ISSN : 2085-4323
VOL. 5 NO. 4 Desember 2013
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Kelurahan Pasar Sarolangun) Adi Rahman Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta Gunawan Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua Alexander Gatot Wibowo Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) Kori Cahyono Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi Sayid Syekh Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri terhadap Masyarakat Miskin Irtanto Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa (Studi Deskriptif di Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran, Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumi Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan Desa Sidoasri Kecamatan Candi Puro Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung) Ray Septianis Kartika Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas M. Soleh Pulungan
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA J. Bina Praja
Vol. 5
No. 4
Hal. 215 - 316
Jakarta, Desember 2013
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
ISSN 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 DESEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi Pelindung: Pembina: Penanggung Jawab: Pemimpin Redaksi: Anggota:
Mitra Bestari:
Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Drs. Sahat Marulitua, MA. (Kebijakan Publik) Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr. Prabawa Eka Susanta, S.Sos., M.Si. (Pembangunan Berkelanjutan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi Pembangunan, Kemendagri) Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. Dr. Syarif Hidayat Bashori Imron, M.Si
(Hukum, Kemendagri) (Administrasi Publik, IPDN) (Otonomi Daerah, LIPI) (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI)
Pemimpin Redaksi Pelaksana: Drs. Sahat Marulitua, MA. Anggota: Drs. Asrori Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Administrasi: Keuangan: Sirkulasi dan Distribusi: Artistik dan Multimedia:
Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Madiareni Sulaiman, S.Hum., Desi Sartika Helmi, Rudi Voeller. Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Nur Intan Sarasati Ivan Indra Susanto
Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail:
[email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 DESEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Pengantar Redaksi Membangun Komitmen Profesionalisme
P
uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena sampai dengan akhir tahun 2013 ini redaksi Jurnal Bina Praja telah berhasil terbit hingga volume 5 nomor 4. Sebuah upaya yang dilandasi komitmen para penulis maupun Dewan Redaksi untuk bersama-sama meningkatkan profesionalisme kelitbangan bidang pemerintahan dalam negeri. Pada edisi kali ini redaksi menyajikan 8 (delapan) artikel yang membahas tentang pengelolaan sampah rumah tangga, harmonisasi regulasi PPNS, pengembangan komoditi daerah, penggunaan media interaktif untik peningkatan motivasi dan hasil belajar, peran nilai tukar petani dan nilai tukar komoditas, optimalisasi fungsi instansi, pengembangan kewirusahaan desa, optimalisasi Simda dalam mewujudkan pengelolaan keuangan. Dalam upaya membangun komitmen profesionalisme, redaksi senantiasa melakukan pemeriksaan kualitas (Quality Control) terhadap Jurnal Bina Praja, baik dari segi substansi artikel maupun penampilannya. Hal ini sekaligus wujud refleksi dari pembenahan seiring berakhirnya tahun 2013. Resolusi pada tahun 2014, Jurnal Bina Praja menjadi media berkala ilmiah yang mampu mendorong kuriositas para peneliti/ perekayasa dan para calon peneliti/perekayasa di bidang pemerintahan dalam negeri, yang berkiprah secara profesional sehingga mempercepat terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang lebih baik. Akhir kata, segenap staf redaksi Jurnal Bina Praja mengucapkan selamat Tahun Baru 2014. Selamat berkarya dan salam sukses luar biasa. Salam Redaksi
i
ii
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 DESEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi
i iii
Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Kelurahan Pasar Sarolangun) Adi Rahman
215 - 220
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta Gunawan
221 - 232
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua Alexander Gatot Wibowo
233 - 242
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) Kori Cahyono
243 - 252
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi Sayid Syekh
253 - 260
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri terhadap Masyarakat Miskin Irtanto
261 - 280
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa (Studi Deskriptif di Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran, Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumi Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan Desa Sidoasri Kecamatan Candi Puro Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung) Ray Septianis Kartika
281 - 300
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas M. Soleh Pulungan
301 - 316
iii
iv
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 DESEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya Adi Rahman Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus Di Kelurahan Pasar Sarolangun) Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 215 - 220 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan prinsip umum pengelolaan sampah yang baik dan penerapan reduce reuse dan recycle (3R), serta untuk mengetahui kendala yang dihadapai masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sampah rumah tangga di kelurahan pasar sarolangun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2012 di Kelurahan Pasar Sarolagun, Kabupaten Sarolangun. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Quota Sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dari 6 RT. Hasil Penelitian menunjukan bahwa perilaku masyarakat dalam penerapan prinsip umum pengelolaan sampah sudah berjalan baik, namun penerapan prinsip 3Rnya dapat dikatakan kurang baik. Kendala yang dihadapi masyarakat antara lain; 1) Ada 33% masyarakat yang menyatakan belum terlayani penjemputan sampah kerumahnya. 2) Ada 23% masyarakat menyatakan belum tersedia TPS dilingkungan RTnya. Selain kendala diatas terungkap juga bahwa penjemputan sampah terkadang tidak dilaksanakan setiap hari dan keberadaan tong sampah didepan rumah sering hilang diambil maling dan juga sebagian masyarakat belum mengetahui cara pengolahan sampah. Kendala yang dihadapi Pemerintah adalah 1) Kurangnya fasilitas seperti TPS, Armada pengangkut sampah. 2) Belum semua wilayah di Kelurahan Pasar Sarolangun dapat dilayani oleh Distaksiman. 3) Kurangnya Tenaga Ahli 3R. Kata kunci: perilaku, pengelolaan, sampah, rumah tangga, 3R Gunawan Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 221 - 232 Abstrak: Regulasi yang ada tentang Pengaturan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melibatkan beberapa kelembagaan atau institusi seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kepolisian Republik Indonesia masing-masing memiliki kewenangan sebagai pembina umum dan teknis maupun taktis namun apa yang terjadi dengan peraturan yang diterbitkan kelembagaan dan institusi tersebut semakin bingung dalam pelaksanaan
PPNS di daerah. Kata kunci: regulasi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kemendagri, Kemenkumham, Kepolisian RI. Alexander Gatot Wibowo Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 233 - 242 Abstrak: Komoditi Karet Di Provinsi Papua Dapat Dikembangkan Untuk Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Dan Meningkatkan Peranan Sektor Pertanian Dalam Pembangunan Di Provinsi Papua. Namun Demikian Pengembangan Tersebut Dipengaruhi Oleh Beberapa Faktor Antara Lain Pemanfaatan Teknologi Pertanian Masih Terbatas Dan Kemampuan Sdm Terbatas, Untuk Itu Perlu Dilakukan Sebuah Kajian. Kajian Ini Bertujuan Untuk Mengetahui Dan Menentukan Strategi Pengembangan Komoditi Karet Di Provinsi Papua Dengan Menggunakan Alat Analisa Swot. Hasil Kajian Menunjukkan Bahwa Pengembangan Komoditi Karet Di Provinsi Papua Dipengaruhi Oleh Beberapa Faktor Antara Lain: Lahan Potensial Untuk Karet Di Papua Masih Luas, Adanya Perhatian Pemerintah Untuk Pengembangan Karet, Adanya Petani Karet, Adanya Lsm Yang Membantu, Banyaknya Tanaman Tua Yang Belum Diremajakan, Kemampuan Sdm Petani Terbatas, Terbatasnya Pemanfaatan Teknologi Pertanian, Terbatasnya Permodalan Petani, Terbatasnya Sarana Prasarana Pertanian Seperti Alat Sadap Mangkok, Pisau, Pengolah Karet, Asam Semut, Dll, Terbatasnya Penampung Hasil Produksi Karet, Belum Adanya Kemitraan Dalam Pengelolaan Perkebunan Karet, Rendahnya Akses Te r h a d a p K e b u t u h a n K a r e t D u n i a , P e r l u n y a Pendampingan Tawar Menawar Hasil Produksi, Adanya Alih Fungsi Lahan Karet, Penawaran Harga Dari Pengepul Rendah, Dan Persaingan Hasil. Sedangkan Beberapa Strategi Yang Perlu Dilakukan Untuk Pengembangan Komodoti Karet Di Provinsi : Papua Antara Lain : Pengembangan Karet Skala Besar, Pendampingan Sdm Petani, Membangun Kemitraan Dalam Pengelolaan Karet, Diklat/ Penyuluhan Sdm Petani, Pemberian Bantuan Permodalan Bagi Petani, Peremajaan Tanaman Yang Sudah Tua, Penyediaan Dan Pemanfaatan Teknologi Dan Sarana Prasarana Pertanian, Perluasan Arela Tanam Karet, Peningkatan Kemitraan Dengan Pihak Ketiga, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Petani, Intensifikasi, Regulasi Cegah Alih Fungsi Lahan, Pendampingan Sdm Petani, Dan Peremajaan Tanaman Dengan Klon Unggul Kata kunci : pengembangan karet, Papua
Kori Cahyono Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 243 - 252 Abstrak: Motivasi dan hasil belajar adalah dua faktor penting dalam menentukan efektivitas proses pembelajaran. Hasil belajar mata kuliah pemrograman berorientasi objek siswa rendah selama dua tahun terakhir. Hal ini mungkin disebabkan oleh bentuk materi yang masih abstrak sehingga motivasi belajar siswa rendah. Penelitian tindakan kelas bertujuan menggambarkan proses pembelajaran menggunakan media interaktif berbasis web untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Obyek penelitian adalah siswa jurusan Teknik Informatika Abdurrab University. Penelitian dilakukan dalam dua siklus penelitian tindakan. Setiap siklus penelitian terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Untuk mengukur hasil penelitian menggunakan tiga instrumen yaitu kuesioner motivasi, lembar observasi, dan lembar evaluasi hasil belajar. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada peningkatan motivasi siswa sebesar 17,65%, dan peningkatan hasil belajar sebesar 44,12%. Kata kunci: motivasi; hasil belajar; media interaktif berbasis web; penelitian tindakan
petani Irtanto Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri terhadap Masyarakat Miskin Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomer 4 Edisi Desember 2013, hal. 261 - 280 Abstrak: Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitiatif, yang bertujuan (1) mengetahui penilaian pasien miskin terhadap kualitas pelayanan aparatur kesehatan yang dilakukan RSUD; (2) mengetahui analisa celah (gap analysis) dan alternatif penyelesaian masalah kondisi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat miskin di RSUD Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Kediri dan Kota Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan aparatur RSUD ketiga daerah penelitian rata-rata mempunyai kinerja pelayanan sangat baik, dengan IKM sebesar 3,3 atau nilai interval IKM 82,50 dengan mutu pelayanan A, sangat baik. Namun demikian masih ada kesenjangan antara penilaian aparatur maupun pasien miskin yaitu berupa masih ada kekurangan dan kendala pelayananyang kemudian akan diambil berbagai kebijakan sebagai langkah perbaikan terhadap program, sistim administrasi, prosedur pelayanan, SDM aparatur maupun sarana dan prasana. Kata kunci: kualitas pelayanan, masyarakat miskiin, kualitas SDM, informasi pelayanan.
Sayid Syekh Ray Septianis Kartika Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 253 - 260 Abstrak: Berdasarkan tujuan utama pembangunan pertanian dalam hal ini , yaitu untuk meningkatkan makmur petani dan kehidupan petani , perannya berada di: 1) pengaturan dan dibangun di "PDB"; 2) meningkatkan pendapatan negara; 3) memberikan kesempatan kerja, khususnya bagi petani dan petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (a) menggambarkan kinerja agribisnis padi, (b) menganalisis jangka beras perdagangan, (c) faktor yang mempengaruhi pada hal perdagangan, (d) mengidentifikasi dampak pembangunan pertanian pada petani terms of trade dan beras hal perdagangan. Hasil penelitian ini antara lain: 1) biaya untuk pembelian input lebih kecil dibandingkan dengan istilah yang buruh perdagangan; 2) rasio R/C pengembangan usahatani padi menunjukkan bermanfaat dalam skala besar; 3) mengadopsi teknologi pertanian padi, masukan produksi dan tingkat produktivitas yang seperti faktor internal; 4) sistem pasar adalah seperti eksternal, pengaruh terhadap posisi tawar petani. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi tujuan itu dan untuk memenuhi aturan-aturan, dalam perumusan berbagai kebijakan, kondisi perdagangan dan beras terms of trade digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan utama. Kata kunci: ketentuan perdagangan, beras, kesejahteraan
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa (Studi deskriptif di Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran, Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumi Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan Desa Sidoasri Kecamatan Candi Puro Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung) Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 281 - 300 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peluang kewirausahaan desa berbasis potensi desa. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penggalian informasi diperoleh dari pelaku usaha berjumlah 3 orang dan pejabat Pemerintah Daerah. Hasil penelitian mengungkapkan peluang pengembangan kewirausahaan desa sangat besar dan dikategorikan sebagai usaha kecil. Produk unggulannya yaitu bidang pertanian, perkebunan dan adanya pemanfaatan sumber daya alam yang juga potensial. Kewirausahaan yang ada di desa memiliki prospek yang baik asalkan didukung oleh sarana prasarana, regulasi yang pro ke pelaku usaha dan adanya kepercayaan dari pihak lain untuk menjaring kemitraan kepada pelaku usaha. Kata kunci: peluang, pengembangan, kewirausahaan, potensi, desa.
M. Soleh Pulungan Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013, hal. 301 - 316 Abstrak: Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui: (1). Implementasi SIMDA terhadap pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara. (2). Kesiapan sumber daya manusia yang bertugas mengelola keuangan daerah serta mengetahui permasalahan yang dihadapi. (3). Dukungan dan fungsi Infrastruktur terhadap implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penelitian ini bersifat survey dengan pendekatan penelitian bersifat deskriptif evaluative. Populasi penelitian terdiri dari 18 kecamatan dengan sample penelitian berjumlah 15 kecamatan, yang ditetapkan secara purposive sampling. Hasil kajian Implementasi SIMDA di Kutai Kartanegara relatif telah cukup tinggi. Semua produk SIMDA dapat dilakukan diatas rata-rata standard yang ditetapkan regulasi. Kesiapan sumberdaya manusia terhadap implementasi SIMDA di relatif cukup baik. Dukungan jaringan terhadap implementasi SIMDA sudah cukup tinggi. Software SIMDA diakui cukup bagus, namun cukup rentan dengan serangan virus. Kata kunci: SIMDA, keuangan, implementasi, jaringan, regulasi
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 SEPTEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge Adi Rahman Behavior In The Household Waste Management (Case Study in The Village Market Sarolangun) Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 215 -220 Abstract This study aims to determine the behavior of people in the household waste management, especially with regard to the general principles of good waste management and application reuse reduce and recycle (3R) and want to know the problems faced by the people and government in the management of household waste in the village market Sarolangun. The research was conducted in April to June 2012 in the Village Market Sarolagun, Sarolangun. The sampling Quota sampling method by the number of respondents as many as 30 people from 6 RT. Research Indicates that the behavior of the community in the application of general principles of waste management has been running well, but the application of the principle can be said to be less well 3R. Constraints faced by the community, among others: 1) There are 33% of people who claim unserved trash pick-up to his house. 2) There are 23% of the states are not yet available TPS environment. In addition to the above constraints also revealed that garbage pick-up are sometimes not carried out every day and in front of the house where the garbage is taken thieves often missing and also most people do not know how to waste. Constraints faced by the Government are: 1) Lack of facilities such as TPS and vehicle garbage. 2) Not all areas of the Village Market Sarolangun be served by Distaksiman. 3) Lack of Expert 3R. Keywords: Behaviour, Management, Garbage, Household, 3R Gunawan Regulation Of Harmonization Civil Servant (investigators) In Yogyakarta Region Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 221 - 232 Abstract Existing regulations of Civil Servant Investigators settings involving multiple institutions or institutions such as the Ministry of Home Affairs, Ministry of Justice and Human Rights and the Indonesian National Police each have the authority as a general builder and technical and tactical, but what happens with the regulations issued by the
institutional and institutions increasingly confused in the implementation of investigators in the area. Keywords: Regulation, Civil Servant, Ministry Of Home Affairs, Ministry Of Human Rights Law, The National Police. Alexander Gatot Wibowo Rubber Commodity Development In Papua Province Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 233 - 242 Abstract Rubber commodity in Papua can be developed to improve the local economy and increase the role of the agricultural sector in Papua development. However, development is influenced by several factors, among others, the use of agricultural technology is still limited and limited ability of human resources, it is necessary to do a study. This study aims to identify and determine the strategy of development of Rubber commodity in Papua by using SWOT analysis tool. The study results showed that the development of rubber commodity in Papua is influenced by several factors including : land potential for rubber in Papua is still widespread, existence of the government's attention to the development of rubber, precense of Rubber Growers, presence of NGOs that help, number of old plants that have not been rejuvenated, limited ability of HR Farmer, limited use of agricultural technology, limited capital farmer, limited agricultural infrastructure such as a tap bowl, knife, rubber processing, formic acid, etc., Limited production buyer of rubber, yet the partnership in the management of rubber plantations, low level access to the world's rubber needs, need assistance bargaining production, presence over the function rubber land, offer a low price from collectors, and product competition. While some of the strategies that need to be done for the development of rubber commodity in the Papua province, among others: Development of large-scale rubber, HR Farmer Mentoring, Building partnerships in the management of Rubber, Training / Counseling HR Farmer, Providing funding assistance for farmers, Rejuvenation old plants, Provision and utilization of agriculture technology and infrastructure, Expansion of rubber planting land, Improved Partnership with third parties, Capasity buikding of Farmer organization, Intensification, Regulation prevent land conversion, Accompaniment HR Farmer, and plant with clones Rejuvenation Keywords: Rubber Development, Papua
Kori Cahyono
Keywords: Terms of Trade, Rice, Prosperity of Farmer
Use Of Web-based Interactive Media For Increase Of Motivation And Learning Outcomes (Case Study At The University Abdurrab Pekanbaru Riau)
Irtanto
Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 243 - 252
Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 261 - 280
Abstract: Motivation and learning outcomes are two important factors in determining the effectiveness of the learning process. The results of student learning object-oriented programming is low during the last two years. This may be caused by a form of matter that remains abstract so that students' motivation is low. Classroom action research aims to describe the process of learning to use web-based interactive media to enhance student motivation and learning outcomes. Object of research is a student majoring in Computer Science Abdurrab University. The study was conducted in two cycles of action research. Each cycle consisted of four phases of planning, action, observation and reflection. To measure the results of the study used three instruments, namely the motivation questionnaires, observation sheets, and evaluation of learning outcomes sheet. The results of data analysis showed that there was an increase of 17.65% student motivation, and improved learning outcomes for 44.12%. Keywords: motivation; learning outcomes; web-based interactive media; action research
Abstract: This research uses quantitative and qualitative descriptive approach, which aims to (1) determine the assessment of the patient's poor quality of health services apparatus who conducted RSUD (the Regional Public Hospital), (2) to know the gap analysis and alternative problem solving of condition of the poor health services quality in RSUD of District of Pasuruan, District of Kediri and Mojokerto City. The results showed that the services quality of RSUD apparatus on third area of study have an average service performance is excellent, with the IKM (Community Health Index) of 3.3 or 82.50 IKM interval value with quality of service A, very good. However, there is still a gap between apparatus and poor patient assessment is still no shortage of services and constraints. From here then will take up many policies, as a measure to enhance the program, system administration, procedures of service , human resources of apparatus, facilities and infrastructures also. Keywords: quality of services, the poor, the quality of human resources, information of services.
Sayid Syekh Role Of Farmers And Exchange Commodity Exchange In Rice Farmers Welfare Improvement Efforts In Jambi Province Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 253 - 260 Abstract: Based on the main objective of agricultural development in this case, which are to increase the prospering of farmers and peasants life, its role are in: 1) setting and built in the “PDB”; 2) increasing the state income; 3) providing the job opportunities, especially for farmers and peasants. The objectives of this research were to: (a) describe rice agribusiness performance; (b) analyze rice term of trade; (c) influencing factors on terms of trade;(d) identifying the agricultural development impact on farmers terms of trade and rice terms of trade. The result of this study among other things: 1) the cost for purchasing inputs was smaller compared to that labor's terms of trade; 2) the R/C ratio of rice farming development showed beneficial in large scale; 3) adopted rice farming technology, production input and productivity level were such of internal factors; 4) market system was such of external, influence for farmer's bargaining position. Therefore in order to meet that objective and to fulfill those rules, in formulation of many policies, the terms of trade and rice terms of trade is used to be one of main considerations.
Quality Of Hospital Apparatus In Mojokerto City, District Pasuruan And District Kediri On The Poor
Ray Septianis Kartika Expanding Opportunities Based Rural Entrepreneurship Potential Of The Village (Descriptive Study In District Of Foreign Karang Rejo Katon Pesawaran District, Kampong Java Subdistrict Earth Love Queen Central Lampung Regency And Village Temple Puro Sidoasri District Of South Lampung Lampung Province) Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 281 - 300 Abstract This study aims to analyze the potential entrepreneurial opportunities based rural village. By using the method of descriptive analysis, extracting information obtained from businesses totaling 3 people and local government officials. The results reveal entrepreneurial rural development opportunities are very large and are categorized as small businesses. Superior products namely agriculture, plantations and the use of natural resources are also potential. Entrepreneurship in the village has good prospects as long as supported by infrastructure, regulatory pro to the business and the trust of the other party to solicit partnerships to businesses Keywords: Opportunity, Development, Entrepreneurship, Potential, Village. M. Soleh Pulungan Simda Optimization In Making Financial Management
Kutai Regency More Quality Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 4 December 2013, pg. 301 - 316 Abstract: The purpose of this study was to determine (1) .SIMDA implementation of the financial management area in Kutai regency (2). Readiness of human resources in charge of managing local finances and knowing the problems faced (3) Infrastructure and support functions to the implementation SIMDA in Kutai regency. This study is a survey with a descriptive evaluative research approach. The study population consisted of 18 districts with a total study sample of 15 districts , which are set by purposive sampling. Implementation results of the study in Kutai Kartanegara SIMDA have relatively high. All products SIMDA can do above average standards set regulations. Readiness of human resources for the implementation SIMDA in relatively good. Network support for implementation SIMDA already high enough. Software SIMDA admittedly quite good, but is quite vulnerable to virus attacks . Keywords: SIMDA , financial , implementation , networking , regulation
PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kelurahan Pasar Sarolangun)* BEHAVIOR IN THE HOUSEHOLD WASTE MANAGEMENT (Case Study in The Village Market Sarolangun)* Adi Rahman Balitbangda Provinsi Jambi Jl. R.M.Noor Admadobrata Telanai Pura Jambi. E-mail:
[email protected] Diterima: 10 Oktober 2013; direvisi: 26 Oktober 2013; disetujui: 18 November2013
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan prinsip umum pengelolaan sampah yang baik dan penerapan reduce reuse dan recycle (3R), serta untuk mengetahui kendala yang dihadapai masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sampah rumah tangga di kelurahan pasar sarolangun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2012 di Kelurahan Pasar Sarolagun, Kabupaten Sarolangun. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Quota Sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dari 6 RT. Hasil Penelitian menunjukan bahwa perilaku masyarakat dalam penerapan prinsip umum pengelolaan sampah sudah berjalan baik, namun penerapan prinsip 3Rnya dapat dikatakan kurang baik. Kendala yang dihadapi masyarakat antara lain; 1) Ada 33% masyarakat yang menyatakan belum terlayani penjemputan sampah kerumahnya. 2) Ada 23% masyarakat menyatakan belum tersedia TPS dilingkungan RTnya. Selain kendala diatas terungkap juga bahwa penjemputan sampah terkadang tidak dilaksanakan setiap hari dan keberadaan tong sampah didepan rumah sering hilang diambil maling dan juga sebagian masyarakat belum mengetahui cara pengolahan sampah. Kendala yang dihadapi Pemerintah adalah 1) Kurangnya fasilitas seperti TPS, Armada pengangkut sampah. 2) Belum semua wilayah di Kelurahan Pasar Sarolangun dapat dilayani oleh Distaksiman. 3) Kurangnya Tenaga Ahli 3R. Kata kunci: Perilaku, Pengelolaan, Sampah, Rumah Tangga, 3R
Abstract This study aims to determine the behavior of people in the household waste management, especially with regard to the general principles of good waste management and application reuse reduce and recycle (3R) and want to know the problems faced by the people and government in the management of household waste in the village market Sarolangun. The research was conducted in April to June 2012 in the Village Market Sarolagun, Sarolangun. The sampling Quota sampling method by the number of respondents as many as 30 people from 6 RT. Research Indicates that the behavior of the community in the application of general principles of waste management has been running well, but the application of the principle can be said to be less well 3R. Constraints faced by the community, among others: 1) There are 33% of people who claim unserved trash pick-up to his house. 2) There are 23% of the states are not yet available TPS environment. In addition to the above constraints also revealed that garbage pick-up are sometimes not carried out every day and in front of the house where the garbage is taken thieves often missing and also most people do not know how to waste. Constraints faced by the Government are: 1) Lack of facilities such as TPS and vehicle garbage. 2) Not all areas of the Village Market Sarolangun be served by Distaksiman. 3) Lack of Expert 3R. Keywords: Behaviour, Management, Garbage, Household, 3R
PENDAHULUAN Seiring meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, semakin meningkat pula volume sampah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena setiap penduduk mulai dari bayi sampai orang tua pasti menghasilkan sisa buangan dari proses aktivitasnya hidupnya seperti makan, masak, mandi, bekerja dan sebagainya.
Disamping itu pola konsumsi masyarakat dan kemajuan teknologi berkontribusi dalam menimbulkan sampah yang semakin beragam, antara lain sampah kemasan yang berbahaya dan sulit diurai oleh alam. Untuk menghadapi trend kuantitas sampah yang terus meningkat, pola pengelolaan sampah masa depan harus berubah. Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir (end
Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Pasar Solorangun) – Adi Rahman | 215
of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir (TPA) sudah saatnya ditinggalkan atau diperbaharui karena tidak lagi efektif dan hanya sekedar memindahkan masalah dari rumah ke TPA saja. Sudah saatnya pengelolaan sampah di kota menggunakan trend baru yaitu memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya, untuk energi, kompos, atau bahan baku industri (http://www.ebookpp.com/pe/pembahasansampah-doc.html, diakses tanggal 8 Mei 2012). Paradigma baru pengelolaan sampah memandang bahwa sampah harus ditangani secara komprehensif mulai dari hulu, sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dilakukan dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (3R) (Peraturan Daerah Kabupaten Sarolangun No. 05 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah, Kabupaten Sarolangun). Dengan prinsip 3R volume sampah yang dibuang ke TPA menjadi jauh berkurang dan sampah dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk berguna. Penanganan sampah berbeda-beda disetiap daerah, begitu juga dengan perilaku masyarakatnya. daerah yang berhasil mengelola kebersihan dan lingkungannya dengan baik diberi anugerah yang sudah dikenal luas oleh masyarakat yaitu Penghargaan Adipura. Penghargaan ini merupakan penghargaan lingkungan hidup untuk kota di Indonesia yang dinilai bersih dan teduh (clean and green city) dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance (http://alamendah.wordpress.com/2011 /06/07/daftar-kota-penerima-piala-adipura-2011/, diakses 18 April 2012). Salah satu daerah yang telah mendapatkan anugerah adipura di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Sarolangun. Kabupaten ini telah berhasil meraih penghargaan adipura tersebut yaitu pada tahun 2009, 2010, dan 2011 secara berturut-turut untuk kategori kota kecil. Oleh karena itu kabupaten ini dapat dijadikan salah satu contoh bagi daerah lain di Provinsi Jambi dalam hal kebersihan. Permasalahan sampah erat sekali kaitannya dengan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah, sebab masyarakatlah yang merupakan sumber utama sampah itu sendiri. Mengatasi permasalahan sampah dari sumbernya akan menjadikan permasalahan sampah menjadi lebih sederhana. Di tengah kesulitan dan keterbatasan pemerintah dalam hal penyediaan fasilitas dan sumber daya manusia untuk pengelolaan sampah maka peran masyarakat dalam pengelolaan sampah menjadi aspek yang sangat penting. Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa perlu meneliti pengelolaan sampah khususnya untuk mengetahui bagaimana perilaku masyarakat dalam
Penerapan prinsip-prinsip umum pengelolaan sampah rumah tangga yang baik dan penerapan 3R di Kabupaten Sarolangun khususnya Kelurahan Sarolangun. Selain itu perlu juga diketahui apa saja kendala yang dihadapi baik oleh masyarakat dan Pemerintah dalam pengelolaan sampah rumah tangga tersebut. Perilaku merupakan proses interaksi antara kepribadian dan lingkungan yang mengandung rangsangan (stimulus), kemudian ditanggapi dalam bentuk respon. Respon inilah yang disebut perilaku. Perilaku ditentukan oleh persepsi dan kepribadian, sedang persepsi dan kepribadian dilatarbelakangi oleh pengalamannya. Perilaku merupakan keadaan jiwa (berfikir, berpendapat, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respon terhadap situasi di luar subjek tertentu. Respon ini dapat bersifat positif (tanpa tindakan) dan bersifat aktif (dengan tindakan) (Umar, 2009). Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubunganhubungan antar entitas-entitas (http://id.wikipedia. org/wiki/masyarakat, diakses 1 mei 2012). Jadi perilaku masyarakat dapat diartikan sebagai respon masyarakat terhadap situasi di luar subjek tertentu. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juni tahun 2012. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sarolangun. Namun tidak seluruh daerah diteliti, hanya diambil di satu kecamatan saja yaitu Kecamatan Sarolangun tepatnya di Kelurahan Pasar Sarolangun. Pengambilan lokasi ini didasarkan karena Kelurahan Pasar Sarolangun merupakan salah satu kawasan padat penduduk dan salah satu penghasil sampah terbesar di Kota Sarolangun. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui suatu survey terhadap perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Pasar Sarolangun. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari kunjungan ke Dinas Tata Kota Kebersihan Pertamanan Pemakaman Kabupaten Sarolangun. Selain itu juga dikumpulkan dari Kelurahan Pasar Sarolangun berupa laporan, catatan, berkas, atau bahan-bahan tertulis lainnya yang merupakan dokumen resmi yang relevan dengan tema penelitian dan dapat dijadikan referensi. Metode penarikan sampel yang peneliti gunakan adalah metode quota sampling. Menurut Aswatini, metode quota sampling yaitu metoda pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada
216 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 215 - 220
strata atau daerah tetapi pada jumlah sampel yang sudah ditentukan. Dalam pengumpulan data, peneliti menghubungi subjek (unit analisis) yang memenuhi persyaratan ciri-ciri populasi tanpa menghiraukan darimana subjek tersebut tetapi masih dalam populasi penelitian. Biasanya yang diambil sebagai sampel adalah subjek yang mudah ditemui sehingga memudahkan pengumpulan data. Yang penting diperhatikan disini adalah jumlah sampel (quantum) yang sudah ditentukan. Subjek yang dijadikan populasi adalah masyarakat rumah tangga di Kelurahan Pasar Sarolangun. Sedangkan jumlah sampelnya ditentukan sebanyak 30 responden. Responden tersebut berasal dari 6 RT dimana setiap RT diambil 5 responden. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Masyarakat dalam Penerapan PrinsipPrinsip Umum Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang Baik di Tingkat RT Prinsip-Prinsip Umum Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang Baik antara lain meliputi perilaku masyarakat dalam hal kemana membuang sampah, waktu membuang sampah, frekuensi membuang sampah perhari, melakukan pemilahan sampah organic dan non-organic, tidak membakar sampah, mengadakan kegiatan gotong royong. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar 47% atau 14 responden menyatakan terbiasa membuang sampah ke TPS yang dibangun oleh Pemerintah. Sebanyak 23% membuang sampah di tong sampah di depan rumah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perilaku masyarakat dalam membuang sampah sudah baik. Mengenai waktu membuang sampah menunjukan 53% masyarakat membuang sampah pada pagi hari dan 17 % membuang sampah pada malam hari, hal ini menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat sudah baik dalam kebiasaan membuang sampah pada waktu yang ideal. Namun masih ada sedikit responden yang terbiasa membuang sampah pada siang dan sore hari yang sebenarnya hal ini kurang baik, karena sampah sampah akan terlihat pada siang harinya dimana umumnya masyarakat melakukan aktifitas pada siang hari. Frekuensi waktu membuang sampah cukup bervariatif, Sebagian besar atau 60% Masyarakat di Kelurahan Pasar Sarolangun terbiasa membuang sampah rumah tangga setiap hari sekali dan ada juga yang membuang sampah dua kali sehari, namun adapula masyarakat yang baru membuang sampah setelah dua hari bahkan lebih. Idealnya sampah rumah tangga tidak baik dibiarkan berlama-lama berada didalam rumah, karena dapat menimbulkan hal yang kurang baik, seperti bau busuk, membuat kotor rumah dan juga dapat mengundang hewan
yang kurang disukai berada dalam rumah seperti tikus, semut, lalat dan sebagainya. Untuk pemilahan antara sampah organic (sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering) di rumah masing-masing dan ketika menaruhnya di TPS sesuai dengan jenis sampah yang tertulis di TPS, hasilnya menunjukan bahwa masyarakat yang melakukan pemilhan sampah sebanyak 40% artinya lebih sedikit daripada yang tidak melakukan pemilahan sampah dengan persentase 60%. Hal ini menunjukan perilaku masyarakat dalam melakukan pemilahan sampah kurang baik. Untuk perilaku masyarakat dalam membakar sampah diketahui bahwa responden yang menyatakan suka membakar sampah ternyata cukup besar juga yaitu sebesar 43% sedangkan yang tidak suka membakar sampah sebanyak 57%. Walaupun perilaku membakar persentasenya lebih sedikit dari yang tidak membakar, namun perlu diwaspadai Karena perilaku membakar sampah tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan. Kegiatan gotong royong dapat diketahui bahwa sebagian besar yaitu 43% responden menjawab kegiatan gotong-royong jarang dilakukan di lingkungannya, sedangkan yang menjawab sering atau rutin sebanyak 27%. Namun ada juga yang menjawab tidak pernah dilaksanakan gotong-royong dilingkungannya yaitu sebanyak 27%. Hal ini menunjukan perilaku bergotong royong masyarakat kurang baik. Perilaku Masyarakat dalam Penerapan Prinsip Reduce, Reuse dan Recycle 1. Penerapan Reduce Penerapan Reduce di Kelurahan Pasar Sarolangun dapat terlihat dari beberapa indikator seperti, membawa keranjang sendiri untuk berbelanja, mengumpulkan barang bekas untuk dijual, menggunakan lap kain dari pada tissu untuk keperluan makan dan dapur, dan membawa wadah sendiri ketika akan membeli makanan Hasil analisis menunjukan bahwa hanya 17% atau sedikit masyarakat yang membawa keranjang sendiri ketika berbelanja sementara yang tidak pernah membawa keranjang jauh lebih besar yaitu 45% dan yang kadang-kadang membawa keranjang sebesar 38 % serta 1 orang tidak menjawab. Ini menunjukan perilaku reduce dengan membawa keranjang dapat dikatakan kurang baik. Mengenai kegiatan mengumpulkan barang bekas untuk dijual ke pengumpul atau lapak dapat diketahui bahwa masyarakat Kelurahan Pasar Sarolangun sudah cukup menyadari tentang nilai ekonomi sampah. sebanyak 50% responden menyatakan kebiasaan mengumpulkan barang bekas untuk dijual dan 50%-nya lagi tidak terbiasa mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Dalam hal penggunakan lap kain dari pada kertas tissue untuk membersihkan kotoran makan,
Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Pasar Solorangun) – Adi Rahman | 217
dapur dan sebagainya, diketahui masyarakat yang menyukai untuk menggunakan kertas tissue dalam membersihkan kotoran ada sebanyak 7 % dan 93 %nya lebih menyukai menggukan lap kain untuk membersihkan kotoran makan, dapur dan sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Kelurahan Pasar Sarolangun sudah melaksanakan penerapan reduce dengan baik khususnya menggunakan lap kain dari pada tissu. Mengenai perilaku masyarakat yang membawa tempat makanan sendiri untuk membeli makanan diketahui bahha yang menyatakan selalu membawa wadah atau tempat makanan sendiri ketika membeli makanan hanya 7 %. Sedangkan yang kadang-kadang membawa ada sebanyak 23 % dan yang tidak pernah membawa sangat banyak yaitu 70%. Ini dapat diartikan penerapan reduce dengan membawa wadah atau tempat makanan sendiri ketika membeli makanan kurang baik. Penerapan Reuse Penerapan reuse dapat terlihat dari indikator seperti menggunakan kembali botol bekas, menggunakan kertas bolak balik untuk menulis dan mencetak, menggunakan kantong plastik secara berulang, menggunakan kembali kaleng bekas untuk berbagai keperluan. Dalam hal penggunakan botol bekas dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat (73%) responden tidak menggunakan kembali botol bekas untuk berbagai keperluan. Hanya 27% saja responden yang menggunakan kembali botol bekas untuk berbagai keperluan. Ini menunjukan penerapan reuse dalam menggunakan kembali botol bekas masih kurang baik. Mengenai penggunaan kertas secara bolakbalik untuk menulis diketahi bahwa responden yang menggunakan kertas secara bolak balik lebih sedikit jika dibandingkan responden yang tidak menggunakan kertas secara bolak balik, perbandingannya 45:55. Hal ini berarti penerapan reuse dengan cara menulis di dua sisi kertas atau secara bolak balik masih kurang baik. Untuk kebiasaan menggunakan kantong plastik secara berulang dapat bahwa masyarakat yang mempunyai kebiasaan menggunakan plastik secara berulang-ulang sebanyak 30% lebih sedikit dari pada yang tidak mempunyai kebiasaan menggunakan plastik secara berulang ulang yaitu 70%. Hal ini menunjukan kesadaran masyarakat dalam menghemat plastik masih kurang baik. Mengenai penggunaan kaleng bekas lebih dari satu kali pakai, hasil analisis menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat (77%), menyatakan tidak menggunakan sampah kaleng lebih dari satu kali pakai, hanya sebagian kecil masyarakat (20%) di Kelurahan Pasar Sarolangun menggunakan kaleng lebih dari satu kali pakai sedangkan 3% responden tidak menjawab, hal ini menunjukan penerapan reuse
khususnya menggunakan kaleng lebih dari satu kali pakai masih kurang baik. Penerapan Recycle Penerapan recycle dapat dilihat dari indikator seperti daur ulang membuat kompos, membuat sisa kain menjadi selimut, mengolah sampah kertas atau plastik menjadi berbagai produk lain dan sebagainya. Hasil Analisis menunjukan bahwa di Kelurahan Sarolangun hampir tidak ada masyarakat yang menerapkan recycle, hanya 1 responden atau 3 persen saja yang melakukan recycle yaitu dalam bentuk mengolah sisa kain menjadi selimut atau pakaian. Hasil tersebut diperkuat dengan pendapat Lurah Kelurahan Pasar Sarolangun yang menyatakan bahwa: “Penerapan 3R oleh masyarakat rumah tangga belum berjalan namun untuk sekolah-sekolah yang ada di Kelurahan Pasar Sarolangun sudah berjalan baik”. (Lurah Kelurahan Pasar Sarolangun).
3.
2.
Kendala yang Dihadapi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Secara umum terdapat dua kendala utama yang dihadapi oleh masyarakat yakni sampah tidak dijemput kerumah dan ketersedian TPS yang jauh dari lokasi pemukiman. Untuk penjemputan sampah di Kelurahan pasar Sarolangun, petugas kebersihan telah mampu menjangkau 67% rumah tangga dalam menjemput sampah. namun Ada 33% masyarakat yang menyatakan belum mendapatkan pelayanan dari pemerintah berupa penjemputan sampah kerumah, sedangkan untuk ketersediaan TPS di lingkungan RT (dekat dari pemukiman warga), sebanyak 70% responden menyatakan tersedia TPS di lingkungan RT-nya dan 23% responden menyatakan dilingkungannya tidak tersedia TPS dan 7% responden tidak menjawab pertanyaan. Selain kendala diatas, terungkap pula bahwa sebagian masyarakat menyatakan penjemputan sampah terkadang tidak dilakukan setiap hari, selain itu masyarakat juga belum tahu cara mengelola sampah 3R dan tong sampah sering hilang. Kendala yang Dihadapi oleh Pemerintah dalam Pengelolaan Sampah Walaupun Kabupaten Sarolangun Telah 3 kali berhasil meraih penghargaan piala adipura namun bukan berarti tugas Pemerintah telah selesai. Pemerintah bersama masyarakat wajib mempertahankan piala adipura dan terus meningkatkan kualitas pengelolaan sampah termasuk penerapan 3R di Kabupaten Sarolangun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Distaksiman dan dengan melihat langsung kondisi existing di lapangan, Pemerintah menghadapi beberapa kendala antara lain ; 1. Kurangnya fasilitas seperti TPS, Armada pengangkut sampah terutama motor dump
218 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 215 - 220
2.
3.
untuk menjemput sampah kerumah warga dan grader untuk di TPA. Belum semua wilayah di Kelurahan Pasar Sarolangun dapat dilayani oleh Distaksiman. Artinya belum semua rumah tangga sampahnya dapat dijemput oleh petugas kebersihan. Kurangnya Tenaga Ahli 3R hal ini dirasakan oleh pihak Distaksiman, mereka mengharapkan agar pemerintah provinsi maupun pusat dapat membantu menyediakan tenaga ahli khususnya untuk penerapan 3R. dengan adanya tenaga ahli tersebut diharapkan dapat memberikan pendidikan, pelatihan, bimbingan dan sosialisasi di lingkungan Distaksiman sendiri dan juga kepada masyarakat luas.
SIMPULAN Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, perilaku masyarakat dalam penerapan pengelolaan sampah rumah tangga di kelurahan pasar sarolangun secara umum dapat dikatakan baik. Kedua, perilaku Masyarakat dalam penerapan prinsip 3R di Kelurahan Pasar Sarolangun secara umum dapat dikatakan masih belum baik terlebih pada kategori Recycle dimana hampir tidak ada masyarakat yang melakukan hal ini, hanya 3% saja masyarakat yang melakukan recycle atau daur ulang. Ketiga, beberapa kendala yang dihadapi Masyarakat antara lain. a. belum semua masyarakat dapat menikmati layanan penjemputan sampah kerumah rumahrumah b. Masyarakat menilai TPS yang ada saat ini masih kurang dan jaraknya cukup jauh dari rumah mereka. c. Sebagian masyarakat menilai penjemputan sampah kerumah terkadang tidak dilakukan setiap hari oleh petugas. d. kurangnya pengetahuan tentang 3R e. keberadaan tong sampah didepan rumah sering hilang. Keempat, kendala yang dihadapi pemerintah dalam pengelolaan sampah antara lain keterbatasan penyediaan fasilitas seperti, TPS, armada, SDM dan Tenaga ahli. Saran Mengacu pada hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengelolaan sampah di Kabupaten Sarolangun, secara umum dapat dikatakan baik, akan tetapi masih sebatas menerapkan paradigma lama yaitu hanya sebatas kegiatan kumpul, angkut dan buang ke TPA. Oleh karena itu perlu peningkatan kualitas pengelolaan sampah agar terwujud masyarakat yang sehat, lingkungan hidup yang lestari, serta mengubah sampah dari masalah menjadi sumber daya yang berguna bagi masyarakat dan
lingkungan dengan menekankan pada beberapa hal berikut: 1. Pemerintah Kabupaten Sarolangun perlu lebih gencar melaksanakan sosialisasi kebersihan, dan memasyarakatkan penerapan prinsip 3R sehingga bukan hanya piala adipura yang dapat dipertahankan namun kualitas pengelolaan sampah juga dapat ditingkatkan. Dengan sosialisasi dan memasyarkatkan prinsip 3R diharapkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat meningkat yang pada akhirnya membantu beban pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang bersih dan baik. 2. Pemerintah Kabupaten Sarolangun sebaiknya memperluas wilayah pelayanan penjemputan sampah kerumah-rumah warga. 3. Pemerintah juga sebaiknya memberikan pelatihan dan bimbingan serta mengadakan lomba-lomba kebersihan dan 3R kepada aparatur pemerintah, masyarakat, pelajar dan mahasiswa bahkan kepada anak-anak sedini mungkin. Dengan penerapan 3R yang baik dan benar oleh masyarakat diharapkan dapat membawa banyak dampak positif antara lain, mengurangi timbulnya sampah yang berarti juga mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan kebersihan dan memperpanjang massa pakai TPA, memanfaatkan potensi nilai ekonomi sampah, dan peningkatan kualitas lingkungan. 4. Pemerintah sebaiknya segera memenuhi kurangnya fasilitas kebersihan seperti TPS, grader untuk di TPA dan armada pengangkut. 5. Pemerintah sebaiknya juga segera memenuhi kebutuhan tenaga ahli kebersihan dan 3R. 6. Kepada Masyarakat umum hendaknya dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan sampah dan melaksanakan prinsip 3R dengan baik agar dapat menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Bagian Hukum Setda Kabupaten Sarolangun, 2010, Peraturan Daerah Kabupaten Sarolangun No 05 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah, Kabupaten Sarolangun. Daftar kota Penerima piala Adipura 2011. (http://alamendah.wordpress.com/2011/06/07/dafta r-kota-penerima-piala-adipura-2011/ ) diakses 18 April 2012. Pengertian masyarakat. 2012. (http://id.wikipedia. org/wiki/masyarakat), diakses 1 mei 2012. Umar. 2009 Persepsi dan perilaku masyarakat dalam Pelestarian fungsi hutan sebagai Daerah resapan air (Studi Kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang). Tesis, Program studi magister ilmu lingkungan: Universitas Gadjah Mada. Yulinah Trihadiningrum. Perkembangan paradigma pengelolaan sampah kota dalam rangka pencapaian Millenium Development Goals.(http://www.
Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Pasar Solorangun) – Adi Rahman | 219
ebookpp.com/pe/pembahasan-sampah-doc.html), diakses tanggal 8 Mei 2012.
* Tulisan pernah diterbitkan dalam Jurnal Gema Litbang, Volume 1 nomor 3 bulan September 2012 Penerbit Balitbangda Prov Jambi
220 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 215 - 220
HARMONISASI REGULASI TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA REGULATION OF HARMONIZATION CIVIL SERVANT (INVESTIGATORS) IN YOGYAKARTA REGION Gunawan Pusat Penelitian Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta e-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 18 Oktober 2013; direvisi: 22 Oktober 2013; disetujui: 18 November 2013
Abstrak Regulasi yang ada tentang Pengaturan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melibatkan beberapa kelembagaan atau institusi seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kepolisian Republik Indonesia masing-masing memiliki kewenangan sebagai pembina umum dan teknis maupun taktis namun apa yang terjadi dengan peraturan yang diterbitkan kelembagaan dan institusi tersebut semakin bingung dalam pelaksanaan PPNS di daerah. Kata Kunci: Regulasi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kemendagri, Kemenkumham, Kepolisian RI.
Abstract Existing regulations of Civil Servant Investigators settings involving multiple institutions or institutions such as the Ministry of Home Affairs, Ministry of Justice and Human Rights and the Indonesian National Police each have the authority as a general builder and technical and tactical, but what happens with the regulations issued by the institutional and institutions increasingly confused in the implementation of investigators in the area. Keywords: Regulation, Civil Servant, Ministry Of Home Affairs, Ministry Of Human Rights Law, The National Police.
