VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN : 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) Bagas Haryotejo
JURNAL BINA PRAJA |
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia M. Nur Alamsyah
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia Kristian Widya Wicaksono
Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Teguh Narutomo
Vol. 4 No. 1, Maret 2012: 1 - 72
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketentraman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja Gunawan
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Hasoloan Nadeak
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat Sorni Paskah Daeli
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota Pariaman Imam Radianto Anwar Setia Putra
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012
J. Bina Praja
Vol. 4
No. 1
Hal. 1 - 72
Jakarta, Maret 2012
TERAKREDITASI B NOMOR: 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN 2085-4323
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi Pelindung: Pembina:
Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Penanggung Jawab: Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Pemimpin Redaksi: Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Anggota: Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr.Elvin Elyas (Kebijakan Publik, Kemendagri) Dr. Abdul Halik (Kebijakan Publik, Kemendagri) Mitra Bestari: Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. (Hukum, Kemendagri) Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. (Administrasi Publik, IPDN) Dr. Syarif Hidayat (Otonomi Daerah, LIPI) Dr. Alberto D. Hanani (Ekonomi dan Keuangan) Bashori Imron, M.Si (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI) Pemimpin Redaksi Pelaksana: Ir. Untoro Sardjito, MM. Anggota: Yudi Hermawan, SE. Moh. Ilham A. Hamudy, M.Soc.Sc. Imam Radianto Anwar, MM. Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Syailendra Prahaswara Administrasi: Dra. Yuniar Prastuti, MA.; Dra. Nina Indah Harlina; Halasan Sitorus, SH.; Emilia, SE.; Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Dra. Heriani Husainy; Dida Suhada Iskandar, S.IP.; Bagyo Eko Cahyono. Keuangan: Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Sirkulasi dan Distribusi: Drs. Yefri Roza; Rasno; Hazelin Anggia; Pasco Mawando. Artistik dan Multimedia: Tya Arnesta, Meilya Rosi.
Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail:
[email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id
Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Pengantar Redaksi
Membangun Jejaring Profesionalisme
P
uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, tahun 2012 Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri telah berhasil menerbitkan Jurnal Bina Praja pada Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012. Sebuah upaya yang dilandasi komitmen para penulis maupun Dewan Redaksi untuk bersama-sama meningkatkan profesionalisme kelitbangan bidang pemerintahan dalam negeri dan pemerintah daerah. Dalam upaya membangun jejaring profesionalisme, redaksi senantiasa melakukan perluasan kemitraan komunitas profesional/ intelektual, dengan memberi kesempatan seluasluasnya bagi mereka untuk berpartisipasi dalam Jurnal Bina Praja. Pada edisi kali ini redaksi menyajikan 8 (delapan) artikel yang membahas tentang iklim investasi daerah, kebijakan, problematika, dan tantangan desentralisasi, manajemen pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi, profil Satuan Polisi Pamong Praja, implementasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, eksistensi lembaga swadaya masyarakat, dan kinerja aparatur pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan. Resolusi pada tahun 2012, Jurnal Bina Praja menjadi media berkala ilmiah yang mampu mendorong kuriositas para peneliti/perekayasa. Selain itu demi terwujudnya para calon peneliti/perekayasa di bidang pemerintahan dalam negeri yang berkiprah secara profesional, sehingga mempercepat terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang lebih baik. Akhir kata, segenap staf redaksi Jurnal Bina Praja mengucapkan selamat berkarya dan salam sukses luar biasa dan bahagia selalu. Salam Redaksi
i
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi
i ii
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) Bagas Haryotejo
1 - 10
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia M. Nur Alamsyah
11 - 20
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia Kristian Widya Wicaksono
21 - 28
Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Teguh Narutomo
29 - 34
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketentraman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja Gunawan
35 - 44
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Hasoloan Nadeak
45 - 56
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat Sorni Paskah Daeli
57 - 66
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota Pariaman Imam Radianto Anwar Setia Putra
67 - 72
ii
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya Bagas Haryotejo Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 1-10 Iklim investasi suatu negara atau suatu daerah mencerminkan kinerja kebijakan pemerintah dan peraturan dalam mengendalikan baik konsep dan tingkat operasional. Secara umum, saat ini iklim investasi di Indonesia tidak dalam kondisi memuaskan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan indikator kemajuan atau kondusifitas iklim investasi di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan tujuan khusus adalah, survei pada indikator iklim investasi berbagai kunci secara rinci, baik dari segi peraturan dan pelaksanaannya yang dapat diukur, dianalisis dan disajikan secara transparan dan lebih mudah untuk melakukan antisipasi kebijakan. Metode penelitian yang digunakan adalah survei mengenai aspek bisnis (mikro) dengan Daerah Jawa Tengah sebagai daerah studi. Untuk analisa, sedang mempertimbangkan berbagai aspek makro yang mendasarinya. Hasil pembobotan iklim investasi, untuk melihat tingkat kepentingan atau skala prioritas diperoleh, lima indikator prioritas dinilai dampak/efek luas pada iklim industri, yaitu: 1) lisensi indikator (0,146); 2) keamanan kondisi (0,146); 3) kondisi lingkungan bisnis (0,127); 4) layanan infrastruktur publik (0.114) dan hukum tenaga kerja; 5) (0,102). Sementara indikator dianggap berpengaruh adalah akses ke pembiayaan korporasi (dengan nilai bobot 0,059). Hasil penilaian iklim investasi di Semarang dengan menggunakan 10 indikator tertimbang menunjukkan bahwa Semarang telah dihargai 3,058 dan dikategorikan sebagai cukup kondusif. Tiga indikator yang memberikan kontribusi terbesar adalah keamanan kondisi (3,441), pelayanan infrastruktur publik (3,030), dan akses pembiayaan (2,923), sedangkan tiga indikator yang memiliki nilai terendah adalah pajak (2,631), kondisi lingkungan bisnis (2,742), dan kondisi jalan (2,864). Implikasi kebijakan adalah bahwa kemungkinan perbaikan iklim investasi, iklim investasi masih sangat diperlukan untuk meningkatkan, setidaknya dengan meningkatkan kinerja berbagai indikator yang disebutkan sebelumnya. Kata kunci: iklim investasi, peraturan, indikator M. Nur Alamsyah Bayang-Bayang World Trade Centre (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 11-20
Mekanisme sistem dunia seperti yang diperkenalkan oleh Wallerstein, meletakkan harapan akan adanya kemakmuran dan kesejahteraan serta upaya survive dalam perkembangan dan kemajuan dunia adalah dengan mengikuti sistem dunia yang hadir melalui sistem pasar yang merupakan mekanisme terjadinya globalisasi di dunia. Desentralisasi dengan peletakkan kebijakan pada hak asasi dan partisipasi, akan memudahkan agen negara maju untuk melakukan hegemoni dan penetrasi ke wilayah pertahan terakhir negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dikarenakan lemahnya posisi bargaining pada mekanisme tukar yang dalam konteks ekonomi berdiri pada modal dan investasi atas nama pembangunan. Upaya setiap daerah untuk mengejar pundi-pundi kesejahteraan dengan masuk dalam mekanisme global adalah sesuatu yang terlalu terburu-buru disebabkan kondisi ketidaksimbangan yang dialami daerah dalam mekanisme tersebut. Berbagai aturan, yang dalam konteks politik pemerintahan negara pasti akan menempatkan dirinya sebagai bagian yang diuntungkan menyebabkan negara-negara terkebelakang selalu tidak memiliki kemampuan untuk membargaining hasil produksinya melalui diplomasi yang ulet. Organisasi dunia merupakan alat bagi langgeng dan dominanya sebuah kekuatan terlepas bahwa ada sebagian kecil negara yang dapat menikmati hal tersebut meskipun dalam waktu yang sementara. Kata kunci: desentralisasi, globalisasi, kebijakan, internasionalisasi. Kristian Widya Wicaksono Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 21-28 Dampak gerakan reformasi tahun 1998 yang cukup besar terhadap pola organisasi pemerintah adalah dilaksanakannya desentralisasi. Desentralisasi merupakan teknik manajemen yang mencoba meningkatkan ukuranukuran kinerja kelembagaan seperti efektvitas dan efesiensi dalam bentuk pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, faktanya semenjak kebijakan desentralisasi dilaksanakan pada tahun 2001, banyak problem yang belum terselesaikan. Sehingga jalannya desentralisasi belum mencapai paripurna yang diharapkan. Tulisan ini mencoba memaparkan perjalanan implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia serta bagaimana problem yang terjadi di dalamnya. Kata kunci: desentralisasi, kinerja, pelayanan publik,
peraturan daerah dan kompetensi aparatur pemerintah daerah Teguh Narutomo Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia Guna Mendukung Keunggulan Kompetitif Organisasi Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 29-34 Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut persaingan di semua sektor yang semakin ketat. Untuk dapat mengungguli pesaingnya, setiap organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif tertentu. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui penciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, dan yang paling strategis adalah manajemen sumber daya manusia yang efektif. Tulisan ini bertujuan memberikan memaparkan hubungan erat antara perubahan pola manajemen sumber daya manusia dengan keunggulan kompetitif suatu organisasi. Dalam konteks perubahan pola manajemen sumber daya manusia ini, peran pimpinan sangat strategis guna meningkatkan potensi sumber daya manusia agar berdayaguna secara optimal untuk meningkatkan kinerja organisasi, sehingga organisasi mampu memiliki keuanggulan kompetitif. Kata kunci: manajemen, sumber daya manusia, organisasi Gunawan Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketentraman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 35-44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja merupakan landasan yang kuat bagi keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya penegakan perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat mengalami kendala dan hambatan. Mencermati permasalahan yang muncul terkait dengan eksistensi Satpol PP dalam mengemban tugas-tugas pemerintahan umum dan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, diperlukan profil yang mampu menggambarkan komposisi personal, kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sesuai dengan kondisi realistik di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyusun profil Satpol PP dalam menunaikan tugas-tugas pemerintahan umum terutama di bidang ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat. Metode penelitian deskriptif statistik kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan kelembagaan belum seluruhnya mengacu kepada PP 6 Tahun 2010, ketatalaksanaan belum semua membuat Standard Operating Procedure, sumber daya aparatur belum sesuai, sumber daya lainnya anggaran masih minim. Kata kunci: profil, tugas dan fungsi dan satuan polisi pamong praja
Hasoloan Nadeak Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 45-58 Permasalahan studi ini adalah bagaimana perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan, dan strategi untuk perbaikan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pendekatan terhadap permasalahan tersebut adalah menggunakan pendekatan metode gabungan antara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan teknik analisis SWOT. Berdasarkan pendekatan dimaksud, maka diketahui bahwa dalam pelimpahan dan penugasan urusan Kemendagri melalui Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan belum optimal, dalam menyusun perencanaan dan penganggaran kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan masih ada yang menggunakan mekanisme di luar musrenbangnas melainkan melalui usulan non formal lewat surat-menyurat/proposal, penyerahan (daftar isian penggunaan anggaran) DIPA kepada satuan unit perangkat daerah (SKPD) sering terlambat yang berakibat pada pencairan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan terlambat, penetapan pejabat pelaksana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pada SKPD sering terlambat. Kemudian dengan perhitungan terhadap kondisi pelaksanaan dan pelaporan dengan menggunakan Skala Likert, diperoleh hasil bahwa yang mendapatkan nilai yang kecil yaitu variabel laporan realisasi anggaran dan penatausahaan barang. Kata kunci: evaluasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, analisis SWOT Sorni Paskah Daeli Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, Maret 2012, Hal. 59-68 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasikan faktorfaktor penyebab penyimpangan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalimantan Barat. Metode pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Informan meliputi aparat Pemerintah Daerah dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktorfaktor menyebabkan penyimpangan peran LSM, antara lain: mencari motif keuntungan; ketiadaan sumber dana dan rendahnya profesionalisme; ideologi yang tidak jelas; regulasi yang terlalu longgar. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembalikan peran LSM, antara lain LSM harus melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya dan LSM harus membangun kredibilitas dan identitasnya di mata masyarakat dan pemerintah Kata kunci: perkumpulan, pemerintah daerah. Imam Radianto Anwar Setia Putra Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota pariaman Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 1 Maret 2012, Hal. 69-74 Pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu tujuan penyelenggaraan desentralisasi. Aparatur yang acuh tak acuh dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan waktu pelayanan yang tidak jelas menjadi bagian dari permasalahan pemberian pelayanan. Studi ini melihat kinerja aparatur pemerintah daerah pada unit pelayanan kesehatan di Kota Pariaman. Penelitian ini mengunakan metode deskripif dengan pengukuran kinerja berdasarkan hasil akhir dan perilaku. Tuntutan debirokrasi dan peningkatan keahlian aparatur dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat melalui pemanfaatan teknologi akan mempercepat perubahan penyelenggaraan pelayanan menjadi lebih baik. Kata kunci: Kinerja aparatur, penyelenggaraan pelayanan
Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 1 MARET 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge Bagas Haryotejo Regional Investment Climate Analysis (Case Study: Semarang) Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 1-10 Investment climate of a country or a region reflects the performance of the relevant government policies and regulations in controlling both concept and operational level. In general, currently the investment climate in Indonesia is not in a satisfactory condition. The main objective of this research is to develop indicators of progress conduciveness or the investment climate in Semarang, Central Java. While the specific aim are, survey on various key investment climate indicator in detail, both in terms of regulation and its implementation that can be measured, analyzed and presented in a transparent and easier to do anticipate policy. Research method used, was a survey on the business aspects (micro) with the Region of Central Java as a study area. For the analysis, was considering various aspects of the underlying macro. The result of weighting the investment climate, to see the degree of importance or priority scale obtained, five priority indicators are assessed an impact / pervasive effect on the industry climate, namely: 1) licensing indicator (0.146); 2) the security conditions (0.146); 3) business environment conditions (0.127); 4) public infrastructure services (0.114); and 5) labor laws (0.102). While the indicator is considered to be no effect is access to corporate financing (with weight value 0.059). The result of the assessment of investment climate in Semarang by using 10 weighted indicators shows that Semarang, had valued 3.058 and categorized as quite conducive. Three indicators that provide the largest contribution are security condition (3.441), public infrastructure services (3.030), and financing access (2.923), while the three indicators that have the lowest value is taxation (2.631), business environment conditions (2.742), and road condition (2.864). Policy implication is that the chances of improving the investment climate, the investment climate still very necessary to improve, at least by improving the performance of various indicators mentioned earlier. Keywords: investment climate, regulation, indicators
as efforts to survive and progress in the development of the world is to follow the present world system through the market system is the mechanism of the onset of globalization in the world. Decentralization by laying down the policy on human rights and participation, will allow agents to perform the hegemony of developed countries and penetration into the last defense that countries such as Indonesia is growing, due to a weak bargaining position in the exchange rate mechanism in the context of the economy and capital investment stood at over name of development. Any effort to pursue the welfare coffers to enter the global mechanism is something that too in a hurry due ketidaksimbangan conditions experienced in the area of such a mechanism. Various rules, which in the context of the political government of the country would have established itself as the beneficiary causes backward countries always lack the ability to membargaining its products through a tenacious diplomacy. World organization is a tool for lasting and dominanya a force notwithstanding that there is a small country that can benefit all the time while though. Keywords: decentralization, globalization, policy, internationalization. Kritian Widya Wicaksono Desentralization Problems And Challenges In Indonesia Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 21-28 The impact of the reform movement in 1998 which is quite large on the pattern of government organizations is the implementation of decentralization. Decentralization is a management technique that tries improve institutional performance measures such as efektvitas and efficiency in the form of delegation of authority from central to local government. However, the fact that since decentralization policy implemented in 2001, many unresolved problems. So that the course of decentralization has not reached the expected complete. This paper attempts to describe the journey implementation of decentralization policies in Indonesia and how the problems that occur in it. Keywords: decentralization, performance, public service, local regulation of local government reform and competency
M. Nur Alamsyah Teguh Narutomo The Influence Of World Trade Organization (WTO) In Indonesian Desentralization Policies Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 11-20 Mechanism of the world system as introduced by Wallerstein, lay the hope of prosperity and welfare as well
Changes Management In The Paradigm Of Human Resource Development To Support Competitive Advantage Organization Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 29-34
Competition among business become more intense as the business world quickly changes. To win the competition, every organization, public or private sector should have a competitive advantage. This advantage can be established through various means, such as creating a product with unique design, using of modern technology, and most importantly applying the management of human resources effectively. This article aims to descript the direct relationship between the shift of human resources management pattern and competitive advantage of organization. In the context of human resource management, leadership needs to increase the range of potential human resources in order to be able to empower them in achieving applying their potential to build the organization competitive advantage.
been optimal, in planning and budgeting activities Deconcentration and Assistance Duty still exist that use a mechanism outside Musrenbangnas but through non formal proposal through correspondence / proposal, the submission (budget use of checklists) DIPA to the local units (SKPD) is often delayed, resulting in the withdrawal of funds Deconcentration and Assistance Duty too late, the determination of executive officers on Deconcentration and Assistance Duty SKPD often too late. Then the calculation of the condition of the implementation and reporting by using a Likert Scale, obtained results that are getting little value that the variable budget reports and administration of goods. Keywords: evaluation, deconcentration, assistance duty, SWOT analysis
Keywords: management, human resource, organization Sorni Paskah Daeli Gunawan Contributions In Unity Makes Sense Of Community Protection Security, Order And Pacify Environment: Studies Identify Civil Service Police Unit Profile Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 35-44 Law Number 32 Year 2004 on Regional Government And Government Regulation Number 6 Year 2010 Concerning Civil Service Police Unit is a strong foundation for the existence of Civil Service Police Unit, the duties and carry out functions to law enforcement, public order and public peace and protection of the public have obstacles and barriers. Observing the problems that arise related to the existence of Civil Service Police Unit in carrying out the duties of public administration and local governance in Indonesia, needed profile that can describe the composition of personal, institutional, management, human resources and other resources in accordance with the conditions realistic in the field. This study aims to identify and develop profiles Civil Service Police Unit in fulfilling the tasks of public administration, especially in the field of public order, peace and protection of the public. Statistical descriptive qualitative research methods. This study concluded institutions are not entirely refer to Regulation Number 6 Year 2010, management has not all make the Standard Operating Procedures, resources apparatus not appropriate, other resources budget is still minimal. Keywords: profiles, tasks and functions of the civil service and police force Hasoloan Nadeak Study Deconcentration Fund And Assistance Tasks In The Ministry Of Home Affairs Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 45-58 Problems of this study is how the planning and budgeting, implementation and reporting, and strategies to improve implementation of Deconcentration and Assistance Duty in the Ministry Home Affairs. Approach to these problems is to use a combined method approach of qualitative and quantitative descriptive techniques SWOT analysis. Based on the intended approach, it is known that the transfer and assignment of the affairs of the Ministry of Home Affairs through the Deconcentration and Assistance Duty have not
The Existence Of Non Governmental Organization In West Kalimantan Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.1, March 2012, Page 59-68 This study was conducted to identify the cause factors on the role deviation of Non Governmental Organization (NGO) in West Kalimantan. The method of approach used is descriptive qualitative method. Informants that included are local government officials and public source. The results showed that some of the factors that cause deviations role of NGOs, are: profiteering motives; lack of funds and lack of professionalism, the ideology is unclear; loose regulations. Efforts that should be made to restore the role of NGOs, includes fundamental changes that NGOs must make in order to enhance its capacity and establish NGOs credibility and credentials in the society and government view. Keywords: association, local government. Imam Radianto Anwar Setia Putra Performance Of Local Government Apparatus On Health Care Unit In Pariaman City Jurnal Bina Praja Vol. 4No. 1, March 2012, Page 69-74 Public services is one of the goal of decentralization. Apparatus which is indifferent in providing services to the community and the service time that is not obviously a part of the problem of service delivery. The study looked at the performance of local government officials in health care units in the Pariaman city. This study uses a method description with performance measurement based on outcomes and behavior. de bureaucracy demands and increasing expertise in the provision of personnel services to the community through the use of technology will accelerate the implementation of service changes for the better. Keywords: Performance of apparatus, service implementation
ANALISIS IKLIM INVESTASI DAERAH (STUDI KASUS: KOTA SEMARANG) REGIONAL INVESTMENT CLIMATE ANALYSIS (CASE STUDY: SEMARANG) Bagas Haryotejo Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Nomor Telp./Faks: +62 812 9963004; e-mail:
[email protected] Diterima: 9 Januari 2012, Direvisi: 16 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Iklim investasi suatu negara atau suatu daerah mencerminkan kinerja kebijakan pemerintah dan peraturan dalam mengendalikan baik konsep dan tingkat operasional. Secara umum, saat ini iklim investasi di Indonesia tidak dalam kondisi memuaskan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan indikator kemajuan atau kondusifitas iklim investasi di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan tujuan khusus adalah, survei pada indikator iklim investasi berbagai kunci secara rinci, baik dari segi peraturan dan pelaksanaannya yang dapat diukur, dianalisis dan disajikan secara transparan dan lebih mudah untuk melakukan antisipasi kebijakan. Metode penelitian yang digunakan adalah survei mengenai aspek bisnis (mikro) dengan Daerah Jawa Tengah sebagai daerah studi. Untuk analisa, sedang mempertimbangkan berbagai aspek makro yang mendasarinya. Hasil pembobotan iklim investasi, untuk melihat tingkat kepentingan atau skala prioritas diperoleh, lima indikator prioritas dinilai dampak/efek luas pada iklim industri, yaitu: 1) lisensi indikator (0,146); 2) keamanan kondisi (0,146); 3) kondisi lingkungan bisnis (0,127); 4) layanan infrastruktur publik (0.114) dan hukum tenaga kerja; 5) (0,102). Sementara indikator dianggap berpengaruh adalah akses ke pembiayaan korporasi (dengan nilai bobot 0,059). Hasil penilaian iklim investasi di Semarang dengan menggunakan 10 indikator tertimbang menunjukkan bahwa Semarang telah dihargai 3,058 dan dikategorikan sebagai cukup kondusif. Tiga indikator yang memberikan kontribusi terbesar adalah keamanan kondisi (3,441), pelayanan infrastruktur publik (3,030), dan akses pembiayaan (2,923), sedangkan tiga indikator yang memiliki nilai terendah adalah pajak (2,631), kondisi lingkungan bisnis (2,742), dan kondisi jalan (2,864). Implikasi kebijakan adalah bahwa kemungkinan perbaikan iklim investasi, iklim investasi masih sangat diperlukan untuk meningkatkan, setidaknya dengan meningkatkan kinerja berbagai indikator yang disebutkan sebelumnya. Kata kunci: iklim investasi, peraturan, indikator Abstract Investment climate of a country or a region reflects the performance of the relevant government policies and regulations in controlling both concept and operational level. In general, currently the investment climate in Indonesia is not in a satisfactory condition. The main objective of this research is to develop indicators of progress conduciveness or the investment climate in Semarang, Central Java. While the specific aim are, survey on various key investment climate indicator in detail, both in terms of regulation and its implementation that can be measured, analyzed and presented in a transparent and easier to do anticipate policy. Research method used, was a survey on the business aspects (micro) with the Region of Central Java as a study area. For the analysis, was considering various aspects of the underlying macro. The result of weighting the investment climate, to see the degree of importance or priority scale obtained, five priority indicators are assessed an impact / pervasive effect on the industry climate, namely: 1) licensing indicator (0.146); 2) the security conditions (0.146); 3) business environment conditions (0.127); 4) public infrastructure services (0.114); and 5) labor laws (0.102). While the indicator is considered to be no effect is access to corporate financing (with weight value 0.059). The result of the assessment of investment climate in Semarang by using 10 weighted indicators shows that Semarang, had valued 3.058 and categorized as quite conducive. Three indicators that provide the largest contribution are security condition (3.441), public infrastructure services (3.030), and financing access (2.923), while the three indicators that have the lowest value is taxation (2.631), business environment conditions (2.742), and road condition (2.864). Policy implication is that the chances of improving the investment climate, the investment climate still very necessary to improve, at least by improving the performance of various indicators mentioned earlier. Keywords: investment climate, regulation, indicators
PENDAHULUAN Berbicara tentang iklim investasi tidak terlepas dari daya saing yang dihasilkan dari suatu aktivitas ekonomi. Naik turunnya iklim investasi suatu negara
atau suatu daerah dalam keterbandingan dengan negara atau daerah lain mencerminkan kinerja pemerintahan yang bersangkutan dalam mengendalikan kebijakan dan peraturan, baik dalam tataran konsep maupun pada tataran operasional. Untuk Indonesia, telah banyak
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) – Bagas Haryotejo | 1
pihak-pihak yang melakukan pengukuran daya saing dan Iklim Investasi atau iklim investasi, dengan berbagai kriteria dan indikator yang disusun. Laporan tahunan yang disajikan menunjukkan bahwa daya saing Iklim Investasi di Indonesia senantiasa mengalami penurunan (jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya). Kajian yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) tahun 2009 dengan mengukur daya saing Indonesia dengan 5 (lima) indikator yang signifikan, tiga faktor pada tataran makro dan dua indikator pada tataran mikro. Indikator tataran makro meliputi: 1) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; 2) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat layanan; dan 3) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sedangkan tataran indikator mikro, meliputi: 1) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasional perusahaan; dan 2) lemahnya iklim persaingan usaha. Survey World Bank tahun 2008, dengan menggunakan beberapa indikator antara lain: memulai kegiatan usaha, regulasi ketenagakerjaan, pajak dan kepatuhan serta penyelesaian kepailitan menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Kajian lainnya dilakukan oleh The International Institute for Management Development (IMD). IMD menyatakan bahwa rendahnya daya saing industri di Indonesia disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian Indonesia, yang ditandai oleh empat hal pokok, yaitu: 1) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerja di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga; 2) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintah dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, buruknya berbagai peraturan dan perundangan untuk Iklim Investasi kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih; 3) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari produktivitas yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional; dan 4) keterbatasan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan, bahwa a) pengeluaran untuk pungutan dan biaya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8,7%-11,2%; b) cost of money yang relatif tinggi, tercermin dari suku bunga yang saat ini sangat tinggi; c) administrasi perpajakan yang belum optimal; d) kandungan impor untuk produk ekspor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate) dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28% pada tahun 2006 menjadi 30% pada tahun 2009; e) lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif rendah, meskipun dalam komposisi ekspor mulai terjadi peningkatan produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi; f) kualitas SDM relatif rendah; g) iklim
persaingan yang kurang sehat, di mana banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi ”mendekati” monopoli; yang ditunjukkan oleh tingginya Indeks Konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2); h) struktur industri masih lemah; i) peranan industri kecil dan menengah (termasuk industri rumah tangga) masih minim; dan j) sebaran industri yang terpusat di Pulau Jawa. Secara umum, pengembangan iklim investasi perlu difokuskan pada upaya untuk mengurangi berbagai kendala yang menghambat kinerja perdagangan dan investasi. Sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan tersebut, pemerintah Indonesia perlu mempunyai indikator yang dapat digunakan secara berkala untuk memantau iklim investasi baik dalam kerangka perekonomian nasional maupun perekonomian daerah. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode survey pada aspek bisnis (mikro) dengan daerah Semarang, Jawa Tengah sebagai kawasan studi. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek makro yang mendasarinya. Tujuan analisis ini adalah menyusun indikator kondusifitas atau kemajuan iklim investasi di Kota Semarang, Jawa Tengah sebagai salah satu pusat industri dan perdagangan negara Indonesia. Sedangkan tujuan khusus, yaitu melakukan survey atas berbagai indikator iklim investasi utama secara terinci, baik dari segi peraturan maupun implementasinya yang dapat diukur, dianalisis dan dipresentasikan secara transparan sehingga lebih mudah untuk melakukan antisipasi kebijakannya. Survey lapangan dibatasi terhadap kegiatan sektor industri dan jasa, khususnya sektor perekonomian yang secara nasional dan regional mempunyai sumbangan yang berarti terhadap perekonomian, mempunyai daya serap tenaga kerja yang besar, mempunyai potensi ekspor, dan saat ini cenderung mengalami kelesuan usaha. Sedangkan komoditi ditetapkan dari lima kelompok industri manufaktur dan satu sektor jasa. Kelima kelompok komoditi tersebut adalah 1) alas kaki dan sepatu; 2) tekstil dan produk tekstil; 3) makanan dan minuman; 4) elektronik; dan 5) bahan dan barang kimia. Pemilihan kelima kelompok komoditi tersebut didasarkan pada beberapa hal, antara lain penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, nilai ekspor yang cukup tinggi, nilai tambah yang tinggi, dan beberapa merupakan bagian dari program pengembangan 10 komoditas andalan prioritas pemerintah. Sedangkan pada sektor jasa, diwakili oleh perhotelan. HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim Investasi, Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang Iklim investasi didefinisikan sebagai kebijakan, institusional, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi (Stern, 2002). Terdapat tiga faktor utama yang menyusun iklim investasi, yaitu: 1) Fundamental
2 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 1 - 10
Makro–dalam hal ini adalah stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, sosial, dan stabilitas politik; 2) Pemerintahan dan Kelembagaan– transparansi dan efisiensi dari kebijakan; perpajakan; legal sistem; kekuatan sektor finansial; serta kondisi ketenagakerjaan; dan 3) Infrastruktur–transportasi (jalan dan pelabuhan), telekomunikasi, listrik dan air. Dalam konteks ini, kiranya Kota Semarang perlu menyadari bahwa sebagai sebuah kota metropolitan ternyata masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia, terutama dilihat dari sisi profesionalitas pengelolaan aset-aset daerah yang dimilikinya. Kenyataan ini terlihat pada penanganan dan pengelolaan aset-aset tersebut yang cenderung masih menunjukkan kelemahan terutama pada aspek manajemennya. Hal ini setidaknya membawa pengaruh akan rendahnya kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang selanjutnya akan membawa dampak negatif pada bidang perekonomian daerah. Rendahnya kontribusi terhadap PAD tersebut mencerminkan bahwa Pemerintah Kota Semarang perlu segera berbenah diri dan melakukan manajemen dalam pengelolaan aset-aset daerah tersebut. Karena pengelolaan aset-aset daerah saat ini dinilai kurang efektif dan cenderung menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berkaitan dengan keinginan tersebut Pemerintahan Kota Semarang bermaksud mengajukan bentuk kerjasama kepada investor/swasta dengan beberapa opsi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 2001, yaitu: 1. Sewa Menyewa, yakni penyerahan hak penggunaan/pemakaian barang daerah kepada Pihak Ketiga dalam hubungannya sewa-menyewa dengan ketentuan Pihak Ketiga tersebut harus memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan untuk masa jangka waktu tertentu, baik sekaligus maupun berkala. 2. Pengguna-usahaan, yakni pendaya-gunaan Barang Daerah oleh Pihak Ketiga dalam bentuk Kerjasama Operasi (KSO), yakni perikatan antara pemerintah daerah dengan Pihak Ketiga, pemerintah daerah menyediakan barang daerah dan Pihak Ketiga menanamkan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha, selanjutnya kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan besarnya sharing masingmasing. Selain itu guna mempermudah investasi, Pemerintah Kota Semarang juga lebih mendukung iklim investasi dengan mempermudah perijinan–perijinan yang ada. Hal tersebut terlihat dari cenderung makin banyaknya perijinan yang dikeluarkan terhadap perijinan bangunan maupun perijinan HO dari tahun 2001-2009. Dari kedua perijinan tersebut perijinan bangunan terjadi penurunan pengeluaran ijin pada tahun 2003, sedangkan perijinan HO terjadi penurunan jumlah ijin pada tahun 2004, namun penurunan tersebut tidak terlalu besar. Pertumbuhan ekonomi daerah yang didasarkan pada pertumbuhan produktivitas, yaitu total produktivitas yang seimbang antara pertumbuhan investasi modal dan
pertumbuhan sumber daya manusia (human capital/knowledge) akan menghindar-kan pertumbuhan ekonomi yang semu. Pertumbuhan ekonomi secara efisien (produktif) menjadi modal dasar bagi persaingan regional dan global. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pertumbuhan usaha pada tingkat daerah merupakan sumber penciptaan lapangan kerja dan sekaligus sumber kesejahteraan. Saat ini pemerintahan telah mencanangkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi (terutama dari sumber modal asing) untuk menciptakan lapangan kerja, pendapatan bagi masyarakat serta menciptakan dampak berantai (multiplier effect) tumbuhnya iklim investasi. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai kondusifitas iklim investasi di suatu daerah adalah biaya transaksi yang mencakup: 1) biaya untuk memulai/ mengembangkan sebuah sistem; 2) biaya yang terukur dalam nilai yang dipertukarkan; 3) biaya perlindungan hukum; 4) biaya penyelenggaraan perjanjian. Kajian KPPOD (2003) terhadap daya tarik investasi daerah menggunakan beberapa variabel–konsep yang mempunyai variasi nilai/intensitas/jumlah yang menggambarkan atribut dari variabel tersebut. Variabel yang mempengaruhi daya tarik investasi suatu daerah adalah 1) kelembagaan; 2) sosial politik; 3) ekonomi daerah; 4) tenaga kerja dan produktifitas; dan 5) infrastruktur fisik. Masing-masing daerah memiliki kekhasan atas potensi, baik dari aspek kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja, dan produktivitas maupun ketersediaan infrastruktur. Kemampuan suatu daerah dalam meningkatkan perekonomiannya tidak terlepas dari upaya yang dilakukan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif. Penetapan Indikator Iklim Investasi Struktur hierarki iklim investasi industri dibuat dalam tiga level, yang masing-masingnya memberikan pengaruh terhadap level lainnya secara bertingkat dari bawah ke atas. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan pengembangan dari Indikator yang digunakan IFC, World Bank dalam mengukur competitiveness 152 negara di dunia. Dimana dalam penelitian ini Indikator merupakan hierarki level 1, yang terdiri atas sepuluh indikator (yang ditetapkan) dan memberikan pengaruh terhadap level di atasnya (tujuan: iklim investasi industri). Sub indikator merupakan hierarki level 2, yang masing-masing merupakan faktor pengaruh bagi indikator-indikator di level atasnya. Parameter ukur, merupakan hierarki level 3, yang memberikan ukuran-ukuran pada sub indikator (level di atasnya). Kemudian dilakukan pembobotan atas indikator-indikator. Gambar 1 menunjukkan bahwa indikatorindikator utama yang mempengaruhi iklim investasi industri adalah indikator perizinan (14,60%), yang dipengaruhi pula oleh kondisi keamanan (14,60%), kondisi lingkungan bisnis (12,70%), jasa infrastruktur publik (11,40%) dan peraturan ketenagakerjaan (10,20%). Jika dicermati bahwa distribusi prioritas atas indikator-indikator iklim investasi tidak menunjukkan penilaian yang berbeda nyata.
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) – Bagas Haryotejo | 3
PERIZINAN
0.146
KONDISI KEAMANAN
0.146
KONDISI LINGKUNGAN BISNIS
0.127
Indikator
JASA INFRASTRUKTUR PUBLIK
0.114
PERATURAN KETENAGAKERJAAN
0.102
TANAH / LAHAN
0.099
PERPAJAKAN
0.089
JALAN RAYA
0.081
KEPABEANAN & PELABUHAN
0.077
AKSES PEMBIAYAAN PERUSAHAAN -
0.059 0.020
0. 040
0.060
0.080
0. 100
0.120
0. 140
0.160
Bobot Indikator
Gambar 1. Hasil Pembobotan Indikator Iklim Investasi Industri.
Indikator yang paling tidak menjadi prioritas adalah akses pembiayaan perusahaan (5,59%) karena pada kenyataannya perusahaan-perusahaan yang menjadi sampel sebagian besar adalah PMA dan PMDN. Selain itu, kenyataan bahwa untuk mendapatkan akses pembiayaan dari perbankan yang cukup sulit memberikan dampak tersendiri bagi pelaku usaha yang semakin tidak berharap banyak atas bantuan pembiayaan dari perbankan. Ditambah dengan suku bunga kredit yang cukup tinggi, semakin memberikan implikasi bahwa akses pembiayaan perbankan semakin tidak menarik dan tidak menjadi prioritas. 1.
Indikator Perizinan Berdasarkan fakta lapangan, perizinan yang ada di Kota Semarang adalah sebagai berikut: 1) Pengesahaan Akte Pendirian Peruasahaan, 2) NPWP dan PKP, 3) Surat Persetujuan Penanaman Modal Baru, 4) Angka pengenal Importir Terbatas (APIT), 5) Izin Tenaga Kerja Asing, 6) SP Fasilitas Pabean Barang Modal, 7) SP Fasilitas Pabean Barang Baku/Penolong, 8) Rekomendasi AMDAL, 9) Persetujuan UKL/UPL, 10) Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkugan Hidup (SPPL ), 11) Izin Prinsip Usaha Pariwisata ( IPUP), 12) Izin Usaha Pariwisata (ITUP), 13) Izin Usaha Tetap (IUT), 14) Izin Pemanfaatan Tanah (IPT)/Izin Lokasi, 15) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), 16) Surat Izin Pasar Modern, 17) Izin Undang–Undang Gangguan, 18) Surat Izin Tempat Usaha (SITU), 19) Tanda Daftar Perusahaan, 20) Izin tempat Menyimpan Bahan Bakar, 21) Izin Usaha Industri (IUI), 22) Tanda Daftar Gudang (TDG), 23) Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), 24) Surat Izin Usaha Perdagagan Langsung, 25) Angka Pengenal Importir Produsen (APIP), 26) Angka Pengenal Importir Terdaftar (APIT), 27) Angka Pengenal Importir Umum (APIU), 28) Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK), 29) Eksportir Terdaftar Tekstil Dan Peroduk Tekstil (ETTPT), 30) Surat Keterangan Ekspor TPT, 31) Izin Import Mesin dan Peralatan Mesin Bukan Baru, 32) Tanda Daftar Organisasi Usaha Niaga/Asosiasi, 33) Surat Keterangan Asal (SKA), 34) Izin Dispensasi Pengguna Jalan, 35) Izin Dispensasi Bongkar Muat Barang, 36) Izin Operasi Angkutan
Karyawan, 37) Izin Pengelolaan Limbah Padat, 38) Izin Penyimpangan Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, 39) Izin Kerja Malam Wanita, 40) Pengesahaan Peraturan Perusahaan, 41) Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama, 42) Surat Izin Pengeboran Air (SIPA), dan 43) Izin Penyelenggara Reklame. Perizinan yang diatur oleh Perda adalah 1) Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), 2) Surat Ijin Sewa Beli, 3) Ijin Usaha dan Rekomendasi Pasar Modern, 4) Ijin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri, 5) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), 6) Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah, 7) Ijin Parkir, dan 8) Tanda Daftar Organisasi Niaga/ Asosiasi DPD Kota. Dari segala perizinan yang ada di Kota Semarang dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan baik dalam hal waktu maupun biaya. Penyimpangan waktu rata-rata adalah 82,5%, yang diperlihatkan pada Gambar 2. Penyimpangan biaya terjadi pada beberapa jenis perizinan yang disurvey, antara lain: pengesahan akte pendirian perusahaan yang seharusnya berbiaya Rp. 200.000,00, pada kenyataannya harus dibayar hingga Rp. 300.000,00; Tanda Daftar Perusahaan (TDP), yang seharusnya Rp. 100.000,00 dibayarkan antara Rp. 125.000,00–Rp. 750.000,00; dan beberapa jenis perizinan yang sebenarnya tidak berbiaya, misalnya IUI, NPWP dan PKP, dibayarkan masing-masing hingga Rp 150.000,00 dan Rp. 500.000,00. Berdasarkan persepsi pelaku usaha untuk parameter ukur atas indikator perizinan merefleksikan bahwa kondisi yang masuk ke dalam kategori buruk adalah kelayakan biaya dan waktu standar, yang dinilai masih kurang layak pelaku usaha. Beberapa parameter lain yang berada pada kategori sedang, tetapi cenderung buruk adalah kesesuaian biaya dengan standar, kemudahan persyaratan, dan tingkat kemudahan perizinan. Dilihat dari sub indikatornya, semuanya masuk ke dalam kategori sedang/cukup. Beberapa yang cenderung buruk adalah biaya perizinan, jangka waktu dan kejelasan prosedur perizinan. Hasil penilaian indikator perizinan di Kota Semarang adalah 2,876 dan termasuk pada kategori sedang (selang interval 2,600–3,400), dengan kecenderungan mendekati buruk. Beberapa kondisi yang cenderung buruk dan perlu perhatian dalam pembenahannya adalah kelayakan
4 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 1 - 10
Izin Usaha Industri (IUI) Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
Jenis Perizinan
Izin Undang-undang Gangguan (HO) Izin Usaha Tetap (IUT)
Izin Usaha Industri (IUI) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) NPWP dan PKP Pengesahan Akte Pendirian Perusahaan
Fakta (Maks) Waktu Standar 0
10
20
30
40
50
60
70
Lama Waktu (Hari)
Gambar 2. Penyimpangan Waktu Terhadap Waktu Standar Perizinan.
waktu dan biaya, kejelasan prosedur dan kemudahan persyaratan perizinan. 2.
