JATIMULYA : KARAKTERISTIK DESA PlNGGlRAN PERKOTAAN
Berdasarkan beberapa kriteria yang dikemukakan McGee (1987 dalam Firman, 1992) tentang wilayah pinggiran perkotaan seperti yang dikemukakakan sebelumnya, maka desa Jatimulya dapat digolongkan sebagai desa pinggiran perkotaan. Untuk lebih jelasnya, gambaran desa Jatimulya akan dikemukakan seperti berikut ini.
Letak Geografis Desa Jatimulya Desa Jatimulya, sebagai salah satu desa di Kecamatan Tambun, Kabupaten Bekasi, terletak di pinggiran jalan to1 Jakarta-Cikampek, berbatasan dengan wilayah Kotamadya Bekasi, yaiyu di sebelah Selatan kelurahan Mustika Jaya dan Mustika Sari (Kec. Bantar Gebang) dan sebelah Barat dengan kelurahan Pengasinan dan Margahayu (Kec. Bekasi Timur), sedang di sebelah Utara berbatasan dengan desa Setia Mekar dan sebelah Timur dengan desa Lambang Sari dan desa Setia Darma yang masih merupakan wilayah kecamatan Tambun. Desa dengan luas wilayah 567,321 Ha Ini, berjarak 5 km dari ibukota kecamatan yang bisa ditempuh dalam waktu 20 mend dan berjarak 10 km dari ibukota kabupaten yang bisa ditempuh dalam waktu sek~tar30 menit melalui jalian biasa dengan menggunakan kendaraan umum atau sekitar 10 menit melalui jalan to1 Jakarta-Cikampek dengan menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi.
Waktu tempuh yang dibutuhkan ke pusat-pusat
perekonomian, pusat-pusat kesehatan, serta kantor-kantor pemer~ntah,dalam kondisi normal (tidak macet) hanya memakan waktu sekitar 30 menit
Jalan
yang menghubungkan desa Jatimulya dengan pusat kota (pusat pemer~ntahan
dan perekonomian) merupakan jalan aspal yang cukup mulus untuk dilalui. Akses kendaraan dari dan ke Jatimulya sangat mudah sekali yaitu dengan menggunakan angkutan kota Bekasi (Koasi) atau kendaraan ojek motor yang banyak dijumpai di daerah Bekasi.
Adanya jalan to1 yang menghubungkan
Bekasi dengan wilayah-wilayah lainnya, seperti Jakarta, Karawang, Cikampek, menyebabkan tingginya mobilitas penduduk terutama ke tempat kerja masingmasing di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Bis kota ke berbagai jurusan di
wilayah Jakarta, Karawang dan Cikampek melalui perbatasan wilayah desa Jatimulya dan wilayah Kotamadya Bekasi, sehingga mempermudah masyarakat untuk berangkat dan pulang kerja ke dan dari wilayah-wilayah tersebut. Untuk mencapai pintu to1 Bekasi Timur, dari kantor desa Jatimulya diperlukan biaya yang relatif murah yaitu sekitar Rp 500,- menggunakan angkutan kota Bekasi (KOASI), sedangkan dengan menggunakan ojek motor dibutuhkan biaya yang relatif besar yaitu sekitar Rp 1500-2000,- untuk sekali jalan, karena itu ojek motor lebih banyak digunakan oleh masyarakat golongan menengah. Lapisan rnasyarakat bawah, untuk pergi atau pulang dari tempat yang relatif jauh dari tempat tinggalnya, lebih banyak menggunakan angkutan kota, karena ongkosnya relatif murah, misalnya penduduk Kampung Jati, unfuk pergi ke atau pulang dari
wilayah lain berjalan kaki terlebih dahulu ke daerah pinggiran
perumahan (jarak 2 500 m), yaitu tempat mangkalnya angkutan kota, untuk kemud~anmenggunakan angkutan kota tersebut sampai pada tempat tujuan atau tempat naik kendaraan berikutnya. Wilayah desa Jatimulya merupakan wilayah dataran rendah dengan ket~nggian14 m dari permukaan laut (dpl), dengan suhu udara yang cukup panas berktsar antara 32"-40" C dan curah hujan tahunan sekitar 3199 mm
(Profil Desa, 1998). Sebagian besar (493,569 Ha) kondisi tanahnya merupakan tanah subur dengan kedalaman solum tanah kurang dari 50 cm.
PolaPenggunaandan Penguasaan Lahan Pola Penggunaan Lahan
Berkembangnya sektor industri di wilayah Bekasi, dengan adanya lnpres no.1311976 tentang
kawasan Jakarta,
Bogor, Tangerang dan
Bekasi
(Jabotabek), berpengaruh pada pengembangan sektor industri di kabupaten Bekasi dan juga
berpengaruh pada pengembangan perumahan yang
mendukung sektor industri.
Kondisi ini menyebabkan tergesernya kawasan
pertanian menjadi kawasan industri dan pemukiman.
Kecamatan Tambun
misalnya, pada tahun 1988, bukan lagi termasuk kawasan pertanian yang perlu dikembangkan, melainkan telah berubah menjadi kawasan industri bersama dengan kecamatan Cibitung, Cikarang, Lemah Abang, Bantar Gebang, Serang dan Bekasi Barat. Hal ini berarti bahwa desa Jatimulya, sebagai salah satu desa di kecamatan Tambun, juga mengalami perubahan menjadi kawasan industri dan bukan lagi menjadi kawasan pertanian. Keadaan ini juga ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan jalan to1 sehingga memudahkan pengangkutan bahan baku dan barang jadi ke dan dari lokasi pabrik. Adanya
kebijakan
pengembangan
kawasan
industri
tersebut
berpengaruh pada pola penggunaan lahan di desa Jatimuiya, sebagian besar wilyah desa diperuntukkan bagi pemukiman penduduk. Pengembangan wilayah Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta ke arah Bogor, Tangerang dan Bekasi menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat. Desa Jatimulya yang sebelum tahun 1985 merupakan wilayah pertanian yang cukup subur, mulai dibebaskan sebagai wilayah industri dan
tempat hunian.
Semakin berkembangnya sektor industri di wilayah Bekasi
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke industri dan perumahan. Wilayah darat dan persawahan semakin berkurang, yang tersisa hanyalah sedikit sawah-sawah yang berada di sekitar pabrik-pabrik yang hampir semuanya sudah dimiliki oleh para pengusaha yang mendirikan pabrik di desa Jatimulya, serta orang-orang dari luar wilayah desa Jatimulya. Pengolahannya diserahkan kepada penduduk asli Jatimulya dengan sistem "maro", saprodi dan tenaga kerja disediakan oleh pengolah, selain itu ada juga yang menyerahkan lahannya untuk diolah tanpa minta bagian hasil. Pada saat ini luas lahan sawah yang tersisa semakin kecil, yaitu hanya sekitar 16,698 Ha (2,94 %) dari total luas lahan, yang terdiri dari 5,673 Ha (0,1 %) sawah beririgasi teknis yang bisa ditanami dua kali setahun dan 11,025 Ha
(1,94 %) sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami setahun sekali menunggu musim hujan tiba. Penggunaan untuk pemukiman adalah sekitar 346,066 Ha atau
+ 61%
dari total penggunaan lahan keseluruhan, lokasi pabrik seluas
141,83 Ha (25 %) dan sisanya sekolah, pasar, dsb (Tabel 2).
untuk penggunaan lain seperti perkantoran,
Tabel 2. Luas Wilayah Desa Jatimulya menurut Fungsi dan Penggunaannya No.
