ISSN : 2085-4323
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Eka Prabawa Soesanta Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Raodah Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah Bagas Haryotejo Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) Iin Surminah Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah Imam Radianto Anwar Setia Putra Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru Momon Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat Trisna Subarna
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA J. Bina Praja
Vol. 5
No. 2
Hal. 73 - 140
Jakarta, Juni 2013
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
ISSN 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi Pelindung: Pembina: Penanggung Jawab: Pemimpin Redaksi: Anggota:
Mitra Bestari:
Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Drs. Sahat Marulitua, MA. (Kebijakan Publik ) Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr. Prabawa Eka Susanta, S.Sos., M.Si. (Pembangunan Berkelanjutan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi Pembangunan, Kemendagri) Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. Dr. Syarif Hidayat Bashori Imron, M.Si
(Hukum, Kemendagri) (Administrasi Publik, IPDN) (Otonomi Daerah, LIPI) (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI)
Pemimpin Redaksi Pelaksana: Drs. Sahat Marulitua, MA. Anggota: Drs. Asrori Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Administrasi: Keuangan: Sirkulasi dan Distribusi: Artistik dan Multimedia:
Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Madiareni Sulaiman, S.Hum., Desi Sartika Helmi, Rudi Voeller. Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Nur Intan Sarasati Ivan Indra Susanto
Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail:
[email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Pengantar Redaksi SEMANGAT PROFESIONALISME
B
erdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Panitia Penilai Majalah Berkala Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tanggal 12 April 2011, Jurnal Bina Praja diberikan akredistasi predikat B dengan nomor akreditasi: 330/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011. Akreditasi diberikan kepada usatu majalah ilmiah sebagai upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa majalah ilmiah yang dinilai memenuhi mutu yang ditetapkan. Ketentuan akreditasi yang diberikan berlaku selama 2 tahun sejak 12 April 2011 hingga 12 April 2013 dengan ketentuan apabila dalam waktu yang ditetapkan tersebut tidak mengajukan akreditasi ulang, maka status akreditasi tersebut otomatis dicabut dan harus menunggu terbitan baru selama dua tahun dan atau 4 terbitan baru untuk mengajukan akreditasi kembali, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala LIPI Nomor 481/D/2011 tentang Hasil Akreditasi Baru Majalah Berkala Ilmiah. Predikat B yang diperoleh Jurnal Bina Praja dengan nilai 70-79 merupakan hasil penilaian yang terdiri dari unsur penilaian seperti: nama berkala, kelembagaan penerbit, penyunting/dewan redaksi, kemantapan penampilan, gaya penulisan, substansi, keberkalaan, tiras, dan lain-lain. Dalam kaitan itu, predikat yang dicapai dalam periode memasuki pengalaman tahun ketiga atau volume III Jurnal Bina Praja ini, merupakan peningkatan kemajuan yang dicapai yang harus disikapi semua pihak terkait, disamping mensyukuri tapi lebih merupakan peningkatan tanggung jawab yang lebih berat ke depan. Yaitu minimal mempertahankan predikat tersebut dan berupaya terus mencapai predikat yang lebih tinggi, predikat A. Hal itu tidak mungkin dicapai tanpa peningkatan komitmen, partisipasi dan tanggung jawab semua pihak secara profesional. Sama halnya dengan edisi sebelumnya, penyumbang tulisan untuk dimuat dalam Jurnal Bina Praja edisi ini juga meningkat, terutama dari lembaga penelitian instansi di luar Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri, dan juga dari Pemerintah Daerah. Namun karena keterbatasan halaman tidak semuanya dapat disajikan, di samping masalah substansi dan masalah teknis lainnya. Untuk itu, kepada penyumbang tulisan yang belum bisa dimuat dimohon tidak mengurangi semangat profesionalisme. Kiranya apa yang kita capai dengan akreditasi Jurnal Bina Praja ini dapat semakin memotivasi berbagai pihak, khususnya pejabat fungsional peneliti untuk menigkatkan komitmen dan kualitas profesionalitas. Salam Redaksi
i
ii
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi
i iii
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Eka Prabawa Soesanta
73 - 78
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara
79 - 90
Raodah Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah Bagas Haryotejo
91 - 100
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) Iin Surminah
101 - 112
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah Imam Radianto Anwar Setia Putra
113 - 122
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru Momon
123 - 132
Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat Trisna Subarna
133 - 140
iii
iv
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya Prabawa Eka Soesanta Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 73 - 78 Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk memahami konsep dan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dalam penanggulangan kemiskinan sebagai model pembangunan di Indonesia. Kondisi ini memerlukan solusi yang terintegrasi terkait pola adhoc yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan, sehingga berbicara sustainabilitas aakan menjadi sulit jika tidak disusun formula yang tepat. Tulisan ini juga mengkaji beberapa hal yang terjadi mulai dari sejarah program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia, sampai munculnya prioritas program nasional dibawah PNPM Mandiri (Perdesaan dan Perkotaan). Hal lain yang dikaji dalam tulisan ini adalah capaian yang selama ini diperoleh dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Akan tetapi keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, agar dapat dilanjutkan maka perlu diperbaiki baik dari kelembagaan/struktur masyarakat; prosedur yang ada, maupun budaya yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan. Perbaikan itu merupakan upaya untuk menyempurnakan program pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan partisipatif. Kata kunci: Pemberdayaan, partisipasi, dan kemiskinan Raodah \ Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 79 - 90 Abstrak: Peranan perempuan di rana ekonomi publik memberi kontribusi yang cukup besar bagi kehidupan keluarga, terutama bagi keluarga yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan. Seperti di jumpai pada masyarakat nelayan, yang mata pencahariannya tidak menentu. Ada waktu tertentu dimana nelayan harus melaut dan ada waktu nelayan tidak dapat melaut, karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Dalam kondisi yang demikian maka diperlukan peran isteri untuk membantu ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan di luar rumah (publik). Peran ganda ini dilakoni pula oleh istri-istri nelayan yang ada di Kelurahan Lapulu, mereka melakukan beberapa pekerjaan di sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri-
istri nelayan di Kelurahan Lapulu selain berperan di rana domestik sebagai ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak-anak, mereka juga meluangkan waktunya untuk membantu suami bekerja sebagai, pengolah ikan asin, pembuatan terasi, berbagai makanan olahan dari rumput laut dan ikan, serta bekerja sebagai buruh di industri pengolahan ikan. Penghasilan yang diperoleh istri-istri nelayan memberi kontribusi yang cukup besar dalam membantu mengatasi biaya kebutuhan rumah tangga nelayan. Kata kunci: isteri nelayan, ekonomi keluarga Bagas Haryotejo Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 99 - 108 Abstrak: Akses terhadap sumber pembiayaan tunai yang liquid sangat penting guna kesinambungan kegiatan produksi petani, sehingga adanya kendala dalam mengakses pembiayaan pada akhirnya akan menghambat produksi, produktifitas dan pengelolaan pemasaran produk pertanian. Sistem Resi Gudang (SRG) dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, dimana SRG dapat dijadikan sebagai agunan bank, untuk memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani, mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif, mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi, dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG di daerah yang menerapkan SRG; dan merumuskan usulan kebijakan dan petunjuk teknis untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan SRG. Prinsip metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan standard error sebesar 5 % dengan menggunakan software SPSS, untuk melihat korelasi faktor. Berdasarkan analisis terdapat hubungan antar faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG yaitu faktor Koordinasi antar Bank, dimana Gudang dan Koperasi sejauh ini tidak berjalan dengan baik, hal ini disebabkan tidak adanya unsur kepercayaan dari pihak Bank sebagai institusi pembiayaan. Faktor berikutnya adalah Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Koperasi, dimana saat ini sudah berjalan dengan baik, akan tetapi hubungan dengan perbankan dan para pengelola gudang belum berjalan dengan baik. Faktor lainnya yang mempengaruhi penerapan pilot project SRG adalah, faktor Produksi dan faktor Kredit Likuiditas. Kata kunci: Sistem Resi Gudang (SRG), Pembiayaan, Korelasi Faktor
Iin Surminah Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 109 - 120 Abstrak: Kerjasama merupakan suatu kegiatan bekerja bersama antara satu orang atau lebih secara kooperatif dan menjadi bagian dalam kelompok. Bukan bekerja secara terpisah atau saling berkompetisi.Kerjasama merupakan interaksi dan kompromi dari beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga, dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat dari kegiatan kerjasama tersebut. Kompetensi kerjasama menekankan pada peran masing-masing anggota kelompok yang saling bersinergi, dalam menyelesaikan suatu tugas atau proses suatu kegiatan. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji pola kerjasama yang dibentuk oleh Ballitas dalam meningkatkan mutu produk yang berdaya saing, faktor-faktor penghambat, dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan ballitas dalam meningkatkan kerjasama. Kajian ini merupakan hasil survei di Balai Penelitian Pemanis dan Serat (Balitas) di Malang, Jawa Timur pada tahun 2012. Kata kunci: pola kerjasama lembaga litbang dengan pengguna, manajemen litbang, balai penelitian tanaman pemanis dan serati. Imam Radianto Anwar Setia Putra Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 121 - 130 Abstrak: Kerja sama daerah merupakan perangkat dalam mendukung peningkatan kesejahteraan daerah dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah. indetifikasi ini meihat kemampuan dan pelaksanaan kerja sama daerah, dengan melihat sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah daerah sehingga tujuan dari kerja sama daerah tersebut terpenuhi. Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengelola dan memanfaatkan potensi dan sumber daya daerah memerlukan perhatian khusus pada pengelolaan kerja sama daerah untuk menigkata nilai kebermanfaatan dari objek kerja sama daerah. untuk itu dibutuhkan kelembagaan yangkuat dan mekanisme pengawasan dengan aspek yang krusial sesuai dengan semangat pelaksanaan kerja sama daerah. Kata kunci: kerja sama, kelembagaan, kesejahteraan masyarakat Momon Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru Jurnal Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 131 - 140 Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengantisipasi
kemacetan (penurunan kinerja persimpangan) yang disebakan oleh pengoperasian Pasar Tradisional dan Pasar Modern. Penelitian ini menggunakan analisis kinerja simpang bersimpang MKJI Tahun 1997 dengan memasukkan data primer yaitu data gerakan membelok di persimpangan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Strategi 1 (satu) dan 2 (dua) dapat meningkatkan kinerja jaringan pada lengan persimpangan yang macet (jl. Sawahan) ditandai dengan DS dari 1.03 meter menjadi 0.66 meter dan 063 meter, Panjang Antrian dari 199 detil/smp menjadi 173 (strategi 2) dan tundaan dari 142.9 detik/smp menjadi 28 detik/smp dan 33 detik/smp. Kata Kunci: Trip Rate, Simpang Bersinyal, Kinerja Persimpangan Trisna Subarna Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat Jurna Bina Praja Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013, hal. 141 - 148 Abstrak: Penelitian apresiasi petani terhadap teknologi dan penyuluhan pertanian dalam peningkatan produksi padi telah dilaksanakan pada Bulan Januari sampai Mei 2012 di 10 kabupaten sentra produksi padi di Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan dengan metoda survey dengan total responden 120 petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apresiasi petani terhadap teknologi dan penyuluhan dalam meningkatkan produksi padi. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Teknologi yang berperan penting dalam peningkatan produksi padi adalah: (a) teknologi peningkatan kesuburan lahan, (b) teknologi meminimalkan kehilangan hasil panen, dan (c) varietas unggul baru. (2) Teknologi yang diapresiasi tinggi kinerjanya oleh petani adalah; varietas unggul baru, dan peningkatan kesuburan lahan, sedangkan teknologi kehilangan hasil panen diapresiasi kurang, sehingga ketiga teknologi tersebut merupakan faktor yang sangat berperan dalam peningkatan produksi padi. (3) Prequensi kehadiran penyuluh mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan produksi padi, tetapi kinerjanya diapresiasi rendah. Implikasi hasil penelitian ini adalah: (a) Diperlukan kebijakan Pemerintah Daerah melaui Peraturan Daerah untuk meningkatkan kesuburan lahan melalui pemanfaatan jerami, dan kebijakan penambahan jumlah serta fasilitas penyuluh pertanian. (b) Penyediaan varietas unggul baru melalui pengembangan dan pembinaan penangkar benih serta meningkatkan peranan Balai Benih Padi Jawa Barat, dan (c) meminimalkan kehilangan hasil panen melalui penerapan kelembagaan jasa panen dan penerapan Power Tresherr. Kata Kunci: teknologi, penyuluhan pertanian.
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 5 NO. 2 JUNI 2013
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 337/E/2013 TANGGAL 16 APRIL 2013 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge Prabawa Eka Soesanta Poverty Through National Empowerment Program (PNPM) Mandiri Rural Areas Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 June, pg. 73 - 78 Abstract: This paper aims to understand the concept and implementation of PNPM Rural poverty reduction as a model of development in Indonesia. This condition requires a solution that integrates existing adhoc related patterns in PNPM Rural, so that sustainability will be difficult if not prepared right formula. This paper also examines some of the things that occurred starting from the history of poverty alleviation programs in Indonesia, until the emergence of a national program priorities under the PNPM Mandiri (Rural and Urban). Another thing that is studied in this paper is the achievements that have been obtained in the implementation of PNPM Rural. However, the successful implementation of PNPM Rural, in order to continue it needs to be improved both from the institutional /community structures existing procedures, and culture in PNPM. Improvements was an attempt to enhance community development program with a participatory approach. Keywords: empowerment, participation, and poverty. Raodah The Role Of Fisherman's Wife In Improving Economic City Family In Village Lapulu Kendari Southeast Sulawesi Province Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 Juni 2013, pg. 79 - 90 Abstract: The women played an important role in economic public domain in fishermen society of Lapulu Subdistrict, South East Province. It appeared when they lived in poverty condition. The fishermen who merely relied on the sea as source of life would face difficulty in fulfilling his life needs when the climate was bad. The women took economic public when it happened. The research about the role of fishermen's wives in increasing domestic economy in Lapulu Subdistrict of South East Province was descriptive qualitative. Method of collecting data done was observation technique, interview, and library study. Result of research showed that fishermen's wives conducted multiple roles by doing any work in fishery field in order to fulfill their domestic economic needs. They not only played role as housewives who only took care for husband and the children, but also shared time to work in salty fish processing, terasi (condiment made from pounded and fermented shrimp or small fish) making, any food processing made of seaweed, and worked as labor in fish
processing industry. Their earnings gave enough contribution for helping in fulfilling domestic cost. Keywords: fishermen's wives, domestic economy Bagas Haryotejo Correlation Analysis Of Factors Affecting Warehouse Receipt System Implementation Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 June 2013, pg. 99 - 108 Abstract: Access to financing sources is very important for the sustainability of the production activities of farmers, the constraints in accessing financing will ultimately impede the production, productivity and management of the marketing of agricultural products. Warehouse Receipt System (SRG) could be an alternative way to overcome the problem, which can be used as collateral, to extend the sale of production of farmers, realizing the physical market and futures markets more competitive, reducing the government's role in the stabilization of commodity prices, and give certainty minimum of commodity collateral. The main objective of this study was to examine the relationship of the factors that affects the implementation of the pilot project, and formulate policy proposals and technical guidance to enhance the effectiveness of SRG implementation. The principle of the analysis method which used is use the standard error of 5% with SPSS software, and to see the correlation factor. Based on the analysis of relationship exists between the factors that affect the implementation of the pilot project are Bank Coordination, where storage and cooperative is not running well, this is due to the absence of the element of trust from the bank as a financial institution. The next factor is the relationship between the Local Government Cooperative, where it's been going well, but the relationship with the banks and the managers of the warehouse is in the contrary. Another factor affecting the implementation of the SRG pilot project are production factors and factors Credit Liquidity. Keywords: Warehouse Receipt System (SRG), Financing, Correlation Factors Iin Surminah Pattern Of Cooperation With User Research Institute In Management Research (Case Study Center And Fiber Plant Sweeteners) Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 June 2013, pg. 109 - 120 Abstract: Cooperation is an activity work in conjunction with one or more cooperatively and be part of the group. Instead of
working separatedly or mutual compete. Cooperation and compromise is the interaction of some other element that is related to either of an individual, institutions, and or parties involved directly and indirectly who receives due to and benefit from the activities of the cooperation. Competence cooperation of emphasis on the role of each member of a group that is mutually synergize, in completing an errand or process of an activity. The purpose of this paper is to examine the patterns of cooperation in improving the quality of products competitiveness, inhibiting factors, and how the efforts made in enhancing ballitas cooperation. Studies are the result of the survey at balai research sweetening and fibers ( balitas ) in Malang, east java in 2012. Keywords: collaboration patternbetween R&D institution and user, R&D management, research institute for sweetening and fiber plant Imam Radianto Anwar Setia Putra Identification The Implementation Of Regional Cooperation Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 June 2013, pg. 121 - 130 Abstract: Intergovernmental cooperation is in favor of improving the welfare of the region and the potential to utilize their resources area. Identification and implementation of these look at the ability of regional cooperation, with a view of its human resources so that the objectives of the local government areas of cooperation have been met. The limited ability of the region to manage and utilize the potential and resources of the area requires special attention to the management of regional cooperation for the usefulness of the object value menigkata regional cooperation. for the needed institutional mechanisms with yangkuat and crucial aspect in accordance with the spirit of the implementation of regional cooperation. Keywords: cooperation, institutional, public welfare Momon Handling Traffic Impact On Development And Market Modern Traditional Markets (Mall) Simpang Haru Jurnal Bina Praja Volume 5 Number 2 June 2013, pg. 131 - 140 Abstract: The aim of this research is giving recommendation to decision maker For overcoming jammed (decreasing performance intersection) that caused by traditional and modern market operational. This research use intersection performance analysis MKJI 1997 with primary data, turning moving intersection data. From the result of analysis, it can be concluded that first strategy and second strategy can improve network performance in crowded intersection arm (jl. Sawahan) that is revealed by DS from 1.03 metres to 0.66 metres and 0.63 metres, the length of queue from 199 detil/smp to 173 (strategi 2) and cancel time from 142.9 second/smp to 28 second/smp and 33 second/smp. Keyword : Trip Rate, Signal intersection, Performance intersection Trisna Subarna Farmers Appreciation On Technology And Agricultural
Extension For Increasing Rice Production Jurna Bina Praja Volume 5 Number 2 June 2013, pg. 141 - 148 Abstract: Study of farmers appreciation on technology and agricultural extension for increasing rice production has been carried out in January to May 2012 in ten rice producers districts in West Java. Research conducted by survey method with a total of 120 farmer respondents. The objective of the study were to identify and implement agricultural extension technology that can increase rice production. The results of this study showed: (1) The important to increase rice production in West Java includes: (a) soil fertility, technology increased, (b) minimize in lost crops technology, (c) new varieties. (2) The technology was mostly appreciated by farmer was new high yield varieties and soil fertility improvement technology, while minimizely yield lost tehnology otherwise. It was thesefore,both tehnologies is on consider as importantce in increasing rice yield.(3) outreach activities that have an important role in increasing rice production is frequenti agricultural extension in the presence of farmers, which was low-appreciated by the farmers. So that the instructor's presence at the farm level need to be improved. The implications of this strudy are; (a) a local regulation government policy to improve soil fertility through the use of straw, and policies as well as increasing the number of agricultural extension facilities. (b) the provision of new varieties through the development of breeder seed and coaching as well as enhancing the role of West Java Rice Seed Center, and (c) minimize the loss of crop yields through the application of institutional services and application of Power Tresher. Keywords: technology, agricultural extension
PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERDESAAN POVERTY THROUGH NATIONAL EMPOWERMENT PROGRAM (PNPM) MANDIRI RURAL AREAS Prabawa Eka Soesanta Kepala Bagian Perencanaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) - Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta Dikirim: 14 Maret 2013; direvisi: 25 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memahami konsep dan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dalam penanggulangan kemiskinan sebagai model pembangunan di Indonesia. Kondisi ini memerlukan solusi yang terintegrasi terkait pola adhoc yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan, sehingga berbicara sustainabilitas aakan menjadi sulit jika tidak disusun formula yang tepat. Tulisan ini juga mengkaji beberapa hal yang terjadi mulai dari sejarah program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia, sampai munculnya prioritas program nasional dibawah PNPM Mandiri (Perdesaan dan Perkotaan). Hal lain yang dikaji dalam tulisan ini adalah capaian yang selama ini diperoleh dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Akan tetapi keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, agar dapat dilanjutkan maka perlu diperbaiki baik dari kelembagaan/struktur masyarakat; prosedur yang ada, maupun budaya yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan. Perbaikan itu merupakan upaya untuk menyempurnakan program pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan partisipatif. Kata kunci: Pemberdayaan, partisipasi, dan kemiskinan.
Abstract This paper aims to understand the concept and implementation of PNPM Rural poverty reduction as a model of development in Indonesia. This condition requires a solution that integrates existing adhoc related patterns in PNPM Rural, so that sustainability will be difficult if not prepared right formula. This paper also examines some of the things that occurred starting from the history of poverty alleviation programs in Indonesia, until the emergence of a national program priorities under the PNPM Mandiri (Rural and Urban). Another thing that is studied in this paper is the achievements that have been obtained in the implementation of PNPM Rural. However, the successful implementation of PNPM Rural, in order to continue it needs to be improved both from the institutional /community structures existing procedures, and culture in PNPM. Improvements was an attempt to enhance community development program with a participatory approach. Keywords: empowerment, participation, and poverty.
PENDAHULUAN Menjelang peringatan hari kemerdekaan yang ke-68, merefleksikan kembali merenungkan kembali akan apa yang cita-cita berdirinya Negara Indonesia sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 sangat diperlukan. Hal ini untuk melihat perjalanan bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahsejahteraan masyarakat Indonesia sesuai tujuan utama bagi NKRI. Disamping upaya untuk mencapai kesejateraan masyarakat maka upaya untuk mengatasi kemiskinan merupakan salah satu tujuan yang menjadi kesepakatan Indonesia sebagai bentuk komitmen internasional yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs).
Terkait dengan situasi di atas maka upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, persoalan kemiskinan menjadi problem sosial secara bertahap mulai dapat terpecahkan secara sistematis. Dari hasil data BPS periode Maret 2012–September 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2012 sebesar 8,78 persen, turun menjadi 8,60 persen pada September 2012. Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan menurun dari 15,12 persen pada Maret 2012 menjadi 14,70 persen pada September 2012.
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan – Prabawa Eka Soesanta | 73
Grafik 1. Angka kemiskinan di Indonesia Tahun 2004 – 2012
Sumber: Data BPS 2013
Untuk menanggulangi kemiskinan yang terjadi Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dan program yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan. Kebijakan penanggulangan kemiskinan atau dengan nama lain, mulai aktif dijalankan sejak tahun 1974 sampai sekarang. Pada awalnya program peningkatan kesejahteraan masyarakat dimulai dari sektor pertanian, dan transmigrasi, dan berbagai program lain seperti Binmas, Inmas, Koperasi, Inpres dan lain sebagainya. Akan tetapi, apa yang menjadi program pembangunan yang dijalankan secara masif menjadi sangat sentralistis dan bersifat top down. Kebijakan pembangunan yang pada saat itu menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas menjadikan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya sebagai pelengkap untuk mengatasi dampak pembangunan yang terjadi. Hal ini menjadikan banyaknya program untuk masyarakat sejak 1992 melalui IDT, KUBE, dan sebagainya bukan menjadikan kesejahteraan masyarakat meningkat tetapi ketergantungan terhadap pemerintah semakin tinggi Ketika krisis ekonomi dan politik tahun 1998, Pemerintah meluncurkan Program Pengembangan dan pada tahun berikutnya Kecamatan (PPK) diluncurkan Program Pengembangan Kawasan Perkotaan (P2KP). Kedua program ini merupakan cikal bakal lahirnya program prioritas nasional dalam rangka penanggulangan kemiskinan yaitu: PNPM Mandiri yang dikukuhkan pada tanggal oleh Presiden RI di Kota Palu, 30 April 2007. Dalam rangka memperkuat PNPM Mandiri sebagai program prioritas nasional dikeluarkanPeraturan Presiden Nomor 10 tentang Percepatan (Perpres) Penanggulangan Kemiskinan, menetapkan 3 (tiga) kelompok program penanggulangan kemiskinan sebagai instrument percepatan penanggulangan kemiskinan nasional. yaitu: kluster pertama bantuan kluster kedua dan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat dan kluster ketiga Kredit
Usaha Rakyat, dan dilakukan penambahan kluster IV tentang peningkatkan dan perluasan program pro rakyat. Dengan melihat situasi tersebut, menjadikan PNPM Mandiri Perdesaan menjadi satu-satunya program penanggulangan kemiskinan terbesar di dunia, terutama dari jumlah lokasi yang ada. Pada tahun 2013 tersebar di 32 provinsi, 393 kabupaten, dan 5.146 kecamatan. Dengan begitu besarnya program maka karakter pemberdayaan akan menjadi berkurang dan lebih fokus pada urusan pengendalian program. Disamping itu, PNPM Mandiri Perdesaan berperan sebagai penyelesaian akan segala permasalahan pembangunan yang berdamak pada kemiskinan. Untuk itu, mencari formula terhadap penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan sehingga, orientasi keproyekan dapat teratasi ketika pembangunan itu sendiri sudah mengcover dampak dari kemiskinan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah ketika PNPM Mandiri Perdesaan menjadi program masal maka arah pemberdayaan akan tetap ada, atau lebih bersifat mekanis keproyekan? Kedua hal tersebut yang menjadi kajian dalam pembahasan tentang penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri Perdesaan. PEMBAHASAN
Capaian PNPM Mandiri Perdesaan Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan 2007 – 2012 terdapat beberapa capaian yang berdampak pada : 1) peningkatan konsumsi per kapita 5% lebih tinggi pada rumahtangga di daerah treatment dibandingkan dengan daerah kontrol; 2) rumah tangga miskin yang mendapat PNPM Perdesaan meningkat konsumsinya sebesar 3% lebih besar dan memiliki kemungkinan keluar dari kemiskinan 2,3% lebih besar jika dibandingkan dengan rumah tangga miskin di daerah kontrol; dan 3) rumah tangga
74 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 73 - 78
kelompok treatment jugamemiliki kesempatan lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan dan akses pelayanan kesehatan.Namun berbagai manfaat tersebut dampaknya sangat kecil dirasakan oleh rumah tangga rentan seperti rumah tangga yang dikepalai perempuan atau kepala rumah tangganya tidak berpendidikan. Dari hasil capaian tersebut menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan maupun hasil kegiatan dari PNPM Mandiri Perdesaanmemiliki faktor efisiensi yang tinggi. Hal ini terlihat dari adanya peluang kesempatan kerja, membaiknya infrastruktur dan produktivitas ekonomi di desa. Tingginya kegiatan infrastruktur dalam PNPM Mandiri Perdesaan, disebabkan oleh kurangnya infrastruktur di desa dan PNPM Mandiri Perdesaandianggap dapat menetralisir dampak negatif program bersasaran rumah tangga seperti BLT, Raskin, PKH, dan Jamkesmas. Berikut ini tabel lokasi dan alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat yang disalurkan melalui PNPM Mandiri Perdesaan. Disamping itu, dari mekanisme penyaluran dana pembangunan dari pusat ke desa, PNPM Mandiri Perdesaan sangat efektif dan efisien, namun dari sisi pemberdayaan masih perlu perbaikan. Upaya penting yang diperlukan antara lain adalah mengintegrasikan musyawarah perencanaan PNPMMandiri Perdesaan dengan Musrenbangdes sehingga aspirasi warga yang tidak tertampung di PNPM Mandiri Perdesaan dapat tetap direalisasikan.Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, hasil-hasil yang dicapai melalui PNPM dibutuhkan perubahan paradigma Mandiri pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.Korten (1993) menyatakan konsep pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif dari rakyat
sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis, juga disampaikan Suwondo (1982) bahwa kemiskinan terbagai menjadi kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996) yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan seperti PNPM Mandiri Perdesaan telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak
Tabel 1. Lokasi dan alokasi PNPM Mandiri Perdesaan 2007 – 2013
Sumber: Sekretariat PNPM Mandiri Perdesaan, Ditjen PMD
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan – Prabawa Eka Soesanta | 75
dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerationalequity”. Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, maka apa yang dilakukan melalu PNPM Mandiri Perdesaan merupakan dobrakan terhadap sistem yang selama ini tidak berpihak pada masyarakat desa. Perubahan paradigma pembangunan daritop down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan. Pengalaman Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan selama ini, terdapat beberapa keunggulan pelaksanaan yang didapat seperti: 1. Pendekatan pemberdayaan masyarakat Masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat namun diposisikan sebagai subyek atau pelaku utama pembangunan. Masyarakat dilatih dan diorganisir sedemikian hingga dapat mengartikulasikan aspirasinya dalam merencanakan, membuat prioritas, mengambil keputusan, dan melaksanakan pembangunan. Melalui pendekatan ini, masyarakat diharapkan memiliki kemauan dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Berbeda dengan charity yang memberikan bantuan jangka pendek, pemberderdayaan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan pembangunan jangka panjang secara berkelanjutan. Kondisi ini menjaikan PNPM Mandiri Perdesaan menjadi rujukan/percontohan dari berbagai negara yang mecoba menerapakan pola PNPM Mandiri Perdesaan di negara-negara berkembang, Asia, maupun Afrika. 2. Transparan dan akuntabel PNPM Mandiri Perdesaan telah menjadi media belajar bagi setiap pihak tentang transparansi dalam mengelola dana-dana pembangunan untuk masyarakat. Ada banyak pihak yang dilibatkan dalam mengawasi program mulai dari internal proyek seperti konsultan dan Tim koordinasi ampai eksternal proyek seperti dari LSM, wartawan, auditor BPK, BPKP, dan sebagainya. Meskipun hingga saat ini masih terdapat masalah penyalahgunaan dana dalam jumlah besar, namun jumlah ini relatif kecil bila
3.
4.
5.
6.
dibandingkan dengan total dana PNPM Mandiri Perdesaan atau bila dibandingkan dengan kebocoran pada proyek-proyek pemerintah lainnya. Dalam menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas, PNPM Mandiri Perdesaan bahkan telah mengorganisir dan melatih masyarakat untuk berperan langsung dalam memonitor atau mengawasi program. PNPM Mandiri Perdesaan juga berupaya mengembangkan audit antardesa. Open menu Kegiatan-kegiatan dalam PNPM Mandiri Perdesaan sangat beragam disesuaikan dengan pilihan kebutuhan masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan untuk memilih kegiatan mana yang sesuai kebutuhannya. Pilihan tersebut diantaranya adalah kegiatan infrastruktur/ sarana fisik, usaha ekonomi produktif, simpan pinjam kelompok perempuan, kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat difasilitasi untuk menemukenali kebutuhannya, menyusun prioritas, dan membuat usulan kegiatan di tingkat desa dan kecamatan. Keputusan pembiayaan kegiatan yang terpilih diambil berdasarkan musyawarah antar desa yang merupakan forum tertinggi di PPK. Pendekatan keruangan berbasis kecamatan Skema pemberdayaan dan penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat PNPM Mandiri Perdesaan mengambil basis masyarakat di tingkat kecamatan. Dengan menempatkan kecamatan sebagai basis pemberdayaan dan kompetisi BLM, penyaluran bantuan dan pelaksanaan skema program akan berjalan secara efektif. Dengan adanya BLM di tingkat kecamatan maka pembangunan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat antar desa dan kewilayahan dapat teratasi. Melibatkan banyak stakeholder Dalam pelaksanaannya, banyak pihak belajar dari PNPM Mandiri Perdesaan mengenai model pembangunan partisipatif. Pelaksanaan PPK melibatkan banyak stakeholder mulai dari masyarakat, pemda, LSM, perguruan tinggi, wartawan, bahkan membuka peluang keterlibatan private sektor didalamnya. Para stakeholder tersebut terlibat dengan peran yang berbeda-beda mulai dari subyek utama, fasilitator, monitoring, auditor, hingga tim studi. Disamping itu, penguatan kapasitas masyarakat juga disalurkan melalui kegiatan Ruang Belajar Masyarakat (RBM). RBM merupakan forum lintas pelaku yang memberi ruang terbuka bagi segenap pihak untuk berdialog, beraktifitas sesuai dengan kondisi yang ada di masing-masing daerah.
76 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 73 - 78
7.
Peran Fasilitator Pemberdayaan masyarakat sangat memerlukan peran fasilitator dalam pelaksanaan program. PNPM Mandiri Perdesaan telah merekrut sarjana untuk bekerja mulai dari level kecamatan sampai pusat lebih dari 13.000 orang. Para fasilitator merupakan ahli-ahli pemberdayaan baik terspesilisasi dalam kegiatan sosial, fisik, maupun teknik yang terhimpun dalam beberapa ikatan atau asosiasi pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka memberikan pendampingan yang betul-betul kepada masyarakat maka saat ini sedang dipersiapkan sertifikasi bagi para fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan.
Dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan selama ini, juga terdapat beberapa kekurangan yang ada seperti: 1. Kelembagaan di PNPM Mandiri Perdesaan masih bersifat adhoc, sehingga nuasa keproyekan susah terintegrasi. Hal ini berdampak pada sustainaibilitas kelembagaan kedepan. 2. Terkait kegiatan simpan pinjam yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan, masih besarnya dana mengendap yang tidak digulirkan oleh pengurus UPK. 3. Terlalu luasnya cakupan program, menjadikan PNPM Mandiri Perdesaan belum fokus terhadap apa yang akan dicapai atau prioritas yang akan menjadi arah dan tujuan yang diharapkan. 4. PPK sebagai cikal bakal PNPM Mandiri Perdesaan lahir dari kondisi yang menyimpang pada saat itu. Hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan maupun regulasi yang seharusnya ada, baik dari sisi perencanaan, implemtasi, maupun evauasi. Ketika hal ini akan dikembalikan kepada sistem regualasi yang ada, maka banyak ketentuan yang tidak sesuai dengan PNPM Mandiri Perdesaan. SIMPULAN a.
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan perlu untuk dilanjutkan paska 2014, dengan pertimbangan sebagai berikut: • PNPM Mandiri dapat menjawab kebutuhan masyarakat terhadap kegiatan yang sudah dimusyawarahkan. Hal ini merupakan bentuk demokrasi dileberatif yang secara riil dipraktekan diseluruh lokasi PNPM mandiri Perdesaan • Disamping itu, PNPM Mandiri Perdesaan terbukti dapat memberikan pendelegasian yang jelas kepada masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi kegiatan.
b.
c.
Disamping itu, ada beberapa kendala yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan ke depan baik dari sisi kelembagaan/struktur; prosedur yang dijalankan, maupun kultur/budaya. • Kelembagaan/struktur yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan masih bersifat adhoc, hal ini tentu menjadi tantangan ketika para pelaku berupaya untuk mengintegrasikan dalam sistem regular. Sebagai contoh: kegiatan SPP yangada di UPK, maka perlu ada perlindungan terhadap asset berguliran yang ada, baik melalui BUMDes ataupun nama lain. • Prosedur yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan dikenal sangat berjenjang dan sisi administrasi lebih ditekankan. Karakter ini terbawa pada para fasilitator yang bekerja di PNPM Mandiri Perdesaan lebih banyak menangani sisi adminitrasi dibandingkan pendampingan kemasyarakat yang membutuhkan inovasi dan kreatifitas. Untuk itu, penyerderhanaan prosedur dan peran pendampingan yang lebih inovatif dan menjadikan pencerahan pada masyarakat sangat diperlukan. • Budaya di PNPM Mandiri Perdesaan yang sangat taat dengan petunjuk ataupun ketentuan yang ada berdampak pada ketidakberanian maupun keengganan dari para pelaku untuk bertindak lebih. Budaya yang demikian dalam pemberdayaan seharusnya lebih mengarah pada pendekatan kemanusiaan bukan pendekatan administrasi. • Sistem pendanaan yang menggunakan akun Bantuan Sosial menjadikan pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana tersebut menjadi multitafsir, dari pihak pelaksana maupun pemeriksa. Terkait dengan kendala yang ada maka perlu ada upaya perubahan regulasi menyangkut Undang-undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004, Undang-undang Nomor 25 tahun 2004, Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 beserta turunannya. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan pola yang ada di PNPM Mandiri Perdesaan, tertutama pemberian block grant ke desa tidak menjadi perdebatan baik dari perencanaan, pendelegasian kewenangan, sisi pertanggungawajaban keuangan, maupun keberlestarian hasil-hasil kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA Ala, Andro Bayo, 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Yogyakarta, Liberty. Arief, Saeful, 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan – Prabawa Eka Soesanta | 77
Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk(eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York UniversityPress, 1995. Friedman, John, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell,1992. Korten, D.C. 1993. Menuju Abad ke-21 : Tindakan Sukarela dan Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan. Sumardjan, Selo, 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan Kata Pengantar dalam Alfian (at. Al), Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai, Jakarta, YIIS. Suwondo, Kutut, 1998. Struktur Sosial dan Kemiskinan, Salatiga, Yayasan Bina Dharma. Salim, Emil, 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Jakarta, Inti Idayu Press. Soetrino, R, 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan, Yogyakarta, Kanisius.
