105 Jurnal Hukum, Vol. XVIII, No. 18, April 2010: 105 - 118
ISSN1412 - 0887
KEWENANGAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA ( Sebuah Studi Perbandingan dengan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman dan Kerajaan Spanyol) Rusdianto S, S.H.,M.H. 1
ABSTRAK Constitutional complaint atau gugatan konstitusional adalah permohonan yang diajukan oleh warga negara atau pemohon lainnya yang diberikan kepadanya kedudukan hukum (legal standing) oleh undang-undang dasar untuk mengajukan permohonan atas dilanggarnya hak-hak konstitusionalnya, baik dilanggar oleh undang-undang maupun oleh peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, ataupun tindakan aparatus pemerintahan serta dapat pula disebabkan oleh suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dianggap bertentangan dengan konstitusi. Mekanisme Constitutional complaint belum diadopsi dalam sistem peradilan ketatanegaraan Republik Indonesia. Di negara-negara eropa seperti Jerman mekanisme ini sudah lama diadopsi dengan istilah constitutional complaint, sedangkan di Spanyol disebut dengan istilah recursus de amparo. A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem yang berlaku di Indonesia saat ini, jalan hukum yang tersedia bagi warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar atau dilalaikan oleh pejabat publik atau pemerintahan hanya dapat mempertahankan dan memperoleh perlindungan konstitusional melalui proses peradilan konstitusional di Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945. Dengan kata lain, sistem yang berlaku saat ini seolah-olah mengasumsikan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara itu hanya terjadi karena pembentuk undang-undang membuat undang-undang yang ternyata telah melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Padahal pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara bukan hanya dapat terjadi melalui undang-undang saja, tetapi bisa juga melalui peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.2 Sebagai salah satu contoh adalah kasus Jemaat Ahmadiyah yaitu dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang ditetapkan pada 1
Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 2 Palguna, ID.G, Yang “Terlepas ”Dari Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI: Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint) , Lex Jurnalica Vol.3 No. 3 Agustus 2006, hlm.128. Lihat juga Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia
106
tanggal 9 Juni 2008 sebagai tindak lanjut rekomendasi Bakor Pakem yang menyatakan ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyimpang. 3 Pro kontra atas SKB tersebut merebak di masyarakat, ada yang beranggapan bahwa SKB tersebut telah melanggar hak konstitusional warga negara yang dijamin kebebasannya untuk beragama sebagaimana dimaksud Pasal 29 UUD 1945. Begitu pula pihak yang Pro terhadap SKB tersebut berargumen bahwa Umat Islam harus dilindungi oleh negara dari kelompok-kelompok yang menistakan ajaran Agama Islam. Pro kontra itu berlanjut dengan kaburnya prosedur hukum bagi Jemaat Ahmadiyah untuk melakukan gugatan atas SKB tersebut. Mahfud MD berpendapat bahwa SKB tiga Menteri tentang pelarangan Jemaat Ahamdiyah itu tidak dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung maupun PTUN. Berikut pernyataan Mahfud MD tentang SKB tersebut: “Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menilai SKB Ahmadiyah. Berdasarkan ketentuan pasal 24 C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dibawa ke MA juga tidak tepat, karena SKB bukan peraturan perundangundangan, sebagaimana diatur dalam UU 10/2004 dan Jika diperkarakan ke PTUN juga kurang tepat karena SKB tersebut dapat dinilai sebagai peraturan bukan penetapan karena ada muatannya yang bersifat umum.”4 Laica Marzuki menyatakan bahwa hal tersebut dapat diselesaikan melalui prosedur Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) di Mahkamah Konstitusi sebagaimana di Jerman ataupun di Spanyol. 5 Akan tetapi, mekanisme untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara yang berlaku saat ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.6 Oleh karena itu penting untuk dilakukan suatu kajian terhadap mekanisme constitutional complaint melalui studi perbandingan dengan negara-negara yang juga megadopsi sistem atau prosedur hukum terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara melalui peradilan konstitusi khususnya negara-negara yang mengadopsi mekanisme constitusional complaint tersebut.7
3
