Jenderal, Pimpinlah Perang Ini! http://nasional.kompas.com/read/2012/08/08/09074236/Jenderal.Pimpinlah.Perang.Ini. Opini Rabu, 8 Agustus 2012 | 09:07 WIB Oleh: Radhar Panca Dahana
BETAPAPUN kuat komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, seperti tampak pada pernyataan Presiden SBY yang berulang-ulang menegaskan hal tersebut, kita (baca: rakyat) menyaksikan bagaimana sesungguhnya korupsi itu justru tampak tak peduli. Ia berjalan dengan ketelengasan dan kecerdasannya sendiri. Bukan hanya melecehkan amanat presiden, ia juga seperti mengatakan, ”Dalam soal korupsi, tidak pakai maaf, ente bukanlah presiden ane!” Korupsi berjalan terus, tak perlu kabinet, presiden, mahkamah atau parlemen sebagaimana kita maknai sendiri. Ia sudah menjadi sebuah sistem dengan tradisi, kebiasaan, bahkan rules of the game-nya sendiri. Ia memiliki aparatus sendiri, punya pejabatnya sendiri. Lebih menarik lagi: mereka, para pelaku sistem korupsi, adalah juga para birokrat (dan antek-anteknya) dari sistem formal yang ada. Manusia-manusia itu memainkan peran ganda. Di permukaan, atau level formal, mereka memainkan peran yang cantik untuk menampilkan diri sebagai tokoh atau pejabat pahlawan rakyat dengan berbagai ide, janji, bahkan bukti kerja yang membuai kesadaran publik yang mentah dan naif. Di level lain ”bersembunyi”, mereka bergiliran memanipulasi sistem, menipu, dan mengkhianati rakyat dengan menggunakan fasilitas yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi. Apa yang ironis bahkan tragis adalah dunia yang sembunyi itu sebenarnya tidaklah sembunyi seluruhnya. Ia sesungguhnya ada di depan mata, bahkan secara fisis sebagaimana para pelaku yang ada di hadapan kita: di halaman koran, tabung televisi, radio, hingga ruang-ruang kantor megah yang mungkin kerap kita kunjungi untuk mendapatkan fasilitas, katabelece, dan mungkin sedikit potongan kue dari korupsi yang dilakukan pejabat itu. Ciptakan perang terbuka
Kasus yang saat ini membelit antara KPK dan Polri jadi sebuah contoh dari realitas di atas. Realitas yang bukan hanya menggelikan juga tragis. Sekaligus membuktikan betapa kita jadi begitu pandirnya berhadapan dengan kecerdasan sistem dan konspirasi koruptif di kepolisian itu. Terlihat bagaimana seorang Menko Polhukam (atasan kerja dari institusi itu) bahkan presiden (atasan hukum) seperti hanya bisa berbuat sebatas kata-kata. Kepolisian kini seperti jadi salah satu lembaga terbaik dalam mewakili negara yang dikaramkan oleh ”pemerintahan para koruptor” itu. Perselisihan kewenangan dengan KPK menggambarkan dengan jelas bagaimana polisi seakan ingin merebut sebuah ”wilayah otoritas” di mana dunia formal tidak boleh ikut campur. Bahkan, rakyat yang konon pemegang kedaulatan tertinggi pun tidak akan bisa berbuat apa- apa bila pertikaian ini pada akhirnya dimenangi kepolisian. Apalagi presiden! Kita ingat peristiwa pada masa almarhum Gus Dur, presiden keempat RI, yang memerintahkan dengan tegas—bahkan disiarkan media massa—agar Kapolri Bimantoro (saat itu) menangkap Tommy Winata. Apa yang terjadi? Gus Dur, presiden negara yang besar ini, tidak punya daya apa-apa ketika sang ”bawahan” tidak menjalankan tugas itu. Semua itu membuktikan bukan hanya ada yang salah dalam kerja sistem birokrasi dan demokrasi kita. Lebih dari itu, sebelum perbaikan komprehensif sistemik itu kita mulai, sebuah pemerintahan tandingan sudah muncul dengan sangat perkasanya. Apa yang kemudian menggiriskan, bukan hanya kepolisian di dalam pemerintahan kita yang telah menjadi sarang atau ”wilayah otoritas”-sembunyi