JAMINAN KENYAMANAN PEJALAN KAKI DALAM TATA KELOLA TRANSPORTASI (TRASPORTATION GOVERNANCE) DI KOTA YOGYAKARTA
RINGKASAN SKRIPSI
Oleh Rahmadani Efendi NIM 10417141039
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014
JAMINAN KENYAMANAN PEJALAN KAKI DALAM TATA KELOLA TRANSPORTASI (TRASPORTATION GOVERNANCE) DI KOTA YOGYAKARTA Oleh : Rahmadani Efendi dan Yanuardi, M.Si ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami jaminan kenyamanan pejalan kaki dalam tata kelola transportasi (transportation governance) di Kota Yogyakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Kota Yogyakarta, dengan subjek penelitian mengambil perwakilan dari tiga stakeholders yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta (SPKD dan Kecamatan), Swasta (GIZ dan PT Jogja Tugu Trans) dan Masyarakat (KPBB, WALHI Yogyakarta dan Paguyuban PKL). Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik triangulasi sumber digunakan mengecek keabsahan data penelitian dengan membandingkan jawaban dari berbagai sumber dengan pertanyaan yang serupa. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan governance belum berjalan dengan baik sehingga belum dapat menjamin kenyamanan pejalan kaki. Meskipun telah disepakati program yang berkenaan untuk memberikan jaminan tersebut seperti kegiatan kota layak pejalan kaki, rencana pedestrianisasi Malioboro dan penyediaan moda angkutan terintegrasi. Penyebab governance belum berjalan baik karena terdapat kendala seperti ketergantungan stakeholders terhadap peran pemerintah, keterbatasan peran swasta dan masyarakat, koordinasi antar SKPD kurang, masih adanya pelanggaran hak pejalan kaki, dan sektor transportasi yang belum mendukung. Hal tersebut membuat governance belum memenuhi prinsipprinsip governance yang baik diantaranya rule of law, responsiveness, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi dan akuntabilitas. Kata kunci : Jaminan, Pejalan Kaki, Governance. I.
PENDAHULUAN Transportasi telah menjadi salah satu kepentingan publik. Peran transportasi yang begitu besar terhadap ekonomi, sosial dan politik membuat kepentingan antar pemerintah, masyarakat dan swasta sering bentrok. Masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik membutuhkan angkutan umum yang layak, namun pemerintah tidak dapat menyediakan angkutan umum yang layak. Kendaraan pribadi yang ditawarkan oleh swasta menjadi jawaban akan kebutuhan masyarakat
mengenai transportasi meskipun di sisi lain terdapat swasta yang menyediakan jasa angkutan umum dengan kualitas yang baik. Bentrokan kepentingan tersebut dalam transportasi sehingga memunculkan kepentingan yang mendominasi dan kepentingan yang terpinggirkan. Berjalan kaki sebagai salah satu moda transportasi yang murah, mudah dan sehat menjadi yang paling terpinggirkan akibat pembangunan yang semakin pesat dan konflik kepentingan dalam transportasi. Fasilitas bagi pejalan kaki seperti trotoar secara kuantitas dan kualitas sangat kurang. Pejalan kaki diatur dalam UU No 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan dalam pasal 131 bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain dan berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Realitanya pejalan kaki malah tergeser di atas jalan sebagai pihak yang terlemah dalam sistem transportasi karena kurang tegasnya pemerintah menjalankan peraturan yang telah dibuat. Transportasi di Kota Yogyakarta belum dikatakan baik. Kemacetan yang terjadi disebabkan jumlah kendaraan pribadi yang tumbuh lebih cepat daripada jumlah jalan yang ada. Menurut data statistik 2008 menyebutkan bahwa transportasi di Jogja didominasi oleh kendaraan bermotor yang mencapai 83,5% di mana hanya 2,5% yang merupakan transportasi umum atau bus. Meskipun pada tahun 2008 telah diluncurkan Transjogja, namun perbandingannya 1:30 sepeda motor (bisnis-jateng.com, 2012). Fakta tersebut menunjukkan pemerintah kota Yogyakarta belum berkomitmen terhadap kepentingan pejalan kaki dan membuat pejalan kaki semakin terpinggirkan. Berdasarkan data WALHI Yogyakarta, kondisi trotoar di Kota Yogyakarta cukup memprihatinkan. Lebar trotoar yang memenuhi standar dan layak untuk berjalan dengan lebar lebih dari 2 meter hanya mencapai 32 %, sedangkan 14 % kondisi permukaan trotoar rusak atau tidak layak untuk berjalan. Di sepanjang trotoar juga terdapat penghalang bagi pejalan kaki meliputi tiang listrik, telepon, parkir kendaraan dan pot bunga dengan mencapai angka 60-90%.
Masalah transportasi dan pejalan kaki yang semakin kompleks di Kota Yogyakarta membutuhkan kerja sama banyak pihak. Di era otonomi daerah, pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan tidak hanya bekerja sendiri tetapi juga melibatkan pihak lain seperti masyarakat dan swasta. Kerja sama tersebut akan mengakomodir setiap kepentingan dari banyak pihak sehingga keputusan dapat diambil pemerintah sebagai decision maker untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Penelitian ini memfokuskan untuk melihat peran governance dalam tata kelola transportasi terutama dalam memberikan jaminan kenyamanan bagi pejalan kaki. Pemecahan masalah transportasi dan pejalan kaki di Kota Yogyakarta telah melibatkan interaksi antar pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan adanya governance, diharapkan tercipta solusi yang efektif. Tata kelola transportasi yang baik akan memberikan pelayanan yang baik pula termasuk memberikan fasilitas publik yang nyaman bagi pejalan kaki. Sesuai latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan memahami jaminan kenyamanan pejalan kaki dalam tata kelola transportasi (transportation governance) di Kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Esa Wahyu Endarti, pada tahun 2005 dengan judul “Interaksi Antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Dalam Pelayanan Transportasi Perkotaan (Studi Pada Pelayanan Bus Kota di Surabaya)”, dalam Jurnal Administrasi Publik Vol. II, No 2 Oktober 2005. Penelitian ini melihat bagaimana interaksi tiga pemangku kepentingan dalam pelayanan publik bus Kota Surabaya. Hasil penelitian tersebut adalah pola koordinasi (interaksi) yang terjalin antar pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan layanan bus kota berjalan tidak seimbang. Pemerintah provinsi masih mendominasi dalam hubungan tersebut sementara belum adanya pola hubungan saling ketergantungan antara aktor dan stakeholders dalam pelayanan transportasi bus kota. Penelitian ini relevan karena memiliki kesamaan untuk melihat interaksi antar pemangku kepentingan dalam tata kelola transportasi. Pola interaksi antara
pemerintah, swasta dan masyarakat yang berjalan akan membuahkan suatu solusi agar tercipta kenyamanan bagi pejalan kaki. II. KAJIAN PUSTAKA Governance Beberapa paradigma baru muncul dalam perkembangan ilmu administrasi negara. Banyak paradigma yang telah bergeser dari sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu pemerintahan. Salah satu paradigma yang berkembang diantaranya adalah Good Governance (Tata Pemerintahan yang Baik). Governance sendiri, menurut Andrew (dalam Syafri, 2012:180), adalah “the manner in which the government, working together with other stakeholders in society, exercices its authority and influence in promoting the collective welfare of society and the long-terms interested of the nation” (cara dimana pemerintah bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain dalam masyarakat, menerapkan kewenangan dan mempengaruhi dalam mengusahakan kesejahteraan masyarakat dan tujuan jangka panjang suatu bangsa). Sedangkan menurut Chemma (dalam Keban, 2008 : 38) menjelaskan governance adalah sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, dan politik dikelola melalui interaksi antara masyarakat, pemerintah dan sektor swasta. Lebih lanjut, Paradigma ini mengutamakan mekanisme dan proses dimana para warga masyarakat dan kelompok dapat mengartikulasikan kepentingannya, memediasi berbagai perbedaan-perbedaannya, dan menjalankan hak dan kewajibannya. Governance (Syafri, 2012:177) mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan adminitrative. Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan (decision making proceses) yang memfasilitasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance merupakan sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu, Institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta dan dunia swasta) dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.