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm.286 4 Moh. Mahfud MD. Ibid., hlm.287. 5 http://hukumonline.com/19 Mei 2008 6 Ada perbedaan definisi terhadap konsep constitutional complaint tersebut, ada sarjana yang menyebutkan bahwa constitutional complaint juga termasuk permohonan judicial review (constitutional review) undang-undang terhadap undang-undang dasar oleh warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU tersebut. Lihat pendapat ID.Palguna, Op.Cit., lalu dapat dibandingkan dengan pendapat Mahfud MD dalam Moh.Mahfud MD, Op.Cit, hlm. 287. Definisi constitutional complaint yang berbeda dengan pendapat Mahfud MD juga dikemukan oleh Ahmad Syahrizal dalam Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tetang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif (Jakarta: Paradnya Paramita, 2006) hlm. 102-103 7 Ada beberapa model pengujian konstitusional di Dunia, ada yang menggabungkan kewenangan pengujian konstitusional menjadi kewenangan Mahkamah Agung (supreme court) seperti Amerika Serikat, Argentina, Haiti, Mexico dan sebagainya. Adapula negara-negara yang tidak memiliki peradilan konstitusi melainkan hanya melalui sebuah dewan konstitusional (council constitutional) yang menguji rancangan undang-undang terhadap konstitusi, seperti Perancis, Aljazair, Comoros, Maroco, Kamboja dan sebagainya. Selain itu ada negara-negara yang membentuk badan peradilan konstitusi (Mahkamah
107
Dari uraian di atas maka isu hukum dan permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah Mekanisme Kewenangan Constitutional Complaint. B. Analisis Dan Pembahasan Dalam tulisan ini, konsep hukum yang akan menjadi bahan perbandingan adalah konsep hukum di Jerman dan Spanyol (khususnya konsep constitutional complaint). Dipilihnya kedua negara tersebut selain kedua negara tersebut merupakan keluarga hukum civil law, tetapi juga, sistem hukum Jerman8 dan sistem hukum Spanyol9 tersebut juga telah banyak mempengaruhi perkembangan dan pembangunan sistem hukum di dunia, khususnya sistem hukum dalam keluarga hukum civil law system. Selain itu, kedua negara ini memiliki peradilan konstitusi10 dan telah mengadopsi mekanisme constitutional complaint dalam konstitusinya. Beberapa ahli hukum tata negara memiliki perbedaan pandangan tentang definisi constitutional complaint tersebut.11 Akan tetapi pada hakekatnya mekanisme constitutional complaint merupakan suatu upaya atau prosedur hukum untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dilanggar oleh aparatus pemerintahan atau pejabat publik. Di Indonesia, mekanisme constitutional complaint ini belum begitu dikenal atau menurut I.D.G Palguna hanya diterapkan secara terbatas saja yaitu melalui pengujian undang-undang terhadap undangundang dasar (constitutional review).12 Oleh karena itu, tulisan ini akan membandingkan mekanisme constitutional complaint yang diadopsi di Jerman dan Spanyol dengan mekanisme pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia. Sebelum melakukan pembahasan berikutnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan konsep constitutional review (pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar)13 dengan konsep constitutional complaint walaupun kedua-duanya sama-sama merupakan bentuk perlindungan hak kosntitutional warga negara. Akan tetapi, di Jerman ada pemisahan antara konsep constitutional review dengan konsep constitutional complaint. Constitutional review diatur dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) angka 2, sedangkan mekanisme constitutional complaint diatur dalam Pasal 93 ayat (1) angka 4a dan 4b.14 Di Spanyol, juga dipisahkan antara kewenangan constitutional review dengan kewenangan constitutional complaint. Kewenangan constitutional complaint disebut Konstitusi) yang hingga tahun 2005 berjumlah 78 negara (termasuk Indonesia). Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 45-58 8 Lihat persebaran geografis hukum Jerman dalam Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,Terjemahan Derta Sri Widowati (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), hlm.256-257. 9 Lihat persebaran atau negara-negara yang dipengaruhi sistem hukum Spanyol dalam James G, Apple and Robert P.Deyling, A Primer on The Civil Law, hlm. 17 dalam Peter Mahmud Marzuki dan Radian Salman, Bahan Ajar (Reading materials) Perbandingan Hukum, Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2010. 10 Di Jerman, peradilan konstitusinya disebut Bundesverfassungsgericht. Lihat Fatkhurohman, dkk. Memahami Keberasaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 101. Sedangkan di Spanyol peradilan konstitusinya disebut dengan Spain Constitutional Tribunal. Lihat Ahmad Syahrizal, Op.Cit. hlm. 103 11 Lihat catatan kaki nomor 6 12 Lihat I.D.G. Palguna, Op.Cit. dan Juga Lihat catatan kaki nomor 6 13 Jimly Asshiddiqie membedakan konsep “judicial review” dengan konsep “constitutional review”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 3-4 14 Baca terjemahan Pasal 93 konstitusi Jerman dalam Fatkhurohman, Loc.Cit