dari pemerintahan koruptif itu. Di antaranya yang ”terbaik”, kita mafhum, terdapat juga dalam parlemen (DPR) juga beberapa institusi pemerintahan lainnya, seperti Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah. Oleh karena itu, tidak ada cara lain, wilayah formal yang berada di wilayah kebudayaan mesti menyatakan perang secara terbuka. Taktik, strategi, serdadu bahkan senjata harus disiapkan. Semua elemen kebangsaan mesti disatukan secara sinergi untuk ”peperangan” unik ini. Unik karena ia melawan musuh yang sembunyi: sembunyi di hadapan kita dan sembunyi dalam diri kita sendiri. Mungkin semua usaha tidak akan memusnahkan total korupsi dalam hidup kita sebagai bangsa dan negara. Akan tetapi, perang itu akan mereduksi secara signifikan praktik tersebut. Lebih penting lagi: meruntuhkan pemerintahan Da’jal yang berpetak-umpet dengan mata dan kesadaran kita itu.
Para pemimpin perang ini di semua lapisan harus membuktikan hasil peperangan itu. Bahkan, secara individual. Ia harus menunjukkan dalam perilaku, nafsu, dan kekuatan koruptif dalam dirinya sudah lenyap, berganti dengan kekuatan perlawanan yang dahsyat untuk memerangi nafsu busuk itu tanpa pandang bulu. Kita harus berani mengakui bahwa korupsi yang dilakukan oleh kerabat dekat adalah bagian dari kesalahan dan kelemahan kita sebagai manusia. Akan tetapi, di saat bersamaan, kita membuktikan kepada rakyat sebuah kemenangan besar: kemenangan rakyat banyak dengan menghukum tegas kerabat yang menjadi pengkhianat rakyat. Sikap seperti ini sudah sangat cukup untuk membuktikan komitmen perjuangan dan peperangan, tanpa perlu seseorang (pejabat) mundur dari tugasnya sebagai jenderal perang. Harus keras dan tegas Dalam kasus konflik wewenang atau perebutan ”wilayah otoritas” antara KPK dan kepolisian ini, seorang atasan harus keras dan tegas menempatkan masalah dalam proporsi hukumnya, dalam dunia formal-kultural yang dibelanya. Ia harus memerintahkan pemimpin lembaga pemerintah yang menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi untuk dipecat. Bukan dinonaktifkan. Bila tidak mampu, ya, pemimpin lembaga itu yang harus dipecat atau mundur. Resistensi pasti terjadi. Namun, bila resistensi itu berbasis pembelaan terhadap dunia batil, terhadap dunia korupsi yang berisi virus mematikan, tidak ada kata lain: perang! Siapa yang akan mendukung perang ini pun jelas. Korupsi akan dibela para komprador, pemilik uang dan modal, baik kartal maupun virtual. Dunia formal segera didukung oleh pihak yang paling merasa muak dan dirugikan oleh korupsi: rakyat! Bila pemimpin formal tidak percaya dengan kekuatan dukungan itu, tidak percaya kepada rakyat, baik, tetapi silakan mundur segera. Saya kira, inilah jalan berdasar kenyataan yang saat ini paling realistis dan idealistis. Tidak bisa lagi korupsi diatasi dengan aturan dan penegakan hukum yang lemah gemulai, banci, retorik, dan sebagian berisi kepengecutan. Perang harus dilakukan betapapun korban harus dijatuhkan. Bukankah semua perubahan besar dan radikal terjadi selalu dengan cara itu? Bukankah negeri menjadi negara juga dengan modus seperti itu? Bukankah presiden, SBY, juga
mempelajari dan memahami itu? Bukankah presiden ingin meninggalkan warisan dari dua periode kekuasaannya? Tidak lain, jadilah jenderal sesungguhnya. Pimpinlah perang ini! Radhar Panca Dahana Budayawan
http://www.shnews.co/detile-5977-melawan-budaya-korup.html
Melawan Budaya Korup Benny Susetyo Pr* | Selasa, 07 Agustus 2012 - 15:12:13 WIB
(dok/ist)Korupsi sudah mengakar di Indonesia. Korupsi
menjadi
habitus
