodaskan dalam sstem penegakan dan perlndungan hak asas manusa d Indonesa, maka ketentuan hukum sebagamana datur dalam Pasal 25 huruf b Kovenan Internasonal Tentang HakHak Sipil dan Politik yang telah diratiikasi melalu UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internatonal Covenant on Cvl and Poltcal Rghts (Kovenan Internasonal Tentang Hak-Hak Spl dan Poltk, LN-RI Tahun 2005 Nomor 119). Berdasarkan uraan d atas, dapat dmakna bahwa terkat adanya perlakuan dskrmnatf terhadap hak asas manusa, termasuk tentang hak dplh sebaga bagan hak poltk tentu tdak ada nterpretas lan selan mencabut ketentuan tersebut. Artnya, bag Negara, termasuk pemerntah tdak ada argumentas yang membenarkan adanya pembatasan hak poltk mantan anggota PKI dan smpatsannya. Negara seharusnya menghormat, memenuh, dan melndung hak dplh warga negara sebaga bagan dar hak asas manusa. Dalam konteks 766
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
n, untuk menghormat, memenuh, dan melndung hak dplh merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerntah. Oleh karena tu, adanya Putusan a quo telah mencabut ketentuan yang danggap berlaku dskrmnatf, bertentangan dengan hak konsttutonal (constitutional rights) warga negara seharusnya djadkan referens dalam pembentukan undang-undang ke depan. Dengan kalmat lan, hendaknya hak dplh dapat dakomodaskan tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang bertentangan dengan hak asas manusa. 3.2.2 Implikasi Yuridis dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih Pada prnspnya pendapat para Hakm Konsttus yang kemudan dtuangkan dalam putusan pada permohonan uj materl (judicial review) tersebut sangat tepat mesk ada salah satu Hakm Konsttus berpendapat berbeda (dissenting opinion). Bahwa secara tersurat dan tegas tanpa harus ada pernafsran terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Kedua dnyatakan: “Negara Indonesa adalah negara hukum.” Dengan adanya ketentuan Pasal 60 huruf g tersebut dmana warga negara yang hak konsttusonalnya dbatas berhak mengajukan uj materal (judicial review) ke Mahkamah Konsttus. Meskpun secara prakts UU Nomor 12 Tahun 2003 sudah dubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2008, namun dalam konteks n relevan untuk dkedepankan. Kedua undangundang tersebut sesungguhnya merupakan mplementas konkret atas ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1045 Perubahan Kedua. Dengan demkan, ketentuan tersebut menurut Jmly Asshddqe mengandung pengertan substansal sebaga: 1)
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pengakuan terhadap supremas hukum dan konsttus; 2) Danutnya prnsp pemsahan dan pembatasan kekuasaan menurut sstem konsttusonal yang datur dalam UUD 1945; 3) Adanya jamnan hak asas manusa dalam UUD 1945; 4) Adanya prnsp peradlan yang bebas dan tdak memhak yang menjamn persamaan setap warga negara dalam hukum; 5) Menjamn keadlan bag setap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh phak yang berkuasa.12 Uraan Negara hukum tersebut sejalan dengan pengertan Rechtsstaat dmana menurut Fredrch Julus Stahl mensyaratkan beberapa prnsp melput: 1) Perlndungan hak asas manusa (grondrechten); 2) Pembagan kekuasaan (scheiding van machten); 3) Pemerntahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan 4) Adanya peradlan admnstras Tata Usaha Negara (administratieve rechtspraak).13 Dalam konteks n dapat dmakna bahwa dalam suatu negara hukum, salah satu plar terpentngnya adalah adanya penghormatan, pemenuhan, perlndungan, dan jamnan terhadap hak asas manusa (HAM). Tanpa adanya penghormatan, pemenuhan, perlndungan, dan jamnan terhadap hak asas manusa (HAM), maka negara hukum tersebut akan kehlangan maknanya. Dengan kalmat lan, ada keterkatan yang tdak bsa dpsahkan antara negara hukum, jamnan dan perlndungan terhadap hak asas manusa (HAM). 12
13
Jmly Asshddqe, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, Ichtar Baru Van Hoeve, hlm.79. Phlpus M. Hadjon, 1988, Pengkajian Ilmu Hukum, Surabaya, Program Pascasarjana Unverstas Arlangga, hlm.23.
Perlndungan terhadap hak asas manusa dmasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromoskan penghormatan (to respect), perlndungan (to protect), dan pemenuhan (to fulill) terhadap hak asas manusa sebaga cr pentng bag suatu negara hukum yang demokrats.14 Makna substansalnya bahwa setap manusa sejak kelahrannya menyandang hak-hak dan kewajban-kewajban yang bersfat bebas dan asas. Penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tdak boleh mengurang art atau makna kebebasan dan hak asas manusa. Penyelenggaraan pemerntahan negara yang mengurang makna jamnan dan perlndungan terhadap hak-hak warga negara dapat dmakna telah melanggar hak asas manusa. Kondisi tersebut merupakan releksi dari sstem pemerntahan yang otorter dan keluar dar prnsp negara hukum. Sejalan dengan hal tersebut, negara berkewajban dalam mempromoskan penghormatan, pemenuhan, perlndungan, dan jamnan terhadap hak asas manusa. Pada dasarnya negara dbentuk untuk menjamn pelaksanaan prnsp-prnsp hak asas manusa. Hal n menjad tujuan pokok dan utama dbentuknya negara, yatu melndung, menghormat, dan memenuh hak asas manusa. Berdasarkan uraan tersebut, pada prnspnya pembatasan untuk berperan serta sebaga calon dalam pencalonan jabatan publk dengan menggunakan hak dplh, khususnya Presden dan Wakl Presden seharusnya juga mengacu pada Putusan a quo tersebut. Peraturan perundang-undangan dan peraturan lan yang membatas atau 14
Munasr., 2003, Hak Politik dalam Perspekltif Hak Asasi Manusia, Solo, Penepen Mukt,hlm.65.
767
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
yang menadakan hak pencalonan dmaksud merupakan pembatasan terhadap hak dplh sebaga hak poltk warga negara. Tndakan pembatasan atau penadaan tersebut merupakan bentuk perlakuan dskrmnas yang bertentangan dengan Konsttus Negara Republk Indonesa. Interprertas demkan merupakan perwujudan negara hukum yang menekankan pada tdak adanya dskrmnas. Setap warga Negara mempunya berkedudukan sama d dalam hukum dan pemerntahan (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua). Hak dcalonkan atau hak dplh terbebas dar perlakuan dskrmnas. Hal n yang menjad dasar dar pencabutan terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003. Dengan demkan, mplkas yurds dalam bdang polts untuk hak dplh adalah tdak adanya perlakuan dskrmnas dalam setap produk legslatf yang dbentuk oleh DPR bersama Presden maupun produk peraturan perundangundangan lannya. I V. PENUTUP 4.1 Simpulan Berdasarkan uraan tersebut, dapat dsmpulkan hal-hal sebaga berkut: 1. Perlndungan hukum hak dplh dalam sstem ketatanegaraan Indonesa dapat dtelusur dar Pembukaan UUD 1945, Pasal-Pasal dalam Batang Tubuh, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua, Tap MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 21 Deklaras Unveral Hak Asas Manusa, dan Pasal 25 Kovenan 768
2.
Internasonal Tentang Hak-Hak Spl dan Poltk. Implkas yurds Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011-017/PUUI/2003 terhadap perlndungan hukum hak dplh melput: a) Implkas yurds hanya pada lembaga perwaklan dtanda dengan tdak dcantumkan lag sebaga persyaratan sebaga dmaksud Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 dan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. b) Implkas yurds bdang poltk untuk hak dplh adalah tdak adanya perlakuan dskrmnas dalam setap produk legslatf yang dbentuk oleh DPR bersama Presden maupun produk peraturan perundang-undangan lannya ke depan.
4.2 Saran Berdasarkan uraan dan smpulan d atas, dsarankan hal-hal sebaga berkut:. 1. Hendaknya peraturan perundangundangan atau aturan yang dbentuk oleh DPR bersama Presden tdak berlaku dskrmnatf. 2. Hendaknya dengan adanya Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011017/PUU-I/2003 tersebut, dalam pembentukan undang-undang oleh DPR bersama Presden tdak semata dtujukan untuk pembentukan undangundang legslatf melankan untuk undang-undang jabatan publk, termasuk untuk jabatan calon Presden dan calon Wakl Presden.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 757 - 769
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
DAFTAR PUSTAKA BUKU Asshddqe, Jmly, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtar Baru Van Hoeve, Jakarta. --------------,, 2006a, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsttus Press, Cet. I, Jakarta. --------------, 2006b, Pengantatr Ilmu Hukum Tata Negara (Jld II), Sekretarat Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konsttus, Jakarta. Gaffar, Jenedjr M, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konsttus Press, Jakarta. Hadjon, Phlpus M, 1988, Pengkajian Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Unverstas Arlangga, Surabaya. Ibrahm, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumeda Publshng, Malang. Isra, Sald, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presdensial Indonesia, PT. RajaGraindo Persada, Jakarta. Moelyono, Anton M., 1988, Kamus Besar Bahasa Indnesia, Departemen Penddkan dan Kebudayaan Republk Indonesa, Jakarta. Munasr, 2003, Hak politik dalam Perspekif Hak Asasi Manusia, Penepen Mukt, Solo. Kamus Poerwadarmnta, WJS., 2003, Umum Bahasa Indonesia, Bala Pustaka, Cet. XV, Jakarta. Sahaan, Maruarar, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konsttus Press, Jakarta.
Sugyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Alfabeta, Bandung. PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asas Manusa. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asas Manusa. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tntang Pemlhan Umum Anggota Dewan Peraklan Rakyat, Dewan Perwaklan Daerah, Dewam Perwaklan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsttus Republk Indonesa. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemlhan Umum Anggota Dewan Perwaklan Rakyat, Dewan Perwaklan Daerah, Dewan Perwaklan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemlhan Umum Presden dan Wakl Presden. Putusan Mahkamah Konsttus Nomor 011017/PUU-I/2003
769
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
KONTRADIKSI IMPLEMENTASI PASAL 79A UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA DENPASAR Oleh: I Ketut Purna Astha1 ABSTRACT The problem that there is a contradiction between the article 110 (1) C Undang-Undang Republik Indonesia number 28 year 2009 which is decisive that there is a contribution in the case of reimbursement cost of printing identiication cards and article 79A Undang-Undang Republik Indonesia number 24 year 2013 on Residential Administration which prohibits any retribution on getting and issuing residential document. The study method employed in this study including kind of normative law study and the approach methods used are: law approach, history approach an conceptual approach. The conclusions are: considering that there a contradiction between the article 110 (1) C Undang-Undang Republik Indonesia number 28 year 2009 should not be in practiceany longer. Another conclusion is that the decree of the Majelis Madya Desa Pekraman Number : 14/12-SK/MMDP/VII/2014 in which arranged the management of incoming residents are to pay contribution when they apply for KIPS and STPPTS, is contradictory with Undang-Undang Republic Indonesia Number 24 year 2013 particularly article 79A, because the mentioned Undang-Undang is higher in position than the mentioned decree. Keywords: council of desa pakraman, document, general services, residential, retribution,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republk Indonesa 1945. Dbag menjad daerah-daerah provns, dan daerah provns terdr dar daerahdaerah kabupaten. Hak n dlakukan untuk mengupayakan pelayanan yang lebh dekat terhadap masyarakat, untuk mewujudkan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa 1945.
1
770
Mahasswa Magster (S2) Ilmu Hukum Unverstas Udayana, Denpasar, Bal, Alamat: Perum. Padang Asr Blok 9 Nomor 39, Padangsamban, emal: purnaastha@gmal.com.
Pelmpahan kewenangan pusat kepada daerah melahrkan otonom daerah. R.G. Kartasapoetra menyatakan bahwa desentralsas merupakan penyerahan urusan dar pemerntah pusat pada pemerntah daerah guna mengurus rumah tangganya. Dalam art, penyerahan n bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta sebaga pendemokratsasan pemerntahan, untuk mengkutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerntahan d daerah.2 Prnsp otonom daerah selanjutnya djelaskan lebh lanjut dalam Pasal 18 ayat (5) (UUDNRI) Undang – Undang Dasar Negara 2
Busrzalt, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Meda, Yogyakarta, hlm.2.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Republk Indonesa 1945 yang menyatakan bahwa: “Pemerntah Daerah menjalan otonom seluas-luasnya, kecual urusan Pemerntah yang oleh Undang-Undang dtentukan sebaga urusan pemerntah pusat”. Kewenangan pemerntah daerah dalam mengurus urusan rumah tangganya menggunakan prnsp otonom seluasluasnya, guna membuat kebjakan daerah untuk member pelayanan, penngkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menngkatkan kesejahteraan masyarakat. Prnsp otonom seluas-luasnya datur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah. Dalam Pasal 1 ayat (6) dtentukan bahwa Otonom Daerah adalah hak, wewenang dan kewajban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendr urusan pemerntahan dan kepentngan masyarakat setempat dalam sstem Negara Kesatuan Republk Indonesa. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1) dnyatakan: Urusan pemerntahan absolut sebagamana dmaksud dalam Pasal 9 ayat (2) melput poltk luar neger, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan iskal nasonal, dan agama. Pembagan kewenangan antara Pemerntah Pusat dengan Pemerntah Daerah lebh lanjut datur dalam Peraturan Pemerntah nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagan Urusan Pemerntahan antara Pemerntah, Pemerntahan Daerah Provns, dan Pemerntahan Daerah Kabupaten/Kota. Satu seg utama dalam pelaksanaan otonom daerah adalah adanya sumber pembagan, yang dapat dandalkan untuk melaksanakan tugas pemerntahan dan pembangunan. Salah satu sumber pembagan adalah pajak dan retrbus daerah, yang dapat dkembangkan sesua dengan potens daerah masng-masng.
