1 Linguistik Indonesia Agustus 2014, Volume ke-32, No. 2 Copyright 2014, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: JUARA SATU DAN DUA: MEMBANDINGKAN SITU...
JUARA SATU DAN DUA: MEMBANDINGKAN SITUASI KEBAHASAAN INDONESIA DAN PAPUA NUGINI René van den Berg* SIL International [email protected] Abstrak Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua pada ranking negara dengan jumlah bahasa daerah yang tertinggi (Papua Nugini 836, Indonesia 706). Makalah ini bertujuan membandingkan situasi kebahasaan di dua negara yang bertetangga ini. Informasi mengenai latar belakang masing-masing negara ini dipaparkan pada Pendahuluan. Bagian pertama memfokuskan pada bahasa-bahasa nasional (bahasa Indonesia dan Tok Pisin), termasuk sejarah dan peranannya saat ini, dilanjutkan dengan pembahasan pendek tentang ciri-ciri struktural dan leksikal Tok Pisin. Bagian ini diakhiri dengan gambaran umum mengenai peranan bahasa daerah di dua negara tersebut. Bagian kedua berupa deskripsi yang lebih rinci mengenai dua bahasa daerah dari masing-masing negara: bahasa Muna dari Sulawesi Tenggara di Indonesia dan bahasa Vitu dari Provinsi West New Britain di Papua Nugini. Bagian ini tidak hanya menggambarkan sejarah dan peranan kedua bahasa daerah tersebut, melainkan juga membandingkan beberapa ciri struktural, dan juga tingkat pendokumentasian dan status keterancaman. Makalah ini ditutup dengan beberapa saran. Kata kunci: Papua Nugini, bahasa nasional, bahasa daerah, perkembangan bahasa, Tok Pisin, bahasa Muna, bahasa Vitu
Abstract With 836 and 706 languages each, Papua New Guinea and Indonesia occupy the two top positions in the list of countries with the highest number of languages. This article aims to provide a linguistic comparison of these two neighbouring countries. After a general introduction with some background information about each country, the first part of the article focuses on the national languages (bahasa Indonesia and Tok Pisin), their history and current role, as well as a brief treatment of some lexical and structural features of Tok Pisin. Part one ends with a general discussion of the role of the regional languages in both countries, followed in part two by a more detailed discussion of one Austronesian regional language from each country: Muna from Southeast Sulawesi in Indonesia, and Vitu from West New Britain in Papua New Guinea. This section does not only treat the history and role of these two languages, but also compares various structural features, as well as their level of description and endangerment. The article ends with three brief suggestions. Keywords: Papua New Guinea, national language, regional languages, language development, Tok Pisin, Muna, Vitu
René van den Berg
PENDAHULUAN1 Jumlah total bahasa di dunia sekitar 7.100. 2 Dilihat dari segi jumlah bahasa per negara, Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan satu dan dua. Sepuluh negara dengan jumlah bahasa daerah yang tertinggi diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Ranking Negara menurut Jumlah Bahasa Daerah Negara Jumlah Jumlah Bahasa3 Penduduk (Juta)4 1 Papua Nugini 836 7 2 Indonesia 706 251 3 Nigeria 522 128 4 India 447 1080 5 RR Cina 298 1300 6 Meksiko 282 106 7 Kamerun 280 16 8 Brasil 215 201 9 Amerika Serikat 214 295 10 Australia 214 20 Dalam makalah ini kami akan membandingkan situasi kebahasaan dalam dua negara yang bertetangga ini. Walaupun ada batas sepanjang 760 kilometer antara kedua negara tersebut, hubungan antarnegara selalu dikaitkan dengan faktor politik dan sejarah, sedangkan pengetahuan rakyat dalam dua negara ini mengenai negara tetangga mereka masih sangat minim, dan pada umumnya hanya merupakan stereotip atau klise yang diwarnai oleh prasangka. Dalam percakapan seringkali terdengar komentar seperti ini: “Orang Papua di Papua Nugini adalah pemakan manusia. Masih pakai koteka, dan hidup di zaman batu.” Sebaliknya di PNG kami mendengar komentar seperti ini: “Di Indonesia terdapat kediktatoran militer. Indonesia negara Islam dan tidak ada kebebasan agama.” Prasangka seperti ini tidak membantu dalam proses pendekatan sebagai tetangga yang harus hidup bersama dengan rukun. Karena kami sekeluarga telah hidup dan bekerja dalam kedua negara ini selama beberapa tahun, kami merasa bahwa prasangka seperti itu perlu disingkirkan. Dengan memperkenalkan kedua negara yang bertetangga ini dengan lebih baik, kami berharap dapat membawa pengertian dan apresiasi baru. Kedua negara ini dapat dibandingkan pada berbagai tingkat, termasuk geografi, politik, sejarah, situasi keagamaan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada makalah ini kami membatasi diri pada perbandingan kebahasaan. Khususnya, yang akan dibandingkan pada bagian pertama adalah bahasa nasional kedua negara ini (bahasa Indonesia dan Tok Pisin) dan situasi bahasa daerah, didahului oleh informasi umum. Dalam bagian kedua akan dibandingkan dua bahasa daerah, baik dari segi struktural maupun dari segi sosiolinguistik. Kedua bahasa daerah ini masing-masing adalah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara (Indonesia), dan bahasa Vitu, di West New Britain (Papua Nugini). Kami mengakhiri makalah ini dengan menganjurkan beberapa saran. PERBANDINGAN INDONESIA DAN PAPUA NUGINI Informasi Umum Pada Tabel 2 di bawah ini terlihat beberapa fakta umum mengenai kedua negara yang dibandingkan.
104
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini Wilayah (tanah)5 1.811.569 km2 462.840 km2 6 Jumlah penduduk 251 juta 7,1 juta Ibu kota Jakarta Port Moresby GDP per capita7 $5.100 $2.491 Mata uang Rupiah Kina (1 euro = (1 euro = 3,5 Kina) Rp 16.200) Jumlah dokter per 10.000 2,04 0,5 (2008) orang8 Literasi9 92,8% 62,4% (resmi)10 15%? Lamanya pendidikan11 13 tahun tidak jelas (tetapi tidak melebihi 6) Jumlah bahasa daerah 706 836 Agama12 Islam 87% Kristen 96% Kristen 10% Lain 4% Lain 3% Surat kabar harian13 15 (nasional) 3 34+ (di daerah)
Sebaiknya kami memberikan penjelasan sedikit mengenai tabel ini dan sejarah Papua Nugini (atau PNG).
Luas daratan Indonesia sekitar empat kali lebih besar daripada PNG. Wilayah PNG meliputi sebelah timur pulau Nugini, dengan tiga pulau besar di sekitarnya (Manus, New Britain, dan New Ireland), dan ratusan pulau kecil. Sebaliknya, wilayah Indonesia meliputi sejumlah besar pulau yang besar (termasuk sebelah barat pulau Nugini), dan ribuan pulau kecil. Jumlah penduduk sangat berbeda. Dengan 251 juta orang Indonesia terdapat pada urutan yang ke-4 di dunia (setelah Cina, India, dan Amerika Serikat). Berbeda dengan Indonesia, wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini selama berabadabad jarang atau tidak pernah dikunjungi oleh orang dari luar, mulai dari zaman kuno sampai pada akhir abad ke-19. Itu berarti bahwa dalam periode abad ke-9 sampai abad ke19, waktu wilayah Indonesia sudah mengalami banyak masukan dari luar, di wilayah Papua Nugini tidak ada pengaruh dari India (Buddhisme), dari Arab (Islam), dari Portugis, dari Belanda atau dari Inggris. Itu juga berarti bahwa, sama halnya dengan daerah Papua di Indonesia (dahulu Irian Jaya), kebudayaan setempat berkembang dalam situasi terisolir tanpa pengaruh dari luar. Alhasil, banyak benda dan konsep dari luar sudah lama dikenal di wilayah Indonesia, tapi masih asing di wilayah PNG pada awal abad ke-20. Contohnya: alat besi (seperti pisau, parang, pedang), kain, sabun, roda, kertas, payung, sepatu, beras, jagung, anggur, bumbu (seperti merica dan lada), binatang (seperti kuda, sapi, kambing, kucing), dan kegiatan seperti menenun, menulis, dan membaca. Selain itu konsep raja atau pemimpin utama satu wilayah tidak pernah ada. Semuanya ini tidak berarti bahwa kebudayaan Papua bermutu rendah. Pandangan seperti ini mencerminkan perasaan superioritas yang perlu dihindari. Hanya karena situasi terisolir, penduduk setempat belum mendapat kesempatan untuk mencicipi yang disebut “kehidupan modern”. Baru sekitar tahun 1880 ada pengaruh langsung dari penguasa kolonial di PNG. Pemerintah Jerman mulai menduduki bagian kepulauan dan pesisir di sebelah utara, sedangkan daerah pesisir di bagian selatan mulai dikuasai oleh pemerintah Inggris. Semasa Perang Dunia yang
105
René van den Berg
Pertama (1914-1918), penguasa Jerman dikalahkan dan kemudian seluruh wilayah Papua Nugini mulai diperintah oleh Australia. Pada tahun 1975 Papua Nugini memperoleh kemerdekaan dari Australia, tanpa perang atau kekerasan. Jika dipandang dari segi perkembangan negara dan sumber daya manusia, negara Papua Nugini tetap berada pada urutan rendah. Indikatornya termasuk jumlah pendidikan tinggi (hanya terdapat beberapa universitas dan sekolah tinggi), jumlah dokter dan dokter gigi, jaringan internet, kebutahurufan yang masih tersebar luas, kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), dll. Kebanyakan penduduk hidup dari hasil kebun sendiri. Walaupun demikian, Papua Nugini juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Bukan saja gas dan minyak, tetapi juga banyak mineral seperti emas, besi, tembaga, dll. Tambang emas di Pulau Lihir adalah cadangan emas yang ketiga di dunia.14
