BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori tentang Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja Kinerja (work performance / job performance) merupakan hasil yang dicapai seseorang sesuai ukuran yang berlaku untuk bidang pekerjaannya. Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Menurut Triffin dan MacCormick (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variable adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan sekerja dan pemberian imbalan. Rivai (2005) menyatakan, kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan dan disepakati bersama.
Kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu. Kinerja mempunyai empat aspek, yaitu : (1) kemampuan; (2) penerimaan tujuan perusahaan; (3) tingkatan tujuan yang dicapai; dan (4) interaksi antara tujuan dan kemampuan para karyawan dalam perusahaan, dimana masingmasing elemen tersebut berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Seorang karyawan tidak akan mampu bekerja dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Meskipun pekerjaan itu dapat selesai dikerjakan, namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kinerja seorang karyawan, pengetahuan bidang tugas pekerja yang bersangkutan sangat penting. Dengan demikian, faktorfaktor yang menandai kinerja adalah hasil ketentuan: (1) kebutuhan yang dibuat pekerja; (2) tujuan yang khusus; (3) kemampuan; (4) kompleksitas; (5) komitmen; (6) umpan balik; (7) situasi; (8) pembatasan; (9) perhatian pada setiap kegiatan; (10) usaha; (11) ketekunan; (12) ketaatan; (13) kesediaan untuk berkorban; dan (14) memiliki standar yang jelas. Menurut Hersey, Blanchard, dalam Rivai (2005), kinerja merupakan fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
Kinerja merupakan tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja karyawan dalam suatu organisasi baik secara individu maupun kelompok memengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi dalam upaya mencapai tujuan organisasi (Gibson et al., 2003). Robbins (2006) menyatakan, kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M), dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (AxMxO). Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan. Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi, dan kesempatan. Sementara kinerja menurut Schermerhorn, Hunt, dan Osborn, dalam Rivai (2005), adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan. 2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).
a. Faktor Kemampuan (ability) Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatnnya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan. b. Faktor Motivasi (motivation) Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi. Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et al. (2003), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu: 1 Variabel Individual, terdiri dari: (a) kemampuan dan keterampilan, (b) latar belakang (c) demografis. 2. Variabel Organisasional, terdiri dari: (a) sumber daya, (b) kepemimpinan, (c) imbalan, (d) struktur, dan (e) desain pekerjaan. 3. Variabel Psikologis, terdiri dari: (a) persepsi, (b) sikap, (c) kepribadian, (d) belajar, (e) motivasi Davis (1996), menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas
rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sedangkan Robbins (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung prosedur yang tidak jelas dan sebagainya. Hall TL dan Meija dalam Ilyas (2001) menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah: faktor internal individu yang terdiri dari: (1) karakteristik individu seperti umur, pendapatan, status perkawinan, pengalaman kerja dan masa kerja. (2). Sikap terhadap tugas yang terdiri persepsi, pengetahuan, motivasi, tanggung-jawab dan kebutuhan terhadap imbalan, sedang faktor eksternal meliputi sosial ekonomi, demografi, geografi, lingkungan kerja, aseptabilitas, aksesabilitas, beban kerja dan organisasi yang terdiri pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan fasilitas. Gibson (dalam Rivai, 2005) menyatakan, kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh factor-faktor : (a) harapan mengenai imbalan; (b) dorongan; (c) kemampuan; kebutuhan dan sifat; (d) persepsi terhadap tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Kinerja individu dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap pekerjaannya. Perasaan ini berupa suatu hasil
penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya. Kepuasan tersebut berhubungan dengan faktor-faktor individu, yaitu: (a) kepribadian seperti aktualisasi diri, kemampuan menghadapi tantangan, kemampuan menghadapi tekanan, (b) status dan senioritas, makin tinggi hierarkis di dalam perusahaan lebih mudah individu tersebut untuk puas, (c) kecocokan dengan minat, semakin cocok semakin tinggi kepuasan kerjanya, (d) kepuasan individu dalam hidupnya, yaitu individu yang mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap elemen-elemen kehidupannya yang tidak berhubungan dengan kerja, biasanya akan mempunyai kepuasan kerja yang tinggi. Hasil penelitian Zulkhairi (2010), tentang determinan kinerja dokter spesialis di ruang rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan mengungkapkan bahwa faktor individu, psikologis dan organisasi secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap kinerja dokter. Faktor organisasi yang paling berpengaruh adalah jumlah honor yang diterima dan ketepatan waktu pembayaran serta pemberian bonus/insentif. Demikian juga hasil penelitian Muchsin (2003), mengungkapkan bahwa secara organisasi kepemimpinan, supervisi, sumber daya dan imbalan berpengaruh terhadap kinerja dokter di Puskesmas dalam Kota Banda Aceh dan variabel imbalan berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan variabel lainnya. 2.1.3 Penilaian Kinerja Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam
menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya. Sedangkan menurut Rivai (2005), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang, meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas. Rivai (2005), mengemukakan pada dasarnya ada 2 (dua) model penilaian kinerja : 1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu (a) Skala Peringkat (Rating Scale) Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. (b) Daftar Pertanyaan (Checklist) Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi.
