ISSN : 2085-4323
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas Herie Saksono
Peran Pemerintah Daerah terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi Zarmaili
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat Agus Ruswandi
Dinamika Pemanfaatan Hutan oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari Asnelly Ridha Daulay
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Arif Sofianto
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura Agus Hartopo
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA J. Bina Praja
Vol. 5
No. 1
Hal. 1 - 72
Jakarta, Maret 2013
TERAKREDITASI B NOMOR: 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi Pelindung: Pembina: Penanggung Jawab: Pemimpin Redaksi: Anggota:
Mitra Bestari:
Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Drs. Sahat Marulitua, MA. (Kebijakan Publik) Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr. Prabawa Eka Susanta, S.Sos., M.Si. (Pembangunan Berkelanjutan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi Pembangunan, Kemendagri) Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. Dr. Syarif Hidayat Bashori Imron, M.Si
(Hukum, Kemendagri) (Administrasi Publik, IPDN) (Otonomi Daerah, LIPI) (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI)
Pemimpin Redaksi Pelaksana: Drs. Sahat Marulitua, MA. Anggota: Drs. Asrori Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Syailendra Prahaswara Hangga Kristian Ramadhan Administrasi: Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Madiareni Sulaiman, S.Hum., Desi Sartika Helmi, Rudi Voeller. Keuangan: Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Sirkulasi dan Distribusi: Nur Intan Sarasati Artistik dan Multimedia: Ivan Indra Susanto
Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail:
[email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Pengantar Redaksi eiring berjalannya waktu, eksistensi Jurnal Bina Praja (JBP) telah MEMBUMIKAN memasuki tahun kelima (5) pada 2013. Hingga tiba pada peringatan lustrum I ini, kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Pengasih. INOVASI DAN Yang Maha Semenjak terbitnya JBP pada 2009, telah mengalami transformasi kualitas. Lompatan kuantum terjadi pada 12 April 2011 ketika untuk pertama kalinya Jurnal Bina Praja ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah MENGELOLA “Terakreditasi B” berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 481/D/2011, Tanggal 12 April 2011. Sebagai Majalah Ilmiah Berkala, JBP tetap menaruh perhatian (concern) POTENSI terhadap hasil-hasil kelitbangan pemerintahan dalam negeri. Harapan yang ingin dicapai, melalui publikasi hasil-hasil kelitbangan MENUJU inovasi, pemerintahan dalam, kita terinspirasi dan termotivasi untuk melakukan membangun terobosan terutama untuk pengelolaan potensi dan kekayaan alam Indonesia demi kemajuan sosial yang humanis, komprehensif, KEMAJUAN inklusif, bermartabat, dan sejahtera. Kondisi inilah yang mendorong Redaksi Jurnal Bina Praja (JBP) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri) mengangkat tema “Membumikan Inovasi SOSIAL dan Mengelola Potensi Menuju Kemajuan Sosial”.
S
Hasil Kelitbangan yang dipublikasikan merefleksikan betapa Indonesia yang luar biasa (incredible). Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan alam yang tersebar ke seluruh pelosok negeri. Solusi pembanganan daerah berciri kepulauan menjadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah. Selain itu, diperlukan peran kelompok masyarakat dalam penguatan inovasi di berbagai daerah. Namun, dalam operasionalisasinya diperlukan aktivitas kelitbangan yang harus didukung organisasi kelitbangan yang handal Pa bagian akhir hasil pengkajian yang menyatakan bahwa tidaklah berlebihan bila kita ingin meningkatkan daya saing daerah, maka kerjasama daerah menjadi daya ungkit terbaiknya, terutama bila hal tersebut disinergikan dengan peran pemerintah daerah di sector pendidikan dan strategi pembangunan berbasis masyarakat di kecamatan. Last but not least, Redaksi menyampaikan penghargaan kepada para peneliti dan pemangku kepentingan pemerintahan dalam negeri atas kontribusi pemikirannya. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memberikan kekuatan kepada kita sekalian, sehingga kita dapat berkarya secara prima, ultima, dan optima. Selamat berkarya, salam sukses luar biasa, dan bahagia selalu. Salam Redaksi
i
ii
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi
i iii
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas Herie Saksono
1 - 12
Peran Pemerintah Daerah terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi Zarmaili
13 - 26
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat Agus Ruswandi
27 - 34
Dinamika Pemanfaatan Hutan oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari Asnelly Ridha Daulay
35 - 42
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Arif Sofianto
43 - 52
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti
53 - 62
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura Agus Hartopo
63 - 72
iii
iv
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya Herie Saksono
Agus Ruswandi
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan, Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat
Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal. 1 - 12 Studi ini bertujuan untuk lebih memahami eksistensi ekonomi biru sebagai solusi pembangunan daerah berciri kepulauan. Kondisi geografis dan fenomena alam di wilayah kepulauan mengakibatkan pembangunan di wilayah tersebut seringkali terkendala. Ekonomi biru merupakan aktivitas perekonomian yang mengandalkan pengelolaan sumberdaya lokal oleh masyarakat setempat (inklusif) yang menuntut kreativitas, inovasi, efisiensi, dan efektivitas, tanpa menyisakan limbah. Pendekatan pengembangan yang digunakan adalahkualitatif dengan metode analisis deskriptif. Locus studi di Kabupaten Kepulauan Anambas. Hasil analisis membuktikan bahwa pembangunan daerah berbasis ekonomi biruyang diintegrasikan dengan program/kegiatan pembangunan darat menjadi sinergi baru yang mampu memberi nilai tambah ekonomi, berdaya saing, dan bermanfaat untuk percepatan pembangunan daerah kepulauan. Dalam operasionalisasinya, direkomendasikan kepadaPemerintah maupunpemerintahan daerah agar memiliki komitmen dan keberpihakan dalam penataan regulasi/kebijakan termasuk alokasi anggarannyademi kemajuan sosial dan kesejahteraan masyarakat kepulauan. Kata kunci: ekonomi biru, pembangunan daerah, dan kepulauan. Zarmaili Peran Pemerintah Daerah terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal. 13 - 26 Keberhasilan pelaksanaan otonomi pendidikan sangat ditentukan oleh peranan pemerintah daerah, hal ini sebagaimana wewenangnya yang dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Kajian ini menganalisis peranan Pemerintah Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi di dalam proses pelaksanaan otonomi pendidikan dalam rangka menimgkatkan mutu pendidikan. Dengan menggunakan metode kuantitatif diperoleh bahwa peranan Pemerintah Kabupaten Batanghari masih lemah yakni masih berada di bawah 50%. Indikasi yang ditemukan bahwa penyeberan guru dan bantuan dana pendidikan belum merata, tingkat pengawasan masih lemah, partisipasi masyarakat di dalam proses pengurusan pendidikan masih rendah. Kata kunci: Otonomi, desentralisasi, kekuasaan, peranserta.
Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal. 27 - 34 Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, Wilayah Jawa Barat dibagi atas enam Wilayah Pembangunan (WP), yaitu WP Bodebekpunjur, WP Purwasuka, WP Ciayumajakuning, WP Priangan Timur-Pangandaran, WP Sukabumi dan Sekitarnya, dan WP Cekungan Bandung. Pada masingmasing WP telah memuat sektor-sektor unggulan, namun belum mencakup komoditas atau bidang usaha unggulan. Untuk pengembangan sektor unggulan tersebut, perlu diketahui focus komoditas/usaha unggulannya, kemudian inovasi apa yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas/bidang usaha unggulan tersebut. Kajian ini bertujuan 1) menentukan sector unggulan prioritas pada masing-masinge WP; 2) menentukan komoditas/bidang usaha unggulan prioritas sektoral pada WP; 3) mengidentifikasi kebutuhan inovasi pada sektor/bidang usaha unggulan prioritas. Pengkajian dilaksanakan Bulan Oktober-Desember 2011. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer melalui survey wawancara dan observasi lapang ke beberapa kabupaten/kota meliputi Kabupaten Kuningan, Indramayu, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Cirebon. Untuk mengetahui sektor/subsektor unggulan pada masing-masing WP dilakukan analisis Location Quotient (LQ), Localization Indeks (LI) dan Specialization Indeks (SI). Dari dari hasil kajian dapat disusun kluster komoditas/bidang usaha unggulan sebagai berikut : 1) Kluster Padi Sawah terkonsentrasi di Kab. Indramayu, Karawang, Subang, dan Purwakarta; 2) Kluster Padi Ladang (Gogo) terkonsentrasi di Kab. Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi, dan Cianjur; 3) Kluster Sapi Potong terkonsentrasi di Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Sumedang; 4) Kluster Industri Kreatif terkonsentrasi di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung; 5) Kluster Batik terkonsentrasi di Kab/Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Garut; 6) Kluster Bordir, dan Konveksi teronsentrasi di Kota Tasikmalaya, dan Garut; 7) Kluster Makanan Olahan terkonsentrasi di Kab/Kota: Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya; 8) Kluster Makanan Olahan Berbasis Bahan Baku Ikan terkonsentrasi di Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang; 9) Kluster Industri Alas Kaki terkonsentrasi di Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Garut; 10) Kluster Industri Kelautan terkonsentrasi di Kab/Kota: Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sukabumi; 11) Kluster Perikanan Air Tawar tekonsentrasi di Kab/Kota: Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Kabupaten Bandung. Kata kunci : penguatan, inovasi, daerah
Asnelly Ridha Daulay
Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti
Dinamika Pemanfaatan Hutan oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau
Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal 35 - 42
Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal 53 - 62
Penelitian bertujuan mengetahui kondisi terkini Suku Anak Dalam dari kelompok Bathin IX yang menetap di tengah kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. Penelitian bersifat deskriptif eksploratif, pemilihan lokasi secara purposif, penetapan jumlah responden secara proporsional dan tehnik pengambilan sampel dengan metode non random-purposive sampling. Dapat disimpulkan warga SAD telah meninggalkan kegiatan eksploitasi hutan dan beralih menjadi petani kebun karet dan sawit. Mereka menyadari status Tahura sebagai hutan lindung dan mematuhinya, walaupun tak sepenuhnya setuju karena status tersebut membatasi pendapatan dari jual beli hasil hutan. Ancaman terbesar terhadap Tahura saat ini berasal dari warga pendatang yang terlibat pembalakan liar dan mendirikan pemukiman di kawasan Tahura. Ke depannya warga SAD menginginkan diberi pelatihan life skill serta izin mengolah lahan hutan yang gundul untuk ditanami karet dan sawit. Kata kunci : suku anak dalam; hutan; matapencaharian; keahlian.
Wilayah perbatasan memerlukan sebuah mekanisme pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan merumuskan strategi dan model pembangunan yang sesuai dengan kondisi wilayah pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Analisis data yang digunakan deskriptif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : pembangunan pada kecamatan perbatasan yang memiliki wilayah pesisir seharusnya dilakukan dengan melalui suatu pendekatan pembangunan yang menjamin terpeliharanya keseimbangan ekologi dan pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu, dengan meletakkan masyarakat sebagai basis pembangunan. Kata kunci: Pembangunan, perbatasan, berbasis masyarakat, berkelanjutan.
Arif Sofianto Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013, hal 43 - 52 Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang akan dikembangkan menjadi Desa Wisata, didukung banyak potensi, baik bidang pertanian kerajinan, kuliner maupun perdagangan, namun belum berkembang dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh belum sinerginya pengelolaan wisata antar sektor dan antar pelaku. Solusi dari persoalan tersebut adalah dibentuknya kelompok yang mampu menjadi sarana bersama. Namun persoalannya adalah kelompok yang ada sekarang, yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) belum berfungsi sebagaimana mestinya. Penelitian ini memfokuskan pada analisis kebutuhan penguatan dan peningkatan peran Pokdarwis di Desa Karangrejo untuk meningkatkan pengelolaan wisata mereka. Solusi yang dapat dianjurkan adalah: 1). Perlunya kepala desa meyakinkan kebulatan tekad, membicarakan bersama segenap masyarakat dalam rembug desa untuk memantapkan diri, menyamakan persepsi bahwa Pokdarwis harus diaktifkan, dan diakui sebagai aktor utama yang berisi banyak orang (aktor kolektif). 2). Penegasan struktur dengan tugas dan fungsi yang jelas, serta menambahkan beberapa struktur penting lainya dalam kepariwisataan, seperti promosi, kerjasama dan perencanaan program, 3). Menyamakan persepi mengenai prosedur-prosedur utama pariwisata desa, sehingga semua pihak mendapatkan manfaat, dan 4). Perlunya melakukan penataan objek dan produk wisata sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk meningkatkan kualitas produk wisata, serta sarana pendukung lainnya. Kata kunci: Kelompok Masyarakat, Inovasi, Desa Wisata, Karangrejo.
Agus Hartopo Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 1 Edisi 2013, hal. 63 - 72 Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui capaian perekaman e-KTP di Kota Jayapura; menganalisa hubungan jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman; menginventarisir hambatan dalam perekaman e-KTP; menginventarisir upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura mengatasi kendala perekaman eKTP; mengetahui rasio alat perekaman dengan jumlah penduduk wajib e-KTP. Metodologi yang digunakan untuk menganalisa hubungan variabel menggunakan korelasi dengan bantuan sofware SPSS 19, serta prosentase. Hasil penelitian menunjukan: pelaksanaan kebijakan e-KTP di Kota Jayapura telah dilaksanakan dan mencapai kemajuan yang signifikan. Perkembangan perekaman e-KTP pada akhir tahun 2012, menunjukan hingga 89 %. Dalam jangka waktu 5 bulan (dari bulan Agustus – Desember 2012) mengalami perkembangan sebesar 5 %.Terdapat hubungan yang siginfikan antara jumlah penduduk dengan wajib eKTP dalam arti semakin besar jumlah penduduk di Kota Jayapura akan semakin besar pula penduduk wajib e-KTP. Sebaliknya terdapat hubungan antara jumlah wajib e-KTP dengan penyelesian perekaman e-KTP. Dalam pelaksanaan perekaman e-KTP ditemukan sejumlah hambatan. Hambatan yang muncul telah diatasi dengan berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Jayapura. Kata kunci: e-KTP, kota jayapura, perekaman, hambatan, pemerintah.
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 1 MARET 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge Herie Saksono Blue Economy: Regional Development Solutions Characterized by Islands, Case Studies Anambas Island Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg. 1 - 12 This study aims to make a better understanding about blue economic existence as a solution for regional development of island characteristic. The islands geographical condition and natural phenomena has hinder the islands development. Blue Economy is an economic activities relies on local resources managed by local inhabitants, which demands creativity, innovation, efficiency, and effectivenesswithout leaving any waste. This study use qualitative development approach with descriptive analysis method. The analysis results proved that blue economic-base regional development which integrated with land development program/action, become a new synergies able to add economic value, competitiveness, and useful to accelerate regional development of island characteristic. In its implementation, it's highly recommended that Central and Local Government must have commitment, and support on regulation/policy structuring including budget allocation, for social well-being and the welfare of the islands population. Keywords: blue economy, regional development and islands Zarmaili Role Of Government Education Sector In The District Batanghari Jambi Province Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg. 13 - 26 The successful of implementation of educational autonomy is determined by the role of local government, this authority showed by Law Number 32-2004 boosted by act Number 20 2003. This study analyzes the role of government Batanghari Jambi in the process of decentralization of educationin order increase quality of education. By using the quantitative method is obtained that the role of the government is weak Batanghari still below 50%. Indications were found that teachers spreading and educational funding has not been evenly distributed, the level of supervisionis still weak, local participation in the management of educationis still low. Keywords: Autonomy, decentralization, authority, participation Agus Ruswandi The Study Of Strengthening Regional Innovation Systems West Java Jurnal Bina Praja
Volume 5 Number1 March 2013, pg. 27 - 34 Based on Spatial Plan (Spatial Plan) West Java Province In 2009-2029, West Java is divided into six Regional Development (WP), which Bodebekpunjur WP, WP Purwasuka, Ciayumajakuning WP, WP East Priangan Pangandaran, WP Sukabumi Area, and WP Bandung Basin. In each WP has run leading sectors, but does not include main commodities. To development this sector must be know focus commodity/business superior, then what innovation is needed to improve the competitiveness of commodity / sector leading the efforts. This study aims to 1) determine the priority sectors featured in each WP, 2) determine the commodity/sector seed business priorities for each sector on WP, 3) identify the need for innovation in the sector/priorities of the business featured. Assessment carried out in October-December 2011. Data collected included secondary data and primary data through interviews and observation field survey to several districts / cities include Kuningan District, Indramayu, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Bogor, Bekasi and Cirebon. To determine the sector/subsector featured on each WP analyzed Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) and Specialization Index (SI). From the results of the study can be arranged clusters of commodity/sector seed enterprises as follows: 1) Rice Cluster concentrated in the district. Indramayu, Karawang, Subang and Purwakarta, 2) Cluster Rice Field are concentrated in Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi and Cianjur; 3) Beef Cattle clusters concentrated in Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, and Sumedang; 4) Creative Industries Cluster concentrated in the city of Bandung, Cimahi, and Bandung, 5) Cluster Batik concentrated in Cirebon, Tasikmalaya, and Garut, 6) Clusters Embroidery, and convection in Tasikmalaya, and Garut; 7) Clusters Processed Foods concentrated in Bandung, Cimahi, Regency Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis and Tasikmalaya; 8) Cluster-Based Processed Food Raw Fish concentrated in Indramayu, Cirebon, Falkirk, and Subang; 9) Footwear Industry Cluster concentrated in the city of Bogor, Kab. Bogor, City Tasikmalaya, Bandung and Garut; 10) are concentrated in the Marine Industry Cluster Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis and Sukabumi; 11) Freshwater Fisheries clusters were concentrated in Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, and Bandung. Keywords: strengthening, innovation, regional. Asnelly Ridha Daulay The Dynamics Of Forest Use By Suku Anak Dalam Bathin IX In Village Senami Of Batanghari Regency Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg 35 - 42 This study aims at updating the current condition of indigenious people of Suku Anak Dalam (SAD) from the tribe of Bathin IX, that live in the protected forest of Taman
Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. It is a descriptive explorative research, the location chosen purposively, the number of respondents taken proporsionally using non random-purposive sampling. It can be concluded that the SAD had transformed their ways of earning living from forest exploitation to be a rubber or oil palm farmers. They are aware of TAHURA status as a protected forest and obidient, though not fully agree with that since it prohibits them from getting more income from selling of the forrest products. The real threats toward TAHURA may come from the migrants that get involved in illegal logging and establish residency inside TAHURA. The SAD is looking forward to having life skill training and permit from government to plan rubber or oil palm in the non-productive area of TAHURA. Keywords : suku anak dalam; forest; livelihood; skills Arif Sofianto The Role Of Civil Society In Strengthening Social Innovation In The Village Karangrejo District D Borobudur Magelang Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg 43 - 52 Karangrejo Village, District Borobudur, Magelang Regency is an area that will be developed into a Tourist Village, supported by a lot of potential, good agricultural crafts, culinary and trade, but not yet well developed. But the problem is the current group, the Tourism Awareness Group (Pokdarwis) is not working properly. This study focuses on the analysis of needs strengthening and increasing role of Pokdarwis in the Karangrejo village to improve the management of their tour. Solutions that can be recommended are: 1). The need for determination to convince the village chief, talk with all the people in the village consultation to establish itself, the same perception that Pokdarwis are enabled, and is recognized as a major actor that contains a lot of people (collective actors). 2). Confirmation of the structure with clear tasks and functions, as well as added some other important structures in tourism, such as promotion, cooperation and planning, 3). Equating perception about the main procedures of village tourism, so that all parties benefit, and 4). The need to undertake the arrangement of objects and tourism product in accordance with the quality standards expected Keywords: Community groups, Innovation, Tourism Village, Karangrejo
Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti Community Development Strategy Based In Border States District In Riau Province Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg. 53 - 62 The boarder area need a integrity and continually management mechanism. The purposes of this research to formulate the strategy and the model of development fringe which suitable with the area condition in the district of fringe country in Riau province. This research is done in the district of Rangsang Barat, Meranti regency of Riau province. The method of data analyzing that is used descriptive and quantitative. The result of research has shown the development of beach and ocean area should be done toward a development approach that keep the ecology balance and economic growing oprimally and
sustainable with put the society as based development and doing it integraty. Keywords : development, boarder area, society based, sustainable.
Agus Hartopo Electronic Identity Card (e-ktp) Service In Support Administration System In The Jayapura City Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 1 March 2013, pg. 63 - 72 This study aim to know target taping e-KTP at Municipality Jayapura, analyse corelation total population compulsory eKTP with complition taping, inventory effort by Goverment Municipality Jayapura overcome constraints taping e_KTP, know ratio too taping with total population compulsory eKTP.The study shows that implemention policy e-KTP at municipality Jayapura has been implemented and achieve progress significant. Development tapiong e-KTP at year end 2012, have shown until 89 %. In the period 5 mounth (from August – December 2012) development 5 %. There is a relationship significant betwenn total population and compulsary e-KTP, in the sense greather total population at Municipality Jayapura will greather total population compulsory e-KTP. Otherwise relation between total compulsary e-KTP with completion taping e-KTP. In implementaion taping e-KTP finds obstacle appear has been overcome by kinds effort has been implemented by local Goverment Municipality Jayapura. Keywords: e-KTP, municipality jayapura, taping, obstacle, recording equipment.
EKONOMI BIRU: SOLUSI PEMBANGUNAN DAERAH BERCIRI KEPULAUAN STUDI KASUS KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS THE BLUE ECONOMY: AN ISLANDS REGIONAL DEVELOPMENT SOLUTION THE CASE STUDY ON ANAMBAS ISLANDS REGENCY Herie Saksono Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP)- Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta Nomor Telp./Faks: +62 21 314 0454; e-mail:
[email protected] Dikirim: 27Februari2013, Diterima Setelah Perbaikan: 17Maret 2013
Abstraksi Studi ini bertujuan untuk lebih memahami eksistensi ekonomi biru sebagai solusi pembangunan daerah berciri kepulauan.Kondisi geografis dan fenomena alam di wilayah kepulauan mengakibatkan pembangunan di wilayah tersebut seringkali terkendala. Ekonomi biru merupakan aktivitas perekonomian yang mengandalkan pengelolaan sumberdaya lokal oleh masyarakat setempat (inklusif) yang menuntut kreativitas, inovasi, efisiensi, dan efektivitas, tanpa menyisakan limbah. Pendekatan pengembangan yang digunakan adalahkualitatif dengan metode analisis deskriptif. Locus studi di Kabupaten Kepulauan Anambas. Hasil analisis membuktikan bahwa pembangunan daerah berbasis ekonomi biruyang diintegrasikan dengan program/kegiatan pembangunan darat menjadi sinergi baru yang mampu memberi nilai tambah ekonomi, berdaya saing, dan bermanfaat untuk percepatan pembangunan daerah kepulauan. Dalam operasionalisasinya, direkomendasikan kepadaPemerintah maupunpemerintahan daerah agar memiliki komitmen dan keberpihakan dalam penataan regulasi/kebijakan termasuk alokasi anggarannyademi kemajuan sosial dan kesejahteraan masyarakat kepulauan. Kata kunci: ekonomi biru, pembangunan daerah, dan kepulauan.
Abstract This study aims to make a better understanding about blue economic existence as a solution for regional development of island characteristic. The islands geographical condition and natural phenomena has hinder the islands development. Blue Economy is an economic activities relies on local resources managed by local inhabitants, which demands creativity, innovation, efficiency, and effectivenesswithout leaving any waste. This study use qualitative development approach with descriptive analysis method. The analysis results proved that blue economic-base regional development which integrated with land development program/action, become a new synergies able to add economic value, competitiveness, and useful to accelerate regional development of island characteristic. In its implementation, it’s highly recommended that Central and Local Government must have commitment, and support on regulation/policy structuring including budget allocation, for social well-being and the welfare of the islands population. Keywords: blue economy, regional development and islands
PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari wilayah daratan dan lautan. Jumlah pulau di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, mencapai 17.508 pulau. Argumentasi inilah yang mendasari penyebutan Indonesia sebagai “Archipelagic State”.Berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau “United Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica,luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 km², dengan batas wilayah laut/teritorial dari garis dasar kontinen sejauh 12 mil diukur dari garis dasar, sedangkan luas daratannya mencapai
1.919.443 km². Secara menyeluruh, luas wilayah lautan dan daratan mencapai 5.176.800 km²(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology /2257902-luas-wilayah-indonesia/ Diunduh: 11 Oktober 2012). Mengacu pada luasan wilayah darat dan laut, diperlukan strategi yang baik dalam pembangunan dan pengelolaan sumber-sumber daya yang dimilikinya, sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan berdirinya negara dapat terwujud sesegera mungkin dan merubah kualitas hidup masyarakatnya. Negara menjadi lebih sejahtera ketika para pengelolanya mampu menumbuhkan inovasi, memanfaatkan kearifan lokal
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 1
yang ada di sekitarnya dan didukung sepenuhnya oleh partisipasi masyarakatnya. Arcipelagic State merupakan karakteristik negara nusantara yang memiliki banyak pulau. Potensi dari berbagai pulau tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber-sumber inspirasi, kreasi, dan inovasi yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi pemerintah maupun masyarakatnya di pusat sampai ke seluruh pelosok negeri. Persoalan kemudian timbul, ketika terjadi ketidakmampuan dan kesenjangan kualitas dalam proses mengidentifikasi, merencanakan, mengelola,
mengawasi, mengoptimalkan, dan menjaga keberlanjutan potensi daerah kepulauan tersebut. Menurut Kepala Pusat Analisis Kerjasama Internasional dan Antar Lembaga pada Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Anang Noegroho, dinyatakan bahwa rata-rata selama satu dekade terakhir, negara mengalami kerugian sebesar Rp 30 triliun pertahun sebagai akibat dari pencurian oleh negara asing. Jika, harga satu kilogram ikan adalah dua dolar (US $ 2), maka hal ini berarti jumlah ikan yang dicuri mencapai 166 ton pertahun. (http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/
Tabel 1. Komposisi Kabupaten/Kota Berkarakter Kepulauan dan/atau Memiliki Wilayah Pesisir/Laut Menurut Provinsi Tahun 2012 Daerah Memiliki Laut/ Berkarakter Kepulauan No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Provinsi
Σ Kab. (1)
Σ Kota (2)
Aceh 14 4 Sumatera Utara 13 3 Sumatera Barat 5 2 Riau 6 1 Kepulauan Riau 5 2 Jambi 2 0 Sumatera Selatan 3 0 Kep. Bangka Belitung 6 1 Bengkulu 6 1 Lampung 6 1 SUMATERA 66 15 11. DKI Jakarta 1 1 12. Jawa Barat 10 1 13. Banten 4 2 14. Jawa Tengah 14 3 15. DI Yogyakarta 3 0 16. Jawa Timur 19 3 JAWA 51 10 17. Bali 7 1 18. Nusa Tenggara Barat 8 2 19. Nusa Tenggara Timur 20 1 BALI – NUSA 35 4 TENGGARA 20. Kalimantan Barat 6 1 21. Kalimantan Tengah 7 0 22. Kalimantan Selatan 5 0 23. Kalimantan Timur 8 3 KALIMANTAN 26 4 24. Sulawesi Utara 11 2 25. Gorontalo 5 1 26. Sulawesi Tengah 9 1 27. Sulawesi Selatan 15 3 28. Sulawesi Barat 4 0 29. Sulawesi Tenggara 10 2 SULAWESI 54 9 30. Maluku 9 2 31. Maluku Utara 7 2 MALUKU 16 4 32. Papua 12 1 33. Papua Barat 9 1 PAPUA 21 2 INDONESIA 269 48 Sumber: Berbagai Sumber. Data Diolah. 2012.
Σ1 (1 + 2)
Daerah Tanpa Laut (Landlock Region) % Thd Σ Total
Σ Kab. (3)
Σ Kota (4)
Σ2 (3 + 4)
Σ Total Σ1+Σ2 % Thd Σ Total
18 16 7 7 7 2 3 7 7 7 81 2 11 6 17 3 22 61 8 10 21 39
78,26 48,48 36,84 58,33 100,00 18,18 20,00 100,00 70,00 50,00 53,64 33,33 42,31 75,00 48,57 60,00 57,89 51,69 88,89 100,00 100,00 97,50
4 12 7 4 0 7 8 0 3 6 51 0 7 0 15 1 10 33 1 0 0 1
1 5 5 1 0 2 4 0 0 1 19 4 8 2 3 1 6 24 0 0 0 0
5 17 12 5 0 9 12 0 3 7 70 4 15 2 18 2 16 57 1 0 0 1
21,74 51,52 63,16 41,67 0,00 81,82 80,00 0,00 30,00 50,00 46,36 66,67 57,69 25,00 51,43 40,00 42,11 48,31 11,11 0,00 0,00 2,50
(Kab. & Kota) 23 33 19 12 7 11 15 7 10 14 151 6 26 8 35 5 38 118 9 10 21 40
7 7 5 11 30 13 6 10 18 4 12 63 11 9 20 13 10 23 317
50,00 50,00 38,46 78,57 54,55 86,67 100,00 90,91 75,00 80,00 100,00 86,30 100,00 100,00 100,00 44,83 90,91 57,50 63,78
6 6 6 2 20 0 0 1 6 1 0 8 0 0 0 16 1 17 130
1 1 2 1 5 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 50
7 7 8 3 25 2 0 1 6 1 0 10 0 0 0 16 1 17 180
50,00 50,00 61,54 21,43 45,45 13,33 0,00 9,09 25,00 20,00 0,00 13,70 0,00 0,00 0,00 55,17 9,09 42,50 36,22
14 14 13 14 55 15 6 11 24 5 12 73 11 9 20 29 11 40 497
2 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Laut/Berkarakter Kepulauan, dan Jumlah Pulau Menurut Provinsi - Tahun 2011 Kondisi Wilayah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung SUMATERA DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur JAWA Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur BALI – NUSTRA Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur KALIMANTAN Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara SULAWESI Maluku Maluku Utara MALUKU Papua Papua Barat PAPUA INDONESIA
57.956,00 72.981,23 42.012,89 87.023,66 8.201,72 50.058,16 91.592,43 16.424,06
% Thd Luas Ind. 3,03 3,82 2,20 4,55 0,43 2,62 4,79 0,86
19.919,33 34.623,80 480.793,28 664,01 35.377,76 9.662,92 32.800,69 3.133,15 47.799,75 129.438,28 5.780,06 18.572,32 48.718,10 73.070,48 147.307,00 153.564,50 38.744,23 204.534,34 544.150,07 13.851,64 11.257,07 61.841,29 46.717,48 16.787,18 38.067,70 188.522,36 46.914,03 31.982,50 78.896,53 319.036,05 97.024,27 416.060,32 1.910.931,32
2
Luas Darat (Km )
42.665,67 39.934,79 32.700,70 16.736,13 79.689,41 4.671,98 7.541,08 37.348,53
2,23 3,05 2,50 1,28 6,09 0,36 0,58 2,85
Kab./Kota Memiliki Laut & Berkarakter Kepulauan 18 16 7 7 7 2 3 7
1,04 1,81 25,16 0,03 1,85 0,51 1,72 0,16 2,50 6,77 0,30 0,97 2,55
14.929,54 17.757,63 293.975,46 5.674,35 15.634,40 10.952,54 16.892,28 2.277,31 53.799,75 105.230,63 9.211,76 27.676,76 80.134,69
1,14 1,36 22,45 0,43 1,19 0,84 1,29 0,17 4,11 8,04 0,70 2,11 6,12
7 7 81 2 11 6 17 3 22 61 8 10 21
47 188 5.277 218 131 131 296 23 287 1.086 85 864 1.192
3,82 7,71 8,04 2,03 10,70 28,48 0,72 0,59 3,24 2,44 0,88 1,99 9,87 2,46 1,67 4,13 16,70 5,08 21,78 100,00
117.023,21 34.169,95 12.273,06 20.317,22 33.094,59 99.854,82 44.647,54 9.241,57 67.057,16 78.710,59 20.342,41 47.781,32 267.780,59 146.945,10 88.304,40 235.249,50 86.830,52 103.393,26 190.223,78 1.309.337,99
8,94 2,61 0,94 1,55 2,53 7,63 3,41 0,71 5,12 6,01 1,55 3,65 20,45 11,22 6,74 17,97 6,63 7,90 14,53 100,00
39 7 7 5 11 30 13 6 10 18 4 12 63 11 9 20 13 10 23 317
2.141 339 32 320 370 1.061 668 136 750 295 0 651 2.205 1.422 1.474 2.896 598 1.945 2.543 17.504
Luas Laut (Km2)
% Thd Luas Laut Ind.
