Vol. 01 No. 01 Agustus 2015
ISSN: 2460-7290
JURNAL KESEHATAN AKADEMI KEPERAWATAN RSP TNI AU SUSUNAN PENGASUH Penanggung Jawab Marsma TNI (Purn) Sonny Budi Santoso, SIP Pimpinan Redaksi Kolonel Kes (Purn) Petrus Boli, B.Sc. Wakil Pimpinan Redaksi Ns. Nur Fajariyah, S.Kep., M.Kep. Redaksi Ahli Kolonel Kes (Purn) drg. Hari Prajogo, MH.Kes. Ns. Sinta Fresia, S.Kep. Ns. Rizqi Nursasmita, S.Kep. Ns. Harwina Widya Astuti, S.Kep. Mitra Bebestari Kapten Adm (Purn) Bintoro Pratikto, S.E., M.M. Putri Cahya Anggraeni S.E. Sekretariat Ns. Khaerul Amri, S.Kep. Anggota Ns. Novia Budi Lestari, S.Kep. Hariyati, S.Pd., M.Kes. Indriana Prawitasari, AMK. Farah Anggita Alamat Redaksi Jl. Merpati No. 2 Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610 Telp./Fax. (021) 8088 4040 Diterbitkan Oleh Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Akper RSP TNI AU
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
PENGANTAR REDAKSI Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada anak di negara sedang berkembang. ISPA menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun. Setiap anak balita diperkirakan 3–6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20–30%. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan studi kuantitatif rancangan Cross Sectional dengan variabel independen kepadatan penghuni rumah, ventilasi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, merokok, menggunakan obat anti nyamuk bakar, memberikan ASI eksklusif, menutup hidung dan mulut bila bersin atau batuk, menggendong balitanya saat ibu memasak di dapur. Sampel penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita usia 7 bulan sampai 5 tahun dan tinggal di Kelurahan Kebon Pala dan Kelurahan Makasar berjumlah 100 orang yang diambil secara proporsional. Analisis data yang dilakukan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Hasil analisis membuktikan bahwa, balita yang menderita ISPA sebanyak 48%. Variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kepadatan penghuni rumah, pendidikan ibu dan ventilasi. Variabel yang paling berhubungan dengan kejadian ISPA adalah ventilasi (OR, 5:388). Saran penulis dalam penelitian ini adalah untuk tenaga kesehatan bagi ibu yang mempunyai balita melalui pelayanan promosi kesehatan di Poli MTBS. Kerja sama lintas program (KIA, gizi) dan lintas sektoral (kesehatan lingkungan) untuk meningkatkan penyuluhan tentang lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di tingkat paling dasar yaitu posyandu. Artikel ini ditulis oleh Hariyati S.Pd., M.Kes. Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Jakarta 2013. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional dengan responden adalah ibu yang memeriksakan bayinya yang berumur 6 bulan sampai 2 tahun di poliklinik BKIA dan poliklinik anak Rumah Sakit Angkatan Udara sebanyak 140 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 55% ibu memberikan ASI eksklusif. Faktor predisposisi yang mempunyai hubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah pengetahuan (P = 0,004 OR = 2,879) dan sikap (P= 0,005 OR= 4,472). Hasil analisis multivariat faktor yang dominan dalam pemberian ASI eksklusif adalah faktor sikap (P= 0,005 OR= 4,282). Artikel ini ditulis oleh Martini S.Kep., M.Kes. Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat dan ditandai dengan uremia. Kepatuhan (compliace) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain (tenaga kesehatan lain). Tujuan penelitian adalah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran dalam lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta dengan pengukuran menggunakan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian ini adalah purposive ii
Pengantar Redaksi
dengan jumlah sampel 71 responden. Metode pengumpulan data dengan cara pengisian kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan ketidakpatuhan dengan nilai p-value (≤ 0,005). Pada usia tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,448), jenis kelamin tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,061), pendidikan tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,506), pengetahuan tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,362) namun demikian hasil yang didapat pada lamanya hemodialisis memiliki hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,038). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas mempunyai implikasi terhadap institusi pelayanan keperawatan, organisasi profesi dan penelitian lain. Artikel ini ditulis oleh Ns. Nur Fajariyah S.Kep., M.Kep. Menggosok gigi adalah suatu cara membersihkan rongga mulut, lidah, dan gigi dari semua kotoran atau sisa makanan dengan menggunakan sikat gigi, pembersih lidah, kain kasa atau kapas yang dibasahi dengan air bersih. Tujuan menggosok gigi yaitu mencegah timbulnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang tertumpuk dalam rongga mulut, lidah, gusi dan gigi. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain pretest post test one group design dan instrumen penelitiannya berupa check list. Responden yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur, yang berjumlah 34 anak. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Dari hasil penelitian didapatkan sebelum pendidikan kesehatan menggosok gigi mayoritas responden berkemampuan kurang dalam hal menggosok gigi sebesar 4 (11,8%) sedangkan yang berkemampuan cukup sebesar 30 (81,2%). Setelah dilakukan pendidikan kesehatan menggosok gigi mayoritas responden berkemampuan baik sebesar 31 (91,2%) sedangkan yang berkemampuan cukup sebesar 3 (8,8%). Saran: Diharapkan dapat menggosok gigi dengan baik dan benar dan tidak melupakan cara menggosok gigi sehingga terbebas dari penyakit. Artikel ini ditulis oleh Ns. Khaerul Amri, S.Kep.
iii
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
DAFTAR ISI
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur 2014
1
Hariyati, S.Pd., M.Kes.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa Jakarta Tahun 2013
Martini, S.Kep., M.Kes.
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta
Ns. Nur Fajariyah, S.Kep., M.Kep.
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan
41
84
Kesehatan Dalam Upaya Mencegah Karies Gigi Pada Anak Sekolah di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur
iv
Ns. Khaerul Amri, S.Kep.
104
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN MAKASAR JAKARTA TIMUR 2014 Oleh: Hariyati, S.Pd., M.Kes. Akper RSP TNI AU Jln. Merpati, Jakarta 13610
[email protected] Abstrak Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada anak di negara sedang berkembang. ISPA menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun. Setiap anak balita diperkirakan 3–6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20–30%. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan studi kuantitatif rancangan Cross Sectional dengan variabel independen kepadatan penghuni rumah, ventilasi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, merokok, menggunakan obat anti nyamuk bakar, memberikan ASI eksklusif, menutup hidung dan mulut bila bersin atau batuk, menggendong balitanya saat ibu memasak di dapur. Sampel penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita usia 7 bulan sampai 5 tahun dan tinggal di Kelurahan Kebon Pala dan Kelurahan Makasar berjumlah 100 orang yang diambil secara proporsional. Analisis data yang dilakukan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Hasil analisis membuktikan bahwa, balita yang menderita ISPA sebanyak 48%. Variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kepadatan penghuni rumah, pendidikan ibu dan ventilasi. Variabel yang paling berhubungan dengan kejadian ISPA adalah ventilasi (OR, 5:388). Saran penulis dalam penelitian ini adalah untuk tenaga kesehatan bagi ibu yang mempunyai balita melalui pelayanan promosi kesehatan di Poli MTBS. Kerja sama lintas program (KIA, gizi) dan lintas sektoral (kesehatan lingkungan) untuk meningkatkan penyuluhan tentang lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di tingkat paling dasar yaitu posyandu. Kata Kunci: Lingkungan, Perilaku, ISPA, Balita Daftar Pustaka: 61 (1983–2012) PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Setiap anak balita diperkirakan 3–6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20–30% (WHO, 2003). 1
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari dalam masyarakat atau keluarga. Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara, kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernapasan. Dari saluran pernapasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena ISPA. Dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan yang tujuannya tercantum dalam UU Kes. No. 23 Tahun 1992, Pasal 1 bab I tentang Kesehatan, yaitu: Kesehatan adalah keadaan sehat dari badan, sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi, agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal sehingga tercapainya bangsa yang sehat dan sumber daya yang berkualitas (Slamet, 2004). ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain. Lebih 50% dari absensi atau dari semua angka tidak masuk kerja/ sekolah disebabkan penyakit ini. Angka kekerapan ISPA, tertinggi pada kelompok-kelompok tertutup di masyarakat, penghuni asrama, kesatrian, sekolah atau sekolah yang juga menyelenggarakan pemondokan (boarding school). Di negara Barat kasus ini banyak dijumpai pada rekrutmen dan murid sekolah pada musim dingin, awal musim gugur, atau pada masa-masa pergantian musim. Dalam menurunkan angka kejadian ISPA diperlukan peran aktif petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi terutama tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA, di mana salah satu faktor yang perlu diketahui adalah cara pencegahan dan perawatan ISPA. Peran aktif petugas di sini terutama bidan dapat menyampaikannya melalui promosi kesehatan seperti perbaikan dan peningkatan gizi, perbaikan dan sanitasi lingkungan, pemeliharaan kesehatan perorangan dan tindakan preventif seperti isolasi penderita penyakit ISPA dan pemberian imunisasi. Sebagai bidan kita harus mengetahui sejauh mana pengetahuan keluarga tentang ISPA dan motivasi keluarga dalam pencegahan dan perawatan ISPA di rumah, karena perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, kehendak, motivasi dan niat (Notoatmojo, 2003). ISPA yang mengenai saluran napas bawah, misalnya bronchitis, bila menyerang kelompok umur tertentu, khususnya bayi, anak-anak dan orang tua, akan memberikan gambaran klinis yang berat dan jelek dan sering kali berakhir dengan kematian. ISPA yang disebabkan oleh virus, wanita lebih rentan bila dibandingkan dengan pria, namun waktu menstruasi mereka lebih tahan. (Abdul, 2002). Sebagai kelompok penyakit ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40–60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15–30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Dirjen P2MPLP RI, 1996). Word Health Organization (WHO) memperkirakan insiden infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% – 20% per tahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal 2
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang di mana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan ± 4 juta balita setiap tahun (Depkes, 2000). Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) saluran menempati urutan pertama menyebabkan kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu, ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA / pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, prevalensi ISPA provinsi DKI Jakarta adalah 22,6%. Sedangkan prevalensi pneumonia adalah 1,7%, penyakit TB khusus terdeteksi prevalensi 1,3 tersebar di seluruh wilayah. Dari rentang prevalensi ISPA di seluruh DKI (24–38,9%) dan prevalensi tertinggi adalah di Kepulauan Seribu (Depkes, 2009). Kejadian ISPA bisa terjadi karena pencemaran kualitas udara di luar ruangan maupun di dalam ruangan. Sumber pencemaran udara di luar ruangan antara lain pembakaran untuk pemanasan, pabrikpabrik, transportasi, pembangkit tenaga listrik dan lain-lain kegiatan manusia di luar ruangan. Sedangkan pencemaran kualitas udara dalam ruangan bersumber dari bahan-bahan sintesis dan beberapa bahan alamiah yang dipergunakan untuk karpet, busa, pelapis dinding dan perabot rumah tangga (asbestos, formaldehyde, VOC), pembakaran bahan bakar dalam rumah yang dipergunakan untuk memasak dan memanaskan ruangan (Nitrogen oksida, karbon monoksida, sulfur dioksida, hidrokarbon, partikulat), gas-gas yang bersifat toksik yang terlepas ke dalam ruangan rumah yang berasal dari dalam tanah di bawah rumah (radon), produk konsumsi (pengkilat perabot, perekat, kosmetik, pestisida/insektisida), asap rokok, mikroorganisme (Kusnoputranto, 2000). Selain itu, penyebab terjadinya ISPA pada balita adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak memadai, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik yang kurang baik (Depkes, 1986). Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan yang lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Faktor perilaku orang tua yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita di antaranya adalah asap di dalam rumah, ada anggota keluarga yang menderita ISPA di rumah yang mempunyai kebiasaan kurang baik (tidak menutup mulut pada saat batuk atau bersin dekat balita), kebersihan rumah yang kurang, menggunakan obat nyamuk bakar, membawa anak pada saat memasak (www. digilib.unnes.ac.id). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya terkait ISPA yang dilakukan oleh Mulyana (2001), faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Andir Bandung adalah bahan bakar 3
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
masak, frekuensi masak, lama masak, ventilasi, keberadaan anak di dapur, anggota keluarga merokok dan imunisasi. Purwana (1999), faktor yang berhubungan dengan gangguan pernapasan pada anak balita di Kelurahan Pekojan Jakarta adalah jenis dinding dan jumlah rokok ayah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaaan variabel-variabel yang berhubungan antara daerah-daerah tersebut. Puskesmas adalah salah satu pelayanan kesehatan yang memberikan beberapa pelayanan seperti KIA, persalinan, lansia dan salah satunya adalah pelayanan pada bayi dan balita. Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur menunjukkan adanya beberapa masalah yang salah satunya adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita. Data yang dapat diperoleh dari studi pendahuluan adalah pada tahun 2013 angka kejadian ISPA pneumonia pada balita menunjukkan 109 kasus dengan rata rata 11 (9,7%) kasus setiap bulannya. Sedangkan angka kejadian ISPA non-pneumonia menunjukkan 4.164 kasus dengan rata rata 347 (8,3%) kasus setiap bulannya (Rekam Medik Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur). Dengan memerhatikan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur. Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah ada hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. Tujuan Khusus 1.
Untuk mempelajari dan menjelaskan gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
2.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
3.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
4.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
5.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
6.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
7.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
4
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
8.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara memberikan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
9.
Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara menutup hidung dan mulut saat bersin dan batuk apabila terkena ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
10. Untuk mempelajari dan menjelaskan hubungan antara menggendong balita saat memasak di dapur dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. 11. Untuk mempelajari dan menjelaskan faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan guna mengurangi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur.
2.
Bagi Universitas Respati Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam menambah referensi kepustakaan tentang kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita dan sebagai sumber rujukan bagi peneliti selanjutnya.
KERANGKA TEORI Paradigma Kesehatan Lingkungan Menggambarkan hubungan interaktif antara berbagai komponen lingkungan dengan dinamika perilaku penduduk. Model hubungan variabel dengan penduduk dengan out come penyakit ini, merupakan dasar bagi analisis kejadian sehat, sakit dalam suatu kawasan. Ilmu Kesehatan Lingkungan mempelajari berbagai masalah kesehatan sebagai akibat dari hubungan interaktif antara berbagai bahan, kekuatan, kehidupan, zat yang memiliki potensi penyebab sakit yang timbul akibat adanya perubahan-perubahan lingkungan dengan masyarakat, serta menerapkan upaya pencegahan gangguan kesehatan yang ditimbulkannya. Berbagai bahan, kekuatan, zat ataupun komponen kehidupan yang memiliki potensi penyebab sakit selalu dalam keadaan berubah dari waktu ke waktu, serta dari tempat satu ke tempat lainnya. Akibat adanya sumber-sumber perubahan yang secara aktif selalu menimbulkan perubahan. Sumber perubahan dapat berupa kegiatan manusia, seperti pabrik ataupun transportasi, pemukiman dan lainlain ataupun peristiwa alamiah seperti gunung berapi dan berbagai reaksi kimia alamiah yang terjadi (Kusnoputranto, 2000). 5
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
ISPA 1.
Pengertian ISPA
Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Depkes RI, 2007).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).
2.
Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium.Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007).
3.
Tanda dan gejala
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesakitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).
Lingkungan (Environment), yang Mencakup Lingkungan Fisik, Sosial, Budaya, Politik, Ekonomi dan Sebagainya Intervensi terhadap faktor lingkungan fisik dalam bentuk perbaikan sanitasi lingkungan, sedangkan intervensi terhadap lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam bentuk program-program peningkatan pendidikan, perbaikan sosial ekonomi masyarakat, penstabilan politik dan keamanan, dan sebagainya. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organism terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.
6
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian ISPA 1.
Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan rumah merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan sebagai akibat penularan antarpenghuni rumah (Achmadi, 2000). Semakin padat/banyak jumlah penghuni, maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran.
Pengertian tidak padat penghuni adalah bila luas seluruh ruangan rumah termasuk kamar mandi dan jamban dibagi jumlah penghuni lebih besar atau sama dengan 10 meter persegi perjiwa (Depkes, 2000).
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memerhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan, sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA.
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes RI, yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni rumah minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Ini berarti bahwa dengan luas lantai minimal 8 m2 hanya dapat dipergunakan untuk tidur oleh 2 orang dewasa dan 1 orang anak di bawah umur 5 tahun (Depkes RI, 2000).
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur, maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO dan dampak peningkatan CO dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
Kepadatan rumah merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan sebagai akibat penularan antar penghuni rumah (Achmadi, 2000). Semakin padat/banyak jumlah penghuni, maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran.
2.
Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah untuk menjaga supaya aliran udara di dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan antara oksigen (O2) yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menjadikan kurangnya O2 dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuni rumah menjadi meningkat. 7
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara di dalam ruangan menjadi meningkat karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini merupakan media yang baik untuk bakteri bakteri phatogen. Ventilasi yang baik harus memenuhi persyaratan agar udara yang masuk tidak terlalu deras atau terlalu sedikit. Luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999). 3.
Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu erat kaitannya dengan kesehatan keluarga. Ibu umumnya berperan dalam pemeliharaan kesehatan bayi dan balita. Segala upaya dilakukan agar buah hatinya tetap sehat. Oleh karena itu, pendidikan ibu sangat penting dalam pemeliharaan kesehatan bayi dan balita. Ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai wawasan yang cukup dalam pemeliharaan kesehatan bayi dan anaknya. Pendidikan ada 2 macam, yaitu pendidikan formal dan pendidikan informal, di mana pendidikan formal dikategorikan menjadi 4 yaitu SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi.
Menurut Nasrul Effendi (1998), bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang adalah tingkat pendidikan orang tersebut di mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar kemungkinan untuk menerima informasi yang didapat sehingga mampu meningkatkan pengetahuan orang tersebut. Selain itu Liliweri (2007), menyatakan bahwa cakupan pengetahuan atas keluasan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi.
Pengetahuan mempunyai peranan yang sangat besar dalam mendukung perilaku seseorang, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan makin mudah bagi orang itu untuk menerima dan memahami informasi. Pengetahuan atau informasi yang cukup tentang ISPA akan sangat berperan pada sikap dalam penanganan dan pencegahan penyakit ISPA (http://hakimsimanjuntak. blogspot.com)
4.
Pekerjaan Ibu
Kecenderungan situasi pekerjaan akan menimbulkan masalah kesehatan karena dengan situasi kerja akan terjadi kesibukan dalam pekerjaan sehingga seseorang cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk merawat anggota keluarganya (Notoatmodjo, 2003).
5.
Merokok
Wallace (1996) dalam Purwana (1999), asap rokok merupakan sumber utama partikulat dalam rumah. Surjadi dan Patmasutera (1993) dalam Purwana (1999) menerangkan bahwa persentase jumlah rumah yang penghuninya merokok adalah 70,5%. Dari besarnya angka persentase ini diperoleh gambaran mengenai besarnya potensi rumah menimbulkan pajanan asap rokok.
Kandungan zat kimia dalam asap rokok ditentukan oleh beberapa faktor karakteristik rokok, yaitu jenis tembakau, desain rokok, pola menghisap rokok. Asap rokok adalah aerosol yang terdiri dari fase partikulat berupa titik-titik cairan yang berada dalam fase uap atau gas. Asap
8
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
rokok mengandung beberapa macam senyawa, antara lain partikulat, nikotin, karbonmonoksida, karbondioksida, nitrogen oksida, amonia, formaldehid, acetaldehid, acrolin, prophionaldehid, hydrogen sianida, dan lain-lain (Guerin, 1992). 6.
Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar
Di kota maupun di desa penggunaan obat anti nyamuk bakar sudah menjadi kebiasaan dipergunakan pada malam hari kadang-kadang siang hari. Melalui pengkajian epidemiologi Koo dan Ho (1994) dalam Purwana (1999) menunjukkan obat anti nyamuk bakar dapat menimbulkan gejala gangguan saluran pernapasan serta asap obat anti nyamuk bakar sebagai sumber partikulat.
Dengan dibukanya lokasi-lokasi pemukiman baru mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan hidup dan mengakibatkan terjadinya kepadatan nyamuk. Untuk mengusir dan mematikan nyamuk setiap keluarga menggunakan bahan insektisida berupa obat nyamuk semprot dan obat nyamuk bakar yang mana sebagai sumber pencemaran sangat membahayakan kesehatan saluran pernapasan dikarenakan apabila obat nyamuk tersebut mengandung bahan berbahaya Octachloroprophyl Ether dan Bischlorometyl Ether atau BCME walaupun dalam konsentrasi rendah dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan, bengkak dan perdarahan.
Didapatkan bahwa angka prevalensi dahak yang kronik pada anak sekolah yang terpajan asap obat anti nyamuk bakar adalah 20%, sedangkan pada anak yang tidak terpajan adalah 10%. Oleh karena itu, penting untuk diteliti pada anak balita hubungannya dalam pemakaian obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA.
HIPOTESIS 1.
Kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
2.
Ventilasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
3.
Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
4.
Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
5.
Perilaku merokok berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
6.
Penggunaan obat anti nyamuk bakar berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
7.
Memberikan ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014. 9
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
8.
Menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk apabila terkena ISPA berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
9.
Menggendong balita saat memasak di dapur berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014.
Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini peneliti mencari hubungan antara kejadian penyakit ISPA dikaitkan dengan 2 faktor pokok dalam teori Blum yaitu lingkungan dan perilaku. Konsep yang digunakan yaitu dengan dibedakan menjadi variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat merupakan kejadian ISPA, sedangkan untuk variabel bebas meliputi: kepadatan penghuni rumah, ventilasi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu (lingkungan), merokok, menggunakan obat anti nyamuk, memberikan ASI eksklusif menggunakan masker apabila terkena ISPA, menidurkan balita bersama anggota keluarga yang terkena ISPA. Variabel-variabel lain yang terdapat dalam kerangka teori tidak seluruhnya diteliti, hal ini disebabkan karena pertimbangan waktu penelitian yang singkat, sarana dan prasarana yang kurang menunjang dan keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptik analitik yaitu melihat gambaran dari masing-masing variabel serta melihat hubungan dari kedua variabel tersebut, dengan menggunakan pendekatan cross sectional (desain potong lintang) suatu pendekatan di mana pengumpulan data dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan pada satu saat atau satu periode tertentu dan pengamatan subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian (Notoatmojo S, 2002). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan di antara variabel terikat (ISPA) dengan variabel bebas. Variabel Penelitian: Variabel Indepeden (Bebas) 1.
Pendidikan ibu
2.
Pekerjaan ibu
3.
Kepadatan penghuni rumah
10
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
4. Ventilasi 5. Merokok 6.
Menggunakan obat anti nyamuk bakar
7.
Memberikan ASI eksklusif
8.
Menutup hidung dan mulut apabila bersin atau batuk
9.
Menggendong balita saat memasak di dapur
Variabel Dependen (Terikat) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis bertempat di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur yang terdiri dari dua kelurahan yaitu Kelurahan Makasar dan Kelurahan Kebon Pala. Waktu penelitian pada bulan Juli 2014. Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur rata-rata per bulan 1.300 balita. Sampel Penelitian ini mengambil sampel, yaitu sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005) yaitu semua ibu yang mempunyai balita 7 bulan sampai 5 tahun yang datang ke Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur periode Februari, Maret dan April tahun 2014. Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan perhitungan besar sampel menggunakan data estimasi rata-rata Uji Hipotesis Beda 2 Proporsi (Lameshow et al, 1990):
(Z n=
1–a/2
2P2 (1–P2) + Z1–β P1(1–P1) + P2(1–P2)2 (P1–P2)
)
2
Keterangan: n
:
Z1-α/2 :
Besar sampel Tingkat Kepercayaan hasil penelitian yang diinginkan 95% yaitu (1,96)
Z1-β
: 1,64 di mana kekuatan uji 95%
P1
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi kelompok tertentu
P2
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi kelompok tertentu
P
: (P1 + P2)/2 11
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Diketahui = P1 = 0,73 P2 = 0,03 P = 0,35 Ditanya = n = ……. ? n=
20,3 (1–0,35+1,64 0,73 (1–0,73)+0,03(1–0,03) 2 (P1–P2)2
1,96
n = 87 Cara Pemilihan Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita yang berusia 7 bulan sampai dengan 5 tahun, yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur. Untuk menentukan besarnya sampel pada setiap kelurahan menggunakan cara proporsional, maka jumlah sampel dibagi menjadi 2 wilayah kelurahan di Kecamatan Makasar Jakarta Timur dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Jumlah sampel Tiap Kelurahan No. 1 2
Kelurahan Jumlah Balita Kebon Pala
Sampel
Jumlah Balita Makasar
55
Jumlah Kebon Pala + Makasar
45
100
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara Gugus Bertahap (Multistage Sampling). Pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan berdasarkan tingkat wilayah secara bertahap. Proses pengambilan sampel secara gugus bertahap (multistage random sampling): 1.
Menentukan area populasi berdasarkan administrasi pemerintahan. Dalam hal ini adalah wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur.
2.
Dari area populasi tersebut diambil sampel gugus di bawahnya yaitu Kelurahan Kebon Pala dan Kelurahan Makasar.
3.
Dari area gugus tersebut diambil gugus yang di bawahnya lagi yaitu RW.
4.
Akhirnya, semua anggota populasi dari gugus yang paling kecil yaitu diambil berdasarkan Posyandu yang terdiri dari beberapa RT.
12
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara primer, dilakukan dengan cara wawancara langsung menggunakan kuesioner kepada ibu yang mempunyai balita berusia 7 bulan sampai dengan 5 tahun yang meliputi variabel dependen dan independen. Data penunjang diambil dari Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur. Pengolahan Data Pengolahan data melalui beberapa tahapan yaitu: editing, coding, scoring, entry data dan cleaning. PEMERIKSAAN DATA (EDITING) Proses editing dilakukan sebelum pengumpul data meninggalkan tempat tinggal responden dengan mengecek kelengkapan, kejelasan dan kesesuaian jawaban responden. Bila didapatkan data yang tidak lengkap, tidak jelas dan tidak sesuai, maka pada saat itu dapat ditanyakan dan diklarifikasi dengan responden. Proses editing peneliti lakukan saat itu juga untuk mempermudah langkah selanjutnya. Pemberian Kode (Coding) Dilakukan pada setiap jawaban untuk dikonversi ke dalam angka/kode sehingga memudahkan dalam pengolahan data. Pemberian kode dilakukan segera setelah jawaban selesai dilakukan proses editing. Memberikan Skor (Scoring) Penetapan skor untuk masing-masing variabel bebas dan terikat sesuai dengan kategori data dan jumlah item pertanyaan dari tiap-tiap variabel. Penetapan skor juga menggunakan beberapa sumber atau hasil penelitian sebelumnya sebagai bahan acuan. Entry Data Adalah kegiatan di mana setiap jawaban responden yang telah mendapat skor satu dimasukkan ke dalam komputer dan kemudian dilakukan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Pembersihan Data (Cleaning) Memasukkan data yang telah dilakukan editing, coding, dan tabulating ke dalam program SPSS dengan bantuan komputer untuk memperoleh hasil analisis. Analisis Data Analisis data merupakan tahapan untuk mengolah data-data yang telah diperoleh dari penelitian ini. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
13
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Analisis Univariat Analisis Univariat merupakan analisis data yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Rumus yang digunakan:
P = f X 100% N
Keterangan: P : Persentase f : Frekuensi N : Jumlah sampel Analisis Bivariat Analisis data bivariat digunakan untuk menganalisis adanya kemaknaan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Karena data variabel independen dan dependen adalah data katagori, maka uji statistik yang digunakan dalam analisis data adalah uji Chi Square (X2) dan perhitungan Odd Ratio (OR dengan derajat kepercayaan 95% atau α = 5% (0,05). dari hasil uji statistik akan diperoleh nilai P dan OR, untuk nilai P lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka, hipotesis dapat diterima (Hipotesis nol ditolak). Setiap variabel diuji dengan membandingkan frekuensi yang terjadi (observasi) dan frekuensi harapan (ekspektasi). Uji Chi Square ditentukan dengan rumus:
X2 = ∑ (OE – E) Keterangan: X2 = Chi Square ∑ = Penjumlahan O = Frekuensi yang diteliti E = Frekuensi yang diharapkan b = Jumlah baris k = Jumlah kolom Membandingkan frekuensi yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan (ekspektasi). Bila nilai frekuensi observasi dengan nilai ekpektasi sama, maka dikatakan tidak ada hubungan yang bermakna (signifikan). Sebaliknya, bila nilai frekuensi observasi dan nilai ekspektasi berbeda, maka dikatakan ada hubungan bermakna (signifikan). Keputusan Uji: a. Bila p-value ≤ alpha (0,05) Ho ditolak, berarti data sampel mendukung adanya perbedaan atau hubungan yang bermakna. 14
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
b. Bila p-value > alpha (0,05) Ho gagal ditolak, berarti data sampel tidak mendukung adanya perbedaan atau ada tidaknya hubungan yang bermakna. ODDS RATIO (OR) Dalam bidang kesehatan, untuk mengetahui derajat hubungan. dikenal ukuran Odds Ratio (OR). Odds Ratio membandingkan Odds pada kelompok terekspos dengan Odds kelompok tidak terekspos. Ukuran OR biasanya digunakan pada desain kasus kontrol atau potong lintang (cross sectional). Rumus dari Odds Ratio adalah: ad/bc. di mana: “a” adalah cell a, “b” adalah cell b, “c” adalah cell c dan “d” adalah cell d. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini: Tabel 2 Contoh Tabel Silang Antara Faktor Risiko dengan Kejadian ISPA Kejadian ISPA
ISPA
Non ISPA
Paparan (-)
a
b
Paparan (+)
c
d
Interpretasi dari OR adalah sebagai berikut: OR = 1, artinya tidak ada feel/asosiasi atau tidak ada hubungan OR < 1, artinya menurunkan risk (sebagai proteksi atau pelindung) OR > 1, artinya meningkatkan risk (sebagai faktor risiko) Analisis Multivariat Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas, dan mengetahui variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA. Dalam analisis multivariat digunakan metode regresi logistik untuk mendapatkan model paling sederhana, karena variabel terikat (ISPA) adalah variabel dikotomi dan variabel bebas atau variabel yang berisiko terhadap kejadian ISPA (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, kepadatan penghuni rumah, ventilasi, merokok, menggunakan obat nyamuk bakar, memberikan ASI eksklusif, menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk apabila terkena ISPA dan menggendong balita saat memasak adalah variabel kategorial. Analisis ini sebagai tindak lanjut dari uji regresi logistik sederhana dengan mengikutsertakan variabel yang bermakna secara statistik (p < 0,05), dan variabel yang memiliki nilai p < 0,25. Memilih variabel penting yang masuk dalam model dengan cara mempertahankan variabel yang memiliki nilai p < 0,05. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1.
Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dan variabel dependen dengan uji regresi logistik sederhana.
15
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
2.
Pemilihan variabel yang berhubungan dengan ISPA sebagai variabel dependen. Selanjutnya melakukan analisis multivariat dengan cara mempertahankan variabel yang memiliki nilai p < 0,05.
3.
Seleksi kandidat untuk pemodelan multivariat dengan mengeluarkan variabel yang memiliki nilai p > 0,05 dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki p-value tertinggi dan perubahan nilai OR < 10%.
4.
Jika perubahan nilai OR >10% maka variabel yang telah dikeluarkan dari model, dimasukkan kembali ke dalam analisis multivariat.
5.
Variabel independen yang dikeluarkan adalah semua variabel yang mempunyai nilai p > 0,05.
6.
Penentuan independen yang paling dominan dilakukan dengan melihat OR (Odd Ratio) pada model terakhir variabel yang mempunyai nilai OR tertinggi dan p-value < 0,05, maka disebut sebagai variabel yang diminan berhubungan dengan ISPA.
HASIL PENELITIAN Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel dependen. Gambaran Frekuensi Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Tahun 2014
ISPA
Jumlah (n)
Persentase (%)
Penderita ISPA Bukan Penderita ISPA Total
48 52
48,0 52,0
100
100,0
Dari hasil penelitian frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar tahun 2014, balita terkena ISPA sebanyak 48 balita (48%) sedangkan yang tidak terkena ISPA adalah sebanyak 52 balita (52,0%). Gambaran Faktor Lingkungan Dalam Kejadian ISPA Pada Balita
1.
Variabel Independen Kepadatan Penghuni Rumah Variabel Padat Tidak padat Total
16
Frekuensi (n) 75 25 100
Persentase (%) 75,0 25,0 100,0
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Hasil penelitian berdasarkan kepadatan penghuni rumah menunjukkan bahwa yang padat sebanyak 75 rumah (75%), sedangkan yang tidak padat sebanyak 25 rumah (25,0%).
b.
Variabel Independen Menurut Ventilasi Variabel Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Total
Frekuensi (n)
Persentase (%)
71
71,0
29
29,0
100
100,0
Hasil penelitian berdasarkan ventilasi menunjukkan bahwa responden yang ventilasinya tidak memenuhi syarat lebih banyak, yaitu 71 rumah (71%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat ada 29 rumah (29%). Gambaran Aspek Sosial Dalam Kejadian ISPA Pada Balita
a.
Variabel Independen Menurut Pendidikan Ibu Variabel Pendidikan rendah Pendidikan tinggi Total
Frekuensi (n) 30
Persentase (%) 30,0
70
70,0
100
100,0
Hasil berdasarkan pendidikan ibu menunjukkan bahwa responden yang pendidikannya tinggi ada sebanyak 70 responden (70,0%), sedangkan responden yang pendidikannya rendah sebanyak 30 responden (30,0)%.
b.
Variabel Independen Menurut Pekerjaan Ibu Variabel Bekerja Tidak bekerja Total
Frekuensi (n) 31 69 100
Persentase (%) 31,0 69,0 100,0
Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan ibu menunjukkan bahwa responden yang tidak bekerja lebih banyak, yaitu 69 responden (69,0%), sedangkan responden yang bekerja sebanyak 31 responden (31,0%).
17
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Gambaran Faktor Perilaku Dalam Kejadian ISPA
a.
Variabel Independen Menurut Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Variabel
Frekuensi (n)
Persentase (%)
45
45,0
55 100
55,0 100,0
Tidak asi eksklusif Asi eksklusif Total
Hasil penelitian berdasarkan perilaku memberikan ASI eksklusif menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak yaitu 45 balita (45,0)%, sedangkan balita yang mendapat ASI eksklusif ada sebanyak 55 balita (55,0%).
b.
Variabel Independen Menurut Perilaku Merokok Variabel
Frekuensi (n)
Persentase (%)
73
73,0
27
27,0
100
100,0
Ada yang merokok Tidak ada yang merokok Total
Hasil penelitian berdasarkan perilaku merokok menunjukkan bahwa ada anggota keluarga yang merokok sebanyak 73 keluarga (73,0%), sedangkan anggota keluarga yang tidak merokok sebanyak 27 keluarga (27,0%).
c.
Variabel Independen Menurut Perilaku Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar Variabel Menggunakan obat anti nyamuk bakar Tidak menggunakan Total
Frekuensi (n)
Persentase (%)
51
51,0
49
49,0
100
100,0
Hasil penelitian berdasarkan perilaku menggunakan obat anti nyamuk bakar menunjukkan bahwa yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar sebanyak 51 responden (51,0%), sedangkan yang menggunakan 49 responden (49,0%).
d.
Variabel Independen Menurut Perilaku Menutup Hidung dan Mulut Apabila Bersin atau Batuk Saat Terkena ISPA
18
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Variabel Tidak menutup hidung dan mulut Menutup hidung dan mulut Total
Frekuensi (n)
Persentase (%)
77
77,0
23
23,0
100
100,0
Hasil penelitian berdasarkan perilaku menutup hidung dan mulut apabila bersin atau batuk saat terkena ISPA, yang tidak menutup hidung dan mulut sebanyak 77 keluarga (77,0%), sedangkan yang tidak menutup hidung dan mulut sebanyak 23 keluarga (23,0%).
e.
Variabel Independen Menurut Perilaku Ibu Menggendong Balitanya Saat Memasak di Dapur Variabel Menggendong balita Tidak menggendong balita Total
Frekuensi (n)
Persentase (%)
20
20,0
80
80,0
100
100,0
Hasil penelitian yang didapat dari perilaku ibu menggendong balitanya saat memasak di dapur menunjukkan bahwa yang menggendong balita sebanyak 20 responden (20,0%), sedangkan yang tidak menggendong balitanya sebanyak 80 (80,0%).
Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk melihat hubungan variabel independen dengan dependen tanpa memperhitungkan adanya pengaruh dari variabel lain, maka dilakukan uji Chi Square. Arah dan besarnya pengaruh variabel independen diperhitungkan dengan Old Ratio (OR). Sedangkan untuk mengetahui tingkat kemaknaan (Significancy) dilakukan perhitungan Confidence Interval (CI) pada batas kemaknaan 95%. Hubungan Antara Kepadatan Penghuni Rumah dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Kepadatan Penghuni Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Makasar Jakarta Timur 2014 Kepadatan Penghuni Rumah Padat Tidak Padat Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n % 41 54,7 34 45,3 7 28,0 18 72,0 48 48,0 52 52,0
TOTAL n 75 25 100
% 100 100,0
NILAI P 0,21
OR 95% 3,101 15-8,298
19
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Hasil analisis hubungan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada sebanyak 41 balita (54,7%) balita menderita ISPA yang rumahnya padat. Sedangkan rumah yang tidak padat, ada 7 balita (28,0%) balita menderita ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,101, artinya balita yang rumahnya padat akan mempunyai peluang 3,101 kali mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan yang rumahnya tidak padat. Hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA Hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Makasar Jakarta Timur 2014 Ventilasi Memenuhi syarat Tidak memenuhi Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n % 20 69,0 9 31,0 28 39,4 43 60,6
n 29 71
% 100 100
48
100
100,0
48,0
52
52,0
TOTAL
NILAI P
0,014
OR 95% 3,413 1,361-8,559
Hasil Analisis hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh tidak memenuhi syarat 20 (69,0%), sedangkan yang memenuhi syarat ada 28 (28,0%) balita menderita ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,413 artinya balita dengan rumah ventilasi tidak memenuhi syarat akan mempunyai peluang 3,413 kali terjadinya ISPA pada balita dibanding dengan balita tinggal di rumah yang ventilasinya memenuhi syarat. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n % 14 46,7 16 53,3 34 48,6 36 51,4 48 48,0 52 52,0
TOTAL n 30 70 100
% 100 100,0
NILAI P
OR 95%
1,000
0,926 0,393-2,182
Hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh pendidikan rendah adalah 14 balita (46,7%) terkena ISPA, sedangkan ibu dengan pendidikan tinggi ada sebanyak 34 (48,6%) terkena ISPA. Hasil uji statistic diperoleh nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ibu berpendidikan dengan terjadinya ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR: 0,926
20
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Hubungan Antara Pekerjaan Ibu dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Pekerjaan Ibu dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total
n 18 30 48
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA % n % 58,1 13 41,9 43,5 39 43,5 48,0 52 52,0
TOTAL n 31 69 100
% 100 100 100,0
NILAI P
OR 95%
0,257
1,800 0,764-4,243
Hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita adalah ibu bekerja, balita sakit sebanyak 18 balita (58,1%), sedangkan ibu tidak bekerja sebanyak 30 (43,5%) balita terkena ISPA. Hasil uji statistik diperoleh p > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ibu bekerja dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil uji analisis diperoleh pula nilai OR: 1,800 artinya ibu tidak bekerja mempunyai peluang 1,800 kali balita sakit ISPA di banding ibu yang bekerja. Hubungan Antara Memberikan ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Memberikan ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Memberikan ASI Eksklusif Tidak mendapat ASI Mendapat ASI Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n %
n
%
26
55
100
22 48
57,8 40,0 48,0
19 33 52
42,2 60,0 52,0
TOTAL
45 100
100 100,0
NILAI P
0,117
OR 95% 2,053 0,922-4,571
Hasil analisis hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA diperoleh bahwa ada sebanyak 26 (57,8%) tidak mendapat ASI eksklusif balita sakit, sedangkan yang mendapat ASI ada sebanyak 22 balita (40,0%) terkena ISPA. Dari hasil uji statistik nilai p = > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 2,053 artinya, balita tidak mendapat ASI eksklusif berpeluang 2,053 kali terkena ISPA dibanding balita yang mendapatkan ASI eksklusif. Hubungan Merokok dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Perilaku Merokok dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Merokok Ada Tidak ada Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n % 41 56,2 32 43,8 7 25,9 20 74,1 48 48 52 52,0
TOTAL n 73 27 100
% 100 100 100
NILAI P
OR 95% 3,661
0,14
1,378-9,725
21
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok dalam keluarga dengan kejadian ISPA pada balita yang ada merokok sebanyak 41 balita (56,9%) terkena ISPA, sedangkan tidak ada yang merokok sebanyak 7 balita (25,9%) terkena ISPA. Dari uji statistik didapatkan nilai p: 0,14 = > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,661 artinya, balita yang keluarganya merokok berpeluang 3,661 kali terkena ISPA dibanding balita yang keluarganya tidak merokok. Hubungan Antara Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA Hubungan Antara Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar Menggunakan obat anti nyamuk bakar Tidak menggunakan Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n %
n
%
32
51
100
62.7
19
37.3
TOTAL
16
32.7
33
67.3
49
100
48
48,0
52
52,0
100
100
NILAI P
0,005
OR 95%
3,474 1,524-7,917
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita yaitu yang menggunakan ada sebanyak 32 balita (62,7%) terkena ISPA, sedangkan yang tidak menggunakan sebanyak 19 balita (37,3%) terkena ISPA. Dari uji statistik didapatkan nilai p = 0,005 berarti ada hubungan yang signifikan antara kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar. Diperoleh hasil OR: 3,474 artinya balita yang keluarga menggunakan obat anti nyamuk bakar memiliki peluang 3,474 kali lebih besar untuk terkena ISPA dibanding yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar. Hubungan Antara Menutup Hidung dan Mulut Apabila Bersin atau Batuk Saat Terkena ISPA Hubungan Antara Perilaku Menutup Hidung dan Mulut Apabila Bersin dan Batuk Saat Terkena ISPA dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Menutup Hidung dan Mulut Tidak menutup Menutup Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n % 39 50,6 38 4 39,1 14 49.4 43 48,0 52 60.9
TOTAL n 77 23 100
% 100 100 100
NILAI P
0,464
OR 95% 3,596 0,618-4,124
Hasil analisis hubungan antara menutup hidung apabila bersin atau batuk dengan kejadian ISPA, yaitu yang tidak menutup ada sebanyak 39 balita (50,6%) terkena ISPA, sedangkan yang menutup sebanyak 38 balita (49,4%) tidak terkena ISPA. Dari uji statistik p = 0,464 jadi tidak ada hubungan yang signifikan antara menutup hidung dan mulut dengan kejadian ISPA. Diperoleh hasil OR = 1,596 22
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
artinya boleh dengan kebiasaan keluarga tidak menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk terkena ISPA memiliki peluang 1,596 kali lebih besar untuk terkena ISPA dibanding yang menutup hidung dan mulut. Hubungan Antara Menggendong Balita Saat Memasak di Dapur Hubungan Antara Perilaku Menggendong Balita Saat Memasak di Dapur dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2014 Menggendong balita saat memasak di dapur Menggendong balita Tidak menggendong balita Total
KEJADIAN ISPA ISPA NON ISPA n % n %
n
%
13
65,0
7
35.0
20
100
35
43,8
45
56,3
80
100
48
48,0
52
52,0
100
100
TOTAL
NILAI
OR
P
95% 2,388
0,147 0,861-6,618
Hasil Analisis hubungan antara menggendong balita saat memasak di dapur dengan kejadian ISPA, yaitu yang menggendong lebih sedikit sebanyak 13 balita (55,0%) terkena ISPA yang tidak menggendong lebih banyak yaitu 35 balita (43,8%) terkena ISPA. Uji statistik p-value = > 0,05 jadi tidak ada hubungan yang signifikan. Analisis Multivariat Analisis multivariat mempunyai tujuan untuk mendapatkan variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen yaitu dengan menggunakan uji regresi logistik. Pada analisis multivariat, langkah pertama adalah melakukan analisis bivariat terhadap semua variabel independen. Menurut Mickey dan Greenland dalam Hastono (2007) bila hasil uji bivariat menghasilkan nilai p < 0,25, maka variabel tersebut langsung masuk dalam multivariat dan sebaliknya tidak diikutsertakan apabila nilai p > 0,25. Dalam analisis multivariat ini dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut: Seleksi Bivariat Seleksi bivariat menggunakan uji regresi logistik sederhana. Hasil uji terhadap variabel indepeden pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pada analisis multivariat, langkah pertama adalah melakukan analisis bivariat terhadap semua variabel independen menurut Mickey dan Green Land dalam Hastono (2007) bila hasil uji bivariat menghasilkan nilai p < 0,25, maka variabel tersebut langsung masuk dalam multivariat dan sebaliknya tidak diikutsertakan apabila nilai p-value > 0,25. Hasil nilai seleksi bivariat pada variabel bebas dan variabel terikat:
23
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Padat huni Ventilasi Pendidikan ibu Pekerjaan ibu Asi Eksklusif Merokok Obat Nyamuk Menutup hidung Menggendong balita
p-value 0,005 0,001 0,259 0,188 0,191 0,81 0,02 0,649 0,543
OR 9.316 11.571 0.926 2.097 1.963 2.825 5.153 1.329 1.498
Keterangan Diikutsertakan Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan Tidak Diikutsertakan
Berdasarkan tabel di atas hasil analisis antara variabel independen dengan variabel dependen terikat bahwa variabel independen yang memiliki nilai p < 0,25 adalah: padat huni, ventilasi, merokok dan obat nyamuk. Dengan demikian empat variabel independen tersebut dapat diikutsertakan multivariat. Pemodelan Multivariat Tahap kedua dalam analisis multivariat adalah melakukan pemodelan lengkap dengan memasukkan seluruh variabel diikutsertakan untuk dianalisis. Analisis multivariat bertujuan mendapatkan model terbaik dalam menentukan faktor apa saja yang mendukung terjadinya kejadian ISPA. Dalam hal ini semua variabel yang diikutsertakan dicobakan secara bersama-sama. Hasilnya adalah sebagai berikut: Hasil Analisis Kedua Multivariat Regresi Logistik
Tahap I No. 1 2 3
p-value 0,005 0,001 0,02
Variabel Padat huni Ventilasi Obat Nyamuk
OR 9,316 11,571 5,153
Urutan p-value
Dari hasil analisis terlihat ada 3 variabel yang p-value-nya > 0,05 yaitu dimulai dari yang terbesar hingga terkecil, variabel padat huni, ventilasi dan obat nyamuk. Variabel yang p-value paling besar, mulai dikeluarkan satu persatu dari model. Apabila perubahan OR >10%, maka variabel yang dikeluarkan dimasukkan kembali ke dalam model. Namun, apabila perubahan OR <10%, maka variabel tersebut dikeluarkan dari model. Dengan langkah di atas, akhirnya diperoleh hasil sebagai berikut: Hasil Perubahan OR Pertama Setelah Variabel Menggendong Balita Saat Memasak di Dapur Dikeluarkan dari Model
24
Variabel
OR Tutup Hidung Ada
OR Tutup Hidung Tidak Ada
Perubahan OR
Padat huni
0,005
9,316
3,3%
Ventilasi
0,001
11,571
7,1%
Obat Nyamuk
0,02
5,153
1,7%
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Dari analisis perbandingan OR, didapatkan hasil perubahan pada OR < 10%, dengan demikian variabel 1 dikeluarkan dari model. Model Terakhir Model Terakhir Setelah Pemodelan Multivariat Variabel Kepadatan Penghuni rumah Ventilasi Obat Nyamuk bakar
p-value 0,05 0,002 0,03
OR 9,064 9,018 4,468
95,0% C.I.for 1,959-41,938 2,231-36,459 1,685-11,844
Dari hasil multivariat terlihat ada tiga variabel yang berhubungan dengan ISPA, yaitu kepadatan hunian rumah, ventilasi dan obat nyamuk bakar. Dari analisis multivariat didapatkan hasil bahwa variabel paling dominan terhadap kejadian ISPA pada balita adalah variabel ventilasi. Hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) dari variabel ventilasi adalah 9,018 artinya balita dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat memiliki peluang 9,018 kali lebih besar untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan balita yang rumah dengan ventilasinya memenuhi syarat setelah dikontrol dengan variabel kepadatan penghuni rumah, obat nyamuk bakar. PEMBAHASAN Keterbatasan Penelitian Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner dan alat ukur berupa meteran. Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya (bersifat tertutup), sehingga jawaban yang diberikan responden terpaku pada jawaban yang sudah ada. Pertanyaan dalam kuesioner juga dirasa masih kurang dapat menggali jawaban responden yang lebih luas. Dengan jawaban responden yang sangat terbatas ini dirasa masih kurang menggambarkan keadaan responden yang sebenarnya. Bisa informasi yang terjadi saat pengukuran adalah berupa recall bias, di mana responden tidak dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang terjadi di masa lampau. Bisa dari responden juga terjadi pada saat wawancara di mana responden tidak memberikan jawaban yang sebenarnya, atau responden kurang memahami pertanyaan yang disampaikan pewawancara. Gambaran Kejadian ISPA Di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur adalah wilayah yang sangat padat khususnya Kelurahan Kebon Pala dan Kelurahan Makasar. Selain padat juga daerah rawan bajir, daerah endemis DBD, daerah rawan diare, daerah rawan TB paru dan juga daerah kumuh. Terdapat balita sebanyak 18,498% balita tersebar di lima (5) kelurahan.
25
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
ISPA merupakan peringkat pertama dari sepuluh (10) jenis penyakit yang terdapat di Kecamatan Makasar sebanyak 25.638 atau mencapai 18,21% di tahun 2013 akhir. Sedangkan Kelurahan Kebon Pala dan Kelurahan Makasar sendiri didapat penduduk terpadat dengan masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, perilaku masyarakat sendiri serta lingkungan yang kumuh sangat susah untuk dibenahi dan sangat membutuhkan penanganan yang betul-betul serius dari pemerintah setempat dan khususnya peran Puskesmas yang sangat penting untuk menurunkan angka kejadian ISPA yang sangat tinggi. Kepadatan penghuni rumah Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah yang termasuk dalam kategori padat ada sebanyak 41 rumah (54,7%) dan rumah yang masuk dalam kategori tidak padat ada sebanyak 7 rumah (28,0%). Dari analisis bivariat menunjukkan p-value 0,005 (p-value > 0,05), ini artinya ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA. Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni rumah minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Ini berarti bahwa dengan luas lantai minimal 8 m2 hanya dapat dipergunakan untuk tidur oleh 2 orang dewasa dan 1 orang anak di bawah umur 5 tahun (Depkes RI, 2000). Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur, maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO dan dampak peningkatan CO dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa, kepadatan rumah merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan sebagai akibat penularan antarpenghuni rumah (Achmadi, 2000). Semakin padat/banyak jumlah penghuni, maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena ISPA akan meningkat jika tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular.
26
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Untuk itu dalam membangun sebuah rumah perlu diperhatikan jumlah penghuni dan kegiatan keluarga. Pemukiman di wilayah Kecamatan Makasar termasuk pemukiman yang cukup padat. Banyak warga yang tinggal di rumah petakan atau kontrakan dengan ukuran yang tidak terlalu besar, tetapi memiliki banyak anak. Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara luas rumah dengan jumlah penghuni rumah. Dengan memerhatikan kondisi tersebut, tidaklah merendahkan masyarakat Kecamatan Makasar, tetapi dengan pertimbangan dan tujuan dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat dianggap cukup bila membangun rumah terpenuhi standar minimal yang ditetapkan Depkes (2000), yaitu dengan perhitungan 10 m2 luas lantai per orang, termasuk seluruh ruangan kamar mandi dan dapur. Untuk itu diperlukan penyuluhan kesehatan tentang luas rumah dan jumlah penghuni yang akan berada di dalamnya agar penataan ruangan dapat dilaksanakan dengan baik. Ventilasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah 20 rumah (69,0%) dan rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat ada 28 rumah (39,4%). Banyak rumah yang ventilasinya memenuhi syarat tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal misalnya ditutup lemari untuk ruangan kamar. Ada juga rumah yang luas ventilasinya memenuhi syarat, namun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh penghuni rumah yaitu ventilasinya selalu dalam keadaan tertutup. Sehingga pencahayaan di dalam rumah kurang, cenderung gelap dan pengap. Sirkulasi udara menjadi kurang baik, kadar oksigen berkurang dan bertambahnya kadar karbon monoksida dari pernapasan yang bisa menjadi pemicu kejadian ISPA. Kondisi ini akan bertambah parah, ketika ibu balita melakukan kegiatan memasak. Dari analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Dan dari analisis multivariat, ventilasi merupakan variabel yang paling dominan terhadap kejadian ISPA pada balita. Hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) dari variabel ventilasi adalah 9,018 artinya balita dengan rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat memiliki peluang 9,018 kali lebih besar untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan balita yang rumah dengan ventilasinya memenuhi syarat setelah dikontrol dengan variabel kepadatan penghuni rumah, pendidikan ibu dan memberikan ASI Eksklusif. Pudjiastuti (1988), yang dimaksud dengan ventilasi adalah proses di mana udara bersih dari luar ruang secara sengaja dialirkan ke dalam ruang dan udara yang buruk dari dalam ruang dikeluarkan. Ventilasi ini dapat berlangsung secara alami maupun secara mekanik. Untuk ventilasi alami diperlukan lubang-lubang ventilasi guna memasukkan atau mengeluarkan udara dari dalam ruang. Jadi, ventilasi diperlukan agar udara di dalam rumah dapat berganti dengan udara luar yang lebih segar. Agar pergantian udara dapat berjalan lancar, maka diperlukan ventilasi yang luasnya minimal 10% dari luas 27
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
lantai ruangan yang bersangkutan. Apabila suatu ruangan mempunyai ventilasi <10% luas lantai, maka ruangan tersebut terasa panas, lebih berbahaya lagi bila ruangan tersebut dihuni oleh banyak orang, maka ruangan tersebut akan kekurangan oksigen dan kelebihan CO2. Ventilasi selain berfungsi sebagai memberikan udara segar ke dalam ruangan juga memberikan kesempatan cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan sehingga ruangan tidak menjadi lembab dan tidak menjadi tempat perkembangbiakan mikroorganisme. Pencemaran di dalam ruang bukan saja terjadi karena orang yang berlebihan di dalam ruangan, tetapi bisa juga terjadi karena berasal dari bangunan dan isi ruangan yang menghasilkan bahan pencemar. Pudjiastuti (1998), membedakan sumber dan jenis pencemar dari dalam ruangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1.
Pencemar yang dilepas dari bangunan dan isinya seperti asbestos, formaldehyde, senyawa organik yang mudah menguap (VOC).
2.
Pencemar akibat aktivitas manusia, seperti yang berasal dari asap rokok, asap masak, insektisida, pembersih ruangan dan lain-lain. Adapun tipe pencemar yang umum adalah CO2, CO dan partikulat. Komarudin (1997) rumah yang dipandang dari segi aspek kesehatan salah satu syarat yang harus
ada ialah kamar-kamar harus berjendela, ada lubang angin dan sinar matahari masuk ruangan rumah. Kusnoputranto (2000), salah satu syarat rumah untuk memenuhi kebutuhan fisiologis adalah: 1.
Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang bisa melepaskan zat-zat yang membahayakan kesehatan seperti asbes dan juga tidak terbuat dari bahan yang bisa menjadi tumbuh kembang mikroorganisme.
2.
Ventilasi yang cukup antara 10% – 20% dari luas lantai, yang bisa memberikan udara segar dari luar, suhu optimum 22-24 0C dan kelembaban 60%.
3.
Pencahayaan yang cukup yaitu sinar matahari. Upaya penurunan angka kesakitan ISPA dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi
yang cukup untuk mengurangi polusi asap dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok (Imron Lubis dkk, 1990). Kaswadi (1995), ventilasi adalah salah satu unsur lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan insiden ISPA balita. Hamidi (1995), ventilasi adalah salah satu unsur lingkungan fisik rumah yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya kesakitan ISPA pada balita. Mulyana (2001) salah satu faktor yang berhubungan dengan ISPA pada balita adalah ventilasi. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, bahwa persyaratan rumah tinggal harus mempunyai minimal ventilasi 10% dari luas lantai. Kusnoputranto (2000) juga menyatakan bahwa ISPA berhubungan dengan kualitas udara yang buruk, dikarenakan ventilasi yang tidak adekuat dan kepadatan kuman. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa ventilasi rumah merupakan persyaratan utama, karena hal ini dilakukan untuk mengupayakan mempercepat pengeluaran bahan bahan pencemar dalam ruangan. 28
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Karena kualitas udara yang buruk di dalam ruangan rumah akan sangat membahayakan kesehatan pada saluran pernapasan bisa dalam bentuk ISPA, asma, bronkhitis kronik, dan peningkatan rasio kanker paru. Dapat disimpulkan untuk menjaga anak balita terkena ISPA ruangan harus mempunyai ventilasi yang memenuhi syarat. Banyak masyarakat yang belum mengetahui peranan ventilasi terhadap kesehatan rumah. Dengan tidak diketahuinya peranan ventilasi terhadap kesehatan rumah, maka banyak masyarakat membangun rumah dengan biaya mahal tetapi ventilasi tidak memenuhi syarat sehingga rumah menjadi terasa pengap di dalamnya karena pertukaran udara tidak lancar. Biasanya untuk golongan ekonomi lemah, tingkat pendidikan juga rendah sehingga tingkat pengetahuan kesehatan juga rendah. Jadi tingkat pengetahuan kesehatan khususnya mengenai faktor-faktor lingkungan hubungannya dengan ISPA juga rendah. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ventilasi rumah adalah penyuluhan ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Pendidikan ibu Hasil penelitian menunjukkan 27 responden (27%) berpendidikan rendah dan 73 responden (73%) yang berpendidikan tinggi. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square, didapatkan p-value sebesar 0,337 yang artinya p-value lebih besar dari nilai alpha (> 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil ini menunjukkan hipotesis bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian ISPA pada balita, tidak terbukti. Menurut Nasrul Effendi (1998), bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang adalah tingkat pendidikan orang tersebut di mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar kemungkinan untuk menerima informasi yang didapat sehingga mampu meningkatkan pengetahuan orang tersebut. Selain itu Liliweri (2007), menyatakan bahwa cakupan pengetahuan atas keluasan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pengetahuanya. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang atau suatu masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menyerap dan memahami pesan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit ISPA. Pendidikan seseorang berpengaruh terhadap perilakunya yang menyebabkan seseorang berperilaku positif atau negatif terhadap sesuatu. Dengan kata lain perilaku yang menyebabkan seseorang berperilaku positif atau negatif terhadap sesuatu, itu salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang itu sendiri, bukan orang lain yang dekat dengan orang tersebut. Dalam penelitian ini mungkin yang lebih berpengaruh yaitu responden itu sendiri yang akan menentukan bagaimana perilakunya.
