VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN : 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JURNAL BINA PRAJA |
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tulus T. H. Tambunan
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah Herie Saksono
Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi Yosep Ginting dan Sorni Paskah Daeli
Vol. 4 No. 2, Juni 2012: 73 - 152
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh Gunawan
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur Irtanto dan Hari Wahyudi
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) Dedeh Haryati
Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia Kristian Widya Wicaksono
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012
J. Bina Praja
Vol. 4
No. 2
Hal. 73 - 152
Jakarta, Juni 2012
TERAKREDITASI B NOMOR: 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi Pelindung: Pembina:
Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Penanggung Jawab: Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Pemimpin Redaksi: Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Anggota: Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr.Elvin Elyas (Kebijakan Publik, Kemendagri) Dr. Abdul Halik (Kebijakan Publik, Kemendagri) Mitra Bestari: Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. (Hukum, Kemendagri) Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. (Administrasi Publik, IPDN) Dr. Syarif Hidayat (Otonomi Daerah, LIPI) Dr. Alberto D. Hanani (Ekonomi dan Keuangan) Bashori Imron, M.Si (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI) Pemimpin Redaksi Pelaksana: Ir. Untoro Sardjito, MM. Anggota: Yudi Hermawan, SE. Moh. Ilham A. Hamudy, M.Soc.Sc. Imam Radianto Anwar, MM. Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Syailendra Prahaswara Administrasi: Dra. Yuniar Prastuti, MA.; Dra. Nina Indah Harlina; Halasan Sitorus, SH.; Emilia, SE.; Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Dra. Heriani Husainy; Dida Suhada Iskandar, S.IP.; Bagyo Eko Cahyono. Keuangan: Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Sirkulasi dan Distribusi: Drs. Yefri Roza; Rasno; Hazelin Anggia; Pasco Mawando. Artistik dan Multimedia: Tya Arnesta, Meilya Rosi.
Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail:
[email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id
Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Pengantar Redaksi
Pembangunan Inklusif Berbasis Kebijakan yang Inovatif
M
enjelang berakhirnya Semester I Tahun 2012 ini, Redaksi Jurnal Bina Praja (JBP) Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri mengangkat tema “Pembangunan Inklusif Berbasis Kebijakan yang Inovatif”. Sejumlah karya tulis ilmiah (KTI) yang masuk mengindikasikan perlunya inovasi kebijakan untuk mendukung percepatan terwujudnya “Pembangunan Inklusif”. Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan inklusif semakin menampakkan kinerjanya. Kuncinya terletak pada kebijakan yang inovatif, sehingga administrasi publik mau tidak mau harus ditata kembali. Pembangunan inklusif diyakini mampu mereduksi kemiskinan, karenanya redaksi menghadirkan artikel yang mengangkat peran usaha mikro dan kecil dalam pengentasan kemiskinan di daerah. Pembangunan inklusif dengan dukungan kebijakan yang inovatif akan memotivasi masyarakat untuk mengekplorasi talenta yang dimilikinya dan berpartisipasi dalam peningkatan daya saing daerah. Dari sinilah lahir konsepsi ekonomi kreatif sebagai talenta baru yang memanfaatkan potensi daerah dan berdasarkan kearifan lokal. Necessary but not sufficient, konsepsi ini mengharuskan setiap pemerintah daerah mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia aparaturnya, agar pelayanan publik terlaksana dengan mudah, lancar, dan optimal. Selain itu, penciptaan iklim kondusif menjadi suatu keniscayaan, karenanya eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja atau yang lebih dikenal dengan SatPol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menjadi sangat strategis. Kinerja mereka merefleksikan wajah daerah dan kondisi implementasi peraturan perundang-undangan di wilayahnya. Kemajuan sosial dan pembangunan inklusif menghendaki penyelenggaraan urusan pemerintahan dan agenda pembangunan daerah yang merata dan berkelanjutan. Pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama daerah. Menutup edisi kali ini, disajikan artikel yang membahas pentingnya peran Panwaslu dalam Pemilukada sebagai proses rekrutmen pemimpin daerah. Pemimpin yang berintegritas menjadi tolok ukur keberhasilan kebijakan inovatif yang akan memandu agenda pembangunan di daerah. Pada akhirnya, Redaksi mengapresiasi setiap naskah dan kontribusi pemikiran yang digulirkan oleh peneliti/perekayasa maupun para pemangku kepentingan lainnya. Penting bagi kita untuk menjaga komitmen kelitbangan yang telah dibangun demi percepatan kemajuan sosial dan pencapaian kesejahteraan bangsa tercinta. Selamat berkarya, salam sukses luar biasa, dan bahagia selalu. Salam Redaksi
i
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi
i ii
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tulus T. H. Tambunan
73 - 92
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah Herie Saksono
93 - 104
Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi Yosep Ginting dan Sorni Paskah Daeli
105 - 116
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh Gunawan
117 - 126
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur Irtanto dan Hari Wahyudi
127 - 134
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) Dedeh Haryati
135 - 146
Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia Kristian Widya Wicaksono
147 - 152
ii
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya Tulus T.H.Tambunan Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 103 - 122
ekonomi kreatif dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah dan bahkan nasional. Kata Kunci: ekonomi kreatif, talenta baru, dan daya saing daerah. Yosep Ginting dan Sorni Paskah Daeli
Tujuan utama dari studi ini adalah mengeksplorasi peran usaha mikro dan kecil (UMK) dalam pengentasan kemiskinan di daerah. Lebih spesifik lagi, studi ini bermaksud menjawab dua pertanyaan penelitian berikut ini. Pertama, apakah keberadaan UMK bisa mengurangi kemiskinan di daerah? Kedua, apakah derajat pentingnya UMK bagi pengentasan kemiskinan bervariasi menurut daerah dan apa kemungkinan faktor-faktor penentunya? Penelitian ini didasarkan pada analisa data sekunder dengan memakai data kemiskinan dan UMK di industri manufaktur pada tingkat provinsi. Pentingnya keberadaan UMK diukur secara tidak langsung dengan lima indikator: jumlah unit usaha, jumlah pekerja yang dibayar, produktivitas, pangsa output, dan nilai ekspor. Hasil penelitian ini memberi kesan bahwa UMK memang penting bagi pengurangan kemiskinan di daerah (provinsi). Namun, perannya itu bervariasi menurut provinsi yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan dalam akses UMK ke input-input penting seperti pendidikan, bantuan teknis, bahan baku dan permodalan. Kata Kunci: UMK, kemiskinan, produktivitas, pangsa output. Herie Saksono
Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 135 - 146 Kajian ini dilakukan untuk memotret pengembangan kapasitas sumberdaya manusia aparatur di Kabupaten Samosir. Metode pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan penggunaan data primer dan sekunder. Hasil kajian menunjukkan kualitas sumberdaya manusia masih rendah, banyak jabatan struktural yang belum terisi, rekrutmen belum didasarkan pada analisis jabatan, evaluasi jabatan belum dilakukan, penilaian kinerja individu berdasarkan kompetensi belum dilakukan, serta sebagian besar pegawai belum mendapatkan diklat sesuai dengan jabatannya. Disarankan untuk melakukan penataan sistem rekrutmen; analisis jabatan; evaluasi jabatan; penyusunan standar kompetensi jabatan; penilaian individu berdasarkan kompetensi; pengembangan database pegawai; dan perbaikan kurikulum pendidikan dan pelatihan.
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 123 - 134
Kata Kunci: sumberdaya manusia, pengembangan, kapasitas. Gunawan
Studi ini bertujuan untuk lebih memahami keberadaan ekonomi kreatif sebagai talenta baru yang diprediksi mampu memicu daya saing daerah. Hingga saat ini, pengangguran, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi masih menjadi persoalan klasik yang memerlukan solusi. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan metode studi literatur. Hasil analisis menyatakan bahwa ekonomi kreatif merupakan ide/gagasan yang diharapkan memberi nilai tambah ekonomi. Ekonomi kreatif merupakan alternatif solusi permasalahan perekonomian. Namun, dalam penyelenggaraannya seringkali menemui kendala. Direkomendasikan kepada Pemerintah maupun pemerintahan daerah agar segera membangun komitmen, membenahi regulasi, dan mengaktualisasikan ekonomi kreatif, sehingga keberadaan
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 147 - 156 Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. Lokasi kajian adalah Provinsi Aceh dengan metode kajian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pelaksanaan PPNS. Kajian menyimpulkan bahwa kelembagaan belum masuk dalam jabatan struktural, pembentukan sekretariat
belum dilaksanakan, dan kualitas sumber daya manusianya belum optimal. Disarankan agar segera melakukan perubahan sistem jabatan struktural yang melekat pada PPNS diubah menjadi Jabatan Fungsional PPNS, membentuk Sekretariat PPNS pada Kantor Satpol PP, dan melakukan diklat bagi para pegawai. Kata Kunci: Satpol PP, PPNS, ketentraman dan ketertiban. Irtanto dan Hari Wahyudi Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 157 - 164 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi produk kebijakan teknis kerjasama untuk implementasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabay, serta mengidentifikasi implementasi kerjasama dan kendala yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama pengelolaan mata air Umbulan belum berjalan dengan baik, yang disebabkan oleh belum terbentuknya lembaga kerjasama yang melibatkan kalangan independen dan professional untuk bekerja secara aktif dan intensif; belum adanya payung politik yang memadai; dan kurang pelibatan stakeholders. Kata Kunci: kerjasama antardaerah, implementasi kebijakan, mata air. Dedeh Haryati Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 165 - 176 Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan tugas dan wewenang Panwaslu dalam pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Jembrana. Metode yang digunakan deskriptif kualitas. Hasil kajian menunjukkan bahwa peran Panwaslu dalam pelaksanaan Pemilukada belum optimal karena belum diberi peran yang luas, masih merupakan lembaga ad hoc, dan pola rekrutmen yang belum baik. Disarankan, agar memperluas kewenangan Panwaslu, pembentukannya bukan sebagai lembaga ad hoc; dan pola rekrutmennya diperketat dengan persyaratan yang memadai. Kata Kunci: Panwaslu, peran, penguatan. Kristian Widya Wicaksono Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, Juni 2012, Hal. 177 - 182 Hingga saat ini, studi administrasi publik atau yang masih akrab dengan sebutan administrasi negara di Indonesia masih belum ditekuni secara serius di negara ini. Padahal salah satu alternatif jalan keluar dari berbagai macam keterpurukan yang tengah dihadapi bangsa ini ditawarkan melalui pembenahan yang menyeluruh pada konteks administrasi publik. Partai Politik sudah banyak
berpartisipasi dalam kancah pengambilan keputusan. Kita juga dapat melihat bagaimana kualifikasi orang yang duduk di kursi kementrian adalah orang-orang yang memiliki reputasi yang baik. Namun pertanyaannya, mengapa perubahan yang diharapkan tidak kunjung berwujud di negara kita? Mengapa varian masalah publik justru semakin berkembang dan bertambah kompleks? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya segera disadari oleh kita bersama bahwa tanpa reformasi administrasi publik akan sangat sulit mewujudkan perubahan kondisi masyarakat ke arah yang lebih paripurna. Sebaik-baiknya desain kebijakan tanpa didukung aktor implementator yang kompeten dan sistem administrasi publik yang tertata secara sistematik maka hasilnya hanyalah sebatas idealisme di atas kertas. Kata Kunci: administrasi, publik, birokrasi, kebijakan publik & implementasi
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 2 JUNI 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge Tulus T.H.Tambunan
Yosep Ginting dan Sorni Paskah Daeli
The Role Of Micro and Small Enterprise in Regional Poverty Allevation
Apparatus Capacity Building Of Local Government in The Era Of Autonomy (Case Study: Local Government of Samosir Regency)
Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 103 - 122 The main objective of this study is to explore the role of micro and small enterprises (MSEs) in regional poverty alleviation. More specific, this study aims to answer the following two research questions. First, can the presence of MSEs reduce regional poverty? Second, does the degree of the importance of MSEs for poverty reduction vary by region and what are the likely determinants?This research is based on secondary data analysis by using data on poverty and MSEs in the manufacturing industry at the provincial level. The importance of MSEs is measured indirectly with five indicators: total units, total paid workers, productivity, output share, value of export. Finding of this research suggests that MSEs are indeed for poverty regional reduction (province). However, their role varies by province which is determined by differences in MSEs' access to crucial inputs such as education, technical assistance, raw materials and capital.
Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 135 - 146 This study was conducted to capture the human resource capacity development of Samosir regency officials. The method used in this study is descriptive qualitative method, using the primary and secondary data. The results of the study demonstrates that the quality of human resources is still low, there are many positions in the organization structure are unfilled, the employee recruitment system is not based on job analysis, job position evaluation system have not been implemented, individual performance evaluation is not done according to competency based assessment, and employees have not received training according to their job position. It is recommended to perform system setup on recruitment; job analysis; Job evaluation; setting on job competency standard; competency based individual assessment; employee database development, and improvement on education and training curricula.
Keywords: MSE, poverty, productivity, output share. Keywords: human resource, development, capacity. Herie Saksono Gunawan Creative Economy: New Talents For Regional Competitiveness Triggers Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 123 - 134 This study aims to understanding the presence of creative economy as a new talent that predicted as a trigger for regional competitiveness. Until now, unemployment, poverty, and economic growth became a classic problem that requires solutions. This study use descriptivequalitative approach with literature study method. The analysis results stated that creative economy is an idea that hopefully adding the economic value. Creative economy is an alternative solution for the economic problems. However, the implementation is constantly facing obstacles. It is highly recommended that central and local government must immediately build a commitment to improve regulations and to actualized creative economy so that the presence of creative economy can stimulate economic growth and enhance regional and even national competitiveness. Keywords: creative economy, new talent, and regional competitiveness
Peace and Public Order Implementation by Satpol Pp and Civil Servant Investigator in Aceh Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 147 - 156 This study aims to identify the duties and functions of the Satpol PP in the implementation of peace and public order. What is the study of Aceh by the method of qualitative study used a descriptive approach, in order to obtain a real picture of the implementation of the PPNS. The study concluded that the institution has not been included in the structural position, the formation of the secretariat has not been implemented, and the quality of human resources is not optimal. It is recommended to immediately make changes to the system are attached to the structural position PPNS converted into functional investigators, established investigators in the office of the secretariat of the Satpol PP, and conduct training for employees. Keywords: Satpol PP, PPNS, peace and order.
Irtanto dan Hari Wahyudi Interregional Partnership in The Management Of Umbulan Spring Winongan Pasuruan East Java Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 157 - 164 The purpose of this study was to identify the products of technical cooperation for the implementation of the policy of the Government of East Java, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik and Surabaya,and to identify the implementation of cooperation and constraints. The approach used is descriptive qualitative. The results showed that the joint management of the springs Umbulan not run well, which is caused by the institutions have been formed involving cooperation among independent and professional to work actively and intensively; absence of adequate political umbrella, and lack of involvement of stakeholders. K e y w o rd s : i n t e r re g i o n a l c o o p e r a t i o n , p o l i c y implementation, springs. Dedeh Haryati Strengthening The Role Of Election Supervisory Committee in Head Region Electoral (Case Study: Head Region Electoral Of Jembrana) Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 165 - 176 This study aims to identify the tasks and authority in the implementation of the Panwaslu Jembrana District. The method used descriptive quality. The study results showed that the role of the Panwaslu in the implementation of the Pemilukada is not optimal because it has not been given a broad role, is still an ad hoc institution, and the recruitment pattern that has not been good. It is recommended, in order to expand the authority of the Panwaslu, formation rather than as an ad hoc institution, and recruitment patterns tightened the requirements adequately. Keywords: Panwaslu, roles, strengthening. Kristian Widya Wicaksono Reorganized Public Administration in Indonesia Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.2, June 2012, Page 177 - 182 Until today, the study of public administration in Indonesia still not elaborated seriously. Besides alternative solution of the complex problem in Indonesia is the holistic reformation of public administration. Political party is already participated in the arenas of decision making. We also recognize that several people who become the head of the ministry had a good reputation. But the question is, why the expected change in Indonesia still not happened? Why the variations of public problem become increased and more complex? These questions should be realized by us that without public administration reform it will be hard to actualize the change of our society to the right direction. If good design of policy not supported by competent administrator and systematic management of public administration system so the result is only idealism on paper. Keywords: administration, public, bureaucracy, public
policy and impementation
PERAN USAHA MIKRO DAN KECIL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI DAERAH THE ROLE OF MICRO AND SMALL ENTERPRISE IN REGIONAL POVERTY ALLEVATION Tulus T.H.Tambunan Center for Industry, SME and Business Competition Studies Universitas Trisakti, Gedung S Lantai 5 No. 22, Kampus A, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol Jakarta 11440 Indonesia; e-mail:
[email protected] Diterima: 15 Mei 2012, Direvisi: 27 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012
Abstrak Tujuan utama dari studi ini adalah mengeksplorasi peran usaha mikro dan kecil (UMK) dalam pengentasan kemiskinan di daerah. Lebih spesifik lagi, studi ini bermaksud menjawab dua pertanyaan penelitian berikut ini. Pertama, apakah keberadaan UMK bisa mengurangi kemiskinan di daerah? Kedua, apakah derajat pentingnya UMK bagi pengentasan kemiskinan bervariasi menurut daerah dan apa kemungkinan faktor-faktor penentunya? Penelitian ini didasarkan pada analisa data sekunder dengan memakai data kemiskinan dan UMK di industri manufaktur pada tingkat provinsi. Pentingnya keberadaan UMK diukur secara tidak langsung dengan lima indikator: jumlah unit usaha, jumlah pekerja yang dibayar, produktivitas, pangsa output, dan nilai ekspor. Hasil penelitian ini memberi kesan bahwa UMK memang penting bagi pengurangan kemiskinan di daerah (provinsi). Namun, perannya itu bervariasi menurut provinsi yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan dalam akses UMK ke inputinput penting seperti pendidikan, bantuan teknis, bahan baku dan permodalan. Kata Kunci: UMK, kemiskinan, produktivitas, pangsa output. Abstract The main objective of this study is to explore the role of micro and small enterprises (MSEs) in regional poverty alleviation. More specific, this study aims to answer the following two research questions. First, can the presence of MSEs reduce regional poverty? Second, does the degree of the importance of MSEs for poverty reduction vary by region and what are the likely determinants?This research is based on secondary data analysis by using data on poverty and MSEs in the manufacturing industry at the provincial level. The importance of MSEs is measured indirectly with five indicators: total units, total paid workers, productivity, output share, value of export. Finding of this research suggests that MSEs are indeed for poverty regional reduction (province). However, their role varies by province which is determined by differences in MSEs’ access to crucial inputs such as education, technical assistance, raw materials and capital. Keywords: MSE, poverty, productivity, output share.
PENDAHULUAN Seperti di belahan dunia lainnya, usaha mikro dan kecil (UMK) juga memainkan peran yang sangat penting di dalam perekonomian di kawasan Asia, terutama sebagai sumber utama kesempatan kerja dan salah satu sumber penting pertumbuhan ekonomi. Dengan besar sumbangan terhadap penciptaan kesempatan kerja, dengan sendirinya kelompok usaha tersebut juga dianggap sangat penting terhadap pengurangan kemiskinan. Perannya ini terkait dengan sejumlah karakteristik utama dari kelompok usaha tersebut, yakni antara lain: (1) Jumlahnya sangat banyak, dan berbeda dengan usaha menengah dan besar (UMB), UMK tersebar di seluruh pelosok perdesaan, termasuk di wilayah-wilayah yang relatif terisolasi; (2) Sangat padat karya, khususnya dari golongan angkatan kerja berpendidikan rendah, dan wanita; dan (3) Banyak kegiatan UMK yang
berbasis pertanian, seperti industri-industri rumah tangga yang membuat makanan dan minuman, dan meubel serta berbagai macam produk kerajinan berbasis bahan baku bambu, kayu dan rotan, dan di Indonesia, sebagian besar penduduk miskin tinggal di perdesaan dan bersumber pendapatan dari sektor pertanian. Selain itu, UMK pada umumnya memproduksi barang-barang konsumsi termasuk makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, dan perabotan rumah tangga dengan harga murah untuk kalangan masyarakat berpendapatan rendah, sehingga keberadaan mereka sangat membantu rumah tangga-rumah tangga miskin. Namun demikian, banyak bukti yang menunjukkan bahwa besarnya sumbangan UMK terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) bukan karena kelompok usaha tersebut sangat efisien atau produktif, melainkan karena jumlahnya memang sangat banyak, yang rata-rata mencapai
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 73
sekitar 99% dari jumlah unit usaha yang ada. Bahkan UMK sering dianggap sebagai kelompok usaha yang tidak efisien, tidak kompetitif dan oleh karena itu sangat sulit berkembang menjadi usaha-usaha yang modern atau menjadi UMB. Di Indonesia, sejak awal periode Orde Baru (1966-1998) hingga sekarang ini sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung UMK dengan berbagai program dan kebijakan/peraturan, termasuk menerbitkan Undang-Undang (UU) UMKM No.20 Tahun 2008. Program-program yang telah/masih dilakukan mulai dari berbagai skim kredit bersubsidi mulai dari KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada dekade 1970-an hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh
Presiden SBY. Namun fakta menunjukkan bahwa kinerja UMK di Indonesia masih relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan UMB, tetapi juga dibandingkan dengan UMK di negara-negara maju. Berdasarkan hasil observasinya terhadap usaha mikro (UMI), usaha kecil (UK), dan usaha menengah (UM) di Indonesia dan penelitian literatur mengenai kelompok-kelompok usaha tersebut di banyak negara berkembang lainnya, Tambunan (2009a) menyimpulkan bahwa kendala-kendala yang dihadapi oleh UMK dan prospek perkembangannya ke depan sangat erat kaitannya atau sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristiknya seperti yang dijabarkan di Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik-Karakteristik Utama dari UMI, UK, dan UM di Indonesia No 1
Aspek Formalitas
UMI Beroperasi di sektor informal; usaha tidak terdaftar; tidak/jarang bayar pajak
UK Beberapa beroperasi di sektor formal; beberapa tidak terdaftar; sedikit yang bayar pajak
UM Semua di sektor formal; terdaftar dan bayar pajak
2
Organisasi & manajemen
Dijalankan oleh pemilik; tidak ada ILD, MOF, ACS
Banyak yang mengerjakan manajer profesional dan menerapkan ILD, MOF, ACS
3
Sifat dari kesempatan kerja
Dijalankan oleh pemilik; tidak menerapkan pembagian tenaga kerja internal (ILD), manajemen & struktur organisasi formal (MOF), sistem pembukuan formal (ACS) Kebanyakan menggunakan anggota-anggota keluarga tidak dibayar
Beberapa memakai tenaga kerja (TK) yang digaji
- Semua memakai TK digaji - Semua memiliki sistem perekrutan formal
4
Pola/sifat dari proses produksi
beberapa memakai mesinmesin terbaru
5
Orientasi pasar
derajat mekanisasi sangat rendah/umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah umumnya menjual ke pasar lokal untuk kelompok berpendapatan rendah
6
Profil ekonomi & sosial dari pemilik usaha
pendidikan rendah & dari rumah tangga (RT) miskin; motivasi utama: survival
banyak yang menjual ke pasar domestik dan ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas banyak berpendidikan baik & dari RT non-miskin; banyak yang bermotivasi bisnis/ mencari profit
banyak yang punya derajat mekanisasi yang tinggi/punya akses terhadap teknologi tinggi semua menjual ke pasar domestik dan banyak yang ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas sebagian besar berpendidikan baik dan dari RT makmur; motivasi utama: profit
7
Sumber-sumber dari bahan baku dan modal
kebanyakan pakai bahan baku lokal dan uang sendiri
beberapa memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
banyak yang memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
8
Hubunganhubungan eksternal
kebanyakan tidak punya akses ke program-program pemerintah dan tidak punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB
sebagian besar punya akses ke program-program pemerintah dan banyak yang punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA).
9
Wanita pengusaha
rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat tinggi
banyak yang punya akses ke program-program pemerintah dan punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB (termasuk penanaman modal asing/PMA). rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha cukup tinggi
Sumber: Tambunan (2009a).
74 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat rendah
Secara teori, hubungan antara keberadaan UMK dan kemiskinan di suatu daerah bisa “positif” atau “negatif”. Positif dalam arti keberadaan UMK karena ada kemiskinan. Hal ini bisa dijelaskan sebagi berikut. Secara umum dimanapun juga, sebuah perusahaan muncul karena ada daya tarik pasar, baik pasar output (peluang untuk menjual hasil produksi) dan pasar input (peluang untuk mendapatkan input untuk berproduksi). Hubungan ini juga berlaku bagi pertumbuhan UMK. Hanya saja, di banyak negara berkembang/miskin, keberadaan pasar output dan pasar input yang membuat jumlah UMK tumbuh pesat berhubungan erat dengan kemiskinan (Gambar 1). Dari sisi pasar output, hipotesisnya adalah sebagai berikut: semakin banyak orang miskin di sebuah daerah, semakin banyak jumlah UMK di daerah itu yang memproduksi barang dan jasa dengan harga murah yang terjangkau oleh kelompok miskin. Dalam kata lain, UMK memiliki segmen pasar tersendiri, yakni pasar bagi konsumen berpendapatan rendah. Tidak ada persaingan langsung antara UMK dan UMB yang memproduksi untuk konsumen berpendapatan tinggi. Hipotesis alternatifnya adalah: semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat/rendah tingkat kemiskinan di sebuah wilayah, semakin sedikit jumlah UMK di wilayah tersebut. Jadi, di dalam kasus ini, UMK muncul atau jumlahnya bertambah karena ada faktor ‘penarik’, yakni adanya permintaan konsumen.
Gambar 1. Hubungan antara Kemiskinan dan Keberadaan/Pertumbuhan UMK Lewat Dua Sisi Pasar yang Berbeda.
Dari sisi pasar input, misalnya pasar tenaga kerja, semakin banyak orang miskin yang bisa disebabkan oleh banyaknya pengangguran, atau pekerja dengan upah rendah seperti pekerja harian di sektor bangunan, semakin banyak orang membuka usaha sendiri dalam skala mikro atau kecil (karena modal yang dimiliki sedikit dan pengetahuannya terbatas untuk membuka usaha lebih besar dan kompleks). Jadi, hipotesanya adalah sebagai berikut: semakin banyak pengangguran atau semakin banyak pekerja dengan upah murah, semakin banyak kemiskinan, maka semakin banyak jumlah UMK baik sebagai sumber satu-satunya pendapatan (bagi orang-orang miskin karena menganggur) atau sebagai sumber pendapatan tambahan (bagi orangorang miskin karena sumber utama pendapatannya tidak mencukupi). Di dalam kasus ini, UMK berfungsi sebagai ‘penampung terakhir’ (last resort) bagi orang atau keluarga miskin. UMK muncul
karena ada faktor ‘pendorong’, yakni penawaran sumber daya manusia. Sedangkan negatif artinya kemiskinan berkurang karena adanya UMK, dan dalam menganalisanya harus dilihat dampak keseluruhan dari keberadaan UMK, yakni lewat jalur-jalur langsung dan tidak langung, yang menciptakan efekefek penggandaan (multiplier). Jalur-jalur langsung lewat mana keberadaan UMK berdampak positif terhadap pengurangan jumlah orang miskin adalah besarnya kesempata kerja yang diciptakan oleh UMK itu sendiri (efek kesempatan kerja langsung: jalur (a) di Gambar 2) dari kegiatan produksinya. Produk yang dibuat bisa bersifat barang jadi yang dikonsumsi langsung oleh konsumen (misalnya makanan dan minuman) atau barang perantara sebagai bahan baku atau input bagi kelompok usaha lain (misalnya UMB) lewat keterkaitan produksi subcontracting (garis (c)). Dilihat dari sisi UMK, hubungan produksinya dengan UMB tidak hanya ke depan (forward linkage), tetapi juga ke belakang (backward linkage), misalnya UMK pembuat makanan membeli komoditas pertanian sebagai bahan bakunya. Maka, kesempatan kerja yang tercipta di UMB karena kegiatan produksinya yang dimungkinkan dengan adanya pasokan input dari UMK (kasus ke depan), maupun di sektor pertanian yang bisa berproduksi karena adanya permintaan dari UMK (kasus ke belakang) merupakan efek kesempatan kerja tidak langsung (garis (b)) dari keberadaan UMK. Efek kesempatan kerja tidak langsung dari keberadaan UMK juga bisa terjadi apabila para pekerja dan pemilik UMK membelanjakan pendapatan mereka untuk pembelian barang dan jasa yang dihasilkan oleh UMB (garis (d)), yang selanjutnya menjadi pendorong pertumbuhan produksi dan kesempatan kerja di kelompok usaha terakhir tersebut.
Gambar 2. Efek Penggandaan terhadap Kesempatan Kerja dari Keberadaan UMK.
Dari uraian teoretis di atas, jelas bahwa pentingnya keberadaan atau pertumbuhan UMK terhadap ekonomi dan khususnya pengurangan kemiskinan di daerah sangat tergantung pada hubungan bisnis antara UMK dan ekonomi daerah. Semakin kuat hubungan bisnis atau produksi antara UMK dengan usaha-usaha lainnya di daerah, yang artinya semakin kecil ‘kebocoran ekonomi lokal’, semakin besar efek penggandaan terhadap pengurangan kemiskinan di daerah, atau semakin
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 75
banyak pengurangan jumlah orang miskin. Yang dimaksud ‘kebocoran ekonomi lokal’ adalah misalnya untuk berproduksi UMK di suatu daerah membeli bahan baku dari sektor hulu di luar daerah, atau UMK membuat produk perantara sebagai input bagi sektor hilir yang berlokasi di luar daerah. Jadi, bukan saja nilai tambah ekonomi lokal berkurang, kesempatan kerja yang sebenarnya bisa tercipta apabila sektor hulu dan sektor hilir tersebut berada di dalam daerah juga hilang. Berdasarkan uraian karakateristik UMK di atas tersebut, tidak berlebihan untuk menegaskan bahwa keberadaa kelompok usaha ini sangat penting dalam upaya memerangi kemiskinan di Indonesia. Terutama dengan diberlakukannya otonomi daerah bersamaan dengan desentralisasi fiskal, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah (Pemda) atas inisiatif sendiri untuk mengurangi jumlah orang miskin di daerah menjadi sangat penting, dan UMK bisa turut berperan. Apalagi, dibanyak daerah di tanah air yang kegiatan-kegiatan ekonominya hanya berskala mikro dan kecil, sejak diterapkannya otonomi daerah UMK diharapkan bisa berperan menjadi sumber utama perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Tujuan utama dari studi ini bukan untuk menguji secara statistik hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena tertentu, tetapi untuk mengeksplorasi peran usaha mikro dan kecil dalam pengentasan kemiskinan di daerah. Ada dua pertanyaan yang ingin dijawab di dalam penelitian ini. Pertama, apakah keberadaan atau pertumbuhan UMK bisa mengurangi kemiskinan di daerah? Kedua, apakah derajat pentingnya UMK bagi pengentasan kemiskinan bervariasi menurut daerah dan apa kemungkinan faktor-faktor penentunya? METODE PENELITIAN Sebagai sebuah penelitian yang bersifat deskriptif, studi ini didasarkan pada analisa data sekunder dengan memakai data kemiskinan dan UMK di industri manufaktur di tingkat provinsi dari
Badan Pusat Statistik (BPS), dan data lainya dari Kementerian Koperasi dan UKM, serta literatur kunci yang diseleksi. Karena memakai data BPS, maka studi ini juga memakai definisi BPS mengenai UMK berdasarkan jumlah pekerja tetap (tidak termasuk pemilik): usaha mikro (UMI) adalah unit usaha dengan pekerja antara 0 (usaha sendiri tanpa menggunakan pekerja atau di dalam literatur disebut self-employment) hingga 4 orang, dan usaha kecil (UK) antara 5 hingga 19 orang. Pentingnya keberadaan UMK terhadap pengurangan kemiskinan diukur didalam analisa ini secara tidak langsung dengan memakai sejumlah indikator, yakni jumlah unit usaha, produktivitas tenaga kerja di UMK dan pangsa output-nya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemiskinan di Tingkat Provinsi Data nasional menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan, yakni persentase dari jumlah penduduk yang pengeluaran per bulannya dibawah garis kemiskinan yang berlaku, di Indonesia sejak awal pemerintahan Orde Baru mengalami penurunan setiap tahun, yakni dari sekitar 40 persen pada tahun 1970 ke 17,5 persen pada tahun 1996. Pada saat ekonomi nasional dilanda sebuah krisis besar yakni krisis keuangan Asia pada periode 1997-98, tingkat kemiskinan sempat naik (akibat banyak perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan besar, yang terpaksa tutup atau mengurangi volume produksi karena krisis) hingga mencapai 24,2 persen pada tahun 1998, namun setelah itu mulai kembali menurun setiap tahun, dan pada tahun 2011 tercatat sebesar 12,5 persen. Namun kemiskinan per provinsi bervariasi, dan banyak provinsi yang tingkat kemiskinannya jauh di atas rata-rata nasional. Misalnya, pada tahun 2010, tingkat kemiskinan di tingkat nasional tercatat 13,3 persen, dan pada tahun itu ada 16 provinsi dengan tingkat kemiskinan di atas angkat nasional tersebut, dengan Papua sebagai provinsi paling miskin, dan DKI Jakarta paling rendah tingkat kemiskinannya sekitar 4 persen
Sumber: BPS (2010a). Gambar 3. Tingkat Kemiskinan Menurut Provinsi Tahun 2010 (%).
76 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
Sumber: BPS (2010a) Gambar 4. Jumlah Pengangguran Umur 15 Tahun ke Atas menurut Provinsi Tahun 2010.
(Gambar 3). Banyak faktor yang membuat terjadinya kemiskinan, dan perbedaan tingkat kemiskinan antar provinsi seperti yang diperlihatkan di Gambar 3 tersebut dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor determinan tersebut, yang terutama adalah kesempatan kerja, terutama di sektor formal. Daerah-daerah dengan jumlah pengangguran terbuka yang tinggi biasanya juga merupakan daerah-daerah miskin. Walaupun sebagai faktor utama, namun jumlah orang yang menganggur secara resmi (pengangguran terbuka) bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Kemiskinan di suatu wilayah bisa sangat nyata walaupun jumlah orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap di sektor formal sangat sedikit. Biasanya kemiskinan dalam kondisi seperti ini disebabkan oleh pendapatan atau upah riil pekerja yang terlalu rendah, yang dibanyak kabupaten/kota dibawah upah minimum kabupaten/kota yang berlaku. Misalnya banyak desa di Indonesia yang jenis kegiatan ekonominya pada umumnya adalah skala mikro atau kecil di sektor informal dengan pendapatan yang sangat rendah. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 4, jumlah orang umur 15 tahun ke atas yang resmi menganggur di sektor formal menurut definisi pengangguran terbuka dari BPS paling banyak adalah di DKI Jakarta, padahal Jakarta bukan bukanlah provinsi termiskin di Indonesia (Gambar 3). Paling tidak ada dua penyebab utamanya, yakni gaji-upah rata-rata di sektor formal di DKI Jakarta lebih besar dibandingkan di wilayahwilayah lainnya yang lebih miskin. Kedua, perkembangan kegiatan ekonomi informal di DKI lebih pesat yang berarti lebih banyak menyerap penduduk kota yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, dibandingkan di wilayah-wilayah lainnya, ditambah lagi upah rata-rata di sektor informal di DKI lebih besar daripada di sektor yang sama di wilayah-wilayah lainnya.
Analisis Empiris Peran UMK Sebelum menganalisis peran UMK per provinsi, tidak ada salahnya membahas terlebih dahulu secara garis besar peran UMK di Indonesia. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya, dan di dalam kelompok UMKM, jumlah UMK paling banyak. Pada tahun 2000, jumlah UMK tercatat sebanyak 39 juta lebih dan pada tahun 2009 sudah mencapai 52,7 juta unit. Seperti telah dibahas sebelumnya, peran UMK paling penting adalah penyerapan tenaga kerja. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 3, di dalam kelompok UMKM, UMK yang paling banyak menciptakan kesempatan kerja, karena memang selain sangat padat karya, kelompok usaha ini jumlahnya paling banyak dibandingkan jumlah kelompok skala lainnya. Jumlah unit usaha dan pekerja dibayar (UMK juga banyak menggunakan anggota keluarga yang tidak digaji) bisa digunakan untuk mengukur seberapa pentingnya keberadaan UMK bagi perekonomian suatu wilayah. Walaupun sangat tergantung pada kinerja rata-rata per unit (misalnya besarnya omset atau sumbangannya terhadap pembentukan produk domestik bruto regional/PDRB), semakin banyak jumlah UMK di suatu provinsi maka dapat diasumsikan bahwa UMK semakin penting di dalam perekonomian provinsi tersebut. Demikian juga halnya dengan jumlah pekerja digaji, walaupun sangat tergantung pada pendapatan atau produktivitasnya, semakin banyak tenaga kerja yang dibayar di UMK, semakin penting keberadaan kelompok usaha tersebut. Berdasarkan data BPS 2010, Gambar 5 menunjukkan bahwa baik jumlah unit usaha maupun jumlah pekerja di UMK di industri manufaktur digaji paling banyak terdapat di provinsi Jawa Tengah, disusul kemudian di provinsi Jawa Timur dan provinsi Jawa Barat. Satu hal yang jelas dari data ini adalah bahwa distribusi UMK, baik dalam jumlah unit usaha maupun jumlah pekerja digaji di Indonesia tidak
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 77
Tabel 2. Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha di Semua Sektor Ekonomi di Indonesia Tahun 2000-2009 (000 Unit) Skala Usaha 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 UMK 39.705 39.883,1 43.372,9 44.684,4 47.006,9 48.822,9 47.720,3 52.327.,9 52.723,5 UM 78,8 80,97 87,4 93,04 95,9 106,7 120,3 39,7 41,1 UB 5,7 5,9 6,5 6,7 6,8 7,2 4,5 4,4 4,7 Jumlah 39.789,7 39.969,9 43.466,8 44.784,1 47.109,6 48.936,8 49.845,0 52.262,0 52.769,3 Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM) (www.depkop.go.id) dan Badan Pusat Statistik (BPS) (www.bps.go.id)
Tabel 3. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha dan Sektor di Indonesia Tahun 2008 (Pekerja) Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & rumah makan Transportasi & komunikasi. Keuangan, persewaan & jasa Jasa lainnya
UMI 41.749.303 591.120 7.853.435 51.583 576.783 22.168.835 3.496.493 2.063.747 5.096.412
UK
UM 643.981 21.581 1.464.915 31.036 51.757 472.876 111.854 279.877 178.311
UB 229.571 78.847 1.898.674 54.233 31.016 179.895 98.191 156.064 49.723
Jumlah 42.689 .635 720.310 12.362.090 156.769 797.111 24.493.957 3.851.874 2.813.609 5.787.129
83.647.711 3.992.371 3.256.188 Jumlah Sumber: Menegkop & UKM (www.depkop.go.id) dan BPS (www.bps.go.id)
2.776.214
93.672.484
66.780 28.762 1.145.066 19.917 137.555 1.672.351 145.336 313.921 462.683
Sumber: BPS (2010a) Gambar 5. Jumlah Unit dan Tenaga Kerja Dibayar di UMK di Industri Manufaktur Menurut Provinsi Tahun 2010.
seimbang; lebih banyak terdapat di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya pulau Jawa dan Bali. Salah satu ciri UMK di industri manufaktur di Indonesia adalah bahwa mereka dari kelompok industri yang sama berlokasi berdekatan satu sama lainnya di suatu wilayah. Pengelompokan secara geografis menurut kelompok industri ini, di dalam literatur industr disebut klaster. Di Indonesia, banyak kegiatan UMK yang tersebar di daerah-daerah memang sudah berlangsung turun-temurun, dan umumnya setiap daerah memiliki spesialisasi UMK tersendiri. Misalnya klaster-klaster UMK di Jepara, Cirebon dan Solo (Provinsi Jawa Tengah) terkenal dengan spesialisasi pembuatan meubel dari kayu dan rotan. Data dari
78 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
Kementerian Koperasi dan UKM juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah klaster UMK yang tercatat ada di Indonesia berlokasi di Jawa (Gambar 6). Sekarang pertanyaannya: apakah sebaran jumlah unit usaha dan pekerja dibayar di UMK menurut provinsi tersebut berkaitan erat dengan penyebaran kemiskinan yang juga berbeda antar provinsi, sesuai teori “keberadaan UMK karena adanya kemiskinan” seperti yang telah dibahas sebelumnya? Jawabannya adalah: ada suatu keterkaitan yang erat. Memang tingkat kemiskinan atau persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yang berlaku di pulau Jawa jauh lebih rendah daripada di wilayah Indonesia bagian timur
71
80
59
60 35
40 20
55 55
9
16
6
17 11 14
6
16
18 6
9
17 21 5
4
0
Sumber: Menegkop & UKM (www.depkop.go.id). Gambar 6. Sebaran Klaster UMK di Industri Manufaktur di Indonesia Menurut Wilayah Tahun 2005 (unit).
Sumber: BPS (2010a,b) Gambar 7. Sebaran Titik Kombinasi Jumlah Orang Miskin dan Jumlah UMK Per Provinsi.
Sumber: BPS (2010a) Gambar 9. Sebaran Titik Kombinasi Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Pekerja Digaji di UMK Per Provinsi Tahun 2010 (%).
Sumber: BPS (2010b) Gambar 8. Sebaran Titik Kombinasi Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Kesempatan Kerja di Sektor Informal Per Provinsi Tahun 2010 (%).
