Juara 1 Lomba Cerpen LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 Gelang untuk Ibu Guru Najwa Oleh: Diyan Alfiyana Rahma
Najwa Sihab. Orang biasa menyapaku Najwa. Sudah lebih dari satu bulan ini aku menjalani salah satu kewajibanku sebagai mahasiswa S1 semester akhir progam studi PGSD di universitas ternama di kota Surakarta ini. UNS. Senja ini senja terakhir yang dapat kunikmati. Goresan jingga ini menenangkan hatiku yang terasa berat. Esok hari aku dan rombongan harus meninggalkan desa dan masyarakatnya yang telah memberi banyak arti kehidupan bagiku. Memberi banyak pelajaran bagi seorang anak pengusaha yang sama sekali tak pernah bersinggungan dengan kemiskinan, kesederhanaan, dan serba keterbatasan. Panorama desa ini tak pernah membosankan untuk dinikmati. Selalu saja nampak indah. Kali ini aku telah sepenuhnya ikhlas menerima penempatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa terpencil ini. Telah kutinggalkan penyesalanku ketika pertama kali menginjakkan kaki di belahan desa ini, Pecaron. Sebuah desa terpencil pantai selatan Pulau Jawa. Desa ini indah oleh barisan pegunungan yang menghijau dan pantai bertabur pasir hitam mengkilatnya yang menawan. Jajaran batu karang di baratnya menambah pesona alam ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna. “Aku nggak nyangka sudah 35 hari. Rasanya baru kemarin aku ngomel-ngomel nggak terima karena harus KKN di tempat terpencil dan jauh dari fasilitas kota yang modern,” Ada bisikan lembut di hati kecil yang menuntutku untuk tetap tinggal. “Iya, Wa. Aku pun begitu. Tiga puluh lima hari yang berarti bagi kita,” Chika, teman satu KKN ku menimpali. “Aku nyesel banget waktu itu aku marah-marah nggak jelas dan jutek sama semua orang. Abisnya aku shock dengan kondisi serba kekurangan di desa ini,” aku melanjutkan. “Kamu sih. Tapi maklum juga sih, Najwa Shihab si anak pengusaha mana mungkin pernah ngerasain kondisi susah kayak gini. Tapi sudahlah,
Juara 1 Lomba Cerpen LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 toh sekarang hatimu terbuka dengan mereka. Mereka pun memaklumi dan memaafkan. Bahkan anak-anak SD Pecaron itu paling nyaman jika kamu yang jadi guru sekaligus teman bermain mereka,” kembali Chika menyahut. Memang benar. Ketika baru saja tiba di desa ini dan ku lihat smartphoneku, sama sekali tak ada sinyal. Otomatis, terputus semua komunikasi. Pun ketika tiba di rumah yang jadi tempat tinggal selama KKN. Rumah berdinding batu bata dan berlantaikan semen kasar. Sungguh terlihat kusam. Namun rumah ini memang rumah yang paling layak di banding rumah penduduk lain yang hanya berdinding bilik bambu dan berlantaikan tanah. Belum lagi kamar mandi luar rumah berpintu seng dan beratapkan genteng usang yang terkadang bocor ketika hujan. Kami harus terlebih dahulu menimba dari sumur sedalam kurang lebih 1,5 meter setiap kali membutuhkan air. Tak berhenti di sini. Esoknya ketika serangkaian proses ramah tamah di kantor kepala desa berakhir, kami diantar ke sebuah sekolah dasar yang cukup memprihatinkan. Terdapat papan kayu bertuliskan Sekolah Dasar Pecaron dibagian depan bangunan sederhana ini. Sekolah dasar ini hanya terdiri dari 4 ruang saja. Tiga digunakan sebagai ruang kelas dan yang satu sebagai ruang kepala sekolah, ruang guru, sekaligus ruang tamu. Tembok warna putih kusam, atap tanpa eternit, dan meja kursi yang sudah terlalu tua namun mau tak mau harus tetap digunakan. Sekolah ini menerapkan kelas pagi dan kelas siang. Hal tersebut tak lain disebabkan karena terbatasnya ruang kelas dan guru yang mengajar. Hanya terdapat tiga guru. Satu merangkap sebagai kepala sekolah. Masih dalam jadwal kelas pagi ketika kami datang. Ruang kelas itu diisi oleh murid kelas satu, dua, dan tiga, yang masing-masing berjumlah 10, 15, dan 7 anak. Tergolong jumlah yang minimalis. Aku mendapat bagian mengajar kelas tiga. Kupandangi wajah-wajah polos itu lekat-lekat. Pakaian mereka seragam seadanya. Lima orang tampak bersepatu, sisanya memakai sandal japit. Mereka sangat berbeda dengan murid SD seumuran mereka yang biasa kutemui di Solo.
