JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
JAMAK JURNAL ADMINISTRASI, MANAJEMEN, DAN KEPENDIDIKAN STISOSPOL ―WASKITA DHARMA‖ MALANG
Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016
ISSN: 2355-8466
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
ACUAN PENULISAN JAMAK JURNAL ADMINISTRASI, MANAJEMEN, DAN KEPENDIDIKAN 1. Jurnal JAMAK mengutamakan pemuatannaskah/tulisan dalam perspektif ilmu administrasi, manajemen, dan kependidikan. 2. Penulisan dapat berupa kajian teoritik/konseptual maupun resensi buku yang sesuai dengan dominan jurnal JAMAK. 3. Naskah yang dikirim harus orisinal atau belum pernah dipublikasikan dan atau tidak sedang dikirim ke jurnal/media massa lain. 4. Panjang naskah antara 15 – 20 halaman (untuk jenis laporan penelitian dan kajian teoritik/konseptual) dan maksimal 15 halaman (untuk resensi buku). Naskah diketik dengan spasi 1,5. Menggunakan jenis huruf Times New Roman, ukuran huruf (font) 12, dan kertas ukuran A4 (201 mm x 297 mm). 5. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan dissertai abstraksi dalam bahasa indonesia maksimal 250 kata, kata kunci (keyword) maksimal 5 kata ditulis dalam format italic. 6. Nama penulis, alamat instansi, dan alamat email ditulis lengkap. Biodata disertakan terlampir. 7. Naskah memuat unsur judul, nama dan alamat penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan, teori, hipotesis (optimal)), metode penelitian (waktu dan tempat, bahan/pengumpulan data, metode analisis data), hasil, dan pembahasan, kesimpulan, saran (optimal), ucapan terima kasih (optimal), dan daftar pustaka. Jika menggunakan tabel, grafik, dan gambar harap diberi nomor urut dan diketik dengan spasi tunggal. 8. Pengacuan, pengutipan dan daftar pustaka menggunakan standard model American Psicologocal Association (APA) style. 9. Naskah berupa kajian teoritik/konseptual diharapkan memuat sedikitnya unsur pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan), pembahasan, kesimpulan, dan saran (optimal). 10. Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengubah makna subtansialnya sesuai dengan misi dan visi jurnal JAMAK. 11. Naskah dapat dikirim melalui pengiriman dengan menyertakan hardcopy dan atau softcopy kekampus Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang Jl. Hamid Rusdi III/161 Malang telp/fax. (0341) 323678, email:
[email protected]
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Daftar Isi Halaman 1.
Unsur Motivasi serta Kepuasan Kerja dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan Koperasi Sigit Wahyudi ............................................................................................................... 1 - 9
2.
Problematik Pemukiman Masyarakat Miskin Perkotaan dalam Perspektif Hak Azazi Manusia Sutrisno .............................................................................................................. 10 - 16
3.
Akuntabilitas Publik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Kabupaten Malang Deden Faturohman ........................................................................................... 17 - 31
4.
Peran Literasi Informasi dalam Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter Anita Tri Widiyawati ........................................................................................ 32 - 43
5.
Optimalisasi Peran Satkowil melalui Binter dalam Membantu Pemerintah Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi guna Mewujudkan Swasembada Pangan H. Rumadi .......................................................................................................... 44 - 55
6.
Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) (Studi pada Pemerintah Kabupaten Tuban) Niken Lastiti Veri Anggaini ............................................................................. 56 - 69
7.
Perencanaan Tata Ruang yang Berdampak pada Kesejahteraan Masyarakat Miskin Andika Hijrah Prasetyo .................................................................................... 70 - 77
8.
Konsep dalam Perilaku Organisasi dan Individu guna Membangun Budaya Organisasi dan Tim Kerja yang Tangguh Suryo Hartoko ................................................................................................... 78 - 89
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
CATATAN REDAKSI
Pembaca Jurnal Administrasi, Manajemen dan Kependidikan ( JAMAK ) yang kami hormati, dewan redaksi telah mengevaluasi terbitan JAMAK Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016. Dalam edisi ini, redaksi menurunkan delapan naskah di bidang administrasi, manajemen dan kependidikan. Naskah pertama tulisan Sigit Wahyudi dengan judul Unsur Motivasi serta Kepuasan Kerja dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan Koperasi. Naskah kedua tulisan Sutrisno dengan judul Problematik Pemukiman Masyarakat Miskin Perkotaan dalam Perspektif Hak Azazi Manusia. Naskah ketiga tulisan Deden Fathurrohman dengan judul Akuntabilitas Publik Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Kabupaten Malang. Naskah keempat tulisan Anita Tri Widiyawati dengan judul Peran Literasi Informasi dalam Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter. Naskah kelima tulisan H. Rumadi dengan judul Optimalisasi Peran Satkowil melalui Binter dalam Membantu Pemerintah Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi guna Mewujudkan Swasembada Pangan. Naskah keenam tulisan Niken Lastiti Veri Anggaini dengan judul Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) (Studi pada Pemerintah Kabupaten Tuban). Naskah ketujuh tulisan Andika Hijrah Prasetyo dengan judul Perencanaan Tata Ruang yang Berdampak pada Kesejahteraan Masyarakat Miskin. Naskah kedelapan tulisan Suryo Hartoko dengan judul Konsep dalam Perilaku Organisasi dan Individu guna Membangun Budaya Organisasi dan Tim Kerja yang Tanggu. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra redaksi yang merelakan waktu dan pemikirannya untuk ikut serta dalam penyempurnaan penulisan naskah dalam jurnal ini. Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam diterbitkannya jurnal ini. Dengan segala keterbatasan dalam penerbitan jurnal JAMAK Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016. kami dengan terbuka menerima saran dan kritik demi membangun kesempurnaan pada penerbitan jurnal berikutnya.
Redaksi
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
UNSUR MOTIVASI SERTA KEPUASAN KERJA DALAM MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN KOPERASI Sigit Wahyudi Dosen Stsospol ‗Waskita Dharma‘ Malang ABSTRAK Perusahaan memiliki sumber daya yang lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sumber daya manusia. Koperasi mempunyai peranan yang sangat penting bagi semua kalangan masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. Banyak masalah yang dihadapi koperasi dalam mengembangkan organisasi dan usahanya selain masalah internal dan eksternal. Masalah internal menyangkut rendahnya kualitas SDM yang berdampak pada pengelolaan organisasi dan usaha koperasi. Sementara itu, masalah eksternal antara lain menyangkut faktor kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, persepsi masyarakat terhadap koperasi, persaingan usaha dari badan usaha lain, teknologi, sosial, dan politik. internal koperasi. Motivasi kerja dan kepuasan kerja merupakan faktor sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan. Motivasi adalah proses yang dinamis dimana setiap orang dapat dimotivasi oleh hal-hal yang berbeda. Kinerja karyawan adalah hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi (Malthis dan Jackson, 2001). Selain faktor motivasi, kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya kinerja seorang karyawan. Kepuasan kerja bukan diperoleh dari status sosial tinggi, namun kepuasaan kerja bagi mereka adalah usaha untuk mencapai hasil produksi itu sendiri. Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Rancangan penelitian ini termasuk penelitian korelasional, yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud menganalisis hubungan antar variabel. Untuk mempertahankan kepuasan kerja dan kinerja, manajemen koperasi tetap mempertahankan beberapa faktor seperti prestasi kerja, pengakuan terhadap kinerja karyawan, hubungan kondusif antara karyawan dengan rekan kerja dan atasan, dan kebijakan yang diterapkan oleh manajemen koperasi. Kata kunci: motivasi, kepuasan kerja, kinerja karyawan
PENDAHULUAN Latar Belakang Perusahaan yang mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan bukanlah perusahaan yang hanya mengandalkan keuangan perusahaan tersebut. Karena disamping pendanaan, perusahaan memiliki sumber daya yang lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sumber daya manusia. Sebuah perusahaan agar dapat mempertahankan daya saingnya, harus memperhatikan 2 (dua) faktor penting yaitu faktor personil (SDM) dan teknologi. Begitu Juga Koperasi, dalam menghadapi gejolak ekonomi harus mampu memperkuat
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
faktor sumber daya manusia serta kepercayaan para anggotanya. Koperasi yang merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan. Koperasi merupakan badan usaha yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi kepentingan anggota. Koperasi mempunyai peranan yang sangat penting bagi semua kalangan masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. Untuk mengelola koperasi tidak cukup hanya dengan dana yang besar, tetapi harus ditunjang dengan pola pembinaan yang intensif, terencana dan terukur bagi semua karyawan koperasi. Hal ini disebabkan adanya tantangan mengingat banyaknya masalah yang harus dihadapi koperasi seperti prinsip
ISSN: 2355-8466
koperasi yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan terutama dalam upaya mensejahterakan anggotanya, kualitas sumber daya manusia yang harus terus ditingkatkan guna tercapainya koperasi yang sehat, kuat, maju, berkualitas dan mandiri serta memiliki daya saing agar mampu bersaing di era global. Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Koperasi dan UKM Tabel 1.1 Predikat Kesehatan Koperasi Skor
No.20/Per/M.KUKM/XI/2008 menyatakan kesehatan koperasi adalah kondisi atau keadaan koperasi yang dinyatakan sehat, cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat dan sangat tidak sehat. Sehat atau tidak sehatnya suatu koperasi bisa dilihat dari kreteria skor yang telah ditentukan, seperti pada Tabel 1.1
Predikat
80-100
Sehat
60-80
Cukup sehat
40-60
Kurang sehat
20-40
Tidak Sehat
≤ 20
Sangat Tidak Sehat
Sumber: Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 20/Per/M.KUKM/XI/2008 Dari Tabel 1.1 dapat diperkuat dengan aspek yang digunakan untuk penilaian kesehatan koperasi antara lain aspek permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, efisiensi, kemandirian dan pertumbuhan, likuiditas dan jatidiri koperasi sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No.20/Per/M.KUKM/XI/2008. Realisasi anggaran pendapatan yang diperoleh karyawan antara koperasi yang berpredikat sehat dengan karyawan koperasi yang berpredikat kurang sehat, rata-rata skor yang diperoleh menunjukan perbedaan yang cukup signifikant, sehingga dalam hal ini koperasi masih dihadapkan pada permasalahan dibidang sumber daya manusia (SDM) di dalam pencapaian output kinerja. SDM adalah orang-orang yang merancang dan menghasilkan barang dan jasa, mengawasi mutu, mengalokasikan sumber daya finansial, serta merumuskan seluruh strategi untuk mencapai tujuan, Hardjanto (2010). Banyak masalah yang dihadapi koperasi dalam mengembangkan organisasi dan usahanya selain masalah internal dan eksternal. Masalah internal
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
menyangkut rendahnya kualitas SDM yang berdampak pada pengelolaan organisasi dan usaha koperasi. Sementara itu, masalah eksternal antara lain menyangkut faktor kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, persepsi masyarakat terhadap koperasi, persaingan usaha dari badan usaha lain, teknologi, sosial, dan politik. internal koperasi. Pendayagunaan karyawan di koperasi perlu dikelola secara profesional agar terwujudnya keseimbangan antara kebutuhan karyawan dengan kepentingan dan kemampuan koperasi. Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama dalam pendayagunaan sumber daya karyawan untuk mencapai kinerja yang maksimal serta tetap bertahan dalam persaingan di era globalisasi. Dengan demikian semakin disadari bahwa dalam suatu koperasi, SDM merupakan unsur yang paling penting, seperti yang diungkapkan oleh Hardyansyah (2002) bahwa manusia sebagai tenaga kerja dalam organisasi mempunyai peranan yang penting dalam mencapai tujuan dan memberikan pelayanan yang baik bagi organisasi dan masyarakat. Karyawan (account officer) merupakan faktor produksi
ISSN: 2355-8466
yang paling utama, karena itu harus mempunyai kemauan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan dari koperasi. KERANGKA TEORI MOTIVASI Motivasi kerja dan kepuasan kerja merupakan faktor sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan. Motivasi adalah proses yang dinamis dimana setiap orang dapat dimotivasi oleh hal-hal yang berbeda. Gomes (2003:171) mendifinisikan motivasi sebagai perilaku yang ditujukan pada sasaran. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan dan berkaitan erat dengan kepuasan pekerja dan performansi pekerjaan. Menurut Herzberg (1966) dalam Teck Hong dan Wahed (2011) ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnyafactor hygiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor hygiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, Faktor eksternal tersebut termasuk gaji, keamanan kerja, kondisi kerja, pengawasan, hubungan interpersonal, kebijakan dan administrasi, faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah pencapaian atau penyelesaian pada suatu pekerjaan, pengenalan untuk menyelesaikan pekerjaan, sifat pekerjaan dan tugas itu sendiri, kelanjutan dan pertumbuhan dalam kemampuan pekerjaan. Faktor-faktor motivasi yang bersifat internal dengan pekerjaan seperti prestasi, pengakuan, tanggung jawab, sifat pekerjaan dan pertumbuhan pribadi dan kemajuan secara signifikan berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan (Ncube dan Samuel, 2014). Motivasi merupakan suatu proses yang membangkitkan, mengarahkan dan menjaga atau memelihara perilaku manusia agar terarah pada tujuan. Untuk lebih meningkatkan peformance dan sikap positif, sebaiknya menggunakan dan berpusat pada faktor faktor motivator. Pekerjaan seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
menghasilkan derajat penghargaan yang tinggi oleh kedua faktor tersebut. Faktor hygiene untuk menghindari ketidakpuasan kerja karyawan dan motivator sebagai faktor yang memastikan kepuasan kerja karyawan (Yuwono dkk., 2005). Hasil penelitian Teck Hong dan Waheed (2011) menunjukkan bahwa setiap organisasi ritel di Malaysia menyiapkan skema reward dan perlu mempertimbangkan empat faktor motivasi kondisi kerja, pengakuan, kebijakan perusahaan, dan uang. Keempat faktor dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja tenaga penjualan. Beberapa penelitian seperti Chaudhary (2012), Dieleman (2013), Abonam (2011), Peter and Bram (2009), Muogbo (2013), Shanthakumary (2012) membuktikan bahwa motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hasil penelitian Susan et al. (2013) menunjukan bahwa ada pengaruh yang kuat pada kinerja disebabkan perubahan cara motivasi yang dilakukan oleh manajemen. Penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2010) membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan, artinya meskipun motivasi kerja perpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja tetapi belum tentu mempengaruhi kinerja perusahaan. Akan tetapi penelitian Dhermawan dkk. (2012) menyatakan bahwa motivasi berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. KINERJA Kinerja karyawan adalah hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi (Malthis dan Jackson, 2001). Menurut Dessler (2003 :4) sumber daya manusia yang handal mampu menolong organisasi menghadapi tantangan persaingan global. Karyawan adalah pelaksana utama setiap fungsi organisasi terhadap sarana, prasarana, dan infrastruktur yang ada. Karyawan merupakan salah satu faktor kunci organisasi yang harus diperhatikan karena selalu mengalami berbagai dinamika di dalam organisasi. Dari pernyataan tersebut dapat
ISSN: 2355-8466
disimpulkan untuk meningkatkan kinerja organisasi, terlebih dahulu memperbaiki kinerja individu. Namun banyak faktor yang menentukan kinerja selain faktor motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja individu, yaitu rekan kerja, kemampuan, pengawasan, peraturan perusahaan, motivasi dan pelatihan (Aamodt, 2010). Faktor yang dapat meningkatkan kinerja karyawan adalah bagaimana cara manajemen memotivasi seorang karyawan agar dapat meningkatkan kinerjanya. Terciptanya koperasi yang sehat dapat dilakukan dengan cara memotivasi seorang karyawan dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan koperasi. KEPUASAN KERJA Selain faktor motivasi, kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya kinerja seorang karyawan. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan (Martoyo, 2007:156). Menurut Mudiartha (2001:257) sebab-sebab ketidakpuasan beraneka ragam seperti penghasilan yang rendah atau dirasakan kurang memadai, kondisi kerja yang kurang memuaskan, hubungan yang tidak serasi baik dengan atasan maupun dengan para rekan sekerja, dan pekerjaan yang kurang sesuai. Kepuasan kerja bukan diperoleh dari status sosial tinggi, namun kepuasaan kerja bagi mereka adalah usaha untuk mencapai hasil produksi itu sendiri. Manaj amen harus dapat mendorong sumber daya manusia agar tetap produktif dalam mengerjakan tugasnya masing-masing yaitu, dengan meningkatkan kepuasan kerja sehingga dapat mempertahankan karyawan, dan selain itu karyawan juga dapat dijadikan sebagai mitra utama yang baik dalam penunjang keberhasilan suatu organisasi, hal tersebut di harapkan dapat memotivasi karyawan serta membuat karyawan puas terhadap pekerjaan yang mereka jalani. Kepuasan kerja sangat penting bagi seluruh karyawan koperasi karyawan karena dapat meningkatkan JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
produktivitas dan mengurangi pergantian karyawan. Menurut Syptak (1999), kepuasan kerja merupakan elemen penting dalam situasi kerja dan telah dikaitkan dengan peningkatan kinerja serta peningkatan komitmen terhadap organisasi, Gathungu et al. (2013) Robbins (2003:10) menyatakan bahwa kepuasan kerja mengacu kepada sikap individu secara umum terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya. Pernyataan ini menunjukkan setiap individu memiliki tingkat kepuasan karyawan yang berbeda-beda antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Hasil penelitian Ncube dan Samuel (2014) menunjukkan bahwa variabel motivasi intrinsik dan ekstrinsik berdampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan. Sehingga manajemen dapat mengembangkan praktek kepuasan kerja dan variabel motivasi dapat diidentifikasi untuk memaksimalkan produktivitas karyawan dan meningkatkan pelayanan kualitas. Berdasarkan uraian diatas, dengan melihat permasalahan dan kendala yang dihadapi seorang karyawan didalam bekerja, yang tidak mencapai output kinerja maksimal sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh koperasi untuk mencapai salah satu predikat yang ditentukan oleh instansi. Maka dengan demikian akan menjadi sangat penting dan dipandang perlu untuk melakukan sebuah penelitian, dalam hal ini bagaimanakah meningkatkan kinerja seorang karyawan melalui motivasi dan kepuasan kerja yang diterapkan oleh manajemen, untuk mengetahui pengaruh antara motivasi,kepuasan kerja dan kinerja. METODE PENELITIAN Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Rancangan penelitian ini termasuk penelitian korelasional, yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud menganalisis hubungan antar variabel. Variabelvariabel yang digunakan adalah motivasi,kepuasan kerja, dan kinerja sebagaimana diungkapkan
ISSN: 2355-8466
dalam hipotesis, masing-masing akan diuraikan dalam indikator yang sesuai dan selanjutnya diturunkan menjadi item pertanyaan dalam instrumen pertanyaan. Data H1
MOTIVASI H2 H2 H3 Kepuasan Kerja
dikumpulkan melalui observasi, wawancara, serta kuesioner yang dilanjutkan dengan uji validitas dan reliabilitas.
Kinerja H3
PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian, maka pada hasilnya bisa diketahui berdasarkan hasil analisa yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan koperasi, sehingga dapat mengetahui bagaimana pengaruh masing-masing variabel terhadap variabel yang lainnya. Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Hasil analisis data menunjukan bahwa motivasi terdapat pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan koperasi. Ini artinya motivasi yang diukur melalui sembilan indikator yaitu: achievement (prestasi kerja), advancement (pengembangan diri), work it self (pekerjaan itu sendiri) , recognition (pengakuan), company policy (kebijakan perusahaan), relationship with peers (hubungan dengan rekan kerja), work security (keamanan kerja), relationship with supervisor (hubungan dengan atasan) dan gaji berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan koperasi. Hal ini memberikan petunjuk bahwa hipotesis diterima. Cara motivasi yang diterapkan oleh manajemen koperasi dilihat dari manfaat langsung yang dirasakan oleh karyawan berdampak positif dan signifikan terhadap kinerja, semakin baik motivasi yang dilakukan oleh manajemen terhadap karyawan maka semakin baik kinerja yang dihasilkan karyawan. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang sejalan antara lain dilakukan oleh Shanthakumary (2012), Dieleman (2003), JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Chaudhary et al. (2012), Muogbo (2013), Gagne et al. (2008), Maharjan (2012), Susanty dan Baskoro (2012), Munizu (2010), Khan et al.,(2013), Peter dan Bram., (2009), Gunggor.,(2011) membuktikan bahwa motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan untuk mencapai output kinerja yang tinggi dan mencapai salah satu predikat yang telah ditentukan oleh instasi untuk koperasi yaitu predikat sehat. Pengaruh Motivasi terhadap Kepuasan Kerja Hasil analisis data menunjukan bahwa motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Ini artinya motivasi dengan teori dua factor (Herzberg) yaitu motivator dan factor hyegien yang diukur melalui sembilan indikator yaitu achievement (prestasi kerja), advancement (pengembangan diri), work it self (pekerjaan itu sendiri) , recognition (pengakuan), company policy (kebijakan perusahaan), relationship with peers (hubungan dengan rekan kerja), work security (keamanan kerja), relationship with supervisor (hubungan dengan atasan) dan gaji berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Hal ini memberikan petunjuk bahwa hipotesis diterima. Cara motivasi yang diterapkan oleh manajemen koperasi dilihat dari manfaat langsung yang dirasakan oleh karyawan berdampak positif dan signifikan terhadap
ISSN: 2355-8466
kepuasan kerja. Hal ini mengandung arti bahwa semakin baik dan meningkat motivasi yang diberikan pada kepada karyawan maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Teck Hong dan Waheed (2011), Tang et al. (2004), Winer dan Schiff (1980), Ncube dan Samuel (2014) Dawson (2005), Collie et al. (2012), Maharjan (2012) Mazlomi et al. (2014), Sultan (2012). Berdasarkan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan untuk dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi meskipun menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri sangat relatif atau berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Hasil analisis data menunjukan bahwa kepuasan kerja yang diukur melalui empat indikator kepuasan intrinsik, kepuasan ekstrinsik, pengakuan dan otoritas/utilitas sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini mengandung arti bahwa semakin meningkat kepuasan kerja seorang karyawan maka semakin meningkat pula kinerja seorang karyawan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya : Helena dan Proenca (2012), Almigo (2004), Cecilia (2008) Anthony et al. (2006), Grant (2001) dalam Halena (2012) Wood et al. (2012) Bull (2005), Tadisina et al. ( 2001), Tang et al. (2014), Callaghan dan Coldwel (2014), Pushpakumari (2008) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positifterhadap kinerja karyawan. Berdasarkan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa kepuasan kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan dalam meningkatkan kinerja masingmasing individu meskipun menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri sangat relatif atau berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Implikasi Penelitian Pada kajian pustaka sebelumnya menyiratkan bahwa manajemen harus fokus untuk menjamin kecukupan faktor hygiene guna menghindari ketidakpuasan karyawan. JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Manajemen harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat sehingga karyawan termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih baik. Teori dua faktor juga memiliki keterbatasan lain yaitu variabel situasional. Herzberg mengasumsikan adanya korelasi antara kepuasan dan produktivitas. Namun penelitian yang dilakukan oleh Herzberg menekankan pada kepuasan dan mengabaikan produktivitas. Namun penelitian yang dilakukan Herzberg menekankan pada kepuasan dan produktivitas. Seorang karyawan mungkin menemukan pekerjaannya meskipun fakta bahwa karyawan tidak menyukai obyek pekerjaannya. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan kinerja adalah motivasi karyawan. Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini menunjukan bahwa semakin baik dan meningkat motivasi yang diberikan oleh manajemen terhadap karyawan, maka kinerja karyawan akan semakin meningkat dan mencapai salah satu predikat yang telah ditentukan oleh instasi yaitu predikat sehat. Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkat motivasi yang diberikan oleh manajemen koperasi kepada karyawan, maka kepuasan kerja karyawan akan semakin meningkat. Kepuasan kerja berpengarurh positif dan signifikan terhadap kinerja. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi dan meningkat kepuasan karyawan, maka kinerja karyawan akan semakin meningkat dalam menghasilkan output kinerja. Untuk mempertahankan kepuasan kerja dan kinerja, manajemen koperasi tetap mempertahankan beberapa faktor seperti prestasi kerja, pengakuan terhadap kinerja karyawan, hubungan kondusif antara karyawan dengan rekan kerja dan atasan, dan kebijakan yang diterapkan oleh manajemen koperasi. Untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja karyawan manajemen juga meningkatkan keamanan
ISSN: 2355-8466
kerja karyawan dengan memberikan kepastian kepada karyawan sebagai karyawan tetap koperasi, adanya aturan tugas pokok karyawan dan tidak ada mutasi wilayah kerja. Dimana manajemen koperasi harus memanfaatkan keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara maksimal melalui penerapan teori motivasi Herzberg di koperasi, diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja karyawan koperasi. DAFTAR PUSTAKA Aamodt, Michael G. 2010. Industrial/Orgnizational Psychology: an aplied approach. 6th Ed. Amerika Serikat: Wadsworth Abonam, Nehorbuno Dominic. 2011. The Roll Employee Performance in the Public Sector: Thesis. Case Study of the University for Development Studies-Wa Campus. Akusita, Eny. 2001. Pengaruh Karakteristik Dan Faktor Kondisi Pekerjaan Dengan Kepuasan Kerja Perawat Puskesmas Di Kabupaten Pati. Tesis. Universitas Diponegoro. Dipublikasikan. Anders, Dysvik and Bard Kuvaas, 2009, Exploring the relative and combined influence of masteryapp.roach goals and work intrinsic motivation on employee turnover intention. Department of Leadership and organizational Management, Norwegian School of Management, Oslo, Norway, Vol. 39 No 5, pp. 622-63 8 Arep, Ishak , Hendri Tanjung, 2003, Manajemen Motivasi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Bakhshi, A. Kumar K., Rani E., 2009. Organizational Justice Perceptions As Predictor Of Job Satisfaction And Organization Commitment. International Journal OfBusiness And Management, Vol. 4, No 9, pp. 145-154. Brahmasari Ida Ayu, Agus Suprayetno. 2008. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan(Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia) Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus Surabaya Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol 10, No 2, SEPTEMBER 2008: hal.124-135 Dawson, B. 2005. Motivation leaders to better results. Journal of Rubber and Plastics, Vol 37, pp.11- 15. Ekaningsih, Ana Sari. 2012. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja dengan Persepsi Lingkungan Kerja sebagai Pemoderasi. Pada Satuan Polisi Pamong Praja. Kota Surakarta. Journal Sciocienta Kopertis Wilayah XI Kalimantan. Vol 4, No 1.pp. 19-30. Engko, Cecilia. 2006, Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Individual. Makalah pada Simposium Akuntansipada 23-26Agustus , Padang Furnham, Adrian, Andreas Eracleous, Tomas Chamorro-Premuzic. 2009. Personality, motivation and job satisfaction: Herzberg meets the Big Five. University College London, London, UK Gary, Dessler. 2010. Manjemen Sumber Daya Manusia. edisi ke-10 jilid 1. Jakarta Barat. PT Indeks. Gathungu, James, Hannah Wachira W. 2013 . Job Satisfaction Factors that Influence the Performance of Secondary School Principals in their Administrative Functions in Mombasa District, Kenya. International Journal of Education and Research. Vol. 1 No 2, pp. 257- 270 Ghozali, I., 2008. Structural Equation Modeling: Metode AlternatifDengan Partial Least Square. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gilles, E. Gignac, Benjamin R. Palmer. 2010. The Genos employee motivation assessment. Emerald Group Publishing Limited, ISSN
ISSN: 2355-8466
0019-7858 Genos, Waterloo, Australia Vol. 43 No 2. pp.. 79-87 Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya Gungor, Pinar. 2011. The Relationship Between Reward Management System and Employee Performance with the Mediating Role of Motivation: A Quantitative Study on Global Banks. Okan University, Istanbul, 34722 Turkey. Vol.1. No 2.pp.1510-1520 Herzberg, F. (1966). Work and the nature of man. Cleveland, OH: World Publishing Company Janseen, Hasibuan Malayu,SP. 2000.Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta. PT. Bumi Aksara Jimoh, A.M., 2008, Emotional Labour, Conscientiousness and Job Tenure as Predictors of Job Performance Among University Administrative Workers in Southwestern Nigerian, International Journal of African & African American Studies, Vol.VII, No.2.pp.1 11-123 Johan, Rita. 2011. Kepuasan Kerja Karyawan Dalam Lingkungan Institusi Pendidikan. Jurnal Pendidikan Penabur – No/ Th.I/ Maret 2002. hal. 6-31 Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Nomor :96/Kep/M.KUKM/IX/2004, Tentang Pedoman Standar manajemen Koperasi Simpan pinjam dan Unit Simpan Pinjam koperasi Keputusan Menteri Koperasi Dan Pimbinaan Pengusaha Kecil Republik Indonesia ,Nomor: 226/Kep/M/V/1996,Tentang petujuk pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan pinjam oleh Koperasi Klassen, R. M., Usher, E. L., & Bong, M. (2010). Teachers' collective efficacy, job satisfaction, and job stress in cross-cultural context. The
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Journal of Experimental Education, 78, pp.464–486. Koesmono H.Teman. 2005 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Dan Kepuasan Kerja Serta Kinerja Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah Di Jawa Timur. Jurusan Ekonomi Manajemen. Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 7. No. 2. 171188 Mahardian, Pandu. 2008 Analisis Pengaruh Rasio Car, Bopo,Npl, Nim dan Ldr Terhadap Kinerja Keuangan Perbankan (Studi Kasus Perusahaan Perbankan yang Tercatat di BEJ periode Juni 2002 Juni 2007) . Tesis. Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Maharjan, Sarita. 2012.Association between Work Motivation and Job Satisfaction of College Teachers Administrative and Management Review Vol. 24, No 2, pp..45-55. Martins, Helena. Proenca Teresa. 2012. Minnesota Satisfaction QuestionnairePsychometric Properties and Validation in a Population of Portuguese Hospital Workers. Escola Superior de Tecnologia da Saúde do Porto, Instituto Politécnico do Porto (STSP), Polytechnic Institute of Porto. CEF. UP, Faculdade de Economia do Porto (FEP), University of Porto.pp.1- 20 Murty, Hary., Veronika Agustini Srimulyani. 2013. Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Karyawan PDAM Kota Madiun. Journal Riset Manajemen dan Akutansi. Vol 1,No 1.pp. 10-17 Musriha. 2011. Influences of Work Behavior, Work Environment and Motivation in Clove Cigarette Factories in Kudus Indonesia. Bhayangkara Surabaya University Indonesia
ISSN: 2355-8466
Natalia, Martın Cruz, Vıctor Martın Perez, Celina Trevilla Cantero. 2009. The influence of employee motivation on knowledge transfer .Q Emerald Group Publishing Limited, ISSN 1367-3270. VOL. 13 NO 6, pp. 478-490 Onne. 2001 .―Fairness Perceptions As Moderator in the Curvilinear Relationship Between Job Demand, and Job Performance and Job Satisfaction,‖. Academy of management journal, vol 44. No 5. pp. 1039-1050 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 19/Per/M.KUKM/XI/2008,Tentan g Pedoman Penilaian Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia, Nomor: 20/Pem/M.KUKM/XI/2008,Tenta ng Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi. Peter, Kisink, Bram Steijn. 2009. Public Service Motivation and Job Performance of Public sector
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
employees in the Netherland. Internatonal review of Administrative, science, vol 75, No 1.pp. 35-52 Pushpakumari, M. D. 2008. The Impact of Job Satisfaction on Job Performance :An Empirical Analysis. Forum city, Sri Langka. Vol. 9 No1. June. pp..89-105 Quratul Ain Manzoor. 2011. Impact of Employees Motivation on Organizational Effectiveness. The Islamia University of Bahawalpur, Bahawalpur, Pakistan. European Journal of Business and Management. ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol 3, No3. pp. 36-44 Qaiser Danish Rizwan, Usman Ali. 2010 . Impact of Reward and Recognition on Job Satisfaction and Motivation: An Empirical Study from Pakistan Chairman, Department of Business Administration University of the Punjab, Gujranwala Campus, Pakistan, Vol. 5, No 2, Februari . pp. 159-167 Robbins, Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Buku 1 dan 2. Jakarta: Salemba Empat Robbins, Stephen P.-Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Edisi 2Buku 1. Jakarta. Salemba Empat.