PENDAHULUAN Kajian ini akan menggambarkan betapa pentingnya keselarasan, harmonisasi dan sinkronisasi regulasi yang dibuat dan ditetapkan pemerintah yang dapat digunakan sebagai pedoman dan pegangan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab PPNS melakukan penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan norma-norma yang berlaku, peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat mengikat dan harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh lembaga yang berbadan hukum maupun masyarakat termasuk didalamnya adalah PPNS. Sesuai dengan Peraturan dan kebijakan yang ada PPNS merupakan pejabat yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan yang diduga melakukan pelanggaran, Sebagai PPNS yang ditugasi oleh pemerintah dalam menegakan dan mengawal kebijakan pemerintah, namun ketika PPNS dalam melaksanakan dan menyelenggarakan penegakan peraturan terbentur dan terkendala dengan peraturan-peraturan dan kebijakan yang mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, seperti dalam penerbitan dan penetapan legalitas Kartu Tanda Penyidik Pegawai Negeri Sipil
atau bisa juga disebut dengan Kartu Tanda Anggota Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Kartu Tanda Penyidikan terdapat beberapa peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam hal ini betapa pentingnya Kartu Tanda Penyidik (KTP) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dijelaskan dalam Permendagri 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam Penegakan Peraturan Daerah pada lampiran petunjuk pelaksanaan pedoman operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Daerah disebutkan bahwa dalam pelaksanaan penyidikan apabila diduga kuat telah terjadi pelanggaran terhadap suatu Peraturan Daerah, maka langkah-langkah yang harus dilakukan oleh PPNS adalah menunujukkan Surat Perintah Tugas dan Kartu Tanda Pengenal (KTP PPNS) yang masih berlaku. Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 221
pada bab IV pasal 8 (1) Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat menjadi pejabat PPNS diberi kartu tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Menteri atau kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum sebagai pejabat yang ditunjuk. Pada ayat (2) Kartu Tanda Pengenal pejabat PPNS merupakan keabsahan wewenang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dan Kepolisian Republik Indonesia juga mengatur tentang KTP PPNS dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Mengingat KTP PPNS merupakan persyaratan penting bagi seorang pejabat PPNS harus dilengkapi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi PPNS dalam memiliki KTP PPNS tersebut yaitu masih banyak PPNS di daerah yang belum memiliki KTP PPNS walaupun yang bersangkutan telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Penyidikan yang diselenggarakan oleh Kepolisian Republik Indonesia, KTP PPNS belum terorganisir dengan baik mengingat terdapat beberapa PPNS yang telah berpindah tugas tidak melaporkan ke Kementerian Hukum dan Ham melalui Kementerian Dalam Negeri, proses penerbitan KTP PPNS sangat lama, PPNS memiliki nilai kebanggaan bila memiliki KTP PPNS yang diterbitkan Kepolisian serta legalitas KTP PPNS disebabkan oleh adanya 3 (tiga) kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah tentang penerbitan KTP PPNS yaitu yang pertama Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asazsi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan yang kedua Permendagri 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam Penegakan Peraturan Daerah serta yang ketiga Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Masing-masing kebijakan mengatur tentang penerbitan KTP PPNS. Selain regulasi tentang KTP PPNS masih terdapat persyaratan untuk menjadi PPNS juga ketiga Lembaga ini mengatur dengan masing-masing kewenangan dan kepentingannya, masih ada lagi tentang perijinan yang dikeluarkan pemerintah baik itu Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM dan Kementerian Pertanian masing-masing memiliki tata ruang yang saling berbenturan, dengan kajian ini semoga dapat membuka wawasan baik dari diri sendiri maupun bagi pemerintah untuk dapat menselaraskan dan
mengharmonisasikan setiap peraturan dan kebijakan sebagai pedoman bagi lembaga dan masyarakat, seperti di Kabupaten Banyumas ada 23 Peraturan Daerah yang diharmonisasikan salah satu diantaranya yang berkaitan dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Ketertiban Umum dan 10 Perda Kabupaten pada Tahun 2013 sedang dalam kajian dan harmonisasikan sebagian besar tentang perijinan. Melihat pada permasalahan tersebut maka Pusat Pemerintahan Umum dan Kependudukan melakukan Pengembangan kebijakan dengan tema “Harmonisasi Dan Regulasi Tentang Penyidik Pegaai Negeri Sipil” dengan pokok permasalahannya pada ruang lingkup regulasi yang mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil melibatkan kelembagaan dan institusi Kementerian Dalam Negeri selaku Pembina Umum di Daerah, Kementerian Hukum dan Ham dan Kepolisian Republik Indonesia selaku Pembina Teknis dan Taktis namun regulasi yang ada tidak saling mendukung dan melengkapi sehingga tugas pokok Penyidik Pegawai Negeri Sipil menjadi tidak optimal, berdasarkan permasalahan tersebut bermaksud untuk Mengidentifikasi regulasi Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Peraturan Kepolisian Republik Indonesia yang berkaitan dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Menemukan permasalahan dan hambatan yang dihadapi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penegakan hukum, serta sasaran yang dituju adalah sasaran dari kegiatan pengembangan kebijakan ini membuat policy brief adanya harmoniasi regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sehingga dapat meningkatkan profesionlisme tugas dan fungsinya dalam melakukan penyidikan terhadap kejadian yang patut diduga melakukan pelanggaran peraturan. Kegiatan pengembangan kebijakan ini dimaksudkan untuk menggali informasi sedalamdalamnya mengenai peraturan dan kebijakan yang mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang satu sama lainnya saling bertentangan. dengan tinjauan pustaka dapat diuraikan dan mendalami pengembangan mengenai harmonisasi regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), kiranya perlu diketahui terlebih dahulu pelbagai literatur, peraturan/kebijakan yang pernah ada, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa arti dan definisi harmonisasi, kata harmonis dapat diartikan dengan adanya sebuah perpaduan dari berbagai bunyi alat musik terdiri dari gitar, drum, bas dan organ yang masing-masing alat musik tersebut memiliki suara yang berbeda-beda sehingga melahirkan suara yang indah satu sama lainnya saling mengisi begitu juga dalam kehidupan keluarga berkeluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak dalam menjalankan kehidupannya berjalan harmonis tanpa adanya kekacauan dan keributan dalam menjalani proses kehidupan rumah tangganya selalu
222 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
berjalan damai dan tentram, begitu juga dengan arti harmonisasi kebijakan atau hukum menurut harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum1 L.M. Gandhi, 1996/1997. Selanjutnya menurut Harmonisasi hukum, adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Suatu Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional 2 Dr. Kusnu Goesniadhie S, dari beberapa pendapat tersebut dapat diartikan bahwa harmonisasi hukum adalah suatu upaya untuk menyelaraskan beberapa produk hukum agar berjalan seirama dan saling mendukung. Untuk itu yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah adanya suatu aturan dan kebijakan yang mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil berjalan dan seirama sehingga melahirkan suatu kebijakan satu sama lainnya saling mendukung. Sebagaimana diketahui banyak aturan dan kebijakan yang dibuat untuk mengatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil baik yang dipusat maupun yang berada di daerah, sehingga banyak melibatkan unsur dan kelembagaan dengan masing-masing memiliki kewenangan selaku pembina umum dan pembina teknis dan taktis, seperti Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam hal Pedoman Prosedur PPNS Daerah Dalam Penegakan Perda, Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah, Kode Etik PPNS, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan PPNS Daerah, selanjutnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga menerbitkan kebijakan tentang PPNS yaitu tentang tata cara pengangkatan, pemberhentian, mutasi, danpengambilan sumpah atau janji pejabat penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk, ukuran, warna, format, serta penerbitan kartu tanda pengenal pejabat penyidik pegawai negeri sipil sedangkan Kepolisian juga mengeluarkan atau menerbitkan aturannya melalui Peraturan Kepala Kepolisian tentang manajemen penyidikan oleh PPNS, Tentang
Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, Dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan atas gagasan dari kelembagaan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Polisi Pamong Praja yang didalammnya mengatur juga tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta Peraturan Pemerintah 58 Tahun 2010 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, Dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa. Serta adanya peraturan yang lebih tinggi dari semua paraturan yang ada tentang PPNS adalah Undang-Undang 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana secara implisit diatur dalam bab tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai Penyidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil3 (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan jabatan struktural hal tersebut dipertegas dengan uraian dalam batang tubuh terdapat 101 jabatan Fungsional Dasar Hukum Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil 4 , yang melekat pada suatu institusi di pusat dan daerah yang berkoordinasi langsung dibawah pengawasan Kepolisian Republik Indonesia, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh undangundang 5 , selanjutnya pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan pula yang dimaksud dengan Penyidik 3
1
2
L.M. Gandhi, “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”,Makalah, yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996/1997, Op, Cit, hal. 28-29. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Specialis Suatu Masalah) Surabaya: Penerbit Jpbooks, 2006 Isbn: 979-3487-70-4 Dr. Kusnu Goesniadhie S., Sh.Mhum
4
5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 223
adalah: pertama penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan kedua penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil.6. yang bertugas melaksanakan menyelenggarakan penegakan supremasi hukum dengan berprilaku sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang harus dipertanggung jawabkan menurut norma hukum, norma agama, norma moral dan norma sosial. Penyidik Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri7, dengan demikian jelas bahwa PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan Kepolisian Republik Indonesia. Selanjutnya juga di jelaskan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut PPNS Daerah, adalah Pegawai Negeri pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah 8 , tentunya juga sebagai Penyidik Pegaai Negeri Sipil Daerah (PPNSD) dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya perlu ada pedoman PPNSD, untuk itulah lahir Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dengan memiliki karakteristik pada Kode Etik Profesi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah yaitu norma yang digunakan sebagai pedoman yang harus ditaati oleh PPNSD dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan prosedur penyidikan, ketentuan peraturan perundang-undangan, dan Perda PPNS Daerah yang berlaku dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta prinsip-prinsip yang mendasarinya yaitu: Integritas, yaitu memiliki kepribadian yang dilandasi oleh unsur jujur, berani, bijaksana dan bertanggungjawab, Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya, Obyektifitas yaitu menjunjung tinggi ketidakperpihakan dalam melaksanakan tugasnya;
6
7
8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah
dan Independensi, yaitu tidak terpengaruh adanya tekanan atau kepentingan pihak manapun.9 Penyidik Pegawai Negeri Sipil bertugas melakukan Penyidikan dan Penyelidikan kejahatan dan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang melibatkan aparatur Pemerintahan dan masyarakat. Penyidik mempunyai peranan penting dan merupakan ujung tombak dalam proses penegakan hukum pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar dalam proses penanganan perkara pidana, selanjutnya fungsi PPNS antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya kejahatan dan pelanggaran atas Peraturan Daerah, melakukan peningkatan kualitas PPNS, membuat Berita Acara Pemeriksanaan (BAP) setiap tindakan pelangaran dari aparat Pemerintah, mengkoordinasikan pelaksanaan tugas PPNS dilingkungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota, mengkoordinasikan peningkatan kapasitas PPNS dilingkungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota, memberi petunjuk dan memotifasi bawahan dalam penyelesaian tugas, menyusun program kegiatan laporan kegiatan pada Subbag Pembinaan PPNS.10 Peran dan tugas pokok PPNS Satpol PP merupakan tugas tindak lanjutan yang diserahkan oleh Satpol PP dalam melaksanakan penertiban umum, ketenteraman masyarakat dan melindungi masyarakat yang menimbulkan perkara hukum, sebagaimana telah dipertegas pada Peraturan Pemerintah Nomo 6 Tahun 2010 Tentang Kesatuan Polisi Pamong Praja pada pasal 8 ayat e, dalam setiap menjalankan dan melaksanakan peran dan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib, menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat, menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja, membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana, menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah11. Dalam Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada pasal 2A menjelaskan bahwa ayat 1 Untuk dapat diangkat 9
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah Ibid, 10 http://birohukum.gorontalofamily.org/biro-hukum.html, diunduh tanggal 14 Pebruari 2012 11 Peraturan Pemerintah Nomo 6 Tahun 2010 Tentang Kesatuan Polisi Pamong Praja
224 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan:sebagai berikut: berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun, mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse criminal, sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. Kemudian pada ayat 2 Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ayat 3 Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.12. Selanjutnya pada Peraturan yang sama juga diatur pada pasal 3A dipertegas dengan persyaratan untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut pada ayat 1 Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun, berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a, berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara, bertugas di bidang teknis operasional penegakan hokum, sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah, setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir, dan mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. Pada ayat 2 Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a sampai dengan huruf f diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan, dan ayat 3 persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf g diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait. selain telah memenuhi persyaratan seperti pada butir diatas calon pejabat PPNS juga harus mendapat pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Pertimbangan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diberikan masing-masing dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pertimbangan diajukan. apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari pertimbangan 12
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia dianggap menyetujui. calon pejabat PPNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) dan Pasal 3C, diangkat oleh Menteri atas usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut, Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. 13 , selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil juga ada yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik Pegaai Negeri Sipil dalam menentukan dan menseleksi kriteria pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini pada pasal 14 Untuk pelaksanaan pengorganisasian personel PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a berdasarkan hubungan dan tata cara kerja organisasi di lingkungan instansi PPNS, dengan kriteria: mempunyai moral baik, integritas, dedikasi dan professional, menyesuaikan jumlah personil PPNS dengan beban tugas yang dihadapi, mempunyai pola kerja sama antar PPNS dalam pelaksanaan penyidikan, membentuk team supervisi atau asistensi yang dapat mengawasi proses penyidikan, dan menghindari hubungan subjektivitas antara PPNS dengan tersangka.14 Fungsi pengawasan dan koordinasi menurut Luther Gullick terdapat 7 fungsi manajemen yaitu terdiri dari Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Controlling15, dalam hal ini pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap PPNS yang berada pada setiap instansi dengan maksud: untuk menjadikan pelaksanaan dan hasil kegiatan sesuai dengan rencana dan tujuan, untuk memecahkan masalah, untuk mengurangi resiko kegagalan suatu rencana, untuk membuat perubahan-perubahan maupun perbaikan-perbaikan, untuk mengetahui kelemahan-kelemahan pelaksaannya.16 Sebagai unsur pengawasan dan memberikan fasilitasi koordinatif bagi PPNS tentunya Kepolisian Republik Indonesia mempunyai mekanisme dan aturan jalannya pelaksanaan tugas dan pokok PPNS sebagaimana disebut pada bab II Pengawasan, Pengamatan dan Penelitian serta pemeriksaan pasal 5 13
Ibid. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil 15 http://www.manajemenn.web.id/2011/04/bentuk-bentukpengawasan.html, diunduh tgl 12 Pebruari 2012 16 ibid 14
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 225
menyebutkan pengawasan, pengamatan, penelitian atau pemeriksaan ayat (1) Dilaksanakan atas dasar: a. hasil temuan dari petugas; dan/atau dan b. laporan/pengaduan masyarakat, yang dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. (2) Terhadap laporan/pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, kepada pelapor diberikan surat tanda penerimaan laporan. (3) Hasil pengawasan, pengamatan, penelitian atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila ditemukan tindak pidana, dituangkan dalam laporan kejadian. 17 Seperti telah dikemukakan diatas bahwa tindakan yang dilakukan PPNS pada Unit Satuan Polisi Pamong Praja adalah tindakan lanjutan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam bentuk laporan hasil temuan petugas ketika melaksanakan dan menyelenggarakan ketertiban umum, Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat. Selanjutnya dijelaskan kembali pada pasal 6 yang berisikan bahwa: (1) Laporan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaporkan kepada Atasan PPNS dan dicatat dalam registrasi penerimaan laporan kejadian. (2) Laporan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), berisikan uraian singkat mengenai peristiwa yang terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran pidana. (3) Atasan PPNS setelah menerima laporan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan surat perintah penyidikan dan memberi petunjuk mengenai pelaksanaan penyidikan.18 Atasan langsung PPNS pada Unit Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP), sesuai dengan amanat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 yang menjadi atasan PPNS adalah PPNS atau Pimpinan pada instansi. Ketika dalam melakukan penyidikan seorang Pejabat PPNS dalam melakukan penyidikan dapat meminta bantuan terahadap penyidik Kepolisian sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada pasal 8 ayat 2 menjelaskan dalam pelaksanaan pengamanan, penanganan, dan pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan karakter dan bidang tugas PPNS masingmasing. (3) Dalam hal pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membutuhkan tindakan taktis dan teknis di TKP, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri. Tugas dan fungsi PPNS dalam melakukan penyidikan maupun penyelidikan sampai kepada proses persidangan harus mengikutinya, Metode
dalam pengkajian ini mengunakan pedekatan normatif dengan menitik beratkan pada upaya dan mengkaji norma-norma yang berkaitan dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan memperhatikan 3 (tiga) dimensi yang akan diukur dalam pelaksanaan kegiatan ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu: 1) Kuisioner/wawancara 2) observasi dan 3) Literatur. Sifat data yang diambil yaitu data kualitatif. unit analisis adalah unit yang ingin diteliti. Sesuai dengan tujuan kajian ini maka yang menjadi unit analisis dengan mengkaji beberapa peraturan/kebijakan yang berkaitan dengan PPNS serta pejabat PPNS di SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota. menggunakan purposive sampling. teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu: data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan yang langsung berkaitan dengan obyek penelitian, data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui beberapa dukumen, laporan, literature, Produk hukum, kebijakan Bupati atau Walikota atau pesan lain yang sifatnya mendukung kegiatan penelitian dan melengkapi data primer, Untuk memperoleh data yang dinginkan dalam penelitian ini, menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari dokumen yang berkaitan dengan satuan polisi pamong praja Pengelola Program Pembangunan Program pengentasan kemiskinan dengan tujuan untuk memperoleh data yang akurat dan dianggap perlu dalam melaksanakan penelitian, kuesioner (Open and closed anded Quistion) yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar pertanyaan dalam hubungan dengan penelitian ini. Daftar pertanyaan yang digunakan dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberikan jawaban pada beberapa alternatif saja atau satu jawaban saja, wawancara mendalam dilakukan untuk membantu kekurangan dalam menganaliis pada kusioner terbuka dan tertutup, Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa desain yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, setelah data dan informasi yang berhubungan dengan obyek penelitian dikumpulkan, baik yang berupa data melalui kepustakaan, data informasi dari lapangan yang diperoleh melalui wawancara, maka akan dipisah-pisahkan menurut kategori. Dengan demikian, akan diketahui dan diinterpretasikan kecenderungan dari pertanyaan masing-masing indikator berupa jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, maka semua data itu akan dianalisis secara kuanlitatif dengan dilengkapi analisis kualitatif dengan menarasikan open ended question atau wawancara mendalam.
17
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil 18 Ibid, pasal 6
226 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
PEMBAHASAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada pasal 1 ayat 11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundangundangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing pada pasal 2 ayat 1 Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Kuhap) Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 6 pada ayat (1) Penyidik Adalah: A. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; B. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UndangUndang. Selain kedua Undang-undang tersebut ada juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 14 huruf c : salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. dan pasal 27 huruf c dan e : (kewajiban kepala daerah) c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, e. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan serta pasal 148: untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk satuan polisi pamong praja dan tentunya tidak lepas juga UndangUndang yang bertikal yang dikawal oleh PPNS Perhubungan, Pertanian, Kehutanan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja pada Pasal 8 dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib: pada huruf c. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; dan huruf e. menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah. dan pada Pasal 9 (1) Polisi Pamong Praja yang memenuhi syarat dapat ditetapkan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. dan ayat (2) Polisi Pamong Praja yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah yang dilakukan oleh warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum, selain Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 ada juga Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Pada pasal 1 Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan pada Pasal 2 Penyidik adalah: a. pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. pejabat pegawai negeri sipil. Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, Dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa pada pasal 1 Pengawasan adalah proses pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi kepolisian terbatas yang dilakukan Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama instansi yang membawahi Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa selanjutnya pada Pasal 3 Pengemban Fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. Polsus; b. PPNS; dan/atau dan pasal 5 PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, melaksanakan tugas dan fungsi penyidikan tindak pidana yang termasuk dalam lingkup kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah Dalam Penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan Dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah, Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asazsi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 227
Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kelembagaan yang selama ini terjadi sesuai dengan regulasi yang ada meliputi pelbagai kelembagaan yang mengaturnya, selaku pembina umum yang berwenang mengaturnya berada pada Kementerian Dalam Negeri, pembina umum disini dapat diartikan kerena Kementerian Dalam Negeri yang memberikan pembinaan secara umum di daerah baik itu Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota, membina Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berada di daerah dalam bentuk kelembagaan dinas maupun dalam bentuk kantor dan unit teknis vertikal yang didalam unsur unit teknis, dinas dan kantor terdapat pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ditugasi melakukan pengawasan dan penyelidikan dan penyidikan untuk semata-mata menegakan kebijakan kepala daerah dan peraturan daerah. Tugas dan Fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan penyidikan dan penyelidikan yang nota bene adalah merupakan tindakan yang sematamata melakukan pengawasan dan pemantauan serta pengamatan terhadap sesuatu yang diduga melakukan pelanggaran terahadap peraturan daeah dan kebijakan kepala daerah, hal yang sama dengan unsur pengawasan berada pada Inspektorat ada jabatan fungsional yang disebut dengan P2 UPD 19 (Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Di Daerah) yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan diluar keuangan. 20Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 1999 disebutkan, tugas pokok Pengawas Pemerintahan adalah melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah di luar pengawasan keuangan, yang meliputi pengawasan atas pembinaan urusan pemerintahan, pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, pengawasan atas peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pengawasan atas dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pengawasan untuk tujuan tertentu, dan melaksanakan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengawasan yang dilakukan Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Di Daerah (P2UPD) sejatinya mirip dengan tugas pokok yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yaitu pada pengawasan atas peraturan daerah dan kepala daerah hal yang sama juga dilakukan PPNS melakukan penyelidikan dan penyidikan setiap pelanggaran perda. Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan kebijakan dan peraturan yang menyangkut dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. baik itu dalam 19
20
Peraturan Prtesiden Nomor 70 Tahun 2013, yang telah ditandatangani oleh Presiden SBY pada 11 November 2013. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 1999
bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dan Surat Edaran Menteri Dalam Nageri (SE Mendagri), pelbagai aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang menyangkut tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah Dalam Penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan Dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kepmendagri 11 Tahun 2009 Tentang Kode etik Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, Dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Koordinasi, Pengawasan Dan Pembinaan Penyidikan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Permasalahan yang dihadapai PPNS Provinsi yang berkaitan dengan penyelenggaraan penegakan hukum di Provinsi DI Yogyakarta, perlu diketahui bahwa PPNS di daerah Provinsi DI Yogyakarta melekat pada Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Keberadaan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keseluruhan sebanyak 187 termasuk yang berada di SKPD-SKPD Kabupaten Kota untuk di Provinsi sendiri hanya 20 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang tersebar di SKPD Provinsi dan Pol PP Provinsi sedangkan yang berada di Pol PP Provinsi hanya 8 (delapan) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang aktif hanya 5 orang sedangkan yang lain berada di bidang di Tata Usaha dan di Kepegawaian atau bergerak pada administrasi bukan pada penegakan Perda. Selebihnya ke 5 (lima) orang tersebut mendapat promosi dari pimpinannya. Kesekretariatan PPNS di Pol PP Provinsi DI Yogyakarta sudah terbentuk dan sudah ada wadahnya, namun terbentuknya sekretariat PPNS di Satuan Polisi Pamong Praja hanya bersifat seremoni saja hanya sekedar melengkapi keinginan harapan memenuhi Surat Edaran Kementeran Dalam Negeri. Aktifitas sekretariat PPNS belum dapat diwujudkan
228 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
secara maksimal terlihat alat pendukung belum memenuhi harapan yang diinginkan, dengan ukuran luas ruang hanya 3 (tiga) meter kali 4 (empat) meter. PPNS Satpol PP bekerjasama dengan PPNS yang berada pada SKPD berkaitan dengan operasional seperti SKPD Dinas Kesehatan dan PPNS yang berada pada Kabupaten/Kota khususnya minuman keras dan operasi pelacaruan bekerjasama dengan Polisi Daerah dan TNI sering kali operasi itu gagal, artinya ketika petugas operasi sampai kepada lokasi yang dituju tidak menemukan jejak atau barang bukti. Kemudian ketika PPNS Satpol PP Provinsi bekerjasama dengan PPNS yang berada di SKPD Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi terhambat ketika melakukan penegakan perda yang berkaitan dengan Perda 15 Tahun 2010 tentang Upah Ketenaga Kerjaan, PPNS yang berada di Dinas Tenaga Kerja ketika diajak kerjasama melakukan operasi ke Pabrik-Pabrik yang berkaitan dengan Perda sering kali menghindar bahkan ketika PPNS Satpol PP turun langsung ke Pabrik-Pabrik PPNS yang berada di SKPD Dinas Tenaga Kerja dan Tranmigrasi terlihat kurang koordinatif, kemudian Perda tentang P4GN (Narkotika) berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika/Psikotropika berkaitan dengan penyuluhan narkotika. Perda Nomor 6 Tahun 2011 berkaitan langsung dengan Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Anak, PPNS di Dinas Sosial memiliki 2 (dua) beban yang harus jaga yaitu mengawal Undang-Undang dan Mengawal UndangUndang sering acap kali dalam melakukan kerjasama dengan Kepolisian dalam hal melakukan pembinaan rumah singgah “Avara”. Jabatan yang menempel pada PPNS merupakan jabatan tidak diminati dilihat dari faktor promosi dan keuangan belum dapat menjanjikan, masih banyak PNS yang berpendidikan S1 di Provinsi tidak mau untuk ikut menjadi PPNS, seperti di Satpol PP ada seorang PNS berkedudukan di bidang penyidikan tetapi tidak berminat menjadi PPNS. Menanggapi permasalahan yang terjadi berkaitan dengan adanya regulasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan penegakan hukum di Provinsi DI Yogyakarta, perlu diketahui bahwa PPNS di daerah Provinsi DI Yogyakarta melekat pada Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Keberadaan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keseluruhan sebanyak 187 termasuk yang berada di SKPD-SKPD Kabupaten Kota untuk di Provinsi sendiri hanya 27 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mengawal Perda dengan sanksi kurungan 6 (enam) bulan yang tersebar di SKPD Provinsi dan Pol PP Provinsi sedangkan yang berada di Pol PP Provinsi hanya 8 (delapan) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang aktif hanya 5 orang sedangkan yang lain berada di bidang
di Tata Usaha dan di Kepegawaian atau bergerak pada administrasi bukan pada penegakan hukum. Selebihnya ke 5 (lima) orang tersebut mendapat promosi dari pimpinannya ke unit lain. Selanjutnya dari jumlah 187 pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) hanya 50% saja yang memiliki Kartu Tanda Penyidikan dikarena yang lain dalam proses perpanjangan yang disebabkan oleh kadaluarsa waktu dan bidang yang kawal. Kesekretariatan PPNS di PolPP Provinsi DI Yogyakarta sudah terbentuk dan sudah ada wadahnya, namun terbentuknya sekretariat PPNS di Satuan Polisi Pamong Praja hanya bersifat seremoni saja hanya sekedar melengkapi keinginan harapan memenuhi Surat Edaran Kementeran Dalam Negeri. Aktifitas sekretariat PPNS belum dapat diwujudkan secara maksimal terlihat alat pendukung belum memenuhi harapan yang diinginkan, dengan ukuran luas ruang hanya 3 (tiga) meter kali 4 (empat) meter. sampai saat ini keberadaan sekretariat PPNS Satpol PP belum efektif dikarenakan untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan PPNS di Provinsi DI Yogyakarta belum didukung dengan anggaran sebagai persayaratan utama adanya kegiatan karena tanpa adanya anggaran mustahil kegiatan itu berjalan dengan baik, seperti diketahui operasional PPNS ini melekat pada SKPD-SKPD sehingga sulit sekali melakukan koordinasi sesama PPNS selain itu juga ruangan untuk menampung jumlah PPNS sebanyak 187 pejabat PPNS di Provinsi secara serempak kelihatannya tidak mungkin. Untuk itu sebagai langkah awalnya pejabat PPNS di kumpulkan atau diundang ketika ada kejadian yang perlu ditangani lebih cepat. Koordinasi yang dilakukan oleh Satpol PP dalam membentuk sekretariat ada beberapa yang harus dipertimbangkan antara lain susunan keanggotaan dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur, selain didukung dengan ruangan yang cukup luas dan peralatan kantor yang lengkap sebagai bahan analisis. Penyertaan kapasitas PPNS belum maksimal terlihat kemampuan dan keahlian PPNS belum percaya diri dalam membuat berkas perkara dalam kata lain tidak berani membuat berita acara pidana (BAP), hal ini disebabkan kurangnya kemampuan dalam membuat BAP disebabkan karena jarang sekali PPNS melakukan penyidikan sehingga tidak terlatih dalam membuat berkas perkara. Penelaahan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah Dalam Penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 229
Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Berkaitan dengan Kartu Tanda Penyidik legalitas penandatanganan terhadap KTP menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah ditanda tangani oleh Kepala Daerah sedangkan diatur pula pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil bahwa keabsahan berlakunya KTP PPNS bila disahkan oleh Kapolri/Kapolda/Kapolresta di daerah masingmasing sedangkan Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur pula bahwa legalitas KTP PPNS bila dibubuhi tandatangan Kementerian Hukum dan Ham, mengingat tentang legalitas KTP ini banyak yang berwenang sehingga akan semakin sulit peran gerak PPNS sebenarnya peraturan yang mana yang musti diikuti. Kemudian ada lagi yang terdapat di Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta pada bab 5 pasal 12 ayat 1 PPNS dilantik oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk asumsinya pejabat yang ditunjuk disini adalah pejabat pada lingkungan pemda, sedangkan dalam Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelantikan di PPNS di Daerah adalah Kemenkumhan. Jika melihat dari tata urutan produk hukum Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta sangat bertentangan dengan Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil karena
melihat dari tingkat jenjang produk hukum posisi Perda dibawah Permen sehingga secara hukum Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta harus direvisi walaupun Perda tersebut baru seumur jagung baru kurang lebih 2 (dua) sampai 3 (tiga) Tahun. PENUTUP Terdapat perbedaan penafsiran antara Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengenai legalitas KTP, masing masing Peraturan memiliki kekuatan dan kewenangan yang sama untuk mengatur PPNS. Masih dijumpai adanya Peraturan Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta dibuat dan diterbitkan pada Tahun 2010 bertentangan dengan Peraturan kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, Dan Pengambilan Sumpah Atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diterbitkan pada Tahun 2011 Saran Pemerintah Pusat baik itu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepolisian Republik Indonesia kiranya perlu merestrukturisasi kebijakan yang mengatur tentang PPNS satu saja yang dapat digunakan PPNS secara menyeluruh dapat berupa Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Perda Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta perlu merevisi Perdanya karena sudah tidak sesuai dengan Peraturan kemenkumham.
230 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
Kusnu
DAFTAR PUSTAKA Peraturan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Aerah Dan Retribusi Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam Penegakan Peraturan Daerah. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 1999 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan, dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh.01. Ah.09.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, dan Pengambilan Sumpah atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, Serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Buku:
Goesniadhie, Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Specialis Suatu Masalah) Surabaya: Penerbit Jpbooks, 2006 Isbn: 979-3487-70-4 L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, Makalah, yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FHUI, 1995, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996/1997, Op, Cit, hal. 28-29. L.M. Gandhi, “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif”,Makalah, yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FHUI, 1995, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996/1997, Op, Cit, hal. 28-29. Moedji Rahardjo, Makalah FGD Tanggal 5 Juli 2012 di Gandok Kiwo Kompleks Kepatihan Danurejan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penegakan Hukum di Provinsi DIY, Biro Hukum Setda Provinsi Diy, 2012. Sukamto, Makalah FGD Tanggal 5 Juli 2012 di Gandok Kiwo Kompleks Kepatihan Danurejan, 5 Juli 2012, Gandok Kiwo Kompleks Kepatihan Danurejan Peran Satpol PP dalam Pembinaan PPPNS, 2012. http://Polisijaya.Blogspot.Com/P/Ppns.Html, diunduh Tanggal 19 Juni 2013. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/jenis-jenispidana.html, diunduh Tanggal 1 Juli 2013. http://www.manajemenn.web.id/2011/04/bentukbentuk-pengawasan.html, diunduh tgl 12 Februari 2012. http://birohukum.gorontalofamily.org/biro-hukum.html, diunduh tanggal 14 Februari 2012.
Harmonisasi Regulasi tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Daerah Istimewa Yogyakarta - Gunawan | 231
232 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 221 - 232
PENGEMBANGAN KOMODITI KARET DI PROVINSI PAPUA *Merupakan penyempurnaan dari KTI pada Diklat KTI MP3EI Ambon 2013
RUBBER COMMODITY DEVELOPMENT IN PAPUA PROVINCE *Completion for MP3EI Training paper in Ambon, 2013 Alexander Gatot Wibowo Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Jl. Soa Siu Dok II Bawah Komplek Kantor Gubernur Jayapura, Papua E-mail:
[email protected] Diterima: 17 Oktober 2013; direvisi: 26 Oktober 2013; disetujui: 18 November 2013
Abstrak Komoditi Karet di Provinsi Papua dapat dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Provinsi Papua. Namun demikian pengembangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pemanfaatan teknologi pertanian masih terbatas dan kemampuan SDM terbatas, untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan strategi pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua dengan menggunakan alat Analisa SWOT. Hasil Kajian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Lahan potensial untuk karet di Papua masih luas, Adanya perhatian pemerintah untuk pengembangan karet, Adanya Petani Karet, Adanya LSM yang membantu, Banyaknya tanaman tua yang belum diremajakan, Kemampuan SDM Petani terbatas, Terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian, Terbatasnya permodalan petani, Terbatasnya sarana prasarana pertanian seperti alat sadap mangkok, pisau, pengolah karet, asam semut, dll, Terbatasnya Penampung hasil produksi karet, Belum adanya kemitraan dalam pengelolaan perkebunan Karet, Rendahnya akses terhadap kebutuhan karet dunia, Perlunya pendampingan tawar menawar hasil produksi, Adanya alih fungsi lahan karet, Penawaran harga dari Pengepul rendah, dan Persaingan hasil. Sedangkan beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan komodoti karet di Provinsi : Papua antara lain : Pengembangan karet skala besar, Pendampingan SDM Petani, Membangun kemitraan dalam pengelolaan Karet, Diklat/ Penyuluhan SDM Petani, Pemberian bantuan permodalan bagi petani, Peremajaan tanaman yang sudah tua, Penyediaan dan Pemanfaatan teknologi dan sarana prasarana pertanian, Perluasan arela tanam karet, Peningkatan Kemitraan dengan pihak ketiga, Peningkatan kapasitas kelembagaan Petani, Intensifikasi, Regulasi cegah alih fungsi lahan, Pendampingan SDM Petani, dan Peremajaan tanaman dengan klon unggul Kata kunci : Pengembangan Karet, Papua
Abstract Rubber commodity in Papua can be developed to improve the local economy and increase the role of the agricultural sector in Papua development. However, development is influenced by several factors, among others, the use of agricultural technology is still limited and limited ability of human resources, it is necessary to do a study. This study aims to identify and determine the strategy of development of Rubber commodity in Papua by using SWOT analysis tool. The study results showed that the development of rubber commodity in Papua is influenced by several factors including : land potential for rubber in Papua is still widespread, existence of the government's attention to the development of rubber, precense of Rubber Growers, presence of NGOs that help, number of old plants that have not been rejuvenated, limited ability of HR Farmer, limited use of agricultural technology, limited capital farmer, limited agricultural infrastructure such as a tap bowl, knife, rubber processing, formic acid, etc., Limited production buyer of rubber, yet the partnership in the management of rubber plantations, low level access to the world's rubber needs, need assistance bargaining production, presence over the function rubber land, offer a low price from collectors, and product competition. While some of the strategies that need to be done for the development of rubber commodity in the Papua province, among others: Development of large-scale rubber, HR Farmer Mentoring, Building partnerships in the management of Rubber, Training / Counseling HR Farmer, Providing funding assistance for farmers, Rejuvenation old plants, Provision and utilization of agriculture technology and infrastructure, Expansion of rubber planting land, Improved Partnership with third parties, Capasity buikding of Farmer organization, Intensification, Regulation prevent land conversion, Accompaniment HR Farmer, and plant with clones Rejuvenation Keywords: Rubber Development, Papua
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua – Alexander Gatot Wibowo | 233
PENDAHULUAN Karet merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Papua. Tanaman ini sudah dikenal di Provinsi Papua sejak pendudukan Belanda di Indonesia. Namun sampai saat ini perkembangnya belum menunjukkan kondisi yang signifikan bagi peningkatan perekonomian masyarakat Papua maupun dalam meningkatkan peranan sector pertanian dalam pembangunan di Provinsi Papua. Luas lahan Karet di Provinsi Papua cukup luas. Selama lima tahun dari 2006 s/d 2010 tercatat sebesar 4.752 ha (table 1), namun pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 4.682 Ha (Papua dalam angka, 2013). Tanaman Karet ini tersebar di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi di daerah selatan Provinsi Papua, sementara di 26 Kabupaten lain di Provinsi Papua tidak dijumpai adanya budidaya tanaman Karet. Perkembangan produksi tanaman Karet belum menunjukkan perubahan yang berarti. Dengan luasan tersebut diatas, rata-rata produksi selama lima tahun antara 2006 s/d 2010 dan tahun 2012 adalah sebesar 1.465 s/d 1.630 ton per tahun. Sementara rata-rata produktivitas tanaman Karet mengalami penurunan. Bila pada tahun 2006 s/d 2010 produktivitas rata-rata sebesar 330 kg/ha, maka pada tahun 2012 rata-rata produktivitas menurun menjadi 277 kg/ha. Masih rendahnya produksi Karet antara lain disebabkan karena kurangnya perhatian Pemerintah Daerah. Selama ini pengelolaan Karet diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat sehingga belum mendapatkan pembinaan yang maksimal dari Pemerintah Daerah. Kurangnya pembinaan ini menyebabkan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan petani Karet sehingga kurang mampu memanfaatan teknologi produksi yang sudah ada. Selain itu ketiadaan bantuan dana mempengaruhi keterbatasan permodalan Petani, sehingga pengelolaan tanaman Karet dilakukan secara sederhana karena akses terhadap teknologi produksi terbatas. Beberapa teknologi produksi yang tidak
dimanfaatkan antara lain bibit unggul, pupuk, pengendalian H/P. Demikian juga pengolahan hasil produksi yang dilakukan Petani belum terlaksana dengan baik, akibat terbatasnya ketersediaan sarana pengolahan hasil, seperti alat sadap, bahan proses pengasapan, dan asam semut yang bermanfaat dalam pengeringan getah Karet. Meskipun pengelolaan Karet belum optimal, selama ini hasil produksi Karet telah meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat Petani. Jumlah Petani yang telah meningkat perekonomiannya sebanyak 6.881 petani. Bila rata-rata satu kk terdiri dari 3 orang, maka jumlah anggota masyarakat yang mengalami kehidupan lebih baik melalui usahatani Karet adalah sebanyak 20.000 orang. Apabila pengelolaan tanaman Karet ini dapat ditingkatkan baik kuantitas dan kualitasnya, akan semakin banyak lagi anggota masyarakat yang dapat ditingkatkan kehidupan ekonominya serta peranan sector pertanian dalam pembangunan Daerah akan semakin nyata. Sumbangan komoditi Karet terhadap pembangunan pertanian di Provinsi Papua masih rendah. Secara bersama-sama, peranan komoditi pertanian di Provinsi Papua pada PDRB Provinsi Papua sebesar 11,61 %, dengan pertumbuhan 4,04 % dan menyumbang pembangunan 2011 sebesar 0,60%. Padahal apabila komoditi Karet dan beberapa komoditi unggulan lainnya dikembangkan, maka peranan sector pertanian dalam pembangunan di Provinsi Papua dapat ditingkatkan. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya sumbangan komoditi Karet dalam pembangunan sector pertanian antara lain kurangnya perhatian Pemerintah Daerah terhadap perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat. Hal ini mengakibatkan kemampuan petani dalam pengelolaan kebun Karet terbatas, sehingga produksi Karet belum optimal karena dilakukan secara sederhana. Keterbatasan modal dan terbatasnya akses Petani terhadap permodalan juga mengakibatkan Petani tidak mampu menyediakan dan menggunakan teknologi pertanian. Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani
Tabel 1. Perkembangan hasil produksi karet Papua.
No
Tahun
Luas (ha)
Produksi (ton)
1 2010 4,752 2 2009 4,752 3 2008 4,752 4 2007 4,752 5 2006 4,752 Sumber : Dirjen Perkebunan 2009-2011 diolah
234 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 233 - 242
1,558 1,465 1,623 1,630 1,573
Produktivitas (kg/ton) 327.86 308.29 341.54 343.01 331.02
Karet, menyebabkan praktek usahatani Karet dilakukan tidak maksimal sehingga produktivitasnya rendah. Ketersediaan teknologi pertanian yang terbatas juga menyebabkan pengelolaan kebun Karet yang menyebabkan rendahnya kuantitas dan kualitas hasil produksi. Demikian juga rendahnya akses pasar menyebabkan rendahnya harga yang diterima oleh petani akibat panjangnya rantai pasar yang harus dilalui dalam pemasaran Karet di Provinsi Papua. Apabila seluruh permasalahan diatas dapat diperbaiki maka pengelolaan karet di Provinsi Papua dapat ditingkatkan dan pengembangan komoditi Karet dapat dilakukan. Dengan demikian pengembangan komoditi karet dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan meningkatkan peranan sector pertanian pada pembangunan di Provinsi Papua. Untuk itu permasalahan yang akan dikaji melalui kajian ini adalah: 1) Bagaimana pengembangan komoditi karet di Provinsi Papua yang dilakukan saat ini ? 2) Bagaimana strategi pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua? Tujuan kajian pengembangan Karet di Provinsi Papua adalah untuk mengkaji pengembangan komoditi karet di Provinsi Papua yang dilakukan saat ini dan mengkaji strategi pengembangan karet di Provinsi Papua. Manfaat kajian pengembangan karet di Provinsi Papua adalah tersedianya data dan informasi tentang pengembangan dan strategi pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan pembangunan daerah sector pertanian di Provinsi Papua. Selain itu hasil kajian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan khazanah ilmu pengetahuan khususnya tentang pengembangan agribisnis Karet. METODE PENELITIAN Pendekatan kajian adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif yang menjelaskan tentang fenomena dan upaya-upaya pengembangan komoditi karet di Provinsi Papua, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Sampel kajian ini adalah beberapa kabupaten di daerah Selatan Provinsi Papua yang mengelola tanaman Karet, yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi. Lokasi ini dijadikan sampel kajian karena selama ini
tanaman Karet hanya dijumpai pada ketiga kabupaten ini, sementara kabupaten lainnya tidak dijumpai adanya pengelolaan tanaman Karet. Teknik analisa data yang digunakan adalah Analisa SWOT. Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Analisis internal meliputi peniaian terhadap faktor kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal mencakup faktor peluang (Opportunity) dan tantangan (ThreathS) (BPS, 2013). Menurut Haffianto (2009) Analisa SWOT merupakan sebuah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Sementara masing-masing faktor dijelaskan sebagai berikut : (1) Strength; faktor internal yang mendukung perusahaan dalam mencapai tujuannya. Faktor pendukung dapat berupa sumber daya, keahlian, atau kelebihan lain yang mungkin diperoleh berkat sumber keuangan, citra, keunggulan di pasar, serta hubungan baik antara buyer dengan supplier. (2) Weakness; faktor internal yang menghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya. Faktor penghambat dapat berupa fasilitas yang tidak lengkap, kurangnya sumber keuangan, kemampuan mengelola, keahlian pemasaran dan citra perusahaan. (3) Opportunity; faktor eksternal yang mendukung perusahaan dalam mencapai tujuannya. Faktor eksternal yang mendukung dalam pencapaian tujuan dapat berupa perubahan kebijakan, perubahan persaingan, perubahan teknologi dan perkembangan hubungan supplier dan buyer. (4) Threat; faktor eksternal yang menghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya. Faktor eksternal yang menghambat perusahaan dapat berupa masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, meningkatnya bargaining power daripada supplier dan buyer utama, perubahan teknologi serta kebijakan baru.
Gambar 1. Analisa Matriks SWOT.
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua – Alexander Gatot Wibowo | 235
Keterangan : • Sel A: Comparative Advantages. Sel ini merupakan pertemuan dua elemen kekuatan dan peluang sehingga memberikan kemungkinan bagi suatu organisasi untuk bisa berkembang lebih cepat. • Sel B: Mobilization. Sel ini merupakan interaksi antara ancaman dan kekuatan. Di sini harus dilakukan upaya mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan organisasi untuk memperlunak ancaman dari luar tersebut, bahkan kemudian merubah ancaman itu menjadi sebuah peluang. • Sel C: Divestment/Investment. Sel ini merupakan interaksi antara kelemahan organisasi dan peluang dari luar. Situasi seperti ini memberikan suatu pilihan pada situasi yang kabur. Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun tidak dapat dimanfaatkan karena kekuatan yang ada tidak cukup untuk menggarapnya. Pilihan keputusan yang diambil adalah (melepas peluang yang ada untuk dimanfaatkan organisasi lain) atau memaksakan menggarap peluang itu (investasi). • Sel D: Damage Control.Sel ini merupaka kondisi yang paling lemahdari semua sel karena merupakan pertemuan antara kelemahan organisasi dengan ancaman dari luar, dan karenanya keputusan yang salah akan membawa bencana yang besar bagi organisasi. Strategi yang harus diambil adalah Damage Control (mengendalikan kerugian) sehingga tidak menjadi lebih parah dari yang diperkirakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan luas tanaman Karet di Provinsi Papua Pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua sampai dengan tahun 2012 dapat dilihat pada perkembangan luas tanam, produksi dan produktivitas seperti pada tabel 3. Luas pertanaman komoditi Karet di Provinsi Papua sampai dengan tahun 2012 sebesar 4.682 ha yang tersebar hanya di 3 Kabupaten yaitu Merauke, Boven Digoel dan Mappi, sedangkan di 26
Kabupaten/Kota lainnya belum dijumpai adanya pertanaman Karet. Pengembangan tanaman Karet di Provinsi Papua tidak berjalan dengan cepat. Adapun pertanaman yang ada merupakan tanaman-tanaman yang telah berumur tua yang ditanam sejak puluhan tahun yang lalu, sementara penanaman baru dimulai tahun 2010-an. Penanaman Karet di Provinsi Papua dimulai sejak tahun 1960 pada saat jaman Belanda. Melalui hasil penelitian mereka diketahui ternyata tanah Papua cocok untuk tanaman Karet, sehingga dilakukan penanaman Karet secara luas di daerah pedalaman. Hal ini ditujukan untuk membantu masyarakat asli Papua keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan. Tahun 1969, Gereja melalui Pastor Kees terus menerus memberikan penyadaran, penyuluhan dan pelatihan budidaya tanaman Karet kepada masyarakat Suku Muyu, Auyu dan Mandobo. Tahun 1971 Pastor Joseph Nuy, MSC, mendatangkan orang jawa dan mendirikan rumah sadap, pengolahan dan pengasapan, namun tahun 1980 penyadapan berhenti. Tahun 1987-1988 Pastor Kees mendatangkan ribuan bibit ke Distrik Kepi, Distrik Bade dan Distrik Getentiri di Kabupaten Boven Digoel. Untuk percontohan, Gereja menanam seluas 2,5 Ha. Saat ini luas tanaman Karet telah berkembang yaitu di Distrik Getentiri dan Distrik Waropko di Kabupaten Boven Digoel terdapat 300 Ha, sedangkan di Distrik Bade dan Distrik Kepi di Kabupaten Mappi, masing-masing 1.000 Ha (aurelius, 2011). Saat ini pengembangan tanaman Karet mulai dilanjutkan. Pada tahun 2012, Di Kabupaten Merauke, melalui APBD Pemerintah Daerah melakukan pengembangan komoditi Karet dengan penambahan luas tanam sebesar 270 ha yang diperuntukan bagi 270 kk yang dilakukan dalam bentuk pembukaan lahan kebun, pemberian bantuan bibit dan pelatihan perawatan tanaman, Sementara yang sudah terbuka seluas 40 ha (ptpn6, 2012). Hal senada disampaikan dalam Papuapos (2012) yang memberitakan bahwa Pemerintah Daerah melalui APBD akan membangun 45 ha penanaman Karet yang tersebar di Distrik Bupul 20 ha dan Distrik Selil 25 ha, dalam bentuk pembukaan lahan sampai dengan penanaman. Sementara Pemerintah Pusat
Tabel 2. Perkembangan produksi Karet di Provinsi Papua tahun 2013.