Indikator Perpajakan Beberapa pajak daerah yang dibayarkan oleh pelaku usaha diantaranya adalah pajak pengambilan air bawah tanah dan air permukaan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak hotel dan lain – lain. Pajak tersebut merupakan pajak lain disamping pajak yang biasanya berlaku untuk usaha seperti pajak penghasilan (pasal 21), pajak penghasilan (pasal 25) dan pajak pertambahan nilai. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang, didominasi dari pajak daerah sekitar 57,61% dan retribusi daerah sebesar 29,07%. Dalam pengurusan pajak beberapa pelaku usaha masih menggunakan jasa dari konsultan pajak; dengan waktu yang diperlukan untuk pengisian form pajak tahunan bervariasi antara 2-5 jam hingga 30 hari, tergantung dari skala usaha dan kompleksitas transaksi. Dalam pelaporan pajak tahunan tersebut pelaku usaha memerlukan biaya antara Rp. 8– Rp. 8,5 juta bahkan untuk bidang perhotelan mencapai Rp. 12 juta ditambah dengan 10% pajak hotel sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai pengajuan restitusi PPN dinilai cukup mudah dalam pengajuannya, yang juga dipengaruhi oleh pemahaman dan kemudahan prosedur yang berlaku. Waktu yang diperlukan untuk pengurusan restitusi PPN berkisar antara 2–4 bulan, dengan biaya yang dikeluarkan antara 2–10 % dari nilai restitusi PPN itu sendiri. Penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator perpajakan di Kota Semarang menunjukan bahwa, parameter ukur yang masuk ke dalam kategori buruk adalah jenis dan biaya pajak/retribusi daerah, serta kesesuaian biaya dengan standar yang berlaku. Sedangkan parameter ukur lainnya, seperti pemahaman dan kemudahan prosedur, kelayakan waktu dan kelayakan biaya berada pada kategori sedang/cukup (meskipun menunjukkan
kecenderungan buruk). Parameter kesesuaian waktu dengan standar dinilai cukup baik, dan memiliki kecenderungan baik. Sebagaimana parameter ukur, sub indikator juga memperlihatkan kondisi yang relatif sama, antara lain jenis dan tarif pajak/retribusi daerah dan biaya pelayanan perpajakan masih berada pada kategori buruk. Sedangkan jangka waktu perpajakan masuk ke dalam kategori cukup baik. Hasil penilaian indikator perpajakan di Kota Semarang adalah 2,631 dan termasuk pada kategori sedang (selang interval 2,600–3,400), dengan kecenderungan buruk. Secara umum, kondisi perpajakan di Kota Semarang belum cukup mendukung, terutama pada pajak dan retribusi daerah yang dinilai masih terlalu banyak, sehingga perlu upaya kaji ulang terhadap jenis dan besaran pajak yang ditetapkan. Selain itu, biaya pengurusan pajak juga perlu dibenahi terkait dengan upaya pengurangan pungli di indikator ini. 3.
Indikator Peraturan Ketenagakerjaan Untuk tahun 2009, TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) di Kota Semarang sebesar 63,45% sedangkan tingkat kesempatan bekerja, yaitu perbandingan antara penduduk yang bekerja dengan penduduk usia kerja pada tahun 2009 adalah sebesar 40,81%. Dari sejumlah 16.484 orang pencari kerja yang mendaftar di Kota Semarang pada tahun 2009, sebagian besar jenjang pendidikannya adalah SLTA (39,39%), yang diikuti oleh Sarjana (36,70%), Sarjana Muda (14,15%), SLTP (6,09%) dan SD (3,68%). Terlihat adanya keseimbangan antara jumlah pencari kerja dengan jenjang SLTA dengan Sarjana, yang menunjukkan ketersediaan tenaga kerja teknis dan profesional untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Kota Semarang. Upah buruh terendah yang dibayarkan di Kota Semarang berkisar antara Rp. 500.000,00–Rp. 600.000,00, sedangkan Upah Minimum Kota (UMK)
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) – Bagas Haryotejo | 5
yang berlaku di Kota Semarang saat ini adalah sebesar Rp. 586.000,00. Berdasarkan hal tersebut maka untuk UMK yang ditetapkan tersebut sebagian sudah dipenuhi oleh pelaku usaha, namun beberapa lainnya masih membayarkan upah di bawah UMK yang berlaku. UMK tersebut dinilai oleh pelaku usaha relatif cukup. Namun dari tenaga kerja sendiri, jumlah tersebut masih kurang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, sehingga perlu ada upaya untuk menaikkan UMK tersebut sesuai dengan standar hidup layak. Pengaruh dari tidak sesuainya UMK yang diberlakukan pelaku usaha menyebabkan perselisihan yang terjadi antar perusahaan dengan buruh. Kebanyakan perselisihan yang terjadi antara perusahaan dan tenaga kerja terjadi akibat tuntutan kenaikan upah dan perselisihan dengan organisasi buruh. Namun perselisihan tersebut sebagian besar tidak mengakibatkan PHK bagi karyawan, karena dari perolehan penelusuran lapangan rata–rata kasus PHK pada 3 bulan terakhir tidak ada. Kalaupun ada kasus PHK, lebih disebabkan oleh tindakan indisipliner oleh tenaga kerja itu sendiri. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator peraturan ketenagakerjaan di Kota Semarang menunjukkan kondisi yang masuk ke dalam kategori sedang/cukup. Dua parameter ukur yang memiliki kecenderungan buruk adalah besaran penetapan UMK dan pemahaman terhadap peraturan. Demikian pula hasil penilaian pada level sub indikator yang memberikan hasil penilaian pada kategori sedang, tetapi untuk UMK/UMP cenderung mendekati buruk. Hasil penilaian sub indikator ketenagakerjaan di Kota Semarang adalah 2,882 dan termasuk pada kategori sedang (selang interval 2,600–3,400) dengan kecenderungan mendekati baik. Kondisi yang perlu mendapatkan pembenahan adalah UMK/UMP dan juga pemahaman terhadap peraturan ketenagakerjaan. 4.
Indikator Jalan Raya Panjang jalan di seluruh kota Semarang mencapai 2.762.621 Km, dimana bila dilihat dari jenis permukaannya 52,12 % sudah diaspal, sedangkan dari kondisinya 44,87 % dalam keadaan baik; 32,48 % dalam keadaan sedang dan sisanya dalam keadaan rusak. Intensitas kendaraan yang banyak melintasi jalan-jalan di Kota Semarang menyebabkan tingkat kemacetan di jalan cukup tinggi. Salah satu titik yang menjadi titik kemacetan yaitu Jl. Simongan dan Kaligawe. Dampak kemacetan yang terjadi adalah besarnya biaya transportasi tambahan yang harus dikeluarkan, terlebih adanya pungli oleh petugas di jalan raya dan jembatanjembatan timbang. Selain itu, kemacetan ini dapat memberikan dampak kerusakan produk dan komplain pelanggan. Dalam distribusi produk maupun untuk kegiatan usaha lainnya sebagian besar menyatakan belum memiliki kendaraan angkut sendiri, sehingga sangat tergantung pada kendaraan umum maupun sewaan. Untuk kendaraan sewaan memerlukan biaya sebesar Rp 100.000,00 atau diperhitungkan berdasarkan berat barang, misalnya Rp 1.500,00/kg. Beberapa perusahaan memiliki kendaraan angkut sendiri, antara 23 buah. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator jalan raya di Kota Semarang menunjukkan bahwa parameter ukur yang masuk ke dalam kategori buruk adalah kelayakan biaya dengan standar. Beberapa
parameter lainnya, misalnya kepadatan jalan dan kesesuaian biaya dengan standar, meskipun masuk ke dalam kategori sedang, tetapi kecenderungan yang diperlihatkan mengarah pada kategori buruk. Penilaian atas sub indikator menunjukkan bahwa biaya pemanfaatan jalan masuk ke dalam kategori buruk. Sedangkan kelancaran arus lalu lintas, meskipun masuk ke dalam kategori sedang, tetapi kenyataannya cenderung buruk, yang disebabkan tingkat kepadatan jalan tinggi. Hasil penilaian untuk indikator jalan raya di Kota Semarang adalah 2,864 dan termasuk dalam kategori sedang (selang interval 2,600-3,400). Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah upaya pengurangan intensitas pungli dalam hal biaya pemanfaatan jalan, serta melakukan upaya penertiban untuk mengurangi intensitas kemacetan di jalan raya. 5.
Indikator Kepabeanan dan Kepelabuhan Pelabuhan laut Tanjung Mas di Kota Semarang merupakan gerbang dalam aktivitas distribusi bahan baku dan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Tahun 2009 tercatat kunjungan kapal sebanyak 3.508 kapal, dengan jumlah barang yang diturunkan tercatat 3.844.828 ton, dan barang yang dimuat tercatat 2.164.403 ton. Untuk pelayaran luar negeri, kunjungan kapal pada tahun 2009 tercatat 799 kali, dengan volum bongkar barang sebesar 1.647.730 ton; dan volum muat barang sekitar 1.835.886 ton. Selain pelabuhan laut, pelabuhan udara Ahmad Yani yang ada di Kota Semarang juga cukup mendukung aktivitas bisnis bagi pelaku usaha. Volum bongkar barang di pelabuhan udara ini pada tahun 2009 tercatat 3.677.810 kg; dan volum muat sekitar 3.426.103 kg. Penelusuran lapangan menunjukkan bahwa lama waktu yang diperlukan untuk pengiriman maupun penerimaan barang sekitar 2-3 hari. Biaya yang dikeluarkanpun bervariasi tergantung dari besar maupun banyaknya barang yang akan dikirimkan, antara Rp. 100.000,00-Rp. 1.000.000,00. Pemeriksaan barang dipelabuhan udara maupun laut yang berupa scanning maupun sampling memerlukan waktu 1-3 hari dengan biaya sebesar Rp. 500.000,- per kontainer. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator kepabeanan dan kepelabuhan di Kota Semarang menunjukkan bahwa semua masuk ke dalam kategori sedang. Beberapa di antaranya menunjukkan kecenderungan buruk, misalnya kualitas pelabuhan, tingkat kemudahan prosedur, dan dukungan armada angkutan. Sedangkan lainnya cenderung mendekati kategori baik. Penilaian atas sub indikator juga memberikan kondisi yang relatif sama, dimana semuanya berada pada kategori cukup baik/sedang dengan kecenderungan buruk pada ketersediaan kepabenan dan kepelabuhan, serta kejelasan prosedur. Hasil penilaian untuk indikator kepabeanan dan kepelabuhan di Kota Semarang adalah 2,906 dan termasuk kategori sedang (selang interval 2,600-3,400), dengan kecenderungan baik. Namun hal yang perlu mendapatkan perhatian untuk dibenahi adalah kualitas pelabuhan, dukungan armada angkutan dan tingkat kemudahan prosedur.
6 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 1 - 10
Indikator Jasa Infrastruktur Publik Ketersediaan jasa infrastruktur publik di Kota Semarang yang meliputi listrik, telepon, air, dan gas menjadi prioritas utama dalam mendukung kelancaran aktivitas bisnis. Kebutuhan listrik misalnya, akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah perusahaan dan pabrik di Kota Semarang; demikian pula dengan kebutuhan telepon, air dan gas. Peningkatan kebutuhan listrik harusnya diimbangi dengan pelayanan yang baik. Tetapi pada kenyataannya gangguan listrik yang terjadi cukup besar. Selama tahun 2006, sebanyak 15.572 laporan gangguan untuk berbagai jenis gangguan. Bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2009, dimana tercatat 12.303 laporan gangguan, maka mengalami kenaikan sekitar 26.57%. Kebutuhan air bersih, yang diperlukan sekitar 1,4 juta jiwa penduduk di Kota Semarang baru terlayani sekitar 40 %. Sedang, sisanya (60%) untuk memenuhi kebutuhan air bersih mengambil dari air bawah tanah. Padahal pengambilan air bawah tanah secara besarbesaran, khususnya untuk keperluan industri dapat berpotensi menyebabkan penurunan tanah (land subsidence). Antisipasi hal tersebut, pemerintah daerah merencanakan membangun Bendungan (Dam) Jatibarang, di Kali Kreo. Ketinggian bendungan ini diperkirakan akan mencapai 77 meter dan panjang puncak 200 meter; dengan tubuh bendungan bertipe Rockfill Dam. Kapasitas genangan diperkirakan total 20,4 juta m3, kapasitas pengendali banjir 3,1 juta m3, kapasitas air baku 10,5 juta m3, dan kapasitas endapan 6,8 m3. Diharapkan bendungan itu nantinya bisa memasok air bersih dengan kapasitas 2.000 lt/detik. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih, fungsi lain dari bendungan ini adalah sebagai pengendali banjir yang sering terjadi di daerah–daerah Perumahan Dosen Undip Dewi Sartika, Sampangan Madukoro, Panjangan Semarang Indah, Bojongsalaman Kokrosono, dan sudewa Tanah Mas. Sementara itu potensi Dearah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kota Semarang meliputi Kali Kreo sampai ke Waduk (53 Km2), seluruh Kali Kreo (70 km2), Kali Kripik (34 km2), dan Kali Garang (100 km2) sehingga luas DAS termasuk Banjirkanal Barat adalah 204 Km2. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator jasa insfrastruktur publik di Kota Semarang menunjukan kondisi yang berada pada kategori sedang. Dua parameter yang sebenarnya cenderung berada pada kategori buruk adalah kelayakan biaya standar pelayanan dan kelayakan jasa infrastruktur publik. Sedangkan parameter ukur lainnya cenderung baik. Penilaian sub indikator menunjukan bahwa semua berada pada kategori sedang, dan memiliki kecenderungan ke arah kategori baik. Hasil penilaian untuk indikator insfrastruktur publik di Kota Semarang adalah 3,030 dan termasuk kategori sedang (selang interval 2,600 – 3,400), denga kecenderungan baik. Dua hal yang perlu diperhatikan adalah kelayakan standar dan biaya layanan pada jasa infrastruktur publik.
penting bagi pelaku usaha untuk mendapatkan lokasi strategis dan tentunya bebas dari segala bentuk konflik dengan masyarakat. Kebutuhan lahan/ tanah merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar bagi pelaku industri, baik dalam bentuk hak milik, HGB, hak pakai dan lain sebagainya. Penelusuran yang dilakukan diperoleh informasi bahwa harga tanah per m2 berkisar antara Rp. 150.000,00-Rp. 500.000,00 untuk industri dan untuk perhotelan sekitar Rp. 3.000.000,00–Rp. 5.000.000,00 per m2. Harga NJOP sendiri untuk lokasi-lokasi tertentu berkisar antara Rp. 200.000,00 - Rp. 5.000.000,00 per m2. Meskipun pada beberapa lokasi harga tanah relatif mahal, tetapi dalam hal perolehannya relatif mudah. Apalagi didukung oleh kejelasan dari peraturan yang mendukung tentang perolehan lahan untuk kegiatan industri dan perdagangan. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator tanah/lahan di Kota Semarang terlihat bahwa kondisi yang masih belum cukup baik (buruk) atas parameter ukur tanah/lahan adalah tingkat kelayakan harga tanah yang dinilai masih cukup tinggi. Parameter ukur lainnya menunjukkan kondisi sedang, kecuali pada tuntutan masyarakat/komplain yang cenderung tinggi. Penilaian atas sub indikator memberikan gambaran bahwa kedua-duanya memperlihatkan kondisi yang berada pada kategori sedang. Namun untuk pengadaan tanah/lahan cenderung mendekati kategori buruk. Hasil penilaian untuk indikator tanah/lahan di Kota Semarang adalah 2,833 dan masuk kategori sedang (selang interval 2,6003,400). Hal yang perlu diperbaiki adalah kelayakan harga tanah/lahan yang harus dikendalikan untuk mengurangi lonjakan harga yang terlalu tinggi.
7.
9.
6.
Indikator Perolehan Tanah/Lahan untuk Investasi Luas wilayah Kota Semarang tercatat 373.70 Km2 yang terdiri atas 10,59% tanah sawah 89,41% bukan lahan sawah. Ketersediaan tanah/lahan ini sangat
8.
Indikator Kondisi Keamanan Kondisi keamanan di Kota Semarang relatif aman, yang diperlihatkan oleh jumlah kasus/kejadian yang hanya tercatat 597 kasus pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 652 kasus atau terjadi kenaikan sekitar 9,12% pada tahun 2009. Demikian pula pengakuan pelaku usaha bahwa dalam tiga bulan terkahir hanya tercatat 2 kali kejadian/konflik. Meskipun cenderung terganggu, tetapi tetap dirasakan aman oleh pelaku usaha. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator kondisi keamanan di Kota Semarang menunjukkan bahwa jenis dan besaran biaya keamanan di Kota Semarang masuk ke dalam kategori cukup baik sedangkan intensitas sengketa dinilai rendah dan respon aparat keamanan yang cepat sehingga kedua parameter ukur ini masuk ke dalam kategori baik. Kondisi yang sama ditunjukkan oleh sub indikator, dimana biaya keamanan masuk ke dalam kategori cukup baik dan sengketa atau konflik masuk dalam kategori baik. Hasil penilaian untuk indikator kondisi keamanan di Kota Semarang adalah 3,441 dan masuk kategori baik (selang interval 3,400-4,199). Kodisi tersebut tersebut sangat mendukung iklim investasi di Kota Semarang. Indikator Akses Pembiayaan Perusahaan Di Kota Semarang tercatat 6 bank pemerintah dan 20 bank swasta, yang dapat mendukung dan memfasilitasi pembiayaan perusahaan. Namun kecenderungan menunjukkan terjadinya penurunan
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) – Bagas Haryotejo | 7
dalam penyaluran dana. Pada tahun 2009 tercatat kredit perbankan (rupiah dan valas) yang disalurkan sebesar Rp. 437,71 miliar rupiah dan kredit usaha kecil (rupiah dan valas) mencapai Rp. 928,91 miliar rupiah. Rata-rata pertumbuhan kredit perbankan tersebut, sepanjang periode 2005-2009 sebesar 4,68%. Pertumbuhan tersebut relatif lebih rendah dibandingkan pada kredit usaha kecil yang mencapai 6,45%. Hasil penilaian parameter ukur dan sub indikator atas indikator akses pembiayaan perusahaan menunjukan semua parameter ukur pada indikator akses pembiayaan perusahaan masuk ke dalam kategori sedang/cukup. Namun pada parameter untuk persyaratan kredit dan penilaian agunan cenderung mendekati kategori buruk. Kondisi yang sama diperlihatkan oleh sub indikator, dimana kedua-duanya masuk ke dalam kategori sedang, dengan kecenderungan pada proses kredit mendekati kategori buruk. Hasil penilaian untuk indikator kondisi akses pembiayaan perusahaan di Kota Semarang adalah 2,923 dan masuk kategori sedang (selang interval 2,600-3,400). Prioritas yang dapat dilakukan untuk akses pembiayaan perusahaan adalah upaya untuk mempermudah persyaratan kredit dan memberikan penilaian atas agunan secara layak.
baku, akses pasar, dan pembinaan pemda. Sedangkan komitmen pemda, meskipun masuk ke dalam kategori sedang, tetapi pada kenyataannya justru lebih mendekati kategori buruk. Tiga parameter ukur yang mendekati baik adalah akses teknologi, akses tenaga kerja, dan akses distribusi. Hasil penilaian untuk indikator kondisi lingkungan Bisnis di Kota Semarang adalah 2,742 dan masuk kategori sedang (selang interval 2,600-3,400), dengan kecenderungan buruk. Tampaknya komitmen dan pembinaan pemda menjadi kunci utama untuk menciptakan kondisi lingkungan bisnis yang kondusif, terutama dalam mengatasi kendala akses bahan baku dan penciptaan peluang-peluang pasar baru. 11. Iklim Investasi Kota Semarang Hasil penilaian atas iklim usaha di Kota Semarang adalah 3,058 dan termasuk ke dalam kategori sedang (interval nilai 2,600-3,399). Tiga indikator yang memberikan kontribusi terbesar terhadap iklim investasi di Kota Semarang adalah adalah kondisi keamanan (3,441), jasa infrastruktur publik (3,030), dan akses pembiayaan perusahaan (2,923). Sedangkan tiga indikator yang memiliki nilai terendah adalah perpajakan (2,631), kondisi lingkungan bisnis (2,742), dan jalan
Kondisi Iklim Usaha Perdagangan di Kota Semarang, 2006 TOTAL
3.058
KONDISI KEAMANAN
3.441
JASA INFRASTRUKTUR PUBLIK
3.030
Indikator
AKSES PEMBIAYAAN PERUSAHAAN
2.923
PELABUHAN & KEPABEANAN
2.906
TANAH / LAHAN
2.883
PERATURAN KETENAGAKERJAAN
2.882
PERIZINAN
2.876
JALAN RAYA
2.864
KONDISI LINGKUNGAN BISNIS
2.742
PERPAJAKAN 2.000
2.631 2.200
2.400
2.600
2.800
3.000
3.200
3.400
3.600
Hasil Penilaian (Skala 1 - 5)
Gambar Kondisi iklim Investasi di Kota Semarang Gambar 33. Kondisi Iklim Investasi di Kota Semarang.
10. Indikator Kondisi Lingkungan Bisnis Lingkungan bisnis di Kota Semarang menunjukkan kondisi yang sangat beragam dilihat dari akses usaha dan kebijakan pemda. Akses usaha memperlihatkan situasi dimana akses terhadap bahan baku dan akses pasar dinilai sulit. Akses bahan baku ini terkait dengan mahalnya harga bahan baku, termasuk juga bahan penolong; sedangkan akses pasar terkait dengan kondisi pasar yang cenderung lesu. Pada sisi yang lain, akses terhadap tenaga kerja, teknologi, dan distribusi cenderung memberikan situasi yang lebih kondusif. Keluhan yang masih dirasakan oleh pelaku usaha adalah komitmen pemda yang dirasakan masih belum cukup memadai. Hal ini diperlihatkan oleh pembinaan-pembinaan usaha yang masih sangat kurang. Berdasarkan penilaian ada tiga parameter ukur yang masih berada pada kategori buruk, yaitu akses bahan
raya (2,864). Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. SIMPULAN Semarang memiliki keistimewaan, setidaknya ditunjukkan oleh dirasakannya kondisi keamanan yang baik dalam melaksanakan kegiatan usaha komersial. Indikator ”kondisi keamanan” (nilai 3,441) menduduki tempat teratas dibandingkan dengan indikator lainnya di Kota Semarang. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya intensitas konflik/perselisihan, penanganan konflik yang cepat, apabila terdapat kejadian sengketa, serta diterimanya jenis dan besarnya biaya kemanan yang dinilai cukup layak. Hal-hal ini cukup mendukung keberlangsungan usaha karena rendahnya gangguan, baik secara internal maupun eksternal. Seluruh indikator lainnya masuk dalam kategori sedang dengan indikator
8 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 1 - 10
”perpajakan” pada posisi terbawah (nilai 2,631) yang masih membuka peluang perbaikan untuk lebih mendorong investasi dan peningkatan usaha di wilayah ini. Pemerintah dengan partisipasi pengusaha diharapkan dapat menghasilkan berbagai instrumen kebijakan untuk lebih menggairahkan dunia usaha, meningkatkan kesejahteraan karyawan/tenaga kerja dan sekaligus memperbaiki taraf hidup masyarakat setempat. Dinas-dinas/instansi terkait setempat seyogyanya memiliki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan usaha perdagangan berbagai komoditas unggulan lokal. Kearifan lokal (local wisdom) yang kini menjadi kecenderungan sejumlah daerah pada era otonomi/desentralisasi untuk menggerakkan ekonomi wilayah perlu dipahami dan dikembangkan secara dinamis oleh setiap daerah, termasuk Kota Semarang yang mungkin memiliki kearifan dalam bidang produksi tekstil atau kepariwisataan. Lembaga eksekutif (kantor/instansi kotamadya) dan legislatif (DPRD tingkat kotamadya) perlu dilibatkan dan bergerak seirama untuk mewujudkan komitmen dan pembinaan yang selayaknya dilakukan bagi para pengusaha untuk tujuan yang lebih besar, khususnya terkait dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan pembukaan lapangan kerja baru. Konteks ini dapat dikaitkan dengan program pembangunan jangka menengah Kota Semarang dalam rangka pengurangan kemiskinan di tingkat perkotaan. DAFTAR PUSTAKA Asian Productivity Organization. 2004. Total Factor Productivity Growth: Survey Report, Tokyo: Asian Productivity Organization.. Claros, Augusto López, et al. 2009. The Global Competitiveness Report 2004-2006: Policies Underpinning Rising Prosperity, England: World Economic Forum/ Palgrave Macmillan. Doing Business 2008. 2008. IFC (International Finance Corporation), World Bank Group. Firdausy, Carunia Mulya. November 2009. Productivity Performance in Developing Countries: Country Case Studies Indonesia, Austria: United Nations Industrial Development Organization, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2003. Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2003 Persepsi Dunia Usaha: Peringkat 200 Kabupaten/Kota di Indonesia, Jakarta: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Michael E. Porter and Scott Stern. 2002. “Innovation: Location Matters” MIT Sloan Management Review, Summer 2002; Vol. 42, No. 4 Porter, Michael E., et al. 2002. The Global Competitiveness Report 2001-2002, England: World Economic Forum/ Palgrave Macmillan. The International Institute for Management Development. 2009 IMD World Competitiveness Yearbook 2009, Lausanne, Switzerland: The International Institute for Management Development.
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) – Bagas Haryotejo | 9
10 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 1 - 10
BAYANG-BAYANG WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DALAM KEBIJAKAN DESENTRALISASI INDONESIA THE INFLUENCE OF WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) IN INDONESIAN DESENTRALIZATION POLICIES M. Nur Alamsyah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Tadulako e-mail:
[email protected] Diterima: 16 Januari 2012, Direvisi: 27 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Mekanisme sistem dunia seperti yang diperkenalkan oleh Wallerstein, meletakkan harapan akan adanya kemakmuran dan kesejahteraan serta upaya survive dalam perkembangan dan kemajuan dunia adalah dengan mengikuti sistem dunia yang hadir melalui sistem pasar yang merupakan mekanisme terjadinya globalisasi di dunia. Desentralisasi dengan peletakkan kebijakan pada hak asasi dan partisipasi, akan memudahkan agen negara maju untuk melakukan hegemoni dan penetrasi ke wilayah pertahan terakhir negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dikarenakan lemahnya posisi bargaining pada mekanisme tukar yang dalam konteks ekonomi berdiri pada modal dan investasi atas nama pembangunan. Upaya setiap daerah untuk mengejar pundi-pundi kesejahteraan dengan masuk dalam mekanisme global adalah sesuatu yang terlalu terburu-buru disebabkan kondisi ketidaksimbangan yang dialami daerah dalam mekanisme tersebut. Berbagai aturan, yang dalam konteks politik pemerintahan negara pasti akan menempatkan dirinya sebagai bagian yang diuntungkan menyebabkan negara-negara terkebelakang selalu tidak memiliki kemampuan untuk membargaining hasil produksinya melalui diplomasi yang ulet. Organisasi dunia merupakan alat bagi langgeng dan dominanya sebuah kekuatan terlepas bahwa ada sebagian kecil negara yang dapat menikmati hal tersebut meskipun dalam waktu yang sementara. Kata kunci: desentralisasi, globalisasi, kebijakan, internasionalisasi. Abstract Mechanism of the world system as introduced by Wallerstein, lay the hope of prosperity and welfare as well as efforts to survive and progress in the development of the world is to follow the present world system through the market system is the mechanism of the onset of globalization in the world. Decentralization by laying down the policy on human rights and participation, will allow agents to perform the hegemony of developed countries and penetration into the last defense that countries such as Indonesia is growing, due to a weak bargaining position in the exchange rate mechanism in the context of the economy and capital investment stood at over name of development. Any effort to pursue the welfare coffers to enter the global mechanism is something that too in a hurry due ketidaksimbangan conditions experienced in the area of such a mechanism. Various rules, which in the context of the political government of the country would have established itself as the beneficiary causes backward countries always lack the ability to membargaining its products through a tenacious diplomacy. World organization is a tool for lasting and dominanya a force notwithstanding that there is a small country that can benefit all the time while though. Keywords: decentralization, globalization, policy, internationalization.
PENDAHULUAN Pengaruh dunia internasional, terhadap kehidupan di Indonesia sangat kuat, dari segi kelembagaan multi nasional, bilateral serta tidak tertinggal gejolak perusahaan besar (korporasi) yang bermain dalam jalur bisnis internasional sebagai sebuah system dunai. Indonesia sejak lama telah menjadi pasien bagi lembaga keuangan maupun donatur internasional seperti world bank, ADB, IGGI/ CGI, IMF dan berbagai mekanisme keuangan internasional lainnya. Sebagai bangsa yang besar, bukan saja dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang luas, tetapi dari segi geopolitik, Indonesia memiliki posisi strategis dan penting dalam berbagai hal tertentu, sangat dibutuhkan oleh banyak negara dan kepentingan lainnya di dunia. Maka sangat tidak mengherankan jika sejak dahulu wilayah nusantara hingga era kekinian wilayah
ini menjadi salah satu wilayah yang dijadikan bulanbulanan kepentingan bangsa lain sampai terbentuknya kesatuan politik nusantara menjadi Indonesia sebagai sebuah entitas bangsa. Issue globalisasi saat ini sangat didominasi masalah ekonomi dan politik yang dibalut dalam investasi, finansial perdagangan yang merupakan obyek yang bermain dalam sebuah mekanisme yang dibentuk untuk mewujudkannya untuk kemakmuran seluruh umat manusia melalui pasar bebas (free trade). Pengutamaan yang menjadi tujuan dari mekanisme tersebut adalah pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya, perluasan usaha yang berkedok jaringan yang menyerupai monopoli (guritas bisnis) yang merupakan perwujudan dari penguasaan kekuasaan dengan penekanan pada pengaruh dengan dampak politik yang jelas yaitu ketergantungan.
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia – M. Nur Alamsyah | 11
Lahirnya WTO (dulunya GATT) sebagai instrument kuat pendukung globalisasi, membawa dampak luas. Ini disebabkan sangat kuatnya pengaruh yang ditimbulkan oleh aktor-aktor yang mengambil kebijakan dalam kelembagaan tersebut yang terdiri dari para pengusaha, politsisi/negarawan dari negara yang telah makmur, yang tentunya akan mengambil dan menyusun aturan yang menguntungkan bagi penyelenggaraan perdagangan dan investasinya. Hal ini menjadi sebuah kemutlakan yang sangat mungkin dilakukan dengan ditopang oleh sangat cepatnya proses global teknologi informasi komunikasi serta transportasi yang dijadikan sebagai sarana pendukung utama mekanisme ini. Pelembagaan para pemodal dunia tersebut, menjadi sangat menentukan bahkan mendikte jalur dan tata cara dalam berbisnis dalam tataran global atau internasional. Dengan melahirkan 4 (empat) prinsip yang dikenal dengan the four modalities of WTO sebagai kerangka kerja yang menjadi prinsip kerja WTO, secara langsung maupun tidak, sangat berdampak terhadap seluruh aktifitas yang terkait dengan kesejahteraan, keadilan dan kekuasaan di Indonesia. Ini adalah konsekwensi yang harus dihadapi sebagai salah satu negara yang telah sepakat dengan sistem ini dan menandatanganinya (threatment) dalam pasar bebas tersebut yang menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Keempat prinsip yang telah dijadikan ramburambu bagi pelaku perdangan dunia global ini adalah pertama, the principle of cross border supply yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemasok asing untuk menjual barang atau jasanya di negara lain. Kedua, the principle of consumption a broad yaitu prinsip bagi kebebasan bagai warga suatu bangsa untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dijual atau ditawarkan oleh pemasok asing. Ketiga, the principle of presence of natural persons yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemodal asing untuk membawa tenaga kerjanya untuk bekerja di negara lain. Keempat, the principle of commercial presence yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemodal asing untuk dapat menanamkan modalnya hingga 100%. Tulisan sederhana ini hanya akan melihat perbandingan perkembangan mekanisme global dan realitas pelaksanaan desentralisasi dilihatdari relevansi dan kesederajatan yang seimbang dalam pencapaian tujuan yangh hendak dicapai masing-masing pihak. Prinsip-prinsip WTO akan menjadi strength point utama bagi para pelaku bisnis global dalam menyelenggarakan aktivitas dagangnya. Disini terlihat sangat kuatnya terminologi power (kekuasaan) dan structure (struktur) sebagai faktor penting yang mempengaruhi aktor negara dan non negara dalam menjalankan bisnis global yang memperkenalkan sistem pembagian kerja (division of labour). PEMBAHASAN Kebijakan Desentralisasi Kebijakan desentralisasi di Indonesia, merupakan kebijakan yang ditentukan dengan dasar argumen liberal yang mengacu kepada sistem
desentralisasi Amerika Serikat yang menurut B.C. Smith merupakan metode terbaik untuk pengaturan administrasi untuk pelayanan publik yang bertumpu pada dua kategori utama yaitu demokrasi nasional dan manfaat locality demokrasi lokal. Dimana ditunjukkan oleh Smith bahwa hal tersebut dibagi lagi kedalam tiga nilai yang saling terkait yaitu pendidikan politik, pendidikan kepemimpinan dan stabilitas politik pada level nasional dengan persamaan (equality), kebebasan (liberty) dan sifat responsive (responsiveness). Ada harapan besar sebenarnya yang menjadi tujuan (ideal normative) dari desentralisasi ini jika dia berdiri menjadi sebuah kebijakan yang dibangun di atas amanah yang melegitimasinya. Lahirnya produk undangundang yang menjadi rule of the game dari penyelenggaraan kegiatan ini, pasca reformasi sejak UU No 22 dan 25 tahun 1999 kemudian direvisi dan diganti menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 yang mengatur hal yang sama yaitu pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang merupakan penyusunan secara sistematik dari penyelenggaraan desentralisasi ini. Dampak yang ditimbulkan dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut, terutama UU No. 22 dan 25 tahun 1999 mengubah sebuah platform lama sistem penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kabupaten dan kota juga berimbas terhadap hilangnya sebagian kekuasaan provinsi yang menjadi sangat lebih administratip dari pada hirarkis. Moment tersebut, benarbenar dijadikan sebagai ajang euforia bagi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota. Keruntuhan rezim orde baru, merupakan sebuah “berkah” tersendiri bagi dimungkinkannya sebuah perubahan secara revolusioner terhadap kebijakan pemerintahan daerah dimana para aktor-aktor lokal selama ini, merasa telah dikungkung dalam sebuah kebijakan yang sentralisme. Perang kekuasaan (power) untuk mengukuhkan pengaruh dari barat yang telah dimulai sejak era tahun 1990-an, dengan sistem governance yang merupakan perubahan relasi antara negara dan masyarakat yang terdiri dari civil society dan private sektor terutama dalam penentuan role (aturan/kebijakkan), banyak turut menyumbangkan suntikan ide dan nilai dalam menyusun kembali sistem pemerintahan daerah yang telah terlanjur dianggap malapetaka dari pada berkah bagi daerah, meskipun UU No 5 tahun 1974 banyak diklaim sebagai salah satu dasar otonomi daerah yang relatif telah terkait spirit dan tujuan yang ingin dicapai, meskipun banyak inkonsistensi dalam penyelenggara-annya. Dengan undang-undang yang baru pada era kekinian, desentralisasi yang kemudian memilih pilihannya untuk menggunakan good governance sebagai tujuan dengan berbagai parameter yang telah ditentukan sesuai takaran ‘good’ bagi sebuah sistem pemerintahan yang liberal. Mekanisme governance yang diterjemahkan sebagai tata pemerintahan baru bagi para ilmuwan dan praktisi pemerintahan di Indonesia, dapat dikatakan sebagai perwujudan rasa memiliki (Sense of Belonging) terhadap berbagai tujuan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lain dalam tata pemerintahan tersebut.
