Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Diterbitkan oleh: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal
PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dewan Penyunting: Ketua: Irwansyah Anggota: Abrar Saleng Muhammad Ashri M. Guntur Hamzah Abdul Razak Achmad Ruslan Aminuddin Ilmar Anshori Ilyas Slamet Sampurno Suwondo Mitra Bestari: Prof. Dr. Suparto Wijoyo (Universitas Airlangga, Surabaya) Prof. Dr. Arief Zudan Fakhrulloh (Universitas Borobudur, Jakarta) Dr. Zainul Daulay (Universitas Andalas, Padang) Dr. David Sondakh (Universitas Sam Ratulangi, Manado) Dr. Andi Irman Putra Sidin (Universitas Esa Unggul, Jakarta) Penyunting: M. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Pati; Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra; Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus. Staf: Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus. Desain Grafis & Layout: Ahsan Yunus Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang dimuat merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan pendapat redaksi dan/atau Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit setiap bulan September, Januari, dan Mei. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Ruang Dapur Jurnal Lt. 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar. Tel: +62811442470 +6281342439090 Fax: +62411-584686 E-mail:
[email protected]
ii
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal
PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
ISSN: 2087-2291 Volume 2 Nomor 3, Mei 2013 Halaman 333-496
Daftar Isi
Penerapan Double Track System dalam Pemidanaan Anak di Kabupaten Takalar Muhammad Deniardi, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar..........
333-352
Izin Persetujuan Bupati dalam Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Kepala Desa terhadap Stakeholder di Sulawesi Selatan Rudy Talanipa, M. Said Karim, Faisal Abdullah..............................
353-369
Independensi Penuntut Umum dalam Penyusunan Surat Tuntutan Rizal F, Slamet Sampurno Soewondo, Wiwie Heryani......................
371-390
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Hak Tersangka dalam Lembaga Praperadilan Takkas Marudut, Aswanto, Alma Manuputty....................................
391-418
Implementasi Kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan dalam Melakukan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Zainal Abidin, M. Said Karim, Slamet Sampurno Soewondo............
419-433
Wujud Tindak Pidana Korupsi dalam Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tenriawaru, M. Syukri Akub, Muhadar............................................
435-452
Fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Mudazzir Munsyir, Marthen Arie, Hamzah Halim............................
453-473
Fungsi Badan Lingkungan Hidup Daerah terhadap Pemberian Proper dalam Bidang Pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan Ghina Mangala Hadis Putri, M. Yunus Wahid, Irwansyah...............
575-496
Biodata Penulis Indeks Penulis (Author Index) Indeks Subjek (Subject Index) Ucapan Terima Kasih Persyaratan Penulisan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
iii
Dari Redaksi
Salam hormat, “Konsistensi”, kata yang tepat untuk mewakili penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 yang saat ini kembali hadir di hadapan para pembaca. Konsistensi untuk tak lelah dalam berkarya, keinginan untuk terus memperkaya khazanah keilmuan dengan isu-isu baru, serta tanggung jawab moral-intelektual kepada masyarakat luas, mendorong kami menyelesaikan Jurnal Penelitian Hukum sebagai edisi terakhir di tahun kedua ini. Pada edisi kali ini, secara khusus redaksi mengangkat tema seputar hukum pidana. Tidak berbeda dari edisi sebelumnya, pada edisi kali ini, Jurnal Penelitian Hukum memuat 8 (delapan) hasil penelitian dari beberapa Jaksa yang saat ini sedang menempuh pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan dari seorang mahasiswa Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Tidak lupa dalam kesempatan ini, kembali redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pakar yang telah meluangkan waktunya sebagai mitra bestari Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Mencapai tahun kedua penerbitan ini, tentu tidak terlepas dari peran serta para mitra bestari yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menelaah setiap naskah pada volume sebelumnya. Begitu pula kepada seluruh pihak yang selama ini mendukung, baik dalam penyusunan hingga pada penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 ini. Juga, redaksi mengucapkan terima kasih kepada para peneliti yang tulisannya dimuat dalam terbitan ini. “Intelektual, adalah mereka yang berpikir dengan tangannya”, kalimat yang pernah diucapkan oleh begawan hukum Prof.Satjipto Rahardjo (alm) ini kiranya pas ditujukan bagi peneliti yang berpartisipasi menulis dalam jurnal ini. Akhir kata, semoga kehadiran jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Untuk itu, demi perbaikan di edisiedisi berikutnya, masukan serta kritik yang membangun dari semua pihak senantiasa kami harapkan. Selamat membaca. Redaksi iv
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PEMIDANAAN ANAK
Muhammad Deniardi, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PEMIDANAAN ANAK Oleh: Muhammad Deniardi1*, M. Syukri Akub2, Syamsuddin Muchtar2 Kejaksaan Negeri Makassar Jl. Amanna Gappa No. 29, 90111, Makassar 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] 1
Abstract This study aims to determine and analyze the application of the judge in double track system based on Act Number 3 Year 1997 concerning Juvenile Court, because to juvenile delinquency based on the act have choice to apply punishment or treatment when those choice have same positions on judikative policy. This is legal research, the type of research is an empiric research focused on the research apply, with support from the results of interviews from various sources related to this research. Research sites in the Gowa Regency and Pare-Pare City. The result shows that this type of punishment is still use as a sanction ”primadonna” by judge on juvenile court. Vonis by judge about sanction to a childrens and how long the sanction based on many more the reason such as savevity of punishment, condition of the child, parent agreement/condition of the parent, case study, requisitoir and condition of the society/justice in society. Keywords: Double Track System, Juvenile Court Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana kecenderungan Hakim menerapkan double track system yang dianut oleh UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengingat terhadap anak pelaku tindak pidana berdasarkan undang-undang tersebut terdapat pilihan sanksi yaitu pidana atau tindakan yang menempatkan kedua sanksi tersebut pada posisi sejajar dalam kebijakan yudikatif. Penelitian ini merupakan penelitian hukum, yang tipe penelitiannya merupakan penelitian empiris, menitikberatkan pada penelitian lapangan yang didukung data dan hasil wawancara dengan informan yang berhubungan dengan penelitian ini. Lokasi penelitian di Kabupaten Gowa dan Kota Pare-Pare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis sanksi pidana masih merupakan primadona bagi Hakim dalam penerapannya artinya Hakim lebih banyak memilih sanksi pidana dalam menjatuhkan putusannya di pengadilan anak. Putusan hakim mengenai sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak baik berupa jenis sanksi dan lamanya sanksi didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu berat ringannya tindak pidana, keadaan anak, pernyataan orang tua/keadaan orang tua, hasil penelitian kemasyarakatan, tuntutan penuntut umum dan keadaan masyarakat/ rasa keadilan masyarakat. Kata Kunci: Double Track System, Pengadilan Anak
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Pembaruan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana. Makna dan hakikat dari pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan berbagai aspek kebijakan, berupa kebijakan sosial, kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek, serta kebijakan yang melatar belakanginya, yaitu aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural. Salah satu tuntutan yang paling mendasar gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia yang berujung runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998 adalah terjadinya amendemen UUD NRI 1945. Terjadinya reformasi itu sendiri ditujukan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih demokratis, berkeadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dengan menempatkan hukum sebagai pemegang peran utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Mahfud MD,1 politik hukum adalah legal policy (sebagai kebijakan resmi negara) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dan hal-hal lain yang terkait dengan itu untuk mencapai tujuan negara. Senada dengan Padmo Wahyono yang mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Bahkan pada tulisan lainnya ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum. Dengan demikian, politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum (legal policy) lembagalembaga negara, dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, khususnya dalam wacana pembaharuan hukum pidana terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Menurut Muladi,2 hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan pelaku, stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata-tertib yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. Salah satu undang-undang yang menganut hal ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 3 1 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 3. 2 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 151.
336
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Januari 1997 dan pemberlakuannya satu tahun setelah diundangkan. Di dalam ketentuan undang-undang ini, terutama Bab III sangat jelas mengatur secara ekspilisit tentang sanksi pidana dan sanksi tindakan yang dapat diterapkan bagi terdakwa anak. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya undang-undang ini, pedoman penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran yang sangat strategis untuk melanjutkan kemajuan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Untuk itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, demi perbaikan fisik, mental maupun kehidupan sosialnya. Pengembangan potensi anak merupakan hal yang sangat strategis karena masa depan suatu bangsa tergantung pada kemampuan anak-anak di masa mendatang untuk membangun, mengelola dan memanfaatkan negeri yang dicintainya bersama. Mereka juga perlu dilindungi agar kesejahteraan mereka dapat terwujud, disamping itu anak harus memperoleh jaminan mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children), serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Dengan demikian, masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Perhatian kepada anak dalam masyarakat internasional memang tidak sedikit dan dapat dilihat dari ditetapkannya sejumlah instrument internasional yang berkenaan dengan anak. Secara khusus, perhatian dunia terhadap perlindungan anak memang telah dimulai sejak munculnya Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak pada tahun 1924. Deklarasi itu telah diakui pula dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) tahun 1948. Berawal dari peristiwa tersebut, dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 20 Nopember 1959 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi Hak-hak Anak (Declaration of the Right of the Child) yang memuat sepuluh prinsip Hak-hak Anak. Adanya Deklarasi Hak-hak Anak ditindak lanjuti dengan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang termuat dalam Resolusi PBB No. 40/25 tanggal 20 Nopember 1989. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi anak, Konvensi Perlindungan Anak, menyatakan secara tegas jaminan-jaminan hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap anak pelaku tindak pidana. Dalam Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
337
Pasal 37 Convention on the Right of the Child dikatakan bahwa seorang anak tidak boleh mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Perampasan kemerdekaan, penangkapan dan penahanan, termasuk dalam menjatuhkan hukuman merupakan upaya terakhir. Secara psikologis, “anak” bukan “orang dewasa dalam ukuran mini”, melainkan “anak” merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap perkembangan kapasitas, yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam keadaan konkret, misalnya gangguan tumbuh dan berkembang anak yang terpenjara akibat putusan pidana, maka terjadilah kerugian konstitusional anak untuk kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak, walaupun sah menurut hukum formil. Banyak kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, salah satu yang mungkin cukup menarik perhatian masyarakat luas adalah “kasus sandal jepit” yang terjadi di Palu pada awal tahun 2012 silam. Dimana AAL yang saat itu masih berusia 15 tahun digiring ke pengadilan karena mencuri sandal jepit, sehingga mengundang rasa simpati masyarakat yang beramai-ramai mengumpulkan sandal sebagai bentuk dukungan kepadanya. Dan pada akhirnya. hakim menyatakan ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dan dijatuhi hukuman berupa dikembalikan kepada orang tuanya. Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas maka peneliti merasa sangat tertarik untuk mengkaji dalam penelitian ini mengenai penerapan double track system dalam undang-undang peradilan anak. Hal ini tentunya akan sangat berhubungan erat dengan penegak hukum khususnya Hakim sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. RUMUSAN MASALAH Bertolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan masalah yakni, bagaimanakah kecenderungan Hakim menerapkan double track system yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tetang Pengadilan Anak? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yaitu Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan dengan sasaran Pengadilan Negeri Sungguminasa dan Kota Pare-Pare Propinsi Sulawesi Selatan dengan sasaran Pengadilan Negeri Pare-Pare. Pengadilan Negeri Sungguminasa dan Pengadilan Negeri Pare-Pare dari segi kuantitas penanganan perkara cukup banyak yang ditangani, terutama penanganan perkara pidana. 338
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jenis dan Sumber Data Berdasarkan objek penelitian yang berfokus pada penerapan prinsip double track system dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. a. Data primer, yakni data empirik yang sumbernya diperoleh secara langsung di lapangan atau di lokasi penelitian. Data diperoleh dari responden dan informan yang berkaitan dengan penelitian yang ada di Kabupaten Gowa dan Kota Pare-Pare, yaitu hakim pada Pengadilan Negeri Sungguminasa dan hakim pada Pengadilan Negeri Pare-Pare. Penelitian lapangan dalam penelitian ini diarahkan pada penelitian data yang sifatnya mendukung data sekunder. b. Data sekunder, yakni data yang diperoleh dan bersumber dari kajian-kajian kepustakaan berupa literatur, karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundangundangan, majalah, surat kabar, referensi-referensi hukum pidana, putusan-putusan pengadilan, dokumentasi dari instansi terkait, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data melalui teknik dan instrumen sebagai berikut: 1. Data primer, dilakukan dengan menggunakan teknik dan instrumen sebagai berikut: a. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab yang dilakukan secara langsung kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang bersifat terbuka, dalam arti bahwa peneliti bebas dalam mengembangkan pertanyaan selain dari yang telah disiapkan/disusun, apabila memang dianggap perlu. Responden pun mempunyai kebebasan untuk memberi jawaban dan mengeluarkan pendapatnya. b. Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan sejumlah daftar pertanyaan yang nantinya akan diisi dan dijawab secara tertulis oleh responden. Daftar pertanyaan dibuat secara berstruktur dalam bentuk pertanyaan terbuka, tertutup, atau kombinasi. Kuesioner bentuk tertutup merupakan pertanyaan yang jawabannya telah dipersiapkan terlebih dahulu. Sedangkan kuesioner dalam bentuk terbuka, merupakan pertanyaan yang jawabannya belum tersedia tetapi memberikan kesempatan kepada responden untuk memiliki jawaban sendiri. c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang diambil dari instansi yang terkait Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
339
dengan permasalahan penelitian. Dokumen tersebut bersifat sebagai bahan kajian yang relevan dengan penelitian. 2. Data sekunder, diperoleh dengan cara menelaah secara kritis referensi-referensi di bidang hukum yang menyangkut masalah pidana dan pemidanaan bagi anak, mengadakan polarisasi dan kategorisasi dari dokumen yang diperoleh dari instansi pengadilan, serta menganalisis kasus-kasus yang pernah diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pada Pengadilan Negeri Sungguminasa. Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif, oleh karenanya analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif sifatnya berupa menganalisis secara kualitatif dokumendokumen dan peraturan perundang-perundangan, menganalisis penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan bagi terdakwa anak, dan menganalisis secara kualitatif kasus-kasus yang sudah diputuskan pada Pengadilan Negeri Sungguminasa dan Pengadilan Negeri Pare-Pare. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Double Track System dalam Pemidanaan Berdasarkan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Membicarakan mengenai implementasi double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah barang tentu kita berbicara dalam lingkup sistem penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah penegakan hukum pidana, khususnya penegakan stelsel sanksi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang pada intinya menempatkan kedua sanksi tersebut pada posisi sejajar dalam kebijakan yudikatif. Pengadilan sebagai salah satu lembaga penegakan hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapinya. Sebagai salah satu bagian dari sub sistem penegakan hukum, maka hakim pada pengadilan diharapkan senantiasa dapat menjatuhkan putusan dari berbagai persoalan hukum, melalui putusannya yang mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pengadilan merupakan tempat terakhir dilaksanakannya proses penanganan perkara dan di pengadilanlah diputuskan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dan konsekuensinya. Apabila terdakwa diputus bersalah, maka konsekuensi yang timbul antara 340
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
lain adanya pidana bagi terdakwa, adanya perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan terdakwa ataupun adanya perbuatan atau tindakan yang tidak boleh dilakukan terdakwa. Proses penegakan hukum pidana khususnya penegakan stelsel sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bermuara pada Putusan Hakim. Penerapan Double Track System oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan penulis di Pengadilan Negeri Sungguminasa, maka diperoleh kesimpulan bahwa prinsip double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum berjalan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan data berikut ini: Tabel 1.
Persentase Jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak pada Pengadilan Negeri Sungguminasa tahun 2010-2012
Jumlah (f) Jumlah (N) Persentase
P 19 19 95%
2010
20
T 1 1
5%
P 30 30
2011
100%
30
T 0%
P 18 18 69,23%
2012
26
T 8 8
30,77%
Keterangan : P = sanksi pidana T = sanksi tindakan
Sumber data: Pengadilan Negeri Sungguminasa Pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa pada tahun 2010 persentase putusan hakim yang menerapkan sanksi pidana adalah sebesar 95 persen dari 20 jumlah kasus yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa dan 5 persen untuk sanksi tindakan. Selanjutnya untuk tahun 2011, dari 30 kasus yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa seluruhnya 100 persen diterapkan sanksi pidana. Sedangkan untuk tahun 2012 persentase putusan hakim yang menerapkan sanksi pidana adalah sebesar 69,23 persen dari 26 jumlah kasus yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa dan 30,77 persen untuk sanksi tindakan. Berdasarkan data pada Tabel 1, tergambar dengan jelas bahwa persentase jenis sanksi yang diterapkan kepada terdakwa anak oleh hakim pada Pengadilan Negeri Sungguminasa untuk tahun 2010-2012 tetap lebih mengutamakan sanksi pidana dibanding sanksi tindakan. Sehubungan dengan kenyataan dari data yang penulis peroleh, dan untuk memperoleh kesesuaian dengan pemahaman hakim anak. Maka dengan itu penulis Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
341
mengedarkan kuesioner kepada 5 orang responden yang kesemuanya adalah hakim anak guna menemukan korelasi dari data pada Tabel 1. Berikut data yang akan memberikan gambaran tentang bagaimana pemahaman responden tentang Prinsip double track system dalam pemidanaan menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Tabel 2). Tabel 2.
Pengetahuan responden (hakim anak) tentang prinsip double track system dalam pemidanaan menurut UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
No. 1 2
Kategori Tahu Tidak Jumlah
F 5 0 5
P (%) 100 0 100
Sumber data: Pengadilan Negeri Sungguminasa Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa, dari 5 responden yang diberikan kuesioner ternyata keseluruhannya atau 100 persen responden mengatakan mengetahui tentang prinsip double track system khususnya di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Selanjutnya, pada Tabel 3, 4 dan 5, akan memperlihatkan lebih rinci mengenai jenis kejahatan serta jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak. Tabel 3. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN Sungguminasa tahun 2010 Umur 17 th 17 th 16 th 17 th 17 th 17 th 17 th 16 th 14 th 16 th 16 th 14 th 16 th 14 th 14 th 16 th 14 th 17 th 17 th 17 th
Putusan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan MP 6 bulan Penjara 2 bulan MP 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan 20 hari Penjara 4 bulan Penjara 7 bulan Penjara 3 bulan MP 6 bulan Penjara 2 bulan 20 hari Penjara 2 bulan 20 hari Penjara 3 tahun Penjara 6 bulan Penjara 4 bulan Dikembalikan kepada Ortu Penjara 4 bulan Penjara 5 bulan Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan
Jenis Kejahatan Pencurian Penyalahgunaan psikotropika Kekerasan thd orang/barang Pencurian Kekerasan terhadap anak pencurian Pencurian Penyalahgunaan narkotika Kealpaan menyebabkan mati Pencurian Pencurian Percabulan/perkosaan anak Pencurian Pencurian Kekerasan terhadap anak Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian
Sumber data: Pengadilan Negeri Sungguminasa. 342
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 20 kasus yang di selesaikan pada Pengadilan Negeri Sungguminasa tahun 2010 jenis sanksi yang diterapkan adalah sanksi pidana berupa penjara sebanyak 19 kasus, sanksi tindakan 1 kasus. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2010 jenis kejahatan pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang paling sering dilakukan yakni sebanyak 13 kasus, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika 2 kasus, kekerasan terhadap anak 2 kasus, kekerasan terhadap orang/barang 1 kasus, kealpaan menyebabkan kematian 1 kasus dan percabulan/pemerkosaan anak 1 kasus. Tabel 4.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN Sungguminasa tahun 2011
No.
Umur
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
17 th 14 th 15 th 16 th 15 th 17 th 17 th 16 th 16 th 17 th 16 th 15 th 16 th 11 th 17 th 15 th 17 th 14 th 17 th 16 th 17 th 17 th 14 th 17 th 16 th 17 th 15 th 13 th 16 th 16 th
Putusan Penjara 7 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 3 bulan Penjara 2 bulan MP 4 bulan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan MP 6 bulan Penjara 4 bulan Penjara 1 tahun Penjara 6 bulan Penjara 1 bulan 21 hari Penjara 1 bulan 21 hari Penjara 1 bulan 17 hari Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 4 bulan MP 10 bulan Penjara 3 bulan MP 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 1 bulan 15 hari Penjara 1 bulan 15 hari Penjara 25 hari Penjara 1 bulan 11 hari Penjara 3 bulan Penjara 1 bulan 10 hari Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 3 bulan Penjara 1 bulan MP 2 bulan Penjara 1 bulan MP 2 bulan Penjara 1 bulan MP 2 bulan Penjara 1 bulan MP 2 bulan
Jenis Kejahatan Pencurian Pencurian Pencurian Perjudian Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Pengrusakan Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Kealpaan menyebabkan mati Pencurian Kekerasan thd orang/barang kekerasan thd orang/barang Penganiayaan Pencurian Pencurian Penganiayaan Penyalahgunaan narkotika Penganiayaan Percabulan/perkosaan anak Percabulan/perkosaan anak Percabulan/perkosaan anak Percabulan/perkosaan anak
Sumber data: Pengadilan Negeri Sungguminasa Pada Tabel 4 di atas memperlihatkan bahwa pada tahun 2011, hakim anak pada Pengadilan Negeri Sungguminasa sama sekali tidak menerapkan prinsip double track system. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2011 jenis Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
343
kejahatan pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang paling sering dilakukan yakni sebanyak 14 kasus, kealpaan menyebabkan kematian 4 kasus, percabulan/pemerkosaan anak 4 kasus, penganiayaan 3 kasus, kekerasan terhadap orang/barang 2 kasus, perjudian 1 kasus, pengrusakan 1 kasus dan penyalahgunaan narkotika/ psikotropika 1 kasus. Dalam Tabel 4 di atas terlihat fakta yang sangat menarik, dimana pada satu kasus yang dilakukan oleh anak berumur 11 tahun yang diputus pada 12 Mei 2011 terjadi kekeliruan menerapkan hukum oleh Hakim yang tetap memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 bulan 17 hari. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PUUVIII/2010 tanggal 2 Pebruari 2011 yang menyatakan bahwa terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 khususnya Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) yang merumuskan batasan usia anak nakal adalah setelah mencapai 8 tahun dinyatakan tidak mempunyai hukuman mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali dimaknai 12 tahun. Tabel 5.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN Sungguminasa tahun 2012
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Umur 13 th 17 th 15 th 16 th 13 th 16 th 17 th 17 th 13 th 17 th 16 th 17 th 15 th 16 th 16 th 14 th 17 th 15 th 16 th 17 th 15 th 16 th 15 th 17 th
25. 26.
15 th 16 th
Putusan Diserahkan kpd Panti Sosial Diserahkan kpd Panti Sosial Diserahkan kpd Panti Sosial Penjara 4 bulan Dikembalikan kpd Ortu Penjara 2 bulan Penjara 1 bulan Penjara 1 tahun Dikembalikan kpd Ortu Penjara 5 bulan Penjara 2 tahun 6 bulan Penjara 7 bulan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan Diserahkan kpd Panti Sosial Diserahkan kpd Panti Sosial Penjara 25 hari Penjara 1 bulan MP 3 bulan Penjara 7 bulan Penjara 7 bulan Penjara 9 bulan Penjara 6 bulan Penjara 4 tahun + Denda 300 jt sub 1 bln kurungan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan
Sumber data: Pengadilan Negeri Sungguminasa.
344
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jenis Kejahatan Percabulan/perkosaan anak Pencurian Perjudian Kekerasan terhadap anak Percabulan/perkosaan anak Pencurian Penganiayaan Pencurian Kekerasan thd orang/barang Pencurian Kekerasan terhadap anak Melarikan perempuan Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Penyalahgunaan narkotika Pencurian Penganiayaan Pencurian Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Kealpaan menyebabkan mati Percabulan/perkosaan anak Pencurian Pencurian
Pada Tabel 5 di atas memperlihatkan bahwa pada tahun 2012, hakim anak pada Pengadilan Negeri Sungguminasa mulai menerapkan prinsip double track system. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2011 jenis kejahatan pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang paling sering dilakukan yakni sebanyak 13 kasus, percabulan/pemerkosaan anak 3 kasus, kekerasan terhadap anak 2 kasus, kealpaan menyebabkan kematian 2 kasus, penganiayaan 2 kasus, kekerasan terhadap orang/barang 1 kasus, perjudian 1 kasus, melarikan perempuan 1 kasus dan penyalahgunaan narkotika/ psikotropika 1 kasus. Berdasarkan Tabel 5 tersebut menggambarkan bahwa pada tahun 2012 hakim pada Pengadilan Negeri Sungguminasa mulai menerapkan prinsip double track system, namun pada satu kasus yang dilakukan oleh anak berumur 17 tahun terjadi kekeliruan menerapkan hukum oleh Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) yang apabila denda tersebut tidak mampu dibayar diganti dengan kurungan pengganti denda selama 1 bulan. Hal ini adalah keliru dan bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang menyatakan: Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Menurut Yoga Dwi Ariastomo Nugroho,3 hakim yang juga menjabat Humas pada Pengadilan Negeri Sungguminasa, menanggapi data yang penulis peroleh beliau menyatakan bahwa penerapan sanksi pidana lebih banyak diterapkan di perkara anak karena ada beberapa hal. Pertama, di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak memberikan batasan atau standar kepada hakim untuk menentukan apakah seorang terdakwa anak mesti dijatuhi sanksi pidana atau tindakan, sehingga pada akhirnya pertimbangan hakim anak dalam menentukan jenis sanksi yang dijatuhkan dilihat dari beberapa pertimbangan yang ada. Kedua, penerapan sanksi tindakan sulit untuk diterapkan karena kurangnya sarana dan prasarana mengenai tempat pelaksanaan sanksi tindakan. Ketiga, sifat penjeraan oleh sanksi pidana lebih besar dari pada sanksi tindakan. Ketika ditanya mengenai adanya satu kasus anak yang belum mencapai umur 12 belas tahun yang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/ PUU-VIII/2010 tanggal 2 Pebruari 2011 batasan usia anak nakal adalah setelah mencapai 8 tahun dinyatakan tidak mempunyai hukuman mengikat secara bersyarat (conditionally 3 Wawancara tanggal 5 April 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 345
unconstitutional) kecuali dimaknai 12 tahun. Demikian pula dengan satu kasus anak yang dijatuhi dengan kurungan pengganti denda selama 1 bulan. Dari keseluruhan data yang penulis paparkan mulai Tabel 1-5 dan hasil wawancara dengan responden memperlihatkan korelasi yang sangat signifikan, karena sebenarnya hakim anak memahami akan prinsip double track system dalam pemidanaan menurut UU Pengadilan Anak. Dengan demikian, mereka lebih cenderung menerapkan sanksi pada stelsel sanksi yang ada pada KUHP. Hal ini pun menunjukkan bahwa implementasi double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum berjalan maksimal di institusi Pengadilan Negeri Sungguminasa, walaupun pada data tahun 2012 sudah mulai banyak terdakwa anak yang dijatuhi sanksi berupa tindakan. Penerapan double track system oleh Pengadilan Negeri Pare-Pare Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan penulis di Pengadilan Negeri ParePare, maka diperoleh kesimpulan bahwa prinsip double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berjalan sama sekali. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan data berikut ini: Tabel 6.
Persentase jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak pada Pengadilan Negeri Pare-Pare tahun 2010-2012 2010 2011 2012 P T P T P T 30 27 28 Jumlah (f) 30 27 28 Jumlah (N) 30 27 28 Persentase 100% 0% 100% 0% 100% 0% Keterangan : P = Sanksi Pidana T = Sanksi Tindakan
Sumber data: Pengadilan Negeri Pare-Pare
Pada Tabel 6 terlihat bahwa pada tahun 2010-2012 persentase putusan hakim yang menerapkan sanksi pidana adalah sebesar 100 persen dari 85 jumlah kasus yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Pare-Pare. Sehubungan dengan kenyataan dari data mengejutkan yang penulis peroleh, dan untuk memperoleh kesesuaian dengan pemahaman hakim anak. Maka dengan itu penulis mengedarkan kuesioner kepada 5 orang responden yang kesemuanya adalah hakim anak guna menemukan korelasi dari data pada Tabel 6. Berikut ini Tabel yang akan memberikan gambaran tentang bagaimana pemahaman responden tentang Prinsip Double Track System dalam Pemidanaan Menurut Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 346
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Tabel 7.
Pengetahuan responden (hakim anak) tentang prinsip double track system dalam pemidanaan menurut UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
No. 1 2
Kategori Tahu Tidak Jumlah
F 5 0 5
P (%) 100 0 100
Sumber data: Pengadilan Negeri Pare-Pare Tabel 7 di atas memperlihatkan bahwa, dari 5 responden, ternyata keseluruhannya atau 100 persen responden mengatakan mereka sebenarnya mengetahui tentang prinsip double track system, khususnya terhadap UU Pengadilan Anak. Pada Tabel 8, 9 dan 10 berikut ini akan memperlihatkan lebih rinci mengenai jenis kejahatan serta jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak. Tabel 8.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN ParePare tahun 2010
No.
Umur
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
14 th 15 th 16 th 13 th 15 th 17 th 17 th 15 th 17 th 13 th 15 th 16 th 16 th 16 th 15 th 17 th 17 th 16 th 17 th 13 th 17 th 16 th 16 th 14 th 15 th 17 th 16 th 15 th 16 th 16 th
Putusan Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 4 bulan 15 hari Penjara 4 bulan 15 hari Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 2 bulan MP 4 bulan Penjara 5 bulan Penjara 5 bulan Penjara 10 bulan Penjara 10 bulan Penjara 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 4 bulan Penjara 4 bulan Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 6 bulan Penjara 4 bulan Penjara 3 bulan Penjara 2 bulan Penjara 3 bulan Penjara 9 bulan Penjara 7 bulan Penjara 3 bln MP 6 bulan Penjara 4 bln MP 8 bulan Penjara 3 bulan Penjara 4 bulan
Jenis Kejahatan Penadahan Penadahan Pencurian Pencurian Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Kekerasan thd orang/barang Kekerasan thd orang/barang Pencurian Pencurian Kekerasan thd orang/barang Kekerasan thd orang/barang Kekerasan thd orang/barang Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Penyalahgunaan narkotika Kekerasan terhadap anak Membawa/memiliki sajam Pencurian Pencurian Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Kealpaan menyebabkan mati Pencurian Pencurian
Sumber data: Pengadilan Negeri Pare-Pare. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
347
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 30 kasus yang di selesaikan pada Pengadilan Negeri Pare-Pare tahun 2010 jenis sanksi yang diterapkan adalah 100 persen sanksi pidana berupa penjara. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2010 jenis kejahatan pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang paling sering dilakukan yakni sebanyak 17 kasus, kekerasan terhadap orang/barang 5 kasus, kealpaan menyebabkan kematian 3 kasus dan penadahan 2 kasus, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika 1 kasus, kekerasan terhadap anak 1 kasus dan membawa/memiliki senjata tajam 1 kasus. Tabel 9. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN ParePare tahun 2011 Umur 18 th 18 th 14 th 15 th 17 th 17 th 16 th 15 th 14 th 14 th 16 th 17 th 15 th 17 th 15 th 15 th 17 th 14 th 13 th 13 th 12 th 13 th 14 th 12 th 17 th 16 th 15 th
Putusan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan Denda 2 jt sub 15 hari kurungan Penjara 4 bulan Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan Penjara 1 bulan 15 hari Penjara 5 bulan Penjara 5 bulan Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 3 bulan Penjara 3 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 4 bln Penjara 4 bln Penjara 4 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Denda 100rb sub 3 hr kurungan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 4 bulan
Jenis Kejahatan Kekerasan thd orang/barang Kekerasan thd orang/barang Kekerasan terhadap anak Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Kekerasan terhadap anak Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak Pencurian Pencurian Pencurian
Sumber data: Pengadilan Negeri Pare-Pare. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 27 kasus yang di selesaikan pada Pengadilan Negeri Pare-Pare tahun 2011 jenis sanksi yang diterapkan adalah 100 persen sanksi pidana berupa penjara untuk 25 kasus dan pidana denda untuk 2 kasus. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2011 ada 3 jenis kejahatan berupa pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang masih tetap menjadi kejahatan yang paling sering 348 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
dilakukan yakni sebanyak 16 kasus, kekerasan terhadap anak terjadi peningkatan pada tahun ini yaitu sebanyak 9 kasus dan kekerasan terhadap orang/barang 2 kasus. Dalam Tabel 9 di atas terlihat fakta yang sangat menarik, yaitu ada 2 kasus yang terjadi kekeliruan menerapkan hukum oleh hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang masing-masing menjatuhkan pidana denda sebesar 2.000.000,(dua juta rupiah) yang apabila denda tersebut tidak mampu dibayar diganti dengan kurungan pengganti denda selama 15 hari dan pidana denda sebesar 100.000,- (seratus ribu rupiah) yang apabila denda tersebut tidak mampu dibayar diganti dengan kurungan pengganti denda selama 3 hari. Hal ini adalah keliru dan bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tabel 10.
Jenis kejahatan dan jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak oleh PN Pare-Pare tahun 2012
No.
Umur
Putusan
Jenis Kejahatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
17 th 16 th 17 th 16 th 16 th 17 th 16 th
Penganiayaan Pencurian Kekerasan thd anak Pencurian Kealpaan menyebabkan mati Kealpaan menyebabkan mati Percabulan/perkosaan anak
8. 9.
15 th 17 th
10. 11. 12.
16 th 17 th 15 th
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
16 th 16 th 16 th 15 th 14 th 15 th 16 th 17 th 17 th 17 th 17 th 17 th 17 th 15 th 17 th 13 th
Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 2 bulan 15 hari Penjara 7 bulan Penjara 3 bulan MP 10 bulan Penjara 3 bulan MP 10 bulan Penjara 3 tahun + Denda 30 jt sub 1 bulan kurungan Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 2 thn 8 bln + Denda 30 jt sub 2 bulan kurungan Penjara 3 bulan 15 hari Penjara 2 bulan 10 hari Penjara 1 thn 10 bln + Denda 400 jt sub 1 bulan kurungan Penjara 3 bln 15 hari Penjara 4 bulan Penjara 2 bulan 20 hari Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan Penjara 2 bulan 20 hari Penjara 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 6 bulan Penjara 4 bulan Penjara 5 bulan Penjara 5 bulan Penjara 1 bulan Penjara 6 bulan Penjara 2 bulan 10 hari Penjara 3 bulan
Pencurian Kekerasan thd anak Pencurian Pencurian Penyalahgunaan narkotika Pencurian Pencurian Kekerasan thd orang/barang Kekerasan thd anak Kekerasan thd anak Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Pencurian Kekerasan thd anak Kealpaan menyebabkan mati Penganiayaan Penganiayaan
Sumber data : Pengadilan Negeri Pare-Pare. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
349
Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 28 kasus yang di selesaikan pada Pengadilan Negeri Pare-Pare tahun 2012 jenis sanksi pidana masih tetap menjadi primadona yang diterapkan yaitu 100 persen yang terbagi atas pidana penjara saja untuk 26 kasus dan pidana penjara beserta denda untuk 2 kasus. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk tahun 2012 berupa pencurian (biasa, pemberatan, kekerasan) yang masih tetap menjadi kejahatan yang paling sering dilakukan yakni sebanyak 14 kasus, kekerasan terhadap anak 5 kasus, penganiayaan 3 kasus, kealpaan mengakibatkan mati 3 kasus, percabulan/perkosaan anak 1 kasus, penyalahgunaan narkotika/psikotropika 1 kasus dan kekerasan terhadap orang/barang 1 kasus. Tabel 9 di atas terlihat fakta yang sangat menarik, yaitu ada 3 kasus yang kembali terjadi kekeliruan menerapkan hukum oleh hakim yang memutus perkara yang masingmasing menjatuhkan pidana penjara beserta pidana denda dalam jumlah tertentu yang apabila denda tersebut tidak mampu dibayar diganti dengan kurungan. Menurut Khusnul Khatimah,4 salah seorang hakim senior pada Pengadilan Negeri Pare-Pare, menanggapi data yang penulis peroleh beliau menyatakan bahwa penerapan sanksi pidana lebih popular diterapkan di perkara anak karena beberapa alasan yang penulis anggap sama dengan alasan yang diberikan oleh responden di Pengadilan Negeri Sungguminasa. Pertama, di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak memberikan batasan atau standar kepada hakim untuk menentukan apakah seorang terdakwa anak mesti dijatuhi sanksi pidana atau tindakan, sehingga pada akhirnya pertimbangan hakim anak dalam menentukan jenis sanksi yang dijatuhkan berdasarkan beberapa pertimbangan. Kedua, penerapan sanksi tindakan sulit untuk diterapkan karena kurangnya sarana dan prasarana mengenai tempat pelaksanaan sanksi tindakan. Ketiga, sifat penjeraan oleh sanksi pidana lebih besar dari pada sanksi tindakan. Selanjutnya ketika penulis mewawancarai hakim lainnya, Rubianti,5 mengenai adanya beberapa kasus anak yang dijatuhi dengan kurungan pengganti denda, beliau mengatakan bahwa hal itu karena ketidaktahuan hakim akan adanya ketentuan tersebut. Keseluruhan data yang penulis paparkan mulai Tabel 6-10 dan hasil wawancara dengan responden memperlihatkan korelasi yang sangat signifikan, karena sebenarnya hakim anak memahami akan prinsip double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, akan tetapi mereka tidak menerapkan ketentuan tersebut. Sehingga dengan demikian, mereka lebih cenderung 4 Wawancara, Selasa, 9 April 2013. 5 Wawancara, Jumat, 12 April 2013.
