Kliping Berita Online Tanggal : 1/13/2017 10:55:00 AM Sumber : Okezone Penulis :
Jokowi: Ekonomi RI Terbaik Ke-3 di G-20 JAKARTA - Ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif sepanjang tahun 2016 lalu. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV belum diumumkan, namun ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif sejak kuartal pertama hingga kuartal ketiga 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016 sebesar 4,92%. Angka ini meningkat pada kuartal II sebesar 5,18% dan kuartal III sebesar 5,02%. Menurut Presiden Joko Widodo, capaian ini adalah salah satu yang terbaik di antara negara-negara G-20. "Coba kita lihat pertumbuhan ekonomi kita dibandingkan negara lain G-20. Kita ketiga setelah India dan China," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/1/2017). Hal ini pun merupakan salah satu capaian yang patut disyukuri. Sebab, hal ini mampu tercapai pada saat ekonomi negara lainnya tengah sulit untuk tumbuh akibat gejolak ekonomi global. "Dan tahun ini kita harus optimis jangan ada kata-kata pesimis. Karena ini masalah psikologis. Kalau pemimpinnya tidak optimis bagaimana rakyatnya. Sulit iya sulit. Tapi setiap tantangan pasti ada kesempatan yang bisa kita ambil," tukasnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 1/13/2017 10:12:00 AM Sumber : Kontan Penulis : Galvan Yudistira Barratut Taqiyyah
BRI : Pelaku UKM belum maksimal manfaaatkan ekspor JAKARTA. Pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia mempunyai peluang untuk masuk lebih besar ke pasar ekspor. Pasalnya, pada tahun ini beberapa analis memproyeksi pertumbuhan ekspor Indonesia akan membaik dibanding tahun lalu. Potensi ekspor yang besar ini juga seiring pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di mana arus barang keluar masuk kawasan Asia Tengggara cukup bebas. Walaupun peluang dan kesempatan terbuka lebar, beberapa pelaku UKM belum banyak memanfaatkan ceruk pasar ini. Berdasarkan catatan bank pemain mikro besar di Indonesia, misalnya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, sampai Desember 2016 lalu, total volume perdagangan ekspor nasabah bank berkode BBRI ini tercatat sebesar US$ 9,8 miliar atau Rp 130 triliun. Walaupun BRI merupakan pemain mikro, namun tidak semua ekspor yang dilakukan nasabah BRI tersebut sektor mikro. Tercatat hampir 90% ekspor ini dilakukan oleh nasabah ritel dan menengah. Artinya, hanya sekitar 10% ekspor dilakukan oleh nasabah mikro BRI. Padahal jika dilihat mayoritas usaha di Indonesia bergerak di bidang mikro. Jika dilihat, ada beberapa faktor yang menyebabkan masih kurangnya pemain mikro masuk ke sektor ekspor. Menurut Raden Ramdan Achmad Djauhari, Departemen Head Trade Marketing and Advisory BRI, beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya pemain mikro masuk ke sektor ekspor di antaranya adalah penguasaan teknologi dan bahasa. “Dua kunci tersebut membuat pelaku UKM belum optimal mengakses pasar diluar negeri terutama ASEAN,” ujar Raden kepada KONTAN, (12/1). Selain itu, menurut Raden, pelaku UKM juga masih agak takut dalam bersaing dengan pelaku UKM dari negara lain. Tiga hal inilah yang utamanya membuat pelaku UKM kurang bisa memanfaatkan pasar ekspor. Padahal, lanjutnya, margin dari bisnis ekspor terbilang cukup besar yaitu antara 25% sampai 30%. Selama ini menurut Raden pelaku UKM tidak berani langsung masuk ke pasar ekspor melainkan menunggu pengepul mengumpulkan barang dahulu. Sebagai gambaran saja, saat ini ada beberapa sektor yang masih prospektif untuk ekspor diantaranya adalah manufaktur tekstil, perikanan, bahan baku kertas, olahan sawit, dan kerajinan kreatif. Untuk di beberapa daerah, potensinya bisa berbeda tergantung potensi sumber daya yang ada di masing masing wilayan. Misalnya, Bangka Belitung memiliki potensi produk ekspor terkait ikan segar dan olahan. “Selain itu kaolin juga merupakan salah satu produk yang diminati untuk pasar ekspor di Belitung,” ujar Ramdan. Sebagai gambaran, berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bangka Belitung per November 2016 tercatat Timah merupakan penyumbang ekspor terbesar dengan proporsi 85% dari total ekspor Bangka Belitung.