Interaksi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor usaha menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society beperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik (Ali, 2011:164). Aktor-aktor yang terlibat dari setiap domain governance (Ali, 2011:164) yaitu negara terdiri dari lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dam sektor informal lain di pasar. Masyarakat terdiri dari individual maupun kelompok (baik terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Banyak
pendekatan
untuk
melihat
kualitas
governance,
UNDP
mendekatinya dengan prinsip-prinsip, yang kemudian dikenal sebagai prinsipprinsip good governance. UNDP mengemukakan sembilan prinsip, yakni partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness, orientasi konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategik. Sedangkan menurut Bhatta (1997), yakni akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan rule of law (Syakrani & Syahriani, 2009:131-132). Indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan sejauh mana keberhasilan governance dilaksanakan. Transportasi Transportasi atau transport (Adisasmita, 2011:7) diartikan sebagai tindakan atau kegiatan mengangkut atau memindahkan muatan (barang dan orang) dari suatu tempat ke tempat tujuan, atau dari tempat asal ke tempat tujuan. Sedangkan menurut Sadyohutomo (2008:153) layanan transportasi adalah memindahkan barang atau manusia dari satu tempat ke tempat lain sehingga memperoleh manfaat. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa transportasi merupakan tindakan pemindahan barang atau orang sehingga memperoleh manfaat. Manfaat yang diperoleh berupa sosial, ekonomi, dan lainnya.
Transportasi tidak berdiri sendiri, transportasi terhubung dalam suatu sistem yang terkoneksi sehingga dapat memberikan hasil yang optimal. Sistem transportasi, menurut Ahmad Munawar (2005:1), memiliki satu kesatuan definisi yang terdiri atas, sistem yaitu bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dalam tatanan yang terstruktur, serta transportasi yakni kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Dari dua pengertian di atas sistem transportasi dapat diartikan sebagai bentuk keterkaitan dan keterikatan yang integral antara berbagai variabel dalam suatu kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Maksud
adanya
sistem
transportasi
adalah
untuk
mengatur
dan
mengkoordinasikan pergerakan penumpang dan barang yang bertujuan untuk memberikan optimalisasi proses pergerakan tersebut. Transportation Governance Jika dihubungkan dengan pengertian transportasi dan sistem transportasi sebelumnya, dapat dikatakan, transportation governance adalah pengelolaan transportasi yang terorganisasi dan memiliki keterkaitan dan keterikatan yang dikelola melalui interaksi antara masyarakat, pemerintah dan sektor swasta agar dapat menciptakan tujuan pembangunan yang optimal. Pengelolaan transportasi yang optimal dengan dukungan dari masyarakat dan swasta akan berdampak terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Dalam transportasi, peran serta pihak selain pemerintah cukup penting dalam merumuskan dan merencanakan kegiatan yang berhubungan dengan transportasi sangat diharapkan seperti swasta dan masyarakat. Lebih lanjut menurut Soejachmoen (2005:68) tata kelola transportasi kota yang baik perlu diletakkan pada nilai nilai dasar dari tata kelola yang baik. Dengan demikian perlu sebuah penyederhanaan, kemudian dirumuskan menjadi enam nilai dasar dari tata kelola transportasi yang baik, yaitu: a. Transportasi kota harus dikelola dengan bertanggung jawab atau akuntable
dalam
konteks
kebaikan
dan
mutu,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pengguna sekaligus pemilik.
b. Penyelenggaraannya harus transparan sehingga semua orang dapat ikut memantau
dan
mengontrol
proses
penyelenggaranya
secara
proporsional. c. Transportasi publik harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat kota, termasuk diantaranya terhadap kemungkinan masalah yang muncul maupun
terhadap
kemungkinan
peluang
mengembangkan
tata
transportasi yang baru dan lebih baik. d. Pengelolaan harus berdasarkan prinsip kewajaran atau fairness dimana pengelolaan tidak boleh merugi atau memperoleh subsidi yang berlebihan, namun tidak boleh dibebani untuk mencari laba yang sebesar besarnya. Dengan demikian harus diterapkan key performance indicators-nya. e. Menjadi kesetaraan dasar dari setiap pengguna, artinya pelayanan yang baik dan bermutu tidak membedakan kepada siapa pelayanan tersebut diberikan. f.
Masyarakat harus berpartisipasi untuk menjamin bahwa pelayanan transportasi kota berjalan dengan baik dan bermutu baik dalam menjaga dan memelihara infrastrukturnya, yang pada akhirnya masyarakat dapat menjadi pemelihara, investor atau pengelolanya.
Dapat dilihat bahwa tata kelola transportasi erat hubungannya dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Akram, dkk (2011) menjelaskan isu-isu penting yang berhubungan antara tata kelola transportasi (transport governance) dan efektivitas implementasi kebijakan (effective policy implementation) yang menjadi kunci dalam studi transportasi yaitu : a. Lack of joined up objectives and thinking across departments on transport issues. b. Lack of integration between planning and delivery process across departments. c. No clear link between economic and social objectives which inform the development of transport strategies in a region and assist the local governments to contribute in wider transport policy objectives.
d. Allocation of funds not linked to the performance indicators which leads to poor accountability and breach transparency during implementation. e. Gap and diverse relationship between wider government objectives (economic, social) and strategic transport objectives. f.