ISSN: 2355-8466
PROBLEMATIK PEMUKIMAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN DALAM PERSPEKTIF HAK AZAZI MANUSIA Sutrisno Dosen DPK Stisospol ‗Waskita Dharma‘ Malang ABSTRAK Problema pemukiman bagi segenap rakyat Indonesia, belum terpecahkan. Padahal itu adalah hak asasi manusia, sementara pemenuhannya adalah terutama tanggung jawab negara, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sebagai hak asasi manusia hak atas pemukiman seharusnya serius diupayakan penanganannya, khususnya bagi masyarakat miskin. Disadari, membangun apa pun ada masalah, termasuk membangun pemukiman bagi masyarakat miskin perkotaan. Rumah susun, betapapun tak lepas dari masalah, tampaknya masih merupakan salah satu alternatif yang baik dan menguntungkan. Kata kunci: hak asasi manusia, masyarakat miskin.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Banyak masalah besar yang masih melanda negara maju maupun miskin di dunia, seperti masalah kelaparan, kemiskinan, kebodohan dan pemukiman. Negara semaju Amerika Serikat pun, menurut Dawsey (2001:203204, dalam Yustika, 2003:15) pada tahun 2007, 20% penduduknya masih megnalami kesulitan dalam masalah pemukiman terutama di perkotaan misalnya wilayah Misisipi. Demikian pula, masalah kemiskinan dan pemukiman. Tak dipungkiri, bahwa banyak penduduk yang kaya dan hidup berlebih, namun banyak sekali penduduk miskin di berbagai belahan dunia yang tak memiliki rumah. Sementara mereka memerlukan tempat berteduh. Oleh karena itu, tepat perlunya realisasi Right for housing and land is a part of human rights. Betapapun hal itu adalah hak asasi manusia, tetapi bagaimana realisasinya? Di Indonesia, penduduk miskin, menganggur, terlantar atau tak punya rumah masih amat banyak. Padahal sejak tahun 1945 secara konstitusional telah ada penegasan pasal 34 UUD 1945, bahwa "Fakir miskin dan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara‖. Kenyataannya, kaum miskin tetap dimarginalkan, dan kini jumlahnya semakin bertambah. Kaum mustadh-afin ini, seakan tak berhak apa-apa akan negaranya. Padahal, siapa yang bisa menyangkal bahwa pada dasarnya setiap orang lahir merdeka, memiliki hak asasi yang sama dengan sesamanya di sekelilingnya, dan mereka punya hak untuk hidup secara layak sesuai kemanusiaan. Bagian terbesar warga bangsa ini hidup di pedesaan dan hidup sebagai petani. Kondisi mereka sebagian besar miskin. Fakta yang mengejutkan, berdasarkan Sensus Pertanian BPS tahun 2006 (dalam Yustika, 2003:26) menyebutkan bahwa petani tuna wisma mencapai 28%. Golongan ini hanya menguasai lahan 18,1%. Sebaliknya, 29% rumah tangga tani berlahan 0,10-0,49 hektar menguasai 15,7%. Sebanyak 18% rumah tangga tani berlahan 0,50— 0,99 hektar menguasai 53,8%. Selanjutnya, 2% rumah tangga tani berlahan lebih dari 5 hektar menguasai 20,4%. Kontras dengan 470 perusahaan yang menguasasi sekitar 56,3 juta hektar lahan hutan (120.000ha/perusahan), 561 perusahaan pertambangan rata-rata menguasai 150 hektar. Tahun 2007 ada 10 konglomerat menguasai 65.000
ISSN: 2355-8466
hektar (untuk pemukiman mewah). Terakhir di Jabotabek, tahun 2007 terdapat 32 lapangan golf yang memakai sekitar 11.200 hektar. Lalu apa yang salah dari Bangsa ini? Bukankah keadilan sosial, telah sejak sebelum merdeka dicanangkan? Mengapa setelah lebih setengah abad merdeka, kondisi tetap terpuruk? Bukankah tak ada pengamat yang menyangsikan luar biasanya kekayaan bumi dan laut Indonesia, yang bisa dipakai membangun dan menyejahterakan rakyat? Golongan yang tak beruntung itu hingga kini, belum mendapat perhatian serius. Di tengah-tengah maraknya kemiskinan, keterbelakangan yang menimpa mereka, sebagian manusia Indonesia menurut Muchsin, berperilaku serakah. Dalam sinyalemen Ali bin Abi Thalib, sekitar 1400 tahun lalu, tak akan meluas kemiskinan, kecuali karena berlebih-lebihannya cara hidup orang kaya. 2. Perumusan Masaiah Tulisan ini akan menyoroti hak asasi manusia atas pemukiman dan problema pemukiman bagi masyarakat miskin perkotaan. Akan dikemukakan landasan yuridis hak asasi manusia atas pemukiman. Problema pemukiman di perkotaan, dan problema pemukiman untuk masyarakat miskin perkotaan. PEMBAHASAN 1. Landasan Yuridis Dasar-dasar bagi setiap orang untuk mendapatkan hak atas pemukiman, dalam skala global, di antaranya dapat kita temui dalam: a. Universal Declaration of Human Rights, Article 25: "Every one has the right to a standard of living adequate for the health and well being of himself and of his family, including food, clothing, housing, and medical care....." b. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Article: 11 (1)
"The States Parties to the present Convenant recognize the right of everyone to an adequate standard of living for himself and his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continous improvement of living conditions..." Dua landasan yang bersifat mendasar di atas kiranya cukup untuk menyadarkan kita betapa tuntutan setiap negara untuk memenuhi hak setiap orang atas pemukiman adalah suatu keniscayaan. Mungkin sekali akan ada sanggahan, bahwa hak yang diatur dalam UDHR adalah semacam anjuran. Pendapat itu tidak sepenuhnya salah. Namun hal itu tidak tepat. Menurut Wignjosoebroto (dalam Hesti Armiwulan, dick, 2003:38), UDHR memang seruan moral. Namun dia dimaksudkan untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh bangsa manapun yang beradab. c. Dalam konteks nasional, kita bisa melihat isi pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Selanjutnya pasal 281 ayat (4) menyatakan, "Perlindungan, kemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah". Dengan demikian menjadi jelas, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan hak setiap orang untuk memperoleh pemukiman. Karena berdasar pasal 28 I ayat (1) hak atas tempat tinggal (pemukiman) adalah hak asasi manusia. Sementara itu pasal 40 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, "Setiap orang berhak bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak". Pasal 28 ayat (5)1945 menegaskan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asai manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan". Seperangkat Undang-Undang kita telah punya sejak lama. Kita memiliki peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Pemukiman. Peraturan Pelaksanaannya telah mencapai sekitar 20 (Hamzah 2000). Demikian pula kita memiliki UndangUndang nomor 4 tahun 1992 tentang Pemukiman dan Pemukiman, yang salah satu asasnya (pasal 3) adalah keterjangkauan. Berdasar pandangan Drupsteen dan Woltgens (1996) seharusnya hal tersebut dimulai dengan kebijakan (general principles) yang tepat. Kebijakan memang hams dengan beberapa pertimbangan, termasuk pilihan-pilihan, altematif yang dipilih dan memperuntukkan kebijakan bagi seluruh masyarakat, adalah suatu keharusan yang mesti dicakup (Dror dalam Islamy, 1997). Kebijakan yang tepat ini selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundangundangan. Penuangannya memang sulit dan memerlukan kecermatan, mengingat banyak faktor yang terkait dengan pemukiman, seperti penataan ruang, masalah regulasi, pertanahan, dll. (Koeswahyono, 2000, Koeswahyono dan Setianegara, 2000). Regulasi masalah itu, sesuai dengan pendapat di atas, memerlukan kebijakan yang benar dalam tata ruang. Sebab dengan kebijakan tata ruang yang tepat akan memudahkan tercapainya tujuan. Ini bisa ditempuh dengan penyusunan strategi, sebagai basis metodologi pengembangan kebijakan (Lase, tt.) "Tantangan pertama yang dihadapi oleh negara-negara baru yang lahir pada era pasca Perang Dunia II sebagai hasil proses dekolonisasi, adalah merumuskan model masyarakat yang ingin diwujudkan dan menentukan langkah-langkah strategi untuk mewu judkan masyarakat tadi". Demikian, menurut Tjokrowinoto (2001:1). Dengan kata lain, sebenarnya masalah yang teramat penting adalah menentukan
kebijakan, dan strategi untuk mencapainya. Dalam konteks Indonesia, para pendiri bangsa (the founding fathers) telah memikirkan model masyarakat yang hendak dibangun. Namun sayangnya, realisasinya jauh dari yang diharapkan. Pergantian rezim dari Orde Lama dan Orde Baru bahkan hingga Orde Reformasi, tampak tak serius mewujudkan urusan yang merupakan tanggungjawab menyejahterakan rakyat sesuai amanat konstitusi sebagaimana di atas. 2. Problema Pemukiman di Perkotaan Muchsin (2002:11-12) menyatakan: "Ketidakseimbangan antara laju pertambahan penduduk kota dengan laju pembangunan kota dapat menimbulkan beberapa permasalahan yang memerlukan penanganan yang serius dari para penentu kebijakan pembangunan kota. Lambatnya laju pembangunan kota selain karena terbatasnya dana pembangunan yang dimiliki pemerintah daerah, juga disebabkan karena terbatasnya lahan untuk membangun kota". Kenyataan demikian tetap relevan hingga kini dan di mana-mana, khususnya Indonesia. Banyak informasi yang menyatakan bahwa kebutuhan rumah sekitar 300.000 unit/tahun, sementara itu tanah sawah yang subur beralih fungsi mencapai 50.000 ha/tahun. Tjokrowinoto (2001:122) menyatakan, sejalan dengan data BPS 1994, di antara kurun waktu 1983-1993 terjadi penurunan luas lahan yang dikuasai petani dari 18,35 juta hektar menjadi 17,67 juta ha, sedang petani gurem yang memiliki lahan di bawah 0,5 ha meningkat dari 9,5 juta menjadi 10,9 juta. Di Bekasi, sektor industri dan pemukiman memerlukan lahan yang luas, yang ditunjukkan oleh pengurangan lahan pertanian yang sangat besar. Antara tahun 1991 sampai dengan tahun 1998 terjadi pengurangan lahan pertanian seluas 19.938 ha. (3.425 ha) merupakan guna lahan yang melanggar, yaitu penggunaan lahan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
permukiman yang diperuntukkan bagi jalur hijau, sawah basah, serta pariwisata (Itenas, 1999 dalam Nurzaman, 1999). Sementara Muchsin, (2002:410) juga menulis bahwa permasalahan yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia: (1) masalah lingkungan yang kumuh dan turunnya kualitas lingkungan; (2) masalah sampah dan banjir; (3) masalah pengangguran, gelandangan dan kriminalitas; dan (4) masalah ketertiban lalu lintas. Kondisi di atas semakin parah manakala dihubungkan dengan semakin meningkatnya urbanisasi, sementara kondisi perkotaan, khususnya kota besar tak mampu menampung mereka secara layak. Muchsin (2003:2-3) juga menulis bahwa berdasarkan sensus jumlah penduduk Indonesia 1990 berjumlah 179,31 juta, tahun 2000 bertambah menjadi 2003,03 juta. Yang tinggal di perkotaan tahun 1990 sebanyak 55,52 juta atau sekitar 30,93%. Sementara di Jawa Timur, tahun 1990 penduduk yang tinggal di perkotaan 8,9 juta, sekitar 27,45%. Tahun 1980 sebelum penyesuaian wilayah hanya 19,77% (setelah diadakan penyesuaian wilayah menjadi 25,92%). Tidak dapat dipungkiri bahwa ada wilayah pemukiman penduduk kota yang termasuk dalam kelompok kawasan "kumis" atau kumuh miskin. Hal ini karena sebagaimana disinggung Muchsin, terkait dengan pengangguran, sementara pengangguran dan gelandangan memang bagian dan masalah kota-kota besar. Banyak kota besar, kini tak lagi mampu menjadi pilihan ideal sebagai tempat tinggal. Di setiap kota besar di Indonesia, wilayah pengembangan kota hampir selalu menuju daerah desa kotanya (Koestoer, 1997: 145), yaitu daerah pinggiran wilayah perkotaan (Koestoer, 1997:4). Selain itu, dalam keadaan tidak stabil, misalnya saat Krisis Moneter 1998, akan turut berdampak terhadap pembangunan kota yang terlalu cepat sebagaimana terjadi di Bekasi. Menurut Nurzaman (1999), banyak hal yang da-
pat dipelajari dan krisis itu. Pelajaran utama adalah, walaupun investasi dan luar dapat mendorong perkembangan dengan pesat, akan tetapi jika tidak dikaitkan dengan kekuatan lokal, maka dorongan ini akan rapuh. Pelajaran kedua, perkembangan yang terlalu cepat seringkali menyebabkan perencanaan yang kurang matang, yang bermasalah di kemudian hari. Seperti, tidak terpadunya wilayah Bekasi, munculnya masalah banjir, kemacetan lalu lintas, lahan tidur, konflik guna lahan dan pencemaran sungai. Ketika hidup di kota cenderung makin tidak nyaman, masih menurutKoestoer (1997:11-13) maka alternatifnya adalah daerah desa kota. Dalam rangka penanggulangan masalah pemukiman penduduk di wilayah kota, maka pemerintah mencanangkan pembangunan rumah susun, rumah sewa dan peremajaan pemukiman kumuh. Yang disebut terakhir banyak melalui Kampung Improvement Programme (KIP), yang berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Pemukiman Kumuh yang berada di Tanah Negara. Di Jakarta dengan Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Di Surabaya, program perbaikan kampung dilaksanakan sejak 1969, melalui Proyek Kampung Wage Rudolf Supratman, dikembangkan pola pembiayaan ditanggung bersama antara pemerintah setempat dan masyarakat. Tahun 1986 Surabaya mendapat Aga Khan Award for Architechture. Tahun 1991, Badan Internasional untuk Prakarsa lingkungan lokal, ICLEI, bekerjasama dengan UNCED, memilih Surabaya sebagai satu dari sebelas kota di dunia, yang dinilai berhasil mengembang kan prakarsa lokal. Kemudian mendapat penghargaan World Habitat Award dari Yayasan Gedung dan Pemukiman masyarakat yang diketuai Putri Margareth dari Inggris. 3. Pemukiman Bagi Masyarakat Miskin Menurut Budihardjo (1983:57), "Tantangan paling besar yang harus
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
dihadapi dalam bidang pemukiman di Indonesia sekarang ini adalah: bagaimana mengatasi masalah pemukiman masyarakat melarat, terutama di kotakota besar, yang merupakan mayoritas". Tentu mengatasi masalah yang menjadi problema masyarakat luas tersebut tidak mudah. Namun demikian ada beberapa pemikiran yang diadaptasi dan Alan Gilbert, yang relevan dikemukakan. Kebijakan (pertanahan) untuk pemukiman (murah), sebagaimana ditulis Alan Gilbert "The costs and benefits of illegality and irregularity in the supply of land" (dalam Fadli, 2003), memang sulit, khususnya bagi masyarakat luas, apalagi masyarakat yang kompleks. Pengaturan yang tidak sama, misalnya karena ketentuan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, bisa berimplikasi legal atau tidak legal, sah atau tidak sah, melanggar atau tidak melanggar. Dan sisi hukum-ekonomi, maka hal demikian berimplikasi pada masalah investasi, yang absah atau tidak. Sementara menempatkan pada lokasi tertentu juga akan tidak terjangkau oleh mereka yang tidak punya uang, padahal memerlukan rumah. Mengharuskan mereka menyewa, tentu membuat mereka tak mampu membayar, meskipun ini altematif yang bisa ditawarkan. Dengan demikian menggeneralisasi hukum untuk semua lapisan masyarakat, memberatkan pihakpihak tertentu. Sementara tidak mengaturnya, tidak memberikan kepastian, bahkan menimbulkan kekacauan. Kebijakan pemilikan rumah susun, bahkan dengan subsidi tertentu untuk mereka yang tidak mampu bisa dijadikan altematif. Problemanya, ternyata rumah susun memang banyak dimiliki oleh mereka yang cukup, dan masyarakat miskin tetap tak mampu menjangkau. Demikian pula, memang perlu dipertanyakan kemampuan pemerintah memberikan bantuan. Tetapi ini adalah suatu keharusan untuk memenuhi atau tidak. Dalam negara yang menganut paham welfare state (Hadjon, 1987), itu menjadi
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
tanggung jawab negara. Penyadaran, sosialisasi kebijakan, seleksi ketat dalam penerapan yang tepat dan kebijakan itu memang harus ditekankan. Bagi Indonesia, ini salah satu tanggungjawab pemerintah sebagaimana diamanatkan WD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian, pemerintah memang hams mereviu ulang kebijakan selama ini, guna memenuhi tuntutan hak asasi manusia akan tempat tinggal (pemukiman). Bukankah pemenuhan HAM terutama adalah tanggungjawab pemerintah (sebagaimana pasal 281 UUD 1945 di atas)? Bukankah memenuhi harapan rakyat akan terpenuhi haknya sudah keniscayaan yang hams serius dilakukan, sebagaimana asasasas umum pemerintahan yang baik. Bila tidak, pemerintah telah menyalahi asasasas umum tersebut dalam penyelenggaraan tugasnya. Diakui, bahwa membangun rumah susun ada beberapa masalah, seperti kesiapan masyarakat penghuni, keterbatasan lahan dan biaya pembangunan tinggi, peran swasta dalam pembangunan yang terbatas, peraturan pelaksanaan pembangunan rumah susunan yang memerlukan penjabaran dan keterbatasan ruang gerak dan kepribadian calon penghuni rusun (Prajitno, 1994:13). Namun demikian, rumah susun dapat dipandang salah satu solusi yang relatif baik. Selain itu ada catatan menarik, yang perlu diperhatikan dalam pembangunan pemukiman/pemukiman, termasuk rumah susun bagi masyarakat miskin. Menurut Budihardjo (1983:6565), ada lima faktor utama, yaitu: Pertama, alam, antara lain menyangkut tentang: pola tata guna tanah pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam daya dukung lingkungan taman, area rekreasi/olahraga Kedua, manusia, antara lain menyangkut tentang: pemenuhan kebutuhan fisik/biologis penciptaan rasa aman dan terlindung
ISSN: 2355-8466
rasa memiliki lingkungan tata nilai, estetika Ketiga, masyarakat, antara lain menyangkut tentang: berperan sertanya (partisipasi) penduduk aspek hukum pola kebudayaan aspek sosial ekonomi kepen dud ukan Keempat, wadah/sarana kegiatan, antara lain menyangkut tentang: perumah an pelayanan umum: Puskesmas, sekoIah fasilitas umum: toko, pasar, gedung pertemuan Kelima, jaringan prasarana, antara lain menyangkut tentang: utilitas: air, listrik, gas, air kotor transportasi: darat, laut, udara, kereta api komunikasi. Untuk itu, disarankan pembangunan pemukinan/pemukiman oleh pemerintah, harus meninggalkan "pendekatan untuk rakyat", dan memakai "pendekatan bersama rakyat" (Budiharjo, 1983: 153). Sementara itu, untuk pemukiman yang berwawasan lingkungan masa depan yang ideal, termasuk bagi masyarakat miskin, menurut Koestoer (1997: 146) bisa diintegrasikan dengan model Agroindustri, karena menawarkan beberapa keuntungan. KESIMPULAN Rumah adalah salah satu hak asasi manusia. Pemerintah menurut UUD 1945 bertugas memenuhi hal itu. Masalah pemukiman di perkotaan yang semakin kompleks, tampaknya makin cendrung mendorong pembangunan pemukiman ke wilayah desakota. Problema pemukiman kumuh perkotaan bisa diatasi, misalnya dengan model pembangunan rumah susun, rumah sewa atau peremajaan kawasan kumuh. Demikian pula, dapat ditempuh melalui perbaikan kampung. Pemukiman bagi masyarakat miskin, harus serius dipikirkan, oleh karena itu, bagian hak asasi warga
negara dan setiap orang. Betapapun rumah susun, sebagai alternatif, masih mengandung beberapa masalah, namun sementara ini masih merupakan alternatif yang paling baik. Pelaksanaannya bisa diintegrasikan dengan berbagai model yang bisa mengandung banyak keuntungan/ kemanfaatan. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo. E. 1984. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni. Drupsteen, Th. G dan Woltgens, L. 1996. Pengantar Hukum Perizinan Lingkungan. Penerjemah: M. Soetopo, Penyunting: Siti Sundari Rangkuti, Kerjasama Hukum Indonesia Belanda. Fadli, M. 2003. Analisis Artikel Alan Gilbert "The Costs and Benefits of Illegality and Irregularity in the Supply of Land" Program Pascasajana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, (tidak dipublikasikan). Hadjon, P.M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu. Hamzah, A. dkk. 2000. Dasar-Dasar Hukum Pemukiman. Jakarta: Rineka Cipta. Islamy, M.I. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Koestoer. 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Ul Press. Koeswahyono, I. 2000. Hukum Tata Ruang dan Tata Guna Tanah. Diktat. Koeswahyono, I., dan Setianegara. 2000. Bunga Rampai Politik dan Hukum Agraria di Indonesia. Malang: UM Press. Lase, T. Tanpa tahun. "Pengembangan Pengelolaan Lingkungan Perkotaan Di Dalam Penataan Ruang", makalah. Marzali, M. et. al. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan HidupYayasan Obor Indonesia. Muchsin. 2002. Seputar Permasalahan Kota. Materi Kuliah Hukum Real Estate, Pasca Sarjana Unibraw, 2 November 2002.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Muchsin. 2003. "Pengantar Hukum Real Estate". Makalah. Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Nurzaman, S.S. "Pengembangan Wilayah Terkena Krisis, Kasus Studi: Bekasi", dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 10. Nomor 3/November 1999. Prajitno, S. 1994. "Prospek Pembangunan Rumah Susun di Kota Kecil'. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Nomor 12/April 1994. Tjokrowinoto, M. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wignjosoebroto, S. 2003. Toleransi dan keragaman: Visi Untuk Abad ke 21. Kumpulan tulisan Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Hesti Armiwulan, dkk, eds, Pusat studi Hak Asasi Manusia
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Universitas Surabaya dan The Ford Foundation. Yustika, A.E. 2003. Negara vs. Kaum Miskin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Pemukiman Universal Declaration of Human Rights, Harvarindo, 2000.