(lihat Gambar 3), tetapi jumlah orang miskin di pulau Jawa jauh lebih dibandingkan jumlah orang miskin di misalnya Papua karena penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Hal ini bisa dilihat di tiga gambar berikut: Gambar 7 yang menunjukkan sebaran titik kombinasi antara jumlah orang miskin dan jumlah UMK per provinsi, Gambar 8 yang menunjukkan sebaran titik kombinasi antara jumlah tingkat kemiskinan dan persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor
informal per provinsi (sektor informal adalah kegiatan-kegiatan ekonomi tidak resmi atau tidak tercatat, tidak membayar pajak, banyak yang tidak berlokasi tetap atau tidak resmi, berskala mikro dan kecil dengan pendapatan yang pada umumnya sangat rendah), dan Gambar 9 yang memperlihatkan sebaran titik kombinasi antara tingkat kemiskinan dan jumlah pekerja digaji di UMK. Dua gambar pertama tersebut mempunyai kesamaan yakni memiliki garis tren dengan sudut positif yang memberi kesan sebagai berikut: (1) semakin banyak jumlah orang miskin jumlah UMK cenderung semakin banyak (Gambar 7), dan (2) semakin besar tingkat kemiskinan jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal cenderung meningkat (Gambar 8). Seperti yang telah dibahas di dalam teori, banyaknya orang miskin menimbulkan dua insentif bagi tumbuhnya kegiatan-kegiatan UMK, yakni lewat pasar output: orang-orang miskin tidak sanggup membeli barang-barang kebutuhan pokok di pasar modern karena harganya mahal maka permintaan meningkat terhadap barang-barang yang sama buatan UMK dengan kualitas lebih rendah namun lebih murah, dan lewat pasar input: untuk mendapatkan
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 79
Tabel 4. Produktivitas UMK di Industri Manufaktur menurut Provinsi Tahun 2010 (juta rupiah) Provinsi (1)Aceh (2)Sumatera Utara (3)Sumatera Barat (4)Riau (5)Jambi (6)Sumatera Selatan (7)Bengkulu (8)Lampung (9)Bangka Belitung (10)Kep. Riau (11)DKI Jakarta (12)Jawa Barat (13)Jawa Tengah (14)DIY (15)Jawa Timur (16)Banten (17)Bali (18)NTB (19)NTT (20)Kalimantan Barat (21)Kalimantan Tengah (22)Kalimantan Selatan (23)Kalimantan Timur (24)Sulawesi Utara (25)Sulawesi Tengah (26)Sulawesi Selatan (27)Sulawesi Tenggara (28)Gorontalo (29)Sulawesi Barat (30)Maluku (31)Maluku Utara (32)Papua Barat (33)Papua Indonesia Sumber: BPS (2010a)
Produktivitas unit usaha 71,065 79,149 78,963 95,199 71,64 110,924 74,909 50,21 106,071 68,338 273,329 77,824 63,895 55,001 68,538 46,461 77,354 70,397 18,219 66,64 82,644 37,372 154,947 87,913 39,003 62,254 43,992 43,698 31,531 33,48 107,645 150,526 201,097 68,691
sekedar pendapatan atau pendapatan tambahan, banyak orang miskin membuka usaha sendiri. Sedangkan Gambar 9 berkorelasi negatif yang memberi kesan bahwa semakin banyak pekerja digaji di UMK semakin rendah tingkat kemiskinan. Pentingnya keberadaan UMK bagi pengurangan kemiskinan juga dapat dilihat dari tingkat produktivitas di UMK, yakni rasio nilai tambah per unit usaha atau/dan rasio nilai tambah per pekerja. Salah satu hipotesis dari hubungan antara tingkat produktivitas UMK dan tingkat kemiskinan adalah: semakin tinggi produktivitas UMK, yang berarti semakin efisien UKM berproduksi, semakin besar besar pendapatan di UMK baik rata-rata pendapatan per unit usaha maupun rata-rata pendapatan per pekerja, semakin rendah kemiskinan. Tentu dengan asumsi bahwa faktor-faktor berpengaruh lainnya terhadap tingkat pendapatan tidak berubah. Seperti telah dibahas sebelumnya, dasar teorinya adalah bahwa kemiskinan di suatu wilayah tidak selalu disebabkan oleh banyaknya jumlah orang tanpa pekerjaan tetap (pengangguran terbuka), tetapi juga sering kali karena rendahnya
80 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
Productivitas tenaga kerja 140,581 102,568 101,289 111,484 097,452 113,473 102,514 086,209 099,553 101,15 73,717 87,406 76,601 82,344 103,441 73,826 105,679 47,515 128,664 57,184 135,646 94,943 117,751 81,181 55,396 119,634 79,601 46,585 120,603 99,65 123,113 86,431 160,702 87,264
pendapatan per pekerja yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas pekerja. Data BPS 2010 mengenai UMK di industri manufaktur menunjukkan bahwa produktivitas baik per unit maupun per pekerja (yang dibayar) tidak homogeny antar provinsi (Tabel 4). Banyak provinsi di mana produktivitas UMK-nya lebih rendah dibandingkan angka rata-rata pada tingkat nasional. Namun yang paling menarik dari data ini adalah bahwa di sejumlah provinsi di Indonesia bagian timur, produktvitasnya lebih baik dibandingkan pada tingkat nasional. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor lokal seperti misalnya harga jual (karena produktivitas diukur berdasarkan nilai tambah atau pendapatan pada harga-harga yang berlaku), rasio antara jumlah pekerja yang digaji dengan jumlah peekrja yang tidak dibayar (karena di dalam analisa ini yang dibahas hanya produktivitas tenaga kerja yang dibayar), konsentrasi industri dari UMK (karena data BPS juga menunjukkan bahwa produktivitas UKM berbeda menurut kelompok industri), kondisi internal perusahaan termasuk kendala-kendalanya seperti kekurangan modal untuk
Sumber: BPS (2010a) Gambar 10. Pangsa PDRB UMK di Industri Manufaktur menurut Provinsi Tahun 2010.
membeli mesin atau alat-alat produksi, keterampilan pekerja, pola produksi, dan masih banyak lagi faktor lain. Mungkin indikator terbaik mengenai peran sebuah sektor atau industri terhadap ekonomi suatu wilayah adalah sumbangan dari sektor/industri tersebut terhadap pembentukan atau pertumbuhan output agregat di wilayah tersebut (walaupun ada kelemahan dari indikator tersebut; terutama karena kegiatan-kegiatan ekonomi informal tidak tercatat dalam PDRB). Dalam kasus UMK adalah pangsa nilai outputnya terhadap nilai produk domestik regional bruto (PDRB). Dasar teorinya atau hipotesisnya adalah sebagai berikut: semakin besar pangsa PDRB dari UMK semakin besar efek penggandaan dari keberadaan kelompok usaha tersebut terhadap ekonomi provinsi, ceteris paribus. Namun besarnya efek penggandaan itu sendiri tidak harus berkorelasi positif dengan besarnya pangsa PBRB, karena efek tersebut sangat tergantung pada besarnya keterkaitan produksi ke depan maupun ke belakang antara UMK dengan UMB di semua sektor ekonomi, dan ketergantungan pendapatan antara UMK dengan masyarakat (konsumen). Dalam kata lain, UMK dengan sumbangan PDRB yang rendah di suatu daerah bisa saja mempunyai efek penggandaan yang lebih besar daripada UMK di daerah lain yang pangsa output agregatnya lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena kelompok UMK pertama tersebut memiliki keterkaitan yang lebih besar dengan ekonomi lokal (impor UMK maupun impor total daerah lebih rendah) dibandingkan kelompok UMK kedua tersebut. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa pangsa PDRB dari UMK di industri manufaktur bervariasi menurut provinsi (Gambar 10). Yang menarik dari data ini adalah secara rata-rata kontribusi output UMK terhadap pembentukan PDRB lebih besar di Indonesia bagian timur dibandingkan di bagian barat, padahal jumlah unit usaha lebih banyak di pulau Jawa dan Bali. Sangat mungkin sekali karena di provinsi-provinsi di bagian timur seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Maluku Utara, derajat diversifikasi dari kegiatan ekonominya sangat
rendah, yang terkonsentrasi di kelompok-kelompok industri yang didominasi oleh UMK (yang jumlah UMB relatif kecil). Sedangkan di Papua Barat dan Papua, sektor pertambangan mendominasi perekonomian mereka yang dengan sendirinya menghasilkan pangsa PDRB paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, dan di dalam perekonomian DKI Jakarta, sektor jasa (termasuk keuangan) paling dominan dengan jumlah UMB tidak hanya lebih banyak dibandingkan jumlah UMK tetapi juga total nilai outputnya lebih besar. Indikator lainnya yang juga sangat bagus untuk mengukur secara potensial pentingnya keberadaan UMK bagi pengurangan kemiskinan di daerah adalah nilai ekspor UMK. Dasar teorinya adalah sebagai berikut: semakin banyak UMK di suatu wilayah yang melakukan ekspor, semakin besar pendapatan UMK (semakin besar sumbangannya terhadap PDRB), semakin besar efek positifnya terhadap peningkatan kesempatan kerja atau penurunan kemiskinan di wilayah itu, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya tidak berubah. Lebih menguntungkan bagi UMK melakukan ekspor daripada menjual ke pasar lokal terutama karena harga di pasar luar negeri biasanya lebih besar daripada harga di pasar lokal. Sebenarnya yang lebih bagus adalah pangsa UMK di dalam total ekspor daerah. Namun karena tidak ada data mengenai jumlah ekspor per provinsi (dan juga sulit memastikan apakah data ekspor dari suatu provinsi benar-benar berasal dari provinsi tersebut, atau kiriman dari provinsi lain yang tidak memiliki pelabuhan laut atau udara untuk pengiriman), maka nilai ekspor UMK per provinsi dapat digunakan sebagai alternatifnya. Namun sekarang pertanyaannya adalah sejauh mana UMK Indonesia terlibat dalam kegiatan ekspor? Jawabannya, tidak terlalu besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa salah satu ciri utama dari UMK Indonesia seperti pada umumnya di negaranegara berkembang (berbeda dengan UMK di negara-negara maju) adalah bahwa sebagian besar UMK Indonesia berorientasi pasar dalam negeri. Banyak alasan kenapa demikian, dan yang paling
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 81
Catatan: nomor urut provinsi, lihat Tabel 1 Sumber: BPS (2010) Gambar 11. Persentase dari UMK Berorientasi Pasar Domestik dengan Pemasaran Lintas Provinsi menurut Provinsi Tahun 2010. Tabel 5. Nilai Ekspor Non-migas Indonesia Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2009 (Miliar Rp/Juta Dollar AS) Tahun
Nilai Ekspor Non-migas UMI UK UM UB 2006 Rp13.477,2 Rp29.365,4 Rp79.108,2 Rp656.231,8 US$1.347,7 US$2.936,5 US$7.910,8 US$65.623,2 2007 Rp15.024,9 Rp34.661,8 Rp93.325,7 Rp749.999,9 US$1.502,5 US$3.466,2 US$9.332,6 US$75.000,0 2008 Rp 20.247,2 Rp44.148,3 Rp119.363,6 Rp915.091,2 US$2.024,7 US$4.414,8 US$11.936,4 US$91.509,1 2009 Rp 14.375,3 Rp36.839,7 Rp 111.039,6 Rp790.835,3 US$1.597,26 US$4.093,3 US$12.337,7 US$87.870,6 Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM (www.depkop.go.id)
utama adalah keterbatasan atas empat input kunci, yakni: (1) Teknologi dan keahlian tenaga kerja dan pemilik usaha/pengusaha (mereka tidak mampu menghasilkan barang-barang yang memenuhi standar kualitas internasional sehingga berdaya saing global yang tinggi); (2) Informasi khususnya mengenai peluang-peluang pasar yang ada (termasuk perubahan-perubahan yang sedang berlangsung dalam permintaan pasar/selera masyarakat); (3) Strategis-strategis bisnis global; dan (4) Modal untuk membiayai kegiatan-kegiatan ekspor. Untuk kebanyakan UMK, melakukan pemasaran internasional sangat mahal, karena melibatkan banyak kegiatan mulai dari promosi, distribusi, komunikasi, mendapatkan lisensi ekspor, hingga transportasi dan logistik. Data BPS 2010 memberikan tiga kategori UMK di industri manufaktur menurut orientasi pasar, yakni hanya melayani pasar dalam negeri, hanya melayani pasar ekspor, dan melayani pasar domestik dan luar negeri. Dalam kategori pertama, ternyata banyak UMK yang hanya menjual produknya ke pasar-pasar di kabupaten atau kota yang sama; bahkan banyak dari mereka, terutama UMI, hanya melayani pasar di desa yang sama. Pada dasarnya, alasan utamanya sama seperti kenapa tidak banyak UMK yang melakukan ekspor, yakni keterbatasan dana untuk melakukan pemasaran yang lebih luas
82 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
Total Rp778.182,6 US$77.818,3 Rp893.012,3 US$89.201,2 Rp1.098.850,2 US$109.885,0 Rp953.089,9 US$105.898,9
yang berarti proses pemasarannya lebih ruwet dan mahal, keterbatasan pengetahuan mengenai pasarpasar di luar desa/kabupaten/kota (yang terutama disebabkan oleh keterbatasan informasi), dan keterbatasan infrastruktur dan fasilitas transportasi yang efisien yang menghubungi mereka dengan pasar-pasar di wilayah-wilayah yang jauh. Berdasarkan data BPS 2010, Gambar 11 menunjukkan paling sedikit satu hal yang sangat menarik, yakni walaupun tidak ada satupun provinsi yang UMK-nya hanya melayani pasar luar negeri (atau dalam perkataan lain, di semua provinsi menjual sepenuhnya ke pasar domestik adalah kategori UMK menurut orientasi pasar yang dominan di Indonesia), proporsi dari UMK yang menjual ke pasar-pasar di luar provinsinya (yang dapat dikategorikan sebagai UMK berorientasi pasar nasional) hanya sekitar 10 persen, dan seperti yang dapat dilihat hanya UMK di D.I. Yogyakarta yang mencapai angka tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, salah satu karakteristik penting dari UMK di Indonesia adalah bahwa sebagian besar dari kelompok usaha tersebut berorientasi pasar dalam negeri. Namun demikian, ini tidak mengatakan bahwa secara nasional nilai ekspor UMK sangat kecil untuk diperhitungkan di dalam total ekspor Indonesia atau ekspornya tidak tumbuh setiap tahun. Berdasarkan
data pemerintah yang ada ((dari Kementerian Koperasi dan UKM dan/atau Kementerian Perdagangan), di kelompok-kelompok industri tertentu, banyak UMK melakukan ekspor dan meningkat setiap tahun, seperti yang ditunjukkan di Tabel 5. Yang menarik dari tabel ini adalah bahwa di dalam kelompok UMK nilai ekspor UK setiap tahunnya lebih besar dibandingkan nilai ekspor UMI. Demikian juga nilai ekspor UMK secara total selalu lebih kecil dibandingkan nilai ekspor UM, dan yang paling besar selalu dari UB. Struktur ekspor menurut skala usaha ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara skala usaha dan besarnya nilai ekspor, yang mau mengatakan bahwa semakin besar skala usaha semakin besar kemampuan melakukan ekspor. Memang, jika dilihat secara relatif pangsa UMK di dalam nilai total ekspor non-migas Indonesia atau di dalam nilai total ekspor dari industri manufaktur (termasuk ekspor dari UMB) memang tetap lebih kecil dibandingkan sumbangan UMB. Misalnya, pada awal dekade 90-an, kontribusi UMK terhadap nilai total ekspor Indonesia (tidak termasuk minyak dan gas) tercatat sekitar hanya 11,1
persen, dan pada tahun 2008 naik hingga mendekati 20 persen, dibandingkan sekitar 80 persen saham UMB. Sekali lagi, struktur ini menandakan bahwa kemampuan UMK melakukan ekspor masih rendah dibandingkan rekannya UMB, dan kelemahan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang telah dibahas sebelumnya. Pada umumnya UMK yang melakukan ekspor adalah di industry-industri makanan dan minuman, meubel, produk-produk lainnya dari kayu, bambu dan rotan, pakaian jadi, alas kaki, dan kerajinan seperti ukir-ukiran dan souvenir. UMK di industri yang sama cenderung berlokasi saling berdekatan di wilayah yang sama, atau cenderung membentuk klaster, dan ini juga merupakan salah satu karakteristik penting dari UMK di Indonesia (seperti juga di negara-negara lain). UMK cenderung membentuk klaster-klaster yang bisa mencakup lebih dari satu desa, dan juga banyak terdapat di pinggiran-pinggiran kota-kota besar seperti DKI Jakarta dan Surabaya. Kebanyakan dari klaster-klaster UMK yang ada di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonialisasi Belanda yang
Tabel 6. Klaster-klaster dari UMKM di Industri Manufaktur yang Berorientasi Ekspor di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2005
Provinsi
Jumlah klaster (yang ekspor dan tidak ekspor) 9 16 6 11 14 17 6 16 6 35 59 18 71 9 17 15 6 10 11 17 17 3 11 26 6 5 4 4 1 1 3
Klaster-klaster yang ekspor Jumlah klaster Jumlah unit Jumlah usaha pekerja 2 68 205 5 211 724 t.a.d* t.a.d t.a.d 3 166 367 4 182 580 t.a.d t.a.d t.a.d 1 36 109 4 206 530 2 210 295 11 593 2292 20 1558 7803 8 600 1676 10 499 1976 1 55 388 7 515 1484 6 509 4635 3 99 412 1 30 91 t.a.d t.a.d t.a.d 1 50 150 2 73 250 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 2 80 205 t.a.d t.a.d t.a.d 1 69 90 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 1 30 90
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I.Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Catatan: t.a.d: tidak ada data Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM (www.depkop.go.id)
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 83
Catatan: * nomor urut provinsi, lihat Tabel 1 Sumber: BPS (2010) Gambar 12. Persentase dari UMK yang Melakukan Ekspor Sepenuhnya menurut Provinsi Tahun 2010.
Catatan: * nomor urut provinsi, lihat Tabel 1 Sumber: BPS (2010) Gambar 13. Persentase dari UMK yang Mengekspor 80 Persen atau Lebih dari Total Produksinya menurut Provinsi yang punya UMK Berorientasi Ekspor Tahun 2010.
sudah melewati lebih dari dua generasi seperti meubel rotan di Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat) dan meubel kayu di Jepara (Provinsi Jawa Tengah), dan banyak dari klaster-klaster tersebut mendapat bimbingan dari pemerintah dalam berbagai macam bentuk terutama penyediaan fasilitas-fasilitas umum yang dapat digunakan oleh semua pengusaha di dalam klaster seperti mesin-mesin dan laboratorium untuk pengujian kualitas produk. Berdasarkan data yang ada dari Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2005 saja tercatat ada 450 klaster dari UMKM (tidak ada data khusus UMK) di industri manufaktur yang dibina oleh pemerintah, dan beberapa dari klaster tersebut berorientasi ekspor. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 6, pulau Jawa tidak hanya memiliki proporsi terbesar dari jumlah klaster UMKM yang ada tetapi juga dari jumlah klaster UMKM yang berorientasi ekspor. Fakta ini memberi suatu kesan bahwa UMKM di pulau Jawa lebih berorientasi ekspor dibandingkan rekannya di wilayah lain di Indonesia. Mungkin dapat dikatakan bahwa diantara klaster-klaster UMK yang berorientasi ekspor yang ada di Indonesia yang paling terkenal dan paling maju adalah klaster meubel kayu di Jepara di Provinsi Jawa Tengah. Pada pertengahan dekade 80-
84 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
an banyak UMK di klaster tersebut mulai melakukan ekspor untuk pertama kalinya, dan tercatat bahwa 10 besar unit usaha yang ekspor menguasai hampir 50 persen dari nilai total ekspor dari klaster tersebut. Awalnya laju pertumbuhan ekspor per tahun dari klaster tersebut tidak terlalu pesat, namun gebrakan paling besar muncul setelah sejumlah produsen mebel dari Jepara mengikuti sebuah pameran besar mengenai barang-barang ekspor Indonesia di Bali pada tahun 1989, dan sejak itu dalam waktu yang relatif singkat meubel dari berbagai jenis yang dihasilkan Jepara menjadi sangat popular baik di kalangan pembeli dalam negeri maupun di luar negeri. Awalnya, ekspor meubel dari Jepara hanya ditujukan pada segmen pasar konsumen berpendapatan rendah di negara-negara tujuan, namun menjelang dekade 90-an meubel Jepara mulai menggarap pasar luar negeri untuk masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi. Akibat bagusnya ekspor mereka, pada saat permintaan domestik merosot tajam pada periode krisis keuangan Asia 1997/98, para produsen meubel di Jepara tidak terlalu merasakan dampak negatif dari krisis tersebut. Namun sejak krisis tersebut, eksportir-eksportir meubel kayu dari Jepara mulai mendapatkan persaingan yang semakin sengit dari
produsen-produsen meubel dari sejumlah negara tetangga terutamas China, Vietnam dan Kambodia. Banyak faktor yang membuat kinerja ekspor dari UMK meubel di Jepara begitu baik, diantaranya adalah perbaikan pelabuhan laut di Semarang yang memfasilitasikan transportasi dari lokasi klaster ke pelabuhan, semakin baiknya fasilitas-fasiltas pendanaan, dan besarnya partisipasi dari pihak-pihak di negara-negara pembeli, mulai dari pembelipembeli individual (konsumen), pedagang, importir, pemilik grosir hingga industry-industri terkait. Tetapi sumber paling utama yang membuat meubel Jepara menjadi sangat terkenal di dunia adalah peran dari wisatawan-wisatawan asing yang berkunjung ke Jepara. Bahkan menurut beberapa sumber (a.l. Sandee dan Wingel (2002) dan Tambunan (2012)), wisatawan-wisatawan asing menyumbang sekitar 25 persen dari nilai total ekspor meubel Jepara pada periode sebelum krisis keuangan Asia 1997/98. Peran mereka adalah sebagai penghubung/mediator utama antara produsen dengan konsumen di luar negeri. Bahkan mereka juga yang membina UMK meubel di Jepara terutama mengenai selera konsumen di negara-negara mereka dan disain-disain
apa yang paling digemari. Selain itu sumber-sumber tersebut juga menunjukkan bahwa dampak dari kemajuan klaster meubel di Jepara terhadap kesempatan kerja sangat signifikan, apalagi jika juga diperhitungkan efek kesempatan kerja tidak langsungnya, terutama lewat keterkaitan produksi ke sektor-sektor hulu dan hilir: kesempatan kerja yang meningkat di usaha-usaha lain seperti transportasi, jasa, industri-industri yang membuat berbagai macam keperluan industri meubel, termasuk industri kayu, paku, cet, dan plitur, dan lewat keterkaitan konsumsi, yakni kesempatan kerja yang tumbuh di usaha-usaha seperti industri pakaian, rumah makan, transportasi, dan lainnya akibat permintaan konsumsi meningkat dari pekerjapekerja (dan keluarga-keluarga mereka) di UMK meubel. Jadi, dengan asumsi faktor-faktor berpengaruh lainnya tidak berubah, dapat dibayangkan berapa besar efek positif dari keberadaan UMK meubel di Jepara terhadap pengurangan kemiskinan di wilayah tersebut. Dua ciri penting lainnya dari UMK Indonesia yang berorientasi ekspor adalah: (1) banyak dari mereka yang tidak menjual semua
Tabel 7. Jumlah UMK di Industri Manufaktur menurut Provinsi dan Tujuan Pasar Tahun 2010 Provinsi*
Unit
Tujuan pasar Hanya dalam Hanya luar negeri (DN) negeri (LN) 1 56118 55814 2 66722 66196 254 3 53050 52762 55 4 12227 12199 7 5 18900 18896 4 6 51531 51531 7 9091 9064 8 81637 81593 14 9 5666 5666 10 11970 11876 70 11 28570 28445 12 397331 396635 453 13 659126 656785 2069 14 63526 62724 526 15 518327 517293 251 16 65582 65563 17 84701 79022 4626 18 83214 83186 19 80465 80465 20 29532 28976 198 21 14145 14145 22 55416 55405 23 12017 11997 24 28494 28493 25 26767 26767 26 84155 84093 27 53373 53373 28 18605 18582 23 29 20551 20549 30 26344 26342 31 5834 5783 32 1900 1900 33 7837 7819 Catatan: * nomor urut provinsi, lihat Tabel 4 Sumber: BPS (2010)
DN dan LN 304 272 233 21 27 30 24 125 243 272 276 783 19 1053 28 358 11 20 1 62 2 2 51 18
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 85
produknya ke pasar ekspor tetapi sebagian untuk pasar domestik. Jadi mereka sebenarnya bukan eksportir sepenuhnya; dan (2) sebagian besar dari UMK yang ekspor melakukannya secara tidak langsung, melainkan lewat perantara seperti pedagang, pengumpul, perusahaan-perusahaan eksportir (biasanya dari kategori UB), atau lewat keterkaitan produksi dengan sistem subcontracting dengan UMB berorientasi ekspor, yang mana UMK biasanya membuat barang-barang setengah jadi dan selanjutnya proses akhir produksi dilakukan di UMB. Berkaitan dengan ciri pertama tersebut, seperti yang dapat dilihat di Tabel 7, data BPS 2010 menunjukkan bahwa hanya ada beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki UMK berorientasi ekspor sepenuhnya), walaupun dalam persentase dari jumlah UMK yang ada, proporsinya relatif kecil. Lebih jelas lagi dapat dilihat di Gambar 12 bahwa provinsi Bali (No. 17) memiliki proporsi terbesar dari jumlah UMK yang ada di pulau tersebut yang melakukan ekspor 100 persen. Paling tidak ada satu alasan kunci, yakni sebagai lokasi turis terbesar atau terpopuler di Indonesia, Bali memiliki jaringan-jaringan kerja terluas dengan pasar-pasar internasional untuk ekspor UMK (mungkin pada peringkat kedua dipegang oleh Jepara). Tetapi posisi Bali itu bisa juga disebabkan oleh banyak jumlah UMK di Bali yang melakukan ekspor tetapi sebenarnya bukan dalam bentuk menjual barang-barang mereka secara langsung ke luar negeri tetapi menjualnya ke wisatawan-wisatawan asing yang berkunjung ke pulau tersebut. Sesuai klasifikasi internasional mengenai perdagangan antar negara, menjual ke warga negara asing yang berkunjung ke dalam negeri namun tidak memiliki ijin tinggal juga dianggap kegiatan ekspor. Mengenai ciri kedua tersebut, sebuah laporan dari Bank Pembangunan Asia (ADB, 2002) mengenai UMK dan UM (sebut saja UMKM) di Indonesia juga mengungkapkan bahwa rendahnya representasi dari UMKM Indonesia dalam ekspor dibandingkan dengan UB sebagian disebabkan oleh banyaknya UMKM yang melakukan ekspor lewat perantara baik di tingkat nasional maupun internasional. Akibatnya, mereka tidak tercatat secara resmi sebagai eksportir. Pihak perantara biasanya mengumpulkan produk-produk dari UMKM atau seperti dalam kasus subcontracting pihak perantara memberikan pesanan kepada UMKM, bisa dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi. Jadi sangat jelas bahwa dalam sistem perdagangan internasional seperti ini, pihak perantara memainkan sebuah peran yang sangat penting atau bahkan sangat dominan dalam membuat keputusan dalam banyak aspek, termasuk menentukan jumlah dan disain barang, warna, harga, teknologi yang digunakan, dan waktu penyerahan barang. Jadi, nyaris UMKM bersangkutan tidak punya pengaruh atau tidak terlibat sama sekali dalam keputusankeputusan atau penentuan-penentuan di luar proses
86 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
produksi itu sendiri. Bahkan sering kali orang mengatakan bahwa dalam praktek dagang seperti ini, yang mana pihak pembeli (dalam hal ini, pihak perantara) adalah motor utama pertumbuhan ekspor UMKM, UMKM yang terlibat sebenarnya tidak beda dengan buruh/tenaga kerja yang digaji yang bekerja di rumah-rumah. Walaupun sering kali peran perantara sedemikian dominannya sehingga UMKM yang terlibat lebih dirugikan daripada diuntungkan, namun ada hal-hal yang menguntungkan UMKM, khususnya mereka yang tidak memiliki kemampuan melakukan pemasaran internasional secara mandiri. Keuntungan dari sisi para output (permintaan) adalah menghubungkan UMKM dengan jaringan-jaringan pasar internasional (calon-calon pembeli di luar negeri); jadi ada semacam jaminan pasar bagi UMKM dengan biaya pemasaran yang rendah atau bahkan nihil. Dari sisi pasar input (penawaran/ produksi), pihak perantara sering kali menyediakan input-input penting seperti modal, teknologi, pendampingan dan bahkan saran-saran untuk meningkatkan kualitas barang dan bagaimana mendapatkan hak paten terhadap produk yang dibuatnya. Sayangnya, data yang ada mengenai UMK per provinsi seperti data BPS 2010 tersebut tidak memberikan informasi mengenai peran perantara dalam kegiatan ekspor UMK. Padahal pola dagang seperti ini sangat membantu dalam menilai sejauh mana UMK yang terlibat dalam kegiatan ekspor bermanfaat bagi kesejahteraan warga atau berdampak positif pada pengurangan kemiskinan di daerah. Teori dasarnya atau hipotesisnya adalah bahwa semakin dominan peran perantara semakin kecil efek positif dari keterlibatan UMK dalam ekspor terhadap kesejahteraan warga, khususnya pekerja dan pemilik UMK bersangkutan karena fakta menunjukkan bahwa pihak produsen sering kali mendapatkan harga jual yang tidak menguntungkan. Pihak perantara tidak selalu harus dari provinsi yang sama atau bahkan bisa dari luar negeri, sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin besar kekuasaan pihak perantara dari luar provinsi dalam kemitraan dagang dengan UMK lokal semakin kecil dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat lokal. Kendala-Kendala Utama Perkembangan UMK di Indonesia sering terhalang oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lain, atau antara perdesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar perusahaan di sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UMK di negara manapun juga, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yakni keterbatasan modal kerja maupun modal investasi, kesulitankesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input-input lainnya, keterbatasan
Tabel 8. Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Kendala Utama dan Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Jumlah
yang Berkendala Serius 41797 57636 37613 10389 15292 44854 8299 69812 4794 10217 23099 335383 478040 44835 367728 55723 67862 67395 77177 22691 11587 46029 10453 21076 22733 68380 47017 15352 16034 22033 4751 1612 6034
1
2
Jenis Kendala Utama * 3 4 5
6
7
Aceh 56118 9533 9752 19611 285 556 1093 967 Sumut 66722 12018 15613 22006 1381 519 2054 4045 Sumbar 53050 6742 7746 18086 205 119 1970 2745 Riau 12227 1586 3707 3880 229 95 255 637 Jambi 18900 2979 4046 6785 363 48 635 436 Sumsel 51531 11965 5743 19992 270 788 813 5283 Bengkulu 9091 1824 2146 3674 31 204 118 302 Lampung 81637 17996 14626 25929 2793 1372 2072 4430 Bangka 5666 1149 1327 1803 74 56 87 296 Belitung 11970 2874 2523 3356 36 752 316 360 Kep. Riau 28570 3573 7725 8224 207 285 1352 1733 DKI Jakarta 397331 82905 74952 115943 9454 4970 15808 31351 Jabar 659126 131755 102725 160944 3677 5800 22806 50333 Jateng 63526 6065 12687 15295 239 89 2853 7607 DIY 518327 77222 108118 125459 4760 5136 13620 33413 Jatim 65582 8897 7056 27650 538 1735 2134 7713 Banten 84701 15292 14388 26678 498 1679 1826 7501 Bali 83214 5794 16917 35011 364 4516 3434 1359 NTB 80465 9698 20814 36903 2552 496 5903 811 NTT 29532 5412 4569 7789 696 1925 715 1585 Kalbar 14145 3186 3750 3771 151 139 153 437 Kalteng 55416 13143 10678 15242 146 99 4163 2558 Kalsel 12017 2428 2203 4226 297 245 252 802 Kaltim 28494 6957 3233 7735 1125 688 946 392 Sulut 26767 5182 3156 11520 269 179 631 1796 Sulteng 84155 15272 14683 29724 2821 665 1340 3875 Sulsel 53373 8784 7679 20128 1803 374 382 7867 Sultengg 18605 2595 1784 8206 1090 605 358 714 Gorontalo 20551 3312 2532 7673 730 302 523 962 Sulbar 26344 5051 5180 8107 2034 71 123 1467 Maluku 5834 774 1024 2227 225 142 76 283 Maluku Utara 1900 372 429 678 25 33 75 Papua Barat 7837 1133 1612 2503 228 83 202 273 Papua Catatan: * (1) kekurangan bahan baku atau harganya mahal, (2) kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, (3) keterbatasan modal, (4) hambatan-hambatan transportasi/distribusi, (5) kekurangan energi atau harganya mahal, (6) kekurangan pekerja terampil atau biaya tenaga kerja mahal, dan (7) kendala-kendala utama lainnya. Sumber: BPS (2010a).
akses ke informasi mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah), rendahnya kemampuan teknologi, biaya transportasi dan energi yang tinggi, keterbatasan komunikasi, biaya transaksi yang tinggi akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan izin usaha, dan ketidakpastian akibat peraturan dan kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau tidak menentu arahnya (Urata, 2000; Tambunan, 2009a,b,c). Berdasarkan data BPS 2010, Tabel 8 menunjukkan bahwa proporsi dari UMK di industri manufaktur yang menghadapi problem-problem serius dalam jumlah maupun jenis masalah berbeda antar provinsi. Perbedaan ini bisa terkait dengan perbedaan-perbedaan dalam berbagai macam karakteristik lokal dari masing-masing provinsi seperti ketersediaan infrastruktur (dalam jumlah maupun kualitas) seperti pelabuhan laut atau udara, jalan raya, lokasi industri beserta komponen-
komponen pendukungnya, fasilitas penerangan dan telekomunikasi, serta fasilitas transportasi; lokasi geografi, terutama jaraknya dengan kota-kota penting atau pusat-pusat kegiatan ekonomi dan administrasi pemerintah seperti Jakarta, Surabaya dan Makassar); kebijakan-kebijakan pemerintah daerah (Pemda); dan kondisi pasar lokal (yang sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, pendapatan ratarata penduduk, lokasi atau akses masyarakat ke pasar, dan persaingan baik antar sesame UMK maupun antara UMK dengan UMB dan barangbarang impor). UMK yang mengalami kesulitan modal adalah terutama mereka yang berlokasi di perdesaan atau di wilayah-wilayah terbelakang atau relatif terisolasi di mana biasanya tidak terdapat kantor bank atau lembaga keuangan non-bank sehingga mereka tidak mendapatkan akses ke skim-skim kredit yang ada dari pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi UMK (seperti misalnya kredit
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 87
Tabel 9. Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Sumber Pendanaan dan Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Jumlah
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
56118 66722 53050 12227 18900 51531 9091 81637 5666 11970 28570 397331 659126 63526 518327 65582 84701 83214 80465 29532 14145 55416 12017 28494 26767 84155 53373 18605 20551 26344 5834 1900 7837
Sumber Pendanaan Sepenuhnya Sebagian Sepenuhnya uang eksternal eksternal sendiri 49610 6092 416 54230 8528 3964 39305 10299 3446 10914 1166 147 15454 3069 377 38460 10118 2953 7284 1438 369 64684 12380 4573 4913 530 223 11414 464 92 21990 5132 1448 287277 96762 13292 534073 113585 11468 46336 13464 3726 418145 83644 16538 54022 9589 1971 58557 15943 10201 60006 20370 2838 73017 6744 704 26575 2679 278 11329 2372 444 41558 876 5090 9996 1666 355 26852 1583 59 22430 3172 1165 68867 8413 6875 46140 6209 1024 13907 3116 1582 16632 3494 425 25032 1167 145 5375 429 30 1674 183 43 6695 845 297
Sumber: BPS (2010a).
usaha rakyat atau KUR). Konsekwensinya, mereka menjadi sangat tergantung sepenuhnya pada uang mereka sendiri, atau sebagian atau sepenuhnya pada pinjaman dari kerabat atau keluarga atau dari peminjam-peminjam informal yang sering kali menawarkan pinjaman dalam jumlah yang dibutuhkan yang bisa dicairkan dalam waktu singkat tanpa proses administrasi yang ruwet dan tanpa keharusan menyediakan jaminan, namun dengan bunga pinjaman yang lebih mahal daripada yang resmi berlaku di pasar. Tiga rasio tersebut menurut provinsi dapat dilihat di Tabel 9. Selanjutnya, data BPS pada tingkat nasional menunjukkan bahwa UMK di semua sektor yang mendanai usahanya dari sumber-sumber eksternal, meminjam tidak hanya dari bank atau lembagalembaga non-bank tetapi juga dari sumber-sumber informal seperti pinjaman dari kerabat, keluarga maupun tukang kredit informal. Dalam kata lain, banyak dari UMK di Indonesia yang mendapat dana dari berbagai sumber, baik formal maupun informal. Sedangkan pada tingkat provinsi, berdasarkan data
88 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
BPS 2010 mengenai UMK di industri manufaktur, Tabel 10 memperlihatkan bahwa derajat dari diversifikasi sumber-sumber pendanaan eksternal tidak sama antar provinsi. Ada sejumlah provinsi dimana peran dari sumber-sumber pendanaan informal sangat penting bagi kelangsungan hidup kegiatan-kegiatan UMK. Alasan adanya perbedaan dalam diversifikasi sumber pendanaan eksternal antar provinsi tersebut (atau alasan kenapa banyak UMK yang sangat mengandalkan uang sendiri atau tidak tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber eksternal formal) sebagian adalah karena biasanya pinjaman yang di dapat dari perbankan atau lembaga-lembaga keuangan formal non-bank tidak selalu mencukupi kebutuhan sehingga mereka harus juga menggunakan sumber-sumber informal. Misalnya, banyak kalangan beranggapan bahwa plafon dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) yakni maksimum Rp 20 juta sangat tidak cukup, apalagi untuk memperluas usaha atau untuk menggantikan alat-alat produksi. Selain itu, banyak juga pengusaha UMK yang menganggap bahwa bunga pinjaman dari
Tabel 10. Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Sumber Eksternal dan Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Jumlah
Memakai sumber 1 2 3 eksternal Aceh 56118 6508 664 988 416 Sumut 66722 12492 3137 756 167 Sumbar 53050 13745 3335 617 998 Riau 12227 1313 372 138 98 Jambi 18900 3446 887 197 86 Sumsel 51531 13071 438 276 50 Bengkulu 9091 1807 726 154 45 Lampung 81637 16953 2469 625 313 Bangka Belitung 5666 753 291 175 39 Kep. Riau 11970 556 99 25 DKI Jakarta 28570 6580 1137 326 92 Jabar 397331 110054 17413 4331 1487 Jateng 659126 125053 27932 3842 5555 DIY 63526 17190 4064 1586 1110 Jatim 518327 100182 22527 4820 4204 Banten 65582 11560 1258 809 206 Bali 84701 26144 7684 2071 2024 NTB 83214 23208 3571 1304 1084 NTT 80465 7448 1590 1862 1743 Kalbar 29532 2957 1357 228 210 Kalteng 14145 2816 488 206 39 Kalsel 55416 13858 1878 197 343 Kaltim 12017 2021 956 177 44 Sulut 28494 1642 392 69 84 Sulteng 26767 4337 934 183 1092 Sulsel 84155 15288 3669 958 522 Sultengg 53373 7233 1029 673 263 Gorontalo 18605 4698 690 253 71 Sulbar 20551 3919 698 186 1511 Maluku 26344 1312 115 609 120 Maluku Utara 5834 459 52 42 17 Papua Barat 1900 226 65 50 Papua 7837 1142 710 19 69 Catatan: * (1) bank, (2) koperasi, (3) lembaga-lembaga pendanaan individu/perorangan, (6) keluarga, (7) lainnya Sumber: BPS (2010a).
perbankan relatif mahal selain urusan administrasinya sangat ruwet dengan berbagai persyaratan yang sering kali sulit untuk dipenuhi (Kusmulyono, 2008; Situmorang, dkk. 2008). Dalam hal pendidikan formal dari pemilik usaha, pada tingkat nasional data BPS menunjukkan bahwa pemilik dari sebagian besar dari jumlah UMK yang beroperasi di semua sektor ekonomi hanya berpendidikan dasar (bahkan banyak dari mereka yang tidak sampai menamatkan sekolah dasar); walaupun tingkatnya bervariasi antar kelompok UMI dengan kelompok UK, dan juga bervariasi lintas sektor. Gambaran ini sesuai dengan fakta mengenai kondisi pendidikan formal dari masyarakat Indonesia berdasarkan hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (BPS) yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari angkatan atau tenaga kerja Indonesia hingga saat ini masih relatif rendah, walaupun ada peningkatan setiap 10 tahun: masih banyak orang di dalam kelompok umur antara 15 hingga 65 tahun yang hanya punya ijasa sekolah dasar (SD), atau hanya
Sumber eksternal* 4 5 6 2634 21 3423 208 3387 381 1447 9047 512 - 10152 5 47 306 52 2246 411 41835 939 43469 \138 4746 - 40085 18 6387 46 7077 9958 720 394 835 20 5117 10 623 13 708 48 1231 12 4366 1939 45 2156 364 175 164 76 208 non-bank, (4)
1681 1054 785 212 482 1248 238 2014 68 18 1862 9359 9357 478 9765 2014 750 3011 504 375 956 4304 134 121 492 1501 701 842 1043 285 175 20 90 modal
7 125 3837 4415 112 347 1729 131 1336 128 108 836 33466 33849 5063 17378 868 6371 4234 1029 379 287 1999 73 255 357 4251 2616 641 117 8 9 15 46 ventura, (5)
hingga sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA); walaupun jumlah penduduk dengan gelar sarjana atau S3 setiap tahun meningkat. Tabel 11 menunjukkan tingkat pendidikan formal dari pemilik UMK di industri manufaktur yang derajatnya bervariasi antar provinsi. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor utama penentu peningkatan pendidikan masyarakat di suatu wilayah, yakni, dari sisi pelajar: kemampuan finansial keluarga/orang tua, kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan lanjut, kesehatan dan kemauan individu pelajar, dan, dari sisi pemberi pendidikan antara lain: kuantitas dan kualitas bangunan sekolah dan pengajar, sistem pendidikan yang diterapkan, jalur-jalur pendidikan yang tersedia, dan biaya pendidikan resmi dan tidak resmi. Selain itu, infrastruktur baik dalam kuantitas dan kualitas, sebaran pemukiman dan sekolah, serta kebijakan pemerintah daerah yang secara langsung maupun
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 89
Tabel 11. Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Tingkat Pendidikan Formal Pemilik UMK dan Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Jumlah
Tingkat pendidikan formal* 1 2 3 4 5 6 Aceh 56118 10047 15371 15960 13665 636 439 Sumut 66722 12458 21869 14228 17116 117 934 Sumbar 53050 9006 12224 13390 16591 386 1453 Riau 12227 2624 4196 2554 2431 325 97 Jambi 18900 4092 6102 3106 5165 149 286 Sumsel 51531 9853 22968 9757 8179 197 577 Bengkulu 9091 1330 2440 2132 2823 197 169 Lampung 81637 18548 33877 16622 11949 255 386 Bangka Belitung 5666 1452 2114 758 1117 49 176 Kep. Riau 11970 3757 4470 2063 1549 99 32 DKI Jakarta 28570 2542 6925 7677 9604 646 1176 Jabar 397331 63630 229001 61972 38161 1620 2947 Jateng 659126 196949 312184 86586 52395 4087 6925 DIY 63526 14254 18678 12626 15686 1068 1214 Jatim 518327 131944 229809 92266 57246 1178 5884 Banten 65582 27469 26230 6475 4826 131 451 Bali 84701 20433 27716 16191 17528 1382 1451 NTB 83214 33374 26765 11926 9108 531 1510 NTT 80465 30384 35834 6676 6991 124 456 Kalbar 29532 7822 8360 6029 6677 194 450 Kalteng 14145 2198 5530 3646 2563 107 101 Kalsel 55416 15598 26888 6405 5430 634 461 Kaltim 12017 2552 4260 2890 2083 120 112 Sulut 28494 2816 12564 7530 5349 174 61 Sulteng 26767 5108 10858 5572 4926 102 201 Sulsel 84155 28086 30170 11601 13151 424 723 Sultengg 53373 16997 17018 11433 6925 553 447 Gorontalo 18605 6886 7671 2136 1774 74 64 Sulbar 20551 5238 9194 2611 3096 123 289 Maluku 26344 3615 11433 5198 5466 205 427 Maluku Utara 5834 793 2269 1207 1471 32 62 Papua Barat 1900 288 604 342 648 1 17 Papua 7837 1329 2545 1620 2095 56 192 Catatan: * (1) tidak tamat SD, (2) hanya tamat SD, (3) hanya tamat SMP, (4) hanya tamat SMA, (5) punya ijasa D I/II/III, (6) punya diploma sarjana. Sumber: BPS (2010).
tidak langsung mempengaruhi proses pendidikan di suatu wilayah juga sangat berperan. Tidak diragukan bahwa perbedaanperbedaan dalam tingkat pendidikan formal pemilik UMK dan akses ke sumber-sumber formal pendaaan antar provinsi turut menjelaskan adanya perbedaan dalam kinerja UMK menurut provinsi seperti yang telah diperlihatkan dan dibahas sebelumnya di atas. Pendidikan formal dan mudahnya akses ke pendanaan formal adalah dua faktor utama penentu produktivitas dan kualitas produk yang selanjutnya menentukan tingkat daya saing UMK. Apalagi sekarang ini dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia, semua provinsi di Indonesia menjadi sangat rentan terhadap semakin sengitnya persaingan dari luar lewat masuknya barang-barang dan jasa-jasa yang lebih murah atau yang kualitasnya lebih banyak. Jangankan industri, rumah makanrumah makan lokalpun bisa tergusur oleh rumah makan-rumah cepat saji yang berasal dari luar. Hal ini jelas bisa mengancam kelangsungan hidup UMK
90 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
di provinsi-provinsi. Tidak mungkin UMK bisa meningkatkan produktivitasnya dan melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas produknya tanpa memiliki pendidikan formal yang tinggi dan dana yang cukup. Inovasi sangat membutuhkan keahlian formal dan dana yang banyak, dan inovasi sekarang ini menjadi senjata utama untuk bisa terus memperbaiki/meningkatkan daya saing agar bisa bertahan di dalam persaingan global yang semakin ketat. SIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Walaupun hanya memakai data UMK di industri manufaktur saja (idealnya harus memakai data UMK di semua sektor), studi ini bisa menyimpulkan bahwa UMK memiliki peran penting sebagai salah satu cara untuk memerangi kemiskinan di daerah (provinsi). Namun demikian, fakta yang muncul dari analisa ini adalah bahwa kinerja UMK
yang berarti juga peran aktual dari kelompok usaha tersebut berbeda antar provinsi, yang tentu disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam faktorfaktor lokal dan kendala-kendala yang dihadapi UMK seperti yang telah dijelaskan di dalam penelitian ini. Walaupun sudah cukup banyak program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk mendukung perkembangan UMK di tanah air, kinerja UMK dan kondisinya di Indonesia pada umumnya dan dibanyak provinsi pada khususnya masih jauh dari yang diharapkan. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, seperti yang telah disinggung sebelumnya di Bagian 5, tidak mustahil UMK di banyak provinsi akan lenyap karena masuknya barang-barang dan jasa-jasa dari luar negeri, khususnya dari China, dengan keunggulankeunggulannya. Oleh sebab itu, banyak hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang diantaranya adalah: 1. Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan) dan non-fisik (seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan, litbang/lab), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi. 2. Pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMK yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan yang baru. 3. Walaupun bantuan pendanaan memang penting, namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau program-program pemerintah untuk membantu perkembangan UMK lebih pada peningkatan pendidikan pengusaha dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain itu, UMK baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual produk-produknya ke pasar luar negeri perlu dibantu sepenuhnya (misalnya dengan penyediaan lab. untuk pengujian kualitas barag) agar bisa mendapatkan label Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan berarti juga daya saing UMK.Untuk maksud ini, perlu adanya intensif agar terjalin kerjasama yang erat antara UMK setempat dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan/pelatihan dan litbang setempat sehingga terjadi peralihan teknologi dan pengetahuan ke UMK. 4. Perlu diupayakan peningkatan keterkaitan produksi lewat misalnya subcontracting antara UMK dan UB (usaha besar), termasuk
5.