An unclear structure to formulate transport policy and implement decisions both hierarchically and geographically.
Dari penyataan di atas, disimpulkan bahwa hubungan tata kelola transportasi dan implementasi kebijakan yang buruk akan berdampak terhadap sistem transportasi. Sebab-sebab seperti kurangnya gabungan tujuan dan pendapat mengenai isu transportasi, kurangnya integrasi antara rencana dan proses penyampaian, tidak jelasnya hubungan antara ekonomi dan tujuan sosial dalam strategi pembangunan transportasi, alokasi dana tidak terhubung dengan indikator kinerja, jarak dan hubungan bermacam-macam antara tujuan pemerintah yang lebih luas dan tujuan strategi transportasi, dan ketidakjelasan struktur untuk memformulasi kebijakan transportasi dan implementasi secara hierarkis dan geografis, akan membuat transportasi tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Pejalan Kaki dan Fasilitas Bagi Pejalan Kaki Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda–moda angkutan yang lain. Pejalan kaki, menurut Munawar (2009:199), diklasifikan terdiri dari: a. Mereka yang keluar dari tempat parkir mobil/motor menuju ke tempat tujuannya. b. Mereka yang menuju atau turun dari angkutan umum, sebagian besar masih memerlukan berjalan kaki. c. Mereka yang melakukan perjalanan kurang dari 1 km sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki. Dilihat dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pejalan kaki adalah orang yang sebagian besar melakukan perjalanan/pergerakan dengan berjalan kaki, baik itu dari kendaraan pribadi, kendaraan umum ataupun dari tempat apapun untuk menuju lokasi tujuan yang dituju
Pejalan kaki sangat erat kaitannya dengan walkability. Walkability sendiri, secara bahasa, diartikan sebagai kemampuan berjalan kaki. Litman (dalam Shay dkk: 2003) mengartikan walkability sebagai “the quality of walking conditions, including factors such as the existence of walking facilities and the degree of walking safety, comfort, and convenience. (kualitas dari kondisi berjalan kaki, termasuk didalamnya faktor keberadaan fasilitas pejalan kaki dan derajat keamanan, kenyamanan dan efisiensi waktu berjalan kaki)” Yang kemudian diperjelas dengan pernyataan bahwa pedestrian facilities refer to sidewalks, crosswalks, and other similar facilities; safety factors may relate to traffic and/or personal safety, such as traffic calming measures or neighborhood watch organizations; comfort is found in seating, street trees, or good street orientation; and convenience might mean mixed land uses and good connectivity and accessibility. Pembangunan ruang publik sebagai tempat berinteraksinya masyarakat sangat dibutuhkan untuk menanggapi semakin banyaknya pembangunan gedunggedung yang semakin mengurangi ruang interaksi masyarakat. Dengan adanya ruang publik yang disediakan di tengah kota, masyarakat dapat saling bertemu dan berinteraksi dengan nyaman serta jika ruang publik sengaja diseting dengan adanya arena seni-budaya maka akan terjadi pertukaran budaya yang baik dan kelestarian budaya pun ikut menjadi manfaat adanya ruang publik. Pejalan kaki sebagai satu salah bagian dalam transportasi butuh suatu sistem yang baik. Menurut Steenberghen (2010), sistem pedestrian membutuhkan sebuah komitmen sistem politik untuk menyediakan fasilitas dan pelayanan. Semakin banyak yang berjalan kaki, sistem politik akan perhatian terhadap kebutuhan mereka. Selain itu, perlu adanya pencegahan konflik dalam lalu lintas dimana pengendara kendaraan bermotor harus berhenti ketika pejalan kaki menyeberang di lokasi yang nyaman dan aman. Pejalan kaki meskipun sangat erat dalam kaitan perpindahan (transportasi) atau pergerakan (lalu lintas), fasilitas bagi pejalan kaki sendiri berkenaan dengan tata ruang. Jalur pedestrian (pejalan kaki), menurut Shirvani dalam Mirsa (2012:64), sebagai elemen dari komponen sistem linkage adalah elemen penting
dalam urban desain, karena berperan sebagai sistem kenyamanan dan sistem pendukung vitalitas ruang-ruang kota. Adanya jalur pedestrian tersebut untuk menjamin keamanan dan kenyamanan dalam menyusuri jalan-jalan. Tujuan adanya jalur pedestrian menurut Rubenstein (dalam Mirsa, 2012:64) adalah untuk kesejahteraan, keamanan, kemudahan, kenyamanan dan keindahan. Prinsip struktur jalur pedestrian adalah dapat memberikan keamanan pejalan kaki dalam melakukan aktivitas dan melindungi dari gangguan kendaraan. Hal utama yang diperhatikan dalam pengembangan sirkulasi pejalan kaki adalah rasa aman, kenyamanan dan estetika. Jalur pejalan kaki harus bebas gangguan sehingga memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya. Menurut Moughtin, dalam Darmawati (2011:7), pendekatan perencanaan jalur pejalan kaki harus disusun dengan prinsip 5C, yaitu: a. Connetions (hubungan) b. Convenience (waktu yang efisien) c. Convival (ramah) d. Comfortable (kenyamanan) e. Conspicuousness (kejelasan) Prinsip kenyamanan di atas, oleh Darmawati, dapat dicapai apabila kualitas trotoar baik dan lebar jalur berjalan tanpa ada gangguan. Menurut Gibbon, dalam Darmawati (2011:7), kenyamanan bagi pejalan kaki adalah yang menyenangkan, aman dan efisien. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kenyamanan bagi pejalan kaki dilihat dari bentuk dan kualitas trotoar (lebar baik dan bebas gangguan) sehingga dapat memberikan rasa senang dan aman bagi pejalan kaki.