NO
Kabupaten
Luas Lahan (Ha) 367 1,318 2,997 4,682
1 Merauke 2 Boben Digoel 3 Mappi JUMLAH RATA-RATA Sumber : Papua Dalam Angka Tahun 2013 (diolah)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha) 80 218 303 230 1,148 383 1,531 277
236 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 233 - 242
Jumlah Petani 886 1,283 4,712 6,881
Lahan diolah (Ha/Ptn) 0.41 1.03 0.64 0.69
akan membantu pembukaan lahan seluas 250 ha dalam bentuk bantuan bibit dan biaya penanaman. Selain itu Pemerintah Daerah juga melakukan pembukaan lahan seluas 250 Ha bekerjasama dengan investor pada lokasi yang tersebar di Distrik Sota, Distrik Jagebob, Distrik Ulilin, Distrik Elikobel serta Distrik Muting. Ditambahkan bahwa khusus pada tahun 2013, Pemerintah pusat juga membantu dana sebesar Rp. 500 juta rupiah yang diperuntukan bagi pengembangan kebun karet di kampong-kampung yang berbatasan dengan Negara tetangga. Selain di Kabupaten Merauke, tanaman karet juga dijumpai di Kabupaten Mappi. Jumlah luas tanaman Karet sebesar 2.073 Ha yang tersebar di beberapa Distrik yaitu Distrik Edera, Distrik Venaha, Distrik Bamgi, Distrik Yeloba, Distrik Syahame, Distrik Obaa, Citak Mitak, Passue dan sekitarnya (UP4B, 2013). Sementara di Kabupaten Boven Digoel, luas lahan karet pada tahun 2009 sebesar 1.813 ha yang tersebat di Distrik Jair, Distrik Subur, Distrik Mindiptana, Distrik Iniyandit, Distrik Kombut, Distrik Mandobo, Distrik Waropko dan Distrik Kouh, dengan total produksi sebanyak 199,3 ton. Dari luas tersebut, 65 ha diantaranya merupakan tanaman tua yang ditanam sejak jaman Belanda. Pada tahun 2013 melalui program Respek sebanyak Rp. 69 juta telah dilakukan pembukaan lahan seluas 22 Ha di Ditrik Mandobo, sementara bibit diadakan secara swadaya dan bantuan pemda Boven Digul. Pemerintah Daerah juga memberikan bantuan untuk perluasan areal seluas 174 ha dengan bantuan bibit sebanyak 69.600 bibit karet. Pada tahun 2011, terjadi pengalihan fungsi lahan seluas 224 Ha yang diperuntukan bagi permukiman penduduk (Bpmk, 2013). Dari luas tanaman Karet diatas, sebagian besar terletak di Distrik Jair dan Distrik Mindiptana, yaitu Distrik Jair seluas 617 ha dengan Petani sebanyak 587 kk dan produksinya sebanyak 83 ton, sedangkan di Distrik Mindiptana seluas 686 ha dengan petani sebanyak 1.010 kk dengan produksinya sebanyak 181 ton (Cenderawasihpos.com, 2010). Produktivitas Karet di Papua Bila melihat data pada table 3 diatas, dari luas tanaman Karet sebesar 4.682 Ha tercatat memberikan hasil produksi sebanyak 1,531 ton karet alam atau dengan produktivitas tanaman sebesar 277 kg/Ha. Hal ini sangat jauh sekali dengan potensi produktivitas tanaman Karet alam yang pernah diharapkan. Di Provinsi Lampung, dari kebun Karet swasta seluas 1.303 ha dihasilkan produksi sebanyak 6.303 ton dengan produktivitas sebesar 612 kg/ha, sedangkan pada kebun Negara seluas 17.633 Ha dihasilkan produksi sebanyak 18.491 ton dengan produktivitas 1.049 kg/ha (Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010). Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengungkapkan produksi industri karet nasional masih rendah. Padahal, Indonesia memiliki areal karet paling luas di dunia
yakni sebesar 3,4 juta hektar. Dalam hitungan per hektarnya, produktivitas karet lokal237masih kalah dibanding produksi di Malaysia dan Thailand. “Produksi dalam negeri baru mencapai satu ton, kalah dengan Malaysia sudah memproduksi 1,3 ton per ha, Thailand 1,9 ton per ha,” kata Hidayat saat membuka Pameran Produk Karet dan Plastik di Jakarta (Neraca, 2013). Rendahnya produksi Karet di Provinsi Papua ini disebabkan belum dilakukannya program intensifikasi penanaman Karet, hal ini terbukti dengan pengelolaan usahatani yang dilakukan masih sederhana seperti belum adanya peremajaan tanaman yang berumur tua dan terbatasnya modal petani (UP4B, 2013). Kemampuan SDM Petani Karet Pertanaman Karet di Provinsi Papua sudah ada sejak tahun 1960, namun perkembangan kemampuan SDM Petani Karet masih berjalan lambat. Hal ini dapat dilihat pada produktivitas Karet yang masih rendah (277 kg/ha). Terbatasnya SDM Petani Karet menyebabkan pemeliharaan dan pemanfaatan teknologi pertanian menjadi terbatas dan produktivitas tanaman belum optimal. Pastor Kees melihat kecocokan budaya orang Papua dengan perkebunan karet dibandingkan dengan tanaman lain, seperti kelapa sawit. "Kalau mereka sedang sedikit malas, tak apa-apa. Hari ini mereka tak bisa datang, besok masih bisa menyadap," katanya. Hal ini berbeda dengan kelapa sawit yang membutuhkan perawatan rutin, seperti pemupukan. Kees khawatir, jika orang Papua diiming-imingi menanam kelapa sawit, justru hasilnya tidak maksimal (aurelius, 2011). Penggunaan Teknologi Pertanian Sebagian besar kebun Karet di Provinsi Papua dikelola oleh rakyat, bukan dikelola oleh suatu perusahaan perkebunan. Hal ini dapat dimengerti mengapa produktivitas Karet Papua masih rendah. Dari data diatas dapat diketahui produktivitas Karet Papua tahun 2012 sebesar 277 kg/Ha. Produktivitas ini jauh dari potensi yang ada, seperti produktivitas Karet di Provinsi Lampung yang mencapai 612 kg/Ha, apalagi dibandingkan dengan produktvitas tanaman Karet di tempat lain. Rendahnya produktvitas Karet Papua antara lain disebabkan karena terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian. Selain itu Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat juga disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industry hilir (gadabinausaha, 2010). Pembiayaan kebun karet Papua Selain produktivitas yang masih rendah, kualitas hasil produksi Karet juga masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain kemampuan dan modal
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua – Alexander Gatot Wibowo | 237
Petani yang terbatas dan ketersediaan sarana prasarana terbatas, sehingga Petani belum mampu memanfaatkan teknologi pengolahan hasil produksi yang telah ada. Beberapa teknologi yang belum dimanfaatkan oleh Petani antara lain bibit unggul, peremajaan tanaman yang telah berumur tua. UP4B (2013) menyatakan bahwa kualitas hasil produksi karet masih rendah, disebabkan karena pengolaan hasil produksi belum baik, tidak tersedia mesin cetak dan asam semut. Bpmk juga menyatakan terbatasnya alat sadap dan kesulitan mendapatkan asam semut, serta masih adanya tanaman berumur tua. Meskipun Pemerintah Daerah telah memberikan sebagian bibit untuk peremajaan dan peralatan sadap (Cenderawasihpos, 2010). Ketersediaan sarana prasarana Salah satu yang menyebabkan belum optimalnya hasil produksi adalah ketersediaan sarana prasarana untuk kebun Karet. UP4B mendapati bahwa potensi cukup besar, sayangnya, pengolahan hasil produksi belum diimbangi dengan cara yang baik, sehingga berdampak pada kwalitas produk. Selama ini proses produksi belum didukung dengan penggunaan peralatan mesin cetak, dan bahan asam semut. Bpmk Kabupaten Boven Digoel, Barnabas, menyatakan Petani Karet sering kali kesulitan mendapat asam semut yang digunakan untuk membekukan getah karet karena ketersediaan stok di Tanah Merah sering habis. Sementara itu, Lamber Karenjob (61), warga Tanah Merah, mengaku kesulitan menyadap karena keterbatasan alat, seperti mangkuk penampung getah karet, pisau sadap, dan alat pengolah karet. Pemerintah Kabupaten Boven Digoel akan terus mendorong masyarakat untuk mengembangkan budidaya tanaman karet melalui pembibitan dan juga penyediaan alat-alat sadap (Konsevasi.blogspot). Pemasaran Karet Papua Hal yang tak kalah pentingnya adalah pemasaran hasil produksi Karet petani. Selama ini pemasaran Karet petani dilakukan petani dengan menjual kepada pengepul dari luar. Selanjutnya oleh Pengepul tersebut dijual lagi ke produsen di Surabaya. Beberapa sumber menyebutkan adanya upaya penampungan hasil produksi yang mulai membaik (Ptpn6, 2012), perlunya kerjasama dengan investor (Papuapos, 2012), Pemasaran ditampung pengepul dengan harga RP.25.000/kg (UP4B, 2013), Harga stabil Rp. 20.000-25.000/kg membuat masyarakat bergairah tanam (Bpmk, 2013), Adanya HPP karet Rp. 22.000/kg namun tidak mampu menahan menurunkan harga karet di pasaran dunia (Kompas, 2012). Pemasaran ke Surabaya melalui koperasi atau pengumpul (Cenderawasihpos, 2010), Perlunya pendampingan untuk membantu masyarakat mampu bernegoisasi (Aerilus, 2011). Untuk meningkatkan pendapatan petani Karet beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain
pembimbingan petani agar mampu bernegoisasi, memfasilitasi kerjasama kemitraan dengan investor dalam membangun kebun Karet. Menurut UU No. 47 Tahun 1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Menteri Pertanian menjelaskan bahwa keberhasilan usaha agribisnis termasuk agroindustri ditentukan oleh 4 pilar penunjang usaha yaitu (1) faktor sumber daya (termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan usaha); (2) modal; (3) teknologi dan (4) akses pasar atau pemasaran. Salah satu strategi untuk mempercepat pengembangan 4 pilar usaha tersebut adalah pengembangan kemitraan/ usaha agribisnis. Kemitraan ini dikembangkan secara sinergi dan adil melalui integrasi dan sinkronisasi kegiatan usaha antara petani, baik kemitraan antar para petani itu sendiri dalam bentuk Kelompok Tani Gabungan Kelompok Tani atau Koperasi maupun kemitraan antara petani/Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani/Koperasi dan pelaku usaha agribisnis lainnya (industri). Kemitraan dapat dilakukan mulai dari perencanaan produksi, penyediaan sarana produksi, pelaksanaan usaha budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun internasional dalam rangka mendukung kemandirian pangan (Suswono, 2012). Upaya pengembangan Karet Papua Untuk mengembangkan tanaman Karet di Provinsi Papua, beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten antara lain bantuan pembukaan lahan baru, bantuan bibit, pelatihan petani (Ptpn6, 2012), pembukaan lahan s/d penanaman, bibit, biaya tanam, kerjasama dengan investor dan bantuan biaya untuk kampng di daerah perbatasan (Papuapos, 2012), bantuan peralatan (UP4B, 2013), perluasan areal dan bantuan bibit (Bpmk,2013), penetapan HPP 22.000/kg (Kompas, 2012), bantuan pembibitan dan alat sadap (Cenderawasihpos, 2012), sosialisasi, penyuluhan, pelatihan budidaya bagi petani, mendirikan rumah sadap, pengolahan dan pengasapan, pembibitan (Arelius, 2011). Meskipun demikian masih banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan tanaman Karet antara lain pembukaan lahan yang lebih luas, Pelatian dan pendampingan petani, permodalan usahatani, menyediakan sarana produksi, sarana prasarana dan infrastruktur untuk kebun Karet, membantu kemampuan Petani untuk bernegoisasi, pembinaan kelembagaan, dll
238 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 233 - 242
Strategi Pengembangan komoditi Karet di Papua Dari uraian diatas, beberapa faktor internal dan eksternal yang diketahui mempengaruhi pengembangan komoditi Karet antara lain : • Lahan potensial untuk karet di Papua masih luas • Adanya perhatian pemerintah untuk pengembangan karet • Adanya Petani Karet • Adanya LSM yang membantu • Banyaknya tanaman tua yang belum diremajakan
• • • •
• • •
Kemampuan SDM Petani terbatas Terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian Terbatasnya permodalan petani Terbatasnya sarana prasarana pertanian seperti alat sadap mangkok, pisau, pengolah karet, asam semut, dll Terbatasnya Penampung hasil produksi karet Belum adanya kemitraan dalam pengelolaan perkebunan Karet Rendahnya akses terhadap kebutuhan karet dunia
Tabel 3. Matriks Internal – Eksternal Pengembangan Komoditi Karet Papua.
•
•
• •
Faktor Internal Kekuatan Kelemahan • Lahan potensial Banyaknya untuk karet di Papua tanaman tua yang masih luas belum diremajakan Perhatian • Kemampuan SDM pemerintah untuk Petani terbatas pengembangan karet • Terbatasnya Tersedianya SDM permodalan petani Petani Karet • Terbatasnya sarana Adanya LSM yang prasarana pertanian membantu seperti alat sadap mangkok, pisau, pengolah karet, asam semut, dll • Terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian
•
•
•
•
Faktor Ekternal Peluang Tantangan • Peningkatan Adanya alih fungsi penampung hasil Lahan Karet produksi karet • Penawaran harga Kemitraan dalam dari Pengepul pengelolaan rendah perkebunan Karet • Persaingan hasil Akses terhadap kebutuhan karet dunia Pendampingan tawar menawar hasil produksi
Tabel 4. Analisis SWOT. INTERNAL
• • • •
KEKUATAN (S) Lahan potensial untuk karet di Papua masih luas Perhatian pemerintah untuk pengembangan karet Tersedianya SDM Petani Karet Adanya LSM yang membantu
• • •
• • •
• • • •
EKSTERNAL
•
•
PELUANG (O) Peningkatan penampung hasil produksi karet Kemitraan dalam pengelolaan perkebunan Karet Akses terhadap kebutuhan karet dunia Pendampingan tawar menawar hasil produksi TANTANGAN (T) Adanya alih fungsi Lahan Karet Penawaran harga dari Pengepul rendah Persaingan hasil
• • • •
• • • •
STRATEGI S-O Pengembangan karet skala besar Pendampingan SDM Petani Membangun kemitraan dalam pengelolaan Karet Pengembangan akses pemasaran hasil ketingkat nasional, regional dan global STRATEGI S-T Perluasan Areal tanam Karet Peningkatan Kemitraan dengan pihak ketiga Peningkatan kapasitas Kelembagaan Petani Intensifikasi
• • • •
• • •
KELEMAHAN (W) Banyaknya tanaman tua yang belum diremajakan Kemampuan SDM Petani terbatas Terbatasnya permodalan petani Terbatasnya sarana prasarana pertanian Terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian STRATEGI W-O Diklat/ Penyuluhan SDM Petani Pemberian bantuan permodalan bagi petani Peremajaan tanaman yang sudah tua Penyediaan dan Pemanfaatan teknologi dan sarana prasarana pertanian STRATEGI W-T Regulasi cegah alih fungsi lahan Pendampingan SDM Petani Peremajaan dgn klon unggul
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua – Alexander Gatot Wibowo | 239
• • • •
Perlunya pendampingan tawar menawar hasil produksi Adanya alih fungsi lahan karet Penawaran harga dari Pengepul rendah Persaingan hasil
Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat disusun matrik faktor internal - eksternal pada tabel 3. Berdasarkan matrik faktor internal – eksternal diatas dapat disusun strategi pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua dengan menggunakan analisa SWOT seperti pada tabel 4. Berdasarkan analisa SWOT tabel 4 dapat ditentukan beberapa strategi pengembangan antara lain : 1. Strategi S-O a. Pengembangan karet skala besar b. Pendampingan SDM Petani c. Membangun kemitraan dalam pengelolaan Karet 2. Pengembangan akses pemasaran hasil ketingkat nasional, regional dan global Strategi W-O a. Diklat/ Penyuluhan SDM Petani b. Pemberian bantuan permodalan bagi petani c. Peremajaan tanaman yang sudah tua d. Penyediaan dan Pemanfaatan teknologi dan sarana prasarana pertanian 3. Strategi S-T a. Perluasan areal tanam karet b. Peningkatan Kemitraan dengan pihak ketiga c. Peningkatan kelembagaan Petani d. Intensifikasi 4. Strategi W-T a. Regulasi cegah alih fungsi lahan b. Pendampingan SDM Petani c. Peremajaan tanaman dengan klon unggul SIMPULAN Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, pengembangan komoditi Karet di Provinsi Papua masih belum maksimal. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : Lahan potensial untuk karet di Papua masih luas. Adanya perhatian pemerintah untuk pengembangan karet. Adanya Petani Karet. Adanya LSM yang membantu. Banyaknya tanaman tua yang belum diremajakan. Kemampuan SDM Petani terbatas. Terbatasnya pemanfaatan teknologi pertanian. Terbatasnya permodalan petani. Terbatasnya sarana prasarana pertanian seperti alat sadap mangkok, pisau, pengolah karet, asam semut, dll. Terbatasnya Penampung hasil produksi karet. Belum adanya kemitraan dalam pengelolaan perkebunan Karet. Rendahnya akses terhadap kebutuhan karet dunia. Perlunya pendampingan tawar menawar hasil
produksi. Adanya alih fungsi lahan karet. Penawaran harga dari pengepul rendah. Kedua, beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan komodoti karet di Provinsi : Papua antara lain : Pengembangan karet skala besar, Pendampingan SDM Petani, Membangun kemitraan dalam pengelolaan Karet, Diklat/ Penyuluhan SDM Petani, Pemberian bantuan permodalan bagi petani, Peremajaan tanaman yang sudah tua, Penyediaan dan Pemanfaatan teknologi dan sarana prasarana pertanian, Perluasan arela tanam karet, Peningkatan Kemitraan dengan pihak ketiga, Pendampingan Petani, Regulasi cegah alih fungsi lahan, Pendampingan SDM Petani, dan Peremajaan tanaman dengan klon unggul DAFTAR PUSTAKA Aurelius, 2011, Pastor-kees-tanaman-karet-untukpapua, www.parokiku.org/.../pastor-keestanaman-karet-untuk-papua Badan Litbang Kementrian Pertanian, 2005, Agribisnis Karet, Badan Litbang Kementrian Pertanian, Jakarta. Bambang Haffianto, 2009, Perencanaan sistem, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta BI, Profil Komoditi Karet, 2011, http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Eksportir / Profil_komoditi/ ProfilKomoditi/karet.htm Bpmk Boven Digoel, 2013, bpmk.bovendigoelkab.go.id/2013/06/18/masyar akat-boven-digoel-mulai-bergairah-tanam-karet/ - 14k BPS, 2013, Analisis SWOT, http://daps.bps.go.id/file_artikel/66/Analisis%20 SWOT.pdf Chairil anwar, 2006, Perkembangan pasar dan prospek agribisnis karet di Indonesia, Disampaikan pada Lokakarya Budidaya Tanaman Karet, pada tanggal 4-6 September 2006 di Medan, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. Dinas Perkebunan Lampung, 2010, Komoditi Unggulan Perkebunan (Komoditi Karet), Dinas Perkebunan Lampung, Lampung. Dirjen Perkebunan, Statistik Perkebunan 2009-2011, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian, Jakarta. Erwin Edhi Prasetyo, 2012, Harga Karet …., regional.kompas.com/ read/2012/11/03/22191028/Harga Karet... Gadabinausaha, 2010, Pengembangan Karet, http://gadabinausaha.wordpress.com/ tag/pengembangan-karet/ Konservasi Papua, 2010, konservasipapua.blogspot.com/2010/06/bovendigoel-tanaman-karet-akan-jadi.html - 216k – Hidayat, S, 2013, Produktivitas Karet Nasional Kalah dari Malaysia dan Thailand, http://www.neraca.co.id/harian/article/32806/Pr
240 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 233 - 242
oduktivitas.Karet.Nasional.Kalah.dari.Malaysia. dan.Thailand Papua Dalam Angka, 2013, Produk Domestik Regional Bruto, 2013, Bappeda Provinsi Papua, Jayapura Papua Pos, 2013, 40-hektar-lahan-karet-dibuka-untukmasyarakat-lokal http://www. papuapos.com/ index.php/warta-daerah/modules-menu/item/6940-hektar-lahan-karet-dibuka-untuk-masyarakatlokal PTPN6, 2010, kebun-karet-untuk-masyarakat-papua, www.ptpn6.com/pressrelease/kebun-karetuntuk-masyarakat-papua Sekretaris Negara, 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997, Sekretariat Negara, Jakarta. Suswono, 2012, kemitraan-agrobisnis-menjadikeniscayaan http://www.suswono.net/ berita-aliputan/berita-terkini/238-menyambut-hps2010kemitraan-agrobisnis-menjadi-keniscayaab.html UP4B, 2013, perkebunan-karet-di-kabupaten-mappiberpotensi-tingkatkan-pendapatan-rakyat http://www.up4b.go.id/index.php/prioritasp4b/8-ekonomi/item/425-perkebunan-karet-dikabupaten-mappi-berpotensi-tingkatkanpendapatan-rakyat
Pengembangan Komoditi Karet di Provinsi Papua – Alexander Gatot Wibowo | 241
242 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 233 - 242
PENGGUNAAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) USE OF WEB-BASED INTERACTIVE MEDIA FOR INCREASE OF MOTIVATION AND LEARNING OUTCOMES (Case Study at the University Abdurrab Pekanbaru Riau) Kori Cahyono Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau Jalan Diponegoro Nomor 24 A, Pekanbaru E-mail:
[email protected] Diterima: 19 Oktober 2013; direvisi 28 Oktober 2013; disetjui: 18 November 2013
Abstrak Motivasi dan hasil belajar adalah dua faktor penting dalam menentukan efektivitas proses pembelajaran. Hasil belajar mata kuliah pemrograman berorientasi objek siswa rendah selama dua tahun terakhir. Hal ini mungkin disebabkan oleh bentuk materi yang masih abstrak sehingga motivasi belajar siswa rendah. Penelitian tindakan kelas bertujuan menggambarkan proses pembelajaran menggunakan media interaktif berbasis web untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Obyek penelitian adalah siswa jurusan Teknik Informatika Abdurrab University. Penelitian dilakukan dalam dua siklus penelitian tindakan. Setiap siklus penelitian terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Untuk mengukur hasil penelitian menggunakan tiga instrumen yaitu kuesioner motivasi, lembar observasi, dan lembar evaluasi hasil belajar. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada peningkatan motivasi siswa sebesar 17,65%, dan peningkatan hasil belajar sebesar 44,12%. Kata kunci: motivasi; hasil belajar; media interaktif berbasis web; penelitian tindakan
Abstract Motivation and learning outcomes are two important factors in determining the effectiveness of the learning process. The results of student learning object-oriented programming is low during the last two years. This may be caused by a form of matter that remains abstract so that students' motivation is low. Classroom action research aims to describe the process of learning to use web-based interactive media to enhance student motivation and learning outcomes. Object of research is a student majoring in Computer Science Abdurrab University. The study was conducted in two cycles of action research. Each cycle consisted of four phases of planning, action, observation and reflection. To measure the results of the study used three instruments, namely the motivation questionnaires, observation sheets, and evaluation of learning outcomes sheet. The results of data analysis showed that there was an increase of 17.65% student motivation, and improved learning outcomes for 44.12%. Keywords: motivation; learning outcomes; web-based interactive media; action research
PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di bidang pendidikan berkembang pesat dan menuntut perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal untuk dapat menghasilkan lulusan yang bermutu dan berkualitas. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau (Univrab) sebagai institusi pendidikan berbasis Iptek selalu menghimbau para dosennya untuk melaksanakan dan mengoptimalkan proses belajar mengajar (PBM) pada semua mata kuliah, termasuk mata kuliah pemograman berorientasi obyek (object oriented programming/OOP). Kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah OOP di kurikulum teknik informatika Univrab adalah siswa dapat memahami konsep dan paradigma pemograman yang berorientasi pada pembuatan object-object (object oriented) secara terstruktur sehingga siswa mampu mengimplementasikan konsep tersebut ke dalam bahasa pemograman java dan memberikan dasar pengetahuan kepada siswa untuk mengikuti sertifikasi bidang pemograman.
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) – Kori Cahyono | 243
Ilmu komputer dan matematika adalah ilmu yang banyak mengandung konsep dengan tingkat generalisasi tinggi dan bersifat abstrak. Menurut Mardiyono (2005), matematika sebagai ilmu dasar komputer merupakan obyek yang bersifat abstrak. Adanya sifat abstrak ini, siswa merasa sulit dalam memahami materi sehingga mengakibatkan berkurangnya motivasi belajar yang berpengaruh pada menurunnya hasil belajar sebagai wujud dari nilai-nilai dan kemampuan yang diperoleh siswa melalui proses pembelajaran. Proses belajar mengajar mata kuliah OOP di laboratorium komputer Univrab adalah belajar dengan menggunakan buku teks yang penyajiannya belum terstruktur dan bersifat abstrak. Pengajar menulis ulang materi dari buku teks di whiteboard. Pengajar tidak menjelaskan konsep pemograman secara mendalam, tidak memberikan contoh kasus dan implementasi program komputer serta kurang memberikan tugas untuk diskusi kelompok. Metode ini kurang memotivasi siswa sehingga tidak efektif dalam memberikan hasil belajar secara optimal. Penelitian ini memberikan pengembangan inovasi model dan strategi pembelajaran melalui pendekatan penggunaan media interaktif berbasis web untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1) Apakah penggunaan media interaktif berbasis web dapat meningkatkan motivasi belajar siswa? 2) Apakah penggunaan media interaktif berbasis web dapat meningkatkan hasil belajar siswa? Tujuan penelitian adalah: 1) Menganalisis pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis web dapat meningkatkan motivasi belajar siswa; dan 2) Menganalisis pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis web dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Motivasi belajar memegang peranan sangat penting untuk mendorong timbulnya perbuatan belajar. Menurut Winkel (1996), motif belajar yaitu seluruh daya penggerak psikis dalam diri seseorang yang dapat menimbulkan aktivitas belajar dalam mencapai tujuan. Kesuksesan belajar sangat dipengaruhi oleh motif-motif yang ada pada siswa, dan motif itu timbul karena adanya kebutuhan. Kebutuhan belajar siswa akan timbul apabila mereka menyadari dan yakin bahwa materi yang disajikan sangat bermanfaat bagi dirinya. Menurut Soekamto (1995), motivasi sebagai tenaga pendorong atau penggerak yang menyebabkan adanya tingkah laku, yaitu bila siswa mempunyai motivasi positif maka siswa akan: a. Memperlihatkan minat, mempunyai perhatian; b. Bekerja keras, serta memberikan waktu kepada usaha tersebut; dan c. Terus bekerja keras sampai tugas terselesaikan. Menurut Anderson dalam Sadiman (1991), pengajar/guru perlu memperhatikan daftar kelompok media instruksional, karakteristik dan kemampuan
masing-masing media agar dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam pembelajaran. Penggunaan media instruksional dapat digabungkan agar pembelajaran berlangsung secara efektif dan efesien. Kelompok media dijelaskan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kelompok Media Instruksional. No 1
Kelompok Media Audio
2
Cetak
3
Audio cetak
4
Proyek diam
visual
5
Proyek visual diam dengan audio Visual gerak
8
Visual gerak dengan audio Benda
9
Komputer
6 7
Media Instruksional Pita audio (rol atau kaset) Piringan audio Radio (rekaman siaran) Buku teks terprogram Buku pegangan/manual Buku tugas Buku latihan dilengkapi kaset Gambar/poster (dilengkapi audio) Film bingkai (slide) Film rangkai (berisi pesan verbal) Film bingkai (slide) suara Film rangkai suara Film bisu dengan judul (caption) Film suara Video/VCD/DVD Benda nyata Model tiruan Media berbasis komputer CAI (Computer Assisted Instructional) CMI (Computer Managed Instructional)
Menurut Heinich (1996), multimedia merupakan kombinasi dari dua atau lebih media yang menyatu dalam bentuk informasi atau program pembelajaran. Pembelajaran menggunakan media interaktif berbasis web dan elektronik learning (elearning) merupakan pembelajaran multimedia. Komunikasi dan interaksi dua arah akan berlangsung lebih efektif antara guru dan siswa. Guru menyampaikan materi pembelajaran dan siswa memberikan tanggapan (response) terhadap materi pembelajaran yang diterimanya. Menurut Gagne (1988), guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi, tetapi juga menerima umpan balik (feedback) dari siswa dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap hasil belajar yang telah mereka tempuh. Menurut Edgar Dale (1969), penggunaan media sangat penting dalam pendidikan untuk memperoleh hasil yang lebih optimal sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
244 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 243 - 252
Gambar 1. Kerucut Pembelajaran Dale
Gambar 2. Model Penelitian
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (classroom action research). Menurut Kemmis (1988), penelitian tindakan kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Model penelitian yang digunakan adalah seperti gambar 2. Model penelitian terdiri dari empat komponen yaitu perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation) dan refleksi (reflection). Keempat komponen tersebut membentuk satu siklus penelitian. Penelitian dilakukan di laboratorium komputer Univrab Pekanbaru Riau. Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) siklus penelitian tindakan kelas dalam waktu 3 bulan.
Populasi penelitian adalah siswa semester 4 (empat) Program Studi Teknik Informatika Tahun Ajaran 2011/2012 berjumlah 66 orang terdiri dari 51 laki-laki dan 15 wanita pada 2 (dua) kelas. Cara pengambilan sampel menggunakan metode Slovin. N n= 1.+ Ne 2 n ==
66 1+66.(0.12)
2
34
Dimana: n adalah ukuran sampel, N adalah ukuran populasi, e adalah tingkat kesalahan yang masih dapat ditolerir (12%). Untuk menentukan responden menggunakan random sampling. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dengan menggunakan angket motivasi siswa, lembar
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) – Kori Cahyono | 245
pengamatan/observasi terhadap aktivitas siswa, dan lembar evaluasi hasil belajar. Data sekunder melalui literature sistem akademik Univrab dan buku-buku terkait. 1. Angket motivasi belajar Angket motivasi disusun berdasarkan Keller’s ARCS model (1987) dan dijabarkan menjadi 6 (enam) indikator seperti tabel 2 sebagai berikut.
sering (SR) bernilai 3, jarang (JR) bernilai 2 dan tidak pernah (TP) bernilai 1. 2.
Lembar Pengamatan Lembar pengamatan digunakan untuk mengukur aktivitas atau kegiatan siswa selama proses belajar.
3.
Evaluasi Hasil Belajar Instrumen ini digunakan untuk menilai kualitas hasil belajar siswa setiap akhir siklus.
4.
Media interaktif berbasis web Peneliti menggunakan media pembelajaran berbasis web seperti pada Lampiran Gambar 3. Proses interaksi menggunakan media web ditunjukkan pada Lampiran Gambar 4. Media ini di instalasi pada komputer belajar seperti pada Lampiran Gambar 5.
Tabel 2. Indikator Motivasi. Indikator Motivasi Perhatian (attention) Relevansi (relevance) Harapan (confidence) Kepuasan (Satisfaction) Tekun
Ulet
Sub Indikator Minat, aktif bertanya, menanggapi, presentasi, menjawab, bekerjasama Kehadiran, tepat waktu, disiplin, serius Kemauan, berusaha Rasa senang, rasa ingin tahu, percaya diri Kemampuan menyelesaikan tugas dan soal latihan, mencatat penjelasan Rajin, tidak putus asa menyelesaikan masalah pemograman
Pernyataan-pernyataan angket motivasi dikategorikan menjadi dua bagian yang bersifat positif dan negatif terhadap materi. Angket ini disusun berdasarkan skala Likert dengan empat kategori jawaban yaitu, selalu (SL) bernilai 4,
Gambar 3. Media Pembelajaran Berbasis Web.
246 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 243 - 252
Gambar 4. Interaksi Pada Media Pembelajaran Berbasis Web
Gambar 5. Instalasi Media Pembelajaran pada Komputer
Analisis Data Analisis data menggunakan analisis secara statistik terhadap hasil angket, hasil observasi dan hasil evaluasi. Analisis ini bertujuan untuk melakukan tindakan perbaikan yang dilakukan pada siklus penelitian selanjutnya. Uji validitas instrumen media web interaktif dan angket motivasi menggunakan analisis korelasi dengan membandingkan setiap pernyataan angket dengan nilai r-tabel (N=32; 5%) atau 0,349 dan r-tabel (N=24; 5%) atau 0,361. Uji realibilitas instrumen penelitian menggunakan nilai Alpha Cronbach.
Peningkatan motivasi siswa diketahui dari uji-t terhadap hasil pengolahan angket motivasi menggunakan metode Nazir (2005) sebagai berikut:
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) – Kori Cahyono | 247
Bi = yi − xi
HASIL DAN PEMBAHASAN
∑B B=
i
a.
Analisa Uji Validitas, Reliabilitas dan Motivasi Siswa Hasil uji validitas angket motivasi terdapat 6 (enam) butir pernyataan (5, 10, 13, 17, 26, dan 29) yang tidak valid karena nilainya berada di bawah rtabel (0,349). Hasil uji validitas angket media web interaktif terdapat 3 (tiga) butir pernyataan (3, 12, dan 19) yang tidak valid karena nilainya berada di bawah r-tabel (0,361). Hasil uji reliabilitas angket motivasi menunjukkan nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,746 dan angket media web interaktif sebesar 0,744. Disimpulkan bahwa rangkaian soal dalam angket yang digunakan adalah reliabel. Analisa data motivasi menggunakan uji-t adalah: Data diatas menunjukkan setiap indikator/variabel motivasi memiliki tingkat signifikansi jauh dibawah ά = 0,05. Hal ini mengindikasikan keenam variabel signifikan secara statistik dimana t hitung ≥ t table (1,96). Kesimpulannya adalah penggunaan media interaktif berbasis web dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
n
Vx =
n∑ Bi 2 − (∑ Bi ) 2 n(n − 1)
Sd = Vx SB = t=
Sd n
B SB
Dimana: Bi adalah difference, B adalah mean, Vx adalah variance, Sd adalah standard deviation, dan SB adalah standard error. Rumusan hipotesis adalah:
H 0 : µB = 0; H A : µB ≠ 0 Jika (t
hitung
≥ t
tabel)
maka hipotesis H 0 ditolak, dan
sebaliknya hipotesis H A diterima.
b.
Hasil Penelitian Siklus 1 (satu) Hasil pengamatan kegiatan PBM ditunjukkan pada tabel 4 dan tabel 5. Keterangan: P1 adalah kehadiran, P2 adalah pengajukan pertanyaan, menanggapi dan menjawab, P3 adalah berusaha serius mempelajari materi, P4 adalah senang mengerjakan soal latihan dan tugas yang diberikan, P5 adalah rajin dan mampu menyelesaikan soal latihan dan tugas pemograman, N1 adalah
Evaluasi hasil belajar dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Hasil belajar = (30% nilai tugas) + (30% nilai soal latihan) + (40% nilai kuis). Sedangkan kategori pemahaman siswa dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan yaitu kategori tinggi pada range 74 < nilai ≤ 100, kategori sedang pada range 50 < nilai ≤ 74, dan kategori rendah pada range nilai ≤ 50.
Tabel 3. Perbandingan Skor Motivasi Siswa Sebelum dan Sesudah Tindakan. Indikator Motivasi Perhatian (attention) Relevansi (relevance) Harapan (confidence) Kepuasan (Satisfaction) Tekun Ulet Sumber: Hasil pengolahan data primer
t-hitung 7,409 3,499 5,317 4,632 3,878 4,993
Signifikansi 0,000 0,001 0,000 0,000 0,004 0,000
Keterangan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
Tabel 4. Frekuensi Kegiatan Siswa dalam PBM Siklus 1. Siklus 1 Frekuensi Kegiatan
Pertemuan 1 2 1 30 3 2 32 3 3 29 4 4 31 5 Jumlah 122 15 Prosentase 89.71 11.03 Sumber: Hasil pengolahan data primer
Positif 3 4 15 11 14 12 15 16 18 15 62 54 45.59 39.71
5 9 11 10 12 42 30.88
1 11 10 12 11 44 32.35
2 26 26 24 23 99 72.79
Negatif 3 4 12 15 6 17 7 14 8 12 33 58 24.26 42.65
248 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 243 - 252
5 10 12 11 10 43 31.62
terlambat hadir, N2 adalah tidak aktif bertanya jika ada masalah, N3 adalah minta izin keluar kelas dan mengerjakan yang lain saat PBM, N4 adalah tidak mencatat penjelasan dan tidak senang mengerjakan soal latihan, dan N5 adalah malas menyelesaikan soal latihan dan tugas pemograman. Data tabel 4 menunjukkan bahwa kegiatan positif siswa dengan jumlah kehadiran kuliah (P1) sebesar 89,71% artinya relevansi antara materi pembelajaran dan kondisi siswa dalam belajar tinggi. Siswa mengajukan pertanyaan, menanggapi dan menjawab (P2) rata-rata setiap pertemuan 4 orang (11,03%) artinya perhatian siswa terhadap penjelasan materi rendah. Berusaha serius mempelajari materi (P3) berjumlah 16 orang (45,59%) berarti harapan siswa berhasil cukup. Siswa merasa senang mengerjakan soal latihan dan tugas yang diberikan (P4) berjumlah 14 orang (39,71%) berarti kepuasan siswa dalam belajar kurang. Siswa rajin dan mampu menyelesaikan soal latihan dan tugas pemograman (P5) sebanyak 11 orang (30,88%) artinya siswa belum ulet dan tekun dalam belajar. Kegiatan negatif siswa pada saat PBM adalah terlambat menghadiri kuliah (N1) rata-rata 11 siswa (32,35%) artinya beberapa siswa kurang disiplin dalam belajar. Siswa tidak aktif di kelas (N2) sebesar 25 siswa (72,79%). Siswa minta ijin dan mengerjakan kegiatan lain saat PBM (N3) rata-rata 8 siswa (24,26%) artinya siswa kurang percaya diri terhadap materi kuliah. Siswa tidak tekun mencatat penjelasan dan tidak senang mengerjakan soal latihan (N4) berjumlah 14 siswa (42,65%). Siswa malas menyelesaikan soal latihan dan tugas pemograman (N5) sebesar 31,62%.
Hasil Evaluasi Siklus 1 (satu) Hasil evaluasi belajar ditunjukkan pada Tabel 5.
pada
siklus
1
Tabel 5. Sebaran Siswa untuk Masing-Masing Kategori pada Siklus 1. Siswa Kategori Pemahaman Range Nilai Jumlah Persentase Tinggi 74
Data tabel 5 menunjukkan bahwa persentase siswa dengan kategori pemahaman tinggi sebesar 14,71%, siswa dengan kategori sedang 41,18% dan siswa dengan kategori rendah 44,12%. c.
Hasil Penelitian Siklus 2 (dua) Hasil pengamatan pada siklus 2 terdapat pada tabel 6. Frekuensi kegiatan positif siswa yaitu kehadiran (P1) sebesar 97,06% artinya relevansi antara materi pembelajaran dan kondisi siswa dalam belajar meningkat. Mengajukan pertanyaan atau pendapat (P2) rata-rata setiap pertemuan sebanyak 13 siswa (38,24%) artinya perhatian siswa meningkat dan berusaha meningkatkan prestasi. Memperhatikan penjelasan (P3) meningkat rata-rata 25 siswa (72,79%) artinya harapan siswa untuk berhasil dalam memahami materi meningkat. Siswa merasa senang mengerjakan soal latihan dan tugas yang diberikan (P4) rata-rata 24 siswa (70,59%) artinya ada peningkatan kepuasan siswa dalam belajar. Siswa rajin dan mampu menyelesaikan soal latihan dan
Tabel 6. Frekuensi Kegiatan Siswa pada Siklus 2. Siklus 2 Frekwensi Kegiatan
Pertemuan
1 2 5 32 10 6 33 13 7 34 12 8 33 17 Jumlah 132 52 Prosentase 97.06 38.24 Sumber: Hasil pengolahan data primer
Positif 3 4 23 21 25 21 24 26 27 28 99 96 72.79 70.59
5 17 20 26 29 92 67.65
1 5 4 5 6 20 14.71
2 14 15 12 10 51 37.50
Negatif 3 4 5 8 4 8 2 7 3 6 14 29 10.29 21.32
5 6 5 5 3 19 13.97
Tabel 7. Sebaran Siswa Masing-Masing Kategori pada Siklus 2. Kategori Pemahaman Tinggi Sedang Rendah Total Sumber: Hasil pengolahan data primer
Range Nilai 74
Siswa Jumlah Persentase 8 23.53 26 76.47 0 0.00 34 100
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) – Kori Cahyono | 249
7 menunjukkan berkurangnya kegiatan negatif siswa pada siklus 1 dan 2.
tugas pemograman (P5) rata-rata 23 siswa (67,65%) berarti keuletan dan ketekunan belajar siswa meningkat. Frekuensi kegiatan negatif siswa yaitu keterlambatan hadir (N1) berkurang rata-rata setiap pertemuan 5 siswa (14,71%) artinya siswa berusaha memperhatikan hadir kuliah tepat waktu. Siswa tidak aktif di kelas (N2) berkurang sebesar 37,5% berarti ada peningkatan perhatian siswa. Siswa minta ijin dan mengerjakan kegiatan lain saat PBM (N3) berkurang menjadi rata-rata 4 siswa (10,29%). Siswa tidak tekun mencatat penjelasan dan tidak senang mengerjakan soal latihan (N4) berkurang rata-rata sebesar 7 siswa (21,32%) dan Siswa malas menyelesaikan soal latihan dan tugas pemograman (N5) berkurang sebesar 13,97%.
SIMPULAN Setelah dilakukan penelitian tindakan kelas selama 2 (dua) siklus, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penggunaan media pembelajaran interaktif berbasis web dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini diketahui dari uji-t terhadap indikator/variabel motivasi. Setiap indikator motivasi memiliki tingkat signifikansi jauh dibawah ά = 0,05. Hal ini mengindikasikan keenam variabel signifikan secara statistik, dimana t hitung ≥ t table (1,96). Meningkatnya motivasi belajar siswa juga dapat dibuktikan dengan meningkatnya persentase aktivitas/kegiatan positif siswa dan menurunnya aktivitas negatif siswa pada siklus penelitian; 2) Penggunaan media pembelajaran interaktif berbasis web dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat diketahui dari meningkatnya rata-rata nilai hasil evaluasi siswa pada setiap siklus penelitian dan berkurangnya jumlah siswa yang berkategori tingkat pemahaman rendah. Berdasarkan simpulan diatas, disarankan dari hasil penelitian adalah: 1) Siswa sebagai generasi muda bangsa, disarankan untuk lebih rajin belajar dan berusaha meningkatkan prestasinya melalui
Hasil Evaluasi Siklus 2 (dua) Hasil evaluasi belajar pada siklus 2 (dua) ditunjukkan pada Tabel 7. Prosentase siswa kategori pemahaman tinggi sebesar 8 siswa (23,53%). Siswa dengan kategori pemahaman sedang meningkat menjadi 26 siswa (76,47%). Perbandingan persentase kegiatan positif dan kegiatan negatif siswa pada kedua siklus ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktifitas positif siswa dan pada gambar
Frekuensi
Grafik PBM 140 120 100 80
Siklus 1
60 40 20 0
Siklus 2
1
2
3
4
5
Kegiatan Positif
Gambar 6. Kegiatan Positif Siswa Selama Siklus 1 dan 2
Grafik PBM 120
Frekuensi
100 80 Siklus 1 60 Siklus 2 40 20 0 1
2
3
4
5
Kegiatan Negatif
Gambar 7. Kegiatan Negatif Siswa Selama Siklus l dan 2
250 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 243 - 252
pemanfaatan berbagai media pembelajaran; 2) Dosen dan Guru di bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran disarankan berinovasi dan mengembangkan media interaktif berbasis web. Materi pembelajaran berbasis web sebaiknya dibuat dalam bentuk visualisasi, beranimasi multimedia secara interaktif dan menarik agar lebih mudah dipahami oleh siswa sehingga PBM dapat berlangsung secara efektif dan efesien; dan 3) Program Studi Teknik Informatika Universitas Abdurrab Pekanbaru, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran disarankan menginovasi dan mengembangkan media interaktif berbasis web dan e-learning untuk semua matakuliah agar PBM dapat berlangsung secara efektif dan efesien.
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Departemen Pendidikan Nasional: Universitas Negeri Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Winkel, 1996. Psikologi Pengajaran. Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Widya Sarana.
DAFTAR PUSTAKA Arief S, Sadiman, dan A. Tresna Sastrawijaya. 1991. Pengembangan Program Pengajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Cahyono, Kori. 2007. Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Struktur Data Pemrograman Komputer Mahasiswa Kelas 2 Di Politeknik Caltex Riau. Tesis. Padang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Dale, E. 1969. Audio Visual Methos in Teaching. (Third Edition) New York: The Dryden Press. Gagne, R.M. and M.P. Driscoll. 1988. Essentials of Learning for Instruction. New York: Prentice Hall, Inc. Gagne, R.M. 1989. The Condition of Learning and Theory of Instruction. New York: Holt, Rinchart and Winston. Heinich, et al . 1996. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Keller, J. M. 1987. Development and Use of The ARCS Model of Motivational Design, Journal of Instructional Development, 10(3), 2-10. (http://www.arcsmodel.com/, diakses 29 Juni 2012). Kemmis, Stephen and Mc Taggart, Robin. 1988. The Action Research Planner. Third Edition, Victoria: Deakin University Press. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Ciawi, Ghalia Indonesia Soekamto dan Winataputra. 1995. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sugeng, Mardiyono. 2005. Inovasi Pembelajaran Matematika dan Sistem Evaluasinya Berdasarkan
Penggunaan Media Interaktif Berbasis Web untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar (Studi Kasus di Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau) – Kori Cahyono | 251
252 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 243 - 252
PERAN NILAI TUKAR PETANI DAN NILAI TUKAR KOMODITAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI PROVINSI JAMBI ROLE OF FARMERS AND EXCHANGE COMMODITY EXCHANGE IN RICE FARMERS WELFARE IMPROVEMENT EFFORTS IN JAMBI PROVINCE Sayid Syekh Balitbangda Provinsi Jambi Jl. R.M.Noor Admadobrata Telanai Pura Jambi. Diterima: 23 Oktober 2013; direvisi: 2 November 2013; disetujui: 18 November2013
Abstrak Berdasarkan tujuan utama pembangunan pertanian dalam hal ini , yaitu untuk meningkatkan makmur petani dan kehidupan petani , perannya berada di: 1) pengaturan dan dibangun di "PDB"; 2) meningkatkan pendapatan negara; 3) memberikan kesempatan kerja, khususnya bagi petani dan petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (a) menggambarkan kinerja agribisnis padi, (b) menganalisis jangka beras perdagangan, (c) faktor yang mempengaruhi pada hal perdagangan, (d) mengidentifikasi dampak pembangunan pertanian pada petani terms of trade dan beras hal perdagangan. Hasil penelitian ini antara lain: 1) biaya untuk pembelian input lebih kecil dibandingkan dengan istilah yang buruh perdagangan; 2) rasio R/C pengembangan usahatani padi menunjukkan bermanfaat dalam skala besar; 3) mengadopsi teknologi pertanian padi, masukan produksi dan tingkat produktivitas yang seperti faktor internal; 4) sistem pasar adalah seperti eksternal, pengaruh terhadap posisi tawar petani. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi tujuan itu dan untuk memenuhi aturan-aturan, dalam perumusan berbagai kebijakan, kondisi perdagangan dan beras terms of trade digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan utama. Kata kunci: Ketentuan Perdagangan, Beras, Kesejahteraan Petani
Abstract Based on the main objective of agricultural development in this case, which are to increase the prospering of farmers and peasants life, its role are in: 1) setting and built in the “PDB”; 2) increasing the state income; 3) providing the job opportunities, especially for farmers and peasants. The objectives of this research were to: (a) describe rice agribusiness performance; (b) analyze rice term of trade; (c) influencing factors on terms of trade;(d) identifying the agricultural development impact on farmers terms of trade and rice terms of trade. The result of this study among other things: 1) the cost for purchasing inputs was smaller compared to that labor’s terms of trade; 2) the R/C ratio of r i c e farming development showed beneficial in large scale; 3) adopted r i c e farming technology, production input and productivity level were such of internal factors; 4) market system was such of external, influence for farmer’s bargaining position. Therefore in order to meet that objective and to fulfill those rules, in formulation of many policies, the terms of trade and rice terms of trade is used to be one of main considerations. Keywords: Terms of Trade, Rice, Prosperity of Farmer
PENDAHULUAN Sebagai negara yang mayoritas penduduknya hidup dari sektor pertanian, Indonesia selalu memprogramkan pembangunan pertanian dengan hakekatnya bertujuan demi kesejahteraan masyarakat petani baik sekedar mampu mencukupi kebutuhan subsisten yang terasa semakin sulit maupun demi peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri. Indonesia pernah mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (sekitar 7 % per tahun)
dalam PJPT I yang lalu. Pada masa tersebut terjadi keberhasilan pencapaian ketersediaan pangan, transformasi struktur ekonomi, berkembangnya sektor industri dan jasa yang banyak menyerap tenagakerja menyebabkan tingginya peralihan peran sektor pertanian ke sektor non- pertanian, pergeseran dari migas ke non-migas. Kondisi ini (Simatupang, P. 1992) menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Masih tersisanya masalah yang belum
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi – Sayid Syekh | 253
terselesaikan dari pelaksanaan pembangunan periode lalu masih bertambah sebagai konsekuensi perubahan pola kebijakan pemerintah dan perubahan lingkungan strategis baik global maupun domestik serta berbagai dampak akibat krisis ekonomi yang makin terasa berat belakangan ini terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Terlepas dari keberhasilan yang pernah dicapai dan peran trategis sector pertanian seperti tersebut diatas, tantangan pembangunan pertanian saat ini dan di masa mendatang juga terasa semakin berat. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan dalam keberhasilan pembangunan nasional, seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenagakerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi (Bunasor, 1997: Simatupang, P. 1992); dimana gerakannya diantisipasi dan diselaraskan searah dengan dinamika pembangunan yang terjadi. Sejak pelita VI orientasi pembangunan pertanian beralih dari fokus peningkatan produksi semata ke arah orientasi pendapatan (kesejahteraan) masyarakat pertanian, terutama pertanian di pedesaan. Untuk itu pengembangan agribisnis telah menempati posisi sentral pembangunan pertanian (Baharsyah, 1991). Sebagai relevansinya adalah upaya memberi masukan bagi pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya dengan mengkaji dampak kebijaksanaan tersebut di tingkat mikro dan makro terhadap perbaikan kesejahteraan kaum petani. Untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani, salah satu alat bantu ukurnya adalah NTP (Nilai Tukar Petani) dan NTKP (Nilai Tukar Komoditas Pertanian), dimana peningkatan nilai tukar tersebut diharapkan mampu mengindikasikan peningkatkan kesejahteraan masyarakat pertanian maupun keadaan sebaliknya. NTP berkaitan dengan kemampuan dan daya beli petani dalam membiayai hidup rumah tangganya. NTKP berkaitan dengan kekuatan dari daya tukar ataupun daya beli dari suatu komoditas pertanian terhadap komoditas/produksi lain yang dipertukarkan. Keberhasilan pembangunan pertanian yang pernah dicapai tidak dapat dipungkiri, telah diikuti pula oleh perubahan secara struktural pada sektor perekonomian nasional, yang mana peran sector pertanian semakin menurun digeser oleh peran sektor industri; dimana tersirat pula adanya beban berat dari sektor pertanian. Hal ini terutama berkaitan dengan semakin melebarnya kesenjangan antara sector pertanian dengan sektor di luar pertanian, serta penurunan nilai tukar pertanian yang disebabkan penurunan nilai tukar komoditas pertanian. Krisis moneter yang turut memicu krisis ekonomi berpengaruh negatip yang salah satu
dampaknya terlihat dengan meningkatnya pengangguran (yang umumnya berasal dari tenagakerja pedesaan) dan jumlah penduduk miskin. Pengaruh positip dengan salah satu dampaknya terlihat pada meningkatnya harga komoditas pertanian baik harga produk maupun harga beli input oleh petani. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya nilai tukar mata uang asing (US dollar). Apabila daya beli petani karena pendapatan yang diterima dari kenaikan harga produksi pertanian yang dihasilkan, lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka hal ini mengindikasikan bahwa daya dan kemampuan petani lebih baik atau tingkat pendapatan petani lebih meningkat. Alat ukur daya beli petani selintas dapat menunjukkan tingkat kesejahteraannya dirumuskan dalam bentuk Nilai Tukar Petani (NTP) yang terbentuk oleh keterkaitan yang kompleks dari suatu system pembentuk harga, baik yang harga yang diterima maupun harga yang dibayar petani. Dengan kata lain, Nilai tukar Petani dapat didefenisikan sebagai nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar oleh petani, sehingga merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk yang dihasilkan terhadap produk dan jasa yang mampu dibeli rumah tangga petani, baik untuk biaya input usaha tani maupun biaya konsumsi rumah tangga petani. Berbagai fenomena perubahan situasi (gejolak) yang terjadi baik yang bersifat alami (seperti gejolak produksi pertanian) maupun gejolak yang terjadi akibat adanya distorsi pasar (seperti penerapan kebijaksanaan yang disengaja, baik di sektor pertanian dan non-pertanian, di tingkat mikro maupun makro), akan mempengaruhi harga-harga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi nilai tukar petani, akan menjadi masukan penting bagi penyusunan program kebijaksanaan ke arah pembentukan nilai tukar yang diinginkan. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dari awal yang terkait dengan input produksi usaha tani sampai pada pemasaran hasil produk pertanian (antara lain: kebijaksanaan harga input dan output, subsidi, modal/perkreditan dan lainnya) akan mempengaruhi nilai tukar petani secara langsung maupun tidak langsung. Fluktuasi nilai tukar petani akan menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran ataupun tingkat pendapatan riil petani. Menurut Killick (1983), Timmer et al. (1983), kegiatan pertanian tentu saja tidak lepas dari kegiatan di luar sector pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh peran dan perilaku di luar sektor pertanian. Perbaikan dan peningkatan nilai tukar petani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani akan terkait dengan kegairahan petani untuk
254 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 253 - 260
berproduksi. Hal ini akan berdampak ganda (Supriyati et al., 2000) tidak saja dalam peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian dalam menggairahkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan dan menumbuhkan permintaan produk non=pertanian; tetapi juga diharapkan akan mampu mengurangi perbedaan (menciptakan keseimbangan) pembangunan antar daerah (desa-kota), maupun antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional. Keragaman penerimaan, pengeluaran dan nilai tukar petani antar daerah dan waktu dipengaruhi oleh mekanisme pembentukan dalam sistem nilai tukar petani yang berbeda antar daerah dan antar waktu sebagai akibat dari keragaman system pembentukan penawaran dan penerimaan. Dari sisi penerimaan petani, keragaman antar daerah dan waktu terjadi berkaitan dengan keragaman sumberdaya dan komoditas yang diusahainya serta diversivikasi sumber pendapatan lain. Keragaman pengeluaran petani terkait dengan keragaman pola konsumsi petani antar daerah dan waktu. (Supriyati et al, 2000). Pelaksanaan maupun keberhasilan pembangunan telah menumbuhkan keragaman pada sumber pendapatan dan pola/kebutuhan konsumsi baru. Sumber pendapatan petani tidak lagi semata berasal dari usaha tani dan buruh tani (on farm dan off farm), tetapi berkembang dari kegiatan non-pertanian (non-farm). Hal ini berkaitan dengan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri petani untuk berusaha di luar sektor pertanian karena tidak/kurang mampunya sektor ini (on farm dan off farm) mencukupi kebutuhan konsumsi yang kian meningkat dan bervariasi. Faktor penarik yang berasal dari luar petani berkaitan dengan makin terbukanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian yang dirasa lebih nyaman dan lebih menjanjikan untuk meningkatkan taraf penghasilan dan penghidupan bagi petani. Besar kecilnya proporsi pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian akan mempengaruhi besar kecilnya kekuatan nilai tukar pertanian bagi petani yang berkaitan erat dengan peran pertanian dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Perbedaan peran proporsi pertanian selain dipengaruhi dan terkait menurut kelompok masyarakat, antara petani berlahan luas dengan berlahan sempit dan buruh tani, juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas usaha pertanian, kekuatan/kemampuan pasar dan kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian mekanisme komplek dari sistem permintaan, penawaran dan kebijaksanaan akan berpengaruh dalam pembentukan nilai tukar pertanian. Pembentukan harga tidak semata ditentukan oleh sector pertanian, tetapi juga oleh perilaku sector di luar pertanian baik sektor riil, fiskal, maupun moneter. (Killick, 1983: Timmer et al, 1983).
