“PERANG SUKU DI PAPUA”
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
NAMA
: PATRICK ALFRITS HUKUNALA
NIM
: 11.11.4810
KELOMPOK
:C
JURUSAN
: S1 TI (Teknik Informatika)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “PERANG SUKU DI PAPUA”. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai perang adat antar suku di Papua atau yang lebih khususnya membahas penyebab terjadinya perang dan hubunganya dengan Pancasila. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa memberkati segala usaha kita. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………. DAFTAR ISI…………………………………………… BAB I : ISI…………………………………………….. A. LATAR BELAKANG MASALAH……........ B. RUMUSAN MASALAH……………………. C. PEMBAHASAN MASALAH………………. D. PENJELASAN GAMBAR………………….. BAB II : PENUTUP………………………………………………. A. KESIMPULAN DAN SARAN……………….. B. REFERENSI…………………………………..
BAB I A. LATAR BELAKANG MASALAH Pulau Papua adalah pulau yang terbentuk dari endapan (Sedimentation) benua Australia dan pertemuan/tumbukkan antara lempeng Asia (Sunda Shelf) dan lempeng Australia (Sahul Shelf) serta lempeng Pasifik sehingga mengangkat endapan tersebut dari dasar laut Pasifik yang paling dalam ke atas permukaan laut menjadi sebuah daratan baru di bagian Utara Australia. Proses geologi ini diperkirakan terjadi pada 60 (enam puluh) juta tahun yang lalu dan hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan Kerang Laut, pasir laut dan danau air asin di daerah Wamena yang tingginya lebih dari 4.884 m di atas permukaan laut serta terdapatnya kesamaan hewan-hewan yang berada di Australia dan Papua seperti Kanguru. Akibat dari adanya endapan ini sehingga Pulau Papua banyak mengandung bahan galian golongan A, B, dan C seperti Emas, Perak, Tembaga, Aluminium, Batu kapur, Gamping, Uranium, dll. Dan juga dengan adanya tumbukkan lempeng ini sehingga mengangkat banyak fosil makluk hidup yang berupa Minyak, Gas Bumi dan Batubara. Selain itu, pulau Papua memiliki Hutan Tropis yang sangat lebat karena berada pada jalur Katulistiwa serta memiliki hasil laut yang banyak karena berada di Lautan Pasifik yang sangat luas. Dari hal inilah yang menyebabkan Pribumi Papua menjadi melarat di atas Kekayaan Alamnya sendiri bagaikan seekor Tikus yang mati di atas lumbung Padi. Oleh sebab itu, pulau ini menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa dan menjadi daerah konflik yang berkepanjangan sehingga banyak menimbulkan korban Penduduk Asli (Indigenous Peoples) dan Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dasar Masyarakat asli Papua.
B. RUMUSAN MASALAH Masyarakat Papua tidak hanya memiliki keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga persoalan hukum pun sangat unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominan dalam kehidupan masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif. Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri. Masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap tidak mampu membayar para jaksa, hakim, dan pengacara. Karena itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam proses pengadilan pun sangat kecil. Pengadilan bukan untuk menghukum yang salah dan membela yang benar tetapi membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ketidakadilan di bidang hukum tidak hanya terjadi di daerah, tetapi mulai dari Jakarta sampai ke pelosok terpencil seperti di Papua. Di tengah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan masyarakat Papua, orang masih tega-teganya mencari keuntungan pada setiap proses peradilan. Praktik pengadilan lebih banyak merugikan korban karena mereka tidak memiliki uang. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui hukum adat daripada hukum positif. Hukum adat tidak menuntut pihak korban mengeluarkan anggaran besar untuk musyawarah adat. Semua kebutuhan dalam proses hukum adat ditanggung para
pelaku terutama dalam kasus asusila. Data di Pengadilan Tinggi Papua menunjukkan, tahun 2003 di sembilan PN di Papua terdapat 462 perkara terdiri dari 240 kasus perdata dan 222 kasus pidana. Dari jumlah ini 75 persen terdapat di Kota Jayapura, sebagian menyebar di delapan kabupaten lain. Izin penyitaan yang dikeluarkan sembilan PN di Papua ditujukan kepada sembilan polres di Papua selama tahun 2003 sebanyak 4.500 surat izin. Tetapi perkara yang dilimpahkan ke sembilan PN terkait dengan izin penyitaan itu hanya 34 kasus. Artinya, sebagian besar perkara itu tidak sampai di pengadilan. Mereka yang perkaranya sampai di pengadilan sebagian besar adalah warga pendatang. Dapat disebutkan, sembilan PN di Papua lebih banyak menyidangkan perkara warga pendatang yang berdomisili di Papua daripada penduduk lokal. Kasus terbanyak adalah perselingkuhan, perceraian, pencurian, dan penganiayaan. Bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui pengadilan jauh lebih menguntungkan daripada secara hukum adat masyarakat lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka menyelesaikan di pengadilan, sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara adat. Tuntutan hukum adat mencapai miliran rupiah, ditambah ternah babi, dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak diperoleh melalui pengadilan. Keuntungan dari tuntutan hukum adat, tidak hanya bagi korban, tetapi hampir seluruh anggota keluarga yang dekat dengan korban atau semua anggota suku itu. Karena itu, dukungan dari suku terhadap korban sangat besar, dan bila pihak pelaku tidak memenuhi tuntutan adat, akan berbuntut pada perang antara suku.