Juara 1 Lomba Cerpen LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 Pertemuan pertamaku dengan mereka tak terlalu baik. Mungkin karena aku harus terlebih dahulu beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Bagi mereka, mungkin aku seorang guru jutek. Aku memang sedikit gemas ketika tak satupun dari mereka bisa menyayikan lagu sesederhana garuda pancasila. Kegemasanku bertambah ketika kuperintahkan mereka menulis nama lengkap di selembar kertas yang kuberikan dan hanya beberapa orang saja yang bisa menuliskannya secara benar. Ternyata tak sedikit dari mereka yang masih kesulitan dalam membaca dan menulis. Butuh kerja ekstra. Seminggu beradaptasi kiranya cukup. Minggu kedua setidaknya berjalan lebih baik. Aku sudah lebih bisa menguasai diri pun juga menguasai mereka murid-murid baruku. Sebenarnya mereka pintar dan asyik. Lama kelamaan aku menikmati kebersamaanku dengan mereka. Belajar, bermain, dan bercerita. Mereka tampaknya juga senang bisa belajar bersamaku. “Ibu guru Najwa, Aku ingin diajari tepuk-tepuk lagi. Ayo kita main tepuk-tepuk lagi,” kata Siti, salah satu murid kelas tiga. Ia termasuk murid yang paling antusias, semangat, dan pintar. “Iya Bu, Iya Bu, Ayo kita main tepuk-tepuk. Menyanyi juga boleh,” sambung Dani, muridku yang lain di ikuti dengan sorakan setuju seisi kelas. Jadilah aku mengajarkan satu tepuk lagi kepada mereka. Kuberi judul tepuk semangat. setelah itu aku mengajari mereka lagu baru. Lagu berjudul kicau burung. Senang rasanya mengajar mereka dan melihat mereka tertawa dan bahagia. Semangat mereka untuk belajar membakar semangatku untuk mengajarkan lebih banyak hal. Ah, kalian murid-murid terhebat yang pernah kutemui. Hari-hariku di Desa ini berjalan cepat sepertinya. Hingga tak terasa 35 hari benar-benar hampir tuntas kita lewati. Esok akan ada upacara perpisahan bagi kami dan rombongan. Ini terasa memberatkan. **** Sepertinya matahari datang tepat waktu hari ini. Pagi telah datang. Perpisahan di depan mata. Semua barang selesai ku kemas. Aku telah
Juara 1 Lomba Cerpen LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 menyiapkan kenang-kenangan kecil yang ku bawa dari kota. Sepuluh buku bacaan anak untuk SD Pecaron dan alat tulis untuk masing-masing muridku. Sesegera kami menuju lokasi diselenggarakannya perpisahan. Semua sudah berkumpul. Upacara berlangsung baik. Ketika sampai pada penyampaian ucapan perpisahan dari kepala sekolah dan masing-masing kami, air mata mulai berjatuhan. Pun dengan air mataku yang tiba-tiba saja meluncur membasahi pipi. Berat ternyata meninggalkan mereka yang dalam keterbatasannya tetap pantang menyerah dalam menuntut ilmu. Sungguh, kalian mengajariku banyak hal. Kalian murid-murid luar biasa. Setelah upacara formal itu berakhir. Aku menghampiri murid luar biasaku. Ku peluk mereka satu