Pejalan Kaki di Indonesia Pejalan kaki di Indonesia diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan sebagai bagian dalam lalu lintas sehingga perlu diatur pergerakan dan fasilitas agar mendapatkan prioritas keselamatan dan kenyamanan. Dalam pasal 25 disebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan,
salah satunya (disebutkan pada ayat g) yaitu jalur untuk pesepeda, pejalan dan penyandang cacat. Ditjen Bina Marga DPU (1995:2) menyebutkan bahwa fasilitas pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Dijelaskan lebih lanjut, fasilitas pejalan kaki yang formal terdiri dari beberapa jenis: a. Jalur pejalan kaki yang terdiri dari: 1. Trotoar 2. Penyeberangan : a) Jembatan Penyeberangan b) Zebra Cross c) Pelican Cross d) Terowongan 3. Non Trotoar
b. Pelengkap jalur pejalan kaki terdiri dari: 1. Lapak Tunggu 2. Rambu 3. Marka 4. Lampu Lalu Lintas 5. Bangunan Pelengkap Ditjen Penataan Ruang DPU (2009:21) menjelaskan bahwa sarana ruang pejalan kaki adalah drainase, jalur hijau, lampu penerangan, tempat duduk, pagar pengaman, tempat sampah, marka dan perambuan, papan informasi (signage), halte/shelter bus dan lapak tunggu, serta telepon umum. Sarana dan Prasarana ruang pejalan kaki tersebut mendukung agar dapat terciptanya keamanan, kenyamanan, keindahan, kemudahan dan interaksi sosial sesuai dengan kebutuhan ruang pejalan kaki yang diinginkan. Salah satu yang merupakan kebutuhan pejalan kaki yaitu kenyamanan dimana dapat dilihat dari Jalur memiliki lebar
yang nyaman (min 1,5 m) dan permukaan yang tidak licin, street furniture memiliki tingkat kenyamanan yang tinggi dengan bahan yang sesuai dengan kebutuhan dan tata letaknya tidak mengganggu alur pejalan kaki, signaage tata letaknya tidak menggangu alur pejalan kaki, ramp dan marka difable memiliki derajat kemiringan yang sesuai standar kenyamanan (1:12), jalur hijau memiliki vegetasi peneduh pejalan kaki untuk penurun iklim mikro, dan jalur drainase dijaga kebersihannya agar tidak mengganggu aktifitas pejalan kaki III. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2010:6). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif dalam hal ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan transportation governance khususnya jaminan pejalan kaki di Kota Yogyakarta. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat seperti SKPD Pemerintahan Kota Yogyakarta dan Kecamatan untuk melihat kepentingan dari sisi pemerintah, Kantor GIZ SUTIP Yogyakarta di Jalan Malioboro No 56 dan Kantor PT. Jogja Tugu Trans di Jalan Yogya-Wonosari Km 4,5 No. 24-B untuk melihat kepentingan dari sisi swasta dan WALHI Yogyakarta di Jalan Nyi Pembayun No 14A Kotagede untuk melihat kepentingan dari sisi masyarakat. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 18 November 2013 sampai 28 Februari 2014. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah adalah pihak-pihak yang terdiri dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Pihak-pihak tersebut terkait tata kelola transportasi dan pejalan kaki. Informan yang memberikan data dalam penelitian ini adalah:
1. Azhar S, Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta. 2. Nugroho Indratmoko, Kepala Seksi Bangunan Pelengkap Jalan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta. 3. Eva, Staf Kesekretariatan Dinas Perindustrian, Perdagangan , Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta. 4. Shinta Herawati, Staf Sub Bagian Evaluasi, Pengendalian Program dan Sarpras BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Yogyakarta. 5. Sukamto, Kepala Bagian Satuan Polisi PP Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. 6. Rina Aryati, Kepala Sub Bagian Perindang Jalan Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. 7. Budi Santosa, Camat Danujeran Kota Yogyakarta. 8. Drs. Mardjuki, Camat Umbulharjo Kota Yogyakarta 9. Ahmad, Staf Divisi Ketentraman, Ketertiban dan Lalu Lintas UPT Malioboro. 10. Yescha Nuradis Ekarachmi D, Junior Technical Officer GIZ SUTIP Yogyakarta. 11. Septa, Pegawai Bagian SDM & Umum PT. Jogja Tugu Trans. 12. Halik Sandera, Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Yogyakarta. 13. Joned, Ketua Paguyuban PKL Danurejan. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen melakukan validasi terkait kesiapan melakukan penelitian selanjutnya yaitu terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen penelitian meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif dan penguasaan wawasan terhadap objek penelitian. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri melalui evaluasi dari seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori tentang sistem dan
tata kelola transportasi dan posisi pejalan kaki didalamnya. Peneliti juga menambah pedoman wawancara dan pedoman observasi yang digunakan sebagai acuan dalam proses pengumpulan data. Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis data yaitu data primer yang diperoleh melalui wawancara dan observasi dan data sekunder yang diperoleh melalui dokumentasi. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi dalam penelitian ini merupakan peneliti observasi tidak langsung. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah dipersiapkan. Observasi digunakan untuk mengamati dan mengetahui kondisi transportasi, kondisi jalur pejalan kaki dan interaksi stakeholders dalam governance yang dilakukan di Kota Yogyakarta. Wawancara dilakukan dengan cara semi terstruktur yaitu wawancara dengan pertanyaan terbuka (dengan batasan tema dan alur pembicaraan), fleksibel tapi terkontrol dan adanya pedoman wawancara yang dijadikan patokan. Dokumen yang didapatkan untuk penelitian ini antara lain peraturan tentang transportasi dan pejalan kaki, draft position paper meningkatkan kota laik pejalan kaki di Yogyakarta dan lain-lain. Teknik Keabsahan Data Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah triangulasi sumber. Setelah peneliti mendapatkan data, maka selanjutnya peneliti melakukan triangulasi sumber, antara lain dengan cara memberikan pertanyaan wawancara serupa pada waktu berbeda kepada informan yang sama, membandingkan keterangan yang diberikan informan satu dengan lainnya, dan membandingkan informasi dari informan dengan data sekunder yang ada. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah analisis interaktif yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2011:246) yaitu “proses analisis yang dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Proses analisis data