29
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, hal ini tidak sesuai dengan teori di atas, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi belum tentu balitanya tidak mengalami kejadian ISPA. Begitupun sebaliknya, sesorang yang berpendidikan rendah belum tentu balitanya mengalami ISPA. Hal ini dapat disebabkan karena faktor lingkungan dan kebersihan diri lebih berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Tingkat pendidikan tidak menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh sehingga pengetahuan tersebut dapat diterapkan sebagai landasan dalam berperilaku yang baik. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulita riza (2005), menunjukkan bahwa tidak membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p > 0,05). Sesuai dengan penelitian Sutrisna (1993), Purawidjaja (2000), dan Juliastuti (2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soekanto (1991), yang menunjukkan bahwa faktor sosial budaya seperti tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang diperkirakan secara tidak langsung dapat memengaruhi kejadian ISPA pada bayi dan balita. Selain itu, penelitian Sumargono (1989) dan Siti Nur Ayu (1997) menyatakan bahwa balita yang mempunyai ibu berpendidikan rendah (SLTP ke bawah) mempunyai risiko untuk menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan balita yang pendidikan ibunya tinggi. Adanya perbedaan dalam hasil penelitian ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik ibu-ibu dalam hal tingkat pendidikan pada lokasi penelitian. Pekerjaan ibu Hasil penelitian menunjukkan 74 responden (74%) tidak bekerja dan 26 responden (26%) yang bekerja. Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada sebanyak 34 (45,9%) balita menderita ISPA yang ibunya tidak bekerja. Sedangkan ibu yang bekerja, ada 9 (34,6%) balita menderita ISPA. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square, didapatkan p-value sebesar 0,43 yang artinya p-value lebih besar dari nilai alpha (> 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil ini menunjukkan hipotesis bahwa ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian ISPA pada balita, tidak terbukti. Kecenderungan situasi pekerjaan akan menimbulkan masalah kesehatan karena dengan situasi kerja akan terjadi kesibukan dalam pekerjaan sehingga seseorang cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk merawat anggota keluarganya (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, hal ini tidak sesuai dengan teori. Hasil penelitian menunjukkan, anak balita yang terkena ISPA lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja dibanding dengan ibu yang bekerja. Pekerjaan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Anak yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah tentunya tingkat penghasilan keluarganya pun rendah sehingga 30
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
ketersediaan makanan dan minuman yang memenuhi standar gizi sehat akan berkurang, karena daya beli rendah. Dan ini tentunya akan memengaruhi daya tahan tubuh anak terhadap penyakit-penyakit. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulita Riza (2005), yang menyatakan bahwa hasil uji statistik didapatkan proporsi suspek ISPA pada balita lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja (32,8%), dengan p-value = 0,505 yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara status pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Begitu juga dengan hasil penelitian Purwanto (1996), menyatakan bahwa ibu yang bekerja akan memiliki pengetahuan dan keterpaparan terhadap media informasi lebih besar sehingga diperkirakan ibu yang bekerja berpengaruh terhadap kemampuan akses di bidang kesehatan serta kemampuan dan kemauan untuk mencegah penyakit. Biarpun ibu yang bekerja dinilai memiliki sosial ekonomi yang tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi anaknya, tapi ibu yang bekerja dengan alasan apa pun seperti: eksistensi, ekonomi
dan pengabdian, tetaplah penting untuk selalu memerhatikan perkembangan dan kesehatan
anak. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah, maka harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakikatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak serta menjaga kebersihan lingkungan rumah. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita, maka seorang ibu harus mengetahui bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orangtua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu, maka orangtua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut dapat memahami masalah kesehatan khususnya dalam hal pencegahan penyakit. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, dan mengontrol kondisi kesehatan anaknya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, stabil dan sehat. Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumah pun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Namun, hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siti Nur Ayu (1997), yang hasilnya menunjukkan bahwa kejadian kasus ISPA pneumonia pada balita pada ibu-ibu yang bekerja ternyata 0,235 kali lebih tinggi risikonya untuk terkena ISPA pneumonia dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak bekerja. Argumentasi dari perbedaan hasil penelitian ini adalah bila ibu yang tidak bekerja, maka secara otomatis sepanjang waktu memberikan perhatian terhadap anaknya dan mampu melaksanakan aktivitas untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan rumah sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit seperti penyakit ISPA, selain itu hal ini juga akan memberikan dampak yang positif secara fisik maupun perkembangan kesehatan dan mental bagi anaknya.
31
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Merokok Hasil analisis hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada sebanyak 12 (37,5%) balita menderita ISPA yang kebiasaan anggota keluarganya tidak merokok. Sedangkan kebiasaan anggota keluarga yang merokok, ada 31 (45,6%) balita menderita ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,585 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Wallace (1996) dalam Purwana (1999), asap rokok merupakan sumber utama partikulat dalam rumah. Surjadi dan Patmasutera (1993) dalam Purwana (1999) menerangkan bahwa persentase jumlah rumah yang penghuninya merokok adalah 70,5%. Dari besarnya angka persentase ini diperoleh gambaran mengenai besarnya potensi rumah menimbulkan pajanan asap rokok. Kandungan zat kimia dalam asap rokok ditentukan oleh beberapa faktor karakteristik rokok, yaitu jenis tembakau, desain rokok, pola menghisap rokok. Asap rokok adalah aerosol yang terdiri dari fase partikulat berupa titik-titik cairan yang berada dalam fase uap atau gas. Asap rokok mengandung beberapa macam senyawa, antara lain partikulat, nikotin, karbonmonoksida, karbondioksida, nitrogen oksida, amonia, formaldehid, acetaldehid, acrolin, prophionaldehid, hydrogen sianida, dan lain-lain. (Guerin, 1992). Faktor-faktor ventilasi, ukuran ruang, sifat permukaan ruang, luas permukaan ruang, suhu, kelembapan nisbi, dan adanya partikulat lain serta gas di atmosfer memengaruhi komposisi environmental tobacco smoke yang berada di dalam ruang itu (Witorch dalam Purwana, 1999). Kebiasaan orangtua merokok di dalam rumah merupakan faktor yang terkait dengan adanya terjadinya penyakit pernapasan pada anak dan tingginya kadar partikulat dalam rumah (Purwana, 1999). Jumlah rokok dan konsumsi rokok setiap hari memengaruhi konsentrasi asap rokok dalam rumah yang terhirup oleh anak. Semakin banyak jumlah perokok semakin banyak konsumsi rokok setiap hari dalam rumah yang menyebabkan semakin banyak asap rokok yang dihasilkan. Namun, hal ini juga dipengaruhi oleh tempat di mana perokok tersebut melakukan kebiasaan merokok. Jika semakin banyak jumlah perokok namun dilakukan di luar rumah, maka asap akan menyebar di luar rumah dan tidak akan menempel sebagai partikulat rumah. Selain itu juga walaupun para perokok melakukan kebiasaan merokok pada saat anak berada di rumah, harus diperhatikan juga apakah perokok tersebut melakukan kebiasaannya di ruangan yang sama dengan anak atau anak sedang berada di ruang lain. Walaupun secara statistik tidak ada hubungan antara merokok dengan kejadian ISPA, tetapi jumlah antara yang merokok dengan yang tidak, lebih banyak yang merokok. Dari 100 responden, tercatat 68 responden yang mengaku dalam anggota keluarganya ada yang merokok. Oleh karena itu, masyarakat tetap harus meminimalisir kebiasaan merokok, terutama yang dilakukan oleh para “ayah”. Perilaku tidak merokok atau berhenti merokok akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak. Selain itu juga dapat menyelamatkan anak dari bahaya asap rokok. 32
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Para ibu mengatakan, sulitnya menghentikan kebiasaan suami merokok. Karena suami memiliki power atau kekuatan untuk mengatur dan menentukan hidupnya sendiri dibandingkan dengan seorang istri. Dan istri memiliki kecendrungan bersikap patuh kepada suami, walaupun suaminya bersikap salah. Karena suami adalah kepala keluarga. Menggunakan Obat Anti Nyamuk Bakar Hasil penelitian menunjukkan 89 rumah (89%) tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar dan hanya 11 rumah (11%) yang menggunakan obat anti nyamuk bakar. Keadaan ini disebabkan karena masyarakat sudah mulai beralih menggunakan obat anti nyamuk lain seperti obat anti nyamuk elektrik, semprot atau lotion anti nyamuk. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan antara obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil ini menunjukkan hipotesis bahwa ada hubungan antara obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita, tidak terbukti. Koo dan Ho (1994), dalam Purwana (1999), membuktikan bahwa obat anti nyamuk bakar menimbulkan gejala gangguan saluran pernapasan serta sebagai sumber partikulat. Purwana (1999) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa ada hubungan penggunaan obat nyamuk semprot dengan batuk pilek pada anak balita. Obat anti nyamuk bakar merupakan salah satu bentuk insektisida yang digunakan di masyarakat untuk mengusir nyamuk pada saat penghuni rumah sedang tidur. Dalam penggunaannya dilakukan dengan cara menbakar pada ujung lingkaran obat tersebut. Diletakkan pada ruangan yang berventilasi cukup, tidak diletakkan pada bahan yang mudah terbakar serta jauhkan dari hidung dan mata. Setelah menggunakan, cuci mata dan tangan dengan air dan sabun. Benda tersebut tidak boleh disimpan bersama dengan bahan makanan atau makanan siap. Hal ini menunjukkan bahwa obat anti nyamuk bakar adalah beracun dan berbahaya terhadap kesehatan. Ada yang harus diperhatikan dalam pemakaian, yaitu tidak semua rumah bisa memakainya. Rumah yang dapat menggunakannya adalah rumah yang memenuhi syarat kesehatan yaitu cukup ventilasi dan tidak tebuat dari bahan yang mudah terbakar. Obat anti nyamuk bakar mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25%. Apabila dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin sebagai zat yang dapat mengusir nyamuk, tetapi jika ruangan tertutup tanpa ventilasi, maka orang di dalamnya akan keracunan d-aletrin. Selain itu, yang dihasilkan dari pembakaran juga CO dan CO2 serta partikulat-partikulat yang bersifat iritan terhadap saluran pernapasan. Jadi, penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai efek yang merugikan terhadap kesehatan, yaitu: 1.
Menghasilkan asap beracun dari kandungan yang sudah diformulasikan
2.
Menghasilkan gas yang berbahaya, yaitu CO dan CO2
3.
Menghasilkan partikulat yang bersifat iritan terhadap saluran pernapasan, yang dapat menimbulkan dampak berlanjut yaitu mudah terjadi infeksi saluran pernapasan. 33
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Dari uraian tersebut, walaupun hipotesis tidak terbukti bukan berarti obat anti nyamuk bakar tidak memberikan andil dalam terjadinya ISPA pada balita. Tetapi harus diwaspadai penggunaan obat anti nyamuk bakar bila faktor lingkungan lain tidak memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi ruangan yang kurang. Memberikan ASI Eksklusif Hasil penelitian menunjukkan 55 balita (55%) tidak mendapat ASI eksklusif dan 45 balita (45%) yang mendapat ASI eksklusif. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan ada hubungan antara memberikan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil ini menunjukkan hipotesis bahwa ada hubungan antara memberikan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita, terbukti. Air susu ibu merupakan makanan yang paling penting bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi karena selain mengandung nilai gizi yang cukup tinggi juga mengandung zat pembentuk kekebalan terhadap penyakit. Menurut Coutsoudis dan Bantley dalam Widyastuti (2004) bahwa ASI memiliki unsur-unsur yang memenuhi semua kebutuhan bayi akan nutrient selama periode sekitar 6 bulan kecuali jika ibu mengalami keadaan gizi kurang yang berat. Keberadaan antibodi dan sel sel makrofag dalam ASI dan kolostrum memberikan perlindungan terhadap jenis-jenis infeksi tertentu, oleh karena itu bayi-bayi yang mendapat ASI secara eksklusif jarang terjangkit penyakit infeksi pernapasan dan diare. Bayi yang mendapat ASI eksklusif secara otomatis mendapatkan kekebalan yang bersifat anti infeksi. ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh anak untuk menghadapi pathogen yang masuk ke dalam tubuh. Lawrence (2005) menyatakan bahwa pemberian ASI sebagai makanan alamiah terbaik yang dapat diberikan ibu kepada anaknya, di mana komposisi ASI sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi serta sebagai pelindung bayi dari berbagai penyakit infeksi. Pemberian ASI eksklusif memberikan protektif melalui antibodi Sig A yang dapat melindungi bayi dari virus Haemophilus Influenza yang terdapat pada mulut dan hidung, serta menurunkan risiko terkena infeksi saluran pernapasan. Hanson, 2006 dalam Widyastuti (2004). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA. Namun tidak sejalan dengan penelitian Kartasasmita (1992), bahwa riwayat pemberian ASI kepada balita tidak memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya penyakit ISPA di Kecamatan Probolinggo (P = 0,5632) dengan demikian, adanya perbedaan proporsi kesakitan ISPA antara balita yang mendapat ASI yang cukup dengan yang mendapat ASI kurang terjadi karena faktor kebetulan. Perbedaan hasil penelitian ini dimungkinkan karena efek ASI yang berbeda-beda terhadap penyakit saluran pernapasan pada daerah penelitian yang berbeda, dikarenakan terdapatnya pengaruh faktor lokal luar yang ikut memengaruhi hubungan ASI dengan penyakit saluran pernapasan, misalnya
34
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
pengetahuan ibu tentang perawatan penderita ISPA, kebiasaan mencari pengobatan pertama, lingkungan fisik perumahan dan sebagainya (Kartasasmita, 1992). Menutup Hidung dan Mulut Bila Bersin atau Batuk Saat Terkena ISPA Hasil analisis hubungan antara kebiasaan anggota keluarga yang menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk apabila terkena ISPA dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada sebanyak 39 (47,6%) yang tidak menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk, balitanya menderita ISPA. Menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk saat terkena ISPA merupakan langkah awal untuk mencegah penyakit ISPA, namun tak semua orang mengerti akan besarnya manfaat yang didapat jika menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk apabila terkena ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,088 (p > 0,05), maka dapat simpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara menutup hidung dan mulut dengan kejadian ISPA pada balita. Menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk saat terkena ISPA merupakan awal untuk mencegah penyakit ISPA, namun tak semua orang mengerti akan besarnya manfaat yang didapat melalui penggunaan masker pelindung. Untuk penularannya, ISPA dapat menular melalui percikan air ludah, bersin, udara pernapasan yang mengandung virus atau bakteri yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya. Adapun faktor utama penyakit ISPA selain dari daya tahan tubuh juga karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri dan lingkungan seperti mencuci tangan, menutup hidung dan mulut dan lain-lain. Dari uraian di atas, walaupun hipotesis tidak terbukti bukan berarti perilaku tidak menutup hidung dan mulut saat terkena ISPA tidak memberikan andil dalam terjadinya ISPA pada balita. Hal ini bisa terjadi mungkin karena ada faktor-faktor lain yang berisiko lebih besar terhadap kejadian ISPA pada balita. Menggendong Balita Saat Memasak di Dapur Hasil analisis hubungan antara menggendong balita saat memasak di dapur dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada sebanyak 8 (44,4%) yang tidak menggendong balita saat memasak di dapur dengan kejadian ISPA, balitanya mengalami kejadian ISPA. Sedangkan yang menidurkan balita bersama anggota keluarga yang terkena ISPA, sebanyak 35 (42,7%) balita menderita ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,1000 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara menggendong balita saat memasak didapur dengan kejadian ISPA pada balita. Kebiasaan adalah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Kebiasaan timbul karena penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Karena kebiasaan inilah, maka akan muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis. Kebiasaan (habit) dapat memunculkan wujud perilaku dalam hidup. 35
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku (sebagai perwujudan kebiasaan) yang didasari pengetahuan akan bersifat lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Kebiasaan ibu menggendong balita saat memasak di dapur merupakan contoh yang tidak baik dan seharusnya dihindari. Hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan. Hal ini bisa terjadi karena ada faktor lain yang lebih memengaruhi kejadian ISPA seperti kebersihan diri, kebersihan dapur dan lain-lain. Sehingga balita yang digendong ibunya saat memasak di dapur tidak memberikan pengaruh yang berarti. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Berdasarkan hasil penelitian, angka kejadian penyakit ISPA pada balita menunjukkan bahwa persentase balita yang menderita ISPA sebanyak 48%, sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 52%.
2.
Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang memiliki hubungan dengan kejadian ISPA adalah ventilasi (p-value < 0,05).
3.
Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA adalah variabel ventilasi. Bahwa variabel ventilasi menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki peluang 5,388 kali lebih besar untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat setelah dikontrol dengan variabel kepadatan penghuni rumah, pendidikan ibu.
Saran 1.
Untuk Tenaga Kesehatan
Meningkatkan pendidikan kesehatan bagi ibu yang mempunyai balita melalui pelayanan promosi kesehatan di poli MTBS tentang pengertian ISPA, penyebab, cara mengatasi, mupun faktorfaktor risiko lain yang dapat meningkatkan atau memperberat ISPA pada balita, terutama faktor lingkungan dan menggalakkan pemberian ASI eksklusif.
2.
Kerja Sama Lintas Program (KIA, Gizi) dan Lintas Sektoral (Kesehatan Lingkungan) untuk meningkatkan penyuluhan tentang lingkungan dan perilaku dengan kejadian ISPA di tingkat paling dasar yaitu Posyandu.
3.
Saran untuk Peneliti Lain
Mengupayakan tempat wawancara khusus yang lebih tenang, agar suasana lebih kondusif sehingga dapat lebih dalam menggali informasi dari posyandu untuk menghasilkan data yang lebih baik dan akurat.
36
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
DAFTAR PUSTAKA Abdullah. 2000. Pengaruh Pemberian ASI terhadap Kasus ISPA Pada Bayi Umur 0–4 Bulan. Tesis, FKM UI, Depok. Achmadi, UF. 1991. Faktor-faktor Penyebab ISPA dalam Lingkungan Rumah Tangga di Jakarta Tahun 1990/1991. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Respati Indonesia. Anonim. 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I, Jakarta. Cahaya. I. Numaini. 2005. Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan yang memengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Majalah Kedokteran Vo1. 8 No.3 Cuningham. 1979., Sarinen (1982)., Graham (1990)., Soeyoso (1996)., Herman. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Ballta di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan,2002. Departemen Kesehatan RI. 2002. Keunggulan ASI dan Manfaat Menyusui. Depkes. Jakarta. . Manajemen Laktasi Panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskesmas. Depkes. RI. Jakarta. . Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. . Faktor Risiko yang meningkatkan insidens Pneumonia. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. . Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Suluran Pernapasan Akut. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes. Jakarta. Depkes. RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 829/Menkes/VII/1999, tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. . 2000. Pedoman Umum Pembinaan dan Pemberdayaan Kader Desa Wisma Dalam Bidang Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta. . 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta. . 2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Dharmage. 2009. Risk Factor of Acute Lower Tract Infection In Children Under Five Years Of Age. Medical Public Health. Direktorat Jenderal P2MPLP Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balia Dalam Pelita VI. Jakarta. Effendy, N. 2004. Dasar-dasar Keperawatan, Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta. EGC. 37
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Guerin, et al. 1992. The Chemistry of Environmental Tobacco Smoke Composition and Measurement. London: Lewis Publishers. Hamidi. 1995. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Peristiwa Kesakitan ISPA Pada Balita di Kecamatan Gambut, Banjar, Kalimantan Selatan Tahun 1995. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Hananto, M. 2004. Jurnal: Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian Pnenonia Balita di 4 Provinsi di Indonesia. Harni, 1994. Hubungan Antara Karakteristik Sosiodemografi Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Persalinan Suatu Studi di Wilayah kerja Puskesmas Pamanukan Kabupaten Subang Prov. Jawa Barat. Tesis. S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Jakarta. Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Basic Data Analisis for Health Reserch Training Analisis Data Kesehatan. Depok: FKM UI. Herman. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tesis. Hurlock, Elizabeth 13, 1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Juliastuti P, Tri. 2000. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Balita di Puskesmas Cisaga Kabupaten Ciamis. Tesis. Depok: FKM UI. Kartasasmita, CB., et. al. 1992. Some Risk Factors for The Prevalence of Acute Respiratory Infection in Under five Children in an Urban Area in Bandung, Pediatrica Indonesiana ; 32: 10-24 Jan-Feb. Kaswadi. 1995. Hubungan Unsur-unsur Lingkungan Fisik Perumahan dengan Insiden Diare dan ISPA Balita Di Jawa Timur Tahun 1992. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Pemukiman. Jakarta: Yayasan REIRakasindo. Kusnoputranto, H & Susanna, D. 2000. Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Jakarta: Universitas Indonesia. Liliweri, Alo. 2007. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Lubis. I dkk. 1990. Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Faktor Lingkungan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan, 18(2). Mudehir, Muridi. Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita di Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2002. Mulyana, N. 2001. Pola Masak Sebagai Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Wilayah Kerja Puskesmas Garuda Kecamatan Andir Bandung. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. 38
Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. . Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Naim, Khoirul. 2008. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian Pneumonia Pada Anak umur 4-24 Bulan di Kabupaten Indramayu, 2001. MercyCorsp. Perinasia. Tesis. USAID. Nelson. 2003. Ilmu kesehatan Anak. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010 Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. . Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, D. 1993. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Perstiwa Kematian Bayi di Kecamatan Silyeg dan Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu Jawa Barat (1989-1991). Studi Analisis Data Sekunder. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Nur Ayu, Siti. 1997. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit ISPA dengan Gejala Panas, Batuk, dan Sesak Napas Pada Bayi (Analisis Data Sekunder SDKI 1994). Skripsi FKM UI. Depok. Perinasia. Menuju Persalinan Aman dan Bayi Baru Lahir Sehat. Buletin PerinasiaTahunXIV Edisi Juni, 2007. Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Pertyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Poerno, K. 1983. Pengaruh Cuaca serta Lingkungan Rumah Terhadap Jumlah Koloni Kuman di Komplek Perumahan TNI AL Surabaya. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Pranajaya. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kota Bandar Lampung. Tesis. Prasetyono, Dwi, Sunar. 2009. ASI Eksklusif. Yogyakarta: Diva Press. Pudjiastuti, U, dkk. 1998. Kualitas Udara Dalam Ruang. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pujiati, A., Aprillia S. 2008. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Bayi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Islam Sultan Agung. Semarang. Purawidjaja, Sudirman. 2000. Hubungan Praktek Penanganan ISPA oleh Ibu di Tingkat Keluarga dengan Kejadian Pneumonia Balita di Kabupaten Bandung Tahun 2000. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Purwana, R. 1999. Partikulat Rumah Sebagai Faktor Risiko Gangguan Pernapasan Anak Balita (Penelitian di Kelurahan Pekojan Jakarta). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. 39
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Puspasari, Dedek. 2012. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu yang Mempunyai Balita tentang Penyakit ISPA di Puskesmas Balai Agung Kecamatan Sekayu. KTI. (http://dedekpuspasarica. blogspot.com/2012/06/gambaran-pengetahuan-dan-sikap-ibu-yang.html) Riza, Yulita. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kabupaten Bekasi Tahun 2003. Skripsi Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif Seri 1. Jakarta: Trubus Agriwidya. Sasiroasmoro, S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Agung seto. Sneddon, J.M and T.M. Bearpark. 1990. “Indoor Air, Respiratory Health and Pulmonary Function in Children. A Critical Review”. In Lunau, F. and G.L.Reynolds, Indoor Air Quality and Ventilation. London: Selper Ltd. Sudirman, M. 2003. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Faktor Risiko Lainnya dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Teluk Pucung Kola Bekasi. Tesis. Suhandayani I. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Pati 1 Kabupaten Pati 2 Tahun 2006. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Sumargono, Joon. 1986. Faklor-faktor Risiko yang Memengaruhi Terjadirrya Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Balita di Kelurahan Kelapa Dua Wetan Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Skripsi Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. Sutrisna, B. 1983. Faktor Risiko Pneumonia Pada Balita dan Model Penanggulangannya. Tesis. Jakarta: FKM UI. WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. Pedoman Untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta: iCedcteran. EuC. Wibowo. 1992. Dalam Amanda. 2011. Widyastuti. 2009. Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2007. Tesis FKM UI, Depok. Jawa Barat.
40
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA (RSAU) dr. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA TAHUN 2013 Oleh: Martini, S.Kep., M. Kes. Akper RSP TNI AU Jln. Merpati, Jakarta 13610
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Jakarta 2013. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional dengan responden adalah ibu yang memeriksakan bayinya yang berumur 6 bulan sampai 2 tahun di poliklinik BKIA dan poliklinik anak Rumah Sakit Angkatan Udara sebanyak 140 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 55% ibu memberikan ASI eksklusif. Faktor predisposisi yang mempunyai hubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah pengetahuan (P = 0,004 OR = 2,879) dan sikap (P= 0,005 OR= 4,472). Hasil analisis multivariat faktor yang dominan dalam pemberian ASI eksklusif adalah faktor sikap (P= 0,005 OR= 4,282).
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara berkembang yang mengadakan pembangunan di segala bidang terutama sumber daya manusia. Pembentukan sumber daya manusia tersebut harus dimulai sejak dini yaitu dimulai sejak dalam kandungan, bayi baru lahir hingga dewasa. Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif. Djuanda (2009) menuturkan pembangunan nasional dalam bidang kesehatan khususnya yang terkait dengan kesehatan balita adalah menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian balita. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita merupakan indikator sensitif yang berkaitan dengan ketersediaan, pemanfaatan, dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan anak. 41
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Data dari Badan Pusat Statistik (2009) tercatat Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia, khususnya kematian pada bayi baru lahir (neonatal), masih berada pada kisaran 30 per 1.000 kelahiran hidup yang disebabkan oleh penyakit pneumonia, malaria, diare, dan masalah gizi buruk. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKB di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 34/1000 kelahiran hidup sedangkan AKBAL pada tahun 2009 sebesar 44/1.000 kelahiran hidup. Bila dibandingkan dengan data SDKI tahun 2004 yaitu AKB sebesar 35/1.000 kelahiran hidup dan AKBAL sebesar 46/1.000 kelahiran hidup, berarti telah terjadi penurunan dalam kurun 5 tahun (2003-2009) namun penurunannya sangat kecil (Wijaya, 2009). Harismayana (2009) mengatakan bahwa setelah di teliti lebih mendalam ternyata faktor penyebab utama terjadinya kematian pada bayi baru lahir dan balita adalah penurunan angka pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. ASI merupakan makanan yang pertama, utama, dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah. Pemberian ASI tidak hanya sekadar memberikan makanan jasmani namun juga emosional, jiwa, dan spiritual bagi bayi serta dapat melindungi bayi dari sindrom kematian bayi secara mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS), terutama air susu ibu pada 1 jam setelah lahir. Berdasarkan data BPS (2008) pada Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan, hal ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif hingga 7,2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% tahun 2002 dan menjadi 27,9% tahun 2007. Sementara The United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam Nuryati (2008) menyimpulkan cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih jauh dari rata-rata dunia yaitu 38%. Demikian pula halnya yang terjadi di RSAU Antariksa saat ini di mana jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif mengalami penurunan dari 58% tahun 2011 menjadi 48% tahun 2012. Pemberian ASI merupakan salah satu solusi dalam mengurangi penyebab kematian pada ibu dan bayi. Oleh karena itu, program peningkatan penggunaan ASI menjadi prioritas karena dampaknya yang luas terhadap status gizi dan kesehatan balita. Pemerintah melalui keputusan Menteri Kesehatan telah menghimbau dan memberikan dukungan pemberian ASI eksklusif dan menetapkan target cakupan pemberian ASI eksklusif tahun 2010 pada bayi 0–6 bulan sebesar 80% (Depkes, 2007; Minarto, 2011). Hal ini terwujud dalam pembuatan kebijakan untuk mencapai kesehatan yang optimal yaitu Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia. Dalam rekomendasi tersebut dijelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan yang optimal, bayi harus diberi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama. Selanjutnya, demi tercukupinya nutrisi bayi, maka ibu mulai memberikan makanan pendamping ASI hingga bayi berusia 2 tahun atau lebih (Depkes, 2004).
42
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
Hal ini sesuai dengan World Health Organization (WHO) yaitu pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif diberikan pada bayi berusia 0-6 bulan dan dapat tetap diberikan hingga usia 2 tahun selama produksi ASI masih banyak atau ketika anak sudah tidak mau lagi minum ASI (Tedjasaputra, 2007). ASI merupakan makanan yang pertama, utama, dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah. ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi mulai 0–6 bulan dalam rangka mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Air Susu Ibu (ASI) diyakini dan bahkan terbukti memberi manfaat bagi bayi baik dari sisi/aspek gizi (kolostrum yang mengandung IgA, wheicasein, DHA dan AA dengan komposisi sesuai), aspek imunologik (selain IgA, terdapat laktoferin, lysosim dan 3 (tiga) jenis leukosit yaitu BALT, GALT, MALT serta faktor bifidus, aspek psikologik (interaksi dan kasih sayang antara anak dan ibu), aspek kecerdasan, aspek neurologik (aktivitas menyerap ASI bermanfaat pada koordinasi syaraf bayi), aspek ekonomik serta aspek penundaan kehamilan (metode amenorea laktasi/MAL). Selain aspek-aspek tersebut, dengan ASI juga dapat melindungi bayi dari sindrom kematian bayi secara mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS). Kebijakan pemerintah yang juga mendukung program pemberian ASI eksklusif ini adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7/1997 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang dijabarkan dalam Kepmenkes No. 237 Tahun1997 yang berisi peraturan bagi sarana pelayanan kesehatan dilarang menerima sampel atau sumbangan susu formula bayi dan susu formula lanjutan atau menjadi ajang promosi susu formula. Berbagai faktor dijadikan alasan untuk membuat seseorang tidak memberikan ASI eksklusif. Menurut Kementerian Kesehatan faktor-faktor yang memengaruhi adalah sebagai berikut: 1.
Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-tugas sosial, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah.
2.
Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik dan mengikuti perkembangan zaman.
3.
Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan hilang.
4.
Pengaruh melahirkan di rumah sakit atau klinik bersalin. Belum semua petugas paramedis diberi cukup pesan dan informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktik yang keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir (Siregar, 2004). Sejalan dengan hal di atas (Soedjiningsih, 1997) menekankan hal-hal yang dapat memengaruhi
pemberian ASI eksklusif adalah: 1.
Perubahan Sosial budaya, contohnya: a.
Ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya
b.
Meniru teman, tetangga atau orang lain yang memberikan susu botol
c.
Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya 43
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
2.
Faktor psikologis, seperti takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita atau tekanan batin.
3.
Faktor fisik ibu seperti ibu sakit, misalnya mastitis, panas dan sebagainya.
4.
Faktor kekurangan petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI.
5.
Meningkatkan promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI.
6.
Penerangan atau informasi yang kurang tepat dan/atau salah justru datang dari petugas kesehatan sendiri yang menganjurkan pengganti ASI dengan susu kaleng (Soedjiningsih, 1997:17). Faktor-faktor tersebut terlihat pada penelitian-penelitian terdahulu seperti Salfina (2003)
dalam penelitiannya mengatakan bahwa 75,6% ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah ibu dengan pendidikan tamat SD, dan berstatus sebagai pekerja lepas (buruh). Selain itu 13,33% ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif masih mengemukakan ASI tidak bermanfaat terhadap bayinya serta 23,02% masih membuang kolostrumnya. Masih rendahnya angka pencapaian ASI eksklusif tentu saja perlu mendapat perhatian karena berkontribusi terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa mendatang serta berdampak pula terhadap tingginya angka kesakitan maupun angka kematian. The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) tahun 2007, memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran, kemudian dilanjutkan ASI eksklusif sampai dengan enam bulan. Permasalahan rendahnya penggunaan ASI di Indonesia dipengaruhi oleh faktor perilaku, lingkungan dan sosial budaya (Meutia Hatta, 2009). Perilaku merupakan faktor terbesar yang memengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk mengubah perilaku seseorang tidak mudah untuk dilakukan. Perubahan perilaku yang tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi tidak akan bertahan lama. Untuk menganalisis masalah perilaku, konsep yang sering digunakan adalah konsep dari Lawrence W. Green (1980). Menurut Lawrence W. Green dalam Notoatmodjo (2007) perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu, faktor predisposisi (predisposing factors) seperti: umur, pendidikan, pekerjaan, lama waktu kerja dan bentuk persalinan, faktor pendukung (enabling factors) misalnya iklan susu formula, faktor pendorong (reinforcing factors) seperti dukungan suami dan tenaga kesehatan. Berdasarkan data tahun 2012 diketahui bahwa cakupan pelaksanaan pemberian ASI eksklusif dari ibu yang berkunjung di Poliklinik Anak dan BKIA Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa masih rendah yaitu sebesar 48% dan angka tersebut mengalami penurunan sebesar 10% bila dibandingakan dengan data tahun 2011 yaitu sebesar 58%. Berbagai macam alasan diberikan dalam menjawab penyebab penurunan tersebut, di antaranya adalah usia, pendidikan, pekerjaan, ketidaktahuan tentang ASI, faktor sosial budaya, tenaga kesehatan dan akibat dari proses persalinan baik secara normal maupun Sectio Caesar (SC). Menurun dan 44
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif di RSAU dr. Esnawan Antariksa dan belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan hal tersebut menginspirasi penulis untuk meneliti “Faktorfaktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di RSAU dr. Esnawan Antariksa”. Perumusan Masalah Cakupan pemberian ASI di Indonesia berdasarkan riskesdas 2010 sebesar 15,3%. Sementara itu, cakupan ASI eksklusif pada ibu yang berkunjung di RSAU dr. Esnawan Antariksa terjadi penurunan 10% yaitu dari 58% pada tahun 2011 menjadi 48% pada tahun 2012. Hal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui “Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa Jakarta Tahun 2013”. Tujuan Umum Tujuan peneitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa Jakarta Tahun 2013. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1.
Diketahuinya faktor predisposisi seperti pendidikan, umur, pekerjaan, paritas, sikap, dan pengetahuan dalam pemberian ASI eksklusif.
2.
Diketahuinya faktor pemungkin seperti sumber informasi dalam pemberian ASI eksklusif.
3.
Diketahuinya faktor penguat seperti dukungan suami dan dukungan tenaga kesehatan dalam pemberian ASI eksklusif.
Manfaat Penelitian 1.
Bagi Instansi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pimpinan dan tenaga kesehatan tentang faktor yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif.
2.
Bagi Masyarakat dan Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan serta kesadaran tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data primer yang didapat dari hasil wawancara atau kuesioner kepada ibu yang memiliki bayi berusia 6 bulan sampai 2 tahun yang memeriksakan bayinya di RSAU dr. Esnawan Antariksa, Jakarta.
45
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
TINJAUAN TEORETIS Air Susu Ibu (ASI) ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang desekresi oleh kedua belah payudara ibu, sebagai makanan utama bagi bayi (Soetjiningsih, 1997). ASI bukan minuman, namun ASI merupakan satu-satunya makanan tunggal paling sempurna bagi bayi hingga berusia 6 bulan. ASI cukup mengandung seluruh zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, secara alamiah ASI dibekali enzim pencerna susu sehingga organ pencernaan bayi mudah mencerna dan menyerap gizi ASI. Sistem pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim pencerna makanan, oleh karena itu, berikan pada bayi ASI saja hingga usia 6 bulan, tanpa tambahan minuman atau makanan apa pun (Arief, 2009). Kandungan zat gizi ASI yang sempurna membuat bayi tidak akan kekurangan gizi tetapi, makanan ibu harus bergizi guna mempertahankan kuantitas dan kualitas ASI. Memberikan susu formula sebelum bayi berusia 6 bulan akan meningkatkan risiko diare, dan sudah pasti memboroskan dana rumah tangga karena harga susu formula tidak murah (Arif, 2009). Pengertian ASI Eksklusif Menurut WHO (2006) adalah pemberian ASI eksklusif atau menyusui eksklusif adalah memberikan hanya ASI pada bayi dan tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih, kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan, yang dilakukan sampai bayi berumur 6 bulan. ASI eksklusif menurut Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/SK/Menkes/VIII/2004, tanggal 7 April 2004 adalah pemberian ASI pada bayi yang meliputi hal-hal berikut: 1.
Setelah bayi dilahirkan segera diberikan ASI (dalam waktu ½ – 1 jam), memberikan kolostrum (ASI yang keluar pada hari-hari pertama).
2.
Tidak memberikan makanan atau minuman (seperti air kelapa, air tajin, air teh, madu, pisang) kepada bayi sebelum diberikan ASI.
3.
ASI diberikan sesuai kemauan bayi tanpa perlu dibatasi waktu dan frekuensinya (pagi, siang dan malam hari) dan memberikan ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan. Senada dengan uraian di atas, Utami Roesli pun menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ASI
eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi umur 0–6 bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim. Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai usia 2 tahun (Roesli, 2009).
46
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi berumur 0–6 bulan tanpa memberikan makanan atau minuman lain, menurut ahli kesehatan, bayi pada usia tersebut sudah terpenuhi gizinya hanya dengan ASI saja. Manfaat ASI eksklusif yaitu agar bayi kebal terhadap beragam penyakit pada usia selanjutnya (Depkes, 2006:105). ASI eksklusif adalah pemberian ASI (Air Susu Ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih sampai bayi berumur 6 bulan (Sri Purwanti Hubertin, 2004:3). Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa pengertian ASI eksklusif adalah:
“Pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa pemberian makanan tambahan lain kecuali obat-obatan dengan alasan medis pada bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan.”
Pembentukan Air Susu Pada seorang ibu yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan sebagai pembentukan dan pengeluaran air susu yaitu: refleks prolaktin dan refleks let down. Refleks prolaktin: prolaktin berperan untuk membuat kolostrum menjelang akhir kehamilan, namun jumlah kolostrum terbatas karena, prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya tinggi. Setelah partus estrogen dan progesteron berkurang, ditambah dengan adanya isapan bayi yang merangsang hipotalamus menekan pengeluaran faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan merangsang pengeluaran faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga keluar prolaktin. Hormon prolaktin ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu. Pada ibu menyusui, prolaktin akan meningkat dalam keadaan stres atau pengaruh psikis, anastesi, operasi dan rangsangan puting susu, hubungan kelamin, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti reserpin, klorpromazin dan fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi ibu yang jelek dan obat-obatan seperti ergot, I-dopa. Refleks let down: rangsangan dari isapan bayi dilanjutkan ke neurohipofise (hipofise posterior) yang mengeluarkan oksitosin. Hormon oksitoksin diangkut ke uterus melalui aliran darah yang menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosi sampai ke alveoli dan memengaruhi sel mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu keluar dari alveoli dan masuk ke duktulus yang akan mengalir melalui duktus laktiferus masuk ke mulut bayi. Faktor-faktor yang meningkatkan refleks let down adalah melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi dan memikirkan bayi, sedangkan yang menghambat adalah keadaan bingung/pikiran kacau, takut, merasa sakit atau malu ketika menyusui, dan cemas (Soetjiningsih, 1997). Komposisi ASI Berdasarkan stadium laktasi komposisi ASI dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kolostrum, ASI transisi/peralihan, dan ASI matur. 47
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
a.
Kolostrum adalah cairan emas, cairan pelindung yang kaya zat anti infeksi dan berprotein tinggi yaitu 10–17 kali lebih banyak dibanding ASI matur, serta kadar karbohidrat dan lemak yang rendah. Volume kolostrum antara 150-300 ml/24 jam, volume tersebut mendekati kapasitas lambung bayi yang baru berusia 1–2 hari dan kolostrum harus diberikan pada bayi.
b.
ASI transisi/peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum sebelum menjadi ASI yang matang, kadar protein semakin rendah sedangkan karbohidrat dan lemak semakin tinggi dengan volume yang makin meningkat.
c.
ASI matur merupakan ASI yang keluar sekitar hari ke -14 sampai seterusnya, dengan komposisi yang relatif konstan. Pada ibu yang sehat dengan produksi ASI yang cukup, ASI merupakan satusatunya makanan yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan (Roesli, 2000).
Aspek Gizi ASI ASI mengandung banyak zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh bayi, adapun aspek gizi ASI sebagai berikut: 1. Kolostrum: a.
Kolostrum adalah ASI yang pertama kali keluar mengandung zat kekebalan terutama IgA (Immunoglobulin A) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare.
b.
Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi tergantung dari isapan bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Walaupun sedikit, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karena itu, kolostrum harus diberikan pada bayi.
c.
Kolostrum mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahirannya.
d.
Membantu mengeluarkan mekonium yaitu kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan.
2. ASI a.
ASI mudah dicerna karena ASI mengandung enzim-enzim untuk mencernakan zat-zat gizi yang terdapat dalam ASI tersebut.
b.
ASI mengandung zat-zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi/anak.
c.
Selain mengandung protein yang tinggi, ASI memiliki perbandingan antara Whei dan Caesin yang sesuai untuk bayi. Rasio Whei dengan Caesin merupakan salah satu keunggulan ASI dibanding dengan susu sapi. ASI mengandung Whei lebih banyak yaitu 65:35. Komposisi
48
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
ini menyebabkan protein ASI lebih mudah diserap, sedangkan pada susu sapi mempunyai perbandingan Whei: Casein adalah 20:80, sehingga tidak mudah diserap. 3.
Komposisi Taurin, DHA dan AA Pada ASI a. Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak. Percobaan pada binatang menunjukkan bahwa defisiensi taurin akan berakibat terjadinya gangguan pada retina mata. b.
Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA dan AA dalam ASI sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak. Di samping itu DHA dan AA dalam tubuh dapat dibentuk/disintesa dari substansi pembentuknya (precursor), yaitu masing-masing dari Omega 3 (asam linolenat) dan Omega 6 atau asam linoleat (Arif, 2009).
Manfaat ASI 1.
Manfaat ASI Bagi Bayi
Manfaat ASI bagi bayi di antaranya yaitu: a.
Perlindungan terhadap infeksi dan diare, ASI mengandung berbagai zat antibodi yang mampu melindungi tubuh terhadap infeksi serta zat-zat lain yang dapat menghancurkan dinding sel bakteri.
b.
Perlindungan terhadap alergi, salah satu zat yang terkandung dalam ASI adalah immunoglobulin yang mampu melindungi tubuh terhadap alergi. Sedangkan immunoglobulin pada tubuh manusia baru terbentuk setelah bayi berusia beberapa minggu. Oleh sebab itu, apabila bayi lahir langsung diberi ASI, kemungkinan terserang alergi relatif kecil. Mempererat hubungan dengan ibu, ASI bagi seorang bayi selain untuk memenuhi kebutuhan gizinya, juga untuk lebih bisa mengenal ibunya dan mendapatkan rasa nyaman. Belaian ibu pada saat anak manyusui anak akan mambuatnya merasa aman dan terlindung.
c.
Memperbagus gigi dan bentuk rahang, pemberian ASI dapat mengurangi kerusakan pada gigi dan bentuk rahang.
d.
Mengurangi kegemukan/obesitas, zat mineral yang terdapat dalam ASI hanya sedikit, jika dibandingkan dengan mineral yang terdapat pada susu sapi, sehingga bayi cenderung cepat haus dan orangtua cenderung memberikan kembali susu botol/sapi. Akibatnya, bayi akan kelebihan kalori sehingga bayi tersebut menjadi gemuk (obesitas).
e.
Perlindungan dalam penyempurnaan otak, ASI mampu memproduksi hormon tixoid yang dapat melindungi otak bayi walaupun terbatas. Selain hal tersebut asam lemak yang terkandung pada ASI sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan penyempurnaan sel-sel otak. 49
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
f.
Dengan ASI bayi selalu mendapat susu yang segar, ASI yang masih tersimpan dalam payudara ibu, selalu bersih, aman, segar, dan tidak pernah basi. Bagi ibu pekerja, sekembali dari bekerja, ASI dapat diberikan langsung kepada bayi, ibu tidak perlu membuang ASI terlebih dahulu. Semakin sering menyusukan semakin banyak produksi ASI, beda dengan susu bubuk apabila semakin sering diberikan kepada bayi semakin cepat habis (mahal). ASI justru sebaliknya, semakin sering dihisap semakin banyak ASI diproduksi, khususnya pada tahun pertama menyusui.
2.
Manfaat ASI bagi Ibu
Manfaat ASI bagi ibu di antaranya yaitu: a.
Memberi kepuasan batin, ibu-ibu yang berhasil menyusui anaknya akan merasa senang dan puas karena dapat memenuhi kebutuhan bayi dan melaksanakan tugas mulianya sebagai seorang ibu.
b.
Lebih praktis dan ekonomis, pemberian ASI lebih praktis dan murah, karena tidak merepotkan, yakni ibu tidak perlu mensterilkan botol, menyiapkan air hangat dan sebagainya. Di samping itu tidak perlu mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk membeli susu kaleng.
c.
Mengembalikan bentuk tubuh, apabila ibu-ibu menyusui bayinya dengan baik dan teratur, maka tubuh yang bertambah besar selama kehamilan akan kembali seperti semula dengan cepat. Hari-hari pertama saat menyusui, maka rahim akan berkontraksi saat bayi menghisap puting susu. Kontraksi tersebut akan mempercepat pengembalian bentuk rahim dan mengeluarkan darah serta jaringan yang tidak diperlukan dalam rahim.
d.
Menunda masa subur (efek KB), pemberian ASI dapat membantu menjarangkan kelahiran dengan cara menunda terjadinya evolusi dan haid, namun itu tidak berarti bahwa dengan menyusui tidak akan terjadi kehamilan, bila tanda-tanda haid muncul ibu tetap dianjurkan menggunakan.
e.
Mencegah pembengkakan, pemberian ASI secara terus-menerus akan membantu mencegah payudara membengkak dan sakit. Untuk ibu yang sibuk selama bekerja, ASI dapat dipompa dan disimpan ditempat yang aman (pada gelas dan disimpan di lemari es atau termos), dan segera diberikan kepada bayi dengan sendok setelah ibu tiba di rumah (UNICEF, 1991).
f.
Alat kontrasepsi.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif Berbagai informasi dari beberapa ahli yang mengemukakan hal-hal yang memengaruhi pemberian ASI Eksklusif beberapa di antaranya adalah:
50
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
1.
Soedjiningsih mengatakan bahwa pemberian ASI dipengaruhi oleh: a.
b.
Perubahan Sosial budaya, contohnya: 1)
Ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya
2)
Meniru teman, tetangga atau orang lain yang memberikan susu botol
3)
Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya
Faktor psikologis, seperti takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita atau tekanan batin.
c.
Faktor fisik ibu seperti ibu sakit, misalnya mastitis, panas dan sebagainya.
d.
Faktor kekurangan petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI.
e.
Meningkatkan promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI.
f.
Penerangan atau informasi yang kurang tepat dan/atau salah justru datang dari petugas kesehatan sendiri yang menganjurkan pengganti ASI dengan susu kaleng (Soedjiningsih, 1997:17).
2.
Notoatmojo (Baskoro, 2008:73) mengulas beberapa faktor yang menyebabkan para ibu tidak menganggap penting dan enggan untuk memberikan ASI kepada bayi mereka, secara garis besar ada 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. a.
Faktor Internal 1) Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan tidak terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu: - Awarness (kesadaran) di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). - Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut, di sini sikap subjek sudah mulai timbul. - Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini seperti sikap responden sudah lebih baik lagi. - Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
51
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
- Adaption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogens menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut. (Notoatmodjo, 2003:121).
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang akan diperoleh manusia melalui pengamatan (Indrawati, 2007), setelah muncul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Meliono, Indrawati, 2007). http://id.wikipedia.-org/wik/ pengetahuan/
2) Pendidikan
Pendidikan berhubungan dengan pembangunan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan berkaitan dengan transmisi, pengetahuan sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek kelakuan yang lain. Pendidikan adalah proses dan mengajar. Pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat (Rini, Senin, 27 Oktober 2008).
3) Perilaku
Hasil output yang diharapkan dari suatu pendidikan kesehatan, di sini adalah perlaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif. Perubahan perilaku yang belum atau tidak kondusif ke perilaku yang kondusif ini mengandung berbagai dimensi berikut ini: -
Perubahan perilaku: perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, atau diri perilaku negatif, perilaku yang positif. Perilaku-perilaku yang merugikan kesehatan yang perlu diubah misalnya: ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya, ibu menyusui yang tidak memberikan ASI pada bayinya.
-
Pembinaan perilaku, pembinaan desain diajukan pada perilaku masyarakat yang mempunyai perilaku hidup sehat (healthy style) tetap dilanjutkan atau dipertahankan. Misalnya olahraga teratur, membuang sampah pada tempatnya dan sebagainya.
-
Pengembangan perilaku, yaitu ibu akan menjadi cepat tua, kekhawatiran akan hilangnya kecantikan dan ibu tampak kelihatan tua, sungguh tidak beralasan, menjadi tua adalah proses alami yang tidak dapat dihindari namun memelihara kebugaran tubuh, makan makanan yang bergizi, olahraga di samping memelihara kecantikan, jadi tidak ada hubungan dengan menyusui.
52
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
d) Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan, penyelidikan epidemiologi, angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Dengan cara ini orang dapat membaca dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi adalah apakah umur yang dilaporkan tepat, apakah panjang interval di dalam pengelompokan cukup, untuk tidak menyembunyikan peranan umur pada pola kesakitan atau kematian dan apakah pengelompokan umur dapat dibandingkan dengan pengelompokan umur pada penelitian orang lain. Pada masyarakat pedesaan yang kebanyakan buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber informasi seperti catatan petugas agama, guru, lurah, dan sebagainya. Hal ini ditentukan tidak menjadi soal yang berat dikala pengumpulan keterangan umur bagi mereka yang telah bersekolah (Notoatmodjo, 2003).
b.
Faktor Eksternal
Faktor ini memberikan gambaran kepada kita bahwa begitu banyaknya varian-varian yang seharusnya tidak terjadi seandainya faktor yang pertama yaitu faktor internal dapat dipenuhi para ibu (Baskoro, 2008:73).
Di bawah ini adalah beberapa penyebab ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi yang berkaitan dengan sosial budaya: 1)
Ibu-ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya
Faktor ini juga tidak luput dari kurangnya pengetahuan dari para ibu, tidak sedikit dari ibu yang bekerja akan tetapi tetap memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya selama 6 bulan. Pada ibu bekerja cara lain untuk tetap dapat memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya adalah dengan memberikan ASI peras (Baskoro, 2008:74).
2)
Faktor ketidakmengertinya ibu tentang kolostrum
ASI yang keluar pada hari pertama sampai dengan hari kelima bahkan pada hari ke-7 dinamakan kolostrum atau susu awal yang biasanya bersifat cairan jernih kekuningan itu mengandung zat putih telur atau protein dalam kadar yang tinggi, zat daya tahan tubuh dalam kadar yang tinggi daripada susu madu yaitu air susu ibu yang telah berumur tiga hari (Baskoro, 2008:75).
3)
Ibu beranggapan ASI ibu kurang gizi /tidak memiliki cukup ASI
Merupakan alasan utama mengapa wanita menyerah untuk menyusui. Kurangnya keyakinan akan persediaan ASI membuat nada khawatir dan keraguan bahwa anda tidak cukup memberi makanan si bayi (Heather, Welford, 2008:62).
53
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
4)
Meniru teman
Biasanya para ibu enggan memberikan ASI karena ibu ikut-ikutan atau terpengaruh dengan tetangga yang terkemuka yang memberikan susu botol pada anaknya (Soetjiningsih, 1997:17).
5)
Merasa ketinggalan zaman
Ibu akan merasa ketinggalan zaman jika ibu menyusui secara eksklusif pada bayinya (Soetjiningsih, 1997:17).
Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan, faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah sebagai berikut: 1.
Faktor Perilaku a.
Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-tugas sosial, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah.
b.
Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik dan mengikuti perkembangan zaman.
c.
Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan hilang.
d.
Pengaruh melahirkan di rumah sakit atau klinik bersalin. Belum semua petugas paramedis diberi cukup pesan dan informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktik yang keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir (Siregar, 2004).
2.
Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya (ibu bekerja, meniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang memberi susu botol, merasa ketinggalan zaman jika menyusui), faktor psikologis (takut kehilangan daya tarik sebagai wanita, tekanan batin), faktor fisik ibu (ibu yang sakit, misalnya mastitis, panas dan sebagainya), faktor kurangnya petugas kesehatan sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif, meningkatnya iklan susu formula (Soetjiningsih, 1997).
3.
Faktor Lingkungan a.
Adanya perubahan struktur masyarakat dan keluarga. Hubungan kerabat yang luas di daerah pedesaan menjadi renggang setelah keluarga pindah ke kota. Pengaruh orang tua seperti nenek, kakek, mertua dan orang terpandang di lingkungan keluarga secara berangsur menjadi berkurang, karena mereka itu umumnya tetap tinggal di desa sehingga pengalaman mereka dalam merawat makanan bayi tidak dapat diwariskan.
54
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
b.
Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan teknologi pembuatan makanan bayi seperti pembuatan tepung makanan bayi, susu buatan bayi, mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan olahan lain.
c.
Iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi menyebabkan ibu beranggapan bahwa makanan-makanan itu lebih baik dari ASI.
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat faktor yang berpengaruh dalam pemberian ASI eksklusif secara dominan adalah perilaku, baik perilaku ibu dan keluarga bahkan perilaku petugas kesehatan. Menindaklanjuti hal tersebut perlu kita ketahui hal-hal mengenai perilaku seperti definisi, dan hal-hal yang memengaruhinya serta dampak perilaku tersebut bagi sekitarnya. Beberapa pendapat ahli mengenai perilaku adalah sebagai berikut: 1.
Menurut Skinner, seorang ahli psikologi yang di kutip Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar).
2.
Notoatmodjo menyatakan “Dipandang dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bisa dilihat sedangkan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, membaca dan sebagainya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
3.
Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004).
4.
Kwick (1994) dalam Notoatmodjo (1997) menyatakan perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.
5.
Menurut Laurence W. Green dalam Notoatmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: a.
Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor pencetus timbulnya perilaku seperti karakteristik seseorang (yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, kepercayaan, keyakinan dan lain sebagainya), pengetahuan dan nilai serta sikap. 1)
Karakteristik - Usia
Semakin tua umur ibu, semakin tinggi kecenderungan menyusui bayinya dibandingkan dengan ibu-ibu muda, hal ini karena ibu semakin banyak pengalaman dalam merawat dan menyusui bayi (Daldjoni, 1982).
55
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
- Pekerjaan
Kenaikan tingkat partisipasi wanita dan emansipasi dalam segala bidang kerja dan meningkatnya kebutuhan masyarakat menyebabkan turunnya kesediaan menyusui dan lamanya menyusui (Siregar, 2004).
- Pendidikan
Pendidikan membantu seseorang untuk menerima informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan bayi, misalnya cara memberikan ASI eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan. Proses pencarian dan penerimaan informasi akan cepat jika ibu berpendidikan tinggi (Soetjiningsih, 1995).
-
Bentuk persalinan
Bentuk persalinan dapat memengaruhi pemberian ASI eksklusif, ibu yang melahirkan secara sectio caesarea lebih cenderung tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang melahirkan secara normal. Hal ini disebabkan oleh kondisi ibu yang merasa kesakitan dan adanya pengaruh pemberian terapi methergin sehingga mengakibatkan produksi ASI sedikit dan terkadang tidak ada sama sekali untuk beberapa waktu, karena kondisi ibu tersebut sangat tidak memungkinkan untuk melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), akhirnya bayi terpaksa diberikan susu formula (Jahangeer, 2009).
2) Pengetahuan
Semakin tingginya pengetahuan seseorang semakin tinggi juga tingkat toleransinya terhadap suatu masalah, demikian pula dengan pemberian ASI. Bila si ibu memiliki pengetahuan yang jelas, maka ia akan memahami dan mau melakukan pemberian ASI tersebut.
3) Sikap
Wujud nyata dalam pemahaman seseorang terhadap sesuatu dalam hal ini ASI eksklusif akan tercermin dalam sikapnya, oleh karena itu bila seseorang kurang memahami tentang ASI, maka dapat diketahui dari sikapnya dalam pemberian ASI. Beberapa ahli menyatakan tentang sikap dan faktor-faktor yang berkaitan dengan hal ini. Menurut Azwar (2009), sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap stimulus yang menghendaki suatu respons. Selain itu, sikap merupakan suatu bentuk dari komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Ketiganya saling berinteraksi dan memahami, merasakan, serta berperilaku terhadap suatu objek. Sedangkan menurut Eagle dan Chaiken (1993) dalam buku A. Wawan dan Dewi M. (2010: 20) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan
56
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi) dan perilaku. Dari definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung memengaruhi respons sesuai dan tidak sesuai) dan emosi (menyebabkan respons-respons yang konsisten). b.
Faktor pendukung (enabling factors), yaitu faktor yang mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber-sumber yang ada di masyarakat misalnya iklan susu formula. 1) Dana
Kondisi keuangan dapat memengaruhi ibu dalam mengonsumsi makanan yang berdampak bagi pembentukan ASI.
2)
Iklan Susu Formula
Pengaruh promosi yang menyatakan bahwa susu formula memiliki komponen yang sangat mirip dengan ASI mengakibatkan para ibu berupaya untuk mencoba memberikannya bila mengalami hambatan dalam pemberian ASI.
3)
Sumber Informasi
Banyaknya media atau sumber informasi sangat memengaruhi perilaku manusia dalam bertindak, hal ini pun terjadi dalam pemberian ASI. Bila sumber informasi secara terus menerus memberikan penjelasan mengenai ASI secara benar, tepat dan menarik, maka hal tersebut dapat memengaruhi ibu-ibu untuk memberikan ASI.
c.
Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk berperilaku yang berasal dari orang lain misalnya peraturan dan kebijakan pemerintah, dukungan suami, petugas kesehatan dan lain sebagainya. 1)
Dukungan Suami
Peran suami sangat menentukan keberhasilan menyusui karena suami akan turut menentukan kelancaran refleks pengeluaran ASI (left down reflex) yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Ayah dapat berperan aktif dalam keberhasilan pemberian ASI dengan jalan memberikan dukungan secara emosional dan bantuan-bantuan praktis lainnya, seperti mengganti popok atau menyendawakan bayi, menggendong bayi, atau memijat bayi. Membesarkan dan memberi makan anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu dengan memberikan nafkah yang cukup untuk memenuhi gizi ibu dalam menyusui juga merupakan bentuk dukungan dalam pemberian ASI eksklusif (Roesli, 2000).
57
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
2)
Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan dan memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Depkes RI, 2008).
Petugas kesehatan sangat berperan dalam keberhasilan proses menyusui, dengan cara memberikan konseling tentang ASI sejak kehamilan, melaksanakan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada saat persalinan dan mendukung pemberian ASI dengan 10 langkah keberhasilan menyusui. Hambatan terhadap pemberian ASI eksklusif karena kurangnya motivasi dan pengetahuan mengenai ASI (Sitaresmi, 2010).
