Sekali Lagi, Soal BMI di Irak Written by Administrator Monday, 07 April 2008 09:18
Masalah keberadaan buruh migrant Indonesia (BMI) di Irak kembali mendapat sorotan dari media massa. Melalui release Migrant-CARE, saat ini, setidaknya 65 BMI terjebak di Irak. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan terkepung oleh gejolak perang yang belum berkesudahan. Seperti biasa, pemerintah bersikap lamban dan cenderung mengaku tidak mengetahui soal keberadaan BMI di Irak. Sikap dan kecenderungan pemerintah ini sungguh mengecewakan. Meski memang tidak ada kesepakatan penempatan BMI di Irak, namun peluang adanya penempatan secara illegal di Irak tetap terbuka. Sudah berkali-kali masyarakat mendapat informasi tentang keberadaan BMI di Irak, mulai dari kasus Istiqomah dan Casingkem, kemudian kasus 72 BMI yang bekerja di kamp-kamp militer Amerika Serikat, kasus Elly Anita, dan lain-lain. Pemerintah seharusnya bisa melakukan reaksi cepat dengan memberikan pertolongan langsung dan melakukan asesmen mengenai fenomena penempatan tenaga kerja Indonesia di Irak. Tujuannya, bukan untuk melegalkan penempatan itu sendiri, melainkan untuk menutup terjadinya pengiriman-pengiriman illegal buruh migrant ke Irak. Dengan demikian, kasus-kasus sebagaimana yang menimpa 62 BMI yang kini berada di Irak, bisa dicegah. Perang Agresi di Irak Keberadaan BMI di Irak sesungguhnya tidak terlepas dari perang yang sejak tahun 2003 berkecamuk di negeri tersebut. Perang tersebut telah berlangsung lima tahun dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Kekerasan bersenjata, aksi-aksi bom bunuh diri, pertentangan antar kelompok, dan bentuk-bentuk konflik lainnya sangat mudah terjadi di negeri tersebut. Selain karena ancaman dalam negeri, potensi kekerasan juga sempat muncul dari Turki, negara yang berbatasan dengan Irak. Amerika Serikat yang memimpin agresi militer ke Irak semakin kesulitan untuk mengatasi ancaman keamanan di negeri tersebut. Pemerintahan boneka AS di Irak pimpinan Presiden Jalal Talabani dan Perdana Menteri Nouri Al-Maliki cenderung gagal mengatasi aksi-aksi kekerasan yang frekuensinya tidak bisa ditentukan. Sampai sekarang, di samping menciptakan kerugian sebesar lebih dari USD 500 miliar, perang Irak juga telah menelan korban jiwa yang tidak sedikti. Lebih dari 4000 tentara Irak sudah meninggal akibat perang tersebut dan jutaan rakyat Irak tewas akibat rangkaian kekerasan dalam lima tahun terakhir. Selain memancing kecaman internasional, “perang untuk minyak” yang dilancarkan AS Pimpinan Presiden ‘koboi-bandit’ George W. Bush juga turut sentimen anti-perang di dalam negeri AS yang berdampak pada stabilitas politik negeri imperialis nomor satu itu. Situasi ini semakin memperburuk kepemimpinannya yang kini tengah dikepung ancaman krisis ekonomi dan keuangan yang sangat berat. Harus dipahami, perang agresi yang dipimpin Amerika Serikat sesungguhnya merupakan
1/5
Sekali Lagi, Soal BMI di Irak Written by Administrator Monday, 07 April 2008 09:18
prakondisi yang menggiring masuknya sebagian buruh-buruh migrant Indonesia ke Irak. Sebagaimana perang-perang imperialis sebelumnya, Perang Agresi AS ke Irak, secara esensi mengandung peranan dalam penghancuran tenaga produktif. Dalam konteks perang Irak, migrasi pengungsian penduduk Irak ke beberapa negara di kawasan Teluk Persia dan Timur-Tengah, telah menyebabkan merosotnya pasokan dan ketersediaan tenaga kerja di negara tersebut. Di sisi lain, berbagai infrastruktur, baik fisik maupun sosial, yang hancur akibat perang, harus segera diperbaiki agar bisa membantu pemulihan keadaan. Situasi inilah yang memunculkan kebutuhan akan tenaga kerja. Hal ini ditangkap oleh perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja sebagai peluang usaha. Dari informasi yang dikumpulkan oleh situs www.warprofiteer.org diketahui bahwa sektor-sektor yang terbuka untuk penempatan tenaga kerja asing cukuplah luas. Mulai dari sektor-sektor yang terkait dengan usaha pertambangan minyak, infrastruktur dan property, pelayanan sosial, sampai sektor-sektor jasa keamanan dan spionase untuk kepentingan bisnis. Bagi perusahaan-perusahaan pemasok tenaga kerja yang berasal dari Indonesia lebih banyak mengisi peluang kerja sektor-sektor domestik. Hal ini tidak lain karena konsentrasi perusahaan-perusahaan pengerah tenaga kerja asal Indonesia yang berada di kawasan Timur-Tengah memang umumnya mengisi posisi penempatan di sektor-sektor pekerja domestik. Dengan demikian, para BMI yang saat ini terperangkap di Irak, sesungguhnya merupakan korban dari tindakan spekulasi yang dilakukan agen-agen penempatan BMI untuk meraup untung besar dari perang yang berkecamuk di Irak. Memang tidak mudah untuk menangkal pengiriman BMI ke Irak. Akan tetapi, bukan tidak mungkin pemerintah menemukan modus pengiriman BMI ke Irak. Kita bisa kembali membongkar arsip-arsip berita tentang kasus-kasus pengiriman BMI ke Irak yang sebelumnya pernah diliput media massa. Kasus-kasus tersebut diantaranya; kasus Casingkem binti Kaspin (22) dan Istiqomah binti Misnad (36) yang pernah diculik oleh militant Irak pada tahun 2004; pengalaman Elly Anita dan 18 buruh migrant perempuan lainnya pada tahun 2007; dan kasus 72 buruh migrant Indonesia yang bekerja di kamp-tentara AS di Irak tahun 2007. Kasus Istiqomah dan Casingkem, 2004 Keduanya dikirim oleh PT Akbar Insan Prima (AIP), perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang berdomisili di kawasan Condet Jakarta Timur. Oleh perusahaan yang mengirimnya, Istiqomah diberi paspor atas nama Rosidah binti Tohir Ahim sementara Casingkem sempat dinamai Rafikah binti Nasim, kemudian diketahui bernama Novitasari binti Sugito, sampai akhirnya diketahui bernama Casingkem. Tindakan pemalsuan dokumen identitas ini disebabkan PTJKI yang mengirimkan Istiqomah dan Casingkem cenderung tidak ingin terlalu pusing dengan urusan masalah identitas. Istiqomah
2/5
Sekali Lagi, Soal BMI di Irak Written by Administrator Monday, 07 April 2008 09:18
diberi paspor atas nama Rosidah karena dianggap memiliki wajah yang sama. Lagipula, Rosidah yang berasal dari Sukabumi, tidak pernah kembali ke penampungan setelah beberapa kali dihubungi. Tidak hanya nama, alamat keduanya pun sempat simpang-siur. Carsingkem misalnya, ketika dia bernama Rafikah binti Nasim, dia beralamat di Cianjur. Kemudian, ketika dia bernama Novita Sari, dia disebut berasal dari Kabupaten Malang. Padahal Carsingkem adalah warga RT 09/04, Desa Bongas, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sementara Istiqomah yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi, sempat diduga berasal dari Kabupaten Sukabumi ketika masih “bernama” Rosidah. Informasi tentang wilayah penempatan pun berubah-ubah. Awalnya, Istiqomah dan Casingkem diberitahu akan bekerja di Singapura. Namun ternyata Singapura hanyalah tempat untuk transit. Dari Singapura, mereka diterbangkan ke Jordania. Dari situ kemudian dikirim ke Irak. Menurut pemerintah, proses ini “tidak diketahui” oleh pemerintah. Informasi mengenai hal ini baru terkuak ketika stasiun TV Al-Jazeera menayangkan gambar tentang dua orang WNI yang diculik oleh militan Irak. Dalam tayangan itu, para penculik menuntut Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Kiayi Haji Abibakar Ba’asyir yang tengah dipenjara akibat tuduhan terlibat aksi terorisme. Mengapa para penculik memilih kedua BMI tersebut? Dari informasi Istiqomah dan Casingkem, awalnya para penculik menduga keduanya adalah istri dari para “ekspatriat” yang bekerja di Irak. Namun setelah Istiqomah menunjukkan foto suaminya, para penculik itu baru percaya dan kemudian membebaskan keduanya. Kasus Elly Anita, September-November 2007 Kasus ini terjadi pada saat meningkatnya ketegangan militer di kawasan Kurdistan yang merupakan wilayah perbatasan Irak dan Turki. Ketegangan ini sendiri disebabkan pemerintah Turki menganggap wilayah Kurdistan di Irak menjadi basis perlawanan gerilyawan Kurdistan. Seperti diketahui, kaum Kurdi yang mendiami daerah Kurdistan selama ini hidup dibawah tiga negara yang berbeda, yakni Irak, Turki, dan Iran. Ketidakstabilan politik di Irak menyebabkan kawasan Kurdistan di Irak memang memungkinkan para gerilyawan Kurdistan untuk membangun kekuatan dan kembali melancarkan perlawanan untuk pemisahan diri dari Irak, Turki, dan Iran. Menimbang ketidakstabilan politik di Irak serta ancamannya pada kestabilan teritorial, pemerintah Turki sempat mengirimkan pasukannya ke wilayah perbatasan untuk memburu gerilyawan Kurdi. Sikap pemerintah Turki ini juga dipicu oleh kebijakan AS yang memberi peluang bagi kaum Kurdi untuk mengembangkan organisasi politik dan militernya. Di tengah situasi itu, Elly Anita, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Kurdistan, berupaya keluar dari kawasan yang tengah diancam perang terbuka. Berkali-kali dia