ISSN: 2355-8466
AKUNTABILITAS PUBLIK PENYELENGGARA PEMILIHAN KEPALA DAERAH SERENTAK DI KABUPATEN MALANG Deden Fathurrohman Dosen DPK Stisospol ‗Waskita Dharma‘ Malang ABSTRAK Akuntabilitas publik merupakan keniscayaan dalam kehidupan institusi baik privat maupun publik. Penyelenggraan pemilukada serentak merupakan aktivitas institusi publik yang sangat penting dalam suksesi kelembagaan politik negara. Oleh karena itu pelaksanannya harus dapat dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan kepada publiknya. Pemilukada serentak merupakan amanat kedaulatan rakyat daerah yang diemban oleh KPU daerah, sehingga diperlukan akuntabilitas dari penerima amanah dan pemilik kedaulatan. Pemilukada serentak di Kabupaten Malang tahu 2015 merupakan salah satu dari sejumlah pemilukada yang dilaksanakan pada gelombang pertama dari tiga gelombang yang direncanakan. KPU Kabupaten Malang sebagai pelaksana yang berwenang menyelenggarakan pemilukada malaksanakan perhelatan ini dengan bersandar pada perundangan melalui koordinasi dan supervisi KPU Nasional, KPU Jatim. Pelaksanaan pemilukada serentak ini dilakukan melalui tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan, sehingga akuntabilitas publik administratif, legal dan profesional dapat ditemukan melalui dua tahapan tersebut. Akuntabilitas publik tersebut dilakukan oleh KPU Kabupaten Malang dengan lebih mengedepankan akuntabilitas prosedural. Kata kunci: akuntabilitas, KPU, akuntabilitas administratif, legal dan profesional, akuntablitas prosedural
PENDAHULUAN Setiap negara yang mendeklarasikan pemerinthannya demokratis, pasti akan sangat memusatkan perhatian pada tradisi suksesi politik. Negara tersebut akan mengagendakan perhelatan suksesi politik itu dengan cara menggelar pemilihan elit politik yang dilakukan secara reguler dan akuntabel kepada pemegang kedaulatan di negara terebut. Agenda politik politik ini secara konsep dan praktik disimbolkan dengan istilah pemilu. Pemilu ini merupakan salah satu agenda terpenting dalam menjamin keberlanjutan demokrasi di suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis sudah melaksanakan pemilu sebagai salah satu syarat negara demokratis pertama kali pada tahun 1955. Pemilu pertama yang memilih anggota konstituante itu baru terlaksana
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
setelah 10 tahun deklarasi kemerdekaan. Indonesia sangat panjang berjuang untuk dapat melaksanakan pemilu. Setelah itu, Indonesia mulai bisa menata pemilu agar dapat menjamin demokrasi tetap terjaga. Setelah pemilu pertama tersebut periode berikutnya pada masa rezim Orde Baru adalah pemilu pada tahun 1970, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Pada masa rezim peralihan Dari Orde Baru ke Orde Reformasi diadakan pemilu pada tahun 1999. Periode rejim Orde Reformasi kemudian menggelar pemilu secara periodik pada tahun 2004, 2009, 2014 dan Rencana berikutnya pada tahun 2019. Demokrasi dalam pemilu eksekutif Pilpres juga dilakukan oleh MPR pada rejim Orde Baru. Pada masa Reformasi ada pergeseran dari pemilihan oleh legislatif menjadi pemilu presiden langsung dilpilh oleh rakyat.
ISSN: 2355-8466
Sementara itu gelaran pemilu politik di daerah juga dilakukan pada jaman Orde Baru melalui mekanisme electoral di tangan local legislative colleague. Pada pemerintah daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah, maka DPRD merupakan representasi rakyat di daerah tersebut untuk memilih. Kemudian terjadi perubahan mendasar pemilu kepala daerah dari pemilihan oleh Lgislatif menjada pemilukada langsung sejak tahun 2005 sampai sekarang. Selanjutnya Pemilu menjadi agenda pemerintah setiap 5 tahun sekali dilaksanakan diseluruh wilayah Negara Indonesia. Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, di dalam isi ketentuan pasal 1 secara tersurat pemilu didefinisikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk lima tahun ke depan. Pada saat ini, pemilu secara nasional dilakukan dua kali yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg), yaitu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif, baik anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Disamping itu, diselenggarakan pula pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat sesudah pemilihan anggota legislatif dilaksanakan. Disamping itu juga terdapat pemilu eksekutif lokal yang memilih pemimpin politik Gubernur dan wakilnya, Bupati dan wakilnya serta Walikota dan wakilnya. Berkaitan dengan pemilu eksekutif daerah secara langsung yang dimulai pada tahun 2005 sampai pemilukada serentak dewasa ini, demokrasi langsung di Indonesia semakin menuntut ramah demokrasi JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
yang juga menuntut adanya akuntabilitas penyelenggraannya. Sebagai unjung tombaknya adalah aktor dan lembaga penyelengara yang independen, profesional dan akuntabel. Di samping itu juga ditopang oleh berbagai stakeholder yang mendukung terselenggaranya pilkada yang demokratis dan akuntabel. Dalam penyelenggaraan pemilu, Akuntabilitas sangat penting untuk dikaji. Akuntabilitas merupakan persyaratan utama bagi terselenggaranya tata pemerintahan yang baik. Tidak hanya untuk lembaga pemerintah saja tetapi juga bagi lembaga di sektor swasta dan masyarakat sipil. Kedua jenis lembaga ini harus akuntabel kepada publik dan stakeholdernya. Siapa yang harus akuntabel dan kepada siapa sangat tergantung dari keputusan dan tindakan yang diambil apakah secara internal atau eksternal dari suatau organisasi atau lembaga. Umumnya lembaga itu akuntabel kepada mereka yang terkena terpaan dari keputusan atau tindakan lembaga tersebut. Akuntabilitas juga tidak bisa dimunculkan tanpa adanya transparansi dan aturan main. Salah satu indikasi bahwa pemilu itu akuntabel adalah dengan melihat partisipasi politik dalam suatu negara demokrasi. Partisipasi politik ini merupakan indikator implementasi pemilu yang akuntabel. Partisipasi politik ini bisa dilihat dari dua sisi yaitu sisi kuantitas dan kualitas. Secara kuantitatif tampilan tingkat partisipasi politik menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran). Namun di era 2000an terjadi fluktuatif sampai ada voter turnout di bawah 60%. Berdasarkan kualitas, partisipasi politik ini menunjukkan adanya peningkatan yang significan. Hal ini terlihat dari meningkatnya kesadaran
ISSN: 2355-8466
akan hak dan kewajiban tidak hanya dari pemilih tapi semua pilar governance state, civil society dan private turut melibatkan diri dalam partisipasi politik sesuai dengan koridor peran governance nya. Agenda pemilu baik nasional maupun lokal menjadi bagian dari kehidupan ke tiga pilar tersebut. Tulisan ini membahas tentang akuntabilitas penyelenggara pemilu dalam melaksanakan proses prosedur formal pemilu lokal pilkada serentak dengan mengambil contoh pelaksanaan di Pemeritah Kabupaten Malang. Pada tahun 2015 di daerah ini telah dilaksanakanan pilkada serentak tahap pertama, sebagai bagian dari pemilu serentak yang diselenggarakan di seluruh Pemerintah Daerah Indonesia. Sementara pemilu eksekutif Presiden dan wakil presiden di mulai sejak era reformasi yang juga dilakukan bagi pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia. Pemilu eksekutif ini merupakan lompatan demokrasi jauh ke depan. Hal ini menjadikan kelembagaan eksekutif dan legislatif harus akuntabel kepada pemegang kedaulatan negara yaitu rakyat, warga negara Indonesia. Dari sudut pandang penyelenggra juga sudah bergeser dari yang sebelumnya merupakan organ birokrasi eksekutif di bawah kementrian Dalam Negeri, pada masa reformasi bergeser kepada lembaga independen yang berada di luar pemerintahan. Lembaga pengelola pemilu yang independen tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdapat di tingkat Nasional sampai ke tingkat Kabupaten Kota. Kemudian pada hierarkhi di bawah KPU kabupaten kota terdapat lembaga ad hoc PPK, PPS, dan KPPS. Selain penyelenggara managemen pemilu KPU, juga di bentuk lembaga khusus pengawasan pemilu yang dinamakan Badan Pengwasan Pemilu (Bawaslu) yang merupakan lembaga tetap sampai tingkat provinsi. Sampai kelembagaan di bawah Bawaslu Propinsi di bentuk lembaga Ad Hoc di tingkat kabupaten kota dalam bentuk Panitia pengawas pemilu dan Pengawas JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
tingkat kecamatan dan Desa. Di level paling bawah sebagai gardu terdepan dibentuk pengawas pemilu lapangan untuk label TPS. Kedua lembaga ini dibentuk sebagai tuntutan reformasi kepemiluan yang mengusung asas langsung umum bebas rahasia jujur dan adil. Hal ini dapat merujuk kepada kebijakan publik terkait asas pemilu yaitu: Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pada Pasal 2-3 menyatakan bahwa Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil Keberadaan kedua lembaga ini diharapkan menghasilkan pemilu yang taat asas dan akuntabel. Penyelenggara yang dapat merencanakan, melaksanakan, mengawasi jalannya pemilu dalam semua tahapannya. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab demokrasi yang diembannya. Di sisi lain juga dapat memberikan jawaban atas pertanyaaan dan tantangan dalam semua tahapan pemilu. Tahapan yang dimaksud adalah dimulai dari tahapan persiapan berupa perencanaan angagran, SDM, dan jadwal tahapan pemilu. Selanjutnya juga dapat menjawab masalah dan tantangan tahapan pelaksanaan yang dimulai dari tahap pendaftaran pemilih sampai kepada tahapan pelantikan kandidat terpilih. Dalam penyelenggaraan pemilu, Akuntabilitas sangat penting untuk dikaji. Akuntabilitas merupakan persyaratan utama bagi terselenggaranya tata pemerintahan yang baik. Tidak hanya untuk lembaga pemerintah saja tetapi juga bagi lembaga di sektor swasta dan masyarakat sipil. Kedua jenis lembaga ini harus akuntabel kepada publik dan stakeholdernya. Siapa yang harus akuntabel dan kepada siapa sangat
ISSN: 2355-8466
tergantung dari keputusan dan tindakan yang diambil apakah secara internal atau eksternal dari suatau organisasi atau lembaga. Umumnya lembaga itu akuntabel kepada mereka yang terkena terpaan dari keputusan atau tindakan lembaga tersebut. Akuntabilitas juga tidak bisa dimunuclkan tanpa adanya transparansi dan aturan main. Dinamika penyelenggaraan pemilukada sejak tahun 2005 sampai pemilukada serentak tahun 2015 telah banyak memberikan sumbangan positif kepada pembangunan demokrasi lokal di Indonesia. Dimulai dari bergesernya pemilhan kepala dearah melalui DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Dilanjutkan dengan adanya pemilukada yang kandidatnya harus diusung partai politik merupakan lompatan imlementasi demokrasi langsung. Seanjutnya begerak pada peserta pemilukada yang dapat berkompetisi tidak hanya dari jalur parpol sebagai kendaraan politik tetapi dapat maju melalaui jalur indpenden. Hal ini merupakan lompatan berikutnya. Dan pada pemilukada serentak sebagai fase terkini, juga terdapat dinamika demokrasi yang membuka ruang adanya calon atau kandidat tunggal. PEMBAHASAN A. Akuntabilitas Publik Akuntabilitas merupakan kerangka konsep yang menggambarkan adanya kinerja institusi dalam melaksanakan fungsi administrasinya dari tahapan penentuan tujuan sampai pada tahapan evaluasi. Institusi yang akuntabel adalah institusi yang dapat bertanggung jawab dan sekaligus menjawab secara transparan dan obyektif atas segala pleaksanaan tugas kepada lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang berada di wilayah kewenangannya. Nisjar (1997) dalam Rusmiwari (2009) menjelaskan akuntabilitas sebagai kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan kebijakan yang ditetapkannya. Jadi akuntabilitas disebut juga sebagai JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
tanggungjawab yang bersifat objektif. Akuntabilitas berkaitan dengan tanggung jawab dan sekaligus tanggung gugat atau kemapuan menjawab institusi publik kepada publiknya. Sementara itu, menurut Barbara S Romzek dan Melvin J Dubrick (1987) dalam Winarso (2004) menyatakan bahwa akuntabilitas berkaitan dengan kelembagaan yang hirarkhis, peraturn yang jelas, dan kontrol yang bersifat supervisi yang intensif dengan pemahaman yang jelas atas kebutuhan untuk mentaati peraturan yang secara positif berlaku. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diterapkan pada lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia yang bersifat independen sebagai institusi publik di satu sisi, tetapi di sisi lain sebagai gerbong penyelenggara yang berdiri dalam hirakhi nasional sampai ke daerah maka akuntabilitasnya juga akan memiliki dua arah. Akuntablitas yang pertama berkaitan dengan pertanggung jawaban atas kerja dan kemapuan menjawab kepada publiknya. Di sisi yang lain, insitiusi ini juga secara internal memiliki akuntabilitas hirakhis dari lembaga penyelenggara pemilu daerah ke lembaga penyelenggara pemilu nasional. Akuntabilitas yang terakhir ini secara konsep dikelompokkan ke dalam akuntabilitas Administrasi. Selanjutnya Winarso (2004) menyatakan bahwa kelembagaan publik memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk dapat mnjawab terhadap apa yang menjadi tugas dan kewenangannya dalam ranah akuntablitas legal. Artinya lembaga publik harus dapat menjawab pertanyaan dan tuntutan publik melalui ranah lembaga yudisial. Penyelenggara pemilu juga harus mempunyai kemampuan yang akuntabel berkaitan dengan hubungan pelaksanaan kerja pada ranah yudisial. Selanjutnya institusi akan berhadapan dengan kemampuan sumber daya manusianya yang harus responsif dan mampu manjawab tuntutan atas kinerjanya yang sesuai dengan profesi yang diembannya. Dalam hal ini Winarso (2004) menggambarkan
ISSN: 2355-8466
lembaga publik harus memiliki akuntabilitas profesional. Akuntabilitas ini menuntut institusi publik untuk dapat menyeimbangkan sikap dan tindakan dalam menterjemahkan kewenangannya dengan bersandar pada etika profesi dan kepentingan publik. B. Penyelenggara Pemilu KPU Nasional dan KPU Daerah Penyelenggara pemilu dalam literatur disebutkan sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam kegiatan pemilu. Istilah untuk isntitusi ini ada yang menyebutkan sebagai EMB (Election Management Body) atau Election Commission. Institusi ini memiliki tugas dan wewenang dalam penentuan, perancanaan sampai pada evaluasi pemilu. Di Indonesia institusi ini dinamakam LPU ( Lembaga Pemilihan Umum) pada masa Orde Baru dan pada era reformasi dinamakan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Secara hirarkhi terdiri dri KPU Nasional dan KPU Propinsi dan Kabupaten Kota. Institusi ini bersifat mandiri, independen, dan profesional. Artinya institusi KPU ini memiliki netraliatas dan kemandirian atas intervensi fihakfihak lain yang terkait dengan kepemiluan. Berdasarkan perundangan tentang Penyelenggara Pemilu, Komisi pemilihan umum (KPU) merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri. C. Pemilu Kepala Daerah Serentak Menurut Didik Supriyanto, Khoirunnisa Nur Agustyati, August Mellaz (2013) Pemilu serentak (concurrent election) adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislative dalam satu tahapan penyelanggaraan khususnya tahap pemungutan suara. Demikian 1 Harun Husein (2014) memberikan gambaran pemilu serentak di Brazil yang memberikan hasil demokratis dan kestabilan poilitik dan akuntabel. Pemilukada Langsung adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan untuk peringkasan penyebutan sering disebut Pemilukada seperti dikutip dalam Arifin, (2006). Namun, orang JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
sudah faham bahwa yang dimaksud Pemilukada adalah Pemilukada Langsung. Berdasarkan PP No. 6 tahun 2004 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 1 ayat (1) dirumuskan bahwa Pemilukada adalah ―Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah‖. Lanjutan dari Pasal tersebut, pada ayat (2) disebutkan bahwa ―Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Walikota dan Wakil Walikota untuk kota‖. Seperti pada Periode 2005 dan Periode 2010 yang dilaksanakan Pemilukada Langsung. Pelaksanaan Pemilukada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup beragam di dalam masyarakat. Sebagian melihat Pemilukada sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, di dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi yang lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pemilukada hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu, akan lebih baik digunakan untuk proyekproyek pembangunan yang menguntungkan rakyat. Apapun pendapat tersebut, realitasnya Pemilukada harus berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya system layanan publik bagi rakyat di daerah sebagai esensi dari
ISSN: 2355-8466
kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate. Pemilukada kabupaten/ kota yang menjadi kepala eksekutif adalah Bupati, dan kepala eksekutif sebuah kota adalah Walikota. Bupati atau Walikota, beserta wakilnya, dipilih sebagai pasangan untuk masa jabatan lima tahun dengan mayoritas relatif minimal 30 persen dari jumlah suara yang ada. Pemilukada langsung diselenggarakan oleh KPUD (Provinsi, Kabupaten/Kota). Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan dari tahapan pendaftaran pemilih sampai penetapan calon pemilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hukum dan ketentuan perundangan (Joko J. Prihatmoko, 2005). Pemilukada ini mulai tahun 2015 dilaksanakan secara serentak Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota secara langsung merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, dan rahasia tanpa adanya intervensi sama halnya mereka memilih prasiden dan wakil presiden dan wakilwakilnya di legislatif dalam pemilu (Joko J. Prihatmoko, 2005). Salah satu ciri sistem pemilukada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianut. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang kita kehendaki. Asas pemilukada adalah pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pemilukada. Dengan kata lain, asas pemilukada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaraan. Asas pemilukada juga berarti jalan atau saran JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
agar agar pemilukada terlaksana secara demokratis (Joko J. Prihatmoko, 2005). KPU Kabupaten Malang menyampaikan kepada DPRD Kabupaten Malang melalui Surat Nomor : 8/KPU-Kab-014.329781/I/2016 Tanggal 23 Januari 2016 Pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Malang dilakukan berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih oleh KPU Kabupaten Malang yang disampaikan oleh DPRD Kabupaten Malang kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur. Pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Malang dilakukan berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal usul dan berkas diterima secara lengkap. Berdasarkan pelaksanaan pemilukada di wilayah Kabupaten Malang pada tahun 2015 lalu, penulis membahas akuntabiltas berdasarkan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPU Kabupaten Malang. Penyelenggaraan pemilukada yang diselenggarakan di Kabupaten Malang ini merupakan pelaksanaan Pemilukada Serentak gelombang pertama dari tiga gelombang pmilukada yang dijadwalkan oleh KPU nasional atas amanah dari undang-undang. D. Tahapan Pemilukada Serentak Pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak dengan mengambil sample di KPU Kabupaten Malang akan diselenggarakan dalam dua tahapan yang berdasarkan pada Peraturan KPU No. 2 Tahun 2015 : 1. Tahapan Persiapan: a) Perencanaan Program dan Anggaran b) Penyusunan peraturan c) Sosialisasi, penyuluhan dan bimtek d) Pembentukan PPK, PPS dan KPPS e) Pendaftaran pemantau f) Pengolahan DP4 2. Tahapan penyelenggaraan
ISSN: 2355-8466
a) Pencalonan b) Sengketa tata usaha negara pemilihan c) Kampanye d) Laporan dan audit dana kampanye e) Pengadaan dan distribusi perlengkapan pemungutan dan penghitungan suara f) Pemungutan dan penghitungan suara g) Rekapitulasi hasil penghitungan suara h) Penetapan dan pengumuman paslon terpilih i) Sengketa perselisihan hasil pemilihan j) Penetapan dan pengumuman paslon terpilih pasca putusan MK Penyelenggaraan Pemilukada serentak ini dilaksanakan melalui 2 tahapan utama yaitu tahap persiapan dan tahapa pelaksanaan. Berkaitan dengan akuntabilitas penyelenggara pemilu juga akan bersandar pada ketentuan tentang tahapan ini. Akuntabilitas penyelengaara pemilu akan diawali dengan tahapan perisapaan. Hal ini sesuai dengan penjelasan komisioner KPU Kabupaten Malang yang menyatakan bahwa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 13 Huruf (a) dikatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota adalah merencanakan program dan anggaran yang dimplementasikan dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang Nomor 83.1/Kpts/KPU-Kab014.329781/2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilhan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015. ( Ketua KPU Malang Kabaten, 2016) Penyelenggara Pemilukada di Kabupaten Malang melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan akuntabilitas Administrasi. Hal ini terbukti dari kepatuhan KPU Kanpupaten Malang untuk bekerja sesusi dengan koridor peraturan yang ditetapkan oleh KPU nasional. Seperti kepatuhan akan peraturan KPU nasional sebagai berikut:
TABEL 1
REKAPITULASI PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, DAN/ATAU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
No 1
Nomor Peraturan 2 Tahun 2015
TENTANG
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 2 3 Tahun Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum 2015 Provinsi/Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Pemilihan Umum/Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota, Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 3 4 Tahun Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur 2015 dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 4 5 Tahun Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur 2015 dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 5 6 Tahun Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan san 2015 Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 6 7 Tahun Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan 2015 Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 7 8 Tahun Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 2015 Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 8 9 Tahun Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan 2015 Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 9 10 Tahun Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan 2015 Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 10 11 Tahun Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil 2015 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Kabupaten Malang sebagai bentuk Sumber Data : KPU RI, 2015 tanggung jawab dn tanggung gugat Berdasarkan Peraturan seperti internal kepada instutisi pada hirakhi di ditunjukkan pada tabel 1, KPU atasnya yaitu KPU Nasional. Kabupaten Malang secara teknis Akuntabilitas administrasi ini menjadikannya sebagai pedoman dalam ditunjukkan dengan ditetapkannya membuat peraturan pelaksanaan yang peraturan teknis penyelenggaraan berada di wilayah kewenangnanya. Hal pemilukada di Kabupaten Malang yang ini menunjukkan bahwa secara hirarkhis mencakup peraturan yang telah diaksanakan akuntabilitas menterjemahkan peraturan KPU administrasi oleh penyelenggara Nasional sebagai berikut: pemilukada Daerah dalam hal ini KPU
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
TABEL 2
REKAPITULASI KEPUTUSAN/ PEDOMAN TEKNIS KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MALANG DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI MALANG TAHUN 2015 NO 1
2
3
NOMOR SK 83.1/Kpts/KPUKab014.329781/2015 84/Kpts/KPUKab014.329781/2015
TENTANG Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 Pedoman Teknis Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang, Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 Pedoman Teknis Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015
85/Kpts/KPUKab014.329781/2015 4 101/Kpts/KPUPedoman Teknis Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam KabPemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 5 102/Kpts/KPUPedoman Teknis Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan KabPengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan 014.329781/2015 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 6 103/Kpts/KPUPedoman Tatat Cara Kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil KabBupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 7 118/Kpts/KPUPedoman Tata Cara Pencalonan Pemilihan Bupati dan Wakil KabBupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 8 122/Kpts/KPUPedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan KabSuara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 9 123/Kpts/KPUPedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan KabSuara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 10 129/Kpts/KPUPedoman Teknis Dana Kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil KabBupati Malang Tahun 2015 014.329781/2015 Sumber Data : KP Kabupaten Malang, 2015
Selanjutnya sebagai pelaksanaan tanggung jawab dan tanggung gugat
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
penyelenggara pemilukada serentak, KPU Kabupaten Malang melakasanakan tahapan persiapan sebagai berikut: 1. Perencanaan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 2. Pembuatan Pedoman Teknis Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang, Pembentukan dan Tata Kerja Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman akuntabilitas lembaga ad hoc di bawah KPU Kabupaten Malang secara internal dan secara eksternal pada wilayah kerja masingmasing lmbga ad hoc ini. Data lembaga ad hoc dalam Pemilukada serentakdi Kabupaten Malang adalah sebagai berikut
TABEL 3 REKAPITULASI JUMLAH ANGGOTA PENYELENGGARA AD HOCK PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI MALANG TAHUN 2015 DI WILAYAH KABUPATEN MALANG PENYELENGGARA AD HOCK JML PPK PPS KPPS DES JML A J KETE NO KECAMATAN J A/ TPS N SEK M ANG SEK ANG R M KEL G RT L G RT G TIBA L G N AMPELGADIN 7 1 13 99 5 3 8 39 39 693 198 G 8 6 2 BANTUR 10 113 5 3 8 30 30 791 226 0 BULULAWAN 8 3 14 97 5 3 8 42 42 679 194 G 4 7 4 DAMPIT 12 171 5 3 8 36 36 1197 342 2 6 5 DAU 10 97 5 3 8 30 30 679 194 0 6 6 DONOMULYO 10 105 5 3 8 30 30 735 210 0 4 7 GEDANGAN 8 105 5 3 8 24 24 735 210 8 GONDANGLEG 8 8 14 112 5 3 8 42 42 784 224 I 4 9 9 JABUNG 15 127 5 3 8 45 45 889 254 0 5 10 KALIPARE 9 100 5 3 8 27 27 700 200 4 11 KARANG 9 89 5 3 8 27 27 5 623 178
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
JM L
PPDP
891
99
101 7
113
873
97
153 9
171
873
97
945
105
945
105
100 8 114 3
112 127
900
100
801
89
PLOSO 12
KASEMBON
6
64
5
3 8
18
18
13
KEPANJEN
18
143
5
3 8
54
54
14
KROMENGAN
7
69
5
3 8
21
21
15
LAWANG
12
133
5
3 8
36
36
16
NGAJUNG
9
81
5
3 8
27
27
17
NGANTANG
13
87
5
3 8
39
39
18
PAGAK
8
68
5
3 8
24
24
19
PAGELARAN
10
88
5
3 8
30
30
20
PAKIS
15
175
5
3 8
45
45
21
PAKISAJI
12
99
5
3 8
36
36
22
PONCOKUSUM O
17
146
5
3 8
51
51
23
PUJON
10
90
5
3 8
30
30
24
SINGOSARI
17
201
5
3 8
51
51
15
144
5
3 8
45
45
7
79
5
3 8
21
21
25 26
SUMBERMANJ ING WETAN SUMBERPUCU NG
27
TAJINAN
12
92
5
3 8
36
36
28
TIRTOYUDO
13
114
5
3 8
39
39
29
TUMPANG
15
109
5
3 8
45
45
30
TUREN
17
148
5
3 8
51
51
31
WAGIR
12
121
5
3 8
36
36
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
4 3 6 1 0 8 4 2 7 2 5 4 7 8 4 8 6 0 9 0 7 2 1 0 2 6 0 1 0 2 9 0 4 2 7 2 7 8 9 0 1 0 2 7 2
448
128
576
64
1001
286
128 7
143
483
138
621
69
931
266
119 7
133
567
162
729
81
609
174
783
87
476
136
612
68
616
176
792
88
1225
350
157 5
175
693
198
891
99
1022
292
131 4
146
630
180
810
90
1407
402
180 9
201
1008
288
129 6
144
553
158
711
79
644
184
828
92
798
228
102 6
114
763
218
981
109
1036
296
133 2
148
847
242
108 9
121
ISSN: 2355-8466
32
WAJAK
33
WONOSARI
JUMLAH
13
138
5
3 8
39
39
8
68
5
3 8
24
24
3.672
1 6 5
2 99 6 4
1.17 0
1.17 0
390