ini menggunakan empat tahap yaitu : (1) tahap pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan”. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam tata kelola transportasi di Kota Yogyakarta terdapat beberapa aktor atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat. Stakeholders tersebut merupakan 3 domain dalam governance, yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta, yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan transportasi. aktor yang lebih berwenang dalam mengurusi hal tersebut diwakili Dinas Perhubungan (Dishub) dan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta. Di aspek lain, penggunaan trotoar di Kota Yogyakarta tidak hanya untuk pejalan kaki namun juga digunkakan untuk kepentingan lain seperti pengawasan penggunaan fasilitas umum seperti trotoar dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang lebih sering berdagang di atas trotoar oleh
Dinas
Perindustrian,
Perdagangan,
Koperasi
dan
Pertanian
(Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta dan Pihak Kecamatan, penghijauan jalur pejalan kaki oleh Badan Lingkungan Hidup, dan Penataan kawasan khusus Malioboro oleh UPT Malioboro; Swasta yang diwakili oleh GIZ (The German organisation for international cooperation) yang bekerja sama dengan BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan mengembangkan proyek SUTIP (Suistainanble Urban Transport Improvement Project) di Daerah Istimewa Yogyakarta dan PT Jogja Tugu Trans yang merupakan perusahaan swasta operator operasional bus Transjogja, yang nanti akan diintegrasikan dengan jalur pejalan kaki; Masyarakat diwakili oleh KPBB (Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel) yang mendorong pengelolaan transportasi berbasis kebutuhan atau TDM (transprort demand management) dengan mengedepankan transportasi tidak bermotor (jalan kaki dan sepeda) dan angkutan umum massal, WALHI Yogyakarta yang melakukan advokasi di bidang transportasi khususnya menata sistem transportasi dan Pedagang kaki lima yang memakai fasilitas pejalan kaki untuk kepentingan ekonomi. Untuk
mewujudkan
jaminan
kenyamanan
pejalan
kaki,
berbagai
stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap pejalan kaki ataupun
fasilitasnya membuat suatu interaksi sehingga tercipta kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang merupakan governance sebagai berikut. 1. Kegiatan Kota Layak Pejalan Kaki Kegiatan ini berawal dari inisiatif KPBB yang menawarkan kerja sama kepada Pemerintah Kota Yogyakarta sehingga terbentuk perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan aspek keselamatan, keamanan, fungsi, ekonomi, dan kenyamanan fasilitas pejalan kaki di Yogyakarta. Ruang lingkup kegiatan Peningkatan Kota Laik Pejalan Kaki di Kota Yogyakarta yaitu FGD praktek berjalan kaki bagi 14 (empat belas) kecamatan, Survey kualitas pejalan kaki, Lomba foto “aku membaca kota”, Produksi bahan kampanye, Pemetaan fasilitas pejalan kaki dan situasi disekitarnya, Kampanye dan komunikasi masyarakat melalui media sosial, media cetak dan radio, Penyusunan Paper posisi dan Paper kebijakan terkait proses perubahan paradigma dan persepsi masyarakat tentang fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor, serta keselematan pengguna jalan, dan Pelaporan dan dokumentasi. Dalam kegiatan tersebut, WALHI Yogyakarta melakukan kajian dan kebijakan serta melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat seperti yang disampaikan oleh Direktur WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, sebagai berikut. “Pertama melakukan kajian dan kebijakan terkait isu trotoar dan fasilitas publik yang menjadi menjadi masukan dari kajian itu. Dari kajian itu, bagaimana kita mendorong adanya kebijakan yang pro pejalan kaki. Pembenahan atau pembuatan fasilitas-fasilitas publik itu yang bisa diakses secara mudah, tidak hanya oleh masyarakat biasa tapi juga teman-teman difabel. Kedua, kami melakukan kampanye edukasi tentang fasilitas publik itu bagi masyarakat perkotaan sehingga kami melakukan pengorganisasian di masyarakat. Bagaimana masyarakat berperan aktif mendorong pemerintah memfasilitasi fasilitas-fasilitas publik diwilayahnya.” (hasil wawancara 6 Desember 2013)
Kegiatan yang dilakukan WALHI tersebut dengan riset terhadap masyarakat yang menggunakan fasilitas trotoar dan melakukan Forum Group Discussion (FGD) di empat belas kecamatan untuk mengetahui keinginan masyarakat di tingkat kecamatan dan kelurahan. Hasil yang diperoleh akan dijadikan bahan dasar rekomendasi untuk mendorong pemerintah kota membuat sebuah regulasi yang berpihak terhadap pejalan kaki. 2. Rencana Pedestrianisasi Malioboro Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 disebutkan kawasan Malioboro akan dijadikan kawasan khusus pejalan kaki (pedestrian). Rencana tersebut mulai dijalankan oleh UPT Malioboro yang mempunyai wewenang untuk mengelola kawasan Malioboro. UPT Malioboro bertugas mengelola kawasan Malioboro agar dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat dan wisatawan yang berkunjung, terlebih kawasan Malioboro sebagai daerah pariwisata ikonik Yogyakarta. Rencana pedestrianisasi kawasan Malioboro telah mulai dijalankan secara bertahap oleh UPT Malioboro. Salah satu cara yang dilakukan yaitu melaksanakan Car Free Day (CFD) yang disebut “Jogja Bugar” setiap minggu pagi mulai dari daerah Ngejaman sampai kawasan Nol Kilometer. Selain itu, di kawasan Malioboro setelah dipasangi ramburambu pejalan kaki agar pengguna jalan menghormati pejalan kaki. Di Malioboro terdapat Pelican Cross, yaitu tempat penyeberangan yang difasilitasi dengan lampu lalu lintas. Pejalan kaki dapat menggunakan pelican cross dengan memencet tombol dan menunggu lampu yang berwarna kuning menjadi merah agar dapat menyeberang jalan. Namun, fasilitas tersebut tidak dimaksimalkan dengan baik karena sebagian pelican cross tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kawasan Malioboro yang menjadi salah satu proyek GIZ SUTIP membuat UPT Malioboro terbantu dengan adanya GIZ SUTIP seperti
yang disampaikan oleh Pak Ahmad, Staf Divisi Ketentraman, Ketertiban dan Lalu Lintas UPT Maliboro, berikut. “Kalo swasta itu dari GIZ. GIZ ini konsultan yang akan mengubah Malioboro menjadi kawasan pedestrian. Sudah ada GIZ yang berkantor di sini bagaimana survei tata ruang kotanya, tata ruang letak bangunannya, bangunan yang dilindungi. Malioboro disinikan banyak bangunan-bangunan yang termasuk cagar budaya sehingga di sini memang GIZ dibutuhkan terus. Tingkat kepadatan arus lalu lintas-nya per menit itu masuk Malioboro semua sudah dipikir semua” (Hasil Wawancara 23 Januari 2014) 3. Penyediaan Moda Angkutan Terintegrasi Pengelolaan transportasi di Kota Yogyakarta dilakukan dengan merombak sistem angkutan umum hingga peningkatan kapasitas / infrastruktur jalan, pembangunan jalan layang dan memperkuat angkutan massal. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi kemacetan di Kota Yogyakarta yang semakin padat. Cara lain yang dilakukan adalah dengan meneliti pola pergerakan masyarakat dan mengkolaborasikan dengan multimoda angkutan, yang kemudian dikombinasikan dengan pejalan kaki, becak dan sebagainya. Penyediaan angkutan massal di Kota Yogyakarta terlihat dari kerja sama antara PT Jogja Tugu Trans dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) DIY. Interaksi lebih kepada pemerintah provinsi karena layanan transportasi Transjogja melayani daerah kota Yogyakarta dan daerah sekitar. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang masuk dari luar kota Yogyakarta. Kedepan PT Jogja Tugu Trans akan melakukan perbaikan layanan dengan pengadaan bus untuk memenuhi trayek, Pengadaan bus secara bertahap untuk pengganti armada yang lama, optimalisasi bus yang diganti secara bertahap untuk pelayanan angkutan feader dan wisata komuter, dan Pengembangan Jalur meliputi Wates, Kulon Progo, Godean, Kaliurang dan Bantul. Perbaikan tersebut juga sejalan dengan program pemerintah dimana akan adanya pergantian bus umum menjadi