Mengenai nama Papua Nugini (sebenarnya Papua New Guinea), asal-usulnya begini. Bagian ‘New Guinea’ adalah nama yang diberikan kepada pulau ini pada tahun 1545 oleh Yñigo Ortiz de Retez, seorang penjelajah dari Spanyol (dalam bahasa Spanyol pulau ini disebut Nueva Guinea). Sebabnya ialah, dia “mencatat kemiripan orang-orang Papua dibandingkan dengan orang-orang yang pernah dilihatnya di sepanjang pesisir Guinea, Afrika [Barat].”15 Mengenai kata ‘Papua’, hampir semua sumber saling mengulangi dengan mengatakan bahwa “kata papua diturunkan dari pepuah, kata dari bahasa Melayu yang menggambarkan rambut orang Melanesia yang keriting.” 16 Padahal, sebenarnya tidak demikian. Berdasarkan penelitian Sollewijn Gelpke (1993), ternyata nama papua berasal dari bahasa Biak. Dalam bahasa Biak kata papwa berarti ‘di bawah’ dan juga ‘sebelah barat’. (Hubungan semantis antara konsep ‘bawah’ dan ‘barat’ cukup umum; begitu juga dengan ‘atas’ dan ‘timur’; lihat Brown 1983). Dalam bahasa Biak daerah papwa merujuk kepada kepulauan Raja Ampat dan penduduknya. Istilah itu kemudian diambil alih oleh pedagang Melayu dan pemerintahan kolonial Belanda, dan akhirnya menjadi nama umum untuk seluruh Pulau Papua dan penduduknya. Bahasa Nasional Indonesia Republik Indonesia hanya memiliki satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Sebelum kemerdekaan Indonesia, fungsi bahasa itu sudah diakui dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa daerah di Sumatra bagian timur laut, khususnya di kerajaan Sriwijaya, dan (di kemudian hari) juga di semenanjung Melayu. Karena peranan yang penting dalam perdagangan, bahasa Melayu sudah berabad-abad berfungsi sebagai bahasa antarsuku di seantero Nusantara (Adelaar dan Prentice 1996). Perlu dicatat juga bahwa menurut beberapa ahli linguistik historis, bahasa Melayu sendiri, sebelum menjadi bahasa yang dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya dan perdagangan, agaknya berasal dari Pulau Borneo (Adelaar 2004). Menurut Ethnologue (edisi ke-16) jumlah penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama sekitar 23 juta, sedangkan penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua sekitar 140 juta. Angka seperti ini jelas merupakan perkiraan saja, karena pengumpulan data yang tepat tidak gampang. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia “dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia”.17 Kalau itu memang benar, berarti jumlah penutur sudah mencapai 225 juta. Walaupun ada banyak ragam dan varian lokal, bahasa Indonesia digunakan secara sangat luas dan hampir secara eksklusif di dunia pemerintahan (dari pusat sampai pelosok), di dunia pendidikan (dari SD sampai perguruan tinggi), di media massa dan sastra. Bahasa Indonesia betul-betul merupakan bahasa persatuan bangsa. Ratusan ribu buku sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, melingkupi buku bacaan anak-anak sampai buku pelajaran perguruan tinggi. Data mengenai jumlah judul baru yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia setiap tahun tidak gampang diperoleh, tetapi pasti ribuan. Penyebaran surat kabar harian dalam
106
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
bahasa Indonesia juga sangat luas. Harian dengan jangkauan nasional sudah berjumlah 15 (termasuk Kompas dan Republika), di samping puluhan harian di daerah.18 Sejak berdirinya Republik Indonesia ada upaya untuk membakukan, merancang, dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai bahasa Indonesia dalam negara. Untuk itu Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa didirikan. Badan ini telah banyak mengeluarkan terbitan mengenai bahasa Indonesia, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama tahun 1988; sekarang dalam edisi yang ketiga, juga terdapat dalam bentuk online), tata bahasa yang baku, pembentukan kosakata baru, dan puluhan terbitan lain, termasuk juga karya ilmiah mengenai bahasa daerah di Indonesia. Melalui badan ini, status, fungsi dan masa depan bahasa Indonesia terjamin. Papua Nugini Situasi Papua Nugini sangat berbeda dengan Indonesia, mulai dari jumlah bahasa nasional, penyebaran bahasa persatuan, dokumentasi, dan terbitan. Sekarang ada tiga bahasa nasional di Papua Nugini: 1) bahasa Inggris, 2) Tok Pisin, dan 3) bahasa Motu. Bahasa Inggris berfungsi sebagai bahasa pemerintahan, bahasa pendidikan, dan bahasa tulisan. Tok Pisin adalah bahasa lisan antarsuku, terutama di provinsi-provinsi di bagian utara, di pulau-pulau, dan di pegunungan. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini penggunaan dan pemakaian Tok Pisin semakin luas, juga dalam ranah tertulis. Bahasa Motu, lebih tepatnya varian sederhana yang disebut Hiri Motu atau Police Motu, adalah bahasa daerah yang dituturkan di sekitar ibu kota Port Moresby. Hiri Motu pernah berfungsi sebagai bahasa antarsuku di Provinsi Central, Gulf dan sebagian di Western dan Milne Bay, dan juga sebagai bahasa pemerintahan sampai 1975. Untuk sejarah dan penyebaran bahasa Motu, lihat Dutton (1985, 1996). Posisi bahasa Motu semakin berkurang sejak Papua Nugini merdeka, dan tidak akan disebut lagi di sini, begitu juga halnya dengan bahasa Inggris. Kami akan memusatkan perhatian pada Tok Pisin. Sejarah Tok Pisin sangat menarik. Sebelum kedatangan kuasa kolonial pada akhir abad ke-19, tidak pernah ada bahasa persatuan antara ratusan bahasa daerah di wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini. Baru dengan tibanya orang Jerman dan pembentukan sistem perkebunan yang luas (plantation) muncullah suatu bahasa pijin (alat komunikasi antarsuku yang bukan bahasa ibu seseorang), karena memang tidak ada bahasa yang dimengerti oleh semua pihak. Bahasa pijin inilah berkembang menjadi bahasa kreol yang disebut Melanesian Pidgin atau lebih umum sekarang disebut dengan Tok Pisin. Sebenarnya asal Tok Pisin bukan di Papua Nugini, tetapi di kawasan Pasifik, khususnya di perkebunan di Queensland (Australia) dan di pulau Samoa pada tahun 1830-1850. Baru antara 1880 dan 1914 (semasa zaman kolonial Jerman), Tok Pisin mendapatkan identitas tersendiri di wilayah PNG sekarang, walaupun seringkali dianggap sebagai ‘bahasa yang rusak’ (broken language), yang tidak layak ditulis dan dipakai dalam pergaulan resmi. Baru pada tahun 1960 ejaan Tok Pisin dibakukan, dan kemudian terbitlah bahan bacaan dalam Tok Pisin. Sejarah Tok Pisin diuraikan secara rinci oleh Mühlhäusler (1979). Sekarang status dan fungsi Tok Pisin semakin kuat, dan jumlah penutur bertambah banyak, baik oleh penutur bahasa pertama di kota, maupun oleh penutur bahasa kedua. Mungkin saja sudah ada antara lima sampai enam juta penutur Tok Pisin secara total, yaitu 80% dari seluruh penduduk Papua Nugini.19 Dalam bagian berikut kami menyajikan beberapa sampel kosakata dan struktur Tok Pisin, mulai dengan percakapan pendek:
107
René van den Berg
A: B: A: B: A: B: A:
Yu stap orait? Yes, mi orait tasol. Yu go we? Mi go long taun, mi laik baim nupela su. Pikinini bilong yu i stap we? Ol i stap long ples. Orait, lukim yu.
Apa kabar? Baik-baik saja. Mau ke mana? Saya mau ke kota, mau membeli sepatu baru. Anak-anak Anda di mana? Mereka ada di kampung. Baiklah, sampai bertemu lagi.
Di bawah ini diuraikan beberapa ciri Tok Pisin sebagai bahasa kreol dengan sejarah yang agak dangkal. 1. Kosakata diambil dari bahasa yang lain, yang disebut lexifier language. Bahasa yang memberikan banyak kosakata pada Tok Pisin ialah bahasa Inggris. Berikut contoh dalam ejaan modern Tok Pisin dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris. Tok Pisin ai haus hauskuk kanu kokonas marit moni rais tekewe tisa tok
Kata Asal Bahasa Inggris eye house house cook = kitchen canoe coconut married money rice take away teacher talk
Selain bahasa Inggris, ada cukup banyak kata yang berasal dari bahasa lain, termasuk: Bahasa Portugis: kalabus ‘penjara’, save ‘tahu’, maski ‘biar’, pikinini ‘anak’. Bahasa Kuanua (juga disebut bahasa Tolai) di ujung timur Pulau New Britain (atau mungkin juga dari bahasa dearah sekitarnya; lihat Mosel 1980): balus ‘merpati; pesawat terbang; diwai ‘pohon, kayu’, kiau ‘telur’, kakaruk ‘ayam’, matmat ‘kuburan’, pukpuk ‘buaya’, tambaran ‘roh leluhur, hantu’. Bahasa Jerman: beten ‘berdoa’, haiden ‘kafir’, popaia ‘tidak kena sasaran’ (< vorbei), plang ‘papan’, raus ‘keluar’, tais ‘rawa’ (< Teich). Bahasa Melayu. Kata yang masih umum dipakai adalah: baret ‘selokan, parit’, binatang ‘serangga’, kasang ‘kacang’, lombo ‘lombok’, mambu ‘bambu’, satu ‘dadu’, susu ‘susu’.20 Kata dari bahasa Melayu yang kurang umum dipakai sekarang adalah: blion ‘beliung, kapak kecil’, klambu ‘kelambu’, krani ‘pedagang Melayu’, mandor ‘mandor, pengawas’, tiang ‘tiang bercabang dua’ dan yati ‘pohon/kayu jati’.21 Kata-kata Melayu ini masuk Tok Pisin sekitar tahun 1900, sewaktu ada orang dari wilayah Indonesia yang dipekerjakan di perkebunan di daerah kepulauan Nugini yang dikuasai oleh Jerman. Sejarah menarik pengaruh bahasa Melayu di Papua Nugini digambarkan dalam Seiler (1982, 1983). 2. Sistem bunyi yang disederhanakan. Berbeda dengan bahasa Inggris (yang ada sekitar 15-18 vokal22), Tok Pisin hanya mengenal lima vokal dasar: /i, e, a, o, u/. Itu berarti perbedaan antara vokal /i/ dan /ɪ/ dalam bahasa Inggris dihapus, dan begitu juga antara /ei/, /ɛ/ dan / æ/. Fonem konsonan seperti /f/ pada umumnya diganti dengan /p/, fonem /θ/ diganti dengan /t/, dan /ʃ/ dengan /s/. Gugusan konsonan juga sering dihilangkan. Konsonan bersuara pada akhir kata seperti /b,d,ɡ/ selalu dijadikan tak bersuara, yaitu /p,t,k/. Beberapa contoh:
108
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Kata Asal Bahasa Inggris dog hand hard hot hat heart finish play fish peace sail shell thank you think teeth
3. Sistem pronomina (kata ganti) cukup berbeda dengan bahasa Inggris, dan lebih mirip pada sistem pronomina bahasa-bahasa Oseania di daerah Nugini. Misalnya, ada perbedaan antara pronomina orang pertama inklusif dan eksklusif (mipela ‘kami’, yumi ‘kita’), tetapi tidak ada gender. Sama dengan bahasa Indonesia (dan hampir semua bahasa dari rumpun Austronesia) tidak ada perbedaan antara he dan she, kedua-duanya em. Selain itu, ada juga dualis (untuk merujuk kepada dua orang), dan dalam daerah tertentu juga trialis (bentuk tiga orang). Namun, trialis agak jarang terpakai dan seringkali tidak dimasukkan dalam sistem pronominal Tok Pisin. Tabel 3. Pronomina Tok Pisin Tunggal
4. Hampir tidak ada morfologi dalam Tok Pisin. Nomina tidak dijamakkan, verba tidak diberikan infleksi (awalan atau akhiran yang menunjukkan orang, kala atau aspek), tidak ada kasus atau bentuk derivasi yang menonjol. Dua proses morfemis yang ada adalah sebagai berikut.