350 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
menerapkan sanksi pada stelsel sanksi yang ada pada KUHP. Hal ini pun menunjukkan bahwa implementasi double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berjalan sama sekali di institusi Pengadilan Negeri Pare-Pare. PENUTUP Kesimpulan Penerapan Double Track System dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada dua Pengadilan Negeri tempat penelitian belum berjalan secara maksimal dan sanksi pidana khususnya pidana penjara masih menjadi primadona. Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa sudah terdapat kemajuan dalam penerapan prinsip double track system, ini terlihat dari putusan yang diterapkan bagi terdakwa anak, hakim pada Pengadilan Negeri Sungguminasa sudah mulai terbuka terhadap penerapan jenis sanksi lain. Sedangkan pada Pengadilan Negeri Pare-Pare putusannya masih mengacu kepada stelsel sanksi yang terdapat di dalam KUHP dan belum menerapkan sanksi tindakan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Saran Peraturan untuk masa mendatang (ius constituendum) hendaknya lebih menekankan bahwa sanksi tindakan lebih diutamakan daripada sanksi pidana. Dengan kata lain, sanksi pidana hanya akan digunakan sebagai upaya terakhir (last resort). Selain itu, dalam mengambil putusan mengenai jenis sanksi dan lamanya sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak, hakim hendaknya memahami napas/roh dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak dan benar-benar mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. DAFTAR PUSTAKA Ariyanto. 2006. Implementasi Double Track System dalam Pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tesis. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia). Bandung: Refika Aditama. Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Muladi. 1997. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
351
Nandang Sambas. 2010. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Bandung: Graha Ilmu. Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sholehuddin. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
352
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
IZIN PERSETUJUAN BUPATI DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA
Rudy Talanipa, M. Said Karim, Faisal Abdullah
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
IZIN PERSETUJUAN BUPATI DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH KEPALA DESA Oleh: Rudy Talanipa1*, M. Said Karim2, Faisal Abdullah2 Kejaksaan Negeri Singaraja Jl. Dewi Sartika No. 23, Singaraja, 80114, Bali 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] 1
Abstract The research almed at examining juridically the legas position of Article 23 verse (1) of the Government Regulation Number 72 Year 2005 concerning the Village viewed from acts hierarchy and the application of the equality before the law principle in the criminal judicature system, then investigating the legal effort process on the decision of Amurang Count of First Instance on behalf of the defendant Bonny Novi Lobot Monde. This was a normative legal research. i.e the research which laid the law as a norm system structure by examining the object i.e. Article 23 verse (1) of the Government Regulation Number 72 Year 2005 concerning the Village viewed from the systematic aspect based on the obedience on the legal structure hierarchically. The research result indicates that the existence of the Article 23 verse (1) of the Government Regulation Number 72 Tear 2005 concerning Village violates the stipulation of acts hierarchically, and its formation regulation as well as the equality before the law principle in the criminal judicature system in Indonesia. It is expected that the law as the basis in the community and state life implementation realized in the form of the regulation of acts must be adjusted with the object level regulated based on the regulations hierarchy. Keywords: Justice, Hierarchy, Investigation Process Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara yuridis perihal kedudukan hukum Pasal 23 ayat (1) PP No. 27 tahun 2005 tentang Desa dari tinjauan hierarki perundangundangan serta penerapan asas equality before the law dalam system peradilan pidana selanjutnya untuk mengetahui proses upaya hukum terhadap putusan PN Amurang An.Terdakwa Bonny Novi Lobot Monde. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif (Legal Research), yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai suatu bangunan sistem norma dengan mengkaji objek yakni Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dari sistematika berdasarkan ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa eksistensi Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyalahi ketentuan undang-undang secara hierarki serta peraturan pembentukannya, demikian halnya dengan asas equality before the law dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Diharapkan penempatan hukum sebagai dasar pijak dalam penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus disesuaikan dengan tingkatan objek yang diaturnya berdasarkan hierarki perundang-undangan. Kata Kunci: Keadilan, Hierarkis, Proses Penyidikan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan amanat tersebut, dibentuklah lembaga-lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga-lembaga tersebut merupakan lembaga penyelenggara negara yang mewakili kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lembaga penyelenggara negara dalam operasionalisasinya “diawaki” oleh para penyelenggara negara yang mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku . Presiden adalah penyelenggara negara dalam fungsi eksekutif yang dalam menjalankan tugas serta fungsinya dibantu oleh wakil presiden, dan para menteri Negara sedangkan penyelenggara daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintah daerah propinsi dipimpin oleh seorang kepala daerah yang disebut Gubernur yang dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah yang disebut Wakil Gubernur sedangkan untuk pemerintah kabupaten atau kota dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota yang dibantu oleh satu orang Wakil Bupati atau Wakil Walikota. Dalam pemerintahan daerah kabupaten atau kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah Desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Penyelenggaraan pemerintahan oleh para penyelenggara pemerintah diliputi oleh asas-asas yaitu: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas.1 Para penyelenggara pemerintahan diharapkan dapat melaksanakan tugas melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Implementasi asas-asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut diharapkan dapat mewujudkan penyelenggara pemerintahan yang 1 Lihat, Pasal 20 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
356
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada Pasal 27 UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Oleh karena itu, terhadap para penyelenggara pemerintahan yang melakukan tindak pidana tetap harus berhadapan dengan “hukum sebagai panglima” di negeri ini, namun dalam implementasinya, berlaku suatu “aturan khusus” bagi para penyelenggara pemerintahan yang diduga terlibat atau melakukan tindak pidana, yaitu: adanya suatu mekanisme birokrasi perijinan yang harus dilakukan apabila penyidik akan melakukan rangkaian tindakan penyidikan terhadap mereka. Mekanisme birokrasi tersebut sampai pada tingkat penyelenggara pemerintah desa yang antara lain disebutkan secara “gamblang” dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang menjelaskan bahwa tindakan penyidikan terhadap kepala desa, dilaksanakan setelah ada persetujuan tertulis dari Bupati/walikota.2 Peraturan Pemerintah ini diterbitkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 216 ayat (1). Selain sudah sangat ditunggutunggu, keberadaan PP Nomor 72 Tahun 2005 ini juga amat strategis. Kestrategisan PP terletak pada substansi materi yang dikandungnya. PP No 72 Tahun 2005 mengatur tentang desa, di mana pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan terbawah yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat. Di era otonomi, di tingkatan Desalah potensipotensi masyarakat ideal untuk dikembangkan. Sebagai aparat penegak hukum, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terhadap semua warga negara Indonesia yang melakukan atau terlibat tindak pidana maupun seluruh warga negara asing yang melakukan atau terlibat tindak pidana pidana di wilayah hukum NKRI. Peraturan pemerintah tersebut telah secara jelas menentukan suatu mekanisme khusus berupa birokrasi perizinan yang harus ditempuh oleh penyidik Polri apabila tindak pidana yang terjadi diduga dilakukan atau melibatkan para kepala desa. Sebagai implementasi dari penerapan mekanisme tersebut, salah satunya tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Amurang No. 51/Pid.B/2009/PN.Amg tanggal 21 Desember 2009 dalam perkara tersangka Bonny Novi Lobot Monde. Oleh karena proses penyidikan terhadap tersangka yang merupakan kepala Desa Karowa I, Kec. Tompaso 2 Lihat Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
357
Baru, Kab. Minahasa Selatan tidak diserta dengan izin persetujuan dari Bupati kabupaten Minahasa Selatan, maka majelis hakim Pengadilan Negeri Amurang dalam pertimbangan putusannya menyatakan setelah majelis hakim memeriksa berkas Perkara terdakwa, sebagaimana pelimpahan Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Amurang tertanggal 3 Juli 2009, tidak ditemukan adanya persetujuan tertulis dari Bupati untuk dilakukan Penyidikan terhadap terdakwa, sehingga apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan Undang-undang (cacat formil) mengakibatkan Tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Dengan demikian, Penyidik dalam tingkat Kepolisian serta Penuntut Umum telah lalai dalam memenuhi syarat yang diminta ketentuan undang-undang (vornverzium).3 Meskipun telah diatur secara tegas, implementasi mekanisme birokrasi perijinan tersebut masih perlu kajian yuridis baik menurut tehnis penyusunan aturan perundangundangan maupun kaitannya dengan system peradilan pidana, mengingat ketentuan tersebut merupakan salah satu faktor penghambat atau gangguan terhadap penegakkan hukum yang berasal dari undang-undang, yang mungkin disebabkan oleh karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya sebuah undang-undang dalam penegakkan hukum, salah satunya bahwa undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.4 Mekanisme tersebut telah menimbulkan disparitas dengan penyelenggara pemerintahan atau pejabat Negara lainnya yang jauh lebih tinggi dan terhormat kedudukannya dibandingkan dengan jabatan kepala desa, oleh karena tidak semua penyelenggara pemerintahan atau pejabat negara memerlukan ‘ijin’ sebelum diperiksa terkait dengan perkara pidana, sebab tidak ada satupun ketentuan yang mengharuskan adanya ijin sebelum ‘memeriksa’ Presiden, Wakil Presiden, Para Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Hal ini sungguh tidak logis, sebab untuk kepala desa selaku pemerintah desa dengan kedudukan yang jauh lebih rendah di bawah Presiden diberlakukan prosedur ijin, tetapi untuk Presiden tidak ada ketentuannya. Padahal personifikasi utama dari sebuah negara adalah kepala negara, yaitu Presiden. Tidak ada jaminan seorang Presiden pasti tidak akan melakukan tindak pidana 5. Jika dikaitkan dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, maka mekanisme permohonan izin tersebut bertolak belakang diantaranya dengan asas 3 Salinan Putusan PN. Amurang No. 51/Pid.B/2009/PN.Amg, tanggal 9 Des 2009, Hal 18. 4 Soerjono Soekanto. Factor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011). hlm.12. 5 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Studi tentang Ijin Pemeriksaan Terhadap Pejabat Negara dalam Proses Penegakan Hukum. Jakarta: Kejaksaan Agung R.I. 2008.
358
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi (equality before the law), asas peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan6 serta asas independensi kekuasaan kehakiman.7 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis mencoba meringkas permasalahan yang timbul ke dalam beberapa rumusan masalah. Adapun beberapa rumusan permasalahan yang ingin penulis ungkapkan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kedudukan hukum Pasal 23 ayat (1) PP No. 27 tahun 2005 tentang Desa sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 216 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dari tinjauan penerapan asas equality before the law dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimanakah proses upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Amurang An.Terdakwa Bonny Novi Lobot Monde yang mensyaratkan ketentuan formal yuridis, sebagaimana Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2004 tentang Desa? METODE PENELITIAN Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan tipe penelitiannya merupakan penelitian normatif (Legal Research), yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai suatu bangunan system norma dengan mengkaji objek yakni Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dari sistematika berdasarkan ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum dalam bentuk justifikasi (preskriptif). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Pengadilan Negeri Amurang Kab. Minahasa Selatan. Alasan utama penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Amurang, selain karena faktor pertimbangan penulis pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Amurang dan tempat menyidangkan perkara adalah di Pengadilan Negeri Amurang. Penulis juga berpandangan bahwa Pengadilan Negeri Amurang sudah pernah memutus perkara pidana sehubungan dengan penerapan Pasal 23 Ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. 6 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 70-71. 7 Lihat, Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
359
Teknik Pengumpulan Data Data dan informasi dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan atau legal Research yaitu pengkajian teori-teori yang berhubungan atau menjadi landasan penelitian melalui data atau literatur hukum sebagai berikut: 1) Data hukum primer, bahan yang terdiri atas peraturan perundangan, risalah resmi, putusan pengadilan dan dokumen resmi Negara; dan 2) Data hukum sekunder, bahan hukum yang terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum dan ensiklopedia hukum. Analisa Data Analisis data dilakukan dengan melakukan pengolahan data hukum primair maupun sekunder serta bahan hukum lainnya yang berujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Mekanisme Izin Persetujuan Bupati/Walikota Sebelum Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Desa Implementasi mekanisme birokrasi perizinan dari Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, salah satunya tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Amurang No. 51/Pid.B/2009/PN.Amg tanggal 21 Desember 2009 dalam perkara tersangka Bonny Novi Lobot Monde. Oleh karena proses penyidikan terhadap tersangka yang merupakan kepala Desa Karowa I, Kec. Tompaso baru, Kab. Minahasa Selatan tidak diserta dengan izin persetujuan dari Bupati Kabupaten Minahasa Selatan, maka majelis hakim Pengadilan Negeri Amurang dalam pertimbangan putusannya menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena cacat formil. Dengan demikian, Penyidik dalam tingkat Kepolisian serta Penuntut Umum telah lalai dalam memenuhi syarat yang diminta ketentuan Undang-undang (vornverzium).8 Menurut penulis mekanisme birokrasi izin atau persetujuan tersebut menjadi salah satu faktor penghambat atau gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang yang mungkin disebabkan oleh factor tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,9 di antaranya adalah hirarki perundang-undangan atau 8 . Salinan Putusan PN. Amurang No. 51/Pid.B/2009/PN.Amg, tanggal 27 Mei 2011, Hal 18. 9 Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm.17.
360
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
dikenal dengan asas lex Superiori de rogat lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang lebih rendah) sebagai asas dalam penerapan peraturan perundang-undangan dan asas Equality before the law (persamaan kedudukan setiap orang di depan hukum) sebagai salah satu asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penerapannya terkait asas equality before the law dalam sistem peradilan pidana Asas equality before the law adalah pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial (social stratum). Keberlakuan prinsip equality before the law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia di jabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Asas persamaan dimuka hukum tidak secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Asas ini hanya dicantumkan dalam penjelasan resmi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Walau demikian, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kitab Undang Undang itu sendiri. Asas ini dijabarkan dalam kalimat, “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.10 Ditempatkannya asas ini sebagai asas kesatu menunjukkan betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan hukum (acara) pidana di Indonesia.11 Adanya asas ini dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana merupakan suatu arah pembaruan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Bahkan hal ini menunjukkan adanya sikap politik pemerintah orde baru dalam masalah penanganan perkara pidana yang terbuka dan bertujuan menegakkan hukum di mana “supremasi hukum” tidak lagi akan merupakan slogan belaka.12 Asas perlakukan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hukum secara ekslusif diatur didalam UUD NRI 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundangundangan yang secara tegas dalam Pasal 27 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selanjutnya, pada Pasal 28 D ayat (1) yang menyebutkan, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum”. Dalam praktik peradilan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa Pengadilan mengadili 10 Lihat Penjelasan Umum KUHAP. 11 Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 73. 12 Ibid, hlm. 74.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 361
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Hal itu artinya setiap orang yang dihadapkan di pengadilan harus diadili secara adil oleh pengadilan yang bebas, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang. Sebenarnya tujuan Hukum tidak semata-mata menegakkan legalitas hukum dalam bingkai formal yuridis semata sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Amurang No. 51/Pid.B/2009/PN.Amg tanggal 21 Desember 2009 dalam perkara tersangka Bonny Novi Lobot Monde. Akan tetapi juga bagaimana hukum itu bisa memberi keadilan serta kemanfaatan bagi masyarakat sebagaimana tujuan hukum menurut Gustav Radbruch (1878-19489) lahir di Lubeck, Jerman, ia mengemukakan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian hukum. Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan 13 Hal tersebut sangat relevan dengan realitas hukum bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum dan tidak berdasar pada kekuasaan belaka, jika dikaitkan dengan keberadaan Pasal 23 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka penerapan pasal tersebut adalah cerminan dari simbol kekuasaan semata dikarenakan pemberlakuan izin persetujuan bupati terhadap proses penyidikan terhadap kepala desa dikarenakan semata-mata karena jabatan Kepala Desa yang melekat kepadanya. Amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, kembali menyantumkan secara tegas konsepsi tentang negara hukum Indonesia dalam materi muatan undang-undang dasar. Penegasan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Jimly Ashiddiqie,14 dalam naskah tersebut setidaknya mengandung pengertian sebagai berikut: Adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalah gunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. 13 Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Theory) Termasuk Interpretasi Undang-Undang, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm.181-182. 14 Jimmly Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen & Kepaniteraan MK, 2006).
362
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Manado Nomor 19/PID/2010/PT.MDO terhadap Terdakwa An. Bonny Novi Lobot Monde Di dalam Pasal 87 KUHAP dinyatakan bahwa Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara yang di putus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Acara pemeriksaan banding didalam KUHAP diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243. Pemeriksaan tingkat banding pada dasarnya adalah pemeriksaan ulangan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri, sehingga pengadilan tinggi kadang-kadang disebut pengadilan ulangan. Dalam pemeriksaan tingkat banding tersebut Pengadilan Tinggi memeriksa kembali semua fakta-fakta yang ada, sehingga sama halnya dengan Pengadilan Negeri, maka pengadilan tinggi disebut sebagai judex factie. Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Adapun yang menjadi alasan dalam mengajukan banding tidak dirinci di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, berbeda dengan permintaan kasasi sebagaimana Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang merinci alasan yang dapat dikemukakan oleh pemohon kasasi. Akan tetapi kalau kita kembali pada makna pemeriksaan tingkat banding yaitu memeriksa dan memutus pada tingkat terakhir putusan pengadilan tingkat pertama, maka hal tersebut dikarenakan adanya “keberatan” dan “tidak setuju” atas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.15 Putusan pengadilan Tinggi Manado Nomor19/PID/2010 /PT.MDO tanggal 11 Maret 2010 dalam perkara pidana atas nama terdakwa Bonny Novi Lobot Monde atas permintaan banding PU dalam pertimbangan hukumnya hal 5 s/d 7, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan pertimbangan hakim pengadilan Negeri Amurang dengan alasan-alasan sebagai berikut : Bahwa mengacu pada Pasal 156 ayat (2) KUHAP, Pengertian Eksepsi adalah tangkisan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formil” yang melekat pada surat Dakwaan. Jika hakim menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukum maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut dan pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan karena Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 15 M. Yahya Harahap. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Cet. II (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2001), hal.452-453.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
363
ayat (2) huruf b KUHAP (cacat formil) dan surat dakwaan adalah batal demi hukum apabilan penyidik dan Penuntut Umum telah lalai dalam memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Bahwa dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amurang tidak menguraikan terurai satupun bukti formil/tertulis yang menjadi pertimbangan majelis hakim perihal Surat Keputusan Bupati Minahasa Selatan tentang pengesahan pengangkatan terdakwa sebagai hukum tua/kepala desa Karowa yang seharusnya melekat pada diri terdakwa, padahal sesuai ketentuan Pasal 50 ayat (5) dan Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menerangkan bahwa Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/Walikota dan Bupati/Walikota menerbitkan Keputusan Bupati/Walikota tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih dan dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor: 72 tahun 2005 tentang Desa menerangkan bahwa tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota terkecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan atau diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Kalimat “dilaksanakan setelah” pada uraian diatas secara redaksional mengandung pengertian tidak secara tegas bersifat harus/wajib mengingat tindakan penyidikan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UU RI No. 8 tahun 1981 tenang KUHAP adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya selanjutnya tindakan penyidik sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP maka apabila kalimat “bahwa tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota ” dianalogikan bersifat “harus/wajib” berarti proses penyidikan harus diulang kembali karena secara redaksional penyidikan terhadap kepala desa dilaksanakan setelah ada persetujuan dari Bupati/walikota yang berarti proses penyidikan harus diulang kembali karena secara redaksional penyidikan terhadap kepala desa dilaksanakan setelah ada persetujuan terlebih dahulu baru bisa disidik; yang meminta Surat persetujuan tersebut harus Penyidik dan surat persetujuan dari Bupati yang dimintakan/dikeluarkan setelah proses penyidikan apalagi proses penuntutan tentunya tidak dapat berlaku surut: Jika demikian apakah seorang tersangka harus ditangkap, ditahan, digeledah dll untuk kedua kalinya terhadap perbuatan/tindak pidana yang sama ? tentunya tidak demikian, karena tindakan Penyidik adalah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) yang tentunya sudah sesuai dengan instrumen hukum UU RI. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tata urutan (a) UUD 1945; (b) Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti UU; (c) peraturan pemerintah; (d) peraturan presiden dan; (e) peraturan daerah dan berdasar pada teori hierarki hukum, peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang misalnya Peraturan Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi, dalam hal ini undang-undang yang melandasi suatu Tindakan Penyidikan adalah Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang didalam ketentuan pasalnya tidak 364 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
ada menyebutkan” tindakan penyidikan terhadap kepala desa dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota” karena didalam KUHAP tersebut terdapat asas “Equal before the law” yang mengandung makna perlakuan yang sama di depan hukum sehingga tidak ada pengecualian terhadap seseorang yang diperiksa dalam tingkat penyidikan untuk mendapatkan izin dari atasannya.16 Dari pertimbangan majelis hakim Pengadilan tinggi Manado tersebut, menurut penulis sudah mencakup dan melingkupi uraian dan argumen penulis pada awal bab pembahasan. Bahwa eksistensi pasal 23 ayat (1) PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa bertentangan dengan asas lex Superiori de rogat lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang lebih rendah) sebagai asas dalam penerapan peraturan perundang-undangan, dan asas Equality before the law ( persamaan kedudukan setiap orang didepan hukum) sebagai salah satu asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jika melihat pertimbangan hukum majelis hakim pengadilan tinggi manado, maka menurut penulis sudah sesuai dengan maksud dan tujuan dari pemeriksaan tingkat banding yaitu memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama, oleh karena hakim yang memutus perkara pada peradilan tingkat pertama adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, kelalaian dan kekhilafan. Agar kesalahan dan kelalaian tidak melekat pada putusan yang dijatuhkan peradilan tingkat pertama, undang-undang membuka upaya hukum yang bertujuan untuk “mengoreksi” kesalahan dan kelalaian tersebut. Koreksi atau perbaikan atas kesalahan peradilan tingkat pertama, diperbaiki oleh peradilan tingkat banding dalam pemeriksaan banding, supaya pemeriksaan dan putusan peradilan tingkat pertama itu dikembalikan kearah ketentuan hukum dan undang-undang sebenarnya, sehingga pemeriksaan dan putusan peradilan tingkat pertama benar-benar akomodatif dan proporsional dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. 17 Dari karakteristik cara berhukum yang ketiga dijelaskan bahwa sebaiknya kita tidak berpegang secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan, menurut penulis hal tersebut sangat relevan dengan tujuan hukum itu sendiri sebagaimana pandangan dari Gustav Radbruh, yang mengutamakan keadilan baru kemudian kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Melalui Pemeriksaan Tingkat Kasasi Kaitannya dengan Putusan MA Nomor 446 K/ Pid/2011 tanggal 27 Mei 2011 Sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, bahwa pengorganisasian 16 Salinan Putusan PT.Manado No.19/PID/2010/PT.MDO, tanggal 11Maret 2010, Hal. 5-7 17 M. Yahya Harahap. Op.cit., Hal. 451.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
365
kekuasaan kehakiman diberikan kepada dua lembaga Negara yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Untuk membedakan posisi, tugas, fungsi dan wewenang kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut diatur secara limitative dalam Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Penjabaran dari ketentuan-ketentuan tentang tugas dan fungsi dari Mahkaman Agung khususnya tentang kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tersebut selanjutnya diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dan Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan pada intinya Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dimana MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Selanjutnya hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun sasaran dan tujuan dari hak uji adalah untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan pemerintah agar tidak menerbitkan ketentuan-ketentuan peraturan per UU yang merugikan kepentingan masyarakat.18 Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 446 K/Pid/2011 tanggal 27 Mei 2011 dalam perkara An. Terdakwa Bonny Novi Monde Lobot, salah satu pertimbangannya menerangkan bahwa alasan pemohon kasasi dari pemohon kasasi/Terdakwa yang intinya Pengadilan Tinggi Manado tidak menerapkan ketentuan hukum tentang tata cara tindakan kepolisian terhadap Hukum Tua/Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa serta Asas Pre-requisite yaitu mengenai syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap perkara ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex factie (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum dan tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, untuk selanjutnya 18 M. Yahya Harahap, Kekuasaan MA, Pemeriksaan Kasasi Dan Pk Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal 97.
366
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
MA mengadili menolak permohonan kasasi dari pemohon Kasasi/Terdakwa Bonny Novi Monde Lobot.19 Dari pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, menurut penulis apa yang dimintakan oleh pihak pemohon Kasasi/terdakwa adalah menyangkut kewenangan MA sebagaimana Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP, yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya selanjutnya Pasal 30 ayat (1) huruf b dan c, yaitu MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena dan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Hal mana telah diputuskan oleh MA yang intinya menegaskan bahwa proses penyidikan terhadap Kepala Desa tanpa adanya izin persetujuan bupati/ walikota sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang. Jika dikorelasikan antara Putusan Mahkamah Agung Nomor 446 K/Pid/2011 tanggal 27 Mei 2011 dalam perkara An. Terdakwa Bonny Novi Monde Lobot dengan Pasal 31 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 20 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka menurut penulis makna atau pengertian pemeriksaan Kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut adalah sama sebagaimana makna dan pengertian pemeriksaan kasasi dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung serta Pasal 20 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena Putusan Mahkamah Agung tersebut menurut penulis secara tidak langsung menyatakan tidak berlaku lagi peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 23 ayat (1) PP Np. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang mensyaratkan agar tindakan penyidikan terhadap kepala desa dilaksanakan setelah adanya izin persetujuan tertulis dari bupati/walikota. Putusan tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung dalam perkara an. Terdakwa Bonny Novi Monde Lobot, setidaknya telah menciptakan dan membentuk hukum baru sebagaimana tujuan Kasasi yakni bahwa tindakan koreksi dari MA sekaligus menciptakan “hukum baru” dalam bentuk yurisprudensi, berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk “judge making law”, sering MA mencipta hukum baru yang disebut “hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan UU sesuai dengan “elastisitas” pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. Kadang-kadang dalam 19 Salinan Putusan MA No.446 K/Pid/2011, tanggal 27 Mei 2011, Hal 4-6
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
367
upayanya menciptakan hukum baru, adakalanya mengambil putusan yang bersifat contra legem. Maksudnya hukum baru yang dicipta itu secara nyata benar-benar “bertentangan dengan undang-undang”.20 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan temuan pada hasil penelitian dan pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedudukan hukum Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa perihal mekanisme izin Bupati/Walikota terhadap proses penyidikan Kepala Desa tidak menjalankan ketentuan Pasal 216 ayat (1) dan Pasal 208 UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengisyaratkan tentang Asas umum Penyelenggaran pemerintahan, yakni “Asas Kepastian Hukum” yang maknanya adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. 2. Proses upaya hukum banding maupun kasasi terhadap putusan PN Amurang An.Terdakwa Bonny Novi Lobot Monde yang mensyaratkan ketentuan formal yuridis sebagaimana pasal 23 ayat (1) PP No. 72 tahun 2004 tentang Desa, oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Manado dalam pertimbangan putusan Nomor 19/PID/2010 /PT.MDO tanggal 11 Maret 2010 dalam perkara pidana atas nama terdakwa BONNY NOVI LOBOT MONDE menegaskan bahwa eksistensi pasal 23 ayat (1) PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa bertentangan dengan asas lex superiori de rogat lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang lebih rendah) sebagai asas dalam penerapan peraturan perundangundangan, dan asas equality before the law ( persamaan kedudukan setiap orang di depan hukum) sebagai salah satu asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana penjelasan KUHAP. Oleh karenanya, Putusan Mahkamah Agung tersebut menurut penulis secara tidak langsung menyatakan tidak berlaku lagi peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 23 ayat (1) PP Np. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Saran 1. Penempatan hukum sebagai dasar pijak dalam penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan 20 . M. Yahya Harahap. 2001. Op.cit., hlm. 539-542.
368
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
perundang-undangan harus disesuaikan dengan tingkatan objek yang diaturnya berdasarkan hierarki perundang-undangan, agar dalam penerapannya tidak berbenturan dengan asas-asas dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan serta asas-asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 2. Agar aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa dan hakim kiranya dapat mempedomani putusan Mahkamah Agung Nomor 446/K/Pid/2011 tanggal 27 Mei 2011dalam perkara An. Terdakwa Bonny Novi Monde Lobot dalam pelaksanaan tugas serta wewenangnya yang menyangkut penerapan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentan Desa. DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Theory) Termasuk Interpretasi Undang-Undang. Jakarta: Prenada Media Group. Jimmly Asshiddiqie. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. M. Yahya Harahap. 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi. _______________. 2009. Kekuasaan MA, Pemeriksaan Kasasi dan PK Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Pusat Litbang Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 2008. Studi tentang Ijin Pemeriksaan Terhadap Pejabat Negara dalam Proses Penegakan Hukum. Jakarta: Kejaksaan Agung R.I. Romli Atmasasmita. 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
369
370 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
INDEPENDENSI PENUNTUT UMUM DALAM PENYUSUNAN SURAT TUNTUTAN
Rizal F, Slamet Sampurno Soewondo, Wiwie Heryani
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
INDEPENDENSI PENUNTUT UMUM DALAM PENYUSUNAN SURAT TUNTUTAN Oleh: Rizal F1*, Slamet Sampurno Soewondo2, Wiwie Heryani2 Kejaksaan Negeri Makassar Jl. Amanna Gappa No. 29, 90111, Makassar 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] 2
Abstract Attorney General as the holder of the control task in the prosecution of The Criminal Justice System to make the policy known as the Prosecution Plan (Rentut). However “Rentut” mechanism that requires Prosecutors to follow the leaders opinion in the fields of criminal charges can interfere with the independence of the Prosecutors, especially in the preparation of the letter. This study aims to determine the existence of SEJA which require mechanisms in the preparation of the prosecution plans and its influence on the independence of The Public Prosecutor in preparing the procetution. To answer these problems, The Authors conducted a study on some of The Prosecutor’s Office in the jurisdiction of The State Prosecutor in South Sulawesi, The State Prosecutor’s office in South Sulawesi, Makassar District Attorney, The District Attorney of Maros, The District Attorney of Pangkajene, The District Attorney of Barru and The District Attorney of Parepare. Keywords: Independence, The Public Prosecutor, The Letter Demands Abstract Jaksa Agung selaku pemegang kendali tugas penuntutan dalam sistem peradilan pidana membuat kebijakan yang dikenal dengan istilah rencana tuntutan (rentut). Namun adanya mekanisme rentut yang mengharuskan Penuntut Umum mengikuti pendapat pimpinan dalam hal penentuan tuntutan pidana dapat mengganggu kemandirian Penuntut Umum khususnya dalam penyusunan Surat Tuntutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi SEJA yang mengharuskan adanya mekanisme rencana tuntutan dalam penyusunan surat tuntutan serta pengaruhnya terhadap independensi Penuntut Umum dalam menyusun Surat Tuntutan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis melakukan penelitian pada beberapa kantor kejaksaan dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, yaitu kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Maros, Kejaksaan Negeri Pangkajene, Kejaksaan Negeri Barru dan Kejaksaan Negeri Parepare. Kata Kunci: Independensi, Penuntut Umum, Surat Tuntutan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Demikian diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Salah satu komponen penting dalam penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan R.I. dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUKRI) mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana. Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam hukum perdata dan tata usaha negara, yaitu dapat mewakili pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan undang undang. Berbicara mengenai pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, pada kenyataannya dirasakan belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, salah satunya disebabkan oleh kinerja para aparat penegak hukum yang belum menunjukkan profesionalitas dan integritas. Berdasarkan hasil survei Indonesia Network Elections Survey (INES) terhadap 6.000 responden pada periode 5-21 Oktober 2012, sebanyak 83,2 persen responden 1 Dikutip pada laman website: http://zulakrial.blogspot.com/2010/10/kemerdekaan-profesionalismejaksa-sebagai-penuntut-umum:analisis-terhadap-kebijakan-rencana-tuntutan, diunduh pada Kamis, 1 Nopember 2012.
374 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
menyatakan tidak puas, 11,6 persen responden menyatakan sangat tidak puas dan 5,2 persen puas terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi era SBY-Boediono.2 Direktur Data INES Sudrajat Sacaawitra,3 mengatakan: Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat tersebut disebabkan lemahnya efek jera dalam penegakan hukum kasus korupsi yang disebabkan salah satunya oleh buruknya integritas penegak hukum. Menurutnya, keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai praktik korupsi seperti pembekingan aktivitas ilegal, pemerasan, pungli, setoran, suap menyuap, jual beli kasus, jual beli besar kecilnya tuntutan dan penggunaan pasal tuntutan di KPK dan Kejaksaan terhadap para koruptor menjadikan fungsi penindakan menjadi tidak berjalan. Sebelumnya, penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam penegakan hukum pada bulan Desember 2008 mencapai 77 persen atau baik, namun memasuki bulan Desember 2011 di bawah 50 persen yaitu hanya 44 persen. LSI (Lembaga Survei Indonesia) menilai penurunan itu sangat drastis.4 Sementara pada 2009 mencapai 59 persen dan 2010 mencapai 52 persen. Populasi survei dilakukan pada responden yang sudah berumur 17 tahun atau lebih. Jumlah sampel 1.220 dengan margin of error sebesar lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara dilakukan random sebesar 20 persen dari total sampel. Waktu wawancara lapangan dilakukan pada 8-17 Desember 2011.5 Kembali mengenai instansi Kejaksaan R.I, bahwa terkait dengan pelaksanaan tugas penuntutannya, tidak terlepas dengan proses penyusunan surat tuntutan. Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP, surat tuntutan dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan. Surat tuntutan mencantumkan tuntutan Penuntut Umum terhadap terdakwa baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksisaksi, ahli, surat dan keterangan terdakwa, hal ini berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan di awal persidangan, belum ada ancaman pidananya dan disusun berdasarkan berita acara penyidik.6 Apabila dari hasil pemeriksaan di muka sidang penuntut umum berpendapat bahwa kesalahan terdakwa sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sebaliknya apabila penuntut umum menilai kesalahan terdakwa tidak terbukti maka penuntut umum akan menuntut agar terdakwa dibebaskan dan apabila perbuatan terdakwa dinilai bukan merupakan tindak 2 Data sebagaimana dikutip pada laman website: http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/36067#. UKyHsWePSWY, diunduh pada tanggal 20 Nopember 2012. 3 Ibid 4 Lembaga Survei Indonesia, sebagaimana dikutip pada laman website: http://nasional.inilah.com/ read/detail/1816764/survei-lsi-buktikan-buruknya-polri-kejaksaan, diunduh pada tanggal 20 Nopember 2012. 5 Ibid 6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 75.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
375
pidana, maka dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Tuntutan Penuntut Umum menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut Umum berakibat putusan batal demi hukum.7 Sebelum mengajukan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terlebih dahulu harus mengajukan rencana tuntutan (rentut) kepada atasannya secara berjenjang, rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 9 Tahun1985 tanggal 14 Desember 1985 tentang Pedoman Tuntutan Pidana, istilah resmi rentut berdasarkan SEJA tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana. Selama ini, Kejaksaan menggunakan pedoman tuntutan pidana yang mengatur tentang tata cara pengajuan tuntutan pidana, dalam pedoman berupa SEJA yang dikeluarkan tahun 1985, bahwa sebelum mengajukan tuntutan, JPU harus mengajukan rencana tuntutan. Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP memang tidak menyinggung adanya kewajiban penyampaian rentut kepada atasan penuntut umum, rumusan pasal tersebut menyebutkan “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Dari redaksi Pasal 182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan. Menurut mantan wakil jaksa agung Basrief Arief,8 sehubungan dengan rentut dalam praktiknya alur rentut diawali dengan pendapat Jaksa Penuntut Umum selaku pihak yang terjun langsung ke lapangan sehingga mengetahui dinamika persidangan, kemudian rentut secara berjenjang mengalir terus hingga ke Jaksa Agung setelah melalui Kepala Seksi bidang teknis, apakah bidang pidana umum atau khusus pada Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi. Jadi ketika sudah di tangan Jaksa Agung, tentunya sudah dipertimbangkan tidak hanya aspek yuridisnya tetapi juga dilihat sosiologis, kultural dan bahkan ekonomi. Pengajuan rentut tersebut dilakukan secara berjenjang, dari Jaksa kepada Kepala Seksi di Kejaksaan dan seterusnya, akibatnya pemberian besaran hukuman menjadi sangat subyektif di setiap tingkatan, subyektifitas inilah yang membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Berangkat dari pemikiran tersebut, sehingga wacana untuk menghilangkan prosedur rentut tersebut mulai dibicarakan dan didiskusikan, bahkan Jaksa Agung Basrief Arief pun sendiri setuju dengan rencana penghapusan atau peniadaan rentut, namun harus dilakukan secara bertahap agar nantinya tidak kaget. Dengan meniadakan mekanisme yang mengharuskan JPU menanti rentut dari pimpinan Kejaksaan sebelum menyusun surat tuntutan, maka alur pembuatan tuntutan bisa diperpendek dan lebih 7 H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2005), hlm 376. 8 Pada saat penulisan, Basrief Arief menjabat sebagai Jaksa Agung.
376 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
menghemat waktu. Selain itu, para JPU nantinya bisa lebih mandiri dalam mengangani suatu kasus.9 Penghapusan rentut, maka proses peradilan akan berjalan lebih cepat, artinya jadwal persidangan akan dapat diatur, sebab selama ini rentut sangat menghambat proses persidangan. Karena biasanya sebelum sidang pembacaan tuntutan, JPU harus meminta atasannya menyetujui tuntutan terlebih dahulu, bahkan ada sidang yang sampai tertunda karena rentut sepuluh kali bolak-balik dari JPU ke atasannya. Pada tahun 2010, Jaksa Agung menerbitkan SEJA Nomor 003/A/JA/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang pada intinya dibuat untuk mencegah atau meminimalisir disparitas tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi sehingga diatur mengenai tolak ukur tuntutan pidana berdasarkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan Terdakwa serta pengembalian kerugian negara tersebut. Selanjutnya pada tahun 2011, diterbitkan pula SEJA Nomor: SE-013/A/JA/12 /2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum, yang pada intinya memberikan pedoman kepada Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam memberikan tuntutan pidana. Surat edaran tersebut memberikan delegasi kepada Kepala Kejaksaan Negeri dalam mengendalikan rencana tuntutan pidana. Walaupun terdapat penyederhanaan karena terhadap perkara kecuali tuntutan bebas/lepas dari segala tuntutan, percobaan, seumur hidup atau pidana mati, dan terhadap perkara tindak pidana umum tertentu jenjang pengajuan rentutnya hanya sampai pada tingkat Kepala Kejaksaan Negeri, namun hal tersebut masih mengandung unsur intervensi pihak lain (pimpinan) terhadap Jaksa yang menangani suatu perkara. Dari aspek normatif, tidak mengenal atau tidak diatur tentang adanya mekanisme pengajuan rentut, mengenai surat tuntutan hanya diatur pada Pasal 182 ayat (1) huruf a dan c KUHAP, mekanisme rentut adalah kebijakan yang dibuat oleh Jaksa Agung selaku pemegang kendali tugas penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Kewenangan penuntutan oleh Jaksa Agung kemudian didelegasikan oleh jajaran di bawahnya, yaitu Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri, sehingga mekanisme pengajuan rentut dari Penuntut Umum harus kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan pada perkaraperkara tertentu, kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa Agung. Adanya intervensi pimpinan terhadap penentuan Tuntutan Pidana tersebut, merupakan gangguan terhadap independensi Penuntut Umum dalam dalam penyusunan Surat Tuntutan. 9 Sebagaimana dikutip pada laman website: http://www.detiknews.com/basrief-peniadaan-rentutakan-dilakukan-secara-bertahap diunduh pada Senin, 5 Nopember 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
377
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka selanjutnya Penulis merumuskan permasalahan yakni, bagaimanakah pengaruh mekanisme rencana tuntutan terhadap independensi penuntut umum dalam menyusun surat tuntutan? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan beberapa kantor kejaksaan negeri dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, yaitu Kejaksaan Negeri Makassar, Kejaksaan Negeri Maros, Kejaksaan Negeri Pangkajene, Kejaksaan Negeri Barru dan Kejaksaan Negeri Parepare. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan untuk mempermudah Peneliti melakukan penelitian pada area populasi yang luas. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah profesi Jaksa (Penuntut umum) pada wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Metode pengambilan sampel akan dilakukan secara probability sampling jenis area/cluster sampling10 dengan pertimbangan bahwa dapat mewakili populasi yang ada. Jumlah populasi Jaksa pada wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan adalah 393 orang.11 Peneliti mengambil sampel kurang lebih sebanyak 10% dari populasi, sehingga jumlah responden yang akan dimintai keterangan kurang lebih sebanyak 40 orang. Sedangkan informan yang dibutuhkan sebagai pemberi tanggapan berasal dari profesi Hakim dan Pengacara yang mewakili Terdakwa. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data primer, adalah informasi/data yang diperoleh langsung melalui wawancara kepada para responden dan informan; dan b) Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui literatur-literatur hukum dan perundang-undangan, internet atau bahan yang erat kaitannya dengan permasalahan yang di kaji. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Penelitian pustaka, yaitu menelaah berbagai buku pustaka. Karya ilmiah yang ada hubungannya dengan obyek penelitian; b) Peraturan perundang-undangan 10 Teknik ini didasarkan bahwa semua elemen dalam populsi mendapat kesempatan yang sama dengan kondisi area yang luas. Bambang Sunggono. Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 31. 11 Jumlah Jaksa lingkup wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Periode Desember 2012, Data diperoleh dari Kejaksaan Tinggi Sulsel Bidang Pembinaan.