C. PEMBAHASAN MASALAH Masyarakat Papua tidak hanya memiliki keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga persoalan hukum pun sangat unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominandalam kehidupan masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif. Masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai hukum positif. Padahal, hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan menjalankan hukum perdata maupun pidana. Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri (PN). Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat, ganti rugi kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga bertanggungjawab," kata Panji. Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri.
Masyarakat lebih tertarik menyelesaikan semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat menilai hukum adat lebih adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan di dalam musyawarah adat itu. Dalam pelaksanaan hukum positif banyak terjadi penyelewengan dan pembohongan terhadap masyarakat kecil terutama di pengadilan. Masyarakat kecil, tidak berduit, selalu menjadi korban ketimbang mereka yang berduit. Dalam hal ini, warga Mimika selalu tak berdaya ketika berhadapan dengan sang pengadil di PN Mimika. Korupsi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah oleh para pejabat dibiarkan. Kalau sampai ke pengadilan pun dibebaskan. Sementara masyarakat kecil yang mencuri ayam satu ekor dihukum sampai enam bulan penjara. Putusan itu sangat menyiksa masyarakat kecil yang selalu bergantung pada sumber daya alam dan dari perjuangansendiri. Masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap tidak mampu membayar para jaksa, hakim, dan pengacara. Karena itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam proses pengadilan pun sangat kecil. Sulit ditemukan. Pengadilan bukan untuk menghukum yang salah dan membela yang benar tetapi membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ketidakadilan di bidang hukum tidak hanya terjadi di daerah, tetapi mulai dari Jakarta sampai ke pelosok terpencil seperti di Papua. Di tengah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan masyarakat Papua, orang masih tega-teganya mencari keuntungan pada setiap proses peradilan. Praktik pengadilan lebih banyak merugikan korban karena mereka tidak memiliki uang. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui hukum adat daripada hukum positif. Hukum adat tidak menuntut pihak korban mengeluarkan anggaran besar untuk musyawarah adat. Semua kebutuhan dalam proses hukum adat ditanggung para pelaku terutama dalam kasus asusila.