Beranjak dari dukungan terhadap program yang telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi Jambi, kemudian ditentukan perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana Perilaku Nilai Tukar Petani (NTP); 2. Bagaimana Perilaku Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) yang masing- masing menurut luas garapan; 3 . Bagaimana menganalisa faktor-faktor yang menentukan NTP dan NTKP; 4. Bagaimana menganalisa dampak dari kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap NTP dan NTKP. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk melihat bagaimana Perilaku Nilai Tukar Petani (NTP); 2. Untuk melihat bagaimana Perilaku Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) yang masingmasing menurut luas garapan; 3 . Untuk melihat dan menganalisis bagaimana faktor-faktor yang menentukan NTP dan NTKP; 4. Untuk melihat dan menganalisis bagaimana dampak dari kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap NTP dan NTKP. METODE PENELITIAN Komoditas dalam penelitian ini adalah: padi. Dengan memilih beberapa daerah di Provinsi Jambi sebagai lokasi penelitian, dengan latar belakang bahwa daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kerinci dikenal sebagai salah satu daerah sentra produksi komoditas p adi . Penentuan dan pemilihan petani responden dilakukan secara acak dengan berdasarkan pada strata kepemilikan/pengusahaan lahan untuk komoditi p a d i yang kisaran antara 0,25 ha < n < 1 ha sebanyak 60 petani. Metode analisa secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Keragaan perilaku nilai tukar pendapatan/penerimaan komoditas pertanian; (2) Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga sebagai pendekatan analisa kebijaksanaan pembangunan pertanian; (3) Analisa nilai tukar pendapatan. NTI = Px Qx / Py Qy Dimana: NTI adalah menggambarkan tingkat profitabilitas usaha tani komoditas tertentu, belum mencakup keseluruhan komponen pendapatan dan pengeluaran petani, hanya menggambarkan nilai tukar komodits tertentu.
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi – Sayid Syekh | 255
HKOMjt = f (PRKOMjt, INFt) Dimana: HKOMjt adalah harga komoditas j pada waktu t. PRKOMjt adalah produksi komoditas j pada waktu t INFt adalah inflasi pada waktu t (diproksi dengan IHK pedesaan). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agribisnis P a di Padi adalah salah satu komoditi budidaya terpenting bagi peradapan manusia. Meskipun mengacu pada tanaman komoditas budidaya, padi juga mengacu pada beberapa jenis marga (genus) yang sama disebut padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga pada semua serealia setelah jagung dan gandum. Provinsi Jambi berpotensi sebagai daerah sentra produksi padi dan berpeluang mengembangkannya untuk memenuhi permintaan konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Salah satunya adalah Kabupaten Kerinci, yang dipilih sebagai lokasi contoh karena merupakan sentra produksi padi terbesar, dilihat dari luas tanam dan produksinya. Data setelah tahun 2010 terealisasikan dengan luas panen 37.131 ha, rata-rata produktivitas 14,99 kw/ha dan produksi 55.659 ton, melebihi dari target semula dengan luas panen 32.000 ha, rata-rata produktivitas 14,41 kw/ha dan produksi 46.112 ton. Subsistem Produksi Perbaikan teknologi seperti; pemilihan benih yang cocok lokasi dan berkualitas serta relatif tahan hama/penyakit, pengapuran dan perbaikan hara perlu dilakukan untuk mencapai peningkatan produktivitas
dan efisiensi usaha tani padi. Hal ini bertujuan agar usaha tani padi mampu memberikan daya tarik, motivasi dan insentif bagi petani untuk mengusahainya, dengan menerapkan teknologi budidaya dan pengelolaan sistem produksi yang efektif dan efisien serta dukungan eksternal. Cakupannya seperti ketersediaan sarana dan prasarana produksi, penyediaan fasilitas kredit, kemudahan dan kejelasan pemasaran produk dengan system yang lebih efektif dan efisien serta yang terpenting adalah penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiapan petani dalam mengadopsi teknologi (Sayaka, dkk., 1992: Ekonomi Kedele 1996). Produktivitas p ad i per hektar yang berbeda baik dalam agroekologi yang sama apalagi bila berbeda, dikarenakan perbedaan adopsi pengetahuan dan teknologi (masih rendah) dan manejemen di tingkat petani. Intensitas kendala ini berbeda dan tergantung antar daerah dan wilayah pengusahaannya. Untuk itu diperlukan penelitian adaptif untuk mendapatkan dan menguji keberhasilan teknologi yang spesifik serta tepat lokasi. Hal ini dibutuhkan dalam pengkajian pengembangan sistem produksi berkelanjutan di masa mendatang termasuk pemilihan dan penggunaan benih bermutu dari varietas-varietas unggul yang cocok dan berpotensi hasil tinggi serta dengan mudah dan kontiniu dapat diperoleh petani. Faktor sosial ekonomi turut sebagai faktor penentu tercapainya produktivitas dimana petani umumnya akan membandingkan kemudahan dan keuntungan yang akan diperoleh, terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidup bila ia lebih memilih menanam padi dibanding komoditas lain.
Tabel 1. Analisa Biaya, Pendapatan Usaha tani Padi, berdasarkan Luas Garapan.
Uraian I. Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi 1.1. Bibit 1.2. Pupuk • Urea • SP-36 • KCl 1.3. Obat-obatan 2. Tenaga kerja 2.1. Pra panen s/d panen 2.2. Pasca Panen 3. Lainnya (pengairan) II. Penerimaan (Rp. 000,-) III. Keuntungan IV. R/C Sumber: Analisis Data Primer.
MT II - 2009 Luas Garapan Sedang Luas 1.029,25 2.026,00 331,25 637,50 75,00 150,00
MT I - 2010 Luas Garapan Sedang Luas 914,00 1.769,50 329,00 602,50 100,00 187,50
82,50 26,25 22,50 125,00
165,00 52,50 45,00 225,00
99,00 35,00 95,00
165,00 70,00 180,00
648,00 50,00 30,00 1.350,00 320,75 1,31
1.246,00 97,00 45,00 2.790,00 764,00 1,38
505,00 50,00 30,00 1.170,00 256,00 1,28
1.025,00 97,00 45,00 2.340,00 570,50 1,32
256 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 253 - 260
Analisa usaha tani dilakukan menurut strata luas garapan yang diusahai petani di lokasi penelitian yaitu: lahan sedang (0,2 ha – 0,5 ha) dan lahan luas (0,5 ha – 1 ha). Dari nilai R/C pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa usaha tani padi cukup menguntungkan. Pada garapan sedang, nilai R/C sebesar 1,31 dan 1,38 untuk garapan luas pada musim tanam MK II tahun 2009. Pada musim tanam MK I tahun 2010, nilai R/C sebesar 1,28 untuk garapan sedang, untuk garapan luas sebesar 1,32. Penurunan nilai R/C yang terjadi, bisa saja dipengaruhi oleh berkurangnya luas tanam yang berakibat berkurangnya luas panen pada tahun 2010, dan bisa juga disebabkan oleh lebih meluasnya serangan hama/penyakit pada luas areal tanam yang sama, yang disebabkan meningkatnya harga obatobatan sehingga para petani mengurangi pemakaiannya. (lihat Tabel 1, sub obat-obatan). Pada struktur biaya usaha tani padi di daerah penelitian, proporsi terbesar adalah biaya tenagakerja, yang berkisar antara 60,7% sampai dengan 67,82% dari total biaya. Hal ini mencerminkan sudah sulitnya mencari tenagakerja, yang menyebabkan tingginya upah tenagakerja di daerah tersebut. Subsistem Faktor Penunjang Faktor harga merupakan permasalahan untama bagi petani yang berkaitan dengan permodalan dan mempengaruhi kelanjutan usaha taninya. Pembentukan KUB (Kerja Usaha Bersama) dirintis dengan membangun semacam kemitraan antara
petani dan pedagang, namun pengembangannya masih terbentur pada keterbatasan modal. Peran pemerintah yang besar sebagai salah satu faktor penunjang dalam penyediaan fasilitas/prasarana umum seperti: jalan untuk transportasi, pengairan, komunikasi dan publikasi, serta pengendalian dan pengawasan harga dan pemasaran. Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah peran pembinaan dan penyuluhan teknologi serta pelatihan yang perlu ditingkatkan untuk turut menunjang terserapnya teknologi yang adaptif. Turut direlisasikannya program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung) merupakan salah satu program di antara berbagai program pemerintah sebagai upaya khusus yang diharapkan mampu menanggulangi dan merupakan upaya meningkatkan ketersediaan pangan nasional untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri serta upaya untuk mengurangi impor, yang berkaitan pada penurunan terhadap permintaan devisa. Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Padi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Nilai tukar penerimaan usaha tani dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan dari komoditas terhadap biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditas tersebut. Dari nilai tukar penerimaan dapat diketahui tingkat profitabilitas suatu usaha tani. Dari Tabel 2 dan Tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai tukar penerimaan petani yang areal garapannya luas akan lebih baik dari nilai tukar penerimaan petani yang areal garapannya sedang,
Tabel 2: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Padi Berdasarkan Tingkat Pendapatan dan Areal Garapan. MT II 2009 Areal Garapan Sedang Areal Garapan Luas Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 2.317,75 926,00 1.062,75 1189,00 1.742,50 2.016,00 405,00 642,50 797,75 262,50 326,25 472,50 87,50 150,00 175,00 62,60 75,00 125,00 157,50 216,50 352,75 105,00 131,25 172,50 160,00 230,00 270,00 95,00 120,00 175,00 754,00 1.475,00 633,50 706,50 1.225,50 1.382,50 30,00 45,00 45,00 30,00 30,00 45,00
Uraian I.
Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: a. Bibit b. Pupuk c. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya
II. Penerimaan (Rp. 000,-) III. R/C IV. Nilai Tukar Penerimaan 1. Terhadap Saprodi 2. Terhadap Bibit 3. TerhadapPupuk 4. Terhadap Obat-obatan 5. Terhadap TenagaKerja Sumber: Analisa Data Primer.
1170,00 1,26
1.350,00 1,27
1530,00 1,29
2.340,00 1,38
2.790,00 1,38
3.240,00 1,40
4,46 18,72 11,14 12,32 1,85
4,14 18,00 10,29 11,25 1,91
3,78 17,49 9,71 9,56 2,03
4.95 18,72 13,57 13,37 1,91
4,34 18,60 10,63 12,13 2,28
4,06 18,51 9,18 12,00 2,20
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi – Sayid Syekh | 257
Tabel 3: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Padi, Berdasarkan Tingkat Pendapatan dan Areal Garapan.
URAIAN I.
Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: a. Bibit b. Pupuk c. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya
II. Penerimaan (Rp. 000,-) III. R/C IV. Nilai Tukar Penerimaan 1. Terhadap Saprodi 2. Terhadap Bibit 3. TerhadapPupuk 4. Terhadap Obat-obatan 5. Terhadap TenagaKerja Sumber: Analisa Data Primer.
Areal Garapan Sedang Rendah Sedang Tinggi 781,50 921,00 1039,50 263,00 326,00 398,00 87,50 100,00 112,50 107,50 134,00 160,50 68,00 92,00 125,00 488,50 563,00 611,50 30,00 30,00 30,00
MK I 2010 Areal Garapan Luas Rendah Sedang Tinggi 1.478,75 1,733,00 2.097,00 458,75 592,50 756,50 137,50 187,50 237,50 173,75 235,00 296,50 147,50 170,00 222,50 975,00 1.095,50 1.295,50 45,00 45,00 45,00
990,00 1,27
1188,00 1,29
1332,00 1,28
2.106,00 1,42
2.304,00 1,33
2.610,00 1,24
3,76 11,31 9,21 14,46 2,03
3,64 11,88 8,87 12,91 2,10
3,46 11,84 8,30 10,66 2,18
4,59 15,32 12,12 14,28 2,16
3,89 12,29 9,80 13,55 2,10
3,45 10,99 8,80 11,73 2,01
Tabel 4: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas P a d i Berdasarkan Areal Garapan.
URAIAN I. Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: a. Bibit b. Pupuk c. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya II. Penerimaan (Rp. 000,-) III. R/C IV. Nilai Tukar Penerimaan 1. Terhadap Saprodi 2. Terhadap Bibit 3. TerhadapPupuk 4. Terhadap Obat-obatan 5. Terhadap TenagaKerja Sumber: Analisa Data Primer.
MT II 2009 Areal Garapan Sedang Luas 1.029,25 2.026,00 331,25 637,50 75,00 150,00 131,25 262,50 125,00 225,00 698,00 1.343,00 30,00 45,00
MT I 2010 Areal Garapan Sedang Luas 914,00 1.769,50 602,50 329,00 187,50 100,00 235,00 134,00 180,00 95,00 555,00 1.122,00 45,00 30,00
1.350,00 1,31
2.790,00 1,38
1.170,00 1,28
2.340,00 1,32
4,08 18,00 10,29 10,80 1,93
4,38 18,60 10,63 12,40 2,08
3,56 11,70 8,73 12,32 2,11
3,88 12,48 9,96 13,00 2,09
dengan melihatnya berdasarkan tingkat pendapatan petani, yaitu: tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi dalam MT II 2 0 0 9 pada petani dengan areal garapan sedang adalah pada tingkat pendapatan rendah (1,26 terhadap 4,46); pada tingkat pendapatan sedang (1,27 terhadap 4,14); dan pada tingkat pendapatan tinggi (1,29 terhadap 3,78). Pada petani dengan areal garapan luas, rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi pada tingkat pendapatan
rendah adalah I,34 terhadap 4,95; pada petani dengan tingkat pendapatan sedang (1,38 terhadap 4,34) dan pada petani dengan tingkat pendapatan tinggi adalah 1,40 terhadap 4,06. Rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi dalam MT I 2010, pada petani dengan areal garapan sedang adalah pada tingkat pendapatan rendah (1,27 terhadap 3,76); pada tingkat pendapatan sedang (1,29 terhadap 3,64); dan pada tingkat pendapatan tinggi (1,28 terhadap 3,46). Pada petani dengan areal garapan luas, rasio nilai tukar
258 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 253 - 260
penerimaan terhadap saprodi pada tingkat pendapatan rendah adalah I,42 terhadap 4,59; pada petani dengan tingkat pendapatan sedang (1,33 terhadap 3,89) dan pada petani dengan tingkat pendapatan tinggi adalah 1,24 terhadap 3,45. Untuk lebih singkatnya kedua tabel diatas dapat dirangkum dalam tabel 4 berikut agar dapat melihat perbandingan rasio nilai tukar penerimaan terhdap saprodi pada kedua musim tanam tersebut. Selanjutnya dari tabel 4 tersebut, dapat diketahui bahwa rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi (bibit, pupuk, obat-obatan) adalah lebih kecil pada petani areal garapan sedang (4,08) terhadap petani dengan areal garapan luas (4,38) untuk MT II 2009. Untuk MT I 2010 rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi adalah lebih kecil pada petani areal garapan sedang (3,56) terhadap petani dengan areal garapan luas (3,88). Nilai tukar penerimaan terhadap saprodi lebih besar dibanding nilai tukar penerimaan tenagakerja untuk areal garapan sedang dan luas. Hal ini menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan petani untuk tenaga kerja jauh lebih besar daripada biaya untuk sarana produksi (baik untuk bibit, pupuk, maupun obat-obatan). Keadaan ini disebabkan oleh banyaknya tenagakerja upahan yang dipergunakan dan tingginya tingkat upah yang dikeluarkan. Sementara itu dari dekomposisi nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi menunjukkan bahwa nilai tukar penerimaan terhadap bibit lebih besar dibanding nilai tukar terhadap pupuk dan obatobatan. Keadaan ini menunjukkan tingginya peningkatan harga pupuk dan obat-obatan dibanding harga bibit yang relatif stabil. Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Terhadap Harga Padi Kebijaksanaan pembangunan pertanian secara umum bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Kebijaksanaan peningkatan produksi antara lain dilakukan melalui peningkatan intensifikasi dan penyediaan modal; sedang peningkatan pendapatan dilakukan melalui kebijakan harga yang meliputi kebijaksanaan harga domestik dan kebijaksanaan perdagangan. Menurut Hadi (2000) yang dikutip Sutrisno dan Winarno (2000), berbagai kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas pertanian seperti: 1) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan meningkatpan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing dengan cara peningkatan efisiensi manejemen usaha, penggunaan skala efisien dan pemilihan komoditas yang bernilai ekonomi yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor; 2)
Program Ketahanan Pangan bertujuan agar masyarakat mampu menjangkau pola konsumsi yang baik dengan harga terjangkau melalui peningkatan produksi, produktivitas, pendapatan/kesejahteraan petani serta kesempatan kerja on-farm dan off-farm; 3) Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok tani melalui konsolidasi manejemen usaha tani dalam skala efisien usaha dan manejemen professional untuk menciptakan nilai tambah sehingga efisiensi usaha dan daya saing komoditas dalam jangka panjang dapat meningkat. Kebijaksanaan pembangunan pertanian oleh pemerintah didekati dengan tingkat produksi, sedangkan dampak yang diamati adalah tingkat harga yang diterima petani, yang didasari bahwa harga berperan penting dalam pembentukan penerimaan/pendapatan dari usaha tani (Indraningsih, K. S et al, 2003) Pemerintah menetapkan tarif impor cukup tinggi pada perdagangan semula bertujuan untuk: 1) melindungi produsen dalam negeri dari persaingan komoditas impor sejenis sekaligus mendorong petani meningkatkan produksinya; dan 2) menciptakan pendapatan pemerintah. Kebijaksanaan harga dasar padi pada dasarnya kebijaksanaan pemerintah bias terhadap pengembangan padi untuk mempercepat peningkatan produksi (Sudaryanto, 1999), tetapi akhirnya kembali bias ke padi untuk mempercepat peningkatan produksi beras nasional. SIMPULAN Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, pengaruh negatif di satu sisi dari krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter terhadap pertanian dan pedesaan antara lain seperti: meningkatkan pengangguran dan jumlah penduduk miskin; pengaruh positip di sisi lain adalah peningkatan harga komoditas pertanian karena meningkatnya nilai tukar mata uang asing. Kedua¸kenaikan harga produk yang dihasilkan petani lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka daya beli petani akan meningkat (mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani) yang diformulasikan dalam bentuk nilai tukar petani. Ketiga, kebijaksanaan pemerintah di sector pertanian (kebijaksanaan harga, subsidi, perkreditan dan lainnya) mulai dari kegiatan usaha tani sampai pemasaran hasil secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi nilai tikar petani. Keempat, peningkatan/perbaikan nilai tukar petani berkaitan erat dengan kegairahan petani berproduksi, dengan dampak ganda yaitu peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian serta menghidupkan perekonomian pedesaan, penciptaan
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Provinsi Jambi – Sayid Syekh | 259
lapangan perkerjaan di pedesaan, yang berarti akan menciptakan sedikitnya keseimbangan pembangunan antar daerah dan antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional. Kelima, faktor internal yang menyangkut sistem usaha tani yang berkaitan dengan keputusan petani dalam mengadopsi teknologi maupun permodalan yang mempengaruhi penggunaan saprodi, ini juga mempengaruhi nilai tukar penerimaan p a d i ; di samping faktor eksternal. Keenam, sistem pemasaran sulit diantisipasi petani dimana tingkat penerimaan mereka sangat bergantung pada ‘harga jual’ yang diterima petani. ‘Posisi tawar’ petani yang lemah menempatkan petani pada situasi terpaksa menerima ‘keputusan pasar’, dengan tanpa atau sedikit sekali dilibatkan dalam penentuan harga; walaupun kenyataannya mereka berperan sebagai produsen. Ketujuh, Faktor sosial ekonomi turut sebagai faktor penentu tercapainya produktivitas dimana petani umumnya akan membandingkan kemudahan dan keuntungan yang akan diperoleh, terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidup bila ia lebih memilih menanam padi dibanding komoditas lain. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah: Pertama, pemerintah sebagaimana harapan petani hendaknya lebih mengantisipasi bagaimana pengarahan memajukan pertanian tanaman pangan sebagai pendorong utama dalam memantapkan pertanian pangan sebagai penyedia bahan pangan yang mampu mendorong pertumbuhan perekonomian di pedesaan (terutama di masa krisis yang masih berlanjut sekarang ini). Hal ini mungkin dapat dicapai melalui perluasan pemasaran dan kebijaksanaan harga yang menguntungkan petani, maupun melalui mekanisme pertanian dan penanganan pasca panen. Kedua, dalam mengatasi kendala perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas berkaitan erat dengan adopsi teknologi. Peningkatan adopsi teknologi dapat ditempuh antara lain dengan peningkatan penyuluhan dan pelatihan praktis sistem budidaya padi yang sesuai dengan kondisi agroekologi, tidak hanya berpatokan pada harus berjalannya suatu program pemerintah di bidang pertanian tanpa memperhatikan unsur petani dan kebutuhannya serta kondisi agroekologi yang berbeda antar wilayah. Ketiga, memperbaiki sistem pasar yang bersifat monopoli dan sangat tergantung pada harga yang ditetapkan pedagang yang terasa sangat memberatkan para petani. Sekalipun penawaran dan permintaan relatif seimbang, namun membludaknya suplai padi dari luar negeri dengan kompisisi kualitas yang relatif lebih baik kontiniutas dan kuantitas terjaga, dan lainnya merupakan syarat yang harusnya lebih
diperhatikan petani dengan penyuluhan dan bimbingan Keempat, memberi aktif dari pemerintah. perhatian/memperhitungkan faktor internal seperti sistem usaha tani terkait pada keputusan petani dalam mengadopsi teknologi, serta permodalan yang terkait penggunaan saprodi, ini juga mempengaruhi nilai tukar penerimaan padi; disamping faktor eksternal. Kelima, memperbaiki sistem pemasaran yang sering sulit diantisipasi petani, sehingga petani memiliki ‘posisi tawar’ yang memadai, terkait pada tingkat penerimaan mereka yang sangat bergantung pada ‘harga jual’ yang diterima petani. Petani diupayakan tidak selalu lemah atau selalu terpaksa menerima ‘keputusan pasar’, akan tetapi turut dilibatkan dalam penentuan harga; sebagai salah satu reward terhadap mereka dan perannya sebagai produsen. DAFTAR PUSTAKA Anwar, A. et al. 1991. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Pertanian. Kerjasama PAE Dengan Departemen Ilmu-ilmu Sos.Ek. Fak.Pertanian. IPB. Bogor. BPS. 1989. Nilai Tukar Petani Jawa Madura (1983=100) dan sepuluh propinsi di Pulau Jawa (1987=100).2000. Propinsi Jawa Timur Dalam Angka. Chrisman, S., dkk. 1966. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB. Press. Dinas Pertanian Pro vins i J a mbi. Laporan Tahunan. Diperta Dati I. Propinsi Jambi. 2000. Laporan Tahunan. Hendayana, R. Herlina T. 1995. Dimensi Perubahan Nilai Tukar Petani dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhi. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Puslit Sos.Ek Pertanian. Bogor. Killick, T. 1981. Policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society. Pramonosidhi. 1984. Tingkah Laku Tukar Komoditi Pertanian pada Tingkat Petani. Kerjasama PAE Univ. Satya Wacana. Salatiga. Sumarno et al. 1989. Analisis Kesenjangan Hasil Padi Jawa. Pusat Palawija. Sudaryanto, T. et al. 1999.Perkembangan kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian. PSE. Bogor. Supriyati, M. Rachmat, K.S Indraningsih, Tj.Nurasa. Roosgandha Elizabeth, R.Sajuti. 2000. LHP. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian Puslit Sos.Ek. Pertanian. Bogor. Timmer, C.P et al. 1083. Food Plicy Analysis. John Hopkins. Univ. Press. Baltimore. Tim peneliti. 1994. Studi Prospek dan Kendala Pengembangan Palawija (kedelai, jagung, ubikayu dan Kacang tanah). Puslitbangtan. Balitbangtan. Bogor.
260 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 253 - 260
KUALITAS PELAYANAN APARATUR RSUD KOTA MOJOKERTO, KABUPATEN PASURUAN DAN KABUPATEN KEDIRI TERHADAP MASYARAKAT MISKIN QUALITY OF HOSPITAL APPARATUS IN MOJOKERTO CITY, DISTRICT PASURUAN AND DISTRICT KEDIRI ON THE POOR Irtanto Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur Indonesia Jalan Gayung Kebonsari No. 56 Surabaya, telp 031-8290719 Email:
[email protected] Diterima: 13 Oktober 2013; direvisi: 22 Oktober 2013; disetujui: 18 November 2013
Abstrak Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitiatif, yang bertujuan (1) mengetahui penilaian pasien miskin terhadap kualitas pelayanan aparatur kesehatan yang dilakukan RSUD; (2) mengetahui analisa celah (gap analysis) dan alternatif penyelesaian masalah kondisi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat miskin di RSUD Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Kediri dan Kota Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan aparatur RSUD ketiga daerah penelitian rata-rata mempunyai kinerja pelayanan sangat baik, dengan IKM sebesar 3,3 atau nilai interval IKM 82,50 dengan mutu pelayanan A, sangat baik. Namun demikian masih ada kesenjangan antara penilaian aparatur maupun pasien miskin yaitu berupa masih ada kekurangan dan kendala pelayananyang kemudian akan diambil berbagai kebijakan sebagai langkah perbaikan terhadap program, sistim administrasi, prosedur pelayanan, SDM aparatur maupun sarana dan prasana. Kata kunci: kualitas pelayanan, masyarakat miskiin, kualitas SDM, informasi pelayanan.
Abstract This research uses quantitative and qualitative descriptive approach, which aims to (1) determine the assessment of the patient's poor quality of health services apparatus who conducted RSUD (the Regional Public Hospital), (2) to know the gap analysis and alternative problem solving of condition of the poor health services quality in RSUD of District of Pasuruan, District of Kediri and Mojokerto City. The results showed that the services quality of RSUD apparatus on third area of study have an average service performance is excellent, with the IKM (Community Health Index) of 3.3 or 82.50 IKM interval value with quality of service A, very good. However, there is still a gap between apparatus and poor patient assessment is still no shortage of services and constraints. From here then will take up many policies, as a measure to enhance the program, system administration, procedures of service , human resources of apparatus, facilities and infrastructures also. Keywords: quality of services, the poor, the quality of human resources, information of services.
PENDAHULUAN Pemberian jaminan kesehatan bagi warga masyarakat Indonesia merupakan salah satu bagian dari jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah dalam kerangka pemenuhan hak asasi setiap warga negara. Hal tersebut telah diatur didalam UndangUndang Dasar 1945 pada Pasal 28 H ayat (3) dan secara khusus pada ayat 2 menegaskan bahwa ‘negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan’. Selanjutnya melalui program jaminan kesehatan bagi masyarakat, maka diharapkan terdapat perubahan kondisi makro peningkatan perbaikan indikator tingkat kesehatan masyarakat di diberbagai daerah. Gambaran kondisi makro ini diharapkan terjadi pula diberbagai strata masyarakat,
diantaranya termasuk 5,1 juta jiwa masyakarakat miskin Jawa Timur (Jawa Pos, 30 Juni 2011). Pada sisi lain, meskipun pada tataran makro telah terjadi perubahan peningkatan kuantitas pelayanan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin Jawa Timur, akan tetapi persoalan kesehatan masyarakat miskin di berbagai daerah di Jawa Timur, sepertinya tidak kunjung berkurang. Hal ini dapat diketahui dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan persoalan kesehatan bagi masyarakat miskin. Fenomena ditemukannya berbagai kasus tidak terlayaninya jaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin, khususnya bagi pasien masyarakat miskin non kuota atau pasien masyarakat miskin SKTM (Surat Keterangan Miskin), menjadi pemberitaan media elektronik maupun media cetak di berbagai daerah. Terdapat banyak latar belakang yang menjadi alasan penyebab tidak tertanganinya
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 261
pelayanan kesehatan, baik yang bersifat medis maupun non medis, seperti halnya: keterbatasan APBD dalam membiayai pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, prosedur administrasi rumah sakit, keterbatasan obat, keterbatasan SDM tenaga medis, prasarana fisik rumah sakit dan lain-lain (Trisnantoro, 2005:47) Selanjutnya, pertimbangan penting yang tidak boleh dilupakan bahwa salah satu fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat. Pemberian pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat miskin, akan terasa memiliki urgensitas tinggi ketika lembaga pelayanan publik yang memiliki kewenangan misi publik menjadi benteng harapan terakhir bagi masyarakat miskin dalam memberikan perlindungan kesehatannya. Ditengah–tengah keterbatasan sumberdaya daerah, serta gencarnya tuntutan perbaikan birokrasi pelayanan publik dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi warganya, terutama orang-orang miskin. Maka akan menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dalam melakukan upaya yang lebih serius dalam menangani persoalan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Dari berbagai kondisi RSUD yang belum kondusif terkait pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin, baik bersifat medis maupun non medis, maka akan memberikan pengalaman tersendiri yang tidak menyenangkan bagi pasien miskin selama menjalani proses pengobatan pada suatu rumah sakit. Kondisi ini menjadi sinyal, bahwa pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang dilakukan RSUD di berbagai daerah di Jawa Timur, masih belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan. Berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, dapat memunculkan citra kurang baik terhadap aparatur pelayanan kesehatan. Terkait persoalan respon masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan, maka dapat dipahami bahwa penilaian terhadap baik atau buruknya pelayanan kesehatan cenderung ditentukan oleh persepsi, baik secara obyektif maupun subyektif oleh pengguna layanan (Yami, 2004: 25). Hal ini dapat diketahui dari hasil penilaian indek kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan pihak pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor:KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dinyatakan bahwa: (1) Pelayanan kepada masyarakat perlu terus ditingkatkan, sehingga mencapai kualitas yang diharapkan; (2) Untuk mengetahui kinerja pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat, perlu dilakukan penilaian atas pendapat masyarakat terhadap pelayanan, melalui penyusunan indeks kepuasan masyarakat; (3) Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS),
salah satu kegiatan dalam upaya peningkatan pelayanan publik adalah menyusun Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) sebagai tolok ukur terhadap optimalisasi kinerja pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah; 1). .Mengetahui kualitas pelayanan aparatur kesehatan yang dilakukan RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri. 2). Mengetahui analisa celah (gap analysis) dan alternatif penyelesaian masalah kondisi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat miskin pada RSUD. Secara teoritis bahwa persepsi konsumen merupakan penilaian subyektif terhadap pelayanan yang diperolehnya. Pendapat ini menjelaskan bahwa persepsi pengguna layanan ditentukan oleh penilaian subyektif terhadap pelayanan yang diterimanya. Penilaian tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami konsumen ketika mengakses pelayanan. Apabila pelayanan yang diterima sesuai dengan harapan, maka pelayanan tersebut dapat dikatakan baik, sedangkan apabila tidak sesuai dengan harapan mereka, maka pelayanan tersebut dapat dikatakan kurang atau bahkan tidak baik (Yami, 2004: 25). Kepmenpan No. 63 th. 2004 (Ratminto dan Winarsih, 2006: 21-24) bahwa standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi: a.Prosedur pelayanan. Prosedur pelayanan yang dilakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan; b. Waktu penyelesaian. Yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan; c. Biaya pelayanan. Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan; d. Produk pelayanan. Hasil pelayanan yang diterima sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan; e.Sarana dan prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik; f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap, perilaku yang dibutuhkan. Secara umum pelayanan publik diartikan sebagai pemberi layanan atau yang melayani keperluan orang atau masyarkat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan. (Kurniawan dalam Sinambela, 2006: 5). Menurut Kepmen No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah: “Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat
262 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (Sinambela, 2006:5) Lebih lanjut ditegaskan dalam pendapat Ratminto dan Winarsih (2005:5), bahwa pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat dan di daerah. Salah satu faktor yang harus ada agar penyelenggaraan pelayanan publik berkualitas adalah adanya faktor sistem pelayanan yang berorientasi
mengelola momen kritis pelayanan tersebut secara baik. Demikian halnya didalam mengelola momen kritis hendaknya dilakukan secara hati–hati berdasarkan kondisi kejadian sesungguhnya, sehingga hasil dari pengelolaan dari momen kritis akan menjawab kondisi persoalan perbaikan pelayanan publik yang diinginkan. Selanjutnya ditegaskan bahwa harus ada kesesuaian atau kompatibilitas antara tiga faktor dalam pengelolaan moment of truth, yaitu:a. Kontek pelayanan; b. Referensi yang dimiliki konsumen; c. Referensi yang dimiliki anggota organisasi penyelenggara pelayanan. Kesesuaian antara tiga faktor tersebut dapat dilihat dalam model Momen Kritis Pelayanan, diketahui berikut:
Model Momen Kritis Pelayanan Service Contact (Kontak Pelayanan)
Input (Masukan) Attitude (Perilaku) Values (Nilai) Beliefs(Kepercayaan) Want (Keinginan) Feelings(Perasaan) Expectation (Harapan)
Custo mer’s frame of referens (referensi yg dimiliki oleh konsumen)
Employer’s frame of referens (referensi yg dimiliki oleh anggota organisasi)
Input (Masukan) Attitude (Perilaku) Values (Nilai) Beliefs(Kepercayaan) Want (Keinginan) Feelings(Perasaan) Expectation (Harapan)
Moment of Truth ( Momen Ktritis Pelayanan) Sumber: Albert dan Bradford (dalam Ratminto dan Winarsih, 2005)
Gambar 1. The Moment of Truth Model.
kepada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa (Ratminto dan Winarsih, 2005). Hal tersebut tertuang didalam konsep pokok penyelenggaraan menejemen pelayanan yang diantaranya menyertakan, seperti: moment kritis pelayanan; lingkaran pelayanan; model segitiga pelayanan dan gap model. Momen kritis pelayanan (moment of truth) menjadi satu konsep yang sangat penting dalam menejemen pelayanan. Albert dan Bradford (dalam Ratminto dan Winarsih, 2005) mendefinisikan momen kritis pelayanan sebagi kontak yang terjadi antara konsumen dengan setiap aspek organisasi yang akan membentuk opini konsumen tentang kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut. Untuk menciptakan pelayanan yang baik, setiap organisasi harus mengidentifikasikan dan
Pelayanan yang baik dan memuaskan masyarakat adalah: 1) adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadangkadang sengaja dibuat-buat oleh pemberi pelayanan; 2) mendapatkan pelayanan secara wajar tanpa gerutu, sindirian atau untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas ataupun untuk kesejahteraan; 3) mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan dalam kepentingan yang sama, tertib dan tidak pilih kasih; 4) pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu sesuatu yang tidak menentu (Moenir, 2001:41). Kemudian Day (dalam Tangkilisan,
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 263
2005:212) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja actual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Menurut Hill (dalam Tangkilisan, 2005:215) kualitas jasa adalah persepsi pelanggan mengenai superioritas jasa yang merupakan akumulasi kepuasan bagi banyak pelanggan atas banyak pengalaman jasa. Penyedia jasa yang berkualitas adalah penyedia yang mampu terus-menerus menyediakan pengalaman jasa yang memuaskan selama periode waktu yang lama. Ada beberapa dimensi pokok yang berkaitan dengan kualitas jasa, menurut Parasuraman et al (dalam Tangkilisan, 2005:216) sebagai berikut: 1). Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, penampilan personel, dan sarana komunikasi; 2). Keandalan (realibility) yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengansegera, akurat, dan memuaskan; 3). Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan untuk memberikan pelayanan dengan tanggap; 4). Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh staf; 5). Emphati, meliputi kemudahan dalam hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Dalam kondisi masyarakat yang demokratis, pemerintah harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2002:270). Pelayanan publik yang profesional harus memiliki ciri-ciri akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan. Pelayanan publik yang transparan mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan, (b) persyaratan pelayanan baik persyaratan teknis maupun persyaratan adminsitratif, (c) unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, (d) rincian biaya tarip pelayanan dan tata cara pembayarannya mudah dan gampang dimengerti, (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan pasti. Keterbukaan mengandung arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu dan tarip serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat (wajib pajak/wajib bayar) baik diminta maupun tidak diminta (Widodo, 2002:270-271). Kriteria kualitas pelayanan publik yang lebih detail dikemukakan oleh Zeithaml dalam Widodo (2002:272) terdiri dari: 1. Tangible, kondisi fisik
sebagai penunjang/pendukung pelayanan. 2. Reliable, kemampuan menyediakan layanan yang tepat dan dapat diandalkan. 3. Responsiveness, tanggungjawab aparat penyedia pelayanan terhadap kualitas pelayanannya. 4. Competence, kemampuan aparat sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan ketrampilannya. 5. Courtesy, daya tangkap dan sikap aparat yang baik sehingga memenuhi kepuasan pelanggan. 6. Credibility, sikap jujur dan dapat dipercaya. 7. Security, adanya jaminan rasa aman bebas dari resiko. 8. Accessibility, kemudahan untuk memperoleh layanan dengan adil, tidak memihak. 9. Communication, kemampuan memahami, mendengarkan dan menyampaikan pesan/informasi tentang pelayanan dengan baik. 10. Understanding the customer, berusaha untuk selalu memahami kebutuhan konsumen/pengguna jasa. Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan publik diterapkan berdasarkan prinsi-prinsip pelayanan publik. Didalam Keputusan MENPAN No. 63 th 2003 dijelaskan bahwa untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik, harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut: a. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan palayanan dan penyelesaian keluhan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik. c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran d. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan e. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah f. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. g. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. h. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja yang memadai i. Kemudahan akses. Tempat dan lokasi, serta sarana pelayanan yang memadai mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. j. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, pemberi pelayanan harus disiplin, sopan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
264 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
k.
Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan prinsip, standar, dan pola penyediaan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita dan mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan. Memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita.
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota Mojokerto, RSUD Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dari masyarakat miskin di rumah sakit RSUD Kota Mojokerto, RSUD Kabupaten Pasuruan, dan RSUD Kabupaten Kediri. Sedangkan metode pengambilan sampel menggunakan metode sampling purposive dengan kriteria tertentu pada sampel terpilih adalah keluarga miskin yang memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan melalui dana Jamkesmas maupun pasien keluarga miskin non kuota diluar program Jamkesmas. Jumlah sampel penelitian yang diambil dari IRNA (Instalasi Rawat Inap) maupun rawat jalan, dilakukan berdasar kuota. Dari masing-masing RSUD pasien yang dijadikan sampel diambil sebanyak 42 responden, jadi jumlah sampel sebanyak 126 responden. Sedangkan dari pihak RSUD yang dijadikan sampel meliputi: anggota komite medik, petugas medis maupun non medis RSUD setiap ruangan diambil berdasarkan kuota masing sebesar 5 orang. Tabel 1. Sample Responden dan Sumber Informan dalam Penelitian Lokasi
Sampel Responden Ruang IRNA & Rawat Jalan
RSUD Kota Mojokerto RSUD Kab. Pasuruan RSUD Kab. Kediri Jumlah
42
Sumber informan: Komite Etik, Petugas Medis & Non Medis 15
42
15
42
15
126
45
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara menyebar pertanyaan (quistioner) maupun interview secara terbuka kepada sumber informasi meliuputi: pasien masyarakat miskin RSUD yang mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan mupun
pasien miskin non kuota, para petugas medis non medis RSUD. Disamping itu juga dilakukan diskusi kelompok terfocus (FGD) dengan berbagai informan yang terdiri atas para anggota komite medis RSUD. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan teknik trianggulasi (memakai berbagai metode sekaligus) untuk dapat memperoleh informasi yang memadai melalui cek silang. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:kuesioner, wawancara langsung, dan observasi. Metode analisis kebijakan publik yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dekriptif dan yang dianalisis adalah pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin oleh RSUD Kabupaten Kediri, RSUD Kabupaten Pasuruan dan RSU Kota Mojokerto. Langkah-langkah dalam analisis kuantitatif deskriptif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Data yang terkumpul disusun dalam bentuk tabulasi. Kemudian dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui gambaran kualitas pelayanan kesehatan, dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti metode analisis tabulasi silang (crostabulation). Sedangkan Indeks penilaian Masyarakat miskin pengguna jasa RSUD terhadap Kualitas pelayanan kesehatan masyarakat miskin di masing-masing rumah sakit yang dibagi kedalam aspek: sarana dan prasarana, sistem dan prosedur, dan kualitas aparatur pelayanan kesehatan, serta dihitung pula IKM secara keseluruhan Unsur yang dihitung pada IKM ini dikembangkan dari unsur IKM pada Kep MenPan ini dari 14 unsur menjadi 27 unsur dengan tujuan agar lebih operasional. Sedangkan penetapan skoringnya menggunakan skala 4, sesuai pedoman umum penyusunan IKM unit instansi pemerintah (Lampiran Kep MenPan nomor 25/M.PAN/ 2/2004 tahun 2004), misalnya terhadap unsur prosedur pelayanan adalah: a. Nilai 1 untuk jawaban tidak mudah, apabila pelaksanaan prosedur pelayanan tidak sederhana, alurnya tidak mudah, loket terlalu banyak, sehingga prosesnya tidak efektif. b. Nilai 2 untuk jawaban kurang mudah, apabila pelaksanaan prosedur pelayanan masih belum mudah, sehingga prosesnya belum efektif. c. Nilai 3 untuk jawaban mudah, apabila pelaksanaan prosedur pelayanan dirasa mudah, sederhana, tidak berbelit-belit tetapi masih perlu diefektifkan. d. Nilai 4 untuk jawaban sangat mudah, apabila pelaksanaan prosedur pelayanan dirasa sangat mudah, sangat sederhana, sehingga prosesnya mudah dan efektif. Nilai untuk masing-masing unsur merupakan nilai rata-rata yang didapat dengan menjumlahkan perkalian masing-masing nilai persepsi dengan frekuensi jawaban responden, dibagi total frekuensi. Nilai untuk masing-masing variabel didapat dengan menjumlahkan seluruh nilai unsur yang tergabung
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 265
pada variabel tersebut dibagi dengan jumlah unsur yang tergabung dalam variabel tersebut. Nilai IKM adalah penjumlahan nilai variabel dibagi jumlah variabel (nilai rata-rata). Sedangkan nilai konversi adalah nilai unsur variabel atau nilai IKM dikalikan 25. Adapun rumus untuk masing-masing nilai adalah sebagai berikut: • Nilai unsur = (((1*f)+(2*f)+(3*f)+(4*f)) ∑f) dimana f adalah frekuensi jawaban responden untuk yang bernilai persepsi 1 maupun 2, 3, dan 4, sedangkan ∑f adalah jumlah responden. • Nilai (IKM, variabel (X1,2,3)) = ∑ Nilai unsur ∑unsur • Nilai konversi = Nilai (unsur, variabel, IKM)*25 Dengan demikian maka untuk memberikan interpretasi pendapat responden dari pasien masyarakat miskin dalam menerima pelayanan kesehatan di masing-masing rumah sakit, maka dari nilai unsur variabel yang disusun kedalam IKM (Indek Kepuasan Masyarakat) terhadap pelayanan kesehatan Masyakat Miskin, diketahui berikut: Tabel 2. Interpretasi terhadap nilai unsur, nilai variabel maupun nilai IKM. Nilai Persepsi
Nilai Interval IKM
1
1,00 – 1,75 1,76 – 2,50 2,51 – 3,25 3,26 – 4,00
2 3 4
Nilai Interval Konversi IKM 25,00 – 43,75 43,76 – 62,50 62,51 – 81,25 81,26 – 100,00
Mutu Pelayanan
Interpretasi
D
Tidak baik
C
Kurang baik Baik
B A
Sangat baik
Sedangkan untuk melakukan analisa terhadap data yang bersifat kualitatif maka dilakukan intepretasi diskripsi indepth interviev. Untuk mengetahui perbedaan penilaian antara penilaian kualitas pelayanan kesehatan antara pasien Maskin dengan pihak pejabat/petugas rumah sakit maka akan dilakukan analisa celah atau gap analysis antara latar belakang penilaian pihak pasien Maskin dengan pihak pejabat/petugas rumah sakit. Dari hasil analisa celah akan dilakukan alternatif pilihan penyelesaian masalah. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kondisi kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin di RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri dapat diketahui dari hasil analisa penilaian terhadap 3 (tiga) unsur yang meliputi: sarana dan
prasarana rumah sakit, sistem administrasi, prosedur pelayaan rumah sakit, SDM RSU. 1.