108
dengan istilah recursos de amparo.15 Akan tetapi permohonan constitutional complaint juga bisa terjadi karena dilanggarnya hak konstitusional warga negara oleh suatu undang-undang. Hal ini penting agar tidak mengecohkan kita, terkait apa yang dimaksud dengan constitutional review dan apa yang dimaksud dengan constitutional complaint. Berbeda dengan pendapat ahli sebelumnya16 penulis dengan tegas membedakan antara proses constitutional review dengan proses constitutional complaint. Penulis mendefinisikan constitutional complaint sebagai permohonan yang diajukan oleh warga negara atau pemohon lainnya yang diberikan kepadanya kedudukan hukum oleh undang-undang dasar untuk mengajukan permohonan atas dilanggarnya hak-hak konstitusionalnya, baik dilanggar oleh undang-undang maupun oleh peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, ataupun tindakan aparatus pemerintahan serta dapat pula disebabkan oleh suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pembedaan atas dua konsep ini penting dilakukan dikarenakan akan berakibat pula pada perbedaan mengenai siapa saja yang boleh melakukan permohonan (legal standing),17 objek permohonannya (terkait dengan aturan atau tindakan apa yang dianggap melanggar hak konstitusional pemohon) termasuk syarat-syarat pengajuan permohonan tersebut. Kedua hal tersebut itulah yang akan dibahas atau diperbandingkan dengan mekanisme constitutional complaint di Jerman dan di Spanyol. 1. Siapa yang Boleh Memohon (Legal Standing) Untuk mekanisme constitutional complaint di Jerman, Konstitusi Jerman18 mengaturnya dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) angka 4a dan 4b Grundgesetz dimana disebutkan bahwa perorangan warga negara maupun kelompok dapat mengajukan keluhan atau pengaduan konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi. 19 Selain individu warga negara, legal standing untuk melakukan pengaduan konstitusional juga dimiliki oleh pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4a dan 4b Konstitusi Jerman.20 Ketentuan mengenai legal standing pemohon juga diatur dalam UU 15
Baca Ahmad Syahrizal, Loc.Cit. dan Juga ketentuan Pasal 161-162 Konstitusi Spanyol. Pasal 161 ayat (1) huruf a mengatur tentang kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang dan regulasi sedangkan mekanisme recursos de amparo diatur dalam ketentuan Pasal 161 ayat (1) huruf b. 16 Baca definisi constitutional complaint oleh Ahmad Syahrizal, Op.Cit. hlm. 103 yang menyamakan antara constitutional review dengan constitutional complaint 17 Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.65 18 Konstitusi Jerman Versi bahasa Inggris yang bernama resmi Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland yang mulai berlaku pada tanggal 23 Mei 1949 dan terakhir diperbaharui (diamandemen) tanggal 29 Juli 2009 dikutip dari http://www.servat.unibe.ch/icl/gm00000_.html pada tanggal 16 Februari 2011 19 Pasal 93 ayat (1) angka 4a Konstitusi Jerman berbunyi : On complaints of unconstitutionality, being filed by any person claiming that one of his basic rights or one of his rights under Article 20 IV or under Article 33, 38, 101, 103 or 104 has been violated by public authority. 20 Pasal 93 ayat (1) angka 4b Konstitusi Jerman berbunyi : On complaints of unconstitutionality filed by communes or associations of communes on the ground that their right to self-government under Article 28 has been violated by a statute other than a State [Land] statute open to complaint to the respective State [Land] constitutional court
109