JUMLAH 390 3.672 SELURUHNYA Sumber: Kantor KPU Kabupaten Malang 2015 Pelaksanaan akuntabilitas administrasi di penyelenggaraan pemilikada seerantak Kabupaten Malang 2015 melibatkan 39.324 institusi ad hoc. Hal ini menunjukkan bahwa tangung jawab dan tanggung gugat penyelenggaraan pemilukada ini secara hirakhis melibatkan insitiusi dan sdm mulai dari PPDP (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih), KPPS (Kelompok Penyelengaara Pemungutan Suara), PPS (Panitia Pemungutan Suara), PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) yang akuntabel secara administrasi kepada KPU Kabupaten Malang. Kemudian KPU Kabupaten Malang akuntabel Ke KPU Nasional melalui koorinasi dan supervisi dari KPU JawaTimur. Penguatan institusi ad hoc dalam kerangka akuntabilitas administrasi ini diperkuat dengan adanya sosialisasi dan bimbingan teknis dari KPU kabupaten Malang secara langsung maupun berjenjang. Di sisi lain Akuntabilitas Legal dan Porfesional juga melekat pada semua kelembagaan ad hoc dan KPU daerah dan Nasional dalam pemilukada serentak pada tahun 2015. Berkaitan dengan akuntabilitas legal, kelembagaan penyelenggara pemilu itu elah menyiapkan kerangka peraturan, pendanaan dan mitra dalam menghadapi tuntutan yang masuk ke ranah hukum dalam bidang yudisial. Sementara dalam akintabilitas profesional, kelmbagaan ini di bentengi dengan kode etik penyelenggara dan juga diawasi dengan adanya Dewan Kehirmatan atau Komisi
7 8 4 8 2. 3 4 0
966
276
124 2
138
476
136
612
68
25.7 04
7.344
39.324
Etik Internal yang akan menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam diri institusi penyelenggara pemilu. Akuntabilitas Publik dalam tahap pelaksanaan pemilukada serentak di Kapupaten Malang dilaksanakan tahapan sebagai berikut: 1. Pemutakhiran Data Pemilih dari mulai DP4 sampai ke tahap akhir penetapan DPT dilakukan oleh institusi ad hoc 33 PPK dengan jumlah personel 264 petugas, di tingkat PPS dengan jumlah 2340 petugas dan di KPPS 33.048 petugas serta ujung tombak pemutakhiran data pemilih PPDP sejumlah 3672 petugas. Tahapan ini merupakan tahapan teknis yang sangat bergantung kepada akurasi dan ketelitian sumber data dan pengolahannya. Pada pemilukada serentak ini menurut komisioner KPU Kabupaten Malang (2016) menyatakan bahwa tahapan Pemutakhiran data pemilih ini secara teknis telah dilaksanakan ssuai dengan amanat undang-undang. Dilakukan berkoordinasi dengan insitusi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaen Malang, dibantu oleh institusi muspida lain yang terkait termasuk melibatkan partai politik dalam pelaksanaannya. Hal ini dilakukan dalam kerangka maksimalisasi penggalian pemilih yang akurat yang pada gilirannya memenuhi akuntabilitas publik secara legal maupun profesional. Pada tahapan ini ditetapkan DPT sejumlah 2.051.279 pemilih. 2. Tahapan berikutnya adalah melaksanakan tahapan pencalonan. KPU
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
33. 3.672 048
Kabupaten sesuai jadwal dan tahapan mengumumkan dan menerima pencalonan baik dari jalur parpol maupun perseorangan. Secara administratif, akuntabilitas dilakukan dengan memenuhi unsur persyaratan administratif yang telah ditetapkan. Meneliti secara administratif, memverifikasi sampai pada penetapan calon dilaksanakan secara independen. Secara terbuka tahapan pencalonan ini juga melibatkan berbagai institusi sebagai fasilitator maupun stakeholder terkait termasuk di dalamnya adalah Panwaslih Kabupaten Malang. Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan Faturohman (2016) telah mendeskripsikan bahwa tahapan ini melibatkan banyak fihak termasuk di dalamnya insitusi Dinas Pendidikan, Kantor Kementrian Agama Kabupaten Malang, IDI, Rumah Sakit Daerah, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri sebagai fasilitator juga Partai Politik dan Tim Pemenangan calon independen. Berdasarkan pelaksanaan tahapan ini ditetapkan 3 pasangan calon yang akan berkompetisi memenangkan kursi Bupati dan wakil bupati Malang seperti yang dilaporkan sekretariat KPU Kabupaten Malang (2016) Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang melalui Rapat Pleno menetapkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 yang dituangkan dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang Nomor 267/Kpts/KPUKab.014.329781/2015 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 Tanggal 24 Agustus 2015. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015, sebagai berikut : - Pasangan Calon NURCHOLIS dan MUHAMMAD MUFIDZ - Pasangan Calon RENDRA KRESNA dan SANUSI - Pasangan Calon DEWANTI RUMPOKO dan MASRIFAH HADI Dengan Pengundian nomor urut pasangan calon: Adapun hasil
pengundian nomor urut pasangan calon yaitu Pasangan Calon RENDRA KRESNA - SANUSI mendapatkan Nomor Urut 1 (satu), Pasangan DEWANTI RUMPOKO MASRIFAH HADI mendapatkan Nomor Urut 2 (dua) sedangkan pasangan dari perseorangan (independen) NURCHOLIS MUHAMMAD MUFIDZ mendapatkan Nomor Urut 3 (tiga), 3. Pada tahapan kampanye, penyelenggara pemilu lebih menekankan pada akuntabilitas publik secara eksternal kepada pengusung dan peserta pilkada dan kepada publik terutama pemilih. Sementara secara pendanaan KPU Kabupaten akuntabel secara finansial kepada Pemerintah Kabupaten Malang sebagai penyedia anggaran pemilukada yang bersumber dari APBD. Pada tahapan ini dilaksanakan jadwal kampanye oleh penyelenggara, juga fasilitas kampanye seperti atribut alat peraga kampanye, lokasi dan waktu kampanye beserta pendanaannya. Diselenggarakan debat publik yang difasilitasi oleh KPU Kabupaten Malang pada hari Rabu, 12 Nopember 2015 Pukul 19.00 WIB bertempat di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPRD Kabupaten Malang Jalan Panji 119 Kepanjen (KPU Kabupaten Malang, 2016) Pada tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara, peran ujung tombak berada di tangan anggota KPPS yang berjenjang melalui PPS dan PPK akan dilanjutkan dengan rekapitulasi di KPU Kabupaten Malang. Hasil Akhir rekapitulasi adalah sebagai berikut: Hasil Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015, Pasangan Calon nomor 1 (satu) RENDRA KRESNA - SANUSI mendapatkan 605.817 (enam ratus lima ribu delapan ratus tujuh belas) suara, Pasangan Calon nomor 2 (dua) DEWANTI RUMPOKO - MASRIFAH HADI mendapatkan 521.928 (lima ratus dua puluh satu ribu sembilan ratus dua puluh delapan) suara, sedangkan Pasangan Calon nomor 3
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
(tiga) NURCHOLIS - MUHAMMAD MUFIDZ mendapatkan 45.723 (empat puluh lima ribu tujuh ratus dua puluh tiga) suara, dengan tingkat partisipasi kehadiran pemilih sebesar 58,39%. 4. Hasil Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015, Pasangan Calon nomor 1 (satu) RENDRA KRESNA - SANUSI mendapatkan 605.817 (enam ratus lima ribu delapan ratus tujuh belas) suara, Pasangan Calon nomor 2 (dua) DEWANTI RUMPOKO - MASRIFAH HADI mendapatkan 521.928 (lima ratus dua puluh satu ribu sembilan ratus dua puluh delapan) suara, sedangkan Pasangan Calon nomor 3 (tiga) NURCHOLIS - MUHAMMAD MUFIDZ mendapatkan 45.723 (empat puluh lima ribu tujuh ratus dua puluh tiga) suara, dengan tingkat partisipasi kehadiran pemilih sebesar 58,39%. (Sumber: Laporan KPU Kabupaten Malang, 2016). Akuntabilitas publik telah dilaksanakan secara prosedural secara berjenjang dari KPPS sampai ke KPU Kabupaten Malang. Yang pelaporannya berjenjang ke KPU Jatim dna KPU Nasional. 5. Pada tahapan Penyelesaian perelisihan hasil pemilukada Kabupaten Malang 2015 dilakukan secara akuntabilitas legal. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, pasal 157 termaktub Peserta dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi, yang akan memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan. Pasangan Calon DEWANTI RUMPOKO dan MASRIFAH HADI melalui kuasa hukumnya ANDY FIRASADI, SH.,
MH. dkk mengajukan permohonan pembatalan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang Nomor : 528/Kpts/KPU.Kab.014.329781/2015 Tanggal 16 Desember 2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 serta Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang di Tingkat Kabupaten Tahun 2015 pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015. Permohonan gugatan disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Registrasi No. 79/PHP.BUP-XIV/2016 pada Hari Senin Tanggal 4 Januari 2016 Pukul 08.00 WIB. (KPU Kabupaten Malang, 2016). Melalui persidangan di MK pada tanggal 21 Januari 2016 dengan amar putusan Mengabulkan eksepsi Termohon dan eksepsi pihak terkait mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Keputusan MK ini bersifat final dan mengikat. 6. Pada tahap penetepan pemenang pasangan calon, KPU Kabupaten Malang berdasarkan kewenangan perundangan melaksanakan Rapat Pleno Terbuka Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Malang Terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Malang Tahun 2015 pada hari Jumat tanggal 22 Januari 2016 Pukul 15.00 WIB s/d selesai bertempat di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPRD Kabupaten Malang Jalan Panji 119 Kepanjen. Rapat Pelno ini merupakan bentuk akuntabilitas administrasi dan profesional penyelenggara pemilu yang dilakukan secara terbuka keoada publik. 7. Pada tahap Pengesahan, KPU Kabupaten Malang menyampaikan kepada DPRD Kabupaten Malang melalui Surat Nomor : 8/KPU-Kab-014.329781/I/2016 Tanggal 23 Januari 2016. Pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Malang dilakukan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih oleh KPU Kabupaten Malang yang disampaikan oleh DPRD Kabupaten Malang kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur. Pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Malang dilakukan berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal usul dan berkas diterima secara lengkap (KPU Kabupaten Malang, 2016) 8. Tahapan berkutnya adalah evaluasi penyelenggaraan pemilukada serentak 2015 di Kabupaten Malang. KPU Kabupaten Malang melaksanakan akuntabilitas administrasi secara internal pada jajaran insitusi ad hoc dan juga melibatkan publik dengan mengundang stakeholder dalam kegiatan evaluasi melalui metode FGD. Dalam Kegiatan ini diundang tokoh-tokoh di lingkiungan kabupaten Malang termasuk akademisi sebagai nara sumber, Muspida, Partai Politik, LSM, dan peserta Pemilukada. KESIMPULAN 1. Akuntabilitas Publik penyelenggara pemilihan umum Kepala Daerah Serentak meliputi akuntabilitas administrasi, akuntabilitas Legal dan Akuntabilitas Profesional. 2. Ke tiga jenis akuntabilitas publik ini melekat pada KPU Daerah penyelenggara Pemilukada serentak secara internal dan berjenjang/hirakhis. KPU Kabupaten Malang berakuntabilitas administrasi secara berjenjang ke KPU Jatim dan KPU Nasional dan melalukan supervisi untuk menerima akuntabilitas adminisyrasi dari institusi ad hok PPK dan PPS serta KPPS dan PPDP sebagai perseorangan. 3. Akuntabilitas publik penyelenggara pemilukada serentak secara eksternak tanggung jawab dan tanggung gugl sebagai bentt dilakukan secara legal dan profesional kepada publiknya.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
4. Akuntabilitas publik penyelenggara pemilu dapat di temukan dalam dua tahapan utama pemilukada serentak yaitu pada tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan yang telah dilaksanakan KPU Kabupaten Malang secara prosedural. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Anwar. (2006). Pencitraan dalam Politik: Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia Husein, Harun,(2014) Pemilu Indonesia, Jakarta: Perludem. Prihatmoko, Joko J.. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung : Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sekretariat KPU Kabupaten Malang, 2016, Laporan Tahapan Pilkada 2015, Unpublished, KPU, Malang Supriyanto, Didik; Agustyati, Khoirunnisa Nur,; dan Mellaz,August, (2013) Manata Ulang Jadwal Pilkada Menuju Pemilu Nasional dan Daerah, Jakarta: Perludem Peraturan: Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UndangUndang Peraturan KPU No. 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
ISSN: 2355-8466
Bupati, dan/ Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Peraturan KPU No. 07 tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Peraturan KPU No. 09 tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Peraturan KPU No. 10 tahun 2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
ISSN: 2355-8466
PERAN LITERASI INFORMASI DALAM PELAKSANAAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Anita Tri Widiyawati Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang
[email protected]
Abstrak Pendidikan karakter merupakan kekuatan suatu bangsa. Untuk menumbuhkan pendidikan karakter membutuhkan proses panjang, sehingga diperlukan untuk menanamkan pendidikan karakter sejak dini. Terdapat lima ranah pendidikan yang dapat menumbuhkan karakter yang baik: keluarga, diri sendiri, pemerintah, sekolah, lingkungan, dan masyarakat (Mustari, 2014:x). Dalam upaya menumbuhkan pendidikan karakter di sekolah diperlukan peran guru dalam mendidik siswanya serta peran perpustakaan sekolah dalam mendukung proses belajar mengajar. Peran guru berkaitan dengan strategi pembelajaran yang digunakan pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dan strategi pembelajaran ini sangat erat kaitannya dengan literasi informasi. Peserta didik yang mempunyai tingkat literate yang tinggi, maka dapat mencapai tingkatan informasi yang tertinggi yaitu ‗wise’ (kebijaksanaan). Ketika peserta didik telah mencapai nilai-nilai kebijaksanaan, maka nilai-nilai karakter pun dapat tercapai pula. Sehingga peserta didik mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam menjalani kehidupan di masa depan yang lebih baik. Kata kunci: literasi informasi, strategi pembelajaran, pendidikan karakter. PENDAHULUAN Persoalan karakter merupakan persoalan yang besar dan penting dalam kehidupan manusia. Eksistensi suatu bangsa juga ditentukan oleh seberapa kuat karakter warganya. Kekuatan dan kebesaran suatu bangsa, pada hakikatnya berpangkal pada kekuatan karakternya. Sebaliknya, kehancuran suatu bangsa diawali dengan kemerosotan karakternya. Penanggulangan atas runtuhnya karakter adalah dengan mengatasi atau memperbaiki faktorfaktor yang menjadi penyebabnya. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan untuk menanamkan pendidikan karakter sejak dini. Terdapat lima ranah pendidikan yang dapat menumbuhkan karakter yang baik: keluarga, diri sendiri, pemerintah, sekolah, lingkungan, dan masyarakat (Mustari, 2014:x). Dalam upaya menumbuhkan pendidikan karakter di
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
sekolah diperlukan peran guru dalam mendidik siswanya serta peran perpustakaan sekolah dalam mendukung proses belajar mengajar. Peran guru ini berkaitan dengan strategi pembelajaran yang digunakan pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Secara sederhana pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membantu peserta didik mengembangkan seluruh potensinya (hati, pikir, rasa dan karsa, serta raga) untuk menghadapi masa depan (Samani dan Hariyanto, 2013:37). Untuk menghadapi masa depan, peserta didik memerlukan keterampilan yang harus dikuasai. Menurut Trilling dan Fadel ada tiga macam kategori keterampilan yang diperlukan pada abad ke-21, yakni: (1) kecakapan belajar dan inovasi yang meliputi: berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi, serta kreativitas dan inovasi; (2)
ISSN: 2355-8466
kecakapan melek digital yang meliputi: melek informasi, melek media, dan melek teknologi informasi dan komunikasi (ICT); serta (3) kecakapan hidup dan kecakapan karier yang meliputi: keluwesan dan penyesuaian diri, inisiatif dan arahan diri, interaksi sosial dan interaksi lintas budaya, produktivitas dan akuntabilitas, serta kepemimpinan dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan pendidikan karakter pada peserta didik diperlukan strategi pembelajaran yang mengarah pada pendidikan karakter. Terdapat beberapa strategi atau model pembelajaran pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar, di antaranya: active learning, cooperative learning, contextual teaching and learning (CTL), strategi pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah (PBM), strategi pembelajaran ekspositori, PAKEM, strategi pembelajaran inovatif, strategi pembelajaran afektif, dan quantum learning. Akan tetapi banyak kasus di lapangan (dalam hal proses belajar mengajar di sekolah), guru masih belum melaksanakan strategi pembelajaran tersebut. Bahkan perpustakaan sekolah pun masih belum berfungsi secara
maksimal, khususnya di sekolah-sekolah di daerah pinggiran. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyawati (2016) tentang penerapan literasi informasi di SDN Cakru II Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember melalui project makalah matapelajaran Pendidikan Agama Islam, SDN Cakru II sebelumnya guru selalu menggunakan model ceramah dalam proses belajar mengajar. Selain itu, perpustakaan sekolah juga kurang berfungsi. Sehingga siswa menjadi pasif dan kurang kreatif, siswa menjadi tergantung kepada guru, serta siswa menjadi tidak mandiri dalam proses belajar di kehidupannya. Akan tetapi setelah SDN Cakru II mendapatkan pelatihan mengenai literasi informasi, guru menjadi terbuka dan mencoba untuk menerapkan literasi informasi dalam proses belajar mengajar, khususnya pada matapelajaran Pendidikan Agama Islam. Dari sini, dapat diketahui bahwa literasi informasi sangat erat kaitannya dengan strategi pembelajaran pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibahas lebih lanjut mengenai peran literasi informasi dalam pelaksanaan strategi pembelajaran berbasis pendidikan karakter.
PEMBAHASAN Pada dasarnya terdapat keterkaitan yang erat antara pendidikan karakter peserta didik, strategi pembelajaran, literasi informasi, perpustakaan sekolah, peran guru, dan pustakawan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anita Tri Widiyawati (2016) mengenai penerapan literasi informasi melalui project makalah matapelajaran Pendidikan Agama Islam di SDN Cakru II Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember. Pada artikel ini menekankan pada konsep keterkaitan antara pendidikan karakter peserta didik,
strategi pembelajaran, literasi informasi, perpustakaan sekolah, peran guru, dan pustakawan. 1. Pendidikan Karakter Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter) mulia (UU No. 20 tahun 2003). Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ (UU No. 20 tahun 2003 pasal 3). Karakter merupakan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Artinya, orang yang berkarakter adalah orang yang berkepribadian, berprilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak tertentu, dan watak tersebut yang membedakan dirinya dengan orang lain (Suyadi, 2013:5). Secara terminologis Thomas Lickona, sebagaimana dikutip Marzuki mendefinisikan karakter sebagai ―A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.‖ Selanjutnya, Lickona menyatakan, ―Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing: moral feeling, and moral behavior”. Karakter mulia (good character) mencakup pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing) yang menimbulkan komitmen terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan demikian karakter mengacu pada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes) dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (Marzuki dalam Suyadi, 2013:5). Ahmad Amin (dalam Suyadi, 2013:6) mengemukakan bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri
seseorang jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Menurut Lickona, pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the god), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Senada dengan Lickona, Friye mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, ―A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share” (Frye, 2002:2). Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengetahui kebenaran atau kebaikan, mencintainya dan melakukannya dalam kehidupan seharihari. Terdapat 18 nilai-nilai karakter yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, 18 nilai karakter itulah yang harus diinternalisasikan ke dalam semua matapelajaran melalui strategi pembelajaran aktif-menyenangkan. Tekanan utama atau aksentuasi pada bagian ini adalah mengemas strategi pembelajaran yang digunakan, yakni dari pembelajaran tanpa muatan karakter menjadi bermuatan karakter. Artinya terdapat kesesuaian antara strategi pembelajaran dengan matapelajaran itu sendiri (Suyadi, 2013:10).
2. Model-Model Strategi Pembelajaran Bermuatan Karakter Terdapat 10 (sepuluh) strategi pembelajaran aktif-menyenangkan
bermuatan karakter (Suyadi, 2013), antara lain: active learning, cooperative learning bermuatan karakter, contextual teaching and learning (CTL) bermuatan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
karakter, strategi pembelajaran inkuiri bermuatan karakter, pembelajaran berbasis masalah (PBM) bermuatan karakter, strategi pembelajaran ekspositori bermuatan karakter, PAKEM bermuatan karakter, strategi pembelajaran inovatif bermuatan karakter, strategi pembelajaran afektif bermuatan karakter, dan quantum learning bermuatan karakter. Berikut dijelaskan masing-masing strategi pembelajaran tersebut. a) Strategi pembelajaran active learning. Nilai karakter inti dari strategi pembelajaran active learning adalah ―aktif‖ atau dalam bahasa psikologi humanistis disebut aktualisasi diri (Maslow, William Craim dalam Suyadi, 2013:33). Dalam bahasa pendidikan karakter, ―aktif‖ merupakan cerminan kerja keras, kemandirian, tanggung jawab dan hasrat ingin tahu. Konsep active learning menurut Mel Silberman menghendaki peran serta peserta didik yang tidak hanya mendengar, melainkan juga melihat supaya lebih paham walaupun sedikit, mendiskusikannya agar memahami atau mendalami, melakukannya agar memperoleh pengetahuan, dan mengajarkannya agar menguasainya. Dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran aktif sangat relevan dengan nilai-nilai karakter, seperti: 1) rasa ingin tahu (mendengar dan melihat supaya lebih paham); 2) komunikatif (mendiskusikannya agar memahami atau mendalami); 3) tanggung jawab (melakukannya agar memperoleh pengetahuan); dan 4) kepedulian sosial (mengajarkannya agar menguasainya). Nilai-nilai karakter yang termuat dalam setiap metode pada active learning memiliki kesesuaian dengan metode pembelajarannya. Misalnya,
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
pada metode the power of two setidaknya memuat nilai-nilai karakter seperti gemar membaca, komunikatif, kepedulian sosial, disiplin, dan sebagainya. b) Strategi pembelajaran cooperative learning bermuatan karakter. Model pembelajaran kooperatif adalah belajar kelompok. Kelompok di sini merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) atau cooperative learning, yaitu adanya peserta didik dalam kelompok, aturan kelompok, upaya belajar setiap anggota kelompok, dan tujuan yang harus dicapai. Nilai-nilai karakter dalam cooperative learning adalah: kepedulian sosial, tanggung jawab, toleransi, kerja keras/belajar keras, cinta tanah air dan semangat kebangsaan, bersahabat dan komunikatif, serta cinta damai. c) Strategi pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) bermuatan karakter. Strategi pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata, sehingga mendorong peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Johnson dalam Suyadi, 2013:81). Nilai-nilai karakter dalam CTL adalah kerja keras, toleransi, demokratis, semangat kebangsaan maupun cinta tanah air, rasa ingin tahu, kreatif, mandiri, tanggung jawab, peduli lingkungan, serta peduli lingkungan sosial.
ISSN: 2355-8466
d) Strategi pembelajaran quantum learning bermuatan karakter. Pada strategi pembelajaran quantum learning menekankan pada: (1) belajar tentang cara belajar, (2) belajar secara menyeluruh (global learning), dan (3) AMBAK (Apa Manfaat BagiKu). Nilai-nilai karakter dalam strategi quantum learning adalah menghargai prestasi, kreatif dan inovatif, mandiri, rasa ingin tahu, dan gemar membaca). e) Strategi pembelajaran inkuiri bermuatan karakter Pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang melibatkan seluruh kemampuan peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis, sehingga peserta didik dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Tujuan utama pembelajaran inkuiri adalah menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Selain itu, inkuiri juga dapat mengembangkan nilai dan sikap yang sangat dibutuhkan peserta didik agar mampu berpikir ilmiah, seperti: 1) keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan dan pengorganisasian data, termasuk merumuskan hipotesis serta menjelaskan fenomena; 2) kemandirian belajar, baik individu maupun kolektif; 3) kemampuan mengekspresikan rasa ingin tahu secara verbal; 4) kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis; dan 5) kesadaran ilmiah bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif (sementara). Nilai-nilai karakter dalam strategi pembelajaran inkuiri adalah rasa
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ingin tahu, kerja keras, kreatif dan inovatif, kemandirian, dan kedisiplinan. f) Strategi pembelajaran berbasis masalah (PBM)/problem based learning (PBL) bermuatan karakter PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya (Hamruni, 2009). PBL dikembangkan dari filsafat konstruksionisme, yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan konstruksi pengetahuan secara otonom. Artinya, peserta didik akan menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari seluruh pengetahuan yang telah dimiliki dan dari semua pengetahuan baru yang diperoleh (Hamruni, 2009:150). Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berpusat pada masalah tidak sekedar transfer of knowledge dari guru kepada peserta didik, maupun peserta didik dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan masalah yang dibahas. Strategi pembelajaran berbasis masalah mengusung gagasan utama bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugastugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan dalam satu konteks. Dengan kata lain, tujuan utama pendidikan adalah memecahkan problem-problem kehidupan. Nilai-nilai karakter dalam PBL, yaitu: tanggung jawab, kerja keras, toleransi, demokratis, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, nasionalismen, peduli lingkungan, dan peduli sosial maupun keagamaan. g) Strategi pembelajaran ekspositori bermuatan karakter
ISSN: 2355-8466
Menurut Roy Killen (1998) dalam Suyadi (2013:145), strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi pelajaran sacara verbal oleh guru kepada peserta didik. Berdasarkan pengertian tersebut, Roy Killen (1998) menyebut strategi ekspositori ini dengan istilah pembelajaran langsung (direct instruction). Strategi pembelajaran ekspositori bukan semata-mata ceramah, melainkan mengombinasikan dengan gerak tubuh atau bahasa verbal, semangat belajar yang membara dan gaya komunikatif yang menantang. Nilainilai karakter dalam strategi pembelajaran ekspositori adalah komunikatif, kepedulian sosial, jujur, dan rasa ingin tahu. h) Strategi pembelajaran PAKEM bermuatan karakter Pembelajaran yang bernuansa PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) diarahkan pada pembelajaran yang berpola permainan (game), yang kemudian dikenal dengan model-model pembelajaran. Para ahli pembelajaran telah merancang sejumlah model pembelajaran seperti model Jigsaw, Problem Based Instruction (PBI), Think, Pair, and Share, dan sebagainya (Jamal Ma‘mur Asmani, 2011). Nilai-nilai karakter dalam PAKEM adalah religius, kreatif, rasa
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ingin tahu, mandiri dan tanggung jawab, toleransi, demokratis, peduli lingkungan, serta kepedulian sosial. i) Strategi pembelajaran inovatif bermuatan karakter Proses pembelajaran inovatif dapat berarti pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah dengan cara-cara baru. Tekanan utama pada strategi pembelajaran inovatif adalah penyelesaian masalah baru dengan cara-cara baru atau metode-metode baru yang selama ini belum dilakukan. Nilai-nilai karakter dalam strategi pembelajaran inovatif adalah inovatif, kemandirian, kerja keras, dan rasa ingin tahu. j) Strategi pembelajaran afektif bermuatan karakter Strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran yang mampu membentuk sikap peserta didik melalui proses pembelajaran (Hamruni, 2009). Akan tetapi, bukan berarti strategi ini lepas sama sekali dengan aspek kognitif maupun psikomotor, namun hanya komposisinya lebih dominan afektif. Dengan demikian, strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran pembentukan sikap, moral atau karakter peserta didik melalui semua matapelajaran. Nilainilai karakter yang dicanangkan oleh Kemendikbud yang berjumlah 18 merupakan bagian dari nilai karakter yang termuat dalam strategi pembelajaran afektif.