Jumlah Pulau 663 419 391 139 2.408 19 53 950
Sumber: Berbagai Sumber. Data Diolah. 2012.
c/7922/Ekonomi-Biru-Menjadi-Kunci-Pembangunan -KP-Kedepan/?category_id=34, Diunduh: 10 Oktober 2012). Luasnya wilayah laut yang dimiliki membutuhkan manajemen pengelolaan yang tepat dan baik. Pengelolaan tersebut dibutuhkan agar potensi dan pemanfaatannya dapat bermakna, memberikan keuntungan, dan bahkan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Sampai saat ini, potensi kelautan yang besar di Indonesia belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Mencermati besarnya nilai kerugian yang ditimbulkan dari pencurian
potensi kelautan tesebut, semakin nampak lebarnya kesenjangan manakala hasil potensi daerah kepulauan tersebut dapat dimanfaatkan oleh para nelayan dan masyarakat.Di sisi lain, pada tahun 2011,tercatat bahwa ekspor perikanan Indonesia hanya mencapai US$ 3,34 Milyar.Hal ini membuktikan semakin tertinggal Indonesia jika dibandingkan dengan Vietnam yang berhasil mencapai US$ 25 Milyar. (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/07/ potensi-ekonomi-di-laut-dan-wilayah-pesisir-
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 3
indonesia-mencapai-us12-trilyun/, Diunduh: 09 Oktober 2012). Sangat disayangkan pengelolaan potensi kelautan di daerah-daerah kepulauan nampaknya belum didukung inovasi yang dipadupadankan dengan kearifan lokal yang didorong oleh partisipasi masyarakat. Ketiga hal tersebut menjadi instrumen transformasi yang komprehensif, ketikapara pemangku kepentingan berupaya melakukan perbaikan terhadap sistem regulasi/kebijakan, pengembangan kapasitas kelembagaan, pembenahan tata kelola, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)yang mampu menjamin kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Maknanya, setiapinovasi yang ditumbuhkan harus mengadopsi nilai-nilai budaya lokal sebagai suatu kearifan bersama setempat yang dimiliki dan diwarisi secara turun-temurun. Potensi kelautan yang begitu besar memerlukan perencanaan yang matang oleh daerah yang memiliki wilayah laut. Secara teknis, terutama pada pembangunan laut dan pesisir, diharapkan dapat berpatokan pada strategi pembangunan yang berbasiskan Blue Economy atau Ekonomi Biru. Ekonomi biru merupakan bentuk usaha dalam pembangunan daerah berbasis kelautan. Beberapa waktu yang lalu Indonesia menyampaikan usulan prinsip Ekonomi Biru dalam Forum Rio+20.Artinya, Pemerintah dan para pemangku kepentingan telah membangun kesadaran bersama untuk mengawali pembangunan daerah dengan mengutamakan potensi kelautan terutama bagi daerah berkarakter kepulauan dan wilayah pesisir. Bila hal ini dilakukan, secara sekuen akan terjadi pengaruh dan perubahan fundamental terhadap kesadaran global dalam pengelolaan laut dan sumber daya pesisir secara berkelanjutan selaras dengan harapan Forum Rio+20. Menjadi lebih menarik ketika keikutsertaan publik yang diwujudnyatakan melalui partisipasi masyarakat turut mewarnai prosesi pembangunan dan pengelolaan potensi daerah kepulauan. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan sumber daya yang besar dan dibutuhkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi kelautan yang dimiliki oleh setiap pemerintah daerah. Berdasarkan data yang diperoleh, potensi ekonomi di laut dan wilayah pesisir Indonesia mencapai US$ 1,2 Trilyun pertahun, atau setara dengan 10 kali lipat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2012. Disinilah inovasi, kearifan lokal, dan partisipasi masyarakat menjadi strategis dan sangat dibutuhkan. Dalam perspektif pembangunan daerah dan mencermati banyaknya daerah yang memiliki laut dan/atau berkarakter kepulauan, diperlukan metode khusus agar pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat secara bersinergi dapatmenjaga, mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkannya seoptimal mungkinsecara berkesinambungan tanpa meninggalkan permasalahan lingkungan. Dalam konteks ini, Pauli (2010) menawarkan konsep
ekonomi biru yang menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak menempatkan alam sebagai obyek. Selain itu, menekankan pentingnya memahami prinsip bagaimana alam bekerja, yang populer dengan istilah kembali ke alam (back to nature). Ekonomi biru lebih konstruktivistik dan nonlinier, sehingga kekhasan lokasi sangat diperhatikan (Satria, 2010). Mengapa ekonomi biru? Berawal dari pertanyaan tersebut, timbul kuriositas untuk melakukan kajian potensi kewilayahan yang dimiliki kabupaten berciri kepulauan.Pilihan locusadalah Kabupaten Kepulauan Anambas yang terletak di kawasan Utara perbatasan antarnegaraIndonesia. Hal ini untuk menegaskan kembali bahwa keberadaan kabupaten/kota yang berwilayah laut dan/atau berciri kepulauanpatut mendapatkan perhatian Pemerintah secara khusus disertai komitmen/kesungguhan hati. Campur tangan ini menjadi penting, karena wilayah tersebut sesungguhnya menyimpan potensi besar yang luar biasa ketika dikelola secara professional dan benar untuk kesejahteraan masyarakat. Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) yang baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis, Kabupaten Kep. Anambas terletak di perairan laut China Selatan, tepatnya pada posisi 2010’0”-3040’0”LU s/d 105015’0”-106045’0” BT. Luas wilayah Kabupaten Kep. Anambas mencapai 46.664,14 Km2 yang terdiri atas luas lautan mencapai 46.029,77 Km² atau 98,65% dan luas daratan yang hanya 634,37 Km² atau sekitar 1,35% dari total luas wilayah. Keunikan karakter wilayah ini semakin nyata ketika mengamati batas-batas wilayah administrasi pemerintahannya. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan dengan Kepulauan Tambelan, sebelah Barat dengan Laut Cina Selatan, dan sebelah Timur dengan Laut Natuna. Artinya, Kabupaten Kep. Anambas hanya bertetanggadengan wilayah laut. Menjadi semakin menantang bila ditinjau dari orbitasi wilayah yangmembuktikan bahwa letak Kabupaten Kep. Anambas berada pada wilayah terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni perbatasan antarnegara. Dari ibukota kabupaten Tarempa ke ibukota Provinsi Kepulauan Riau membutuhkan waktu 16 jam perjalanan yang ditempuh melalui laut dan 1 jam melalui udara. Bila masyarakat ingin menuju ibukota Negara – Jakarta melalui jalur laut diperlukan waktu tempuh mencapai 70 jam atau 2,5 jam melalui udara. Hal ini sangat kontradiktif ketika masyarakat ingin bepergian ke Malaysia dan Singapura yang membutuhkan waktu tempuh tidak lebih dari 16 jam melalui jalur laut dan 45 menit melalui udara.Dalam perspektif demografis, jumlah penduduk Kabupaten Kep. Anambas sampai dengan tahun 2010 adalah 41.576 jiwa.Penduduk
4 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
Sumber: Bappeda Kabupaten Kep. Anambas. 2012. Gambar 1. Peta Kabupaten Kepulauan Anambas – Provinsi Kepulauan Riau. laki-laki berjumlah 21.744 jiwa, sedangkan penduduk perempuan 19.832 jiwa. Angkatan kerja didominasi oleh profesi nelayan dan petani yang mencapai lebih dari 55 % (Bappeda Kab. Kep. Anambas, 2012). Ditinjau dari keberadaan Kabupaten Kep. Anambas nampak bahwa dalam konteks pembangunan daerah diperlukan metode (treatment) khusus yang terukur demi kemajuan sosial penduduk Kabupaten berciri kepulauan.Merujuk pada berbagai referensi, sampai saat ini belum terdapat definisi yang sama dan tetap untuk penyebutan daerah berciri kepulauan, khususnya di Indonesia. Kajian ini menggunakan definisi operasional untuk daerah berciri kepulauan adalah daerah otonom yang secara geografis berciri kepulauan, dimana komposisi wilayah laut lebih luas daripada wilayah daratan, terpisah dan tidak menjadi bagian wilayah daratan utama (mainland), dan terdiri atas pulau-pulau yang membentuk suatu gugusan pulau dengan fungsifungsinya sebagai satu kesatuan wilayah administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara spesifik, pekerjaan penduduknya lebih didominasi oleh profesi yang bergerak untuk memanfaatkan berbagai potensi kelautannya. Berdasarkan referensi dan dokumentasi serta hasil wawancara mendalamterhadap beberapa informan, berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi permasalahan yang pada umumnya terjadi di wilayah
kepulauan. Memerhatikan arah perkembangan (trend) jumlah penduduk Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah kepulauan, dan mencermati kendala yang seringkali terjadi - bahkan menjadi persoalan utama di seluruh wilayah kepulauan di nusantara, diperlukan penanganan melalui strategi ekonomi biru.Dengan berbagai keterbatasannya, studi ini mencoba mengenalkan konsep ekonomi biru sebagai solusi pembangunan bagi wilayah kepulauan. Pembangunan Wilayah Kepulauan Berbasis Ekonomi Biru Mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi biru, pembangunan wilayah kepulauan harus berorientasi pada tumbuhnya inovasi, penguatan partisipasi masyarakat, optimalisasi sumberdaya yang ada di sekitarnya, dan penggunaan teknologi yang berbasisbudaya dan kearifan lokal. Teknologi yang memanfaatkan potensi alam (cahaya matahari, angin, arus laut/sungai, dan gelombang laut) dan bahkan sampah atau limbah dikembangkan dengan sentuhan inovasi agar tidak merusak lingkungan melainkan memicu semangat dan kreativitas yang bernilai ekonomi dan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Studi di Kabupaten Kep. Anambas berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan utama. Selain itu, Elfindri, dkk. (2009: 33-58)
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 5
Matriks 1. Dinamika Permasalahan di Daerah Kepulauan (Studi Kasus: Kabupaten Kepulauan Anambas dan Daerah Kepulauan di Provinsi Kepulauan Riau)
Masalah-masalah Akibat Pasca Pemekaran
Masalah Kepulauan Riau Sebagai Pilot Project Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI)
Kepri Sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi Perbatasan
Isu Strategis dan Permasalahan Pembangunan di Kabupaten Kepulauan Anambas
Provinsi Kepri Dalam Isu Global
1.
Terbatasnya Sumber PAD
1. Cost-Benefit Analysis
1. Masalah Multilateral Cooperation: (BIMP-EAGA = Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippine-East Asian Growth Area)
1. Masalah Investasi, Perdagangan, dan Pariwisata
1.
IPM Masyarakat Masih Rendah (Terutama Pendidikan & Kesehatan)
2.
Membengkaknya Belanja Daerah dan Aparatur
2. SEZ (Special Economic Zone) Kebijakan Publik yang FinalKomprehensif dan TIdak SegmentalTemporal
2. Masalah Trilateral Cooperation: (IMT-GT = Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle) dan (IMS-GT = Indonesia, Malaysia, Singapore Growth Triangle)
2. Masalah Pembicaraan Isu Global dan Kerjasama Internasional
2.
Sarana & Prasarana Masih Minim, Terutama Transportasi
3.
Minimnya Infrastruktur Pemerintahan
3. Tantangan bagi Perkembangan UKM (Usaha Kecil Menengah)
3. Perkembangan Ekonomi dan Bisnis Regional yang Mandiri
3.
Kegiatan Ekonomi Lokal Masih Terbatas ->PDRB Non Migas Masih Rendah
4.
Kelembagaan
4. Pembukaan Lapangan Kerja Baru dan Hyper Urbanization
4.
Kapabilitas & Kapasitas Produksi Masyarakat Masih Rendah (Nelayan Dan Petani)
5.
Moda Transportasi
5. Penyediaan Fasilitas Publik
3. Masalah Bilateral Cooperation: (AIDA = AustraliaIndonesia Development Area) dan (ISFA = Indo-Singapore Framework Agreement) serta (MI-CBTA = Malaysia-Indo Cross Border Trade Agreement)
5.
Arus Perdagangan & Logistik Masih Terhambat
6.
Distribusi Sumber Daya Alam
6. Pertaruhan Indonesia Singapura
6.
Ketimpangan Pembangunan & Penyebaran Penduduk
7.
Distribusi dan Pusat Kegiatan Ekonomi
7. Integrasi SEZ dalam Visi Batam Madani
7.
Sistem & Kelembagaan Perekonomian Daerah Belum Mantap
8.
Sinerji Batam Luar Batam
8. Social Impact Assessment
8.
Potensi Perikanan, Pariwisata & Kelautan Belum Dikelola Secara Optimal
menemukanpula permasalahan, terutama di daerah
6 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
9.
Faktor Demografi
9.
SEZ Dalam Konteks Birokrasi
9.
Pertambangan Lepas Pantai Belum Terkait Ekonomi Lokal
10. Manajemen Keuangan Daerah
11. Perbatasan Antarnegara -> Illegal (Fishing, Mining, Immigration)
10. Kecenderungan Kompetisi yang Makin Mengglobal
11. Perdagangan Bebas > Daya Saing
12. Reinventing Government
13. Lingkungan -> Perubahan Iklim Global, Pencemaran Laut 14. Peluang & Minat Investasi Tinggi
Sumber:Berbagai Sumber. 2012. Data Diolah.
berciri kepulauan pasca pemekaran. Secara ringkas, paduandinamika permasalahan tersebut diilustrasikan dalam Lampiran Matriks 1. Pauli (2010) menyatakan bahwa ekonomi biru merupakan cara pengelolaan sumberdaya lokal dengan mengutamakan kepedulian sosial (social inclusiveness), memiliki prinsip efisiensi dan efektivitas, dilakukan secara kreatif-inovatif, dan dalam pemanfaatan materialnya tanpa menyisakan limbah. Sesungguhnya yang ingin dicapai adalah menjaga keseimbangan dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable growth equity) terutama pada daerah berciri kepulauan. Sebab, keberadaan daerah kepulauan dengan fenomena alamnya memiliki kendala dan kesulitan tersendiri pada musim-musim tertentu. Memadukan referensi berbagai literatur, ekonomi biru sangat bermanfaat untuk: 1. Optimalisasi potensi sebagai akibat dari kondisi geografis Indonesia - Negara Kepulauan (archipelagic state); 2. Mempertahankan kondisi laut, potensi sumber daya pesisir, dan penciptaan energi terbarukan; 3. Keberimbangan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan laut dalam menjaga kelestarian ekosistem laut; 4. Memperbanyak sumber pangan yang dapat diandalkan dan memastikan keberlangsungan ketahanan pangan masyarakat (terutama yang berasal dari laut untuk mereka yang bermukim di pesisir); 5. Menjamin perlindungan lingkungan dan kelestarian sumber daya alam, khususnya sektor kelautan dan perikanan; 6. Mempercepat pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan; 7. Penciptaan lapangan kerja baru dengan andalan mengoptimalisasikan jasa lingkungan dan nilai
ekonomi (khususnya lautan) yang dapatmeningkatkan pendapatan; 8. Penguatan manajemen sumber daya laut lepas olahan melalui pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan laut; 9. Pembinaan, pengawasan, pengendalian, supervisi, dan advokasi kelestarian lingkungan laut; 10. Perlindungan terhadap spesies langka; 11. Meningkatkan kesigapan, kesiapan, dan daya tahan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim dan bencana alam; 12. Mereduksi dampak pemanasan global, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut, sehingga mampu menghasilkan oksigen (O2) sebagai kebutuhan utama manusia; dan 13. Memicu inovasi dan kehadiran teknologi yang tepat agar diperoleh sumber “energialternatif”. Dalam perspektif pertumbuhan ekonomi, wilayah kepulauan memiliki potensi wisata yang lebih variatif. Memadukan potensi alam wilayah kepulauan seperti matahari, pasir putih, dan laut (sun, white sand, and sea) akan menumbuhkan industri pariwisata dan industri kreatif di daerah. Sekalipun harus diakui, faktor aksesibilitas dan konektivitas (keterhubungan) menjadi kendala utama. Penyiapan infrastruktur menjadi prioritas utama, sehingga daya jangkau dan waktu tempuh dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, pengusahaan (business), dan pelayanan publik dapat tersedia dengan baik dan terpenuhi secara tepat waktu. Penekanannya pada sinergisitas pembangunan berbasis potensi masyarakat yang disinergikan dengan pembangunan berbasis potensi alam. Secara sederhana, aktualisasi ekonomi biru dapat diwujudkan melalui penyediaan infrastruktur yang dapat meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas, inovasi yang diimbangi dengan terjaganya kearifan
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 7
lokal, pendayagunaan potensi masyarakat disertaipartisipasi dan perubahan budaya menuju masyarakat yang lebih berdaya.Inilah kondisi yang harus diaktualisasikan bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah terpencil, tertinggal, terbelakang, terisolir, dan/atau berciri kepulauan. Partisipasi masyarakatnya dapat dilakukan dengan cara memberikan ruang dan waktu untuk mengekspresikan pengetahuan, aspirasi, dan pendapatnya secara individual maupun kelompok terhadap “proses-implementasi-evaluasi” regulasi dan/atau kebijakan publik, sehingga tercipta tanggung jawab dan tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. METODE PENELITIAN Studi ini merupakan bagian dari aktivitas kelitbangan, yakni pengkajian.Tujuanyang hendak dicapai adalah menemukan solusi untuk pembangunan daerah berciri kepulauan. Studi dilakukan di Kabupaten Kep. Anambas Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dengan pendekatan kualitatif. Pengkajian menggunakan metode deskriptif berbasis analisis eksploratif. HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki sumberdaya alam laut yang potensial. Menjadi suatu keharusan bagi Pemerintah untuk merubah haluan pembangunannya dengan memanfaatkan potensi kelautan sebagai penggerak utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Namun, Pemerintah belum fokus dalam menata, membenahi, dan memfasilitasi masyarakat maupun dunia usaha yang ingin mengimplementasikan konsepsi pembangunan kelautan berbasis ekonomi biru.Paradigma pembangunan yang berorientasi kelautan menuntut komitmen yang tinggi. Para pemangku kepentingan harus merumuskan regulasi yang komprehensif termasuk insentif yang diperlukan, mendidik sumberdaya manusia (SDM) pengelola yang akan terus berkreasi secara inovatif, dan berupaya mencari investor yang mau menanamkan modalnya pada pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan. Solusi konvergensi harus mampu memadukan sejumlah ide yang mencakup inovasi dunia usaha, kreativitas masyarakat, dan regulasi Pemerintah dalam skala nasional dan pemerintahan daerah dalam skala lokal. Pemerintah sudah selayaknya segera merumuskan skema bisnis dan manajemen yang terintegrasi dengan sumberdaya lokal dan karakteristik kewilayahan sebagai kerangka pengembangan kawasan laut dan perairan daerah. Skema ini harus memertimbangkan 5E, yakni: 1) ekologi; 2) energi; 3) efisiensi; 3) efektivitas; 4) energi; dan 5) ekonomis.Artinya, skema bisnis dan
manajemen pengembangan wilayah harus mudah dipahami dan dilakukan oleh para pengguna (user friendly). Bahkan, skema tersebut idealnya telah mengadopsi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pada bagian akhir, sosialisasi melalui media massa cetak maupun elektronik menjadi bagian penting untuk merubah cara berpikir dan bertindak menuju paradigma pembangunan daerah berciri kepulauan. Berbekal jumlah pulau dan luasnya wilayah laut pada 317 pemerintah daerah kabupaten/kota, maka sudah selayaknya bila Pemerintah segera mengawali agenda membumikan ekonomi biru di Indonesia. Pemerintah punharus berani melakukan transformasi cara pandang, cara berpikir, dan cara bertindak, sehingga terjadi perubahan konsep pembangunan di daerah menuju ke arah pembangunan berbasis ekonomi biru.Hal ini sejalan dengan pernyataan Satria (2012) bahwa dalam ekonomi, dituntut inovasi dan kreativitas tinggi untuk bisa menemukan siklus alam yang lalu menjadi inspirasi bagi sebuah aktivitas ekonomi lokal yang bersih. Inovasi dan kreativitas yang tercipta akan berimplikasi pada kemandirian lokal. Dalam konteks ini, ekonomi biru wajib dimanfaatkan sebagai basis manajemen dan bisnis, sehingga mampu mengakselerasi pembangunan daerah kepulauan agar lebih produktif dan memeroleh hasil yanglebih berkualitas dan optimal. Implikasinya, melalui pelibatan masyarakat dalam setiap proses produksi, maka tercipta lapangan kerja dan terjadi peningkatan pendapatan perkapita secara lebih merata. Akhirnya, ekonomi biru dapat menjadi groundbreaking sekaligus referensi perumusan model pembangunan komprehensif dan sistemik di daerah berciri kepulauan. Dalam mengimplementasikan “ekonomi biru”, tentunya Pemerintahan Daerah wajib menyusun roadmap pembangunan daerah kepulauan dan mengintegrasikannya ke dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah. Intinya, pengelolaan dilakukan secara tepat, sedangkan pemanfaatan SDAdilakukan secara optimal melalui inovasi dan kreatifitas serta budi daya yang menjunjung harkat dan martabat bangsa. Faktor terpenting adalah komitmen Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk berkolaborasi dengan dunia usaha (swasta) melalui pengintegrasian kekuatan dunia kelitbangan (research and development) dengan dunia pendidikan yang dinamis. Sebagaimana diisyaratkan oleh Pauli (2012) terdapat 5 (lima) poin penting di dalam pengembangan ekonomi biru (Blue Economy) di Indonesia, yakni: 1. Pemerintah agar mengindentifikasi peluangpeluang investasi di sektor kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan berbasis Blue Economy.
8 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
2.
Mengembangkan usaha dan investasi berbasis model blue economy, yang dimulai dari beberapa kegiatan utama seperti budidaya rumput laut, artemia, garam, pakan ikan, perikanan tangkap, dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan yang mengantisipasi isu ketahanan energi, pangan, dan air bersih. 3. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan dan perikanan melalui pelatihan pemuda dan calon pengusaha-pengusaha muda. 4. Pengembangan dokumentasi dan materi Blue Economy untuk publik. 5. Upaya untuk mempromosikan penyelenggaraan dan partisipasi bersama dalam pertemuan internasional. Maknanya, melalui ekonomi biru diharapkan tercipta kreativitas dan inovasi dalam rangka efisiensi, efektivitas, keekonomian, dan produktivitas ketika masyarakat memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Kreativitas dan inovasi dalam ekonomi biru harus mampu menjamin keberlangsungan produk turunan yang berkualitas tanpa meninggalkan limbah, sehingga memiliki harga yang kompetitif sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Dengan kata lain, melalui penerapan ekonomi biru dalam konteks pembangunan daerah, maka masyarakat di wilayah kepulauan akan memiliki memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan. Masyarakat di wilayah kepulauan pun tidak harus meninggalkan kampung halamannya karena terbuka kesempatan kerja yang menyerap tenaga kerja melalui peningkatan nilai tambah ekonomi. Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan daerah, terdapat 2 (dua) hal yang harus dilakukan, yakni pertama, Pemerintah maupun pemerintah daerah bersama-sama membangun komitmen untuk mengintegrasikan konsep pembangunan di wilayah daratan sebagai langkah penguatan konsep pembangunan berbasis laut (ekonomi biru). Artinya, memerhatikan dominasi jumlah kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut dan berciri kepulauan, maka sudah saatnya dilakukan penyatuan konsep pembangunan dengan merubah orientasi pembangunan berbasis laut. Kedua, mengalokasikan anggaran secara proporsional agar bermanfaat bagi setiap pemerintah daerah untuk mengelola wilayah lautnya, sehingga menghasilkan produk khas yang kompetitif dan bernilai tambah. Dengan kata lain, diperlukan keberanian, ketegasan, dan keberpihakanPemerintah maupun pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran melalui APBN dan APBD sebagaiwujud dukungan terhadap pembangunan kelautan yang berdaya saing. Sebab, melalui ekonomi biru dapat disinergikan berbagai kepentingan masyarakat, bisnis, dan birokrasi yang bergerak di sektor transportasi darat-laut-darat, industri maritim, kepariwisataan, energi dan sumberdaya mineral, serta kelautan dan perikanan. Hal ini demi terwujudnya sinkronisasi, harmonisasi,
keterpaduan,dan kesinambungan program/kegiatan per sektor, sehingga memacu kegiatan ekonomi berkelanjutan di wilayah kepulauan. Melalui ekonomi biru, pembangunan daerah harus terfokus kepada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan yang berorientasi pada upaya: 1. penataan ruang laut, perairan, dan kawasan pesisir; 2. pengembangan kapasitas masyarakat terutama nelayan; 3. pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perairan secara efektif dan produktif; 4. penjagaanterhadap keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem; 5. penjaminan stok sumberdaya ikan; 6. peningkatan daya dukung lingkungan; 7. penguatan inovasi teknologi kelautan dan perikanan; 8. pembangunan industri perikanan tangkap yang ramah lingkungan; 9. penyadaran terhadap pentingnya pantai dan lautan serta perairan; dan 10. pelestarian keanekaragaman hayati laut. Ekonomi biru mengandalkan manajemen pembangunan yang bersifat inklusif, sehingga masyarakat dapat mengoptimalkan potensi kelautan untuk dikelola dalam upaya mencapai kesejahteraan. Dalam perspektif sosio-ekonomi, terdapat beberapa potensi kelautan yang layak dikelola melalui pola budidaya, diantaranya adalah: 1) rumput laut; 2) udang; 3) ikan tongkol; dan 4) ikan tuna dan cakalang. Kunci keberhasilan penyelenggaraan ekonomi biru sebagai solusi pembangunan daerah berciri kepulauan adalah terselenggaranya koordinasi kebijakan baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional. Argumentasinya sederhana, karena laut merupakan common property, yakni: sebagai sumber pangan, oksigen, air, dan kehidupan habitat yang tanpa batas. Pemerintah patut pula memertimbangkan luasan wilayah laut yang mendominasi luas wilayah NKRI sebagai dasar penetapan anggaran pembangunan Pusat maupun daerah. Sebab, besaran alokasi anggaran ini mengindikasikan semangat perubahan yang disertai komitmen dan keberpihakan sekaligus membuktikan konsistensi Pemerintah terhadap orientasi pembangunan daerah yang berciri kepulauan. Hanya melalui kebijakan anggaran inilah dapat disusun perencanaan yang matang agar mampu mereduksi rumah tangga miskin, hampir miskin, dan sangat miskin di kelompok keluarga nelayan. Dengan kata lain, memerhatikan luas laut dan perairan di Indonesia seharusnya memberikan kontribusi yang lebih tinggi terhadap penerimaan negara, sehingga dapat memakmurkan masyarakat terutama mereka yang hidup di kawasan pesisir dan/atau memiliki mata pencaharian bergantung pada laut/perairan.
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 9
Tabel 3. Komposisi Luas Wilayah Laut Administrasi Pemerintahan Daerah MenurutKabupaten/Kota - Tahun 2011 Wilayah Laut Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Berwilayah Laut
Luas Wilayah Provinsi No.
Provinsi Darat (Km2)
Laut (Km2)
Σ1
Luas Wil. Laut (Km2)
Kota Berwilayah Laut
Σ2
Luas Wil. Laut (Km2)
Jumlah
(Σ1+Σ2)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung SUMATERA
57.956,00 72.981,23 42.012,89 87.023,66 8.201,72 50.058,16 91.592,43 16.424,06 19.919,33 34.623,80 480.793,28
42.665,67 39.934,79 32.700,70 16.736,13 79.689,41 4.671,98 7.541,08 37.348,53 14.929,54 17.757,63 293.975,46
14 13 5 6 5 2 3 6 6 6 66
13.748,35 13.842,84 11.399,25 7.127,89 28.185,32 1.613,95 3.040,41 13.211,05 4.034,32 7.508,99 103.712,37
4 3 2 1 2 0 0 1 1 1 15
958,40 351,04 704,86 569,28 2.307,53 0 0 58,25 395,33 74,40 5.419,09
18 16 7 7 7 2 3 7 7 7 81
11. 12. 13. 14. 15. 16.
DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur JAWA
664,01 35.377,76 9.662,92 32.800,69 3.133,15 47.799,75 129.438,28
5.674,35 15.634,40 10.952,54 16.892,28 2.277,31 53.799,75 105.230,63
1 10 4 14 3 19 51
5.170,48 4.301,58 5.530,38 758,85 18.562,98 34.324,27
1 1 2 3 0 3 10
37,33 381,48 177,69 0 231,51 828,01
2 11 6 17 3 22 61
17. 18. 19.
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur BALI – NUSTRA
5.780,06 18.572,32 48.718,10 73.070,48
9.211,76 27.676,76 80.134,69 117.023,21
7 8 20 35
3.218,14 12.628,42 29.963,47 45.810,03
1 2 1 4
108,66 77,75 52,20 238,61
8 10 21 39
20. 21. 22. 23.
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur KALIMANTAN
147.307,00 153.564,50 38.744,23 204.534,34 544.150,07
34.169,95 12.273,06 20.317,22 33.094,59 99.854,82
6 7 5 8 26
13.240,58 4.499,80 7.071,51 12.881,38 37.693,27
1 0 0 3 4
136,87 0 0 1.075,42 1.212,29
7 7 5 11 30
24. 25. 26. 27. 28. 29.
Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara SULAWESI
13.851,64 11.257,07 61.841,29 46.717,48 16.787,18 38.067,70 188.522,36
44.647,54 9.241,57 67.057,16 78.710,59 20.342,41 47.781,32 267.780,59
11 5 9 15 4 10 54
13.522,43 3.753,65 28.833,75 29.004,23 5.953,86 18.642,05 99.709,97
2 1 1 3 0 2 9
580,91 60,72 94,94 538,79 0 312,47 1.587,83
13 6 10 18 4 12 63
30. 31.
Maluku Maluku Utara MALUKU
46.914,03 31.982,50 78.896,53
146.945,10 88.304,40 235.249,50
9 7 16
49.115,77 34.240,77 83.356,54
2 2 4
3.023,36 1.846,76 4.870,12
11 9 20
32. 33.
Papua Papua Barat PAPUA
319.036,05 97.024,27 416.060,32
86.830,52 103.393,26 190.223,78
12 9 21
34.556,38 43.210,01 77.766,39
1 1 2
421,20 438,41 859,61
13 10 23
1.910.931,32
1.309.337,99
269
482.372,84
48
15.015,56
317
INDONESIA
Sumber: Ditjen PUM Kemendagri dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Data Diolah. 2012.
Menjadi menarik bila kita mampu mengelola pembangunan daerah berbasis ekonomi biru sebagaimana yang diterapkan oleh China, yakni fokus pada aspek ekonomi kelautan, tanggung jawab sosial perusahaan, kesadaran manajemen pengetahuan, status kesehatan laut (pencemaran), dan manajemen kelautan. Secara spesifik, melalui ekonomi biru dapat dikelola ketahanan pangan, energi terbarukan, komunikasi, transportasi, dan
konektivitas, kesehatan lingkungan, dan mitigasi bencana disertai persiapan tanggap darurat. SIMPULAN A.
Simpulan Ekonomi biru Indonesia merupakan solusi terhadap tuntutan dinamika pelayanan, meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat di kepulauan, dan keterbatasan yang dimiliki dan mampu disediakan
10 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
oleh Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam pengelolaan pembangunan daerah berciri kepulauan. Pemerintah daerah yang memiliki wilayah laut dan perairan yang luas menuntut mekanisme pengelolaan dan manajemen profesional agar dapat memberikan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong ketahanan pangan, menjaga kualitas kelautan, dan menjamin lestarinya lingkungan. Selain itu, pembangunan daerah kepulauanberbasis ekonomi biru menstimulasi pertumbuhan sumber-sumber perekonomian baru yang lebih kompetitif. Melalui ekonomi biru, masyarakat dan para pemangku kepentingan diajak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendorong kemajuan social,dan mewujudkan lingkungan yang sehat melalui pengelolaan sumberdaya lokal secara ekologis sebagai potensi wilayah kepulauan demi meraih keuntungan. B.
Rekomendasi Pembangunan daerah berciri kepulauan berbasis ekonomi biru akan berhasil bila Pemerintah maupun pemerintah daerah berkomitmen, berpihak, dan berani serta tegas dalam mengintegrasikan program/kegiatan pembangunan berbasis darat sebagai wujud dukungan percepatan pembangunan kelautan secara komprehensif. Perubahan orientasi pembangunan ini pun harus didukung dengan komitmen dan keberpihakan dalam pengalokasian anggaran pembangunan (APBN dan APBD) secara proporsional di setiap daerah berciri kepulauan. Dalam upaya membumikan ekonomi biru, arah kebijakan program/kegiatan di setiap kementerian/lembaga agar saling melebur secara koordinatif-teknis. Kondisi ini dimaksudkan agar dapat dirumuskan regulasi/kebijakan pembangunan berbasis ekonomi yang inovatif dan khas keindonesiaan, tanpa harus meninggalkan kearifan dan budaya lokal.Keterlibatan dan partisipasi aktif setiap elemen masyarakat menjadi penting demi optimalisasi pemanfaatan bahan baku yang sudah tersedia di daerah agar terjadi percepatan pengembangan perekonomian di wilayah kepulauan. Selain itu, diperlukan kebersamaan diantara para pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif-sinergis untuk penanganan berbagai persoalan pembangunan di daerah yang berciri kepulauan, terutamakepulauan yangberada di kawasan perbatasan antarnegara. DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Briones, Roehlano M., and Arnulfo G. Garcia. 2008. Poverty Reduction Through Sustainable Fisheries: Emerging Policy and Governance Issuess in Southeast Asia. First Published in Singapore by Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) and
Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA) College, Los Banos, Laguna, Philippines. Printed in Singapore by Markono Print Media Pte., Ltd. Connors, Rogers and Tom Smith. 2011.Change the Culture, Change the Game: The Breakthrough Strategy for Energizing Your Organization and Creating Accountability for Results. First Published in the United States of America by Portfolio/Penguin, a member of Penguin Group, New York, USA. Cribb, Robert and Michele Ford. 2009. Indonesia Beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State. First Published in Singapore by Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Printed in Singapore by Utopia Press Pte., Ltd. Elfindri, Jemmy Rumengan, Syamsul Bahrum, Tengku Dahril, Rimilton Riduan, dan Zainal Abidin. 2009. Manajemen Pembangunan Kepulauan. Cetakan Pertama. Baduose Media. Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum (Ditjen PUM). 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2011 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dalam Buku Induk. Jakarta: Ditjen PUM. Kusnanto, Hari. 2011. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Nugroho, Hanan. 2012. Energi Dalam Perencanaan Pembangunan. Cetakan Pertama. Bogor: PT Penerbit IPB Press. Orstrom, Moller, J. 2011. How Asia Can Shape The World: From The Era of Plenty to The Era of Scarcities. First Published in Singapore by Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Printed in Singapore by Utopia Press Pte., Ltd. Pauli, Gunter A. 2010. The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs. Report to the Club of Rome. Published by Paradigm Publications, Taos, New Mexico, USA. Roumasset, James A., Kimberly M. Burnett, and Arsenio M. Balisacan. 2010. Sustainability Science for Watershed Landscapes. First Published in Singapore by Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) and Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA) College, Los Banos, Laguna, Philippines. Printed in Singapore by Markono Print Media Pte., Ltd. Rumelt, Richard P. 2012. Good Strategy Bad Strategy: The Difference and Why It Matters. First Published in Great Britain in 2011 by Profile Books Ltd. London. Printed and Bound in Great Britain by CPI Group (UK) Ltd. Croydon, CR0 4YY. Satria, Arif. 2012. Ekonomi Biru. Harian Kompas, Terbitan 15 Desember 2012. Jakarta. Sumodiningrat, Gunawan. 2009. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa: Menanggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas - Herie Saksono | 11
12 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 1 - 12
PERAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP SEKTOR PENDIDIKAN DI KABUPATEN BATANGHARI PROVINSI JAMBI ROLE OF GOVERNMENT EDUCATION SECTOR IN THE DISTRICT BATANGHARI JAMBI PROVINCE Zarmaili Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi Jl.RM Admadibrata No 01 Telanaipura, Jambi e-mail:
[email protected] Dikirim: 23 Februari 2013; direvisi: 13 Maret 2013; disetujui: 18 Maret 2013
Abstrak Keberhasilan pelaksanaan otonomi pendidikan sangat ditentukan oleh peranan pemerintah daerah, hal ini sebagaimana wewenangnya yang dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Kajian ini menganalisis peranan Pemerintah Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi di dalam proses pelaksanaan otonomi pendidikan dalam rangka menimgkatkan mutu pendidikan. Dengan menggunakan metode kuantitatif diperoleh bahwa peranan Pemerintah Kabupaten Batanghari masih lemah yakni masih berada di bawah 50%. Indikasi yang ditemukan bahwa penyeberan guru dan bantuan dana pendidikan belum merata, tingkat pengawasan masih lemah, partisipasi masyarakat di dalam proses pengurusan pendidikan masih rendah. Kata kunci: Otonomi, desentralisasi, kekuasaan, peranserta.
Abstract The successful ofimplementation ofeducationalautonomyis determinedby therole oflocal government, this authorityshowed by Law Number32 2004boostedby act Noumber20 2003. This study analyzesthe role ofgovernmentBatanghariJambiintheprocess ofdecentralizationof educationin order increase quality of education. By using thequantitativemethodis obtainedthat the role ofthe governmentis weakBatanghariiestill below50%. Indicationswere foundthatpenyeberanteachers andeducationalfundinghas not beenevenly distributed, the level ofsupervisionis stillweak, local participation inthemanagement ofeducationis still low. Keywords: Outonomy, desecntralization, authority, participation
PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah daerah diberikan kekuasaan untuk melaksanakan semua urusan pendidikan dan mengikutsertakan masyarakat daerah di dalam pembangunan pendidikan. Dasar otonomi daerah tersebut telah memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada pemerintah daerah di dalam manajemen pendidikan untuk membangun berbagai strategi yang kompetitif dalam menghadapi era persaingan untuk mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Banyak negara melaksanakan asas desentralisasi pendidikan. Misalnya, pada tahun 1970 di United Kingdom, Australia, New Zealand, Canada, Amerika Serikat dan lain-lain Negara Eropah dan Amerika Latin telah memberikan kekuasaan pengurusan pendidikan kepada pihak sekolah yakni dengan mengamalkan School-Based Management
(SBM). Wohlstetter (1993) menjelaskan bahwa SBM adalah pemerintah pusat memberikan kekuasaan dan tanggungjawab kepada warga masyarakat untuk mengurus semua urusan pendidikan di sekolah.Mereka terdiri dari Kepala Sekolah, guru, konsultan, pengembang kurikulum, pegawai, orang tua, masyarakat sekitar dan siswa.Harapan dan tujuan pemerintah di setiap negara tersebut untuk mengamalkan asas otonomi pendidikan adalah untuk mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan di negera mereka masing-masing. Pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia bertujuan meningkatkan peranan pemerintah daerah dan ikut serta masyarakat di daerah untuk bekerjasama mengurus sendiri sektor pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara meratakan pembangunan pendidikan di daerah-daerah terpencil dan memberikan kemudahan serta kesempatan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan.
Peran Pemerintah Daerah Terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi- Zarmaili | 13
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pemerintah daerah dan masyarakat daerah memiliki hak dan kewajiban di dalam melaksanakan program pendidikan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.Pasal 31 ayat (4) UUD RI 1945 mengamanatkan negara memprioritaskananggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan danbelanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untukmemenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebagai implementasidari amanat UUD tersebut UU Sisdiknas menetapkan bahwa pendanaan pendidikanmenjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, danmasyarakat. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mempunyai peranpenting dalam mengerahkan sumber daya yang ada. Pengelolaan dana pendidikanberdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikanmengatur pembagian tanggung jawab pendanaan pendidikan untuk jenjangpendidikan dasar, menengah dan tinggi antara pemerintah, pemerintah daerah, danmasyarakat termasuk satuan pendidikan. Secara tereperinci tujuan desentralisasi pendidikan adalah: 1. meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan profesionalisme guru dan dosen yakni dengan memberikan bantuan dana dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; 2. meningkatkan kemapuann keuangan, maksudnya pemerintah daerah bekerja sama dengan sekolah dan masyarakat mencari jalan mendapatkan sumber keuangan untuk memajukan pendidikan. Pemda menyediakan anggaran yang bersumberkan dari PAD, sementara sekolah dan masyarakat dapat berusaha dengan bantuan sukarela bagi kemajuan pendidikan; 3. meningkatkan kemampuan administrasi, yakni apabila semua urusan pendidikan diuruskan secara langsung di tingkat daerah tanpa adanya ikut campur pemerintah pusat akan memperpendekkan dan melancarkan urusan birokrasi pemerintah bidang pendidikan. Kemudian menuntut peningkatan profesionalisme dan kemampuan pegawai pemerintah di dalam melayani masyarakat di bidang pendidikan;
4. memperluaskan dan pemerataan pembangunan sekolah, karena setiap orang, organisasi atau kumpulan masyarakat lainnya telah diberi kebebasan untuk membangun sekolah mengikut kemampuannya; 5. meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, baik pengawasan penggunaan anggaran, pengunaan prasarana maupun proses pelaksanaan pendidikan di sekolah; 6. memperbaru sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, diversifikasi kurikulum untuk melayani keanekaragaman siswa, penyusunan kurikulum yang dipakai secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan daerah setempat dan diversifikasi jenis pendidikan secara professional; 7. mengaktifkan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang cukup; 8. meningkatkan kualitaslembaga pendidikan yang dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efesian dan efektif dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; dan 9. mengembangkan kualitas sumber daya manusia secara terarah, bersatu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimum disertai dengan hak dukungan dan perlindungan sesuai dengan potensinya. Salim (2004: 297-299) mengungkapkan bahwa desentralisasi pendidikan adalah penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dan masyarakat guna meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak, SD, sampai pendidikan menengah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, kecuali pendidikan luar biasa diserahkan kepada pemerintah provinsi.Di antara kewajiban pemerintah daerah dalam urusan pendidikan; 1. menentukan tujuan pendidikan;
20 |Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 13 - 26
2. merencanakan pembangunan di sektor pendidikan; 3. membuat kurikulum di setiap tingkat pendidikan; danmengikutsertakan masyarakat daerah setempat dalam membangun pendidikan di sekolah. Proses pelaksanaan otonomi pendidikan telah berjalan selama lebih dari satu dekade, namun masih banyak kendala dan hambatan yang dihadapi. Ahmad Fithoni, juru bicara Fraksi Partai Golkar, pada paripurna di Gedung DPRD, Senin (16/412) mengungkapkan bahwa di Kabupaten Batanghari Jambi, hingga saat ini sebaran tenaga pengajar masih menumpuk di ibukota kabupaten. Dia menyebut adanya ketimpangan soal ketersediaan guru membuat terjadinya ketimpangan kualitas antara pendidikan di kota dengan di desa. Pada kesempatan yang sama, juru bicara Fraksi PDI Perjuangan, Dailami, menyebutkan kualitas pendidikan di desa-desa Kabupaten Batanghari saat ini sangat memprihatinkan. Kata dia, pihaknya yang turun ke sekolah beberapa waktu lalu, menemukan ada yang tidak beres di sejumlah sekolah.Parameter yang disebutkannya adalah kemampuan baca tulis.Ada yang sudah kelas IV, V, dan VI tapi belum bisa baca tulis.Kondisi ini sangat memprihatinkan. Beberbagai masalah juga dihadapi yaitu biaya pendidikan semakin tinggi, karena pelaksanaan pendidikan diurus oleh sekolah yang telah memiliki kewenangan sendiri dan melakukan pemungutan biaya guna bagi pembangunan dan proses belajar mengajar. Masih banyaknya masyarakat yang belum mendapat peluang pendidikan di daerah. Banyak masyarakat yang mengeluh akan sulitnya mendapat sekolah yang diharapkan, karena terjadinya penerimaan siswa baru yang tidak transparan. Keikutsertaan masyarakat di dalam proses pelaksanaan program pendidikan tidak efektif dan lemah sehingga pengurusan sekolah tidak transparan dan akuntabel. Persoalan di atas menunjukkan bahwa pengurusan adaministrasi pendidikan di Kabupaten Batanghari Jambi masih lemah. Oleh karena itu, perlu dikaji sejauhmana peranan pemerintah daerah di dalam proses pelaksanaan otonomi pendidikan di Kabupaten Batanghari. Tujuannya adalah menganalisis peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari di dalam pembangunan pendidikan. METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif analisis, yakni dengan mengemukakan sejumlah angka di dalam menganalisis hasil kajian. Data diperoleh dengan cara kajian perpustakaan yaitu dengan mengumpulkan buku-buku berkenaan dengan otonomi pendidikan dan data proses pelaksanaan administrasi pendidikan di Kabupaten Batanghari dalam bidang perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang terdapat pada Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari. Selain itu data diperoleh melalui penyebaran koesioner kepada responden yang dipilih dari jumlah populasi. Untuk menguatkan data, juga dilakukan wawancara dan pengamatan. Populasi penelitian ini adalah karyawan Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari, Kepala Sekolah, Guru dan masyarakat di Kabupaten Batanghari. Sebagai teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknis purposive sampling untuk menentukan responden sekolahsekolah di Kabupaten Batanghari, yakni 3 SMA, 6 SMP dan 9 SD. Setiap sekolah disebarkan 3 kuesioner yaitu kepala sekolah, guru dan siswa. Untuk reseponden dari masyarakat digunakan metode random sampling dan snowball sampling yang dianggap mewakili populasi. Dalam penelitian ini terdapat satu variabel independen dan satu variabel dependen, yakni peranan Pemerintah Kabupaten Batanghari dan Peningkatan Kualitas Pendidikan. X
Y
Gambar 2: Rumus Pengaruh Variabel.
Keterangan : X = Pemerintah Daerah Y = Kualitas Pendidikan Gambar di atas menunjukkan bahwa peranan pemerintah daerah variabel independen (X) dengan variabel dependen kualitas pendidikan (Y). Untuk mencari peranan X1 berpengaruh terhadap Y, menggunakan teknik korelasi sederhana, yakni adanya hubungan peningkatan kualitas pendidikan oleh Pemda. Untuk jawaban dalam kajian ini, penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan proses pelaksanaan administrasi pendidikan di Kabupaten
Peran Pemerintah Daerah Terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi- Zarmaili | 21
Batanghari. Responden menjawab menggunakan jawaban : 1. Sangat setuju =5 2. Setuju =4 3. Ragu-ragu =3 4. Tidak setuju =2 5. Sangat tidak setuju = 1
dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kabupaten Batanghari Kabupaten Batanghari terletak di antara 1015` hingga 202` Lintang Selatan dan antara 102030` Bujur Timur. Daerah ini beriklim tropis dengan luas wilayah 5,8 ribu kilometer persegi (km2). Pada tahun 2012 Kabupaten Batanghari terdiri dari 8 kecamatan dan 113 Desa/Kelurahan dengan batas wilayah sebelah utara Kabupaten Tebo, Muara jambi dan kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sebelah timur berbatas dengan Kabupaten Muara Jambi.Sebelah Selatan berbatas dengan Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Muaro Jambi.Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Tebo (Batanghari dalam Angka 2011). Keadaan Pendidikan Sampai dengan tahun 2011 jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Batanghari TK 83 unit, SD Negeri 201 unit, SD Swasta 4 unit, SMP Negeri 44 unit, SMP Swasta 4 unit, SMA/SMK Negeri 11 unit, SMA/SMK Swasta 2 unit, dan Perguruan Tinggi 5 unit. Untuk Madrasah, MI Negeri 4 unit, MTs Negeri 12 unit, MA Negeri 4 unit, MA Swasta 2 unit dan Pondok Pesantren 15 unit, pada tahun 2010 terdapat penambahan 19 ruang kelas baru meliputi SD 6 ruang, SLTP 3 ruang, SLTA 6 ruang, MIS 4 ruang kelas, dan pembinaan PAUD di 122 lembaga serta pembangunan 24 unit gedung perpustakaan di tingkat SD. Peningkatan kualitas SDM dibidang pendidikan di Kabupaten Batanghari ditandai dengan pencapaian APM. Tahun 2010 APM SD sederajat sebesar 98,94 %, meningkat menjadi 99,01 % tahun 2011, SLTP 74,06 % menjadi 74,24 %, SLTA 65,06 % menjadi 65,15 % tahun 2010. Sedang Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2010 untuk SD sederajat 115,78 % menjadi 118,30 % tahun 2011, SLTP 82,02 % mejadi 83,80 % dan tingkat SLTA 74,06 % meningkat menjadi 74,23 % tahun 2011.
Angka melek huruf penduduk, tahun 2010 terdapat angka buta huruf sebanyak 273 orang usia 15 sampai 24 tahun, sampai Oktober 2011 turun menjadi 230 orang, hal ini dicapai melalui program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun ditingkatkan menjadi Wajar 12 tahun sesuai Perda Batanghari No.17 tahun 2007, baik melalui formal maupun pendidikan luar sekolah, seperti paket A,B dan C, Magang, serta Kelompok Belajar Masyarakat. Pada tahun ajaran 2011/2012 terjadi peningkatan jumlah guru dan siswa di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dibandingkan dengan tahun ajaran 2010/2011. Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten Batanghari pada tahun 2011/2012 Juga mengalami peningkatan dari tahun 2010/2011 (lihat table 1-4 berikut). Tabel 1. Jumlah SD, SMP dan SMA Kabupaten Batanghari 2011 No
Tingkat Sekolah
1 2
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama 3 Sekolah Menengah Atas/Kejuruan Sumber: Diknas Batanghari 2011
Tahun 2010 202 33
Tahun 2011 205 36
11
13
Tabel 2. Jumlah Siswa SD, SMP, SMA Kabupaten Batanghari 2011 No
Tingkat Sekolah
1 2
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama 3 Sekolah Menengah Atas/Kejuruan Sumber: Diknas Batanghari 2011
Tahun 2010 31.902 8.747
Tahun 2011 32.771 9.101
4.708
5.341
Tabel 3. Jumlah Guru SD, SMP, SMA Kabupaten Batanghari 2011 No 1 2
Tingkat Sekolah
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama 3 Sekolah Menengah Atas/Kejuruan Sumber: Diknas Batanghari 2011
22 |Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 13 - 26
Tahun 2010 98.5 704
Tahun 2011 98.70 788
353
4.708
Tabel 4. Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten Batanghari 2011 No 1 2
Tingkat Sekolah
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama 3 Sekolah Menengah Atas/Kejuruan Sumber: Diknas Batanghari 2011
Tahun 2010 98.5 91.9
Tahun 2011 99.04 92.49
59.1
59.17
e.
f.
g. Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 199 j.o Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab di dalam memajukan daerahnya berdasarkan kemampuan dan kebutuhan daerahnya, ini juga termasuk tanggung jawab di dalam memajukan pendidikan. Pemerintah Daerah Batanghari sebagai institusi yang memiliki wewenang tersebut telah melaksanakan tugas dan kewajibannya di dalam melaksanakan otonomi pendidikan.Di dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban otonomi pendidikan tersebut Pemerintah Daerah Batanghari menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Dinas Pendidikan Batanghari. Di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelaksana otonomi pendidikan di Kabupaten Batanghari, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batanghari memiliki visi yaitu “Menciptakan Pendidikan yang berkeadilan, bermutu, bermartabat serta Berwawasan Lingkungan”, dengan misinya membangun, merencanakan, menyelenggarakan, melakukan dan menciptakan kegiatan pendidikan”. Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai fungsi : a. Penyusunan Rencana dan program kerja tahunan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batanghari; b. Penyiapan rencana kegiatan pembinaan dan pengurusan dibidang pendidikan dan kebudayaan dalam Kabupaten Batanghari; c. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran sesuai kurikulum Nasional Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kab. Batanghari ; d. Perencanaan dan pelaksanaan pengadaan sarana dan prasarana dibidang Pendidikan
h.
i.
j. k.
dan Kebudayaan dalam Kabupaten Batanghari; Pelaksanaan koordinasi/kerjasama dengan Instansi vertikal/horizontal dibidang Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabupaten Batanghari; Penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga dalam Kabupaten Batanghari; Penyelenggaraan administrasi ketatausahaan dibidang pendidikan dan kebudayaan dalam Kabupaten Batanghari ; Pemberian pelayanan yang prima dibidang pendidikan dan kebudayaan dalam Kabupaten Batanghari; Penciptaan perangkat peraturan yang berkaitan dengan terselenggaranya pendidikan dan kebuadayaan dalam Kabupaten Batanghari; Pembuatan laporan hasil program kerja tahunan kepada Bupati; Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan
Di dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari telah melakukan berbagai program pendidikan diantaranya: a. Penambahan gedung sekolah seperti Sekolah Dasar Tanah Longsor Muara Sebo ulu didirikan pada tahun 2011 dengan menggunakan dana Dinas PU Batanghari, Sekolah Menengah Kejuruan Batin XXIV didirikan pada tahun 2011 menggunakan anggaran Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Penambahan ruang kelas pada tahun 2011 sebanyak 14 ruang dan tahun 2012 sebanyak 27 ruang dengan menggunakan anggaran APBD Batanghari. Perbaikan total gedung sekolah seperti Sekolah Menengah Atas 1 Batanghari dilaksanakan pada tahun 2011 dengan anggran APBD Provinsi Jambi. b. Meningkatkan kualitas guru, Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk ikut seminar dan pendidikan tambahan yang dilaksanakan instansi lain yang berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan. Pemda Batanghari memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi seperti dari guru yang pendidikan D2 atau D3 ke jenjang pendidikan S1 dan dari
Peran Pemerintah Daerah Terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi- Zarmaili | 23
jenjang pendidikan S1 ke jenjang pendidikan S2. c. Pemerintah Daerah Batanghari memberikan kesempatan kepada semua sekolah untuk mengembangkan program-program pendidikan yang menunjang bagi peningkatan keterampilan siswa, seperti program pendidikan baca al-qur`an, Bahasa Inggris dan sebagainya, bergantung dari kebutuhan sekolah bersangkutan. Pemda juga memerintahkan kepada semua sekolah untuk menambah jam pendidikan di luar jam sekolah seperti pada waktu sore hari, pagi atau waktu lainnya. Usaha-usaha Pemda Batanghari di dalam meningkatkan kualitas pendidikan sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari melalui Dinas Pendidikan telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelaksana otonomi daerah, hal ini ditunjukkan dengan hitungan hasil dari penelitian di bawah ini
lima tahun terakhir belum pernah mendapat bantuan apapun dari Pemda atau Diknas Kabupaten Batanghari, padahal mereka sudah beberapa kali mengusulkan perbaikan dan penambahan ruangan kelas, ruangan perpustakaan tapi sehingga bulan April 2012 belum dipenuhi. Akibatnya, dalam satu kelas berisi 40 lebih murid, jumlah ini telah melebihi standar jumlah murid secara nasional yaitu 25 orang per kelas.Selain itu, murid-murid sekolah tidak memiliki ruang bacaan sebagai tempat penambahan ilmu mereka. Sekolah Menengah Atas (SMA) 8 Pemayung juga kurang mendapat perhatian dari pihak Pemda atau Diknas Batanghari, sejak berdirinya SMA tahun 2000 yang menggunakan gedung bekas Sekolah Pertanian Pertama tersebut belum pernah mendapat bantuan perbaikan dan penambahan ruang kelas. Kenyataan seperti tersebut di atas juga banyak dialami oleh sekolah-sekolah lainnya di Kabupaten Batanghari.
Tabel 5. Penghitungan hasil penelitian peranan Pemda Batanghari di dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) PEMDA
B -230.897 1.506
Std. Error 149.605 .237
Tabel di atas menunjukkan bahwa kualitas = a+b(Pd), dari hasil analisis data yang menggunakan SPSS diperoleh hasil bahwa kualitas = -230.897 +1.506 (Pd). Secara statistik peranan Pemda signifikan dengan α=150%. Berarti peranan Pemda 15% akan meningkatkan kualitas pendidikan sebesar 10,50%. Dari hasil model tersebut menghasilkan kooefesien determinasi (R2) sebesar 0,457. Artinya hanya 45,7 % variable Peranan Pemda mampu menjelaskan model tersebut, sisanya sebesar 64,3% dipengaruhi oleh faktor luar. Hasil hitungan di atas menunjukkan bahwa peran Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari di dalam meningkatkan kualitas pendidikan sudah terlaksana, namun di dalam operasionalnya masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa dari sejumlah program pembangunan pendidikan di Batanghari masih banyak sekolah yang belum mendapat perhatian secara merata, contohnya Sekolah Dasar Nomor 106 Pelayangan, selama
Standardized Coefficients Beta
T .965
-1.543 6.350
Sig. .220 .008
Peningkatan kualitas guru seperti pendidikan kompetensi dan sertifikasi guru lebih dominan diperjuangkan oleh guru yang bersangkutan ke Dinas Pendidikan Provinsi.Sedangkan pelaksanaan peningkatan kualitas guru yang diprogramkan oleh Pemerintah Kabupaten Batang Hari belum transparan dan objektif. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari di dalam proses peningkatan kualitas pendidikan masih lemah. Kemajuan kualitas pendidikan yang dialami sekarang adalah lebih banyak dibantu oleh Pemerintah Provinsi Jambi, Pemerintah Pusat, guru-guru sekolah itu sendiri dan masyarakat setempat. Berdasarkan kenyataan di lapangan, di Kabupaten Batang Hari setelah dilaksanakan otonomi bidang pendidikan pada tahun 2000 hingga tahun 2012, belum terdapat perbedaan mutu pendidikan yang berarti antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Setiap
24 |Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 13 - 26
sekolah di Kabupaten Batang Hari masih melaksanakan program sekolah yang tidak jauh berbeda dengan program sekolah sebagaimana yang dilaksanakan pada masa sebelum otonomi daerah. Partisipasi masyarakat di dalam pengurusan pendidikan belum terlaksana secara merata di setiap sekolah karena masyarakat setempat masih belum terbiasa untuk ikut aktif di dalam menentukan program peningktan mutu pendidikan. Oleh itu, tingkat efektifitas ikut serta masyarakat di dalam proses perancangan pembangunan pendidikan di setiap sekolah bergantung kepada tingkat sumber manusia, baik yang dimiliki oleh pihak administrasi sekolah maupun sumber manusia yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pengawasan proses pelaksanaan pendidikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari masih lemah, ini dibuktikan sebahagian besar proses peningkatan mutu guru dan siswa belum terlaksana dengan semestinya, misalnya peningkatan profesi guru yaitu dengan peningkatan pendidikan dan sertifikasi guru, kesempatan dan dana yang diberikan pemerintah daerah kepada guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tidak efektif, karena pendidkan tersebut lebih bertujuan sekadar untuk mendapatkan ijazah saja sebagai memenuhi persyaratan administrasi bukan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Ujian keahlian/sertifikasi yang dilaksanakan oleh dinas pendidikan hanya meliputi ujian administrasi yakni seperti banyaknya jumlah jam mengajar yang telah dilaksanakan berdasarkan laporan absen, banyaknya jumlah sertifikat yang dimiliki, seperti sertifikat mengikuti seminar, diskusi, pertemuan resmi pemerintahan dan sertifikat sebagai anggota organisasi masyarakat. Jumlah sertifikat yang dimiliki seperti di atas sama sekali tidak mencerminkan profesionalisme guru. Sertifikat tersebut sangat mudah untuk didapatkan, walaupun tanpa aktif di dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Terhadap dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan langsung oleh Kementerian Pendidikan kepada sekolah, di dalam penggunaannya selalu terjadi penyelewengan dan penipuan. Penggunaan dana tersebut dilakukan tanpa tanggungjawab yang jelas. Pertanggungjawaban penggunaan bantuan tersebut hanya sekadar laporan kepada Dinas Pendidikan. Sepatutnya penerimaan dan penggunaan Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) harus transparan dan harus selalu diawasi dalam pengeluarannya oleh dinas pendidikan terutama pengawasan oleh anggota komite sekolah atau masyarakat setempat. Selanjutnya, peluang KKN terjadi pada keuangan Komite Sekolah. Hal ini bisa terjadi kerana penerimaan dana secara sukarela boleh dapat saja dipalsukan laporannya begitu juga di dalam penggunaannya. Ini juga terjadi apabila anggota Komite Sekolah yang menggunakan dana tersebut sekadar melaporkan penggunaan keuangan tersebut kepada komite dan tanpa adanya pengawasan dari pihak-pihak lain. Terdapatnya pungutan yang tinggi kepada wali murid guna membiayai pembangunan gedung, rehab ruang kelas dan penyediaan sarana dan prasarana. Meskipun pungutan tersebut dilakukan dengan cara sukarela dan tanpa memaksa wali murid, namun pungutan tersebut telah ditentukan batas minimumnya sehingga pungutan itu telah membeban wali murid. Tingkat pengawasan yang rendah dari Dinas Pendidikan Kabupaten Batang Hari terhadap proses pelaksanaan pembangunan pendidikan disebabkan oleh sumber manusia yang bekerja pada intitusi tersebut. Karena masih banyaknya pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Batang Hari memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka hadapi.Misalnya, terdapat sejumlah pegawai lulusan jurusan hukum, pertanian dan ekonomi yang bekerja di Dinas Pendidikan Batang Hari.Masih banyaknya pegawai yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas tanpa memiliki keahlian dan kemampuan untuk melaksanakan manajemen pendidikan dengan baik, sehingga mereka tidak mampu bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab. Kondisi ini mengakibatkan proses pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak efektif. Apabila merujuk kepada teori administrasi, seharusnya di dalam menempatkan pegawai untuk menduduki sesuatu jabatan haruslah orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan jabatan yang dia duduki juga mampu melaksanakan tugas jabatan tersebut.Spiers (1975) menjelaskan bahwa di dalam menempatkan pegawai pada suatu jabatan haruslah berdasarkan kepada pendidikan, pengalaman, wawasan dan kemampuan yang dimiliki oleh pegawai tersebut (right man on the right place). Oleh itu, di dalam pengurusan administrasi pendidikan bila dikerjakan oleh
Peran Pemerintah Daerah Terhadap Sektor Pendidikan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi- Zarmaili | 25
orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di dalam bidang pendidikan tentunya semua program di dalam bidang pendidikan akan terlaksana dengan efektif dan efesien. Kesalahan di dalam menempatkan pegawai pada Jabatan Pendidikan Kabupaten Batang Hari dan kepala sekolah adalah kesalahan Kepala Daerah atau Pemerintah Daerah Kabupaten Batang Hari.Hal ini disebabkan bahwa kekuasaan menempatkan pegawai pada sesuatu jabatan pemerintahan daerah dimiliki oleh kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.i Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, untuk mencapai tujuan desentralisasi pentadbiran dalam bidang pendidikan iaitu meningkatkan mutu pendidikan guna mencapai kesejahteraan masyarakat, perlu perubahn sistem pada pihak Ketua Daerah Jambi dan Parlimen Daerah Jambi di dalam melantik kakitangan kerajaan untuk menduduki salah satu jabatan kerajaan daerah, sehingga pentadbiran dan birokrasi pada jabatan tersebut dapat terlaksana dengan cekap dan berkesan. SIMPULAN DAN SARAN Pemerintah Daerah Batanghari berhasil meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Batanghari sejumlah, namun pelaksanaan peranannya masih kecil.Hal ini dibuktikan dengan jumlah angka yang diperoleh yaitu masih di bawah 50%.Sementara itu, kemajuan pendidikan masih banyak dibantu oleh Pemerintah Provinsi Jambi dan dibantu oleh masyarakat setempat. Di dalam menempatkan pegawai pada salah satu jabatan di dalam hirarki pemerintahan daerah, kepala daerah hendaknya ditetapkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang pegawai yang sesuai dengan jabatan yang akan diemban. Pemerintah daerah hendaknya lebih meningkatkan peran serta masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Karena masyarakat lebih tahu tentang harapan dan keinginan mereka di dalam pembangunan pendidikan di daerah mereka.Pengawasan masyarakat diharapkan lebih dominan terhadap proses pelaksanaan pembangunan pendidikan guna mewujudkan transparansi, efesiensi, efektifitas dan akuntabel.
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogjakarta. Agus Salim, 2004. Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Gerbang Madani Indonesia. Alderfer, H.F., 1964, Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill, New York. Armida Alisjahbana, 2000,Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Fak. Ekonomi, Unpad, Bandung. Baedhowi, 2007, Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Konsep Dasar dan Implementasi, UPT Unnes Press Semarang. Bailey, K.D., 1977, Development of Political Orientations in Children: A “Telescoped Longitudinal Approach, makalah disampaikan pada pertemuan tahunan the Association for Public Opinion Research. Buck Hill Falls. Penn. Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli (eds), 1983, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries. Sage, Beverly Hills, California. Cohen, J.M. dan N.T. Uphoff, 1980, Participation's Place in Rural. Development: Seeking clarity through specificity, World Development, Vol.8 Dahl, Robert ,1981, The City in the Future ofDemocracy,” Politics and Government of Urban Canada L.D. Feldman (ed.) (London: Methuen). Danumihardja, Mintarsih, 2004, Manajemen Keuangan sekolah, Jakarta: Uhamka Press Davis, Keith, 1977, Human Behavior at Work, Tata McGraw-Hill, New Delhi Green, Philip (ed.), 1993, Democracy: Key Concepts in Critical Theory.(New Jersey, Humanities Press. Kartono, 2004,Memahami Otonomi Pendidikan Beserta Implikasinya, dimuatkan di dalam Surat Kabar Suara Pembaharuan (2/3/2004). Tocqueville, Alexis De, Democracy inAmerica, (New York: Vintage, [1835] 1945), Neil Webster, October 1992, Panchayati Raj in West Bengal: Popular Participationfor the People or the Party?” Development and Change23, no. 4. Qomari Anwar, dkk., 2004, Profesi Jabatan Kependidikan dan Guru sebagai Upaya Menjamin Kualitas Pembelajaran, Jakarta: Uhamka Press. Tim Penyusun, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah; Modul untuk bahan bacaan bagi peserta workshop Kepala Madrasah Aliyah dalam rangka peningkatan mutu sekolah menengah tahun 2003. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005
26 |Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 13 - 26
KAJIAN PENGUATAN SISTEM INOVASI DAERAH JAWA BARAT THE STUDY OF STRENGTHENING REGIONAL INNOVATION SYSTEMS WEST JAVA Agus Ruswandi Peneliti pada Bappeda Provinsi Jawa Barat Jl. Ir. H. Juanda No. 287 Tlp. 2516061 - Fax: 2510731 Bandung (40135) e-mail::
[email protected] Dikirim: 27 Januari 2013; direvisi: 12 Februari 2013; disetujui: 18 Maret 2013
Abstrak Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, Wilayah Jawa Barat dibagi atas enam Wilayah Pembangunan (WP), yaitu WP Bodebekpunjur, WP Purwasuka, WP Ciayumajakuning, WP Priangan Timur-Pangandaran, WP Sukabumi dan Sekitarnya, dan WP Cekungan Bandung. Pada masing-masing WP telah memuat sektor-sektor unggulan, namun belum mencakup komoditas atau bidang usaha unggulan. Untuk pengembangan sektor unggulan tersebut, perlu diketahui focus komoditas/usaha unggulannya, kemudian inovasi apa yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas/bidang usaha unggulan tersebut. Kajian ini bertujuan 1) menentukan sector unggulan prioritas pada masing-masinge WP; 2) menentukan komoditas/bidang usaha unggulan prioritas sektoral pada WP; 3) mengidentifikasi kebutuhan inovasi pada sektor/bidang usaha unggulan prioritas. Pengkajian dilaksanakan Bulan Oktober-Desember 2011. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer melalui survey wawancara dan observasi lapang ke beberapa kabupaten/kota meliputi Kabupaten Kuningan, Indramayu, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Cirebon. Untuk mengetahui sektor/subsektor unggulan pada masing-masing WP dilakukan analisis Location Quotient (LQ), Localization Indeks (LI) dan Specialization Indeks (SI). Dari dari hasil kajian dapat disusun kluster komoditas/bidang usaha unggulan sebagai berikut : 1) Kluster Padi Sawah terkonsentrasi di Kab. Indramayu, Karawang, Subang, dan Purwakarta; 2) Kluster Padi Ladang (Gogo) terkonsentrasi di Kab. Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi, dan Cianjur; 3) Kluster Sapi Potong terkonsentrasi di Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Sumedang; 4) Kluster Industri Kreatif terkonsentrasi di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung; 5) Kluster Batik terkonsentrasi di Kab/Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Garut; 6) Kluster Bordir, dan Konveksi teronsentrasi di Kota Tasikmalaya, dan Garut; 7) Kluster Makanan Olahan terkonsentrasi di Kab/Kota: Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya; 8) Kluster Makanan Olahan Berbasis Bahan Baku Ikan terkonsentrasi di Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang; 9) Kluster Industri Alas Kaki terkonsentrasi di Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Garut; 10) Kluster Industri Kelautan terkonsentrasi di Kab/Kota: Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sukabumi; 11) Kluster Perikanan Air Tawar tekonsentrasi di Kab/Kota: Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Kabupaten Bandung. Kata kunci : penguatan, inovasi, daerah
Abstact Based on Spatial Plan (Spatial Plan) West Java Province In 2009-2029, West Java is divided into six Regional Development (WP), which Bodebekpunjur WP, WP Purwasuka, Ciayumajakuning WP, WP East Priangan Pangandaran, WP Sukabumi Area, and WP Bandung Basin. In each WP has run leading sectors, but does not include main commodities. To development this sector must be know focus commodity/business superior, then what innovation is needed to improve the competitiveness of commodity / sector leading the efforts. This study aims to 1) determine the priority sectors featured in each WP, 2) determine the commodity/sector seed business priorities for each sector on WP, 3) identify the need for innovation in the sector/priorities of the business featured. Assessment carried out in October-December 2011. Data collected included secondary data and primary data through interviews and observation field survey to several districts / cities include Kuningan District, Indramayu, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Bogor, Bekasi and Cirebon. To determine the sector/subsector featured on each WP analyzed Location Quotient (LQ), Localization Index (LI) and Specialization Index (SI). From the results of the study can be arranged clusters of commodity/sector seed enterprises as follows: 1) Rice Cluster concentrated in the district. Indramayu, Karawang, Subang and Purwakarta, 2) Cluster Rice Field are concentrated in Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi and Cianjur; 3) Beef Cattle clusters concentrated in Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, and Sumedang; 4) Creative Industries Cluster concentrated in the city of Bandung, Cimahi, and Bandung,
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat – Agus Ruswandi | 27
5) Cluster Batik concentrated in Cirebon, Tasikmalaya, and Garut, 6) Clusters Embroidery, and convection in Tasikmalaya, and Garut; 7) Clusters Processed Foods concentrated in Bandung, Cimahi, Regency Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis and Tasikmalaya; 8) Cluster-Based Processed Food Raw Fish concentrated in Indramayu, Cirebon, Falkirk, and Subang; 9) Footwear Industry Cluster concentrated in the city of Bogor, Kab. Bogor, City Tasikmalaya, Bandung and Garut; 10) are concentrated in the Marine Industry Cluster Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis and Sukabumi; 11) Freshwater Fisheries clusters were concentrated in Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, and Bandung. Keywords: strengthening, innovation, regional
PENDAHULUAN Sistem inovasi adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang interaksinya memprakarsai, mengimpor (mendatangkan), memodifikasi dan mendifusikan teknologi-teknologi baru (Freeman, 1987). Sedangkan menurut Nelson dan Rosenberg (1993) sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor yang secara bersama memainkan peran penting dalam memengaruhi kinerja inovatif (innovative performance). Menurut Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et al. (2003) menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi nasional” (national research and innovation sistem), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa kepada pembangunan ekonomi. Sistem inovasi menurut Liu dan White (2001) adalah menciptakan pengetahuan baru, memandu arah proses pencarian penyedia dan pengguna teknologi. Dengan demikian, sistem inovasi sebenarnya mencakup basis ilmu pengetahuan dan teknologi (mencakup aktivitas pendidikan, penelitian, pengembangan, dan rekayasa). Dari beberapa definisi diatas, secara ringkas dapat diartikan bahwa inovasi sebagai sesuatu yang baru untuk menciptakan perubahan kearah yang lebih baik (menguntungkan) baik secara teknis, sosial maupun ekonomis. Dalam Peraturan Daerah Nomor. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, Wilayah Jawa Barat dibagi atas enam Wilayah Pembangunan (WP), yaitu WP Bodebekpunjur, WP Purwasuka, WP Ciayumajakuning, WP Priangan Timur-Pangandaran, WP Sukabumi dan Sekitarnya, dan WP Cekungan Bandung. Pada masing-masing WP telah memuat sektor-sektor unggulan, namun belum mencakup komoditas atau bidang usaha unggulan pada masing-masing sector tersebut. Dalam rangka pengembanga sektor unggulan teresebut, tentunya perlu diketahui fokus komoditas/usaha unggulannya, kemudian inovasi apa yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas/bidang usaha unggulan tersebut. Kajian ini bertujuan 1) menentukan sector unggulan prioritas pada masing-masing WP; 2) menentukan komoditas/bidang usaha unggulan prioritas pada masing-masing sector pada WP; 3) mengidentifikasi
kebutuhan inovasi unggulan prioritas.
pada
sektor/bidang
usaha
METODE PENALITIAN Waktu dan Tempat Pengkajian dilaksanakan Bulan OktoberDesember 2011. Untuk pengumpulan data dilakukan kunjungan ke beberapa instansi terkait, serta observasi lapang ke beberapa kabupaten/kota yang ditentukan secara purposif, yaitu Kabupaten Kuningan, Indramayu, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Cirebon. Pengumpulan dan Analisis Data Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, dan data primer dikumpulkan melalui survey wawancara. Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi PDRB, bidang usaha/komoditas unggulan kabupaten/kota pada masing-masing WP, ketersediaan inovasi pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Ada beberapa tahapan analisis yang digunakan yaitu: 1. Penentuan Sektor Unggulan Prioritas pada Masing-masing WP. Dilakukan analisis Location Quotient (LQ), dilanjutkan dengan analisis Localization Indeks (LI) dan Specialization Indeks (SI) dengan formulasi (Budhiharsono 2000, Hendayana 2003) sebagai berikut :
LQij
Xij/Xi. Xj/X..
Keterangan: LQij = nilai LQ Xij = Nilai sektor ke-j di kabupatan/kota ke-i (Rp) Xi. = Total nilai sektor di kabupaten/kota ke-i (Rp) X.j = Total nilai sektor ke-j di semua kabupaten/kota di suatu WP (Rp) X.. = Total Nilai seluruh sektor yang diamati di wilayah WP (Rp)
Kaidah : Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu sektor di kab/kota ke-i secara relatif dibandingkan dengan seluruh
28 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 27 - 34
wilayah (WP). Dengan kata lain terjadinya pemusatan sektor di kab/kota ke-i, Jika nilai LQij = 1, maka kab/kota ke-i tersebut mempunyai pangsa sektor setara dengan pangsa seluruh wilayah (WP). Dengan kata lain konsentrasi sektor di kab/kota ke-i sama dengan rata-rata di seluruh wilayah (WP). Jika nilai LQij < 1, maka kab/kota ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dengan sektor yang secara umum di seluruh wilayah (WP).
Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, sektor unggulan pada masing-masing Wilayah Pembangunan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sektor Unggulan Pada Wilayah Pembangunan di Jawa Barat, berdasarkan RTRW Jawa Barat No 1
Wilayah Pembangunan (WP) Bodebekpunjur
Xij Xi LIj1/ 2 Xj X.. Kaidah : Jika nilai LI mendekati 0 berarti perkembangan suatu sektor cenderung memiliki tingkat yang sama dengan perkembangan di seluruh wilayah (WP). Tingkat perkembangan sektor akan relative indifferent di seluruh wilayah (WP). Artinya sektor tersebut mempunyai peluang tingkat perkembangan yang sama dengan seluruh wilayah (WP). Jika nilainya mendekati 1 berarti sektor yang diamati akan cenderung berkembang memusat di suatu kab/kota. Artinya sektor tersebut akan berkembang lebih baik jika dilakukan di lokasilokasi tertentu.
Xij Xj SIj1/ 2 Xi X..
Kabupaten/ Kota Kota Bogor Kota Depok Kota Bekasi Bogor Bekasi
2
Purwasuka
Bogor (wilayah puncak) Cianjur Purwakarta
Subang
Karawang
3
Ciayumajakuning
Kota Cirebon
Kaidah : Jika nilai SI mendekati 0 berarti tidak ada kekhasan. Artinya kab/kota yang diamati tidak memiliki sektor khas yang relatif menonjol perkembangannya dibanding dengan kab/kota lain. Jika nilainya mendekati 1 berarti terdapat kekhasan. Artinya kab/kota yang diamati memiliki sektor khas yang perkembangannya relatif menonjol dibanding dengan kab/kota lain.
Kabupaten Cirebon
2.
Majalengka
Indramayu
Penentuan Komoditas/bidang Usaha Unggula dan Kebutuhan Inovasi Berbasis Wilayah Pembangunan (WP) Dilakukan melalui konsultasi dengan instansi terkait di beberapa kabupaten/kota lokasi lingkup masing-masing WP, serta survey observasi lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuningan
Sumedang
4
Sektor unggulan pada masing-masing Wilayah Pembangunan di Jawa Barat.
Priangan TimurPangandaran
Kota Tasikmalaya
Kabupaten
Sektor Unggulan Industri manufaktur Perdagangan Jasa Industri manufaktur Pertambangan Agibisnis dan agrowisata
Industri Industri kreatif Pariwisata Agroindustri Pertambangan Pertanian lahan basah Industri Pertambangan Pertanian lahan basah Bisnis kelautan Industri Agoindustri Jasa Perdagangan Industri Wisata budaya dan religi Industri Bisnis kelautan Pertanian Pertambangan Pertanian Perikanan Bisnis kelautan Industri Pertambangan (minyak dan gas) Agribisnis Industri bahan bangunan Pertambangan Pertanian Wisata alam Agroindustri Agroindustri Industri Pertambangan Industri kerajinan Pertambangan Jasa Pertanian
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat – Agus Ruswandi | 29
Tasikmalaya
5
6
Sukabumi Sekitarnya
dan
Cekungan Bandung
Agroindustri Perikanan Industri pengolahan ikan Wisata alam Pertambangan Garut Pertanian Industri pengolahan pertanian Wisata alam minat khusus Pertambangan Ciamis Pertanian Industri pengolahan pertanian Wisata pantai Perikanan Pertambangan Banjar Perdagangan Jasa Kota Agribisnis Sukabumi Industri pengolahan peternakan Wisata agro Industri Perdagangan Jasa Kabupaten Agribisnis Sukabumi Ternak ruminansia Wisata pantai Wisata agro Wisata minat khusus Industri kreatif Perikanan tangkap Pertambangan Kota bandung Perdagangan Jasa Industri kreatif Teknologi tingggi Pariwisata Transportasi Kabupaten Industri Bandung Wisata alam Pertanian Perkebunan Kabupaten Industri Bandung Barat Pertanian Industri kreatif Teknologi tinggi Kota Cimahi Perdagangan Jasa Industri kreatif Teknologi tinggi
Sumber RTRW Jawa Barat tahun 2009-2029
Dari sektor unggulan pada masing-masing WP tersebut, kemudian dipilih beberapa sector unggulan prioritas dengan menggunakan analisis LQ, LI, SI terhadap data PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2008. Sektor unggulan pada masing-masing WP tersebut merupakan sektor riil, sehingga sektor
unggulan yang muncul seputar yang terdapat pada PDRB dan RTRW seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sektor Unggulan prioritas pada MasingMasing WP No
WP
Sektor Unggulan 1.
1
Bodebekpunjur:
2. 3. 1. 2.
2
Purwasuka 3.
3
4
6
Industri Manufaktur Pertanian lahan basah
1.
Bisnis kelautan Industri
2.
Pertanian
3.
Perikanan
1.
Industri Kerajinan Perikanan
Ciayumajakuning:
Priatim – Pangandaran
2. 1.
5
Industri Manufaktur Agribisnis Agrowisata
Sukabumi dan Sekitarnya
2.
Ternak ruminansia (sapi potong) Perikanan
3.
Industri
1.
Pertanian
2.
Industri Pengolahan
Cekungan Bandung
Konsentrasi Kabupaten Kota Bogor, Kab. Bogor Cianjur Cianjur, Bogor Purwakarta Karawang, Subang, Purwakarta Karawang, Subang Kota Cirebon, Kab Cirebon, Indramayu Indramayu, Cirebon Kota Cirebon, Kab. Cirebon, Indramayu Kota Tasikmalay Tasikmalaya, Ciamis Kab. Sukabumi Kab. Sukabumi Kota Sukabumi Kab. Bandung, kab Bandung Barat Bandung, Cimahi
Komoditas/Bidang Usaha Unggulan, dan Kebutuhan Inovasi Masing-Masing WP. Hasil analisis (pada Tabel 2), selanjutnya dijadikan dasar untuk menentukan komodita/bidang usaha iunggulan pada masing-masing sektor unggulan prioritas di masing-masing WP. Dalam analisis ini juga diidentifikasi permasalahannya, serta kebutuhan inovasinya pada masing-masing komoditas/bidang usaha unggulan terpilih melalui konsultasi dengan instansi terkait di kabupaten/kota. Komoditas/bidang usaha unggulan pada masingmasing WP disajikan pada Lampiran Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran Tabel 3, maka dapat disusun pembagian kluster berdasarkan komoditas unggulan prioritas yang perlu pendukungan inovasinya sebagaimana disajikan pada Lampiran Tabel 4. SIMPULAN
30 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 27 - 34
Dari hasil analisisi penentuan komoditas ungulan dapat di rumuskan kluster komoditas/bidang usaha unggulan sebagai berikut: 1. Kluster Padi Sawah terkonsentrasi di Kab. Indramayu, Karawang, Subang, dan Purwakarta. Inovasi yang dibutuhkan: perbaikan sistem pemasaran, peningkatan nilai tambah usahatani padi, perbaikan sistem kelembagaan produksi benih sekala penangkar. 2. Kluster Padi Ladang (Gogo) terkonsentrasi di Kab. Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi, dan Cianjur. Inovasi yang dibutuhkan: perbaikan sistem pemasaran, perbaikan irigasi, peningkatan nilai tambah usaha tani padi, dan perbaikan sistem kelembagaan produksi benih sekala penangkar. 3. Kluster Sapi Potong terkonsentrasi di Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Sumedang.Inovasi yang dibutuhkan: perbaikan sistem pembibitan, pengembangan inseminasi buatan (teknis, dan sarana), perbaikan usaha rearing, peningkatan ketersediaan pakan, dan perbaikan kelembagan pemasaran sapi 4. Kluster Industri Kreatif terkonsentrasi di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung. Inovasi yang dibutuhkan: : rancangan produk industri kreatif, dan penumbuhan wirausahawan baru. 5. Kluster Batik terkonsentrasi di Kab/Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Garut. Inovasi yang dibutuhkan: rancangan produk, model, dan penumbuhan wirausahawan baru 6. Kluster Bordir, dan Konveksi teronsentrasi di Kota Tasikmalaya, dan Garut: Inovasi yang dibutuhkan: rancangan produk, model, penumbuhan wirausahawan baru 7. Kluster Makanan Olahan terkonsentrasi di Kab/Kota: Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya. Inovasi yang dibutuhkan: sertifikasi/labeling jaminan mutu, diversifikasi produk, dan pengembangan pemasaran 8. Kluster Makanan Olahan Berbasis Bahan Baku Ikan terkonsentrasi di Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang. Inovasi yang dibutuhkan: diversifikasi produk, perbaikan mutu hasil, peningkatan jiwa wirausaha, peningkatan keterampilan, dan kelembagaan permodalan (lembaga keuangan mikro) 9. Kluster Industri Alas Kaki terkonsentrasi di Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Garut. Inovasi yang dibutuhkan: rancangan produk, dan pengembangan pasar 10. Kluster Industri Kelautan (marine business) terkonsentrasi di Kab/Kota: Cirebon, Indramayu, Karawang, Subang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sukabumi. Inovasi yang dibutuhkan: inovasi
produksi pakan berbahan baku local untuk ikan budidaya. 11. Kluster Perikanan Air Tawar tekonsentrasi di Kab/Kota: Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Kabupaten Bandung. Inovasi yang dibutuhkan: inovasi produksi pakan berbahan baku lokal untuk ikan budidaya. DAFTAR PUSTAKA Arnold, Erik, Stefan Kuhlman, dan Barend van der Meulen. (2001). A Singular Council: Evaluation of the Research Council of Norway. Technopolis. December 2001. Arnold, Erik, dan Patries Boekholt, dengan Enrico Deiaco, Shonie McKibbin, John de la Mothe, Paul Simmonds, James Stroya, dan Rapela Zaman. (2003). Research and Innovation Governance in Eight Countries: A Meta-Analysis. Work Funded by EZ (Netherlands) and RCN (Norway). Technopolis. January 2003. Budiharsono, S. 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Edquist, Charles. (2001). The Sistems of Innovation Approach and Innovation Policy: An Account of the State of the Art. Lead paper presented at the DRUID Conference, Aalborg, June 12-15, 2001, under theme F: ‘National Sistems of Innovation, Institutions and Public Policies’. Freeman (1987). http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_inovasi, diakses 28 Nop 2011 Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Quetient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12 ( I ) : 658-675. Liu X, White S (2001) Comparing innovation systems: a framework and application to China's transitional context. Lundvall, Bengt-Åke (ed.). (1992). National Innovation Sistems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. London. Pinter Publishers. Metcalfe, 1995. The Design of Order. Notes on Evolutionary Principles and the Dynamics of Innovation. Revue Économique, Programme National Persée. Mowery, David C & Oxley, Joanne E, 1995. Inward Technology Transfer and Competitiveness: The Role of National Innovation Systems. Cambridge Journal of Economics, Oxford University Press. Nelson, R., (ed). (1993). National Innovation Sistems: A Comparative Analysis. New York (NY): Oxford University Press. OECD. (1999). Managing National Innovation Sistems. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1999. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2008. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor. 9 Tahun
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat – Agus Ruswandi | 31
2008, Seri E. Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor. 25 Tahun 2010, Seri E. Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 20082013. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Nomor. 22 Tahun 2010 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029 Rosenfeld, Stuart A, 2002. Creating Smart Systems, A guide to cluster strategies in less favored regions. European Union-Regional Innovation Strategies Taufik, Tatang A. (2007). Kebijakan Inovasi di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya? Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. VI, No. 2, Agustus 2007. Taufik, T. A. (2005). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. P2KTPUDPKM-BPPT dan KNRT.
32 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 27 - 34
Tabel 3. Komoditas/bidang usaha unggulan pada sektor unggulan terpilih pada masing-masing WP
No 1.
WP Bodebekpunjur: 1. Kota Bogor 2. Kab. Bogor 3. Kota Depok 4. Kota Bekasi 5. Kab Bekasi 6. Kab. Cianjur
Sektor Unggulan (Hasil Analisis)
Industri Manufaktur
Komoditas/bidang Usaha Unggulan1 UKM alas kaki (sandal, sepatu) UKM tas
Konsentrasi kab/kota
Makanan olahan
Kota Bogor, Kab Bogor Kota Bogor, Kab Bogor Bogor, Cianjur
Komoditas sayuran
Cianjur
Padi pandanwangi
Cianjur
Pisang
Cianjur
Agro wisata UKM Food ethnic: simping, dodol, tape UKM genteng Wayang golek Padi
Cianjur, Bogor
Agribisnis
Agrowisata 2.
Purwasuka: 1. Purwakarta 2. Subang 3. Karawang
Industri Manufaktur Pertanian lahan basah
Bisnis kelautan
Purwakarta Purwakarta Purwakarta Karawang, Subang, Purwakarta
Perikanan tangkap Subang
3.
Ciayumajakuning: 1. Kota Cirebon 2. Kab Cirebon 3. Indramayu 4. Majalengka 5. Kuningan 6. Sumedang
Perikanan budidaya air payau
Karawang, Subang
Pengolahan ikan
Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu
Industri
Pertanian
Padi Perikanan tangkap
5.
Priatim – Pangandaran: 1. Kota Tasikmalaya 2. Kab Tasikmalaya 3. Garut 4. Ciamis 5. Kota Banjar Sukabumi dan Sekitarnya:
Rancangan produk Pengembangan pasar Rancangan produk Pengembangan pasar Sertifikasi/labeling jaminan mutu Diversifikasi produk Pengembangan pemasaran Kemitraan pasar Sertifikasi/labeling jaminan mutu
Pengembangan pusat pemasaran padi pandanwangi di Cianjur (di tingkat lokasi) Kemitraan pemasaran Rekayasa kelembagan agribisnis padi untuk meningkatkan bergaining posisi petani (terutama dalam pemasaran), serta meningkatkan nilai tambah usaha. Industri Pengolahan hasil pisang bersekala industri Usaha Kecil, Mikro, Menengah (UKM) Teknologi perbanyakan bibit pisang yang cepat dan dapat mempertahankan sifat (True Tipe). Teknologi budidaya untuk memperbaiki penempilan pisang. Pengembangan destinasi wisata Rancangan produk Pengembangan pemasaran, Inovasi bahan bakar alternative yg efisien untuk produksi Genteng Perbaikan sistem pemasaran Peningkatan nilai tambah usahatani padi Perbaikan sistem kelembagaan produksi benih sekala penangkar. Peralatan yang lebih efektif dan efisien Kelembagaan permodalan (Lembaga Keuangan Mikro) Inovasi produksi pakan ikan bersekala UKM berbahan baku local Teknologi makanan berbahan baku ikan diversifikasi produk perbaikan mutu hasil peningkatan jiwa wirausaha, peningkatan keterampilan Kelembagaan permodalan (Lembaga Keuangan Mikro) Perbaikan sistem pemasaran Peningkatan nilai tambah usahatani padi Perbaikan sistem kelembagaan produksi benih sekala penangkar. Peralatan yang lebih efektif dan efisien Kelembagaan permodalan (Lembaga Keuangan Mikro) Inovasi produksi pakan ikan bersekala UKM berbahan baku local Teknologi makanan berbahan baku ikan Industri kreatif Penumbuhan Wirausahawan baru kerajinan
kerajinan
Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu Kota Tasik
Rancangan produk
Perikanan
Perikanan budidaya air tawar dan air payau
Kota Tasikmalaya, Garut Tasikmalaya, Ciamis
Ternak
Sapi potong
Kab Sukabumi,
Pebaikan sistem pembibitan Pengembangan Inseminasi Buatan (teknis,
Perikanan
4.
Indramayu, Kab. Cirebon, Kota Cirebon
Inovasi yang diperlukan
Industri Kerajinan
Perikanan budidaya air payau
Pakaian, makanan
Inovasi produksi pakan ikan berskala UKM berbahan baku local Teknologi makanan berbahan baku ikan
Kajian Penguatan Sistem Inovasi Daerah Jawa Barat – Agus Ruswandi | 33
No
WP
Sektor Unggulan (Hasil Analisis)
Komoditas/bidang Usaha Unggulan1
Konsentrasi kab/kota
1. Kota Sukabumi 2. Kab Sukabumi
Perikanan
6.
Cekungan Bandung: 1. Kota Bandung 2. Kab Bandung 3. Kab. Bandung Barat 4. Kota Cimah
budidaya ikan air tawar dan air payau
Kab.Sukabumi
Perikanan tangkap laut
Kab.Sukabumi
Industri
Makanan olahan
Kota Sukabumi
Pertanian
sayuran
Kab Bandung, Kab Bandung Barat
Inovasi yang diperlukan
Industri Pengolahan
Industri pengolahan
Cimahi, Bandung
sarana) Perbaikan usaha rearing Peningkatan ketersediaan pakan Perbaikan kelembagan pemasaran sapi Inovasi produksi pakan ikan bersekala UKM berbahan baku local Teknologi makanan berbahan baku ikan Peralatan yang lebih efektif dan efisien Kelembagaan permodalan (Lembaga Keuangan Mikro) Sertifikasi/pelabelan jaminan mutu Diversifikasi produk Pengembangan pemasaran Kemitraan pemasaran dengan pasar sayuran (supermarket, dll) Penguatan kelembagaan pemasaran di tingkat petani. Sertifikasi/labeling jaminan mutu Diversifikasi produk Pengembangan pemasaran
Sumber : hasil survey, konsultasi dengan instansi terkait di kabupaten/kota
Tabel 4. Kluster komoditas/bidang usaha unggulan pioritas No
Kluster
1.
Padi sawah
2.
Padi Ladang (gogo)
3.
Sapi potong
4.
Industri kreatif
5.
Urgensi Inovasi
Konsentrasi Kabupaten/Kota
Peningkatan produktivitas dan produksi padi sawah menuju pencapaian produksi padi Jawa Barat 13,5 Juta ton pada tahun 2013 Peningkatan produktivitas dan produksi padi ladang (gogo) menuju pencapaian produksi padi Jawa Barat 13,5 Juta ton pada tahun 2013 Peningkatan produksi sapi menuju tercapainya populasi satu juta ekor sapi di Jawa Barat Peningkatan daya saing UMKM industri kreatif
Indramayu, Karawang, Subang, Purwakarta
Batik
Peningkatan daya saing UMKM Batik
Cirebon, Tasikmalaya, Garut
6.
Bordir, konveksi
Kota Tasikmalaya, Garut
7.
Makanan olahan
Peningkatan daya saing UMKM Konveksi, Bordir Peningkatan daya saing UKMK makanan olahan
8.
Makanan olahan berbasis bahan baku ikan Industri Alas kaki
9.
Peningkatan daya saing UKMK makanan olahan berbahan baku ikan
Garut, Tasikmalaya, Ciamis Sukabumi, Cianjur.
Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cianjur, Sukabumi, Sumedang. Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat
Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya Indramayu, Cirebon, Karawang, Subang.
10. Industri kelautan (marine bisnis)
Peningkatan daya saing UMKM alas kaki (sandal, sepatu) Peningkatan produksi perikanan laut dan pantai (air payau)
Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Bandung, Garut Cirebon,Indramayu Karawang, Subang Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi
11.
Peningkatan produksi perikanan air tawar
Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, Kabupaten Bandung
Perikanan air tawar
34 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 27 - 34
Perguruan Tinggi/lembaga Riset yg berpeluang bersinergi Univ Wiralodra UNSWAGATI BPTP Jawa Barat Balai Penelitian Padi Unsil, Uniga
Unsil, Uniga
ITB UNPAD Unikom STT textile ITB STT textile ITB IPB UNPAS Poltek Sukabumi IPB ITB LIPI ITB LIPI Univ Wiralodra UNSWAGATI ITB IPB UNPAD Unsil LIPI ITB UNPAD Unsil IPB LIPI
DINAMIKA PEMANFAATAN HUTAN OLEH SUKU ANAK DALAM BATHIN IX DI DUSUN SENAMI KABUPATEN BATANGHARI THE DYNAMICS OF FOREST USE BY SUKU ANAK DALAM BATHIN IX IN VILLAGE SENAMI OF BATANGHARI REGENCY Asnelly Ridha Daulay Balitbangda Provinsi Jambi Jalan Nur Atmadibrata No. 1A Telanaipura Jambi Telp/fax. 0741-669352 e-mail:
[email protected] Dikirim: 24 Januari 2013; direvisi: 13 Februari 2013; disetujui: 18 Maret 2013 Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui kondisi terkini Suku Anak Dalam dari kelompok Bathin IX yang menetap di tengah kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. Penelitian bersifat deskriptif eksploratif, pemilihan lokasi secara purposif, penetapan jumlah responden secara proporsional dan tehnik pengambilan sampel dengan metode non random-purposive sampling. Dapat disimpulkan warga SAD telah meninggalkan kegiatan eksploitasi hutan dan beralih menjadi petani kebun karet dan sawit. Mereka menyadari status Tahura sebagai hutan lindung dan mematuhinya, walaupun tak sepenuhnya setuju karena status tersebut membatasi pendapatan dari jual beli hasil hutan. Ancaman terbesar terhadap Tahura saat ini berasal dari warga pendatang yang terlibat pembalakan liar dan mendirikan pemukiman di kawasan Tahura. Ke depannya warga SAD menginginkan diberi pelatihan life skill serta izin mengolah lahan hutan yang gundul untuk ditanami karet dan sawit. Kata kunci : suku anak dalam; hutan; matapencaharian; keahlian
Abstract This study aims at updating the current condition of indigenious people of Suku Anak Dalam (SAD) from the tribe of Bathin IX, that live in the protected forest of Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Senami. It is a descriptive explorative research, the location chosen purposively, the number of respondents taken proporsionally using non random-purposive sampling. It can be concluded that the SAD had transformed their ways of earning living from forest exploitation to be a rubber or oil palm farmers. They are aware of TAHURA status as a protected forest and obidient, though not fully agree with that since it prohibits them from getting more income from selling of the forrest products. The real threats toward TAHURA may come from the migrants that get involved in illegal logging and establish residency inside TAHURA. The SAD is looking forward to having life skill training and permit from government to plan rubber or oil palm in the non-productive area of TAHURA. Keywords : suku anak dalam; forest; livelihood; skills
PENDAHULUAN Suku Anak Dalam atau Orang Dalam atau kelompok Bathin IX menurut Sukmareni (2008), merupakan komunitas yang hidup menetap, memenuhi kebutuhan hidup dari petalangan dan mengambil hasil hutan. Komunitas Batin IX telah berinteraksi dengan orang luar sejak masa penjajahan Belanda. Eksplorasi minyak bumi dan dibukanya sejumlah ruas jalan menyebabkan daerah-daerah pemukiman Bathin IX terbuka bagi kedatangan orang luar sehingga terjalin interaksi diantara mereka. Dengan adanya pembentukan desa-desa baru, masyarakat Batin IX sekarang tersebar di 18 desa yaitu Naga Sari, Pelempang, Nyogan, Tanjung Pauh 39, Merkanding, Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak, Jangga Aur, Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk
Napal, Lamban Segatal dan Sepintun. Meski telah berbaur dengan masyarakat Melayu namun adat dan budaya SAD masih dipertahankan, diantaranya ritual Basale, yakni ritual untuk menyembuhkan orang yang sakit kronis dengan bantuan dukun Basale. (Sukmareni, 2008) Seiring derasnya alihfungsi hutan menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet serta kegiatan pembalakan liar, kehidupan warga SAD di kawasan ini semakin terjepit. Keleluasaan mereka memanfaatkan hutan tereduksi secara signifikan oleh peraturan pemerintah menyangkut konservasi hutan. Selain itu warga SAD harus berhadapan dengan pihak swasta yang memperoleh hak pengelolaan resmi hutan dari Pemerintah Provinsi Jambi dan warga non SAD atau pendatang ilegal di kawasan hutan. Kondisi ekonomi SAD jauh tertinggal dibanding suku lain. Posisi mereka juga lemah di
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin Ix di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 35
depan hukum akibat tak memiliki bukti kepemilikan lahan, pendidikan dan keterampilan yang kurang. Banyak SAD menjadi pengemis dan penderita busung lapar. (republika.co.id) Karakteristik SAD Bathin IX Jumlah penduduk SAD khusus dari kelompok Bathin IX belum diketahui secara pasti karena selama ini Pemerintah menyamakan antara Orang Rimba dengan SAD Bathin IX meskipun karakteristik hidup mereka berbeda. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, populasi SAD Bathin IX plus Orang Rimba di Provinsi Jambi mencapai 3.198 orang, meliputi 1.610 orang laki-laki dan 1.588 orang perempuan yang tersebar di lima wilayah kabupaten se-Provinsi Jambi. (berita21.com)
yang mengacu kepada teori Perubahan Ibnu Khaldun, orang Badui yang hidup nomaden memiliki kehidupan yang sukar dan sederhana. Orang Barber dan Non Badui bertani sementara Badui hidup di Padang Pasir dengan menunggang unta. Orang Badui hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup yang paling sederhana namun inilah yang menimbulkan keberanian yang besar dan tingkat menentukan nasib sendiri yang sangat tinggi serta solidaritas yang kuat. Ketika orang Badui mulai hidup menetap, kemerosotan hampir terjadi di semua aspek kecuali kehidupan kebendaan. Orang menetap sangat tertarik pada jenis-jenis kesenangan hidup, kegemaran tersebut menyebabkan mereka malas, mengikis kualitas keberanian dan kekuatan,
Tabel 1. Populasi SAD di Provinsi Jambi Tahun 2010 NO 1 2 3 4 5 6
KABUPATEN
Merangin Sarolangun Batang Hari Tanjab Barat Tebo Bungo TOTAL (orang) Sumber : http://berita21.com
POPULASI SAD (ORANG) LAKI-LAKI PEREMPUAN 439 419 537 558 40 39 31 26 420 403 143 143 1.610 1588
Generasi muda SAD kelompok Bathin IV yang lahir pasca tahun 1974, umumnya hanya mengetahui kalau mereka adalah Suku Anak Dalam, meskipun pola hidup mereka berbeda dengan Orang Rimba. Pemerintah menamakan kedua kelompok tersebut sebagai Suku Anak Dalam. Pola pendekatan pemerintah terhadap kelompok ini juga disamakan, sehingga banyak program yang diberikan tidak tepat sasaran. (Sukmareni, 2008) Menurut Purba (2005) terdapat tiga tipe masyarakat peramu; (1) Masyarakat peramu pemburu, mereka cenderung menghindari kontak dengan masyarakat lain, hidup dari hasil hutan dan berkehidupan social egaliter, (2) masyarakat peladang berotasi, mereka memanfaatkan kesuburan tanah dan potensi lingkungan hutan yang relatif luas untuk memenuhi kebutuhan hidup, ladang mereka buka dengan cara membakar. Di luar kehidupan berladang, kaum laki-lakinya masih sering berburu dan meramu di hutan, dan (3) Masyarakat peladang menetap, yaitu masyarakat yang telah mengembangkan kehidupan bertani secara menetap, biasanya hidup dari tanaman pertanian ekspor. Belasan tahun terakhir interaksi kelompok masyarakat SAD Bathin IX dengan masyarakat semakin meningkat. Interaksi dan perubahan gaya hidup menyebabkan pula perubahan persepsi mereka terhadap hutan. Menurut Lauer (2003)
TOTAL 858 1.095 79 57 823 286 3.198
solidaritas kelompok dan keagamaan semakin melemah. Yang menonjol di kehidupan menetap adalah kemajuan kerajinan dan ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pandangan orang luar terhadap SAD Bathin IX sebagai suku terasing yang malas bekerja dan tidak dapat bersosialisi dengan mereka masih cukup kuat. Menurut Li (2002), pengelola perkebunan di Kalimantan Selatan mendeskripsikan Orang Banjar dan Orang Dayak sebagai komunitas yang kurang tekun dan kurang ulet sehingga hasil kerjanya rendah. Mereka membandingkan Orang Dayak dengan pekerja asal transmigran Jawa. Orang Bugis, Dayak dan banyak suku asli lainnya di Indonesia bekerja di luar ladang dengan motivasi untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan sumberdaya, serta resiko dan pahala. Jika tujuan bekerja itu telah terpenuhi, mereka akan berhenti. Mereka menilai kegiatan bekerja tersebut tidak sepenting sebagaimana orang luar memandangnya (Li, 2002). Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hutan merupakan kekayaan alam yang sangat menonjol di Provinsi Jambi, meliputi 40% dari total wilayahnya. Pengelolaan hutan yang salah akan menggerus sumber daya genetik dalam hutan dan akhirnya mengakibatkan kerusakan bagi sekitarnya.
36 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
Menurut Ramly (2005), konsep pembangunan berwawasan lingkungan menekankan pada upaya mengolah sumber daya alam dengan bijaksana agar tertopang proses pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kualitas hidup penduduk dari generasi ke generasi berikutnya. Terdapat lima prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu: (1) prinsip keadilan antar generasi, (2) prinsip keadilan dalam satu generasi, (3) prinsip pencegahan dini, (4) prinsip perlindungan hayati dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif. (Purba, 2005) Secara skematis komponen interaktif lingkungan hidup dapat digambarkan ke dalam tiga aspek alam (natural aspect), sosial (social aspect) dan binaan (man-made/build aspect). (Purba, 2005).
mengeksplorasi hutan, pertambangan dan lainnya, tanpa pengawasan memadai. Menurut Chambers (1993) , pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang merefleksikan paradigma baru pembangunan dengan sifat people centered, participatory, empowering dan sustainable. Oleh karena itu arah kebijakan ekonomi nasional lebih banyak berpihak kepada masyarakat mengingat sektor ini yang sangat besar andilnya dalam mengurangi tingkat pengangguran. Pemberdayaan masyarakat terutama peningkatan peran mereka dalam pembangunan merupakan kunci keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran mereka di desa tertinggal, sekaligus sebagai dasar untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antar penduduk.
Sumber: Purba, 2005 Gambar 1. Interaksi Tiga Aspek Lingkungan Hidup.
Menurut Ramly (2005), menanamkan sifat pembangunan yang arif terhadap lingkungan harus didasarkan pada upaya mengembangkan kesadaran individu mengenai perannya sebagai anggota masyarakat dunia, mengembangkan etika baru dalam penggunaan sumberdaya alam, mengembangkan sikap keharmonisan terhadap alam dan mengembangkan identifikasi terhadap generasi yang akan datang serta mewariskan keuntungan, bukannya malapetaka. Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberlakuan UU Otonomi Daerah pada tahun 2004 memberi kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan (pasal 14 ayat 1). Pada pasal 17 ayat 1 sampai 3 diuraikan antara lain kewenangan kabupaten/kota dalam pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Sayangnya, kewenangan tersebut digunakan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan, contohnya izin yang dikeluarkan untuk
Pada prinsipnya kesenjangan ekonomi tidak hanya ditinjau dari persoalan distribusi pendapatan saja, juga tidak dapat dipisahkan dari tinggi rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam semua kegiatan peningkatan produksi dan keikutsertaan dalam setiap proses atau tahapan pembangunan. (Chambers, 1993) Menurut Chambers (1988) , terdapat dua macam situasi kemiskinan: (1) kemiskinan kelompok masyarakat secara keseluruhan disebabkan oleh keterpencilan lokasi atau tidak memadainya sumber daya atau kedua-duanya dan (2) keadaan masyarakat dengan ketimpangan mencolok antara yang kaya dan miskin. Selanjutnya ada hubungan yang nyata dan berulang antara ketidakberdayaan dengan kemiskinan. Bentuk pemerasan kaum yang lemah oleh elite setempat yang paling menonjol adalah menjaring, merampas serta menjadi pihak yang selalu diuntungkan dalam setiap transaksi atau tawar menawar. (Chambers, 1988) Beberapa alasan yang menguatkan mengapa partisipasi masyarakat diikutsertakan dalam pembangunan berwawasan lingkungan yaitu: rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil itu; partisipasi menimbulkan harga diri dan
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 37
kemampuan pribadi untuk dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat; partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. (Ramly, 2005) Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) Berapa banyakkah SAD Bathin IX di Desa Senami Kecamatan Tembesi yang terlibat jual beli kayu dan hasil hutan dilindungi (illegal aktivitas)?, (2) Berapa banyakkah SAD Bathin IX di Desa Senami Kecamatan Tembesi yang bekerja di sektor lain dan tidak lagi mengandalkan hidup dari hutan dan hasilnya?, (3) Apakah alasannya SAD Bathin IX mau bekerjasama dengan pihak lain untuk mengeksploitasi hasil hutan?, (4) Apakah persepsi masyarakat SAD Bathin IX terhadap upaya konservasi hutan di Kecamatan Tembesi?, dan (5) Apakah pilihan pekerjaan dan keterampilan yang diinginkan SAD Bathin IX untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? METODE PENELITIAN Penelitian dimulai pada bulan Mei 2012 di Dusun Senami Desa Jebak Kec. Tembesi Kabupaten Batanghari dan bersifat deskriptif eksploratif. Penelitian eksploratif bertujuan mencari hubunganhubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan kompleks sedangkan deskriptif bertujuan menggambarkan apa yang terjadi saat ini. (LIPI, 2011) Penentuan wilayah pengambilan sampel dilakukan secara purposif, dengan pertimbangan interaksi yang cukup intens antara SAD Bathin IX dengan masyarakat sekitar sehingga diduga telah terjadi pula interaksi budaya/gaya hidup yang cukup besar di desa tersebut. Pertimbangan lain adalah kedekatan tempat tinggal warga SAD Bathin IX dengan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha. Dusun ini memiliki 4 Rukun Tetangga (Rt), yaitu RT 07, 08, 09 dan 10 namun yang memiliki warga keturunan SAD Bathin IX hanyalah di tiga RT (08,09,10) sedangkan RT 07 terdiri dari warga pendatang dari etnis Batak, Jawa, Bugis dan lainlain. Dari ketiga RT tersebut, warga SAD Bathin IX berjumlah sekitar 72 kepala keluarga (KK). Jumlah sampel diambil secara proporsional dari ketiga RT tersebut, dan tehnik pengambilan sample secara non prabability–purposive sampling yakni mengambil sample/responden yang dapat dijumpai di rumah masing-masing saat penelitian dilaksanakan. Tehnik ini memiliki keterbatasan karena cenderung bias, namun merupakan pilihan yag paling memungkinkan mengingat kebiasaan warga SAD kelompok Bathin IX untuk menginap di ladang di tengah hutan sehingga sulit untuk mendapati mereka di rumah
masing-masing. Secara keseluruhan terpilih 19 sampel (± ¼ populasi) untuk diwawancarai. Data primer dikumpulkan melalui observasi, menggunakan lembar pertanyaan dan foto-foto. Data sekunder diperoleh dari laporan perangkat desa dan kecamatan, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, LSM dan pihak lain terkait lainnya. Pengolahan data menggunakan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Dusun Senami merupakan satu dari tiga dusun yang terdapat di Desa Jebak Kecamatan Tembesi Kabupaten Batanghari. Dusun ini terletak di tengah Taman hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Saifuddin dengan jarak sekitar 19 Km dari kota kecamatan (Muara Tembesi) atau sekitar 17 Km dari ibukota Kabupaten (Muaro Bulian) dan sekitar 90 Km dari ibukota provinsi (Jambi). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 94/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 Kawasan Hutan Produksi Tetap Senami telah ditetapkan menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Thaha Saifuddin. Disekitar kawasan TAHURA Sultan Thaha Syaifuddin terdapat 11 Desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian terutama tanaman karet secara tradisional dan sebagian bertani tanaman semusim. Desa Jebak memiliki 3 RW, 10 RT dan 3 Dusun. Kelembagaan pedesaan yang dimiliki antara lain 3 karang taruna, 3 kelompok PKK dan 1 Madrasah. Sedangkan satu-satunya kelembagaan penyuluhan yang dimiliki adalah Balai Penyuluh Kehutanan. Juga terdapat 3 kelompok tani perkebunan di Desa Jebak. Dilihat dari komposisi usia sebanyak 57,9 % responden berusia di bawah 45 tahun, 10,5 % berusia antara 45 – 55 tahun dan 31,6 % responden berusia di atas 55 tahun. Dilihat dari level pendidikan, sebagian besar responden (63,2%) tidak pernah bersekolah, atau pernah bersekolah namun tidak tamat SD. Keadaan tersebut menyebabkan sebagian besar kepala keluarga SAD Bathin IX ini tidak bisa membaca/menulis (63,2%). Hal ini terlihat pada Gambar 2 dan 3 berikut.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 2. Pendidikan Warga SAD Bathin IX.
38 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
Kondisi warga SAD Bathin IX yang pendidikannya rendah dan tidak maju secara ilmu pengetahuan sesuai dengan gambaran orang Badui seperti dijelaskan dalam Teori Perubahan-nya Ibnu Khaldun. Menurut Lauer (2003), suku nomaden yang kemudian hidup menetap akan cenderung malas, kurang berani/kuat serta solidaritas kelompok/ keagamaannya melemah.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 4. Lama Bekerja Warga SAD Bathin IX.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 3. Kemampuan Membaca Warga SAD Bathin IX.
Hal yang cukup menguntungkan adalah sebagian besar keluarga SAD Bathin IX tergolong keluarga kecil yaitu beranggotakan ≤ 4 orang (73,7%) dan 26,3% beranggtakan > 4 orang. Aspek Ekonomi Warga SAD Bathin IX Mayoritas warga SAD Bathin IX memiliki pekerjaan utama di sektor perkebunan (karet atau sawit) yakni sebanyak 94,7% dan hanya 5,3% yang bekerja di sektor non perkebunan. Tabel 2. Mata Pencaharian Utama dan Sampingan Responden Pekerjaan Utama
Jumlah
Perkebunan (karet/sawit) Non Perkebunan TOTAL Sumber: data diolah, 2012
18 1 19
Pekerjaan sampingan 7 0 0 7
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya memiliki satu pekerjaan saja, dan hanya tujuh responden atau 37% memiliki pekerjaan sampingan berupa membakar arang, mencari madu dan rotan di hutan. Ini menegaskan bahwa warga SAD Bathin IX di Dusun Senami tidak lagi menjadikan kegiatan eksploitasi hutan sebagai sumber penghasilan utama. Dari penelitian juga diperoleh informasi bahwa sebagian besar (52,6%) warga SAD Bathin IX mengaku telah bekerja lebih dari 10 tahun di pekerjaan sekarang, dan sisanya bekerja di bawah 10 tahun.
Dari pekerjaan yang dilakukan sekarang, 57,9% responden memperoleh penghasilan
Rp.500 ribu per minggu. Terkait dengan penghasilan tersebut di atas dan dengan menggunakan skala likert sangat tidak puas (1) hingga sangat puas sekali (5), sebanyak 5,3 responden mengatakan sangat puas dengan penghasilan sekarang, 57,9% menyatakan sedang, 15,8% mengatakan tidak puas dan 21,1% menyatakan sangat tidak puas. Persepsi Warga SAD Bathin IX terhadap Hutan Lindung Mayoritas warga SAD Bathin IX (94,7%) mengetahui bahwa TAHURA Senami merupakan hutan yang dilindungi dan hanya 5,3% warga yang tak mengetahui tentang hal tersebut. Pengetahuan tersebut diperoleh dari penyuluhan yang dilakukan oleh pihak kehutanan secara rutin, informasi dari mulut ke mulut serta terdapatnya palang pengumuman di sekitar kawasan tersebut bahkan di halaman rumah penduduk. Meskipun mayoritas masyarakat SAD Bathin IX mengetahui status TAHURA Senami sebagai hutan yang dilindungi tapi sebanyak 78,9% tidak setuju akan peraturan tersebut dan hanya 21,1% yang tak keberatan/menanggapi biasa-biasa saja terhadap peraturan tersebut. Alasan ketidaksetujuan tersebut antara lain: 1. Mereka tidak bisa memanfaatkan hutan untuk menambah penghasilan seperti membuat arang, mengambil rotan dan madu. 2. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena warga lain (pendatang yang non SAD Bathin IX) dibiarkan mengelola hutan. Bila ditinjau dari prinsip utama pembangunan berkelanjutan, keterbatasan yang dihadapi warga SAD Bathin IX ini melanggar prinsip keadilan dalam satu generasi, dimana mereka dipaksa untuk menerima kehidupan apa adanya, tanpa adanya alternatif sumber penghasilan lain. Sementara warga
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 39
lain (Non SAD) terkesan dibiarkan memanfaatkan/mengeksploitasi hutan Senami. Gencarnya sosialisasi tentang perlindungan TAHURA nampaknya cukup efektif untuk membatasi warga SAD Bathin IX melakukan eksploitasi hutan. Hal ini terlihat dari 78,9% mengaku tak pernah tersangkut hukum akibat aktivitas ilegal di kawasan TAHURA, dan hanya 21,1% warga yang pernah berurusan dengan polisi hutan. Kasus yang paling umum adalah warga SAD Bathin IX dipergoki membuat arang di hutan, mengambil madu dan rotan. Bila dikaitkan dengan sanksi yang diperoleh, hanya 21,1% yang mengaku menerima sanksi berupa teguran dan nasehat sementara 78,9% tidak pernah memperoleh sanksi. Sanksi berupa kurungan atau denda materi belum pernah diterima warga SAD Bathin IX. Pelatihan/Keterampilan Yang Diharapkan Warga SAD Warga SAD Bathin IX di Dusun Senami mengaku tidak pernah memperoleh pelatihan yang berhubungan dengan keterampilan untuk mencari nafkah. Penyuluhan yang mereka terima hanya berupa penyuluhan kehutanan dan penyuluhan/pelayanan kesehatan sedikitnya dua kali dalam satu tahun. Menurut narasumber dari LSM Amphal, tidak adanya pelatihan life skill diberikan kepada warga SAD karena status hutan Senami sebagai Taman Hutan Raya. Artinya, di kawasan tersebut tidak diizinkan melakukan kegiatan eksploratif apapun sehingga jika mereka diberi pelatihan, hal tersebut akan memicu kegiatan ekonomi ilegal di kawasan hutan. Tidak diberikannya pelatihan atau kegiatan pemberdayaan ekonomi kepada masyarakat sekitar merupakan bentuk kelalaian dan bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah sebelumnya (tahun 1999) melalui Dinas Sosial Provinsi Jambi yang menempatkan warga SAD Bathin IX di lokasi tersebut (di tengah hutan Senami). Tanpa pelatihan life skill dan izin untuk mengelola hutan, kehidupan warga SAD Bathin IX menjadi semakin memprihatinkan.
Sumber: data diolah, 2012 Gambar 5. Pelatihan Yang Diinginkan Warga SAD Bathin IX.
Gambar 5 di atas menunjukkan sebagian besar warga SAD Bathin IX menginginkan pelatihan berkebun karet atau sawit (63,2%), hal ini sesuai dengan jenis pekerjaan mayoritas warga SAD Bathin IX saat ini sebagai pekebun karet (94,7%). Meskipun pekerjaan utama mereka berkebun karet, terlihat kecendrungan warga SAD Bathin IX ingin memiliki keterampilan usaha lainnya seperti beternak dan bertani padi/sayur. Hanya 1 responden yang menginginkan lebih dari satu pelatihan yakni berkebun dan beternak dan tidak ada warga SAD Bathin IX yang menginginkan pelatihan memelihara ikan. Terkait dengan kondisi mereka saat ini yang terjepit di tengah TAHURA dengan kehidupan ekonomi yang semakin sulit, warga SAD Bathin IX mengharapkan kepada pemerintah untuk : 1. Dibantu membuka kebun baru dengan memanfaatkan lahan TAHURA yang telah gundul, dilengkapi dengan bantuan bibit karet/sawit dan buah-buahan. 2. Perbaikan jalan, rumah mereka dan sekolah 3. Bantuan bibit ternak dan modal usaha lainnya. SIMPULAN Warga SAD Bathin IX tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber penghasilan utama. Penelitian tidak menemukan Warga SAD Bathin IX yang terlibat jual beli hasil hutan. Warga SAD Bathin IX yang pernah berurusan dengan polisi hutan hanya karena melakukan aktivitas membuat arang, mengambil madu dan rotan (hasil hutan non kayu) yang semuanya bertujuan subsistence. Mayoritas warga SAD Bathin IX bekerja sebagai pekebun karet dan sawit, hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor non perkebunan. Mayoritas warga SAD Bathin IX mengetahui bahwa TAHURA Senami merupakan hutan yang dilindungi namun mereka tidak setuju dengan peraturan tersebut dan sebagian kecil yang tak keberatan/menanggapi biasa-biasa saja terhadap peraturan tersebut. Alasan ketidaksetujuan terkait penghasilan tambahan mereka sebagai pembuat arang, pencari rotan dan madu serta merasa diperlakukan tidak adil karena banyak warga pendatang (non SAD) bebas mengeksploitasi hutan. Sebagian besar warga SAD Bathin IX menginginkan pelatihan berkebun karet atau sawit. Terdapat beberapa hal yang menjadi saran dari peneliti kepada Pemerintah Kabupaten Batanghari, diantaranya: Pertama, tingginya kesadaran warga SAD Bathin IX untuk tidak terlibat dalam jual beli hasil hutan atau kegiatan eksploitasi hutan lainnya harus diapresiasi dengan menyediakan pilihan pekerjaan baru. Saat ini warga SAD Bathin IX berkebun dengan memanfaatkan lahan warisan orangtua mereka yang merupakan pembagian Dinas Sosial Provinsi Jambi tahun 1999 sebanyak 2 Ha/ KK, yang hasilnya tidak mencukupi. Insentif yang
40 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
diberikan dapat berupa bibit tanaman dan ternak sehingga mereka tidak tergoda merambah hutan Kedua, Pemerintah Kabupaten Batanghari perlu mengusulkan kepada Departemen Kehutanan untuk memberi izin khusus pemanfaatan hasil hutan non kayu sehingga warga SAD dapat memanfaatkan rotan/damar, tanaman obat-obatan, madu dan lainlain hasil hutan non kayu. Ketiga, meningkatkan pelatihan bersifat life skill yang cocok dengan karakter SAD Bathin IX guna menciptakan peluang kerja baru. Disarankan life skill yang diberikan tidak berbasiskan lahan, seperti beternak atau keterampilan rumahan /industri kreatif lainnya. Keempat, menanami kembali lahan hutan gundul dan memperkuat fungsi TAHURA sebagai kawasan ekowisata dan pusat pendidikan lingkungan, dimana hutan ini merupakan habitat asli pohon Bulian (Eusideroxsylon Zwageri) dan jenisjenis flora komersial diantaranya dari keluarga pohon meranti (dipterocarpaceae) serta beraneka jenis satwa langka dan dilindungi. Kelima, membenahi pendidikan formal anakanak keluarga SAD Bathin IX sehingga terbangun generasi mendatang SAD Bathin IX yang lebih mampu membangun perekonomian keluarga dan melindungi TAHURA. Keenam, Pemerintah Kabupaten Batanghari disarankan mengambil tindakan tegas terhadap warga pendatang di kawasan TAHURA karena mereka merupakan ancaman terhadap TAHURA terkait pembalakan liar dan kepemilikan tanah perumahan yang tidak sah serta memancing datangnya pemukim baru.
Ramly, N. 2005. Membangun Lingkungan Hidup Yang Harmoni dan Berperadaban. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu Sukmareni. 2008. Pembauran Yang Menyamarkan Identitas Suku Bathin IX. Majalah Alam Sumatera VII (1):23. Jambi:WARSI
DAFTAR PUSTAKA Amphal. 2010. Laporan Tahunan. Jambi. Berita21.com. Hasil SP 2010, Jumlah populasi SAD di Jambi Mencapai 3.198 orang, (http://berita21.com. Diakses 4 April 2012. Chambers, R. 1993. Challenging: Frontiers for Rural Development, London: Intermediate Technology Publication,Ltd.,1993. Chambers, R. 1988. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. Jakarta : LP3ES Harian Republika. 2012. Belasan Balita Suku Anak Dalam Alami Gizi Buruk, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umu m/12/03/16/m0yp25-belasan-balita-suku-anakdalam-alami-gizi-buruk. Diakses 4 April 2012. Lauer, RH. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta Li, TM. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia. Jakarta : Penerbit YOI LIPI. 2007. Modul Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama. Jakarta: LIPI. Purba, J. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Dinamika Pemanfaatan Hutan Oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari – Asnelly Ridha Daulay| 41
42 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 35 – 42
PERAN KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGUATAN INOVASI SOSIAL DI DESA KARANGREJO KECAMATAN BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG THE ROLE OF CIVIL SOCIETY IN STRENGTHENING SOCIAL INNOVATION IN THE VILLAGE KARANGREJO DISTRICT D BOROBUDUR MAGELANG Arif Sofianto Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bonjol 190 Semarang Telp. 024 3540025 e-mail: [email protected] Dikirim: 27 Februari 2013; direvisi: 17 Maret 2013; disetujui: 18 Maret 2013
Abstrak Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang akan dikembangkan menjadi Desa Wisata, didukung banyak potensi, baik bidang pertanian kerajinan, kuliner maupun perdagangan, namun belum berkembang dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh belum sinerginya pengelolaan wisata antar sektor dan antar pelaku. Solusi dari persoalan tersebut adalah dibentuknya kelompok yang mampu menjadi sarana bersama. Namun persoalannya adalah kelompok yang ada sekarang, yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) belum berfungsi sebagaimana mestinya. Penelitian ini memfokuskan pada analisis kebutuhan penguatan dan peningkatan peran Pokdarwis di Desa Karangrejo untuk meningkatkan pengelolaan wisata mereka. Solusi yang dapat dianjurkan adalah: 1). Perlunya kepala desa meyakinkan kebulatan tekad, membicarakan bersama segenap masyarakat dalam rembug desa untuk memantapkan diri, menyamakan persepsi bahwa Pokdarwis harus diaktifkan, dan diakui sebagai aktor utama yang berisi banyak orang (aktor kolektif). 2). Penegasan struktur dengan tugas dan fungsi yang jelas, serta menambahkan beberapa struktur penting lainya dalam kepariwisataan, seperti promosi, kerjasama dan perencanaan program, 3). Menyamakan persepi mengenai prosedur-prosedur utama pariwisata desa, sehingga semua pihak mendapatkan manfaat, dan 4). Perlunya melakukan penataan objek dan produk wisata sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk meningkatkan kualitas produk wisata, serta sarana pendukung lainnya. Kata kunci: Kelompok Masyarakat, Inovasi, Desa Wisata, Karangrejo.
Abstract Karangrejo Village, District Borobudur, Magelang Regency is an area that will be developed into a Tourist Village, supported by a lot of potential, good agricultural crafts, culinary and trade, but not yet well developed. But the problem is the current group, the Tourism Awareness Group (Pokdarwis) is not working properly. This study focuses on the analysis of needs strengthening and increasing role of Pokdarwis in the Karangrejo village to improve the management of their tour. Solutions that can be recommended are: 1). The need for determination to convince the village chief, talk with all the people in the village consultation to establish itself, the same perception that Pokdarwis are enabled, and is recognized as a major actor that contains a lot of people (collective actors). 2). Confirmation of the structure with clear tasks and functions, as well as added some other important structures in tourism, such as promotion, cooperation and planning, 3). Equating perception about the main procedures of village tourism, so that all parties benefit, and 4). The need to undertake the arrangement of objects and tourism product in accordance with the quality standards expected Keywords: Community groups, Innovation, Tourism Village, Karangrejo
PENDAHULUAN Selama ini, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Persoalan tersebut lebih disebabkan karena struktur perekonomian yang kurang memberikan ruang bagi masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi lebih dalam terhadap pelaksanaan pembangunan (Daryanto
& Nuryartono, dalam Arif Satria, dkk. 2011;64). Menurut Daldjoeni dan Suyitno (2004;126) ada semacam dilema di desa, yaitu adanya kemiskinan dan pengetahuan yang rendah menyebabkan pemanfaatan yang kelewat batas atas sumberdaya alam, akan tetapi di sisi lain banyak sumberdaya yang ternyata belum dimanfaatkan secara optimal seperti sinar
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang – Arif Sofianto| 43
matahari, air, angin, tanaman, ikan, ternak dan tenaga manusia. Salah satu wilayah yang cukup potensial namun masih cukup terpuruk adalah Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, dimana menyimpan banyak potensi pertanian, peternakan maupun pariwisata yang dapat dikembangkan secara bersamaan, namun belum terbentuk kelembagaan yang mampu menangani potensi tersebut dengan baik. Selain itu terdapat kendala permodalan, sarana dan prasarana serta desain dan kemasan produk desa. Potensi yang cukup menarik adalah terdapatnya beragam sumberdaya alam maupun sosial, yaitu pertanian secara luas, seni tradisional, objek wisata alam dan budaya serta lingkungan yang sangat memberikan nilai jual tinggi, serta terletak di daerah klaster wisata terbesar di Jawa Tengah, yaitu Borobudur. Namun demikian, potensi belum dapat dikembangkan dengan lebih optimal untuk mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan oleh lemahnya kapasitas SDM, kelompok masyarakat maupun pemerintah desa. Kapasitas masyarakat pelaku usaha sangat kurang karena terbatasnya transfer teknologi, transfer pengetahuan dan dukungan sumberdaya dari berbagai pihak. Warga desa masih menjalankan usaha dengan konsep “seperti biasanya”, mereka melakukan usaha seperti yang dilakukan orang sebelumnya. Dengan demikian diperlukan upaya lebih untuk membantu masyarakat meningkatkan kapasitasnya melalui keterlibatan lembaga pengetahuan, lembaga litbang dan lembaga lainnya dalam upaya transfer teknologi, transfer pengetahuan dan membangun jejaring. Pada sisi pariwisata, meskipun hanya berjarak 2 Km dari Candi Borobudur, namun Desa Karangrejo belum mampu menerima manfaat tersebut, karena ternyata potensi besar Candi Borobudur justru dinikmati oleh daerah lain, terutama Yogyakarta. Sesuai dengan hasil survei UNESCO (Bappeda Kab. Magelang, 2012) terhadap pengunjung Candi Borobudur (wisatawan asing), beberapa hal menunjukkan masyarakat sekitar tidak menikmati hasil dari adanya Candi Borobudur. Tentunya hal tersebut sangat disayangkan, karena potensi pemasukan yang besar belum dapat dimanfaatkan oleh desa-desa di sekitar Borobudur, termasuk Desa Karangrejo. Masyarakat desa masih lemah dalam
mengorganisasikan diri dan lembaga desa yang sudah ada masih belum cukup mapan. Kapasitas kelompok masyarakat masih sangat terbatas, dari segi kuantitas, kelompok profesi hanya terdiri dari kelompok tani dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang aktif. Sedangkan kelompok sosial budaya terdiri dari satu kelompok wanita bernama “Sukma” dengan aksi kegiatan di bidang sosial, kelompok pemuda, serta beberapa kelompok bidang seni, yaitu tari, gamelan, jathilan, dan sejenisnya. Permasalahannya adalah kelompok-kelompok tersebut kurang memiliki kapasitas, belum memberikan peran yang berarti dalam mendukung pembangunan desa. Dengan demikian, perlu adanya upaya memberikan perhatian yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat dan fasilitasi kelompok-kelompok baru. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian yang memfokuskan pada pembentukan, penguatan dan peningkatan peran kelompok masyarakat di Desa Karangrejo untuk meningkatkan daya saing produk mereka. Kajian yang diperlukan adalah mengenai peran kelompok masyarakat, baik kelompok tani, pemuda, seni budaya, perempuan maupun kelompok lainnya di Karangrejo tersebut terhadap peran mereka dalam meningkatkan kualitas atau nilai jual produk desa, terutama hasil pertanian dan pariwisata melalui inovasiinovasi baru. Bagaimana kelompok mampu merubah sikap petani secara sosial (inovasi sosial) sehingga berpengaruh pada kemajuan mereka sangat diperlukan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana peran kelompok masyarakat dalam melakukan inovasi sebagai upaya optimalisasi sumberdaya desa untuk meningkatkan kesejahteraan”. METODE PENELITIAN Jenis dan Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang dilakukan untuk mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan sebagainya (Suharsini Arikunto, 2002). Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah kualitatif. Menurut Sugiyono (2009), metode penelitian kulitatif adalah penelitian dimana data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat
44 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 43 - 52
kualitatif. Menurut Bungin (2008) penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah yaitu seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, menangkap berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan lapangan, kemudian menganalisis dan melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati. Lokasi Sesuai dengan judul penelitian, maka lokasi penelitian ini adalah di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Desa Karangrejo dipilih karena merupakan wilayah pertanian yang cukup potensial didukung dengan sumberdaya alam, dan sumberdaya sosial seperti seni dan budaya, serta potensi pariwisata yang sangat besar dan dapat dikombinasikan dengan pertanian dan kerajinan. Namun semua potensi tersebut belum dapat dikembangkan secara bersamaan sehingga mendatangkan hasil yang optimal. Subjek Penelitian Subjek penelitian atau populasi dalam penelitian ini ialah seluruh anggota kelompok masyarakat di Desa Karangrejo. Kelompok yang dimaksud dalam hal ini adalah Pokdarwis. Untuk keperluan pengambilan data, maka akan diambil beberapa pihak yang memiliki objektifitas, kepentingan, dan pengetahuan terhadap permasalahan penelitian. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari wawancara dari para informan yang berisi tentang pendapat dan pemahaman mengenai peran kelompok masyarakat dalam memberikan perubahan bagi desanya. Data sekunder berasal dari dokumen terkait objek penelitian dari berbagai sumber. Instrumen Penelitian dan Pengambilan Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah panduan wawancara atau daftar pertanyaan terbuka. Informan tertentu diwawancarai secara mendalam dan sebagian yang lain diminta mengisi daftar pertanyaan terbuka yang disediakan. Metode seperti ini dilakukan agar data yang didapat benar-benar valid dan reliabel. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang dikembangkan oleh Spradley
seperti yang dikutip Sugiyono (2009). Analisis model Spradley merupakan kesatuan proses linear yang dimulai dari analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial dan analisis tema budaya. Analisis Domain menurut Sugiyono (2009) merupakan tahap awal dari penelitian, yaitu dengan memperoleh gambaran umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti atau objek penelitian. Analisis Taksonomi menurut Sugiyono (2009) adalah analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan. Domain yang telah ditetapkan dirinci lebih mendalam untuk mengetahui struktur internalnya yang dilakukan dengan observasi terfokus. Analisis Komponensial ialah mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan mengkontraskan antarelemen sebagaimana disampaikan Sugiyono (2009). Jadi pada intinya analisis taksonomi adalah mencari perbedaan atau mengkontraskan antarelemen, sehingga diketahui ciri-ciri spesifik masing-masing yang membedakan dengan lainnya. Analisis Tema Budaya menurut Sanapiah Faisal sebagaimana dikutip Sugiyono (2009) adalah upaya mencari benang merah yang mengintegrasikan lintas domain yang ada. Dengan ditemukan benang merah tersebut, maka selanjutnya akan dapat disusun konstruksi bangunan situasi sosial/objek penelitian secara komprehensif. Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan mulai bulan Juli – September 2012 di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Gambaran Umum Desa Karangrejo termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa Karangrejo memiliki luas 174 Ha terdiri dari 98 Ha sawah dan ladang, 72 Ha permukiman dan sisanya fasilitas umum. Desa bertopografi dataran rendah yang sesuai untuk pertanian. Desa Karangrejo juga hanya berjarak sekitar 5 Km dari pusat pemerintahan Kabupaten Magelang, dan 2 Km dari pusat pemerintahan Kecamatan Borobudur, serta hanya sekitar 2 Km dari Candi Borobudur. Namun demikian tidak banyak manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan candi dan pengunjung di Borobudur.
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang – Arif Sofianto| 45
Mayoritas warga Karangrejo bekerja di sektor swasta dalam hal ini pedagang, petani dan buruh tani serta sektor jasa, terutama di bidang pariwisata dan kesenian. Kebanyakan mereka yang bekerja di sektor wisata menggantungkan hidupnya di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur, baik sebagai penjual asongan, pemandu wisata, fotografer, angkutan wisata, maupun pekerja serabutan atau sebagai tenaga kebersihan, penjaga hotel dan tenaga keamanan, serta sektor informal lainnya. Kehidupan masyarakat secara umum banyak bergantung pada kondisi lahan di desa, serta keberadaan Candi Borobudur. Namun demikian, masyarakat desa Karangrejo belum dapat menikmati keberadaan wisatawan di Candi Borobudur. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa meskipun dekat dengan Borobudur, namun tidak begitu banyak wisatawan yang berkunjung ke desa, baik sekedar jalan-jalan, membeli produk atau menginap. Akan tetapi ada sedikit perubahan kondisi ketika pada pertengahan tahun 2000–an, seorang fotografer menemukan bahwa pemandangan di salahsatu lokasi di desa tersebut cukup menakjubkan dan layak dijual sebagai tujuan wisata. Di puncak salahsatu bukit bernama Punthuk Setumbu, wisatawan dapat melihat pemandangan Candi Borobudur dan bukit serta lembah di sekitarnya yang cukup menarik terutama pada saat terbit matahari (sunrise) dan pagi hari, serta di sore hari. Potensi yang selama berpuluh tahun tidak disadari warga tersebut, kemudian menjadi andalan utama wisata di Desa Karangrejo. Semenjak Punthuk Setumbu diketahui potensinya, semakin lama banyak wisatawan, terutama wisatawan asing berkunjung ke desa tersebut. Situasi ini memberikan harapan bagi warga desa untuk meningkatkan perekonomian mereka. Sehingga warga dan pemerintah desa setempat mulai memikirkan penataan kunjungan wisata di Punthuk Setumbu, baik secara infrastruktur maupun kelembagaan. Keberadaan Punthuk Setumbu menjadi harapan akan adanya wisatawan yang berkunjung ke desa. Kunjungan wisatawan tersebut tentunya diharapkan memberikan peluang bagi masyarakat untuk menerima manfaat keberadaan wisatawan ke Desa Karangrejo. Para pengrajin, pelaku usaha kuliner, jasa wisata dan penginapan yang selama ini menjajakan barang dan jasanya di sekitar Candi Borobudur berharap bahwa mereka dapat menjual barang dan jasanya di
desa mereka sendiri. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Desa Karangrejo, Nuranis Musodik “kita berharap bahwa warga kita yang berjualan asongan di Borobudur nanti dapat beralih menjual barangnya di rumah saja”.
2. Pengelolaan Punthuk Setumbu Pemerintah desa dan masyarakat pernah mencoba melakukan pengaturan dalam pengelolaan Punthuk Setumbu dengan melibatkan masyarakat yang lebih luas, namun pengelolaan di lapangan berbeda. Pengelolaan saat ini hanya dilakukan oleh warga di sekitar Punthuk Setumbu (Dusun Kurahan) dan belum melibatkan warga dusun lainnya, termasuk dampak kunjungan wisata bagi perekonomian desa secara luas. Ada semacam jarak antara warga dusun Kurahan dan dusun lain, mereka merasa Punthuk Setumbu milik mereka. Sehingga warga dusun lain juga merasa sungkan atau tidak berani untuk turut campur dalam pengelolaan Punthuk Setumbu. Lembaga pengelola wisata (Pokdarwis) kurang memberikan pengaruh pada keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Masyarakat dusun lain belum merasakan manfaat dari keberadaan Punthuk Setumbu tersebut. Bahkan kini terjadi persoalan mengenai transparansi pengelolaan, sehingga terjadi semacam konflik internal antar warga dusun Kurahan. Seperti yang disampaikan oleh Ahmad Nawawi selaku wakil ketua Pokdarwis sebagai berikut; “Saat ini pengelolaan Punthuk Setumbu dilakukan oleh warga Dusun Kurahan, sedangkan warga dusun lain tidak ada yang terlibat karena sungkan. Apalagi kini mulai timbul persoalan diantara warga dusun Kurahan tersebut, karena adanya persoalan transparansi keuangan. Sehingga kita sebagai warga dusun lain merasa sungkan. Konflik tersebut terjadi diantara para warga di dusun Kurahan karena tidak adanya kepercayaan diantara para pengelola Punthuk Setumbu dan warga lainnya, terutama masalah pendapatan dari retribusi dan sumbangannya untuk dusun”. Persoalan tersebut juga diiringi dengan tidak berfungsinya organisasi atau kelompok masyarakat secara nyata, karena belum adanya komitmen dan kemauan yang kuat dari warga.