78 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 73 - 78
PERANAN ISTRI NELAYAN DALAM MENINGKATKAN EKONOMI KELUARGA DI KELURAHAN LAPULU KOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA THE ROLE OF FISHERMAN'S WIFE IN IMPROVING ECONOMIC CITY FAMILY IN VILLAGE LAPULU KENDARI SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE Raodah Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jl. Sultan Alauddin Km 7 Makassar Email:
[email protected] Dikirim: 17 Maret 2013; direvisi: 26 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Peranan perempuan di rana ekonomi publik memberi kontribusi yang cukup besar bagi kehidupan keluarga, terutama bagi keluarga yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan. Seperti di jumpai pada masyarakat nelayan, yang mata pencahariannya tidak menentu. Ada waktu tertentu dimana nelayan harus melaut dan ada waktu nelayan tidak dapat melaut, karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Dalam kondisi yang demikian maka diperlukan peran isteri untuk membantu ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan di luar rumah (publik). Peran ganda ini dilakoni pula oleh istri-istri nelayan yang ada di Kelurahan Lapulu, mereka melakukan beberapa pekerjaan di sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu selain berperan di rana domestik sebagai ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak-anak, mereka juga meluangkan waktunya untuk membantu suami bekerja sebagai, pengolah ikan asin, pembuatan terasi, berbagai makanan olahan dari rumput laut dan ikan, serta bekerja sebagai buruh di industri pengolahan ikan. Penghasilan yang diperoleh istri-istri nelayan memberi kontribusi yang cukup besar dalam membantu mengatasi biaya kebutuhan rumah tangga nelayan. Kata kunci: isteri nelayan, ekonomi keluarga
Abstract The women played an important role in economic public domain in fishermen society of Lapulu Subdistrict, South East Province. It appeared when they lived in poverty condition. The fishermen who merely relied on the sea as source of life would face difficulty in fulfilling his life needs when the climate was bad. The women took economic public when it happened. The research about the role of fishermen’s wives in increasing domestic economy in Lapulu Subdistrict of South East Province was descriptive qualitative. Method of collecting data done was observation technique, interview, and library study. Result of research showed that fishermen’s wives conducted multiple roles by doing any work in fishery field in order to fulfill their domestic economic needs. They not only played role as housewives who only took care for husband and the children, but also shared time to work in salty fish processing, terasi (condiment made from pounded and fermented shrimp or small fish) making, any food processing made of seaweed, and worked as labor in fish processing industry. Their earnings gave enough contribution for helping in fulfilling domestic cost. Keywords: fishermen’s wives, domestic economy
PENDAHULUAN Dalam kehidupan sosial, perempuan selalu dinilai sebagai mahkluk yang lemah dibanding lakilaki. Gejala seperti ini menentukan kaum perempuan yang eksistensinya tidak begitu diperhitungkan. Untuk memenuhi kebutuhan materialnya perempuan tergantung kepada lelaki sebagai pencari nafkah. Pembagian peran di sektor publik untuk lelaki, dan
sektor domestik untuk perempuan terutama terlihat jelas di lingkungan keluarga ekonomi menengah ke atas. Sedang pada keluarga ekonomi menengah ke bawah pembagian peran kerja berdasarkan sistem patriarkal mengalami perubahan. Kesulitan ekonomi memaksa mereka kaum perempuan dari kelas ekonomi rendah untuk ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarganya dengan bekerja di luar sektor domestik. Keterlibatan
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 79
perempuan dalam sektor domestik memang dianggap sebagai peran kodrati sebagai ibu rumah tangga dan keterlibatan mereka disektor publik disebut sebagai peran ganda . Pada setiap kebudayaan perempuan dan lakilaki diberi peran dan pola tingkah laku yang berbeda untuk saling melengkapi, perbedaan kodrati dari kedua makhluk ini. Winarti dkk (2008) berpendapat bahwa bergesernya perubahan peran atau tepatnya nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat menjadikan perempuan memiliki tanggungjawab tidak hanya pada sektor domestik, tetapi juga pada sektor publik. Hal ini dipertajam dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan yang kemudian memunculkan peran ganda bagi perempuan itu sendiri. Peran ini mau tidak mau menyebabkan perempuan memiliki jam kerja yang lebih lama, karena disamping perannya sebagai pekerja juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Fenomena pemberdayaan perempuan ternyata berperan penting terhadap kelangsungan hidup keluarga, baik berkenaan dengan pembinaan moral anak, maupun pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Pola pemanfaatan tenaga kerja pedesaan dalam konteksnya dengan pembagian kerja dalam rumah tangga meliputi baik pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan uang atau sejenisnya maupun kegiatan pekerjaan rumah tangga. Peranan ibu rumah tangga bukan saja dilihat seberapa besar kontribusi yang telah diberikan dalam menunjang kehidupan sosial ekonomi keluarga, namun peran ibu rumah tangga yang lebih luas dapat pula dilihat dari sumbangsi yang diberikan terhadap lingkungan atau terhadap masyarakat dimana ia bermukim. Peranan perempuan dalam kehidupan keluarga terutama bagi keluarga yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan seperti yang banyak kita jumpai pada masyarakat nelayan yang mata pencahariannya tidak menentu, ada waktu dimana para nelayan harus melaut dan ada waktu dimana para nelayan tidak dapat melaut karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Dalam kondisi yang demikian maka diperlukan peran isteri untuk membantu ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan di luar rumah (publik). Kusnadi (2001) berpendapat bahwa, sebagian besar aktivitas perekonomian di kawasan pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja. Pekerjaan di laut merupakan rana kaum laki-laki, dan perempuan di darat. Peran tersebut telah menempatkan kaum perempuan sebagai penguasa aktivitas ekonomi pesisir. Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya Berkaitan dengan hal tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah banyak terlibat secara aktif dalam membantu ekonomi keluarga. Dari beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
perempuan mengalokasikan waktunya bukan hanya pada sektor domestik, seperti mengurus rumah tangga, akan tetapi aktivitas perempuan telah merambah ke sektor publik. Kurniawan (2010) menulis tentang Etty Kereway kiprah perempuan Papua yang merintis beberapa usaha kerajinan dengan mengolah hasil limbah alam yang bernilai ekonomi. Dari usaha itu mempekerjakan ratusan ibuibu rumah tangga disekitar tempat tinggalnya di Kabupaten Manokwari. Selanjutnya hasil penelitian Dloyana (2010) berkesimpulan bahwa berkembangnya kawasan industri sepatu di Cibaduyut Bandung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk berkiprah, selain disektor domestik sebagai ibu rumah tangga. Dari 1.532 ibu rumah tangga sekitar 68 % yang bekerja sebagai buruh di sentra industri tersebut. Hal yang sama ditemukan juga chusnul (2006) bahwa, Perdagangan batik di pasar-pasar tradisional Yogyakarta sebagian besar dikelola oleh perempuan yang disebut dengan mbok mase, yaitu pedagang batik keliling. Mereka melakukan jual beli bahan dasar batik dan kain batik. Perempuan mengambil peranan 75 % dalam proses produksi dan distribusi dari seluruh aktivitas perusahaan batik milik keluarga. Demikian halnya hasil penelitian Raodah (2010) pada masyarakat nelayan, berpendapat bahwa aktivitas perekonomian masyarakat pesisir sangat ditunjang oleh peran perempuan seperti halnya istri-istri nelayan di kelurahan Panyula kabupaten Bone, yang mengembangkan industri rumah tangga dengan melakukan pengasapan ikan yang disebut bale tapa. Kontribusi pendapat wanita nelayan tersebut sangat membantu ekonomi rumah tangga masyarakat nelayan. Dari beberapa hasil penelitian yang dikemukakan di atas berkenaan dengan peran perempuan disektor ekonomi publik yang cukup potensial dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Kondisi tersebut hampir sama dengan aktivitas perempuan nelayan yang ada di Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari. Kaum perempuan di daerah ini umumnya yang berstatus sebagai isteri nelayan mempunyai berbagai aktivitas dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Pekerjaanpekerjaan tersebut meliputi: Pembuatan ikan asin, terasi, abon ikan serta berbagai makanan dari hasil olahan ikan dan rumput laut, melakukan perdagangan ikan dan sebagian diantaranya bekerja pada industri pengolahan ikan disekitar Kecamatan Abeli. Profesi tersebut telah lama mereka geluti, sebagai salah satu upayah untuk menunjang ekonomi keluarga yang rata-rata suami mereka adalah nelayan. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berkenaan dengan peran ganda istri nelayan di Kelurahan Lapulu. Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimana peran istri nelayan di Kelurahan Lapulu dalam meningkatkan
80 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
ekonomi keluarga. Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah: (1) untuk mengungkapkan peran istri-istri nelayan dalam aktivitas domestik, sosial dan ekonomi publik, (2) untuk mengetahui faktorfaktor yang mendorong sehingga istri-istri nelayan melakukan peran ganda tersebut, (3) besarnya kontribusi yang diberikan istri nelayan dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Selanjutnya hasil penelitian ini akan dijadikan informasi dan publikasi tentang peran ganda istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu, sekaligus memberi masukan kepada pemerintah dalam hal pemberdayaan perempuan di sektor perikanan. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggambarkan peran ganda perempuan, khususnya isteri nelayan dalam sektor ekonomi publik dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Materi yang menjadi sasaran utama dalam penelitian ini adalah berbagai hal yang berkaitan dengan peran istri-istri nelayan yang bekerja di sektor perikanan yang meliputi pengelolaan ikan asin, pembuatan terasi, produkproduk olahan dari ikan dan rumput laut, dan peran istri nelayan di industri Pengolahan ikan. Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli, Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Masyarakat di Kelurahan Lapulu mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, karena letak geografis yang berada di wilayah pesisir. Kondisi inilah yang memungkinkan peran perempuan pada keluarga nelayan di kelurahan tersebut dapat melakukan fungsi ganda baik pada sektor domestik maupun publik. Aktivitas ekonomi publik dilakukan bukan hanya untuk kesetaraan gender, akan tetapi terlebih pada kebutuhan hidup untuk menunjang ekonomi keluarga. Berbagai usaha yang dilakukan istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu untuk meningkatkan ekonomi keluarga yang ditunjang oleh kondisi masyarakat dan wilayahnya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu Data primer dan data skunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan beberapa responden informan yang terdiri dari istri-istri nelayan, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah setempat yang senantiasa mengupayakan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan yang ada di Kelurahan Lapulu. Data sekunder, diperoleh dari sumber arsip-arsip lokal Dinas perikanan dan kelautan, organisasi pemberdayaan wanita, pemerintah setempat dan Badan Pusat Statistik, serta organisasi non pemerintahan (LSM), dan sumber kepustakaan, seperti jurnal, artikel, makalah, tesis, disertasi, dan internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Kelurahan Lapulu Kelurahan Lapulu merupakan salah satu kelurahan dari 13 belas kelurahan yang berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Abeli, sebelum dimekarkan Kelurahan Lapulu berada di wlayah Kecamatan Poasia Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelurahan Lapulu terletak di daerah pesisir esturia Teluk Kendari dengan ketinggian ± 2 meter dari permukaan laut. Merupakan kawasan perkampungan dengan radius atau jarak ± 3 km dari ibukota Kecamatan, dan ± 8,4 km dari Kota Kendari dengan jarak tempuh kurang lebih 20 menit. Untuk menuju ke Kelurahan Lapulu dapat ditempuh melalui dua jalur lewat darat melalui jalan tapak kuda atau bay pass dan jalan poros Andonouhu dengan menggunakan angkutan umum, sedang lewat laut berjarak ± 640 meter dari pelabuhan rakyat di Kecamatan Kendari Barat melalui jalur Pasar Sentral kota, maupun dari jalur pantai biru Sanggula menggunakan perahu motor jonson. Kelurahan Lapulu dimekarkan pada tahun 1997 menjadi dua kelurahan yaitu Kelurahan Puday dan Kelurahan Lapulu sendiri. Secara administratif, batas-batas wilayah Kelurahan Lapulu adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Abeli, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Puday, dan sebelahTimur berbatasan dengan Kelurahan Poasia. Kelurahan Lapulu memiliki luas ±2,1 km² yang dibagi menjadi 4 RW atau 9 RT. Luas Kelurahan 3,96 % dari luas Kecamatan Abeli jika dibandingkan dengan luas Kelurahan lainnya, dan menempati peringkat ke 10 dalam hal luas wilayah. Jumlah penduduk menurut data monografi Kelurahan Lapulu tahun 2011, berjumlah 3.960 jiwa, terdiri dari laki-laki 2006 jiwa dan perempuan 1.954 jiwa yang tergabung dalam 804 kk, jumlah penduduk ini tersebar kedalam 4 RW. Penduduk yang bermukim di Keluarahan Lapulu kebanyakan penduduk pendatang sekitar 80 % yang terdiri dari suku Bugis, Makassar, dan Bajo, sedang selebihnya adalah penduduk asli suku Tolaki. Kebanyakan dari suku pendatang ini memdiami wilayah sekitar pesisir pantai Teluk Kendari, mereka pada umumnya bekerja sebagai nelayan. Interaksi antar suku terjalin dengan baik dan mereka sudah kawin mawin, antara suku Bugis Makassar yang kawin dengan orang Bajo dan Orang Tolaki, sehingga budaya mereka sudah berbaur dan menjadi satu kesatuan dalam bermasyarakat. Perempuan suku Bajo, Bugis dan Makassar banyak yang bekerja di sektor industri dan usaha pengolahan hasil laut, mereka sangat aktif membantu suami dalam menambah penghasilan keluarga. Angka butu huruf penduduk di Kelurahan Lapulu masih cukup tinggi sekitar 25,2 % dari total penduduk.Sama halnya dengan prosentase penduduk
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 81
tidak tamat SD sebesar 21,7 % . Angka-angka ini hampir setara dengan prosentase jumlah penduduk yang lulus SLTA sebesar 25,4 % yang merupakan angka tertinggi, disusul dengan jumlah penduduk lulus SLTA sebesar 25,3 %. Disisi lain prosentase penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi masih terbilang rendah sekitar 0,7 % untuk lulusan D1, 0,1 % dan lulusan D2 dan 2,6% untuk lulusan S1. Mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidayaan ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan (industri ikan kering), supplier faktor sarana produksi perikanan (industri kapal rakyat misalnya). Dalam non perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi (kelompok jonson), serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya. Penduduk Kelurahan Lapulu mayoritas beragama Islam sekitar 95,19% dan selebihnya adalah penduduk beragama Kristen sebesar 4,81%. Masyarakat pendatang yang bermukim di Kelurahan Lapulu kesemuanya beragama Islam, sementara sebagian kecil masyarakat suku Tolaki yang beragama Kristen. Untuk mengakomadasi kebutuhan masyarakat dalam beribadah, maka tersedia tempat ibadah berupa dua bangunan Mesjid satu Musholla, dan satu gereja. Peran Domestik dan Sosial Di dalam kehidupan keluarga, perempuan sebagai istri memainkan peran sebagai makhluk sosial yang berhubungan mesra dengan suaminya, sebagai teman hidup dan ibu yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Sesuai pernyataan Baker (dalam Fadliah 2011) bahwa menjadi seorang istri, ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia, suatu peran yang harus ditekuni dan dijalani secara profesional. Peran istri untuk urusan domestik bukan sekedar kewajiban, melainkan sudah kodratnya dalam kehidupan rumah tangga, sementara suami berperan sebagai kepala rumah tangga yang menafkahi seluruh kebutuhan istri dan anak-anaknya. Demikian halnya pada rumah tangga nelayan, pengaturan atau pengolahan rumah tangga merupakan tugas utama para istri, kegiatan ini seolah-olah tidak mengenal waktu dalam pelaksanaannya. Tugas itu berkaitan dengan penyiapan makan dan minum bagi segenap anggota keluarga, mengasuh anak, mendidik, menjaga dan mengarahkan anak-anak terutama bagi yang belum dewasa mengurus, membersihkan dan membenahi perabot rumah tangga, mencuci dan merapikan pakaian segenap anggota keluarga. Istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu tetap menempatkan peran domestik atau reproduktif sebagai peran utama dalam keluarga. Peran seorang wanita yang telah menikah dalam keluarganya sebagai isteri atau ibu dituntut untuk mengurus suami dan anak-anaknya,
peran tersebut tidak terlepas dari aktivitas mereka sehari-hari. Karakteristik pekerjaan suami sebagai nelayan yang harus meninggalkan rumah dalam jangka waktu tertentu, membuat peran pengambilan keputusan banyak diambil alih oleh para istri. Walaupun kadang mereka berkonsultasi kepada suami atas keputusan-keputusan yang akan atau telah diambil, pada akhirnya istrilah yang melakukan pengambilan keputusan tersebut. Keputusan yang diambil alih termasuk keputusan internal keluarga, maupun keputusan-keputusan berhubungan dengan pihak luar. Suami lebih banyak berada di lingkungan laut dan fokus pada kegiatan mencari ikan sedang istri lebih banyak berada dilingkungan keluarga dan luar, sehingga pengambilan keputusan, lebih dominan dilakukan istri. Dalam urusan keuangan rumah tangga pada umumnya pengelolaannya dibebankan pada istri, terutama dalam mengatur pengeluaran pembiayaan rumah tangga. Bentuk-bentuk pengeluaran masih bersifat kebutuhan mendasar misalnya untuk komsumsi keluarga, perlengkapan produksi ekonomi dan biaya pendidikan anak-anak. Sedang pengeluaran untuk kebutuhan pakaian, perabot, kesehatan dan biaya sosial lainnya merupakan pengeluaran yang tidak menentu dan masih dapat ditangguhkan apabila kebutuhan ini tidak terlalu mendesak. Seperti yang diutarakan ibu Darti (32 tahun), bahwa pengambilan keputusan dalam urusan keuangan diserahkan kepadanya, karena suami waktunya lebih banyak di laut dan kembali sekali dalam sebulan. Sehingga pengambilan keputusan untuk urusan keuangan dan rumah tangga, seperti penentuan biaya sekolah anak-anak, pembelian perabot, dana sosial dan sebagainya diserahkan sepenuhnya kepada saya (wawancara 9 pebruari 2012). Sebagai istri nelayan dimana pendapatan suami tidak menentu tergantung kemurahan alam, maka keputusan-keputusan yang diambil mengharuskan memiliki intuisi dan pengetahuan akan resiko dari keputusan yang diambil. Kebanyakan keputusan yang berhubungan dengan keluarga mereka lakukan secara langsung karena desakan waktu. Keputusan keuangan juga lebih banyak dilakukan para istri mengingat merekalah pengelola keuangan rumah tangga. Apabila kekurangan dana maka istri yang menanggulangi dari penghasilannya bekerja. Musyawarah antara istri dan suami dilakukan dalam pengambilan keputusan terutama untuk hal yang bersifat khusus. Hampir seluruh informan menjawab bahwa penghasilan suami sebagai nelayan seluruhnya diberikan pada istri untuk di kelolah Peran istri nelayan di Kelurahan Lapulu bukan hanya terbatas pada aktivitas domestik dan ekonomi publik, mereka juga masih meluangkan waktu untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan tersebut berupa pelatihan keterampilan ataupun penyuluhan yang diadakan oleh ibu-ibu
82 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
PKK di Kelurahan Lapulu. Selain kegiatan tersebut masih terdapat kegiatan-kegiatan lainnya seperti arisan dan pengajian kelompok majelis Ta’lim. Secara umum pelaksanaan kegiatan tersebut terkoordinir dengan baik. Antusiasme dari kaum ibu pun cukup banyak mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Mereka terbentuk dalam kelompok kerja yang dibentuk oleh ibu-ibu nelayan, menurut Ibu Maulida (35 tahun) yang bertugas sebagai penyuluh perikanan di Kecamatan Abeli mengatakan bahwa di Kelurahan Lapulu sudah banyak terbentuk kelompok wanita-wanita nelayan yang beranggotakan sekitar 15 sampai 20 orang dalam satu kelompok, dengan melakukan kegiatan industri rumah tangga berupa pengolahan hasil perikanan yang siap dipasarkan di masyarakat. Kegiatan ini dirasakan sangat membantu untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (wawancara 10 Pebruari 2012) Dalam kelompok PKK, ibu-ibu nelayan diajarkan berbagai macam keterampilan utamanya yang berhubungan dengan hasil perikanan dan dan biota laut, misalnya pengolahan ikan asin, pembuatan bakso ikan, abon ikan, keripik rumput laut dan berbagai olahan menu yang terbuat dari rumput laut. Aktivitas ibu-ibu nelayan dalam kegiatan sosial ini sudah mendapat apresiasi dari pemerintah provinsi bahkan sampai tingkat nasional dalam berbagai perlombaan yang berkaitan dengan pengolahan hasil laut. Kelompok wanita nelayan di Kelurahan Lapulu yang senantiasa mengikuti perlombaan adalah kelompok wanita nelayan Bajo Indah yang diketuai ibu Linda (32 thn) yang telah mengikuti berbagai perlombaan dan beberapa kali mendapat penghargaan. Keberhasilan kelompok-kelompok wanita nelayan di Kelurahan Lapulu dalam berprestasi tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dikelolah masyarakat melalui BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) misalnya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan masyarakat) Mandiri. Sesuai dengan kondisi masyarakat di Kelurahan Lapulu, yang bergerak di bidang perikanan dan kelautan melalui tiga komponen yaitu Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya dan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Program pemerintah ini sangat membantu masyarakat nelayan di Kelurahan Lapulu. Dalam kegiatan keagamaan ibu-ibu nelayan juga sangat aktif melakukan pengajian yang dilaksanakan oleh majelis taklim di Kelurahan Lapulu. Pengajian ini rutin dilaksanakan setiap bulan dirangkaiakan pula dengan arisan yang mengambil tempat di Mesjid Lapulu. Anggota pengajian ini bukan saja dari ibu-ibu nelayan, akan tetapi seluruh masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Lapulu. Kelompok majelis Taklim di Kelurahan Lapulu mempunyai berbagai program kegiatan misalnya membuka pengajian untuk anak-anak yang tergabung dalam TPA/TKA dan dewasa melalui
metode Qiraah untuk ibu-ibu yang buta aksara AlQur’an, mengunjungi apabila anggota yang sakit atau meninggal dengan menyelenggarakan ta’siyah dan membantu penyelenggaraan jenazah. Kegiatan kerohanian ini disamping menambah pengetahuan ibu-ibu dalam ilmu agama juga dapat berorganisasi, dan bersosialisasi dalam masyarakat. Peran Istri Nelayan pada Sektor Ekonomi Publik Masyarakat nelayan di Kelurahan Lapulu di Kecamatan Abeli, merupakan salah satu golongan sosial yang kelangsungan hidupnya ditopang oleh kemampuannya mengelolah sumberdaya perikanan yang tersedia di lingkungannya. Pembagian peran yang sejajar khususnya dari aspek ekonomi perikanan dimana perempuan nelayan yang mengurusi pasca panen yang meliputi pengolahan, pengawetan dan pemasaran, sementara pria pada aspek produksi melalui kegiatan penangkapan ikan dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong partisipasi wanita lebih baik. Sebagai nelayan kecil atau buruh nelayan penghasilan dari kegiatan melaut bersifat spekulatif dan tidak tentu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka kaum perempuan pesisir atau isteri nelayan mengambil peranan yang sangat penting. Perempuan nelayan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisisnya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak mereka bekerja di daerah pesisir. Bahwa istri nelayan harus bekerja dengan motivasi utama mencari tambahan penghasilan dalam usaha memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka yang sepertinya sudah menjadi keharusan. Kondisi ekonomi keluarga dimana jumlah kebutuhan yang semakin meningkat dengan bertambahnya anggota keluarga yang memerlukan berbagai kebutuhan baik bersifat primer maupun sekunder. Sementara penghasilan suami yang hanya sebagai nelayan kecil sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sudah menjadi gejala umum jika isteri nelayan harus bekerja demi memperoleh pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangganya. Istri nelayan bekerja lebih kepada alasan karena kebutuhan ekonomi, bukan berdasarkan pada kesetaraan gender. Maksudnya adalah, bahwa istri-istri nelayan bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluraga karena pendapatan suami masih rendah dan tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga menyebabkan tekanan ekonomi keluarga. Sebagai nelayan penghasilan suami hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan dari aktivitas bekerja di laut, dimana unsur gambling antara
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 83
mendapat tangkapan dengan tidak mendapat tangkapan ikan selalu ada. Sedang untuk nelayan yang bekerja pada bos/pemilik kapal, mereka harus membagi keuntungan dari hasil tangkapan yang di dapat selama berlayar dengan lama waktu sekitar 20 hari atau lebih. Perempuan nelayan di Kelurahan Lapulu pada umumnya mempunyai aktivitas di sektor ekonomi publik dan sangat giat membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Berbagai usaha yang dikelolah oleh istri-istri nelayan seperti membuat ikan kering, terasi, bakso ikan dan berdagang ikan asin. Bagi mereka yang memiliki kemampuan modal usaha yang cukup, dapat mengembangkan usaha ekonomi secara mandiri, dengan menjadi pedagang pengumpul ikan asin, dan jika tidak isteri nelayan akan menjadi tenaga kerja lepas maupun tetap di perusahaan industri perikanan yang terdapat di sekitar ke Lurahan Lapulu, atau ke unit-unit usaha yang dikelola orang lain. Adapun Aktivitas-aktivitas di rana publik yang dilakukan istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli dalam meningkatkan ekonomi keluarga adalah: 1.
Usaha Pengolahan Ikan dan Rumput laut Aktivitas istri-istri nelayan dalam pengolahan ikan dan rumput laut di Kelurahan Lapulu pada umumnya dilakukan secara bekelompok yang tergabung dalam kelompok wanita nelayan. Kegiatan ini dilakukan setelah aktivitas domestik dalam urusan rumah tangga selesai, sehingga tidak mengganggu peran mereka sebagai ibu rumah tangga dalam mengurus suami dan anak. Mereka bekerja sesuai ketersediaan bahan yang akan diolah, sehingga tidak setiap hari mereka harus bekerja. Ada beberapa kelompok wanita nelayan di Kelurahan Lapulu yang melakukan pengolahan ikan dan rumput laut yaitu: Kelompok wanita nelayan Bajo Indah, Kelompok wanita nelayan sumber rejeki, kelompok wanita nelayan Tenggiri dan kelompok wanita nelayan Maju Bersama. Kelompok wanita nelayan ini beranggotakan istri-istri nelayan, dimana setiap kelompok terdiri atas 10 sampai 15 orang dengan usia produktif 30 sampai 60 tahun. Mereka bekerja sama dalam usaha pengolahan ikan yang menghasilkan berbagai produk, misalnya pengolahan ikan asin, bakso ikan, otak-otak ikan, abon ikan, terasi dan berbagai makanan yang terbuat dari rumput laut. Adapun jenis usaha yang dilakukan kelompok wanita nelayan sebagai berikut : 1). Kelompok wanita nelayan Bajo Indah melakukan usaha pengolahan ikan asin dan terasi, 2) Kelompok wanita nelayan Sumber Rejeki melakukan usaha pengolahan ikan asin dan makanan olahan dari ikan, 3) Kelompok wanita nelayan Tenggiri melakukan usaha pengolahan ikan asin dan berbagai makanan yang terbuat dari rumput laut. 4) Kelompok wanita nelayan Maju bersama melakukan usaha makanan yang terbuat dari rumput laut, dan 5)
Kelompok wanita nelayan pesisir khusus melakukan usaha pembuatan abon ikan,dan abon udang. Walaupun setiap kelompok mempunyai spesifikasi usaha, tapi pada umumnya mereka mempunyai usaha yaitu pengolahan ikan asin, karena pengolahan ikan asin merupakan produksi utama masyarakat nelayan di Kelurahan Lapulu. Pengolahan ikan asin dilakukan dengan cara tradisional dengan peralatan sederhana dimana ikan yang akan diasini terlebih dahulu dibersihkan dengan membelah ikan lalu mengeluarkan isi perut ikan, kemudian dicuci sampai bersih, selanjutnya ikan diberi garam dan didiamkan selama satu malam agar garamnya meresap, kesesokan harinya ikan baru dijemur. Pengeringan berlangsung sekitar 2 sampai 3 hari apabila cuaca cerah. Banyaknya ikan yang dikelolah dalam sehari biasanya berkisar antara 100 sampai 200 kg, pengelolaan ikan sangat bergantung pada musim. Pada musim penangkapan ikan dan cuaca cerah maka pengolahan ikan asin jumlahnya akan meningkat, sementara apabila musim penghujan aktivitas kelompok ini biasanya berhenti untuk sementara. Harga jual ikan asin berada dikisaran Rp.60.000 sampai Rp.65.000,- perkilogram apabila di jual langsung ke konsumen, kalau dijual melalui perantara atau di pasarkan ke supermaket maka harganya lebih rendah, sekitar Rp. 55.000 perkilogram. Jenis-jenis ikan yang diasinkan misalnya ikan sunu, ikan teri, ikan katamba dan ikan cakalang. Tapi lebih dominan yang dibuat ikan asin adalah ikan jenis sunu. Bagi nelayan yang melakukan penangkapan ikan sunu menjualnya dengan dua cara, yang masih hidup biasanya langsung dijual keperusahaan-perusahaan pengekspor ikan, sedang ikan sunu yang sudah mati diolah menjadi ikan asin. Pembuatan terasi udang, pengolahannya dilakukan dengan cara dan peralatan yang sederhana yaitu dengan membersihkan udang terlebih dahulu, lalu dikukus , selanjutnya udang ditumbuk sampai halus dan dibentuk menjadi terasi padat yang dikenal dengan terasi basah. Untuk terasi bubuk kering dilakukan dengan cara mengukus terasi padat tadi kemudian disangrai sampai kering sampai menjadi bubuk terasi, selanjutnya di kemas dalam bungkus plastik untuk di jual. Harga jual terasi padat untuk ukuran 1 kg sebesar Rp. 55.000,-,sampai Rp.60.000 dan pemasaranya di lakukan di pasar-pasar sekitar Kelurahan Lapulu dan di Kota Kendari. Menurut ibu Linda (33 tahun) ketua kelompok wanita nelayan Bajo Indah, untuk produksi terasi udang bubuk saat ini, masih dilakukan uji coba kemasannya di Jakarta untuk mendapatkan kemasan terasi yang mempunyai standar nasional (wawancara 13 Peberuari 2012). Pembuatan abon ikan yang bahannya bakunya dari ikan tuna baby dilakukan dengan cara ikan dikukus, setelah matang lalu diangin-anginkan selanjutnya dihaluskan dan diberi bumbu berupa bawang putih, bawang merah, lengkuas, sereh, gula merah. Setelah bumbu tercampur dengan ikan yang
84 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
telah dihaluskan kemudian adonan ikan dicampur santan kelapa dan dimasak sampai kering, demikian pula untuk pembuatan abon udang dilakukan dengan cara yang sama. Menurut ibu Maulida (40 tahun) penyuluh perikanan di Kecamatan Abeli, mengatakan ada beberapa kelompok wanita nelayan yang melakukan usaha rumah tangga (home industry) pengolahan abon ikan dan udang, yang tempat pengolahannya masih bersatu dengan dapur rumah tangga. Sementara persyaratan untuk mendapatkan produksi pengolahan abon berstandar nasional tempat pengolahannya harus terpisah dengan dapur, dan kemasan yang digunakan mempunyai bahan almunium foil, aqun preses, uji kadaluarsa dan terdapat lebel halal. Karena persyaratan tersebut belum sepunuhnya di penuhi, maka produksi abon ikan dan udang ini masih terbatas untuk pasaran lokal saja (wawancara 15 pebruari 2012) Pada kelompok wanita nelayan yang melakukan pengolahan rumput laut untuk produk makanan seperti kripik, es rumput laut dan sirup rumput laut. Kripik rumput laut dilakukan dengan cara, rumput laut terlebih dahulu dijemur sebelum direndam selama 3 malam, setelah dicuci bersih lalu diblender. Adonan rumput laut yang telah diblender kemudian dicampur terigu, gula, garam dan penyedap rasa selanjutnya dibentuk sesuai selera kemudian digoreng. Kripik rumput laut ini sangat digemari konsumen mulai dari anak-anak sampai dewasa. Sedang pada pembuatan sirup rumput laut diolah dengan mencampurkan gula dan aroma sesuai selera. Produk makanan dari rumput laut ini pemasarannya masih terbatas pada kalangan masyarakat di sekitar kota Kendari Usaha pengolahan ikan yang dilakukan kelompok wanita nelayan yang telah menghasilkan berbagai produk makanan merupakan salah satu usaha yang memberi kontribusi yang cukup besar untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Dalam setiap kelompok pengaturan keuangan dari usaha yang meliputi upah dan gaji anggota diatur oleh bendahara kelompok atas persetujuan semua anggota dan dibayarkan sesuai dengan kehadiran mereka bekerja dalam kelompok usaha. Mereka bekerja bersama-sama mulai dari pengolahan sampai pengemasan, sehingga pembagian pekerjaan merata untuk setiap anggota. Kelompok wanita nelayan Bajo Indah, merupakan salah satu kelompok wanita nelayan di Kelurahan Lapulu yang sangat aktif melakukan pengolahan ikan terutama untuk pembuatan ikan asin. Kelompok ini terbentuk sejak tahun 1997 dan selalu mengikuti berbagai perlombaan yang berkaitan dengan pengolahan hasil laut dan beberapa kali mendapatkan penghargaan dari pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk pengembangan dan pembinaan wanita nelayan di Kelurahan Lapulu, beberapa kelompok wanita nelayan telah diikutsertakan berbagai pelatihan diantaranya:
Pengolahan dan pemasaran ikan, pengemasan produk, manajemen usaha dan dispersifikasi olahan ikan; abon, nuget, otak-otak, dan ikan asap. Setiap pelatihan diikuti oleh ketua kelompok atau yang mewakili kelompoknya, hasilnya disosialisasikan atau diajarkan pula kepada anggotanya, untuk meningkatkan sumber daya manusia anggota kelompok . 2. Usaha Penjualan Ikan Selain melakukan usaha produk hasil olahan ikan, istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu menekuni pula usaha penjualan ikan baik dalam bentuk segar maupun ikan kering (asin). Wanitawanita nelayan yang memiliki modal usaha, melakukan perdagangan ikan segar dengan cara membeli ikan dari nelayan kemudian menjualnya ke pasar-pasar atau di jajakan keliling kampung. Sedang bagi pedagang ikan asin mereka membeli ke pengoleloh usaha ikan asin baik yang ada di sekitar Kelurahan Lapulu, maupun di luar wilayah Lapulu. Seperti yang di lakukan Ibu Siti Fatima (56 tahun) adalah salah satu wanita nelayan penjual ikan asin yang memulai usahanya sejak tahun 1998. Ia membeli ikan asin di Tinanggea, sekitar 100 km dari Lapulu, kemudian menjualnya ke pasar-pasar di Kota Kendari. Aktivitas pembuatan ikan asin banyak pula dilakukan istri-istri nelayan secara kecil-kecilan yaitu dengan mengolah hasil tangkapan suami mereka yang tidak terjual untuk dijadikan ikan asin dan menjual kepada konsumen atau pedagang pengumpul yang mendatangi rumah-rumah pembuat ikan asin. Pengolahan ikan asin lebih banyak ditekuni masyarakat nelayan di Kelurahan Lapulu, karena harga jualnya lebih mahal dari pada ikan segar, apalagi untuk jenis ikan sunu dan katambak. Modal berjualan ikan asin berkisar antara Rp.500.000,sampai Rp. 700.000,- Harga ikan sunu segar untuk 20 kg sekitar Rp. 300.000,- Tapi setelah di keringkan ikan akan menyusut sekitar 4 sampai 5 kg. Walaupun menyusut setelah di jemur akan tetapi harga ikan sunu masih menguntungkan apabila di jadikan ikan asin. Harga jual per kilo ikan sunu kwalitas bagus sekitar Rp.65.000 sampai Rp. 70.000/kg. 3.