378 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
yang berlaku; c) Penelitian lapangan yaitu pengumpulan data dengan mengamati secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang berhubungan dengan penelitian; dan d) Internet research, yaitu mengumpulkan data-data maupun tulisan-tulisan kritis yang memiliki hubungan dengan materi penulisan ini. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Wawancara, yaitu pengumpulan data secara langsung dalam bentuk tanya jawab dengan responden berdasarkan suatu pedoman wawancara; dan b) Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan mempelajari berbagai dokumen, peraturan perundangundangan dan penelaahan literatur-literatur yang relevan dengan penelitian ini. Analisis Data Dari semua data yang terkumpul, baik dari data primer maupun dari data sekunder diolah dan dianalisis serta disajikan secara deskriptif untuk menjawab permasalahan penelitian, sekaligus solusinya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Mekanisme Rencana Tuntutan terhadap Independensi Penuntut Umum dalam Menyusun Surat Tuntutan Prinsip Kemandirian Penuntut Umum Pelaksanaan penegakan hukum dalam lingkup Criminal Justice System tidak terlepas dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Khusus mengenai kewenangan di bidang penuntutan, adalah Kejaksaan sebagai lembaga satusatunya yang mempunyai kewenangan tersebut dalam sistem hukum nasional kita, keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dapat dilihat pada: a. Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman. b. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang”. c. Pasal 1 butir (13) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
379
d. Pasal 2 UUKRI yang menempatkan posisi dan fungsi Kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Tujuan penuntutan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menempatkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan tindak pidana dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dinyatakan bersalah, disamping hukum acara pidana khususnya dalam penuntutan juga bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum. Berkaitan dengan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum, maka eksistensi Surat Tuntutan merupakan bagian penting dalam proses hukum acara pidana. Putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi pula oleh apa yang didakwakan Penuntut Umum. Idealnya ialah hakim tidak boleh memutus di luar yang didakwakan oleh Penuntut Umum, perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi didakwakan dan itu pula yang dibuktikan, oleh karena itu kebebasan atau kemerdekaan hakim memutus perkara pidana tergantung pula pada bebas atau merdeka tidaknya penuntut umum.12 Jika jaksa tidak independen dalam penuntutan, maka hakimpun menjadi tidak independen, karena putusannya tergantung apa yang didakwakan jaksa.13 Kemandirian dibutuhkan untuk menghindari intervensi pemerintah dalam kebijakan penuntutan, karena itu kebijakan harus murni dilandasi oleh kepentingan law enforcement. Sebagaimana diungkapkan ahli hukum tata negara Belanda Thorbecke bahwa penuntutan hukum pidana tidak boleh merupakan sebilah pedang dalam tangan pemerintahan politis atau administrasi, yang menurut pandangan pemerintahan itu harus diayunkan atau ditinggalkan dalam sarungnya.14 Menurut Simarsita,15 ruang lingkup kemandirian kejaksaan terdiri atas tiga, yaitu: 1. Kemandirian institusional, yaitu kemandirian yang berkaitan dengan Kejaksaan sebagai suatu lembaga. 2. Kemandirian personal, yaitu kemandirian yang behubungan dengan Jaksa Agung 12 Andi Hamzah, Kemandirian dan kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Makalah. Disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Depkumham, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 13 Ibid. 14 BD. Simarsita. Posisi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang Lebih Menjamin Perwujudan Keadilan dan Kepastian Hukum. (Jakarta: Puslitbang Kejaksaan Agung RI, 2000), hlm. 71. 15 Ibid
380
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
sebagai pimpinan institusi. 3. Kemandirian fungsional, yaitu kemandirian berkenaan dengan tugas Jaksa sebagai Penuntut Umum. Kemandirian institusional memposisikan Kejaksaan bukan lagi berada di bawah eksekutif, karena itu kejaksaan bukan lagi lembaga pemerintahan, tetapi sebagai lembaga negara yang independen yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan. Kemandirian personal menjadikan Jaksa Agung tidak lagi berada di bawah kontrol kekuasaan eksekutif, dengan demikian pengangkatan, pemberhentian dan pertanggungjawaban bukan kepada presiden. Sebaiknya pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan oleh Kepala Negara atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta bertanggungjawab kepada DPR pula. Kemandirian ini harus dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Kemandirian fungsional menjadikan Jaksa bebas dalam melaksanakan fungsinya sebagai Penuntut Umum. Jaksa tidak lagi sebagai tukang yang hanya menjalankan perintah atasannya, untuk mencegah adanya penyimpangan, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan sanksi yang berat. Dengan demikian akan terbentuk Jaksa yang profesional dan bertanggung jawab. Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh BD. Simarsita, kemandirian lembaga Kejaksaan bukan hanya mengenai kemandiriannya sebagai lembaga ataupun kemandirian Jaksa Agung sebagai pimpinannya, tapi yang tidak kalah penting adalah kemandirian jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bukan hanya bebas dari pengaruh luar tapi dalam konteks pelaksanaan fungsionalnya juga harus bebas dari pengaruh atau intervensi dari dalam institusinya termasuk Pimpinannya. Adanya mekanisme rencana tuntutan yang mengatur tuntutan pidana ditentukan oleh Pimpinan adalah merupakan bentuk intervensi nyata terhadap kemandirian Penuntut Umum dalam melakukan Tuntutan Pidana. Mekanisme Rencana Tuntutan sebagai Intervensi Pimpinan terhadap Penuntut Umum Pendapat Responden mengenai setuju atau tidaknya penghapusan mekanisme rentut sebagaimana pada uraian dalam sub bab sebelumnya, berbanding lurus dengan pendapat responden tentang pengaruhnya terhadap independensi mereka, yang dapat dilihat dari tabel berdasarkan hasil penelitian berikut:
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
381
Tabel 3. Pengaruh Rentut terhadap independensi Penuntut Umum dalam menyusun Surat Tuntutan No.
Pengaruh Rentut
Jumlah
Persentase (%)
1.
Rentut mempengaruhi independensi
5
11,9
2.
Rentut tidak mempengaruhi independensi
37
88,1
Total
42
100
Sumber: Hasil olah data primer, April 2013. Dari jumlah sampel 42 orang Penuntut Umum, 37 orang diantaranya atau 88,1 % menyatakan rentut mempengaruhi independensi mereka dalam menyusun Surat Tuntutan, sedangkan selebihnya yaitu 5 orang atau 11,9 % menyatakan rentut tidak mempengaruhi independensi mereka dalam menyusun Surat Tuntutan. Salah satu penyebab Penuntut Umum merasa mekanisme rentut mempengaruhi independensi adalah karena hal tersebut dinilai merupakan bentuk intervensi pimpinan terhadap pelaksanaan tugas Penuntut Umum, hal ini disebabkan karena: a. Adanya kepentingan pimpinan dalam perkara tersebut; b. Pimpinan terkadang mengabaikan pertimbangan Penuntut Umum, saran dan pendapat Penuntut Umum tidak diakomodir; c. Adanya moral pimpinan yang tidak percaya dan selalu mencurigai Penuntut Umum apabila menuntut dengan tuntutan pidana yang ringan. Berat ringannya Tuntutan Pidana seharusnya menjadi kewenangan Penuntut Umum karena Penuntut Umumlah yang mengetahui jalannya persidangan serta hal-hal yang berkembang dalam perkara tersebut, tetapi justru tuntutan pidananya ditentukan oleh Pimpinan. Sebagai pembanding, peneliti juga mengambil keterangan dari pihak lain dalam hal ini adalah profesi Hakim yang merupakan satu kesatuan dengan Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana. Yuswardi,16 selaku Ketua Pengadilan Negeri Parepare memberikan pendapatnya mengenai mekanisme rentut ini: Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas penuntutan sejatinya harus mandiri, lepas dari bentuk pengaruh dari luar maupun dalam (instansinya), adanya mekanisme rentut yang kami pahami sebagai penentuan tuntutan pidana oleh pimpinan Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah bentuk intervensi yang mengganggu kemandiriannya, karena Penuntut Umumlah yang mengetahui jalannya persidangan, bukan pimpinannya. Jika kemandirian Penuntut Umum dalam membuat Tuntutan Pidana telah dimiliki otomatis juga menciptakan kemandirian Hakim dalam menjatuhkan Putusan karena Putusan Hakim mempertimbangkan Tuntutan Pidana oleh Penuntut Umum. 16 Wawancara, tanggal 10 April 2013 di Kantor Pengadilan Negeri Parepare.
382 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Selanjutnya, salah seorang responden Penuntut Umum dalam wawancara dengan Penulis pada April 2013 di salah satu kantor Kejaksaan Negeri menuturkan: Saya pernah menangani suatu perkara kepemilikan senjata tajam, pada saat selesai proses pemeriksaan persidangan, kemudian Saya menimbang masak-masak dengan seadil-adilnya mengenai tuntutan pidana yang layak untuk Terdakwa, waktu itu Saya berpendapat untuk menuntut pidana penjara 2 bulan, namun setelah pengajuan rentut ke Kajari, beliau berpendapat 2 bulan sangatlah ringan dengan alasan biasanya di tempat tugas beliau sebelumnya perkara sejenis dituntut 6 bulan ke atas. Fenomena bahwa mekanisme rentut mempengaruhi independensi Penuntut Umum khususnya dalam menyusun Surat Tuntutan terjadi karena dalam prakteknya memang dengan adanya mekanisme tersebut, Tuntutan Pidana ditentukan oleh Pimpinan, bukan oleh Penuntut Umum yang justru lebih mengetahui latar belakang perkara dan hal – hal yang menjadi pertimbangan untuk berat ringannya tuntutan pidana yang akan diberikan kepada Terdakwa. Mekanisme Rencana Tuntutan Tidak Sejalan dengan Nurani Penuntut Umum Kemandirian seseorang berhubungan langsung dengan pendapat dari hati nuraninya, ketika yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang akan dilakukan yang berasal dari hati nurani, maka disaat itulah kemandirian tidak ada lagi. Salah seorang Responden dari Penuntut Umum yang diwawancarai Penulis pada sekitar bulan April 2013 di salah satu kantor Kejaksaan Negeri, mengungkapkan bahwa pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum yang diatur dalam SEJA nomor 013 /A /JA /12 /2011 tanggal 29 Desember 2011 tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang berasal dari hati nurani, Responden mencontohkan tentang aturan tuntutan pidana untuk tindak pidana pengrusakan barang yang diancam dan diatur dalam Pasal 406 KUHP, dalam praktek selama ini untuk perkara pengrusakan barang terutama apabila nilai kerugian terbilang kecil maka Penuntut Umum akan menuntut dengan pidana percobaan tanpa mengajukan rentut ke tingkat Kejati atau Kejagung. Namun dalam SEJA No. 013/A/ JA/12/2011 telah ditentukan bahwa pidana percobaan hanya boleh dilakukan dengan izin pimpinan (Kajati atau Jaksa Agung), pidana penjara yang boleh diterapkan untuk tindak pidana ini adalah paling ringan sampai dengan 5 bulan, itupun dengan catatan tidak ada hal yang memberatkan. Namun dalam praktiknya, sangat kecil kemungkinan mendapati Terdakwa tanpa hal yang memberatkan, berdasarkan aturan tersebutlah Responden Penuntut Umum tersebut terpaksa mengabaikan pertimbangan hati nuraninya, dengan memberikan tuntutan pidana penjara kepada Terdakwa karena walaupun seandainya Penuntut Umum akan menuntut Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
383
hukuman percobaan maka dia harus mengajukan rentut setidaknya ke tingkat Kajati yang tentu saja menyita waktu lama, dengan mengajukan dalil-dalil yang dapat meyakinkan pimpinan yang tidak menutup kemungkinan Penuntut Umum akan dicurigai melakukan “permainan”. Pengalaman di atas menunjukkan bahwa mekanisme rentut pada umumnya telah mengganggu kemandirian Penuntut Umum dalam menyusun Surat Tuntutan karena Penuntut Umum terpaksa mengabaikan hati nuraninya demi mematuhi perintah atasan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa amar tuntutan pidana yang dibacakan Penuntut Umum adalah hasil persetujuan atau pendapat dari pimpinan dengan melalui mekanisme rentut, yang ada kalanya pimpinan sependapat dengan pendapat Penuntut Umum (confirm) tetapi tidak jarang juga pimpinan tidak sependapat dengan pendapat Penuntut Umum, berdasarkan hasil penelitian dengan mewawancarai responden Penuntut Umum, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: 1. Pimpinan yang kurang memahami latar belakang perkara serta kebiasaan yang berkembang di masyarakat setempat, 2. Kecurigaan pimpinan terhadap penuntut umum, bahwa Penuntut Umum melakukan manipulasi pendapat atau penyalahgunaan wewenang, 3. Pimpinan terlalu kaku menjalankan aturan atau pedoman tuntutan pidana. Melengkapi penelitian ini, Penulis juga mengumpulkan keterangan dari Para Responden mengenai kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan mekanisme rentut tersebut, yaitu: 1. Mekanisme rentut membutuhkan waktu yang lama, bila rentut pada tingkat Kajari mulai dari Penuntut Umum menghadap pimpinan dan menunggu pimpinan memberi pendapat apabila pimpinan kebetulan tidak berada di kantor, sedangkan untuk tingkat Kajati atau Jaksa Agung akan memakan waktu yang lebih lama lagi karena setelah melewati proses sampai Kajari, Penuntut Umum mengirimnya ke Kajati / Jaksa Agung melalui faximile kemudian hasilnya ditunggu, menurut pengalaman para responden biasa memakan waktu 2 minggu lebih; 2. Mekanisme rentut merupakan bentuk intervensi pimpinan terhadap kemandirian Penuntut Umum, hal ini disebabkan karena: a. Adanya kepentingan pimpinan dalam perkara tersebut; b. Pimpinan terkadang mengabaikan pertimbangan Penuntut Umum, saran dan pendapat Penuntut Umum tidak diakomodir; 384 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
c. Adanya moral pimpinan yang tidak percaya dan selalu mencurigai Penuntut Umum apabila menuntut dengan tuntutan pidana yang ringan; 3. Berat ringannya Tuntutan Pidana seharusnya menjadi kewenangan Penuntut Umum karena Penuntut Umumlah yang mengetahui jalannya persidangan serta hal-hal yang berkembang dalam perkara tersebut, tetapi justru tuntutan pidananya ditentukan oleh pimpinan; 4. Pedoman tuntutan pidana yang diatur dalam SEJA Nomor 013/A/JA/12/2011 yang tidak sesuai dengan hati nurani Penuntut Umum, misalnya apabila Penuntut Umum akan menuntut dengan pidana percobaan maka harus meminta persetujuan Kajati atau Jaksa Agung, demikian juga pengkategorian penentuan tuntutan yang dinilai Penuntut Umum sangat berat bila diterapkan. Berdasarkan data tersebut di atas, maka mekanisme rentut yang pada awalnya dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja Penuntut Umum dan mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penyusunan tuntutan pidana pada kenyataan dan pelaksanaannya menyebabkan Penuntut Umum tidak independen yang menurut Penulis independensi atau kemandirian itu sendiri menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan suatu penuntutan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi masalah baru manakala seandainya mekanisme rentut ini dihilangkan, salah satunya adalah abuse of power oleh oknum Penuntut Umum karena hal tersebut dapat dijadikan celah oleh oknum untuk mengadakan tawar menawar Tuntutan Pidana dengan Terdakwa, namun menurut Penulis, terhadap hal tersebut perlulah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang mengapa terjadi Penuntut Umum yang bermental demikian (hal ini di luar ruang lingkup penelitian Penulis), sehingga dapat ditemukan solusi untuk mengatasi hal tersebut tetapi dengan tidak mengusik independensi yang sejatinya melekat pada diri seorang Penuntut Umum. Dalam teori peranan sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmann, bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi, yaitu structure (struktur), substance (substansi) dan legal culture (budaya hukum) dalam sebuah masyarakat. Selanjutnya, dijelaskan oleh Friedmann bahwa struktur dari sistem hukum juga terdiri dari lembaga hukum yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada, dengan kata lain, struktur sistem hukum adalah diibaratkan sebagai mesin penggerak bagi majunya roda-roda yang hendak digerakkan. Banyak yang harus dibenahi dalam kerangka reformasi terhadap struktur hukum, misalnya menyangkut pembenahan kedudukan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 385
Hakim, Jaksa dan Pengacara, meskipun hanya menyangkut gaji dan tunjangan yang perlu dinaikkan. Ada pula yang mengusulkan untuk memulainya dari institusi hukum yang paling tinggi yaitu Makhamah Agung.17 Sedangkan menurut Yudi Kristianadi, mengenai aspek struktur atau kelembagaan hukum adalah UUKRI dan peraturan internal Kejaksaan dengan karakter yaitu bercorak birokratis, sentralistik, manganut pertanggungjawaban hierarkis dan berlaku sistem komando.18 Mekanisme rentut yang berlaku saat ini dalam internal Kejaksaan adalah sebagai imbas karakteristik lembaga Kejaksaan yang tersentralisasi dengan sistem pertanggungjawaban secara hierarkis terkomando, yang merupakan ciri dari lembaga Kejaksaan pada sistem peradilan Eropa Kontinental. Jaksa Agung adalah sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi dalam kebijakan penuntutan, karena sesungguhnya yang mempunyai wewenang penuntutan adalah Jaksa Agung yang sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggungjawab hierarkinya, sehingga tidaklah salah apabila Jaksa Agung berwenang untuk dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah serta kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan dalam hal ini mekanisme rentut. Sehingga kedudukan lembaga Kejaksaan sebagai elemen dalam struktur pada sistem penegakan hukum harus terjaga profesionalitas maupun kemandiriannya baik kemandiriannya sebagai suatu lembaga, kemandirian Jaksa Agung sebagai pimpinan institusi serta kemandirian fungsional yang ada pada Jaksa sebagai Penuntut Umum. Adapun yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi dalam sistem hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Substansi hukum juga dapat berupa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem tersebut, mencakupi keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakupi living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law in the books).19 Substansi yang dimaksud dalam bahasan Penulis adalah produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum dalam hal ini aturan mengenai mekanisme 17 Lawrence M. Friedmann, American Law an Introduction, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, sebagaimana disadur oleh Wishnu Basuki, (New York: WW. Norton and Company, 1984), hlm. 189-190. 18 Yudi Kristiana. Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 171. 19 Adang & Anwar Yesmil, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Kompas Gramedia, 2008, hlm. 202
386 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
rentut, bahwa mekanisme rentut adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung sebagai pemegang kendali tugas penuntutan, tentunya aturan tersebut dibuat dengan harapan dapat menunjang keberhasilan penuntutan demi tercapainya keadilan dalam penegakan hukum. Harapan tersebut dapat tercapai dengan baik manakala ditunjang dengan pelaksanaan yang profesional. Budaya hukum merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparatur penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur dalam sistem hukum untuk menjalankan aturan hukum yang telah di tetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung dengn budaya hukum oleh elemen-elemen dalam sistem hukum tersebut, maka penegakan hukum tidak akan berjalan ideal. Keberhasilan suatu penegakan hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum aparatur penegaknya, demikian pula dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk keberhasilan tugas penuntutan dalam hal ini adalah mekanisme rentut sangat ditentukan oleh cara bertindak jajarannya, yaitu pimpinan-pimpinan di setiap tingkatan juga termasuk Jaksa sebagai Penuntut Umum. Dalam hal ini perilaku pimpinan-pimpinan yang “berkepentingan” mengintervensi Tuntutan Pidana Penuntut Umum, budaya pimpinan yang selalu mencurigai bawahannya (Jaksa sebagai Penuntut Umum) “bermain” manakala Penuntut Umum memberikan Tuntutan Pidana yang ringan, demikian pula perilaku Penuntut Umum yang menyalahgunakan kewenangannya untuk meraup keuntungan, adalah budaya hukum yang sangat tidak diharapkan karena dapat merusak sistem hukum yang telah ditata dengan baik untuk menegakkan keadilan dalam sistem peradilan. PENUTUP Kesimpulan Bertolak dari perumusan masalah serta uraian hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka Penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Surat Edaran JaksaAgung (SEJA) yang mengharuskan mekanisme rentut sebagaimana diatur dalam SEJA Nomor 9 Tahun 1985 sebagaimana telah disempurnakan dalam SEJA Nomor 003/A/JA/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi dan SEJA Nomor 013/A/JA/12/2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum, dibuat dengan maksud sebagai kontrol dan pengawasan pelaksanaan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
387
pedoman tuntutan pidana oleh Penuntut Umum agar tercipta tuntutan pidana yang adil dan layak bagi Terdakwa sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun dalam pelaksanaannya, tujuannya untuk menciptakan tuntutan pidana yang adil dan layak belum sepenuhnya terwujud. Secara yuridis, mekanisme rentut tidak diatur dalam perundang-undangan, bukan merupakan hukum, melainkan adalah suatu himbauan pimpinan dalam hal ini Jaksa Agung kepada bawahannya, sehingga keberadaannya tidak menjadi kewajiban untuk diikuti tetapi menjadi suatu pedoman. Namun secara sosiologis, keberadaannya menjadi suatu perintah pimpinan yang harus dipatuhi, karena posisi Jaksa Agung sebagai pemegang kendali tugas penuntutan dalam hierarki kelembagaan serta prinsip een en ondelbaar “Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan”. 2. Kemandirian lembaga Kejaksaan bukan hanya mengenai kemandiriannya sebagai lembaga ataupun kemandirian Jaksa Agung sebagai pimpinannya, tapi juga kemandirian jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bukan hanya bebas dari pengaruh luar tapi dalam konteks pelaksanaan fungsionalnya juga harus bebas dari pengaruh atau intervensi dari dalam institusinya termasuk Pimpinannya. Mekanisme rencana tuntutan mempengaruhi independensi Penuntut Umum dalam penyusunan Surat Tuntutan karena dalam pelaksanaannya menjadi intervensi pimpinan terhadap Penuntut Umum yang idealnya harus independen karena dalam penanganan suatu perkara, Penuntut Umumlah yang mengetahui seluk beluk perkara serta jalannya persidangan sehingga lebih dapat menilai tuntutan pidana yang layak dan adil untuk Terdakwa. Selain itu mekanisme rentut itu sendiri terkadang tidak sesuai dengan hati nurani Penuntut Umum. Dengan demikian keadilan serta independensi Penuntut Umum dalam penyusunan Surat Tuntutan dapat terwujud. Saran Menanggapi permasalahan dan hasil penelitian ini, Penulis menyampaikan beberapa saran, yaitu: 1. Pendelegasian kewenangan penuntutan hendaknya langsung kepada Penuntut Umum agar independensi tugas penuntutan dapat terwujud. 2. Untuk mendukung pelaksanaan keberhasilan tugas penuntutan yang independen tersebut, perlu dilakukan peningkatan kualitas terhadap Jaksa, baik secara intelektual maupun akhlak. Dimulai dari kuaalitas proses penerimaan calon Jaksa, kualitas pendidikan, pelatihan dan pembentukan Jaksa serta pelaksanaan pelatihanpelatihan teknis yang berkualitas yang berkaitan dengan tugas penuntutan. 388
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
3. Mekanisme rentut ditiadakan dengan membuat kebijakan baru yang fungsinya tetap untuk mengontrol dan mengawasi kinerja Jaksa sebagai Penuntut Umum tetapi tanpa melakukan intervensi terhadap berat ringannya tuntutan pidana yang akan dijatuhkan, misalkan yang selama ini telah berjalan yaitu gelar perkara terbuka secara internal sehingga pimpinan mempunyai tolak ukur dan penilaian terhadap tuntutan pidana dalam perkara tersebut, ketika terindikasi ada penyimpangan oleh Penuntut Umum, langsung diperiksa dan diberi sanksi tegas yang memberi efek jera. 4. Pedoman Tuntutan Pidana, sebagaimana yag telah tertuang dalam SEJA tetap diperlukan sebagai tolak ukur pemberian Tuntutan Pidana dari Penuntut Umum dan menghindari disparitas, sehingga menghasilkan Tuntutan Pidana yang layak dan adil kepada Terdakwa. 5. Kalaupun mekanisme rentut tidak dapat dihapuskan, maka: a. Pemegang delegasi kewenangan penuntutan yang saat ini masih ada pada Kepala Kejaksaan Negeri ataupun Kepala Kejaksaan Tinggi, tidak lagi melakukan intervensi terhadap penentuan berat ringannya tuntutan pidana, fungsinya hanya sebatas fungsi kontrol dan pengawasan b. Untuk menghindari mekanisme rencana tuntutan yang berlarut-larut dan memakan waktu yang tidak singkat, maka perlu dilakukan penyederhanaan birokrasi yang lebih efesien dan efektif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi. DAFTAR PUSTAKA Adang dan Anwar Yesmil, 2008. Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Kompas Gramedia. Andi Hamzah, 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Bambang Sunggono. 2006. Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. BD. Simarsita. 2000. Posisi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang Lebih Menjamin Perwujudan Keadilan dan Kepastian Hukum. Jakarta: Puslitbang Kejaksaan Agung RI. H.M.A. Kuffal, 2005. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Lawrence M. Friedmann, 1984. American Law an Introduction, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, sebagaimana disadur oleh Wishnu Basuki, New York: WW. Norton and Company. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
389
Yudi Kristiana. 2006. Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sumber lainnya: Andi Hamzah, 2003. Kemandirian dan kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Makalah. Disampaikan dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Depkumham, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Detik News. 2012. Dikutip pada laman website: http://www.detiknews.com/basriefpeniadaan-rentut-akan-dilakukan-secara-bertahap diunduh pada Senin, 5 Nopember 2012. Kemerdekaan Profesionalisme Jaksa sebagai Penuntut Umum: Analisis Terhadap Kebijakan Rencana Tuntutan. Dikutip pada laman website: http://zulakrial. blogspot.com/2010/10/kemerdekaan-profesionalisme-jaksa-sebagai-penuntutumum:analisis-terhadap-kebijakan-rencana-tuntutan, diunduh pada Kamis, 1 Nopember 2012. Lembaga Survei Indonesia. Dikutip pada laman website: http://nasional.inilah.com/ read/detail/1816764/survei-lsi-buktikan-buruknya-polri-kejaksaan, diunduh pada tanggal 20 Nopember 2012. Radio Republik Indonesia. Dikutip pada laman website: http://rri.co.id/index.php/ detailberita/detail/36067#.UKyHsWePSWY, diunduh pada tanggal 20 Nopember 2012.
390 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERHADAP HAK TERSANGKA DALAM LEMBAGA PRAPERADILAN Takkas Marudut, Aswanto, Alma Manuputty
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERHADAP HAK TERSANGKA DALAM LEMBAGA PRAPERADILAN Oleh: Takkas Marudut1, Aswanto2, Alma Manuputty2 Kejaksaan Tinggi Papua Jl. Anggrek No. 6 Tanjung Ria, 99117, Jayapura 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 2
*
E-mail:
[email protected] Abstract
The research aimed to: 1) Describe the implementation of the human rights principles of the suspects in the pre-judicature; (2) Analyse the factors that affect human rights of the suspects in pre-judicature. This was a normative-empirical research. Respondents are judge, suspect, investigator, public prosecutor. The primary data were derived from the interview result. The secondary data were derived from the primary, secondary, tertiary legal materials. The data were collected by an interview and documentation. The data were analysed qualitatively. The research result indicates that the implementation principles human rights sch as the principles of openness, principles of fairness, principles of legal certainty guarantee, principles of security and orderliness guarantee and principles of freedom in the human rights protection of suspects in pre-judicature in Merauke Distrct Court jurisdiction has not been effective. Factors that affected the protection human rights of the suspects in pre-judicature are the behavior and competence of the judges, a conflict of interest between investigator and prosecutor, conflict of interest and legal policy or legislation. Keywords: Freedom, Security and Orderliness, Prejudicature Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menjelaskan implementasi prinsip-prinsip hak asasi manusia terhadap hak tersangka pada lembaga pra peradilan; 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka pada lembaga praperadilan. Tipe penelitian adalah normatif-empiris. Data primer bersumber dari hasil wawancara. Data sekunder bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi prinsip-prinsip hak asasi manusia berupa prinsip keterbukaan, prinsip keadilan, prinsip jaminan kepastian hukum, prinsip jaminan keamanan dan ketertiban, serta prinsip kebebasan dalam perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka pada Lembaga Praperadilan di wilayah hukum Polresta Merauke belum efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka pada Lembaga Praperadilan adalah perilaku, kompetensi, pengadministrasian, konflik kepentingan dan kebijakan hukum serta wewenang. Kata Kunci: Kebebasan, Keamanan Dan Ketertiban, Praperadilan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Hukum dan Manusia, Manusia dan Hukum, senantiasa menuntut keterpaduan atau sinergitas dalam berbagai aktivitas penegakan dan perlindungan hukum serta perlindungan hak asasi manusia (HAM). “Hukum adalah Untuk Manusia”, bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar.1 Del Vasechio dalam A.Masyhur Efendi menyatakan bahwa manusia adalah ius iurdicus (manusia hukum), karena hukum dan manusia sepanjang hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan, kalau manusia ingin hidup aman, tentram, damai, adil dan makmur.2 Hukum dalam arti yang luas menerobos masuk ke dalam seluruh kehidupan manusia, baik dalam hal-hal yang paling elementer, sederhana maupun ke dalam hal - hal yang paling dalam dan mendasar. 3 Kaitan HAM dengan hukum sangat erat, karena sekalipun HAM merupakan hak negatif (negative rights) karena sifatnya yang kodrati dan universal sehingga tidak memerlukan pengesahan, namun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang semakiin kompleks, pengaturan hukum terhadap HAM (positivization rights) akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara hukum. Sikap bangsa Indonesia sudah jelas, bahwa yang dianut adalah pandangan Partikularistik-relatif, dengan berusaha untuk menemukan titik dialogis di antara empat pandangan tersebut atas dasar Pancasila dan UUD NRI 1945, tanpa mengesampingkan substansi dokumen - dokumen internasional tentang HAM4. Hal ini sesuai dengan pandangan komprehensif-integral yang dianut atas dasar Asas kekeluargaan, yang harus mengacu pada pendekatan sistemik (system approach). Pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Permasalahannya bahwa, kedudukan Indonesia sebagai Negara Hukum belum sepenuhnya mampu mensinergikan antara penegakan dan perlindungan hukum serta perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks tersebut, seperti dikatakan Bank 1 Santos, dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bhakti,2006. h. 223 2 Del Vasechio dikutif A.Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. PT Ghalia Indonesia, 1994.h.126. 3 Ibid 4 A.Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dan Aplikasinya Dalam Negara Hukum RI, Alumni Bandung, 1980.h.76-81.
394 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Dunia5 bahwa kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan mahal. Hampir dimana-mana kerendahan budi merajalela dan rakyat serta bangsa makin tidak bahagia. Salah satu aspek dalam sistem peradilan pidana yang memerlukan penerapan prinsipprinsip HAM tersebut adalah perlindungan HAM terhadap tersangka pada Lembaga Praperadilan. Terkait dengan eksistensi Lembaga Praperadilan tersebut sudah diterapkan di berbagai Negara, termasuk di Indonesia. Di Eropa, seperti di Belanda, dikenal fungsi Hakim Komisaris (Rechter commisaris) yang fungsinya melakukan pemeriksaan pendahuluan; di Francis, dikenal dengan Judge d’ Instruction, yang fungsinya selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.6 Dalam pandangan KUHAP Indonesia, Praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris hanya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan namun tidak memiliki kewenangan untuk menilai sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa. Hal ini tercermin pada Pasal 77 KUHAP yang mengatur bahwa, Praperadilan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam ketentuan undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Hal tersebut juga selaras dengan Pasal 1 butir 10 KUHAP yang mengatur bahwa, Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Permasalahannya bahwa, di dalam KUHAP, tidak ada ketentuan dimana Hakim Praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim Praperadilan tidak melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada Jaksa Penuntut Umum, bahkan tidak ada kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan 5 Bank Dunia, Menciptakan Peluang Keadilan (Laporan atas studi”Village Study in Indonesia dan Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal), Jakarta: Bank Dunia, 2005. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bhakti,2006. h.114 6 Oemar Seno Adji, Hukum, Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, h. 88.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 395
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman seseorang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, dan bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya: berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri, dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri. Secara administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.7 Hal ini menggambarkan bahwa eksistensi Praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Terlepas dari kelemahan tersebut, namun secara esensial maksud dan tujuan yang hendak diwujudkan dari lembaga Praperadilan adalah demi tegak dan dilindunginya hukum serta perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Hal ini berarti bahwa, Lembaga Praperadilan bukan sekedar untuk menilai sah atau tidak sahnya penahanan dan penangkapan, melainkan juga berperan sebagai penegak prinsip-prinsip HAM bagi para pencari keadilan, termasuk tersangka atau terdakwa. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam berbagai kasus, khususnya pada Perkara Nomor 01/Pid.Pra/ 2012/ PN Mrk., permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa ditolak, dibatalkan, dihentikan atau digugurkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Merauke. Secara umum, ada dua alasan utama dikemukakan oleh Hakim yang mendasari putusan atau penetapan penolakannya tersebut, yaitu: Pertama, menggunakan Pasal 82 ayat (1) KUHAP8 yaitu permintaan praperadilan gugur jika suatu perkara sudah dilimpahkan atau 7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua,Sinar Grafika, Jakarta, 2006.h 1. 8 Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP, menentukan dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh PN, sedangkan pemeriksaan permintaan Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut Gugur.