]
Jenis Penggunaan Lahan
1.
Tanah Sawah a. lrigasi teknis b. lrigasi % teknis c. Tadah Hujan d. Pasang Surut 2. Tanah Kering a. Pemukiman b. Tegalanlkebun c. Tambak d. Padang gembala e. Rawa 3. Hutan Negara 4. Lain-lain (pabrik, perkantoran, sekolah, pasar, tempat ibadah, kuburan, jalan, dll) 5. Total Sumber: Profil DesaIKelurahan, 2000.
I Jumlah (Ha) 16,698 5,673
I Persentase 1 2,94
11,025 -
0,10
346,066 346,066
61,OO 61,OO
-
-
1,94
-
-
-
204,557
36,06
567,321
100,OO
Pola dan Struktur Penguasaan Lahan Di desa Jatimulya, sebagian besar lahan dimiliki secara perorangan, baik yang digunakan sebagai lokasi perumahan maupun pabrik. Banyaknya lahanlahan yang dimiliki secara perorangan, terlihat dari jumlah pembayar pajak yaitu sekitar 13.111 orang. Sebagian dari lahan-lahan tersebut belum dimanfaatkan oleh para pemiliknya, misalnya lahan milik PT.ASABRI, milik PT. Adhi Karya, dsb. Lahan-lahan tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat setempat, namun penguasaannya masih pada pemilik aslinya. Di desa ini juga terdapat lahan yang dimiliki oleh orang dari luar desa, tetapi bisa digunakan oleh penduduk setempat untuk ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, seperti singkong, kacang tanah, sayur-sayuran, dsb. Salah seorang diantara pemilik tanah yang diolah oleh penduduk setempat adalah Bapak Ali dengan luas lahan 3000 m2 Pada awalnya lahan-lahan tersebut ada4ah lahan kosong yang penuh semak belukar
Lahan tersebut kemudian dibersihkan oleh Bapak Amat dan
ditanami dengan tanaman sayur-sayuran, seperti kacang panjang, terong, oyong, pare, kangkung dan bayam. Lahan yang dikuasai desa (tanah komunal) hanyalah lahan-lahan yang ada di lokasi jalan dan sungai. Desa Jatimulya sebenarnya juga mempunyai tanah bengkok seluas 15 Ha yang berlokasi di luar desa Jatimulya, yaitu di desa Setia Mekar (kec. Tambun). Dari luas tersebut, Kepala Desa mendapat bagian seluas 2,5 Ha, Sekretaris Desa seluas 1,5 Ha, Kepala Dusun (3 orang) dan kaur (5 orang) masing-masing 1 Ha, sedangkan sisanya disewakan kepada orang
lain, dimana hasil dari sewa tesebut digunakan untuk keperluan desa. Luas kepemilikan lahan di desa Jatimulya, sebagian besar (74,31 %) kurang dari 0,l hektar, 20,25 persen memiliki 0,l-0,5 hektar dan sisanya (544 %) memiliki lahan lebih dari 0,shektar. Kecilnya luas penguasaan lahan pada
sebagian besar penduduk di desa ini, bagi penduduk asli, dipengaruhi oleh dua hall yaitu karena sistem pewarisan dan karena penjualan lahan-lahan milik kepada orang luar. Pada umumnya mereka yang sudah menikah mendapat bagian lahan dari orang tuanya untuk tempat mereka mendirikan rumah, karena itu umumnya mereka yang mendapat warisan dari orang tuanya tinggal di lahan yang sama dengan orang tuanya. Selain itu ada juga sebagian dari penduduk menjual lahannya karena kesulitan uang atau untuk membeli barang-barang konsumtif seperti motor, untuk memperbaiki rumah, untuk pesta hajatan perkawinan, atau digunakan untuk pergi haji (pada tahun 1990-an dikenal istilah "haji tanah"). Sebelum tahun 1965 sistem pewarisan yang berlaku adalah sistem pewarisan menurut ajaran Islam yaitu laki-laki mendapat bagian yang lebih besar dari wanita, mereka mengistilahkan "laki-laki mendapat sepikulan, wanita mendapat "sejinjingan". Namun setelah tahun 1965, sistem pewarisan tersebut
berubah, warisan dibagi sama rata untuk setiap anak, artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, seperti halnya hukum waris yang berlaku dalam Islam. Namun dalam beberapa kasus, pembagian anak perempuan justru lebih besar dibandingkan anak laki-laki, karena menurut seorang informan, kebanyakan yang mengurus orang tuanya kalau tidak kuat lagi mencari nafkah adalah anak perempuan, sedangkan anak laki-laki biasanya mengurus keluarganya sendiri.
Terbagi-baginya lahan-lahan karena sistem
pewarisan yang berlaku menyebabkan semakin kecilnya lahan-lahan yang dikuasai oleh para pewaris. Penguasaan lahan yang sempit bagi masyarakat pendatang lebih umumnya rnereka bertempat tinggal di perumahan-
disebabkan karena
perumahan yang dibangun pengembang di daerah ini, dengan luas lahan 60 m2, kecuali rumah-rumah yang dibangun di jalan utama yang memiliki luas sekitar 150-300 m2.
Masyarakat pendatang yang memiliki lahan yang luas (2 1 Ha),
umumnya adalah pengusaha-pengusaha yang memiliki pabrik-pabrik industri menengah dan besar.
Penduduk Karakteristik Demografi dan Kepadatan Penduduk Penduduk
Desa Jatimulya sebagian besar merupakan masyarakat
pendatang dengan komposisi 60 O h rnasyarakat pendatang dan 40 % penduduk asli, dengan jumlah penduduk sebanyak 40.224 jiwa
(th 2000)
Jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan yaitu sekitar 20.932 jiwa (52,04 %) penduduk laki-laki dan 19.292 j~wa(47,96 O/O)
penduduk perernpuan, dengan Rasio Jenis Kelarnin sebesar 1,08
(tabel 3).
Dengan luas desa 567 Ha, jurnlah rumah tangga di desa ini cukup besar yaitu sebanyak 10.782 RT, dengan rata-rata 4 jiwalrumah tangga. Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut umur, terlihat bahwa persentase penduduk usia muda (0-15 tahun) (penduduk usia tidak produktif) cukup rendah yaitu hanya sekitar 10,24 persen dan penduduk usia belurn wajib sekolah (< 6 tahun) hanya sekitar 5,94 persen dari total penduduk. Hal ini Tabel 3. Karakteristik Dernografis Oesa Jatirnulya , 2000 (10.782 RT) lndikator Jml Pddk 0 - 6 7 12 1 3 - 15 1 6 - 18 1 9 - 25 26 - 35 36 45 46 - 50 51 - 60 60 +
Persen Wanita(W)
Persen
1.276 459 455 523 628 4.666 4.486 4.653 2.782 1.004
3,17 1,14 1,13 1,30 1,56 11,60 11,15 11,57 6,92 2,50
1.114 425 389 483 579 4.460 4.209 4.336 2.368 929
2,77 1,06 0,Ol 1,20 1,44 11,09 10,46 10,78 5,89 2,31
2.390 884 844 1.006 1.207 9.126 8.695 8.989 5.150 1.933
5,94 2,20 2,10 2,50 3,OO 22,69 21,62 22,35 12,80 4,80
Total 20.932 1,94 Rata-rata Jiwa per RT Jml Pddk 17.738 Usia Kerja (15-60 Th) Jml Pddk 3 914 bukan usla kerja (0-15 I i d_a_n_60+)_-_- -
52,04
19.292 1,79
47,96
40.224 3,73
100,OO
-
-
Pria (P)
-
-
P+W
Persen
-
84,74
16.435
85,19
34.173
84,96
15,26
2.857
14,81
6.051
15,04
Kasio Jenis Kelarilin
ria
100 %
Jumlah wanita I'itdi~taliil~ii l t i g \aili,j jarlu hitsil sensus penduduk 2000, junilah penduduk Indonesia adalah 303.4.56.00.5 J I U ~ dcngan jun\Iati penduduk laki-laki sebanyak 101.814.435 jiwa dan jumlah pcnduduh pcrcciipuan sehanyak 10 1.64 1.570 jiwa, Rasio Jenis Kelamin=99,83; jutnlah penduduk Ji~tsa I3arnc adalitli 4.3 $ 5 2 923 ywa. dengan penduduk laki-laki sebanyak 2 1.94 1.63 1 jiwa dan pcnduduk percrnpuiln \clk~n!ah 2 I 6 11.292 dan Rasio Jenis Kelarnin 10 1.53 (BPS, 200 1 ).
menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir jumlah kelahiran di desa Jatimulya cukup rendah. Pada tahun 2000 jumlah penduduk yang lahir hidup di desa Jatimulya ada sebanyak 263 orang (0,65 %), yaitu 114 orang anak laki-laki dan 149 orang anak perempuan. Ini bisa menjadi gambaran bahwa program keluarga berencana di desa Jatimulya cukup berhasil. Penduduk usia tua (> 60 tahun) juga cukup rendah yaitu hanya sekitar 4,81 persen, sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif (16-60 tahun), yaitu sekitar 64,96 persen. Banyaknya jumlah penduduk pada usia produktif dan sedikitnya jumlah penduduk usia tua, bisa memberikan dua kemungkinan yang berbeda, yaitu: (1) angka harapan hidup penduduk Jatimulya rendah; (2) kebanyakan masyarakat pendatang yang masuk ke desa Jatimulya merupakan penduduk usia muda atau berada pada usia produktif.
Bila diasumsikan bahwa penduduk usia non
produktif adalah usia 0-14 tahun dan > 60 tahun, maka Rasio Beban Tanggungan '~umlah penduduk usia non produktif yang ditanggung oleh penduduk usia produktif) adalah sebesar 17,71. RBT sebesar ini bisa dikatakan rendah. karena dari 100 orang penduduk usia produktif hanya menanggung sekitar 18 orang penduduk usia non produktif. Kepadatan penduduk desa Jatimulya, dengan luas desa sekitar 567,321 Ha, pada tahun 1999 adalah sekitar 6681 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 7094,18
jiwa.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kepadatan penduduk di kecamatan Tambun sendiri, yaitu hanya sekitar 3606 jiwaIkm2 pada tahun 1999, sedangkan di Indonesia pada tahun 2000, kepadatan penduduknya baru sekitar 106 jiwalkm2,
dan di Jawa Barat sekitar 2000
jiwalkm2. (BPS, 2001). 6
Rasio Beban Tanggungan =
Usia 0-15 T a h u u h u i a sia 60 Tahn Jumlah Penduduk Usia > 15 Taliun - Usia 60 Taliun
Pendidikan dan Kesehatan Tingkat pendidikan penduduk Jatimulya cukup beragam yaitu mulai dari tidak tamat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi (S3). Hal ini menggambarkan bagaimana kualitas angkatan kerja yang ada di desa Jatimulya.
Sebagian besar penduduk yang berada pada usia kerja
berpendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sekitar 41,05 persen dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sekitar 31,50 persen.
Penduduk yang
berpendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi hanya sekitar 28,46. Di desa Jatimulya masih dijumpai masyarakat yang buta aksara dan angka, tetapi persentasenya sangat kecil. Pada tahun 1999 jumlah angkatan kerja yang buta aksara berjumlah sebanyak 176 orang, yaitu sekitar 0,5 persen dari jumlah angkatan kerja yang ada pada tahun tersebut, namun demikian walaupun masih tergolong sebagai angkatan kerja, tetapi mereka adalah penduduk yang sudah berada pada usia tua, yaitu > 50 tahun.
Kesadaran
penduduk dalam ha1 pendidikan di desa ini sebetulnya sudah cukup tinggi, hat ini dapat dilihat dari jumlah sekolah yang ada di desa Jatimulya, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai ke tingkat SLTA. Namun demikian dalam banyak kasus, terutama pada masyarakat yang kurang marnpu atau masyarakat miskin, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka mengorbankan pend~dikan anak-anaknya (karena mahalnya biaya sekolah saat ~ni) Oleh karena itu. banyak anak-anak yang terhenti pendidikannya sampai pada tingkatan SD atau SLTP, anak-anak mulai bekerja membantu orang tuanya
Keinginan untuk
menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi belum mampu dicapa~oleh mereka, karena keterbatasan mereka dalam ekonomi rumah tangga. Kesehatan masyarakat di desa Jatimulya pada umumnya cukup baik, kecuali masyarakat di beberapa lokasi (mis: pinggiran Kali Malang), kesadaran
akan kebersihan dan kesehatan agak kurang terutama dalam penyediaan air bersih dan fasilitas MCK. kebersihan,
Berkaitan dengan kurangnya kesadaran akan
berpengaruh pada jenis penyakit yang diderita masyarakat,
misalnya: diare dan gastroenteritis dan penyakit gangguan kulitlgatal-gatal, kemudian diikuti oleh penyakit saluran nafas atas (batuk pilek) dan sakit kepala (Puskesmas, 2001). Kesadaran akan kesehatan bagi sebagian besar masyarakat ditunjang oleh tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan, misalnya: klinik 24 jam Al-Mutazam, Puri Astuti, klinik Dahlia, klinik Yasmin, pratek-praktek dokter dan bidan. Di masing-masing RW juga terdapat posyandu-pgsyandu yang menangani penimbangan balita, imunisasi dan penanganan kesehatan lansia, yang dilaksanakan oleh kader-kader posyandu dibawah bimbingan dokter dan bidan dari Puskesmas setempat
Mata Pencaharian dan Gerak Penduduk Mata Pencaharian Penduduk Sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Jatimulya adalah bidang jasa dan perdagangan, yaitu sebagai pegawai di lembaga pemerintahan dan swasta, sebanyak 12.147 orang atau 41,53 persen. Jumlah ini diikuti oleh pedagang sebanyak 5783 orang (19,77 %), jasa angkutan (tukang ojeg dan sopir angkutan umum) sebanyak 2387 orang (8,16 %) dan sisanya bekerja di sektor-sektor lain seperti jasa penginapan, jasa hiburan, jasa pelayanan hukum dan nasehat (notaris, pengacara, konsultan), jasa ketrampilan (tukang kayu,
tukang lahit, dsb) dan jasa lainnya seperti listrik, konstruksi dan jasa persewaaan
Sektor jasa seperti pegawai di instansi pemerintah dan swasta
umumnya diisi oleh kalangan tsrdidik dengan pendidikan minimal SMU.
Di sektor perdagangan, usaha ini umumnya dikuasai oleh mereka yang mempunyai akses terhadap modal. Pusat perdagangan berupa pertokoan yang ada di sepanjang jalan utama perumahan Jatimulya dan juga di perumahan Taman Raflesia dan Puri Utama, umumnya dikuasai oleh mereka yang mempunyai modal besar, seperti perusahaan Indomaret, pedagang grosir, dsb. Masyarakat golongan bawah biasanya menempati lokasi kaki-5 yang terdapat di sekitar pertokoan tersebut.