Kliping Berita Online Tanggal : 1/13/2017 9:00:00 AM Sumber : SuaraMerdeka Penulis :
Dirjen PHU Akan Tingkatkan Kualitas Layanan bagi Jemaah Haji JAKARTA, suaramerdeka. com – Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Abdul Djamil berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas layanan bagi jemaah haji. Menurut mantan rektor IAIN Walisongo ini, persiapan yang harus dilakukan juga perlu ditambah seiring dengan bertambahnya kuota jemaah haji. Salah satunya terkait dengan petugas haji. Terkait persoalan petugas ini, Abdul Djamil mengaku concern dan akan memberikan persiapan khusus agar jemaah haji Indonesia bisa dilayani dengan baik. “Akan ada persiapan khusus untuk konsolidasi petugas yang akan melayani jemaah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan profesionalitas dan dedikasi mereka dalam memberikan pelayanan kepada jemaah,” tandasnya. Untuk diketahui, Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia (IKJHI) Tahun 2016 naik 1,16 point. Kalau pada tahun 2015 tingkat kepuasan jemaah sebesar 82,67, tahun ini naik menjadi 83,83 . Ada sembilan kategori layanan yang disurvei BPS kepada jemaah haji dan semuanya masuk dalam kategori memuaskan. Untuk layanan petugas kloter naik 0,91 point dibanding hasil survei tahun 2015 menjadi 86,4. Demikian juga dengan layanan petugas non kloter, naik 0,26 poin menjadi 84,27. Meski demikian, kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto saat rilis hasil survei, 15 November 2016, mengatakan bahwa masih ada sebagian jemaah yang merasa sulit mengenali petugas non kloter. “Mereka menyarankan agar atribut para petugas non kloter lebih diperjelas, agar memudahkan mereka dalam meminta bantuan para petugas tersebut,” ujarnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 1/13/2017 1:44:00 AM Sumber : Republika Penulis : Hazliansyah
Kuota Haji 221 Ribu, Pemerintah Diminta Antisipasi Tahap Pendaftaran REPUBLIKA. CO. ID, JAKARTA -- Bertambahnya kuota haji Indonesia dinilai perlu diantisipasi pemerintah terutama pada tahap pendaftaran. Selain itu, pemerintah juga diminta meningkatkan perhatian tak cuma pada fasilitas, tapi juga pembinaan calon jamaah haji. Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Mafrudin menjelaskan, bila kuota haji Indonesia pada 2017 sebesar 221 ribu, itu normal, tidak ada yang bertambah. Namun begitu, Rabithah mengapresiasi langkah Pemerintah Saudi. Kuota haji Indonesia tiga tahun belakangan dikurangi karena renovasi Masjidil Haram. Terlepas dari itu semua, Ade menilai yang lebih penting adalah menangani 50 ribu orang calon jamaah haji lagi yang tahun ini siap melunasi BPIH. "Pemerintah harus mengantisipasi, terutama pendaftaran. Pemerintah bisa membuat ancang-ancang daftar calon jamaah yang akan berangkat dan prediksi BPIH sebelum ada BPIH final yang dirumuskan bersama DPR," ungkap Ade, Kamis (12/1). Pemerintah bisa membuat pengelompokkan jamaah haji misalnya dalam daftar hijau dan kuning. Daftar hijau adalah mereka yang siap melunasi BPIH. Bila yang ada calon jamaah di daftar hijau yang mundur, bisa segera digantikan oleh mereka yang ada di daftar kuning. "Sehingga tidak ada kuota haji reguler yang mubazir dan akhirnya malah dilempar untuk haji khusus," kata dia. Daftar ini juga untuk mencegah perpanjangan waktu pendaftaran terus menerus. Dengan begitu waktu pembekalan seperti untuk manasik bisa lebih matang. Yang jadi perhatian pelaksanaan haji bukan hanya fasilitas yang baik, tapi juga kualitas ibadah jamaah. Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia 2016 yang menurut BPS meningkat fokusnya pada layanan umum. Substansi ibadah jamaah belum terukur. Padahal, ratusan ribu jamaah yang berhaji harus bisa dilihat efeknya. Persiapan jamaah haji bukan hanya soal berapa kali manasik, tapi pembinaan yang dilakukan. Sekali-kali, bisa juga calon jamaah dites membaca Alquran. Dengan begitu, status mampu beribadah haji bukan hanya dari sisi materi, tapi juga pengetahuan berhaji.