Peran istri nelayan di Industri Pengolahan Ikan Partisipasi peran wanita dalam era industrialisasi, dimana sektor industri menjadi motor pembangunan sangat diperlukan adanya tenaga kerja yang merupakan salah satu input dalam proses produksi. Sumbangan wanita dalam pembangunan ekonomi terlihat dari kecenderungan partisipasi wanita dalam angkatan kerja. Sebagai salah satu indikator, partisipasi dalam bidang ekonomi ditunjukkan dari laju peningkatan partisipasi wanita dalam angkatan kerja lebih cepat dari peningkatan laju partisipasi pria. Peningkatan laju partisipasi
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 85
ditunjukkan pula pada aktivitas ekonomi publik yang dilakukan oleh istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu, yang bekerja di sektor industri pengolahan ikan. Wanita-wanita nelayan yang berstatus sebagai buruh pabrik yang bekerja dengan upah harian dan bulanan. Ada beberapa industri pengolahan ikan yang mempekerjakan warga di sekitar Lapulu diantaranya perusahaan Supratuna, MJL, PT Cilacap, PT Andika, PT Bung, PT Amo dan Yanagi (perusahaan asing). Pada umumnya perusahaanperusahaan ini melakukan usaha ikan dan udang beku dan hasil laut lainnya. Menurut keterangan dari Lurah Lapulu bahwa, sebagian besar wanita-wanita nelayan yang bekerja di industri pengolahan ikan adalah warga kelurahan Lapulu, aktivitas ini sudah berlangsung lama sejak tahun 1991 ketika disekitar pantai Kendari tepatnya di Kelurahan Puday dibangun industri-industri pengolahan ikan. Keberadaan perusahaan – perusahaan ini juga memberi peluang dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan yang mencari ikan di sekitar peraiaran pantai Sulawesi Tenggara. Banyak pula nelayan-nelayan yang datang dari luar mensuplai ikan di Industri pengolahan ikan ini misalnya nelayan-nelayan Mandar dan nelayan Bugis dari perairan Teluk Bone. Pekerjaan sebagai buruh pengolah ikan dan hasil laut lainnya pada perusahaan tersebut, sangat diminati oleh sebagian istri nelayan karena mereka mendapat penghasilan yang cukup memadai untuk menopang ekonomi keluarga seperti yang dilakukan Ibu Darti (32 tahun), yang sehari-hari bekerja di industri pengolahan ikan, mulai dari jam 8.00 sampai jam 16.00 sore. Pekerjaan yang dilakukan adalah membersihkan ikan-ikan kemudian di bekukan, ia mendapat upah perhari sekitar Rp. 43.100, dan apabila lembur ia mendapat tambahan upah Rp.6.800 perjam. Peran istri nelayan untuk menambah penghasilan keluarga dengan bekerja di industri pengolahan ikan menjadi salah satu pilihan aktivitas ekonomi publik warga masyarakat di Kelurahan Lapulu. Kerena pekerjaan ini selain memberi upah tetap sesuai kehadiran mereka dalam bekerja, bagi mereka yang sudah menjadi pegawai tetap mendapat tunjangan, misalnya tunjangan hari Raya (THR) yang diberikan perusahaan menjelang hari raya Idul Fitri, Jamsostek untuk seluruh keluarga, selain itu mereka mendapat jatah makan apabila mereka lembur. Menurut Muliana (33 tahun) yang berstatus sebagai istri pappalele yang telah bekerja di PT Sultra Tuna selama 4 tahun, lebih menyukai bekerja sebagai buruh industri dari pada mengolah ikan hasil tangkapan suaminya sebagai nelayan. Menurutnya bekerja sebagai buruh perusahaan pendapatannya sudah tetap asalkan kita hadir dan mulai bekerja sesuai jam kerja perusahaan, boleh lembur kalau suami mengizinkan. Aktivitas istri-istri nelayan yang bekerja disektor industri, menempatkan peran wanita sebagai
gender dalam persamaan hak untuk mendapat perlindungan dari perusahaan sebagai tenaga kerja yang mempunyai hak-hak dan kewajiwaban. Pemberian cuti melahirkan dan cuti haid adalah satu bentuk kepedulian perusahaan untuk menghargai harkat wanita sebagai tenaga kerja yang dilindungi undang-undang ketenagakerjaan. Berbagai keuntungan yang dirasakan sebagian wanita nelayan yang bekerja disektor industri, walaupun harus bekerja sehari penuh dan meninggalkan keluarga, akan tetapi ada penghasilan tetap yang akan diperoleh setiap bulan. Pekerjaan sebagai buruh industri tidak serta merta meninggalkan tugas tradisi mereka sebagai ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak, akan tetapi mereka sudah dapat mengatur waktu agar dapat berperan ganda baik dalam aktivitas domestik maupun aktivitas ekonomi publik untuk membantu ekonomi keluarga. Kegiatan sebagai buruh perusahaan memberi peluang istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu untuk mendapatkan penghasilan sendiri, tidak hanya mengandalkan pendapatan suami sebagai nelayan, yang penghasilannya tidak menentu (wawancara Asriani, Pebruari 2011). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Isteri Nelayan Terlibat dalam Sektor Ekonomi publik. Selain faktor pendapatan suami yang rendah alasan lain istri bekerja karena ingin memiliki uang sendiri dan dapat mengambil keputusan sendiri tanpa berembuk dengan suami serta dapat mengaktualisasikan diri. Menurut Margaret M. Poloma (dalam Fadlia, 2011) menyatakan bahwa seorang bekerja mempunyai ciri-ciri ekonomi, psikologi dan sosial. Secara ekonomi manusia akan memperoleh nafkah untuk hidup memenuhi berbagai sarana penunjang hidup lainnya, dari segi psikologi bekerja seseorang akan mengalami kepuasaan serta memberi harga diri, perasaan aman dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Secara sosial bahwa bekerja tidak sekedar bertahan hidup tetapi juga memerlukan kerukunan tetangga serta tolong menolong dalam masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi istri nelayan untuk bekerja pada sektor ekonomi publik yaitu : a.
Rendahnya Pendapatan Nelayan Faktor-faktor penyebab terjadi permasalahan gender adalah tingkat pendapatan suami yang masih rendah menyebabkan tekanan ekonomi keluarga. Tingkat pendapatan yang rendah menjadikan para nelayan hanya terfokus pada upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini terjadi karena laki-laki kurang berusaha/kurang mendapat akses dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, kondisi sosial budaya yang tidak berpihak kepada akses perempuan. Sebagai istri nelayan, mereka tidak dapat berpangku tangan sambil menunggu suami pulang. Waktu yang ada diisi dengan kegiatan yang bersifat
86 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
produktif, penghasilan suami yang belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, diperlukan penunjang lewat peran istri nelayan untuk berkipra di ekonomi publik. Menurut pendapat dari beberapa istri nelayan yang bekerja melakukan berbagai aktivitas produktif dalam pengolahan ikan, perdagangan ikan, sebagai buruh pada industri pengolahan ikan mengatakan bahwa: Penghasilan suami mereka sebagai nelayan terkadang tidak mencukupi untuk membiaya kebutuhan rumah tangga, apalagi pada musim tertentu mereka tidak melaut sehingga otomatis mereka tidak berpenghasilan. Kondisi seperti menuntut kami sebagai istri untuk dapat melakukan aktivitas produktif agar dapat membiayai kebutuhan seharihari yang mutlak harus terpenuhi (wawancara, Pebruari 2012) Melihat kenyataan tersebut peran ganda istri nelayan sangat produktif dalam memberi kontribusi pendapatn keluarga. Perubahan peran istri nelayan yang seringkali dianggap kontoversial, namun ternyata menyimpang arti yang lebih dalam, dengan bekerjanya istri sebagai pencari nafkah (ekonomi publik) si istri dapat mempunyai penghasilan sendiri yang dapat mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga. b.
Faktor Lingkungan Aktivitas istri nelayan untuk bekerja pada publik produktif sangat ditunjang oleh kondisi lingkungan tempat tinggal mereka yang berdiam di wilayah pesisir. Pada masyarakat nelayan seperti halnya di Kelurahan Lapulu, laut pada dasarnya merupakan sumber kekayaan alam yang tak ternilai harganya bagi manusia. Hal ini berkaitan dengan keberadaan di dalam laut senantiasa terkandung berbagai sumber alam yang dapat digunakan sebagai sarana untuk pemenuhan kelangsungan hidupnya. Artinya pontensi sumberdaya yang ada di dalam laut itu tidak akan berarti jika tidak ada uluran tangan manusia untuk memberi arti terhadapnya.Karena itulah potensi yang demikian itu akan bernilai apabila manusia berusaha untuk memanfaatkannya, dengan demikian untuk mengembangkan dan penggalian sumberdaya laut yang tersedia itu diperlukan adanya sumberdaya manusia yang terampil. Ketersediaan sumberdaya laut untuk dikelola, memberi peran istri nelayan untuk bekerja disektor ekonomi publik. Berbagai jenis hasil laut dapat diolah menjadi bahan makanan yang mempunyai nilai jual yang tinggi, hasil tangkapan nelayan yang tidak dapat dijual dalam bentuk segar diolah menjadi ikan asin. Terdapatnya beberapa industri perusahaan pengolahan ikan disekitar wilayah Kelurahan Lapulu membuka peluang mereka untuk menjadi tenaga kerja di perusahaan tersebut. Kemandirian dan aktualisasi diri Kemampuan istri nelayan dengan bekerja di ekonomi publik sudah dapat mengatasi
c.
ketergantungan hidup pada suami, mereka bebas mengatur keuangan tanpa meminta bantuan kepada suami, misalnya dalam pembelian perabot, alat-alat dapur, ongkos sekolah anak-anak, dan kebutuhankebutuhan lainnya. Kemandirian dalam mengatur keuangaan rumah tangga membuat si istri percaya diri dan berani mengambil keputusan. Kemandirian istri nelayan yang dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya tanpa membebani suami, walaupun tanggungjawab sepenuhnya dalam mencari nafkah ada pada suami. Pekerjaan suami sebagai nelayan yang pendapatannya tidak menentu sangat mendukung apabila istri produktif di sektor ekonomi publik, itu pula yang menyebabkan istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu 90 % bekerja diberbagai publik produktif, bukan hanya sekedar untuk membantu ekonomi keluarga, akan tetapi lebih dari itu untuk kemandirian dalam mengaktualisasikan diri dalam keluarga dan masyarakat. Kebebasan wanita untuk dapat memajukan dirinya sebagai individu, ternyata juga untuk dapat memerankan secara optimal sisi lain identitas kodratinya yang tergantung pada lingkungannya (suami dan anaknya). Itu berarti kebebasan wanita adalah konteks kesadaran akan keterikatan dirinya dengan suami anak-anak dan orang-orang disekitarnya. Menurut istri-istri nelayan setempat bahwa, mendapatkan uang dari hasil bekerja baik melakukan pengolahan ikan, penjualan ikan, ataupun bekerja sebagai buruh pada perusahaan pengolahan ikan, menimbulkan perasaan senang karena mampu mengaktualisasikan diri seperti mampu mengikuti arisan baik di lingkungan keluarga maupun arisan antar tetangga, mampu mengisi amplop apabila ada keluarga atau tetangga yang melakukan pesta, maupun menyumbang apabila ada keluarga yang berduka dan selain sebagainya. d.
Sosialisasi dan komunikasi Aktivitas istri nelayan di luar rumah memberi peluang untuk mereka dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat luas. Sebagai ibu rumah tangga tentunya mempunyai perasaan jenuh dan tertekan apabila hanya melakukan pekerjaan domestik, keberadaan mereka di arena publik mampu menciptakan jaringan sosial serta memberi kesempatan untuk saling beriteraksi baik sesama rekan kerja maupun antar pedagang dan kelompok. Bekerja di ekonomi publik memberi kebebasan istri-istri nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Adanya dukungan dari suami menghilangkan perasaan tertekan dan bebas dalam beraktivitas, walaupun sudah bebas dari perasaan tertekan mereka senantiasa jujur dalam bertindak dan menjaga kehormatan suami sebagai kepala rumah tangga. Sebagai makhluk sosial, wanita nelayan membutuhkan interaksi dengan dunia luar untuk memudahkan mereka beraktivitas dan berkomunikasi
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 87
dengan masyarakat di lingkungannya, baik yang berhubungan dengan relasi kerja maupun sesama pelaku ekonomi publik. Kontribusi Pendapatan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga. Kontribusi penghasilan wanita pesisir, terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga cukup besar. Dominasi wanita pesisir dalam pengelolaan keuangan keluarga sudah menjadi keharusan, sebagai mekanisme sosial yang konsektual dengan usaha perikanan. Menurut Sayogyo (1983), peran wanita dalam rumahtangga berkaitan erat dengan telaah pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. Perannya dalam mencari nafkah dapat dilihat dari curahan jam kerja untuk menghasilkan pendapatan. Dengan demikian kontribusi wanita tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan jenis usaha yang dilakukan wanita nelayan terlihat adanya perbedaan kontribusi dari berbagai jenis usaha yang dikelolah. Pendapatan dari istri nelayan diperoleh dari hasil berbagai jenis usaha yang dilakukannya untuk mecukupi kebutuhan rumahtangga. Istri nelayan pengolah ikan dan rumput laut, berdagang ikan dan bekerja di industri pengolahan serta usaha lainnya. Aktifitas pengolahan ikan dan rumput laut dilakukan tergantung dari ada atau tidaknya aktifitas melaut yang dilakukan oleh nelayan serta ada tidaknya hasil tangkapan. Sementara wanita nelayan yang berjualan atau berdagang ikan asin dan mereka yang menjadi buruh pada perusahaan industri pengolahan ikan aktifitasnya dilakukan setiap hari. Besar kecilnya pendapatan nelayan pengolah ikan dan pedagang ikan sangat tergantung sekali kepada besar kecilnya hasil tangkapan sebagai bahan, dimana hasil tangkapan sangat tergantung sekali kepada keadaan cuaca. Jika musim ikan, istri nelayan yang melakukan pengolahan ikan untuk berbagai bahan makanan dan pembuat ikan asin memperoleh pendapatan yang cukup besar akan tetapi pada musim paceklik mereka hanya mengolah sedikit, bahkan sama sekali tidak melakukan pengolahan sehingga mereka juga tidak mempunyai pendapatan. Sedang bagi istri nelayan yang bekerja sebagai buruh industri pengolahan ikan akan mempunyai penghasilan lebih besar, apabila mereka lebih banyak melakukan lembur. Kontribusi penghasilan istri nelayan berbedabeda sesuai dengan aktivitas pekerjaan yang dilakukan. Bagi istri nelayan yang melakukan pengolahan ikan menjadi bahan makanan seperti pembuatan abon, bakso dan kripik rumput laut berfluktuasi sesuai dengan ketersedian bahan yang akan diolah. Menurut ibu Linda bahwa, penghasilan yang diperoleh tidak tetap sesuai besarnya produksi yang dihasilkan, paling tinggi sekitar Rp. 1.200.000, sedang paling rendah sekitar Rp. 500.000 perbulan. Pendapatan suami sebagai nelayan paling tinggi sekitar Rp. 2.500.000, - dan paling rendah sekitar Rp.
700.000 perbulan. Jadi kalau digabung pendapatan saya dan suami tertinggi sekitar Rp. 3.700.000 dan terendah Rp. 1.200.000 perbulan (wawancara, Pebruari 2012) Sebagai pedagang ikan asin pendapatan mereka sangat tergantung oleh pasokan ikan asin yang masuk. Kalau musim penangkapan ikan dan cuaca panas maka pasoakan ikan asin lebih besar, sedang pada musim dimana nelayan tidak melaut, maka pasokan ikan asin berkurang sehingga daya jual menurun. Dari penuturan ibu Fatimah dimana pendapatan yang diperoleh memberi kontribusi yang lebih besar dari pendapatan suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa peran wanita dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga bukan sekedar sebagai penghasilan tambahan, melainkan sudah menjadi pendapatan utama dalam keluarga. Sementara bagi istri nelayan yang melakukan pekerjaan sebagai buruh pada perusahaan industri pengolahan ikan sifatnya lebih tetap, karena mereka mendapat gaji bulanan sebagai karyawan ditambah pula mereka mendapat fasilitas jaminan kesehatan untuk keluarganya dan tunjangan THR dari perusahaan. Sebagai karyawan mereka cukup signifikan kontribusi ekonomi yang diberikan kepada keluarga sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut mereka upah yang diperoleh sebulan sekitar Rp. 1.700.000, apabila mereka lembur. Tetapi apabila pasokan ikan kurang mereka tidak lembur, sehingga hanya mendapat penghasilan sesuai dengan pekerjaan rutin yang dilakukan setiap karyawan Penghasilan ini merupakan penghasilan tetap, selama menjadi mereka menjadi karyawan di Perusahaan tersebut. Kontribusi pendapatan istri nelayan yang bekerja di industri pengolahan ikan dapat mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga nelayan ketika suami mereka tidak melaut. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan mengenai peran istri nelayan dalam sektor domestik dan ekonomi publik di Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari, maka dapat diambil beberapa aspek yang menjadi kesimpulan bahwa: pertama, peran domestik istri nelayan merupakan aktivitas kesaharian mereka dalam mengurus rumah tangga. Peran reproduktif ini merupakan peran tadisi yang mencakup peran sebagi istri atau ibu yang mengurus suami dan anak, memasak, mencuci dan membersihakan rumah. Pada umumnya istri nelayan melakukan peran ini karena mereka tidak memiliki pembantu rumah tangga. Disamping itu peran domestik mencakup pula peran dalam mengasuh anak dan urusan pendidikan serta kewenangan istri dalam pengambilan keputusan dan urusan keuangan. Dalam aktivitas kemasyarakatan dan sosial, istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu
88 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
sangat antusias mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi PKK yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan sumberdaya manusia. Mereka juga terlibat dalam kelompok pengajian majelis ta’lim dan arisan yang diselenggarakan masyarakat setempat. Wadah ini memberi kesempatan kepada istri-istri nelayan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungannya. Dalam ekonomi publik peran istri nelayan, bukan hanya sekedar mengaktualisasikan diri dalam kesetaraan gender, melainkan peran produktif ini lebih pada pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Pendapatan suami sebagai nelayan yang tidak menentu menuntut mereka berperan untuk mencari nafkah tambahan. Berbagai usaha dan pekerjaan yang dilakukan istri-istri nelayan di Kelurahan Lapulu yang meliputi usaha pengolahan ikan menjadi berbagai produk makanan, pembuatan ikan asin, terasi dan perdagangan ikan asin serta sebagai buruh/karyawan pada perusahaan industri pengolahan ikan yang terdapat di Kelurahan Puday. Dari berbagai aktivitas ini mereka mendapatkan income untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kedua, berbagai faktor yang menyebabkan istri nelayan mengambil peran dalam sektor ekonomi publik terakait dengan rendahnya pendapatan yang diperoleh suami sebagai nelayan tidak menentu. Keberadaan mereka di wilayah pesisir mendukung para istri nelayan melakukan aktivitas dalam berbagai sumberdaya laut, keinginan untuk mandiri dalam berpenghasilan menjadikan istri tidak tergantung sepenuhnya pada penghasilan suami, demikian pula kebebasan dalam mengaktualisasikan diri serta kebutuhan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat luar merupakan kecenderungan istri-istri nelayan untuk beraktivitas di rana ekonomi publik. Ketiga, peran istri nelayan yang bekerja di sektor ekonomi publik telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Penghasilan yang diperoleh istri dengan melakukan berbagai kegiatan ekonomi publik dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup rumah tangga. Peran ini memberi pemasukan keluarga sehingga ekonomi keluarga akan meningkat dan kesejahteraan akan meningkat pula, dengan demikian ketahanan ekonomi mayarakat juga semakin meningkat, dimana peningkatan ini dicapai secara bertahap yaitu peningkatan konsumsi keluarga, peningkatan sandang dan papan keluarga. Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini, antara lain: pertama, peran istri nelayan disektor ekonomi publik di Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari, merupakan salah satu usaha pemberdayaan wanita nelayan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam meningkatkan ketahanan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Upaya yang
dilakukan istri nelayan ini perlu ditingkatkan secara terarah dan berkesinambungan, oleh karena itu perlu adanya upaya dari pemerintah setempat dan dinas terkait untuk terus melakukan pembinaan dan meningkatkan keterampilan sumberdaya manusia wanita nelayan agar dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan di Kelurahan Lapulu. Kedua, peran serta Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam membantu menfasilitasi kebutuhan modal usaha bagi masyarakat nelayan, khususnya istri-istri nelayan dalam mengembangkan usahanya merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperdayakan potensi yang dimiliki wanita nelayan. Untuk memaksimalkan dan mengefektifkan penyaluran dana yang di kelolah BKM perlu pengawasan dari pemerintah dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan salah sasaran demi tercapainya kesejahteraan masyarakat nelayan. Demikian halnya sarana dan infrastruktur yang di bangun pemerintah dan instansi terkait di Kelurahan Lapulu yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanan dengan tujuan untuk menfasilitasi dan memberi kemudahan untuk pengembangan usaha nelayan tidak dipergunakan semaksimal mungkin, sehingga sarana tersebut terkesan tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi dan musyawarah kepada masyarakat nelayan setempat terkait dengan infrastruktur yang tersedia agar dimanfaatkan dan dipergunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan usaha dan pendapatan masyarakat nelayan. DAFTAR PUSTAKA Chusnul Hayat, 2006. Gender dan Perubahan Ekonomi : Peranan Perempuan Dalam Indistri Batik di Yogyakarta 1900-1965. Semarang: Fakultas Sastra UNDIP. Dloyana Kusumah, 2010. Pembentukan Norma dan Nilai Baru Dalam Pranata Keluarga (Studi Tentang Peran Ganda Perempuan di Kelurahan Cibaduyut). Yogyakarta: Penerbit Kepel Press. Fadlia vadlun Yotolembah Aminah, 2011. Makna Wanita Tentang Perubahan Peran ( Kajian disertasi wanita istri nelayan suku Kaili dalam perubahan peran dari domestik tradisional ke publik produktif). Palu: Media Litbang Sulteng IV :12-23 Juni. Kusnadi, 2001. Pangamba’ Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Muhammad Kurniawan, 2010. Etty Kereway Kiprah Perempuan Papua. Kompas Rabu 7 April 2010 Sajogyo, 1983. Peranaan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa.Jakarta: Rajawali Press.
Peranan Istri Nelayan dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara – Raodah | 89
Raodah, 2010. Aktivitas Perekonomian Nelayan Bugis. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar: Penerbit Dian Istana Winarti, dkk. 2008. Peberdayaan Perempuan Pada Sektor Industri Kecil Dalam Mengatasi Ekonomi keluarga. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia
90 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 79 – 90
ANALISIS KORELASI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG (SRG) DI DAERAH CORRELATION ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING WAREHOUSE RECEIPT SYSTEM IMPLEMENTATION Bagas Haryotejo Peneliti Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Jl. M.I.Ridwan Rais No.5, Jakarta Pusat e-mail:
[email protected] Dikirim: 12 Maret 2013; direvisi: 21 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Akses terhadap sumber pembiayaan tunai yang liquid sangat penting guna kesinambungan kegiatan produksi petani, sehingga adanya kendala dalam mengakses pembiayaan pada akhirnya akan menghambat produksi, produktifitas dan pengelolaan pemasaran produk pertanian. Sistem Resi Gudang (SRG) dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, dimana SRG dapat dijadikan sebagai agunan bank, untuk memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani, mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif, mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi, dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG di daerah yang menerapkan SRG; dan merumuskan usulan kebijakan dan petunjuk teknis untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan SRG. Prinsip metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan standard error sebesar 5 % dengan menggunakan software SPSS, untuk melihat korelasi faktor. Berdasarkan analisis terdapat hubungan antar faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG yaitu faktor Koordinasi antar Bank, dimana Gudang dan Koperasi sejauh ini tidak berjalan dengan baik, hal ini disebabkan tidak adanya unsur kepercayaan dari pihak Bank sebagai institusi pembiayaan. Faktor berikutnya adalah Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Koperasi, dimana saat ini sudah berjalan dengan baik, akan tetapi hubungan dengan perbankan dan para pengelola gudang belum berjalan dengan baik. Faktor lainnya yang mempengaruhi penerapan pilot project SRG adalah, faktor Produksi dan faktor Kredit Likuiditas. Kata kunci : Sistem Resi Gudang (SRG), Pembiayaan, Korelasi Faktor
Abstract Access to financing sources is very important for the sustainability of the production activities of farmers, the constraints in accessing financing will ultimately impede the production, productivity and management of the marketing of agricultural products. Warehouse Receipt System (SRG) could be an alternative way to overcome the problem, which can be used as collateral, to extend the sale of production of farmers, realizing the physical market and futures markets more competitive, reducing the government's role in the stabilization of commodity prices, and give certainty minimum of commodity collateral. The main objective of this study was to examine the relationship of the factors that affects the implementation of the pilot project, and formulate policy proposals and technical guidance to enhance the effectiveness of SRG implementation. The principle of the analysis method which used is use the standard error of 5% with SPSS software, and to see the correlation factor. Based on the analysis of relationship exists between the factors that affect the implementation of the pilot project are Bank Coordination, where storage and cooperative is not running well, this is due to the absence of the element of trust from the bank as a financial institution. The next factor is the relationship between the Local Government Cooperative, where it's been going well, but the relationship with the banks and the managers of the warehouse is in the contrary. Another factor affecting the implementation of the SRG pilot project are production factors and factors Credit Liquidity. Keywords: Warehouse Receipt System (SRG), Financing, Correlation Factors
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah – Bagas Haryotejo | 91
PENDAHULUAN Upaya pengembangan sektor pertanian masih dihadapkan pada permasalahan klasik, yaitu sulitnya petani/pelaku usaha untuk mendapatkan pembiayaan untuk kesinambungan usaha taninya dan harga produk pertanian yang fluktuatif dan rendah pada saat panen. Akses terhadap sumber pembiayaan, seperti perbankan atau lembaga keuangan non bank, dirasakan sulit untuk dipenuhi petani, karena sebagian besar agunan/collateral yang dipersyaratkan merupakan agunan fixed asset atau agunan fisik, seperti tanah, kendaraan atau bangunan, serta birokrasi dan administrasi yang berbelit-belit. Hal ini terjadi karena sebagian besar petani di Indonesia mempunyai tingkat kepemilikan atas tanah/barang yang akan diagunkan tersebut berskala kecil. Bagi petani, akses terhadap sumber pembiayaan tunai yang liquid sangat penting guna kesinambungan kegiatan produksinya, sehingga adanya kendala dalam mengakses pembiayaan pada akhirnya akan menghambat produksi, produktifitas dan pengelolaan pemasaran produk pertanian. Untuk memperoleh dana yang cepat, petani bisa saja menjual hasil produksinya dalam waktu yang cepat, tetapi tidak mendapatkan harga yang layak karena dijual pada masa sebelum panen. Di lain pihak, jika petani menjual hasil produksinya pada masa panen raya, pasar akan mengalami over supply sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Dengan kata lain, petani sulit mendapatkan harga yang layak, yang berakibat pada sumber pembiayaan untuk kelangsungan kegiatan produksinya terhambat. Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas yaitu Sistem Resi Gudang (SRG). Menurut Bappebti (2007), manfaat yang diharapkan dari implementasi suatu SRG diantaranya adalah: sebagai agunan bank, untuk memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani, mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif, mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi, dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan. Hal sejalan juga dinyatakan dalam Edi (2008) yang menyatakan bahwa secara umum manfaat yang diharapkan dari implementasi SRG diantaranya adalah sebagai trade financing, marketing tool, risk management dan instrumen kebijakan pemerintah dalam pengendalian stok. Sistem Resi Gudang sebagai trade financing diharapkan mampu menjawab permasalahan petani dalam akses pembiayaan. Sistem Resi Gudang sebagai marketing tool diharapkan mampu menciptakan pola pemasaran komoditi yang lebih efisien, dan SRG sebagai risk management diharapkan mampu meningkatkan manajemen resiko dalam hal tunda jual dari komoditi pertanian. Dengan adanya peningkatan manajemen resiko, diharapkan petani dapat mengatur kapan hasil
produksinya akan dijual ke pasar dengan melihat kondisi pasar yang terjadi. Permasalahan lain yang dihadapi dalam implementasi SRG yang berkaitan dengan komoditi adalah standar mutu. Menurut IFC-World Bank (2008) penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) dirasakan tidak dapat menjangkau kalangan petani produsen. Apabila SNI komoditi-komoditi yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu tertentu dimungkinkan implementasi SRG tidak akan mencapai tujuan yang ingin dicapai, karena partisipasi petani untuk dapat memanfaatkan SRG akan sangat kecil. Dengan melihat kondisi-kondisi di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Melihat hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG di daerah yang menerapkan SRG; 2) Merumuskan usulan kebijakan dan petunjuk teknis untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan SRG. Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada, Peran serta petani dan pelaku usaha dalam pelaksanaan Sistem Resi Gudang dan Peraturan pelaksanaan untuk mendukung pelaksanaan SRG. Responden penelitian ini antara lain; Petani dan usaha mikro, Industri pengolahan, pedagang, eksportir, Perbankan, Lembaga Keuangan NonPerbankan dan Lembaga Asuransi Nasional, Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi, Badan Pengawas Resi Gudang, Lembaga/instansi terkait antara lain Dinas Perindag, Departemen Dalam Negeri, Asosiasi, dan stakeholder lainnya. Sedangkan untuk daerah penelitian meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada asumsi Distribusi Normal, dengan memperkecil tingkat error. Prinsip analisis penelitian dengan menggunakan standard error sebesar 5 % dengan menggunakan software SPSS, untuk melihat korelasi faktor. Variabel penelitian yang digunakan yaitu; Tingkat Manfaat Ekonomi, Tingkat Pelayanan Jasa Pergudangan, Tingkat Pemberian Jasa Perkreditan Bank, Tingkat Distribusi Informasi harga komoditi, Tingkat Partisipasi Pemerintah Daerah,Tingkat Kemampuan Manajerial Pemda. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kombinasi tehnik pengumpulan data primer, yakni, kuesioner , interview dan observasi. Gambaran Umum Mekanisme Sistem Resi Gudang Aplikasi SRG dilakukan oleh beberapa pelaku seperti kelompok petani, kelompok pedagang (kecil menengah ke bawah), pihak pengelola gudang, pengawas gudang dan pihak bank serta perusahaan asuransi (USAID, 2006). Dengan sistem dimana penghasil (tani) bisa dari kelompok tani atau pedagang mendepositokan komoditasnya di gudang. Gudang ini adalah gudang publik yang sudah diberi
92 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 91 - 100
lisensi, berintegritas dan dijamin keamanannya. Pihak pengelola gudang akan memberikan resinya kepada pihak depositor dan telah menentukan standar kualitas dan kuantiti komoditasnya. Depositor bisa menggunakan resinya sebagai kesahan sehingga bisa meminjam uang ke bank atau pemberi pinjaman lainnya. Di sini pemberi pinjaman bisa saja menguasai barang yang diperjanjikan hanya jika peminjam melakukan kelalaian dalam peminjaman. Namun demikian hak untuk mengubah nilai komoditi yang didepositokan sepenuhnya milik peminjam/depositor. Seorang depositor bisa saja mentransfer resi kepada pembeli yang bisa mengantarkan komoditinya ke gudang. Pajak, biaya penyimpanan dan kepentingan terkait dikurangi sebelum pengiriman dilakukan oleh gudang. Berikut alur kegiatan dari Sistem Resi Gudang secara umum (Gambar 1).
Exporter/Wholesaler/ processor
tersebut bisa saja disediakan pemerintah atau disponsori oleh agen-agen. Contohnya saja seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Bulgaria yang diwakili olej perusahaan swasta sebagai agen yang mempresentasikan kelompok. Hal ini juga dilakukan di banyak negara Afrika. Perkembangan Sistem Resi Gudang di Indonesia Dengan melihat manfaat yang cukup besar dari SRG, pemerintah rnengeluarkan payung hukum bagi terlaksananya SRG melalui Undang-undang No. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Dalam undang-undang dicantumkan bahwa tujuan dari adanya SRG adalah untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat, menjamin kelancaran arus barang, meningkatkan efisiensi biaya distribusi serta menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian, apabila pelaksanaan SRG dapat berjalan dengan baik, maka tujuan-tujuan dalam rangka Inspection/l ic ensing
Insurance
Trader & Farmer association W A R E H O U S E
B A N K
farmers
Sumber: Rural agriculture Finance Specialty Topic Series-USAID Gambar 1. Alur Kegiatan Sistem Resi Gudang.
Berdasarkan Gambar 1, mekanisme Sistem Resi Gudang melibatkan Bank, Asosiasi Petani maupun Pedagang, Petani dan Eksportir/ Eksportir Produsen, sementara dua service provider yaitu Inspection/ Licensing dan Insurance, tidak terlibat dalam transformasi dan penjualan produk pertanian namun menyediakan pelayanan kepada depositor dan juga kepada manager komoditi disaat kritis. Sertifikat dan pelayanan inspeksi disediakan depositor dan pemberi pinjaman dengan memastikan bahwa gudang memang telah memenuhi standar, aman, dan nyaman terhadap barang-barang yang dititipkan. Pelayanan
keberpihakan terhadap yang kecil, yaitu petani dapat tercapai. Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis telah diterbitkan dan diberlakukan untuk mendukung implementasi SRG, yaitu mencakup pengaturan teknis bagi stakeholders yang akan terlibat dalam pelaksanaan SRG. Payung hukum dan petunjuk pelaksanaan dan teknis yang dimaksud antara lain: • Peraturan Pemerintah No.36/2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 9/2006 tentang Sistem Resi Gudang.