Mahkamah MK Jerman, yaitu dalam Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 91. 21 Jadi yang boleh memohon dalam mekanisme constitutional complaint di Jerman adalah warga negara dan pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah. 22 Di Spanyol, mekanisme constitutional complaint disebut recursos de amparo.23 Pasal 161 ayat (1) huruf b menyebutkan bahwa individu warga negara dapat mengajukan pengaduan konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi Spanyol apabila pemerintah melanggar hak-hak dasar atau kebebasan mereka. Berbeda dengan Jerman, maka di Spanyol yang memiliki legal standing untuk melakukan permohonan constitutional complaint hanyalah warga negara saja.24 Di Indonesia, yang dapat melakukan permohonan pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UUD 1945, yaitu terdiri dari 4 jenis pemohon; (i) perseorangan warga negara atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama,25 (ii) kesatuan masyarakat hukum adat, (iii) badan hukum publik atau privat, dan (iv) lembaga negara. Jika ditelaah secara komparatif, maka di ketiga negara tersebut menempatkan perseorangan warga negara sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Walaupun di Indonesia terbatas hanya pada pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar saja (constitutional review). Akan tetapi, juga bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara.26 Berkaitan dengan siapa yang boleh memohon dalam mekanisme constitutional review, penulis membedakan antara pemohon perorangan warga negara dengan pemohon dari lembaga negara. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang...”. Istilah “hak” dan “kewenangan” merupakan dua istilah yang
21
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts-Gesetz) versi bahasa Inggris. Undang-undang tersebut disahkan pada tanggal 12 Maret 1951 dan terakhir dirubah pada tanggal 16 Juli 1998 (UU Federal Lembaran Negara Nomor 1823). Dikutip dari http://www.iuscomp.org/gla/statutes/BVerfGG.htm 22 Lihat Juga Fatkhurohman, dkk, Op.Cit, hlm. 102-103 23 Konstitusi Kerajaan Spanyol (The Constitutiona of Kongdom of Spain) Terjemahan Resmi Dalam Bahasa Inggris. Kewenangan MK Spanyol diatur dalam Pasal 159-165. Dikutip dari http://www.servat.unibe.ch/l 2 Maret 2011. Lihat juga Ahmad Syahrizal, Loc.Cit. 24 Ada perbedaan pandangan penulis dengan pandangan Ahmad Syahrizal terkait dengan siapa yang boleh memohon. Ahmad Syahrizal, Ibid, hlm. 103 menyatakan bahwa Ombudsman juga berhak mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi Spanyol, akan tetapi menurut penulis, hak Ombudsman berbeda dengan hak perorangan warga negara sebagaimana penulis jelaskan berikutnya pada halaman 6-7. Pendapat penulis tersebut juga didasarkan pada ketentuan Pasal 161 ayat (1) huruf b dan Pasal 162 ayat (1) huruf b Konstitusi Spanyol yang menyebutkan bahwa yang melakukan permohonan dalam mekanisme recursos de amparo hanyalah perorangan warga negara atau kelompok warga negara. 25 Lihat Maruarar Siahaan, Op.Cit, hlm. 66-67 serta lihat juga penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa yang dimasud ” perorangan” juga termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. 26 Lihat Pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003
110
berbeda. Istilah “hak” dalam bahasa Inggris disebut “rights”27. Ketentuan Pasal 93 ayat (1) angka 4a dan 4b Konstitusi Jerman serta Pasal 161 ayat (1) huruf b Konstitusi Spanyol hanya menggunakan istilah “basic rights” dan “rights” tanpa menggabungkannya dengan istilah “kewenangan” atau “authority”.28 Menurut Philipus M.Hadjon, istilah “rights” atau “basic rights” mencakup “human rights’ dan “fundamental rights” yaitu hak asasi manusia dan hak dasar atau hak fundamental.29 Menurut Philipus M.Hadjon di dalam istilah “hak” mengandung inti bahwa adanya suatu tuntutan (claim) yang dalam kaitannya dengan tuntutan terhadap perlindungan hukum bagi rakyat.30 Penulis berpendapat bahwa tuntutan untuk meminta perlindungan hukum itu dapat dilakukan melalui suatu pengaduan atau melalui permohonan atau bisa melalui suatu gugatan kepada suatu lembaga atau institusi peradilan. Sehingga penggunaan istilah “pengaduan atau keluhan (complaint)”31 dalam konsep “pengaduan konstitusional” dapat diartikan sebagai bentuk upaya hukum yang dilakukan oleh warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum khususnya perlindungan terhadap hak-hak konstitusionalnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah “hak” dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 tersebut ditujukan kepada pemohon perseorangan warga negara. Sementara itu, konsep “kewenangan” merupakan konsep dalam hukum administrasi, yaitu terkait dengan adanya jabatan tertentu. Menurut Prajudi Admosudirja, kewenangan (authority, gezag)32 adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh undang-undang) atau kekuasaan eksekutif/administratif, yang terdiri atas kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau terhadap suatu bidang pemerintahan. Dengan demikian, maka penulis berpendapat bahwa warga negara biasa tidak mungkin memiliki suatu “kewenangan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 UU No.24 Tahun 2003 dan hanyalah pejabat pemerintahanlah yang memiliki kewenangan yang dalam hal ini adalah lembaga negara. Dengan demikian, konsep constitutional review berbeda dengan konsep constitutional complaint sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya. Perbedaannya terletak pada siapa yang boleh memohon. Jika dalam konsep constitutional review yang boleh memohon juga termasuk lembaga negara maka dalam konsep constitutional complaint yang boleh memohon hanyalah warga negara. Akan tetapi, constitutional complaint dapat ditempuh dengan jalan melakukan constitutional review terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap melanggar hak konstitusional warga negara. Oleh karena Konstitusi 27
John M Echols dan Hassan Shadilly, Kamus Inggris-Indonesia; An English Indonesian Dictionary, Cet.29 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 486 28 Ibid, hlm. 46 29 Baca lebih lanjut penjelasan mengenai istilah “hak” atau “rights” dalam Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia (Surabaya: Peradaban, 2007) hlm. 33-36 30 Ibid, hlm. 34 31 Pengaduan atau keluhan dalam bahasa inggrisnya disebut “complaint”, Lihat John M Echols dan Hassan Shadilly, Op.Cit, hlm. 132-133 32 Baca penjelasan tentang konsep “kewenangan” oleh Prajudi Admosudirja dalam Prajudi Admosudirja, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995) hlm. 14 kemudian bandingkan dengan konsep “wewenang (bevoegheid, legal power, competence)” dalam Philipus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to The Indonesian Administrative Law, Cet.10 (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hlm. 130-140
111
Jerman menggunakan istilah “rights” dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) 4b, maka pemerintah daerah atau gabungan pemerintah derah juga termasuk dalam kategori pengadu atau pemohon yang memiliki ”hak” yang hak konstitusionalnya dilanggar, bukan “kewenangan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Oleh sebab itu, hakekat dari mekanisme constitutional complaint adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara bukan untuk melindungi kewenangan suatu lembaga negara. Karena pelanggaran hak konstitusional warga negara justeru dilakukan oleh aparatur atau pejabat dari lembaga negara atau pejabat publik tersebut. 2. Objek dan Syarat-Syarat Permohonan Di Indonesia, dikarenakan hanya mengadopsi kewenangan constitutional review, maka objek permohonan (produk hukum yang dianggap melanggar hak konstitusional warga negara) hanya undang-undang baik secara keseluruhan maupun pasal-pasal dari suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar.33 Dalam Putusan MK perkara No.006/PUUIII/2005 yang dibacakan pada hari Kamis 19 Mei 2005, MK menyatakan bahwa persyaratan untuk melakukan permohonan constitutional review atas kerugian yang timbul dari keberlakuan suatu undang-undang adalah sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.34 Di Jerman, objek permohonan dalam mekanisme constitutional complaint disebutkan dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) 8a dan 8b Konstitusi Jerman yaitu pelanggaran hak-hak dasar warga negara yang dilakukan oleh pejabat/otoritas publik terhadap ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 19 Konstitusi Jerman35 juga sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33, 38, 101, 103 atau Pasal 104 Konstitusi Jerman.36 Objek permohonan yang dimaksud adalah dapat berupa 33
Dalam catatan penulis, MK juga paling tidak pernah 2 kali melakukan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UUD 1945, yaitu pengujian Perpu No.4 Tahun 2009 dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang walaupun di tolak oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat Putusan MK perkara No. 138/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK perkara No.145/PUU-VIII/2010 34 Putusan MK RI Perkara No.006/PUU-III/2005, Perkara ini diajukan oleh perseorangan warga negara atas nama H. Biem Benyamin yang memohonkan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945, walaupun akhirnya ditolak oleh MK. 35 Pasal 1 sampai dengan Pasal 19 Konstitusi Jerman tersebut adalah pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak dasar (basic rights) warga negara 36 Lihat catatan kaki nomor 19. Pasal 33, 38, 101, 103 dan Pasal 104 Konstitusi Jerman mengatur tentang pemilu, hak dan kewajiban warga negara, keanggotaan dalam parlemen, peradilan, perkara di pengadilan dan penangkapan. Baca juga Fatkhurohman, dkk, Loc.Cit.