12 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 11 - 20
Booming pola ini, berintikan pengelolaan sebuah pemerintahan yang bukan hanya menitik beratkan pada pemerintah sebagai pengatur dan pengelola melainkan dibutuhkannya keterlibatan komponen masyarakat (civil society) dan kalangan pengusaha (private sector) hal inilah kemudian yang kemudian lebih dikenal dengan mekanisme kerja enterpreneurship di Indonesia. Ini merupakan konsekuensi bahwa desentralisasi yang dibangun adalah dikerangkai sebuah nilai yang disebut demokratisasi yang liberal. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang meliputi pelayanan masyarakat (Public Service) dan pembangunan (development) sebagaimana dengan tangggung jawab yang menjadi amanah konstitusi. Pemerintahan negara pada hakekatnya memiliki 3 (tiga) fungsi utama yaitu: alokasi, meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat yang juga harus dilakukan di daerah; distibusi, meliputi pendapatan dan khayalak masyarakat, pemerataan pembangunan; stabilisasi meliputi pertahanan, ekonomi dan moneter yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, desentralisasi kini memindahkan wewenang yang dahulunya dimonopoli oleh pemerintah pusat menjadi terlokalkan. Sehingga saat ini, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja untuk menggenjot pembangunan daerahnya, asalkan tidak termasuk dalam urusan pusat seperti yang dikemukakan Deddy diatas, meskipun hal inipun menjadi multy tafsir terhadap berbagai perundangan yang saling terkait tetapi tidak sinergis. Keberhasilan Good Governance, yang dengan jelas memiliki penekanan kepada pengelolaan pemerintahan daerah yang berorientasi kepada bisnis (wirausaha), banyak melahirkan fenomena dalam pemerintahan daerah. Para penyelenggara pemerintahan daerah yang dengan sungguh-sungguh menggunakan momen ini sebagai era kebangkitan daerah yang sangat baik meskipun pada sisi lain bisa jadi merupakan era kehancuran atau kebangkrutan bagi daerah yang hanya senantiasa berharap kepada DAU/DAK (Dana Alokasi Umum/ Dana Alokasi Khusus) sebagai “gaji/upah” tahunan daerah tersebut atas kesetiannya terhadap NKRI. Dikarenakan ketidakberdayaan daerah tersebut untuk mengeksplorasi potensi daerahnya. Kinerja dari mekanisme Good Governance (GG), saat ini belum secara jelas memperlihatkan hasilnya, tetapi dalam laporan perkembangnnya sangat positif. Desentralisasi dengan GG ini, pelan tapi pasti mengantarkan daerah kepada dibangunnya dinasti global dalam tubuh birokrasi daerah. Perwujudan menerobos ruang dan waktu yang dilakukan pada umumnya daerah di Indonesia telah dimulai dengan perwujudan terbangunnya sistem E-Governance (Electronic Governance) yang merupakan sebuah penataan sistem yang menghubungkan berbagai bagian yang terkait dengan upaya mempercepat dan mengefektifkan proses kerja birokrasi. Ini dimaksudkan untuk mendukung pembangunan dengan mengandalkan basis informasi dan komunikasi sehingga transparansi, akuntabilitas, efektifitas, efisiensi dapat dicapai untuk memangkas
birokrasi yang dianggap sebagai penghalang utama pembangunan terutama dalam menggalang investasi dan pelayanan kepada masyarakat. Meski belum satupun daerah yang secara utuh menerapkan mekanisme tersebut, tetapi secara empirik yang menjadi lompatan penting bagi daerah dalam menapaki komunitas dunia (global) adalah melalui dunia virtual yang hadir melalui teknologi informasi dan komunikasi dengan membangun jaringan (link), melalui website. Dengan pengadaan mekanisme tersebut mengantar daerah-daerah ke layarlayar monitor komunitas dunia sehingga dunia hanya sebatas ruangan kecil itu saja. Upaya lain adalah dengan beraninya tiap-tiap daearah untuk melakukan negosiasi bisnis dengan berbagai cara, termasuk promo yang beragam bentuknya seperti promo ekonomi/bisnis, budaya. Ini merupakan salah satu upaya memperkenalkan potensi di dunia internasional. Citra baru yang digandrungi oleh pemimpin daerah dalam rangka desentralisasi tersebut, bisa dikatakan saat ini masih dalam batas tren atau mode kecuali beberapa daerah yang sudah memanfaatkan secara optimal sebagai bentuk baru birokrasi postmodern (life style bureucracy posmodern). Ini merupakan langkah awal bagi para hyperglobalist untuk menyatakan bahwa apa yang ada sekarang dalam desentralisasi di Indonesia hubungannya dengan globalisasi adalah you ain’t seen nothing yet (anda belum menyaksikan apaapa). Kebijakan untuk terjadinya perimbangan keuangan untuk dapat terselenggaranya pemerintahan di daerah dengan lebih kepada pendekatan jumlah, luas, dan potensi daerah adalah dapat menunjukkan sifat perimbangan yang berorientasi kepada sistem sosial dan bukan sistem liberal. Konsekwensi dari hal tersebut, ketergantungan terhadap pusat menjadi tetap kuat. Dalam perundangan yang ada 32 dan 33 tahun 2004 meskipun telah menjelaskan posisi ekonomi, politik daerah secara lebih rinci, tetapi belum secara keseluruhan mampu untuk menempatkan pemerintah daerah dalam estimasi modal kapital untuk sejajar dengan para pengusaha besar. Keterbatasan dana yang dimiliki daerah tersebut, menuntut daerah untuk dapat lebih giat untuk menggali potensinya. Banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk dapat survive dan eksis di era desentralisasi. Ini adalah upaya memenuhi ambisi pemerintah daerah untuk membangun daerahnya lewat pencarian dan penanaman investasi. Investasi tersebut diupayakan dengan cara yang dapat dikatakan memberikan insentif dan kemudahan kepada para investor yang hendak berinvestasi. Ini merupakan mekanisme secara ideologis yang diciptakan oleh rezim sistem dunia dengan pembagian kerja. Fenomena tersebut, dengan sangat hiruk pikuknya pemerintah daerah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi daerah dan masyarakatnya melalui jalur perdagangan dan invesatsi yang secara langsung menempatkan daerah sebagai salah satu instrumen yang bermain dalam pembagian kerja (division of labour) pada pasar bebas untuk menguatkan mekanisme kerja enterpreneurship lewat pasar bebas. Dimana dikatakan oleh Robert Gilpin bahwa: “...perdagangan bebas cenderung menciptakan perdamaian dunia karena saling
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia – M. Nur Alamsyah | 13
ketergantungan ekonomi dapat menciptakan hubunganhubungan positif antar bangsa yang pada gilirannya mengembangkan harmoni kepentingan...”. Pernyataan Gilpin tersebut, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang memang terwujud meskipun pada sisi lain tidak terwujud, sebab pada kenyataannya mekanisme ini dapat dilihat pada laporan dari UNDP (United Nations Development Program) dalam laporannya (Human Development Report, 1999) menyatakan bahwa di tahun 1999 negara industri maju yang didiami oleh 22, 9 % persen penduduk dunia dan menikmati 84,2% persen dari total GNP (Gross National Product) dunia, sementara negara-negara berkembang yang didiami oleh 77,1% penduduk dunia menikmati 15,8% persen total GNP dunia. Situasi tersebut bukanlah hanya terjadi pada tahun 1999 saja tetapi sejak lama. Dari perbandingan tersebut jika dilihat dari segi perkembangan dan kondisi pasar bebas yang terwujud di era kekinian maka sudah dapat dibayangkan pemerintah daerah atau bangsa Indonesia, akan berada pada posisi dimana. Sangat kuatnya tarikan pasar bebas dalam diri para elit bangsa ini menunjukkan kesungguhan yang sangat serius untuk benar-benar memasuki globalnya sistem ekonomi dengan free trade yang segera akan dengan bebas dan terbuka pada tahun 2025. Sumber keuangan daerah, pada prinsipnya telah disusun oleh UU No. 33 Thn 2005 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 terutama didalam dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant atau secara terinci terdapat dalam PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah di mana prosentase perolehan dari tiap-tiap macam jenis pajak yang didapatkan baik pusat, provinsi, kabupaten/kota yang terdiri dari atas daerah penghasil serta kabupaten yang terdapat dalam satu wilayah provinsi, telah terbagi secara jelas. Tetapi dalam kondisi seperti itu pun, maka pendanaan daerah sangat tidak mungkin dilaksanakan karena masih sangat terbatasnya anggaran yang dapat dilakukan untuk membangun sebuah daerah Perkembangan awal menuju kesepakatan WTO yang merupakan kerangka dasar pasar bebas, saat ini telah mulai dilakukan pemerintah dengan melakukan privatisasi berbagai jenis usaha pemerintahan baik pusat maupun daerah seperti air, pasar, pemotongan hewan, unit bisnis strategis seperti Telkom, Televisi dan sebagainya. Ini sebuah ketentuan yang mesti dilakukan dengan mengurangi angka subsidi terhadap masyarakat agar supaya sistem modal kapital bisa terwujud dengan transaksi bisnis. Hingga saat ini, upaya tersebut masih dapat dikatakan masih nihil, salah satu jalan yang memungkinkan daerah untuk memperoleh suntikan dana segar adalah dari ketentuan yang diperbolehkan oleh UU yang mana dapat bersifat pinjaman bilateral ataupun mutylateral dengan ketentuan dilarang melakukan penjaminan barang atau milik daerah yang digunakan untuk pelayanan publik seperti pasar, rumah sakit atau sekolah.
WTO dan Sepak Terjangnya Round millenium (putaran milenium) merupakan bahasa kaum hyperglobalist yang senantiasa menjadi dasar bagi mereka untuk memandang era globalisasi yang ada sekarang dan masa depan. Sedangkan bagi yang melihat dengan perspektif kiri (Marxian) beranggapan bahwa “persekongkolan” tersebut bukanlah merupakan hal baru tetapi merupakan fenomena lama yang dibangun kembali. Hal ini termaktub dalam manifesto communisnya bahwa: “borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan alat-alat produksi dan karenanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat.” Manifesto yang merupakan gambaran masa lalau terhadap sifat dasar dari kapitalisme dan hubungannya dengan kondisi dunia ekonomi politik masa depan, pada prinsipnya menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan dalam perkembangannya di era abad 21 yang dikenal dengan milenium baru atau era globalisasi. Dengan penggunaan pendekatan mekanisme teori liberal klasik, dibangun sebuah pendekatan yang baru sebagai era kebangkitan kembali liberalsime baru dalam mekanisme yang disebut era perdagangan dunia. Dukungan terhadap mekanisme perdagangan bebas ini tidak kurang, didukung oleh berbagai pihak institusi yang memang secara ekonomi dan politik diuntungkan oleh mekanisme globalisasi dan pasar bebas ini. Sekitar 37.000 perusahaan Trans National Corporation (TNCs), termasuk dukungan dari World bank, IMF dan berbagai institusi keuangan Internasional lainnya seperti G7 Trilateral Commision (TC), Forum ekonomi dunia (World Economi Fund/WEF), ditambah dengan pemerintah negara-negara yang merupakan perespons dan penerima keuntungan dari mekanisme perdagangan dunia ini. Uruguay Round (Putaran Uruguay) adalah merupakan egenda pertemuan yang dilakukan oleh GATT (General Agreement On Tarifs And Trade), yang mengukuhkan terbentuknya sebuah lembaga besar yang akan mengupayakan terciptanya kehidupan masyarakat dunia yang teratur yang kemudian diberi nama World Trade Organization (WTO). Organisasi ini, memiliki anggota 134 negara dengan 33 negara sebagai pengamat. Bagi banyak kalangan, organisasi ini merupakan tingkat kesempurnaan dari berbagai upaya dan organisasi yang mengakomodasi sistem ekonomi liberal yanhg lebuh dikenal sebagai sebuah “tatanan dunia baru” dimana dalam organisasi ini sangta kental dengan program penyesuaian struktural (Structural Adjustmen Program/SAP) yang hanya menguntungkan negaranegara tertentu saja. Tugas organisasi ini meliputi beberapa hal yang sangat prinsipil untuk penyelenggaraan perdagangan dunia global. Selain itu, di organisasi ini pun sangat penuh dengan standarisasi yang mendukungnya seperti, perjanjian bea masuk dan perdagangan (General Agreement On Tariffs And Trade/GATT), perdagangan yang berhubungan dengan hak atas ke kayaan intelektual (Trade Related Intellectual Property Mesures/TRIPS) dan perjanjian perdagangan jasa (General Agreement On Trade In Services/GATS) dan berbagi standar lainnya.
14 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 11 - 20
Meskipun keanggotaan WTO cukup banyak, tetapi mekanisme prinsip dalam pengambilan keputusan, adalah didominasi oleh beberapa negara saja utamanya, Canada, Uni-eropah, Amerika Serikat dan Jepang yang biasanya dikenal dengan QUAD melalui rapat tertutup tanpa mengikutkan anggota lainnya, meskipun sebenarnya hal tersebut tidak sesuai dengan sistem pengambilan keputusan dalam organisasi WTO, yaitu melalui pemungutan suara atau dengan mekanisme konsensus. Disini dapat dilihat, bahwa WTO yang sebenarnya sebuah organisasi yang merupakan perselingkuhan global antara negara dan kapitalis dunia (globalist korporasi). Sehingga sangat tidak mengherankan bila seluruh keputusan yang diambil dalam mekanisme kerja mereka tidak demokratis dan selalau memperhitungkan pemodal besar untuk mendapatkan keuntungan maksimal (benefit maximakser). Sehingga logika apapun yang digunakan untuk membenarkan mekanisme kerja WTO untuk menggarap negara-negara miskin, maka kesimpulannya adalah eksploitasi dan penguasaan (imperialisme) yang berakibat kepada ketergantungan secara terus menerus. Fenomena terbaru dalam WTO adalah bergabungnya perjanjian multilateral mengenai investasi (Multilateral Agreement On Investasi/MAI) yang bertujuan untuk membuat peraturan global yang membatasi hak dan kemampuan pemerintah untuk mengatur spekulasi mata uang, investasi pada tanah, pabrik, jasa, saham dan dan banyak hal lain. MAI dihasilkan dalam mekanisme kerja dalam organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan (Organization For Economic Cooperation And Development/OECD), sebuah klub beranggotakan 29 negara terkaya di dunia, dimana perundingan itu didesakkan oleh perusahaanperusahaan trans nasional dan lobi-lobi bisnis besar dunia. Globalisasi pasar yang diorganisir oleh WTO dengan prinsip-prinsipnya yaitu, Cross border supplay, consumption a broad, commercial present, presence of natural persons. Prinsip tersebut menjadi hal yang mutlak bagi berbagai kalangan yang hendak masuk dalam jaringan globalisasi yang digagas dalam WTO dan dikomandoi oleh negara-negara utara (Eropa) dan Amerika Serikat serta pengusaha besar dunia. Pembentukan penguasaan ekonomi politik dunia tersebut, selalau terbungkus pada bahasa kemuliaan dalam pembentukan rezim dunia. Ini dilihat dari sejak dahulu yaitu dimulai dengan mekanisme liberalisasi Adam Smith dan David Ricardo, Liberalisme Bretton Woods hingga sistem neo liberalisme. Implikasi WTO Terhadap Desentralisasi Indonesia Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas tentang 4 (empat) prinsip dasar WTO, yang dijalankan dalam sistem pasar bebas (free trade) global, dengan mengacu kepada aliran barang, investasi, produksi dan teknologi lintas bangsa, utamanya informasi, komunikasi dan transportasi, serta keuangan dengan bebas (NonTariff Barriers To Trade/hambatan non-tarif terhadap perdagangan). Indonesia, merupakan negara yang telah sejak lama masuk dalam mekanisme Bretton Woods dan
menjadi didikan World Bank dan IMF, yang dulunya sempat membuat Indonesia berjaya dan pada akhirnya terkapar dan tidak dapat berbuat hingga kini. Pada realitas kemudian, Indonesia berputar-putar pada krisis berkepanjangan dengan utang yang menumpuk. Pekerjaan kemudian beralih dari negara yang jumawa dan sanggup menegakkan kepala terhadap negara-negara lain, menjadi ‘peminta-minta’, yang berharap kepada peninjauan hutang, penangguhan, penjadwalan ulang, rsetrukturisasi, pengurangan utangan/ pemotongan utang bahkan penghapusan utang terhadap negara donor yang tergabung dalam berbagai institusi keuangan dan pembangunan dunia yang merupakan jaringan keuangan dunia yang nota bene krisis tersebut ditimbulkan oleh para pengusaha dan konglomerat besar. Implikasi yang memungkinkan akan ditimbulkan oleh WTO terhadap penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia, akan sangat banyak dipengaruhi oleh peran yang dutetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan kerangka konstitusi yang mengatur hal tersebut dimana hubungan luar negeri, masalah keamanan, keuangan ditangani oleh pusat, meskipun terdapat ketentuan pada masalah keuangan yang ketentuannya membolehkan terjadinya persentuhan negara luar dengan daerah untuk mendapatkan dana dari mekanisme kerja bilateral ataupun multilateral. Selain dari mekanisme tersebut, tentunya para korporasi global tidak akan berhenti dengan konstruksi undang-undang tersebut. sangat banyak celah yang bisa memugkinkan terbangunnya kerja sama ataupun hubungan dagang, yang tentunya mesti sepengetahuan pemerintah pusat. Harus diakui, pelan tetapi pasti bahwa daerah (provinsi ataupun kota/kabupaten), akan masuk dalam sel pergaulan global utamanya dalam mekanisme kerja WTO. Ini dikarenakan instrumen yang dimiliki oleh rezim global yang merupakan kumpulan korporasi raksasa dunia (TNCS/MNCs) yang menguasai jalur nadi bagi pembangunan ekonomi, yaitu keuangan (finance) yang dikendalikan oleh pasar mata uang, perdagangan (trade) yang diatur oleh SAP (structural adjusment program) WTO. Saat ini, hampir semua pejabat daerah bahkan mungkin seluruh aparaturnya, telah terkontaminasi dan secara tidak sadar menjadi agen dari mekanisme global ini. Nereka percaya dalam strategi dan visi kedepan mereka bahwa pasar global adalah solusi bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. ‘Kesucian’ nilai-nilai tradisi komunitas daerah kini terancam oleh populasi virus global yang sangat kuat dan cepat menyerbu “dapur-dapur pembangunan” yang menggodok strategi dan teknis dalam mengupayakan pembangunan masyarakat daerah. Hal ini tentunya berasal dari nilai-nilai rasionalitas yang di perkenalkan oleh lembaga keuangan internasional, yang datang bagi malaikat dengan sejuta syarat dibelakang bantuan yang dibawahnya seperti syarat-syarat LOI di Indonesia dll. Sesuatu dampak yang tidak dapat ditawar-tawar dalam sistem kerja WTO adalah akan adanya privatisasi, liberalisasi, pengurangan subsidi sektor publik yang tidak produktif. Ini akan menjungkalkan banyak hal yang berimplikasi terhadap berbagai sektor yang ada di daerah. Bisa dikatakan bahwa sebagian anjuran dari agen global tersebut secara sadar ataupun tidak sudah
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia – M. Nur Alamsyah | 15
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan desentralisasi di Indonesia yang terpengaruh oleh funding Internasional dan pengaruh dari sistem pendidikan pada level perguruan tinggi yang sangat sarat dengan ideologi demokrasi liberalis, dengan upaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa hal itu untuk mewujudkan bahwa nilai ‘west’ yang ada pada mekanisme tersebut adalah GOOD. Masukknya mekanisme kerja WTO dalam ruang-ruang desentralisasi di Indonesia akan menimpa pengusaha lokal yang tentunya tidak akan dapat bersaing dengan pengusaha besar sarat modal, yang akan menguasai sektor-sektor produksi strategis, dan jika hal itu terlaksana, maka hal pertama yang terjadi adalah peninjauan terhadap UU yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) yaitu UU No. 22 dan 25 tahun 1999 ataupun UU No.32 dan 33 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang cukup memberi batasan yang cukup tegas, yaitu tidak bolehnya penjaminan dan pengelolaan sektor publik. Mungkin saat ini, kata strategis ini masih bersifat interpretatif, padahal secara esensil, pengelolaan yang dimaksud telah terjadi seperti industri-industri utama seperti telekomunikasi yang telah mengalami privatisasi ataupun perusahaan-perusahaan besar yang strategis seperti freeport dan INCO ataupun bidang perminyakan yang telah dikuasai oleh lembaga investasi global Caltex ataupun Unocal sebagai salah satu mekanisme gurita bisnis global. Keinginan UU otonomi daerah dengan ketentuan menjaga pasar lokal diperhadapkan pada kebijakan WTO dengan berbagai standarisasinya yang di desain secara khusus untuk ekonomi pasar neo liberalisme global. Liberalisasi perdagangan adalah bertujuan untuk menghilangkan aturan-aturan yang sifatnya melindungi industri domestik dan pasar domestik, serta menghapus berbagai beban yang ditimpakan kepada perusahaan misalnya biaya sosial (social cost) sebagai akibat dampak yang ditimbulkan karena pengoperasian sebuah perusahaan pada suatu wilayah, sehingga akan menjadi beban negara. Liberalisasi investasi yaitu jika negara donor yang akan menjadi wilayah berinvestasi, maka seluruh aturan yang menghambat danmengganggu invesatsi dihilangkan serta diberikannya berbagai fasilitas keringan bagi mereka dalam berinvestasi seperti bebas bea, aman dan lain-lain. Liberalisasi financial kondisi dimana pasar lebih menentukan alokasi sumber daya keuangan dibandingkan dengan negara. Disini negara akan tidak dapat bertindak strategis dalam pembangunan karena terjadi penekanan yang seminimal mungkin dalam kewenangan sebagai syarat untuk realisasi investasi bidang keuangan lewat deregulasi tingkat bunga, menolak kontrol kredit, swastanisasi bank pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan serta memperkenalkan pasar yang dikontrol oleh moneter sebagai instrumennya. Privatisasi adalah penjualan perusahaan negara, barangbarang dan pelayanan publik kepada swasta misalkan bank, industri, jalan, rumah sakit, sekolah dan berbagai perusahaan dan fasilitas yang melayani kebutuhan publik atas pertimbangan efisiensi. Pemotongan subsidi kepada masyarakat yang bagi kaum liberal adalah pendidikan yang buruk sebab
tidak terkait dengan sektor produktif, sehingga anggaran sosial harus dihentikan sehingga seluruh kebijakan negara akan diarahkan untuk melayani dan merangsang perusahaan swasta untuk bergairah berinvestasi, dengan memarginalkan kepentingan pelayanan publik termasuk untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Kebijakan ini dikenal dengan strategi penghematan (austerity measures). Sedangkan devaluasi nilai mata uang, harga buruh murah serta deregulasi yang tujuannya menghapuskan berbagai aturan yang mengurangi kuantitas keuntungan maksimal yang dicapai seperti berbagai aturan yang membatasinya seperti aturan tentang lingkungan hidup, kesejahteraan buruh, keselamatan kerja dan lain-lain juga akan menjadi terhapuskan. Dari prinsip itu saja, terlihat betapa ‘rakusnya’ pelaku ekonomi global dalam menyusun mekanisme kerja WTO tersebut, dimana negara atau daerah tidak berhal memiliki hak untuk mengatur mereka. Sebaliknya akibat yang ditimbulkann dari perbuatannya ditimpakan kepada pemerintah. Hal ini telah dapat terlihat pada semua perusahaan global yang ada di Indonesia saat ini, dengan kasus yang terhangat adalah fenomena pemiskinan masyarakat karena pemberian hak kelola kepada perusahaan asing yang ada di selayar sebagai bukti berlangsungnya mekanisme tersebut. ini tentunya sangat berbahaya semisalkan sektor yang dikelolanya adalah yang berbahaya terhadap masyarakat baik ekses secara budaya, ekonomi, sosial, kemananan dan kesehatan serta pendidikan, sebab perlu diketahui bahwa mekanisme standarisasi kerja WTO, tidak ada sebuah usahapun yang berbahaya, jika belum terbukti bahwa hal yang dilakukan atau diproduksi itu merupakan, atau dengan kata lain komplain dapat dilakukan setelah melalui uji ilmiah barulah perusahaan akan membayar kompensasi kepada korban. Tetapi harus diingat juga bahwa standarisasi uji kelayakan tersebut disusun oleh mekanisme global tersebut, dan bukan berdasarkan perasaan dan ekses empiriknya. Seberapa terbukanya informasi tersebut akan dibuka untuk seperti kasus pertambangan di daerah kalimantan, Sulawesi dan lain-lain tentunya hanya akan disusun sesuai kebutuhan mereka yang akan lebih buruk jika ditopang oleh mekanisme mafia birokrasi yang menjadi justifikasi bagi pengelolaan usaha tersebut secara baik. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi ekonomi pembangunan yang seperti dimaksud hanya akan dinikmati oleh sektor swasta, sementara biayabiaya sosial dan lingkungan akan tetap menjadi beban publik secara turun temurun. Disini, nilai manusia dihargai jauh dibawah nilai barang hasil yang diproduksi, seperti pada kasus pertanian yaitu agreement on agriculture (AOA), yang menetapkan pengaturan perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri, yang banyak berimplikasi utamanya kepada ketidakmampuan negara miskin untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Ini karena pergeseran sistem yang disayaratkan, dari sistem, subsistem atau bertani yang menekankan pada pengutamaan kebutuhan pokok hidup menjadi agribisnis, yaitu intensifikasi usaha pertanian yang berorientasi pada kebutuhan pasar sehingga diupayakan untuk memperoleh hasil yang besar dengan cara-cara apapun
16 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 11 - 20
termasuk penggunaan zar-zat biokimia seperti kapas transgenik dan lain-lain yang berimplikasi pada sektor kesehatan masyarakat. Untuk bisa melihat berbagai dampak yang ditimbulkan oleh 4 (empat) prinsip WTO, maka dapat diberikan pemilahan secara detail sebagai berikut: pertama The Principle Of Cross Border Supply yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemasok asing untuk menjual barang atau jasanya dinegara lain. Dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya sikap kompetisi (Competitiveness) terhadap mekanisme perdagangan yanga ada sehingga memungkinkan arus barang, yang jika merujuk kepada hukum ekonomi dimana kian melimpahnya barang maka harga akan turun. Dengan mekanisme ini, maka daerah atau barang produksi masyarakat yang menggunakan mekanisme konvensional akan tidak mampu bersaing dengan produksi massa yang dilakukan korporasi besar. Disisi lain, dengan sistem perdagangan non tariff barriers to trade (hambatan non-tarif terhadap perdagangan). Barang yang masuk dan keluar karena sistem itu tanpa pajak. Rintangan seperti undang-undang keamanan pangan, standar produk, undang-undang pemakaian uang pajak, kebijakan investasi dan undangundang domestik lainnya yang mempengaruhi perdagangan diabaikan. Secara sepintas hal ini akan mendongkrak daerah dari daerah yang terisolasi, tertutup dan tradisional menjadi daerah yang terbuka, yang secara alamiah akan mendorong masyarakat untuk berusaha sekuat mungkin untuk dapat bertahan dengan mengikuti dan larut dalam etika kapitalis yang sangat kuat berpegang pada jaringan dan etos kerja yang kuat dan berdisiplin. Dan bagaimana melakukan saving untuk pembangunan jika tidak memiliki komitmen aturan pada sebuah kerangka perundangan dan kesepakatan kerja yang saling mengikat. Di daerah-daerah dengan adanya SAP dalam WTO, maka barang akan berseliweran dimasyarakat tanpa sesuai dengan standar dampak kesehatan, lingkungan dan perdagangan. Dimana perlindungan kepada konsumen sangat lemah. Sebab dalam mekanisme yang diakui oleh para ilmuwan global bahwa dengan mekanisme pencegahan, dianggap sangat merugikan perusahaan yang hendak memproduksi suatu barang. Kedua, The Principle Of Consumption A Broad merupakan prinsip bagi kebebasan bagi warga suatu bangsa untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dijual atau ditawarkan oleh pemasok asing artinya, dengan masuknya daerah tersebut dalam mekanisme perdagangan WTO, maka apapun barang yang dijajakan, darai manapun asalnya, dalam bentuk apapun, maka masyarakat harus bisa menikmatinya. Ini merupakan kampanye bisnis yang sangat maju yang mempermainkan psikologi konsumen dengan upaya memanjakan pelanggan, yang tanpa bersusah payah mencari barang yang diinginkan dan murah dapat menikmati suatu barang seketika. Ini dapat dilakukan baik secara konvensional dengan ke pasar atau supermarket maupun dengan jasa kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi sebagai simbol globalisasi dan postmodernisme pola konsumsi ataupun dengan mekanisme bisnis yang
memangkas jalur distribusi melalui mekanisme Multy Level Marketing (MLM) yang merupakan pendekatan mekanisme pasar global dalam kondisi psikologi kemiskinan masyarakat untuk mendapatkan harapanharapan. Artinya, dampak dari hal diatas akan menyebabkan rusaknya mekanisme produksi lokal yang merupakan barang tanpa merk, standarisasi produksi yang tak jelas, biaya produksi tinggi, jangkauan pasar terbatas sehingga akan menjadi mahal dibandingkan barang “luar” yang jauh lebih murah karena penggunaan mekansime produksi mesin yang canggih dan massal, sehingga akan mendominasi produksi lokal. Dengan standarisasi sanitasi dan fitosanitasi (Sanitary And Phytosanitary standards) adalah salah satu perjanjian WTO yang mengatur kebijakan pemerintah membatasi dalam hal keamanan makanan (kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan) dan kesehatan binatang dan tanaman (impor wabah dan penyakit) ini jadi diabaikan sama sekali oleh mekanisme ini. Bahkan perjanjian ini melarang penerapan diskriminasi antara barang dalam dan luar negeri. Juga tentang pembatasan tingkat keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya, meskipun diterapkan sama didalam maupun luar negeri. Hal ini membanting precautionary principle (prinsip pencegahan), karena jika belum ada kepastian ilmiah mengenai ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Dengan demikian maka masyarakat sebagai konsumen akan menjadi obyek uji coba trial and error dari mekanisme global. Dari prinsip tersebut, maka terlihat prinsip WTO yang diterapkan melalui sistem SPS telah sangat kuat melindungi kepentingan arus perdagangan dengan cara apapun juga. Sehingga menjadi menyeramkan seandainya di era desentralisasi di Indonesia, semua daerah berlomba-lomba memeluk dan mencari investasi secara terbuka melalui mekanisme korporasi besar yang ada dalam mekanisme perdagangan dunia (WTO), maka dapat dibayangkan dalam beberapa waktu kedepan, yang terjadi adalah pemiskinan dimana-mana karena daerah hanya jadi obyek penyerapan keuntungan global dan dihargai dengan nilai kerja yang rendah dan pada suatu sisi yang lebih kecil dan tempatnya jauh dari negeri ini, tertimbun kemakmuran yang tak terhingga seperti yang telah dijelaskan diawal tadi. Ketiga, The Pirnciple Of Presence Of Natural Persons yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemodal asing untuk membawa tenaga kerjanya untuk bekerja dinegara lain. Secara positive fenomena ini dapat diterima menjadi suatu keunggulan tetapi pada berbagai kasus yang tetjadi di dunia ketiga, pada umumnya model ini membuat daerah semakin tidak kompetitive karena sangat kuatnya ketergantungan yang ditimbulkannya. Salah satu fenomena ril yang terjadi adalah keterpurukan di Kolombia diselesiakan dengan mekanisme dari negara besar atas usulan Bank Dunia, tetapi yang terjadi adalah seperti dikemukakan salah satu konsultannya bahwa “salah satu aspek dari hubungan yang membuatnya tak nyaman adalah meskipun tugas itu dianggap penting untung pembangunan kolombia, meskipun belum satupun orang kolumbia yang mengetahui bagaimana cara melaksanakannya dimana ilmu pengetahuan tentang hal tersebut hanya dimiliki oleh beberapa ahli asing.
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia – M. Nur Alamsyah | 17
Disini dia melihat berbagai realitas pahit di dunia ketiga, sepoerti dikemukakan Hirsman tadi maka perusahaan TNCs dan MNCs yang masuk ke daerah-daerah secara kualitas untuk menjamin bahwa usaha mereka akan berhasil danmenguntungkan, maka mereka akan merekrut tenaga ahli dari barat dan mempekerjakan indegenius local sebagai buruh. Keempat, The Principle Of Commercial Presence yaitu prinsip adanya kebebasan bagi pemasok modal asing untuk menanamkan modalnya hingga 100 %. Dengan dimasukkannya pemodal dengan penguasaan pada suatu skala modal besar maka akan berdampak secara luas terhadap konstelasi dan keseimbangan ekonomi, politik, sosial dan budaya bagai daerah tersebut. pengusaha lokal akan menjadi bula-bulanan, begitupun dengan pemerintah yang akan mendapat pressure dari ketentuan mekanisme internasional yang akhirnya mengorbankan masyarakat. Perkembangan prinsip ini akan sangat memungkinkan lahirnya negara bayangan (Shadow State) seperti yang saat ini terjadi padda mekanisme kerja perusahaan besar di Indonesia seperti Freeport dan Inco dan perusahaan lainnya yang sangat independen dalam pengelolaan wilayah produksinya dan keleluasaan membangun infra dan suprastrukturnya yang memungkinkan tercapainya target produksi. Dengan pengelolan seperti itu, maka sebenarnya yang melakukan pengelolaan atas wilayah tersebut adalah bangsa lain dengan pemerintahan bayangan (Government Shadow) yang dikendalikan oleh jaringan perusahaan internasional yang berpusat di wilayah Utara, Jepang dan Uni-Eropa. Keuntungan negara dunia ketiga , secara umum pasti memiliki keunggulan produk dalam bentuk barang mentah yang umumnya pasti sama yaitu kesamaan hasil bumi, sehingga harganya bersaing, maka mekanisme yang ditekankan adalah eskport. Kemudian akan megalami spekulasi dari pengusaha global sehingga barangnya turun dari harga standar karena “Mafia Perdagangan Global” yang tidak ada dalam ukuran hitungan ekonomi. Jika seandainya ada terdapat kenekatan daerah berupaya nekad bermain dalam mekanisme tersebut. dimana sistem secara umum dirancang untuk kepentingan korporasi besar yang tergabung dalam WTO yang sifatnya adalah profesional dan rasional suatu saat daerah akan terjadi penghambaan terhadap korporasi tersebut. mungkin hal ini belumlah menjadi sebuah kenyataan tetapi proses pertumbuhan kapitalisasi lewat mekanisme perdagangan bebas terus merasuk dalam mimpi para elit dunia ketiga. Dimana slogan globalisasi perdagangan dunia dengan There Is No Alternative (TINA) atau tidak ada alternatif lain. Semboyan tersebut dalam upaya penyamaan ideologi dalam pengusaan dan mekanisme perdagangan semakin seru seiring dengan tumbangnya seteru dari kapitalisme itu sendiri yaitu komunisme. Sehingga dunia menjadi jauh lebih sempit dan tampa jarak antara utara dan selatan saja atau maju dan terkebelakang. Dimana pertanyaan yang mesti dijawab TINA diatas terus dicari, tetapi sekali lagi dengan apa? Sebab, pada kenyataannya sistem ini telah banyak mengorbankan dunia ketiga dan
untuk itu tidak ada yang dapat berbuat kecuali pasrah bahkan ikut menjadi agen kapitalisme. Sehingga untuk era desentralisasi yang hingga saat ini masih memperlihatkan perkembangan baik-baik saja, dikarenakan belum begitu menjamurnya perusahaan modal internasional yang turut mendukung pembangunan di daerah, yang meskipun ada, masih dilakukan dengan cara yang diam-diam (non formal), tetapi fakta ini telah banyak terjadi, dan banyak digunakan jasanya oleh para pengusaha dan pemerintah baik untuk kepentingan bisnis atau investasi usaha ataupun untuk kepentingan aktivitas politik. Saat sekarang ada kegembiraan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, diera pasar bebas dengan iming-iming kesejahteraan bagi seluruh jagad manusia. Bagi saya, ini seperti kondisi yang dikemukakan oleh Kabb sebagai kebahagiaan Irrasional yaitu posisi senang, sementara kita tahu telah banyak korban yang berjatuhan. Untuk itu kemandirian, seperti yang dibangun Jepang dan dicontoh oleh Malaysia menjadi strategi yang jadi dambaan meskipun sangat sulit bagi jawaban strategi desentralisasi indonesia untuk sedikit dapat keluar dan menyelamatkan diri dari imperialisme korporasi dunia lewat WTO, ketika penguasaan ideologi pembangunan yang diyakini oleh elit dan birokrasi daerah yang terbaik (better) adalah model WEST (barat). PENUTUP Desentralisasi hanyalah merupakan proyek bagi kapitalis global jika identitas kebangsaan yang menjadi perekat nilai tidak dapat memfilter kepentingan masyarakat terhadap perkembangan global yang terjadi terutama dalam ruang investasi. Jebolnya konsep negara bangsa , kini tengah mengancam integritas territori yang terbangun dalam sebuah negara yang berdaulat. Untuk saat ini, bagi para hyper globalist, maka nasionalisme ditinjau kembali sehingga yang tersisa hanyalah akumulasi modal. Salah satu penghambat laju kapitalisasi liberal dunia kini telah hilang seiring dengan berlalunya (ambruknya) komunisme, sehingga imperialisme ke selatan genjar dilakukan dengan bermacam paket pembangunan. Strategi bantuan (charity) memang sangat ampuh mematikan akal sehat para elit dunia ketiga dengan masyarakatnya yang periferi, dimana terlena ketika ditawarkan segepok uang atau materi bagi biaya pembangunan yang pada akhirnya harus dibayar dengan ketakberdayaan (mematikan). Segalanya seperti budaya, etika, sungai, danau, udara yang bersih, air, pemandangan indah bahkan hutan belantara yang rapat berganti dengan kegersangan dan penderitaan panjang bagi masyarakat sekitarnya. Fenomena ini sekali lagi membuktikan pendapat Frederich List bahwa sejak orang Troya mendapatkan hadiah kuda kayu dari orang Yunani, maka negaranegara yang menerima hadiah dari negara lain harus berpikir dua kali sebelumnya. Dengan kata lain, dalam kehidupan kenegaraan, tidak ada yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri. Hal ini, menjelaskan kepada kita bahwa, pada prinsipnya suatu bantuan yang diberikan
18 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 11 - 20
oleh suatu bangsa, negara atau apapun namanya tidak tanpa pretensi. Salah satu hal baru di WTO adalah dengan lahirnya MAI (Multilateral Agreement On Investment atau perjanjian multilateral mengenai investasi yang tujuannya membuat peraturan global yang membatasi hak dan kemampuan pemerintah untuk mengatur spekulasi mata uang, investasi tanah, pabrik, jasa, saham dan lain-lain. Dimana ini bertujuan melarang pertimbangan perusahaan atau negara akan hak asasi manusia, buruh dan lingkungan sebagai kriteria investasi. Di sini pemerintah harus memberikan korporasi asing hak absolut untuk memasuki pasar dan memperoleh hak istimewa. Melarang ketentuanketentuan investasi tertentu, seperti kewajiban daur ulang atau memakai kandungan lokal dalam barang yang diproduksi, atau memakai pekerja lokal. Melarang pengaturan spekulasi uang panas (money loundring) yang merupakan penyebab terbesar krisis keuangan Asia yang menghancurkan, bahkan ada mekanisme yang memungkinkan bagi perusahaan untuk menuntut pemerintah yang kebijakannya dianggap merugikan mereka. Negative Effect dari dari semua ini akan lebih banyak ketimbang Positif Effect di saat pembangunan tertumpu di daerah dan masyarakat sebagai tumpuan atau pusat pembangunan (People Centered Development). Mahbub Ul Haq mengatakan bahwa” pengejaran hidup dengan standar hidup orang barat hanya merupakan ilusi, kesenjangan dalam 20 tahun terakhir terus melebar di mana yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Di mana hal tersebut dibangun diatas nilai-nilai liberalis barat. Meskipun demikian bahwa saat ini, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai standarisasi dan ketentuan bagi daerah untuk dapat terlibat dalam jaringan global terutama investasi. Salah satu poin penting yang tekah diberikan adalah diberikannya batasan untuk hubungan kerja sama antara daerah dengan pihak luar yang harus mendapatkan asistensi dari negara melalui kantor sekretarias negara, kemendagri maupunkemenlu. Namun yang harus diperhatikan bahwa semua daerah kini digalang oleh lembaga internasional untuk terus berkembang baik lewat agen mereka yang sangat aktif melihat peluang yang dapat menarik simpati dari masyarakat dan pemerintah Indonesia dan daerah. Sebab daerah kini memiliki wewenang yang luas untuk mengeksplorasi sumber dayanya, dan sangat membutuhkan investasi agar mampu mengoptimalkan pembangunan. Selain disini karena Indonesia merupakan pasar terbesar bagi negara over produksi, sumber daya alam dan geo politik. Menempatkan dia sebagai agen terbaik bagi kapitalisme. Bukan tidak mungkin bahwa berbagai mekanisme kerjasama korporatisme baik bersifat B to B maupun G to G akan tidak dapat menjangkau secara mendalam berbagai persoalan yang mungkin dapat terjadi dikarenakan euphoria desentralisasi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Albert O. Hirscman. 1988. “Dissenter’s confession: The strategy of economic development’ revisited, dalam Meier and seers. Pioneers In Development. Arief Budiman. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta B.C. Smith. 1985. Decentralization The Territorial Dimension Of The State. George allen & Unwin Pub. Ltd 40 Museum street. London. Bob Sugeng Hadiwinata. 2002. Politik Bisnis Internasional. Kanisius. Yogyakarta. Deddy Supriady B.K.Phd & Dadang Solihin, MA. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia utama Pustaka. Jakarta Dieter sienghaash., 1988. Tata Ekonomi Dunia dan Politik Pembangunan Pledoi untuk Disasoasi. LP3ES. Jakarta. Drajad Wibowo. (prolog). 2003. Arbitrase Utang Peneylesaian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia.” INFID Jakarta. infid.co.id. James Petras Dan Henry Velt Meyer. 2002. Imperialisme Abad 21 (terj). kreasi wacana. Yogyakarta. Jhon Cavanaught, Simon retallack, Caroll Welch dalam International Forum on Globalization, seri kajian globalisasi. 2003. Globalisasi Kemiskinan Dan Ketimpangan. Cindelaras. Yogyakarta. Manifesto communis dikutip oleh A. Tony Prasetyantono, dalam Coen Husain pontoh, 2003. Globalisasi Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa. C-Books. Yogyakarta. Mulyarto., 2004. Materi kuliah kelas Paradigma Structural Non-Marxis. Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM. Jogyakarta. Mulyarto. 1987. Politik Pembangunan. Tiara Wacana. Yogyakarta. William T. Kabb (terj). 2003. Tabir Politik Globalisasi. Lafadl. Yogyakarta.