Transjoga pada tahun 2015 agar dapat memanusiakan penggunanya dengan pelayanan yang lebih baik. Kemudahan akses bagi pejalan kaki untuk jarak jauh dengan integrasi jalur pejalan kaki dan angkutan umum belum terlaksana dengan baik. Dalam kegiatan kota layak pejalan kaki yang dicanangkan di Kota Yogyakarta, salah satu yang direncanakan yaitu berusaha mewujudkan integrasi intermoda, integrasi tersebut dengan memadukan jalur non-motorized transport (NMT) seperti becak dan andong, pejalan kaki, pesepeda dan angkutan umum. Integrasi tersebut diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. Pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki tidaklah mudah untuk diberikan, terlebih dengan dominasinya kendaraan pribadi dan banyaknya masalah pejalan kaki yang melibatkan banyak pihak. Fasilitas trotoar yang secara fisik cukup memadai tetapi secara fungsi tidak layak. Kendala-kendala yang dihadapi yaitu tidak ada kesepahamanan antardinas terkait. Seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian yang berpegang pada Perda Penataan PKL yang mengelola PKL yang berjualan di Trotoar, sedangkan di sisi lain keberadaan PKL tersebut dianggap masalah oleh Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Pembuatan trotoar yang lebar ditakutkan akan menjadi lahan PKL berjualan. Gangguan-gangguan terhadap troroar akan dilemparkan ke SKPD yang memiliki tupoksi yang sesuai yaitu Dinas Ketertiban. Dinas ketertiban sendiri mengaku tidak bisa bekerja sendiri dan perlu berkoordinasi dengan SKPD lain. Kendala lain seperti pelayanan transportasi umum Transjogja belum dapat menarik jumlah massa yang banyak. Keadaan fisik bus Transjogja rusak ataupun dari segi efisiensi waktu masih sering terjadi keterlambatan. Keadaan tersebut membuat masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi dengan kelebihan ekonomis dan lebih cepat. Selain itu, masih terdapat PKL yang berjualan di trotoar masih ada yang tidak memberikan space bagi pejalan kaki. PKL yang tidak memberikan space bagi pejalan kaki beralasan bahwa pejalan kaki jarang melewati trotoar tersebut meskipun di trotoar tersebut telah dipasangi guiding
block bagi para difabel. Selain itu, masih adanya PKL tidak berizin yang menempati trotoar sebagai tempat berjualan. Kesepakatan-kesepakatan
yang dilakukan
oleh
stakeholders
dalam
menjamin kenyamanan pejalan kaki, baik dari kegiatan kota layak pejalan kaki, rencana pedestrianisasi malioboro dan penyediaan moda angkutan terintegrasi, diklasifikasikan dalam bentuk economical governance, dimana kesejahteraan pedagang kaki lima lebih diutamakan daripada kesejahteraan pejalan kaki, political governance dimana adanya policy process untuk mendorong Pemerintah Kota Yogyakarta membuat kebijakan mengenai pejalan kaki dan administrative governance dimana semua stakeholders membuat kesepakatan bersama untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah disepakati. Dalam pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki di Kota Yogyakarta, governance yang dilakukan memiliki beberapa kendala yang menghambat terciptanya jaminan tersebut. Diantaranya: a. Ketergantungan Stakeholders terhadap Peran Pemerintah Interaksi yang dilakukan oleh stakeholders lain lebih banyak ke pihak pemerintah kota karena adanya ketergantungan terhadap pemerintah. Pemerintah memiliki sumberdaya yang lebih berupa sumberdaya manusia, finansial, sosial politik dan sumberdaya lain daripada stakeholders lain. Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki kewenangan dominan agar pejalan kaki mendapatkan tempatnya di jalan. Pemerintah dapat membuat suatu regulasi yang dapat memaksa masyarakat ataupun pihak lain untuk mematuhi regulasi yang akan dibuat. b. Keterbatasan Peran Swasta dan Masyarakat Ketergantungan
peran
pemerintah
dalam
governance
mengindikasikan bahwa peran swasta dan masyarakat masih terbatas. Keterbatasan tersebut mempengaruhi ketercapaian kepentingan yang dimiliki oleh swasta dan masyarakat. Interaksi yang dilakukan swasta dan masyarakat tidak akan berhasil jika tidak ada good will dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk memihak pejalan kaki. Kewenangan
formal yang dimiliki pemerintah menjadi kunci dari interaksi yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat dalam interaksi yang telah dilakukan. c. Koordinasi antar SKPD Kurang Ketergantungan peran pemerintah juga menyebabkan kendala yang ada lebih banyak di sisi pemerintah, yaitu belum adanya kerja sama yang baik antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Secara horizontal antar SKPD Pemerintah Kota Yogyakarta, hubungan yang dibangun masih kaku dan formal dimana terbatas oleh tupoksi-tupoksi SKPD untuk bertindak mengatasi suatu permasalahan yang terjadi. Ego masing-masing SKPD yang berpendapat bahwa permasalahan yang terjadi di trotoar bukan tanggung jawab mereka. Penyebab permasalahan harus diselesaikan oleh SKPD yang bersangkutan. d. Masih adanya pelanggaran Hak Pejalan Kaki Pelanggaran masih terjadi terhadap hak pejalan kaki seperti fasilitas pejalan kaki yang nyaman untuk dilalui tanpa gangguan. Salah satu contoh pelanggaran adalah PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berizin ataupun tidak yang memakan lahan trotoar sehingga terjadi penurunan fungsi kualitas trotoar. Interaksi governance tidak dapat meminimalkan jumlah pelanggaran yang sering merugikan pejalan kaki. e. Sektor Transportasi yang Belum Mendukung Penyediaan transportasi umum terintegrasi di Kota Yogyakarta seperti Transjogja yang dilakukan oleh PT Jogja Tugu Trans masih lemah. Kondisi fisik bus yang rusak ataupun efisiensi waktu pelayanan yang membuat masyarakat tidak tertarik untuk beralih menggunakan moda angkutan tersebut. Meskipun sudah terbentuk kerjasama dengan pemerintah, peran PT Jogja Tugu Trans dalam menyediakan pelayanan transportasi umum masih terbatas yaitu service operator. Dalam mengukur keberhasilan governance dalam jaminan kenyamanan pejalan kaki di Kota Yogyakarta dapat dilihat berdasarkan prinsip-prinsip governance oleh UNDP seperti berikut.
