KELIMPAHAN POPULASI, BIOLOGI DAN PENGENDALIAN KUTU PUTIH NENAS Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) DI KECAMATAN JALANCAGAK, KABUPATEN SUBANG
JULIET MERRY EVA MAMAHIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Kelimpahan Populasi, Biologi dan Pengendalian Kutu Putih Nenas Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Psedococcidae) di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2009
Juliet Merry Eva Mamahit NIM A461030021
ABSTRACT JULIET MERRY EVA MAMAHIT. Population Abundance, Biology and Management of Pineapple Mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) at Jalancagak District, Subang Regency. Under direction of SYAFRIDA MANUWOTO, PURNAMA HIDAYAT and SOBIR. Mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) is an important pest of pineapple (Ananas comosus (Linn.) Merr.) with its role as vector of pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV). This research study consist of pineapple farming by farmer, population abundance of D. brevipes on several areas, biology of mealybug on two host plants and mealybug management with three cultural practices. The research was conducted from March 2006 until June 2008. The first research suggested that generally farmers have only small areas of farm less than 0.25 ha, low formal education, use of conventional culture techniques and control of pests especially mealybug D. brevipes with pesticide. The result indicated that mealybug attacked pineapple in the three study location of plantations in Subang. The mealybug population abundance was 16.72 individual/plants in Bunihayu, 1.76 individual/plants in Cimanglid and 6.64 individual/plants in Curugrendeng. Damage levels were higher (70.56%) in Bunihayu compared to Cimanglid (27.22%) and Curugrendeng (42.78%). The vertical distribution of the pineapple mealybug was found on all parts of pineapple plants such as root, leaf, peduncle, fruit and crown. The mealybug population on the leaf were found to be higher than that of the other parts of plant. The result showed that D. brevipes live and reproduce in pineapples and lesser galangales (kencur) in laboratory. Mean development period of immature mealybug were 32.1±0.33 days and 35.55±0.43 days on pineapple leaf and on lesser galangales. The total life time of mature mealybug were 20.40±0.74 days in pineapple and 20.20±0.57 days in lesser galangales. The analysis showed that preoviposition and nymph-laying periods were significantly affected by host plant spesies. Mean fecundity of mealybug in pineapple (72.50±5.17 nymph) was higher than those of lesser galangale (23.40±2.61 nymph). It was describe from the results that lesser galangale can act as mealybug host plant. The treatment in the last experiment was done using cultural practices: the first cultural practice (conventional cultural), second cultural practice (optimal fertilizing) and the third cultural practice (selection seedling, soil insecticide, optimal fertilizing). The result showed that mealybug population abundance and attack level of mealybug differed in three cultural practices of pineapple. The population abundance of mealybugs in the pineapple with application of the third cultural practice was lower than the first and second cultural practices. The third cultural practice was more effective to control mealybug and wilt disease incidence. It was concluded from the results that the management of mealybugs D. brevipes using cultivation technique in IPM can be recommended as follows: using healthy seedlings, planting of intercrop of pineapple with non host plant, optimal fertilization, good sanitation and using pesticides with appropriate dosage to control mealybug. Keyword: mealybug, Dysmicoccus brevipes, biology, population abundance, management, pineapple, lesser galangale, host plant, pineapple wilt disease, PMWaV, cultural practice, IPM.
RINGKASAN JULIET MERRY EVA MAMAHIT. Kelimpahan Populasi, Biologi, dan Pengendalian Kutu Putih Nenas Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae), di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SYAFRIDA MANUWOTO, PURNAMA HIDAYAT dan SOBIR. Kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) merupakan masalah utama bagi produksi tanaman nenas (A. comosus (Linn.) Merr.) karena berperan sebagai vektor dari virus penyakit layu nenas pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV). Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara menyeluruh berbagai aspek mengenai kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes, biologi dan cara pengendaliannya menggunakan tiga teknik budidaya. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret 2006 sampai Juni 2008. Penelitian ini diawali dengan survei lokasi dan wawancara terhadap petani di sentra produksi nenas di Kabupaten Subang yaitu: desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid Kecamatan Jalancagak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai aspek masalah hama dan penyakit yang dihadapi petani, pengetahuan dan tindakan petani dalam penanganan kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV. Penelitian kedua yaitu kelimpahan populasi kutu putih pada tanaman nenas dilakukan pada beberapa kebun di tiga desa tersebut di atas. Pengamatan kelimpahan populasi kutu putih selama dua musim dilakukan di desa Bunihayu. Percobaan laboratorium mengenai perkembangan hidup dan kemampuan reproduksi kutu putih dilakukan pada dua jenis tanaman (nenas dan kencur). Percobaan lapang (di desa Bunihayu) dilakukan dengan membuat plot penelitian dengan menggunakan tiga perlakuan teknik budidaya pada tanaman nenas yaitu: teknik budidaya 1: menggunakan teknik budidaya nenas secara konvensional menurut kebiasaan petani, teknik budidaya 2: menggunakan pemupukan optimal dan teknik budidaya 3: menggunakan bibit sehat, pemupukan optimal dan pemberian insektisida tanah. Hasil wawancara petani dan survei lapang menunjukkan bahwa serangan hama kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV merupakan masalah utama bagi petani nenas di lokasi penelitian. Masalah lain dalam produksi nenas adalah lahan garapan yang dimiliki petani nenas umumnya relatif sempit yaitu kurang dari 0.25 ha, pendidikan petani relatif rendah, teknik budidaya yang dilakukan petani secara konvensional, bibit yang tersedia kurang berkualitas dan pengendalian hama seperti kutu putih D. brevipes dan penyakit layu terutama mengandalkan penggunaan pestisida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama kutu putih D. brevipes ditemukan di beberapa kebun di tiga lokasi pengamatan pertanaman nenas yaitu: di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Kelimpahan populasi kutu putih di desa Bunihayu adalah 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu (70.56%) dibandingkan di desa Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%). Kondisi ekosistem kebun dan teknik budidaya yang diterapkan petani mempengaruhi kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes.
Penyebaran vertikal kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas mulai dari akar, daun, tangkai buah, buah sampai mahkota. Populasi kutu putih lebih tinggi pada bagian daun terutama di bagian pangkal daun dibandingkan pada bagian tanaman lainnya. Populasi kutu putih pada daun pertama sampai daun kesembilan lebih tinggi dibandingkan bagian daun lainnya. Hasil pemeliharaan kutu putih D. brevipes di laboratorium mengungkapkan kutu putih dapat hidup dan berkembangbiak pada nenas dan kencur. Nimfa kutu putih terdiri dari tiga instar sebelum menjadi imago. Pradewasa kutu putih yang dipelihara pada daun nenas lebih cepat empat hari untuk memasuki masa dewasa dibandingkan jika dipelihara pada kencur. Lama perkembangan pradewasa kutu putih pada nenas sekitar 32.1±0.33 hari dan pada kencur sekitar 35.5±0.43 hari. Total lama hidup imago kutu putih sekitar 20.40±0.74 hari dan 20.20±0.57 hari pada nenas dan kencur. Hasil analisis menunjukkan bahwa masa praoviposisi dan lamanya imago kutu putih meletakkan keturunannya secara nyata dipengaruhi oleh tanaman inang. Kemampuan reproduksi betina D. brevipes lebih tinggi pada nenas dibandingkan pada kencur. Rata-rata keperidian kutu putih pada tanaman nenas lebih tinggi tiga kali (72.50±5.17 nimfa) dibandingkan pada kencur (23.40±2.61 nimfa). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kencur dapat berperan sebagai tanaman inang dari kutu putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan populasi dan tingkat serangan kutu putih D. brevipes berbeda pada tiga teknik budidaya yang diterapkan. Penggunaan teknik budidaya 3 pada pertanaman lebih efektif dalam mengendalikan populasi kutu putih dibandingkan teknik budidaya lainnya. Aplikasi tanah dengan insektisida tanah menyebabkan kutu putih yang berkoloni pada bibit dan gulma di sekitar tanaman dapat tertekan populasinya. Penggunaan bibit sehat dari kutu putih dan penyakit layu dapat menekan populasi kutu putih dan penyakit layu di pertanaman. Teknik budidaya 3 lebih efektif dalam menekan kejadian penyakit layu PMWaV. Serangan kutu putih dan virus penyebab penyakit layu nenas (PMWaV) dapat mempengaruhi berbagai karakter pertumbuhan tanaman dan menurunkan bobot buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa komponen teknik budidaya 3 dapat diterapkan sebagai komponen pengendalian hama terpadu (PHT) kutu putih yaitu: penggunaan bibit sehat, pemberian insektisida tanah sesuai dosis aturan, sanitasi yang baik dan pemupukan teratur dan dosis yang benar. Kata kunci: kutu putih, Dysmicoccus brevipes, biologi, kelimpahan populasi, pengendalian, nenas, kencur, penyakit layu nenas, PMWaV, teknik budidaya, PHT.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KELIMPAHAN POPULASI, BIOLOGI DAN PENGENDALIAN KUTU PUTIH NENAS Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) DI KECAMATAN JALANCAGAK, KABUPATEN SUBANG
JULIET MERRY EVA MAMAHIT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Dr. Ir. Rahmad Suhartanto, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. I Djatnika, M.S. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S.
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Kelimpahan Populasi, Biologi dan Pengendalian Kutu Putih Nenas Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Juliet Merry Eva Mamahit A461030021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sobir, M.Si. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 16 Desember 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat kasih dan anugerahNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc., Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. dan Dr. Ir. Sobir, M.Si. atas segala kesabaran dan bimbingan, arahan, kritik, saran serta motivasi yang sangat besar peranannya diberikan kepada penulis mulai perencanaan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. yang telah memimpin sidang Ujian Tertutup dan Dr. Ir. Pudjianto, M.S. selaku Koord. Mayor Entomologi, Dr. Ir. Nina Maryana, M.S. dan Dr. Ir. Rahmad Suhartanto, M.S. selaku penguji luar Komisi Ujian Tertutup, Prof. Dr. Ir. Didi Sopandi, M.Agr. selaku pimpinan sidang Ujian Terbuka, Dr. Ir. I Djatnika, M.S. dan Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S. selaku penguji luar Komisi Ujian Terbuka dan Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S. selaku penguji Ujian Kualifikasi (Prelim) dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. selaku pimpinan Program Studi ENT-FIT. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi melalui program Rusnas Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia di Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) dan kepada pimpinan PKBT atas bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada pemerintah Propinsi Sulawesi Utara atas perhatian dan bantuan dana dalam rangka penyelesaian penelitian. Rektor Unsrat Manado, Dekan Fakultas Pertanian dan Pimpinan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsrat, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Tim Managemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa selama mengikuti pendidikan di IPB Bogor. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada Tim Peneliti Penyakit Layu Nenas PKPHT & PKBT: Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc., Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si., Dra. Dewi Sartiami, M.Si. dan Dr. Ir. Supramana, M.Si.
atas kerja sama dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pimpinan dan staf laboratorium:
Biosistematika Serangga Departemen
Proteksi Tanaman IPB, PKBT IPB, PAU IPB, RGCI IPB dan BIOTROP Bogor atas bantuan dan fasilitasnya. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman PS ENT-FIT angkatan 2003 dan teman-teman Persatuan Mahasiswa Sulawesi Utara (Permasut) di Bogor. Rasa hormat dan terima kasih yang tulus disampaikan penulis kepada orang tua tercinta papi Hansje H. Mamahit BA, mami Stien E. Mamahit-Kerap dan adik Drs. Nixon Mamahit, mama M. Hutapea br. Hutauruk dan Kel. L.B.M. Hutauruk br. Siregar atas segala doa, restu dan dukungan selama ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada saudara-saudaraku dalam rukun Mamahit di Jakarta, punguan pomparan Gr.I. PI. Hutauruk di Jakarta, punguan pomparan Omp. J. Hutapea di Tebing Tinggi, rukun Kerap dan Pakasi di Manado serta rukun kawanua di Bogor (RKB) atas perhatian dan dukungan doa selama ini dan kepada pihak-pihak yang telah membantu yang belum disebutkan. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Jhonson Martin Hutapea serta kedua putri tersayang Rahel Blessy Clara Hutapea dan Raysia Miranda Nathasya Hutapea yang selalu setia mendampingi, mendoakan, mendukung dan memberi semangat selama penulis melanjutkan program S3. Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang telah dihasilkan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Kiranya Tuhan memberkati segala jerih payah dan kerja kita sekalian. Amin.
Bogor, Desember 2009
Juliet Merry Eva Mamahit
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tondano Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Februari 1967 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Hansje H. Mamahit BA dan Stien E. Mamahit-Kerap. Penulis menempuh pendidikan S1 di Jurusan Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado tahun 1990. Pada tahun 1994 mengikuti program S2 Program Studi Entomologi KPK IPB-UNSRAT dan menamatkan pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi EntomologiFitopatologi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado tahun 1991 sampai sekarang. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PMI). Dua buah artikel telah diterbitkan dengan judul: (1) Biologi Kutu Putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tanaman Nenas dan Kencur pada Buletin Tanaman Rempah dan Obat, Vol. XIX (2):164-173 pada tahun 2008 dan (2) Dinamika Populasi Kutu Putih D. brevipes (Cockerell) pada Tiga Sistem Budidaya Nenas pada Jurnal Eugenia Vol. XIV(4): 416-424, pada tahun 2008. Karya ilmiah lain yang berjudul: Populasi Kutu Putih D. brevipes (Cockerell) pada Tiga Lokasi Pertanaman Nenas dan Dinamika Populasinya pada Tiga Sistem Budidaya Nenas telah disajikan dalam seminar Nasional Perlindungan Hama di Bogor, pada tanggal 5-6 Agustus 2009. Karyakarya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xvii
I PENDAHULUAN................................................................................ Latar Belakang…................….........................................……........ Pendekatan Masalah………............................................................ Rumusan Masalah ........................................................................... Tujuan Penelitian.…………………................................................ Manfaat Penelitian........................................................................... Ruang Lingkup Penelitian.…………………………….…………. Daftar Pustaka………….. …………………………………….......
1 1 3 5 5 6 6 7
II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... Nenas................................................................................................ Klasifikasi dan Penyebaran Kutu Putih Dysmicoccus brevipes....... Tanaman Inang Kutu Putih D. brevipes........................................... Biologi dan Morfologi Kutu Putih D. brevipes ............................... Kerusakan yang Diakibatkan oleh Kutu Putih D. brevipes.............. Peranan Kutu Putih D. brevipes sebagai Vektor Penyakit layu....................................................................................
10 10 12 12 13 14
Dinamika Populasi Kutu Putih D. brevipes ..................................... Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) D. brevipes pada Tanaman Nenas…................................................................... Daftar Pustaka………….. …………………………………….......
16 17 19
III IDENTIFIKASI TEKNIK PENGENDALIAN KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) PADA TINGKAT PETANI................................................................................................. Abstrak............................................................................................. Abstract............................................................................................ Pendahuluan…………………………………................................. Bahan dan Metode ...………………..……….................................. Hasil dan Pembahasan ………………….....…................................ Kesimpulan ……………………….…………................................ Daftar Pustaka.……………..…………………………..………......
24 24 24 25 27 30 43 43
15
IV KELIMPAHAN POPULASI KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) PADA TANAMAN NENAS DI TIGA DESA DAN DUA MUSIM YANG BERBEDA........................................................ Abstrak …………………………..…………………...................... Abstract………………………..………………….......................... Pendahuluan………………..……………………........................... Bahan dan Metode…….................................................................... Hasil dan Pembahasan …................................................................. Kesimpulan ……………..………………………............................ Daftar Pustaka……………………………………………………...
46 46 46 47 49 52 62 63
V BIOLOGI KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA TANAMAN NENAS DAN KENCUR..................................................................................... Abstrak …......…………………………………….………..…..…. Abstract ………………………………………………….……...... Pendahuluan……………......……………………………….....….. Bahan dan Metode…………………............................................... Hasil dan Pembahasan ………………………………………...…. Kesimpulan …………………………………................................. Daftar Pustaka……………………………………………….....….
66 66 66 67 68 71 79 79
VI PENGENDALIAN KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) DAN PENYAKIT LAYU PMWaV MENGGUNAKAN BEBERAPA TEKNIK BUDIDAYA PADA TANAMAN NENAS ........................................................................... 82 Abstrak......……………………………………………................... 82 Abstract.……………………………………………….………...... 82 Pendahuluan………………………................................................. 83 Bahan dan Metode……………....................................................... 85 Hasil dan Pembahasan…................................................................. 89 Kesimpulan …………………......................................................... 100 Daftar Pustaka ………………........................................................ 101 VII PEMBAHASAN UMUM.....................................................................
104
VIII KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
110
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
112
LAMPIRAN ....................................................................................................
120
DAFTAR TABEL Halaman 2.1
Perbedaan biologi dan morfologi D. brevipes dan D. neobrevipes....................................................................................... 14
3.1
Sebaran umur dan jumlah anggota keluarga tiap petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang........................................... 30
3.2
Pendidikan, penyuluhan dan keikutsertaan responden dalam kelompok tani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang.................................................................................................... 31
3.3
Luas lahan garapan dan kepemilikan lahan oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang....................................... 33
3.4
Hasil wawancara jarak tanam, varietas dan asal bibit yang ditanam oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang.................... 34
3.5
Hasil wawancara tentang pemupukan, jumlah aplikasi dan informasi pemupukan ..................................................................... 35 Pemupukan tanaman nenas menurut SOP dan rata-rata implementasi oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang.................................................................................................... 36
3.6
3.7
Hasil wawancara pola tanam dan jenis tanaman polikultur pada tanaman nenas ....................................................................................... 36
3.8
Hasil wawancara mengenai masalah hama dan tingkat serangan hama kutu putih...................................................................... 38
3.9
Hasil wawancara pemahaman petani tentang masalah penyakit layu pada tanaman nenas............................................................................... 39
3.10
Hasil wawancara dengan petani tentang peranan musuh alami dan perlunya pengendalian kimia................................................................. 40
4.1
Hasil analisis kadar air, glukosa dan N total pada bagian daun nenas………………………………………………………………….... 54
4.2
Hasil pengukuran rataan berbagai variabel lingkungan pada tiga lokasi pengamatan………………………………….............................. 57
5.1
Ukuran tubuh D. brevipes yang dipelihara pada nenas dan kencur..................................................................................................... 73
5.2
Lama perkembangan pradewasa D. brevipes pada nenas dan kencur …................................................................................................ 75
5.3
Lama hidup imago D. brevipes pada nenas dan kencur........................
6.1
Susunan perlakuan tiga teknik budidaya .............................................. 86
6.2
Rataan populasi kutu putih pada tiga teknik budidaya ……………..... 90
6.3
Rataan tingkat serangan kutu putih pada tanaman…………...……...... 93
76
6.4
6.5 6.6
Rataan tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, bobot buah, diameter buah, panjang buah, PTT, berat mahkota dan tinggi mahkota pada tiga teknik budidaya......................................
96
Rataan kandungan klorofil dan anthosianin pada tanaman sehat dan sakit........................................................................................
97
Rataan karakter vegetatif dan karakter komponen buah dan bobot buah dari tanaman sehat dan sakit...............................................
98
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Kerangka kerja analisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan praktek usahatani dan pengendalian hama nenas...................................................................
4
1.2 Bagan alir penelitian ..........................................................................
7
3.1 Peta lokasi penelitian………………………………………………..
28
3.2 Proses usahatani nenas: pengolahan tanah, penanaman bibit, penanaman tanaman tumpangsari, masa vegetatif, masa generatif, panen, pengumpulan buah, pemasaran buah nenas……………....…
37
4.1 Pengamatan populasi kutu putih pada tanaman nenas …..................
50
4.2 Pengamatan populasi kutu putih pada buah nenas.............................
50
4.3 Penyebaran vertikal kutu putih pada bagian akar, daun, tangkai, buah, buah dan mahkota .................................................................... 53 4.4 Rataan populasi kutu putih pada bagian daun pertama sampai daun ke-15……………………………............................................... 54 4.5 Rataan populasi kutu putih pada tiga sektor buah............................... 55 4.6 Rataan populasi kutu putih pada tiga desa.......................................... 56 4.7 Kondisi agroekosistem kebun nenas di desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng............................................................................... 57 4.8 Rataan tingkat serangan kutu putih pada tiga desa............................. 58 4.9 Rataan tingkat serangan penyakit layu pada tiga desa........................ 59 4.10 Gejala penyakit layu pada tiga fase pertumbuhan tanaman................ 59 4.11 Perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas pada pengamatan April 2006-Februari 2007..........................
61
4.12 Kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan di desa Bunihayu...................................................................... 5.1 Wadah percobaan kutu putih di laboratorium....................................
61 70
5.2 Preparat kutu putih D. brevipes dan anatomi betina D. brevipes......……………...........……...........................................
72
5.3 Tahapan perkembangan kutu putih D. brevipes................................
75
5.4 Keperidian harian D. brevipes yang dipelihara pada nenas dan kencur di laboratorium......................................................................
77
5.5 Total keperidian kutu putih yang dipelihara pada nenas dan kencur di laboratorium.......................................................................
78
6.1 Pola tanam penanaman bibit di petak percobaan …………….....….
88
6.2 Denah percobaan di lapangan dan pola pengambilan sampel …………………………………..…………………….....…
88
6.3 Perkembangan populasi D. brevipes pada tanaman nenas pada tiga teknik budidaya .....………........................................................
91
6.4 Curah hujan dan jumlah hari hujan tiap bulan selama pengamatan........................................................................................
91
6.5 Serangan kutu putih pada bagian pangkal daun.................................
94
6.6 Kejadian penyakit layu pada tiga perlakuan teknik budidaya.............................................................................................
95
6.7 Gejala penyakit layu...........................................................................
97
6.8 Penampilan buah sakit dan buah sehat dan penampilan daging buah sakit dan daging buah sehat………………………………….. 100 6.9 Penampilan mata buah sakit dan sehat ............................................. 100
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Tanaman inang dari Dysmicoccus brevipes.......................................
121
2
Daftar pertanyaan wawancara perorangan petani nenas....................
126
3
Hasil analisa usahatani nenas di tiga lokasi penelitian di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang...........................................................
129
Hasil analisis kadar air dan Nitrogen total pada bagian akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota dari tanaman nenas…………………………………………………………………
130
4
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (Linn.) Merr.) merupakan salah satu buah tropik unggulan Indonesia karena kandungan gizi dan nilai ekonominya. Kandungan gizi buah nenas yaitu: energi 45 kkal, protein 50 mg, lemak 10 mg, serat 1060 mg, dan vitamin (B1 270 mg, B2 0.17 mg dan C 15.2 mg), niasin 0.1 mg, beta karoten 40 mg dan mineral (kalsium 0.4 mg, fosfor 24 mg, besi 6 mg dan kalium 1.4 mg) serta enzim proteolitik bromelin (Rohrbach et al. 2003; DAK 2004). Nenas segar selain diperdagangkan untuk kebutuhan konsumen di dalam negeri juga diekspor ke beberapa negara seperti: Amerika Serikat, Belgia, Perancis, Jepang, Italia, Jerman, Belanda dan Kanada. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor nenas di dunia, dengan nilai ekspor sekitar 220 000 ton (Deptan 2008) atau 7.8% dari total ekspor dunia (2 800 000 ton) (FAO 2007). Indonesia termasuk urutan ketiga sedunia pengekspor nenas kaleng (91 000 ton) dan urutan keempat sedunia pengekspor juice nenas (19 000 ton). Produktivitas nenas di Indonesia mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2004 mencapai 10.9 ton/ha, tahun 2005 menurun menjadi 8.4 ton/ha dan tahun 2006 meningkat mencapai 11.6 ton/ha. Produktivitas nenas Indonesia masih rendah bila dibanding dengan negara Thailand dan Filipina yang telah mencapai 29.8 ton/ha dan 37.4 ton/ha (FAO 2007). Rendahnya produktivitas nenas di dalam negeri umumnya disebabkan oleh berbagai tantangan seperti: belum tersedianya bahan tanaman/bibit yang bermutu dalam jumlah banyak, teknik budidaya yang kurang, skala usahatani relatif sempit, kurangnya penanganan pasca panen serta serangan hama dan penyakit (DPTP 1994). Kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan salah satu hama utama pada tanaman nenas yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Khan et al. 1998; Miller & Miller 2002; Rohrbach & Johnson 2003). Kerugian akibat serangan hama kutu putih pada nenas telah dilaporkan di Brasil mencapai 50% (Khan et al. 1998). Di Indonesia terutama di Kabupaten Subang dan Bogor tingkat serangannya masing-masing mencapai 73% dan 69%
2 (Asbani 2005). Selain itu serangan hama ini telah dijumpai di beberapa sentra pertanaman nenas antara lain: Simalungun (Sumatera Utara) dan Blitar (Jawa Timur) (Hutahayan 2006). Serangan hama kutu putih berakibat secara langsung pada tanaman yaitu: pertumbuhan tanaman terhambat dan kualitas buah menurun (Rohrbach & Johnson 2003), tetapi serangan tidak langsung lebih berbahaya karena peranannya sebagai vektor virus pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) penyebab penyakit layu (Sether et al. 1998; 2005; Petty et al. 2002; Sether & Hu 2002). Akibat adanya virus ini pada tanaman dalam kondisi serangan berat, tanaman nenas tidak berproduksi (Sether & Hu 2002). Sampai saat ini cara penanggulangan penyakit layu nenas adalah dengan menekan perkembangan serangga vektor D. brevipes menggunakan insektisida (Pitaksa et al. 2000). Akan tetapi penggunaan insektisida harus diperhatikan karena penggunaan yang berlebihan dapat berpengaruh negatif yaitu: resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya serangga bukan sasaran, pencemaran lingkungan dan kandungan residu (Manuwoto 1999; Setiawati et al. 2000). Oleh karena itu usaha pengendalian kutu putih yang efektif serta dapat mengurangi pengaruh negatif akibat pestisida seperti uraian di atas perlu dikembangkan. Salah satu usaha pengendalian yang sudah dikembangkan dalam budidaya nenas di Amerika yaitu melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Sistem pengendalian hama ini merupakan tindakan yang mengutamakan perlindungan terhadap lingkungan dan keamanan bahan makanan (Rohrbach & Johnson 2003) dengan menggunakan berbagai teknik pengendalian yang tersedia (Djunaidi 2003). Beberapa hal yang perlu diketahui menjadi dasar dalam PHT antara lain: keberadaan hama, kondisi tanaman dan lingkungan (Norris et al. 2003). Keberhasilan pengendalian hama tergantung pada beberapa faktor antar lain: pemahaman tentang biologi dan ekologi hama serta faktor-faktor yang berbubungan dengan hama tersebut (Rohrbach & Johnson 2003), petani sebagai pelaku pengendalian dan teknik yang diterapkan dalam pengendalian (Norris et al. 2003). Untuk mendapatkan berbagai informasi yang diperlukan tersebut, dalam penyusunan program PHT hama kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas, maka penelitian yang lebih menyeluruh tentang kutu putih ini telah dilakukan.
3
Pendekatan Masalah Seperti usahatani tanaman buah-buahan pada umumnya, usahatani nenas dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain faktor internal dan eksternal dari petani. Faktor internal petani antara lain: modal, pendidikan, keterampilan dan umur, sedangkan faktor eksternal antara lain: penyuluhan, harga, pemasaran, iklim, topografi, kondisi lahan serta serangan hama dan penyakit (Gambar 1.1). Faktorfaktor tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan budidaya tanaman dan perlindungan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit (Rukka et al. 2006). Proses pengambilan keputusan PHT sangat ditentukan oleh kemampuan petani dalam mendiagnosis tentang masalah dan kondisi lahannya (Untung 1996). Penelitian ini diawali dengan melakukan survei berbagai aspek tentang petani dan pengendalian hama dan penyakit yang diterapkan oleh petani di Kabupaten Subang. Dalam PHT survei terhadap petani perlu dilakukan untuk mendapatkan data tentang identifikasi masalah yang dihadapi petani termasuk berbagai aspek teknik budidaya dan pengendalian hama dan penyakit. Menurut Rauf (1996) survei mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan petani sangat penting dalam membuat rekomendasi teknologi. Selain itu identifikasi faktor-faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan populasi hama merupakan hal yang penting dalam pengembangan PHT (Walter 2003). Penelitian mengenai bioekologi populasi kutu putih D. brevipes cukup banyak dilaporkan di luar negeri. Beberapa penelitian yang telah dilaporkan antara lain biologi di Malaysia (Lim 1973 dalam Waterhouse 1998) dan di Brasil (Cecilia et al. 2004), populasi dan musuh alaminya di Hawai (Hernandez et al. 1999). Penelitian kutu putih di Indonesia masih terbatas antara lain: keberadaannya sebagai vektor PMWaV (Sartiami 2006), tingkat serangan kutu putih dan musuh alami (Asbani 2005), pola penyebaran (Widyanto 2005) dan uji penularan penyakit layu PMWaV dengan vektor (Hutahayan 2006). Kutu putih D. brevipes memiliki lebih dari 100 genus tanaman inang (Dove 2005) (Lampiran 1). Umumnya nenas ditanam secara polikultur dengan tanaman kencur. Untuk itu dilakukan penelitian di laboratorium mengenai biologi D. brevipes pada tanaman nenas dan dibandingkan dengan kencur.
4
Faktor Eksternal • Harga produk • Harga input • Pemasaran • Penyuluhan
Topografi/kondisi lahan • Luasan • Kemiringan • Tipe tanah • Ketinggian tempat
Iklim • Curah hujan • Temperatur • Kelembaban
Faktor Internal • Modal • Pendidikan • Umur • Jumlah keluarga • Luas kepemilikan lahan
Keputusan Petani dalam Praktek Usahatani • Pemilihan bibit • Jarak tanam • Tumpangsari • Pemupukan • Pestisida
Hama D. brevipes • Sumber infeksi • Tanaman inang • Tingkat serangan Penyakit Layu nenas • Vektor • Gejala
Pengendalian hama Dysmicoccus brevipes (mencakup pengendalian penyakit layu nenas PMWaV)
Gambar 1.1. Kerangka kerja analisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan praktek usahatani dan pengendalian hama nenas Pemilihan teknik pengendalian yang tepat menentukan keberhasilan pengendalian PHT. Tindakan prefentif juga merupakan salah satu tindakan PHT untuk mencegah keberadaan hama (Untung 1996: Globalgap 2007). Tindakan prefentif dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan budidaya antara lain: varietas tahan, pengolahan tanah, penggunaan bibit sehat, sanitasi dan pemupukan yang optimal. Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk mengelola lingkungan
5 tanaman sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut kurang sesuai bagi perkembangan hama tapi sangat menunjang bagi perkembangan tanaman dan musuh alami (Norris et al. 2003). Mengingat masih terbatasnya informasi tentang kutu putih D. brevipes, dilakukan serangkaian penelitian dasar mengenai kelimpahan populasi, biologi kutu putih dan teknik pengendaliannya pada tanaman nenas di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Pengembangan teknik-teknik pengendalian hama perlu disesuaikan dengan kondisi setempat serta mudah diaplikasikan oleh petani (Untung 1996). Rumusan Masalah Penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa masalah seperti berikut ini : (1). Identifikasi masalah petani dan upaya pengendalian kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas di tingkat petani. (2). Kelimpahan populasi, tingkat serangan kutu putih D. brevipes di beberapa desa penghasil nenas di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. (3). Perkembangan populasi kutu putih pada musim kemarau dan hujan. (4). Biologi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dan kencur di laboratorium. (5). Pengendalian yang efektif terhadap kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV pada tanaman nenas. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menyusun strategi pengendalian hama terpadu (PHT) kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV pada tanaman nenas melalui pemahaman bioekologi kutu putih D. brevipes dan penerapan berbagai teknik budidaya untuk pengendaliannya. Tujuan Khusus (1) Mengidentifikasi berbagai aspek tentang karakteristik petani serta tindakan petani dalam pengendalian kutu putih dan penyakit layu pada tanaman nenas.