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah – Bagas Haryotejo | 93
Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/MDAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang (Gabah, Beras, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut, dan Jagung). Berkaitan dengan payung hukum yang sudah diterbitkan tersebut, sub-sub sistem yang harus dipersiapkan untuk mendorong terlaksananya SRG adalah petani/pemilik komoditas, pelaku usaha (industri pengolahan, pedagang, eksportir), pengelola gudang, Badan Pengawas Resi Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi, lembaga keuangan (bank/non-bank), lembaga sertifikasi dan lembaga asuransi. Saat ini, pemerintah cq. Kementerian Perdagangan telah melakukan pembangunan pilot project SRG yang dilaksanakan di 8 (delapan) daerah. Beberapa pilot project yang sudah berjalan adalah pilot project di Jombang (Jawa Timur), Banyumas (Jawa Tengah), Indramayu (Jawa Barat) dan Gowa (Sulawesi Selatan). Sedangkan pilot project yang masih dalam perencanaan adalah pilot project di Kudus (Jawa Tengah), Majalengka (Jawa Barat), Subang (Jawa Barat) dan Lamongan (Jawa Timur). Untuk pilot project yang sudah berjalan hingga saat ini, perangkat-perangkat dalam SRG-nya dapat dikatakan relatif lebih siap, perangkat tersebut diantaranya adalah pengelola gudang, Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) dan lembaga perbankan. Pengelola gudang di beberapa daerah merupakan satu lembaga usaha atau kerja sama antara dua lembaga usaha. Misalnya untuk pengelola gudang pada pilot project di Gowa merupakan kerja sama antara swasta dan PT Sucofindo, sedangkan di Jombang merupakan kerja sama antara koperasi dan Bhanda Ghara Reksa (BGR). Untuk pengelola gudang pada pilot project di Banyumas dan lndramayu masing-masing adalah swasta dan PT Pertani. Adapun perbankan yang bersedia kerja sama dalam implementasi SRG di keempat pilot project yang sudah berjalan ini adalah perbankan yang mempunyai kepedulian dalam membangun perekonomian daerahnya. Beberapa perbankan tersebut adalah Bank Rakyat Indonesia (untuk pilot project di Gowa dan Indramayu), Bank Jatim (untuk pilot project di Jombang) dan Asosiasi Bank Syariah (untuk pilot project di Banyumas). Sedangkan untuk pilot project yang sedang dalam perencanaan dinilai relatif belum siap dibandingkan dengan pilot project di daerah lain karena masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya adalah belum adanya lembaga keuangan yang bersedia bergabung dalam implementasi SRG, terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian dan adanya beberapa persyaratan pengelola gudang yang belum dapat terpenuhi. Lembaga keuangan, khususnya perbankan memiliki aturan dalam penyaluran kredit, diantaranya adalah debitur harus mempunyai agunan, nilai pinjaman dalam •
kisaran tertentu, debitur harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan lain-lain. Dengan ketentuan perbankan demikian, perbankan akan sulit untuk masuk/terlibat dalam implementasi SRG, karena ketentuan kepemilikan NPWP ini sulit untuk dipenuhi. Kondisi saat ini menggambarkan bahwa petani-petani di daerah baik secara individu maupun dalam suatu kelompok tani, jarang sekali memiliki NPWP. Pilot project yang sedang direncanakan maupun telah dilaksanakan, dilihat dari komoditi yang diresi gudangkan masih sangat terbatas pada gabah/ beras dan jagung. Padahal menurut Permendag No. 26/MDAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang terdapat 8 (delapan) komoditi yang dapat diresi gudangkan yaitu gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan jagung. Selama ini, dalam kaitannya dengan komoditi yang diresi gudangkan didasarkan pada permintaan petani/produsen di daerah dan gambaran potensi komoditi di daerah. Hal ini dimungkinkan karena dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 pun dinyatakan dalam pasal 4 (2) bahwa penetapan komoditi yang dapat diresi gudangkan selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi pemerintah daerah, instansi terkait dan asosiasi komoditi, dengan tetap memperhatikan persyaratan tertentu. Persyaratan suatu komoditi dapat diresi gudangkan adalah memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan, memenuhi standar mutu tertentu dan memenuhi jumlah minimum barang yang disimpan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji korelasi yang dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel manfaat SRG, pengelola gudang, perbankan, informasi, pemerintah daerah dan koperasi, dapat terlihat dalam Tabel.1 Berdasarkan Tabel 1 dapat diinterpretasikan, Hubungan Manfaat SRG dengan Pengelola Gudang bersifat positif dan lemah (Pearson Corellation). Hal ini berarti apabila manfaat ekonomi dari SRG cukup bagus, maka pengelola gudang akan meningkatkan fasilitas pendukung. Unsur manfaat ekonomi akan menarik minat pengelola gudang meningkatkan utilisasi kapasitas gudang. Hubungan Manfaat SRG dengan Pengelola Gudang adalah tidak signifikan (Sig 1 tailed < 0,05). Hubungan Manfaat SRG dengan Perbankan bersifat negatif dan lemah (Pearson Corellation), berarti bila manfaat ekonomi cukup bagus, maka pihak perbankan akan lebih berani dalam menyalurkan kredit dan resiko komoditi akan ditekan melalui penyediaan fasilitas pendukung lebih baik. Hubungan Manfaat SRG dengan Perbankan adalah tidak signifikan (Sig 1 tailed < 0,05). Hubungan Manfaat SRG dengan Ketersediaan Infrastruktur dan Informasi bersifat negatif dan kuat (Pearson Corellation), berarti meskipun manfaat
94 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 91 - 100
Tabel.1. Korelasi dan Signifikansi Correlations
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
manfaat gudang bank informasi pemda koperasi manfaat gudang bank informasi pemda koperasi manfaat gudang bank informasi pemda koperasi
manfaat 1.000 .342 -.047 -.668 -.454 -.573 . .203 .456 .035 .129 .069 8 8 8 8 8 8
gudang .342 1.000 -.925 -.691 -.104 .046 .203 . .000 .029 .403 .457 8 8 8 8 8 8
bank -.047 -.925 1.000 .569 -.046 -.232 .456 .000 . .071 .457 .290 8 8 8 8 8 8
informasi -.668 -.691 .569 1.000 .673 .545 .035 .029 .071 . .034 .081 8 8 8 8 8 8
pemda -.454 -.104 -.046 .673 1.000 .924 .129 .403 .457 .034 . .001 8 8 8 8 8 8
koperasi -.573 .046 -.232 .545 .924 1.000 .069 .457 .290 .081 .001 . 8 8 8 8 8 8
Sumber: Data sekunder diolah SRG cukup baik tidak membantu penyebaran informasi yang lebih baik. Manfaat baik membuat penyebaran informasi tidak merata dan hubungan bersifat kuat dan nyata. Hubungan Manfaat dengan Informasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Adanya manfaat, maka suatu pihak tidak akan melakukan diseminasi informasi dengan baik. Hubungan Manfaat SRG dan Pemda bersifat negatif dan lemah, berati meskipun manfaat SRG cukup baik tidak membantu tingkat partisipasi Pemda menjadi lebih baik. Manfaat baik membuat partisipasi Pemda menjadi lebih buruk dan hubungan bersifat lemah atau tidak nyata. Fenomena manfaat yang baik akan membuat setiap individu akan tertarik mencari informasi. Hubungan Manfaat SRG dengan Pemda adalah tidak signifikan (Sig 1 tailed < 0,05) Hubungan Manfaat SRG dengan Koperasi bersifat negatif dan lemah (Pearson Corellation), berarti meskipun manfaat SRG cukup baik tidak membantu tingkat partisipasi koperasi menjadi lebih baik. Manfaat baik membuat partisipasi koperasi menjadi lebih buruk dan hubungan bersifat lemah atau tidak nyata. Fenomena manfaat SRG juga terjadi pada tingkat partisipasi koperasi, sehingga Unsur manfaat membuat proses pasar sempurna tidak terjadi. Hubungan Manfaat SRG dengan Koperasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ) Hubungan Pengelola Gudang dengan Perbankan bersifat negatif dan lemah (Pearson Corellation), berarti hubungan pengelola gudang dan perbankan bersifat negatif dan kuat sehinga dapat dikatakan tidak adanya unsur kepercayaan perbankan kepada pengelola gudang dalam menjaga komoditi jaminan. Unsur kemudahan perubahan mutu komoditi pertanian untuk pengelola bank merupakan hal yang baru, karena tingkat
pengendalian mutu belum memadai. Hubungan Manfaat SRG dengan Bank adalah tidak signifikan (Sig 1 tailed < 0,05). Hubungan Pengelola Gudang dan Informasi bersifat negatif dan kuat (Pearson Corellation). Hal ini berarti para pengelola gudang sangat bereaksi dengan nyata terhadap beredarnya suatu informasi. Tetapi reaksi para pengelola gudang berlawanan terhadap suatu informasi, hal yang terjadi adalah reaksi negatif, atau pandangan negatif. Para pengelola gudang tidak membantu penyebaran informasi yang lebih baik. Para pengelola gudang cenderung menghambat informasi dalam penyebaran informasi, sehingga terjadi informasi tidak merata. Hubungan bersifat kuat dan nyata. Hubungan Manfaat dengan Informasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Adanya manfaat, maka suatu pihak tidak akan melakukan diseminasi informasi dengan baik. Hubungan Pengelola Gudang dengan Pemda bersifat negatif dan kuat (Pearson Corellation), berarti hubungan pengelola gudang dan Pemda bersifat tidak saling mempercayai, sehingga para pengelola gudang bersifat pasif, dan para Pemda mengalami ketidaktahuan mengenai tahapan Resi Gudang yang benar serta penanganan masalah atau konflik di lapangan. Partisipasi Pemda menjadi lebih rendah dalam melakukan penyuluhan dan hubungan kedua bersifat kuat atau nyata. Artinya belum ada koordinasi yang nyata antar kedua lembaga tersebut. Hubungan Pengelola Gudang dengan Pemda adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ) Hubungan Pengelola Gudang dengan Koperasi bersifat negatif dan kuat, berarti para pengelola gudang mempunyai hubungan yang negatif terhadap koperasi, sehingga dapat dikatakan telah terjadi persaingan antar kedua lembaga ini dalam
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah – Bagas Haryotejo | 95
memperebutkan komoditi Resi Gudang. Persaingan tak langsung ini dapat diatasi dengan penentuan jumlah kuantitas komoditi pertanian. Hubungan antar lembaga kurang terkoordinasi dengan baik. Hubungan Pengelola Gudang dengan Koperasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ) Hubungan Perbankan dengan Informasi bersifat negatif dan kuat (Pearson Corellation), brarti Perbankan sangat bereaksi dengan nyata terhadap beredarnya suatu informasi. Tetapi reaksi perbankan berlawanan terhadap suatu informasi, hal yang terjadi adalah reaksi negatif, atau pandangan negatif. Perbankan tidak mempercayai implementasi Resi Gudang. Perbankan tidak mempunyai kebijakan untuk membantu penyebaran informasi yang lebih baik. Perbankan bersifat menunggu dengan penuh kewaspadaan dan cenderung tidak membantu ataupun menghambat informasi, sehingga informasi tidak merata. Hubungan bersifat kuat dan nyata. Hubungan Perbankan dengan Informasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Adanya manfaat, maka suatu pihak tidak akan melakukan diseminasi informasi dengan baik. Hubungan Perbankan dengan Pemda bersifat negatif dan kuat (Pearson Corellation), berarti hubungan Perbankan dan Pemda bersifat tidak saling mempercayai, sehingga perbankan bersifat pasif, dan tidak berani melakukan terobosan dan Pemda mengalami ketidaktahuan mengenai tahapan Resi Gudang yang benar serta masalah jaminan komoditi di lapangan. Partisipasi Pemda menjadi lebih rendah dalam melakukan pola koordinasi , karena kedua lembaga berada pada ruang lingkup yang berbeda. Hubungan keduanya bersifat kuat atau nyata. Artinya belum ada koordinasi yang nyata antar kedua lembaga tersebut. Hubungan Perbankan dengan Pemda adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Hubungan Perbankan dengan Koperasi bersifat
negatif dan kuat, berarti hubungan perbankan dengan koperasi bersifat tidak saling mempercayai, sehingga tidak ada kepercayaan antar kedua pihak. Koperasi tidak mempunyai unsur manajemen yang layak, sehingga unsur kapabilitas koperasi masih diragukan. Para pengelola koperasi pun mempunyai pandangan yang berbeda mengenai tahapan Resi Gudang yang benar serta masalah jaminan komoditi di lapangan. Hubungan keduanya bersifat kuat atau nyata, artinya belum ada koordinasi yang nyata antar kedua lembaga tersebut. Hubungan Perbankan dengan Koperasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Hubungan Informasi dan Pemda bersifat posistif dan kuat (Pearson Corellation), berarti partisipasi Pemda berhubungan positif terhadap ketersediaan fasilitas informasi/internet, sehingga fasilitas pendukung internet membuat performance Pemda berjalan dengan baik. Dengan memperhatikan efesiensi dan pembangunan infrastruktur WIFI dan WIMAX, maka Pemda harus mampu melakukan diseminasi informasi melalui fasilitas internet, sehingga pola E Comm dapat dijalankan. Hubungan Informasi dan Pemda adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Hubungan Informasi dan Koperasi bersifat positif dan kuat (Pearson Corellation), berarti partisipasi Koperasi berhubungan positif terhadap ketersediaan fasilitas internet, sehingga fasilitas pendukung informasi berupa internet membuat performance koperasia berjalan dengan baik. Dengan memperhatikan efesiensi, maka koperasi harus mampu melakukan diseminasi informasi melalui fasilitas internet, sehingga para petani dapat memantau tingkat fluktuatif harga komoditi. Hubungan Informasi dan Koperasi adalah signifikan (Sig 1 tailed > 0,05 ). Hubungan Koperasi dan Pemda bersifat positif
Tabel 2. Koefisien Korelasi dan Kovarians antar Variabel Independen Coefficient Correlationsa Model 1
Correlations
Covariances
koperasi gudang informasi pemda bank koperasi gudang informasi pemda bank
koperasi 1.000 .219 -.156 -.796 .465 .747 .062 -.015 -.258 .173
gudang .219 1.000 .359 -.256 .793 .062 .106 .013 -.031 .111
a. Dependent Variable: manfaat
Sumber: Data sekunder diolah
96 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 91 - 100
informasi -.156 .359 1.000 -.370 -.176 -.015 .013 .013 -.016 -.009
pemda -.796 -.256 -.370 1.000 -.205 -.258 -.031 -.016 .141 -.033
bank .465 .793 -.176 -.205 1.000 .173 .111 -.009 -.033 .186
dan kuat (Pearson Corellation) berarti partisipasi Pemda berhubungan positif terhadap kemampuan managemen koperasi, hal ini dapat dilihat hubungan tingkat korelasi yang cukup tinggi dan kuat. Kemampuan Koperasi tergantung tingkat penyuluhan Pemda. Kerjasama dan ketergantungan kedua lembaga sudah cukup baik. Hubungan Koperasi dan Pemda adalah tidak signifikan (Sig 1 tailed < 0,05 ). Sedangkan untuk melihat Hubungan Tingkat Kesensitifan antar variabel independen dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diinterpretasikan, Hubungan Koperasi dengan Pengelola Gudang adalah positif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan koperasi dengan Pengelola gudang adalah sensitif. Hubungan variabel positif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula peningkatan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel maka menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Koperasi dengan informasi adalah negatif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Koperasi dengan Informasi adalah sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya. Hubungan Koperasi dengan Pemda adalah negatif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Koperasi dan Pemda adalah sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Koperasi dengan Bank adalah posistif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hHubungan Koperasi dan Bank adalah sensitif. Hubungan variabel posistif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula peningkatan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Gudang dengan informasi adalah positif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Gudang dan Informasi adalah sensitif. Hubungan variabel posistif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula peningkatan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan
atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Gudang dengan Pemda adalah negatif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Koperasi dan Pemda adalah sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Gudang dengan Bank adalah posistif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Koperasi dan Bank adalah sensitif. Hubungan variabel posistif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula peningkatan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Informasi dengan Pemda adalah negatif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Informasi dan Pemda adalah sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Hubungan Informasi dengan Bank adalah negatif (Correlation) dan tidak volatile (Covariances), berarti hubungan Koperasi dan Bank adalah tidak sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel tidak sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih kecil pula pada variabel lainnya . Hubungan Pemda dengan Bank adalah negatif (Correlation) dan volatile (Covariances), berarti hubungan Pemda dan Bank adalah sensitif. Hubungan variabel negatif bila terjadi peningkatan pada suatu variabel akan menyebabkan terjadi pula penurunan variabel lainnya. Hubungan variabel sensitif bila besaran peningkatan atau penurunan suatu variabel menyebabkan peningkatan atau penurunan yang lebih besar pula pada variabel lainnya . Berdasarkan hasil analisis korelasi, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : • Koordinasi antar Bank, Gudang dan Koperasi tidak berjalan dengan baik, karena tidak ada unsur kepercayaan. • Hubungan Pemda dengan Koperasi sudah berjalan dengan baik, tetapi dengan perbankan
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah – Bagas Haryotejo | 97
•
dan para pengelola gudang belum berjalan dengan baik. Dua faktor dominan yang mempengaruhi manfaat ekonomis dalam penerapan sistem Resi Gudang adalah faktor Produksi dan faktor Kredit Likuiditas.
SIMPULAN Faktor fungsi dan peran perbankan serta koperasi memberikan kontribusi negatif terhadap manfaat ekonomi program implementasi Sistem Resi Gudang. Dalam hal ini, Kebijakan Sistem Resi Gudang harus melibatkan lembaga keuangan dan koperasi sebagai wadah petani yang resmi. Hal lain yang mampu meningkatkan manfaat ekonomi adalah performance para pengelola Gudang, Pola Distribusi Informasi dan Partisipasi Pemda. Pemerintah harus menyediakan insentif bagi pengelola gudang untuk meningkatkan fasilitas penunjang gudang, sehingga tingkat utilisasi kapasitas Gudang menjadi lebih baik. Saat ini, Sistem Infomasi memainkan pengaruh yang signifikan terhadap manfaat ekonomi. Tugas pemerintah adalah membangun sistem informasi, sehingga tercipta pasar sempurna, dimana tingkat kesenjangan informasi dapat diminimalkan. Dengan sistem informasi berbasis e-comm, maka biaya sosialisasi dan transaksi dapat ditekan. Partisipasi Pemda untuk menggerakan Program Sistem Resi Gudang sangat diperlukan, sehingga koordinasi Pusat dan Daerah sangat vital dalam melakukan perumusan kebijakan Sistem Resi Gudang, sehingga multi tafsir dapat dihindarkan. Selain itu, terdapat hubungan antar faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG yaitu faktor Koordinasi antar Bank, dimana Gudang dan Koperasi sejauh ini tidak berjalan dengan baik, hal ini disebabkan tidak adanya unsur kepercayaan dari pihak Bank sebagai institusi pembiayaan. Faktor berikutnya adalah Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Koperasi, dimana saat ini sudah berjalan dengan baik, akan tetapi hubungan dengan perbankan dan para pengelola gudang belum berjalan dengan baik. Faktor lainnya yang mempengaruhi penerapan pilot project SRG adalah, faktor Produksi dan faktor Kredit Likuiditas. Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis implementasi Sistem Resi Gudang dapat dilakukan langkah sebagai berikut: Pengembangan Sistem Resi Gudang agar difokuskan dan diprioritaskan pada pengembangan pembiayaan usaha yang berbasis Sistem Resi Gudang, sebagai bagian atas transaksi Resi Gudang lainnya dan perlu pengendalian yang ketat untuk transaksi derivatif Resi Gudang. Untuk menjaga kepercayaan pelaku usaha terhadap Sistem Resi Gudang, maka pada tahap awal penerapan Sistem Resi Gudang, pemerintah perlu memberikan jaminan sejenis indemnity fund dengan aturan yang jelas.
Pengembangan Sistem Resi Gudang memerlukan upaya yang berkesinambungan dalam jangka panjang, karena membangun sistem industri yang berbasis kepercayaan di pasar uang dan pasar komoditas. Mempermudah syarat pembuatan gudang bersertifikat: mengenai lama tahun pengalaman pada industri pegudangan. Membuat persyaratan pegudangan dengan peraturan Pemda, dengan melampirkan IMB Gudang sebagai persyaratan pokok. Membuat Pihak Pengelola Gudang sebagai Ujung Tombak antar Koperasi dengan Pasar Komoditi. DAFTAR PUSTAKA Agricultural Markets, ” FAO Agricultural Services Bulletin, Rome: FAO, 1995. ADB, Draft Policy Note, “UZB: Supply and Demand for Credit.”, 2006. Akiyama T., Baffes J., Larson D. and Varangis P. (eds.) “Commodity market reforms: lessons of two decades”, Regional and Sectoral Studies, The World Bank, Washington, 2000. Badiane O, Goletti F., Kherallah M., Berry P., Govindan K., Gruhn P., and Mendoza M. (1997) “Agricultural input and output marketing reforms in African countries”, Final Donor Report, International Food Policy Research Institute (IFPRI), 1997. Bamako, Innovation in Microfinance : “Warehouse receipts: financing agricultural producers”, 1999. Beck Thorsten , Hanohan Patrick,“Making finance work for Africa.”, 2007. Budd N, “The legal and regulatory framework for warehouse receipts in commodity distribution, credit and hedging”, Paper presented at Workshop on Warehouse Receipt Financing: making the difficult deals easier and more profitable, Amsterdam, July 9-11, 2001. Coulter J. and Onumah G.E, “The impact of government policy and regulation on the effectiveness of warehouse receipt systems: the case of Africa”, Paper presented at Workshop on Warehouse Receipt Financing: making the difficult deals easier and more profitable, Amsterdam, July 9-11, 2001. Coulter, J.P., and N. Norvell, “The Role of Warehousing in Africa: Lessons from Four Continents.” Proceedings of the UNCTAD Development Conference, Lyon. Geneva: UNCTAD, November 1998. UNDP, “Human Development Report 1997”, UNDP, New York, 1997. UNCTAD, “Farmers and Farmers Assosciation in Developing Countries and Their Use of Modern Financial Instruments”, 2002. UNCTAD, “Collateralized commodity financing, with special refrence to the use of warehouse receipt”, 2006.
98 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 91 - 100
USAID Report , “Review of Current and Potentital Practices For Warehouse Receipts in Uganda”, 2006 Sumber Perundang-undangan: __________, Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang. ____________,Peraturan Pemerintah No.36/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 9/2006 tentang Sistem Resi Gudang. ____________,Permendag No. 26/MDAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang (Gabah, Beras, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut, dan Jagung). ____________,Peraturan Kepala Bappebti No. O1/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pengelola Gudang.
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah – Bagas Haryotejo | 99
100 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 91 - 100
POLA KERJASAMA LEMBAGA LITBANG DENGAN PENGGUNA DALAM MANAJEMEN LITBANG (KASUS BALAI PENELITIAN TANAMAN PEMANIS DAN SERAT) PATTERN OF COOPERATION WITH USER RESEARCH INSTITUTE IN MANAGEMENT RESEARCH (CASE STUDY CENTER AND FIBER PLANT SWEETENERS) Iin Surminah Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi – LIPI Jalan Gatot Soebroto Kavling 10, Jakarta e-mail:
[email protected] Dikirim: 13 Maret 2013; direvisi: 5 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Kerjasama merupakan suatu kegiatan bekerja bersama antara satu orang atau lebih secara kooperatif dan menjadi bagian dalam kelompok. Bukan bekerja secara terpisah atau saling berkompetisi.Kerjasama merupakan interaksi dan kompromi dari beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga, dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat dari kegiatan kerjasama tersebut. Kompetensi kerjasama menekankan pada peran masing-masing anggota kelompok yang saling bersinergi, dalam menyelesaikan suatu tugas atau proses suatu kegiatan. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji pola kerjasama yang dibentuk oleh Ballitas dalam meningkatkan mutu produk yang berdaya saing, faktor-faktor penghambat, dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan ballitas dalam meningkatkan kerjasama. Kajian ini merupakan hasil survei di Balai Penelitian Pemanis dan Serat (Balitas) di Malang, Jawa Timur pada tahun 2012. Kata kunci: pola kerjasama lembaga litbang dengan pengguna, manajemen litbang, balai penelitian tanaman pemanis dan serat
Abstract Cooperation is an activity work in conjunction with one or more cooperatively and be part of the group. Instead of working separatedly or mutual compete. Cooperation and compromise is the interaction of some other element that is related to either of an individual, institutions, and or parties involved directly and indirectly who receives due to and benefit from the activities of the cooperation. Competence cooperation of emphasis on the role of each member of a group that is mutually synergize, in completing an errand or process of an activity. The purpose of this paper is to examine the patterns of cooperation in improving the quality of products competitiveness, inhibiting factors, and how the efforts made in enhancing ballitas cooperation. Studies are the result of the survey at balai research sweetening and fibers ( balitas ) in Malang, east java in 2012. Keywords: collaboration patternbetween R&D institution and user, R&D management, research institute for sweetening and fiber plant
PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang dihadapai oleh lembaga litbang dalam mengimplentasikan hasil litbangnya dengan pengguna (industri/UKM/ Masyarakat) adalah kurangnya keterkaitan lembaga litbang itu sendiri sebagai penghasil teknologi dan pengguna (industri/UKM/Masyarakat) sebagai pengguna teknologi. Lembaga litbang kurang memahami kebutuhan dan permasalahaan pengguna dan disisi lain pengguna kurang mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh lembaga litbang. Untuk itu masing-masing pihak perlu melakukan peningkatan kemampuannya masing-masing dalam menghasilkan produk yang inovatif dan berdaya saing.
Permasalahan yang dihadapi oleh lembaga litbang dalam membangun kerjasama hasil litbang dengan pihak industri/UKM (stakeholder) meliputi permasalahan kemampuan organisasi, infrastruktur organisasi, kepemimpinan, dan kebijakan, (merupakan permasalahan internal) sedangkan permasalahan keluar lembaga litbang akan menghadapi permasalahan perkembangan iptek, daya saing hasil litbang dari produk impor, pemasaran hasil litbang, belum atau kurang terbentuknya jaringan komunikasi antara lembaga litbang dengan industri, dan belum ada kepercayaan industri terhadap hasil-hasil litbang, serta kurang mampu melakukan inovasi proses dan produk. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 101
sampai saat ini permasalahan yang masih sering terjadi adalah baik lembaga litbang maupun pihak pengguna/stakeholder belum memiliki persepsi yang sama dalam membangun kemampuan daya saing produk industri/UKM untuk meningkatkan daya saing agar dapat bersaing di pasar bebas baik domestik maupun pasar internasional. Sementara pihak pengguna (industri/UKM/masyarakat) tetap memproduksi sesuai kapasitas yang ada tanpa membuat rencana strategis pengembangan produk yang berdaya saing. Dengan demikian hasil produk yang mampu dibuat kurang memenuhi standar mutu yang baik, sehingga kurang mampu bersaing dengan produk yang berasal dari luar. Sampai saat ini lembaga litbang berperan penting untuk mendukung pengembangan industri berbasis teknologi. Dalam skala makro, dibutuhkan kerjasama antara lembaga litbang dengan pengguna (industri/UKM/Masyarakat) sehingga kegiatan litbang serta kebutuhan pengguna (industri/UKM/ Masyarakat) dapat tersinkronisasi. Untuk mengoptimalkan kerjasama dan lebih mendekatkan pada peran lembaga litbang ditetapkannya UndangUndang (U-U) No18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnasiptek). UndangUndang ini mendorong seluruh organisasi/ institusi/unsur yang terkait dengan iptek untuk bersama-sama menumbuh kembangkan kemampuan dan peran Iptek di Indonesia, sehingga terjadi interaksi yang optimal antar atau diantara lembaga litbang (organisasi/elemen/unsur yang bergerak pada bidang iptek). Dengan demikian akan membentuk pola kerjasama yang saling memperkuat dan mendorong penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan Iptek. Kemudian operasionalnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (P-P) nomor 20 tahun 2005 tentang alih teknologi, kekayaan intelektual, serta hasil penelitian dan pengembangan oleh Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi, antara lain berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanaan jasa iptek untuk mengembangkan diri. Hal ini diperlukan apabila alih teknologi sebagai salah satu strategi kerjasama dapat menghasilkan pendapatan yang kemudian dipergunakan untuk investasi memperkuat infrastruktur lembaga litbang yang pada gilirannya dapat mendorong terjadinya pengembangan iptek. Lembaga litbang dalam menghasilkan produk hasil litbang merupakan proses yang memerlukan waktu panjang, karena hasil litbang mengalami proses penyempurnaan sampai dianggap selesai dan dapat dipakai oleh pengguna (industri/UKM/ masyarakat). Proses kegiatan litbang ini adalah dimulai dari pengenalan ide, koordinasi, seterusnya sampai proses scale-up yang kemudian tahapan skala pilot (percobaan), apabila berhasil akan dilengkapi dengan studi kelayakan dengan analisis ekonomi, dan dari hasil tersebut siap untuk
dikerjasamakan. Dari perspektif komersial produk litbang, strategi kerjasama sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti: (i) tingkat teknologi yang dihasilkan lembaga litbang yang mampu mampu menunjukkan keunggulannya dibandingkan teknologi yang telah ada dan diterapkan dalam industri/UKM; (ii) nilai ekonomi dari teknologi yang ditawarkan; (iii) apresiasi industri tehadap teknologi dalam negeri; (iv) kemampuan meyakinkan industri/UKM. Dari uraian tersebut tujuan tulisan ini adalah mengkaji pola kerjasama yang dibentuk oleh Ballitas dengan pengguna (industri/UKM/masyarakat) untuk meningkatkan mutu produk sehingga dapat bersaing dengan produk-produk yang sejenis dari luar. Di samping itu mengkaji pula permasalahan yang dihadapi Ballitas dalam melakukan kerjasama dengan pihak pengguna dan bagaimana alternatif pola kerjasama ke depan yang dilakukan Ballitas. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah gabungan penelitian eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif dilakukan untuk memperoleh informasi yang mendalam yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasma hasil litbang melalui kajian teoritis dan kajian terhadap penelitian terdahulu. Sementara itu, penelitian deskriptif dilakukan karena dalam penelitian ini dibuat deskripsi mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan pola kerjasama antara lembaga litbang dengan pengguna/industri. Subyek penelitian dalam kajian ini adalah kasus yang terjadi di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), Badan Litbang Pertanian yang berlokasi di Malang. Berbagai program penelitian, pengembangan, dan perakitan teknologi pertanian tepat guna berorientasi pada program pemberdayaan masyarakat bidang pertanian, menciptakan/perakitan ke arah pengembangan dan penerapan teknologi untuk inovasi pertanian dan meningkatkan varitas untuk tananman pemanis dan saerat sehingga mampu meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas, diversifikasi, pengembangan varitas dan nilai tambah produk secara berkelanjutan. Kajian ini menggunakan data-data penelitian pada saat peneliti melakukan survei di Balitas, Malang, Jawa Timur pada tahun 2012. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan Kepala Balitas dan beberapa peneliti senior untuk menggali pola kerjasama Ballitas dengan pengguna (industri/UKM/petani/Pemerintah Daerah, dll). Data sekunder diperoleh melalui penelusuran bahanbahan, dokumen-dokumen dan hasil penelitian lain yang berkaitan dengan pola kerjasama Ballitas.
102 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
Pengertian Kerjasama Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam menjalani kehidupannya manusia akan dihadapkan pada suatu dilema sosial. Oleh karenanya dibutuhkan kerjasama dalam menjalani kehidupannya (Baron & Byane, 2000). Faktor yang mempengaruhi kerjasama diantaranya yaitu hal timbal balik, orientasi individu, dan komunikasi. Kerjasama selalu dibatasi oleh periode waktu dan dimulai yang sesaat sampai dalam jangka waktu yang lama, meskipun ada kerjasma yang hampir bersifat permanen. Pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi kepada pihak yang lain dan demikian juga sebaliknya, lebih bersifat komplementer. Kontribusi ini menjadi suatu syarat agar terjadi sebuah kerjasama, karena terjadi proses pertukaran nilai antara masing-masing pihak. Kepercayaan dari masing-masing pihak yang melakukan kerjasama merupakan suatu hal yang sangat penting karena akan diketahui sejauh mana masing-masing pihak dapat memberikan nilai yang diharapkan dari hubungan kerjasama tersebut. Untuk membangun kepercayaan, diperlukan komitmen. Komitmen ini merupakan upaya satu pihak denganpihak yang lain untuk memberikan kontribusi yang telah disepakati. Pemberian komitmen, akan muncul kepercayaan yang kuat di antara pihak-pihak yang bekerjasama. Dalam hal kerjasama, teori biaya transaksi memprediksi bahwa sebuah kerjasama hanya akan terjadi apabila manfaat yang didapat oleh yang bersangkutan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dalam proses menjalin kerjasama tersebut. Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama (Soekanto, 1990). Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil (Baron & Byane, 2000). Kerjasama adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto, 2000) (dari http://zonemakalah.blogspot.com/2012/03/kerjasama .html, diakses 23/05/2013). Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. Jika tujuan yang ingin di capai berbeda maka kerjasama tidak akan tercapai. Dengan demikian pengertian kerjasama adalah keinginan untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok. Bukan bekerja secara terpisah atau saling berkompetisi. Kompetensi kerjasama menekankan peran sebagai anggota kelompok, bukan sebagai pemimpin. Kelompok disini dalam arti yang luas, yaitu sekelompok individu yang menyelesaikan suatu tugas atau proses (dari Pentingnya Kerjasama.
bulusarijaya.blogspot.com/.../pentingnya-kerjasamad, diakses 22/05/2013). Apabila dasar teori tersebut diterapkan dalam kalangan industri maupun kelompok bisnis yang melakukan kegiatan proses produksi, maka kebutuhan akan pemilihan bahan baku yang baik, sumberdaya manusia yang terampil, dan barang modal inilah yang dapat dijadikan dasar yang kuat bagi hubungan kerjasama dengan pihak lain. Iptek dapat memberi nilai tambah kepada tiga hal mendasar yang menjadi kebutuhan industri tersebut. Sehingga akan terlihat bahwa iptek yang dibutuhkan oleh industri bersifat spesifik dimana yang langsung berhubungan dengan kegiatan proses produksi mereka. Pengertian kerjasama adalah pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh individu tapi dikerjakan secara bersamaan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan agar pekerjaan tersebut menjadi lebih ringan (dari Dwi -Jo, blogspot.com. diakses 2012/02). Kebanyakan bentuk kerjasama dilakukan oleh sekelompok orang atau dalam suatu organisasi dengan organisasi lain atau antara suatu Negara dengan Negara lain. Dengan terbentuknya kerjasama diharapkan memperoleh kemudahaan dalam mencapai tujuan bersama. Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama (Soekanto, 1990). Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil (Baron & Byane, 2000). Kerjasama (Cooperation) adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto, 2000). Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama (Cooperation) adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. Menurut Soekanto (2002), interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan. Antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Interaksi sosial terjadi apabila memenuhi dua syarat (Soekanto, 2002), yaitu: a. Adanya kontak sosial (Social contact); dan b. Adanya komunikasi. Kerjasama pada intinya menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan, sebagaimana dua pengertian kerja sama di bawah ini: 1. Moh. Jafar Hafsah menyebut kerja sama ini dengan istilah “kemitraan”, yang artinya adalah “suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 103
2.
pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prisip saling membutuhkan dan saling membesarkan.” H. Kusnadi mengartikan kerja sama sebagai “dua orang atau lebih untuk melakukan aktivitas bersama yang dilakukan secara terpadu yang diarahkan kepada suatu target atau tujuan tertentu.” Dari pengertian kerjasama di atas, maka ada beberapa aspek yang terkandung dalam kerja sama, yaitu: Ada orang-orang (dua orang atau sekelompok orang) yang melakukan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan. Keberhasilan usah dalam melakukan kerjasama sangat ditentukan oleh peran kedua pihak yang melakukan kerjasama tersebut. Kemudian, kerjasama tersebut terjadi karena adanya aktivitas yang dikehendaki bersama, sebagai alat untuk mencapai tujuan dan ini membutuhkan strategi (bisnis/usaha). Di samping itu merumuskan tujuan/target yang merupakan aspek yang menjadi sasaran dari kerjasama usaha tersebut, biasanya adalah keuntungan baik secara financial maupun nonfinansial yang dirasakan atau diterima oleh kedua pihak. Kerjasama juga akan dibatasi oleh waktu, artinya ada kesepakan kedua pihak kapan kerjasama itu berakhir. Dalam hal ini, tentu saja setelah tujuan atau target yang dikehendaki telah tercapai.