1. Partisipasi Setiap warga negara menpunyai hak suara dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi di luar aktor pemerintah aktif dalam kegiatan jaminan kenyamanan pejalan kaki menunjukkan adanya keinginan suara-suara perwakilan pejalan kaki agar diakomodasi. stakeholders seperti KPBB, WALHI Yogyakarta, GIZ, dan PKL berpartisipasi dalam memberikan kenyamanan pejalan kaki. Partisipasi dilihat tidak hanya sebagai objek yang diatur tetapi subjek yang ikut terlibat dan memberikan suara untuk pengambilan keputusan seperti dalam rangkaian kota layak pejalan kaki yang terdapat Foum Group Discussion (FGD) di empat belas kecamatan di Kota Yogyakarta. 2. rule of law Hukum harus ditegakkan secara adil dan benar. Penegakkan hukum dalam memberikan jaminan kenyamanan pejalan kaki tidak berjalan baik. UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur hak dan kewajiban pejalan kaki belum ditegakkan dengan tegas sehingga fasilitas pejalan kaki yang ada tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, Perda Penataan PKL yang mewajibkan adanya ruang pejalan kaki masih melakukan pelanggaran dengan tidak menyediakan ruang untuk pejalan kaki. Pencegahan munculnya pelanggaran yang merugikan pejalan kaki harus dimulai dari komitmen setiap stakeholders. Stakeholders dapat saling mengawasi dan menjalankan aturan yang telah disepakati bersama. 3. Transparasi Kebebasan informasi dapat diperoleh oleh semua pihak yang terlibat ataupun tidak secara benar dan akurat. Informasi berupa publikasi dan hasil laporan dari kegiatan-kegiatan penjamin kenyamanan pejalan kaki yang dilakukan oleh stakeholders di media massa ataupun internet. Pihak-pihak tersebut dapat memantau memberikan saran kritik dari informasi yang telah dipublikasi. 4. Responsiveness
Responsiveness dilihat dari adanya penyaluran aspirasi masyarakat yang dilakukan institusi (pemerintah atau non-pemerintah). Daya tanggap yang dilakukan pemerintah kota dalam melayani setiap kepentingan stakeholders cukup baik, bahkan stakeholders lain diberi kesempatan lebih untuk terlibat. Keterlibatan tersebut membantu kegiatan pemerintah kota seperti UPT Malioboro terbantu dengan adanya GIZ dalam rencana pedestrianisasi Malioboro. Namun, dalam pelaksanaannya daya tanggap tersebut hanya sebatas didengarkan saja dan tidak dilaksanakan dengan baik seperti saran rekomendasi dari kegiatan kota layak pejalan kaki yang tidak direspon dengan baik. 5. Orientasi Konsensus Orientasi konsensus dilakukan pemerintah kota dengan adanya kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Pemerintah kota melakukan kerja sama dengan KPBB dalam bentuk perjanjian setelah memediasi berbagai kepentingan-kepentingan yang ada terhadap pejalan kaki. Adanya kegiatan kota layak pejalan kaki agar aspek-aspek fungsi fasilitas
pejalan kaki
mengakomodasi
meningkat,
kepentingan
PKL
Perda dan
Penataan PKL untuk rencana
pedestrianisasi
Malioboro dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar Malioboro menjadi kawasan wisata yang nyaman. Hasil tersebut merupakan konsensus dari memediasi untuk menjembatani kepentingan yang muncul agar terdapat pilihan terbaik bagi kepentingan bersama sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak. 6. Kesetaraan Kesetaraan dalam menyampaikan kepentingan masing-masing didengar tanpa memandang adanya perbedaan strata ataupun dominasi jumlah massa. Setiap individu/kelompok memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi. Kesetaraan tampak dari organisasi masyarakat yang mendorong adanya akomodasi kepentingan pejalan kaki dan PKL yang ingin disediakan lahan untuk berjualan. Namun, kesetaraan dalam penyampaian tersebut dalam pelaksanaan belum meredam konflik yang
terdapat pada fasilitas pejalan kaki karena terdapat kesenjangan antara hak pejalan kaki dan kebutuhan lahan PKL. 7. Efektivitas dan Efisiensi Kesepakatan yang telah disepakati mulai dilaksanakan oleh stakeholders agar mencapai tujuan yang diinginkan. Kegiatan yang telah dilakukan stakeholders dalam menjamin kenyamanan pejalan kaki tidak berjalan efektif karena masih adanya kendala-kendala yang menghambat program-program
yang
telah
dicanangkan.