Mereka umumnya pedagang makanan yang
menjual makanan matang, mulai dari pagi sampai maiam hari sekitar pukul 21.30 malam, warung makanan ini semakin banyak pada sore dan malam hari. Selain itu juga ada pasar "kaget" dan pasar semi permanen yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti ikan, daging, sayuran, buah-buah, dsb. Baik pasar "kaget" maupun pasar semi permanen, kegiatannya hanya berlangsung di pagi hari saja.
Di sektor industri, jumlah tenaga kerja yang bisa diserap adalah sebanyak 55.025 orang, penduduk Jatimuiya hanya sebagian kecil diantaranya, sebagian besar merupakan pendatang. Sebagian besar tenaga kerja tersebut diserap oleh perusahaan besar (9 perusahaan) dan perusahaan menengah (57 perusahaan), beberapa diantaranya adalah PT. Tong Yang milik pengusaha dari Korea dengan beberapa anak perusahaannya yang memproduksi sepatu, PT. Takeda milik pengusaha Jepang yang memproduksi obat-obatan, PT. Song Jaya milik Korea yang memproduksi meubel, dsb.
Sistim kerja di pabrik
berlangsung dalam bentuk shift, ada yang bekerja dalam dua shift, serta ada yang bekerja dalam tiga shift, dengan Sabtu dan Minggu sebagai hari libur, kadang-kadang juga ditambah dengan kerja lembur selama dua jamlhari kerja. Bekerja sebagai buruh pabrik tanpa lembur bisa mendapatkan gaji sebesar Rp 500.000,- sebulan, dan apabila ditambah dengan lembur selama dua jam per
hari selama 6 hari, bisa membawa pulang penghasilan sebesar Rp 700.000-Rp 800.000,- sebulannya. Di sektor pertanian, terjadinya peralihan penggunaan lahan di wilayah Bekasi dari pertanian ke industri memberi dampak terjadinya perubahan mata pencaharian penduduk dari pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada tahun 1983, persentase Rumah Tangga dengan mata pencaharian di bidang pertanian adalah sekitar 28 % (111.303 RT) dari total Rumah tangga yang ada di Kabupaten Bekasi (397.429 RT). Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1993, persentase penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian menurun menjadi 20,4 % (112.293 RT) dari total RT yang ada di Kabupaten Bekasi (551.131 RT). Demikian juga halnya dengan kecamatan Tambun, pada tahun 1993 persentase penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian menurun menjadi 1 1 3 % dari 32,3 % pada tahun 1983 (BPS, 1994). Di Jatimulya sendiri, menurut beberapa orang informan, sebelum tahun 1970, mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah sebagai petani tanaman pangan (padi) dan hanya sebagian kecil sebagai pedagang. Namun demikian setelah tahun 1970-an, terutama setelah Bekasi mulai dijadikan sebagai kawasan industri selain Tangerang dan Bogor, sebagian lahan pertanian milik penduduk setempat berubah menjadi lahan industr~ Di desa Jatimulya, awal masuknya sektor industri yang menggusur lahan-lahan pertanian adalah dengan berdirinya pabrik PT. Toyogiri (peleburan besi tua), pabrik PT Takeda (obat-obatan),
pabrik PT. Song Jaya (meubel) dan pabr~k bajaj
(Indomobil sekarang). Di sektor pertanian saat ini, kesempatan bekerja sebaga~petan~sudah sangat sedikit sekali, ha1 ini disebabkan terbatasnya lahan pertanian yang b~sa diolah, kalaupun ada merupakan lahan yang sudah menjadi milik orang lam
Pada tahun 1997198, awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, ada sebagian masyarakat yang rnernanfaatkan lahan-lahan yang belurn dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk ditanami dengan berbagai tanaman pangan. Lahan-lahan yang berupa lahan kering ditanami dengan tanaman pangan, seperti singkong, ubi jalar dan tanarnan sayur-sayuran seperti kangkung, bayarn, caisin, dsb, sedangkan lahan sawah ditanami dengan padi.
Lahan sawah di desa ini
merupakan lahan sawah beririgasi, namun sangat disayangkan sekali lahanlahan sawah yang tersisa harnpir semuanya sudah dimiliki oleh penduduk luar desa Jatirnulya yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang punya dan digunakan untuk kepentingan lain. Saat ini jumlah mereka yang masih bertahan rnengolah lahan-lahan tidur sudah semakin berkurang karena mereka yang memanfaatkan lahan tersebut tidak semuanya mempunyai latar belakang sebagai petani tetapi dari berbagai latar belakang, seperti: tukang ojeg, satpam, pedagang, dsb, dan yang tersisa sampai saat ini adalah mereka yang berlatar belakang sebagai petani dan sudah berusia lanjut. Dari data profil desa tahun 2000 tercatat bahwa penduduk Jatimulya yang benar-benar petani hanya 33
orang (0,08 % dari jumlah penduduk), yaitu 5 orang (0,012 %) rnenjadi pemilik sawah (dalam ukuran kecil) dan 28 orang (0,07 %) petani bagi hasil, sedangkan jumlah penduduk yang memiliki ternak hanya sebanyak 28 orang. Sela~nusaha pertanian padi sawah dan lahan kering, di desa ini juga terdapat pengusaha ~kanhias. Usaha tersebut masih berupa usaha rumahan, yang rnasih d~tanganloleh anggota keluarga sendiri, namun sudah rnulai dikenal oleh pedagang-pedagang ikan hias di wilayah Jakarta dan Bekasi. Jenis-jenis ikan yang umum d~usahakanadalah ikan cupang, Selain itu ada juga jenis-jenis ikan yang lebth bagus serta mahal harganya, seperti jenis blue eye, diamond
bulb, rainbow, dsb
Ikan-~kantersebut dijual ke suplier pada urnur 1-1,5 bulan
atau dengan ukuran S (1,5 cm), M (2,5 cm) dan ukuran SM. Benih ukuran S harganya berkisar antara Rp 50-100,-, dan benih ukuran lebih besar berkisar antara Rp 250,-
-
Rp 800,- per ekornya.
Ikan-ikan tersebut pemasarannya
sudah tertentu dan penjualan dilakukan di tempat atau diantar kepada pembeli. Kegiatan ekonomi lain yang ada di desa Jatimulya adalah kegiatan jasa, misalnya: jasa perbankan (Bank Perkreditan Rakyat), travel biro, warung telekomunikasi dan jasa pos, dsb.
Sektor jasa ini juga dikuasai oleh mereka
yang bermodal kuat, dengan pekerja dari' kalangan terdidik dan pendidikan minimal SMU. Sektor jasa ini cukup berkembang di desa Jatimulya, terutama jasa telekomunikasi yang sangat dibutuhkan oleh para pekerja pabrik, untuk menghubungi sanak keluarga dan teman-tempatnya yang berada di lokasi lain.