396 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
diperiksa di Pengadilan; Kedua, untuk menghindari terjadinya putusan yang berbeda. Permasalahannya, alasan yang digunakan oleh Hakim tersebut terkesan menyesatkan atau manipulatif, sebab di satu sisi pihak panitera atau administrasi di Pengadilan menerima pendaftaran permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dan disisi lain juga sudah menerima pelimpahan berkas perkara (BAP) tersangka atau terdakwa. Jika memang pihak Pengadilan sudah menerima pelimpahan BAP dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) lalu mengapa harus menerima permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa yang bersangkutan. Hal ini mengisyaratkan adanya sistem pengadministrasian perkatra yang tidak tertib. Selanjutnya, pada alasan kedua, adalah untuk menghindari terjadinya putusan yang berbeda. Alasan ini juga terkesan absurd dan ambigu serta multitafsir bahkan kriminogen dan viktimogen. Dikatakan demikian sebab, mana mungkin akan timbul dualisme putusan jika Hakim mendahulukan dan menyelesaikan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa; dan mana mungkin Pengadilan dapat memeriksa perkara pokok sebelum menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan. Realitas tersebut mengindikasikan bahwa, Hakim di Lembaga Praperadilan cenderung lebih mengedepankan atau mengutamakan kepentingan administrasi dan kelembagaannya untuk menolak, membatalkan, menghentikan atau menggugurkan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa. Bahkan, alasan yang dikemukakan oleh Hakim yang mendasari sikapnya menyiratkan adanya kepentingan lain yang mempengaruhi putusan penolakannya tersebut. Menyelami lebih jauh, Hakim cenderung mengesampingkan amanat Pasal 77 KUHAP, yang pada intinya menghendaki pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan tersangka atau terdakwa yang meminta praperadilan. Ketentuan ini menekankan aspek pidana materiil atau keadilan substansial yang seharusnya menjadi perhatian oleh Hakim. Namun kenyataannya, Hakim lebih cenderung mengutamakan aspek keadilan prosedural sehingga hanya memilih Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Dari kasus tersebut menyiratkan pula bahwa, Hakim diperhadapkan pada konflik kepentingan, yakni antara memenuhi hak dan kepentingan tersangka atau terdakwa dan memenuhi kepentingan penyidik, JPU serta Ketua Pengadilan bahkan pihak korban dan pihak lainnya yang berkepentingan. Hakim menghadapi risiko yang berat jika memilih memenuhi kepentingan tersangka atau terdakwa, dan karenanya menentukan pilihannya pada non kepentingan tersangka atau terdakwa. Hakim lebih memilih cara aman dan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
397
menguntungkan bagi diri serta kariernya. Berpangkal tolak dari uraian tersebut maka aspek penegakan hukum dan pelaksanaan prinsip - prinsip HAM (seperti prinsip keterbukaan, keadilan, jaminan kepastian hukum, keamanan dan ketertiban, dan prinsip kebebasan) dalam proses praperadilan terhadap tersangka perlu dikaji dengan hukum positif, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Teori Stufenbau mengatakan, bahwa hukum positif perlu didudukkan sebagai objek studi. Hukum positif sebagai tatanan hukum mulai dari hukum dasar sampai kepada peraturanperaturan yang paling konkrit atau individual.9 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan pokok permasalahan, yakni bagaimanakah implementasi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) terhadap hak tersangka pada lembaga praperadilan? METODE PENELITIAN Tipe dan Desain Penelitian Tipe penelitian ini adalah Normatif-Empiris. Tipe Normatif digunakan untuk mengkaji dasar-dasar teori hukum yang ada dan bahan hukum (perundang-undangan) dalam memecahkan permasalahan, yakni perlindungan HAM terhadap tersangka pada lembaga praperadilan. Tipe Empiris digunakan untuk menggambarkan temuan penelitian secara utuh atas kondisi riil yang terjadi di lapangan. Desain penelitian adalah studi kasus, yakni mengkaji permasalahan pokok secara mendalam dari aspek normatif atau hukum pidana dan sosiologi hukum, yang dirancang untuk tujuan analisis secara normatif dan empiris berdasarkan logika dan argumentasi hukum, menemukan fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan yang selanjutnya dianalisis solusinya.10 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yakni April 2013 di Pengadilan Negeri Merauke Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, tidak jarang hak-hak tersangka untuk mengajukan praperadilan ditolak tanpa alasan yang jelas. Jenis dan Sumber Data Menyangkut jenis dan sumber data yang digunakan untuk menjadi bahan analisis, 9 Hans Kelsen. Reine Rechtskehre, Wien: (Terjemahan Satjipto Rahardjo, 2006) Franz Deuticke,1976 10 Soekanto, Soerjono. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Air Langga,1988. h.31
398 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
yaitu: 1. Data Primer yang bersumber dari hasil wawancara mendalam dengan sejumlah informan. 2. Data Sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan bersumber dari dokumen resmi, seperti: peraturan perundang-undangan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer; yang bersumber dari bahan pustaka atau karya tulis ilmiah di bidang hukum. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan (sistem dan prosedur) terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang bersumber dari kamus hukum. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) prosedur: 1) Wawancara, yakni melalui wawancara langsung dan berstruktur serta mendalam (in depth interview) dengan informan untuk menggali informasi mengenai perlindungan HAM terhadap tersangka pada lembaga praperadilan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara; dan 2) Dokumentasi, yaitu melalui kajian literatur, dokumen, laporan hasil penyidikan dan pemeriksaan perkara pidana. Analisis Data Data yang terkumpul, diolah dan kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Untuk menjawab pokok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dilakukan analisis deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul, diolah kemudian dianalisis. Dalam pengolahan data, data primer yang berasal dari jawaban informan, diinterpretasikan dan dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yakni dari hal khusus ke hal umum. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Impelementasi Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia terhadap Tersangka pada Lembaga Praperadilan Kebutuhan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam sistem dan proses peradilan pidana khususnya pada Lembaga Praperadilan semakin urgen, vital dan strategis terutama dalam memenuhi hak-hak tersangka. Lembaga Praperadilan sebagai suatu fasilitas dalam berhukum acara pidana, perlu memainkan peranannya secara maksimal dalam memenuhi Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
399
keadilan bagi tersangka baik keadilan prosedural maupun keadilan substantif. Kasus Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Merauke, diperoleh gambaran mengenai kasus atau perkara pidana dengan Tersangka yang ditolak permohonan praperadilannya oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan Penetapan Nomor : 01/Pid.Pra/ 2012/ PN Mrk., Tersangka Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim mengajukan permohonan pra-peradilan kepada Pengadilan Negeri Merauke atas penangkapan dan penahanannya. Untuk tujuan itu, Ketua Pengadilan membuat Penetapan Nomor : 01/Pen.Pra/ 2012/ PN Mrk. tertanggal 30 Mei 2012 tentang Penunjukkan Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara, Penetapan Hakim Nomor : 01/Pen.Pra/ 2012/ PN Mrk. tertanggal 30 Mei 2012 tentang Persidangan Pertama, Risalah Panggilan masing-masing tertanggal 31 Mei 2012 dan tertanggal 01 Juni 2012 yang ditandatangani oleh Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Merauke, Pelimpahan Perkara / Turunan Nomor : TAR – 507/T.1.115/EP.2/06/2012 tertanggal 13 Juni 2012, dan Surat Dakwaan No.PDM-84/ Mrk/Ep.2/06/2012 tertanggal 13 Juni 2012. Selanjutnya Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Nomor : 83-VI/Pen.Pid.B/ 2012/ PN Mrk. tertanggal 13 Juni 2012 tentang Penunjukkan Hakim Majelis yang menyidangkan dan mengadili perkara Pasal 152 ayat (1) jo. Pasal 56 UU No.8 Tahun 2004 jo. Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004. Jawaban Kuasa Termohon “Kuasa Termohon dalam jawabannya menolak dalil para Pemohon dan menyatakan Penahanan atas diri para Pemohon adalah Sah dan Berdasar Hukum.” Pertimbangan Hakim Terlepas dari terbukti tidaknya apa yang didalilkan para Pemohon dalam Surat Permohonan Praperadilan maupun bantahan dari Kuasa Termohon, Hakim mempunyai pertimbangan hukum tersendiri, seperti diuraikan berikut: a. Pengadilan Negeri Merauke telah menerima pelimpahan berkas perkara pidana dari Kepala Kejaksaan Negeri Merauke No. : TAR – 507/T.1.115/EP.2/ 06/2012 tertanggal 13 Juni 2012 atas nama terdakwa Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim (para Pemohon Praperadilan) dan para Terdakwa ditahan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Merauke dengan Surat Perintah Penahanan Tingkat Penuntutan Nomor : Print-509/T.1.15/Ep.2/06/2012 tertanggal 11 Juni 2012 atas nama Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim selama 20 (duapuluh hari) sejak tanggal 11 Juni 2012 sampai tanggal 01 Juli 2012 di Rutan Kelas IIIB Merauke. b. Berdasarkan pelimpahan berkas perkara Pemohon Praperadilan dari Kejaksaan Negeri Merauke, Pengadilan Negeri Merauke telah mencatat dan memberikan nomor perkara pidana dengan Nomor 83/ Pid.B/2012/PN Mrk. 400
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
c. Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP, menentukan dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai Permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut Gugur. d. Apa yang dimaksudkan dalam Pasal tersebut mempunyai pengertian apabila Berkas Perkara atas nama para Pemohon Praperadilan telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri maka permintaan Praperadilan harus dinyatakan Gugur. e. Sejak Pengadilan Negeri menerima berkas perkara atas nama para Pemohon Praperadilan, maka sejak saat itu pula kewenangan Penahanan atas Terdakwa/ para Pemohon Praperadilan beralih kepada Pengadilan Negeri dalam hal ini Majelis Hakim yang ditunjuk atau dengan kata lain Terdakwa tidak lagi ditahan oleh Penyidik atau Penuntut Umum tetapi ditahan berdasarkan Penetapan Hakim. f. Sejak dilimpahkannya berkas perkara ke Pengadilan maka sejak saat utu pula pemeriksaan telah dilakukan. Jadi pemeriksaan yang dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP bukan pemeriksaan persidangan, tetapi Pemeriksaan atas Berkas Perkaranya. Pemeriksaan tersebut meliputi Pemeriksaan terpenuhi tidaknya Syarat Formil maupun Materiil. g. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP dan pertimbanganpertimbangan tersebut maka Permohonan para Pemohon Praperadilan haruslan dinyatakan Gugur. h. Dengan digugurkannya Praperadilan Para Pemohon, maka pokok-pokok pembahasan yang selain dan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lagi dan dengan dinyatakan Gugurnya Permohonan Praperadilan para Pemohon juga untuk menghindari terjadinya penjatuhan Putusan yang berbeda dan oleh karena itu lebih tepat pemeriksaan Praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkannya permintaan dan sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara tersebut ditarik dalam Kekuasaan / Kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutuskannya. Putusan Hakim “Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Para Pemohon Gugur” Sehubungan dengan hal tersebut, Rama Rossy Jhon Butiop, memberikan pandangannya bahwa: Sebenarnya saya dan Richaed sangat kecewa pada saat itu, karena kami ditangkap dan ditahan secara paksa tanpa ada Surat Perintah dan Penahanan. Kami ditangkap begitu saja oleh empat orang polisi kemudian kami juga diancam dan disiksa. Jadi menurut kami, Polisi asal main tangkap saja. Karena itu kami dengan Kuasa Hukum Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
401
kami Bu Betzy, Pa Beksi dan Pa Efrem sepakat untuk mengajukan permohonan praperadilan. Setelah satu bulan lebih menunggu eh ternyata permohonan kami ditolak atau dianggap gugur. Katanya Hakim sih bahwa permohonan praperadilan kami tidak bisa diteruskan dan harus dihentikan karena berkas perkara kami sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Padahal sepengetahuan kami baru beberapa hari kami ditangkap dan ditahan, maksud saya penahanan kami belum berakhir dalam 20 hari, kok begitu cepat dilimpahkan ke Pengadilan. Saya jadi curiga saat itu pihak keluarga korban dan pengacaranya yang menekan atau berusaha menyogok Hakim agar menggugurkan permohonan praperadilan kami. Pengacara saya waktu itu juga sempat marah dan berdebat dengan penyidik dan JPU dan juga oknum Hakim, padahal ada juga Jaksa dan Hakim lainnya bilang kalo Berkas Perkara kami belum pernah dilimpahkan. Kami bingung saat itu. Kami sengaja dikorbankan, dtangkap dan ditahan lalu disiksa padahal kami tahu kami belum tentu bersalah.11 Hal senada juga diungkapkan oleh Betzy, salah seorang Penasihat Hukum terdakwa bahwa: Waktu menangani perkara Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim itu kami dari penasihat hukum ada tiga orang, saya, Pa Efrem dan Pa Beksi. Kami sepakat mengajukan permintaan praperadilan ke Pengadilan karena kami melihat ada keganjilan dalam proses penangkapan klien kami. Pertama, tidak ada surat perintah, kedua, alat buktinya tidak jelas. Saya sendiri sempat marah kepada Pa Ignatius (Hakim) karena secara sepihak menghentikan atau menggugurkan permohonan praperadilan klien kami. Saya Tanya ke Penyidik dan JPU, katanya belum dilimpahkan perkara ke pengadilan, lalu saya bilang kenapa Hakim bilang sudah dilimpahkan. Pengajuan permintaan prapradilan jauh lebih duluan daripada pemeriksaan di persidangan. Setelah saya telusuri, oh ternyata ada oknum pejabat tinggi yang menekan pa Hakim. Kami tidak bisa berbuat banyak.12 Dalam kaitan itu, Ignatius, salah seorang Hakim di Pengadilan Negeri Merauke mengungkapkan bahwa : Saya sebenarnya oke-oke saja mau mengabulkan permohonan praperadilan terdakwa dan penasihat hukumnya, tapi terkadang saya tidak bisa berbuat banyak karena sudah ada perintah dari Ketua Pengadilan untuk mengambil keputusan atau tindakan tertentu. Tapi memang, seperti pada Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP sudah cukup jelas dikatakan bahwa kalau berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan maka tidak boleh ada lagi praperadilan. Artinya, permintaan praperadilan itu harus dibatalkan atau dihentikan alias digugurkan, begitu aturan mainnya.13 Adapun tanggapan Ketua Pengadilan Negeri Merauke, bahwa : Saya selaku Ketua Pengadilan tidak berhak mencampuri atau mengintervensi Hakim yang menangani atau memeriksa suatu perkara pidana. Saya hanya membuat surat perintah tertentu yang diperlukan untuk kelancaran proses peradilan. Walaupun 11 Wawancara, Kamis, 25 April 2013 12 Wawancara, Kamis, 25 April 2013. 13 Wawancara, Kamis, 25 April 2013.
402 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
sulit juga saya pungikiri bahwa terkadang kita mendapat tekanan dari luar.14 Selanjutnya, Stephanus, salah Jaksa Penutut Umum di Kejaksaan Negeri Merauke mengungkapkan bahwa: Kita di Kejaksaan tidak boleh menghalangi ataupun menghambat bilamana ada terdakwa atau penasihat hukumnya yang hendak mengajukan permohonan praperadilan. Kami selalu membuka jalan kepada tersangka atau terdakwa untuk memperoleh hak-haknya. Dalam kasus terdakwa Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim tahun kemarin, memang berkas perkaranya baru mau dilimpahkan ke pengadilan. Memang ada permintaan dari pihak-pihak tertentu pada saat itu agar segera dilimpahkan BAP ke pengadilan agar permohonan praperadilan terdakwa dapat dibatalkan, karena memang Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP sudah mengatur bahwa kalau berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan maka praperadilan harus dihentikan. Jadi itu yang terjadi.15 Markus, salah seorang Penyidik di Polresta Merauke mengungkapkan bahwa: Selama ini, kami penyidik cukup berhati-hati menangkap dan menahan orang, sebab kalau kita salah menangkap pelaku atau tersangka kan kita bisa malu bahkan kita bisa dituntut balik. Tahun lalu memang ada tersangka yang kami tangkap lalu ditahan. Setelah dimintai keterangannya dan juga keterangan saksi kemudian disusun dan dilengkapi BAPnya, lalu kami serahkan kepada JPU. Dibelakangan kami dengar ada permohonan praperadilan, tapi untung Hakim menggugurkannya sehingga kami bisa lega.16 Dari uraian tersebut di atas, menggambarkan bahwa, tersangka atau terdakwa telah berusaha menggunakan fasilitas untuk memenuhi hak-haknya memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri, namun Hakim di Pengadilan menolak atau menggugurkan permintaan permohonan praperadilan tersebut karenanya adanya ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP yang mengatur bahwa dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai Permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut Gugur. Analisis Implementasi Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Praperadilan telah menjelma menjadi salah satu fasilitas hukum pidana positif yang menggembirakan bagi para pencari keadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang memungkinkan tersangka atau terdakwa untuk memperoleh hak-haknya atas keadilan atau perlakuan (treatment) hukum yang adil, sebelum menjalani proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidananya lebih lanjut. 14 Wawancara, Rabu, 1 Mei 2013. 15 Wawancara, Jumat, 3 Mei 2013. 16 Wawancara, Kamis, 25 April 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
403
Adanya fasilitas praperadilan tersebut kiranya cukup beralasan, sebab menentukan seorang tersangka atau terdakwa bukanlah perkara mudah bagi penyidik, terlebih penyidik adalah juga manusia-manusia yang bisa keliru. lalai atau alpa yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan salah tangkap, ataukah bahwa ada kemungkinan suatu skenario sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjebak atau mengkriminalisasi seseorang atau lebih menjadi tersangka atau terdakwa karena kepentingan tertentu. Lembaga Pengadilan yang berwenang terhadap tersangka atau terdakwa selain mempunyai hubungan hukum juga memiliki hubungan perlindungan hak asasi manusia (HAM), sehingga kedua hubungan tersebut sulit dilepaskan dan atau tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan skema tersebut, dapat dianalisis lebih lanjut mengenai implementasi prinsip-prinsip HAM dalam proses praperadila pidana sebagaimana diuraikan berikut: Prinsip Keterbukaan Prinsip keterbukaan dalam proses peradilan pidana termasuk proses praperadilan menjadi salah satu hak tersangka atau terdakwa. Keterbukaan juga berarti bahwa antara antara subyek hukum dengan penegak hukum harus senantiasa terbangun hubungan komunikasi yang baik dan transparan satu sama lain. Tersangka atau terdakwa, adakalanya mengalami banyak hal yang mungking kurang jelas atau tidak dipahami sebab musababnya secara baik, seperti mengapa ia ditangkap dan ditahan, atas dasar apa dan bukti permulaan apa yang mendasari penangkapan dan penahanannya oleh penyidik17 . Demikian pula halnya masalah seperti mengapa tersangka atau terdakwa ditekan, diintimidasi, diancam, ataukah tidak diberikan kesempatan untuk didampingi penasihat hukum dan saksi meringankan, padahal hak-hak tersangka sudah dijamin oleh Undang-Undang untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi seperti yang dikemukakan oleh H.M.A Kuffal18, ataupun yang diatur dalam Pasal 117 KUHAP. 19 17 Hak Tersangka pada dasarnya adalah hak konstitusional seorang baik yang didapat sejak lahir maupun hak yang diberikan oleh UU, terutama dalam hal statusnya sebagai tersangka. Di dalam KUHAP, beberapa hak Tersangka, di antaranya: a) Hak untuk mengetahui dasar alasan penggunaan upaya paksa; b) Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi; c) Hak untuk mengungkapkan pendapat baik lisan maupun tertulis; d) Hak untuk diam, dalam artian tidak memberikan pengakuan atau pernyataan; e) Hak untuk memperoleh bantuan hukum; f) Hak untuk mengajukan saksi A De Charge mulai dari proses penyidikan. 18 H.M.A Kuffal, dalam Yesmil Anwar dan Adang, (2009), hlm. 65. Menurutnya, hak-hak tersangka diatur dalam Pasal 50-68, antara lain: hak untuk segera mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan dengan bahasa yang dapat dimengerti, hak untuk memberikan keterangan secara bebas, hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa dan bantuan penasihat hukum, pejabat penegak hukum wajib menunjuk penasihat hukum, hak untuk menghubungi penasihat hukum, Hak untuk mendapat kunjungan dokter pribadi dan keluarga, dan hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. 19 Pasal 117 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa keterangan tersangka dan atau saksi yang diberikan kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Karena
404 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Berbagai hal yang menimbulkan tanda tanya pada diri tersangka atau terdakwa tersebut seringkali tidak memperoleh penjelasan dari penyidik ataupun penuntut umum padahal penyidik memiliki kewajiban untuk menyampaikan berbagai hal terkait perlakuannya terhadap subyek hukum yang bersangkutan. Namun demikian, walaupun penyidik mempunyai kewajiban memberitahukan kepada tersangka atau terdakwa mengenai hak-haknya di samping hal-hal lainnya, namun tidak ada sanksi hukum kepada oknum penyidik yang mengabaikan kewajiban hukumnya tersebut. Kondisi perlakuan yang dialami tersangka atau terdakwa yang kurang menguntungkan atau kurang menggembirakan demikian dapat menjadi alasan untuk mengajukan proses praperadilan ke Pengadilan Negeri karena sesuai Pasal 77 KUHAP20 bahwa Pengadilan Negerilah yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara dalam praperadilan. Jadi, permintaan praperadilan oleh tersangka atau terdakwa kiranya cukup beralasan yakni untuk meminta perlindungan hukum atas berbagai perlakuan yang diterima atas hak-haknya yang kurang atau tidak terpenuhi, ataukah karena adanya pelanggaran kewajiban oleh penyidik. Kekosongan hukum yang mengatur sanksi bagi penyidik yang melakukan pemeriksaan dengan melanggar kewajiban atau tanggungjawabnya semakin memperjelas pentingnya praperadilan bagi tersangka atau terdakwa. Dari temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa, tersangka atau terdakwa Rama Rossy Jhon Butiop dan Richard Kupumim bersama penasihat hukumnya mengajukan permohonan praperadilan karena menerima sejumlah perlakuan dari oknum penyidik yang tidak atau kurang jelas dasar atau alasannya. Permasalahannya bahwa, dalam proses praperadilan, permintaan atau permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa di Pengadilan Negeri Merauke dinyatakan gugur oleh Hakim. Secara umum, ada dua alasan yang dikemukakan oleh Hakim, yaitu Pertama, karena berkas perkara terdakwa sudah dilimpahkan ke pengadilan (dengan mengacu kepada Pasal 82 ayat (1) KUHAP), dan Kedua, penghentian permohonan praperadilan tersebut untuk menghindari terjadinya putusan berbeda. Mencermati lebih jauh hal tersebut, menyiratkan adanya suatu hak yang tidak dikomunikasikan oleh Hakim maupun Penyidik dan JPU kepada terdakwa bersama penasihat hukumnya. Hak tersebut adalah keterbukaan atas alasan-alasan yang dikemukakan oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya menolak atau menghentikan tersangka dan atau saksi wajib memperoleh perlindungan hak asasi. 20 Pasal 77 KUHAP: Praperadilan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam ketentuan undang-undang ini tentang : (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ; (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 405
permohonan praperadilan. Antara
tersangka
atau
terdakwa
dan
penasihat
hukumnya
mengalami
miscommunication dengan JPU, Penyidik dan Hakim di Pengadilan Negeri mengenai status BAP. Tersangka atau terdakwa dan penasihat hukum-nya tidak mengetahui kalau Berkas Perkara (BAP)-nya sudah dilimpahkan oleh Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri (seperti yang dijadikan alasan oleh Hakim dalam menggugurkan permohonan praperadilan). Ketidaktahuan tersangka atau terdakwa dan penasihat hukumnya atas status BAP menimbulkan suatu spekulasi bahwa, Pertama, seharusnya Penasihat Hukum terdakwa melakukan crosscheck lebih dahulu ke JPU dan Penyidik atau di Pengadilan Negeri untuk memastikan status BAP kliennya sebelum mengajukan permohonan praperadilan; Kedua, ada kemungkinan Penasihat Hukum sudah melakukan crosscheck namun karena suatu alasan tertentu sehingga JPU tiba-tiba melimpahkan BAP ke Pengadilan; Ketiga, ada kemungkinan Penasihat Hukum sudah melakukan crosscheck, namun tidak mendapat penjelasan yang jelas dari pihak JPU atau pihak di Kejaksaan mengenai status BAP atau pelimpahannya ke Pengadilan. Keempat, ada kemungkinan JPU sengaja merahasikan status BAP terdakwa; Kelima, ada kemungkinan pihak Panitera di Pengadilan Negeri tidak memberitahukan kepada Hakim atau sengaja merahasikan status BAP terdakwa kepada Penasihat Hukum terdakwa; Keenam, ada kemungkinan JPU, pejabat Panitera dan Hakim sengaja merahasikan status BAP terdakwa. Terlepas dari berbagai kemungkinan-kemungkinan tersebut, pada kenyataannya bahwa ada dua peristiwa hukum yang saling berkontradiksi. Di satu sisi, ada tindakan pengajuan permohonan praperadilan oleh tersangka atau terdakwa, dan disisi lain ada pelimpahan berkas perkara di Pengadilan Negeri yang tidak diketahui oleh Terdakwa dan Penasihat Hukumnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa, masih terjadi kesenjangan hubungan komunikasi antara subyek hukum dengan aparat penegak hukum dan lembaga pengadilan. Mencermati lebih jauh, terkesan ada kelalaian ataupun kesengajaan dari pihak penegak hukum (khususnya JPU, Panitera dan Hakim atau Lembaga Pengadilan) untuk mengesampingkan atau mengabaikan hak-hak tersangka atau terdakwa untuk memperoleh informasi mengenai status BAP-nya. Hal ini berarti bahwa, Lembaga Peradilan yang menolak atau membatalkan atau menggugurkan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dengan alasan BAP terdakwa sudah dilimpahkan dan diperiksa di pengadilan adalah suatu tindakan kriminogen dan viktimogen. 406 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Tidak adanya pemberitahuan kepada tersangka atau terdakwa beserta penasihat hukumnya mengenai status BAP yang menyebabkan mereka mengajukan permohonan praperadilan, mengisyaratkan bahwa hak-hak asasi tersangka atau terdakwa atas keterbukaan masih cenderung dilanggar oleh Lembaga Peradilan dalam proses prapradilan. Penolakan atau pembatalan atau penghentian atau pengguguran permohonan praperadilan terdakwa karena Hakim di Pengadilan Negeri khawatir akan terjadi putusan yang berbeda. Pada satu sisi, alasan tersebut dapat dibenarkan sebab Hakim yang memeriksa dan memutus perkara di tingkat praperadilan akan membuat putusan tertentu, dan Hakim yang memeriksa perkara pada persidangan di pengadilan juga akan membuat putusan yang lain. Namun di sisi lain, putusan berbeda tersebut tidak akan pernah terjadi, jika Penyidik atau JPU dan Pengadilan memberitahu lebih dahulu secara terbuka kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya bahwa BAP-nya telah dilimpahkan di Pengadilan. Menurut hemat penulis, putusan berbeda tidak akan pernah terjadi dalam satu perkara pidana dalam satu Pengadilan, sebab jika Hakim mendahulukan untuk memeriksa perkara dalam praperadilan, kemudian memutus bahwa status penangkapan dan penahanan ataupun penggeledahan serta penyitaan atas tersangka sudah benar atau sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tidak ada putusan apapun, dan pemeriksaan di persidangan dapat dilanjutkan untuk penyelesaian perkara. Sebaliknya, jika Hakim mendahulukan untuk memeriksa perkara dalam praperadilan, kemudian memutus bahwa status penangkapan dan penahanan ataupun penggeledahan serta penyitaan atas tersangka tidak sah dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku maka tentu pemeriksaan di persidangan tidak dapat dilanjutkan, dan untuk itu berlaku ketentuan Pasal 77 huruf b KUHAP, yakni ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Jadi, asumsi Hakim bahwa akan terjadi putusan yang berbeda adalah menyesatkan serta mengkriminalisasi hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan informasi mengenai praperadilan. Dengan perkatan lain bahwa, ada kesan untuk menghambat terdakwa memperoleh informasi mengenai hak-haknya dalam proses praperadilan. Secara keseluruhan dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam hubungan penegakan hukum dan perlindungan HAM atas hakhak tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan praperadilan, adalah tidak optimal. Prinsip Keadilan Secara umum, hukum positif senantiasa menghendaki ‘keadilan’ sebagai output dari suatu proses peradilan pidana. Demikian pula halnya bahwa, keadilan menjadi salah satu Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
407
prinsip paling mendasar dalam perlindungan HAM. Hal ini berarti bahwa baik hukum maupun HAM sama -sama menghendaki tegaknya prinsip keadilan. Sehubungan dengan proses praperadilan sebagai salah satu hak tersangka, temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada Perkara Nomor : 01/Pid.Pra/ 2012/ PN Mrk, tersangka atau terdakwa ditolak atau dibatalkan atau dihentikan atau digugurkan permohonan praperadilannya oleh Pengadilan Negeri Merauke, dengan menggunakan dua alas an, yaitu pada Pasal 82 ayat (1) KUHAP dan menghindari terjadinya putusan yang berbeda. Tersangka atau terdakwa mengalami suatu kondisi yang tidak menguntungkan dan oknum penyidik melakukan pelanggaran atas kewajibannya memberikan perlindungan hak asasi; oknum penyidik melakukan penangkapan dan penahanan dengan metode taktis yaitu menangkap dan menahan dulu tersangka baru mengumpulkan alat bukti, menggeledah dan menyita barang milik tersangka yang tidak ada kaitannya dengan perkara, serta cara-cara pemeriksaan tersangka dengan tekanan, intimidasi, pemaksaan untuk mengakui suatu perbuatan yang belum tentu dilakukan, ancaman kekerasan fisik dan psikis. Dalam perkara tersebut, ketidakadilan terutama tercermin pada sikap dan tindakan Hakim menetapkan putusan yang menggugurkan permohonan praperadilan dengan alasan yang manipulatif dan menyesatkan untuk menghambat terdakwa memperoleh keadilan atas proses penangkapan dan penahanan serta penggeledahan dan penyitaan. Perlakuan yang tidak adil ditahap penyidikan dan di tingkat penuntutan cenderung semakin diperparah di lembaga praperadilan dengan dimentahkannya permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa yang bersangkutan. Kondisi tersebut bertentangan dengan Pasal 18 UU No.39 Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 cukup jelas menekankan mengenai keharusan Penyidik dan Penutunt Umum serta Hakim di Pengadilan untuk berlaku adil kepada tersangka atau terdakwa dengan tetap mengedepankan asas praduga bersalah dan menjamin pembelaannya sampai Lembaga Peradilan ataukah Sidang Pengadilan dapat membuktikan kesalahan. Harapan tersangka atau terdakwa untuk memperoleh keadilan atas perlakuan yang kurang menyenangkan atau menguntungkan pada saat ditangkap dan ditahan maupun digeledah ternyata semakin membuat tersangka atau terdakwa kecewa. Harapan tersangka atau terdakwa agar oknum penyidik yang melakukan penangkapan secara sewenangwenang tanpa surat perintah, melakukan tekanan dan intimidasi serta ancaman dan tindak 408
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
kekerasan, serta melalaikan kewajibannya memberikan perlindungan hak asasi, dapat terbayar dengan dikabulkannya permohonan praperadilan, namun kenyataannya jauh panggang dari api Realitas tersebut mengisyaratkan bahwa, proses praperadilan sebagai fasilitas bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh keadilan masih cenderung menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip – prinsip HAM khususnya keadilan, disebabkan masih adanya penolakan permohonan praperadilan dengan alasan yang bersifat asumtif, ambigu dan primordialisme. Kondisi demikian bertentangan dengan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 36 TAP MPR No. XIV/MPR/1998 dan Pasal 3 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 mengenai hak setiap orang termasuk tersangka atau terdakwa atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil atau yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis dalam proses praperadilan. Proses praperadilan sebagai hak tersangka atau terdakwa yang cenderung kurang atau tidak adil tersebut juga sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) (2) UU No.39 Tahun 1999 mengenai perlakuan dan perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiannya di depan hukum serta mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. Dalam berbagai perkara pidana termasuk dalam Perkara Nomor 01/Pid.Pra/ 2012/ PNMrk, perlakuan atas hak mengajukan prapradilan tidak jarang dalam praktiknya masih bersifat diskriminatif. Artinya, ada tersangka atau terdakwa yang dikabulkan permohonannya namun adapula yang ditolak atau dibatalkan atau dihentikan atau digugurkan baik alasan yang tidak jelas maupun dengan alasan yang manipulatif. Perilaku diskriminatif tersebut bertentangan dengan amanat Pasal 38 dan Pasal 39 TAP MPR RI No. XVI/MPR/199821 mengenai hak setiap orang termasuk tersangka atau terdakwa untuk memperoleh perlindungan dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif, serta berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama. Terkait dengan diskriminasi tersebut, sudah disinggung dalam Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999, yakni tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar status sosial budaya dan ekonomi tertentu yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan 21 Ketetapan MPR RI No.XVI/MPR/1998. Pasal 38 mengatur bahwa setiap orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pasal 39: dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia, laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
409
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif khususnya dalam hukum. Adanya praktik diskriminasi terhadap tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 dan angka 6 UU No.39 Tahun 1999 mengenai kewajiban dasar manusia dan pelanggaran HAM. Kewajiban dasar dalam hal ini adalah kewajiban yang diemban oleh penyidik, JPU dan Hakim di Pengadilan untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa atas hak-haknya untuk mengajukan permohonan praperadilan. Atas pengabaian kewajiban dasar tersebut maka prinsip keadilan dalam perlindungan HAM sulit ditegakkan atau dipenuhi. Adanya praktek diskriminasi dengan cara menghambat, menghalangi, sengaja mengabaikan hak-hak tersangka atau terdakwa untuk memperoleh keadilan melalui praperadilan selain bertentangan dengan Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, terutama mengenai hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan praperadilan dihadapan Hakim yang jujur dan adil, yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh penyidik yang jujur dan adil. Tuntutan perlakuan yang adil bagi tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan sejalan dengan Pasal 18 UU No.39 Tahun 1999, bahwa setiap orang termasuk dan tersangka tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan dalam perkara pidana melalui proses praperadilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif, jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Secara keseluruhan dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip keadilan dalam hubungan penegakan hukum dan perlindungan HAM atas hakhak tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan praperadilan, adalah tidak optimal. Prinsip Jaminan Kepastian Hukum Jaminan kepastian hukum menjadi salah satu prinsip dasar dari perlidungan HAM dalam proses penegakan hukum dan peradilan pidana, khususnya praperadilan. Jaminan kepastian hukum juga berarti bahwa para pencari keadilan khususnya tersangka atau terdakwa senantiasa mendapatkan perlindungan, dan tidak ragu menghadapi setiap langkah proses hukum, karena ia yakin dan percaya pada adanya keadilan. Di Lembaga Peradilan, jaminan kepastian hukum terhadap tersangka atau terdakwa bersifat urgen, vital dan strategis sebab pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka atau terdakwa sangat menentukan langkah atau tahap pemeriksaan selanjutnya di persidangan. Dengan adanya jaminan kepastian hukum atas pemeriksaan pendahuluan tersebut, 410 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
memungkinkan Hakim dapat memenuhi Pasal 77 huruf a KUHAP, yakni memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Permasalahannya seperti yang ditemukan dari hasil penelitian bahwa, permintaan atau permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa bersama penasihat hukumnya belum sepenuhnya menunjukkan pelaksanaan asas jaminan kepastian hukum. Sikap Hakim Pengadilan Negeri menolak permintaan atau permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dengan menggunakan alasan dogmatis dan manipulatif membuat terdakwa merasa ragu, tidak percaya pada lembaga praperadilan. Tersangka atau terdakwa tetap yakin bahwa dirinya tidak bersalah tapi dipaksakan penangkapan dan penahanannya tanpa alat bukti yang cukup. Tersangka atau terdakwa berharap dapat memperoleh jaminan kepastian hukum melalui praperadilan, namun harus kecewa, bingung, sedih, gelisah, stress dan frustrasi karena ternyata Hakim Pengadilan Negeri memberikan alasan yang kurang meyakinkan, bahkan alasan itu dipandang manipulatif karena tidak ada informasi mengenai status pelimpahan BAP-nya. Permasalahan lainnya bahwa, harapan tersangka atau terdakwa agar permohonan praperadilannya dikabulkan sehingga penyidikan dan penuntutan dapat segera dihentikan serta berharap mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi sesuai amanat Pasal 77 huruf b KUHAP, namun harapan itu juga tidak pernah pasti. Fenomena yang berkembang, terkesan ada upaya konspiratif dari oknum penegak hukum maupun pihak lain di luar lembaga peradilan untuk menolak permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa agar kepentingannya untuk memenjarakan terdakwa dapat tercapai. Hal ini juga berarti bahwa, penolakan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa masih sulit dilepaskan dari adanya pengaruh intervensi dan konflik kepentingan untuk mengkriminalisasi hak-hak tersangka atau terdakwa. Perkembangan yang terjadi bahwa sangat ada jarang permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dikabulkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa, pihak-pihak di Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan seolah ingin selalu memberikan kesan bahwa proses penangkapan dan penahanan tersangka atau terdakwa selalu benar; seolah penyidik dianggap tidak pernah melakukan kesalahan dalam menangkap dan menahan orang; seolah penyidik dianggap selalu menjalankan ketentuan perundang-undangan dengan benar; seolah penuntutan selalu dianggap benar, padahal tidak selamanya benar. Seringnya permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa ditolak dan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
411
jarangnya permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dikabulkan, sudah cukup mengisyaratkan bahwa Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan masih sulit dilepaskan dari praktik kriminogen dan viktimogen, dan hal ini juga berarti bahwa jaminan kepastian hukum terhadap para pencari keadilan khususnya tersangka atau terdakwa masih rentan menimbulkan permasalahan. Timbulnya masalah dalam hal jaminan kepastian hukum terhadap para pencari keadilan khususnya tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan tersebut secara nyata belum sesuai dengan Pasal 36 Ketetapan MPR No. XIV/MPR/199822, terutama mengenai jaminan pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan tersangka atau terdakwa untuk memperoleh perlindunga hukum atas perlakuan yang diterima pada proses penyidikan. Penolakan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dengan alasan yang dogmatis yang dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Negeri bertentangan dengan amanat Pasal 7, 8 TAP MPR No. XIV/MPR/1998 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999, mengenai hak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil atau yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum, termasuk Pasal 5 ayat (1) (2) UU No.39 Tahun 1999 mengenai jaminan kepastian hukum bantuan dan perlindungan yang adil dan objektif, Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999, mengenai hak mengajukan permohonansesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif, jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Secara keseluruhan dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip jaminan kepastian hukum dalam hubungan penegakan hukum dan perlindungan HAM atas hak-hak tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan, adalah tidak optimal. Prinsip Keamanan-Ketertiban Salah satu hak asasi yang melekat pada diri setiap orang atau manusia termasuk tersangka atau terdakwa dan menjadi kebutuhan pokok adalah rasa aman, tentram, keselamatan dan kenyamanan serta ketertiban. Hak asasi tersebut juga mutlak dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan. Permasalahannya seperti yang ditemukan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, penolakan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dengan alasan yang kabur 22 Ketetapan MPR RI No.XVI/MPR/1998 Pasal 36: Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
412
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
(absurd) cenderung semakin membuat tersangka atau terdakwa menjadi tidak nyaman atau kurang tentram, tertekan, merasa terancam akan dipenjarakan secara paksa. Bertolak dari alasan Hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa penghentian permohonan praperadilan sengaja dilakukan karena pertimbangan untuk menghindari putusan yang berbeda dan karena berkas perkara terdakwa telah dilimpahkan di Pengadilan serta sedang dalam proses pemeriksaan, memberikan implikasi fisik dan psikis terhadap tersangka atau terdakwa. Penolakan Hakim atas permohonan praperadilan dengan alas an-alasan tersebut tidak membuat tersangka atau terdakwa menjadi tenang dan tentram, malahan sebaliknya semakin gelisah dan tertekan karena merasa terancam akan dipidanakan atau dimasukkan ke dalam bui secara paksa. Tersangka atau terdakwa mengalami penyiksaan fisik dan batin bukan karena permohonan praperadilannya ditolak tetapi karena alasan- alasan yang dikemukakan oleh Hakim membingungkan. Tersangka atau terdakwa akan terus memikirkan nasibnya di rumah tahanan (Rutan) karena sudah menerima perlakuan yang sewenang-wenang dari oknum penyidik dalam proses penangkapan dan penahanannya kemudian ditambah lagi dengan perlakuan sewenang-wenang dari oknum Hakim yang membuat alasan yang irrasional, sehingga tersangka atau terdakwa benar-benar merasa didzalimi atau dikriminalisasi yang membuat hati dan fikirannya tidak tentram, gelisah, dihantui rasa takut dan mengalami gangguan keseimbangan mental. Gangguan potensial dan terstruktur serta tersistematis atas rasa aman rentan dialami tersangka atau terdakwa ketika permohonan praperadilannya ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan berdasarkan pada alasan-alasan yang ambigu dan overlapping atau tidak tertib. Ironinya, bagaimana mungkin ada dua peristiwa pengadministrasian dalam satu kasus perkara pidana di Pengadilan Negeri, yaitu administrasi penerimaan pendaftaran permohonan praperadilan dan administrasi pelimpahan BAP yang terjadi dalam waktu bersamaan. Jika Pengadilan Negeri sudah mencatat dan mengadministrasikan pelimpahan BAP lalu mengapa harus menerima pendaftaran permohonan praperadilan terdakwa jika diketahui hal itu tidak boleh terjadi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan yang serius bahwa ada apa dengan sistem pengadministrasian perkara yang demikian. Sehubungan dengan adanya kecenderungan tindakan-tindakan konspiratif untuk menolak permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dalam proses praperadilan agar terdakwa yag bersangkutan dapat dijatuhi pidana dan dipenjara, menimbulkan rasa cemas dan ketakutan serta siksaan batin pada diri tersangka atau terdakwa, dan hal itu Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
413
sudah masuk kategori penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 4 angka 2 UU No. 39 Tahun 1999. Sebagaimana terungkap dari temuan hasil penelitian bahwa, terkadang ada unsur kesengajaan oknum-oknum tertentu di Pengadilan ataupun di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan untuk menolak permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa karena khawatir tersangka akan bebas, sementara mereka sangat ingin agar tersangka masuk penjara dan dipenjara lebih lama. Hal ini mengindikasikan bahwa, di kalangan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) sebenarnya terjadi konflik kepentingan yang menciptakan rasa kurang aman dan nyaman serta tidak tentram di dalam jiwa dan fikiran diantara mereka. Konflik batin terkadang sulit dihindarkan pada diri oknum Penegak hukum (JPU, Penyidik dan Hakim) karena di satu sisi ingin memaksakan kemauan atau keinginannya untuk merekayasa arus perkara dengan adanya intervensi dari pihak lain namun disisi lain harus mematuhi ketentuan hukum yang ada dalam proses praperadilan dan tuntutan penegakan HAM. Penolakan permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa dengan alasan yang hanya berdasar pada Pasal 82 ayat (1) KUHAP justeru cenderung mengabaikan atau mengesampingkan ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 mengenai hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Keseluruhan kondisi yang dialami oleh oknum Penegak hukum (JPU, Penyidik dan Hakim) demikian, mengindikasikan bahwa mereka menghadapi tantangan yang berat untuk menegakkan hukum dan HAM, sehingga mereka tidak jarang diperhadapkan pada pilihan keputusan dan tindakan dalam melaksanakan prinsip-prinisip perlindungan HAM khususnya terkait dengan aspek ketertiban dan keamanan. Dari konsepsi tersebut, maka oknum Penegak hukum (JPU, Penyidik dan Hakim) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam proses praperadilan senantiasa dituntut membebaskan diri dari fikiran dan perilaku atau jahat sebagaimana dikemukakan JE Sahtetapy (2005) bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk membebaskan manusia dari fikiran dan perbuatan jahat, dan sebaliknya diharapkan untuk senantiasa mampu menciptakan ketertiban dan kedamaian, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33, 34, 35 UU No.39 Tahun 1999. Secara keseluruhan dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, implementasi prinsip-prinsip HAM berupa keamanan dan ketertiban dalam proses praperadilan masih bermasalah atau belum efektif. Hakim di Pengadilan Negeri cenderung lebih mengutamakan keadilan prosedural dalam menolak permohonan praperadilan tersangka atau terdakwa, namun sebaliknya mengesampingkan keadilan substantif terdakwa yakni 414
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
gangguan rasa aman, rasa tentram dan damai. Hakim di Pengadilan Negeri cenderung lupa bahwa tersangka atau terdakwa adalah manusia yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar berupa rasa aman, tentram dan kedamaian serta ketertiban, sehingga melanggar prinsip-prinsip keamanan dan ketertiban dalam perlindungan HAM. Prinsip Kebebasan Sebagaimana diketahui bahwa praperadilan merupakan fasilitas yang bersifat pilihan dan accidental yang memungkinkan tersangka atau terdakwa dapat menggunakan fasilitas tersebut secara bebas dan dengan akses yang mudah untuk mengajukan permintaan atau permohonan praperadilan guna memperoleh keadilan yang diinginkan. Kebebasan bukan hanya menjadi salah satu kebutuhan dasar setiap manusia namun juga menjadi salah satu prinsip dalam perlindungan HAM. Kebebasan yang dimaksud adalah ditinggalkannya tindakan-tindakan yang sifatnya menekan, memaksa ataupun upaya rekayasa terhadap proses praperadilan. Dalam konteks kebebasan, tersangka atau terdakwa dapat leluasa mengemukakan perasaan, fikiran dan menyampaikan pengalaman atas perlakuan yang tidak menguntungkan selama proses penangkapan dan penahanannya secara demokratis dan bertanggung jawab. Sehubungan dengan hal tersebut, temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa, tersangka atau terdakwa cenderung belum dipenuhi kebebasannya untuk mengakses informasi mengenai status BAP-nya sebelum mengajukan permintaan atau permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri. Pasal 118 KUHAP23 mengatur bahwa sebelum BAP ditandatangani maka tersangka atau terdakwa harus diberikan kesempatan membaca isi dari BAP serta meminta persetujuan untuk menandatanganinya. Ketentuan ini juga seharusnya diberlakukan ketika BAP hendak dilimpahkan ke Pengadilan yakni memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada tersangka atau terdakwa dan penasihat hukumnya agar mereka dapat mempertimbangkan pengajuan permohonan praperadilannya. Adalah benar bahwa pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta menemukan dan menentukan pelakunya. Namun permasalahannya, terkadang tersangka lebih dulu ditangkap dan ditahan baru kemudian dikumpulkan alat buktinya. Hal inilah yang memungkinkan tersangka atau terdakwa dapat mengambil pilihan untuk mengajukan permohonan praperadilan agar cara-cara atau metode taktis 23 Pasal 118 KUHAP, menyebutkan: Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangi oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyutujui isinya (Ayat 1). Dalam rangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasanya (Ayat 2).