Pasal 17 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerntahan Daerah daerah berhak menetapkan kebjakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerntahan yang menjad kewenangan daerah termasuk pajak daerah dan retrbus daerah. Datur berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Permbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18, pendapatan asl daerah berart, “Pendapatan asl daerah, selanjutnya dsebut PAD adalah pendapatan yang dperoleh daerah yang dpungut berdasarkan peraturan daerah sesua dengan peraturan perundangundangan.” Dalam ketentuan Pasal 285 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 dtentukan Pendapat Asl Daerah (PAD) yatu: 1) 2) 3)
pajak daerah retrbus daerah Hasl pengelolaan kekayaan daerah yang dpsahkan 4) Lan-lan pendapat daerah yang sah Pendapatan asl daerah yang bersumber dar pungutan pada masyarakat, yatu: (1) Retrbus yang dpungut dengan kompensas layanan tertentu; dan (2) Pajak yang dpungut tanpa kompensas layanan.3 Pajak adalah pungutan oleh pejabat pajak sebaga wakl Negara kepada wajb pajak tanpa tegenprestas secara langsung dan bersfat memaksa sehngga penaghannya dapat dpaksakan. Hal n tersrat dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa 1945.
3
Wahyud Kumorotomo, 2006, Desentralisasi iskal : Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta, hlm.125.
771
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pajak daerah ddalamnya harus pula terdapat unsur mbalan / kontraprestas sebagamana halnya retrbus daerah. Yang membedakan mbalan / kontraprestas keduanya adalah bahwa pajak daerah kontraprestas tersebut untuk masyarakat yang lebh luas, atau setdak-tdaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan kontraprestas langsung kepada pembayar retrbus.4 Retrbus adalah pungutan oleh pejabat retrbus kepada Wajb Retrbus yang bersfat memaksa dengan tegenprestate secara langsung dan dapat dpaksakan penaghannya. Sarana hukum yang dgunakan untuk memaksakan penaghan retrbus tdak berbeda dengan pajak, berupa sanks admnstras maupun sanks kepdanaan.5 Retrbus dalam Pasal 23A UndangUndang Dasar 1945 merupakan bagan dar “pungutan yang bersfat memaksa” yang dbutuhkan oleh Negara karena tu datur dengan undang-undang6. Menurut Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 yang menentukan: “Pajak dan pungutan lan yang bersfat memaksa untuk keperluan Negara datur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 1 angka 64 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah dtentukan: “Retrbus daerah, yang selanjutnya dsebut retrbus, adalah pungutan Daerah sebaga pembayaran atas jasa atau pemberan 4
5
6
772
Tjp Ismal, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Prntng, Jakarta, hlm.56. Muhammad Djafar Sad, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.2526. Ibid
jn tertentu yang khusus dsedakan dan/ atau dberkan oleh Pemerntah Daerah untuk kepentngan orang prbad atau badan.” Pasal 108 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah menentukan bahwa “Objek retrbus” adalah: a. Jasa umum; b. Jasa usaha; c. Perznan tertentu. Objek retrbus oleh Pemerntah Daerah tersebut dkelompokkan kedalam 3 (tga) golongan, yatu jasa umum, jasa usaha, dan perznan tertentu, yatu7 : 1. Retrbus jasa umum, adalah retrbus atas jasa yang dsedakan atau dberkan oleh pemerntah daerah untuk tujuan kepentngan dan kemanfaatan umum serta dapat dnkmat oleh prbad atau badan. 2. Retrbus jasa usaha adalah retrbus atas jasa yang dberkan oleh pemerntah daerah dengan menganut prnsp komersal karena pada dasarnya dapat pula dsedakan oleh sektor swasta. 3. Retrbus perjnan tertentu adalah retrbus atas kegatan tertentu pemerntah daerah dalam rangka pemberan jn kepada orang prbad atau badan yang dmaksudkan untuk pembnaan, pengaturan, pengendalan dan pengawasan atas kegatan kemanfaatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasltas tertentu guna melndung kepentngan umum dan menjaga kelestaran lngkungan. Dalam mplementas otonom daerah, 7
Sahaan P. Marhot, 2009, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm..435.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
kewenangan dalam melaksakana pungutan pajak daerah dan retrbus daerah n datur dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan yatu “Pengurusan dan Penerbtan Dokumen Kependudukan tdak dpungut baya”, dss lan dalam Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa Retrbus Penggantan Baya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Spl dgolongkan dalam Retrbus Jasa Umum yang mana merupakan pungutan daerah sebaga pembayaran atas jasa yang dsedakan dan atau dberkan oleh pemerntah daerah untuk kepentngan orang prbad / Badan. Atas dasar permasalahan tulah maka penuls menganggap perlu untuk melakukan suatu kajan lmah dengan judul “Kontradks Implementas Pasal 79A Undang Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnstras Kependudukan D Kota Denpasar” 1.2. Rumusan Masalah Berttk tolak dar latar belakang masalah tersebut datas, dapat drumuskan permasalahan sebaga berkut: 1. Bagamanakah konsstens antara Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan dengan Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah ? 2. Bagamana konsstens antara Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 dengan pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan?
1.3. Tujuan Penelitian Pelaksanaan peneltan n bertujuan sebaga berkut: a. Menganalss nkonsstens antara peraturan tentang retrbus jasa umum kependudukan terhadap Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnstras Kependudukan. b. Untuk Menganalss nkonsstens Majels Madya Desa Pakraman dalam pemungutan retrbus jasa umum kependudukan d Kota Denpasar II. METODE PENELITIAN 2.1. Jenis Penelitian Peneltan n menggunakan metode peneltan hukum normatf. Metode peneltan normatf adalah “suatu prosedur peneltan lmah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logka kelmuan hukum dar ss normatfnya.”8 Dalam khasanah peneltan hukum, peneltan yang dlakukan .dengan mengkaj bahan pustaka atau dsebut juga stud kepustakaan. Peneltan n dlakukan dengan mengkaj dan menganalss bahan hukum berupa bahan-bahan yang terkat hukum prmer, sekunder maupun terter dengan retrbus jasa umum. 2.2. Jenis Pendekatan Ddalam peneltan n, dgunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dgunakan sebaga perangkat guna menganalss berbaga peraturan perundang8
Johnny Ibrahm, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumeda Publsng, Malang, hlm.57.
773
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
undangan mengena retrbus jasa umum. Pendekatan perundang-undangan dlakukan dengan maksud untuk mengetahu makna yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan dengan permasalahan dalam peneltan n. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dlakukan dengan cara menganalss berbaga konsep dan pengertan tentang retrbus jasa umum. 2.3. Sumber Bahan Hukum Peneltan n mentkberatkan pada peneltan kepustakaan (library research) dengan menggunakan data sekunder bahan kepustakaan. Adapun bahan hukum yang akan djadkan sumber peneltan kepustakaan n dalam sudut kekuatan mengkatnya dgolongkan menjad tga yatu: a. Bahan hukum prmer, adalah bahan hukum yang mengkat. b. Bahan hukum sekunder, yang memberkan penjelasan mengena bahan hukum prmer, yang melput hasl-hasl peneltan, buku-buku, dokumen-dokumen yang dperoleh dar Dnas Kependudukan dan Catatan Spl Kota Denpasar. c. Bahan hukum terter, yakn bahan hukum yang memberkan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yang sepert: 1. Kamus hukum 2.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengena teknk yang dterapkan dalam pengumpulan bahan hukum dalam peneltan dn dlakukan melalu teknk telaahan kepustakaan (study document). Telaahan kepustakaan dlakukan dengan system kartu (cardsystem) yakn dengan 774
mencatat dan memaham s dar masngmasng nformas yang dperoleh dar bahan prmer, sekunder dan terter. Bahan hukum sekunder dperoleh dar kepustakaan dan peneltan kasus dmana peneltan kasus berguna dalam memberkan latar belakang yang lebh luas mengena pokok peneltan serta memberkan penjelasan yang lebh konkrt berkatan dengan permasalahan yang ada. 2.5. Teknik Analisis Bahan-bahan hukum yang sudah dkumpulkan, selanjutnya danalss dengan tahapan tekns analss sebaga berkut: Tahapan pendeskrpsan atau penggambaran yatu dengan mengurakan propossproposs hukum sesua pokok permasalahan yang dkaj untuk selanjutnya dlakukan nterpretas. Untuk selanjutnya dlakukan tahap sstematsas yatu dengan mencar katan suatu konsep hukum atau proposs hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tdak sederajat. Dan tahapan yang terakhr adalah Evaluas atau analss yatu dengan member penlaan, antara lan sah atau tdak sah, benar atau salah, setuju atau tdak setuju, tepat atau tdak tepat oleh penelt terhadap suatu pernyataan, proposs, pandangan, rumusan norma, atau keputusan yang tertera dalam bahan hukum prmer dan bahan hukum sekunder. Hasl penerapan dar keempat tahapan tersebut kemudan dberkan argumentas hukum untuk mendapatkan kesmpulan atas permasalahan yang akan dbahas dalam kajan n.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam melaksanakan pungutan retrbus, tdak seluruh jasa yang dsedakan pemerntah daerah masuk dalam kategor objek retrbus. Objek retrbus oleh Pemerntah Daerah tersebut dkelompokkan kedalam 3 (tga) golongan jasa, 9 yatu: 1. Retrbus jasa umum, adalah retrbus atas jasa yang dsedakan atau dberkan oleh pemerntah daerah untuk tujuan kepentngan dan kemanfaatan umum serta dapat dnkmat oleh prbad atau badan. 2. Retrbus jasa usaha adalah retrbus atas jasa yang dberkan oleh pemerntah daerah dengan menganut prnsp komersal karena pada dasarnya dapat pula dsedakan oleh sektor swasta. 3. Retrbus perjnan tertentu adalah retrbus atas kegatan tertentu pemerntah daerah dalam rangka pemberan jn kepada orang prbad atau badan yang dmaksudkan untuk pembnaan, pengaturan, pengendalan dan pengawasan atas kegatan kemanfaatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasltas tertentu guna melndung kepentngan umum dan menjaga kelestaran lngkungan.
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.1. Konsistensi Pasal 79A UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan Dikaitkan Dengan Pasal 110 Ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 angka 64 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah dtentukan: “Retrbus daerah, yang selanjutnya dsebut retrbus, adalah pungutan Daerah sebaga pembayaran atas jasa atau pemberan jn tertentu yang khusus dsedakan dan/ atau dberkan oleh Pemerntah Daerah untuk kepentngan orang prbad atau badan.” Dalam pengertan n, terkandung pula pemaknaan bahwa pelayanan yang menjad obyek retrbus adalah pelayanan yang langsung dnkmat oleh anggota masyarakat (orang prbad atau badan). Dengan demkan karakter retrbus daerah adalah : 1. Pungutan oleh pemerntah daerah terhadap anggota masyarakat; 2. Pemerntah daerah memberkan pelayanan berupa barang/jasa yang member keuntungan kepada anggota masyarakat yang membayar pungutan. Pasal 108 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah menentukan bahwa “Objek retrbus adalah “ : d. Jasa umum; e. Jasa usaha; f. Perznan tertentu.
Lebh lanjut dalam Pasal 110 ayat 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah menentukan bahwa Jens Retrbus Jasa Umum adalah: a. Retrbus Pelayanan Kesehatan b. Retrbus Pelayanan Persampahan/ Kebershan
9
Sahaan P. Marhot, op.cit, hlm.435.
775
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
c.
Retrbus Penggantan Baya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Spl d. Retrbus Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat e. Retrbus Pelayanan Parkr d Tep Jalan Umum f. Retrbus Pelayanan Pasar g. Retrbus Pengujan Kendaraan Bermotor h. Retrbus Pemerksaan Alat Pemadam Kebakaran . Retrbus Penggantan Baya Cetak Peta j. Retrbus Penyedaan dan/atau Penyedotan Kakus k. Retrbus Pengolahan Lmbah Car l. Retrbus Pelayanan Tera/Tera Ulang m. Retrbus Pelayanan Penddkan n. Retrbus Pengendalan Menara Telekomunkas Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah menyatakan: “Retrbus dtetapkan dengan Peraturan Daerah”. Dalam Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 dtentukan bahwa Retrbus Penggantan Baya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Spl dgolongkan dalam Retrbus Jasa Umum yang mana merupakan pungutan daerah sebaga pembayaran atas jasa yang dsedakan dan atau dberkan oleh pemerntah daerah untuk kepentngan orang prbad / Badan. Sedangkan dalam Pasal 79A UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan dtentukan “Pengurusan dan Penerbtan Dokumen Kependudukan tdak dpungut baya”.