Akhiran -pela pada pronomina (seperti mipela ‘kami’; lihat 3 di atas), dan juga pada adjektiva tertentu, pada kata penunjuk, dan pada kata bilangan. Akhiran -pela berasal dari bahasa Inggris fellow ‘orang laki-laki’. Lihat Baker (1996) untuk sejarah dan distribusi kata ini dalam bahasa-bahasa pijin di kawasan Pasifik dan Australia. Beberapa contoh:
109
René van den Berg
bikpela man waitpela meri dispela pikinini wanpela dok etpela gaden
Akhiran -im pada verba intransitif membuat verba itu menjadi transitif, sama dengan akhiran -kan dalam bahasa Indonesia. Akhiran -im ini berasal dari pronomina him yang menjadi im, dan kemudian digabungkan dengan verba intransitif. Beberapa contoh: bikmaus ‘berteriak’ bikmaus-im ‘meneriakkan’ kamaut ‘keluar’ kamaut-im ‘mengeluarkan, melepaskan, mencabut’ kirap ‘bangun, berdiri’ kirap-im ‘membangunkan’ lait ‘bernyala, mengkilap’ lait-im ‘menyalakan’ malolo ‘beristirahat’ malolo-im ‘mengistirahatkan’ marit ‘kawin, nikah’ marit-im ‘mengawinkan’ pinis ‘habis, selesai pinis-im ‘menghabiskan, menyelesaikan’ pret ‘takut’ pret-im ‘menakutkan’ pul ‘tarik, berdayung’ pul-im ‘menarik, mendayungkan’ Akhiran -im sangat produktif, sehingga sering muncul dalam kata baru yang diambil dari bahasa Inggris: prin-im ‘mencetak’ (< print), implement-im ‘mengimplementasikan’, snep-im ‘mengambil potret’ (< snap(shot)), blutut-im ‘memindahkan melalui bluetooth’.
5. Seperti halnya dengan banyak bahasa pijin dan kreol di dunia, kosakata Tok Pisin agak terbatas. Jumlah kata yang ada dalam kamus Tok Pisin mungkin tidak melebihi 2.000 (termasuk kata turunan dengan -im).23 Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang khazanahnya mungkin melebihi 35.000 kosakata,24 maka jelas bahwa kekayaan leksikal Bahasa Indonesia tidak sepadan dengan Tok Pisin. Alhasil, banyak kata dalam Tok Pisin mempunyai makna yang sangat luas. Beberapa contoh: nogut. Artinya meliputi ‘jahat, jelek, tidak enak, salah, berbahaya’, tetapi juga ‘sangat, sekali’, dan ‘jangan sampai’. pul: ‘dayung, sayap, sirip’. tok (nomina): ‘kata, bahasa, pesan, pidato, khotbah, cerita’. harim: ‘mendengar, mendengarkan, menaati, mengerti’. stretpasin: ‘kelakuan yang baik, kebajikan, keadilan’. Ada juga banyak kata dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang semata-mata tidak mempunyai padanan dalam Tok Pisin. Contohnya termasuk nervous ‘gelisah’, disappointed ‘kecewa’, evidence ‘bukti’, to urge ‘mendesak’, honesty ‘kejujuran’ dan ratusan lainnya. Selain itu, hampir tidak ada nomina untuk merujuk kepada objek flora dan fauna seperti burung, serangga, ikan, bunga dan pohon. Kalau kata seperti ini diperlukan, para penutur Tok Pisin menggunakan bahasa daerah setempat atau bahasa Inggris, atau kata yang umum saja. Itu berarti mengungkapkan konsep dan ide yang ada di otak si penutur Tok Pisin, merupakan tantangan tersendiri. Seringkali satu frasa atau bahkan kalimat harus disusun untuk menjelaskan makna yang mau disampaikan. Beberapa contoh:25 janda terbalik
meri man bilong em i dai pinis na em no marit gen (artinya: perempuan yang suaminya telah meninggal dan dia tidak kawin lagi) kapsaitim sampela samting baimbai as bilong em i kamap antap (artinya: membalikkan sesuatu sehingga dasarnya berada di atas)
110
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
terowongan bukti
akibat
rot i go aninit long graun na i kamap long hap (artinya: jalan yang pergi di bawah tanah dan muncul di sebelah) samting bilong strongim tok tru, samting bilong sapotim tok, samting i soim tok i tru (artinya: sesuatu untuk menguatkan kata yang benar, sesuatu untuk mendukung kata, sesuatu yang memperlihatkan bahwa kata yang dipakai memang benar) wanpela samting i kamap bilong wanem narapela samting i bin kamapim (artinya: sesuatu yang terjadi karena sesuatu yang lain sudah mulai)
Namun, Tok Pisin adalah bahasa yang kelihatan berfungsi sebagai alat komunikasi yang memadai untuk sebagian besar penuturnya. Tok Pisin juga penuh dengan idiom dan kata kiasan yang menarik yang memberikan warna tersendiri kepada bahasa nasional ini. Beberapa contoh: airaun ‘pusing, pening’ (harf: mata berputar) bel hevi ‘susah, sedih, cemas’ (harf: perut berat) bun kakaruk ‘sangat kurus’ (harf: tulang ayam) hetpas ‘bodoh’ (harf: kepala tertutup) namba seven ‘kapak’ (harf: angka tujuh [karena bentuk angka 7 sama dengan bentuk kapak]) namba ileven ‘ingus yang turun dari (harf: angka sebelas [dua jalur ingus yang kedua lubang hidung’ turun mirip dengan angka 11]) sikispela lek ‘laki-laki yang beristri dua’ (harf: enam kaki) givim siksti ‘lari dengan kecepatan tinggi’ (harf: memberikan enam puluh [mil]) maus wara ‘meleter, terlalu banyak bicara’ (harf: air mulut) Dokumentasi Tok Pisin belum memadai. Memang ada dua kamus Tok Pisin ─ Inggris (Mihalic 1971, Volker 2008), yang sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin belajar Tok Pisin, terutama orang dari luar. Tetapi kamus Mihalic sudah berumur 40 tahun dan tidak pernah diterbitkan edisi yang diperbaiki, sedangkan Tok Pisin English Dictionary yang dikarang oleh Volker dan kawan-kawannya lebih modern, tetapi lebih mencerminkan terutama dialek Tok Pisin di Port Moresby dengan banyak kata dari bahasa Inggris, dan tidak memasukkan asal kata (etimologi). Bagian sebaliknya yang berupa bahasa Inggris ─ Tok Pisin juga masih sangat terbatas pada kedua kamus tersebut. Sekarang ada usaha memperbarui kamus Mihalic dalam bentuk online, tetapi masih dalam proses awal. Satu kamus Tok Pisin lain yang menarik adalah Trilingual Dictionary Tok Pisin ─ English ─ Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Thomas, dkk. (1997). Tata bahasa Tok Pisin telah diterbitkan oleh Verhaar (1995), seorang pakar bahasa (hidup dari 1925-2001) yang bekerja baik di Indonesia maupun di Papua Nugini. Namun, karena berdasarkan bahan tertulis (dengan subjudul an experiment in corpus linguistics), maka masih ada peluang untuk memperluas dan memperhalus analisis tata bahasa Tok Pisin dengan menginkorporasikan bahan lisan dari pelbagai daerah, dan perkembangan baru dalam dua dasawarsa terakhir. Jumlah buku yang diterbitkan dalam Tok Pisin terbatas, karena bahasa pendidikan di Papua Nugini adalah bahasa Inggris. Kebanyakan buku yang diterbitkan bersifat buku keagamaan atau buku anak-anak. Hanya ada satu surat kabar harian dalam Tok Pisin (Wantok). Dukungan resmi dari pihak pemerintah untuk Tok Pisin terlihat agak terbatas. Tok Pisin disebut dalam undang-undang sebagai bahasa resmi dalam negara, tetapi tidak ada badan resmi seperti Badan Bahasa di Indonesia untuk merancangkan perkembangan bahasa dan membakukan istilah baru yang diperlukan.