sebagian
bangsa ini karena rendahnya sanksi sosial dan moral terhadap para pelaku korupsi. Setidaknya ini signifikan sebagai alasan susahnya memberantas korupsi hingga akar-akarnya di negeri ini. Sebagian besar masyarakat jengah dengan perilaku korupsi ini, tetapi sebagian kecil lainnya, khususnya mereka yang berada di area rawan korupsi, justru berpersepsi sebaliknya. Itulah ironisme tatkala melihat seorang koruptor justru diperlakukan seperti pahlawan. Mereka yang tertangkap karena kasus korupsi sering dianggap sebagai mereka yang “sial”.Apa artinya? Artinya perilaku korupsi lain yang tidak terungkap, yang sistemik, yang tidak terpublikasi di media masih begitu banyak dan besar. Saat korupsi masih membudaya seperti ini, sulit bagi kita untuk lepas 100 persen dan menghilangkan korupsi sampai akar-akarnya dalam waktu cepat. Para politikus dan birokrat yang dekat dengan arena korupsi kerap melihat mereka yang ditangkap adalah contoh kecil dari korupsi sesungguhnya. Asumsi seperti ini justru merupakan tantangan bagi pihak berwenang untuk membongkar setuntas-tuntasnya
berbagai tindakan, kecil atau besar, korupsi di negeri ini. Apalagi bila sudah menyangkut sistem, dapat dikatakan korupsi sudah demikian sistemik dalam sistem birokrasi kita. Susah dideteksi dengan perangkat hukum tetapi mudah dirasakan dengan mudah bahwa telah terjadi korupsi. Itulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini diperparah dengan banyaknya hak istimewa yang didapat para koruptor. Masyarakat bertambah yakin bahwa pelaku korupsi tidak selalu mendapatkan hukuman berat. Ada pula anggapan kalau koruptor dihukum 1–2 tahun, lepas dari penjara dia masih bisa berfoya-foya dengan uang hasil korupsinya. Pandangan-pandangan negatif yang bersifat melemahkan ini banyak beredar di sekitar kita. Korupsi yang menjadi musuh bersama itu sering masih berhenti hanya dalam ucapan. Dalam tindakan, amat sulit menegakkan hukum untuk memberi sanksi seberat-beratnya terhadap koruptor. Itu juga yang kerap membuat koruptor sering merasa tidak berdosa dengan tindakannya merampok uang negara (uang rakyat). Gejala ini terjadi karena sebagian budaya kita masih melihat pelaku korupsi yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasan itu seolah ”dibenarkan” dalam kacamata politik kekuasaan. Menjadi penguasa, dengan begitu, adalah justifikasi untuk melakukan tindakan korupsi, besar atau kecil, terlihat atau tidak. Akibatnya, semakin berkembang modus dan cara-cara merampok uang negara dalam tindakan yang sulit dideteksi publik. Ada banyak cara dilakukan, seperti pemeo yang beredar di masyarakat, maling selalu lebih pintar daripada polisi. Begitu pula dengan koruptor. Ada keyakinan kuat bahwa kasus-kasus korupsi yang muncul akhir-akhir ini adalah sebagian kecil, atau hanya puncak dari gunung es korupsi. Bila hal itu benar, celakalah kita sebagai bangsa yang ”mencintai” korupsi sebagai tindakan instan untuk memperkaya diri sendiri. Tindakan Tegas Karena yang paling dirugikan dalam setiap korupsi adalah masyarakat luas, sudah sepatutnya publik terus mengontrol dan mengingatkan penyelenggara negara atas tugasnya memberantas korupsi dan menegakkan hukum. Memberantas korupsi ibarat memeriksa kerusakan-kerusakan parah dalam diri kita. Ketika