6 (2) Memahami kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes di beberapa tempat penghasil nenas. (3) Mengkaji perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada dua musim. (4) Mengkaji biologi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dan kencur. (5) Mengkaji efektivitas pengendalian kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV dengan menggunakan beberapa teknik budidaya nenas. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan menjadi acuan dalam menyusun strategi pengendalian hama secara terpadu (PHT) terhadap kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV pada tanaman nenas dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan petani nenas. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian dasar dan terapan lainnya yang ada kaitannya dengan kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi empat topik penelitian yang terdiri dari : Penelitian 1: Identifikasi teknik pengendalian kutu putih D. brevipes pada tingkat petani. Penelitian 2: Kelimpahan kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas tiga desa dan dua musim yang berbeda. Penelitian 3: Biologi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dan kencur. Penelitian 4: Pengendalian kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV menggunakan beberapa teknik budidaya pada tanaman nenas. Keterkaitan berbagai topik penelitian ini dan bagan alir penelitian ditampilkan pada Gambar 1.2.
7
KUTU PUTIH KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Cockerell
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN, MASALAH SIKAP & HAMA DAN TINDAKAN TINDAKAN PETANI
KELIMPAHAN POPULASI PADA BEBERAPA TEMPAT
MORFOLOGI DAN BIOLOGI
BERBAGAI TEKNIK BUDIDAYA
DATA BASE PETANI
DATA JUMLAH POPULASI & TINGKAT SERANGAN
DATA DATA MORFOLOGI MORFOLOGI && SIKLUS HIDUP SIKLUS HIDUP DUA PADA PADA DUA INANG TANAMAN INANG
DATA JUMLAH POPULASI & KARAKTER FISIK & PRODUKSI
ANALISIS DESKRIPTIF
ANALISIS ANALISI RAGAM & UJI t) S RAGAM
ANALISIS DESKRIPTIF & UJI t
ANALISIS RAGAM
KARAKTERISTI TINGKAT K PETANI, PENGETAHUAN, STATUS SIKAP & HAMA KUTU TINDAKAN PUTIH & PETANI TINDAKAN TERHADAP PENGENDALIA KUTU PUTIH N KUTU PUTIH
KELIMPAHAN POPULASI & TINGKAT SERANGAN KUTU PUTIH PADA BEBERAPA TEMPAT & MUSIM
PERBEDAAN MORFOLOGI & BIOLOGI KUTU PUTIH PADA DUA TANAMAN INANG
TEKNIK BUDIDAYA YANG EFEKTIF
PENGENDALIAN KUTU PUTIH PENGENDALIAN KUTU PUTIH Dysmicoccusbrevipes brevipesCockerell (Cockerell) Dysmicoccus TANAMAN PADAPADA TANAMAN NENASNENAS SECARA SECARA TERPADUTERPADU (PHT)
Gambar 1.2. Bagan alir penelitian Daftar Pustaka Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Cecilia LVCS, Bueno VHPB, Prado E. 2004. Desenvolvimento de Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) emduas cultivars de abaxi. Cienc agrotec 28(5):1015-1020.
8 [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2008. Volume ekspor komoditas buah-buahan di Indonesia periode 2003-2006. http://www.hortikultura.deptan.go.id. [8 Desember 2009]. [DAK] Departement of Agriculture Kualalumpur. 2004. Pineapple. Market Access on Pineapple (Ananas comosus). Malaysia: Crop Protection and Plant Quarantine Service Devision. Departement of Agriculture Kualalumpur Malaysia. Djunaidi D. 2003. Peranan industri pada pengelolaan hama terpadu dalam pertanian berkelanjutan. Di dalam. Kongres PEI dan Simposium Entomologi VI. PEI: Cipayung, 5-7 Maret 2003. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http:// www.sel.barc.usda.gov/catalogs/pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes.htm. [12 Feb 2008]. DPTP [Dinas Pertanian Tanaman Pangan]. 1994. Penuntun Budidaya Hortikultura (Nenas). Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu. 238 hal. [FAO] Food Agriculture of Organization. 2007. Database Faostat: FAO Statistics http://faostat.fao.org/ site/535/ DesktopDefault.aspx? PageID=535#ancor. [8 Desember 2009]. Globalgap 2007. Control Points and Compliance Criteria Integrated Farm Assurance Crop Base. German: Globalgap. http://www.globalgap.org. hlm 23-28. [5 Mei 2007]. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Hutahayan AJ. 2006. Peranan strain pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) dan kutu putih (Dysmicoccus spp.) dalam menginduksi gejala penyakit layu pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. Manuwoto S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Makalah utama seminar PEI. Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor: 16 Februari 1999. PEI Cabang Bogor. Miller GL, Miller DR. 2002. Dysmicoccus Ferries and similar genera (Hemiptera; Cocoidea; Pseudococcidae) of the Gulf state region including a description of a new species and new United State records. Proc Entomol Soc Wash 104: 968-979. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm. Petty GJ. Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of Pineapple. Di dalam. Pena JE, Sharp J, Wisoki M, editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators. USA: CABI Publ.
9 Pitaksa C, Chantarasuwan A, Kongkanjana A. 2000. Ant control in pineapple field. Act Hort 529: 309-316. Rauf A, 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rohrbach KG, Johnson MW. 2003. Pest, Diseases and Weed. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CABI Publ. hlm 203-251. Rohrbach KG, Leal F, d’Eeckenbrugge GC. 2003. History, Distribution and Word Production. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International Publ. hlm 1-12. Rukka H. Buhaerah, Sunaryo. 2006. Hubungan karakteristik petani dengan respon petani terhadap penggunaan pupuk organik pada padi sawah (Oryza sativa L.). J. Agrisistem: 2(1):1858-4430. Sartiami D. 2006. Keberadaan Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) sebagai vektor pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) pada tanaman nenas. J Pert Indon 11(1):1-6 Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88:1224-1230. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2005. Diversity and mealybug transmissibility of ampeloviruses in pineapple. Plant Disease 89(5):450456. Setiawati WS, Soeriatmadja RE, Sastrosiswojo S, Prabaningrum L, Moekasan TK, Sulastrini L, Abidin Z. 2000. Dampak penerapan cara PHT terhadap keanekaragaman fauna pada pertanaman kubis. Di dalam: Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda. Cipayung: 16-18 Okt 2000. PEI dan Yayasan Kehati Indonesia. hlm 349-354. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Walter GH. 2003. Insect Pest Management and Ecological Research. United Kingdom. Cambridge University Press. 387 hlm. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest, Southeast Asian Prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR. Widyanto H. 2005. Pola penyebaran penyakit layu dan kutu putih pada perkebunan nenas (Ananas comosus (Linn.) Merr.) rakyat di desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Nenas Nenas (Ananas comosus (Linn.) Merr.) termasuk dalam famili Bromeliaceae merupakan tanaman herba, monokotil dan perenial yang berasal dari Brasil (Amerika Selatan) (Collins 1968; Rohrbach et al. 2003). Berdasarkan habitus tanaman terutama berdasarkan bentuk daun dan buah, dikenal 4 jenis golongan nenas yaitu: Smooth Cayenne (daun halus tidak berduri, kulit buah berwarna oranye dan buah berbentuk silindris, berukuran besar mencapai 2.3 kg atau lebih), Queen (daun pendek berduri tajam, kulit buah kuning, buah lonjong mirip kerucut, beratnya 0.5-1.1 kg), Spanish (daun panjang kecil, berduri halus sampai kasar, kulit buah oranye-merah, buah berbentuk bulat, beratnya 0.9-1.8 kg) dan Abacaxi (daun panjang berduri kasar, kulit buah berwarna kuning, bentuk buah silindris atau seperti piramida dan berat rata-rata 1.4 kg) (Deptan 2006b; PKBT 2007a). Nenas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan Queen dan Smooth Cayenne. Golongan Spanish dikembangkan di kepulauan India Barat, Puerte Rico, Mexico dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam di Brazil. Dewasa ini ragam kultivar nenas Indonesia yang dikategorikan unggul adalah nenas Bogor dan Palembang yang termasuk golongan Queen dan nenas Subang yang termasuk golongan Smooth Cayenne (PKBT 2007a). Tanaman nenas tersebar di daerah tropik dan subtropik (Collins 1968; Rohrbach et al. 2003). Pertanaman nenas di Indonesia tersebar di berbagai propinsi, antara lain: Sumatera Utara (Tapanuli Selatan, Simalungun), Riau (Kampar, Siak, Dumai), Jambi (Bungo, Batanghari), Sumatera Selatan (Ogan Ilir, Muara Enim, Prabumulih), Lampung (Lampung Tengah, Tulang Bawang), Jawa Barat (Subang), Jawa Tengah (Pemalang, Wonosobo), Jawa Timur (Blitar, Kediri), Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara) Kalimantan Barat (Sambas, Pontianak), Kalimantan Tengah (Kapuas, Kotawaringin) dan Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow) (Deptan 2006b). Tanaman nenas dapat tumbuh pada keadaan iklim basah maupun kering. Tanaman ini sangat toleran terhadap musim kemarau dan musim hujan, dapat
11 tumbuh pada curah hujan sekitar 635-2500 mm per tahun, tetapi curah hujan optimal adalah 1000-1500 mm (Purseglove 1978). Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman nenas sekitar 7-40 oC. Suhu optimal untuk pertumbuhan daun 32 oC dan untuk akar 29 oC (Hepton 2003). Di Hawai pada ketinggian di bawah 840 m dpl, suhu yang sesuai untuk mendapatkan buah berkualitas yaitu 21-32 oC (Evans et al. 2002). Perbanyakan tanaman nenas yaitu secara asexual dari bagian tanaman (Evans et al. 2002). Umumnya bibit untuk perbanyakan tanaman nenas yang digunakan adalah bagian vegetatif tanaman yaitu: mahkota, anakan, tunas samping, tunas buah (Collins 1968; Ploetz et al. 1994; Hepton 2003) dan plantlet yang berasal dari kultur jaringan (Hepton 2003). Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh tanaman bibit yang baik yaitu: 1) berasal dari tanaman normal dan sehat, 2) bibit berasal dari tanaman yang benar varietasnya dan sesuai deskripsinya, 3) memiliki daya adaptasi tinggi, 4) produksi tinggi, 5) bermahkota tunggal, 6) bentuk dan ukuran buah normal sesuai varietasnya dan 7) memiliki mata buah seragam (PKBT 2007b). Bibit yang diharapkan tidak terserang hama dan penyakit serta memiliki daya produksi yang tinggi. Tanaman nenas dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Pada tanah liat berpasir dengan pH tanah sekitar 5.0–6.5 lebih disukai bagi pertumbuhan nenas (Purseglove 1978). Bahan-bahan organik dan kandungan kapur yang terkandung tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung, sehingga diperlukan bahan-bahan nutrisi tambahan dalam upaya meningkatkan kondisi fisik dan kimia tanah (Hepton 2003). Standar pemberian pupuk pada tanaman nenas adalah campuran pupuk yang mengandung N, P dan K masing-masing 10%, 6% dan 10% (Collins 1968). Pemupukan pada lahan mineral dapat dilakukan dua kali yaitu pada 3 bulan setelah tanam (BST) dengan dosis: Urea 300 kg/ha, SP 36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha, selanjutnya pemberian pupuk kedua diberikan 10-14 BST dengan dosis: Urea 150 kg/ha, SP 36 50 kg/ha dan KCl 300 kg/ha (PKBT 2007b). Di Hawai penanaman nenas biasanya menggunakan sistem dua baris (double-row). Jarak tanam yang digunakan adalah jarak tanaman di dalam baris 28 cm, jarak baris 55-60 cm dan jarak antar baris 122 cm sehingga jumlah populasi nenas 58 700 tanaman/ha (Evans et al. 2002). Pada sistem pertanaman
12 satu baris jarak antar tanaman tergantung varietas dan praktek budidaya yang digunakan (Hepton 2003). Praktek budidaya nenas yang penting dalam budidaya nenas antara lain: penggunaan bibit/varietas yang tahan, irigasi yang baik, dan pengendalian gulma (Bartholomew et al. 2003). Klasifikasi dan Penyebaran Kutu Putih Dysmicoccus brevipes Kutu putih D. brevipes (Cockerell) termasuk filum Arthropoda, klas Insecta, ordo Hemiptera, super famili Coccoidea, famili Pseudococcidae, genus Dysmicoccus dan spesies: D. brevipes Cockerell dan dikenal dengan nama umum pineapple mealybug (Williams & Watson 1988; CABI 2003). Kutu putih dilaporkan berasal dari Amerika Selatan (Waterhouse 1998; Petty et al. 2002). Keberadaan hama ini di Hawai pertama kali dilaporkan
pada tahun 1910
(Waterhouse 1998). Hama ini telah tersebar di berbagai negara seperti: Fiji, Jamaica, Australia, Afrika, Mexico, Micronesia, Taiwan dan Asia Tenggara (Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Hama ini pernah menimbulkan masalah serius di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Thailand (Williams & Watson 1988). Hama ini juga terdapat di pulau Jawa (Kalshoven 1981). Kutu putih ini dilaporkan telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia seperti: Bogor dan Subang (Jawa Barat), Simalungun (Sumatera Utara), Blitar (Jawa Timur) (Hutahayan 2006), bahkan telah sampai ke Sulawesi Utara (hasil survey Mamahit 2007 belum dipublikasi). Penyebaran kutu putih sangat mudah tersebar melalui bibit hasil perbanyakan tanaman secara vegetatif yaitu: mahkota, tunas slip dan sucker (Khan et al. 1998). Tanaman Inang Kutu Putih D. brevipes Kutu putih D. brevipes merupakan hama polifag (Khan et al. 1998; Dove 2005; CABI 2003; 2008). Kutu putih ditemukan pada tanaman nenas, bromeliaceae lainnya, kopi, pisang, talas, tebu, bunga tasbih, jeruk (CABI 2003) dan tomat (Culik et al. 2005). Kutu putih memiliki sekitar 50 famili tanaman
13 inang termasuk berbagai rumput-rumputan (Petty et al. 2002). Pustaka mutakhir menyebutkan bahwa hama ini memiliki tanaman inang lebih dari 100 genus dari 62 famili tanaman (Dove 2005; CABI 2008) (Lampiran 1). Selain nenas sebagai inang utama kutu putih di Indonesia, tanaman inang lainnya antara lain: tebu, padi, palem, kopi, pisang, kedele, kacang tanah, kapas dan pandan (Kalshoven 1981). Tempat hidup hama ini terutama ditemukan pada bagian akar (Khan et al. 1998), daun (Kumar 2006; Mau & Kessing 2007), tunas, mahkota dan buah (Hernandez et al. 1999; Mau & Kessing 2007). Biologi dan Morfologi Kutu Putih D. brevipes Kutu putih D. brevipes berbentuk bulat sampai oval, panjang tubuh dapat mencapai tiga mm dan memiliki bagian terlebar pada mesothoraks. Kutu putih berwarna merah muda sehingga disebut pink mealybug dan memiliki lapisan lilin berwarna putih (Williams & Watson 1988; Williams de Willink 1992; Petty et al. 2002; Williams 2004). Ciri-ciri kutu putih D. brevipes yaitu: memiliki delapan ruas antena, 17 pasang serari, cirkulus, ostiol berkembang baik, discoidal pore terletak dekat mata, seta sekmen VIII bagian dorsal lebih panjang dari seta dorsal lainnya dan memiliki enam seta yang panjangnya sekitar 110 mμ pada bagian lingkaran anal (Williams & Watson 1988; Mau & Kessing 2007). Tungkai berkembang baik berbentuk langsing, panjang bagian trokanter bersama femur belakang sekitar 250 mμ, panjang tibia bersama tarsus belakang sekitar 250-260 mμ dan memiliki kuku dengan panjang 36 mμ (Williams & Watson 1988). Pada tanaman nenas di Hawai dilaporkan terdapat dua jenis kutu putih yaitu: D. brevipes dan D. neobrevipes (Waterhouse 1998; Petty et al. 2002). Beberapa parameter yang menunjukkan perbedaan biologi dan morfologi antara kedua spesies kutu putih diuraikan pada Tabel 2.1. Imago betina D. brevipes berkembangbiak secara partenogenesis di Hawai (Waterhouse 1998). Tetapi bentuk bisexual kutu putih terdapat di Brasil dan Malaysia (Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Imago jantan dapat hidup selama 1-3 hari, sedangkan imago betina dapat hidup lebih lama sekitar 17-49 hari (Waterhouse 1998). Siklus hidup imago jantan 32-32.4 hari (Cecilia et al. 2004) dan imago betina sekitar 3180 hari (Kumar 2006).
14 Imago betina kutu putih melahirkan dalam bentuk pradewasa (nimfa). Nimfa kutu putih yang aktif dalam penyebaran disebut juga crawler. Crawler dapat tersebar melalui angin dan hewan lainnya (Kumar 2006). Pada suhu 23.5 oC, lama perkembangan nimfa 34.03 hari. Peluang hidup nimfa sekitar 32.3% dan 40.5% pada nenas kultivar Perola dan Smooth Cayenne (Cecilia et al. 2004). Lama masa praoviposisi imago betina 27 hari, lama masa oviposisi 25 hari dan lama hidup setelah melahirkan 5 hari. Imago dapat hidup selama 56 hari dan total lama hidup kutu putih dapat mencapai 90 hari (Petty et al. 2002). Setiap induk betina dapat menghasilkan sekitar 19-137 nimfa (Waterhouse 1988). Tabel 2.1. Perbedaan biologi dan morfologi D. brevipes dan D. neobrevipes Parameter
D. brevipes
D. neobrevipes
•Sklerotisasi pada lobus anal bagian ventral
kuadrate
elongate
•Seta panjang pada bagian dorsal abdomen
ada
tidak ada
parthenogenesi
bisexual
•Cara reproduksi •Warna imago betina •Bagian tanaman yang
disukai •Inang rumputan
rumput-
s
abu-abu merah muda
buah, mahkota, bagian atas akar, bagian tanaman bawah tanaman
•Spot hijau pada daun
ya
tidak
tidak ada
ada
Sumber: Petty et al. (2002) Kerusakan yang Diakibatkan oleh Kutu Putih D. brevipes Kerusakan akibat adanya kutu putih meliputi kerusakan langsung oleh serangan kutu putih dan kerusakan tidak langsung karena perananannya sebagai vektor pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) (CABI 2003; Rohrbach & Jhonson 2003; Mau & Kessing 2007). Imago dan nimfa D. brevipes dapat menyerang tanaman nenas dengan cara mengisap cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya ke dalam jaringan tanaman. Serangan kutu putih menyebabkan berkurangnya vigor tanaman, penurunan berat akar dan tunas. Selain itu embun madu yang dihasilkan kutu putih dapat menjadi media
15 pertumbuhan embun jelaga sehingga menghambat potensi fotosintesis tanaman dan menurunkan daya jual buah yang terserang (Geiger & Daane 2001; Culik et al. 2005). Serangan kutu putih D. brevipes bersama virus pada tanaman nenas bervariasi, di Kuba mencapai 40% (Petty et al. 2002) dan di Brasil dilaporkan sampai 50% (Khan et al. 1998). Kehilangan hasil dapat meningkat jika terjadi peningkatan populasi kutu putih (Cicalese et al. 1998) dan tidak adanya pengendalian kutu putih (Rohrbach & Schmitt 2003). Adanya PMWaV pada tanaman dapat memperparah serangan karena adanya PMWaV bersama-sama dengan kutu putih dapat menyebabkan kematian tanaman (Waterhouse 1998; Hernandes et al. 1999; Sether & Hu 2002) sehingga pada serangan tinggi kehilangan hasil nenas dapat mencapai 100% (Sether et al. 2005). Peranan Kutu Putih D. brevipes sebagai Vektor Penyakit Layu Kutu putih D. brevipes merupakan hama penting pada tanaman nenas karena menjadi vektor virus penyebab penyakit layu nenas atau pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) (Hu et al. 1997; Hughes & Sasmita 1998; Sether et al. 1998; 2001; 2004). Keberadaan virus PMWaV pada tanaman nenas yang bergejala layu mula-mula dilaporkan Gunasinghe dan German pada tahun 1989 yang menemukan RNA untai ganda dan partikel virus berbentuk batang, lentur dan panjang yang termasuk golongan closterovirus (Petty et al. 2002). Dilaporkan ada dua jenis PMWaV yaitu: PMWaV1 dan PMWaV2 (Sether & Hu 2002). Selanjutnya dua virus penyebab penyakit layu nenas berhasil diidentifikasi yaitu: PMWaV3 dan PMWaV4 dan diketahui pula diantara keempat jenis virus tersebut, PMWaV2 merupakan virus yang paling berperan sebagai penyebab gejala layu (Sether et al. 2004; 2005). Kutu putih ini dapat menginfeksi tanaman dengan cara mengintroduksi virus PMWaV ini ke dalam jaringan tanaman melalui alat mulut menusuk mengisapnya (Cicalese et al. 1998). Tanaman nenas yang terinfeksi PMWaV akan menunjukkan gejala seperti: ujung daun mati (dieback), daun membengkok ke bawah, warna daun kekuningan sampai kemerahan dan tanaman layu secara keseluruhan (Sether & Hu 2002; Rohrbach & Jhonson 2003). Tanaman yang
16 terserang menunjukkan penurunan karakter-karakter tanaman seperti: berat tanaman, dimeter daun, panjang dan jumlah daun, juga panjang dan lebar akar (CABI 2003; Rohrbach & Schmitt 2003). Dinamika Populasi Kutu Putih D. brevipes Populasi didefinisikan sebagai semua individu dari suatu spesies yang menempati suatu area tertentu, yang terisolasi dari kelompok lainnya (Norris et al. 2003). Setiap anggota populasi dapat berinteraksi melalui berbagai cara, melakukan kegiatan seperti mencari makanan, kawin dan membangun sarang. Dilain pihak setiap individu dalam populasi ini dapat berkompetisi untuk mendapatkan sumberdaya seperti makanan dan ruang yang terbatas (Wilson & Bosert 1971). Dinamika
populasi serangga hama dipengaruhi berbagai interaksi
multitropik meliputi: pengaruh aksi dari bawah oleh hubungan antara tanaman inang, aksi dari atas oleh: patogen, parasitoid dan predator dan aksi secara lateral dari kompetisi dari spesies tersebut (Bird & Hodkinson 2005). Faktor biotik dan abiotik tersebut mempengaruhi sifat-sifat populasi hama seperti kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, pola sebaran, potensi biotik dan perilaku (Tarumingkeng 1994). Faktor biotik seperti musuh alami seperti parasitoid dan predator dapat mempengaruhi populasi kutu putih D. brevipes (Hernandes et al. 1999). Selain itu keberadaan semut (Hymenoptera: Formicidae) bersama dengan kutu putih dapat meningkatkan populasi kutu putih (Hernandes et al. 1999; Inouye & Agrawal 2004). Beberapa spesies semut yang dijumpai hidup bersama dengan kutu putih di Hawaii antara lain: Pheidole megacephala, Solenopsis geminana, Linepithea humilis (Hernandes et al. 1999) dan Iridomyrmex humilis (Mau & Kessing 2007), Anoplolepis longipes dan Technomyrmex albipes (Rohrbach & Jhonson 2003). Sebaliknya keberadaan semut akan menurunkan populasi parasitoid seperti Anagyrus ananatis (Hymenoptera: Encyrtidae) (Hernandes et al. 1999). Terdapat hubungan mutualisme antara semut dan kutu putih, semut berperan dalam memproteksi kutu putih terhadap musuh alami dan kutu putih mengeluarkan
17 embun madu yang merupakan makanan semut (Waterhouse 1998; Helms & Vinson 2003; Johnson 2008). Aktifitas manusia juga mempengaruhi keberadaan dan populasi hama. Banyak laporan yang mengemukakan bahwa praktek budidaya yang diaplikasikan berpengaruh
terhadap
dinamika
populasi
berbagai
serangga.
Misalnya
penggunaan fumigasi seperti dichloropropene dan dimethyl bromide dapat mencegah infeksi nematoda dan hama pada tanaman nenas (IPM 2008). Praktek budidaya yang sehat yaitu pertanian organik dapat menekan populasi wereng (Nicholls & Altieri 2004). Sistem pertanaman campuran dapat meningkatkan populasi musuh alami (Najib & Hamijaya 2004). Musim dan iklim setempat mempengaruhi kepadatan populasi serangga pada tanaman inangnya (Bird & Hodkinson 2005). Populasi D. brevipes pada daerah Subang, populasinya lebih tinggi dibandingkan di Bogor, hal ini dipengaruhi perbedaan iklim setempat (Asbani 2005). Beberapa penelitian melaporkan iklim juga berpengaruh pada Pseudococcidae lainnya. Menurut Chong et al. (2008) suhu yang berbeda akan mempengaruhi perkembangan dari kutu putih Maconellicoccus hirsutus. Populasi kutu putih tanaman anggur (Planococcus viccus) menunjukan perbedaan beberapa kondisi yang berbeda pada lokasi perkebunan di Afrika Selatan (Walton et al. 2004). Selain iklim, musim mempengaruhi populasi hama, seperti kutu putih yang menyerang mangga yaitu Rastrococcus invadens, populasinya akan mencapai puncaknya pada musim panas (Boavida & Neuenschwander 1995). Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) D. brevipes pada Tanaman Nenas Pengendalian hama secara terpadu (PHT) didefinisikan sebagai sistem yang mendukung pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama dalam strategi pengelolaan yang terkordinasi secara harmonis yang didasari analisa biaya dan dapat diterima oleh produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan 1998). PHT merupakan tindakan pengelolaan hama yang mempertimbangkan secara seksama berbagai teknik pengendalian yang tersedia sehingga tidak merugikan dan mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Djunaidi 2003).
18 Program PHT telah dicanangkan sebagai program nasional sejak tahun 1986 dengan sasaran peningkatan produksi padi di Indonesia (Dilts 1991). Prinsip PHT di Indonesia dikembangkan melalui tiga prinsip yaitu: (1) pengamatan teratur (monitoring) dan analisis, (2) pemanfaatan musuh alami dan (3) budidaya tanaman sehat (Gallaher 1991). Menurut Globalgap (2007) komponen PHT terdiri dari tiga kegiatan yaitu: monitoring, tindakan prefentif dan pengendalian. Tindakan prefentif dapat dilakukan melalui penggunaan berbagai teknik budidaya yang tersedia untuk mencegah dan mengurangi serangan hama. Pengendalian hama terpadu (PHT) sudah diterapkan untuk mengatasi kutu putih Dysmicoccus spp. pada tanaman nenas (IPM 2008) dan kutu putih Planococcus ficus pada tanaman anggur (IPW 2006). Beberapa teknik PHT kutu putih Dysmicoccus spp. yang sudah diterapkan antara lain: (1) monitoring, (2) pengendalian biologi dengan memanfaatkan parasitoid seperti A. ananatis, (3) pengendalian kultural yaitu tidak menggunakan alat dan tanaman yang terkontaminasi dan melakukan sanitasi tanaman dan lahan, serta (4) pengendalian kimia yaitu: menggunakan bahan kimia sesuai anjuran pengendalian (IPM 2008). Pengendalian biologi kutu putih dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami (Norris et al. 2003). Beberapa parasitoid yang berperan untuk mengendalikan D. brevipes di Hawai termasuk ordo Hymenoptera, famili Encyrtidae antara lain: Aenasius cariocus Compere, A. colombiensis Compere, A. ananatis Gahan, Euryphapauus propinquus Kerrich, Hambletonia pseudococcina Compere dan Ptomastidae abnormis Girault (Hernandes et al. 1999). Lebih lanjut dilaporkan peneliti ini bahwa tingkat parasitisasi A. ananatis dan E. propinquus pada kutu putih sangat rendah sekitar 0.3-9.9% dan 0.05-2.2%. Di Subang sudah diketahui satu spesies parasitoid kutu putih yaitu H. pseudococcina (Asbani 2005). Predator D. brevipes umumnya berasal dari ordo Coleoptera, famili Coccinellidae antara lain: Cryptolaemus montrouzieri Mulsant, Lobodiplosis pseudococci Felt, Nephuss bilucenarius Mulsant, Scymnus unicatus Sicart, S. pictus Gorham (Mau & Kessing 2007), C. affinis dan C. wallacii yang ditemukan di Papua Nugini (Waterhouse 1998).
19 Pengendalian kimia untuk menekan populasi kutu putih menggunakan: chlorpyrifos
(organopospat),
methomyl
(carbamat)
dan
imidacloprid
(chloronicotinil) (Geiger & Daane 2001). Selain itu pengendalian kutu putih digunakan bahan fumigasi (Petty et al. 2002). Karbofuran (karbamat) merupakan insektisida sistemik yang banyak digunakan untuk pengendalian berbagai jenis hama tanaman terutama kutu daun pada tanaman kedelai (Harrison 2006). Daftar Pustaka Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bartholomew DP, Malezieux E. Sanewski GM, Sinclair E. 2003. Inflorescence and Fruit Development and Yield. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 167-202. Bird JM, Hodkinson ID. 2005. What limit the altitudinal distribution of Craspedolepta species (Sternorrhyncha: Psylloidea) on fireweed. Ecol Entomol 30:510-520. Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Science and Tech 5:495-508. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2008. Dysmicoccus brevipes. [Distribution map]. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. Cecilia LVCS, Bueno VHPB, Prado E. 2004. Desenvolvimento de Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera; Pseudococcidae) emduas cultivars de abaxi. Cienc agrotec 28(5):1015-1020. Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae) at constant temperature. Environ Entomol 37(2):323-332. Cicalese JJ, Baxendale F, Riordan T, Moss TH. 1998. Identification of mealybug (Homoptera: Pseudococcidae) resistant turf-type buffalo grass germplasm. J. Econ Entomol 91(1):340-346. Collins JL. 1968. The Pineapple: Botani, Cultivation and Utilization. London: Leonard Hill. 294 hlm.
20 Culik MP, Martins DS, Gullan PJ. 2005. First record two mealybug species in Brazil and new potential pest of papaya and coffee. J Insect Sci 6:236. [DEPTANb] Departemen Pertanian. 2006. Nenas (Ananas comosus). Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 70 hal. Dilts R. 1991. Reassessing Extension: The Case of IPM in Indonesia. National IPM Program. WG Meeting, Thailand: 27-3 Aug 1991. FAO – Indonesia. Djunaidi D. 2003. Peranan industri pada pengelolaan hama terpadu dalam pertanian berkelanjutan. Di dalam. Kongres PEI dan Simposium Entomologi VI. Cipayung: 5-7 Mar 2003. PEI. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http:// www.sel.barc.usda.gov/ catalogs/ pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes.htm. [12 Feb 2008]. Evans D, Sanford WG, Bartholomew DP. 2002. Growing Pineapple. Hawaii: College of Tropical Agriculture and Human Resourses (CTAHR) Publ. Gallaher KD. 1991. Old and New Consept of IPM. Discussion Paper. Bogor: 19 Sept 1991. Institut Pertanian Bogor. Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug (Homoptera: Pseudococcidae): developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 94(1):291-301 Globalgap 2007. Control Points and Compliance Criteria Integrated Farm Assurance Crop Base. German: Globalgap. hlm 23-28. http://www. globalgap.org. [5 Mei 2007]. Harrison K. 2006. Furadan. http://www.3dchem.com/moremolecules.asp? ID=263 &othername= Furadan. [17 Mar 2008]. Helms KR, Vinson SB. 2003. Apparent facilitation on an invasive mealybug by an invasive ant. Insect Soc 50:403-404. Hepton A. 2003. Cultural System. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 109-142. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Hu JS, Sether DM, Liu XP, Wang M. 1997. Use of a tissue blotting immunoassay to examine the distribution of pineapple closterovirus in Hawaii. Plant Disease 81:1150-1154. Hughes G, Sasmita S. 1998. Analysis of pattern of pineapple mealybug wilt disease in Sri Lanka. Plant Disease (82):85-890.