776
Dalam hal n ada ketdaksesuaan atau nkonsstens antara Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013. Berdasarkan teor Antnom dmana adanya pertentangan dua nla atau lebh, akan tetap keduanya sama-sama pentng atau dalam tngkatan hukum yang sama maka asas preferensi dalam penyelesaian konlik norma tersebut yatu Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yatu peraturan perundang-undangan yang bersfat khusus (specal) mengenyampngkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersfat umum (general), apabla kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang salng bertentangan. Asas n merujuk kepada dua peraturan perundangundangan yang secara herarks mempunya kedudukan yang sama.10 Berdasarkan asas tersebut maka yang berlaku adalah pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan dtentukan “Pengurusan dan Penerbtan Dokumen Kependudukan tdak dpungut baya”. 3.2. Konsistensi antara Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-SK/ MMDP/VII/2014 dengan pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan Pada tngkat Desa Pakraman kepengurusan KIPPS (Kartu Identtas
10
Peter Mahmud Marzuk, 2013, Penelitian Hukum, Raja Graindo Persada, Jakarta, hlm.129.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Penduduk Pendatang Sementara dan STPPTS (Surat Tanda Penduduk Pendatang Tnggal Sementara) dpungut kontrbus baya berdasarkan Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 tertanggal 1 Jul 2014 tentang Penataan Penduduk Pendatang D Desa Pakraman. KIPPS (Kartu Identtas Penduduk Pendatang Sementara dan STPPTS (Surat Tanda Penduduk Pendatang Tnggal Sementara) merupakan salah satu dokumen kependudukan berdasarkan pasal 1 pon 8 Undang-Undang nomor 24 Tahun 2013 dsebutkan Dokumen kependudukan adalah dokumen resm yang dterbtkan oleh Instans Pelaksana yang mempunya kekuatan hukum sebaga alat bukt otentk yang dhaslkan dar pelayanan Pendaftaran penduduk dan Pencatatan spl dan berdasarkan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 dsebutkan objek retrbus penggantan baya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Catatan spl sebagamana dmaksud dalam pasal 110 ayat (1 ) huruf c adalah pelayanan : a. Kartu tanda penduduk; b. Kartu keterangan bertempat tnggal; c. Kartu denttas kerja; d. Kartu penduduk sementara; e. Kartu denttas penduduk musman; f. Kartu Keluarga; g. Akta catatan spl yang melput akta perkawnan, akta perceraan, akta pengesahan dan pengakuan anak, akta gant nama bag warga Negara asng, dan akta kematan. Dalam Keputusan tersebut dtentukan untuk menjamn ketertban dan keamanan sosal dalam penataan penduduk pendatang (krama tamu dan tamu) yang baru datang dan tnggal menetap maupun sementara dalam jangka waktu tertentu, dkenakan
kontrbus baya sebesar Rp. 100.000,00 (seratus rbu rupah) bag penduduk pendatang luar Provns Bal dan penduduk pendatang luar Denpasar dalam Provns Bal sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lma rbu rupah). Pengenaan dan penggunaan kontrbus baya tersebut datur oleh masngmasng Desa Pakraman dan dkoordnaskan kepada Desa dan Kelurahan sebaga wujud snerg dan koordnas dalam pengendalan kependudukan.” 11 Berdasarkan teor pluralsme hukum maka dalam hal n terjad pluralsme hukum lemah (weak pluralism) adalah merupakan bentuk lan dar sentralsme hukum dmana Negara (dan pemerntah) mengaku hadrnya sstem-sstem hukum lan dalam hal n hukum lokal (folklaw) d luar hukum Negara tetap sstem-sstem hukum non-negara tersebut tunduk keberlakuannya d bawah hukum Negara atau dengan kata lan selan pengakuan terhadap adanya pluralsme hukum (sstem hukum adat) dan d ss lan pengakuan terhadap hukum Negara dpandang tetap sebaga hukum yang lebh kuat (superor). Berlakunya Surat Keputusan tersebut d sampng Surat Edaran Menter Dalam Neger berdasarkan teor the semautonomous social ield oleh Sally Falk Moore memberkan penekanan pada otonom yang sebagan atau sem-otonom. Sem otonom merupakan suatu fakta bahwa bdang yang kecl dapat menghaslkan aturan-aturan dan adat kebasaan. Bag Sally Folk Moore seluruh aneka norma dan aturan yang muncul dar ndvdu ataupun masyarakat tertentu dapat berfungs sebaga hukum. Kapastas kelompok-kelompok sosal (socialield) 11
Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar, Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014.
777
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam mencptakan mekansme-mekansme pengaturan sendr (self-regulation) dengan dserta kekuatan-kekuatan pemaksa. “Bdang yang kecl dan untuk sebagan otonom tu dapat menghaslkan aturanaturan dan adat stadat serta smbol-smbol berasal dar dalam. D lan phak, bdang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lan yang berasal dar duna luar yang mengellngnya.” 12 Menurut Moore konds pluralstk d bdang hukum n dengan mengamat bdangbdang sosal dalam hal n kependudukan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam bdang sosal n masyarakat dapat membuat aturannya sendr melalu keputusan bersama ataupun melalu keputusan dar ndvdu atau kelompok yang dber otortas untuk tu. Aturan tersebut bersfat mengkat, pelanggaran terhadap aturan yang dbuat akan menghaslkan sanks yang basanya bersfat sosal. Bdang-bdang sosal n meskpun nampaknya memlk otortas untuk menghaslkan aturan, ternyata tetap bersfat rentan terhadap aturan lan yang berasal dar luar yang dmaksud adalah Negara, adat maupun agama. Lebh lanjut Hooker menyatakan “The term pluralism refers to the situations in which two or more laws interact”. Pernyataan n mempunya makna bahwa meskpun mengaku adanya berbaga jens sstem hukum namun tetap menekankan bahwa adanya pertentangan antara sstem hukum yang domnan atau superor (Negara) dengan sstem hukum yang nferor (hukum adat). 12
778
Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. Dalam T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, hlm.150.
Pertmbangan dkeluarkan Surat Keputusan tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provns Bal Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propns Bal Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman bahwa Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar sebaga lembaga adat yang menjad partnershp kerja Pemerntah Kota Denpasar berwenang membuat aturan terkat urusan pemerntahan dan urusan adat yang dtujukan dan dkoordnaskan pelaksanaannya kepada Desa Pakraman se Kota Denpasar. Hal n tdak sesua dengan tugas dan wewenang Majels Desa Pakraman yang datur dalam Pasal 16 Perda No 3 Tahun 2001 yatu (1) Majels Desa Pakraman mempunya tugas: a) mengayom adat stadat; b) memberkan saran, usul, dan pendapat kepada berbaga phak bak perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerntah tentang masalahmasalah adat; c) melaksanakan setap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-aturan yang dtetapkan; d) membantu penyuratan awg-awg; e) melaksanakan penyuluhan adat stadat secara menyeluruh. (2) Majels Desa Pakraman mempunya wewenang: a) memusyawarahkan berbaga hal menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentngan desa pakraman; b) sebaga penangah dalam kasus-kasus adat yang tdak dapat dselesakan d tngkat desa; c) membantu penyelenggaraan upacara keagamaan d kecamatan, d kabupatan/kota, dan d provns. Dengan adanya Surat Keputusan tersebut juga menunjukkan bahwa, Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar sebaga lembaga adat yang menjad partnership kerja Pemerntah Kota Denpasar tdak mengkut aturan yang ada datasnya
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
yatu Surat Edaran Menter Dalam Neger Nomor 900/326/SJ tertanggal 17 Januar 2014, yang memuat per tanggal 1 Aprl 2014 semua pelayanan admnstras dan penertban dokumen kependudukan tdak dpungut baya dan aturan lannya yatu pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2006 tentang Admnstras Kependudukan yang menentukan: “Pengurusan dan penerbtan dokumen kependudukan tdak dpungut baya”. Dalam hal n Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 tdak konssten dengan pasal 79A UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan yang lebh tngg kedudukannya. Berdasarkan teor hrark norma hukum, norma yang berlaku dbawah harus mengacu pada norma yang datasnya. Akan tetap, Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/MMDP/ VII/2014 tertanggal 1 jul 2014 telah menympang dar Surat Edaran Menter Dalam Neger Nomor 900/326/SJ tertanggal 17 Januar 2014 pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013. Berdasarkan teor herark norma hukum segala peraturan yang berada d laps bawah, tdak dpekenankan untuk “keluar jalur” harus sesua dengan norma yang ada d atasnya dan norma dasar yang ada d puncak hrark tersebut. Lebh lanjut menurut Leopold Pospsl mengemukakan atrbut yang dapat membedakan antara aktvtas hukum dan non hukum dalam masyarakat. Keempat atrbut hukum tersebut adalah attribute of
authority, attribute of intention of universal application, attribute of obligation, attribute of sanction.13 Berdasarkan teor d atas maka Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/MMDP/ VII/2014 merupakan produk hukum karena adanya atrbut otortas dmana Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman tersebut dhaslkan oleh sekelompok orang dalam masyarakat yang berwenang/dtunjuk untuk tu. Atrbut kedua, yatu atrbut unversaltas, dmana Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman berlaku secara unversal. Atrbut ketga adalah oblgaton dmana Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman mengatur masalah hak dan kewajban dar anggota masyarakat secara tmbal balk. Atrbut keempat yatu mekansme pemaksa berupa sanks. Setap orang termasuk warga Desa Pakraman d sampng harus taat pada hukum adat, juga hukum Negara, dan juga hukum agamanya, demkan menurut teor keanekaragaman system hukum (Theory of multiplicity legal system) dar Leopold Pospsl, dsebutkan setap orang selalu terkat pada berbaga system hukum, oleh karena a terlbat lebh dar satu lngkungan masyarakat hukum.14 Hukum adat sebaga hukum “lapsan bawah” sudah tentu harus menyesuakan dr pada hukum hukum “lapsan atas” yakn hukum Negara dan hukum agama. Terhadap hukum Negara, maka hukum adat sebaga 13
14
Ldwna Inge Nurtjahyo, “Menelusur Perkembangan Kajan Pluralsme Hukum D Indonesa” Dalam Myrna A. Saitri Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konlik Agraria di Indonesia, 2011, Epstema Insttute, Jakarta, hlm.67. I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, hlm.54.
779
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
hukum tngkat bawah tdak boleh bertentangan dengan hukum d atasnya. Jad dalam hal n terdapat pertentangan atau nkonsstens antara Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/MMDP/ VII/2014 dengan pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013, sehngga berdasarkan asas preferens berlaku asas Lex Superor derogate Leg Inferor, yang maksudnya ketentuan hukum yang lebh tngg tngkatannya dalam hal n pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013 mengesampngkan yang lebh rendah (Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/ MMDP/VII/2014). D sampng tu pula Desa Pakraman sebaga lembaga umat Hndu fungs utamanya adalah mengurus hal-hal yang menyangkut aspek keumatan dan keagamaan Hndu. Hal nlah yang menjad tanggung jawab utama dar Desa Pakraman. Selan fungs tersebut Desa Pakraman juga kut serta untuk mensukseskan pembangunan d segala bdang dalam kerjasama yang bersfat holstk dan snergs akan tetap tetap harus berpegang pada fungs utamanya. Tentu hal sepert n tdak dbenarkan dan sangat membutuhkan perhatan Pemerntah Pusat maupun Pemerntah Daerah untuk mengkaj ulang norma-norma yang berkatan dengan retrbus jasa umum khususnya tentang dokumen kependudukan yang telah dkeluarkan oleh Majels Madya Desa Pakraman (MMDP) Denpasar. IV. PENUTUP 4.1. Simpulan Berdasarkan uraan dalan Bab Pembahasan d atas, penelt dapat menympulkan, yatu: 780
1.
2.
Adanya ketdaksesuaan atau nkonsstens antara Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013. Berdasarkan teor Antnom yatu ada pertentangan dua nla atau lebh, tetap keduanya sama-sama pentng atau dalam tngkatan hukum yang sama maka asas preferens dalam penyelesaan konlik norma tersebut yaitu Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yatu peraturan perundang-undangan yang bersfat khusus (special) mengenyampngkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersfat umum (general), apabla kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang salng bertentangan. Asas n merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara herarks mempunya kedudukan yang sama. Berdasarkan asas tersebut maka yang berlaku adalah pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan dtentukan “Pengurusan dan Penerbtan Dokumen Kependudukan tdak dpungut baya”. Terdapat pertentangan atau nkonsstens antara Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 dengan pasal 79A Undang-Undang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013, sehngga berdasarkan asas preferens berlaku asas Lex Superor derogate Leg Inferor, yang maksudnya ketentuan hukum yang lebh tngg tngkatannya
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam hal n pasal 79A UndangUndang Republk Indonesa Nomor 24 Tahun 2013 mengesampngkan yang lebh rendah (Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12SK/MMDP/VII/2014). Desa Pakraman sebaga lembaga umat Hndu fungs utamanya adalah mengurus hal-hal yang menyangkut aspek keumatan dan keagamaan Hndu. Hal nlah yang menjad tanggung jawab utama dar Desa Pakraman. Selan fungs tersebut Desa Pakraman juga kut serta untuk mensukseskan pembangunan d segala bdang dalam kerjasama yang bersfat holstk dan snergs akan tetap tetap harus berpegang pada fungs utamanya. 4.2. Saran Berdasarkan smpulan d atas maka dapat dsarankan: 1. Pasal 110 ayat (1) huruf C Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbus Daerah yang menentukan bahwa Retrbus Penggantan Baya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Spl dgolongkan dalam Retrbus Jasa Umum hendaknya dcabut karena tdak sesua dengan Undang-Undang yang lebh khusus yatu Pasal 79A UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admnstras Kependudukan. 2. Surat Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Nomor 14/12-SK/MMDP/ VII/2014 hendaknya dcabut dan dnyatakan tdak berlaku lag karena bertentangan dengan aturan d atasnya. Majels Desa Pakraman hendaknya lebh mentkberatkan dengan
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
mengurus hal-hal yang menyangkut aspek keumatan dan keagamaan Hndu sesua dengan fungs utamanya. DAFTAR PUSTAKA Busrzalt, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Meda, Yogyakarta. Dharmayuda, I Made Suasthawa, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar. Ibrahm, Johnny, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumeda Publsng, Malang. Ismal, Tjp, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Prntng, Jakarta. Kumorotomo, Wahyud 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta. Marhot, Sahaan P., 2009, Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Marzuk, Peter Mahmud, 2013, Penelitian Hukum, Raja Graindo Persada, Jakarta. Moore, Sally Falk, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta. Nurtjahyo, Ldwna Inge, “Menelusur Perkembangan Kajan Pluralsme Hukum Di Indonesia” Dalam Myrna A. Saitri Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konlik Agraria di Indonesia, 2011, Epstema Insttute, Jakarta.
781
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Sad, Muhammad Djafar, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, PT. Raja Graindo Persada, Jakarta. Keputusan Majels Madya Desa Pakraman Kota Denpasar, Nomor 14/12SK/MMDP/VII/2014.