Data di Pengadilan Tinggi Papua menunjukkan, tahun 2003 di sembilan PN di Papua terdapat 462 perkara terdiri dari 240 kasus perdata dan 222 kasus pidana. Dari jumlah ini 75 persen terdapat di Kota Jayapura, sebagian menyebar di delapan kabupaten lain. Izin penyitaan yang dikeluarkan sembilan PN di Papua ditujukan kepada sembilan polres di Papua selama tahun 2003 sebanyak 4.500 surat izin. Tetapi perkara yang dilimpahkan ke sembilan PN terkait dengan izin penyitaan itu hanya 34 kasus. Artinya, sebagian besar perkara itu tidak sampai di pengadilan. Menurut Panitera Sekretaris PN Timika Munawir Kossah sebagian besar perkara diselesaikan secara adat atas dukungan kepolisian. Kedua pihak ingin menyelesaikan perkara itu secara damai dan kekeluargaan di bawah bimbingan kepolisian. Ada pula perkara yang dihentikan penyidikan di kepolisian dengan alasan tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke pengadilan. Mereka yang perkaranya sampai di pengadilan sebagian besar adalah warga pendatang. Dapat disebutkan, sembilan PN di Papua lebih banyak menyidangkan perkara warga pendatang yang berdomisili di Papua daripada penduduk lokal. Kasus terbanyak adalah perselingkuhan, perceraian, pencurian, dan penganiayaan. Bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui pengadilan jauh lebih menguntungkan daripada secara hukum adat masyarakat lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka menyelesaikan di pengadilan, sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara adat.keuntungan yang diperoleh masyarakat yang berperkara melalui hukum adat jauh lebih besar dibandingkan dengan hukum formal. Tuntutan hukum adat mencapai miliran rupiah, ditambah ternah babi, dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak diperoleh melalui pengadilan. Keuntungan dari tuntutan hukum adat, tidak hanya bagi korban, tetapi hampir seluruh anggota keluarga yang dekat dengan korban atau semua anggota suku itu. Karena itu, dukungan dari suku terhadap korban sangat besar, dan bila
pihak pelaku tidak memenuhi tuntutan adat, akan berbuntut pada perang antara suku. Kasus yang sering melahirkan persoalan krusial di masyarakat adat adalah hak ulayat dan perzinahan atau asusila. Kasus ini sering berakhir dengan perang suku karena tidak ada kesepakatan antara kedua pihak. Misalnya, tuntutan keluarga korban agar pelaku membayar ganti rugi sampai Rp 2 miliar ditambah ternak babi mencapai ratusan ekor. Pihak pelaku menilai bahwa tuntutan keluarga korban terlalu berat dan sulit dipenuhi. Jika negosiasi kedua pihak tidak mencapai kesepakatan bersama, keputusan akhir adalah perang adat. Perang ini untuk membuktikan siapa yang paling benar dalam kasus tersebut. Pihak yang kalah diyakini telah melakukan kebohongan, pihak yang menang dinilai telah bertindak jujur dan adil. Perang adat tidak brutal. Perang itu harus disepakati kedua pihak terutama menyangkut jumlah anggota suku yang terlibat perang, tempat, waktu, dan kesepakatan mengenai perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh di dalam perang. Perang hanyaberlangsung di zona yang telah ditetapkan bersama. Bila kedua pihak saling bertemu di tempat lain, tidak akan ada permusuhan. Contoh, perang adat di Timika, Agustus 2003 antara kelompok pendukung dan penentang pemekaran Irian Jaya Tengah. Perang ditetapkan pagi hari sebelum matahari terbit, dan diakhiri siang hari setelah matahari mulai merangkak hilang dibalik bukit. Kedua pihak pun menghentikan perang sementara waktu untuk makan siang, kemudian dilanjutkan sore hari. Dua suku yang berada di Kwamki Lama Kelurahan Harapan, Timika, Papua, Suku Damal dan Dani terlibat perang adat setelah Suku Damal menolak membayar denda kompensasi atas pemerkosaan warga Suku Dani yang diduga dilakukan oleh warga Suku Damal. Akibat pertempuran ini, 1 orang meninggal dan 50 orang terluka, demikian laporan polisi. Pihak polisi tak dapat berbuat banyak, dan hanya mengawasi dari jarak tertentu. Polisi juga masih berupaya mendamaikan dua pihak