6.
perusahaan-perusahaan asing (PMA) yang beroperasi di daerah. Berdasarkan fakta bahwa sulit mendapatkan UMK lokal yang siap sebagai pemasok bagi UB/PMA karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan, maka untuk mencapai tujuan ini, pemerintah daerah bersama-sama dengan pihak swasta seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda), asosiasi bisnis, himpunan pengusaha, dan universitas harus sepenuhnya membantu UMK dalam meningkatkan kemampuan mereka sebagai pemasok yang kompetitif dan efisien bagi UB/PMA. Dalam mengembangkan enam koridor ekonomi dalam rangka MP3EI, pengembangan UMK lokal di enam wilayah tersebut untuk menjadi UMK berdaya saing tinggi, baik sebagai pelaku usaha yang mandiri maupun sebagai pemasok UB, harus menjadi salah satu komponen penting dari kebijakan pengembangan enam koridor tersebut. Perlu diupayakan agar semua UMK di manapun lokasinya mendapatkan akses sepenuhnya ke informasi mengenai pasar dan lainnya, teknologi, pendidikan/pelatihan, fasilitas perdagangan, dan perbankan; tentu dengan tidak menghilangan penilaian obyektif mengenai kelayakan usaha dari UMK bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA Asian
Development Bank. 2002. “Report and Recommendation of the President to the Boards of Directors on a Proposed Loan and Technical Assistance Grant to the Republic of Indonesia for the Small and Medium Enterprise Export Development Project”, ADB RRP: INO 34331, November, Jakarta: Asian Development Bank. Asian Development Bank. 2009. Key Indicators for Asia and the Pacific 2009, Manila: Asian Development Bank. Badan Pusat Statistik. 2010a. Profil Industri Mikro dan Kecil 2010 (profile of micro and small industries), Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2010b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten Kota 2010, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Goh, Mark 2007. “High-growth, Innovative Asian SMEs for International Trade and Competiitveness: Challenges and Solutions for APO Member Countries”, Tokyo: Asian Productivity Organization. Kusmulyono, B. S. 2008. “Upaya pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui lembaga keuangan mikro”, makalah, lokakarya “transformasi peran koperasi dan UMKM dalam lima tahun mendatang”, 28 Oktober, Bappenas, Jakarta. Sandee, Henry dan J. ter Wingel. 2002. “SME Cluster Development Strategies in Indonesia: What Can We Learn from Successful Clusters?”, makalah dipresentasikan dalam JICA Workshop on
Peran Usaha Mikro dan Kecil dalam Pengentasan Kemiskinan di Daerah - Tulus T. H. Tambunan | 91
Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, 5-6 Maret, Jakarta. Situmorang, Johnny W. dan Jannes Situmorang. 2008. “Suku Bunga Perbankan Masih Menghambat Pembiayaan UMKM di Indonesia”, makalah, Jakarta:Kementerian Koperasi dan UMKM. Tambunan, Tulus T. H. 2009a. SME in Asian Developing Countries. London: Palgrave Macmillan Publisher. Tambunan, Tulus T. H. 2009b. Development of SMEs in ASEAN Countries. New Delhi: Readworthy Publications, Ltd, New Delhi Tambunan, Tulus T. H. 2009c. UMKM di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tambunan, Tulus. 2010. Trade Liberalization and SMEs in ASEAN, New York: Nova Science Publishers, Inc. Tambunan, Tulus. 2012. “Export-Oriented MSMEs’ Acess to Trade Facilitation: The Story from Indonesia”, Agustus, laporan penelitian untuk UN-ESCAP, Bangkok. UNESCAP. 2009. Globalization of Production and the Competitiveness of Small and Medium-sized Enterprises in Asia and the Pacific:Trends and Prospects, Studies in Trade and Investment 65, Bangkok: United Nations. Urata, Shujiro. 2000. ‘Policy Recommendations for SME Promotion in Indonesia’, report to the Coordination Ministry of Economy, Finance and Industry, Jakarta.
92 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 73 - 92
EKONOMI KREATIF: TALENTA BARU PEMICU DAYA SAING DAERAH CREATIVE ECONOMY: NEW TALENTS FOR REGIONAL COMPETITIVENESS TRIGGERS Herie Saksono Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) - Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta Nomor Telp./Faks: +62 21 314 0454; e-mail:
[email protected] Diterima: 27 April 2012, Direvisi: 3 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012
Abstrak Studi ini bertujuan untuk lebih memahami keberadaan ekonomi kreatif sebagai talenta baru yang diprediksi mampu memicu daya saing daerah. Hingga saat ini, pengangguran, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi masih menjadi persoalan klasik yang memerlukan solusi. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan metode studi literatur. Hasil analisis menyatakan bahwa ekonomi kreatif merupakan ide/gagasan yang diharapkan memberi nilai tambah ekonomi. Ekonomi kreatif merupakan alternatif solusi permasalahan perekonomian. Namun, dalam penyelenggaraannya seringkali menemui kendala. Direkomendasikan kepada Pemerintah maupun pemerintahan daerah agar segera membangun komitmen, membenahi regulasi, dan mengaktualisasikan ekonomi kreatif, sehingga keberadaan ekonomi kreatif dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah dan bahkan nasional. Kata Kunci: ekonomi kreatif, talenta baru, dan daya saing daerah. Abstract This study aims to understanding the presence of creative economy as a new talent that predicted as a trigger for regional competitiveness. Until now, unemployment, poverty, and economic growth became a classic problem that requires solutions. This study use descriptive-qualitative approach with literature study method. The analysis results stated that creative economy is an idea that hopefully adding the economic value. Creative economy is an alternative solution for the economic problems. However, the implementation is constantly facing obstacles. It is highly recommended that central and local government must immediately build a commitment to improve regulations and to actualized creative economy so that the presence of creative economy can stimulate economic growth and enhance regional and even national competitiveness. Keywords: creative economy, new talent, and regional competitiveness
PENDAHULUAN Masyarakat mulai akrab dengan industri rumahan (home industry) yang menjual ide kreatif untuk menghasilkan pendapatan. Para pakar ekonomi menyebutnya dengan istilah “ekonomi kreatif”, yakni sebuah “talenta” (baru) yang mengubah kehidupan masyarakat melalui ide/gagasan kreatif, sehingga menghasilkan produk-produk bernilai tambah ekonomi yang mampu menjadikan kehidupan lebih sejahtera. Kata “talenta” sendiri memiliki banyak definisi atau pengertian. Menurut Webster’s New World Dictionary (1991: 1365), talent – dalam bahasa Inggris kuno (Old English): talente, dalam bahasa Latin: talentum, dan dalam bahasa Yunani: talanton. Merupakan kata benda yang diartikan sebagai: 1 any of various large units of weight or of money (the value of a talent weight in gold, silver, etc.) used in ancient Greece, Rome, the Middle East, etc. 2 any natural ability or power; natural endowment 3 a superior, apparently natural ability in the arts or sciences or in the learning or
doing of anything 4 people cellectively, or a person, with talent [to encourage young talent]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2005: 1127) dinyatakan bahwa talenta adalah pembawaan seseorang sejak lahir; bakat. Menyimak beragam pengertian dan definisi tersebut, dalam konteks ini “talenta” diartikan sebagai anugerah Tuhan berupa ide/gagasan kreatif yang bernilai tambah ekonomi dan karenanya dapat mengubah kehidupan menjadi lebih sejahtera. Bagaimana dengan ekonomi kreatif? Ekonomi kreatif dimulai ketika pada tahun 1995 di London, Landry dan Bianchini merilis ide kreatif mereka dalam buku The Creative City. Di era Y2K (Year 2 Kilo) atau tahun 2000, Landry kembali mengemukakan ide yang menggugah para kepala daerah (walikota) dan pemangku kepentingan pembangunan ekonomi-budaya melalui bukunya, The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators. Sekali lagi, konsep yang ditawarkan adalah “Kota Kreatif” (creative city). Diawal risetnya, Florida (2012) menyampaikan hasil studi tentang
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 93
transformasi produk-produk perekonomian, industri kreatif, dan bangkitnya kelas kreatif (The Rise of Creative Class). Dinyatakan pula bahwa perekonomian dunia telah mengalami pergeseran. Bila pada abad XX, ekonomi bertumpu pada produk manufaktur, maka saat ini telah mengalami pergeseran ke ekonomi yang bersumber dari kreativitas sebagai komoditas utamanya di abad XXI. Di sisi lain, memasuki milenium kedua, Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan penanda dimulainya era desentralisasi (baca: otonomi daerah). Otonomi daerah bertujuan mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance), penyediaan pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah menuju masyarakat sejahtera. Desentralisasi telah merubah wajah teritorial pemerintahan dan lahirnya beberapa daerah otonom. Saat ini, wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 5 kotamadya, dan 1 kabupaten administrasi. Mengapa ekonomi kreatif? Haruskah daerah otonom menjadi sebuah “kota kreatif”? Sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi berbagai pernasalahan terkait dengan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam perspektif sosio-ekonomi terlihat bahwa sekalipun terjadi pertumbuhan ekonomi dalam negeri, namun beberapa indikator pembangunan belum menunjukkan perubahan yang signifikan dan memuaskan. Permasalahan ini merupakan akumulasi berbagai persoalan di daerah. Bahkan tren selama 3 (tiga) tahun terakhir (20092011) mengindikasikan secara jelas dan nyata beberapa indikator yang harus segera direspons dengan seksama melalui talenta baru dan strategi yang tepat (lihat Tabel 1). Memerhatikan arah perkembangan (trend) jumlah penduduk Indonesia, tingginya angka pengangguran terbuka (APT), jumlah penduduk miskin, pertumbuhan ekonomi, dan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2000, sesungguhnya justru terdapat peluang untuk mengeliminasi pengangguran terbuka dan mereduksi kemiskinan yang pada saatnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan talenta baru - ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif merupakan sistem transaksi (supply and demand) yang memiliki pengertian lebih luas daripada industri kreatif. Menurut Wikipedia, industri kreatif adalah a set of interlocking industry sectors that focus on creating unique property, content or design that previously did not exist. Sedangkan Department for Culture, Media and Sport-DCMS pemerintah United Kingdom (UK) memberikan definisi tentang industri kreatif sebagai as those industries which their origin in individual creativity, skill and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploration of intellectual property and content (industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut). (Creative Industries Mapping Document, DCMS, 2001). Para pihak yang berkecimpung dalam industri kreatif banyak mengacu pada definsi dari UK DCMS. Departemen Perdagangan Republik Indonesia ketika melakukan studi pemetaan industri kreatif (2007) juga menggunakan acuan definisi industri kreatif yang sama dengan UK DCMS. Pemerintah UK mengejawantahkan industri kreatif menjadi 11 subsektor, sedangkan pemerintah RI menetapkan 14 subsektor yang merupakan industri berbasis kreativitas. Berikut ini pembagian subsektor industri kreatif menurut beberapa versi. Subsektor-subsektor yang dimasukkan dalam fokus industri kreatif pada dasarnya diserahkan pada kebijakan negara yang bersangkutan. Karena, tiap negara yang concern terhadap industri kreatif membangun kompetensi ekonomi kreatif dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal yang perlu dijadikan catatan adalah subsektor-subsektor kompetensi dalam industri kreatif tersebut pada dasarnya dibangun melalui pengembangan tiga fokus industri berbasis, yaitu: (1) lapangan usaha kreatif dan budaya (creative cultural industry), (2) lapangan usaha kreatif (creative industry), dan (3) hak kekayaan intelektual (copyright industry). Maknanya, menjadi perhatian kita bahwa ketika Pemerintah telah menetapkan 14 sub sektor industri kreatif, maka diperlukan langkah-langkah
Tabel 1. Peluang Ekonomi Kreatif Sesuai Realita Sosial-Ekonomi Dalam Negeri No.
Kondisi Saat Ini
2009 1. Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) 231,369 2. Jumlah Pengangguran Terbuka (Ribu Jiwa) 8.962,617 3. Penduduk Miskin (Ribu Jiwa) 32.530,00 4. Persentase Penduduk Miskin (%) 14,15 5. Pertumbuhan Ekonomi (%) 4,6 6. PDB (ADHK 2000) Menurut Lapangan Usaha (Rp. Miliar) 2.178.850,4 Sumber: Berbagai Sumber. Badan Pusat Statistik (BPS). Data Diolah. 2012.
94 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
Tahun 2010 237,641 8.319,779 31.023,40 13,33 6,1 2.313.838,0
2011 241.453 7.700,086 30.018,93 12,49 6,5 2.463.242,0
Tabel 2. Versi Pembagian Subsektor Industri Kreatif Menurut Negara SUBSEKTOR INDUSTRI KREATIF The Government’s Department for Culture, Media and Sport (DCMS) of The United Kingdom (13 Kategori - 2001) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Periklanan; Arsitektur; Pasar Seni & Barang Antik; Kerajinan; Desain; Desainer Fesyen; Film & Video; Piranti Lunak Permainan Interaktif; Musik; Seni Pertunjukan; Penerbitan; Piranti Lunak & Layanan Komputer; Televisi & Radio.
Framework for Cultural Statistic (FCS) UNESCO (10 Kategori - 1986) 0. Peninggalan Budaya; 1. Penerbitan & Percetakan; 2 & 3. Musik & Seni Pertunjukan; 4. Gambar Seni; 5 & 6. Media Audiovisual (5 Sinema & Fotografi; & 6 Radio & Televisi) 7. Aktivitas Sosio-Kultural; 8. Olah Raga & Permainan Interaktif; 9. Lingkungan & Alam.
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) (14 Kategori - 2006) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Periklanan; Arsitektur; Pasar Seni & Barang Antik; Kerajinan; Desain; Fashion (Mode); Film, Video, & Fotografi; Permainan Interaktif; Musik; Seni Pertunjukan; Penerbitan & Percetakan; Layanan Komputer & Piranti Lunak; 13. Radio & Televisi; 14. Penelitian dan Pengembangan.
Sumber: DCMS (2001), FCS UNESCO (1986), dan KBLI (BPS; 2006).
pembenahan terhadap infrastruktur dan faktor-faktor pendukung pertumbuhan ekonomi kreatif. Dalam perspektif manajemen, diperlukan langkah strategis berupa pembinaan, perumusan regulasi/kebijakan yang lebih implementatif, pengalokasian anggaran dalam APBN maupun APBD, penguatan kapasitas usaha dan pola pendampingannya, monitoring dan evaluasi disertai pembangunan sistem dan basis datanya. Pembenahan ini akan mendukung penciptaan iklim ekonomi kreatif yang telah dimotori oleh masyarakat, sehingga menjadi lebih kondusif dan produktif. Apa dan bagaimana konsep ekonomi kreatif itu? Ekonomi kreatif digagas pertama kali di Inggris oleh John Howkins (2001) melalui bukunya "Creative Economy, How People Make Money from Ideas". Ide Howkins diinspirasi oleh pemikiran Robert Lucas yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas dan keberadaan orang-orang kreatif yang memiliki talenta khusus dengan kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk menciptakan suatu inovasi. Menurut Howkins, “Ekonomi Kreatif” merupakan aktivitas perekonomian yang lebih mengandalkan ide atau gagasan (kreatif) untuk mengelola material yang bersumber dari lingkungan di sekitarnya menjadi bernilai tambah ekonomi. Selanjutnya, konsep ekonomi kreatif tersebut dikembangkan oleh Florida melalui kedua karyanya, yakni: “The Rise of Creative Class” dan “Cities and the Creative Class”. Lantas, apakah “Kreatif” itu? Menurut Webster’s New World Dictionary (1991; 325), kreatif merupakan kata sifat yang berasal dari Bahasa Latin creativus yang mengandung pengertian 1 creating or able to create 2 having or showin
imagination and artistic or intelectual inventiveness [creative writing] 3 stimulating the imagination and inventive power [creative toys] 4 imaginatively or invetively deceptive [creative accounting]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 599) pengertian kreatif adalah: 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta. Kreativitas berarti: 1 kemampuan untuk mencipta; daya cipta; dan 2 perihal berkreasi; kekreatifan (perihal kreatif). Pendapat lain menyatakan kata “kreativitas” berasal dari bahasa Latin “creatus” yang akar katanya adalah “creare”, artinya “membuat, meneruskan, menghasilkan, memperanakkan, membiakkan,” dan berkaitan maknanya dengan “crescere” yang berarti “bangkit, tumbuh”. Jadi, terdapat padanan kata kreatif, yaitu "membuat" atau "mencipta", dan kata bentukan "creative" dan “creativity" menjadi "kreatif" (kata sifat) dan "kreativitas" (kata benda). “Karya” adalah wujud dari kreativitas, sedangkan “Kerja” merupakan jalan mewujudkan kreativitas. http://sejutapuisi.blogspot.com/2011/12/kolom-berimajinasilahjadilah-kreatif.html). United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam “Creative Economy Report 2010” (2010; 10) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai “The “creative economy” is an evolving concept based on creative assets potentially generating economic growth and development. ▪ It can foster income generation, job creation and export earnings while promoting social inclusion, cultural diversity and human development. ▪ It embraces economic, cultural and social aspects interacting with technology, intellectual property and tourism objectives. ▪ It is a set of knowledge-
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 95
Tabel 3. Peta Industri Kreatif dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2010 Jumlah Penduduk Kontribusi Terhadap PDB Kontribusi Terhadap Ekspor Penyerapan Tenaga Kerja Lingkup Kegiatan Utama
237.641.326 Jiwa 7,2 % 9% ± 7,5 Juta Pekerja
1. Fashion 6. Penyiaran 2. Kerajinan 7. Penerbitan 3. Periklanan 8. Musik 4. Desain 9. Pengembangan Perangkat Lunak 5. Arsitektur Peraturan Perundang-undangan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia Tahun 2009-2025 Sumber: Statistik Indonesia dan Global Business Guide Indonesia 2011. Data Diolah. 2012.
based economic activities with a development dimension and cross-cutting linkages at macro and micro levels to the overall economy. ▪ It is a feasible development option calling for innovative, multidisciplinary policy responses and interministerial action. ▪ At the heart of the creative economy are the creative industries.” Menyimak berbagai konsep dan pengertian tersebut, secara realistis-sederhana ekonomi kreatif (creative economy) diartikan sebagai talenta (ide kreatif-inovatif) dengan nilai ekonomi yang mampu merubah kualitas hidup manusia menjadi lebih sejahtera. Ekonomi kreatif lebih mengandalkan kreativitas individu melalui gagasan, daya kreasi, dan daya cipta untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi karyanya, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan. Merespon transformasi perekonomian tersebut, Pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan Program Ekonomi Kreatif (Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif) yang wajib dilaksanakan oleh beberapa kementerian/lembaga dan seluruh pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/ kota). Presiden juga mencanangkan Tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Namun, memerhatikan berbagai keterbatasan, Pemerintah menetapkan prioritas pengembangan ekonomi kreatif dalam kurun waktu 2009 - 2014 difokuskan kepada 7 (tujuh) kelompok industri kreatif, yaitu: (1) arsitektur; (2) fesyen; (3) kerajinan; (4) layanan komputer dan piranti lunak; (5) periklanan; (6) permainan interaktif; dan (7) riset dan pengembangan. Kini, manfaat ekonomi kreatif semakin dirasakan. Peta Industri Kreatif Dalam Perekonomian Indonesia Tahun 1020 (Data Global Business Guide Indonesia – 2011) menunjukkan andil industri kreatif dalam perekonomian dalam negeri. (http://www.gbgindonesia.com/en/services/ article/2011/indonesia_s_creative_industries.php) Menyimak besarnya penyerapan sumberdaya manusia (SDM) yang mencapai ± 7,5 juta pekerja di subsektor industri kreatif,
menandakan besarnya potensi anak negeri bertalenta kreatif. Latuconsina (2010: 20) menyatakan bahwa sumberdaya manusia (SDM) kreatif adalah syarat untuk mengisi peranan dalam industri kreatif. Industri kreatif adalah jalan untuk membangun ekonomi kreatif atau ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Dan ekonomi model ini adalah fondasi ekonomi yang dibangun berdasarkan sinergisitas antara talenta SDM dan keunggulan alam, yang ditandai dengan pertumbuhan cepat, penambahan nilai yang tinggi, serta perspektif sosial yang positif. Apa makna yang dapat kita peroleh, terutama di era otonomi daerah? Keberadaan dan keberlanjutan pemerintahan daerah menuntut penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat efisien, efektif, ekonomis, dan produktif. Artinya, diperlukan sinergisitas dan kohesitas antara pemerintahan daerah dan masyarakatnya untuk bersama-sama mengeksplorasi potensi, kekayaan budaya, dan kearifan lokal sesuai karakteristik wilayahnya dalam koridor peraturan perundangundangan, sehingga terjadi percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah yang signifikan menuju terwujud masyarakat sejahtera. Kepedulian Pemerintah dan pemerintahan daerah menjadi penentu berkembangnya industri kreatif. Anggraini (2008: 150-151) mengungkapkan 6 (enam) argumentasi perlunya pengembangan industri kreatif di Indonesia, yakni: 1. Dari sisi “Kontribusi Ekonomi”, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produk domestik bruto (PDB), dan ekspor; 2. Dari sisi “Iklim Bisnis”, menciptakan lapangan usaha, dampak bagi sektor lain, dan pemasaran; 3. Dari sisi “Citra dan Identitas Bangsa”, meningkatkan turisme, ikon nasional, membangun budaya, warisan budaya, dan nilai lokal; 4. Dari sisi “Sumberdaya Terbarukan”, berbasis pengetahuan, kreativitas, dan membangun komunitas hijau; 5. Dari sisi “Inovasi dan Kreativitas”, memberikan ide, gagasan, dan penciptaan nilai; dan
96 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
6.
Dari sisi “Dampak Sosial”, meningkatkan kualitas hidup, pemerataan kesejahteraan, dan peningkatan toleransi sosial. Dalam perkembangannya akan memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa. Selain itu, sumberdaya dapat selalu terbarukan yang berbasis pengetahuan, kreativitas dan komunitas hijau, menuju keunggulan kompetitif bangsa berdampak sosial positif. Dalam konteks yang lebih luas, daerah (terutama perkotaan) harus mampu menjadi wahana bagi masyarakatnya untuk membentuk pola pikir, pola tindak, pola sikap, pola berusaha, dan pola hidup yang terencana dengan daya imajinasi yang berbasis kekayaan alam, budaya, dan keunggulan daerah. Perkotaan harus mampu menjadi 2L (locus dan locomotive) perubahan yang dapat memerankan dirinya sebagai regulator sekaligus katalisator dengan memberikan kebebasan kepada semua orang agar meningkatkan kapasitas individu, mengembangkan diri secara profesional, dan berkembang sesuai dinamika pembangunan yang berkelanjutan. Merespons ide kreatif dan upaya menghadirkan kota kreatif, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) membentuk Jaringan Kota-kota Kreatif (JKK/The Creative Cities Network) pada tahun 2004. JKK bertujuan mempromosikan dan mempertahankan keberagaman budaya melalui pertukaran pengalaman dan merumuskan strategi untuk menghadapi arus globalisasi. Kota-kota kreatif tersebut merupakan bagian dari sistem pemerintahan daerah yang terdiri atas berbagai komunitas mitra (pemerintah/swasta), organisasi profesi, masyarakat sipil, lembaga budaya, dan lain-lain. Saat ini, UNESCO sudah menetapkan 30 (tiga puluh) kota yang terdapat di 19 (sembilan belas) negara sebagai “Kota Kreatif”. Seluruh kota tersebut tergabung dalam keanggotaan JKK menurut 7 (tujuh) kategorisasi lapangan industri kreatif sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Ketentuan Creative Cities Network (CCN) UNESCO mewajibkan setiap anggotanya tergabung dalam jaringan kota-kota kreatif dengan durasi tak terbatas dan dapat meninggalkannya setiap saat dengan ketentuan terlebih dahulu memberitahukan kepada UNESCO. Dalam perspektif hak, kota yang ditunjuk dan ditetapkan sebagai “Kota Kreatif” berhak menggunakan nama dan logo UNESCO
Tabel 4. Daftar Jaringan Kota-kota Kreatif Menurut Negara Asal dan Lapangan Industri Kreatif Tahun 2011 Jenis Industri Kreatif Sastra (Literature)
Negara Asal 1. Inggris 2. Australia 3. Amerika Serikat 4. Irlandia 5. Islandia 1. Inggris Tontonan (Film) 2. Australia 1. Spanyol Musik (Music) 2. Italia 3. Inggris 4. Belgia 5. Kolombia 1. Amerika Serikat Seni Kerajinan dan 2. Mesir Kesenian Rakyat 3. Jepang (Crafts and Folk Art) 4. Korea Selatan 1. Argentina Desain (Design) 2. Jerman 3. Kanada 4. Jepang 5. Jepang 6. China 7. China 8. Korea Selatan 9. Perancis 10. Austria Perancis Seni Media (Media Arts) 1. 1. Kolombia Tradisional Kulinari 2. China (Gastronomy) 3. Swedia Sumber: UNESCO. Data Diolah. 2012.
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 1. 2. 3.
Nama Kota Edinburgh Melbourne Iowa City Dublin Reykjavik Bradford Sydney Seville Bologna Glasgow Ghent Bogota Santa Fe Aswan Kanazawa Icheon Buenos Aires Berlin Montreal Nagoya Kobe Shenzen Shanghai Seoul Saint-Etienne Graz Lyon Popayan Chengdu Ostersund
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 97
berdasarkan ketentuan dan persyaratan dalam kontrak grafis UNESCO. Dari sisi kewajiban, setiap tahun “Kota Kreatif” wajib melaporkan kepada UNESCO perihal perkembangan dalam hal kebijakan dan kegiatan, baik lokal maupun internasional dan melakukan kerja sama dengan kota lainnya. Kota kreatif berarti kota dimana pemerintah maupun masyarakatnya memiliki ide-ide kreatif serta didukung oleh kebijakan publik yang aspiratif untuk pengembangan potensi dan daya saing daerah. Maknanya adalah bagaimana daerah menjadi tempat yang inspiratif, sehingga masyarakat memiliki semangat, kecerdasan, imajinasi, dan kreativitas untuk mengembangkan ekonomi daerahnya. Implikasinya, setiap pemerintahan daerah harus mengeksplorasi kreativitas agar mampu mengelola, menumbuhkembangkan, dan meningkatkan daya saing daerahnya. Siklus inilah yang menentukan eksistensi dan menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah secara berkesinambungan. Intinya, kemajuan dan keberhasilan daerah otonom ditentukan oleh keberadaan kelas kreatif dan daya inovasinya. Semakin banyak kelas kreatif dan inovasi di suatu daerah, semakin mempercepat terjadinya perubahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang mengarah pada kesejahteraan. Ekonomi kreatif dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan daerah idealnya dibangun dari ide-ide inovatif (innovation) yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi, bisnis, dan investasi (growing business), berorientasi daya saing menuju transformasi industri kreatif (competition), dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (people welfare). Dalam konteks ini, pra kondisi diperlukan untuk: (1) identifikasi dan inventarisasi jenis dari 14 subsektor ekonomi kreatif di daerah; (2) membangun database; (3) merumuskan kebijakan, orientasi, target capaian, dan strategi pengembangan; (4) peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola ekonomi kreatif di daerah; (5) menata prosedur, mekanisme, dan jaringan untuk pemasaran produk ke pasar domestik maupun mancanegara; (6) meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia (SDM); (7) menjamin kualitas produk dan pelayanan pasca jual; dan (8) kelestarian lingkungan demi keberlangsungan usaha. Persoalannya justru sejauhmana kreativitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat saat ini? Kreativitas merupakan talenta yang mampu membuahkan potensi besar dan mendukung keberlanjutan perekonomian individu, masyarakat, daerah, dan bahkan nasional. Namun, sejauhmana “kreativitas” (ekonomi kreatif dan industri kreatif) mampu memicu daya saing daerah dan daya saing nasional?
METODE PENELITIAN Studi ini bertujuan untuk lebih memahami keberadaan ekonomi kreatif sebagai talenta baru yang diprediksi mampu memicu daya saing daerah. Dalam upaya mengeksplorasi isu-isu ekonomi kreatif digunakan metode deskriptif dengan analisis data secara kualitatif. Analisa kualitatif difokuskan pada pemaknaan manajemen untuk mendapatkan deskripsi kinerja terbaik (best performance) serta upaya-upaya terbaik (best effort) yang telah ditempuh oleh pemerintah dan terutama oleh pemerintahan daerah dalam rangka keterpaduan dan sinergisitas pelaksanaan pengembangan ekonomi kreatif. Dengan demikian dapat diketahui kondisi senyatanya berupa dinamika dan problematika dalam upaya pengembangan ekonomi kreatif di tanah air. Penelusuran literatur (literature study) menjadi sarana utama untuk memperoleh informasi dan data sekunder. Kebutuhan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Beberapa literatur dan/atau dokumen yang digunakan antara lain: peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, dan referensi berupa jurnal, buku teks, kamus, dokumen, internet serta berbagai artikel yang terkait dengan ekonomi kreatif. Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel. Beberapa data yang diperoleh dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian (K/LPNK) sudah diolah dan merupakan hasil penelitian terdahulu. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagai talenta baru, ekonomi kreatif diharapkan mampu menjadi pengungkit daya saing (daerah maupun nasional). Eksistensinya memerlukan pengakuan yang harus diwujudkan melalui berbagai regulasi/kebijakan dan kebersamaan tindakan antara regulator, mediator, fasilitator, implementor, aktor, dan bahkan penerima manfaat lainnya (beneficiaries). Secara manajerial, dalam perspektif sense of urgency, diidentifikasi 5 (lima) agenda pengembangan ekonomi kreatif yang memerlukan penataan dan pengelolaan secara paripurna. Kelima agenda tersebut, yaitu: (1) pemetaan kendala operasional; (2) upaya terobosan; (3) komitmen dan tindakan; (4) kesadaran masyarakat; dan (5) pentingnya basis data. Pemetaan Kendala Operasional Semenjak pencanangan Tahun Ekonomi Kreatif pada tahun 2009, kondisi ekonomi kreatif Indonesia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan teknologi informasi, lapangan usaha jasa, dan meningkatnya angkatan muda berpendidikan (skill) memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kreatif. Berdasarkan Hasil Riset dan Pemetaan Industri Kreatif Kementerian Perdagangan 2011, diperoleh
98 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
Tabel 5. Beberapa Kendala Dalam Aplikasi Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif ATOM
Kendala Pada Lingkup Kegiatan Utama Industri Ekonomi Kreatif Dalam Perspektif Administratif, Teknis, Operasional, dan Manajerial (ATOM) Prosedur Administrasi; Regulasi (Administrasi) Ekspor dan Impor; Biaya Administrasi Perijinan, Pengurusan HKI, & Pendirian Usaha Relatif Mahal; Lambannya Proses Pengurusan (Prosedur) Administrasi Ekspor dan Impor; dan Regulasi Bahan Baku, Khususnya Subsektor Industri Kreatif yang Mengandalkan Sumber Daya Alam (al. Penerbitan, Percetakan, Fesyen, dan Kerajinan);
1. Administratif
1. 2. 3. 4. 5.
2. Teknis
1. Proteksi terhadap Produk Impor (Substitusi Impor), Kemudahan Impor, dan Larngakan Ekspor Bahan Baku; 2. Maraknya Pembajakan Hasil Produksi; 3. Relatif Rendahya Pemahaman Para Pelaku Ekonomi Kreatif Terhadap Hak Cipta, Desain, Paten, dan Merk, sehingga Terjadi Pembajakan Produk; 4. Tingginya Risiko (High Risk) Akibat Kegagalan Produk/Jasa yang Ditawarkan ke Pasar Domestik maupun Internasional; dan 5. Belum Tersedianya Regulasi Terkait Insentif Pajak (Tax Holiday) Terutama untuk Subsektor-subsektor yang Belum Menghasilkan Keuntungan Besar.
3. Operasional
1. 2. 3. 4.
4. Manajerial
1. Keterbatasan SDM Terampil yang Mau Menekuni Industri Kreatif; 2. Persaingan Usaha, Khususnya di Industri Televisi dan Radio, Periklanan dan Industri Film, Video, dan Fotografi; 3. Tenaga Kerja, Khususnya pada Sektor yang Bersifat Padat Karya (Labour Intensif, seperti: Fesyen, Percetakan Besar, Televisi, dan Beberapa Perusahaan Kerajinan; 4. Belum Dicapainya Konsensus Antara Pengusaha, Pemerintah, dan Serikat Pekerja Dalam Penyempurnaan Aturan Tenaga Kerja yang Berusaha Melindungi Tenaga Kerja dengan Lebih Baik (Karena Labour Market Felxible yang Merupakan Preferensi Pengusaha Menjadi Terkekang); 5. Pungutan-pungutan Liar yang Mengurangi Efisiensi dan Mengurangi Akurasi Estimasi Perhitungan Keuangan, sehingga Menyebabkan Ekonomi Biaya Tinggi; 6. Belum Semua Perbankan/Lembaga Keuangan Bersedia Membiayai Usaha Ekonomi Kreatif; dan 7. Masih Diperlukan Keikutsertaan Perguruan Tinggi Dalam Pembimbingan dan Penerapan Metode/Teknologi Tepat Guna dan Murah.
Maraknya impor ilegal; Penyelundupan yang Mengakibatkan Langkanya Bahan Baku; Kelangkaan dan Mahalnya Bahan Baku Industri; Keterbatasan Kanal (Frekuensi) Teknologi Transmisi Penyiaran – Pada Umumnya Masih Menggunakan Teknologi Analog; dan 5. Terjadinya Perebutan Kanal karena Pesatnya Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Penyiaran.
Sumber: KADIN dan Berbagai Sumber. Data Diolah. 2012.
data multiplier effect ekonomi kreatif. Pada tahun 2010, kontribusi output dari ekonomi kreatif mencapai 7,73%, kontribusi tenaga kerja 7,76%, kontribusi jumlah usaha 6,46%, dan kontribusi net trade 33,14%. Sejauhmana optimasi kontribusi ekonomi kreatif dan kecepatan pencapaiannya terhadap perekonomian dalam negeri masih memerlukan studi tersendiri. Namun, seiring dengan pertumbuhannya, patut pula mencermati kendala operasional yang kerapkali menghambat laju pengembangan ekonomi kreatif di tanah air. Pada tahap awal, Pemerintah bersama-sama masyarakat memerlukan pemahaman bahwa tidak semua potensi kreatif dapat langsung memberikan nilai tambah ekonomi (memiliki nilai
jual). Dalam prakteknya, publik seringkali dihadapkan pada beragam kendala ketika hendak memulai usaha di bidang ekonomi kreatif. Kesamaan visi Pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan berbagai organisasi kreatif diharapkan mampu mereduksi sejumlah kendala tersebut. Bertolak dari beberapa studi, terdapat beberapa persoalan yang secara realistis justru menghambat perkembangan ekonomi kreatif dan industri kreatif di tanah air sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Mencermati kendala tersebut, ekonomi kreatif di Indonesia belum sepenuhnya didukung regulasi/kebijkan yang memadai, sehingga kondisinya relatif jauh dari kondusif. Implikasinya,
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 99
Tabel 6. Pertumbuhan Industri Kreatif Bidang Penerbitan, Percetakan, dan Reproduksi Media Rekaman (KBLI No. 22) Menurut Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja, dan Pengeluaran untuk Tenaga Kerja Berdasarkan Provinsi Selama Kurun Waktu 5 Tahun (2004-2008)
No.
Provinsi
Pertumbuhan Industri Kreatif Jumlah Pengeluaran Jumlah Tenaga Tenaga Perusahaan Kerja Kerja (%) (%) (%) 0 2,94 20,80 16,72 12,46 20,52 0 5,10 0,47 0 -
Keterangan
Aceh Tidak Terpetakan (No Data) Sumatera Utara Tidak Terpetakan (No Data) Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Tidak Terpetakan (No Data) Jambi Sumatera Selatan Data Tidak Lengkap Kep. Bangka Belitung Tidak Terpetakan (No Data) Bengkulu Tidak Terpetakan (No Data) Lampung Tidak Terpetakan (No Data) SUMATERA DKI Jakarta 1,14 (1,13) 330,04 11. Jawa Barat 7,74 8,23 31,00 12. Banten 30,66 4,21 13. Jawa Tengah 9,77 (2,23) 4,19 14. DI Yogyakarta 3,13 3,29 17,26 15. Jawa Timur 8,59 6,27 17,30 16. JAWA Bali 13,10 2,33 16,05 17. Nusa Tenggara Barat - Tidak Terpetakan (No Data) 18. Nusa Tenggara Timur - Tidak Terpetakan (No Data) 19. BALI – NUSA TENGGARA Kalimantan Barat 10,76 24,68 44,81 20. Kalimantan Tengah - Tidak Terpetakan (No Data) 21. Kalimantan Selatan - Tidak Terpetakan (No Data) 22. Kalimantan Timur - Tidak Terpetakan (No Data) 23. KALIMANTAN Sulawesi Utara - Tidak Terpetakan (No Data) 24. Gorontalo - Tidak Terpetakan (No Data) 25. Sulawesi Tengah - Tidak Terpetakan (No Data) 26. Sulawesi Selatan 0 (46,87) (45,33) 27. Sulawesi Barat - Tidak Terpetakan (No Data) 28. Sulawesi Tenggara - Tidak Terpetakan (No Data) 29. SULAWESI Maluku - Tidak Terpetakan (No Data) 30. Maluku Utara - Tidak Terpetakan (No Data) 31. Papua - Tidak Terpetakan (No Data) 32. Papua Barat - Tidak Terpetakan (No Data) 33. MALUKU & PAPUA Sumber: Daerah Dalam Angka (Provinsi) Kurun Waktu 2005-2011. Data Diolah. 2012. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
berbagai kesulitan seringkali dialami stakeholders ekonomi kreatif. Suka tidak suka dan mau tidak mau, Pemerintah maupun pemerintahan daerah dihadapkan pada pilihan untuk segera mereduksi sejumlah kendala dimaksud melalui terobosan, sehingga dapat menghemat waktu untuk lebih mengoptimalkan pengembangan ekonomi kreatif. Upaya Terobosan (Breakthrough) Menilik kendala yang menghambat pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, Pemerintah maupun pemerintah daerah (pemda) wajib bersinergi untuk mencapai kesepakatan
melakukan terobosan sebagai solusi yang bermakna bagi para pelaku ekonomi kreatif. Terobosan merupakan langkah strategis, karena dalam proses pengembangan ekonomi kreatif terutama di daerah merupakan hubungan sistemik dan saling ketergantungan antar kesepuluh aspek utamanya, yakni: 1. Sumberdaya manusia (SDM) yang kreatif dengan pemikiran inovatif; 2. Inovasi dan kreativitas berciri keunggulan lokal yang berdaya saing global; 3. Regulasi/kebijakan yang disertai upaya penegakan hukum (law enforcement);
100 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
4.