(c) Metode dengan Pilihan Terarah Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama. (d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method) Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaannya. (e) Metode Catatan Prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan. (f) Skala Peringkat Dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale=BARS) Penggunaan metode ini menuntut diambilnya 3 (tiga) langkah, yaitu: 1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja 2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat 3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan yang dinilai dengan jelas.
(g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method) Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut. (h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian praktik yang langsung diamati oleh penilai. (i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach) Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. 2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal) Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang. b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective) Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersamasama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang.
c. Penilaian dengan Psikolog Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi, diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia. Sedangkan Werther dan Davis (1996), menyatakan agar penilaian prestasi kerja yang dilakukan dapat lebih dipercaya dan obyektif, perlu dirumuskan batasan atau faktor-faktor penilaian kinerja atau prestasi kerja sebagai berikut: 1. Peformance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan. 2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan. 3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalitas yang mendukung peningkatan prestasi kerja. 4. Potency, kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan 2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja Menurut Simamora (2004), tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan. a. Tujuan Evaluasi Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif. Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja karyawan.
b. Tujuan Pengembangan Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya. 2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja Manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan. 3. Mengidentifikasi
kebutuhan
pelatihan
dan
pengembangan
karyawan
dan
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. 5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan.
2.2 Motivasi 2.2.1 Pengertian Motivasi Hasibuan (2005), motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau menggerakkan. Gibson et al. (2003), menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu dorongan yang timbul pada atau di dalam seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Oleh karena itu, motivasi dapat berarti
suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan yang berlangsung secara wajar. Sperling dalam Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri dan terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Robin (2006); Hasibuan (2005); Sedarmayanti (2001), menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan individu, orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak. Motivasi sangatlah penting dan sangat memengaruhi kinerja seseorang; motivasi yang benar dan terpenuhi akan membuat seorang karyawan mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efektif dan efisien. Menurut Nawawi (2003), kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001), motivasi dapat diartikan sebagai daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau diperbuat karena takut akan sesuatu.
2.2.2 Teori Motivasi Merupakan teori yang membicarakan bagaimana motivasi dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk motivasi. Menurut Gibson et al. (2003), mengacu pada 2 (dua) kategori : 1. Teori Kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas. 2. Teori Proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan. Lebih lanjut Gibson et al. (2003), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut : 1. Teori Kepuasan terdiri dari : a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d. Teori Prestasi dari McClelland 2. Teori Proses terdiri dari : a. Teori Harapan b. Teori Pembentukan Perilaku c. Teori Keadilan Penjelasan uraian tentang motivasi yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut :
a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi yang disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya itu manusia bekerja sama dengan orang lain dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi pegawai. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya : a). Kebutuhan fisiologi yaitu, pakaian, perumahan, makanan, seks (disebut kebutuhan paling dasar) b). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan. c). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan. d). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi. e). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi. Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2002). b. Teori Dua Faktor dari Herzberg Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg
memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002). Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2003).
Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002). Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi, (Grensing dalam Timpe, 2002). c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu: a).Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b).Relatednes (keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). c).Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).
d. Teori Kebutuhan dari McClelland Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2005). a). Kebutuhan Akan Prestasi (Need for Achievement) Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. b). Kebutuhan Akan Kekuasaan (Need for Power) Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya. c). Kebutuhan Akan Afiliasi (Need for Affiliation) Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.
e. Teori Harapan (Expectancy Theory) Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orangorang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang dalam bekerja giat. f. Teori Pembentukan Perilaku (Operant Conditioning) Teori ini berasumsi bahwa prilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement dan skinerian conditioning. Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai dipengaruhi kejadiankejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku tersebut positif, maka pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap situasi lama, tetapi apabila konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai cendrung mengubah perilakuya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut. g. Teori Keadilan (Equity Theory) Menurut Davis (2004), keadilan adalah suatu keadaan yang muncul dalam pikiran seseorang jika orang tersebut merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang. Teori motivasi keadilan ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai
akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya apabila pegawai tersebut diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya. Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti menurunkan prestasi, mogok, malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Mengenai pengertian motivasi banyak macam rumusan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain oleh Mitchell (dalam Winardi, 2001) yang menjelaskan motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya diarahkannya dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan kearah tujuan tertentu. Robbins (2006), memberi definisi motivasi sebagai suatu kerelaan untuk berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Sementara Gibson et al. (2003) menyebutkan motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk menunjukkan kesediannya yang tinggi untuk berupaya mencapai tujuan organisasi yang dipengaruhi kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu.
Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi dan kebutuhankebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah laku dan pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan. Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan
Herzberg.
Adapun
pertimbangan
peneliti
karena teori
yang
dikembangkan Herzberg berlaku mikro, yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan yang hubungannya antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi Faktor-faktor motivasi dua faktor Herzberg dalam Hasibuan (2005), yang disebut faktor intrinsik meliputi : 1) Tanggung jawab (Responsibility) Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar. 2) Prestasi yang diraih (Achievement) Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.
3) Pengakuan orang lain (Recognition) Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi. 4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self) Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi. 5) Kemungkinan pengembangan (The possibility of growth) Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja. 6) Kemajuan (Advancement) Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.
Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain : 1). Gaji Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realistis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai. 2). Keamanan dan keselamatan kerja Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi kerja Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari. 4). Hubungan kerja Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan. 5). Prosedur perusahaan Keadilan dan kebijakasanaan dalam menghadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja.
6). Status Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya. 2.2.4 Manfaat Motivasi Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan semangat kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat dan pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep dan Tanjung, 2003).
2.3 Lingkungan Kerja 2.3.1 Pengertian Lingkungan Kerja Menurut Forehand dan Gilmer (dalam Agustini, 2006) “lingkungan kerja adalah suatu set ciri-ciri yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi
lainnya dalam jangka waktu panjang dan memengaruhi tingkah laku manusia dalam organisasi tersebut”. Nawawi (2003) menyatakan bahwa “lingkungan kerja adalah serangkaian sifat kondisi kerja yang dapat diukur berdasarkan persepsi bersama dari para anggota organisasi yang hidup dan bekerjasama dalam suatu organisasi”. Gibson et al. (2003), menyatakan lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan memengaruhi perilakunya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Hal ini berarti pekerja akan menyelesaikan tugastugasnya dengan baik didukung oleh lingkungan kerja yang baik. 2.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Lingkungan Kerja Menurut Nitisemito (2000) faktor-faktor yang memengaruhi lingkungan kerja adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan kerja fisik merupakan keadaan kerja dalam perusahaan yang meliputi penerangan tempat kerja, penggunaan warna, pengaturan suhu udara, kebersihan, kebisingan, musik, dan keamanan. 2. Lingkungan kerja psikologis Gibson et al. (2003), menyatakan bahwa persepsi terhadap lingkungan kerja adalah merupakan serangkaian hal dari lingkungan ang dipersepsikan oleh orangorang yang bekerja dalm lingkungan organisasi. Ada 5 aspek persepsi secara psikologis ang mempenagruhi perilaku karyawan dalam bekerja. Kelima aspek tersebut meliputi: a. Struktur kerja, yaitu sejauh mana karyawan merasakan bahwa pekerjaan yang diberikan kepadanya memiliki struktur kerja dan organisasi yang baik.
b. Tanggung jawab, yaitu sejauh mana karyawan merasakan bahwa karyawan mengerti tanggungjawab atas tindakan mereka. c. Perhatian dan dukungan pimpinan,
yaitu sejauh mana karyawan merasakan
bahwa pimpinan sering memberikan pengarahan, keyakinan serta menghargai mereka. d. Kerjasama kelompok kerja,
yaitu sejauh mana karyawan merasakan ada
kerjasama yang baik diantara kelompok yang ada. e. Kelancaran komunikasi, aitu sejauh mana karyawan merasakan komunikasi yang baik, terbuka dan lancar, baik antar teman sekerja ataupun dengan pimpinan. Hasil penelitian Westerman dan Simmons (2007), tentang efek lingkungan kerja terhadap hubungan kinerja dan kepribadian di Amerika Serikat bagian barat terhadap karyawan dari delapan organisasi perusahaan menunjukkan bahwa lingkungan kerja organisasi yang makin efektif akan meningkatkan kinerja karyawan. Penelitian ini menduga bahwa situasi lingkungan kerja yang tidak efektif dalam suatu organisasi secara langsung membebani kinerja karyawan tanpa predisposisi kepribadian.
2.4 Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Mukti, 2007).