21 Hutahayan AJ. 2006. Peranan strain pineapple mealybug wilt assosiated virus (PMWaV) dan kutu putih (Dysmicoccus spp.) dalam menginduksi gejala penyakit layu pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Inouye BD, Agrawal AA. 2004. Ant mutualisms alter the composition and attact rate of the parasitoid community for the gall wasp Disholcaspis eldoradensis (Cynipidae). Ecol Entomol 29:692-696. [IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii. http://www.ipmcenter.org/ Crop Profile/docs/hipineapples.html. [12 Feb 2008]. [IPW] Integrated Production of Wine. 2006. Integrated production of wine in South Africa: guidelines for farms. South African wine and spirit board. Africa. ARC Infruitec-Nietvoorbij in consultation with the vine and wine industry. [terhubung berkala]. http://www.ipw.co.za/IPWGuidelines-farms. [12 Feb 2008]. Johnson MW. 2008. Sustainable pineapple mealybug management via augmentative biological control. [terhubung berkala]. http://www.ctahr.hawaii. edu/t-star/pineapple.htm. [12 Feb 2008]. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. Kogan M. 1998. Integrated Pest Mangement: Historical Perspectives and Contemporary Developments. Annual Review of Entomol 43:243-270. Kumar S. 2006. Pineapple mealybug Dysmicoccus brevipes. [terhubung berkala] http://www.spc.int:8088/pld/index.jsp. [7 Feb 2008]. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Pink Pineapple Mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Najib M. Hamijaya MZ. 2004. Populasi serangga musuh alami pada lingkungan iklim mikro di lahan pasang surut. Di dalam. Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Okt 2004. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Nicholls CI, Altieri MA. 2004. Agroecological bases of ecological engineering for pest management. Di dalam. Gurr GM, Wratten SD, Altieri M, editor. Ecological Engineering for Pest Management. Advances in Habit Manipulation for Arthropods. Australia: CSIRO. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm. Petty GJ. Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam. Pena JE, Sharp J, Wisoki M, editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators. USA: CABI Publ.
22 [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007a. Nenas. Rusnas Buah-buahan Indonesia. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Institut Pertanian Bogor. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007b. Acuan Standar Operasional Produksi Nanas. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Institut Pertanian Bogor. Ploetz RC, Zentmyer GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HD. 1994. Compendium of Tropical Fruit Diseases. America: APS.Press. Purseglove JW. 1978. Tropical Crops. Monocotiledons. London: Longman Group Ltd. Rohrbach KG, Johnson MW. 2003. Pest, Diseases and Weed. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International publ. hlm 203-251. Rohrbach KG, Leal F, d’Eeckenbrugge GC. 2003. History, Distribution and Word Production. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International Publ. hlm 1-12. Rohrbach KG, Schmitt D. 2003. Diseases of Pineapple. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International Publ. hlm 443-464. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88:1224-1230. Sether DM, Okamura C, Kislan MM, Karasev A, Busto JL, Hu JS. 2001. Detection, differentiation, and elimination of pineapple mealybug wilt associated virus in pineapple. Plant Disease 85:856-864. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2004. Diversity of pineapple mealybug wilt associated viruses in pineapple. Phytopathology 94(6):1031. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2005. Diversity and mealybug transmissibility of ampeloviruses in pineapple. Plant Disease 89(5):450456. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. 284 hlm. Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-1096. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest. Southeast Asian Prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR. Williams DJ, Watson GWQ. 1988. The Mealybug (Pseudococcidae). London. CAB International Institute of Entomology. 260 hlm.
23 Williams DJ, de Willink MCG. 1992. Mealybug of Central and South America. Wallingford Oxon: CAB International Publ. 635 hlm. Williams DJ. 2004. Mealybug of Southern Asia. Kuala Lumpur. Southdene SDN BHD. Wilson EO, Bosert WH. 1971. A Primer of Population Biology. USA: Sinauer Associates Inc. Publ. 192 hlm.
BAB III IDENTIFIKASI TEKNIK PENGENDALIAN KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) PADA TINGKAT PETANI ABSTRAK Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra produksi nenas rakyat di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar berbagai aspek tentang petani menyangkut karakteristik petani, sistem budidaya, pengetahuan dan tindakan petani dalam pengendalian kutu putih dan penyakit layu tanaman nenas di Kabupaten Subang. Hasil survei menunjukkan bahwa petani nenas umumnya petani berpendidikan relatif rendah, jumlah keluarga sedang yaitu 3-4 orang dan berumur 20-50 tahun. Kebanyakan petani melakukan sistem budidaya nenas secara konvensional dengan menanam nenas pada lahan yang terpisah-pisah dan secara polikultur, serta hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit (kurang dari 0.25 m2). Survei menunjukkan petani responden menanam nenas dengan jarak tanam bervariasi, melakukan pemupukan dengan dosis dan aplikasi yang belum optimal dan belum menggunakan bibit yang sehat. Petani responden menyatakan bahwa tingkat serangan kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas bervariasi, umumnya 26-75%. Umumnya petani dalam penanggulangan kutu putih dan penyakit layu melakukan penyemprotan dengan insektisida. Insektisida yang biasa digunakan petani adalah golongan organofosfat. Hasil analisis menunjukkan budidaya nenas yang dilakukan petani di Kabupaten Subang cukup menjanjikan karena memberikan keuntungan dengan RC rasio: 1.22-1.44 Kata kunci:
kutu putih, D. brevipes, nenas, petani, penyakit layu, polikultur. ABSTRACT
Subang Regency has been considered as one of the centers of the pineapple production in Indonesia. The baseline data of various aspects of farmer’s knowledge and their management practices of mealybug and wilt disease of pineapple was evaluated at Subang. The results indicated that the farmer education levels were relatively low, the family member was 3-4 people, farmer’s ages were 20-50 years old and the ownership land levels were low. The conventionally practices of pineapple were usually conducted by the farmers. Pineapples were usually planted separatedly with polycultured plant system; plant distance was varied; fertilizing dose and application with unmaximal levels; and peneapple seedling were used without selection. According to farmers, infection levels of mealybug D. brevipes were varied, generally from 26% to 75%. The mealybug and wilt disease controls were generally applied with organophosphate insecticides. The RC ratio of pineapple cultivation in Subang Regency was from 1.22 to 1.44 It was concluded that the pineapple production at Subang was a promising cultivation. Key words: mealybug, D. brevipes, pineapple, farmer, wilt disease, polyculture.
25
PENDAHULUAN Budidaya nenas merupakan usaha pertanian rakyat yang menjadi andalan Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat. Luas areal panen nenas di Kabupaten Subang mencapai 3253 ha dengan produksi 123 067 ton. Kondisi agroklimat yang cocok untuk budidaya nenas dan ketersediaan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan memungkinkan peningkatan luas area dan produksi nenas di daerah ini. Kondisi suhu rata-rata daerah penanaman nenas di Subang sekitar 21-27 oC, pH tanah berkisar antara 5.5-7 dan terletak di daerah dengan ketinggian tempat 300-500 m di atas permukaan laut (DPKS 2004). Pola usahatani nenas di daerah Subang pada umumnya masih skala kecil yaitu: tumbuh pada lahan-lahan pekarangan, lahan-lahan kosong, lahan bersama tanaman lainnya (polikultur) seperti di bawah pohon buah-buahan atau pohonpohon kayu dan pada kebun-kebun yang ukurannya relatif kecil (DPKS 2004). Usahatani nenas di daerah ini pada umumnya merupakan usaha pertanian rakyat yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Usahatani seperti ini memang umum ditemukan di pertanian Indonesia (Mubyarto 1994). Masalah dalam produksi dan budidaya banyak dihadapi petani nenas antara lain : belum tersedianya varietas yang tahan, belum tersedianya bibit dalam jumlah banyak dan seragam, teknologi budidaya dan pasca panen yang belum tepat serta adanya serangan hama dan penyakit (DPTP 1994). Hama utama pada tanaman nenas adalah kutu putih D. brevipes (Petty et al. 2002). Kutu putih sangat berbahaya karena berperan sebagai penular virus penyakit layu nenas PMWaV (Mau & Kessing 2007). Tingkat serangan hama ini di Kabupaten Subang dilaporkan dapat mencapai 70 % (Asbani 2005). Masalah yang dihadapi petani adalah belum tersedianya tanaman yang tahan terhadap hama kutu putih. Untuk pengendalian hama umumnya petani berusaha melakukan pengendalian berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Namun dalam pengambilan keputusan pengendalian umumnya petani berdasarkan kondisi ekonomi saat itu. Petani akan mengadopsi teknik pengendalian hama yang sesuai dengan perekonomiannya, mencari teknik yang murah tetapi berhasil. Latar belakang petani baik pendidikan dan ketrampilannya mempengaruhi petani untuk mengambil sikap dan selanjutnya bertindak untuk mengambil
26 keputusan pengendalian hama dan penyakit. Upaya pengendalian hama dan penyakit dikembangkan berdasarkan kebiasaan ataupun informasi yang terbatas. Teknik pengendalian hama dan penyakit yang umum digunakan adalah dengan menggunakan tanaman tahan, cara budidaya, fisik mekanik, penggunaan parasitoid dan predator dan penggunaan pestisida (Untung 1996). Berbagai teknik pengendalian sudah ada ditingkat petani. Namun teknik pengendalian yang dibutuhkan petani adalah pengendalian yang ekonomis, efektif dan ramah lingkungan. Teknik pengendalian yang sudah terbukti keberhasilannya adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Program PHT telah dikembangkan dan diimplementasikan untuk mengendalikan hama kutu putih dan penyakit layu di Hawai, USA. Komponen PHT meliputi: perbanyakan in vitro untuk mendapatkan bibit bebas virus, memilih area penanaman bebas virus, memusnahkan tanaman terserang, mengendalikan semut dan kutu putih, dan rotasi tanaman (Agridep 2000; IPM 2008). Program PHT memiliki empat prinsip dasar yaitu: budidaya tanaman yang sehat, melestarikan dan mendayagunakan fungsi musuh alami, monitoring dan petani menjadi manager di lahannya sendiri. Tujuan PHT yaitu mengupayakan populasi hama dan kerusakan tanaman tetap berada pada tingkat yang tidak merugikan dan mengurangi pencemaran lingkungan oleh pestisida (Untung 1996). Selain itu yang menjadi tujuan utama PHT adalah untuk meningkatkan keuntungan bagi petani (Gallagher 1991). Faktor petani yang bertindak sebagai pelaku pengendalian di lapangan merupakan salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan PHT (Untung 1996). Program pengendalian hama berhasil jika tindakan atau keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani tepat. Pengambilan keputusan pengendalian oleh petani ditentukan oleh empat faktor yaitu: permasalahan hama yang menyangkut tingkat serangan dan kehilangan hasil yang ditimbulkan, pilihan pengendalian yang tersedia bagi petani, persepsi petani terhadap permasalahan hama dan terhadap ketersediaan serta keefektifan dari berbagai pengendalian dan motivasi berusahatani. Dalam upaya penanggulangan hama tanaman nenas di Kabupaten Subang melalui program PHT, perlu diidentifikasi dan dianalisa secara menyeluruh
27 berbagai informasi mengenai berbagai faktor baik internal maupun ekternal yang berkaitan dengan petani setempat, masalah hama dan penyakit dan tindakan pengendalian yang dilakukan oleh petani. Untuk memperoleh informasi tersebut dilakukan penelitian dengan metode survei kepada petani di sentra produksi nenas yaitu: di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Teknik survei yang dilakukan yaitu survei diagnostik yang merupakan survei sederhana dan singkat yang bertujuan untuk mengidentifikasi keadaan dan masalah yang dihadapi petani dalam usaha taninya, termasuk dalam aspek pengendalian hama dan penyakit (Burdani et al. 2001). Menurut Rauf (1996) survei dasar pada petani mencakup survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani sangat penting dalam membuat rekomendasi teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendalami aspek-aspek yang berkaitan dengan petani dan teknik pengendalian D. brevipes yang diterapkan petani dan 2) identifikasi teknik pengendalian kutu putih dan penyakit layu pada tingkat petani. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2006 pada petani nenas di tiga desa yaitu : Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Penentuan tiga desa tersebut sebagai lokasi penelitian ditentukan secara purposif sampling yaitu : memiliki area nenas yang luas dan merupakan sentra produksi nenas di Kabupaten Subang serta banyak terserang oleh hama kutu putih D. brevipes. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.1.
PE T A LO K AS I PE N E L ITIAN 6°38' LS
DE S A C IM A N G L ID , B U N IH AY U , D AN C U R U G RE N D E N G Sk a la 1 :1 0 0. 0 0 0
U
De sa B u n iha yu 10 0 0
0
10 0 0
20 0 0 M
6°40'
Ke t e ra n ga n
Y #
Ib u k o ta K e c a m a ta n
Y #
J ala n A rt e ri J ala n L a in
D e sa C u ru g re nd e ng
J ala n L o k a l
6°42'
D e sa C im a n gl id
S u n g ai
S u m b e r : P e t a A d m in is tr a s i K a b u p e ta n S u ba n g
6°44'
10 7 °
10 8 ° P eta P e m a n d a n ga n P ro p in s i Ja w a B ar a t N
Su ba ng
Ba nd ung
7°
7°
B og or
6°46'
Lo k a si P e n e li tia n 10 7 °
10 8 °
P RO G R A M S T U D I E N T O M O L O G I- FIT O P A T O L O G I S E K O L A H P A S CA S A R J A N A IN S T ITU T P E R T A NIA N B O G O R
10 7 °3 8 '
10 7 °4 0 '
10 7 °4 2 '
10 7 °4 4 ' B T
28
Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian
29
Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode survei yaitu melakukan wawancara kepada petani (responden) dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 2). Penentuan Sampel Petani di tiga desa yang terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang sedang bekerja di kebun nenas sekitar pukul 8.00–15.00 WIB. Jumlah petani (responden) pada masing-masing desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng 10 orang. Jadi jumlah keseluruhan petani (responden) yang terpilih dari ketiga desa tersebut berjumlah 30 orang. Parameter Penelitian Parameter yang ditanyakan kepada petani mencakup faktor-faktor internal petani seperti: pendidikan, jumlah anggota keluarga, keikutsertaan dalam penyuluhan dan kelompok tani, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan teknik-teknik budidaya yang dilakukan petani mencakup verietas, asal bibit, jarak tanam, pemupukan dan lain-lain. Metode Analisis Data yang diperoleh berupa data primer dari petani, kemudian di rekapitulasi dan ditabulasi untuk mendapatkan persentase atau gambaran tentang pengetahuan karakter petani, sistem budidaya, masalah hama dan penyakit dan tindakan petani secara keseluruhan dalam pengendalian hama kutu putih. Untuk mengetahui keuntungan atau kerugian usahatani nenas yang dilakukan petani di tiga lokasi penelitian, dilakukan analisis RC rasio. Nilai RC rasio atau Return/Cost adalah hasil pembagian antara jumlah hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Jika RC rasio >1 menujukkan usahatani tersebut menguntungkan, sebaliknya RC rasio <1 menujukkan usahatani tersebut rugi.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Nenas Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani dalam pengelolaan usahataninya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap petani responden, diketahui umumnya (63.33%) umur petani nenas berkisar 20-50 tahun (Tabel 3.1). Hasil ini hampir sama dengan laporan Rauf (1999) yang melaporkan bahwa lebih dari 60% petani kentang berusia 20-50 tahun. Jika dilihat dari penggolongan umur maka umur petani produktif berkisar antara 15-55 tahun (Palebangan et al. 2006). Oleh sebab itu hasil survei ini menunjukkan petani nenas di Subang umumnya masih dalam kisaran umur produktif sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan dirinya dalam meningkatkan produksi nenasnya. Menurut Soekartawi (1998) dalam kaitan dengan adopsi inovasi bahwa penerimaan inovasi paling tinggi adalah petani berusia paruh baya. Petani usia muda umumnya mempunyai semangat yang lebih besar untuk bekerja dan terlibat penuh dalam kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertaniannnya. Jadi petani nenas di Jalancagak mempunyai peluang untuk menerima inovasi melalui penyuluhan-penyuluhan. Sebagian besar petani memiliki jumlah anggota keluarga 3-4 orang (76.66% responden). Jumlah anggota keluarga erat kaitannya dengan jumlah tanggungan petani sebagai kepala keluarga, terutama anggota keluarga non produktif. Tanggungan keluarga akan berkurang apabila anggota keluarga sudah berusia produktif dan ikut membantu dalam usahataninya. Tabel 3.1. Sebaran umur dan jumlah anggota keluarga tiap petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30) Karakteristik petani Umur Petani 20-30 31-40 41-50 51-60 61-70 Jumlah keluarga 0-2 3-4 >4
Jumlah (orang)
Persentase (%)
4 10 5 3 8
13.33 33.33 16.67 10.00 26.67
2 23 5
6.67 76.66 16.67
31 Dari segi pendidikan, umumnya petani (66.67%) hanya tamat SD. Petani yang tidak tamat SD berjumlah 23.33%, hanya sedikit petani yang dapat mengenyam bangku SMP (3.33%) dan SMA (6.67%) (Tabel 3.2). Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat pendidikan SD. Hasil ini sama seperti pernyataan Mulyadi (2006) yang menyatakan bahwa potret petani umumnya di Indonesia berpendidikan SD. Menurut Palebangan et al. (2006) makin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan makin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Salikin (2003) menyatakan bahwa pengembangan SDM pertanian sebagai pelaku utama pembangunan pertanian sangat diharapkan dan merupakan suatu investasi masa depan menuju pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu kegiatan pelatihan pemberdayaan petani dan penyuluhan bagi petani hendaknya ditingkatkan. Tabel 3.2. Pendidikan, penyuluhan dan keikutsertaan responden dalam kelompok tani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30). Karakteristik petani Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD SMP SMA keatas Penyuluhan Tidak pernah Pernah Kelompok tani Tidak ikut Ikut
Jumlah (orang)
Persentase (%)
7 20 1 2
23.33 66.67 3.33 6.67
6 24
20.00 80.00
4 26
13.33 86.67
Selain faktor pendidikan formal, pendidikan non formal merupakan pendidikan di luar sistem formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas (Tampubolon 2004). Bentuk pendidikan non formal tersebut antara lain adalah penyuluhan dan pelatihan yang diselengarakan oleh kelompok tani. Umumnya petani (80% reponden) pernah mengikuti kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh petugas penyuluh lapangan. Walaupun demikian berbagai inovasi yang disuluhkan belum tentu diterima oleh petani. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani. Oleh karena itu materi penyuluhan
32 di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan petani di daerah ini. Selain itu juga sebagian besar petani berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani. Hal ini menunjukkan petani nenas pada umumnya memiliki pandangan positif terhadap manfaat kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani. Petani sadar bahwa dengan mengikuti kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani, mereka mendapatkan informasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan sistem usahataninya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan karakteristik petani yang didapatkan dalam penelitian ini maka pengelolaan usahatani nenas dapat ditingkatkan dengan penyuluhan yang sesuai karakteristik tersebut. Luas Lahan Garapan dan Kepemilikan Lahan Dari hasil wawancara dengan petani diperoleh data luas lahan garapan dan kepemilikan lahan petani, seperti ditampilkan pada Tabel 3.3. Lahan merupakan salah satu faktor produksi utama bagi petani sebagai sumber daya untuk menghasilkan pendapatan utama (Palebangan et al. 2006). Lahan garapan yang sempit berkaitan dengan pendapatan petani yang terbatas. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar petani (hampir 50% responden) hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit atau kurang dari 0.25 ha. Sempitnya luas garapan nenas tersebut berkontribusi terhadap kemiskinan dan keterbatasan modal untuk mengembangkan usahataninya. Menurut Mubyarto (1994) rata-rata luas lahan garapan umumnya petani di Indonesia sangat sempit sekitar 0.10–0.49 ha. Menurut penelitian Purwoto (1993) luas lahan garapan mempengaruhi perilaku petani di Jawa Tengah dalam mengambil resiko. Petani yang memiliki luas garapan padi yang cukup luas dan lahan yang digarapnya relatif menyatu cenderung lebih berani dalam mengambil resiko usahataninya dibandingkan petani yang memiliki luas garapan yang sempit dan letaknya terpencar-pencar. Berdasarkan kepemilikan lahan, sebagian besar petani (80% responden) menggarap tanahnya sendiri, tetapi ada juga sebagian petani hanya sebagai penyewa dan penggarap. Keterbatasan modal kerja menyebabkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap hanya mengandalkan tenaganya dan
33 memanfaatkan lahan yang dimiliki perseorangan atau perusahaan perkebunan yang ada di sekitar desa tersebut. Dari gambaran umum kondisi sosial petani menunjukkan bahwa rata-rata petani di tiga desa penghasil nenas merupakan petani yang memiliki modal yang terbatas. Hasil ini merupakan potret petani di Indonesia, seperti dikemukakan Mulyadi (2006) bahwa pertanian yang ada sekarang didominasi oleh pertanian yang bercorak skala usaha kecil, yaitu 60% usahatani hanya memiliki lahan berukuran kurang dari 0.3 ha (usahatani ”gurem”) dengan lokasi usahatani yang terpencar-pencar. Tabel 3.3. Luas lahan garapan dan kepemilikan lahan oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30) Lahan garapan dan kepemilikan lahan Luas lahan garapan < 0.25 0.25-0.5 > 0.5 Pemilikan lahan Penggarap Penyewa Pemilik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
14 9 7
46.67 30.00 23.33
2 4 24
6.67 13.33 80.00
Sistem Budidaya Nenas Petani nenas di Subang umumnya (40% responden) menggunakan jarak tanam yang bervariasi. Umumnya sistem pertanaman nenas dilakukan petani dengan sistem dua baris yaitu: jarak dalam baris 25-40 cm, jarak baris 25-50 cm (Tabel 3.4) dan jarak antar baris bervariasi antara 100-150 cm. Jumlah tanaman ±30 000 tanaman/ha. Jarak tanam menurut standar operasional dalam produksi nenas (SOP) tergantung dari pada sistem tanam dan varietas yang digunakan (PKBT 2007b), juga tergantung kesuburan tanah (Ristek 2002). Menurut SOP, jarak tanam sistem dua baris adalah jarak dalam baris 30 cm, jarak baris 30 cm dan jarak antar baris 100 cm sehingga jumlah tanaman sekitar 50 000 tanaman/ha. Pada golongan Smooth Cayenne jarak tanam lebih lebar dibandingkan pada golongan Queen. Kepadatan tanaman yang ideal berkisar 44 000-77 000 bibit tanaman/ha (Ristek 2002). Jadi, keputusan penanam nenas dengan jarak tanam
34 yang digunakan petani di Jalancagak dan populasi tanaman per ha hanya 30 000 tanaman jelas lebih rendah dari yang dianjurkan. Keputusan petani tersebut ada kaitan dengan kebiasaan petani setempat yang menanam tanaman tumpangsari diantara baris tanaman yang dapat menghasilkan sebelum panen nenas. Tabel 3.4. Hasil wawancara jarak tanam, varietas dan asal bibit yang ditanam oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang (n=30) Uraian Jarak tanam (cm) 25x25 25x30 30x40 40x50 Varietas yang ditanam Smooth Cayenne Queen Queen & Smooth Cayenne Pengambilan bibit dari Petani Beli Asal bibit Lahan sebelum tanpa seleksi Lahan sebelum seleksi Lahan lain tanpa seleksi Lahan lain seleksi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
5 7 4 14
16.67 23.33 13.33 46.67
27 0 3
90.00 0.00 10.00
24 6
80.00 20.00
22 2 6 0
73.33 6.67 20.00 0.00
Bibit yang digunakan petani responden umumnya varietas Smooth Cayenne (90% responden), yang berasal dari kebunnya sendiri (80% responden) dan dibeli dari petani lainnya (20% responden). Menurut petani umumnya bibit yang ditanam tidak melalui seleksi bibit (73.33% responden), karena mereka yakin bahwa bibit yang berasal dari kebun mereka sendiri memiliki kualitas baik. Menurut Rohrbach dan Schmitt (2003) bibit merupakan salah satu media pembawa kutu putih, karena dapat terbawa melalui perpindahan bibit yang digunakan seperti: anakan, tunas dan mahkota. Oleh sebab itu penggunaan bibit yang sehat merupakan upaya penting untuk mencegah penyebaran hama kutu putih pada kebun yang lain ataupun ke daerah lainnya. Penerapan pemupukan oleh petani ditampilkan pada Tabel 3.5. Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produksi, petani telah
35 menerapkan usahatani nenas dengan penggunaan pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk lanjutan. Beberapa petani hanya menerapkan pupuk dasar, namun umumnya petani menerapkan aplikasi pupuk lanjutan dengan dosis aplikasi satu kali dalam setahun. Menurut petani dosis pupuk yang digunakan oleh petani hanya berdasarkan pengalaman budidaya nenas (60% responden). Sebagian petani responden menerapkan dosis yang mereka terima dari tim penyuluh dalam kegiatan budidaya nenas (40% responden). Tabel 3.5. Hasil wawancara tentang pemupukan, jumlah aplikasi dan informasi pemupukan (n=30) Uraian
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Pemupukan Ada Tidak ada
30 0
100.00 0.00
Aplikasi pupuk Dasar (organik) 1 x setahun 2 x setahun
8 13 9
26.67 43.33 30.00
Informasi pemupukan Penyuluhan Pengalaman sendiri
12 18
40.00 60.00
Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar petani nenas melakukan pemupukan. Pemberian pupuk kandang sekitar satu kg/tanaman setelah penanaman dilakukan oleh sebagian petani. Umumnya petani melakukan pemupukan lanjutan hanya sekali yaitu dengan pupuk urea 200 kg/ha dan SP-36 100 kg/ha. Sebagian petani juga telah menerapkan pemupukan dua kali sampai panen. Manurut SOP pemberian pupuk kandang dilakukan setelah penanaman, sekitar dua kg/tanaman dan pemberian pupuk lanjutan dua kali dalam setahun yaitu: pemupukan pertama dilakukan tiga bulan setelah tanam (BST) dengan pupuk Urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pemberian pupuk kedua dilakukan menjelang pembungaan dengan Urea 150 kg/ha, SP-36 50 kg dan KCl 300 kg (PKBT 2007b). Perbandingan pemupukan tanaman nenas menurut SOP (PKBT 2007b) dan petani responden di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang disajikan pada
36 Tabel 3.6. Dari segi pemupukan maka petani di Jalancagak masih belum mengikuti rekomendasi SOP baik dosis maupun frekuensi. Tabel 3.6. Pemupukan tanaman nenas menurut SOP dan rata-rata implementasi oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang Petani
SOP Pemupukan
Pemupukan pertama Urea SP-36 KCl Pemupukan kedua Urea SP-36 KCl
Dosis (kg/ha)
Waktu pemberian (BST)
300 100 100
3 3 3
200 100 0
3 3 0
150 0-50 300
10-14 10-14 10-14
100 25 100
12-14 12-14 12-14
Dosis (kg/ha)
Waktu pemberian (BST)
Umumnya petani (73.33%) menanam nenas secara polikultur (Tabel 3.7). Penanaman nenas secara polikultur ini dipilih petani disebabkan lahan garapannya sempit dan tiadanya pendapatan sebelum panen. Untuk memenuhi kebutuhan hariannya petani terutama di Bunihayu menanam singkong, pisang, cabe atau kencur sebagai tanaman tumpangsari. Petani di Curugrendeng juga menanam tanaman lainnya seperti pisang dan singkong di pertanaman nenas. Sebelum panen, petani mengharapkan pendapatan dari tanaman tumpangsari tersebut. Beberapa petani terutama di Cimanglid menanam nenas di bawah pohon-pohon penghasil kayu seperti: jati dan sengon, buah-buahan seperti: durian, nangka, pisang dan rambutan. Tabel 3.7. Hasil wawancara pola tanam dan jenis tanaman polikultur pada tanaman nenas (n=30) Uraian Pola tanam Polikultur Monokultur Tanaman sela Pisang Kencur Singkong Tanaman lain
Jumlah (orang)
Persentase (%)
22 8
73.33 26.67
7 9 2 4
23.33 30.00 6.67 13.33
37 Proses usahatani nenas di Subang meliputi: pengolahan tanah dan penyiapan bibit. Selanjutnya bibit ditanam sesuai jarak lubang tanam yang telah disiapkan. Pemupukan tanaman nenas dilakukan sesuai dengan kebiasaan petani. Umumnya petani melakukan penanaman secara polikultur yaitu menanam nenas bersama dengan tanaman lain seperti kencur dan tanaman hortikultura lainnya atau tanaman tumpangsari lainnya. Pemeliharaan tanaman oleh sebagian petani dilakukan dengan melakukan sanitasi lingkungan pertanaman yaitu mengeluarkan gulma dari kebunnya, namun sebagian petani kebunnya kurang terpelihara. Pengendalian hama terutama kutu putih umumnya dilakukan
dengan
menggunakan
insektisida yang tersedia.
Pemeliharaan tanaman berlangsung sampai tanaman menghasilkan buah. Selanjutnya panen dilakukan dan petani mensortir buah-buah berdasarkan ukurannya kemudian dijual kepada pedagang pengumpul atau langsung dijual di kios-kios buah atau ke pasar (Gambar 3.2).