ISSN: 2355-8466
3. Literasi informasi RANGKAIAN INFORMASI
Kearifan (wisdom) Nilai
Pengetahuan
Informasi Segmen
Segmen berdasarkan kognisi Berdasarkan data Data
Ketentuan dan formulasi Simbol (representasi peristiwa)
Peristiwa Sumber: Debons, Information Science (1985) dalam Sulistyo-Basuki (2006:5) Menurut American Library Association, literasi informasi adalah kemampuan untuk "recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information" ("mengenali kapan informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan secara efektif informasi yang dibutuhkan") (ACRL, 2000:1). American Library Association ‘Presidential Committee on Information Literacy’ (1989) menjelaskan bahwa literasi informasi adalah "Ultimately, information literate people are those who have learned how to learn. They know how
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
to learn because they know how knowledge is organized, how to find information, and how to use information in such a way that others can learn from them. They are people prepared for lifelong learning, because they can always find the information needed for any task or decision at hand." Sedangkan unsurunsur literasi informasi didefinisikan oleh Bundy (2004), yaitu. 1. Keterampilan umum: a) Pemecahan masalah b) Kolaborasi c) Kerjasama dalam tim d) Komunikasi e) Berpikir kritis
ISSN: 2355-8466
2. Keterampilan Informasi a) Pencarian informasi b) Penggunaan informasi c) Penguasaan terhadap teknologi informasi 3. Nilai-nilai dan Keyakinan a) Dapat menggunakan informasi dengan bijak dan etis; dan b) Mempunyai tanggung jawab sosial & partisipasi masyarakat. Bruce (1997) telah menetapkan beberapa konsep yang mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dengan literasi (melek) informasi, antara lain: 1) literasi terhadap komputer; 2) literasi terhadap teknologi informasi; 3) mempunyai keterampilan dalam mengakses perpustakaan; 4) memiliki keterampilan dalam melakukan pencarian informasi; dan
5) mempelajari bagaimana cara belajar. Menurut Californian University Information literacy fact sheet (2000) (dalam Ranaweera, 2008:3); literasi informasi individual memungkinkan untuk: 1) menentukan sejauh mana informasi yang dibutuhkan; 2) mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien; 3) mengevaluasi informasi dan sumbersumber informasi secara kritis; 4) memasukkan informasi terpilih menjadi satu basis pengetahuan; 5) menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu; serta 6) memahami isu-isu ekonomi, hukum, dan sosial yang melingkupi penggunaan dan pengaksesan informasi secara etis dan legal.
Bundy (2004) mendefinisikan hubungan antara literasi informasi dan belajar sepanjang hayat adalah, ―dasar untuk belajar mandiri dan belajar seumur hidup‖. Hal ini dapat dilihat dari gambar di bawah.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Gambar: Hubungan antara Literasi Informasi dan Belajar Seumur Hidup 4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anita Tri Widiyawati (2016) mengenai penerapan literasi informasi melalui project matapelajaran Pendidikan Agama Islam di SDN Cakru II Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember. SDN Cakru II sebelumnya guru selalu menggunakan model ceramah dalam proses belajar mengajar. Selain itu, perpustakaan sekolah juga kurang berfungsi. Sehingga siswa menjadi pasif dan kurang kreatif, siswa menjadi tergantung kepada guru, serta siswa menjadi tidak mandiri dalam proses belajar di kehidupannya. Akan tetapi setelah SDN Cakru II mendapatkan pelatihan mengenai literasi informasi, guru menjadi terbuka dan mencoba untuk menerapkan literasi informasi dalam proses belajar mengajar, khususnya pada matapelajaran Pendidikan Agama Islam. Sekolah Dasar Negeri Cakru II mempunyai prinsip mendidik siswa berdasar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Adapun pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut adalah: nilai, religius, jujur, transparan, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, dalam upaya
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
mewujudkannya SDN Cakru II mulai menerapkan literasi informasi melalui project penulisan makalah matapelajaran Pendidikan Agama Islam khusus untuk kelas VI. Project belum ada dalam kurikulum, project ini merupakan project percobaan yang dilakukan untuk pertama kali. Langkah-langkah dalam penulisan project penulisan makalah matapelajaran Pendidikan Agama Islam ini mirip dengan langkah literasi informasi mulai dari menentukan tema, identifikasi sumber, mencari informasi, menyeleksi, mengolah, dan yang terakhir presentasi. Tahapan dapat dibandingkan dengan Model Tujuh Langkah Literasi Informasi yang dibuat Universitas Atma Jaya dan NSW Information Process. Dalam penulisan makalah ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator bagi siswa. Guru hanya berperan sebagai wadah untuk bertanya bila siswa mengalami kesulitan dalam penulisan makalahnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa sudah melakukan penulisan makalah secara mandiri. Sedangkan peran Perpustakaan Sekolah adalah menyediakan koleksi buku untuk dijadikan sebagai sumber referensi dalam penulisan makalah. Manfaat nyata yang dirasakan siswa adalah siswa dapat menemukan jawaban atas pertanyaan dari siswa sendiri dan siswa juga dapat mengambil
ISSN: 2355-8466
hikmah atau pelajaran dari topik makalah yangsudah ditulis. Guru juga merasa bahwa dengan adanya siswa menulis makalah serta harus mempresentasikan hasilnya, siswa menjadi belajar lebih mandiri dan lebih percaya diri. Segala proses yang telah siswa lakukan selama menulis makalah juga akan bermanfaat kelak karena tahapan ini dapat menuntun siswa dalam melakukan tindakan, baik ke jenjang pendidikan selanjutnya maupun di kehidupan sosial nantinya. Hambatan dalam proses project penulisan makalah matapelajaran Pendidikan Agama Islam adalah project ini merupakan project yang dilakukan untuk pertama kali, sehingga butuh bimbingan penuh dari Guru Pembimbing dan petugas Perpustakaan Sekolah. Hambatan yang lain adalah, koleksi di Perpustakaan Sekolah masih terbatas, sehingga literatur yang digunakan dalam penulisan makalah kurang bervariasi.
5.
Peran literasi informasi dalam pelaksanaan strategi pembelajaran berbasis pendidikan karakter Fungsi perpustakaan sekolah (Lasa Hs, 2009:13-14), yaitu. a) Pendidikan Bahan informasi yang dikelola perpustakaan dapat berupa buku teks, majalah, buku ajar, buku rujukan, kumpulan soal, CD, film, globe, dan lainnya. Bahan-bahan ini dimanfaatkan dalam aktivitas sekolah sebagai proses pendidikan secara mandiri. Para guru bisa memperoleh materi yang akan disampaikan kepada siswa. Para siswa pun bisa memperoleh bacaan sebagai bentuk pengembangan diri.
b)
Tempat Belajar Di perpustakaan sekolah, para siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara mandiri atau belajar kelompok. Mereka bisa membentuk grup-grup diskusi.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
c)
Penelitian Sederhana Melalui perpustakaan, para siswa dan guru dapat menyiapkan dan melaksanakan penelitian sederhana. Para siswa diarahkan untuk mencari tema-tema penelitian melalui sumber-sumber informasi di perpustakaan. d) Pemanfaatan Teknologi Informasi Perpustakaan sekolah perlu menyediakan internet, pangkalan data dalam bentuk CD, penyediaan buku elektronik (e-books), jurnal elektronik (e-journal), ensiklopedi elektronik, dan lainnya. e) Kelas Alternatif Dalam penataan ruang perpustakaan sekolah perlu adanya ruangan yang difungsikan sebagai ruangan kelas. Ruang ini dapat digunakan sebagai ruang baca. Pada hari atau jam tertentu dapat digunakan sebagai ruang pertemuan dan ruang kelas cadangan untuk mata pelajaran tertentu. f) Sumber Informasi Melalui perpustakaan sekolah, para sivitas sekolah dapat menemukan informasi tentang orang-orang penting di dunia, peristiwa, geografis, literatur, dan informasi lain. Sumber-sumber informasi bisa didapat melalui kamus, ensiklopedi, hand-book, almanak, indeks, sumber geografi, bibliografi, buku tahunan, dan internet Perpustakaan Sekolah perlu mewujudkan literasi informasi bagi pemustaka agar fungsi perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Dalam menjalankan literasi informasi, perpustakaan sekolah harus bekerjasama dengan guru dalam proses belajarmengajar melalui strategi pembelajaran pendidikan karakter. Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses belajar mengajar, bukan satusatunya sumber informasi. Selain itu, guru juga berperan sebagai guru pustakawan yang mempunyai tugas sebagai medium bagi siswa dengan perpustakaan sekolah. Sedangkan peran pustakawan adalah mengarahkan dan
ISSN: 2355-8466
membimbing siswa dalam proses pencarian koleksi buku yang sesuai dengan topik tugas yang diberikan oleh guru. Sehingga siswa dapat menemukan literatur yang tepat sebagai bahan untuk menulis tugas. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan antara literasi informasi dalam pelaksanaan strategi pembelajaran berbasis pendidikan karakter. KESIMPULAN Pada dasarnya terdapat keterkaitan yang erat antara pendidikan karakter peserta didik, strategi pembelajaran, literasi informasi, perpustakaan sekolah, peran guru, dan pustakawan. Perpustakaan Sekolah perlu mewujudkan literasi informasi bagi pemustaka agar fungsi perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Dalam menjalankan literasi informasi, perpustakaan sekolah harus bekerjasama dengan guru dalam proses belajarmengajar melalui strategi pembelajaran pendidikan karakter. Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses belajar mengajar, bukan satusatunya sumber informasi. Selain itu, guru juga berperan sebagai guru pustakawan yang mempunyai tugas sebagai medium bagi siswa dengan perpustakaan sekolah. Sedangkan peran pustakawan adalah mengarahkan dan membimbing siswa dalam proses pencarian koleksi buku yang sesuai dengan topik tugas yang diberikan oleh guru. Sehingga siswa dapat menemukan literatur yang tepat sebagai bahan untuk menulis tugas. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan antara literasi informasi dengan pelaksanaan strategi pembelajaran berbasis pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA ACRL (Association of College and Research Libraries). (2000). JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Information Literacy. [Internet] Available from:
[accessed: 21 Desember 2014]. American Library Association. (1989). Presidential Committee on Information Literacy. Final Report. Chicago: American Library Association. Anita Tri Widiyawati. 2016. Penerapan Literasi Informasi di SDN Cakru II Kec. Kencong, Kab. Jember melalui Project Makalah Matapelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurusan Administrasi Publik, FIA, UB. Laporan Penelitian: Tidak Dipublikasikan. Bruce, Christine. (1997). The Seven Faces of Information Literacy. Adelaide: Auslib Press. Bundy, A. (2004). Australian and New Zealand Information Literacy Framework Principles, Standards and Practice, 2nd ed. Adelaid: Australian and New Zealand Institute Information Literacy. Frye, Mike, at all. (Ed.). 2002. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001. North Carolina: Public Schools of North Carolina. Hamruni. 2009. Strategi dan Modelmodel Pembelajaran Aktif Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Jamal, Makmur, dan Asmani. 2011. 7 Tips Aplikasi PAKEM. Yogyakarta: Diva Press. Johnson, Elaine B Lasa Hs. (2009). Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus. Mustari, Mohamad. 2014. Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
ISSN: 2355-8466
Ranaweera, Prasanna. 2008. Importance of Information Literacy Skills for an Information Literate Society. In NACLIS 2008, Colombo (Sri Lanka), 24th June 2008. [Conference paper] Sulistyo-Basuki, dkk. 2006. Perpustakaan dan Informasi dalam Konteks Budaya. Depok: Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB, UI. Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
OPTIMALISASI PERAN SATKOWIL MELALUI BINTER DALAM MEMBANTU PEMERINTAH MENGAMANKAN PENDISTRIBUSIAN PUPUK BERSUBSIDI GUNA MEWUJUDKAN SWASEMBADA PANGAN H. Rumadi Dosen Ilmu Administrasi Stisospol ‗Waskita Dharma‘ Malang ABSTRAK Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi sebagai salah satu metoda Binter merupakan pelibatan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara dalam membantu penyelenggaraan kegiatan petani dalam mewujudkan swasembada pangan atas permintaan instansi terkait dan atau inisiatif sendiri yang dilaksanakan secara bersamasama dengan instansi terkait dan masyarakat tanpa mengabaikan kesiapan satuan. Disamping itu Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan yang menjadi salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh TNI AD. Komando Kewilayahan sebagai ujung tombak TNI AD dalam melaksanakan pembinaan teritorial melalui pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang implementasinya di lapangan ditujukan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan dalam lingkup internal TNI AD sendiri melalui Bakti TNI diharapkan akan terwujud kemanunggalan TNI – Rakyat. Implementasi di lapangan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dimana Kowil menjadi tulang punggung dalam pelaksanaannya pada kenyataannya belum mencapai hasil sesuai dengan tujuan sasaran yang telah ditetapkan, mengingat Kowil masih menghadapi berbagai permasalahan yang menyangkut kesiapan aparatur Kowil yang belum memadai, penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam setiap tahapan yang belum sesuai dengan ketentuan, tidak adanya dukungan sarana serta belum maksimalnya kegiatan koordinasi lintas sektoral yang dilakukan aparat Kowil dengan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya. Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi merupakan sarana yang efektif untuk mendukung swasembada pangan, sehingga penyelenggaraannya perlu lebih dioptimalkan. Oleh karena itu guna terwujudnya optimalisasi penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dapat mendukung pelaksanaan tugas pokok TNI AD dalam rangka pemberdayaan wilayah pertahanan darat di masa yang akan datang, rumusan upaya dan langkah-langkah pengembangan yang menyangkut peningkatan kesiapan aparatur Kowil, penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam setiap tahapan, serta peningkatan keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Bakti TNI dengan Pemerintah dan instansi sektoralal lainnya melalui kerjasama lintas sektoralal TNI dengan Departemen/Non Departemen mutlak untuk dapat dilakukan, sehingga kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi sebagai upaya TNI AD untuk membantu pemerintah. Kata kunci: peran satkowil melalui binter, pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, swasembada pangan PENDAHULUAN Satkowil sebagai satuan jajaran TNI AD yang sudah tergelar diseluruh wilayah dan mempunyai tugas untuk
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat, dalam rangka mewujudkan ruang, alat, dan kondisi juang serta kemanunggalan TNI-Rakyat yang
ISSN: 2355-8466
tangguh untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu kegiatan dalam menunjang tercapainya tugas pokok dalam pemberdayaan wilayah daratan tersebut, adalah dilaksanakannya Binter sebagai upaya terciptanya Kemanunggalan TNI– Rakyat untuk didayagunakan bagi kepentingan Pertahanan negara Matra Darat. Salah satu tugasnya adalah membantu pemerintah mengamankan pendistribusian pupuk bersubsidi bagi para petani dari berbagai macam penyelewengan yang terjadi agar swasembada pangan dapat terwujud. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional dan swasembada pangan, salah satu faktor sarana produksi yang sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian adalah pupuk. Pemerintah berkepentingan melakukan berbagai deregulasi kebijakan di bidang pupuk dengan maksud agar terwujud iklim yang kondusif bagi penyediaan pupuk di Indonesia, sehingga petani mudah dalam mendapatkan pupuk sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan tersebut antara lain pemberian subsidi harga pupuk bagi petani. Namun dalam pelaksanaan pendistribusian ini banyak menemui hambatan diantaranya ditemukan indikasi penjualan pupuk dengan harga diatas HET (Harga Eceran Tertinggi), penjualan pupuk kepada petani yang tidak terdaftar dalam RDKK, tidak dipasangnya spanduk pengumuman harga, penyaluran pupuk yang tidak sesuai dengan DO, keterlambatan distribusi, kelangkaan, pengantian kemasan, penimbunan, penjualan di luar wilayah distribusi, dan terdapat pengecer yang tidak resmi. Dalam kenyataannya pendistribusian pupuk yang dilaksanakan ini menuntut peranan TNI berpartisipasi dalam pendistribusian pupuk subsidi kepada petani. Hal ini diharapkan menjadi wujud nyata dan komitmen Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dalam hal ini melalui binter untuk mengawal pendistribusian pupuk kepada petani sehingga tepat sasaran dengan tujuan akhir terwujudnya swasembada pangan. Namun dalam pelaksanaanya JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
masih banyak menemui kendala dan keterbatasan antara lain rendahnya tingkat kesiapan aparat Binter, terbatasnya sarana dan yang dimiliki dalam pendampingan, serta masih belum padunya rencana kegiatan pengawalan pendistribusian ini dengan pemerintah dan instansi terkait lainnya. Kondisi tersebut berakibat pada pengawalan pendistribusian pupuk yang dilaksanakan belum optimal dan tidak dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan Komando atas, sehingga tugas pemberdayaan wilayah pertahanan darat dalam memantapkan swasembada pangan yang menjadi salah satu tugas TNI AD belum dapat tercapai. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka perlu disusun berbagai langkah dan upaya mengoptimalkan peningkatan kesiapan aparat Binter Dalam Membantu Pemerintah Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan, peningkatan sarana pengamanan pendistribusian maupun peningkatan keterpaduan penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya sehingga diharapkan tugas pemberdayaan wilayah pertahanan darat dapat terwujud. Maksud dan Tujuan. a. Maksud. Maksud tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang optimalisasi peran aparat Binter Dalam Membantu Pemerintah Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan. b. Tujuan. Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai bahan masukan dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan TNI AD dalam pengambilan kebijaksanaan dan strategi optimalisasi kesiapan peran aparat Binter Dalam Membantu Pemerintah Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan sehingga dalam penyelenggaraannya dapat berjalan optimal.
ISSN: 2355-8466
Metoda dan Pendekatan. Karangan militer ini ditulis dengan menggunakan metode analisis dekritif serta melalui pendekatan empiris dan studi kepustakaan. Pengertian a. Optimalisasi. Suatu upaya untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari keadaan semula.1 b. Satkowil. Satkowil adalah seluruh satuan jajaran TNI AD yang sudah tergelar diseluruh wilayah dan mempunyai tugas untuk melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat, dalam rangka mewujudkan ruang, alat, dan kondisi juang serta kemanunggalan TNI-Rakyat yang tangguh untuk kepentingan pertahanan negara. 2 c. Kowil ( Komando Kewilayahan ) adalah badan Komando kewilayahan sebagai penyelenggara Binter yang disusun secara vertikal mulai dari tingkat Kodam, Korem, Kodim sampai tingkat Koramil.3 d. Binter. Pembinaan Teritorial merupakan suatu system pembinaan yang khas bagi TNI yang digali dari pengalaman perjuangan bersenjata maupun pengalaman dalam turut menegakkan konstitusi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebenaran dari Pembinaan Teritorial dalam perjuangan TNI telah teruji melalui berbagai peristiwa dalam lingkup nasional maupun sektoral yang bercorak kewilayahan dan digunakan untuk mengelola potensi kewilayahan meliputi Geografi, Demografi dan Kondisi Sosial untuk kepentingan Pembinaan Teritorial. e. Pupuk Bersubsidi. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV (Pengecer Resmi sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/MDAG/ PER/2/2009 tentang 1
Yandianto, Drs. Kamus Umum Bahasa Indonesia, penerbit M2S Bandung, September 2001, Hal 393. 2 Keputusan Danpusdikter, VI/2003 3 Buku Petunjuk Induk tentang Binter Nomor Skep/98/V/2007 tgl 16 Mei tahun 2007.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk 4 Berubsidi untuk sektor Pertanian). Dasar Pemikiran a. Urgensi Pentingnya Peran Binter dalam Pengamanan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan. Binter dalam metode Bakti TNI pada intinya adalah merebut hati rakyat, oleh setiap prajurit Angkatan Darat dengan bersikap dan berperilaku baik terhadap rakyat dengan tujuan mengambil hati rakyat sehingga tumbuh simpati dan cinta terhadap tentaranya, yaitu Angkatan Darat guna mendorong terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat, suatu kondisi yang melahirkan kekuatan sinergis yang sangat diperlukan bagi upaya-upaya menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Semangat kemanunggalan TNI dan Rakyat itu memang harus dipertahankan dan bahkan harus terus dipupuk serta ditumbuhkembangkan dalam hati sanubari setiap prajurit TNI AD dan senantiasa akan menempatkan hati nurani rakyat pada tempat yang sentral dan suara hatinya kita dengarkan dengan baik. Dengan demikian, maka Peran Binter dalam Pengamanan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan sebagai upaya TNI AD untuk membantu pemerintah dalam menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan khususnya dalam hal pendistribusian pupuk bersubsidi bagi para petani yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kemanunggalan TNI – Rakyat. b. Pupuk Bersubsidi Guna Mewujudkan Swasembada Pangan. Dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional, pupuk sangat berperan penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian. Atas dasar tersebut guna meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang maka pemerintah memberikan subsidi pupuk. Namun 4
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/MDAG/ PER/2/2009 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Berubsidi untuk sektor Pertanian
ISSN: 2355-8466
beragam modus penyalahgunaan pupuk yang ada pada intinya bermotif untuk mengambil keuntungan, diantaranya dengan menimbun pupuk bersubsidi di sebuah gudang. Ketika mulai terjadi kelangkaan di lapangan, oknum distributor atau agen mengeluarkan pupuk itu lalu menjualnya dengan harga nonsubsidi, lalu adanya agen yang menjual pupuk bersubsidi namun tanpa dilengkapi surat izin resmi, oknum distributor atau pengoplos yang memborong pupuk urea bersubsidi lalu mengganti kemasannya dengan nonsubsidi ukuran 50 kilogram, menaikan harga pupuk, dan mengoplos pupuk bersubsidi dengan bahan-bahan kimia tertent untuk mengubah warna pupuk. Namun ada juga oknum yang mengoplos pupuk bersubsidi dengan nonsubsisi secara langsung alias tanpa campuran bahan kimia. Hal ini dapat menyebabkan swasembada beras yang dicanangkan oleh pemerintah di tahun 2016 terancama gagal, jika pemerintah tidak segera menuntaskan persoalan pupuk yang selama ini masih terjadi. Untuk itu pemerintah dan TNI dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat agar pupuk bersubsidi itu benar-benar sampai di tangan petani yang berhak menerimanya dengan harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET). PEMBAHASAN Peran Binter Dalam Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Saat Ini TNI merasa terpanggil untuk ikut berperan serta dalam mengamankan pendistribusian pupuk bersubsidi bagi petani, sehingga swasembada pangan dapat terwujud. Implementasi di lapangan dalam melakukan hal tersebut, TNI menerapkan pendekatan pembinaan teritorial dengan menjadikan aparat binter terdepan sebagai tulang punggung dalam pelaksanaannya. Namun hasil yang dicapai selama ini belum sesuai dengan tujuan sasaran yang telah ditetapkan, mengingat penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi saat ini masih menghadapi berbagai permasalahan mulai dari tahap JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
perencanaan sampai dengan tahap akhir serta kurangnya dukungan sarana sehingga kegiatan koordinasi lintas sektoral yang dilakukan aparat Kowil dalam hal ini binter terdepan dengan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya tidak optimal. Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi adalah kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pencapaian swasembada pangan. Pelaksanaan Bakti TNI yang dilakukan oleh Satuan Kowil melalui peran binternya saat ini dirasakan masih kurang optimal. a. Tahap Perencanaan. Pada tahap perencanaan perlu diketahui subyek, obyek, metode dan kegiatan yang dilaksanakan sehingga tersusun dengan cermat namun saat ini belum dapat dilaksanakan terutama pada pelaksanaan kegiatan baik kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik dikarenakan pada perecanaan sasaran belum dilaksanakan seobyektif mungkin dengan memilih sasaran tidak melalui pengkajian yang mendalam dari aspek kesejahteraan petani melainkan hanya memilih sasaran yang dapat dilaksanakan dengan waktu dan kemampuan yang tersedia. b. Tahap Persiapan. Tahap persiapan seharusnya dilaksanakan 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan kegiatan namun saat ini persiapan untuk pelaksanaan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dilaksanakan secara mendadak setelah adanya penyelewangan pendistribusian pupuk bersubsidi yang terbongkar sehingga kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada persiapan tidak dilaksanakan diataranya : 1) Rapat koordinasi yang seharusnya dilaksanakan ditingkat pusat oleh Dandim yang daerahnya ditetapkan menjadi obyek sasaran tidak dilaksanakan tetapi hanya menerima petunjuk agar mempersiapkan kegiatan yang akan dilaksanakan secara mendadak. 2) Penyiapan administrasi kegiatan tidak tersusun dengan baik meliputi sarana, perintahoperasi, dan
ISSN: 2355-8466
dukungan administrasi tidak optimal. c. Tahap Pelaksanaan. Program pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi didalam pelaksanaannya terdapat keterbatasan terutama dalam hal dukungan anggaran yang diberikan oleh Komando Atas sangat kecil, bahkan ada kegiatan program yang tidak didukung oleh anggaran sama sekali. Dinamika dilapangan dirasakan adanya banyak hambatan dan kendala yang harus diatasi agar sasaran dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Keterbatasan dukungan yang ada, mengakibatkan Kowil sering bersandar kepada Pemda dan instansi yang terkait, agar kegiatan tersebut dapat berjalan. Hal ini sering mengalami hambatan karena adanya keterbatasan Pemda dan instansi terkait serta tidak adanya instruksi/petunjuk dari pusat terhadap kegiatan yang sifatnya lintas Kementrian. Kendala yang ada pada pelaksanaan kegiatan menyebabkan beberapa permasalahan yaitu: 1) Pencapaian target pada pelaksanaan belum sesuai dengan yang diharpakan karena dukungan administrasi yang ada tidak sesuai dengan beban pekerjaan dilapangan. 2) Dalam rangka mengatasi pengamanan pendist ri busian pupuk bersubsi di i ni , satuan tidak memiliki peralatan penunjang seperti alat transportasi dan komunikasi khusus untuk hal ini, sehingga belum dapat melaksanakan secara cepat, karena harus melaksanakan koordinasi dengan pihak lain baik swasta maupun pemerintah untuk dapat memberikan bantuan peralatan tersebut. Selain itu dihadapkan dengan daerah yang terpencil atau sulit untuk dijangkau dengan peralatan tersebut menjadi kendala yang sulit dihindari. 3) Satuan TNI yang bertugas melaksanakan pemananan pendistribusian pupuk bersubsidi belum dilengkapi dengan sistem administrasi dan pengorganisasian yang khusus disiapkan untuk melaksanakan seperti data rencana kebutuhan pupuk JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
petani/kelompok tani melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), sehingga dalam pelaksanaannya kurang optimal. 4) Belum tertatanya program kegiatan penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, sehingga sasaran yang dicapai kadangkadang tidak sesuai dengan skala prioritas. 5) Dalam penyelenggaraan kegiatan, Aparat teritorial kurang mengadakan koordinasi dengan masyarakat setempat maupun pemerintah dan instansi terkait, sehingga terkesan bekerja sendiri tanpa melibatkan masyarakat, yang pada akhirnya masyarakat menganggap bahwa hal tersebut hanya semata tugas aparat. d. Tahap Akhir Pelaksanaan. Hasil yang telah dicapai pada pelaksanaan pengamanan distribusi pupuk bersubsidi ini terkesan manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang lama karena kurangnya tanggungjawab pemerintah daerah terhadap hasil kegiatan yang dilakukan serta tidak adanya upaya dari aparat Kowil untuk menghimbau Pemda agar dilaksanakan peningkatan kualitas terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan Sarana dan prasarana penunjang kegiatan merupakan pendukung yang sangat penting bagi aparat Komando Kewilayahan dan anggota TNI AD yang lainnya dalam melaksanakan kegiatan pembinaan teritorial termasuk dalam menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, sehingga apa yang dikerjakan tetap pada jalurnya dan tidak menyimpang dari tujuan semula. Saat ini masalah sarana dan prasarana di bidang pembinaan teritorial yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dirasakan perlu segera dilakukan pembenahan sebagai berikut : a. Secara Kualitas. 1) Secara konseptual sarana dan prasarana yang menjadi penunjang pelaksanaan pengamanan distribusi
ISSN: 2355-8466
pupuk bersubsidi adalah sarana yang telah ada bukan sarana atau prasarana tambahan yang diberikan khusus untuk penyelenggaraan kegiatan ini. 2) Keterbatasan sarana ini tentunya kurang mendukung percepatan pencapaian kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi itu sendiri. b. Secara Kuantitas. Koramil selaku Komando Kewilayahan terdepan, umumnya belum mempunyai sarana yang mencukupisebagai penunjang dalam melaksanakan kegiatan di lapangan. Sarana dan Prasarana yang lebih komplit biasanya hanya di markas Kodim dan Koramil-Koramil kota, sedang Koramil-Koramil pedalaman sarana yang dimilikinya sangat terbatas. Kondisi demikian sangat tidak menguntungkan bagi Komando Kewilayahan dalam menyelenggarakan Binter karena bisa saja terjadi penyimpanganpenyimpangan di lapangan, dan dari segi pembinaan SDM bagi aparat Komando Kewilayahan tidak akan profesional. Keterpaduan dalam pelaksanaan kegiatan TNI dengan Pemerintah daerah belum maksimal, karena kerjasama dan koordinasi yang dilakukan antara TNI dengan pemerintah daerah dan instansi sektoral dalam penyelenggaraan pengamanan pupuk bersubsidi ini belum optimal. Hal ini tampak dari munculnya permasalahan- permasalahan sebagai berikut : a. Kerjasama antara Pemerintah dengan TNI belum terlaksana dengan baik, karena masih adanya keragu-raguan dalam mengambil keputusan, akibat dari belum adanya kebijakan yang mengatur secara jelas dan rinci tentang batas-batas kewenangan masing-masing.. b. Penentuan obyek yang akan dijadikan sasaran di lapangan belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh TNI. c. Pelaksanaan koordinasi dalam penyusunan data rencana kebutuhan pupuk petani/kelompok tani melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
(RDKK) antara pemerintah daerah dengan Satuan Komando Kewilayahan belum berjalan dengan baik yang mana penyusunan data rencana kebutuhan pupuk petani/kelompok tani melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) belum terkoordinasi akan menyulitkan kedua belah pihak. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH Faktor Internal a. Kekuatan 1) Kowil jajaran TNI AD dari tingkat Kodam sampai dengan Babinsa telah tergelar sampai ke pelosok daerah memungkinkan bagi setiap aparat Kowil untuk lebih mengenal daerahnya masing-masing dan dapat memantau terhadap segala kebutuhan daerah yang bersangkutan, sehingga bila ditemukan adanya kekurangan maka dapat dijadikan sebagai salah satu obyek penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi. 2) Tingkat pengalaman aparat Kowil dalam penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi sudah cukup memadai, mengingat setiap satuan Kowil telah menyusun dan melaksanakan kegiatan Program Bakti TNI secara terencana dan menjadi rutinitas memungkinkan setiap aparat untuk mengetahui berbagai hambatan yang sering dihadapi dalam penyelenggaraan Bakti TNI dalam hal ini adalah penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi, sehingga kegiatan evaluasi guna perbaikan penyelenggaraan dapat dilaksanakan secara optimal sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. 3) Daya gerak yang ditopang dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi dan kondisi fisik yang prima dari aparat Kowil hasil binaan dari latihan yang dilaksanakan secara teratur di satuan merupakan kekuatan yang harus dapat diberdayakan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan keberhasilan penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi.