mengobati salah satu bagian, atau bahkan mengamputasinya, bisa jadi bagian lain terasa sakit. Namun, itulah risiko agar badan tetap sehat. Bila kita tidak mampu dan mau mengobati diri dengan cara seperti itu, dan merasakan sakit dalam jangka pendek, dalam jangka panjang hal tersebut justru akan merusak bagian tubuh lainnya. Tanpa tindakan yang tegas dan penuh rasa keadilan, mustahil pemberantasan korupsi bisa dilakukan kecuali hanya dalam pidato pemanis mulut. Aparatur negara, mereka yang umumnya dikaitkan dengan tindakan korupsi, seharusnya justru berada di depan untuk memelopori kesadaran masyarakat untuk bersama-sama berpikir dan bertindak antikorupsi, dari lingkup paling kecil sampai paling besar. Ada harapan bahwa demokrasi bisa ditegakkan dengan membangun sistem yang transparan, kredibel, serta membawa efek jera terhadap para koruptor. Salah satu tanda bahwa suatu bangsa memang beradab adalah apabila dana-dana publik bisa dikelola demi kesejahteraan masyarakatnya. Hal itu sebenarnya merupakan cita-cita para pendiri bangsa. Dalam hal ini, kekuasaan berperan sangat vital. Bila tidak, justru komponen rakyat dengan berbagai pola gerakannya yang akan melampiaskannya dalam berbagai ketidakpuasan. Sangat jelas dan terang bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat. Itu semua terjadi karena begitu dekatnya aroma korupsi dalam kekuasaan. Kehendak Politik Akhir-akhir ini publik gundah, masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh? Perlu ditegaskan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut substansi. Kita belum sampai pada proses inti "pemerintahan yang bersih" itu sendiri. Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi berarti juga mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya terncantum cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Cita-cita itu merupakan dasar untuk memerangi korupsi, karena korupsi membawa bangsa ini pada kebangkrutan. Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran karena korupsi. Dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging, selalu terdapat
tarik-menarik, khususnya dari aspek penegakan hukum berhadapan dengan kekuasaan. Hukum yang sering diintervensi dengan pola-pola barter politik pada akhirnya tidak akan pernah bisa memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Korupsi begitu dekat dengan politik. Bahkan, karena korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan pribadi, korupsi paling sering dilakukan karena adanya dukungan kekuasaan politik yang dimiliki pelaku. Oleh karena itulah sudah seharusnya penanganan kasus-kasus korupsi dijauhkan dari intervensi politik, agar menghasilkan keputusan hukum yang netral dan tidak memihak. Karenanya, aparat penegak hukum tidak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan terhadap pihak mana pun, terutama penguasa. Namun, mencapai kondisi ideal semacam itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Bahkan boleh dikatakan keidealan semacam itu hanyalah mimpi. Karena korupsi dilakukan di aras politik, dan hukum kerap tunduk pada penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan sering kali tidak berimbang. Intinya, mereka yang berada dan memiliki jalur atau akses kekuasaan kerap kali mendapatkan situasi menguntungkan dari proses hukum yang terjadi. Cara seperti itu adalah pola penegakan hukum “belah bambu”, satu diangkat satu diinjak. Tugas kita semua untuk mengingatkan semua pihak yang berwenang agar tidak main-main dalam agenda pemberantasan korupsi, sebab rakyat sudah muak. Pemerintah harus menghentikan aksi pencitraan. Rakyat membutuhkan realisasi dari janji-janji manis pemberantasan korupsi. Korupsi hanya bisa ditangani dengan baik apabila terdapat komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata. *Penulis adalah pengamat masalah sosial. (Sinar Harapan)