Insentif bagi pengembangan produk ekonomi kreatif; 5. Pasar dan pola pengaturannya (ekspor-impor); 6. Teknologi dan metode yang ramah lingkungan; 7. Ketersediaan material lokal dan optimalisasi pemanfaatannya; 8. Kepercayaan dunia perbankan, lembaga permodalan, dan dunia usaha; 9. Aksesibilitas dan konektivitas (jejaring); dan 10. Masyarakat yang apresiatif dan mendukung kekayaan intelektual (HKI). Salah satu terobosan penting adalah melakukan pemetaan terhadap 14 subsektor ekonomi kreatif. Belum semua pemerintah daerah memiliki data/informasi yang setara terkait ekonomi kreatif. Upaya terobosan akan menjadi pembuka bagi kemajuan industri kreatif dan ekonomi kreatif di daerah. Komitmen dan Tindakan (Commitment and Actions) Komitmen dan tindakan menjadi momentum penting bagi kemajuan pertumbuhan ekonomi kreatif. Political will dan political action Pemerintah dan pemerintahan daerah akan memberikan kepastian bagi para pelaku industri dan ekonomi kreatif untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan serta menetapkan langkahnya. Setidaknya komitmen dan tindakan diwujudnyatakan melalui perumusan peraturan pemerintah (PP) tentang pengembangan ekonomi kreatif. Namun, bila dirasakan sebagai kebutuhan mendesak, maka diperlukan kemauan untuk segera menetapkan peraturan bersama antara 9 (sembilan) menteri/ kepala lembaga, yakni: (1) Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; (2) Menteri Dalam Negeri; (3) Menteri Luar Negeri; (4) Menteri Perindustrian; (5) Menteri Perdagangan; (6) Menteri Pendidikan; 7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; dan 9) Gubernur Bank Indonesia. Selanjutnya, Pemerintah bersama-sama dengan pemerintahan daerah provinsi melakukan pembinaan dan fasilitasi antara lain dapat berupa pengembangan kapasitas para pemangku kepentingan (stakeholders) industri dan ekonomi kreatif di kabupaten/kota dalam wilayahnya secara serentak. Kesatuan gerak langkah ini akan menentukan skala pengembangan usaha sesuai kebutuhan pasar domestik dan mancanegara, sehingga dapat diidentifikasi jenis kebutuhan dan kendala yang akan dihadapi ketika masyarakat melakukan usaha ekonomi kreatif. Kesadaran Masyarakat (People Awareness) Banyak diantara kita yang belum mengenal dan memahami industri dan ekonomi kreatif. Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui hasil-hasil kerajinan sebagai karya yang mengekspresikan suatu budaya atau kebudayaan dan dijual. Bagaimana
kemanfaatan yang dapat langsung dirasakan, seberapa besar rintangan, dan bagaimana mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif belum menjadi kepedulian kebanyakan orang. Dilihat dari perspektif geo-ekonomi dan geo-regional yang diintegrasikan dengan kondisi demografisnya, nampak bahwa jumlah dan sebaran penduduk Indonesia merupakan modal utama pengembangan ekonomi kreatif. Penduduk merupakan aset untuk mengapresiasi produk-produk ekonomi kreatif di tanah air. Idealnya, setiap daerah menciptakan ekonomi kreatif berdasarkan spesifikasi dan kekhasan wilayahnya masing-masing. Jika tahapan tersebut telah terwujud, yang harus dilakukan adalah menata aksesibilitas dan konektivitasnya, sehingga dapat terjadi multiplier effect bagi pertumbuhan perekonomian daerah. Pemerintah wajib menumbuhkan kesadaran masyarakat, sehingga mereka semakin menghargai, mengenali, dan bahkan menggali berbagai potensi modal kreativitas yang dimiliki dan ada di dalam masyarakat itu sendiri. Secara fundamental, Sun (2010) menjelaskan bahwa menjadi kreatif sangatlah penting. Sama pentingnya menjadikan kreativitas sebagai gaya hidup masyarakat, karena kreativitas dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah. Dengan kata lain, kesadaran masyarakat yang diwujudkan melalui apresiasi terhadap semua potensi ekonomi kreatif akan meningkatkan transaksi ekonomi kreatif. Selain itu, animo masyarakat dapat ditumbuhkan melalui penciptaan ide kreatif yang mengacu pada karakteristik, keunggulan, dan keunikan masing-masing wilayah. Tingkat konsumsi utamanya belanja rumah tangga, ekspor, dan investasi yang tercipta di setiap daerah akan melahirkan budi serta karya yang merefleksikan kultur ke-Indonesiaan. Pentingnya Basis Data (Database) Basis data menjadi suatu keniscayaan ketika pemerintah hendak mengembangkan ekonomi kreatif. Ketersediaan kebijakan/regulasi dan data/informasi yang akurat akan memudahkan proses evaluasi dalam kerangka mencari terobosan untuk pengembangannya lebih lanjut. Basis data menjadi media komunikasi antarpelaku ekonomi kreatif yang mampu memberikan penjelasan ringkas mengenai berbagai perkembangan dan kendala terkait 14 subsektor Ekonomi Kreatif. Basis data harus diterbitkan oleh dan atas kerjasama Pemerintah dengan pemerintahan daerah. Sebagai catatan, dalam upaya memenuhi kebutuhan analisis, dilakukan penelusuran data dari keempatbelas subsektor industri kreatif berdasarkan wilayah provinsi. Dokumen yang digunakan adalah Daerah Dalam Angka (33 provinsi) Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011. Mencermati Tabel 6, diakui sulitnya mencari dan menggali data industri/ekonomi kreatif.
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 101
Penyebabnya, tidak tersedianya basis data. Tidak semua subsektor industri kreatif dapat dipetakan dan tersimpan datanya. Menurut KBLI 2006, hanya industri kreatif penerbitan dan percetakan yang masuk dalam kategori penerbitan, percetakan, dan reproduksi media rekaman (KBLI No. 22) berhasil didata dengan relatif baik dalam beberapa buku Daerah Dalam Angka. Kondisi ini membuktikan bahwa Pemerintah maupun pemerintahan daerah belum menyentuh dan membangun basis data. Implikasinya, terdapat sejumlah kesulitan dalam proses identifikasi dan inventarisasi ekonomi kreatif di tataran pemerintahan daerah. Padahal, pemerintah daerah memiliki kepentingan untuk menyejahterakan masyarakatnya dan meningkatkan penerimaan daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah harus dapat menjadi motor penggerak ekonomi kreatif melalui pembinaan, pengembangan kapasitas dan pendampingan usaha-usaha yang berbasis kreativitas. Data membuktikan bahwa pertumbuhan jumlah perusahaan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun (2004-2008) senantiasa diikuti dengan peningkatan daya serap tenaga kerja dan besarnya pengeluaran untuk pembiayaan pekerja. Artinya, industri kreatif mampu menciptakan lapangan kerja baru (pro job), meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat (pro poor), meningkatkan perekonomian daerah (pro growth), dan menumbuhkan iklim bisnis (pro business). Namun, minimnya data statistik ekonomi kreatif berdasarkan 14 subsektor industri kreatif di setiap wilayah provinsi menyebabkan nilai tambah ekonomi sulit dipetakan dan diperhitungkan kontribusinya secara tepat terhadap kemajuan daya saing daerah. Keterbatasan dan minimnya data ekonomi kreatif mengindikasikan bahwa ekonomi kreatif belum dikelola secara profesional dari hulu ke hilir. Idealnya, secara manajemen, kecepatan pertumbuhan 14 subsektor ekonomi kreatif yang berbasis budaya dan potensi lokal akan semakin memperkokoh identitas ke-Indonesia-an. Hal ini telah direfleksikan melalui ide kreatif dan inovatif putra-putri Indonesia dari seluruh pelosok negeri. Belum semua provinsi mendata dan memiliki data yang komprehensif, namun setidaknya terdapat 11 provinsi yang telah berupaya memonitor pertumbuhan industri kreatif di wilayahnya, walaupun baru pada bidang Penerbitan, Percetakan, dan Reproduksi Media Rekaman. Disinilah, campur tangan Pemerintah, kepedulian pemerintah daerah, apresiasi masyarakat terutama terhadap kelima pilar utama model pengembangan industri dan ekonomi kreatif, yakni: 1) industry; 2) technology; 3) resources; 4) institution; dan 5) financial intermediary (Mauled, 2010:294-297) akan lebih menstimulasi munculnya talenta-talenta baru di daerah. Selain itu, pengelolaannya secara komprehensif, terintegrasi, dan profesional akan mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi kreatif. Agung (2011) lebih
menandaskan bahwa ide kreatif dapat segera terwujud kalau kita cukup tangguh untuk mengembangkannya sampai menjadi sempurna. Artinya, upaya pengembangan ekonomi kreatif memerlukan keseriusan, kekerasan hati, dan kegigihan. Hal ini sejatinya merupakan keniscayaan yang harus diapresiasi dan direspon positif oleh setiap pemerintah daerah, sehingga makin mengukuhkan pentingnya industri dan ekonomi kreatif bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing daerah, bahkan nasional. SIMPULAN Memerhatikan hasil analisis dan pembahasan diperoleh simpulan sebagai berikut: Pertama, penetapan 14 subsektor industri kreatif belum diiringi upaya penyiapan yang sistemik, khususnya pada tataran regulasi, infrastruktur penunjang, dan basis data. Hanya beberapa pemerintah daerah yang telah melakukan pendataan terhadap industri kreatif yang berkembang di wilayahnya. Artinya, sebagian besar pemerintah daerah belum menyadari keberadaan ekonomi kreatif sebagai suatu talenta baru yang dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan bahkan memicu daya saing daerah. Kedua, kehadiran ekonomi kreatif sebagai wujud ide kreatif-inovatif masyarakat dan manfaat keekonomiannya, belum mampu menstimulasi pemerintah daerah untuk segera merespon melalui pengaturan dan penataan serta pengembangan usaha dan produk-produk kreatif yang mampu memberikan nilai tambah ekonomi dan kemanfaatannya dapat langsung dirasakan masyarakat. Ketiga, diversifikasi budaya dan potensi wilayah yang spesifik dan sangat variatif telah mendorong masyarakat untuk melakukan usahausaha dan menghasilkan produk-produk kreatif. Hanya saja, pemerintah daerah belum melakukan upaya yang lebih membumi untuk mengangkat keunggulan, budaya, dan karakteristik wilayahnya, sehingga dapat menstimulasi lahirnya kewirausahaan lokal yang berkontribusi bagi pertumbuhan perekonomian daerah dan turut memicu daya saing daerah, bahkan nasional. Berbagai pembenahan dan penataan ekonomi kreatif menjadi kebutuhan yang harus segera dilakukan. Komitmen dan tindakan Pemerintah maupun pemerintahan daerah harus didasari aspirasi dan kebutuhan para pemangku kepentingan ekonomi kreatif. Di sisi lain, apresiasi masyarakat menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan peningkatan daya saing daerah melalui ekonomi kreatif. Atas dasar itu, dalam upaya peningkatan daya saing daerah melalui ekonomi kreatif, Pemerintah bersama-sama Pemerintahan Daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) segera mengaplikasikan beberapa agenda berikut ini secara
102 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
sinergis, simultan, terintegrasi, dan terkoordinasi. Agenda dimaksud adalah: 1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi usahausaha dan jenis produk ekonomi kreatif yang ada dan berkembang di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. 2. Mereviu, menata kembali, dan mencabut regulasi/kebijakan yang menghambat peningkatan daya saing daerah melalui produkproduk hasil ekonomi kreatif, khususnya dalam hal penyediaan bahan baku, impor, dan ekspor. 3. Melakukan pengembangan kapasitas (capacity building) khususnya bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) ekonomi kreatif dari berbagai jenis komoditas perdagangan yang dihasilkan melalui ide dan pemikiran kreatif. 4. Mendorong dan memfasilitasi pemberian kredit untuk pengembangan usaha di bidang ekonomi kreatif melalui skema pendanaan bergulir yang murah, mudah, dan aman. 5. Mempromosikan dan memfasilitasi pemasaran produk-produk ekonomi kreatif di daerahnya melalui kerjasama daerah dan/atau optimalisasi jaringan usaha di daerah, antara lain melalui Kamar Dagang dan Industri (KADIN). 6. Mendorong para pelaku ekonomi kreatif untuk mendaftarkan produk kreatifnya agar mendapatkan Paten atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI), sehingga dapat memberikan nilai tambah. 7. Membangun basis data yang akurat dan terkoneksi antarjenjang pemerintahan serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi masyarakat yang memerlukannya.
English. Third College Edition. New York. Prentice Hall. Tiemann, Thomas., Cassandra DiRienzo, and Jayoti Das. Tolerance, Heterogeneity, Creativity, and Economic Growth. Diunduh hari Jumat, 27 Mei 2012 dari: http://ec.europa.eu/education/ lifelong-learningpolicy/doc/creativity/report/ tolerance.pdf Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Riset dan Pemetaan Industri Kreatif Kementerian Perdagangan. 2011. Studi Industri Kreatif Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Perdagangan. Sun, Peng Kheng. 2010. The Power of Creativity. Yogyakarta: Penerbit ANDI. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) and Global Alliance for Cultural Diversity (GACD). Understanding Creative Industries Cultural Statistic for Public-Policy Making. Diunduh hari Jumat, 27 Mei 2012. http://portal.unesco.org/culture/es/ files/30297/11942616973cultural_stat_EN.pdf /cultural_stat_EN.pdf United Nations. 2010. Creative Economy Report 2010. Creative Economy: A Feasible Development Option. Collaborative Effort Led by United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) and United Nation Development Programe (UNDP) Special Unit for South-South Cooperation.. Diunduh hari Jumat, 27 Mei 2012 dari: http://www.unctad. org/creative-economy.
DAFTAR PUSTAKA Agung, Gregorius. 2011. The Explorer, The Warior, and The Saint: The Story About Creativity. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Anggraini, Nenny. 2008. Industri Kreatif. Jurnal Ekonomi Desember 2008 Volume XIII, Nomor 3. Diunduh pada hari Jumat, 27 Mei 2012 dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1830814 4151.pdf Florida, Richard. 2012. The Rise of The Creative Class, Revisited. New York: Basic Books. Department for Culture, Media, and Sport of the United Kingdom (DCMS UK). 2001. Creative Industries Mapping Document. London. http://www.idea.gov.uk/idk/core/page.do?page Id=11136366. Latuconsina, Hudaya. 2010. Kreativitas Tanpa Batas Menuju Ekonomi Kreatif Berbasis Insan Kreatif. Cetakan I. Jakarta: TERAJU. Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif Antara Tuntutan dan Kebutuhan. Edisi I. Cetakan I. Jakarta: Rajawali Pers. Neufeldt, Victoria dan David B. Guralnik. 1991. Webster’s New World Dictionary of American
Ekonomi Kreatif: Talenta Baru Pemicu Daya Saing Daerah - Herie Saksono | 103
104 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 93 - 104
PENGEMBANGAN KAPASITAS APARATUR PEMERINTAH DAERAH DI ERA OTONOMI (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) APPARATUS CAPACITY BUILDING OF LOCAL GOVERNMENT IN THE ERA OF AUTONOMY (Case Study: Local Government of Samosir Regency) Yosep Ginting dan Sorni Paskah Daeli Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No.132 Jakarta Pusat e-mail:
[email protected] dan
[email protected] Diterima: 5 April 2012, Direvisi: 10 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk memotret pengembangan kapasitas sumberdaya manusia aparatur di Kabupaten Samosir. Metode pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan penggunaan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan kualitas sumberdaya manusia masih rendah, banyak jabatan struktural yang belum terisi, rekrutmen belum didasarkan pada analisis jabatan, evaluasi jabatan belum dilakukan, penilaian kinerja individu berdasarkan kompetensi belum dilakukan, serta sebagian besar pegawai belum mendapatkan diklat sesuai dengan jabatannya. Disarankan untuk melakukan penataan sistem rekrutmen; analisis jabatan; evaluasi jabatan; penyusunan standar kompetensi jabatan; penilaian individu berdasarkan kompetensi; pengembangan database pegawai; dan perbaikan kurikulum pendidikan dan pelatihan. Kata Kunci: sumberdaya manusia, pengembangan, kapasitas. Abstract This research was conducted to capture the human resource capacity development of Samosir regency officials. The method used in this research is descriptive qualitative method, using the primary and secondary data. The results of the research demonstrates that the quality of human resources is still low, there are many positions in the organization structure are unfilled, the employee recruitment system is not based on job analysis, job position evaluation system have not been implemented, individual performance evaluation is not done according to competency based assessment, and employees have not received training according to their job position. It is recommended to perform system setup on recruitment; job analysis; Job evaluation; setting on job competency standard; competency based individual assessment; employee database development, and improvement on education and training curricula. Keywords: human resource, development, capacity.
PENDAHULUAN Sejalan dengan diterapkannya sistem desentralisasi, di mana pemerintah memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan, dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan melalui pengembangan kapasitas sumberdaya manusia aparatur. Tujuannya adalah terciptanya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas yang berkelanjutan (sustainable) dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai secara efektif dan efisien. Namun demikian, selama kurang lebih satu dasawarsa terakhir, upaya ini masih optimal guna mencapai hasil yang diharapkan. Upaya pengembangan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) aparatur ini masih belum dapat
dikelola dengan baik. Hal itu ditunjukkan antara lain oleh, masih sulitnya mengubah cara pikir (mindset) dan cara kerja aparatur, masih rendahnya disiplin dan etika pegawai, sistem karier yang belum sepenuhnya berdasarkan prestasi kerja, sistem remunerasi yang belum memadai untuk hidup layak, rekrutmen yang belum dilakukan berdasarkan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) yang belum sepenuhnya dapat meningkatkan kinerja, lemahnya pengawasan dan audit terhadap kinerja aparatur, dan sistem informasi manajemen kepegawaian yang belum berfungsi secara optimal (BAPPENAS, 2007). Akibat dari berbagai persoalan tersebut adalah, pelaksanaan pelayanan publik yang efisien dan efektif, yaitu cepat, tepat, murah, dan transparan, belum dapat diwujudkan. Siagian (1996) mengemukakan, bahwa rendahnya kinerja birokrasi disebabkan oleh
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 105
beberapa sebab, seperti simpang siurnya perundangundangan yang mengatur bidang kepegawaian; merajalelanya ‘spoil system’ dalam penerimaan, pengangkatan, penempatan dan promosi pegawai; tidak adanya data statistik yang akurat tentang jumlah pegawai negeri yang menimbulkan kesukaran dalam kebijaksanan di bidang kepegawaian; sistem penilaian yang tidak obyektif; pendidikan dan pelatihan yang tidak terarah; banyaknya instansi yang turut campur tangan dalam memecahkan masalah kesejahteraan pegawai; dan pendapatan pegawai negeri yang rendah yang membawa implikasi pada rendahnya kegairahan kerja dan sukarnya menegakkan disiplin pegawai. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah daerah, maka faktor pengembangan kapasitas aparatur menjadi sangat urgent. Di samping untuk merespon tingginya tuntutan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah, pengembangan kapasitas (capacity building) SDM aparatur tidak bisa dilepaskan dengan keinginan pemerintah untuk menjalankan good governance yang diarahkan untuk mempraktekkan tata kelola pemerintahan yang ideal. Salah satu isu sentral good governance, yaitu adanya perubahan kapasitas pemerintah dalam merespon dan memperjuangkan kepentingan kolektif masyarakat berdasarkan koridor institusi yang ada (Keban, 2011). Dengan demikian, dapat juga berarti bahwa good governance harus didukung oleh dua aspek utama, yaitu masyarakat dan negara. Aspek yang pertama direpresentasikan oleh dua arena, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Masyarakat sipil berarti bahwa semua warga negara berhak mengontrol penyelenggaraan yang dilakukan pemerintah. Sementara aspek yang kedua direpresentasikan oleh birokrasi dan lembaga politik (political office). Aspek inilah yang menjadi kerap menjadi sorotan, terutama mengenai birokrasi yang di dalamnya termasuk SDM aparatur. Namun, pertanyaan pokok yang selalu muncul adalah, sampai seberapa besar keberhasilan pengembangan kapasitas aparatur itu di dalam mendukung reformasi birokrasi, khususnya di dalam pembangunan, pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pemberian pelayanan publik. Faktanya dapat dilihat melalui media massa tentang kinerja pemerintahan yang selalu digambarkan sebagai ketidakmampuan, kelemahan, dan kejahatan dari berbagai pihak, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pengembangan kapasitas SDM aparatur merupakan program andalan reformasi birokrasi dan telah mulai dilaksanakan sejak Pemerintahan Orde Baru berakhir, namun belum banyak membawa pengaruh. Pelaksanaannya dilatar belakangi oleh berbagai faktor, di antaranya: tingginya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik; tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal; tingkat
transparansi dan akuntabilitas yang masih rendah; serta tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. Oleh karena itu, untuk percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah, khususnya di Kabupaten Samosir, perlu penelitian mengenai potret SDM aparatur Pemda Kabupaten Samosir, agar dapat dirumuskan model pengembangan kapasitas SDM aparatur di daerah. Pemilihan Kabupaten Samosir sebagai lokus penelitian, karena kabupaten ini termasuk salah satu daerah otonomi hasil pemekaran yang relatif telah lama mandiri. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Siswanto (2006), dengan judul Studi Pengembangan Kapasitas Litbang Kesehatan di Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Suatu Analisis Situasi). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis situasi dalam rangka mendapatkan base-line data tentang litbang di derah guna menyusun model pengembangan litbang di daerah dari aspek kelembagaan, SDM dan anggaran. Hasilnya, bahwa dari aspek kelembagaan, di propinsi sudah dibentuk Balitbangda, sementara di tingkat kabupaten/kota belum seluruhnya. Kemudian, dari aspek jumlah SDM fungsional peneliti dan penganggaran di Balitbangda propinsi dan kabupaten/kota sangat terbatas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut adalah bahwa penelitian ini lebih spesifik pada aspek SDM dan ruang lingkupnya khusus di kabupaten. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan pengembangan penelitian terdahulu. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta– fakta dan sifat–sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki. Data yang digunakan adalah data primer dari hasil wawancara yang melibatkan informan. Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir. Teknik snowball sampling juga digunakan ketika akses kesemua daftar informan yang diteliti tidak didapat. Jadi data yang digunakan adalah data kualitatif. Selain itu, ada data sekunder berupa dokumen resmi, laporan dan studi media juga digunakan. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis secara teknik deskriptif kualitatif, yaitu dengan model interaktif dengan tahapan, yaitu melakukan reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Pengembangan Kapasitas Aparatur Daerah Pengembangan kapasitas memiliki multi makna, dan interpretasinya tergantung pada siapa yang menggunakan dan dalam konteks apa. Secara umum, yang dipahami adalah bahwa pengembangan kapasitas merupakan suatu konsep yang terkait erat
106 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
dengan pendidikan, pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia. Namun, pemahaman konvensional mengenai konsep pengembangan kapasitas telah berubah selama beberapa tahun terakhir, di mana pengembangan kapasitas dipahami secara lebih luas dan holistik, yang mencakup aspek sosial, organisasi dan pendidikan (Enemark, 2006). UNDP menawarkan definisi dasar: "sebagai kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan". Definisi ini memiliki tiga aspek penting, yakni: (1) kapasitas bukan merupakan suatu keadaan pasif, tetapi merupakan bagian dari suatu proses yang berkelanjutan; (2) menekankan pada SDM dan bagaimana SDM tersebut didayagunakan; dan (3) konteks keseluruhan di mana organisasi melakukan fungsifungsinya merupakan pertimbangan kunci dalam strategi pengembangan kapasitas (Enemark, 2006). World Bank menekankan perhatian capacity building pada: (1) pengembangan SDM; training, rekruitmen dan pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis; (2) keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja (Edralin, 1997). Selanjutnya, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi, yakni: (1) tenaga kerja (human resources), menyangkut kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal atau dimensi fisik, menyangkut sarana material, peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/gedung; dan (3) teknologi, menyangkut organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta sistem informasi manajemen (Edralin, 1997). Menurut UNDP, kapasitas dipandang dari dua dimensi, yaitu kapasitas penilaian dan pengembangan kapasitas (Enemark, 2006). Kapasitas penilaian adalah dasar penting bagi perumusan strategi yang koheren bagi pengembangan kapasitas. Kapasitas penilaian merupakan proses dan analisis terstruktur, di mana berbagai dimensi kapasitas dinilai dalam konteks sistem yang lebih luas, sebagaimana suatu entitas atau individu tertentu di dalam suatu sistem dievaluasi. Adapun pengembangan kapasitas adalah suatu konsep yang lebih luas dari human resources development, karena ditekankan pada sistem secara keseluruhan, lingkungan dan konteks di mana individu, organisasi dan masyarakat beroperasi dan berinteraksi.
UNDP mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas terjadi pada level sistem, organisasi dan individu (Enemark, 2006): 1. Tingkat sistem: di mana inisiatif pengembangan kapasitas dipandang sebagai suatu sistem pada tingkat lingkungan. Untuk inisiatif pembangunan yang berada pada konteks nasional, sistem akan mencakup seluruh negara atau masyarakat dan semua subkomponen yang terlibat. Untuk inisiatif di tingkat sektoral, sistem akan mencakup hanya komponen yang relevan. Dimensi-dimensi kapasitas pada tingkat ini dapat mencakup bidang-bidang seperti kebijakan, kerangka kerja hukum/ peraturan, perspektif manajemen dan akuntabilitas, dan sumberdaya yang tersedia. 2. Tingkat organisasi: suatu entitas mungkin saja merupakan organisasi formal seperti pemerintah atau salah satu instansi, sektor swasta, atau organisasi informal yang berbasis komunitas atau organisasi sukarela. Pada tingkat ini, pengembangan kapasitas mencakup peran dari entitas dalam sistem, dan interaksi dengan entitas lain, stakeholder, dan klien. Dimensi kapasitas dapat mencakup bidang-bidang seperti misi dan strategi, budaya dan kompetensi, proses, dan infrastruktur. 3. Tingkat individu: pada tingkat ini, pengembangan kapasitas dilakukan untuk membuat individu-individu dapat berperan secara efisien dan efektif, baik dalam entitasnya maupun dalam sistem yang lebih luas. Pengembangan SDM dilakukan dengan menilai kebutuhan masing-masing orang dan mengatasi kesenjangannya melalui kegiatan-kegiatan diklat secara berkelanjutan. Kapasitas penilaian dan pengembangan pada tingkat individu ini dianggap paling kritis. Karena itu, dimensi kapasitas harus mencakup desain program diklat untuk memenuhi kesenjangan yang teridentifikasi dengan basis keterampilan. Pengembangan kapasitas dapat difokuskan pada tingkatan manapun dan dilaksanakan berdasarkan analisis yang mendalam terhadap seluruh dimensi yang relevan. Selain itu, pengembangan kapasitas harus dilihat sebagai metodologi yang komprehensif ditujukan untuk memberikan hasil yang berkelanjutan melalui menilai dan mengatasi berbagai macam masalah yang relevan dan hubungan mereka (Enemark, 2006). Pengembangan kapasitas dalam konteks pemerintah dilakukan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan responsiveness kinerja pemerintah, yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumberdaya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsiveness, yakni bagaimana menyinkronkan
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 107
Gambar 1. Tingkat Pengembangan Aktivitas.
antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut. Hal itu sejalan dengan pendapat Merilee S. Grindle (1997) bahwa capacity building is intended to encompass a variety of strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness of government performance. Secara lebih spesifik, capacity building bagi penyelenggaraan pemerintahan didefinisikan oleh Finn & Checksoway sebagai “sampai seberapa jauh staf mampu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat” (Soeprapto, 2007). Pengembangan kapasitas dalam pemerintahan sering dilakukan dengan memberikan caracara (tools) terbaik untuk membantu pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Hal ini termasuk membangun kemampuan pemerintah dalam penyusunan anggaran, mengumpulkan pendapatan, membuat dan melaksanakan undangundang, mempromosikan keterlibatan masyarakat, membuat pengelolaan anggaran lebih transparan dan akuntabel, serta memerangi korupsi. Dalam konteks yang lebih sempit, pengembangan kapasitas Pemda mencakup upaya-upaya untuk menyesuaikan, mereformasi, dan memodifikasi seluruh kebijakan, peraturan, prosedur, mekanisme kerja, koordinasi; meningkatkan keterampilan dan kualifikasi aparatur Pemda; dan mengubah sistem nilai dan sikap yang dijadikan acuan aparatur Pemda, agar Pemda mampu menyelenggarakan tata pemerintahan yang demokratis dan menyejahterakan masyarakat.
Upaya-upaya tersebut disebut intervensi (Nurkholis, 2005). Dengan demikian, sesuai dengan level pengembangan kapasitas sebagaimana dikemukakan oleh UNDP, maka pengembangan kapasitas Pemda mencakup tiga level intervensi, yaitu: 1. Level sistem: intervensi pada pengaturan kerangka kerja dan kebijakan dalam sistem pemerintahan daerah, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan yang diinginkan. Pengaturan kerangka kerja dan kebijakan harus berangkat dari konsepsi berdasarkan UndangUndang Nomor 32/2004 yang dioperasionalkan melalui peraturan pelaksanaan berupa PP dan peraturan teknis seperti Kepmen dan Inmen. Pada tingkat Daerah, Daerah menindaklanjuti dengan pembuatan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. 2. Level kelembagaan: intervensi pada penataan struktur organisasi, proses pengambilan keputusan organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, dan hubungan dan jaringan antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Penataan struktur organisasi Pemda dikembangkan berdasarkan azas efektivitas dan efesiensi organisasi yang ditandai dengan bentuk organisasi yang ramping, datar, dan sesuai dengan kebutuhan. Proses pengambilan keputusan organisasi dikembangkan berdasarkan pada model pengambilan keputusan yang baik (pengumpulan data yang akurat, partisipatif, pengembangan alternatif secara
108 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
cerdas, dan pemilihan satu alternatif terbaik). Pemda harus mengembangkan prosedur dan mekanisme kerja yang urut, runtut, logis, tidak tumpang tindih, mengarah pada satu titik/tujuan, dan tidak bolak-balik dengan standar yang terukur. Pemda harus mengembangkan instrumen manajemen berupa pedoman kerja, peralatan, sarana dan prasarana sabagai fasilitasi untuk mencapai tujuan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah perlunya mengembangkan sistem koordinasi antara satu unit dengan unit lainnya. 3. Level individual: intervensi pada peningkatan kualitas individu aparatur Pemda, agar memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, etika, dan motivasi kerja, sehingga berkemampuan menyelenggarakan tata kepemerintahan yang baik (good governance). SDM aparatur Pemda harus dilatih dengan keterampilan sesuai bidangnya sehingga menjadi kompeten (Nurkholis, 2005). Pengembangan kapasitas melalui intervensi pada level sistem, institusi, dan individu merupakan upaya yang multidimensi. Oleh karena itu, perencanaannya harus ditetapkan dalam tahapan waktu yang rasional: jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Selanjutnya, pada setiap tahapan harus ditetapkan prioritasprioritasnya. Prioritas pertama dari semua tahapan tersebut adalah membuat kebijakan dan peraturan pendukung, yakni penjabaran operasional dari framework otonomi daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 yang wujudnya adalah penyesuaian dan modifikasi semua perangkat peraturan perundangan organik berupa kebijakan Daerah seperti Perda dan Keputusan Kepala Daerah, yang dapat menciptakan sistem yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Semua kebijakan dan peraturan tersebut harus jelas menggambarkan sistem dan mekanisme prosedural yang melibatkan semua level tersebut. Prioritas berikutnya adalah menangani permasalahan yang terjadi dalam hubungan antar unit dan antar sektor. Pengembangan Kapasitas SDM Aparatur Pemda Amstrong (2006) mengatakan bahwa SDM adalah harta yang paling penting bagi suatu organisasi. Karena itu, SDM harus mendapatkan perhatian yang serius agar sasaran organisasi dapat tercapai. Salah satu sasaran yang dapat digunakan oleh para manajer dalam rangka melaksanakan investasi terhadap SDM di dalam organisasi adalah dengan melakukan pengembangan terhadap kapasitas SDM tersebut. Menurut Notoatmojo (dalam Suryanto, 2006), pengembangan SDM aparatur sangat penting, karena dapat meningkatkan kemampuan aparatur, baik kemampuan professionalnya, wawasannya, kepemimpinannya maupun
pengabdiannya, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Tuntutan yang terasa kuat untuk melakukan pengembangan SDM, khususnya pada organisasi pemerintah disebabkan oleh: (1) tingkat pengetahuan dan kemampuan SDM masih relatif rendah; (2) suasana kerja yang kurang menyenangkan atau adanya kejenuhan karena terlalu lama bekerja pada suatu tempat; (3) adanya tuntutan organisasi terhadap perubahan; dan (4) perkembangan zaman yang sangat pesat (Amri, Suryono & Suwondo, 2009). Senada dengan itu, Siagian (1996), menyatakan beberapa alasan utama perlunya pengembangan SDM, yakni: (1) adanya pegawai baru yang tidak mempunyai kemampuan secara penuh untuk melaksanakan tugasnya; (2) pengetahuan pegawai yang perlu pemuktakhiran; (3) perubahan, tidak hanya karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi juga karena pergeseran nilainilai sosial budaya; dan (4) kemungkinan perpindahan pegawai. Schuler dan Youngblood (Eade, 1998) mengungkapkan bahwa pengembangan SDM aparatur pada suatu organisasi akan mencakup berbagai faktor, seperti diklat, perencanaan dan manajemen karir, peningkatan kualitas dan produktivitas kerja, serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja. Sementara itu, Ivancevich (2002) memasukkan pula faktor motivasi kerja dan penilaian prestasi kerja sebagai aspek yang tercakup dalam pengembangan SDM aparatur. Di lain pihak, Osborne dan Gaebler (dalam Eade, 1998) lebih mementingkan pengembangan visi aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Hal itu sejalan dengan desentralisasi, pengembangan SDM aparatur yang perlu diarahkan pada pembentukan visi, inovasi, dan kemampuan aparat untuk melaksanakan semangat wirausaha dalam pelaksanana tugas mereka. Selanjutnya CIDA (Canadian International Development Agency, Enemark, 2006) menyatakan, bahwa pengembangan SDM aparatur menekankan manusia sebagai alat maupun tujuan akhir pembangunan. Dalam jangka pendek, hal itu dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknis, kepemimpinan, dan tenaga administrasi sesegera mungkin. Upaya ini ditujukan pada kelompok sasaran tertentu, yakni mereka yang terlibat dalam sistem sosial-ekonomi di negara tersebut. Pada sisi lain, Emmeriji (Calquit, 2006) merumuskan bahwa pengembangan SDM aparatur merupakan tindakan: (1) Kreasi SDM; (2) Pengembangannya; dan (3) Menyusun struktur insentif atau upah sesuai dengan peluang kerja yang ada. Ketiga tindakan tersebut mengandung makna bahwa untuk meningkatkan SDM aparatur yang berkualitas harus dilakukan melalui pendidikan formal dan pelatihan serta pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 109
Di sisi lain, Luthans (2002) menyebutkan ada 8 (delapan) tujuan pengembangan SDM aparatur, yaitu: (1) Produktivitas personil organisasi (productivity); (2) Kualitas produk organisasi (quality); (3) Perencanaan SDM (human resources planning); (4) Semangat personil dan iklim organisasi (morale); (5) Meningkatkan kompensasi secara tidak langsung (indirect compensation); (6) Kesehatan dan keselamatan kerja (health and safety); (7) Pencegahan merosotnya kemampuan personil (absolerence prevention); dan (8) Pertumbuhan kemampuan personil (personal growth). Steward (Calquit, 2006) mengatakan bahwa modal intelektual merupakan kekayaan organisasi, karena modal intelektual adalah muatan intelektual yang dimiliki pegawai, yang berupa pengetahuan, informasi, hak pemilihan intelektual, pengalaman yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Untuk membangun sumberdaya aparatur yang berkualitas yang dapat dijadikan modal intelektual bagi organisasi, diperlukan upaya yang sistematis, berkelanjutan dan komprehensif. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal yang diikuti oleh anggota organisasi, tapi juga didukung iklim organisasi yang kondusif. Hal ini karena modal intelektual harus dibangun melalui suatu tradisi ilmiah, dengan dukungan politik yang kuat dari para pengambil keputusan. Membangun SDM aparatur yang berkualitas agar dapat menjadi modal intelektual organisasi, dapat dilakukan melalui penciptaan suatu organisasi pembelajaran (learning organization). Di dalam organisasi pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah membiasakan setiap anggota organisasi berpikir secara sistematik, tidak berpikir secara individual ataupun terkotak-kotak. Sebab pada dasarnya setiap anggota organisasi memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai tujuan organisasi (Millen, 2006). Pada hakikatnya pengembangan SDM aparatur adalah memberikan motivasi kepada para pegawai, baik secara ekstrinsik maupun instrinsik, sehingga mereka dapat merasakan kepuasan kerja di lingkungan kerjanya. Motivasi tersebut diharapkan merupakan insentif yang mampu menggerakkan perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Hersey and Blanchard (1999), penyelenggaraan tugas pekerjaan administrasi negara yang semakin luas dan rumit menuntut kemampuan dan kemauan (ability and willingness) orang-orang untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri. Bahkan Hersey dan Blanchard mengemukakan paling tidak terdapat tiga keterampilan yang perlu dimiliki setiap pegawai, sehingga proses manajemen, termasuk di birokrasi dapat berlangsung secara rasional, efektif, dan efisien, yakni: keterampilan teknik, keterampilan kemanusiaan, dan keterampilan konseptual. Sedangkan Vroom (Luthans, 2002) membuat rumusan P = C x M, yang artinya pelaksanaan tugas pekerjaan yang
dapat memberikan buah hasil yang bermanfaat (P= performance) hanya dapat dijamin apabila didukung oleh kemampuan (C = competence) dan kemauan (M= motivation) yang memadai. Dengan demikian, pandangan Vroom memperkuat dan menjelaskan pendapat Hersey and Blanchard. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa pengembangan SDM aparatur dilakukan untuk menciptakan aparatur yang memiliki profesionalisme, yakni aparatur yang memiliki karakteristik: (1) Seseorang yang memiliki keterampilan dan keahlian teoritis ilmiah tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan digelutinya; (2) Mampu menyumbangkan ilmu dan tenaganya secara optimal untuk kelancaran usaha tempat kerjanya; (3) Dapat mendorong peningkatan produktivitas yang berkelanjutan; (4) Memiliki sikap untuk terus menerus memperbaiki dan meningkatkan keahlian dan keterampilannya; (5) Disiplin dan patuh aturan profesionalisme dan tempat kerjanya; dan (6) Memiliki kesiapan untuk berubah atau melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung atau bahkan mampu menciptakan perubahan (Handayaningrat, 1995). Pengembangan merupakan alat utama untuk menyesuaikan antara tugas dan pekerjaan dengan kemampuan, ketrampilan dan kecakapan serta keahlian dari setiap pegawai. Pengembangan juga merupakan faktor yang harus diselenggarakan dalam administrasi kepegawaian modern dan merupakan usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai agar lebih cakap, trampil dan memahami dengan jelas tugas yang harus dilakukannya sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang administrator. Program-program pengembangan SDM yang diimplementasikan dalam bentuk off dan on the job misalnya tidak dilakukan dengan benar dan terkesan hanya sekedar menghabiskan anggaran yang tersedia, akibatnya dapat diduga bahwa peningkatan skill, knowledge dan ability sebagai tujuan utama yang harus diraih menjadi terdistorsi. Dengan demikian, kebijakan penyiapan SDM aparatur yang memiliki kinerja akan berkaitan dengan jenis dan sifat pengembangan yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan aparatur yang berkualitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data lapangan, jumlah pegawai di Kabupaten Samosir adalah sebanyak 3.787 orang, yang terdiri dari 1.481 laki-laki dan 2.306 perempuan. Komposisi pegawai berdasarkan kelompok umur di Kabupaten Samosir dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komposisi pegawai berdasarkan kelompok umur di Kabupaten Samosir menunjukkan bahwa jumlah pegawai yang paling banyak adalah pegawai yang berusia antara 30–39 tahun (30,84 persen) dan usia 40–49 tahun (26,80 persen), sedangkan yang paling
110 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
Tabel 1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Kelompok Umur No. 1. 2. 3. 4.
Kelompok Umur Laki-laki 20 – 29 tahun 211 30 – 39 tahun 480 40 – 49 tahun 361 > 50 tahun 429 TOTAL 1.481 Sumber: Badan Kepagawaian Daerah, Kab.Samosir, 2012.
Perempuan 505 688 654 459 2.306
Jumlah 716 1.168 1.015 888 3.787
Tabel 2. Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tingkat Pendidikan Laki-laki Sekolah Dasar 15 Sekolah Lanjutan Pertama 31 Sekolah Lanjutan Atas 448 Diploma I 12 Diploma II 122 Diploma III 176 Sarjana S1 660 Sarjana S2 20 Sarjana S3 0 TOTAL 1.481 Sumber: Badan Kepagawaian Daerah, Kab.Samosir, 2012.
Perempuan
Jumlah
0 5 809 37 270 513 663 6 0 2.306
15 36 1.257 49 392 689 1.323 26 0 3.787
Tabel 3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan No. 1. 2. 3. 4.
Golongan Golongan Ia-Id Golongan IIa-IId Golongan IIIa-IIId Golongan IVa-IVe TOTAL Sumber: Badan Kepagawaian Daerah, Kab.Samosir, 2012.
sedikit adalah pegawai yang berusia >50 tahun (23,45 persen) dan antara 20–29 tahun (18,91 persen). Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa pada seluruh kelompok umur pegawai jumlah pegawai perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pegawai laki-laki, yakni 60,89 persen berbanding 39,11 persen. Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikannya, komposisi pegawai di Kabupaten Samosir dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel di atas, dari aspek pendidikannya, pegawai di Kabupaten Samosir paling banyak berpendidikan setingkat sarjana, yakni 1.323 orang (34,94 persen) dan SLTA sebanyak 1.257 orang (33,19 persen). Jumlah pegawai yang berpendidikan SLTA ke bawah adalah sebanyak 1.308 orang, sedangkan pegawai dengan pendidikan SLTA ke atas adalah sebanyak 2.474 orang. Masih terdapat pegawai yang berpendidikan setingkat SD dan SLTP di Kabupaten Samosir, yakni sebanyak 51 orang (1,35 persen), sedangkan jumlah pegawai yang berpendidikan pasca sarjana masih sangat sedikit, yakni 26 orang (0,69 persen). Dari Tabel 3 di atas, terlihat bahwa pegawai yang paling banyak adalah pada pegawai golongan III, yakni sebanyak 1.524 orang (40,24 persen),
Jumlah 29 1.295 1.524 939 3.787
kemudian golongan II sebanyak 1.295 orang (34,20 persen). Sedangkan pegawai golongan IV ada sebanyak 939 orang (24,80 persen). Informasi lainnya, berdasarkan pengisian jabatan struktural, dari 3.797 orang pegawai, sebanyak 933 orang (24,64 persen) di antaranya menduduki jabatan struktural antara eselon IIa hingga eselon IVb. selanjutnya, dari 30 jabatan eselon II, baru sebanyak 25 jabatan yang telah diisi, sedangkan 5 jabatan lainnya belum terisi. Dari 25 jabatan yang telah diisi tersebut, 15 orang yang pejabatnya telah mengikuti Diklat PIM II, sedangkan 5 pejabat lainnya belum. Pada jabatan tingkat eselon III, dari 130 jabatan yang tersedia, 116 jabatan di antaranya telah diisi, sedangkan 14 jabatan lainnya masih belum terisi. Dari 116 jabatan yang terisi tersebut, baru 48 orang yang telah mengikuti Diklat PIM III, sedangkan 68 orang lainnya belum. Pada tingkat eselon IV, dari 471 jabatan yang tersedia, baru terisi 236 jabatan, sedangkan 235 jabatan belum terisi. Dari 236 jabatan yang terisi, yang pejabatnya telah mengikuti Diklat PIM IV baru sebanyak 65 orang, sedangkan 171 orang belum. Dari wawancara dengan pejabat di Sekretariat Daerah Kabupaten Samosir, tingkat
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 111
pendidikan pegawai yang ada saat ini dipandang mampu untuk mendukung pencapaian tupoksi organisasi perangkat daerah secara maksimal. Namun demikian, dilihat dari keseimbangan jabatan, yaitu antara jabatan struktural, fungsional khusus dan fungsional umum, belum seimbang, karena perbandingan jabatan fungsional umum dibandingkan dengan jabatan fungsional khusus masih jauh. Dalam rangka pengembangan kapasitas pegawai, Pemda telah melaksanakan berbagai program diklat pegawai (baik struktural maupun fungsional) sesuai dengan kebutuhan pegawai, meskipun pelaksanaan diklat tersebut masih belum optimal, padahal diklat pegawai tersebut dinilai memberikan dukungan yang tinggi terhadap kemampuan dan kinerja pegawai. Dari sisi golongan/kepangkatan, tingkat keseimbangan pangkat/golongan pegawai menunjukkan komposisi pegawai di Kabupaten Samosir lebih banyak golongan III. Namun pangkat/golongan pegawai tersebut dipandang telah mencerminkan kapasitas pegawai, sebab dalam perekrutan pegawai disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan jabatan. Kemudian, dari sisi keseimbangan gender, antara jumlah pegawai laki-laki dengan perempuan masih belum berimbang, karena jumlah pegawai perempuan lebih banyak dari jumlah pegawai lakilaki. Adapun dari komposisi pegawai berdasarkan kelompok umur dipandang cukup seimbang, karena perekrutan pegawai telah dimulai sejak tahun 2005. Selanjutnya, dari kompetensi, kompetensi pegawai yang ada dipandang telah sesuai dengan tuntutan kinerja organisasi. Hal ini karena penerimaan pegawai dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan kompetensi. Sistem rekrutmen pegawai yang dilaksanakan dengan sistem pelamaran umum, pengangkatan tenaga honorer yang masuk database , dan mutasi pegawai dari daerah lain. Namun demikian, rekrutmen pegawai yang dilakukan belum didasarkan pada hasil analisis jabatan pada organisasi perangkat daerah, karena memang hingga saat ini belum pernah dilaksanakan analisis jabatan. Demikian pula, pemerintah daerah belum pernah melakukan evaluasi jabatan maupun penyusunan standar kompetensi jabatan pada organisasi perangkat daerah. Dari aspek penilaian kinerja, hingga saat ini belum dlaksanakan penilaian individu berdasarkan kompetensi. Yang dilaksanakan adalah psikotest bagi pejabat eselon II dan III, sedangkan sistem penilaian kinerja individu belum diterapkan. Di samping itu, sedang dilakukan pembangunan database pegawai melalui penerapan sistem aplikasi pengelola kepegawaian (SPAK). Pengembangan diklat pegawai berbasis kompetensi telah dilakukan, namun belum optimal. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk pengembangan kapasitas SDM aparatur Pemda adalah diklat fungsional, diklat teknis dan diklat penjenjangan.