Pentingnya kerjasama disebabkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, yang artinya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dalam menjalankan kehidupan. Adapun manfaat kerjasama sangat besar bagi kehidupan makhluk hidup khusunya manusia, yaitu: (1). Kerja sama mendorong persaingan di dalam pencapaian tujuan dan peningkatan produktivitas; (2). Kerja sama mendorong berbagai upaya individu agar dapat bekerja lebih produktif, efektif, dan efisien; (3). Kerja sama mendorong terciptanya sinergi sehingga biaya operasionalisasi akan menjadi semakin rendah yang menyebabkan kemampuan bersaing meningkat; (4). Kerja sama mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antarpihak terkait serta meningkatkan rasa kesetiakawanan; (5). Kerja sama menciptakan praktek yang sehat serta meningkatkan semangat kelompok; dan (6). Kerja sama mendorong ikut serta memiliki situasi dan keadaan yang terjadi dilingkungannya, sehingga secara otomatis akan ikut menjaga dan melestarikan situasi dan kondisi yang telah baik. Pola Kerjasama Ada berbagai pola kerjasama yang biasa digunakan dalam hubungan usaha bisnis. Pola kerjasama yang dikategorikan pola kerjasama
sederhana yaitu hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis dengan adanya ikatan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mewujudkan kerjasama usaha dengan prinsip saling membutuhkan, salingmenguntungkan, dan saling memperkuat. Secara garis besar dalam kerjasama tersebut, perusahaan/pengusaha besar mempunyai tanggung jawab dalam memberikan bantuan atau kemudahan memperoleh permodalan untuk mengembangkan usaha terhadap pengusaha kecil yang menjadi mitanta. Sedangkan pengusaha kecil mempunyai kewajiban untuk memasokkan hasil produksinya kepada pengusaha besar mitranya dengan jumlah dan standar mutu yang sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Pada prinsipnya yang membedakan hubungan dagang biasa dengan kerjasama antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil/koperasi. Hal tersebut tidak dapat ditemukan pada hubungan dagang biasa. Untuk mendukung berkembangnyakerjasama usaha membutuhkan peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Wujud dari peran pemerintah tersebut dapat berupa pemberian fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan/ pembangunan sarana prasarana transportasi, telekomunikasi, listrik serta perangkat perundangundangan yang menclukung kemitraan usaha. Pemerintah diharapkan dapat berperan pula dalam pembinaan terhadap pelaksanaan kerjasama tersebut untuk menghindari terjadinya eksploitasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Pola kerjasamatahap madya, merupakan pengembangan pola kerjasamasederhana di mana peran usaha besar terhadap usaha kecil mitranya semakin berkurang. Bantuan pembinaan usaha besar yang masih sangat diperlukan terutama dalam bantuan teknologi yang dibutuhkan peningkatan produksi dan mutu produksi, industri pengolahan (agroindustri) serta jarninan pemasaran. Dalam aspek periyediaan permodalan pada pola ini pihak usaha besar tidak lagi memberikan modal usaha, tetapi permodalan, manajemen usaha dan penyediaan sarana produksi disediakan oleh usaha kecil. Dalam tingkatan madya ini pihak usaha kecil mampu mengembangkan usaha mulai dari merencanakan usaha serta sampai pengadaan sarana produksi dan permodalan dalam upaya menjamin kelangsungan kerjasama yang dijalin dengan usaha besar. Sedangkan peran pemerintah dan lembaga terkait tetap sama sebagaimana peran dalam pola sederhana yalta sebagai fasilitator. Pola kerjasamatahap utama, merupakan pola kerjasama yang paling ideal untuk dikembangkan, tetapi membutuhkan persyaratan yang cukup berat bagi pihak yang melakukan kerjasama terutama pihak usaha kecil, karena pola ini membutuhkan kemampuan penguasaan manajerial usaha yang memadai serta pengetahuan bisnis yang luas. Dalam
104 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
pola ini pihak pengusaha kecil secara bersama-sama mempunyai patungan atau menanamkan modal usaha pada usaha besar mitranya dalam bentuk saham. Dengan pemilikan saham dan pengusaha kecil ini dimungkinkan adanya rasa memiliki terhadap perkembangan usaha da perusahan besar mitranya. Demikian pula pihak perusahaan besar mempunyai tanggung jawab yang besar untuk turut mengembangkan usaha kecil rnitranya agar usaha besar yang dijalankan dapat berkembang lebih pesat. Di samping itu adanya beban resiko bersama dalam pola ini menjadikan kerjasama dapat terwujud dengan sinergi saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat sebagaimana yang diharapkan. Keterlibatan pengusaha kecil dalam pengembangan usaha pada perusahan besar pada pola ini mulai dari tahap perencanaan pengembangan usaha sampai pengembangan pemasaran hasil. Peran pemerintah sebagai fasilitator dan pembina kerjasama usaha tetap dibutuhkan sebagaimana pada pola-pola kerjasama yang lain agar dapat terwujudnya kerjasama yang diharapkan. Pola kerjasama yang disesuaikan dengan jenis pengguna lainnya adalah karena adanya kebutuhan akan teknologi dalam suatu industri/usaha bisnis yang berbeda-beda, tergantung pada bentuk industri dan jenis usaha bisnisnya. Bentuk industri/usaha/bisnis dilihat dari tingkat pembelajaran teknologi terbagi dalam 4 (empat) bagian (Arnold dan Bessant, 1993). Kerjasama dapat berhasil jika lembaga litbang memperhatikan ciri-ciri pengguna/industri yang menjadi mitranya. Tipe pengguna/industri akan menggambarkan kebutuhan dan permasalahannya dan sebaliknya kebutuhan dan permasalahannya dapat mengetahui kompetensi lembaga litbang itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan pengguna/industri sebagai mitranya. Perlu juga diperhatikan isu yang berkaitan dan jenis dukungan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak yang melakukan kerjasama. Lembaga litbang dan segi aktivitasnya dapat dibagi menjadi lembaga litbang yang melakukan penelitian dasar, terapan, experimental development, desain dan application engineering, technical services, standardisasi dan sertifikasi. Dilihat dari segi pendanaan ada yang independen, ada yang sepenuhnya ditanggung oleh pendanaan pemerintah serta ada yang semi independen di mana pemerintah hanya memberikan biaya rutin sementara sisanya diperoleh dan kontrak kerja dengan pihak lain. Dan beberapa literatur, salah satu diantaranya adalah pola kerjasama antara lembaga litbang dengan industri yang dikemukakan oleh Konisi (2000), yaitu Pola kerjasama antara Lembaga Litbang Perguruan Tinggi dengan Industri. Pola kerjasama tersebut terbagi dalam 3 kategori, yaitu Bidang Riset, Bidang Pelayanan, dan Pendidikan/Pelatihan. Pertama, Kerjasama di Bidang Penelitian dan Pengembangan adalah berkaitan dengan kegiatan: Pusat unggulan,
Lembaga riset terapan, Laboratorium, Konsorsium kerjasama riset, Proyek penelitian bersama, Program alih teknologi industri kecil, Konsorsium asosiasi industri, dan Research Park. Kedua, Bidang pelayanan dan konsultasi diantaranya adalah: Unit pelayanan industri, Science Parks, Dewan Teknologi, Lembaga koordinasi pemerintah, Pusat pengembangan, Jaringan alih teknologi, Inkubator, dan Pengujian/Kalibrasi/Perbaikan. Ketiga, Bidang Pendidikan /Pelatihan, adalah; Pendidikan lanjutan, Kerjasania pendidikan, Kursus singkat, Pertukaran personil, Pembelajaran jarak jauh, Pusat pelatihan, dan Pelatihan wirausaha. Dengan demikian, Secara umum kerangka Konishi ini dapat dijadikan acuan dalam membentuk pola-pola kemitraan yang dapat dibangun antara lembaga litbang dan dunia industri. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) merupakan salah satu unit pelaksana teknis (UPT), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berada di bawah Pusat Penelitian Perkebunan yang ada di Jakarta. Balittas berlokasi di Jl. Karangploso di Malang. Balittas didirikan atas dasar Keputusan Menteri Pertanian No. 63/Permentan/OT.140/10/2011. Balittas ingin memposisikan diri sebagai lembaga penelitian dan pengembangan pertanian berkelas dunia dalam menghasilkan dan mengembangkan inovasi teknologi pertanian berkelanjutan berbasis sumber daya lokal. Salah satu misi Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), sebagai penjabaran dari visi pembangunan pertanian tersebut yaitu mengembangkan jejaring kerjasama Pemerintah dan interPemerintah (networking) dalam rangka penguasaan Iptek (scientific recognition) dan peningkatan perannya dalam pembangunan pertanian (impact recognition). Perwujudan keinginan tersebut perlu didukung oleh peningkatan kemampuan dan kapasitas SDM penelitinya dalam pemanfaatan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, sehingga diharapkan dapat mengembangkan potensi sumberdaya lokal secara optimal. Peningkatan kemampuan tersebut, diantaranya dapat dilakukan melalui pengembangan jejaring kerjasama penelitian antara Pemerintah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) baik ditingkat nasional maupun internasional. Sejak tahun 2007 Badan Litbang Pertanian telah menyelenggarakan kegiatan kerjasama penelitian pertanian. Telah banyak hasil litbang yang berpotensi untuk dikerjasamakan kepada pihak pengguna. Balittas adalah balai yang didirikan untuk mengembangkan hasil pertanian dan perkebunan di Indonesia di bawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 105
Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Balai ini memiliki mandat untuk meneliti tanaman tembakau, serat buah, serat batang dan daun, serta tanaman minyak industri.Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian tanaman tembakau, serat buah (kapas dan kapuk), serat batang dan daun (kenaf dan sejenisnya, rami, abaka, dan sisal), dan minyak industri (wijen dan jarak pagar). Pertimbangan penetapan programdan kegiatan litbang yang hasilnya dapat dikomersialisasi didasarkan pada: a). Kompetensi organisasi yang diyakini hasilnya bisa diterima oleh industri/dunia bisnis/masyarakat umum; b). Permintaan dari pihak dunia bisnis/industri/UKM; dan c). Melayani kebutuhan pemerintah (Pusat dan Daerah).Penetapan program dan kegiatan litbang yang ditetapkan saat ini merupakan kelanjutan dari program dan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Program dan kegiatan ada kesinambungan/berlanjut dan saling terkait/sinerji, sehingga untuk mendapatkan suatu teknologi tentunya harus merupakan rangkain riset yang berkelanjutan, karena banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui. Pengelompokan program/kegiatan yang telah dihasilkan menjadi suatu produk yang dapat dikomersialisasikan, dikelompokkan menjadi: a). program dan kegiatan yang diterima dan dimanfaatkan oleh berbagai kelompok pengguna (Industri/UKM/masyarakatdan sebagainya). Program/kegiatan tersebut merupakan teknologi yang dihasilkan seharusnya menjawab persoalanpersoalan di masyarakat, sehingga teknologi tersebut dapat berguna dan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang merupakan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan industri; dan b). Dapat memperkaya khasanah Iptek, antara lain mendapatkan HAKI. Namun hanya sebagian kecil hasil iptek tersebut yang dapat di terima oleh industri, sebagian besar lainya masih berupa makalah-makalah yang diseminarkan. HAKI sangat perlu diupayakan karena tanpa perlindungan HAKI dunia industri tidak mau melisensi. Walaupun tidak semua hasil iptek dapat langsung di HAKI kan ataupun dikomersialkan. Peran Kerjasama Dalam Kegiatan Litbang Untuk menghasilkan produk yang diminati oleh pasar, kerjasama dalam kegiatan litbang mutlak diperlukan, karena hampir seluruh tahapan kegiatan litbang memerlukan keterampilan dan keahlian lebih dari satu disiplin ilmu. Menurut Couchman, et al. (2009), kerjasama riset memberikan banyak manfaat bagi lembaga litbang dan mitra yang terlibat, seperti adanya sharing cost and risk, mendapatkan akses terhadap sumber daya yang diperlukan, meningkatkan kemampuan atau kompetensi sumber daya peneliti dan lembaga, juga memperluas jejaring kerja. Kesulitan yang biasanya ditemui dalam kegiatan kerjasama litbang adalah cara mengelola
kerjasama itu sendiri karena mitra yang bekerjasama mempunyai perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari budaya kerja, pengalaman, komunikasi dan kemampuan atau keterampilan (Riger, 2002). Dengan demikian secara umum, nilai-nilai yang mendasari tercapainya sebuah kerjasama litbang antara lain: (1) tujuan yang sama; (2) kesamaan persepsi; (3) kemauan untuk berproses atau bekerja bersama dalam memecahkan masalah yang disepakati; (4) saling memberikan manfaat; (5) adanya keterbukaan atau kejujuran. Prinsip-prinsip ini adalah hal yang mendasar dari hubungan antar manusia didalam lingkungannya. Untuk memastikan bahwa kerjasama dalam kolaborasi litbang sama-sama menguntungkan, disarankan bahwa para pihak yang bekerjasama harus mempertimbangkan hubungan hirarkis yang setara sehingga akan mengarah pada kerjasama litbang yang lebih setara. (Wolff, et al., 2001). Dalam kerjasama litbang penting untuk melakukan pertemuan secara rutin, mingguan atau dua mingguan mulai dari tahap awal, dan kemudian bulanan, dua bulanan, atau kuartalan sepanjang berjalannya proyek kerjasama. Para mitra kerjasama litbang perlu terlibat dalam seluruh tahapan proyek, mulai dari perencanaan desain, pelaksanaan proyek, menafsirkan temuan, dan menyebarkan hasil kerjasama (Beamish & Bryer, 1999; Sormanti, et al., 2001). Hasil dari kerjasama hendaknya dinikmati oleh seluruh mitra yang terlibat, termasuk akses terhadap data dan informasi. Disamping itu, penerbitan publikasi ilmiah sebagai hasil dari kegiatan kerjasama merupakan salah satu indikator penting keberhasilan proyek kerjasama penelitian. Apabila dikaitkan dalam strategi bisnis, maka pengertian kerjasama adalah kerjasama yang dilakukan oleh kedua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kerjasama sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bekerjasama dalam menjalankan etika bisnis (Hapsah, 2000). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerjasama mencakup: (1). Hubungan (kerja sama) antara dua pihak atau lebih; (2). Kesetaraan antara pihak pihak tersebut; (3). Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau saling memberi manfaat atau tujuan yang sama. Kerjasama sebaiknya dalam koridor proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana itu diimplementasikan dan selanjutnya akan dimonitor serta dievaluasi secara terus menerus oleh pihak yang melakukan kerjasama. Dengan demikian terjadi alur tahapan pekerjaan yang jelas dan teratur sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Karena kerjasama merupakan suatu proses maka keberhasilannya secara optimal tentu tidak selalu dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Keberhasilannya diukur dengan pencapaian nilai
106 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
tambah yang di dapat oleh pihak yang bekerjasama baik dan segi material maupun non-material. Nilai tambah ini akan berkembang terus sesuai dengan meningkatnya tuntutan untuk mengadaptasi berbagai perubahan yang terjadi. Singkatnya, nilai tambah yang didapat merupakan fungsi dari kebutuhan yang ingin dicapai. Dengan kata lain keberhasilan kerjasama merupakan suatu resultante dari konsistensi dalam penerapan etika bisnis, perencanaan yang tepat dibarengi dengan strategi yang jitu serta proses pelaksanaan yang selalu dimonitor, dievaluasi dalam lingkungan yang kondusif. Pola Kerjasama yang Dilakukan Ballitas dengan Pengguna Model analitik pola kerjasama Ballitas dengan pengguna adalah pola kerjasama yang sudah terbangun, pola kerjasama ini dipengatruhi oleh faktor-faktor pendorong kerjasama, faktor-faktor penghambat terjadinya kerjasama, dan upaya-upaya membangun kerjasama dengan pengguna. Pola kerjasama ditentukan oleh program litbang dan diturunkan menjadi kegiatan litbang kemudian menghasilkan produk-produk hasil litbang. Dalam membangun kerjasama litbang, pola kerjasama yang dilakukan oleh Balittas didasarkan pada pemecahan masalah dan manfaat yang diperlukan oleh pengguna, pemecahan masalah pada pengembangan IPTEK, dan teknologi yang dikerjasamakan terus berkembang dan tidak ketinggalan jaman. Juga mempertimbangkan faktor-faktor yang memberikan warna bagi pola kerjasama tersebut. Faktor yang mempengaruhi baik secara internal maupun eksternal, faktor hambatan serta langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk mendorong terjadinya kerjasama. Hal tersebut dapat digambarkan pada diagram di bawah ini:
pengguna,baik secara formal maupun non formal seperti melalui seminar dan pameran yang khusus diadakanuntuk mengetahui kebutuhan pasar (permintaan pengguna). Demikian pula untuk teknologi yang diterapkan atau yang dikerjasamakan kepada pengguna juga disesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini dilakukan dengan jalan: (1) Selalu memantau perkembangan dan mengikuti perkembanagn teknologi baik dari dalam dan luar negeri, misalnya melalui searching HAKI (2) Merancang teknologi masa depan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan.Pengetahuan kebutuhan iptek yang dibutuhkan oleh pengguna didasarkan pada pengetahuan melalui hubungan formal maupun informal yang terjadi pada saat ada pertemuanpertemuan dengan pengguna. Di samping itu kegiatan penelitian selama ini didasarkan pada pengalaman peneliti dalam menjaring keinginan pengguna.Namun kegiatan riset pasar itu sendiri secara formal untuk melihat kebutuhan penggunamemang belum pernah dilakukan.Orientasi pemasaran produk langsung ditujukan pada kebutuhan pengguna. Bahkan untuk lebih menjamin pemasaran sedapat mungkin calon pengguna/industri sudah diikutkan dalam perencanaan produk. Dengan demikian industri sudah mengetahui dan memahami sejauh mana produk hasil litbang bisa diterima oleh konsumen. Selain menjual produkproduk yang dihasilkan, Balitas juga menyediakan jasa konsultasi teknologi dan riset, studi kelayakan usaha perkebunan, serta pengembagan varitas bahan tananaman unggul dan pertumbuhan tanaman belum menghasilkan (TBM). Meskipun riset pasar tidak dilakukan secara reguler, namun dalam kegiatan pelatihan dan pendampingan kepada pengguna, akan diidentifikasi kebutuhan pengguna. Selain itu, dilakukan secara rutin kunjungan kepada pengguna.Oleh karena itu produk yang dihasilkan
Gambar 1. Pola Kerjasama Yang Telah Dibangun Ballitas.
Untuk mengetahui kebutuhan pengguna dilakukan hubungan baik antara peneliti dengan
litbang lebih banyak berdasarkan dari kemampuan peneliti dalam memahami kebutuhan pengguna,
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 107
terutama saat berinteraksi dengan pengguna baik industri, maupun petani. Sumber pendapatan berasal dari hasil inovasi para peneliti, terutama dalam bentuk inovasi paket teknologi dan inovasi benih serta pupuk dan obat hama atau penyakit tanaman, serta jasa konsultasi dan penyuluhan berkaitan bibit, jasa produksi, paket teknologi dan cara penanggulangan hama dan penyakit tanaman. Pola kerjasama hasil litbang, melalui berbagai proses dan tahapan, dimulai dari pengenalan ide dilanjutkan koordinasi dengan para pengguna yang memiliki posisi pengambil keputusan (Kementrian, Pemda, PT, dan Swasta). Penerapan ide tersebut dikemas dalam bentuk kegiatan litbang namun tetap berdasarkan kompetensi dan infrastruktur penelitiaan yang dimiliki Ballitas. Di samping itu Ballitas tetap konsisten untuk menghasilkan produk yang bermanfaat dan dibutuhkan para pengguna. Pada tahap pelaksanaan maupun setelah selesai dilakukan penelitian selalu diadakan koordinasi dengan berbagai pihak yang baik ditingkat pengambil keputusan dan pengguna akhir. Selalu diadakan rapat koordinasi antara pimpinan dengan para
petani).Dengan cara ini dapat diketahui bentuk kerjasama dapat dilakukan bersama-sama melalui proses yang sifatnya komersial,akan tetapi juga melekat pemberdayaan masyarakat. Bentuk kerjasama yang sifatnya komersial melalui Jasa produksi, jual teknologi, jual varitas unggul, kontrak penelitian, dan konsultasi. Dari bentuk tersebut,pada umumnya memilih jasa produksi. Akan tetapi ada bentuk kerjasama yang diawali permintaan daerah dalam rangka pemberdayaan daerah untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu disuatu masyarakat yang menjadi bagian dari proses perubahan dengan melibatkan masyarakat setempat. Bentuk kerjasama ini melibatkan kebijakan pemerintah daerah. Hal ini telah dilakukan oleh Ballitas dengan Pemerintah Daerah di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Kemampuan Ballitas dapat membentuk kerjasama tidak terlepas pula pada kemampuan yang dimiliki oleh pengguna itu sendiri, apakah pengguna memiliki kemampuan yang dapat menyerap teknologi yang dikembangkan oleh Balitas dan didukung oleh potensi sumberdaya alam/daerah. Di lihat dari sisi lembaga litbang, maka Ballitas
Tabel. 1. Pola KerjasamaBallitasDengan Pihak Pengguna/Stakeholder Konsep Kerjasama terkait dengan
• • • •
Teknologi tersebut terus berkembang dan tidak ketinggalan jaman. Pemecahan masalah dan manfaat bagi pengguna (industri/UKM/masyarakat) Pemecahan masalah pada pengembangan IPTEK Masukan untuk Kebijakan IPTEK
Mekanisme untuk Memperlancar Pelaksanaan Kerjasama Mekanisme yang dilakukan: • Selalu memantau perkembangan dan mengikuti perkembangan teknologi baik dari dalam dan luar negeri, misalnya melalui searching HKI • Merancang teknologi masa depan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan Mengupayakan teknologi tersebut agar mendapatkan perlindungan HKI • Promosi teknologi • Komersialisasi melalui perjanjian lisensi
Stategi Untuk Mencapai Tujuan
•
•
•
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM agar teknologi mendapatkan perlindungan HKI, cakap dan promosi Bekerjasama dengan instansi pemerintah yang lain khususnya lembaga litbang Meningkatkan kerjasama dengan asosiasi UKM, Kadin, lembaga komersial yang lain
Sumber: diolah oleh penulis dari hasil wawancara
peneliti senior maupun yunior, dan pejabat administrasi untuk merespon kebutuhan pengguna, kemudian dilanjutkan sampai semua kebutuhan dan permasalahan pengguna dapat dipecahkan. Tahap berikutnya apabila hasil penelitian telah selesai,kemudian diadakan pengujian dan diseminasi melalui pendidikan dan pelatihan kepada para pengguna. Dengan demikian bentuk kerjasama lebih bersifat jasa pelatihan dan pembinaan. Dalam hal melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kerjasama dapat disesuaikan dengan bentuk kerjasamanya. Oleh sebab itu waktu evaluasi pun dapat dilakukan setiap bulan atau tiga bulanan. Untuk membangun kerjasama dengan pengguna dalam menerapkan hasil litbang sangat ditentukan oleh dari kepakaran peneliti yang menyampaikan/mempromosikan hasil litbang tersebut, atau melalui pameran teknologi, bahkan ikut menentukan adalah seminar/workshop, namun dapat pula terjadi kerjasama melalui permintaan langsung pengguna (dunia bisnis/UKM/masyarakat
memiliki potensi hasil-hasil litbangnya cukup beragam dan memiliki daya saing, memiliki kemampuan sarana dan infrastruktur yang memadai, namu dari segi dana penelitian relative cukup baik. Selama ini Ballitas membangun kerjasamadengan bebagai kelompok pengguna. Beberapa kelompok pengguna, diantaranya adalah: (1)Pola kerjasama dengan swasta/industri; (2) Pola kerjasama dengan lembaga litbang lain; (3) Pola kerjasama dengan Litbang Kementrian dan Pemerintah daerah; dan (4). Pola kerjasama dengan masyarakat petani. Ke 4 kelompok pengguna tersebut mempunyai ciri yang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya dari seluruh pola kerjasama tersebut harus mengedepankan prinsip saling memberi kontribusi dan masing-masing pihak yang bekerjasama dapat memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. Faktor Penghambat dalam Kerjasama Faktor penghambat kerjasama antara Ballitas
108 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
dengan pengguna merupakan permasalahan kerjasama yang harus diatasi, yaitu terbatasnya infrastruktur litbang oleh kondisi sumberdaya litbang (SDM, anggaran/dana, sarana dan prasarana, peralatan teknologi, dsb). Terbatasnya sumber daya litbang adalah: Pertama: masalah SDM, yaitu: (a). pendapat dari sebagian peneliti/perekayasa bahwa teknologi tersebut dapat langsung dipakai masyarakat, sehingga tidak harus/perlu komersial, karena pembiayaan dana penelitian adalah dari uang rakyat, (b). kesadaran yang kurang perlunya perlindungan HKI, (c). penelitian kurang/tidak berorientasi dalam bisnis. Kedua masalah anggara/dana penelitian, yaitu: sering terputus ditengah jalan dan tidak berlanjut, serta tidak memadai untuk menghasilkan suatu teknologi yang komersial, walaupun berlanjut perlu waktu yang cukup lama karena dana terbatas. Ketiga: masalah teknologi, yaitu: pada saat teknologi didapatkan akan tetapi sudah ketinggalan jaman. Keempat: masalah sarana dan prasarana, yaitu: ada keterbatasan mengenai infrastruktur (sarana dan prasarana), apabila sarana dan prasarananya ada namun harganya terlalu mahal. Hal-hal tersebut di atas sebetulnya kita dapat menghasilkan teknologi yang andal apabila mendapat kepercayaan penuh dan dorongan dari pemerintah untuk menghasilkan teknologi tersebut. Misalnya Ballitas sudah bisa menciptakan varietas hibrida unggulan tetapi pemerintah masih saja mengimport varietas sejenis. Terbatasnya program riset yang didasarkan pada permintaan dan kebutuhan pengguna. Namun sesungguhnya penggunapun perlu hasil riset. Hanya disini memang terlihat kurang keharmonisan antara lembaga riset dengan dunia usaha. Sebetulnya hasil litbang yang dihasilkan oleh lembaga litbang banyak dan kompetitif, namun hasil-hasil tersebut kurang diketahui atau kurang diminati oleh industri. Walaupun ada perbedaan-perbedaan, namun seyogyanya hasil litbang nasional/dalam negeri perlu mendapatkan prioritas untuk dikembangkan dibandingkan hasil litbang yang berasal dari lembaga litbang luar, bila itu hasil litbang untuk produk sejenis. Dengan demikian peneliti kita bisa mendapatkan/menikmati keuntungan finansial dari hasil karyanya. Iklim/kebijakan merupakan salah satu faktor penghambat komersialisasi litbang, karena kebijakan yang terkait dengan aspek komersialisasi (misalnya PNBP, BLU, dsb). Misalnya yang menyangkut PNBP, dalam penggunaan anggaran untuk penelitian dari PNBP harus sudah direncanakan tahun sebelumnya (sesuai DIPA). Melalui PNBP, dana hasil penelitian tidak dapat dimanfaatkan langsung. Perlu aturan tambahan/juklak khusus agar PNBP tersebut dapat terdistribusi ke Peneliti, UK/UPT, unit pengelola alih teknologi. Perlu maksimum royalti agar PNBP hasil penelitian dapat masuk dan digunakan untuk penggunaan royalti.
Upaya yang Dilakukan Ballitas dalam Meningkatkan Kerjasama Ballitas berusaha secara terus-menerus mengoptimalkan penerapan hasil-hasil penelitian kepada pengguna melalui inovasi produk dan proses teknologi untuk mendorong percepatan kemajuan industri dalam upaya memperkuat daya saing industri Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa daya saing suatu negara ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah kesiapan dalam penyerapan dan penguasaan teknologi dan kemampuan berinovasi. Ada beberapa strategi yang akan dilakukan Ballitas bersama Kementrian Pertanian untuk mempercepat hasil inovasi yang kemudian hasil inovasi yang dilakukan bisa segera dikomersialisasikan. Karena sampai saat ini hasil-hasil penelitian litbang di Indonesia sulit untuk dikomersialisasikan..Oleh sebab itu strategi yang yang perlu dijalankam oleh Ballitas khususnya dan Badan Litbang Pertanian pada umumnya adalah sejak awal penelitiannya, peneliti perlu bekerjasama dengan dunia usaha industri. Gunanya, untuk mencari berbagai permasalahan dan kebutuhan apa yang dihadapai dan dibutuhkan oleh pengguna (industri/UKM/ masyarakat). Sebetulnya Ballitas telah berupaya mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi pengguna, walaupun memang secara formal tidak dilakukan survey untuk mengetahui kebutuhan dan permasalahan pengguna. Perlu membangun kemampuan yang lebih profesional lagi baik secara internal maupun ektrenal. Di samping itu perlu dipertegas lagi Visi, Misi, tugas pokok yang sudah ada dengan pembagian tugas yang semakin jelas dan beberapa produk yang telah dihasilkan dan terbangun kerjasama dengan pengguna kedepannya harus semakin profesional dengan jangkauan yang lebih luas lagi. Oleh karena itu tugas pokoknya lebih diarahkan pada pengembangan yang implementasinya menyangkut masyarakat bisnis secara luas dengan perencanaannya pun harus menjangkau hal yang lebih luas dengan senantiasa berorientasi pada pengambil keputusan yang lebih tinggi dari pimpinan Ballitas sampai kepada Kepala Badan Litbang Kementrian Pertanian. Beberapa strategi untuk meningkatkan kerjasama dalam mengimplentasikan program adalah dilakukan beberapa strategi, yaitu: (1). melakukan pendekatan dan menggali sumber 2 kerjasama baik luar negeri maupun dalam negeri; (2). meyampaikan secara proaktif hasil-hasil penelitian melalui seminar/workshop/roadshow dengan pengguna; (3). menyusun bank proposal komoditas hasil litbabg Ballitas sebagai bahan kerjasama penelitian; (4). Memperkuat dan memperluas jejaring kerja dengan lembaga litbang lain baik pemerintah dan perguruan tinggi untuk mengoptimalkan penggunaan, menghilangkan tumpang tindih penelitian,
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 109
kovergensi program litbang dan meningkatkan kwalitas penelitian; (5). Memperkuat keterkaitan dengan swasta, lembaga penyuluhan, dan pengambil kebijakan dengan melibatkan mereka pada tahap penyusunan program dan perancangan penelitian untuk mengefektifkan desiminasi hasil penelitian; (6). Meningkatkan keterlibatan jejaring kerja internasional, baik bilateral, multilateral, maupun regional; (7). Untuk kerjasama bilateral focus kegiatan tergantung kepada tingkat kemajuan negara2 mitra sumberdaya. Model konseptual yang dikembangkan di negara maju seperti Amerika, telah menumbuhkan kerjasama Universitas dengan Industri. Konseptual Model tersebut menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi atau Lembaga litbang harus memiliki Pusat Inovasi, namun untuk Balitbang Pertanian sudah ada yang disebut Balai Pengelolaan Alih Teknologi Pertanian (BPATP) dengan tugas pokok melaksanakan pengelolaan kekayaan intelektual dan alih teknologi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian.Unit kerja ini berada di bawahSekretariat Badan Litbang Pertanian. Dari kemampuan dan keahlian yang dimiliki Ballitas merupakan modal dasar untuk mengambil peran-peran yang strategis dan dengan demikian dapat pula pengguna (industri/UKM/masyarakat) akan menerima penawaran untuk membangun kerjasama setelah mengetahui dan memahami kemampuan unit litbang. Dimungkinkan selanjutnya pengguna juga akan kondisi kompetensi yang dimiliki. Sehingga Ballitas juga akan memahami kebutuhan dan masalah penggunanya dalam menghadapi persaingan yang semakin berat. Kemudian Ballitas segera merespon dan mengambil langkah-langkah strategis dengan menawarkan suatu kerjasama yang diharapkan oleh kedua belah pihak. SIMPULAN Kerjasama antara Ballitas dengan pengguna merupakan suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk melihat sejauhmana hasil pengembangan produk teknologi mampu mendorong perbaikan mutu produk penggunanya (industri/UKM/masyarakat) dalam menghadapi persaingan di era global yang melanda bangsa dan negara Indonesia. Namun hanya sebagian kecil hasil iptek tersebut yang dapat diindustrikan, sebagian besar lainya masih berupa makalah-makalah yang diseminarkan. Memang tidak mudah untuk merancang penelitian yang menghasilkan teknologi yang dapat diterapkan di dunia industri. HAKI sangat perlu diupayakan karena tanpa perlindungan HAKI dunia industri tidak mau melisensi. Pola kerjasama hasil litbang yang dilakukan oleh Ballitas didasarkan pada dengan Visi, Misi, tugas, dan fungsi sebagai lembaga litbang yang mengembangkan hasil litbang bidang perkebunan khususnya tanaman serat dan termbakau. Pola
kerjasama yang telah terbentuk oleh Ballitas secara formal dilihat dari segi penggunanya adalah: kerjasama dengan masyarakat/UKM/koperasi; kerjasama dengan lembaga litbang lainnya dan pengguruan tinggi; kerjasama dengan Pemerintah Daerah; dan kerjasama Industri dan pelaku bisnis lainnya. Namun dalam mengembangkan kerjasama Ballitas masih menghadapi permasalahan dengan alasan klasik, seperti keterbatasan SDM yang memiliki visi dan misi bisnis ke depan dan keterbatasan anggaran untuk melakukan kerjasama penelitian dan pengembangan. Untuk itu beberapa upaya untuk mendorong kerjasama perlu dukungan pimpinan yang lebih aktif untuk membangun jaringan kerja dengan lembaga litbang lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Perlu adanya studi/kajian lebih lanjut mengenai kebijakan yang berpihak pada pengembangan iptek untuk mendorong kerjasama lembaga litbang dan pengguna dalam rangka pengembangan industri dalam negeri. DAFTAR PUSTAKA Baron, Robert A., Donn Erwin Byrne.2000. Social Psychology. 9th Edition. Pinted In The United State Of America Benyamin, Setiawan. 2008. Strategi Pengembangan Industri Bioteknologi Indonesia. PT Kalbe Farma. Jakarta. Berdergue, A. 2005. Pro-Poor Inovation System. International Fund For Agricultural Development (IFAD)-UN Marsudi Ari. 2002. Hubungan Diklat, Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Produktivitas Peneliti, Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta. Tidak Dipublikasikan. Garfield, E. 1979. Is citation analysis a legitimate evaluation tool?. Scientometrics. Hafsah, M. J, 2000, Kemitraan Usaha: Konsepsi dan strategi, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta. Harary, F. 1969. Graph Theory. Addison-Wesley, Reading, MA, 1969. Kotler, Philip. 1995, Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Edisi ke delapan, Edisi Indonesia. Indonesia Empat. Lembaga Pengembangan Inovasi, 2002, Komersialisasi Produk Litbang: Sebuah Proses Pembelajaran, Jakarta. Moleong, Lexy J. 1988. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Pusada Karya. Bandung. Poerwandari, E. Kristi. 2001. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. LPSP 3 : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pettigrew, Andrew and Whipp, Richard. 1996. Unggul bersaing Melalui Inovasi, Bisnis Mutakhir. Abdi Tandur. Jakarta. Prihanto, I.G. 1996. Kajian Kolaborasi Peneliti Bidang Kedirgantaraan tahun 1975-1994. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
110 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
Rufaidah, Vivit Wardah, 2008. Kolaborasi dan Graf Komunikasi Artikel Ilmiah Peneliti Bidang Pertanian;…….”. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol.17 Nomor 1 th.2008 Septiyantono, T. 1996. Kolaborasi . Majalah Kedokteran Indonesia. Universitas Indonesia.Jakarta: Singarimbun, M.Efendi, S, ed. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Silviera, Mary Pat W, 1985. Research and Development Linkages to Productiuon in Countries”, United Nation Science and Technology for Development Series,Westview Press. Soekanto, S. 2002. Sosiologi suatu pengantar. Edisi 4. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Sormin, Remi. 2009. Kajian Korelasi Antara Kolaborasi Peneliti dan Produktivitas Peneliti Lingkup Badan Litbang Penelitian. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol.18 Nomor 1 th.2009 Sulistyo-Basuki. 1990. Kolaborasi. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia . Jakarta. Sulistyo-Basuki. 1993. Kolaborasi.Jurnal Perpustakaan dan Ilmu Informasi 1(1): 1-15. Jakarta. Sulistyo-Basuki. 1994. Sebuah kajian teori graf (graph theory) terhadap kolaborasi penulis kedokteran dan pertanian Indonesia 1952-1959. Majalah Universitas Indonesia (4): 34-40. Subramanyam, K. 1983. Bibliometrics studies of research collaboration: A review. Journal of Information Science 6(1): 34 Soekanto, 1999. Bentuk Kerjasama (Cooperation)Pada Interaksi Sosial Waria, dalam Bunga Fajar Sari, ….. (http:// eprints.undip.ac.id/24431/1/IMA_OKTORINA.pd f, diakses 7 Januari 2013) Sumaryanto, Y. 1987. Suatu Kajian Bibliometrika Terhadap Pola Kepengarangan. Artikel yang Dimuat di Majalah Ilmiah Terbitan Indonesia. Skripsi. Universitas Indonesia.Jakarta Sunarto, 2002. Bentuk Kerjasama (Cooperation)Pada Interaksi Sosial Waria, dalam Bunga Fajar Sari, …..(http://eprints.undip.ac.id/24431/1/IMA_OKT ORINA.pdf, diakses 7 Januari 2013) Surtikanti, R. 2004. Kajian Kolaborasi Interdisipliner Peneliti di Indonesia:Studi kasus pada program riset unggulan terpadu I-VII. Tesis. Universitas Indonesia.Jakarta. Yin, R. K. 2002. Studi Kasus : Desaian Dan Metode. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta. ------------Pentingnya Kerjasama. (http://bulusarijaya. blogspot.com/.../pentingnya). Diakses 22 Juni 2013 ------------Kerjasama. (http://zonemakalah.blogspot. com/2012/03/kerjasama.html).Diakses 23 Juni 2013.
Pola Kerjasama Lembaga Litbang dengan Pengguna dalam Manajemen Litbang (Kasus Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat) – Iin Surminah | 111
112 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 101 - 112
IDENTIFIKASI PELAKSANAAN KERJASAMA DAERAH IDENTIFICATION THE IMPLEMENTATION OF REGIONAL COOPERATION Imam Radianto Anwar Setia Putra Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pemerintahan Umum Dan Kependudukan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jln. Kramat Raya No. 132 Jakarta Pusat Tlp. +62 21 310 1953 Hp. +62813 61959 598 e-mail:
[email protected] Dikirim: 10 Maret 2013; direvisi: 29 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Kerja sama daerah merupakan perangkat dalam mendukung peningkatan kesejahteraan daerah dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah. indetifikasi ini meihat kemampuan dan pelaksanaan kerja sama daerah, dengan melihat sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah daerah sehingga tujuan dari kerja sama daerah tersebut terpenuhi. Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengelola dan memanfaatkan potensi dan sumber daya daerah memerlukan perhatian khusus pada pengelolaan kerja sama daerah untuk menigkata nilai kebermanfaatan dari objek kerja sama daerah. untuk itu dibutuhkan kelembagaan yangkuat dan mekanisme pengawasan dengan aspek yang krusial sesuai dengan semangat pelaksanaan kerja sama daerah. Kata kunci: kerja sama, kelembagaan, kesejahteraan masyarakat
Abstract Intergovernmental cooperation is in favor of improving the welfare of the region and the potential to utilize their resources area. Identification and implementation of these look at the ability of regional cooperation, with a view of its human resources so that the objectives of the local government areas of cooperation have been met. The limited ability of the region to manage and utilize the potential and resources of the area requires special attention to the management of regional cooperation for the usefulness of the object value menigkata regional cooperation. for the needed institutional mechanisms with yangkuat and crucial aspect in accordance with the spirit of the implementation of regional cooperation. Keywords: cooperation, institutional, public welfare
PENDAHULUAN Kerja sama daerah (KAD) merupakan sarana memantapkan hubungan dan keterikatan antardaerah dalam kerangka NKRI, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga, serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal daerah. Kerjasama daerah merupakan usaha/kegiatan yang dilakukan pemerintahan daerah dalam mendukung peningkatan pelayanan dan meningkatkan asessabilitas pembangunan daerah. Pengkajian ini melakukan identifikasi terhadapat pelakasanaan kerjasama daerah yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. Kerjasama daerah mendorong berbagai pihak termasuk pemerintah daerah itu sendiri yang berdasarkan keinginan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pelayanan dan peningkatan kualitas. Keyakinan terhadap kerjasama daerah dapat meningkatkan ekonomi daerah, dengan didukung peraturan daerah dan juga sumberdaya aparatur pelaksanaan kerjasama daerah yang memiliki kompetensi sehingga pemerintah daerah memiliki kemampuan dan tidak menjadi bulan-bulan pengusaha di daerah sehingga pemerintah daerah memiliki kemampuan yang mumpuni dalam pelaksanaanya.
Sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 195 terkatub tetang akan kebutuhan kerja sama dalam memningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui efektifitas dan efisienasi pelayanan publik dimana bunyi pasal 195 ayat 1 adalah “Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Selanjutnya ditetapkan peraturan pemerintah nomor 50 tahun 2007 tentang tata cara kerja sama daerah sebagai arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kerja sama daerah sehingga memberikan dampak dalam peningkatan pembangunan di daerah yang pada akhirnya berkolerasi terhadap pemenuhan kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan pelayanan kepada masyarakat dan penyediaan infrastruktur.” Selain itu, manfaat dari penyelenggaraan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintahan daerah terjadinya sinergitas dalam pembangunan di suatu kawasan/wilayah sehingga dapat saling memberikan keuntungan bagi daera-daerah yang melakukan kerja sama, serta menekan kebutuhan akan pembiayaan pembangunan di daerah. Kerja sama antara daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan secara efektif dan efisien
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah – Imam Radianto Anwar Setia Putra | 113
dimana efektifitas tersebut memperhatikan petensi daerah dan kemampuan yang dimiliki daerah sehingga dapat membantu dan mendorong pembangunan, tentunya kerja sama daerah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam mencari keuntungan dan manfaatnya sehingga besar sekali kemungkinan menghadapi kendala, tantangan, dan permasalahan terkait kerjasama daerah tersebut. Saat ini permasalahan yang timbul yang terjadi di daerah dalam pelaksanaan kerjasama di daerah, dapat dilihat dari sisi-sisi di dalam pelaksanaan otonomi daerah. Seperti inkonsitensi kebijakan antar daerah yang saling bersingungan dalam mengatur hal yang sama ditambah dengan adanya keterbatasan hukum bagi pemerintah provinsi dalam menjembatani kebijakan yang dibuat daerah dalam rangka pelaksanan otonomi daerah (Cahyani, K, 2009). Kapasitas pemerintah daerah dan juga di dukung peraturan perundan-undangan sangat memperngaruhi jalanya kerja sama antar daerah yang dilakukan, tidak hanya itu saja kemampuan penyelenggara pemerintah daerah untuk mensingkronkan dan mensinergikan pembangunan di daerahnya masing-masing dengan mendorong kerjasama sebagai salah satu alat atau metode dalam mendunguknya menjadi perhatikan khususn yang harus diakomodir oleh seluruh pemerintah daerah. Tak kalah pentingnya, pembentukan kelambagaan dalam kerjasama antar daerah menjadi titik krusial dalam pelaksanaan dengan mekanisme kerja yang tersistematis. Seperti model kerja sama antar daerah pada sekretaris bersama (Sekber) Kartamantul yang memiliki dinilai fleksibel dan menghilangkan batasan struktural tapi terdapat sisi minusnya tidak adanya mekanisme kerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja sekretaris bersama kartamantul. Penguatan kelembagaan lainnya dengan membentuk perusahaan (pratikno dkk, 2004) ada pula pola kerja sama yang diwujudkan pada pembentukan perusahaan dimana daerah-daerah menjadi sebagai pemegang sahamnya dan lain-lain. Usaha patungan daerah dan pembentukan kelambagaan kembali harus disesuaikan dengan paradigma dan kebutuhan pelaksanaan kerja sama daerah tersebut sehingga timbulah berbagai macam dan pola/bentuk organisasi yang mendukung penyelenggaraan kerja sama daerah, selain itu juga di lapangan keterbatasan dan kemampuan personil yang mendukung penyelenggaraan kerja sama daerah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak sehingga diharapkan dapat dipenuhi untuk segera dipenuhi. “Lebih jauh diterangkan bupati, kerja sama antar daerah diperlukan dengan pertimbangan, semakin majemuknya masalah keperluan dasar masyarakat yang dipicu dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebaran yang tidak merata. Semakin terbatasnya potensi sumber daya alam dan pengelolaan yang tidak ramah lingkungan, selain itu juga keterbatasan kemampuan dana daerah sehingga memerlukan
dana dari sumber lainnya baik dari pemerintah pusat maupun swasta. Menggali potensi unggulan daerah yang belum dikelola secara optimal yang dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) (Riau Post, 29/05/2013)” Tantangan kedepan dalam membangun daerah yaitu bagaimana menggali potensi dan memanfaatkan sumber pendaan lain sehingga pembangunan dapat menjadi tanggung jawab bersama seluruh stekeholeder di daerah. Telihat dari cupilak berita di atas menekankan pada keterbutuhan melakukan kerjasama daerah di pelbagai sektor yang sumberdayanya dimiliki oleh daerah dan diharapkan membantu mengurai permasalahan terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat. Permasalahan lainnya yang ditangkap yaitu dukungan pendanaan dalam pelaksanaan kerja sama yang diharapkan mendapatkan dukungan pembiayaan yang bersifat bantuan dari berbagai pendanaan yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, selain itu tantangan lainnya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mendukung penyelenggaraan kerjasama daerah membutuhkan perhatian khusus sehingga unit kerja penyelenggara kerjasama daerah memiliki kemampuan yang baik dan kompetensi yang memadai dalam penyelenggaraan kerjasama daerah. Beberpa kasus kerjasama daerah yang terjadi yang meliputi dua aspek terkati dengan kebermanfaatanya dari kerjasama daerah yang dilakukan dan pelembagaan kerjasama daerah yang terjadi hingga saat ini, untuk itu di rasa sangat penting melakukan kegiatan kelitbangan dalam mengali informasi kebijakan khususnya pelaksanaan kerja sama daerah melakukan identifikasi profil kerja sama daerah. Identifikasi Profil kerja sama daerah dimaksud mencoba memaparkan tinjauan terhadapt kerja sama daerah dengan melihat dari aspek yaitu: 1) pelaksanaan kerjasama yang dilihat dari mekanisme dan dukungan pemerintah daerah terkait kerjasama yang dilakukan dan 2) pelembagaan kerjasama daerah serta sekaligus menjadi pembatasan pengkajian ini. Kemampuan kelambagaan di daerah dalam mendukungpelaksanaan kerja sama daerah membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Pemerintah, dalam penyelenggaraan kerja sama daerah di batasi arena administrasi serta batas-batas fungsional yang ada, maka dari itu ditekankan pada kemampuan pemerintahan daerah dalam melakukan kerja sama sehingga dapat saling menguntukan dan bisa menghasilkan sinergitas dalam pembangunan di daerah. Kerja sama seperti apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintahan daerah. Pertanyaan kajian ini, yaitu: 1) Bagaimana pelembagaan kerja sama daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah?. Pengkajian (kajian Strategi) ini memiliki tujuan memetakan pelaksanaan kerja sama di daerah serta usaha apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga didapat upaya untuk mengatasi kendala/tantangan yang menghambat kerja sama
114 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 113 - 122
daerah tersebut. Sasaran dalam pengkajian ini menghasilkan profil kerja sama daerah, yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di beberapa wilayah di indonesia. Kajian strateis ini membagi wilayah pengkajian berdasarkan besaran industri yang dimiliki di enam koridor MP3EI. Studi ini dapat menjawab pertanyaan kajian yang dirumuskan serta juga memperhatikan keterbatasan pelaksanaan pengkajian. Ruang lingkup studi ini menitik beratkan pada pemetaan pelaksanaan kerja sama di daerah yang dilakukan pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya atau/dengan pihak swasta dan juga berusaha memetaka profil pelaksanaan kegiatan kerja sama yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sekaligus untuk melihat daya saing yang dimana seperti yang sudah di jelaskan di atas kerja sama antar daerah dapat meningkatkan daya saing daerah. Kerja Sama Daerah Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah menyatakan, yang dimaksud dengan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dan gubernur, atau gubernur dan bupati/wali kota, atau antara bupati/wali kota dan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Terdapat minimal dua aktor publik yang menjadi pengerak dalam pelaksanaan kerja sama di daerah dengan berupaya untuk saling mengikat untuk dapat mengelolan dan mendatangkan kebermanfaatan dengan mengunakan sumberdaya dan potensi yang dimiliki oleh aktor-aktor publik di daerah yang memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemenuhan pelayanan pubilik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. PP 50 tahun 2005, pelaksanaan kerjasama daerah yang menjadi objek kerjasama daerah meliputi seluruh urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan publik. Selanjutnya kerjasama daerah tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama daerah (PKS). Selanjunya yang menjadi aktor dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan persetujuan DPRD juga dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari SKPD tersebut. Kerja sama daerah dilakukan dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan, dalam penyusunan rancangan perjanjian kerjasama paling sedikit memuat, antara lain: 1) Subjek kerjasama; 2) Objek kerja sama; 3) Ruang lingkup; 4) Hak dan kewajiban para pihak; 5) Jangka waktu kerja sama; 6) Pengakhiran kerja sama; 7) Keadaan memaksa; dan 8) Penyelesaiaan perselisian.. Sesuai dengan Permendagri Nomor 22 tahun 2009 dan 23 tahun 2009 Pelaksanaan kerjasama daerah juga didukung dengan membentuk Badan kerjasama daerah yang ditentapkan oleh keputusan kepala daerah dalam mendukung kerjasama dengan daerah lain dilakukan secara terus-menerus atau
diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, badan kerjasama daerah melakukan tugas seperti membantu melakukan pengelolaan, monitoring, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kerjasama daerah dan juga memberikan masukan, saran dan menyusun laporan kepada kepala daerah. Selanjutnya dalam mempersiapkan kerjasama daerah dibentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD) kepala daerah dapat membentuknya dengan peraturan kepala daerah. TKKSD dimaksud untuk mempersiapkan dan melakukan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Kerja sama daerah. Tugas TKKSD terdiri dari pejabat struktural di lingkungan pemerintah daerah serta mengakomodasi tim pakar guna mendukung dan memperhatikan pra pembentukan kerjasama daerah hingga pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kerja sama daerah dimaksud. Kerja sama antar pemerintahan daerah (inter Governmental Cooperation), Patterson (2008) di definisikan sebagai “an arrangement between tow or more governments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”. Makna dari susunan kalimat tersebut adalah Pengaturan antara satu pemerintah atau lebih untuk mencapai tujuan bersama, memberikan layanan atau memecahkan masalah bersama". Pengertian diatas menyiratkan kepada tujuan yang ingin didapat dengan melakukan kerja sama sebagai alat dalam memberikan pelayanan dan pemecahan permasalahan lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kerja sama antar daerah yang meliputi dua atau lebih pemerintahan daerah menurut Feiock (2004) meliputi persetujuan antar dua atau lebih pemerintahan daerah; koalisi antar pemerintah daerah dalam upaya untuk memperoleh bantuan atau hibah dari pemerintah pusat; kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership); dan otoritas metropolitan (metropolitan authority). Merurut Feiock membagi membagi ke dalam dua sifat pelaksanaan kerja sama di daerah dengan maksud mendapatkan bantuan yang disediakan. Kerja sama senantiasa menempatkan pihakpihak yang berinteraksi itu pada posisi yang seimbang, serasi, dan selaras (Pamudji, 1985). Menjelaskan kesamaan posisi dalam penyelenggaraan kerja sama daerah, memiliki kedudukan dan kepentingan yang sama sehingga dapat keterpaduan dan semangat yagn sama dalam mendukung pelaksanaan kerja sama dalam usaha peningkatan kesejahteraan di daerah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu dalam Young, Oran, R, (1992): 1) Transparansi; 2) kekokohan dan keluasan; 3) Perubahaan aturan; 4) Kapasitas pemerintahan; 5) Distribusi kekuasaan; 6) tingkat ketergantungan antar anggota (pemerintah daerah); dan 7) Ide intelektual. Ketujuh faktor tesebut membangun kerjasama untuk menjadi lebih efisien, selain itu juga membutukan kelembangaan dan tata laksana dalam pengelolaan kerja sama daerah. Kebutuhan akan kerja sama di daerah menjadi sangat penting meningat keterbatasan serta sumberdaya yang dimiliki yang berbeda di setiap daerah.
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah – Imam Radianto Anwar Setia Putra | 115
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam pengkajian mengunakan pedekatan kuantitatif dengan metode eksporatif dengan menitik beratkan pada pemetaan profil kerja sama di daerah dengan memperhatikan 3 (tiga) dimensi yang akan diukur dalam pelaksanaan pengkajian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunkan tiga cara, yaitu: 1) Survei; 2) Wawancara dan 3) Studi Literatur. Sifat data yang diambil yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002), metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata, tertulis atau lisan dari orang-orang dan suatu proses yang diamati. Mengali informasi pelaksanaan kerja sama daerah dari informan terdiridari birokrat, politisi, dan para pemangku kepentingan pelaksanaan kerja sama daerah Data yang dihasilkan dari pengunakan teknik pencarian data tersebut terdiri dari data primer dan data sekunder untuk itu digunakan teknik analisis data deskritif. Sedangkan Miles (1992) menyatakan bahwa, data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup sektoral. Pemahanan terhadap Kerja Sama Daerah Permasalahan pemahaman terhadap potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah dalam pelaksanaan kerja sama daerah merupakan titik awa dan vital untuk mendalami pelaksanaanya. Pemerintah daerah harus menyadari nilai kebermanfaatan dari sebuah kerja sama yang dilakukan dari sana pemerintah daerah sudah melakukan investasi melalui pembiayaan kegiatan pengelolaan kerja sama daerah untuk dapat membangun sinergitas dalam meningkatkan kesejateraan masyarakat dengan pihak-pihak lain dalam melakukan kerja sama daerah. Menggali pemahaman kerja sama daerah tersebut dimulai mencari dan mengali potensi dan sumber daya yang menjadi proritas untuk dijadikan objek kerja sama. Dengan demikian pemerintah daerah harus benar-benar mengetahui mengapa potensi dan sumberdaya itu dipilih menjadi objek kerja sama. Selanjutnya, dengan memanfaatkan informasi potensi dan sumberdaya daerah yang dimiliki dapat dipilih menjadi objek kerja sama daerah. tidak berhenti disitu saja pemahaman kerja sama daerah juga harus dikuasai terkait dengan pemanfaatan dari kerja sama tersebut sehingga kerja sama yang dilakukan memang suatu kebutuhan dari pemerintah daerah untuk mendukung dna meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur daerah. Potensi dan kemampuan daerah yang sangat memiliki varian yang tinggi, tingginya varian tersebut dilandaskan berdasarkan kepada letak yang berbada dan potensi serta sumber daya alam yang berbeda pula. Indonesia yang pulau-pulaunya
dipisahkan oleh laut dan perairan memiliki keunggulan sekaligus keterbatasan kemampuan untuk dapat mengelolannya dan memanfaatkannya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Membuka peluang pada pemeritah daerah untuk melakukan kreasi dan inovasi dalam meningkatkan dan mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu dibukan peluang dalam melakukan kerja sama daerah dalam mendukung dan mempercepat kesejahteraan masyarakat. Kemampuan daerah dalam melihat dan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki menjadi salah satu hal yang sangat vital dalam mendukung penyelenggaraan kerja sama daerah. pemerintah daerah sendiri harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam menggali potensi daerah dan menggali sektor-sektor yang dapat memberikan peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat sehingga dapat berupaya untuk memanfaatkan potensi dan sumberdaya tersebut. Keterbatasan kemampuan dan kehadalan pemerintah daerah sangat terasa dalam mengali dan mengelola potensi dan sumberdaya yang dimiliki, maka untuk itu ruang kerja sama daerah dibuka untuk memfasilitasi sekaligus memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Setidaknya pemerintah daerah, mempu memetakan potensi dan sumberdaya yang dapat dimanafaatkan pengelolaanya bersama dan menjadikan sebagai objek kerja sama, sehingga keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaan sumber tersebut dapat terpenuhi. Pemetaan potensi dan sumberdaya yang dijadikan objek kerja sama tersebut dilakukan dengan menilai seberapa besar kebermanfaatanya bagi peningkatan kesejahtaraan masayrakat dan penyelenggaraan pelayanan publik. Pemahaman kerja sama daerah menyentuh pada potensi dan sumberdaya yang paling memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Potensi unggul yang dianggap menjadi sangat paling bernilai dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan dan pelayanan kepada publik yang di miliki pemerintah daerah dengan didukung dengan sumber daya manusia yang memumpuni serta pengorganisasi yang baik setidanya menjadi nilai untuk menetapkan bahwa potensi yang dimiliki pemerintah daerah tersebut dapat diapresiasi pada kerja sama daerah baik itu yang hasilnya akan masuk pada pendapatan asli daerah ataupun yang menjadi dukungan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan peningkatan kulitas sumberdaya manusia di daerah. Selain itu, kerja sama daerah juga memerlukan tenaga yang besar dari pemerintah daerah yang menyelenggarakannya. Tenaga yang dimaksud mulai dari pengetahuan perencanaan kerja sama daerah yang merupakan langkah penting dalam mencari dan menetukan seberapa besar nilai manfaat dibadingkan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan untuk hal tersebut setidakan perencanaan harus disiapkan terlebih dahulu. Regulasi dari sektor lain memerlukan singkronisasi sehingga dapat saling mendukung dalam pelaksanaan kerja sama daerah.
116 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 113 - 122
selain dari regulasi dirasa dibutuhkan bantuan pendanaan dari pemerinta dalam mendukung pelaksana kegiatan kerja sama daerah tersebut. dirasakan dibutuhkan bantuan tersebut untuk dapat memfasilitasi peningkatan kemampuan aparatur yang melaksanakan fungsi teknis dari kerja sama daerah. Selama ini pemerintah daerah sudah memiliki tujuan dalam pelaksanaan kerja sama daerah, tetapi sayangnya tujuan tersebut tidak tergambar secara nyata dalam menuntun penyelenggaraan kerja sama daerah. hanya membaca peraturan perundangundangan yang berlaku dengan menindaklanjuti dan seharusnya diikuti dari tujuan- atau serangkaian tujuan dari yang ingin dicapai dalam kerja sama daerah teresebut. Setidaknya pemerintah daerah memiliki perencanaan yang matang, sektor atau sumberdaya apasaja yang dimiliki daerah yang dapat dikerjasamakan oleh pihak lain, sehingga pengidentifikasian dan pemetaan pelaksanaan kerja sama disetiap tahun anggaran dapat sudah terumuskan. Dengan demikian butuh manajemen perencanaan kerja sama daerah yang disusun baik untuk dapat dipedomi dalam melaksanakan kerja sama daerah Kerja sama daerah dimulai dari tahap persiapan, yang dimaksudkan disini pemerintah daerah melakukan pemetaan secara mendalam terkati dengan potensi, sektor, dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah yang akan dijadikan objek kerja sama. Pemetaan tersebut dijadikan alat ukur dalam memahami secara mendalam sampai nilai kebermanfaatan yang akan didapat oleh para pihak kerja sama dan pemerintah daerah. pemetaan tersebut didukung oleh data dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah itu sendiri, langkah awal ini nantinya menjadi gambaran secara untuh terhadap potensi dan sumberdaya yang bisa dimanfaatkan secara bersama-sama dengan pihak lain dalam melakukan kerja sama daerah. untuk itu pengalian terhadap objek yang dikerjasamakan menjadi sangat penting, dibutuhkan kreatifitas dari pihak pemerintah daerah dalam menggali objek-objek kerja sama daerah. Pemerintah daerah dalam menetapkan dan menggali potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah terlihat belum dilandasi dasar yang matang dan tepat. Selama ini pemilihan atau pengalian sektor belum dilihat sebagai suatu upaya yang sangat memiliki pengaruh sangat besar dalam mencapai nilai keberhasilan dan nilai manfaat dalam pada setiap pelaksanaan kerja sama daerah. penggalian potensi tersebut menjadi batu pijakan awal dalam menetapakan potensi dan sumberdaya daerah menjadi objek dari kerja sama tesebut. Penetapan potensi atau sumberdaya daerah yang menjadi objek kerja sama daerah terlihat masih diambil berdasarkan pertimbangan struktural dan disesuaikan dengan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan. Untuk beberapa kerja sama yang bersifat pelayanan kepada masyarakat, pemerintah daerah memiliki Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mememiliki peran melaksanakan kegiatan di sektor masing-masing jadi dengan mudah pemerintah
daerah yang berperan sebagai eksekutif di daerah menetapkan SKPD terkait yang memiliki peran yang sama sesuai dengan objek kerja sama. Pada tahap awal dalam inisiasi kerja sama tersebut setidaknya ada yang memberikan dukungan terhadap penguatan dan sekaligus menilai kebermanfaatan penyelenggaraan kerja sama tersebut. unit kerja yang membidangi kerja sama daerah tersebut bagi Sub Bagian kerja sama atau pun bagian kerja sama daerah dapat melakukan inisiasi awal dalam mendukung pelaksanaan kerja sama sehingga keuntungan bagi pemerintah daerah tersebut sudah dapat dinilai dan nampak dari awal sebelum perjanjian kerja sama tersebut di tanda tangani. Terlihat ada peran lainnya yang harus dimainkan diawal pada tahap inisiasi kerja sama daerah. Unit kerja yang memilik peran persiapan tersebut perlu memperhatikan tahapan inisiasi ini, banyak yang didapat dari tahap persiapan sehingga memberikan manfaat yang berkelanjutan dalam pelaksanaan kerja sama daerah. Vitalnya persiapan pelaksanaan kerja sama daerah menentukan kebermanfaatan dari kerja sama tersebut bagi pemerintah daerah sendiri, kebermanfaatan tersebut bisa jadi untung yang diperloleh dari kerja sama daerah tersebut atau kerugian yang di dapat bagi pemerintah daerah itu sendiri. Dengan demikian menjadi sangat penting bagi pemerintah daerah untuk memperhatikan dengan sunguh-sunguh dari berbagai aspek sehingga kerja sama yang dilaksanakan dapat menghasilkan keuntungan disemua pihak yang melaksanakan kerja sama daerah. Pelaksanaan kerja sama daerah, membutuhkan perencanaan yang matang dalam melakukan kerja sama daerah, kekuatan pemerintah daerah dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat pada klausula/pasal yang banyak memberikan kebermanfaatan bagi pemerintah daerah itu sendiri. Sementara ini pemerintah daerah konsetrasi pada pelakasaan kerja sama daerah. terkadang pemerintah daerah “terkecoh” dalam penyusunan perjanjian kerja sama daerah yang dibuatnya bersama dengan pihakpihak yang melakukan kerja sama daerah, nilai manfaat dari kerja sama tersebut menjadi sangat minim sekali dalam memenuhi kebutuhan dan penigkatan pada pemasukan asli daerah. pemerintah daerah tidak begitu mendalami dan mengetahui secara terperinci tentang tiap kalsual/pasal per pasal dalam perjanjian kerja sama daerah. Pada manajemen perencanaan tentunya menghasilkan rencana strategis dan rencana oprasional pelaksanaan kerja sama daerah. dimana perencanaan strategi kerja sama daerah yang dimaksudkan disini menentukan arah dan tujuan dari kerja sama daerah yang akan dilakukan dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan kerja sama daerah sebagai salah satu tujuan untuk peningkatan kerja sama daerah. selanjutnya rencana oprasional kerja sama daerah merupakan rencana detail yang akan menjabarkan rencana strategis sehingga dapat direalisaiskan kedalam pelaksanaan kerja sama sehari-hari yang akan dilakukan oleh unit yang
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah – Imam Radianto Anwar Setia Putra | 117
memiliki peran kerja sama daerah dan SKPD yang menjadi pelaksananya. Kekuatan internal pemerintah daerah juga menjadi penentu terhadap keberhasilan kerja sama daerah. permasalahan sumber daya manusia memang sangat pelik, mulai dari mutasi/rotasi pegawai sampai kepada kompetensi SDM yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan tahapan akhir kerja sama daerah. tidak dipungkiri masalah SDM dan kemampuanya menjadi salah satu faktor dalam penyusunan klausal dalam perjanjian kerja sama daerah. Meminimalisir kesalahan dalam rancangan perjanjian kerja sama daerah setidaknya dalam penyusunannya perlu diperkuat dengan analisi hukum kerja sama daerah, sehingga pemerintah daerah tidak merasa “kecolongan” pada saat pelaksanaan kerja sama daerah tersebut berlangsung. Sehingga pada awalnya analisis terhadap kerja sama yang akan dilakukan sangat dibutuhkan dalam menjaga posisi dan kekuatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerja sama tersebut. Dukungan perencanaan juga didapat dari kesiapan SKPD yang akan melaksanakan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. pada perencanaan juga memperhatikan dukungan eksternal dari penyelenggaran kerja sama daerah yang merupakan unit kerja pemerintah daerah. artinya pelaksanaan kerja sama daerah dipengaruhi terhadap peraturan perundnag-undnagna sektoral yang mengatur juga pelaksanaan kegiatan kerja sama pada wilayah kerja sektoral tertentu, sehingga sinergitas menjadi penting dalam menjaga dan melaksanakan kerja sama daerah tersebut.”kerja sama daerah pada sektor transimigrasi misalnya ada ketentuan tertentu dalam penyelenggaraan kerja sama tersebut. dukungan dari pihak yang berkerja sama daerah pengirim dan daerah penerima tenaga teransmigrasi memiliki ketentuan yang membutuhkan kesepakatan dan perencanaan yang baik dalam mengelola kerja sama transmigrasi tersebut, mulai dari pengiriman teransmigrasi, penematan transmigrasi samapai dengan pengelolaan transmigrasi di daerah transmigrannya. Pelaksanaan kerja sama daerah tidak lepas juga dalam penyusunan perjanjian kerja sama daerah, dari perjanjian kerja sama tersebut ditetapkan tugas dan peran masing-masing pihak dalam melakukan kerja sama daerah. perjanjiaan tersebut menentukan posisi para pihak yang melakukan kerja sama daerah. pemerintah daerah mempersiapkan perjanjian kerja sama tersebut secara komferhensif dengan memperhatikan secara detai tiap klusul pasal yang terdapat di perjanjian kerja sama daerah tersebut sehingga pemerintah daerah tidak merasa di rugikan atau terkecoh dengan perjanjian kerja sama tersebut. selama ini masih banyak pemerintah daerah dari pengalaman yang didapat dari hasil pengumpulan data lapangan, pemerintah daerah masih belum maksimal membuat perjanjian kerja sama daerah tersebut. sehingga mendatangkan kemanfaatan yang kurang maksimal dalam perlaksanaan kerja sama daerah.
Kemampuan SDM yang sangat terbatas baik kompetensi dan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya merupakan suatau kebutuhan yang sangat mendesak pada pelaksanaan kerja sama daerah. membangun sebuah komitmen dan kompetensi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kerja sama daerah menjadikan suatu hal yang dibutuhkan pada saat ini. diharapkan kemampuan SDM tersebut juga sampai dapat memaparkan nilai kebermanfaatan dari pelaksanaan kerja sama daerah yang dilaksanakan. Tidak hanya sebatas memiliki SDM yang berkomitmen dan berkompetensi saja, penyelenggaraan kerja sama daerah juga membutukan “penjaga” atau organisasi yang mendukung pelaksanaan kerja sama daerah tersebut. dari lokasi yang dijadikan daerah studi beberapa daerah sudah memiliki unit kerja yang dapat memfasilitasi penyelenggaraan kerja sama daerah, hingga saat ini belum di ketahui ukuran dan bentuk unit kerja yang sesuai untuk dapat mengemban pelaksanaan kerja sama daerah. Selain itu juga Sumberdaya manusia menjadi kunci dalam penyusunan dan penetapan konsepsi kerjasama daerah yang dilakukan selama ini, koreksi mendalam terkait dengan bentuk naskah kesepahaman dan perjanjian kerjasama saat ini masih belum secara detail dirumuskan sehingga menghasilkan dampak yang negatif bagi sebelah pihak. Nota kesepahaman perjanjian kerjasama harus benar-benar mengakomodir kebutuhan kerjasama dan menigkat pihak-pihak yang melakukan kerjasama. Mengingat selama ini terjadi ke kosongan dalam menjaga komitmen bersama setiap tahap pelaksanaan kerjasama, ada beberapa kesepakatan perjanjian kerjasama yang tidak memiliki sangki bagi pihakpihak yang melakukan wan-prsetasi pada tahapan pelaksanaan kerja sama tersebut. Penyusunan perjanjian kerja sama daerah tersebut dibutuhkan analisi hukum perjanjian kerja sama daerah. analisi hukum tersebut dapat memperkuat posisi pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerja sama daerah. analisi hukum ini setidaknya dipersiapkan terlebih dahulu sebelum penyusunan perjanjian kerja sama dengan demikian perjanjian kerja sama tersebut memperhatikan jenis dan sifat pelaksanaan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pihak-pihak yang terkait di dalamanya. Analisi hukum perjanjian kerja sama daerah pada struktu yang ada di unit kerja daerah masih terpisah dan dimasukkan ke dalam bagian atau sub bagian hukum dan perundang-undangan yang diselenggarakan di bawah sekretaris daerah. analisis hukum sdiperlukan dalam penyususnan perjanjian kerja sama untuk itu harus dipahami secara mendalam terkait dengan pelaksanaan kegiatan kerja sama daerah mulai dari awal hingga tahapan akhir kegiatan kerja sama sehingga tidak ada yang merasa saling merugikan atau keberatan yang terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan kerja sama daerah tersebut. Perjanjian kerja sama dengan analisis hukum yang kuat menjadi prioritas awal dalam mengawali persiapan kerja sama daerah. kedua materi tersebut
118 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 113 - 122
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pelaksanaan dan menjadi hal yang penting dan menentukan posisi pemerintah daerah sebagai pelaksana atau pihak kerja sama dan juga sebagai pemilik sebagaian modal pada kerja sama daerah yang diselenggarakan.Perjanjian kerja sama memuat ketentuan yang sudah diatur oleh peratuan perundang-undangan, penekanan pada perjanjian kerja sama daerah dukungan regulasi kerja sama daerah yang juga akan membawa pelaksanaan kerja sama tersebut pembagian keuntungan bersama dair pihak-pihak yang melakukan kerja sama daerah. diharapkan dengan melakukan analisis hukum pada penyusunan kerja sama daerah terjadi penguatan kapasitas pemerintah daerah. Penigkatan kapasitas tersebut dimulai dari SDM yang dimiliki dan disiapkan guna pelaksanaan kerja sama daerah. sesuai dengan Permendagri No. 19 tahun 2009 tentang pedoman peningkatan kapasitas pelaksanaan kerja sama daerah. pada pasal 2 penigkatan kapasitas pelaksanaan kerja sama terbagai kepada 7 kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dalam penyelenggaraan kerja sama daerah. ketujuh kegiatan tersebut akan banyak sekali permasalahan yang dihadapi baik di tingkat pemerintah dan pemerintah daerah masalah pendanaan atau fasilitator dalam mendukung pelaksanaan peningkatan kegiatan tersebut. pemasalahan tersebut juga dirasakan oleh pemerintah daerah yaitu minimnya peningkatan kapasitas yang didapat oleh pemerintah daerah, selama ini kuantitas pelaksanaan peningkatan kapasitas tersebut dalam menjaga kulitas SDM pemerintah daerah. Kelembagaan Kerja Sama Daerah Selain sistem dan prosedur, pelembagaan kerja sama daerah juga tekait dengan kedudukan unit kerja yang menyelenggarakan kerja sama tersebut, seperti yang telah diuraikan pada paragraf di atas, kedudukan unit penyelenggaran peran kerja sama daerah yang ukuran unit kerjanya diukur dengan beban kerja yang dimiliki juga sebagai koordinator dalam penyelenggaraan seluruh peran kerja sama daerah yang terangkup pada kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi acauan dalam menyelenggarakan kerja sama daerah. Budaya dalam pelaksanaan kerja sama daerah menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari Sisdur yang ada terciptalah nilai/norma-norma yang akan menjadi suatu budaya dalam unit kerja. budaya tersebut setidaknya mendukung pelembaganan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Bentuk dan ukuran unit kerja yang mendukung sekalingus juga menyelenggarakan kerja sama daerah dapat diukur melalui beban tugas yang di hadapi pada setiap daerah, beban tersebut ditinjau dari jumlah kerja sama yang dilakukan dan juga pemanfaatan kerja sama tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang digambarkan melalui urusan wajib dan urusan pilihan daerah. selain itu dibutuhkan regulasi daerah yang kuat demi mendukung terselenggaranya kerja sama daerah, sistem dan prosedur (Sisdur) harus dibuat dan ditaati oleh seluruh pemangku kepentinga pemerintah
daerah dalam menuntun dan melaksanakan kerja sama daerah. Penyelenggaraan pemerintah daerah yang terkait dengan koordinasi pelaksanaan kegiatan terdapat sedikit hambatan. Hambatan dimaksud melihat posisi serta tingkatan dari unit kerja yang melaksanakan kegiatan. Koordinasi yang bersifat vertikal diperlukan kebesaran jiwa pada setiap pelaksananya untuk dapat menjalankan kegiatan tersebut dan membuat pelaksanaan kegiatan tersebut menjadi berhasil, selain itu, koordinasi ditingkat horizontal, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota diperlukan skema dan alur kooridinasi yang ditata dan dijadikan sebuah norma sehingga dapat secara kontinyu dan berkesinambungan terlaksana. Untuk dapat menghilangkan gejala tersebut dubutuhkan koordinasi dan komunikasi yang intens dan partisipatif ditiap jajaran pemerintah daerah yang menyelenggarakan kerja sama daerah. Mendukung pelaksanaanya unit kerja diberikan dikonstruksikan suatu struktur organisasi dengan ukuran yang tepat dan ditambahakan kewenangan yang harus didapat dalam mendukung pelaksanaan kerja sama daerah. sehingga dalam berkoordinasi pun bisa berjalan baik sekalipun unit kerja tersebut memiliki tinggkatan yang rendah dalam struktur birokrasi di pemerintah. Kewenangan diperlukan sehingga mampu melaksanakan kerja sama daerah dengan baik. Pemberian kewenagan tersebut setidaknya meberikan peran yang cukup berarti bagi unit kerja penyelenggaran peran kerja sama daerah untuk dapat lebih intens lagi dalam mendukung pelaksanaan kerja sama daerah sehingga diharapkan dapat mendeteksi lebih dini terhadap permasalahan kerja sama daerah yang akan terjadi dan juga membantu penyelesaian perselisian kerja sama yang merupakan peran yang tidak dapat dipisahkan Penyelenggaraan kerja sama daerah yang menjadi sebuah alat dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam mengelola potensi dan sumberdaya daerah dengan minimnya sumberdaya pendanaan, kerja sama daerah menjadi perangkat yang sangat efektif untuk itu dubutuhkan kemamuan dan kreatifitas penyelenggaran pemerintah daerah dalam memanfaatkannya. Tidak kalah pentingnya penyelenggaraan kegiatan juga setidaknya diikuti dengan dukungan evaluasi tata laksana kerja sama daerah yang tepat dan baik pula, untuk itu evaluasi dalam penyelenggaraan kerja sama daerah dititik beratkan pada upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan yang meliputi tiap tahapan pelaksanaan kerja sama daerah (prosedur pelaksanaan kerja sama daerah) dan juga melihat sekaligus menetapkan aspek yang paling memiliki potensi dalam menunjang keberhasilan kerja sama daerah. Tantangan dalam pelaksanaan kerja sama daerah ini juga dihadapkan pada perjanjian kerja sama yang tidak ditindaklanjuti. Untuk itu, peran unit kerja yang menyelenggarakan kerja sama daerah dalam mencari akar permasalahan yang menghambat tidaklanjut kerja sama daerha tersebut sampai
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah – Imam Radianto Anwar Setia Putra | 119
menemukan solusi yang terbaik. Pelaksanaan kerja sama daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada dasarnya telah melewati tahapan-tahapan yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangundnagan, namun demikian tidak semuanya berjalan dan dilaksanakan dengan baik. Beberapa perjanjian kerja sama daerah atau yang lazim disebut Momerandum of understanding (MoU) dengan jangka waktu tertentu belum mendapatkan perhatian sepenuhnya untuk ditindaklanjuti, sehingga apa keguanaan yang didapat dari tindakan yang dilakukan tersebut. penguasaan terhadap pemilihan sektor yang menjadi objek kerja sama daerah sampai kapasitas dan dukungan unit kerja yang terkait dalam menyelenggarakan kerja sama daerah tersebut. untuk diketahui bersama, tahapan kerja sama daerah terbagi kedalam dua tahapan besar, tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan. Tahapan persiapan dilakukan oleh unit kerja yang menyelenggarakan peran kerja sama daerah, di daerah masuk kepada bagian dan atau sub bagaian kerja sama yang terdapat di sekretariat daerah. selanjutnya tahap pelakasaan dilaksanakan oleh unit kerja atau SKPD yang terkatit dengan objek kerja sama daerah tersebut. Buadya kerja sama daerah dibangun didasarkan pada kebutuhan dalam mendukung pelaksanaan kerja sama daerah. setiap pelaksana kerja sama daerah harus benar-benar mengetahui kenapa unit kerja sama daerah dibentuk yang sekanjutnya menjadi kriteria kebutuhan pembentukan organisasi tersebut,, kriteria tesebut harus dipahami oleh seluruh jajaran SDM pengelola kerja sama daerah baik dari pimpinan hingga sampai kepada staf teknis. Pada pelaksanaanya budaya tersebut dapat dibentuk dari regulasi yang ada dan aturan main dalam pengelolaan kerja sama daerah. budaya tersebut dibangun melalui lingkungan eksternal dan lingkungan internal, baik yang diadopsi dari peraturan yang lebih tinggi, pengalaman kerja sama yang terlah ada, dan pemberian bimbingan teknis yang dilakukan. Unutk lingkungan internalnya nilai-nilai yang sudah dimiiliki yang dibawa masing-masing individu dan juga norma yang tidak tertulis dalam pelaksanaan kerja sama daerah. Pelaksanaan kerja sama di daerah dalam pengelolaan kegiatanya didukung dengan teraturan yang kuat dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatannya. Peraturan tersebut yang nanti secara perlahan akan membentuk budya pelaksanaan kerja sama daerah pada unit yang memiliki peran tersebut. saat ini sudah ada daerah yang membentuk regulasi dalam pelaksanaan kerja sama daerah dalam bentuk peraturan daerah, diharapakan dengan adanya regulasi tersebut dapat memperlancar pada pembagi pekerjaan secara teknis. Dengan adannya peraturan daerah tersebut pemerintah daerah memiliki kekuatan dalam penyelenggaraan kerja sama daerah. Perda Kerja sama sebagai regulasi kebijakan di daerah memainkan peran penting dalam mendukung kewenanga yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menjaga konsistensi pelaksanaan kerja sama daerah.