ISSN: 2355-8466
4) Penyusunan program kerja satuan Kowil didasarkan pada sistem ―bottom up planning‖, dimana Komando atas menyerap kebutuhan satuan yang ada di bawahnya merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan oleh Kowil untuk menyusun program kegiatan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi guna mendapatkan persetujuan dari komando atas sehingga dapat memperlancar penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi yang akan dilaksanakan Kowil. b. Kelemahan 1) Sikap dan perilaku oknum aparat Kowil yang masih belum sepenuhnya mencerminkan jati dirinya sebagai prajurit TNI, karena masih timbul adanya arogansi aparat yang cenderung menimbulkan sikap antipati dari sebagian masyarakat terhadap TNI sehingga berpengaruh pada dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi. 2) Alat peralatan yang dimiliki oleh satuan Kowil sebagai alat penunjang penyelenggaraan Bakti TNI sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas berakibat pada kegiatan dilaksanakan seadanya dan dalam kondisi serba kekurangan berpengaruh pada pencapaian sasaran kegiatan Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi yang tidak maksimal. Faktor Eksternal a. Peluang 1) Tugas-tugas TNI dalam OMSP sesuai dengan UU RI No.34 tahun 2004 tentang TNI diantaranya adalah menyelenggarakan pemberdayaan wilayah pertahanan yang salah satu penjabarannya dilaksanakan ke dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan Bakti TNI, maka program Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi memiliki payung hukum yang jelas sehingga tidak akan menimbulkan resistensi di tengah-tengah masyarakat.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
2) Guna menghadapi kompleksitas permasalahan dan intensitas penugasan yang sangat tinggi dihadapkan kepada keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi, maka unsur pimpinan TNI AD telah menentukan prioritas sasaran dimana untuk Pengamanan Pendistribusian pupuk bersubsidi memungkinkan bagi Satuan Kowil untuk mendapatkan dukungan Komando atas terhadap setiap program yang akan digelar di daerahnya. 3) Penerimaan masyarakat dan instansi sektoral lainnya yang terkait di daerah terhadap hasil-hasil kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi cukup besar dan telah dirasakan manfaat sepenuhnya bagi rakyat, memungkinkan bagi aparat Kowil untuk mendapatkan bantuan baik tenaga, dana maupun alat peralatan yang dibutuhkan untuk memperlancar penyelenggaraan pendistribusian pupuk bersubsidi yang dilaksanakan Kowil. 4) Besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki setiap daerah terutama kekayaan alamnya merupakan peluang yang besar untuk dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dan swasembada pangan dalam rangka memperlancarpenyelenggaraan pendistribusian pupuk bersubsidi , sehingga pemberdayaan wilayah pertahanan pada aspek sumber kekayaan alam dalam hal ini pertanian dapat tercapai optimal. c. Kendala 1) Sosialisasi kebijakan pemerintah yang menyangkut dukungan anggaran bagi kegiatan pendistribusian pupuk bersubsidi belum dilaksanakan secara menyeluruh sampai pada tingkat daerah Kabupaten, sehingga sering timbul adanya kesalahfahaman antara satuan Kowil yang akan melaksanakan pendistribusian pupuk bersubsidi di daerah dengan instansi pemerintah di daerah yang berpengaruh pada kelancaran proses perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan pendistribusian pupuk bersubsidi.
ISSN: 2355-8466
2) Kemampuan daya dukung daerah baik berupa dana, alat peralatan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya tidak sama, sehingga berpengaruh pada pemenuhan dukungan alat peralatan dan sarana penunjang kegiatan pendistribusian pupuk bersubsidi lainnya. 3) Belum sinkronnya program Binter yang disusun oleh Kowil dengan program Pemda terutama menyangkut penyelenggaraan pendistribusian pupuk bersubsidi sebagai akibat koordinasi yang belum terpadu antara Pemda dengan Kowil berdampak pada operasionalisasi kegiatan di lapanganan menjadi tumpang tindih, sehingga kegiatan yang dilaksanakan tidak optimal. Optimalisasi Peran Binter dalam Mengamankan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi merupakan suatu upaya yang dilakukan secara terus menerus oleh TNI – AD dan segenap komponen bangsa lainnya, agar Swasembada pangan dapat terwujud. Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi sebagai salah satu metode Pembinaan Teritorial merupakan sarana yang efektif untuk mendukung tugas pemberdayaan wilayah pertahanan darat, sehingga penyelenggaraannya perlu lebih dioptimalkan. Oleh karena itu guna terwujudnya optimalisasi penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dapat mendukung pelaksanaan tugas pokok TNI AD dalam rangka pemberdayaan wilayah pertahanan darat di masa yang akan datang maupun swasembada pangan, perlu dirumuskan berbagai upaya dan langkahlangkah pengembangan yang menyangkut peningkatan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam setiap tahapan, seperti peningkatan sarana dan prasarana serta peningkatan keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Bakti TNI dengan Pemerintah dan instansi sektoral tlainnya melalui kerjasama lintas sektoral TNI dengan Kementrian/Non Kementrian. Tujuan yang hendak dicapai dalam perumusan optimalisasi penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi ini adalah sebagai berikut : a. Mewujudkan kegiatan pada setiap tahapan dalam menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam rangka mewujudkan swasembada pangan. b. Menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi secara optimal sehingga dapat mendukung pelaksanaan tugas pemberdayaan wilayah pertahanan darat di daerah. c. Mewujudkan suatu keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan Pemerintah dan instansi sektoral lainnya. Berdasarkan tujuan tersebut di atas, sasaran yang ingin dicapai adalah : a. Terwujudnya pelaksanaan setiap tahapan yang baik dan optimal dalam menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam rangka mewujudkan swasembada pangan. b. Terselenggaranya tahapan-tahapan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi secara optimal sehingga dapat mendukung swasembada pangan di daerah. c. Terwujudnya kerjasama lintas sektoral TNI dengan Pemerintah daerah dan dengan Kementrian/Non Kementrian sehingga dapat menjamin adanya keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. Subyek. a. Kasad 1) Mengeluarkan kebijakan program pembangunan dan pembinaan bagi Satuan Kowil dalam rangka
ISSN: 2355-8466
peningkatan profesionalisme Aparat Kowil. 2) Menyusun program pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang ditujukan untuk memperkokoh kemanunggalan TNI-Rakyat serta terwujudnya swasembada pangan. b. Pangdam Dalam Pengembangan rencana operasi pertahanan (Renopshan) Kodam, maka Pangdam memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : 1) Bertanggung jawab terhadap perencanaan dan penentuan terhadap kebijaksanaan menyangkut penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi di wilayahnya. 2) Mengadakan kerjasama dengan instansi terkait di tingkat Provinsi sehingga mempunyai kesamaan pola pikir dan pola tindak dalam melaksanakan kegiatan di lapangan. 3) Mengkoordinasikan dengan pejabat Muspida dan instansi terkait serta tokoh masyarakat di tingkat propinsi agar dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 4) Mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan di wilayah sehingga tetap berada dalam koridor yang telah ditentukan. c. Danrem 1) Danrem dalam menyusun Rencana pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi berdasarkan Rencana dan Program Kodam sebagai Konsep dasar bagi penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 2) Danrem membantu Pangdam dan sebagai perantara dalam mengkoordinasikan dengan pejabat Muspida dan instansi terkait serta tokoh masyarakat di tingkat propinsi dengan pejabat Muspida dan instansi terkait serta tokoh masyarakat di tingkat kabupaten yang ada di wilayahnya agar dapat mendukung kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
3) Menghimpun, mengklasifikasi data geografi, demografi, kondisi sosial dari tiap – tiap Kodim terkait pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 4) Mensinergikan kekuatan dan kemampuan yang ada dari Kodim jajarannya meliputi personel dan materiil sehingga mampu diberdayagunakan untuk penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. d. Dandim. Dandim merupakan Komandan satuan kewilayahan yang bertanggung jawab secara langsung dalam membina dan meningkatkan kepampuan prajuritnya agar dapat melaksanakan tugasnya termasuk dalam menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam rangka mewujudkan swasembada pangan. 1) Mengkoordinasikan dengan pejabat Muspida dan instansi terkait serta tokoh masyarakat secara terus menerus di tingkat kabupaten dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 2) Menyiapkan, melatih dan meningkatkan kemampuan anggotanya agar siap ditugaskan untuk menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 3) Menyiapkan perlengkapan dan materiil yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 4) Merencanakan, menyusun, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi untuk menyiapkan daya tangkal dan kemampuan perlawanan wilayah serta meningkatkan kemanunggalan antara TNI-Rakyat. 5) Membuat laporan secara periodik setiap bulan, triwulan, semestar dan tahunan kepada Danrem. Obyek. a. Personel. Aparat Kowil sebagai Sumber daya manusianya yang senantiasa harus meningkatkan
ISSN: 2355-8466
keterampilan maupun pengetahuannya di bidang teritorial, sehingga dapat memadukan kegiatan Binter dan melaksanakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi secara optimal. b. Materiil. Sebagai komponen pendukung baik alat komunikasi, alat peralatan maupun kendaraan yang perlu senantiasa ada untuk mendukung penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang dilaksanakan Kowil. Metoda. a. Koordinasi. Koordinasi merupakan metoda yang digunakan untuk menjamin terwujudnya suatu kerjasama dan kesamaan visi dan persepsi sehingga tercapai suatu sinergi yang positif dari masing-masing instansi terkait baik TNI maupun instansi lintas sektoral dalam penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. b. Pengawasan dan Evaluasi. Pengawasan dan evaluasi merupakan metoda yang digunakan untuk menjamin bahwa kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang diselenggarakan oleh Kowil sesuai dengan perencanaan yang telah tersusun, serta melalui evaluasi dapat menjamin adanya perbaikan dan penyempurnaan dalam menyelenggarakan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. c. Pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi Aparat Kowil melalui pembekalan ilmu pengetahuan bidang teritorial sehingga dapat mendukung terselenggaranya kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. d. Latihan. Latihan merupakan metoda untuk meningkatkan keterampilan aparat Kowil yang dilaksanakan secara berjenjang, bertahap dan berkesinambungan di satuan sehingga memiliki kesiapan operasional yang tinggi dalam melaksanakan tugas pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
e. Regulasi. Regulasi ini berkaitan dengan upaya melakukan penataan terhadap piranti lunak baik berupa aturan/tatanan hukum seperti perUndang-Undangan maupun buku-buku petunjuk dan Protap yang diperlukan oleh Kodim untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. Sarana dan Prasarana. a. Sarana. 1) Piranti lunak yang berisikan doktrin, peraturan, prosedur tetap, buku petunjuk dan buku lainnya yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 2) Alat Peralatan. Alat peralatan seperti Alat Komunikasi yang dapat digunakan baik milik organik TNI, Pemda, swasta dan milik masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan dan koordinasi dalam pelaksanaan dan pelaporan sehingga kegiatan dapat berjalan lancar, serta Alat Angkutan dan alat peralatan lainnya untuk mendukung kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. 3) Anggaran berupa pemenuhan alokasi dana dari Komando atas untuk memenuhi kebutuhan alat peralatan yang diperlukan dalam operasionalisasi kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dalam rangka pemberdayaan wilayah pertahanan darat yang dilaksanakan oleh Satuan Kowil. b. Prasarana 1) Bangunan perkantoran berupa kantor Kodim, Koramil dan kantor Pemda serta kantor instansi terkait. Upaya yang Dilaksanakan a. Optimalisasi Penyelenggaraan Pengamanana pendistribusian pupuk bersubsidi. Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi sebagai salah satu metode Binter dilaksanakan secara terus menerus guna terwujudnya Kemanunggalan TNI – Rakyat serta swasembada pangan. Agar penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dapat
ISSN: 2355-8466
berjalan dengan baik dan lancar, maka dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada kegiatan pentahapan yang diawali dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir. 1) Tahap Perencanaan. a) Pada tahapan pemilihan sasaran dalam kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang digabungkan dan dikembangkan dengan Program Kementrian/Non Kementrian, rencana anggaran dirumuskan secara terpadu dengan unsur-unsur yang terkait serta mempertimbangkan keinginan dan kepentingan masyarakat. b) Pada tingkat Pusat, melakukan koordinasi dengan Kementrian/Non Kementrian dalam menyusun perencanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, agar programprogran Kementrian/Non Kementrian yang dapat dipadukan dengan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi untuk satu tahun ke depan dapat diprogramkan dimasing-masing Kementrian/Non Kementrian. 2) Tahap Persiapan. Tahap persiapan dilaksanakan 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan kegiatan. a) Rapat Koordinasi Teknis tingkat Pusat. Dandim yang daerahnya ditetapkan menjadi obyek sasaran pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan mengadakan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) di tingkat Pusat dalam rangka membahas rencana kegiatan sasaran secara terpadu bersamasama dengan instansi terkait. b) Menyiapkan Personel yang terlibat dalam Satuan Tugas. Dandim menyusun personel yang terlibat dalam nominatif Satuan Tugas sesuai kemampuan satuan, instansi dan bidang tugas. c) Tahap Pelaksanaan. Pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang selama ini telah dilaksanakan pada akhirnya menjadikan rutinitas biasa dan JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
belum menampakkan hasil yang signifikan. d) Tahap Akhir. Untuk dapat menjamin kesempurnaan pelaksanaan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi perlu dilaksanakan tahap purna manunggal dengan kegiatan pembuatan laporan, evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pemeliharaan hasil kegiatan. b. Penyusunan dan revisi Aturan/tatanan hukum tentang penyelenggaraan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. Untuk memberikan pemahaman kepada aparat Kowil tentang aturan-aturan perundangundangan seperti Undang-Undang Dasar 1945 pasal 30 tentang kewajiban bela negara bagi seluruh warga negara Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, maka perlu diadakan kegiatan pengadaan buku-buku petunjuk lapangan dan teknis pelaksanaan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi. c. Peningkatan Keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan Pemerintah. Agar kerjasama antara Pemerintah dengan TNI dapat terlaksana dengan baik, serta didukung oleh adanya kebijakan atau sarana dan aturan yang mengatur secara jelas dan rinci tentang batas-batas kewenangan masing-masing sehinggga keragu-raguan dalam mengambil keputusan dapat teratasi. PENUTUP Kesimpulan a. Kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi merupakan salah satu metode yang dinilai efektif untuk mewujudkan kemanunggalan TNI dengan Rakyat, serta dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Namun dalam implementasinya karena pelaksanaan setiap tahapan pada kegiatan
ISSN: 2355-8466
pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi belum dilaksanakan secara, piranti lunak belum lengkap, serta Keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan pemerintah daerah belum maksimal. b. Agar penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi mampu mencapai hasil yang optimal maka perlu ditempuh langkah optimalisasi dengan meningkatkan kegiatan pada setiap tahapan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, latihan dan penataran, penyamaan visi dan misi tentang penyelenggaraan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi, serta peningkatan kerjasama antara aparat Kowil dengan pemerintah daerah serta instansi terkait lainnya dengan harapan melalui pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi dapat mencapai sasaran yang telah disusun yakni terwujudnya kemanunggalan TNI dengan rakyat serta swasembada pangan c. Dengan adanya upaya ke arah yang lebih baik dengan berbagai langkah yang disesuaikan dengan aturan dan norma yang diberlakukan, baik terhadap peran dan fungsi dari Kowil itu sendiri melalui penyamaan visi, misi dan persepsi, maupun kinerja Aparat Kowil melalui peningkatan lima kemampuan teritorial serta kegiatan pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi yang dilaksanakan pada intinya adalah untuk merebut hati rakyat dengan bersikap dan berperilaku baik terhadap rakyat sehingga timbul simpati rakyat terhadap TNI sehingga mendorong terwujudnya Kemanunggalan TNIRakyat serta terwujudnya swasembada pangan.
cermat sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapakan. b. Perlu adanya kegiatan pendidikan, latihan dan penataran yang dilaksanakan di satuan untuk membekali pengetahuan dan keterampilan bagi aparat Kowil yang menyangkut materi pengamana pendistribusian pupuk bersubsidi. DAFTAR PUSTAKA Buku Petunjuk Induk tentang Binter Nomor Skep/98/V/2007. Kementerian Pertanian RI. 2004. Perencanaan Program Ketahanan Pangan di Indonesia. www.kompas.com. Di akses, 12 November 2014. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/MDAG/ PER/2/2009 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Berubsidi untuk sektor Pertanian. Undang-undang RI No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-undang RI No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Yandianto, Drs. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia, penerbit M2S Bandung.