Gerak Penduduk
Letak desa Jatimulya yang dekat dengan jalan to1 dan relatif mudahnya akses penduduk terhadap transportasi umum, menyebabkan banyak penduduk yang bekerja di luar desa Jatimulya yang bertempat tinggal di desa Jatimulya. Gerak penduduk seperti komutasi dan juga sirkulasi7 sudah menjadi ha1 yang umum bagi penduduk desa Jatimulya. Komutasi banyak dilakukan oleh mereka yang bekerja di tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari Bekasi, misalnya: di Jakarta, Cikarang, Karawang, Cikampek, Bogor, dsb, sedangkan mereka yang brkerja di lokasi yang agak jauh seperti Bandung, Cirebon, dsb, biasanya pulang seminggu sekali atau bisa dikatakan mereka melakukan gerak sirkulasi. Gerak sirkulasi juga dilakukan pada jarak yang tidak begitu jauh, seperti ke Jakarta. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menghemat ongkos dari tempat tinggal ke
'
Koniutasi adalah gerak penduduk harian, yaitu gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dan tempat tujuan. Sirkulasi merupakan gerak "berselang" antara tempat tinggal dan tcmpat tujuan untuk bekerja atau untuk lain-lain tujuan. Sirkulasi bisa bersifat mingguan, bulanan ataupun musiman (Said Rusli, 1995: 137-1 38)
tempat berkerja, mereka biasanya menginap di tempat berkerja atau di rumah saudara yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berkerja. Seperti salah satu subjek kasus, yaitu Bapak Karto yang bekerja sebagai tukang bangunan di Jakarta tidak mungkin pulang pergi dari Bekasi (desa Jatimulya) ke Jakarta. Selain karena tuntutan pekerjaan, ongkos pulang pergi dari dan ke tempat bekerja juga
mahal, yaitu sekitar Rp 8000,- sehari.
Seperti yang
diungkapkannya: "Kalau saya pulang pergi ke tempat kerja setiap hari, uang hasil bekerja habis di jalan saja, belum lagi untuk makan, nanti apa yang bisa saya bawa pulang untuk keluarga saya. Selain itu pekerjaan saya sistimnya borongan, harus cepat selesain. Pola Pemukiman Pemukiman penduduk di wilayah ini bisa dibedakan atas pemukiman berupa kompleks perumahan yang lebih tertata dan pemukiman biasa berupa rumah-rumah yang kurang tertata dengan baik. Rumah-rumah yang berada di perkampungan (bukan kompleks perumahan) jarang yang dilengkapi dengan pagar pembatas dengan rumah-rumah yang ada disamping kiri kanannya. Batas antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya biasanya hanya berupa tanaman hidup. Namun demikian baik masyarakat yang ada di perkampungan ataupun masyarakat yang ada di perumahan mempunyai hubungan yang baik antar tetangga.
Hal ini tercermin dari adanya kerjasama antar masyarakat
dalam penyelenggaraan pesta hajatan atau dalam kegiatan upacara kemat~an (baik melayat maupun mengantar ke kubur), dsb. Kondisi rumah-rumah human rnasyarakat Jatimulya cukup beragam, sekitar 2900 rumah (48,5 Oh) merupakan rumah dengan tipe A (permanen), 1995 buah (33,33 Oh) rumah bertipe 6 (semi permanen) dan 1090 buah (18,21 %) rumah bertipe C (rumah bilik). Dar~5985 buah rumah tersebut yang mempunyai wc dengan septik tank hanya sekitar
3.656 rumah, sisanya memiliki wc tanpa septik tank dan sebagian rumah ada yang tidak memiliki wc.
Sumber air untuk kegiatan mencuci, memasak dan
mandi pada umumnya menggunakan sumur pompa yang pada musim kering kondisi air tanahnya juga semakin berkurang. Untuk memasak sebagian rumah tangga memanfaatkan air dari tetangga yang mempunyai persediaan air tanah yang cukup banyak atau membelinya dari tukang air yang biasa membawa air untuk dijual. Per jerigen air (isi 25 liter) saat ini dihargakan sekitar Rp 900,-. Pengelolaan sampah di perkampungan, biasanya sampah dibuang begitu saja di tanah-tanah kosong di sekitar rumah-rumah mereka, tetapi dalam kondisi kering biasanya dibakar, sedangkan di perumahan biasanya dilakukan dengan mengupah seseorang untuk mengangkut sampah yang kemudian di bawa oleh truk sampah dari PEMDA Bekasi dengan membayar sekitar Rp 5000-10.000 per KK (termasuk uang keamanan).
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Jatimulya yang berlokasi di pinggiran Jakarta secara administratif termasuk wilayah Jawa Barat, namun kehidupan sehari-hari masyarakat aslinya lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Betawi8, misalnya dari segi bahasa percakapan seharl-hari lebih banyak menggunakan bahasa Betawi, tetapi tidak menggunakan "e", seperti: "iye, kenape", tetapi tetap menggunakan "a", seperti: "iya, kenapa" dan untuk menegaskan sesuatu digunakan kalimat: "iya, yak" Adat perkawinan masih menggunakan petasan untuk menyambut kedatangan penganten pria
Sela~n~ t uwalaupun bentuk rumah tidak lagi model bapang
(limasan) seperti rumah Betawi, namun di depan rumah masih ditemukan balai-
Mcriurur scorany inlortnan, mcrcka mcmang orang Betawi asli, walaupun mereka tinggal di wilayall Jawa Daral. Mcrcha tidah mau disebul scbagai orang Sunda, karena adat budaya mereka sarigat bcrbedi~dcnyan ndat hudaya Surrda
50
balai untuk tempat tempat istirahat keluarga atau tempat untuk tamu yang datang berkunjung. Berbeda dengan penduduk asli, masyarakat pendatang membawa budayanya masing-masing, terutama dalam ha1 adat perkawinan, upacaraupacara adat tertentu seperti: sunatan, turun tanah, dsb.
Namun dalam ha1
pergaulan, sebagian besar masyarakat sudah hidup membaur dengan penduduk asli, baik dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam kegiatan pengajian, kegiatan arisan "pakatan", penyelenggaraan jenazah, dsb. Dalam perkawinan, banyak diantara pendatang yang menikah dengan penduduk asli terutama generasi-generasi muda, seperti anak Pak Karto yang berasal dari Jawa Tengah menikah dengan gadis dari desa Jatimulya. Di sisi lain sebagian penduduk asli merasa minder bergaul dengan masyarakat pendatang, terutama dengan pendatang yang bertempat tinggal di perumahan-perumahan seperti perumahan Jatimulya, Griya Timur, Puri Utama dan Taman Raflesia yang dianggap lebih mampu dari mereka, seperti ungkapan salah seorang penduduk asli, "Saya malu bergaul dengan ibu A (Ibu A adalah salah seorang ibu yang tinggal di perumahan Jatimulya Jaya), soalnya ibu A kaya dan mempunyai pendidikan tinggi. Saya takut salah kalau ngomong, takut diketawain". Bila didasarkan pada mata pencaharian masyarakatnya, keragaman mata pencaharian sangat berpengaruh pada kehidupan masing-masing rumah tangga dalam masyarakat, ada yang mempunyai kehidupan yang sangat baik artinya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara berlebihan, ada juga yang hidup kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Agak sedikit berbeda dengan daerah pedesaan dimana pelapisan sosial ditentukan oleh ukuran luas penguasaan lahan, mempunyai pekerjaan tetap dan jabatan, serta mempunyai jasa dalam masyarakat (Istiani, dkk, 1992), da4am masyarakat
di wilayah desa Jatimulya pelapisan sosial masih ditentukan oleh kekayaan, pendidikan, serta dihormati dalam masyarakat. Penilaian terhadap kaya atau miskinnya suatu rumah tangga seseorang bukan hanya diukur dari luasnya kepemilikan tanah, tetapi juga didasarkan pada kepemilikan atas rumah tinggal yang "bagus", kendaraan bermotor, serta kemampuan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi. Namun demikian, penghormatan masyarakat terhadap seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan atau tingkat pendidikan yang dimiliki oleh orang tersebut, tetapi lebih ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut bisa bergaul dalam masyarakat, mempunyai adab dan tatakramalkesopanan yang patut dicontoh, mau membantu orang lain, serta taat beribadah. Beberapa penduduk yang dituakan oleh masyarakat setempat (oleh penduduk asli), seperti Bapak H. Zaenudin, Bapak Makmun, Bapak Haji Adnan dan Bapak Syafei, tidak mempunyai pendidikan tinggi, tidak kaya (kecuali H. Zaenudin) tetapi merupakan tempat orang bertanya, terutama masalah-masalah kehidupan sehari-hari, seperti masalah perkawinan, masalah adat, dsb.