Kliping Berita Online Tanggal : 1/13/2017 12:29:00 AM Sumber : Inilah Penulis : Herdi sahrassad
Ujian Ekonomi Jokowi dari Gedung Putih INILAHCOM, Jakarta - Pengusaha kasino, Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2017. Kini, seluruh dunia menantikan kebijakan serta wajah menteri ekonominya. Termasuk, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, masih was-was menunggu kepastian arah ekonomi Trump. Ya, semua karena AS adalah sumbu perekonomian dunia. Namun begitu, banyak kalangan menilai, menebak arah kebijakan Trump, sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Saat kampanye, Trump bercita-cita mendorong pertumbuhan AS hingga di atas 3%. Caranya dengan mendorong investasi masuk, membangun manufaktur besar-besaran. Dirinya mengancam mematok pajak tinggi kepada Ford CO, lantaran industri otomotif asal AS ini berencana mendirikan pabrik di Meksiko. Trump juga ingin memberangus pasar bebas dengan menerapkan proteksionisme. Nantinya akan ada bea impor 45% untuk membendung produk impor khususnya dari Cina. Dan, jelas-jelas Trump ingin membubarkan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang digagas Barrack Obama, pendahulunya. Padahal, TPP merupakan kesepakatan antara AS dengan 11 negara di kawasan Pasifik. Dengan kata lain, Trump ingin menjadikan AS sebagai negara besar yang tertutup. Tentu saja, kebijakan ini seratus delapan puluh derajat dengan Obama. Oh, iya, Trump juga berencana membubarkan program Obama Care,Kalau itu jadi dilakukan Trump, maka jangan harap lagi ada liberalisasi perdagangan dengan standar perdagangan umum serta pemotongan hambatan. Namun, kalangan analis meyakini, Trump tidak akan sungguh-sungguh menjalankan janji kampanyenya. Karena, resikonya bakal luar biasa bagi perekonomian AS. Semisal, Cina tentu akan membatalkan sejumlah pesanan pesawat Boeing dari AS. Demikian pula, penjualan otomotif AS anjlok, perusahaan Apple di Cina bisa jadi tutup. Yang paling kasat mata, sikap keras Trump terhadap program Obamacare, berbalik. Dan, Trump sudah berbicara dengan Presiden Cina (Tiongkok) Xi Jinping. Tentu saja, keduanya bicara hal manis yang bisa digarap. Kalau soal kebijakan ekonomi, okelah, peluang Trump melintir dari janji kampanye cukup tinggi. Bagaimana dengan wajah kabinetnya? Ternyata, sejumlah nama yang kemungkinan ditarik ke Gedung Putih, memiliki rekam jejak yang kontroversial. Seperti Senator Jeff Sessions (jaksa agung), Mike Pompeo (Direktur CIA), Jenderal (purn) Michael Flynn (penasihat keamanan), dan Jenderal (purn) James Mattis sebagai Menteri Pertahanan. Meski nominasi mereka masih memerlukan persetujuan Senat, penunjukannya mengindikasikan Trump tetap kontroversial dan menimbulkan ketidakpastian serta potensi gejolak di tingkat global. Publik belum lupa, begitu Trump dinyatakan memenangi pilpres AS, terjadilah gejolak global. Bursa saham di berbagai negara rontok akibat ditinggalkan investor AS terutama negara-negara Asia dan emerging market. Indeks Nikkei Jepang sempat tersungkur 5,4%. Dan, Indeks Hang Seng