Sarana Prasarana Rumah Sakit Sarana dan prasarana RSUD Kota Mojokerto dilihat dari jangkauan kemudahan ke RS sangat mudah di jangkau (3,45). Sedangkan kondisi sarana dan prasarana ke RSUD Kabupaten Pasuruan responden menilainya mudah dijangkau (3,07), demikian pula pasien masyarakat miskin menilai RSUD Kabupaten Kediri mudah dijangkau (3,09). Di RSUD Kota Mojokerto responden merasakan tidak ada hambatan sama sekali dalam berobat karena transportasi ke RSUD sangat mudah (3,43). Agak berbeda dengan apa yang terjadi di RUSD Kabupaten Pasuruan mereka pemandang tidak ada hambatan untuk ke RSUD (3,00), demikian pula dengan mereka yang berobat ke RSUD Kabupaten Kediri, mereka merasakan tidak ada hambatan untuk berobat ke RSUD (3,02), sebab mereka merasakan adanya kemudahan transportasi baik itu transportasi umum maupun milik pribadi. Dari sisi kenyamanan suasana lingkungan di Rumah sakit di Kota Mojokerto dirasakan oleh pasien masih kurang baik (1,89). Hal ini disebabkan karena sempitnya ruang tunggu terutama ruang tunggu tempat pendaptaran pasien yang bercampur dengan tempat parkir kendaraan roda dua. Namun jauh berbeda dengan suasana kenyaman lingkungan di RSUD Kabupaten Pasuruan maupun RSUD Kabupaten Kediri. Di RSUD Kabupaten Pasuruan lingkungannya dirasakan sangat nyaman sekali (3,83) demikian juga RSUD Kabupaten Kediri pasien miskin merasakan suasana lingkungannya sangat nyaman (3,52). Pasien masyarakat miskin menilai kelengkapan sarana dan prasarana medis di RSUD Kota Mojokerto baik dan lengap(2,69), sedangkan Kabupaten Pasuruan sangat lengkap (3,79). Demikian juga dengan kelengkapan sarana dan prasarana di RSUD Kabupaten Kediri dipandang sangat lengkap (3,36). Kemudian dari sisi sarana dan prasarana informasi dan komunikasi yang dimiliki Kota Mojokerto dan Kabupaten Kediri pasien masyarakat miskin memandang baik, sedangkan RSUD Kabupaten Pasuruan sangat baik (3,81). Dengan demikian hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan RSUD Kota Mojokerto dari sisi sarana dan prasarana yang dimiliki dalam kategori B (2,83) dengan Nilai Interval Konversi IKM sebesar 70,75 dengan kategori mutu (kualitas) pelayanannya baik. Sedangakan kualitas pelayanan RSUD Kabupaten Pasuruan dari sisi sarana dan prasarana pasien masyarakat miskin menilai sangat baik (3,50) dengan Nilai Interval Konversi IKM sebesar 87,50 dalam kategori mutu pelayanan sangat baik. Demikian pula kualitas pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kediri dalam kategori B (3,24) atau nilai interval konversi IKM sebesar 81,00 dengan mutu pelayanannya baik.
266 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Tabel 3. Kondisi Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum Daerah. RSUD Kota Mojokerto No
1 2
Indikator
Nilai Interval IKM
Jangkauan kemudahan ke RS Hambatan berobat sebab jangkauan ke RS 3 Kenyaman suasana lingkungan RS 4 Kelengkapan sarana/prasarana medik 5 Sarana/prasarana informasi & komunikasi Jumlah total skor rata-rata Sumber: data primer diolah
2.
RSUD Kab. Pasuruan Nilai Interval IKM
3,45 3,43
Nilai Interval Konversi IKM 86,25 85,75
1,89
RSUD Kab. Kediri Nilai Interval IKM
3,07 3,00
Nilai Interval Konversi IKM 76,75 75,00
3,09 3,02
Nilai Interval Konversi IKM 77,25 75,50
47,25
3,83
95,75
3,52
88,00
2,69
67,25
3,79
94,75
3,36
84,00
2,71
67,75
3,81
95,25
3,19
79,75
2,83
70,75
3,50
87,50
3,24
81,00
Sistem Administrasi, Prosedur Pelayanan Kualitas sistem administrasi, prosedur dan informasi pelayanan RSUD Kota Mojokerto, RSUD Kabupaten Pasuruan, dan Kediri dapat dilihat dari indikator variabel meliputi kecepatan pengurusan administasi rekammedis (status pasien), kejelasan jaminan klaim pengobatan, kejelasan prosedur memperoleh dan menggunakan kartu berobat, kemudahan prosedur berobat, kejelasan prosedur pengaduan pelayanan, tanggapan atas pengaduan pelayanan, dan kondisi pelayanan informasi rumah sakit. RSUD Kota Mojokerto pada indikator kecepatan pengurusan administasi rekammedis (status pasien) RSUD, pasien masyarakat miskin menilai baik yaitu dengan skor rata-rata sebesar 2,94 dalam kinerja baik. Kemudian RSUD Kabupaten Pasuruan pasien mayarakat miskin menilai sangat baik, dengan penilaian rata-rata 3,79 dalam kategori kinerja sangat baik. Selanjutnya RSUD Kabupaten Kediri pada indikator kecepatan pengurusan administasi rekammedis (status pasien) mendapatkan penilaian rata-rata sebesar 3,74 dalam kategori kinerja sangat baik. Kemudian RSUD Kota Mojokerto pada indikator kejelasan jaminan klaim pengobatan pasien masyarakat miskin menilai kinerjanya baik (3,03). Sedangkan RSUD Kabupaten Pasuruan pada indikator kejelasan jaminan klaim pengobatan mendapatkan penilaian kinerja sebesar 3,09 dalam kategori baik. Penilaian kinerja sangat baik pada indikator kejelasan jaminan klaim pengobatan juga terdapat pada RSUD Kabupaten Kediri (3,07). RSUD Kota Mojokerto pada sistem administrasi, prosedur informasi pelayanan rumah sakit terutama pada indikator kejelasan prosedur dan menggunakan kartu berobat mendapatkan nilai skor rata-rata 3,49 (sangat baik). Sedangkan pada RSUD Kabupaten Pasuruan pada indikator ini mendapat
nilai skor rata dalam kualifikasi sangat baik (3,81). Demikian juga dengan RSUD Kabupaten Kediri pada indikator kejelasan prosedur untuk memperoleh dan menggunakan kartu berobat mendapatkan nilai rata-rata sebesar 3,71 dalam kualifikasi sangat baik. Prosedur berobat di RSUD Kota Mojokerto dipandang sangat mudah (3,45), kemudian di RSUD Kabupaten Pasuruan pada indikator prosedur untuk berobat dinilai sangat mudah (3,74). Hampir sama dengan yang terjadi di RSUD Kabupaten Kediri prosedur berobat dinilai oleh pasien masyarakat miskin sangat mudah prosedurnya (3,60). Mengenai kejelasan prosedur pengaduan pelayanan di RSUD Kota Mojokerto dinilai oleh masyarakat miskin jelas (2,69), sedangkan mengenai prosedur pengaduan pelayanan di RSUD Kabupaten Pasuruan dipandang oleh pasien masyarakat miskin sangat jelas (3,52), demikian juga di RSUD Kabupaten Kediri sangat jelas (3,50). Para petugas medis maupun non medis di RSUD Kota Mojokerto dalam menerima pengaduan pelayanan dinilai oleh pasien masyarakat miskin, dinilai baik (2,57). Sedangkan yang terjadi di RSUD Kabupaten Pasuruan daya tanggap para petugas pelayanan sangat baik (3,31), demikian pula daya tanggap para petugas pelayanan di RSUD Kabupaten Kediri sangat baik (3,33). Kondisi pelayanan informasi di RSUD Kota Mojokerto dinilai masih kurang baik (2,43), seperti papan pengumuman masih kurang jelas dan kurang informatif, kondisi pengeras suara masih kurang baik dan suara pemberi informasi sendiri kurang jelas. Sebaliknya apa yang terjadi di RSUD Kabupaten Pasuruan dan RSUD Kabupaten Kediri, kondisi pelayanan informasi di RSUD kabupaten pasuruan dinilai oleh pasien masyarakat miskin sangat baik (3,60), demikian juga di RSUD Kabupaten Kediri kondisi pelayanan informasinya sangat baik (3,57).
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 267
Tabel 4. Sistem Adminsitrasi, Prosedur, Informasi Pelayanan Rumah Sakit. RSUD Kota Mojokerto No
1
Indikator
Kecepatan pengurusan administrasi rekam medis (status pasien) 2 Kejelasan jaminan klaim pengobatan 3 Kejelasan prosedur memperoleh dan menggunakan kartu berobat 4 Kemudahan prosedur berobat 5 Kejelasan prosedur pengaduan pelayanan 6 Tanggapan atas pengaduan pelayanan 7 Kondisi pelayanan informasi RS Jumlah total skor rata-rata Sumber: data primer diolah
Nilai Interval IKM
RSUD Kab. Kediri Nilai Nilai Interval Interval IKM Konvers i IKM 3,74 94,75
2,94
Nilai Interval Konversi IKM 73,50
3,03
75,75
3,09
77,25
3,07
76,75
3,49
87,25
3,81
95,25
3,71
92,75
3,45 2,69
86,25 67,25
3,74 3,52
93,50 88,00
3,60 3,50
90,00 87,50
2,57
64,25
3,31
82,75
3,33
83,25
2,43 2,94
60,75 73,50
3,60 3,55
90,00 88,75
3,57 3,50
89,25 87,50
Pasien masyarakat miskin menilai sistem administrasi dan prosedur pelayanan kesehatan di RSUD Kota Mojokerto baik (2.94) atau 73,5 pada nilai interval konversi, nilai mutu kinerja variabel pada kondisi baik. Kemudian pelayanan di RSUD Kabupaten Pasuruan pada variabel sistem administrasi, prosedur, dan informasi pelayanan rumah sakit menunjukkan hasil penilaian kumulatif sebesar 3.55 dengan nilai kondisi sangat baik. Demikian pula dengan pelayanan sistim adminsitrasi, prosedur dan informasi pelayanan RSUD Kabupaten Kediri menunjukkan nilai mutu kinerja yang sangat baik dengan jumlah total skor rata sebesar 3,50. Dengan demikian dari sisi sistem administrasi, prosedur dan informasi pelayanan RSUD Kota Mojokerto dinilai oleh pasien masyarakat miskin kualitas pelayanannya mendapatkan nilai interval IKM dalam sebesar 2,94 atau nilai interval konversi IKM sebesar 73,50 dengan mutu pelayanannya baik. Kemudian RSUD Kabupaten Pasuruan kualitas pelayanannya mendapatkan nilai interval IKM sebesar 3,55 atau interval konversi IKM sebesar 88,75 dengan mutu pelayanannya sangat baik. Demikian pula kualitas pelayanan RSUD Kabupaten Kediri kualitas pelayanannya dari sisi sistem administrasi, prosedur dan informasi pelayanan mendapatkan nilai interval IKM sebesar 3,50 atau interval konversi IKM sebesar 87,50 dengan mutu pelayanannya sangat baik. 3.
RSUD Kab.Pasuruan Nilai Nilai Interval Interval IKM Konversi IKM 3,79 94,75
SDM Aparatur RSUD. Kualitas pelayanan dari sisi kemampuan SDM aparatur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri dapat dilihat dari berbagai indikator berikut ini. Pada indikator kepastian keberadaan petugas
yang melayani di RUSD Kota Mojokerto dinilai baik (2,71). Penilaian pasien terhadap kepastian keberadaan petugas RSUD Kabupaten Pasuruan sangat baik (3,81), demikian pula di RSUD Kabupaten Kediri sangat baik (3,86). Kedisiplinan petugas di RSUD Kota Mojokerto dalam memberikan pelayanan dinilai oleh masyaraklat miskin yang menerima pelayanan dinilai baik (2,77). Sedangkan penilaian kedisplinan petugas dalam memberikan pelayanan di RSUD Kabupaten Pasuruan sangat baik (3,71), demikian pula tingkat kedisiplinan para petugas di RSUD Kabupaten Kediri dinilainya sangat baik (3,83).Mengenai rasa tanggungjawab petugas RSUD Kota Mojokerto dalam memberikan pelayanannya dinilai baik(2,97). Penilaian rasa tanggungjawa petugas di RSUD Kabupaten Pasuruan sangat baik (3,79), demikian pula petugas di RSUD Kabupaten Kediri dinilai mempunyai rasa tanggungjawab yang sangat baik (3,88). Di RSUD Kota Mojokerto, petugas dalam memberikan pelayanan dipandang kemampuannya baik (2,94), sedangkan petugas di RSUD Kabupaten Pasuruan jauh lebih baik kemampuannya, yaitu dipandang sangat mampu dalam mengatasi persoalan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing (3,60). Demikian pula para petugas di RSUD Kabupaten dinilai sangat mampu dalam menjalankan tugasnya (3,88). Mengenai kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan, petugas RSUD Kota Mojokerto dalam memberikan pelayanan dinilai cepat (2,71), sedangkan petugas RSUD Kabupaten Pasuruan dalam memberikan pelayanan dinilai oleh pasien sangat cepat atau responsif (3,36) demikian pula dengan petugas RSUD Kabupaten Kediri dalam memberikan pelayanan sangat cepat (3,79).
268 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Tabel 5. SDM Aparatur Pelayanan.
No
1
Indikator
Kepastian keberadaan petugas yang melayani 2 Kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan 3 Tanggungjawab petugas dalam memberikan pelayanan 4 Kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan 5 Kecepatan (respon) petugas dalam memberikan pelayanan 6 Keadilan untuk mendapatkan pelayanan 7 Kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan 8 Kejelasan penyampaian informasi berkaitan dengan jenis penyakit pasien oleh petugas 9 Keamanan (resiko kesalahan praktek) pelayanan 10 Kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan 11 Kepedulian (empati) petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien Jumlah total skor rata-rata Sumber: data primer diolah.
RSUD Kota Mojokerto Nilai Nilai Interval Interval IKM Konversi IKM 2,71 67,75
RSUD Kab. Pasuruan Nilai Nilai Interval Interval IKM Konversi IKM 3,81 95,25
RSUD Kab. Kediri Nilai Nilai Interval Interval IKM Konversi IKM 3,86 96,50
2,77
69,25
3,71
92,75
3,83
95,75
2,97
74,25
3,79
94,75
3,88
97,00
2,94
73,50
3,60
90,00
3,88
97,00
2,71
67,75
3,36
84,00
3,79
94,75
2,69
67,25
3,52
88,00
3,93
98,25
3,02
75,50
3,64
91,00
3,86
96,50
2,63
65,75
3,52
88,00
3,81
95,25
3,45
86,25
3,64
91,00
3,95
98,75
3,03
75,75
3,79
94,75
3,86
96,50
2,67
66,75
3,60
90,00
3,88
97,00
2,87
71,75
3,64
91,00
3,87
96,75
Kemudian pasien di RTSUD Kota Mojokerto merasakan memperoleh keadilan dari petugas dalam mendapatkan pelayanan (2,69). Demikian pula pasien yang mendapatkan pelayanan di RSUD Kabupaten Pasuruan menilai para petugas medis maupun medis dalam memberikan pelayanan dinilai sangat adil (3,52). Tidak berbeda dengan para petugas di RSUD Kabupaten Kediri dalam memberikan pelayanan dinilai sangat adil, tidak memihak siapapun (3,93). Petugas RSUD Kota Mojokerto dalam memberikan pelayanan dipandang oleh pasien masyarakat miskin sopan dan ramah (3,02). Kemudian petugas RSUD Kabupaten Pasuruan dalam memberikan pelayanan dinilai sangat sopan dan ramah (3,64), demikian pula petugas yang ada di RSUD Kabupaten Kediri sangat sopan dan ramah dalam memberikan pelayanan (3,86). Petugas RSUD Kota Mojokerto dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan jenis penyakit yang diderita oleh pasien dinilai jelas dan dapat dimengerti oleh pasiennya (2,63), demikian juga dengan petugas pelayanan Rumah Sakit di Kabupaten Pasuruan sangat jelas dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan jenis penyakit yang dideranya (3,52). Hampir relatif sama dengan petugas pelayanan RSUD Kabupaten Kediri dalam menyampaikan informasi dipandangan
sangat jelas (3,81). Selanjutnya mengenai keamanan (resiko kesalahan praktek) pelayanan oleh petugas medis di tiga Rumah Sakit Daerah, baik RSUD Kota Mojokerto, RSUD Kabupaten Pasuruan, dan RSUD Kabupaten Kediri dinilai sangat aman, yang artinya selama ini di tiga rumah sakit tersebut tidak terjadi kesalahan praktek. Misalnya RSUD Kota Mojokerto dalam penilaian pasien sangat aman dengan memperoleh skor rata-rata sebesar 3,45 dalam kategori sangat aman, demikian pula dengan penilaian terhadap RSUD Kabupaten Pasuruan dalam kategori sangat aman (3,64), dan penilaian terhadap RSUD Kabupaten Kediri sebesar 3,95 dalam kategori sangat aman. Dari sisi kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan dinilai oleh pasien masyarakat miskin bersungguh-sungguh seperti di RSUD Kota Mojokerto petugas bersungguh-sungguh (3,03), sedangkan di RSUD Kabupaten Pasuruan dalam memberikan pelayanan dinilai sangat bersungguh-sungguh (3,79), demikian pula penilaian terhadap petugas di RSUD Kabupaten Kediri dalam memberikan pelayanan sangat bersungguh-sungguh (3,86). Selain petugas rumah sakit baik medis maupun non medis dalam memberikan pelayanan dinilai bersungguh-sungguh, demikian juga di RSUD Kota Mojokerto dinilai oleh pasien para petugas mempunyai kepedulian (empati) terhadap pasien
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 269
(2,67), sedangkan para petugas di RSUD Kabupaten Pasuruan dinilai sangat perduli (3,60), demikian juga di RSUD Kabupaten Kediri dinilainya sangat perduli terhadap para pasien (3,88). Kualitas pelayanan RSUD Kota Mojokerto dari sisi kualitas SDM aparatur pelayanan memiliki jumlah total rata-rata nilai interval IKM sebesar 2,87 atau 71,75 pada nilai interval konversi IKM dengan nilai mutu kinerja berada pada kondisi Baik. Kemudian pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Pasuruan jumlah total nilai interval IKM sebesar 3.64 atau pada nilai interval konversi IKM sebesar 91,0 dengan nilai mutu kinerja sangat baik. Demikian juga kualitas SDM aparatur pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Kediri mempunyai nilai interval IKM sebesar 3,87 pada nilai interval konvensi IKM sebesar 96,75 dengan mutu kinerja sangat baik. Hasil Analisa Celah (Gap Analysis) dan Alternatif Penyelesaian Masalah Kualitas Pelayanan Kesehatan Hasil analisa celah (gap analysis) kondisi kualitas pelayanan kesehatan maskin pada RSU daerah penelitian, diketahui dari hasil perbandingan perbedaan latar belakang alasan penilaian atas berbagai kondisi kasuistik kualitas pelaksanaan pelayanan kesehatan antara pasien maskin dengan petugas/pejabat RSU pada daerah penelitian, meliputi indikator: Kondisi kebijakan/program pelayanan kesehatan Maskin; Prasarana sarana pelayanan kesehatan; Sistem dan Prosedur administrasi, informasi pelayanan kesehatan; dan Kualitas SDM Petugas pelayanan kesehatan RSU. Dari hasil analisa perbedaan penilaian berbagai indikator, maka celah persoalan akan diberikan alternatif pilihan penyelesaian masalah, yang dapat diketahui sebagai berikut: 1.
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Kebijakan/Program Pelayanan Kesehatan. Bahwa kebijakan pelayanan kesehatan Maskin merupakan kebijakan yang dilakukan secara nasional yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, daerah kota/kabupaten. Program pelayanan kesehatan Maskin, diberlakukan bagi masyarakat miskin yang telah masuk kuota data based dan menjadi tanggungan pemerintah pusat melalui program Jamkesmas tahun 2008. Sedangkan program pelayanan kesehatan Maskin non kuota (tidak masuk dalam data based) dilaksanakan melalui program jamkesda dengan mekanisme SKM (Surat Keterangan Miskin). Kebijakan pelayanan kesehatan Maskin melalui program Jamkesmasda telah menuai persoalan, yaitu dikarenakan tiadanya batasan aturan kuota peserta program jamkesmasda. Sehingga menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi overload dan berpengaruh pada kinerja pelayanan kesehatan.
Hal lain juga diketahui adanya ketidak jelasan batasan berlakunya kepesertaan Jamkesmasda, meskipun terjadi perubahan perbaikan status ekonomi peserta jamkesmasda. Ketidak jelasan status perubahan perbaikan ekonomi pasien jamkesmasda, sebagai akibat terjadinya problem koordinasi pengawasan ditingkat bawah yang berhubungan langsung dengan peserta jamkesmasda. Overload pasien jamkesmasda diberbagai RSU, juga disebabkan kesulitan dalam melakukan koordinasi pejabat setempat terkait asal pasien jamkesda pengguna SKM maupun pasien status T4 (tempat tinggal tidak tetap). Pengaruh kinerja pelayanan kesehatan Maskin juga dirasakan, semenjak Pemprov Jatim pada bulan Pebruari 2012 menerbitkan Surat Edaran Gubernur Jatim No. 440/4977/03/2012, telah meninjau ulang pemberlakuan SPM. Dengan demikian maka penggunaan SPM (Surat Pernyataan Miskin) sudah tidak berlaku lagi mulai 1 September 2012. Selanjutnya Pemprov Jatim memutuskan anggaran pasien SKM asal Kabupaten/Kota menjadi beban Pemerintah Daerah masing-masing. Perubahan kebijakan Pemprop. Jatim menghapus bantuan anggaran pasien Maskin RSU pengguna SKM, tidak merubah tujuan sasaran program pelayanan kesehatan masyarakat miskin diberbagai daerah. Antara periode bulan Mei hingga September 2012, dukungan sasaran program masih diberikan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten kepada pasien maskin non kuota dengan mekanisme rekomendasi SKM. Hal yang menjadi persoalan sasaran program adalah tidak atau belum diaturnya perubahan hak pengobatan atas perbaikan status ekonomi peserta program jamkesmasda. Hingga saat ini belum ada petunjuk aturan yang secara jelas meninjau sasaran program terkait status perubahan peserta Jamkesmasda. Hingga saat ini, anggaran program Jamkesmasda dijamin pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Jaminan biaya diberikan dengan tidak melihat jenis status penyakit, tindakan medis maupun prasarana – sarana medis yang digunakan dalam melayani pengobatan pasien peserta jamkesmas dan jamkesda. Akan tetapi banyaknya jumlah pasien maskin SKM disertai ketidak jelasan batasan jaminan anggaran peserta program menimbulkan pembengkakan anggaran. Sehingga program sulit diprediksi ketepatan besaran anggaran programnya. Pembengkakan anggaran biaya pasien program jamkesmasda dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang dibiayai dari dana sharing Pemprov Jatim, telah menyebabkan habisnya anggaran dan tertunggaknya pembayaran dana sharing karena melebih kesepakatan kuota. Sehingga menimbulkan akibat lanjutan yaitu ditolaknya pasien Jamkesda berbagai daerah yang berobat di RSU provinsi Jatim. Sebenarnya persoalan sharing anggaran jamkesda pada kenyataannya lebih besar ditanggung
270 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dibanding Pemerintah Provinsi. Masih banyak sharing anggaran selain obat yang belum diperhitungkan, termasuk biaya pengganti jasa dokter maupun jasa penggunaan peralatan medis. Misalnya pasien jamkesda yang dirujuk ke rumah sakit propinsi ingin tetap dirawat di RSU Pemkab/Pemkot. Semua tindakan medis tetap ditangani RSU daerah setempat, anggarannya juga tetap menjadi tanggungan Pemkab/Pemkot. Sedangkan dana dari propinsi tidak keluar, padahal seringkali dikatakan anggarannya nanti dibayar oleh pemerintah propinsi. Pada kenyataannya hal tersebut tidak seperti opini yang berkembang, daerah tetap yang menanggung biayanya. Padahal pihak RSU Kabupaten/Kota harus menerima pasien tersebut dan tidak boleh menolak pasien. Terjadinya persoalan pembengkakan anggaran peserta program Jamkesda, disamping karena tambahan kuota pasien Jamkesda pengguna SKM diluar kesepakatan kuota dari pemerintah propinsi, juga disebabkan: penggunaan artikel obatobatan diluar ketentuan karena status penyakit pasien. Kondisi tersebut akan mengurangi pagu anggaran yang dapat dipergunakan pihak RSU sesuai dengan ketentuan yang ditelah ditetapkan pemerintah daerah. Dengan demikian pihak rumah sakit harus pandai mengelola klaim (Jamkesmas/Jamkesda), melakukan tawar menawar sesuai dengan tarif paket kesepakatan sesuai dengan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan). Melalui kecermatan dokter dalam melakukan diagnosa status penyakit pasien, dapat menentukan efisiensi jumlah artikel obat yang dipergunakan mengobati pasien sesuai dengan ketentuan paket tarif pengobatan status penyakit pasien. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi kebijakan/program pelayanan kesehatan maskin di RSU pada daerah penelitian, adalah: a. Menetapkan batasan aturan berlakunya kepesertaan Jamkesmasda dengan melakukan pininjauan lapangan atas perubahan perbaikan status ekonomi peserta jamkesmasda. b. Mengefektifkan tugas koordinasi pengawasan ditingkat bawah yang berhubungan langsung dengan peserta jamkesmasda, dengan melibatkan instansi terkait program jamkesmasda dan lembaga independen. Dengan demikian program akan tepat sasaran, dan diterima oleh orang yang benar – benar berhak menerimanya. c. Meninjau kembali kebijakan gubernur melalui Surat Edaran Gubernur Jatim No. 440/4977/03/2012, tentang penghapusan penggunaan SKM karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan prinsip didirikannya RSU milik pemerintah diseluruh tingkatan pemerintah tidak diperbolehkan menolak pasien, utamanya pasien Maskin yang
d.
2.
seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah disemua tingkatan. Diperlukannya konsistensi komitmen kerjasama antar lembaga – antar pejabat disemua tingkatan pemerintah berkenaan tanggung jawab pelaksanaan program jamkesmasda, yang lebih mengedepankan nilaian kebersamaan dan kemanusiaan dalam melindungi masyarakat miskin yang membutuhkan pertolongan nasib kesehatannya. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antar lembaga – antar tingkat pemerintahan dalam pelaksanaan program jamkesmasda, yaitu: 1) Merumuskan dan mengawasi penggunaan sharing anggaran program jamkesmasda diberbagai RSU milik pemerintah. 2) Merumuskan komponen sharing anggaran program jamkesmasda, meliputi: obatan – obatan, jasa dokter maupun jasa penggunaan peralatan medis. 3) Mengendalikan dan mengawasi pelayanan kesehatan Maskin yang menggunaan fasilitas SKM. Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Prasarana sarana & Lingkungan Rumah Sakit a. Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Jangkauan Lokasi Rumah Sakit Kondisi penilaian terhadap prasarana sarana jangkauan transportasi pelayanan kesehatan diberbagai rumah sakit pada daerah penelitian, pada umumnya antara pejabat atau petugas rumah sakit maupun pasien/keluarga pasien memberikan penilaian terhadap akses jangkauan menuju lokasi rumah sakit memiliki kemudahan jangkauan. Kemudahan akses menuju lokasi rumah sakit pada kondisi siang hari dikarenakan transportasi menuju rumah sakit relatif dapat diakses melalui berbagai pilihan moda transportasi. Akan tetapi pada kondisi malam hari, kebanyakan mengalami kesulitan pilihan transportasi menuju lokasi rumah sakit karena keterbatasan alat transportasi yang dipakai menuju lokasi rumah sakit. Pada pada daerah penelitian, ditemukan persoalan pasien maskin yang berlokasi jauh dari RSUD, diantaranya berdomisili diperbatasan dengan daerah lain, maupun didaerah yang sulit dijangkau karena tidak ada kendaraan umum, beban biaya berobat dan cukup menghambat waktu berobat. Kondisi ini dialami pasien dari Purwosari, Pasuruan dan Probolingo minta dirujuk ke RS Saiful Anwar Malang atau ke RSU Kota Pasuruan atau RSUD Kota Probolinggo. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan jangkauan lokasi RSUD pada daerah
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 271
penelitian, adalah: 1). Untuk pasien berdomisili diperbatasan dengan daerah lain yang mengalami kesulitan menuju lokasi di RSUD Pasuruan ataupun Mojokerto maupun Kediri. Perlu dilakukan adanya koordinasi dengan Pemprov. Jatim dalam kaitan dengan program jamkesmasda agar pasien dari daerah setempat bisa berobat ke RSU terdekat meskipun beda wilayah pemerintahannya atau lintas sektoral. 2). Disamping itu perlu dilakukan koordinasi pejabat terkait antara daerah, maupun pimpinan daerah untuk melakukan MoU (Memorandum Of Understanding) atau kerjasama saling pengertian antar daerah untuk mengatasi hambatan persoalan tersebut. Kemudian ditindak lanjuti ditingkat bawah antar instansi terkait antar daerah. b.
Analisa Celah dan Alternatif Penyelesaian Masalah Lingkungan Rumah Sakit Kondisi suasana lingkungan rumah sakit daerah penelitian mendapat penilian beragam. Untuk lingkungan RSUD Pasuruan dinilai: cukup nyaman banyak pepohonan hijau, lahan dan bangunan RSUD luas, tempat parkir luas. Akan tetapi meskipun kondisi bangunan rumah sakit cukup baru, tapi masih ada ruangan Irna yang kotor, kondisi tembok terembes air, kamar mandi dan WC rusak pintunya. Kondisi ini dikarenakan keterbatasan serta minimnya anggaran yang dapat dipergunakan perbaikan dan pemeliharaan bangunan fisik rumah sakit. Pada kondisi lingkungan RSUD Mojokerto, dinilai sebagian masih ada ruangan taman hijau didalam rumah sakit. Akan tetapi lingkungan bangunan rumah sakit dinilai sempit, terbatasnya ruang tunggu, ruang tunggu ada yang bercampur dengan tempat parkir, Kondisi lantai kotor berdebu sehingga suasananya tidak nyaman. Pada RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto, kondisi sarana bangunannya sudah tidak layak dan dalam kondisi memprihatinkan, hal ini dikawatirkan dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Kondisi suasana lingkungan RSUD Kediri dinilai: masih terdapat pohon rindang di lingkungn rumah sakit, kondisi bangunan dan lahan rumah sakit kurang luas, lahan parkir sempit, lingkungan kotor dan banyak asongan, dan pasien over load/berjubel. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi lingkugan RSU pada daerah penelitian, adalah: 1. Diperlukan penanganan lebih serius pada ketiga RSU daerah penelitian akan penataan infrastruktur yang ada secara berkelanjutan, berkala dan konsisten, meliputi: perencanaan tata ruang dan infrastruktur, pembangunan infrastruktur, maupun
pemeliharaan infrastruktur rumah sakit. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa semakin tahun jumlah pasien akan semakin bertambah senyampang dengan bertambahnya kebutuhan bangunan dengan tata ruangannya. 2. Diperluakan jaminan ketersediaan anggaran dengan seperangkat mekanisme pengelolaan dan mekanisme kontrol yang baik terhadap: penataan infrastruktur yang ada secara berkelanjutan, berkala dan konsisten, meliputi: perencanaan tata ruang dan infrastruktur, pembangunan infrastruktur, maupun pemeliharaan infrastruktur rumah sakit. 3. Ketiga rumah sakit pada daerah penelitian, diperlukan sosialisasi, ketegasan humanis dan kosistensi pelaksanaan peraturan terkait kenyamanan rumah sakit yang mereprentasikan komitmennya dalam menjaga dan melayani kesehatan pasien. c.
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Sarana Medik & Penunjang Rumah Sakit Kelengkapan sarana medik dan penunjang di RSUD daerah penelitian memiliki keragaman kondisi. Pada RSUD Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri, telah berstandar rumah sakit tipe B. Karena berkembangnya jumlah pasien maupun komplesiktas status penyakit pasien, maka kondisi kelengkapan sarana medik dan penunjang yang dimiliki kedua rumah sakit mengalami penyesuaian -dan sebagaian mengalami ketertinggalan. Pada RSUD Bangil– Kabupaten Pasuruan, dengan dukungan fasisilitas bangunan yang masih baru, akan tetapi untuk dukungan fasilitas sarana penangan penyakit jantung masih minim dan belum ada dokter spesialis penyakit jantung. Kondisi ketiadaan dokter spesialis penyakit jantung dan minimnya fasilitas peralatan medis jantung, pernah dialami pasien yang mengalami gangguan jantung serta paru-paru, dengan hasil pelayanan medis yang tidak bagus bagi penderita. Kasus saran dokter untuk opname, yang telah dilakukan pasien malah manjadikan sakit pasien bertambah parah, karena alasan kurang lengkap peralatan medis dari pihak rumah sakit. Sedangkan masalah tersebut tidak sejak dari awal tidak dilakukan rujukan kerumah sakit propinsi yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap. Kondisi minim dan usia tua peralatan medis, dirasakan pasien maskin juga terjadi pada RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto yang standart rumah sakit tipe C+, dan juga pada RSUD Kabupaten Kediri yang berstandart rumah sakit tipe B. Kedua rumah sakit tersebut memiliki fasilitas sarana medik dan penunjang yang relatif belum diremajakan, disertai peningkatan perkembangan jumlah
272 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
pasien dan kompleksitas penyakit status pasien. Sedangkan pengembangan pembangunan RSUD di wilayah Surodinawan yang dilakukan Pemerintah Kota Mojokerto, hingga saat ini peralatan medis yang ada belum dapat dipergunakan untuk melayani keperluan pelayanan kesehatan masyarakat dikarenakan kondisinya belum operasional. Kesamaan persoalan yang alami antara RSUD Kabupaten Mojokerto dengan RSUD Kabupaten Kediri, terkait sarana medis dan penunjang: kurangnya tenaga dokter spesialis, tidak lengkap dan kurangnya jumlah peralatan medis laboratorium sehingga pelayanan laboratorium memerlukan antrean lama, keterbatasan jumlah ruangan loket pendaftaran; masih menggunakan jasa laboratorium dari luar RSUD. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi Sarana Medik Dan Penunjang RSUD pada daerah penelitian, adalah: 1. Diperlukan penanganan lebih serius terhadap rencana penataan sarana medis dan penunjang rumah sakit secara berkelanjutan, berkala sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dilapangan, meliputi: penambahan dokter spesialis sesuai perkembangan kebutuhan; penambahan dan peremajaan sarana kelengkapan medis maupun penunjang rumah sakit sesuai dengan perkembangan teknologi dan status penyakit pasien; jaminan ketersediaan anggaran terhadap rencana penataan sarana medis dan penunjang rumah sakit secara berkelanjutan. 2. Terhadap penentuan tindakan medis terhadap status pasien. Memenuhi aturan prosedur, melakukan: jejak rekam status penyakit pasien sejak dini, menentukan hasil diagnosa penyakit pasien, dan menentukan tindakan medis untuk ditangani RSUD yang bersangkutan atau melakukan tindakan rujukan kerumah sakit yang lebih tinggi tingkatannya. Bilamana fasilitas sarana medis dan penunjang RSU tidak memadai maka segera menentukan tindakan yang tepat untuk merujuk kerumah sakit propinsi yang memiliki fasilitas sarana medis dan penunjang yang lebih lengkap. 3. Segera melakukan sidang komite etik untuk mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan tindakan medis status penyakit pasien sesuai dengan peraturan, agar terjaga standar kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit dengan mengedepankan prinsip keselamatan pasien. d.
Analisa Celah dan Alternatif Penyelesaian Masalah Sistem Prosedur, Administrasi & Informasi Rumah Sakit 1) Analisa Celah dan Alternatif Penyelesaian Masalah Prosedur Administrasi Pelayanan Berobat
Penerapan prosedur administrasi pelayanan berobat di RSUD semua daerah penelitian menerapkan aturan persyaratan bagi pasien Jamkesmada, dengan aturan yang sama, yaitu: melampirkan foto copy KTP+KK, Surat rujukan dokter puskesma, foto copy kartu jamkesmas/jamkesda, Surat Rekomendasi pejabat terkait, persyaratan administrasi harus lengkap 2X24 jam. Pada RSU di daerah penelitian, secara keseluruhan memiliki persoalan yang sama terkait penerapan ketentuan batas waktu persyaratan administrasi berobat menggunakan kartu Jamkesmasda seringkali tidak sesuai kenyataan dilapangan. Ketidak sesuaian dengan kondisi dilapangan tersebut karenakan: terdapat status pasien T4 (tempat tinggal tidak tetap), keberadaan dan masalah koordinasi pejabat pemberi rekomendasi, karena latar keterbatasan kondisi kemampuan pasien terkait ketidak mampuan ekonomi maupun SDM pasien. Terdapat pasien yang tidak mengerti sama sekali pengurusan prosedur administrasi berobat melalui program jamkesda (SKM) dan sama sekali tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk sekedar biaya foto copy, transportasi pengurusan administrasi berobat pada masing-masing instansi terkait: pihak RT/RW, Kantor Desa/Kelurahan, Kecamatan, Dinas kesehatan hingga kerumah sakit. Pemberlakuan surat rekomendasi keterangan dari dinas kesehatan kabupaten untuk rujukan pengguna program jamkesda, ini dapat menjadi tindakan yang kontra produktif, berlebihan dan terlalu berbelit dalam proses birokrasi pelayanannya. Kondisi kontra poduktif dari pemberlakuan rekomendasi dari pejabat Dinkes karena didasarkan pada reasoning alasan bahwa kepala Dinas Kesehatan belum tentu mengenal kondisi ekonomi maupun penyakit pasien. Pemahaman terhadap kondisi ekonomi pasien Maskin program Jamkesda, lebih tepat diketahui RT/RW maupun kepala desa asal domisili pasien Maskin. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi Prosedur Administrasi Pelayanan Berobat di RSUD pada daerah penelitian, adalah: 1. Meniadakan surat rekomendasi keterangan dari dinas kesehatan kabupaten untuk rujukan pengguna program jamkesda adalah berlebihan dan terlalu berbelit dalam proses birokrasinya, karena kondisi yang lebih mengetahui pasien maskin
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 273
adalah RT/RW maupun Kepala Desa asal domisili pasien Maskin.2. Penerapan sanksi hukum kepada semua pihak yang memalsukan SKM. Hal ini dilakukan dengan penerapan surat pernyataan dari pasien yang bersangkutan, maupun pejabat pemberi rekomendasi RT/RW dan pihak pejabat pemerintah desa atau kelurahan, dengan dengan ancaman sanksi hukum bilamana memberi rekomendasi maupun data yang tidak benar (pemalsuan keterangan).3. Memperluas tugas fungsi ferifikator internal maupun independent, menerjunkannya kelapangan untuk mengecek kebenaran data dari pasien pengguna SKM. Kemudian membatalkan semua fasilitas pelayanan medis program Jamkesda kepada pasien yang memberikan keterangan palsu atas SKM yang dimilikinya. 2)
Analisa Celah DAN Alternatif Penyelesaian Masalah Prosedur Klaim dan Batasan Klaim Pelayanan Berobat Pada semua RSU di daerah penelitian, semua persyaratan prosedur klaim berobat pasien Jamkesmasda diperiksa petugas ferifikator internal dan eksternal agar terhindar dari kesalahan. Hasil pemeriksaan petugas ferifikator internal dan eksternal diperlukan untuk mendapatkan pelayanan klaim pembebasan biaya pengobatan pasien peserta Jamkesmasda, dan yang menjadi tanggungan pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah daerah kota/kabupaten. Dari hasil pemeriksaan ferifikator terhadap prosedur klaim berobat pasien peserta jamkesmasda dari ketiga RSUD daerah penelitian terdapat persoalan yang sama, bahwa tidak semua persyaratan prosedur klaim berobat dapat diterapkan disemua pasien maskin seperti halnya yang terjadi pada kasus pasien Maskin yang kondisi ekonominya benar-benar miskin meskipun hanya sekedar untuk biaya transportasi pengobatan atau pasien maskin T4. Pada kondisi pasien T4 kebanyakan tidak memiliki bukti status kependudukan KTP/KK. Sehingga pelaksanaannya terdapat persoalan tanggung jawab koordinasi teknis antara instansi terkait, diantaranya: Dispenduk, dinas kesehatan, dinas sosial dan pihak RSUD di masing daerah penelitian. Sedangkan pembebasan klaim biaya pelayanan berobat pelayanan rumah sakit untuk pasien peserta program
Jamkesmasda berdasarkan peraturan yang ada, meliputi: pembebasan biaya pendaftaran pasien, penggunaan sarana maupun prasarana berupa alat–alat medis rumah sakit hingga biaya obat, tidaklah seratus persen benar. Biaya pengobatan dikenakan pada pasien peserta Jamkesmasda, Jampersal bilamana ketersediaan obat tidak ada di rumah sakit. Pembebasan keseluruhan biaya berobat untuk pasien Jamkesmada, kenyataannya tidak secara keseluruhan benar dan terdapat batasan ketentuan. Jenis pelayanan obat yang diberikan pada pasien Maskin melalui program Jamkesmas, telah ditentukan didalam Pedoman Pelaksanaan Menteri Kesehatan RI (Manlak) tahun 2010. Pada Manlak tahun 2010 telah ditentukan artikel obatobatan tertentu yang disediakan untuk jenis kasus penyakit yang terdapat didalam ketentuan Manlak. Dengan demikian terdapat kemungkinan pada kasus-kasus penyakit tertentu, tidak secara keseluruhan pada jenis obat tertentu dapat dipenuhi berdasarkan ketentuan yang ada didalam Manlak tahun 2010. Diberlakukan batasan penggunaan artikel obat-obatan untuk pasien Jamkesmas terkait adanya ketentuan tindakan pengobatan atas status penyakit pasien Maskin. Kondisi tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan, bahwa tindakan pengobatan pasien diatur dalam satu standar kelayakan pengobatan penyakit yang telah disetujui dan diperkenankan. Dengan demikian, tindakan pelayanan kesehatan yang melebihi standar paket pengobatan yang diperkenankan akan dikenakan biaya. Pada sisi lain, kenyataan pelaksanaan batasan klaim berobat adalah belum dipenuhinya hak klaim berobat dari pasien maskin peserta jamkesmasda. Belum dipenuhinya hak klaim berobat dari pasien maskin diantaranya dikarenakan: tidak semua peralatan medis (uji laboratorium tertentu) tersedia di rumah sakit, batasan aturan penggunaan artikel obat tertentu diluar ketentuan jaminan klaim, keterbatasan anggaran RSUD. Kesemua kondisi tersebut menjadikan klaim pengobatan pasien maskin di RSUD di semua daerah penelitian tidak semuanya dijamin ada. Dengan demikian pasien maskin tetap mengeluarkan biaya pengobatan, misalnya: biaya uji laboratorium diluar rumah sakit, membeli obat resep dokter yang tidak ada/tidak disediakan rumah sakit.
274 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi Prosedur Klaim dan Batasan Klaim Pelayanan Berobat di RSUD pada daerah penelitian, adalah: 1.Bagi pasien Maskin SKM atau Maskin T4 yang sama sekali tidak memiliki kemampuan SDM, Sosial ekonomi, diberlakukan penyederhanaan atau meringankan persyaratan prosedur teknis antara instansi terkait, diantaranya: Dispenduk, dinas kesehatan, dinas sosial dan pihak RSUD. Oleh karenanya diperlukan koordinasi teknis diantara instansi terkait, sehubungan dengan pelaksanaan program jamkesmasda di masing-masing daerah. 2. Dilakukan peninjauan kembali pemberlakuan Pedoman Pelaksanaan Menteri Kesehatan RI (Manlak) atas pembatasan artikel obatobatan tertentu yang disediakan untuk pengobatan kasus status penyakit pasien peserta Jamkesmasda. Pertimbangnya, bahwa endemi penyakit dapat menyerang siapa saja, tanpa melihat latar belakang status sosial penderita.3. Penggunaan sarana pengobatan maupun artikel obatobatan untuk pasien Jamkesmas harus didasarkan pada pertimbangan tindakan pengobatan atas status penyakit pasien secara maksimum, tanpa melihat batasan latar belakang status pasien maskin. 4.Diperlukan jaminan pembebasan biaya pengobatan bagi pasien Jamkesmasda, meliputi: artikel obat-obatan, maupun penggunaan sarana pengobatan medis lainnya. 3)
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Informasi & Komunikasi Pelayanan Berobat Kondisi sarana informasi dan komunikasi yang digunakan ketiga RSUD daerah penelitian, pada umumnya memiliki kesamaan, yaitu: menggunakan pengeras suara, board/papan informasi, brosur, petugas informasi. Penempatan sarana informasi dan komunikasi ditempatkan diberbagai ruangan. Akan tetapi terdapat berpedaan kondisi fisik sarana informasi dan komunikasi pada ketiga RSUD daerah penelitian. Pada RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto, kondisi fisiknya telah banyak yang usang, dan penataannya tidak terencana baik. Pada RSUD Kabupaten Kediri dan Kabupaten Pasuruan, kondisi sarana informasi dan komunikasi terencana lebih baik dibandingkan dengan RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto. Sarana informasi dan
komunikasi, terdapat diberbagai ruangan maupun tempat strategis di area rumah sakit, penempatan petugas humas informasi pelayanan kesehatan di front office. Dengan penyebaran sarana informasi ini, dimaksudkan agar pengunjung rumah sakit akan dapat memahami dan memanfaatkan pesan informasi pelayanan kesehatan rumah sakit. Pemanfaatan penyediaan sarana fisik informasi yang dilakukan pengguna jasa pelayanan kesehatan di ketiga RSUD, maka untuk memahami pesan informasi masih diperlukan penjelasan petugas pelayanan informasi. Hal ini menjadi persoalan, karena penjelasan informasi pelayanan kesehatan diperlukan tambahan sejumlah personal petugas dengan segenap kemampuan SDM yang dimilikinya. Kondisi kebutuhan penyediaan personal petugas bagian humas/informasi dalam memberikan informasi pelayanan kesehatan, dihadapkan pada keterbatasan penyediaan jumlah personal, keterbatasan kualitas SDM petugas, maupun terbatasnya kemampuan anggaran yang saat ini dialami pihak RSUD pada daerah penelitian. Pesan informasi yang disampaikan dan tertera pada sarana informasi dan komunikasi yang digunakan ketiga RSUD daerah penelitian, diantaranya berisikan: informasi prosedur tata cara berobat di RSUD, Informasi citizen charter (aturan hak dan kuwajiban) bagi petugas rumah sakit dan pasien yang berobat, informasi tanggungan biaya perawatan pasien maskin oleh pemerintah daerah, informasi layanan komplain batas waktu pelayanan kesehatan. Pelaksanaan citizen charter, diantaranya terkait aturan batas waktu pelayanan kesehatan tidak semuanya dapat dilaksanakan. Seperti kasus pengambilan hasil laboratorium, yang semestinya dijanjikan hanya membutuhkan waktu 30 menit, pada kenyataannya memerlukan atrean sampai 4 jam. Pembebasan biaya pengobatan pada pasien maskin, pada kenyataannya tidak semua obat-obatan dan sarana laboratorium tersedia dirumah sakit sehingga harus dibayar oleh pasien masyarakt miskin. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi informasi dan komunikasi pelayanan berobat di RSUD pada daerah penelitian, adalah: 1).Merencanakan tata ruang sarana informasi, jenis kebutuhan sarana
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 275
informasi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan rumah sakit. 2).Adanya dukungan rencana penyediaan anggaran kebutuhan sarana informasi, serta pemeliharaan sarana informasi rumah sakit.3) Merencanakan, menempatkan sejumlah petugas, memberikan pelatihan petugas terkait fungsi tugas kehumasan yang disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit. 4). Terkait persoalan tidak terlaksananya citizen charter pelayanan kesehatan. Mencari sumber persoalan mendasar dan mencari alternatif pemecahan masalah dari tidak terlaksananya citizen charter (aturan hak dan kuwajiban) Maskin dalam mendapat pelayanan kesehatan rumah sakit. 5). Pemecahan persoalan mendasar tidak terlaksananya citizen charter pelayanan kesehatan maskin dirumah sakit, terkait masalah dengan: a.Terjaminnya pembebasan keselurahan biaya pengobatan pasien Maskin Peserta Jamkesmasda, melalui ketersediaan jaminan anggaran jamkesmasda dari pemerintah pusat, propinsi maupun daerah kota/kabupaten. b. Tersedianya kelengkapan sarana medis dan penunjang rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan rumah sakit. c.Penataan kuantitas dan kualitas persoanal medis non medis rumah sakit untuk menjaga kualitas pelayanan rumah sakit, sesuai yang dijanjikan pada citizen charter pelayanan kesehatan rumah sakit. d.Komitmen kuat dari elit pejabat rumah sakit maupun para petugas lapangan baik medis maupun non medis dalam melaksanakan citizen charter pelayanan kesehatan maskin dirumah sakit. 3.