Fakta di atas mengindikasikan bahwa di Pemda Kabupaten Samosir masih terdapat banyak permasalahan mengenai pengembangan SDM aparatur, yakni Pertama, masih banyak pegawai di daerah yang tingkat pendidikannya masih rendah, dalam hal ini setingkat SLTA ke bawah. Di sisi lain, meskipun sebagian ada pegawai yang sudah berpendidikan sarjana, namun jumlah pegawai berpendidikan pasca sarjana masih sangat minim dibandingkan dengan total jumlah pegawai. Kedua, ada kecenderungan jumlah pegawai usia produktif (20–40 tahun) tidak lebih banyak dibandingkan dengan pegawai usia mendekati non produktif (40 tahun ke atas). Ketiga, tingkat pendidikan pegawai belum mampu mendukung pencapaian tupoksi secara maksimal, karena pembagian tugas belum dilakukan berdasarkan tingkat dan latar belakang pendidikan. Keempat, banyak jabatan struktural yang masih kosong atau belum terisi. Hal ini di samping terkait dengan kapasitas pegawai, juga terkait dengan masih belum adanya program diklat pegawai (baik struktural maupun fungsional) yang dilaksanakan selama ini untuk mengatasi kebutuhan pegawai secara keseluruhan. Kelima, dari sisi kompetensi, pegawai yang ada saat ini belum sesuai dengan tuntutan kinerja organisasi. Usia, tingkat pendidikan, dan pangkat/golongan ternyata belum mencerminkan kompetensi pegawai. Keenam, sistem rekrutmen meskipun cukup baik, namun belum mampu menjaring pegawai yang lebih berkualitas, sehingga menghasilkan personil yang lebih memiliki kapabilitas. Ketujuh, rekrutmen pegawai belum didasarkan pada analisis jabatan dalam organisasi guna untuk mendukung tercapainya tupoksi. Kedelapan, evaluasi jabatan dalam organisasi perangkat daerah belum dilakukan. Demikian pula, penyusunan standar kompetensi jabatan belum dilakukan untuk mendapatkan individu yang sesuai dengan kualifikasi dari jabatan tersebut. Kesembilan, penilaian kinerja individu berdasarkan kompetensi belum dilakukan. Kesepuluh, pengembangan database pegawai meskipun sudah dilakukan, namun belum mampu sepenuhnya menghasilkan informasi yang cepat, tepat, dan akurat. Kesebelas, pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai berbasis kompetensi, masih belum mampu meningkatkan kemampuan individu aparatur pemerintah secara maksimal sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Keduabelas, pegawai-pegawai yang memiliki jabatan struktural maupun fungsional sebagian besar masih belum pernah mendapatkan diklat yang sesuai dengan jabatannya. Temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun manajemen pembinaan pegawai di Kabupaten Samosir pada umumnya telah merujuk pada Undang-Undang Nomor 43/1999 beserta peraturan pelaksanaannya, namun implementasi Undang-Undang tersebut di lapangan mengindikasikan berbagai permasalahan yang kompleks sejak dari peraturan perundang-undangan hingga ke
112 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
pengelolaan pegawai. Dari perspektif sistem, sistem kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang manajemen PNS selama ini sudah cukup baik, namun yang menjadi penyebab kurang profesionalnya pegawai adalah pada implementasi peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, pada promosi dan mutasi pegawai yang seharusnya dilakukan secara transparan sebagai bentuk penghargaan dan tour of duty, dalam kenyataannya sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bermuatan politis. Pengaturan manajemen pegawai daerah dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 dinilai bernuansa sentralisasi. Selain itu, di tataran pemerintah sendiri, koordinasi mengenai penetapan formasi PNS masih lemah. Peraturan tentang penggajian juga dinilai memiliki kelemahan karena gaji yang diberikan kepada pegawai sekarang ini kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, di samping itu, pemberian gaji hanya didasarkan pada golongan/pangkat dan masa kerja serta tidak mempertimbangkan kinerja yang dicapai oleh pegawai. Pejabat pembina kepegawaian yang dijabat oleh kepala daerah yang merupakan pejabat politis, sewaktu-waktu dapat menimbulkan permasalahan bagi pegawai, karena secara tidak langsung sering terkait dengan isu-isu politik. Persoalan lain, aturan-aturan yang terdapat dalam PP Nomor 54/2010 tentang Disiplin PNS, ternyata sangat longgar dalam law enforcement-nya. Pertama, aturan hukum ini mengatur kehidupan PNS termasuk yang tidak berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugasnya. Kedua, pelanggaran disiplin terlalu diakomodir dan hukuman yang diberikan sangat lunak. Ketiga, dalam praktiknya aturan-aturan dalam tersebut seringkali tidak berjalan secara efektif di lapangan baik, disebabkan oleh individu PNS itu yang tidak mematuhi peraturan tersebut maupun oleh pimpinan yang tidak tegas menegakkan aturan. Masalah lainnya, PNS yang akan mengikuti suatu diklat tidak didasarkan pada training needs assessment (TNA) untuk mengetahui competency gap. Desain kurikulum dan program diklat yang diikuti oleh PNS harus mampu memperkecil competency gap. Dalam hal ini, pendekatan diklat merupakan competence-besed training. Namun dalam kenyataannya, tidak semua lembaga diklat PNS yang mengikuti pendekatan atau metoda ini. Bahkan pengiriman PNS ke suatu diklat dalam rangka menduduki jabatan sering terjadi tidak terkait dengan pengembangan kariernya. Hal ini tentu sangat boros sebagai akibat diabaikannya TNA. Secara lebih mikro, permasalahan pengembangan kapasitas SDM aparatur daerah menyangkut seluruh sistem manajemen SDM, mulai dari perencanaan, pengadaan, sampai pensiun. Dari sisi perencanaan, hingga saat ini di daerah belum terdapat perencanaan kebutuhan pegawai yang jelas dan rinci. Khususnya Pemda Kabupaten Samosir belum memiliki peta kebutuhan pegawai (semacam manpower planning), paling tidak untuk lima tahun
ke depan. Dalam proses rekrutmen selama ini, Pemda mengajukan usulan kebutuhan pegawai ke pemerintah pusat, namun belum melakukan penghitungan terhadap beban kerja dan kualifikasi pegawai yang dibutuhkan. Perencanaan kebutuhan pegawai hanya didasarkan pada usulan yang diajukan oleh masing-masing unit kerja kepada bagian kepegawaian untuk diteruskan oleh Bupati/Walikota ke pemerintah untuk mendapatkan formasi. Perencanaan seperti ini hanya bersifat jangka pendek, sehingga tidak dapat memetakan kebutuhan secara komprehensif terhadap kebutuhan pegawai baik kualifikasi pendidikan, keahlian, jumlah, distribusi dan kriteria-kriteria lain sesuai kebutuhan pembangunan dan visi/misi daerah. Ketiadaan perencanaan kebutuhan inilah antara lain menyebabkan terjadinya kelebihan jumlah pegawai. Ironisnya, sekalipun disadari bahwa jumlah pegawai yang ada dinilai telah berlebih, tetapi penambahan jumlah pegawai tetap terjadi, termasuk dari jalur dari tenaga honorer daerah. Permasalahan lain, rekrutmen saat ini dilakukan oleh Pemda dan mendapatkan tekanan dari sejumlah pihak yang mempunyai kepentingan pribadi, sehingga pelaksanaannya tidak bebas dari KKN. Di samping itu, sistem rekrutmen juga tertutup dan bersifat kedaerahan, sehingga hanya orang-orang yang berasal dari daerah yang bersangkutan yang diajukan untuk dijadikan pegawai. Sistem ini terbentuk karena pada saat rekrutmen, persyaratan diarahkan agar hanya dapat diikuti oleh masyarakat di daerah tersebut. Dari sisi beban kerja, secara umum beban kerja mayoritas pegawai belum optimal, karena porsi pekerjaan yang diselesaikan oleh pegawai masih berada di bawah kapasitas optimal yang seharusnya. Terdapat “pengangguran tidak kentara”, karena beban kerja pegawai yang tidak sepadan dengan jumlah pegawai yang ada. Akibatnya, pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang, kenyataannya dilakukan secara gotong royong oleh empat orang atau lebih. Di sisi lain, pegawai yang good performer ini biasanya ‘dipakai’ oleh pimpinan, sedangkan yang bad performer cenderung kurang dipercaya untuk menyelesaikan pekerjaanpekerjaan yang membutuhkan keseriusan dan komptensi tertentu. Akibatnya, kelompok ini akan mengalami under employment, sehingga ‘luntanglantung’ di unit kerjanya. Beban kerja pegawai yang tidak seimbang ini pada dasarnya disebabkan oleh tidak tersedianya job description pada saat mereka diterima menjadi calon pegawai. Dari sisi pola karier, sampai saat ini, di Pemda Kabupaten Samosir belum ada peraturan yang mengatur tentang pola karier pegawai. Padahal pola karier pegawai sangat penting sebagai dasar pengembangan karier dan potensi pegawai, sehingga pengangkatan pegawai dalam suatu jabatan struktural dapat dilakukan secara adil dan transparan. Jika pola karier telah terwujud, maka seorang pegawai dapat
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 113
mengetahui arah, perjalanan dan bahkan merencanakan kariernya serta jabatan yang akan diembannya sesuai kompetensi yang dimiliki selama jangka waktu tertentu. Kondisi pola karier di Pemda Kabupaten Samosir, saat ini belum didasarkan pada standar kompetensi, baik persyaratan umum, persyaratan manajerial, dan persyaratan teknis, sehingga berdampak negatif terhadap kinerja Pemda. Sistem kenaikan pangkat yang diberlakukan selama ini masih bersifat administratif dan belum dikaitkan dengan prestasi kerja yang dihasilkan pegawai. Penyebab lainnya adalah, kelemahan sistem pengukuran kinerja, sehingga pegawai yang berprestasi kurang mendapat perhatian dan penghargaan yang adil. Pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus masih memungkinkan untuk naik pangkat/golongan. Kemudian, ada juga ketidaksesuaian antara kompetensi dengan pekerjaan yang diemban, karena pada saat rekrutmen, kebutuhan yang diinginkan oleh Pemda tidak sesuai dengan ketersediaan yang ada di masyarakat. Hal lainnya, pengembangan jabatan fungsional masih diabaikan oleh Pemda, padahal melalui jabatan fungsional dapat dikembangkan profesionalisme SDM aparatur. Persoalan-persoalan di atas kemudian ditambah dengan persoalan mutasi-promosi pegawai dalam jabatan struktural yang sangat kental dengan nuansa politik lokal. Dari sisi promosi, promosi pegawai ke dalam jabatan struktural belum didasarkan pada kinerja pegawai yang bersangkutan. Promosi pejabat struktural masih dilakukan dengan cara ‘dukung-mendukung’. Fenomena ini muncul karena besarnya otoritas kepala daerah dalam pengelolaan kepegawaian di daerah. Fungsi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) kurang efektif, karena Ketua Baperjakat dijabat langsung oleh Bupati Kabupaten Samosir. Dengan demikian, kepentingan politis sering mendominasi proses promosi pejabat struktural. Akibatnya, sangat sulit memperoleh pejabat struktural yang kompeten dan profesional di bidangnya, karena tujuannya hanya untuk melayani kepala daerah. Dari sisi mutasi, terdapat permasalahan mengenai obyektivitas dalam penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi pegawai. Pemda Kabupaten Samosir belum melakukan tes kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dalam rangka penempatan pegawai. Proses mutasi khususnya dalam pengertian perpindahan pegawai antar unit kerja di lingkungan Pemda Kabupaten Samosir, juga memperlihatkan kondisi yang belum terpola dengan mekanisme yang jelas, adil dan transparan, sesuai dengan kapasitas individual pegawai dan karakteristik, beban dan volume pekerjaan. Hasilnya, dapat dikatakan bahwa prinsip ‘the right man in the right place on the right time’ masih sebatas slogan, karena adanya muatan kepentingan tertentu. Dari sisi pengukuran kinerja, sistem dan implementasi pengukuran kinerja pegawai sangat
strategis, karena pada dasarnya hasil pengukuran kinerja yang dilakukan secara objektif, valid dan terukur memberikan banyak manfaat bagi proses pengambilan keputusan di bidang kepegawaian. Namun, hal ini kurang disadari oleh Pemda Kabupaten Samosir, di mana penilaian pegawai yang berlaku sampai saat ini pada dasarnya tidak memiliki arti yang nyata terhadap pengukuran kinerja pegawai. Penilaian sangat subyektif karena kelemahan-kelemahan aspek, mekanisme dan sifat pengukurannya. Hasil penilaian tersebut tidak dapat membedakan pegawai berkinerja bagus dengan yang tidak. Anehnya, tidak ada satupun dari atasan yang berkeinginan untuk memberikan penilaian yang jelek terhadap anak buahnya sekalipun faktanya memang kinerja bawahannya tidak memuaskan. Dari sisi penggajian, pada semua tingkatan masih belum mampu membuat kesejahteraan bagi SDM aparatur. Persoalan minimnya gaji yang diterima selama ini, menjadi alasan klasik belum mampunya pegawai menunjukkan kinerja yang tinggi. Sebagian pegawai di Pemda Kabupaten Samosir masih mencari pendapatan tambahan di luar gaji yang diterimanya, dan banyak yang melaksanakan pekerjaan sampingan itu pada saat jam kantor. Kemudian dari sisi diklat, beberapa kelemahan pola diklat yang dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Samosir antara lain: (1) Sistem diklat yang ada baru terfokus pada diklat penjenjangan, diklat fungsional dan diklat teknis, di mana itupun belum tertangani dengan baik dan masih dalam taraf perbaikan menyeluruh; (2) Training needs belum dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pola diklat yang sistemik dan berbasis kompetensi; (3) Desain diklat, kurikulum dan jam pelatihan belum mengacu pada standar kompetensi yang dibutuhkan; (4) Spesialisasi instruktur dan widyaiswara masih terfokus pada aspek manajemen; dan (5) Belum mempertimbangkan kesesuaian antara kompetensi pegawai dengan kompetensi jabatan yang akan datang. Untuk itu perlu disiapkan pola diklat yang dapat mendukung pola karir pegawai. Di samping itu, pelaksanaan diklat selama ini sangat monoton, terutama dari segi substansi atau materi diklat. Sebagian besar materi Diklatpim Tingkat IV dan Diklatpim Tingkat III hampir sama. Di lingkungan Pemda Kabupaten Samosir, keterbatasan anggaran merupakan salah satu kendala utama dalam penyelenggaraan diklat PNS. Oleh karena itu, agar lebih efektif, maka peserta sebaiknya duduk dulu dalam jabatan yang baru, sebelum mengikuti Diklatpim. SIMPULAN Dari uraian di atas, potret SDM aparatur di Pemda Kabupaten Samosir adalah masih berkualitas rendah, banyak jabatan struktural yang belum terisi, rekrutmen pegawai belum berdasarkan pada analisis
114 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
jabatan, evaluasi jabatan belum dilakukan, penilaian kinerja individu berdasarkan kompetensi belum dilakukan, dan kurikulum diklat belum mampu meningkatkan kemampuan sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu penataan sistem rekrutmen pegawai; analisis jabatan; evaluasi jabatan; penyusunan standar kompetensi jabatan; penilaian individu berdasarkan kompetensi; pembangunan database pegawai; dan perbaikan kurikulum diklat.
Siswanto. 2006. Studi Pengembangan Kapasitas Litbang Kesehatan di Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Suatu Analisis Situasi), Laporan Penelitian Balitbang Depkes, Jakarta. Soeprapto, Riyadi. 2007. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah Menuju Good Governance, Jakarta: PT Gunung Agung. Suryanto. 2006. Reformasi Kebijakan Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Daerah, Jurnal Desentralisasi Vol. 7 No.4 Tahun 2006. http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/ 6167/ diunduh tanggal 14 Agustus 2012.
DAFTAR PUSTAKA Amri,
Agus Suryono dan Suwondo. 2009. Pengembangan Sumberdaya Aparatur Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja: Studi di Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa, WACANA, Vol. 12 No.3 Juli 2009. Armstrong, Michael. 2006. A Handbook of Human Resource Management Practice, London, Philadelphia: Kogan Page. Colquit, Jason A., Jeffery A. LePine & Michael J. Wesson. 2009. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitmen in the Workplace, New York: McGraw-HillIrwin. Eade, D. 1998, Capacity Building: An Approach to People-Centered Development, Oxford, UK: Oxfam, GB. Edralin, J.Sl. 1997. The New Local Governance and Capacity Building: A Strategic Approach, Regional Development Studies, Vol.3, p.148150. Enemark, Stig. 2006. Capacity Building for Institutional Development in Surveying and Land Management, paper presented in the Promoting Land Administration and Good Governance, 5th FIG Regional Conference Accra, Ghana, March 8-11, 2006. Hanif, Nurcholis. 2005. Pengembangan Kapasitas Pemda: Upaya Mewujudkan Pemda yang Menyejahterakan Masyarakat, Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005. Hersey, P. and K. H. Blanchard. 1999. Leadership and the One Minute Manager, New York: William Morrow. Ivancevich, John M. and Michael T. Matteson. 2002. Organizational Bahavior and Management, Boston: McGraw-Hill. Keban, Yeremias T. 2011, Menuju Sistem Ketatalaksanaan Pemerintahan Yang Baik, bahan presentase pada Diklatpim I Angkatan XXII LAN RI, 30 September 2011. Luthans, Fred. 2002. Organizational Behavior, Boston: McGraw-Hill–Irwin. Milen A. 2006. Capacity Building: Meningkatkan Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: CV. Haji Masagung.
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir) - Yosep Ginting & Sorni Paskah Daeli | 115
116 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 105 - 116
PENYELENGGARAAN KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN UMUM OLEH SATPOL PP DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROVINSI ACEH PEACE AND PUBLIC ORDER IMPLEMENTATION BY SATPOL PP AND CIVIL SERVANT INVESTIGATOR IN ACEH PROVINCE Gunawan Pusat Penelitian Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta No. Telp./Faks: +62 21 314 0454; HP. +62 812 88140 777; +62 877 888 877 866 e-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 14 Mei 2012, Direvisi: 29 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012
Abstrak Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. Lokasi kajian adalah Provinsi Aceh dengan metode kajian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pelaksanaan PPNS. Kajian menyimpulkan bahwa kelembagaan belum masuk dalam jabatan struktural, pembentukan sekretariat belum dilaksanakan, dan kualitas sumber daya manusianya belum optimal. Disarankan agar segera melakukan perubahan sistem jabatan struktural yang melekat pada PPNS diubah menjadi Jabatan Fungsional PPNS, membentuk Sekretariat PPNS pada Kantor Satpol PP, dan melakukan diklat bagi para pegawai. Kata Kunci: Satpol PP, PPNS, ketentraman dan ketertiban. Abstract This study aims to identify the duties and functions of the Satpol PP in the implementation of peace and public order. What is the study of Aceh by the method of qualitative study used a descriptive approach, in order to obtain a real picture of the implementation of the PPNS. The study concluded that the institution has not been included in the structural position, the formation of the secretariat has not been implemented, and the quality of human resources is not optimal. It is recommended to immediately make changes to the system are attached to the structural position PPNS converted into functional investigators, established investigators in the office of the secretariat of the Satpol PP, and conduct training for employees. Keywords: Satpol PP, PPNS, peace and order.
PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 14 ayat (1) mengatur mengenai penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah, dalam hal ini meliputi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, untuk kemudian dipertegas pada pasal 148 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk membantu kepala daerah dalam penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Satpol PP pada hakekatnya memberikan perlindungan kepada masyarakat, sehingga dapat terwujud rasa tenteram dan tertib di tengah-tengah masyarakat. Upaya menciptakan ketenteraman, ketertiban dan memberikan perlindungan kepada masyarakat tidak akan mudah dilaksanakan. Untuk itu, perlu adanya kelembagaan Satpol PP yang kuat
dan tegas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Secara teknis, agar intruksi dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dapat diaplikasikan pada tataran pelaksanaan, maka dibuatlah aturan pelaksanaannya, berupa Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja pada pasal 4, yang menjabarkan tugas pokok Satpol PP yakni menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat, dan pada pasal 5 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, Satpol PP mempunyai fungsi: (1) Menyusun program dan melaksanakan penegakan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat; (2) Melaksanakan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; (3) Melaksanakan kebijakan penyelenggaraaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah; (4) Melaksanakan kebijakan
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh - Gunawan | 117
perlindungan masyarakat (5) Melaksanakan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya, (6) Mengawasi masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan (7) Melaksanakan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri yang merupakan pembina Satpol PP di daerah, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 6 Tahun 2010 tersebut, pada pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan umum Satpol PP. Pembinaan yang dilakukan Menteri Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan terhadap Satpol PP di daerah meliputi: fasilitasi, regulasi, monitoring dan evaluasi, dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembinaan umum meliputi pemberian pedoman dan standar, bimbingan, supervisi, pendidikan dan pelatihan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan tugas Satpol PP; dan ayat (2) Gubernur, Bupati dan Walikota melakukan pembinaan teknis operasional Satpol PP, dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembinaan teknis operasional, meliputi pembinaan kemampuan Satpol PP melalui pembinaan etika profesi, pengembangan pengetahuan dan pengalaman di bidang ke-pamong praja-an. Kementerian Dalam Negeri selaku pembina Satpol PP di daerah, dapat memberikan arahan dan kebijakan kepada kepala daerah untuk melaksanakan PP Nomor 6 Tahun 2010 dalam penjabarannya terdapat aturan dan ketentuan bagi Satpol PP dalam menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman dalam kerangka perlindungan masyarakat, dibutuhkan koordinasi lintas instansi yang terkait perannya. Peran Satpol PP yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan merupakan peran yang tidak mudah dalam implementasinya butuh komitmen dan kesungguhan untuk dapat mewujudkannya dalam tugas pokok dan fungsinya. Berbagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi Polisi PP melalui peningkatan kemampuan aparat Polisi PP melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan dengan bersinergi dengan pihak kepolisian, sehingga diharapkan kinerja dan pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi manjadi lebih jelas. Selanjutnya, terkait dengan perkembangan dan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan, tuntuntan terhadap Polisi PP untuk lebih dapat memahami isi setiap Perda turut serta mengimplementasikannya di lapangan, karena dapat dipastikan tugas Polisi PP akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sebagai perangkat pemerintah daerah, Satpol PP dalam menegakkan Perda dan menjaga ketertiban, serta ketenteraman, menurut PP Nomor 6 Tahun 2010 pasal 9 menyatakan pada ayat (1) bahwa
bagi Polisi Pamong Praja yang memenuhi syarat dan dapat ditetapkan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan ayat (2) Polisi Pamong Praja yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah yang dilakukan oleh warga masyarakat, aparatur atau badan hukum. Selanjutnya, personel Satpol PP dalam melaksanakan penertiban umum dan ketenteraman masyarakat bertindak sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) disamping tentunya pejabat lainnya yang ditunjuk, sesuai pasal 149 ayat (1) Satpol PP dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ayat (2) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan ayat (3) Perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda. Makna pasal ini berarti bahwa yang dimaksud PPNS tersebut adalah personel Satpol PP dan/atau pejabat lainnya yang ditunjuk. Satpol PP dalam hal bertugas ganda sebagai pelaksana dan penyidik. PPNS dalam melaksanakan tugas-tugasnya didasarkan dari laporan masyarakat maupun dari kelembagaan, dalam hal ini adalah kelembagaan/ institusi Satpol PP, berdasarkan surat edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 182.1/857/57/sj tanggal 18 Maret 2011 tentang Pembentukan Sekretariat PPNS di Satpol PP. Dalam melaksanakan tugasnya, Satpol PP bekerja berdasarkan peraturan dan kebijakan pemerintah daerah, di mana pemerintah daerah telah diberi kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahannya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada pasal pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/ kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/ kota yang terdiri dari 16 urusan wajib dan atas dasar urusan wajib itulah, maka PPNS di daerah dikumpulkan dan disatukan dalam wadah sekretariat di Satpol PP, dengan harapan pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS berjalan lebih cepat dan dapat terkoordinasi dengan baik, meskipun seringkali dalam pelaksanaan penyidikan suatu kasus, mengalami permasalahan dan kendala dengan pihak Kepolisian, Satpol PP dan PPNS itu sendiri. Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi permasalahan mengenai peran PPNS sebagai berikut: (1) Pembentukan Sekretariat PPNS pada Kantor Satpol PP di daerah belum dilaksanakan sesuai dengan Surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 182.1/857/SJ Tahun 2011; (2) Sumber daya manusia yang tersedia sebagai PPNSD dalam menjalankan tugas dan fungsinya belum
118 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 117 - 126
memenuhi harapan yang diinginkan berdasarkan kepada integritas, kompetensi, obyektifitas, dan independensi serta kualitas maupun kuantitas yang memadai; (3) Keterbatasan sarana & prasarana PPNSD di Satpol PP belum mendukung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan d) Hubungan PPNSD dengan Satpol PP dan Penyidik Polri selaku pembina dan koordinator pengawas PPNSD dan Satpol PP belum konsisten. Merujuk kepada hasil penelitian sebelumnya mengenai Studi Profil Satuan Polisi Pamong Praja, yang menunjukan bahwa masih banyak daerah yang belum memiliki PPNS, maka kajian ini lebih difokuskan pada identifikasi permasalahan yang menyebabkan peran dan eksistensi PPNS di daerah dalam pelaksanaan ketenteraman masyarakat dan ketertiban umum belum optimal. Kajian memilih lokasi di Provinsi Aceh dengan alasan bahwa provinsi tersebut memiliki keunikan tersendiri, yakni dari kekhususan yang diberikan oleh pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan di daerah, yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. METODE PENELITIAN Teknik Pendekatan Kajian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan metode deskriptif, yang mana hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan analisa yang lebih jelas mengenai peran tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada institusi Satpol PP. Pertimbangan ilmiah penggunaan jenis penelitian deskriptif, ialah untuk mendapatkan gambaran dan fenomena yang terjadi pada saat sekarang yang jelas terkait dengan faktafakta, gejala-gejala dari obyek kajian yang ditemukan di lapangan secara realistis-komprehensif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data yang diinginkan dalam kajian ini, digunakan teknik pengumpulan data berupa: (1) studi dokumentasi (documentation study), yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari dokumen yang berkaitan dengan Satpol PP dengan tujuan untuk memperoleh data yang akurat dan dianggap perlu dalam melaksanakan kajian; (2) kuesioner (open and closed anded quistion), yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar pertanyaan yang berhubungan dengan fokus kajian ini. Daftar pertanyaan yang digunakan dibuat sedemikian rupa, sehingga responden dibatasi dalam memberikan jawaban pada beberapa alternatif, atau satu jawaban saja; dan (3) wawancara mendalam (in-depth interviews), yang dilakukan untuk membantu kekurangan dalam menganalis pada kusioner terbuka dan tertutup. Konsep Pemerintahan Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat, yakni
hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk dalam keluarga. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, akan senantiasa terkait dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut, manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan bagi kebutuhan sekunder, maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol dalam aktivitas dan mengembangkan masyarakat. Kebutuhan sekunder tersebut adalah kebutuhan untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga masyarakat. Dengan timbulnya kebutuhan dasar dan sekunder tersebut, maka terbentuk pula institusi sosial yang dapat memberi pedoman melakukan kontrol dan mempersatukan (integrasi) anggota masyarakat (Malinowski dalam Garna, 2000). Untuk membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian di antara mereka, yang menurut Rosseau (terjemahan Sumardjo, 1986) adalah konflik kontrak sosial (social contract). Adanya kontrak sosial tersebut selanjutnya melahirkan kekuasan dan institusi pemerintahan. Lahirnya pemerintahan pada awalnya adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga masyarakat tersebut bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Seiring dengan perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan, peran pemerintah kemudian berubah menjadi pelayan masyarakat. Pemerintah modern, dengan kata lain pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Rasyid, 2000). Osborne dan Gaebler (terjemahan Rasyid, 2000), bahkan menyatakan bahwa pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Dengan demikian lahirnya pemerintahan memberikan pemahaman bahwa kehadiran suatu pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang bertujuan untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat, bahkan Van Poelje (dalam Hamdi, 1999) menegaskan bahwa pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu ilmu, yaitu yang mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam mengarahkan dan memimpin pelayanan umum. Defenisi ini menggambarkan bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu mencakup 2 (dua) unsur utama, yaitu: pertama; masalah bagaimana sebaiknya pelayanan umum dikelola, jadi termasuk seluruh
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh - Gunawan | 119
permasalahan pelayanan umum, dilihat dan dimengerti dari sudut kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana sebaiknya Menurut Inu Kencana Syafiie (1998), secara etimologis kata pemerintahan berasal dari kata: 1. Perintah berarti melakukan pekerjaan menyuruh. Yang berarti di dalamnya terdapat dua pihak, yaitu yang merintah memiliki wewenang dan yang diperintah memiliki kepatuhan dan keharusan. 2. Setelah ditambah awalan pe menjadi pemerintah, yang berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. 3. Setelah di tambah lagi akhiran an menjadi pemerintahan, yang berarti perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut. Pemerintah adalah gejala sosial, artinya di dalam hubungan antar anggota masyarakat, baik individu dengan individu dan kelompok maupun antar individu dengan kelompok. (Ndraha, 1997). Menurut R. Mac.Iver (dalam Syafiie, 2002) pengertian pemerintahan adalah: “Suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Bagaimana manusia itu bisa diperintah”. Secara etimologis kata pemerintahan berasal dari kata pemerintahan, kata pemerintah sendiri berasal dari kata Perintah yang berarti menyuruh melakukan suatu pekerjaan (Pamudji, 1985). Namun tinjauan asal kata pemerintah sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris “government” yang diterjemahkan sebagai pemerintah dan pemerintahan dalam banyak tulisan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa “government” tidak selalu memiliki makna pemerintahan, karena Samuel Edward Finer mengartikan “government” sebagai public servant, yakni pelayanan. Sehingga Samuel Edward Finer (dalam Syafiie, 2002) menyimpulkan bahwa kata government dapat memiliki arti: a. Menunjuk kepada kegiatan atau proses pemerintah, yakni melakukan kontrol atas pihak lain; b. Menunjuk pada masalah-masalah Negara dalam kegiatan atau proses dijumpai; c. Menunjukan cara, metode, atau sistem dengan masa suatu masyarakat tertentu diperintah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan merupakan lembaga atau badan yang mempunyai wewenang (kekuasaan) untuk memerintah dan mengatur urusan negaranya berdasarkan sistem yang dianutnya. Konsep Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 1 angka 1 dan pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai penyidik, yaitu pejabat polisi
negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil. Selanjutnya, dalam PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut di atas, disebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu, sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah, yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. Kemudian, pada pasal 2 PP Nomor 58 Tahun 2010 tersebut , penyidik adalah, pertama: penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan kedua, penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil yang bertugas melaksanakan menyelenggarakan penegakan supremasi hukum dengan berprilaku sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang harus dipertanggung jawabkan menurut norma hukum, norma agama, norma moral, dan norma sosial. Adapun PPNS menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan Kepolisian Republik Indonesia. Selanjutnya, juga dijelaskan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah, mengenai keberadaan PPNSD menyebutkannya sebagai Pegawai Negeri pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Perda. PPNSD dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009, dengan memiliki karakteristik pada kode etik profesi PPNSD, yaitu norma yang digunakan sebagai pedoman yang harus ditaati oleh PPNSD dalam melaksanakan tugasnya agar sesuai dengan prosedur penyidikan, ketentuan peraturan perundangundangan, dan Perda. PPNSD harus menjunjung tinggi hak asasi manusia serta prinsip-prinsip yang mendasarinya, yaitu integritas, memiliki kepribadian yang dilandasi oleh unsur jujur, berani, bijaksana dan bertanggungjawab; kompetensi, yakni memiliki pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya; obyektifitas, yakni menjunjung tinggi ketidakperpihakan dalam melaksanakan tugasnya;
120 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 117 - 126
dan independensi, yakni tidak terpengaruh terhadap adanya tekanan atau kepentingan pihak manapun. Menurut Herujito (2001), mengenai pengawasan yang dilakukan PPNS, pengawasan pengawasan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu: (1) Waktu: yang dimaksud pengawasan dari segi waktu dapat dilakukan secara preventif dan secara refresif, alat yang dipakai untuk pengawasan ialah perencanaan dan budget, sedangkan pengawasan secara refresif menggunakan alat budget dan laporan; (2) Objek: ialah pengawasan terhadap produksi, keuangan, aktivitas karyawan dan sebagainya ada juga yang menyatakan pengawasan dari segi objek merupakan pengawasan administratif dan pengawasan operatif, contoh pengawasan administratif ialah pengawasan anggaran, inspeksi dan pengawasan order (standing order) dan pengawasan kebijaksanaan (policies controling); dan (3) Subjek: terdiri dari pengawasan intern dan ekstern. Adapun pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap PPNS adalah pengawasan subjek ekstern, sedangkan pengawasan yang dilakukan PPNS adalah menegakan perda, yang merupakan pengawasan kebijaksanaan, yang termasuk dalam pengawasan objek. Sebagai unsur pengawasan dan memberikan fasilitasi koordinatif bagi PPNS, tentunya Kepolisian Republik Indonesia mempunyai mekanisme dan aturan jalannya pelaksanaan tugas dan pokok PPNS sebagaimana disebut pada bab II Pengawasan, Pengamatan dan Penelitian serta pemeriksaan pasal 5 yang menyebutkan pengawasan, pengamatan, penelitian atau pemeriksaan ayat (1) dilaksanakan atas dasar: (a) hasil temuan dari petugas; dan/atau dan (b) laporan/pengaduan masyarakat, yang dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. (2) terhadap laporan/pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, kepada pelapor diberikan surat tanda penerimaan laporan. (3) hasil pengawasan, pengamatan, penelitian atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila ditemukan tindak pidana, dituangkan dalam laporan kejadian. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa tindakan yang dilakukan PPNS pada Unit Satpol PP adalah tindakan lanjutan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam bentuk laporan hasil temuan petugas ketika melaksanakan dan menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat serta perlindungan terhadap masyarakat, yang selanjutnya dijelaskan kembali pada pasal 6 yang berisikan bahwa: (1) Laporan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaporkan kepada atasan PPNS dan dicatat dalam registrasi penerimaan laporan kejadian. (2) Laporan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), berisikan uraian singkat mengenai peristiwa yang terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran pidana. (3) Atasan PPNS setelah menerima laporan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan surat perintah penyidikan
dan memberi petunjuk mengenai pelaksanaan penyidikan. Atasan langsung PPNS pada Unit Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP), sesuai dengan amanat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, menyebutkan bahwa yang menjadi atasan PPNS adalah PPNS atau Pimpinan pada instansi. Ketika dalam melakukan penyidikan, seorang Pejabat PPNS dapat meminta bantuan terahadap penyidik Kepolisian sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 pada pasal 8 ayat 2 menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pengamanan, penanganan, dan pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan karakter dan bidang tugas PPNS masing-masing. (3) Dalam hal pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membutuhkan tindakan taktis dan teknis di TKP, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri. PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, menyebutkan bahwa calon Penyidik harus memenuhi persyaratan Pengangkatan PPNS, yakni masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; berpendidikan paling rendah sarjana hokum atau sarjana lain yang setara; bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan; harus mempunyai moral baik, integritas, dedikasi dan professional; menyesuaikan jumlah personel PPNS dengan beban tugas yang dihadapi; mempunyai pola kerja sama antar PPNS dalam pelaksanaan penyidikan; membentuk team supervisi atau asistensi yang dapat mengawasi proses penyidikan; dan menghindari hubungan subjektivitas antara PPNS dengan tersangka. Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjaga ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat dan juga merupakan tugas Satuan Polisi Pamong Praja, yaitu terdapat pada tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Bab III Pasal 13 mengenai Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Keberadaan PPNS pada unit Satpol PP merupakan elemen pendukung utama dalam
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh - Gunawan | 121
Tabel 1. Komposisi PPNS di Satpol PP Provinsi NAD No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
1. Provinsi NAD 2. Kota Sabang 3. Kabupaten Aceh Besar Sumber: Satpol PP Prov.NAD, 2012.
Pol PP 71 135 73
SDM Satpol PP WH PPNS 14 14 27 1 39 5
Jumlah 99 163 117
Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah Kecamatan Lokasi Penelitian
No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
Luas Wilayah (km2) 1. Provinsi NAD 57.956 2. Kota Sabang 153 3. Kabupaten Aceh Besar 2.969 Sumber: BPS, Prov.NAD dalam Angka, 2011.
melaksanakan tugas lanjutan yang diperlukan dalam penanganan kepada lembaga peradilan, menurut Keputusan Kepala Kepolisian Negera Republik Nomor 6 Tahun 2010 pada pasal 13 mengenai Pengorganisasi PPNS pada ayat 1, bahwa dalam pelaksanaan penyidikan oleh PPNS, diperlukan pengorganisasian sumber daya yang meliputi: (1) personel PPNS; (2) sarana dan pra sarana; (3) anggaran; dan (4) peraturan maupun piranti lunak. Pelaksanaan pengorganisasian sumber daya sebagaimana dapat dilaksanakan oleh atasan PPNS berdasarkan hubungan dan tata kerja organisasi di lingkungan instansi PPNS. Sumber daya inilah yang nantinya akan menentukan kinerja dari PPNS pada instansi Satpol PP dalam menindaklanjuti laporan yang diberikan oleh Satpol PP ketika melaksanakan dan menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugas dan menangani serta menuntaskan kasus per kasus PPNS dapat melakukan secara berkelompok antara 2 (dua) sampai dengan 5 (lima) PPNS yang diatur dalam Keputusan Kepala Kepolisian Negera Republik Nomor 6 Tahun 2010 pada pasal 15, yaitu pengorganisasian personel PPNS dapat digolongkan sebagai berikut: (1) Pada kasus yang mudah, dapat dilaksanakan oleh 2 (dua) PPNS; (2) Pada kasus yang sedang, dapat dilaksanakan oleh 3 (tiga) PPNS; (3) Pada kasus yang sulit, dapat dilaksanakan oleh 4 (empat) PPNS; (4) Pada kasus yang sangat sulit, dilaksanakan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 5 (lima) PPNS. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data lapangan, jumlah sumber daya manusia aparatur Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh Darussalam dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Komposisi Penduduk (jiwa) 4.948.907 35.600 366.612
Kecamatan 286 2 23
Dari komposisi di atas, terlihat bahwa jumlah terbesar PPNS di Provinsi Aceh berasal dari Polisi PP, sedangkan Wilayatul Hisbah dan PPNS sendiri sama-sama sebanyak 14 personel. Komposisi yang berbeda terjadi di Kota Sabang, di mana jumlah personel PPNS keseluruhan adalah sebanyak 163 personel, yang terdiri dari unsur Polisi PP 135 personel, Wilayatul Hisbah 27 personel, dan unsur PPNS hanya 1 personel saja, itupun sebenarnya berasal dari unit Satpol Wilyatul Hisbah. Sedangkan jumlah PPNS di Kabupaten Aceh Besar adalah sebanyak 117 personel, dengan komposisi dari Polisi PP sebanyak 73 personel, Wilayatul Hisbah 39 personel, dan PPNS 5 personel. Dari jumlah keseluruhan PPNS yang ada apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada pada wilayah masing-masing, maka keberadaan PPNS dapat dikatagorikan belum proporsonal, sehingga masih diperlukan penambahan anggota personel, baik di unsur Satpol PP, unsur Satpol Wilyatul Hisbah maupun pada unsur PPNS. Adapun luas wilayah dan jumlah penduduk yang dilayani oleh Satpol PP dapat dilihat pada Tabel 2. Dari data terlihat bahwa ratio perbanding jumlah antara luas wilayah dan jumlah penduduk yang dilayani oleh PPNS di Provinsi Aceh adalah 1 melayani 585,41 km2 dan 49.989 orang masyarakat. Di Kabupaten Aceh Besar 1 orang PPNS melayani 25,38 km2 dan 3.133 orang masyarakat, sedangkan di Kota Sabang jauh lebih ideal, yakni 1 orang PPNS melayani 0,94 km2 dan 218 orang masyarakat. Dari komposisi jenis kelamin dan usia pada Tabel 3 dan Tabel 4, terlihat bahwa PPNS di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar, di dapat data bahwa sebagian besar PPNS berjenis kelamin pria dengan usia yang terbesar pada golongan 36-45 tahun. Dari komposisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPNS di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar lebih bagus bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang
122 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 117 - 126
Tabel 3. Komposisi PPNS Provinsi NAD Berdasarkan Jenis Kelamin
No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
1. Provinsi NAD 2. Kota Sabang 3. Kabupaten Aceh Besar Sumber: Satpol PP Prov.NAD, 2012.
Jenis Kelamin PPNS Pria Wanita 11 3 1 0 4 1
Tabel 4. Komposisi PPNS Provinsi NAD Berdasarkan Usia No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
1. Provinsi NAD 2. Kota Sabang 3. Kabupaten Aceh Besar Sumber: Satpol PP Prov.NAD, 2012.
< 25 0 0 0
26-35 4 0 0
Usia PPNS 36- 45 46 –55 6 2 1 0 3 2
> 56 2 0 0
Tabel 5. Komposisi PPNS Provinsi NAD Berdasarkan Tingkat Pendidikan No.