46 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 43 - 52
Pernah dibentuk koperasi wisata dan adanya iuran di Pokdarwis namun terhenti dengan sendirinya karena masyarakat kurang yakin dengan perkembangan yang ada, terutama masih minimnya kunjungan wisatawan. Hal senada juga diungkapkan oleh Walidin, selaku koordinator pengelola Punthuk Setumbu. Pengelolaan Punthuk Setumbu dan objek lain pernah dibentuk koperasi wisata, namun sekarang tidak aktif lagi, karena tidak ada yang mengurusi, penjaga Punthuk Setumbu juga adalah pemuda yang relatif memilki banyak kesempatan waktu dan tenaga. Menurutnya memang pengelolaan Punthuk Setumbu oleh pemuda Kurahan saat ini menimbulkan konflik antar warga, dimana warga kurang percaya dengan pengelolaan keuangan karena tidak adanya transparansi, seperti diungkapkan Walidin sebagai berikut: “Pengelolaan oleh pemuda di sini pernah mendapatkan kirtik dari warga lain karena persoalan transparansi pengelolaan uang, terutama hasil dari retribusi serta sumbangannya kepada dusun, maka kita mencoba untuk membenahi laporan keungan kita catat jumlah rupiahnya setiap hari dan semua orang bisa membacanya” Pihaknya telah melakukan perubahan berupa transparansi laporan keuangan, serta melibatkan masing-masing RT sebagai pengelola. Pengelolaan saat ini dibuat lebih transparan dengan laporan keuangan yang tercatat di buku, sehingga bisa diketahui semua warga. Sebagian dari dana disumbangkan kepada kas Dusun dan RT masing-masing sebagai dan pembangunan lingkungan. Dalam hal keterlibatan pengelolaan, masing-masing RT mengirimkan 2 orang setiap minggu bergilir sebagai petugas penjaga Punthuk Setumbu. Menurut Walidin, konflik tersebut sedikit demi sedikit terselesaikan melalui forum rembuk warga dusun Kurahan, sehingga kedepan dapat dilakukan pengelolaan yang lebih baik. Saat ini pengelola Punthuk Setumbu ditetapkan berdasarkan kuota, yaitu sebanyak 11 orang, yang terdiri dari 10 orang perwakilan setiap RT dan 1 orang koordinator tetap. Di Dusun Kurahan ada 5 RT, dan masing-masing RT mengirimkan 2 orang perwakilan sebagai pengelola yang akan diganti atau digilir dengan warga lainnya setiap seminggu sekali. Setiap petugas yang berjalan di Punthuk Setumbu selama 1 minggu mendapatkan upah sebesar
Rp. 75.000,-, kemudian sebagian pendapatan dimasukkan ke dalam kas dusun dan dan masing-masing RT, serta sebagian lagi untuk pengembangan dan dana sosial. Meskipun belum menghasilkan pendapatan yang besar, namun ada harapan objek tersebut akan terus berkembang, mengingat rata-rata perhari ketika masa sepi, tidak kurang dari 25 wisatawan berkunjung. Jumlah tersebut tentu akan meningkat tajam ketika masa liburan. Dengan tarif retribusi sebesar Rp. 15.000,- per orang maka penghasilan yang diperoleh cukup besar untuk ukuran wisata tersebut. Saat ini tariff hanya berlaku ketika pagi hari, antara pukul 04.00 – 08.00 Wib yaitu ketika terjadi sunrise, di luar waktu trersebut, pengunjung bisa memasuki Punthuk Setumbu secara cuma-cuma. Menurut Walidin, secara langsung warga sekitar sudah merasakan manfaat keberadaan Punthuk setumbu, terutama akses jalan yang semakin bagus. Hanya secara fisik kendala yang ada di Punthuk Setumbu saat ini adalah lahan parkir terutama saat banyak pengunjung. Warga bersedia tempatnya menjadi lahan parkir asal difasilitasi infrastrukturnya. Kendala saat ini yang dihadapi Pokdarwis adalah persoalan dana untuk pengembangan wisata dan waktu dalam keterlibatan masyarakat, karena mereka menjalankan profesi yang cukup menyita waktu, seperti pengrajin, pedagang dan jasa lainnya. Maka diperlukan penataan kelembagaan Pokdarwis lebih lanjut sehingga dapat melibatkan unsur masyarakat yang lebih luas tanpa mengganggu aktifitas nafkah mereka, justru kegiatan Pokdarwis menjadi salahsatu kegiatan utama warga dalam mencari nafkah mereka. Pembahasan 1. Persoalan - persoalan Kepala Desa Karangrejo, Nuranis Musodiq memahami betul kendala-kendala tersebut di atas, sehingga memerlukan perbaikan dan pembenahan di berbagai segi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka persoalan yang terjadi pada desa Karangrejo untuk berkembang menjadi desa wisata dapat diklasifikasikan kedalam berbagai aspek. Dari aspek kebijakan, adalah belum adanya payung hukum yang kuat bagi pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan pengelolaan wisata yang melibatkan lebih banyak orang dan sektor yang lebih luas
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang – Arif Sofianto| 47
dan manfaat yang lebih luas, karena saat ini belum ada persetujuan atas Perdes yang mereka ajukan ke Bupati. Masalah dari aspek kelembagaan adalah bahwa Pokdarwis belum berjalan sebagaimana organisasi pada umumnya yang seharusnya mengkoordinir kegiatan wisata desa. Masih belum ada aktifitas nyata dari Pokdarwis, sehingga pengelolaan wisata masih sangat terbatas dan hanya melibatkan segelintir orang dengan ego-nya masing-masing. Masalah manajerial adalah manajemen yang masih sangat tradisional dan terfragmentasi, tidak terintegrasi dan antar pelaku usaha seperti pengrajin, kuliner, jasa wisata dan kesenian belum ada sinergisitas dan kesamaan sikap dan langkah dalam mengembangkan wisata. Belum ada lembaga yang memanajemen wisata desa secara sinergis. Persoalan kapasitas adalah masih kurangnya kapasitas masyarakat dan lembagaembaga yang ada dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pengelolaan wisata yang baik dan berdaya saing. Lemahnya transfer pengetahuan dan penguasaan teknologi serta pengelolaan wisata membuat potensipotensi wisata yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Penguasaan bahasa asing yang kurang menbuat masyarakat kurang mampu berinteraksi dengan wisatawan untuk menawarkan objek dan produk wisata desa. Selain itu, kemampuan melayani tamu atau wisatawan sangat kurang, sehingga jika ada yang berkunjung belum begitu tertarik untuk tinggal di desa. Persoalan sosial adalah adanya ego antar warga di Punthuk Setumbu terhadap warga lainnya sehingga tidak terjadi kerjasama dan sinergi pengelolaan wisata. Di sisi lain juga terdapat perasaan tidak percaya diantara warga karena kurangnya transparansi pengelolaan. Adanya jarak diantara warga terutama dusun Kurahan dan warga dusun lainnya. Rendahanya kohesi sosial, dimana masing-masing sibuk dengan urusan usahanya sendiri tanpa memperhatikan potensi usaha yang saling terkait dan bekerjasama. Masyarakat kurang memahami bahwa dengan melakukan kerja bersama mereka akan mendapat menfaat bersama. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa kendala sosial pariwisata adalah belum siapnya masyarakat dalam menghadapi kunjungan wisata. Sebagaimana disampaikan Kepala Desa Karangrejo, bahwa saat ini objek-objek wisata
berupa kuliner, kerajinan atau kesenian belum siap sedia, dengan kemasan yang belum siap jual, sehingga ditakutkan ketika wisatawan berkunjung, kurang memberikan sambutan yang baik atau tidak sesuai harapan, dan yang ditakutkan bahkan mengecewakan pengunjung. Sehingga diperlukan perbaikan internal dulu sebelum masyarakat menyiapkan diri sebagai desa wisata. Masyarakat dengan beragam profesi mereka harus disiapkan terlebih dahulu sebagai objek kunjungan wisatawan. Maka dengan demikian diperlukan kesiapan internal warga desa untuk menghasilkan produk dan suasana yang kondusif bagi wisatawan. Pengelolaan Punthuk Setumbu kedepan memerlukan perbaikan dan penataan yang serius serta keterkaitan dengan berbagai unsur wisata lain di desa agar bisa berjalan dengan sinergis. Selama ini wisatawan yang berkunjung ke Punthuk Setumbu tidak mengunjungi objek lain atau berbelanja dan menginap di desa Karangrejo, mereka sekedar melihat Punthuk Setumbu dan langsung pergi. Punthuk Setumbu juga perlu memberikan manfaat bagi dusun lainnya, sehingga diperlukan penataan wisata yang menyeluruh di desa, melalui penataan kewenangan dan kelompok penyelenggara wisata desa. 2. Solusi Pemerintah Desa Pemerintah desa sudah mengajukan draft Peraturan Desa mengenai pengelolaan wisata dan retribusi wisata desa kepada Bupati, dan saat ini sedang menunggu persetujuan Bupati untuk pengesahan Perdes tersebut. Kebijakan ini sebagai solusi terhadap pengelolaan wisata agar memberikan manfaat yang luas terhadap semua unsur masyarakat desa. Penataan untuk kesiapan masyarakat desa dalam menyambut wisatawan melalui produk mereka baik kerajinan, kuliner, jasa pemandu, homestay, maupun sarana dan objek wisata lainnya. Meningkatkan kapasitas objek wisata dan pelaku wisata desa secara internal sehingga siap untuk menjadikan desa Karangrejo sebagai desa wisata yang dikunjungi banyak wisatawan. Memperkuat kelembagan wisata yang melibatkan masyarakat desa secara luas, yaitu melakukan perombakan terhadap Pokdarwis sebagai pengelola wisata desa berbasis pemberdayaan masyarakat. Pokdarwis akan diperluas dan dinamika ditingkatkan dengan penataan struktur baru yang melibatkan masyarakat lebih luas sehingga siap menjadi lembaga pengelola wisata. Sebagai lembaga
48 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 43 - 52
pendukung wisata, maka perlu didirikan BUMDes yang bergerak memfasilitasi kebutuhan pelaku usaha wisata, serta koperasi sebagai lembaga penunjang kegiatan usaha desa berbasis pemberdayaan masyarakat. Penataan sarana dan prasaran pendukung wisata sehingga siap menyambut kedatangan tamu dan memenuhi kebutuhan penunjang wisata desa. Saat ini pemerintah desa dan masyarakat sedang mengupayakan dukungan dana dari berbagai pihak, selain meningkatkan keswadayaan masyarakat secara mandiri. Mendirikan Tourism Information Center (TIC) sebagai pusat pengeloalan wisata desa menjadi agenda penting lainnya. TIC ditempatkan sebagai pos pusat dimana wisatawan singgah sebelum menuju objek wisata di Punthuk Setumbu yang dilanjutkan ke dusun-dusun. Akan tetapi kendala saat ini adalah bahwa TIC masih memerlukan banyak sekali biaya untuk penyelesaiannya yang sampai saat ini baru setengahnya. Masih dibutuhkan berbagai penyelesaian dan fasilitas lainnya di TIC sehingga memerlukan banyak sumberdaya. Untuk itu, pemerintah desa dan segenap unsur masyarakat terus mengupayakan terpenuhinya sumberdaya tersebut. Berbagai macam solusi di atas merupakan upaya meningkatkan nilai tambah dari objek wisata dan pengelolaannya. Upaya menciptakan nilai tambah merupakan proses mencari cara, bentuk, produk atau proses baru yang lebih baik dari yang ada sebelumnya. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Dagun (2006:395) bahwa inovasi dapat diartikan menjadi 3 (tiga) makna utama, yaitu pertama, sebagai penemuan baru yang berbeda dari apa yang sudah ada atau dikenal sebelumnya baik dalam bentuk gagasan, metode atau alat. Kedua, inovasi juga bisa dimaknai sebagai pembaharuan dari yang lama menyangkut pengembangan atau peningkatan suatu produk baru atau yang telah diperbaharui. Ketiga, inovasi juga bisa dimaknai sebagai unsur kebudayaan yang merupakan hasil pembaharuan. Seperti yang disampaikan Porter (Bantacut, dalam Arif Satria, dkk, 2011;252) bahwa inovasi merupakan dasar dari perbaikan produktivitas dan unsur pembentuk daya saing. Dengan demikian, upaya pengembangan wisata desa Karangrejo tidak lepas dari adanya inovasi-inovasi, terutama dalam hal tata kelola wisata, manajemen dan kapasitas pengelola. Secara alamiah, desa Karangrejo telah memiliki potensi sumberdaya alam fisik, sosial dan
ekonomi yang memadai, dan hanya dibutuhkan kekuatan inovasi untuk memberikan nilai tambah pada potensi-potensi tersebut. Inovasi dalam pengelolaan wisata yang diperlukan lebih mengarah pada peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah desa dalam meningkatkan pengelolaan wisata desa. Dengan demikian, berbicara mengenai peningkatan pariwisata, maka berbicara mengenai inovasi yang diperlukan. Sebagaimana diungkapkan di atas, inovasi tidak lepas dari kapasitas inovasi, yang dalam hal ini membicarakan mengenai para aktor dan kapasitasnya. Kapasitas aktor dalam hal ini menjadi penentu kapasitas inovasi dalam sebuah masyarakat. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka aktor-aktor masyarakat sangat menentukan arah inovasinya. 3. Kelompok Masyarakat Sebagai Aktor Kelompok masyarakat merupakan aktor komunal yang sangat dibutuhkan, karena dapat melakukan perencanaan, proses, kontrol, dan evaluasi dengan kapasitas dan legitimasi yang cukup tinggi. Dalam hal ini, aktor merupakan seluruh komponen warga Desa Karangrejo, yaitu konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Aktor, struktur dan prosedur merupakan paket perbaikan dalam meningkatkan inovasi pengelolaan sumberdaya desa, yang terdiri dari sistem fisik, sistem sosial dan sistem ekonomi. Pengalaman yang ada di Desa Karangrejo menunjukkan bahwa pengelolaan dengan aktor terbatas, tata kelola yang seadanya dan kewenangan yang tidak seimbang menyebabkan potensi pariwisata tidak dapat dirasakan secara optimal oleh segenap masyarakat. Dengan demikian, satu paket inovasi dalam pengembangan wisata desa merupakan upaya yang terbagi menjadi 3 langkah penting, yaitu; 1). Menggalang aktor yang memiliki komitmen, 2). Membangun struktur dengan kewenangan yang jelas, dan 3). Menetapkan prosedur yang disepakati bersama. Dengan demikian, maka inovasi dalam pengeloalan sumberdaya desa dapat dialksanakan secara terarah dan terpadu dalam sebuah sinergi. Sistem fisik, sosial dan ekonomi menjadi objek inovasi yang perlu disinergikan sehingga menghasilkan manfaat yang optimal. Berdasarkan gambaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelompok masyarakat, dalam hal ini Pokdarwis merupakan aktor kolektif yang perannya sangat dibutuhlan dalam
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang – Arif Sofianto| 49
pengembangan wisata desa. Akan tetapi untuk menjadikan Pokdarwis berdaya, dibutuhkan kewenangan yang diarahkan oleh kepala desa. Artinya, peran sentral kepala desa sangat dibutuhkan, tentunya dengan dukungan tokoh lainnya. Kelompok berfungsi membangun interaksi, solidaritas serta kerjasama untuk menimbulkan perubahan-perubahan baru, atau inovasi dalam pengelolaan wisata. Hal tersebut sejalan dengan konsep Porter mengenai faktorfaktor kekuatan daya saing, yang salahsatunya adalah institusi. Kelompok merupakan salahsatu bentuk institusionalisasi ide, gagasan dan tindakan yang muncul dari keinginan pelaku sendiri. Institusi membentuk atmosfir individu, pemerintah dan pelaku usaha untuk berinteraksi. Intitusi juga memungkinkan adanya proses penggunaan pengetahuan kolektif, meningkatkan pengembangan, kolaborasi riset antar pemerintah, akademik dan pelaku usaha. Sehingga kelompok memang sangat diperlukan sebagai sarana utama bagi masyarakat untuk mengembangkan kapasitasnya. Gambar 4.7 di bawah ini menunjukkan bagaimana peran kelompok dalam pengembangan potensi desa, dalam hal ini potensi wisata. Beragam inovasi dalam bidang sosial akan dapat lahir ketika ada kelompok yag diakui bersama menjadi aktor utama dalam melakukan berbagai perubahan dan penataan. Hal inilah yang sangat dibutuhkan di Desa Karangrejo dalam mengembangkan wisatanya, yaitu melalui penguatan Pokdarwis sebagai pelaku utama yang melibatkan berbagai pihak. Langkah tersebut membutuhkan komitmen dan kepemimpinan yang kuat dari kepala desa. Maka proses pembenahan haruslah diawali dari komitmen bersama yang membutuhkan dukungan ketegasan dari tokoh sentral, yaitu peran kepala desa untuk menyatukan komitmen, ide dan gagasan yang berserak di masyarakat agar menjadi kesatuan senagai actor kolektif. Benih-benih keinginan mengembangkan desa wisata sudah ada di berbagai penjuru desa, maka diperlukan penggerak yang cukup kuat untuk menyatukannya. Perlunya sebuah forum bersama sebagai media penyatuan gagasan, dan tugas kepala desa beserta aparatnya adalah merancang forum tersebut. Pada lubuk hati terdalam setiap warga desa, dari beragam profesi dan kepentingan berbeda adalah adanya ketegasan bahwasannya mereka bisa mengandalkan sebuah aktor
kolektif yang diakui keabsahannya sebagai pelaku utama pembangunan wisata desa. Pokdarwis merupakan kemungkinan yang paling mendekati kenyataan sebagai aktor bersama tersebut. SIMPULAN Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: Pertama, kelompok masyarakat (Pokdarwis) belum memberikan peran berarti dalam optimalisasi sumberdaya desa untuk meningkakan kesejahteraan masyarakat, karena baik aktor, struktur maupun prosedur belum ada kesepahaman atau kesamaan persepsi mengenai pembangunan wisata desa serta belum berfungsinya kelompok masyarakat dengan baik. Kedua, kurangnya kejelasan struktur organisasi dengan tugas dan fungsi yang jelas. Dibutuhkan adanya kelompok yang memiliki kewenangan jelas, diakui sebagai aktor secara kolektif oleh segenap unsur, memiliki struktur dengan kewenangan dan fungsi yang jelas serta membangun prosedur dalam kerangka pengembangan wisata desa. Ketiga, adanya ketidaksinergisan antar elemen dan sektor dalam penyelenggaraan kepariwisataan di desa. Dibutuhkan sebuah instrumen yang memiliki daya dalam mensinergikan aras individu, lembaga dan sistem dalam penyelenggaraan kepariwisataan di dea. Keempat, kurang tertatanya objek dan produk wisata sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan, serta kurangnya kerjasama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk meningkatkan kualitas produk wisata, serta sarana pendukung lainnya. Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan adanya kebulatan tekad, niat baik, saling percaya dan saling memahami bahwa langkah tersebut sangat dibutuhkan oleh semua orang. Kepemimpinan kepala desa yang kuat dalam melakukan penataan kelembagaan sosial dan ekonomi akan sangat menentukan keberhasilan tersebut. Selain itu, inovasi merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam memberikan perubahan secara sosial, atau rekayasa sosial secara bertahap. Seusai dengan simpulan di atas, bahwa belum nanpak adanya peran kelompok dalam pengembangan wisata, sedangkan hal tersebut sangat diperlukan, maka dalam penelitan ini disarankan hal sebagai berikut: Pertama,
50 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 43 - 52
perlunya kepala desa meyakinkan kebulatan tekad, dalam hal ini kepala desa mampu membicarakan bersama segenap masyarakat dalam rembug desa untuk memantapkan diri, menyamakan persepsi bahwa Pokdarwis harus diaktifkan, dan diakui sebagai aktor utama yang berisi banyak orang (aktor kolektif); Kedua, penegasan struktur dengan tugas dan fungsi yang jelas, serta menambahkan beberapa struktur penting lainya dalam kepariwisataan, seperti promosi, kerjasama dan perencanaan program; Ketiga, menyamakan persepi mengenai prosedur-prosedur utama pariwisata desa, sehingga semua pihak mendapatkan manfaat. Semua pihak harus turut serta dalma membangun konsep wisata desa, paket wisata serta adanya keuntungan yang adil. Melalui rembug desa dapat dibangun kesepekatan mengenai pokok-pokok wisata desa. Keempat, perlunya melakukan penataan objek dan produk wisata sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk meningkatkan kualitas produk wisata, serta sarana pendukung lainnya. DAFTAR PUSTAKA Buku Arikunto, Suharsini, 2000, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta, Prenada Media Group Dagun, Save M., 2006, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN) Daldjoeni dan Suyitno, 2004, Perdesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung, PT. Alumni Satria, Arif, Ernan Rustiadi, Agusina M.P., 2011, Menuju Desa 2030, Bogor, Crespent Press, P4M IPB, Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta Basis Data Tanpa Penulis Monografi Desa Karangrejo 2012, Pemerintah Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Bappeda Kabupaten Magelang. Arah Kebijakan Pembangunan Pariwisata Di Kabupaten Magelang, 2012
Peran Kelompok Masyarakat dalam Penguatan Inovasi Sosial di Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang – Arif Sofianto| 51
52 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 43 - 52
STRATEGI PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN PERBATASAN NEGARA DI PROVINSI RIAU COMMUNITY DEVELOPMENT STRATEGY BASED IN BORDER STATES DISTRICT IN RIAU PROVINCE Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau Jalan Diponegoro No. 24 A Pekanbaru e-mail: [email protected] Dikirim: 28 Februari 2013; direvisi: 12 Maret 2013; disetujui: 18 Maret 2013
Abstrak Wilayah perbatasan memerlukan sebuah mekanisme pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan merumuskan strategi dan model pembangunan yang sesuai dengan kondisi wilayah pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Analisis data yang digunakan deskriptif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : pembangunan pada kecamatan perbatasan yang memiliki wilayah pesisir seharusnya dilakukan dengan melalui suatu pendekatan pembangunan yang menjamin terpeliharanya keseimbangan ekologi dan pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu, dengan meletakkan masyarakat sebagai basis pembangunan. Kata kunci : Pembangunan, perbatasan, berbasis masyarakat, berkelanjutan
Abstract The boarder area need a integrity and continually management mechanism. The purposes of this research to formulate the strategy and the model of development fringe which suitable with the area condition in the district of fringe country in Riau province. This research is done in the district of Rangsang Barat, Meranti regency of Riau province. The method of data analyzing that is used descriptive and quantitative. The result of research has shown the development of beach and ocean area should be done toward a development approach that keep the ecology balance and economic growing oprimally and sustainable with put the society as based development and doing it integraty. Keyword : development, boarder area, society based, sustainable.
PENDAHULUAN Kawasan perbatasan merupakan bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan (UU. No.43 tahun 2008). Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan perbatasan digolongkan pada kawasan strategis, yang penataan ruangnya diprioritaskan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam era reformasi dan dengan kondisi kritis yang masih berkepenjangan, penanganan masalah perbatasan belum dapat dilakukan secara optimal (Sobar Sutisna,S, dkk, 2010). Daerah perbatasan (border areas) memiliki keunikan tersendiri, baik ditinjau dari aspek geografis, sosial, dan cultural. Oleh karena itu,
pengelolaan wilayah perbatasan memerlukan kebijakan yang menyeluruh (holistic), mengingat pegembangan wilayah perbatasan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi dan perdagangan antara kedua negara yang akan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dan peningkatan pendapatan negara melalui kegiatan ekspor dan impor ( Patriadi,HB, 2010). Kawasan perbatasan darat di Indonesia tersebar di 4 provinsi, 16 kabupaten dan 66 kecamatan. Sedangkan kecamatan perbatasan dikawasan laut meliputi 104 kecamatan yang tersebar di 20 provinsi dan 50 Kabupaten. RPJM Nasional periode 2010 – 2014 telah menetapkan prioritas pengembangan wilayah kabupaten/kota dikawasan perbatasan, dimana terdapat 38 kabupaten yang diprioritaskan pengelolaannya (Bappenas – BNPP, 2010). Pengelolaan kawasan perbatasan masih menghadapi permasalahan yang kompleks, baik dari sisi delimitasi dan demarkasi batas, pertahanan dan keamanan, maupun pembangunan kawasan. Dari sisi perencanaan, salah satu permasalahan
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau – Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti| 53
pengelolaan kawasan perbatasan hingga saat ini belum tersedia rencana pembangunan yang beroritentasi kepada upaya pembangunan kawasan perbatasan terintegrasi dan terperinci (BappenasBNPP, 2010). Hingga saat ini kondisi perekonomian sebagian besar wilayah di kawasan perbatasan relatif masih tertinggal jika dibandingkan dengan pembangunan di wilayah lain. Di beberapa kawasan terjadi kesenjangan pembangunan kawasan perbatasan dengan negara tetangga. Kondisi ini pada umumnya disebabkan oleh masih terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi seperti sarana dan prasarana perhubungan, telekomunikasi, permukiman serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia (Hadi, S, 2009). Kabupaten Kepulauan Meranti termasuk satu dari lima Kawasan Prioritas Perbatasan Laut RISingapura/Malaysia/ Vietnam yang terdapat di Provinsi Riau, selain Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir (Bappenas- BNPP, 2010). Bila ditinjau dari geografis kabupaten Kepulauan Meranti, merupakan kabupaten satu-satunya yang merupakan Kepulauan di provinsi Riau, memiliki empat gugus pulau besar dan 12 pulau kecil. Kondisi geografis yang yang berada di jalur pelayaran dan perdagangan international Selat Malaka dan berbatasan dengan dua Negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura memberikan peluang dan ancaman dalam pembangunan di kabupaten Kepulauan Meranti. Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi sumberdaya alam yang besar dan beragam. Selain memiliki potensi pertambangan minyak dan gas bumi, perairan, wilayah pesisir dan laut, juga memiliki lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan bagi penduduk. Kawasan hutan mangrove (bakau) di kabupaten Kepulauan Meranti sudah banyak yang mengalami kerusakan. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan penduduk di kabupaten Kepulauan Meranti relatif rendah, hal ini dapat dilihat masih tingginya persentase rumah tangga miskin di Kepulauan Meranti yang mencapai 34,85 persen. Pada beberapa kecamatan dengan persentase rumah tangga miskin mencapai 40 persen lebih, terutama pada kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga seperti kecamatan Rangsang Barat, sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian (Bappeda Kepulauan Meranti, 2011). Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa pembangunan selama ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan karena belum sesuai dengan potensi sumber daya yang ada. Model pemberdayaan masyarakat yang selama ini digeneralisasi secara nasional atau berlaku untuk semua daerah, dengan asumsi bahwa kebutuhan masyarakat sama untuk seluruh daerah atau sama dengan kebutuhan penyusun kebijakan, menjadi penyebab utama pembangunan tidak dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat (penghamburan sumberdaya). Oleh karena itu, model pemberdayaan yang disusun secara nasional patut direevaluasi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayah masing-masing. Seperti yang dikemukan oleh Sobar, dkk (2010) bahwa setiap kawasan perbatasan memiliki karakteristik yang berbeda-beda oleh karena itu pengelolaan pembangunan ditiap-tiap kawasan tersebut tidak dapat disamaratakan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila wilayah perbatasan memerlukan sebuah mekanisme pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan, karena diruang perbatasan tersebut akan selalu terjadi pergesekan atau interaksi dengan Negara tetangga, baik positif maupun negative . P enanganan pembangunan wilayah pada setiap kawasan, mempunyai kondisi dan karakteristik berbeda-beda, sehingga focus pembangunannya akan berbeda-beda pula (Adisasmita, 2006). 1. Kabupaten Kepulauan Meranti yang merupakan wilayah kawasan gugus kepulauan dengan infrastruktur yang sangat terbatas dan persentase penduduk miskin yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa strategi atau model pembangunan selama ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya yang dimiliki merupakan langkah-langkah strategis dalam pembangunan daerah perbatasan. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana potensi sumberdaya pembangunan mencakup potensi fisik lingkungan, sosial dan ekonomi pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau? 2. Apakah sektor dan komoditi potensial yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau? 3. Bagaimana strategi dan model pembangunan pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau? Terkait dengan rumusan permasalahan dimaksud, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis potensi sumberdaya pembangunan meliputi fisik lingkungan, sosial dan ekonomi pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau, 2. Menganalisis sektor dan komoditi apa saja yang potensial untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau, 3. Merumuskan strategi dan model pembangunan yang sesuai dengan kondisi wilayah pada Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau.
54 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 53 - 62
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian Mengingat begitu luasnya ruang lingkup pengelolaan perbatasan, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada mengetahui dan menganalisa kondisi fisik lingkungan, sosial dan ekonomi serta merumuskan strategi dan model pembangunan pada daerah perbatasan Negara di Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, selama 8 (delapan) bulan dari bulan April 2011 sampai dengan November 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan pertimbangan (purposive), yakni kecamatan yang terletak paling luar yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia, persentase rumah tangga miskin yang relatif tinggi (34,91 %) dan jumlah desa tertinggal paling banyak di kabupaten Kepulauan Meranti (Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti, 2010). Pendekatan Penelitian Berdasarkan sifat tujuan penelitian, penelitian ini bersifat menjelajah (exploratory studies). Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus dan bersifat multi metode, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan menggunakan penelitian kualitatif adalah karena penelitian ini membahas aspek perilaku dan dinamika kelompok yang sangat kompleks. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana ciri-ciri khusus yang dimiliki dalam metode studi kasus, maka teknik pengumpulan data dalam penelitan ini tidak tunggal, namun gabungan dari beberapa teknik pengumpulan data, yaitu : Rapid Rural Apraisal (RRA)/ Pengenalan pedesaan dalam waktu singkat, FGD (Focus Group Discussion), dan telaahan dokumen. Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu data karakteristik masyarakat diperbatasan yang meliputi umur, mata pencaharian, pendapatan, tingkat pendidikan, aktivitas lintas batas, kendala atau hambatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan (kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi fisik lingkungan (topografi, hidrologi, tanah), potensi dan pemanfaatan sumberdaya lahan (produksi, luas areal panen, produktivitas komoditi), Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB. Dikumpulkan juga data sekunder mengenai sosial dan ekonomi masyarakat seperti jumlah penduduk, struktur penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas komunikasi, serta sarana dan prasarana perekonomian, program pembangunan yang telah dilaksanakan. Data
sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Bappeda, BPS, Kantor Camat, dan lain-lain. Metode Penentuan Responden Pemilihan lokasi responden pada penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan (purposive sampling) yakni desa yang memiliki penduduk terbanyak pada masing-masing letak desa pada masing-masing pesisir. Desa yang terpilih adalah Desa Kedapu Rapat (Desa di Pesisir Utara), Desa Bokor (Desa Pesisir Selatan) dan Desa Bantar (terletak diantara Pesisir Utara dan Selatan). Jumlah responden/ sample diperoleh dengan menggunakan rumus (Cochran, 2001):
t 2 PQ d2 n= 2 ⎡ t PQ ⎤ ⎢ d 2 − 1⎥ ⎦ 1+ ⎣ N Keterangan: n = jumlah sampel P = probalitas keyakinan N = jumlah populasi Q = 1 - probalitas t = t table d = standar error Pada penelitian ini menggunakan tingkat probalitas keyakinan terhadap data sebesar 95 %, maka diperoleh nilai tabel sebesar 1,96 dan standar error sebesar 0,05.. Dengan menggunakan perhitungan rumus perhitungan diatas diperoleh jumlah sampel sebanyak 75 rumah tangga, yaitu 25 rumah tangga per desa. Responden yang diamati adalah kepala rumah tangga. Pemilihan responden dari setiap desa dilakukan secara acak. Pemilihan responden sebagai informan kunci dalam wawancara mendalam di tentukan berdasarkan pertimbangan penguasaan terhadap kondisi lokasi penelitian. Jumlah informan kunci sebanyak 5 (lima) orang yang berasal dari berbagai stakeholder. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam dalam penelitian ini antara lain metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi daerah perbatasan kecamatan Rangsang Barat dan tingkat perkembangan pembangunannya, meliputi:tabulasi, peringkasan, dan penyajian dalam bentuk grafik atau gambar-gambar serta perhitungan ukuran deskripsinya, kemudian dilakukan analisa perbandingan. Metode kuantitatif antara lain berupa, analisis potensi sumberdaya wilayah, analisis penyebaran fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi wilayah dengan metode skalogram, analisis potensi sektor /
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau – Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti| 55
komoditi dengan metode Location Quentient (LQ), analisis GINI untuk memperoleh distribusi pendapatan, analisis SWOT untuk merumuskan strategi pembangunan berbasis masyarakat.
(33.33 %) termasuk kedalam wilayah miskin. Desadesa yang masuk katergori miskin potensi sumberdaya adalah Segomeng, Lemang, Kayu Ara, Sendaur dan Bina Maju.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sosial dan Ekonomi Tingkat pendidikan kepala keluarga di kecamatan perbatasan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dari tingkat pendidikan kepala keluarga sebagian besar berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar (30,19 %) dan Tamat Sekolah Dasar (26,42 %). Walaupun didominasi sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah mencapai pendidikan yang lebih tinggi relative besar, hal ini dapat dilihat hampir 94.7 persen rumah tangga tidak mempunyai anak yang tidak bersekolah yang berada pada usia sekolah. Tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong rendah dapat menyebabkan pola berpikir dan bertindak masyarakat dalam pembangunan sangat terbatas. Rendahnya pendidikan masyarakat, salah satunya disebabkan karena terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Fasilitas pendidikan yang terdapat di Kecamatan Rangsang Barat masih sangat terbatas. Pada tahun 2010 yakni 12 Taman Kanak-Kanak, 25 Sekolah Dasar, 5 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan 3 Sekolah Menengah Umum. Sedangkan untuk Madrasah, memiliki 4 Madrasah Ibtidaiyah, 6 Madrasah Tsanawiyah, 2 Madrasah Aliyah dan 28 Madrasah Diniyah Awaliyah serta 1 Pondok Pesantren. Sementara untuk sekolah kejuruan (SMK) sampai saat ini belum ada. Penyebaran fasilitas
Kondisi Fisik Lingkungan, Sosial dan Ekonomi Seluruh Desa di kecamatan Rangsang Barat merupakan Desa Pesisir, karena berbatasan langsung dengan garis pantai. Kondisi wilayah pesisir kecamatan Rangsang Barat secara umum sama dengan kondisi pesisir wilayah pantai timur Pulau Sumatera. Topografi wilayah kecamatan Rangsang Barat merupakan topografi datar, sebagian besar wilayah berada pada ketinggian kurang dari 50 mdpl, yang merupakan daerah pesisir. Iklim wilayah adalah tropis basah, tanpa bulan kering, dengan ratarata curah hujan 2500 – 3000 mm, tipe Equatorial. Batuan induk yang mengalasi Rangsang Barat terdiri dari batuan aluvial dan bahan organik. Jenis tanah relatif homogen dengan kesuburan rendah – sedang. (Bappeda Kab. Kepulauan Meranti, 2011). Ekosistem wilayah pesisir dan laut di kecamatan Rangsang Barat adalah ekosistem lahan rawa gambut dan kawasan mangrove. Pada umumnya lahan rawa gambut di dominasi oleh hutan rawa dan sagu. Sedangkan kawasan mangrove didominasi oleh hutan bakau, api-api dan nipah. Pada umumnya, kawasan hutan mangrove (bakau) di kecamatan Rangsang Barat sudah banyak yang mengalami kerusakan, karena dimanfaatkan oleh masyarakat.