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
415
yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penangkapan dan penahanan tersangka dapat diminimalsir di masa akan datang. Penulis sependapat dengan pandangan Harahap24 bahwa, prinsip adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup merupakan prinsip yang sangat hakiki yang dianut dalam KUHAP. Namun demikian, kecenderungan perilaku yang terjadi adalah ditemukan dan kumpulkan dulu alat bukti yang cukup baru dilakukan penahanan, bukan menggunakan metode taktis tangkap dan tahan dulu, kemudian tersangka diperas agar mengaku, baru cari bukti yang cukup. Sikap demikian, jika terlalu dipaksakan maka harapan menemukan kebenaran materil sulit diperoleh. Kesannya, seolah - olah hendak mengubah arus perkara (melanggar Pasal 6 huruf (n) PP No. 2 Tahun 2003 Tentang Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI).25 Permasalahan lainnya bahwa hak-hak tersangka berupa kebebasan yang seharusnya dapat diperoleh, namun seringkali terhambat karena kuatnya hubungan patron klien. Dalam hal ini, penyidik yang selalu mengendalikan tersangka, sedangkan tersangka atau terdakwa berada pada posisi yang lemah atau tidak berdaya menolak keinginan atau kemauan oknum penyidik dan penuntut umum. Atas kondisi tersebut maka permohonan praperadilan sangat memungkinkan untuk dikabulkan. Selanjutnya, menyimak lebih seksama, persoalan kebebasan terutama yang berkaitan dengan proses praperadilan pada dasarnya sudah diatur dalam UU Perlindungan HAM, seperti Pasal 33 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 terutama mengenai hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya, Jaminan atas kebebasan dalam proses praperadilan cukup jelas diatur pada Pasal 70, 73 UU No.39 Tahun 1999, terutama kebebasan disertai kewajiban tersangka dan kewajiban penyidik, JPU dan Hakim Pengadlan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, implementasi prinsip-prinsip HAM berupa kebebasan dalam proses praperadilan belum efektif.
24 M. Yahya Harahap 2007. Op.Cit. 55 25 M. Yahya Harahap 2007. Op.Cit. 55 - 56
416
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa implementasi prinsip-prinsip HAM berupa prinsip keterbukaan, prinsip keadilan, prinsip jaminan kepastian hukum, prinsip jaminan keamanan dan ketertiban, serta prinsip kebebasan dalam perlindungan HAM terhadap tersangka pada Lembaga Praperadilan di wilayah hukum Polresta Merauke belum efektif. Hal ini terutama proses praperadilan belum disertai perhatian terhadap hak-hak asasi tersangka untuk memperoleh informasi mengenai status BAP-nya. Tersangka menerima perlakuan yang tidak adil karena penolakan permohonan praperadilannya oleh Hakim dilakukan dengan alasan-alasan manipulatif, yang tidak memberikan perlindungan hukum atas perlakuan yang diterima di tingkat penyidikan dan penuntutan, tersangka merasa terancam akan dipenjara secara paksa, dan aksesnya untuk bebas memperoleh keadilan dihambat. Saran Sehubungan dengan uraian kesimpulan tersebut, diharapkan kepada Hakim di Pengadilan Negeri khususnya di Lembaga Praperadilan untuk mengedepankan penegakan hukum dengan pelaksanaan prinsip-prinsip HAM terhadap tersangka atau terdakwa. Selain itu, meningkatkan pengawasan terhadap Hakim di Lembaga Praperadilan, meningkatkan kompetensi SDM Hakim melalui pendidikan dan pelatihan, serta mengoptimalkan sistem pengadministrasian perkara. DAFTAR PUSTAKA A. Masyhur Effendi. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Ghalia Indonesia. ________________. 1980. Hak Asasi Manusia dan Aplikasinya dalam Negara Hukum RI. Bandung: Alumni. Bank Dunia. 2005. Menciptakan Peluang Keadilan (Laporan atas studi”Village Study in Indonesia dan Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal), Jakarta: Bank Dunia. Hans Kelsen. 1976. Reine Rechtskehre, Wien: (Terjemahan Satjipto Rahardjo, 2006) Franz Deuticke. M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
417
Oemar Seno Adji. 1980. Hukum, Hakim Pidana, Jakarta: Airlangga. Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Airlangga. Yesmil Anwar dan Adang, 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya Padjadjaran.
418
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
IMPLEMENTASI KEWENANGAN INTELIJEN YUSTISIAL KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI Zainal Abidin, M. Said Karim, Slamet Sampurno Soewondo
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
IMPLEMENTASI KEWENANGAN INTELIJEN YUSTISIAL KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh: Zainal Abidin1*, M. Said Karim2, Slamet Sampurno Soewondo2 Kejaksaan Negeri Makassar Jl. Amanna Gappa No. 29, 90111, Makassar 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] 1
Abstrak The study aims to describe the ideal role of the judicial intelligence authority of the district attorney of the republic of Indonesia in investigating corruption, examine the obstacles against the invetigation of the crime faced by the investigating attorney, and discuss the endeavours made by the judicial intelligence attorney to overcome them. The study reveals that (a) the investigation of corruption crime should ideally start from intelligence cycle to insure its successful achievement which involves four stages: to perform a data collection plan, to process data, and to make use of data; (b) the Indonesian District Attorney’s office should ideally not be a government/executive institution under the president in equivalence with the state ministry but an independent legal institution free from pressure of any parties. The obstacles of the investigation come from (a) the rules and laws themselves and the weaknesses of the article and paragraph explanations; (b) unprofessional investigating district attorney lacking of integrity and morality of the district attorney; (c) the limitation of funding and infrastructure allocated for the investigation; and (d) the lack of support and participation by the community in the corruption eradication movement. Keywords: Attorney, Intelligence, Investigation, Law Enforcement Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran ideal otoritas intelijen yustisial Kejaksaan Republik Indonesia dalam menyelidiki tindak pidana korupsi, memeriksa hambatan terhadap invetigation kejahatan yang dihadapi , dan mendiskusikan upaya yang dilakukan oleh intelijen yustisial kejaksaan untuk mengatasinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa idealnya, kegiatan penyelidikan tindak pidana korupsi harus bertitik tolak pada siklus intelijen untuk menjamin keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan tersebut, yaitu meliputi 4 (empat) tahap kegiatan: 1) Menyusun rencana pengumpulan data (renpul data); 2) Pengumpulan data itu sendiri (pul data); 3) Pengolahan data (lah data); dan 4) Penggunaan data (gun data). Hambatan pelaksanaan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Penyelidik meliputi: (a) hambatan dari segi peraturan perundang-undangan ditemukan adanya kelemahan dalam pengaturan substansi kewenangan penyelidikan tindak pidana korupsi diantara 3 (tiga) Lembaga Penegak Hukum di negeri ini yaitu Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI; (b) ketidakprofessionalan Jaksa Penyelidik; (c) keterbatasan biaya dan sarana dalam kegiatan operasi intelijen; dan (d) kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat. Kata Kunci: Jaksa, Intelijen, Penyelidikan, Penegakan Hukum Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Hal ini mengandung arti bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini hukum adalah merupakan “panglima” dan urat nadi pada segala aspek kehidupan bernegara maupun masyarakat. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu diantara kewenangan-kewenangan penegakan hukum tersebut dimiliki oleh Lembaga Kejaksaan RI. Hukum sebagai suatu sistem mempunyai peran yang strategis dan dominan. Menurut Lawrence M. Friedman,1 hukum sebagai suatu sistem hukum akan dapat berperan dengan baik dalam masyarakat jika intstrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangankewenangan di bidang penegakan hukum. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang professional, berintegritas, dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya setiap negara hukum termasuk Negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak hukum yang berkualilifikasi demikian.2 Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tentunya tidak terlepas dari upaya Aparat Penegak Hukum sebagai bagian dari Struktur hukum dalam melakukan upaya penegakan hukum. Sebagai salah satu lembaga yang diberikan kewenangan dalam melakukan penegakan hukum dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ialah Kejaksaan RI. Sebagaimana disebutkan didalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan bahwa Jaksa Agung RI mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Proses penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi haruslah dimulai dari proses “penyelidikan” karena penyelidikan sendiri merupakan sub fungsi dari penyidikan. Sebagai “penyelidik” dalam tindak pidana korupsi maka Intelijen Yustisial Kejaksaan RI 1 Lawrence M. Friedman, The Legal System ; A Social Science Perspective, New York Russel Sage Foundation, 1975, hal.11 2 Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2005, hal.1.
422
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan peran Jaksa Penyelidik sebagai organ Intelijen Yustisial Kejaksaan RI dalam melakukan penyelidikan terhadap informasi adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi sangatlah besar. Jaksa penyelidik bertugas sebagai pencari dan pengolah informasi awal dalam menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi untuk dapat menjalankan “fungsi intelijen yustisial” berupa intelijen penegakan hukum. Tugas yang diemban oleh Jaksa Penyelidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yakni mengumpulkan data serta bahan-bahan keterangan terhadap pihakpihak yang dianggap terkait pada peristiwa tersebut. Permasalahan yang sering timbul sejalan dengan kewenangan Jaksa Penyelidik di dalam tahap penyelidikan tindak pidana korupsi ialah ketidak profesionalan Jaksa Penyelidik berupa kekurangcermatan dan kinerja yang lambat dalam mencari serta mengumpulkan bukti-bukti awal dan data awal yang diperlukan dalam penyelidikan yang dilakukannya, karena tak jarang Jaksa Penyelidik mengumpulkan data dan bahan keterangan dari pihak-pihak yang tidak ada keterkaitannya dengan dugaan tindak pidana korupsi yang sedang diselidikinya. Selain itu, Jaksa Penyelidik terkesan lambat dalam melakukan penyelidikan karena hanya “pasif” menunggu data dan keterangan dari pihak-pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan tanpa mau aktif mencari data dan bahan keterangan yang dianggap terkait dengan penyelidikan yang dilakukkannya sehingga tak jarang dalam penanganan tindak pidana korupsi data dan bahan-bahan keterangan dimiliki Jaksa Penyelidik sangat minim dan tidak akurat sehingga akan mempengaruhi kegagalan penyidikan dan penuntutan selanjutnya terhadap pembuktian perkara tindak pidana korupsi di depan persidangan. Di sisi lain, faktor integritas dan moralitas Jaksa Penyelidik kerap dipertanyakan mengingat masih ada beberapa perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sedang diselidiki Intelijen Yustisial Kejaksaan RI tidak jelas arahnya apakah akan dilanjutkan ke penyidikan ataukah dihentikan penyelidikannya sehingga lama sekali mengendap bertahun-tahun tanpa memberi kejelasan kepada masyarakat. Pada faktor kelemahan lainnya yang ditemukan ialah anggaran dan sarana/prasarana operasional Intelijen Yustisial Kejaksaan RI yang tidak memadai sehingga tak jarang Jaksa Penyelidik mengalami keterbatasan biaya dan sarana/prasarana dalam melakukan operasi Intelijen termasuk didalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi, yang memerlukan biaya operasional,seperti biaya akomodasi dan transportasi bagi kegiatan pengumpulan data dan bahan keterangan di lapangan. Dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditemukan adanya kelemahan dalam pengaturan substansi kewenangan penyelidikan tindak pidana korupsi di antara Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
423
3 (tiga) kewenangan lembaga penegak hukum ,yaitu Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak jarang terjadi rebutan perkara terhadap suatu perkara yang sama-sama ditangani oleh 3 (tiga) atau diantara lembaga penegak hukum tersebut, Permasalahan lain yang timbul ialah intervensi politik dan kekuasaan yang mewarnai penegakan hukum di Indonesia juga sering menerpa Aparat Penegak Hukum termasuk pada Jaksa Penyelidik yang sedang menyelidik suatu perkara tindak pidana korupsi, Institusi Kejaksaan RI sebagai Lembaga Pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden RI dan sejajar/sederajat dengan Kementerian Negara bukanlah Lembaga Independen sehingga seluruh kebijakan penanganan perkara termasuk perkara tindak pidana korupsi pengendaliannya harus berlaku menyeluruh dari atas ke bawah (top down), sehingga Jaksa Penyelidik yang tergabung di dalam Intelijen Yustisial Kejaksaan RI tidak memiliki independensi dalam menentukan arah suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang diselidikinya jika diduga akan bersentuhan dengan politik dan kekuasaan. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan, yaitu bagaimanakah implementasi kewenangan intelijen yustisial kejaksaan RI pada peranan idealnya dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penulis memilih lokasi penelitian pada kota Makassar. Penulis ingin meneliti pandangan masyarakat kota Makassar mengenai peranan Intelijen Yustisial Kejaksaan RI, khususnya Kejaksaan Negeri Makassar dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi serta upaya yang dapat dilakukan untuk penguatan Institusi Kejaksaan RI ke depan secara menyeluruh, khususnya dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yang efektif dan profesional. Tipe Penelitian Penulis dalam penelitiannya menggabungkan dua model penelitian tersebut yaitu penelitian normatif empiris dimana penulis ingin mengkaji norma-norma yang ada di dalam undang-undang, asas-asas yang berlaku maupun teori-teori yang ada serta melihat fakta secara langsung yang terjadi di lapangan dan bagaimana implementasi di dalam pelaksanaannya. 424 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jenis dan Sumber Data Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Data primer, data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara (interview) dan kuesioner kepada responden; 2) Data sekunder, data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan data telaah dari beberapa tulisan kritis dan artikel hukum yang sangat update serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Kejaksaan RI, Intelijen Negara dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden yang mengatur Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Peraturan Jaksa Agung RI yang mengatur Standard Operasional Prosedur Intelijen Kejaksaan RI; dan 3) Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan mengamati secara sistematis terhadap fenomena beberapa kasus tindak pidana korupsi di kota Makassar. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah masyarakat kota Makassar dengan berbagai profesi. Metode pengambilan sampel akan dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa penulis ingin mengambil secara acak dari tiap golongan masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini guna memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut: 1. Wawancara, pengumpulan data yang dilakukan peneliti secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan penelitian kepada para nara sumber atau responden. 2. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumendokumen yang berkaitan dengan institusi kejaksaan. Menghubungkan pendapatpendapat, opini-opini hukum dari pakar hukum serta dari beberapa hukum dengan peraturan perundang-undangan. 3. Sistem angket atau questioner, merupakan rangkaian-rangkaian pertanyaan yang terstruktur sesuai atau relevan dengan penelitian yang kemudian oleh peneliti diajukan dalam bentuk tertulis kepada narasumber. Hal ini dilakukan oleh peneliti agar kiranya didapat hasil penelitian yang lebih kompleks. Analisis Data Berbagai data yang diperoleh oleh penulis akan dituangkan dalam tulisan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar penulis dapat menggambarkan keseluruhan hasil data yang diperoleh baik melalui wawancara, studi kepustakaan, penggunaan sistem questioner serta hasil pengamatan atau observasi. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
425
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Peranan Ideal Intelijen Yustisial Kejaksaan RI dalam Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Di dalam ketentuan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, menyebutkan bahwa salah satu kewenangan lain sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tersebut ialah di bidang Intelijen sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 9 UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Penyelenggara Intelijen Negara terdiri atas: a. Badan Intelijen Negara; b. Intelijen Tentara Nasional Indonesia; c. Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan e. Intelijen kementrian/lembaga pemerintah non kementrian Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, “Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d menyelenggarakan fungsi Intelijen penegakan hukum”.
Fungsi Intelijen
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2011 ialah Fungsi Intelijen sebagaimana yang diatur pada Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2011 yang menyebutkan: (1) Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. (2) Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi Intelijen, serta menyajikannya sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. (3) Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan Intelijen, dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional. (4) Penggalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mempengaruhi sasaran agar menguntungkan kepentingan dan keamanan nasional. (5) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. 426 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Idealnya, dalam implementasi kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan RI pada kegiatan penyelidikan tindak pidana korupsi harus bertitik tolak pada siklus intelijen untuk menjamin keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan tersebut, Jaksa harus berpedoman kepada Roda Perputaran Penyelidikan (RPP) yang pada dasarnya meliputi 4 (empat) tahap kegiatan, yaitu: 1. Menyusun rencana pengumpulan data (renpul data); Renpul data ini terdiri dari: a. Penentuan Menentukan terlebih dahulu UUK ialah unsur utama keterangan, atau membuat DIM yaitu daftar inventarisasi masalah. UUK adalah data yang relevan, faktual, aktual, dan kontektual, dengan masalah yang dihadapi. b. PIL (Pilihan Informasi Lain) Kemungkinan diperlukan adanya pilihan informasi lain yang dapat dipakai sebagai indikasi, petunjuk atau sebagai data pelengkap. c. Atas Dasar Perintah Didasarkan suatu perintah dari atasan, permintaan user atau atas dasar inisiati petugas sendiri. d. Analisis Kebutuhan Sebaiknya suatu renpul data didasarkan pada analisis kebutuhan, baik kebutuhan organisasi, kebutuhan pimpinan maupun kebutuhan tuntutan lingkungan strategis dan kebutuhan urgensinya masalah yang dihadapi. e. Matriks (materi ringkas). Untuk menyederhanakan dan memudahkan dalam menyusun renpul data tersebut sebaiknya menggunakan metoda matriks yang terdiri dari kolom dan baris. Setelah kelima tahap diatas terlaksana sebelum memasuki tahap pengumpulan data (pul data) digelar pra-ekspose yaitu berupa pemaparan hasil pelaksanaan Surat Perintah Tugas yang dituangkan dalam bentuk laporan dan matriks. 2. Pengumpulan Data (pul data); Atas dasar renpul data, maka dimulailah kegiatan pengumpulan data itu sendiri, yang mencakup: a. S (subjek) pengumpul data Pilihlah subjek/petugas pul data yang BIP, yaitu: Badan pengumpul (bapul), Informan; atau Partisipan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
427
b. O (objek) pengumpulan data Tentukan objek, sasaran atau sumber data yang akan dikumpulkan atas dasar analisa sasaran (ansas), yaitu antara lain: i. Sifat sumber data terbuka berupa : berita media massa, internet, brosur dan makalah dan sifat sumber data tertutup berupa : laporan rahasia, hasil sensor, hasil penyadapan. ii. Jenis sumber data berupa : responden, nara sumber, saksi, ahli, barang, benda, dokumen/informasi, kegiatan/operasi, TKP/lapangan. c. M (Metode) pengumpulan data Tentukan metode pengumpulan data atas dasar antug, yaitu antara lain: dengan cara terbuka melalui wawancara, orientasi, observasi, monitoring, pemotretan, penelitian (lapangan, kepustakaan) atau dengan cara tertutup melalui investigasi, penjejakan, pelacakan, penyadapan, sensor, klandestein, infiltrasi dan penetrasi. 3. Pengolahan data (lah data); Data yang berhasil dikumpulkan tersebut perlu diolah melalui suatu proses pengolahan data, antara lain meliputi kegiatan: a. Pencatatan yang dilakukan pada buku kerja intelijan (BKI), peta. b. Menilai data baik dari sumber data maupun isi data tersebut. c. Integrasi, yaitu hasil dari penilaian data ditarik kedalam suatu kesimpulan. d. Kesimpulan, yaitu berisi bentuk perkiraan keadaan atau estimasi. 4. Penggunaan data (gun data); Penggunaan data adalah pemanfaatan data yang telah diolah menjadi informasi siap pakai untuk berbagai kepentingan dan data/informasi tersebut didistribusikan kepada pimpinan atau user terkait. Jika dalam penyelidikan tindak pidana korupsi, Jaksa Penyelidik diwajibkan menggelar ekspose untuk memaparkan hasil pelaksanaan penyelidikan di depan pimpinan dan unsur pembantu pimpinan lain serta peserta ekspose untuk kiranya segera dapat menentukan apakah dugaan tindak pidana korupsi yang telah diselidiki oleh Jaksa tersebut layak atau tidak untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Apakah perkara tersebut juga diindikasikan dapat menimbulkan akibat yang luas dan sistematis bagi perekonomian dan hajat hidup masyarakat? Apakah dugaan perkara tindak pidana korupsi tersebut telah memenuhi unsur pasal-pasal yang akan dipersangkakan terhadap calon tersangka sebagaimana tertuang di dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001? 428 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Apakah Jaksa Penyelidik telah dapat mengumpulkan minimal bakal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengemuka pada saat gelar perkara atau ekspose digelar dan jika dari hasil pemaparan ekspose terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut seluruh pimpinan, jaksa penyelidik dan peserta ekspose sepakat menyetujui semua unsur pasal yang akan dipersangkakan telah dipenuhi dengan didukung minimal bakal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai KUHAP dan Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001, maka kemudian ditentukan siapakah yang akan menjadi calon tersangkanya dan langsung menentukan perhitungan sementara kerugian Negara yang telah terjadi akibat tindak pidana korupsi tersebut. Selanjutnya dugaan perkara tindak pidana korupsi yang telah diselidiki tersebut dapat ditingkatkan lebih lanjut ke tahap penyidikan dengan membuat berita acara hasil ekspose yang ditandatangi pimpinan dan seluruh peserta ekspose. Kemudian Jaksa Penyelidik dengan segera membuat Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.4) yang berisikan uraian hasil operasi intelijen yustisial yang disusun secara lengkap, sistematis, jelas mengenai informasi, data, bukti-bukti sesuai tujuan dan sasaran informasi diakhiri dengan kesimpulan dan saran tindak agar dugaan perkara korupsi tersebut kiranya dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Selanjutnya, jika Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.4) telah dibuat dan ditandatangani oleh Jaksa Penyelidik dan Pimpinan maka untuk selanjutnya Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.4) tersebut diserahkan kepada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan RI disertai Berita Acara Penyerahan dari Bidang Intelijen ke Bidang Tindak Pidana Khusus untuk segera dapat dilanjutkan kemudian ke tahapan penyidikan yang akan dilaksanakan oleh Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan RI. Namun sebaliknya, jika dari dari hasil pemaparan ekspose terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut seluruh pimpinan, jaksa penyelidik dan peserta ekspose sepakat menyetujui bahwa unsur pasal yang akan dipersangkakan tidak terpenuhi, dan tidak didukung minimal bakal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai KUHAP dan Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001, maka untuk selanjutnya dugaan perkara tindak pidana korupsi yang telah diselidiki tersebut tidak dapat ditingkatkan lebih lanjut ke tahap penyidikan dengan membuat berita acara hasil ekspose yang ditandatangi pimpinan dan seluruh peserta ekspose, dan kemudian Jaksa Penyelidik dengan segera membuat Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.4) yang berisikan uraian hasil operasi intelijen yustisial yang disusun secara lengkap, sistematis, jelas mengenai informasi, Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 429
data, bukti-bukti sesuai tujuan dan sasaran informasi diakhiri dengan kesimpulan dan saran tindak agar dugaan perkara korupsi tersebut kiranya dapat dihentikan. Jika Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial (L.IN.4) tentang penghentian hasil penyelidikan tersebut telah dibuat dan ditandatangani oleh Jaksa Penyelidik dan Pimpinan, maka untuk selanjutnya Laporan Hasil Operasi Intelijen (L.IN.4) tersebut disimpan dan dicatat di dalam registrasi Laporan Hasil Operasi Intelijen Yustisial untuk kemudian dilaporkan secara berjenjang keatas secara hirarki dalam struktur organisasi Intelijen Kejaksaan RI.3 Implementasi Kewenangan Intelijen Yustisialnya dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi, seharusnya Kejaksaan RI adalah Lembaga Hukum yang mandiri, bebas dari pengaruh pemerintah, presiden dan pihak manapun karena intervensi politik dan kekuasaan di Indonesia sering menerpa aparat penegak hukum termasuk pada Jaksa Penyelidik yang sedang menyelidik suatu perkara tindak pidana korupsi, Institusi Kejaksaan RI saat ini adalah Lembaga Pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden RI dan sejajar/sederajat dengan Kementrian Negara sehingga seluruh kebijakan penanganan perkara termasuk perkara tindak pidana korupsi pengendaliannya harus berlaku menyeluruh dari atas ke bawah (top down), sehingga Jaksa Penyelidik yang tergabung di dalam Intelijen Yustisial Kejaksaan RI tidak memiliki independensi dan kewenangan penuh dalam menentukan arah suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang diselidikinya jika diduga akan bersentuhan dengan politik dan kekuasaan di negeri ini. Hambatan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Jaksa Penyelidik Dari segi peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini belum dirasa memadai dalam pengaturan substansi kewenangan penyelidikan tindak pidana korupsi terutama diantara 3 (tiga) kewenangan Lembaga Penegak Hukum yaitu Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan (KPK) Korupsi dan tak jarang terjadi perebutan perkara terhadap suatu perkara korupsi yang sama-sama ditangani oleh 3 (tiga) atau diantara lembaga penegak hukum tersebut karena merasa lembaganya masing-masing yang paling berwenang melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi, walau sebelumnya telah diatur didalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK RI), UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), 3 Lihat, Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-037/A/JA/09/2011 Tentang Standard Operasional Prosedur Intelijen Kejaksaan RI
430 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
dan Surat Kesepakatan Bersama (MOU) Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi antara Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEP- 49/A/J.A/03/2012, Nomor B-23/III/2012 dan Nomor SP-39.3/01/03/2012 tanggal 29 Maret 2012. Peraturan perundang-undangan yang berlaku juga dilihat belum memadai dalam pengaturan substansi penjelasan pasal demi pasal yang ada dalam undang-undang tersebut sehingga menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam di kalangan akademisi, ilmuwan, praktisi hukum dan masyarakat sehingga hambatan ini seringkali didapati oleh Jaksa Penyelidik dalam aktualisasi kegiatan penyelidikan tindak pidana korupsi di lapangan. Dari segi profesionalitas aparatur Hal ini merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri dalam realitas penanganan perkara tindak pidana korupsi, bahwa penguasaan teoritis di bidang hukum wajib diimbangi oleh kemampuan teknik intelijen di lapangan dan integritas serta moralitas yang harus dimiliki oleh Jaksa Penyelidik. Bagi seorang Jaksa Penyelidik disamping pengetahuan hukum yang luas, haruslah juga mempunyai intelijensi yang tinggi dalam mempelajari dan mengamati indikasi tindak pidana korupsi yang terjadi. Permasalahan yang sering timbul sejalan dengan kewenangan Jaksa Penyelidik di dalam tahap penyelidikan tindak pidana korupsi ialah ketidak profesionalan Jaksa Penyelidik berupa kekurang cermatan dan kinerja yang lambat dalam mencari serta mengumpulkan bukti-bukti awal dan data awal yang diperlukan dalam penyelidikan yang dilakukannya, karena tak jarang Jaksa Penyelidik mengumpulkan data dan bahan keterangan dari pihak-pihak yang tidak ada keterkaitannya dengan dugaan tindak pidana korupsi yang sedang diselidikinya. Selain itu, Jaksa Penyelidik terkesan lambat dalam melakukan penyelidikan karena hanya “pasif” menunggu data dan keterangan dari pihak-pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan tanpa mau aktif mencari data dan bahan keterangan yang dianggap terkait dengan penyelidikan yang dilakukkannya sehingga tak jarang dalam penanganan tindak pidana korupsi data dan bahan-bahan keterangan dimiliki Jaksa Penyelidik sangat minim dan tidak akurat sehingga akan mempengaruhi kegagalan penyidikan dan penuntutan selanjutnya terhadap pembuktian perkara tindak pidana korupsi di depan persidangan. Di sisi lain, faktor integritas dan moralitas Jaksa Penyelidik kerap dipertanyakan mengingat perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sedang diselidiki Intelijen Yustisial Kejaksaan RI tidak jelas arahnya apakah akan dilanjutkan ke penyidikan ataukah dihentikan penyelidikannya sehingga lama sekali mengendap bertahun-tahun tanpa Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 431
memberi kejelasan kepada masyarakat dan negara. Dari segi anggaran dan sarana Dari segi Anggaran dan Sarana Operasional Intelijen Yustisial Kejaksaan RI tidak memadai untuk mendukung kegitatan operasi intelijen dalam penyelidikan tindak pidana korupsi sehingga tak jarang Jaksa Penyelidik mengalami keterbatasan biaya dan sarana/ prasarana dalam melakukan operasi Intelijen melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi, yang memerlukan biaya operasional. Seperti, biaya akomodasi, transportasi dan penggalangan bagi kegiatan pengumpulan data, bukti-bukti awal, dan bahan keterangan di lapangan dan sarana operasional, contoh : alat-alat penyadapan, alat-alat deteksi komunikasi seperti GPS dan alat komunikasi sandi. Dari segi dukungan partisipasi masyarakat Dari segi dukungan partisipasi masyarakat terlihat bahwa saat ini masyarakat umum kurang perduli terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, masyarakat seakan telah apatis dan sudah pesimis untuk berjuang melawan korupsi karena penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang tak jua kunjung mencapai keadilan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, atau ada sebagian masyarakat yang tidak mau tahu tentang korupsi yang terpenting siapa yang memberikannya uang dan barang-barang kepadanya menurutnya sudah tentu orang yang sangat baik tanpa melihat siapa sebenarnya orang tersebut dan apa latar belakang pekerjaannya, sehingga di lapangan Intelijen Yustisial Kejaksaan RI sering mengalami kesulitan bila ingin menggali data dan fakta di tengahtengah masyarakat jika ada dugaan tindak pidana korupsi di sekitar masyarakat tersebut. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Implementasi kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan RI pada peranan idealnya dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi ialah kegiatan penyelidikan tindak pidana korupsi haruslah bertitik tolak pada siklus intelijen untuk menjamin keberhasilan kegiatan penyelidikan tersebut bagi tolak ukur keberhasilan penyidikan dan penuntutan di tahapan selanjutnya. 2. Implementasi kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan RI mengalami hambatan pada tataran pelaksanaan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Penyelidik ialah dikarenakan hambatan dari segi peraturan perundangundangan, kurangnya integritas dan moralitas Jaksa Penyelidik, serta keterbatasan 432
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
biaya dan sarana dalam kegiatan operasi intelijen dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi. Saran Dari kesimpulan tersebut, maka dengan ini penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sudah sepantasnya DPR RI membuat undang-undang yang mengatur secara rinci, tegas dan jelas tentang penanganan perkara tindak pidana korupsi dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, perebutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang akan atau sedang diselidiki serta ketidaksesuaian peraturan-peraturan yang ada dalam memberantas tindak pidana korupsi di antara ketiga lembaga penegak hukum di negeri ini, Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi RI. 2. Sudah saatnya Kejaksaan RI lebih meningkatkan pembinaan dan pendidikan khusus yang berkualitas untuk para jaksa yang memiliki bakat, minat dan mampu untuk menjadi Jaksa Penyelidik dan kemudian melakukan pendidikan pelatihan berupa kecerdasan, agama, moral, mental serta Ilmu Pengetahuan Intelijen yang tinggi yang menitikberatkan pada teknik penyelidikan serta diimbangi dengan Ilmu Pengetahuan Ekonomi dan Perbankan agar dapat terbentuk Jaksa-Jaksa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Profesional dengan Integritas.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Baharuddin Lopa. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas Media Nusantara. Lawrence M. Friedman.1975. The Legal System; A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation. Marwan Effendi. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. Sumber lainnya: Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-037/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Intelijen Kejaksaan RI.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
433
434
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
WUJUD TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI TENGGARA Tenriawaru, M. Syukri Akub, Muhadar
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
WUJUD TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI TENGGARA Oleh: Tenriawaru1*, M. Syukri Akub2, Muhadar2 Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Jl. Jend. Ahmad Yani No. 4, Mandonga, 93117, Kendari 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar 1
*
E-mail:
[email protected] Abstract
Manifestation of corruption in criminal offences under investigate in high prosecutor of South East of Sulawesi is corruption that caused state finacial loss which is contain corruption crimes in abusing the authority related to duplicated the documents administration and financial; Corruption on contracting parties and corruption based on greediness. As mentioned under article 2, 3, 7 point (1) a, and b, article 9, article 12 point e of the Law of Corruption Criminal Offences, which is generally happen in providing good and service in government sectors: sector of financial management of APBD /APBN which was covered the spending and using the financial budget of area together with acquisition of local budgeting/ State from the tax sector and mining and the managing of local budget sector. Keywords: Corruption, Investigation
Abstrak Wujud tindak pidana korupsi dalam penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara adalah Korupsi yang merugikan keuangan negara yang di dalamnya terdapat tindak pidana korupsi penggelapan jabatan terkait pemalsuan administrasi dokumendokumen pemeriksaan keuangan; Korupsi pada pemborongan, leveransir/rekanan dan korupsi yang bersifat kerakusan, sebagaimana yang diatur dalam dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 9, Pasal 12 huruf e Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, yang pada umumnya terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa pemerintahan; sektor pengelolaan keuangan APBD/APBN yang meliputi pengeluaran dan penggunaan dana keuangan daerah serta penerimaan keuangan daerah/negara dari sektor pajak dan pertambangan, dan pada sektor pengelolaan aset daerah. Kata Kunci: Korupsi, Penyidikan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), kini selalu menjadi fokus dan mendapat perhatian yang berlebih. Korupsi dalam perkembangannya sudah hampir mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang tidak hanya saja menyangkut persoalan ekonomi, sosial, tetapi juga politik. Persoalan korupsi di Indonesia dari tahun ketahun mengalami peningkatan baik dari jumlah kasus maupun jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila masalah korupsi itu akan terus menjadi persoalan besar bagi bangsa ini. Korupsi yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi dipusat saja tetapi juga sudah melanda pejabat-pejabat publik di daerah bahkan sampai pada elemen perangkat di desa, dari korupsi yang bernilai trilyunan hingga korupsi bernilai hanya dari ratusan ribu rupiah, sehingga tanpa disadari caracara demikian terakumulasi menjadi prilaku-prilaku koruptif yang kemudian menjadi semacam kebiasaan yang susah untuk dapat dicegah atau diberantas. Beberapa pakar bahkan memandang bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sendiri sudah seperti membudaya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert Klitgard,1 bahwa korupsi yang melanda bangsa Indonesia dipandang sebagai budaya karena prilaku tersebut sudah dianggap biasa terjadi seperti dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja untuk mempercepat satu urusan, seseorang biasa memberikan uang pelicin atau kebiasan memberikan uang rokok, serta memberikan fasilitas dan hadiah. Kondisi demikian, menjadi berkembang karena selama ini masyarakat dalam interaksi tersebut mendapat faedah bagi dirinya, hal ini pula yang menyebabkan keengganan sebagian besar warga masyarakat untuk melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat dan oknum aparat hukum yang melakukan korupsi. Meski demikian, istilah ini rasanya kurang tepat karena bukan berarti bahwa korupsi sudah seperti menjadi tradisi dengan menyamakan bahwa penduduk Indonesia pada umumnya sudah biasa melakukan korupsi sehingga dianggap sudah seperti budaya atau ciri khas masyarakat Indonesia dengan kebiasan tersebut. Ada banyak faktor mengapa masyarakat terlibat dalam praktik korupsi, antara lain sifat tamak dan keserakahan, ketimpangan penghasilan sesama pegawai negeri/pejabat negara, gaya hidup yang konsumtif, penghasilan yang tidak memadai, kurang adanya keteladanan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas 1 Marwan Effendi. Korupsi dan Mensikapi Metoda Baru dalam Sistem Pembuktian yang Dilematis (Makalah yang disampaikan pada kuliah umum di Universitas Tadulako, 15 Juni 2011) dihimpun dalam buku “Sistem Peradilan Pidana , Tinjauan terhadap beberapa Perkembangan Hukum Pidana. (Jakarta: Referensi, 2012). Hal.79.
438
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
di instansi pemerintah kurang memadai, sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi, hingga kurang atau tidak adanya pengendalian dalam proses kegiatan perencanaan anggaran menjadi sedikit dari sekian faktor-faktor penyebab praktik korupsi.2 Dalam skala nasional, persoalan korupsi itu sendiri juga timbul seiring dengan upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, peningkatan ekonomi dan dalam rangka perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia, yang pada disisi lain berdampak pada timbulnya perbuatan atau tindakan koruptif yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berakibat pada timbulnya krisis yang cukup parah, yang merembet ke berbagai bidang serta bersifat multi dimensi di negara ini, sehingga oleh Romli Atmasasmita, menyebutnya: Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus suatu penyakit, yaitu penyakit masyarakat. Diperlukan diagnosa dan kesimpulan serta “treatment” yang tepat agar virus penyakit tersebut bukan hanya dapat di cegah akan tetapi di kemudian hari tidak akan terjadi lagi. Menghadapi korupsi adalah menghadapi sosok manusia yang sedang sakit parah yaitu manusia psikopat bukan hanya kleptoman karena si sakit sangat bahagia atau memperoleh kesenangannya di atas penderitaan orang (masyarakat) lain yang sebagian terbesar berada dalam garis kemiskinan.3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang Tipikor), ditinjau dari segi materiil muatannya, membawa perubahan yang cukup substansial, belum lagi instrumen hukum pidana lainnya yang tersebar dalam bentuk perundang-undangan di luar undangundang korupsi yang juga mengatur hal-hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi, sehingga dapat dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tindak pidana korupsi, seperti Undang-Undang Kehutanan, pertambangan, money laundring, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang memenuhi unsur-unsur delik korupsi. Namun banyaknya produk hukum yang telah dikeluarkan tersebut belum juga dapat memberikan jaminan bahwa korupsi di Indonesia akan berkurang, dan hingga saat ini korupsi tidak saja menunjukkan semakin tingginya jumlah sektor-sektor publik yang dikorupsi tetapi juga keseragaman pelaku dan bentuk-bentuk korupsi semakin bervariasi mulai dari pejabat lingkup pemerintahan sampai dengan staf biasa, pelaku pada pihak swasta, dan para elit politik yang identik dengan kekuasaan . 2 Surachman & Suhandi Cahaya. Strategi dan Teknik Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 91. 3 Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Mandar Maju. Bandung. Hal. 22.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
439
Berdasarkan data perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan RI sejak Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2010 selalu mengalami peningkatan. Tahun 2007 perkara tindak pidana korupsi yang ditangani sebanyak 636 perkara, Tahun 2008 sebanyak 1.348 perkara, Tahun 2009 sebanyak 1.609 perkara, dan Tahun 2010 sebanyak 2.297 perkara.4 Analisis studi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pembagunan dan Keuangan (BPKP) terhadap upaya penanggulangan korupsi, yaitu dengan mengindentifikasi jenisjenis penyelewengan yang berpeluang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan yang pada umumnya banyak terjadi, antara lain: pembayaran fiktif; manipulasi perjalanan dinas; pelelangan dengan menciptakan peserta tender fiktif; meninggikan harga pembebasan tanah untuk pembangunan; harga kontrak pengadaan yang terlalu tinggi; kelebihan pembayaran pengadaan pekerjaan dari yang seharusnya; ketekoran kas karena meminjam uang proyek untuk kepentingan pribadi namun dibuat seolah-olah untuk kepentingan dinas; penggunaan dana yang tidak sesuai dengan kebutuhan, yaitu dana digunakan diluar kepentingan dinas; komisi dari rekanan yang menerima proyek, pemalsuan dokumen administrasi, dan pungutan liar.5 Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penanganan kejahatan korupsi, namun salah satu faktor yang sering terlupakan di Indonesia sehingga dianggap menjadi bagian dari kurang optimalnya program antikorupsi yaitu bermula dari kurangnya pemahaman terhadap wujud atau bentuk korupsi yang terjadi saat ini. Pemahaman mengenai hal tersebut sangat perlu karena akan berakibat pada cara penanganan yang dilakukan oleh aparat hukum terhadap kejahatan tindak pidana korupsi, terutama dalam mengumpulkan bukti-bukti terkait tindak pidana korupsi, mengingat di dalam sistem peradilan pidana mengenai penanganan tindak pidana korupsi selalu terbentur pada masalah pembuktian karena tindak pidana korupsi tersebut mempunyai kesulitan pembuktian yang cenderung berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Dengan demikian, memang diperlukan cara-cara yang sangat luar biasa pula untuk menindak semua bentuk-bentuk korupsi dengan perangkat undang-undang yang cukup baik yang tidak hanya dalam materiil tetapi juga mencakup persoalan hukum formilnya atau hukum acaranya. Selain itu, didukung oleh aparat penegak hukum yang mempunyai pemahaman, pengetahuan dan keahlian serta komitmen komitmen dalam melakukan langkah-langkah atau upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi saat ini, 4 Sumber: Sunproglapnil Pidsus Kejaksaan Agung, sebagaimana dikutip oleh Marwan Effendi, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan Isu-isu aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi. Referensi. Jakarta. hal.7 5 Sudirman Said dan Nizar Suhendra. Tanpa Tahun. Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dihimpun dalam buku Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Penerbit Kemitraan. Jakarta. Hal.106110.