Provinsi/Kabupaten/Kota
1. Provinsi NAD 2. Kota Sabang 3. Kabupaten Aceh Besar Sumber: Satpol PP Prov.NAD, 2012.
kesemuanya berjenis kelamin pria dan tidak memiliki PPNS berjenis kelamin wanita. Dengan adanya PPNS berjenis kelamin wanita, diharapkan akan mengurangi efek negatif yang akan timbul di masa yang akan datang, seperti ketika melakukan pemeriksaan terhadap kaum hawa untuk menghindari pelecehan seksual, maka yang memeriksa harus dilakukan oleh perempuan. Adapun untuk usia, PPNS di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar harus segera melakukan regenerasi, mengingat sebagian besar PPNS yang ada sekarang akan memasuki usia pensiun. Dari Tabel 5 di atas, dapat dilihat tingkatan pendidikan PPNS yang ada di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar, maka terlihat bahwa sebagian besar berada tingkat pendidikan sarjana strata-1 (S-1), sedangkan yang berpendidikan pasca sarjana, yakni tingkat strata-2 (S-2) baru ada satu orang, yang terdapat pada Satpol PP Provinsi Aceh. Fakta tersebut menunjukan, bahwa yang menjadi PPNS di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar sesuai dengan PP Nomor 58 Tahun 2010 telah terpenuhi, yaitu persyaratan untuk menjadi PPNS adalah paling rendah berpendidikan sarjana atau sederajat, meskipun dalam pelaksanaannya, personel PPNS yang ada sebagian besar dibiayai dari dana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh. Seperti diketahui bahwa Provinsi Aceh mempunyai dua peraturan, yaitu peraturan yang mengatur secara keseluruhan pada wilayah, baik di
SLTA 0 0 2
Tingkat Pendidikan PPNS S-1 S-2 13 1 1 0 3 0
S-3 0 0 0
provinsi, kabupaten dan kota dalam bentuk Perda, Pergub, Perbup, dan Perwali dan Qanun, yaitu suatu aturan atau perintah yang mengatur khusus dalam mendirikan atau menjalankan syariat Islam dalam bentuk Qanun. Adapun Qanun-Qanun tersebut mengatur antara lain, Qanun 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Pelaksanaan Ibadah Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam diatur dalam Qanon 11 Tahun 2002, kemudian Qanon 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamer dan sejenisnya, Qanon 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanon 14 Tahun 2004 tentang Khalwat (mesum), dan Qanun 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2010, keberadaan Satpol PP dan PPNS dalam regulasi sudah jelas dan tidak diperdebatkan lagi, namun yang masih menjadi ganjalan adalah keberadaan Wilayatul Hisbah di dalam organisasi Satpol PP, belum diatur secara implisit. Meskipun Wilayatul Hisbah ini sudah ada dan terbentuk di dalam susunan organisasi Satpol WH, di mana untuk sementara sambil menunggu peraturan yang baru, baik dari pemerintah provinsi maupun dari pemerintah kabupaten/kota, berada pada koordinasi dan dirangkap oleh Kepala Satpol PP. Rencana kedepan, Organisasi Satpol PP dan Wilayatul Hisbah ini akan dibedakan menurut tupoksi masing-masing, di mana tugas pokok Satpol PP berada pada area pengawasan dan menjaga Perda, sedangkan Satpol WH mengawasi dan menjaga Qanun. Dalam pelaksanaan
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh - Gunawan | 123
di lapangan, kedua unsur ini dapat saja bekerjasama ketika Polisi PP melakukan operasi, dapat meminta bantuan Polisi WH dan begitu juga sebaliknya Polisi WH dapat meminta bantuan Polisi PP dalam melakukan operasi Syariat Islam. Wilayatul Hisbah sebelum disatukan dengan Polisi PP dan berada pada organisasi Dinas Syariat Islam, namun karena tugas Polisi WH dengan tugas Pol PP kadang berhimpitan dan ada kemiripan, maka Polisi WH untuk sementara di gabungkan ke Polisi PP, meskipun nantinya Polisi WH akan diarahkan untuk berdiri sendiri. Pasca tsunami pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan pendidikan dan pelatihan bagi personel PPNS, di mana tujuan utama adalah memperkuat personel PPNS, terutama personel Wilayatul Hisbah. Pendidikan dan pelatihan PPNS itu dibiayai oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), meskipun sampai sekarang belum keluar Surat Keputusan dan Ketetapan (SKEP) dan Kartu Tanda Penyidik (KTP), sehingga personel calon PPNS yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut diperlukan belum dapat melaksanakan tugas sebagai PPNS. Kepolisian Daerah (Polda) Aceh Resort Sabang mengidentifikasi instansi yang memiliki PPNS, dan hasilnya terdapat 13 instansi/dinas yang ada PPNSnya, dengan jumlah personel ada 14 PPNS pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Kantor Satpol PP, Kantor Imigrasi kelas II, Dinas Perhubungan Kota dan Kantor Pelayanan Bea Cukai di Kota Sabang, di mana masing-masing terdapat satu orang PPNS. Sedangkan pada Dinas Syariat Islam dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang masing-masing memiliki 3 orang PPNS, serta pada Dinas Perhubungan Laut/Navigasi teradapat 2 orang PPNS. Adapun pada Dinas Badan Karantina, Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan & Catatan Sipil, Dinas Informasi dan Komunikasi dan Dinas Kesehatan tidak memiliki PPNS. Dari data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Provinsi Aceh, Pemerintah Kota Sabang dan
Pemerintah Daerah Aceh Besar, hasil penyidikan yang dilakukan PPNS pada tahun 2011 terdapat penyidikan yang bersifat teguran dan pembinaan, khususnya yang berkaitan dengan penegakan Qanun sebanyak 813 kasus. Berdasarkan kinerja PPNS pada Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) di Provinsi Aceh pada tahun 2011, beberapa perkara yang sudah diproses dan dilakukan pembinaan adalah sebagai berikut: Qanun 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam 2 kasus, pelaksanaan ibadah Syariat Islam Bidang Aqidah 1 kasus, Qanon 11 Tahun 2002 tentang Ibadah dan Syiar Islam sebanyak 321 kasus, Qanon 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamer dan sejenisnya sebanyak 12 Kasus, Qanon 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) 3 kasus, Qanon 14 Tahun 2004 tentang Khalwat (mesum) 163 kasus, Qanun 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat 1 kasus, Perda Nomor 5 Tahun 2000 untuk Anak Punk sebanyak 85 kasus, sedangkan untuk waria sebanyak 27 kasus. Adapun keberadaan Gepeng sebanyak 34 kasus, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS sebanyak 58 kasus, Pergub Nomor 47 Tahun 2007 tentang Disiplin Sekolah sebanyak 110 kasus. Dari semua perkara yang diproses tersebut, penyelesaiannya masih bersifat pembinaan yang dilakukan di kantor yakni sebanyak 438 kasus, sedangkan pembinaan di tempat terdapat 44 kasus, dan penyelesaian melalui adat, tahap jaksa/P21, putusan hakim masih kosong/belum ada yang ditindak lanjutinya, melainkan hanya sebatas pada pembinaan. Untuk lebih jelasnya, angka penyelesaian kasus pada periode 2009 sampai dengan 2011, dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah. Di satu sisi, faktanya masyarakat di Provinsi Aceh telah mengetahui keberadaan Satpol PP dengan atribut yang dikenakannya, dan Satpol PP ketika melakukan penertiban di pasar-pasar dan di jalanjalan, baik itu yang diketahuinya dari media elektronik maupun media surat kabar, begitu juga dengan Wilayatul Hisbah, di mana masyarakat mengetahui Wilayatul Hisbah merupakan polisi
Sumber: Data olahan, 2012. Gambar 1. Rekapitulasi Kasus yang Diselesaikan oleh Satpol PP dan WH Tahun 2009 s/d 2011.
124 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 117 - 126
dengan tujuan mendirikan dan menegakan Syariat Islam, yang fungsinya hampir sama dengan Satpol PP. Di sisi lainnya, untuk memahami dan mengetahui kewenangan PPNS, sebagian besar masyarakat di Provinsi Aceh belum mengetahuinya secara utuh. Hanya sebagian kecil yang mengetahui keberadaan PPNS, dan itupun diketahui dari atributi yang digunakan berupa pakaian coklat, di mana tugasnya menangkap dan menggeledah masyarakat. Hal itu berarti, bahwa masyarakat terindikasi mengetahui PPNS yang dimaksud bukan PPNS Satpol PP dan Wilayatul Hisbah. Fakta lainnya, bahwa beberapa personel PPNS tidak memberikan contoh positif kepada masyarakat. Masyarakat hampir tidak mengetahui pekerjaan dari oknum PPNS, di mana hanya datang pagi untuk absen, kemudian pergi keluar kantor dan pada sore harinya baru kembali lagi ke kantor untuk absen pulang. Artinya, di mata masyarakat, PPNS dari Satpol PP dan Wilayatul Hisbah yang ada di Kota Banda Aceh belum menunjukan kinerja yang baik. Ada lagi tanggapan masyarakat terhadap kinerja personel PPNS dari Satpol PP dan Wilayatul Hisbah di Provinsi Aceh, yakni mereka beranggapan PPNS cenderung tebang pilih ketika yang melakukan penangkapan terhadap pelanggaran dan berlawanan dengan kebijakan pemerintah daerah, di mana salah satu contoh seorang oknum TNI ataupun Polisi serta pejabat politik dan penguasa di daerah, yang jelasjelas melakukan pelanggaran Qanun 11 Tahun 2002, Qanun 12 Tahun 2003, Qanun 13 Tahun 2003, dan Qanun 14 Tahun 2003, namun tidak tersentuh oleh penertiban. Lain halnya apabila yang melakukan pelanggaran adalah masyarakat biasa, maka oknum PPNS segera melakukan tindakan tegas. Artinya, unsur keadilan disini tidak menjadi fokus perhatian dari para personel PPNS. Seharusnya, setiap orang, apapun jabatan dan kedudukannya berdiri sejajar dimuka hukum, sehingga siapapun yang melakukan pelanggaran, wajib ditindak tegas tanpa pandang bulu. Kemudian, khususnya untuk oknum Polisi Wilayatul Hisbah, masyarakat menilai perilakunya terlalu arogan ketika melakukan operasi, contohnya ketika kaum muslimah berpakaian gamis, yaitu memakai baju terusan sampai ke lutut tetapi memakai pakaian celana dengan berbahan jeans tetap ditertibkan, padahal celana jeans-nya hampir tertutup baju gamis. Dalam hal ini, Polisi Wilayatul Hisbah dianggap kurang memperhatikan aspek hak asasi manusia yang seharusnya di junjung setinggitingginya, karena memakai celana jeans merupakan hak asasi seseorang untuk memakainya. Masyarakat menginginkan keduanya berjalan searah, di mana penegakan Syariat Islam tetap berjalan dan hak asasi manusia juga di junjung tinggi. Ditinjau dari aspek kelembagaan, jabatan PPNS yang terdapat di Satpol PP Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar, keseluruhannya merupakan jabatan struktural, di
mana hal ini merupakan menyebabkan kurangnya animo dan minat dari aparatur, khususnya yang berada di unit Satpol PP sebagai penegak kebijakan pemerintah daerah. Dengan jabatan struktural ini, PPNS tidak dapat berkembang dari sisi karier dan prestasinya, dan hanya mengikuti aturan yang ada tentang kenaikan jabatan dan pangkat berdasarkan aturan jenjang kepangkatan dari Kementerian PAN & RB dan Badan Kepegawaian Negara, yang artinya sama dengan jabatan fungsional umum. Kemudian, dari fakta lapangan juga diketahui bahwa pimpinan Satpol PP Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar belum otomatis menyandang jabatan sebagai PPNS. Hal ini penting untuk diketahui dan dibahas, karena dengan keberadaan seorang Pimpinan atau Kepala Satuan Polisi Pamong Praja yang merangkap sebagai PPNS, maka diharapkan pelaksanaan penegakan Perda akan berjalan lebih efektif dan efesien. Namun hal itu tidak ditemui di lokasi kajian, di mana akibatnya pelaksanaan penegakan Perda dan Qanun belum optimal. Figur pimpinan sangat berpengaruh, terutama ketika PPNS tersebut ada di lingkungan birokrasi. Apabila inisiatif penegakan Perda dan Qanun berasal dari pimpinan Satpol PP, akan sangat memudahkan personelnya untuk melakukannya dengan maksimal. Terkait pembentukan sekretariat di Unit Satpol PP, ternyata dari hasil identifikasi di lapangan, menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar belum terbentuk Sekretariat PPNS di Unit Satpol PP. Hal inilah salah satu alasan bahwa pelaksanaan penegakan Perda di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar belum berlangsung efektif dan efesien, oleh karena PPNS yang ada menyebar dan melekat pada dinas-dinas yang ada di Pemerintah Daerah Provinsi Aceh, Pemerintah Kota Sabang dan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar, yang dituntut berkoordinasi dengan PPNS Satpol PP dan Kepolisian selaku koordinator dan pengawas PPNS. Pola kerjasama dan koordinasi Polisi PP dan Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh dengan intansi terkait di daerah, telah dilakukan melalui MoU (Nota Kesepahaman) berupa kerjasama dan koordinasi dengan kepolisian daerah dalam bidang bina mitra dengan Polda dan TNI Angkatan Laut, dari mulai 18 Maret 2008 sampai dengan sekarang, kemudian dengan Kejaksaan, Kehakiman dalam bidang audiensi sampai sekarang, Perguruan Tinggi Negeri, IAIN dan Perguruan Tinggi Swasta UNSYIAH dari Tahun 2011. Selanjutnya, kerjasama juga dilakukan dengan lembaga luar negeri dalam bidang partnership dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, dan juga kerjasama dilakukan dengan lembaga-lembaga lainnya seperti Biro Hukum Setda Aceh dan Dinas Sosial dari tahun 2010 sampai sekarang ini.
Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Satpol PP dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Aceh - Gunawan | 125
SIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1) Kelembagaan PPNS di Provinsi Aceh, Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar berbentuk jabatan struktural, Kepala Satpol PP belum menjadi PPNS, serta pembentukan Sekretariat PPNS di Satpol PP pada umumnya belum dilaksanakan; (2) Pelaksanaan Penyidikan PPNS masih belum optimal; (3) Sebagian besar pelanggaran Qanun, penyelesaian kasusnya bersifat pembinaan di tempat maupun pembinaan di kantor, dan tindaklanjut kasus sampai pada lembaga peradilan hanya pada beberapa kasus saja; (4) Kerjasama dan koordinasi telah dilakukan pihak Kepolisian selaku Korwas PPNS, khususnya di Kota Sabang kerjasama dan koordinasi dilakukan dengan Polda dan TNI Angkatan Laut dalam bidang bina mitra, dan dengan Kejaksaan, Kehakiman, Perguruan Tinggi, dan unit kerja internal; dan (5) Sumber daya manusia personel PPNS masih minim kuantitas dan kualitasnya, di mana pada umumnya didominasi kaum pria serta tingkat pendidikan terbesar berlatar belakang pendidikan Sarjana (S1), dan dari usia PPNS terbanyak pada usia 36 tahun sampai dengan 45 tahun. Oleh karena itu, disarankan untuk: (1) Dilakukan perubahan sistem jabatan struktural yang melekat pada PPNS, menjadi jabatan fungsional PPNS sesuai dengan kelompok 101 rumpun jabatan fungsional penyidikan dan detektif; (2) keBeradaan PPNS perlu diatur pada tingkatan Peraturan Pemerintah, mengingat PPNS tidak saja berada pada unit Satpol PP, tetapi juga berada pada instansi vertikal lainnya; (3) Mendesak Kementerian Hukum dan Hak azasi Manusia untuk segera mengeluarkan dan menerbitkan Surat Keputusan Penyidikan (Skep) dan Kartu Tanda Penyidikan (KTP) yang baru, agar status personel yang telah menjadi pendidikan dan pelatihan jelas; (4) Mendorong calon PPNS daerah yang guna mengikuti pendidikan dan pelatihan PPNS, khususnya bagi calon-calon muda dan berjenis kelamin perempuan serta berpendidikan Pasca Sarjana; dan (5) Membantu daerah dari aspek pendanaan. DAFTAR PUSTAKA
Pamudji, S. 1985. Ekologi Administrasi Negara. Bina Aksara: Jakarta. Suryaningrat, Ba yu. 1990. Pemerintahan dan Administrasi Desa, Mekar Jaya, Bandung. Syafiie, Inu Kencana. 1998. Manajemen Pemerintahan. Jakarta: PT. Pertija. Syafiie, Inu Kencana. 2000. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Yayat M., Herujito. 2001. Dasar-Dasar Manajemen, Grasindo, Bogor. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Kesatuan Polisi Pamong Praja. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2011 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 182.1/857/SJ tahun 2011 tentang Pembentukan Sekretariat PPNS Pada Kantor Satpol PP. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Bentuk-bentuk manajemen pengawasan http:// www.manajemenn.web.id/2011/04/bentukbentuk-pengawasan.html, diunduh tgl 12 Pebruari 2012. Sistim Informasi Dokumen Hukum http://birohukum. gorontalofamily.org/biro-hukum.html, diunduh tanggal 14 Pebruari 2012.
Garna, Judistira K. 2000. Metode Penelitian Sosial: Penelitian Dalam Ilmu Pemerintahan, Bandung: Primako Akademika. Hamdi, Mukhlis. 1999. Desentralisasi dan Pembangunan Daerah. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Kemampuan Pemda Tingkat II Jakarta. Ndraha, Taliziduhu. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta. Rasyid, M. Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan, Jakarta: Yarsif Watampone. Jacques, Jean Rousseau. 1986. Kontrak Sosial, Terjemahan Sumarjo, Erlangga, Jakarta.
126 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 117 - 126
KERJASAMA ANTARDAERAH DALAM PENGELOLAAN MATA AIR UMBULAN WINONGAN PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR INTERREGIONAL PARTNERSHIP IN THE MANAGEMENT OF UMBULAN SPRING WINONGAN PASURUAN EAST JAVA Irtanto1 dan Hari Wahyudi2 Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur 1 Telp. 031-8290719, e-mail:
[email protected] 2 Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur 2 Telp. 031-7412278, e-mail:
[email protected] Diterima: 9 Mei 2012, Direvisi: 24 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012 1
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi produk kebijakan teknis kerjasama untuk implementasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabay, serta mengidentifikasi implementasi kerjasama dan kendala yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama pengelolaan mata air Umbulan belum berjalan dengan baik, yang disebabkan oleh belum terbentuknya lembaga kerjasama yang melibatkan kalangan independen dan professional untuk bekerja secara aktif dan intensif; belum adanya payung politik yang memadai; dan kurang pelibatan stakeholders. Kata Kunci: kerjasama antardaerah, implementasi kebijakan, mata air. Abstract The purpose of this study was to identify the products of technical cooperation for the implementation of the policy of the Government of East Java, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik and Surabaya,and to identify the implementation of cooperation and constraints. The approach used is descriptive qualitative. The results showed that the joint management of the springs Umbulan not run well, which is caused by the institutions have been formed involving cooperation among independent and professional to work actively and intensively; absence of adequate political umbrella, and lack of involvement of stakeholders. Keywords: interregional cooperation, policy implementation, springs.
PENDAHULUAN Kerjasama antardaerah telah digulirkan oleh pemerintah sejak pasca orde baru, yang diformalkan di dalam Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait, dan untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Demikian pula regulasi lainnya terkait dengan pemanfaatan sumber daya air melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya air berasaskan kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan, dan keserasian, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 menyebutkan tersebut mengamanatkan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna penguasaan sumber daya air artinya bahwa penye-
lenggaraannya dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Atas dasar itulah, maka ditentukan hak guna air. Secara spesifik, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup, dengan tujuan mewujudkan pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari aspek regulasi, yang tidak penting adalah regulasi pengaturan kewenangan dalam kerjasama antardaerah dalam pengelolaan air yang telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa kewenangan pemerintah provinsi adalah dalam hal penetapan standar pengelolaan sumber daya air permukaan yang bersifat lintas kabupaten/kota, serta pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas kabupaten/kota. Adapun kewenangan pemerintah kabupaten/kota, yaitu dalam penetapan persyaratan, pengaturan, mekanisme dan pelaksanaan pemberian ijin serta pengelolaan atau
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur - Irtanto & Hari Wahyudi | 127
pemanfaatan air/mata air yang ada di dalam wilayah kabupaten/kota tersebut. Bila dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat akan air bersih yang semakin meningkat, maka berbagai regulasi tersebut di atas nampaknya relevan dengan permasalahan di Kota Surabaya, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik yang penduduknya semakin meningkat jumlahnya, yang kesemuanya membutuhkan pasokan air bersih yang cukup. Namun di sisi lain, terdapat keterbatasan jumlah debit air bersih yang disediakan oleh PDAM masingmasing daerah tersebut, yang diperoleh dari mata air Umbulan di Kabupaten Pasuruan yang memiliki 9 titik mata air dan memiliki debit rata-rata 5000 liter/detik, dimana terletak sekitar 13 km dari lereng kaki Gunung Bromo, Semeru dan berada 27 m di atas permukaan laut. Pemanfaatan mata air Umbulan dipandang sebagai kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Karena itu, Pemerintah Provinsi menginisiasi lahirnya kerjasama antardaerah yang tertuang dalam kesepakatan Nomor 120.1/81/012/2004 tentang Kerjasama Pengelolaan Sumber Daya Air Umbulan di Kabupaten Pasuruan. Namun dalam implementasinya, kerjasama tersebut belum optimal untuk memenuhi kebutuhan keempat daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kerjasama antardaerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan mata air Umbulan tersebut, agar dapat diidentifikasi produk-produk kebijakan teknis operasional yang sudah dilakukan oleh masingmasing pemerintah daerah yang bekerjasama, yang selanjutnya dapat diidentifikasi permasalahan yang ada dalam implementasi kerjasama tersebut, dan apa upaya-upaya mengatasinya. Cooper (dalam Solichin AW. dkk, 2002) membuat ciri-ciri kerjasama antar Pemerintah Daerah, sebagai “They are generally agreement between two goverment concerning single activity. They pertain to service rather than to facilities. They are not permanent and contains provision for future renegotiating or termination by either party. They have stand-by provisions that come into neffleck only when certain conditions arise; and they permitted by state legislation that authorizes cooperation among local government in specific areas”. Artinya bahwa kerjasama antarpemerintah akan memudahkan kedua belah pihak dan dapat dilakukan sewaktu-waktu, atau tidak permanen. Yuwono (2004) mengungkapkan bahwa kerjasama pada umumnya meliputi beberapa elemen pokok yang bisa meliputi dua konsep utama, yaitu kerjasama antar sektor dan kerjasama antar aktor dalam sebuah ruang lingkup yang jelas. Hal tersebut lebih ditekankan oleh Dallery (2000), bahwa kerjasama antar sektor dalam perspektif manajemen publik sebagai sesuatu yang penting, karena menyangkut perlunya penanganan sebuah kegiatan
atau program publik yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Egoisme sektoral yang selama ini dipandang sebagai hal yang menyebabkan kegagalan pembangunan, disebabkan oleh integrasi dan kemitraan pelaksanaan pembangunan tidak dapat terlaksana dengan baik. Adapun kerjasama antaraktor merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya, karena faktor ini sangat menentukan sejauhmana program kerjasama dapat dilakukan dengan baik. Keterlibatan aktor, baik yang berada di sektor publik, privat maupun masyarakat, menentukan skala kemitraan dan efektivitasnya dapat terjaga. Kemitraan untuk melakukan kerjasama dan kesediaan untuk mengadakan kerjasama merupakan aspek pokok yang menentukan efektivitas dan efisiensi kerjasama tersebut. Makna yang lebih luas dari itu adalah bahwa kerjasama tersebut dibangun dari suatu kebijakan yang terkait dengan masyarakat Etzioni (1967), menyatakan bahwa kinerja implementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh kebijakan publik; organisasi dan strategi implementasi; dan kondisi lingkungan. Dalam praktiknya, ketiga variabel tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Konsep ini memiliki pola kesamaan dengan pemikiran Dye (1978), bahwa di dalam sistem kebijakan, yang digambarkan ke dalam tiga elemen yang saling mempengaruhi, yakni kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Sejalan dengan implementasi kerjasama Etzioni melahirkan konsep tentang ketiga faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut, yakni: Pertama, kebijakan publik yang dimaksud merupakan bentuk kebijakan apa yang hendak diterapkan pengambil keputusan kepada masyarakat penerima kebijakan. Kedua, organisasi dan strategi implementasi, ini berhubungan dengan keterlibatan lembaga-lembaga terkait pelaksanaan kebijakan, berikut strategi apa yang hendak dilaksanakan dan dikembangkan sehubungan dengan bentuk kebijakan yang telah diputuskan. Ketiga, kondisi lingkungan berkaitan dengan dukungan yang diberikan masyarakat yang terkena kebijakan maupun dukungan dari organisasi internal pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan. Analogi terhadap konsep Etzioni tersebut, dapat dijelaskan pada kasus pengelolaan mata air Umbulan, di mana bentuk sifat urgensi kebijakan yang diambil pemerintah, apakah mendapat dukungan atau tentangan dari lingkungan masyarakat sehubungan dengan eksternalitas positif maupun negatif yang mungkin akan dialami lingkungan masyarakat penerima bentuk kebijakan; karena sebuah kebijakan berkaitan dengan tanggung jawab yang dilaksanakan antar lembaga, maka kapasitas atau kemampuan dalam bentuk performance lembaga publik beserta aparatnya, disertai kemampuan dalam menyusun dan melaksanakan strategi akan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik. Relevansi konsep
128 |Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 127 - 134
Etzioni diperkuat dengan pendapat Dye, bahwa suatu proses kebijakan terbentuk melalui elemen-elemen sistem kebijakan atau pola institusional melalui di mana kebijakan tersebut dibuat dan memiliki hubungan timbal balik, yaitu antara pelaku kebijakan, kebijakan publik dan lingkungan kebijakan. Pelaku Kebijakan Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Sumber: Dye, 1978. Gambar 1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan.
Untuk memahami proses implementasi kebijakan dalam pengelolaan mata air Umbulan, dapat dipergunakan model proses implementasi kebijakan berdasarkan rumusan Van Meter, yang dapat diketahui dari sejumlah variabel, yaitu: komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan; ukuran dan tujuan kebijakan; sumbersumber kebijakan; karakteristik badan pelaksana; sikap para pelaksana; dan lingkungan ekonomi, sosial, politik. Selanjutnya, proses implementasi kebijakan ini akan mengalami keberhasilan, tergantung pada derajat perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam melaksanakan prosedur implementasi kebijakan. Intinya bahwa proses implementasi kebijakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kepatuhan bertindak terhadap kesepakatan tujuan serta kontrol yang dijalankan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi (Wahab, 1997). Mempertimbangkan kedua pendapat tersebut, maka dalam proses implementasi kebijakan, yang melibatkan berbagai tingkat lembaga atau organisasi antar pemerintah dapat dilakukan modifikasi adopsi pendapat Goggin (1990). Dalam model komunikasi antar organisasi pemerintah, digambarkan terdapat hubungan yang mempengaruhi hasil implementasi kebijakan. Pemerintah pada level provinsi dapat mempengaruhi hasil-hasil kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan yang mendorong maupun menghambat implementasi kebijakan. Sedangkan hasil-hasil kebijakan daerah ini juga ditentukan oleh masing-masing kapasitas daerah, selanjutnya secara bersamaan akan mempengaruhi implementasi kebijakan. Fokus utama studi implementasi adalah persoalan bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam organisasi. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang melibatkan “jaringan” organisasi, pertanyaannya adalah bagaimana
organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini. Pendekatan kekuasaan dan ketergantungan sumber daya. Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari hubungan kekuasaan di mana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan mereka. Pada gilirannya, organisasi-organisasi yang tergantung pada organisasi-organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerja sama dengan organisasi yang kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka untuk beroperasi (Aldrich, diadopsi oleh Persons, 2005). Pendekatan pertukaran organisasional. Pendekatan ini menyatakan bahwa organisasi bekerja dengan organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Ciri utama dari pertukaran antar– organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak (Levine dan White, 1961, dalam Parsons, 2005). Dalam model ketergantungankekuasaan, relasi organisasional didasarkan pada dominasi dan dependensi, sedangkan pertukaran didasarkan pada kepentingan bersama (Bish, Tite, White, dalam Persons, 2005). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan menggunakan metode studi kasus untuk mengungkap bagaimana realitas implementasi kerjasama pengelolaan mata air Umbulan. Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah kebijakan teknis apa yang ditempuh selama ini dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program kerjasama pengelolaan mata air Umbulan Kabupaten Pasuruan. Secara teknis hal ini lebih menekankan pada deskripsi ex post facto tentang aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan output dan impact dari implementasi kebijakan kerjasama pengelolaan mata air Umbulan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi dokumen, program, wawancana mendalam (indepth interview) dengan pembuat kebijakan dan administrator seperti Sekretaris Daerah, DPRD, PDAM, Bappekab, dan Pengawas PDAM dengan teknik snowball untuk mengidentifikasi, mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. Kemudian teknik focus group discussion (FGD) yang melibatkan para pembuat kebijakan dan administrator serta pihak-pihak terkait. FGD kami gunakan untuk melengkapi data yang telah diperoleh
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur - Irtanto & Hari Wahyudi | 129
untuk melihat permasalahan-permasalahan yang berkembang. Selanjutnya data dan informasi yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode ex post facto. Dari hal tersebut yang kemudian diinterpretasikan berdasarkan pengelompokkan orientasi masalah dan kendala-kendala atas aspekaspek internal dan eksternal yang mendukung serta menghambat implementasi kerjasama pengelolaan mata air Umbulan di Kabupaten Pasuruan. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Di wilayah Kabupaten Pasuruan terdapat enam mata air, yaitu Umbulan, Banyubiru, Semut, Kaliadem, Watugajah, Mego, dan Trobayan. Mata air Trobayan kondisinya masih alami, air keluar dari celah batu gunung (stone belt), debetnya diperkirakan 0,3 m³/detik dimanfaatkan untuk irigasi dan suplai Sungai Rekoso. Untuk menjangkaunya, harus ditempuh berjalan kaki sekitar 1 km dari jalan beraspal, terletak di Kecamatan Winongan. Adapun mata air Banyubiru telah dibangun dan dikelola untuk kepentingan masyarakat, yang debetnya diperkirakan 0,5 m³/detik dan telah dimanfaatkan untuk kepentingan PDAM Grati, kolam renang, irigasi (Prodo dan Bantaran) dan suplai Sungai Rekoso sebanyak 340 lt/det. Lokasi mata air Banyubiru terletak di Kecamatan Winongan. Kemudian, mata air Semut kondisinya masih alami, yaitu berupa kolam penampung berbentuk bulat dengan diameter +15 meter yang disekelilingnya berupa tanaman “bulung” (pepohonan Sagu). Mata air Semut belum memiliki bangunan, dengan ukuran debet airnya diperkirakan mencapai 0,4 m³/detik yang dipergunakan untuk mengairi sawah dan untuk suplai Sungai Rekoso. Selanjutnya, mata air Kaliadem, yang lokasinya terletak di Kecamatan Winongan, yang kondisinya masih alami, terdiri dari mata air kecilkecil yang tersebar kemudian mengumpul pada satu saluran outlet, terletak di sela tanaman dan lahan persawahan dengan debet diperkirakan 0,5 m³/detik, dimanfaatkan untuk irigasi dan suplai Sungai Rekoso. Mata air Watugajah telah dibangun kolam penampungan dengan luas + 13 x 35 meter, belum dikelola dengan baik. Mata air Watugajah belum ada bangunan ukur debit, debitnya diperkirakan 0,1 m³/detik dan dimanfaatkan untuk irigasi saja. Lokasi mata air Watugajah juga terletak di Kecamatan Winongan. Kemudian, mata air Mego kondisinya masih alami berupa kolam dangkal dan ditumbuhi tanamanan air, terletak di antara lahan tebu. Mata air Mego debitnya diperkirakan 0,2 m³/detik yang dimanfaatkan untuk irigasi dan suplai ke Sungai Rejoso dan berlokasi di Kecamatan Winongan. Mata air Umbulan yang akan dikerjasamakan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Pasuruan, Sidoarjo, Gresik dan
Kota Surabaya juga terletak di Kecamatan Winongan. Mata air Umbulan yang akan dijadikan bahan baku air minum sebagian telah dikelola untuk kepentingan masyarakat. Pengelolaan ataupun pemanfaatan mata air Umbulan sangat prospektif untuk dikerjasamakan. Hal ini mengingat debit airnya sangat besar, yakni mencapai 5.500 liter/detik, dan tidak lebih dari 500 liter/detik yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Menurut data Dinas Permukiman Provinsi Jawa Timur, mata air Umbulan saat selama ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan PDAM Kota Surabaya sebanyak 110 lt/detik, PDAM Kabupaten Pasuruan sebanyak 165 lt/det, irigasi dan kolam ikan sebanyak 500 lt/det, sedangkan sisanya sekitar 4.000 liter/detik dibiarkan mengalir ke sungai dan areal persawahan, dan selain itu dimanfaatkan pula untuk suplai Sungai Rejoso. Kondisi di atas tentu sangat ironis dengan kebutuhan air bersih bagi masyarakat perkotaan yang terus meningkat jumlah penduduknya. Jika proyek kerjasama pengelolaan mata air Umbulan ini terlaksana, tidak hanya masyarakat Kabupaten Pasuruan saja yang dapat menikmatinya, masyarakat Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya tentu bisa menikmatinya juga. Debet mata air Umbulan akan dimanfaatkan sebesar 3.200 lt/detik, di mana untuk melayani Kota Surabaya bagian Timur–Utara sebanyak 1.000 lt/detik, Kabupaten Sidoarjo (Kota, Waru & Porong) sebanyak 2.000 lt/det dan Kabupaten Pasuruan terutama PIER sebanyak 200 lt/det. Apapun menurut Greater Surabaya yang diadopsi oleh Dinas Permukiman Provinsi Jawa Timur, debet mata air Umbulan dimanfaatkan sebesar 3.200 lt/det, di mana untuk melayani Kabupaten Gresik sebanyak 1.000 lt/det, Kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.750 lt/det dan Kabupaten Pasuruan sebanyak 400 lt/det. Sedangkan Bank Dunia menilai bahwa suplai mata air Umbulan dapat dipergunakan untuk Kabupaten Pasuruan sebanyak 400 lt/det, Kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.600 lt/det, Kota Surabaya sebanyak 1.000 lt/det, dan Kabupaten Gresik sebanyak 1.000 lt/det. Potensi mata air Umbulan sudah dikenal hingga ke mancanegara, di mana beberapa pengusaha nasional ingin mengelola mata air yang berkapasitas 5.500 liter/detik tersebut, bahkan Bank Dunia juga terpikat untuk mendanai proyek tersebut. Pemerintah Kabupaten Pasuruan sendiri pula mempunyai alasan yang kuat untuk segera membangun jaringan transmisi pipa besar dari Umbulan hingga Gempol. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan kapasitas sekitar 450 liter/detik, aliran air ini akan dimanfaatkan ratusan perusahaan yang sampai saat ini masih memanfaatkan air bawah tanah (ABT). Malahan PT. Cheil Jedang Indonesia (CJI) sudah memesan sebesar 250 liter/detik, dan menyatakan kesanggupannya untuk sharing investasi pembuatan jaringan transmisi pipa besar. Jumlah perusahaan yang akan
130 |Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 127 - 134
memakai mata air tersebut bakal bertambah lagi, karena masih banyak perusahaan berskala besar yang berada dikawasan PIER hingga Gempol. Dampak positif jika jaringan transmisi pipa besar ini sudah dibangun, akan mengurangi pemanfaatan ABT oleh berbagai perusahaan yang ada di wilayah Kabupaten Pasuruan, karena perusahaan diwajibkan memanfaatkan saluran air PDAM. Dengan demikian, potensi pemanfatan ABT akan terkurangi. Meski membangun transmisi pipa sendiri, Pemerintah Kabupaten Pasuruan akan tetap memfasilitasi beberapa wilayah lain, seperti Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik untuk memanfaatkan mata air Umbulan. Hanya saja, mereka harus menyambung sendiri jaringan transmisi pipa besar dari Gempol. Terlepas dari fakta di atas, nampaknya prosentase bagi hasil proyek air Umbulan akan menjadi masalah tersendiri dalam kerjasama, di mana masing-masing pihak kemungkinan akan mempertahankan posisinya, terutama oleh pemilik mata air tersebut. Hal ini menyangkut berapa rupiah yang akan masuk ke kas daerah untuk konstribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD). Namun, alangkah ironisnya jika alasan bagi hasil itu yang semata-mata dijadikan dasar molornya dan tidak jelasnya pelaksanaan proyek mata air Umbulan. Produk Kebijakan Teknis Operasional Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Pasuruan telah menandatangani MoU Nomor 120.1/81/012/2004 tentang kerjasama Pengelolaan Sumber Daya Air Umbulan di Kabupaten Pasuruan. MoU tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Bersama Gubernur Jawa Timur dan Bupati Pasuruan nomor 188/186/KPTS/013/2005 dan nomor 180/07/HK/ 424.022/2005 tentang Tim Kerjasama Pengelolaan Mata air Umbulan di Kabupaten Pasuruan. Kedua kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan Keputusan Ketua Tim Kerjasama Pengelolaan Mata air Umbulan di Kabupaten Pasuruan nomor 539/315.1/ KPTS/021/2006 tentang Kelompok Kerja Pengelolaan Mata Air Umbulan di Kabupaten Pasuruan. Tim tersebut terdiri dari para pejabat di lingkungan instansi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Pasuruan. Lahirnya keputusan bersama antara Gubernur Jawa Timur dengan Bupati Pasuruan tersebut di atas, merupakan bentuk kebijakan yang dilakukan diluar etika hubungan komunikasi antar tingkat birokrasi yang biasanya dipahami selama ini dalam konsep hirarkhi birokrasi, yang menempatkan tingkatan pola hubungan hirarkhi kewenangan antara atasan dan bawahan bukanlah bersifat hubungan komunikasi yang bersifat sejajar. Penerapan prinsip ”primus interpares” di dalam pembuatan keputusan bersama yang dilakukan Gubernur Jawa Timur dengan Bupati Pasuruan, merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan aturan penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi dari sisi kepatutan etika administrasi publik, suatu bentuk kerjasama antar pemerintahan daerah akan dilakukan dalam satu level pemerintahan daerah. Hal ini berarti, bahwa pemerintahan provinsi di dalam melakukan hubungan komunikasi kebijakan dengan pemerintah kabupaten/kota lebih berada pada posisi yang melakukan ”penawaran kerjasama” dibandingkan sebagai ”fasilitator”. Pada sisi lain, di dalam proses kebijakan pengelolaan mata air Umbulan dibentuk, tidak melibatkan sepenuhnya elemen-elemen seperti pelaku kebijakan maupun lingkungan kebijakan, yaitu masyarakat, privat/pelaku profesional seperti yang dikonsepkan Dye (1975) dan hal ini sejalan dengan konsep good governance, bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik antara lain harus melibatkan privat dan masyarakat. Oleh karenanya, dari sisi proses kebijakan pengelolaan mata air Umbulan tersebut dipandang masih banyak kelemahannya. Upaya untuk Mengimplementasikan Kerjasama Megaproyek pengelolaan mata air Umbulan menurut rencana menghabiskan dana sekitar sebesar Rp 1,2 triliun. Dana sebesar itu diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur sebesar Rp 900 miliar dan untuk pipa distribusi sepanjang 63 km sebesar Rp 300 miliar. Harapannya, pada tahap awal Bank Dunia mengadakan studi lebih dahulu dan kemungkinan akan memberikan pendanaan untuk jalur distribusinya, sedangkan proyek Umbulannya diharapkan bisa dikerjakan BUMD Jawa Timur, namun tetap dengan proses tender. Ketertarikan Bank Dunia, disebabkan mata air Umbulan memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan air di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya. Daerahdaerah tersebut sangat mungkin akan mengalami kekurangan air bersih. Karena itu, Bank Dunia berusaha keras untuk berinvestasi di proyek Umbulan. Mata air Umbulan merupakan prioritas yang akan dikerjakan PDAB (Perusahaan Daerah Air Bersih) Jawa Timur. Untuk sharing pendanaan antara Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya yang selama ini menjadi masalah, masih dalam tahap pengkajian. Proyek air bersih Umbulan tetap berjalan, meski tanpa bantuan Bank Dunia, Pemerintah Provinsi mempersiapkan proses tender baru, tender yang lalu telah diputus berdasarkan keputusan pengadilan. Pemerintah Provinsi sedang mengumpulkan data terbaru di antaranya mengenai lokasi strategis yang akan dilewati pipa air. Data lama menunjukkan pipa masih mengikuti alur jalan tol yang terkena lumpur panas Sidoarjo. Pemerintah Provinsi berinisiatif mencari lokasi yang lebih baik dan aman, meskipun rencana tersebut masih berupa wacana, karena membutuhkan
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur - Irtanto & Hari Wahyudi | 131
waktu yang lama. Masalah lainnya, adalah kurangnya pengendalian mata air seperti debit air yang dulunya sebanyak 5,2 ribu liter/detik, tetapi sekarang sudah berkurang menjadi 4 liter/detik. Hal ini dikarenakan banyaknya rumah dan perusahaanperusahaan air minum yang mengebor sumber. Hal lainnya, menyangkut proses tender, di mana saat ini sedang dilakukan persiapan proses dokumen tender yang diperkirakan selesai 2-3 bulan, dan pelaksanaan tender 7-8 bulan. Jika memang investornya memenuhi harapan, maka langsung bisa dikerjakan. Ada dua proyek yang berjalan, yaitu membangun transmisi dan distribusi. Untuk transmisi, dikerjakan investor dan bisa disertai kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota atau provinsi, sedangkan Bank Dunia diberikan kesempatan untuk membantu proyek distribusi. Selanjutnya untuk mengimplementasi-kan tender investasi pengelolaan mata air Umbulan, telah dibentuk beberapa Kelompok Kerja (Pokja) yang mempunyai tugas menyusun langkah-langkah pelaksanaan proyek Umbulan, di antaranya analisis mengenai dampak lingkungan dan penyelesaian dokumen tender. Selama ini debit air yang ada di empat kabupaten/kota yang akan terlibat proyek, kecil sekali dan tidak menjangkau seluruh masyarakat. Di Kota Surabaya, 60 persen penduduk saja yang bisa di-cover air PDAM, sedangkan Kabupaten Sidoarjo hanya 30 persen. Dengan kapasitas produksi 5 m³/detik, mata air Umbulan bisa menambah jangkauan air ke masyarakat. Upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mewujudkan kerjasama pengelolaan mata air Umbulan, mengalami hambatan berupa tuntutan dari PT. Mandala Citra Umbulan (MCU). Selama ini PT. Mandala Citra Umbulan (MCU) memang mengklaim telah memenangkan gugatan perdata di Mahkamah Agung (MA), namun Pemerintah Provinsi Jawa Timur bergeming. Klaim tersebut tidak menghalangi rencana Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk berencana melaksanakan proyek terebut. Mereka tetap berniat melelang proyek pengelolaan mata air Umbulan. Pemerintah Provinsi melalui PDAB telah menyiapkan dokumen tender untuk melanjutkan proyek pengelolaan mata air Umbulan. BUMD milik Pemerintah Provinsi itu juga telah menyiapkan dana Rp 1,3 trilyun yang diambil dari aset PDAB sendiri. Faktanya, bahwa kelanjutan proyek pengelolaan mata air Umbulan tampaknya masih akan tersendat lagi, karena PT. Mandala Citra Umbulan (PT MCU), perusahaan yang memenangkan tender pengerjaan proyek itu, memenangkan gugatannya di Mahkamah Agung (MA). Gugatan tersebut terkait pemutusan kontrak proyek tersebut secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. PT. MCU mengatakan bahwa seharusnya sebelum mengambil langkah-langkah dengan menenderkan kepada pihak lain, PDAB harus mengajak PT. MCU berunding, sebab putusan MA memenangkan PT. MCU telah berkekuatan hukum tetap.
Kendala dalam Implementasi Kerjasama Beberapa kendala yang bisa menyebabkan beberapa kemungkinan molornya implementasi kerjasama mata air Umbulan, seperti alotnya negosiasi yang memakan waktu yang begitu lama, di mana calon investor menginginkan jaminan. Hal ini harus ada pertanggungjawabannya. Investor kuatir apabila suatu saat air Umbulan mengering, pihak mana yang harus bertanggung jawab, meski dalam hal ini dipastikan merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan pipa transmisi atau distribusi bisa tanggung jawab investor. Mengenai negosiasi yang alot pada tahap awal, Pemerintah Kabupaten Pasuruan menawarkan pengelolaan Umbulan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai bagi hasil dengan persentase 70:30. Hal ini didasarkan letak mata air Umbulan yang memang berada dalam wilayah Kabupaten Pasuruan. Namun setelah dilakukan perundingan, Pemerintah Kabupaten Pasuruan akhirnya bersedia menurunkan perolehan bagi hasil menjadi 60:40. Tetapi, keputusan itu dirasakan masih belum cukup, di mana Pemerintah Provinsi Jawa Timur tetap bersikukuh dengan persentase 50:50. Ketika penelitian dilaksanakan, kesepakatan bagi hasil masih belum selesai. Belum selasainya perundingan teknis soal bagi hasil ini, tentu saja membuat calon investor lain yang berminat mengelola mata air Umbulan tidak berani melangkah. Padahal sudah banyak investor yang bersedia menanamkan investasi dengan nilai total sekitar Rp 1,4 trilyun. Para investor itu selain konsorsium asal Singapura juga berasal dari Malaysia, Taiwan, Australia dan Jepang. Pemanfaatan mata air Umbulan dikelola sejak jaman penjajahan Belanda untuk kepentingan Belanda. Era otonomi daerah pengelolaan mata air Umbulan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, karena mata air Umbulan melintasi beberapa daerah. Implementasi Mou antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Pasuruan tentang pengelolaan mata air Umbulan, juga menghadapi kendala ketika tim kelompok kerja dan tim teknis adalah para pejabat, sehingga kinerja mereka kurang maksimal dan realitasnya tim yang dibentuk tersebut belum berjalan dengan baik, karena struktur pengambilan keputusan terlalu berjenjang dan sangat gemuk. Selama ini belum terbangunnya kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Pasuruan tentang pembagian hasil. Persoalan kepentingan ekonomi yang dikedepankan, bukan kepentingan lebih luas/bersama, sehingga saling tarik ulur soal pembagian hasil mata air Umbulan, padahal mata air Umbulan mempunyai nilai sosial yang tinggi. Hal ini sebagai salah satu akibat otonomi daerah yang mengakibatkan munculnya egoisme kedaerahan, yang hanya mementingkan daerahnya sendiri tanpa melihat aspek yang lebih luas.