A
E
B
C
D
F
G
H
Gambar 3.2. Proses usahatani nenas: pengolahan tanah (A), penanaman bibit (B), penanaman tanaman tumpangsari (C), masa vegetatif (D), masa generatif (E), panen (F), pengumpulan buah (G), pemasaran buah nenas (H). Hama dan Penyakit Tanaman Nenas Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa pada umumnya petani telah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hama. Hasil wawancara terhadap petani responden menunjukkan umumnya petani (66.67% responden)
38 mengemukakan masalah hama nenas adalah hama kutu putih. Hama kutu putih umumnya sudah diketahui petani karena pernah mengikuti penyuluhan pertanian oleh tim penyuluh setempat. Para petani menyatakan bahwa hama kutu putih merupakan hama utama tanaman nenas dan adanya hama kutu putih dapat merugikan petani (66.67% responden). Beberapa petani menganggap hama yang merugikan adalah tikus (23.33% responden) (Tabel 3.8). Sikap petani terhadap hama umumnya ditunjukkan petani adalah sikap negatif artinya petani tidak menyukai kehadiran hama. Oleh sebab itu bagi petani semua serangga yang ditemukan di lapang dikatakan sebagai hama. Petani bersikap negatif karena menganggap semua serangga yang ditemukan dapat menyebabkan hasil panen berkurang yang nantinya berpengaruh pada menurunnya pendapatan petani. Akibatnya petani akan melakukan berbagai upaya pengendalian karena merasa terganggu dengan kehadiran serangga. Tabel 3.8. Hasil wawancara mengenai masalah hama dan tingkat serangan hama kutu putih (n=30) Uraian
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Masalah hama Kutu putih Hama lundi Tikus Hama lain
20 3 7 0
66.67 10.00 23.33 0
Tingkat serangan kutu putih (%) 0-25 26-50 51-75 >76-100
9 11 6 4
30.00 36.67 20.00 13.33
Menurut Rohrbach & Johnson (2003) hama utama pada tanaman nenas yaitu: kutu putih D. brevipes, D. neobrevipes (Hemiptera: Pseudococcidae), kutu perisai Diaspis bromeliea (Hemiptera: Diaspididae), tungau Dolichotetranychus sp. (Acarina: Tetranichidae) dan lundi Lepidiota spp. (Coleoptera: Scarabaeidae). Selain itu hama lainnya antara lain: trips Holopothrips anenasi (Thysanoptera: Phlaeothripidae), lalat buah Antherigona sp. (Diptera: Anthomyiidae), penggerek buah Thecla basilides (Lepidoptera: Lycaenidae) dan kumbang Carphophilus
39
hemipterus
(Coleoptera: Nitidulidae), rayap
(Ordo Isoptera) dan tikus
(Rattus spp.) (Deptan 2006b). Pada saat wawancara, petani diminta untuk memperkirakan tingkat serangan hama kutu putih. Umumnya petani (56.67% responden) menyatakan bahwa tingkat serangan kutu putih di kebun mereka antara 26-75%. Sebagian responden (13.33%) menyatakan tingkat serangan kutu putih di lahannya sangat tinggi sekitar 76-100%. Umumnya petani menyatakan bahwa adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat menurunkan hasil nenasnya. Menurut petani responden, rata-rata kerugian akibat adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat merugikan hasil panennya sekitar 25%. Petani umumnya menyatakan adanya serangan hama kutu putih dan penyakit layu akan menyebabkan buah yang dihasilkan ukurannya kecil atau kadang-kadang tidak berbuah. Menurut wawancara dengan petani, kejadian penyakit layu selalu ditemukan di lokasi kebun nenas. Penyakit sudah ditemukan oleh petani baik di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Kepada petani ditanyakan penyebab penyakit layu, jawaban petani menyatakan bahwa penyebab layu antara lain oleh: semut, cacing, hama kutu putih, kekurangan air dan pupuk (Tabel 3.9). Tabel 3.9. Hasil wawancara pemahaman petani tentang masalah penyakit layu pada tanaman nenas (n=30) Uraian Kejadian penyakit layu Tidak ada Jarang Selalu ada Tidak tahu Penyebab layu Semut Cacing Hama kutu putih Kurang pupuk Kurang air Tidak tahu Peranan kutu putih sebagai vektor penyakit layu Tidak tahu Ya
Jumlah (orang)
Persentase (%)
2 12 16 0
6.67 40.00 53.33 0
2 2 18 3 5 0
6.67 6.67 60.00 10.00 16.66 0
12 18
40.00 60.00
40 Sebagian besar petani (60%) sudah mengetahui bahwa hama kutu putih berkaitan dengan penyakit layu. Pengetahuan ini diperoleh petani dari mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh pertanian lapangan. Peran serta petani dalam kelompok tani, memudahkan petani menerima informasi yang baru mengenai hama dan penyakit di tanaman mereka. Petani menerima informasi yang diberikan dengan mudah apabila penyuluh memberikan pengetahuan berdasarkan adanya gambar atau contoh hama dan atau bagian tanaman yang terserang. Petani menerima pengetahuan dari penyuluh pertanian bahwa penyebab penyakit layu tanaman nenas adalah virus yang dapat ditularkan oleh kutu putih, namun karena kekurangan modal menyebabkan tindakan penanggulangannya hama ini kurang mendapat perhatian. Hasil wawancara mendapatkan bahwa musuh alami seperti parasitoid dan predator belum dikenal oleh sebagian besar petani (90%) (Tabel 3.10). Saat ditanya tentang peran belalang sembah dan capung di pertanam nenas, banyak petani menganggap bahwa belalang sembah dan capung merupakan hama. Umumnya petani memahami bahwa semua serangga bersifat sebagai hama, sehingga semua musuh alami baik predator maupun parasitoid dianggap sebagai organisme yang menyebabkan kerugian. Sikap negatif petani terhadap musuh alami, menyebabkan ketidakperdulian terhadap musuh alami, bahkan berusaha untuk mengendalikannya. Tabel 3.10. Hasil wawancara dengan petani tentang peranan musuh alami dan perlunya pengendalian kimia (n=30) Uraian
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Peranan musuh alami bagi pengendalian kutu putih Tidak tahu Ya
27 3
90.00 10.00
Perlu pengendalian kimia Tidak Perlu
12 18
40.00 60.00
Persepsi petani bahwa semua serangga yang ada dipertanaman perlu dikendalikan. Untuk itu upaya yang dilakukan petani pada umumnya (60% responden) adalah melakukan pengendalian dengan menggunakan bahan-bahan
41 kimia. Pestisida dianggap bahan yang ampuh untuk mengendalikan hama apapun. Pestisida yang sering digunakan oleh petani nenas di Subang umumnya berasal dari golongan organofosfat antara lain: Elsan 60 EC dan Dharmasan 600 EC (b.a Fentoat), Diazinon 60 EC (b.a Diazinon) dan golongan piretroid seperti Decis 2.5 EC (b.a Deltametrin 25 g/l) dan Azodrin. Untuk pengendalian penyakit petani menggunakan Dithane M45 80 WP (b.a Mankozeb). Semua jenis pestisida yang digunakan petani diperoleh dari toko-toko yang menjual alat dan bahan pertanian. Penggunaan jenis tertentu untuk pengendalian hama umumnya didasarkan atas pengalaman pribadi, pendidikan orang tua, mendengar informasi dari temanteman petani, penjual bahan pestisida dan informasi dari penyuluh pertanian. Menurut petani, penggunaan pestisida ini disebabkan cara penggunaannya mudah, sudah umum digunakan dan cepat terlihat hasilnya. Pengetahuan petani yang masih kurang tentang pengendalian hama terpadu (PHT) menyebabkan petani masih mengandalkan insektisida. Petani mengambil tindakan penggunaan insektisida dalam pengendalian karena pengetahuannya yang terbatas yang menganggap semua serangga adalah hama, dan menganggap jika hama dibiarkan dapat beresiko terhadap kegagalan hasil usahataninya. Kalau dibandingkan dengan SOP, pengendalian kutu putih dapat digunakan insektisida sesuai dosis anjuran dan dilakukan pada saat populasi kutu putih meningkat. Insektisida yang disarankan untuk pengendalian kutu putih adalah Paration, Ferfection dan Azodrin (PKBTb 2007). Dalam pengendalian kutu putih petani lainnya memilih tindakan untuk mencabut dan membuang tanaman sakit. Petani tersebut sudah benar dalam hal memisahkan tanaman sakit dari yang sehat, namun usaha tersebut kurang bermanfaat karena tanaman tersebut dibuang di sekeliling pertanaman. Tanaman tersebut dapat menjadi sumber penularan kutu putih dan penyakit layu pada tanaman lainnya. Berdasarkan tindakan pengendalian yang dilakukan petani di atas yang cenderung mengandalkan pengendalian secara kimia, maka perlu tindakan dan upaya penyuluhan lebih terarah pada tindakan pengendalian secara terpadu. Tindakan pengendalian penyakit layu dapat dilakukan melalui tindakan prefentif seperti: perendaman bibit nenas dalam larutan pestisida sebelum ditanam dan
42 menghindari penanaman nenas di sekitar tanaman inang dari vektor (D. brevipes) seperti tebu, padi, kopi, pisang kedelai dan kacang tanah (PKBT 2007b), melakukan eradikasi pada tanaman yang sudah terserang dan membersihkan lahan secara teratur dari gulma dan tanaman yang terserang. Untuk pengendalian kutu putih D. brevipes dapat dilakukan dengan teknik pengendalian hama secara terpadu (PHT) (IPM 2008; Ohmart 2008). Analisis Keuntungan Budidaya Nenas Wawancara dengan petani mengungkapkan harga nenas di Subang pada tingkat petani umumnya berkisar Rp 400-1000 per buah. Harga buah nenas di tingkat petani sangat tergantung dari kualitas buah dan masa panen. Pada saat produksi nenas meningkat dan tersedia buah-buahan lain maka harga akan turun. Harga nenas di tingkat pedagang pengumpul sekitar Rp 1000-1500 per kg tergantung ukuran dan mutu buah nenas. Harga nenas di kios-kios buah yang terdapat di pinggir jalan berkisar antara Rp 2000-4000 per buah. Sedangkan untuk nenas yang berkualitas baik seperti nenas madu, harganya lebih mahal, dapat mencapai Rp 5000-6000 per buahnya. Menurut petani usahatani nenas memberikan keuntungan bagi mereka. Untuk menunjukkan keberhasilan usahatani dilakukan analisis terhadap jumlah pendapatan (R) dan jumlah pengeluaran (C) dalam usahatani nenas. Hasil analisis menunjukkan usahatani nenas oleh petani di desa Bunihayu RC rasio 1.22, Cimanglid RC rasio 1.43 dan Curugrendeng RC rasio 1.23 (Lampiran 3). Sebanding dengan laporan dinas pertanian bahwa usahatani standar Jawa Barat RC rasio 1.28 (DPKS 2004). Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa usahatani di tiga lokasi penelitian cukup memberi keuntungan, dengan demikian usahatani nenas bisa dikembangkan dengan menekankan pada praktek budidaya yang baik dan penerapan pengendalian yang ramah lingkungan. Untuk itu diperlukan peran aktif dari para penyuluh pertanian lapangan (PPL) untuk menginformasikan dan membantu petani menerapkan program pengendalian hama secara terpadu (PHT) pada tanaman nenas.
43
KESIMPULAN Petani nenas umumnya berpendidikan relatif rendah dan tergolong dalam petani produktif (berumur 20-50 tahun) serta memiliki lahan garapannya relatif sempit (di bawah 0.25 ha). Teknik budidaya yang diterapkan petani umumnya belum optimal seperti: belum menggunakan bibit sehat, jarak tanam yang belum seragam, pemupukan belum mengikuti standar operasional dan pola tanam nenas secara polikultur. Masalah utama petani dalam budidaya nenas adalah kutu putih D. brevipes. Tingkat serangan kutu putih menurut petani yang terjadi di lahannya bervariasi, umumnya serangannya sekitar 26-75%. Tindakan petani dalam pengendalian kutu putih dan penyakit layu lebih berorientasi pada penggunaan pestisida.
DAFTAR PUSTAKA [AGRIDEP] Agriculture Departement 2000. Production on high yield and quality most varities. [terhubung berkala]. http://www.agridep.gov.lk/ news/ newsindx.htm. [12 Feb 2008]. Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Burdani, DH, Supramana, Widodo. 2001. Studi lini penyakit busuk umbi pada talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) di wilayah Bogor. Bul Hama dan Penyakit 13(1):6-14. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Nenas (Ananas comosus). Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 70 hal. [DPKS] Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. [DPTP] Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Penuntun Budidaya Hortikultura (Nenas). Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu. 238 hal. Gallaher KD. 1991. Old and New Consept of IPM. Discussion Paper. Bogor: 19 Sept 1991. Institut Pertanian Bogor.
44 [IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii. [terhubung berkala]. http://www.ipmcenter.org/CropProfile/docs/pineapples. html. [12 Feb 2008]. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) pink pineapple mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/ d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. 305 hlm. Mulyadi S. 2006. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 247 hlm. Ohmart C. 2008. What is Integrated Pest Management. [terhubung berkala]. http://www. protected harvest. org/learnmore/ipm.htm. [15 Feb 2008]. Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem l2(1): 46-53. Petty GJ, Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam: Pena JE, Shap J, Wisoki M. editor. Tropical fruit pests and pollinators. USA: CAB International Publ. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007. Acuan Standar Operasional Produksi Nenas. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika LPPM-IPB. Purwoto A. 1993. Sikap petani terhadap resiko produksi padi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. J Agro Ekonomi Vol 12(2). Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Rauf A, 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A, 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin HPT 11(1):1-13. [Ristek] Perindustrian dan Teknologi. 2002. Nanas. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http//www.ristek.go.id. [20 Maret 2008]. Rohrbach KG, Schmitt D. 2003. Disease of Pineapple. CAB International. Di dalam: R.C Ploetz, editor. Disease of tropical Fruit Crop. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CABI Publ. Rohrbach KG, Johnson M. 2003. Pest Disease and Weeds. Di dalam Bartholomew DP, Paull RE & Rohrbach KG. Pineapple Botani, Production and Uses. Wallingford Oxon: CABI Publ. Hlm 203-251. Salikin KA. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Jogjakarta: Karnisius.
45 Soekartawi. 1998. Pembangunan Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tampubolon M. 2004. Problematik dan Prospek Pembangunan Masyarakat Desa Ditinjau dari Segi Pendidikan Non Formal. www. Depdiknas.go.id/jurnal. htm [12 Agt 2006]. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm.
46
BAB IV KELIMPAHAN POPULASI KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) PADA TANAMAN NENAS DI TIGA DESA DAN DUA MUSIM YANG BERBEDA ABSTRAK Kutu putih D. brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) telah tersebar di beberapa kebun di sentra produksi nenas di Kabupaten Subang. Suatu rangkaian penelitian survei kelimpahan populasi kutu putih telah dilakukan dari bulan Maret 2006 sampai Februari 2007. Lokasi penelitian yaitu beberapa kebun di desa penghasil nenas di Subang yaitu desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng. Pengamatan mula-mula dilakukan untuk melihat penyebaran kutu putih pada bagian tanaman yang terserang. Hasil penelitian menunjukkan penyebaran vertikal kutu putih tanaman mulai dari akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota. Populasi kutu putih yang ditemukan lebih tinggi pada bagian daun terutama bagian pangkal daun dibandingkan pada bagian tanaman lainnya. Populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman. Tingkat serangan kutu putih di desa Bunihayu (70.56%) lebih tinggi dibandingkan di desa Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%). Tingkat serangan virus penyakit layu nenas (PMWaV) lebih tinggi ditemukan di desa Bunihayu, berkaitan dengan tingginya serangan kutu putih di daerah ini. Di Bunihayu, kelimpahan populasi diamati selama musim hujan dan kemarau pada tahun 2006/2007. Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan populasi kutu putih rendah selama musim hujan dan meningkat selama musim kemarau. Kata kunci: D. brevipes, kutu putih, nenas, kelimpahan populasi, penyebaran vertikal, penyakit layu, musim. ABSTRACT The pineapple mealybug, D. brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae), has been distributed in several areas of center production of pineapple at Subang Regency. A serial survey study of mealybug populations was monitored in field during March 2006-February 2007. There were several farmer fields locations: Bunihayu, Cimanglid and Curugrendeng. The vertical distribution of the pineapple mealybug was found on all parts of pineapple plants such as root, leaf, fruit and crown. The mealybug population on the leaf were found to be higher than that of the other parts of plant. The mealybug population and damage level in field at Bunihayu village were higher compared to those of Cimanglid and Curugrendeng. Pineapple mealybug wilt disease incidence was higher in field at Bunihayu than that of the other areas. Mealybug population was found to be higher in Bunihayu during dry seasons than in rainy seasons during the period 2006-2007. Keyword: D. brevipes, mealybug, pineapple, population abundance, vertical distribution, pineapple mealybug wilt disease, season.
47
PENDAHULUAN Kelimpahan populasi merupakan jumlah individu per unit area (Norris et al. 2003). Kelimpahan populasi selain bervariasi pada suatu tempat ke tempat yang lain, juga bervariasi secara temporal di suatu tempat (Southwood 1978). Jumlah organisme di dalam populasi mengalami perubahan sepanjang waktu sebagai hasil dari berbagai faktor yang berkaitan seperti: kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi (Tarumingkeng 1994; Norris et al. 2003). Populasi organisme di suatu ekosistem bisa naik atau turun dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, inang atau sumber makanan, ruang dan populasi itu sendiri (Dent 1995). Faktor lainnya yang mempengaruhi perubahan populasi serangga yaitu: topografi
lahan dan
pola usaha tani
(Raharjo 2004) serta
perubahan fungsi lahan (Subahar 2000). Faktor iklim berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies, habitat perkembangbiakan, kelangsungan hidup, penularan dan populasi serangga vektor (Sukowati 2004). Populasi vektor menentukan berhasil tidaknya penularan penyakit oleh vektor. Menurut Stavinsky et al. (2002) peningkatan populasi vektor akan meningkatkan kejadian penyakit layu. Demikian juga dengan vektor penyakit layu nenas yaitu kutu putih D. brevipes (Sulaiman 2000; Sether & Hu 2002; Mau & Kessing 2007). Tidak terkendalinya populasi vektor dapat mengakibatkan meningkatnya kejadian penyakit layu. Adanya virus PMWaV bersama-sama dengan tingginya populasi vektor dapat menyebabkan kematian tanaman (Hernandes et al. 1999; Sether & Hu 2002). D. brevipes perlu dikendalikan karena karena semua stadia kutu putih menjadi vektor yang efektif dalam penularan virus PMWaV (Sether et al. 1998). Keberadaan kutu putih D. brevipes petama kali dilaporkan di Hawai pada tahun 1910 (Waterhouse 1998). Penyebaran hama ini dilaporkan meluas di berbagai negara seperti: Fiji, Jamaica, Australia, Afrika, Mexico, Micronesia, Taiwan dan Asia Tenggara (Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Hama ini juga ditemukan di Indonesia terutama di pulau Jawa (Kalshoven 1981).
48 Sejak adanya laporan keberadaan hama kutu putih D. brevipes di desa Bunihayu Kabupaten Subang, Jawa Barat (Sartiami 2006), penelitian lanjutan mengenai kelimpahan kutu putih dan kejadian penyakit layu perlu dikembangkan di daerah ini. Penelitian ini dilakukan di tiga desa potensial penghasil nenas di Kabupaten Subang yaitu di: desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Data luas areal nenas masing-masing yaitu: Bunihayu (492 ha), Curugrendeng (268 ha) dan Cimanglid (286 ha) (DPKS 2004). Penelitian kutu putih di tiga desa tersebut penting mengingat masih kurangnya informasi mengenai populasi D. brevipes pada berbagai daerah pertanaman nenas dan faktor-faktor lingkungan yang berperan bagi perkembangan kutu putih ini di lapang. Populasi kutu putih pada suatu lokasi pertanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi keanekaragaman inang, kondisi habitat dan musim (Geiger & Daane 2001; Walton et al. 2004). Selain itu populasi kutu putih pada tanaman berbeda tergantung bagian tanaman yang diserang (Khan et al. 1998) dan suhu udara (Chong et al. 2008). Menurut Gruenhagen dan Backus (1999) bahwa kelimpahan populasi dan penyebaran hama pada tanaman sangat penting untuk dipelajari untuk mengungkapkan berbagai hal tentang ekologinya. Hal ini diperlukan dalam upaya pencegahan
perkembangan
yang lebih
luas
dan
pengembangan
upaya
pengendaliannya (Leksono et al. 2005). Suatu studi awal tentang perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dilakukan sejak bulan Maret 2006 sampai Februari 2007 untuk mendapatkan informasi mengenai kelimpahan populasi kutu putih pada beberapa lokasi pertanaman nenas dan pada musim yang sedang berbeda. Informasi ini
diperlukan
dan
diharapkan
dapat
menjadi
dasar
dalam
mengembangkan teknik pengendalian kutu putih yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) kelimpahan populasi kutu putih pada tanaman nenas pada tiga desa di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, 2) penyebaran vertikal kutu putih di tanaman nenas dan 3) kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan.
49
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di lapang dan di laboratorium. Pengambilan sampel dan pengamatan kelimpahan populasi kutu putih dilakukan pada tiga desa penghasil nenas terpenting di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang yaitu: di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Selanjutnya pengamatan kelimpahan populasi pada dua musim dilakukan di kebun petani di desa Bunihayu. Perhitungan sebaran populasi dilakukan di laboratorium. Penelitian ini berlangsung sejak bulan Maret 2006 sampai Februari 2007. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui metode survei daerah penghasil nenas di Subang. Survei dilakukan di tiga desa yang potensial sebagai penghasil nenas yaitu: Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng. Selanjutnya untuk mengetahui populasi pada dua musim dilakukan pengamatan/monitoring populasi kutu putih secara berkala yaitu setiap bulan pada tanaman nenas di desa yang tingkat serangan penyakit layu lebih tinggi yaitu di desa Bunihayu. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui beberapa kegiatan yaitu: pengambilan sampel, pengamatan vertikal kutu putih, pengamatan populasi kutu putih di tiga desa dan pengamatan populasi kutu putih pada dua musim yang berbeda. Pengambilan sampel. Sampel yaitu tanaman nenas yang terserang kutu putih. Sampel yang berjumlah 20 tanaman diambil secara purposif sampling dari lahan yang terserang, kemudian sampel dimasukkan masing-masing ke dalam kantong plastik yang telah dilubangi. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dihitung jumlah populasinya. Penelitian sebaran vertikal. Di laboratorium pengamatan populasi kutu putih dilakukan dengan menghitung jumlah populasinya pada seluruh bagian tanaman secara vertikal mulai dari bagian bawah yaitu akar sampai bagian atas tanaman yaitu mahkota. Pengamatan menggunakan mikroskop stereo: jumlah kutu putih
50 pada bagian tanaman yaitu: (1) akar, (2) daun pertama dari bawah tanaman sampai daun teratas, (3) tangkai buah, (4) buah dan (5) mahkota (Gambar 4.1). Pada buah kutu putih berasosiasi pada bagian permukaan buah. Untuk mengetahui distribusinya pengamatan dibedakan atas tiga wilayah (sektor) buah yaitu: bawah, tengah dan atas (Gambar 4.2). Untuk mengetahui kandungan kimia antar bagian tanaman dilakukan analisis kadar air menggunakan metode grafimetri dan analisis kandungan N total dengan metode Kjeldahl (AOAC 1970). Selain analisis tersebut, juga dilakukan analisis glukosa sesuai metode Anthrone (Rangana 1979) pada daun pertama, ke-4, ke-8 dan ke-12. Analisis dilakukan di laboratorium Biotrop dan RGCI (Research Group for Crops Improvement) Bogor.
Mahkota Buah
Tangkai buah Daun
Akar
Gambar 4.1. Pengamatan populasi kutu putih pada tanaman nenas
Atas Tengah Bawah Gambar 4.2. Pengamatan populasi kutu putih pada buah nenas
51 Penelitian kelimpahan populasi pada tiga desa. Penelitian dilakukan pada tiga desa penghasil nenas yaitu: Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Pada setiap desa masing-masing diamati 9 kebun. Pada setiap kebun diambil 20 sampel tanaman yang dipilih berdasarkan arah diagonal kebun. Parameter pengamatan yaitu: kelimpahan populasi dan tingkat serangan kutu putih dan kejadian penyakit layu. Penelitian kelimpahan populasi pada dua musim yang berbeda. Pengamatan dilakukan di kebun petani nenas di desa Bunihayu yang telah terserang hama kutu putih D. brevipes. Luas kebun petani yang dijadikan petak pengamatan adalah sekitar 2000 m2. Teknik budidaya nenas yang diterapkan di kebun percobaan sesuai dengan kebiasaan petani. Cara petani setempat dalam budidaya nenas dilakukan secara polikultur. Nenas ditanam bersama dengan kencur dan singkong. Jarak tanam yang dilakukan petani setempat dengan pola dua baris (double row) yaitu: jarak antar tanaman dalam baris 40 cm, jarak baris 50 cm dan jarak antar baris 100-150 cm. Tanaman tumpangsari seperti kencur dan singkong ditanam di bagian antar baris. Penentuan petak pengamatan yang ditentukan dengan membagi kebun percobaan atas 4 petak. Pada setiap petak ditentukan 5 tanaman (sampel) diberi tanda ajir mengikuti arah diagonal petak lahan sehingga jumlah sampel yang diamati yaitu 20 sampel. Pengamatan jumlah populasi dilakukan pada tanaman nenas secara kontinyu sepanjang dua musim (hujan dan kemarau) pada bulan April 2006 sampai bulan Februari 2007. Pengamatan pertama dilakukan pada tanaman yang berumur 4 bulan setelah tanam dan diamati setiap bulan sekali selama 10 bulan. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kutu putih pada tiap tanaman dengan menggunakan loup. Parameter lainnya yang diamati yakni tingkat serangan hama dan kejadian penyakit layu. Selain itu sebagai penunjang dilakukan pengamatan terhadap suhu, kelembaban udara dan keadaan tanaman di sekitar lokasi. Data lainnya seperti curah hujan diambil dari Kantor Irigasi, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang.
52
Analisis Data Hasil pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova). Apabila diperoleh beda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey pada taraf 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Vertikal Kutu Putih pada Tanaman Nenas Kutu putih D. brevipes dapat hidup dan berkembangbiak pada beberapa bagian tanaman nenas. Hasil pengamatan penyebaran kutu putih pada bagian tanaman nenas dari akar sampai ke mahkota disajikan pada Gambar 4.3. Gambar tersebut menunjukkan kutu putih dapat ditemukan pada semua bagian tanaman nenas dengan jumlah populasi yang beragam. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa kutu putih dapat dijumpai pada seluruh masa pertumbuhan nenas yaitu sejak fase vegetatif sampai fase generatif.
Kutu putih memanfaatkan
bagian-bagian tanaman nenas sebagai tempat berlindung dan mendapatkan makanan. Hasil ini sama seperti laporan Waterhouse (1998) bahwa kutu putih dapat menyerang pada bagian tanaman seperti: akar, daun, tangkai dan buah. Kutu putih dapat hidup pada bagian mahkota tanaman, dengan demikian jika bagian mahkota yang terinfeksi dijadikan bibit, dapat berperan sebagai sumber infeksi kutu putih di lapang. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih lebih tinggi pada bagian daun nenas (56.45±6.83 individu) dan berbeda nyata dengan populasi yang terdapat pada bagian akar (9.40±2.16 individu), tangkai buah (2.10±2.1 individu), buah (9.95±2.81 individu) dan mahkota (2.70±0.86 individu). Hasil ini sesuai dengan laporan bahwa D. brevipes banyak ditemukan hidup pada bagian daun (Khan et al. 1996; Sether & Hu 2002). Kutu putih lebih menyukai hidup pada daun dibandingkan bagian tanaman lainnya karena fisik daun lebih lunak, lebih mudah menusukkan stiletnya untuk mengisap cairan makanannya. Selain itu pada bagian daun cukup mengandung air dan Nitrogen yang dibutuhkan kutu putih untuk kehidupannya (Lampiran 4).
Jumlah kutu putih (individ u)
53 a
70 60 50 40 30 20
b
b
b
b
10 0
Akar
Daun
Tang kai buah
Buah
Mahkota
Bagian Tanaman
Gambar 4.3. Penyebaran vertikal kutu putih pada bagian akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota (n = 20, one way anova, Tukey test α 0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kutu putih berbeda pada posisi daun yang berbeda (F=7.14;db=14;P=0.00) (Gambar 4.4). Pada daun pertama sampai daun ke-6 populasi kutu putih lebih tinggi, namun tidak berbeda nyata dengan daun ke-7 sampai daun ke-9. Populasi kutu putih cenderung menurun pada daun yang terletak di bagian atas. Kandungan nutrisi antar bagian daun ditampilkan pada Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air (F=1.10;db=3;P>0.05) dan kandungan glukosa (F=0.35;db=3;P>0.05) pada daun tidak menunjukkan perbedaan nyata antar bagian daun. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kandungan air padadaun pertama cenderung lebih tinggi, walaupun tidak berbeda nyata dengan bagian daun lainnya. Kandungan glukosa cenderung lebih tinggi pada daun muda walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan daun tua. Kandungan Nitrogen total antar bagian daun menunjukkan perbedaan yang nyata (F=7.46;db=3;P>0.05). Kandungan Nitrogen pada daun pertama dan daun ke-8 lebih tinggi, berbeda nyata dengan daun ke-12. Hasil ini menunjukkan pada daun pertama sampai daun ke-8 lebih sesuai bagi kehidupan kutu putih dibandingkan daun ke-12. Kandungan Nitrogen yang cukup tersedia pada daun tua (dekat akar) lebih disukai kutu putih untuk efisiensi penggunaan makanannya. Schoonhoven et. al. (1998) menyatakan pemberian diet makanan Nitrogen tinggi pada serangga membantu serangga makan lebih efisien dibanding pada diet makanan dengan kandungan Nitrogen rendah.
54 Kutu putih selain menyerang pada bagian daun, juga dapat menyerang bagian buah mulai dari sektor bawah, tengah dan atas. Hasil analisis menunjukkan populasi kutu putih berbeda pada sektor buah yang berbeda (F=5.50;db=2;P=0.01) (Gambar 4.5). Kutu putih lebih menyukai hidup pada bagian bawah buah karena lebih terlindung dari terpaan angin maupun air hujan serta serangan musuh alami. Kutu putih yang menyerang buah sangat merugikan karena dapat mengurangi minat konsumen. Selain itu kutu putih yang menyerang buah merupakan media penyebaran kutu putih pada saat diperdagangkan. Hal ini perlu diperhatikan oleh petugas karantina atau instansi terkait untuk mencegah penyebaran kutu putih antar daerah atau antar pulau semakin meluas.
Jumlah kutu putih (individu)
12 10 8
a
a
a
a
a
a
ab abc
6
abc
4
b 2
b
c
c c
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Daun ke-
Gambar 4.4. Rataan populasi kutu putih pada bagian daun pertama sampai daun ke-15 (n= 20, one way anova, Tukey test α 0.05) Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air, glukosa dan N total pada bagian daun nenas Variabel
Bagian daun ke1
4
8
12
Kadar air
83.61 ± 0.48 a
81.93 ± 1.24 a
81.85 ± 2.48 a
79.91 ± 0.64 a
Glukosa
3.31 ± 0.98 a
3.77 ± 1.06 a
4.51 ± 1.34 a
4.46 ± 0.13 a
N Total
0.123 ± 0.01 a
0.117 ± 0.01 ab
0.130 ± 0.00 a
0.100 ± 0.00 b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tukey.
55
Jum lah kutu putih (individu)
12 10
a
8 6
b
4 2
b
0 Atas
Tengah
Bawah
Sektor buah
Gambar 4.5. Rataan populasi kutu putih pada tiga sektor buah (n=20, one way anova, Tuckey test α 0.05) Kelimpahan Populasi Kutu Putih di Tiga Desa Penghasil Nenas Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelimpahan populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai di desa Bunihayu dibandingkan di desa Curugrendeng dan Cimanglid. Kelimpahan populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu sekitar 11-174 individu/tanaman. Sedangkan di Cimanglid mencapai 128 individu/tanaman dan Curugrendeng mencapai 5-90 individu/tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rataan populasi kutu putih berbeda pada setiap lokasi (P<0.05) (Gambar 4.6.). Rataan populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman. Perbedaan populasi kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa ini mungkin dipengaruhi perbedaan faktor iklim (Tabel 4.2), cara budidaya nenas yang diterapkan oleh petani setempat dan kondisi agroekosistem pertanaman (Gambar 4.7). Di desa Cimanglid, nenas di tanam di daerah yang lebih tertutup yaitu di bawah pohon-pohon berkayu sehingga kondisi di lokasi tersebut agak teduh karena terlindung dengan pohon-pohon seperti: albisia, jeruk dan durian serta pohon-pohon peneduh lainnya. Kurangnya sinar matahari yang masuk ke area kebun dan kelembaban sekitar 66% kurang sesuai bagi kehidupan kutu putih ini.
56 Kondisi agroekosistem di desa Curugrendeng lebih cocok untuk kutu putih dapat berkembang dibandingkan di desa Cimanglid. Pertanaman nenas di daerah ini cukup terbuka dan jenis tanaman relatif sedikit yang ditemukan di sekeliling lahan tersebut. Lokasi perkebunan nenas di desa ini umumnya berada dekat dengan perkebunan teh. Di sekeliling kebun nenas yang umum dijumpai adalah tanaman pisang dan tanaman pohon lain yang berfungsi sebagai batas kebun. Sebaliknya di Bunihayu umumnya kondisi agroekosistem kebunnya lebih bervariasi. Beberapa petani menanam nenas secara polikultur dengan tanaman seperti kencur, pisang, singkong, cabe, jahe, kunyit dan pohon buah-buahan seperti durian. Populasi di Bunihayu lebih tinggi karena tingginya keragaman tanaman inang kutu putih yang ada di kebun. Tanaman seperti pisang, singkong, kunyit, jahe dan cabe (Dove 2005) serta kencur (hasil penelitian sebelumnya), yang ditanam petani umumnya merupakan tanaman inang kutu putih. Keberadaan tanaman inang lebih banyak di kebun yang berada di desa Bunihayu menyebabkan tingginya sumber infeksi kutu putih. Selain itu, kondisi iklim di Bunihayu (Tabel 4.2) mungkin lebih sesuai bagi perkembangan kutu putih. Perbedaan kondisi iklim di lokasi pertanaman nenas mempengaruhi populasi kutu putih. Hasil penelitian di Subang
menunjukkan populasi kutu putih dapat mencapai 174 individu per
tanaman, berbeda dengan hasil penelitian Hernandes et al. (2004) yang
Rataan populasi kutu putih (individu/tanaman)
melaporkan populasi kutu putih di Hawai sekitar 157 individu/tanaman. 25 20
aa
15
b
10
c
5 0 Bunihayu
Cimanglid
Curugrendeng
De sa
Gambar 4.6. Rataan populasi kutu putih pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05)
57 Tabel 4.2. Hasil pengukuran rataan berbagai variabel lingkungan pada tiga lokasi pengamatan Desa
Variabel Bunihayu o
Suhu ( C) Kelembaban (%) Ketinggian tempat (dpl)
A
Cimanglid
Curugrendeng
34.59
33.73
34.41
51.67
65.67
52.00
539.44
520.00
588.00
B
C
Gambar 4.7. Kondisi agroekosistem kebun nenas di desa Bunihayu (A), Cimanglid (B) dan Curugrendeng (C) Tingkat Serangan Kutu Putih Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga lokasi pertanaman nenas ditampilkan pada Gambar 4.8. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa yang diamati (P<0.05). Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di desa Bunihayu berbeda nyata dengan tingkat serangan kutu putih di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu (70.56%) dibandingkan Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%). Tingkat serangan kutu putih di Bunihayu hampir sama dengan laporan Asbani (2005). Tingginya tingkat serangan kutu putih di desa Bunihayu ada kaitannya dengan tingginya populasi kutu putih di lokasi tersebut, keanekaragaman tanaman inang dan kesesuaian berbagai faktor lingkungan fisik untuk perkembangan kutu putih.