112
undang-undang, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas publik baik di tingkat pemerintah federal maupun di tingakat pemerintah negara bagian. Bahkan selain itu, putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dapat diperiksa melalui mekanisme constitutional complaint.37Sedangkan objek permohonan bagi pemohon dari pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah adalah undang-undang federal atau undang-undang negara bagian yang bertentangan dengan Pasal 28 Konstitusi Jerman.38 Persyaratan untuk mengajukan permohonan bagi pemohon perseorangan warga negara yaitu harus menunjukkan dan menyebutkan hak mana yang diduga dilanggar oleh pejabat publik bersangkutan dan harus dibuktikan dalam waktu satu bulan.39 Selain itu permohonan baru dapat diterima jika semua upaya hukum sudah ditempuh (exhausted) terkecuali jika Mahkamah berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya biasa (upaya hukum biasa) dilakukan terlebih dahulu. 40 Sedangkan persyaratan permohonan bagi pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah adalah jika suatu permohonan merupakan kewenangan dan dapat diselesaikan di tingkat Mahkamah Konstitusi negara bagian, maka permohonan tersebut tidak dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi Federal. 41 Objek permohonan serta syarat permohonan perseorangan warga negara di Spanyol juga sama dengan objek permohonan serta syarat permohonan perseorangan warga negara di Jerman. 42 Bahkan lebih dari itu, pemohon di Spanyol juga dapat meminta agar Tribunal segera mendesak parlemen untuk mengatur suatu persoalan yang sebenarnya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. 43 Jika ditelaah secara komparatif, maka objek permohonan serta syarat permohonan dalam mekanisme constitutional complaint di Jerman dengan objek permohonan serta syarat permohonan dalam mekanisme recorsus de amparo di Spanyol terdapat kesamaan. Perbedaan keduanya adalah bahwa di Spanyol, pemohon dapat memohon kepada Tribunal Constitutional untuk mendesak parlemen agar segera membuat undang-undang untuk mengatur persoalan yang belum di atur sebelumnya karena jika undang-undang itu tidak ditetapkan maka akan melanggar hak konstitusional warga negara. Sedangkan jika kita bandingkan dengan mekanisme constitutional review di Indonesia, maka objek permohonan di Indonesia terbatas hanya pada undang-undang saja, walaupun Mahkamah Konstitusi Indonesia pernah melakukan pemeriksaan dan pengujian
37
Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 93-95 UU Federal tetang Mahkamah Konstitusi Jerman 38 Lihat catatan kaki nomor 20 39 Pasal 92 UU Federal tetang Mahkamah Konstitusi Jerman. Mengenai batas waktu pembuktian, diatur dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) 40 Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 90 ayat (2) UU Federal tentang Mahakamh Konstitusi Jerman. Lihat juga Maruarar Siahaan, Op.Cit, hlm. 68 41 Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 91 UU Federal tetang Mahkamah Konstitusi Jerman 42 Lihat ketentuan Pasal 63 Konstitusi Spanyol 43 Tahun 1984 atas desakan Spain Tribunal Constitutional parlemen Spanyol akhirnya mengadopsi undang-undang yang menjamin hak seseorang untuk dapat menolak wajib militer. Baca lebih lanjut dalam Ahmad Syahriazal, Op.Cit, hlm. 108.
113
terhadap Perppu tetapi putusannya adalah menolak permohonan pemohon.44 Sedangkan berkaitan dengan syarat-syarat permohonan, ada kesamaan diantara mekanisme yang berlaku di tiga negara tersebut, yaitu harus menunjukkan dan membuktikan hak dasarnya yang mana yang telah dilanggar oleh suatu produk hukum tertentu, juga apabila pelanggaran hak konstitusional itu disebabkan oleh suatu undang-undang maka tidak perlu melakukan upaya hukum biasa terlebih dahulu. Dari pemaparan tentang objek permohonan dalam mekanisme constitutional complaint di Jerman maupun mekanisme recorsus de amparo di Spanyol, maka hal tersebut lebih menjamin terlindunginya ha-hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk hanya dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar adalah merupakan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh aparatus pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Oemar Seno Adji menyatakan bahwa di dalam negara hukum seharusnya segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan setiap orang ataupun hak-hak setiap orang harus dapat diawasi oleh pengadilan.45 Apabila pendapat yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji tersebut dikaitkan dengan ciri negara dibawah rule of law hasil konferensi di Bangkok tahun 1965 yaitu bahwa harus adanya jaminan hak konstitusional warga negara serta harus pula menentukan prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut,46 maka mekanisme constitutional review yang berlaku di Indonesia belumlah menjamin sepunuhnya perlindungan hak-hak konstitusional warga negara karena hanya dibatasi atau diasumsikan bahwa undang-undang sajalah yang dapat melanggar hak konstitusional warga negara. Asumsi tersebut merupakan asumsi yang keliru dan tidak diprediksi sebelumnya oleh para perumus perubahan UUD 1945. Betapa tidak, pelanggaran hak konstitusional warga negara hampir setiap hari terjadi, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan perundang-undangan dibawah undangundang. Sebagai contoh, akhir-akhir ini banyak terjadi penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan dalih untuk menegakkan Peraturan Daerah. Berlindung dibawah payung hukum Perda, pemerintah daerah seenaknya melakukan penggusuran terhadap warga negara. tindakan ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak konstitusional (khususnya hakhak sosial berupa hak perumahan dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak)47 warga negara yang dijamin oleh Konstitusi. Tanpa disadari, pemerintah daerah yang berlindung di bawah Perda tersebut secara langsung telah melanggar Pasal 28 H UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk bertempat tinggal maupun Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin, memberdayakan masyarakat lemah maupun negara 44