Bayang-Bayang World Trade Organization (WTO) dalam Kebijakan Desentralisasi Indonesia – M. Nur Alamsyah | 19
20 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 11 - 20
PROBLEMATIKA DAN TANTANGAN DESENTRALISASI DI INDONESIA DESENTRALIZATION PROBLEMS AND CHALLENGES IN INDONESIA Kristian Widya Wicaksono Jurusan Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan Jl.Ciumbuleuit No. 94 Bandung, Telepon (022) 203357 Telepon: +6281 809 389 336 e-mail:
[email protected] Diterima: 11 Januari 2012, Direvisi: 24 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Dampak gerakan reformasi tahun 1998 yang cukup besar terhadap pola organisasi pemerintah adalah dilaksanakannya desentralisasi. Desentralisasi merupakan teknik manajemen yang mencoba meningkatkan ukuran-ukuran kinerja kelembagaan seperti efektvitas dan efesiensi dalam bentuk pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, faktanya semenjak kebijakan desentralisasi dilaksanakan pada tahun 2001, banyak problem yang belum terselesaikan. Sehingga jalannya desentralisasi belum mencapai paripurna yang diharapkan. Tulisan ini mencoba memaparkan perjalanan implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia serta bagaimana problem yang terjadi di dalamnya. Kata Kunci: desentralisasi, kinerja, pelayanan publik, peraturan daerah dan kompetensi aparatur pemerintah daerah Abstract The impact of the reform movement in 1998 which is quite large on the pattern of government organizations is the implementation of decentralization. Decentralization is a management technique that tries improve institutional performance measures such as efektvitas and efficiency in the form of delegation of authority from central to local government. However, the fact that since decentralization policy implemented in 2001, many unresolved problems. So that the course of decentralization has not reached the expected complete. This paper attempts to describe the journey implementation of decentralization policies in Indonesia and how the problems that occur in it. Keywords: decentralization, performance, public service, local regulation of local government reform and competency
PENDAHULUAN Dalam konteks pengelolaan organisasi, desentralisasi merupakan sebuah teknik manajemen untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi suatu organisasi dalam bentuk pendelegasian kewenangan dari level struktur organisasi yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Pada aspek efektivitas, penyerahan kewenangan akan membantu organisasi untuk mencapai hasil (outcomes) sesuai dengan tujuan yang telah didesain sebelumnya dalam perencanaan. Sebab terdapat keleluasaan bagi level organisasi yang bersentuhan langsung dengan produksi baik barang maupun jasa dalam hal pengambilan keputusan untuk merespon perkembangan termutakhir pada organisasi tersebut. Sedangkan pada aspek efesiensi, penyerahan kewenangan akan membuat organisasi dapat menekan kuantitas sumberdaya organisasi dan lebih berorientasi pada kuantitas dan kuliatas produk (output) yang disajikan organisasi tersebut. Pada tataran organisasi pemerintah, desentralisasi dapat dipahami sebagai konsekuensi dari interaksi yang berlangsung antara lembaga
pemerintah yang berbeda kedudukannya secara struktural yakni antara pemerintah di level tinggi dengan yang berada di bawahnya. Pemahaman atas interaksi tersebut menekankan pada aspek keleluasaan otoritas di level bawah untuk mengelola dan menjalankan pemerintahan-nya secara mandiri tanpa campur tangan yang mendalam dari lembaga Pemerintah yang berada di level atas. Keleluasaan pengelolaan tersebut acapkali diistilahkan independence of localities. Melalui hal ini desentralisasi diharapkan mampu untuk mendorong pewujudan stabilitas politik, efektivitas pelayanan publik, mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam aspek stabilitas politik, desentralisasi akan menekan rasa kekecewaan di daerah terhadap sentralisme kekuasaan pemerintah pusat. Terutama dalam hal pengerukan sumber-sumber di daerah oleh pemerintah pusat yag kurang diimbangi dengan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah. Sehingga desentralisasi diharapkan mampu meredam gejolak politik dengan merevitalisasi lembaga dan proses politik di daerah.
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia – Kristian Widya Wicaksono | 21
Pada aspek efektivitas penyeleng-garaan pelayanan publik dapat ditinjau dari kesesuaian antara penyediaan layanan publik dengan kebutuhan masyarakat. Dengan desentralisasi diharapkan level pemerintahan di daerah lebih mengetahui dan mengenal dengan akurat kebutuhan masyarakat. Sehingga layanan publik yang disediakan benarbenar menjawab ke-butuhan masyarakat dan bukan dipersep-sikan atas kebutuhan kekuasaan semata. Desentralisasi juga diharapkan mampu untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sebab pelipahan kewenangan terutama di bidang fiskal akan mendorong daerah untuk menge-reasikan program-program inovatif bagi pengentasan kemiskinan. Selain itu rantai sirkulasi fungsi redistribusi pendapatan lebih pendek dibandingkan dengan pengelolaan fiskal yang tersentralisasi oleh pemerintah pusat. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan responsivitas program pemerintah terhadap kepentingan orang miskin. Makna Desentralisasi Hulme dan Turner (1997:152) menyatakan bahwa “...decentralization within the state involves a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or agency in central government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served.” Hulme dan Turner menakankan desentralisasi pada aspek penyerahan otoritas pada level pemerintahan yang berbeda dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga desentralisasi semata-mata dilaksanakan atas dasar pertimbangan peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di tingkat lokal dimana masyarakat secara langsung bersentuhan dengan pemerintah sehingga pelayanan publik tersebut benar-benar berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Medina Marcela (2002) menyampaikan bahwa desentralisasi merupakan “...the process by which the central government transfers powers, functions and resources to departments and municipalities. Its goal is to increase the autonomy of the sub national levels of government and encourage more direct citizen participation in local public affairs.” Gagasan Medina dan Marcela tersebut menjelaskan bahwa proses desentralisaasi merupakan pendelegasian kekuasaan, fungsi-fungsi dan sumberdaya dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi (level nasional) ke tingkat yang lebih rendah (level Sub-Nasional). Tujuannya adalah penguatan otonomi pemerintah daerah serta mendorong partisipasi warga masyarakat di tingkat lokal dalam urusan-urusan publik. Dapat dicatat dari pendapat tersebut bahwa terdapat tiga hal yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yakni: 1. Kekuasaan untuk menjalankan pengambilan keputusan secara cepat dan akurat guna
merespon proble-matika serta urusan-urusan publik yang tengah dihadapi oleh masyarakat di daerah. 2. Menjalankan fungsi-fungsi krusial pemerintah yaitu memainkan peran dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana yang sudah ditegaskan dalam konstitusi negara bagi masyarakat pada tingkat daerah sehingga kehadiran pemerintah dapat dirasakan secara lebih nyata. 3. Pelimpahan sumberdaya yang memungkinkan pemerintah daerah dalam konteks kapasitas kewenang-an yang dimilikinya untuk menyediakan barang publik dan melaksa-nakan penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Barret, Mude dan Omiti (2007:1) mengagas bahwa desentralisasi adalah “...devolved administrative, political and fiscal authority from central government to regional and local jurisdiction...” Dalam tulisan Barret, Mude dan Omiti ditegaskan bahwa penyerahan kewenangan dalam desentralisasi merupakan paket yang terdiri dari: desentralisasi administratif, desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal. Ketiga kategori tersebut menjadikan desentralisasi sebagai suatu pendekatan manajerial yang sistemik dan utuh guna memperkuat keleluasaan pemerintah di aras bawah dalam mewujudkan kepeme-rintahan yang berorientasi pada pember-dayaan masyarakat lokal. Crawford dan Hartmann (2008:7) menjelaskan bahwa “Desentralisation entails the transfer of power, responsibilities and finance from central government to sub-national levels of government at provincial and/or local levels.” Pengertian ini sejalan dengan pendapat Barret, Mude dan Omiti sebelumnya yang menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan paket pendele-gasian kewenangan yang meliputi tiga hal yakni kekuasaan, tanggungjawab dan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan desentralisasi berkem-bang cukup pesat. Dalam laporan USAID (2000) disampaikan bahwa secara empiris proses desentralisasi dan pengembangan pemerintah lokal yang demokratis merupakan fenomena yang terus tumbuh dan berkembang di berbagai negara. Dimulai di kawasan eropa timur yakni Bolivia ke Bulgaria, dari Afrika Barat hungga ke Asia Selatan. Negaranegara di kawasan tersebut terus berupaya secara gradual dan sistematik mentransfer kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah daerag dan bekerja lebih serius agar pemerintah lokal lebih efektif dan responsif dalam penyelenggaraan pelayan-an di wilayahnya. Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendorong sejumlah negara menerapkan desentralisasi. Pertama, desentralisasi dilakukan karena sejumlah negara mengharapkan eksisnya unit pemerintahan yang lebih kecil. Dorongan ini muncul
22 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 21 – 28
karena rezim pemerintah yang berkuasa sebelumnya adalah resim yang diktaktor dan menerapkan pola hubungan antar pemerintahan yang berbeda level secara sentralistik. Alasan kedua adalah mengurangi rentang kewenagan pemerintah pusat yang terlalu besar. Sebab rentang kewenangan yang begitu besar menyebabkan konsentrasi pekerjaan penyelenggaraan pemerintahan menjadi terakumulasi pada institusi pemerintah pusat. Hal ini menyulitkan bagi pemerintah pusat untuk bergerak secara lebih leluasa terutama untuk memperhatikan secara mendetail aspek-aspek yang terkait dengan interaksi investasi dan perdagangan secara internasional. Dengan pendelegasian kewenangan kepada daerah kesempatan untuk menekuni interaksi investasi dan perdagangan internasional terbuka luas sehingga negara tersebut dapat bergabung dalam arena pasar secara lebih efisien. Sedangkan alasan ketiga adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pada tingkat lokal serta meningkatkan akuntabilitas. Selain diasumsikan mempekuat institusi lokal, desentralisasi juga mampu mendorong pemberdayaan komunitas guna mengelola sumberdayanya secara lebih efektif, sebab dalam perkembangannya agenda pem-bangunan didesain untuk lebih berpihak pada komunitas miskin dan berfokus pada pendekatan bottom-up dalam pola pembagunan mayrakat. Semenjak tahun 1990an kecenderungan tersebut nampak menggejala terutama desain program pengentasan kemiskinan yang dikaitkan dengan penerapan Kepemerintahan yang baik guna meningkatkan integritas, akuntabilitas dan responsivitas pemerintah di level daerah. Dalam sudut pandang administrasitf, maka terdapat dua aspek yang melatarbelakangi pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dalam konteks
penyedia layanan (agen pemerintah) dengan pengguna layanan (masyarakat). Hal ini erat hubungannya dengan rentang kendali pemerintahan. Seringkali dengan luasnya area teritorial suatu negara, kenhadiran nyata pemerintah di tengahtengah masyarakat yang berdomisili di lokasi-lokasi tertentu seperti pulau terluar atau daerah pendalaman nampak kurang terasa hangat. Sehingga desentralisasi menjadi instrumen pemecah kebuntuan bagi pemerintah pusat untuk meperkuat rentang kendali tersebut dan mengembalikan pengakuan masyarakat sebagai bagian yang terintegrasi dari suatu wilayh negara tertentu. Kedua, Aspek Fungsional yakni pelimpahan kewenangan kepada agen tertentu yang secara fungsional telah terspesialisasi. Hal ini biasanya dilakukan dalam konteks limpahan bidang urusan spesifik misalnya privatisasi perusahaan negara untuk meringankan beban anggaran negara dalam hal penyertaan modal rutin. Meskipun perusahaan negara tersebut memproduksi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak. Bila ditelaah lebih mendalam maka kita dapat mengategorikan pelimpahan kewenangan ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Delegasi dalam struktur formal politik yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerinatah daerah. 2. Pelimpahan dalam kegiatan administrasi publik atau dalam organisasi sejenis yang berbeda tingkatan seperti dari Kementerian di level Pemerintah Pusat kepada Kantor Wilayah perwakilan Kementerian di Daerah. 3. Pengalihan kewenangan dari sebuah institusi negara kepada sebuah agen non-pemerintah seperti divestasi Tabel 1 menunjukkan kepada kita pembedaan aspek teritorial dengan fungsional dalam tiga jenis pelimpahan kewenangan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Tabel 1. Bentuk-Bentuk Desentralisasi Hakikat Delegasi
Dasar Delegasi Territorial
Fungsional Deovlusi Keterwakilan kelompok (desentralisasi politik, pemerintah kepentingan lokal, desentralisasi demokrasi) Dalam Kegiatan administrasi Dokonsentrasi Pendirian lembaga payung di Publik atau dalam organisasi (desentralisasi administrasi, bidang tingkat pusat sejenis yang berbeda tingkatan administrasi) Dari sektor negara kepada Privatisasi pada fungsi-fungsi yang Privatisasi atas fungsi nasional sektor pivat dapat dialihkan (deregulasi, (divestasi, deregulasi, liberalisasi contracting out, voucher schemes) ekonomi) Sumber: Diadaptasi dari G. Hyden (1983) No Shortcuts to Progress: African Development Management in Perspective Dalam Struktur Formal Politik
desentalisasi. Pertama, Aspek Teritorial (kewilayahan), hal ini dimotivasi oleh keinginan untuk menempatkan kewenangan pada level pemerintahan yang lebih rendah dalam hirarki teritorial dan secara geografis lebih dekat antara
Guna mengefektifkan perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau kepada aktor non-pemerintah maka dibutuhkan sejumlah penyesuaian khususnya terkait dengan aspek pertanggungjawaban. Hal ini
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia – Kristian Widya Wicaksono | 23
dimaksudkan agar pelimpahan kewenangan tidak berakibat pada terciptanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah daerah. Sehingga selaku pemegang otoritas awal pemerintah pusat tetap dapat memastikan bahwa tujuan strategis penyelenggaraan desentralisasi tetap dapat dicapai khususnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Urgensi dan Manfaat Desentralisasi Sumber utama yang mendukung desntralisasi datang dari teori politik klasik demokrasi liberal yang dikemukakan oleh John Stewart Mill. Mill melihat baik pada level nasional maupun lokal akan mendapatkan keuntungan dari peralihan dan partisipasi massa dalam struktur formal politik pada level lokal. Keuntungan tersebut menurut Hulme dan Turner (1997) diantaranya adalah: 1. Pendidikan politik. Desentralisasi menyediakan pembelajaran yang berharga bagi masyarakat daerah untuk memahami dan menghargai perbedaan dalam kepentingan politik, proses dan seleksi alamiah bagi anggota legislatif, proses kebijakan (policy process), perencanaan dan pengembangan daerah serta alokasi dan disribusi sumberdaya daerah yang tercermin dalam anggaran daerah, 2. Pematangan bagi politisi lokal. Desentralisasi mendorong pematangan kepemimpinan politik di daerah dalam hal formulasi kebijakan, penguatan partai politik di aras akar rumput dan peningkatan kemampuan politisi lokal dalam proses penganggaran publik. Kedepannya pematangan kapasitas politisi lokal tersebut dapat berkontribusi positif bagi kemampuan untuk mengartikulasikan secara akurat kebutuhan masyarakat serta memperlancar sirkulasi partai politik dalam menempatkan kadernya di level nasional. 3. Terciptanya stabilitas politik. Hal ini dijamin oleh partisipasi masyarakat daerah dalam arena politik formal seperti melalui Pemilihan Kepala Pemerintahan lokal secara langsung, dukungan aktif masyarakat kepada partai politik sehingga menguatkan kepercayaan masyarakat dalam pemerintahan dan menghasilkan keselarasan sosial dan semangat kebersamaan dalam komunitas. 4. Keadilan secara politis. Partisipasi politik yang besar diasumsikan akan mengurangi kemungkinan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada segelintir elit politik. Kekuatan politik akan lebih luas terdistribusi sehingga desentralisasi menjadi mekanisme yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan komunitas masyarakat yang selama ini termarginalkan. 5. Akuntabilitas. Hal ini akan meningkat sebab keterwakilan lokal lebih mudah diakses oleh
masyarakat daerah dan lebih mendekati akuntabilitas atas kebijakan dan pencapaian output (hasil) dibandingkan dengan kepemimpinan politik pada level nasional (atau pelayanan publik pada level nasional) yang jaraknya relatif jauh. Pemungutan suara pada pemilihan lokal adalah mekanisme yang unik untuk masyarakat daerah menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap kinerja dari anggota legislatif. 6. Responsivitas pemerintah akan meningkat karena pelimpahan kewenangan kepada pemerintah lokal merupakan pilihan terbaik untuk mengetahui karakteristik sesungguhnya dari kebutuhan lokal dan pemenuhannya dari aspek pembiayaan secara efisien. Sedangkan dari aspek manajemen pemerintahan sejumlah hal justeru jauh lebih baik dikelola dalam tatanan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Peningkatan kinerja tersebut setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut ini: 1. Perencanan spesifik lokal dapat disusun untuk daerah lokal menggunakan informasi yang detail dan mutakhir dan hanya tersedia secara lokal 2. Koordinasi inter-organisasi dapat dicapai pada level lokal sebab rentang koordinasi yang tidak terlalu luas. 3. Eksperimentasi dan inovasi dapat dibantu perkembangannya melalui desentralisasi sehingga meningkatkan kesempatan untuk menyusun perencanaan pembangunan yang lebih efektif 4. Peningkatan motivasi pegawai pemerintah daerah sebab mereka memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap program yang mereka kelola. 5. Mereduksi terlalu penuhnya pekerjaan pada pemerintah pusat, sehingga mereka dapat melepaskan rutinitas pengambilan keputusan dan memiliki waktu lebih untuk mempertimbangkan issue strategis pada level nasional sehingga kualitas kebijakan terus meningkat Wajah Desentralisasi di Indonesia Pada dasarnya upaya untuk menyelenggarakan desentralisasi di Indonesia sudah berjalan semenjak masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) melalui pemberlakukan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Kebijakan ini kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintah Daerah. Memasuki fase demokrasi parlementer (1950-1959) maka pemantapan penyelenggaraan desentralisasi ditindaklanjuti melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa revolusi
24 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 21 – 28
kemerdekaan dan demokrasi parlementer tersebut, pemerintah menjalankan otonomi yang nyata dengan memberikan keleluasaan yang mengakar bagi pemerintah di daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun, memasuki masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno melakukan resentralisasi kekuasaan dan kewenangan pengelolaan pemerintahan dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang kemudian diunadangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Soekarno mengistiahkan desentralisasi sebagai otonomi terbatas yakni melegitimasi kontrol pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintah di daerah. Sentalisasi ini berlanjut pada masa orde baru, meskipun melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ide desentralisasi kembali digaungkan, namun dalam pelaksanaannya pola pembangunan yang sentralistik dengan pendekatan yang bersifat top-down terasa begitu kentara. Memasuki masa Reformasi, desentralisasi menjadi suatu agenda utama yang dijalankan untuk merespon harapan masyarakat yang menginginkan hasil-hasil pembangunan bisa dirasakan secara berkeadilan bagi seluruh warganegara Indonesia. Tepat tanggal 1 Januari 2001, kebijakan Desentralisasi resmi kembali dijalankan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dikemudian hari direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain menyentuh aspek pengelolaan pemerintahan, desentralisasi juga diarahkan pada aspek pengelolaan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004. Kedua produk kebijakan tersebut memberikan harapan baru bagi pemerintah Indonesia untuk menjalankan strategi yang berbeda dalam pengelolaan pemerintahan baik dalam aspek politik mauapun administratif. Pada aspek politik, kebijakan desentralisasi memberikan dasar bagi pertumbuhan demokrasi yang memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah dan komunitas lokal. Sedangkan secara administratif, pemerintah pusat dapat mengurangi beban tanggungjawabnya dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamantakan tiga tujuan desentralisasi, yaitu: (1) Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat; (2) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dan (3) Memperkuat Daya Saing. Bila dicermati lebih lanjut ketiga tujuan tersebut merefleksikan harapan tertinggi bagi pemberdayaan masyarakat lokal sehingga kesejahteraan dapat dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat Indonesia.
Undang-Undang ini juga secara rinci memperlihatkan pola pendegelasian wewenang dari pemerintah pusat ke masing-masing pemerintah daerah. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota yang terjadi di Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Pusat kewenangannya meliputi: (1) Politik Luar Negeri, (2) Pertahanan, (3) Keamanan, (4) Yustisi, (5) Moneter & Fiskal, (6) Agama 2. Pemerintah Provinsi kewenanganya adalah: (1) Perencanaan Pengendalian & Pengendalian pembangunan (2) Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, (3) Ketertiban umum dn ketentraman masyarakat, (4) Penyediaan sarana & prasarana umum, (5) penanganan kesehatan (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial (7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota (8) pelayanan bidang ketenaga kerjaan lintas kabupaten/kota (9) fasilitasi pengembangan koperasi dan UKM termasuk lintas kabupaten/kota (10) Pengendalian lingkungan hidup (11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota (12) kependudukan & catatan sipil, (13) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota (15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota (16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan 3. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota kewenangannya yaitu: (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan (2) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang (3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat (4) penyediaan sarana dan prasarana umum (5) penanganan bidang kesehatan (6) Penyelenggaraan pendidikan, (7) penanggulangan Masalah sosial, (8) pelayanan bidang Ketenagakerjaan, (9) Fasilitator pengembangan Koperasi dan UKM, (10) pengendalian lingkungan hidup (11) Pelayanan Pertanahan, (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil (13) pelayanan administrasi umum pemerintahan (14) pelayanan Administrasi Penanaman Modal, (15) penyelenggaraan Pelayanan Dasar lainnya (16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan Problematika Desentralisasi di Indonesia Pelaksanaan desentralisasi pada masa reformasi pada hakikatnya membawa angin segar bagi pemerintah daerah untuk berkiprah lebih nyata di tengah-tengah masyarakat yang diayominya. Namun, pada prinsipnya kita tidak dapat menutup
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia – Kristian Widya Wicaksono | 25
mata dari kendala empiris yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Pertama, munculnya Peraturan Daerah (Perda) bermasalah. Berdasarkan catatan Departemen Dalam Negeri, jumlah Perda yang dinilai bermasalah dan telah dibatalkan hingga tahun 2011 adalah sebanyak 4000 buah. Artinya jika dipadankan dengan pelaksanaan desentralisasi yang memasuki masa satu dasawarsa maka rata-rata kemunculan Perda Bermasalah mencapai angka 400 buah per tahunnya. Menurut Departemen Keuangan, investasi pembuatan satu buah Perda mencapai angka tiga ratus juta rupiah, jika dipadankan dengan angka 4000 Perda Bermasalah yang telah dibatalkan maka sumberdaya yang pemanfaatannya inefesien mencapai jumlah enam belas triliun rupiah. Inefesiensi ini mencerminkan bahwa produk hukum di daerah belum mampu mengantarkan masyarakat pada peningkatan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, Anggaran Daerah lebih banyak dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Sekira tujuh puluh persen anggaran belanja daerah dialokasikan untuk keperluan belanja pegawai. Saat ini diperkirakan sekira 120 Pemda di Indonesia terancam mengalami kebangkrutan sebab Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimilikinya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan anggaran. Bila dirata-ratakan menurut Data Departemen Dalam Negeri diketahui hanya sekira 5% saja kebiutuhan anggaran dapat dipenuhi oleh PAD sisanya mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan oleh pemerintah pusat. Ketiga, euforia pemekaran wilayah. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Kementerian Dalam Negeri diketahui bahwa selama 10 tahun sejak 1999 hingga 2009 telah terbentuk 205 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang meliputi 7 Provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Saat ini, jumlah daerah otonom di Indonesia adalah 524 daerah yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di DKI Jakarta. Maraknya pemekaran yang terjadi selama 10 tahun terakhir tersebut cukup membebani Anggaran Negara. Pada tahun 2003 dikucurkan DAU Rp. 1,33 triliun bagi 22 DOB, tahun 2004 Rp 2,6 triliun bagi 40 DOB dan 2010 Rp 47,9 triliun. Beban APBN makin bertambah, akibat lemahnya kapasitas keuangan DOB, termasuk memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Keempat adalah lemahnya perolehan Pendapatan Daerah sebagai akibat dari kewenangan pajak yang terbatas. Perlu diakui bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia saat ini belum berjalan secara optimal. Pemerintah daerah hanya diserahi kewenangan untuk menjalakan sejumlah
kegiatan pelayanan dan penyediaan barang publik sementara di sisi kewenangan pajak masih banyak pajak-pajak strategis yang dipungut oleh Pemerintah Pusat seperti pajak bumi dan bangunan serta pajak penghasilan. Alhasil pemerintah daerah belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan anggarannya dengan mengandalkan dari sumber pendapatan daerah. Kelima terkait degan masalah integrasi pembangunan nasional baik dari aspek perencanaan maupun realisasi pembangunan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Kepala Daerah yang memiliki program pembangunan tersendiri menyebabkan pemerintah pusat agak kesulitan untuk mengintegrasikan antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang merupakan program yang ditwarkan saat Presiden berkampanye dengan Recana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diwatarkan saat Kepala Daerah berkampanye. Apalagi jika hal ini ditinjau dari aspek politis yaitu latarbelakang partai politik dari masing-masing Kepala Daerah dengan Presiden. Alhasil banyak program pembangunan yang sulit untuk diharmoniskan oleh pemerintah akibat perbedaan arah dan asumsi kebijakan yang digunakan oleh masing-masing pihak. Keenam adalah masalah kesiapan aparatur pemerintah daerah untuk mengemban kewenangan yang dimilikinya. Mekanisme pemerintahan yang sentralistik di masa pemerintahan orde baru membuat aparatur pemerintah daerah biasa tergantung pada pemerintah pusat. Sebab saat masa orde baru, aparatur pemerintah daerah terbiasa hanya menerima komando saja dari pemerintah pusat, seluruh kebutuhan implementasi kebijakan mulai dari anggaran, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sudah disediakan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada kasus penanganan gedung sekolah yang roboh hingga penanganan banjir yang lamban sebagai akibat lemahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah. Belum lagi masalah kemampuan daerah untuk menyusun laporan keuangan sebagaimana standar laporan keuangan yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri, hingga saat ini tidak seluruh Pemerintah Daerah mampu menyusun laporan keuangan sebagaimana standar yang tersedia. Ketujuh merupakan masalah yang berhubungan dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Mulai antara kawasan perkotaan dan pedesaan, kemudian antara wilayah Indonesia Bagian Barat dengan wilayah Indonesia Bagian Timur. Kemudian kesenjangan antara Pembangunan di Pulau Jawa dengan pembangunan di luar pulau Jawa. Serta leahnya pembangunan di kawasan perbatasan negara dan pulau-pulau terluar di Indonesia. Problematika tersebut hingga saat ini menjadi masalah ketidakadilan pembangunan yang menyebabkan daerah-daerah di berbagai kawasan
26 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 21 – 28
merasa bahwa penyelenggaraan otonomi daerah belum sepenuhnya membawa keadilan bagi masyarakat. Kedelapan, adalah masalah yang terkait dengan resentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan lebih memperkuat birokrasi pemerintahan melalui penambahan jabatan dan organisasi di lingkungan pemerintah pusat. Barubaru ini salah satu yang cukup menarik perhatian public adalah penambahan jabatan pada level kementrian yaitu jabatan wakil menteri. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cukup banyak kementrian yakni 34 kementrian. Jumlah ini adalah dua kali lipat lebih dari kementrian di Amerika Serikat yang hanya memiliki 15 kementrian. Sehingga jabatan wakil menteri semakin membuat birokrasi pemerintah pusat bertambah gemuk. Hal ini menjadi ironis sebab saat ini Indonesia sedang menjalangkan desentralisasi yang sehusnya memperkuat birokrasi di level pemerintah daerah. Rekomendasi Penyelesaian Masalah Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan dasar dalam penyelesaian problematika desentralisasi di Indonesia. Pertama adalah dibutuhkan memperjelas pembagian kewenangan antar dua level pemerintah lokal yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini perlu diatur secara konstitusional sehingga ada kejelasan pembagian kewenangan antar dua level pemerintahan tersebut untuk bertanggungjawab atas sejumlah pelayanan lokal yang strategis agar menghindari tumpang-tindih urusan dan pembiyaan ganda. Kedua, daerah yang memperoleh limpahan kewenangan hendaknya memiliki kekayaan, anggaran dan dana cadangan yang memadai. Hal ini juga hendaknya didukung dengan kapasitas menggalang penerimaannya sendiri sepanjang hal tersebut sesuai dengan substansi kewenangan yang dimilikinya. Oleh karenanya, penguatan kapasitas pemungutan pajak oleh pemerintah daerah merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari dalam konteks negara yang menjalankan kebijakan desentralisasi. Maka dari itu, perlu untuk kembali dipertimbangkan distribusi kewenangan pemungutan pajak baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pajak yang strategis hendaknya diserahkan kepada lini desentralisasi yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat sehingga kebijakan desentralisasi dapat memberikan manfaat dan dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pemerintah daerah harus memperkerjakan aparatur pemerintahan yang kompeten. Artinya aparatur pemerintah daerah hendaknya direkrut melalui merit sistem (sistem yang sesuai dengan regulasi), dipecat apabila tidak kompeten, dapat dialihkan ke pekerjaan lain atas
alasan profesionalitas dan efektifitas kerja serta dipromosikan sesuai dengan masa kerja serta kinerja yang mampu ditunjukkannya. Oleh karenanya, program reformasi kepegawaian di lingkungan pemerintah daerah hendaknya mulai ditata secara sistematik dan rasional. Badan Kepegawaian Daerah harus mengambil peranan yang signifikan dalam menentukan proses tersebut, sehingga mekanisme kepegawaian dapat dijalankan secara adil dan transparan untuk menciptakan organisasi pemerintah daerah yang handal. Keempat, penguatan lembaga legislatif yang dipilih oleh masyarakat lokal sehingga mampu mengoperasikan garis kebijakan partai, memutuskan kebijakan dan menentukan prosedur internal dalam kepartaiannya. Salah satu penyebab lahirnya Perda bermasalah adalah lemahnya kapasitas lemabaga legislative daerah untuk menghasilkan Perda-Perda yang berkualitas. Oleh karenanya, rekruitmen politik yang dijalankan partai politik hendaknya lebih diperbaiki sehingga kualitas kader-kader mereka yang nanti akan ditempatkan di lembaga legislatif bisa dipertanggungjawabkan. Kelima, administrasi pemerintah pusat sebaiknya melayani secara murni sebagai penasehat eksternal dan inspektor serta tidak memiliki peranan yang sangat strategis dalam kewenangan lokal. Oleh karenanya, penguatan kelembagaan pemerintah daerah harus menjadi prioritas dengan cara merampingkan struktur pemerintah pusat dan melakukan spesialisasi pekerjaan secara efektif di level pemerintah daerah. DAFTAR PUSTAKA Barret Christopher B., Andrew G. Mude and John M. Omiti. 2007. Decentralization and the Social Economics of Development: Lessons From Kenya. CAB International. Crawford, Gordon and Christof Hartmann. 2008. Decentralisation: A Pathway out of Poverty and Conflict? Amsterdam: Amsterdam University Press. Hyden, G. 1983. No Shortcut To Progress:African Development In Perspective, London. Medina, Ceballos Marcela,”Local Autonomy, Social Control. Decentralization As A Strategy For Government Legitimacy” en Hemisphere Vol II, Fall 2002. Miami: Latin America and Caribbean Center of Florida International University, páginas 31-34. Turner, Mark and David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development: Making The State Work, London: MacMillan Press Ltd.
Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia – Kristian Widya Wicaksono | 27
28 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 21 – 28
MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM PARADIGMA PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA GUNA MENDUKUNG KEUNGGULAN KOMPETITIF ORGANISASI CHANGES MANAGEMENT IN THE PARADIGM OF HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT TO SUPPORT COMPETITIVE ADVANTAGE ORGANIZATION Teguh Narutomo Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesatuan Bangsa, Politik dan Otonomi Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta Nomor Telp./Faks: +62 21 314 0454; e-mail:
[email protected] Diterima: 16 Januari 2012, Direvisi: 23 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut persaingan di semua sektor yang semakin ketat. Untuk dapat mengungguli pesaingnya, setiap organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif tertentu. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui penciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, dan yang paling strategis adalah manajemen sumber daya manusia yang efektif. Tulisan ini bertujuan memberikan memaparkan hubungan erat antara perubahan pola manajemen sumber daya manusia dengan keunggulan kompetitif suatu organisasi. Dalam konteks perubahan pola manajemen sumber daya manusia ini, peran pimpinan sangat strategis guna meningkatkan potensi sumber daya manusia agar berdayaguna secara optimal untuk meningkatkan kinerja organisasi, sehingga organisasi mampu memiliki keuanggulan kompetitif. Kata Kunci: manajemen, sumber daya manusia, organisasi Abstract Competition among business become more intense as the business world quickly changes. To win the competition, every organization, public or private sector should have a competitive advantage. This advantage can be established through various means, such as creating a product with unique design, using of modern technology, and most importantly applying the management of human resources effectively. This article aims to descript the direct relationship between the shift of human resources management pattern and competitive advantage of organization. In the context of human resource management, leadership needs to increase the range of potential human resources in order to be able to empower them in achieving applying their potential to build the organization competitive advantage. Keywords: management, human resource, organization
PENDAHULUAN Perkembangan dunia serta perubahan struktural yang terjadi di berbagai aspek, telah menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang bagi perkembangan dunia bisnis. Satu hal yang merupakan prasyarat untuk dapat mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan peluang bisnis yang timbul adalah dengan meningkatkan daya saing. Daya saing strategi dicapai jika sebuah perusahaan berhasil merumuskan serta menerapkan suatu strategi yang tepat. Saat ini berbagai organisasi berusaha untuk meningkatkan daya saingnya dengan membangun dan bersama-sama mencari sumber daya manusia yang dapat membawa kepada pembentukan perubahan paradigma tentang pentingnya keberadaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi menuntut organisasi untuk membuka diri terhadap tuntutan perubahan dan berupaya menyusun strategi dan kebijakan yang selaras dengan perubahan
lingkungan bisnis akan bergantung pada kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Artinya, suatu organisasi mampu menyusun strategi dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi setiap perubahan yang terjadi. Keberhasilan penyusunan kebijakan dan strategi organisasi akan didukung lebih banyak fungsi manajerial yang ada. Salah satu bidang fungsional strategi yang menjadi perhatian adalah manajamen sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia merupakan bidang strategis dari organisasi. Manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan tradisional untuk mengelola orang secara efektif dan untuk itu membutuhkan pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan untuk mengelolanya. Oleh sebab itu wajarlah apabila penyusunan strategi sumber daya manusia harus relevan terhadap penyusunan strategi bisnis. Tentu saja ini akan membutuhkan komitmen
Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi – Teguh Narutomo | 29
akan keterlibatan lebih tinggi dari sumber daya manusia. Seputaran tahun 1960-an hingga saat ini, atmosfer organisasi telah berubah pesat. Berbagai arus kekuatan telah memicu perubahan-perubahan tersebut. Seiring dengan meningkatnya efek teknologi dan telekomunikasi yang telah berhasil “mengecilkan” ukuran dunia, pergerakan keragaman para pekerja (profesional) membawa nilai-nilai, perspektif dan ekspektasi yang berbeda di antara mereka (para pekerja). Kesadaran publik semakin lama semakin sensitif dan menuntut organisasi agar semakin profesional dan bertanggung jawab secara sosial. Seperti halnya negara-negara dunia ketiga, kita pun telah turut terlibat dalam persaingan pasar global dan melebarkan arena bagi aktivitas penjualan dan pelayanan. Organisasi pun akhirnya kini tidak hanya dituntut untuk bertanggung jawab kepada pemilik dana atau pemegang saham, namun juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada para stakeholders. Pada saat ini, dunia yang kita alami sudah sangat jauh berbeda dengan dunia yang kita alami sepuluh lima belas tahun yang lalu. Dunia ilmu juga tidak terlepas dari berbagai pengaruh ini. Terjadi perubahan era, yang sekarang kita berada era informasi, bukan lagi era industrialisasi. Era di mana pemikiran linear yang bersifat mekanistik, yang menghasilkan kemajuan seperti yang kita alami saat ini, sudah mulai digoncang oleh hasil-hasil perkembangan ilmu yang baru, yang mendorong tumbuhnya suatu paradigma baru. Paradigma Lama dan Baru Marilyn Ferguson (1993), dalam The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change memberikan overview yang detail atas perbedaan yang terjadi antara paradigma lama dan baru seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Berdasarkan pada perubahan paradigma tersebut, seharusnya peran pengelola sumber daya manusia berubah sebagaimana tuntutan zaman. Kondisi perubahan tersebut dapat digambarkan dalam sebuah contoh perlombaan perahu kayu dan perahu karet. Dalam lomba perahu kayu, masingmasing tim berlomba-lomba untuk mencapai tujuan yaitu mencapai finish tercepat. Kita pahami posisi masing-masing perahu dan cara kerja untuk menjalankan perahu tersebut. Pada tiap-tiap perahu, posisi anak buah berada di pinggir lambung perahu dan letaknya tertata rapi pada sisi kanan dan kiri, mereka diatur sedemikian rapi agar perahu dapat melaju dengan kencang. Demikian pula kita pahami posisi pemimpin, letaknya di depan anak buah/pegawai tetapi menghadap ke belakang dengan posisi ketinggian lebih dari posisi anak buah agar semua anak buah bisa melihat pimpinannya ketika memberi perintah dengan menggunakan genderang. Menilik kondisi di atas, tentunya harus ada perubahan mendasar dalam memandang manusia yang ada di dalam organisasi. Terlebih dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang benar-benar menghasilkan generasi yang memiliki nilai profesionalitas yang tidak dapat diragukan. Bukan malah sebaliknya, yang menganggap nilai profesionalitas itu hanya untuk dijadikan sarana bagi suatu interes tertentu dari pihak ketiga. Bila memahami pandangan Parminedes dan Heraklitus serta dengan mendasarkan diri pada pandangan keilmuan dalam rumpun humaniora (ilmu psikologi adalah bagian di dalamnya) bahwa manusia harus menguasai alam, mendorong tumbuhnya ilmu-ilmu kealaman yang berusaha untuk “mengeksploitasi” alam demi pengembangan ilmu. Pandangan ini lebih mengedepankan ontologi ilmu adalah alam itu sendiri beserta seluruh isinya, dan manusia adalah bagian dari alam yang bertugas memberdayakan alam untuk pengembangan ilmu. Makna dari
Tabel 1. Perbedaan Paradigma Lama dan Baru Menurut Marilyn Ferguson Lama Promote consumption at all cost People to fit jobs Imposed goal, top-down decision making Fragmentation in work and roles Clock model of company Aggression, competition Work and play separate Manipulation and dominance Struggle for stability Quantitative Strictly economy motives Polarized Short-sighted Rational Emphasis on short-term solution
Baru Appropriate consumption Jobs to fit people Autonomy encouraged, worker participation Identity transcends job description Recognition of uncertainty Cooperation Blurring of work and play Cooperation with nature Sense of change, of becoming Qualitative as well as quantitative Spiritual values transcend material gain Transcend polarities Ecologically sensitive Rational and intuitive Recognition that long-range efficiency must take in to account harmonious work environment Sumber: The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change
30 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 29 - 34
pengertian tersebut adalah menempatkan manusia sebagai individu yang ”memiliki” alam bukan sebagai individu yang ”dimiliki” alam. Di lain pihak, dalam perkembangan ilmu psikologi terdapat ranah kajian pendalaman manusia di dalam organisasi yang lebih dikenal dengan konsep manajemen sumber daya manusia. Pada kajian ini manusia ditempatkan bukan lagi sebagai individu yang ”memiliki” alam, tetapi menempatkan individu sebagai ”aset” yang harus dimiliki untuk kegiatan produksi. Seringkali manusia di dalam organisasi dipandang sebagai "alat produksi" atau ”aset”, yang setara dengan aset lain yaitu uang, material, mesin, dan metode (dalam istilah manajemen lebih dikenal dengan nama 5M adalah man, money, material, machine, method). Bahkan pada perkembangan selanjutnya, pandangan manusia sebagai aset ini sampai harus dikalkulasi sedemikian rupa hingga untuk setiap program pengembangan manusia selalu dikaitkan dengan ROI (return on investment). Memperlakukan manusia sebagai aset harus dihitung-hitung untung ruginya, dalam hal ini manusia benar-benar dianggap sebagai kapital (human capital). Akhirnya, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh organisasi/institusi harus disetarakan dengan investasi dan dihitung benar berapa tingkat ROI-nya. PEMBAHASAN Manajemen Pengetahuan Secara umum manajemen pengetahuan (knowledge management) adalah suatu rangkaian kegiatan yang digunakan oleh organisasi untuk mengidentifikasi, menciptakan, menjelaskan, dan mendistribusikan pengetahuan untuk digunakan kembali, diketahui, dan dipelajari di dalam organisasi. Kegiatan ini biasanya terkait dengan objektif organisasi dan ditujukan untuk mencapai suatu hasil tertentu seperti pengetahuan bersama, peningkatan kinerja, keunggulan kompetitif, atau tingkat inovasi yang lebih tinggi. Konsep manajemen pengetahuan ini meliputi pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI) dalam tujuannya untuk mencapai organisasi yang semakin baik, sehingga mampu memenangkan persaingan bisnis. Perkembangan teknologi informasi memang memainkan peranan yang penting dalam konsep manajemen pengetahuan. Hampir semua aktivitas kehidupan manusia akan diwarnai oleh penguasaan teknologi informasi, sehingga jika berbicara mengenai manajemen pengetahuan tidak lepas dari pengelolaan. Adapun tahapan perkembangan manajemen pengetahuan dalam suatu organisasi meliputi: 1. Knowledge-chaotic (tak sadar konsep, tak ada proses informasi, dan tak ada sharing informasi); 2. Knowledge-aware (sadar akan kebutuhan
3.
4.
5.
manajemen pengetahuan, ada beberapa proses manajemen pengetahuan, ada teknologi, ada isu tentang sharing informasi); Knowledge-enabled (memanfaatkan manajemen pengetahuan, mengadopsi standar, isu-isu berkaitan dengan budaya dan teknologi); Knowledge-managed (kerangka kerja yang terintegrasi, merealisasikan manfaat, isu-isu pada tahap sebelumnya teratasi); dan Knowledge-centric (manajemen pengetahuan merupakan bagian dari misi, nilai pengetahuan diakui dalam kapitalisasi pasar, manajemen pengetahuan terintegrasi dalam budaya).
Peran SDM Dalam Konteks Membangun Budaya Pengetahuan Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam membangun budaya yeng berpusat pada pengetahuan (knowledge-centric culture). Dalam hubungan ini, yang perlu diperankan oleh sumber daya manusia untuk menambah nilai adalah sebagai berikut (Linda Holbeche): 1. Fokus pada pembentukan struktur yang tepat; 2. Mengembangkan kepemimpinan fasilitatif; 3. Membangun infrastruktut teknologi informasi; dan 4. Membina hubungan dengan pemasok. Pemikiran tentang perubahan fundamental dalam cara berorganisasi telah melahirkan pemikiran tentang manajemen perubahan. Menurut Maholtra (2000) istilah manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup teori dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi (organizational development), sumber daya manusia, majemen proyek (project management), dan perubahan strategi organisasi. Manajemen perubahan menjadi upaya perubahan organisasional yang lebih besar, bersama dengan komponen lain, yaitu pengembangan strategi, penyempurnaan proses bisnis, dan penerapan teknologi. Tujuan utamanya seringkali adalah mengintegrasikan komponen-komponen ini, misalnya dengan menciptakan kesetaraan antara penetapan tujuan-tujuan strategis dengan kebijakan sumber daya manusia, atau membangun infrastuktur teknologi informasi baru untuk mendukung terciptanya kerjasama antar kelompok. Manajemen perubahan sebenarnya juga merupakan penerapan teori yang menyatakan bahwa berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai dengan masa depan memerlukan perubahan komprehensif dalam berbagai komponen, termasuk perilaku, kultur, struktur organisasi, proses kerja dan infrastuktur teknologi informasi Bila dikaitkan dengan keberadaan sumber daya manusia suatu organisasi, maka tujuan utama dari manajemen perubahan adalah untuk mencapai sebuah keunggulan kompetitif dengan strategi yang kompetitif akan mempertinggi kinerja organisasi dan
Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi – Teguh Narutomo | 31
akan menjadi keunggulan dalam kompetitif (Sundar, dkk, 1993). Menurut Sundar, dkk (1993), organisasi yang mempunyai keunggulan kompetitif mempunyai aset-aset, nilai dan kecakapan yang unik terutama sumber daya manusia sebagai sumber daya keunggulan kompetitif. Dengan manusia sebagai operator utama, maka keunggulan kompetitif dapat menghasilkan implementasi strategi yang tidak dapat diimplementasikan oleh organisasi pesaing. Organisasi yang mempunyai keunggulan kompetitif akan mempunyai strategi yang lebih tinggi dari pesaing. Terkait dengan kekuatan perubahan, organisasi didesak untuk mengadopsi “paradigma baru” atau melihat dunia saat ini secara lebih sensitif, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan para stakeholders. Banyak sudah organisasi yang telah melepaskan atau sedang melepaskan paradigma lama yang bersifat top-down, kaku, dan berstruktur hierarkis menuju pada bentukbentuk yang “organik” (fluid). Dengan perkataan lain, diperlukan mindset yang baru, baik dalam pemahaman maupun pengelolaan organisasi dan manusia yang ada di dalamnya. Era industrialisasi dimulai dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Penemuan ini menyebabkan digantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin. Terjadi pemisahan antara manusia yang bekerja dengan alat produksi. Hal ini mendorong tumbuhnya pabrik-pabrik, dengan segala macam konsekuensi pengelolaannya. Mesin menjadi suatu alat utama dalam proses produksi untuk meningkatkan kesejahteraan. Pentingnya mesin ini merasuki semua aspek kehidupan manusia sehingga cara berpikir dan cara bertindak kita menjadi mekanistis. Metafora mesin menjadi suatu metafora yang dominan dalam era industrialisasi. Teknik pengelolaan yang dikembangkan dalam industrialisasi mengacu pada pandangan organisasi sebagai mesin dan memandang manusia sebagai salah satu bagian dari mesin (Morgan, G. 1998). Teknik-teknik mana-jemen yang berkembang dan mendominasi era industrialisasi dimulai dengan Scientific Management dari Taylor, yang berkembang lebih lanjut sesuai dengan tuntutan masyarakat antara lain Management by Objective (MBO), Management Science yang bersifat matematis untuk mengoptimalkan ”mesin” organisasi, Total Quality Management yang berusaha meningkatkan kualitas keluaran organisasi, Bussiness Process Reenginerring [BPR] yang menekankan pada penghilangan proses-proses produksi yang tidak memberikan nilai tambah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi. Kata kunci yang dipegang dalam era ini adalah “efisiensi”. Teknik motivasi dan teknik kepemimpinan yang berkembang dan dikembangkan dalam era ini juga menganggap manusia sebagai bagian dari alat produksi. Manusia harus dirangsang oleh sesuatu yang dari luar, extrinsic motivation,
untuk berperilaku sesuai dengan keinginan organisasi seperti teknik motivasi yang dikemukakan oleh Vrom, Porter & Lawler, teori Equity dari Adam. Teori-teori dan teknik-teknik kepemimpinan yang berkembang di era ini pun bersifat behaviouristik, yang menganggap manusia itu makhluk yang pasif, yang bisa digerakkan untuk kepentingan tertentu-dalam hal ini kepentingan organisasi. Teknik-teknik kepemimpinan dalam mengelola sumber daya manusia pada era ini berdasarkan pada dua sumbu utama, yaitu “sumbu tugas” dan “sumbu manusia”. Dimulai dari model Ohio, dan dikembangkan lebih lanjut oleh University Michigan, menghasilkan berbagai teori dan model kepemimpinan seperti Managerial Grid dari Blake & Mouton, Situational Leadership dari Hersey Blanchard, Path Goal theory dari House & Mitchel, Contingency theory-LPC dari Fiedler, ataupun teori kepemimpinan Vroom, Yetton & Jago yang semuanya lebih bersifat preskriptif. Era informasi ini juga merubah drivers organisasi. Kepemilikan modal, sumber daya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa organisasi akan mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi organisasi. Era sekarang sangat mementingkan pemilikan dan penguasaan pengetahuan para anggota organisasi, sehingga driver utama bagi kelangsungan hidup organisasi adalah kepemilikan pengetahuan para anggotanya. Pengetahuan para anggota organisasi ini perlu dikelola lebih baik yang dikenal sebagai knowledge management. Nonaka membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit knowledge yang dimiliki anggota-anggotanya menjadi explicit knowledge yang dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers. Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan sumber daya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi. Era knowledge economy membutuhkan karyawan-karyawan dan organisasi yang mampu melakukan proses pembelajaran secara terusmenerus, sehingga organisasi mampu menyesuaikan diri secara terus-menerus. Pembelajaran dalam organisasi tidak saja merupakan pembelajaran dari feedback negatif, yang disebut Argyris sebagai single loop learning, melainkan suatu proses pembelajaran yang dikenal sebagai double loop learning. Proses ini akan menghasilkan suatu learning organization. Untuk menciptakan organisasi yang memiliki keunggulan kompetitif, pegawai harus menjadi agen perubahan, mempertajam proses dan budaya yang dapat meningkatkan kapasitas organisasi untuk berubah. Terdapat tiga tipe
32 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 29 - 34
perubahan yaitu: pertama, perubahan inisiatif, memfokuskan pada penerapan program, proyek tahu prosedur baru. Kedua perubahan proses dalam organisasi dengan memfokuskan kepada cara bagaimana melakukan kerja sama optimal. Ketiga, perubahan budaya akan terjadi jika strategi dasar organisasi bisnis dikonseptualkan kembali. Keempat hal tersebut merupakan peran baru pegawai yang akan dapat meraih keunggulan kompetitif dengan kerja sama pimpinan atau manajer organisasi. Keunggulan kompetitif akan dicapai dengan tiga strategi yaitu: inovasi (innovation), peningkatan kualitas (quaity enhancement) serta penurunan biaya (cost reduction). Terkait dengan dukungan kepada para pegawai, saat ini para pemimpin atau manajer organisasi/instansi harus berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubah-an di lingkungan dan organisasinya, meng-ukur perubahan dan mengelolanya. Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja, namun juga mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya. Tentu saja hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi. Manajer seyogyanya mulai mempertimbangkan dan lebih mendengar pada para pegawainya. Konsekuensinya, bentuk baru sebuah organisasi menjadi hal yang umum dilakukan seperti, worker-centered teams, self-organizing dan selfdesigning teams, dan sebagainya. PENUTUP Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dipahami kalau perubahan paradigma dalam memperlakukan manusia (pegawai) di dalam organisasi sesuai dengan harkat dan martabatnya (memanusiakan) tidaklah mudah. Agar keberadaan mereka di dalam organisasi benar-benar diperlakukan bukan sebagai ‘aset’ alat produksi tetapi sebagai orang yang memiliki ‘sesuatu’ maka ada peran pimpinan dan pegawai yang saling melengkapi untuk merubahnya. Dalam hal ini, peran pimpinan sangat vital. Mereka telah menunjukkan komitmen perubahan dengan banyak mengorbankan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Komitmen inilah sebagai kunci keberhasilan menuju perubahan values (excellent with morality). Di lain pihak, bila komitmen pimpinan tersebut tidak dibarengi dengan kesediaan pegawai untuk menggunakan waktu, kepercayaan, loyalitas, dan perilaku produktif maka proses perubahan akan tidak berjalan dengan baik (stagnant). Untuk itulah diperlukan pertemuan yang formal ataupun informal
untuk menunjukkan pentingnya perubahan. Mengubah pola pikir pegawai akan arti pentingnya perubahan memang tidaklah mudah. Sebuah perubahan organisasi akan dapat berjalan baik, dengan memberikan waktu, kepercayaan, loyalitas dan perilaku produktif kepada pegawai, dan proses memperlakukan manusia sesuai dengan harkat martabatnya. Dalam hal ini pegawai tidak dipandang sebagai alat produksi tetapi mereka adalah mitra sejawat yang seiring dalam menggapai perubahan organisasi demi menciptakan organisasi yang mampu kompetitif. Perubahan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidangnya akibat globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang cepat memerlukan sikap adaptif sekaligus antisipatif. Mempersiapkan generasi muda bangsa yang berkualitas dan mempunyai harga diri, jelas merupakan suatu keharusan agar mereka dapat menghadapi berbagai tantangan yang terjadi sebagai dampak dari perubahan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan nampaknya dapat menjadi salah satu cara mempersiapkannya. Dengan pendidikan, maka kualitas SDM dapat ditingkatkan, dengan pendidikan pengetahuan masyarakat dapat dikembangkan, sehingga mampu meningkatkan kapabilitas dirinya dalam menjalankan kehidupannya pada saat ini dan di masa datang. DAFTAR PUSTAKA Daft, Richard L., (2002) The Leadership Experience, 2ndEd. South Western Publ.Co, Ohio. DeCenzo, A. Davis., Robbins, P. Stevens, (1994) Human Resource Management: Concept &Practices, 4th edition, John Willey & Sons, Inc, New York. Ferguson, Marilyn., (1993) The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change., Michael Ray and Alan Rinzler, Eds., New Consciousness Reader. Fishbein, M., and Ajzen, T (2004) The Influence of Attitude Behavior, Massachusetts University. Malhotra, Yogesh (2000) “From Information Management to Knowledge Management: Beyond the `Hi-Tech Hidebound` Systems” dalam K. Srinantaiah dan MED Koenig (ed.), Knowledge Management for the Information Professional, Medford, NJ: Information Today Inc. Sundar G., Baradwaj, Rajan Varadrajan, John Fahy (1993) Sustainable Competitive Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Proposition. Journal of Marketing. Vol.57.
Manajemen Perubahan dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi – Teguh Narutomo | 33
34 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 29 - 34
KONTRIBUSI KESATUAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN RASA KEAMANAN, KETERTIBAN, DAN KETENTRAMAN LINGKUNGAN: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja CONTRIBUTIONS IN UNITY MAKES SENSE OF COMMUNITY PROTECTION SECURITY, ORDER AND PACIFY ENVIRONMENT: Studies Identify Civil Service Police Unit Profile Gunawan Pusat Penelitian Pemerintahan Umum dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri Jl. Kramat Raya No. 132 – Senen, Jakarta No. Telp./Faks: +62 21 314 0454; HP. +62 812 88140 777; e-mail:
[email protected] Diterima: 4 Januari 2012, Direvisi: 15 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja merupakan landasan yang kuat bagi keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya penegakan perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat mengalami kendala dan hambatan. Mencermati permasalahan yang muncul terkait dengan eksistensi Satpol PP dalam mengemban tugas-tugas pemerintahan umum dan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, diperlukan profil yang mampu menggambarkan komposisi personal, kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sesuai dengan kondisi realistik di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyusun profil Satpol PP dalam menunaikan tugas-tugas pemerintahan umum terutama di bidang ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat. Metode penelitian deskriptif statistik kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan kelembagaan belum seluruhnya mengacu kepada PP 6 Tahun 2010, ketatalaksanaan belum semua membuat Standard Operating Procedure, sumber daya aparatur belum sesuai, sumber daya lainnya anggaran masih minim. Kata Kunci: profil, tugas dan fungsi dan satuan polisi pamong praja Abstract Law Number 32 Year 2004 on Regional Government And Government Regulation Number 6 Year 2010 Concerning Civil Service Police Unit is a strong foundation for the existence of Civil Service Police Unit, the duties and carry out functions to law enforcement, public order and public peace and protection of the public have obstacles and barriers. Observing the problems that arise related to the existence of Civil Service Police Unit in carrying out the duties of public administration and local governance in Indonesia, needed profile that can describe the composition of personal, institutional, management, human resources and other resources in accordance with the conditions realistic in the field. This study aims to identify and develop profiles Civil Service Police Unit in fulfilling the tasks of public administration, especially in the field of public order, peace and protection of the public. Statistical descriptive qualitative research methods. This study concluded institutions are not entirely refer to Regulation Number 6 Year 2010, management has not all make the Standard Operating Procedures, resources apparatus not appropriate, other resources budget is still minimal. Keywords: profiles, tasks and functions of the civil service and police force
PENDAHULUAN Amanat Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 148 ayat (1) menyebutkan untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Pasal 149 (1) Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. kemudian secara teknis dalam mengaplikasikan UU 32 Tahun 2004 tersebut sudah ada aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja, pada pasal 4 Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat, Satpol PP merupakan aparatur pemerintah daerah yang diberi tugas dalam
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketrentaman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja - Gunawan | 35
mengamankan dan menegakkan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah daerah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi menegakkan peraturan dan kebijakan daerah, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta memberikan perlindungan kepada masyarakat, Satpol PP dalam melaksanakannya mengalami beberapa kendala dan permasalahan ketika berada di lapangan karena berhadapan langsung dengan masyarakat. Permasalahan dan kendala yang timbul terjadi ketika Satpol PP melaksanakan penegakan perda, menyelenggarakan ketertiban umum ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat yang akan berimplikasikan pada sudut pandang masyarakat melihat kinerja Satpol PP dipersepsikan kurang memihak kepada masyarakat, persepsi yang kurang mendukung terhadap kinerja Satpol PP merupakan bagian dari permasalahan dan kendala yang muncul di lapangan, secara tidak langsung maupun langsung dirasakan dan dilihat oleh masyarakat dan kalangan pencari berita, timbulnya persepsi yang kurang terhadap kinerja Satpol PP disebabkan antara lain adanya ketidak sepahaman antara masyarakat yang ditertibkan dan kurang profesionalnya aparatur dilapangan dalam menghadapi massa, dan juga dapat disebabkan oleh adanya ketidakpengertian petugas jurnalis dalam meliput kegiatannya serta lembaga swadaya masyarakat memperoleh informasi ketika aparatur Satpol PP melakukan penertiban atau penataan, para Jurnalis dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memperoleh informasi dari satu pihak saja yaitu dari masyarakat sedangkan proses dan tahapan ketika sebelum melakukan tindakan penertiban tidak diikuti oleh para jurnalis dan LSM seperti tahapan teguran lisan, peringatan tertulis satu (1) sampai tiga (3) tidak diikuti, sehingga ketika menulis berita menjadi kurang bersahabat maka tuimbulah muncul berbagai persepsi yang berkembang menjadi kurang mendukung terhadap keberadaan aparatur Polisi Pamong Praja (Pol PP). Terutama beredar luas di media massa baik cetak maupun elektronik yang notabene hampir kesemuanya kurang berpihak kepada aparatur pemerintah daerah ini ketika malaksanakan tugasnya aparatur pemerintah daerah Satpol PP dianggap sebagai aparat yang kasar, arogan, penindas masyarakat kecil, memang tidak semua aparatur dalam menjalankan tugasnya sesuai perintah pimpinan. Pencitraan Satpol PP yang semakin terpuruk serta banyaknya media massa elektronik dan cetak memberitakan Satpol PP ketika melaksanakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri melakukan penelitian identifikasi profil Satuan Polisi Pamong Praja. Dari latar belakang dapat di atas dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian adalah
sebagai berikut yaitu bagaimana profil Kelembagaan, Tatalaksana, dan SDM Satpol PP dan bagaimana persepsi masyarakat tentang keberadaan Satpol PP selanjutnya bagaimana sebaiknya dukungan pengaturan Satpol PP ke depan. Metode yang digunakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Mix Method), metode analisis campuran dengan teknik pengumpulan data sekunder yaitu melalui dokumendokumen dan beberapa literatur yang berkaitan dengan teori dan pelaksanaan Satpol PP dalam mengamankan perda, menyelenggarakan ketertiban Umum, Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat serta data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner, wawancara, dan Focus Group Discussion (Diskusi kelompok terfokus). Lokasi sampel didasarkan kepada Stratified Random Sampling yaitu dibagi menjadi 7 tipologi karakteristik yang 1) Daerah Otonom hasil pemekaran, 2) Daerah Khusus/Istimewa, Daerah Otonomi khusus 3) Daerah Jawa Bali dan Luar Jawa Bali 4) Daerah Kepulauan, 5) Daerah Indonesia Tertinggal, 6) Daerah Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur, 7) Daerah Perbatasan antar negara. Responden ditentukan berdasarkan purposif sampel kepada pejabat yang menangani dan berkaitan dengan kegiatan dan pelaksanaan Satpol PP yaitu pejabat dan anggota Satpol PP, para anggota dewan daerah yang menangani Satpol PP yaitu di Komisi I, Kepolisian Daerah, para birokrat di daerah selain dari kelembagaan Satpol PP setiap kabupaten/kota diambil 3 (tiga) responden, serta masyarakat yang mengetahui dan terlibat langsung dengan pelaksanaan Satpol PP yaitu masyarakat pedagang di jalan protokol, para jurnalis, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi (mahasiswa dan dosen/dekan/rektor) masing-masing setiap kabupaten/kota diambil 3 (tiga) responden. Untuk mengetahui fungsi-fungsi kegiatan Satpol PP terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa definisi dari identifikasi atau profil dari Satpol PP, menurut sumber (http://www.artikata.com/arti346070-profil.html diunduh tanggal 23 April 2011) dari pengertian profil dapat dikategorikan sebagai berikut: kata profil berasal dari bahasa Italia, profilo dan profilare, yang berarti gambaran garis besar. Dapat juga diartikan dengan gambaran tampang atau wajah seseorang yang dilihat dari samping, sekumpulan data yang menjelaskan sesuatu dalam bentuk grafik atau tabel. Arti ini dilihat dari bidang statistik, dalam bahasa Inggris low profile (rendah hati), dalam bidang geografi, berarti penampang vertikal memperlihatkan ciri-ciri fisik, dalam bidang komunikasi dan bahasa, berarti biografi atau riwayat hidup singkat seseorang. Kelembagaan organisasi yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat aturan yang dirumuskan, dianut, dipelihara dan ditegakkan oleh masyarakat
36 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 35 - 44
dan negara dan juga merupakan perihal yang melembaga seperti lembaga hukum, pranata, badan, dewan dan benih secara mendasar definisi ini berbeda dengan istilah kelembagaan yang dikenal atau digunakan sehari-hari, yang memiliki sinonim dengan organisasi seperti kelompok tani, fakultas ekonomi dan manajemen, perusahaan, universitas, bahkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Perlindungan Masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut sebenarnya memperoleh makna dari aturan main (kelembagaan) yang menentukannya. Kelembagaan mencakup hal-hal yang tidak tertulis seperti aturan adat, norma dan sistem nilai yang dianut masyarakat, dan mencakup sesuatu yang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah. Jadi definisi kelembagaan adalah kegiatan kolektif dalam suatu kontrol atau yurisdikasi, pembebasan atau liberasi, dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu. (http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefo x-a&rls=org. Diunduh tanggal 01 Maret 2011). Ketatalaksanaan (bussines process) manajemen telah diartikan oleh berbagai pihak dengan perspektif yang berbeda, misalnya pengelolaan, pembinaan, pengurusan, ketatalaksanaan, kepemimpin-an, pemimpin, ketatapengurusan, administrasi, pengaturan dengan ada berbagai ragam, ada yang mengartikan dengan ketatalaksanaan, manajemen pengurusan dan lain sebagainya. Pengertian manajemen dapat dilihat dari tiga pengertian (P. Siagian, Sondang, Prof. Dr.
tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. SDM merupakan aset bagi institusi/lembaga dalam suatu organisasi dalam mencapai tujuan, untuk itu dalam pelaksanaan sehari-hari sumber daya manusia sering di sandingkan dengan perkataan manajemen sehingga sering juga disebut dengan manajemen sumber daya manusia (Sihotang: 2006). Pengertian sarana dan prasarana secara umum adalah prasarana: Segala sesuatu yang merupakan utama terselenggaranya suatu proses atau penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dsb), dan sarana: segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam (bisa berupa syarat atau upaya) yang dapat dipakai sebagai alat atau media mencapai makna dan tujuan (http://delite20.wordpress.com diunduh tanggal 30 Maret 2011), sarana dan prasarana adalah salah satu yang memegang peranan penting dalam kelancaran proses belajar mengajar dan peningkatan prestasi akademik siswa, sarana prasarana yang digunakan dalam mencapai tujuan satpol PP adalah berupa gedung, kendaraan serta alat pendukung lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Satpol PP sesuai dengan PP 6 Tahun 2010 untuk Satpol PP Provinsi Tipe A dengan eselonisasi pada IIa namun pada kenyataannya masih banyak Satpol PP provinsi belum menyesuaikan berikut untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Dasar Hukum dan Kelembagaan Provinsi NO
PROVINSI
DASAR HUKUM
KELEMBAGAAN Bentuk Tipe Esselon Kantor B II a Badan B II b
1 2
PAPUA MALUKU
Perda Perda No. 4,5,8,9,11 Tahun 2004, Perda No. 4,6 Tahun 2008
3 4 5 6 7
SULSEL NTB KALBAR DKI JAKARTA RIAU
Perda Perda Perda Perda Perda Nomor 9 Tahun 2009 SOTK
Kantor Kantor Satuan Satuan Badan
B A A A B
II b II b II a II a II b
8
DI YOGYA
Perda Nomor 8 Tahun 2008
Satuan
B
II a
Dinas
A
II a
BANTEN Perda 9 Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2011
MPA.:1988): manajemen sebagai suatu proses, manajemen sebagai suatu kolektivitas manusia, manajemen sebagai ilmu (science) dan sebagai seni. Pengertian sumberdaya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam
Dengan beragamnya bentuk kelembagaan dari yang berbentuk kantor sebanyak tiga (3) sedangkan satuan juga tiga (3) dan bentuk badan sebanyak dua (2) sedangkan masih berbentuk dinas satu (1) sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 adalah Satuan sehingga bentuk kelembagaan yang sudah mengikuti amanat PP 6 Tahun 2010 baru tiga (3) provinsi atau 34% terlebih lagi unsur Satuan Linmas harus sudah dimasukan dalam struktur organisasi Satuan Polisi Pamong
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketrentaman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja - Gunawan | 37
Praja. Hal inilah yang membuat para birokrat di daerah untuk bekerja keras dalam menyosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja kepada anggota dewan dan birokrat di provinsi khususnya pada biro organisasi untuk segera menyesuaikan pada PP No. 6 Tahun 2010 dengan memasukkan Struktur Organisasi Satuan Perlindungan Masyarakat yang semula berada di Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 1. Bentuk Kelembagaan.
provinsi atau sekitar 44%, untuk itulah perjuangan kasatpol PP provinsi yang posisi esselonisasinya masih pada posisi IIb untuk segera menyosialisasikan PP 6 Tahun 2010 kepada Biro Organisasi/Organisasi Tatalaksana di provinsi dan lembaga dewan untuk segera membentuk struktur baru dengan peringkat esselonisasi pada IIa sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 yang sedang berlaku pada saat ini. Begitu juga dengan tipe yang diinginkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja adalah untuk Satpol PP provinsi adalah pada tipe A sedangkan pada kenyataan di lapangan adalah masih terdapat Satpol PP provinsi dengan berkedudukan pada tipe B seperti dalam gambar berikut, Tipe yang di amanatkan pada PP 6 Tahun 2010 adalah untuk Satpol PP provinsi di asumsikan berada pada tipe A karena lebih dari 60 besaran organisasi daerah atau sama besaran organisasinya masuk dalam katagori tipe A. Penggolongan tipe A atau tipe B sesuai masukan pada Fokus Grup Diskusi Kelompok Peran Satuan Polisi Pamong Praja di era otonomi daerah perspektif masyarakat pada tanggal 13 Oktober di Hotel Morrisey menginginkan adanya kesepakatan untuk menghapus penggolongan tipe-tipe baik itu tipe A maupun tipe B karena akan menyesatkan dan membingungkan para praktisi dan pelaksana di daerah.
Kemudian untuk esselonisasi untuk Satpol PP provinsi sesuai dengan PP 6 Tahun 2010 untuk provinsi adalah pada eselon IIa sedangkan menurut hasil lapangan masih ada pada suatu provinsi tingkat esselonisasinya pada II/b sebanyak empat (4) provinsi sehingga hal ini akan terganggu ketika akan melakukan koordinasi dan hubungan kerjasama dengan instansi lain/dinas-dinas yang posisi level esselonisasinya berbeda lebih tinggi daripada pejabat/kepala Satpol PP provinsi.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 3. Tipe Kelembagaan.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 2. Esseloning.
Dari hasil lapangan menunjukan bahwa tingkat esselonisasi Satpol PP provinsi berada pada posisi esselonering IIb masih terdapat empat (4)
Setiap kelembagaan dalam melaksanakan kegiatannya agar terarah dan terfokus hendaknya memiliki Standard Operating Procedure (SOP) sebagai pedoman dan acuan dalam melangkah kegiatannya begitu juga Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berisi tahapan-tahapan yang harus dilakukan pada setiap kelompok (tim) ataupun individu dalam melaksanakan kegiatan menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, Sebagaimana telah tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja merupakan prosedur tetap operasional
38 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 35 - 44
yang dimiliki oleh Satpol PP. Prosedur ini terdiri atas: 1. Prosedur operasional ketenteraman dan ketertiban umum; 2. Prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; 3. Prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; 4. Prosedur operasional pelaksanaan tempattempat penting 5. Prosedur pelaksanaan operasional patroli; dan 6. Prosedur operasional penyelesesain kasus pelanggaran ketenteraman, ketertiban umum dan peraturan daerah. Hasil penelitan diperoleh beberapa informasi mengenai Satuan Polisi Pamong Praja yang telah membuat SOP sebagai berikut: Telah membuat SOP : 5 Provinsi Belum membuat SOP : 4 Provinsi
pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan A, Yani. “Kami sadar bahwa mereka juga bekerja untuk perut dan memenuhi kebutuhan seharihari keluarga mereka, namun perda melarang mereka berjualan di sepanjang jalan. Kami akhirnya membuat kompromi yaitu membolehkan mereka buka di sepanjang jalan tersebut namun dengan syarat tidak permanen, mereka boleh membuat warung yang bisa dirapikan dan dipindah setelah selesai berjualan” (Hairus Salim, 2009).
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 5. Jumlah Satpol PP Provinsi.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 4. Kepemilikan Standard Operating Procedure Satpol PP Provinsi.
Koordinasi dan kerjasama antara lintas sektor pada umumnya telah dilakukan bersama Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia dan unsur-unsur Pengadilan dari Kejaksaan dan instansi terkait seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Sosial, Dinas Perhubungan. Menurut Masrudin, dalam melaksanakan penegakan perda, menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat Satpol PP juga dalam melaksanakan tugasnya menghadapi dilema, Satpol PP sebenarnya sering bekerja dalam kondisi dilema. Dia mencontohkan bagaimana mereka menertibkan para
Pelaksanaan kegiatan penertiban umum dan ketenteraman masyarakat sangat ditentukan oleh dukungan personil baik kualitas maupun kuantitas yang ada di Kesatuan Polisi Pamong Praja, dituntut secara proporsional dan keprofessionalitas personil yang ada, untuk itu pada daerah penelitian di provinsi Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Riau, D.I. Yogyakarta dan Banten dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat digambarkan bahwa jumlah personil yang terbesar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan jumlahnya sebanyak 3.883 anggota sedangkan diurutan kedua yaitu provinsi Riau berjumlah 660 anggota dan yang terkecil jumlah anggotanya adalah Provinsi Maluku sebanyak 99 anggota. Tingkat pendidikan pada suatu wilayah berbeda-beda termasuk pendidikan yang dimiliki dalam Kesatuan Polisi Pamong Praja di masingmasing provinsi, secara tidak langsung tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengendalian dan
Tabel 2. Jumlah Personil Satpol PP Provinsi
Jumlah
Papua
Maluku
Sulsel
NTB
Kalbar
136
99
140
149
173
DKI Jakarta 3.883
Riau 660
DI Yogya 149
Banten 264
Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2011
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketrentaman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja - Gunawan | 39
Tabel 3. Tingkat Pendidikan No
PROVINSI
S2
TINGKAT PENDIDIKAN D3 SLTA SLTP 138 99 7 115 3 119 5 102 5 912 3 643 7 131 6 234
S1
PAPUA 1 MALUKU 2 SULSEL 3 15 3 NTB 3 18 4 KALBAR 2 17 5 DKI JAKARTA 4 26 6 RIAU 1 13 7 D.I JOGYAKARTA 1 10 8 BANTEN 8 16 9 Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2011
SD
Jum 138 99 140 149 173 3.883 660 149 264
Tabel 4 Anggaran Satpol PP Kota
NO
Provinsi
Tahun
612,667,574,000 727,388,930,400
Jumlah Anggaran yang dialokasikan untuk Satpol PP Pertahun (Rp) 6,163,934,000 4,390,295,364
765,700,088,195
8,885,755,000
1.16
1,217,512,876,000 1,283,574,069,410 315,807,212,363
9,596,652,828 11,143,030,132 18,524,707,500
0,87 0.86 5.87
754,156,793,791 858,544,967,371
11,015,754,065 5,440,692,000
1,46 0.63
Jumlah APBD Per Tahun
JAYAPURA 2010 1 AMBON 2009 2 MAKASAR 2010 3 MATARAM 2010 4 PONTIANAK 2010 5 JAKARTA UTARA 2010 6 PEKANBARU 2010 7 DEPOK 2010 8 TANGGERANG 2010 9 SERANG 2010 10 BEKASI 2010 11 JOGYAKARTA 2010 12 SURAKARTA 2010 13 Sumber : Data diolah dari berbagai sumber, 2011
pengawasan dalam melakukan penertiban di lapangan berikut provinsi DKI Jakarta dengan jumlah terbesar yaitu 69% hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk DKI Jakarta merupakan jumlah penduduk terpadat dan terbesar dan provinsi Maluku sebesar sebesar 2% dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 3. Dari hasil pertemuan pada tanggal 13 Oktober 2011 dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Morrisey terdapat beberapa saran dari para pelaksana di lapangan aparatur Satpol PP di daerah menghendaki dan menginginkan adanya aparatur yang profesional yang dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak diinginkan oleh aparatur Satpol PP yaitu dengan mengusulkan kepada pemerintah daerah agar kepada setiap siswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) untuk ditempatkan pada Satuan Polisi Pamong Praja. Sektor anggaran merupakan sumber dari minimnya sarana dan prasarana yang ada karena dengan anggaran yang terbatas pemerintah daerah khususnya Satuan Polisi Pamong Praja tidak dapat
Perse ntase 1.01 0.60
berbuat banyak hanya memanfaatkan segala yang dimiliki. Anggaran Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan penyelenggaraan Penegakan Perda dan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat mendapat anggaran yang minim terbesar berada pada Kota Tangerang sebesar 5,87% sedangkan yang terkecil berada pada kota Ambon sebesar 0,60% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah berikut dapat dijelaskan pada tabel berikut, sumber daya lainnya merupakan pendukung dalam melaksanakan kegiatannya berupa fasiilitas sarana dan prasarana dan peralatan lainnya seperti gedung, alat pukul, tameng dan lainnya, pada umumnya sarana kendaraan roda empat (4) yang telah dimiliki oleh Kesatuan Polisi Pamong Praja sebagai pendukung dalam bergerak ke sumber sasaran sangat terbatas sekali kecuali yang dimiliki oleh kota Jakarta Utara memang sangat mendukung sekali dalam memobilitas personilnya menjadi lebih cepat, kemudian sarana prasarana lainnya seperti senjata api memang setiap daerah bervariatif namun pada akhirnya untuk sementara ini kepemilikan senjata pada setiap personil sudah ditarik dari
40 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 35 - 44
kepemilikannya dengan berbagai alasan antara lain ada yang dalam proses perpanjangan kembali penggunaan senjata apinya dan ada juga yang tidak memiliki senjata api tersebut. Persepsi Masyarakat Penuntutan pembubaran Kesatuan Polisi Pamong Praja menjadikan cambuk dan pukulan bagi Kementerian Dalam Negeri, pemerintah daerah provinsi, kabupaten kota selaku Pembina Satuan Polisi Pamong Praja di daerah untuk memperbaiki dan memberikan jalan alternatif pemecahanpemecahan bagi penyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman masyarakat dan perlindungan masyarakat untuk menjadikannya sebagai aparatur yang bertanggungjawab, berdisiplin dan tegas. Dari hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri terhadap kegiatan penelitian profil Satuan Polisi Pamong Praja di 9 Provinsi yaitu Provinsi Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, DI Yogjakarta, Banten, yang terdiri dari setiap provinsi yang menjadi lokus sampel adalah satu (1) kabupaten dan satu (1) kota, Provinsi Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, DI Yogjakarta, dan Banten sehingga dapat di sepakati menjadi tiga belas (13) kota Jayapura, Ambon, Makassar, Mataram, Jogjakarta, Jakarta Selatan, Serang, Pekanbaru, Pontianak, Surakarta, Bekasi, Depok, Tangerang dan disepakati pula ada delapan (8) Kabupaten Jayapura, Maluku Tengah, Gowa, Lombok Barat, Pontianak, Kubu Raya, Kampar, Sleman dengan empat (4) aspek pendekatan yaitu Kelembagaan, Ketatalaksanaan, Sumber Daya Manusia dan sumberdaya lainnya dapat disimpulkan bahwa: Persepsi masyarakat yang dijadikan sebagai informan yaitu terdiri dari masyarakat umum para birokrat yaitu masyarakat atau warga yang tidak bersinggungan langsung dengan Aparat Kesatuan Polisi Pamong Praja, Masyarakat profesi sebagai pencari berita atau jurnalis, masyarakat pedagang yaitu masyarakat para pedagang yang berjualan di sepanjang jalan-jalan yang bersinggungan langsung dengan Kesatuan Polisi Pamong Praja, dan masyarakat kalangan akademisi baik dosen maupun mahasiswa di kota dan kabupaten dengan hasil sebagai berikut : 1. Birokrat (pejabat/anggota Satpol PP); 2. Politisi Daerah (ketua/anggota DPRD/ Parpol); 3. Akademisi; 4. Tokoh Masyarakat (Ketua RT/RW); 5. Dunia Usaha, Masyarakat Pedagang (PKL), Pers/Jurnalis ; 6. Kepolisian di Daerah; dan 7. LSM. a.
Kelembagaan Aspek kelembagaan dengan beberapa indokatornya bentuk kelembagaan, tipe organisasi,
esselonisasi kemudian tugas dan fungsi, beban tugas tanggungjawab, kelompok jabatan, peran kearifan lokal, efisiensi dan efektifitas dan manajemen resiko dapat dikatakan cukup baik dengan persentase sebesar 78% dan 22% tidak baik.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 6. Persepsi Kelembagaan.
b.
Ketatalaksanaan Aspek ketatalaksanaan dengan beberapa indikatornya Norma Standar Prosedur Kerja atau sering disebut juga Standar Operating Kerja (SOK), Hubungan tata kerja, kerjasama dan koordinasi dapat di katakan baik dengan persentase 78% dan 22% cukup baik.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 7. Persepsi Ketatalaksanaan.
c.
Sumber Daya Manusia
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 8. Persepsi Sumber Daya Manusia.
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketrentaman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja - Gunawan | 41
Aspek sumberdaya manusia dengan indikatornya rekrutmen, pembinaan dan retairing dapat dikatakan cukup baik dengan 56% dan 33% menyatakan tidak baik dan yang menyatakan baik hanya 11%. d.
Sumber Daya Lainnya Aspek sumberdaya lainnya dengan indikatornya Alokasi Belanja Rutin Satuan Polisi Pamong Praja pertahun, fasilitas lainnya antara lain senjata api, sarana dan prasarana dapat dikatakan 100% menyatakan tidak baik/minim.
Sumber: Data Diolah, 2011 Gambar 9. Persepsi Sumber Daya Lainnya.
SIMPULAN 1.
2.
3.
Kelembagaan a. Kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja provinsi, kota dan kabupaten dalam membentuk kelembagaan, tipe dan esselonisasi belum dapat me-nyesuaikan amanat yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. b. Kelompok Jabatan fungsional Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Satuan Polisi Pamong Praja provinsi, kota dan kabupaten sangat minim. Ketatalaksanaan Norma standar dan prosedur Kerja Satpol PP dalam hal ini adalah pembentukan Standard Operating Procedure yang digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan kegiatan dilapangan ternyata hasil penelitian menunjukan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja provinsi, kota dan kabupaten sudah membuat Standard Operating Procedure baik itu yang mengacu pada Kepmendagri 26 Tahun 2005, peraturan daerah dan peraturan atau keputusan gubernur, bupati dan walikota. Sumber Daya Manusia Pembinaan yang dilakukan terhadap anggota satuan Polisi Pamong Praja dalam melakukan pendidikan dan pelatihan untuk satu (1) terakhir ini pada umumnya tidak melakukan
pendidikan dan pelatihan dengan beberapa pertimbangan yaitu dana yang diberikan untuk Satuan Polisi Pamong Praja terbatas dan tidak mencukupi untuk melakukan pendidikan dan pelatihan. 4.
Sumber Daya Lainnya a. Alokasi belanja pertahun bila dibandingkan dengan anggaran daerah dalam satu tahun masih terbatas berkisar antara 0,25 sampai dengan 0,40 persen. b. Fasilitas lain khususnya penggunaan senjata api, pada umumnya posisi senjata api tidak lagi digunakan oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja dengan berbagai keterangan mulai dari belum memiliki, sudah rusak dan masuk gudang sampai pada proses perpanjangan pengguna-an senjata api.
Saran 1. Kelembagaan Untuk memudahkan, mengoordinasikan dan melakukan hubungan kerja sama antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dinas-dinas pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, kelembagaan kepolisian daerah, dan Tentara Nasional Indonesia kiranya perlu Satuan Polisi Pamong Praja di daerah segera menyesuaikan bentuk, tipe dan esselonisasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Kesatuan Polisi Pamong Praja. 2.
Ketatalaksanaan Bagi Satuan Polisi Pamong Praja yang belum memiliki Norma Standar Prosedur Kerja (NSPK) atau Standard Operating Procedure (SOP) untuk segera membuat dan segera menyesuaikan dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan di penertiban masya-rakat, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat.
3.
Sumber Daya Manusia Pembinaan dengan mengikuti pola pendidikan dan pelatihan setiap kurun waktu maksimal 2 tahun perlu segera dilakukan pendidikan dan pelatihan kembali guna mengingat kembali proses pembekalan yang dilakukan di pendidikan dan latihan.
4.
Sumber Daya Lainnya Untuk mendukung tugas dan tanggungjawab Satuan Polisi Pamong Praja dalam menyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman masyarakat serta perlindungan
42 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 35 - 44
masyarakat perlu perbaikan sarana dan prasarana, untuk itu semua bermuara dari dukungan anggaran yang memadai. DAFTAR PUSTAKA Hairus, Salim. (2009). Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit, Polisi Pamong Praja dan Reformasi Sektor Keamanan. DCAF- IDSPS Press. P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Citra. Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sumber Internet: http://www.artikata.com/arti-346070-profil.html diunduh tanggal 23 April 2011. http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefoxa&rls=org.mozilla 3Aen - US %3Aofficial &channel = s&q=Definisi+Kelembagaan &btnG= Telusuri&aq=f&aqi=g2&aql=&oq= diunduh tanggal 01 Maret 2011 http://delite20.wordpress.com/2009/11/05/pengertiansarana-prasarana diunduh tanggal 3 Maret 2011 Sumber Perundang-Undangan: Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kontribusi Kesatuan Perlindungan Masyarakat dalam Memberikan Rasa Keamanan, Ketertiban, dan Ketrentaman Lingkungan: Studi Identifikasi Profil Satuan Polisi Pamong Praja - Gunawan | 43
44 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 35 - 44
STUDI DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI* STUDY DECONCENTRATION FUND AND ASSISTANCE TASKS IN THE MINISTRY OF HOME AFFAIRS Hasoloan Nadeak Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No.132 Jakarta Pusat Tlp. +6221 734 57064 Hp. +62 821 6390 6021 Diterima: 3 Januari 2012, Direvisi: 8 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012
Abstrak Permasalahan studi ini adalah bagaimana perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan, dan strategi untuk perbaikan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pendekatan terhadap permasalahan tersebut adalah menggunakan pendekatan metode gabungan antara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan teknik analisis SWOT. Berdasarkan pendekatan dimaksud, maka diketahui bahwa dalam pelimpahan dan penugasan urusan Kemendagri melalui Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan belum optimal, dalam menyusun perencanaan dan penganggaran kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan masih ada yang menggunakan mekanisme di luar musrenbangnas melainkan melalui usulan non formal lewat surat-menyurat/proposal, penyerahan (daftar isian penggunaan anggaran) DIPA kepada satuan unit perangkat daerah (SKPD) sering terlambat yang berakibat pada pencairan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan terlambat, penetapan pejabat pelaksana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pada SKPD sering terlambat. Kemudian dengan perhitungan terhadap kondisi pelaksanaan dan pelaporan dengan menggunakan Skala Likert, diperoleh hasil bahwa yang mendapatkan nilai yang kecil yaitu variabel laporan realisasi anggaran dan penatausahaan barang. Kata kunci: evaluasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, analisis SWOT Abstract Problems of this study is how the planning and budgeting, implementation and reporting, and strategies to improve implementation of Deconcentration and Assistance Duty in the Ministry Home Affairs. Approach to these problems is to use a combined method approach of qualitative and quantitative descriptive techniques SWOT analysis. Based on the intended approach, it is known that the transfer and assignment of the affairs of the Ministry of Home Affairs through the Deconcentration and Assistance Duty have not been optimal, in planning and budgeting activities Deconcentration and Assistance Duty still exist that use a mechanism outside Musrenbangnas but through non formal proposal through correspondence / proposal, the submission (budget use of checklists) DIPA to the local units (SKPD) is often delayed, resulting in the withdrawal of funds Deconcentration and Assistance Duty too late, the determination of executive officers on Deconcentration and Assistance Duty SKPD often too late. Then the calculation of the condition of the implementation and reporting by using a Likert Scale, obtained results that are getting little value that the variable budget reports and administration of goods. Keywords: evaluation, deconcentration, assistance duty, SWOT analysis
PENDAHULUAN Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI) Tahun 1945. Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan otonomi ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Amanat UUD 1945 dimaksud, secara eksplisit menegaskan tiga (3) hal penting, yaitu: pertama, terkait dengan hubungan kewenangan; kedua, hubungan keuangan; dan ketiga, menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan undangundang tersendiri. Landasan hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini adalah UU
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 45
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, beserta peraturan pelaksanaan lainnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 10 ayat (4) menyebutkan “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa”. Selanjutnya ayat 5 menyebutkan “Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah dapat : a) menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau c) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan”. Pasal 12 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 juga menyebutkan “Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.” Dalam rangka memberikan pedoman dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang secara normatif mengatur antara lain: a) Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan hanya digunakan untuk mendanai program/kegiatan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Oleh karena itu, kementerian/lembaga wajib memprakasai penyusunan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan sesuai dengan Renstra KL, Rencana Kerja KL dan ketentuan pembagian urusan, b) Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ ditugasbantuankan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah dan kebutuhan pembangunan daerah, c) Pendanaan tugas pembantuan ditujukan untuk kegiatan yang bersifat fisik, yaitu kegiatan yang output-nya berimplikasi terhadap penambahan nilai aset pemerintah, sementara output belanja bantuan sosial atau belanja barang tidak berimplikasi terhadap penambahan nilai aset pemerintah tersebut, d) Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan barang milik negara (BMN). Barang tersebut dapat dihibahkan kepada daerah dan apabila sudah dihibahkan, maka daerah wajib mengelola dan menatausahakannya sebagai barang milik daerah. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ditindaklanjuti dengan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156 Tahun 2008 yang disempurnakan dengan PMK No. 248 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang mengatur tentang hal-hal terkait dengan pola dan mekanisme pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang wajib diikuti oleh seluruh penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pengaturan pendanaan tersebut bertujuan agar pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu, ”Keuangan Negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan lingkup Kemendagri, sesuai dengan data yang ada ± 60%-80% dari total anggaran Kementerian dalam Negeri ditransfer ke daerah dalam kaitan pelaksanaan urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah. Salah satu dampak yang ditimbulkan sekaligus masalah adalah dapat menghambat pencapaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas kinerja Kemendagri, karena masih lemahnya pengelolaan keuangan dan barang milik negara (aset) baik Pemerintah Daerah (SKPD) selaku pelaksana kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan maupun Pemerintah Pusat (Unit Eselon 1) selaku pengelola dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Disamping itu PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, yang tidak mengatur/ mewajibkan kementerian/lembaga pengelola dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk melakukan penata-usahaan barang/aset hasil kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan Kementerian /lembaga yang bersangkutan, sebelum status barang/aset dimaksud dihibahkan kepada pemerintah daerah. Dalam kaitan itu semua, maka evaluasi dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri menjadi relevan dan up-to-date untuk dilakukan kajiannya. Untuk melihat realitas permasalahan studi ini diidentifikasi kedalam dua hal yaitu: 1) implementasi kebijaka dana dekonsentrasi tugas pembantuan belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 2) kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, terkait dengan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan masih menemui permasalahan dan hambatan. Oleh karena itu, studi ini secara khusus fokus pada masalah yang terkait dengan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di lingkungan Kemendagri. Dengan demikian, maka permasalahannya dapat dirumuskan yaitu: 1) bagaimanakah
46 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan dalam pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di lingkungan Kemendagri? 2) bagaimanakah strategi untuk perbaikan pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di lingkungan Kemendagri? Terkait dengan rumusan permasalahan dimaksud, maka ruang lingkup studi ini adalah: a) menginventarisir permasalahan dan hambatan, serta solusi untuk perbaikan terkait perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri; b) Menyusun strategi untuk perbaikan terkait perencanaan dan penganggaran, pelaksana-an dan pelaporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam studi ini adalah menggunakan pendekatan metode gabungan antara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dengan
menggunakan metode ini, studi ini hendak melihat kondisi yang ada, yang bekaitan dengan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah/SKPD berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Studi dilaksanakan dengan cara sample research dengan lokasi kajian dipilih secara purposive sampling yakni berdasarkan ciri-ciri kinerja keuangan di 4 (empat) provinsi, yaitu Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Adapun yang menjadi subyek kajian ini dan sekaligus informan adalah penerima dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yaitu Satuan Kerja penerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti Bappeda, Kesbang dan Linmas serta Kepala Biro pada Setda Provinsi Daerah sampel. Penentuan informan dalam studi ini didasarkan pada metode purposive sampling yaitu penunjukan sampel informan didasarkan pada ciriciri tertentu yaitu sebagai penerima, pelaksana dan
Tabel 1. Variabel, Sub Variabel, Indikator dan Sumber Data Variabel Perencanaan dan Penganggaran
Sub Variabel Koordinasi
Pelimpahan
Indikator 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Tata cara pelimpahan
1. 2. 3. 4.
Pelaksanaan dan Pelaporan
Aspek manajerial
Aspek akuntabilitas
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring
Evaluasi
5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2.
hirarki manajerial aturan dan prosedur rencana dan pencapaian menentukan identifikasi tujuan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan mengurus dan mengatur semua urusan menangani urusan pemerintah berdasarkan tugas dan wewenang membuat kebiijakan sesuai dengan kewenangan menangani urusan pemerintah yang berpotensi dan memiliki ciri khas meningkatkan kesejahteraan rakyat Perkembangan realisasi penyerapan dana Pencapaian target Kendala yang dihadapi Saran dan tindak lanjut Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Neraca Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Laporan Barang Pelaporan Pengendalian internal Laporan keuangan Pelaksanaan Pasca pelaksanaan
Sumber Data Dokumen dan Informan Dokumen dan Informan
Dokumen dan Informan
Dokumen dan informan
Dokumen dan informan
Dokumen dan informan Dokumen dan informan
Sumber: Data diolah, 2011
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 47
penanggung jawab kewenangan yang di Dekonsentrasikan dan Tugas Pembantuan. Data yang dibutuhkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder diambil dari instansi/satuan kerja informan. Data primer berupa kuesioner dan wawancara, informan kunci wawancara yaitu dengan Biro Perencanaan dan Pusat Administrasi Keuangan Pengelolaan Aset (AKPA) Kemendagri, SKPD (Bappeda, Biro Pemerintahan, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Kesbang dan Linmas) di lokasi daerah sampel. Variabel atau aspek yang diperhitungkan meliputi aspek seperti yang disusun dalam instrumen penelitian, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Analisis deskriptif menjadi pokok dalam melaksanakan kajian ini, di mana dengan analisis ini, yang digabungkan dengan analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats), dimungkinkan akan diperoleh kejelasan strategi kebijakan untuk penanganan permasalahan yang mungkin muncul dalam aspek, variabel bahkan indikator untuk wilayah kajian. Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan dengan menggunakan skala Likert untk mencari ratarata jawaban responden. Skala Likert digunakan untuk mengetahui persepsi atau pendapat responden, dimana penilaian menggunakan skala Likert yang mengkuantifikasikan jawaban ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: 1 = sangat tidak baik, 2 = kurang baik, 3 = cukup baik, 4 = baik dan 5 = sangat baik. Skala Likert tersebut digunakan untuk menghitung rata-rata nilai jawaban responden, dari rata-rata tersebut kemudian jawaban responden dikelompokkan ke dalam 5 kategori. Langkahlangkah untuk menentukan kategori tersebut adalah sebagai berikut, rumus mencari interval (i) secara umum sebagai berikut : H-L i = ____ K Dimana i adalah besar kelas interval, H adalah nilai observasi yang paling tinggi, L adalah nilai observasi yang paling rendah, dan K adalah banyaknya kelas.
Maka didapatkan rentang nilai dan kategori untuk penilaian dengan menggunakan skala Likert: Tabel 2. Rentang Nilai dan Kategori Skala Likert Interval Penilaian Kriteria 1 - 1.8 Sangat Tidak Baik 1.81 - 2.6 Kurang Baik 2.61 - 3.4 Cukup Baik 3.41 - 4.2 Baik 4.21 - 5 Sangat Baik Sumber: Hasil Penelitian Puslitbang Keuda. Data Diolah, 2011.
Sedangkan untuk analisis SWOT dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: 1. Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) point faktor serta jumlah total perkalian skor dan bobot (c = a x b) pada setiap faktor S-W-OT; Menghitung skor (a) masing-masing point faktor dilakukan secara saling bebas (penilaian terhadap sebuah point faktor tidak boleh dipengaruhi atau mempengaruhi penilaian terhadap point faktor lainnya. Pilihan rentang besaran skor sangat menentukan akurasi penilaian yang digunakan adalah dari 1 sampai 4, dengan asumsi nilai 1 berarti skor yang paling rendah dan 4 berarti skor yang paling tinggi. Perhitungan bobot (b) masing-masing point faktor dilaksanakan secara saling ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu point faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan point faktor lainnya. Sehingga formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat (rentang nilainya sama dengan banyaknya point faktor) dibagi dengan banyaknya jumlah point faktor). 2. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (d) dan faktor O dengan T (e); Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu X, sementara perolehan angka (e = y) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu Y; 3. Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran. Kuadran I (positif, positif) Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat dan berpeluang, Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Progresif, artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal. Kuadran II (positif, negatif) Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat namun menghadapi tantangan yang besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Diversifikasi Strategi, artinya organisasi dalam kondisi mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat sehingga diperkirakan roda organisasi akan mengalami kesulitan untuk terus berputar bila hanya bertumpu pada strategi sebelumnya. Oleh karenya, organisasi disarankan untuk segera memperbanyak ragam strategi taktisnya. Kuadran III (negatif, positif) Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang lemah namun sangat berpeluang. Rekomen-dasi strategi yang diberikan adalah Ubah Strategi, artinya organisasi disarankan untuk mengubah strategi
48 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
sebelumnya. Sebab, strategi yang lama dikhawatirkan sulit untuk dapat menangkap peluang yang ada sekaligus memperbaiki kinerja organisasi. Kuadran IV (negatif, negatif) Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang lemah dan menghadapi tantangan besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Strategi Bertahan, artinya kondisi internal organisasi berada pada pilihan dilematis. Oleh karenanya organisasi disarankan untuk meenggunakan strategi bertahan, mengendalikan kinerja internal agar tidak semakin terperosok. Strategi ini dipertahankan sambil terus berupaya membenahi diri.
hukum, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 menjamin adanya Daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya Pemerintah Pusat diwajibkan melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi, (6) Adanya sejumlah urusan Pemerintah yang bersifat kedaerahan dan memang dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna jika dilaksanakan oleh daerah, (7) Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terkait dengan ketujuh alasan di atas dan untuk menyelaraskan penyelenggaraan urusan
Gambar 1. Posisi Organisasi Menurut Kuadran
Tinjauan Pustaka Pada hakekatnya, semua urusan pemerintahan di Indonesia adalah tanggung jawab Pemerintah Pusat (Presiden dan Peran Menteri sebagai pembantunya) untuk menyelenggarakannya. Namun, tidak semua urusan pemerintah Pusat, dan oleh sebab itu Pemerintah Pusat, dan oleh sebab itu Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Menurut Surianingrat (1980:10) ada tujuh (7) alasan, sehingga Pemerintah dimaksud, yaitu: (1) kemampuan pemerintah pusat berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas, (2) wilayah negara sangat luas, terdiri dari 3.000 pulau-pulau besar dan kecil, (3) Pemerintah Pusat tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara, (4) Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, (5) Dilihat secara
pemerintahan baik di pusat dan daerah, UndangUndang Dasar Negara 1945 Bab VI Pasal 18 dan Pasal 18A, secara umum mengatur pola hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dua diantaranya adalah: 1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan UndangUndang; 2) Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-undang. Dalam kaitan dengan penegasan UUD NKRI 1945 seperti diutarakan di atas, maka lahirlah Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga saat ini Peraturan Perundang-undangan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948; 2) UndangUndang Nomor 44 Tahun 1950; 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957; 4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959; 5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 49
1965; 6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974; dan 7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan yang terakhir dan dijadikan landasan hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini adalah (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah dengan paradigma baru sejak Januari 2001 dnegan payung hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, manajemen Pemerintah Daerah berubah total, salah satunya yang sangat mendasar adalah instansi vertikal yang ada di daerah provinsi, kabupaten dan kota seperti kantor wilayah (Kanwil) di tingkat provinsi dan kantor departemen (Kandep) di tingkat Kabupaten Kota, dilebur menjadi dinas-dinas, yang secara organisatoris berada di bawah dan bertanggung jawab kepada satu dampak dari adanya “kewenangan pemerintahan yang disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut (Pasal 8 ayat (1)). Dalam pengembangan selanjutnya, landasan hukum penyelenggaraan pemerintah daerah saat ini adalah UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 10 ayat (4) menegaskan “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa.” Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 juga menyebutkan “urusan pemerinahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan”. Sebagai tindak lanjut pengaturan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pengertian Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sesuai dengan PP No. 7 tahun 2008 ini, yaitu: a. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur di wilayah tertentu, b. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. (Pasal 7 angka 10 dan 11). Pelaksanaan pelimpahan weweang dan penugasan tersebut didasarkan pada prinsip penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yaitu:
a.
Pemerintah menyelenggarakan sebagian urusan yang menjadi kewenangannya di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. b. Penyelenggaraan dekonsentrasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kementerian/ Lembaga. c. Penyelenggaraan tugas pembantuan dilakukan melalui penugasan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kekwenangan pemberi tugas pembantuan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota, dan/ atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa. d. Kementerian/Lembaga menetapkan sarana, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, (Pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4). Sebagai konsekwensi dari pelimpahan wewenang dan penugasan (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) tersebut yakni Pemeritnah menyediakan dana dari APBN yang disebut dengan: (1) dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah, (2) Dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (Pasal 1 angka 14 dan 15). Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa dalam pelaksanaan pemerintahan daerah “asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas tugas pembantuan; (Sugianto, 1990:71). Pelaksanaan pemerintah daerah dengan ketiga asas tersebut secara bersama-sama, menurut Sugianto 1990: 88) “memberikan tempat yang sama penting dan proporsional bagi ketiga asas penyelenggaraan pemerintah di daerah yanki: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan”. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Studi Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam studi ini adalah merupakan konsekwensi dari pelimpahan wewenang dan penugasan yang didanai dari APBN dan dilaksanakan Gubernur dan Bupati/Walikota. Bagaimana progres pengelolaan tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi. Secara umum pengertian evaluasi menurut Badudu dan Zain (1994) dijelaskan, bahwa evaluasi adalah penilaian. Mengevaluasi adalah menilai, memeriksa untuk menilai. Badudu dan Zain
50 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
memecahkan evaluasi yakni: “evaluasi pekerjaan yang sudah dilakukan, bagaimana hasilnya (cukup, baik atau buruk)”. Contoh lain: “mengevaluasi kemajuan siswa yaitu menilai agar diketahui bagaimana kemajuan itu”. Kata “evaluasi” tidak berdiri sendiri, sering dipadankan dengan kata lain, misalnya, Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintah, kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintah pada daerah yang baru dibentuk, (PP No.6/2000, angka 13). Berdasarkan pengertian tersebut, tidak secara eksplisit evaluasi dimaknai dengan “menilai” tetapi didahului dengan suatu proses pengumpulan data. Hasil dari pengumpulan data yang secara sistematis itulah ada analisis atau menguraikan dan dari hasil analisis atau pengenalan itulah tergambar bagaimana: (1) kemampuan (mampu atau tidak mampu) suatu daerah itu menyelenggarakan otonomi daerah, (2) kinerja atas penyelenggaraan pemerintahan daerah itu, baik atau buruk, meningkat atau menurun. Pengertian evaluasi menurut Scriven (1969) dalam Dunn (2003:607) adalah “merupakan persoalan fakta dan logika dan lebih penting dari yang paling pentng”. Artinya, bahwa melaksanaan atau memuat evaluasi bukan persoalan opini atau selera, tetapi evaluasi untuk menjawab apa yang terjadi, bagaimana dan mengapa terjadi perbedaan antara kebijakan yang ditetapkan dengan fakta di lapangan (hasil kebijakan). Dunn (2003) secara lebih luas menjelaskan mengenai evaluasi yakni: a. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian assessment). b. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan dan sasaran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau di atas. c. Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik, yang membedakannya dari metode analisis kebijakan lainnya, yaitu: 1) Fokus nilai evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian yang menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk
d.
“menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan untuk sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi atau tidak terantipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijaksanaan dapat selalu dipertanyakan evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri. 2) Independensi Fakta Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung, baik pada “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi atau erndah diperlukan, tidak hanya hasilhasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat. Untuk mengatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasilhasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dan aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi. 3) Orientasi masa kini dan masa lampau. Tentukan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, yang diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (exante). 4) Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena dipandang sebagai tujuan dan sekaligus care. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejarah berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap sebagai instrinsik (diperlukan bagi dirinya) atau pun ekstrinsik diperlukan karena hal itu mempengaruhi tujuan-tujuan lain. Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarkhi yag merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. Fungsi Evaluasi Kebijakan. Telah diutarakan di atas, bahwa evaluasi itu salah satunya dapat disamakan dengan penilaian (assesment). Dengan demikian, maka penilaian kebijakan (Islam 1929) adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijakan. Penilaian kebijakan tidak hanya dilakukan dengan mengikuti, aktivitas-aktivitas sebelumnya, yaitu pengesahan dan pelaksanaan kebijakan, tetapi dapat terjadi pada seluruh
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 51
e.
aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijakan. Dengan demikian, penilaian kebijakan dapat mencakup tentang: Isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan lampu kebijakan dan dampak kebijakan. Jadi, pemikiran kebijakan dapat dilakukan pada fase, penurunan masalahnya, formulasi usulan kebijakan, implementasi legistimasi kebijakan. Oleh karena itu, menurut Dunn (2003) fungsi evaluasi kebijakan itu, pertama, memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik atau seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu tidak dicapai. Kedua, memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Pendekatan dalam evaluasi kebijakan. Menurut Dunn (2003: 613-619) ada 3 (tiga) pendekatan dalam melakukan evaluasi kebijakan. Ketiga pendekatan tersebut secara ringkas dijelaskan sebagai berikut : 1. Evaluasi Semu (Psaude Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self-evident) atau tidak kontroversial. 2. Evaluasi Formal (Formal Education) adalah meruakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan, tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebiakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal sebagai ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. 3. Evaluasi Keputusan Teoritis. Evaluasi Keputusan Teoritis (Decision Theoritic Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Perbedaan
pokok antara evaluasi teoritis keputusan di satu sisi, dan evaluasi semua dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Bertitik tolak dari paparan dan penjelasan seperti dikemukakan, maka evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam kajian ini, maka Evaluasi dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistemastis terhadap pengelolaan atau pemanfaatan dana yang berasal dari dana APBN, yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah dan yang dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan atau desa. Dilihat dari sudut perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan dalam satu tahun anggaran di lingkungan Kemendagri. 2.
Analisis Kondisi pelaksanaan dan pelaporan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah digambarkan dengan menggunakan skala Likert, seperti pada Tabel 3 berupa hasil penilaian di masing-masing lokasi sampel studi. Berdasarkan data dari Tabel 4 didapatkan bahwa untuk aspek manajerial untuk masing-masing lokasi studi masuk dalam kategori sangat baik (provinsi Sulut dan DI Yogyakarta) dan baik (Provinsi Banten dan Jateng). Berdasarkan aspek akuntabilitas Provinsi Sulut dan DI Yogyakarta masuk dalam kategori cukup baik dan Provinsi Banten dan Jateng masuk dalam kategori kurang baik. Perhitungan terhadap kondisi pelaksanaan dan pelaporan dengan menggunakan Skala Likert diperoleh hasil bahwa yang mendapatkan nilai yang kecil yaitu variable laporan realisasi anggaran dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan dan penatusahaan barang dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan. Oleh karena itu diperlukan sebuah perbaikan system terhadap laporan realisasi dan penatausahaan barang dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Beberapa kendala dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut: a. Dalam pelimpahan dan penugasan urusan Kemendagri melalui DK-TP belum optimal b. Dalam menyusun perencanaan dan penganggaran kegiatan DK-TP masih ada yang menggunakan mekanisme diluar musrenbangnas melainkan melalui usulan non formal lewat surat-menyurat/proposal c. Penyerahan DIPA kepada SKPD sering terlambat yang berakibat pada pencairan dana dekon/TP terlambat
52 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
Tabel 3. Pelaksanaan dan Pelaporan di Masing-Masing Lokasi Studi Aspek Manajerial
Variabel
Sulut Sangat dapat dipertanggung jawabkan Tercapai sesuai target
Realisasi penyerapan dana dapat dipertanggungjawabkan Penyelenggaraan program dan kegiatan dekon TP
Akuntabilitas
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan dekon/TP yang dilaporkan Mengatasi masalah yang dihadapi dalam kegiatan dekon/TP yang dilaporkan (menyampaikan saran dan tindak lanjut kepada Kemendagri) Laporan realisasi anggaran dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan Neraca laporan realisasi anggaran dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan (membuat neraca dan dilaporkan)
Selalu dilaporkan Dilaporkan
Catatan atas laporan keuangan dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan
Catatan atas laporan keuangan cukup dibuat dan dilaporkan
Penatusahaan barang dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan
Cukup dibuat secara rutin
Cukup dilaporkan Cukup membuat neraca yang dilaporkan tiap bulan
Provinsi Banten DIY Kurang dpt Sangat dapat dipertanggung dipertanggung jawabkan jawabkan Cukup Tercapai tercapai sesuai sesuai target target Selalu Selalu dilaporkan dilaporkan Dilaporkan Dilaporkan
Kurang dilaporkan Cukup membuat neraca yang dilaporkan tiap bulan Catatan atas laporan keuangan cukup dibuat dan dilaporkan Kurang dibuat secara rutin
Cukup dilaporkan Cukup membuat neraca yang dilaporkan tiap bulan Catatan atas laporan keuangan cukup dibuat dan dilaporkan Cukup dibuat secara rutin
Jateng Cukup dapat dipertanggu ng jawabkan Tercapai sesuai target Selalu dilaporkan Dilaporkan
Kurang dilaporkan Cukup membuat neraca yang dilaporkan tiap bulan Catatan atas laporan keuagan cukup dibuat dan dilaporkn Kurang dibuat secara rutin
Sumber: Hasil Penelitian Puslitbang Keuda. Data Diolah, 2011.
Tabel 4. Penilaian Likert Scale Pelaksanaan dan Pelaporan di Masing-Masing Lokasi Studi Variabel Aspek Manajerial Realisasi penyerapan dana dapat dipertanggungjawabkan penyelenggaraan program dan kegiatan dekon TP Kendala yang dihadapi dalam kegiatan dekon/TP yang dilaporkan mengatasi masalah yang dihadapi dalam kegiatan dekon/TP yang dilaporkan (menyampaikan saran dan tindak lanjut kepada Kemendagri) Rata-rata Kriteria Aspek Akuntabilitas laporan realisasi anggaran dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan neraca laporan realisasi anggaran dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan (membuat neraca dan dilaporkan) catatan atas laporan keuangan dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan a penatusahaan barang dalam kegiatan dekon TP yang dilaporkan Rata-rata Kriteria
Sulut
Provinsi Banten DIY
Jateng
RataRata
5
2
5
3
3,75
4
3
4
4
3,75
5
5
5
5
5
4
4
4
4
4
4,5 sangat baik
3,5 baik
4 baik
4,125
Sulut
Banten
4,5 sangat baik DIY
Jateng
RataRata
3
2
3
2
2,5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
2
2,5
3 cukup baik
2,5 kurang baik
3 cukup baik
2,5 kurang baik
2,75
d. Penetapan pejabat pelaksana pada Sumber: Hasil Penelitian Puslitbang Keuda. DK-TP Data Diolah, 2011. Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 53
SKPD terlambat. Untuk mengatahui kondisi kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dilihat dengan menggunakan analisis SWOT yaitu dengan membandingkan antara kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan). Dengan menggunakan analisis keruangan (SWOT) dihitung antara rumus:
a. b. c.
d. Kekuatan – Kelemahan Peluang – Tantangan
= 1,60 - 1,27 = 1,5 - 1,58
= 0,33 = -0,08
Antara kedua parameter tersebut diperoleh gambaran strategi pada Gambar 7.
melakukan sosialisasi dan bintek tentang proses penyusunan program kegiatan dan anggaran. percepatan revisi UU 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya. peningkatan pemahaman SDM pelaksanan DKTP terhadap PMK Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana DK/TP melalui sosialisasi dan bintek. perlu melakukan penyempurnaan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, khususnya memasukkan pasal yang mengatur tentang kewajiban Kementerian/ Lembaga untuk melakukan penatausahaan BMN hasil kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
Gambar 7. Parameter Kondisi Eksternal dan Internal Berdasarkan Analisis Keruangan SWOT.
Posisi hasil analisis keruangan (SWOT) menandakan sebuah organisasi yang kuat namun menghadapi tantangan yang besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Diversifikasi Strategi, artinya Kemendagri dalam kondisi mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat, sehingga diperkirakan Kemendagri akan mengalami kesulitan untuk terus berputar bila hanya bertumpu pada strategi sebelumnya. Oleh karenya, Kemendagri disarankan untuk segera memperbanyak ragam strategi taktisnya. Strategi perbaikan pelaksanaan kegiatan DK-TP di lingkungan Kemendagri didapatkan dengan cara memadukan antara kekuatan dan tantangan sehubungan dengan hasil analisis SWOT. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut:
e.
f.
g.
sebelum BMN tersebut dihibahkan kepada daerah. para stakeholder/pemangku kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri untuk mematuhi peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan serta pelaporan. segera membentuk Tim ad Hock untuk menangani percepatan penyelesaian penetapan status BMN yang berasal dari dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri yang akan berakhir akhir tahun 2013. optimalisasi koordinasi DK-TP dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
54 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
Tabel 5. Hasil Perhitungan Faktor Internal Faktor Internal Kekuatan Pelaksanaan DK-TP di daerah secara umum telah diatur dan didukung dengan peraturan UU No. 32 Th. 2004, UU No. 33 Th. 2004, PP. No. 7 Th. 2008 dan peraturan pendukung lainnya Aspek perencanaan dalam proses penyusunan program, kegiatan dan anggaran telah mengacu pada RKP dan dituangkan dalam Renja-KL Aspek penganggaran telah mengikuti ketentuan yang mengatur tentang penyusunan dan penelaahan RKA-KL dan DIPA berdasarkan PP. No.7 Th. 2008 Laporan manajerial dan di laporan data bentuk Form C dari PP. No. 39 Th. 2006 dan Laporan Akuntabilitas dalam bentuk aplikasi SAI Konsistensi pemerintah untuk melaksanakan DK-TP yang diturunkan dalam UU No.33 Th. 2004 dan PP. 7 Th. 2008 dan peraturan pendukung lainnya Komitmen Pemerintah pusat untuk peningkatan pelaksanaan DK-TP Jumlah Kelemahan Kurangnya dokumen pendukung untuk keperluan memperoleh persetujuan hibah barang milik negara Sarana dan prasarana untuk pelaporan dan monev kurang memadai Anggaran sebagai penunjang utama pengelolaan pelaporan dan monev masih terbatas Aset tetap DK/TP yang dilaporkan dalam LKPP 2010 belum seluruhnya dilakukan inventarisasi dan penilaian sebesar Rp849.871.311,00 pada 11 SKPD di 8 Provinsi Sampai dengan penyusunan Laporan Keuangan Tahun 2010 Audited, Aset Dekon/TP/UB yang telah selesai dihibahkan kepada pemerintah daerah sebesar Rp56.437.725.807,00 sedangkan Aset Dekon/TP/UB sebesar Rp1.367.976.022.542,00 masih tercantum dalam neraca (belum dihibahkan). Adanya usaha Kemendagri terhadap Aset Dekon/TP/UB tersebut untuk segera diproses dihibahkan ke pemerintah daerah. Belum ada kebijakan yang mengatur mekanisme koordinasi, pencatatan, serta pelaporan belanja dan barang milik negara dari dana DK dan TP, baik di lingkungan Kemendagri, Pemda, dan koordinasi diantara keduanya, Unit Eselon 1 yang mempunyai anggaran Dana DK dan TP agar melaksanakan sosialisasi SAI kepada SKPD Pelaksana Dana DK dan TP; Pertimbangan Mendagri kepada Presiden terhadap DKTP K/L dalam melimpahkan/menugaskan urusan belum berjalan sebagaimana mestinya Kriteria lokasi dan alokasi baik umum maupun teknis belum memadai atau belum diterapkan secara optimal; Prinsip efisiensi dan efektifitas masih perlu ditingkatkan dengan menggunakan parameter yang jelas; konsistensinya dengan pencapaian sasaran proritas nasional masih kurang Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan K/L ke daerah dan Instansi vertikal tidak dikoordinasikan secara baik dengan Pemerintah Daerah; Belum optimalnya pelaksanaan pemantauan dan evaluasi; Jumlah Sumber: Hasil Penelitian Puslitbang Keuda. Data Diolah, 2011.
h.
i.
j.
k.
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk lebih mengoptimalkan dan mengefektifkan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang ada di Provinsi, dalam melakukan sinkronisasi, penyiapan perangkat, koordinasi, pembinaan dan pengawasan serta pelaporan kegiatan DK-TP. meningkatkan kualitas dan kuantitas Aparatur, khususnya yang menguasai pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan (manajerial dan akuntabilitas). meningkatkan kualitas dan kuantitas Aparatur, khususnya yang menguasai pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan (manajerial dan akuntabilitas). pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota untuk lebih mengoptimalkan dan mengefektifkan Tim
l.
Bobot
Rating
Total
0.083
3
0.25
0.083
3
0.25
0.083
3
0.25
0.083
3
0.25
0.083
3
0.25
0.083 0.5 Bobot
4 Rating
0.33 1.6 Total
0.04
2
0.077
0.04 0.04
3 3
0.115 0.115
0.04
3
0.115
0.04
3
0.115
0.04
2
0.077
0.04
3
0.115
0.04
2
0.077
0.04
3
0.115
0.04
2
0.077
0.04
2
0.077
0.04
3
0.115
0.04 0.50
2
0.077 1.27
Koordinasi Penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang ada di Provinsi, dalam melakukan sinkronisasi, penyiapan perangkat, koordinasi, pembinaan dan pengawasan serta pelaporan kegiatan DK-TP. pemerintah provinsi, kabupaten/kota agar mendukung Tim Ad Hock untuk menangani percepatan penyelesaian penetapan status BMN yang berasal dari dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri.
SIMPULAN 1.
Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri belum sepenuhnya mematuhi peraturan perundang-undangan,
Studi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri – Hasoloan Nadeak | 55
Tabel 6. Perhitungan Faktor Eksternal Faktor Eksternal Peluang Komitmen daerah terhadap pelaksanaan DK/TP pemberian DK-TP didaerah pemekaran APBD yang terbatas potensi lokal yang masih perlu dikembangkan Jumlah Tantangan Kualitas pelaksana/SDM DK-TP di SKPD belum optimal adanya rencana revisi terhadap UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pelaporan keuangan dan BMN DK-TP oleh SKPD masih lemah dan belum sesuai dengan PMK Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana DK/TP Belum optimalnya kebijakan yang mengatur mekanisme koordinasi, pencatatan, serta pelaporan belanja dan barang milik negara dari dana DK dan TP, baik di lingkungan Kemendagri, Pemda, dan koordinasi diantara keduanya, Sinkronisasi DK-TP dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah belum optimal; Hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan program kegiatan DK-TP oleh SKPD belum transparan dan akuntabel
Bobot 0.125 0.125 0.125 0.125 0.5 Bobot 0.083 0.083 0.083
Rating 4 3 2 3 12 Rating 4 2 4
Total 0.5 0.375 0.25 0.375 1.5 Total 0.333 0.167 0.333
0.083
3
0.250
0.083
3
0.250
0.083
3
0.250
0.50
1.58
Sumber: Hasil Penelitian Puslitbang Keuda. Data Diolah, 2011.
2.
3.
khususnya terkait dengan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pelaporan. Terdapat hasil kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri yang berupa aset dari tahun 2003 s/d 2008, 2009 dan 2010 senilai Rp 1.390.519.873.741,00 dan yang baru dihibahkan senilai Rp 52.149.529.526,63 (3,75%) sedangkan sisanya belum ditetapkan statusnya, hal ini merupakan tanggung jawab Menteri Dalam Negeri selaku Pengguna Anggaran. Kebijakan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di lingkungan Kemendagri berpeluang untuk dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan.
Sumber Perundang-Undangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2008 disempurnakan Nomor 248 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Tugas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Undang-Undang, Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
* Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional pada tanggal 29 Februari 2012 di Hotel Allson, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Sugianto, 1990. Membedah Otonomi Daerah Suatu Evaluasi Atas UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Balitbang Departemen Dalam Negeri. Merangkai Masa Depan Otonomi Daerah. Kumpulan Makalah. Sugiono 1993, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeto. Cet. ke-5. Surianingrat, Bayu, 1980. Mengenal Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Aksara Baru. Cetakan pertama. William Dunn, 2000. Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Gadjah Mada Uiversity Press. Cetakan ke III. Yogyakarta.
56 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 45 - 56
EKSISTENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DI KALIMANTAN BARAT THE EXISTENCE OF NON GOVERNMENTAL ORGANIZATION IN WEST KALIMANTAN Sorni Paskah Daeli Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No.132 Jakarta Pusat e-mail:
[email protected] Diterima: 13 Januari 2012, Direvisi: 25 Januari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012 Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab penyimpangan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalimantan Barat. Metode pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Informan meliputi aparat Pemerintah Daerah dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor menyebabkan penyimpangan peran LSM, antara lain: mencari motif keuntungan; ketiadaan sumber dana dan rendahnya profesionalisme; ideologi yang tidak jelas; regulasi yang terlalu longgar. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembalikan peran LSM, antara lain LSM harus melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya dan LSM harus membangun kredibilitas dan identitasnya di mata masyarakat dan pemerintah Kata kunci: perkumpulan, pemerintah daerah. Abstract This study was conducted to identify the cause factors on the role deviation of Non Governmental Organization (NGO) in West Kalimantan. The method of approach used is descriptive qualitative method. Informants that included are local government officials and public source. The results showed that some of the factors that cause deviations role of NGOs, are: profiteering motives; lack of funds and lack of professionalism, the ideology is unclear; loose regulations. Efforts that should be made to restore the role of NGOs, includes fundamental changes that NGOs must make in order to enhance its capacity and establish NGOs credibility and credentials in the society and government view. Keywords: association, local government.
PENDAHULUAN Ruang politik yang terbuka lebar pasca Orde Baru, telah memberikan kebebasan dan kesempatan pada berbagai kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam wujud Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan mengusung berbagai asas dan tujuan yang berbeda-beda. Data Ditjen Kesbangpol memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah LSM sangat pesat, di mana jika pada tahun 2002 ditaksir ada sekitar 13.000-14.000 LSM, maka pada tahun 2011 ada 65.577 LSM beroperasi di Indonesia, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten. Ditambah bahwa keberadaan LSM yang begitu banyak telah menunjukkan tidak adanya lagi hegemoni ideologi yang dijalankan lewat berbagai peraturan perundang-undangan yang mendudukkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi seperti pada masa Orde Baru yang menyebabkan aktifitas LSM dan Ormas berada dalam ruang yang terbatas. Secara umum, menurut Setyono (2003), LSM merupakan lembaga/ organisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral (moral force) yang memiliki peran penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan politik. LSM dipandang mempunyai peran strategis dalam proses demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor itu. Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM yang berkarakteristik: nonpartisan; tidak mencari keuntungan ekonomi; bersifat sukarela; dan bersendi pada gerakan moral; dan dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi. Karakteristik inilah yang membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi dan melayani kepentingan masyarakat yang luput dari perhatian sektor politik dan swasta. Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat, sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM adalah bagaimana
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat – Sorni Paskah Daeli | 57
mengontrol kekuasaan negara. Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah, sehingga pola hubungan LSM pada masa itu digambarkan sebagai pola hubungan yang konfliktual, di mana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM. Menurut Gaffar (2006), LSM mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society. Di sisi lain, Hikam (1999) memandang bahwa LSM dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran. Artinya, keberadaan LSM tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari civil society yang kuat dan mandiri. Namun fakta di lapangan, ada berbagai problematika yang melibatkan LSM, sehingga memunculkan degradasi kepercayaan publik, karena sesungguhnya banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh LSM baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal, misalnya inefisiensi manajemen, pertikaian antar aktivis, transparansi dan sebagainya. Selain itu masalah sumber dana merupakan tantangan utama yang harus dihadapi LSM, dan sudah terlihat di tingkat nasional bahwa ada LSM yang memilih merubah arah ideologis sesuai dengan penyandang dananya. Profesionalisme LSM juga patut dipertanyakan karena sudah bukan rahasia lagi banyak LSM yang tidak memiliki kantor dan sekretariat tetap yang jelas. Belum lagi standar gaji yang minimalis, sehingga banyak kalangan LSM yang memilih berkompromi dengan pemerintah ketika peluang politik tersedia. Kondisi ini menggambarkan kondisi LSM yang carut-marut, sehingga diperlukan adanya evaluasi atas kinerja LSM. Banyak LSM yang malah berperan memperlemah gerakan rakyat dan melakukan kegiatan yang kontra-produktif. LSM seperti ini bukannya menjadi tulang punggung civil society, namun sebaliknya justru malah memperlemah. Penyimpangan perilaku LSM dan berbagai permasalahan yang dihadapi LSM, menunjukkan telah terjadi pergeseran terhadap eksistensi yang seharusnya dijalankan oleh LSM dalam pola hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat, sehingga diperlukan adanya upaya-upaya untuk memperkuat kembali eksistensi LSM dalam konteks civil society. Kajian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran eksistensi LSM, sehingga dicari upaya penanggulangannya, agar LSM dapat kembali berperan bagi terwujudnya pembangunan yang berkualitas di Provinsi Kalimantan Barat.
Kajian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta–fakta dan sifat–sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki. Kajian ini menggunakan data primer dari hasil wawancara yang melibatkan informan. Informan yang diwawancarai dalam kajian ini adalah para tokoh masyarakat antara lain: tokoh agama; pengurus LSM; kalangan perguruan tinggi; dan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat. Teknik snowball sampling juga digunakan ketika akses ke semua daftar informan yang diteliti tidak didapat. Jadi data yang digunakan adalah data kualitatif. Selain itu, ada data sekunder berupa dokumen resmi, laporan dan studi media juga akan digunakan. Untuk pengolahan data, data yang diperoleh dianalisis secara teknik deskriptif kualitatif, yaitu dengan model interaktif dengan tahapan, yaitu melakukan reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Peran LSM pernah diteliti oleh Ageng Nata Praja (2009), di Kabupaten Grobogan, dengan hasil bahwa distorsi peran LSM di Kabupaten Grobogan terjadi karena ketiadaan sumber dana, rendahnya profesionalisme karena latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, dan konsep idelogi yang tidak jelas. Perbedaan dengan penelitian tersebut yang merupakan keunikan kajian ini terletak pada lokasi, yakni skala provinsi dan melibatkan semua stakeholders, terlihat pada informan yang diwawancarai, sehingga lebih banyak temuan mengenai eksistensi LSM di daerah. Seiring dengan semakin berkembang dan kompleksnya masyarakat, baik gerakan masyarakat maupun kelompok kepentingan yang lain, memperlakukan organisasi sebagai salah satu sarana perjuangan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang disepakati. Gerakan masyarakat yang terorganisir dikenal sebagai organisasi kemasyarakatan dengan karakteristik, yaitu organisasi diluar organisasi pemerintahan, tidak bermotif keuntungan, lebih melibatkan anggota dalam kegiatannya, keanggotaan yang bersifat massal, melakukan kegiatan politis disamping perjuangan teknis keorganisasian, serta cukup berkepentingan akan ideologi (Sanit, 1985). LSM merupakan salah satu bentuk organisasi itu. Umumnya, LSM adalah organisasi yang didirikan oleh perorangan atau kelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa mencari keuntungan dari kegiatan tersebut. Sebutan LSM sendiri merupakan pengembangan dari istilah ornop (organisasi non pemerintah) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah bahasa Inggris Non Government Organization (NGO). Dalam arti umum, LSM mencakup semua organisasi masyarakat yang berada di luar struktur dan jalur formal pemerintahan. Prinsipnya, organisasi non pemerintah dapat dilihat dengan ciri-ciri: 1) organisasi ini bukan bagian dari pemerintah; birokrasi ataupun negara; 2) tidak mencari keuntungan (nirlaba); dan 3) kegiatan
58 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 57 - 66
dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum. Di Indonesia, istilah LSM didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 8/1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri, berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Bentuk LSM di Indonesia dikemukakan oleh Eldridge (dalam Nata Praja, 2009) yang membaginya dalam pendekatan berdasarkan kegiatan dan mendefinisikan gerakan LSM Indonesia menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah LSM dengan label “pembangunan”, yaitu organisasi yang memusatkan perhatiannya pada program pengembangan masyarakat konvensional, yaitu irigasi, air minum, pusat kesehatan, pertanian, peternakan, kerajinan dan bentuk pembangunan ekonomi lainnya. Kategori kedua adalah LSM “mobilisasi”, yaitu organisasi yang memusatkan perhatiannya pada pendidikan dan mobilisasi rakyat miskin sekitar isu yang berkaitan dengan ekologi, hak asasi manusia, status perempuan, hak-hak hukum atas kepemilikan tanah, hak-hak pedagang kecil, tunawisma dan penghuni liar di kota-kota besar. Selain itu, Corten (dalam Hadjar, 2006) membedakan jenis LSM ini dalam dua kategori. Jenis LSM pertama adalah LSM yang bergerak dalam bidang community development, menggunakan pendekatan mikro dalam mencoba memecahkan persoalan sosial. LSM ini suka mengerjakan proyek-proyek pemberdayaan ekonomi pedesaan, melakukan pendampingan pada industri rumah mikro dan menengah, dan percaya pada kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalahnya sendiri. Jenis kedua adalah LSM yang bergerak pada bidang advokasi. LSM suka memberi tekanan pada kebijakan. Mereka berusaha merubah kebijakan-kebijakan penyebab ketidakadilan. Mereka percaya bahwa masalah mikro dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Maka penanggulangan masalah pembangunan hanya bisa dimungkinkan jika ada perubahan struktural. Berbicara mengenai LSM, tentunya tidak dapat dipisahkan juga dari konsep masyarakat sipil (civil society). Istilah LSM sendiri lahir dari paradigma civil society yang mengejawantah dalam berbagai wadah sosial politik di masyarakat mulai dari bidang keagamaan, profesi, paguyuban, kaum tani, buruh, pedagang dan unit-unit komunitas lainnya, domain mereka terpisah dari negara maupun sektor bisnis. LSM adalah salah satu komunitas dari masyarakat sipil yang sering menjadi perhatian, di
mana sesuai karakteristiknya LSM ini biasanya membawa misi penguatan dan pemberdayaan masyarakat di luar negara dan sektor swasta, yang merupakan substansi gagasan dan praksis hidup masyarakat sipil (Hadjar, 2006). Dalam konteks masyarakat sipil ini, menurut Einstadt (dalam Gaffar, 2006), diperlukan adanya empat persyaratan, yakni: 1) otonomi; 2) akses masyarakat terhadap lembaga negara; 3) arena publik yang bersifat otonom; dan 4) arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Dalam hal ini, dipersyaratkan adanya organisasi atau kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, seperti LSM dan media massa. Dengan tingkat keleluasaan bergerak, kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi, LSM dapat menjadi sumber daya politik yang potensial dalam menyiapkan civil society, dalam arti sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat. Kekuasaan negara dibatasi dalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat dalam rangka pembentukan kebijaksanaan publik. Sementara itu, Meutia Ganie-Rochman (dalam Maruto & Anwari, 2002) menyebutkan ada tiga elemen dasar civil society, yaitu: 1) orientasi bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan negara tidak dominan ditentukan oleh pemerintah; 2) sangat dibutuhkan keterampilan berorgani-sasi dengan prinsip demokratis; 3) keharusan adanya perilaku yang menghormati etika. Dari elemen dasar ini, poin pertama dengan jelas mengakui pentingnya keberadaan LSM (kelompok masyarakat) sebagai sumber perubahan dalam civil society. Di Indonesia, konsep civil society belum optimal dilaksanakan. Pemerintah masih menunjukan dominasi, terutama dalam formulasi kebijakan. Sementara di tataran implementasi kebijakan sering terjadi manipulasi politik. Dalam pandangan Gramscian, dominasi dan manipulasi merupakan bentuk lain dari hegemoni. Fakih (dalam Simon, 1999) menyebutkan bahwa, kesadaran politik kritis terhadap hegemoni dominan dan sistem yang tidak adil merupakan dasar penting dalam civil society yang merupakan perkumpulan sosial politik, masyarakat adat, pesantren ataupun LSM di mana masing-masing anggotanya memiliki kesadaran kritis sebagai intelektual organik dalam suatu aksi politik. Corrothers & Suryatna (dalam Gaffar, 2006) mengidentifikasikan empat peranan yang dapat dimainkan oleh LSM dalam sebuah negara yaitu: 1) katalisasi perubahan sistem, yang dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat dan melakukan advokasi semi perubahan negara; 2) memonitor pelaksanaan sistem dan penyelenggaraan negara, yang dilakukan dengan melalui penyampaian kritik atau pelaporan penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan; 3) memfasilitasi rekonsiliasi warga dengan lembaga peradilan melalui aktifitas pembelaan dan pendampingan terhadap warga korban kekerasan; 4)
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat – Sorni Paskah Daeli | 59
implementasi program pelayanan di mana LSM dapat menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program. Menurut Gaffar (2006), relasi antara negara dan LSM sama sekali tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan sejarahnya, relasi LSM dan pemerintah mengalami pasang surut, dari hubungan yang bersifat cooperative dan partnership hingga hubungan yang sifatnya conflictual. Ryker (dalam Gaffar, 2006) menyebutkan lima model pola relasi antara LSM dengan pemerintah, yaitu: pertama, autonomous/benign neglect. Dalam pola relasi ini, pemerintah tidak menganggap LSM sebagai ancaman, karena itu membiarkan LSM bekerja secara independen dan mandiri. Model pola relasi kedua adalah facilitation/promotion. Pemerintah menganggap kegiatan LSM sebagai sesuatu yang bersifat komplementer, di mana Pemerintahlah yang menyiapkan dukungan bagi LSM untuk beroperasi, termasuk bila diperlukan menyediakan fasilitas dana, peraturan dan pengakuan hukum serta hal-hal yang sifatnya administratif lainnya. Model pola relasi ketiga adalah collaboration/ cooperation. Pemerintah menganggap bahwa bekerjasama dengan LSM merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena dengan kerjasama semua potensi dapat disatukan
dissolution seperti yang diterapkan pada masa Orde Baru. Dalam rangka mewujudkan civil society dan good governance Meuthia Ganie-Rochman (dalam Nata Praja, 2009) mengajukan beberapa hal yang harus ditangani oleh LSM. Pertama, alokasi sumber daya yang dilakukan hendaknya meliputi pelayanan publik, kontrol alokasi sumber daya di daerah, penguatan organisasi masyarakat melalui pendidikan politik, serta penguatan kedudukan kelompok masyarakat agar mampu mengontrol alokasi sumber daya keuangan dan alam. Kedua, LSM harus berada di garis depan dalam hal pembangunan hukum dan peraturan baru yang sangat dibutuhkan. Ketiga, LSM berkewajiban meningkatkan kapabilitas masyarakat dalam kehidupan politik, meliputi upaya membangun identitas kewargaan, pembentukan forum publik, dan upaya pendisiplinan berkenaan dengan terjadinya konflik. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data tahun 2009 dari Badan Kesbangpol & Linmas, terdapat 218 organisasi non pemerintah, termasuk di dalamnya LSM yang diklasifikasikan berdasarkan jenis organisasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah LSM/Ormas Terdaftar di Provinsi Kalimantan Barat S/D Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Organisasi s/d 2006 2007 Ormas Kesamaan Kegiatan 18 18 Ormas Kesamaan Profesi 51 0 Ormas Kesamaan Keagamaan 14 4 Ormas Kesamaan Fungsi 16 0 LSM 36 8 TOTAL 135 30 Sumber: Badan Kesbangpol & Linmas Prov.Kalimantan Barat, 2011.
guna mencapai satu tujuan bersama. Model pola relasi keempat adalah cooptation/absorption. Pemerintah mencoba menjaring dan mengarahkan kegiatan LSM dengan mengatur segala aktifitas mereka. Untuk itu, LSM harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan pemerintah. Tidak jarang pemerintah melakukan kontrol secara aktif. Model pola relasi kelima adalah containment/sabotage/dissolution. Pemerin-tah melihat LSM sebagai tantangan bahkan ancaman, sehingga pemerintah mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak LSM atau bahkan membubarkan LSM yang dianggap melanggar ketentuan yang berlaku.Dalam suasana reformasi saat ini, dengan kehidupan demokrasi yang berjalan lebih baik, sangat memungkinkan untuk menciptakan hubungan antara LSM dengan pemerintah yang sifatnya autonomous/benign neglect, facilitation/ promotion, dan collaboration/cooperation sekaligus, dan bukan pola relasi yang bersifat cooptation/absorption atau containment/sabotage/
2008 12 1 0 0 14 27
2009 11 1 1 0 13 26
Jumlah 59 53 19 16 71 218
Jumlah LSM di Kalimantan Barat sesungguhnya lebih dari 71 LSM, karena menurut staf Badan Kesbangpol & Linmas yang membidangi mengenai LSM, jumlah LSM yang ada sekarang merupakan jumlah yang berhasil didata dengan cara jemput bola. Masih ada LSM lain yang belum terdata, di mana mereka umumnya hanya beroperasi dengan Akta Notaris namun tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pemerintah daerah. Gerakan LSM di Kalimantan Barat, seperti daerah lainnya, diilhami oleh keberhasilan gerakan reformasi yang berhasil mengganti rezim otoriter Orde Baru dengan Pemerintahan Reformasi yang lebih terbuka. Para aktivis LSM di Kalbar umumnya berasal dari mantan aktivis kampus pada era awal Reformasi. Setelah lulus dari berbagai perguruan tinggi sebagian dari mereka melanjutkan semangat reformasi di daerah asalnya di Kalimantan Barat. LSM-LSM yang beroperasi di Kalimantan Barat umumnya memiliki ruang lingkup kegiatan meliputi
60 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 57 - 66
pemberdayaan masyarakat, penguatan hak-hak sipil, advokasi dan pendampingan, monitoring dan pengawasan kebijakan pemerintah daerah. Bentuk konkritnya, mereka menjadi mitra dalam proyekproyek pemerintah yang melibatkan masyarakat. Berbagai kegiatan seperti pembinaan, workshop, pelayanan pendidikan dan kesehatan serta proyekproyek pemberdayaan masyarakat melibatkan LSM lokal. Sementara LSM yang bergerak dalam bidang advokasi dan pengawasan, banyak melakukan kritik keras dan bersuara lantang melaporkan berbagai penyimpangan termasuk dugaan korupsi pada berbagai proyek pemerintah daerah. Jika memotret LSM di Kalimantan Barat berdasarkan tipologi Corten, dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah LSM yang bergerak dalam bidang community development yang menggunakan pendekat-an mikro dalam mencoba memecahkan masalah sosial. LSM jenis ini menjadi mitra dalam proyek-proyek pemerintah. LSM seperti Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bunga Bangsa Kalimantan Barat (LPPBB) dengan kegiatan-kegiatannya di bidang pemberdayaan masyarakat, Bina Pelestarian Alam dan Lingkungan Hidup (BIPALHI) dengan kegiatan bidang pelestarian alam, Sarana Anak Bangsa (SABANG) dengan pelayanan pendidikan, Dewan Kesehatan Rakyat Kalimantan Barat (DKRKB) dengan kegiatan bidang pelayanan masyarakat, kesehatan, sanitasi dan kebersihan, dan juga beberapa LSM lainnya yang memfokuskan diri pada peningkatan kapasitas masyarakat termasuk dalam kelompok LSM dengan kategori community development. Kelompok kedua adalah LSM yang bergerak di bidang advokasi. Jenis LSM ini percaya bahwa untuk merubah tatanan masyarakat yang tidak adil, maka tekanan harus diberikan pada kebijakan. Mereka berusaha merubah kebijakan-kebijakan penyebab ketidakadilan. Mereka percaya bahwa masalah mikro dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masalah politik dan pembangunan. Maka penanggulangan masalah pembangunan hanya bisa dimungkinkan jika ada perubahan struktural. LSM yang termasuk dalam kelompok ini adalah Aktualisasi Amanah Rakyat (AKAR), Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GRAK), Komisi Pemantau Pembangunan Kalbar (KPPK), Komite Pemantau Pemilihan Kepala Daerah (KPPKD), Forum Kritisi Kinerja Aparatur Negara (FEKAN), dan LSM lainnya yang sejenis. LSM jenis ini aktif melakukan aksi-aksi yang sifatnya mengkritisi dan mengawasi implementasi kebijakan pemerintah daerah. Mereka sering berteriak keras mengecam penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaran pemerintahan. Berbagai ruang kebijakan publik menjadi fokus perhatian mereka, di antaranya adalah proses penyusunan dan pengalokasian anggaran APBD, pelaksanaan proyekproyek, kualitas pelayanan pendidikan dan
kesehatan, sampai dengan kebijakan di bidang kepegawaian termasuk pengadaan CPNS dan kebijakan pengisian jabatan struktural di pemerintahan provinsi dan kabupaten. Beberapa langkah kongkrit yang telah dilakukan oleh LSM-LSM jenis advokasi dan pengawasan ini di antaranya adalah dengan melaporkan beberapa kasus dugaan korupsi dan indikasi kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam berbagai pelaksanaan kebijakan publik. Di antaranya, pada tahun 2010, LSM Forum Kritisi Kinerja Aparatur Negara (FEKAN) melaporkan kasus korupsi bantuan sosial KONI Kalimatan Barat ke Polisi Daerah Kalimatan Barat. LSM lainnya Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GRAK) di Jakarta melaporkan dugaan korupsi Bupati Ketapang yang diduga merugikan negara Rp118 miliar, dugaan korupsi Pasar Dahlia, dan dugaan korupsi pengadaan baju hansip ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). LSM lain seperti Komite Pemantau Pemilihan Kepala Daerah (KPPKD), berkaitan dengan pelaksanaan Pemilukada kabupaten/kota sempat mendesak KPUD kabupaten/kota di Kalimantan Barat untuk bertanggung jawab mengenai pelaksanaan Pemilukada yang carut-marut. KPPKD mengungkapkan tentang kepemilikan ganda kartu pemilih oleh sejumlah warga, sementara warga lain justru tidak memperoleh kartu pemilih. Mengutip Fakih (1996) dalam pemetaan paradigma, kebanyakan LSM di Kalimantan Barat pada awalnya banyak menganut paradigma reformis, di mana semangat utamanya adalah perlunya partisipasi rakyat dalam pembangunan, bahwa keterbelakangan mayoritas rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas dan nilai-nilai rakyat. Kegiatan LSM diwujudkan dalam upaya-upaya memotivasi rakyat agar berpartisipasi dalam pembangunan. Namun saat ini dengan semakin meningkatnya keberanian untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, LSM-LSM berparadigma reformis sedang bergerak menjadi LSM dengan paradigma transformatoris, yang melihat kondisi struktur sosial ekonomi dan politik sebagai hasil pemaksaan negara atau kelompok-kelompok dominan, sehingga melahirkan ketidakadilan dan ketidakdemokrasian. Gerakan-gerakan LSM ini terasa agak radikal, di mana iklim atau isu keterbukaan dimanfaatkan untuk mencoba membongkar berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, isu gerakannya lebih bernuansa politik, seperti mengambil tema hak azasi manusia, kesenjangan sosial, gerakan civil society, pelibatan rakyat dalam proses-proses politik seperti demonstrasi, unjuk rasa dan mimbar bebas serta berorientasi pada kemandirian rakyat. Di Kalimantan Barat, paradigma transformatoris mulai dianut oleh LSM-LSM seperti GRAK, AKAR, KPPK, FEKAN dan LSM-LSM lain yang aktif menekan pemerintah terkait kasus-kasus penyimpangan kebijakan.
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat – Sorni Paskah Daeli | 61
Dalam konsep civil society, kondisi masyarakat di Kalimantan Barat sangat jauh dari prinsip kemandirian. Independensi masyarakat terhadap pemerintah, yang merupakan prinsip utama dalam membangun civil society tidak terlihat. Pemerintah daerah masih memegang kontrol penuh dalam kehidupan politik, sementara masyarakat hanya sebagai penonton atau bahkan dalam kasus tertentu sebagai obyek eksploitasi. Dominasi itu terlihat jelas dalam perumusan kebijakan, sementara dalam implementasi kebijakan banyak terjadi manipulasi yang merugikan masyarakat. Bila dibandingkan dengan apa yang dikemukakan Einstadt (dalam Gaffar, 2006) bahwa salah satu komponen utama sebagai syarat adanya civil society, yaitu otonomi, tidak ditemukan dalam masyarakat Kalimantan Barat. Karena makna otonomi dari civil society adalah kemandirian dalam melakukan inisiatif dalam melakukan kegiatan dan kemandirian dari intervensi pemerintah, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan kebijakan daerah dan di sisi lain masyarakat bebas melakukan aktifitasnya. Namun praktiknya, perumusan kebijakan hampir sepenuhnya didominasi oleh pemerintah daerah dan DPRD, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Dalam rangka penyusunan APBD, kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbang) yang seharusnya menjadi ajang menjaring aspirasi mengenai apa yang menjadi kebutuhan masyarakat justru tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Proses penyusunan APBD yang di antaranya merumuskan kegiatan (proyek-proyek pembangunan baik fisik maupun non fisik), selama ini berasal dari inisiatif eksekutif dan aspirasi masyarakat yang dihasilkan dari kegiatan musrenbang mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Semua usulan dan aspirasi ini masuk ke DPRD untuk dilakukan pembahasan dengan penentuan skala prioritas dan besaran anggaran. Di tingkat DPRD inilah terjadi proses komunikasi politik yang sifatnya tertutup, di mana terjadi tarik ulur kepentingan eksekutif dan legislatif. Hasilnya adalah seringkali muncul kegiatan atau proyek baru yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam usulan hasil musrenbang, sementara hasil dari musrenbang justru diabaikan. Seorang aktivis LSM dari Aktualisasi Amanah Rakyat (AKAR) menyebutkan proyek-proyek baru ini sebagai proyek pesanan dari DPRD untuk menyebutkan betapa kuatnya pengaruh DPRD. Kapasitas masyarakat juga berperan penting dalam mewujudkan otonomi masyarakat. Kondisi masyarakat Kalimantan Barat yang tingkat perekonomian dan kesejahteraannnya masih belum mapan bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Kalimantan, ditambah dengan kualiatas sumberdaya manusia yang rendah, di mana tercermin dari tingkat pendidikan masyarakat, merupakan salah satu faktor penghambat adanya otonomi masyarakat sebagai
syarat adanya civil society. Faktor lainnya adalah rendahnya budaya politik sebagai akibat tidak berhasilnya pendidikan politik oleh pemerintah maupun partai politik. Komponen civil society kedua menurut Einstadt adalah adanya akses masyarakat terhadap lembaga negara. Fakta yang terjadi adalah bahwa akses terhadap lembaga pemerintah daerah sangat minim dan terbatas. DPRD misalnya merupakan sebuah lembaga yang tertutup terhadap aspirasi masyarakat. Sebagaimana pada kasus musrenbang, DPRD seakan menutup diri terhadap inisiatif yang bersumber dari masyarakat, namun di lain pihak anggota DPRD atas nama pribadi seringkali memberikan memo rekomendasi terhadap proposal agar diprioritaskan dalam pemberian bantuan. Sementara itu, SKPD–SKPD di Kalimantan Barat juga dikeluhkan oleh kalangan aktivis LSM sebagai lembaga yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip transparansi luas. Akses terhadap infOrmasi pelaksanaan kegiatan APBD dan besaran anggaran sangat terbatas. Begitu juga dengan permintaan datadata resmi yang lebih detail mengenai penyelenggaran kebijakan pemerintahan, harus melalui proses birokrasi dan perijinan yang rumit. Data-data mengenai pelaksanaan pengadaan barang/jasa misalnya, disinyalir banyak terjadi kecurangan-kecurangan yang ditutup-tutupi. Dari data survey Forum Kritisi Kinerja Aparatur Negara (FEKAN), sejauh ini partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih cukup rendah. Akses infOrmasi masyarakat terhadap pengelolaan APBD baru 24,35%, pembuatan prosedur pelayanan 30,91%, dan pemberian insentif pejabat publik 18,33%. Komponen civil society yang ketiga adalah adanya arena publik yang otonom di mana masyarakat bebas berekspresi dan mengaktualisasikan diri dalam berbagai organisasi. Menurut Badan Kesbangpol & Linmas, terjadi pertumbuhan yang cukup pesat organisasi non pemerintah termasuk LSM. Jumlah ini masih memungkinkan bertambah karena masih banyak organisasi yang belum terdaftar, dan hanya beroperasi berdasarkan Akta Notaris namun belum memiliki SKT dari pemerintah provinsi/kabupaten. Sedangkan komponen terakhir syarat adanya civil society adalah adanya area publik sebagaimana yang disebut sebelumnya yang sifatnya terbuka bagi semua lapisan masyarakat, dan tidak dijalankan secara rahasia dan eksklusif. Namun kenyataannya jarang sekali ada semacam diskusi publik, public hearing, atau penjaringan aspirasi yang menyangkut masalah publik dan melibatkan masyarakat dalam merumuskan kebijaksanaan publik. Untuk membentuk suatu civil society di Kalimantan Barat, diperlukan suatu tatanan masyarakat yang bersifat mandiri dan terlepas dari kekuasaan negara (pemerintah daerah). LSM sebagai salah satu komponen civil society saat ini merupakan
62 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 57 - 66
unsur yang potensial untuk menciptakan civil society. Kemampuan dan kemandirian LSM yang mampu mengisi ruang publik diharapkan dapat membatasi kekuasaan pemerintah, sehingga mampu menciptakan kehidupan yang demokratis. Peranan penting lainnya adalah pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui usaha-usaha penguatan masyarakat akar rumput melalui berbagai aktivitas pendampingan dan pembelaan atas hak-hak rakyat. Dalam konteks Kalimantan Barat, pemerintah menunjukkan dominasinya terhadap masyarakat terutama dalam hal penyusunan kebijakan publik. Pemerintah merupakan pemegang dan penentu kebijakan publik, sementara rakyat tidak dilibatkan dalam formulasi kebijakan namun dalam beberapa kasus diharuskan terlibat pada proses implementasi. Selain kasus musrenbang, dalam proses restrukturisasi organisasi perangkat daerah, misalnya proses penyusunan SOTK organisasi perangkat daerah hanya dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD tanpa melibatkan kalangan masyarakat, LSM, perguruan tinggi maupun unsur lainnya. Alasan dari sisi pemerintah tidak melibatkan masyarakat adalah anggapan bahwa DPRD sudah merupakan wakil rakyat. Manipulasi politik juga banyak dilakukan oleh pemerintah. Selain kasus penyimpangan proyek-proyek APBD, pemerintah daerah juga sering melakukan kompromi politik dengan DPRD dalam penyusunan kebijakan. Dalam setiap pembahasan produk hukum pasti terjadi deal-deal antara eksekutif dan legislatif, di mana eksekutif ingin agar legislatif menyetujui rancangan peraturan daerah yang diajukan. Konsekuensinya legislatif mendapatkan “apa” ketika menyetujui rancangan perda tersebut. Kondisi ini semakin mempersulit munculnya civil society yang kuat dan mandiri. Masyarakat yang berada dalam hegemoni pemerintah memerlukan peningkatan kapasitas, pemberdayaan dan pembelaan atas hak-haknya. Ketika partai politikpun tidak mampu menjadi wakil yang menyuarakan kebutuhan masyarakat, maka disinilah peran penting LSM dibutuhkan. LSM di Kalimantan Barat muncul sebagai akibat lemahnya kontrol dari lembaga-lembaga pengawasan seperti partai politik atau institusi pengawasan internal seperti inspektorat daerah. Partai politik dan lembaga-lembaga pengawasan dianggap lemah dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan yang berkuasa, sehingga membiarkan terjadinya dominasi dan manipulasi pemerintah terhadap masyarakat. Dari sinilah gerakan LSM muncul secara alami sebagai reaksi atas kondisi sosial politik termasuk kondisi ekonomi. Dalam praktiknya, dari empat peranan yang dapat dimainkan oleh LSM dapat diidentifikasikan peranan yang dijalankan LSM-LSM di Kalimantan Barat, yaitu: katalisasi perubahan sistem; memonitor pelaksanaan sistem dan penyelenggaraan negara; memfasilitasi rekonsiliasi warga dengan lembaga
peradilan; dan yang terakhir adalah implementasi program pelayanan. Keempat peranan ini dilaksanakan dalam berbagai aksi dan kegiatan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Katalisasi perubahan sistem dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah masalah penting dalam masyarakat dan melakukan advokasi demi perubahan kebijakan pemerintah. Sedangkan implementasi program pelayanan dilakukan melalui sejumlah pelaksanaan kegiatan dan program di bidang pendidikan dan kesehatan serta proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks hubungan LSM dengan pemerintah, dari kelima model hubungan antara LSM dengan pemerintah ada dua model hubungan yang cocok untuk menggambarkan pola hubungan antara LSM dengan pemerintah. Yang pertama adalah hubungan yang bersifat collaboration/ cooperation. Wujud kerjasama antara LSM dan pemerintah antara lain dalam bentuk pelatihan, sosialisasi, seminar dan dan kegiatan lain yang sifatnya meningkatkan kapasitas masyarakat. Contohnya kegiatan workshop pendidikan ramah anak, yang merupakan kerjasama LSM LPPBB (Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bunga Bangsa Kalbar) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat. Contoh lain advokasi (Perhimpunan Pekerja Kayu Hutan Hak Indonesia) yang bekerjasama dengan pemerintah dalam program Gerakan Nasional Anti Illegal Logging. Dalam pola hubungan ini, pada praktiknya LSM melaksanakan program dan proyek-proyek pemerintah. Pemerintah menyediakan dana sedangkan LSM membantu dengan keahlian mereka. Namun, kebanyakan LSM jenis ini memiliki ketergantungan terhadap pemerintah terutama dari segi finansial dan pendanaan program. Pada akhirnya LSM berkewajiban melaksanakan seluruh program pemerintah sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemerintah, tanpa mampu mengembangkan ataupun memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di lapangan. Oleh Fakih, LSM semacam ini dikritik sebagai LSM yang masih terkungkung dalam paradigma pembangunannisme (develop-mentalism) yang tidak kritis terhadap masalah-masalah ketimpangan struktural, partisipasi dan ketergantungan dari pihak luar. LSM yang seharusnya berperan sebagai aktor-aktor dalam gerakan sosial, justru menampakan diri sebagai agenagen subkontraktor pembangunan dari lembagalembaga milik pemerintah. LSM seharusnya memiliki sumber dana sendiri selain dari pemerintah, dalam melaksanakan program-program pemberdayaan dan pelayanan masyarakat. Model kedua adalah hubungan yang bersifat containment/sabotage/dissolution. Dalam contoh kasus penangkapan beberapa aktivis LSM oleh aparat keamanan. Karena dianggap terlalu vokal, aktivis LSM sengaja dijebak oleh oknum pejabat
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat – Sorni Paskah Daeli | 63
pemerintah. Kasus lainnya, karena dianggap terlalu gencar membongkar sebuah kasus korupsi miliaran rupiah, seorang aktivis LSM menerima ancaman terhadap keselamatan jiwanya, sehingga sempat menghilang selama beberapa waktu sebelum kemudian terpaksa berkompromi karena merasa tidak mampu memberikan perlawanan. Meskipun belum dalam skala besar, namun eksistensi LSM di Kalimantan Barat telah memberikan warna dalam upaya-upaya memperkuat civil society. Namun tidak semua LSM berperan sebagai pilar hadirnya civil society. Beberapa LSM justru melakukan tindakan yang menyimpang dari fungsinya. LSM-LSM tersebut justru berperan memperlemah gerakan rakyat dan melakukan kegiatan yang kontra-produktif. Umumnya motif penyimpangan perilaku sejumlah LSM adalah motif mencari keuntungan. Ketika peluang tersedia, berbagai cara dilakukan dengan memanfaatkan kedudukan dan posisi LSM dalam kehidupan politik di Kalimantan Barat. Contoh kasus penyimpangan yang dilakukan oleh LSM, di antaranya: 1. Bupati Pontianak dan Pimpinan DPRD sepakat untuk memberi dana APBD kepada Yayasan Bestari. Setelah APBD dicairkan, dana tersebut dibagikan kepada 45 orang anggota DPRD sebesar Rp 2,83 milyar. Sekelompok kontraktor yang merasa diperlakukan tidak adil dalam proses tender pembangunan melaporkan dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negeri setempat. Kasus ini melibatkan LSM dalam jumlah yang cukup besar, setidaknya terdapat 37 organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, pengacara, dan akademisi dengan total 332 pemberitaan di media massa. 2. Dalam pelaksanaan peran pengawasan, belakangan terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa LSM. Pada praktiknya peran pengawasan hanya digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan. Sejumlah kalangan birokrat mengeluhkan perilaku sejumlah anggota LSM yang mendatangi mereka. Di depan para pejabat pemerintah daerah, oknum-oknum LSM ini mengungkapkan apa yang mereka sebut sebagai penyimpangan, kecurangan atau korupsi yang merugikan negara disertai dengan ancaman untuk melaporkan ke aparat hukum. Beberapa anggota LSM juga memiliki media cetak lokal, tidak jarang mereka menggunakannya sebagai alat penekan. Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa misi mencari keuntungan materi merupakan motif utama yang mendasari penyimpangan perilaku LSM. Dari hasil wawancara menunjukan bahwa hampir semua LSM, terutama yang bergerak di bidang advokasi dan pengawasan tidak memiliki sumber dana yang jelas. Normatifnya, sumber dana didapatkan dari iuran para anggota, namun jika melihat latar belakang profesi para anggota LSM yang
kebanyakan memiliki profesi dengan penghasilan yang tidak tetap, maka sulit bagi LSM untuk menjalankan operational sehari-hari dengan hanya mengandalkan iuran anggota. Apalagi jika dilihat dari jumlah anggota LSM yang kebanyakan kurang dari sepuluh orang, bahkan tidak jarang anggota yang aktif hanya ketua, sekretaris dan bendahara. Dapat dibayangkan seberapa besar dana yang dapat dikumpulkan untuk menghidupi dan membiayai aktifitas LSM. Para anggota LSM tentu harus berpikir bagaimana mencari dana paling tidak untuk membiayai operasional sehari-hari. Yang paling mudah adalah dengan memanfaatkan posisi LSM sebagai kelompok penekan pemerintah. Profesionalisme aktivis LSM juga sangat diragukan, keterbatasan sumber dana menyebabkan tidak adanya standar gaji minimal bagi aktivis, atau bahkan tidak mendapatkan gaji sama sekali. Beberapa LSM hanya mengandalkan proyek dari pemerintah, dan ketika tidak ada proyek, maka LSM tersebut seperti mati suri, hingga muncul kembali ketika ada tawaran menangani proyek pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi manajemen keuangan LSM, otorita keuangan biasanya dipegang oleh satu orang saja dan dana saldo kegiatan biasanya dibagibagi dikalangan anggota LSM, tidak untuk disimpan sebagai pendukung kegiatan lain. Akuntabilitas LSM dalam hal ini sangat lemah, karena umumnya mereka tidak membuat dan memiliki laporan keuangan resmi. Laporan keuangan dibuat hanya untuk kepentingan internal. Demikian juga dengan kantor dan sekretariat LSM, mayoritas LSM tidak mempunyai kantor tetap yang berdiri sendiri. Kebanyakan menggunakan rumah pimpinan atau anggota LSM sebagai alamat yang tercantum dalam akta pendirian LSM. Bahkan ada satu LSM yang mencantumkan rumah kontrakan sebagai sekretariatnya. Dari segi tujuan didirikannya LSM dan program yang dijalankan, banyak LSM yang tidak jelas orientasi, visi dan misinya. Kebanyakan, kalaupun ada hanya di atas kertas dan bersifat normatif, bahkan cenderung didirikan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya agar dapat mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Seringkali ketika proyek-proyek APBD turun, mereka datang dengan setumpuk proposal untuk meminta proyek. Jika tidak diberi, maka seringkali terjadi praktik-praktik ancaman dan pemerasan. Dari hasil wawancara dengan para aktivis LSM diperoleh fakta bahwa, ketika ditanya mengenai tujuan didirikannya LSM, jawaban yang muncul adalah jawaban yang idealis, normatif dan terkesan mulukmuluk. Program kerja yang telah dilaksanakan tidak memiliki perencanaan dan umumnya bersifat insidental dan situasional tergantung jenis proyek yang didapatkan. Banyak LSM yang bahkan tidak memiliki program kerja yang kongkrit dan jelas. Sementara itu dari mudahnya regulasi yang diberikan oleh pemerintah dalam mendirikan LSM,
64 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 57 - 66
menyebabkan banyak LSM berdiri tanpa platform perjuangan dan program pelayanan yang jelas. Banyak LSM yang beroperasi bahkan tanpa prosedur hukum yang resmi, sedangkan pemerintah seakan membiarkan saja. Tidak adanya pengaturan dan pengendalian dari pemerintah menyebabkan banyak LSM bermunculan, akhirnya banyak LSM yang tidak memiliki sumber dana yang jelas dapat dengan mudah berdiri, hingga akhirnya melakukan berbagai penyimpang-an. Persoalan utama terletak pada LSM itu sendiri, sehingga diperlukan adanya reposisi internal yang dilakukan dalam rangka pembenahan dan penataan kembali pranata dan sumber daya, termasuk sumber daya finansial. Masalah sumber dana adalah hal pertama yang harus diperhatikan untuk menciptakan LSM yang kuat, mandiri dan fokus terhadap program dan kegiatannya. LSM harus melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya, mulai dari orientasi, metode kerja, keahlian, pendekatan hingga jaringan kerja. Peningkatan kapasitas yang perlu dilakukan, yakni: 1) melalui penegasan ideologi dan orientasi; 2) peningkatan kapasitas menyimpan, mengembangkan dan memanfaatkan data; 3) peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasikan dan bekerjasama, dengan institusi yang berbeda. Hal ini bukan hanya menyangkut kemampuan mengenali lembaga atau organisasi lain yang dapat diajak bekerjasama, tetapi juga kemampuan untuk membentuk kerjasama; 4) kemampuan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman, serta kemampuan meng-evaluasi dan merekam pengalaman untuk didokumentasikan, dikomunikasikan dan dimanfaatkan oleh organisasi lain; dan 5) kemampuan meningkatkan akuntabilitas, yaitu bagaimana menerjemahkan peran dan fungsinya pada stakeholders yang berbeda. Selain itu, LSM harus membangun kredibilitas dan identitasnya di mata masyarakat dan pemerintah. Citra buruk LSM harus dihilangkan, karena jika LSM masih terperangkap dalam motif sempit mencari keuntungan materi, maka seruan moral LSM menjadi tak berguna. LSM harus menegaskan identitasnya dengan memajukan prinsip-prinsip tertentu dan sekaligus menunjukan kepada masyarakat metode kerja mereka. LSM perlu memilih beberapa isu penting saja yang harus ditanganinya secara serius dan konsisten. LSM harus mengubah strategi dari melempar isu-isu menuju pada pemfokusan dalam pengembangan “desain alternatif”, baik dalam skema formal maupun dalam bentuk informal. Dalam bentuk konkrit, adalah ikut serta dalam membentuk rancangan alternatif bagi pemerintah daerah dalam program tertentu. Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Barat juga perlu membuat aturan main yang jelas, bukan untuk mengawasi atau membatasi ruang gerak LSM, namun untuk menjamin profesionalisme LSM. Selama ini belum ada peraturan daerah yang mengatur tentang operasional LSM di Kalimantan
Barat. Semestinya ada perda yang mengatur lebih rinci mengenai sumber dana, keanggotaan minimal, syarat kantor atau sekretariat dan syarat-syarat administratif lainnya. Ketentuan dan sanksi bagi LSM yang tidak mempunyai SKT juga harus diperjelas. Semua ini penting agar LSM yang didirikan benar-benar berkualitas dan profesional dalam perannya sebagai pilar civil society. SIMPULAN Simpulan yang didapat dari pembahasan adalah sebagai berikut: Pertama, faktor-faktor menyebabkan penyim-pangan peran LSM, antara lain: mencari motif keuntungan; ketiadaan sumber dana dan rendahnya pro-fesionalisme; ideologi yang tidak jelas; dan regulasi yang belum ada. Kedua,upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembalikan peran LSM sebagai pilar civil society, antara lain melakukan perubahan mendasar demi meningkatkan kapasitasnya dan harus membangun kredibilitasnya di mata masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan simpulan yang didapat, maka saran yang disampaikan antara lain: Pertama, perlu undang-undang yang mengatur tentang LSM atau merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dengan mengatur Ormas dan LSM sekaligus. Kedua, sambil menunggu undang-undang tentang LSM atau revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, maka untuk menertibkan pembentukan dan operasionalisasi LSM serta pembinaannya, perlu diterbitkan kebijakan pemerintah untuk dijadikan sebagai pedoman pemerintah daerah dalam pembinaan LSM di daerah. DAFTAR PUSTAKA Fakih,
Mansour, 1996, Masyarakat sipil untuk TransfOrmasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka pelajar, Yogyakarta. Gafar, Affan, 2006, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hikam, Muhammad AS, 1999, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta. Maruto, MD dan Anwari WMK (ed.). 2002. RefOrmasi Politik dan Kekuatan Masyarakat Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta. Nata Praja, Ageng, 2009. Distorsi Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Perspektif Civil Society Di Kabupaten Grobogan, tesis, Universitas Diponegoro. Sanit, Arbi, 1985, Swadaya Politik Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta; Setiyono, Budi, 2003, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara merdeka, 15 Oktober 2003. Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, INSIST dan Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Suharko, 2005, Merajut Demokrasi Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat – Sorni Paskah Daeli | 65
Pemerintahan Demokratis (1966-2001), Tiara Wacana Yogyakarta. Sumber Internet: Fickar Hadjar, Abdul, LSM, Demonstrasi & Demokrasi, http://fickar15.blogspot.com/lsm-demonstrasidemokrasi.html, diunduh 15 Juli 2011. Sumber Perundang-Undangan: Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 8 tahun 1990, tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.