Hongkong roboh hingga 2,15%. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tergelincir 1%. Hari selajutnya, Jumat (11/11/2016), indeks (IHSG) ditutup di level 5. 289, atau anjlok 161 poin dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Analis M Fajar Marta mencatat, Trump effect yang menjangkiti perekonomian Indonesia, tidak hanya terjadi di pasar keuangan dan pasar modal saja. Kinerja ekspor dan investasi langsung ke Indonesia, ikut kena pulutnya. Arah kebijakan Trump yang anti globalisasi serta perdagangan bebas, bakal memperlemah ekspor Indonesia ke AS. Baik ekspor langsung maupun tidak langsung. Padahal, sepanjang 2016, ekspor Indonesia ke AS adalah yang terbesar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor ke AS selama JanuariSeptember 2016 mencapai US$11,59 miliar, atau 11,5% dari total nilai ekspor Indonesia. Kala itu, ekspor Indonesia ke AS jauh lebih besar ketimbang ekspor Indonesia ke Jepang, Tiongkok, India, ataupun Singapura yang merupakan negara-negara tujuan utama ekspor. Kebijakan Trump yang akan memangkas pajak korporasi, tentu akan menarik perusahaan-perusahaan AS untuk lebih banyak berinvestasi di negerinya sendiri. Dampaknya, alokasi investasi korporasi-korporasi AS di sejumlah negara, termasuk Indonesia bisa jadi bakal berkurang. Padahal, selama ini, penanaman modal asing (PMA) dari AS, angkanya cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), periode Januariseptember 2016, realisasi investasi langsung AS di Indonesia mencapai US$430,4 juta, atau setara Rp5,7 triliun. Dan, AS merupakan negara dengan investasi terbesar ke-sepuluh di Indonesia. Nah kalau pajak korporasi di AS dipangkas, pelarian modal dari Indonesia atau capital outflow menuju AS, bakalan jumbo. Celakanya lagi, berdampak kepada pelemahan nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar AS. Saat ini, hal itu sudah terasa anginnya. Prof Ganewati Wuryandari dari LIPI, mengingatkan Indonesia perlu membangun strategi agar tidak terlindas ketidakpastian global pasca dilantiknya Trum sebagai Presiden AS ke-45. Inisiasi Indonesia untuk membuat perdagangan bebas antara ASEAN dan Pacific Alliance (Meksiko, Peru, Cile, dan Kolombia), seperti disampaikan Jusuf Kalla pada Konferensi APEC di Peru, baru-baru ini, merupakan isyarat. Bahwa Indonesia perlu memperluas 'jangkar' kerja sama dengan negara-negara menengah lainnya. Blok perdagangan baru ini, juga dapat dilihat sebagai alternatif dari TPP (Trans Pacific Partbership), dan kemungkinan dominasi Tiongkok di RECP (Regional Comprehensive Economic Partnership). Dengan demikian gejolak global akibat naiknya Trump, dapat diminimalisasi dampak negatifnya terkait dengan gejolak local di dalam negeri kita. Agar ekses dan efeknya tidak jadi bola liar kemana-mana, yang bisa mengganggu ekonomi-politik di Indonesia. Tahun ini, kemampuan pemerintahan Jokowi di bidang ekonomi dan diplomasi di pentas global, benar-benar diuji. Sekarang bolanya di kaki Jokowi. [ipe]