Baca catatan kaki nomor 33 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 50 46 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet.2 (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 29-30 47 Lihat penjelasan mengenai jenis-jenis hak asasi manusia dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cet.2 (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 623623 45
114
bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik. Akan tetapi baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi sama-sama tidak memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undagan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dasar.48 Sehingga kedua lembaga kekuasaan peradilan tersebut tidak dapat menjangkau pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara yang terjadi akibat berlakunya suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian, menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) merupakan suatu yang mendesak untuk memberikan perlindungan hak kosntitusional warga negara yang dilakukan oleh pejabat publik yang bertentangan dengan konstitusi. Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal larangan penyembelihan hewan yang dikeluarkan oleh otoritas publik di Jerman karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama.49 Sebab, ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan dibawah Undang-Undang Dasar Jerman (Grundgesetz Bunders Republik Deutchland).50 Kasus constitutional complaint diatas dapat dijadikan contoh untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dengan jalan memberikan kewenangan constitutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, persyaratan untuk mengajukan permohonan constitutional complaint itu juga harus diperketat sehingga tidak semua perkara dapat domohonkan untuk diperiksa melalui mekanisme constitutional complaint yang pada akhirnya akan menimbulkan beban berat bagi Mahkamah Konstitusi sendiri. 51 Persyaratan permohonan pengaduan konstitusional di Jerman dan di Spanyol tersebut dapat dijadikan rujukan untuk memperketat persyaratan permohonan pemeriksaan melalui mekanisme constitutional complaint. C. Kesimpulan Beradasarkan uraian dan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Constitutional complaint adalah permohonan yang diajukan oleh warga negara atau pemohon lainnya yang diberikan kepadanya kedudukan hukum (legal standing) oleh undang-undang dasar untuk mengajukan permohonan atas dilanggarnya hak-hak konstitusionalnya, baik dilanggar oleh undang-undang 48
Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang {Pasal 24A ayat (1) UUD 1945} sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar {Pasal 24C ayat (1) UUD 1945}. 49 Masalah kebebasan beragama, diatur dalam Pasal 4 Konstitusi Jerman 50 Pan Mohammad Paiz, http://www.docstoc.com/.../menabur-benih-constitutional-complaint 51 Lihat Maruarar Siahaan, Op.Cit., hlm. 68
115
maupun oleh peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, ataupun tindakan aparatus pemerintahan serta dapat pula disebabkan oleh suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dianggap bertentangan dengan konstitusi. 2. Hakekat dari Constitutional complaint adalah untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Sehingga pemohon utama dalam mekanisme constitutional complaint adalah warga negara. 3. Bahwa objek permohonan yang dapat diajukan untuk diperiksa melalui mekanisme Constitutional complaint adalah dapat berupa undang-undang, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atau jenis produk hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pejabat publik baik di tingkat pusat maupun di daerah maupun putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar. Bahkan dalam mekanisme recorsus de amparo di Spanyol, pemohon dapat meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendesak parlemen agar segera membuat undangundang untuk mengatur hal-hal yang belum diatur sebelumnya karena jika undang-undang itu tidak ditetapkan maka akan melanggar hak konstitusional warga negara. 4. Persyaratan untuk dapat mengajukan permohonan Constitutional complaint sangat ketat, yaitu baru dapat diajukan setelah upaya hukum biasa sudah habis ditempuh (exhausted) kecuali dalam hal Mahkamah Konstitusi menilai bahwa jika melakukan upaya hukum biasa terlebih dahulu akan mengakibatkan timbulnya kerugian yang lebih besar bagi pemohon, maka Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa permohonan itu tanpa harus melalui upaya hukum biasa terlebih dahulu.
D. DAFTAR BACAAN Buku-Buku, Terbitan Resmi dan Jurnal Ilmiah Adji, Oemar Seno. 1985. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga Admosudirja, Prajudi. 1995. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia Apple, James G and Robert P.Deyling. A Primer on The Civil Law dalam Peter Mahmud Marzuki dan Radian Salman. Bahan Ajar (Reading materials) Perbandingan Hukum. Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya: 2010. Asshiddiqie, Jimly. 2004. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia. Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September 2004 ----------------. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Cet. 2. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
116
----------------. 2010. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika Bogdan, Michael. 2010. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Terjemahan Derta Sri Widowati. Bandung: Penerbit Nusa Media Echols, John M. dan Hassan Shadilly. 2007. Kamus Inggris-Indonesia; An English Indonesian Dictionary. Cet.29. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: Citra Aitya Bakti Hadjon, Philipus M. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia; Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi. Surabaya: Peradaban -----------------, dkk. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to The Indonesian Administrative Law. Cet. 10. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Moh.Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Cet. 2. Jakarta:Rineka Cipta -----------------. 2009. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: RajaGrafindo Persada Palguna, ID.G. 2006. Yang “Terlepas ” Dari Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI: Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint). Lex Jurnalica Vol.3 No. 3 Agustus 2006 Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Sinar Grafika Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tetang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: Paradnya Paramita Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode 2003-2008). Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
117
Konstitusi, Undang-Undang dan Putusan Pengadilan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 138/PUUVIII/2010 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 145/PUUVIII/2010
Konstitusi dan Undang-Undang Pembanding Konstitusi Republik Federal Jerman Tahun 1949 dan Terakhir Diamandemen Pada Tahun 2009 Konstitusi Kerajaan Spanyol Tahun 1978 Undang-Undang Federal Republik Federal Jerman tentang Mahkamah Konstitusi Tahun 1951 dan terakhir diubah pada tanggal 16 Juli 1998 (UU Federal Lembaran Negara Nomor 1823) Internet/Website http://www.docstoc.com/.../menabur-benih-constitutional-complaint http://www.servat.unibe.ch/icl/gm00000_.html http://www.iuscomp.org/gla/statutes/BVerfGG.htm http://hukumonline.com/19 Mei 2008
118
PEDOMAN PENULISAN NASKAH/ARTIKEL
Pedoman penulisan artikel atau hasil penelitian dalam Jurnal Hukum yang diharapkan menjadi pertimbangan para penulis. Format 1. Ketikan spasi ganda pada kertas A4 (210x297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 7000 kata dengan jenis huruf Times New Roman/Arial 1112, atau sebanyak 15-20 halaman. 3. Marjin atas-bawah dan kiri-kanan sekurang-kurangnya 1 inci. 4. Tertera nomer halaman. 5. Setiap tabel dan gambar diberi nomer urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar, serta sumber kutipan. Isi Tulisan
Tulisan berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut: Abstrak Bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi:
Masalah penelitian, tujuan, metode, dan hasil kontribusi penelitian. Abstrak disajikan di awal teks dan teridiri 200-400 kata. Pendahuluan
Menguraikan latar belakang penelitian yang mendasari dilaksanakannya sebuah penelitian. Perumusan Masalah
Merumuskan masalah utama yang akan diteliti dalam penelitian. Tujuan Penelitian
Memuat tujuan dilaksanakannya penelitian. Metode Penelitian
Memuat metode yang digunakan dalam penelitian, pendekatan, pengukuran, dan analisis data. Hasil Penelitian dan Analisis
Berisi hasil penelitian dan analisisi data penelititan, yang memuat pembahasan mengenai berbagai temuan di lapangan. Kesimpulan dan Saran
Menjelaskan implikasi temuan serta saran-saran untuk penelitian yang akan datang. Daftar Referensi Memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel.
119
Penyerahan Artikel Artikel diserahkan dalam bentuk softcopy maupun cetak sebanyak 2 eksemplar kepada: Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Alamat Redaksi: Jln. Arief Rahman Hakim No. 51 Sukolilo, Surabaya 60117 Telpon (031) 5946404, Fax. (031) 5931213