Demikian juga
halnya dengan penghormati yang diberikan kepada salah seorang pendatang yaitu Bapak Suharto (ketua RT 03/08), lebih didasarkan kepada pergaulannya di dalam masyarakat, bukan karena beliau lulusan salah satu perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta. Saat ini, semenjak tahun 2000, beliau menjabat sebaga~ ketua Rukun Tetangga (RT) di lingkungan tempat tinggalnya dan atas bantuannya juga masyarakat di Kampung Jati bsa menikmati listrik yang relatrf stabil dan juga bisa menikmati fasilitas telepon semenjak tahun 1998.
Kelembagaan Sosial Kelembagaan sosial yang hidup di desa Jatimulya dapat dibedakan atas kelembagaan formal yang merupakan hasil bentukan dari pemerintah dan
kelembagaan non formal/informal yang dibentuk dan hidup dalam masyarakat setempat.
Kelembagaan bentukan pemerintah ditujukan untuk membangun
kehidupan masyarakat setempat dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi seperti koperasi, kelompok UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga), dsb, dan bidang sosial seperti PKK, Karang Taruna, dsb.
Kelembagaan
bentukan masyarakat setempat pada umumnya lebih menekankan pada kehidupan sosial kemasyarakatan, misalnya arisan, pengajian, dsb. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan kedua kelembagaan tersebut seperti yang dlkemukakan berikut ini.
Kelembagaan Formal Sebelum dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa pada tahun 2000 di desa Jatimulya, kelembagaan formal yang hidup dalam masyarakat desa dapat dibedakan atas. 1. LKMD (Lernbaga Ketahanan Masyarakat Desa ) sarnpai dengan tahun 2000, dan sekarang posisinya digantikan oleh BPD
LKMD sebelum terbentuknya BPD, cukup aktif dalam melakukan kegiatankegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tersebut
ditanganl oleh maslng-maslng seksi yang ada dalam organisasi tersebut, a.1.: a. Seks~Agama, menyelenggarakan beberapa kegiatan, seperti: khotbah dan ceramah umum, pembentukan kelompok pengajian dan sebulan sekali menyelenggarakan pengajlan rutln, yaitu setiap tanggal 5 yang bertempat di aula kantor desa yang penyelenggaraannya dikoordinir oleh Gabungan Majelis Takllm Ibu-~buse Jatlmulya; pelaksanaan paket iqro' dan gerakan kebers~hanternpat-tempat umum dan mesjid.
b. Seksi Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban, mengaktifkan kegiatan siskamling, perbaikan pos keamanan keliling dan pengarahan kamtibmas.
c. Seksi
Pendidikan
dan
Penerangan,
menyelenggarakan
sarasehan
kewirausahaan serta memberi keterampilan bagi para remaja dan mereka yang putus sekolah pada tahun 2000. d. Seksi Lingkungan Hidup,
melakukan kegiatan penyuluhan tentang
pelestarian lingkungan hidup, melakukan gerakan
K3
(Kebersihan,
Keindahan dan Ketertiban), serta melakukan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. e. Seksi Pembangunan, Perekonomian dan Koperasi, menyelenggarakan kegiatan penyuluhan koperasi, pembinaan industri kecil, serta sosialisasi kewirausahaan. f.
Seksi Kesehatan Kependudukan dan Keluarga Berencana, melakukan kegiatan pendataan kader posyandu, pelatihan kader posyandu, bimbingan dan penyuluhan kesehatan keluarga.
g. Seksi Pemuda, Olah Raga dan Kesenian, menyelenggarakan kompetisi bola
volley se-Jatimulya. h. Seksi Kesejahteraan Sosial, melakukan sosialisasi pemanfaatan dana usaha dan pemberian sumbangan kepada keluarga yang kurang mampu. i.
Seksi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, melakukan pendataan PKK unit RW serta mengarahkan pokja PKK.
2. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Kegiatan
PKK
yang
diketuai
oleh
Ibu
Kepala
Oesa
aktif
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kegiatan PKK yang menjalankan 10 Program PKK tersebut dibagi atas 4 kelompok kerja (POKJA), dengan kegiatan yang pernah dilakukan sbb: a. POKJA I menangani bidang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Kegiatan yang dilakukan adalah pengajian ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok pengajian GMTl (Gabungan Majelis Taklim Ibu-ibu) yang dilakukan sebulan sekali di aula desa. Selain itu, juga melakukan kegiatan bakti sosial, seperti mengunjungi warga yang sakit, tertimpa musibah ataupun yang melahirkan. Akan tetapi, kegiatan ini masih terbatas, karena banyak warga yang
tidak
memberitahu
permasalahan-permasalahan
sosial
yang
dihadapinya.
b. POKJA
II menangani bidang pendidikan dan
pengembangan kehidupan berkoperasi.
keterampilan, serta
Kegiatan pendidikan dan
keterampilan yang pernah dilakukan, a. I. memberi kursus menjahit, kursus pembuatan jahe, kunyit dan kencur instan, kursus potong rambut, dsb. Pada saat ini kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan topi, keset, baju kaos, kaus kaki, celana pendek dari bahan-bahan limbah kain yang dikirim oleh suatu perusahaan dari Jakarta. Hasil jahitan tersebut ditampung lagi oleh perusahaan tersebut untuk dipasarkan di daerah lain. Harga per potong barang jadi, misalnya topi sekitar Rp 5000,-. Kegiatan ini telah berlangsung semenjak bulan Agustus tahun 2001. Selain itu ada juga anggota PKK lam (dari RW 12) yang mendapat kursus dalam pembuatan tas dari man~k-man~k Kegiatan ini dimodali oleh ibu RW dan hasilnya dipasarkan oleh ibu RW 12 Kehidupan berkoperasi juga berlangsung di daerah ini. Koperasi yang ada adalah koperasi simpan pinjam, yang didirikan sekitar tahun 1998 dan
diketuai oleh ketua POKJA I1 sendiri dan sampai saat ini jumlah anggota koperasi ada sekitar 24 orang.
c. POKJA Ill menangani tentang sandang, pangan, perumahan serta tata laksana rumah tangga. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah penyuluhan tentang kebersihan rumah.
POKJA IV menanganl bidang kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, serta perencanaan sehat.
Kegiatan di bidang kesehatan dilaksanakan melalui
Posyandu yang ada di tiap-tiap RW. Kegiatan Posyandu dilaksanakan oleh kader-kader Posyandu yang dipilih dari masing-masing RT setempat, yang berjumlah sekitar 180 orang.
Kegiatan yang dilakukan di Posyandu, a.1.
adalah penimbangan bayi dan balita, pemberian makanan sehat dan imunisasi, penyuluhan kesehatan pada ibu-ibu hamil, penyuluhan tentang gizi, serta penanganan Lansia. Kegiatan Posyandu dibantu oleh Puskesmas setempat, dan secara berkala dikunjungi oleh dokter dari Puskesmas setempat.