58 80
Tingkat serangan kutu putih (%)
) % ( n a g n ar e S ta k g n i T
a
70 60
b
50
c
40 30 20 10 0 Bunihayu
Cimanglid
Curugrendeng
Desa Desa
Gambar 4.8. Rataan tingkat serangan kutu putih pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05) Kejadian Penyakit Layu Gejala serangan virus penyebab penyakit layu pada tanaman nenas ditemukan pada 3 lokasi yang diamati. Tingkat serangan penyakit layu berbeda pada lokasi yang berbeda (P<0.05). Serangan penyakit layu di Bunihayu mencapai 50.56%, lebih tinggi dibandingkan di Cimanglid (15.56%) dan Curugrendeng (31.67%) (Gambar 4.9). Tingginya serangan penyakit layu di Bunihayu disebabkan tingginya populasi vektor penyakit layu yaitu D. brevipes dan ketersediaan sumber inokulum penyakit layu.
Petani menanam nenas secara
terus-menerus dan bibit yang digunakan kurang bermutu sehingga sumber inokulum selalu tersedia di pertanaman. Selain itu sumber penyebaran dari penyakit layu nenas diduga berasal dari bibit yang digunakan petani. Bibit tanaman yang digunakan oleh petani yaitu: anakan, tunas dan mahkota dari tanaman nenas umumnya tanpa seleksi, sehingga ada kemungkinan bibit nenas yang digunakan telah terinfeksi. Selain itu beberapa kebun yang diamati terlihat kurang terawat, banyak gulma yang tumbuh dan serangan kutu putih tinggi. Menurut Sether et al. (1998) serangan penyakit layu dipertanaman nenas disebabkan tersedianya sumber inokulum yaitu tanaman yang terinfeksi PMWaV dan adanya vektor penyakit layu. Gejala penyakit layu nenas dapat ditemukan pada semua masa pertumbuhan tanaman. Gejala layu muncul mulai dari tanaman muda yaitu bibit nenas, tanaman pada masa vegetatif sampai tanaman yang telah berbuah/generatif (Gambar 4.10).
59 Tanaman yang terserang virus penyakit layu sangat jelas gejalanya jika dibandingkan dengan tanaman sehat. Pada umumnya tanaman yang terserang virus penyakit layu akan menunjukkan gejala seperti: pertumbuhan terhambat, ujung daun mengering, daun berubah warnanya dari hijau berubah hijau kekuningan sampai kemerah-merahan, bagian pelepah daun melengkung ke bawah dan keseluruhan daun menjadi layu. Gejala penyakit layu tersebut sesuai
Tingkat serangan penyakit (%)
dengan yang telah dilaporkan (Sether et al. 1998; CABI 2003). 70 60
a
50
b
40 30
c
20 10 0 Bunihayu
Cimanglid
Curugrendeng
Desa
Gambar 4.9. Rataan tingkat serangan penyakit layu pada tiga desa (n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05)
Gambar 4.10. Gejala penyakit layu pada tiga fase pertumbuhan tanaman (A= fase pertumbuhan awal, B= fase vegetatif dan C= fase generatif)
60
Perbandingan Kelimpahan Populasi Kutu Putih pada Musim Kemarau dan Musim Hujan Pengamatan kelimpahan populasi kutu putih dilakukan selama dua musim. Hasil menunjukkan bahwa jumlah populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu pada awal pengamatan berkisar 1-51 individu/tanaman dengan rataan sekitar 9.20±3.07 individu/tanaman. Populasi kutu putih mengalami tren kenaikan selama 7 bulan pengamatan sejak pengamatan pada bulan April sampai Oktober 2006. Kelimpahan populasi kutu putih mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2006 (Gambar 4.11). Populasi kutu putih yang ditemukan sekitar 1-115 individu/tanaman dengan rataan tertinggi yaitu: 34.60 individu/tanaman. Populasi kutu putih mengalami penurunan pada bulan November dan Desember, dan pada pengamatan tiga bulan terakhir menunjukkan pola perkembangan populasi yang hampir sama. Kelimpahan populasi tinggi terlihat pada bulan September dan Oktober, hal terjadi ini karena musim kemarau yang cukup lama yang berlangsung dari bulan Juni sampai Oktober 2006. Pembagian musim didasarkan pada jumlah curah hujan bulanan menurut pembagian iklim oleh Oldeman tahun 1975 yaitu bahwa bulan kering apabila curah hujan kurang dari 100 mm, bulan lembab 100-200 mm dan bulan basah jika lebih dari 200 mm (Regariana 2004). Gambar 4.11 menunjukkan selama penelitian, terjadi musim kemarau yang sangat panjang (data bulan kering memiliki curah hujan bulanan < 100 mm) sejak bulan Juni-November 2006 dan musim penghujan (curah hujan bulanan > 100 mm) terjadi pada bulan: April-Mei 2006 dan Desember-Februari 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih pada tanaman nenas berbeda pada musim yang berbeda (P<0.05). Rataan populasi kutu putih pada musim kemarau (28.60±3.21 individu/tanaman) lebih tinggi 2.5 kali lipat dibandingkan populasi kutu putih pada musim hujan (12.32±1.70 individu/ tanaman) (Gambar 4.12). Tingginya populasi pada musim kemarau tersebut merupakan fenomena umum yang telah lama dikenal pada banyak serangga tropik (Rauf 1996). Hasil penelitian ini sama dengan laporan Geiger dan Daane (2001) menyatakan bahwa perkembangan populasi kutu putih Pseudococcus maritimus (Hemiptera: Pseudococcidae) dipengaruhi musim yang sedang berlangsung. Hasil
61 yang sama dilaporkan Boavida dan Neuenschwander (1995) bahwa populasi kutu putih Rastrococcus invadens (Hemiptera: Pseudococcidae) mencapai puncaknya pada musim panas dan mampu menyelesaikan perkembangan hidupnya selama beberapa generasi. Di lahan pengamatan, rata-rata suhu udara selama musim kemarau mencapai lebih dari 30 0C sangat cocok bagi perkembangan kutu putih. Hal ini didukung oleh penelitian Chong et al. (2008) bahwa perkembangan kutu putih pada suhu 30-30.4 0C lebih maksimal dibandingkan pada suhu 20-25 0C. 40
700
35
600
30
500
25
400
20
300
15 10
200
5
100
0
Curah hujan (mm/bulan)
Populasi kutu putih (individu/tanaman)
0 Apr
Mei
Juni
Juli
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Bulan Populasi
Curah hujan
Gambar 4.11. Perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas pada pengamatan April 2006-Februari 2007
a
Jum lah kutu putih (individu/ tanam an)
50
b
40 30
a 20 10 0 Hujan
Kemarau
Musim
Gambar 4.12. Kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan di desa Bunihayu (t test α 0.05)
62
KESIMPULAN Kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes lebih tinggi di desa Bunihayu dibandingkan di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individu/tanaman, Cimanglid 1.76 individu/tanaman dan Curugrendeng 6.64 individu/tanaman. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu (70.56%) dibandingkan di desa Cimanglid (27.22%) dan Curugrendeng (42.78%). Serangan penyakit layu PMWaV di desa Bunihayu mencapai 50.56%, lebih tinggi dibandingkan di desa Cimanglid (15.56%) dan desa Curugrendeng (31.67%). Sebaran vertikal kutu putih pada tanaman nenas mulai dari akar, daun, tangkai buah dan buah serta mahkota. Bagian pangkal daun merupakan bagian tanaman nenas yang terbanyak dijumpai kutu putih. Populasi kutu putih nenas menunjukkan perbedaan pada dua musim yang berbeda. Jumlah populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai pada musim kemarau dari pada musim hujan.
63
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1970. Official Methods Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist. Washington DC. Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Sci and Tech 5:495-508. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Welling fort. Nosworthy Way. Wallingford. Oxfordshire. OX10 8DE. Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae) at constant temperature. Environ Entomol 37(2):323-332. Dent D. 1995. Principles of Integrated Pest Management. Dent D, editor. Integrated Pest Management. London: Chapman & Hall. hlm188-259. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http:// www.sel.barc.usda.gov/ catalogs/ pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes. htm. [12 Feb 2008]. [DPKS] Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug (Homoptera: Pseudococcidae): developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 94(1):291-301. Gruenhagen NM, Backus EA. 1999. Diel Settling Pattern of Female and Male Potato Leafhopper (Homoptera: Cicadellidae) on Alfalfa. J Econ Entomol 92(6):1321-1328. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161.
64 Leksono AS, Nakagoshi N, Takada K, Nakamura K. 2005. Vertical and Seasonal variation in the abundance and the richness of Attelabidae and Cantharidae (Coleoptera) in suburban mixed forest. Entomol Science 8:235-243. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Pink Pineapple Mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/ Kbase/crop/ Type d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm. Pitaksa C, Chantarasuwan A, Kongkanjana A. 2000. Ant control in pineapple field. Act Hort 529:309-316. Raharjo S. 2004. Dinamika populasi Sanurus indecora J. pada tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) di Nusa Tenggara Barat. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. Rangana S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. Tata Mc. Grawhill ND. Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Regariana CM. 2004. Atmosfir (Cuaca dan Iklim). http://www.elcom.umi.ac.id. [10 November 2009]. Sartiami D. 2006. Keberadaan Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) sebagai vektor pineapple mealybug wilt assosiated virus (PMWaV) pada tanaman nanas. J Pert Indon 11(1):1-6. Schoonhoven LM, Jermy T, Van Loon JJA. 1998. Insect Plant Biology from Physiology to Evolution. London: Chapman & Hall. 409 hlm. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88:1224-1230. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Southwood TRE. 1978. The construction, description and analysis of age specific life tables. In. Ecological methods with particular reference to study of insect population, 2nd ed. London: Chapman & Hall. Stavinsky J, Funderburk J, Brodbeck BV, Olson SM, Andersen PC. 2002. Population dynamics of Frankniella spp. and tomatto spotted wilt incidence as influenced by cultural management tactics in tomato. Hort Entomol 95(6):1216-1221.
65 Subahar SST. 2000. Pengaruh perubahan fungsi lahan terhadap struktur komunitas arthropoda tanah, studi kasus di Bandung Utara. Di dalam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung: 16-18 Okt 2000. hlm 69-73. Sukowati S. 2004. Dampak perubahan lingkungan terhadap penyakit tular nyamuk (vektor) di Indonesia. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. hlm 1-16. Sulaiman SFM. 2000. Implication of the use of excess coir dust mulch in pineapple cultivation on the mealybug wilt disease of pineapple. Acta Hort 529: 321-335. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-1096. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest, Southeast Asian prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR.
66
BAB V BIOLOGI KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA TANAMAN NENAS DAN KENCUR ABSTRAK Biologi hama kutu putih D. brevipes (Cockerell) diamati pada dua jenis tanaman inang pada kondisi laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter biologi pada tanaman nenas (A. comosus (Linn.) Merr.) dan kencur (Kaempferia galanga Linn.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman berpengaruh terhadap beberapa parameter kehidupan kutu putih. Perkembangan hidup kutu putih mengalami tiga instar nimfa sebelum menjadi imago. Lama perkembangan nimfa instar 1 sampai 3 pada nenas berturutturut: 11.45±0.29 hari, 9.85±0.29 hari dan 10.80±0.31 hari. Sedangkan lama perkembangan nimfa pada kencur berturut-turut yaitu: 12.95±0.33 hari, 11.05±0.34 hari dan 11.55±0.20 hari. Total lama perkembangan nimfa masingmasing: 32.10±0.33 hari dan 35.55±0.43 hari pada nenas dan kencur. Pada nenas kutu putih lebih cepat bereproduksi dan waktu yang dibutuhkan untuk bereproduksi lebih lama dibandingkan pada kencur. Lama hidup imago masingmasing: 20.40±0.74 hari dan 20.20±0.57 hari pada nenas dan kencur. Kemampuan reproduksi betina kutu putih lebih tinggi pada nenas dibanding kencur. Rata-rata kemampuan reproduksi betina kutu putih masing-masing: 72.50±5.17 nimfa/ betina dan 23.40±2.61 nimfa/betina pada nenas dan kencur. Hal ini menunjukkan kencur merupakan salah satu tanaman inang dari D. brevipes. Kata kunci: kutu putih, Dysmicoccus brevipes, tanaman inang, nenas, kencur, biologi. ABSTRACT The biological study of pineapple mealybug D. brevipes (Cockerell) was conducted under laboratory conditions using two plants, pineapple (A. comosus (Linn.) Merr.) and lesser galangale (K. galanga Linn.). The objective of this study was to determine biological characters of D. brevipes. Mean development time of first, second and third instars of nymphs in pineapple were 11.45±0.29 days, 9.85±0.29 days and 10.80±0.31 days, respectively. On the other hand, the mean development period in lesser galangale were 12.95±0.33 days, 11.05±0.34 days and 11.55±0.20 days, respectively. The nymph’s development period on pineapple (32.10±0.33 days) was shorter than those of lesser galangale (35.55±0.43 days). The adult life time in pineapple and lesser galangale were 20.40±0.74 days and 20.20±0.57 days, respectively. Mean fecundity of mealybug in pineapple (72.50±5.17 nymphs) was higher than those of lasser galangale (23.40±2.61 nymphs). It was conclude from the results that lesser galangale can act as mealybug host plant. Word keys: mealybug, D. brevipes, host plant, pineapple, lesser galangale, biology.
67
PENDAHULUAN Kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama utama pada pertanaman nenas di dunia (Hernandes et al. 1999; Culik et al. 2005; CABI 2008). Kutu putih D. brevipes sangat merugikan pertanaman nenas karena peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit layu nenas (Sether et al. 2004; 2005). Serangan hama ini dapat menyebabkan penurunan hasil buah baik kualitas maupun kuantitas (Rohrbach & Johnson 2003). Hama D. brevipes mula-mula dilaporkan Carter tahun 1935 dan merupakan spesies asli yang berasal dari Amerika Selatan (Waterhouse 1998). Selanjutnya kutu putih ini menyebar ke berbagai negara di dunia yaitu di daerah subtropis sampai ke daerah tropis (Williams dan Watson 1988). Hama ini sudah ditemukan di Indonesia yaitu: menyerang selain nenas, juga menyerang tanaman lainnya seperti: tebu, palem, kopi, pisang, kedele, kacang tanah dan pandan (Kalshoven 1981). Hama ini bersifat polifag dan dilaporkan dapat menyerang lebih dari 100 genus pada 53 famili tanaman (Dove 2005; CABI 2008). Kesesuaian serangga hama terhadap tanaman inang dapat diukur dari kemampuan populasi serangga yang berkaitan dengan bertahan hidup (survival), pola pertumbuhan populasi dan lama perkembangan hidup spesies hama (Tarumingkeng 1994). Menurut Hashimoto (2001) perkembangan kutu putih tergantung dari spesies, lingkungan dan kecocokan inang sebagai sumber makanan. Selain itu perkembangannya tergantung pada kultivar nenas (Cecilia et al. 2004; Kumar 2006). Pada tanaman nenas di Hawai kutu putih dapat berkembangbiak secara partenogenesis (Beardley 1965 dalam Waterhouse 1998) dan di Malaysia serta Brasil berkembangbiak secara sexual (Lim 1973 dalam Waterhouse 1998; Mau & Kessing 2007). Informasi biologi kutu putih D. brevipes di Indonesia masih terbatas, baik pada nenas maupun tanaman lainnya. Dari survei di perkebunan nenas rakyat di Subang, pola tanam polikultur tanaman nenas bersama kencur menunjukkan populasi kutu putih cukup tinggi. Sampai saat ini belum ada laporan tentang kencur sebagai tanaman inang kutu putih. Laporan terakhir tentang tanaman inang kutu putih, kencur belum teridentifikasi sebagai tanaman inang (Dove 2005). Tiga
68 spesies dari kerabat dekatnya (famili Zingiberaceae) termasuk dalam tanaman inang kutu putih yaitu: kunyit (Curcuma longa), jahe kuning (Hedychium flavum) dan jahe (Zingiber officinale). Untuk mengetahui peranan kencur bagi kutu putih D. brevipes dilakukan pengamatan biologinya pada kencur dan
nenas.
Pemahaman biologi ini sangat penting untuk membangun strategi dalam membangun sistem pengelolaan populasi hama yang efektif (Liu 2005). Dengan terkendalinya kutu putih yang berperan sebagai vektor penyakit layu tersebut, selanjutnya dapat menekan perkembangan dan penyebaran penyakit layu nenas di pertanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter biologi kutu putih pada tanaman nenas (A. comosus) dan kencur (K. galanga). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Subang untuk mendapatkan sampel kutu putih dan pengamatan biologi dilakukan di laboratorium Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung sejak bulan April 2007 sampai Oktober 2007. Pengambilan sampel kutu putih Sampel kutu putih dikumpulkan dari pertanaman nenas di desa Bunihayu Kecamatan Jalanjagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan desa Bunihayu ini dilakukan dengan pertimbangan potensinya sebagai salah satu sentra produksi nenas dengan intensitas serangan kutu putih yang tinggi serta dijumpai kebiasaan petani menanam nenas bersama kencur. Bagian tanaman seperti pangkal daun yang terserang kutu putih diambil sebagai sampel dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah diberi lubang udara. Sampel (± 50 daun) diambil dari beberapa kebun yang terserang kutu putih. Sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan identifikasi dan perbanyakan (rearing).
69
Identifikasi Kutu Putih Serangga kutu putih yang dikumpulkan, diidentifikasi untuk memastikan spesies kutu putih yang digunakan dalam penelitian adalah D. brevipes. Kutu putih yang akan diidentifikasi dibuat preparat terlebih dahulu sesuai metode Williams & Watson (1988). Pembuatan preparat dilakukan sebagai berikut: kutu putih yang digunakan untuk pembuatan preparat adalah imago betina. Kutu putih dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 2 ml alkohol 95%, dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit kemudian dituang ke dalam cawan sirakus. Toraks bagian dorsal kutu putih ditusuk dengan jarum untuk membuat lubang, selanjutnya kutu putih dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi larutan KOH 10% dan direbus sampai terlihat transparan. Kutu putih dipindahkan ke dalam cawan sirakus dan seluruh isi tubuhnya dikeluarkan. Selanjutnya kutu putih yang sudah dibersihkan tersebut, dicuci dengan akuades sebanyak dua kali, lalu direndam dalam larutan acid alkohol 50% selama 10 menit. Selanjutnya larutan asam fukhsin ditambahkan ke dalam larutan tersebut. Setelah beberapa menit, kutu putih direndam dalam glacial acetic acid selama semalam. Kutu putih didehidrasi dengan merendamnya dalam larutan alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 100% selama 10 menit, larutan carbol xylene selama 2 menit, dan terakhir dalam akohol 100% selama 10 menit. Selanjutnya preparat direndam dalam minyak cengkeh selama 10 menit, ditetesi dengan balsam kanada dan siap untuk diamati di bawah mikroskop cahaya. Identifikasi dilakukan berdasarkan buku kunci identifikasi oleh Williams & Watson (1988), Williams & de Willink (1992) dan Williams (2004). Perbanyakan Kutu Putih Perbanyakan kutu putih dilakukan di laboratorium yang memiliki suhu sekitar 25±2 oC dan kelembaban 70±10%. Nimfa yang terdapat pada sampel diambil dengan kuas halus dan dipelihara sampai menjadi imago pada labu jepang atau kaboca (Cucurbita maxima: Cucurbitaceae). Seekor kutu putih diinokulasi pada masing-masing buah kaboca dengan menggunakan kuas halus, kemudian dipelihara dalam wadah plastik yang berukuran diameter 20 cm dan tinggi 14 cm yang dialasi dengan kertas tissue dan berpenutup kain kasa halus. Teknik
70 perbanyakan kutu putih pada kaboca sama seperti dilaporkan Sether et al. (1998) dan Pandey & Jhonson (2001). Generasi pertama dari kutu putih yang dipelihara di laboratorium digunakan sebagai serangga percobaan. Wadah Percobaan Wadah percobaan untuk pengamatan biologi adalah cawan petri (diameter 6 cm) yang didalamnya ditempatkan kertas tissue yang telah dibasahi. Potongan daun nenas atau rimpang kencur yang sudah dibersihkan diletakkan di atas masing-masing cawan petri. Bagian atas cawan petri ditutupi dengan penutup dari tabung plastik yang diberi lubang yang ditutup dengan kain kasa halus.
Gambar 5.1. Wadah percobaan kutu putih di laboratorim Tanaman Inang Penelitian ini menggunakan dua jenis tanaman inang yaitu: daun nenas (A. comosus) dan rimpang kencur (K. galanga). Morfologi dan Biologi Kutu Putih Penelitian morfologi dan biologi kutu putih dilakukan di laboratorium. Pemeliharaan kutu putih pada nenas dilakukan seperti berikut: sepotong daun diambil dari bibit nenas Smooth Cayenne (berasal dari Bunihayu) yang ditanam dalam polibag. Imago dari hasil pemeliharaan yang siap beranak diambil dengan hati-hati menggunakan kuas halus kemudian diletakkan diantara lipatan daun nenas. Selanjutnya daun bersama kutu putih tersebut dimasukkan ke dalam petridis atau wadah percobaan. Setelah imago meletakkan keturunannya, imago dikeluarkan. Nimfa instar 1 dipelihara pada daun nenas yang diletakkan dalam petridis. Jumlah sampel masing-masing tanaman inang 40 sampel terdiri dari
71 masing-masing 20 sampel untuk pengamatan morfologi dan 20 sampel untuk pengamatan biologi. Daun nenas yang kering diganti dengan daun yang baru setiap hari. Perkembangan kutu putih dan pergantian instarnya diamati setiap hari di bawah mikroskop sampai menjadi imago. Adanya eksufia digunakan sebagai petunjuk terjadinya pergantian instar. Kutu putih juga dipelihara pada rimpang kencur. Metode pemeliharaan sama dengan metode pada tanaman nenas. Pengamatan morfologi meliputi: bentuk, ukuran (panjang dan lebar tubuh) dan warna setiap tahap perkembangan baik nimfa dan imago yang dipelihara pada tanaman nenas dan kencur. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di bawah mikroskop stereo yang dilengkapi dengan mikrometer. Pengamatan biologi meliputi: lama perkembangan stadia nimfa, pergantian instar, lama masa praoviposisi, lama masa oviposisi, lama masa pascaoviposisi dan lama hidup imago. Kemampuan Reproduksi Kutu Putih Percobaan kemampuan reproduksi betina kutu putih dilakukan pada dua jenis tanaman inang yaitu nenas dan kencur. Nimfa yang berumur sama dipelihara sampai menjadi imago. Jumlah imago yang dijadikan sampel sebanyak 20 individu (ulangan). Seekor imago betina yang telah beranak kemudian diamati jumlah keturunannya. Nimfa yang telah dihitung dikeluarkan dengan menggunakan kuas halus. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop stereo pada masingmasing tanaman inang. Jumlah keturunannya (nimfa) yang dihasilkan setiap hari dihitung sampai imago tersebut mati. Analisis Data Parameter morfologi dan biologi hasil pengamatan dianalisis dengan melakukan uji t dengan program analisis Statistix 8. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan
identifikasi
terhadap
imago
betina
kutu
putih
yang
dikumpulkan dari tanaman nenas dari desa Bunihayu diperolah hasil bahwa spesies kutu putih tersebut adalah Dysmicoccus brevipes. Spesies ini memiliki
72 karakter-karakter khas seperti pada Gambar 5.2. Karakter khas tersebut yaitu: (1) tubuh berbentuk oval, cembung, (2) antena terdiri dari 7 sampai 8 ruas, namun yang banyak ditemukan 8 ruas, (3) memiliki 17 pasang cerari, (4) daerah dekat mata memiliki discoidal pore, (5) pada cerari lobus anal terdapat 2 seta conical dan 3-4 seta axiliari, (6) memiliki circulus dan (7) memiliki seta segmen VIII bagian dorsal yang lebih panjang dari pada seta dorsal lainnya. Hasil pengamatan terhadap karakter-karakter kutu putih D. brevipes tersebut sesuai buku indentifikasi Pseudococcidae (Williams & Watson 1988; Williams & de Willink 1992; Williams 2004). Nama lain kutu putih ini adalah P. pseudobrevipes (Williams 2004).
A
B
Gambar 5.2. Preparat D. brevipes (pembesaran 400x) (A) dan anatomi betina D. brevipes (Williams & Watson 1988) (B)
73
Morfologi Kutu Putih D. brevipes Hasil pengukuran tubuh kutu putih D. brevipes yang dipelihara pada dua tanaman inang disajikan pada Tabel 5.1. Hasil analisis menunjukkan umumnya pada stadia nimfa, jenis inang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tubuh dan lebar nimfa kutu putih D. brevipes (P>0.05). Panjang tubuh imago pada pemeliharaan di nenas mencapai 2.14±0.06 mm menunjukkan perbedaan dengan pemeliharaan pada kencur yang mencapai 2.01±0.05 mm. Perbedaan ukuran ini, disebabkan perbedaan kualitas nutrisi pada nenas dan kencur. Moghaddam (1999) menyatakan panjang tubuh maksimal kutu putih mencapai 3 mm. Lebar tubuh imago kutu putih mencapai 1.35 mm pada nenas dan 1.28 mm pada kencur. Menurut Moghaddam (1999) daerah paling lebar dari imago kutu putih yaitu bagian mesothorax. Perkembangan kutu putih D. brevipes terdiri dari tiga instar nimfa sebelum menjadi dewasa. Hasil percobaan ini sesuai dengan yang dilaporkan sebelumnya oleh Waterhouse (1998), Mau dan Kessing (2007) dan CABI (2008). Nimfa berbentuk oval, agak pipih, berwarna merah muda, ditutupi lapisan lilin berwarna putih. Mula-mula lapisan lilin yang menutupi tubuh nimfa sedikit dan sejalan dengan pergantian instarnya lapisan lilin semakin menutupi tubuhnya. Lapisan lilin ini dihasilkan oleh 17 pasang cerari (Mau dan Kessing 2007). Tabel 5.1. Ukuran tubuh D. brevipes yang dipelihara pada nenas dan kencur Tahap
Peubah yang
perkembangan diukur Nimfa instar 1 panjang tubuh lebar tubuh Nimfa instar 2 panjang tubuh lebar tubuh Nimfa instar 3 panjang tubuh lebar tubuh panjang tubuh Imago lebar tubuh Keterangan:
Ukuran (mm ± SE) Nenas (n= 20) 0.51 ± 0.01 0.32 ± 0.01 0.83 ± 0.01 0.46 ± 0.01 1.31 ± 0.01 0.76 ± 0.02 2.14 ± 0.06 1.35 ± 0.04
a a a a a a a a
kencur (n=20) 0.48 ± 0.01 0.31 ± 0.01 0.82 ± 0.01 0.45 ± 0.01 1.25 ± 0.02 0.75 ± 0.02 2.01 ± 0.05 1.28 ± 0.04
b a a a a a b b
angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t
74 Nimfa instar awal merupakan stadia yang aktif makan dan bergerak, dapat berpindah dari inangnya ke tempat lain di sekitar wadah pemeliharaan. Mau dan Kessing (2007) menyatakan crawler berperan utama dalam penyebaran kutu putih. Crawler dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, juga dapat berpindah dengan jarak yang cukup jauh karena terbawa angin. Imago betina berbentuk oval, agak cembung, tubuh berwarna merah muda dan ditutupi lapisan lilin berwarna putih. Biologi Kutu Putih D. brevipes Tahapan perkembangan kutu putih ditampilkan pada Gambar 5.3. Lama perkembangan kutu putih D. brevipes stadia pradewasa ditampilkan pada Tabel 5.2. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama perkembangan kutu putih pada stadia pradewasa berbeda pada tanaman inang yang berbeda (Tabel 5.2). Lama perkembangan nimfa instar satu yang dipelihara pada daun nenas berkisar antara 10-14 hari (11.45±0.29 hari) lebih singkat 1.5 hari dibandingkan pada rimpang kencur (12.95±0.33 hari). Mau dan Kessing (2007) menyatakan bahwa lama hidup kutu putih nimfa instar satu sekitar 10-26 hari pada nenas. Lama perkembangan nimfa instar dua yaitu: 9.85±0.29 hari dan 11.05±0.34 hari pada pemeliharaan di nenas dan kencur. Lama perkembangan nimfa instar tiga sekitar 10.80±0.31 dan 11.55±0.20 hari pada nenas dan kencur. Mau dan Kessing (2007) menyatakan nahwa lama perkembangan nimfa instar dua dan tiga masing masing yaitu: 6-22 hari dan 7-24 hari. Total lama perkembangan kutu putih pradewasa pada nenas (32.10 ± 0.33 hari) lebih singkat tiga hari dibandingkan pada kencur (35.55 ± 0.43 hari). Hasil ini mendukung laporan Mau dan Kessing (2007) bahwa total lama perkembangan nimfa sekitar 10-55 hari dengan rataan sekitar 34 hari. Selain pengaruh inang, lama hidup nimfa dipengaruhi oleh varietas. Cecilia et al. (2004) menyatakan bahwa lama perkembangan nimfa D. brevipes pada nenas varietas Perola lebih singkat dari pada pada varietas Smooth Cayenne.
75
nimfa instar 2
nimfa instar 1
nimfa instar 3
imago
Gambar 5.3. Tahapan perkembangan kutu putih D. brevipes (gambar tidak berskala) Tabel 5.2. Lama perkembangan pradewasa D. brevipes pada nenas dan kencur Stadia nimfa
Nenas (n=20)
Kencur (n=20)
Umur (hari ± SE) Nimfa instar 1
11.45 ± 0.29 b
12.95 ± 0.33 a
Nimfa instar 2
9.85 ± 0.29 b
11.05 ± 0.34 a
Nimfa instar 3
10.80 ± 0.31 b
11.55 ± 0.20 a
Lama hidup nimfa
32.10 ± 0.33 b
35.55 ± 0.43 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t Hasil pengamatan terhadap lama hidup imago kutu putih ditampilkan pada Tabel 5.3. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis tanaman inang memberi pengaruh terhadap lama praoviposisi dan masa oviposisi kutu putih (P=0.00). Kutu putih yang dipelihara pada nenas lebih cepat (5 hari) untuk bereproduksi dibandingkan pada kencur. Lama masa oviposisi kutu putih pada daun nenas sekitar 11.10±0.54 hari, lebih lama 5 hari dibandingkan pada kencur (6.40±0.32 hari). Perbedaan ini mungkin disebabkan kandungan nutrisi dan senyawa kimia sekunder pada nenas berbeda dengan kencur. Kencur mengandung senyawa kimia sekunder seperti flafonida dan polifenol (Deptan 2004). Adanya flafonida dan
76 polifenol dapat menghambat perkembangan serangga, walaupun tingkat penghambatannya tergantung pada spesies serangganya (Schoonhoven et al. 1998). Hasil analisis menunjukkan masa pascaoviposisi dan total lama hidup imago kutu putih tidak berbeda pada kedua tanaman inang (P=0.79 dan P=0.13). Total lama hidup imago kutu putih pada nenas dan kencur yaitu 20.40±0.74 hari dan 20.20±0.57 hari. Hasil ini sesuai dengan laporan Waterhouse (1998) dan CABI (2008) yang menyatakan bahwa lama hidup imago sekitar 7-49 hari. Menurut Cecilia et al. (2004) lama hidup imago kutu putih dipengaruhi oleh varietas inangnya. Total lama hidup imago pada nenas varietas Perola dan Smooth Cayenne masing-masing yaitu: 20.3±2.3 hari dan 26.1±2.5 hari. Tabel 5.3. Lama hidup imago D. brevipes pada nenas dan kencur Stadia imago Pra oviposisi
Nenas (n=20) Kencur (n=20) Umur (hari± SE) 8.15 ± 0.41 b
13.30 ± 0.46 a
Masa oviposisi
11.10 ± 0.54 a
6.40 ± 0.32 b
Pasca oviposisi
1.15 ± 0.35 a
0.40 ± 0.15 a
20.40 ± 0.74 a
20.20 ± 0.57a
Lama hidup imago Keterangan:
angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t
Masa praoviposisi lebih cepat dan masa reproduksi lebih lama menunjukkan bahwa nenas lebih sesuai bagi reproduksi kutu putih dibandingkan pada kencur. Hal ini sesuai dengan laporan yang menyatakan bahwa nenas adalah inang utamanya D. brevipes (Hernandez et al. 2004; Mau & Kessing 2007; CABI 2008). Kondisi penelitian laboratorium dengan suhu sekitar 25±2 oC dan kelembaban sekitar 70±10%, hanya ditemukan imago betina dan tidak ditemukan imago jantan. Hal ini mungkin dipengaruhi kondisi lingkungan laboratorium dan kualitas inangnya tidak sesuai bagi kutu putih menghasilkan imago jantan. Menurut West & Rivero (2000) sex rasio serangga tergantung pada inangnya. Lingkungan seperti suhu dan kelembaban sangat berperan dalam pengaturan sex rasio kutu putih di India, keturunan yang dihasilkan imago betina semua terjadi pada suhu 30 oC dan kelembaban 60-66% (Waterhouse 1998). Selain itu sex rasio kutu putih
77 tergantung lingkungan tempat hidupnya, seperti di Hawai imago jantan kutu putih tidak pernah ditemukan, tetapi di Malaysia imago jantan bisa ditemukan dengan sex rasio 1:1 (Waterhouse 1998; CABI 2003;). Kemampuan Reproduksi Kutu Putih pada Tanaman Nenas dan Kencur Produksi nimfa per hari oleh seekor betina kutu putih yaitu berkisar: 1 sampai 28 nimfa pada nenas dan 1 sampai 17 nimfa pada kencur. Produksi nimfa lebih banyak diletakkan pada umur muda pada kedua tanaman inang dan menurun dengan meningkatnya umur betina kutu putih (Gambar 5.4).