111
René van den Berg
Situasi yang kurang memadai ini mencerminkan peran utama Tok Pisin adalah sebagai bahasa lisan antarsuku. Dipandang dari segi itu, membandingkan Bahasa Indonesia dengan Tok Pisin sebenarnya tidak layak, karena peranan dan fungsinya yang sangat berbeda, di samping sejarah yang juga berlainan sekali. Pemerintah Papua Nugini mengakui pentingnya Tok Pisin untuk mempersatukan negara yang begitu aneka ragam, tetapi sekaligus menempati Tok Pisin pada posisi yang kedua setelah bahasa Inggris, sehingga ada kesan bahwa Tok Pisin terabaikan. Bahasa Inggrislah yang merupakan bahasa resmi untuk pemerintahan dan pendidikan, tetapi ironisnya Tok Pisinlah yang sesungguhnya menjadi bahasa persatuan. Bahasa Daerah Seperti dikatakan pada awal makalah ini, Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan satu dan dua pada daftar negara dengan jumlah bahasa yang terbanyak. Jumlah tergabung melebihi 1.550 bahasa; itu berarti kedua negara ini saja menampung sekitar 22% atau 1/5 dari semua bahasa di dunia (jumlah total sekitar 7.100). Tetapi satu perbedaan besar antara kedua negara ini adalah jumlah penutur per bahasa. Menurut statistik, jumlah penutur bahasa daerah di Indonesia rata-rata 340.000 orang, sedangkan jumlah yang sama di Papua Nugini 8.500. Tabel 4 memperlihatkan kesepuluh bahasa daerah yang terbesar di kedua negara, tanpa bahasa Indonesia dan Tok Pisin.26
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 4. Kesepuluh Bahasa Daerah yang Terbesar Indonesia PNG Bahasa Jawa 84,3 juta Enga Bahasa Sunda 34,0 juta Melpa Bahasa Madura 13,6 juta Kuman Bahasa Minangkabau 5,5 juta Kamano Bahasa Musi (Melayu Palembang) 3,9 juta Kuanua Bahasa Melayu Manado 3,8 juta Sinasina Bahasa Bugis 3,5 juta Bo-Ung Bahasa Bandar 3,5 juta Angal-Hengen Bahasa Aceh 3,5 juta Takia Bahasa Bali 3.3 juta Waghi
Dari segi genetis, semua bahasa daerah di kedua negara ini bisa digolongkan dalam dua kelompok yang besar, yaitu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia (juga disebut bahasa Papua). Semua bahasa Austronesia adalah kerabat yang berasal dari satu bahasa purba yang disebut Proto-Austronesia. Wilayah bahasa Austronesia meliputi Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan seluruh kawasan Pasifik sampai kepulauan Hawai’i, dan Pulau Paskah. Dari 706 bahasa di Indonesia, sekitar 450 adalah dari rumpun Austronesia, sisanya yang berjumlah sekitar 250 adalah bahasa non-Austronesia. Kebanyakan bahasa non-Austronesia di wilayah Indonesia terdapat di Pulau Nugini (Provinsi Papua dan Papua Barat), tetapi ada juga bahasa non-Austronesia yang terdapat di pulau Halmahera bagian utara (sekitar 10), dan di pulau Alor dan Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (sekitar 20). Tidak boleh dilupakan bahwa di Provinsi Papua dan Papua Barat ada juga bahasa Austronesia, terutama di kepulauan Raja Ampat, di jazirah Bomberai, di Pulau Biak dan Yapen, di pesisir Teluk Cendrawasih, dan di daerah Sarmi. Jumlah totalnya sekitar 55. Dari 836 bahasa daerah di Papua Nugini, sekitar 220 dikelompokkan sebagai bahasa Austronesia, khususnya cabang Oseania. Yang lain, lebih dari 600, tergolong sebagai bahasa non-Austronesia atau bahasa Papua. Rumpun terbesar di antara bahasa non-Austronesia adalah Trans-New Guinea, dengan ratusan bahasa di Pulau Nugini, baik di sebelah Indonesia, maupun di sebelah Papua Nugini. Selain rumpun Trans-New Guinea, ada rumpun yang lebih kecil seperti West Papuan, Torricelli, Skou, Lower-Ramu-Sepik, dan banyak yang lain.
112
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Beberapa bahasa daerah besar di Indonesia ada aksara atau abjad tersendiri, termasuk Batak, Jawa, Makassar, Bugis, atau ditulis dengan huruf Arab (antara lain Aceh, Melayu, Wolio). Lain halnya dengan Papua Nugini, di mana tak satu bahasa daerahpun pernah ditulis sebelum akhir abad ke-19. Status resmi bahasa daerah di kedua negara ini tidak jauh berbeda. Selain Hiri Motu di Papua Nugini, tidak ada bahasa daerah yang diakui sebagai bahasa resmi pada tingkat nasional atau tingkat provinsi dengan perlindungan hukum. Di dunia pendidikan situasi kebahasaan kedua negara juga agak sama; bahasa daerah memang diakui sebagai unsur kebudayaan penting yang perlu dihormati dan dilestarikan, tetapi dalam praktek di Indonesia bahasa Indonesia sangat diutamakan, dan bahasa daerah hanya memainkan peranan yang terbatas dalam kurikulum, atau sama sekali tidak mendapat perhatian. Walaupun sejak tahun 1995 ada usaha untuk memberikan tempat pada bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal di SD dan SMP, banyak bahasa daerah yang kecil tetap diabaikan karena kebijakan sekolah, kurangnya materi, ketidaktersediaan guru, dan lain sebagainya. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, bahasabahasa daerah yang relatif besar memang diajarkan pada tingkat SD dan SMP, seperti bahasa Tolaki, bahasa Wolio, dan bahasa Muna. Namun, bahasa daerah yang relatif kecil kurang mendapatkan perhatian, seperti bahasa Wawonii, bahasa Kulisusu, bahasa Kamaru, dan bahasa Busoa. Dalam sistem pendidikan di Papua Nugini, bahasa Inggris dinomorsatukan, dengan peranan samping bagi Tok Pisin atau bahasa daerah sebagai bahasa lisan yang hanya dipakai oleh para guru untuk menjelaskan materi sulit yang diajarkan. Ada juga sekolah dasar di mana Tok Pisin dipakai pada tahap awal belajar membaca dan menulis. Tetapi tujuannya selalu beralih ke bahasa Inggris secepat mungkin. Sebenarnya penggunaan bahasa daerah di dunia pendidikan di Papua Nugini mengalami perubahan beberapa kali, sehingga ada tiga periode yang bisa dibedakan. Periode 1
Periode 2
Periode 3
Dari kemerdekaan pada tahun 1975 sampai pada tahun 1999, hanya bahasa Inggrislah yang diizinkan sebagai bahasa pengantar di sekolah (English only policy). Dengan beberapa pengecualian, bahasa daerah tidak ada peranan di bidang pendidikan. Mulai pada tahun 1999 ada perubahan yang disebut Elementary Reform. Melihat pentingnya bahasa dan budaya setempat dan kesulitan langsung mulai dengan bahasa Inggris, maka bahasa daerah dipromosikan di kelas 1 dan 2 sekolah dasar (Kelas 1-2 disebut Elementary School, kelas 3-8 disebut Primary School). Itu berarti semua murid mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu, yaitu bahasa daerah masing-masing. Baru pada kelas 3 ada transisi yang berangsurangsur kepada Bahasa Inggris (lihat Wroge 2002). Periode ini berlangsung sampai tahun 2013. Pada awal tahun 2013, ada perubahan yang drastis. Pada kalangan pemerintah hasil kebijakan Elementary Reform dirasakan tidak memadai: mutu pendidikan dianggap merosot, persentase orang yang buta huruf tetap tinggi, dan kemampuan berbahasa Inggris kelihatan menurun. Alhasil, pemerintah Papua Nugini mengambil keputusan untuk kembali kepada bahasa Inggris saja. Dalam kalangan tertentu ada rasa kecewa, termasuk pada kalangan SIL, karena menurut banyak pengamat ada faktorfaktor lain yang tidak disebut secara resmi. Faktor-faktor itu termasuk pendidikan guru SD yang akan mengajarkan bahasa daerah tidak memadai sehingga para guru sering bingung, kekurangan sarana dan prasarana di banyak tempat (gedung sekolah dan buku), ketiadaan ejaan baku dalam banyak bahasa daerah, dan ketidakhadiran guru pada jam pengajaran (teacher absenteeism) yang cukup umum terjadi. Namun, kebijakan baru diharuskan untuk semua sekolah.27 Memang masih ada peluang
113
René van den Berg
untuk mengajarkan bahasa daerah di Tok Ples Preschool (pra-sekolah bahasa daerah), tetapi itu merupakan pendidikan non-formal. Boleh dikatakan masa depan bahasa daerah dalam pendidikan di Papua Nugini tidak gemilang. Ada satu hal lagi yang belum disebut, yaitu status keterancaman (endangerment status) bahasa daerah dalm dua negara tersebut. Skala keterancaman yang sering dipakai sekarang disebut EGIDS.28 Tabel 5 memperlihatkan pembagiaan bahasa daerah berdasarkan keterancaman menurut Ethnologue. Tabel 5. Status Keterancaman Bahasa Daerah EGIDS 3 4-5 6a 6b-7 8-9 10
Indonesia29 Papua Nugini30 bersifat kelembagaan (institutional) 21 61 berkembang (developing) 97 295 kuat (vigorous) 248 340 terancam (in trouble) 265 104 menghadapi maut (dying) 75 36 mati / punah (extinct) 13 12 jumlah total 719 848
Dalam grafik di bawah perbedaan antara kedua negara lebih jelas lagi. Indonesia
Papua Nugini
Perlu diingat bahwa angka-angka di atas bersifat tentatif dan sering tidak diperoleh berdasarkan penelitian setempat. Tingkat 6a (kuat), misalnya, adalah pilihan otomatis (default) yang diberikan untuk semua bahasa daerah jika tidak ada informasi mengenai status keterancaman. Jelas bahwa ini merupakan satu asumsi yang perlu disangsikan bila kita melihat pergeseran bahasa daerah di dunia modern. Kami sendiri berpendapat bahwa ada sejumlah besar bahasa daerah yang perlu dipindahkan dari kategori 6a (kuat) ke kategori 6b (dalam keadaan terancam), mungkin sebanyak 20%.
114
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Walaupun mungkin angka-angka ini tidak semuanya tepat, jelaslah bahwa situasi kebahasaan sangat memprihatinkan, terutama di Indonesia, di mana sekurang-kurangnya 265 bahasa daerah (sepertiga dari jumlah total) berada dalam keadaan terancam. Jelas penyebabnya ialah kuatnya Bahasa Indonesia, modernisasi, media massa, perkawinan antarsuku, dan perubahan sikap terhadap bahasa daerah yang sering dianggap kuno. Situasi di Papua Nugini agak lebih baik, walaupun di Provinsi Madang, Sepik, dan Sandaun sudah ada puluhan bahasa daerah yang terancam punah. Keadaan yang rawan ini lebih parah lagi kalau dipikirkan bahwa sebagian besar dari bahasa daerah yang terancam tergolong rumpun bahasa (language families) yang kecil, bahkan isolate (bahasa tanpa kerabat yang terkenal). Setiap bahasa yang punah merupakan kerugian dan kehilangan bagi seluruh umat manusia (lihat juga Evans (2010) dan Hammerström (2010)). PERBANDINGAN DUA BAHASA DAERAH: BAHASA MUNA DAN BAHASA VITU Pendahuluan Dalam bagian ketiga ini akan dibandingkan dua bahasa daerah di Indonesia dan Papua Nugini. Yang pertama ialah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara, yang kedua bahasa Vitu di West New Britain (lihat Peta 1). Walaupun kedua bahasa ini cukup berjauhan, masih ada hubungan kekeluargaan, karena kedua-duanya termasuk rumpun Austronesia (untuk rumpun Austronesia, lihat Blust 2009). Cabangnya dalam rumpun ini memang sangat berbeda, karena bahasa Muna tergolong kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian, sedangkan bahasa Vitu tergolong kelompok Meso-Melanesian dalam cabang Oceanic. Dengan kata lain, mereka masih supupu, tetapi entah sepupu yang keberapa. Data selanjutnya mengenai bahasa Muna diambil dari van den Berg (1989), van den Berg dan La Ode Sidu (2000). Data bahasa Vitu diambil dari van den Berg dan Bachet (2006). Data Proto-Austronesia dari Austronesian Comparative Dictionary (http://www.trussel2.com/ACD/), karangan Robert Blust.
Figur 1. Peta Muna dan Vitu Yang menarik, ada beberapa kata dalam dua bahasa ini yang memang sama dalam bentuk dan arti, karena berasal dari kata induk Proto-Austronesia yang sama.
115
René van den Berg
Muna lima tolu mai foo kuli mata mate moghane robhine ama bhangka no-ghuri ghuse ponu zanga-vulu
Vitu lima tolu mai vao hulit-a mata mate tamohane tavine tama vaga ma-huri huza bonu ompulu
Bahasa Indonesia 1. ‘lima’; 2. ‘tangan’ ‘tiga’ ‘datang’ ‘mangga’ ‘kulit’ ‘mata’ ‘mati’ ‘laki-laki’ ‘perempuan’ ‘ayah’ ‘perahu’ ‘hidup’ ‘hujan’ ‘penyu’ ‘sepuluh’
Bandingkan juga beberapa kata Vitu yang sama dengan bahasa Indonesia, tetapi sangat berbeda dengan bahasa Muna: Vitu ruma zaha (h)iha hanitu lohor-a hizu talinga tangi hinu-mi-a taru
Bahasa Indonesia ‘rumah’ ‘jahat’ ‘ikan’ ‘hantu’ ‘leher’ ‘hidung’ ‘telinga’ ‘tangis’ ‘minum’ ‘taruh’
Sosiolinguistik Tabel 6 memperlihatkan beberapa kesamaan dan perbedaan dalam profil sosiolinguistik kedua bahasa.31 Tabel 6. Profil Sosiolinguistik Muna dan Vitu Muna Vitu lokasi pulau Muna, Sulawesi kepulauan Vitu, West New Tenggara, Indonesia Britain, PNG luasnya daerah 2.889 km2 96 km2 jumlah penutur sekitar 300.00032 sekitar 8.800 variasi dialek banyak (Gu, Lakudo, sedikit (Mudua, Lambe) Mawasangka, Tiworo, Siompu, Kadatua, Katobengke, dll.) agama Islam (98%), Katolik (2%) Katolik (80%), Protestan (20%) tulisan tradisional tidak ada tidak ada tulisan modern abjad Roma abjad Roma dipakai di sekolah sedikit sedikit bahasa pendidikan bahasa Indonesia bahasa Inggris, Tok Pisin
116
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
status EGIDS
6b (terancam; threatened)
kontak langsung dengan dunia modern kata serapan
awal abad ke-20
status dokumentasi adanya buku
ratusan (dari bahasa Melayu) baik (tata bahasa, dua kamus, laman) bahan pelajaran SD dan SMP, buku bacaan
resmi: 4 (educational), kenyataan: antara 6a (kuat; vigorous) dan 6b (terancam; threatened) awal abad ke-20 puluhan (dari Tok Pisin) sedang (tata bahasa, kamus huruf A-H) buku pelajaran
Fonologi Ciri-ciri fonologis yang sama antara bahasa Muna dan bahasa Vitu: o Lima vokal dasar: i,e,a,o,u. o Tidak ada konsonan palatal seperti , , dan <j>. o Ada konsonan frikatif velar/uvular bersuara /ɣ/ ~ /ʁ/, yang dilambangkan dengan dalam Bahasa Muna, dan dengan dalam Bahasa Vitu. (Dipilihnya dalam Bahasa Vitu, karena Vitu tidak mengenal bunyi /h/ biasa.) o Tidak ada gugusan konsonan. o Gugusan vokal cukup umum, seperti Muna daoa ‘pasar’, buea ‘buaya’, dan Vitu kaua ‘anjing’ dan puae ‘malu’. o Suku kata yang terbuka (bahasa vokalis). Tidak ada kata seperti kalam atau karap. o Tekanan kata pada suku yang kedua dari akhirnya (penultimate stress). Ciri-ciri unik pada fonologi Bahasa Vitu: o Ada fonem /ð/ (frikatif dental bersuara, seperti
pada bahasa Inggris there, breathe), yang dilambangkan dengan huruf : zahe ‘naik’, dazi ‘laut’, zuzu ‘buah dada’. o Pranasalisasi terjadi secara otomatis pada fonem /b/, /d/, dan /ɡ/, terutama antara vokal, sehingga diucapkan sebagai [mb], [nd], dan [ŋɡ]. Pranasalisasi ini tidak tertulis. o Fonem /t/ direalisasikan sebagai [tʃ] ( dalam ejaan Indonesia) sebelum vokal /i/, tetapi tetap ditulis dengan : katia [kɑtʃiɑ] ‘membuat’. o Tidak ada fonem /s/ dalam Bahasa Vitu, kecuali dalam beberapa kata serapan dari Tok Pisin, seperti hausik ‘rumah sakit’, krismas ‘tahun’, dan brus ‘tembakau’. Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Vitu bisa dilihat di bawah ini: Ejaan Vitu dazi hizu ngiti vago
Table 7. Contoh Kata Bahasa Vitu FONEMIS Fonetis Makna /dɑði/ /ɣiðu/ /ŋiti/ /βɑɡƆ/
['ndɑði] ['ɣiðu] ['ŋitʃi] ['βɑŋɡƆ]
117
‘laut’ ‘hidung’ ‘tersenyum’ ‘bergalah’
René van den Berg
Ciri-ciri yang unik pada fonologi bahasa Muna: o Pranasalisasi fonemis sangat umum, baik pada awal maupun di tengah kata. Itu menghasilkan tujuh fonem tambahan: /mp, mb, nt, nd, ŋk, ŋɡ, ns/. o Selain /b/ biasa ada juga fonem bilabial implosif /ɓ/, yang dilambangkan sebagai . o Selain /d/ biasa, yang sering diucapkan sebagai implosif [ɗ], ada juga fonem plosif lamino-dental /ḓ/, dilambangkan dengan . Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Muna bisa dilihat di bawah ini: Ejaan
Morfologi Profil morfologis kedua bahasa ini cukup berbeda. Perbandingan morfologi bahasa Muna, bahasa Vitu, dan bahasa Indonesia dapat dilihat di Tabel 9 di bawah ini. Tabel ini hanya memperlihatkan morfologi yang produktif, bukan imbuhan pinjaman (seperti -wati atau -isasi dalam bahasa Indonesia), dan sebuah morfem hanya satu kali dihitung, walaupun artinya berganda, misalnya ter- pada verba (ter-lihat) dan adjektiva (ter-tinggi). Klitika seperti -kah dan -lah dan alomorfi juga tidak diperhitungkan; mem-, meng-, men-, meny- dan me- merupakan satu morfem derivasi saja. Untuk menghindari seluk-beluk analisis morfologis, konfiks seperti ke-…-an juga tidak dimasukkan. Tabel 9. Profil Morfologis Bahasa Vitu, Bahasa Muna, dan Bahasa Indonesia Bahasa Vitu Bahasa Muna Bahasa Indonesia infleksi subjek ya ya infleksi objek ya ya ya infleksi objek indirek ya jumlah awalan infleksi 16 22 2 (ku-, mu-) jumlah akhiran infleksi 14 19 3 (-ku, -mu, -nya) jumlah awalan derivasi 3 32 8 (ber-, per-, ter-, meng-, peng-, di-, ke-, se-) jumlah akhiran derivasi 3 11 3 (-an, -i, -kan) jumlah sisipan 1 reduplikasi 2 jenis 3 jenis 2 jenis pemajemukan ya ya Sudah jelas bahwa dari segi morfologis, Bahasa Munalah yang paling kompleks. Morfologi Bahasa Vitu sebenarnya tidak terlalu luas dan terbatas pada kategori berikut ini: Infleksi subjek pada partikel praverbal kala dan modus: (hau) te mai ‘saya telah datang’, (ho) tu mai ‘anda telah datang’, (ia) ti mai ‘dia telah datang’. Infleksi posesif pada nomina: lima-gu ‘tangan saya’, lima-na ‘tangannya’ (lihat juga di bawah). Akhiran nominalisasi -a (dengan alomorf -nga): lohu ‘tiba’ > lohu-a ‘ketibaan’; pole ‘berkata’ > pole-a ‘perkataan’; gala ‘bekerja’ > gala-nga ‘pekerjaan’.
118
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Akhiran objek: hubi ‘pukul’ > hubi-au ‘pukul saya’, hubi-ho ‘pukul kamu’, hubi-a ‘pukul dia’. Akhiran transitif -Ki (dengan K mewakili konsonan tematis yang selalu diikuti oleh akhiran objek): hinu ‘minum’ > hinu-mi-a ‘meminumnya’; hada ‘lihat’ > hada-vi-a ‘melihatnya’; longo ‘dengar’ > longo-ri-a ‘mendengarkannya’. Awalan kausatif va-: dua ‘jatuh’ > va-dua ‘menjatuhkan’; tunga ‘melihat’ > va-tunga ‘memperlihatkan’. Awalan resiprok (saling) vari-: hani ‘makan’ > vari-hani ‘saling makan, berkelahi’; tangi ‘menangis’ > tangi-zi-a ‘menangisinya’, vari-tangi-zi-a ‘saling menangisi’. Pasif yang dibentuk dengan beraneka cara, termasuk perubahan vokal: hani-a ‘makan dia’ > hanua ‘dimakan’; hubi-a ‘pukul dia’ > hubua ‘dipukul’; maki-a ‘pilih dia’ > makua ‘dipilih’, kade-a ‘belinya’ > kadoa ‘dibeli’. Keberadaan bentuk pasif dalam sebuah bahasa Oseania sangat jarang. Di Papua Nugini hampir tidak ada bahasa daerah dengan bentuk pasif yang murni dan produktif, kecuali Vitu, dan bahasa tetangga di daratan West New Britain, bahasa Bola (lihat van den Berg 2007, dan van den Berg dan Boerger 2011). Selain itu masih ada juga reduplikasi morfemis, yang terjadi dalam bentuk perulangan satu suku dan dua suku: gere ‘main’ > ge-gere ‘main-main’; mia ‘duduk, hidup’ > mi-mia ‘duduk-duduk’; matu ‘mandi’ > matu-matu ‘mandi-mandi’. Makna perulangan sebagian sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Muna, termasuk ‘melakukan berulang kali atau terus-menerus’ dan ‘melakukan tanpa tujuan yang sebenarnya’. Di samping itu, ada juga makna lain seperti mengurangi ketransitifan. Satu proses morfemis yang sangat produktif dalam bahasa Vitu yang tidak terdapat dalam bahasa Muna adalah proses pemajemukan (compounding). Dalam proses ini dua verba (atau satu verba dengan satu adjektiva atau adverbia) digabungkan menjadi satu verba baru, dengan akhiran transitif -Ki yang baru. Beberapa contoh:
‘memukul dia sampai mati’ ‘menaruhnya di bawah’ ‘memakannya sampai habis’
Dibandingkan dengan bahasa Vitu, morfologi bahasa Muna jauh lebih rumit dan kompleks. Infleksi subjek pada verba, misalnya, membedakan tiga kelas (kelas a-, kelas ae-, dan kelas ao-) dengan bentuk realis (untuk masa sekarang dan lampau) dan irealis (untuk masa depan dan sesudah kata ingkar), seperti digambarkan dalam tabel berikut.
Kelas aoREALIS IREALIS aoaoomoomototaononaododaodo-Vmu dao-Vmu taotaoomo-Vmu omo-Vmu to-Vmu tao-Vmu dodao-
René van den Berg
Selain infleksi subjek, masih ada infleksi objek langsung, dan juga infleksi objek tidak langsung (indirek). Beberapa contoh berdasarkan kata dasar kala ‘pergi’ (kelas a-) dan gholi ‘beli’ (kelas ae-). Perhatikan bahwa irealis kelas a- dibentuk dengan sisipan -um- bersama awalan subjek irealis. a-kala a-kala-mo a-kala a-kala-mo do-kala do-kala-amu da-kala-amu ta-kala ae-gholi nae-gholi a-gholi-e a-gholi-angko-e a-gholi-angko-e-mo
‘saya pergi’ ‘saya sudah pergi’ ‘saya akan pergi’ ‘saya sudah mau pergi’ 1. ‘kita (berdua) pergi’ 2. ‘mereka pergi’ ‘kita (semua) pergi’ ‘kita (semua) akan pergi’ 1. ‘kami (akan pergi)’ 2. ‘Bapak/Ibu akan pergi’ ‘saya membeli; saya akan membeli’ ‘dia akan membeli’ ‘saya akan membelinya’ ‘saya akan membelikannya untuk kamu’ ‘saya sudah akan membelikannya untuk kamu’
Pada nomina, turunan nominalisasi sangat produktif. Nominalisasi melalui konfiks ka-...-ha (dan alomorfnya kae-...-ha dan kao-...-ha) bisa berarti tempat, waktu, alat atau sebab satu kegiatan. Satu contoh pada kata dasar mate ‘mati’ dengan beberapa awalan lain: no-mate ka-mate-ha ka-mate-ha-no ka-mate-ha-no-mo feka-mate no-feka-mate no-feka-mate-e no-ti-feka-mate no-piki-feka-mate-e ka-ti-piki-feka-mate-ha-no-mo
‘dia mati’ ‘kematian; tempat/waktu/alat/sebab mati’ ‘kematiannya; tempat/waktu/alat/sebab dia mati’ ‘itulah kematiannya; itulah sebabnya dia mati’ ‘matikan’ ‘dia mematikan, dia membunuh’ ‘dia mematikannya, dia membunuhnya’ ‘dia terbunuh, termatikan’ ‘dia cepat mematikannya’ ‘itulah sebabnya dia cepat dimatikan’
Pada contoh terakhir kelihatan kata dasar mate dengan empat awalan dan tiga akhiran. Hal seperti itu mustahil dalam bahasa Vitu (dan juga dalam bahasa Indonesia!). Sintaksis Dilihat dari segi sintaksis, ada cukup banyak kesamaan antara bahasa Muna dan bahasa Vitu, antara lain: Urutan kata SVO dalam klausa transitif. Urutan kata dalam frasa nominal (kata sandang mendahului nomina, sedangkan adjektiva, kata penunjuk dan frasa posesif mengikuti nomina). Penggunaan sistem realis-irealis pada verba, khususnya penggunaan bentuk irealis dalam konteks pengingkaran. Penggunaan preposisi. Penggunaan kata sandang pada nomina tanpa arti tertentu. Tidak ada verba khusus yang berarti ‘memiliki’ atau ‘mempunyai’, sehingga strategi lain diperlukan untuk mengungkapkan kepunyaan pada tingkat klausa.
120
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Namun, perbedaan sintaktis antara kedua bahasa ini juga cukup menonjol: Urutan kata dalam klausa intransitif pada bahasa Muna memakai VS dan SV; bahasa Vitu hanya memakai SV. Partikel praverbal yang menandai aspek-modus-perturutan (aspect-mood-sequentiality) sangat umum dalam bahasa Vitu; dalam bahasa Muna sistem itu tidak ada. Penggolong bilangan (numeral classifiers) dalam bahasa Muna ada; dalam bahasa Vitu tidak ada. Sistem kata penunjuk bahasa Muna jauh lebih kompleks daripada bahasa Vitu. Penggunaan klausa pasif dalam bahasa Muna terbatas pada klausa relatif; dalam bahasa Vitu klausa pasif tidak mengenal kendala tersebut. Bahasa Muna ada verba keberadaan (existential verb) naandoo ‘ada’; dalam bahasa Vitu tidak ada verba seperti itu. Dalam bagian berikut ini kita akan mengamati dua bidang sintaksis di mana bahasa Muna dan bahasa Vitu agak berbeda. Sistem Posesif Sistem posesif bahasa Muna agak sederhana. Semua nomina bisa diimbuhkan dengan akhiran posesif. Pada Tabel 11 diberikan beberapa contoh, terbatas pada bentuk tunggal.
1 2 2 hor 3
Tabel 11. Sistem Posesif Bahasa Muna lima ‘tangan’ lambu ‘rumah’ kalei ‘pisang’ lima-ku lambu-ku kalei-ku lima-mu lambu-mu kalei-mu lima-nto lambu-nto kalei-nto lima-no lambu-no kalei-no
Sistem posesif bahasa Vitu agak berbeda. Sama dengan hampir semua bahasa Oseania, nomina dipisahkan dalam dua kelompok: nomina yang tak terasingkan (inalienable nouns) dan nomina yang terasingkan (alienable nouns). Perbedaan ini berkaitan dengan hubungan antara si pemilik dan apa yang dimilikinya. Benda yang tidak terasingkan, termasuk istilah kekerabatan dan anggota badan, merupakan milik permanen. Nomina seperti ‘ayah’, ‘kakak’, ‘anak’, ‘kepala’, ‘tangan’, selalu dimiliki, dan (biasanya) tidak bisa dijual, dihabiskan, dihilangkan, dipinjamkan, dibakar dll. Berbeda dengan benda biasa seperti ‘rumah’, ‘mobil’, ‘perahu’, ‘baju’, atau bahan makanan. Semuanya itu merupakan nomina yang terasingkan. Dalam Bahasa Vitu perbedaan ini diwujudkan secara gramatikal. Sama dengan Bahasa Muna, ada akhiran posesif, tetapi akhiran itu hanya bisa digunakan secara langsung pada nomina yang tak terasingkan (inalienable nouns): lima-gu ‘tangan saya’, lima-a ‘tangan anda’, lima-na ‘tangannya.’ Berbeda halnya dengan nomina yang terasingkan; nomina seperti itu memerlukan kata bantu yang umumnya disebut penggolong posesif (possessive classifier). Kata penggolong posesif yang satu berbentuk ka, dan akhiran posesif digabungkan pada kata ka itu. Dalam bahasa Vitu ‘rumah saya’ tidak bisa diterjemahkan sebagai *ruma-gu, karena ruma adalah nomina yang terasingkan. Padanan yang cocok ialah ka-gu ruma, dengan menggunakan kata penggolong posesif ka. Yang menarik lagi, untuk bahan konsumsi (makanan, minimum, obat) dipakai kata penggolong posesif tersendiri, yaitu ha (ucapan [ɣɑ]). Padanan ‘pisang saya’ adalah ha-gu beti, diucap ['ɣɑŋgu 'mbɛtʃi]. Kata penggolong ha juga digunakan untuk benda yang berhubungan dengan pemerolehan makanan seperti vanua ‘kebun’, diaro ‘tombak’, dan hoa ‘jerat’. Selain itu, kata vagi ‘musuh’ yang masuk dalam kategori konsumsi, barangkali mencerminkan praktik kanibalisme pada zaman dahulu. Ketiga metode pembentukan posesif disimpulkan dalam Tabel 12.