Saran a. Perlu adanya peningkatan kegiatan pada setiap tahapan pada pengamanan pendistribusian pupuk bersubsidi sehingga tersusun dengan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (SIAK) (Studi pada Pemerintah Kabupaten Tuban) Niken Lastiti Veri Anggaini Dosen Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Abstract Information System of Population Administration (SIAK) is a system for the collection, processing and presentation of Population Data accurately in order to produce proper population information for development and public services It consits of Population Registration and Civil Registration by using Information Technology. This study aimed to describe and analyze the optimalization of local government role in the implementation of SIAK and the factors that influence the role optimalization. The method used is qualitative method by applying some steps in collecting the data, such as observation, documentation, and conducting some interviews to the field informant, which is obtained through Key Informant. The result of the research showed that thera are three way to opimalize role of local government in implementation SIAK, thai is Empowerment the management officer SIAK, the provision of data recording place on population and development population data base. The influence factors consits of the population itself, human resource capacity, and infrastructure. Keyword: population, information system of population administration, e-government PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini berimbas pada kompleksitas masalah kependudukan sehingga perlu adanya manajemen yang terpadu dalam mengatasi permasalahan tersebut. Informasi tentang jumlah penduduk serta komposisi penduduk menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, tempat tinggal dan pekerjaan merupakan hal yang penting untuk diketahui terutama dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan umum serta pengembangan perencanaan pembangunan manusia baik secara ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Pada awal tahun 2009, berdasarkan hasil survey United Nations (World Population Prospect: The 2008 Revision), jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 230,2 juta jiwa sehingga
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
menempatkan Indonesia ke peringkat 4 (empat) negara berpenduduk terbesar di dunia setelah China (1.346 juta jiwa), India (1.198 juta jiwa) dan Amerika (315 juta jiwa). Permasalahan kependudukan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah pengadministrasian kependudukan. Hingga saat ini di Indonesia banyak sekali muncul berbagai permasalahan yang menyangkut pengadministrasian kependudukan antara lain sistem pendaftaran dan pencatatan penduduk belum tertata dengan baik, sehingga berakibat munculnya identitas penduduk ganda (KTP/KK), perpindahan penduduk yang tidak tercatat, penduduk yang tidak terdata dan tidak memiliki identitas kependudukan, anak-anak tidak memiliki akta kelahiran, daftar pemilih yang tidak valid dalam Pemilihan Umum (PEMILU) yang sering menimbulkan kontroversi, permasalahan
ISSN: 2355-8466
dan sumber dari pertikaian politik dalam Pemilihan Legislatif (PILEG), Pemilihan Presiden (PILPRES) maupun Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Administrasi kependudukan meliputi pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil diterapkan dengan menggunakan teknologi informasi (TI), dimana teknologi informasi merupakan salah satu unsur dari e-Government yang pada saat ini sangat diperlukan. Pemerintah berupaya untuk melakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja dalam meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Pengembangan e-Government di Indonesia terus bergulir dan berjalan sejak di keluarkannya Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E- Government yang esensinya adalah sebagai berikut : ― pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan egovernment dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi (Inpres No. 3 Tahun 2003). Kini disetiap lembaga pemerintah, baik itu di pusat maupun di daerah, diwajibkan menyusun konsep dan rencana penerapannya dan pada tahun 2011, target pengembangan sistem kependudukan melalui SIAK sudah bisa tercapai. Hal ini tentu terobosan yang sangat baik dan sangat didukung karena dengan diterapkan e-Government tersebut berarti membangun upaya untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Disamping itu, dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat tentunya membawa perubahan dari sistem kerja yang konvensional menuju JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
era digital. Perubahan ini sedikit banyak merubah cara pandang setiap orang/penduduk dalam melakukan berbagai kegiatan terhadap instansi pemerintah. Salah satu pendorong penerapan e-Government adalah untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitannya dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) bahwa pada saat ini begitu banyak data kependudukan yang dikelola dan perlunya penyampaian informasi yang cepat dalam kegiatan pelayanan administrasi kependudukan menjadikan teknologi Informasi sebagai pengembangan sistem yang dianggap solusi yang tepat dan tidak dapat dihindari dalam pengelolaan data kependudukan. Penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan urusan Administrasi Kependudukan yang berupa program komputerisasi menjadi syarat yang tidak dapat dihindari untuk terciptanya tertib administrasi kependudukan dan pembangunan NIK tunggal bagi setiap penduduk. Dukungan aplikasi SIAK/program komputer sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas sehari-hari Instansi Pelaksana dalam pelayanan penerbitan dokumen kependudukan. Revolusi teknologi informasi secara garis besar merubah karakteristik interaksi antara pemerintah dengan warga negara hal ini mendasari pernyataan Mofleh & Wanous (2008, h.11) bahwa: ―The last decade witnessed a revolution in Information and Communication Technologies (ICT). This revolution has not only changed the daily life of people but also the characteristics of the interaction between governments and citizens. Such changes, in turn, are quickly being transformed into new forms of government, namely, e-Government. Pada tahun 1990, Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara
ISSN: 2355-8466
Persatuan Eropa (EU) bersama beberapa negara lainnya menerapkan New Public Management (NPM) yang mengadopsi program-program e-government sebagaimana dinyatakan Mofleh & Wanous (2008, h.11-12): “By the early / mid 1990’s the USA, Australia, some European Union (EU) countries together with other countries who were applying New Public Management (NPM), have been early adopters of eGovernment programmes. By the year 2000, most of countries around the world including some developing counties followed the steps of the world most developed economies and deployed their national e-Government projects. EGovernment has become a global phenomenon, similar to many other innovations terms that have arisen during the nascent periods of the Internet age.‖ Konsep e-government diterapkan dengan tujuan bahwa hubungan pemerintah baik dengan masyarakatnya maupun dengan pelaku bisnis dapat berlangsung secara efisien, efektif dan ekonomis. Hal ini diperlukan mengingat dinamisnya gerak masyarakat pada saat ini, sehingga pemerintah harus dapat menyesuaikan fungsinya dalam negara, agar masyarakat dapat menikmati haknya dan menjalankan kewajibannya dengan aman, yang kesemuanya itu dapat dicapai dengan pembenahan sistem dari pemerintahan itu sendiri dan e-Government adalah salah satu solusinya. E-Government merupakan implementasi sistem informasi bagi pemerintahan yang memiliki peran strategis untuk pelaksanaan penyediaan layanan publik yang lebih efektif bagi pemerintahan di abad ke 21. Disamping itu, e-government sangat mendukung terhadap pengembangan teori dan administrasi publik, sebagaimana dikemukakan oleh Dawes, Blonairz, Kelly and Fletcher (1998, h.36)
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
“ E-government in public administration are administrative interface, i.e, people-computer interface in management digital administration, i.e., digital process or procedures and system in management, and virtual organization, i.e., government online system, etc. Studies of these issues will be more benefits for development of theories and practices of public administration in 21st century.“ Pernyataan Dawes, Blonairz, Kelly and Fletcher di atas lebih menekankan bahwa penerapan administrasi manajemen digital, procedure dengan proses digital, organisasi virtual, system pemerintahan yang langsung terhubung menjadi issue yang perlu diperhatikan karena akan memberikan dampak ke arah pengembangan teori dan implementasi administrasi pemerintahan di abad 21. Implementasi E-Government dirasa belum mencukupi upaya pelaksanaan layanan publik yang efektif bila diimplementasikan terpisah- pisah untuk masing-masing departemen ataupun bagian dalam pemerintahan. Namun E-Government yang ada dibangun berdasarkan prioritas kebutuhan. E-Government juga dibangun pada era teknologi berbeda. Pardo (2002,h.2), mengemukakan: “….that digital government isn’t about building a Web site, that it’s not about technologies, that it is about transforming government service delivery through the use of the technology, the better off we’ll all be.” Pernyataan Pardo di atas menekankan bahwa pemerintahan digital tidak hanya membangun sebuah jaringan, dan tidak hanya mengenai teknologi saja, akan tetapi lebih kepada penjelmaan pelayanan pemerintah melalui penggunaan teknologi dengan lebih baik. Membangun e-Government bukan saja membangun infrastruktur
ISSN: 2355-8466
komunikasi data dan informasi, tetapi juga berarti membangun infrastruktur sistem aplikasi, standardisasi meta data, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan prosedur, kebijakan dan peraturan. Pemerintah Indonesia pada saat ini menerapkan sistem administrasi kependudukan yang menggunakan sistem dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yaitu Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Administrasi kependudukan sendiri dalam kaitannya dengan administrasi publik merupakan sub sistem yang mempunyai peranan penting dalam administrasi pemerintahan khususnya di bidang kependudukan. Administrasi publik dalam konteks administrasi kependudukan dapat berperan positif dalam mengawal proses pengembangan system administrasi kependudukan sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan “to do the right things” dan “to do the things right”. Dengan kata yang berbeda bahwa administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan dari pada proses itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan administrasi kependudukan yang efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara. Administrasi kependudukan yang didalamnya dibangun SIAK merupakan sebuah terobosan sistem informasi untuk mendukung proses administrasi kependudukan yang meliputi pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Dengan adanya sistem ini akan terwujud database kependudukan nasional secara bertahap. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang pemberlakuannya diawali dengan Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2004 tentang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
dasarnya merupakan pengembangan sistem dari penerapan administrasi kependudukan yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 2 A Tahun 1995 Tentang Prosedur Dan Tatacara Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK). Dengan penerapan program SIAK ini, maka daerah-daerah diwajibkan untuk segera mengimplementasikan SIAK di daerah masing-masing. Pemerintah Kabupaten Tuban dalam salah satu kegiatannya mengimplementasikan SIAK dengan tujuan menciptakan tertib dokumen kependudukan dengan mengakselerasi pembuatan akta catatan sipil melalui koordinasi antara Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil dengan pihak Kecamatan, UPTD, Desa/Kelurahan, Bidan Desa dan Dinas Pendidikan untuk menggalakkan penerbitan akta kelahiran massal dan gratis bagi anak-anak yang berusia sekolah tetapi belum memiliki Akta kelahiran. (Majalah AKBAR, No.140, Desember 2009). Implementasi SIAK di Kabupaten Tuban telah dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2007 dengan pengalokasian sarana prasarana baik perangkat keras dan lunak bagi 20 (dua puluh) kecamatan se-Kabupaten Tuban untuk mendukung SIAK ini. Akan tetapi aspek legalitas berupa Peraturan Daerah yang mengatur kependudukan baru terbit pada awal tahun 2009 yakni dengan diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 01 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Pemerintah Kabupaten Tuban melalui peraturan tersebut menunjuk Instansi Pelaksana yang bertugas melaksanakan penatausahaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yaitu : Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil, Kecamatan dan Kelurahan/Desa sesuai kewenangannya. Instansi pelaksana dimaksud bertugas melakukan administrasi dan pengelolaan
ISSN: 2355-8466
dokumen kependudukan di wilayah Kabupaten Tuban Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, harus mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/responsive), serta globalcosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global); penerapan prinsip pelayanan prima: metode dan prosedur pelayanan, produk dan jasa pelayanan, mantapnya peraturan perundangan, penetapan standar pelayanan, indeks kepuasan masyarakat, standar pelayanan minimal, pengembangan model dan penanganan keluhan masyarakat/pengguna jasa secara terorganisasi, serta partisipasi masyarakat; proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi administrasi perkantoran: elektronis di setiap instansi pemerintah serta penerapan dan pengembangan egovernment; publikasi secara terbuka prosedur, biaya dan waktu pelayanan; dan peran serta masyarakat dengan adanya kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Harapan dari setiap anggota masyarakat atas pelayanan publik yang baik seringkali terkendala ketidak-siapan personil. Sebagaimana keluhan umum masyarakat: Personil yang melayani dan pendukungnya tidak profesional, tidak mengerti apa yang harus dilakukan; tidak melayani tapi bersikap sebagai “penguasa”. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang Implementasi Sistem
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang akan dituangkan dalam Tesis dengan judul : ―Optimalisasi Peran Pemerintah daerah dalam mendukung Pelaksanaan SIAK di Kabupaten Tuban).” 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasikan pokok permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah upaya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan SIAK di Kabupaten Tuban dan faktor-faktor yang mempengaruhinya? 3. Tujuan Penelitian. 1. Untuk menganalisis upaya peningkatan peran pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan SIAK di Kabupaten Tuban dalam kerangka penataan Administrasi Kependudukan? 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi peran pemerintahan desa dalam pelaksanaan SIAK di Kabupaten Tuban? KAJIAN PUSTAKA Administrasi Kependudukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996, h.8): ― Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang meliputi tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi; usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan; Kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan pemerintah; kegiatan kantor dan tata usaha. Administrasi merupakan perkembangan ilmu politik sebagaimana Sedangkan administrasi sebagai ilmu adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji tentang proses bagaimana orang atau orang-orang merumuskan kebijakan dalam menentukan sarana pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dan mengarahkan orang atau orang-orang atau anggota organisasi
ISSN: 2355-8466
dalam melaksanakan kebijakan tersebut guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan para politisi tersebut , sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang berlaku. Akan tetapi administrasi public sebagai ilmu dipandang normative. Hal ini sebagaimana pandangan yang dikemukakan Simon (1996, h.6) terkait administrasi public sebagai ilmu bahwa: “…… that public administrators were not should not be and could not be policy-neutral, though their commitments to policy should be tempered by strong professional standards.” Jadi pada dasarnya Simon berpendapat bahwa untuk mencapai sebuah tujuan, seorang administrator public akan menjalankan berbagai langkah yang tentunya diambil dari beberapa unsur yang berpengaruh dalam mencapai tujuan. Tentunya kebijakan tersebut tidak bisa menuju di satu kepentingan, akan tetapi langkah yang diambil merupakan pertimbangan yang tepat dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Kependudukan (Demografi) Istilah Kependudukan sering disamakan dengan Demografi keduaduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang penduduk dan mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, hanya titik beratnya yang berbeda. Istilah Demografi berasal dari Bahasa Yunani yaitu ―demos‖ yang artinya rakyat dan ―graphein‖ yang artinya menggambarkan atau melukiskan. Demografi adalah suatu
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
studi statistik dan matematik tentang jumlah, komposisi dan perbedaan penduduk, serta perubahan faktor-faktor ini setelah melewati kurun waktu yang disebabkan oleh lima proses, yaitu : fertilisasi, mortalitas, perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial. Dari demografi tersebut maka secara umum yang dipelajari adalah : 1. Keadaan penduduk, yaitu tentang jumlah penduduk, pertambahan penduduk, penyebaran penduduk, kepadatan penduduk, serta susunan penduduk. 2. Statistik vital penduduk yaitu keadaan kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian. 3. Migrasi yaitu perpindahan penduduk secara geografis atau horizontal. Sedangkan kependudukan memiliki lingkup yang lebih luas sebagaimana dikemukakan oleh N. Daldjoeni (1987) bahwa kependudukan berusaha untuk menjawab pertanyaan ―mengapa‖ perubahan-perubahan demografi itu terjadi yang selalu memperhitungkan faktor-faktor diluar faktor demografis. Adapun faktor-faktor diluar demografis antara lain : ekonomi, politik, budaya, antropologi, sosiologi, psikologi. Sebagai contoh perubahan komposisi penduduk bukan saja dikaitkan dengan tingkat vertilisasi dan mortalitas, akan tetapi juga dikaitkan faktor-faktor lain seperti halnya ekonomi, sosial dan budaya. Kependudukan merupakan penghubungan antar penduduk dan sistem sosial dengan harapan dapat memecahkan pertanyaan dasar dalam mencapai tujuan akhir.
ISSN: 2355-8466
Adapun penjelasan N. Daldjoeni (1987) di atas dapat dilihat sebagaimana gambar 1 berikut
Gambar 1. Variabel Demografi
Dalam hal definisi Kependudukan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996, h.245), adalah hal-hal/sifat-sifat sebagai penduduk; urusan mengenai penduduk.‖ Kependudukan juga merupakan ilmu sebagaimana dikemukakan Donald J Boque (1988) dimana kependudukan dari segi Ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang mempelajari secara statistik & mathematik tentang besar, komposisi, distribusi penduduk dan perubahanperubahan nya sepanjang masa melalui bekerjanya 5 (lima) komponen demografi yaitu: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial. Sedangkan kependudukan ditinjau dari segi masyarakat sebagai individu sebagaimana dikemukakan McGovney (1991, h.243) bahwa : “a person is a national of the state in which he has the status of nationality.” Kependudukan juga menyoroti aspek jumlah, persebaran penduduksebagaimana dikemukakan Houser dan Duncan (1959), bahwa kependudukan juga mempelajari ttg jumlah, persebaran teritorial dan komposisi penduduk serta perubahan perubahannya dan sebab sebab perubahan tersebut.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Tujuan Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan 1. memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen Penduduk untuk setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk; 2. memberikan perlindungan status hak sipil Penduduk; 3. menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya; 4. mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan 5. menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Sistem Informasi Sistem informasi pada dasarnya merupakan sekumpulan komponen dari informasi yang saling terintegrasi yang dimanajemen secara tertata untuk
ISSN: 2355-8466
mencapai tujuan yang spesifik. Komponen yang dimaksud adalah komponen input, model, output, teknologi, basis data (data base), kontrol maupun komponen pengendali. Disamping itu, sistem informasi juga merupakan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan suatu informasi dalam suatu bidang tertentu. Dalam hal ini keterkaitan komponen pembentuk system menghasilkan informasi berupa data kependudukan. Informasi sendiri memiliki beberapa pengertian diantaranya : Informasi yang telah diolah menjadi bentuk yang berguna bagi penerimanya sebagaimana didefinisikan Davis (1998) bahwa informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang berarti bagi penerimanya dan berguna untuk pengambilan keputusan saat ini atau di DATA
masa mendatang. Informasi juga dapat meningkatkan pengetahuan bagi penerimanya sebagaimana dikemukakan McFadden (1998) mendefinisikan ―informasi‖ sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang mengunakannya. Informasi juga mampu meningkatkan tingkat kepastian sebagaimana dikemukakan Kroenke (1992) yang mendefinisikan ―Informasi‖ adalah jumlah ketidakpastian yang dikurangi ketika sebuah pesan diterima. Artinya, dengan adanya informasi, tingkat kepastian menjadi meningkat. Definisi menurut Davis, Mc.Fadden (1998) dan Kroenke (1992) pada dasarnya menitik beratkan kepada informasi yang didapatkan dari pengolahan/pemrosesan data, sehingga dapat digambarkan sebagaimana gambar berikut: INFORMATION
PROCESS Gambar 2. Pengolahan Data Informasi
Informasi merupakan sumber data yang mahal harganya, semakin berkualitas suatu informasi maka semakin mahal harganya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kualitas informasi adalah aksesibilitas, kelengkapan, ketelitian, relevansi, ketepatan waktu, kejelasan dan fleksibilitas. Untuk mendapatkan informasi yang berkualitas tidak terlepas bagaimana mengelola informasi tersebut dan terkait dari apa yang disebut manajemen informasi, yaitu segala aktivitas untuk memperoleh informasi, meggunakannya seefektif mungkin dan membuangnya di saat yang tepat. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) adalah suatu sistem pengumpulan, pengolahan dan penyajian data penduduk yang cepat dan akurat agar menghasilkan informasi kependudukan yang tepat guna untuk
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
membantu pemerintahan dalam pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) meliputi Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, diterapkan dengan menggunakan teknologi Informasi. Teknologi informasi merupakan salah satu unsur dari e-Government yang pada saat ini sangat diperlukan dalam mengoptimalkan peran Pemerintah Indonesia dalam memberikan pelayanan pelayanan serta menjamin hak-hak penduduk warga negara Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah berupaya untuk melakukan pengembangan sistem pendaftaran dan pencatatan penduduk dengan menerapkan SIAK. Tujuan Penerapan SIAK adalah terciptanya suatu pola yang berlaku secara nasional tentang sistem pengumpulan, pengolahan dan penyajian data kependudukan yang secara langsung dapat menghasilkan informasi
ISSN: 2355-8466
kependudukan secara cepat dan akurat serta tepat guna terutama bagi instansi terkait dan masyarakat serta untuk mengatasi upaya pemalsuan dokumendokumen kependudukan dan kewarganegaraan. Sedangkan sasaran penerapan SAIK adalah Terciptanya sistem pendaftaran penduduk dan jaringan informasi kependudukan yang akurat, tepat waktu dan mutakhir di setiap dan antara daerah (Kabupaten/ Kota) dan daerah Provinsi untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyakatan secara berdaya guna dan berhasil guna yang diakibatkan oleh terciptanya kebijaksanaan yang mantap. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan menganalisa kepemimpinan camat dalam memberdayakan pemerintah desa/ kelurahan. Dalam pandangan Strauss dan Corbin (1990), bahwa rumusan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: By the term qualitative research we mean any kind of research that produces finding not arrived at by means of statistical or other means quantifications. It can not only refer to research about persons lives, stories behavior, but also about organizational functioning, social movement or interactional relationship. Sedangkan menurut Moleong (1995:3 dan 6), metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lesan dan tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sedangkan yang dimaksud penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas dan mengkaji berbagai kondisi, situasi dan berbagai variable yang timbul di
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
masyarakat yang menjadi objek penelitian Lokasi penelitian dan situs penelitian adalah tempat dimana tempat dimana penelitian dilaksanakan dan dapat menangkap keadaan sebenarnya dari objek yang diamati. Lokasi dan situs penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kabupaten Tuban. Dalam rangka memperoleh data dan informasi yang akurat, maka teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan triangulasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan interactive model analysis yang dikembangkan oleh Miles and Huberman (2014) yang terdiri dari empat komponen yaitu data collection, data display, data condensation dan conclusión PEMBAHASAN 1. Upaya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan SIAK A. Pemberdayaan Petugas Pengelola SIAK Dalam kaitannya dengan administrasi kependudukan di Kabupaten Tuban, Pemerintah Kabupaten Tuban menerapkan strategi dan manajemen di bidang kependudukan yaitu: 1) Meningkatkan penataan tertib administrasi kependudukan dan catatan sipil di lingkup instansi pengelola data kependudukan yakni Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil, Kecamatan dan Desa; 2) Pengembangan Sistem Administrasi Kependudukan dengan pengimplementasian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), dengan prioritas : a. Pemutakhiran data kependudukan; b. Peningkatan kualitas SDM pengelola data administrasi kependudukan;
ISSN: 2355-8466
c. Tercukupinya sarana dan prasarana pendukung SIAK. d. Peningkatan mutu pelayanan administrasi kependudukan. Dalam kaitannya dengan administrasi kependudukan, Pemerintah Desa diberikan kewenangan untuk melaksanakan penatausahaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di wilayah masing-masing. Pemerintah Desa menyusun laporan penyelenggaraan administrasi kependudukan serta menyampaikan hasilnya kepada Camat secara reguler. Kewenangan dimaksud termaktub dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 01 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Disamping kewenangan tersebut Pemerintah Desa diberikan penugasan oleh Bupati Tuban untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan, disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Sebagian urusan administrasi kependudukan sebagaimana dimaksud meliputi : 1) Menerbitkan surat keterangan kelahiran untuk penduduk WNI; 2) Menerbitkan surat keterangan kematian untuk penduduk WNI; 3) Menerbitkan surat keterangan lahir mati untuk penduduk WNI; 4) Menerbitkan surat keterangan tempat tinggal untuk penduduk WNI; 5) Menerbitkan surat keterangan pindah datang penduduk WNI dalam satu desa/kelurahan; 6) Menerbitkan surat keterangan pindah datang penduduk WNI antar desa/kelurahan dalam satu kecamatan; Kewenangan tersebut termaktub dalam Peraturan Bupati Tuban Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Upaya pemberdayaan petugas pengelola SIAK di tingkat desa dilaksanakan dengan mengadakan kursus Pelatihan Petugas Registrasi Tingkat Desa/Kelurahan. JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Kursus dan pelatihan ini dikhususkan bagi petugas registrasi di tingkat desa. Petugas registrasi adalah petugas desa atau pegawai negeri sipil (PNS) kelurahan yang diangkat oleh Bupati Tuban untuk memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan peristiwa penting setiap pengelolaan dan penyajian data kependudukan di desa/kelurahan. Petugas registrasi ini pada dasarnya adalah untuk membantu Kepala Desa/ Kelurahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Petugas registrasi ini memiliki tugas pokok: a. Melakukan pendaftaran penduduk yang meliputi : pencatatan biodata penduduk, pencatatan KK, membuat surat keterangan kependudukan; b. Melakukan pencatatan sipil yang meliputi : pencatatan kelahiran, kematian, lahir mati, perceraian, perkawinan, perubahan nama, pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak; c. Melakukan pencatatan perubahan status kewarganegaraan; d. Melakukan pencatatan peristiwa penting lainnya yang dialami penduduk; e. Membuat laporan rutin penduduk secara periodik kepada Kepala Dinsos, Nakerduk dan Capil Kabupaten Tuban melalui Camat. f. Pelaksanaan kursus dan pelatihan bagi petugas registrasi dilaksanakan secara terjadwal dan bergiliran di setiap kantor kecamatan se Kabupaten Tuban. Petugas Registrasi tingkat desa/kelurahan sebanyak 2 (dua) orang dan biasanya dijabat oleh Kasi Pemerintahan (Kelurahan) dan Kaur Umum dan Pemerintahan (Desa). Dan apabila Kasi Pemerintahan dan Kaur Umum / Pemerintahan tidak ada digantikan oleh PNS kelurahan atau perangkat desa yang memiliki kompetensi cukup dibidang pranata komputer dan petugas yang satunya diambilkan dari unsur perangkat desa lainnya yang dinilai oleh Kepala Desa/Kelurahan cakap dalam
ISSN: 2355-8466
melaksanakan tugas pengadministrasian kependudukan. Pelatihan diselenggarakan oleh Dinsos, Nakerduk dan Capil Kabupaten Tuban. Dalam konteks administrasi publik, aspek kedua dalam pengembangan organisasi publik dalam upaya peningkatan kinerja pelayanan adalah aspek pengembangan kompetensi. Hal ini dilakukan melalui berbagai program pelatihan, pemagangan. Kursus dan lain sebagainya. Yang menjadi pokok persoalan adalah penentuan program pelatihan apa, bagi siapa dan kapan dilaksanakannya harus menjadi perhatian para pengambil keputusan dalam pengembangan SDM organisasi. Dengan demikian, pelaksanaan pemberdayaan SDM pengelola SIAK di kabupaten Tuban pada dasarnya juga merujuk pada aspek pengembangan kompetensi dalam upaya peningkatan kinerja pelayanan publik. Meskipun dalam faktanya, belum terjadi pemerataan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan terkait pengembangan SIAK, khususnya bagi operator-operator SIAK di tingkat kecamatan dan kelurahan/ desa. Selain itu mereka juga belum dilibatkan dalam perancangan program pelatihan personil, baik yang bersifat teknis maupun manajerial. Padahal, dengan melibatkan para tenaga pengelola SIAK dalam perancangan program pelatihan, maka akan sangat membantu dalam pengadaan pelatihan yang relevan, sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Penyediaan dan pemberdayaan sumber daya manusia pengelola SIAK dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam rangka mencapai tujuan SIAK sesuai dengan target program, visi dan misi Kabupaten Tuban dalam kerangka penataan adiministrasi kependudukan. B. Penyediaan Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK) Salah satu sarana penunjang selain perangkat lunak (software) dan JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
perangkat keras (hardware), jaringan adalah adanya tempat perekaman data kependudukan (TPDK). Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK) merupakan tempat untuk melakukan perekaman data dan pengiriman input data ke Bank Data Kependudukan Nasional, yang didasarkan pada formulir input yang dihasilkan dari proses registrasi penduduk di tingkat kelurahan/desa, kecamatan maupun kabupaten untuk dapat dilakukan penerbitan dokumen penduduk. Adapun Kedudukan TPDK terdapat di Kelurahan/Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Di tingkat Kecamatan dan desa, penyediaan TPDK masih menggunakan salah satu ruangan kecamatan yang dialih fungsikan sebagai TPDK. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran. Sedangkan di Dinsos, Nakerduk dan Capil sudah dilakukan pembangunan TPDK secara mandiri, dengan mengalokasikan anggaran sejumlah Rp. 285.600.000,-(dua ratus delapan puluh lima juta enam ratus ribu rupiah). Pembangunan gedung beserta perlengkapan furniture, instalasi listrik, PDAM dan instalasi telepon melibatkan rekanan yaitu CV. Jasa Kencana. Pembangunan gedung beserta perlengkapannya dimulai pada tanggal 18 Agustus s/d 20 Oktober 2007. Sedangkan TPDK di kecamatankecamatan masih belum bisa dibangun disebabkan alokasi anggaran yang terbatas. Dalam konteks e-government, implementasi SIAK dikabupaten Tuban yang meliputi perangkat lunak dan keras, pemasangan jaringan dan penyediaan TPDK merujuk pada point pertama dan ketiga dari beberapa ide pokok yang dituangkan dalam pengelolaan proyek sistem informasi yang dikemukakan oleh Brotherton, Fried and Norman (2008, h.107) yaitu content development dan connectivity. Content development adalah menyangkut pengembangan aplikasi (perangkat lunak), pemilihan standar teknis, penggunaan bahasa
ISSN: 2355-8466
pemrograman, spesifikasi sistem basis data. Sedangkan connectivity adalah menyangkut ketersediaan infrastruktur komunikasi dan teknologi informasi yaitu lokasi dimana e-government akan diterapkan. Akan tetapi terkait operasionalisasi pemasangan jaringan terkait implementasi SIAK ini belum dilakukan secara menyeluruh di Kabupaten Tuban. Sampai saat ini dari 20 kecamatan yang telah dipasang jaringan, baru 5 (lima) kecamatan yang bisa di on-line kan. Hal ini terkait dengan alokasi anggaran yang di poskan untuk biaya pemasangan dan on-line jaringan SIAK. C. Pembangunan data base kependudukan Guna mendapatkan data-data kependudukan yang betul-betul valid dan akurat, Dinsos, Nakerduk dan Capil Kabupaten Tuban melakukan pembentukan data base kependudukan awal dengan pemutakhiran data base penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2009. Penyelenggaraan pembentukan data base kependudukan awal ini, diharapkan dapat tercapainya data kependudukan yang tertib dan akurat di semua tingkatan wilayah, mulai desa / kelurahan, kecamatan hingga kabupaten. Dasar pelaksanaan adalah Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Surat Edaran Mendagri Nomor : 470/3300/SJ/2005 tentang Juknis Pemutakhiran database penduduk untuk bahan daftar pemilih, serta SK Bupati Tuban tentang DPA-SKPD Dinsos, Nakerduk dan Capil Kabupaten Tuban tahun 2007. Terkait metode yang dipergunakan dalam kegiatan pemutakhiran database, adalah berupa perekaman data keluarga dan data pribadi dengan meyebarkan print-out database kependudukan kepada seluruh JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
kepala rumah tangga di wilayah Kabupaten Tuban. Dalam konteks administrasi kependudukan, pembangunan database kependudukan melalui pencatatan biodata penduduk, penerbitan nomor induk kependudukan, penerbitan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk secara digital sudah sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan administrasi kependudukan menurut UU No. 23 Tahun 2006, point 3 (tiga) yaitu untuk menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Optimalisasi Peran Pemerintahan Daerah dalam Pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan 1. Sumber Daya Manusia Terkait kualitas sumber daya manusia, berdasarkan pengamatan di lapangan, umumnya pengelola SIAK di tingkat desa masih banyak yang belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang teknologi informasi. Masih banyak diantara mereka yang belum bisa mengoperasikan computer. Hal ini tentu saja juga mempengaruhi kualitas pelayanan kependudukan yang diberikan. Untuk itulah dilaksanakan beberapa kali pelatihan , yang tujuan utamanya adalah peningkatan kulitas petugas SIAK di desa dalam mengoperasikan teknologi informasi yang digunakan dalam program SIAK dalam rangka pengumpulan data kependudukan. Faktor SDM (Sumber Daya Manusia) merupakan faktor utama sebagai unsur pengelola Program SIAK, sehingga manusia merupakan faktor strategis dalam semua aktivitas program. Penyediaan dan pemberdayaan SDM juga diarahkan untuk menciptakan tenaga-tenaga yang mampu mengelola dan menjalankan tugas dan fungsinya
ISSN: 2355-8466
dengan baik, sehingga tujuan program dapat tercapai secara optimal. Menurut Grindle (1997;6-22) pengembagan kapasitas adalah upaya untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsive kepada masyarakat yaitu efisiensi dalam hal waktu dan sumber daya yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome, efektivitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang didinginkan; dan resonsivitas yaitu bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut. Selanjutnya Grindle menyebutkan bahwa dalam pengembangan kapasitas harus memusatkan pada tiga dimensi, yaitu pengembangan sumber daya manusia, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan. Selain itu pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan juga selaras dengan pendapat dari Schuler dan Youngblood (1986) yang mengungkapkan bahwa pengembangan sumber daya manusia pada suatu organisasi akan melibatkan berbagai fakto, seperti pendidikan dan pelatihan, perencanaan dan manajemen karier, peningkatan kualitas dan produktivitas kerja serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja. 2. Sarana Prasarana Dimensi kedua yang mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah tersedianya infrastruktur, sarana prasarana yang memadai. Menurut Moenir (2006:119) menyatakan bahwa yang dimaksud sarana pelayanan adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sbg alat utama/ pembantu dlm pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi social dlm rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan instansi tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, masih banyak desa di Kabupaten Tuban yang belum memiliki komputer. Hal ini tentu saja menghambat peran mereka dalam mensukseskan program Sistem JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Informasi Administrasi Kependudukan. Hal ini dikarenakan keterbatasan dana, sehingga pendistribusian peralatan computer untuk membantu entry data kependudukan belum merata. Selama ini pendistrubusian computer dilaksanaka pada lima kecamatan yang menjadi proyek percontohan SIAK, yaitu kecamatan Tuban, tambakboyo, Kerek, Widang dan Merakurak dan kebanyakan pendistribusian hanya sampai pada tingkat kecamatan. 3. Penduduk Menurut N. Daldjoeni (1987), kependudukan berusaha untuk menjawab pertanyaan ―mengapa‖perubahan-perubahan dempgrafi itu terjadi, dimana selalu memperhitungkan faktor-faktor diluar demografi, seperti ekonomi, politik, budaya, sosiologi, psikologi dan atropologi. Masyarakat merupakan obyek dari pelayanan pemerintah. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan yang baik, membawa konsekuensi pemerintahan desa untuk memperbaiki kualitas layanannya. Sebagai pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, diharapkan pemerintah desa dapat mengumpulkan data-data kependudukan secara benar, tepat dan akurat. Kependudukan juga menyoroti aspek jumlah, persebaran penduduk, sebagaimana diungkapkan oleh Houser dan Duncan (1959) bahwa kependudukan juga mempelajari tentang jumlah, persebaran territorial dan komposisi penduduk serta perubahanperubahannya dan sebab-sebab perubahan tersebut. Untuk itu perlu diberikan pemahaman secara terus menerus kepada masyarakat tentang manfaat program SIAK, baik melalui pertemuan-pertemuan informal maupun penyebaran brosur atau pamflet sehingga memudahkan masyarakat membacanya diberbagai kesempatan. Sebagus apapun suatu program, bila tidak mendapat dukungan dan respect dari publik, maka kesuksesan akan sulit tercapai.