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Kualitas SDM Rumah Sakit a. Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Rasio Tenaga Medis/ Non Medis Pada saat ini rasio tenaga medis maupun non medis, secara normatif berdasarkan standar persyaratan tipe rumah sakit masing-masing RSUD di daerah penelitian, oleh pejabat rumah sakit masing–masing RSUD masih dianggap relatif mengatasi dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat. Kondisi normatif standar persyaratan suatu tipe rumah sakit ini, dalam perkembangannya dihadapkan pada tuntutan perkembangan lingkungan rumah sakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan keinginan pengguna pelayanan kesehatan. Juga status keberadaan RSUD sebagai rumah sakit milik daerah yang memiliki
tanggung jawab kepada pemerintah dan masyarakat daerah. Pada kenyataannya perkembangan jumlah pasien maupun kompleksitas status penyakit pasien yang berobat di RSU dimasing – masing daerah penelitian, pada saat justru memerlukan tambahan jumlah kualifikasi tenaga medis. Adanya kasus diberbagai RSU daerah penelitian, diantaranya: pada kasus RSUD Kabupaten Pasuruan terkait penangan pengobatan pasien yang tidak maksimal karena ketiadaan perlengkapan sarana medis maupun ketiadaan tenaga dokter spesialis jantung atau sesuai dengan status penyakit pasien; banyaknya pasien yang harus dirujuk ke RSU propinsi yang memiliki kualifikasi tenaga medis maupun peralatan medis lebih lengkap. Kondisi persoalan tersebut, menandakan ketidak seimbangnya rasio tenaga medis yang dibutuhkan bila dibandingkan jumlah pasien dengan berbagai status penyakit yang disandang untuk mendapatkan pengobatan yang berkualitas. Kondisi tidak seimbangnya rasio tenaga medis dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di masing–masing RSUD, masih dihadapkan pada banyaknya dokter yang berprofesi ganda diluar tugas resmi di RSUD. Disamping itu keterbatasan anggaran pemerintah propinsi/daerah dalam menyediakan jumlah maupun kualfisikasi tenaga medis, menjadi salah satu hambatan dalam memenuhi kebutuhan tenaga medis dimasing – masing RSUD. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi Rasio Tenaga Medis/ Non Medis di RSUD pada daerah penelitian, adalah: 1.Diperlukan rencana kebutuhan tenaga medis non medis rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dilapangan, meliputi: penambahan tenaga medis non medis, penambahan dokter spesialis sesuai tuntutan perkembangan kebutuhan dan status penyakit pasien RSU dimasing – masing daerah. 2.Ketersediaan jaminan anggaran terhadap penyediaan tenaga medis dan non medis dari pihak pemerintah propinsi, pemerintah daerah kota/kabupaten sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan RSUD dimasing–masing daerah.3. Peninjauan kembali atas peraturan perundang – undangan yang memperbolehkan profesi dokter PNS yang bertugas pada instasi RSUD milik pemerintah, melakukan profesi ganda diluar tugas resmi sebagai dokter RSUD milik pemerintah. 4. Pelarangan dokter PNS melakukan profesi ganda diluar tugas resmi sebagai dokter RSUD, harus disertai aturan sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran. 5.Jaminan kelayakan pemberian reward (imbalan) dalam bentuk: gaji, tunjangan
276 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Sedangkan pelaksanaan diklat SDM rumah sakit yang secara periodik adalah terkait diklat penjenjangan pegawai atau yang selama ini dikenal sebagai diklat prajabatan bagi seorang calon PNS. Relatif minimnya program pelatihan SDM yang dilakukan pihak RSU dimasing daerah, ini terkait dengan keterbatasan anggaran dari pihak RSU maupun dari pemerintah daerah dalam menyediakan anggaran khusus untuk meningkatkan SDM petugas medis non medis RSU dimasing – masing daerah. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi peran komite etik dalam menjaga kualitas SDM RSU pada daerah penelitian, adalah: 1).Diperlukan perluasan keanggotaan dan focus peran komite etik pada persoalan kompetensi kemampuan keilmuan atau akademik SDM tenaga medis non medis, seperti: dokter, perawat, bidan; petugas bagian administrasi, yang secara keseluruhan berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit. 2). Pertemuan komite etik terjadwal waktunya secara rutin dan tidak bersifat kondisional bilamana terjadi kasus tertentu. Oleh karenanya penyelenggaraan kegiatan komite etik diperlukan dukungan anggaran.3).Untuk menjaga tanggung jawab komite etik didalam melaksanakan tugas, maka sifat sukarela keanggotaan komite etik harus disertai dengan ikatan sumpah dan dikenai sanksi, sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.4).Diperlukan rencana dan pelaksanaan program diklat SDM tenaga medis /non medis sesuai dengan perkembangan kebutuhan dimasing-masing RSUD. Penyediaan anggaran program diklat SDM tenaga medis / non medis merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi, daerah kota/kabupaten.
yang layak bagi profesi dokter PNS yang bertugas pada RSUD milik pemerintah daerah. b.
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Program Pelatihan & Peran Komite Etik Untuk menjaga kualitas SDM tenaga medis non medis dimasing – masing RSU di daerah penelitian, dilakukan pelibatkan peran komite etik. Berbeda pada periode sebelum berubahnya peran komite etik, bahwa tugas – tugas komite etik selain masalah SDM tenaga medis non medis, juga meliputi persoalan menejemen rumah sakit. Pada saat ini komite etik lebih difocuskan pada persoalan kemampuan keilmuan atau akademik SDM dokter. Komite etik ini secara periodik melakukan tugas menguji kompetensi kelayakan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan SDM dokter, utamanya menguji kemampuan dokter dalam melakukan tugas operasi bedah pada pasien. Pada sisi lain bahwa disamping SDM dokter, bahwa kompetensi kelayakan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan SDM RSU, semestinya juga meliputi petugas medis non medis, seperti perawat, bidan maupun petugas bagian administrasi. Kesemua petugas medis maupun non medis memiliki peran masing – masing yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi profesi dokter dalam menjaga proses kualitas pelayanan kesehatan pasien RSU di masing – masing daerah. Terbatasnya peran komite etik, terlihat pada kegiatan anggota komite etik dalam melakukan rapat pertemuan. Kegiatan rapat pertemuan komite etik tidak terjadwal secara ketat, bersifat kondisional dan terbatas bilamana ada kasus tertentu dilakukan dokter yang bersifat pelanggaran berat atau fatal. Demikian halnya terkait keanggotaan tim etik dalam melakukan tugasnya lebih bersifat sukarela. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada longgarnya tanggung jawab komite etik didalam melaksanakan tugas peran mereka. Terlebih lagi, bahwa anggota komite didalam melaksanakan tugas perannya tidaklah secara khusus mendapatkan dukungan anggaran. Selain pelibatan peran komite etik dalam menjaga kualitas SDM rumah sakit, belum secara khusus terdapat rencana program pelatihan SDM tenaga medis non medis dari pihak menejemen rumah sakit. Program diklat yang selama ini berlangsung adalah inisiatif pejabat RSU untuk melakukan magang pelatihan bagi tenaga ferifikator internal yang didampingkan dengan tenaga ferifikator eksternal RSU yang telah mendapat pelatihan sebagai petugas ferifikator dari dinas kesehatan.
4.
Analisa Celah Dan Alternatif Penyelesaian Masalah Etik Perilaku & Sanksi Pelanggaran Etik Secara umum sikap dan perilaku petugas telah diatur kedalam kode etik berdasarkan aturan tertulis pada SOP (Standart Operating Procedure). Diketahui bahwa aturan SOP yang mengatur pelaksanaan kode etik merupakan hal teknis normatif internal rumah sakit yang tidak diketahui publik. Kondisi tersebut menjadi tantangan, terkait dengan persoalan transparansi keadilan dalam hal mendapat pelayanan publik yang semestinya. Karena dengan tidak diketahuinya kode etik petugas rumah sakit maka pasien tidak mengetahui kewajiban pelayanan publik yang harus dilakukan petugas rumah sakit terkait pelayanan publik yang semestinya harus diterima pasien. Didalam kode etik yang mengatur etik perilaku petugas, juga tertera sanksi pelanggaran kode etik
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 277
atas sikap perilaku petugas rumah sakit dalam bertugas. Pelaksanaan sanksi pelanggaran atas kode etik yang selama ini terjadi di RSU daerah penelitian ini terkait pelanggaran etik medis, maka dilakukan sidang komite etik atas pelanggaran yang dilakukan petugas medis. Hal teknis seputar sidang komite etik tidak diketahui publik. Menurut penjelasan anggota komite etik, bahwa kondisi persoalan teknis normatif medis sulit dipahami masyarakat awam, disamping itu tidak memiliki kewenangan profesi akademik. Lebih lanjut menurut, bahwa rekomendasi tindakan keras dari komite etik lebih dibatasi bilamana terdapat dokter melakukan pelanggaran kode etik yang bersifat fatal. Adapun alasan pembatasan rekomendasi komite etik hanya pada pelanggaran kode etik yang bersifat fatal, tidak diketahui ada ukuran penjelaskan secara pasti. Hal ini misalnya terkait perilaku petugas yang berkaitan dengan: keramahan, responsivitas, empati maupun keadilan pelayanan yang dilakukan petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien Maskin. Pelanggaran yang dilakukan petugas atas etik pelayanan kepada pasien, tidak digolongkan dalam pelanggaran berat. Namun yang menjadi persoalan, bahwa pelanggaran terkait etik keramahan, responsivitas, empati maupun keadilan pelayanan, dapat saja terjadi berkali – kali dilakukan oleh petugas medis maupun non medis rumah sakit. Ini merupakan persoalan yang tidak dapat dipandang ringan, dan justru kesan yang ditangkap publik adalah buruknya kondisi pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum milik pemerintah dikarenakan sikap buruk ditampilkan petugas rumah sakit, padahal pelayanan kesehatan Maskin telah dibebaskan dari tanggungan biaya pengobatan. Alternatif pemecahan masalah dari celah persoalan kondisi Etik Perilaku dan Sanksi Pelanggaran Etik Perilaku Petugas RSU pada daerah penelitian, adalah: 1).Pihak RSU hendaknya secara transparan menginformasikan kode etik yang mengatur sikap perilaku petugas, pada board atau papan pengumuman yang mudah diketahui publik. Hal ini sebagai bentuk transparansi atas pengawasan publik yang dilakukan terhadap perilaku petugas medis non medis didalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan. 2). Adanya jaminan konsistensi, kepastian pelaksanaan sanksi pelanggaran berat maupun ringan atas kode etik yang selama ini terjadi di RSU. Informasi dilaksanakannya sanksi pelanggaran berat maupun ringan, dapat diketahui pihak menejemen rumah sakit, pihak masyarakat (pasien/keluarga) yang telah dirugikan secara langsung oleh petugas medis – non medis yang bersangkutan. 3). Merumuskan kejelasan ukuran sanksi pelanggaran perilaku petugas medis non medis, yang bersifat berat maupun ringan (sikap keramahan, responsivitas, empati maupun keadilan petugas) dalam memberikan pelayanan kesehatan. 4). Sanksi pelanggaran tidak hanya diberikan kepada petugas medis maupun non medis yang melakukan
pelanggaran berat. Akan tetapi juga diberikan kepada petugas medis-non medis yang telah melakukan pelanggaran ringan yang telah ditentukan melampaui batas kuantitas. SIMPULAN Secara umum pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin pada RSUD Kabupaten Kediri dan RSUD Kabupaten Pasuruan memiliki indek penilaian dengan predikat kondisi kinerjanya “sangat baik”, dengan rincian berikut: Pada RSU Kabupaten Kediri respon Maskin terhadap pelayanan kesehatan secara keseluruhan adalah 3.54 atau 88,50 pada nilai interval konversi, nilai mutu “A” yaitu kinerja pelayanan “sangat baik”; Pada RSU Kabupaten Pasuruan penilaian masyarakat miskiin terhadap pelayanan kesehatan pada RSU Kabupaten Pasuruan secara keseluruhan adalah 3.56 atau 89,00 pada nilai interval konversi, nilai mutu “A” yaitu kinerja pelayanan “sangat baik”. Sedangkan pada RSU Kota Mojokerto penilian masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan secara keseluruhan adalah 2.88 atau 72,00 pada nilai interval konversi, nilai mutu “B” yaitu kinerja pelayanan “baik”. Walaupun penilaian masyarakat miskin terhadap semua pelayanan kesehatan RSUD ke tiga daerah penelitian, yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Kediri dan Kediri pada umumnya berkinerja baik, akan tetapi masih ada kesenjangan (gap) pelayanan. Dari gap (kesenjangan) yang ada di tiga rumah sakit milik pemerintah daerah tersebut telah diambil berbagai pemecahan masalah sebagai kebijakan rumah sakit ke depan, baik menyangkut kebijakan program jamkesda, prasarana-sarana RSUD, sistem dan prosedur administrasi, klaim dan informasi layanan, kondisi SDM RSUD. DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga. 2004. Manajemen Rumah Sakit. Edisi Kedua. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara. Donabedian, A. 1998. The Quality Care. New York: Pragrave. Kotler, Philips. 1995. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Jakarta: Salemba empat. Monier, H.A.S. 2001. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Ratminto dan Winarsih, Atik. 2009. Menejemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
278 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor: KEP25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah Tangkilisan, Hessell Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Trisnantoro, Laksono. 2005. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Widodo, Joko. 2002. Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentraliasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia. Widodo, Samodra. 2001. Evaluasi Pelayanan Sektor Publik. Jakarta: Persada. Yami, Zulian, 2004. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia, Jawa Pos, 30 Juni 2011.
Kualitas Pelayanan Aparatur RSUD Kota Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Kediri Terhadap Masyarakat Miskin - Irtanto | 279
280 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 261 - 280
PELUANG MENGEMBANGKAN KEWIRAUSAHAAN DESA BERBASIS POTENSI DESA (Studi deskriptif di Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran, Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumi Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan Desa Sidoasri Kecamatan Candi Puro Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung) EXPANDING OPPORTUNITIES BASED RURAL ENTREPRENEURSHIP POTENTIAL OF THE VILLAGE (Descriptive Study In District Of Foreign Karang Rejo Katon Pesawaran District, Kampong Java Subdistrict Earth Love Queen Central Lampung Regency And Village Temple Puro Sidoasri District Of South Lampung Lampung Province) Ray Septianis Kartika Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta Pusat E-mail:
[email protected] Diterima: 11 Oktober 2013; direvisi: 31 Oktober 2013; disetujui: 10 November 2013
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peluang kewirausahaan desa berbasis potensi desa. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penggalian informasi diperoleh dari pelaku usaha berjumlah 3 orang dan pejabat Pemerintah Daerah. Hasil penelitian mengungkapkan peluang pengembangan kewirausahaan desa sangat besar dan dikategorikan sebagai usaha kecil. Produk unggulannya yaitu bidang pertanian, perkebunan dan adanya pemanfaatan sumber daya alam yang juga potensial. Kewirausahaan yang ada di desa memiliki prospek yang baik asalkan didukung oleh sarana prasarana, regulasi yang pro ke pelaku usaha dan adanya kepercayaan dari pihak lain untuk menjaring kemitraan kepada pelaku usaha. Kata kunci: Peluang, Pengembangan, Kewirausahaan, Potensi, Desa.
Abstract This study aims to analyze the potential entrepreneurial opportunities based rural village. By using the method of descriptive analysis, extracting information obtained from businesses totaling 3 people and local government officials. The results reveal entrepreneurial rural development opportunities are very large and are categorized as small businesses. Superior products namely agriculture, plantations and the use of natural resources are also potential. Entrepreneurship in the village has good prospects as long as supported by infrastructure, regulatory pro to the business and the trust of the other party to solicit partnerships to businesses Keywords: Opportunity, Development, Entrepreneurship, Potential, Village.
PENDAHULUAN Kewirausahaan desa saat ini telah menjadi prospek bisnis yang menjanjikan. Keberadaan para pelaku usaha yang tidak ada matinya, seakan menunjukkan bahwa usaha desa patut dikedepankan dan dikembangkan serta menjadi perhatian bagi semua pihak. Berbagai potensi dan berlimpahnya sumber daya alam yang tersedia menjadikan dukungan tersendiri buat pelaku usaha untuk memperoleh bahan baku sesuai dengan bidang usaha yang ditekuninya. Pengembangan kewirausahaan desa yang sedang digalakkan ini selaras dengan Visi 2025, yang diwujudkan melalui 3 (tiga) hal yaitu: (1) Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan
SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antarkawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, (2) Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional, (3) Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovationdriven economy. Dijelaskan pula oleh Cakera (2012) bahwa untuk membangun perekonomian Indonesia harus digalakkan pembangunan masyarakat berwirausaha. Hasan (2011) juga mengutarakan bahwa di Indonesia masih minim jumlah wirausaha. Oleh karenanya pembangunan masyarakat wirausaha harus dilakukan
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 281
di desa-desa di Indonesia, dan idealnya untuk membangun wirausaha di desa harus disediakan dana Rp. 5 miliar per desa setiap tahun. Saat ini, dana yang tersedia masih minim, karena Kemenakertrans hanya mempunyai anggaran Rp. 350 miliar tahun 2012 untuk mendidik masyarakat jadi wirausaha. Senada dengan data di atas, Radjasa (2012) juga mengatakan bahwa Indonesia memerlukan sedikit-dikitnya 4 juta wirausaha untuk mendukung sektor perekonomian bangsa agar lebih tangguh di masa depan. Jumlah wirausaha yang ada saat ini masih sekitar 1,56% dari jumlah penduduk, padahal idealnya minimal 2% atau sekitar 4 jutaan wirausaha. Lebih lanjut Radjasa menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menargetkan pada 2025 Indonesia bisa masuk jajaran 10 besar dunia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi tangguh, dengan cara pemerintah terus mendorong kalangan pemuda yang tinggal di desa maupun kota untuk tidak menganggur, tapi melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat dengan membuka usaha, semisal bengkel, usaha makanan atau agrobisnis. Dalam hal penciptaan wirausaha baru, pemerintah telah menyiapkan berbagai dukungan, seperti pendidikan, pelatihan atau pendampingan, kemudahan akses permodalan, dan bantuan untuk berkolaborasi dengan sektor usaha besar. Seperti halnya di Provinsi Lampung, jumlah wirausaha di Lampung sebanyak 27% dari jumlah penduduk yang ada sebesar 5.436 juta jiwa. Jumlah wirausaha yang ada tersebut, dengan berpegangan pada potensi desa yang ada, seperti SDA tersedia sangat prospektif dan dapat diandalkan seperti pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, pariwisata, kehutanan sampai perkebunan dengan hasil produksi kopi mencapai 143.050 ton, produksi kakao 22.976 ton, lalu diikuti produksi kelapa dalam lebih dari 112.631 ton, lada 24.011 ton, karet 54.461 ton, kelapa sawit 367.840 ton, dan tebu 693.613 ton. Dari hasil produksi tebu itu Lampung memberi kontribusi 35% dari total produksi gula nasional, meningkat dibanding kontribusi 2005 yang mencapai 20%. Terkait dengan potensi desa yang dimiliki Provinsi Lampung, maka wirausaha di wilayah tersebut masih perlu ditingkatkan, khususnya wirausaha di perdesaan. Hal ini dikarenakan wirausaha adalah salah satu jalan untuk menuju kesuksesan hidup, dan untuk itu perlu dukungan pemerintah daerah dan perbankan (Lampung Post.Com., 2011). Jangan sampai Indonesia makmur dengan sumber daya alam yang potensial, namun untuk memperoleh bahan baku produksi usaha harus menunggu ekspor dari negara lain. Dengan demikian prospek positif wirausaha yang ada di Propinsi Lampung dapat menjadi mata rantai yang dapat menggerakkan perekonomian sekaligus menjaga kelestarian potensi desa yang ada di wilayah Lampung. Dengan melihat kekayaan SDA yang ada di Provinsi Lampung dan jumlah wirausaha yang
tersedia, sangatlah memungkinkan perkembangannya akan melaju dengan pesat tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Melalui penelitian ini akan di bahas secara tuntas perihal prospek perkembangan kewirausahaan desa berbasis potensi desa di Provinsi Lampung, dengan perumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana peluang wirausaha di Provinsi Lampung, dengan bertujuan untuk menganalisa peluang kewirausahaan desa di Provinsi Lampung. Sampai saat ini konsep kewirausahaan masih terus berkembang. Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2012) menyatakan kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya Scarborough dan Thomas Zimmerer (2003) menyatakan bahwa “An entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and asembling the necessary resources to capitalze on those opportunities.” Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/ meningkatkan pendapatan. Wirausahawan adalah kaum yang menciptakan peluang, bukan hanya menunggu peluang yang diciptakan orang lain, dan bahkan bisa memberikan peluang kepada orang lain. Jadi intinya, seorang wirausaha adalah orang-orang yang memiliki karakter wirausaha dan mengaplikasikan hakikat kewirausahaan dalam hidupnya. Dengan kata lain, wirausaha adalah orangorang yang memiliki jiwa kreativitas dan inovatif yang tinggi dalam hidupnya. Prawirokusumo (2007) wirausaha adalah mereka yang melakukan upayaupaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumberdaya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup). Suryana (2001), kewirausahaan (enterpreneurship) muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumberdaya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing. Zimmerer (2006), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara-
282 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
cara sebagai berikut: (1) Pengembangan teknologi baru (developing new technology), (2) Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge), (3) Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services), dan (4) Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources). Pengembangan kewirausahaan dilaksanakan sesuai dengan minat, bakat, potensi kaum muda, potensi daerah, dan arah pembangunan nasiona. Fasilitasi pengembangan kewirausahaan dilaksanakan melalui: (1) pelatihan dengan penyediaan instruktur dan tenaga pendamping, pengembangan kurikulum, pendirian inkubator kewirausahaan, penyediaan prasarana dan sarana maupun penyediaan pendanaan; (2) pemagangan; (3) pembimbingan; (4) pendampingan; (5) kemitraan melalui pengembangan sumberdaya manusia, pemberian bantuan manajemen, pengalihan teknologi dan dukungan teknis, perluasan akses pasar, pengembangan jaringan kemitraan pemuda lokal, nasional, regional, maupun internasional, penyediaan akses informasi, akses peluang usaha, dan penguatan permodalan; (6) promosi melalui penyelenggaraan pameran wirausaha muda, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional, pengenalan produk atau promosi penggunaan barang dan jasa, sosialisasi gagasan atau penemuanpenemuan baru serta kemudahan pengurusan hak kekayaan intelektual, pengembangan jaringan promosi bersama melalui media cetak, elektronik, dan media luar ruang, gelar karya atau demonstrasi produk; dan (7) bantuan akses permodalan dengan membentuk lembaga permodalan kewirausahaan. Selain kewirausahaan, juga perlu memberikan pelatihan kepemimpinan dan organisasi supaya para pemuda mampu mengembangkan program yang dirintis secara berkelanjutan di perdesaan. Jadi, pengembangan kewirausahaan desa haruslah disesuaikan atau dikaitkan dengan kondisi riil potensi desa itu sendiri. Menurut Muhi (2011), potensi desa mencakup: (1) potensi geografis desa (aspek topologi dan aspek non biotik); (2) potensi sumberdaya alam di wilayah desa (sumberdaya tanah, sumberdaya hutan, serta sumberdaya air dan kelautan); (3) potensi sumberdaya manusia di perdesaan (angkatan kerja dan pengangguran); (4) sumberdaya ekonomi di perdesaan (potensi ekonomi desa, peluang kerja, dan usaha di desa); (5) potensi sosial dan budaya di perdesaan; (6) potensi kelembagaan di desa; (7) sarana dan prasarana di desa. Sedangkan menurut BPS (2003), potensi desa meliputi: keterangan umum desa, kependudukan, ketenagakerjaan, perumahan dan lingkungan hidup, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, gizi dan keluarga berencana, sosial budaya, rekreasi, hiburan, kesenian dan olah raga, angkutan, komunikasi dan
informasi, keuangan desa, politik dan keamanan, otonomi desa dan program pengentasan kemiskinan, serta keterangan aparat desa. Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan pasal 1 ayat 8, dijelaskan potensi Desa dan Kelurahan adalah keseluruhan sumber daya yang dimiliki atau digunakan oleh desa dan kelurahan baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan kelembagaan maupun prasarana dan sarana untuk mendukung percepatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian tujuan pengembangan kewirausahaan desa hanya akan tercapai secara optimal apabila tokoh desa, dalam hal ini kepala desa, memiliki spirit atau semangat kewirausahaan desa yang tinggi (Anto, 2011). Membangun dan membangkitkan semangat kewirausahaan di desa, harus ada support dan motivasi yang tidak kenal lelah untuk merubah cara berpikir masyarakat. Masyarakat yang semula memiliki mental pekerja seyogyanya di arahkan memiliki semangat dan keberanian untuk berwirausaha. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan studi perkembangan untuk mengetahui tumbuh kembangnya kewirausahaan desa. Penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu dalam hal ini proses tentang kewirausahaan desa, pendapat yang berkembang tentang kewirausahaan desa maupun akibat yang terjadi ketika usaha di desa berlangsung. Locus penelitian di fokuskan pada Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran, Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumi Ratu Kabupaten Lampung Tengah dan Desa Sidoasri Kecamatan Candi Puro Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung, pertimbangannya adalah dengan melihat Pendapatan Domestik Regional Bruto yang diperoleh Kabupaten Lampung Tengah sebesar 16,650,401, Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 11,255,337 dan Kabupaten Pesawaran sebesar 6,047,546. Penggalian informasi diperoleh dari para pelaku usaha berjumlah 3 orang pada masing-masing sampel dan Pejabat Pemerintah Daerah selaku regulator berjumlah 1 orang, dengan menggunakan purposive sampling. Analisa datanya dengan menggunakan data kualitatif, yang diinterpretasikan ke dalam ranah pemikiran penulis dan mengaitkan hasil temuan dilapangan dengan teori baku yang sudah ada.
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 283
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Wilayah Kabupaten Pada Kabupaten Pesawaran, jumlah pencari kerja yang terdaftar Tahun 2011 adalah 420 LakiLaki dan 381 perempuan. Banyaknya perusahaan tenaga kerja menurut klasifikasi Baku lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan jenis kelamin di Kabupaten Pesawaran 2011, dapat diidentifikasi yaitu:
Pada sektor pertanian di kabupaten pesawaran memiliki luas panen dan produksi padi adalah 36.014 Ha dan 185.416 Ton. Sedangkan tanaman pangan lainnya masing-masing yaitu Jagung 11.518 Ha dan 81,673 Kedelai 250 Ha dan 270 Ton, kacang tanah 313 Ha dan 651 Ton, Kacang Hijau 59 Ha dan 42 Ton, Ubi Kayu 3.670 Ha dan 75.482 Ton, ubi jalar 170 Ha dan 1.509 Ton. Produksi tanaman hortikultura terbesar pada komoditi sayuran adalah jahe yaitu 31,486 Ton dan luas panen terbanyak
Tabel 1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia di Kabupaten Pesawaran.
No
Lapangan Usaha
Jumlah tenaga kerja/buruh Laki-laki Perempuan 2.481 1.125
Jumlah perusahaan
1.
Pertanian, kehutanan 104 dan perikanan 2. Pertambangan dan 3 Penggalian 3. Penggadaan Listrik, 2 Gas, Uap/Air Panas dan Udara Dingin 4. Reparasi dan 19 Perawatan Mobil dan sepeda motor 5. Informasi dan 1 Komunikasi 6. Jasa Keuangan dan 2 Asuransi 7. Jasa Pendidikan 1 Total Sumber Data: Dinas sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Pesawaran
Jumlah Total 3.606
221
9
230
63
27
90
93
29
122
6
1
12
6
7 6. 18
5
1
6 4.079
Tabel 2. Identifikasi dan Inventarisasi Usaha Ekonomi Keluarga.
1.
Sinar Bandung
11
Jumlah Pelaku Usaha Niaga Industri Usaha Kecil Tani 33 5 92
2.
Trirahayu
43
52
10
43
43
3.
Bangunsari
31
45
5
62
24
4.
Ponco Kresno
46
83
17
68
10
5.
Lumbirejo
36
201
33
87
16
Pengolhan lahan pertanian dan perkebunan
6.
Sidomulyo
32
63
35
116
6
Pengolahan lahan pertanian
No
Desa
Jasa
Peternakan 3
Jenis Usaha Usaha Produk ekonomi Unggulan Pengelolaan Padi sawit Lahan dan coklat Pertanian dan Perkebunan Pengelolaan Sumber daya lahan alam pertanian dan perkebunan Pengelolaan Jagung, lahan kakao dan pertanian singkong dan perkebunan SDA dan Padi, Jagung, Peternakan Singkong dan Daging Sapi
284 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Jagung, Kelapa dalam Pisang, padi dan gula merah Padi dan Singkong
Permasalahan Modal Peralatan, Manajemen
Sumber daya alam
Manajemen dan SDA
Modal, peralatan, pertanian, manajemen dan SDA Modal, peralatan dan manajemen
Modal, Manajemen dan Pemasaran
7.
Trisno maju
38
94
120
198
5
Pengolahan lahan pertanian dan perkebunan
8.
Roworejo
38
79
44
112
15
9.
Pujo Rahayu
38
24
101
95
10
10.
Kacang Rejo
18
35
88
80
2
11.
Purworejo
142
105
233
258
138
12.
Kagungan Ratu
3
17
30
83
5
13.
Kalirejo
53
38
41
111
13
14.
Tanjung Rejo
31
67
15
175
21
15.
Halangan Ratu
37
80
35
77
19
16.
Negara Saka
66
79
72
161
5
17.
N. Ulangan Jaya
62
34
14
162
21
18.
Pejambon
44
45
79
114
12
19.
Negeri Katon
37
34
13
321
8
Pengolahan lahan pertanian, perkebunan dan industri kecil Pengolahan lahan pertanian dan industri kecil Pengolahan singkong dan industri kecil Pengolahan lahan pertanian dan perkebunan Pengolahan lahan pertanian dan industri kecil Pengolahan lahan pertanian, peternakan dan industri kecil Pengolahan Lahan Pertanian dan Perkebunan Pengolahan lahan perkebunan dan industri kecil Pengolahan Industri Kecil Pengolahan lahan pertanian perkebunan dan peternakan Industri Kecil Pengolahan lahan perkebunan, pertanian dan industri kecil
Gula merah, sayursyauran Jagung Padi dan Singkong Jagung, sawit, coklat, tahu dan geblek
Modal dan SDA
Jagung, sawit, coklat, tahu dan geblek
Modal, peralatan, transportasi dan pemasaran
Kelanting dan Gulamerah
Modal, peralatan dan pembinaan manajemen
Nira, padi dan sayursayuran
SDM modal dan peralatan
Padi dan Tapis
Modal dan Peralatan
Padi, telor dan kerajinan marmer
Modal, peralatan dan pemasaran
Padi, Jagung dan Karet
SDA , modal dan pemasaran
Karet dan Tapis
Modal dan Peralatan
Genteng dan meubeler
Modal dan peralatan
Padi, coklat, karet dan ayam pedaging
Modal dan Peralatan
Genteng
Modal,peralatan dan manajemen Modal
Karet, jagung dan tapis
Modal, peralatan, transportasi dan pemasaran
Sumber Data : Hasil Laporan Identifikasi dan Inventarisasi UEM, 2012.
komoditi melinjo yaitu 57,350 Ha, produktivitas terbesar pada komoditi sawi yaitu 921,95 Ku/Ha. Pada Komoditi Buah-Buahan produksi luas panen terbesar ada pada Komoditi Pisang yaitu 374.812 Ton dan 6.117.369 Ha. Produktivitas terbesar pada komoditi duku yaitu 13,27 Ku/Ha. Sedangkan produksi dan areal tanaman perkebunan terbesar ada
pada komoditi kakao yaitu 9,538 Ton dan 15.062 Ha. Sedangkan produktivitas terbesar ada pada komoditi sawit yaitu 5,364 Kg/Ha. Produk domestik regional bruto (PDRB) di Kabupaten Pesawaran pada tahun 2011 sebesar 6.05 trilyun. Sektor pertanian dengan nilai PDRB sebesar 3 trilyun rupiah memberikan nilai PDRB terbesar di Kabupaten Pesawaran. Sektor
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 285
Tabel 3. Perkembangan Ekonomi Masyarakat Kampung Suka Jawa. No 1.
Indikator
Sub Indikator
Pengangguran
1. Jumlah penduduk usia kerja 15-56 tahun 2. Jumlah penduduk usia kerja 15-56 tahun tidak bekerja 3. Penduduk wanita usia 15-56 tahun menjadi ibu rumah tangga 4. Jumlah penduduk usia > 15 tahun yang cacat sehingga tidak dapat bekerja 2. Pendapatan 1. pertanian 2. Kehutanan 3. Peternakan 4. Perikanan 5. Perdagangan 6. Jasa 7. Industri rumah tangga 3. Tingkat 1. Jumlah keluarga Kesejahteraan 2. Jumlah keluarga pra sejahtera 3. Jumlah keluarga sejahtera 1 4. Jumlah keluarga sejahtera 2 5. Jumlah keluarga sejahtera 3 6. Jumlah keluarga 3 plus Sumber Data : Monografi Kampung Suka Jawa, 2012
Jumlah Tahun 2010 2551 orang 178 orang
Tahun 2011 2598 orang 129 orang
774 orang
830 orang
7 orang
7 orang
1.941.285 orang 337.500.000 orang 434.000.000 orang 208.000.000 orang 4.987.250.000 orang 241.200.000 orang 51.000.000 orang 1031 kel 178 kel 486 kel 230 kel 116 kel 21 kel
5.989.700.000 orang 394.400.000 orang 512.840.000 orang 176.000.000 orang 5.236.612.000 orang 258.084.000 orang 57.120.000 orang 1.106 kel 134 kel 596 kel 237 kel 116 kel 23 kel
Tabel4 . Jumlah perusahaan industri sedang-besar di Kabupaten Lampung Selatan. Kode Industri Industri makanan Industri minuman Industri Pakaian Jadi Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus, anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya Industri kertas dan barang dari kertas Industri produksi dari batubara dan penggilangan minyak bumi Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia Industri karet, barang dari karet dan plastik Industri barang galian bukan logam Industri barang dari logam bukan mesin dan peralatan Industri mesin dan perlengkapan YTDL Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer Industri furnitur Industri pengolahan lainnya Jumlah Sumber data: Lampung Selatan Dalam Angka, 2012
dengan nilai PDRB terbesar kedua di Kabupaten Pesawaran adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Nilai PDRB sektor ini adalah sebesar 991,96 milyar rupiah. Sektor industri pengolahan dengan dengan nilai PDRB sebesar 838,92 milyar rupiah merupakan sektor dengan nilai PDRB terbesar ketiga di Kabupaten Pesawaran. Sejalan perkembangannya pada usaha ekonomi keluarga di Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran dapat diamati pada tabel 2. Sedangkan perkembangan masyarakat di Kampung Suka Jawa Kabupaten Lampung Tengah, terinventarisir pada data yang terungkap dalam tabel 3. Pada Kabupaten Lampung Selatan, jumlah perusahaan besar – sedang tahun 2011 sebanyak 66
Jumlah Perusahaan 27 1 5 4
Tenaga Kerja 2913 121 278 298
1 1
191 27
5
623
2 6 4
156 416 376
2 3
53 173
2 3 66
304 102 6031
perusahaan dengan total tenaga kerja 6.031 orang. Industri makanan merupakan industri dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Lampung selatan serta industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja bila dibandingkan dengan industri lainnya. Sebanyak 48,3 % tenaga kerja di serap oleh industri makanan. Selengkapnya tertera tabel 4. Terkait hal di atas, perkembangan usaha ekonomi keluarga masing-masing desa di Kabupaten Lampung Selatan dapat dilihat pada tabel 5. PEMBAHASAN Perkembangan kewirausahaan di lokasi sampel menjadi profesi utama yang digeluti oleh masyarakat desa. Seperti yang terjadi pada desa
286 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Tabel 5. Perkembangan Usaha Ekonomi Keluarga di Kabupaten Lampung Selatan.
1.
Sidoasri
-
2.
Hajimena
-
-
3
1
2
3.
Pemanggilan
-
-
3
1
2
4.
Natar
-
-
4
2
2
5.
Muara putih
-
-
2
2
2
6.
Merakbatin
-
-
4
2
2
7.
-
-
3
3
2
8.
Krawang sari Negara ratu
-
-
4
2
2
9.
Rejoasri
-
-
2
2
1
10.
Tanjung asri
-
-
3
2
1
Jenis Usaha Usaha Produk Dominan Unggulan Industri RT Emping, melinjo, tahu Industri RT Emping, Sulaman Industri RT Keripik pisang, sulaman Industri RT Sulam usus dan tapis Usaha Produk pertanian pertanian Usaha Produk pertanian pertanian Peternakan Peternakan, pertanian Indsutri Gerabah, gerabah keramik Industri RT Tahu dan kripik Industri RT Meubel
11.
Bumisari
-
-
3
2
1
Industri RT
12.
Candimas
-
-
4
2
2
Industri RT
13.
Branti raya
-
-
3
2
2
Industri RT
14.
Haduyang
-
-
3
2
2
Industri RT
Makanan ringan Makanan ringan Kerupuk singkong Sulam tapis
15.
Banjar negeri Mandah
-
-
2
2
2
Industri RT
Sulam tapis
-
-
3
2
1
-
-
2
2
1
Produk sayuran Gula merah
18.
Rulung helok Rulung raya
Usaha pertanian Industri RT
-
-
3
2
2
Peternakan
19.
Purwosari
-
-
2
2
1
20.
Pancasila
-
-
2
2
2
Usaha pertanian Palawija
Peternakan ayam Produk pertanian Sayuran
21.
Bandarejo
-
-
2
2
1
22.
Sukadamai
-
-
3
2
1
No
16. 17.
Desa
Jasa
Jumlah Pelaku Usaha Niaga Industri Usaha Kecil Tani 4 1
Karang Rejo, Desa Sidoasri dan Kampung suka jawa. Selaras dengan kenyataan di lapangan informan menuturkan potensi-potensi yang dimiliki dalam pengembangan kewirausahaan desa terdapat pada Tabel 6.
Peternakan 2
Usaha pertanian Industri RT
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Tabel 6. Potensi Pengembangan Kewirausahaan Desa.
Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Informan Pemerintah Pemerintah Daerah Desa Usaha Pembuatan masyarakat lanting, pisang menonjol seperti coklat aneka variasi mobil, rasa perbengkelan di desa sukajawa, usaha kripik pisang coklat
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung
Produk pertanian Klanting, anyaman
Permasalahan Kekurangan modal Kekurangan Modal Kekurangan modal Kekurangan modal Lahan kering Lahan kering Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal Kekurangan modal
Perkembangan kewirausahaan disini khususnya Desa Karangrejo sudah ada pengusaha yang jumlahnya 5495 orang pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa, niaga, industri kecil, usaha tani, peternakan yang masing-maisng pengusaha memiliki kendala masingmasing. Banyak usaha yang ada di Candi puro
Sangkar burung, kopra usaha skala
Kripik kemplang, usaha kripik
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 287
Selatan
sekitar 43 pelaku usaha dan terkategori usaha kecil seperti bidang pertanian, perdagangan, dll Sumber Data : Data Primer, 2012.
pisang, furniture, dsb
Mencermati kondisi tabel di atas, potensi wirausaha di desa memang layak untuk dikembangkan. Dan sebagian masyarakat memanfatkan SDA yang ada di desa, meskipun memasok bahan baku produksinya dari luar desa, itupun dikarenakan kelangkaan bahan baku yang mereka butuhkan. Secara prinsipil program kewirausahaan desa yang ada disesuaikan dengan potensi muda yang ada di lokasi sampel. Tabel 7. Program Kewirausahaan Relevan dengan Potensi Kaum Muda. Desa/Kecamatan/ Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pemerintah Pemerintah Daerah Desa Ya sesuai Belum sesuai dengan potensi buktinya yang ada bnyak hanya kadang pemuda yang pengusaha pergi disini meninggalka menyesuaikan n desa ini juga dengan bakat kemampuanny a untuk mengolah Yang pasti disesuaikan dengan keahlian masingmasing masyarakat bukan hanya pemuda, pemuda hanya sebagian kecil yang turut andil dalam setiap usaha masyarakat.
Tidak ada semuanya usaha karena disesuaikan dengan permintaan pasar dan justru anak mudanya pada ke kota karena tingkat pendidikan mereka rendah
Anak muda justru tidak tertarik dengan usaha yang ada disini
Masih dicoba dan pemuda secara umum cari pekerjaan di luar.
Sumber Data : Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel di atas, peluang usaha yang ada di desa tidak sepenuhnya mengakomodir kaum muda. Pengusaha lebih dominan mengikuti permintaan pasar , dan peran serta pemuda dalam mendongkrak usaha di desa hanya sebagian kecil saja.
Sebagai pengusaha yang menjadi leader dalam menjalankan usahanya dianggap sebagai pribadi yang memiliki sejuta gagasan dan ide untuk menciptakan kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan usahanya. Guna melihat mentalitas pengusaha di masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 8 . Mentalitas Pengusaha di Lokasi Sampel. Desa/Kecamatan/ Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Informan Pemerintah Pemerintah Daerah Desa Ya, itu kunci mati Ya, harus buat mereka yang seperti itu harus terus karena seorang ditingkatkan pengusaha harus penuh dengan kreasi Secara umum iya mereka kreativ dan ide-idenya yang unik untuk menarik konsumen
Desa Sindoasri Iya, tentunya Kecamatan karena pada Candipuro dasarnya mereka Kabupaten berjiwa Lampung Selatan pengusaha Sumber Data : Data Primer, 2012
Ada, misalnya lanting ditambah rasanya sehingga variatif Ya, berjiwa kreatif dan berani mengambil resiko
Selaras dengan tabel di atas, dapat dikemukakan bahwa pengusaha yang ada di lokasi sampel selain memiliki skill dan kompetensi yang handal, tetapi juga mentalitas nya sebagai pelaku usaha profesional sudah ditunjukkannya. Mereka memiliki rasa, karsa dan yang terpenting adalah kreasi dan inovasi untuk terus menerus mencari temuan baru yang dapat memajukan usahanya. Sejalan dengan upaya untuk mengembangkan kewirausahaan di desa, pelaksanaan fasilitasi untuk program usaha yang sedang digalakkan oleh desa menjadikan suatu keharusan yang sepatutnya mendapat atensi dari pemerintah daerah ataupun pemerintah desa. Selengkapnya seperti tertera pada tabel di bawah ini : Tabel 9. Pelaksanaan Fasilitasi dalam Program Kewirausahaan di Desa. Desa/Kecamatan/ Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
288 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Informan Pemerintah Pemerintah Desa Daerah Untuk pelatihan Kewirausahaan ternak misalnya desa masih 50 orang dilatih 1 berupa pelatihan kecamatan 3 yang dilakukan kelurahan oleh Provinsi Untuk pelatihan dilakukan di provinsi, kabupaten hanya memfasilitasi mengirim perwakilan yang
Pelatihan ada yang dikirim bagi mereka yang sudah punya usaha
akan menjadi peserta di pelatihan tersebut. Desa Sindoasri Dari Kecamatan Kabupaten/Provi Candipuro nsi, untuk Kabupaten kecamatan candi Lampung Selatan puro belum pernah memperoleh pelatihan, entah di kecamatan lainnya, tapi kalau pameran kami sering mengadakannya Sumber Data : Data Primer, 2012
Tabel 11. Upaya Pemerintah Dalam Mengembangkan Kewirausahaan Desa.
Pelatihan saja
Pengakuan informan dari tabel di atas menyiratkan bahwa Pemerintah daerah dan pemerintah desa memfasilitasi pelatihan yang dilakukan kepada para pelaku usaha. Dengan cara membuat usulan-usulan peserta yang akan dikirim untuk mengikuti pelatihan. Keterlibatan tokoh masyarakat di desa sangat urgen dalam mengembangkan kewirausahaan di desa, apalagi komitmen dan kekonsistenan mereka menjadikan mata rantai yang tidak bisa dilepaskan dari pengembangan kewirausahaan desa. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 10. Konsistenan Tokoh Masyarakat dalam MengembangkanKewirausahaan Desa. Desa/Kecamatan/ Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pemerintah Desa Harapan sih ada bagi para pemimpin di desa ini untuk mengembangkan usaha di desa, Cuma kendalanya kan anggaran kita sangat terbatas paling hanya sekedar motivasi Untuk pembinaan sangat kurang karena kesibukan masing-masing sehingga mereka tidak ada pembinaan secara khusus Ya berupa pengusulan nama pelaku usaha untuk dilibatkan apabila pemeritah melakukan pelatihan.
Sumber Data : Data Primer, 2012.
Pada tabel konsistenan tokoh masyarakat, pada dasarnya mereka memiliki harapan untuk memajukan kewirausahaan, hanya untuk Desa Karang Rejo Kabupaten Pesawaran tokoh masyarakat kurang intensif dalam menyikapi wirausaha yang ada di desa. Selain itu dalam penyajian hasil wawancara berikut, upaya pemerintah secara intensif dalam mengembangkan kewirausahaan di desa dapat disimak pada penuturan informan di wilayah sampel berikut ini :
Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Informan Pemerintah Desa Desa wirausaha masih dalam sebatas keinginan, karena kan masyarakat disini juga banyak yang berprofesi bukan sebagai pengusaha Pemerintah desa belum optimal dalam mengembangkan wirausaha yang ada di desa ini
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Pelatihan dan setiap 2 minggu Kecamatan Candipuro sekali pengawasan ke sentraKabupaten Lampung sentra produksi Selatan Sumber Data: Data Primer, 2012
Mayoritas informan mengatakan bahwa Pemerintah Desa dalam mengembangkan kewirausahaan di desa kurang optimal, kecuali untuk Desa Sindosari Kecamatan Candir Puro Kabupaten Lampung Selatan Kepala Desa melakukan pengawasan ke pusat-pusat produksi. Pengembangan kewirausahaan desa tidak hanya melibatkan tokoh masyarakat ataupun pemerintah desa, tetapi lebih kepada respon masyarakat sekitar terhadap tumbuh kembangnya wirausaha di sekitar wilayahnya. Lebih lengkapnya sebagai berikut : Tabel 12 . Pelibatan Masyarakat dalam Mengembangkan Kewirausahaan Desa. Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pemerintah Desa Ya, masyarakat sebagai promotor usaha masyarakat yang ada disini
Dukungannya masyarakat menjadi penyalur dan mencari pembeli bagi usaha yang baru atau terkenal di masyaraka Masyarakat tentunya berpartisipasi dengan mendukung secara aktif atau menginformasikan dan mempromosikan apabila tetangganya memiliki usaha Sumber Data : Data Primer, 2012.
Masyarakat sekitar memberikan dukungan penuh kepada pelaku usaha seperti yang tertera pada tabel di atas, bahkan dukungan masyarakat tersebut sekaligus memberikan keuntungan bagi pengusaha karena masyarakat menjadi promotor yang baik dalam memperkenalkan produk yang di tawarkannya. Keterlibatan pemerintah daerah menjadi atensi yang sangat tinggi terhadap para pelaku usaha, apalagi pemerintah daerah menganggap bahwa usaha-usaha yang ada di desa menjadi instrumen untuk mendongkrak bangkitnya masyarakat desa untuk merubah garis perekonomiannya. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 289
Tabel 13. Keterlibatan Pemerintah Daerah Dalam Memajukan Pelaku Usaha Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pemerintah Daerah Keterlibatannya pemda hanya sebatas pelatihan saja
Ya seperti yang sudah saya bilang hanya mengirim utusan dari desa Keterlibatan pemda sangat besar meski masih hanya dirasakan baru segelintir pengusaha karena keterbatasan jumlah peserta yang mengikutinya. Sumber Data : Data Primer, 2012
Peran serta Pemerintah Daerah yang tinggi dalam mengembangkan kewirausahaan desa dicapai melalui pelatihan-pelatihan ataupun mengusulkan peserta pelatihan kepada Pemerintah Provinsi. Pengiriman peserta tersebut disesuaikan dengan permintaan dari Pemerintah Provinsi dan mayoritas mereka yang mengikuti adalah masyarakat yang telah memiliki usaha ataupun masyarakat yang hanya sekedar memiliki keinginan untuk berwirausaha. Setiap program sudah dipastikan akan menemui kendala, dan setiap kendala itu akan menjadi kekuatan untuk memajukan usaha terutama bagi pelaku usaha maupun pengambil kebijakan yang terlibat secara aktif dalam mengembangkan kewirausahaan di desa. Oleh karena itu pengakuan informan pada tabel 14.
Tabel 14. Hambatan dalam Pengembangan Kewirausahaan di Desa. Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Informan Pemerintah Daerah Krisis kepercayaan untuk memperoleh dana dari masyarakat
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Hambatannya terletak pada anggaran yang terbatas untuk memberdayakan mereka Hambatannya Pengusaha lebih matrialistis dan perhitungan bisnis dan untuk menyadarkan mereka untuk dilatih sangatlah sulit karena perhitungan untung rugi bila mereka mengikuti pelatihan. Kendalanya jadi kesadaran dan pemikiran masyarakat sangat tradisional untuk mengikuti pelatihan Sumber Data : Data Primer, 2012
Membaca tabel di atas, hambatan yang dihadapi oleh informan terletak pada faktor internal dan eksternal. Faktor Internal menunjukkan egosentris pengusaha untuk menggali skill nya dan ketersediaan anggaran yang terbatas untuk memberdayakan pelaku usaha. Pelatihan yang secara kontinuitas dilakukan oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah provinsi menjadi momentum awal bagi masyarakat yang menjadi pelaku usaha untuk menjadikan usahanya lebih baik dari sebelumnya. Berikut tabel akan menguraikan lebih terperinci informasi yang disampaikan pelaku usaha pada tabel 15.
Tabel 15. Penyelenggaraan Pelatihan Desa/Kecamatan/ Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Pelaku Usaha 1 Iya pelatihan seperti sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga untuk jenis produksi kripik pisang dan sale pisang, kunyit instant, temulawak instant, beras kencur instant serta sosialisasi dan pembinaan pengobatan alternatif menggunakan tumbuhan (herba) dan refleksi , Pelatihan dari Unila dan Dewan Riset Daerah Pelatihan untuk penggunaan pewarna karena lanting ini kan tidak hanya berwarna putih tapi ada yang berwarna merah Pelatihannya hanya mempelajari permintaan pasar dan pelatihan manajemen tahun 2011, penyelenggaranya Pemerintah Kabupaten
Informan Pelaku Usaha II Pelatihan dari Dinas Pertanian di Hotel Marcopolo, management usaha diklat di BRI Pusat dengan dibiayai 6 juta, aspindo selama 1 minggu
Ada, Pelatihan untuk penggunaan pewarna karena lanting ini kan tidak hanya berwarna putih tapi ada yang berwarna merah Ya, Sertifikasi dari Departemen Kesehatan dan SIUP
Sumber Data : Data Primer, 2012
290 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Pelaku Usaha III BRI, Dinas pertanian, ASPINDO
Kalau ada ikut Provinsi di Jogja di balai besar tahun 2007
Pelatihan belum pernah sama sekali
Tabel 16 . Keahlian Pelaku Usaha. Desa/Kecamatan/ Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Pelaku Usaha 1 Harus memiliki kemampuan untuk meracik
Kemampuannya ya ulet aja dan tidak mengurangi rasa lanting
Mengamati selera pasar aja
Informan Pelaku Usaha II Keterampilan tangan
Cenderung koneksi sedangkan untuk keahlian cenderung semua orang bisa karena untuk menetralisir asam dan kebutuhannya sangat tinggi sifatnya dari batu kapur Prospek bagus dan awalnya jual pisang sale dilihat bnyak pesanan akhirnya sekarang kripik pisang sudah beraneka rasa strawbery, balado, coklat, keju, melon, durian, mocca, coco coffe, susu, manis.