Kerangka Teori Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes) demikian pula halnya dengan masalah pemberian ASI eksklusif, yaitu faktor perilaku dan nonperilaku (faktor sosial budaya dan faktor lingkungan). Lawrence Green mencoba menganalisis lebih dalam mengenai perilaku manusia yang dianggap paling dominan memengaruhi kegiatan tersebut. Selanjutnya, perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor: 1.
Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor ini mencakup karakteristik (yang meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, paritas), pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2.
Faktor-faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas dan sumber informasi kesehatan bagi masyarakat
3.
Faktor-faktor Pendorong (Reinforcing Factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), petugas kesehatan, suami, dalam memberikan dukungannya kepada seorang ibu menyusui dalam memberikan ASI secara eksklusif. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut: B=f (PF, EF, RF )
Keterangan: B = Behavior 58
PF = Predisposing Factors
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
EF = Enabling Factors f
RF = Reinforcing Factors
= Fungsi Faktor predisposisi: • Pengetahuan • Keyakinan • Nilai • Sikap (selected demographic variable)
SOSIAL BUDAYA
PERILAKU
Faktor Pendukung/pemungkin: • Ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan • Pendidikan/informasi kesehatan
ASI EKSKLUSIF LINGKUNGAN
Faktor pendorong: • Komitmen pemerintah • Perilaku tokoh masyarakat • Perilaku petugas kesehatan • Perilaku suami/keluarga Bagan 1 Kerangka Teori
Modifikasi Green, LW( 1997), Skinner dan Kwick (1994) dalam buku Ilmu Perilaku Kesehatan Masyarakat (Notoadmodjo, 2007). KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL Kerangka Konsep Mengacu pada teori Green, peneliti mencoba menganalisis tentang perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor: 1.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam karakteristik (yang meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, paritas), dan pengetahuan, serta sikap.
2.
Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau saranasarana, sumber informasi, dan sebagainya.
3.
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku tenaga kesehatan dan suami, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Model ini dapat dilihat pada halaman 30.
59
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Namun karena keterbatasan waktu, dana dan kemampuan peneliti, maka tidak semua variabel yang ada dalam kerangka teori menjadi variabel dalam penelitian ini. Beberapa variabel yang dipilih peneliti antara lain adalah: 1.
Variabel dependen adalah pemberian asi eksklusif
2.
Variabel independen terdiri dari: a.
Faktor predisposisi yaitu karakteristik, pengetahuan dan sikap ibu terhadap ASI eksklusif
b.
Faktor pemungkin yaitu sumber informasi, sarana dan fasilitas kesehatan
c.
Faktor penguat yaitu dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami
Variabel Independen Variabel Dependen Faktor Predisposisi: Karakteristik 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Paritas 5. Pengetahuan 6. Sikap
Faktor Pemungkin: - Sumber informasi
Pemberian ASI eksklusif
Faktor Penguat: - Dukungan tenaga kesehatan - Dukungan suami Bagan 2. Kerangka Konsep
Hipotesis 1.
Ada hubungan antara faktor predisposisi (umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, pengetahuan ibu, sikap ibu) dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang memeriksakan bayinya yang berumur 6 bulan sampai 2 tahun di RSAU dr. Esnawan Antariksa.
2.
Ada hubungan antara faktor pendorong (sumber informasi) dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang memeriksakan bayinya yang berumur 6 bulan sampai 2 tahun di RSAU dr. Esnawan Antariksa.
3.
Ada hubungan antara faktor penguat (dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami) dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang memeriksakan bayinya yang berumur 6 bulan sampai 2 tahun di RSAU dr. Esnawan Antariksa.
60
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan suatu cara untuk memberikan pemahaman terhadap variabel penelitian yang akan diteliti. Definisi operasional ini untuk menentukan metode penelitian yang akan digunakan dalam meneliti. Definisi operasional diperlukan agar pengukuran dan pengumpulan data konsisten antara responden satu dengan responden lainnya (Notoatmodjo, 2010). Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Variabel Independen Kuesioner A 1. 20-35 tahun 1. Karakteristik item 1 2. <20 atau >35 tahun a. Umur Lama hidup ibu dihitung Wawancara Konsep Departemen sejak tanggal kelahiran Kesehatan tentang sampai ulang tahun terakhir. Wanita Usia Subur (WUS) 2003 b. Paritas Jumlah anak yang sudah Kuesioner A 1. 1 d i l a h i r k a n 1 , 2 , 3 d a n Wawancara item 2 2. >1 seterusnya. c. Pekerjaan Aktivitas rutin ibu yang Kuesioner A 1. Tidak bekerja dilakukan sehari-hari Wawancara item 3 2. Bekerja sebagai mata pencaharian. d. Pendidikan Jenjang sekolah formal Kuesioner A 1. Tinggi tertinggi yang dicapai ibu Wawancara item 4 (SMA – PT) saat mengisi kuesioner. 2. Rendah (tidak tamat SD – SMP) UU Sisdiknas Tahun 2003 No.12. e. Pengetahuan Segala hal yang diketahui Kuesioner B 1 . T i n g g i j i k a s k o r ibu tentang inisiasi No 1-10 pengetahuan ≥ 19 menyusui dini kolostrum Wawancara (median) manfaat ASI dan jadwal 2. rendah jika skor pemberian ASI pengetahuan < 19 f. Sikap Tanggapan ibu terhadap Kuesioner C 1. Positif jika skor ≥ 60 pemberian ASI eksklusif Wawancara 1-20 (median) terhadap bayi. 2. Negatif jika skor < 60 2. Faktor Kuesioner D 1. Terpapar jika skor - Pemungkin Informasi yang diperoleh item 1-5 sumber informasi ≥ 10 Sumber mengenai ASI eksklusif. (median) Wawancara informasi 2. Kurang terpapar jika mengenai skor sumber informasi ASI eksklusif <10 3. Faktor Penguat Kuesioner E 1. Mendukung jika skor a. Dukungan Suatu pengaruh yang item 1-5 ≥19 (median) Tenaga diharapkan dari dokter, 2. Tidak mendukung jika Wawancara Kesehatan bidan, dan perawat ber skors < 19 kenaan dengan pemberian ASI eksklusif. b. Dukungan Pengaruh yang paling Kuesioner F 1. Mendukung jika skor Suami besar untuk memengaruhi item 1-10 ≥9 (median) Wawancara keputusan ibu dalam 2. Tidak mendukung jika memberikan ASI eksklusif. skor < 9 (median) Variabel Dependen K e g i a t a n i b u d a l a m Kuesioner G 1. Memberikan Pemberian ASI pemberian ASI pada item 1-5 2. Tidak memberikan eksklusif b an y in y a mu lai s aat Wawancara melahirkan sampai umur 6 bulan tanpa diberikan makanan/minuman apa pun.
Skala Ordinal
Ordinal Ordinal Ordinal
Ordinal
Ordinal Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
61
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan data primer yang dikumpulkan dari kuesioner di mana variabel independen dan dependen dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional (potong lintang). Tempat Penelitian Penelitian ini di lakukan di RSAU dr. Esnawan Antariksa Jakarta Timur. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2013, dari hari Senin sampai Jumat. Populasi dan Sampel Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang ditentukan. Hastono dan Sabri menjelaskan populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi berusia antara 6 bulan sampai 2 tahun yang memeriksakan bayinya di RSAU dr. Esnawan Antariksa, Jakarta Timur. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi. Menurut Hastono dan Sabri (2010), sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur. Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah ibu yang memiliki bayi berusia 6 bulan sampai 2 tahun dan memeriksakan bayinya di Poliklinik anak, dan BKIA Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa. Menentukan Besaran Sampel Besar sampel penelitian dengan menggunakan rumus Leameshow (1990) 2 proporsi: n=
(Z1–α/2 2 P2 (1 – P2) + Z1–β P1 (1 – P1) + P2(1 – P2))2 (P1 – P2)2
Keterangan: n
= Besar Sampel
P1
= Proporsisi responden pada kelompok pendidikan tinggi yang memberikan ASI eksklusif = 0,31 (Ida, 2010)
62
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
P2
= Proporsisi responden pada kelompok pendidikan rendah yang memberikan ASI eksklusif = 0,13 (Ida, 2010)
P
= Rata-rata P1 dan P2 (P1+P2)2
Z1-a/2 = Nilai 2 pada kemaknaan adalah 5% = 1,96 Z1- β = Nilai 2 pada kekuatan uji power 90% = 1,28 Dari penelitian Ida (2010) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok 2010. Didapatkan hasil sampel pendidikan Proporsisi responden pada kelompok pendidikan tinggi yang memberikan ASI eksklusif sebesar 0,31 dan proporsi responden pada kelompok pendidikan rendah yang memberikan ASI eksklusif dengan hasil 0,13 didapatkan 140 sampel. (Ida, 2010). Proporsi yang diambil adalah pendidikan dikarenakan masalah pendidikan merupakan hal yang penting dalam memengaruhi ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Adapun besaran sampel yang akan diambil untuk data penelitian berdasarkan rumus Leameshow adalah: P1 (0,31), n=
P2 (0,13),
P = 0,22,
(P1-P2)2 = 0,324
(1,96 2 x 0,22 (1–22) + 1,28 0,31 (1– 0,31) + 0,113 (1– 0,13) 0,324
= 135,8 = 140 sampel
Kriteria Sampel Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi, maupun kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat di ambil sebagai sampel. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi: 1.
Ibu yang mempunyai bayi berumur 6 bulan sampai dengan 2 tahun dan memeriksakan bayinya di poliklinik anak, dan BKIA RSAU dr. Esnawan Antariksa.
2.
Ibu bersedia menjadi responden.
Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi yaitu ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel adalah: 1)
Ibu yang mempunyai bayi kembar berumur 6 bulan sampai dengan 2 tahun dan memeriksakan bayinya di poliklinik anak, dan BKIA RSAU dr. Esnawan Antariksa. 63
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
2)
Ibu yang mempunyai bayi berumur 6 bulan sampai dengan 2 tahun dan memeriksakan bayinya di poliklinik anak, dan BKIA RSAU dr. Esnawan Antariksa yang sedang sakit parah.
Cara Pengambilan Sampel Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara Quota Sampling dan hasil kunjungan ibu yang membawa bayinya yang berusia 6 bulan sampai 2 tahun ke poliklinik anak rata-rata 150/ bulan dan ke BKIA 100 anak/bulan sehingga sampel yang dapat diambil di poliklinik anak adalah 3/5 x 140 = 84 sampel sedangkan di BKIA adalah 2/5 x 140 = 56 sampel. Diperkirakan 84 sampel dan poliklinik anak selama 25 hari sedangkan dari BKIA 56 sampel selama 15 hari. Alat (Instrumen) Pengumpul Data Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang akan digunakan terlebih dahulu diuji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Uji coba instrumen dilakukan untuk mengetahui reliabilitas dan validitas dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Lokasi uji coba dilakukan di Puskesmas Dirgantara Halim Perdana Kusuma, terhadap 30 ibu yang mempunyai kriteria responden yaitu mempunyai bayi 6 bulan sampai 2 tahun. Dimulai dari 8 April sampai dengan 13 April 2013 (5 hari). Variabel umur, paritas, pendidikan terakhir dan pekerjaan merupakan variabel yang dapat dinilai sehingga tidak memerlukan pengujian reliabilitas dan validitas. Variabel yang diuji yaitu variabel pengetahuan, sikap, sumber informasi, dukungan tenaga kesehatan, dan dukungan suami karena merupakan variabel yang tidak dapat dinilai. Apabila r > rtabel (0,361), maka variabel tersebut valid. Selanjutnya pada uji reliabilitas, apabila nilai crombach alpha > 0,6, maka variabel tersebut reliabel. Pada variabel pengetahuan, sikap, sumber informasi, dukungan tenaga kesehatan, dan dukungan suami memiliki r > rtabel sehingga semua pertanyaannya valid. Pada uji reliabilitas, variabel pengetahuan, sikap, sumber informasi, dukungan tenaga kesehatan, dan dukungan suami memiliki nilai crombach alpha > 0,6, maka variabel tersebut reliabel. Untuk masing-masing nilai pengujian variabel tersebut dapat dilihat di lampiran 5. Cara Pengumpulan Data Data diperoleh dengan kuesioner dengan metode wawancara. Peneliti dibantu oleh bidan dan perawat di poliklinik anak dan BKIA dengan wawancara dan bersedia menjadi responden. Tenaga Pengumpul Data Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan metode wawancara, peneliti melatih bidan dan perawat untuk melakukan wawancara. Jumlah tenaga yang mengumpulkan data pada poliklinik anak sebanyak 2 orang perawat dan pada BKIA sebanyak seorang bidan dan seorang perawat. 64
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
Manajemen Data 1. Editing
Kegiatan pengecekan pengisisan kuesioner apakah jawaban sudah lengkap, tulisannya jelas dan dapat dibaca, jawaban yang diberikan relevan dengan pertanyaan, dan jawaban konsisten antara beberapa pertanyaan dan saling berkaitan.
2. Coding
Kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data dalam bentuk angka. Kegiatan coding ini dilakukan untuk mempermudah analisis data dan mempercepat entry data.
3. Entry
Setelah kuesioner terisi dengan penuh dan benar serta sudah melewati pengkodean langkah selanjutnya adalah memproses data dari kuesioner dengan mempergunakan program komputer agar dapat dianalisis.
4. Cleaning
Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak. Tahapan pembersihan data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data, dan mengetahui konsistensi data.
Analisis Data Analisis data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan analitik. Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer secara univariat dan bivariat dengan menggunakan program SPSS. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diteliti di dalam penelitian. Analisis univariat pada penelitian ini berupa data kategorik meliputi faktor prediposisi yang terdiri dari karakteristik ibu, pengetahuan dan sikap, faktor pemungkin yaitu sumber informasi dan faktor penguat yang meliputi dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami. Analisis univariat ini menggunakan frekuensi dan persentase. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antarvariabel dependen dengan variabel independen. Variabel independen adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif yaitu karakteristik, pengetahuan, sikap, sumber informasi, dukungan suami dan tenaga kesehatan. Penelitian ini menggunakan uji statistik chi square (x2). Uji ini digunakan karena data yang akan di analisis adalah jenis kategorik. Untuk melihat kemaknaan hasil perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan dengan alpha = 0,05 sehingga apabila hasil analisis statistik nilai p < 0,05 maka ada hubungan antara kedua variabel tersebut. 65
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Analisis Multivariat
Analisis multivariat merupakan teknik analisis perluasan/pengembangan dari analisis bivariat. Jika analisis bivariat melihat hubungan atau keterkaitan dua variabel, maka teknik analisis multivariat bertujuan melihat/mempelajari hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variabel) independen dengan satu atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel dependen). Uji ini menggunakan batas kemaknaan alpha 0,05 sehingga bila hasil pengujian didapat p-value lebih besar dari p tabel, maka dinyatakan bahwa di antara kedua variabel tersebut tidak terdapat hubungan. Namun, bila hasil p-value lebih kecil dibandingkan dengan p tabel, maka dinyatakan bahwa antara kedua variabel tersebut terdapat hubungan. HASIL PENELITIAN Profil Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Kemampuan yang dimiliki RSAU dr. Esnawan Antariksa terdiri dari beberapa aspek, antara lain: 1.
Data Umum: a.
Nama
: Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa
b.
Karumkit
: Kolonel Kes. dr. Totok Sukamto, SpKP, MARS
c.
Tahun Berdiri : 20 Juni 1950
d.
Alamat
: Jl. Merpati No. 2 Komplek Rajawali Lanud Halim
2.
Perdanakusuma, Jakarta 13610
e.
Luas Tanah
: 6,4 Hektar
f.
Luas Gedung
: 12.442 m2
g.
Sumber Listrik : PLN dan Genset
h.
Sumber Air
: Sumur Artesis
i.
Komunikasi
: Telephone, Faximile, Website/E-mail, Radiomedis.
Visi: RSAU dr. Esnawan Antariksa menjadi rumah sakit idaman seluruh anggota TNI AU dan keluarganya serta masyarakat sekitar Jakarta.
3. Misi: a.
Menyelenggarakan pelayanan secara profesional dan bermutu tinggi baik preventif maupun kuratif terhadap anggota TNI AU dan keluarga khususnya, serta masyarakat di sekitar rumah sakit pada umumnya.
b.
Menyelenggarakan dukungan kesehatan dalam kegiatan operasi TNI/TNI AU.
c.
Meningkatkan kepuasan pelayanan di setiap unit kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
66
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
d.
Sebagai subsistem kesehatan nasional turut membantu masyarakat di sekitar rumah sakit dalam hal keadaan darurat dan bencana.
4.
Motto: 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Santun, Sentuh – Kesembuhan Anda Sangat Berarti Bagi Kami). Tabel 2 Kunjungan Pasien Rawat Jalan Bulan Maret-Mei di Poliklinik Anak dan BKIA Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Poliklinik Minggu Anak BKIA
1 25 30
Maret 2 3 4 25 30 35 25 15 15
5 35 15
1 35 20
Bulan April 2 3 4 35 25 30 15 15 20
5 35 30
1 30 30
Mei 2 3 4 35 35 30 20 20 15
5 20 15
Hasil Analisis Univariat Hasil analisis ini ditampilkan untuk menjawab tujuan dan pembuktian hipotesis penelitian. Analisis yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat untuk melihat gambaran dari masing-masing variabel yang ada di kerangka konsep penelitian ini baik variabel independen maupun dependen. Gambaran Variabel Dependen (Pemberian ASI Eksklusif)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan Antariksa Jakarta yang memberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 77 responden atau 55% dan yang tidak memberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 63 responden atau 45%. Berikut ini adalah Diagram 1 dari jumlah responden yang memberikan dan tidak memberikan ASI eksklusif. Diagram 1 Distribusi Responden Menurut Pemberian ASI Eksklusif
Proporsi Pemberian ASI Eksklusif
tidak memberikan ASI eksklusif 45%
memberikan ASI eksklusif 55%
67
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Gambaran Variabel Independen
Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 28,84 tahun dengan nilai median adalah 29 tahun dan umur terbanyak adalah 30 tahun. Umur termuda ditemukan dalam penelitian ini adalah 17 tahun dan umur tertua adalah 41 tahun. Distribusi masing-masing umur dapat dilihat pada lampiran 2.1. Dari nominal tersebut, kemudian dikategorikan atau dikelompokkan menjadi kelompok umur 20–35 tahun dan kelompok < 20 tahun atau > 35 tahun. Hasil dari pengelompokan tersebut dapat di lihat pada Tabel 3. Berikut terlihat distribusi masing-masing variabel independen pada Tabel 3. Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Faktor Predisposisi, Faktor Pemungkin, dan Faktor Penguat Variabel Faktor Pre disposisi Umur 20–35 tahun <20 tahun atau > 35 tahun Pendidikan SMA-Perguruan tinggi (Tinggi) SD-SMP (Rendah) Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Paritas
Frekuensi (n)
Persentase (%)
137 3
97,9 2,1
130 10
92,9 7,1
38 102
27,1 72,9
1
63
45
>1 Pengetahuan Tinggi Rendah Sikap Sikap positif Sikap negatif Faktor Pemungkin Sumber informasi terpapar Kurang terpapar Faktor Penguat Peran tenaga kesehatan Mendukung Tidak mendukung Dukungan Suami Mendukung Tidak mendukung
77
55
71 69
50,7 49,3
72 68
51,4 48,6
110 30
78,6 21,4
93 47
66,4 33,6
84 56
60 40
Pada penelitian ini masih ditemukan responden yang berpendidikan SD sebanyak 2 (1,4%), SMP 8 (5,7%), SMA 75 (53,6%), dan perguruan tinggi 55 (39,3%). Pendidikan responden paling
68
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
banyak yaitu pada SMA sebesar 75 (53,6%). Distribusi masing-masing pendidikan dapat dilihat pada lampiran 2.2. Hasil pengelompokan berdasarkan pendidikan disajikan pada Tabel 3. Pada penelitian ini responden yang berpendidikan tinggi (SMA-PT) sebesar 130 (92,9%) dan yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD-SMP) sebesar 10 (7,1%). Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pula bahwa sebagian besar responden bekerja yaitu 102 (72,9%). Distribusi masing-masing pekerjaan dapat dilihat pada lampiran 2.3. Paritas paling sedikit adalah satu dan paritas yang paling banyak adalah tiga. Rata-rata jumlah paritas adalah 1,67, median 2. Jumlah paritas terbanyak adalah 1 kali sebanyak 63 (45%). Distribusi masing-masing paritas dapat dilihat pada lampiran 2.4. Dari nominal tersebut, kemudian dikategorikan atau dikelompokkan menjadi kelompok paritas 1 dan kelompok paritas > 1. Hasil dari pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 terlihat bahwa responden yang mempunyai paritas 1 kali sebesar 63 (45%) dan yang lebih dari satu sebesar 77 (55%). Terdapat 11 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Dari seluruh pernyataan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat pengetahuan ibu. Untuk seluruh pengetahuan tersebut nilai maksimal adalah 22. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa skor pengetahuan tertinggi adalah 22 dan skor paling rendah adalah 11. Rata-rata skor pengetahuan responden adalah 18,94 dengan median 19 dan modus 22. Kurva dari variabel pengetahuan adalah kurva tidak normal tepatnya menceng kanan, karenanya digunakan nilai median sebagai nilai batas pengelompokan. Responden dikelompokkan berdasarkan tingkat pengetahuannya yaitu tinggi apabila skornya ≥ median (19) dan rendah bila < median (19). Distribusi pengetahuan responden berdasarkan skor pengetahuannya terlampir. Hasil pengelompokan berdasarkan jenis pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 3 terlihat bahwa responden yang berpengetahuan tinggi sebesar 71 (50,7%) sedangkan pengetahuan rendah sebesar 69 (49,3%). Ada 18 pernyataan sikap yang berkaitan dengan ASI eksklusif pada penelitian ini yang dapat dilihat pada lampiran 1 kuesioner bagian C. Seluruh komponen sikap mempunyai jumlah nilai 72. Hasil penelitian ini mempunyai nilai skor paling tinggi adalah 68 dan skor paling rendah adalah 27. Rata-rata skor sikap responden adalah 57,13 dengan median 60, dan modus 60. Kurva dari variabel sikap adalah kurva tidak normal, karenanya digunakan nilai median sebagai nilai batas pengelompokan. Responden dikategorikan mempunyai sikap positif jika skornya ≥ median (60) dan sikap negatif jika skor nilainya < median (60). Pengelompokan berdasarkan sikap dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel terlihat bahwa responden yang mempunyai sikap positif sebesar 72 (51,4%) dan yang mempunyai sikap negatif adalah sebesar 68 (48,6%). Variabel sumber informasi ada 5 pertanyaan yang dapat dilihat pada lampiran 1 bagian D. Dari seluruh pernyataan yang berkaitan dengan paparan sumber informasi, kemudian dikelompokkan
69
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
berdasarkan skor. Untuk seluruh skor paparan sumber informasi tersebut nilai maksimal adalah 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor paparan sumber informasi paling tinggi adalah 10 dan skor paling rendah adalah 6. Rata-rata sikap responden adalah 9,09 dengan median 10, dan modus 10. Responden dikategorikan terpapar informasi jika skornya ≥ median (10) dan kurang terpapar informasi jika skor nilainya < median (10). Pengelompokan berdasarkan paparan sumber informasi terlihat pada Tabel 3 bahwa responden yang terpapar sumber informasi adalah sebesar 110 (78,6%) dan yang kurang terpapar sumber informasi sebesar 30 (21,4%). Untuk mengetahui dukungan tenaga kesehatan ada 10 pertanyaan dapat dilihat pada lampiran 1 bagian E. Seluruh komponen dukungan kesehatan mempunyai nilai skor paling tinggi 20. Dari hasil penelitian terungkap bahwa skor dukungan tenaga kesehatan paling tinggi adalah 20 dan skor paling rendah adalah 10. Rata-rata skor dukungan tenaga kesehatan adalah 18,31 dengan median 19 dan modus 20. Kurva dari variabel dukungan petugas kesehatan adalah kurva tidak normal, karenanya digunakan nilai median sebagai nilai batas pengelompokan. Responden dikategorikan mendapat dukungan tenaga kesehatan jika skornya ≥ median (19) dan tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan jika skor nilainya < median (19). Hasil pengelompokan berdasarkan dukungan tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3 terlihat bahwa responden yang mendapat sikap mendukung dari tenaga kesehatan sebesar 127 (90,7%) dan yang mendapati sikap tidak mendukung dari tenaga kesehatan adalah sebesar 13 (9,3%). Variabel dukungan suami ada 5 pertanyaan. Dari seluruh pernyataan yang berkaitan dengan dukungan suami, kemudian dikelompokkan berdasarkan skor. Untuk seluruh skor dukungan suami tersebut nilai maksimal adalah 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor dukungan suami paling tinggi adalah 10 dan skor paling rendah adalah 7. Rata-rata sikap responden adalah 8,79 dengan median 9, dan modus 10. Responden dikategorikan mendapat dukungan suami jika skornya ≥ median (9) dan tidak mendapat dukungan suami jika skor nilainya < median (9). Pengelompokan berdasarkan dukungan suami terlihat pada Tabel 3 bahwa responden yang mendapat dukungan dari suami adalah sebesar 84 (60%) dan yang kurang mendukung sebesar 56 (40%). Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis untuk melihat hubungan variabel independen dengan dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini meliputi variabel independen yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, pengetahuan ibu, sikap, sumber informasi, dukungan tenaga kesehatan, dan dukungan suami dengan variabel dependen yaitu pemberian ASI eksklusif. Hubungan umur dengan pemberian ASI eksklusif dari hasil penelitian di atas, diperoleh pada kelompok umur 20 s/d 35 tahun yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 75 (54,7%) sedangkan pada kelompok umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 2 ( 66,7%). Dari uji hasil statistik p = 1,000 jadi tidak ada perbedaan 70
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara umur 20 sampai 35 tahun dan kurang dari 20 atau lebih dari 35 tahun atau tidak ada hubungan antara variabel umur dengan pemberian ASI eksklusif. Tabel 4 Distribusi Responden Menurut Faktor Predisposisi, Faktor Pemungkin, Faktor Penguat, dan Pemberian ASI Eksklusif Variabel
Pemberian ASI eksklusif Ya Tidak n (%) n (%)
Umur Ibu 20-35 75 (54,7) < 20 atau > 35 2 (66,7) Pendidikan Ibu Tinggi (SMA-PT) 71 (54,6) Rendah (Tidak tamat SD – 6 (60) SMP) Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja 22 (57,9) Bekerja 55 (53,9) Paritas 1 kali 36 (57,1) >1 kali 41 (53,2) Pengetahuan Ibu Tinggi 48 (67,6) Rendah 29 (42) Sikap Positif 52 (72,2) Negatif 25 (36,8) Sumber Informasi Terpapar 59 (53,6) Kurang Terpapar 18 (60) Dukungan Tenaga Kesehatan Mendukung Kurang Mendukung Dukungan Suami Mendukung Kurang Mendukung
53 (57) 24 (51,1) 47 (56) 30 (53,6)
Total
137 (100) 3 (100)
59 (45,4) 4 (40)
130 (100) 10 (100)
16 (42,1) 47 (46,1)
38 (100) 102 (100)
27 (42,9) 36 (46,8)
63 (100) 77 (100)
23 (32,4) 40 (58)
71 (100) 69 (100)
20 (27,8) 43 (63,2)
72 (100) 68 (100)
12 (40)
40 (43) 23 (48,9) 37 (44) 26 (46,4)
OR (95% CI)
N (%)
62 (45,3) 1 (33,3)
51 (46,4)
p-value
1
0,605 (0,054–6,829)
1
0,802 (0,216–2,978)
0,819
1,175 (0,554–2,494)
0,772
1,171 (0,599–2,289)
0,004
2,879 (1,444–5,737)
0,0005
4,472 (2,191-9,127)
0,679
0,771 (0,339-1,753)
0,627
1,270 (0,628-2,567)
0,917
1,101 (0,558-2,171)
110 (100) 30 (100)
93 (100) 47 (100) 84 (100) 56 (100)
Hubungan tingkat pendidikan dengan pemberian ASI eksklusif dari hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pada kelompok ibu yang pendidikan tinggi (SMA dan perguruan tinggi) sebanyak 71 (54,6%) memberikan ASI eksklusif sedangkan ibu pada kelompok pendidikan rendah (tidak tamat SD hingga SMP) sebanyak 6 (60%). Uji statistik menunjukkan p-value = 1,000 jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu berpendidikan tinggi dengan ibu yang berpendidikan rendah atau tidak ada hubungan antara pendidikan dan perilaku pemberian ASI eksklusif. 71
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Hubungan pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 22 (57,9%) sedangkan ibu yang bekerja yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 55 (53,9%). Uji statistik menunjukkan p-value = 0,819 jadi tidak ada perbedaan yang signifikan pemberian ASI eksklusif antara ibu yang tidak bekerja dengan ibu yang bekerja atau tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Hubungan paritas dengan pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa responden yang memberikan ASI eksklusif dengan paritas 1 kali sebanyak 36 (57,1%) sedangkan responden yang memberikan ASI eksklusif dengan paritas yang lebih dari 1 kali sebanyak 41 (53,2%). Uji statistik menunjukkan p = 0,772 artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu dengan paritas 1 dan ibu dengan paritas lebih dari 1 atau tidak ada hubungan antara paritas dan perilaku pemberian ASI eksklusif. Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa pada ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi yang memberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 48 (67,6%) sedangkan pada ibu yang tingkat pengetahuannya rendah yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 29 (42%). Dari uji statistik nilai p-value = 0,004 sehingga ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu yang berpengetahuan tinggi dengan ibu yang berpengetahuan rendah atau ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Diperoleh pula nilai OR = 2,879 artinya, ibu yang berpengetahuan tinggi mempunyai peluang 2,879 kali untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan rendah. Hubungan sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa pada ibu yang memiliki sikap positif yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 52 (72,2%) sedangkan pada ibu yang memiliki sikap negatif yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 25 (36,8%). Dari uji statistik nilai p-value= 0,0005 sehingga ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu yang memiliki sikap positif dan ibu yang memiliki sikap negatif atau ada hubungan antara sikap ibu dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Diperoleh pula nilai OR = 4,472 artinya ibu yang memiliki sikap positif mempunyai peluang 4,472 kali untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap negatif. Hubungan paparan sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa pada ibu yang memberikan ASI eksklusif yang terpapar informasi sebanyak 59 (53,6%) sedangkan pada ibu yang memberikan ASI eksklusif yang kurang terpapar sumber informasi sebanyak 18 (60%). Uji statistik menunjukkan p-value = 0,679 jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu yang terpapar informasi dengan ibu yang kurang terpapar informasi atau tidak ada hubungan antara paparan sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif. Hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa pada ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan mendapat dukungan dari tenaga kesehatan sebanyak 53 (57%) sedangkan ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan tidak mendapat dukungan tenaga 72
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
kesehatan sebanyak 24 (51,1%). Uji statistik menunjukkan p-value = 0,627 jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu yang mendapat dukungan tenaga kesehatan dengan ibu yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan atau tidak ada hubungan antara dukungan petugas dengan perilaku pemberian ASI. Hubungan dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa pada ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan mendapat dukungan dari suami sebanyak 47 (56%) sedangkan pada ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan tidak mendapat dukungan suami sebanyak 30 (53,6%). Dari uji statistik nilai p- value = 0,917 jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif antara ibu yang mendapat dukungan suami dengan ibu yang tidak mendapat dukungan suami atau tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Analisis Multivariat Pada analisis multivariat, langkah pertama adalah melakukan analisis bivariat terhadap semua variabel independen. Bila hasil bivariat pada tes omnibus bagian blok menghasilkan nilai p < 0,25, maka variabel tersebut langsung masuk dalam multivariat. Tetapi apabila nilai p > 0,25 namun secara substansi penting, maka akan tetap dimasukkan sebagai kandidat dalam uji multivariat. Seleksi uji bivariat menggunakan uji logistik sederhana. Hasil uji terhadap variabel independen penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil Nilai Seleksi Bivariat Pada Variabel Independen Pada Pemberian ASI Eksklusif Variabel Independen
Nilai p-value
Umur Pedidikan Pekerjaan Paritas Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan Suami
0,678 0,741 0,674 0,645 0,002 0,0005 0,533 0,506 0,782
Keterangan Untuk ke Tahap Multivariat Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan Diikutsertakan
Dengan menggunakan uji regresi logistik dari tahap awal sampai akhir diperoleh hasil pada Tabel 6. Pada eliminasi bivariat, semua variabel diikutsertakan walaupun terdapat variabel dengan nilai p-value > 0,25 karena secara substansi dianggap penting. Varibel yang dikeluarkan dari model berturut-turut yaitu pendidikan, umur, paritas, pekerjaan, dukungan suami, dukungan tenaga kesehatan, dan sumber informasi. Variabel yang masih bertahan dalam model adalah pengetahuan, dan sikap. Hasil analisis uji multivariat tiap tahapan dapat dilihat pada Tabel 6.