Gambar 5.4. Keperidian harian D. brevipes yang dipelihara pada nenas dan kencur di laboratorium Gambar 5.4 menunjukkan masa reproduksi kutu putih yang dipelihara pada nenas berlangsung lebih lama dibandingkan pada kencur. Kemampuan reproduksi kutu putih D. brevipes dihitung berdasarkan banyaknya nimfa yang dihasilkan oleh seekor imago betina. Total nimfa yang dihasilkan betina yang dipelihara pada nenas menunjukkan perbedaan sangat nyata dengan total nimfa yang dihasilkan betina pada kencur (P<0.01) (Gambar 5.5). Selama hidupnya seekor betina mampu menghasilkan keturunannya yaitu: 28-121 nimfa dengan rataan sekitar 72.50±5.17 nimfa yang dipelihara pada nenas dan 8-54 nimfa dengan rataan 23.40±2.61 nimfa pada kencur.
78 Walaupun keperidian betina D. brevipes lebih rendah pada kencur dibanding pada nenas, hasil di atas menunjukkan bahwa kencur merupakan salah satu tanaman inang kutu putih. Pada pemeliharaan di laboratorium, terbukti kutu putih dapat hidup dan bereproduksi pada kencur. Kelangsungan hidup dan reproduksi kutu putih dapat terjadi pada rimpang kencur karena nutrisi yang tersedia cukup baik untuk mendukung kehidupan kutu putih. Kandungan nutrisi yang terkandung pada rimpang kencur yaitu: kadar air 28.46%, pati 51.75% dan serat 11.25% (Sudiarto et al. 1996).
Gambar 5.5. Total keperidian kutu putih yang dipelihara pada nenas dan kencur di laboratorium (n=20, T test α 0.05) Hasil percobaan ini menunjukkan kencur merupakan tanaman inang dari kutu putih D.brevipes. Untuk itu dalam upaya pengendalian kutu putih, sistem budidaya tanaman nenas yang melakukan tumpangsari dengan kencur perlu dihindari. Penanaman sistem polikultur dengan kencur dapat dilakukan, asalkan telah melakukan perlakuan pratanam dengan perendaman kencur pada larutan insektisida. Sebelum penanaman hendaknya dilakukan sanitasi kebun dan yaitu mengeluarkan sisa-sisa tanaman kencur yang terserang. Kebersihan lahan pertanaman sangat diperlukan untuk menghilangkan tanaman inang yang mungkin berada di sekitar pertanaman yang dapat berperan sebagai sumber inokulum. Dove (2005) menyatakan bahwa ada tiga spesies lainnya dari famili yang sama dengan kencur yang menjadi tanaman inang kutu putih antara lain: kunyit (Curcuma longa), jahe kuning (Hedychium flavum) dan jahe (Zingiber officinale).
79 Di Indonesia tanaman inang lain dari kutu putih antara lain: tebu, padi, palem, kopi, pisang, kedele, kacang tanah, kapas, pandan (Kalshoven 1981). KESIMPULAN Selain nenas, kutu putih D. brevipes dapat hidup dan berkembangbiak pada rimpang kencur. Lama perkembangan nimfa instar 1 sampai 3 pada nenas berturut-turut: 11.45±0.29 hari, 9.85±0.29 hari dan 10.80±0.31 hari. Lama perkembangan nimfa pada kencur berturut-turut yaitu: 12.95±0.33 hari, 11.05±0.34 hari dan 11.55±0.20 hari. Lama perkembangan pradewasa kutu putih pada nenas 32.1±0.33 hari dan pada kencur 35.55±0.43 hari. Total lama hidup imago kutu putih masing-masing 20.40±0.74 hari dan 20.20±0.57 hari pada nenas dan kencur. Rata-rata kemampuan reproduksi betina kutu putih yaitu: 72.50±5.17 nimfa/betina dan 23.40±2.61 nimfa/betina masing-masing pada nenas dan kencur. Kencur merupakan tanaman inang dari kutu putih D. brevipes.
DAFTAR PUSTAKA [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2008. Dysmicoccus brevipes. [Distribution map]. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. Cecilia LVCS, Bueno VHPB, Prado E. 2004. Desenvolvimento de Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera; Pseudococcidae) emduas cultivars de abaxi. Cienc agrotec 28(5):1015-1020. Culik MP, Martins DS, Gullan PJ. 2005. First record two mealybug species in Brazil and new potential pest of papaya and coffee. J Insect Sci 6:236. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2004. Hidup Sehat dengan Produk Hortikultura Nusantara. Jakarta: Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http:// www.sel.barc.usda.gov/ catalogs/ pseudoco/ Dysmicoccusbrevipes.htm. [12 Feb 2008].
80 Hashimoto. 2001. Cooperative extension Service Insect Pest. College of tropical Agriculture and Human Recourses (CTHAHR). http:/www2. ctahr. Hawaii.edu. [5 Mei 2007]. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm. Kumar S. 2006. Pineapple mealybug Dysmicoccus brevipes. [terhubung berkala] http://www.spc.int:8088/pld/index.jsp. [7 Feb 2008]. Liu TX. 2005. Biology and life history of Ascia monuste (Lepidoptera: Pieridae) a potential pest of cruciferous vegetables. Ann Entomol Soc Am 98(5): 726-731. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) Pink Pineapple Mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Moghaddam M. 1999. The record of Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Coccoidae: Psedococcidae). J. Entomol Soc Iran 18(1/2):25-44. Pandey GH, Johnson MW. 2005. Biological characteristics of adult Anagyrus ananatis Gahan (Hymenoptera: Encyrtidae), a parasitoid of Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae. Bio Cont 35(2):93-103. Rohrbach KG, Johnson MW. 2003. Pest, Diseases and Weed. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 203-251. Schoonhoven LM, Jermy T, Van Loon JJA. 1998. Insect Plant Biology from Physiology to Evolution. London: Chapman & Hall. 409 hlm. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88:1224-1230. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2004. Diversity of pineapple mealybug wilt associated viruses in pineapple. Phytopathology 94(6):1031. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2005. Diversity and mealybug transmissibility of ampeloviruses in pineapple. Plant Disease 89(5):450456. Sudiarto, Rostiana O, Pramono D. 1996. Pengaruh pupuk terhadap hasil dua klon kencur pada tanah latosol asosiasi latosol grumosol-Boyolali. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3(2):32-35. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. 284 hlm. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest, Southeast Asian Prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR.
81 West SA, Rivero A. 2000. Using sex ratios to estimate what limits reproduction in parasitoid. Ecol Let 3:294-299. Williams DJ, Watson GWQ. 1988. The Mealybug (Pseudococcidae). London. CAB International Institute of Entomology. 260 hlm. Williams DJ, de Willink MCG. 1992. Mealybug of Central and South America. Wallingford Oxon: CAB International Publ. 635 hlm. Williams DJ. 2004. Mealybug of Southern Asia. Kuala Lumpur. Southdene BHD.
SDN
82
BAB VI PENGENDALIAN KUTU PUTIH Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) DAN PENYAKIT LAYU PMWaV MENGGUNAKAN BEBERAPA TEKNIK BUDIDAYA PADA TANAMAN NENAS ABSTRAK Dalam rangka mendapatkan teknik pengendalian kutu putih D. brevipes dan penyakit penyakit layu PMWaV pada nenas, percobaan ini dirancang di salah satu sentra produksi nenas di Subang. Percobaan ini terdiri dari tiga perlakuan yaitu teknik budidaya meliputi: teknik budidaya 1 (bibit tanpa seleksi, tanpa insektisida tanah, sanitasi, pemberian pupuk sesuai kebiasaan petani), teknik budidaya 2 (bibit tanpa seleksi, tanpa pemberian insektisida tanah, sanitasi, pemupukan optimal sesuai SOP dan teknik budidaya 3 (bibit seleksi, pemberian insektisida tanah, sanitasi, pemupukan optimal sesuai SOP). Hasil mengungkapkan bahwa kelimpahan populasi dan tingkat serangan kutu putih berbeda pada tiga teknik budidaya yang diterapkan. Teknik budidaya 3 lebih efektif dalam mengendalikan populasi kutu putih dibandingkan teknik budidaya lainnya. Teknik budidaya 3 lebih efektif dalam menekan kejadian penyakit layu PMWaV. Hasil menunjukkan beberapa komponen teknik budidaya dapat diterapkan sebagai komponen pengendalian hama terpadu (PHT) kutu putih yaitu: penggunaan bibit sehat, sanitasi yang baik, pemupukan optimal dan pemberian insektisida sesuai dosis aturan. Kata kunci: D. brevipes, kutu putih, kelimpahan populasi, teknik budidaya, penyakit layu ABSTRACT The three cultural practices of the pineapple mealybug, D. brevipes and pineapple mealybug wilt (PMWaV) were studied in field conditions. This study was conducted at pineapple production center at Subang Regency. The population dynamics of the mealybug was evaluated on three different cultural practices: the first cultural practice (no selection seedling, no soil insecticide, sanitation, fertilize as conventional farmer doses), second cultural practice (no selection seedling, without soil insecticide, sanitation, optimal fertilizing) and cultivation, third cultural practice (selection seedling, soil insecticide, sanitation, optimal fertilizing). The mealybug populations and infection levels in third cultural practice was lower than those of the first and second cultural practices. Wild disease incident in third cultural practice.was lower than those of the other cultural practices. It can be concluded from this experiment that the third cultural practice was the most effective in controlling pineapple mealybug. Cultural practices that can be used as components of integrated pest management (IPM) of the pineapple mealybug include using healthy seedling, good sanitation and optimal fertilization and using insecticide with appropriate dosage. Key words: D. brevipes, mealybug, population abundance, pineapple, culture practice, pineapple mealybug wilt
83
PENDAHULUAN Kutu putih D. brevipes (Cockerell) merupakan hama utama tanaman nenas dan bersifat polifag. Hama ini memiliki kemampuan reproduksi tinggi karena dapat menghasilkan keturunan sekitar lebih dari 100 individu/betina (Waterhouse 1988). Populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dapat meningkat dengan cepat bila tanpa upaya pengendalian. Pemantauan populasi kutu putih bertujuan untuk mencegah meningkatnya populasi hama pada tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi. Serangan hama kutu putih dapat menyebabkan kerusakan langsung atau tidak langsung. Serangan pada tanaman nenas penting diperhatikan karena peranannya sebagai vektor penyakit layu nenas (PMWaV) (Sether et al. 1998; Sether & Hu 2002). Pada serangan tinggi kehilangan hasil nenas dapat mencapai 100% (Sether et al. 2005). Serangga vektor terutama pradewasanya mudah
menyebar karena
ukurannya yang kecil sehingga mudah terbawa angin, hewan, manusia serta dapat tersebar melalui bibit tanaman. Bibit yang tertular dapat merupakan sumber infeksi pada tanaman. Penyebaran dan perkembangan populasi kutu putih cepat, perlu diimbangi dengan pengendalian yang tepat untuk mengindari kerugian konomi. Sampai saat ini cara pengendalian kutu putih D. brevipes dan penyakit layu yang umum diterapkan petani adalah dengan aplikasi insektisida. Hal ini seperti dikemukakan Sumardiyono et al. (2001) untuk pengelolaan penyakit virus yang ditularkan serangga, jika varitas tahan belum ditemukan, maka perlu pengendalian serangga vektor dengan insektisida. Pengendalian dengan insektisida perlu diatur sehingga dapat diminimalisasi penggunaannya dengan cara menggunakannya dalam dosis dan waktu yang tepat, karena penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan masalah lain yaitu: terbunuhnya musuh alami, resistensi dan resurgensi hama, residu dan pencemaran lingkungan (Manuwoto 1999; Setiawati et al. 2000; Norris et al. 2003). Untuk itu penerapan cara pengendalian ramah lingkungan perlu mendapat perhatian. Teknik pengendalian yang dipilih seharusnya memiliki resiko minimal terhadap dampak lingkungan. Teknik pengendalian yang ramah lingkungan dan
84 sudah terbukti banyak digunakan adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep PHT tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga pada pelestarian lingkungan dan keamanan produk. Di Indonesia penerapan sistem pengendalian PHT telah dicanangkan sebagai program nasional yang diterapkan pada hama tanaman padi (Dilts 1991). Program PHT telah berhasil dipergunakan untuk mengendalikan hama tanaman kubis, kentang dan tomat (Setiawati 2006). Khusus untuk tanaman nenas, PHT belum diterapkan. Teknik PHT ini sudah dikembangkan dan diimplementasikan untuk mengendalikan hama kutu putih Dysmicoccus spp. di Hawaii (Ebesu 2003: IPM 2008) dan Afrika Selatan (IPW 2006). Menurut Globalgap (2007) PHT terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu: monitoring, tindakan prefentif dan tindakan pengendalian. Tindakan prefentif merupakan salah satu upaya PHT yang dapat menggunakan berbagai teknik budidaya untuk mencegah dan mengurangi serangan hama. Teknik pengendalian tersebut merupakan bagian dari komponen PHT yang dikenal sebagai pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam (cultural control) (Untung 1996). Pengendalian secara budidaya dilakukan dengan tujuan menekan laju peningkatan populasi hama dengan mengelola lingkungan sedemikian rupa sehingga tanaman menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan reproduksi hama dan pada
gilirannya
dapat
meningkatkan
produktivitas
tanaman.
Tindakan
pengendalian secara budidaya dapat dilakukan dengan sanitasi, modifikasi inang, pengerjaan tanah, pergiliran tanaman, penanaman serentak, pengaturan jarak tanam, pengaturan waktu tanam dan pemupukan optimal (Untung 1996). Penggunaan bibit sehat diperlukan untuk mendapatkan bibit yang bebas hama dan penyakit dan mampu berproduksi tinggi (PKBT 2007b). Pemupukan nitrogen dapat mempunyai dua pengaruh yang berlawanan, pengaruh pertama dapat merangsang pertumbuhan tanaman sehingga toleran terhadap hama atau tanaman menjadi sehat dan dapat mendukung perkembangan hama (Kurniawati et al. 2004). Sanitasi diperlukan untuk menjaga kebersihan kebun dari tumbuhan pengganggu nenas sehingga pertumbuhan tanaman lebih optimal (PKBT 2007b). Aplikasi insektisida karbofuran dapat mengurangi tingkat serangan hama dan
85 mengendalikan nematoda (PKBT 2007b). Dari berbagai teknik budidaya tersebut, penggunaan teknik budidaya yang tepat dan efektif nantinya dapat dikembangkan dalam program pengendalian hama terpadu (PHT). Untuk itu penelitian yang menerapkan berbagai teknik budidaya dirancang di desa Bunihayu Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Informasi yang diperoleh dimaksudkan untuk merakit teknik pengendalian kutu putih yang efektif dan cocok bagi kondisi sosial ekonomi petani dan mudah untuk diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: populasi kutu putih pada tiga teknik budidaya yang berbeda, efektivitas tiga teknik budidaya dalam menekan populasi kutu putih dan kejadian penyakit layu PMWaV. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di desa Bunihayu Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang sejak April 2007 sampai Juni 2008. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit nenas golongan Smooth Cayenne. Bibit yang digunakan berjumlah sekitar 15.000 tanaman. Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan bagian dari percobaan dengan tim peneliti penyakit layu nenas kerjasama Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu (PKPHT) dengan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT). Rancangan percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor yaitu teknik budidaya yang terdiri dari tiga perlakuan. Pertama, teknik budidaya 1 mengacu pada teknik konvensional atau teknik budidaya yang biasa dilakukan petani yaitu: pemberian pupuk kandang 20 ton/ha, pemberian pupuk buatan hanya sekali yaitu: Urea 300 kg/ha dan SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha diberikan pada 3 bulan setelah tanam (BST) dan sanitasi kebun. Kedua, teknik budidaya 2 merupakan pengembangan dari teknik budidaya 1 yang mengaplikasikan pemberian dosis dan waktu pemupukan secara optimal
86 mengikuti standar operasional budidaya nenas (SOP) yang dikeluarkan oleh PKBT (2007b) yaitu: pemberian pupuk kandang 20 ton/ha, pemupukan pupuk buatan pertama: Urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (3 BST), pemupukan kedua menggunakan: Urea 150 kg/ha, SP-36 50 kg dan KCl 300 kg (10 BST). Perlakuan ketiga yaitu teknik budidaya 3, merupakan teknik budidaya yang memasukkan berbagai komponen budidaya antara lain: bibit yang ditanam diseleksi bebas dari kutu putih, pemberian insektisida tanah Karbofuran 3 G (b.a. Karbofuran) dengan dosis anjuran 20 kg/ha, sanitasi kebun dilakukan teratur dan pemupukan optimal sesuai SOP seperti pada perlakuan 2. Susunan perlakuan dari ketiga perlakuan ditampilkan pada Tabel 6.1. Setiap perlakuan tersebut dibuat lima petak (ulangan). Tabel 6.1. Susunan perlakuan tiga teknik budidaya Komponen teknik budidaya yang diterapkan Pemupukan Perlakuan
Seleksi Insektisida Sanitas Pupuk bibit tanah i alami
Teknik budidaya 1 Teknik budidaya 2 Teknik budidaya 3 Keterangan : -
Dosis pupuk buatan sesuai SOP
Jumlah aplikasi pupuk buatan
-
-
+
+
-
1x
-
-
+
+
+
2x
+
+
+
+
+
2x
+ : dilakukan : tidak dilakukan
Pelaksanaan Percobaan Penanaman bibit nenas dilakukan pada lahan di Bunihayu yang luasnya ± 8000 m2. Sebelum penanaman dilakukan pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan. Petak percobaan berjumlah 15 petak, dengan ukuran panjang dan lebar petak masing-masing 20 m dan 15 m. Jumlah bibit pada setiap petak ± 1000 bibit. Bibit ditanam pada lubang yang sudah tersedia. Pola penananam bibit nenas berdasarkan metode dua baris, dengan jarak dalam baris 40 cm, jarak baris 50 cm dan jarak antar baris 100 cm (Gambar 6.1). Setelah penanaman, insektisida tanah yaitu Karbofuran diberikan di sekeliling tanaman sesuai dengan perlakuan. Pada ketiga perlakuan diberikan
87 pupuk kandang. Pemberian pupuk buatan dilakukan berdasarkan perlakuan. Selanjutnya pemeliharaan tanaman dilakukan melalui sanitasi kebun yaitu mengeluarkan gulma yang tumbuh di pertanaman. Pengamatan pada tanaman dilakukan pada petak-petak percobaan. Pada setiap petak dilakukan pengamatan masing-masing 10 tanaman (sampel) yang terlebih dahulu telah diberi tanda ajir. Pengamatan dilakukan pada sampel yang diletakkan searah diagonal petak percobaan. Total sampel setiap perlakuan 150 sampel. Denah petak percobaan dan layout pengambilan sampel ditampilkan pada Gambar 6.2. Pengamatan Pengamatan dilakukan sebulan setelah penanaman dan diulang setiap bulan. Parameter yang diamati meliputi: (a) Kelimpahan populasi kutu putih pada tanaman, (b) Tingkat serangan kutu putih, (c) Kejadian penyakit layu PMWaV, (d) Gejala penyakit layu PMWaV diamati yaitu: perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning kemerahan sampai kemerah-merahan. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan warna daun, dilakukan analisis kandungan klorofil dan antosianin. (e) Analisis kandungan klorofil dan anthosianin. Analisis dilakukan di laboratorium RGCI (Research Group for Crops Improvement) Fakultas Pertanian, IPB. Analisis dilakukan terhadap daun tanaman terserang virus layu dan dibandingkan dengan daun tanaman sehat. Analisis kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil dan anthosianin dilakukan sesuai metode Sims (2003), dibuat masing-masing sebanyak enam ulangan. (f) Karakter vegetatif dan generatif tanaman. Gejala tanaman yang terserang virus PMWaV adalah terjadinya perubahan dalam pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui pengaruh virus tersebut dilakukan pengamatan terhadap beberapa karakter vegetatif dan generatif pada saat panen (14 BST). Karakter vegetatif yang diamati meliputi: tinggi tanaman, diameter tajuk, panjang daun, lebar daun dan jumlah daun. Karakter generatif yang diamati meliputi: bobot buah, diameter buah, panjang buah, padatan terlarut total (PTT), berat mahkota dan tinggi mahkota.
88
50 cm
100 cm
40 cm
Gambar 6.1. Pola tanam penanaman bibit di petak percobaan
C
B
A
A
C
B
B
A
C
C
A
B
A
C
B
Keterangan: A : Teknik budidaya 1 B : Teknik budidaya 2 C: Teknik budidaya 3
X X
: Tanaman : Tanaman sampel
Gambar 6.2. Denah percobaan di lapangan dan pola pengambilan sampel Analisis Data Data populasi dan tingkat serangan kutu putih pada tiga perlakuan dianalisis menggunakan sidik ragam dan diuji lanjut menggunakan uji Tukey pada taraf 95% dengan bantuan program Statistix 8. Data kandungan klorofil
89 dan anthosianin serta karakter vegetatif dan generatif tanaman sehat dan sakit diolah dengan uji t (t test) menggunakan program Statistix 8. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertanaman Lokasi penanaman nenas di Subang umumnya memiliki jenis tanah Aluvial dan pH tanah berkisar 5.5-7.0. Berdasarkan tipe iklim Oldeman, daerah ini memiliki tipe iklim C dan D (DPKS 2004). Persiapan lahan, pembuatan petak penelitian dilakukan pada bulan April 2007 di kebun petani di desa Bunihayu. Kondisi lahan penelitian berada pada ketinggian 518 m dpl dengan elevasi sekitar 06º39’09” LS dan 107º41’40” BT. Hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan di lokasi penelitian selama pengamatan antara lain: suhu berkisar 31.1-39.0 oC, kelembaban udara berkisar 42%-70% dan curah hujan berkisar 0.97-24.35 mm/hari serta jumlah hari hujan yaitu: 2-27 hari. Bibit nenas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: varietas Smooth Cayenne.Varietas ini juga umum ditanam oleh petani setempat. Kondisi pertanaman di sekitar petak penelitian juga ditanami nenas. Umumnya tanaman nenas di sekitar lokasi merupakan nenas ratoon. Sistem budidaya nenas oleh petani umumnya secara polikultur dengan tanaman lain seperti: kencur, pisang kunyit, singkong dan cabe. Pemeliharaan tanaman di petak percobaan dilakukan sesuai dengan perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap bulan selama 11 bulan (Mei 2007-Maret 2008). Panen berlangsung pada 14 bulan setelah tanam (Juni 2008). Perkembangan Populasi Kutu Putih pada Tiga Teknik Budidaya Nenas Keberadaan kutu putih terlihat sejak awal pengamatan pada ketiga perlakuan budidaya. Hasil analisis menunjukkan teknik budidaya memberikan pengaruh terhadap populasi kutu putih pada beberapa umur tanaman (Tabel 6.2). Rataan populasi kutu putih pada perlakuan 3 lebih rendah (0.04-2.20 individu/tanaman) dibandingkan perlakuan 1 (0.06-10.88 individu/ tanaman) dan perlakuan 2 (3.22-17.22 individu/tanaman). Rendahnya populasi pada perlakuan 3
90 karena adanya penggunaan bibit yang sehat dan aplikasi karbofuran. Bibit sehat sangat penting dalam upaya mencegah masuknya kutu putih dan menyebarnya kutu putih di saat penanaman. Hal ini seperti dikemukakan oleh Sether dan Hu (2002) penggunaan bibit yang berasal dari induk yang bebas hama dan penyakit layu sangat penting untuk mencegah penularan kutu putih dan penyakit layu nenas. Tabel 6.2. Rataan populasi kutu putih pada tiga teknik budidaya Umur Populasi kutu putih pada tanaman (Rataan individu ±SE) (BST) Sistem budidaya 1 Sistem budidaya 2 Sistem budidaya 3 1 0.20 ± 0.15 b 11.48 ± 5.66 a 0.04 ± 0.04 b 2 0.06 ± 0.04 b 9.56 ± 5.74 a 0.10 ± 0.10 b 3 1.98 ± 1.22 b 17.20 ± 7.35 a 0.56 ± 0.43 b 4 5.92 ± 5.75 a 6.64 ± 4.59 a 0.72 ± 0.51 a 5 8.94 ± 4.05 a 10.38 ± 3.25 a 2.08 ± 0.61 a 6 8.24 ± 3.83 a 7.70 ± 1.61 a 0.42 ± 0.16 b 7 5.66 ± 2.22 a 5.58 ± 1.39 a 0.82 ± 0.32 b 8 10.88 ± 3.18 a 6.68 ± 1.88 ab 1.98 ± 0.86 b 9 6.08 ± 1.92 b 3.22 ± 1.06 a 2.20 ± 1.61 b 10 2.7 ± 1.23 a 3.26 ± 2.11 a 1.62 ± 0.94 a 11 2.9 ± 1.37 a 7.46 ± 5.57 a 2.08 ± 1.56 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey Sejak awal pengamatan, terutama pada perlakuan teknik budidaya 2 populasinya lebih tinggi dibandingkan teknik budidaya lainnya. Kutu putih pada perlakuan terknik budidaya 2 diduga berasal dari bibit yang terinfeksi kutu putih. Populasi kutu putih dapat berkembang saat bibit ditanam di lapang. Populasi berkembang dan mencapai puncaknya pada tiga BST (Juli). Populasi kutu putih selama pengamatan 3 bulan pertama (Mei-Juli) pada perlakuan teknik budidaya 1 dan 3 terlihat relatif rendah (Gambar 6.3). Populasi kutu putih pada perlakuan teknik budidaya 1, 2 dan 3 menunjukkan tren meningkat pada bulan Agustus dan September. Peningkatan populasi pada bulan tersebut dipengaruhi oleh kondisi iklim terutama curah hujan selama 3 bulan (Juli-September) sangat rendah (< 100 mm/bulan) (Gambar 6.4). Populasi pada ketiga perlakuan mencapai puncak pada bulan September. Peningkatan
91 populasi kutu putih terjadi karena adanya curah hujan saat itu tidak memberi tekanan berarti bagi perkembangan populasi kutu putih. Imago betina yang ada pada tanaman dapat berkembangbiak dan berkolonisasi secara optimal. Kondisi ini ditunjang oleh tersedianya sumber makanan sejalan dengan meningkatnya umur tanaman. Keberhasilan kolonisasi sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia dalam mendukung potensi reproduksi serangga di dalam ekosistem serangga tersebut (Rauf 1996). Menurut Scholwalter (1996) populasi serangga akan berubah dengan cepat selain dipengaruhi kemampuan reproduksi, juga dipengaruhi oleh jumlah mortalitas, imigrasi dan emigrasi serangga tersebut.
Gambar 6.3. Perkembangan populasi D. brevipes pada tanaman nenas pada tiga teknik budidaya (Rataan ± SE)
Gambar 6.4. Curah hujan dan jumlah hari hujan tiap bulan selama pengamatan
92 Populasi kutu putih cenderung menurun pada bulan Oktober sampai November. Penurunan populasi kutu putih disebabkan pada bulan Oktober merupakan awal musim hujan dan selama bulan November hampir tiap hari terjadi hujan dan total jumlah curah hujan di bulan tersebut lebih dari 600 mm. Selama musim hujan, curah hujan di lokasi penelitian berfluktuasi antara 300<800 mm/bulan. Musim hujan berlangsung selama 6 bulan (Oktober-Maret). Hasil penelitian menunjukkan populasi kutu putih cenderung terhambat perkembangannya jika terjadi curah hujan cukup lama. Pada curah hujan tinggi populasi kutu putih cenderung menurun karena banyaknya kutu putih yang mati tergenang air di antara pangkal daun atau hanyut bersama air hujan. Hasil ini sejalan dengan Boavida dan Neuenschwander (1995) yang mengemukakan bahwa populasi kutu putih mangga (Rastrococcus invadens) menurun pada saat musim hujan. Kumar (2006) menyatakan kutu putih suka bersembunyi di daerah yang terlindung seperti bagian pangkal daun dan akar. Selain itu kutu putih dapat hidup pada sisa-sisa tanaman atau gulma yang ada di sekitar tanaman (Sulaiman 2000). Aplikasi tanah dengan insektisida karbofuran menyebabkan kutu putih yang berkoloni pada bibit dan gulma di sekitar tanaman dapat tertekan populasinya. Oleh sebab itu pemberian insektisida tanah diperlukan untuk pengendalian kutu putih pada awal pertanaman (Petty et al. 2002). Hasil penelitian mengungkapkan beberapa pendekatan teknik budidaya yang dapat diterapkan untuk mengendalikan kutu putih mengggunakan teknik PHT yaitu: 1) penggunaan bibit yang sehat dari kutu putih dan penyakit layu, 2) penanaman dan pengolahan tanah sesuai standar operasional, 3) penggunaan insektisida tanah sesuai dosis aturan, 4) pemberian pupuk secara optimal dan teratur dan 5) sanitasi tanaman dan lahan secara teratur. Selain itu dalam pengendalian diperlukan monitoring secara teratur untuk mengetahui populasi kutu putih dan tindakan apa yang perlu dilakukan. Tingkat Serangan Kutu Putih pada Tiga Teknik Budidaya Nenas Serangan kutu putih ditemukan sejak tanaman masih muda sampai akhir pengamatan (Tabel 6.3). Hasil analisis menunjukkan bahwa teknik budidaya
93 memberi pengaruh terhadap tingkat serangan kutu putih pada awal pengamatan dan beberapa pengamatan lain. Namun secara keseluruhan terlihat bahwa tingkat serangan kutu putih yang lebih rendah dijumpai pada perlakuan teknik budidaya 3. Usaha prefentif yang diterapkan pada awal penanaman yaitu penggunaan bibit bebas kutu putih yang diambil dari desa Cimanglid mampu menekan populasi awal dari kutu putih, dengan demikian tingkat serangan kutu putih pada perlakuan 3 juga rendah. Serangan kutu putih pada perlakuan teknik budidaya 1 dan 2 meningkat sejak awal pengamatan sampai pengamatan pada bulan Oktober (6 BST). Tingkat serangan tertinggi pada teknik budidaya 1 dan 2 terjadi pada pengamatan bulan Oktober masing-masing 52% dan 62%. Tingkat serangan tertinggi terjadi pada tersebut karena pengaruh musim kemarau yang sangat lama sampai bulan Oktober. Pada kondisi kemarau, kutu putih mampu menyesuaikan diri, berkembangbiak dan berkoloni pada tempat-tempat yang terlindung.