Pelaku Usaha III Ketrampilannya keuletan dan kerja keras
Keahlian didapat dari lingkungan yaitu kreativitas
Kemampuan mengolah antara tepung tapioka dan ikan gabus laut.
Sumber Data : Data Primer, 2012
Tabel 17. Pemagangan Pelaku Usaha. Informan Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro KabLampung Sel Sumber Data : Data Primer, 2012
Pelaku Usaha 1
Pelaku Usaha II
Pelaku Usaha III
Belum
Studi banding ke Pesawaran
Belum Ada
Pemagangan dari Dinas Kesehatan
Belum pernah semuanya otodidak
Dinas pertanian hanya packaging
Belum pernah
Magangnya di Jogja di perusahaan keramik “ Bejo Keramik” Desa Kasongan Ya, Kerja di bandar lampung selama 15 tahun
Pelatihan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menggali potensi pelaku usaha sangat relevan dengan kebutuhan para pelaku usaha. Pengetahuan yang diperoleh di pelatihan tersebut menjadikan bekal buat pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya secara maksimal. Untuk menjadi pengusaha dituntut memiliki keahlian yang mampu mendukung usahanya, dan tidak semua orang akan mampu memiliki keahlian si pengusaha. Untuk melihat keahlian pelaku usaha di lokasi sampel, dapat dilihat pada uraian pada tabel 16. Dari apa yang terungkap pada tabel, informan menuturkan bahwa untuk keahlian yang masingmasing dimiliki oleh informan secara implisit bekal bagi pengusaha untuk mengembangkan usaha yang ditekuninya. Meski beragam keahlian yang dimiliki para pengusaha namun menunjukkan bahwa untuk menjadikan usaha berkembang, para pengusaha dapat menekuni profesinya secara profesional dan mampu memiliki manajemen usaha yang baik.
Selain pelatihan, pemagangan menjadi penting tatkala para pengusaha membutuhkan pencerahan dan masukan yang terkait dengan usahanya. Sistim pemagangan yang dilakukan para pengusaha, akan mempengaruhi skill maupun pola produksinya. Selengkapnya tertera pada tabel 17. Mengamati perkembangan pada tabel di atas, menyiratkan bahwa pengalaman yang berperan dalam diri pengusaha untuk menjalankan profesinya. Dimana mayoritas informan belum pernah melakukan pemagangan, dan meskipun ada yang melakukan pemagangan para pelaku dapat memanfaatkan ilmu yang diperolehnya untuk menjadikan usahanya lebih baik. Selaras dengan keinginan untuk mengembangkan kewirausahaan di desa, peran pemerintah sangalah penting untuk melihat atensi para pengambil kebijakan. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 18. Dari apa yang dikemukakan di atas, diketahui bahwa Pemerintah hanya membimbing pelaku usaha melalui pelatihan saja, dan tidak sampai pada tahap pedampingan. Informan
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 291
Tabel 18. Pembimbingan dan Pedampingan oleh Pemerintah. Desa/Kecamatan/Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pelaku Usaha II
Pelaku Usaha 1 Pembimbingan ada
Pelaku Usaha III
Ya
Ya
Sebatas pelatihan saja perhatian pemerintah
Tidak tau
Dalam pelatihan saja bimbingannya
Tidak tahu
Pembimbingan hanya melalui pelatihan, dan pedampingan belum pernah dilakukan secara intensif
Belum sejauh itu hanya pelatihan saja
Sumber Data : Data Primer, 2012 Tabel 19. Penyediaan Prasarana dari Pemerintah.
Pelaku Usaha 1 Ada bantuan alat
Informan Pelaku Usaha II Tidak ada
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Belum ada pembuatan lanting masih bersifat manual
Tidak, semuanya saya rintis dari awal tidak ada keterlibatan pemerintah
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Ada alat siller kembung, 2 unit vacum dari kementerian pertanian
Ya ada
Desa/Kecamatan/Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Pelaku Usaha III Ada, alat perajang dari Kementerian Pertanian tapi hasilnya kurang maksimal kalau dibandingkan sama yang manual Masih diajukan, bantuan peralatan seperti alat pemotong Tidak ada semuanya modal sendiri, barang pengaduk aja saya beli sendiri bekas dari bos dulu sebesar Rp 10 juta
Sumber Data : Data Primer, 2012 Tabel 20. Penyediaan Dana Dari Pemerintah. Desa/Kecamatan/Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Pelaku Usaha 1 Belum ada masih sebatas pelatihan
Informan Pelaku Usaha II Tidak ada
Belum ada bantuan dana
Tidak ada
Belum ada
Pernah tahun 2007 sebesar Rp 5 Juta itupun ada ketentuan untuk mengembalikan bukan hibah
Pelaku Usaha III Ada
Bantuan modal dari Jamsostek sekitar Rp 40 juta Tidak tahu
Sumber Data : Data Primer, 2012
secara mandiri menjadi instruktur untuk usahanya tanpa melibatkan pemerintah dalam operasionalnya. Dukungan pemerintah tidak hanya dalam pelatihan namun juga penyediaan sarana dari pemerintah yang dapat menunjang pelaku usaha dalam menjalankan profesinya. Lebih detilnya dapat dilihat pada tabel 19. Selaras pada tabel diatas, penyaluran bantuan sarana prasarana untuk di lokasi sampel masih belum maksimal. Pelaku usaha memodali sendiri peralatannya meski membayar dengan harga yang sangat mahal. Dan peralatan yang ada benar-benar sangat membantu pekerjaan para pelaku usaha. Selain dukungan sarana dan prasarana, dalam penelitian ini juga akan mengungkapkan penyediaan
dana yang dilakukan oleh Pemerintah. Untuk melihat apakah pemerintah juga menyediakan dana buat para pelaku usaha, selengkapnya tertera pada tabel 20. Dari tabel 21 di atas dapat dicermati bahwa, Pemerintah tidak sampai pada pemberian modal bagi para pelaku usaha, Pemerintahan hanya sebagai fasilitator bagi pelaku usaha dalam bentuk pelatihan. Pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha tidak hanya di sekitar wilayah Lampung tetapi sudah merambah luar kota Lampung. Guna melihat perkembangan pemasaran yang dilakukan para pengusaha dengan menjalin koneksi oleh pihak swasta dapat dilihat pada tabel 22.
292 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Tabel 22. Kerjasama dengan Swasta dalam Pemasaran. Desa/Kecamatan/Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Informan Pelaku Usaha II Kerjasama dengan pemilik toko aja yang tempat buat menitipkan barang dagangan saya
Pelaku Usaha 1 Pemasarannya dari omongan ke omongan seperti Jawa Barat, Kalimantan
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Belum ada
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Gak ada
Ya, kemitraan di PT Wahyunimandina, PT Agunan Wijaya Sakti, PT. Citra Pertiwi Brata Sena yang bergerak di bidang pertambangan Ada dengan Panjang batu semen untuk pemasaran dan cikampek dan merak itu pun baru rencana
Pelaku Usaha III Tidak ada semuanya di order sendiri
Belum ada, masih disekitar lampung dan sistem sewa
Di malang dengan CV Sokresh untuk mengemas
Sumber Data : Data Primer, 2012 Tabel 23. Bantuan Cara Mengelola Usaha. Desa/Kecamatan/Kabupaten Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Pelaku Usaha 1 Bantuan mengelola usaha dari pelatihan
Informan Pelaku Usaha II Ya, dari pelatihan itu
Pelaku Usaha III Ya pelatihan manajemen usaha
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Tidak
Tidak
Ya, pelatihannya ada yang dilakukan oleh Jamsostek
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Ya, pelatihan
Belum ada
Tidak ada semuanya hanya belajar dari pengalaman
Sumber Data : Data Primer, 2012. Tabel 24. Pemasaran Usaha Desa/Kecamatan/Kab. Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Informan Pelaku Usaha II Tidak, usaha kami sendiri lakukan dengan menitipkan barang dagangan
Pelaku Usaha 1 Melalui pameran bantuan supaya usaha herbal ini dapat dikenal
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Tidak ada bantuan untuk pemasaran, Cuma dari omongan warga aja sehingga usaha kami bisa dikenal
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Tidak, semuanya dari usaha saya sendiri yang menawarkan dagangan sana sini
Tidak, hasil dari kerja keras saya sendiri saya tawarkan dan saya bawa sampel dengan menawarkan kepada perusahaan dan persentasi di hadapan mereka Tidak ada semuanya saya sendiri yang berusaha
Pelaku Usaha III Tidak, saya titipkan di warung-warung dan masih seputar Lampung Tengah Tidak ada bantuan, meski keinginan ada untuk membuka ruko di depan rumah
Tidak, untuk pemasarannya dari pelabuhan Merak dan dipromosikan oleh teman
Sumber Data : Data Primer, 2012.
Sebagaimana tabel di atas, hanya sebagian saja yang melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Selebihnya informan bekerja sendiri atau mencari koneksi dengan pihak swasta yang dapat memajukan usahanya. Pengelolaan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha, kemungkinan bisa diperoleh bantuan dari pihak lain agar dapat mengelola usahanya lebih profesional. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada penuturan informan yang tersirat dalam tabel 23.
Bantuan cara mengelola usaha menurut informan hanya diperoleh melalui pelatihan– pelatihan, untuk perkembangan usaha selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada informan sehingga keberhasilan usahanya tertumpu pada kerja keras pelaku usaha tersebut. Pemasaran merupakan bagian akhir dari proses produksi, memperbanyak jejaring dan menjangkau sektor luar menjadikan pemasaran yang tercapai lebih maksimal dan menjadikan hasil produksi banyak diminati. Selengkapnya prospek
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 293
Tabel 25. Pemanfaatan Teknologi Dalam Usaha. Desa/Kecamatan/Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Informan Pelaku Usaha II Masih manual aja dengan menggunakan lem batangan, dulu sih pernah punya tapi sekarang sudah rusak
Pelaku Usaha 1 Ya, seperti mesin perajang, oven
Tidak ada masih tradisional seperti mesin parut singkong, pengepres singkong pun masih menggunakan tangan Ya alat vacuum sangat berteknologi
Pelaku Usaha III Masih manual
Kami miliki sendiri tanpa ada campur tangan pemerintah
Masih modal sendiri baru rencana dari Jamsostek
Ya, bantuan alat dari departemen pertanian
Semuanya saya beli dengan uang sendiri
Sumber Data : Data Primer, 2012.
Tabel 26 . Dukungan Lembaga Permodalan. Informan
Desa/Kecamatan/Kab Pelaku Usaha 1
Pelaku Usaha II
Pelaku Usaha III
Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Sudah ada seperti BUMK ( Badan Usaha Milik Kampung)
BUMK sudah ada baru dibentuk 1 bulan
Dari Badan Usaha Milik Kampung ( BUMK) sebesar Rp 1.500.000
Belum ada sepertinya saya juga kurang tahu
Lembaga Permodalan kami belum pernah meminjam
Koperasi perindustrian sekitar Rp 10 juta dengan ketentuan setiap bulan membyar Rp 250.000 untuk 40 x bayar
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Saya pinjam modal hanya dari BRI dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 25.000.000/bulan
Modal kami dapat dari Danamon pinjamannya dengan agunan
Pinjaman dari keluarga saja karena saya takut untuk pinjam keluar
Sumber Data : Data Primer, 2012.
pemasaran pada masing-masing sampel dapat disajikan pada tabel 24. Dalam hal pemasaran, para pelaku usaha mengirimkan barang produksinya kepada para penjual tanpa adanya keterlibatan dari pemerintah. Dan bila ada kerjasama dengan pihak swasta itupun murni atas usahanya sendiri yang tekun memasarkan usahanya. Dukungan teknologi dalam mendukung setiap kegiatan akan melahirkan dan menciptakan efektivitas dan efisiensi usaha dapat tercapai. Tidak memakan waktu lama merupakan alasan positif penggunaan teknologi dalam usaha. Sehingga jumlah produksi akan lebih mudah diperoleh dalam waktu yang singkat. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 25. Sebagian besar informan menggunakan alat teknologi yang dapat mendukung hasil usahanya, sedangkan yang masih manual dikarenakan mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli alat teknologi yang dapat mendukung usahanya.
Modal menjadi suatu permasalahan dalam produksi apabila tidak terpenuhi dengan baik, guna mengatasi hal tersebut para pelaku usaha menutupi kekurangan modalnya dengan meminjam salah satu koperasi atau lembaga permodalan lainnya yang ada didesa, untuk lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Mencermati fakta di lapangan pada tabel di atas, mengungkapkan bahwa lembaga permodalan yang membantu informan adalah BUMK, Koperasi dan dari perbankan. Lembaga permodalan tersebut memberikan bantuan dengan bunga ringan dan pinjamannya disertai agunan. Pameran hasil usaha menjadi sebuah ekspos hasil-hasil produksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Selain itu pameran juga dapat sebagai ajang promosi bagi pelaku usaha yang ingin lebih memperkenalkan produknya kepada publik. Untuk melihat pameran yang dilaksanakan oleh pemerintah, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
294 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Tabel 27. Pameran yang Dilakukan oleh Pemerintah. Informan
Desa/Kecamatan/Kab Pelaku Usaha 1 Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Pelaku Usaha II
Pelaku Usaha III
Ya, pameran selalu ada setiap tahun
Ya, di kabupaten
Ya, pameran lokal dan nasional di Bandung dan dibbiayai oleh Bupati Lampung Tengah
Pameran iya ada di Kabupaten, dan itu salah satu saya bisa promosi lanting ini
Selama ini saya belum pernah ikut terlibat dalam pameran
Ya
Iya, kadang Kabupaten/kecamatan
Belum pernah
Desa Sindoasri Kecamatan Pernah dari dinas pertanian Candipuro Kabupaten Lampung Selatan Sumber Data : Data Primer, 2012
dari
Tabel 28. Faktor Pendukung dan Penghambat. Desa/Kecamatan/ Kab Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Pelaku Usaha 1 Faktor pendukungnya adalah dari BKKBN berupa alat-alat yang terbuat dari stainless, kendalanya terletak pada iklim dan musim penghujan yang bisa mematikan pembibitan
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Faktor penghambatnya yaitu kesulitan pada permodalan untuk beli bantuan alat karena kami kesulitan untuk memencetnya jika datang hari hujan. Pendukungnya adalah persaingan banyak tapi kami bersaing sehat jadinya tidak ada masyarakat disini yang memiliki sifat iri terhadap usaha kami
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Dukungannya, pak camat sangat mendukung usaha kami Penghambatnya bahan baku sulit untuk pembuatan kripik pisang,tdak sebanding dengan permintaan pasar yang semakin tinggi.
Informan Pelaku Usaha II Persaingan banyak, barang susah didapat dan harus ke tanjung karang. Pendukungnya banyak
Penghambatnya yaitu bila musim kemarau akan mengurangi jumlah pemesanan, dan bila masuk penghujan permintaan semakin banyak. Pendukungnya kompetitor untuk usaha ini cenderung sedikit dan itu modal untuk bisa saya buka cabang untuk usaha ini Kendalanya bahan baku pisang yang sulit dan persaingannya ketat, dukunganya konsumen tetap mencari produk kami meski banyak pedagang mengeluarkan kripik pisang dengan citra rasa yang berbeda.
Pelaku Usaha III Faktor pendukungnya bahan baku mudah didapat, kendalanya packingnya kurang dan maunya yang berbentuk kardus serta saingannya banyak
Faktor pendukungnya tenaga kerja tidak ada yang bermasalah, faktor hambatannya bahan baku sulit dan kadang bagus atau tidak, pemasaran yang juga jadi kendala dan modal
Penghambat hanya modal saja, pendukungnya bahan baku mudah didapat
Sumber Data : Data Primer, 2012.
Mayoritas informan pelaku usaha mengungkapkan bahwa mereka secara aktif mengikuti pameran yang berlangsung. Dan dari keikutsertaannya dalam pameran, hasil produknya dapat diketahui masyarakat umum. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi pelaku usaha dalam mengembangkan profesinya dapat dilihat pada tabel 28. Sebagaimana yang tertuang dalam tabel di atas, menyiratkan bahwa informan menghadapi kendala pada ketersediaan bahan baku, pemasaran, tingkat persaingan yang tinggi dan faktor pendukungnya adalah tertuju pada dukungan dari pemerintah terkait maupun tenaga kerja yang cukup dihandalkan.
Kewirausahaan desa selain untuk memperbaiki penghasilan masyarakat juga dapat menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat untuk memiliki daya saing dan unggul dalam memanfaatkan potensi-potensi yang ada didesanya atau juga menjadi intrument bagi masyarakat untuk menggali bakat dan kemampuannya. Untuk melihat strategi yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan di tingkat daerah dan desa dapat diinventarisir pada tabel 29. Seperti kita ketahui menggali potensi dalam diri sendiri tidaklah mudah, berbagai cara dilakukan oleh para pelaku usaha untuk mencoba berbagai peluang usaha yang ada di desa. Sampai saat ini para pelaku usaha menikmati perannya sebagai pengusaha
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 295
Tabel 29. Strategi Pemerintah Daerah dan Desa dalam Mengembangkan Kewirausahaan. Desa/Kecamatan/Kab
Informan
Kampung Suka Jawa Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
Pemerintah Daerah Strateginya secara intensif melatih mereka bahkan membuka jejaring dengan pihak lain seperti yang ingin menjalin kemitraan dengan Unila
Desa Karang Rejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran
Strateginya dengan mengirim pelaku usaha yang ada di desa biar mereka bisa sekaligus mempromosikan usahanya
Desa Sindoasri Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan
Strateginya kami ingin mengembangkan produk unggulan di sini yaitu sawit, dengan alasan (1) lokasi sawit sangat besar, (2) dan sampai saat ini kami ingin bekerjasama dengan unila untuk menjadi home industri dan juga ingin membuat suatu desa percontohan yaitu desa batulima yang mana dari daun sawit akan diintegrasikan untuk pupuk organik yang dicampur dengan batang padi untuk menjadi pakan ternak.
Pemerintah Desa Strateginya adalah dengan (1) berupaya untuk pembibitan ikan karena potensi disni banyak kolam ( 2) ada limbah pakan ikan dari ternak seudah berjalan dan dibentuk ikan patin. (3) membentuk kelompok pengguna limbah pakan ikan dan mereka yang sudah punya ikan dan saat ini sudah berjalan selama 2 tahun, (4) dan memprosesnya untuk menjadi makanan ikan dan bila ada keterkaitan dengan mereka dan pelatihannya di Sukabumi Harus terus dibekali dan didampingi tidak dilepaskan begitu saja para pengusaha ini, karena bagaimanapun mereka para pelaku secara langsung membuka lapangan kerja buat masyarakat sekitar dan juga kami ingin membentuk koperasi biar bisa diadakan untuk menampung hasil-hasil usaha masyarakat Dengan bantuan sarana prasarana, pelatihan 3 hari dan pelatihan 3 hari tersebut diambil dari tetangga-tetangga dan dusun sekitar 25 orang dan bantuan dari pertanian yaitu CSR.
Sumber Data : Data Primer, 2012.
dengan melakukan inovasi, kreativitas dan imajinasinya dalam mengembangkan produksi usahanya baik dalam hal pengemasan, citra rasa, kualitas, pemasaran maupun manajemen. Seperti yang dilakukan dalam usaha kripik pisang yang awalnya memiliki rasa coklat, dan gurih tetapi sekarang sudah berkembang menjadi rasa melon, strawbery, mocca, keju, susu, balado, coco coffe, durian, melon bahkan produksi dikembangkan lagi ke produk pembuatan kripik buah yang berasa nangka, nanas. Pengaromaan usaha kripik buah tersebut diperoleh dari hasil pemagangan di Malang. Hal ini sepadan dengan yang dikemukakan oleh Prawirokusumo yaitu Wirausaha adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumberdaya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup. Diperkuat juga oleh Zimmerer bahwa untuk mencapai pengembangan kewirausahaan melalui cara-cara sebagai berikut: (1) Pengembangan teknologi baru (developing new technology) yang dapat diamati dari pengaplikasian alat-alat pendukung usaha para pelaku yang terdiri dari vacum, alat pemotong, dll. (2) Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge), hal ini bisa diperoleh melalui pemagangan. Dimana
informan ada yang melakukan tukar pengetahuan di daerah Malang untuk mengetahui pengemasan yang dilakukan oleh CV.Sokresh maupun Pemagangan di Bejo Keramik dan (3) Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services), dan (4) Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources). Penggalian gagasan ide untuk mengembangkan usaha para pelaku, dirasakan dapat disinkronkan dengan potensi desa yang ada. Hal ini sebagai salah satu menjaga kearifan lokal dan pemanfaatan SDA yang ada. Menurut Muhi (2011) potensi desa mencakup: (1) potensi geografis desa (aspek topologi dan aspek non biotik); (2) potensi sumberdaya alam di wilayah desa (sumberdaya tanah, sumberdaya hutan, serta sumberdaya air dan kelautan); (3) potensi sumberdaya manusia di perdesaan (angkatan kerja dan pengangguran); (4) sumberdaya ekonomi di perdesaan (potensi ekonomi desa, peluang kerja, dan usaha di desa); (5) potensi sosial dan budaya di perdesaan; (6) potensi kelembagaan di desa; (7) sarana dan prasarana di desa. Bervariasinya usaha yang digeluti para pelaku
296 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
menjadikan adanya tuntutan untuk melakukan intriks-intriks yang bisa tampil beda, sehingga konsumen tidak berpaling pada produk lainnya. Misalnya dalam hal jenis usaha yang langka dan jarang dilakukan oleh pengusaha lain seperti produksi pupuk organik. Selain membutuhkan modal yang sangat besar namun usaha ini juga menuntut pengusaha memiliki jaringan koneksi yang kuat. Selaras pula yang dikemukakan oleh Druckjer bahwa Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengembangan kewirausahaan dilaksanakan sesuai dengan minat, bakat, potensi kaum muda, potensi daerah, dan arah pembangunan nasional. Dalam kaitan ini, pemerintah, pemerintah daerah, organisasi kepemudaan dan/atau masyarakat melakukan penelusuran dan identifikasi terhadap minat, bakat, serta potensi kaum muda. Pemerintah melakukan pemetaan potensi nasional dalam rangka pengembangan kewirausahaan. Pemerintah daerah melakukan pemetaan potensi daerah dalam rangka pengembangan kewirausahaan. Adapun Fasilitasi pengembangan kewirausahaan dilaksanakan melalui: (1) pelatihan; (2) pemagangan; (3) pembimbingan; (4) pendampingan; (5) kemitraan; (6) promosi; dan (7) bantuan akses permodalan. Pada dasarnya pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun dari aspek kebijakannya. Karena pada umumnya program Pemberdayaan bertujuan untuk mengembangkan kreativitas di bidang usaha masyarakat, membangun pertumbuhan ekonomi masyarakat serta pemberdayaan kegiatan dan peningkatan pendapatan.Artinya bahwa pengelolaan usaha ekonomi masyarakat dibutuhkan orang yang memiliki jiwa inovatif, kreatif serta berani mengambil resiko namun tidak meninggal semangat persaudaraan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat setempat. Para pelaku usaha praktiknya mengalami hambatan dalam permodalan, berupaya mencari modal yang bersumber dari perbankan, koperasi dan Badan Usaha Milik Kampung (BUMK). Hal yang perlu dicermati dalam usaha pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi melalui aspek permodalan ini adalah: (1) bagaimana pemberian bantuan modal ini tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat; (2) bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang kondusif baru usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan akses di lembaga keuangan; (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan pengalokasian modal ini
tidak terjebak pada perekonomian subsisten atau ekonomi kere. Tiga hal ini penting untuk dipecahkan bersama. Karena inti pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Tidak hanya permodalan, tetapi para pelaku usaha juga membutuhkan Pendampingan dan sampai saat ini belum dilakukan intesif pedampingan yang dilakukan pemerintah kepada pengusaha. Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan baik antara usaha mikro, usaha kecil, maupun usaha menengah dengan usaha besar. Sedangkan pelatihan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menumbuhkembangkan potensi wirausaha di desa adalah dengan cara membekali mereka dengan pelatihan seperti pelatihan manajemen usaha, pelatihan tentang disain kemasan, manajemen pemasaran, pembukuan sederhana, dan motivasi usaha ekonomi keluarga, pelatihan mengenal zat pewarna, pelatihan sertifikasi SIUP, dll seperti yang telah tersirat pada tabel di atas. Dan Pelatihan tersebut hanya diikuti oleh sebagian informan yang menjadi sampel dalam penelitian ini, khusus untuk Pengusaha Kemplang sampai saat ini belum pernah mengikuti pameran ataupun pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Di tambah lagi pemerintah desa sendiri pun belum sepenuhnya mampu mengembangkan wirausaha yang ada di desa, karena pelaku usaha secara mandiri membangun usahanya melalui kerja keras dan ketekunan. Lemahnya peran pemerintah desa dalam mensupport para pelaku usaha akan memungkinkan tidak tercapainya tujuan pengembangan kewirausahaan secara optimal. Seperti yang ditekankan pula oleh Anto bahwa tujuan pengembangan kewirausahaan desa hanya akan tercapai secara optimal apabila tokoh desa, dalam hal ini kepala desa, memiliki spirit atau semangat kewirausahaan desa yang tinggi. Sebagai kepala desa, dia adalah sosok yang musti “lengkap” semangatnya di dalam mengelola kondisi sosial masyarakat. Jika kepala desanya tidak memiliki semangat kewirausahaan, maka harus ada staf-nya yang pandir di dalam hal kewirausahaan. Kepala desa harus sering-sering mengumpulkan tokoh-tokoh kampng (RT/RW) dan di ajak berbincang tentang kewirausahaan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat diketahui temuan-temuan lapangan yang bisa menjadikan suatu bahan masukan yang signifikan kepada pemangku kebijakan yang ada yaitu; (1) Pemerintah daerah masih sebatas memfasilitasi pelaksanaan pelatihan dan tidak sampai pada tahap pedampingan maksimal di lapangan; (2) Pemerintah desa belum optimal dalam mengembangkan kewirausahaan di desa, perannya hanya sebatas mengusulkan peserta yang akan mengikuti pelatihan; (3) Mayoritas pelaku usaha masih menggunakan alat tradisional untuk menyelesaikan proses produksi; (4) Pengembangan
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 297
kewirausahaan yang ada didesa masih pada kategorisasi usaha kecil dalam keluarga; (5) Sebagian masyarakat sampel, belum membuat produk hukum yang berkenaan dengan pengembangan kewirausahaan desa, (6) Pengembangan kewirausahaan desa berdasarkan potensi di desa masing-masing, hanya saja untuk memperoleh bahan baku untuk produksinya tersebut di peroleh di wilayah lain, (7) Minimnya pengaplikasian administrasi pembukuan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, (8) Produk Pengemasan untuk jenis usaha makanan masih terbilang sederhana; (9) Pemasaran produksi masih sebatas regional yang sama, dan bilapun ada yang ke luar wilayah Lampung itu pun atas kemitraan yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah tepat yang dapat dikembangkan untuk membangkitkan gairah kewirausahaan di desa dapat dilihat pada gambar berikut ini: Potensi Desa
Peluang pengembangan kewirausahaan desa
pedampingan dan pengawasan langsung kepada para pelaku usaha sebagai wujud atensi dari pemangku kebijakan, (3) membuat regulasi berupa Pergub/Perbup atau Perda yang mengangkat masalah pengembangan kewirausahaan desa, (4) pemerintah dapat menjembatani antara pelaku usaha dengan perusahaan swasta. Sehingga terbuka peluang pelaku usaha di desa untuk bekoordinasi dan mempromosikan produknya, (5) menganggarkan pengembangan kewirausahaan pada tahun berikutnya agar tidak hanya pelatihan yang bisa diperoleh pelaku usaha namun juga permodalan, (6) para pelaku usaha dapat mengembangkan ide usahanya lebih maksimal melalui studi banding ke pelaku usaha lain yang sejenis, guna bertukar pikiran ataupun mempelajari hal-hal positif yang bermanfaat bagi usahanya misalnya dalam hal pemasaran, pengemasan, ataupun pembukuan, (7) pelaku usaha dapat membentuk kelompok usaha yang sejenis di dalam desa, agar menjadi semakin solid dan bisa membangun usahanya yang lebih besar dari yang
Potensi Kaum Pemuda
• • •
Menggali kemampuan pemuda yang ada di desa Menumbuhkan jiwa enterprenur dalam diri kaum pemuda Membentuk kelompok usaha yang dikelola oleh pemuda dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa
Sosialisasi Pelatihan
• •
Pendataan ulang terhadap pelaku usaha Penyebaran informasi pelatihan kepada
Pemberian bantuan sarpras berbasis teknologi
• •
Bantuan sarana prasarana oleh Pemerintah Bantuan sarana prasarana dari pihak swasta
Kemitraan dalam Pemasaran
•
Membentuk koperasi yang mampu menampung hasil-hasil usaha Menumbuhkan entitas kepada mitra usaha terhadap produk yang ditawarkan Memasarkan hasil usaha melalui pameran berskala nasional
• •
SIMPULAN Sejalan dengan lajunya perkembangan kewirausahaan di desa, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu Peluang pengembangan kewirausahaan desa sangat besar dan dikategorikan sebagai usaha kecil dengan produk unggulannya yaitu bidang pertanian, perkebunan dan adanya pemanfaatan sumber daya alam yang juga potensial. Kewirausahaan yang ada di desa memiliki prospek yang bagus asalkan didukung oleh sarana prasarana, regulasi yang pro ke pelaku usaha dan adanya kepercayaan dari pihak lain untuk menjaring kemitraan kepada pelaku usaha. Dari apa yang tertera pada kesimpulan, saran yang dapat kami sampaikan guna mengembangkan kewirausahaan di desa adalah sebagai berikut : (1) pendataan ulang yang uptodate bagi para pelaku usaha dengan seksama dan valid serta membuat data base progress perkembangan usaha para pelaku secara terperinci dan komprehensif, (2) melakukan
masyarakat
semula, (8) membuat administrasi pembukuan secara sederhana untuk mengetahui perkembangan usaha yang ditekuninya. DAFTAR PUSTAKA Anto, Sugianto. 2011. “Menggagas Kewirausahaan Desa.” Kompasiana, 16 Juni 2011. Cakera, I Ketut. 2012. “Bangun Wirausaha Idealnya Rp. 5 Miliar Per Tiap Tahun”, Suara Pembaharuan, Selasa 3 April 2012. Hasan,Syarifuddin. 2011. “Jumlah Wirausaha Indonesia Masih rendah”, Kompas.com, Minggu 27 Pebruari 2011. Irawady, EdyPutra. 2011. “Pemda Diimbau Kembangkan Potensi Wirausaha”, Info Publik Ditjen Informasi dan Komunikasi Politik, Kamis, 12 Mei 2011. Lestari, Dewi. 2011. Konsep Pengembangan Desa Entrepreneur. FE Tanjungpura
298 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
Muhi,
Ali Hanapiah. 2011. Desa: Analisis Permasalahan, Potensi, dan Pengembangan. Jatinangor: Alqa Prisma. Mujahidin. 2012. Perilaku Negara Dalam mengembangkan Kewirausahaan. Sumut: IKS FISIP UMSU. Ningsih, Suria. 2012. Urbanisasi dan Kaitannya Dengan Hukum dan Kependudukan. Sumut: FH USU. Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 2011 Tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, Serta Penyediaan Prasarana dan Prasarana Kepemudaan. Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: PKB Kemendiknas. Radjasa, Hatta. 2012. “Indonesia Perlu 4 Juta Wirausaha”, Tribun Kalteng, Minggu 29 April 2012. Tjiptoherijanto, Prijono. 2007. Urbanisasi, Mobilitas, dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: FE-UI. Undang-undang No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan. __________, Ada 3,744 Juta Wirausahawan Selama 2011. 2012. Tribunnews.com, Kamis 8 Maret 2012. ___________, Jumlah Wirausahawan Perlu Ditingkatkan. 2011. Lampung Post.Com, Jum’at 25 Nopember 2011. ___________,Potensi Besar Wirausaha Desa Belum Tergarap. 2012. Pikiran Rakyat Online, Selasa 13 Juli 2012.
Peluang Mengembangkan Kewirausahaan Desa Berbasis Potensi Desa - Ray Septianis Kartika | 299
300 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 281 - 300
OPTIMALISASI SIMDA DALAM MEWUJUDKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KAB. KUTAI KARTANEGARA YANG LEBIH BERKUALITAS SIMDA OPTIMIZATION IN MAKING FINANCIAL MANAGEMENT KUTAI REGENCY MORE QUALITY M. Soleh Pulungan Balitbangda Kukar Provinsi Kaltim Jl.WR. Mongonsidi Komplek Kantor Bupati Gedung Bappeda-Balitbangda Lt.4 E-mail:
[email protected] Diterima: 11 Oktober 2013; direvisi: 31 Oktober 2013; disetujui: 10 November 2013
Abstrak Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui: (1). Implementasi SIMDA terhadap pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara. (2). Kesiapan sumber daya manusia yang bertugas mengelola keuangan daerah serta mengetahui permasalahan yang dihadapi. (3). Dukungan dan fungsi Infrastruktur terhadap implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penelitian ini bersifat survey dengan pendekatan penelitian bersifat deskriptif evaluative. Populasi penelitian terdiri dari 18 kecamatan dengan sample penelitian berjumlah 15 kecamatan, yang ditetapkan secara purposive sampling. Hasil kajian Implementasi SIMDA di Kutai Kartanegara relatif telah cukup tinggi. Semua produk SIMDA dapat dilakukan diatas rata-rata standard yang ditetapkan regulasi. Kesiapan sumberdaya manusia terhadap implementasi SIMDA di relatif cukup baik. Dukungan jaringan terhadap implementasi SIMDA sudah cukup tinggi. Software SIMDA diakui cukup bagus, namun cukup rentan dengan serangan virus. Kata kunci: SIMDA, keuangan, implementasi, jaringan, regulasi
Abstract The purpose of this study was to determine (1) .SIMDA implementation of the financial management area in Kutai regency (2). Readiness of human resources in charge of managing local finances and knowing the problems faced (3) Infrastructure and support functions to the implementation SIMDA in Kutai regency. This study is a survey with a descriptive evaluative research approach. The study population consisted of 18 districts with a total study sample of 15 districts , which are set by purposive sampling. Implementation results of the study in Kutai Kartanegara SIMDA have relatively high. All products SIMDA can do above average standards set regulations. Readiness of human resources for the implementation SIMDA in relatively good. Network support for implementation SIMDA already high enough. Software SIMDA admittedly quite good, but is quite vulnerable to virus attacks . Keywords: SIMDA , financial , implementation , networking , regulation
PENDAHULUAN Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam reformasi anggaran dan keuangan berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku sangat beragam dan kompleks. Hal ini dapat dimaklumi karena selain peraturan yang belum difahami oleh semua pegawai yang terlibat dalam system pelaporan keuangan daerah, tetapi lebih dari pada itu adalah kesulitan yang diakibatkan oleh keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah. Mulai dari pengesahan anggaran sampai pada penyusunan laporan keuangan yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya dukungan sumber daya manusia yang berkompeten, lemahnya koordinasi, dan tidak memadainya teknologi yang digunakan. Beberapa contoh yang lebih spesifik adalah pengetahuan pegawai dalam memahami isi peraturan
yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah masih tergolong minim, disamping teknologi system manajemen keuangan daerah yang dipergunakan (SIMDA) oleh Kabupaten Kutai Kartanegara belum didukung perangkat yang memadai dan keterpaduan perancanaan dan penganggaran dan ketepatan waktu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu terjadinya perbedaan persepsi terhadap arah pembangunan yang diwujudkan dalam RAPBD menimbulkan konflik kepentingan antara DPRD dan Eksekutif sehingga pengesahan RAPBD sering tertunda. Kondisi ini akan berakibat bahwa tahapan pembangunan yang dirancang sering kali berjalan tidak sesuai dengan kalender anggaran yang telah ditetapkan, padahal menurut peraturan yang berlaku setiap anggaran Pemerintah Daerah harus sudah disyahkan pada akhir Desember untuk tahun anggaran berikutnya yang akan berjalan. Oleh sebab itu lebih mempercepat proses pengesahan anggaran
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 301
baik pihak eksekutif maupun legeslatif harus melakukan pendekatan yang tegas dalam menerapkan langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian proses APBD secara efektif, efisien, dan tepat waktu. Kemampuan pemerintah daerah dalam menangani persoalan-persoalan di atas sudah barang tentu berbeda-beda. Bahkan di beberapa daerah telah melakukan lompatan besar dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik. Seperti halnya kabupaten Kebumen di Provinsi Jawa Tengah, kota Pare-pare, dan kota Takalar di Sulawesi Selatan, serta kota Banda Aceh Besar di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan contoh pemerintah daerah yang relative maju dalam peningkatan transparansi pengelolaan keuangan. Daerah-daerah tersebut telah menerapkan pendekatan yang komprehensif dan di saat yang bersamaan mereformasi susunan organisasi pengelolaan keuangan serta daya dukung SDM-nya. Sementara Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur menurut audit BPK juga telah berhasil mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (2012). Dalam rangka mendukung good governance dan clean governance dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perlu diselenggarakan pengelolaan keuangan daerah secara professional, terbuka dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. UndangUndang No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara mewajibkan pemerintah daerah dan satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran untuk menyusun laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban keuangan. Laporan keuangan berupa neraca, laporan arus kas, dan catatan atas keuangan harus disajikan sesuai peraturan pemerintah No. 24 tahun 2005 tenttang Standar Akuntansi Pemerintah. Pemerintah daerah memerlukan system yang dapat menghasilkan laporan keuangan dan informasi keuangan lainnya secara lebih komprehensif yang meliputi informasi mengenai posisi keuangan daerah, kondisi kinerja keuangan, dan akuntabilitas Pemerintah Daerah. System tersebut juga harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri N0. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Terkait dengan hal ini, maka Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun system manajemen keuangan daerah dengan SIMDA yang bekerjasama dengan BPKP. Namun demikian, untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah dengan SIMDA harus didukung oleh PNS yang memahami dan mampu menggunakan program SIMDA, terutama untuk bidang teknis penganggaran, akuntansi dan pengelolaan keuangan.
SIMDA merupakan program aplikasi komputer yaitu suatu program aplikasi yang ditujukan untuk membantu pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya secara terintegrasi yang dimulai dari penganggaran, akuntansi, dan pengelolaan keuangan daerahnya. Dengan aplikasi ini, pemda dapat melaksanakan pengelolaan keuangan daerahnya secara terintegrasi, dimulai dari pengenggaran, penata usahaan, hingga akuntansi dan pelaporannya. Dengan demikian output dari aplikasi ini adalah sebagai berikut: (1). Penganggaran: Rencana Kerja Anggaran (RKA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), APBD beserta perubahannya, dan Surat Penyediaan Dana (SPD). (2). Penatausahaan: Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Surat Tanda Setoran (STS), beserta register-register, dan formulir-formulir pengendalian lainnya. (3) Akuntansi dan Pelaporan: Jurnal, Buku Besar, Buku Pembantu, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Neraca. Program aplikasi SIMDA ini, juga didukung dengan beberapa buku manual, yaitu: Buku manual system dan Prosedur Anggaran, Buku manual system dan Prosedur Penatausahaan, Buku manual system dan Prosedur Akuntansi dan Pelaporan, dan Buku Pedoman Pengoperasian Aplikasi SIMDA versi 2.1 System pengelolaan keuangan daerah yang berbasis akural memerlukan dukungan program yang mampu mengelola ribuan transaksi secara cepat, tepat, dan akurat serta didukung oleh tersedianya sumber daya manusia yang mampu mengelola system tersebut sehingga menghasilkan capaian target yang maksimal. Sementara itu dukungan infrastruktur aplikasi SIMDA masih belum optimal karena tidak semua wilayah SKPD dapat diakses, terutama SKPD yang berada di wilayah kecamatan dan kelurahan. Padahal untuk proses pengelolaan keuangan daerah dengan menggunakan aplikasi SIMDA harus didukung oleh adanya akses internet. Berdasarkan uraian di atas, proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara masih dihadapkan pada permasalahan pokok, yang terdiri dari masalah sumberdaya manusia, masalah peraturan perundang-undangan, dan masalah infrastruktur. (1). Masalah sumberdaya manusia (SDM); masih lemahnya sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah dalam memahami peraturanperaturan yang berkaitan dengan keuangan daerah, sehingga sering kali apa dan bagaimana yang telah dilakukan ternyata dinilai salah oleh pihak Inspektorat atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (2). Masalah Peraturan Perundang-undangan; Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah masih mempunyai potensi multi penafsiran sehingga menimbulkan banyak persepsi mengenai tata laksana keuangan
302 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
daerah. (3). Masalah Infrastruktur; penerapan SIMDA memerlukan akses internet yang baik di seluruh wilayah SKPD berada, karena system SIMDA yang online mengharuskan seluruh proses keuangan daerah dilaksanakan secara online, untuk itu fasilitas untuk mendukung proses keuangan secara online tersebut harus tersedia dengan baik. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini baru beberapa wilayab SKPD yang mampu mengakses internet. Berdasarkan masalah-masalah yang muncul dalam implementasi SIMDA terhadap proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara ini, maka tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui: (1). Implementasi SIMDA terhadap pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara. (2). Kesiapan sumber daya manusia yang bertugas mengelola keuangan daerah serta mengetahui permasalahan yang dihadapi. (3). Dukungan dan fungsi Infrastruktur terhadap implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ruang lingkup kajian ini meliputi seluruh SKPD di kabupaten Kutai Kartanegara sebagai rangkaian system pengelolaan keuangan daerah. SKPD yang dimaksudkan bukan hanya yang dianggap dengan standar ruang lingkup pekerjaan yang luas dan kompleks, tetapi termasuk SKPD dengan ruang lingkup pekerjaan yang relative kecil dan sederhana seperti halnya di Kelurahan dan Desa. Secara teoritis pengertian SIMDA dalam suatu pemahaman yang sederhana dapat didefinisikan sebagai satu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi beberapa pemakai dengan kebutuhan yang serupa. Para pemakai biasanya tergabung dalam suatu entitas organisasi formal, seperti Departemen atau Lembaga suatu Instansi Pemerintahan yang dapat dijabarkan menjadi Direktorat, Bidang, Bagian sampai pada unit terkecil dibawahnya. Informasi menjelaskan mengenai organisasi atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang sedang terjadi sekarang dan apa yang mungkin akan terjadi dimasa yang akan datang tentang organisasi tersebut. Sistem informasi memuat berbagai informasi penting mengenai orang, tempat, dan segala sesuatu yang ada di dalam atau di lingkungan sekitar organisasi. Informasi sendiri mengandung suatu arti yaitu data yang telah diolah ke dalam suatu bentuk yang lebih memiliki arti dan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Data sendiri merupakan faktafakta yang mewakili suatu keadaan, kondisi, atau peristiwa yang terjadi atau ada di dalam atau di lingkungan fisik organisasi. Data tidak dapat langsung digunakan untuk pengambilan keputusan, melainkan harus diolah lebih dahulu agar dapat dipahami, lalu dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Informasi harus dikelola dengan baik dan memadai agar memberikan manfaat yang maksimal. Penerapan sistem informasi di dalam suatu
organisasi dimaksudkan untuk memberikan dukungan informasi yang dibutuhkan, khususnya oleh para pengguna informasi dari berbagai tingkatan manajemen. Sistem informasi yang digunakan oleh para pengguna dari berbagai tingkatan manajemen ini biasa disebut sebagai: Sistem Informasi Manajemen. Sistem informasi mengandung tiga aktivitas dasar di dalamnya, yaitu: aktivitas masukan (input), pemrosesan (processing), dan keluaran (output). Tiga aktivitas dasar ini menghasilkan informasi yang dibutuhkan organisasi untuk pengambilan keputusan, pengendalian operasi, analisis permasalahan, dan menciptakan produk atau jasa baru. Masukan berperan di dalam pengumpulan bahan mentah (raw data), baik yang diperoleh dari dalam maupun dari lingkungan sekitar organisasi. Pemrosesan berperan untuk mengkonversi bahan mentah menjadi bentuk yang lebih memiliki arti. Sedangkan, keluaran dimaksudkan untuk men-transfer informasi yang diproses kepada pihak-pihak atau aktivitasaktivitas yang akan menggunakan. Sistem informasi juga membutuhkan umpan balik (feedback), yaitu untuk dasar evaluasi dan perbaikan di tahap input berikutnya. Dewasa ini, sistem informasi yang digunakan lebih berfokus pada sistem informasi berbasis komputer (computer-based information system). Harapan yang ingin diperoleh di sini adalah bahwa dengan penggunaan teknologi informasi atau sistem informasi berbasis komputer, informasi yang dihasilkan dapat lebih akurat, berkualitas, dan tepat waktu, sehingga pengambilan keputusan dapat lebih efektif dan efisien. Perkembangan konsep ini masih belum mulus dan banyak organisasi mengalami kegagalan dalam aplikasinya karena adanya beberapa hambatan, misalnya: (a). kekurangpahaman para pemakai tentang computer. (b). kekurangpahaman para spesialis bidang informasi tentang bisnis dan peran manajemen. (c). relatif mahalnya harga perangkat komputer, serta (d). terlalu berambisinya para pengguna yang terlalu yakin dapat membangun sistem informasi secara lengkap sehingga dapat mendukung semua lapisan manajer. Konsep SIM terus berkembang, Morton, Gorry, dan Keen dari Massachussets Institute of Technology (MIT) mengenalkan konsep baru yang diberi nama Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support Systems - DSS). DSS adalah sistem yang menghasilkan informasi yang ditujukan pada masalah tertentu yang harus dipecahkan atau keputusan yang harus dibuat oleh manajer. Perkembangan yang lain adalah munculnya aplikasi lain, yaitu Otomatisasi Kantor (office automation OA), yang memberikan fasilitas untuk meningkatkan komunikasi dan produktivitas para manajer dan staf kantor melalui penggunaan peralatan elektronik. Belakangan timbul konsep baru yang dikenal dengan nama Artificial Intelligence (AI), sebuah
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 303
konsep dengan ide bahwa komputer bisa diprogram untuk melakukan proses lojik menyerupai otak manusia. Suatu jenis dari AI yang banyak mendapat perhatian adalah Expert Systems (ES), yaitu suatu aplikasi yang mempunyai fungsi sebagai spesialis dalam area tertentu. Semua konsep di atas, baik PDE, SM, OA, DSS, EIS, maupun AI merupakan aplikasi pemrosesan informasi dengan menggunakan komputer dan bertujuan menyediakan informasi untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Peran Sistem Informasi dalam Manajemen; Manajemen tidak dapat mengabaikan sistem informasi karena sistem informasi memainkan peran yang kritikal di dalam organisasi. Sistem informasi ini sangat mempengaruhi secara langsung bagaimana manajemen mengambil keputusan, membuat rencana, dan mengelola para pegawainya, serta meningkatkan sasaran kinerja yang hendak dicapai, yaitu bagaimana menetapkan ukuran atau bobot setiap tujuan/kegiatan, menetapkan standar pelayanan minimum, dan bagaimana menetapkan standar dan prosedur pelayanan baku kepada masyarakat. Oleh karenanya, tanggung jawab terhadap sistem informasi tidak dapat didelegasikan begitu saja kepada sembarang pengambil keputusan. Semakin meningkat saling ketergantungan antara rencana strategis instansi, peraturan dan prosedur di satu sisi dengan sistem informasi (software, hardware, database, dan telekomunikasi) disisi yang lainnya. Perubahan di satu komponen akan mempengaruhi komponen lainnya. Hubungan ini menjadi sangat kritikal manakala manajemen ingin membuat rencana ke depan. Aktivitas apa yang akan dilakukan lima tahun ke depan biasanya juga sangat tergantung kepada sistem apa yang tersedia untuk dapat melaksanakannya. Sebagai contoh, peningkatan produktivitas kerja para pegawai sangat tergantung pada jenis dan kualitas dari sistem informasi organisasi. Perubahan lain dalam hubungan sistem informasi dengan organisasi adalah semakin meningkatnya cakupan dan ruang lingkup dari sistem informasi dan aplikasinya. Pengembangan dan pengelolaan sistem dewasa ini membutuhkan keterlibatan banyak pihak di dalam organisasi, jika dibandingkan peran dan keterlibatanya pada periodeperiode yang lalu. Sebagaimana sudah disampaikan dengan meningkatnya kecenderungan organisasi berteknologi digital, maka sistem informasi di dalam organisasi dapat meliputi jangkauan yang semakin luas hingga kepada masyarakat, instansi pemerintahan lainnya, dan bahkan informasi mengenai perkembangan politik terakhir. Jaringan yang terluas dan terbesar yang digunakan adalah internet. Hampir setiap orang di seluruh dunia ini, baik yang bekerja di dunia sains, pendidikan, pemerintah, maupun kalangan pebisnis menggunakan jaringan internet untuk bertukar
informasi atau melakukan transaksi bisnis dengan orang atau organisasi lain di seluruh dunia. Internet menciptakan platform teknologi baru yang universal. Teknologi internet ini mampu mempertajam cara bagaimana sistem informasi digunakan dalam bisnis dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan penggunaan internet, di antaranya adalah untuk; Komunikasi dan kolaborasi, Akses data dan informasi, Partisipasi dalam diskusi, Supply informasi, Hobi atau bersenang-senang (entertainment), dan Pertukaran transaksi bisnis. Pertumbuhan yang pesat di teknologi komputer dan jaringan, termasuk teknologi internet telah mengubah struktur organisasi yang memungkinkan secara instan informasi didistribusi di dalam dan di luar organisasi. Kemampuan ini dapat digunakan untuk mendesain ulang dan mempertajam organisasi, mentransfer struktur organisasi, ruang lingkup organisasi, melaporkan dan mengendalikan mekanisme, praktik-praktik kerja, arus kerja, serta produk dan jasa. Pada akhirnya, proses bisnis yang dilakukan secara elektronis membawa organisasi lebih dikelola secara digital, yang membawa dampak pada hal-hal sebagai berikut: a) Organisasi semakin ramping. Organisasi yang gemuk dan birokratis lebih sulit untuk mengikuti perubahan yang pesat dewasa ini, kurang efisien, dan tidak dapat kompetitif. Oleh karenanya, banyak model organisasi ini sekarang dirampingkan, termasuk jumlah pegawainya dan tingkatan hirarkis manajemennya. b) Pemisahan pekerjaan dari lokasi. Teknologi komunikasi telah mengeliminasi jarak sebagai satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam pekerjaan. Di Indonesia, pelaporan keuangan pemerintah banyak diatur dalam Peraturan Perundangan seperti dalam PP No. 8 tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja institusi pemerintahan, yang secara detail diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Keuangan Pemerintahan. Di samping itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah diperbaharui dengan Permendagri No 59 tahun 2007 ikut memberikan pedoman bagi praktek akuntansi pengelolaan keuangan ditingkat daerah. Catatan atas laporan keuangan pemerintah, sebagai komponen dalam laporan keuangan pokok dimaksudkan agar laporan keuangan dapat difahami oleh pembaca secara luas, tidak terbatas hanya pembaca tertentu ataupun manajemen entitas pelaporan. Oleh karena itu laporan keuangan mungkin mengandung informasi yang dapat mempunyai potensi kesalahfahaman di antara pembaca (multi tafsir).