Menurut Azwar (2000) terdapat beberapa syarat pelayanan kesehatan yang baik, antara lain yaitu : a. Tersedia dan berkesinambungan Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan b. Dapat diterima dan wajar Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat c. Mudah dicapai Pelayanan kesehatan yang baik mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat d. Mudah dijangkau Dari sudut biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat e. Bermutu Menunjukkan tingkat kesempurnaan dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan serta tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar yang telah ditetapkan. 2.5 Dokter 2.5.1 Pengertian Dokter Pengertian dokter sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun diluar
negeri yang diakui Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang–undangan. Menurut Iswandari (2006), strategi WHO yang dikenal dengan sebutan Five Stars Doctor dimana setiap dokter diharapkan dapat berperan: a. Sebagai health care provider yang bermutu, berkesinambungan dan komprehensif dengan mempertimbangkan keunikan individu, berdasarkan kepercayaan dalam jangka panjang, b. Sebagai decision maker yang mampu memilih teknologi yang tepat dengan pertimbangan etika dan biaya, c. Sebagai communicator, yang mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) serta memberdayakan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, d. Sebagai community leader, yang mampu memperoleh kepercayaan, membangun kesepakatan tentang kesehatan serta berinisiatif meningkatkan kesehatan bersama, e. Sebagai manager, yang mampu menggerakkan individu dan lingkungan demi kesehatan bersama dengan menggunakan data yang akurat. Hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan pasien dengan dokter meliputi 1) penyampaian informasi dan 2) penentuan tindakan. Pasien wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan keluhannya dan berhak menerima informasi yang cukup dari dokter (right to information) serta berhak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri (right to self determination). Di sisi lain dokter berhak mendapatkan informasi yang cukup dari pasien dan wajib memberikan informasi yang cukup pula sehubungan dengan kondisi serta akibat yang akan terjadi.
Selanjutnya dokter berhak mengusulkan yang terbaik sesuai kemampuan dan penilaian profesionalnya (ability and judgement) dan berhak menolak bila permintaan pasien dirasa tidak sesuai dengan norma, etika serta kemampuan profesionalnya. Selain itu, dokter wajib melakukan pencatatan (rekam medik) dengan baik dan benar (Iswandari, 2006). Menurut Budiarso (2007), pada beberapa dekade tahun yang lalu hubungan antara rumah sakit selaku produsen jasa layanan kesehatan dan penderita selaku konsumen belum harmonis. Pada waktu memerlukan layanan kesehatan pada sebuah rumah sakit, seorang pasien hanya mempunyai hak untuk menentukan ke rumah sakit mana pasien tersebut akan pergi. Setelah itu pasien harus menurut tentang semua hal kepada dokter dan rumah sakit tempat pasien dirawat, pemeriksaan dan pengobatan apa saja yang harus dijalaninya tanpa didengar pendapatnya. Namun saat ini sudah banyak dicapai kemajuan hubungan antara rumah sakit dan pasien, sudah merupakan kejadian yang biasa bahwa seorang pasien menuntut rumah sakit atas layanan yang dia terima. Akibat dari hal itu, dokter dan rumah sakit sudah lebih hati-hati dalam melaksanakan kegiatan profesinya. Dalam hal ini rumah sakit berusaha benar untuk dapat diakreditasi disamping ini merupakan pengakuan atas kualitas produk jasa layanan kesehatan yang dihasilkan. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ditanggung rumah sakit, di lain pihak pasien akan menikmati layanan kesehatan yang lebih meningkat mutunya.
2.5.2 Komite Medik Dokter di Rumah sakit adalah koodinator pelayanan medis bagi pasien. Meskipun dokter tidak dapat bekerja sendiri untuk tugas tugasnya itu, dokter diakui memiliki peran sentral dalam membentuk citra dan kinerja rumah sakit. Semua dokter di rumah sakit tergabung dalam Komite Medik. Berdasarkan Keputusan Menkes No. 983 Tahun 1993 menyebutkan bahwa “ Komite Medik adalah kelompok tenaga medik yang keanggotaannya dipilih dari anggota staf medik fungsional dan bertanggung jawab kepada direktur ”. Tugas Komite Medik : 1. Memberi pertimbangan kepada direktur dalam hal : a. Standar pelayanan medis, b. Pengawasan dan penilaian mutu pelayan medik, c. Hak klinis khusus kepada satuan medik profesional dalam program pelayanan, d. Pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan. 2. Memberi pertimbangan kepada direktur dalam hal : a. penerimaan tenaga medik untuk bekerja di rumah sakit dan b. bertanggung jawab tentang pelaksanaan etika profesi (Soeroso, 2002).