121
René van den Berg
Tabel 12. Sistem Posesif Bahasa Vitu Nomina Nomina Nomina Tidak Terasingkan Terasingkan Umum Terasingkan Konsumsi lima ‘tangan’ ruma ‘rumah’ beti ‘pisang’ 1 lima-gu ka-gu ruma ha-gu beti 2 lima-a ka-a ruma ha-a beti 3 lima-na ka-na ruma ha-na beti Peranan Nomina Common dan Proper Baik bahasa Muna maupun bahasa Vitu juga membedakan dua jenis nomina dengan cara lain: nomina umum (common nouns) dan nomina nama (proper nouns). Pada bahasa Muna perbedaan ini hanya kentara pada pilihan kata sandang (article). Nomina umum mengambil kata sandang o (hanya dalam konteks tertentu33), sedangkan nomina nama mengambil kata sandang la (untuk laki-laki) atau wa (untuk perempuan), biasanya ditulis dengan huruf besar. Contohnya terdapat pada Tabel 13. Tabel 13. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Muna nomina umum o lambu ‘rumah’ o bheka ‘kucing’ o mie ‘orang’ nomina nama laki-laki La Ali ‘Ali’ La Ene ‘Ene’ perempuan Wa Ira ‘Ira’ Wa Rumi ‘Rumi’ Kata lahae ‘siapa’ juga mengandung kata sandang la, dibandingkan dengan o hae ‘apa’. Dalam bahasa Vitu ada juga nomina umum dan nomina nama. Namun, kelompok nomina nama jauh lebih luas daripada bahasa Muna. Bukan saja nama pribadi orang yang masuk dalam kelas nomina orang, tetapi juga nama tempat (seperti kota, kampung, pulau, gunung, dan sungai), istilah kekerabatan (misalnya ayah, ibu, anak, paman), pronomina orang (saya, kamu, kita), nama bulan, gelar orang (dokter, pastor, anggota parlemen), dan ─ sama dengan Muna ─ kata zei ‘siapa’. Perbedaan antara kedua kelompok nomina muncul dari kelakuan kelompok masingmasing dalam lima konteks tertentu. 1) Pemilihan kata sandang: na (nomina umum) atau a (nomina nama); 2) bentuk kata depan yang berarti ‘kepada’: kara (umum) atau kiri (nama); 3) bentuk pemilik yang tak terasingkan (kalau diikuti oleh nomina), -na (umum) atau -ni (nama); 4) bentuk pemilik yang terasingkan umum (kalau diikuti oleh nomina): ka-na (umum) atau ke (nama); 5) bentuk pemilik yang terasingkan untuk bahan konsumsi (kalau diikuti oleh nomina): ha-na (umum) atau he (nama). Contoh kelima kategori ini dipaparkan dalam Tabel 14.
1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 14. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Vitu nomina umum nomina nama (common nouns) (proper nouns) Kata sandang na ruma ‘rumah’ a Kuni ‘Kuni’ Kata depan kara ruma kiri Kuni ‘kepada rumah’ ‘kepada Kuni’ Pemilik yang tak terasingkan kabe-na kaua kabe-ni tama-gu ‘kaki anjing’ ‘kaki ayah saya’ Pemilik yang terasingkan umum ruma ka-na kaua ruma ke tama-gu ‘rumah anjing’ ‘rumah ayah saya’ Pemilik yang terasingkan konsumsi beti ha-na kapiru beti he tama-gu ‘pisang anak-anak’ ‘pisang ayah saya’
122
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Perbendaharaan Kata Perbendaharaan kata kedua bahasa ini mencerminkan sejarah kedua pulau ini. Misalnya, setelah kedatangan jagung di Pulau Muna pada abad ke-16 atau ke-17 yang dibawa oleh orang Portugis dan Spanyol, lama kelamaan jagung menjadi pokok makanan di Muna. Tanah yang kering dan berkapur di Pulau Muna lebih cocok untuk menanam jagung daripada padi. Terkait dengan keadaan kehidupan perkebunan yang seperti ini, muncullah puluhan kosakata yang berkaitan dengan pertumbuhan, produksi, dan konsumsi jagung, sebagaimana yang dapat dilihat pada contoh-contoh berikut. kahitela
jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis Castela, nama daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar abad ke-10 sampai ke-18; bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang sama, walaupun merujuk pada ubi] jagung yang direbus jagung yang direbus pakai kapur (sehingga kulit biji yang keras hilang) jagung (muda) yang dimasak dengan kulitnya (ujung atas dan bawah dipotong, kulit luar sebagian dikeluarkan) jagung yang dimasak buahnya tanpa kulit bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung pembungkus (kulit jagung) dilipat dan ditusuk ke dalam buah jagung yang berukuran di bawah sedang tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai gadis tua buah jagung yang isinya tersembul dari kulit mengeluarkan kulit jagung dengan pisau (untuk pembungkus) sejenis jagung yang bijinya berwarna ungu jamur (pada jagung)
Pengaruh luar yang lain adalah masuknya Islam di Pulau Muna pada abad yang ke-16 yang juga membawa banyak kata baru dari bahasa Arab melalui bahasa Melayu, seperti adhala ‘ajal’, adhamu ‘adam, tanah’ (dalam arti asal manusia), barakati ‘berkat’, bharasandi ‘barzanji’, malaekati ‘malaikat’ dan puluhan lain. Pemerintahan kolonial Belanda menduduki Pulau Muna pada tahun 1906, tetapi jauh sebelumnya sudah ada pengaruh kuat dari bahasa Melayu, bahasa Wolio (bahasa resmi di kesultanan Buton), dan bahasa Makassar. Karena bahasa Melayu sendiri sudah penuh dengan kata serapan dari bahasa asing, maka dalam bahasa Munapun kelihatan banyak kosakata yang dipinjam dari bahasa asing. Hanya beberapa contoh bisa diberikan di sini. Etimologinya sebagian diambil dari Jones (2007). bhadhu bhitara butolo dhampi dhanila faberiki gambara malaekati mansuana (bughou)
‘baju’ ‘hakimi, adili’ ‘botol’ ‘kuda putih atau kuning’ ‘jendela di loteng’ ‘pabrik’ ‘gambar’ ‘malaikat’ ‘pengantin’
(< bahasa Persia bāzū) (< bahasa Sanskerta vicāra) (< bahasa Inggris bottle) (< bahasa Makassar jampi) (< bahasa Portugis janella) (< bahasa Belanda fabriek) (< bahasa Melayu gambar) (< bahasa Arab malā’ikat) (< bahasa Wolio mancuana)
Situasi bahasa Vitu agak berbeda karena pulau ini cukup terisolir, sehingga kontak dengan dunia luar agak terbatas. Memang ada perdagangan dengan orang Kove di pantai West New Britain, dan ada beberapa kata serapan dalam bahasa Vitu dari bahasa sekitarnya, termasuk mon ‘perahu lesung (tanpa cadik)’ dan sia ‘jenis tarian’. Namun, jumlah kata serapan itu sangat terbatas dan baru dengan kedatangan zaman kolonial pada awal abad ke-20 ada pengaruh dari
123
René van den Berg
luar, sehingga kata-kata Tok Pisin masuk bahasa Vitu, seperti baket ‘ember’ (< Tok Pisin baket < bucket), botole ‘botol’, gumi ‘karet’ (< TP gumi < Jerman Gummi), haine ‘tombak dengan ujung besi’ (< Tok Pisin ain < iron ‘besi’), naipe ‘pisau’ (
124
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 1991). Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapi sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode Sirad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini), maka ini berarti bahwa bahasa Muna dengan jumlah penutur sekitar 300.000, betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat. Apakah arah itu masih bisa berubah? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. SARAN Makalah ini diakhiri dengan tiga saran. 1. Melihat rawannya situasi bahasa daerah di Indonesia dan di Papua Nugini, setiap ahli bahasa sebenarnya wajib terlibat dalam kegiatan pendokumentasian dan pelestarian salah satu bahasa daerah. Pada abad ke-21, sudah tidak pantas lagi kalau seorang ahli bahasa bekerja saja dalam kantor dan hanya meneliti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau Tok Pisin. Kita harus turun ke kampung. Jangan sampai dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun, objek penelitian kita hilang tanpa bekas. 2. Sebaiknya ada tekanan pada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memasukkan bahasa dan budaya dalam muatan lokal secara konsisten. Jelas harus ada sarana (kurikulum, buku pelajaran, pedoman guru), tetapi harus didampingi dengan pendidikan guru bahasa daerah yang bermutu. Sejauh pengetahuan kami, pendidikan guru bahasa daerah belum digalakkan di banyak daerah di Indonesia. 3. Kedwibahasaan atau ketribahasaan perlu diteladani oleh kaum cendekiawan di Indonesia dan PNG. Itu berarti menggunakan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia, dan bahasa Inggris, Tok Pisin dan bahasa daerah di PNG. Terutama dalam situasi pergaulan di rumah, bahasa daerah perlu dipertahankan. Selain efek didik pada anak-anak, ada bukti bahwa menguasai lebih dari satu bahasa ada efek positif pada otak manusia, sehingga memperlambat mulainya demensia dan membuat manusia lebih sosial dan efisien menjalankan tugasnya.35 CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
125
René van den Berg
1
Karangan ini adalah adaptasi dari makalah yang dibawa pada Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22 Februari 2014. Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia KIMLI yang mengundang saya, rekan-rekan di Indonesia, dan di PNG yang memberikan masukan, para peserta KIMLI yang memberikan tanggapan, dan Tiar Adams yang memperbaiki bahasa Indonesia saya. 2
Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue.com/world, diakses pada 13-1-2014.
3
Hanya bahasa pribumi (indigenous languages) terhitung. Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue. com/world, diakses pada 13-1-2014. 4
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
5
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
6
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
7
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
8
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
9
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Definisi literasi: yang berumur 15 tahun ke atas dan mampu membaca dan menulis. 10
Angka resmi ini sudah pasti terlalu tinggi. Penelitian yang serius dan teliti oleh ASPBAE (Asia South Pacific Association for Basic and Adult Education) dan PEAN (PNG Education Advocacy Network) pada tahun 2011 melaporkan bahwa literasi untuk lima provinsi yang disurvei cuma sekitar 15%. Pada Provinsi Gulf jumlah orang yang melek huruf hanya 4%. (Sumber: The National. 15 September 2011.) 11
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Lamanya pendidikan berarti: jumlah tahun pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dibagi rata. 12
Data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/wiki/Religion _in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014. 13
Data dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_surat_kabar_di_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/ wiki/List_of_newspapers_in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014. 14
Nomor satu adalah tambang Grasberg (milik Freeport) di Papua, Indonesia. Nomor dua South Deep di Afrika Selatan. Data dari http://www.mining.com/web/worlds-top-10-gold-deposits/. Diakses pada 30-122013. 15
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia. Diakses pada 4 Januari 2014.
18
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_newspapers_in_Indonesia (diakses pada 4 Januari 2014) mencatat 36 harian di daerah (seperti Bali Post dan Manado Post), tetapi jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar. Surat kabar dari Sulawesi saja yang tidak disebut termasuk Fajar (di Makassar), Kendari Pos, Kendari Ekspres dan Radar Buton. 19
Angka ini diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Tok_Pisin/, diakses pada 4-1-2014.