Tabel 1. Jenis Fasilitas Pelayaran Berdasarkan Derajat Penyebarannya di Kecamatan Rangsang Barat Tahun 2010 Derajat Penyebaran Tinggi (≥ 70 %)
JENIS FASILITAS TK/RA dan TPA, Sekolah Dasar, MDA, Toko/Kedai, Industri kecil, Mesjid, Musholla Koperasi, Pelabuhan Rakyat
Sedang (35 - 70 %) SLTP, SLTA, Pasar. Madrasah, Pesantren, Klinik KB, Puskesmas, Restoran/Rumah Makan, BPR, Pegadaian, Gereja, Pura/Vihara, Hotel/ Penginapan Sumber : Data Olahan (2011) Rendah (≤ 35 %)
Berdasarkan hasil analisis hirarki potensi sumberdaya wilayah yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan, perindustrian, parawisata dan kependukuan pada setiap desa diperoleh bahwa pada tahun 2010, penyebaran sumberdaya kurang merata sehingga tingkat ketimpangan antar desa menjadi tinggi. Terdapat 6 desa (40,00 %) yang tergolong kedalam wilayah dengan potensi sumberdaya kaya, 4 desa (26,67 %) tergolong wilayah sedang dan 5 desa
pendidikan, kesehatan, ekonomi, perhubungan dan komunikasi seperti jalan, listrik dan air bersih sangat rendah di kecamatan Rangsang Barat (Tabel 1) Fasilitas pelayanan di kecamatan Rangsang Barat sebagian besar memiliki derajat penyebaran rendah (≤ 35 %). Fasilitas pelayanan yang keberadaannya hanya terbatas pada beberapa desa ini merupakan fasilitas yang mempunyai jangkauan pelayanan yang luas seperti SLTP, SLTA, Sarana
56 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 53 - 62
Kesehata (Puskesmas, Pustu, Klinik KB), Pasar dan lain-lain. Mata pencaharian penduduk terutama kepala keluarga di Kecamatan Rangsang Barat menunjukkan bahwa kepala keluarga mempunyai pekerjaan utama pada sector pertanian secara umum seperti sebagai nelayan ( 32.08 %), petani (35,95 %), buruh tani dan angkut (11,32 %), pedagang (5,66 %). Sebanyak 41,51 persen kepala keluarga mempunyai pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan di bidang pertanian mencapai 31,82 %, buruh 22,73 persen, pedagang 18.18 persen. Kepala keluarga di kecamatan Rangsang Barat mempunyai rata-rata pendapatan Rp. 1.501.900 /bulan. Pendapatan tersebut, 73,40 persen, berasal dari pekerjaan utama, sedangkan sisanya dari pekerjaan tambahan. Berdasarkan pengelompokkan pendapatan, 63.33 persen rumah tangga mempunyai pendapatan sebesar Rp.1.000.000,- s/d Rp. 2.000.000, per bulan, dan kurang dari Rp.1.000.000,terdapat sebanyak 17,33 persen. Pendapatan tersebut digunakan 56,76 persen untuk biaya konsumsi pangan, 15.79 persen untuk biaya transportasi, dan selebihnya untuk biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Distribusi pendapatan digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan rumah tangga. Hasil perhitungan Gini Ratio diperoleh bahwa pada 40 % pendapatan terendah menerima 24.29 % dari total pendapatan kepala keluarga sampel, 40 % pendapatan menengah memperoleh 40.04 dari total pendapatan kepala keluarga petani, sedangkan untuk 20 % pendapatan teratas memperoleh 35,66 % dari total pendapatan. Angka Gini Ratio sebesar 0.22, yang menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan atau ketimpangan pembagian pendapatan rendah (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi Pendapatan Yang Diterima Keluarga di Kec. Rangsang Barat No 1.
Golongan
Tingkat Pendapatan (Rp) 25.460.000
40 % terbawah 2. 40 % 43.662.000 menengah 3. 20 % 38.850.000 teratas Sumber :Data Olahan (2011)
Pendapatan Dalam Kelas (%) 24.29 40.04 35.66
Tingkat Kesejahteraan Jumlah desa tertinggal di kecamatan Rangsang Barat pada tahun 2010 berjumlah 11 desa atau 73.3 persen dari total desa yang ada. Tingkat kesejahteraan penduduk di kecamatan Rangsang Barat masih sangat rendah, karena masih terdapat 34.91 persen rumah tangga miskin (Bappeda Kab.Meranti. 2011). Disamping masih terdapatnya 4.4 persen balita yang berada pada kondisi status gizi
buruk, dan 11,7 persen yang mengalami gizi kurang pada tahun 2010 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Meranti, 2010). Tingkat kesejahteraan masyarakat di kecamatan perbatasan ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas ekonomi di daerah tersebut. Dari analisis hirarki fasilitas sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, peribadatan, parawisata, perhubungan, komunikasi, kepadatan penduduk dan lokasi desa) dengan skalogram , menunjukkan bahwa terdapat 5 desa (33.33 %) yang terletak diperbatasan negara yang termasuk wilayah tertinggal, 6 desa (40.00 %) yang termasuk berkembang, sedangkan 4 desa (26,67 %) yang termasuk wilayah maju, yakni desa Bantar, Bokor, Kedabu Rapat dan Tanah Merah. Dari hasil analisis skalogram diketahui bahwa desa Bantar, Bokor dan Kedabu Rapat menempati hirarki hirarki tertinggi. Kondisi ini menggambarkan tingkat ketimpangan antar desa di kecamatan Rangsang Barat. Oleh karena itu, dari analisis skalogram tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata terdapat 3 desa yang dapat menjadi pusat pelayanan atau pusat pengembangan wilayah utama adalah desa Bantar, Bokor dan Kedabu Rapat. Desa-desa yang berada di daerah pantai/pesisir pada umumnya memiliki unit sarana dan prasarana paling sedikit, terutama yang terkait dengan infrastruktur dasar. Masalah infrastruktur yang terutama adalah jalan, listrik, dan air bersih. Jalan-jalan didaerah perbatasan umumnya adalah sedang hingga rusak. Jalan jalan yang menghubungi desa ke desa apalagi jalan usaha tani dalam kondisi rusak, begitu juga keterbatasan jembatan yang ada. Persentase kondisi jalan yang baik di kecamatan Rangsang Barat relatif lebih sedikit dibanding kondisi jalan yang rusak, disamping jenis jalan tanah yang masih lebih banyak dibanding jenis jalan aspal dan kerikel. Kondisi ini membuat perkembangan ekonomi masyarakat di kecamatan perbatasan terkendala, mengingat untuk mengeluarkan hasil pertanian dari lahan usaha tani ke pemasaran menjadi lebih sulit dan mahal . Ketertinggalan secara ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat perbatasan di Kecamatan Rangsang Barat dipicu oleh minimnya infrastruktur dan aksesibilitas yang tidak memadai, seperti jaringan jalan dan angkutan perhubungan laut maupun darat masih sangat terbatas. Hubungan antar sebagian besar desa, baru dapat dilalui dengan kendaraan roda 2 dengan kondisi sebagian besar rusak (panjang jalan yang dapat dilalui kendaraan roda 4 hanya sepanjang 20 km) , prasarana dan sarana komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon relatif minim, ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Terbatasnya sarana dan prasarana komunikasi, khususnya yang dapat menggambarkan perkembangan kemajuan pembangunan di Provinsi
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau – Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti| 57
Riau dan Indonesia secara umum, mengakibatkan masyarakat lebih cenderung mendengar dan melihat program-program televise dari Negara tetangga. Kondisi keterbatasan tersebut akan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat perbatasan ketika mereka membandingkan dengan kondisi pembangunan di negara tetangga Malaysia khususnya kota Batu Pahat. Aktivitas Lintas Batas Aktivitas lintas batas merupakan kegiatan yang biasa terdapat pada daerah yang terdapat pada perbatasan suatu Negara. Kepala keluarga yang melakukan perjalanan/kunjungan ke Negara tetangga (Malaysia) dalam setahun dengan frekuensi 1- 2 kali sebanyak 18,67 persen. Kegiatan lintas batas dilakukan dalam rangka mencari kerja (57,14 %) dan berdagang (42,86 %). Kegiatan mencari kerja dan berdagang pada umumnya dengan alasan pendapat di negara tetangga lebih besar. Aktivitas perdagangan yang dilakukan adalah menjual hasil pertanian seperti ikan, karet, kopi, pinang, arang kayu, sedangkan dari Negara tetangga yang dibawah adalah kebutuhan bahan makanan (sembako) seperti gula, tepung,susu, beras, dan makanan kecil lainnya dan kadang-kadang furniture dan semen. Transportasi yang digunakan adalah kapal kayu mesin. Hampir 62.5 persen melakukan aktivitas perdagangan melalui perantara, dan 87,5 persen tidak melalui pintu entry point (Teluk Belitung dan Tanjung Samak), karena dianggap terlalu jauh oleh masyarakat serta nilai perdagangan yang diperbolehkan RM 600 masih relative rendah. Seperti aktivitas lintas batas yang dilakukan dari pelabuhan Kedabu Rapat, terdapat 4 kapal yang melakukan aktivitas rutin ke Negara tetangga setiap bulan, 1 kapal setiap minggunnya. Setiap kapal memuat 5 anak buah kapal. Aktivitas lintas batas yang dilakukan ini seakan-akan mendapat permakluman dari muspida setempat. Potensi Wilayah Analisis potensi wilayah terkait untuk menentukan sektor-sektor yang perlu dikembangkan agar perekonomian daerah tumbuh cepat. Hasil perhitungan LQ di kabupaten Kepulauan Meranti memberikan gambaran bahwa pada tahun 2009 terdapat dua sektor / lapangan usaha yang menjadi basis (LQ > 1) pembangunan yakni sector pertanian, perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor basis di kabupaten Kepulauan Meranti sangatlah relevan dengan peran ketiga sektor tersebut dalam membentuk PDRB kabupaten Kepulauan Meranti yang begitu dominan. Mengingat potensi dan kondisi saat ini dimana wilayah kecamatan Rangsang Barat yang memiliki potensi lahan sawah yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa sektor pertanian secara umum, menjadi sektor basis
untuk pengembangan pembangunan di kecamatan Rangsang Barat. Seperti yang dikemukakan oleh Tarigan, R (2005), bahwa nilai LQ pada tingkat yang lebih tinggi seperti Kabupaten/Kota, secara umum dapat menggambarkan nilai LQ pada tingkatan yang lebih rendah atau wilayah kecamatan pada kabupaten tersebut, bila dilihat dari potensi dan kondisi kecamatan. Sehingga berdasarkan klasifikasi sub sektor, kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai beberapa sub sektor yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Pada tahun 2007 – 2008 terdapat 8 (delapan ) sub sektor basis. Sub sektor tersebut adalah sub sektor tanaman bahan makanan (1,43), peternakan (1,47), kehutanan (1,83), dan perikanan ( 1,07) dari sektor pertanian; sub sektor industri tanpa migas (1,10) dari sektor industri pengolahan; sub sektor perdagangan (1,75) dari sektor perdagangan, hotel dan restoran; sub sektor pengangkutan laut (2,10), jasa penunjang pengangkutan (1,41) dari sektor pengangkutan dan komunikasi (Bangun, RK, dkk, 2009). Komoditi Basis/Potensial Penentuan komoditi basis masing-masing sub sektor diketahui metode Location Quetion (LQ). Komoditi basis bila nilai LQ komoditi tersebut lebih dari satu ( LQ > 1), yang mempunyai bahwa komoditi tersebut menjadi komoditas basis atau sumber pertumbuhan. Komoditas itu memiliki keungulan komparatif, dapat memenuhi kebutuhan wilayah tersebut dan memasok ke luar wilayah (Hendayana, 2003). Komoditi basis tanaman pangan dan hortikultura untuk wilayah kecamatan Rangsang Barat adalah padi (1.05), durian (2.88), pisang (1,92), sawi (1,14), kacang panjang (1.05). Komoditi basis tanaman perkebunan yaitu karet (1.67), kelapa (2.24), kopi (6.60) dan pinang (6.03). Komoditi basis perikanan yakni perikanan laut (1.0) sedangkan komoditi basis dari peternakan adalah kambing (5.37), sapi (1.42), ayam kampong (1.85) dan itik (1.25). Sektor pertanian yang memiliki keunggulan di kecamatan Rangsang Barat, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang. Percepatan pembangunan dengan sector pertanian dapat dilakukan melalui upayaupaya antara lain : (1) peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaan, (2) pengembangan ekonomi lokal, (3) penyediaan infrastruktur sosial ekonomi dan lingkungan; (4) penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan, usaha ekonomi dan lembaga swadaya masyarakat setempat. Model pembangunan pertanian yang dapat dilakukan di kecamatan Rangsang Barat dapat berupa kawasan agropolitan. Pola pengembangan spasialnya berbentuk koridor yang membentang sepanjang perbatasan, dengan demikian diharapkan akan mendorong pengembangan ekonomi berbasis pertanian diwilayah hinterland.
58 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 53 - 62
Alternatif Strategi Pembangunan Hasil analisis lingkungan internal di kecamatan perbatasan (Kecamatan Rangsang Barat) , diperoleh factor kekuatan adalah : (1) Tersedianya potensi sumberdaya alam, (2) Letak geofrafis yang Faktor Internal
Tingginya permintaan pasar terhadap produk pertanian, Faktor-faktor ancaman yang harus diatas adalah: (1) Kesenjangan tingkat pendapatan penduduk dengan negara tetangga, (2) Masih terdapat beberapa kebijakan pemerintah pusat dan daerah tentang pengelolaan perbatasan yang tidak
Kekuatan (S) 1. Tersedianya potensi sumberdaya alam yang besar 2. Letak geografis yang strategis 3. Persamaan bahasa dan budaya dengan Negara tetangga 4. Besarnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Eksternal 1. 2. 3. 4.
Peluang (O) Perkembangan Teknologi dan Informasi Dukungan Otonomi Daerah Berada pada jalur perdagangan terpadat di dunia Tingginya Permintaan Pasar Produk Pertanian
Strategi S-O 1. Memanfaat potensi sumberdaya yang berkelanjutan dengan mengoptimal-kan OTDA 2. Optimalisasi keterlibatan masyarakat dalam pembangunan
1. 2.
3. Ancaman (T) Kesenjangan tingkat 1. pendapatan penduduk dengan negara tetangga 2. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah tentang pengelolaan perbatasan yang 2. kurang saling mendukung 3. Kerusakan Lingkungan 4. Rawan kegiatan illegal 5. Konflik batas 6. Sasaran utama jika terjadi perti-kaian / peperangan antar bangsa. Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2011. 1.
Strategi S- T Peningkatan dan pemanfaatan SDA secara optimal dan berkelanjutan untuk menghadapi persaingan antar wilayah dan eraglobalisasi 7. Sinkronisasi perencanaan pem-bangunan dalam memformula-sikan kebijakan daerah perba-tasan dengan mempertim-bangkan kondisi potensi daerah dan kelembagaan lokal
strategis, (3) Persamaan bahasa dan budaya dengan Negara tetangga, 4) Besarnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Faktor kelemahan adalah: (1) Infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan, listrik dan air bersih masih minim, (2) Sarana dan prasarana perikanan dan pertanian belum mamadai, (3) Kualitas sumberdaya manusia yang masih relatif rendah, (4) Tingginya angka kemiskinan, (5) Tingginya ketergantungan pada toke, 6) Belum tersedianya perencanaan pembangunan yang komprehensif, (7) Tingkat abrasi pantai yang tinggi. Sedangkan dari analisis lingkungan eksternal diperoleh peluang dan ancaman. Faktor-faktor peluang meliputi (1) Perkembangan Teknologi dan Informasi, (2) Dukungan Otonomi Daerah, (3) Berada pada jalur perdagangan terpadat di dunia, (4)
1. 2.
Kelemahan (W) Infrastruktur dasar yang sangat minim Kualitas sdy manusia rendah Tingginya angka kemiskinan Tiingginya ketergantuang-an pada toke Belum tersedianya perencanaan yang komprehen-sif pd wilayah perbatasan Tingkat abrasi pantai yang tinggi Sarana dan prasarana pertanian belum mamadai Strategi W-O Penyiapan infrastruktur dasar (jalan/jembatan, listrik, air bersih, pelabuhan) Peningkatan kualitas SDM dengan lebih melibatkan peran aktif masyarakat dan seluruh stakeholders Optimalisasi pengembang-an sarana dan prasarana pertanian Strategi W –T Pengembangan potensi unggulan daerah yang berwawasan lingkungan Optimalisasi peningkatan peranan lembaga pemerintah
saling mendukung, (3) Kerusakan lingkungan, (4) Rawan kegiatan ilegal, (5) Konflik batas, (6) Sasaran utama jika terjadi pertikaian / peperangan antar bangsa. Hasil analisis Matriks SWOT (Tabel 3), diperoleh bahwa alternatif strategi pengelolaan sumberdaya pembangunan di kecamatan perbatasan negara khususnya kecamatan Rangsang Barat adalah: (a) Penyiapan infrastruktur dasar (jalan, pelabuhan, listrik, air bersih) dan rehabilitasi kawasan manggove untuk penyelamatan albrasi pantai, (b) Peningkatan kualitas SDM melalui jalur formal dan informal kejuruan, (c) Optimalisasi pengembangan sarana dan prasarana sumberdaya perikanan dan pertanian, (d) Sinkronisasi perencanaan pembangunan dalam memformulasikan kebijakan
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau – Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti| 59
daerah perbatasan dengan mempertimbangkan kondisi potensi daerah dan kelembagaan lokal. Alternatif strategi pembangunan tersebut diatas, dilakukan dengan lebih melibatkan peran aktif masyarakat dan seluruh stakeholders. Alternatif strategi-strategi tersebut diatas perlu diawali dengan penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perbatasan di kabupaten Kepulauan Meranti, yang merupakan penjabaran dari rencana tata ruang wilayah kabupaten. Kemudian diikuti dengan penyusunan rencana aksi pengelolaan kawasan perbatasan dengan melibatkan secara aktif masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan melalui proses musyawarah dan konsultasi publik yang intensif dalam setiap tahapan proses pembangunan. Model Pembangunan Berbasis Masyarakat Pembangunan yang dilaksanakan di kecamatan perbatasan tidak terlepas dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi dan Kabupaten . Dari analisis dari RPJMD Provinsi Riau 2009 – 2013, dan RPJMD Kabupaten Kepulauan Meranti , diperoleh bahwa Meskipun RPJMD telah mengeksplisitkan pembangunan daerah perbatasan, guidance untuk melakukan pembangunan secara khusus pada kecamatan perbatasan negara belum ada. Sehingga, daerah perbatasan masih dilihat dalam kacamata yang sama dengan daerah lain sehingga implementasi programnya disamakan dengan program umum yang berlaku bagi seluruh kecamatan. Selain itu instrument perencanaan pembangunan khusus untuk kecamatan perbatasan negara belum tersedia. Sedangkan menurut Malik Hemen (2009), mengemukakan bahwa pembangunan tanpa memperhatikan kharakteristik dan kebutuhan lokal akan banyak membuang sumberdaya secara sia-sia. Dari penyataan responden diperoleh bahwa hanya 44 persen responden yang menyatakan bahwa program/kegiatan pembangunan yang ada selama ini, memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti bahwa strategi dan model pembangunan yang ada selama ini belum secara optimal dapat meningkatkan kesejahteraan di kecamatan Rangsang Barat. Hanya beberapa program pembangunan yang dirasakan memberikan manfaat meskipun masih relative kecil. Program peningkatan kapasitas ekonomi pedesaan (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), PNPM Mandiri Pedesaan perlu diperluas sesuai dengan karakteristik wilayah di kecamatan perbatasan Negara, serta lebih melibatkan peran masyarakat baik dari aspek perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan terhadap program yang ada. Memperhatikan karakteristik kondisi fisik lingkungan, potensi sumberdaya pembangunan yang ada di kecamatan Rangsang Barat, merupakan suatu system dengan kompleksitas yang sangat tinggi ditilik dari segi sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia. Sumberdaya alam pesisir sangat beragam dan sangat khas dibandingkan karakteristik sumberdaya alam yang dijumpai pada ekosistem lainnya. Demikian pula dengan sumberdaya manusia yang mendiami wilayah ini memiliki karakteristik yang kompleks. Oleh karena itu pembangunan wilayah pesisir seharusnya dilakukan dengan melalui suatu pendekatan pembangunan yang menjamin terpeliharanya keseimbangan ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Pemeliharaan lingkungan hidup yang lestari seperti rehabilitasi dan peliharaan kawasan hutan mangrove, suatu keharusan. Kedua tujuan (ekologi-ekonomi) tersebut akan tercapai melalui suatu kebijakan pembangunan yang optimal dan berkelanjutan yang meletakkan masyarakat sebagai basis pembangunan dan dilakukan secara terpadu. Keterpaduan yang dibutuhkan meliputi tiga unsur, yaitu keterpaduan antar sektoral, keterpaduan antar disiplin ilmu dan keterpaduan antar berbagai ekosistem yang membentuk wilayah pesisir dan lautan. Sedangkan masyarakat sebagai basis pembangunan wilayah pesisir dan lautan mengandung pengertian bahwa masyarakat (penduduk lokal, LSM, Swasta, perguruan tinggi) menjadi pelaku utama dalam proses pembangunan sejak tahap perencanaan, penyusunan program, pelaksanaaan hingga evaluasi kegiatan pembangunan yang dilakukan. Masyarakat menjadi kunci bagi keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Peran pemerintah lebih terkonsentrasi pada tataran koordinasi diantara berbagai stakeholder untuk menjamin terpeliharanya kejelasan wewenang keterpaduan antar dimensi dalam pembangunan di kecamatan perbatasan Negara (kecamatan Rangsang Barat). Pada akhirnya melalui strategi pembangunan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat akan menghasilkan suatu pembagian tanggung jawab antara pemerintah pada semua tingkat dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya (stakeholder) dalam pengelolaan daerah perbatasan yang memilki karakteristik wilayah pesisir dan lautan. Dapat diartikan strategi pengelolaan terpadu berbasis masyarakat ini pada hakekatnya baik masyarakat maupun pemerintah sama-sama diberdayakan (Gambar 1). SIMPULAN Strategi dan model pembangunan yang digunakan selama ini di kecamatan Rangsang Barat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai yang diharapkan, hal ini terlihat dari masih tingginya persentase jumlah penduduk miskin, terbatasnya sarana pendidikan (sekolah; guru), sarana kesehatan (dokter, akses obat, puskesmas) dan minimnya infrastruktur dasar (jalan, jembatan, listrik, air bersih, sarana teknologi komunikasi dan informasi), terbatasnya keberadaan lembaga
60 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 53 - 62
perekonomian (pasar, koperasi, lembaga keuangan). Sektor pembangunan yang potensial untuk dikembangkan ke depan di kecamatan Rangsang Barat) meningkatan kesejahteraan masyarakat adalah adalah sektor pertanian, dengan komoditi basis antara lain: padi, karet, kopi, perikanan laut, kambing, dan itik. Alternatif strategi yang dapat ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya pembangunan untuk mempercepat di kecamatan perbatasan negara khususnya kecamatan Rangsang Barat adalah : (a) Penyiapan infrastruktur dasar (jalan, pelabuhan, listrik, air bersih) dan rehabilitasi kawasan manggove untuk penyelamatan albrasi pantai , (b) Peningkatan kualitas SDM melalui jalur formal dan informal kejuruan, (c) Optimalisasi pengembangan sarana dan prasarana sumberdaya perikanan dan pertanian, (d) Sinkronisasi perencanaan pembangunan dalam memformulasikan kebijakan daerah perbatasan dengan mempertimbangkan kondisi potensi daerah dan kelembagaan lokal, Alternatif strategi pembangunan tersebut diatas, dilakukan dengan lebih melibatkan peran aktif masyarakat dan seluruh stakeholders. Pembangunan pada kecamatan perbatasan yang memiliki wilayah pesisir dilakukan dengan pendekatan pembangunan yang menjamin terpeliharanya keseimbangan ekologi dan pertumbuhan ekonomi, yang dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu, dengan meletakkan masyarakat sebagai basis pembangunan. Upaya untuk mewujudkan kawasan perbatasaan negara sebagai beranda terdepan dalam konsep pembangunan maka diperlukan penyiapan infrastruktur dasar (jalan, pelabuhan, listrik, air bersih ) dan rehabilitasi kawasan manggove untuk penyelamatan dari abrasi pantai, serta penyediaan kelembagaan perekonomian seperti pasar, koperasi dan lembaga keuangan yang dilakukan secara terpadu. Sedangkan untuk mendukung peningkatan ekonomi masyarakat perlu regulasi kebijakan perdagangan lintas batas yang ada seperti penambahan entry/ exit point lintas batas serta sarana/prasarana pendukung, peningkatan volume dan nilai perdagangan. Supaya upaya-upaya pembangunan di kecamatan perbatasan negara, lebih terarah diperlukan pembentukan lembaga koordinasi pembangunan yang bertugas mengelola wilayah perbatasan negara seperti Badan Daerah Pengelola Perbatasan di Provinsi Riau dan kabupaten sebagai implementasi UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. DAFTAR PUSTAKA
Facility (DSF) BAPPENAS – BNPP- PT.Pillar Pusaka Inti. Jakarta Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti 2010. Kabupaten Kepulauan Meranti Dalam Angka 2010. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Meranti dan Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti. Selat Panjang Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti. 2011. Profil Kabupaten Kepulauan Meranti. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepualauan Meranti. Selat Panjang. Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti. 2010. Draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2011 – 2015. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepualauan Meranti. Selat Panjang. Bangun, RK, dkk, 2009. Analisis Potensi Ekonomi Dan Strategi Pembangunan Ekonomi Di Daerah Otonom Baru Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau. Pekanbaru Cochran, W.G. 2001. Teknik Penarikan Sampel. Universitas Indonesia Press. Jakarta Hadi, Suprayoga (2009): Program Pembangunan Kawasan Perbatasan “Strategi Pengembangan Perbatasan Wilayah Kedaulatan NKRI”. http: //buletinlitbang. dephan. go.id, diakses tanggal 11 Desember 2010 Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian, Volume 12. Jakarta Malik Hemen. 2009. Pembangunan Berbasis Masyarakat Mungkinkah Dapat Menjawab Masalah Sosial. Lembaga Pengkajian Pembangunan Bengkulu. http://wecarebengkulu.wordpress.com/2009/06/2 4, diakses tanggal 4 Desember 2010 Patriadi, H.B, 2010. Isu Perbatasan : Memudarnya ‘Imagined State?, dalam Mengelola Perbatasan Indonesia Didunia Tanpa Batas, Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sutisna Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo, 2010. Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan di Indonesia : Dalam Mengelola Perbatasan Indonesia Didunia Tanpa Batas, Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Penerbit : PT. Bumi Aksara. Cetakan Pertama. Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2008. Wilayah Negara. Graha Ilmu. Yogyakarta
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta Bappenas-BNPP. 2010. Draft Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Decentralization Support
Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Perbatasan Negara di Provinsi Riau – Gevisioner, Rindukasih Bangun, Karyanti| 61
62 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 53 - 62
PELAKSANAAN PELAYANAN KARTU TANDA PENDUDUK ELEKTRONIK ( e-KTP) DALAM MENDUKUNG SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA JAYAPURA ELECTRONIC IDENTITY CARD (E-KTP) SERVICE IN SUPPORT ADMINISTRATION SYSTEM IN THE JAYAPURA CITY Agus Hartopo Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Jl. Soasiu Dok II Jayapura Papua No. Telp./Faxs : + 620967 535334 e-mail : [email protected] Dikirim: 3 Februari 2013; direvisi: 8 Maret 2013; disetujui: 18 Maret 2013
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui capaian perekaman e-KTP di Kota Jayapura; menganalisa hubungan jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman; menginventarisir hambatan dalam perekaman e-KTP; menginventarisir upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura mengatasi kendala perekaman e-KTP; mengetahui rasio alat perekaman dengan jumlah penduduk wajib eKTP. Metodologi yang digunakan untuk menganalisa hubungan variabel menggunakan korelasi dengan bantuan sofware SPSS 19, serta prosentase. Hasil penelitian menunjukan: pelaksanaan kebijakan e-KTP di Kota Jayapura telah dilaksanakan dan mencapai kemajuan yang signifikan. Perkembangan perekaman eKTP pada akhir tahun 2012, menunjukan hingga 89 %. Dalam jangka waktu 5 bulan (dari bulan Agustus – Desember 2012) mengalami perkembangan sebesar 5 %.Terdapat hubungan yang siginfikan antara jumlah penduduk dengan wajib e-KTP dalam arti semakin besar jumlah penduduk di Kota Jayapura akan semakin besar pula penduduk wajib e-KTP. Sebaliknya terdapat hubungan antara jumlah wajib e-KTP dengan penyelesian perekaman e-KTP. Dalam pelaksanaan perekaman e-KTP ditemukan sejumlah hambatan. Hambatan yang muncul telah diatasi dengan berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Jayapura. Kata kunci: e-KTP, kota jayapura, perekaman, hambatan, pemerintah.
Abstract This study aim to know target taping e-KTP at Municipality Jayapura, analyse corelation total population compulsory e-KTP with complition taping, inventory effort by Goverment Municipality Jayapura overcome constraints taping e_KTP, know ratio too taping with total population compulsory e-KTP.The study shows that implemention policy e-KTP at municipality Jayapura has been implemented and achieve progress significant. Development tapiong e-KTP at year end 2012, have shown until 89 %. In the period 5 mounth (from August – December 2012) development 5 %. There is a relationship significant betwenn total population and compulsary e-KTP, in the sense greather total population at Municipality Jayapura will greather total population compulsory e-KTP. Otherwise relation between total compulsary e-KTP with completion taping e-KTP. In implementaion taping e-KTP finds obstacle appear has been overcome by kinds effort has been implemented by local Goverment Municipality Jayapura. Keywords: e-KTP, municipality jayapura, taping, obstacle, recording equipment.
PENDAHULUAN Pelaksanaan penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) didasarkan pada Undang-Undang nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan lainnya yang mengatur penerapan e-KTP yaitu : Peraturan Presiden nomor 26 tahun 2009 tentang penerapan KTP berbasis NIK secara Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomer 35 tahun 2010, Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 471.130.5-335 tentang pembentukan tim
teknis penerbitan NIK & Penerapan KTP Berbasis NIK secara Nasional, Peraturan Menteri dalam Negeri No 6 tahun 2011 tentang standar & spesifikasi perangakt lunak & blanko KTP berbasis NIK secara Nasional, Peraturan Menteri Dalam negeri No. 9 tahun 2011 tentang pedoman penerbitan KTP berbasis NIK secara nasional, Surat edaran Menteri Dalam Negeri nomor. 471.13/2715/MD tanggal 16 Juni 2010 tentang Pemutahiran Data Kependudukan Penerbitan NIK dan persiapan e-KTP dan surat edaran menteri dalam negeri nomor.
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik ( E-KTP) Dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura – Agus Hartopo| 63
471.13/4141/SJ tanggal 13 Oktober 2010 tentang Penerbitan NIK dan persiapan e-KTP tahun 2011. Pemerintah Kota Jayapura melaksanakan pemberlakuan kartu tanda penduduk elektronik (eKTP) sejak tahun 2011. Pemberlakukan ini diawali dengan perekaman bagi setiap penduduk wajib eKTP. Pada tahun yang sama, kabupaten yang mulai melaksanakan perekaman secara bersamaan yaitu : Kabupaten Sarmi, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayapura. Penduduk Kota Jayapura berjumlah 256.705 pada tahun 2012. Dari total jumlah penduduk, penduduk wajib e-KTP Kota Jayapura berjumlah 157.741, (61,4 persen). Sedangkan dari total penduduk wajib e-KTP Provinsi Papua 2.999.382. maka penduduk wajib e-KTP sebesar 5,3 persen berdomisili di Kota Jayapura. Penduduk Kota Jayapura tersebar ke dalam lima distrik meliputi : Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram dan Muara Tami. Pelayanan perekaman e-KTP dilaksanakan di setiap distrik. Perangkat perekaman dan operator eKTP ditempatkan di setiap Distrik. Pelayanan dibuka dari pagi jam 08.00 hingga selesai, bahkan sampai malam hari jika banyak yang datang melakukan perekaman. Perekaman tidak dikenakan biaya (gratis). Himbauan selalu disampaikan dari Pemerintah Kota Jayapura, agar penduduk segera melakukan perekaman dalam batas waktu yang telah ditentukan. Penduduk Kota Jayapura pada dasarnya sadar arti penting dari e-KTP. Namun karena keterbatasan alat perekam, maka mengantri menunggu giliran. Banyaknya wajib e-KTP yang ingin segera melakukan perekaman berakibat antrian di kantor Distrik. Hal ini mengakibatkan ada penduduk yang mengurungkan niat melakukan perekaman. Pemerintah Kota Jayapura mempunyai tugas dan kewajiban dalam memberikan pelayanan e-KTP. Kesiapan petugas perekam turut menentukan tingkat layanan dan target penyelesaian e-KTP. Pelayanan perekaman dilakukan pula pada kelurahan pada harihari tertentu. Pelayanan di keluruhan mengikuti jadwal yang telah ditentukan, mengingat alat perekaman terbatas. Pada dasarnya perekaman dapat dilaksanakan dimana saja, karena alat perekam terhubung dengan jaringan internet. Jaringan internet ini terhubung dengan pusat (KEMENDAGRI) untuk selanjutnya dilakukan pencetakan e-KTP di Jakarta dan dikirim kembali ke Kota Jayapura. Penggunaan jaringan internet di Kota Jayapura terkadang mengalami kendala tidak ada signal. Hal serupa dialami Kabupaten Tasikmalaya, listrik sering mati berakibat jaringan internet kurang kuat (www.pikiranrakyat.com). Listrik di Kota Jayapura dilayani PLN. Pembangkit listrik yang digunakan pembangkit listrik tenaga disel (PLTD). Program e-KTP yang didalamnya tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam jangka panjang dapat digunakan dan dijadikan sebagai dasar
dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomer Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat Hak Atas Tanah serta penerbitan identitas laiinya (UU 23 Tahun 2006 Psl. 13) . Selain itu dalam penentuan Daftar pemilih tetap (DPT) dapat memanfaatkan data base e-KTP. Dengan demikian akan mendukung suksesnya Pemilu/Pemilukada. Tersedianya data pemilih tetap (DPT) maka akan meningkatkan pelayanan publik, karena hak pilih setiap penduduk sudah tersedia. Meskipun Kota Jayapura merupakan daerah perkotaan masih ditemukan penduduk yang belum melakukan perekaman e-KTP. Salah satu alasan yang muncul ditemukan penduduk tidak bersedia diambil data iris mata. Alasan ini menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan perekaman data eKTP. Pemerintah Kota melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan pendekatan-pendekatan agar perekaman dapat dilaksanakan kepada seluruh penduduk yang wajib e-KTP. Slogan dalam mencapai wajib e-KTP “ Kota Jayapura Wajib eKTP” Kota Jayapura sangat mudah diakses dari laut maupun udara dari luar daerah. Akibatnya jumlah penduduk Kota Jayapura bertambah akibat migrasi masuk. Sarana anggkutan yang digunakan dari laut berupa kapal PELNI ( kapal putih). Dalam Satu minggu terdapat dua kali kapal masuk ke Jayapura. Meskipun secara dejure penduduk yang datang merupakan warga kota Jayapura tetapi hanya berstatus domisili. Kartu Tanda Penduduk yang dimiliki masih merupakan penduduk daerah asal (Jawa, Sulawesi dan laiinya). Dari latar belakang yang dikemukan maka dirumuskan masalah yang hendak diteliti yaitu :a) Bagaimanakah capaian perekaman e-KTP di Kota Jayapura; b) Bagaimana hubungan antara jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman; c) Hambatan apa saja yang menjadi kendala dalam perekaman e-KTP; d) Upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura mengatasi kendala perekaman e-KTP; d) Bagaimanakah rasio alat perekaman dengan jumlah penduduk wajib e-KTP. Penelitian ini bertujuan untuk : a) Mengetahui capaian perekaman e-KTP di Kota Jayapura; b) Menganalisa hubungan antara jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman; c) Menginventarisir hambatan yang menjadi kendala dalam perekaman e-KTP; d) Menginventarisir upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura mengatasi kendala perekaman e-KTP; d) Mengetahui rasio alat perekaman dengan jumlah penduduk wajib e-KTP. Kegunaan penelitian ini akan memberikan kontribusi praktis Pemerintah Kota Jayapura dalam pelaksanaan e-KTP. Setelah diketahui capaian perekaman selama tahun 2012 akan dapat diambil langkah-langkah dalam penyelesaian perekaman eKTP.
64 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 63 - 72
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menerangkan keadaan sebenarnya. Sumber data penelitian terdiri dari data Primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
terdapat di sepanjang jalan Abepura-Sentani. Mall Abepura menjadi pusat perdagangan modern. Wilayah dengan berbagai fasilitas yang tersedia menarik penduduk untuk tinggal, sehingga Distrik Abepura jumlah penduduk paling banyak. Mata pencaharian penduduk non pertanian. Distrik Muaratami berada pada daerah perbatasan. Terdiri dari perkampungan asli dan eks
Tabel 1: Distribusi Penduduk Kota Jayapura No. 1 2 3 4 5
Distrik Jumlah Penduduk Wajib KTP Jayapura Utara 65.039 39.664 Jayapura Selatan 66.937 40.565 Abepura 73.157 45.626 Muara Tami 11.137 6.729 Heram 40.435 25.157 Jumlah 256.705 157.741 Sumber : Dinas DUKCAPIL Kota Jayapura Desember 2012 (Data Diolah)
menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan petugas operator dan Kabid informasi data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura Provinsi Papua. Sumber data sekunder berasal dari data-data realisasi perekaman Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Metode analisa menggunakan Mixed Methods yaitu gabungan antara kuantitatif dan kualitatif (Jonathan Sarwono : 2011). Pengolahan data menggunakan SPSS versi 19 untuk melihat korelasi. Koefisien korelasi menurut Sugiyono (2007) sebagai berikut : 0,00 – 0,199 = sangat rendah 0,20 – 0,399 = rendah 0,40 – 0,599 = sedang 0,60 – 0,799 = kuat 0,80 – 1,000 = sangat kuat Alat analisis digunakan untuk melihat hubungan variabel jumlah penduduk dengan jumlah penduduk wajib e-KTP.
Persentase 25,4 26,1 28,5 4,4 15,6 100
Keterangan
transmigrasi. Perkampungan asli meliputi: Skowsae, Skowyambe , Skow Mabo dan Kampung Moso. Daerah eks transmigrasi meliputi Koya Barat, Koya Timur, Koya Tengah. Mata pencaharian penduduk sebagian besar pertanian dan nelayan. Muaratami menjadi hinterland Kota Jayapura. Kebutuhan sayur mayur dan hasil pertanian dipasok dari distrik ini. Daerah pertanian terutama di Koya Barat, Koya Timur, Koya Tengah. Perbandingan penduduk dan wajib e-KTP dapat dilihat pada gambar 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penduduk Kota Jayapura terdiri bermacam suku bangsa. Hampir semua suku tinggal di Kota Jayapura. Dari tabel 1 menunjukan jumlah penduduk terbanyak berada di Distrik Abepura. Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Distrik Muara Tami. Distrik Abepura merupakan pusat kegiatan ekonomi dan pendidikan. Fasilitas pendidikan dari tingkat TK sampai perguruan tinggi terletak di Distrik Abepura. Perguruan tinggi Negeri tertua di Papua yaitu Universitas Cenderawasih terletak di Distrik ini. Perguruan tinggi swasta terdiri Universitas OttoGeisler, Universitas Sains Teknologi Jayapura, Universitas Umel Mandiri, Sekolah Tinggi Komunikasi.Kegiatan perekonomian pada distrik ini ditunjang pasar tradisional terbesar di Kota Jayapura yaitu pasar Youtefa. Pusat perbelanjaan modern
Gambar 1: Perbandingan Jumlah Penduduk dan Wajib e-KTP.
Capaian Perekaman e-KTP Perekaman e-KTP dilaksanakan dari Tahun 2011 seiring dengan pencanangan secara Nasional. Kantor Distrik (Kecamatan) merupakan tempat perekaman bagi penduduk yang telah menerima undangan perekaman. Undangan perekaman mencantumkan tempat, dan tanggal perekaman. Masing-masing penduduk menerima satu undangan. Undangan yang diberikan sesuai dengan nama yang tercantum dalam Kartu Keluarga. Hasil perekaman dapat dilihat pada tabel 1. Data yang digunakan
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik ( E-KTP) Dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura – Agus Hartopo| 65
dalam penelitian ini terdiri data Bulan Agustus 2012 ( pameran pembangunan Kota Jayapura) dan data akhir tahun 2012 ( tabel 2). Tabel 2 Perekaman e-KTP Kota Jayapura Penduduk Wajib E-KTP No. Distrik Wajib Sudah Persentase KTP Terekam 1 2 3 4 5
Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Muara Tami Heram
39.664
35.385
89
40.565
34.393
85
45.626 6.729
37.204 6.401
82 95
25.157
19.725
78
157.741 133.108 84 Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura, Agustus 2012
maka akan lebih cepat perekamannya. Maka dapat dilihat bahwa wajib e-KTP Distrik lebih sedikit maka penyelesaian perekaman lebih tinggi pencapaiannya. Di Distrik Heram terdapat pusat pendidikan perguruan Tinggi UNCEN lokasi baru. Pada distrik ini pencapaian prosentase paling rendah. Hal ini dipahami karena terjadi mobilitas tinggi. Mobilitas ini ada kaitannya dengan penduduk wajib e-KTP yang sedang melaksanakan studi lanjut maupun sering melaksanakan tugas keluar daerah Papua. Mobilitas penduduk yang tinggi ini menyebabkan penduduk wajib e-KTP yang dipanggil perekaman berdasarkan undangan tidak dapat mengikuti perekaman. Undangan perekaman menjadi dasar penduduk mendapatkan pelayanan KTP. Pelayanan KTP termasuk salah satu pelayanan untuk tertib administrasi kependudukan. Penduduk di Distrik Heram selain tinggal di pemukiman masih
Gambar 2 : Pencapaian perekaman Per Distrik e-KTP Bulan Agustus 2012
Berdasarkan gambar 2, Distrik Muaratami merupakan satu-satunya yang hampir (95 %) dapat menyelesaikan perekaman e-KTP. Secara berurutan berdasarkan prosentase penyelesaian maka Distrik Jayapura Utara menyelesaikan perekaman 89 %, Distrik Jayapura Selatan 85 %, Distrik Abepura 82 % dan Distrik Heram 78 %. Distrik Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram terletak pada daerah perkotaan. Sedangkan Distrik Muaratami terletak pada daerah perdesaan. Dari hasil pencapaian prosentase perekaman, ternyata daerah perdesaan lebih cepat mencapai prosentase penyelesaian dibandingkan daerah perkotaan. Dari hasil wawancara dengan petugas operator, dengan jumlah wajib e-KTP lebih sedikit
ditemukan tinggal di asrama-asrama. Asrama dihuni mahasiswa dari berbagai daerah Kabupaten di Papua. Perkembangan perekaman e-KTP pada akhir tahun 2012, menunjukan kemajuan yang signifikan. Berdasarkan tabel 2 secara keseluruhan Kota Jayapura dapat menyelesaikan hingga 89 %. Dalam jangka waktu 5 bulan (dari bulan Agustus 2012) menunjukan kemajuan sebesar 5 %. Sehingga dapat diprediksi dalam satu bulan terdapat kemajuan sebesar 1 % atau sekitar 1.577 per bulan. Dari asumsi ini maka pada akhir tahun bulan November 2013 dapat diprediksi perekeman e-KTP dapat diselesaikan. Kemajuan perekaman e-KTP apabila dilihat per Distrik secara berurutan Distrik Muaratami sudah Tabel. 3 Perekaman e-KTP Kota Jayapura
No.
Distrik
Jumlah Wajib KTP Sudah Terekam Penduduk Jayapura Utara 65.039 39.664 37.228 1 Jayapura Selatan 66.937 40.565 36.078 2 Abepura 73.157 45.626 38.910 3 Muara Tami 11.137 6.729 6.794 4 Heram 40.435 25.157 21.005 5 256.705 157.741 140.015 Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura Desember 2012.
66 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 63 - 72
Persentase 94 89 85 101 83 89
mencapai 101 %, Distrik Jayapura Utara 94 %, Distrik Jayapura Selatan 89 %, Distrik Abepura 85 % dan Distrik Heram 83 %. Apabila dibandingkan dengan kemajuan prosentase bulan Agustus 2012 kenaikan prosentase tiap Distrik secara berurutan Distrik Muaratami naik 6 %, Distrik Jayapura Utara naik 5 %, Distrik Jayapura Selatan naik 4 %, Distrik Abepura naik 3 % dan Distrik Heram 5 %. Kenaikan paling tinggi terjadi di Distrik Muaratami. Sedangkan distrik yang rendah kenaikan prosentasenya Distrik Abepura. Melihat kondisi kenaikan prosentase setiap bulan sebesar 1 %,dapat ditingkatkan menjadi 2 % per bulan. Penambahan waktu pelayanan perekaman e-KTP dari hari biasa jam kerja menjadi pelayanan 24 jam maka dapat diprediksikan meningkatkan angka pencapaian target perekaman. Memperluas jaringan pelayanan dipandang dapat meningkatkan target pencapaian perekaman. Pada pusat-pusat perbelanjaan disediakan perekaman e-KTP secara mobile. Selain pusat perbelanjaan pelayanan secara mobile dilaksanakan di pusat-pusat peribadatan. Pelayanan perekaman e-KTP dapat ditingkatkan melalui penambahan hari kerja. Pada
hari Sabtu dan Minggu dapat dimanfaatkan waktu untuk perekaman, tentunya setelah ibadah selesai. Petugas perekaman non Kristen bergantian melaksanakan perekaman. Sebaliknya pada hari Jumat petugas non muslim melaksanakan perekaman. Dengan sistem shiff kerja pelaksanaan perekaman dapat ditingkatkan. Penambahan petugas perekaman dapat memanfaatkan, distrik yang telah mencapai 100 % perekaman. Selain penambahan petugas, penambahan alat perekaman turut membantu pencapaian perekaman e-KTP. Alat yang digunakan terutama berasal dari Distrik yang telah selesai melaksanakan perekaman. Progres perekaman e-KTP dapat dilihat pada gambar 3. Pencapaian perekaman e-KTP Kota Jayapura hingga bulan Desember 2012 dapat dilihat pada gambar 3. Distrik Muaratami dapat menyelesaikan perekaman 100 %. Secara berurutan Distrik Jayapura Utara 94 %, Distrik Jayapura Selatan 89 %, Distrik Abepura 85 %, Distrik Heram 83 %. Dibandingkan pencapaian bulan Desember 2012 maka pencapaian e- KTP sudah mengalami kenaikan prosentase.
Gambar 3 : Pencapaian perekaman Per Distrik e-KTP Bulan Desember 2012.
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik ( E-KTP) Dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura – Agus Hartopo| 67
Gambar 4: Proges Perekaman e-KTP Bulan Agustus – Desember 2012.
Tabel 4: Penduduk Wajib E-KTP Belum Terekam No.
Distrik
Jumlah Wajib Belum Penduduk KTP Terekam 1 Jayapura Utara 65.039 39.664 4.279 2 Jayapura Selatan 66.937 40.565 6.172 3 Abepura 73.157 45.626 8.422 4 Muara Tami 11.137 6.729 328 5 Heram 40.435 25.157 5.432 256.705 157.741 24.633 Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura Agustus 2012
Persentase 11 15 18 5 22 16
Tabel 5 : Penduduk Wajib E-KTP Belum Terekam No. 1 2 3 4 5
Distrik Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Muara Tami Heram
Jumlah Penduduk Wajib KTP Belum Terekam 65.039 39.664 2.436 66.937 40.565 4.487 73.157 45.626 6.716 11.137 6.729 (65) 40.435 25.157 4.152 256.705 157.741 17.726 Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura Desember 2012
Kenaikan prosentase perekaman per Distrik maka Distrik Muaratami 5 % ( 95 % - 100%) Distrik Jayapura Utara 5 % ( 89% - 94 %), Jayapura Selatan 4 % (85% - 89%), Distrik Abepura 3% ( 82 % - 85 %), Distrik Heram 5 % (78% - 83%). Rata-rata perekaman e-KTP setiap Distrik kemajuan sebesar 4.4 %. Peningkatan perekeman e-KTP dari bulan Agustus 2012 hingga Desember 2012 menunjukan kesadaran penduduk e-KTP meningkat. Kesadaran penduduk wajib e-KTP tidak terlepas dari usahausaha Pemerintah Kota melakukan sosialisasi perekeman e-KTP. Pemberian batas akhir perekaman (dead line) ternyata sangat efektif dalam meningkatkan target perekaman. Salah satu bentuk pemberian dead line yaitu pengumuman tentang batas akhir perekaman gratis dibatasi bulan Desember 2012. Pada akhir tahun 2012 di tiap
Persentase 6 11 15 -1 17 11
Distrik tempat perekaman dipenuhi oleh wajib eKTP yang belum melakukan perekaman. Sosialisasi perekaman e-KTP melalui media massa lokal baik elektronik dan surat kabar memiliki peran dalam peningkatan pencapaian perekaman e-KTP. Penayangan pengumuman wajib e-KTP dalam media elektronik lokal dapat memberikan pemahaman tentang arti penting e-KTP. Di Kota Jayapura ada tiga media elektronik (stasiun TV) yaitu TOP TV, TV Papua dan TVRI Papua. Siaran televisi ini dapat diterima penduduk hingga daerah perbatasan. Media elektronik radio ikut memberikan peran dalam penyebarluasan arti penting e-KTP. Kemajuan perekaman e-KTP dari bulan Agustus 2012 hingga Desember 2012 digambarkan pada gambar 4. Berdasarkan tabel 1, tabel 2 dan gambar 2 menunjukan kemajuan dalam pencapaian target
68 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 63 - 72
perekaman e-KTP. Dari bulan Agustus 2012 hingga bulan Desember 2012 mengalami kenaikan 4.4 %. Distrik yang telah menyelesaikan perekaman (100%) berdasarkan tabel 2 yaitu Distrik Muara Tami. Distrik ini merupakan distrik yang berbatasan langsung dengan negara Papua NewGuinea (PNG). Terdiri eks Transmigrasi (Koya Barat, Koya Timur, Koya Tengah) dan kampung asli (Skouwsae, Skouwyambe, Skouwmabo). Jumlah wajib e-KTP berpengaruh terhadap penyelesaian perekaman. Distrik Muara Tami memiliki wajib e-KTP terkecil dibandingkan dengan 4 Distrik yang berada di kota. Jumlah alat perekaman di Distrik Muara Tami sebanyak 2 alat perekam . Sehingga rasio alat terhadap wajib e-KTP 1 : 3.364. Keterbatasan alat perekam pada tiap distrik berdampak masih ada penduduk wajib e-KTP belum terekam. Dari tabel 3 penduduk wajib e-KTP belum terekam Kota Jayapura hingga Agustus 2012 sebesar 16 %. Penduduk wajib e-KTP yang belum terekam hingga Bulan Desember 2012 dapat dilihat pada tabel 5.
semakin memperkuat terlaksananya data kependudukan yang akurat. Menurunnya jumlah penduduk wajib e-KTP yang sudah terekam, menunjukan tenaga operator semakin mengusai bidang pekerjaannya. Dikuasainya alat perekaman oleh tenaga operator semakin menunjang kecepatan pelayanan bidang adminstrasi kependudukan. Hubungan Jumlah Penduduk Wajib e-KTP Dengan penyelesaian perekaman Data Penduduk Wajib E-KTP Hubungan jumlah penduduk dengan wajib eKTP ditunjukan dalam tabel 5. Pengolahan menggunakan Software SPPS versi 19. Dari hasil analisis korelasi sederhana (r) korelasi antara jumlah penduduk dengan wajib e-KTP (r) 0,999. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara jumlah penduduk dengan wajib e-KTP. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif. Tabel 6 : Hubungan Jumlah Penduduk dengan Wajib
Gambar 5 : Penduduk Wajib E-KTP Belum Terekam.
Berdasarkan gambar 5 jumlah penduduk wajib e-KTP yang belum terekan semakin berkurang. Bulan Agustus 2012 jumlah penduduk belum terekam 24.633 atau 16 %. Kemajuan perekaman ditunjukan pada akhir tahun 2012, yaitu jumlah penduduk belum terekam tersisa 17.726 (11 %). Penurunan jumlah penduduk wajib e-KTP yang belum terekam, menunjukan kemajuan dalam peningkatan pencapaian target perekaman wajib eKTP. Penurunan angka mengindikasikan kesadaran warga wajib e-KTP semakin baik. Dari sisi pelayanan menunjukan semakin meningkatnya pelayanan. Peningkatan pelayanan di bidang administrasi kependudukan melalui pelayanan e-KTP akan dapat mewujudkan tertib adminstrasi kependudukan. Data base kependudukan melalui perekaman wajib e-KTP
e-KTP Correlations Penduduk Penduduk
Elektrik
Elektrik .999**
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
1
5
5
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
.999**
1
.000
.000 5
5
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik ( E-KTP) Dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura – Agus Hartopo| 69
Sedangkan untuk melihat hubungan jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman ditunjukan pada tabel 6. Dari tabel 6 kolom “penduduk” menunjukan jumlah penduduk wajib e-KTP. Sedangkan kolom “perekaman “ adalah jumlah penduduk yang sudah melaksanakan perekaman.
3.
Tabel 7 : Hubungan Jumlah wajib e-KTP dengan Penyelesaian Perekaman Correlations Penduduk Perekaman Pearson 1 .923* Correlation Sig. (2-tailed) .025 N 5 5 Perekaman Pearson .923* 1 Correlation Sig. (2-tailed) .025 N 5 5 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Penduduk
Dari hasil analisis (r) korelasi antara jumlah penduduk wajib e-KTP dengan penyelesaian perekaman e-KTP (r) 0,923. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara jumlah penduduk dengan penyelesaian perekaman e-KTP. Arah hubungan adalah positif karena nilai r positif. Hambatan Dalam Perekaman e-KTP Perekaman e-KTP di Kota Jayapura dalam pelaksanaannya ditemukan hambatan. Berdasarkan wawancara dengan petugas operator maka hambatan dapat dikelompokan dalam dua sisi alat perekaman dan penduduk. 1. Kerusakan Alat perekam Alat perekam e-KTP didatangkan dari pusat (Kemendagri). Terdiri satu unit Komputer (Keyboard, CPU, Monitor, Mouse), alat scan sidik jari, alat perekam iris mata, camera, server dan kain baground (merah, biru). Kerusakan alat ditemukan pada saat perekaman. Kerusakan alat perekam belum bisa diperbaiki oleh petugas servis lokal. Perbaikan menunggu hasil konsultasi dengan pusat, baru dapat diperbaiki. Konsultasi dengan pusat menyita waktu, perekaman tersita waktu menunggu perbaikan alat. 2. Alat Perekam Terbatas Setiap distrik di Kota Jayapura memperoleh alokasi 2 alat perekam. Terbatasnya alat perekam menimbulkan antrian panjang penduduk wajib e-KTP. Alat perekam tambahan berupa alat mobile yang dapat bergerak dari satu distrik ke distrik laiinya dioperasikan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Jumlah alat perekam standar di Kota Jayapura sebanyak 11 alat perekam. Ada tambahan alat perekam sebanyak 9 unit. Sehingga mulai tanggal 16
4.
5.
6.
7.
Desember 2011 total alat berjumlah 20 unit. Tambahan alat perekam khusus Distrik yang memiliki penduduk wajib e-KTP yang jumlahnya banyak. Gangguan Server Kondisi morfologis Kota Jayapura bervariasi. Daerah Muaratami sebagian besar berupa dataran. Sedangkan distrik lainnya (Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Heram, Abepura) bervariasi dari dataran hingga gunung-gunung. Perekaman e-KTP menggunakan server dan langsung diterima di Pusat. Kondisi morfologis memiliki dampak terhadap pengiriman data. Ganguan server oleh kondisi alam berpengaruh pada kelancaran pengiriman data server ke pusat. Gangguan server berakibat perekaman eKTP terhenti. Penduduk wajib e-KTP harus menunggu hingga server normal kembali. Listrik Padam Pasokan listrik untuk perkantoran di Kota Jayapura disuplay oleh PLN. Semakin banyaknya konsumen tidak dibarengi peningkatan daya listrik berakibat pemadaman secara bergiliran. Pemadaman bergiliran mempengaruhi pada perekaman e-KTP. Distrik disediakan genset, tetapi pergantian dari listrik PLN ke genset membutuhkan waktu. Akibatnya penduduk wajib e-KTP bersabar untuk menunggu, hingga listrik berjalan normal. Pencetakan e-KTP terlambat Seluruh pencetakan e-KTP dilaksanakan di Jakarta. Penduduk wajib e-KTP yang sudah melaksanakan perekaman, menunggu rata-rata 2-3 bulan. Dari data wajib e-KTP yang telah melakukan perekaman sebanyak 140.015, tercetak 123.758. atau 88,3 % Mata Katarak Penduduk wajib e-KTP pengidap katarak, mengurangi kecepatan perekaman iris mata. Dari hasil wawancara dengan operator, satu orang dapat memakan waktu satu jam. Akibatnya antrian semakin panjang. Sidik Jari Tidak Jelas Kesulitan yang ditemui oleh operator ada penduduk wajib e-KTP sidik jari tidak kentara (jelas). Sehingga berpengaruh pada kecepatan perekaman sidik jari. Pengambilan sidik jari berulang-ulang berakibat antrian perekaman eKTP.
Upaya Mengatasi Kendala Perekaman e-KTP Mendukung kebijakan Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berupaya mencapai target perekeman. Upaya yang telah dilakukan untuk mencapai dan mempercepat target perekaman ditemukan sebagai berikut : 1. Penyisiran e-KTP tingakt RT/RW Penyisiran dilakukan di tiap-tiap RT/RW dengan tujuan menginventarisir penduduk wajib e-KTP
70 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 63 - 72
2.
3.
yang belum melakukan perekaman. Dalam penyisiran ini dilakukan dengan melibatkan RT/RW setempat. Daerah-daerah yang dianggap masih rendah capaiannya dilakukan penyisiran. Pengumuman Media Elektronik dan Surat Kabar Himbauan arti penting e-KTP disebarluaskan melalui media Televisi maupun Radio. Siaran radio sangat membantu dalam menyebarluaskan himbauan Pemerintah Kota. Pada pagi hari melalui siaran RRI selalui ada himbauan batas waktu perekaman. Media televisi di Papua TV, TOP TV digunakan Pemerintah Kota Jayapura dalam menyebarluaskan himbauan dan batas akhir perekaman. Surat kabar yang digunakan berupa surat kabar lokal : Cenderawasih Pos, Bisnis Papua, Bintang Papua. Surat kabar ini memuat himbauan batas akhir perekaman eKTP. Pelayanan Mobile Dinas Kependudukan dan catatan sipil memimilki satu unit mobil, yang didesain sebagai mobil pelayanan keliling. Pelayanan mobile ini terutama membantu distrik, yang masih mengalami kekurangan alat perekam.
6.
himbauan perekaman dipasang setiap kelurahan/kampung. Himbauan perekaman dapat pula dipasang secara mobile. Untuk memperluas jangkauan himbauan ada terobosan dengan menggunakan Kendaraan dinas milik pemerintah Kota Jayapura. Kendaraan dapat dipasang stiker pada kaca bagian belakang yang berisi himbauan batas akhir perekaman e-KTP. Kendaraan dinas ini bergerak hampir diseluruh wilayah pemerintahan Kota Jayapura. Kunjungan ke Asrama-asrama Langkah ini diambil untuk lebih mengenalkan eKTP untuk penghuni asrama. Pemerintah Kabupaten hampir memiliki asrama dari daerah masing-masing untuk menampung mahasiswa yang menuntut ilmu di Sekolah/Perguruan Tinggi di Jayapura.
Rasio alat Perekaman Dengan Jumlah Penduduk Wajib e-KTP Jumlah dan Peralatan alat perekaman di Kota Jayapura keseluruhan berjumlah 20 unit. Untuk melihat rasio alat perekeman di Kota Jayapura ditunjukan pada tabel 8 berikut :
Tabel 5 : Peralatan perekaman E-KTP No .
Pemberian Alat Standar 1 Jayapura Utara 65.039 39.664 2 2 Jayapura Selatan 66.937 40.565 2 3 Abepura 73.157 45.626 2 4 Muara Tami 11.137 6.729 2 5 Heram 40.435 25.157 2 6 Dispenduk(Mobile) 1 256.705 157.741 9 Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jayapura Desember 2012
4.
5.
Distrik
Jumlah Penduduk
Selain distrik pada waktu yang telah ditentukan melakukan perekeman pada tempat yang telah ditetapkan. Posyandu menjadi event yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan perekaman eKTP. Peminjaman Alat Perekaman Salah satu cara yang ditempuh untuk mempercepat perekaman e-KTP meminjam alat perekam. Distrik yang sudah mencapai target, meminjamkan alat untuk digunakan di Distrik laiinya yang masih rendah pencapaian perekaman. Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kependudukan dan Transmigrasi memberikan pinjaman alat perekaman e-KTP. Alat perekam di Kota Jayapura seluruhnya berjumlah 20 unit. Pemasangan Himbauan Spanduk dan baner dipasang di tempat-tempat strategis. Baner dipasang dipinggir jalan berisi himbauan untuk batas akhir perekaman gratis. Tahun 2013 perekaman terakhir berakhir 31 Mei 2013. Selain di tempat strategis pemasangan
Wajib KTP
Jumlah Tambahan 3 2 3 0 1 0 11
5 4 5 2 3 1 20
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, pelaksanaan kebijakan e-KTP di Kota Jayapura telah dilaksanakan dan mencapai kemajuan yang signifikan . Perkembangan perekaman e-KTP pada akhir tahun 2012, menunjukan hingga 89 %. Dalam jangka waktu 5 bulan (dari bulan Agustus – Desember 2012) mengalami perkembangan sebesar 5 %. Dari angka kemajuan pencapaian perekaman dapat diproyeksikan pada akhir tahun 2013 perekaman akan dapat diselesaikan. Kedua, terdapat hubungan antara jumlah penduduk dengan wajib e-KTP dalam arti semakin besar jumlah penduduk di Kota Jayapura akan semakin besar pula penduduk wajib e-KTP. Hubungan antara jumlah wajib e-KTP dengan penyelesian perekaman e-KTP terdapat hubungan. Dalam pelaksanaan perekaman e-KTP ditemukan sejumlah hambatan. Hambatan yang muncul telah diatasi dengan berbagai upaya yang telah
Pelaksanaan Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik ( E-KTP) Dalam Mendukung Sistem Administrasi Kependudukan di Kota Jayapura – Agus Hartopo| 71
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Jayapura. Dengan berbagai upaya yang ada, maka dapat mempercepat penyelesaian perekaman dari akhir tahun ke pertengahan tahun 2013. Rasio alat perekaman e-KTP menunjukan 1alat perekaman : 7.887 penduduk wajib e-KTP. Adapun saran yang dapat disampaikan antara lain: Pertama, Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil selalu meningkatkan peringatan/himbauan batas waktu perekaman kepada penduduk wajib e-KTP. Himbauan dilaksanakan pula di tempat-tempat ibadah, asrama. Mengerahkan pengurus RT untuk menjaring warga wajib e-KTP yang belum melaksanakan perekaman. Kedua, Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memantau pelaksanaan e-KTP di Distrik, terutama penduduk wajib e-KTP yang jumlahnya tinggi. Untuk menjaring penduduk wajib e-KTP yang belum melakukan perekeman perlu memberlakukan operasi justisia e-KTP Plus. Penduduk wajib e-KTP yang terjaring diberikan kesempatan melaksnakan perekaman. Perekaman semakin dipermudah dengan menyediakan tempat perekaman di pusat-pusat keramaian (mall). Ketiga, distrik yang telah selesai melaksanakan perekaman perlu diberikan reward agar dapat memacu distrik laiinya yang belum selesai melaksnakan perekaman e-KTP. DAFTAR PUSTAKA Hadi
Setia Tunggal (2007) Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Nomor 23 Tahun 2006) Harvarindo Sarwono Jonathan (2011) Mixed Metods, Jakarta, Elex Media Komputindo Sugiyono (2007) Metodologi Penelitian, Bandung, Alfabeta -------------(2012) Laporan Kemajuan Perekaman e-KTP, Jayapura, DISDUKCAPIL Kota Jayapura Wahana Andi dan Penerbit Andi (2012) SPSS 20 untuk Pengolahan Data, Yogyakarta, Penerbit Andi.
72 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 63 - 72
Biodata Penulis Herie Saksono lahir di Cirebon, 27 Mei 1966. Menyelesaikan pendidikan pamong praja pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Ujung Pandang (APDN-UP, 1988) dan Sarjana Pemerintahan Jurusan Keuangan Daerah pada Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (IIP, 1993).Selanjutnya, memeroleh gelar Magister Sains Keuangan Internasional dan Perbankan dari Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (MEP-UGM, 1998).Pada tahun 2008 meraih gelar Doktor Bidang Perencanaan Pembangunan Kelautan – Teknologi Kelautan dari Institut Pertanian Bogor, Bogor (TKL-IPB, 2008). Sejak September 2010 berkaryasebagai Kepala Bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat (Trantib dan Linmas) serta merangkap sebagai pejabat fungsional “Peneliti Muda” Bidang Kepakaran Bisnis dan Manajemen pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Umum dan Kependudukan – Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta Zarmaili lahir di DKI. Jakarta, pada tanggal 9 April 1982. Memiliki pendidikan terakhir S-2 Bidang Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Tahun 2006 sampai dengan saat ini bekerja sebagai Peneliti merangkap Kepala Sub Bidang Lembaga Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Terlibat di beberapa penelitian di Kementerian Perdagangan dan Penelitian antar lembaga antara lain dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Riset dan Teknologi. Pengalaman menulis di Buletin Ilmiah Perdagangan, Kementerian Perdagangan dan Jurnal Standardisasi, BSN (Badan Standardisasi Nasional). Agus Ruswandi. Lahir di Tasikmalaya Tanggal 18 Agustus 1965. Meraih Gelar Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian Tahun 1992 di Universitas Winata Mukti, dan meraih Gelar Master Of Science (MSi) pada Ilmu Perancanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan tahun 2005 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada Tahun 1993-2009 bekerja sebagai Peneliti Bidang Pertanian di Badan Litbang Depertemen Pertanian, dari tahun 2009 sampai Sekarang Bekerja sebagai Peneliti di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat. Asnelly Ridha Daulay lahir di Padang, 25 Maret 1969. Pendidikan terakhir Master Natural Resources Economics di University of Queensland. Terhitung 1 Maret 2012 menjabat fungsional Peneliti Pertama (III/b) pada Balitbangda Provinsi Jambi. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah antara lain : Upaya Meningkatkan Daya Serap Tenaga Kerja Di Provinsi Jambi Melalui Penambahan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dan Keragaman Bidang Keahlian, Jabatan Fungsional Peneliti Dan Permasalahannya Di Balitbangda Provinsi Jambi, serta Tantangan dan Peluang Pembangunan SDM Jambi Menuiu Jambi EMAS 2015. Arif Sofianto Monografi Desa Karangrejo 2012, Pemerintah Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Bappeda Kabupaten Magelang. Arah Kebijakan Pembangunan Pariwisata Di Kabupaten Magelang, 2012 Ir. Gevisioner, M.Si lahir di Talawi, 19 Desember 1965. Pendidikan sarjana pada Institut Pertanian Bogor (1990), Magister Sains Ekonomi Pembangunan Sumberdaya Institut Ilmu Pemerintahan (2006). Aktif menjadi peneliti sejak tahun 2008. Peneliti Madya bidang Kebijakan Pertanian di Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau Agus Hartopo Lahir di Bandung, pada 22 Maret 1980. Bekerja sebagai dosen PNS pangkat Penata Muda Golongan III/a, dengan Jabatan Akademik Lektor. Menyelesaikan studi program sarjana Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Khatolik Parahyangan pada tahun 2004. Kemudian
menyelesaikan program Magister Ilmu Sosial, Konsentrasi Kebijakan dan Administrasi Publik pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 2009.
Pedoman Penulisan 1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama; (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua rata tepi kiri; (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri. • Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: 1
Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase (separated with ;) Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa (dipisahkan dengan ;) PENDAHULUAN (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab) METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab …
SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA • Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) 1. Mondok di daerah tujuan 2. Menetap di daerah tujuan 3. Sumber: Ida Bagoes, 2000
Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh
Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: • Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... • Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... • Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... • Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) • Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol. 4. Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ c. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email [email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail: [email protected]
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012