Umur (BST) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 6.3. Rataan tingkat serangan kutu putih pada tanaman Rataan tingkat serangan kutu putih (%±SE ) Sistem budidaya 1 6.00 ± 4.00 a 4.00 ± 2.45 a 8.00 ± 3.74 a 12.00 ± 4.90 a 28.00 ± 5.83 a 52.00 ±10.20 ab 50.00 ±10.95 a 34.00 ±11.22 a 30.00 ± 8.94 a 18.00 ± 8.00 a 18.00 ± 6.63 a
Sistem budidaya 2 14.00 ± 6.78 a 14.00 ± 6.78 a 16.00 ± 4.00 a 34.00 ± 6.63 a 44.00 ± 8.72 a 62.00 ± 10.20 a 44.00 ± 10.30 a 40.00 ± 6.32 a 36.00 ± 7.48 a 14.00 ± 7.35 a 14.00 ± 5.10 a
Sistem budidaya 3 2.00 ± 2.00 2.00 ± 2.00 4.00 ± 2.45 22.00 ± 10.20 26.00 ± 11.58 16.00 ± 8.12 16.00 ± 4.00 16.00 ± 5.10 20.00 ± 7.07 12.00 ± 3.74 6.00 ± 2.45
a a a a a b a a a a a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey Kutu putih D. brevipes menyerang pada bagian pangkal daun. Gejala serangan kutu putih jelas terlihat yaitu: adanya kutu putih yang ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih berada pada daerah pangkal daun (Gambar 6.5). Selain pada bagian pangkal daun, kutu putih dapat menyerang pada bagian
94 akar, tangkai buah, buah dan mahkota. Imago dan nimfa D. brevipes dapat menyerang tanaman dengan cara mengisap cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya ke dalam jaringan tanaman (Mau & Kessing 2007).
Gambar 6.5. Serangan kutu putih pada bagian pangkal daun Kejadian Penyakit Layu pada Tiga Teknik Budidaya Nenas Penyakit layu PMWaV dapat ditemukan di lahan percobaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa teknik budidaya memberikan pengaruh pada kejadian penyakit layu (Gambar 6.6). Kejadian penyakit layu lebih rendah pada perlakuan teknik budidaya 3 dibandingkan teknik budidaya 1 dan 2. Penggunaan kombinasi perlakuan bibit sehat, pemupukan optimal dan pestisida tanah pada perlakuan 3 cukup efektif menghambat serangan penyakit layu PMWaV (kejadian penyakit 2%). Kejadian penyakit pada perlakuan 1 dan 2 cenderung meningkat dan mencapai 16% pada bulan Oktober. Tingginya serangan bulan Oktober berkaitan dengan tingginya tingkat serangan vektor (D. brevipes) dan rendahnya curah hujan selama musim kemarau (bulan Juli-September). Kejadian penyakit layu ada kaitannya dengan adanya serangan dari vektor yaitu kutu putih dan kondisi tanaman yang peka (Khan et al. 1998; Sether et al. 2004; 2005). Virus PMWaV hanya bisa ditularkan oleh vektornya dan tidak bisa ditularkan secara mekanik (Sether et al. 1998).
Curah hujan (mm/bulan)
95
Gambar 6.6. Kejadian penyakit layu pada tiga perlakuan teknik budidaya Karakteristik Pertumbuhan Tanaman pada Tiga Teknik Budidaya Rata-rata tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, bobot buah, diameter buah, panjang buah, padatan terlarut total (PTT), berat mahkota dan tinggi mahkota untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.4. Hasil analisis ragam untuk ketiga perlakuan teknik budidaya pada tinggi tanaman, bobot buah, diameter buah, panjang buah, dan PTT, menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan perlakuan teknik budidaya 1, teknik budidaya 2 dan teknik budidaya 3 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, berat mahkota dan tinggi mahkota. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, pengaruh perlakuan teknik budidaya 3 terhadap lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, berat mahkota dan tinggi mahkota cenderung lebih baik dibandingkan dengan perlakuan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknik budidaya 3 dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik dan memberikan pengaruh terhadap komponen buah lebih baik dari teknik budidaya lainnya. Perlakuan teknik budidaya 3 menunjukkan hasil buah lebih bagus dari pada perlakuan teknik budidaya lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bobot rata-rata sekitar 2.9 kg pada petak teknik budidaya 3 dibanding pada perlakuan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2, dengan bobot buah masing-masing mencapai 2.0 kg dan 1.7 kg. Demikian juga karakter komponen buah lainnya seperti: diameter buah, panjang buah, PTT, berat mahkota dan tinggi mahkota lebih tinggi
96 pada tanaman yang ditanam pada petak yang menggunakan teknik budidaya 3 dibandingkan pada petak yang menggunakan teknik budidaya 1 dan teknik budidaya 2. Tabel 6.4. Rataan tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, bobot buah, diameter buah, panjang buah, PTT, berat mahkota dan tinggi mahkota pada tiga teknik budidaya. Karakter
Teknik Budidaya 1
Teknik Budidaya 2
Teknik Budidaya 3
Tinggi tanaman (cm) 98.04 a 78.72 b 71.50 b Lebar tajuk (cm) 135.24 a 113.00 a 125.56 a Panjang daun (cm) 76.80 a 80.20 a 87.54 a Lebar daun (cm) 4.40 a 5.35 a 4.62 a Jumlah daun (helai) 35.00 ab 43.60 a 31.60 b Bobot buah (g) 2935.50 a 1667.50 b 1985.00 b Diameter buah (cm) 13.45 b 15.21 a 14.00 ab Panjang buah (cm) 18.48 b 22.95 a 19.99 ab o PTT ( brix) 12.85 a 12.31 ab 9.91 b 267.50 a 291.50 a 215.00 a Berat mahkota (g) 22.29 a 22.44 a Tinggi mahkota (cm) 15.77 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tuckey. Gejala Penyakit Layu dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Tanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang terserang PMWaV menunjukkan gejala layu yang khas. Gejala penyakit layu pada tanaman ditandai dengan bagian ujung daun terlihat mengering (Gambar 6.7A), warna daun berubah menjadi berwarna kekuningan sampai kemerah-merahan (Gambar 6.7B). Gejala seperti ini sama dengan yang dilaporkan Hughes & Sasmita (1998) dan Rohrbach & Schmitt (2003). Perubahan warna daun pada daun sakit kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan kandungan klorofil dan anthosianin. Untuk pengujiannya dilakukan analisis terhadap kandungan kedua pigmen daun tersebut. Hasil analisis kandungan klorofil dan anthosianin daun yang sakit dan daun yang sehat ditampilkan pada Tabel 6.5. Pada Tabel tersebut menunjukkan
97 bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) antara kandungan klorofil a, klorofil b serta total klorofil pada daun sehat dan daun sakit. Rataan klorofil a, klorofil b dan total klorofil sekitar 3 kali lebih tinggi pada daun sehat dibandingkan daun sakit.
B
A
Gambar 6.7. Gejala penyakit layu. Ujung daun mengering (A) dan kemerah-merahan pada daun tanaman (B). Tabel 6.5. Rataan kandungan klorofil dan anthosianin pada tanaman sehat dan sakit Variabel
Kandungan (mg/100 cm2±SE) daun sehat
daun sakit
Klorofil a 6.09 ± 1.14 a 2.14 ± 0.13 b Klorofil b 2.24 ± 0.32 a 0.70 ± 0.09 b Total klorofil (K) 8.33 ± 1.46 a 2.84 ± 0.21 b Anthosianin (A) 2.09 ± 1.01 a 1.37 ± 0.20 a Rasio A/K 0.18 ± 0.08 a 0.51 ± 0.07 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t Kandungan anthosianin hampir 1.5 kali lebih tinggi pada daun sehat dibandingkan daun sakit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan kandungan klorofil dan anthosianin pada daun sakit. Penurunan kandungan klorofil pada daun sakit lebih cepat (± 3 kali) dibandingan penurunan anthosianin (± 1.5 kali). Rasio anthosianin terhadap klorofil (rasio A/K) pada daun sakit lebih tinggi dibandingkan rasio A/K pada daun sehat. Akibat rasio A/K lebih tinggi pada tanaman sakit inilah yang menyebabkan warna daun
98 yang
terinfeksi
virus
terlihat
berwarna
kemerah-merahan.
Penurunan
kandungan klorofil daun lebih cepat penurunannya dibandingkan anthosianin, hal ini disebabkan adanya virus pada tanaman dapat merusak kloroplas sehingga jumlahnya menjadi sedikit, sehingga pembentukan klorofil juga terhambat.
Menurut Agrios (1996) bahwa adanya virus pada tanaman dapat
menurunkan kandungan klorofil daun sehingga proses fotosintesis pada tumbuhan yang terinfeksi akan menurun tajam. Adanya virus PMWaV memberikan pengaruh terhadap ukuran beberapa karakter morfologi tanaman. Hal ini nampak jelas pengaruhnya pada tanaman sakit di lapang. Berdasarkan uji t karakter tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun dan jumlah daun pada tanaman terserang menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak terserang (Tabel 6.6). Tabel 6.6. Rataan karakter vegetatif dan karakter komponen buah dan bobot buah dari tanaman sehat dan sakit Karakter
Tanaman sehat
Tanaman sakit
Tinggi tanaman (cm) 92.36 a 70.20 b Lebar tajuk (cm) 136.38 a 101.40 b Panjang daun (cm) 83.51 a 74.27 b Lebar daun (cm) 5.32 a 4.91 b Jumlah daun (helai) 43.47 a 32.07 b Bobot buah (g) 2752.75 a 1115.00 b Diameter buah (cm) 15.16 a 12.39 b Panjang buah (cm) 22.24 a 17.18 b o Padatan terlarut total ( brix) 12.92 a 9.24 b Berat mahkota (g) 328.25 a 134.85 b Tinggi mahkota (cm) 23.79 a 11.67 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t
Tanaman yang terserang virus layu memperlihatkan tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, lebar tajuk, jumlah daun, berat mahkota dan tinggi mahkota lebih rendah dibandingkan dengan tanaman sehat. Tanaman yang terserang virus ini menunjukkan penurunan biomasa, luas permukaan, panjang daun, jumlah daun, lebar dan panjang akar (CABI 2003) serta menurunkan
99 potensi fotosintesis tanaman (Waterhouse 1998; Culik et al. 2005). Akibat menurunnya proses fotosintesis, maka proses pembentukan makanan yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan terganggu. Tanaman yang terserang virus akan kekurangan nutrisi, sehingga mengganggu bagian tanaman yang kurang atau tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkannya. Dengan demikian tanaman yang terserang virus kelihatan kerdil dan layu dibandingkan dengan tanaman sehat (Mattew 1991). Tanaman yang terserang virus menunjukkan perubahan berat dan tinggi mahkota. Mahkota dari tanaman terserang lebih ringan dan ukurannya 2 kali lebih pendek dibandingkan dengan mahkota dari tanaman tidak terserang. Adanya serangan virus ini juga mempengaruhi pembentukan buah. Pada kondisi serangan berat tanaman tidak menghasilkan buah. Umumnya pada tanaman yang terserang menghasilkan buah lebih kecil dan diameter buahnya lebih sempit dibanding dengan buah sehat (Gambar 6.8A). Bobot buah tanaman sakit hampir 3 kali lebih rendah dibanding dengan bobot buah tanaman sehat. Selain itu serangan virus penyakit layu mempengaruhi penampilan daging buah. Buah yang berasal dari tanaman sakit jika dibelah terlihat berwarna putih pucat, berbeda dengan buah sehat jika dibelah dagingnya kelihatan berwarna kuning (Gambar 6.8B). Buah yang sehat memiliki aroma sangat khas dan rasa lebih enak, dibandingkan buah yang sakit. Buah sakit rasanya lebih asam, terlihat dari hasil pengukuran kadar sukrosa (9.26 obrix) lebih rendah dari buah yang sehat (12.39 obrix). Standar kadar padatan terlarut total (PTT) minimal 12 obrix (Coppens et al. 1997). Ciri khas buah yang terserang virus PMWaV terlihat pada bentuk mata dari buah. Mata buah sakit lebih menonjol dan diameter mata buah berukuran lebih kecil sedangkan mata buah sehat mendatar dan diameter mata buah relatif lebih besar (Gambar 6.9). Menurut Sether et al. (1998) ekspresi gejala penyakit layu bervariasi tergantung kondisi lingkungan, jumlah populasi kutu dan genotipe nenas.
100
A1
A2
B1
B2
Gambar 6.8. Penampilan buah sakit (A1) dan buah sehat (A2) dan penampilan daging buah sakit (B1) dan daging buah sehat (B2)
A1
A2
B1
B2
Gambar 6.9. Penampilan mata buah sakit (A1 & B1) dan sehat (A2 & B2) KESIMPULAN Kelimpahan populasi kutu putih pada tanaman yang menerapkan teknik budidaya 3 (insektisida tanah, pemupukan optimal dan penggunaan bibit sehat) lebih rendah dibandingkan teknik budidaya 1 (konvensional) maupun teknik budidaya 2 (pemupukan optimal). Teknik budidaya 3 lebih efektif dalam pengendalian kutu putih D. brevipes dan penyakit layu PMWaV. Serangan kutu putih dan virus penyebab penyakit layu nenas (PMWaV) dapat mempengaruhi berbagai karakter pertumbuhan tanaman dan menurunkan bobot buah. Beberapa teknik budidaya dapat dikembangkan dalam pengembangan program PHT kutu putih pada tanaman nenas meliputi: 1) penggunaan bibit yang bebas dari kutu putih dan infeksi virus PMWaV, 2) pemberian insektisida
101 tanah untuk menekan populasi kutu putih, 3) pemberian pupuk secara berimbang dan teratur dan 4) sanitasi tanaman dan lahan dari kutu putih dan sumber inokulum penyakit layu.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1996. Plant Pathology. Edisi ke-3. Gainesville: Academic Press Inc. Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Science and Tech 5:495-508. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. Coppens DG, Leal F, Duval MF. 1997. Germplasm resousces of pineapple. Hort Reviews 21:133-175. Culik MP, Martins DS, Gullan PJ. 2005. First record two mealybug species in Brazil and new potential pest of papaya and coffee. J Insect Sci 6:236. Dilts R. 1991. Reassessing Extension: The Case of IPM in Indonesia. National IPM Program. WG Meeting, Thailand: 27-3 Aug 1991. FAO - Indonesia. [DPKS] Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. Ebesu R. 2003. Integrated Pest Management for Home Gardens: Insect Identification and Control. Cooperation Extension Service. July 2003. CTAHR. Globalgap 2007. Control Points and Compliance Criteria Integrated Farm Assurance Crop Base. German: Globalgap. hlm 23-28. http://www. globalgap.org. [5 Mei 2007]. Hughes G, Sasmita S. 1998. Analysis of pattern of pineapple mealybug wilt disease in Sri Lanka. Plant Disease 82:885-890. [IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii [terhubung berkala]. http://www.ipmcenter.org/ CropProfile/ docs/ hipineapples.html. [12 Feb 2008]. [IPW] Integrated Production of Wine. 2006. Integrated production of wine in South Africa: guidelines for farms. South African wine and spirit board. Africa. ARC Infruitec-Nietvoorbij in consultation with the vine and wine industry. [terhubung berkala]. www.ipw.co.za/IPWGuidelines-farms. [12 Februari 2008].
102 Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. Kumar S. 2006. Pineapple mealybug Dysmicoccus brevipes. [terhubung berkala] www.spc.int:8088/pld/ index.jsp. [7 Feb 2008]. Kurniawati N, Noor ES, Hendarsih S. 2004. Tingkat serangan penggerek batang pada empat verietas padi dengan cara pemupukan dan aplikasi insektisida berbeda. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor, 5 Okt 2004. PEI. hlm 419-426. Manuwoto S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Makalah utama seminar PEI. Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor: 16 Februari 1999. PEI Cabang Bogor. Mattew REF. 1991. Plant Virology. Edisi ketiga. San Diedgo: Academic Press. hlm 379-422. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) pink pineapple mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/ d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey : Prentice Hall. Petty GJ, Stirling GJ, Barholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam Pena JE, Shap J, Wisoki M, editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators. USA. CABI. Publ. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007. Acuan Standar Operasional Produksi. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika LPPM-IPB. Rauf A, 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rohrbach KG, Schmitt D. 2003. Diseases of Pineapple. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International Publ. hlm 443-464. Scholwalter TD. 2000. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego. 483 hlm. Setiawati WS, Soeriatmadja RE,. Sastrosiswojo S, Prabaningrum L, Moekasan TK, Sulastrini L, Abidin Z. 2000. Dampak penerapan cara PHT terhadap keanekaragaman fauna pada pertanaman kubis. Di dalam: Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda. Cipayung: 16-18 Okt 2000. PEI dan Yayasan Kehati Indonesia. hlm 349-354. Setiawati W. 2006. Terapkan PHT pada Sayuran Anda. Warta Penelitian & Pengembangan Pertanian 28(2): 12-14.
103 Sulaiman SFM. 2000. Implication of the use of excess coir dust mulch in pineapple cultivation on the mealybug wilt disease of pineapple. Acta Hort 529: 321-335. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathology 88: 1224-1230. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2004. Diversity of pineapple mealybug wilt associated viruses in pineapple. Phytopathology 94(6):1031. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2005. Diversity and mealybug transmissibility of ampeloviruses in pineapple. Plant Disease 89(5):450-456. Sumardiyono YB, Siswadi E, Hadisutisno B. 2001. Kajian komponen epidemiologi penyakit tungro padi. Di dalam. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah. Bogor: 22-24 Agustus 2001. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Hlm 61-65. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest; Southeast Asian Prospects. ACIAR. Monograph (51). Canberra: ACIAR.
104
BAB VII PEMBAHASAN UMUM Pelaksanaan penerapan teknik pengendalian hama dan penyakit berbeda antar petani pada lokasi penelitian di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Perbedaan ini dilatar belakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: tingkat pendidikan, umur, luas lahan yang dimiliki, dan modal, sedangkan faktor eksternal meliputi: sistem budidaya, harga produk yang berfluktuasi, akses pemasaran, aktifitas dalam kelompok tani, penyuluhan yang diberikan dan kondisi iklim serta adanya serangan hama dan penyakit. Tingkat serangan kutu putih D. brevipes dan kejadian penyakit layu PMWaV berbeda pada tiga desa yang diamati yang memiliki kondisi agroekosistem yang berbeda. Tingkat pendidikan petani di desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng di Kecamatan Jalancagak, umumnya relatif rendah, yaitu lebih 80% yang berpendidikan di bawah SLTP. Hal ini memungkinkan kemampuan petani menerima inovasi dan akses teknologi terbatas. Menurut Palebangan et al. (2006) makin tinggi tingkat pendidikan petani diharapkan makin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Namun demikian kemampuan petani tersebut mempunyai potensi meningkat karena partisipasi petani dalam mengikuti penyuluhan cukup tinggi. Kisaran umur petani produktif sebesar 62% dapat pula menunjang kemampuan petani dalam berusaha dan bekerja meningkatkan hasil taninya. Keterbatasan lainnya adalah terdapat 47% petani memiliki luas lahan relatif sempit, yaitu dibawah 0.25 ha. Akibat lahan yang dimiliki petani umumnya sempit, sehingga beberapa petani berpendapat bahwa usahatani nenas belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga sebagian besar petani menggunakan sistem budidaya nenas secara polikultur. Sebagian besar petani menanam tanaman lain disamping nenas seperti: kencur, pisang, singkong, cabe dan lain-lain. Konsekuensi pertanaman nenas secara polikultur di tiga desa tersebut, mengakibatkan sistim budidaya nenas secara optimal belum diterapkan dengan baik. Ini ditunjukkan oleh pengaturan jarak tanam yang tidak sesuai standar operasional, umumnya jarak tanam bervariasi antar kebun. Selain itu dengan kondisi agroekosistem pertanaman nenas yang umumnya polikultur dengan
105
kencur, juga berkontribusi terhadap perkembangan populasi kutu putih D. brevipes. Hal ini didukung hasil percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa kencur merupakan salah satu tanaman inang dari kutu putih D. brevipes. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa profil petani di kecamatan Jalancagak merupakan cerminan petani Indonesia pada umumnya dengan keterbatasan modal dan pendidikan. Walaupun demikian diseminasi teknologi melalui penyuluhan mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan teknologi petani. Upaya pengendalian kutu putih pada tingkat petani di Kecamatan Jalancagak umumnya dengan menggunakan insektisida. Petani menggunakan insektisida berkaitan dengan tidak tersedianya teknik pengendalian yang lain di tingkat petani. Hasil (penelitian IV) menunjukkan bahwa penggunaan teknik budidaya 3 yang mengkombinasikan penggunaan bibit sehat, pemupukan optimal dan penggunaan insektisida tanah lebih efektif dalam menekan populasi kutu putih. Hasil ini dapat dijadikan acuan bagi petani dalam upaya pengendalian kutu putih. Tingkat serangan kutu putih berbeda pada tiga desa yang diamati. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi ditemukan di desa Bunihayu dibandingkan dengan Cimanglid dan Curugrendeng. Perbedaan tingkat serangan kutu putih di tiga desa tergantung pada kelimpahan populasi kutu putih. Tingginya serangan kutu putih di desa Bunihayu disebabkan kelimpahan populasi kutu putih juga lebih tinggi dijumpai di daerah ini. Selain itu perbedaan tingkat serangan di tiga desa, mungkin disebabkan perbedaan iklim mikro dan kondisi agroekosistem. Di desa Cimanglid, nenas ditanam bersama-sama di bawah pohon-pohon berkayu sehingga kondisi di lokasi tersebut agak terlindung dengan kelembaban lebih tinggi dibandingkan kedua desa lainnya. Di desa Curugrendeng, populasi kutu putih lebih tinggi dari populasi di desa Cimanglid, hal ini karena lingkungan agroekosistem di daerah ini cukup terbuka dengan kelembaban udaranya hampir sama dengan di desa Bunihayu. Di desa Bunihayu umumnya kondisi agroekosistem kebunnya lebih bervariasi, karena beragamnya tanaman inang di daerah ini. Banyak petani menanam nenas secara polikultur dengan tanaman seperti: kencur, pisang, singkong, kunyit, jahe dan cabe. Menurut Dove (2005)
106
tanaman pisang, singkong, kunyit, jahe dan cabe merupakan tanaman inang dari kutu putih. Kencur juga merupakan tanaman inang kutu putih (hasil penelitian III). Kencur termasuk tanaman inang kutu putih karena kencur mampu menyediakan nutrisi yang mendukung pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi serangga. Nutrisi ini penting bagi kehidupan hama seperti konsep insect dietetics (Beck 1972 dalam Panda & Khush 1995). Salah satu nutrisi penting bagi kutu putih adalah kandungan Nitrogen. Pada bagian daun yang mengandung N yang relatif tinggi lebih disukai kutu putih. Faktor-faktor lain yang berperan bagi serangga untuk menentukan sebagai tanaman inang adalah: morfologi tanaman, kandungan air dan senyawa-senyawa kimia (Panda & Khush 1995). Penerapan teknik budidaya secara konvensional, penggunaan bibit yang tidak sehat karena berasal dari tanaman induk yang telah terserang kutu putih dapat meningkatkan populasi kutu putih di lapang. Untuk itu penggunaan bibit yang berasal dari induk yang sehat sangat diperlukan untuk menekan populasi kutu putih. Penggunaan bibit yang terseleksi atau bebas dari kutu putih sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penularan kutu putih pada saat ditanam di lapang. Penggunaan bibit yang berasal dari mahkota perlu hati-hati, terutama perlu dilakukan seleksi terlebih dulu sebelum ditanam, hal ini karena hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kutu putih dapat menyerang sampai pada mahkota (penelitian II). Untuk mematikan kutu putih yang terbawa bibit dapat dilakukan dengan perendaman bibit dalam larutan insektisida sebelum bibit ditanam (Rohrbach & Jhonson 2003). Untuk mendapatkan bibit yang bebas hama dan penyakit dapat diperoleh dari tunas tanaman yang sehat (Ploetz 1994; Hepton 2003) dan melalui perbanyakan in vitro (Hepton 2003). Selain itu sumber bibit sebaiknya diambil dari daerah yang belum terinfeksi kutu putih dan penyakit layu. Penggunaan varietas nenas yang berasal dari desa Cimanglid cukup baik sebagai sumber bahan tanaman untuk perbanyakan bibit (penelitian IV). Populasi kutu putih D. brevipes lebih tinggi dijumpai pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Untuk itu pergantian musim hujan ke musim kemarau dapat dijadikan indikator D. brevipes akan berfluktuasi sehingga
106
107
diperlukan pemantauan atau monitoring tanaman lebih intensif. Monitoring kutu putih dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan kutu putih pada bagian tanaman yang banyak diserang kutu putih. Hasil penelitian menunjukkan pada bagian pangkal daun, terutama daun pertama sampai daun kesembilan merupakan bagian tanaman yang disukai kutu putih. Populasi kutu putih dapat menyebar secara vertikal, mulai dari akar, daun, tangkai buah, buah sampai mahkota. Hal ini mendukung laporan Waterhouse (1998). Monitoring populasi kutu putih sangat penting untuk mencegah peningkatan populasi kutu putih pada pertanaman. Populasi kutu putih di lapang dapat meningkat secara signifikan, hal ini terjadi karena kemampuan reproduksi kutu putih cukup tinggi. Kemampuan reproduksi kutu putih dipengaruhi kondisi lingkungan dan tanaman inangnya. Rata-rata produksi kutu putih pada nenas lebih tinggi dibandingkan pada kencur (penelitian III). Kutu putih D. brevipes berkembangbiak secara partenogenesis di Hawaii (Waterhouse 1998) dan secara sexual di Brasil dan Malaysia (Mau & Kessing 2007). Untuk menekan perkembangan kutu putih dapat dilakukan dengan mengatur kondisi pertanaman yang kurang sesuai bagi perkembangan kutu putih dengan mengeluarkan tanaman yang terserang, membuang gulma atau tanaman inang yang merupakan sumber inokulum, penggunaan bibit sehat, pemupukan optimal dan penggunaan insektisida tanah (penelitian IV). Adanya lapisan lilin pada permukaan tubuh kutu putih dan perilaku kutu putih untuk berkoloni pada bagian tanaman yang tersembunyi seperti di akar, pangkal daun, bagian bawah buah dan diantara pangkal daun mahkota menyebabkan kutu putih D. brevipes relatif sukar untuk dikendalikan dengan insektisida. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa nimfa instar 1 merupakan stadia yang terlemah dari kutu putih D. brevipes, karena nimfa instar 1 memiliki lapisan lilin yang relatif tipis dan cukup mobil untuk dijadikan target pengendalian. Penelitian ini mengungkapkan dengan pemberian insektisida karbofuran di sekeliling tanaman ternyata cukup efektif dalam menekan populasi kutu putih pada tanaman nenas. Pengendalian kutu putih menggunakan teknik-teknik budidaya yang tersedia dan dilakukan sesuai standar operasional cukup efektif dalam menekan populasi
108
kutu putih D. brevipes. Populasi kutu putih lebih lebih rendah ditemukan pada tanaman yang tumbuh pada lahan yang menerapkan teknik-teknik budidaya seperti: penggunakan bibit nenas yang bebas kutu putih, pemakaian pupuk sesuai dosis dan anjuran dan pemberian insektisida tanah. Dengan mengkombinasikan teknik budidaya tersebut ternyata lebih efektif untuk menghambat populasi kutu putih dibandingkan hanya menggunakan teknik pemupukan optimal dan penggunaan teknik-teknik konvensional seperti yang umum dilakukan petani. Pengendalian kutu putih D. brevies (vektor) berimplikasi positif terhadap pengendalian penyakit layu nenas PMWaV. Kejadian penyakit layu lebih rendah pada lahan yang menerapkan bibit sehat, pemupupukan optimal dan penggunaan insektisida tanah. Penggunaan teknik-teknik budidaya tersebut cukup efektif menghambat perkembangan penyakit layu dibandingkan hanya dilakukan pemupukan optimal dan teknik konvensional. Gejala penyakit layu dapat menurun dengan menurunnya populasi kutu putih (vektor) pada tanaman. Banyak laporan yang menyatakan bahwa selain ketersediaan vektor, faktor pendukung yang berperan dalam terbentuknya penyakit layu antara lain: kondisi lingkungan sesuai, adanya virus PMWaV dan kondisi tanaman yang peka (Sether et al. 2004; 2005). Serangan penyakit layu PMWaV mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produksi buah. Pertumbuhan tanaman umumnya terlihat terhambat, dibandingkan tanaman sehat. Pada tanaman sakit terjadi perubahan warna daun dari hijau menjadi kemerah-merahan. Tingginya serangan penyakit layu pada tanaman nenas ditunjukkan dari penurunan bobot buah sampai 50% pada tanaman yang terserang. Hal ini ada kaitannya dengan adanya partikel virus pada sel-sel tanaman yang mengganggu transportasi hasil-hasil fotosintesis untuk proses pengisian buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kutu putih menyukai daun yang banyak mengandung Nitrogen. Pemupukan dengan pupuk N tinggi dapat meningkatkan populasi kutu putih, sehingga dapat menurunkan produksi nenas. Sebagaimana uraian di atas, pengendalian kutu putih dan penyakit layu dapat dilakukan melalui penggunaan berbagai komponen pengendalian teknik budidaya. Beberapa komponen yang sudah teruji efektif mengendalikan kutu putih perlu dipadukan dengan teknik pengendalian lainnya yang kompatibel untuk mendapatkan teknik pengendalian kutu putih yang lebih efektif. Teknik-teknik
108
109
pengendalian dapat disusun dalam program pengendalian hama secara terpadu (PHT). Komponen pengendalian PHT yang dapat diterapkan dan dimasyarakatkan pada tingkat petani yaitu: 1) penggunaan bibit sehat dari infeksi kutu putih dan penyakit layu PMWaV, 2) pengunaan sistem budidaya sesuai standar operasional dan kondisi setempat, 3) sanitasi lingkungan, 4) pemantauan atau monitoring secara teratur dan 5) pengendalian kimia sesuai dosis anjuran. Selain itu untuk mengendalikan penyakit layu PMWaV pada daerah-daerah yang sudah terserang dapat dilakukan kegiatan pengendalian seperti: (1) pengamatan atau monitoring secara teratur untuk tindakan pengendalian yang perlu dilakukan, (2) pengendalian vektor, (3) eradikasi tanaman nenas yang terserang penyakit layu PMWaV, (4) eradikasi sumber infeksi yaitu: tanaman lain yang terserang dan (5) penanaman bibit nenas yang resisten terhadap PMWaV. Upaya peningkatan produksi nenas pada sistem pertanian rakyat seperti di Kecamatan
Jalancagak,
Kabupaten
Subang,
dapat
ditingkatkan
melalui
pemberdayaan usahatani nenas dari konvensional kepada penerapan teknologi sederhana atau teknologi maju yang mudah dilakukan petani. Pengenalan teknik pengendalian yang ramah lingkungan melalui program PHT kepada petani dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan untuk mengatasi permasalahan hama dan penyakit nenas. Selain itu perlu kerjasama dengan pihak perbankkan atau pemerintah melalui pemberian modal usahatani sehingga dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahataninya.