132 |Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 127 - 134
Selain hal-hal di atas, kendala utama adalah: (1) Dana, di mana investor yang mau mendanai proyek kerjasama tersebut belum jelas. Selama ini pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemerintah Kabupaten Pasuruan berusaha mendatangkan investor, namun belum berhasil; (2) Tim Kerjasama Pengelolaan Mata air Umbulan kurang komitmen terhadap MOU, sehingga hanya terbatas pada kesepahaman saja, tetapi masih belum sampai pada tingkatan kesepakatan; (3) Tim selalu melekat dengan jabatan di birokrasinya. Tidak ada wakil dari kalangan privat, kalangan profesional dan masyarakat. Biasanya pekerjaan dibirokrasinya lebih diprioritaskan daripada pekerjaan lainnya; (4) Tidak ada kelompok kerja sebagai pelaksana. Walaupun tim telah dibentuk sedemikian gemuknya, namun kelompok kerja sebagai pelaksananya belum ada; dan (5) Anggaran yang tidak tersedia untuk tim pengelolaan kerjasama mata air Umbulan, sehingga tim enggan untuk bekerja. Faktor kelembagaan yang menyebabkan pengelolaan kerjasama tersebut tidak berjalan maksimal, adalah tidak adanya lembaga otonom yang menanganinya, dan selama ini tim yang dibentuk terdiri dari orang-orang birokrat yang melekat pada jabatannya. Senada dengan hal di atas, bahwa persoalan tidak berjalannya kerjasama pengelolaan mata air Umbulan lebih banyak menyangkut persoalan politik, yaitu otonomi daerah yang dimaknai dengan kebebasan daerah untuk perbuat apa saja, sehingga egoisme daerah muncul. Kelemahan lainnya adalah tidak adanya lembaga yang lebih independen yang berwenang mendata dan menginformasikan serta membuat rekomendasi tentang pemanfaatan mata air Umbulan. Dengan demikian, akan selalu ada perbedaan persepsi dan rekomendasi dalam hal pemanfaatan mata air Umbulan. Proses implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya air Umbulan Kabupaten Pasuruan, dapat dipahami dengan mempergunakan model proses implementasi kebijakan berdasarkan rumusan Van Meter, yakni mengapa implementasi kerjasama pengelolaan mata air Umbulan tersebut tidak berjalan efektif dimungkinkan karena minimnya komunikasi antar sesama tim yang bekerjasama, apalagi tim dibentuk dari para birokrat yang kebanyakan menunggu perintah. Selain itu sikap para pelaksana sendiri yang lebih mementingkan kepentingan ekonomi daerah masing-masing yang tidak bergeming pada pendiriannya yang mempersoalkan pembagian hasil. Sebab lain terhambatnya kerjasama adalah faktor politik, yaitu otonomi daerah, yang menyebabkan egoisme daerah yang lebih mementingkan kepentingan daerahnya sendiri daripada kepentingan yang lebih luas. Dengan dalih otonomi daerah, Pemerintah Daerah tidak mau berkoordinasi dengan pihak-pihak lain yang sekiranya tidak menguntungkan daerahnya secara ekonomis. Oleh karenanya, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur mengalami kesulitan untuk menggalang kerjasama antardaerah, termasuk pengelolaan mata air Umbulan. Dari sisi proses kerjasama, terutama perumusan kebijakan nampaknya strategi yang diambil masih mengandung kelemahan, sehingga dalam mengimplementasikan kebijakan mengalami kesulitan, terutama dalam hal melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, yaitu bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain, tidak hanya dalam bentuk dukungan dari DPRD. Dalam implementasinya kerjasama tersebut sebaiknya mengikuti pendekatan yang dianjurkan oleh Aldrich, terutama pendekatan kekuasaan dan ketergantungan sumber daya. Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari hubungan kekuasaan di mana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan mereka. Pada gilirannya, organisasi-organisasi yang tergantung pada organisasi-oragnisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerjasama dengan organisasi yang kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka untuk beroperasi. Dilihat dari perspektif Aldrich, kerjasama pengelolan mata air Umbulan tersebut melibatkan empat daerah yang akan memanfaatkan mata air tersebut, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Pasuruan. Apalagi Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo yang posisinya lebih lemah dan membutuhkan sumber air tersebut, seharusnya membentuk lembaga kerjasama yang independen dan professional untuk bekerja secara aktif dan intensif. Kelemahan yang paling mendasar adalah pola kerjasama pengelolaan mata air Umbulan tidak memiliki payung politik yang kuat misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. SIMPULAN Dari uraian di atas, terlihat bahwa kerjasama pengelolaan mata Umbulan belum berjalan dengan optimal, walaupun produk hukum berupa MoU antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Pasuruan telah ditandatangani, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Kerjasama, dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumber Daya Air Umbulan. Namun, dalam proses pembuatan kebijakan, terutama pembentuk tim kerjasama, tidak melibatkan kalangan privat, masyarakat dan kalangan profesional. Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengimplementasikan kerjasama pengelolaan mata air Umbulan, yakni mencari investor dan melakukan negosiasi dengan pihak pemilik mata air Umbulan (Kabupaten Pasuruan) belum berhasil. Belum berhasilnya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
Kerjasama Antardaerah dalam Pengelolaan Mata Air Umbulan Winongan Pasuruan Provinsi Jawa Timur - Irtanto & Hari Wahyudi | 133
(1) dalam proses maupun implementasi kebijakan tidak melibatkan tiga daerah lainnya yang akan memanfaatkan mata air, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo; (2) belum ada payung politik yang memadai; dan (3) kurang pelibatan stakeholders, terutama kalangan privat dan masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap mata air Umbulan. Oleh karena itu, disarankan agar Pemprov Jawa Timur membuat strategi kerjasama dalam pengelolaan mata air Umbulan dengan melibatkan Pemerintah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya, dengan tahap-tahap sebagai berikut: (1). membuat payung hukum yang lebih jelas; (2) tim yang telah dibentuk pihak-pihak yang mengadakan kerjasama, baik Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemerintah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya perlu dirampingkan dengan memperhatikan kompetensinya dan keinginan untuk mau bekerja; (3) mengefektifkan tim dengan membuat jadwal pelaksanaan yang jelas; (4) membentuk lembaga/badan independen yang anggotanya dari kalangan birokrat dan profesional, di mana tanggungjawab manajemen dipegang oleh kaum profesional yang bertugas membuat mekanisme kerja, membuat profil Umbulan dan menawarkan kepada investor, sedangkan posisi birokrat sebagai dewan penasehat; dan (5) melakukan sosialisdasi tentang expected gain terhadap semua pihak yang terlibat dalam kerjasama tentang kepastian bahwa kerjasama akan lebih berhasil apabila melibatkan beberapa pihak dari pada dikelola sendiri.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. “Analisis Kebijakan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara”, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Bryant,
Carolin dan Louise G. White. 1987. “Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang”, L3PES, Jakarta. Dunn, William N. 1992. “Public Policy Analysis: An Introduction”, University of Pittsburgh, Prentice – Hall International, Inc.. Dunn, William N. 1995. “Analisa Kebijakan Publik”, University of Pittsburgh, disunting oleh Muhajir Darwin, Penerbit Hanindita Graha Widya, Yogyakarta. Meter, Van and Van Horn, 1975. “The Policy Implementation Process: A Conceptual Frame Work, Administration and Society. Person, Wayne. 2005. “Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan”, Prenada Media, Jakarta. Sosrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999. “Hidrologi Untuk Pengairan”, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
134 |Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 127 - 134
PENGUATAN PERAN PANWASLU DALAM PEMILUKADA (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) STRENGTHENING THE ROLE OF ELECTION SUPERVISORY COMMITTEE IN HEAD REGION ELECTORAL (Case Study: Head Region Electoral of Jembrana) Dedeh Haryati Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI e-mail:
[email protected] Diterima: 5 Mei 2012, Direvisi: 10 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012 Abstrak Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan tugas dan wewenang Panwaslu dalam pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Jembrana. Metode yang digunakan deskriptif kualitas. Hasil kajian menunjukkan bahwa peran Panwaslu dalam pelaksanaan Pemilukada belum optimal karena belum diberi peran yang luas, masih merupakan lembaga ad hoc, dan pola rekrutmen yang belum baik. Disarankan, agar memperluas kewenangan Panwaslu, pembentukannya bukan sebagai lembaga ad hoc; dan pola rekrutmennya diperketat dengan persyaratan yang memadai. Kata Kunci: Panwaslu, peran, penguatan. Abstract This study aims to identify the tasks and authority in the implementation of the Panwaslu Jembrana District. The method used descriptive quality. The study results showed that the role of the Panwaslu in the implementation of the Pemilukada is not optimal because it has not been given a broad role, is still an ad hoc institution, and the recruitment pattern that has not been good. It is recommended, in order to expand the authority of the Panwaslu, formation rather than as an ad hoc institution, and recruitment patterns tightened the requirements adequately. Keywords: Panwaslu, roles, strengthening.
PENDAHULUAN Pemilu adalah sebuah sarana untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam pemerintahan dan oleh karena itu, pemilu merupakan tuntutan kedaulatan rakyat. Maka, pemilu merupakan suatu hal yang amat penting bahwa kehendak rakyat tidak dikecewakan dengan cara memastikan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu pemilu juga merupakan proses politik yang dinamis dan hanya bisa berjalan lancar dan tertib apabila dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejalan dengan penguatan otonomi daerah, pemilihan terhadap kepala/wakil kepala daerah juga dipilih oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam Konstitusi Indonesia Pasal 18 ayat (4) dinyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Menurut Asshiddiqie (2002), perkataan ‘dipilih secara demokratis’ bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD, seperti
yang sekarang dipraktekkan di provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah pasca amandemen UUD 1945, hanya diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka secara normatif merupakan bagian dari kewenangan daerah untuk menyelenggarakannya. Kondisi ini telah menimbulkan tarik menarik antara pemerintah dengan pemerintah daerah, terutama dalam masalah pendanaan. Pilkada langsung di Indonesia yang dimulai Juni 2005 sering dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Istilah ini bisa diartikan secara positif maupun negatif. Dari sisi positif, pilkada langsung sebagai sarana demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Adapun dari sisi negatif, Pilkada langsung mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dan proses pilkada. Proses ini sering dianggap sebagai ”pesta demokrasi rakyat” di mana
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 135
rakyat berhak untuk membuat apa saja, termasuk tindakan-tindakan anarki, baik atas inisiatif sendiri maupun yang dimobilisasi oleh kandidat dan pendukungnya atau karena dorongan partai politik sebagai pihak yang mengajukan kandidat tersebut. Bagi masyarakat umum, pilkada langsung sering juga ditafsirkan sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi (Amirudin dan Bisri, 2006), maka tidaklah mengejutkan apabila kemudian muncul rasa tidak percaya rakyat akan pemilukada yang merupakan proses politik. Dengan demikian, lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan, termasuk pengawasan pemilukada sangat penting untuk melakukan penguatan peran mereka dengan baik. Hal ini berarti, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja secara efisien, efektif, tidak memihak, adil, jujur, terbuka dan dapat dipercaya. Secara umum, persepsi rakyat mengenai proses pemilu yang berlangsung secara bersih, jujur, tertib, adil, dapat dipercaya, dan terbuka akan tercermin dari persepsi rakyat mengenai lembaga-lembaga serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilukada. Pengawasan menjadi salah satu komponen terpenting dalam penyelenggaraan, dan dapat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pemilu. Pengawasan pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Pemilukada langsung dibebani harapan besar bisa menjadi pintu masuk bagi perubahan lebih besar, menyangkut sistem politik yang lebih demokratis. Namun, tetap saja harapan perubahan itu dinilai masih belum sejalan dengan kecenderungan dalam sistem kepartaian Indonesia yang masih sentralistik, justru ketika demokrasi dan juga desentralisasi membutuhkan lembaga politik yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas. Keberadaan Panwaslu sangatlah penting dalam mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pemilu agar sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Panwaslu memiliki fungsi dan peran strategis dalam upaya untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, melalui kajian ini, penulis ingin mengidentifikasi peran Penwaslu dalam penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten Jembrana guna melihat langkah-langkah apa saja yang ditempuh oleh Panwas dalam mengatasi hambatan dan sekaligus meningkatkan peran Panwaslu dalam pemilukada, dengan tujuan agar diperoleh solusi penguatan peran Panwaslu ke depan. Pemilihan Kabupaten Jembrana sebagai lokasi kajian, didasarkan pada pertimbangan bahwa merupakan salah satu kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada di tahun 2010, dengan
dinamika yang cukup tinggi. Hal itu ditandai dengan jumlah pengaduan yang cukup banyak terhadap pelaksanaan Pemilukada. METODE PENELITIAN Teknik Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan sebuah deskripsi analitis terhadap peran Panwaslu dalam tahapan pelaksanaan pemilukada. Data-data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer disusun dan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Teknik pengumpulan data berbentuk observasi terhadap obyek, utamanya hal-hal yang terkait dengan pengawasan pemilu dalam penyelenggaraan pemilukada di Kabupaten Jembrana. Konteks dari pengamatan terhadap proses Pemilukada, diharapkan dapat memahami secara lebih utuh terkait dengan masalah yang akan dianalisis lebih lanjut. Melalui observasi ini pula, diharapkan bahwa setiap unsur yang dapat diperoleh bersandar pada data-data atau informasi yang bersifat formal. Unsur “natural setting” menjadi kekuatan dari pengamatan yang dilakukan, dengan berusaha menangkap setiap makna dari proses penyelenggaraan pemilukada. Hasil observasi akan diperdalam dengan melakukan indept interview. Wawancara mendalam (indept interview) terhadap informan dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Hasil yang didapat melalui kedua teknik pengumpulan data ini, kemudian dianalisis secara deskriptif. Informan diperoleh dengan teknik purposive, yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja (Sugiyono, 2005). Informan yang dipergunakan sebagai sumber data primer, yaitu: Panwas, KPUD Kabupaten Jembrana-Bali, DPRD, Kejaksaan, Kepolisian, LSM, dan tokoh masyarakat setempat. Konsep Pilkada Langsung Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya sistem demokratisasi suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilupemilu yang terdahulu belum mampu menghasilkan nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan Pemilu 2004 lalu yang berjalan relatif cukup lancar dan aman. Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian, penyelenggaraan Pemilu 2004 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini.
136 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
Sejarah Pilkada di Indonesia juga merupakan sebuah bukti dari bentuk aktualisasi dan agregasi kepentingan masyarakat yang dilembagakan melalui berbagai proses dan instrumen demokrasi tersebut. Entitas masyarakat yang turut berafiliasi dengan kekuatan membentuk sebuah wadah kepentingan bersama untuk memenangkan berbagai pemilihan perwakilan politik. Didorong pula kepada sebuah perubahan warna dan dinamika akibat dari konstalasi politik di Indonesia yang memasuki trasnsisi demokrasi yang diawali dengan Reformasi 1998, telah membawa banyak perubahan politik di Indonesia. Perubahan yang mengisyaratkan, terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan dan mendapat perlindungan dari aktivitas politiknya. Hal yang secara nyata dapat kita lihat dari sebuah euforia kemenangan politik di Indonesia, yang menghasilkan sebuah sistem kepatutan politik yang baru. Sebuah gambaran fenomena politik Indonesia, yang diikuti perubahan bentuk basis politik di masyarakat (Koirudin, 2004). Kebebasan dalam menentukan warna politik dan hilangnya unsur pemaksaan terhadap hak politik masyarakat telah melahirkan instrumen penunjang keberlangsungan demokrasi perwakilan di Indonesia melalui partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik masyarakat merupakan perangkat penting karena teori demokrasi yang menyebutkan bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat tersebutlah yang paling mengetahui apa yang mereka kehendaki (Budiarjo, 1982). Azas dasar dalam sebuah negara yang demokrasi, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan terbukti dengan dilibatkannya rakyat secara intensif dalam memutuskan berbagai kebijakan pemerintah. Ukuran kedaulatan rakyat dilihat dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Partisipasi politik sendiri adalah merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan masyarakat, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy), yakni kegiatan yang mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik dan kelompok kepentingan (Budiarjo, 1982). Sebagai sebuah implementasi terhadap partisipasi politik masyarakat dalam bentuknya, maka lahirlah sistem pemilu. Dalam pengertiannya, pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang sering diidentikkan sebagai suatu ajang pesta demokrasi, yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota ataupun memilih Bupati/Wakil Bupati berdasarkan peraturan yang berlaku. Melalui pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat tersalurkan, demikian juga halnya dengan hak untuk sama didepan hukum dan pemerintahan (Mahfud, 1999). Dalam penentuan dan penetapan perwakilan di lembaga eksekutif ketatanegaraan, maka lahirlah sebuah sistem yang turut mengimplementasikan partisipasi masyarakat secara langsung dalam menentukan arah kebijakan politik pemerintah. Sebuah sistem partisipasi langsung dalam menentukan kepemimpinan daerah melalui proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dikatakan demikian, karena dalam prosesnya masyarakat memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat, maupun memilih pemimpin daerah secara langsung. Hal ini berlaku sejak diberlakukannya Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur pilkada secara langsung. Maka mulai pertengahan 2005, satu persatu provinsi dan kabupaten/kota yang masa bakti kepala daerahnya sudah berakhir, melaksanakan pilkada yang melibatkan masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam pasal 56 jo pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Prihatmoko, 2005) dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan pilkada langsung, rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih pemimpin mereka. Semangat pilkada langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya (Edwin, 2005). Sejak bergulirnya pilkada, maka lembaran baru demokrasi di Indonesia dimulai. Pilkada pertama kali dilaksanakan pada bulan Juni 2005, yakni sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik, kecuali di Nanggroe Aceh Darussalam, di mana peserta pilkada dapat berasal dari calon independen dan partai politik lokal. Adanya ketentuan peserta Pilkada hanya dapat ditentukan ataupun dicalonkan oleh partai
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 137
politik dan gabungan partai politik, hal ini akan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam pilkada. Setelah mengadakan uji materiil, pada tanggal 23 Juni 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 5/PUUV/2007 yang menggugurkan Pasal 56, 59, dan 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuluskan calon independen maju dalam pilkada, yang sebelumnya hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945. Suatu negara dapat dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan prefensi-prefensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi, memberikan ruang berkompetisi untuk jabatan politik. Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia (Edwin, 2005). Rakyat dapat menentukan presiden, gubernur dan bupati atau walikota melalui pemilihan langsung. Yang perlu digaris bawahi, walaupun untuk tahap awal semua berlaku terlebih dahulu harus melewati saringan partai politik, akan tetapi jalur calon independen juga kemudian dibuka. Artinya, sebelum rakyat memilih, terlebih dahulu pilihan itu ditentukan partai politik itu adalah konsep lama. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56, setiap kontestan pilkada diwajibkan memakai kendaraan berupa partai politik dan gabungan parpol. Kendaraan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk masuk arena, melainkan juga sebagai mesin yang bekerja untuk mengumpulkan dukungan rakyat. Calon yang belum dikenal publik, mereka harus berusaha keras mendekati publik, memperkenalkan diri, visi misi, program aksi ke publik. Usaha keras ini membutuhkan dukungan kekuatan mesin politik. dalam mengambil hati rakyat juga diperlukan dalam meraih kekuasaan. Pilkada langsung merupakan fenomena baru bagi politik Indonesia, jika fenomena ini mampu dikelola dengan baik, maka penguatan demokrasi akan terjadi di berbagai tingkatan dari daerah bahkan nasional, seperti yang dikemukakan Tip O’ Neil “all politics is local” yang memiliki makna bahwa suatu kehidupan demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh dengan baik dengan mapan dan dewasa jika di tingkat lokal nilai-nilai ini telah mengakar terlebih dahulu (Agustino, 2005). Pilkada yang diagendakan berlangsung mulai Juni 2005 dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk mewujudkan perbaikan demokrasi di Indonesia yang berada di tingkat daerah dan dianggap sebagai tahap pencapaian kemajuan dalam perkembangan demokrasi negara ini, di mana dalam ilmu politik disepakati bahwa kualitas demokrasi turut pula ditentukan oleh berkualitas atau
tidak proses rekrutmen wakil rakyat yang mendapat mandat untuk memimpin pemerintahan. Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal. Dalam pilkada langsung diharapkan dapat menguatkan demokratisasi di tingkat lokal, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan legitimasi politik, sebab asumsinya kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang kuat sebab didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan dari konstituen. Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa kepala daerah yang terpilih secara demokratis mendapatkan dukungan dari sebagian besar warga daerah tersebut. Selanjutnya dengan pemilihan kepala daerah langsung diharapkan mampu membangun local accountabilty, di mana ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka para wakil rakyat yang mendapat mandat akan meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Melihat fenomena sebelumnya local accountabilty sangat kurang sebab mekanisme pemilihan Kepala Daerah yang lama cenderung menciptakan ketergantungan yang berlebih dari kepala daerah terhadap DPRD. Sehingga akuntabilitasnya cenderung mengarah pada anggota Dewan, dibanding rakyat yang seharusnya dilayani. Maka, terkadang muncul fenomena politik uang antara kepala daerah dan anggota dewan untuk meloloskan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), hal ini dapat terjadi mengingat dalam pemilihan kepala daerah langsung ini terdapat perubahan dalam arena permainan, menurut Agustino (2005) arena permainan sekarang telah berubah dari “politik dalam ruangan“ menjadi “politik luar ruangan” yang kini semakin berkembang. Pemasaran politik (political marketing) menjadi lebih penting, berbeda dengan cara–cara yang ditempuh dimasa lalu seperti negoisasi elite dengan lobi, meskipun cara ini masih tetap dapat dilakukan. Akhirnya penguatan yang terjadi di dalam local accountabilty jika berhasil diwujukan maka kondisi check and balances antar lembaga negara dapat mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan demokrasi di tingkat lokal. Dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung ini maka akan ikut meningkatkan kualitas kesadaran politik masyarakat dimana di dalamnya terdapat pula kualitas partisipasi rakyat sebab rakyat dengan kesadarannya akan dihadapkan pada penggunaan hak pilih untuk ikut menentukan siapakah pemimpin yang layak untuk daerahnya,
138 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
tentu saja dalam hal ini dibutuhkan pertimbangan kearifan, kecerdasan bahkan moralitas untuk peduli terhadap perkembangan dan kemajuan daerahnya serta kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Peran Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dalam Pemilukada Pengawasan menjadi salah satu komponen penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pemilihan umum (pemilu). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslu) memiliki peran penting untuk menjaga agar pemilu dilaksanakan sesuai asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks pemilu di Indonesia, terkait dengan electoral process, hal penting adalah tentang pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, dan kelembagaan yang dibutuhkan pada konteks dimaksud adalah terkait dengan: (1) Kemandirian dan ketidakberpihakan; (2) Efisiensi; (3) Profesionalisme; (4) Penangan yang cepat terhadap pertikaian yang ada; (5) Stabil; dan (6) Transparansi (IDEA, 2000). Upaya mewujudkan pemilu yang jujur, adil, juga untuk menghindari terjadinya delegitimasi pemilu, masalah-masalah penegakkan hukum pemilu yang harus diselesaikan secara komfrehensif. Panwaslu memiliki fungsi dan peran strategis dalam upaya menciptakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, di mana kewenangan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 pasal 76, 78, 80, 82 dan 84. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, secara kelembagaan keberadaan pengawas pemilu bersifat ad hoc. Berbeda dengan KPU yang sejak pemilu tahun 2004 telah permanen keberadaannya. Secara kelembagaan akan sangat berbeda gaya dan managerialnya dengan lembaga yang ad hoc. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, maka Panwaslu Pusat disebut sebagai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah dipermanenkan/tetap melalui Pasal 70 ayat (2). Sebagai sebuah badan yang baru dan permanen, tentunya masih banyak hal yang harus ditata dan dikelola ke depan mulai kelembagaan, keanggotaan, administratif serta hubungan dengan lembaga lain yang terkait. Dalam kondisi demikian, tentu para pihak harus memakfumkan jika dalam perjalanannya masih ada hal-hal yang belum bisa optimal, lebih-lebih menyangkut kewenangan dan pendanaan. Jika Bawaslu telah ditempatkan sebagai lembaga yang permanen, bagaimana dengan jajaran dibawahnya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengamanatkan, keberadaan Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten dan kota bersifat ad hoc. Sifat ad hoc ini, dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya menimbulkan problematik yang komplek. Jika diurai, maka akan ditemukan deretan permasalahan yang melilit di dalamnya, mulai kelembagaan, anggaran, personil dan juga kesekretariatan serta tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Berbeda dengan seluruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik provinsi dan kabupaten/kota yang bersifat permanen/tetap dan memiliki hubungan yang hirarkis antara KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 5 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007), Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota dengan Bawaslu tidak sebagai organisasi yang memiliki herarki, selain hanya bersifat ad hoc. Kondisi yang demikian akan membawa implikasi yang luas dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang. Dengan demikian, dalam tinjauan normatif, keberadaan KPU dan Bawaslu beserta jajaran di bawahnya memiliki kedudukan yang sama dan sederajat yang dilahirkan secara bersama-sama oleh induk yang sama. Untuk memperkuat kapasitas dan kelangsungan dalam membangun tanggungjawab serta pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggara dalam penyelenggaraan pemilukada, kedudukan Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota selayaknya ditingkatkan sebagai lembaga yang permanen sebagaimana KPU provinsi dan kabupaten/kota, di mana anggota Panwaslu yang hanya 3 (tiga) orang, lebih sedikit dibandingkan dengan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berjumlah lima orang. Keberadaan Panwaslu sangatlah penting dalam mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pemilu agar sesuai dengan peraturan perundangundangan. Secara normatif, tugas dan wewenang Panwaslu yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, bahkan diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, di mana lebih memperjelas fungsi pengawasan yang harus dilaksanakan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota. Pengawasan ini dimulai dari tahapan pelaksanaan verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu (Pasal 18, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008). Pengawasan dimaksud agar dalam verifikasi yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tidak merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon peserta Pemilu. Secara garis besar, tugas-tugas pengawasan lain yang wajib dilakukan. yaitu mengawasi tahapan penyelenggara pemilu, meliputi; pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan, penetapan daftar pemilih sementara, daftar pemilih tetap, pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota DPRD, proses penetapan calon anggota DPD, DPRD, pelaksanaan kampanye, perlengkapan pemilu dan pendistri-
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 139
busiannya, pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara hasil pemilu, pengawasan seluruh proses penghitungan suara, proses rekapitulasi penghitungan suara, pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilu lanjutan, pemilu susulan, proses penetapan hasil pemilu anggota DPRD, mengawasi sosialisasi penyelenggaraan pemilu, dan sebagainya. Adapun tugas Panwaslu kabupaten/kota yang berjumlah 3 (tiga) orang sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1), adalah mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota yang meliputi: pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap; pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota DPRD kabupaten/kota dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; proses penetapan calon anggota DPRD kabupaten/kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/ kota; penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; pelaksanaan kampanye; perlengkapan Pemilu dan pendistribusiannya; pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu; mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dari seluruh kecamatan; pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan; dan proses penetapan hasil Pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dan Pemilu kepala/wakil kepala daerah kabupaten/kota. Tugas lainnya, adalah menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana; menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti; meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten/kota; mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/ kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung; mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g; memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu. Adapun Pasal 79 mengatur bahwa Panwaslu kabupaten/kota berkewajiban bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu pada tingkatan di bawahnya; menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Panwaslu provinsi sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu provinsi berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat kabupaten/kota; dan melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, tugas dan wewenang Panwaslu yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, diperkuat oleh UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 yang lebih memperjelas fungsi pengawasan yang harus dilaksanakan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota. Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih juga memerlukan pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 48 dalam Undang-Undang yang sama, menyebutkan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), perbaikan dan pengumuman DPS hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT), daftar pemilih tambahan dan rekapitulasi DPT yang dilaksanakan oleh KPU, KPU propinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS. Karena luasnya cakupan pengawasan tahapan kampanye Pemilu yang harus dilakukan, maka pengawasan Pemilu harus memilih fokus pengawasan yang akan dilakukan. Fokus pengawasan dipilih antara lain berdasarkan tingkatan dan wilayah pengawasan masing-masing pengawas pemilu, metode kampanye yang dilakukan peserta pemilu, materi kampanye, dana kampanye, serta titik-titik rawan yang mungkin terjadi pada pelaksanaan kampanye. Dalam melaksanakan tugas Panwaslu berwenang untuk memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap
140 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
Tabel 1. Nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Jembrana Peserta Pemilukada Tahun 2010 No. Urut 1. 2. 3.
Nama Pasangan Calon
I Wayan Dendra dan Ketut Sumantra I Putu Artha dan Made Kembang Hartawan I Gede Ngurah Patriana Krisna dan Ketut Subanda 4. I Gede Made Kartikajaya Dan I Gusti Ngurah Cipta Negara Sumber: KPU Kabupaten Jembrana, 2010.
Partai Pengusung Partai PNBK Indonesia, PIB, PKB dan Hanura Partai PDI-Perjuangan Partai Demokrat & Golkar Partai Gerindra, PPP, PKPB, PKS, PAN, PDP, PIS, PKPI, PKNU, PDS, PPPI dan PKP
tindakan yang mengandung unsur pidana Pemilu. Panwaslu memiliki kewajiban diantaranya untuk tidak bersikap deskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, melakukan pembinaan dan pengawasan pemilu pada tingkatan dibawahnya, menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan mengenai pemilu. HASIL DAN PEMBAHASAN Pilkada Kabupaten Jembrana Pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Jembrana telah ditetapkan 27 Desember 2010, sesuai dengan peraturan perundangan yang terdapat dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan UndangUndang No 12 tahun 2008. Atas penetapan itu, KPUD Jembrana pun telah menentukan tahapan pilkada. Bupati Jembrana, Provinsi Bali, I Gde Winasa akan mengakhiri jabatannya pada tanggal 15 Nopember 2010. Berarti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di kabupaten tersebut harus dilakukan tujuh bulan sebelum masa jabatan itu berakhir. Akibatnya, akan ada penetapan pelaksana tugas (plt) Bupati Jembrana, sebab, masa bakti jabatan kedua Prof. Gede Winasa berakhir bulan November 2010. Berdasarkan proses seleksi administrasi dan persyaratan yang ditetapkan, maka KPU Kabupaten Jembrana menetapkan 4 (empat) pasang calon Bupati/Wakil Bupati Jembrana tahun 2010. Tabel 2. DPT Pemilukada Kabupaten Jembrana Tahun 2010 No. Kecamatan Jumlah 1. Melaya 41.569 2. Negara 59.962. 3. Jembrana 42.761 4. Mendoyo 48.470 5. Pekutatan 21.788 Sumber: KPU Kabupaten Jembrana, 2010.
Dalam DPT ditingkat KPU Kabupaten Jembrana pada Pemilukada 2010, jumlah pemilih yang berhak memilih saat pencoblosan 27 Desember 2010 berjumlah 214.550, yang terdiri dari jumlah
pemilih laki-laki 105.130 dan perempuan berjumlah 109.420, tersebar di 447 TPS dan 1 TPS tambahan, yakni LP (lembaga Permasyarakatan). Adapun rekapitulasi DPT Pemilukada Kabupaten Jembrana tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2. Peran Panwaslu Dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana Jembrana Pemilukada merupakan salah satu kegiatan penting sebagai implementasi nilai-nilai demokrasi sekaligus mencerminkan puncak dinamika demokrasi daerah. Dalam konteks budaya Bali, nilainilai kearifan lokal tri hita karana dan manyama braya yang pada hakekatnya selaras dengan nilainilai luhur Pancasila, sangat relevan diimplementasikan dalam mendorong pembangunan di Kabupaten Jembrana. Terlebih lagi dalam mendukung suksesnya pelaksanaan Pemilukada yang direncanakan pada tanggal 27 Desember 2010. Panwaslu Pemilukada Jembrana dibentuk Pasca Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, Bawaslu menegaskan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyerahkan proses pembentukan dan pelantikan Panwaslu di tangan Bawaslu. Proses pembentukan Panwaslu selama ini sangat lambat dan bernuansa “politisasi rekrutmen”, saat ini berjalan jauh lebih cepat, terarah, dan bisa mengarahkan pada kualifikasi dari hasil-hasilnya. Bila sebelumnya pembentukan 193 Panwas dibutuhkan waktu empat bulan maka sejak putusan MK, Bawaslu dapat melantik anggota Panwaslu di 40 daerah dalam waktu satu bulan. Selain itu, proses pembentukan Panwaslu, tidak memakan ongkos sosial seperti sebelum adanya putusan MK tersebut. Dengan adanya Putusan MK tersebut maka Bawaslu mampu mengatasi persoalan selama ini membelenggu Bawaslu. Bawaslu menilai, putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 merupakan terobosan hukum terbesar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, karena menghilangkan belenggu ketidakmandirian dari proses rekrutmen dan seleksi Panwaslukada provinsi serta kabupaten/kota dan kecamatan. Sebelum adanya putusan itu, Bawaslu sangat tergantung dari usulan nama calon Panwaslukada yang diusulkan oleh KPU provinsi dan kabupaten/kota. Dalam putusan MK, kedudukan
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 141
Panwaslu semakin tegas dijabarkan berasal dari ketentuan diatur di dalam Pasal 22E UUD 1945. MK berpendapat fungsi penyelenggara pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh KPU akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam pendapat hukumnya, MK berpandangan pentingnya keberadaan Bawaslu sebagai lembaga bersifat tetap. Tujuan dari Bawaslu bersifat tetap untuk mengawal terwujudnya pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta untuk memastikan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas KPU. Bawaslu juga memiliki fungsi check and balances ditujukan pada tindakan dan sikap KPU beserta jajarannya dalam menyelenggarakan pemilu merugikan hak konstitusional peserta pemilu yakni partai politik, calon anggota DPR, DPD dan DPRD, pasangan calon presiden dan wakil presiden serta pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Jembrana tahun 2010, ada beberapa jenis pelanggaran yang terjadi di lapangan seperti terlibat dari tabel berikut. Tabel 3. Jenis Pelanggaran Pemilukada Jembrana Tahun 2010 No. 1.
Jenis Pelanggaran
Kampanye terselubung (mencuri start) 2. Kampanye hitam (black campaign) 3. Iklan di media massa dan televisi lokal 4. DPS fiktif 5. KPPS yang menjabat pengurus Parpol 6. DPT bermasalah Sumber: Panwaslu Kabupaten Jembrana, 2010.
Jumlah Kasus 3 2 1 1 1 1
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa kasus pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah kampanye terselubung yang dilakukan para calon, yakni sebanyak 3 kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Selanjutnya, kampanye hitam (black campaign) menempati urutan berikutnya, yakni 2 kasus. Sedangkan kasus DPS fiktif, iklan di media massa, adanya KPPS yang merangkap sebagai pengurus Parpol dan DPT bermasalah masingmasing 1 kasus. Meskipun Panwaslu Kabupaten Jembrana telah berupaya menyelesaikan permasalahan di atas, namun peranannya tidak dianggap penting oleh masyarakat setempat, karena Panwaslu Jembrana dianggap melempem, atau tidak menggigit, khususnya dalam menindaki pelanggaranpelanggaran yang terjadi, misalnya menindak langsung atas pemasangan-pemasangan baliho yang bukan pada tempat yang telah ditentukan, adanya
pasangan yang telah melakukan kampanye dan sosialisasi-sosialisasi tersembunyi, sehingga masyarakat setempat menilai bahwa peran Panwaslu Kabupaten Jembrana ini tidak produktif, tidak dapat bekerja secara maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan pelaksanaan Pemilu kepala daerah, dalam mengawasi beberapa tahapan Pemilu kepala daerah seperti pemutahiran data pemilih, pendaftaran pasangan calon. Permasalahan juga teridentifikasi ditingkat Pengawas Pemilu Lapangan (PPL), yang tidak dapat menjalankan tugas pengawasan secara optimal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belum optimalnya tugas pengawasan oleh Panwaslu Kabupaten Jembrana, kesalahannya tidak dapat semata-mata dilemparkan begitu saja ke lembaga itu. Tidak sedikit kasus pelanggaran pemilu yang berhasil ditangani dengan meneruskan ke lembaga yang berwenang. Hanya saja, memang belum sebanding dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Untuk itulah, peran serta dan kerjasama masyarakat luas pada umumnya, partai politik, pemerintah, LSM, pemantau dan juga penegak hukum (sentra gakumdu) diharapkan dapat memberikan sumbangsihnya sesuai dengan peran, tugas dan kewenangannya masing-masing, sehingga kualitas partisipasi masyarakat semakin baik dan kondusif dalam pengawasan pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Jadi, Panwaslu akan lebih seperti pintu gerbang dalam proses penyelesaian pelanggaran Pemilu. Maksudnya, diperlukan bantuan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait untuk ikut aktif melaporkan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang terjadi. Panwaslu kemudian yang akan memutuskan sendiri atau menyerahkannya kepada instansi yang lebih berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan yang berlaku. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Panwaslu dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana Salah satu unsur penting yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemilu adalah kinerja Panwaslu yang baik. Sayangnya, dalam beberapa hal peraturan yang sudah ada justru menghambat kinerja Panwaslu. Panwaslu, dari sisi yuridis normatif maupun sosiologis, berpotensi menjadi tidak efektif. Kondisi demikian berawal dari tumpang tindihnya ketentuan Undang-Undang Pemilu, serta adanya sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kinerja panwas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam pelaksanaan pemilukada. Faktor-faktor tersebut, antara lain: Pertama, Ketidaksiapan Anggaran. Kendala ini menjadi persoalan yang sangat umum dan menonjol dalam Pemilukada yakni ketidakpastian anggaran, keterlambatan persetujuan anggaran, pencairan yang tidak tepat waktu dan jumlah
142 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
anggaran yang terbatas. Banyak dampak yang dirasakan oleh Panwaslu Jembrana terkait problem anggaran tersebut di antaranya; (1) Keterlambatan pembentukan panwascam dan PPL yang berarti menghambat pengawasan maksimal di kecamatan dan desa padahal peran PPL dan Panwascam sangat penting untuk pengawasan tahapan awal yakni pemutakhiran dan penetapan data pemilih, (2) Tidak maksimalnya pengawasan karena kurangnya dukungan operasional untuk menjalankan rencana pengawasan, dan lain-lain. Kedua, Keterbatasan personil. Dengan jumlah personil yang minim ini sangat menghambat kinerja Panwaslu. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, jumlah Bawaslu dan Panwaslu semakin sedikti. Bawaslu berjumlah 5 orang dan Panwaslu di daerah berjumlah 3 orang. Kondisi ini sungguh memberatkan, khususnya di level daerah. Dengan jumlah 5 orang saja, panwaslu daerah merasa cukup berat menjalankan tugas yang sesungguhnya memang berat, apalagi hanya dengan jumlah 3 orang. Sebaiknya untuk personil mempunyai latar belakang hukum karena panwaslu lembaga yang berhubugan dengan hukum. Ketiga, Terbatasnya kewenangan yang dimiliki Panwaslu untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran Pemilu Kada. Berdasarkan UndangUndang 22/2007, disebutkan bahwa kewenangan lembaga Panwas Pemilu ”sekedar” menyampaikan temuan dan laporan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu kepada KPU untuk ditindaklanjuti, serta meneruskan temuan dan laporan tentang adanya dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Kondisi ini disebabkan oleh Panwaslu masih tersandera pada posisi pemihakan untuk salah satu pasangan calon atau partai politik. Tak heran muncul kesan Panwaslu macan ompong lantaran kinerjanya lemah pada pemilu legislatif. Kecilnya peran Panwas itu diibaratkan seperti semut yang akan berhadapan dengan gajah-gajah calon presiden dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres). Keempat, Fasilitas sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sarana dan prasarana yang tidak maksimal membuat Panwaslu jembrana tidak dapat kita bisa maksimal bekerja sesuai dengan target dan tupoksi yang ada, misalnya tempat untuk melakukan kegiatan karena selama ini kantor Panwaslu menempati bangunan yang kepemilikannya punya salah satu calon, serta alatalat yang diperlukan untuk melakukan kegiatan hampir dikatakan kurang memadai. Dengan banyaknya kendala-kendala tersebut, akan sulit bagi Panwaslu untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada Panwaslu. Karena itu, Panwaslu sangat mengharapkan kerja sama dan kemitraan dengan masyarakat pemantau Pemilu yang diharapkan dapat
menjangkau TPS-TPS yang tersebar ke pelosokpelosok. Selain kerjasama dari pemantau pemilu, Panwas juga sangat mengharapkan kerja sama masyarakat luas pada umumnya. Khususnya dalam hal pelaporan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan Pemilu. Upaya Penguatan Peran Panwas dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, dimensi pengawasan pemilu mengalami perubahan. Setidaknya dalam konteks eksistensi, institusi pengawas pemilu mengalami peningkatan, baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (PP Nomor 6 Tahun 2005) memposisikan panitia pengawas pemilu hanya sebatas instrumen yang bersifat ad-hoc. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, selain istilah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) diganti menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maka institusi pengawas ini berstatus sebagai instrumen yang bersifat permanen. Jika ditinjau secara yuridis dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, ada beberapa persoalan yang yang dihadapi oleh lembaga pengawas tersebut. Pertama, Kewenangan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sangat kurang mendukung kinerja optimal Panwaslu. Kewenangan yang ada selama ini hanyalah sebagai lembaga pemberi stempel atau pengirim persoalan saja. Sebaiknya kedepan Panwaslu harus dipayungi kewenangan yang lebih luas (bisa sebagai eksekutor), bukan hanya sekedar sebagai wasit atau hakim garis saja, sementara kewenangan untuk memutuskan sanksi pelanggaran pemilu ada di KPU dan Kepolisian. Terkait dengan kewenangan ini, penguatan Panwaslu dengan penambahan kewenangan seperti hak untuk menyelidiki atau melakukan penyidikan terhadap pelanggaran, sulit dilakukan karena Panwaslu tidak didesain untuk memiliki kewenangan yang demikian (eksekutor), kewenangan tersebut ada pada lembaga lain, sedangkan Panwaslu yang pertama yang bertindak menangani pelanggaranpelanggaran dilapangan, sehingga dengan tidak adanya kewenangan tersebut, dimata masyarakat peran Panwas tidak optimal hanya semacam “macan ompong” saja, padahal punya taring yang tajam. Keberadaan Panwaslu dengan kewenangan yang demikian memang sangat sulit untuk dapat bekerja secara optimal. Lebih-lebih jika lembaga terkait dengan penanganan pelanggaran pemilu tidak bekerja secara sinergis, maka masyarakat akan begitu saja menumpukkan kelemahan penanganan pelanggaran pemilu kepada Panwaslu tanpa mencoba memahami persoalan yang sebenarnya. Persoalan pelanggaran pemilu merupakan persoalan yang pelik dan memiliki sensitifitas yang besar yang menuntut
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 143
ketulusan, kerja keras dan juga pemahaman secara sosiologis atas pelaku dan budaya di masyarakat dalam penanganannya. Guna menciptakan pelaksanaan Pemilukada Jembrana yang sukses, aman, tenteram serta untuk menciptakan stabilitas politik yang kondusif, Panwaslu Kabupaten Jembrana bekerjasama dengan Pemkab Jembrana bersama Tim Koordinasi Dukungan Kelancaran Penyelenggaraan Pemilukada yang terdiri dari Polri TNI, dan Satuan Polisi PP saling bersinergi. Dari keempat unsur pengamanan Pemilukada itu, ditempatkan di seluruh TPS Kecamatan. Meski diawal kegiatan sempat terkendala persoalan anggaran operasional, namun pada akhirnya setelah melalui rapat koordinasi antara Kesbangpolinmas dengan Badan Pertimbangan Keuangan Daerah (BPKD), persoalan ini bisa teratasi. Koordinasi antara seluruh instansi terkait sangat diharapkan maka akan tercipta keamanan dan ketertiban khususnya dalam hal pendistribusian logistik pemilukada. Seluruh instansi yang ada saling mengisi, misalnya jika terjadi masalah sarana transportasi, maka Pemkab Jembrana langsung turun tangan dengan menyediakan sarana tambahan dan berkoordinasi langsung dengan kecamatankecamatan yang ada. Dengan begitu logistik yang diperlukan untuk pemilukada dapat sampai sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Pemilukada Jembrana memiliki tingkat kerawanan yang perlu diantisipasi, sehingga perlu dilakukan kesepahaman dan kerjasama yang baik antara lembaga pelaksana pemilukada. Memasuki tahapan kampanye, empat pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Jembrana, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) Polres Jembrana sering melakukan koordinasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Meskipun belum menerima adanya laporan, namun seandainya ada laporan, maka Panwaslu akan menindaklanjutinya ke kepolisian dan diproses di Kejaksaan. Meskipun di antara anggota Sentra Gakumdu saling mengenal, namun saat dilakukan gelar perkara, masing-masing anggota memberikan argumentasi yang sangat kritis. Kesungguhan dalam menjalankan tugas dari seluruh anggota, sesungguhnya didasari keinginan yang sama, yaitu menciptakan Pemilukada Jembrana yang aman, damai dan kondusif, sehingga menghasilkan bupati/wakil bupati yang dapat melaksanakan amanah masyarakat dengan sebaikbaiknya dan menjalankan roda pemerintah dengan program yang terbaik. Masyarakat Jembrana saat ini berharap terjadinya perubahan ke depan dikarenakan masih banyaknya masyarakat miskin, masih banyak pengangguran dan infrastruktur yang perlu terus ditingkatkan. Selanjutnya, penguatan Panwaslu Kabupaten Jembrana yang selama ini hanya sebagai lembaga yang ad hoc menjadi lembaga yang permanen seperti KPU provinsi dan kabupaten/kota.