20
Setahu kami, belum ada penjelasan yang memadai mengenai perubahan bunyi (parit > barit, bambu > mambu) dan perubahan makna kata binatang (dari ‘binatang’ menjadi ‘serangga’; bandingkan perubahan makna yang mirip dalam bahasa Inggris dari creature ‘mahluk’ ke critter yang berarti ‘serangga’ dalam dialek tertentu di Amerika Serikat). 21
Sumber informasi asal kata ini Mihalic (1971). Kata lain yang menurut Mihalic diambil dari Melayu adalah amamas ‘senang, gembira’, kaskas ‘kudis’, kuskus ‘kuskus’, tandok ‘tanda/sirene untuk mulai dan/atau berhenti bekerja’, tetapi kami rasa setiap kata ada masalahnya. Pada kata yati ‘jati’ Mihalic tidak memberikan kode Mal (= Malay, Melayu). 22
Jumlah tepat berbeda menurut analisis diftong dan dialek yang dianalisis.
23
Angka ini berdasarkan kamus Mihalic (1971), yang rata-rata ada 13 entri pada sepuluh halaman pertama. Dengan 152 halaman jumlah total mendekati 2.000. Banyak kata yang termuat dalam kamus Mihalic tidak lazim dipakai lagi.
126
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
24
Angka ini berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama) yang rata-rata ada 35 entri (kata dasar) pada sepuluh halaman pertama. Dengan 1018 halaman jumlah total melebihi 35.000. 25
Tiga kata pertama diambil dari Mihalic (1971), di bawah lema widow (janda), upside down (terbalik) dan tunnel (terowongan). Dua kata yang terakhir diambil dari Volker dkk. Tok Pisin - English dictionary (2008) di bawah lema evidence (bukti) dan consequence (akibat). 26
Data untuk PNG dari Ethnologue, untuk Indonesia dari http://en.wikipedia.org/wiki/Languages_of _Indonesia 27
Walaupun demikian, ternyata tidak semua daerah langsung menerapkan kebijakan baru ini. Selama satu kunjungan pada distrik Pomio di Provinsi East New Britain pada bulan Mei 2014, kami mendapatkan beberapa Elementary School yang tetap mengajarkan bahasa daerah Mengen. 28
http://www.ethnologue.com/about/language-status, diakses pada 13-1-2014. Skala EGIDS sebenarnya ada 10 tingkat yang terpisah, tetapi dalam tabel 5 beberapa tingkat dipersatukan. 29
http://www.ethnologue.com/country/ID, diakses pada 30-12-2013.
30
http://www.ethnologue.com/country/PG, diakses pada 30-12-2013.
31
Data mengenai Vitu sebagian besar berasal dari Peter Bachet, anggota SIL yang sudah lama bekerja di Vitu, melalui komunikasi pribadi. 32
Angka ini perkiraan saja berdasarkan jumlah penduduk di Kabupaten Muna, tetapi tidak berdasarkan sensus resmi atau penelitian yang mendalam. Jumlah penutur bahasa Muna sangat sulit ditetapkan dengan seksama, berhubungan dengan pergeseran bahasa Muna, sehingga makin banyak orang dari suku Muna tidak lagi menguasai bahasa Muna. Selain itu, ada banyak penutur Muna di luar Kabupaten Muna, termasuk penutur dialek Muna Selatan di Kabupaten Buton (baik di Pulau Muna sendiri maupun di Pulau Buton), dan ribuan orang Muna yang menetap di Kendari. 33
Distribusi kata sandang o dalam bahasa Muna cukup rumit. Selain faktor nomina umum, masih ada faktor lain, terutama faktor sintaksis dan faktor prosodi (lihat van den Berg 2011). 34
Informasi lebih lanjut mengenai Adriani bisa diperoleh dalam van den Berg (2009) dan referensi di sana. 35
REFERENCES Adelaar, Karl A. 2004. “Where does Malay come from? Twenty years of discussions about homeland, migrations and classifications.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 160/1:1-30. Adelaar, Karl A. dan David J. Prentice. 1996. “Malay, its history, role and spread.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (eds), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 673-693. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Adriani, Nicolaus dan Albertus C. Kruyt, 1914. De Bare’e-sprekende Toradja’s van MiddenCelebes. Vol 3: Taal- en letterkundige schets der Bare’e taal en overzicht van het taalgebied: Celebes - Zuid-Halmahera. Batavia: Landsdrukkerij. Atakasi, Lukas. 1991. Kadadihi ne witeno Wuna. Raha: Tim Penelitian dan Pengembangan Bahasa Muna. Baker, Philip. 1996. “Productive fellow.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (Eds.), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 533-536. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Blust, Robert. 2009. The Austronesian Languages. Canberra: Pacific Linguistics.
127
René van den Berg
Brown, Cecil.H. 1983. “Where do cardinal directions come from?” Anthropological Linguistics 25:121-161. Dutton, Tom. 1985. Police Motu: Iena Sivarai (its story). Port Moresby: University of Papua New Guinea Press. Dutton, Tom. 1996. “Hiri Motu.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (Eds.), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 225-232. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Evans, Nicholas. 2010. Dying words. Endangered languages and what they have to tell us. Oxford: Blackwell. Hammerström, Harald. 2010. “The status of the least documented language families in the world.” Language Documentation and Conservation 4: 177-212. Hanafi. 1968. Hubungan kata ganti orang dengan kata kerdja dalam bahasa Muna, ditindjau dari segi linguistik deskriptif. [Skripsi IKIP Makassar yang tidak diterbitkan.] Hanafi, La Mokui, La Dame, La Kimi Batoa, La Ode Sidu. 1991. Pedoman Ejaan Bahasa Daerah Muna dan beberapa contoh sastra Muna. Raha: Tim Penelitian dan Pengembangan Bahasa Muna. Jones, Russell. (ed) 2007. Loan-words in Indonesian and Malay. Compiled by the Indonesian Etymological Project. Leiden: KITLV Press. La Mokui. 1991. Kabhanti Wuna. Pantun Muna. Raha: Astri. La Mokui dan La Kimi Batoa. 1991. Wata-watangke Wuna. Teka-teki Muna. Muna Riddles. Ujung Pandang: Program kerjasama UNHAS-SIL. La Mokui dan René van den Berg. 2008a. Maimo dopogurumana wamba Wuna! Metode baru pengajaran bahasa Muna untuk SMP. Raha. La Mokui dan René van den Berg. 2008b. Pedoman Guru untuk buku pelajaran Maimo dopogurumana wamba Wuna! Metode baru pengajaran bahasa Muna untuk SMP. Raha. La Ode Sidu. 1994. O Wamba Wuna. Kapoguruha ne SD. [Tanpa tempat terbitan.] La Ode Sidu. 2003. Pronomina Persona Bahasa Muna. Satu Kajian Sintaksis dan Semantik. Personal pronouns of the Muna language. An approach to Syntax and Semantics. [Disertasi yang tidak diterbitkan, Universitas Padjadjaran, Bandung.] La Ode Sirad Imbo, 2012. Kamus Bahasa Indonesia - Muna. Wamba Malau Do Wamba Wunaane. Kendari: Unhalu Press. La Sinenda. 2002. Tata Bahasa Daerah Muna. Raha: Pendidikan Nasional Kabupaten Muna. La Tia, dkk. Struktur Bahasa Muna untuk SLTP. [Tanpa tahun dan tempat terbitan.] Mihalic, Francis. 1971. The Jacaranda Dictionary and Grammar of Melanesian Pidgin. Papua New Guinea: Jacaranda Press. Mosel, Ulrike. 1980. Tolai and Tok Pisin: The influence of the substratum on the development of New Guinea Pidgin. Canberra: Pacific Linguistics. Mühlhäusler, Peter. 1979. Growth and Structure of the Lexicon of New Guinea Pidgin. Canberra: Pacific Linguistics.
128
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Seiler, Walter. 1982. “The spread of Malay to Kaiser-Wilhelmsland”. Dalam: R. Carle dkk (Eds.). Gava’. Studies in Austronesian Languages and Cultures, dedicated to Hans Kähler, 67-85. Berlin: Reimer. Seiler, Walter. 1983. “The lost Malay language of Papua New Guinea.” NUSA 17: 62-75. Sollewijn Gelpke, Johan H.F. 1993. “On the origin of the name Papua.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149: 318-332. Thomas, Dicks R., T.R. Andi Lolo dan Nico Jakarimilena. 1997. Trilingual Dictionary Tok Pisin - English - Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. van den Berg, René. 1989. A grammar of the Muna language. Dordrecht/Providence: Foris. http://www.sil.org/resources/publications/entry/52170. van den Berg, René. 2007. “An unusual passive in Western Oceanic: the case of Vitu.” Oceanic Linguistics 46:54-70. van den Berg, René. 2009. “Nicolaus Adriani.” Dalam: H. Stammerjohann (ed.) Lexicon Grammaticorum. A Bio-Bibliographical Companion to the History of Linguistics., 2nd edition, 13-14. Tübingen: Niemeyer. van den Berg, René. 2011. “Elusive articles in Sulawesi: between syntax and prosody.” Dalam: J.-O. Svantesson, N. Burenhult, A. Holmer, A. Karlsson dan H. Lundström (eds) Language Documentation and Description Volume 10. 208-227. London: School of Oriental and African Studies. van den Berg, René in collaboration with La Ode Sidu. 1996. Muna ─ English dictionary. Leiden: KITLV Press. van den Berg, René dan Brenda H. Boerger. 2011. “A Proto-Oceanic passive? Evidence from Bola and Natügu.” Oceanic Linguistics 50: 226-251. van den Berg, René dan La Ode Sidu. 2000. Kamus Muna-Indonesia. Kupang: Artha Wacana Press. [Cetakan kedua 2013. Yogyakarta: Pustaka Puitika.] van den Berg, René dan Pete Bachet. 2006. Vitu Grammar Sketch. Data Papers on Papua New Guinea Languages, volume 51. Ukarumpa: SIL. van den Berg, René, Vena Ereliu, Leni Ereliu dan Pol Komoe. 2011. Vitu-English Dictionary A-K. http://www.sil.org/pacific/png/abstract.asp?id=928474543521 (diakses pada 13 Januari 2014). Volker, Craig Allan. (ed). 2008. Tok Pisin ─ English dictionary. Victoria: Oxford University Press. Verhaar, John W.M. 1995. Toward a Reference Grammar of Tok Pisin: An Experiment in Corpus Linguistics. Oceanic Linguistics Special Publication No. 26. Honolulu: University of Hawai’i Press. Wroge, Diane. 2002. “Papua New Guinea’s Vernacular Language Preschool Programme.” http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001373/137383e.pdf (diakses pada 10 Januari 2014).