110
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes individu/tanaman)
lebih
tinggi
dibandingkan
di
di desa Bunihayu (16.72 desa
Cimanglid
(1.76
individu/tanaman) dan Curugrendeng (6.64 individu/tanaman). Tingkat serangan kutu putih berbeda pada tiga desa yang diamati dengan agroekosistem yang berbeda. Kutu putih dapat berkembang pada tanaman nenas dan kencur yang dipelihara di laboratorium. Siklus hidup kutu putih yang dipelihara pada inang utamanya nenas (40.25 hari) lebih singkat 8 hari dibandingkan pada kencur (48.85) hari. Kelimpahan populasi kutu putih berbeda pada musim yang berbeda. Kelimpahan populasi kutu putih lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Serangan penyakit layu PMWaV di desa Bunihayu lebih tinggi dibandingkan dengan kedua desa lainnya yaitu: Cimanglid dan Curugrendeng. Serangan penyakit layu PMWaV pada tanaman nenas dapat menekan tinggi tanaman, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun dan jumlah daun serta menurunkan hasil lebih dari 50% dan menurunkan kualitas buah. Penerapan berbagai teknik budidaya dalam usaha tani nenas seperti: penggunaan bibit sehat, pemupukan optimal dan penggunaan insektisida tanah cukup efektif untuk mengendalikan kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas. Strategi pengendalian kutu putih pada nenas dapat dilakukan dengan program pengendalian hama terpadu (PHT). Komponen pengendalian PHT yang dapat diterapkan yaitu: 1) penggunaan bibit sehat dari infeksi kutu putih dan penyakit layu PMWaV, 2) pengunaan sistem budidaya sesuai standar operasional dan kondisi setempat, 3) sanitasi lingkungan, 4) melakukan pemantauan atau monitoring secara teratur dan 5) pengendalian kimia sesuai dosis anjuran. Produksi nenas pada sistem pertanian rakyat, dapat ditingkatkan melalui pemberdayaan usahatani nenas dari konvensional kepada penerapan teknologi
111
sederhana ataupun teknologi maju yang mudah dilakukan petani dan disertai oleh pemberian modal usaha. SARAN 1) Penyuluhan hama perlu ditingkatkan untuk memberikan informasi kepada petani mengenai pengelolaan tanaman melalui sistem budidaya sehat dan penerapan teknik pengendalian secara terpadu (PHT) kutu putih serta pemberdayaan petani melalui kegiatan kelompok tani dan pemberian modal usaha. 2) Perlu upaya penyediaan bibit yang unggul dan sehat dalam jumlah yang banyak melalui perbanyakan in vitro dan pencegahan perpindahan bibit dari daerah yang telah terserang penyakit layu ke daerah lainnya. 3) Kencur merupakan tanaman inang dari kutu putih, oleh sebab itu disarankan menghindari menanam nenas bersama dengan kencur atau tanaman inang lain dari kutu putih. 4) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komponen-komponen PHT lainnya untuk mendapatkan teknik pengendalian kutu putih yang lebih efektif.
112
DAFTAR PUSTAKA [AGRIDEP] Agriculture Departement. 2000. Production on high yield and quality most varities. [terhubung berkala]. http://www.agridep. gov.lk/ news/news indx. htm. [12 Feb 2008]. Agrios GN. 1996. Plant Pathology. Edisi ke-3. Gainesville: Academic Press Inc. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1970. Official Methods Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist.Washington DC. Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bartholomew DP, Malezieux E. Sanewski GM, Sinclair E. 2003. Inflorescence and Fruit Development and Yield. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 167-202. Bird JM, Hodkinson ID. 2005. What limit the altitudinal distribution of Craspedolepta species (Sternorrhyncha: Psylloidea) on fireweed. Ecol Entomol 30:510-520. Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Sci and Tech 5:495-508. Burdani DH, Supramana, Widodo. 2001. Studi lini penyakit busuk umbi pada talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.) di wilayah Bogor. Bul Hama dan Penyakit 13(1):6-14. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2008. Dysmicoccus brevipes. [Distribution map]. Nosworthy Way, Wallingford, Oxfordshire: CAB International Publ. Cecilia LVCS, Bueno VHPB, Prado E. 2004. Desenvolvimento de Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) emduas cultivars de abaxi. Cienc agrotec 28(5):1015-1020. Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae) at constant temperature. Environ Entomol 37(2):323-332. Cicalese JJ, Baxendale F, Riordan T, Moss TH. 1998. Identification of mealybug (Homoptera: Pseudococcidae) resistant turf-type buffalo grass germplasm. J Econ Entomol 91(1):340-346.
113 Collins JL. 1968. The Pineapple: Botani, Cultivation and Utilization. London: Leonard Hill. 294 hlm. Coppens DG, Leal F, Duval MF. 1997. Germplasm resources of pineapple. Hort Reviews 21:133-175. Culik MP, Martins DS, Gullan PJ. 2005. First record two mealybug species in Brazil and new potential pest of papaya and coffee. J Insect Sci 6:236. [DAK] Departement of Agriculture Kualalumpur. 2004. Pineapple. Market Access on Pineapple (Ananas comosus). Malaysia: Crop Protection and Plant Quarantine Service Devision. Departement of Agriculture Kualalumpur Malaysia. Dent D. 1995. Principles of integrated pest management. Dent D, editor. Integrated Pest Management. London; Chapman & Hall. hlm188-259. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2004. Hidup Sehat dengan Produk Hortikultura Nusantara. Jakarta: Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006a. Statistik Hortikultura Tahun 2005: Angka Tetap. Jakarta: Dirjen Hortikultura. Departemen Pertanian. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006b. Nenas (Ananas comosus). Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 70 hal. [Deptan] Depatemen Pertanian. 2008. Volume ekspor komoditas buah-buahan di Indonesia periode 2003-2006. http://www.hortikultura.deptan.go.id. [8 Desember 2008]. Dilts R. 1991. Reassessing Extension: The Case of IPM in Indonesia. National IPM Program. WG Meeting, Thailand: 27-3 Aug 1991, FAO – Indonesia. Djunaidi D. 2003. Peranan industri pada pengelolaan hama terpadu dalam pertanian berkelanjutan. Kongres PEI dan Simposium Entomologi VI. PEI: Cipayung, 5-7 Mar 2003. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes (Cockerell). http://www.sel.barc.usda.gov/catalogs/pseudoco/Dysmicoccusbrevipes. htm. [12 Feb 2008]. [DPKS] Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Dirjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. [DPTP] Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Penuntun Budidaya Hortikultura (Nenas). Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu. 238 hal. Ebesu R. 2003. Integrated Pest Management for Home Gardens: Insect Identification and Control. Cooperation Extension Service. July 2003. CTAHR.
114 Evans D, Sanford WG, Bartholomew DP. 2002. Growing Pineapple. Hawaii: College of Tropical Agriculture and Human Resourses (CTAHR) Publ. [FAO] Food Agriculture of Organization. 2007. Database Faostat: FAO Statistics http://faostat.fao.org/ site/535/ DesktopDefault.aspx? PageID=535#ancor. [8 Desember 2009]. Gallaher KD. 1991. Old and New Consept of IPM. Discussion Paper. Bogor: 19 Sept 1991. Institut Pertanian Bogor. Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug (Homoptera: Pseudococcidae): developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 94(1):291-301. Globalgap 2007. Control Points and Compliance Criteria Integrated Farm Assurance Crop Base. German: Globalgap. hlm 23-28. http://www. globalgap.org. [5 Mei 2007]. Gruenhagen NM, EA Backus 1999. Diel Settling Pattern of Female and Male Potato Leafhopper (Homoptera: Cicadellidae) on Alfalfa. J Econ Entomol 92(6):1321-1328. Harrison K. 2006. Furadan. http://www.3dchem.com/moremolecules.asp? ID= 263&othername= Furadan. [17 Mar 2008]. Hashimoto. 2001. Cooperative extension Service Insect Pest. College of tropical Agriculture and Human Recourses (CTHAHR). http:/www2. ctahr. Hawaii. edu. [5 Mei 2007]. Helms KR, Vinson SB. 2003. Apparent facilitation on an invasive mealybug by an invasive ant. Insect Soc 50:403-404. Hepton A. 2003. Cultural System. Di dalam: Production and Uses. Wallingford: CAB International Publ. hlm 109-142. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Hu JS, Sether DM, Liu XP, Wang M. 1997. Use of a Tissue Blotting Immunoassay to examine the distribution of pineapple closterovirus in Hawaii. Plant Diseases 81:1150-1154. Hughes G, Sasmita S. 1998. Analysis of pattern of pineapple mealybug wilt disease in Sri Lanka. Plant Diseases 82:885-890. Hutahayan AJ. 2006. Peranan strain pineapple mealybug wilt assosiated virus (PMWaV) dan kutu putih (Dysmicoccus spp.) dalam menginduksi gejala penyakit layu pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Inouye BD, Agrawal AA. 2004. Ant mutualisms alter the composition and attact rate of the parasitoid community for the gall wasp Disholcaspis eldoradensis (Cynipidae). Ecol Entomol 29:692-696. [IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii. [terhubung berkala]. http://www.ipmcenter.org/CropProfile/docs/pineapples. html. [12 Feb 2008].
115 [IPW] Integrated Production of Wine. 2006. Integrated production of wine in South Africa: guidelines for farms. South African wine and spirit board. Africa. ARC Infruitec-Nietvoorbij in consultation with the vine and wine industry. [terhubung berkala]. www.ipw.co.za/IPWGuidelines-farms. [12 Februari 2008]. Johnson MW. 2008. Sustainable Pineapple Mealybug Management via Augmentative Biological Control. http://www.ctahr.hawaiii.edu/t-star/ Pineapple MB.htm. [12 Feb 2008]. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. Kogan M. 1998. Integrated Pest Mangement: Historical Perspectives and Contemporary Developments. Annual Review of Entomol 43:243-270. Kumar S. 2006. Pineapple mealybug Dysmicoccus brevipes. [terhubung berkala] www.spc.int:8088/pld/ index.jsp. [7 Feb 2008]. Kurniawati N, Noor ES, Hendarsih S. 2004. Tingkat serangan penggerek batang pada empat verietas padi dengan cara pemupukan dan aplikasi insektisida berbeda. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor, 5 Okt 2004. PEI. hlm 419-426. Leksono AS, Nakagoshi N, Takada K, Nakamura K. 2005. Vertical and seasonal variation in the abundance and the richness of Attelabidae and Cantharidae (Coleoptera) in suburban mixed forest. Entomol Science 8:235-243. Liu TX. 2005. Biology and life history of Ascia monuste (Lepidoptera:Pieridae) a potential pest of cruciferous vegetables. Ann Entomol Soc Am 98(5):726731. Manuwoto S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Makalah Utama Seminar PEI. Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor: 16 Febr 1999. PEI Cabang Bogor. Mattew REF. 1991. Plant Virology. Edisi ke-3. San Diedgo: Academic Press. hlm 379-422. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes (Cockerell) pink pineapple mealybug. http://www.extento.hawaii.edu/Kbase/crop/Type/ d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Miller GL, Miller DR. 2002. Dysmicoccus Ferries and similar genera (Hemiptera; Cocoidea; Pseudococcidae) of the Gulf state region including a description of a new species and new United State records. Proc Entomol Soc Wash 104: 968-979. Moghaddam M. 1999. The record of Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Coccoidae: Psedococcidae). J Entomol Soc Iran 18 (1/2):25-44.
116 Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. 305 hlm. Mulyadi S. 2006. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 247 hlm. Najib M, Hamijaya MZ. 2004. Populasi serangga musuh alami pada lingkungan iklim mikro di lahan pasang surut. Di dalam. Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Okt 2004. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Nicholls CI, Altieri MA. 2004. Agroecological bases of ecological enginering for pest management. In. Gurr GM, Wratten SD, Altieri M, editor. Ecological Enginering for Pest Management. Advances in Habit Manipulation for Arthropods. Australia: CSIRO. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm. Ohmart C. 2008. What is Integrated Pest Management. [terhubung berkala]. http://www. protected harvest. org/learnmore/ipm.htm. [15 Feb 2008]. Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem l2(1):46-53. Panda N, Khush G.S. 1995. Host Plant Resistance to Insects.Wallingford. CABI Publ. 431 hlm. Pandey GH, Johnson MW. 2005. Biological characteristics of adult Anagyrus ananatis Gahan (Hymenoptera: Encyrtidae), a parasitoid of Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae). Biol Cont 35(2):93-103. Petty GJ, Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam. Pena JE, Sharp J, Wisoki M, editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators. USA: CABI Publ. Pitaksa C, Chantarasuwan A, Kongkanjana A. 2000. Ant control in pineapple field. Act Hort 529:309-316. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007a. Nenas. Rusnas Buah-buahan Indonesia. Bogor: Kampus IPB Baranangsiang. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007b. Acuan Standar Operasional Produksi Nanas. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Institut Pertanian Bogor. Ploetz RC, Zentmyer GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HD. 1994. Compendium of Tropical Fruit Diseases. America: APS Press. Purseglove JW. 1978. Tropical Crops Monocotiledons. London: Longman Group Ltd. Purwoto A. 1993. Sikap Petani terhadap Risiko Produksi Padi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. J Agro Ekonomi Vol 12(2). Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
117 Raharjo S. 2004. Dinamika populasi Sanurus indecora J. pada tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) di Nusa Tenggara Barat. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. Rangana S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. Tata Mc. Grawhill ND. Rauf A, 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A, 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin HPT 11(1):1-13. Regariana CM. 2004. Atmosfir (Cuaca dan Iklim). http://www.elcom.umi.ac.id. [10 November 2009]. [Ristek] Perindustrian dan Teknologi. 2002. Nanas. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http//www.ristek.go.id. [20 Maret 2008]. Rohrbach KG, Johnson MW. 2003. Pest, diseases and weed. Di dalam. Bartholomew DP, Paull RE, Rochrbach KG, editor. Pineapple Botany Production and Uses. Wallingford: CAB International publ. hlm 203-251. Rohrbach KG, Leal F, d’Eeckenbrugge GC. 2003. History, Distribution and Word Production. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International Publ. hlm 1-12. Rohrbach KG, Schmitt D. 2003. Diseases of Pineapple. Di dalam. Ploetz RC, editor. Diseases of Tropical Fruit Crops. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CAB International publ. hlm 443-464. Rukka H. Buhaerah, Sunaryo. 2006. Hubungan karakteristik petani dengan respon petani terhadap penggunaan pupuk organik pada padi sawah (Oryza sativa L.). J Agrisistem: 2(1):1858-4430. Salikin KA. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Jogjakarta: Karnisius. Sartiami D. 2006. Keberadaan Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) sebagai vektor pineapple mealybug wilt associated virus (PMWaV) pada tanaman nenas. J Pert Indon 11(1):1-6. Schoonhoven LM, Jermy T, Van Loon JJA. 1998. Insect Plant Biology from Physiology to Evolution. London: Chapman & Hall. 409 hlm. Schowalter TD. 2000. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego. 483 hlm. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wiltassociated virus by two species of mealybug (Dysmicoccus spp). Phytopathlogy 88:1224-1230.
118 Sether DM, Okamura C, Kislan MM, Karasev A, Busto JL, Hu JS. 2001. Detection, differentiation, and elimination of pineapple mealybug wiltassociated virus in pineapple. Plant Disease 85:856-864. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2004. Diversity of pineapple mealybug wilt associated viruses in pineapple. Phytopathology 94(6):1031. Sether DM, Melzer MJ, Busto JL, Zee F, Hu JS. 2005. Diversity and mealybug transmissibility of ampeloviruses in pineapple. Plant Disease 89(5):450-456. Setiawati WS, Soeriaatmadja RE, Sastrosiswojo S, Prabaningrum L, Moekasan TK, Sulastrini L, Abidin Z. 2000. Dampak penerapan cara PHT terhadap keanekaragaman fauna pada pertanaman kubis. Di dalam: Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda. Cipayung: 16-18 Okt 2000. Bogor: PEI dan Yayasan Kehati Indonesia. hlm 349-354. Setiawati W. 2006. Terapkan PHT pada Sayuran Anda. Warta Penelitian & Pengembangan Pertanian 28(2):12-14. Soekartawi. 1998. Pembangunan Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Southwood TRE. 1978. The construction, description and analysis of age specific life tables. In. Ecological methods with particular reference to study of insect population, 2nd ed. London: Chapman & Hall. Stavinsky J, Funderburk J, Brodbeck BV, Olson SM, Andersen PC. 2002. Population dynamics of Frankniella spp. and tomatto spotted wilt incidence as influenced by cultural management tactics in tomato. Hort Entomol 95(6):1216-1221. Subahar SST. 2000. Pengaruh perubahan fungsi lahan terhadap struktur komunitas arthropoda tanah, studi kasus di Bandung Utara. Di dalam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung: 16-18 Okt 2000. hlm 69-73. Sudiarto, Rostiana O, Pramono D. 1996. Pengaruh pupuk terhadap hasil dua klon kencur pada tanah latosol asosiasi latosol grumosol-Boyolali. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3(2):32-35. Sukowati S. 2004. Dampak perubahan lingkungan terhadap penyakit tular nyamuk (vektor) di Indonesia. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. Hlm 1-16. Sulaiman SFM. 2000. Implication of the use of excess coir dust mulch in pineapple cultivation on the mealybug wilt disease of pineapple. Acta Hort 529:321-335. Sumardiyono YB, Siswadi E, Hadisutisno B. 2001. Kajian komponen epidemiologi penyakit tungro padi. Di dalam. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah. Bogor: 22-24 Agust 2001. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 61-65.
119 Tampubolon M. 2004. Problematik dan Prospek Pembangunan Masyarakat Desa Ditinjau dari Segi Pendidikan Non Formal. www. Depdiknas.go.id/jurnal. htm. [12 Agt 2006]. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Walter GH. 2003. Insect Pest Management and Ecological Research. United Kingdom. Cambridge University Press. 387 hlm. Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-1096. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest. Southeast Asian Prospects Monograph (51) Canberra: ACIAR. Widyanto H. 2005. Pola penyebaran penyakit layu dan kutu putih pada perkebunan nenas (Ananas comosus (Linn.) Merr.) rakyat di desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. William DJ, Watson GWQ. 1988. The Mealybug (Pseudococcidae). London. CAB International Institute of Entomology. 260 hlm. Williams DJ, de Willink MCG. 1992. Mealybug of Central and South America. Wallingford Oxon: CAB International Publ. 635 hlm. Williams DJ. 2004. Mealybug of Southern Asia. Kuala Lumpur. Southdene SDN BHD. Wilson EO, Bosert WH. 1971. A Primer of Population Biology. USA: Sinauer Associates Inc. 192 hlm.
120
LAMPIRAN
121 Lampiran 1. Tanaman inang dari Dysmicoccus brevipes (Menurut Dove 2005) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Famili Agavaceae Amaranthaceae Anacardiaceae Annonaceae Apiaceae Araceae
Arecaceae
Asclepiadaceae Aspleniaceae Balsaminaceae Bignoniaceae Bromeliaceae
Cannaceae Clusiaceae Combretaceae Compositae
Convolvulaceae
Cruciferae Cucurbitaceae
Spesies Agave sisalana Amaranthus Amaranthus kitensis Anacardium occidentale Mangifera indica Annona muricata Annona squamosa Apium graveolens Caryota urens Colocasia esculenta Rhaphidophora vitiensis Areca Kentia Livistona Ptychosperma macarthuri Araujia sericofera Asplenium nidus Balsamina communis Impatiens Crescentia cujete Aechmea Ananas Ananas comosus Ananas sativus Bromelia Canna Canna indica Mammea americana Terminalia catappa Emilia sonchifolia Fitchia speciosa Sparganophorus vaillantii Taraxacum Cressa cretica Ipomoea batatas Ipomoea batatas Brassica chinensis Cucumis sativus Cucurbita Cucurbita maxima
122 Lampiran 1. Tanaman inang dari D. brevipes (Lanjutan) No. 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Famili Cupressaceae Cyperaceae
Ebenaceae Ehretiaceae Euphorbiaceae
Gramineae (Poaceae)
Heliconiaceae
Spesies Cucurbita pepo Juniperus torulosa Thuja Cyperus Cyperus dentatus Cyperus elegans Cyperus ferax Cyperus rotundus Fimbristylis Fimbristylis cymosa Rynchospora cephaloter Scleria Diospyrus kaki Cordia alliodora Cordia nodosa Euphorbia Euphorbia drummondii Manihot esculenta Phyllanthus Aristida adoensis Brachiaria plantagnea Cenchrus Chloris gayana Chloris inflata Cynodon dactylon Oryza sativa Panicum Panicum muticum Panicum spectabile Paspalum millegrana Pennisetum purpureum Rhynchelytrum repens Rhynchelytrum repens Saccharum Saccharum officinarum Setaria palmifolia Sorghum verticilliflorum Sporobolus spicatus Tricholaena repens Zea mays Heliconia latispatha
123 Lampiran 1. Tanaman inang dari D. brevipes (Lanjutan) No. 83
Famili Hydnoraceae
84 85 86 87 88 89 90 91 91 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116
Iridaceae Juncaceae Lauraceae
117 118 119 120 121
Moraceae
Leguminosae (Fabaceae)
Liliaceae Malvaceae
Maranthaceae Meliaceae Memecylaceae Menyanthaceae
Spesies Prosopanche americana Watsonia Juncus Ocotea atirrensis Ocotea sassafras Persea americana Persea gratissima Acacia Arachis Arachis hypogaea Cajanus cajan Desmodium Dipteryx odorata Erythrina Erythrina indica Gliricidia Glycine max Inocarpus fagifer Medicago sativa Meliotus indica Saraca declinata Tachigalia paniculata Tipuana tiu Trifolium Trifolium pratensis Trifolium repens Asparagus Gossypium Hibiscus Sida Calathea Xylocarpus Mouriri myrtilloides Nymphoides humboltiana Artocarpus altilis Ficus Ficus rubricosta Morus Morus alba
124 Lampiran 1. Tanaman inang dari D. brevipes (Lanjutan) No. 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159
Famili Musaceae
Myrtaceae
Nymphaeaceae Orchidaceae Palmae (Arecaceae)
Pandanaceae
Piparaceae Plantaginaceae Polygonaceae
Portulacaceae Ranunculaceae Rosaceae
Spesies Musa Musa paradisiaca Musa sapientum Eugenia caryophyllata Eugenia malaccensis Psidium guajava Mphaea Cypripedium ciliare Vanda sanderiana Areca catechu Areca lutescens Bactris palmae Carpentaria acuminata Cocos Cocos nucifera Elaeis guineensis Hyophorbe Phoenix dactylifera Rhapis Roebelia Roystonea Sabal bermudiana Pandanus Pandanus antaresensis Pandanus fragrans Pandanus odoratissimus Pandanus tectorius Piper betle Piper methysticum Plantago major Rheum rhaponticum Rumex acetosa Triplaris cimingiana Portulaca Anemone Eryobotrya japonica Fragaria vesca Malus sylvestris
125 Lampiran 1. Tanaman inang dari D. brevipes (Lanjutan) No. 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185
Famili Rubiaceae
Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae Scrophulariaceae Solanaceae Sterculiaceae
Tamaricaceae Umbelliferae Urticaceae Vitaceae Zingiberaceae
Spesies Coffea Coffea arabica Coffea canephora Coffea robusta Coffea robusta Gardenia florida Guettarda speciosa Ixora triflora Straussia Citrus Citrus limon Nephelim lappaceum Manilkara zapota Orobanche Capsicum Solanum tuberosum Herrania camargona Theobroma bicolor Theobroma cacao Theobroma subincatum Tamarix nilotica Apium Cecropia Vitis vinifera Curcuma longa Hedychium flavum Zingiber officinale
126 Lampiran 2. Daftar pertanyaan wawancara perorangan petani nenas DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA PERORANGAN PETANI NENAS
Tgl Wawancara Pewawancara Status Petani Nama Umur Jumlah keluarga Pendidikan/Pelatihan 1
Tingkat pendidikan
2
Pelatihan yg pernah diikuti
3
Masuk dalam kelompok tani nenas
a. tdk tamat SD b. Tamat SD c. SMTP d. SLTA ke atas a. tidak pernah b. kursus tani c. penyuluhan d. lainnya ...... a. ya b. belum kalau ya, kelompok tani ...............
Keadaan dan Kepemilikan Lahan nenas 4 5 6 7 8
Luas lahan keseluruhan Luas lahan yang ditanami nenas Kepemilikan lahan a. b. Pengairan Penilaian petani tentang a. kesuburan tanah b.
pemilik b. penyewa penyakap d. lainnya a. tadah hujan b. irigasi miskin b. cukup subur d. sangat subur
Praktek Budidaya Nenas 9 10
Cara pengolahan tanah Jarak tanam
11
Varietas yang ditanam
12 13
Alasan memilih varietas tsb ? Dari mana bibit diperoleh ? a. b. c. d. Pemupukan
14
a. 25 x 30 b. 30 x 40 c. 40 x50 d. …… a. cv smooth cayene b. cv queen c keduanya ………….. Lahan sebelum tanpa seleksi Lahan sebelum, diseleksi Lahan lain tanpa seleksi Lahan lain, diseleksi Pupuk organik .............Pupuk Urea ....... SP-36 ………………KCl...................... Pemupukan setiap ........ bulan
127 Lampiran 2. Daftar pertanyaan wawancara perorangan petani nenas (Lanjutan) 15 16 17 18
Adakah gejala kurang hara? Dari mana informasi pemupukan Pembersihan lahan/sanitasi Kondisi tanaman
19 20 21
Ciri-ciri tanaman sehat Pola tanam Tanaman lain yang diusahakan
a. tidak b. tidak tahu a. baca buku c. teman petani b. penyuluhan d. pengalaman sendiri a. tidak b. kurang c sering a. kurang b. cukup c. baik d. sangat baik ................................. a. monokultur b. polikultur a. kunyit b. kencur c. jahe d. singkong e. lainnya………..
Pengetahuan dan Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit 22
Masalah hama (dalam urutan kepentingan)
23
Adakah masalah hama kutu b. jarang putih? d. tidak tahu Berapa persen tanaman yang terserang hama kutu putih? Selalu adakah penyakit a. selalu ada b. jarang layu? c. tidak ada d. tidak tahu Apakah penyebab penyakit a. semut b. cacing c. hama kutu putih layu ? d. kurang pupuk e. kurang air d. …….. Tahukah bahwa kutu putih a. tidak b. ya dapat menularkan penyakit layu nenas ? Parahkah kerugian akibat a. sangat parah b. parah adanya serangan kutu putih c. cukup parah d. tidak parah dan penyakit layu ? Tahukah peranan musuh a. tidak tahu b. tahu alami (menggali (kalau tahu apa contohnya................................) pengetahuan petani)? Perlukah pengendalian a. perlu b. tidak kimia
24 25 26 27 28 30 31
a. b. c. a. selalu ada c. tidak ada
Pemanenan dan Pemasaran 32
Penaksiran hasil panen nenas
33
Panen dilakukan setiap berapa lama Perkiraan keuntungan
34
a. tidak tahu b............kg nenas c………buah nenas (dasar perkiraan .................................................) a. tidak tahu b…………………..ton (dasar perkiraan .................................................)
128 Lampiran 2. Daftar pertanyaan wawancara perorangan petani nenas (Lanjutan) 35 36 37 38
39
Berapa harga nenas? Apakah harga yang diberi memuaskan ? Bagaimana cara memasarkan hasil panen ? Biaya yang dikeluarkan
Berapa pendapatan dari bertani nenas?
Terima kasih atas partisipasinya.
LEMBAR CATATAN :
………………. a. ya
b. tidak
Rp…………….. tenaga Rp…………….. untuk membeli bibit Rp.......................untuk membeli pestisida Rp ......................untuk pemeliharaan Rp ...................... untuk sewa lahan Rp.......................untuk pengeluaran lainnya Rp .............................. (dari penjualan sendiri panen I, II....)
126
Lampiran 3. Hasil analisa usahatani nenas di tiga lokasi penelitian di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang Desa No
Kegiatan
1 Sewa lahan 1 ha 2 Pembelian alat tani 3 Pembelian Bibit
Bunihayu Volume
Biaya/Satuan
Cimanglid Cost
Volume
Biaya/Satuan
Curugrendeng Cost
Volume
Standar Jawa Barat 1999
Biaya/Satuan Cost (0.4 ha)
Cost (ha)
Volume
Biaya/Satuan
Cost (ha)
1 ha
2.000.000
2.000.000
1 ha
2.000.000
2.000.000
0.4 ha
800.000
800.000
2.000.000
1ha
2.500.000
1 unit
750.000
750.000
1 unit
750.000
750.000
1 unit
100.000
100.000
250.000
1 unit
600.000
600.000
200
6.000.000
30000 bibit
200
6.000.000
11000 Bibit
200
2.200.000
5.500.000
45000 bibit
150
6.750.000
3.000.000
6 ton
150.000
900.000
2.250.000
20 ton
150.000
3.000.000
450.000,00
150 kg
1500
225000
562500
300 kg
1250
375.000
-
-
-
200kg
1.800
360.000
2.000
300.000
750.000
150 kg
1.650
247.500
30000 bibit
4 Pembelian Pupuk
2.500.000
-
i. Pupuk kandang
20 ton
150.000
3.000.000
20 ton
150.000
ii. Urea
300 kg
1.500
450.000
300 kg
1500
iii. SP-36
200 kg
1.900
380.000
200 kg
1900
380000
-
iv. KCL
150 kg
2.000
300.000
150 kg
2000
300000
150 kg
5 Biaya Pengolahan lahan
Borongan
3.000.000
6 Biaya Penanaman
30000 bibit
50
3.000.000 Borongan 1.500.000
30000 bibit
3.000.000
3.000.000
Borongan
1.500.000
1.500.000
3.750.000
Borongan
1.500.000
1.500.000
50
1.500.000
11000 bibit
50
550.000
1.375.000
10HKP + 100 HKW*)
5000&7000
570.000
250.000
750.000
1.875.000
200 HKW+20HKP
5000&7000
1.140.000
100.000
200.000
500.000
7 Biaya perawatan i. Penyiangan gulma
Borongan (4 X)
500.000
2.000.000 Borongan (3 X)
500.000
ii. Pemupukan
Borongan (3X)
150.000
450.000 Borongan (2X)
150.000
1.500.000 Borongan (3 X) 300.000
Borongan (2X)
i. Beli pestisida
1 liter
100.000
100.000
1 liter
100.000
100.000
-
-
-
-
ii. Penyemprotan
2 kali
100.000
200.000
2 kali
100.000
200.000
-
-
-
-
300.000
10 botol
gabung*)
8 Pengendalian 400000
400000
-
-
-
9 Pemberian Etrel i. Pembelian Etrel
10 botol
30.000
30.000
300.000
5 botol
30.000
150.000
375.000
-
-
-
ii. Pemberian Ethrel
Borongan (1X)
300.000
300.000 Borongan (1X)
300.000
300.000
Borongan1X
200.000
200.000
500.000
-
-
-
1 unit
500.000
500.000
300.000
300.000
-
-
-
-
-
-
10 Pembuatan saung
1 unit
11 Panen i. Hasil
40 ton
45 ton
ii. Biaya Panen 12 Lain-lain (10%) 13 Biaya keseluruhan
15 ton
38 ton
45 ton
2.000.000
2.500.000
750.000
1.875.000
100 HKW + 10 HKP
5000&7000
570000
23.230.000
22.880.000
8.625.000
21.562.500
-
-
18.012.500,00
2.323.000
2.288.000
862.500
2.156.250
-
-
1.801.250
25.553.000
25.168.000
9.487.500
23.718.750
-
-
19.813.750
45000X 75%
750/buah
25.312.500
14 Hasil penjualan i. Nenas besar 60 %
24.000
1.000
24.000.000
29.250
1.000
29.250.000
9.000
1.000
9.000.000
22.500.000
ii. Nenas kecil 30%
12.000
600
7.200.000
11.250
600
6.750.000
4500
600
2.700.000
6.750.000
16 RC Ratio
31.200.000
36.000.000
11.700.000
29.250.000
25.312.500
5.647.000
10.832.000
2.212.500
5.531.250
5.498.750
1,22
1,43
1,23
1,28
129
iii. Total Hasil (i+ii) 15 Keuntungan
130 Lampiran 4. Hasil analisis kadar air dan Nitrogen total pada bagian akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota dari tanaman nenas Bagian tanaman
Kadar air (%)
Nitrogen total (%)
Akar
50.92
0.52
Daun
85.55
0.34
Tangkai buah
86.23
0.48
Kulit buah
88.50
0,70
Mahkota
78.76
0.45