persatu. Cairan bening ini lagi-lagi turun tanpa kendali. “Ibu Guru Najwa, terima kasih ya. Ibu baik sekali mau mengajari kita bernyayi dan belajar. Siti dan teman-teman senang sekali satu bulan ini. Sayangnya Ibu sudah harus kembali. Ibu nggak boleh nangis lho. Ibu guru kan udah gede, masak nangis?” “Ibu terharu. Ibu juga senag sekali bisa bertemu kalian. Belajar bersama kalian. Kalian tetap semangat ya? Belajar yang rajin. Katanya ingin jadi guru, dokter, dan tentara?” “Iya Ibu guru Najwa. Kami janji. Oh iya, ini kami ada sesuatu untuk Ibu guru Najwa. Tapi dibukanya nanti saja ya kalau Ibu Guru sudah sampai,” giliran Dani yang angkat bicara seraya memberikan kotak berbungkus kertas koran. “Apa ini? Terima kasih ya, Ibu terima. Ibu juga ada sesuatu buat kalian,” ku bagikan kenang-kenangan yang telah disiapkan. Setelah kami berpelukan dan berfoto untuk yang terakhir kalinya, kami dan rombongan pergi meninggalkan desa penuh kenangan ini. Kulambaikan tangan. Kuucapkan salam perpisahan. Perlahan, mobil yang menbawa kami serombongan bergerak menjauh, semakin jauh, dan bayangan mereka perlahan hilang.
Juara 1 Lomba Cerpen LSP FKIP UNS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2015 Tak sabar, ku buka kotak berbungkus koran pemberian Dani, Siti, dan kawan-kawan. Kotak berbungkus koran itu ternyata berisi sebuah gelang sederhana dan sepucuk surat.
Teruntuk Ibu Guru Najwa yang cantik dan baik hati Terima kasih Ibu guru Najwa sudah mau mengajari kami belajar membaca, menulis, juga berhitung. Terima kasih juga karena ibu telah mengajari kami lagu, tepuk, dan permainan-permainan baru yang mengasyikkan. Sungguh. Beruntung sekali kami bisa bertemu Ibu Guru sebaik Ibu guru Najwa. Kami minta maaf jika selama ini kami sering bandel dan membuat Ibu guru Najwa kesal. Terkadang kami memang suka usil dan susah diatur. Maafkan kami ya Ibu. Oh ya, ini ada sedikit kenang-kenangan. Mungkin ini hanya gelang biasa yang kami beli di pasar Pecaron minggu lalu. Maaf hanya gelang seperti itu yang bisa kami berikan sebagai kenang-kenangan karena setelah uang saku kami dikumpulkan hanya cukup untuk membeli gelang ini saja. Semoga Ibu berkenan menerima. Kami tidak akan pernah melupakan Ibu guru Najwa. Semoga Ibu guru Najwa juga tidak pernah melupakan kami. Terima kasih banyak Ibu Guru Najwa. Kami sayang Ibu guru Najwa. Dari: Siti, Dani, Wati, Irul, Bowo, Lani, dan Susi Ah kalian, muridku. Aku pun menyanyangi kalian. Aku akan merindukan kalian juga. Terima kasih gelangnya. Cantik, secantik hati kalian. Terima kasih suratnya. Bermakna, sebesar makna kehidupan yang kuperoleh melalui kalian. Salut. Ke sederhanaan tak mampu halangi kalian tuk terus bermimpi, ketiadaan tak menghentikan kalian untuk terus berkarya. Dan keadaan serba terbatas itu tak sedikitpun menyurutkan semangat kalian tuk terus belajar.