yang bertikai. Dipicu Dendam Antar keluarga atau Kasus Perselingkuhan Perang antarsuku seakan masih menjadi tradisi di beberapa daerah pedalaman Papua. Termasuk perang di Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru. DI wilayah Kabupaten Mimika ada tujuh suku. Mereka adalah Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Mee, dan Moni. Biasanya, kelompok-kelompok ini dipisahkan oleh letak geografis. Namun, bisa jadi, sebuah desa atau distrik ditinggali lebih dari satu suku. Suku Kamoro, misalnya, tinggal di dataran rendah hingga bagian pantai Mimika. Suku Amungme banyak mendiami daerah pegunungan. Kedua suku tersebut banyak disebut orang sebagai suku asli Mimika. Lima suku lain datang dari wilayah kabupaten sekitar Mimika. Suku Dani berasal dari bagian barat Kabupaten Jayawijaya (Wamena). Suku Damal berasal dari Mulia, pertengahan antara Kabupaten Jayawijaya dengan Kabupaten Paniai. Akibatnya, saat berhadapan dengan perkembangan daerah yang cukup signifikan, mereka mengalami keterkejutan budaya (cultural shock). Karena itu, kuat kesan bahwa warga pedalaman Papua resistan dengan perubahan. Bahkan, sering mereka menyikapinya dengan emosional Mereka lebih taat kepada hukum adat daripada hukum nasional. Yang lebih mendominasi pikiran mereka adalah aturan adat. Ini juga terbentuk karena hidup di pedalaman penuh tantangan. Bukan hanya alam yang keras, tuntutan mencari nafkah mengharuskan mereka berbulanbulan bahkan bertahun-tahun naik turun gunung dan lembah. Jangan heran apabila watak masyarakat pribumi keras dan tegas, contohnya, kebiasaan yang sekarang ini masih terpelihara pada suku Dani yang berkaitan dengan pernikahan. Biasanya, seorang pria yang ingin berkenalan dengan wanita harus membangun komunikasi dengan keluarga dekat wanita tersebut. Jika tawaran itu diterima, perempuan bersangkutan melakukan apa yang disebut warga Dani bingga lakue atau bingga lakarak. Pada tahap ini, perempuan datang ke rumah laki-laki untuk memasak, lalu
pergi. Tugas itu berlangsung lebih dari satu bulan. Apabila pihak perempuan merasa sudah waktunya mengetahui sikap orang tua pria, dilakukan upacara koeame wagarak atau perempuan datang untuk mendengar jawaban dari orang tua pria. Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua menyampaikan persetujuan. Tahap ketiga jalinan itu adalah koejiqui atau koejikopopiwogi. Pada tahap ini, orang tua perempuan mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki. Biasanya, dilakukan acara potong babi dan diselenggarakan pesta adat. Sebelum diantar, orang tua perempuan merias sendiri anaknya, seperti mengenakan noken, kulit bia, dan berbagai perlengkapan adat lain. Setelah mengantar anaknya, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang tua laki-laki mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis pengeluaran berkaitan dengan acara koejikopopiwogi, terutama biaya untuk periasan anak menantunya. Acara ini dalam bahasa setempat disebut koewupugi. Setelah semua pengeluaran direkap, baru dilakukan pembayaran oleh pihak keluarga pria kepada keluarga perempuan. Juga dijelaskan oleh Philipus, seorang suku Dani -juga lima suku lain: Amungme, Moni, Damal, Nudga, Mee- yang meninggal dalam perang harus dibakar. Pembakaran mayat tersebut merupakan persembahan kepada arwah nenek moyang, karena sebelum perang adat, kepala suku dan kepala perang harus melakukan upacara memanggil arwah. Menurut kepercayaan warga Dani, sudah ditentukan arwah nenek moyang yang menjaga mereka selama perang. Setelah membakar, kubu bersangkutan harus menyampaikan pada kubu lawan tentang nama dan identitas mayat yang dibakar. Menurut Philipus, ini bertujuan agar kubu lawan senang dan kubu yang menderita tidak mendapat gangguan dari arwah.
D. PENJELASAN GAMBAR
BAB II PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
A. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN :
Dari uraian yang terdapat dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan menjadi beberapa poin, yaitu : Bahwa Perang Suku di Papua adalah pilihan bagi rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur segala aturan dan tata cara di Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan, dan diberikannya perlakuan yang berbeda karena kekhususan yang dimilikinya. Dalam Perang Suku di Papua terdapat Nilai-nilai Dasar yang bersumber dari adat istiadat rakyat Papua, nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip kebudayaan, dan penghormatan akan warisan yang diturunkan oleh nenek moyang.
SARAN
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar nantinya dapat menjadi masukan bagi saya di waktu yang akan dating, terima kasih.
B. DAFTAR PUSTAKA
Http://papuapost.wordpress.com Http://www.huma.or.id Http://www.anneahira.com Http://berita.liputan6.com Http://pushtop.blogspot.com Http://filarbiru.wordpress.com Http://jabar.tribunnews.com Http://wonderhot.blogspot.com