73
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Tabel 6 Hasil Analisis Multivariat Variabel Independen Pada Pemberian ASI Eksklusif Tahap Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Tahap 6
Tahap 7
Tahap 8
Variabel Umur Pedidikan Pekerjaan Paritas Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan Suami Umur Pekerjaan Paritas Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan suami Pekerjaan Paritas Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan Suami Pekerjaan Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan Suami Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Dukungan suami Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Dukungan Tenaga Kesehatan Pengetahuan Sikap Sumber Informasi Pengetahuan Sikap
Sig 0,681 0,858 0,436 0,665 0,006 0,0005 0,223 0,452 0,460 0,703 0,448 0,668 0,006 0,0005 0,213 0,436 0,471 0,452 0,653 0,006 0,0005 0,204 0,425 0,495 0,475 0,007 0,0005 0,216 0,408 0,462 0,007 0,0005 0,209 0,43 0,482 0,007 0,0005 0,232 0,452 0,006 0,0005 0,269 0,008 0,0005
Exp B 0,557 1,158 1,416 1,183 2,878 4,672 0,558 1,367 1,343 0,591 1,396 1,181 2,876 4,636 0,553 1,378 1,330 1,391 1,190 2,843 4,655 0,546 1,388 1,307 1,365 2,818 4,697 0,556 1,403 1,331 2,774 4,632 0,551 1,378 1,314 2,772 4,510 0,570 1,355 2,814 4,418 0,597 2,705 4,282
Perubahan OR (%)
6,10 1,41 0,17 0,07 0,77 0,89 0,80 0,97 1,77 0,59 1,22 0,36 2,15 1,54 2,68 3,6 2,1 0,54 0,36 2,63 0,89 3,6 0,86 1,25 0,8 2,16 3,68 3,47 2,15 0,87 2,22 5,44 6,99 6,01 8,34
Angka yang ditebalkan adalah kandidat yang mempunyai p-value lebih besar dari 0,05 dan satu per satu dikeluarkan dari model dimulai dari variabel p-value yang paling besar.
74
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
Pada tahap pertama semua kandidat dimasukkan dalam model, kemudian dicari p-value yang paling besar pada tahap ini, p-value yang paling besar adalah pendidikan (p-value = 0,85) sehingga dikeluarkan dari model. Pada tahap kedua, variabel yang dikeluarkan adalah umur (p-value = 0,703). Tahap ketiga, variabel yang dikeluarkan adalah paritas (p-value= 0,653). Tahap keempat, variabel yang dikeluarkan adalah pekerjaan (p-value = 0,475). Sementara yang dikeluarkan dari model pada tahap kelima, adalah variabel dukungan suami (p-value = 0,482), sedangkan pada tahap keenam, variabel yang dikeluarkan adalah dukungan tenaga kesehatan (p-value = 0,452). Pada tahap ketujuh, variabel yang dikeluarkan adalah sumber informasi (p-value = 0,269). Tahap kedelapan, adalah pemodelan terakhir di mana variabel sikap adalah variabel yang dominan dengan nilai p-value = 0,0005, OR = 4,282. Tabel 7 Hasil Tahap Akhir Analisis Multivariat Variabel Independen Pada Determinan Pemberian ASI Eksklusif
Step 1(a)
pengetahuan sikap Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
0,995
0,374
7,079
1
0,008
2,705
1,300
5,630
1,454 -3,887
0,374 0,840
15,111 21,401
1 1
0,000 0,000
4,282 0,021
2,057
8,914
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa dengan di kontrol variabel sikap responden yang mempunyai pengetahuan tinggi mempunyai kemungkinan 2,705 kali untuk menyusui secara eksklusif dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan yang rendah (95% CI: 1,3 sampai dengan 5,63). Responden yang memiliki sikap positif setelah di kontrol oleh variabel pengetahuan mempunyai kemungkinan 4,282 kali lebih banyak untuk menyusui secara eksklusif dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap negatif (95% CI: 2,057 sampai dengan 8,914). Dengan demikian, faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan ASI eksklusif adalah pengetahuan (OR: 2,705) dan sikap (OR: 4,282). Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang dominan berhubungan dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif adalah sikap responden terhadap pemberian ASI eksklusif. Namun, setelah dilakukan uji interaksi di antara variabel sikap dengan variabel pengetahuan didapat hasil, sebagai berikut: (lihat Tabel 8) Tabel 8 Tabel Uji Interaksi Antara Variabel Pengetahuan dan Sikap
Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1 Step Block Model
Chi-square 1.979 1.979 27.405
df 1 1 3
Sig. .159 .159 .000
75
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa hasil p-value adalah 0,159 dan bila dibandingkan dengan p tabel: 0,05, maka diperoleh p-value > p tabel = 0,159 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan di antara kedua variabel yaitu variabel sikap dan pengetahuan. PEMBAHASAN Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini tidak luput dari keterbatasan penelitian. Adapun keterbatasan tersebut adalah terjadinya bias informasi dikarenakan informasi yang dicari adalah informasi 6 bulan pertama usia bayi. Responden diminta kembali untuk mengingat informasi terkait dalam kurun waktu tersebut. Pemberian ASI Eksklusif Menurut Utami Roesli bahwa yang dimaksud dengan ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi 0–6 bulan tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim. Oleh sebab itu, pemerintah menggalakkan kegiatan tersebut dengan mengoptimalkan petugas kesehatan dan pihak terkait untuk memberikan penyuluhan tentang ASI eksklusif. Hasil pemberian ASI eksklusif di RSAU dr. Esnawan Antariksa tahun 2011 58%, sementara tahun 2012 terjadi penurunan menjadi 48%. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi seperti faktor predisposisi seperti karakteristik, sikap, dan pengetahuan ibu. Faktor pemungkin yang terdiri dari sumber informasi serta faktor penguat seperti petugas kesehatan dan dukungan suami. Namun, bila dibandingkan dengan WHO dalam Nuryati (2008) rata-rata dunia 38% dan RISKESDAS 15,3%. Sehingga, cakupan pemberian ASI eksklusif di RSAU dr. Esnawan Antariksa masih relatif tinggi. Hubungan Faktor Predisposisi dengan Pemberian ASI Eksklusif Hubungan Umur Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara umur ibu dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara umur ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang berumur 20 sampai 35 tahun lebih kecil yaitu 54,7% dibandingkan pada ibu yang berumur <20 tahun atau >35 tahun yaitu 66,7%. Hasil penelitian ini berbeda secara persentase dengan hasil penelitian Ida (2010) yaitu ibu dengan umur 20 sampai 35 tahun yang memberikan ASI eksklusif lebih besar yaitu 86% dibandingkan dengan ibu yang berumur kurang dari 20 tahun atau yang lebih dari 35 tahun yaitu 14%. Sama halnya dengan penelitian Ida (2010), pada penelitian Giri (2012) juga menunjukkan hasil persentase yang berbeda yaitu pemberian ASI eksklusif pada ibu yang berumur <20 atau >35 tahun lebih rendah yaitu 40% dibandingkan pada ibu yang berumur 20 sampai 35 tahun sebanyak 76
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
64,5%. Demikian juga dengan penelitian Bagus (2011) yang berbeda dengan hasil penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif pada ibu yang berumur <20 atau >35 tahun atau pada usia berisiko lebih kecil yaitu 87,5% dibandingkan pada ibu yang berumur 20 sampai 35 tahun sebanyak 96,3%. Namun, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Della dkk (2006) pada International Breastfeeding Journal yang dilakukan pada wanita Australia pada 764 responden yaitu menunjukkan bahwa semakin tua umur seorang ibu semakin erat hubungannya dalam memberikan ASI eksklusif. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Pada penelitian ini, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang berpendidikan tinggi (SMA sampai PT) lebih kecil yaitu 54,6% dibandingkan pada ibu yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD sampai SMP) yaitu 60%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Ida (2011), persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada ibu berpendidikan tinggi lebih besar yaitu 28,7% dibandingkan pada ibu berpendidikan rendah yaitu 20,3%. Berbeda halnya dengan penelitian Ida (2010), pada penelitian Bagus (2011) juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu ibu yang memberikan ASI eksklusif yang berpendidikan tinggi lebih kecil yaitu 90% dan ibu yang memberikan ASI eksklusif yang berpendidikan rendah sebanyak 96%. Pada hasil penelitian ini dan Bagus (2011) sama dengan hasil penelitian MS Mazumder (2012) pada International Journal of Natural Sciences menunjukkan hubungan negatif antara pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif di Bangladesh. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, khususnya dalam pembentukan perilaku, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang tentang sesuatu hal dan semakin matang pertimbangan seseorang untuk mengambil sebuah keputusan (Notoatmodjo, 2003). Namun, pada kenyataannya ibu yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki waktu yang lebih sedikit untuk menyusui dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Hal tersebut dikarenakan ibu berpendidikan tinggi cenderung menghabiskan waktu mereka pada karier. Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang tidak bekerja lebih besar yaitu 57,9% dibandingkan pada ibu yang bekerja yaitu 53,9%. Hal tersebut sama dengan hasil penelitian Ida (2010), persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif pada ibu yang tidak bekerja lebih besar yaitu 27,9% dibandingkan pada ibu yang bekerja yang hanya 16,7%. 77
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Berbeda dengan hasil penelitian Bagus (2011) yang menunjukkan bahwa persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif pada ibu yang tidak bekerja lebih kecil yaitu 93,1% dibandingkan pada ibu yang bekerja yaitu 100%. Padahal, pada kenyataannya ibu yang tidak bekerja cenderung memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk menyusui dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hubungan Paritas dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, bila dilihat persentasenya pemberian ASI eksklusif pada ibu yang jumlah paritasnya 1 lebih besar yaitu 57,1% dibandingkan pada ibu yang jumlah paritasnya >1 yaitu 53,2%. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Ida (2010), didapatkan bahwa ada hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif yaitu ibu yang mempunyai paritas >1 berpeluang 2,333 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang mempunyai paritas 1. Pada hasil penelitian Bagus (2011) tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jumlah anak responden (paritas) dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Namun demikian, bila dilihat melalui persentase, persentase ibu multipara (jumlah paritas >1) lebih besar yaitu 100%, sedangkan persentase ibu primipara (jumlah paritas 1) yaitu 83,3%. Pada penelitian ini, hubungan paritas dan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh faktor lain seperti pengetahuan. Pada ibu dengan paritas 1 belum memiliki pengalaman menyusui sehingga pengetahuan mereka tentang pemberian ASI eksklusif pun cenderung rendah. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Pada penelitian ini, ibu yang berpengetahuan tinggi mempunyai peluang 2,7 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan rendah. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Ida (2010) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, dapat dilihat persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada ibu dengan pengetahuan tinggi lebih besar yaitu 29,3% dibandingkan pada ibu berpengetahuan rendah yaitu 23,7%. Demikian juga dengan hasil penelitian Giri (2012) yang berbeda dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif. Namun dapat dilihat persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada ibu dengan pengetahuan baik lebih besar yaitu 63,7% dibandingkan pada ibu berpengetahuan cukup yaitu 50%. Pada hasil penelitian Bagus (2011) juga berbeda dengan hasil penelitian ini, yaitu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif namun dapat dilihat persentase ibu 78
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada ibu dengan pengetahuan tinggi lebih besar yaitu 100% dibandingkan pada ibu berpengetahuan rendah yaitu 89,5%. Pemberian pengetahuan kepada ibu tentang ASI eksklusif sangat penting karena pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang karena tindakan yang di dasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Pemberian pengetahuan tentang ASI eksklusif dapat dilakukan pada saat kunjungan ANC di pelayanan-pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit, dan lain-lain. Hubungan Sikap Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Pada penelitian ini, ibu yang memiliki sikap positif mempunyai peluang 4,3 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap negatif. Hal ini senilai dengan beberapa pernyataan ahli. Menurut Azwar (2009), sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud adalah kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap stimulus yang menghendaki suatu respons. Selain itu, sikap merupakan suatu bentuk dari komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Ketiganya saling berinteraksi dan memahami, merasakan, serta berperilaku terhadap suatu objek. Sedangkan menurut Eagle dan Chaiken (1993) dalam buku A. Wawan dan Dewi M. (2010: 20) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi) dan perilaku. Dari definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung memengaruhi respons sesuai dan tidak sesuai) dan emosi (menyebabkan respons-respons yang konsisten). Hasil akhir dari penelitian ini, faktor dominan yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah sikap. Berdasarkan pernyataan kedua ahli di atas, sikap akan memengaruhi kognitif, afektif (emosi) dan perilaku sehingga untuk meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif di RSAU dr. Esnawan Antariksa, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif di poliklinik obsgyn (poli kebidanan), poliklinik anak, dan BKIA secara periodik,
2. Membuat leaflet/brosur tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif, 3.
Adanya artikel di majalah dinding rumah sakit tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif,
4.
Pemasangan poster tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif di ruang Nuri (kebidanan), di bagian pendaftaran pasien rawat jalan. Berbeda halnya dengan penelitian Ida (2010) yang menunjukkan bahwa secara statistik tidak
terdapat hubungan antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, dapat dilihat persentase 79
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
ibu yang memberikan ASI eksklusif pada ibu yang mempunyai sikap positif lebih besar yaitu 30,8% dibandingkan pada ibu yang mempunyai sikap negatif yang hanya 21,3%. Demikian juga dengan hasil penelitian Giri (2012) yang berbeda dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu dengan pemberian ASI eksklusif namun dapat dilihat persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif pada ibu yang memiliki sikap positif lebih besar yaitu 75% dibandingkan pada ibu yang bersikap negatif yaitu 37,5%. Hubungan Faktor Pemungkin dengan Pemberian ASI Eksklusif Hubungan Sumber Informasi dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, dapat dilihat melalui persentase, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang terpapar sumber informasi lebih kecil yaitu 53,6% dibandingkan pada ibu yang kurang terpapar informasi yaitu 60%. Pada hasil penelitian Giri (2012) menunjukkan hasil persentase yang berbeda yaitu pemberian ASI eksklusif pada ibu yang keterpaparan informasinya rendah lebih kecil yaitu 60,5% dibandingkan pada ibu yang keterpaparan informasinya tinggi yaitu 64,2%. Sama halnya dengan hasil penelitian Bagus (2011) yang berbeda dengan hasil penelitian ini, yaitu menunjukkan bahwa persentase ibu yang menyusui eksklusif yang terpapar informasi lebih besar yaitu 96,7% sedangkan persentase ibu yang menyusui eksklusif yang tidak terpapar informasi 80%. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif pada responden seperti tingkat pendidikan atau pekerjaan selain faktor paparan informasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Hubungan Faktor Penguat dengan Pemberian ASI Eksklusif Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mendapat dukungan tenaga kesehatan lebih besar yaitu 57% dibandingkan pada ibu yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan yaitu 51,1%. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Ida (2010) yang didapatkan bahwa ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif, yaitu ibu yang didukung baik oleh tenaga kesehatan berpeluang 3,974 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang dukungan tenaga kesehatannya kurang. Demikian pula pada hasil penelitian Giri (2012) yang menghasilkan hasil penelitian yang sama yaitu tidak ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan dukungan petugas kesehatan. Namun, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mendapat dukungan 80
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
petugas kesehatan lebih besar yaitu 69,8% dibandingkan pada ibu yang tidak mendapat dukungan petugas kesehatan yaitu 56,7%. Pada hasil penelitian Bagus (2011) juga menunjukkan hasil yang agak berbeda yaitu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan dukungan petugas kesehatan. Namun, bila dilihat persentasenya, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mendapat dukungan petugas kesehatan lebih besar yaitu 93,1% dibandingkan pada ibu yang tidak mendapat dukungan petugas kesehatan yaitu 100%. Hasil penelitian ini, sebagian besar responden mendapatkan informasi tentang pemberian ASI eksklusif bukan hanya dari tenaga kesehatan tetapi dari sumber informasi lainnya seperti majalah, koran, radio, TV, internet, dan lain-lain. Hubungan Dukungan Suami dengan Pemberian ASI Eksklusif
Hasil uji hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif. Pada penelitian ini, pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mendapat dukungan suami lebih besar yaitu 56% dibandingkan pada ibu yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan yaitu 53,6%. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Ida (2010) yang didapatkan bahwa ada hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif yaitu ibu yang didukung baik oleh suaminya berpeluang 3,737 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang dukungan suaminya kurang. Pada hasil penelitian Giri (2012) menunjukkan hasil yang sama yaitu didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, bila dilihat persentasenya, ibu yang memberikan ASI eksklusif yang mendapat dukungan suami lebih besar yaitu 64,9% dibandingkan pada ibu yang tidak mendapat dukungan suami yaitu 60,3%. Menurut Roesli (2009) dalam Giri (2012), dari semua dukungan bagi ibu menyusui, dukungan suami adalah dukungan yang paling berarti. Suami dapat berperan aktif dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Ayah cukup memberikan dukungan dan bantuan-bantuan praktis dalam pekerjaan rumah tangga. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Dari 140 ibu yang merupakan pengunjung RS TNI AU dr. Esnawan Antariksa yang diambil sebagai sampel pada penelitian ini, didapat 55% ibu yang memberikan ASI eksklusif.
2.
Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah pengetahuan dan sikap dengan sikap merupakan faktor dominan dengan OR 4,282. Ibu yang memiliki sikap positif mempunyai peluang 4,282 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap negatif setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan.
81
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
3.
Variabel umur, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, paritas, sumber informasi, dukungan tenaga kesehatan, dan dukungan suami tidak terbukti berhubungan dengan perilaku pemberian ASI eksklusif.
Saran Untuk Institusi (Rumah Sakit)
Pada penelitian ini faktor dominan yang memengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah sikap. Di mana, sikap akan memengaruhi kognitif, afektif, dan perilaku. Sehingga untuk meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif di RSAU dr, Esnawan Antariksa, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif di poliklinik obsgyn (poli kebidanan), poliklinik anak, dan BKIA secara periodik,
2. Membuat leaflet/brosur tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif, 3.
Adanya artikel di majalah dinding rumah sakit tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif,
4.
Pemasangan poster tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif di ruang Nuri (kebidanan), di bagian pendaftaran pasien rawat jalan.
Untuk Masyarakat
Masyarakat hendaknya lebih disosialisasikan oleh petugas kesehatan sehingga mengetahui, memahami dan mau melakukan/memberikan ASI eksklusif. Untuk Mahasiswa
Penelitian ini dapat di jadikan acuan untuk peneliti selanjutnya. REFERENSI Badan Litbangkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Februhartanty. 2006. Problems During Lactation are Associated with Exclusive Breastfeeding in DKI Jakarta Province: Father’s Potential Roles in Helping to Manage These Problems. Mal J Nutr 12(2): 167-180. Fikawati S, Syafiq A. 2009. Praktik Pemberian ASI Eksklusif, Penyebab-penyebab Keberhasilan dan Kegagalannya. Jurnal Kesmas Nasional; 4(3):120-131. . 2010. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia. Makara Kesehatan. Vol IV. No.1:17-24. Green, Lawrence Et.al. 1980. Health Education Planning. California: Mayfield Publishing Company. Helda. 2009. Kebijakan Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Rigkesdas. Vol 3. No.5. April 2009. 82
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. Esnawan
Horton, S. 1996. Breastfeeding Promotion and Priority Setting in Health. Health Policy and Planning; 11(2): 156-168 Oxford University Press. Ida. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif 6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok Tahun 2010. Tesis FKM UI. Kari IK. Anatomi Payudara dan Fisiologi Laktasi. Dalam: ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Editor: Soetjiningsih. Jakarta; EGC, 1997;1;1-3. Kementerian Kesehatan Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta Lemeshow Stanley. 1997. Diterjemahkan oleh Pramono Dibyo. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lhamo, Et.al. 2007. Determinants of Breastfeeding Practices Among Mothers Attending Mother and Child Clinic in JDWNR Hospital, Thimphu, Bhutan. Tesis. Mahidol University. Maulana DJ Heri. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. Nur, Khasanah. 2011. ASI atau Susu Formula Ya?. Yogyakarta: FlashBook. Petit, Issac A. 2008. Perception and Knowledge on Exclusive Breastfeeding Among Women Attending Antenatal and Postnatal Clinics, A Study from Mbarara Hospital-Uganda. August 2008. Official Publication of the Tanzania Medical Students’ Association. Tanzania. Prasetyono, DS. 2009. Buku Pintar ASI Eksklusif. Yogyakarta: Diva Press. Qiu, L. Et.al. 2009. Initiation of Breastfeeding and Prevalence of Exclusive Breastfeeding at Hospital Discharge in Urban, Suburban and Rural areas of Zhejiang China. International Breastfeeding Journal. Biomed Central Ltd. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. . 2008. Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta: Pustaka Bunda. Sandra Fikawati, Ahmad Syafic. 2010. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia. Makara Kesehatan Vol. 14 No.1 Juni 2010. Santoso H. 1997. Faktor-faktor Kekebalan Dalam ASI. Dalam: ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Editor: Soetjiningsih. Jakarta: EGC. Soekidjo, Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. . 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Soetjiningsih. 1997. ASI- Seri Gizi Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius. Suraatmaja S. 1997. Aspek Gizi ASI. Dalam ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Editor: Soetjiningsih. Jakarta: EGC.
83
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
HUBUNGAN LAMANYA HEMODIALISIS TERHADAP KETIDAKPATUHAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA HALIM PERDANAKUSUMA JAKARTA
oleh: Ns. Nur Fajariyah, S.Kep. M.Kep. Akper RSP TNI AU Jl. Merpati, Jakarta 13610 Abstrak Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat dan ditandai dengan uremia. Kepatuhan (compliace) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain (tenaga kesehatan lain). Tujuan penelitian adalah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran dalam lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta dengan pengukuran menggunakan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian ini adalah purposive dengan jumlah sampel 71 responden. Metode pengumpulan data dengan cara pengisian kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan ketidakpatuhan dengan nilai p-value (≤ 0,005). Pada usia tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,448), jenis kelamin tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,061), pendidikan tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,506), pengetahuan tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,362) namun demikian hasil yang didapat pada lamanya hemodialisis memiliki hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan dengan p-value (0,038). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas mempunyai implikasi terhadap institusi pelayanan keperawatan, organisasi profesi dan penelitian lain. Kata Kunci: Lamanya Hemodialisis, Ketidakpatuhan, CKD Daftar Pustaka: 26 (2000–2014) PENDAHULUAN Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam, 2006). Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan progresif di mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk, 2009; Smeltzer & Bare, 2008; Sudoyo dkk, 2006). 84
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
Diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pasien yang akhir-akhir ini menjalani hemodialisis. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto, 2009). Terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) merupakan salah satu terapi yang dipertimbangkan pada pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir. Terapi penggantian ginjal berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Sudoyo dkk, 2006; Le Mone, 2008). Salah satu tindakan dialisis yaitu hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen (Smeltzer & Bare, 2008). Bagi penderita ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal. Pasien akan tetap mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi serta adanya berbagai perubahan pada bentuk dan fungsi sistem dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008; Knap, 2005). Ketidakpatuhan dengan terapi ditentukan secara signifikan dampak perawatan pasien dialisis dan hasil. Setidaknya setengah dari pasien hemodialisis (HD) cenderung patuh dengan beberapa bagian dari rejimen pengobatan. Masalah psikososial, usia yang lebih muda, dan perilaku merokok telah dikaitkan dengan masalah kepatuhan dalam beberapa studi. Beberapa intervensi telah diuji ketat, tapi pendidikan pasien, perhatian individual, pengawasan, dorongan, dan dukungan secara luas menganjurkan strategi untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Area yang membutuhkan studi lanjutan termasuk penentu psikososial kepatuhan di PD serta pasien HD, pola perilaku kepatuhan dari waktu ke waktu, dan parameter di mana kepatuhan dialisis dapat bervariasi dan masih mencapai tujuan pengobatan tertentu (Kutner, 2001). Berdasarkan fenomena yang peneliti dapat dari wawancara dengan tujuh perawat ruangan hemodialisis bahwa pasien hemodialisis datang untuk terapi hemodialisis biasanya ada yang diantar oleh suami, istri, keluarga yang lain (anak atau orangtua) dan supir pribadi. Pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga menyatakan bahwa sebagian keluarga merasa lelah, capek dan jenuh karena harus menjalani rutinitas yang berulang dalam waktu yang lama. Tetapi sebagian lagi ada yang merasa pasrah, ikhlas dan lebih sabar dengan alasan sebagai bentuk tanggung jawab. Didapatkan data dari medrek pasien terlama dalam menjalani terapi hemodialisis sebanyak 1.242 kali. Rata-rata pasien melakukan terapi hemodialisis 2 kali dalam seminggu pagi dan sore dari Senin sampai dengan Sabtu, ada juga yang melakukan terapi hemodialisis 3 kali dalam seminggu pagi dan sore (Senin, Rabu dan Sabtu), bahkan ada juga yang melakukan terapi hemodialisis terbagi dalam 3 shift pagi, siang dan malam khusus untuk pasien dengan jaminan SKTM biasa disebut dengan istilah dari rumah sakit yaitu HD belakang (Elang II). 85
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta. Hemodialisis merupakan salah satu tindakan terapi untuk pasien penyakit ginjal kronik. Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami penurunan motivasi yang dapat memengaruhi patuh tidaknya dalam menjalani hemodialisis. Kepatuhan merupakan hal penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis, oleh sebab itu masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Hubungan Lamanya Hemodialisis terhadap Ketidakpatuhan Pasien Hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta 2014?” Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran dalam lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta dengan pengukuran menggunakan pendekatan kuantitatif. Tujuan Khusus 1.
Teridentifikasinya karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pengetahuan) pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma.
2.
Teridentifikasinya tentang lamanya hemodialisis pada pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma.
3.
Teridentifikasinya hubungan antara lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma.
Manfaat Penelitian 1.
Untuk Institusi Pelayanan Keperawatan a.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan protap untuk program peningkatan pencegahan ketidakpatuhan pasien hemodialisis, yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan.
b.
Menambah wawasan dan pengetahuan perawat tentang pentingnya pencegahan ketidakpatuhan pasien hemodialisis sehingga pelayanan yang diberikan pada pasien semakin profesional dan berkualitas.
2.