Peran dan kemampuan daerah dalam sinergikan pelaksanaan kerja sama daerah pada bidang urusan yang menjadi urusan pemerintahan baik urusan wajib dan pilihan. Pada prinsipnya penyelenggaraan kerja sama daerah yang menjadi keweanangan yang dikerjasamakan, pelaksanaan kerja sama tersebut yang disesuaikan dalam bidang urusan ditiap daerah memiliki variasi yang berbeda, yang didapat dalam penyelenggaraan pada bidang urusan pemerintahan tersebut merupakan suatu pelayanan publik serta peningkatan dan tukar pengetahuan serta keterampilan dalam penyelenggaraan urusan pemerintah daerah tersebut. masing-masing pemerintah daerah memiliki kepentingan dalam kerja sama daerah. inisasi dalam penyelenggaraan kerja sama pada bidang urusan merupakan semangat bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan yang terbaik dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan kerja sama daerah dengan di dukung oleh regulasi setidanya banyak yang dapat dilakukan yang masuk kedalam perencaan kerja sama daerah yang menjadi tugas para pengelola kerja sama daerah. Program dan kegiatan yang dijalankan tentunnya mendukung dan mendorong keberhasilan pelaksanan kerja sama daerah, kewenangan yang dimainkan oleh bagian kerja sama daerah memiliki arti penting. Keweanangan yang di dapat mulai dari tahap persiapan, inventarisasi objek kerja sama daerah, persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir kerja sama daerah. dari sana dapat disusun kegiatan. Selain itu peran pemerintah daerah dalam kerja sama daerah mempunyai peran yang kuat dalam mendukung penyelesaian perselisihan diantara pihak yang terlibat dalam pelaksanan kerja sama daerah, disinilah diperlukan kemampuan dalam mengelola manajemen resiko pelaksanana suatu kegitan yang melibatkan berbagai pihak, kemampuan pemerintah daerah terletak pada penyiapan adendum perjanjian kerja sama daerah sesudah tersedianya informasi yang mendukung dalam mengakhiri penyelensaian tersebut. untuk itu dibutuhkan data dan informasi yang cukup serta pelaksanaan kelarifikasi terhadap dokumen atau data dalam pelaksanaan kerja sama daerah tersebut. Intensitas keterlibatan pemerintah semakin bermakna, tidak hanya sekedar dalam forum diskusi tetapi memiliki peran sentral dan penting dalam pengelolaan kerja sama daerah tersebut. untuk itu pengetahuan dan wawasan yang harus dimiliki oleh SDM pelaksana dan teknis kerja sama daerah harus memiliki kemampuan yang memadai dalam menyelesaikan perselisiahan kerja sama daerah. Penyelesaian perselisihan tersebut dengan mengidentifikasi dan mengevaluasi kerja sama daerah, selanjutnya diadakan forum yang melibatkan semua para pemangku kepentingan dalam perjanjian kerja sama tersebut untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam mencari penyelesaian perselisian kerja sama daerah tersebut, baik yang merupakan jenis pelayanan atau pun metode kerja sama lainnya yang dilakukan bersama.
120 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 113 - 122
Evaluasi Tata Laksana Kerja Sama Daerah Pelaksanaan kerja sama daerah yang banyak dilakukan oleh pemerintah daerah memiliki bidang kerja sama yang hampir semuanya menjadi bidang pembagian urusan pemerintahan. Bentuk pengaturan/perjanjian yang banyak dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerja sama daerah terdapat tiga bentuk besar yang menjadi temuan dari studi ini, yaitu: 1) Joint Services: yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut; 2) Contract Services: yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dsb. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak yang lain; 3) Pengaturan Lainnya: pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas pergudangan, dsb. Dengan memiliki wilayah cakupan minimal 2 sampai dengan 5 daerah yang saling berbatasan. Pada pelaksanaan kerja sama daerah, kegiatan kerja sama tersebut menjadi perhatian dalam menjaga konsistensi pelaksanaanya untuk itu dilakukan evaluasi sehingga mengetahuan permasalahan dan dukungan apa yang dibutuhkan pada pelaksanaan kerja sama daerah. Selain itu, evaluasi juga pada pengelolaan kerja sama daerah. dilihat dari kebermanfaatan kerja sama dalam memenuhi dan mendukung peningkatakan kesejahteraan masyarakat. Diharapkan pengelolaan kerja sama tersebut dilakukan secara tepat sehingga dapat menghasilkan nilai tambah bagi pemerintah daerah yang merupakan tujuan dari kerja sama tersebut. dalam meninjau pelaksaan kerja sama daerah saati ini setidaknya dapat melihat banyaknya jenis kerja sama yang dilakukan baik yang berbentuk pada penyediaan infrasturktur fisik dan non fisk sampai dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi dan memperbaiki taraf hidupnya. Evaluasi pengelolaan kerja sama daerah dimulai dari rankgaian identifikasi aspek yang paling memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi dalam penyelenggaraan kerja sama daerah tersebut, sehingga dihasilkan aspek-aspek yang paling krusial untuk dapat dijadikan alat ukur. Terkadang pemerintah daerah mempertimbangkan beberapa hal dalam pelaksanaan kerja sama daerah tersebut hingga pada akhirnya ada beberapa kerja sama yang sudah ditandatangani tidak dilaksanakan hingga waktu pelaksanaan kerja sama daerah habis. Pelaksanaan kerja sama daerah yang seperti ini merupakan pelaksanaan yang memiliki kontrol terhadap kegiatan yang sangat minim, sehingga pelaksanaan menjadi lepas dan tidak menghasilkan apa-apa walapun sumberdaya dan potensi daerah belum di pergunakan. Penyusunan instrumen evaluasi pelaksanaan kerja sama daerah menjadi titik yang krusial untuk menilai dan menjaga keberlangsungan pelaksanaan kerja sama daerah
tersebut. evaluasi tersebut sangat penting dilaksanakan untuk menilai sejauhmana pelaksanaan dan apa dampak yang diberikan dari pelaksanaan kerja sama daerah yang dilakukan. Pelaksanaan evaluasi didasarkan padan tahapan pelaksaan kerja sama daerah yang dilakukan, SDM pelaksana baik di bagian kerja sama atau pelaksana pada tingkat SKPD sebagai sektor yang memilikin peran untuk melaksanakan tugas tersebut. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kerja sama daerah menjadi tugas TKAD (Tim Kerjasama Antar Daerah) untuk mengawasi pelaksanaan daerah yang berjalan tidak sesuai dengan perjanjian kerja sama daerah atau ada pihak yang melakukan wan prestasi pada pelaksanaan kerja sama daerah tersebut. setidanya perjanjian kerja sama daerah yang tidak ditindaklanjuti sudah dapat terdeteksi dari awal sebelum penandatanganan kerja sama itu berlangsung. Tim tersebut perlu menggali kemampuan dan kesiapan dalam peranan pengkoordinasian persiapan kerja sama daerah. setelah TKAD tersebut mampu mendeteksi dan menilai kemampuan yang dimiliki oleh unit kerja atau SKPD yang memiliki peranan pada sektor yang dikerjasamakan yang akan malaksanakan kerja sama tersebut. dengan menilai terlebih dahulu dapat menekan unit kerja atau SKPD yang akan melaksanakan perjanjian kerja sama daerah tersebut usaha untuk meinmalisir terjadinya perjanjian kerja sama yang tidak ditindaklanjuti. Selain itu juga palaksanaan kerja sama tersebut harus dilaporkan secara kontinyu setiap bulannya kepada TKAD, laporan tersebut menjadi alat bagi Tim untuk menentukan dan mengevaluasi pelaksanaan kerja sama daerah. Di beberapa daerah, bagian kerjasama masih minim dilibatkan dalam inisiai awal kerjasama dan pelaksanaan kerjasama. Dengan sudah ditetapkan TKAD belum berjalan sebagaimana mestinya. Tim tersebut ditetapkan oleh Kepala daerah dengan melakukan beberapa tugas antara lain dalam mempersiapakan kerja sama daerah dan melakukan evaluasi pelaksanaan kerjasama daerah, sayangnya sangat minim sekali tim tersebut melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kerjasama daerah meningat kesulitan dalam merumuskan instrumen evaluasi yang harus ditetapkan sehingga perlu petunjuk lebih lanjut lagi dalam pelaksanaan evaluasi sehingga keberlangusngan kerjasama daerah dapat terjaga dengan baik dan dapat memberikan manfaat dan keutungan bagi pihak-pihak yang melakukan kerjasama tersebut. Evaluasi dalam pelaksanaan kerja sama daerah yang dapat dilakukan yang secara mandiri ataupun oleh pemerintah Provinsi dan Pemerintah. dengan meilihat aspek, yaitu 1) Pemahaman Pemda, 2) Dukungan Fasilitasi Kerja sama, 3) Analisis Hukum Perjanjian kerja sama, 4) Regulasi/Kebijakan Kerja sama yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, 5) Kesiapan Unit Kerja Pelaksana Kerja Sama daerah, dan 6) Jenis dan Kuantitas Kerja sama daerah.
Identifikasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah – Imam Radianto Anwar Setia Putra | 121
SIMPULAN Studi indentifikasi profil kerja sama daerah, setelah melakukan studi lapangan dan melakukan analisi terhadap data, fakta dan informasi yang didapat makan dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pentingnya pemataan dan pengalian objek kerja sama daerah dengan mempertimbangankan manfaat dari pelaksanaan kerja sama daerah dan juga hasil yang didapat oleh pemerintah daerah dari penggunaan potensi dan sumberdaya daerah 2. Kemampuan SDM dalam melaksanakan kerja sama daerah menjadi modal utama dalam mendukung keberhasilan, untuk itu dibutuhkan jabatan yang memiliki kompetensi yang handal dalam pengelolaan kerja sama tersebut. 3. Membangun unit kerja dengan didukung oleh norma-norma dan struktur yang tepat sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan pengetahuan yang dimiliki dalam mendukung pelaksanaan kerja sama daerah. 4. Selama ini pelaksanaan kerja sama daerah belum memberikan dampak masih kecil dalam kontribusi pembangunan daerah, beberapa pelakasnaan kerja sama daerah perlu dilakukan evaluasi untuk meningkatkan nilai kebermanfaatan kerja sama daerah dari sisi pengelolaan yang dailakukan. DAFTAR PUSTAKA Cahyani, Kartika. 2009. Model Kerja Sama Antar Daerah Dalam Rangka Mendukung Otonomi daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Riset Daerah Vol. VII No. 2. Feiock, R.C. (2004), ‘Introduction: Regionalism and Institutional Collective Action’ in R.C. Feiock (ed.), Metropolitan Governance: Conflict, Competition, and Cooperation, hal. 3-16, Georgetown University Press, Washington, D.C. Oran R. Young, 1992. Arctic Politics: Conflict And Cooperation In The Circumpolar North. National Academy Press Washington, D.C Patterson, D.A. 2008. Intergovermental Cooperation. Albany, NY. New York State Department of State Division of Local Governmental Services. Prtikno, dkk. 2004. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kerja sama Kartamantul, Final Report Sekber Kartamantul-GIZ Urban Quality Yogyakarta.
122 | Jurnal Bina Praja| Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2013: 113 - 122
PENANGANAN DAMPAK LALU LINTAS TERHADAP PEMBANGUNAN PASAR TRADISONAL DAN PASAR MODERN (MALL) SIMPANG HARU HANDLING TRAFFIC IMPACT ON DEVELOPMENT AND MARKET MODERN TRADITIONAL MARKETS (MALL) SIMPANG HARU Momon Badan Perencanaan Pembanguna Daerah Provinsi Sumatera Barat Jl. Khatib Sulaiman No. 25 Padang e-mail:
[email protected] Dikirim: 3 Maret 2013; direvisi: 16 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengantisipasi kemacetan (penurunan kinerja persimpangan) yang disebakan oleh pengoperasian Pasar Tradisional dan Pasar Modern. Penelitian ini menggunakan analisis kinerja simpang bersimpang MKJI Tahun 1997 dengan memasukkan data primer yaitu data gerakan membelok di persimpangan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Strategi 1 (satu) dan 2 (dua) dapat meningkatkan kinerja jaringan pada lengan persimpangan yang macet (jl. Sawahan) ditandai dengan DS dari 1.03 meter menjadi 0.66 meter dan 063 meter, Panjang Antrian dari 199 detil/smp menjadi 173 (strategi 2) dan tundaan dari 142.9 detik/smp menjadi 28 detik/smp dan 33 detik/smp. Kata Kunci : Trip Rate, Simpang Bersinyal, Kinerja Persimpangan
Abstract The aim of this research is giving recommendation to decision maker For overcoming jammed (decreasing performance intersection) that caused by traditional and modern market operational. This research use intersection performance analysis MKJI 1997 with primary data, turning moving intersection data. From the result of analysis, it can be concluded that first strategy and second strategy can improve network performance in crowded intersection arm (jl. Sawahan) that is revealed by DS from 1.03 metres to 0.66 metres and 0.63 metres, the length of queue from 199 detil/smp to 173 (strategi 2) and cancel time from 142.9 second/smp to 28 second/smp and 33 second/smp. Keyword : Trip Rate, Signal intersection, Performance intersection
PENDAHULUAN Pembangunan suatu kawasan dan/atau lokasi tertentu mempunyai pengaruh terhadap lalu lintas disekitarnya. Analisis dampak lalu lintas dipergunakan untuk memprediksi apakah infrastruktur transportasi dalam daerah pengaruh pembangunan tersebut dapat melayani lalu lintas yang ada (eksisting) ditambah dengan lalu lintas yang dibangkitkan atau ditarik oleh pembangunan tersebut. Jika prasarana yang ada tidak dapat mendukung lalu lintas tersebut maka harus dilakukan kajian penaganan prasarana dan pengaturan manajemen lalu lintas. Bila ditinjau dari aspek hukum dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 pasal 99 yang berbunyi ‘setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas’, adanya kewajiban yang diamanatkan oleh undang-undang akan ditindaklanjuti dengan proses pengawasan dan
monitoring oleh pemerintah. maka tidak bisa dihindari lagi pelaksanaan andalalin pembangunan Pasar Tradisional dan Modern Simapng Haru harus dilakukan oleh pengembang. Secara umum telah diterima suatu konsep analisis “menginternalkan eksternalitis” dengan konsekuensi “poluter pays” dengan pengertian bahwa pihak pengembang harus memberikan kontribusi yang nyata di dalam penanganan dampak lalu lintas sebagai akibat pengembangan suatu kawasan atau lokasi tertentu. Rencana Pembangunan Pasar Tradisional dan Modern Simpang Haru yang merupakan pusat kegiatan perbelanjaan yang terletak pada Jalan Simpang Haru menjadi kawasan pembangkit dan penarik lalu lintas. Hal ini berdampak terhadap penambahan pembebanan lalu lintas oleh kendaraan pribadi maupun sepeda motor yang akan keluarmasuk pusat kegiatan. Pembebanan lalu lintas baru akibat pembangunan Pasar tersebut secara langsung membawa penurunan kinerja jaringan jalan di sekitar lokasi pembangunan. Oleh karena itu diperlukan Analisis Dampak Lalu Lintas dan Upaya Manajemen
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru - Momon| 123
serta Rekayasa Lalu Lintas untuk meminimumkan dampak tersebut. Perumusan masalah dalam penelitian adalah seberapa besar penurunan kinerja persimpangan akibat pembangunan Pasar Tradisiional dan Pasar Modern di Simpang Haru dan apa stragi yang digunakan untuk meingkatkan kinerja persimpangan Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengevaluasi pengaruh kinerja lalu lintas yang ditimbulkan dengan keberadaan pembangunan Pasar Tradisional dan Modern Simpang Haru tersebut 2. Meminimumkan dampak yang terjadi terhadap kinerja persimpangan. 3. Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengantisipasi kemacetan (penurunan kinerja persimpangan) yang disebakan oleh pengoperasian Pasar Tradisional dan Pasar Modern.
perkantoran baru, pabrik, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya. Perubahan tata guna tanah bisa meliputi pengembangan ulang dari daerah saat ini menjadi daerah yang peruntukkannya campuran. Studi dampak lalu lintas memproyeksikan permintaan transportasi yang akan datang, menilai dampak perubahan dari permintaan dan sebagainya. Untuk studi ini, permintaan transportasi didefinisikan sebagai kebutuhan pergerakan orang dan barang oleh seluruh bentuk transportasi meliputi mobil, truk, motor, sepeda, taksi, angkutan kota di sekitar usulan pengembangan. Perencanaan Transportasi Di dalam perencanaan sektor transportasi perlu ada pendekatan umum dalam proses perencanaan, dimana semua faktor yang terkait dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ada. Menurut Black (1981), ada beberapa langkah (pendekatan sistem) proses perencanaan pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Perencanaan Transportasi. Analisis Mengenai Dampak Lalu Lintas (AMDALL) Analisis Mengenai Dampak Lalu Lintas (AMDALL) merupakan suatu studi penilaian dampak transportasi akibat dari usulan pengembangan dan perubahan tata guna tanah. Pengembangan tersebut dapat berupa suatu gedung
Menurut Papacostas (1987), transportasi merupakan sebuah fasilitas yang dapat mengatasi hambatan ruang yang dialami manusia dan barang dalam melakukan berbagai aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sedangkan tujuan perencanaan transportasi lebih pada proses
124 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 123 - 132
prediksi permintaan transportsi dalam menyusun alternatif pemecahan masalah. Persimpangan dengan Lampu Lalu Lintas Didalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), analisis persimpangan dengan lampu lalu lintas didasarkan pada beberapa prinsip utama sebagai berikut : 1. Geometrik Perhitungan dikerjakan secara terpisah untuk setiap pendekat. Satu lengan simpang dapat terdiri dari lebih dari satu pendekat, misalnya dibagi dalan dua atau lebih seu-pendekat. Ini bisa terjadi pada kasus apabila pergerakan belok kanan dan/atau belok kiri menerima sinyal hijau pada fasa yang berbeda daripada lalu lintas lurus, atau jika lengan simpang tersebut dibagi oleh pulau-pulau. 2. Arus Lalu Lintas Perhitungan dilakukan berdasarkan lalu lintas jam-jaman untuk satu atau lebih perioda, didasarkan pada arus lalu lintas rencana jam puncak untuk kondisi pagi, siang atau sore hari. Arus lalu lintas (Q) untuk setiap pergerakan (belok kiri, lurus dan belok kanan) dikonversikan dari kendaraan per jam ke satuan mobil penumpang (smp) per jam dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang( emp) untuk jenis pendekat terlindung dan terlawan. 3. Model Dasar Kapasitas pendekat untuk persimpangan dengan lampu lalu lintas dapat dinyatakan sebagai berikut : C = S x g/c (1) dimana : C = kapasitas (smp/jam) S = arus jenuh (smp/jam hijau) g = waktu hijau (detik) c = waktu siklus (detik) 4. Waktu Sinyal Waktu sinyal untuk kondisi pengkontrolan waktu tetap ditentukan berdasarkan Metoda Webster untuk meminimumkan waktu tunda kendaran seluruhnya di persimpangan. Pertamatama waktu siklus ( c ) ditentukan, dan setelah itu waktu hijau pada setiap fasa. c = (1,5 x LTI +5)/(1 - ΣFrcrit) (2) dimana : c = waktu siklus (detik) LTI = waktu hilang per siklus (detik) FR = arus dibagi arus jenuh (Q/S) Frcrit = nilai tertinggi dari FR dari seluruh pendekat dari suatu fasa sinyal ΣFrcrit = jumlah dari FRcrit dari seluruh fasa pada siklus 5. Kapasitas dan Derajat Kejenuhan Kapasitas pendekat ( C ) diperoleh dengan mengalikan arus jenuh dan rasio hijau (g/c) untuk setiap pendekat. C = S x g/c (3)
6.
7.
Derajat kejenuhan diperoleh dari persamaan sebagai berikut : DS = Q/C = (Q x c)/(S x g) (4) Panjang Antrian Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp yang datang selama fase merah (NQ2) NQ= NQ1) + (NQ2) (5) Tundaaan
(6) Dimana : DT = Tundaan lalu lintas rata-rata pada pendekat j (det/smp) GR = Rasio hijau (g/c) DS = Derajat kejenuhan C = Kapasitas (smp/jam NQ= Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang telah dikumpulkan baik yang melalui survey sebagai data primer maupun data sekunder. Data primer yang telah dikumpulkan adalah data volume lalu lintas yang terklasifikasi di persimpangan. Mulut persimpangan yang dilakukan survey antara mulut persimpangan jalan SawahanJalan Sutomo-Jalan Andalas. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data keluar masukk kendaraan dan orang di Pasar Simpang haru . Data sekunder yang telah dikumpulkan adalah data mengenai luas tanah Pasar Tradisional dan Modern Simpang Haru dan peruntukkannya, luas bangunan/ruang dan peruntukkannya. Pengumpulan Data 1. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan perhitungan gerakan kendaraan membelok, baik yang belok kanan, lurus maupun belok kiri. Pencacahan dilaksanakan dengan menggunakan tenaga surveyor yang ditempatkan mulut persimpangan. Untuk kendaraan yang keluar masuk kendaraan dan orang dilaksanakan di dekat pintu masuk pasar (eksisting) bagian depan dan dibagian samping pasar. Pengumpulan data primer ini dilakukan pada hari Minggu dan Senin dengan mengambil pada jam puncak pagi 07.00 - 09.00, siang 11.00 – 13.00 dan sore 16.00 -18.00. Data arus lalu lintas dan kendaraan dan orang yang keluar
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru - Momon| 125
2.
masuk masuk simpang haru (eksisting) di dihitung untuk setiap 15 menitan. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari Pengembangan Pasar Tradisional dan Pasar Moder (Mall) SImpang Haru. Data yang diperoleh dari pengembang adalah luas tanah, luas lantai beserta peruntukkan, petak took, ruang parker mobil dan sepeda motor.
Analisis Data 1. Kondisi Eksisting Persimpangan Pembangunan Pasar Tradisional dan Modern Simpang Haru merupakan salah satu pasar satelit di Kota Padang yang berlokasi di Jl. H. Agus Salim Padang dengan titik koordinat 0° 56’ 36.0” LS 100° 22’ 32.0” BT diatas lahan seluas 6.745 m2. Untuk
lebih jelasnya lokasi kegiatan dapat dilihat pada gambar 1. Pasar Tradisional dan Moder simpang haru terletak pada persimpangan jalan Arteri dan Kolektor. Gambar Penampang melintang masingmasing lengan persimpangan dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar 1 dan 2, menujukkan bahwa persimpangan yang terletak di lokasi pembangunan MALL merupakan simpang yang mempunyai 4 (empat lengan) namun salah satu lengan simpang pada jalan langkiau mempunyai volume lalu lintas tidak begitu besar maka lampu traffic light yang terpasang saat ini hanya 3 (tiga) lengan yaitu lengan persimpangan pada ruas jalan Sawahan, Andalas, Sutomo. Kondisi fisik simpang tersebut belum
Gambar 1. Kondisi Eksisiting Persimpangan Pada Pembangunan Mall Simpang Haru.
a.
Jalan Sawahan
b. Jalan Sutomo
14,1 m
c.
Jalan Andalas
15,6 m
126 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 123 - 132
15,1 m
dilengkapi fasilitas separator pada bagian tengah ruas jalan sehingga memungkinkan terjadinya friksi antara jalan yang berlawanan arah, hal ini dapat memperlama delay pada persimpangan. Kondisi perkerasan lengan persimpangan pada ruas jalan langkiau belum dilakukan pemasangan traffic light dan belum dilakukan pengaspalan dengan perkerasan lentur. Apabila Mall Simpan Haru beroperasi maka ruas jalan terjadi peningkatan volume lalu lintas akibat bangkitan dan tarikan yang ditimbulkan oleh Mall tersebut. Hal ini perlu dilakukan rekayasa lalu lintas untuk mengantisipasi kemacetan di persimpangan. Disamping itu, dilokasi persimpangan juga terlihat minimnya fasilitas kesemalatan seperti rambu larangan berhenti, rambu larangan parkir, rambu tempat prmberhentian angkot. Hal ini akan menyebabkan pengemudi kendaraan bermotor bisa berhenti disembarangan tempat sehiingga menimbulkan kemacetan di persimpangan. Data yang dikumpulkan dari survey gerakan membelok dan bangkitan perjalanan (keluar masuk pasar) selanjutnya dilakukan tabulasi sesuai dengan kebutuhan untuk analisis. Analisis yang dilakukan adalah analisis persimpangan dan bangkitan perjalanan yang disebabkan oleh Pembangunan Pasar Tradisional dan Pasar Modern (Mall) Simpag Haru. Volume Lalu Lintas di Persimpangan Penghitungan volume lalu-lintas di persimpangan dilakukan guna mengetahui kondisi volume jam puncak dimana volume jam puncak menjadi menjadi rancangan perbaikan kineja persimpangan. Adapun volume lalu lintas di persimpangan dapat sebagai berikut: Bangkitan/Tarikan Pasar Simpag Simpang Haru (Eksisting). Jumlah tarikan perjalanan diambil dari hasil survey tarikan yang dilakukan di pasar simpang
haru. Hasil survey yang digunakan adalah nilai tingkat tarikan perjalanan di Pasar haru pada kondisi exsisting. Dari hasil survey dilakukan diperoleh tarikan perjalanan yang masuk pada pasar simpang haru. Tabel 1. Jumlah Bangkitan/Tarikan Kendaraan (smp/jam)
Pagi 41.5
Jumlah Perjalanan (smp/jam) Sumber : Hasil Analisa
Waktu Perjalanan Siang 51,75
Sore 42,5
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa bangkitan dan tarikan yang tertinggi pada pasar simpang haru terjadi pada siang hari yaitu pada jam 11.00 Wib – 12.00 Wib. Dari hasil perhitungan, jumlah perjalanan tarikan pada pasar simpang haru sebesar 51,75 smp/jam untuk siang. Untuk peak pagi sebesar 41,5 smp/jan dan peak sore 42,5 smp/jam. Jika dibandingkan dengan jumlah petak toko yang beroperasi di pasar simpang haru maka diperoleh trip rate pada saat jam sibuk. Saat sekarang petak toko yang beroperasi pada pasar simpang haru diperkirakan sebesar 90 petak toko. Dari jumlah tersebut maka dapat diperoleh trip rate sebaga berikut : Tabel 2. Trip Rate Pasar Simpang Haru (Kondisi Eksisting) No Pagi Trip rate 0,46 Sumber : Hasil Analisa
Waktu Perjalanan Siang Sore 0,57 0,47
Gambar 2. Distribusi Kendaraan Pada Lengan Persimbangan (kend/jam) Bangkitan/Tarikan Perjalanan
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru - Momon| 127
Tabel 3. Tambahan Perjalanan Pada Saat Pasar Tradisional dan Modern Beroperasi No
Pagi 217,75
Jumlah Perjalanan (smp)/jam
Waktu Perjalanan Siang 271,53
Sore 223
Sumber : Hasil Analisa
Tabel 4. Volume Persimpangan Jam Puncak sore (smp/jam) Tahun 2013 Volume Jam Puncak (Terlindung) Lengan Persimpangan Jl. Sawahan Jl. Andalas Jl. Sutomo Jl. Langkiau Sumber : Hasil Analisa
Lurus
Belok Kanan
Kiri
579 419 14 44
505 9 413 40
0 193 606 21
Tabel 5. Volume Persimpangan Jam Puncak sore (smp/jam) Tahun 2013 Volume Jam Puncak (Terlawan) Lengan Persimpangan Jl. Sawahan Jl. Andalas Jl. Sutomo Jl. Langkiau Sumber : Hasil Analisa
Lurus
Belok Kanan
Kiri
739 485
679 16
0 246
616 49
6 65
787 32
Tabel 6. Kinerja Persimpangan Kondisi Eksisiting Tahun 2013 No
Lengan Simpang
1 2 1 Lengan Sutomo (S) 2 Lengan Sawahan (B) 3 Lengan Andalas (T) Sumber : Hasil Analisa
Derajat Kejenuhan 3 0.51 0.89 0.50
Jika 446 petak toko yang dibangun oleh pada Pasar Tradisional dan Modern tersebut maka diperoleh hasil jumlah perjalanan yang akan masuk pada tersebut. Dari hasil perhitungan maka diperoleh hasil pada tabel 3. Dari tabel diatas menunjukkan bahwa perkiraan total tarikan yang tertinggi pada pasar tradisional dan pasar moder simpang haru terjadi pada siang hari sebesar 271,53 smp/jam. Untuk peak pagi sebesar 217,75 smp/jam dan peak sore 223 smp/jam. Tambahan perrjalanan ini dimasukan pada volume lalu lintas tahun 2014 s/d 2018 ketikan pasar tersebut beroperasi. Jumlah perjalanan yang dimasukan adalah perjalanan pada sore hari karena jam puncak pada saat jam survei adalah sore hari
Panjang Antrian (m) 4 61.00 104.00 58.00
Tundaan rata-rata (det/smp) 5 29.50 53.10 29.40
Kinerja Arus Lalu Lintas Di Persimpangan Data-data persimpangan dan bangkitan dan tarikan yang telah dilakukan pengolahan, menjadi dasar untuk melihat kinerja persimpangan baik sebelum dan sesudah pengoperasian Pasar Tradisional dan PAsar Modern. Ukuran kinerja persimpangan adalah perbandingan volume dan kapasitas (DS), Tundaan dan Panjang Antrian. 1. Kinerja Persimpangan Eksisting (Tahun 2013) Berdasarkan hasil survey traffic counting pada periode waktu untuk perancangan adalah jam 17.00 – 18.00 Wib, volume lalu lintas yang telah dikonversikan kedalam smp/jam dapat dilihat pada Tabel 4. Pada mulut persimpangan jalan SawahanJalan Sutomo-Jalan Andalas mempunyai pemfasean dengan 3 (tiga) fase. Sedangkan
128 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 123 - 132
penanganan untuk mengantisipasi dampak adalah sebagai berikut : 1. Strategi 1 (pertama) Pada strategi 1 (pertama) perbaikan yang dilakukan adalah : Melakukan sterilisasi ruas jalan sawahan dari parkir on street sehingga menambah lebar efektif jalan Mengatur fase persimpagan dengan menerapkan 4 (empat) fase untuk menghindari resiko kecelakaan Waktu siklus 120 detik Melakukan pemasangan traffic light pada lengan persimpangan jalan langkiau. 2. Strategi 2 (kedua) Pada strategi 1 (pertama) perbaikan yang dilakukan adalah : Melakukan sterilisasi ruas jalan sawahan dari parkir on street sehingga menambah lebar efektif jalan Mengatur fase persimpagan dengan menerapkan 3 (tiga) fase dengan menerapkan early cut off pada mulut persimpangan sawahan dan andalas Waktu siklus 120 detik Melakukan pemasangan traffic light pada lengan persimpangan jalan langkiau. Dari hasil perhitungan pada persimpangan bersinyal pasar simpang, maka dapat diketahui Sebelum dan Sesudah pengoperasian Pasar Tradisional dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru pada Tahun 2018. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut :
waktu siklus yang diberlakukan pada persimpangan tersebut adalah 91 detik. Dari waktu fasesebut maka dapat diketahui kinerja lalu lintas pad kondisi eksisting Kondisi Kinerja Persimpangan Simpang Haru (Tabel 6) Volume Lalu Lintas Pada Lengan Persimpangan Jam Puncak sore (smp/jam) Tahun 2014 s/d 2018. Jika terjadi pertumbuhan kendaraan yang melawati jalan Pasar Tradisional dan Modern 3 % (lima persen) per tahun, maka kondisi 5 tahun mendatang setelah Pasar Tradisional dan Modern selesai dan dioperasikan akan meningkat, kondisi dan volume lalu-lintas di ruas jalan Pasar Tradisional dan Modern diperkirakan seperti berikut;
2. 3.
(7) Pt = Po (1+i)n di mana: Pt = Volume Lalu-lintas tahun rencana. Po = Volume Lalu-lintas tahun target I = Tingkat pertumbuhan. n = Tahun rencana. Dari persamaan tersebut di atas, maka pembebanan terhadap ruas jalan Pasar Raya dapat diketahui sebagaimana Tabel 6. Jika dilakukan perhitungan dengan menggunakan data proyeksi dari 2014 s/d 2018, maka dengan menggunakan pemfasean 3 (tiga) dan waktu siklusnya 91 detik maka dampak kinerja persimpangan akibat pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) adalah sebagai berikut Lampiran Tabel 7. Strategi Penanganan Untuk mengantisipasi dampak buruknya kinerja persimpangan pada 5 tahun yang akan datang maka dilakukan beberapa strategi-strategi
4.