782
Vol. 4, No. 4 : 770 - 782
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PENGATURAN CITY HOTEL BERKARAKTER CHAIN HOTEL SEBAGAI SALAH SATU BENTUK USAHA JASA PARIWISATA DI INDONESIA (STUDI KASUS DI BALI) Oleh: Made Suksma Prijandhini Devi Salain1 ABSTRACT Bali is one of the favorite tourism destinations in the world give beneits as well as loss for Indonesia and Bali particularly. As a tourism place, a lot of Hotels are established in Bali, especially the chain hotels, such as Aston, Ibis, Harris, Fave or Horrison Hotel. Existence of the chain hotels is causing unfair competition with the local hotels. They have different standards in competitive prices. Especially in Bali, there is no regulation that regulates the chain hotels. According to those conditions, it really need to conduct a normative research of the chain hotels regulations within international, national and local Balinese instruments. Keywords: regulations, tourism, chain hotels I. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bal merupakan salah satu tujuan wsata daman bag wsatawan domestk maupun mancanegara. Mula dar tempatnya yang strategs, pemandangan alamnya, budayanya bahkan masyarakatnya yang terbuka menerma kedatangan para wsatawan. Dapat dkatakan Bal merupakan salah satu aset d bdang parwsata bag negara kta, Indonesa. Untuk tu, masyarakat Bal secara khususnya harus mampu menjaga dan mendukung parwsata Bal yang berkelanjutan. Apakah tu dmula dar melestarkan budaya, menjaga kebershan lngkungan termasuk menngkatkan kualtas tempat pengnapan yang dmlk oleh pelaku bsns lokal, asng ataupun campuran dar keduanya. Tempat pengnapan n merupakan hal pentng bag para wsatawan yang melakukan perjalanan 1
Penuls adalah Dosen d Bagan Hukum Internasonal Fakultas Hukum Unverstas Udayana, emal: sukmadev@gmal.com
untuk berstrahat. Mereka membutuhkan tempat yang aman, nyaman dan bersh untuk snggah dan berstrahat. Tempat pengnapan d Bal sangatlah beraneka ragam mula dar yang murah sampa yang mahal, mula dar rumah penduduk yang dsewakan untuk wsatawan sampa hotel yang berkelas nternasonal. Para wsatawan dengan mudah dapat memlh hotel yang mereka ngnkan d Bal melalu nternet, travel bahkan langsung menelusur lokas hotel yang mereka lhat atau lewat. Para wsatawan yang datang ke Bal sebagan besar ngn tnggal atau mengnap d daerah perkotaan yang memudahkan mereka untuk berpergan kemana-mana. Keadaan nlah yang cepat dtangkap oleh para nvestor, bagamana menark mnat wsatawan untuk mau mengnap d hotel yang luas bangunannya tdak terlalu besar, pelayanan dan suasananya sepert hotel 5 – star namun harganya reasonable. Para nvestor lokal maupun asng berlomba783
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
lomba untuk membangun hotel d Bal. Sejak tahun 2009 pembangunan hotel d Bal semakn semarak terutama City Hotel dengan manajemen jarngan nternasonal, sepert Aston, Ibs, Harrs, Fave ataupun Horson Hotel. City Hotel d Daerah Kota Denpasar dan Badung sedang menjad trend, hampr setap jengkal lahan d Bal ddrkan hotel. Pada kenyataannya, bangunan city hotel bermanajemen asng tersebut kebanyakan tdak menggunakan arstektur tradsonal Bal dan harga kamar yang mereka tawarkan cukup murah, msalnya Fave Hotel (2-star) beran memberkan harga yang bersang dengan Hotel Kelas Melat. Keberadaan city hotel sepert nlah yang membuat keberadaan city hotel yang dmlk pengusaha lokal terancam. Belum lag d Ganyar, khususnya Ubud, sudah terdapat palng tdak 2 (dua) city hotel yang masuk ke desa-desa dsana sehngga menggeser home stay mlk penduduk asl dsana dan tentunya dengan harga yang bersang. Apabla melhat konsep city hotel maka seharusnya hotelnya ddrkan d kawasan perkotaan bukan pedesaan, n berart ada permasalahan pada pengaturan dan perznannya. City Hotel bertaraf nternasonal dengan format “Franchising” yang serng dsebut dengan Chain Hotel, sepert “Ibs Hotel” yang menawarkan layanan jasa perhotelan sangat representatf. Hal tersebut tdak sebandng dengan City Hotel lokal yang rata-rata manajemennya dkelola secara lokal. Secara normatf, berdasarkan General Agreement on Trade and Services (GATS) sebaga salah satu (World TradeOragnization) WTO Agreement, pengelolaan bsns jasa perhotelan wajb berbass “Non Discrimination Principle”, semua negara anggota dperlakukan sama bak asng maupun lokal, artnya tdak 784
boleh melarang hotel-hotel dar negara anggota WTO ddrkan d Bal. Namun permasalahannya, keberadaannya telah mengancam keberlangsungan City Hotel lokal, karena tdak mampu bersang bak dar seg kualtas prasarana maupun manajemen layanan jasanya. Para pengusaha banyak memlh Aston menjad mtra bsns karena Aston sudah memlk nama besar dan memberkan jamnan keuntungan. Bahkan Charles Brookield sebagai owner Aston dalam wawancaranya dengan Kompas. com menyatakan bahwa “alasan utama para nvestor memlh Aston sebaga mtra adalah mereka tahu kam d Aston bekerja keras. Tell me your dream, tell me your vision, kam akan mewujudkannya. Dan Rahasa ada pada service.”2 Brand hotel-hotel d bawah manajemen Aston Internasonal adalah Grand Aston, hotel bntang 5 dengan standar nternasonal tertngg sedangkan Royal Kamuela untuk resort mewah bntang 5. Aston adalah brand hotel bntang 4, termasuk serviced apartment dan resort, sementara Kamuela Vllas adalah brand bntang 4. Aston memlk 3 brand d kelas bntang 3, yatu Aston Cty, Aston Inn dan Quest. Sementara d kelas Bntang 2 brandnya adalah Fave hotel.3 Selan Aston manajemen mash banyak manajemen hotel asng lan, sepert Archpelago Hotel, Shangrlla dan Hyatt yang dgunakan oleh para nvestor bsns hotel. Pemlk city hotel yang menggunakan manajemen hotel jarngan nternasonal basanya adalah nvestor lokal namun tdak memlk skill manajemen perhotelan dan 2
3
Charles Brookield : Aston Bangun Hotel di Setiap Kota www.kompas.com Propert htm, dunduh pada 25 Februar 2015 Ibid.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
networking yang cukup sehngga mereka memlh untuk membel franchise manajemen hotel jarngan nternasonal.4 Penggunaan manajemen hotel jarngan nternasonal n tentunya harus dtuangkan dalam bentuk kontrak licence, franchise, manajemen dan bantuan teknk lannya.5 Dar seg ekonom, keberadaan City Hotel dengan manajemen jarngan nternasonal tdak dapat dpungkr unggul dar segala aspek, mula dar manajemen, standar fasltas dan pelayanan bahkan harga yang bersang namun tdak dar seg hukum. Peraturan perundang-undangan yang mengatur City Hotel dengan karakter Chain Hotel atau menggunakan format franchising tdaklah jelas dan tegas terlebh dengan adanya otonom daerah, masngmasng daerah memlk kebjakan yang berbeda-beda. Sepert d Bal, usaha hotel yang menggunakan fasltas modal asng, apakah tu dar sahamnya ataupun sstem manajemennya hanya dapat dlakukan d kawasan parwsata menurut Rencana Tata Ruang Wlayah (RTRW) Bal. Pada kenyataannya City HotelCity Hotel yang ddrkan d Daerah Kota Denpasar bukanlah pada kawasan parwsata, sepert Fave Hotel d Jalan Teuku Umar, Pop Harrs d Jalan Teuku Umar, All Season d Jalan Teuku Umar dan Aston d Jalan Gatot Subroto. Bahkan Fave Hotel, All Season dan Pop Harrs hanya berjarak 200 – 300 meter. Selan tu, syarat mnmal luas tanah untuk mendrkan sebuah hotel pun tdak jelas. Jka
4
5
Blanket Agreement (Perjanjan Induk); Blanket Agreement on Hotel Management, http://ronnazra. blogspot.com/2012/05/blanket-agreement-perjanjannduk.html,dunggah pada tanggal 23 Februar 2015 Ibid.
melhat luas tanah atau areal City Hotel yang telah dsebutkan sebelumnya tdaklah begtu besar sehngga kurangnya lahan parkr yang mengakbatkan kemacetan d Jalan Teuku Umar. Dar seg bangunan atau gedung City Hotel yang ada d Jalan Teuku Umar tersebut sama sekal tdak mencrkan budaya bal menggunakan arstektur tradsonal Bal tetap cenderung menggunakan arstektur modern mnmals. Kenyataan n tentunya menjad sebuah pertanyaan besar mengapa City Hotel tersebut bsa berdr dan beroperas padahal keberadaannya tdak datur secara jelas dalam peraturan daerah maupun surat keputusan kepala daerah. Pemerntah Provns Bal sesungguhnya sudah memberkan perngatan (moratorium) atau penghentan sementara pemberan zn pendran atau pembangunan hotel pada awal tahun 2011 d Kawasan Bal Selatan, yatu Kabupaten Badung, Ganyar dan Kota Denpasar. Padatnya pembangunan akomodas wsata d kawasan tu tak jarang mengabakan tata ruang, sehngga pemerntah provns mengmbau pemerntah daerah untuk mematuh kebjakan tersebut.6 Selan masalah yang telah dkemukakan datas, keberadaan prnsp non discrimination dar GATS pada kenyataannya menmbulkan persangan usaha tdak sehat (unfair trade practices) karena d satu ss Pemerntah Indonesa tdak boleh dan tdak bsa untuk melarang masuknya nvestas asng ke dalam neger tap pada akhrnya city hotel dengan format manajemen franshise asng memberkan harga yang bersang dengan city hotel lokal. Keadaan n tentu saja mematkan pangsa pasar city hotel lokal 6
www.republka.co.d, Pemprov Bal Imbau Moratorum Hotel, Kams, 13 September 2012, dunduh tanggal 25 Februar 2015
785
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
karena konsumen, dalam hal n wsatawan past akan memlh city hotel dengan format manajemen hotel franchising asng yang berstandar nternasonal namun harganya reasonable. Dengan demkan dapat dkatakan bahwa kompleksnya masalah yang dtmbulkan oleh keberadaan city hotel dengan karakter chain hotel / format manajemen franchise asng dsebabkan oleh norma yang tdak progresf terhadap perkembangan keadaan masyarakat sehngga menmbulkan ketdakjelasan peraturan perundang-undangan yang terkat (unclear norm). Oleh karena tu dperlukan suatu konstruks hukum mengena pendran city hotel bak lokal maupun asng yang bsa memberkan kesejahteraan, keadlan, kepastan hukum dan kemanfaatan bag semua phak. 1.2 1.
2.
Rumusan Masalah Bagamanakah bentuk perwujudan Non-Discrimination Principle dalam GATS sebaga salah satu nstrumen WTO terkat dengan city hotel berkarakter chain hotel yang termasuk jasa parwsata d Indonesa? Bagamanakah pengaturan jasa parwsata terkat city hotel dengan karakter chain hotel d Indonesa?
II. 2.1
2.1.1 Prinsip Non Diskriminasi (NonDiscrimination Principle) dalam WTO Non-Discrimination Principle adalah salah satu sumber hukum nternasonal dalam bentuk general principles of law (prnsp-prnsp hukum umum yang daku oleh bangsa beradab). Prnsp-prnsp hukum umum n danut oleh seluruh Negara-negara d duna meskpun memlk sstem hukum yang berbeda. Keberadaan prnsp hukum umum n sangat pentng jka dlhat dar fungsnya begtu juga dengan Prnsp Non Dskrmnas7. Prnsp non dskrmnas n mengandung pengertan bahwa tdak ada perlakuan yang berbeda terhadap suatu subyek atau obyek hukum, semua mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memperhatkan perbedaan ras, suku, agama, umur, kewarganegaraan ataupun dsabltasnya. Prnsp non dskrmnas menjad prnsp utama dalam penyelenggaraan perdagangan nternasonal yang bersfat multlateral d bawah WTO. In adalah kunc utama agar perdagangan nternasonal dantara Negara anggota WTO berjalan 7
786
Hasil dan Pembahasan NonBentuk perwujudan Discrimination Principle dalam GATS sebagai salah satu instrumen WTO terkait dengan city hotel berkarakter chain hotel yang termasuk jasa pariwisata di Indonesia adalah:
Discrimination is the effect of law or established practice that confers privileges on a certain class or that denies privileges to a certain class because of race, age, sex, nationality, religion or handicap, Lhat Black’s Law Dictionary, 2004, Eght Edton, Thomson, West, Amerka Serkat, hlm.500.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dengan lancar. D dalam GATS sebaga slaah satu nstrumen WTO, Non-Discrimination Principle dwujudkan dalam 2 (dua) bentuk kewajban, yatu: the most-favoured nation (MFN) treatment8 dan the national treatment9 (NT). MFN mensyaratkan Negara anggota WTO (msalkan Indonesa) harus memberkan perlakuan yang sama kepada mtra-mtra dagangnya yang juga merupakan Negara anggota WTO (msalkan Jepang, Brazl, Australa, AMerka Serkat). Sedangkan NT mensyaratkan Negara anggota WTO untuk memperlakukan produk asng yang masuk ke dalam wlayah Negara tersebut sama dengan produk lokalnya (apakah dar seg pajak dan regulasnya). 2.1.2 City Hotel berkarakter chain hotel sebagai salah satu bentuk perdagangan jasa pariwisata GATS adalah agreement d bdang perdagangan jasa nternasonal. Perdagangan jasa (trade in services) adalah perdagangan yang menempatkan jasa sebaga komodt. Dalam pengertan perdagangan, jasa mencakup seluruh aktvtas atau usaha yang 8
9
The MFN treatment obligation requires a WTO member that grants certain favourable treatment to another country to grant that same favourable treatment to all other WTO members. A WTO member is a not allowed to discriminate between its trading partners. Lhat Peter Van Den Bossche, 2008, The Law and Policy of the World Trade Organization Text, Cases and Materials, Second Edton, Cambrdge Unversty Press, New York, hlm.38. The national treatment obligation requires a WTO Member to treat foreign product, services suppliers no less favourably that it treats ‘like’ domestic products, services and service suppliers. Where the national treatment obligation applies, foreign products, for example, should once they have crossed the border and entered the domestic market, not be subject to less favourable taxation or regulation than ‘like’ domestic product. Purusuant to the national treatment obligation, a WTO Member is not allowed to discriminate against foreign products, services and service suppliers. Lhat Peter Van Den Bossche, Ibid.
dorgansr, secara kualtas, kuanttas, dan jangka waktu tertentu, untuk membantu seseorang atau lebh, mendapatkan kengnannya, berdasarkan proses transaks, dan mbalan tertentu (services charge). Pengertan yang demkan mencakup pengertan jasa parwsata, yatu suatu kegatan penyedaan jasa akomodas, makanan, transportas dan rekreas, serta jasa lannya yang terkat10. Hotel merupakan salah satu bentuk jasa akomodas yang menunjang penyelenggaraan dan pembangunan parwsata. Oleh karena tu hotel menjad salah satu obyek pengaturan dar GATS yang menjunjung kewajban MFN dan NT. Hal n datur dalam Pasal 1 Ayat (2) GATS yang menyebutkan 4 (empat) modes supply of services11. Dar keempat jens penyedaan jasa tersebut, jasa perhotelan (city hotel berkarakter chain hotel) termasuk jens yang ketga, yakn cara pemberan jasa melalu kehadran secara komersal (commercial presence mode of supply), dmana pember jasa hadr d negara penerma jasa12. Sebaga contoh, ASTON, Shangrlla, Ibs dan lannya. Dengan begtu, para nvestor dberkan kesempatan untuk mendrkan city hotel berkarakter chain hotel d suatu Negara dengan tetap mendapatkan perlakuan yang
10
11
12
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Penerbit Reika Aditama, Bandung, hlm.1 (a) from the territory of one Member into the territory of any othe Member; (b) in the territory of one Member to the service consumer of any other Member; (c) by a service supplier of one Member, through commercial presence in the territory of any other Member; (d) by a service supplier of one Member, through presence of natural persons of a Member in the territory of any other Member. Peter van den Bossche, dkk., 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Yayasan Obor Indonesa, Jakarta, hlm.15.
787
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sama sepert chain hotel lannya termasuk perlakuan yang sama dengan hotel lokal d wlayah Negara tersebut. Namun keadaan yang demkan menmbulkan klm usaha yang tdak sehat karena city hotel berkarakter chain hotel bermanajemen asng, standar pelayanan nternasonal memberkan harga yang sama dengan hotel-hotel lokal (tentunya dar seg manajemen dan standar pelayanan mash kurang. Keadaan nlah yang terjad d Indonesa, khususnya Bal sebaga destnas parwsata favort duna. Untuk tu sebaknya perlu durakan bagamana sesungguhnya mplementas dar prnsp non dskrmnas (yang melahrkan kewajban MFN dan NT) dalam perdagangan jasa parwsata khususnya city hotel berkarakter chain hotels. 2.1.3 MFN dalam GATS MFN pada perdagangan jasa datur dalam Pasal II : 1 GATS : “With respect to any measure covered by this Agreement, each Member shall accord immediately and unconditionally to service and service suppliers of any other Member treatment no less favourable than that it accords to like services and service suppliers of any other country”13. Jad, kewajban MFN harus dtaat dan dlaksanakan oleh seluruh Negara anggota WTO secara segera dan tanpa persyaratan. Ada 3 (tga) pertanyaan yang harus dpenuh untuk menentukan apakah sebuah ketentuan dar salah satu Negara anggota WTO inconsistency terhadap kewajban MFN sesua Pasal II : 1 GATS, yatu14:
13 14
788
Gars bawah dtambahkan oleh penuls. Peter van den Bossche,dkk., Ibid., hlm.13
. .
.
apakah GATS dapat dterapkan terhadap ketentuan tersebut; apakah jasa atau pember jasa adalah jasa sejens atau pember jasa sejens; dan apakah jasa atau pember jasa dar anggota WTO lannya menerma, secara segera dan tanpa syarat, perlakuan yang tdak kurang menguntungkan dar jasa sejens dan pember jasa sejens dar Negara lannya.
Meskpun pemberlakuan kewajban MFN immediately dan unconditionally, berdasarkan Pasal II : 2 GATS dperbolehkan adanya pengecualan: A Member may maintain a measure inconsistent with paragraph 1 provided that such a measure is listed in, and meets the conditions of, the Annex on Article II Exemptions”. Pengecualan pemberlakuan MFN oleh suatu Negara anggota WTO dberkan sepanjang tndakan-tndakan nasonal tertentu dmaksud sudah ddaftarkan dan ddaftarkan dalam Lampran Perkecualan-perkecualan Pasal II : 2 GATS. Pengecualan yang ddaftarkan oleh Negara anggota WTO harus berskan: “a description of the sectors in which the exemption applies; a description of the measure, indicating why it is inconsistent with Article II; the country or countries to which the measure applies; the intended duration of the exemption; and the conditions creating the need for the exemption15. Pengecualan n pada awalnya harus ddaftarkan sampa dengan mula berlakunya WTO, 1 Januar 1995 dan berakhr pada Januar 2005. Namun pada kenyataannya, Negara anggota WTO mash menggunakan pengecualan n 15
Peter Van Den Bossche, op.cit., hlm.342.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
sampa dengan sekarang dengan jangka lebh dar 5 tahun dan d-review oleh Council for Trade in Services16. 2.1.4 NT dalam GATS Pasal XVII GATS mengatur tentang National Treatment (NT) : “In the sectors inscribed in its Schedule, and subject to any conditions an qualiications set out therein, each Member shall accord to services and service suppliers of any other Member, in respect of all measures affecting the supply of services, treatment no less favourable than that it accords to 17 its own like services and service suppliers”. Tdak semua services and service suppliers mendapatkan perlakuan nasonal jad hanya sektor-sektor jasa tertentu yang dtuangkan dalam komtmen ( Schedule of Speciic Commitments). Negara anggota WTO dberkan kebebasan untuk membuat komtmen atau tdak. Pembuatan komtmen perlakuan nasonal (NT) berdasarkan negosas dar para Negara anggota WTO. Jad, sesungguhnya kewajban NT n dkembalkan lag kepada masng-masng anggota WTO karena mereka memlk kemampuan dan kebutuhan ekonom yang berbeda satu dengan lannya. Meskpun demkan, bsa saja anggota WTO yang sudah membuat komtmen NT tersebut melanggar / nconsistency kewajban NT tersebut dan untuk membuktkannya harus memenuh 3 (tga) pertanyaan / tes: . apakah GATS dapat dterapkan pada aturan yang dpermasalahkan; . apakah jasa atau pember jasa asng dan domestc adalah ‘jasa sejens’ atau’pember ajasa sejens’ dan;
16 17
Lhat Annex on Article II Exemptions GATS Peter van den Bossche, dkk., op.cit., hlm.24.
.
apakah jasa dan ‘pember jasa asng’ mendapat perlakuan yan kurang menguntungkan dbandngkan dengan jasa dan pemebr jasa domestk.
2.1.5 Daftar Pengecualian kewajiban MFN dan NT terkait city hotel berkarakter chain hotel sebagai salah satu bentuk jasa pariwisata di Indonesia Dengan melhat uraan kewajban MFN dan NT dalam GATS datas, sesungguhnya Indonesa sudah mengmplementaskan prnsp non dskrmnas dengan bak terutama pada perdagangan jasa city hotel berkarakter chain hotel. Hal n terbukt dar banyaknya city hotels yang dmlk nvestor asng atau menggunakan manajemen franchise asng yang tumbuh dan berkembang d Indonesa, khususnya Bal. Namun keberadaan city hotel berkarakter chain hotel bukannya mencptakan klm persangan usaha yang sehat tetap mematkan pangsa pasar city hotel lokal. Kenyataan n menujukkan bahwa lberalsas perdagangan jasa bagakan 2 (ss) mata uang, memberkan keuntungan sekalgus kerugan bag keadaan ekonom masyarakat Bal khususnya dan Indonesa pada umumnya. Sepert yang telah dsebutkan datas, dperbolehkan adanya pengecualan terhadap kewajban MFN dan NT d dalam GATS. Seharusnya Pemerntah Indonesa dapat memanfaatkan pengecualan tersebut dem menyelamatkan perkembangan ekonom masyarakatnya. Namun pada kenyataannya, berdasarkan Indonesa Final List of Article II (MFN) Exemptions tanggal 15 Aprl 1994 dan 28 Jul 1995, hanya ada 3 (tga) sector yang ddaftarkan, yakn Banking Services, Construction Services dan Movement of 789
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
personal (semi-skilled workers). Daftar pengecualan kewajban MFN terakhr yang ddaftarkan Indonesa adalah tahun 1995 sedangkan sekarang sudah tahun 2015, tentunya sangat banyak perubahan yang terjad pada perdagangan jasa parwsata khususnya terkat city hotel berkarakter chain hotel. Sedangkan pengecualan kewajban NT dalam bentuk komtmen khusus (speciic commitments), Indonesa sudah mendaftarkannya sejak 15 Aprl 1994 kemudan ada beberapa suplemen ddaftarkan pada 28 Jul 1995, 11 Aprl 1997 dan 26 Februar 1998. Hal yang sama terjad pada MFN List of Exemption, pengecualan kewajban NT yang berkatan dengan tourism services (termasuk hotel) hanya ddaftarkan pada tahun 1994: i. Limitation on Market access : In eastern part of Indonesa, Kalmantan, Bengkulu, Jamb and Sulawes, 100% of capital share can be owned by foreign investor. ii. Limitations on National Treatment : (a) Higher paid-up capital is required of foreign service suppliers than of domestic service suppliers. This measure will be eliminate in the year 2020; (b) only 3, 4, 5 starred hotels are permitted. Pengecualan kewajban NT yang berkatan dengan hotel sudah tdak sesua dengan pertumbuhan hotel yang ada d Indonesa, khususnya Bal sehngga tdak mampu melndung keberadaan city hotel lokal yang dserbu oleh city hotel berkarakter chain hotels. Pada zaman tu belum muncul city hotel berkarakter chain hotel, yang ada pada saat tu hanya hotel berbntang dengan harga yang jauh lebh mahal dar hotel lokal 790
sehngga klm persangan usahanya lebh sehat (kompettf). 2.2
Pengaturan jasa pariwisata terkait city hotel dengan karakter chain hotel di Indonesia Pengaturan jasa parwsata d Indonesa belum dapat berfungs dengan bak dan mencapa tujuan hukum yang seharusnya. Hal n dsebabkan oleh kompleksnya problem yang terjad pada payung hukum parwsata d Indonesa, yatu Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Keparwsataan18. Selan UU Keparwsataan, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang terkat dengan jasa parwsata khususnya mengena hotel, sepert Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopol dan Persangan Usaha Tdak Sehat, UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah terkat. Berkut adalah pembahasan mengena beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dsebutkan datas. 2.2.1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan UU Keparwsataan n banyak sekal mengandung problem d dalamnya, mulai dari problem deinisi, problem konsep, problem norma hngga problem pengaturannya. Akar permasalahannya adalah stlah keparwsataan yang datur dalam Pasal 1 Ayat (4) adalah keseluruhan kegatan terkat dengan parwsata dan bersfat multdmens serta multdspln yang muncul sebaga wujud kebutuhan 18
Selanjutnya dsebut UU Keparwsataan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
setap orang dan Negara serta nteraks antara wsatawan dan masyarakat setempat, sesama wsatawan, Pemerntah, Pemerntah Daerah dan pengusaha. Deinisi kepariwisataan ini tdak sesua dengan karakterstk parwsata pada saat sekarang n, yatu perdagangan jasa (tourism is a trade in services). Dengan menggunakan policy-oriented theory of law, permasalahan / problem yang tmbul dalam UU Keparwsataan terjad pada tahap meso analyses, a problem of wrong on deining or perhaps the vacuum on deining the objects which become a problem deinition19. Ketepatan dalam mendeinisikan suatu obyek pengaturan merupakan hal yang sangat pentng dalam proses pembuatan hukum dan kebjakan. UU Keparwsataan mengusung konsep parwsata sebaga pembangunan yang mengacu pada Global Code of Ethics of Tourism yang dbuat oleh World Tourism Organization. D satu ss, pembentukan UU Keparwsataan adalah upaya harmonsas ketentuan GATS ke dalam hukum nasonal Indonesa. Konsep parwsata dalam GATS adalah perdagangan jasa. Hal n menunjukkan terjadnya problem konsep parwsata d dalam UU Keparwsataan. D saat penyelenggaran dan pembangunan parwsata duna menggunakan konsep parwsata sebaga perdagangan jasa, Indonesa malah tetap d tempat dengan menggunakan konsep pembangunan parwsata yang sudah lama dtnggalkan. Keadaan n dsebut sebaga normative-
ambiguity20. “By this mean that such theory seeks in a single confused statement to perform multiple intellectual tasks. Thus, the ordinary legal rule or concept seeks, at one and the same time, to describe what decision-makers have done in the past, to predict what they will do in the future, and to prescribe what they ought to do”21. Problem konsep yang terjad dalam UU Keparwsataan tentunya akan menmbulkan problem pengaturan karena mater yang datur tdak sesua dengan kegatan parwsata dalam kenyataan sehngga menyebabkan tdak berfungsnya dengan bak UU tersebut . “The huge number of laws has not followed by an actual controlling effect over the performance of tourism, including the business and its detrimental impacts to the business and its environment. Tourism activities are loaded with unfair trade practices such as tariff war and irrational services supply in most of tourism business centers”22. City hotel dengan karakter chain hotel merupakan salah satu usaha jasa parwsata d Indonesa. Hal n datur dalam Pasal 14 Ayat (1) UU Keparwsataan: (a) daya tark wsata; (b) kawan parwsata; (c) jasa transportas wsata; (d) jasa perjalanan wsata; (e) jasa makanan dan mnuman; (f) penyedaan akomodas; (g) penyelenggaran kegatan hburan dan rekreas; (h) penyelenggaraan pertemuan, perjalanan nsentf, konferens dan pameran; () jasa nformas parwsata; 20
19
Wayne Parson, 2005, Public Policy, hlm. 87 dalam Ida Bagus Wyasa Putra, 2013, Indonesian Tourism Law : In Search of Law and Regulations Model, Lex Mercatora, Journal of Internatonal Trade and Busness Law, Vol.1 Number 1, The Role of Law and Polcy n Promotng Natonal and Regonal Economc Development, hlm.62.
21 22
Laswell and McDougal, 1943, Legal Education and Public Policy: Professional Training in the Public Interest, 52 Yale L.J. 203, 208-209 dalam Myres S. McDougal, 1956, Law as a Process of Decision : A Policy-Oriented Approach to Legal Study, Yale Law School Lagal Scholarshp Repostory, hlm.59, dunduh pada 25 Februar 2015 Myres S. McDougal, Ibid. Ida Bagus Wyasa Putra, loc.cit., hlm.62.
791
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
(j) jasa konsultan parwsata; (k) jasa pramuwsata; (l) wsata trta; dan (m) spa). Hotel dgolongkan sebaga salah satu jasa akomodas. 2.2.2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pertumbuhan city hotel berkarakter chain hotel d Indonesa, khususnya Bal menmbulkan klm persangan usaha yang tdak sehat. City hotel berkarakter chain hotel dengan standar dan fasltas nternasonal namun memberkan harga lokal kepada para konsumennya. Sudah tentu wsatawan akan memlh city hotel berkarakter chain hotel darpada city hotel lokal dengan harga yang bersang namun kualtas pelayanannya berstandar nternasonal. Keadaan n sesungguhnya dlarang dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopol dan Persangan Usaha Tdak Sehat : “Pelaku Usaha dlarang melakukan kecurangan dalam menetapkan baya produks dan baya lannya yang menjad bagan dar komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakbatkan terjadnya persangan usaha tdak sehat”. 2.2.3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal a) Pendran City hotel berkarakter chain hotel d Indonesa haruslah dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Hal n datur dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Penanaman Modal : “Penanaman modal asng wajb dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesa dan berkedudukan d dalam wlayah negara Republk Indonesa, kecual dtentukan lan oleh undang792
undang”. Modal yang dtanamkan oleh nvestor asng d Indonesa dapat berupa aset dalam bentuk uang atau bentuk lan yang bukan uang yang dmlk oleh penanam modal yang mempunya nla ekonoms23. b)
UU Penanaman Modal juga mengatur mengena kewajban MFN dan NT yang tertuang dalam Pasal 6: (1) Pemerntah memberkan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dar negara mana pun yang melakukan kegatan penanaman modal d Indonesa sesua dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perlakuan sebagamana dmaksud pada ayat (1) tdak berlaku bag penanam modal dar suatu negara yang memperoleh hak stmewa berdasarkan perjanjan dengan Indonesa. Pasal n menunjukkan bahwa Indonesa sebaga salah satu Negara anggota WTO sudah mengmplementaskan NonDiscrimination Principle (MFN dan NT) ke dalam hukum nasonalnya. 2.2.4 Beberapa Peraturan Daerah yang terkait (studi kasus di Daerah Provinsi Bali) a) Pasal 5 Ayat (3) Peraturan daerah (Perda) Provns Bal No.2 Tahun 2012 tentang Keparwsataan Budaya Bal menyatakan: “Pembangunan Sarana dan prasarana keparwsataan dengan menggunakan fasltas modal asng hanya dapat 23
Lhat Pasal 1 Ayat (7) UU Penanaman Modal
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dlakukan d kawasan parwsata yang telah dtetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wlayah Provns Bal.” Pasal 1 Angka 55 Perda Provns Bal No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wlayah Provns Bal Tahun 2009-2029 : “Kawasan Parwsata adalah kawasan strategs parwsata yang berada dalam geograis satu atau lebih wilayah admnstras desa atau kelurahan yang d dalamnya terdapat potens daya tark wsata, aksesbltas yang tngg, ketersedaan fasltas umum dan fasltas parwsata serta aktvtas sosal budaya masyrakat yang salng mendukung dalam perwujudan keparwsataan.” Dengan mengacu pada kedua pasal datas, dapat dtark kesmpulan bahwa usaha hotel yang menggunakan fasltas modal asng, apakah tu dar sahamnya ataupun sstem manajemennya hanya dapat dlakukan d kawasan parwsata menurut Rencana Tata Ruang Wlayah (RTRW) Bal. Pada kenyataannya City Hotel-City Hotel yang ddrkan d Daerah Kota Denpasar bukanlah pada kawasan parwsata, sepert Fave Hotel d Jalan Teuku Umar, Pop Harrs d Jalan Teuku Umar, All Season d Jalan Teuku Umar dan Aston d Jalan Gatot Subroto. Bahkan Fave Hotel, All Season dan Pop Harrs hanya berjarak 200 – 300 meter. Selan tu, syarat mnmal luas tanah untuk mendrkan sebuah hotel pun tdak jelas. Jka melhat luas tanah atau areal City Hotel yang telah dsebutkan sebelumnya tdaklah begtu besar sehngga kurangnya lahan parkr yang mengakbatkan kemacetan d Jalan Teuku Umar.
c)
b)
Pasal 122 Ayat (2) huruf (g) Perda RTRW Provns Bal Tahun 20092029: “Pengharusan penerapan cr khas arstektur tradsonal Bal pada setap bangunan akomodas dan fasltas penunjang parwsata.”
d)
Penjelasan Pasal 124 Ayat (2) huruf (d) Perda RTRW Provns Bal Tahun 2009-2029 : “Persyaratan arstektur Bal, melput antara lan persyaratan penamplan bangunan gedung, tata ruang dalam, kesembangan, keserasan dan keselarasan bangunan gedung dengan lngkungan serta pertmbangan adanya kesembangan antara nlanla sosal budaya setempat terhadap penerapan berbaga perkembangan arstektur dan budaya”. Bangunan Fave Hotel, All Season, Pop Harrs sama sekal tdak mencrkan budaya bal yang menggunakan arstektur tradsonal Bal tetap cenderung menggunakan arstektur modern mnmals. Kenyataan n tentunya menjad sebuah pertanyaan besar mengapa City Hotel tersebut bsa berdr dan beroperas padahal keberadaannya tdak datur secara jelas dalam peraturan daerah maupun surat keputusan kepala daerah. III. Penutup 3.1 Simpulan Non-Discrimination Principle dalam a. GATS sebaga salah satu nstrumen WTO terkat dengan city hotel berkarakter chain hotel yang termasuk jasa parwsata d Indonesa dwujudkan dalam 2 (dua) bentuk kewajban, yatu MFN dan NT. Kewajban n merupakan kunc utama terlaksananya 793
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
b.
794
perdagangan multlateral dalam WTO. Meskpun MFN dan NT merupakan kewajban mutlak bag setap Negara anggota WTO, namun tetap dberkan pengecualan terhadap pelaksanaannya. Pengecualan kewajban MFN dan NT harus dnegosaskan terlebh dahulu, kemudan ddaftarkan dan ada jangka waktunya. Indonesa mendaftarkan pengecualan kewajban MFN (list of exemption) pada tahun 1994 dan 1995 namun tdak ada memuat mengena hotel sebaga salah satu bentuk jasa parwsata. Sedangkan pengecualan kewajban NT (speciic commitments) ddaftarkan Indonesa pada tahun 1994, 1995, 1997 dan 1998. Hanya speciic commitments yang ddaftarkan pada tahun 1994 memuat tentang hotel sebaga salah satu bentuk jasa parwsata. Pengaturan city hotel dengan karakter chain hotel sebaga salah satu bentuk jasa parwsata d Indonesa tdak berfungs dengan bak dan mencapa tujuan hukum yang seharusnya. Hal tu dapat dlhat pada UU Keparwsataan sebaga payung hukum parwsata d Indonesa. Penyebabnya adalah kompleksnya problem yang terjad d dalam UU Keparwsataan tersebut, baik problem deinisi, konsep, norma maupun pengaturannya. Adapun beberapa pengaturan yang terkat, yakn : UU Larangan Praktek Monopol dan Persangan Usaha Tdak Sehat, UU Penanaman Modal, UU Perseroan Terbatas dan beberapa Perda Provns Bal (karena stud kasusnya d Bal). Beberapa peraturan perundangan tersebut juga tdak dapat
berfungs dengan bak dan mencapa tujuannya. Namun problem bukan tmbul dar peraturan tersebut tetap pelaksanaannya d lapangan. 3.2 a.
b.
Saran Untuk ke depannya Indonesa lebh bak untuk merevs daftar pengecualan kewajban MFN dan NT yang terkat dengan hotel sebaga salah satu bentuk jasa parwsata agar dapat melndung keberadaan city hotel lokal dar serbuan city hotel berkarakter chain hotel yang menyebabkan terjadnya persangan usaha yang tdak sehat. Pemerntah Indonesa perlu merevs UU Keparwsataannya dan bertndak lebh tegas dalam penerapan peraturan perundangan terkat lannya agar fungs dan tujuan hukum dapat tercapa.
DAFTAR PUSTAKAI. BUKU Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Penerbit Reika Adtama, Bandung Peter Van Den Bossche, 2008, The Law and Policy of the World Trade Organization Text, Cases and Materials, Second Edton, Cambrdge Unversty Press, New York Peter van den Bossche, dkk., 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Yayasan Obor Indonesa, Jakarta Black’s Law Dictionary, 2004, Eght Edton, Thomson, West, Amerka Serkat
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
II. JURNAL / ARTIKEL INTERNET Ida Bagus Wyasa Putra, 2013, Indonesian Tourism Law : In Search of Law and Regulations Model, Lex Mercatora, Journal of Internatonal Trade and Busness Law, Vol.1 Number 1, The Role of Law and Polcy n Promotng Natonal and Regonal Economc Development Charles Brookield : Aston Bangun Hotel d Setap Kota, www.Kompas.com Propert.htm, dunduh pada 25 Februar 2015 Blanket Agreement (Perjanjan Induk); Blanket Agreement on Hotel Management, http://ronnazra. blogspot.com/2012/05/blanketagreement-perjanjan-nduk.html, dunggah pada tanggal 23 Februar 2015 Pemprov Bal www.republca.co.d, Imbau Moratorum Hotel, Kams, 13 September 2012, dunduh tanggal 25 Februar 2015 Myres S. McDougal, 1956, Law as a Process of Decision : A Policy-Oriented Approach to Legal Study, Yale Law School Lagal Scholarshp Repostory, dunduh pada 25 Februar 2015
Vol. 4, No. 4 : 783 - 795
IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopol dan Persangan Usaha Tdak Sehat Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Keparwsataan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Peraturan Daerah Provns Bal No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wlayah Provns Bal Tahun 2009-2029 Peraturan Daerah Provns Bal No.2 Tahun 2012 tentang Keparwsataan Budaya Bal.
III. INSTRUMEN INTERNASIONAL World Trade Organization (WTO) Agreement General Agreement on Trade in Services (GATS) Global Code of Ethics of Tourism by World Tourism Organization (UN-WTO)
795
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PENGATURAN PRINSIP TRANSFER OF UNDERTAKING PROTECTION OF EMPLOYMENT (TUPE) DALAM DUNIA KETENAGAKERJAAN INDONESIA (DIANTARA POTENSI DAN HAMBATAN) Oleh : Kadek Agus Sudarawan1 ABSTRACT This research is aimed identifying the advantages of the regulation of TUPE principles, as well as inhibiting factors for outsourcing companies to apply the TUPE principles after the Decision of the Constitutional Court Number 27/PUU-IX/ 2011. The research was conducted by using normative-empirical method. The data of the research consisted of primary data and secondary data. All of the collected data were analyzed using qualitative method. The results of this research were presented in a descriptive analysis report. The results of the research indicated he advantages that could be obtained by workers in relation with regulation of the TUPE principles included protection of wages, welfare and working requirements, protection of workers when the company was taken over, protection of workers when there is a change of outsourcing company and regulation of the right to ile a lawsuit to the industrial relations court. The inhibiting factors in the application of the TUPE principles in the outsourcing companies after the Decision of Constitutional Court were the lack of socialization and supervision of the government, various legal loopholes of discrepancies between the implementing regulation and the Decision of Constitutional Court, uncertainty severance regulation, assumptions that TUPE was a new burden which may disadvantage employers, and the lack of understanding of the workers related to their rights. Key words: TUPE, Legal Protection, Outsourcing, FTEC.
I.
Pendahuluan Negara Indonesa adalah negara yang sedang berkembang. Salah satu cr dar negara berkembang adalah pembangunan dsegala bdang kehdupan. Pengembangan duna usaha oleh para pelaku bsns merupakan salah satu faktor yang kut menentukan berhaslnya pembangunan. Konds perekonoman Indonesa yang terus berkembang semakn mendorong pemerntah
1
796
Penuls adalah Staf Pengajar (Dosen) d Fakultas Hukum Unverstas Udayana, emal: degust_ugm30@ yahoo.co.d.
mengeluarkan berbaga kebjakan strategs dbdang perekonoman. Secara khusus krisis inansial pada tahun 1997 telah mendorong perubahan besar terhadap sstem hukum ketenagakerjaan d Indonesa, yatu melalu program reformas hukum ketenagakerjaan yang pada hakekatnya menekankan pada mekansme pasar. Haslnya adalah dundangkannya 3 (tga) undang-undang terkat duna ketenagakerjaan yatu : Undang-Undang No.21 Tahun 2000 Tentang Serkat Pekerja/ Serkat Buruh (UU SP/SB), Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
(UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaan Perselshan Hubungan Industral.2 UU Ketenagakerjaan secara khusus mengatur mengena beberapa jens perjanjan kerja yakn melput : Perjanjan Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjan Kerja Waktu Tdak Tertentu (PKWTT) dan termasuk pula outsourcing. Pengaturan PKWT dan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan dapat dsebut sebaga upaya untuk mewujudkan pasar kerja yang leksibel di Indonesia. Terkat dengan hubungan kerja outsourcing, persangan duna bsns yang begtu dnams tentunya telah memaksa perusahaan untuk berkonsentras pada rangkaan proses atau aktvtas pencptaan produk dan jasa yang terkat dengan kompetens utamanya. Konsekuens logs dar strateg n adalah keputusan perusahaan untuk mengalhdayakan atau menyerahkan proses-proses yang bukan merupakan core competence perusahaan tersebut kephak lan dengan sstem yang dsebut sebaga oustsourcing.3 Sstem outsourcing telah memlk landasan hukum sehngga potens bsns melalu sstem n dmasa datang sangat luas dan menjanjkan.4 Pengusaha seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasl dan keuntungan dengan maksmal dengan menekan pengeluaran yang mnmal. Pengusaha lupa dengan sejarah yang telah terbukt gaya potong memotong ongkos 2
3
4
Surya Tjandra, 2007, Hukum Perburuhan, Desentralisasi, dan Rekontruksi Rezim Perburuhan Baru, TURC, Jakarta, hlm.7. Rchardus Eko Indrajt, 2003, Proses Bisnis Outsourcing, Grasndo, Jakarta, hlm.1. Sehat Damank, 2006, Outsourcing dan Perjanjian Kerja, DSS Publshng, Jakarta, hlm.20.
n memlk lmt tertentu, bak tu batas ekonom maupun batas etka.5 outsourcing d Pelaksanaan Indonesa merupakan salah satu su hangat dan menark karena menmbukan pro kontra dmasyarakat khususnya antara kaum pengusaha dan pekerja. Gerakan penolakan yang dlakukan oleh masyarakat khususnya oleh serkat pekerja/serkat buruh terhadap penerapan sstem n terus menguat. Tuntutan utama yang dbawa para pekerja alah penghapusan PKWT dan outsourcing dalam duna ketenagakerjaan Indonesa. Langkah pentng yang dlakukan pekerja untuk merespon permasalahan n yatu dengan mengajukan judicial riview kepada Mahkamah Konsttus (MK) yang dlakukan oleh Ddk Suprjad yang bertndak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Alans Petugas Meter Lstrk Indonesa (AP2ML). Dalam Pokok permohonannya dajukan permohonan pengujan atas Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Menurut pemohon, ketentuan tentang outsourcing dalam pasal-pasal UU Ketenagakerjaan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 yatu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945. Untuk menghndar perusahaan melakukan eksplotas pekerja hanya untuk keuntungan bsns MK kemudan melalu Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 menentukan perlndungan dan jamnan bag tenaga kerja outsourcing melalu 2 (dua) model yang dapat dlaksanakan yakn : 5
Gunarto Suhard, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Unverstas Atmaja, Jogjakarta, hlm.1.
797
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan ousourcing tdak berbentuk PKWT, melankan berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prnsp pengalhan perlndungan bag pekerja atau buruh atau Prnsp Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing melalu PKWT. Prnsp TUPE merupakan prnsp yang sudah lama dterapkan negara-negara maju dan dtujukan untuk melndung hak-hak pekerja dalam stuas perpndahan sehngga memungknkan pekerja untuk menkmat persyaratan yang sama. Kewajban perusahaan outsourcing yang baru untuk melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya dtentukan dalam Putusan MK. Pelaksanaan Putusan MK No.27/PUUIX/2011 terbukt belum sepenuhnya mampu member jawaban untuk menyelesakan permasalahan n. Dlapangan dtemukan fakta bahwa hngga har n perusahaanperusahaan outsourcing mash belum banyak yang menerapkan prnsp TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT. Alasan tdak terlaksananya prnsp n alah mash dtemukan kendala sebaga faktor penghambat dtengah berbaga potens yang bsa ddapat dalam penerapan prnsp n dalam duna ketenagakerjaan Indonesa. Berangkat dar latar belakang tersebut datas maka penelt tertark untuk melakukan peneltan hukum dalam bdang hukum ketenagakerjaan Indonesa untuk berusaha menemukan potens (keuntungankeuntungan) yang dapat dperoleh pekerja dengan pengaturan prnsp TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan 798
PKWT pasca Putusan MK serta menemukan faktor penghambat yang menjad kendala perusahaan outsourcing untuk menerapkan prnsp TUPE. II. 2.1
PEMBAHASAN Potensi Pengaturan Prinsip TUPE Terhadap Pekerja Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 Perlndungan hukum terhadap pekerja adalah salah satu hal esensal yang kemudan terus-menerus coba untuk devaluas dan dtngkatkan karena beberapa pengaturan serngkal menyebabkan pekerja berada pada poss lemah. Konds demkan berpotens mengakbatkan terjadnya ekplotas dan pengurangan terhadap hak-hak yang harusnya mereka dapatkan sebaga pekerja. Hubungan sosal antara pekerja dan pengusaha dengan demikian bermuatan konlik fundamental karena bersfat sephak dan ekploratf.6 Dalam upaya menngkatkan perlndungan hukum terhadap pekerja khususnya bag pekerja outsourcing yang dkat atau berdasarkan PKWT. MK melalu Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 menegaskan bahwa pengusaha dapat menerapkan sstem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT tersebut kemudan memuat klausul yang member jamnan perlndungan hak pekerja (TUPE). Konseps dasar klausula TUPE n memuat ketentuan bahwa hubungan kerja pekerja yang bersangkutkan akan dlanjutkan pada perusahaan berkutnya, dalam hal obyek kerjanya tetap ada. Pada konds obyek pekerjaan tu tetap ada sedangkan syarat pengalhan perlndungan hak tdak 6
Susetawan, 2000, Konlik Sosial, Kajian Sosiologis, Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.11.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
datur ddalam PKWT, maka hubungan kerja pekerja secara otomats berubah menjad PKWTT. Secara tekns syarat PKWT bsa datur pada bagan penutup perjanjan. Pada akhrnya, klausula tu berfungs sebaga alat ukur untuk menla bentuk hubungan kerja apakah berbentuk PKWT atau PKWTT.7 Prnsp TUPE atau prnsp pengalhan tndakan perlndungan hak pekerja, secara khusus terdapat dalam butr (3.18) pertmbangan hukum Putusan MK No.27/ PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa : “…dengan menerapkan prnsp pengalhan perlndungan ketka perusahaan pember kerja tdak lag memberkan pekerjaan borongan atau penyedaan jasa perlndungan ketka perusahaan pember kerja tdak lag memberkan pekerjaan borongan atau penyedaan jasa pekerja kepada suatu perusahaan outsourcing lama, dan memberkan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang dperntahkan untuk dkerjakan mash ada dan berlanjut, perusahaan penyeda jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan phak-phak yang berkepentngan, kecual perubahan untuk menngkatkan keuntungan bag pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya. Selanjutnya dsebutkan pula bahwa “…para pekerja outsourcing tdak dperlakukan sebaga pekerja baru.
Masa kerja yang telah dlalu pekerja outsourcing tersebut tetap danggap ada dan dperhtungkan, sehngga pekerja outsourcing dapat menkmat hak-hak (upah) sebaga pekerja secara layak dan proporsonal”. (vde Putusan MK Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011, hal.44 dan 45). Pertmbangan hukum datas menunjukkan bahwa prnsp pengalhan tndakan perlndungan (TUPE) merupakan jamnan kelangsungan hubungan kerja dan syarat-syarat kerja bag pekerja dengan penghargaan masa kerja serta penerapan ketentuan kesejahteraan yang sesua dengan pengalaman dan masa kerja yang dlalu oleh pekerja.8 Hakekat penerapan TUPE sebaga sebuah prnsp pengalhan tndakan perlndungan hak bag pekerja, prnsp n menekankan konsep bahwa jka bergant perusahaan outsourcing, masa kontrak pekerja (service year) tetap sebaga masa kerja yang dperhtungkan oleh perusahaan outsourcing baru dengan djamn kelangsungan bekerjanya dengan kompensas yang sama. Secara khusus klausula TUPE seharusnya mampu member keuntungankeuntungan secara terhadap pekerja. Terdapat dua jens transfer yang dlndung d bawah TUPE transfer bsns dan perubahan penyedaan jasa. Penerapan prnsp TUPE pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing menurut MK akan berkonsekuens hukum pada hal-hal melput:
8 7
Juanda Pangarbuan, “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK”, http://www.hukumonlne.com
Umar Kasm, “Penerapan Prnsp Pengalhan Perlndungan dalam PKWT Pasca Putusan MK” http://www.hukumonlne.com
799
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
a. b.
c.
d.
2.2
Mengena perlndungan upah, kesejahteraan dan syarat-syarat kerja. Pekerja harus tetap mendapatkan perlndungan atas hak-haknya sebaga pekerja dalam hal suatu perusahaan dambl alh oleh perusahaan lan (perusahaan dambl alh). Perlndungan bag pekerja dalam hal terjadnya pergantan perusahaan outsourcing yang baru untuk melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya. Pekerja outsourcing yang dberhentkan dengan alasan pergantan perusahaan pember jasa pekerja, dapat mengajukan gugatan berdasarkan hal tersebut kepada pengadlan hubungan ndustral sebaga sengketa hak.
Faktor Penghambat Penerapan Prinsip TUPE Dalam Pelaksanaan Outsourcing Berdasarkan PKWT MK dalam Putusan MK No.27/PUUIX/2011 secara khusus tetap melegalkan outsourcing dan beranggapan bahwa pelaksanaan pekerjaan melalu outsourcing bukanlah termasuk sebaga sebuah bentuk dar sstem perbudakan modern. Putusan MK hanya menerangkan konsttusonaltas dar pasal-pasal UU Ketenagakerjaaan yang mengatur dan berkatan dengan outsourcing tu sendr. Konsekuens hukum bag pemberlakuan outsourcing pasca Putusan MK adalah dsyaratkannya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan yang melaksanaan pekerjaan outsourcing dengan hubungan kerja PKWTT, atau dapat dlakukan dengan PKWT dengan syarat menerapkan prnsp pengalhan tndakan perlndungan bag pekerja/buruh (TUPE) yang bekerja yang bekerja pada perusahaan 800
yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Penegasan legaltas penerapan outsourcing pasca Putusan MK tentunya berpengaruh terhadap penngkatan ketertarkan pengusaha untuk menerapkan sstem n dalam suatu hubungan ndustral karena sstem n danggap memlk potens bsns sangat luas dan menjanjkan dmasa mendatang.9 Pengaturan penerapan Prnsp TUPE sebaga upaya perlndungan terhadap pekerja dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT mash menghadap beberapa kendala sebaga penghambat pelaksanaannya. Faktor-faktor penghambat n mengakbatkan pengaturan prnsp n belum dapat dberlakukan secara efektf untuk perlndungan pekerja outsourcing berdasarkan PKWT d Indonesa. Berdasarkan temuan peneltan d lapangan, pengaturan Prnsp TUPE sebaga upaya perlndungan hukum bag pekerja dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT mash belum terlaksana dengan bak. Data sekunder hasl peneltan lapangan d beberapa perusahaan outsourcing yang sesua dengan krtera menunjukkan bahwa mash terdapat beberapa faktor penghambat bak dar aspek pemerntah, aturan hukum, pengusaha dan pekerja yang berpengaruh secara langsung terhadap efektiitas pengaturan prnsp n dlapangan. Beberapa perusahaan outsourcing yang djadkan sampel dar peneltan n melput : Perusahaan outsourcing A, Perusahaan outsourcing B, Perusahaan outsourcing C dan Perusahaan outsourcing D. Keempat perusahaan yang dtelt merupakan perusahaan outsourcing yang menjalankan 9
Sehat Damank, Op.cit, hlm.20.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
usaha d Provns Daerah Istmewa Yogyakarta (DIY) dan merupakan hasl rekomendas dar phak Dnas Tenaga Kerja Provns (Dsnakertrans) DIY. Penentuan wlayah ddasarkan pertmbangan untuk mempersempt ruang lngkup peneltan dan dkarenakan permasalahan yang dtelt merupakan permasalahan pendukung yang sfatnya homogen dan umum sehngga berlaku d seluruh wlayah Indonesa. Dnakertrans DIY menyatakan bahwa belum terdapat pendataan khusus yang dlakukan Dsnakertrans terkat jumlah perusahaan outsourcing yang sudah atau belum melaksanakan prnsp TUPE dalam perjanjan kerja mereka. Faktor penghambat umum alah terkat konsep berpkr pengusaha outsourcing yang mash berpegangan bahwa resko pelaksanaan outsourcing tersebut alah berada dtangan perusahaan pengguna. Konds n menyebabkan perusahaan outsourcing tdak mau ambl pusng untuk memenuh segala krtera yang dsyaratkan sebaga sebuah perusahaan outsourcing. Celah hukum lan yang serngkal dmanfaatkan oleh perusahaan outsourcing alah terkat tdak snkronnya pengaturan syarat-syarat penyerahan sebagan pekerjaan terhadap perusahaan lan dengan semangat awal dar Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE Menakertrans RI No.04/MEN/ VIII/2013. Pengaturan yang salng tumpang tndh dengan UU Ketenagakerjaan dnla dapat djadkan peluang bag perusahaan outsourcing untuk melakukan pelanggaran. Ketentuan-ketentuan pengaturan yang rawan atau serngkal dmanfaatkan perusahaan outsourcing alah terkat kewenangan asosiasi sektor usaha, pengklasiikasian pekerjaan penunjang, tdak jelasnya
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
pengaturan mengena pesangon pasca pengakhran hubungan kerja, hngga tdak tegasnya sanks dnla akan melemahkan tingkat efektiitas dari penerapan prinsip ini dlapangan. Permasalahan sosalsas dpandang menjad menjad sult dlakukan tanpa ddukung snkronsas dan kejelasan pengaturan dlapangan. Kurangnya sumber daya manusa Dsnakertrans dbandngkan jumlah perusahaan outsourcing yang harus dawas juga dsnyalr menjad salah satu faktor penyebab lemahnya pengawasan oleh pemerntah. Dss lan peneltan yang dlakukan terhadap perusahaan dan pekerja outsourcing d lngkungan Provns DIY kemudan menunjukkan beberapa pandangan terkat permasalahan yang dhadap perusahaan dalam menykap kewajban pengaturan prnsp TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT. Berdasarkan hasl analsa yang dlakukan terhadap surat perjanjan kerja antara Perusahaan outsourcing A dengan pekerja yang bekerja pada perusahaan tersebut, serta wawancara langsung dengan pekerja yang bersangkutan ddapat fakta bahwa : a. Perjanjan kerja Perusahaan outsourcing A belum menerapkan prnsp TUPE sebaga prnsp pengalhan tndakan perlndungan hak pekerja. Konds n dapat dlhat dar s perjanjan yang menyatakan bahwa kontrak kerja akan berakhr apabla phak pengguna jasa pekerja tdak memperpanjang kontrak dengan Perusahaan outsourcing. b. Perjanjan kerja antara Perusahaan A dengan pekerja dapat dgolongkan 801
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