Untuk Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam perkembangan nerfologi terutama dalam hal asuhan keperawatan bagi pasien gagal ginjal kronik di mana dalam perawatan tersebut perlu mempertimbangkan faktor dukungan keluarga dan lamanya pasien menjalani hemodialisis, selain faktor-faktor predisposisi yaitu usia, jenis kelamin pendidikan, pengetahuan pasien tentang hemodialisis.
86
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
3.
Untuk Ilmu Penelitian Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini akan menjadi rujukan untuk melakukan penelitian-penelitian lain mengenai asuhan keperawatan hemodialisis khususnya dalam rangka pencegahan ketidakpatuhan pasien hemodialisis.
TINJAUAN TEORITIS Definisi Gagal Ginjal Kronik Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel di mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronis; pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vaskuler; infeksi; medikasi; atau agens toksik. Lingkungan dan agen berbahaya yang memengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Dialisis atau transplantasi ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (Smeltzer, 2001). Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gangguan ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Setiap tahun 50.000 orang Amerika Serikat meninggal akibat gagal ginjal (Suharyanto, 2009). Tanda dan Gejala Menurut Smeltzer (2002), tanda dan gejala pada pasien striktur uretra di antaranya: 1.
Kekuatan pancaran dan jumlah urine berkurang
2.
Gejala infeksi
3.
Retensi urinarius
4.
Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostat dan pielonefritis.
Etiologi Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Apa pun sebabnya dapat menimbulkan perubahan fungsi ginjal secara progresif. Di bawah ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik:
87
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
1.
Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada anterior di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal dan mata.
Pada ginjal adalah akibat arterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang-lubang dan berglanula. Secara histologi lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi. Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu: a.
Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
b.
Glomerulonefritis kronik
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus.
3.
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang terperangkap dalam membran basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa glomerulus yang tersebar.
4.
Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PDK) ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga akan menjadi rusak (GGK).
5. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu sendiri dapat bersifat akut dan kronik. Pielonefritis akut juga bisa terjadi melalui infeksi hematogen. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks vesikoureter.
88
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
6.
Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium: a.
Stadium 1 (fase perubahan dini) ditandai dengan hipertropi dan hiperventilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang disebabkan oleh banyak faktor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon yang abnormal hormone pertumbuhan, efek renin, angiotensin II dan prostaglandin.
b.
Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan matriks mesangial.
c.
Stadium 3 (Nefropati insipient).
d.
Stadium 4 (Nefropati klinis atau menetap).
e.
Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif).
Klasifikasi Penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/mnt/1,73 m2
(140 – umur) x berat badan 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85 Manisfestasi Klinik Pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrome uremik, yaitu suatu kompleks gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolik nitrogen akibat gagal ginjal. Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrome uremik, yaitu: 1.
Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi: kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen serta metabolit lainnya, serta anemia akibat defisinsi sekresi ginjal (eritropoeitin).
2.
Gabungan kelainan kardiovaskuler, neuromuskuler, saluran cerna, dan kelainan lainnya (dasar kelainan sistem ini belum banyak diketahui).
89
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Konsep Hemodialisis Menurut Mary Baradero (2008), Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializen (tempat terjadi pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh), serta dialiser. Ada lima cara memperoleh akses ke sirkulasi darah pasien: 1.
Fistula arteriovena
2.
Graft arteriovena
3.
Shunt (pirai) arteriovena eksternal
4.
Kateterisasi vena femoralis
5.
Kateterisasi vena subklavia Segera setelah dialisis, berat badan ditimbang, tanda vital diperiksa, spesimen darah diambil
untuk mengetahui kadar elektrolit serum dan zat sisa tubuh. Kepatuhan menurut Safarino (1994) dalam Nursuryawati (2002) mendefinisikan “kepatuhan” sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dari atau petugas kesehatan lain. Dan menurut Tailor (1991) dalam Nursuryawati (2002) menyebutkan ketidakpatuhan sebagai masalah medis yang berat. Kepatuhan berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dari individu untuk mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasihat aturan yang ditetapkan mengikuti jadwal. Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan kepatuhan berobat (Niven, 2002). Ketidakpatuhan dengan terapi ditentukan secara signifikan dampak perawatan pasien dialisis dan hasil. Setidaknya setengah dari pasien hemodialisis (HD) cenderung patuh dengan beberapa bagian dari rezimen pengobatan mereka, dan sepertiga dari dialisis peritoneal (PD) pasien yang diyakini kehilangan pertukaran yang ditentukan. Masalah psikososial, usia yang lebih muda, dan perilaku merokok telah dikaitkan dengan masalah kepatuhan dalam beberapa studi. Beberapa intervensi telah diuji ketat, tapi pendidikan pasien dan/atau perhatian individual, pengawasan, dorongan, dan dukungan secara luas menganjurkan strategi untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Area yang membutuhkan studi lanjutan termasuk penentu psikososial kepatuhan di PD serta pasien HD, pola perilaku kepatuhan dari waktu ke waktu, dan parameter di mana kepatuhan dialisis dapat bervariasi dan masih mencapai tujuan pengobatan tertentu (Nancy G. Kutner, 2001).
90
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
HIPOTESIS PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan kerangka konsep penelitian, hipotesis penelitian dan definisi operasional dalam penelitian. Kerangka Konsep Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh antara dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma. Kerangka konsep dibuat berdasarkan teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Kerangka konsep menggambarkan keterkaitan antara variabel dalam penelitian. Variabel dependen/terkait dalam penelitian ini adalah ketidakpatuhan pasien CKD yang menjalani hemodialisis, sedangkan variabel independennya adalah dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis. Adapun variabel confounding meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan pengetahuan. Variabel Independen
Variabel Dependen Ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis
Lamanya Hemodialisis
Faktor Demografi - Usia - Jenis kelamin - Pendidikan - Pengetahuan
Bagan 1 Kerangka Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berdasarkan pada filsafat positivisme. Metode ini sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkret/empiris, objektif, terukur, rasional, dan sistematis. Metode ini juga disebut metode konfirmatif, karena metode ini cocok digunakan untuk
91
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
pembuktian/konfirmasi. Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angkaangka dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2012). Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2008). Subjek penelitian yang diambil adalah semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma. Saat ini pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisis RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma pada bulan April terdapat 250 orang.
2. Sampel
Menurut Sastroasmoro (2011) bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan teknik non probability sampling dengan sampling purposive dengan teknik ini peneliti dapat menentukan sampel yang ditentukan oleh penelitian sesuai tujuan peneliti.
Kriteria inklusi pada karakteristik sampel dalam penelitian ini yaitu: 1) pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, 2) bersedia menjadi responden dan dapat bekerja sama dalam penelitian, 3) dapat membaca dan menulis, 4) kesadaran compos mentis, 5) pasien menjalani hemodialisis lebih dari 1 tahun.
Besaran sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, sesuai dengan rumus sampel (Nursalam, 2011) n=
N N(d)2 + 1
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi yang diketahui (250)
d = tingkat kepercayaan yang diinginkan (10%)
maka besaran jumlah sampel dalam [penelitian ini adalah = 71,4 dibulatkan jadi 71 responden
3.
Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Hemodialisis RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma dengan alasan memilih tempat ini adalah: lokasi penelitian berada di lingkungan tempat kerja, lokasi terbesar se-Indonesia dengan jumlah kamar 48, jumlah pasien 250/bulan sehingga memudahkan peneliti dalan melakukan penelitian.
4.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014.
92
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
5.
Etika Penelitian
Etika penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah prinsip manfaat (beneficence), menghargai hak asasi manusia (respect for human dignity), dan mendapatkan prinsip keadilan (right to justice) (Polit, Beck, & Hunger, 20002; Nursalam, 2008).
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi: a.
Informed Concent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Bila responden menolak, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.
b.
Confidentiality
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunkan untuk pengembangan ilmu.
c.
Right to self-determination
Subjek peneliti mempunyai hak untuk ikut atau tidak menjadi responden. Subjek penelitian bebas memutuskan untuk bersedia menjadi responden ataupun tidak adanya sanksi apa pun.
d.
Fairly Treatment
Setiap responden mendapatkan perlakukan yang sama terkait dengan penelitian.
6.
Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan data yang diperoleh dari metode penelitian kuantitatif tersebut, selanjutnya peneliti kualitatif, menentukan sumber data yang diharapkan dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk melengkapi data kuantitatif yang telah diperoleh pada penelitian tahap I. Sesuai dengan ciri metode kualitatif, maka sampel sumber data yang digunakan dipilih secara purposive (siapa yang paling mengetahui tentang apa yang ditanyakan).
Alat atau instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner berupa daftar pernyataan dan atau pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga responden diberi kemudahan dalam mengisinya dengan memberikan tanda check list (ü) pada pilihan jawaban yang tersedia, dan menuliskan jawaban singkat.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner 4 bagian, yaitu: a.
Data Demografi Responden
Pada bagian ini berisi empat buah pertanyaan meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan lamanya hemodialisis. 93
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
b.
Pengetahuan Responden tentang Hemodialisis
Untuk mendapatkan data pengetahuan pasien tentang hemodialisis diungkap dengan menggunakan 10 penyataan dengan opsi jawaban “ya” atau “tidak”. Pernyataan meliputi pengetahuan pasien mengenai tujuan hemodialisis, manfaat hemodialisis, dampak jika tidak dilakukan hemodialisis, frekuensi dan durasi hemodialisis, serta aturan dalam diet, cairan dan obat-obatan bagi pasien hemodialisis, baik dalam bentuk pernyataan positif maupun negatif. Hasil pengukuran terhadap pengetahuan ini selanjutnya dilakukan analisis dan dikategorikan menjadi 2 yaitu pengetahuan tinggi jika skor > 6 pengetahuan rendah jika skor < 6.
c. Ketidakpatuhan
Paparan tentang kepatuhan, menggunakan modifikasi kuesioner The End-Stage Renal Disease Adherence Questionnaire (ESRD-AQ) dari Kim 2010 dalam penelitian yang dilakukan oleh Nita Syamsiah (2011) berisi pertanyaan tentang perilaku kepatuhan (6 item), meliputi:
1)
Perilaku kehadiran Hemodialisis
2)
Frekuensi mempercepat waktu HD
3)
Durasi waktu HD yang dipercepat
4)
Kebiasaan minum obat
5)
Perilaku restriksi cairan
6)
Perilaku diet
Masing-masing pertanyaan terdiri dari 5 opsi jawaban dengan skor yang sudah ditentukan. Berikut skoring untuk masing-masing jawaban adalah: Tabel 1 Skor untuk Kuesioner Kepatuhan No.
94
Item yang Ditanyakan
Skor
1.
Frekuensi ketidakhadiran HD dalam sebulan
Jawaban 1: 300 Jawaban 2: 200 Jawaban 3: 100 Jawaban 4: 50 Jawaban 5: 0
2.
Frekuensi mempercepat waktu HD yang terjadi Jawaban 1: 200 dalam sebulan Jawaban 2: 150 Jawaban 3: 100 Jawaban 4: 50 Jawaban 5: 0
3.
Durasi waktu HD yang dipercepat dalam sebulan Jawaban 1: 100 Jawaban 2: 75 Jawaban 3: 50 Jawaban 4: 25 Jawaban 5: 0
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
No.
Item yang Ditanyakan
Skor
4.
Frekuensi tidak minum obat dalam sebulan
Jawaban 1: 200 Jawaban 2: 150 Jawaban 3: 100 Jawaban 4: 50 Jawaban 5: 0
5.
Frekuensi restriksi cairan (self monitoring)
Jawaban 1: 200 Jawaban 2: 150 Jawaban 3: 100 Jawaban 4: 50 Jawaban 5: 0
6.
Frekuensi restriksi diet (self monitoring)
Jawaban 1: 200 Jawaban 2: 250 Jawaban 3: 100 Jawaban 4: 50 Jawaban 5: 0
Sumber: ESRD-AQ, (Kim, 2010)
HASIL PENELITIAN Bab ini akan menguraikan hasil penelitian tentang lamanya hemodialisis terhadap ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis di RSAU dr. Esnaman Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta. Pengumpulan data dilakukan selama 4 minggu yaitu bulan Mei 2014. Responden penelitian pada penelitian ini semua pasien yang menjalani hemodialisis terdiri dari 71 responden pengambilan data dengan cara pengisian kuesioner ditetapkan secara purposive. Analisis Univariat Tabel 2 Distribusi Responden berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pengetahuan, Dukungan Keluarga, Lamanya Hemodialisis dan Ketidakpatuhan No.
Variabel
Jumlah
Persentase
1.
Usia
- < 65 tahun - > 65 tahun
58 13
81,7 18,3
2.
Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan
35 36
49,3 50,7
3.
Pendidikan - Dasar - PT
60 11
84,5 15,5
4.
Pengetahuan - Rendah jika skor < 6 - Tinggi jika skor > 6
3 68
4,2 95,8
5.
Lamanya hemodialisis - < 4 tahun - > 4 tahun
65 6
91,5 8,5
95
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Tabel 2 menunjukkan bahwa usia responden paling banyak berada pada usia < 65 tahun (81,7%) dengan tingkat pendidikan paling banyak lulusan pendidikan dasar (85,5%). Jenis kelamin responden terbanyak perempuan (50,7%), pengetahuan responden terbanyak pengetahuan tinggi (95,8%) dan lamanya hemodialisis terbanyak < 4 tahun (91,5%). Analisis Bivariat Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, lamanya hemodialisis dan dukungan keluarga. Sedangkan variabel dependen adalah ketidakpatuhan pasien menjalani hemodialisis. Untuk mencari hubungan kedua variabel tersebut dilakukan dengan uji statistik chi square. Uji chi square ini digunakan karena kedua variabel berjenis kategorik. Adapun hasil analisis data selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis dan Variabel Independen di RS PAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta, Juni 2014 (n = 71) Kepatuhan Pasien Kategori
Patuh
Tidak Patuh
P-Value
OR 95%Cl
0,448
0,767 0,228 – 2,573
n
%
N
%
Usia >65 tahun <65 tahun
7 35
53,8% 60,3%
6 23
46,2% 39,7%
13 58
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
17 25
48,6% 69,4%
18 11
51,4% 30,6%
35 36
0,061
0,416 0,157 – 1,097
Pendidikan Dasar PT
35 7
58,3% 63,6%
25 4
41,7% 36,1%
60 11
0,506
0,800 0,211 – 3,029
Pengetahuan Tinggi jika skor >6 Rendah jika skor <6
41 1
60,3% 33,3%
27 2
39,7% 66,7%
68 3
0, 362
3,037 0,262 – 35,163
Lamnya HD <4 tahun >4 tahun
41 1
63,1% 16,7%
24 5
36,9% 83,3%
65 6
0,038
8,542 0,941 – 77,501
Hubungan antara Usia dengan Ketidakpatuhan Pasien Hasil analisis hubungan antara usia dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 3, yang diperoleh bahwa terdapat 35 (60,3%) responden berusia < 65 tahun yang patuh. Sedangkan 7 (53,8%) responden berusia > 65 tahun saja yang patuh. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,448, yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Dari analisis didapatkan juga Odds Ratio 96
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
(OR) 0,767, yang berarti bahwa usia < 65 tahun memiliki peluang untuk patuh sebesar 0,767 kali dibandingkan usia > 65 tahun. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Ketidakpatuhan Pasien Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 3, yang diperoleh bahwa terdapat 25 (69,4%) responden perempuan yang patuh. Sedangkan 17 (48,6%) responden laki-laki saja yang patuh. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,061, yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Dari analisis didapatkan juga Odds Ratio (OR) 0,416, yang berarti bahwa perempuan memiliki peluang untuk patuh sebesar 0,416 kali dibandingkan laki-laki. Hubungan antara Pendidikan dengan Ketidakpatuhan Pasien Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 3, yang diperoleh bahwa terdapat 35 (58,3%) responden pendidikan dasar yang patuh dari 60 responden. Sedangkan 7 (63,6%) responden laki-laki saja yang patuh dari 11 responden. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,506, yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Dari analisis didapatkan juga Odds Ratio (OR) 0,800, yang berarti bahwa pendidikan dasar memiliki peluang untuk patuh sebesar 0,800 kali dibandingkan pendidikan perguruan tinggi. Hubungan antara Pengetahuan dengan Ketidakpatuhan Pasien Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 3, yang diperoleh bahwa terdapat 41 (60,3%) responden berpengetahuan tinggi yang patuh. Sedangkan 1 (33,3%) responden berpengetahuan rendah saja yang patuh. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,362, yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Dari analisis didapatkan juga Odds Ratio (OR) 3,037, yang berarti bahwa responden berpengetahuan tinggi memiliki peluang untuk patuh sebesar 3,037 kali dibandingkan responden yang berpengetahuan rendah. Hubungan antara Lamanya Hemodialisis dengan Ketidakpatuhan Pasien Hasil analisis hubungan antara lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 3, yang diperoleh bahwa terdapat 41 (60,3%) responden lama hemodialisis < 4 Tahun yang patuh. Sedangkan 1 (33,3%) responden lamanya hemodialisis > 4 tahun saja yang patuh. Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,038, yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Dari analisis didapatkan juga Odds Ratio (OR) 8,542, yang berarti bahwa lama hemodialisis < 4 tahun memiliki peluang untuk patuh sebesar 8,542 kali dibandingkan lama hemodialisis > 4 tahun. 97
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil. Dalam pembahasan ini kegiatan yang dilakukan adalah membandingkan hasil penelitian dan konsep teoretis termasuk penelitian-penelitian sebelumnya. Bab ini juga akan dijelaskan tentang keterbatasan penelitian yang akan dilaksanakan dan implikasi penelitian bagi keperawatan. Interpretasi dan Diskusi Hasil Hubungan Usia dengan Ketidakpatuhan Pasien Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung. Oleh yang demikian, umur diukur dari lahir sehingga sekarang. (Hardiwinoto, 2011). Berdasarkan hasil penelitian bahwa usia muda lebih cenderung patuh dibandingkan dengan usia lebih tua. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Syamsiah (2011) diketahui bahwa prediktor ketidakpatuhan pada usia adalah bahwa usia muda beresiko untuk tidak patuh dibandingkan usia yang lebih tua. Masa dewasa juga merupakan periode emas dari perkembangan fisiologis perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial. Sehingga ketika seorang dewasa terganggu tugas perkembangannya, maka dapat terjadi kekecewaan hingga mengarah pada perilaku-perilaku maladaptif. Walaupun demikian, masa dewasa juga merupakan masa di mana dia memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap berbagai permasalahan. Namun, kondisi pasien CKD yang menjalani hemodialisis dengan berbagai permasalahan lanjutan, sering menyebabkan kelelahan dan akhirnya merasa tidak berdaya dan putus asa, yang berlanjut pada ketidakpatuhan. Hasil penelitian mendukung studi DOPPS (the Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study) yang menemukan bahwa prediktor peluang ketidakpatuhan lebih tinggi mengenai usia muda (Saran el. al, 2003). Kesenjangan yang terjadi dari penelitian sebelumnya dapat dilihat dari jumlah sampel yang diteliti karena pada penelitian sebelumnya jumlah sampel lebih banyak dibandingkan dengan penelitian ini. Hubungan Jenis Kelamin dengan Ketidakpatuhan Pasien Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi (Hungu, 2007). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan responden perempuan memiliki peluang untuk patuh dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian terkait menurut Manyoe (2014) menyatakan bahwa perbedaan 98
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
perilaku berdasarkan jenis kelamin antara lain cara berpakaian, melakukan pekerjaan sehari-hari, dan pembagian tugas pekerjaan. Perbedaan ini bisa dimungkinkan karena faktor hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian tugas. Wanita seringkali berperilaku berdasarkan perasaan, sedangkan orang laki-laki cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional. Dalam penelitian ini perempuan tampak lebih peduli dengan penyakitnya dibandingkan lakilaki, karena sifat ketergantungan yang dimiliki laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang memiliki sifat mandiri (tidak mudah bergantung dengan orang lain) khususnya pasien dalam menjalani hemodialisis. Hubungan Pendidikan dengan Ketidakpatuhan Pasien Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsa. Pendidikan dalam arti formal yaitu pendidikan yang diterima oleh peserta didik melalui pendidik dan biasanya dilakukan pada suatu lembaga atau instansi (Elisa, 2001). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan ketidakpatuhan, dan responden pendidikan dasar memiliki peluang untuk patuh dibandingkan pendidikan perguruan tinggi. Dari hasil observasi yang peneliti dapat bahwa dukungan keluarga terkait dengan pendidikan sangat erat kaitannya, karena dari sekian banyak responden yang didampingi keluarga rata-rata berpendidikan dasar yang mana dalam mendapatkan informasi tentang perawatannya pihak keluarga cukup baik khususnya dalam merawat pasien dengan kepatuhan dalam menjalani hemodialisis, berbeda dengan responden yang rata-rata berpendidikan tinggi tidak tampak diantar oleh keluarganya akan tetapi banyak yang diantar oleh supir peribadinya sehingga dalam mendapatkan informasi dari perawat terkait kepatuhan dalam hemodialisis kurang. Berbeda dengan hasil penelitian menurut Syamsiah (2011). Hasil uji statistik didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kepatuhan pasien CKD yang menjalani hemodialisis dengan p-value 0,003 (p-value < 0,05). Dari penelitian ini terdapat kesenjangan dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini dan sebelumnya sama-sama menggunakan uji chi-square yang tujuannya mencari ada tidaknya hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan. Yang membedakan pada penelitian ini adalah jumlah sampel yang digunakan, pada penelitian ini jumlah sampelnya 71 responden sedangkan penelitian sebelumnya sebanyak 157 responden.
99
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Hubungan Pengetahuan dengan Ketidakpatuhan Pasien Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan ketidakpatuhan, dengan p-value (> 0,05). Penelitian ini sesuai dengan penelitian menurut Sari (2009). Secara statistik belum cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan. Meskipun pengetahuan merupakan salah satu faktor yang diduga dapat memengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu hal, pada penelitian ini tidak sepenuhnya kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan harus didahului oleh pengetahuan yang baik. Dalam penelitian ini tidak ada kesenjangan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini memberikan kontribusi pada perawat bahwa pengetahuan pasien perlu diarahkan sesuai dengan informasi yang terkait dengan penyakitnya khususnya dalam bidang kepatuhan. Hubungan Lama Hemodialisis dengan Ketidakpatuhan Pasien Individu dengan hemodialisis jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya. Gaya hidup terencana dalam jangka waktu lama, yang berhubungan dengan terapi hemodialisis dan pembatasan asupan makanan dan cairan pasien gagal ginjal konik sering menghilangkan semangat hidup pasien sehingga dapat memengaruhi kepatuhan pasien dalam terapi hemodialisis ataupun dengan pembatasan asupan cairan (Brunner & Suddart, 2002). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil uji chi square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan, dengan p-value (< 0,05). Dalam penelitian ini menguraikan tentang lamanya hemodialisis yang mempunyai jangka waktu panjang dan lama sehingga menimbulkan kebosanan baik pada pasien maupun keluarganya, walaupun pada dasarnya pasien sebenarnya mengetahui manfaat dari hemodialisis bagi tubuhnya namun tidak menutup keinginannya untuk mempercepat waktu hemodialisisnya. Berbeda dengan pendapat Sari (2009) dalam penelitiannya bahwa hasil penelitian yang menunjukkan belum ada cukup bukti untuk menyatakan hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan, menurut peneliti kemungkinan disebabkan karena ada hal lain yang memengaruhi kepatuhan pasien seperti pendidikan dan sikap pasien terhadap pembatasan asupan cairan. Di mana pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku seseorang. 100
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
Kesenjangan yang terjadi pada penelitian sebelumnya adalah lamanya hemodialisis dikaitkan dengan ketidakpatuhan pasien secara umum akan tetapi penelitian sebelumnya menguraikan tentang kepatuhan terhadap pembatasan asupan cairan. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak keterbatasan. Hal ini disebabkan karena informasi sulit didapatkan dari beberapa keluarga pasien karena keluarga pasien sibuk di luar ruangan hemodialisis dan ada juga yang tidak diantar oleh keluarganya akan tetapi dititipkan pada supir pribadinya, jadi peneliti tidak mendapatkan informasi dari keluarganya. Implikasi Dalam Keperawatan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Sedangkan faktor demografi (usia, pendidikan, jenis kelamin, dan pengetahuan) tidak ada hubungan dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. 1.
Implikasi bagi Institusi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan pada umumnya dan institusi pelayanan keperawatan pada khususnya dapat mengembangkan pelayanan dengan memerhatikan dan meningkatkan aspek dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis terhadap kepatuhan dalam menghadapi pasien yang menjalani hemodialisis dengan pendekatan pendidikan kesehatan baik pada pasien maupun keluarga yang mendampingi saat menjalani terapi hemodialisis.
2.
Implikasi bagi Organisasi Profesi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dan lamanya hemodialisis dengan ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis ini merupakan salah satu evidence base yang secara ilmiah dapat menjadikan pertimbangan bagi organisasi profesi dalam meningkatkan pengetahuan dan kompetensi yang harus selalu dikembangkan oleh anggota profesi dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada pasien yang menjalani hemodialisis.
3.
Implikasi bagi Penelitian Lain
Penelitian ini menghasilkan sejumlah data yang dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain dalam mengembangkan dan melakukan penelitian lebih lanjut untuk penambahan sampel tentang faktor counfounding khususnya dalam penelitian ini adalah jenis kelamin yang mana nilai p-value mendekati 0,05 yang artinya hampir mempunyai hubungan yang bermakna dengan ketidakpatuhan. 101
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab VII ini diuraikan kesimpulan dan saran berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan Hasil penelitian hubungan lamanya hemodialisis terhadap pasien yang menjalani hemodialisis di RSAU dr. Esnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta 2014 didapatkan bahwa: 1.
Karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pengetahuan) terhadap ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis. Bahwa semakin muda usia pasien, maka cenderung patuh dibandingkan dengan usia lebih tua, demikian pula perempuan tingkat kepatuhannya lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sedangkan pada tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin rendah tingkat kepatuhannya namun semakin tinggi pengetahuannya semakin tinggi pula kepatuhannya.
2.
Lamanya hemodialisis yang dijalani pasien dapat menimbulkan ketidakpatuhan dalam hemodialisis, hasil penelitian ini membuktikan bahwa ketidakpatuhan pasien menjalani perawatan hemodialisis disebabkan oleh lamanya jangka waktu keperawatan hemodialisis yang panjang, bosan dan meskipun pasien menyadari manfaat dari hemodialisis namun tidak dapat dihindari pasien ingin proses hemodialisis dipercepat.
Saran 1.
Institusi Pelayanan Keperawatan
Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan pada umumnya dan institusi pelayanan keperawatan Puskesmas pada khususnya dapat mengembangkan pelayanan dengan meningkatkan dukungan keluarga dalam merawat pasien yang menjalani hemodialisis khususnya pada perawatan komunitas untuk memberikan motivasi pada keluarga agar dapat mendampingi pasien ketika menjalani hemodialisis, dalam bentuk melakukan edukasi dan konseling terhadap pasien dan keluarga.
2.
Institusi Pendidikan Keperawatan
Institusi pendidikan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu kajian yang bermanfaat bagi peserta didik serta dapat mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan memerhatikan dan meningkatkan pendekatan kolaborasi dengan keluarga dalam upaya mempertahankan kesehatan pasien yang menjalani hemodialisis, menggunakan instrumen baku yang ada dalam penelitian ini.
3.
Penelitian Lain
Penelitian ini menghasilkan sejumlah data yang dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain dalam mengembangkan dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyebab lain yang berhubungan
102
Hubungan Lamanya Hemodialisis Terhadap Ketidakpatuhan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
dengan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani hemodialisis dengan penambahan sampel dan aspek lainnya. REFERENSI Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC. Husna, A. 2014. Perbedaan Tingkat Kepatuhan Pasien Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin Dalam Mematuhi Diet di RSU. Dr. Prigadi Kota Medan. Skripsi. Kamaludin. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman. Kartika Sari, Lita. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan Cairan pada Klien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di Ruang Hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta. Kim, Y., Evangelista 1.S., Phillips, L.R., Pavlish. C., & Kopple, J.D. 2010. The end-Stage Renal Disease Adherence Questionnaire (ESRD-AQ): Testing The Psychometric Properties in Patients Receiving in-center Hemodialysis. Nephrology Nursing Jurnal, 37 (4). 377-393. Kutner, N.G. 2001. Improving Compliance in Dialysis Patiens: Does Anything Work? Seminars in dialysis, 14 (5), 324-327. Leggat, J.E. 2005. Adherence with dialysis: A Focus on Mortality Risk. Seminars in Dialysis, 18 (2), 137-141. M. Ruku, Denny. 2011. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Pembatasan Cairan dan Elektrolit pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Advent Bandung. Tesis. Sabri, Luknis 2011. Statistik Kesehatan. Cetakan ke-6. Jakarta: Karisma Putra Utama Offset. Simmons, Laurie. 2009. Dorthea Orem’s Self Care Theory Related to Nursing Practice in Hemodialysis Suwitra, Ketut. 2007. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat. Tharob Imelda. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Mekanisme Koping Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Tesis.
103
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
PERBEDAAN KEMAMPUAN MENGGOSOK GIGI SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM UPAYA MENCEGAH KARIES GIGI PADA ANAK SEKOLAH DI SDN 03 PAGI LUBANG BUAYA JAKARTA TIMUR
oleh: Ns. Khaerul Amri, S.Kep. Akper RSP TNI AU Jl. Merpati, Jakarta 13610
[email protected] Abstrak Menggosok gigi adalah suatu cara membersihkan rongga mulut, lidah, dan gigi dari semua kotoran atau sisa makanan dengan menggunakan sikat gigi, pembersih lidah, kain kasa atau kapas yang dibasahi dengan air bersih. Tujuan menggosok gigi yaitu mencegah timbulnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang tertumpuk dalam rongga mulut, lidah, gusi dan gigi. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain pretest post test one group design dan instrumen penelitiannya berupa check list. Responden yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur, yang berjumlah 34 anak. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Dari hasil penelitian didapatkan sebelum pendidikan kesehatan menggosok gigi mayoritas responden berkemampuan kurang dalam hal menggosok gigi sebesar 4 (11,8%) sedangkan yang berkemampuan cukup sebesar 30 (81,2%). Setelah dilakukan pendidikan kesehatan menggosok gigi mayoritas responden berkemampuan baik sebesar 31 (91,2%) sedangkan yang berkemampuan cukup sebesar 3 (8,8%). Saran: Diharapkan dapat menggosok gigi dengan baik dan benar dan tidak melupakan cara menggosok gigi sehingga terbebas dari penyakit. Kata Kunci: Pendidikan Kesehatan, Menggosok Gigi Daftar Pustaka: 27 (1997-2010)
PENDAHULUAN Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentil dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan 104
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
bahan organiknya. Akibatnya, terjadi invasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periapeks yang dapat menyebabkan nyeri (Edwina A.M, 1991: 1). Menurut survei yang dilakukan WHO, keadaan karies gigi di Indonesia cenderung meningkat. Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit masyarakat yang diderita oleh 90% penduduk Indonesia yang bersifat progresif dan irreversibel (Jalarya, 2008). Diperkirakan bahwa 90% dari anak-anak usia sekolah di seluruh dunia dan sebagian besar orang dewasa pernah menderita karies. Prevalensi karies tertinggi terdapat di Asia dan Amerika Latin. Prevalensi terendah terdapat di Afrika. Di Amerika Serikat, karies gigi merupakan penyakit kronis anak-anak yang sering terjadi dan tingkatnya 5 kali lebih tinggi dari asma (Milqrom P, 2006). Masalah kesehatan gigi pada anak juga terjadi di Indonesia. Menurut laporan riset kesehatan dasar 2007, bahwa karies gigi menyerang atau diderita oleh kurang lebih 72,1% penduduk Indonesia. Selanjutnya ditemukan bahwa dalam 12 bulan terakhir sebesar 23,4% penduduk Indonesia mengeluh adanya masalah pada gigi dan mulut (Wibowo, 2010). Penelitian kejadian karies gigi yang dilakukan oleh Umronah (2010) terhadap 30 anak usia prasekolah di TK Tunas Ceria desa Cepagan Warungasem Batang didapatkan bahwa frekuensi karies gigi susu anak prasekolah termasuk tinggi yaitu mencapai 96,67% (Umronah, 2010: 41-42). Pada waktu jam istirahat, pada umumnya mereka membeli permen, es mambo, pop ice, chiki dan cokelat. Menurut wali kelasnya, anak-anak sangat rajin menyikat gigi setiap hari sebanyak dua kali, yaitu waktu mandi pagi sebelum sarapan pagi dan pada waktu mandi sore. Kebiasaan menyikat gigi ini mereka peroleh dari melihat kebiasaan orangtua saat menyikat gigi sebanyak dua kali sehari pada waktu mandi dan mandi sore setiap harinya. Setelah dilakukan pemeriksaan gigi, ternyata sebagian besar gigi murid kelas 4 berlubang, bahkan hanya ada satu orang murid yang giginya tidak berlubang. Selanjutnya teknik menggosok gigi juga digambarkan dengan menggunakan sikat gigi dan pasta gigi dengan arah apapun. Dari penelitian ini dapat diketahui adanya masalah kesalahan waktu menyikat gigi dan cara menyikat gigi (Astoeti, 2006: 64). Pembenahan perilaku tidak sehat sebaiknya melalui pendidikan kesehatan yang benar secara konseptual. Mekanisme terjadinya diawali dari perilaku kognitif ke perilaku afektif kemudian berlanjut ke perilaku psikomotorik (Maryono, 2009). Upaya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sebaiknya dilakukan sejak usia dini. Upaya peningkatan derajat kesehatan menjadi tanggung jawab individu, masyarakat dan pemerintah (Sulastri, 2010: 2). Upaya untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut telah banyak dilakukan berbagai pihak sejak lama, baik melalui program pemerintah, media massa, iklan di televisi atau penyuluhan di pusat kesehatan. Namun, hasilnya ternyata belum signifikan terlihat dari banyaknya anak yang masih belum sadar tentang pentingnya pemeliharaan gigi (Alamsyah, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Umronah (2010) tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap kejadian karies gigi pada balita preschool di TK Tunas Ceria desa 105
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Cepiring (Umronah, 2010: 50). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekolah mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya karies. Sekolah adalah perpanjangan tangan keluarga dalam melakukan dasar perilaku untuk kehidupan anak selanjutnya termasuk perilaku kesehatan. Sementara itu populasi anak sekolah di dalam suatu komunitas cukup besar, oleh sebab itu penyuluhan kesehatan di sekolah sangat penting. Komunitas sekolah yang terdiri dari murid dan guru di tingkat taman kanak-kanak merupakan sasaran dari promosi kesehatan di sekolah melalui penyuluhan kesehatan (Sulastri, 2010: 4). Berdasarkan hasil pemeriksaan observasi 34 siswa kelas II B SDN Lubang Buaya 03 Pagi ditemukan 11 siswa yang mengalami gangguan kebersihan mulut dan tampak 1 siswa yang memiliki mukosa yang kering, 24 siswa mengalami karies pada gigi, 12 siswa tampak memiliki gigi ompong, 27 siswa mengalami gigi berlubang, 1 siswa mengalami radang pada gusi dan 1 siswa mengalami kesulitan dalam mengunyah. Adanya fenomena seperti ini menjadikan peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini sebagai bahan penelitian. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti dapat merumuskan masalah penelitian yaitu, “Apakah Ada Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan Pada Anak SD?”. Tujuan Umum Untuk menganalisis perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah SDN Lubang Buaya 03 Pagi Jakarta. Tujuan Khusus 1.
Mengidentifikasi kemampuan menggosok gigi sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah di SDN Lubang Buaya 03 Pagi Jakarta.
2.
Mengidentifikasi kemampuan menggosok gigi setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah di SDN Lubang Buaya 03 Pagi Jakarta.
3.
Menganalisis perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah di SDN Lubang Buaya 03 Pagi Jakarta.
Manfaat Penelitian 1.
Bagi Anak kelas II di SDN Lubang Buaya 03 Pagi Jakarta Timur
Agar dapat menggosok gigi dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur sehingga terbebas dari penyakit.
2. Guru
Diharapkan guru lebih memerhatikan pada anak didiknya tentang menggosok gigi dengan baik dan benar sehingga mereka terbebas dari penyakit dan mampu menggosok gigi dengan baik dan
106
benar.
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
3.
Bagi Peneliti Sebagai bahan pemberi masukan seperti data hasil penelitian yang akan datang.
TINJAUAN TEORI Definisi Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi dan tingkah laku (praktik) kesehatan. Pendidikan kesehatan memotivasi seseorang untuk menerima informasi kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi tadi agar mereka menjadi lebih sehat dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mengganggu kesehatan serta membentuk kebiasaan hidup yang bermanfaat bagi kesehatan (Budioro, 2002: 14). Tujuan Pendidikan Kesehatan Berbagai macam cara atau metoda dapat ditempuh untuk melaksanakan program pendidikan kesehatan, tapi semuanya mempunyai dasar persamaan tujuan yang antara lain sebagai berikut: 1.
Semuanya didasari pada kebutuhan untuk mengerti dan untuk memperbaiki hal-hal yang menjadi faktor penyebab timbulnnya penyakit atau gangguan kesehatan yang bersangkutan.
2.
Tindakan-tindakan yang akan dilakukan akan merubah perilaku-perilaku atau lingkungan yang merugikan cara hidup sehat.
3.
Mereka yang akan terlibat atau menjadi sasaran untuk perubahan perilakunya juga terlibat dalam pengelolaan pendididikan kesehatan itu sendiri (Budioro, 2002: 22).
Proses Pendidikan Kesehatan 1.
Mekanisme Proses Belajar
Secara sederhana proses belajar (learning) dapat diartikan sebagai proses untuk menambah pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang dapat diperoleh melalui pengalaman atau melakukan studi (proses belajar-mengajar). Disamping itu bisa juga prosesnya dalam bentuk yang lebih kompleks yang mencakup perilaku seperti: berpikir, berabstraksi, membayangkan (imagination), beranalisis, pemecahan masalah dan sebagainya. Proses belajar yang kompleks tersebut dipengaruhi faktor-faktor utama sebagai berikut: individu pelakunya, materi yang dipelajarinya, prosedur atau tata caranya, sumber daya pendukungnya dan kondisi lingkungan di mana proses belajar tadi berlangsung.
2.
Metoda Belajar Mengajar
Bentuk metoda belajar mengajar yang klasik sering kali digolongkan menjadi 2 kelompok utama yaitu metoda didaktik dan sokratik. Pada metoda didaktik komunikasinya berjalan satu arah (one way), karena sumber (komunikator) nya mungkin tidak berhadapan langsung dengan penerima (reseptor). Hanya sumber (komunikator atau guru yang aktif dalam proses ini, sedangkan 107
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
penerima (murid atau anak didik) peranannya pasif. Misalnya ceramah, siaran radio, siaran tv, surat kabar dan lain-lain.
Pada metoda sokratik ada kesempatan pada penerima (reseptor) untuk memberi tanggapan langsung, sehingga prosesnya berjalan dua arah (two way atau dialog). Misalnya diskusi, seminar, dan lain-lain, termasuk tatap muka murid dengan guru dalam kelas.
3.
Pelatihan, Magang dan Pengalaman
Materi pelajaran dalam proses belajar mengajar tidak hanya dalam bentuk materi pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan perilaku yang sifatnya cognitive, tapi termasuk juga bentuk ketrampilan yang berkaitan dengan perilaku yang bersifat psychomotor. Cara penyampaiannya sudah tentu tidak secara verbal saja, tapi keterlibatan dan keikutsertaan anak didik dalam kegiatan yang sifatnya psychomotor (manual) mungkin lebih diutamakan (Budioro, 2002: 44-46).
Metode Pendidikan Kesehatan 1.
Metode ceramah
2.
Metode diskusi kelompok (wawancara)
3.
Metode demonstrasi
(Syaifudin, 2009: 154). Media Pendidikan Kesehatan 1.
Media massa atau publik, yaitu: a.
Media cetak, seperti: koran, majalah, poster, buku dan sebagainya.
b.
Media elektronik, seperti: radio, tv, film, VCD dan sebagainya.
2.
Media tatap muka yang metodanya bisa didaktik atau sokratik.
Cara ini bisa didukung oleh mediacetak atau elektronik tersebut di atas.
3.
Media populer dan atau tradisional, di mana isi atau pesan yang akan disampaikan umumnya dititipkan atau diselipkan di antara acara yang populer atau tradisional tadi (Budioro, 2002: 78).
Menggosok Gigi Adalah Suatu cara membersihkan rongga mulut, lidah, dan gigi dari semua kotoran atau sisa makanan dengan menggunakan sikat gigi, pembersih lidah, kain kasa atau kapas yang dibasahi dengan air bersih. Tujuan menggosok gigi yaitu mencegah timbulnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang tertumpuk dalam rongga mulut, lidah, gusi dan gigi (Kusyanti, 2005). Cara Menggosok Gigi yang Benar 1.
Kumur-kumur dengan air bersih.
2.
Gosok gigi menggunakan sikat gigi dan pasta gigi.
108
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
3.
Mulut dikatupkan, menyikat gigi mulai rahang atas dan bawah sebelah kiri gerakan sikat memutar 2-3 gigi dengan mengenai tepi gusi sebagai pemijatan, gerakan 3–5 kali.
4.
Sambil digerakkan memutar bergeser ke arah depan atas bawah.
5.
Dilanjutkan permukaan rahang kanan atas dan bawah gerakan sikat memutar 2–3 gigi dengan mengenai tepi gusi sebagai pemijatan, gerakan 3–5 kali.
6.
Permukaan pengunyahan, rahang dibuka.
7.
Menyikat permukaan pengunyahan rahang atas kanan kiri, gerakkan sikat maju mundur, 3–5 kali gerakkan.
8.
Menyikat permukaan pengunyahan rahang bawah kanan kiri, gerakkan sikat maju mundur, 3–5 kali gerakkan.
9.
Untuk permukaan yang menghadap langit-langit dan lidah, gerakkan sikat menurut arah tumbuhnya gigi.
10. Untuk gigi depan, sikat ditarik keluar. 11. Menyikat lidah. 12. Kumur-kumur. 13. Membersihkan sikat gigi dengan air. 14. Mengeringkan mulut dengan tisu atau handuk. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen
Variabel Dependen
Pendidikan kesehatan menggosok gigi
Kemampuan menggosok gigi sebelum dan setelah pendidikan kesehatan
Bagan 1 Kerangka Konsep Penelitian
Hipotesis Penelitian Dari uraian di atas dan berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: Ada Perbedaan kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah dilakukan Pendidikan Kesehatan Dalam Upaya Mencegah Karies Gigi Pada Anak Sekolah Di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur.
109
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Desain Penelitian Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data, (Nursalam, 2003: 79). Pada penelitian ini digunakan desain penelitian Quasi Experimental Design (Desain Exsperimen Semu) dengan menggunakan jenis pretest posttest design, (Nursalam, 2008: 80) yang bertujuan untuk mengetahui adakah perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi di SDN 03 Lubang Buaya Jakarta Timur. Pretest 01
Perlakuan X
Posttest 02
Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Udiyono, 2007: 33). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta.
2.
Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek peneliti melalui sampling, (Nursalam, 2003: 95). Sampel dalam penelitian ini adalah siswa Kelas II B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta berjumlah 34 anak. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan sampling jenuh, yaitu teknik pengambilan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil. (Sugiyono, 2006: 61).
Adapun kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti. (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini kriteria inklusi, yaitu tercatat sebagai siswa yang masih aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta.
Adapun kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria eksklusi dari studi karena berbagai sebab, (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini kriteria eksklusi yaitu tidak masuk sekolah.
Tempat dan Waktu Penelitian 1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur.
2.
Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan bulan Mei sampai Juni 2014
110
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
Variabel Penelitian Dalam penelitian ini ada 2 variabel, yaitu: 1.
Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen. (Nursalam, 2003: 102). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan menggosok gigi.
2.
Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain. (Nursalam, 2003: 102).
Variabel dependen penelitian ini adalah kemampuan menggosok gigi anak SD.
ETIKA PENELITIAN Proses penelitian dilakukan setelah proposal disetujui oleh direktur. Peneliti membawa surat izin penelitian dari Akper RSP TNI AU kepada Kepala Sekolah SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta. Barulah melakukan penelitian. Adapun etika penelitian sebagai berikut: 1.
Informed Consent (lembar persetujuan menjadi responden)
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang bertujuan agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Seluruh responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
2.
Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. (angka 1 -23).
3.
Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan yang diperoleh dari responden. Menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan kepada hasil riset. Peneliti menyimpan data penelitian pada file berkunci dan akan dimusnahkan dengan cara dibakar sesudah 5 (lima) tahun.
111
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
HASIL PENELITIAN Umur Responden Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Responden di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta. Umur Responden (tahun)
Frekuensi
Persentase (%)
8 – <9
27
79,4
9 – 10
7
20,6
Total
34
100,0
Tabel 1 Menunjukkan sebanyak 27 responden (79,4%) umur responden 8-<9 sebanyak 7 responden (20,6%) umur responden 9-10 tahun. Kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta. 1.
Sebelum Pendidikan Kesehatan
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum Dilakukan Pendidikan Kesehatan di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Bulan Mei Tahun 2014 (N=34).
Kemampuan menggosok gigi sebelum penkes
Frekuensi
Persentase (%)
Kurang
4
11,8
Cukup
30
81,2
Baik
0
0
Total
34
100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden kemampuan menggosok gigi cukup sebanyak 30 responden (81,2%), kemampuan menggosok gigi kurang sebanyak 4 responden (11,8%) dan tidak ada yang kemampuan menggosok gigi baik.
b.
Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Menggosok Gigi Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Bulan Mei 2014 (N=34).
112
Kemampuan menggosok gigi setelah penkes
Frekuensi
Persentase (%)
Kurang
0
0
Cukup
3
8,8
Baik
31
91,2
Total
34
100,0
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas responden kemampuan menggosok gigi baik sebanyak 31 responden (91,2%), kemampuan menggosok gigi cukup sebanyak 3 responden (8,8%) dan tidak ada yang kemampuan menggosok gigi kurang.
3.
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan dalam Upaya Mencegah Karies Gigi
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan dalam Upaya Mencegah Karies Gigi di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Kendal (N=34). Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum Sesudah
Baik F 0 31
% 0 91,2
Cukup F % 30 81,2 3 8,8
Kurang F % 4 11,8 0 0
t
p-value
-20.955
0,000
Tabel di atas menunjukkan bahwa kemampuan menggosok gigi sebelum yang baik tidak ada, kemampuan menggosok gigi sebelum yang cukup sebanyak 30 responden (81,2%), dan kemampuan menggosok gigi sebelum yang kurang sebanyak 4 responden (11,8%). Kemampuan menggosok gigi sesudah yang baik sebanyak 31 responden (91,2%), kemampuan menggosok gigi yang cukup sebanyak 3 responden (8,8%) dan tidak ada kemampuan menggosok gigi yang kurang. Hasil perhitungan uji normalitas untuk kemampuan menggosok gigi sebelum didapatkan nilai 0,086 dan kemampuan menggosok gigi sesudah didapatkan nilai 0,022. Hasil uji normalitas didapatkan nilai > 0,05 maka data berdistribusi normal, sehingga menggunakan uji t test. Hasil uji t test didapatkan nilai t -20.955 uji dua pihak berarti harga mutlak, Sehingga nilai (-) tidak dipakai dan nilai p-value sebesar 0,000 yang artinya ada perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum pendidikan kesehatan dengan kemampuan menggosok gigi sesudah pendidikan kesehatan pada anak SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi pada anak usia sekolah di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur, DKI Jakarta. Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum Dilakukan Pendidikan Kesehatan dalam Upaya Mencegah Karies Gigi. Sebelum dilakukan pendidikan kesehatan kemampuan menggosok gigi mayoritas berkemampuan cukup sebanyak 30 responden (81,2%), kemampuan menggosok gigi kurang sebanyak 4 responden (11,8%) dan tidak ada yang kemampuan menggosok gigi baik. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Sulastri yang menyatakan bahwa sebelum pendidikan kesehatan dalam memelihara personal hygiene gigi dan mulut sebagian besar responden berperilaku kurang baik sebesar 23 (63,9%). 113
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi dan tingkah laku (praktik) kesehatan. Pendidikan kesehatan memotivasi seseorang untuk menerima informasi kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi tadi agar mereka menjadi lebih sehat dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mengganggu kesehatan serta membentuk kebiasaan hidup yang bermanfaat bagi kesehatan (Budioro, 2002: 14). Pembenahan perilaku tidak sehat sebaiknya melalui pendidikan kesehatan yang benar secara konseptual. Mekanisme terjadinya diawali dari perilaku efektif kemudian berlanjut ke perilaku psikomotorik (Maryono, 2009). Kemampuan menggosok gigi sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pada anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya kurang baik dikarenakan mendapatkan informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut di sekolah belum maksimal. Informasi yang diperoleh dari mata pelajaran, hanya sebatas pengetahuan mengenai pertumbuhan gigi dan masing-masing fungsinya. Materi yang disampaikan pendidik kurang sesuai, sehingga pendidik kurang menguasai teknik menggosok gigi dengan benar, hal ini karena pendidik kurang infomasi. Dengan kurangnya informasi yang didapatkan sudah tentu anak-anak kurang mampu menggosok gigi dengan benar, sehingga sebelum dilakukan pendidikan kesehatan kemampuan menggosok gigi anak-anak di kelas 2B kurang baik. Kemampuan yang kurang baik dipengaruhi oleh karena kurangnya pendidikan kesehatan dalam menggosok gigi. Kurangnya sumber informasi menyebabkan informasi atau pesan yang diterima anak kelas 2B di SDN 03 Lubang Buaya Jakarta menjadi kurang, padahal kemampuan anak dapat bertambah menjadi lebih baik dengan informasi-informasi tertentu, di mana informasi dapat diperoleh melalui media massa maupun lingkungan. Bentuk informasi dapat berupa lisan maupun tertulis dan pengalaman yang diperoleh dari fakta atau kenyataan dengan melihat dan mendengar. Setelah Dilakukan Pendidikan Kesehatan dalam Upaya Mencegah Karies Gigi Setelah dilakukan pendidikan kesehatan menggosok gigi mayoritas responden mampu menggosok gigi dengan baik sebanyak 31 responden (91,2%), kemampuan menggosok gigi cukup sebanyak 3 responden (8,8%) dan tidak ada yang kemampuan menggosok gigi kurang. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Sulastri yang menyatakan bahwa setelah pendidikan kesehatan dalam memelihara personal hygiene gigi dan mulut sebagian besar responden berperilaku baik sebesar 25 (69,4%). Pendidikan kesehatan gigi adalah usaha terencana dan terarah untuk menciptakan suasana agar seseorang atau kelompok masyarakat mau mengubah perilaku lama yang kurang menguntungkan untuk kesehatan gigi, menjadi lebih menguntungkan untuk kesehatan giginya. Pendidikan gigi merupakan salah satu program kesehatan gigi dengan tujuan menanggulangi masalah kesehatan gigi di Indonesia (Budiharto, 2010: 39). Menggosok gigi merupakan suatu cara membersihkan rongga mulut, lidah, dan gigi dari semua kotoran atau sisa makanan dengan menggunakan sikat gigi, pembersih lidah, kain kasa atau kapas yang dibasahi 114
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
dengan air bersih. Tujuan menggosok gigi yaitu mencegah timbulnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang tertumpuk dalam rongga mulut, lidah, gusi dan gigi (Kusyanti, 2005). Menggosok gigi termasuk kedalam tindakan pencegahan primer yang spesifik. Menggosok giggi menjadi penting untuk anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta karena menggosok gigi yang baik akan mencegah berbagai macam penyakit. Menggosok gigi yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai macam penyakit seperti penyakit gigi dan mulut. Dalam penelitian ini mayoritas responden berperilaku baik setelah dilakukan pendidikan kesehatan dikarenakan mereka diarahkan agar dapat mengerti cara menggosok gigi dengan baik dan benar dan mereka menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang mereka lihat. Dengan diadakannya pendidikan kesehatan, maka akan diperoleh informasi-informasi dan cara menggosok gigi dengan benar sehingga pengetahuan anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta bertambah. Selanjutnya, dengan pengetahuan itu akan menumbuhkan kesadaran dan akhirnya akan merubah kemampuan menggosok gigi dengan benar. Hasil dari perubahan akan bersifat langgeng karena didasari oleh rasa kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan). Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan Pada Anak Kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Kemampuan menggosok gigi sebelum yang cukup mayoritas sebanyak 30 responden (81,2%). Kemampuan menggosok gigi sesudah yang baik mayoritas sebanyak 31 responden (91,2%). Berdasarkan hasil penelitian sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang cara menggosok gigi dengan benar, maka terjadi peningkatan cara menggosok gigi sesuai dengan prosedur yang benar. Pendidikan kesehatan tentang menggosok gigi dengan benar yang diberikan kepada anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta mempunyai pengaruh terhadap kemampuan menggosok gigi dengan benar. Peningkatan kemampuan yang terjadi bisa dikarenakan bertambahnya informasi yang di miliki anak 2B di SDN 03 Lubang Buaya Jakarta. Hasil uji statistik menunjukkan nilai uji t adalah -20,955 dan nilai p-value adalah 0,000 (< 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak yang artinya bahwa ada perbedaan dalam kemampuan menggosok gigi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. Perubahan yang terjadi pada anak kelas 2B di SDN 03 pagi Lubang Buaya Jakarta setelah diberikan pendidikan kesehatan menggosok gigi yang benar dikarenakan metode yang digunakan dalam pendidikan kesehatan sesuai dengan kebutuhan anak kelas 2B di SDN 03 Lubang Buaya Jakarta. Materi yang disampaikan dalam pendidikan kesehatan sesuai dengan kebutuhan anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta, adanya ketertarikan pada materi yang diberikan pada peneliti. Tujuan diberikannya pendidikan kesehatan menggosok gigi yang benar yaitu: supaya anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya mempunyai tanggung jawab besar terhadap kesehatan, anak kelas 2B 115
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta dapat menggosok gigi dengan benar untuk mencegah penyakit dan melatih kedisiplinan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1.
Kemampuan menggosok gigi sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi cukup sebesar 30 responden (81,2%), kemampuan menggosok gigi kurang sebanyak 4 responden (11,8%)
2.
Kemampuan menggosok gigi sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi baik sebesar 31 responden (91,2%), kemampuan menggosok gigi cukup sebanyak 3 responden (8,8%) dan tidak ada yang kemampuan menggosok gigi kurang.
3.
Ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dalam upaya mencegah karies gigi.
Saran 1.
Anak kelas 2B di SDN 03 Pagi Lubang Buaya Jakarta Timur
Diharapkan dapat menggosok gigi dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur sehingga terbebas dari penyakit.
2. Guru
Diharapkan lebih memerhatikan pada anak didiknya tentang menggosok gigi dengan baik dan benar sehingga mereka terbebas dari penyakit dan mampu menggosok gigi dengan baik dan benar.
3.
Peneliti selanjutnya
Diharapkan adanya tindak lanjut dari peneliti selanjutnya tentang menggosok gigi dengan baik dan benar dan diharapkan tempat peneliti tidak hanya dilakukan pada satu tempat saja sehingga jumlah sampel dapat ditambah.
REFERENSI Alamsyah,Rika Mayasari. 2009. Pemeriksaan dan Perawaatan Gigi Pada Ibu-Ibu.http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/1175/3/1/10E00544.pdf.txt. diakses tanggal 27 Maret 2014. Pukul 11.00 WIB. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Astoeti, Tri Erri. 2006. Total Quality Management dalam Pendidikan Kesehatan Gigi di Sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 116
Perbedaan Kemampuan Menggosok Gigi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan
Budiharto. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC. Budioro, B. 2002. Pengantar Pendidikan (Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi. Semarang: UNDIP. Darmawan, Lita. 2007. Cara Cepat Membuat Gigi Sehat dan Cantik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Direktorat Bina Kesehatan Anak. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan R.I. (2006). Dalam skripsi Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I. Edwina, A.M. 1993. Dasar-dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: EGC Eni, Kusyati. 2005. Keterampilan dan prosedur keperawatan. Semarang: Kilat Press. Hidayat, Alimul, A. 2007. Metodologi Penelitian Keperawatan & Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Huteri, Manza. 2010, May. Cara Menggosok Gigi yang Baik. From http://www.huteri.com/88/caramenggosok-gigi-yang-baik. diakses tanggal 26 03 2011 Pukul 14.00 WIB. Jalarya. 2008. Karies gigi. From: http://jalmanggeng.wordpress.com/2008/08/ 14/karies-gigi/ diakses tanggal 28 Maret 2014. Pukul 19.00 WIB. Ly KA, Milqrom P, Roberts MC, Yamaguchi DK, Rothen M, Mueller G. (2006). Dalam skripsi sulastri. 2010. Linear Response of Mutans Streptococci to Increasing Frequency of Xylitol Chewing Gum Use: a randomized controlled trial. BMC Oral Health, Maret 24; 6:6. Madany. 2010. Gosok Gigi Bangun Tidur Lebih Baik Daripada usai sarapan. From: Http:// Nasyidmadany.Wordpress.Com/2010/09/21/Gosok-Gigi-Saat-Bangun-Tidur-Lebih-BaikDaripada-Usai-Sarapan/Diakses Tanggal 7 April 2011. Pukul 11.00 WIB. Maryono. 2009. Mekanisme Perubahan Perilaku SD, From: http://www-adlu.lib.unair.ac.id/go. Diakses pada tanggal 25 03 2014 Pukul 09.00 WIB. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nuary. 2010. Perawatan Diri Pada Mulut dan Gigi. From: http://www.Asuhan-KeperawatanKebidanan.co.cc/2010/02/Perawatan-Diri-pada-mulut-dan-gigi.html.diakses tanggal 5 April 2014 Pukul 22.00 WIB. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika. 117
Jurnal Kesehatan Akademi Keperawatan RSP TNI AU
Pratiwi, Donna. 2009. Gigi Sehat dan Cantik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Sulastri. 2010. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap perilaku Dalam memelihara Personal Hygiene Gigi dan Mulut Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri Payung. Skripsi Stikes Kendal. Syaifudin. 2009. Promosi Kesehatan Untuk Mahasiswa Kebidanan, Edisi 1. Jakarta: CV Trans Info Media. Umronah. 2010. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kejadian Karies Pada Balita Preschool di TK Tunas Ceria Desa Cepagan Warungasem Batang. Skripsi tidak dipublikasikan. Wibowo, Eny. 2010. Mayoritas Orang Indonesia Salah Gosok Gigi. From: http://www.go4healthylife. com/articles/1855/1/Mayoritas-Orang-Indonesia-Salah-Gosok-Gigi/Page1.html. diakses tanggal 28 Maret 2014. Pukul 10.30 WIB. Wien. 2008. Karies Gigi. From:http://wiwin1977.multyply.com/journal/item/ 6. Diakses tanggal 07 April 2011.Pukul 00.20 WIB.
118