Kendala
tersebut
menghambat efektivitas program mencapai tujuan dan efisiensi sumberdaya dalam mewujudkan kenyamanan pejalan kaki. 8. Akuntabilitas Setiap stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap pejalan kaki dan fasilitasnya harus bertanggung jawab kepada publik. Tanggung jawab masing-masing stakeholders berbeda. Pemerintah bertanggung jaawab dengan mengakomodasi kepentingan pejalan kaki dan membuat aturan yang jelas, swasta bertanggung jawab sebagai mitra pemerintah atau
konsultan
yang
turut
membantu
pemerintah,
masyarakat
bertanggung jawab dengan ikut mengawasi agar fasilitas pejalan kaki tetap berfungsi dengan baik. Salah satu contoh adalah kegiatan ramah pejalan kaki yang telah dicanangkan dengan menghasilkan rekomendasi berupa position paper dan working paper. Rekomendasi tersebut sebagai bukti
kegiatan
yang
dilakukan
tidak
sebatas
seromonial
dan
mengharapkan kegiatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu panjang. Meskipun demikian, masih terdapat kelemahan dari pemerintah untuk bekerja sesuai harapan karena masih belum tampak ada kekompakkan atau saling lempar tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan pejalan kaki sedangkan di sisi lain GIZ dan WALHI Yogyakarta telah berkontribusi agar pejalan kaki dapat terakomodasi di Kota Yogyakarta. 9. Visi Strategik Stakeholders memiliki kepentingan ingin diakomodasi tetapi di sisi lain stakeholders memiliki visi/tujuan yang jauh ke depan. Visi tersebut
berusaha diwujudkan dengan berbagai visi strategik. Seperti kegiatan kota layak pejalan kaki yang memiliki rencana aksi yang dapat dilakukan hingga benar-benar menjadi kota layak pejalan kaki. Kegiatan yang dilakukan dari interaksi-interaksi stakeholders dalam menjamin kenyamanan pejalan kaki menunjukkan bahwa transportasi ke depan harus meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi. Masyarakat didorong untuk beralih ke berjalan kaki dan transportasi umum. Jika berhasil, hasil interaksi tersebut akan bermanfaat jangkan panjang dengan menurunkan polusi udara dan meningkatkan kenyamanan bertransportasi sehingga kota menjadi lebih hijau dan humanis. V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa governance belum berjalan dengan baik sehingga belum dapat menjamin kenyamanan pejalan kaki. Meskipun stakeholders telah menyepakati program yang berkenaan untuk memberikan jaminan tersebut seperti kegiatan kota layak pejalan kaki, rencana pedestrianisasi Malioboro dan penyediaan moda angkutan terintegrasi. Penyebab mengapa governance belum dapat berjalan baik adalah: 1. Terdapat kendala dalam pelaksanaan governance oleh stakeholders. Kendala tersebut yaitu ketergantungan stakeholders terhadap peran pemerintah, keterbatasan peran swasta dan masyarakat, koordinasi antar SKPD kurang, masih adanya pelanggaran hak pejalan kaki, dan sektor transportasi yang belum mendukung. Kendala tersebut menunjukkan bahwa interaksi yang dilakukan oleh stakeholders tidak seimbang sehingga mempengaruhi ketercapaian tujuan yang diinginkan 2. Kendala dalam pelaksanaan tersebut menyebabkan governance belum dapat memenuhi prinsip-prinsip governance yang baik. Prinsip-prinsip yang belum dipenuhi yaitu rule of law dimana komitmen untuk menegakkan hukum masih lemah, responsiveness dimana daya tanggap hanya sebatas didengarkan saja tapi tidak dilaksanakan dengan baik, kesetaraan dimana terdapat kesenjangan antara hak pejalan kaki dan
kebutuhan lahan PKL sehingga masih menimbulkan konflik, efektifitas dan efesiensi dimana pelaksanaan kesepakatan yang belum mencapai tujuannya dan akuntabilitas dimana terdapat lempar tanggung jawab dari sisi pemerintah kota. Meskipun governance ada dan prosesnya mengalami kemajuan tetapi dalam pelaksanannya belum mencapai tujuan yang diinginkan. Penyebab governance tidak berhasil di atas menunjukkan bahwa stakeholders tidak hanya harus berkomitmen dalam suatu kesepakatan tetapi juga dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut. Keseimbangan peran dan tidak mengedepakan ego masing-masing dapat mendukung keberhasilan governance sehingga tujuan bersama dapat dicapai. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diambil di atas, maka saran yang peneliti berikan dalam penelitian ini adalah Interaksi yang dilakukan antara pemerintah, swasta dan masyarakat harus lebih aktif dan seimbang dalam pemecahan permasalahan pejalan kaki sehingga ada jaminan kenyamanan pejalan kaki. Untuk itu, interaksi yang dilakukan semestinya didukung dengan kesepakatan dan kesepahaman
yang sama
sehingga dapat
mengetahui
permasalahan lebih detail dan solusi yang diberikan lebih komprehensif; Pemerintah Kota Yogyakarta harus mengubah sistem transportasi yang mengakomodasi pejalan kaki. Akomodasi pejalan kaki dapat dilakukan dengan membuat suatu kebijakan agar pejalan kaki terjamin dalam sistem transportasi; Pemerintah Kota Yogyakarta harus memberikan kesepahaman visi ke tingkat birokrasi/jajarannya agar koordinasi antar SKPD (satuan kerja perangkat daerah) dapat terjalin dengan baik; Sektor swasta harus memperbaiki fisik angkutan, kualitas sumberdaya manusia, dan efisiensi waktu pelayanan dalam memberikan pelayanan angkutan umum agar masyarakat lebih nyaman dan mau menggunakan angkutan umum; dan Masyarakat harus lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi terhadap permasalahan pejalan kaki. Peran masyarakat tidak hanya sebatas mengawasi, menghormati dan menjaga penggunaan fasilitas pejalan kaki sesuai fungsinya tetapi juga turut berperan aktif sebagai pejalan kaki.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Munawar. (2009). Manajemen Lalu Lintas Perkotaan. Yogyakarta : Beta Offset. ______________. (2009). Manajemen Lalu Lintas Perkotaan. Yogyakarta : Beta Offset. Bisnis-Jateng. (2012). Kota Yogyakarta Tak Nyaman Bagi Pejalan Kaki. Diakses dari
http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2012/03/kota-yogyakarta-
tak-nyaman-bagi-pejalan-kaki/ pada 12 november 2013, Jam 23.40 WIB. Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. (1995). Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan. Jakarta : Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. (2009). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan. Jakarta : Elizabeth Shay, Steven C. Spoon & Asad J. Khattak. (2003). Walkable Environments and Walking Activity. Southeastern Transportation Center University of Tennessee. Faried Ali. (2011). Teori dan Konsep Administrasi : Dari Pemikiran Paradigmatik Menuju Redefinis. Jakarta : Rajawali Pers Keban, Yeremias T. (2008). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta : Gava Media Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Bandung. Mulyono Sadyohutomo. (2008). Manajemen Kota dan Wilayah : Realita & Tantangan. Jakarta : Bumi Aksara. Rinaldi Mirsa. (2012). Elemen Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Graha Ilmu Rini Darmawati. (2011). Eksporasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kenyamanan dan Keamanan Bagi Pejalan Kaki di Jalan Simanjuntak Gondokusuman Yogyakarta. Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta Vol. 6. Hlm. 5-15. Sakti Adji Adisasmita. (2011). Jaringan Transportasi : Teori dan Analisis. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Shirly Wunas. (2011). Kota Humanis : Integrasi Guna Lahan dan Transportasi di Wilayah Suburban. Surabaya : Brilian Internasional Soejachmoen, MH. (2005). Transportasi Kota Dalam Pembangunan Kota Yang Berkelanjutan. Jakarta : Subur Printing. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Syakrani & Syahriani. (2009). Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Thérèse Steenberghen. (2010). Assessment of Pedestrian System Output. Celestijnenlaan 200E, BE3001, Heverlee. Waseem Akram, Julien Hine & Jim Berry. (2011). Transport Governance, Structures And Policy Implementation: A Methodological Framework. University College Cork. Wirman Syafri. (2012). Studi Tentang Administrasi Publik. Jakarta : Penerbit Erlangga.