66 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 57 - 66
KINERJA APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI KOTA PARIAMAN PERFORMANCE OF LOCAL GOVERNMENT APPARATUS ON HEALTH CARE UNIT IN PARIAMAN CITY Imam Radianto Anwar Setia Putra Pusat Peelitian Dan Pengembangan Kesatuan Bangsa, Politik Dan Otonomi Daerah Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jln. Kramat Raya No. 132 Jakarta Pusat Tlp. +62 21 310 1953 Hp. +62813 61959 598 e-mail:
[email protected] Diterima: 4 Januari 2012, Direvisi: 15 Februari 2012, Disetujui: 27 Februari 2012 Abstrak Pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu tujuan penyelenggaraan desentralisasi. Aparatur yang acuh tak acuh dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan waktu pelayanan yang tidak jelas menjadi bagian dari permasalahan pemberian pelayanan. Studi ini melihat kinerja aparatur pemerintah daerah pada unit pelayanan kesehatan di Kota Pariaman. Penelitian ini mengunakan metode deskripif dengan pengukuran kinerja berdasarkan hasil akhir dan perilaku. Tuntutan debirokrasi dan peningkatan keahlian aparatur dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat melalui pemanfaatan teknologi akan mempercepat perubahan penyelenggaraan pelayanan menjadi lebih baik. Kata Kunci: Kinerja aparatur, penyelenggaraan pelayanan Abstract Public services is one of the goal of decentralization. Apparatus which is indifferent in providing services to the community and the service time that is not obviously a part of the problem of service delivery. The study looked at the performance of local government officials in health care units in the Pariaman city. This study uses a method description with performance measurement based on outcomes and behavior. de bureaucracy demands and increasing expertise in the provision of personnel services to the community through the use of technology will accelerate the implementation of service changes for the better. Keywords: Performance of apparatus, service implementation
PENDAHULUAN Keluhan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah seringkali terbaca di media masa. Keluahan tersebut ditujukan terutama kepada aparatur yang bertanggung jawab mengelola pelayanan. Di sisi lain rentang pelayanan yang panjang, kualitas pelayanan yang seadanya, dan biaya yang mahal memperburuk kondisi pelayanan pemerintah daerah. Kapasitas aparatur dan organisasi menjadi sorotan yang harus dibenahi agar dapat menghasilkan penyelenggaraan pelayanan yang efektif, efisien dan ekonomis. Penghargaan serta hukuman yang belum berjalan secara maksimal mem-bangun celah serta kebiasaan para aparatur untuk melakukan tindakan di luar prosedur yang ada. Profesionalitas aparatur dalam unit kerja pelayanan diperlakukan dan begitu juga dengan aparatur yang bekerja dijajaran struktural. Kinerja pelayanan pada masyarakat seharusnya disesuaikan dengan prosedur dan sumpah menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sehingga tidak ada lagi embel-embel uang pelicin. Hal ini menunjukkan tidak adanya komitmen moral aparatur dan kurangnya profesionalisme aparatur setiap menjalankan tugas dalam melayani masyarakat.
Rendahnya profesionalisme aparatur pada unit pelayanan seringkali ditunjukkan dalam sebuah kasus, apabila penguna jasa menginginkan pelayanan cepat dan orang penting, etah itu saudara atau yang mereka kenal, maka pimpinan yang akan menanganinya. Ironisnya apabila pengguna jasa itu orang biasa, maka pelayanan yang diberikan cenderung berbeda. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumberdaya manusia aparatur yang belum memadai. Dukungan manajemen dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dan SDM aparatur sebagai mesin dalam menjalankan organisasi selalu menjadi sorotan utama dalam melaksanakan pelayanan di daerah. Lemahnya kemam-puan, wawasan, perilaku, dan mindset yang dimiliki oleh aparatur membawa dampak pada kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Selama ini, salah satu faktor internal yang menganggu lingkungan unit pelayanan di daerah adalah pola pikir. Pola pikir birokrasi dan aparaturnya lebih mengedepankan prosedur sebagai alat untuk fungsi kontrol yang merupakan alat kekuasaan warisan kolonial Belanda (Dwiyanto,
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota Pariaman - Imam Radianto Anwar Setia Putra| 67
2010). Belum terbentuknya mindset sebagai pelayan bagi masyarakatnya, mulai dari tataran pimpinan/kepala unit kerja hingga para aparatur pelaksana teknis pada unit pelayanan. Berdasarkan uraian masalah dimulai, maka dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut: kurangnya profesionalisme aparatur, ketidakpastian waktu dan biaya, kurangnya komitmen moral aparat, rendahnya disiplin aparatur, budaya dilayani bukan melayani, dan kurangnya koordinasi yang baik di dalam lingkungan unit kerja pelayanan di daerah merupakan permasalahan yang tidak kunjung usai dalam implementasi kinerja aparatur pelayanan di daerah. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dititikberatkan pada kinerja aparatur di unit kerja pelayanan. Pertanyaan utama adalah bagaimana kinerja aparatur pada unit pelayanan di daerah? Tentunya aparatur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah PNS yang bekerja di unit kerja pelayanan kesehatan Kota Pariaman. Definisi kinerja menurut Mangkunegera (2001), adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang aparatur dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Penilai tersebut berdasarkan jumlah pekerjaan yang dilaksanakan atau fungsi-fungsi yang melekat dalam unit kerja serta hasil yang dicapai sehingga dapat dimanfaatkan oleh para penggunanya (user). Selanjutnya, menurut Gomes. F, (1995) dikatakan bahwa performansi pekerjaan adalah catatan hasil atau keluaran (outcomes) yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Ringkasan yang dikeluarkan dengan menilai fungsi yang dilakukan dalam memlakukan pekerjaan sehingga memberikan masukan dalam memngabil serta mencari solusi untuk peningkatan dan hasil yang hendak dicapai untuk memenuhi tujuan organisasi. Dalam hal ini pegawai negeri sipil (PNS) juga memiliki bentukbentuk penilaian yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing yang terdapat pada setiap unit kerjanya. Aparatur pelayanan dalam penelitian ini adalah (PNS) yang dijadikan pelaksana tugas dalam rangka memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat secara langsung. Penilaian terhadap PNS dituangkan dalam daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP-3), yakni suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang PNS dalam jangka waktu 1 (satu) tahun yang dibuat oleh pejabat penilai yang memiliki tujuan untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang obyektif dalam pembinaan PNS dengan mengunakan beberapa unsur dalam menilai. Penilaian tersebut dilakukan kepada PNS yang bekerja di seluruh unitunit kerja penyelenggaraan pemerintah. Banyak aspek memengaruhi kinerja seseorang. Lingkungan organisasi, motivasi kerja, gaya kepemimpinan, perilaku, sikap dan tindakan rekan sejawat menjadi faktor penentu kinerja individu. Dalam konteks kinerja ini unit pelayanan di
daerah mengacu pada Prinsip Pelayanan Publik sesuai dengan Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Pada umumnya merefleksikan budaya birokrasi dengan hirarki jabatan struktural birokrasi di Indonesia. Padahal, unit pelayanan membutuhkan struktur organisasi yang mampu memberikan pelayanan cepat dan memuaskan kepada masyarakatnya sesuai dengan apa yang diharapkan. Boyne dan Walker (2005) menyatakan bahwa kinerja organisasi sektor publik umumnya terfokus pada hambatan dan stimulus yang berasal dari faktor-faktor eksternal, seperti aturan hukum dan ketidakpastian lingkungan. Pada umumnya aparatur pelayanan belum profesional, dan menciptakan biaya tinggi dalam mendapatkan pelayanan yang dirasakan oleh kebanyakan masyarakat dan menjadikan tuntunan masyarakat untuk mendorong penyelenggaran pelayanan, yaitu pemerintah daerah untuk kembali kepada misi dan visinya sebagaimana dibentuknya daerah. Dibutuhkan seorang pelayan yang baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan pengguna layanan, yang mampu memberikan kualitas pelayanan yang baik. (Kep Menpan nomor 63/KEP/M.PAN/ 7/2003). Terdapat beberapa kriteria jenis pelayanan yang dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik (Dwiyanto, 2010). Kriteria pertama, yang biasa digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu sendiri dan kriteria kedua yang dapat digunakan untuk pelayanan. Tidak kalah pentingnya kinerja pelayanan yang dilaksanakan oleh aparatur di daerah juga dapat dilihat dari produk yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Terdapat 5 (lima) dimensi (Kotler, 1991) dengan dirancang untuk mengukur kualitas pelayanan yang didasarkan pada perbedaan antara nilai harapan dengan nilai kinerja yang dirasakan oleh konsumen, yaitu: 1) Responsive (daya tanggap/ kesigapan) adalah suatu respon/kesigapan pegawai dalam membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap; 2) Reliability (keandalan) adalah suatu kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya; 3) Assurance (jaminan) adalah kemampuan pegawai atas pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas, keramahtamahan, perkataan atau kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi dan ke-mampuan dalam menanamkan kepercayaan konsumen/pelanggan terhadap perusahaan; 4) Emphaty (perhatian) adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada para pelanggan/konsumen; dan 5) Tangibles (kemampuan fisik) adalah suatu bentuk penampilan fisik, peralatan personal, media komunikasi, dan halhal yang lainnya yang bersifat fisik. Selanjutnya kinerja aparatur juga dapat diukur berdasarkan perilaku lebih menekankan pada cara
68 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 67 - 72
atau sarana (means) dalam mencapai tujuan dan bukan pada pencapaian hasil akhir. Pengukuran berdasarkan perilaku umumnya bersifat subjektif dimana diasumsikan pegawai dapat menguraikan dengan tepat kinerja yang efektif untuk dirinya sendiri maupun untuk rekan kerjanya serta pengukuran kinerja berdasarkan perilaku memungkinkan pengungkapan aspek-aspek pekerjaan yang lebih luas sehingga diperoleh gambaran kinerja yang komprehensif (Faustion Gomes, 1995). Tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui keberhasilan atau ketidak berhasilan seorang PNS, dan untuk mengetahui kekurangankekurangan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh PNS yang bersangkutan dalam melaksana-kan tugasnya. Hasil penilaian kinerja digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembinaan PNS, antara lain pengangkatan, kenaikan pangkat, pengangkatan dalam jabatan, pendidikan dan pelatihan, serta pemberian penghargaan. Gomes, F. (1995) lebih lanjut menjelaskan terdapat 2 (dua) kriteria pengukuran performansi atau kinerja karyawan, yaitu 1) pengukuran berdaarkan hasil akhir (result-based performance evaluation); dan 2) pengukuran berdasarkan perilaku (behaviour-based performance evaluation). Pengukuran berdasarkan hasil akhir, mengukur kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi atau mengukur hasil-hasil akhir saja. METODE PENELITIAN Penelitian ini menitikberatkan pada kinerja aparatur pemerintah daerah yang berkarya di unit pelayanan kesehatan daerah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan memilih locus Kota Pariaman. Unit analisis dalam studi ini adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di 7 (tujuh) kecamatan dengan metode proposive sampling. Memerhatikan keterbatasan yang dimiliki, maka dalam penelitian ini ditentukan hanya 3 (tiga) puskesmas yang terdapat di Kota Pariaman. Dalam mengukur kinerja aparatur pada unit kerja pelayanan kesehatan diihat melalui kedua kriteria performansi kinerja, yaitu: 1) Pengukuran berdasarkan hasil akhir (result-based performance evaluation) yang dilihat dari dimensi pelayanan; dan 2) Pengukuran berdasarkan perilaku (behaviourbased performance evaluation) dilihat dari instrumen prilaku kinerja. Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 5 (lima) informan per puskesmas. Data Sekunder diperoleh dari berbagai literatur, laporan dinas, dokumen, serta hasil penelitian yang terkait atau sejenis. Gambaran Lokasi Penelitian
Kota Pariaman merupakan daerah otonom hasil pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman. Dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor. 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Kota Pariaman terletak di pantai Barat pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Kota Pariaman pada sisi Utara, Selatan, dan Timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Pariaman dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Jumlah penduduk Kota Pariaman pada tahun 2009 sebanyak 78.802 jiwa, yang terdiri dari 38.724 jiwa laki-laki dan 40.078 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk pada tahun 2009 adalah sebesar 1.083 jiwa per Km2. Kecamatan Pariaman Tengah adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi, yakni sebanyak 1.874,74 jiwa per Km2. Puskesmas di Kota Pariaman sebanyak 4 buah dan meningkat menjadi 6 buah pada tahun 2008, sedangkan jumlah puskesmas perawatan sebanyak 1 (satu) buah. Puskesmas menganut konsep wilayah dan diharapkan dapat melayani sasaran penduduk rata-rata 30.000 penduduk. Artinya 1 (satu) puskesmas di Kota Pariaman rata-rata melayani sebanyak 20.288 jiwa. Puskesmas pembantu pada tahun 2007 berjumlah 9 buah. Rasio Puskesmas terhadap puskesmas pada tahun 2007 rata-rata 2.2:1. Artinya setiap puskesmas didukung oleh 2 sampai 3 Puskesmas Pembantu dalam memberikan pelayanan Kesehatan kepada masyarakat, selain itu dalam menjalankan tugas operasionalnya didukung oleh puskesmas keliling sejumlah 14 (empat belas) buah. Ketersediaan tenaga kesehatan di Kota Pariaman sebesar 280 orang, tersebar di Puskesmas sebanyak 211 orang dan Dinas Kesehatan Kota Pariaman 69 orang. Dari data yang ada nampak bahwa SDM kesehatan didominasi oleh perawat bidan yang jumlahnya mencapai 155 orang, medis 22 orang, farmasi 23 orang, gizi 9 orang, teknisi medis 15 orang, sanitasi 12 orang, dan kesehatan masyarakat 23 orang. dalam melayani kesehatan seluruh penduduk Kota Pariaman pada tahun 2009 memiliki 21 orang dokter umum, 9 orang dokter gigi, 43 orang sarjana kesehatan masyarakat, 48 orang sarjana farmasi, dan 6 orang sarjana kesehatan. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah kunjungan pada Puskesmas Pariaman, yaitu 37.917 hanya sebesar 2009, sedangkan pada tahun 2008 adalah 28.686. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat untuk berobat ke Puskesmas telah meningkat sejalan dengan telah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatannya dengan berobat ke Puskesmas. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelayanan di Unit Kesehatan Perilaku aparatur kesehatan dalam memberikan pelayanan agar lebih dekat dengan
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota Pariaman - Imam Radianto Anwar Setia Putra| 69
masyarakat dilakukan dengan cara melihat intensitas kedatangan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan dengan lokasi yang mudah dijangkau, memadai, tempat sehingga rasa nyaman dapat diterima pengguna pelayanan. Hasil observasi dibeberapa puskesmas pengguna pelayanan sudah sangat banyak dan terlihat masih harus menyediakan tempat yang memadai untuk mendukung pekerjaan dalam pemberian pelayanan. Kemampuan yang dimiliki oleh aparatur yang ada di beberapa puskesmas dalam berkomunikasi dan penampilan yang baik masih dirasakan sangat rendah, penyampaian serta pemberian penjelasan pelayanan kepada masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan. Sikap aparatur dalam memberikan pelayanan terkadang tidak memerdulikan kebutuhan dan keinginan masyarakat sebagai pengguna layanan. Sikap aparatur menjadi perhatian dalam pemberian pelayanan, setidaknya ada acuan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain sikap dari aparatur juga memerhatikan perkembangan teknologi ada pada masa ini, perlu pemanfaatan teknologi yang dalam mendukung pelayanan kesehatan di beberapa unit Puskesmas Kota Pariaman. Belum seluruhnya menggunakan dan memanfaatkan teknologi yang ada. Pelayanan masih bersifat konvesional dan masih sangat sederhana dengan melihat pemahaman masyarakat. Dirasakan sementara ini penggunaan teknologi berimplikasi pada biaya yang cukup tinggi sehingga dirasa masih kurang tepat untuk saat ini. Perasaan nyaman juga dirasakan masyarakat ketika puskesmas dapat mudah diakses dari tempat tinggal dan tersedianya fasilitas sarana transportasi. Pada Kota Pariaman jangkauan unit pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh masyarakat relatif mudah dijangkau dan ditemui, melihat posisi dan letak puskesmas pada daerah-daerah yang mudah dijangkau dan diakses oleh masyarakat baik dari seluruh pelosok Kota Pariaman. Selain aksesbilitas, dukungan kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat di unit pelayanan kesehatan cukup memadai. Sayangnya, tidak diikuti penyediaan sarana pendukung dan penunjang lainnya, seperti ruang tunggu dan tempat parkir yang dapat menambah rasa nyaman dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ruang pelayanan mudah ditemui pengguna pelayanan yang berkunjung dan memanfaatkan pelayanan yang disediakan oleh beberapa puskesmas yang disediakan pemerintah Kota Pariaman. Dukungan pemberian pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan dalam memberikan informasi kepada penggua pelayanan sudah memiliki papan informasi yang membantu menjelaskan kepada masyarakat dalam mendapatkan dan menerima pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Terdapat juga
perbedaan pemberian pelayanan juga dirasakan oleh masyarakat, dengan melihat perbedaan tersebut antara masyarakat yang memiliki kemampuan menegah ke atas dengan masyarakat menegah ke bawah, dapat tidak terjadi apabila aparatur tersebut memiliki komitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tidak kalah pentingnya, dalam pemberian pelayanan dibutuhkan keandalan, ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk tetap datang mendapatkan pelayanan kesehatan yang masksimal oleh aparatur pelayanan di unit pelayanan kesehatan. Dengan adanya kejelasan baik waktu dan biaya yang ditetapkan guna mendapatkan pelayanan kesehatan dengan didukung papan informasi menghasilkan kejelasan pelayanan serta tarif yang sudah tertera langsung sehingga dapat memberikan kepastian dalam mendapatkan pelayanan kepada masyarakat pengguna layanan. Kedisipilinan aparatur fungsional yang merupakan tulang punggung pelaksana pelayanan di setiap unit pelayanan, kehadiran dokter ataupun fungsional lainnya dalam menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat pengguna pelayanan di unit pelayanan kesehatan dalam menerima pelayanan. Ketepatan waktu dalam pemberian pelayanan masih sangat rendah dan hal itu benarbenar sangat dirasakan oleh masyarakat pengguna pelayanan. Lingkungan pada unit pelayanan harus dibangun secara bersama-sama dalam mencapai tujuan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, lingkungan organisasi unit pelayanan kesehatan memiliki orientasi yang jelas dalam pemenuhan pelayanan, terkadang kepentingan individu menjadi penghalang pemberian pelayanan, dimana ada alasan yang sangat klasik yang sering diungkapkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Komitmen aparatur pelayanan baik tenaga administrasi dan fungsional menitikberatkan kepada pemberian pelayanan secara optimal kepada masyarakat. Adanya peraturan yang memberikan izin kepada tenaga fungsional medis yang dapat memberikan pelayanan secara pribadi atau individual dan mandiri menjadikan pelayanan yang di berikan pada unit pelayanan kesehatan tidak maksimal dan terkesan setengah hati, pada akhirnya masyarakat sebagai pengguna menjadi korban dalam menerima pelayanan yang kurang baik. Kemampuan aparatur dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat masih jauh dari harapan, jika ditanyakan kepada dinas kesehatan tentang Standard Operating Procedure (SOP) pelayanan puskesmas sudah ditetapkan dan dimiliki setiap unit pelayanan sayang belum dirasakan oleh masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Sehingga perlunya ada evaluasi terkait SOP terebut dan
70 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 67 - 72
pelaksanaan kerja yang dilakukan guna memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan juga memastikan pengguna atau konsumen mendapatkan jaminan atas kepastian pelayanan yang diberikan, dengan melihat kompetensi apratur dalam memberikan pelayanan pada unit pelayanan kesehatan. diharapkan yang menjadi harapan masyarakat dalam menggunakan pelayanan tersebut dapat dipenuhi secara baik. Kompetensi yang meliputi kemampuan, prilaku dan pengetahuan masih sangat rendah diterapkan dalam pelayanan kepada masyarakat. Kompetensi yang ada tersebut belum menjadi acuan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, membuat jaminan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang baik di unit pelayanan tesebut masih rendah. Prilaku inovatif tidak begitu terlihat dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pelayanan kesehatan memilik tahapan-tahapan yang jelas sehingga waktu pun sudah dapat dihitung. Pekerjaan tidak memberikan ruang dalam memberikan kreatifitas pemberian pelayanan kepada masyarakat di daerah untuk itu perlu kerja yang cekatan dan teliti dalam menjadikan pekerjaan itu bisa menjadi lebih efisiena dan efektif sehingga bisa mendukung dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Memang masih terdapat beberapa kendala dalam mendukung pelayanan yang terdapat di kota Pariaman, tempat yang belum representatif dan nyaman yang digunakan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, dimana masih terdapat beberapa ruang dan kondisi unit pelayanan kesehatan yang masih perlu penambahan sehingga nantinya mendukung pemberian pelayanan kepada masyarakat. Komunikasi sangat terbuka di dalam unit pelayanan kesehatan pada Kota Pariaman. Kesempatan dan peluang yang sebesar-besarnya dalam membentuk iklim organisasi mendorong keterbukaan antara masing-masing aparatur yang melaksanakan tugas pada unit pelayanan kesehatan. Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan yang baik juga dilakukan melalui penyampaian keluahan kepada Bapak Walikota melalui SMS (short massages services) dalam menyampaikan keluhan terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pelaksana kesehatan pada unit pelayanan kesehatan kepada pengguna pelayanan. Terkadang pelaksanaan pekerjaan yang terjadi di unit pelayanan kesehatan membuat tidak tampaknya garis pemisah antara jenjang struktural serta fungsional aparatur pelayanan kesehatan tersebut. Kondisi ini membuat pelayanan di unit pelayanan kesehatan hanya sekedarnya saja, ego antara tenaga fungsional medis dan tenaga struktural membuat kepemimpinan di unit pelayanan kesehatan menjadi lemah. Kepala unit pelayanan tidak memiliki kemampuan atau perangkat yang mendukung untuk menindak aparatur fungsional yang melakukan kesalahan dalam pemberian pelayanan, baik itu dokter atau bidan
yang menerima pelayanan di klinik sendiri pada jamjam kerja Puskesmas dan berpontensial konflik antar aparatur fungsional dengan pimpinan pada unit pelayanan kesehatan. Pelayanan yang dilakukan pada unit pelayanan kesehatan juga tentunya memiliki pesaingpesaing dari pihak non pemerintah. Seringkali pemberian pelayanan yang dilakukan di unit pelayanan kesehatan berlanjut kepada klinik independen yang dimiliki oleh aparatur kesehatan yang bekerja di unit pelayanan kesehatan tersebut. Dalam penelusuran, seperti sudah dijelaskan di atas pada akhirnya pelayanan diselesaikan di klinik yang dimiliki oleh aparatur pelayanan. Padahal masyarakat selalu berobat kepada unit pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota. Penguatan Unit Kerja Pelayanan Beberapa unit pelayanan kesehatan yang terdapat di Kota Pariaman masih menjadi sarana mendapatkan pelayanan kesehatan dibandingkan unit kesehatan yang dikelola oleh pihak non pemerintah. Mengingat kemapuan masyarakat dan penduduk Kota Pariaman, ditemukan hanya sebagian saja penduduk yang ingin dan mau mendapatkan pelayanan dari unit pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pihak non pemerintah. Beberapa masyarakat yang mengunakan pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pihak non pemerintah menginginkan pelayanan yang baik dan ramah, dengan memenuhkan keramahan pelayanan yang dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, baik itu kemampuan sarana prasarana penunjang dalam pemberian pelayanan dan sikap serta perilaku yang diberikan oleh aparatur yang profesional. Sikap dan perilaku aparatur pada unit pelayanan kesehatan yang masih rendah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ditambah bentuk pelayanan yang masih bersifat tradisional, masih tercipta dalam pelayanan di daerah mengingat perilaku masyarakat dan penduduk Kota Pariaman yang kuat dan tetap mempertahankan budaya yang sudah turun-temurun. Pengenalan teknologi untuk meningkatkan daya saing dan pengelolaan birokrasi yang benar dalam pembarian pelayanan kesehatan menjadi perhatian dalam menghadapi persaingan bisnis dari swasta. Agar dapat diperhatikan mulai dari pelaksanaan pemberian pelayanan di awal hingga akhir pemberian pelayanan menjadi faktor kunci untuk dapat bersaing dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Iklim organisasi yang baik diperlukan guna menunjang pemberian pelayanan kepada masyarakat. Ditemukan adanya konflik kepentingan antara aparatur penyelenggaran. Lemahnya kemampuan birokrat dalam melakukan penilaian kinerja aparatur di dalam unit pelayanan kesehatan, membuat
Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah pada Unit Pelayanan Kesehatan di Kota Pariaman - Imam Radianto Anwar Setia Putra| 71
pelayanan maksimal.
kepada
masyarakat
menjadi
tidak
SIMPULAN Pertama, kinerja aparatur pelayanan di beberapa Puskesmas Kota Pariaman masih perlu ditingkatkan ssikap dalam memberi pelayanan dan wawasan sehingga dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat memiliki kompetensi yang memumpuni. Kedua, membangun iklim organisasi yang kondusif dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat mendorong pimpinan unit kesehatan dan para aparatur untuk berkomitmen dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Ketiga, memperkuat organisasi sebagai unit kerja pelayana kesehatan dengan mengubah paradigma aparatur pelaksanan menjadi seorang pelayan, pola pikir, dan pola pandang dalam melakukan pekerjaan yang bersifat pelayanan. Keempat, membangun komunikasi dalam organisasi yang harmonis, sehingga dalam pelaksanaan pemberian pelayanan tercipta sinergi antartenaga fungsional medis dengan tenaga lainnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kelima, penggunaan teknologi untuk membantu pemberian pelayanan perlu menjadi perhatian pemerintah Kota Pariaman melalui, kepastian pelayanan, khususnya dalam penggunaan waktu dan biaya. Keenam, asistensi evaluasi oleh perangkat pemerintah daerah, khususnya dinas Kesehatan Kota Pariaman secara reguler, sehingga Puskesmas dapat terkontrol dengan baik dan tentunya diharapkan terjadi peningkatan kinerja dan kepuasan masyarakat dalam pemberian pelayanan. DAFTAR PUSTAKA Bono, J.E. & T.A. Judge (2003). “Self-concordance at work: Toward Understanding The Motivational Effects Of Transformational Leaders”, Academy of Management Journal, Vol. 46, No. 5, pp. 554-571. Dwiyanto, Agus. (2010). Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif. Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Faustino C. Gomes. (1995) Manajemen Sumber Daya Manusia. Andi Offset, Yogyakarta. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Jasa. PT. Indeks. Jakarta. Sumber Internet: http://itjen-depdagri.go.id/index.php?pilih=news& mod=yes&aksi=lihat&id=23. (diakses, 14 Juni 2011)
72 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 Nomor 1 Edisi Maret 2012: 67 - 72
Biodata Penulis Bagas Haryotejo Bagas Haryotejo, lahir di DKI. Jakarta, pada tanggal 9 April 1982. Memiliki pendidikan terakhir S-2 Bidang Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Tahun 2006 sampai dengan saat ini bekerja sebagai Peneliti merangkap Kepala Sub Bidang Lembaga Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Terlibat di beberapa penelitian di Kementerian Perdagangan dan Penelitian antar lembaga antara lain dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Riset dan Teknologi. Pengalaman menulis di Buletin Ilmiah Perdagangan, Kementerian Perdagangan dan Jurnal Standardisasi, BSN (Badan Standardisasi Nasional). Kristian Widya Wicaksono Lahir di Bandung, pada 22 Maret 1980. Bekerja sebagai dosen PNS pangkat Penata Muda Golongan III/a, dengan Jabatan Akademik Lektor. Menyelesaikan studi program sarjana Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Khatolik Parahyangan pada tahun 2004. Kemudian menyelesaikan program Magister Ilmu Sosial, Konsentrasi Kebijakan dan Administrasi Publik pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 2009. Teguh Narutomo Lahir di Pontianak, 17 Juli 1968, Pangkat Penata Tk I (III/d). Jabatan sekarang sejak tahun 2010: Peneliti Muda Bidang Kebijakan Publik yang merupakan impassing dari fungsional Dosen STPDN tahun 2004 dengan pangkat Fungsional Asisten Ahli dan kemudian tahun 2006 menjadi Fungsional Lektor. Terhitung mulai tahun 1997 sudah mengikuti penelitian kebijakan publik yang bekerjasama dengan pemerintah daerah, seperti: Rencana Strategis Kabupaten Bekasi, Penataan Daerah Kabupaten Tangerang, Penataan Daerah Kabupaten Bandung, Tipologi Kecamatan dan Kelurahan Kota Tangerang, Penataan Daerah Provinsi Jawa Barat, Wacana Calon Kabupaten Malingping di Kabupaten Lebak, Pemekaran Wilayah Kabupaten Pandeglang,
Wacana Pemekaran Wilayah di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kajian Pemekaran Wilayah di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan lain-lain. Gunawan Lahir di Jakarta, 11 November 1964. Pendidikan terakhir Sarjana Administrasi Negara pada Sekolah tinggi Ilmu Administrasi Negara (LAN) pada tahun 1996. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/c) dan merangkap sebagai Kepala Sub Bidang Linmas pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Hasoloan Nadeak Lahir di Aceh Tenggara pada tanggal 5 September 1954. Saat ini menjadi Peneliti Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Pendidikan sarjana pada STIA – LAN Jakarta pada tahun 1991 dan menyelesaikan program S2 Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia pada tahun 1996. Sorni Paskah Daeli Lahir di Lahewa, Nias Utara, tanggal 2 April 1972. Meraih gelar Sarjana Ekonomi Manajemen tahun 2000 dan Sarjana Teknik Planologi tahun 2001 di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Tahun 2005, meraih gelar Master Administrasi Kebijakan Publik pada Pascasarjana Universitas Indonesia. Sekarang, sedang menyelesaikan Program Doktor Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda (III/d) merangkap Plt.Kepala Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik pada Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri. Imam Radianto Anwar Setia Putra Lahir di Sei Geringging, 11 Februari 1983. Pendidikan terakhir Magister Manajemen pada Universitas Negeri Padang (UNP) pada tahun 2007. Sejak tahun 2008 mengikuti kegiatan penelitian pada BPP kemendagri dan pada tahun 2011 menjadi peneliti bidang kebijakan publik pada Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesatuan Bangsa Politik Dan Otonomi Daerah.
Pedoman Penulisan 1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 1 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab) METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab …
SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. 1. 2. 3.
Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) Mondok di daerah tujuan Menetap di daerah tujuan
Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh
Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Sumber: Ida Bagoes, 2000
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol.4,.Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ c. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email
[email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail:
[email protected]