2.6 Rumah Sakit 2.6.1 Pengertian Rumah Sakit Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sebagai upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara paripurna, maka rumah sakit harus memiliki komponen pelayanan. Menurut Undang-Undang No. 44 tahun 2009, komponen pelayanan di rumah sakit mencakup 20 pelayanan sebagai berikut: (1) administrasi dan manajemen, (2) pelayanan medis, (3) pelayanan gawat darurat, (4) kamar operasi, (5) pelayanan intensif, (6) pelayanan perinatal risiko tinggi, (7) pelayanan keperawatan, (8) pelayanan anastesi, (9) pelayanan radiologi, (10) pelayanan farmasi, (11) pelayanan laboratorium, (12) pelayanan rehabilitasi medis, (13) pelayanan gizi, (14) rekam medis,(15) pengendalian infeksi di rumah sakit, (16) pelayanan sterilisasi sentral,(17) keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana alam, (18) pemeliharaan sarana, (19) pelayanan lain, dan (20) perpustakaan. Menurut Undang-Undang No. 44 tahun 2009 pengertian Rumah Sakit adalah sebagai berikut : a. Rumah Sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan. b. Rumah Sakit adalah suatu alat organisasi yang terdiri dari tenaga medis professional
yang
menyelenggarakan
terorganisir
serta
sarana
pelayanan
kedokteran,
kedokteran asuhan
yang
permanen
keperawatan
yang
berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.
c. Rumah Sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. d. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. 2.6.2 Fungsi Rumah Sakit Fungsi rumah sakit tidak secara keseluruhan dapat dilakukan oleh seluruh rumah sakit milik pemerintah atau swasta, tetapi tergantung pada klasifikasi rumah sakit. Berdasarkan klasifikasi rumah sakit dapat diketahui bahwa rumah sakit dengan kategori/kelas A, mempunyai fungsi, jumlah dan kategori ketenagaan, fasilitas, dan kemampuan pelayanan yang lebih besar daripada rumah sakit dengan kelas lainnya yang lebih rendah, seperti klas B, C, dan kelas D (Undang-Undang No. 44 tahun 2009). 2.6.3 Rawat Inap Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan swasta, serta Puskesmas perawatan dan rumah bersalin yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap (Muninjaya, 2004). Sedangkan menurut Wiyono (2000), pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan atau kesehatan lainnya dengan menempati tempat
tidur. Batasan tempat tidur adalah tempat tidur yang tercatat dan tersedia di ruang rawat inap 2.7 Landasan Teori Kinerja secara teoritis dalam penelitian ini mengacu kepada grand teori model teori kinerja Gibson et al. (2003), teori ini menyatakan ada 3 variabel penting yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu (1) variabel individu (2) variabel psikologis dan (3) variabel organisasi. Secara psikologis kinerja seseorang secara individu dalam organisasi dipengaruhi oleh motivasi. Pengukuran kinerja diukur secara kualitas dan kuantitas kerja mengacu kepada teori Schermerhorn, Hunt, dan Osborn, dalam Rivai (2005). Teori motivasi yang digunakan dalam penelitian mengacu kepada teori motivasi Herzberg dalam Hasibuan (2005), meliputi motivasi intrinsik: a) Tanggung jawab, b) prestasi yang diraih, c) pengakuan orang lain, d) pekerjaan itu sendiri, e) kemungkinan pengembangan, f) kemajuan. Sedangkan motivasi ektstrinsik meliputi: a) gaji, b) keamanan dan keselamatan kerja, c) kondisi kerja, d) hubungan kerja, e) prosedur perusahaan dan f) status. Teori lingkungan kerja yang digunakan dalam penelitian mengacu kepada teori Gibson et al. (2003), meliputi : a) struktur kerja, b) tanggungjawab, c) perhatian dan dukungan pimpinan, d) kerjasama kelompok kerja, e) Kelancaran komunikasi. Adapun landasan teori dirangkum pada Gambar 2.1.
Motivasi a. Intrinsik b. Ekstrinsik Lingkungan Kerja
Kinerja a. Kualitas kerja b. Kuantitas kerja
a. Struktur kerja b. Tanggungjawab c. Perhatian dan dukungan pimpinan d. Kerjasama kelompok kerja e. Kelancaran komunikasi
Gambar 2.1 Landasan Teori Sumber : Herzberg dalam Hasibuan (2005), dan Gibson et al.(2003)
2.8 Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut : Variabel independen (X)
Variabel dependen (Y)
Motivasi (X1) Kinerja Dokter Lingkungan Kerja (X2) Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian