Perang Gugat Mantan Sahabat http://www.gatra.com/hukum/31-hukum/16001-perang-gugat-mantan-sahabat-
Thursday, 09 August 2012 00:00 Sengketa
James
Riady
dengan
Ananda
T.
Krishnan
memasuki babak baru. Krishnan meminta Pengadilan Tinggi Singapura mengeluarkan penetapan agar pihak James melaksanakan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura untuk membayar denda senilai US$ 300 juta. Pihak James menilai putusan arbitrase Singapura itu cacat hukum. --Suatu hari di tahun 2009, taipan pemilik Grup Lippo, James Riady, memanggil Peter Frans Gontha, Presiden Komisaris PT First Media, salah satu anak perusahaan Lippo. Dalam pertemuan itu, James meminta Peter menangani kasus sengketa antara Lippo dan Astro All Asia Network, milik orang kaya nomor dua Malaysia, Ananda T. Krishnan. "Tolong kamu selesaikan masalah ini," kata James kepada Peter ketika itu. Dua raksasa konglomerasi beda negara itu sejak tahun 2004 memang menjalin kerja sama pendirian perusahaan penyedia saluran televisi berbayar Astro Nusantara. Namun, pada 2008, keduanya pecah kongsi akibat gagalnya kesepakatan berlangganan dan kepemilikan saham bersama (KBKS). Pada 6 Oktober 2008, Astro pun mendaftarkan gugatan ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Astro menggugat tiga perusahaan di bawah bendera Grup Lippo, yaitu PT First Media Tbk, PT Ayunda Prima Mitra, dan PT Direct Vision, dengan nilai gila-gilaan, US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,85 trilyun. Sengketa antara mantan dua sahabat ini belakangan menjadi "pertempuran" berkepanjangan. Wajar jika kemudian James meminta Peter "turun gunung" menanganinya. Peter pun segera bergerak. Tak hanya sibuk mempelajari berkas-berkas perkara perselisihan bernilai trilyunan rupiah itu, ia juga sampai harus terbang ke Inggris. "Tujuannya, mencari pengacara berpredikat queen's counsel (QC) terbaik untuk menghadapi gugaran Astro di Pengadilan Tinggi Singapura," kata sumber GATRA di Grup Lippo. QC adalah predikat pengacara senior Inggris dengan reputasi bagus. Peter tampaknya memerlukan "amunisi" bagus untuk menghadapi berondongan gugatan pihak lawan. Pasalnya, pada pertempuran babak pertama, pihak Lippo "tewas" setelah pihak SIAC pada 16 Februari 2010 menyatakan memenangkan gugatan Astro dan
menetapkan Lippo harus membayar nilai kerugian US$ 300 juta yang diklaim Astro. Atas putusan itu, pihak Direct Vision dan PT Ayunda Prima Mitra sebenarnya sudah mengajukan pembatalan putusan SIAC ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Sayangnya, upaya itu mentok lantaran majelis hakim PN Jakarta Pusat menilai tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Dalam pertimbangannya, majelis hakim ketika itu menyatakan sependapat dengan dalil yang dinyatakan pihak Astro dalam eksepsinya, yaitu gugatan tersebut seharusnya dilayangkan di pengadilan Singapura, tempat putusan arbitrase itu dibuat. Perkara ini berlanjut hingga ke Mahkamah Agung (MA). Namun, pada 23 Juli 2012, MA juga menolak kasasi dari pihak Direct Vision. Kini perseteruan antara dua konglomerat Asia itu memasuki babak baru. Akhir Juli lalu, Astro mengajukan gugatan ke Singapore High Court atau Pengadilan Tinggi Singapura. Pihak Astro meminta pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi agar pihak Lippo melaksanakan keputusan SIAC. "Putusan itu final dan mengikat dan diakui di bawah hukum Singapura. Karena itu, pihak pengadilan tinggi harus menetapkan (Lippo --Red.) melaksanakanya," kata pengacara Astro, David Joseph. *** Dalam sidang pembukaan yang berlangsung pada 25-28 Juli lalu, kedua pihak kembali beradu argumen. Jalannya persidangan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan di Singapura. Tak kurang dari mahasiswa dan pengacara datang ke ruang sidang, menyaksikan jalannya persidangan terbuka itu. Permohonan agar persidangan dilaksanakan secara terbuka datang dari pihak Lippo. "Permohonan itu berhasil. Sidang itu menarik banyak peminat," kata Toby Landau, kuasa hukum Grup Lippo yang berkualifikasi QC. Pada hari pertama, pengacara Lippo diberi waktu untuk menyampaikan keberatan atas gugatan Astro. Dalam sanggahannya, Toby Landau mengatakan, Pengadilan Arbitrase Singapura tidak memiliki yurisdiksi dalam sengketa ini. Alasannya, ketiga penggugat, yaitu Astro All Asia Network, Measat Broadcast Network System, dan All Asia Multimedia Network, tidak memiliki perjanjian arbitrase dengan First Media. Selain itu, pihak Lippo juga menyatakan tidak pernah menerima dokumen tuntutan dari pihak Astro. Toby Landau mengatakan, dokumen tuntutan yang dibawa pihak Astro ke kantor PT Direct Vision hanya ditumpuk di luar gedung, kemudian dibawa kembali pihak Astro. Selain itu, pihak Lippo juga menuduh Astro telah beriktikad buruk untuk menguasai saham PT Direct
Vision dengan cara menaikkan anggaran agar porsi kepemilikan Lippo di perusahaan patungan itu menurun. Pada hari kedua, giliran pihak Astro yang diberi kesempatan untuk menyanggah segala keberatan yang diajukan pihak Lippo. Kuasa hukum Astro, David Joseph, mengatakan bahwa putusan SIAC harus tetap dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1981. Konvensi itu mewajibkan negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia, mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase internasional. "Tidak ada lagi upaya hukum lanjutan yang bisa dilakukan (oleh Lippo --Red.) untuk menyanggah keputusan itu ataupun validitasnya," kata Joseph. Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya hakim tunggal Belinda Ang yang mengadili perkara ini memutuskan bahwa pihaknya akan mempelajari dulu kasus ini. Keputusan akan diambil dalam tiga-enam bulan ke depan. Pengadilan Tinggi Singapura juga diharapkan mengeluarkan putusan apakah kedua pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Singapura. Meski demikian, apa pun putusan pengadilan tinggi nanti, sepertinya perkara ini belum akan selesai. "Pihak yang kalah pasti akan menggugat ke Mahkamah Agung Singapura," kata sumber GATRA yang hadir dalam persidangan itu. *** Kisah kisruh persengketaan dua raksasa Asia Tenggara ini bermula pada 11 Maret 2005. Saat itu, pihak Lippo dan Astro sepakat membentuk sebuah usaha patungan bernama PT Direct Vision. Pihak Lippo diwakili PT Ayunda Prima Mitra, sedangkan Astro diwakili Astro All Asia Network. Kedua pihak menandatangani subscription and shareholder's agreement, yang isinya antara lain menyatakan bahwa 51% saham Direct Vision akan dimiliki Astro All Asia Network, sedangkan 49% dimiliki Ayunda. Sebelum pengalihan saham terjadi, saham Direct Vision masih dikuasai Grup Lippo melalui Ayunda dan Silver Concord Holdings Limited, yang berkedudukan di British Virgin Island. Menurut sumber GATRA yang mengetahui seluk-beluk kerja sama itu, saham jatah Silver Concord Holdings Limited itulah yang rencananya dialihkan ke Astro All Asia Network. "Jatah saham di Silver Concord itulah yang disiapkan untuk dialihkan ke Astro, biar mudah," kata sumber itu. Sayangnya, pada November 2005, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Pasal 28 PP itu menyatakan, kepemilikan orang atau badan hukum asing di
televisi berlangganan maksimal hanya 20%. Aturan itu menyebabkan Ayunda dan Astro All Asia Network harus merancang ulang perjanjian. Namun, belum juga perjanjian baru itu diteken, Astro Nusantara tiba-tiba meluncurkan tayang perdana pada 28 Februari 2006. Sumber GATRA menyebutkan, mengudaranya Astro Nusantara itu hanya bermodal rasa saling percaya antara Ayunda dan Astro All Asia Network. "Ibaratnya, seperti pemuda bertemu gadis cantik, lalu menikah tanpa ada perjanjian soal harta gono-gini dan sebagainya," ujarnya. Sumber itu mengatakan, meskipun saham Direct Vision dikuasai anak perusahaan Lippo, Astro All Asia Network tetap memegang kendali siaran Astro Nusantara. "Sebagian besar orang di Direct Vision itu dari Astro, dari level direktur sampai office boy," katanya. Lippo, kata dia, hanya menempatkan Paul Montolalu --bekas direktur pemasaran di First Media-- sebagai direktur di Direct Vision. Urusan operasional Astro Nusantara, dari pemilihan siaran, pemakaian satelit, dan sebagainya, juga sepenuhnya berada di bawah Astro All Asia Network. Menurut sumber GATRA itu, selama tiga tahun bersiaran --dari 28 Februari 2006 sampai 20 Oktober 2008-- Astro Nusantara tak menangguk untung. Pasalnya, kebijakan manajemen Astro seringkali kontroversial. Contohnya, Astro All Asia Network sering menjual program siaran ke Direct Vision dengan harga sangat mahal. "Misalnya, dia beli program itu dari BBC cuma US$ 9 sen, tapi dijual ke Direct Vision US$ 9. Itu kan 10 kali lipat harganya," kata sumber itu. Di sisi lain, program yang dijual ke Direct Vision dengan harga mahal itu kemudian dijual ke pelanggan dengan sangat murah. "Astro dulu itu cepat mendapat banyak pelanggan karena biaya berlangganannya murah. Cita-cita mereka dulu kan ingin membunuh Indovision," ujarnya. *** Versi pihak Astro menyatakan sebaliknya. Usai keluarnya beleid pemerintah tadi, pihaknya menerima konfirmasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahwa Direct Vision dapat terus beroperasi sesuai dengan izin dan persetujuan yang ada, sementara menunggu pengajuan izin baru sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena itu, ketika pembahasan pembagian saham belum selesai dan Astro Nusantara keburu tayang perdana, pihak Astro All Asia Network menyetujuinya. Pihak Astro percaya, kesepakatan yang tertunda terkait pembagian saham yang sesuai
dengan Undang-Undang Penyiaran dan kesepakatan layanan komersial akan bisa dilaksanakan dengan baik. Atas dasar iktikad baik itulah, pihak Astro menyatakan komitmennya dan Astro mengeluarkan kewajiban berupa biaya pembangunan platform TV berlangganan via satelit. Hingga 31 Juli 2006, tercatat Astro telah mengucurkan dana M$ 157 juta atau setara dengan Rp 471 milyar. Tapi, entah kenapa, pihak Lippo secara tidak pasti menunda finalisasi perjanjian patungan yang telah direvisi dan kesepakatan layanan komersial dengan berbagai alasan. Hal ini, menurut pihak Astro, menimbulkan peningkatan pembiayaan yang dibutuhkan untuk melakukan roll out platform televisi berbayar via satelit. Persoalan ini terus berlarut hingga Astro mengklaim bahwa pihaknya telah membenamkan investasi di Direct Vision sampai M$ 536 juta (setara dengan Rp 1,6 trilyun). Pun begitu, Astro menyatakan tetap menyediakan berbagai layanan kepada Direct Vision untuk membangun jaringan televisi berbayar berbasis langganan, yang ditargetkan meraih 100.000 pelanggan dalam dua tahun. Antara lain, pihak Astro tetap menyediakan layanan sewa peralatan penerima satelit, layanan teknologi informasi, dan kanal. Sayangnya, menurut versi Astro, pihak Lippo tak kunjung menunjukkan iktikad baik menyelesaikan kewajibannya. Kabarnya, negosiasi jadi berlarut-larut gara-gara Lippo mematok harga tinggi untuk kepemilikan 51% saham Direct Vision, yakni mencapai US$ 250 juta. Astro jelas keberatan sehingga negosiasi akhirnya mentok. Inilah salah satu faktor yang membuat hubungan keduanya mulai memburuk. Pada Mei 2008, Astro All Asia Network mengirim tagihan kepada Direct Vision untuk biaya jasa yang selama ini dinikmati Astro Nusantara. Alasannya, pihak Astro All Asia Network selama ini telah mengucurkan dana yang nilainya mencapai M$ 805 juta atau setara dengan Rp 2,415 trilyun. Di sisi lain, karena negosiasi saham mentok, Lippo dianggap belum memberikan kontribusi apa pun atas pembiayaan yang dibutuhkan PT Direct Vision. Namun pihak Lippo tidak mau membayar itu. Alasannya, pihak Lippo merasa tidak terikat dengan perjanjian tertulis apa pun tentang pemberlakuan biaya itu. "Pihak Astro All Asia Network menganggap biaya itu sebagai utang Direct Vision, tapi Lippo merasa tak terkait dengan biaya itu karena sejak awal mereka tidak mengurusi manajemen Astro Nusantara," ujar sumber GATRA. Merasa tak mengerjakan masing-masing bagian, Astro pun memutuskan untuk menarik dukungan dan layanannya serta menarik penggunaan merek dagangnya. Sebaliknya, pihak
Lippo geram atas keputusan Astro itu. Tak mau kalah gertak, Lippo mengancam untuk mengajukan gugatan hukum kepada pihak Astro. Maka, resmilah pada tahun itu juga kongsi keduanya pecah. Akibat pecah kongsi itu, layanan Astro Nusantara yang sempat melesat pada mulanya akhirnya goyah. Karena keputusan Astro menghentikan semua bantuan, Lippo juga menghentikan semua proses negosiasi saham. Namun, menurut sumber GATRA, perpecahan itu terjadi tak hanya menyangkut urusan bisnis televisi berbayar. Pecah kongsi itu juga dipicu masalah bisnis antara Lippo Group dan Usaha Tegas Group --induk Astro All Asia Network-- dalam kongsi usaha lainnya, yakni PT Natrindo Telepon Seluler. "Perpecahan di Natrindo itu merupakan faktor yang berpengaruh ke perpecahan di Astro Nusantara," kata sumber GATRA. Lippo marah besar gara-gara Maxis Communication menjual Natrindo kepada Saudi Telecom pada Juni 2006. Semula, Maxis membeli 95% saham Natrindo dari Lippo dengan harga US$ 24 juta. Tapi, dalam waktu hanya berselang dua bulan, Maxis membanderol 51% saham Natrindo plus 25% saham Maxis ke Saudi Telecom dengan harga berlipat ganda, yaitu US$ 3,05 milyar. Gara-gara kasus ini, pihak Lippo merasa dikerjai oleh Ananda T. Krishnan sebagai pemilik Maxis. Sentimen ini akhirnya menjadi urusan pribadi antara keluarga Riady dan Krishnan. Karena itulah, sebagai "hukuman" atas laku lancung Krishnan, Lippo menunda-nunda perundingan terkait saham Direct Vision sampai persoalan Natrindo selesai. Sayangnya, ketika masalah ini akhirnya kelar, selera kedua pihak untuk menyelesaikan masalah Direct Vision telanjur hilang. Karena itulah, Lippo seolah membalas dendam menetapkan banderol gila-gilaan tadi, yang membuat Astro jadi murka pula. Puncak kisah kusut bisnis dua konglomerat dari negeri serumpun ini pun buyar secara resmi pada 4 September 2008. *** Dimintai keterangan soal gugatan di tingkat pengadilan tinggi itu, pihak Grup Lippo memilih bungkam. Peter Gontha yang ditemui GATRA pada Selasa pekan lalu menolak berkomentar. "Saya no comment!" ujarnya. Pentolan Grup Lippo lainnya, Roy Tirtadji, juga tak mau diwawancarai ihwal masalah ini. "Saya lagi di luar kota," katanya berdalih lewat pesan pendek kepada GATRA, Senin pekan lalu. Pihak Astro bersikap serupa.
Pengacara Astro untuk kasus di Indonesia, Ahmad Djosan, tak mau memberikan keterangan. Alasannya, ia belum mendapatkan izin dari Astro All Asia Network selaku kliennya. Ahmad menangani kasus sengketa Astro dengan Lippo di PN Jakarta Pusat. "Untuk urusan kasus hukum di Singapura, saya tidak menangani," ujarnya kepada GATRA. (M. Agung Riyadi dan Haris Firdaus) Laporan Utama majalah GATRA edisi 18/40, terbit Kamis 9 Agustus 2012