Kegiatan mengenai pelestarian lingkungan hidup dilakukan
melalu~penyuluhan dan pelaksanaan penanaman "tabulampot" (tanaman buah-buahan dalam pot) dan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan dengan dltanaml dengan tanaman obat keluarga, seperti: kunyit, jahe, kcncur, dsb. Keglatan perencanaan sehat dikaitkan dengan kegiatan dalam Posyandu
3.
Karang Taruna Karang Taruna di desa ini mulai d~bentukpada tanggal 20 Juli 1985 dan
diberi nama Karang Taruna Tunas Mulya. Kegsatan yang rutin dilakukan adalah
kegiatan olah raga dan bakti sosial. Kegiatan olah raga yang dilaksanakan antara lain adalah volley, badminton, dsb. Pada tahun 2000 anggota Karang Taruna Tunas Mulya mendapat peringkat ketiga perlombaan olah raga yang diadakan di kacamatan Tambun. Beberapa tahun yang lalu, Karang Taruna dalam upaya membina anakanak yang putus sekolah,
pernah
mencoba melakukan usaha melalui
pembelian barang-barang sisa pabrik yang ada di desa Jatimulya untuk kemudian dipasarkan sendiri ke tempat-tempat penampungan barang-barang bekas pabrik.
Namun demikian kegiatan ini
kemudian terhenti karena
kekurangan modal usaha sehingga kalah bersaing dengan pedagang "Madura" yang lebih berpengalaman dan mempunyai modal yang jauh lebih besar. Selain itu, Karang Taruna juga pernah menyalurkan pemuda-pemuda desa Jatimulya untuk bekerja di pabrik-pabrik yang berlokasi di desa Jatimulya sendiri.
4. Kelompok UP2K PKK Desa dan UP2KA-KB
Kegiatan kelompok UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga) dan Kelompok UP2KA-KB (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor Keluarga Berencana) tercakup dalam kegiatan-kegiatan PKK Desa. Kegiatan ini sudah dilakukan melalui pembuatan baju, keset, topi, dsb dari bahan limbah yang dikirim oleh suatu perusahaan dari Jakarta.
Selain itu juga kegiatan
pembuatan tas dari manik-manik dan pembuatan jahe instan, kunyit instan, serta kencur instan.
Kelembagaan Informal
Kelembagaan informal merupakan
kelembagaan yang hidup dan
berkembang di wilayah setempat. Kelembagaan informal ini sangat bermanfaat
dalam masyarakat, terutama manfaat sosial, misalnya dapat memupuk rasa kebersamaan dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu juga bisa memberikan manfaat ekonomi, seperti dalam kegiatan arisan.
Di desa Jatimulya,
kelembagaan informal yang hidup dan berkembang ada empat, yaitu: (1) arisan "pakatan"; (2) pengajian; (3) gotong royong; dan (4) rukun kematian.
1. Arisan "Pakatan"
Arisan ini diikuti oleh bapak-bapak dan ibu-ibu, terutama penduduk asli di Jatimulya.
Arisan "pakatan" ini sangat bermanfaat dan menunjukkan masih
adanya cara hidup bergotong royong di wilayah desa ini. Disebut arisan pakatan karena arisan tersebut dilakukan dengan kesepakatan bersama dan terutama digunakan untuk kegiatan hajatan, misalnya acara perkawinan atau sunatan. Arisan ini dibedakan atas arisan dalam bentuk uang dan arisan dalam bentuk barang, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya; pada saat si A hajatan, si B membawa 10 liter beras, si C membawa 5 kg gula, si D membawa 10 kg kol, maka pada saat si 6 hajatan si A juga harus membawa 10 liter beras, si C hajatan si A membawa 5 kg gula dan si D hajatan, si A membawa 10 kg kol ditambah dengan bahan tambahan misalnya: 5 kg kacang, dst.
Arisan dalam bentuk barang ini hanya dibuka pada saat seseorang
mengadakan hajatan. Arisan dalam bentuk uang dilakukan oleh kaum bapak dan juga kaum ibu yang dibuka seminggu sekali. Arisan dalam bentuk uang ini juga tidak ditentukan besar uangnya, tetapi tergantung pada keinginan masingmasing orang. Aturan mainnya sama seperti arisan barang, namun demikian arisan uang ini tidak dikocok seperti lazimnya arisan biasa, tetapi penerima arisan pada minggu tersebut tergantung dari siapa yang meminta dan biasanya bagi mereka yang mempunyai hajat atau yang lebih membutuhkan bisa
rnenerirnanya terlebih dahulu. Kedua arisan ini pada dasarnya bisa diikuti oleh siapa saja (baik penduduk asli maupun pendatang), tetapi dengan syarat sudah menetap di daerah tersebut (bukan mengontrak rumah). Kegiatan arisan seperti ini sudah berkernbang semenjak lama atau sudah merupakan kebudayaan rnasyarakat seternpat. Selain arisan pakatan yang diperuntukkan untuk hajatan seperti yang tersebut di atas, ada lagi juga arisan pakatan yang bersifat untuk mengurnpulkan uang, guna rnernbeli sapilkerbau secara bersama untuk kebutuhan lebaran. Satu ekor sapi ditanggung bersama oleh peserta, dan pembayaran bisa dicicil tergantung kesanggupan masing-masing orang dan pada saat bulan puasa harus lunas, yaitu pada saat sapilkerbau harus dibeli. Sama seperti kegiatan arisan, kegiatan patungan untuk pembelian sapi ini juga bisa
diikuti oleh siapa
saja, baik penduduk asli maupun pendatang.
2. Pengajian
01desa Jattmulya terdapat banyak kelompok-kelompok pengajian yang umumnya menyelenggarakan kegiatan pengajian dari rumah ke rurnah. Kaum Bapak
rnenyelenggarakan
pengajian
sendiri
dan
kaum
ibu
juga
rnenyelenggarakan kegiatan pengayan sendlri. Kaum ibu mempunyai kelompok pengajlan bersama yang diberi nama kelompok pengajian "Riyadatul Urnmah" yang diketual oleh Ibu Alsyah
Kelompok pengajian ini menyelenggarakan
kegiatan pengajlan rutin sebulan sekali dengan panitia majelis takllrn yang berbeda setiap kall keglatan Kegiatan pengajian pada masing-mas~ngkelompok dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama, ada yang menyelenggarakannya pada Kamis malam, Jum'at rnalam, dsb. DI Kampung Jati (salah satu dusun dl Jatimulya)
pengajian rutin kaum bapak diselenggarakan pada malam Minggu) dan pengajian ibu-ibu pada Jum'at siang. Kegiatan pengajian ini dilakukan secara bergiliran pada musholla yang berbeda, misalnya minggu ini di musholla yang terletak di RT 03, maka minggu depannya di RT 02 atau 04, dst. Selain itu pada malam Jum'at diadakan yasinan yang diikuti oleh ibu-ibu setempat.
Pada
kegiatan pengajian ibu-ibu ada juga kegiatan arisan, tetapi uang yang didapat digunakan untuk membeli kebutuhan konsumsi bagi anggota pengajian dan jumlahnya tidaklah besar yaitu sekitar Rp 1000,-
-
Rp 2000,- tergantung
kesepakatan bersama. Selain pengajian, beberapa kelornpok pengajian juga membentuk tim rebana yang sering tampil pada acara-acara tertentu, misalnya acara sunatan, acara Isra' Mi'raj, acara Mauludan, dsb. Pada tahun 2000 juga pernah mengikuti perlombaan rebana se-Jabotabek yang bertempat di mesjid Al-Azhar Jakarta, namun belum mendapat peringkat.
