Mahasiswa FK Juara Dua Lomba Mural Nasional UNAIR NEWS – Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga juga bisa beradu kreativitas dalam kompetisi seni. Buktinya, ketiga mahasiswa Program Studi S-1 Pendidikan Dokter ini berhasil memenangkan kompetisi seni mural di Jakarta. Pada bulan April lalu, ketiga mahasiswa tahun angkatan 2014 yang meraih juara II kompetisi mural tingkat nasional adalah Estya Nadya Meitavany, Emildha Dwi Agustina, serta Shabrina Noor Rachmi. Mereka berhasil memboyong gelar juara tersebut usai mengikuti kompetisi yang diselenggarakan Liga Medika FK Universitas Indonesia di Gedung Kesenian Nyi Ageng Serang, Jakarta. Bermula dari keisengan, ketiganya menjajal keberanian mengikuti kompetisi tersebut. Meski sama-sama belum pernah membuat lukisan mural, namun ketiganya sepakat untuk menampilkan karya mereka dan beradu dengan para kompetitor dari Universitas lain di Indonesia. Sejak kecil, ketiganya hobi menggambar dan mewarnai. Tak jarang mereka juga mengikuti berbagai kompetisi menggambar semasa duduk di bangku sekolah TK maupun SD. Itu artinya, mereka sudah punya modal kepercayaan diri untuk menampilkan karya mereka sendiri di depan khalayak sehingga tidak sulit bagi mereka untuk mengekspresikan buah pikirannya di atas kanvas. Ketiganya berkolaborasi memadukan kreativitas dalam satu media kanvas, bersama menciptakan karya mural beraliran ekspresionisme. ”Waktu itu kami sepakat membuat karya yang secara implisit
dapat menjelaskan tentang bahaya narkoba. Tak disangka, ternyata karya mural pertama kami ini langsung dapat juara dua,” ungkap Estya. Pengalaman pertama membuat mural membawa tantangan tersendiri bagi ketiga dara ini. “Sebelumnya kita lebih terbiasa menggambar atau melukis pada media yang lebih sederhana. Namun berbeda ketika kami melukis mural, media lukisnya lebih besar, lebih susah, tapi lebih seru,” ujar Shabrina. Baik estya, Emildha maupun Shabrina, keikutsertaan dalam kompetisi ini mereka jadikan sebagai ajang mengekspresikan diri. Mereka lega karena punya wadah untuk menyalurkan imajinasi dan kreativitas. Sayangnya, belum banyak komunitas yang menampung kreativitas seperti yang mereka minati. “Belum ada komunitas mural atau seni lukis di FK UNAIR, kami berharap suatu saat nanti ada. Kalaupun UNAIR punya, kami antusias sekali ingin bergabung,” kata Emildha bersemangat. Seni Mural merupakan salah satu wujud gambar yang cukup populer sebagai media untuk untuk mengekspresikan buah pikiran maupun gagasan dalam bentuk gambar pada bidang permanen seperti tembok, dinding dan sejenisnya. Peminat seni mural di kalangan mahasiswa, khususnya kedokteran memang tidak begitu banyak. Namun, bagi pecinta seni gambar seperti halnya Estya, Emildha maupun Shabrina, bakat dan kesenangan semacam itu perlu mendapat ruang, bila perlu difasilitasi. Ketiganya berharap ada lebih banyak lagi kompetisi semacam ini, sehingga membuka kesempatan bagi mahasiswa kedokteran yang berjiwa seni untuk berkarya. “Semoga karya seni kami bisa terapresiasi dan diterima
masyarakat. Dan minat seni para mahasiswa dapat terfasilitasi melalui komunitas, karena sebenarnya di FK sendiri tidak sedikit lho mahasiswanya yang berjiwa seni,” ungkap Emildha. Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
Dokter Anak Tangani Puluhan Kasus Bibir Sumbing di Myanmar UNAIR NEWS – Bekerja sebagai relawan telah menjadi bagian hidup Dr. Irwanto, dr., Sp.A (K). Hatinya tergerak untuk menjadi relawan di negara-negara lain. Di bulan Februari 2017, ratusan kilometer ditempuh dokter Irwanto demi menjumpai bocah-bocah penderita bibir sumbing di Myanmar. Dengan niatan membantu meringankan penderitaan para bocah di sana, dokter Irwanto tergerak menjadi relawan di negeri orang. Tanpa pikir panjang, dokter Irwanto memutuskan untuk menerima tawaran jadi relawan kegiatan pengabdian masyarakat berupa operasi bibir sumbing gratis yang didanai oleh Smile Asia dan the Kanbawza’s Bright Future Myanmar Foundation (BFM). Dokter Irwanto merupakan satu-satunya dokter spesialis anak dari Indonesia yang bergabung bersama yayasan yang menangani anak-anak penderita bibir sumbing. Bersama 30 tenaga medis lainnya, dokter Irwanto bergabung dengan perawat, dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi dari sejumlah negara seperti Amerika, Tiongkok, Jepang, Korea, Singapura dan
Filiphina. Selama sepekan di sana, mereka menggelar kegiatan pengabdian masyarakat, yakni mengoperasi sebanyak 85 anak penderita bibir sumbing di Women and Children’s Special Hospital in Taunggyi, Shan State, Myanmar. Pasien anak-anak penderita bibir sumbing ini berasal dari ratusan etnik, seperti Shan, Pao, Kayah, Kayan, Larhu, Danu, Palaung, Kachin dan Bamar. Sebagai dokter anak satu-satunya disana, dokter Irwanto bertugas mempersiapkan kondisi fisik pasien seperti menyaring pasien yang layak dioperasi, sekaligus bertanggung jawab atas proses pengobatan pascaoperasi. “Awalnya ada lebih dari 100 anak yang terdaftar, namun setelah saya screening, yang layak dilakukan operasi hanya 85 anak,” ungkapnya. Menurutnya, tidak semua pasien bibir sumbing siap dioperasi pada saat itu. Ada sejumlah anak yang kondisi hemoglobinnya kurang mencukupi maupun dalam kondisi sakit. Angka prevalensi bibir sumbing di Myanmar ternyata lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Kasus bibir sumbing terjadi per satu orang setiap 800 hingga 1.000 kelahiran. Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi anak bibir sumbing usia 24-59 bulan adalah 0,08 persen dari 0,53 persen anak dengan kelainan bawaan di Indonesia. Selain di Myanmar, dokter Irwanto memiliki pengalaman lain saat menjadi relawan di di Jepang tahun 2013. Saat itu, pria kelahiran 27 Februari 1967 ini bekerjasama dengan Universitas Kobe mengadakan penyuluhan penanganan korban gempa untuk anakanak disabilitas. Menjadi relawan memberinya banyak pengalaman berharga. Salah satu yang berkesan di antaranya adalah menjaga kekompakan dan semangat selama menangani puluhan pasien dalam hitungan hari.
“Cara kerja mereka yang membuat saya terkesan,” ungkapnya. Penerima penghargaan Global Travel Award oleh Bill and Melinda Gates tahun 2015 bahkan akan menjalani hari-hari sebagai relawan di India pada Desember 2017 mendatang. “Itu artinya kompetensi kami sebagai dokter Indonesia diakui negara lain. Ini bukan hal yang mudah, karena harus memenuhi kualifikasi yang cukup ketat,” ungkap wisudawan terbaik UNAIR tahun 2013 ini. Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S