3/5
Sekali Lagi, Soal BMI di Irak Written by Administrator Monday, 07 April 2008 09:18
menelepon sejawatnya di Dubai dan berkirim email ke kalangan LSM Indonesia yang bekerja dalam advokasi buruh migrant. Dari Elly Anita inilah kasus pengiriman BMI ke Irak kembali terkuak. Di samping Elly Anita, diketahui terdapat 18 BMI lainnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga masih tertahan di Irak pada saat itu. Di samping ke-18 BMI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sebagaimana BMI-BMI lain yang bekerja di kawasan Timur-Tengah, mereka tidak bisa leluasa berkomunikasi sehingga keberadaan dan keselamatannya sulit untuk dipastikan. Seperti halnya kasus Istiqomah dan Casingkem, pemerintah pun terkesan tidak siap menghadapi berita ini. Di samping lamban dalam mengolah dan memastikan informasi, pemerintah juga kebingungan mencari metode yang efektif untuk mengeluarkan para BMI dari kawasan Irak. Untuk membebaskan para BMI tersebut, pemerintah sempat menghubungi Pemerintah AS di Washington guna mendapatkan akses masuk ke Irak. Pada saat yang bersamaan juga diberitakan adanya sekitar 72 BMI yang bekerja sebagai juru masak di kamp tentara AS di Baghdad. Informasi mengenai keberadaan ke-72 BMI tersebut diperoleh dari Steven Lathu, salah seorang BMI yang baru kembali dari Irak. Menurutnya, BMI yang dikirim ke Irak pada awalnya berjumlah 86 orang, 14 di antaranya sudah kembali ke Irak. Para BMI tersebut dikirimkan oleh PT North Java Sea Group, yang berkantor di Cilandak Dalam, Jakarta Selatan.
Tanggungjawab Pemerintah Anis Hidayah, Direktur Migrant Care mengatakan, “September tahun lalu (2007) TKW asal Indonesia yang berada di negara dilanda konflik itu sekitar 70 orang, tapi baru 29 orang yang teridentifikasi. Dari jumlah itu lima di antaranya sudah dipulangkan ke Indonesia. Atas nama Eli Anita, Darniati dan Castini dipulangkan 7 November 2007 dan atas nama Siti Suleha serta Aan Fathona dipulangkan ke Indonesia 6 Desember 2007. Sisanya kini masih sekitar 65 orang” (Harian Terbit, 1 April 2008). Pernyataan Anis Hidayah bisa ditafsirkan bahwa pemerintah ternyata tidak melakukan apapun, khususnya sejak Desember 2007 sampai sekarang, untuk memulangkan buruh-buruh migrant Indonesia yang saat ini terperangkap di Irak. Adapun tindakan yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah hanyalah salah-satu bentuk respon mengingat kasus-kasus tersebut mendapatkan perhatian dari media massa. Dengan demikian, seandainya militan Irak tidak menculik Istiqomah dan Casingkem dan TV Al Jazeera tidak menayangkan gambar penculikan itu, atau seandainya Elly Anita tidak ‘getol’ memberikan kabar tentang keberadaannya di Irak, atau Steven Lathu salah satu BMI yang pernah bekerja di kamp militer AS di Irak tidak buka mulut soal keberadaan 72 kawan-kawannya di Irak, sudah barang tentu pemerintah tidak akan pernah tahu tentang keberadaan BMI di Irak.
4/5
Sekali Lagi, Soal BMI di Irak Written by Administrator Monday, 07 April 2008 09:18
Situasi inilah yang sesungguhnya mengecewakan masyarakat Indonesia. Padahal, pemerintah sebenarnya bisa melakukan asesmen dengan mengurai kembali pengalaman-pengalaman dari BMI yang menjadi korban penempatan di Irak. Dari mereka pasti banyak informasi-informasi penting yang bisa digali untuk merekonstruksi jalinan permasalahan, modus-modus, aktor-aktor yang terlibat, dan karena bukan tidak mungkin jumlah yang sebenarnya lebih dari 65 orang, upaya serius untuk mengumpulkan informasi dari para BMI dapat memungkinkan pemerintah memverifikasi jumlah sesungguhnya BMI yang terperangkap di Irak. Artinya, gejala dan keberadaan BMI di Irak sesungguhnya bukanlah misteri yang tidak bisa dibongkar. Asal ada kemauan politik, kendala-kendala teknis pasti bisa diatasi. BIla ternyata memang tidak ada kemauan politik, itu yang tidak kami mengerti. Syamsul Ardiansyah Jakarta, 7 April 2008
5/5