304 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
1.
2.
Menurut Penelitian-penelitian sebelumnya. Moonitz menyatakan disclosure sebagai postulat imperative. Selain itu dia mengungkapkan “That which is necessary to make them (accounting reports) not misleading)”. Disclosure merupakan informasi keuangan yang relevan baik itu yang masuk dalam bagian utama laporan keuangan atau di luarnya, termasuk metode-metode yang digunakan dalam laporan keuangan di mana terlebih dahulu dari satu pilihan, termasuk itu metode yang inovatif diluar konvensional. (Wolk, Tearney, and Dodd, 2000). Telah dilakukan pula survey mengenai kebutuhan pengguna laporan keuangan pemerintah yang dilakukan oleh Jones Etall pada tahun 1985, yang mampu mengidentifikasi item-item dalam laporan keuangan yang ditawarkan kepada pengguna sesuai dengan kebutuhannya. Informasi yang disajikan dalam penelitian ini antara lain: a. Informasi tentang kemampuan pemerintah dalam membayar utang jangka panjang dan utang jangka pendek. b. Analisa struktur pajak entitas c. Kepatuhan dengan prosedur anggaran d. Penjelasan detail tentang pendapatan dan pengeluaran e. Informasi tentang kemampuan pemerintah dalam membayar kembali utangnya dari sumber pendapatan tertentu f. Ukuran efisiensi dan efektifitas termasuk data dari tahun ke tahun g. Informasi penting lainnya mengenai kualitas laporan keuangan; jangka waktu dikeluarkannya laporan keuangan, surat manajemen auditor independen, standar yang menekankan pada perbandingan Adapun Peraturan yang menyangkut Pengelolaan keuangan; a. PP No. 8 tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja Institusi Pemerintahan b. PP No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Keuangan Pemerintahan c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah; e. Peraturan Daerah No. 2 tahun 2005 tentang pokok-pokok keuangan daerah; f. Peraturan Daerah No. 18 tahun 2004; g. Peraturan Daerah No. 16 tahun 2006; h. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara No. 11 tahun 2008; i. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara No. 12 tahun 2008;
j. k. l.
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara No. 15 tahun 2008; Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara No. 16 tahun 2008; Peraturan Bupati No. 1 tahun 2010 tentang pengelolaan keuangan daerah.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat survey dengan pendekatan penelitian bersifat deskriptif, evaluative. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengukur secara cermat terhadap fenomena permasalahan pengelolaan keuangan yang didasarkan pada sejauh mana implementasi SIMDA. Sedangkan menurut Nazir (1999), penelitian deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat, sedangkan studi analitis, ditujukan untuk menguji hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang hubungan-hubungan. Data pendukung (data skunder) adalah terkait dengan data series terkait pelaksanaan SIMDA di kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2008 atau 2009 sejak diberlakukannya System Informasi Manajemen Daerah. Lokasi Penelitian berada di wilayah Kutai Kartanegara dengan populasi sebanyak 18 kecamatan. Sementara itu, sampel penelitian 15 kecamatan yang ditetapkan secara purposive sampling, yang terdiri dari: Kecamatan Tenggarong Seberang, Kecamatan Loa Kulu, Kecamatan Loa Janan, Kecamatan Sebulu, Kecamatan Kota Bangun, Kecamatan Sanga-sanga, Kecamatan Aggana, Kecamatan Samboja, Kecamatan Marang Kayu, Kecamatan Muara Badak, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Muara Kaman, Kecamatan Muara Muntai, Kecamatan Muara Wis, dan Kecamatan Kenohan. Masing-masing kecamatan diwakili oleh person yang bersinggungan langsung dengan implementasi SIMDA, yang terdiri dari pengguna, operator dan administrasi SIMDA. Metode pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden yang telah ditentukan jumlahnya. Responden dipilih berdasarkan stratified sampling random. Dimana responden penelitian adalah seluruh Kasubbag Keuangan dan Bendahara pengeluaran di SKPD Pemkab Kutai Kartanegara dengan rincian. Dengan demikian total sampel penelitian adalah sebanyak 152 responden. Selain itu, penelitian ini juga melakukan interview dengan beberapa informan kunci (key informan) para implementator SIMDA. Penentuan informan kunci dilakukan secara purposive (sengaja), dengan memperhatikan aspek keterwakilan implementator SIMDA, yang terdiri dari administraror, operator, dan pejabat pengelola keuangan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisa data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif adalah
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 305
dengan menganalisa kecenderungan tingkat presentasi terkait fenomena yang terjadi. Hasil yang diperkirakan adalah dapat mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan program SIMDA dalam proses manajemen pengelolaan keuangan daerah Kutai Kartanegara. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengacu kepada hasil jawaban kuesioner yang disebar kepada responden untuk mengungkapkan implementasi SIMDA dalam pengelolaan keuangan di Kabupaten Kutai Kartanegera. Implementasi SIMDA yang terungkap dari jawaban responden tersebut, akan dikelompokkan ke dalam tiga hasil pokok yaitu: 1) Implementasi SIMDA, 2) Kesiapan Sumberdaya Manusia, dan 3) Dukungan dan Fungsi Infrastruktur. Implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara Implementasi SIMDA dilakukan pada setiap fungsi keuangan pemerintah seperti penganggaran, penatausahaan dan akuntansi serta pelaporan. Evaluasi terhadap implementasi SIMDA dilakukan dengan membandingkan waktu standard dan waktu faktual setiap proses penyelesaian satu produk SIMDA. Waktu standard adalah waktu penyelesaian output standard berdasarkan peraturan yang telah digariskan pemerintah, yaitu Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Sedangkan waktu faktual adalah waktu penyelesaian output rata-rata yang riil dihasilkan responden dalam satu SKPD. Perbandingan waktu faktual dan waktu standar akan menentukan tingkat implementasi SIMDA, dengan asumsi bahwa; a) jika waktu standar
lebih lama dibanding waktu faktual, maka SIMDA telah dapat diimplementasikan dengan baik. b) Jika waktu faktual lebih lama dibanding waktu standard, maka SIMDA belum dapat diimplementasikan dengan baik. Implementasi SIMDA yang pertama adalah impelemntasi dari aspek Penganggaran, yang meliputi proses pembuatan Rencana Kerja Anggaran (RKA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), dan Surat Penyediaan Dana (SPD). Tabel 4.1 berikut ini menggambarkan implementasi SIMDA dari Aspek Penganggaran. Tabel 1. memperlihatkan bahwa Implementasi SIMDA dari aspek penganggaran berada pada tingkat yang relatif tinggi. Proses pembuatan RKA dan DPA rata-rata tertimbang memerlukan waktu 2,97 dan 2,39 hari dari waktu standard 6 hari dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Proses pembuatan SPD rata-rata tertimbang hanya memerlukan 3,45 hari dari waktu standard 7 hari dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Dari ketiga proses dan jenis produk SIMDA dari aspek penganggaran, maka pembuatan DPA adalah yang paling tinggi tingkat implementasinya. Dengan demikian dapat diputuskan bahwa semua proses pembuatan produk SIMDA dari aspek penganggaran telah berada di bawah waktu standard yang ditetapkan oleh Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu di bawah 6 dan 7 hari. Implementasi SIMDA yang kedua adalah implementasi pada aspek penatausahaan, yang meliputi proses pembuatan Surat Perintah Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Perintah Penyediaan Dana (SP2D), dan Surat Tanda Setoran. Tabel 2. berikut ini perbandingan waktu tertimbang setiap proses
Tabel 1. Implementasi SIMDA pada Aspek Penganggaran.
Output
Waktu Standard (Hari) 6
Waktu Faktual (Hari) 2,97
Rencana Kerja Anggaran (RKA) Dokumen 6 2,39 Pelaksanaan Anggaran (DPA) Surat Penyediaan 7 3,45 Dana (SPD) Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Hasil Pengolahan Data Primer, 2011 Tabel 2. Implementasi SIMDA pada Aspek Penatausahaan. Waktu Standard Waktu Faktual (Hari) (Hari) Surat Perintah Pembayaran (SPP) 2 1,31 Surat Perintah Membayar (SPM) 2 1,46 Surat Perintah Penyediaan Dana (SP2D) 2 1,64 Surat Tanda Setoran (STS) 2 1,57 Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Hasil Pengolahan Data Primer, 2011 Output
306 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
pembuatan SIMDA dari aspek penatausahaan. Tabel 2 memberikan gambaran bahwa proses pembuatan Surat Perintah Pembayaran (SPP) adalah yang paling tinggi tingkat implementasinya, dengan waktu 1,31 hari. Setelah itu adalah proses pembuatan Surat Perintah Membayar (SPM) dengan waktu 1,46 hari. Proses pembuatan SP2D di sisi lain memerlukan waktu yang paling lama, yaitu 1,64 hari, dan kemudian diikuti proses pembuatan Surat Tanda Setoran (STS) dengan waktu 1,57 hari. Meski demikian semua proses pembuatan produk SIMDA dari aspek penatausahaan, telah berada di bawah waktu standard yang ditetapkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu di bawah 2 hari (< 2 hari). Implementasi SIMDA pada aspek akuntansi dan pelaporan mencakup beberapa produk seperti jurnal, buku besar, buku pembantu, laporan realisasi kas, laporan arus kas, dan neraca. Tidak ada standard waktu yang ditetapkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Namun, produk SIMDA dari aspek akuntansi dan pelaporan ini digunakan oleh bagian keuangan Sekretariat Daerah untuk pembuatan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Tabel 3. Implementasi SIMDA pada Aspek Akuntansi dan Pelaporan.
Output SKPD 1. 2. 3. 4.
5. 6. Pemda
Jurnal Buku Besar Buku Pembantu Laporan Realisasi Anggaran Laporan Arus Kas Neraca
Waktu Standard (Hari)
Non Standard
Waktu Faktual (Hari) 2,20 2,11 2,58 8,13
6,27
6,10 6 Bulan setelah TA berakhir Sumber: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
Tabel diatas memberikan gambaran bahwa semua proses pembuatan produk SIMDA dari aspek akuntansi dan pelaporan, yang meliputi jurnal sampai dengan neraca memerlukan waktu di bawah 9 hari. Waktu tersingkat adalah 2,11 hari untuk pembuatan buku besar, sedangkan waktu terlama adalah 8,13 hari untuk pembuatan Laporan Realisasi Anggaran. Namun, semua produk akuntansi dan pelaporan ini, memerlukan waktu jauh di bawah standard pembuatan LKPD yang mencapai 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Jika mengacu pada hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara relatif telah cukup tinggi. Semua produk SIMDA dapat dilakukan di bawah rata-rata standard yang ditetapkan dalam
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Namun, produk SIMDA ini adalah produk parsial yang dihasilkan oleh SIMDA SKPD. Artinya, bukan produk lanjutan berupa LKPD yang dihasilkan oleh bagian keuangan sekretariat daerah. LKPD masih memerlukan proses lebih lanjut, berupa pengumpulan data dari seluruh SKPD termasuk sistem pertanggungan jawaban keuangan lainnya seperti pengelolaan aset dan pengelolaan keuangan non kas. Selanjutnya sumberdaya manusia merupakan bagian terpenting dalam implementasi SIMDA. Kesiapan sumberdaya manusia untuk mengimplementasikan SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara mencakup beberapa hal, yaitu; 1) Karaktersitik responden pengelola SIMDA, 2) Pengetahuan dan Skill sumberdaya manusia dalam pengoperasian SIMDA. Karakterisitik Responden Pengelola SIMDA Pengelola SIMDA yang terdiri atas administrator, operator dan pengguna yang menjadi responden penelitian ini mayoritas berstatus PNS, dengan komposisi 90,8% berbanding 9,2% Non PNS, seperti terlihat pada Tabel 4.4. Untuk kelompok PNS terdapat 10 orang administrator, 25 orang operator dan 73 orang pengguna SIMDA. Sedangkan untuk kelompok non PNS terdapat 4 orang operator dan 7 orang pengguna SIMDA. Kesiapan sumberdaya manusia dalam pengoperasian SIMDA, salah satunya adalah pengalaman pengelola. Kesiapan SDM memberikan gambaran bahwa mayoritas pengelola SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki pengalaman 2 tahun, yaitu 47,9%. Data ini mengindikasikan bahwa pengelola SIMDA relatif memiliki pengalaman yang cukup, bahkan terdapat beberapa pengelola yang memiliki pengalaman di atas 2 tahun, sebanyak 10,9%. Pengalaman belum lengkap jika tidak disertai dengan pendidikan untuk melihat gambaran kesiapan pengelola dalam mengopersikan SIMDA. Tabel 4.6 berikut ini akan memberikan gambaran hal tersebut. Hasil analisis memberikan gambaran bahwa pendidikan pengelola SIMDA relatif cukup tinggi, mengingat mayoritas pengelola adalah sarjana S1 sebanyak 45,4% dan S2 sebanyak 8,4%, yang jika dijumlah adalah sebesar 53,8%. Pengelola yang berpendidikan SMA di sisi lain berjumlah lebih rendah, yaitu hanya 46,2%. Artinya dari aspek pendidikan, para pengelola SIMDA dapat dikatakan siap dalam mengimplementasikan SIMDA. Pengetahuan tentang SIMDA dibagi menjadi beberapa aspek, yaitu: aspek penganggaran, penatausahaan, dan aspek akuntansi serta pelaporan. Jawaban kuesioner yang disediakan untuk ketiga aspek tersebut adalah; tidak tahu, kurang tahu, tahu, dan sangat tahu. Masing-masing aspek memiliki beberapa komponen yang harus diketahui oleh responden untuk dapat mengimplementasikan SIMDA dengan optimal. Semakin lengkap
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 307
Pencairan Dana (SP2D), Surat Tanda Setoran (STS), dan Register serta Formulir Pengendalian Lainnya. Semakin lengkap responden mengetahui komponen pada aspek penganggaran ini, maka semakin berpengetahuan responden tersebut. Sebaliknya, semakin banyak komponen yang tak diketahui responden dalam penatausahaan, maka semakin kurang pengetahuan responden tersebut. Hasil analisis akan menggambarkan pengetahuan pengelola tentang implementasi SIMDA dari aspek penatausahaan berdasarkan peran responden dalam SIMDA, yaitu administrator,
responden mengetahui komponen pada tiga aspek SIMDA ini, maka semakin berpengetahuan responden tersebut. Sebaliknya semakin tidak lengkap, maka pengetahuan responden cenderung semakin rendah. Pengetahuan responden dari aspek peganggaran meliputi pengetahuan responden tentang Rencana Kerja Anggaran (RKA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), APBD beserta Perubahannya, dan Surat Penyediaan Dana (SPD). Semakin lengkap responden mengetahui komponen pada aspek penganggaran ini, maka semakin
Tabel 4. Pengetahuan Responden Pengelola Operasianal SIMDA dari Aspek Penganggaran. Pengetahuan Responden
Peran dalam SIMDA Administrator
Tidak Tahu Kurang Tahu Tahu Sangat Tahu Jumlah
Total
Operator
Pengguna
F
0
0
3
3
%
.0%
.0%
3.8%
2.5%
F
4
11
29
44
%
40.0%
37.9%
36.2%
37.0%
F
1
12
29
42
%
10.0%
41.4%
36.2%
35.3%
F
5
6
19
30
%
50.0%
20.7%
23.8%
25.2%
F
10
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
Tabel 5. Partisipasi Responden dalam Pelatihan Selama Pengoperasian SIMDA. Partisipasi dalam Pelatihan Ya Tidak Jumlah
Peran dalam SIMDA Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
9
26
72
107
%
90.00%
89.66%
90.00%
89.92%
F
1
3
8
12
%
10.00%
10.34%
10.00%
10.08%
F
10
% 100.00% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
berpengetahuan responden tersebut. Tabel 4. menggambarkan bahwa pengetahuan pengelola dalam mengimplementasikan SIMDA dari aspek pengganggaran relatif cukup. Keputusan ini diambil mengingat mayoritas responden mengetahui dengan cukup lengkap komponen-komponen dalam aspek penganggaran yang dapat dilakukan dengan SIMDA, yaitu: Rencana Kerja Anggaran (RKA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), APBD beserta Perubahannya, dan Surat Penyediaan Dana (SPD). Sebaran responden yang tahu dan sangat tahu implementasi SIMDA dari aspek penganggaran adalah 60,5%. Sedangkan responden yang kurang tahu dan tidak tahu hanya sebanyak 39,5% Selain pengetahuan dari aspek penganggaran, pengetahuan tentang implementasi SIMDA juga dapat dilihat dari aspek penatausahaan. Implementasi SIMDA dari aspek penatausahaan terdiri dari Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah
29
80
119
100.00%
100.00%
100.00%
operator dan pengguna SIMDA. Juga mengambarkan bahwa pengetahuan pengelola dalam implementasi SIMDA dari aspek penatausahaan relatif kurang, mengingat mayoritas responden tidak dan kurang mengetahui dengan cukup lengkap komponenkomponen dalam aspek penatausahaan yang dapat dilakukan dengan SIMDA. Sebaran responden yang tidak tahu dan kurang tahu implementasi SIMDA dari aspek penatausahaan adalah 51,7%, berbanding 48,3% responden yang tahu dan sangat tahu. Aspek ketiga dari pengetahuan tentang implementasi SIMDA adalah akuntansi dan pelaporan. Komponen dalam aspek akuntansi dan pelaporan adalah Junal, Buku Besar, dan Buku Pembantu, Buku Kas Pembantu, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Neraca. Selanjutnya Hasil analisis tentang pengetahuan pengelola tentang implementasi SIMDA dari aspek akuntansi dan pelaporan mengambarkan bahwa
308 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
pengetahuan pengelola dalam implementasi SIMDA dari aspek akuntansi dan pelaporan adalah sangat baik, mengingat mayoritas responden tahu dan sangat tahu dengan cukup lengkap komponenkomponen dalam aspek akuntansi dan pelaporan yang dapat dilakukan dengan SIMDA. Sebaran responden yang sangat tahu dan tahu implementasi SIMDA dari aspek akuntansi dan pelaporan adalah 70,6%, berbanding 29,4% responden yang kurang tahu dan tidak tahu. Berdasarkan hasil tabulasi jawaban responden tentang pengetahuan dari ketiga aspek implementasi SIMDA, dapat diketahui bahwa pengetahuan pada dua aspek relatif baik dan sangat baik, yaitu aspek penganggaran dan akuntansi serta pelaporan. Sementara aspek penatausahaan relatif tidak sebaik pengetahuan responden pada dua aspek lainnya. Skill pengoperasian SIMDA meliputi pelatihan dan manfaat yang diperoleh dari pelatihan untuk peningkatan skill pengelola sehingga diperoleh sumberdaya manusia yang siap mengoperasikan SIMDA. Sementara pengoperasian SIMDA sendiri bukan hanya mencakup aspek pengimplementasiannya yang berupa penganggaran,
penatausahaan, dan akuntansi serta pelaporan saja, tetapi juga mencakup penanganan dini jika implementasi SIMDA bermasalah. Pelatihan dilakukan bukan hanya saat awal dimulainya penggunaan SIMDA, tetapi juga dilakukan pasca pengoperasian. Pelatihan dilakukan oleh penyedia Layanan SIMDA dalam hal ini adalah BPKP. Hal ini diakui oleh para responden pada tabel 5. Tabel 5. memberikan gambaran bahwa mayoritas responden telah memperoleh pelatihan dari penyedia layanan SIMDA. Tercatat 88,2% telah memperoleh pelatihan. Selebihnya, terdapat 11,8% yang belum mendapatkan pelatihan. Angka 11,8% responden yang belum mendapatkan pelatihan, mendapatkan pengetahuan dan skill pengimplementasian SIMDA dari rekan kerja yang telah mendapatkan pelatihan. Pelatihan, idealnya dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengoperasian SIMDA. Skill pengelola SIMDA diperlukan saat muncul berbagai masalah teknis dalam pengoperasian software ini. Berdasarkan rekapitulasi, meski tidak terlalu sering, namun
Tabel 6. Frekuensi Jenis Masalah Teknis yang Muncul saat Pengoperasian SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jenis Masalah Teknis Operating System (OS) Software SIMDA Virus Tidak Tahu Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
1
1
6
8
%
10.0%
3.4%
7.5%
6.7%
F
1
2
3
6
%
10.0%
6.9%
3.8%
5.0%
F
7
19
58
84
%
70.0%
65.5%
72.5%
70.6%
F
1
7
13
21
%
10.0%
24.1%
16.2%
17.6%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 7. Cara Menanggulangi Masalah Teknis yang Muncul saat Pengoperasian SIMDA. Peran dalam SIMDA
Penanggulangan Memperbaiki Sendiri Bertanya kepada Teman Memanggil Teknisi Membiarkan Saja Tidak Tahu Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
1
0
5
6
%
10.0%
.0%
6.2%
5.0%
F
0
1
3
4
%
.0%
3.4%
3.8%
3.4%
F
3
12
31
46
%
30.0%
41.4%
38.8%
38.7%
F
5
7
27
39
%
50.0%
24.1%
33.8%
32.8%
F
1
9
14
24
%
10.0%
31.0%
17.5%
20.2%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 309
masalah teknis bisa saja muncul. Hasil analisis memberikan gambaran bahwa mayoritas pengelola SIMDA pernah mengalami masalah teknis, yaitu 97,4%. Angka 97,4% mencerminkan bahwa software ini relatif cukup baik, apalagi hanya 7,6% yang menyebutkan bahwa sering terjadi masalah teknis. Laiknya sebuah software, pasti mengandung kelemahan dan tidak mungkin bisa sempurna. Angka masalah teknis yang hanya 7,6% adalah angka yang relatif kecil untuk sebuah software. Masalah teknis yang muncul, meski kecil namun tetap memerlukan antisipasi. Antisipasi pertama adalah mengetahui jenis masalah teknis yang paling sering muncul. Tabel berikut ini adalah jenis masalah teknis yang muncul saat pengoperasian SIMDA. Jenis masalah teknis yang paling sering muncul ternyata adalah virus (70,6%), selanjutnya tidak tahu (17,6%), dan Operating System (OS) dengan 6,7%. Software SIMDA sendiri malah hanya memunculkan masalah teknis yang paling kecil, yaitu 5%. Artinya software ini sebenarnya cukup
baik dan ideal untuk implementasi SIMDA. Terkait dengan skill atau keterampilan pengelola SIMDA, maka cara mengatasi jika terjadi masalah teknis adalah salah satu faktor yang dapat menunjukkan skill pengelola. Jika skill pengelola cukup baik, maka pengelola bisa saja memperbaiki sendiri atau bertanya dengan teman atau rekan yang pernah mengalami masalah teknis sejenis. Sebaliknya, jika skill kurang atau tidak, pengelola SIMDA cenderung akan membiarkan atau bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan jika terdapat masalah teknis saat SIMDA dioperasikan. Tabel berikut ini akan menggambarkan skill pengelola, jika mengalami masalah teknis dalam mengoperasikan SIMDA. Tabel 7. memberikan gambaran bahwa pengelola relatif lemah dalam penanggulangan masalah teknis. Mayoritas pengelola memanggil teknisi, yaitu 38,7% saat terjadi masalah teknis dalam pengeoperasian SIMDA. Bahkan, terdapat 32,8% pengelola yang membiarkan saja jika terjadi masalah. Hanya sedikit di antara responden yang
Tabel 8. Jangka waktu pembuatan laporan dalam Implementasi SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Harian Mingguan Bulanan Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
7
26
71
104
%
70.0%
89.7%
88.8%
87.4%
F
3
2
6
11
%
30.0%
6.9%
7.5%
9.2%
F
0
1
3
4
%
.0%
3.4%
3.8%
3.4%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Bagan 1. Proses Akuntansi dan Pelaporan SKPD
Sumber: Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006.
310 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
mencoba memperbaiki sendiri atau bertanya kepada teman, masing-masing 5% dan 3,4%. Data ini menunjukkan bahwa skill dan inisitaip pengelola relatif masih lemah. Selain masalah teknis, terdapat juga masalah non teknis yang menyangkut kemampuan pengelolaan SIMDA. Masalah non teknis yang teridentifikasi dari hasil penelitian ini terdiri dari; pengaturan waktu yang kurang optimal, kurangnya komunikasi dengan pengguna dan pengelola lainnya, kurangnya dukungan dan komitmen dari atasan, kurangnya pengetahuan pengelola tentang SIMDA, dan masalah lainnya. Tabel berikut ini akan memberikan gambaran tentang masalah non teknis yang sering muncul saat mengelola SIMDA. Hasil analisis memberikan gambaran bahwa mayoritas pengelola SIMDA memiliki masalah nonteknis dalam bentuk kurangnya pengetahuan (26,1%), dan kurangnya komunikasi dengan pengguna dan sesama pengelola SIMDA (25,2%). Data ini mengisyaratkan bahwa masalah nonteknis bisa muncul yang disebabkan oleh faktor internal pengelola. Artinya, meski masalah nonteknis relatif kecil, namun perlu diantisipasi dengan memperbaiki kinerja internal dari dalam pengelola sendiri.`
Tingkat keahlian pengelola dalam mengoperasikan SIMDA juga dapat tercermin dari pembuatan laporan secara berkala. Semakin sering, maka semakin ahli si pengelola. Pembuatan laporan dalam SIMDA memungkinkan untuk dibuat harian, jika sipembuat laporan telah cukup mahir dalam mengoperasikan SIMDA. Tabel 8 menggambarkan jangka waktu pembuatan laporan yang diklasifikasikan dalam harian, mingguan atau bulanan. Mengacu pada kesiapan Sumberdaya manusia pengelola SIMDA, dapat dikatakan cukup baik. Hal ini terlihat dari rata-rata pengalaman pengelola yang cukup tinggi ( > 2 tahun) dan pendidikan yang cukup tinggi (rata-rata S1). Rata-rata responden juga memiliki pengatahuan yang cukup tentang SIMDA, terutama untuk aspek akuntansi dan pelaporan. Pengetahuan responden dari aspek penganggaran dan penatausahaan, meski sudah cukup baik, namun masih perlu ditingkatkan. Skill para pengelola juga perlu ditingkatkan mengingat sebagian besar responden kurang memiliki inisiatif untuk mencoba mengatasi masalah saat pengoperasian SIMDA sedang bermasalah. Peningkatan skill dapat dilakukan dengan menambah pengetahuan melalui
Tabel 9. Jenis jaringan yang digunakan dalam SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu WAN FO Lainnya Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
6
11
34
51
%
60.0%
37.9%
42.5%
42.9%
F
2
4
19
25
%
20.0%
13.8%
23.8%
21.0%
F
2
14
27
43
%
20.0%
48.3%
33.8%
36.1%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 10. Masalah-masalah jaringan yang muncul saat Implementasi SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Cuaca Buruk Kondisi Geografis
PSSH
Pasokan Listrik Tidak Tahu Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
2
1
8
11
%
20.0%
3.4%
10.0%
9.2%
F
0
6
10
16
%
.0%
20.7%
12.5%
13.4%
F
1
4
23
28
%
10.0%
13.8%
28.8%
23.5%
F
5
3
12
20
%
50.0%
10.3%
15.0%
16.8%
F
2
15
27
44
%
20.0%
51.7%
33.8%
37.0%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 311
berbagai usaha seperti komunikasi dengan sesama pengelola atau penyedia layanan SIMDA. SIMDA pada dasarnya akan mengefisiensikan dan mengefektifkan berbagai proses akuntansi dan pelaporan di SKPD. Bagan berikut akan menggambarkan proses tersebut. Berdasarkan bagan 1 dapat diketahui bahwa terdapat empat bagian dalam setiap proses akuntansi dan pelaporan, yaitu akuntansi penerimaan dan pengeluaran kas, akuntansi aset, dan akuntansi selain kas. Dari ke empat bagian akuntansi tersebut, akuntansi aset adalah bagian yang paling rumit mengingat proses pekerjaannya bersifat kontinyu. Akuntansi aset inilah letak kelemahan Kabupaten Kutai Kartanegara. Perolehan predikat disclaimer lebih banyak disebabkan karena akuntansi aset, dipandang oleh BPK masih bermasalah. Pengamatan peneliti, akuntansi aset memerlukan sumberdaya manusia yang memiliki spesifikasi khusus dari bidang akuntansi. Selain itu juga dilatih secara khusus pada bidang akuntansi pemerintahan. Penempatan petugas yang khusus menangani akuntansi aset juga harus kontinyu, mengingat spesifikasi pekerjaan ini saling berhubungan setiap tahunnya. Minimal, mutasi hanya dapat dilakukan pada instansi yang berbeda, namun tetap pada tupoksi akuntansi aset. Hindari sedapat mungkin penempatan pegawai yang tidak sesuai keahlian atau berasal pada tupoksi yang tidak segaris dengan tupoksi asets. Kesiapan daya dukung dan fungsi infrastuktur dalam implementasi SIMDA mencakup jenis jaringan, fasilitas teleconference, software, hardhare,
rasa memiliki, upaya pengoptimalisasian SIMDA, dukungan finansial, pemeriksaan rutin, koordinasi dan evaluasi SIMDA, strategi perlindungan terhadap SIMDA. Jenis jaringan yang digunakan oleh Kabupaten Kutai Kartanegara dalam SIMDA terdiri dari WAN, FO dan jenis jaringan lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun penelitian ini, jenis jaringan yang paling banyak dipakai adalah WAN dengan 42,9%, sementara jenis jaringan FO hanya digunakan oleh 21%. Tabel berikut ini memberikan gambaran lengkap tentang jenis jaringan yang digunakan SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penggunaan jaringan tentu memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut ini adalah masalah jaringan yang terdeteksi dari hasil penelitian, seperti yang terlihat berikut ini. SIMDA yang digunakan di Kab. Kukar juga memberikan fasilitas teleconference. Pemanfaatan fasilitas ini sudah dilakukan oleh para pengguna SIMDA, bahkan dapat dikatakan sudah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tabel berikut ini akan memberikan gambaran penggunaan fasilitas teleconference oleh pengguna SIMDA. Terkait dengan software SIMDA, terdapat beberapa hal yang menjadi masalah, yaitu kesulitan memproteksi virus, kurang familiar dengan software SIMDA, dan tidak menguasai semua aplikasi SIMDA. Tabel 12. memberikan gambaran bahwa masalah yang sering muncul saat menggunakan software adalah kesulitan memproteksi virus (44,5%). Masalah lainnya adalah para responden tidak menguasai semua aplikasi yang ada dalam
Tabel 11. Frekuensi penggunaan Fasiltas Teleconference SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Sering Pernah Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
10
25
75
110
%
100.0%
86.2%
93.8%
92.4%
F
0
4
5
9
%
.0%
13.8%
6.2%
7.6%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 12. Masalah Software SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu
Administrator
Operator
Pengguna
Total
Kesulitan Memproteksi Virus
F
4
11
38
53
%
40.0%
37.9%
47.5%
44.5%
Fitur Software Kurang Familiar
F
4
4
22
30
%
40.0%
13.8%
27.5%
25.2%
Tindak Menguasai Semua Aplikasi
F
2
14
20
36
%
20.0%
48.3%
25.0%
30.3%
F
10
Jumlah
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
312 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
SIMDA sebanyak 30.3%, dan responden tidak atau kurang familiar dengan semua fitur SIMDA sebanyak 25,5%. Data pada Tabel 12. ini mengindikasikan bahwa masalah yang muncul saat pengoperasian SIMDA tidak sepenuhnya muncul dari kelemahan software SIMDA, namun dari eksternal berupa virus. Implementasi SIMDA tidak terlepas dari kelengkapan hardware yang digunakan. Terdapat dua kelompok kelengkapan hardware yang digunakan, yaitu spesifikasi hardware dan spesifikasi jaringan. Kelengkapan Hardware mencakup processor, Random Access Memory (RAM), Harddisk, VGA Card, dan spesifikasi hardware lainnya. Sedangkan spesifikasi jaringan meliputi LAN, WAN, Tower dan Server. Tabel 14. berikut ini akan memberikan gambaran tentang spesifikasi hardware dan jaringan yang digunakan SIMDA Kutai Kartanegara. Tabel 13 menyebutkan bahwa mayoritas (51,3%) pengguna SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara menyebutkan bahwa kelengkapan hardware yang digunakan adalah cukup dan sangat lengkap. Sebagian pengguna SIMDA lainnya (48,7%) menyatakan sebaliknya, yaitu kurang lengkap. Penggunaan SIMDA juga didorong oleh sikap
dan perilaku pengguna yang tercermin dari rasa memiliki SIMDA dari para penggunanya. Kurangnya optimalisasi SIMDA sejalan dengan persepsi para pengguna, yang beranggapan bahwa dukungan finansial dalam pemanfaatan SIMDA relatif masih kurang. Hal ini digambarkan oleh Tabel 14 yang menyebutkan bahwa 46,2% pengguna merasa kurangnya dukungan finansial untuk pemanfaatan SIMDA. Meskipun demikian terdapat 35,3% yang menyebutkan dukungan finansial untuk pemanfaatan SIMDA telah cukup besar, besar, dan sangat besar. Selain itu, juga tidak bisa diabaikan, bahwa terdapat 18,5% yang secara ekstrim menyebutkan bahwa dukungan finansial untuk pemanfaatan SIMDA tidak ada sama sekali. Dukungan terhadap optimalisasi penggunaan SIMDA juga dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dan evaluasi SIMDA, baik antar operator maupun administrator. Tabel 15. berikut ini akan menggambarkan tersebut. Tabel 15 memberikan gambaran bahwa terdapat 37,8% responden yang menyatakan tidak ada rapat atau pertemuan koordinasi dan evaluasi terhadap peningkatan pemanfaatan SIMDA, baik antar operator maupun administrator. Meskipun demikian mayoritas pengguna telah melakukan
Tabel 13. Kelengkapan Hardware SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Tidak Lengkap Cukup Lengkap Sangat Lengkap Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
7
10
41
58
%
70.0%
34.5%
51.2%
48.7%
F
2
8
20
30
%
20.0%
27.6%
25.0%
25.2%
F
1
11
19
31
%
10.0%
37.9%
23.8%
26.1%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 14. Optimalisasi Penggunaan SIMDA. Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Sangat Optimal Optimal Cukup Optimal Kurang Optimal Tidak Optimal Jumlah
Total
Administrator
Operator
Pengguna
F
0
0
2
2
%
.0%
.0%
2.5%
1.7%
F
0
0
3
3
%
.0%
.0%
3.8%
2.5%
F
1
2
4
7
%
10.0%
6.9%
5.0%
5.9%
F
7
16
44
67
%
70.0%
55.2%
55.0%
56.3%
F
2
11
27
40
%
20.0%
37.9%
33.8%
33.6%
F
10
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 313
koordinasi dan evaluasi, seperti temu operator dan administrator (19,3%), sosialisasi SIMDA (10,1%), evaluasi menyeluruh (10,1%), dan koordinasi/evaluasi tidak rutin (22,7%). Terkait dengan munculnya masalah teknis dan nonteknis telah dilakukan berbagai strategi perlindungan terhadap aplikasi SIMDA. Beberapa strategi perlindungan yang teridentifikasi dari hasil penelitian adalah pemakaian UPS, update antivirus secara berkala dan strategi lainnya. Tabel 18 berikut ini akan menggambarkan sebaran penggunaan perlindungan SIMDA tersebut. Strategi perlindungan SIMDA berdasarkan Tabel 16 memperlihatkan strategi yang paling banyak digunakan adalah penggunaan UPS (32,8%), diikuti dengan strategi update anti virus secara berkala (26,1%). Dukungan terhadap implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara pada dasarnya sudah cukup tinggi. Terutama dukungan dari hardware dan software SIMDA. Namun kelemahan terlihat dari jaringan dan kapasitas bandwidth yang terlalu kecil untuk jaringan tertentu. Hal ini dapat terjadi mengingat kendala jaringan yang sulit dengan karakteristik Kabupaten Kutai Kartanegara yang
sangat luas dan berbukit. Akibatnya setting layout jaringan memerlukan kapasitas bandwidth yang besar. Saat ini sedang diusahakan untuk melakukan penambahan kapasitas bandwidth, di samping evaluasi terhadap layout jaringan, sehingga koneksitas antar SKPD dengan Pemda dapat optimal. Software SIMDA diakui cukup bagus, namun cukup rentan dengan serangan virus. Masalah teknis dan non teknis paling banyak berasal dari software SIMDA yang terserang virus. Kabupaten Kutai Kartanegara mengoperasikan SIMDA melalui Windows (under windows). Hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab seringnya software SIMDA menerima serangan virus. Usaha untuk perbaikan telah dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh penyedia software SIMDA. Pemerintah Daerah saat ini sedang merencanakan untuk menggunakan software SIMDA dengan basis Linux, sehingga lebih aman dalam mengahadapi serangan virus. SIMPULAN Beberapa simpulan yang didapat dari hasil kajian ini, adalah sebagai berikut:
Tabel 15. Koordinasi dan evaluasi berkala terhadap SIMDA Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Temu Operator/ Adminstratpr Sosialisasi SIMDA Evaluasi Menyeluruh Tidak Rutin Tidak Ada Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
1
4
18
23
%
10.0%
13.8%
22.5%
19.3%
F
1
2
9
12
%
10.0%
6.9%
11.2%
10.1%
F
0
6
6
12
%
.0%
20.7%
7.5%
10.1%
F
4
3
20
27
%
40.0%
10.3%
25.0%
22.7%
F
4
14
27
45
%
40.0%
48.3%
33.8%
37.8%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
Tabel 16. Strategi perlindungan terhadap SIMDA Peran dalam SIMDA
Jangka Waktu Pemakaian UPS Update Anti Virus Berkala Strategi Lainnya Jumlah
Administrator
Operator
Pengguna
Total
F
3
5
31
39
%
30.0%
17.2%
38.8%
32.8%
F
3
12
16
31
%
30.0%
41.4%
20.0%
26.1%
F
4
12
33
49
%
40.0%
41.4%
41.2%
41.2%
F
10
% 100.0% Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
29
80
119
100.0%
100.0%
100.0%
314 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
1.
2.
3.
4.
Implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara relatif telah cukup tinggi. Semua produk SIMDA dapat dilakukan di bawah ratarata standard yang ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Namun, produk SIMDA ini adalah produk parsial yang dihasilkan oleh SIMDA SKPD. Artinya, bukan produk lanjutan berupa LKPD yang dihasilkan oleh bagian keuangan sekretariat daerah. LKPD masih memerlukan proses lebih lanjut, berupa pengumpulan data dari seluruh SKPD termasuk sistem pertanggungan jawaban keuangan lainnya seperti pengelolaan aset dan pengelolaan keuangan non kas. Kesiapan sumberdaya manusia dalam rangka implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara relatif cukup baik. Kesimpulan ini dicerminkan dari: a. Rata-rata pengalaman pengelola SIMDA yang cukup tinggi ( > 2 tahun) dan pendidikan yang cukup tinggi (rata-rata S1). b. Rata-rata pengetahuan pengelola mengacu pada tiga aspek implementasi SIMDA pada dua aspek relatif baik dan sangat baik, yaitu aspek penganggaran dan akuntansi serta pelaporan. Namun, dari aspek penatausahaan relatif tidak sebaik pengetahuan responden pada dua aspek lainnya. Terdapat empat bagian dalam setiap proses akuntansi dan pelaporan, yaitu akuntansi penerimaan dan pengeluaran kas, akuntansi aset, dan akuntansi selain kas. Dari ke empat bagian akuntansi tersebut, akuntansi aset adalah bagian yang paling rumit mengingat proses pekerjaannya bersifat kontinyu. Akuntansi aset inilah letak kelemahan Kabupaten Kutai Kartanegara. Perolehan predikat disclaimer lebih banyak disebabkan karena akuntansi aset, dipandang oleh BPK masih bermasalah. Dukungan terhadap implementasi SIMDA di Kabupaten Kutai Kartanegara pada dasarnya sudah cukup tinggi. Terutama dukungan dari hardware dan software SIMDA. Beberapa kelemahan yang nampak dalam daya dukung implementasi SIMDA adalah: a. Jaringan dan kapasitas bandwidth yang terlalu kecil untuk jaringan tertentu. Hal ini dapat terjadi mengingat kendala jaringan yang sulit dengan karakteristik Kabupaten Kutai Kartanegara yang sangat luas dan berbukit. Akibatnya setting layout jaringan memerlukan kapasitas bandwidth yang besar. Saat ini sedang diusahakan untuk melakukan penambahan kapasitas bandwidth, di samping evaluasi terhadap layout jaringan, sehingga koneksitas antar SKPD dengan Pemda dapat optimal. b. Software SIMDA diakui cukup bagus, namun cukup rentan dengan serangan virus.
Masalah teknis dan non teknis paling banyak berasal dari software SIMDA yang terserang virus. Kabupaten Kutai Kartanegara mengoperasikan SIMDA melalui Windows (under windows). Hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab seringnya software SIMDA menerima serangan virus. Saran-saran Beberapa saran untuk peningkatan implementasi SIMDA terkait dengan penelitian ini adalah: 1. Sumberdaya manusia sebagai pendukung utama implementasi SIMDA, meski sudah cukup memadai perlu ditingkatkan, terutama dari aspek penatausahaan keuangan. Beberapa usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah dengan: a. Semakin mengintensifkan koordinasi dan komunikasi antar pengelola SIMDA b. Melakukan penempatan pegawai untuk tupoksi bidang keuangan yang sesuai dengan spesifikasi jabatan. c. Menghindari mutasi pegawai pada bidang keuangan terutama pada bagian akuntansi aset pada bidang lainnya yang tidak terkait dengan bagian keuangan. d. Menerapkan sistem rewards dan punishment khusus untuk pegawai yang mengelola SIMDA. 2. Dukungan terhadap implementasi SIMDA secara lebih optimal dapat dilakukan dengan cara: a. Penyempurnaan layout jaringan perlu terus dilakukan, sebagai upaya penemuan layout jaringan yang mendukung perubahan dan peningkatan teknologi sistem informasi. b. Penggunaan SIMDA berbasis Linux perlu dilakukan sebagai usaha untuk mencegah dan menanggulangi serangan virus. c. Penambahan kapasitas bandwidth untuk jaringan tertentu, sebagai usaha untuk peanggulangan kendala geografis Kabupaten Kutai Kartanegara yang luas dan berbukit DAFTAR PUSTAKA PP No. 8 tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja Institusi Pemerintahan PP No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Keuangan Pemerintahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah
Optimalisasi Simda dalam Mewujudkan Pengelolaan Keuangan Daerah Kab. Kutai Kartanegara yang Lebih Berkualitas – M. Soleh Pulungan| 315
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara No. 2 tahun 2005 tentang Pokok-pokok Keuangan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 16 tahun 2006 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 12 tahun 2008; Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 15 tahun 2008; Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 16 tahun 2008; Peraturan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 1 Tahun 2010 tentang pengelolaan keuangan daerah. C. Laudon, P. Jane Laudon, Kenneth. 2006. Management Information Systems.Pearson International. Indrajit, Eko. R. 2006. Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Elex Media Komputindo. Mcleod, Raymond, Jr. 2006. Management Information Systems. Edisi Kedelapan. Prentice Hall. Porter, Michael E. 2000. Competitive Strategy. The Free Press - A Division of Macmillan Publishers. London. Romney, Marshall B, Steinbart, Paul J., and Cushing, Barry E. 2003. Accounting Information Systems. 10th edition. Addison Wesley, Reading Massachussets. Ulrich Gelinas, Jr. dan Allan F. Oram. 2004. Accounting Information Sy
316 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 4 Edisi Desember 2013: 301 - 316
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 4 DESEMBER 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Biodata Penulis Adi Rahman Lahir di Teluk Betung Bandar Lampung, pada 1 November 1980. Lulus Sarjana Ekonomi (S1) dari Universitas IBA Palembang Tahun 2007, saat ini tengah menempuh pendidikan S2 Magister Ilmu Ekonomi di Universitas Jambi. Bekerja sebagai Peneliti Pertama di Balitbangda Provinsi Jambi. Gunawan Lahir di Jakarta, 11 November 1964. Pendidikan terakhir Sarjana Administrasi Negara pada Sekolah tinggi Ilmu Administrasi Negara (LAN) pada tahun 1996. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/c) dan merangkap sebagai Kepala Sub Bidang Linmas pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Alexander Gatot Wibowo Lahir di Malang tanggal 30 Oktober 1961. Saat ini beekerja pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Bidang Penelitian Pengembangan. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang tahun 1985 dan Magister Keuangan Daerah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makasar tahun 2007. Menjadi peneliti sejak tahun 2005. Kori Cahyono Lahir di Lombok Barat pada 18 September 1976. Menempuh pendidikan sarjana pada Stikom Surabaya jurusan Sistem Informasi pada tahun 1996, Magister di UNP Padang pada Fakultas Pendidikan tahun 2005. Saat ini juga masih menempuh gelar Magister di Fakultas Teknik Elektro Jurusan Telematika di UTS Surabaya. Sayid Syekh Lahir di Jambi pada 31 Desember 1959. SI Ekonomi lulus dari Universitas Jambi tahun 1987, S2 Ekonomi Pertanian lulus dari Universitas Padjadjaran tahun1993 dan lulus S3 Ekonomi Pembangunan Perdesaan dari Central Luzon State University (Philipina) tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai Kepala Balitbangda Provinsi Jambi Zarmaili lahir di DKI. Jakarta, pada tanggal 9 April 1982. Memiliki pendidikan terakhir S-2 Bidang Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Tahun 2006 sampai dengan saat ini bekerja sebagai Peneliti merangkap Kepala Sub Bidang Lembaga Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Terlibat di beberapa penelitian di Kementerian Perdagangan dan Penelitian antar lembaga antara lain dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Riset dan
Teknologi. Pengalaman menulis di Buletin Ilmiah Perdagangan, Kementerian Perdagangan dan Jurnal Standardisasi, BSN (Badan Standardisasi Nasional). Ray Septianis Kartika Lahir di Jakarta 24 September 1979. Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2002. Lulus Magister (S2) Ilmu Administrasi Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Jakarta, tahun 2005. Sejak tahun 2009 menjadi staf Puslitbang Pemdes dan Pemmas BPP Kementerian Dalam Negeri. Dan Pada Tahun 2010 diangkat Fungsional Peneliti Pertama BPP Kemendagri. M. Soleh Pulungan Lahir pada 7 Oktober 1966. Saat ini bekerja pada Balitbangda Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur sebagai Peneliti Muda Bidang Kebijakan Pendidikan. Selain itu juga menjabat sebagai Koordinator Fungsional Peneliti Balitbangda Kukar-Kaltim. Menyelesaikan pendidikan program sarjana Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada 1994, kemudian menyelesaikan program Magister Hukum di Universitas Putra Bangsa Surabaya pada 2004.
Pedoman Penulisan 1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama; (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua rata tepi kiri; (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri. • Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 1 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase (separated with ;) Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa (dipisahkan dengan ;) PENDAHULUAN dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab)
METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab …
SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA • Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis
Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) 1. Mondok di daerah tujuan 2. Menetap di daerah tujuan 3. Sumber: Ida Bagoes, 2000
Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh
Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: • Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... • Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... • Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... • Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) • Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. World. American Economic Journal. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol. 4. Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): c. Pedoman http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email
[email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail:
[email protected]
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012