440 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
yang diharapkan dapat berimplikasi terhadap upaya preventif maupun represif terhadap tindak pidana korupsi. Pemahaman terhadap wujud atau jenis tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang multidimensi yang terjadi saat ini sangat berpengaruh terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum aturan-aturan pidana terkait kejahatan korupsi, yakni mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pelaksanaan putusan. Tindakan atau proses penyidikan tindak pidana korupsi pada dasarnya tidak lain merupakan kunci dari keberhasilan dari proses penegakan hukum pidana untuk menentukan apakah penerapan aturan normatif telah sesuai, apakah proses tersebut berjalan sesuai dengan koridor yang ada tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, karena kesalahan penerapannya ketentuan pidana dan pelaksanaan hukum yang menyimpang dalam proses tersebut dapat berimplikasi pada tumpulnya penegakan hukum dan atau merajalelanya kejahatan sehingga penegakan supremasi hukum akan jauh dari harapan. Namun dalam pelaksanaannya, adalakanya penanganan perkara tindak pidana korupsi tersebut menemui berbagai macam kendala dan hambatan, baik itu dari sistem hukum maupun di luar sistem hukum antara lain terkait dengan wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang terjadi, sehingga apa yang seharusnya berjalan dengan baik tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau direncanakan sehingga dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan secara optimal. Bertolak dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lembaga Kejaksaan, khususnya di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara terhadap wujud tindak pidana korupsi yang ditangani dalam proses penyidikan, meskipun wilayah hukumnya tidak begitu luas namun tingkat penanganan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara dan respon masyarakat terhadap penanganan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara cukup tinggi. Untuk kurun waktu sejak Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2009 terdapat 430 jumlah temuan/indikasi tindak pidana korupsi pada wilayah Sulawesi Tenggara dan yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara yaitu sebanyak 213 Kasus.6
6 Syaifuddin Kasim, 2010. Dalam rangkuman disertasinya “ Optimalisasi Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi.”. tidak diterbitkan. Pascasarjana-UNHAS. Hal. 100-101.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
441
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimanakah wujud, sektor atau objek tindak pidana korupsi yang ditangani oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara di Jalan Ahmad Yani No. 4 Kendari, khususnya pada bidang Tindak Pidana Khusus. Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara baik yang menduduki jabatan struktural maupun jabatan fungsional yang aktif dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terdiri dari 18 orang jaksa. Jenis dan Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber data melalui wawancara; dan data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan undang-undang yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan lain yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku dan data-data dari instansi terkait yang berhubungan dengan materi yang penulis kaji. Teknik Pengumpulan Data Untuk menjaring data yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data dengan teknik atau cara sebagai berikut: a) Menggunakan kuesioner daftar tanya; b) Wawancara dengan teknik wawancara secara tidak terarah atau tidak teratur yaitu dengan mengadakan komunikasi langsung kepada informan sehubungan dengan objek yang diteliti; c) Observasi yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung dilapangan pada waktu terjadinya pemeriksaan (penyidikan) tindak pidana korupsi di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara; d) Studi dokumentasi yaitu peneliti mempelajari dokumen yang ada dalam perkara tindak pidana korupsi, seperti Berita Acara Pemeriksaan, Surat Dakwaan,Putusan Pengadilan, dan lain-lain. Analisis Data Data yang diperoleh dari studi pustaka, hasil wawancara maupun kuisioner akan dianalisa secara deskriptif kualitatif. Analisa deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan data yang diperoleh dengan mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh baik 442 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
dari data primer maupun data sekunder kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asasasas, kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Wujud Tindak Pidana Korupsi dalam Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, maka dapat dilihat dan identifikasi wujud atau jenis tindak pidana korupsi. Adapun masing-masing penyidikan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi Sultra pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 masing-masing dapat diuraikan pada tabel berikut ini: Tabel 1. Data Penyidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 No.
Kasus Posisi
1.
Pelaksanaan pekerjaan pengadaan Travo dan Pamasangan Sambungan Instalasasi pada PDAM yang tidak sesuai Kab.Kolaka Tahun 2007 spesifikasi Penyimpangan terhadap Item Pekerjaan dan penggunaan bahan material yang tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen kontrak pada pembangunan Kantor di TA.2006.
Rekanan Pelaksana Konsultan Pengawas Rekanan Pelaksana Konsultan pengawas
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor Pasal 7 ayat (1) huruf a, b UU Tipikor
Penyimpangan terhadap kekurangan volume fisik pekerjaan pada Pembangunan jembatan di Kec. Wawonii Utara Kab. Konawe TA.2007 yang menyebabkan jembatan rusak dan tidak dapat digunakan.
Rekanan pelaksana Kabag /PPTK Kadin
Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Tipikor
Pengalihan aset daerah menjadi milik pribadi melalui Surat Keputusan Walikota Kendari Tahun 2007 yang dilakukan tanpa prosedur pengalihan aset milik Negara/daerah kepada pihak lain sesuai yang dengan ketentuan/perundang-undangan berlaku
Mantan Walikota
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
2.
3.
4.
Jumlah Penyidikan
Tersangka
Pasal
Jumlah 2
2
3
1
8
Sumber Data: Sulawesi Tenggara Sumber Data:Kejasaan KejasaanTinggi Tinggi Sulawesi Tenggara
Berdasarkan Tabel 1 di atas, jelas tergambar bahwa untuk tahun 2008 terdapat 8 perkara penyidikan dengan wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang pada umumnya ditangani adalah adalah tindak pidana korupsi terkait pemborongan, leveransir dan rekanan sebanyak 5 perkara, sedangkan 3 perkara merupakan korupsi yang merugikan keuangan negara. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
443
Tabel 2. Data Penyidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 No.
Kasus Posisi
Tersangka
Pasal
Jumlah
1.
Penerimaan pajak retribusi daerah yang Kepala Dinas Pasal 2 UU Tipikor dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Bendahara Pasal 3 UU Tipikor Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007-2009 Penerimaan Pasal 9 UU Tipikor yang tidak disetorkan ke kas daerah. Bendahara Pengeluaran
2
2.
Penyimpangan terhadap pencairan dan penggunaan dana APBD pada kas daerah Kab.Bombana TA.2008 yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi melalui persetujuan/memo Bupati.
Pasal 2 UU Tipikor Pihak penerima dana Pasal 3 UU Tipikor
1
3.
Penunjukan rekanan tunggal untuk pengadaan sarana pada sekolah Madrasah Aliyah seSulawesi Tenggara melalui Dana Block Grant.
Kasubag Perencanaan
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
4.
Penerimaan iuran pertambangan yang dikelola Sekda oleh Sekretariat Daerah Kabupaten Bombana Tahun 2007-2008 yang tidak disetor ke kas daerah.
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
5.
Penyimpangan Pengelolaan Dana ruitn dan Perjalanan dinas fiktif yang dilakukan oleh anggota DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara dalam rangka Studi Banding TA. 2004.
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
6
6.
Penyimpangan terhadap pekerjaan fiktif Rekanan pengadaan 1 unit tronton pada Dinas PU dan Pelaksana Perhubungan Kabupaten Wakatobi TA.2008. Kabag/PPTK
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
7.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Rekanan Pasal 2 UU Tipikor Pekerjaan Pembagunan jalan Sandi dan Jalan Pelaksana Pasal 3 UU Tipikor Tampara pada dinas PU dan Perhubungan Kabag/PPTK Kab.Wakotobi TA.2007-2008. Kepala Dinas
3
8
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Rekanan Pasal 2 UU Tipikor pekerjaan pelaksanaan pekerjaan Pembukaan Pelaksana Pasal 3 UU Tipikor Jalan, pengerasan dan pengaspalan jalan Kabag/PPTK Haruo pada dinas PU dan Perhubungan Kepala Dinas Kab.Wakotobi TA.2007-2008
3
9
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Rekanan Pasal 2 UU Tipikor pekerjaan pelaksanaan pekerjaan Pembukaan Pelaksana Pasal 3 UU Tipikor Jalan, pengerasan dan pengaspalan jalan PPTK Lingkar Walobu, Peropa pada dinas PU dan Kepala Dinas Perhubungan Kab.Wakotobi TA.2007-2008
3
10.
Penyimpangan pengelolaan dana Iuran PSDH Kepala Dinas Pasal 2 UU Tipikor dan DR pada Dinas Kehutanan kab.Konawe Pasal 3 UU Tipikor TA.2003
1
Para Mantan Anggota DPRD Prop.Sultra
Jumlah Penyidikan
22
Sumber Data: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Data di atas menggambarkan bahwa untuk tahun 2009 terdapat 22 perkara penyidikan dengan wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang ditangani keseluruhannya merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, namun dari 22 444
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Perkara yang merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara tersebut terkait pula tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai penggelapan dalam jabatan yang berhubungan dengan adanya pemalsuan surat-surat atau dokumen dilakukan guna pemeriksaan administrasi yang dijadikan dasar atau syarat pencairan dana, yaitu sebanyak 8 perkara. Tabel 3. Data Penyidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 No.
Kasus Posisi
Tersangka
Pasal
Jumlah
Pelaksana Kabag/PPT K Kepala Dinas Rekanan
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor Pasal 9 UU Tipikor
1
1.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Jalan Lingkar Kaledupa pada dinas PU dan Perhubungan Kab.Wakotobi TA.2009. -
2
Penyimpangan terhadap Pekerjaan fiktif Pengadaan 1 Unit alat berat pada Dinas PU dan Perhubungan Kabupaten Wakatobi TA. 2009. Penyimpangan dalam pelaksanaan proses - Rekanan pengadaan dan pekerjaan/pembuatan 10 unit Pelaksana kapal gae pada Dinas Kelautan dan Perikanan - Kabag/ PPTK Kab.Wakatobi TA.2007 yang tidak sesuai - Kepala Dinas spesifikasi
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor - Pasal 9 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
4
4.
Penerimaan pajak retribusi daerah yang Wakil Kepala dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Dinas Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 yang tidak disetorkan ke kas daerah
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
5.
Pembayaran fiktif dalam kegiatan pelatihan kompetensi tenaga pendidikan SD,SMP,SMA Kepala Dinas serta Pembayaran biaya kelebihan jam mengajar guru-guru SD Tahun 2008 pada Dikbudpar Kab. Konawe Utara.
- Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor Pasal 9 UU Tipikor
1
6.
Penyimpangan penggunaan dana perjalanan Bendahara dinas keluar daerah pada Sekretariat Daerah Kab.Konawe tahun 2008.
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
7.
Penyimpangan penyalahgunaan dana Kepala Bagian intensifikasi dan ekstensifikasisumbersumber pendapatan pada dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan aset daerah Kab.Konawe Utara Tahun 2008 Penyimpangan terhadap pencairan dan Bupati penggunaan dana APBD pada kas daerah Kab.Bombana TA.2008 yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi melalui persetujuan/memo Bupati
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
3.
8.
Jumlah Penyidikan
11
Sumber data: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Pada tahun 2010 terdapat 11 perkara penyidikan dengan wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang ditangani keseluruhannya juga merupakan tindak pidana korupsi Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
445
yang merugikan keuangan Negara. Demikian pula halnya sebagaimana penyidikan tahun 2009 maka pada tahun 2010 dari 11 Perkara yang merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuanga negara tersebut terkait pula tindak pidana korupsi yang dikkategorikan sebagai penggelapan,yaitu berhubungan dengan adanya pemalsuan suratsurat atau dokumen dilakukan guna pemeriksaan administrasi yang dijadikan dasar atau syarat pencairan dana,sebanyak 3 perkara. Tabel 4. Data Penyidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2011 No. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Kasus Posisi
Tersangka
Penyimpangan pengelolaan dana rutin pada Kepala Dinas Dinas Kependudukan dan catatan sipil Kab.Konawe Utara TA.2009 Tahun Anggaran 2010. Penyimpangan Proses Pengadaan dan Rekanan pelaksanaan pekerjaan Kendaraan bermotor Pelaksana Roda 4 pada Sekretariat Daerah Prop.Sultra Kabag/Ketua Panitia TA.2008. Pengadaan Penyimpangan Pekerjaan pembuatan kapal Rekanan penyebrangan Lintas lasusua – Siwa Type Pelaksana Roro pada Kantor Dinas Perhubungan Prov. Sultra TA.2007. Penyimpangan pengadaan tanah untuk lokasi Sekot pengembangan kawasan bumi praja kantor Kepala Kantor Gubernur Sultra TA. 2010. Penyimpangan penggunaan dana Hibah BUD bantuan pemerintah prop.Sultra kepada Pemda Konawe Utara TA 2009. Penyimpangan penggunaan dana bantuan desa Sekda Bendahara TA. 2008- 2010 di kab.Bombana Kep. Cabang BPD Penyimpangan penggunaan dana Kabag Tunjangan/Honorarium aparat desa pada Bagian Umum Sekda kab.Konawe Utara TA.2009. Penyimpangan penggunaan dana bantuan Sekda untuk kegiatan pengurusan hak-hak pemda Bendahara Wakil Angg. TA.2007-2008 pada Sekda Bombana. DPRD Penerimaan dana terkait izin usaha Kepala Kantor pertambangan pada Kantor BPN Kab.Konsel Tahun 2010. Jumlah Penyidikan
Pasal
Jumlah
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
2
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor Pasal 9 UU Tipikor
2
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
3
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor Pasal 9 UU Tipikor
1
Pasal 2 UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor
3
Pasal 12 Tipikor
1
e
UU
15
Sumber data: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Pada tahun 2011 dari terdapat 15 perkara penyidikan wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang ditangani pada umumnya merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, yaitu sebanyak 14 perkara , dan terdapat 1 perkara yang 446
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
merupakan tindak pidana korupsi yang bersifat kerakusan. Demikian pula halnya pada penyidikan tahun 2009 maka pada tahun 2010 dari 14 Perkara yang merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara tersebut , terkait pula tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai penggelapan yaitu berhubungan dengan adanya pemalsuan surat-surat atau dokumen dilakukan guna pemeriksaan administrasi yang dijadikan dasar atau syarat pencairan dana sebanyak 1 perkara. Tabel 5. Data Penyidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 No.
Kasus Posisi
1.
Penyimpangan Penggunaan dana perjalana dinas pada Dinas PPKAD Kab.Konawe TA.2009
Bendahara
Penyimpangan Penggunaan dana perjalanan dinas pada Sekretariat DPRD Kab. Konawe TA.2009
Bendahara
Penyimpangan dalam pengelolaan dan penggunaan dana anggaran tahun 2007 pada Dinas Kimpraswil kab.Muna yang ditransfer ke rekening pribadi
Bendahara
Penyimpangan pengelolaan dana Block grant pada badan Pemberdayaan Masyarakat BPM Prov.Sultra TA.2010
Kabag
2.
3.
4.
5.
Penyalahgunaan dana kontribusi pertambangan pada Dinas Pertambangan dan Energi kab.Konawe Utara TA.2011
Jumlah Penyidikan
Tersangka
Pasal
Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor Pasal UU Tipikor
Jumlah 2
1
3 2
1
3 2
1
3 2
1
3 2
1
3 5
Sumber data: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Pada tahun 2012, terdapat 5 perkara penyidikan dengan wujud tindak pidana korupsi yang ditangani keseluruhannya merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diidentifikasi wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang pada umumnya ditangani dalam proses penyidikan oleh penyidik pada Kejaksaan Tinggi Sultra sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 sebagaimana Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
447
pada tabel 6 berikut: Tabel 6. Wujud Tindak Pidana Korupsi dalam Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2012 No. 1
Tahun
Wujud Tindak Pidana Korupsi
2008 Korupsi yang Merugikan Keuangan 3 negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor)
2009 2010 2 11
2011 2012 14 5
Jumlah 55
2.
Korupsi terkait Pemboronan/ Laverensir/Rekanan (Pasal 7 ayat (1) UU Tipikor )
5
-
-
-
-
5
3.
Korupsi penggelapan dalam jabatan terkait pemalsuan administrasi dokumen-dokumen (Pasal 9 UU Tipikor)
-
8
3
3
-
14
4.
Korupsi yang bersifat kerakusan (Pasal 12 huruf e UU Tipikor)
-
-
-
1
-
1
8
22
11
15
5
61
Jumlah penyidikan
Sumber data: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa wujud atau jenis tindak pidana korupsi yang pada umumnya disidik oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara adalah Korupsi yang merugikan keuangan negara, diikuti dengan tindak pidana korupsi penggelapan jabatan terkait pemalsuan adminstrasi dokumen-dokumen pemeriksaan keuangan; korupsi pada pemborongan, leveransir/rekanana; dan korupsi yang bersifat kerakusan. Adapun bentuk-bentuk penyimpangan pada masing-masing sektor sebagaimana tersebut di atas berdasarkan tabel 1 sampai dengan 6 di atas, dapat penulis uraikan masingmasing sebagai berikut: 1. Terhadap pengadaan barang dan jasa , meliputi : a. Pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan bestek dan spesifikasi yang ditentukan dalam kontrak, serta terdapat kekurangan volume fisik pekerjaan yang dilaksanakan, yaitu sebanyak 23 Perkara b. Pekerjaan yang telah dibayarkan berdasarkan dokumen kontrak namun tidak dilaksanakan (fiktif) sebanyak 2 perkara c. Pembayaran pelaksanaan kegiatan pengadaan yang dilakukan kepada pihak-pihak yang tidak berhak sebanyak 1 perkara d. Penunjukan rekanan tunggal dan penunjukan rekanan secara langsung tanpa 448 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
melalui prosedur lelang yang dilakukan melalui intervensi pejabat yaitu sebanyak dua perkara. Penyimpangan pada sektor pengadaan barang dan jasa yang terjadi diwilayah Propinsi Sulawesi Tenggara adalah pada umumnya terjadi diwilayah merupakan daerah pemakaran diantaranya Kabuapten Wakatobi dan Kabupaten Bombana masing-masing merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Buton yang berdiri sejak tahun 2003, serta daerah kabupaten Konawe yang terjadi pada pemekaran wliayah kecamatan, sehingga banyak dana yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan jalan dan jembatan sebagai sarana penghubung dan mobilisasi kegiatan masyakarat, mengingat daerah yang masuk pada wilayah pemakaran tersebut sangat jauh. Pemantauan maupun pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan dilapangan jarang dilakukan sehingga pihak rekanan dalam melaksanakan pekerjaan cenderung melakukan penyelewengan-penyelewengan yang di dalamnya rawan terjadi korupsi, sehingga kondisi bangunan menjadi terbengkalai.7 2. Terhadap pengeluaran dan penggunaan dana keuangan daerah, meliputi: a. Pengeluaran dan penggunaan dana keuangan daerah yang tidak sesuai peruntukannya sebanyak 14 perkara b. Pengeluaran dan pembayaran dana dari kas daerah tanpa ada kegiatan (fiktif) sebanyak 11 perkara Penyimpangan terhadap dana keuangan daerah antara lain yaitu berupa penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukannya yang dalam hal ini meliputi: penggunaan dana kas daerah yang digunakan untuk kepentingan pribadi yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kegiatan rutin kedinasan pemerintahan, yaitu sebanyak 6 perkara dan penggunaan dana keuangan daerah pada kegiatan yang sama sekali tidak dianggarkan sebanyak 8 perkara . Adapun terhadap penggunaan dana yang dibayarkan untuk kegiatan yang fiktif antara lain meliputi kegiatan perjalanan dinas yang tidak dilaksakan namun dibuatkan pertanggungjawaban SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) fiktif sebanyak 9 perkara, dan penggunaan dana untuk kegiatan rutin instansi yang dibayarkan namun tidak ada bentuk kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu sebanyak 2 perkara. 3. Terhadap penerimaan keuangan daerah/negara dari sektor pajak, meliputi: a. Penerimaan pajak retribusi daerah yang digunakan langsung tanpa disetorkan ke kas daerah sebanyak 3 perkara 7 Berdasarkan wawancara dengan Jaksa Djainuddin Rasjid, Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
449
b. Penerimaan Iuran PSDH dan DR pada Dinas kehutanan tanpa disetorkan ke kas negara sebanyak 1 perkara Sedangkan dari sektor pertambangan, meliputi: a. Penerimaan Iuran pertambangan yang digunakan langsung yang seharusnya di setor ke kas daerah sebanyak 2 perkara b. Penerimaan dari pihak investor pertambangan terkait inventarisasi lahan Hak Guna Usaha sebanyak 1 perkara Propinsi Sulawesi Tenggara juga merupakan salah satu daerah yang akhir-akhir ini banyak dikelola potensi sumber daya alamnya khususnya dari sektor pertambangan antara lain daerah Kabupaten Kolaka, Kabupaten Bombana, Kabupaten Konawe Utara,dan Kabupaten Konawe Selatan. Sektor pertambangan ini juga merupakan sektor yang rawan korupsi dan oleh Penyidik pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah melakukan penyidikan terkait hal tersebut (sebagaimana pada tabel 1 sampai dengan tabel 5) antara lain, penerimaan iuran pertambangan emas yang dikelola Sekda Bombana yang seharusnya disetor ke kas daerah sebagai sumber pendapatan daerah tapi digunakan langsung dan diantaranya digunakan untuk kepentingan pribadi. Demikian pula dalam hal pengurusan izin pertambangan juga rawan terjadi korupsi hal ini, sebagaimana pula disidik oleh Kejaksaaaan Tinggi Sulawesi Tenggara yang terjadi didaerah Kabupaten Konawe Selatan sebagai lokasi pertambangan nikel, yang dilakukan oleh Pihak Badan Pertanahan Nasional terkait inventarisasi lahan Hak Guna Usaha yang diajukan pihak investor untuk selanjutnya diajukan sebagai dasar untuk diterbitkan Surat Iziun Usaha Pertambangan oleh Kepala daerah setempat dengan melakukan pemungutan pembayaran kepada pihak investor yang tidak ada dasar hukumnya.8 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud tindak pidana korupsi dalam penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara adalah Korupsi yang merugikan keuangan negara yang didalamnya terdapat tindak pidana korupsi penggelapan jabatan terkait pemalsuan adminstrasi dokumen-dokumen pemeriksaan keuangan; Korupsi pada pemborongan, leveransir/rekanan dan korupsi yang bersifat kerakusan. Tindak pidana korupsi tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil laporan pengaduan masyarakat maupun temuan intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi 8 Berdasarkan wawancara dengan Jaksa Muh. Zuhri, Kepala Seksi Penyidikan pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
450
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Tenggara berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dari hasil penyelidikan yang dilanjutkan ke tahap penyidikan sesuai dengan penerapan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 9, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada umumnya terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa Pemerintahan; sektor Pengelolaan keuangan APBD/APBN yang meliputi pengeluaran dan penggunaan dana keuangan daerah serta Penerimaan keuangan daerah/negara dari sektor pajak dan pertambangan, dan pada sektor pengelolaan aset daerah. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berukut: 1. Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan terkait wujud maupun sektor-sektor dalam proses penyidikan yang selama ini dilakukan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara diharapkan dapat dikembangkan penanganannya pada sektor-sektor lain yang lebih strategis, khususnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam rangka upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan tersebut diharapkan tidak saja terfokus upaya represif tetapi juga dapat berdampak pada upaya preventif, antara lain dengan melakukan sosialisasi penyuluhan hukum dan kerjasama dengan terhadap intansi terkait khususnya dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta kegiatan pengelolaan keuangan baik yang terkait dana APBN maupun APBD, sehingga dapat meminimalisir bahkan mencegah bentuk-bentuk penyelewangan yang berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengoptimalkan kinerja Kejaksaan dalam penegakan hukum pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar melengkapi kewenangan Institusi tersebut untuk dapat menerobos ketentuan atau prosedur yang ada yang selama ini menghambat proses penyidikan dan penambahan anggaran yang memadai untuk dapat membiayai operasional penyidikan dan penuntutan sebagaimana halnya yang dilakukan terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang tentunya harus pula didukung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur jaksa dengan secara kontinyue melakukan pelatihan dan pendidikan teknis sehubungan dengan penanganan tindak pidana korupsi.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
451
DAFTAR PUSTAKA Marwan Effendi. 2012. Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan terhadap beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi. Surachman dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju. Marwan Effendi. 2012. Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan Isu-isu aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi. Jakarta: Referensi. Sudirman Said dan Nizar Suhendra. Tanpa Tahun. Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dihimpun dalam buku Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Kemitraan. Syaifuddin Kasim. 2010. Optimalisasi Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Disertasi. tidak diterbitkan. Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
452 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
FUNGSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT Mudazzir Munsyir, Marthen Arie, Hamzah Halim
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
FUNGSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN DAN BARAT Oleh: Mudazzir Munsyir1*, Marthen Arie2, Hamzah Halim2 Kejaksaan Negeri Bantaeng Jl. Raya Lanto Dg. Pasewang No.86, 92411, Bantaeng 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] 1
Abstract This research is aimed to determine: (1) the results of investigation perfomed by State Audit Bureau and Devolopment (SABP) in proving system of criminal act Indonesia, (2) the function of SABP in revealing the corruption criminal act in provincial attorney general’s jurisdiction office of south sulawesi and West Sulawesi, (3) obstacles faced in conducting the SABP’s function related to attorney. The method used was social legal, i.e. primary and secondary data were analyzed with positive-normative norms. Then the data were processed with indentification, classification, systematical, and analytical then descriptively presented to express the problems and gave solution to the problems. The results of this research indicate that the audit results discovered by SABP can be used as latter evidence based on the article 184 of KUHP and article 187 c latter of KUHP and SABP’s Auditor can give expertise testimony which cans strengs then the evidence to convice the judges. The obstacles found in performing the function of SABP in revealing the calculation of the state’s loss are financing. Auditors do not have tehnical ability, and lack of cooperation with other institutions to report the existence criminal acts. Keywords: Corruption Criminial Act, State Audit Bureau and Devolopment Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) bagaimana hasil audit investigative yang dilakukan oleh BPKP dalam system pembuktian tindak pidana di Indonesia; (2) bagaimana fungsi BPKP dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, dan (3) kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsi BPKP dalam hubungannya dengan Kejaksaan. Metode penelitian yang digunakan oleh sosial legal, yaitu dengan mengkaji atau menganalisa data primer dan sekunder yang serupa bahan-bahan hukum dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam system perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Kemudian diproses secara deskriptif untuk menjawab permasalahan dan solusinya. Hasil penelitian yang dilakukan adalah bahwa hasil audit yang dilakukan BPKP dapat digunakan sebagai alat bukti surat berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan Pasal 187 huruf c KUHAP dan bukan hanya itu, Auditor BPKP dapat memberikan keterangan ahli sehingga memperkuat pembuktian guna meyakinkan hakim yang didapatkan dari dua alat bukti yakni alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Fungsi BPKP dalam pengungkapan tindak pidana korupsi memberikan bantuan dalam perhitungan kerugian negara dan dalam melaksanakan fungsi tersebut terdapat kendala-kendala yang dihadapi yakni pembiayaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, kemampuan teknis tidak dimiliki Auditor serta kurang optimsl kerjasama dengan instansi lain untuk melaporkan adanya tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Pada era globalisasi ini good governance merupakan tuntutan dalam setiap sendi kehidupan. Istilah good governance dapat diartikan terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik. Untuk mencapai good governance hal yang harus dipenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktivitas baik ekonomi, politik, sosial dan penegakan hukum. Dari sisi ekonomi, menurut penulis salah satu indikator adanya keterbukaan dan akuntabilitas tersebut adalah tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi dalam aktivitas ekonomi pada berbagai tingkatan pelaku ekonomi. Secara objektif harus diakui bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menuju terciptanya good governance. Upaya tersebut dapat dilihat dari kebijakan deregulasi dan debiroktisasi sejak pertengahan tahun 1980-an. Deregulasi diarahkan dengan mengurangi dan atau menghilangkan berbagai peraturan yang dirasa menghambat kegiatan perekonomian. Secara khusus pemerintah menghilangkan berbagai peraturan yang menghambat kegiatan ekspor. Berbagai kebijakan deregulasi di bidang ekonomi nampak jelas menunjukkan orientasi pemerintah yang berubah dari inward oriented menuju outward oriented. Sejalan dengan kebijakan tersebut maka pengembangan sektor industri juga diarahkan untuk produk-produk bertujuan ekspor.1 Kebijakan debirokratisasi dilakukan dengan cara mengurangi atau memangkas proses birokrasi. Sebagai contoh proses perijinan diperpendek dan atau dipermudah. Dengan kebijakan tersebut masyarakat atau investor diharapkan memperoleh kemudahan untuk memperoleh ijin untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pemerintah juga mengembangkan sistem administrasi satu atap sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dari pihak birokrasi.2 Kelemahan yang sangat mencolok dalam proses tercapainya good governance selama ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. Korupsi dapat dikatakan merajalela terutama di kalangan birokrasi pada instansi publik atau lembaga pemerintah baik departemen maupun non departemen. Korupsi biasanya terjadi disertai dengan tindakan kolusi dan nepotisme, kemudian di Indonesia dikenal dengan nama istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Praktik KKN yang terjadi diantaranya dapat dilihat dari hasil pemeriksaan reguler BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan. Hasil pemeriksaan tersebut menyebutkan 1 Y. Sri Susilo,”Mampukah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Menjadi Salah Satu Pillars of Integrity”,(http:/www.transparansi.or.id/artikel/artikel pk/artikel 02.html., diakses, 7 Januari 2013). 2 Ibid.
456
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
bahwa sebanyak 107 (seratus tujuh) laporan hasil perhitungan kerugian negara yang menyebabkan kerugian negara senilai milyaran rupiah. Menurut BPKP indikasi KKN pada instansi pemerintah tersebut dapat diketahui dari adanya penyimpangan prosedur pengadaan barang dan jasa, pembayaran yang melebihi prestasi kerja, pekerjaan fiktif, mark up dan pemberian pekerjaan pada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.3 Pertanyaan yang muncul adalah mengapa penyelewengan korupsi begitu merajalela. Secara teoritis, terjadinya korupsi dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Untuk dapat memberantas korupsi sehingga upaya terwujudnya good governance dapat lebih cepat tercapai maka perlu dukungan dan upaya dari berbagai pihak. Untuk itu perlu diciptakan sistem akuntabilitas yang efektif. Dalam hal ini pengambil kebijakan harus memfokuskan usaha mereka mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1) Para pemegang posisi kunci di lembaga eksekutif dan pelayanan masyarakat harus memperkuat institusi publik; 2) Para politisi dan pegawai negeri harus secara kolektif bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan komitmen pemerintah; 3) Para politisi dan birokrat pada umumnya harus lebih responsif terhadap kebutuhan perusahaan-perusahaan milik swasta maupun milik negara; dan 4) Seluruh warga negara, sektor swasta, media dan masyarakat sipil harus di didik dan diberdayakan untuk meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Selanjutnya, agar akselerasi sistem akuntabilitas publik dapat lebih cepat tercapai, maka diperlukan komitmen dan integritas dari berbagai pihak yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu upaya untuk menegakkan paradigma good governance. The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan berbagai pihak dalam rangka memberantas korupsi, telah memperkenalkan konsep yang disebut “Pillars of Integrity”.4 Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain kantor-kantor auditor, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri dan asosiasi profesional. 3 Lakip BPKP Sulsel tahun 2010/2011 4 Asian Development Bank (ADB), “Good Governance and Anticorrution : The Road Forward For Indonesia”, Paper, Presented at Eight Meeting of The Colsultative Group On Indonesia, 27-28 july 1999, Paris, France.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
457
Organisasi kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan LSM termasuk dalam pilar masyarakat sipil. Pilar tersebut tentunya bisa diperluas menurut kondisi masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, mahasiswa tentu dapat dimasukkan sebagai salah satu pilar integritas. Auditor BPKP termasuk pilar yang manakah? Auditor BPKP dapat masuk ke lembaga-lembaga pengawas karena pada umumnya auditor merupakan anggota Internal Auditor Indonesia (IAI). Organisasi IAI merupakan organisasi profesional karena itu dapat masuk pula ke pilar sektor swasta. Dengan demikian salah satu anggota IAI adalah Auditor BPKP. IAI mempunyai potensi yang besar untuk menjadi pilar ke-9 dari “Pillars of Integrity” di Indonesia.5 Anggota IAI merupakan auditor yang profesional yang tergabung dalam kantor auditor atau akuntan publik. Ada atau tidaknya korupsi dalam suatu kegiatan ekonomi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Auditor keuangan. Dengan demikian, ada tidaknya suatu penyelewengan keuangan sangat tergantung dari pekerjaan dan kesimpulan yang direkomendasikan oleh lembaga auditor. Di Indonesia, ada tidaknya korupsi pada institusi pemerintah secara formal diketahui dari laporan yang dikeluarkan oleh BPKP atau kantor akuntan publik yang ditunjuk. Adapun kedudukan BPKP dalam “Pillars of Integrity” tersebut dapat dimasukkan dalam pilar keempat yaitu lembaga-lembaga pengawas, hal ini disebabkan BPKP berkedudukan sebagai auditor internal Pemerintah. Sebagai auditor internal pemerintah, BPKP menekankan fokus kinerja pada tiga hal besar yaitu pemerintah (governance), manajemen resiko (risk management) dan kontrol internal (internal control). BPKP sudah mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan sejauh ini telah diimplementasikan dan disosialisasikan di berbagai pemerintahan. BPKP telah mengembangkan konsep manajemen resiko termasuk melakukan sosialisasi melalui workshop dan media lainnya, serta membantu implementasi manajemen resiko lainnya di beberapa BUMN. BPKP juga selalu peduli pada pentingnya pengendalian internal di berbagai kegiatan misalnya dalam proses pengadaaan barang dan jasa. Publik seringkali menganggap bahwa kinerja lembaga pengawasan yang efektif adalah jika banyak kasus korupsi diungkap dan pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Perlu diketahui bahwa lembaga pengawasan internal pemerintah hakikatnya merupakan usaha preventif berupa mengawal pemerintah secara intensif melalui pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik, penanganan resiko yang akurat dan 5 Ibid., hlm.13. Konsep mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga yaitu: 1) Lembaga eksekutif; 2) Lembaga parlemen; 3) Lembaga kehakiman; 4) Lembaga-lembaga pengawas; 5) Media; 6) Sektor Swasta; 7) Masyarakat sipil; dan 8) Lembaga-lembaga penegakan hukum.
458
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
implementasi pengendalian internal yang baik disetiap kegiatan pemerintahan. Audit yang dilakukan BPKP yang temuannya terdapat indikasi merugikan negara. Hal tersebut sudah memenuhi salah satu unsur korupsi dimana perbuatan tersebut terdapat unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan unsur lain, seperti unsur melawan hukum dan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jadi tinggal mencari apakah pada perbuatan tersebut terdapat unsur sebagaimana disebutkan sebelumnya. Berhubungan dengan hasil audit investigatif diwilayah hukum Propinsi Sulawesi Selatan. Jumlah pelaksanaan audit sesuai dengan permintaan penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat pada BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan selama tahun 2010 sampai tahun 2011 adalah sebanyak 22 kasus dan total nilai kerugian negara adalah Rp. 9.076.301.663,86.6 Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, BPKP juga mengklaim mendorong optimalisasi anggaran. Upaya ini mampu menyelamatkan anggaran negara mencapai Rp. 17.356.095.547,17. Peran Kejaksaan sebagai penyidik tindak pidana korupsi pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana, artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum.7 Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan, tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.8 Suatu hal yang dipahami dari uraian diatas adalah sangat urgennya kedudukan penyidik Kejaksaan dalam mengungkapkan suatu tindak pidana korupsi. Akan tetapi selain sumber daya manusia dari Kejaksaan yang terbatas serta dibutuhkannya alat bukti dalam mengungkapkan tindak pidana korupsi maka penyidik Kejaksaan membutuhkan lembaga lain yang memiliki kompetensi dalam melakukan tugas audit investigasi. Salah satu lembaga yang memiliki kompetensi di bidang audit investigasi tersebut adalah BPKP. Selain bertugas memberikan bantuan penyelidikan dan penyidikan indikasi kerugian negara, maka hasil audit investigasi yang dilakukan auditor BPKP juga berfungsi sebagai 6 Lakip BPKP Sulsel tahun 2010/2011, hlm.50. 7 Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana. (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 157. 8 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.30.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
459
alat bukti bagi penyidik Kejaksaan. Hal ini disebabkan karena hasil audit investigasi tersebut merupakan suatu surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan dibuat oleh lembaga yang benar-benar kualifait di bidangnya. Selain hasil audit yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka keberadaan auditor BPKP juga dapat dimintakan keterangannya dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kenyataan ini memberikan konstribusi bahwa kerjasama antara Kejaksaan dengan BPKP amat sangat penting dalam menemukan kebenaran terhadap suatu hal yang diperkirakan berindikasi merugikan keuangan negara atau telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana korupsi. Dengan demikian, sistem peradilan pidana dalam rangka penyelenggaraannya sebagaimana dimkasud oleh KUHAP harus merupakan kesatuan yang bergerak secara terpadu.9 Dalam hal usaha-usaha untuk menanggulangi tindak pidana yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat. Penulis dalam suatu persidangan perkara tindak pidana korupsi di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan, pernah menghadirkan Auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan untuk memberikan keterangan Ahli, dimana pada saat itu Hakim Ketua bertanya mengenai perbedaan antara BPKP dan BPK, kemudian Auditor BPKP menjelaskan fungsi BPKP, sehingga penelitian ini dianggap menarik karena penulis ingin melihat bagaimana fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. Bentuk koordinasi dan kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara untuk kasus tindak pidana korupsi. Beberapa kasus memberikan fakta akan adanya koordinasi yang harus dibangun antara BPKP dengan Kejaksaan, karena seringkali ada kesan bahwa beberapa kasus hanya mengakui BPKP sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat menentukan besarnya kerugian negara. Hal ini terbukti dari banyaknya perkara korupsi di Kejaksaan yang berkas perkaranya belum lengkap karena menunggu hasil audit BPKP. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan apa yang telah di uraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah pokok yang akan diteliti, sebagai berikut yaitu, bagaimanakah fungsi BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di Sulawesi Selatan dan Barat? 9 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, 1994), hlm.140.