Lembaga yang bersifat ad hoc dalam bekerjanya akan menghadapi persoalan yang komplek. Dari aspek personal, para anggota rata-rata muka baru. Mereka membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memiliki pemahaman untuk penyamaan persepsi, visi, misi dan tujuan serta mekanisme kerja. Padahal tuntutan tugas sudah sangat mendesak. Kesulitan ini juga dikarenakan latar belakang mereka sangat heterogen. Dengan kedudukan sebagai lembaga yang permanen, kemungkinan besar problematik tersebut dapat dihindari, karena dengan para anggota yang lama, maka adanya keberlanjutan dari segi operasional, dalam hal penanganan berkas dan dokumentasi, menghemat waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan sistem pengawasan pemilu, terutama dalam persiapan karena proses tersebut tidak dimulai lagi dari awal, serta tidak harus merekrut dan melatih staf baru yang juga membutuhkan waktu, juga tidak harus membeli peralatan operasional baru setiap kali akan menyelenggarakan pemilukada. Selain itu, jika dengan ditetapkannya Panwaslu sebagai lembaga yang permanen akan menimbulkan dampak psikologis bagi kesetaraan dengan KPU setempat oleh para anggotanya. Para anggota Panwaslu akan dapat bekerja dengan kesinambungan program dan kondisi personal yang stabil karena lama keberadaannya. Akan tetapi bila dibentuk sebagai lembaga yang permanen, maka Panwaslu bisa dibentuk di dalam organisasi KPU sebagai sebuah unit/bagian yang menangani pengawasan pemilu dan sebagai adalah struktur yang harus dipertahankan. Persoalan rekrutmen anggota Panwaslu juga menjadi aspek penting. Rekrutmen anggota Panwaslu ke depan seharusnya dilakukan sendiri oleh Bawaslu bagi Panwas provinsi dan Panwas provinsi bagi anggota Panwas kabupaten/kota. Jika hal ini dapat terjadi, maka anggota Panwas terpilih minimal akan dapat memenuhi kualifikasi personal, sosial, intelektual yang dibutuhkan sebagai anggota Panwaslu. Selama ini, rekrutmen terhadap calon anggota Panwaslu kabupaten/kota, misalnya dilakukan oleh KPU setempat. Proses seleksi administratif selama ini dilakukan oleh KPU setempat dengan hanya mendasarkan pada kapasitas intelektual berupa hasil tes. Setelah ditetapkan oleh KPU, sejumlah peserta yang ditetapkan kemudian dilanjutkan seleksinya oleh Panwas provinsi untuk melihat kapasitas personal, kelembagaan serta komitmen dalam membangun Panwaslu yang mandiri dan profesional ke depan. Dengan demikian, bagi panwas rekruitmen calon anggota ini masih adanya campur tangan KPU, sehingga panwas tidak dapat bekerja seoptimal mungkin. Ke depan seleksi harus sepenuhnya dilakukan oleh Panwas sendiri secara berjenjang atau bisa juga dilakukan oleh tim seleksi independen dan fit and proper test-nya dilakukan panwas atasnya.
144 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
sehingga tidak adanya campur tangan KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95 Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Jika dalam proses seleksi pihak selektor tidak konsisten dan menyalahgunakan kewenangan ke depan akan sangat nampak dari kinerja Panwasu yang telah direkrut sendiri. Karena merekalah yang sangat paham akan kebutuhan dan kapasitas anggota Panwas yang direkrut. Idealnya, rekruitmen anggota panwas diisi oleh orang-orang yang punya integritas, dedikasi tinggi, kredibel, kapabel dan memiliki komitmen moral kuat untuk bersikap independen melalui proses perekrutan politik yang dilakukan secara selektif, fair serta terbuka sehingga kinerjanya memiliki kredibilitas yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan di mata publik dan bekerja secara profesional sebagaimana mestinya Aspek lainnya yang penting bagi penguatan peran Panwaslu adalah hubungan antar tingkatan Panwas tersebut harus ditegaskan. Selama ini ketentuan dalam undang-undang tidak mengaturnya. Setiap tingkatan Panwas tentu akan menampilkan gaya dan kinerja yang berbeda-beda yang jika tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan justru akan melemahkan Panwas itu sendiri. Sebagai bentuk dari akuntabilitas publik kedepan Panwaslu dari setiap tingkatan yang jika kelak dipermanenkan dapat menjadi lembaga objek gugatan terutama terkait dengan keputusan yang dikeluarkannya sebagaimana yang terjadi di KPU selama ini. Keberadaan PPL dan Panwaslucam selama ini juga tidak jelas hubungannya dengan Panwaslu di atasnya. Kedepan dua tingkatan pengawas ini sebaiknya diposisikan sebagai bagian/perangkat pendukung Panwas kabupaten dan kota. Salah satu alasannya terkait dengan level lembaga pemegang priwitan dalam pelanggaran pemilu, yaitu KPU dan Kepolisian, sedangkan Panwaslu kabupaten dan kota ke atas memiliki hubungan yang hirarki dan jelas. Dasar dari upaya penguatan terhadap Pengawas pemilu dalam melaksanakan tugas pengawasan tersebut adalah dilakukannya upaya judicial review atas undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007). Melalui judicial review (JR) atas undang-undang tersebut diharapkan berbagai persoalan yang membelenggu dan menghambat optimalisasi kerja Panwaslu dapat diminimalisir dan ditingkatkan sebagaimana mestinya. Adapun mengenai hak-hak pemilih sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, meliputi hak bebas menghadiri kampanye, hak memperoleh visi, misi dan program secara tertulis dari kandidat, hak atas kampanye yang sopan, tertib, edukatif, hak atas akses informasi mengenai Pilkada melalui media massa, hak memperoleh informasi terbuka mengenai hasil audit dana kampanye 3 hari setelah KPUD menerimanya dari akuntan publik, hak hari libur pada hari pemilihan, hak memperoleh informasi mengenai tim kampanye, hak memperoleh
informasi mengenai hasil audit dana kampanye dan hak memperoleh informasi mengenai hasil Pilkada, selain itu masyarakat juga memiliki hak terbebas dari praktik politik uang dan hak terbebas dari penyelewengan penggunaan fasilitas publik oleh pejabat publik. Untuk itu, Panwaslu Kabupaten Jembrana menyiapkan langkah-langkah strategis dalam mengantisipasi titik-titik rawan yang akan terjadi dalam pelaksanaan pilkada agar pada pemilihan kepala daerah terjadi peningkatan kualitas pemilihan. Pertama, mengawasi KPUD, PPK dan petugas PPS untuk tidak memanipulasi hasil penghitungan. Pengalaman pada pencoblosan pemilu lalu yang banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam penghitungan suara harus menjadi pelajaran bagi kita dan diantisipasi. Kedua, membuat sebuah petunjuk yang sistematis dan praktis agar Panwaslu di tingkat bawah bisa bertindak secara cepat apabila menemui pelanggaran-pelanggaran pada pelaksanaan Pilkada. Ketiga, mempertegas aturan dan sanksi mengenai pelanggaran terhadap penggalangan massa, pawai dan membayar massa. Keempat, mempertegas aturan yang melarang penggunaan fasilitas pemerintah/negara untuk keperluan kampanye. Yang terakhir dan saat ini marak terjadi adalah mengawasi agar isi kampanye tidak menfitnah atau melakukan kampanye negatif. Ternyata membuka aib orang dan mejelekkan kandidat lain tanpa disertai dengan argumen dan bukti yang kuat sudah menjadi kebiasaan dalam setiap suksesi politik, hal ini harus dihindari dalam upaya membangun upaya politik santun dan demokrasi di tingkat lokal. Dengan demikian, untuk meningkatkan citra peran Panwaslu Jembrana, maka Panwaslu Jembrana melakukan upaya-upaya untuk memaksimalkan perannya dalam pengawasan pilkada, di antaranya: sosialisasi yang dilakukan panwaslu, untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang pilkada dan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi; pengawasan aktif, untuk mencegah terjadinya pelanggaran pilkada, dan melaporkannya bila terjadi; memaksimalkan pengawasan masyarakat dengan melibatkan tokoh-tokohnya untuk membantu melakukan pengawasan terhadap pelanggaran yang mungkin terjadi di sekitar wilayah Kabupaten Jembrana. SIMPULAN Dari uraian pengalaman Pemilukada di Kabupaten Jembrana, ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh Panwaslu, yakni: (1) kewenangan sebagaimana yang diatur Undang-Undang sangat kurang mendukung kinerja optimal Panwaslu, karena kewenangan yang ada hanyalah sebagai lembaga pemberi stempel atau pengirim persoalan saja; (2) Panwaslu Kabupaten Jembrana yang selama ini merupakan lembaga ad hoc dalam bekerjanya akan menghadapi persoalan yang komplek; (3) pola
Penguatan Peran Panwaslu dalam Pemilukada (Studi Kasus: Pemilukada Kabupaten Jembrana) – Dedeh Haryati | 145
rekrutmen anggota Panwaslu Kabupaten Jembrana belum memenuhi kualifikasi personal, sosial, intelektual yang dibutuhkan sebagai anggota Panwaslu; dan (4) belum ada penegasan hubungan antar tingkatan Panwaslu Kabupaten Jembrana dengan Panwaslu Provinsi Bali, sehingga melemahkan Panwaslu itu sendiri. Oleh karena itu, perlu upaya penguatan fungsi Panwaslu, seperti: memperluas kewenangan Panwaslu; pembentukannya bukan sebagai lembaga ad hoc; dan pola rekrutmennya diperketat dengan persyaratan yang memadai.
http://www.kpujembrana.com/index.php/home/111pengundian-nomer-urut-pasangan-calon, diakses tanggal 14 Desember 2010.
DAFTAR PUSTAKA Amirudin dan Zaini Bisri, 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Penerbit Pustaka Pelajar, Jakarta. Bagir Manan, 2003. DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945 yang baru, FH UII Press, Jakarta. Donni Edwin, 2005. Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership, Jakarta. Joko Prihatmoko, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi Sistem dan Problem Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Jimly Asshiddiqie, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI. Koirudin, 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Fajar, Jogyakarta. Laporan Penelitian Tim PDN P3DI, 2010. Pemilihan Umum Kepala Daerah Bupati/Walikota Di Provinsi Riau, Setjen DPR-RI. Leo Agustino, 2005. Politik dan Otonomi Daerah, Untirta Press, Banten. Mahfud M, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Jogyakarta. Miriam Budiardjo, 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Garamedia, Jakarta. Robert Dahl, 1982. Dilema Demokrasi Pluralis, Rajalawi, Jakarta. Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. International IDEA, 2000. Demokrasi dan Konflik Yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, Seri Buku Pegangan Internasional IDEA, Jakarta. http://www.bawaslu.go.id/berita/35/tahun/2010/bulan/0 7/tanggal/21/id/1504/, diakses tanggal 12 Desember 2010. http://new-media.kompasiana.com/2010/04/19/evoting-belajar-dari-kabupaten-jembrana/, diakses tanggal 12 Desember 2010. http://www.jembranakab.go.id/pengumuman/ Bab2.pdf, di akses tanggal 12 Desember 2010.
146 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 135 - 146
PENATAAN ULANG ADMINISTRASI PUBLIK DI INDONESIA REORGANIZED PUBLIC ADMINISTRATION IN INDONESIA Kristian Widya Wicaksono Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan Jl.Ciumbuleuit No. 94 Bandung, Telepon (022) 203357 e-mail:
[email protected] Diterima: 21 Mei 2012, Direvisi: 28 Mei 2012, Disetujui: 31 Mei 2012
Abstrak Hingga saat ini, studi administrasi publik atau yang masih akrab dengan sebutan administrasi negara di Indonesia masih belum ditekuni secara serius di negara ini. Padahal salah satu alternatif jalan keluar dari berbagai macam keterpurukan yang tengah dihadapi bangsa ini ditawarkan melalui pembenahan yang menyeluruh pada konteks administrasi publik. Partai Politik sudah banyak berpartisipasi dalam kancah pengambilan keputusan. Kita juga dapat melihat bagaimana kualifikasi orang yang duduk di kursi kementrian adalah orang-orang yang memiliki reputasi yang baik. Namun pertanyaannya, mengapa perubahan yang diharapkan tidak kunjung berwujud di negara kita? Mengapa varian masalah publik justru semakin berkembang dan bertambah kompleks? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya segera disadari oleh kita bersama bahwa tanpa reformasi administrasi publik akan sangat sulit mewujudkan perubahan kondisi masyarakat ke arah yang lebih paripurna. Sebaik-baiknya desain kebijakan tanpa didukung aktor implementator yang kompeten dan sistem administrasi publik yang tertata secara sistematik maka hasilnya hanyalah sebatas idealisme di atas kertas. Kata Kunci: administrasi, publik, birokrasi, kebijakan publik & implementasi Abstract Until today, the study of public administration in Indonesia still not elaborated seriously. Besides alternative solution of the complex problem in Indonesia is the holistic reformation of public administration. Political party is already participated in the arenas of decision making. We also recognize that several people who become the head of the ministry had a good reputation. But the question is, why the expected change in Indonesia still not happened? Why the variations of public problem become increased and more complex? These questions should be realized by us that without public administration reform it will be hard to actualize the change of our society to the right direction. If good design of policy not supported by competent administrator and systematic management of public administration system so the result is only idealism on paper. Keywords: administration, public, bureaucracy, public policy and impementation
PENDAHULUAN Wilson (1887) dalam tulisannya The Study of Administration pada Political Science Quarterly menyatakan bahwa tujuan awal pemisahan adminisrasi publik dari ilmu politik adalah untuk menciptakan birokrat yang profesional dalam menyediakan pelayanan publik yang prima tanpa harus membedakan “warna politik” warga Negaranya. Hal ini dimaksudkan agar negara berada pada posisi yang netral sehingga memberikan perlakukan yang adil (equity) kepada publik sebagai agregasi warga negara. Administrasi dalam dimensi keorganisasian dipahami sebagai birokrasi. Birokrasi pemerintahan dapat ditinjau sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalam birokrasi terdapat yurisdiksi, artinya setiap pejabat memiliki official duties. Pejabat birokrasi bekerja pada tatanan hierarki sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Pola komunikasi yang dibangun di antara sesama
pejabat tersebut didasarkan pada dokumen tertulis. Birokrasi pemerintah melakukan pengelolaan pelayanan, menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Oleh karenanya, birokrasi sebagaimana sifat dan lingkup pekerjaannya, akan menguasai pengetahuan dan informasi serta dukungan sumber daya yang tidak dimiliki aktor lain. Hal ini menyebabkan birokrasi memiliki akses yang luas untuk memformulasikan kebijakan yang tepat secara teknis sehingga mendapat dukungan yang kuat dari civil society dan market. Kondisi empirik inilah yang menyebabkan dikotomi politik-administrasi yang ditawarkan oleh Wilson sulit untuk diwujudkan. Maka dari itu, Frederickson (1997) dalam bukunya The New Concept Of Public Administration menyatakan bahwa konsentrasi penciptaan profesionalitas birokrasi bukan diarahkan pada konsep administrasi melainkan konsep publiknya. Keterlibatan administrasi dalam proses politik untuk
Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia - Kristian Widya Wicaksono | 147
menghasilkan kebijakan merupakan keniscayaan, namun sistem penyediaan layanan tetap diarahkan untuk meninjau publik secara proporsional yakni sebagai warga negara (citizen). Artinya, birokrasi harus mampu memosisikan warga negara setara baik dari hak maupun kewajibannya. Stigma yang melekat pada birokrasi di Indonesia adalah mereka para pegawai negeri sipil kerja santai, pulang sebelum jam tutup kantor, selalu mempersulit urusan dan terjebak pada prosedur pelayanan yang berbelit-belit. Ilustrasi tersebut sudah sedemikian melekat dalam benak masyarakat sehingga banyak kalangan yang berasumsi bahwa perbedaan antara dunia preman dengan birokrasi hanya terletak pada pakaian dinas saja. Keinginan untuk menyaksikan birokrasi yang cerdas, responsif dan bertanggung jawab terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik nampaknya sudah mulai surut di kalangan masyarakat. Nampak kejenuhan masyarakat yang telah sedemikian membuncah atas kesempatan yang diberikan kepada birokrat untuk memperbaiki dirinya secara nyata dan menunjukkan perilaku yang kondusif terhadap perubahan sosial. Pemerintah Indonesia saat ini telah mengupayakan agar agenda reformasi birokrasi dapat segera berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 serta melalui Keputusan Menteri Pembedayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 15/M.PAN/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Dalam aturan tersebut disampaikan bahwa visi reformasi birokrasi adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik tahun 2025 dengan misi diantaranya: (1) Membentuk dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola pemerintahan yang baik; (2) Memodernisasi birokrasi pemerintahan dengan optimalisasi pemakaian teknologi informasi dan komunikasi; (3) Mengembangkan budaya, nilai-nilai kerja dan perilaku yang positif; (4) Mengadakan restrukturisasi organisasi (kelembagaan) pemerintahan; (5) Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan sistem remunerasi; (6) Menyederhanakan sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja; dan (7) Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Selanjutnya disampaikan bahwa, tujuan reformasi birokrasi dibagi ke dalam dua skema yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah Membangun profil dan perilaku aparatur negara yang berintegritas tinggi, produktif, dan mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Tujuan khususnya yaitu membangun birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel dalam melayani dan memberdayakan masyarakat. Sedangkan sasarannya yakni mengubah pola pikir, budaya kerja dan manajemen pemerintah.
Jauh sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama telah membentuk sebuah lembaga khusus yang dikenal dengan nama Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang salah satu tugasnya melakukan reformasi birokrasi di lingkungan internal pemerintahan. Kemudian, pada tahun 2007 tiga lembaga negara yakni Departemen Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan dijadikan pilot project reformasi birokrasi melalui penyesuaian struktur renumerasi bagi pegawai mengikuti beban kerjanya. Dalam perjalananya penyesuaian struktur renumerasi ini diiringi dengan pengawasan yang ketat serta penerapan sanksi yang tegas apabila ditemukan sejumlah pelanggaran. Akan tetapi, upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut belum berdampak banyak terhadap perbaikan kinerja birokrasi. Berdasarkan survei integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diumumkan pada tanggal 22 Desember 2009 yang lalu menyebutkan bahwa masih banyak intitusi pelayanan publik yang belum maksimal dalam memberikan pelayanan publik dan masih melakukan pungutan liar. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia belum mampu memenuhi tingkat perubahan yang diharapkanoleh masyarakat. Berlandaskan situasi masalah tersebut, maka tulisan ini mencoba untuk menjelaskan problematika yang menyebabkan upaya melakukan reformasi birokrasi di Indonesia menjadi macet dan mengalami stagnansi. Kemudian, tantangan yang kedepannya harus dihadapi pemerintah dalam pengimplementasian agenda reformasi birokrasi serta menyampaikan sejumlah rekomendasi bagi akselerasi pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia yang ditinjau dari pendekatan organisasi dan manajemen. HASIL DAN PEMBAHASAN Problematika Reformasi Birokrasi di Indonesia Problem pengimplementasian reformasi birokrasi di Indonesia disebabkan oleh sejumlah masalah. Setidaknya kita dapat mengidentifikasi lima kendala utama yang mengganjal dalam proses reformasi birokrasi. Pertama resistensi birokrat terhadap reformasi birokrasi. Hasil survei integritas yang dipublikasikan oleh KPK pada bulan Desember 2009 yang lalu menunjukkan indikasi bahwa proses reformasi birokrasi justru mengalami kendala karena perilaku birokrat yang tidak adaptif terhadap harapan perubahan. Kedua, menyangkut penerapan model reformasi birokrasi yang terjebak dalam pembenahan struktur renumenasi sebagaimana yang dilaksanakan di Departemen Keuangan RI, MA dan BPK beberapa waktu lalu. Sehingga permasalahan-permasalahan seperti pengembangan sistem informasi peng-
148 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 147 - 152
ambilan keputusan, peningkatan kapabilitas birokrat untuk mengindentifikasi perkembangan kebutuhan masyarakat secara akurat, perbaikan responsivitas birokrasi terhadap aspirasi masyarakat dalam pembangunan serta permasalahan-permasalahan substansial lainnya justru tidak terjawab secara kongkret. Bahkan masalah ini semakin kompleks karena berkolaborasi dengan dorongan-dorongan internal yang lahir dari kalangan aparatur pemerintah seperti keinginan tenaga kontrak dan tenaga honorer untuk segera diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Padahal beban belanja tidak langsung dalam anggaran pemerintah untuk membayar gaji pegawai negeri sudah sedemikian besar. Ketiga, belum munculnya agenda reformasi yang terintegrasi mulai dari Pemerintah Pusat hingga ke Pemerintah Daerah. Sehingga belum ada kesamaan visi dan sinergitas pembenahan birokrasi yang secara kongkret menjadi komitmen bersama untuk merubah praktik penyelenggaraan pemerintahan ke arah yang lebih konstruktif. Keempat ketidakjelasan landasan dalam proses rekruitmen pegawai. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa tahapan seleksi CPNS untuk tenaga Bidan Puskesmas sama saja dengan tahapan seleksi yang dijalani oleh seorang lulusan jurusan Administrasi Negara yang akan ditempatkan di Sekretariat Daerah. Tidak nampak proses seleksi yang secara spesifik dapat dijadikan tolok ukur untuk merekrut pegawai sesuai dengan kebutuhan kompetensi formasi jabatan yang tersedia dalam organisasi pemerintah. Ironisnya perkembangan masalah ini semakin kompleks karena pola pelatihan dan orientasi pegawai negeri belum banyak berubah misalnya materi yang disampaikan selama Diklat Pra-Jabatan tidak terlepas dari doktrin monoloyalitas terhadap Pancasila dan UUD 1945 serta keharusan untuk mengikuti perintah-perintah yang disampaikan atasan. Tidak ada upaya untuk membangun kapabilitas pegawai untuk kritis terhadap pendapat atasan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk merumuskan masalah, mengembangkan alternatif pemecahan masalah hingga merekomendasikan pemecahan masalah. Kelima, promosi yang tidak dilandasi profesionalisme. Meskipun reformasi birokrasi sudah dilaksanakan namun pola promosi pegawai di lingkungan pemerintah masih belum memiliki kejelasan arah. Misalnya saat awal seseorang menjadi pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai pegawai kecamatan. Kemudian pegawai ini diberi pelatihan tentang keuangan sesuai dengan rekomendasi camat karena pegawai yang bersangkutan diproyeksikan menjadi tenaga bendahara di kecamatan. Setelah selesai menjalani pelatihan tersebut, pegawai ini lantas diangkat ke Sekretariat Daerah untuk menduduki posisi sekretaris pada Biro Bina Lingkungan Hidup. Sehingga pelatihannya yang lalu tidak dapat dimanfaatkan pada posisinya yang baru. Tidak lama kemudian pada tahun kelima
pekerjaannya dia dimutasikan ke Badan Perencanaan Daerah untuk ditempatkan di bagian perencanan pengembangan ekonomi daerah padahal pelatihan yang diberikan kepadanya semasa di Biro Bina Lingkungan Hidup lebih banyak pada bidang lingkungan hidup. Kondisi seperti ini menyebabkan birokrat kita sulit mencapai tingkat profesionalitas yang diharapkan apalagi mengharapkan mereka memiliki pengetahuan yang mendalam atas jabatan yang diembannya. Tantangan Reformasi Birokrasi di Indonesia Reformasi birokrasi dalam pendekatan teori organisasi dapat ditinjau sebagai bentuk pengembangan organisasi (organizational development). Dalam melaksanakan perubahan organisasi maka kita akan menemukan sejumlah tantangan. Untuk konteks Birokrasi publik di Indonesia maka kita dapat mengidentifikasi lima tantangan besar dalam melakukan proses perubahan tersebut. Pertama, mengatasi resistensi perubahan dalam birokrasi yang umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu kekhawatiran kehilangan status dalam kekuasaan dan kehilangan sumber-sumber pendapatan siluman. Nampaknya birokrat di Indonesia masih mewarisi tradisi kolonial yakni melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap masyarakat. Sehingga manakala terjadi perubahan mereka cenderung bersikap defensif, tertutup dan tidak mau bekerja sama. Prinsipnya yang mereka lindungi adalah status mereka dalam sistem kekuasaan sebab selama ini konstruk birokrasi di Indonesia memang lebih dikondisikan sebagai bagian dari kekuasaan bukan sebagai implementator kebijakan yang berkewajiban melayani kepentingan publik secara berkeadilan. Selain itu, menurut Nordholt dan Van Klinken (2007:11) bahwa pola pemajakan informal serta distribusi pendapatan bottom-up masih mewarnai birokrasi yang bertugas memberikan pelayanan. Para birokrat di Indonesia yang digaji rendah menopang kehidupan mereka dengan sumbersumber pendapatan informal yaitu dengan cara menjual izin-izin dan menarik pajak-pajak pribadi. Sehingga menjadi birokrat di Indonesia belum benarbenar dilandasi keinginan yang kuat untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat melainkan hanya sekedar status sosial dan sarana untuk mempertahankan hidup. Kedua, kepastian mengenai kesinambungan agenda reformasi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa agenda reformasi birokrasi pada prinsipnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dengan maksud untuk menjaga kesinambungan dan konsistensinya. Namun, mekanisme pemilihan kepala pemerintahan secara langsung oleh masyarakat yang bernuansa politis telah membangun keragu-raguan bahwa pemerintahan selanjutnya akan
Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia - Kristian Widya Wicaksono | 149
tetap mempertahankan agenda reformasi birokrasi tersebut. Ketiga, kemampuan birokrasi untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Saat ini kondisi perkembangan teknologi informasi sudah semakin pesat. Pemerintah pun sudah mulai membuat situs-situs di Internet untuk menginformasikan berbagai macam kebijakan dan program pembangunan kepada masyarakat. Akan tetapi, penerapan electronic government baru sebatas pada pembuatan situs-situs saja, belum melangkah lebih jauh seperti penyelenggaraan pelayanan yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengaksesnya secara terbuka. Pemaparan informasiinformasi di intenet yang dilakukan pemerintah juga masih pada hal-hal yang sifatnya umum belum menukik ke arah informasi-informasi yang strategis seperti informasi anggaran, pembahasan rancangan kebijakan dan lain sebagainya. Keempat, kemampuan untuk menghadapi lingkungan organisasi yang kompleks dan dinamis. Sebagaimana yang disampaikan oleh Henry (2004:49) bahwa di masa mendatang organisasi pemerintah akan menghadapi sejumlah kenyataan diantaranya adalah batasan organisasi yang semakin memudar, keberadaan pemerintah yang semakin mendatar dan tersebar serta yang terakhir keharusan organisasi pemerintah untuk merubah kapasitas serta skala organisasinya. Berangkat dari prediksi Henry tersebut maka dalam situasi lingkungan yang kompleks dan dinamis, birokrasi dituntut untuk cepat belajar dan beradaptasi sehingga mereka mampu meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan masyarakat. Kelima, mengatasi masalah ketidakpercayaan yang terjadi di antara pemerintah dengan masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Liddle dalam Gaffar (2006:39) bahwa birokrasi memiliki citra diri yang benevolence yaitu sebagai pengayom, pemurah dan baik hati terhadap rakyatnya. Sedangkan para birokrat mempersepsikan bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa sehingga masih harus dididik. Karena birokrasi sudah benevolence maka masyarakat harus patuh, taat dan setia atau obidience kepada pemerintah. Analisa Liddle tersebut memperlihatkan bahwa birokrasi menaruh ketidakpercayaan yang besar kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga kerjasama diantara mereka untuk membangun situasi Indonesia yang lebih baik masih cukup sulit untuk diwujudkan. SIMPULAN Problematika dan tantangan reformasi birokrasi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas tentunya membutuhkan sejumlah solusi guna mengantarkan reformasi birokrasi menuju tingkat perubahan yang diharapkan. Oleh karenanya, pembahasan dalam tulisan ini selanjutnya mencoba
untuk menyampaikan sejumlah pembenahan birokrasi yang ditinjau dari perspektif organisasi dan manajemen. Pertama, komitmen pimpinan untuk mengawal reformasi birokrasi melalui pelibatan birokrat secara lebih terbuka dalam proses perubahan. Untuk mengatasi resistensi birokrasi terhadap perubahan maka Burke (2005:361) mengemukakan pentingnya kepemimpinan yang partisipatif dalam perubahan. Sebab Burke memberi catatan bahwa keinginan untuk berubah terkadang sudah ada dalam harapan setiap anggota organisasi, namun perbedaan cara untuk mencapai perubahan tersebut seringkali menjadi bagian dari resistensi yang paling sulit untuk dibendung. Oleh karenanya, kepemimpinan yang kuat dan terbuka terhadap keterlibatan anggota organisasi harus muncul dari kalangan birokrat untuk tetap memberikan arah perubahan bagi agenda reformasi birokrasi. Hal ini sejalan dengan tulisan Senge (1994: 297) yang menyatakan bahwa pentingnya untuk berbagi visi agar terbangun pola saling pengertian atasan dan bawahan dalam birokrasi. Sehingga situasi yang dikhawatirkan oleh Ripley dan Franklin (1982:32) bahwa implementasi kebijakan akan menjadi tidak efektif apabila terdapat ketidaksepahaman antara top level bureaucracy (atasan dalam birokrasi) dengan street level bureaucracy dapat segera diatasi. Sebab dukungan bawahan yang tidak optimal baik terhadap perintah atasan maupun terhadap kebijakan akan sangat mempengaruhi tingkat akurasi intepretasi serta pelaksanaan kebijakan di lapangan. Oleh karenanya perlu perubahan pada aspek pusat kekuasaan yang selama ini bertumpu pada pimpinan pemerintah sebab organisasi pemerintah umumnya cenderung sentralistik dengan tingkat formalisasi prosedural yang sulit untuk dinegosiasikan di lapangan. Padahal secara faktual, prosedur seharusnya fleksibel dan adaptif terhadap konteks masyarakat yang dilayaninya. Hal ini juga seolaholah menutup peluang bagi masyarakat untuk memiliki pilihan yang lebih banyak dalam pelayanan publik, artinya dibutuhkan desentralisasi pelayanan dimana level terbawah birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat diberi kewenangan yang lebih banyak dalam merespon kebutuhan masyarakat. Pelibatan sektor privat dalam penyediaan layanan publik juga dapat lebih meringankan beban kerja pemerintah sehingga opsi layanan yang tersedia juga tidak hanya disediakan oleh pemerintah sebagai aktor utama tetapi juga diselenggarakan oleh sektor privat yang selama ini memang memiliki determinasi yang lebih jelas dibandingkan dengan sektor publik. Kedua, dari segi manajemen dibutuhkan tahapan reformasi birokrasi yang sistematik dan terstruktur. Dimulai dari perencanaan yang akurat, pengembangan sistem yang mendorong terjadinya perubahan perilaku, implementasi sistem baru secara bertanggung jawab hingga pada pengukuran
150 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 147 - 152
perubahan perilaku di kalangan birokrat. Sedangkan dari segi pengawasan dibutuhkan unit pengendalian internal yang kuat dan independen agar reformasi birokrasi tetap berjalan pada jalur yang konsisten dan yang terpenting adalah menciptakan instrumen evaluasi yang ajeg untuk meninjau capaian kinerja dari instansi pemerintah yang mengklaim telah melaksanakan reformasi birokrasi. Ketiga, pengembangan assessment centre untuk pembenahan sistem dalam birokrasi. Appelbaum, Kay dan Shapiro (2007:51) menyatakan bahwa assessment centre berfungsi bagi perencanaan, implementasi dan evaluasi pada aspek sumber daya manusia dalam sebuah organisasi seperti rekruitmen, seleksi, kompensasi, kegiatan pelatihan dan pengembangan, serta menjadi alat pemantau bagi organisasi dalam melaksanakan penilaian mengenai konsistensi perencanaan dan tingkat capaian sasaran organisasi. Pada sektor publik pembenahan untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia memang belum banyak disentuh sehingga tidak terjadi proses staffing yang efektif. Pengembangan assessment centre akan membawa perubahan bagi birokrasi terutama memperbaiki aspek rekruitmen yang selama ini bermasalah, metode promosi yang kurang memperhatikan profesionalisme serta pengembangan materi pendidikan dan pelatihan sehingga lebih sesuai dengan tantangan perubahan sosial. Assessment centre juga dapat membantu untuk memperjelas sistem insentif pada sektor publik yang selama ini kurang mampu mendorong PNS untuk berkarya di daerah pedalaman sehingga pola distribusi pegawai menjadi merata dan tidak berkumpul di kota-kota besar saja. Keempat, reduksi kepentingan politik dalam birokrasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ott, Hyde dan Shafritz (1991:181) bahwa perhatian utama dalam administrasi rasional adalah pertumbuhan birokasi. Lebih lanjut ketiga penulis tersebut menguraikan bahwa pertumbuhan berkonsekuensi pada reduksi kepentingan politik dalam birokrasi sehingga mereka dapat bekerja secara optimal. Oleh karenanya, untuk mencapai salah satu sasaran perubahan dalam reformasi birokrasi yakni merubah mindset perlu dilakukan upaya untuk meminimalisir persentuhan antara kepentingan politik dengan birokrasi. Kedepannya birokrasi tidak lagi diizinkan untuk menjadi alat kekuasaan terutama untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku publik. Oleh karena itu, tugas kepemimpinan dalam birokrat salah satunya menumbuhkan budaya untuk menempatkan warga negara sebagai pembayar pajak yang harus mendapatkan pelayanan yang prima dari birokrat. Sedangkan pada sisi yan lain birokrat juga perlu berfungsi menjadi fasilitator bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin sehingga terjadi pola pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Selain itu, reduksi kepentingan politik juga dapat
menciptakan jaminan pada kesinambungan agenda reformasi birokrasi meskipun pucuk pemerintahan silih berganti. Kelima, mengembangkan aplikasi sistem informasi berbasis komputerisasi. Birokrasi pemerintah dapat mengembangkan dukungan terhadap program-program yang akan dijalankannya serta mengomunikasikan berbagai harapan yan hendak dicapai melalui media situs pertemanan sosial seperti Facebook, Twitter, Hi-5 dan lain sebagainya. Misalnya meningkatkan dukungan untuk program hidup sehat dan bersih melalui sosialisasi mencuci tangan sebelum berkaktifitas serta programprogram konstruktif lainnya. Bahkan untuk mensosialisasikan pelayanan yang dapat diakses melalui situs internet sehingga situs pemerintah tidak saja memuat informasi yang umum melainkan informasi-informasi yang lebih strategis dan memungkinkan masyarakat dapat mengakses suatu pelayanan publik. Keenam, sistem pengawasan dan evaluasi terhadap reformasi birokrasi yang dilakukan oleh lembaga independen. Perlu dilakukan survei berkala yang dilakukan oleh lembaga independen untuk meninjau secara mendetail pelaksanaan reformasi birokrasi pada suatu lembaga pemerintah. Survei integritas yang dilakukan KPK hendaknya tetap dilaksanakan termasuk dengan eksposenya ke hadapan publik agar lembaga yang bersangkutan terus-menerus melakukan pembenahan sehingga dapat mewujudkan tingkat perubahan sesuai dengan harapan publik. DAFTAR PUSTAKA Appelbaum, Steven H., Frank Kay and Barbara T. Shapiro. 2007. The Assessment Centre Is Not Dead! How to Keep It Alive and Well dalam Journal of Management Development (8eds) Burke, Warner. 2005. Memimpin Perubahan Organisasi dalam “Orgaisasi Abad 21: Suatu Hari Semua Organisasi akan Melalui Jalan ini.” Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (6 eds). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Henry, Nicholas. 2004. Public Administration and Public Affairs (9 eds). New Jersey: Pearson Prentice Hall Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – KITLV-Jakarta Ripley, Randall B. and Grace A. Franklin. 1982. Policy Implementation and Bureaucracy. Illinois: The Dorsey Press Homewood Senge, Peter M. 1994. The Fifth Discipline: The Art and Practice of Learning Organization. New York: Doubleday Ott, Steven J., Albert C Hyde and Jay M. Shafritz. 1991. Public Management: The Essential Readings. Chicago: Lyceum Books/NelsonHall Publisher
Penataan Ulang Administrasi Publik di Indonesia - Kristian Widya Wicaksono | 151
Wilson,
Woddrow (1887) ”The Study of Administration,” Political Science Quarterly, 2:197-222
152 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 2 Juni 2012: 147 - 152
Biodata Penulis Tulus T. H. Tambunan Lahir di Jakarta pada 6 Mei 1958. Bekerja sebagai dosen tetap mata kuliah Perekonomian Indonesia serta Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), juga sebagai peneliti di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Trisakti. Selain itu, ia juga memimpin dan sebagai peneliti utama di lembaga penelitian: Center for Industry, SME and Business Competition Studies, di FE di universitas yang sama. Meraih gelar S1 hingga S3 dalam bidang ekonomi makro dari Universitas Erasmus di Rotterdam, Belanda. Selama ini aktif sebagai peneliti untuk berbagai lembaga dunia/regional seperti ILO, ADB, UN-ESCAP, ERIA, IMF, EADN/GDN, dll. Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mempublikasikan sejumlah buku di luar negeri, antara lain: Economic Crisis and Vulnerability: The Story from Southeast Asia (New York (US): Nova Science Publishers, Inc, 2011); Global Economic Crisis and ASEAN Economy. Theory and Empirical Findings (Saarbrȕcken (Germany): Lambert Academic Publishing (LAP), 2010); Trade Liberalization and SMEs in ASEAN (New York (US): Nova Science Publishers, Inc., 2010); SME in Asian Developing Countries, (London (UK): Palgrave Macmillan Publisher, 2009); Development of Small and Medium Enterprises in ASEAN Countries (New Delhi (India): Readworthy Publications, Ltd, 2009); dan Entrepreneurship Development in Developing Countries (New Delhi (India): Academic Excellence, 2007). Herie Saksono Lahir di Cirebon, 27 Mei 1966. Pendidikan sarjana pada IIP Jakarta program studi Keuangan Daerah (1993), Magister Sains Keuangan Internasional dan Perbankan/Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) Universitas Gadjah Mada DIY (1998), dan meraih gelar Doktor di Institut Pertanian Bogor program studi Perencanaan Pembangunan Kelautan/Teknologi Kelautan (TKL) (2008). Menjabat sebagai Kabid Kententraman dan Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat (Trantib dan Linmas) merangkap sebagai Peneliti Muda Bidang Bisnis dan Manajemen pada Pusat Penelitian Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri.
Yosep Ginting Lahir di Kutacane, tanggal 7 November 1961. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/d) pada Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri. Sorni Paskah Daeli Lahir di Lahewa, Nias Utara, tanggal 2 April 1972. Meraih gelar Sarjana Ekonomi Manajemen tahun 2000 dan Sarjana Teknik Planologi tahun 2001 di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Tahun 2005, meraih gelar Master Administrasi Kebijakan Publik pada Pascasarjana Universitas Indonesia. Sekarang, sedang menyelesaikan Program Doktor Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/d) merangkap Plt. Kepala Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik pada Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri. Gunawan Lahir di Jakarta, 11 November 1964. Pendidikan terakhir Sarjana Administrasi Negara pada Sekolah tinggi Ilmu Administrasi Negara (LAN) pada tahun 1996. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/c) dan merangkap sebagai Kepala Sub Bidang Linmas pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Irtanto Lahir di Blitar, Jawa Timur pada 3 Agustus 1960. Menyelesaikan Program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Ilmu Administrasi Negara di Universitas Wijaya Putra pada tahun 2010 . Saat ini bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur sebagai Peneliti Madya (IV/c) Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia. Hari Wahyudi Lahir di Kediri pada 9 September 1968. Meraih gelar Doktor Ilmu Sosial pada tahun 2012 di Universitas Airlangga. Saat ini bekerja di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur sebagai Widyaiswara Madya (IV/b).
Dedeh Haryati Lahir di Jakarta, tanggal 17 Maret 1974. Menyelesaikan Sarjana (S-1) jurusan Administrasi Negara tahun 2002 di Universitas Krisnadwipayana, sedangkan Pascasarjana (S-2) jurusan Ilmu Politik tahun 2004 di Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Bidang Politik di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kristian Widya Wicaksono sebagai dosen PNS pangkat Penata Muda Golongan III/a, dengan Jabatan Akademik Lektor. Menyelesaikan studi program sarjana Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Khatolik Parahyangan pada tahun 2004. Kemudian menyelesaikan program Magister Ilmu Sosial, Konsentrasi Kebijakan dan Administrasi Publik pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 2009
Pedoman Penulisan 1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 1 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab) METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab …
SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. 1. 2. 3.
Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) Mondok di daerah tujuan Menetap di daerah tujuan
Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh
Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Sumber: Ida Bagoes, 2000
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol.4,.Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ c. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email
[email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail:
[email protected]