3. Gotong Royong Di Kampung Jati (bagi penduduk asli) masih ada kegiatan pertukaran tenaga atau gotong royong dalam mendirikan rumah. Akan tetapi rumah yang akan didirikan tersebut terbuat dari kayu atau berdinding tadir, bukan dari batu. Apabila rumah yang didirikan merupakan campuran antara kayu dan batu, maka kegiatan gotong royong hanya dilakukan untuk bagian bangunan yang terbuat dari kayu saja, sedangkan bagian yang dibuat dari batu akan diteruskan oleh tukang yang diupah oleh pemilik rumah. Para pekerja bantuan ini akan diberikan makanan kecil dan minuman (kopi) serta makan siang. Pekerjaan tersebut di atas dilakukan oleh kaum laki-laki.
Selain gotong royong dalam pembuatan rumah, di desa ini juga dilakukan gotong royong dalam pesta hajatan. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum pria dan kaum wanita.
Kaum pria biasanya membantu dalam pembuatan "plampang"
atau pondokan untuk menerima tamu, sedangkan kaum ibu ikut terlibat dalam kegiatan "rewang-rewang" , yaitu membantu yang punya hajatan menyiapkan keperluan hajatan (mis: memasak).
4 Rukun Kematian
Rukun kematian ini berkaitan dengan penyelenggaraan jenazah, mulai dari memandikan, mengkafani sampai penguburan. Kegiatan ini dilakukan oleh yang mengerti tentang penyelenggaraan jenazah, dibantu oleh anggota masyarakat lainnya.
Masyarakat yang ikut dalam rukun kematian ini, apabila ada salah
seorang anggota keluarganya yang meninggal, semua penyelenggaraanjenazah sudah ditanggung oleh anggota dalam rukun kematian tersebut. Akan tetapi setiap bulannya setiap rumah tangga dikenai iuran bulanan sebesar Rp 2500,-.
Rangkuman
Berdasarkan kriteria yang dikemukakan McGee (1987
dalam
Firman,
1992), tentang wilayah pinggiran perkotaan, maka desa Jatimulya dikategorikan sebagai wilayah pinggiran perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh lima kriteria dari enam kriteria yang dikemukakan McGee, yaitu kepadatan populasi
tinggi;
penyedia kesempatan kerja bagi para migran dari pedesaan dan pasar bagi produk pertanian; dicirikan oleh beragam aktivitas non-pertanian, termasuk industri, transportasi dan perdagangan; ada interaksi antara aktivitas perkotaan dengan aktivitas pedesaan; serta penggunaan lahan merupakan suatu
campuran yang kuat sebagai daerah pemukiman, daerah industri, pembangunan suburban dan penggunaan-penggunaanlainnya yang saling berdampingan. Bila ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, kepadatan penduduk di desa Jatimulya bisa dikategorikan tinggi, yaitu sekitar 7098 jiwafkm2 pada tahun 2000.
Kepadatan penduduk Jatimulya jauh melampaui kepadatan penduduk
Jawa Barat sendiri, yaitu 2000 jiwa/km2, demikian juga bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 106 jiwalkm2. Seiring dengan perkembangan perekonomian di desa Jatimulya, dimana sektor jasa dan perdagangan semakin melaju menggantikan sektor pertanian, maka
saat ini desa Jatimulya dikategorikan sebagai Desa Jasa dan
Perdagangan. Semenjak berdirinya pabrik-pabrik ukuran menengah dan besar pada sekitar tahun 1975-an, desa Jartimulya menjadi salah satu desa penyedia kesempatan kerja bagi pencari kerja dari berbagai wilayah di Indonesia. Saat ini jumlah pekerja yang bisa diserap di pabrik-pabrik yang ada di di desa Jatimulya adalah sekitar 55.025 orang, sedangkan jumlah pabrik yang bisa menyediakan lapangan kerja adalah sebanyak 9 perusahaan besar dan 57 perusahaan menengah.
Berkembangnya sektor jasa dan perdagangan di daerah ini
menyebabkan semakin rnundurnya sektor pertanian, seperti yang dikemukakan oleh Kottke (1966) bahwa petani di sekitar perkotaan merasakan gejala kemunduran di bidang pertanian. Perluasan kota menyebabkan terpencar dan terbaginya areal pertanian menjadi luasan yang kecil-kecil. Hal ini juga dialami oleh Bekasi umumnya dan desa Jatimulya khususnya. Pada saat ini luas areal pertanian terutama sawah hanya tinggal 16,698 Ha (2,98 % dari total luas wilayah desa). Dari kriteria k e 4 dan ke-5 dari McGee, yaitu terdapatnya beragam aktivitas non-pertanian, serta adanya interaksi antara aktivitas perkotaan dan
pedesaan, terlihat dari beragamnya kegiatan ekonomi yang ada di desa Jatimulya. Berbagai sektor jasa, seperti: perbankan, jasa telekomunikasi, jasa advokasi, kesehatan, jasa penginapan, dsb; berbagai sektor perdagangan, seperti: banyaknya rumah-toko, perdagangan barang-barang bekas, dsb; dan sektor industri dengan berdirinya pabrik-pabrik besar dan menengah semanjak tahun 1975-an. Beralihnya kegiatan sektor pertanian ke industri menjadikan desa Jatimulya bukan lagi desa pertanian, tetapi disebut sebagai desa jasa dan perdagangan. Selain itu juga, di satu sisi terutama dalam kegiatan sosial (arisan pakatan, gotong royong pembuatan rumah dan hajatan), terlihat bahwa ciri Jatimulya sebagai daerah pedesaan masih tergambar dengan jelas, namun di sisi lain terdapat aktivitas perkotaan yang menyebabkan berkurangnya kerjasama diantara masyarakatnya, misalnya: adanya usaha katering yang menangani konsumsi dalam hajatan, dimana tidak diperlukan lagi kegiatan bersama dalam menyiapkan makanan; di bidang ekonomi adanya kegiatan perbankan
yang tidak pernah ada di wilayah yang murni sebagai wilayah
pedesaan. Hal seperti ini menunjukkan bahwa terjadi peralihan desa Jatimulya dalam bentuk pedesaan murni menuju pada bentuk perkotaan. Penggunaan lahan-lahan yang ada di desa Jatimulya merupakan campuran yang kuat sebagai daerah pemukiman, daerah industri, dan penggunaan-penggunaan lainnya.
Daerah
pemukiman juga
semakin
berkembang sernenjak tahun 1980-an dan saat ini terdapat 5 Kompleks perumahan yang dihuni oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia. Kehidupan sosial di desa Jatimulya, dimana penduduknya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, cukup baik. Sebagian diantaranya sudah berbaur dengan penduduk asli (orang Betawi), melalui perkawinan antar suku.
Walaupun
mas~ng-masing membawa adat istiadat sendiri-sendiri, keakraban antara
sesama cukup menonjol, ha1 ini dilihat melalui adanya kelembagaankelembagaan sosial, baik formal (PKK, Karang Taruna, dsb) maupun informal (perkumpulan pengajian, arisan, dsb), yang bisa diikuti oleh siapa saja tanpa memandang dari daerah mana mereka berasal.
Kelembagaan sosial informal
yang banyak dimasuki adalah pengajian dan arisan "pakatan" yaitu arisan yang diadakan sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.