460 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dititik beratkan pada pelaksanaan fungsi BPKP, maka dipilih BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat di Kota Makassar. Tipe Penelitian Tipe penelitian empiris yaitu studi hukum dengan pendekatan secara sosial legal yang melihat hukum sebagai gejala pranata sosial, artinya hukum tidak dikonsepkan sebagai gejala normatif tetapi sebagai sarana pranata sosial yang secara kenyataan akan dikaitkan dengan kenyataan sosial yang lain dengan mengungkapkan secara empiris dalam praktik fungsi BPKP dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. Oleh karenanya penelitian ini membutuhkan populasi dan sampel. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan dan data sekunder, yaitu penelitian kepustakaan. Namun penelitian ini terutama difokuskan pada data sekunder karena sifat penelitian ini adalah normatif, sedangkan data primer dipakai sebagai penunjang untuk mempertajam analisis. Sumber data yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Untuk data sekunder diperoleh melalui bahan-bahan primer yaitu perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun bahan-bahan hukum sekunder digunakan berupa pendapat para ahli, hasil karya ilmiah, artikel, makalah dan hasil penelitian. Untuk data primer diperoleh melalui wawancara dengan aparat penegak hukum dalam hal ini Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat C.q Asisten Tindak Pidana Khusus, Kepala Seksi Penuntutan Kejati Sulselbar serta Kepala BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah melalui studi kepustakaan dan wawancara serta kuesioner diproses secara identifikasi, klasifikasi, sistematis dan analisis. Sesuai dengan metode pendekatan sosio yuridis yang menekankan pada data primer. Analisis Data Dari semua data yang terkumpul, baik dari data primer maupun dari data sekunder diolah dan dianalisis, serta disajikan secara deskriptif untuk menjawab permasalahan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
461
penelitian, sekaligus solusinya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Fungsi BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi Diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 Tanggal 30 Mei 1983, maka Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN) ditransformasikan menjadi BPKP. Sebuah lembaga non departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit orgnanisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif. Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah non departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005. Dalam pasal 52, 53 dan 54 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan rencana dan program kerja pengawasan. b. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan pengurusan barang milik kekayaan negara. c. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah dan pengurusan barang milik kekayaan daerah. d. Pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pemerintahan yang bersifat strategis dan/atau lintas departemen lembaga wilayah. e. Pemberian asistensi penyusunan laporan akuntabilitas kinerja pemerintah pusat dan daerah. f. Evaluasi atas laporan akuntabilitas kinerja pemerintah pusat dan daerah. g. Pemeriksaan terhadap badan usaha milik daerah, pertamina, cabang usaha 462 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
h.
i.
j. k.
pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak kerja sama, badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah, pinjaman bantuan luar negeri yang diterima pemerintah pusat dan badan usaha milik daerah atas permintaan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Evaluasi terhadap pelaksanaan good corporate governance dan laporan akuntabilitas kinerja pada badan usaha milik negara, pertamina, cabang usaha pertamina, kontraktor bagi hasil dan kontrak kerja sama, badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah. Investigasi terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan negara, badan usaha milik negara dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan kelancaran pembangunan, pemberian bantuan pemeriksaan terhadap instansi penyidik dan instansi pemerintah lainnya. Pelaksanaan analisis dan penyusunan laporan hasil pengawasan serta pengendalian mutu pengawasan. Pelaksanaan administrasi perwakilan BPKP. Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BPKP mempunyai kewenangan sebagai
berikut: a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya. b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro. c. Penetapan sistem informasi di bidangnya. d. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidangnya. e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya. f. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : i. Memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan dan sebagainya. ii. Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, suratsurat bukti, notulen rapat panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-laporan pengelolaan dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan. iii. Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan lain-lain. iv. Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil pengawasan BPKP sendiri maupun hasil pengawasan badan pemeriksa keuangan dan lembaga pengawasan lainnya. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Wakil Presiden. Tugas utama BPKP adalah membantu Presiden dan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
463
Wakil Presiden mengawasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara dan Pembangunan agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus memberikan masukan bagi pembuatan kebijakan terkait dengan itu. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk membongkar kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada indikasi terjadinya tindak pidana korupsi, maka acuan yang digunakan BPKP dalam melakukan audit investigasinya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa peran BPKP dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam memerangi kejahatan korupsi yang sudah mewabah di negeri ini. Saat ini, BPKP boleh dibilang adalah lembaga pemerintahan yang paling canggih dalam fungsi pengawasan pemerintahan. Bagaimana tidak, BPKP telah didukung tata kerja organisasi yang cukup mapan dalam perencanaan, penugasan, pertanggung jawaban. Tidak Cuma itu, BPKP juga memiliki kapasitas besar dalam hal audit investigasi yang kiranya dapat diandalkan untuk melacak berbagai penyimpangan dan kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan kapasitas yang dimiliki, BPKP berperan khususnya dalam pengungkapan tindak pidana korupsi sebagai berikut: 1. BPKP berperan sebagai auditor internal pemerintah dengan tugas memanfaatkan hasil kerja ITJEN, BAWASDA dan aparat pengawasan pemerintah lainnya. Kemudian mengolah temuan dan rekomendasi serta memantau pelaksanaan tindak lanjutnya. Hal ini memungkinkan BPKP dapat melakukan pemeriksaan lapangan secara langsung, jika dipandang perlu. Dengan demikian BPKP dapat menjadi mitra kerja dan memberikan dukungan kepada BPK. 2. BPKP sebagai analis kebijakan dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan lainnya sebagai bahan analisis kebijakan publik, kemudian memberikan rekomendasi perbaikan atas berbagai kebijakan publik. 3. Sebagai lembaga investigasi, yaitu menjadi pendukung utama bagi KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi. 464 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Dari dua peran pertama di atas, dapat diposisikan BPKP memainkan peran strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di tingkat pencegahan. Sedangkan peran ketiga lebih diberdayagunakan untuk peran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Peran-peran ini tentu saja harus didukung dengan langkah-langkah pembenahan terhadap BPKP sendiri. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah menegaskan dasar hukum bagi BPKP agar tidak rentan setiap terjadi pergantian pemerintah. Karena seperti diketahui selama ini BPKP memiliki peran dan kewenangan yang sangat bergantung pada “selera” dan kebutuhan Presiden yang berkuasa. BPKP adalah internal auditor pemerintah yang menekankan kinerja pada tiga hal besar yakni governance, risk management dan internal control. Hal ini menjelaskan juga bahwa BPKP adalah forensic accountant (fraud auditor). Forensik auditing mengandalkan pada pengetahuan akuntansi dan auditing yang dibantu dengan kemampuan melakukan penyidikan. Forensic accountant dibekali dengan pengetahuan audit yang termasuk dalam akuntansi. Orang yang ahli adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan suatu pekerjaan dengan cara mudah, cepat, menggunakan intuisinya dan sangat jarang melakukan kesalahan. Di bidang auditing, beberapa ahli menyamakan keahlian audit dengan pengalaman audit, dan beberapa peneliti lain menggunakan pengalaman ini sebagai variabel pendukung keahlian. Keahlian audit adalah pengetahuan dan keahlian procedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Ada 5 kategori atribut personal yang ahli yaitu : (1) komponen pengetahuan, (2) ciri-ciri psikologis, (3) kemampuan berpikir, (4) strategi penentuan keputusan, dan (5) analisis tugas. Pertama, komponen pengetahuan (knowledge component). Komponen pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kedua, ciri-ciri psikologis (psychological traits). Atribut ini merupakan aspek lahiriah seseorang yang memiliki hal-hal personal dari seseorang, yang meliputi kemampuan dalam berkomunikasi, kreatifitas, dapat bekerja sama dengan orang lain dan kepercayaan terhadap keahlian. Ketiga, kemampuan berpikir (cognitive abilities). Atribut ini merupakan kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengolah informasi. Salah satu contoh dari kemampuan berpikir adalah kemampuan untuk beradaptasi pada situasi yang baru dan ambiguous yaitu memberikan perhatian terhadap fakta yang relevan serta kemampuan untuk mengabaikan fakta yang tidak relevan yang dapat secara efektif digunakan untuk menghindari tekanan. Keempat, strategi penentuan keputusan (decision strategies). Strategi penentuan keputusan baik formal maupun informal akan membantu membuat keputusan yang sistematis dan membantu keahlian dalam mengatasi keterbatasan manusia. Kelima, analisis tugas (task Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
465
analysis). Analisis tugas dipengaruhi oleh kompleksitas tugas. Seorang anggota BPKP juga harus memiliki keahlian teknis (technical skills), keahlian teknis merupakan kemampuan dasar seorang auditor berupa pengetahuan prosedural dan pengetahuan teknik lainnya dalam lingkup akuntansi secara umum dan auditing. Keahlian mencakup tiga bentuk yaitu,1) Pengetahuan akuntansi dan auditing; 2) Pengetahuan subspesial (derifative contract); dan 3) Pengetahuan bisnis secara umum. Termasuk dalam keahlian teknis adalah: a. komponen pengetahuan dengan faktor-faktornya yang meliputi pengetahuan umum dan khusus, berpengalaman, mendapat informasi yang cukup relevan, selalu berusaha untuk tahu dan mempunyai visi. b. Analisis tugas yang mencakup ketelitian, tegas, profesional dalam tugas, keterampilan teknis, menggunakan metode analisis, kecermatan, loyalitas dan idealisme. Sedangkan strategi BPKP dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ada tiga yakni : 1. Pendekatan preventif, yaitu strategi yang diupayakan untuk mencegah, menangkal dan mendeteksi terjadinya korupsi antara lain : a. Mengembangkan lingkungan pengendalian yang kondusif. b. Mengembangkan kajian resiko (risk assesment). c. Mengembangkan aktivitas pengendalian (fraud control plan). d. Melaporkan kejadian tindak pidana korupsi. e. Mendidik dan melatih pegawai. f. Mendorong dan memelihara standar perilaku yang tinggi. g. Melaporkan kegiatan pengendalian atas kecurangan (fraud). h. Mengembangkan aktivitas pengawasan yang tepat. i. Kemitraan dengan instansi penyidik dan instansi pengawasan lainnya. 2. Pendekatan investigatif, yaitu strategi yang dilakukan dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi yang sudah terjadi, antara lain : a. Pengembangan saluran pelaporan/pengaduan. b. Pengembangan keahlian investigasi bagi pegawai organisasi. c. Pelaksanaan audit investigatif. d. Pelaksanaan tugas perbantuan kepada penyidik (Kejaksaan, KPK dan Polri). e. Pengembangan statistik investigasi. f. Penerapan sistem berbasis teknologi. 3. Pendekatan edukatif, yaitu strategi untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar dapat berpean dalam menyelesaikan permasalahan korupsi atau untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap tindak pidana korupsi di lingkungannya, anatara lain: 466 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
a. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum melalui media cetak dan media elektronik. b. Melakukan sosialisasi kepada pengambil keputusan dan profesional meliputi politisi, anggota parlemen, PNS, penegak hukum, akademisi dan media cetak. c. Melakukan sosialisasi dengan generasi muda meliputi pelajar, mahasiswa dan organisasi kepemudaan. Hubungan Kerja antara BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulselbar dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Hubungan kerja antara BPKP perwakilan propinsi Sulawesi Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat dalam penyidikan perkara tindak pidana korupsi, dimunculkan dari efektivitas penyidikan terhadap indikasi korupsi itu sendiri. Adanya kerjasama tersebut, akan lebih meningkatkan kinerja instansi terkait dalam hubungannya dengan penyidikan korupsi. Suatu hal yang harus dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah adanya pembagian tugas dan wewenang bagi suatu lembaga negara sehingga tugas dan wewenang tersebut dapat secara baik dilaksanakan, serta adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas tersebut seperti kurangnya tingkat kemampuan sumber daya sehingga dibutuhkan pihak lain untuk mengurusnya. Demikian juga halnya di bidang penyidikan korupsi, maka penyidik kejaksaan tentunya mengalami hambatan dalam hal mengaudit catatan, angka-angka yang akan disidiknya tentang suatu tindak pidana korupsi, maka berdasarkan keadaan tersebut Kejaksaan membutuhkan instansi yang memiliki kompeten terhadap pengelolaan dan pengolahan angka-angka tersebut. Salah satu instansi yang kompeten untuk hal tersebut adalah auditor BPKP. Sesuai SE-853/D/VII/1995 tanggal 16 Juni 1995 tentang Bantuan Pemeriksaan/ Bantuan Tenaga Pemeriksaan BPKP kepada instansi penyidik, ditetapkan bahwa apabila permintaan bantuan dari instansi penyidik berupa : 1. Permintaan bantuan menghitung jumlah kerugian negara Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab instansi penyidik, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun penyusunan laporannya. Petugas BPKP yang diperbantukan cukup menyerahkan secara tertulis hasil perhitungannya dengan sebuah nota/surat pengantar kepada instansi penyidik. Petugas BPKP juga menembuskan nota/surat pengantar tersebut kepada atasan di BPKP yang memberi penugasan perbantuan, sebagai tanggungjawab telah berakhirnya penugasan. Sedangkan atasan yang bersangkutan tidak perlu meneruskan surat tersebut ke Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
467
instansi manapun. 2. Permintaan bantuan untuk melakukan pemeriksaan Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPKP, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaannya. Oleh karena itu, sebelum memenuhi permintaan instansi penyidik, harus diteliti dengan seksama dan harus dipertimbangkan apakah objek yang akan diperiksa tersebut benar-benar masih dalam kewenangan BPKP untuk memeriksanya. Jika berada di luar kewenangan BPKP, kepada instansi penyidik agar dimintakan perlakuan yang sama sebagaimana dijelaskan di atas. Agar pelaksanaan tugas sebagaimana dijelaskan di atas dapat berjalan lebih efisien dan terarah, Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Khusus/Kepala Perwakilan BPKP terlebih dahulu meminta data kepada instansi penyidik: 1) Resume permasalahan; 2) Kasus posisi dan modus operandi beserta uraiannya; dan 3) Bukti pendukung untuk menghitung kerugian keuangan negara. Di samping itu, petugas pemeriksa BPKP harus mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan alat/barang bukti yang perlu diperiksa dan tidak membatasi diri hanya pada alat/barang bukti yang diperoleh dari pihak instansi penyidik. Ruang lingkup kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP, meliputi : 1. Penerusan kasus penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi hasil audit BPKP untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan. 2. Permintaan bantuan audit investigasi dari Kejaksaan kepada BPKP guna memperjelas adanya tindak pidana yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. 3. Permintaan keterangan ahli dari Kejaksaan kepada BPKP dalam penyidikan tindak pidana korupsi. 4. Permintaan bantuan tenaga auditor dari Kejaksaan kepada BPKP untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. 5. Kerjasama lain yang disepakati oleh Kejaksaan dan BPKP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyidik Kejaksaan yang menerima laporan dan atau mengetahui tentang adanya suatu perbuatan yang diduga korupsi, melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dengan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti tentang tindak pidana korupsi tersebut. Setelah mendapat dan memperoleh bukti/fakta tentang dugaan perbuatan merugikan keuangan dan perekonomian negara, maka penyidik Kejaksaan meminta bantuan kepada auditor BPKP untuk melakukan audit untuk mengetahui apakah terdapat 468 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Pihak BPKP setelah menerima surat permintaan bantuan dari penyidik Kejaksaan kemudian meminta kepada penyidik untuk melakukan ekspose/paparan tentang kasus dan bukti/fakta yang sudah diperoleh. Setelah menerima penjelasan dan gambaran kasus didukung bukti/fakta yang diperoleh penyidik, maka tim auditor BPKP datang ke tempat instansi penyidik yang meminta melakukan audit atas bukti/fakta yang ada dan melihat ke lokasi apabila dianggap perlu. Setelah melakukan audit, maka auditor mengkaji dan kemudian membuat laporan hasil audit investigasi (LHAI) dan perhitungan kerugian keuangan negara dan menyerahkan kepada penyidik yang bersangkutan. Penyidik akan mempelajari hasil laporan auditor dan apabila hasil audit menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara maka penyidik akan menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara atau dengan kata lain menetapkan tersangkanya, dan apabila hasil audit dari auditor menyatakan tidak terdapat kerugian negara, berarti perbuatan tersebut bukan tindak pidana korupsi. Laporan hasil audit dari auditor akan berfungsi sebagai salah satu dari lima alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yakni alat bukti surat dan peranannya sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi. Apabila hasil audit belum ada maka suatu kasus tidak bisa disimpulkan perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi dan juga tidak bisa ditetapkan seseorang sebagai tersangkanya. Setelah penyidik menerima laporan hasil audit dari auditor BPKP, kemudian penyidik meminta keterangan saksi dari auditor yang bersangkutan untuk memperkuat dan menjelaskan temuannya atau hasil auditnya dan keterangan tersebut dibuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli dan berfungsi sebagai salah satu dari alat bukti pada Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai alat bukti keterangan ahli. Sehingga dari auditor BPKP akan diperoleh dua alat bukti ditambah dengan keterangan saksi, sehingga dengan adanya tiga alat bukti maka sudah dapat menggiring seseorang menjadi terdakwa untuk disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, karena menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana bahwa dengan dua alat bukti saja ditambah dengan keyakinan Hakim sudah dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang. Berikut ini akan dipaparkan hasil dari rekapitulasi investigasi BPKP atas permintaan penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat tahun 2008 sampai dengan 2012.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
469
Tabel 1. Permintaan Audit Investigasi dari penyidik Kejaksaan Tinggi Sulselbar kepada Auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sulsel tahun 2008-2012. No.
Tahun
Audit Investigasi (AI)
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)
Jumlah
1 2 3 4 5
2008 2009 2010 2011 2012
4 6 5 6 8
7 7 15 11 11
11 13 20 17 19
29
51
80
Jumlah
Sumber: Data Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Sulselbar Tabel 2. Realisasi audit invetigasi BPKP atas permintaan penyidik Kejaksaan Sulselbar tahun 2008-2012 No.
Tahun
1 2
Nilai Temuan Kerugian Negara
Jumlah
2008 2009
Audit Investigasi (Rp) 1.012.354.090,12 2.326.678.099,16
PKKN (Rp) 2.342.143.778,20 5.953.115.784,15
3.354.496.868,32 8.279.793.883,31
3 4
2010 2011
1.177.127.800,58 3.070.017.242,38
7.899.173.863,28 3.166.034.474,31
9.076.301.663,86 6.236.051.716,69
5
2012
722.489.745,80
11.148.101.034,44
11.870.590.780,24
8.308.666.978,04
30.508.568.934,38
38.817.235.912,42
Jumlah
Sumber: Data Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Sulselbar Dari tabel di atas, dapat dilihat audit investigasi yang dilakukan oleh BPKP perwakilan Sulawesi Selatan telah sesuai dengan jumlah permintaan Kejaksaan Tinggi Sulselbar. Sedangkan rata-rata permintaan audit investigasi yang ditujukan kepada BPKP perwakilan Sulawesi Selatan mengalami pasang surut. Hal tersebut terlihat dari perubahan jumlah permintaan audit investigasi yang diajukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulselbar kepada auditor BPKP perwakilan propinsi Sulawesi Selatan dimana pada tahun 2010 mengalami kenaikan dari tahun 2009 begitu juga tahun 2012 diperbandingkan tahun 2011 tetapi permintaan investigasi kembali mengalami penurunan pada tahun 2008 dan diikuti pula dengan tahun 2009. Setelah BPKP melakukan pekerjaan audit maka auditor membuat laporan hasil audit, kemudian hasil audit tersebut diserahkan kepada penyidik. Apabila laporan audit BPKP menjelaskan tidak ada kerugian negara maka penyidik akan menghentikan penyelidikan karena tidak ada indikasi korupsi. Dan apabila laporan hasil audit menyatakan terjadi 470 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
kerugian negara, maka penyidik menindaklanjuti hasil audit tersebut ke tahap penyidikan. Selain hasil audit dapat dijadikan alat bukti maka auditor juga dapat dihadirkan sebagai Ahli. Berdasarkan wawancara dengan penyidik tindak pidana korupsi pada bidang tindak pidana khusus Kejaksaan Tinggi Sulselbar dikatakan bahwa dalam rangka pengungkapan tindak pidana korupsi sudah menjadi keharusan bahwa setelah penyidik melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus yang diduga ada indikasi tindak pidana korupsi, penyidik wajib meminta bantuan kepada auditor BPKP untuk melakukan audit investigasi yang ditujukan untuk mengetahui apakah telah terdapat kerugian negara dengan mencantumkan angka-angka/nilai nominal kerugian negara, maka penyidik akan meningkatkan kasus ke tahap penyidikan sehingga peranan auditor BPKP sangatlah strategis dan sangat menentukan dimana suatu kasus yang sedang diselidiki dapat dikatakan ada indikasi tindak pidana korupsi hanyalah sesudah auditor menyatakan dalam laporan hasil audit bahwa atas kasus yang sedang diselidiki oleh penyidik ada ditemukan kerugian keuangan negara. Kerjasama antara BPKP dengan penyidik yang sudah berjalan sejak lama sangat efektif dimana seluruh permintaan penyidik Kejaksaan Tinggi Sulselbar kepada BPKP Propinsi Sulawesi Selatan untuk mengaudit selalu dipenuhi dan hasilnya diserahkan kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Sulselbar. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil audit auditor BPKP dapat digolongkan kepada alat bukti surat dalam hukum pembuktian berdasarkan KUHAP. Karena surat hasil audit tersebut adalah surat yang dibuat oleh seseorang ahli yang isinya berupa pendapat mengenai hal tertentu dalam bidang keahliannya itu yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan penyidik secara resmi, seperti pada permintaan untuk melakukan audit invetigasi. Keberadaan alat bukti surat yang dihasilkan dari hasil audit tersebut akan diikuti pula dengan alat bukti keterangan saksi. Berdasarkan hal tersebut maka dari auditor BPKP akan diperoleh 2 alat bukti yaitu hasil audit sebagai alat bukti surat dan keterangan ahli auditor BPKP sendiri. 2. Hubungan kerja antara auditor BPKP perwakilan propinsi Sulawesi Selatan dengan Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat adalah hubungan permintaan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
471
bantuan untuk mengetahui ada tidaknya kerugian keuangan negara atas suatu kasus yang diselidiki oleh penyidik Kejaksaan. Dimana adanya tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan seseorang pelaku haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah ada kerugian negara yang pengauditannya dilakukan oleh auditor BPKP. Kerjasama antara penyidik Kejaksaan dengan auditor BPKP mutlak adanya dan hal ini sudah diatur dalam MOU antara Kejaksaan Republik Indonesia dan BPKP Pusat yang pelaksanaannya telah dilaksanakan di tingkat propinsi dan kabupaten. Saran 1. Diharapkan adanya penyempurnaan-penyempurnaan perihal pengaturan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan keberadaan hukum yang satu dengan hukum lainnya dan menjadi dasar kewenangan bagi aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan untuk menangani tindak pidana korupsi dan juga kewenangan lembagalembaga negara seperti BPKP sehingga tidak ada tumpang tindih tugas antar lembaga negara. Di samping itu, diperlukan sesegera mungkin perangkat hukum yang dapat dijadikan landasan untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal korupsi. 2. Pada penanganan tindak pidana korupsi diperlukan pemahaman yang konfrehensif bagi penyidik Kejaksaan dengan tetap memperhatikan keterpaduan sistem penanggulangan tindak pidana pada sistem peradilan pidana (criminal justice system) khususnya dalam membina hubungan kerja dengan auditor BPKP, sehingga hasil kerjasama tersebut dapat benar-benar dipergunakan sebagai suatu dasar pengungkapan kasus tindak pidana korupsi. DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank (ADB), “Good Governance and Anticorrution : The Road Forward For Indonesia”, Paper, Presented at Eight Meeting of The Colsultative Group on Indonesia, 27-28 July 1999, Paris, France. Barda Nawawi Arief, 1994, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung; Alumni. ________________, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,
Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia. 472 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Sri Susilo Y, 2013, ”Mampukah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Menjadi Salah Satu Pillars of Integrity”, Dikutip pada laman website: http:/www.transparansi.or.id/ artikel/artikel pk/artikel 02.html. Diakses, 7 Januari 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 473
474
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH TERHADAP PEMBERIAN PROPER DALAM BIDANG PERTAMBANGAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
Ghina Mangala H.P, M. Yunus Wahid, Irwansyah
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH TERHADAP PEMBERIAN PROPER DALAM BIDANG PERTAMBANGAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN Oleh: Ghina Mangala H.P*, M. Yunus Wahid, Irwansyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar * E-mail:
[email protected] Abstract This research aimed at finding disposition and implementation mechanism of “Company’s Environmental Management Performance Rating Program” (PROPER) by Local Environmental agency of South Sulawesi Province. This research also aimed at finding the influence of giving PROPER to environmental management to the mining companies at south Sulawesi. This research used collecting primary data and secondary data method. The researcher used qualitative descriptive in data analyzing. The researcher described the problems appropriate with the facts through some relevant factors in this research. Then, the researcher concluded that PROPER is an effort that ministry of environment do to encourage the companies regulation in environmental management through information instrument. Ministry of environment gives implementation authority of PROPER to the province government that is governor as decocentration of PROPER which then be given to Local environmental agency (BLHD). One of indicator of PROPER performance is the degree of compliance of companies toward the regulation. In facts, PROPER gives positive influence toward mining companies which listed as PROPER participant 2012 to south Sulawesi territory that are PT. Indomarmer Kuari Utama in Pangkep and PT Vale Indonesia Tbk in east Luwu. Keywords: Proper, Environmental, Mining Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan mekanisme pelaksanaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, serta untuk mengetahui pengaruh pemberian PROPER terhadap pengelolaan lingkungan hidup pada perusahaan-perusahaan di Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Teknik analisa data yang akan penulis gunakan adalah teknik deskriptif kualitatif berlandaskan materi dan data yang berhubungan dengan topik pembahasan. Penulis menggambarkan dan menjelaskan permasalahan sesuai dengan fakta yang terjadi melalui sejumlah faktor yang relevan dengan penelitian ini, lalu ditarik sebuah kesimpulan. PROPER merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. Kementerian Lingkungan Hidup memberikan kewenangan pelaksanaan PROPER kepada pemerintah provinsi yakni Gubernur selaku wakil pemerintah sebagai bentuk dekosentrasi PROPER yang kemudian diberikan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi. Salah satu indikator kinerja PROPER adalah tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan. Dalam faktanya, PROPER memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan pertambangan yang terdaftar sebagai peserta PROPER untuk wilayah Sulsel yaitu PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep dan PT Vale Indonesia Tbk, Luwu Timur. Kata Kunci: Proper, Lingkungan Hidup, Pertambangan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PENDAHULUAN Manusia sejak dilahirkan di dunia ini telah berada pada suatu lingkungan hidup tertentu. Lingkungan hidup menjadi bagian mutlak yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Namun terkadang, campur tangan manusia itu ada yang berdampak negatif dan ada yang berdampak positif terhadap lingkungan. Perkembangan pembangunan, teknologi, industrialisasi, dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, semakin memperbesar risiko kerusakan lingkungan hidup. Keberadaan industrialisasi, nyatanya menjadi salah satu penyumbang terbesar terjadinya pencemaran lingkungan hidup yaitu dengan adanya perusahaan-perusahaan besar. Dahulu perusahaan dianggap telah memberikan kontribusi yang cukup bagi lingkungannya melalui pemberian kesempatan kerja, penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, serta pembayaran pajak. Beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, membuat masyarakat memberikan perhatian lebih serius tidak hanya terhadap dampak positif/manfaat adanya suatu perusahaan tetapi juga dampak negatif/kerugian yang ditimbulkannya di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.1 Perhatian serius yang ditunjukkan masyarakat akibat berbagai dampak negatif keberadaan sebuah perusahaan mengakibatkan timbulnya tekanan-tekanan terhadap perusahaan untuk tidak berlebihan mengeksplorasi sumber daya alam, memproduksi produk yang berkualitas, melakukan perbaikan teknik dan proses produksi serta meminimalkan limbah beserta dampak limbah yang dihasilkan. Dalam hal ini perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single botton line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan pada kondisi keuangan perusahaan semata, namun perusahaan juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Aspek sosial dan lingkungan inilah oleh John Elkington disebut dengan istilah triple bottom line. Perusahaan tidak lagi sekadar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan), melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya.2 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan merupakan suatu hal wajar apabila didasarkan pada pemahaman bahwa perusahaan merupakan organ masyarakat yang juga memiliki tanggung jawab untuk berperan serta dalam mewujudkan 1 Dampak negatif ini berupa penurunan sumberdaya tak terbaharui dan peningkatan limbah (padat, cair, dan udara), yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan sosial bagi masyarakat dan lingkungan hidup, seperti risiko kesehatan dan kerusakan lingkungan. 2 Abdul Rauf. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan BUMN terhadap Stakeholder di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hukum Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Vol. 2 No. 1, September 2012, hlm. 2
478 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, bukan hanya sebagai tanggung jawab pemerintah semata. Namun persoalannya kemudian menjadi rumit, karena tidak semua pihak, baik perusahaan maupun pemangku kepentingan dengan sadar untuk selalu bertanggung jawab atas setiap akibat dari tindakan yang telah dilakukannya.3 Khusus di Indonesia sendiri, perhatian pemerintah terhadap keberadaan perusahaanperusahaan yang berorientasi pada aspek lingkungan diberikan melalui serangkaian kebijakan dan regulasi tentang lingkungan hidup. Diantaranya adalah dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya membahas tentang Analisis Dampak Mengenai Lingkungan (Amdal) yang wajib dimiliki oleh perusahaan sebagai wujud tanggung jawab sosialnya.4 Selain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 74 juga menekankan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.5 Kebijakan dan regulasi yang ada, tidak serta merta membuat perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan di sekitarnya. Olehnya itu, pada awal tahun 1990-an, pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaanperusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang baik khususnya di bidang pengelolaan limbah. Kebijakan ini dinamakan PROKASIH (Program Kali Bersih). Namun, seiring perkembangan zaman PROKASIH kemudian terus dikembangkan menjadi Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dengan kriteria penilaian lebih ditingkatkan dan menggunakan pendekatan “multimedia”, yaitu pengendalian pencemaran air, Udara, dan pengolahan Limbah B3.6 Selain itu, PROPER merupakan tools Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada sejak tahun 1995 yang terus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman.7 Prinsip dasar dari pelaksanaan PROPER adalah mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif reputasi/citra bagi perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang baik dan instrumen disinsentif reputasi/citra bagi perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang buruk. PROPER merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan 3 Ibid., hlm. 3. 4 Lihat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 5 Lihat Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 6 Sekretariat PROPER Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. PROPER Periode 2011-2012. hlm. 2 7 Ibid., hlm. 2.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
479
hidup melalui instrumen informasi. Perusahaan-perusahaan yang menjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di Pasar bursa, mempunyai produk yang berorientasi ekspor atau digunakan masyarakat luas. Pelaksanaan PROPER dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sehingga Kementerian Lingkungan Hidup memberikan kewenangan pelaksanaan PROPER kepada pemerintah provinsi yakni Gubernur selaku wakil pemerintah sebagai bentuk dekosentrasi PROPER. Hal ini juga sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah provinsi diberikan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi. Pada tahun 2012 yang lalu jumlah perusahaan yang ikut serta menjadi peserta PROPER dari seluruh Indonesia mencapai 1317 perusahaan,8 30 (tiga puluh) diantaranya merupakan perusahaan-perusahaan yang berdomisili di Provinsi Sulsel. Untuk Provinsi Sulsel sendiri, hadirnya PROPER rupanya tidak menjadi alasan semakin membaiknya pola perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang terdaftar sebagai peserta PROPER termasuk di dalamnya perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan.9 Sebagaimana diketahui, bahwa pertambangan masih saja menjadi polemik yang sering diperbincangkan di masyarakat pada umumnya. Tak bisa dipungkiri, keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada sangat mempengaruhi kualitas lingkungan yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Kedua perusahaan tambang di Sulsel yang menjadi peserta PROPER yaitu PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep dan PT Vale Indonesia Tbk, Luwu Timur, menjadi contoh perusahaan tambang yang memperhatikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di area sekitar tambang melalui PROPER. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi penulis untuk mengkaji secara objektif dan mengedepankan nilai-nilai intelektual serta berusaha melihat dengan perspektif yuridis, sehingga dalam penelitian ini jelas terlihat keterkaitan antara keberadaan perusahaan dengan penilaian PROPER ini terhadap pengelolaan lingkungan hidup terutama bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan.