dalam bentuk perjanjan baku yang dtnjau dar snya lebh banyak menguntungkan perusahaan dan terdapat kerugan pada pekerja. c. Pada contoh perjanjan PKWT dsebutkan bahwa setap perjanjan PKWT hanya berlaku untuk 1 tahun masa kerja, dan kemudan dperpanjang secara berluang-ulang. Ketentuan tersebut menunjukkan pekerja pada Perusahaan outsourcing A berpotens untuk menjad pekerja dengan hubungan berdasarkan PKWT seumur hdupnya Data penguat berupa hasl wawancara terhadap responden menunjukkan bahwa meskpun pengaturan prnsp TUPE sebaga upaya perlndungan pekerja outsourcing berdasarkan PKWT merupakan salah satu prnsp yang bak untuk melndung pekerja namun dalam pelaksanaanya dlapangan prnsp n belum datur secara khusus dalam perjanjan kerja. Permasalahan yang serng dhadap alah perusahaan outsourcing lama tdak bsa masuk untuk kut melakukan ntervens terhadap kebjakan perusahaan outsourcing baru, sementara perusahaan outsourcing baru tdak berkenan menerma pekerja dar perusahaan outsourcing lama. Konds n menunjukkan bahwa pengaturan prnsp TUPE dalam suatu perjanjan kerja tdak secara otomats berlaku, melankan tetap memerlukan kesepakatan perusahaan outsourcing baru (pemenang tender baru).10 Sementara pada perusahaan outsourcing B dtemukan bahwa kesultan melaksanakan prnsp n adalah tdak lan dsebabkan oleh pengaturan terkat 10
802
Wawancara pada Perusahaan Outsourcng. A
pengakhran hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan yang akan berbenturan dengan penerapan prnsp TUPE sehngga berpotens merugkan phak pengusaha atau perusahaan.11 Ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabla salah satu phak mengakhr hubungan kerja sebelum berakhrnya jangka waktu yang dtetapkan dalam perjanjan kerja waktu tertentu, atau berakhrnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagamana dmaksud dalam Pasal 61 ayat (1), phak yang mengakhr hubungan kerja dwajbkan membayar gant rug kepada phak lannya sebesar upah pekerja sampa batas waktu berakhrnya jangka waktu perjanjan kerja. Konsekuens dar pengaturan n alah ketka pengambl alhan pekerja melalu prnsp TUPE dlaksanakan ketka perusahaan outsourcing lama dputus kontraknya oleh phak pengguna, maka perusahaan outsourcing lama yang pekerjanya dalhkan ke perusahaan outsourcing baru tentu tdak dapat melepaskan dr dar kewajban membayar pesangon atau gant rug kepada pekerja sebesar upah pekerja sampa batas waktu berakhrnya jangka waktu perjanjan kerja. Pengaturan mengena pengakhran hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan n kemudan secara tdak langsung dapat melemahkan semangat dar aplkas prnsp TUPE karena drasa akan sangat merugkan bag perusahaan outsourcing lama. Konds berbeda ddapat dar hasl peneltan terhadap Perusahaan outsourcing C dmana ddapat fakta bahwa mash terdapat kekurangan nformas khusus terkat 11
Wawancara pada Perusahaan Outsourcng B
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
pemberlakuan prnsp n dlapangan. Phak perusahaan mengaku belum mengetahu secara terkat pengaturan prnsp TUPE pasca Putusan MK No,27/PUU-IX/2011. Perusahaan hngga kn mash beranggapan bahwa penerapan prnsp TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT bukanlah sebuah keharusan.12 Hasl wawancara terakhr terhadap perusahaan outsourcing D menunjukkan fakta yang hampr mrp bahwa nformas terkat pengaturan prnsp TUPE sebaga upaya perlndungan hukum terhadap pekerja outsourcing berdasar PKWT pasca Putusan MK belum dketahu secara utuh oleh phak perusahaan.13 Dar ss pekerja, ddapat fakta bahwa sebagan besar pekerja belumlah memaham hak-hak mereka secara khusus sesua yang datur dalam peraturan perundang-undangan terkat. Masalah ketdakpahaman dan keengganan untuk menuntut hak-hak mereka mash menjad kendala utama yang dalam pekerja sehngga upaya untuk menngkatkan perlndungan hukum terhadap pekerja outsourcing sult untuk dapat terlaksana dengan maksmal. III. Penutup Keuntungan-keuntungan yang dapat dperoleh pekerja dengan pengaturan prnsp TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 dantaranya melput : Perlndungan atas upah, kesejahteraan dan syarat-syarat kerja, Perlndungan terhadap pekerja atas hak-haknya sebaga pekerja dalam hal suatu perusahaan dambl alh oleh 12 13
Wawancara pada Perusahaan Outsourcng C Wawancara pada Perusahaan Outsourcng D
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
perusahaan lan, Perlndungan bag pekerja dalam hal terjadnya pergantan perusahaan outsourcing yang baru untuk melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya serta pengaturan bahwa pekerja outsourcing yang dberhentkan dengan alasan pergantan perusahaan pember jasa pekerja, dapat mengajukan gugatan berdasarkan hal tu kepada pengadlan hubungan ndustral sebaga sengketa hak. Belum dterapkannya Prnsp TUPE oleh beberapa perusahaan outsourcing bukanlah sebuah perstwa yang berdr sendr tetap dsebabkan oleh beberapa faktor penghambat penerapannya yakn melput : Dar pemerntah (Dsnakertrans), belum ada upaya aktf dar Dsnakertrans untuk melakukan sosalsas dan pengawasan sehngga terdapat mash banyak perusahaan outsourcing yang belum melaksanakan prnsp TUPE dengan tetap memperkerjakan pekerja berdasarkan PKWT. Dar ketentuan hukum yang mengatur yakn : Putusan Mahkamah Konsttus No.27/ PUU-XI/2011, Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE Menakertrans RI No.04/ MEN/VIII/2013 mash menysakan berbaga celah hukum bag perusahaan-perusahaan outsourcing untuk melakukan pelanggaran dengan tdak menerapkan Prnsp TUPE. Dar pengusaha, meskpun secara inansial perusahaan-perusahaan outsourcing yang dtelt mengaku memlk kesapan dalam menerapkan prnsp TUPE, namun secara umum pemberlakuan prnsp TUPE danggap dapat menambah beban perusahaan. Pengusaha mengaku tdak mengert dan tdak mengetahu secara detal terkat pemberlakuan prnsp TUPE pasca Putusan MK. Serta dar pekerja, permasalahan terkat kurangnya nformas, ketdakpahaman dan 803
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 796 - 804
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
keengganan untuk menuntut hak-hak karena kedudukan pskologs pekerja yang danggap rendah mash menjad kendala utama yang dalam pekerja dalam memperjuangkan hak mereka. DAFTAR PUSTAKA A. Buku- Buku Gunarto Suhard, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Unverstas Atmaja, Jogjakarta. Rchardus Eko Indrajt, 2003, Proses Bisnis Outsourcing, Grasndo, Jakarta. Sehat Damank, 2006, Outsourcing dan Perjanjian Kerja, DSS Publshng, Jakarta. Surya Tjandra, 2007, Hukum Perburuhan, Desentralisasi, dan Rekontruksi Rezim Perburuhan Baru, TURC, Jakarta. Susetawan, 2000, Konlik Sosial, Kajian Sosiologis, Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. B. Artikel Data dar nternet : http://www.hukumonlne. com, Penerapan Prnsp Pengalhan Perlndungan dalam PKWT Pasca Putusan MK. Data dar nternet :http://www.hukumonlne. com, Legaltas Outsourcng Pasca Putusan MK. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesa Tahun 1945. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republk Indonesa Tahun 2003 Nomor 39. 804
Putusan Mahkamah Konsttus Nomor.27/ PUU-IX/2011. Peraturan Menter Tenaga Kerja Dan Transmgras Republk Indonesa Nomor: 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagan Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lan. Surat Edaran Menter Tenaga Kerja Dan Transmgras Republk Indonesa Nomor: S E . 0 4 / M E N / V I I I / 2 0 1 3 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menter Tenaga Kerja Dan Transmgras Republk Indonesa Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagan Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lan.
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 4, No. 4 : 805
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Artkel yang dbuat dalam jurnal n merupakan tulsan lmah dalam bentuk naras yang berupa artkel lmah hasl peneltan/tess/dsertas atau artkel lmah gagasan konseptual yang berkatan dengan Ilmu Hukum; 2. Naskah merupakan karya sendr (tdak plagat) dan belum pernah dpublkaskan d meda lan; 3. Sstematka penulsan naskah gagasan konseptual atau pemkran lmah melput : a. Judul, Nama Penuls, Instans, E-mal (jka ada), b. Abstrak, Kata Kunc (bahasa Inggrs untuk tulsan berbahasa Indonesa atau bahasa Indonesa untuk tulsan berbahasa Inggrs). Abstrak terdr dar 100-300 kata, dketk dengan spas tunggal. Kata kunc 3-5 kata, durutkan sesua dengan alphabet. c. Pendahuluan, d. Pembahasan (langsung dbuat menjad sub-sub judul sesua dengan persoalan yang dbahas), e. Penutup, f. Daftar Pustaka; 4. Sstematka penulsan naskah lmah hasl peneltan/tess/dsertas melput : a. Judul, Nama Penuls/Penelt, Instans, E-mal (jka ada), b. Abstrak, Kata Kunc (bahasa Inggrs untuk tulsan berbahasa Indonesa atau bahasa Indonesa untuk tulsan berbahasa Inggrs). Abstrak terdr dar 100-300 kata, dketk dengan spas tunggal. Kata kunc 3-5 kata, durutkan sesua dengan alphabet. Abstrak bers tentang : . pemadatan dar tujuan penulsan, . metode peneltan . hasl pembahasan c. Pendahuluan, bers : . Perumusan Masalah, . Tujuan peneltan d. Metode Peneltan, e. Hasl dan Pembahasan, f. Penutup (Smpulan dan Saran), g. Daftar Pustaka; 5. Naskah dketk dengan 1,5 spas, menggunakan kertas ukuran A4/ kuarto; 6. Huruf naskah (font) Times New Roman dengan ukuran 12; 7. Jumlah halaman naskah mnmal 10 dan maksmal 20 halaman; 8. Ukuran Margn kr dan atas : 3 cm, dan margn bawah serta kanan : 2 cm; 9. Naskah dtuls dengan menggunakan bahasa Indonesa dan bahasa Inggrs yang bak dan benar; 10. Sumber kutpan secara lengkap dcantumkan dengan menggunakan model footnote.
805
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana •
Desember 2015
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Vol. 4, No. 4 : 806
Tata cara penulsannya berupa : Nama pengarang (tidak dibalik dan tanpa gelar), tahun penerbtan, judul buku (dicetak miring), tempat penerbtan:penerbt, halaman kutpan (ditulis hlm.) Contoh untuk buku Teks: Affrllyana Purba,2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum ,Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Alumn, Bandung, hlm. 18 N Ketut Supast Dharmawan, 2011, Hak Kekayaan Intelektual dan Harmonisasi Hukum Global, Unverstas Dponegoro, Semarang, hlm. 115 Hector Mac Queen, Charlotte Waelde & Graeme Laure, 2008, Contemporary Intellectual Property Law and Policy, Oxford Unversty Press, New York, hlm. 88 Contoh untuk Jurnal: Kurnawan, Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK), Jurnal Dnamka Hukum, Vol. 12, No. 1 Tahun 2012, Eds Januar 2012, Fakultas Hukum Unverstas Jenderal Soedrman,Purwokerto, hlm. 162 Yousuf A Vawda, Achieving social justice in the human rights/intellectual property debate: Realizing the goal of access to medicines, Afrcan Human Rghts Law Journal, Vol. 13, No. 1, Eds 2013, Afrca, hlm. 57 Contoh untuk Web Site: Muhamad Samsudn, 3 Januar 2014, Aspek Legalitas Perusahaan, terseda d webste http:// samjeefphotography.wordpress.com/2014/01/03/aspek-legaltas-perusahaan, dakses tanggal 12 Januar 2014 Peter K. Yu, 2007, Reconceptualizing Intellectual Property Interests in a Human Rights Framework, terseda d Webste http://www.henonlne.org/HOL/Prnt?collecton=journals&handle=hen. journals/davlr40&d=1047 dakses tanggal 2 Pebruar 2014 11.
Kata asng / stlah asng / stlah daerah yang belum dadops menjad bahasa Indonesa dketk dengan dber huruf mrng / italic;
12.
Tap naskah wajb menggunakan pustaka prmer berupa artkel lmah yang telah dterbtkan d Jurnal Ilmah.
13.
Jumlah pustaka yang dgunakan mnmal 10 buah terbtan 10 tahun terahr, dengan 50 % dantaranya adalah pustaka prmer.
14.
Penuls wajb mencantumkan Bodata sngkat penuls yang bers : a.
nama lengkap dengan gelar,
b. alamat, c. pekerjaan dan alamat pekerjaan, d. no. telp / HP dan alamat e-mail ;
2.
806
Naskah dserahkan atau dkrmkan dalam bentuk hardcopy (print out) sebanyak 2 eksemplar dan softcopy (CD/Disket/Flashdisk). Untuk softcopy, ile naskah dtuls
Jurnal ISSN 2302-528X Magister Hukum Udayana • (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
3.
4. 5.
Desember 2015
Vol. 4, No. 4 : 807
dan dsmpan dalam Microsoft Word (MS Ofice 1997-2003) dengan bentuk ile RTF/ Doc. Naskah yang dmuat adalah naskah yang mengkut kadah dalam pedoman penulsan dan dnyatakan layak berdasarkan hasl penyuntngan dar penyuntng pelaksana dan penyuntng ahl; Naskah yang tdak dmuat akan dbertahukan. Naskah dalamatkan kepada : Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unverstas Udayana Gedung Pascasarjana Lanta I, Jl. PB. Sudrman Denpasar-Bal Telepon : +62 (361) 246 354 E-mal:mag
[email protected].d
807