Tabel 8. Perbandingan Kinerja Lalu Lintas Sebelum Pengoperasian dan Setelah Pengoperasian Beserta Penanganan Sebelum Pengoperasian No
1 1
2 3
4
Lengan Simpang 2 Lengan Langkiau (U) Lengan Sutomo (S) Lengan Sawahan (B) Lengan Andalas (T)
DS 4
0.59
Panjang Antrian (m) 5
Tundaan Rata-Rata (det/smp) 6
DS 7
Setelah Pengoperasian Strategi 1 (pertama) Strategi 2 (Kedua) Panjang Tundaan Panjang Tundaan Antrian Rata-Rata DS Antrian Rata-Rata (m) (det/smp) (m) (det/smp) 8 10 11 12 13
0.38 7
44.1
49.1
0.53
56
53.8
70.00
31.10
0.66
97.7
49.6
0.63
129
41.10
199
142.9
0.66
208
28.5
0.63
173
33.00
68.00
30.90
0.66
96
49
0.63
94.00
47.50
1.03 0.58
Sumber : Hasil Analisa
penanganan dengan melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas. Adapun strategi-strategi
Dari tabel 8 menunjukaan bahwa terjadi peningkatan kinerja Simpang ketika dilakukan penanganan, seperti pada
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru - Momon| 129
Derajat Kejenuhan, dimana lengan simpang ruas jalan Sawahan sebelum dilakukan perbaikan derajat kejenuhannya 1.03, panjang antrian 199 meter dan tundaaan 142.9 detik/smp). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kemacetan yang parah pada lengan simpang ruas jalan sawahan sehigga berdampak kepada tingginya biaya operasional yang ditanggung oleh pengguna jalan. Berbeda dengan lengan simpang ruas jalan andalas dan lengan simpang ruas jalan sutomo dimana kedua lengan simpang tersebut masih dalam batas normal. Setelah dilakukan penagananpenanganan dengan melakukan majaemen dan rekayasa lalu lintas maka terjadi peningkatan kinerja dimana pada strategi 1 (pertama) derajat kejenuhannya terjadi peningkatan kinerja dari 1.03 menjadi 0.64 lengan simpang pada ruas jalan sawahan tetapi pada panjang antria terjadi penurunan kinerja dimana sebelum perbaikan 199 meter, sedangkan setelah penganan pada strategi 1 (pertama) sebesar 220 meter. Hal ini dikarenakan adanya penambahan waktu siklus sebesar 120 sehingga menambah waktu antrian pada lampu merah. Namun tundaan kendaraan rata-rata setelah dilakukan penanganan strategi 1 (pertama) terjadi peningkatan kinerja dimana dari 142,9 det/smp sebelum perbaikan menjadi 33 det/smp. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu hijau untuk melepaskan kendaraan dari mulut persimpangan sawahan. Penanganan yang dilakukan pada strategi 2 (kedua) jauh lebih baik dari penanganan strategi 1 (pertama). Strategi ke-2 (kedua) penanganan yang dilakukan adalah menerapkan pengaturan dengan 3 fase yang dikombinasikan dengan penerapan early cut off pada lengan simpang andalas serta melakukan sterilasi pada kendaaran yang parkir di badan jalan. Dari tabel 6.6 menunjukkan bahwa derajat kejenuhan pada lengan simpang ruas jalan sawahan sebesar 0.63, panjang antrian 173 meter dan tundaan 33 detik, artinya kinerja simpang pada strategi 2 menujukkan peningkatan kinerja dibanding dengan strategi 1 (pertama), Namun pada lengan simpang ruas jalan Andalas terjadi penurunan kinerja pada panjang antrian dimana strategi ke-2 antriannya sebesar 129 meter sedangkan strategi ke-1 sebesar 97 meter. Hal ini disebabkan karena fase pelepasan pada lengan simpang ruas jalan sutomo bersamaan dengan lengan simpang ruas
jalan langkiau sehingga arusnya terlawan atau terjadi friksi antar kedua simpangn namun pada tundaan kendaraan rata-rata penanganan strategi ke-2 lebih baik dari penanganan ke-1 dimana tundaan ke-2 sebesar 41.10 det/smp dan tundaan strategi ke-1 sebesar 49.6. Hal ini disebabkan oleh waktu hijau lengan simpang ruas jalan sutomo pada strategi ke-2 lebih lama dari strategi ke-1. SIMPULAN Simpulan Hasil analisis di atas baik disimpulkan bahwa pengaruh beroperasinya Pasar Tradisional dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru pada tahun 2018 sangat signifikan pengaruhnya dalam artian kontribusi bangkitan dan tarikan pengoperasian pasar simpang haru ditambah lagi dengan pertumbuhan kendaraan 3% pertahun mengakibatkan penurunan kinerja lalu lintas dengan Derajat kejenuhan melebihi dari 1 (satu) Sehingga yang komprehensif untuk mengantisipasi penurunan kinerja persimpangan . Rekomendasi Agar kondisi kinerja lalu lintas tidak mengalami penurunan kinerja yang signifikan akibat beroperasinya Pasar Tradisional dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru maka dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Rekayasa Lalu Lintas a. Memasang Rambu dilarang parkir sebanyak 7 (delapan) unit dengan papan tambahan ( 30 m ), ditempatkan di sisi Kiri dan Kanan Jl. Sawahan, Jl. Sutomo, Jl. Andalas, Jl. Langkiau yaitu sebelum dan sesudah akses keluar masuk dan 1 unit Rambu dilarang parkir dengan papan tambahan ( 50 m ) pada sisi utara dan selatan (lihat gambar) b. Memasang rambu larangan berhenti sebanyak 8 (sembilan) unit dekat dengan mulut persimpangan (lihat gambar) di Kiri dan Kanan Jl. Jl. Sawahan, Jl. Sutomo, Jl. Andalas, Jl. Langkiau (lihat gambar) c. Memasang Rambu pemeberhentihan Angkot pada Jalan Sawahan sisi utara dan sisi selatan dan Jalan Langkiau pada sisi timur (lihat gambar) d. Memasang larangan berputar di median jalan sutomo selanjutnya putaran kendaraan di tugu api simpang haru (lihat gambar) e. Memasang Rambu perintah arah masuk dan arah keluar dengan papan tambahan di pintu masuk dan pintu keluar Pasar Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru f. Rambu larangan masuk sebanyak 1 (satu) unit ditempatkan di pintu keluar Pasar
130 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 123 - 132
Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru pada jalan langkiau g. Memasang rambu Traffic Ligth pada 4 (empat) mulut perimpangan h. Memasangan rambu dan marka panah untuk sirkulasi di dalam Pasar Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru (sirkulasi arah lihat gambar) i. Melakukan pengaspalan jalan di ruas jalan langkiau dengan lebar 10 meter panjang 100 meter j. Memasang marka pemisah lajur pada masing-masing mulut persimpangan kecuali jl. Langkiau k. Melakukan pemasangan separator pada Ruas Jalan Sawahan sepanjang ± 90 meter, Ruas Jalan Sutomo sepanjang ± 70 dan Ruas Jalan Andalas untuk ± 70 menghindari friksi pada lalu lintas yang berlawan arah sehingga mengurangi gangguan tercepatan serta mengurangi kecelakaan lalu lintas l. Rambu peringatan hati hati dengan papan tambahan (akses keluar masuk Pasar Modern Simpang Haru bagi pengendara yang melewati dan masuk Pasar Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru sebanyak 1 unit pada ruas jalan Sawahan m. Membuat lay bay (celukan) tempat menaikan/menurunkan penumpang di sisi utara Jl. Sawahan (depan Pasar) atau sisi timur jalan langkiau dengan panjang 10 meter dan lebar 5 meter n. Memperbesar jari-jari tikungan di lengan persimpangan antara Jl. Sawahan dan Sutomo (dekat Muhammadyiah). Perbaikan geometrik jari-jari tikungan dilakukan apabila upaya manajemen lalu lintas tidak bisa lagi menanggulangi permasalahan belok kiri langsung serta volume belok kiri langsung sudah mengganggu arus yang merging dari arah Andalas o. Membuat Pos Penjagaan di dekat pintu masuk jalan Sawahan 2.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Pintu masuk dari arah jalan jalan Sawahan dibuka hanya 1 (satu) pintu pintu masuk, sedangkan untuk pintu keluar menujun jalan sawahan ditiadakan untuk menghindari konflik Pintu masuk dari arah jalan jalan Sawahan dibuka hanya 1 (satu) pintu pintu masuk, sedangkan untuk pintu keluar menujun jalan sawahan ditiadakan untuk menghindari konflik Untuk menghindari penurunan kinerja pada mulut persimpangan maka pada mulut persimpangan Ruas Jalan Sawahan, Sutomo, Andalas dan Ruas Jalan Langkiau kiri jalan terus Pada jam sibuk, kendaraan yang hendak masuk dan keluar Pasar Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru khususnya pada Jl. Sawahan harus diatur dengan menempatkan petugas pengatur lalu lintas Untuk loading dan unloading kendaraan barang dilakukan pada malam hari pada saat diluar jam sibuk Petugas keamanan Pasar Tradisional dan Modern membantu petugas PT. KAI untuk mengatur pintu perlintasan pada saat kereta api lewat
DAFTAR PUSTAKA Black, J.A. 1981. Urban Transport Planning: Theory and Practice. London: Cromm Helm. Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). Jakarta. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. Jakarta Papacostas, C.S. 1987. Fundamental of Transportation Engineering. Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. New Jersey. Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung
Manajemen Lalu Lintas a. Melakukan setting lampu lalu lintas sesuai dengan jumlah dan peningkatan arus lalu lintas yang keluar pada mulut persimpangan b. Pengaturan arus lalu lintas pada mulut persimpangan dilakukan penerapan 3 fase dengan kombinasi early cut off (lihat gambar fase) untuk menghindari konflik terhadap lalu lintas yang menerus dengan kendaraan yang masuk ke Pasar Pasar Trasional dan Pasar Modern Simpang Haru c. Melakukan setting lampu lintas secara berkala untuk mengantisipasi peningkatan arus lalu lintas d. Jadwal tayang studio 21 dimulai dan berakhir diluar pada jam sibuk
Penanganan Dampak Lalu Lintas terhadap Pembangunan Pasar Tradisonal dan Pasar Modern (Mall) Simpang Haru - Momon| 131
132 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 123 - 132
APRESIASI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI DAN PENYULUHAN PERTANIAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI JAWA BARAT FARMERS APPRECIATION ON TECHNOLOGY AND AGRICULTURAL EXTENSION FOR INCREASING RICE PRODUCTION Trisna Subarna Peneliti Madya Pada Bappeda Provinsi Jawa Barat Jl. Ir. H. Juanda No. 287 Bandung e-mail:
[email protected] Dikirim: 10 Maret 2013; direvisi: 14 April 2013; disetujui: 19 Juni 2013
Abstrak Penelitian apresiasi petani terhadap teknologi dan penyuluhan pertanian dalam peningkatan produksi padi telah dilaksanakan pada Bulan Januari sampai Mei 2012 di 10 kabupaten sentra produksi padi di Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan dengan metoda survey dengan total responden 120 petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apresiasi petani terhadap teknologi dan penyuluhan dalam meningkatkan produksi padi. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Teknologi yang berperan penting dalam peningkatan produksi padi adalah: (a) teknologi peningkatan kesuburan lahan, (b) teknologi meminimalkan kehilangan hasil panen, dan (c) varietas unggul baru. (2) Teknologi yang diapresiasi tinggi kinerjanya oleh petani adalah; varietas unggul baru, dan peningkatan kesuburan lahan, sedangkan teknologi kehilangan hasil panen diapresiasi kurang, sehingga ketiga teknologi tersebut merupakan faktor yang sangat berperan dalam peningkatan produksi padi. (3) Prequensi kehadiran penyuluh mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan produksi padi, tetapi kinerjanya diapresiasi rendah. Implikasi hasil penelitian ini adalah: (a) Diperlukan kebijakan Pemerintah Daerah melaui Peraturan Daerah untuk meningkatkan kesuburan lahan melalui pemanfaatan jerami, dan kebijakan penambahan jumlah serta fasilitas penyuluh pertanian. (b) Penyediaan varietas unggul baru melalui pengembangan dan pembinaan penangkar benih serta meningkatkan peranan Balai Benih Padi Jawa Barat, dan (c) meminimalkan kehilangan hasil panen melalui penerapan kelembagaan jasa panen dan penerapan Power Tresherr. Kata Kunci: teknologi, penyuluhan pertanian.
Abstract Study of farmers appreciation on technology and agricultural extension for increasing rice production has been carried out in January to May 2012 in ten rice producers districts in West Java. Research conducted by survey method with a total of 120 farmer respondents. The objective of the study were to identify and implement agricultural extension technology that can increase rice production. The results of this study showed: (1) The important to increase rice production in West Java includes: (a) soil fertility, technology increased, (b) minimize in lost crops technology, (c) new varieties. (2) The technology was mostly appreciated by farmer was new high yield varieties and soil fertility improvement technology, while minimizely yield lost tehnology otherwise. It was thesefore,both tehnologies is on consider as importantce in increasing rice yield.(3) outreach activities that have an important role in increasing rice production is frequenti agricultural extension in the presence of farmers, which was low-appreciated by the farmers. So that the instructor's presence at the farm level need to be improved. The implications of this strudy are; (a) a local regulation government policy to improve soil fertility through the use of straw, and policies as well as increasing the number of agricultural extension facilities. (b) the provision of new varieties through the development of breeder seed and coaching as well as enhancing the role of West Java Rice Seed Center, and (c) minimize the loss of crop yields through the application of institutional services and application of Power Tresher. Keywords: technology, agricultural extension
PENDAHULUAN Berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi padi, seperti: pembangunan sarana irigasi, pengadaan varietas, fasilitasi sarana produksi, alat mesin pertanian, kredit modal usahatani, dan pembinaan kelembagaan usahatani telah dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kebijakan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan luas panen dan produktivitas padi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi padi. Pada tahun 2010 produksi padi Provinsi Jawa Barat mencapai 11.737.070 ton gabah kering giling (GKG), atau naik 3,66 persen dibanding tahun 2009,
Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat – Trisna Subarna | 133
kenaikan tersebut disebabkan oleh peningkatan luas panen sebesar 4,48 persen dari 1.950.203 hektar tahun 2009 menjadi 2.037.657 hektar tahun 2010, sedangkan produktivitas mengalami penurunan sebesar 0,79 persen yaitu dari 58,06 kuintal per hektar tahun 2009 menjadi 57,60 kuintal per hektar pada tahun 2010 (BPS,2011). Produksi padi pada tahun 2010 tersebut di atas tidak mencapai target yang telah ditetapkan sebesar 5,00 persen, sehingga menjadi permasalahan yang serius untuk mencapai target surplus beras yang ditetapkan pemerintah untuk Jawa Barat sebesar 2,9 juta ton pada tahun 2014. Kenaikan produktivitas seharusnya lebih tinggi dibanding dengan kenaikan luas panen, namun kenyataannya pada tahun 2010 produktivitas padi di Jawa Barta turun 0,79 persen dibanding tahun 2009. Penurunan produktivitas padi tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya penggunaan teknologi di tingkat petani, yang diakibatkan oleh terdapat beberapa pembatas diantaranya ketersediaan dan kesuburan lahan, ketersediaan dan kualitas infrastruktur uasahatani (irigasi, jalan), iklim, kondis sosial dan ekonomi petani, dan kelembagaan pendukung usahatani. Sehingga untuk meminimalkan pembatas tersebut menurut Pantjar Simatupang dan Nizwar Syafa’at, (2002) diperlukan teknologi dan penerapannya di tingkat petani. Namun demikian karena pada pelaksanaan peningkatan produksi padi yang dilakukan melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi di Jawa Barat terdiri atas beberapa komonen teknologi, maka diperlukan teknologi dan metoda penyuluhan yang sangat diperlukan oleh petani. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2012 di 10 Kabupaten sentra produksi padi Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi, dengan menggunakan metoda survey dan diskusi. Penentuan lokasi dari masing-masing kabupaten dipilih satu lokasi/kelompok tani yang telah dibina Dinas Pertanian melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Data yang diperlukan berupa data primer yang dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion – FGD), melibatkan petani, penyuluh, dan unsure pendaping serta petugas dinas pertanian Pertanian Kabupaten sampel. Data primer juga dikumpulkan dari petani sampel dari peserta SLPTT, sejumlah 10 orang per kelompok , sehingga jumlah responden sebanyak 120 orang. 1. Untuk menentukan tingkat pentingnya teknologi dilakukan dengan penilaian oleh responden terhadap kinerja teknologi terhadap produksi padi berdasarkan pengalaman, analisis
dan prediksi petani dalam skala 1 sampai dengan 5, dimana 1 adalah penilaian terendah dan 5 penilaian tertinggi, dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 1. Kriteria Tingkat Kepentingan
2.
No 1 2 3 4
Nilai CSI 4,10 – 5,00 3,10 – 4,00 2,10 – 3,00 1,10 – 2,00
5
0,00 – 1,00
Kriteria CSI Sangat Penting Penting Cukup Penting Kurang Penting Tidak Penting
Untuk menganalisis apresiasi petani terahadap teknologi dan penyuluhan dalam peningkatan produksi padi digunakan pendekatan Customer Satisfaction Index (CSI) atau tingkat kepuasan petani (IKP) yang dilakukan dengan menilai tingkat kepentingan teknologi dan kinerjanya di lapangan, analisis ini menggunakan pendekatan CSI (Aritonang, 2005 dalam Rahmat Hendayana, 2010). Langkah penerapan CSI akan dilakukan sebagai berikut: (a) Pertama, menentukan Mean Importance Score (MIS). Nilai ini diperoleh dari perhitungan rata-rata kepentingan tiap petani. MIS =
n Dalam hal ini n = jumlah petani dan Yi = nilai kepentingan variabel faktor penentu peningkatan produksi padi Y ke i. (b) Kedua, menghitung Weight Factors (WF). Bobot ini merupakan persentase nilai MIS per variabel faktor penentu peningkatan produksi padi terhadap total MIS seluruh variabel faktor penentu peningkatan produksi padi. MISi WF =
x 100%
Dalam hal ini p adalah kepentingan variabel faktor penentu peningkatan produksi padi ke p (c) Ketiga, menghitung Weight Score (WS). Bobot ini merupakan perkalian antara WF dengan rata-rata tingkat kepuasan (X) atau Means Stisfaction Score (MSS). WSi = Wfi x MSS (d) Keempat, menentukan Customer Satisfaction Indeks (CSI) atau Indeks Kepuasan Petani (IKP).
134 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 133 - 140
Tabel 3.Tingkat Kepentingan Teknologi Usahatani Padi di Jawa Barat (n=120)
x 100%
CSI = HS
Dalam hal ini, p = variabel faktor penentu peningkatan produksi padi ke p dan HS = Highest scale) atau skala maksimum yang digunakan. Pada umumnya bila nilai CSi > 50 % dikatakan bahwa petani sudah merasa puas terhadap faktor penentu peningkatan produksi padi yang dilakukan. Sebaliknya bila < 50 % petani belum puas. Nilai CSI dalam pengkajian ini mengacu pada kriteria PT Sucofindo yang sudah coba diimplementasikan Oktaviani dan Suryana (2006), sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria Nilai Customer Satisfaction Index (CSI/IKP) No Nilai CSI Kriteria CSI 1 0,81 – 1,00 Sangat puas 2 0,66 – 0,80 Puas 3 0,51 – 0,65 Cukup Puas 4 0,35 – 0,50 Kurang Puas 5 0,00 – 0,34 Tidak Puas Sumber: Ihsani (2005) dalam Hendayana (2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Teknologi dalam Peningkatan Produksi Padi Hasil analisis terhadap teknologi usahatani padi yang di terapkan pada pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Jawa Barat diperoleh delapan teknologi yang berperan penting dalam peningkatan produksi padi yaitu; (a) alat mesin pertanian, (b) cara tanam, (c) kehilangan hasil, (d) kesuburan lahan, (e) pemupukan berimbang, (f) pengaturan pola tanam, (g) pengendalian OPT, dan (h) Varietas Unggul Baru (VUB). Hasil analisis ini juga menunjukkan peranan teknologi dalam meningkatkan produksi padi di Jawa Barat berperan cukup tinggi, yang ditunjukan oleh rata-rata skor kepentingan sebesar 3,07 (katagori cukup tinggi) dari skor 5,00 yang diharapkan (Tabel 3), atau 61,40 persen upaya peningkatan produksi padi ditentukan oleh delapan teknologi tersebut di atas, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain diluar hasil analisis.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Instrumen Alat mesin pertanian Cara tanam Kehilangan hasil Peningkatan kesuburan lahan Pemupukan berimbang Pola tanam (IP) Pengendalian OPT Varietas Unggul Baru Rata-rata
Skor 2.83 2.70 3.87
Katagori Cukup Penting Cukup Penting Penting
3.43
Penting
2.55
Cukup Penting
2.53 3.03
Cukup Penting Cukup Penting
3.65
Penting
3,07
Cukup Penting
Dari delapan teknologi tersebut yang sangat berperan penting dan dibutuhkan oleh petani saat ini adalah VUB, teknologi meminimalkan kehilangan hasil dan teknologi peningkatan kesuburan lahan., sedangkan teknologi lainnya berada pada katagori cukup tinggi. Peranan Penyuluhan dalam Peningkatan Produksi Padi Penyuluhan pertanian mempunyai peran yang sangat tinggi dalam peningkatan produksi padi, terutama dalam penyebaran dan penerapan teknologi, sehingga teknologi dan penyuluhan merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Hasil analisis menunjukkan penyuluhan merupakan faktor cukup penting dalam peningkatan produksi padi dengan skor rata-rata 2,91 dari skor harapan 5,00 (Tabel 4). Tabel 4.Tingkat Kepentingan Penyuluhan dalam Peningkatan Produksi Padi Di Jawa Barat (N=120) Instrumen 1. Waktu Penyuluhan 2. Frequensi Penyuluhan 3. Tempat Penyuluhan 4. Materi sesuai kebutuhan Rata-rata
Skor 2.83 3.41 2.67 2.72 2.91
Katagori Cukup Penting Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting
Intensitas pelaksanaan tatap muka antara penyuluh dengan petani (Frequensi penyuluhan) yang dikenal dengan Sistem Latihan dan Kunjungan (LAKU) merupakan sistem kerja penyuluhan pertanian saat ini masih dibutuhkan oleh petani. Hasil analisis menunjukkan frequensi penyuluhan berada pada tingkat yang sangat diperlukan oleh petanin saat ini dengan katagori penting (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan beberapa hasil study diantaranya menurut Sultan Mawardi (2005) bahwa kegiatan penyuluhan melalui tatap muka memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan produksi pertanian. Implikasi kebijakan di bidang Penyuluhan yang perlu diterapkan adalah meningkat intensitas kunjungan petani kepada kelompok tani
Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat – Trisna Subarna | 135
binaannya secara terjadual dan teratur serta pengawasan yang intensif dari pejabat yang berwenang agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Apresiasi Petani terhadap Teknologi Dari delapan teknologi penting dalam peningkatan produksi padi di Jawa barat terdapat tiga teknologi yang diapresiasi tinggi oleh petani berupa indeks kepuasan petani (IKP) dalam katagori puas yaitu dari Varietas Unggul Baru, Peningkatan Indeks Pertanaman, dan pengendalian OPT, sedangkan teknologi penanganan kehilangan hasil diapresiasi dengan IKP kurang puas ( Tabel 5). Tabel 5. Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Teknologi Usahatani Padi di jawa Barat (n=-120) Instrumen 1. Alat mesin pertanian 2. Cara tanam 3. Kehilangan hasil 4. Peningkatan kesuburan lahan 5. Pemupukan berimbang 6. Pola tanam (IP) 7. Pengendalian OPT 8. Varietas Unggul Baru Rata-rata
Indeks Kepuasan Petani (IKP)
0.61 0.73
Katagor i IKP Cukup Puas Cukup Puas Kurang Puas Cukup Puas Cukup Puas Puas Puas
0.71
Puas
0.64
Cukup Puas
0.57 0.63 0.45 0.73 0.67
Teknologi yang diapresiasi puas oleh petani menunjukkan kinerja teknologi tersebut diyakini dapat meningkatkan produksi padi. Sedangkan teknologi yang diapresiasi kurang puas menujukkan teknologi yang diitroduksikan belum menyelesaikan maslah dalam peningkatan produksi padi. Teknologi Penanganan Kehilangan Hasil Panen Teknologi penanganan hasil panen merupakan teknologi yang penting dalam peningkatan produksi padi, namun teknologi yang diintroduksikan saat ini dinilai belum tepat sehingga diapresiasi rendah oleh petani. Penggunaan sabit bergerigi, dan alas terpal, yang diintroduksikan kepada petani belum mengoptimalkan upaya mengurangi kehilangan hasil. Masih tingginya tingkat kehilangan hasil dalam penggunaan teknologi sabit bergerigi disebabkan bentuknya yang kurang lengkung, sedangkan terpal ukuran 2X3 masih menyebabkan tingginya gabah tercecer dalam proses perontokan. Kedua teknologi ini perlu dilakukan rekayasa sesuai dengan kehendak petani. Penggunaan power tresher sebagai teknologi dintroduksikan ke petani saat ini belum dapat menyelesaikan masalah dalam kehilangan hasil, yang
disebabkan oleh belum siapnya kelembagaan pemanen. Tidak terkendalinya pemanen di sentra produksi padi menyebabkan power treser yang disediakan pemerintah tidak dipakai oleh petani. Sehingga untuk penggunaan power treser diperlukan kelembagaan pemanen yang sesuai dengan kondisi setempat. Pengembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok, usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) dalam mengembangkan kelompok jasa perontok, diharapkan akan mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel alsintan yang membuka lapangan kerja baru di pedesaan (Setyono, 2001). Varietas Unggul Baru (VUB). Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan teknologi yang sangat mempengaruhi produksi padi, dan dipreseiasi tinggi oleh petani dengan tingkat Indeks Kepuasan Petani (IKP) berada pada katagori puas. Hasil analisis menunjukkan bahwa VUB berperan penting dalam upaya peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (2007), Hapsah (2005) dan Imran et al. (2003), bahwa varietas merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian termasuk padi. Menurut Baehaki (2001) bahwa varietas sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% dalam peningkatan produksi padi. Pola tanam (IP) Peningkatan produksi padi masih dapat diupayakan, melalui, peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas. Di beberapa daerah di Jawa Barat, sebagian petani mengusahakan padi lima kali dalam 2 tahun (IP 250) dan di lokasi tertentu bahkan tiga kali per tahun (IP 300) karena air tersedia sepanjang musim. Program intensifikasi padi selama ini terutama diarahkan pada lahan irigasi dengan suplai air yang terjamin. Meskipun tidak dianjurkan, lahan sawah dengan IP padi 200 dapat ditingkatkan menjadi IP padi 300 apabila air hujan atau air irigasi mencukupi (Hasanuddin, 2005). Introduksi teknologi pola tanam di Jawa barat diapresiasi baik oleh petani dengan IKP pada katagori cukup puas. Kondisi ini menunjukkan peningkatan produksi padi di jawa barat dapat dilakukan melalui peningkatan IP dari rata-rata untuk mendongkrak IP padi antara 150 pada lahan irigasi pedesaan, dan irigasi sederhana menjadi IP 250 sampai 300. artinya, akan ada tambahan panen 1-3 kali di lahan sawah. Pengendalian OPT Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (IPM) (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan tersebut, karena aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Salah satu
136 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 133 - 140
komponen pengendalian hama terpadu (PHT) ini yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan adalah pembangunan pertanian secara hayati karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan (Mulyaman, 2008). Pengendalian OPT secara biologi dengan penggunaan musuh alami dianggap mempunyai prospek yang bagus, karena disamping tersedia di alam, juga ramah terhadap lingkungan. Introduksi pengendalian OPT padi melalui IPM mendapat respon yang baik dari petani yang ditunjukkan oleh IKP dengan katagori puas. Artinya teknologi yang diintroduksikan dapat meningkatkan produksi padi. Hal ini sesuai dengan pendapat Saptana at al., (2010) bahwa petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian menyadari bahwa dengan menggunakan pestisida sintetis untuk pengendalian dapat mengakibatkan eksploitasi hama. Disamping dapat menekan populasi OPT (walaupun dalam jangka panjang), petani meyakini modal yang telah dikeluarkan untuk mengendalikan OPT secara kimiawi cukup besar.. Teknologi Kesuburan Lahan Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Tingkat kesuburan lahan sawah ditentukan oleh kadar hara dalam tanah atau status hara tanah. Pemakaian pupuk anorganik terus-menerus dan takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi. Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil. Pemakaian pupuk anorganik terus-menerus dan takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi (Swastika, at al, 2007). Kenyataannya dilapangan kualitas lahan sawah di Jawa Barat telah banyak terdegregasi, sehingga kesuburan lahannya berkurang, dan memerlukan pupuk an-organik dengan dosis tinggi. Aplikasi teknologi dengan pemanfaatan jerami dan pemupukan berimbang untuk kesuburan lahan telah diapresiasi petani dengan IKP cukup puas, artinya teknologi peningkatan kesuburan lahan tersebut sudah mebawa dampak peningkatan kesuburan lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Karama et al. (1990) dalam Suhartatik dan Sismiyati, 2000) bahwa satu upaya yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kondisi kesuburan lahan sawah. Apresiasi Petani terhadap Pelaksanaan Penyuluhan Kegiatan penyuluhan di lapangan secara keseluruhabn di apresiasi petani dengan IKP cukup puas, kegiatan frequensi penyuluhan diapresiasi kurang puas oleh petani (Tabel 6). IKP terhadap frequensi penyuluhan yang kurang puas menunjukkan rendahnya kunjungan penyuluh ke petani, atau setidaknya terjadi perubahan frequensi
kunjungan yang aslnya sering menjadi sangat jarang. Kondisi ini menunjukkan masih diperlukannya penyuluh oleh petani. Tabel 6. Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Pelaksanaan Penyuluhan di Jawa Barat (n=120) Instrumen 1. 2. 3. 4.
5.
Waktu Penyuluhan Frequensi Penyuluhan Tempat Penyuluhan Materi sesuai kebutuhan Rata-rata
Indeks Kepuasan Petani (IKP) 0.47 0.49 0.54 0.55 0.51
Katagori IKP Cukup Puas Kurang Puas Cukup Puas Cukup Puas Cukup Puas
Rendahnya IKP prequensi kunjungan penyuluh ke petani, disebabkan oleh; (a) berkurangnya jumlah penyuluh, (b) kurangnya fasilitas bagi penyuluh, dan (c) kurangnya informasi teknologi untuk penyuluhan pertanian. Keadaan tersebut menurut Rajaguguk (2011) terjadinya perubahan kelembagaan penyuluhan sejak penerapan otonomi daerah pada tahun 2000, system penyuluhan pertanian mengalami perubahan dari institusi pusat menjadi otonom, sehingga memberikan dampak terhadap kinerja penyuluhan pertanian secara mendasar dan bervariasi antar daerah. Disamping itu menurut Sulton Mawardi (2005), kegiatan penyuluhan pertanian mengalami beberapa persoalan, antara lain: 1. Kelembagaan penyuluhan pertanian sering berubah-ubah, sehingga kegiatannya sering mengalami masa transisi. Kondisi ini menyebabkan penyuluhan pertanian di lapangan sering terkatung-katung dan kurang berfungsi. Semangat kerja para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang status kepegawaiannya tidak pasti, juga menurun. 2. Dibandingkan dengan kebutuhan, jumlah PPL yang ada kurang mencukupi, demikian pula kualitas dan kapasitasnya. 3. Ketersediaan dan dukungan informasi pertanian (teknologi, harga pasar, kesempatan berusaha tani, dsb.) yang ada di BPP sangat terbatas, atau bahkan tidak tersedia. SIMPULAN 1.
2.
Teknologi yang mempunyai peranan penting dan diperlukan dalam upaya peningkatan produksi padi di Jawa Barat saat ini adalah: (a) teknologi peningkatan kesuburan lahan, (b) teknologi meminimalkan kehilangan hasil panen, (c) varietas unggul baru. Teknologi yang penting dan sangat diapresiasi kinerjanya oleh petani adalah VUB, sedangkan teknologi kehilangan hasil panen kinerjanya diapresiasi kurang, sehingga kedua teknologi
Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat – Trisna Subarna | 137
3.
4.
5.
tersebut merupakan faktor yang sangat berperan dan diperlukan dalam peningkatan produksi padi. Teknologi peningkatan kesuburan lahan merupakan teknologi yang dinilai penting dan diperlukan saat ini dalam meningkatkan produksi padi yang kinerjanya cukup diapresiasi oleh petani, sehingga kinerja dari teknologi ini perlu ditingkatkan. Komponen penyuluhan yang mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan produksi padi adalah prequensi kehadiran penyuluh, dan saat ini kinerjanya diapresiasi rendah oleh petani Dalam upaya peningkatan produksi padi di Jawa Barat diperlukan: (a) peningkatan teknologi kesuburan lahan dengan pemanfaatan jerami hasil panen melalui Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati/Walikota, (b) penyediaan Vareietas Unggul Baru melalui pengembangan, pembinaan penangkar benih di tingkat kelompok tani dengan meningkatkan peranan Balai Benih Padi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan (3) peningkatan penerapan teknologi dan kelembagaan untuk meminimalkan hasil panen melalui penerapan kelembagaan jasa panen dan penerapan Power Tresher, (4) meningkatkan preguensi interaksi penyuluh pertanian dengan petani atau kelompok tani melalui penambahan jumlah penyuluh dan penambahan biaya operasional penyuluh pertanian lapangan baik dari dana Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2007. PTT Padi Sawah. Pedoman Umum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Baehaqi, W.A. 2009 Analisis Kualitas Pelayanan Jasa Terhadap Kepuasan Nasabah Dengan Metode Importance Performance Analysis. http://eprints.undip.ac.id/2868/ BPS, 2011. Jawa Barat dalam Angka, Biro Pusat Statistik. Hapsah, M.D. 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hal. 55-70. Dalam B. Suprihatno et al. (Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Hasanuddin, A. 2005. Peranan proses sosialisasi terhadap adopsi varietas unggul padi tipe baru dan pengelolaannya.Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB). Sukamandi 2005. Hapsah, M.D. 2005. Potensi, Peluang, dan
Strategi Pencapaian Swasembada Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hal. 55-70. Dalam B. Suprihatno et al. (Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Hendayana Rahmat, 2010. Pengkajian Strategi Pendampingan Sl-Ptt Padi Yang Efektif Mendukung Swasembada Beras Berkelanjutan. Proposal : Kegiatan Kompetitif. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Imran, A., S. Sama, Suriany, & D. Baco. 2003. Uji Multilokasi Beberapa Galur dan Kultivar Padi Superior Baru di Daerah Sidrap, Wajo dan Soppeng di Sulawesi Selatan. Jurnal Agrivigor 3 Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi adi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Mulyaman, 2008. Sinergisme sistem perlindungan tanaman, tantangan dan peluang penanganan opt untuk akses pasar. http://smulyaman. blogspot.com/ 2010/01/ jadwal-hari-ini-12januari-2010.html. 3 Juni 2012. Pantjar Simatupang dan Nizwar Syafa’at, 2002 Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Disampaikan Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002 Rajaguguk, Johny H., 2011. Koordinasi dan Pemberdayaan Penyuluhan Pertanian. BPTP Bengkulu Saptana , T. Panaji, H. Tarigan dan A. Setianto. 2010. Analisis Kelembagaan pengendalian hama terpadu mendukung agribisnis kopi rakyat dalam rangka otonomi daerah Pusat Penelitian Analisis Kebijakan Pertanian, Bogor. Setyono, A., Sutrisno, Sigit Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Suhartatik, E. dan R. Sismiyati. 2000. Pemanfaatan pupuk organik dan agent hayati pada padi sawah. Sulton Mawardi Sulton Mawardi, 2004. Desentralisasi dan Pelayanan Penyuluhan Pertanian: Acuan, Transfer dan Pembangunan Kapasitas dalam Hubungan Antartingkat Pemerintahan di Indonesia." Laporan penelitian. Jakarta: SMERU. Swastika, D.K.S., J. Wargiono, Soejitno dan A. Hasanuddin. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesian. Bogor. PSEKP.
138 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 133 - 140
Lampiran1. Tabel 7. Hasil Analisis Tingkat Kepentingan dan Indeks Kepuasan Petani di Jawa Barat (n=120) Instrumen
Skor Xi
Katagori Xi
MIS S
WF
Yi
0.0 3 0.0 3 0.0 3 0.0 3
1.4 2 1.2 5 1.7 5 1.7 5
0.0 3 0.0 3 0.0 4 0.0 3 0.0 2 0.0 2 0.0 3 0.0 4
1.7 5 2.0 0 1.0 0 1.8 3 2.2 5 2.0 8 2.0 8 1.6 7
MS S
WS I
CSI
Katagori CSI
0.0 2 0.0 2 0.0 3 0.0 3
0.4 7 0.4 9 0.5 4 0.5 5
Cukup Puas Kurang Puas Cukup Puas Cukup Puas
0.0 3 0.0 3 0.0 2 0.0 4 0.0 3 0.0 3 0.0 4 0.0 4
0.5 7 0.6 3 0.4 5 0.7 3 0.6 7 0.6 1 0.7 3 0.7 1
Cukup Puas Cukup Puas Kurang Puas Cukup Puas Cukup Puas
Penyuluhan 9.
Waktu Penyuluhan
10. Frequensi Penyuluhan 11. Tempat Penyuluhan 12. Materi sesuai kebutuhan Teknologi 23. Alat mesin pertanian 24. Cara tanam 25. Kehilangan hasil 26. Peningkatan kesuburan lahan 27. Pemupukan berimbang 28. Pola tanam (IP) 29. Pengendalian OPT
2.83 3.41 2.67 2.72
2.83 2.70
Cukup Tinggi Cukup Tinggi Cukup Tinggi Cukup Tinggi Cukup Tinggi Cukup Tinggi
0.02 0.03 0.02 0.02
0.02 0.02
3.87
Tinggi
0.03
3.43
Tinggi
0.03
2.55 2.53 3.03
Cukup Tinggi Cukup Tinggi Cukup Tinggi
0.02 0.02 0.03
0.84 0.74 1.04 1.04
1.04 1.19 0.60 1.09 1.34 1.24 1.24
3.65 Tinggi 0.03 0.99 30. Varietas Unggul Baru Keterangan: Xi= nilai kepentingan variabel faktor penentu peningkatan produksi padi Y ke i. MISS= Mean Importance Score WF =Weight Factors Yi= nilai kepuasan variabel faktor penentu peningkatan produksi padi Y ke i. MSS= Means Stisfaction Score WSI= Weight Score CSI= Customer Satisfaction Indeks
Puas Puas Puas
Apresiasi Petani terhadap Teknologi dan Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat – Trisna Subarna | 139
140 | Jurnal Bina Praja | Volume 5 Nomor 2 Edisi Juni 2013: 133 - 140
Biodata Penulis Prabawa Eka Soesanta lahir di Salatiga, 6 Juni 1963. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 jurusanSarjana Administrasi NegaraFakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Timor-timor-Dili (Untim-, 1998). Selanjutnya, memperoleh gelar Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) pada Universitas Gadjah Mada (UGM, 2000). Selanjutnya, memperoleh gelar Doktoral Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Institute Pertanian Bogor (ITB, 2010). Pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Program Sekretariat PNPM Mandiri Perdesaan, menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PNPM Mandiri Perdesaan, pernah menjabat kepala bagian perencanaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) tahun 2007 s.d. 2012. Sejak Mei 2012 berkaryasebagai Kepala Bagian Perencaanan, Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia di Jakarta. Raodah Lahir di Bone pada tanggal 14 Oktober 1965. Memperoleh gelar sarjana ekonomi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar tahun 2001. Gelar Magister Manajemen bidang Sumber Daya Manusia di Universitas Muhammadiyah Makassar tahun 2010. Jabatan fungsional saat ini adalah peneliti muda pada Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar. Hasil Penelitian yang telah diterbitkan antara lain: Pasar Tradisional Limbung Bunga rampai 2009), Aktivitas Perekonomian Nelayan Bugis (Buku 2010), Budaya Spiritual Orang Makassar ( buku 2012) Tradisi Appasili pada Masyarakat Makassar (jurnal 2008), Makam Keramat (studi pada makam-makam keramat di Kabupaten Gowa (jurnal 2011), Balla Lompoa di Gowa (Kajian Arsitektur Tradisional Makassar) Jurnal 2012, Sistem pengobatan tradisional tentang pemanfaatan tanaman obat pada masyarakat Tolaki ( Bunga Rampai 2013) Bagas Haryotejo Bagas Haryotejo, lahir di DKI. Jakarta, pada tanggal 9 April 1982. Memiliki pendidikan terakhir S-2 Bidang Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Universitas Indonesia. Tahun 2006 sampai dengan saat ini bekerja sebagai Peneliti merangkap Kepala Sub Bidang Lembaga Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Terlibat di beberapa penelitian di Kementerian Perdagangan dan Penelitian antar lembaga antara lain dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Riset dan Teknologi. Pengalaman menulis di Buletin Ilmiah Perdagangan, Kementerian Perdagangan dan Jurnal Standardisasi, BSN (Badan Standardisasi Nasional). Iin Surminah Lahir di Jakarta, pada tanggal 7 Juli 1952. Mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Pendidikan terakhir Magister Manajemen dari Universitas Budi Luhur, Jakarta. Bekerja di LIPI sejak tahun 1978. Sampai saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PAPPIPTEK-LIPI) di Bidang Sistem Manajemen iptek. Penulis pernah menjadi Pimpinan Proyek Penelitian Kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kepala Sub Bagian Keuangan pada Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI. Momon Lahir di Padang pada 29 Januari 1978. Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Terapan DIV Transportasi Darat di Sekolah Tinggi Transportasi Darat, Bekasi pada 2004. Pada 2010 menyelesaikan program Master of Science Jurusan Sistem Teknis Transportasi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada 2010. Saat ini bekerja Litbang Bappeda Provinsi Sumatera Barat sebagai Peneliti Pertana. Imam Radianto Anwar Setia Putra Lahir di Sei Geringging, 11 Februari 1983. Pendidikan terakhir Magister Manajemen pada Universitas Negeri Padang (UNP) pada tahun 2007. Sejak tahun 2008 mengikuti kegiatan penelitian pada BPP kemendagri dan pada tahun 2011 menjadi peneliti bidang kebijakan publik pada Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Kesatuan Bangsa Politik Dan Otonomi Daerah. Trisna Subarna Lahir di Sumedang tanggal 12 November 1953. Pendidikan terakhir S2 Magister Manajemen di Universitas Winaya Mukti, Bandung. Peneliti madya di Bappeda Provinsi Jawa Barat. Menjadi peneliti sejak tahun 1990 sampai dengan sekarang.
Pedoman Penulisan 1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama; (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua rata tepi kiri; (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri. • Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: 1
Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase (separated with ;) Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa (dipisahkan dengan ;) PENDAHULUAN (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab) METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab …
SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA • Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) 1. Mondok di daerah tujuan 2. Menetap di daerah tujuan 3. Sumber: Ida Bagoes, 2000
Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh
Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: • Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... • Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... • Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... • Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) • Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol. 4. Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ c. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email
[email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail:
[email protected]
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012