8 Ibid., hlm. 2. 9 Lihat Kepmen-LH Nomor 273 Tahun 2012 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2011-2012
480 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan dan mekanisme pelaksanaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan? 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) terhadap pengelolaan lingkungan hidup pada perusahaan dalam bidang Pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan? METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, dan 3. Perusahaan tambang yang menjadi peserta PROPER 2011-2012 yakni PT Vale Indonesia (Tambang Mineral-Luwu Timur) dan PT Indomarmer Kuari Utama (Tambang Batu Bara-Pangkep). Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh perusahaan yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan dan mengikuti PROPER. Untuk memudahkan pengambilan sample dari populasi tersebut, maka dilakukan penarikan sample dengan teknik non probability sampling, yaitu dengan menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah mengidentifikasi perusahaan-perusahaan dalam bidang pertambangan yang terdaftar sebagai peserta PROPER. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan penelitian ini adalah: 1) Wawancara (Interview) yang dilakukan pada narasumber yang terdapat pada lokasi penelitian; 2) Pengamatan (Observasi) langsung di lokasi penelitian; 3) Telaah pustaka (Library research), pengumpulan intisari dari dokumen, buku, jurnal, majalah, surat kabar dan sumber yang berasal dari internet atau laporan-laporan yang berhubungan dengan topik permasalahan yang diteliti. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
481
Jenis dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis data yang bersumber dari : 1. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis secara langsung dari sumber datanya. Data primer tersebut disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan penulis dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder ini, penulis peroleh berbagai literature-literatur yang ada yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup dan PROPER. Analisis Data Teknik analisa data yang akan penulis gunakan adalah teknik deskriptif kualitatif berlandaskan materi dan data yang berhubungan dengan topik pembahasan. Penulis menggambarkan dan menjelaskan permasalahan sesuai dengan fakta yang terjadi melalui sejumlah faktor yang relevan dengan penelitian ini, lalu ditarik sebuah kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengaturan dan Mekanisme Pelaksanaan PROPER oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan PROPER atau Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, merupakan upaya yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup bersama Pemerintah Daerah untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup secara kontinyu melalui penyebarluasan informasi tingkat penaatan peraturan perundang-undangan lingkungan kepada public (public information discloure). Dengan mekanisme penyebarluasan informasi, maka alternatif penegakan hukum berlangsung, dengan vonisnya adalah reputasi perusahaan tersebut di mata stakeholders. Dekosentrasi dan Tugas Perbantuan sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan Pemerintah di Indonesia, pada hakekatnya dimaknai sebagai bentuk kepedulian Pemerintah Pusat terhadap Daerah melalui pendelegasian kewenangan yang dimiliki dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah agar terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah dalam hal ini berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran 482 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
serta masyarakat.10 Dalam pelaksanaan urusan pemerintah di bidang lingkungan hidup, Menteri memandang perlu untuk menyelenggarakan dekosentrasi bidang lingkungan hidup kepada Gubernur selaku wakil pemerintah. Dekosentrasi bidang lingkungan hidup tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan menjunjung pencapaian sasaran prioritas nasional yang termuat dalam Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup yang diukur berdasarkan indikator kinerja utama meningkatnya pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi; menurunnya pencemaran lingkungan pada air, udara, sampah dan limbah B3; memastikan penghentian kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS); tersedianya kebijakan bidang perlindungan atmosfir dan pengendalian dampak perubahan iklim; dan meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pengawasan pengendalian pencemaran air dan udara serta limbah B3 melalui mekanisme PROPER merupakan salah satu dari Program Nasional yang dilaksanakan secara dekosentrasi. Melalui dekosentrasi PROPER inilah, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) membentuk jaringan pengawasan dengan 22 Provinsi dan 4 Pusat Pengelolaan Ekoregion.11 Dengan dekosentrasi PROPER ini, sebagian besar pengawasan dilaksanakan oleh Provinsi. Pengawasan langsung yang dilakukan oleh KLH kepada 274 Perusahaan, 67% pengawasan oleh Provinsi dan 12% oleh Pusat Pengelolaan Ekoregion (Gambar 1).12 Gambar 1. Diagram pembagian pengawasan dalam program dekosentrasi PROPER tahun 2011-2012
Sumber: Data sekunder, 2013 10 Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan: Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan di Daerah, (Surabaya:Airlangga University Press,2005), hlm. 165 11 PROPER Periode 2012-2013, Sekretariat PROPER Kementerian Lingkungan hidup. Hlm.6 12 Ibid,.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
483
Dengan demikian, untuk penyelenggaraan dekosentrasi di Provinsi Sulsel, Gubernur sebagai penerima dekosentrasi dalam bidang lingkungan, menyerahkan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Sulsel untuk melaksanakan dekosentrasi PROPER tersebut. PROPER sendiri merupakan salah satu program pengawasan yang dilakukan oleh pihak BLHD Provinsi Sulsel. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kasubid Pengawasan dan Pemantauan Lingkungan BLHD Provinsi Sulsel, Agus Dina,13 mengatakan: “Proper adalah salah satu program pengawasan. Jadi memang pengawasan program proper itu cuma satu dari sekian kegiatan pengawasan. Proper ini adalah program yang dicanangkan dari pusat, namun provinsi tetap terlibat dalam pengawasan, begitu pula dengan kabupaten.” Pelaksanaan PROPER inipun tidak terlepas dari regulasi yang ada. Untuk penilaian tahun 2011-2012, digunakan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (PERMENEGLH) Nomor 05 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai landasan untuk melakukan pemeringkatan kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar sebagai peserta. Dalam PERMENEG-LH tersebut mengatur tentang mekanisme dan kriteria penilaian PROPER. PERMENEG-LH Nomor 05 Tahun 20011 ini telah digantikan oleh PERMENEG-LH Nomor 06 Tahun 2013 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk penilaian PROPER Tahun 2012-2013. Kriteria penilaian PROPER ini sendiri terdiri dari dua kategori, yaitu kriteria penilaian ketaatan dan kriteria penilaian lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance). Adapun beberapa peraturan lingkungan hidup yang digunakan sebagai dasar penilaian saat ini adalah peraturan yang berkaitan dengan : a. Persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya Perusahaan dianggap memenuhi kriteria ini jika seluruh aktivitasnya sudah dinaungi dalam dokumen pengelolaan lingkungan baik berupa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Kualitas Lingkungan (UKL/UPL) atau dokumen pengelolaan lain yang relevan. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap ketaatan perusahaan dalam melakukanpelaporan terhadap pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan dalam AMDAL dan UKL/UPL. b. Pengendalian Pencemaran Air Pada prinsipnya ketaatan terhadap pengendalian pencemaran air dinilai 13 Wawancara di kantor BLHD Provinsi Sulsel, Kamis, 17 April 2013
484 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
berdasarkan ketentuan bahwa semua pembuangan air limbah kelingkungan harus memiliki izin. Air limbah yang dibuang ke lingkungan harus melalui titik penaatan yang telah ditetapkan. Pada titik penaatan tersebut berlaku baku mutu kualitas air limbah yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan. Untuk memastikan air limbah yang dibuang setiap saat tidak melampaui baku mutu maka perusahaan berkewajiban melakukan pemantauan dengan frekuensi dan parameteryang sesuai dengan izin atau baku mutu yang berlaku. Untuk menjamin validitas data, maka pemantauan harus dilakukan oleh laboratorium terakreditasi. Perusahaan juga harus taat terhadap persyaratan-persyaratan teknis seperti pemasangan alat pengukur debit yang diatur dalam izin atau ketentuan peraturan baku mutu yang berlaku. c. Pengendalian Pencemaran Udara Ketaatan terhadap pengendalian pencemaran udara didasarkan atas prinsip bahwa semuasumber emisi harus diidentifikasi dan dilakukan pemantauan untuk memastikan emisi yang dibuang ke lingkungan tidak melebihi bakumutu yang ditetapkan. Frekuensi dan parameter yang dipantau juga harus memenuhi kentuan dalam peraturan. Untuk memastikan bahwa proses pemantauan dilakukan secara aman dan valid secara ilmiah, maka prasarana sampling harus memenuhi ketentuan peraturan. d. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Ketaatan pengelolaan limbah B3 dinilai sejak tahapan pendataan jenis dan volumenya. Setelah dilakukan pendataan, maka dilakukan pengelolaan lanjutan. Pengelolaan lanjutan harus dilengkapi dengan izin pengelolaan limbah B3. Ketaatan terhadap ketentuan izin pengelolaan limbah B3, merupakan komponen utama untuk menilai ketaatan perusahaan. e. Pengendalian Pencemaran Air Laut Untuk aspek ini, ketaatan utama dilihat dari kelengkapan izin pembuangan air limbah dan ketaatan pelaksanaan pembuangan air limbah sesuai dengan ketentuan dalam izin. f. Potensi Kerusakan Lahan Kriteria potensi kerusakan lahan hanya digunakan untuk kegiatan pertambangan. Kriteria ini pada dasarnya adalah implementasi best mining practices, seperti kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan rencana tambang, sehingga dapat dihindari bukaan lahan yang tidak dikelola. Mengatur ketinggian dan kemiringan lereng/jenjang agar stabil. Acuan adalah kestabilan lereng. Mengidentifikasi potensi pembentukan Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
485
Air Asam Tambang setiap jenis batuan dan penyusunan strategi pengelolaan batuan penutup. Membuat dan memelihara sarana pengendali erosi. Membuat sistem pengaliran (drainase) yang baik supaya kualitas air limbah memenuhi baku mutu. Memilih daerah timbunan dengan risiko kebencanaan paling kecil. Kriteria beyond compliance ini lebih bersifat dinamis karena disesuaikan dengan perkembangan teknologi, penerapan praktik-praktik pengelolaan lingkungan terbaik dan isu-isu lingkungan yang bersifat global. Penyusunan kriteria yang terkait dengan pelaksanaan PROPER dilakukan oleh tim teknis dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, antara lain: pemerintah kabupaten/kotamadya, asosiasi industri, perusahaan, LSM, Universitas, instansi terkait, dan Dewan Pertimbangan PROPER. Adapun aspek-aspek yang dinilai dalam kriteria beyond compliance ini adalah sebagai berikut: a. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, termasuk di dalamnya bagaimana perusahaan memiliki sistem yang dapat mempengaruhi supplier dan konsumennya untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik. b. Upaya Efisiensi Energi dengan mencakup empat ruang lingkup efisiensi energi, yaitu peningkatan efisiensi energi dari proses produksi dan utilitas pendukung, penggantian mesin atau proses yang lebih ramah lingkungan, efisiensi dari bangunan dan sistem transportasi. c. Upaya penurunan emisi, baik berupa emisi kriteria polutan maupun emisi dari gas rumah kaca dan bahan perusak ozon. Termasuk dalam lingkup penilaian ini adalah persentase pemakaian energi terbarukan dalam proses produksi dan jasa, pemakaian bahan bakar yang ramah lingkungan. d. Implementasi Reduce, Reuse dan Recycle limbah B3. Penekanan kriteria ini adalah semakin banyak upaya untuk mengurangi terjadinya sampah, maka semakin tinggi nilainya. Selain itu, semakin besar jumlah limbah yang dimanfaatkan kembali, maka semakin besarpula nilai yang diperoleh perusahaan. e. Implementasi Reduce, Reuse dan Recycle limbah padat non B3 kriteria sama dengan 3R untuk limbah B3. f. Konservasi Air dan Penurunan Beban Pencemaran Air Limbah. Semakin kecil intensitas pemakaian air per produk, maka akan semakin besar nilai yang diperoleh. Demikian juga semakin besar upaya untuk menurunkan beban pencemaran di dalam air limbah yang dibuang ke lingkungan maka akan semakin besar nilai yang diperoleh. g. Perlindungan Keanekaragaman Hayati. Pada dasarnya, bukan jumlah pohon yang dinilai, tetapi lebih diutamakan pada upaya pemeliharaan dan perawatan 486 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
keanekaragaman hayati. Salah satu bukti bahwa perusahaan peduli dengan keanekaragaman hayati adalah perusahaan memiliki sistem informasi yang dapat mengumpulkan dan mengevaluasi status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis yang dikelola dan memiliki data tentang status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumber daya biologis yang dikelola. h. Program Pengembangan Masyarakat. Untuk memperoleh nilai yang baik dalam aspek ini perusahaan harus memiliki program strategis untuk pengembangan masyarakat yang didesain untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Program ini didasarkan atas pemetaan sosial untuk menggambarkan jaringan sosial yang memberikan penjelasan tentang garis-garis hubungan antar kelompok/individu. Pemetaan Sosial memberikan informasi mengenai siapa, kepentingannya, jaringannya dengan siapa, dan posisi sosial dan analisis jaringan sosial dan derajat kepentingan masing-masing pemangku kepentingan. Identifikasi masalah sosial, identifikasi potensi (modal sosial) perumusan kebutuhan masyarakat yang akan ditangani dalam program community development dan identifikasi kelompok rentan yang akan menjadi sasaran program pengembangan masyarakat. Rencana strategis pengembangan masyarakat harus bersifat jangka panjang dan dirinci dengan program tahunan, menjawab kebutuhan kelompok rentan dan terdapat indikator untuk mengukur kinerja capaian program yang terukur dan tentu saja proses perencanaan melibatkan anggota masyarakat.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka dilakukanlah penilaian PROPER
dengan mekanisme sebagaimana pada Gambar 2 berikut:14 Gambar 2. Diagram Mekanisme PROPER
Sumber: Data sekunder, 2013 14 Website resmi PROPER http://www.proper.menlh.go.id/portal/?view= 3&desc=0&iscollps=0&capt Diakses pada hari Senin, 3 Juni 2013 pkl.02.30 wita)
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
487
Mekanisme Pelaksanaan PROPER ini diawali oleh: (1) Tahap Persiapan. Pada tahap ini diawali dengan pemilihan peserta15, dimana perusahaan yang menjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di Pasar bursa, mempunyai produk yang berorientasi ekspor atau digunakan masyarakat luas. Setelah tahap persiapan selesai dan peserta ditetapkan; (2) Verifikasi Lapangan. Dilakukan pengumpulan data dengan jalan mengevaluasi laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang disampaikan perusahaan. Selain pengumpulan data tersebut, juga dilakukan pengumpulan data primer dengan jalan melakukan pengawasan langsung ke lapangan secara rutin yang dilaksanakan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) gabungan dari Tim Teknis PROPER Pusat dan Provinsi. Setelah informasi terkumpul kemudian (3) Penilaian Rapor Sementara oleh PPLH. Rapor sementara tersebut berisi evaluasi kinerja perusahaan di bidang pengelolaan air, udara, limbah B3 dibandingkan dengan kriteria penilaian PROPER yang ditetapkan. Rapor sementara ini sudah mengindikasikan peringkat kinerja perusahaan berdasarkan kriteria peringkat PROPER. Rapor sementara ini kemudian dibahas melalui mekanisme peer review oleh tim teknis. Hasil pembahasan dilaporkan kepada pejabat Eselon I Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mendapat komentar dan pertimbangan. Setelah itu, rapor dilaporkan kepada Dewan Pertimbangan untuk mendapat pendapat dan persetujuan Dewan. Ketika telah mendapatkan persetujuan dari dewan pertimbangan maka (4) Rapor Sementara Perusahaan. Rapor hasil pembahasan dengan Dewan ini kemudian ditetapkan sebagai Rapor Sementara yang akan disampaikan kepada perusahaan dan pemerintah daerah. Setelah diterbitkan rapor sementara, Perusahaan dan pemerintah daerah diberi kesempatan untuk menyampaikan keberatan dengan didukung data-data baru yang sahih pada tahapan (5) Masa sanggah. Setelah masa sanggah dilewati,maka hasilnya dilaporkan kepada Dewan Pertimbangan. Dewan akan memberikan pendapat terakhir mengenai status kinerja perusahaan sebelum dilaporkan kepada Menteri. (6) Proses penilaian Peringkat PROPER oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Menteri memeriksa, memberikan
kebijakan dan menetapkan status peringkat kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan laporan dari Dewan Pertimbangan. Setelah semua proses dilewati maka tahapan paling akhir adalah (7) pengumuman hasil peringkat PROPER. Pengumuman ini disampaikan kepada publik dan juga kepada perusahaan serta pemerintah daerah. 15 Pemilihan peserta pada program dekosentrasi PROPER ini dilakukan oleh Tim Pelaksana PROPER Provinsi yang telah memperoleh pelatihan pengawasan PROPER yang diadakan oleh KLH.(Sumber: Petunjuk Teknis 2013 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan, Sekretariat Proper Kementerian Lingkungan Hidup, 2013)
488 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Untuk menghasilkan penilaian yang baik dalam pelaksanaan PROPER , maka digunakan beberapa langkah-langkah strategis yaitu16 : a. Memudahkan langkah-langkah proaktif para pemangku kepentingan melalui penerapan kategorisasi dengan peringkat warna; b. Dilakukan oleh lembaga yang bersifat independen dan kredibel di mata para pemangku kepentingan; c. Diarahkan pada perusahaan yang peduli pada reputasi/citranya; d. Dilakukan bersama dengan instrument penataan lainnya, seperti instrument ekonomi dan penegakan hukum; e. Melibatkan semakin banyak perusahaan sehingga mencerminkan penataan perusahaan secara keseluruhan, tercapainya konsistensi dan keadilan pengelolaan lingkungan di Indonesia; dan f. Meningkatkan peran aktif pemerintah provinsi dan kab/kota agar pelaksanaan PROPER lebih efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, PROPER memberikan beberapa keuntungan bagi pemerintah, perusahaan peserta PROPER dan para stakeholder baik LSM maupun investor (Tabel 1).17 Tabel 1. Daftar Keuntungan PROPER Pemerintah
Perusahaan
Stakeholder
Instrumen penaatan yang cost effective
Alat benchmarking non financial
Clearing House untuk kinerja Perusahaan
Media untuk mengukur keberhasilan program
Pendorong untuk Produksi bersih “Citra Perusahaan”
Ruang untuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Lingkungan Hidup
Pendorong untuk penerapan basis data yang modern
Media untuk mengukur kinerja panaatan perusahaan
-
Instrumen untuk mendorong kea rah lebih dari penaatan
Instrumen untuk mendorong kea rah Eco Efficiency
-
Sumber: Hasil olahan Data Sekunder., 2013
Terkait tanggapannya tentang PROPER, Kurniawan Sabar,18 Deputi Eksekutif
Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, menyatakan: “Perihal upaya ini, WALHI melihat ini adalah upaya yang positif yang dilakukan 16 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2008 Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran Lingkungan CO2 : Kick The Habit! Towards A Law Carbon Economy. (Jakarta:Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2008), hlm. 34-35 17 Tim Penyusun Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup. Sekilas PROPER, Dulu, Sekarang, dan Masa Mendatang, 2005 18 Wawancara, Kamis, 18 April 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
489
oleh pemerintah namun terkait dengan bagaimana pelaksanaannya atau implementasinya terus bagaimana hasil yang dicapai kita(WALHI) mungkin akan melakukan perdebatan dalam hal itu. Sehingga WALHI sekalipun awalnya memberikan apresiasi yang positif dengan upaya kementerian lingkungan hidup terkait dengan penilaian proper, di satu sisi kita juga tetap melakukan kritik agar ini tidak menjadi satu-satunya aspek untuk bagaimana melihat perusahaan atau mengontrol perusahaan supaya perusahaan tersebut memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup.” Kurniawan menilai, dalam penilaian PROPER masih banyak perihal lain yang harus diperhatikan. Termasuk bahwa proper secara langsung juga tidak memberikan dampak yang lebih luas terhadap upaya keberlanjutan lingkungan hidup seperti yang diamanahkan dalam Permen lingkungan hidup dalam hal kriteria penilaian PROPER. Sebagai LSM di bidang lingkungan, WALHI Sulsel mengungkapkan beberapa harapannya terkait dengan PROPER. Di antaranya: 1) PROPER tidak dijadikan sebagai satu-satunya alat atau upaya untuk mengontrol kegiatan usaha yang ada di Indonesia. Tetapi jadikan PROPER sebagai salah satu aspek yang akan didukung dengan upayaupaya yang lain guna mengkongkritkan bahwa perusahaan ataupun kegiatan usaha yang ada di Indonesia menaati aturan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup; 2) Untuk meningkatkan objektivitas dalam upaya PROPER maka perlu adanya penilaian langsung dari masyarakat ataupun stakeholder yang terkait begitupun dengan lembagalembaga yang memiliki kompetensi khususnya di bidang lingkungan hidup dan sosial; dan 3) PROPER tidak hanya dijadikan penilaian formalitas tetapi pemerintah juga harus melakukan upaya kontrol terhadap seluruh kegiatan usaha yang ada di Indonesia khususnya usaha yang ada di Sulawesi Selatan, sebelum dan sesudah melakukan PROPER sehingga bisa mengontrol secara signifikan apakah perusahaan tersebut menjalankan kewajibannya terkhusus misalnya dalam kriteria penilaian PROPER yang dimaksud. Pengaruh Pemberian PROPER terhadap Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Perusahaan dalam Bidang Pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan Salah satu indikator kinerja PROPER adalah tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan. Dalam bidang pertambangan, terbukti di Sulawesi Selatan pada penilaian tahun 2011-2012, terdapat dua perusahaan yang terdaftar sebagai peserta proper yakni PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep yang bergerak pada sub sektor tambang batu bara dan PT Vale Indonesia Tbk, Luwu Timur yang bergerak pada sub sektor tambang mineral. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan dalam bidang pertambangan yang turut berpartisipasi dalam PROPER. Penilaian PROPER itu sendiri mulai terasa 490 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
pada tahun 2009 dengan peserta PROPER dari Provinsi Sulsel berjumlah satu perusahaan, yaitu PT Energy Sengkang, Wajo yang bergerak pada sub sektor Energi PTGU. Pada tahun 2010, jumlah peserta PROPER dari Provinsi Sulsel meningkat menjadi 15 Perusahaan dan salah satunya adalah PT Vale Indonesia Tbk (dahulu PT INCO).19 Peningkatan jumlah peserta tidak hanya terjadi pada tahun 2010 saja, tetapi pada tahun 2011 jumlah peserta PROPER untuk Provinsi Sulsel menjadi 30 Perusahaan. Untuk perusahaan dalam bidang pertambangan, peningkatan jumlah peserta PROPER tidak terlalu signifikan, karena dari jenjang waktu 2010-2012 hanya ada dua perusahaan yang terdaftar. Berikut adalah tabel keikutsertaan perusahaan tambang sebagai peserta PROPER di Sulsel. Tabel 2. Daftar Perusahaan Pertambangan Peserta PROPER Provinsi Sulsel Periode 2010-2011 sampai Periode 2011-2012 No.
Peringkat PROPER
2010 – 2011
2011 - 2012
1
EMAS
-
-
2
HIJAU
-
-
3
BIRU
-
PT Vale Indonesia Tbk (Dahulu PT INCO), Luwu Timur
4
MERAH
PT Vale Indonesia Tbk ( Dahulu PT INCO), Luwu Timur
PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep
5
HITAM
-
-
Sumber: Kepmen-LH 259/2011 dan Kepmen-LH 273/2012 Pada tabel di atas jelas tergambar bahwa keikutsertaan perusahaan tambang di Sulsel sebagai peserta PROPER dari tahun ke tahun makin meningkat. PT Vale Indonesia Tbk yang merupakan perusahaan tambang pertama yang ikut serta sebagai peserta PROPER untuk Provinsi Sulsel dan telah dua kali memperoleh penilaian PROPER inipun. merasakan pengaruh dari pemberian PROPER ini. Saat dilakukan wawancara di Kantor EHS PT Vale Indonesia Tbk Luwu Timur, General Manager Environment PT Vale Indonesia Tbk, Sunarso,20 mengungkapkan: “Melihat Proper secara proporsional, saya pribadi melihatnya baik. Membuat perusahaan minimal merespon terhadap regulasi yang ada. Sebetulnya, tanpa adanya Proper pun PT Vale sudah komitmen karena kami juga merupakan perusahaan terbuka jadi apapun yang terjadi di perusahaan, kami selalu terbuka. Nah, dampaknya dari proper itu yah dari sisi pemilihan modal, dari sisi pemangku kepentingan, hal itu sangat berpengaruh secara signifikan.” 19 Lihat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 259 Tahun 2011 20 Wawancara, Rabu, 27 April 2013.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
491
Sunarso juga menambahkan, bahwa selain membawa pengaruh positif, menurutnya
PROPER masih memiliki beberapa kekurangan. Di antaranya terkait dengan regulasi yang ada. Bagi Sunarso, regulasi terkait PROPER yang ada harus benar-benar memperhatikan jangka waktu untuk mengkongkritkan regulasi tersebut di dalam pelaksanaan PROPER kepada perusahaan. Lagi, ia menambahkan bahwa selama ini proper hanya melihat dari segi hasilnya saja tetapi tidak melihat upaya penanganan atau proses dari pengkonkritan regulasi yang ada.
Lebih lanjut, Sunarso mengungkapkan bahwa auditor atau tim audit PROPER
yang diturunkan tidak memiliki kompetensi dan standarisasi yang baik terkait dengan penilaian perusahaan Tambang sehingga terkadang kriteria penilaiannya masih cenderung disamaratakan pada setiap perusahaan. “Kompetensi dari si Auditor yang mengaudit. Kompetensi dan standarisasi. Jadi kami selaku objek disini ya, merasakan itu. Nah, kemudian dari tahun ke tahun timnya misalkan berbeda, temuannya jadi beda lagi. Jadi, yang kita mau ada standarisasi prosedur dan standarisasi kompetensi dari si auditor sehingga dari tahun ke tahun itu penilaian bisa meningkat.” Sunarso berharap, untuk Auditor ke depannya bisa lebih fleksibel, dan lebih pada Open For Discussion dalam hal penilaian PROPER. Senada dengan Sunarso, General Manager PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep, Dany Sukarsa,21 saat diwawancara juga mengungkapkan kekurangan dari PROPER, yaitu dalam parameter penilaiannya yang masih disamakan antara perusahaan tambang. “Proper ini semacam kontrol dalam bentuk nyata jadi selama ini memang ada pengawasan-pengawasan yang dilakukan oleh dinas atau badan lingkungan dari pemda setempat. Cuma parameter penilaiannya itu masih disamaratakan untuk penanganan lingkungan tambang marmer dengan tambang batu bara misalnya atau tambang nikel, itu masih disamakan. Misalnya untuk pengolahan dari pembuangan limbah cair atau limbah air hujan itu masih mereka samakan padahal berbeda. Tiap tambang itu tidak pernah sama dari mulai bahan bakunya itu khan sudah beda, marmer, nikel, batubara, jadi cara nambangnya pun akan berbeda dan cara penanganan untuk lingkungannya pun itu pasti berbeda. Sementara proper ini parameter penilaiannya sama. Otomatis ini gak bisa diterapkan, sehingga hasil penilaiannya pasti hitam atau pasti hasil penilaiannya minimal merah.”
Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, kedua perusahaan ini memiliki program
yang berbeda. PT Indomarmer Kuari Utama misalnya, sebagai perusahaan penghasil marmer, perusahaan ini kini telah berusaha untuk memperbaiki pola penyimpanan Limbah B3nya. Untuk Tahun 2012 yang lalu, PT Indomarmer yang merupakan perusahaan 21 Wawancara, Jumat, 19 April 2013.
492 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
penghasil marmer mendapatkan PROPER peringkat Merah. Hal ini disebabkan oleh ketidakpatuhannya dalam pengelolaan Limbah B3. Perusahaan yang untuk pertama kalinya bergabung dengan PROPER pada tahun 2012 ini nyatanya terus berupaya untuk memperbaiki pola pengelolaan lingkungan hidup. Mulai dari penanganan Limbah B3, saluran air, sampai pada izin-izin pengelolaan limbah B3. “Jadi hasil dari penilaian PROPER, itu dianggap kami sudah melakukan beberapa perubahan termasuk untuk izinnya yang masih dalam proses di BLHD Kab. Pangkep. Kemudian yang terkait dengan limbah B3 sekarang sudah tertata rapi artinya sudah disimpan sesuai dengan peraturan yang ada. Lalu teknis penambangan itu juga kami benahi, terus saluran air itu juga mulai diperbaiki.” Dany menambahkan bahwa Keuntungan dalam mengikuti PROPER ini banyak, diantaranya adalah perusahaan jadi lebih tahu parameter-parameter yang menjadi standar untuk pengawasan mengenai lingkungan. Selain itu, bagi Dany yang paling utama dari PROPER ini adalah kontrol dari pihak pemerintah untuk perusahaan-perusahaan terkait tentang lingkungan. PT Vale Indonesia Tbk, sebagai perusahaan tambang pada sub sektor tambang batu bara ini, memiliki program yang berbeda dengan PT Indomarmer Kuari Utama. Perbedaan sektor tambang tentunya membawa pengaruh pada program-program pengelolaan lingkungan hidup di sekitar area tambang. Bagi PT Vale Indonesia Tbk, lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam perusahaan. Perusahaan yang menghasilkan produk nikel ini,22 memiliki beberapa kebijakan lingkungan yang mengarah pada pola pengelolaan lingkungan yang baik di area tambang. Kebijakan lingkungan yang diterapkan oleh PT Vale ini, berupa pengintegrasian seluruh tahapan kegiatan operasi dengan pengelolaan lingkungan serta memperhitungkan dampak lingkungan, terutama upaya pemulihan maupun pelestariannya. Tahapan ini dimulai dari eksplorasi, penambangan, pengolahan, hingga penutupan tambang.23 Dari upaya kebijakan lingkungan yang diterapkan oleh PT Vale ini, maka peringkat PROPER yang diterimapun berubah menjadi biru pada periode penilaian 2011-2012, yang pada periode sebelumnya peringkat yang diperoleh oleh PT Vale adalah Merah.
22 Nikel yang diolah oleh PT Vale Indonesia Tbk adalah dalam matte yang memiliki kandungan ratarata 78% nikel, 1% kobal, 20% sulfur dan logam lainnya. Nikel adalah logam mengkilat berwarna putih keperakan yang pertama kali ditemukan pada tahun 1751. (Sumber : Company Profile PT Vale Indonesia Tbk, Nikel dalam keseharian (Nickel in daily life)). 23 Company Profile PT Vale Indonesia Tbk, Lingkungan (Environment)
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
493
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai PROPER terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk penilaian PROPER 20112012 yang kemudian digantikan oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 06 Tahun 2013 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk PROPER 2012-2013. Tidak terdapat perubahan berarti dari kedua Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut, karena sama-sama mengatur tentang mekanisme dan kriteria penilaian PROPER. Di lingkup regional Sulawesi Selatan, program dekosentrasi PROPER yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), membuat Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulsel sebagai penerima kewenangan dari Gubernur selaku Pemimpin Daerah Provinsi, melakukan mekanisme pemberian PROPER yang dilaksanakan berdasarkan Mekanisme yang telah ditetapkan oleh KLH. Mekanisme tersebut meliputi (1) Tahap Persiapan; (2) Verifikasi Lapangan; (3) Penilaian Rapor Sementara oleh PPLH; (4) Rapor Sementara Perusahaan; (5) Masa sanggah; (6) Proses penilaian Peringkat PROPER oleh Kementerian Lingkungan Hidup; dan (7) Pengumuman hasil peringkat PROPER. 2. Pengaruh pemberian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) terhadap pengelolaan lingkungan hidup pada perusahaan dalam bidang Pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan nyatanya membawa dampak positif. Dalam faktanya, perusahaan pertambangan yang terdaftar sebagai peserta PROPER untuk wilayah Sulsel yaitu PT Indomarmer Kuari Utama, Pangkep dan PT Vale Indonesia Tbk, Luwu Timur terbukti terus meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan hidup di area sekitar pertambangan. Diantaranya PT Indomarmer Kuari Utama yang berupaya untuk terus meningkatkan pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkan dari proses produksi marmer dalam hal penyimpanan limbahnya. Sementara untuk PT Vale Indonesia Tbk, telah melakukan kebijakan-kebijakan lingkungan mulai dari awal penambangan sampai pada pasca penambangan.
494 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Saran Dari uraian kesimpulan yang dihasilkan, penulis menarik beberapa saran sebagai berikut: 1. Pengaturan dan regulasi terkait dengan PROPER terus berkembang seiring dengan perkembangan kondisi lingkungan, namun hal ini tidak sejalan dengan proses untuk mengikuti regulasi tersebut. Sehingga dalam hal ini Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup perlu memberikan rentan waktu untuk setiap perusahaan sebagai objek dari PROPER ini untuk berproses dalam rangka mewujudkan pengkongkritan regulasi mengenai PROPER. 2. Dibutuhkan konsistensi dari perusahaan sebagai peserta PROPER untuk terus meningkatkan pola pengembangan pengelolaan lingkungan hidup agar PROPER dapat menjadi salah satu upaya bagi perusahaan untuk meningkatkan penaatan terhadap regulasi. 3. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai elemen masyarakat seperti LSM Lingkungan, Stakeholder, juga pemerintah dalam hal pengawasan bersama pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan peserta PROPER khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. DAFTAR PUSTAKA Abdul Rauf. 2012. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan BUMN terhadap Stakeholder di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hukum Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Vol. 2 No. 1, September 2012, Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution: Nuansa Hijau UUD NRI Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2008 Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran Lingkungan CO2 : Kick The Habit! Towards A Law Carbon Economy. Jakarta: Sekretariat Proper Kementerian Lingkungan Hidup. ________________________________. 2013. Petunjuk Teknis 2013 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan. Jakarta: Sekretariat Proper Kementerian Lingkungan Hidup. Suparto Wijoyo. 2005. Hukum Lingkungan: Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan di Daerah, Surabaya: Airlangga University Press. Tim Penyusun Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup. 2005. Sekilas PROPER, Dulu, Sekarang, dan Masa Mendatang, Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
495
Zulkifli Aspan. 2010. Konstitusionalisasi Hak Atas Lingkungan Dalam Perkembangan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA Vol. 18 Nomor 4, Desember 2010. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengeloaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 273 Tahun 2012 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2011-2012 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 148 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2010 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
496 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Biodata Penulis Muhammad Deniardi, S.H Lahir di Tenggarong, 12 Juni 1982. Menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) pada Fak. Hukum Universitas Lambung Mangkurat tahun 2004. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Saat ini, penulis menjabat sebagai Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar sejak tahun 2012. Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H Lahir di Soppeng, 24 November 1953. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1978. Menyelesaikan pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Unhas tahun 1998. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih pada tahun 2006 pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2007 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H Lahir di Beutang, Polewali Mandar, 24 Oktober 1963. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1987. Gelar Magister dan Doktor Ilmu Hukum diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Peserta Sandwich Program dalam rangka Research Doctoral di Utrecht University, Belanda. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas periode 2004-2008 dan periode 2008-2012. Rudy Talanipa, S.H Lahir di Kendari, 26 Juli 1974. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado di tahun 1998. Penulis menjabat sebagai Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Singaraja, Bali. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Prof. Dr. M. Said Karim, S.H., M.H Lahir di Pare-Pare, 11 Juli 1962. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fak. Hukum Univ. Hasanuddin tahun 1986. Melanjutkan pendidikan Magister Hukum pada Fak. Hukum Univ. Hasanuddin dan meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin tahun 2002. Diangkat sebagai Guru Besar Bidang Hukum Pidana sejak tahun 2005. Prof. Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.S., DFM Lahir di Pare-Pare, 24 Juni 1963. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Unhas tahun 1987. Meraih Magister Kependudukan tahun 1993 pada Program Pascasarjana Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum diraih tahun 2007 pada Program Pascasarjana Unhas. Mengikuti Program Diploma Forensic and Human Rights tahun 2003 di Belanda. Sejak tahun 2008 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Unhas. Saat ini, penulis menduduki tugas lain sebagai Staf Ahli Kementerian Pemuda dan Olahraga. Rizal F, S.H Lahir di Pangkajene, 3 Juli 1979. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 2002. Menjabat sebagai Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar sejak tahun 2011. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013 570
Biodata Penulis Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo, S.H., M.H., DFM Lahir di Makassar, 11 April 1968. Gelar Sarjana Hukum diraih pada Fak. Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1991. Menyelesaikan pendidikan Magister Hukum dan Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Meraih Diploma in Forensic Medicine, Netherlands di tahun 2004. Guru Besar Bidang Hukum Kesehatan sejak tahun 2010. Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H Lahir di Makassar, 25 Januari 1968. Menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada tahun 1994. Meraih gelar Magister Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin tahun 2002. Menyelesaikan studi Doktor Ilmu Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin di tahun 2008. Saat ini, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Takkas Marudut, S.H Lahir di Jayapura, 5 April 1982. Pendidikan Strata Satu (S1) diraih pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih di tahun 2004. Selain menempuh pendidikan Magister Hukum pada PPs Universitas Hasanuddin, penulis menjabat sebagai Jaksa Fungsional Kejaksaan Tinggi Papua. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM Lahir di Larompong, Luwu. Menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1986. Melanjutkan pendidikan Magister bidang Pengkajian Ketahanan Nasional pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 1991. Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga tahun 1999. Maraih gelar Guru Besar bidang Hukum Pidana sejak tahun 2001. Saat ini, penulis menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H Lahir Pati, Jawa Tengah, 12 Maret 1946. Gelar Sarjana Hukum diperoleh pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Menyelesaikan pendidikan Magister Hukum pada PPs Universitas Padjajaran. Gelar Doktor bidang Ilmu Hukum diraih pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Meraih gelar Guru Besar bidang Hukum laut Internasional sejak tahun 2006. Zainal Abidin, S.H Lahir di Binjai, 8 Februari 1974. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor tahun 2003. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Penulis menjabat sebagai Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar sejak tahun 2010. Tenriawaru, S.H Lahir di Muara Sampara, 18 Desember 1976. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 2000. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Menjabat sebagai Kasi II pada Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
583 Jurnal PENELITIAN HUKUM |
Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.Si Lahir di Raha, 17 Maret 1959. Selain sebagai dosen sejak tahun 1987, penulis juga menjabat Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Menyelesaikan pendidikan Magister Kajian Ketahanan Nasional (S-2) pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pendidikan Doktor Hukum (S-3) diraih pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Mudazzir Munsyir, S.H Lahir di Makassar, 12 April 1979. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 2001. Saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Menjabat sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bantaeng. Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H Lahir di Palopo, 30 April 1957. Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sejak tahun 1998. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1983). Magister Hukum diraih pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1993). Menyelesaikan program Doktor pada Universitas Hasanuddin (2006). Saat ini, penulis menjabat sebagai Ketua Program Studi (KPS) Ilmu Hukum (S2) Universitas Hasanuddin. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H Lahir di Kanang, 15 Januari 1974. Menyelesaikan pendidikan pada jenjang Strata Satu (S1), Strata Dua (S2), dan Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Saat ini menjabat sebagai Penasihat/Konsultan Hukum Pemprov. Sulawesi Selatan. Delegasi Indonesia pada General Assembly and Governing Council Meeting ASEAN Law Association di Hanoi, Vietnam tahun 2009. Ghina Mangala Hadis Putri Lahir di Wamena, 27 September 1991. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Berikut beberapa karya ilmiah yang pernah dihasilkan, di antaranya: Peran Negara dalam Upaya Pemenuhan Hak Asasi Manusia Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (2010); dan Strategi Penanganan Pencemaran Lingkungan Melalui Penerapan Green Zone sebagai Upaya Optimalisasi Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan Indonesia (2012). Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H., M.Si Lahir di Bone, 1 Agustus 1957. Dosen pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sejak tahun 1985. Menyelesaikan pendidikan S2 pada Prodi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 2007. Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H Lahir di Sinjai, 18 Oktober 1966. Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sejak tahun 2009. Menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di tahun 1989. Meraih Gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, tahun 1998. Meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin di tahun 2007. Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
584
Indeks Penulis (Author Index)
Setiap penulis yang hasil penelitiannya telah diterbitkan oleh Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 1 s/d 3, dituliskan pada daftar berikut yang diurut secara abjad dilengkapi dengan nomor dan halaman.
Abbas, N___(2) 307-332 Abdullah, F___(2) 173-186; (3) 353-369 Abidin, Z___(3) 419-433 Akub, M.S___(2) 187-205; (2) 291-306; (3) 333-352; (3) 435-452 Alwy, S___(2) 173-186 Ansary, M.G___(2) 187-205 Arie, M___(1) 19-40; (3) 453-473 Ashri, M___(2) 207-226 Asis, A___(1) 157-172 Aswanto___(3) 391-418 Azisa, N___(1) 157-172 Bohari, N___(1) 111-139 Burhamzah, O.D___(2) 249-268 Darajat, Z___(2) 227-248 Deniardi, M___(3) 333-352 Hakim, M.Z___(1) 41-55 Halim, H___(3) 453-473 Hamzah, M.G___(1) 57-80 Haris, I___(2) 207-226 Heryani, W___(1) 81-109; (2) 249-268; (3) 371-390 Ilmar, A___(1) 141-156 Irwansyah___(1) 1-18; (1) 19-40; (2) 207-226; (3) 575-496 Karim, M.S___(3) 353-369; (3) 419-433 Kotandengan, A___(2) 307-332 Latif, B___(1) 1-18 Manuputty, A___(3) 391-418 Maramis, R.A___(1) 141-156
176
Marlang___(1) 141-156 Marudut, T___(3) 391-418 Maskun___(1) 1-18 Muchtar, S___(2) 187-205; (3) 333-352 Muhadar___(1) 157-172; (3) 435-452 Munsyir, M___(3) 453-473 Muthaharah___(2) 269-289 Putri, G.M.H___(3) 575-496 Rafiuddin___(1) 57-80 Rahail, E___(2) 291-306 Rapy, I___(1) 1-18 Rastiawaty___(1) 81-109 Ratnawati___(1) 81-109 Rauf, A___(1) 19-40 Razak, A___(2) 227-248 Rizal, F___(3) 371-390 Said, N___(2) 307-332 Saidi, M.D___(2) 269-289 Salam, M.N___(1) 111-139 Saleng, A___(1) 57-80 Soewondo, S.S___(3) 371-390; (3) 419433 Sopyan, A___(2) 291-306 Susanto, R___(2) 173-186 Talanipa, R___(3) 353-369 Tenriawaru___(3) 435-452 Thaha, A.R___(2) 227-248 Valda, L___(2) 249-268 Wahid, M.Y___(1) 41-55; (2) 269-289; (3) 575-496
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Indeks Subjek (Subject Index)
Berikut adalah indeks subjek masing-masing artikel yang telah diterbitkan oleh Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 1 s/d 3, yang diurut secara abjad dilengkapi dengan nomor dan halaman.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan___(3) 453-473 Badan Usaha Milik Negara___(1) 19-40 Bentuk Perlindungan___(2) 291-306 Doktrin___(2) 249-268 Double Track System___(3) 333-352 Efektivitas Regulasi___(1) 1-18 Hierarkis___(3) 353-369 Independensi___(3) 371-390 Intelijen___(3) 419-433 Investasi___(1) 111-139; (1) 141-156 Jaksa___(3) 419-433 Keadilan___(3) 353-369 Keamanan___(3) 391-418 Kebebasan___(3) 391-418 Kebijakan Lingkungan___(1) 1-18 Kehutanan___(1) 41-55 Kesehatan___(2) 227-248 Ketertiban___(3) 391-418 Korban___(2) 187-205 Korupsi___(3) 435-452 KTAR___(2) 227-248 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun___(2) 207-226 Lingkungan___(1) 19-40; (1) 141-156; (1) 157-172 Lingkungan Hidup___(3) 575-496 LPSK___(2) 187-205 Obat Tradisional___(2) 173-186 Partisipatif___(1) 57-80 Pemerintahan Daerah___(1) 57-80 Penegakan Hukum___(1) 41-55; (1) 157-
172; (3) 419-433 Penegakan Hukum Lingkungan___(2) 207-226; (2) 269-289 Pengadilan Anak___(3) 333-352 Pengalihan___(2) 307-332 Pengawasan___(2) 173-186; (2) 269-289 Pengolahan Limbah Cair___(2) 269-289 Penuntut Umum___(3) 371-390 Penyelidikan___(3) 419-433 Penyidikan___(3) 435-452 Peraturan Daerah___(1) 111-139 Peredaran___(2) 173-186 Perikanan___(1) 157-172 Perizinan___(1) 111-139 Perjanjian Kredit___(2) 307-332 Perkelahian Kelompok___(1) 81-109 Perlindungan Hukum___(2) 187-205 Pertambangan___(1) 57-80; (1) 141-156; (3) 575-496 Perusahaan___(1) 19-40; (2) 249-268 Piercing___(2) 249-268 Praperadilan___(3) 391-418 Proper___(3) 575-496 Proses Penyidikan___(3) 353-369 Remaja___(1) 81-109 Rumah Sakit___(2) 269-289 Saksi___(2) 187-205 Sinkronisasi Hukum___(1) 1-18 Surat Tuntutan___(3) 371-390 Tempat Umum___(2) 227-248 Tindak Pidana Korupsi___(3) 453-473 Upaya Hukum___(2) 291-306
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Ucapan Terima Kasih
JPH Vol. 2 No. 1 Sepetember 2012
JPH Vol. 2 No. 2 Januari 2013
JPH Vol. 2 No. 3 Mei 2013
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia menjadi mitra bestari dalam menelaah Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada Volume 2 Nomor 1 s/d 3. Berikut ini adalah daftar nama mitra bestari yang berpartisipasi: Prof. Dr. Suparto Wijoyo (Universitas Airlangga, Surabaya) Prof. Dr. Arief Zudan Fakhrulloh (Universitas Borobudur, Jakarta) Dr. Zainul Daulay (Universitas Andalas, Padang) Dr. David Sondakh (Universitas Sam Ratulangi, Manado) Dr. Andi Irman Putra Sidin (Universitas Esa Unggul, Jakarta)
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
PERSYARATAN PENULISAN
JURNAL PENELITIAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
1. Naskah merupakan laporan penelitian orisinal yang dibuat secara mandiri atau berkelompok dan belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Isi tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum dan ditulis dalam tata bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. 3. Sistematika penulisan sedapatnya memuat: Judul (tidak lebih dari 12 kata; Nama Penulis (tanpa gelar akademik); Abstrak maksimal 100 kata yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian, serta kata kunci. 4. Sistematika penulisan terdiri dari: PENDAHULUAN; RUMUSAN MASALAH; METODE PENELITIAN; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN; PENUTUP; serta Daftar Pustaka (tersusun secara alpabetis). 5. Setiap naskah menggunakan teknik pengutipan Footnote. 6. Daftar pustaka atau rujukan sedapatnya bersumber dari jurnal ilmiah lain atau sejenisnya, dengan kisaran waktu terbit kurang dari 10 tahun terakhir. 7. Penulisan dilakukan dengan aplikasi pengolah kata MS Word dengan menggunakan Font Times New Roman ukuran 12 dengan jarak spasi 1,5 pada kertas ukuran A4. 8. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 halaman (termasuk daftar pustaka). Ketentuan margin yaitu: top dan left margin 4 cm, right dan bottom margin 3 cm. Tulisan diserahkan kepada redaksi berupa satu rangkap print-out dan soft copy dalam bentuk CD-RW, berisi file tulisan dalam format doc. 9. Penulisan tidak menggunakan pemisahan bab dengan angka. Pembagian antara Judul, Sub Judul, Sub Anak Judul dilakukan dengan urutan sebagai berikut: CAPITAL BOLD; CAPITAL; Bold; Bold Italic; dan Italic. 10. Tabel (jika ada) dbuat dengan model terbuka (tanpa garis vertikal). 11. Penulis melampirkan curriculum vitae singkat yang meliputi nama lengkap, gelar akademik, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, lembaga tempat bertugas, jabatan yang dipangku (jika ada) alamat lengkap (lembaga, rumah serta nomor telepon kantor, rumah dan HP) serta alamat e-mail. 12. Setiap tulisan akan ditelaah oleh mitra bestari dan jika diperlukan, redaksi akan mengirim kembali tulisan untuk diperbaiki sebelum dimuat. Pengiriman naskah perbaikan dilakukan melalui e-mail kepada alamat e-mail redaksi. 13. Tulisan yang tidak dimuat dapat diambil kembali pada redaksi. Jurnal Penelitian Hukum terbit setiap bulan Januari, Mei dan September. Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke: Alamat Redaksi: JURNAL PENELITIAN HUKUM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245. Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090 E-mail:
[email protected] Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Volume 2 Nomor 3 Mei 2013