ISSN: 2355-8466
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa: a. Dalam rangka mengoptimalisasi peran pemerintahan desa dalam program Sistem Administrasi Kependudukan di Kabupaten Tuban dilaksanakan melalui pelatihan/kursus bagi petugas pengelola SIAK di desa, pembangunan tempat perekaman data dan pembangunan data base kependudukan. b. Perangkat Desa/Kelurahan yang dilibatkan dalam pengelolaan SIAK masih banyak yang memiliki pengetahuan yang kurang dalam memahami teknologi informasi. Banyak dari mereka yang tidak faham dalam mengoperasikan komputer, seperti halnya mengetik maupun entri data. c. Pembangunan database kependudukan yang dilaksanakan diantaranya melalui pencatatan biodata penduduk, penerbitan kartu keluarga dan penerbitan KTP dilaksanakan dengan mengacu pada salah satu tujuan dari penyelenggaraan administrasi kependudukan menurut UU No. 23 Tahun 2006, yaitu untuk menyediakan data dan informasi kependudukan secara mutakhir, akurat, lengkap dan mudah diakses oleh masyarakat. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi peran pemerintahan desa dalam pelaksanaan SIAK di Kabupaten Tuban meliputi faktor sumber daya manusia, infrastruktur dan penduduk. Saran 1. Terkait anggaran yang terbatas, maka penyediaan dan pendistribusian sarana prasarana pendukung SIAK harus lebih merata dan diprioritaskan bagi daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk lebih besar 2. Perlunya memberikan insentif tambahan bagi petugas pengelola SIAK di tingkat desa, mengingat tugas dan tanggung jawab yang
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
signifikan dalam memperoleh data kependudukan yang akurat dan benar. 3. Sosialisasi SIAK harusnya tidak hanya ditjukan bagi para petugas pengelola SIAK, akan tetapi juga diarahkan pada pembangunan pengetahuan dan pemahaman masyarakat luas mengenai SIAK, sehingga tugas perekaman data kependudukan tidak mengalami hambatan yang berarti. DAFTAR PUSTAKA Creswell, John W. 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative Approache. SAGE Publication, California Daldjoeni, N. 1987. Pokok-Pokok Geografi Manusia. Alumni. Bandung Dawes, Sharon S. Bloniarz, Peter A., Kelly, Kristine L. and Fletcher, Patricia D. 1998. Some Assembly Required: Building a Digital Government for the 21st Century. New York: Center for Technology in Government. State University of New York Press. New York. Gaynor, Gerard H, 1993, Exploiting Cycletime in Technology Management, MC. Graw-Hill Inc, New York Majalah AKBAR, No.140. Desember 2009. Layanan Akte Massal. Moleong, Lexy. J, 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung Pardo, Theresa A. 2000. ―Realizing the Promise of Digital Government: It‘s More than Building a Web Site‖. Information Impacts Magazine: 1-10. Pfiffner, John M dan Presthus, Robert. 1960. Public Administration. The Ronald Press Co. New York. Simon, Herbert.1996. Administrative Behavior. Macmillan. New York. Wilson, W .1887. ―The study of Administration‖. Political Science Quarterly: P.197–222
ISSN: 2355-8466
PERENCANAAN TATA RUANG YANG BERDAMPAK PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MISKIN Andika Hijrah Prasetyo Dosen Stisospol ‗Waskita Dharma‘ Malang
[email protected] ABSTRAK Dalam konteks ekonomi tata ruang, perencanaan dan kebijakan pemerintah seringkali bersifat non-convexity. Secara teknis, non-convexity bisa terjadi karena beberapa sebab, antara lain ketiadaan hak kepemilikan (property rights). Bagi sementara pihak, perencanaan tata ruang selalu dipandang sebagai justifikasi untuk melakukan ―penggusuran‖, bukan sebagai alat untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Eksistensi non-convexityNon-convexity merupakan cerminan ketidakberdayaan masyakarat miskin untuk mencari pengganti hak kepemilikan atas properti mereka yang telah tergusur. Inilah makna intuitif dari konsep non-convexity. Berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. Kata kunci: tata ruang, kesejahteraan masyarakat miskin
PENDAHULUAN Rumah (baca: real estate) sekarang ini menjadi isu produk properti yang menjanjikan, namun juga ditengarai sebagai pengubah tata guna lahan yang ada. Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Selain itu, kondisi ini dihadapkan pada kesan ketertutupan kebijakan karena pola dan sistem yang dibangun dalam menyusun tata ruang terlalu besar diberikan kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah, sehingga partisipasi masyarakat menjadi tidak dipertimbangkan. Selama ini, kebijakan penataan ruang masih bertumpu pada pendekatan lama, yakni peningkatan pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi skala besar dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Apalagi dalam dunia nyata, penyusunan tata ruang sering berpangkal tolak dari asumsi bahwa ―ruang‖ yang direncanakan seolah-olah ruang tanpa penghuni, sehingga dapat dengan mudah dibuat garis-garis batas berupa zoning yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan tertentu yang berketetapan hukum. Di samping itu, penyusunan tata ruang hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability) dan aspek kelestarian lingkungan (land capability). Oleh karenanya, bagi sementara pihak, perencanaan tata ruang selalu dipandang sebagai justifikasi untuk melakukan ―penggusuran‖, bukan sebagai alat untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Catatan Institut Sosial Jakarta (ISJ) misalnya, di Jakarta pada 2001 terjadi 45 kasus penggusuran dimana 6.558 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 6.774 kepala keluarga (KK) 34.514 jiwa kehilangan tempat tinggal, 19 orang meninggal dunia, 67 orang terluka, 50 orang sakit, 1000 orang depresi dan 4.252 kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi dengan penggusuran 2.700 pedagang kaki lima (PKL) kehilangan
ISSN: 2355-8466
tempat usaha dan kerugian barang dagangan dengan kerugian mencapai Rp. 540 juta. Sementara pada 2002, terjadi 26 kasus penggusuran permukiman yang sedikitnya 4.908 rumah dihancurkan, 20 kasus penggusuran PKL yang sedikitnya 7.770 lapak dan kios PKL dihancurkan, serta 591 kasus pembakaran/kebakaran. Pada 2003, terjadi 15 kasus penggusuran permukiman yang sedikitnya 7.280 KK kehilangan tempat tinggal. Jelas, penggusuran berbagai kelompok miskin, pedagang keramik di Jakarta atau siapapun itu dalam perencanaan dan kebijakan tata ruang telah mendekonstruksi kemungkinan terjadinya pareto optimum atau competitive equilibrium diantara publik dan pemerintah. Sebab itu, UU. No. 24/1992 yang kemudian diperbaharui menjadi UU. No. 26/2007 tentang Penataan Ruang beserta peraturan turunannya dianggap kurang efektif. Inefektifitas ini terjadi pada dataran arah dan kebijakan spesifik serta rumusan perencanaan tata ruang agar semua stake holder dapat terlibat. Karena itu, beberapa hal fundamental yang dianggap penting dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang antara lain: pertama, mengubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Kedua, partisipasi aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan dalam proses penyusunan tata ruang. PEMBAHASAN A. Tata Ruang Domain ―ruang‖ (space), bukan ―ruang‖ (room) bisa meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian perencanaan tata ruang mencakup struktur dan pola pemanfaatan ruang JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya. Tata ruang menunjuk pada berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti ―wilayah‖, ―kawasan‖, ―daerah‖, ―regional‖, ―area‖, ―ruang‖, dan istilahistilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil pembelajaran yang terus menerus. Dengan demikian tata ruang dan upaya perubahanperubahannya sebenarnya sudah terwujud sebelum kita secara formal melakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang terstruktur yang disebut sebagai rencana tata ruang. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya); (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; (3) keberlanjutan. Selanjutnya, beberapa landasan penting penataan ruang antara lain: (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang; (3) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun; (4) pembangunan: upaya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terencana; (5) penataan ruang: kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang; (6) penataan ruang merupakan upaya melakukan perubahan tata ruang ke arah yang lebih baik; dan (7) penataan ruang dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang.
ISSN: 2355-8466
Sasaran utama dari perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisiensi; (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat; dan (3) keberlanjutan. Beberapa alasan yang menyebabkan makin terasa pentingnya arti dari suatu penataan ruang adalah: a. Yang optimal bagi suatu individu tidak selalu otimal bagi masyarakat karena itu perencanaan tata ruang dianggap perlu; b. Salah satu faktor dari ruang yaitu atmosfir merupakan suatu sumberdaya yang bersifat public goods. c. Ruang merupakan komponen ekosistem dimana fungsi-fungsi ekologis dari ruang dalam suatu ekosistem mempengaruhi kesinambungan dan kontinuitas dari suatu sistem. B. Non-Convexity Ekonomi Tata Ruang Dalam ekonomi neoklasik, arus utama model ekonomi adalah menggunakan asumsi dimana pengambil keputusan oleh individu, entah itu konsumen, produsen atau pemerintah, memungkinkan fleksibilitas yang tinggi dalam menentukan ruang ekonomi (economic space). Untuk menjabarkan obyek keinginan, model ekonomi neoklasik menggunakan komoditas untuk menangkap hal-hal di atas (konsumen pada konsumsi, produsen pada input produksi dan pemerintah pada kebijakan untuk publik). Sebagai penyederhaan, katakanlah komoditas itu berupa nasi rames Mpok Ati di Kantin Kampus Muhammadiyah. Input produksi dapat berupa tenaga kerja yang digunakan, BBM/BBG untuk memasak dan seterusnya. Pada level pemerintah misalnya, input kebijakan untuk publik umumnya dilakukan lewat studi kelayakan, meninjau berbagai peraturan perundangan yang ada di atasnya, survei, dan lain sebagainya. Penjabaran ini meski kuat secara teoritis namun memiliki kelemahan dalam
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
mengabaikan pendefinisian alternatif lain dalam hal ruang ekonomi tadi. Satu cara untuk memulai analisis, penulis akan berangkat dari teori dasar ekonomi. Sistem ekonomi pada intinya merupakan sekumpulan individu (konsumen, produsen dan pemerintah). Karena itu, analisis akan dimulai dengan meninjau prilaku individu. Prilaku konsumen adalah bagaimana memaksimumkan utilitas, prilaku produsen adalah bagaimana memaksimumkan laba dan prilaku pemerintah adalah bagaimana memaksimumkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Selanjutnya, prilaku individu ini menyoal tentang pilihan individual yang dinyatakan oleh sekelompok postulat yang mencirikan prilaku yang rasional. Inilah yang kemudian disebut sebagai ―preferensi atau aksioma pilihan rasional (rational choice). Hubungan preferensi ini biasanya diasumsikan memiliki lima sifat dasar: kelengkapan (completeness), transitifitas (transitivity), kontinuitas (continuity) dan lebih banyak lebih baik (the more the better), dan kecembungan (convexity) Keempat asumsi ini berimplikasi pada adanya trade-off (imbal tukar) antara satu komoditas dengan komoditas yang lain. Trade-off ini memungkinkan suatu kondisi dimana untuk memaksimumkan utilitas (katakanlah x) maka komoditas yang lain (y) harus dikurangi. Dalam bahasa ekonomi neoklasik, trade-off ini dikenal dengan istilah marginal rate of subtitution. Dalam konteks ekonomi tata ruang, perencanaan dan kebijakan pemerintah seringkali bersifat nonconvexity. Karena itu, asumsi convexity bisa saja tidak berlaku manakala pemerintah lebih memilih ‗menata ruang dengan menggusur‘ ketimbang menyediakan kompensasi bagi publik dalam bentuk relokasi ke tempat yang lebih memadai. Secara teknis, non-convexity bisa terjadi karena beberapa sebab, antara lain: increasing return pada
ISSN: 2355-8466
faktor produksi, increasing return to scale, efek sinergetik pada sumber daya alam (efek umpan balik), efek ambang batas (threshold) dan ketiadaan hak kepemilikan (property rights). Ketiadaan hak kepemilikan inilah yang banyak sekali terjadi di Indonesia saat ini. Ketiadaan hak kepemilikan ini bukan hanya terjadi pada entitas pribadi tetapi juga entitas publik. Bisa dibayangkan jika memiliki rumah tapi tidak ada izinnya, memiliki alat produksi tapi tanpa surat kepemilikan dan memiliki bisnis tanpa status perusahaan. Persoalan status kepemilikan inilah yang tampaknya menjadi masalah krusial dalam kebijakan tata ruang di Indonesia. Hasil studi Hernando de Soto di lima negara berkembang menunjukkan, kebijakan pemerintah dalam melakukan penggusuran tanpa relokasi disebabkan publik tidak mempunyai dokumentasi hak kepemilikan yang jelas atas properti mereka. Kendati demikian, katanya, persoalan tidak bisa sepenuhnya diemban oleh publik sendiri, sebab ketiadaan dokumentasi properti juga disebabkan oleh penyelenggaraan administrasi publik yang buruk di negara perkembang. Studi mengenai non-convexity telah banyak dilakukan para sarjana ekonomi, utamanya dalam kajian-kajian ekonomi mikro terapan. Studi yang paling apresiatif tentang non-convexity ini dilakukan oleh Starret (1973) yang kemudian melahirkan Teori Starret Fundamental Non-Convexity. Namun studi non-convexity ini telah merambah banyak bidang, termasuk dalam bidang kebijakan publik. Sejak itu, studi mengenai non-convexity mulai berkembang dan mencapai puncaknya pada periode 2002-2006 dengan pelopor utama Dasgupta dan Maaler, Xepapades, Brock, Perring dan beberapa nama lainnya. Eksistensi non-convexity berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. Masyarakat miskin ini mengalami non-convexity yang tidak dimiliki oleh masyarakat kaya karena
ambang batas ekonomi atas properti mereka sudah tersentuh. Non-convexity merupakan cerminan ketidakberdayaan masyakarat miskin untuk mencari pengganti hak kepemilikan atas properti mereka yang telah tergusur. Inilah makna intuitif dari konsep nonconvexity. Kebijakan tata ruang pemerintah daerah atas nama Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan melakukan penggusuran tanpa relokasi jelas telah menghilangkan hak atas harga diri (self esteem) masyarakat miskin. Bukankah makna pembangunan sebagaimana ucapan UNDP memungkinkan masyarakat miskin untuk memiliki kapabilitas? C.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Dari Top Down ke Bottom Up Untuk itu, diperlukan visi baru dalam perencanaan dan kebijakan tata ruang di Indonesia. Keberadaan nonconvexity dalam perencanaan dan kebijakan tata ruang di Indonesia memaksa kita untuk mengubah lensa paradigma ekonomi bagaimana memperlakukan modal alam (nature and environement), bersama modal lainnya seperti man made capital, human capital dan social capital. James S. Coleman, dalam “Social Capital in the Creation of Human Capital” mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Paralel dengan Fukuyama, Todaro juga memandang bahwa modal sosial merupakan hal yang penting, sebab hal ini bisa memunculkan kepercayaan dan tindakan kolektif masyarakat. Namun demikian, Tonkiss menyatakan modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, bebas memilih pekerjaan, merintis usaha dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan modal sosial yang tinggi, pada gilirannya akan menumbuhkan
ISSN: 2355-8466
partisipasi (dalam pengertian yang luas) dalam pembangunan. Dengan demikian, munurut Morgan (2000), sebagaimana dikutip Ernan Rustiadi (2006), sumberdaya modal sosial pada dasarnya merupakan suatu stok sumberdaya yang bersifat non-spesifik tetapi produktif, yang terakumulasi sebagai (1) keterkaitan seasal (cognate) diantara anggota masyarakat, atau (2) keterkaitan tidak seasal (noncognate) di antara anggota masyarakat dan individu-individu di luar masyarakat. Ada dua ciri penting modal sosial di tingkat komunitas: otonomi dan keterkaitan. Bagi pihak pemerintah, sebenarnya keberadaan otonomi komunitas akan mendukung integritas organisasi dan membantu mencegah adanya tekanan oleh kelompok tertentu. Bagi masyarakat, adanya otonomi direfleksikan dengan adanya kekuatan dan bentuk organisasi formal yang memungkinkan bertindak dan terbebas dari tekanan pemerintah. Sejalan dengan modal sosial, saat ini dikembangkan pula konsep partisipasi sebagai instrumen pembangunan. Penulis berpandangan, konsep partisipasi merupakan salah satu bentuk dari modal sosial yang ada di masyarakat. Sebuah kajian yang sangat berpengaruh pada akhir tahun 70-an, mendefinisikan partisipasi sebagai ―upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh berbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu‖. Sementara itu, Kelompok Kajian Bank Dunia mendefinisikan partisipasi sebagai ―proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka‖. Warren (2001) sebagaimana diadopsi oleh Kelompok Studi Sosial dan Budaya di Ciputat dalam JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
penelitiannya tentang masyarakat sipil (civil sosiety) dan partisipasi sosial, membagi dua jenis motivasi partisipasi yang dibagi menurut jenis kelompok sosial. Pertama, keterlibatan/partisipasi secara sukarela. Partisipasi masyarakat dilihat secara non-ekonomis, tidak ada vested interest, dan karenanya tidak ada keterikatan yang kuat untuk masuk atau keluar organisasi sosial atau sejenisnya. Tidak lain, bentuk partisipasi ini merupakan bentuk pembangunan dari bawah ke atas (bottom up). Partisipasi ini juga bisa ditafsirkan sebagai Quantity of Participation, yang menunjukkan bahwa angan-angan publik yang tumbuh dalam suatu masyarakat belum tentu mencerminkan apa yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Tingkat kebutuhan masyakarat sangat ditentukan sejauh mana masyarakat menyerap informasi dan memahami dirinya sendiri dalam rangka merumuskan kebutuhannya. Selanjutnya, dalam uraian sederhana, partisipasi dapat berbentuk: pertama, sesutau yang mencakup kegiatan-kegiatan, akan tetapi bukan sikap-sikap. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan politik serta perilaku politik yang nyata. Kedua, kegiatan politik warganegara dalam segi peranan secara perseorangan. Ketiga, kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi dan mengubah pengambilan keputusan pemerintah. Keempat, kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah. Karena itu, berbagai kajian, dokumen proyek dan buku panduan menunjukkan tafsiran yang sangat beragam mengenai arti kata partisipasi. 1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. 2) Partisipasi adalah ―pemekaan‖ (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.
ISSN: 2355-8466
3) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang dan kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. 4) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial. 5) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. 6) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Namun demikian, menurut pandangan penulis, penempatan partisipasi perlu dikaitkan dengan masyarakat lokal. Hal ini nampaknya linear dengan semangat otonomi daerah. Tanpa partipasi masyarakat lokal, jelas partisipasi akan kehilangan raison’ de atre-nya. Pengertian lokal merujuk pada ‗medan sosial‘ (social fields). Misalnya, satu kota kecil yang berpenduduk 1.500 sampai 10.000 jiwa, yang dengan menempuh bolak-balik ke arah pedalaman sekitarnya, dapat mencakup suatu wilayah dengan garis-tengah antara 10 sampai 15 mil. Bagi penduduk perkotaan, wilayah lokalnya biasanya tidak termasuk jarak yang mereka tempuh bolak-balik ke dan dari tempat bekerja. Inti lokalisasi adalah memungkinkan negara, pemerintah dan masyarakat lokal mengambil alih kembali kendali atas perekonomian lokal mereka sendiri, membuatnya seberagam mungkin, dan membangun kembali kemantapan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Colin Hines memberikan tujuh ranah kebijakan yang saling berkelindan dan menguatkan diri dalam upaya lokalisasi. Salah satu diantaranya adalah peningkatan partisipasi demokratis, baik secara ekonomi maupun politik untuk JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
menjamin efektifitas gerakan ke arah pemberagaman perekonomian lokal.
KESIMPULAN Dalam penutup ini penulis sampaikan beberapa pandangan pratinjau sekaligus rekomendasi kebijakan yang memungkinkan untuk ditempuh terhadap perencanaan tata ruang partisipatif. Namun perlu dinyatakan bahwa untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah lokal harus berbagi otonomi/peran dengan masyarakatnya, dalam arti harus bergerser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator dan penyedia (provider) menjadi sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator. Inilah yang menjadi kerangka awal dari sisi supply bagi berjalannya perencanaan tata ruang yang partisipatif. Satu hal yang menjadi syarat mutlak, agar modal sosial terus berjalan di masyakarat dalam rangka membentuk partisipasi masyarakat lokal, akseptabilitas masyarakat atas sumbersumber informasi harus terus dipacu. Sebab, menjadi hal yang mustahil bagi masyarakat untuk berpartisipasi jika mereka tidak diberikan informasi yang memadai tentang komunitasnya, wilayahnya dan pembangunan di lingkungannya. Dalam pada itu, peran pranatapranata sosial yang terdapat di dalam masyarakat juga tidak dapat dilepaskan dari sebuah komunitas. Untuk itu, pengembangan pranata-pranata sosial yang demokratis dan mandiri harus terus dilakukan penguatan. Secara kongkrit, perencanaan tata ruang partisipatif dapat dimulai dari struktur paling bawah organisasi kepemerintahan, yaitu mulai dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Provinsi. Perencanaan partisipatif ini memang merupakan proses yang paling kompleks dan dihadapkan pada tingginya biasa transaksi (transaction cost). Dalam praktiknya, proses ini dapat
ISSN: 2355-8466
berlangsung lama dan kompleks karena melibatkan pihak yang sangat luas dengan kepentingan yang berbeda-beda. Namun, secara teoritik, biaya dan korbanan yang tinggi ini dapat ―terbayar‖ dari rendahnya biaya pelaksanaan dan pengendaliannya. Terdapatnya kesamaan pemahaman,
visi, dan rencana pelaksanaan serta sistem pengendaliannya sebagai hasil keputusan bersama antar-stake holder akan lebih menjamin kemudahankemudahan di dalam pelaksanaan dan pengendaliannya karena adanya rasa memiliki dan tanggungjawab bersama.
DAFTAR PUSTAKA Akhmad Fauzi, 2007, Economic of Nature’s Non-Convexity, Reorientasi Pembangunan Ekonomi Sumber Daya Alam dan Implikasinya Bagi Indonesia, Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, 10 November 2007 Amartya Sen. 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?, terj. dari On Ethics and Economics. Mizan, Bandung. Colin Hines, 2005, Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi, Insist Press, Yogyakarta Ernan Rustiadi dkk., 2006, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Ernan Rustiadi, Materi 1, Konsep Ruang dan Wilayah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Food Agricultural Organization, www.fao.org Forum Keprihatinan Akademisi dalam makalah Menata Kembali Hak Warga Negara: Belajar Dari Kasus Penggusuran di DKI Jakarta, STF Driyarkara, 11 November 2003 Francis Fukuyama. 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam, Yogyakarta. H.M., Safi‘i, 2007, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah: Perspektif
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Teoritik, Averroes Press, Malang Hernando de Soto. 2006. The Mystery of Capital. Qalam, Yogyakarta Imal Isti‘mal dkk, Partisipasi Sosial Masyarakat Dalam Pembangunan Dari Bawah Ke Atas (Bottom Up), Studi Kasus di Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat, Jurnal Liquidity, Vol. 1, No. 1, Desember 2006 Jeffrey M. Perloff, 2004, Microeconomics, Third Edition, Pearson Addsion Wesley, United States Jurgen Habermas, 1974, Public Sphere, New German Critique, German Michael P. Todaro & Stephen C. Smith, 2003, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, edisi kedelapan, Penerbit Erlangga, Jakarta Piet H. Khaidir, Kemandirian dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia, dalam Imam Subkhan, (ed), 2003, Siasat Gerakan Kota, Labda, Yogyakarta Pitri Yandri, Urgensi Penguatan Modal Sosial dan Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Perencanaan Tata Ruang di Indonesia‖, Paper, Mayor Ekonomi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD IPB, Januari 2008) Rahardjo Adisasmita, 2006, Pembangunan Pedesaan dan
ISSN: 2355-8466
Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta Safi‘i. 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah: Perspektif Teoritik. Averroes Press, Malang. Stiefel M., & Wolfe M., 1994, A Voice for the Excluded: Popular Participation in Development: Utopia or Necessity?, Zed Books, London Sunardi, Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota, Melalui <www.landpolicy.or.id> diakses pada tanggal 03 Oktober 2016.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Walter Nicholson, 1994, Teori Ekonomi Mikro, Prinsip Dasar dan Perluasan, jilid 1, edisi kelima, Binarupa Aksara, Jakarta World Bank, 1995, World Bank Participation Soucerbook, Environment Department Papers Participation Series, World Bank, Washington D.C
ISSN: 2355-8466
KONSEP DALAM PERILAKU ORGANISASI DAN INDIVIDU GUNA MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI DAN TIM KERJA YANG TANGGUH Suryo Hartoko Dosen STISOSPOL ‗Waskita Dharma‘ Malang ABSTRAK Berbagai perubahan selalu terjadi dalam sebuah organisasi disadari atau tidak berdampak pada budaya organisasi dan tim kerja. Sehingga sebuah organisasi dapat bertahan jika dapat mengantisipasi dan melakukan inovasi dari perubahan tersebut. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu organisasi tergantung pada sejauhmana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pada dasarnya semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektiftas organisasi dengan tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi. Robbins menyatakan perubahan organisasi dapat dilakukan pada struktur yang mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik dan sumber daya manusia. Sobirin (2005) menyatakan ada dua faktor yang mendorong terjadinya perubahan, yaitu faktor ekstern seperti perubahan teknologi dan semakin terintegrasinya ekonomi internasional serta faktor intern organisasi yang mencakup dua hal pokok yaitu : 1) perubahan perangkat keras organisasi (hard system tools) atau yang biasa disebut dengan perubahan struktural, yang meliputi perubahan strategi, stuktur organisasi dan sistem; dan 2) perubahan perangkat lunak organisasi (soft system tools) atau perubahan kultural yang meliputi perubahan perilaku manusia dalam organisasi, kebijakan sumber daya manusia dan budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai dalam organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh anggota organisasinya sehingga pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi yang bersangkutan dan menjadi dasar aturan berperilaku. Hal ini berarti setiap organisasi mempunyai sistem makna berbeda, perbedaan ini menyebabkan setiap organisasi mempunyai karakteristik yang unik dan berbeda serta respon yang berbeda ketika menghadapi masalah yang sama, namun dengan tim kerja yang tangguh maka organisasi mampu berkompetisi untuk menjamin kontinuitasnya. Kata kunci :
konsep, perilaku organisasi, individu, membangun budaya organisasi, tim kerja yang tangguh.
PENDAHULUAN Bidang pengetahuan perilaku organisasi (Organization Behavior) berkembang karena persoalan-persoalan organisasi cenderung semakin komplek, dimana unsur-unsur menusia menjadi tantangan pokok yang harus dihadapi oleh setiap pengelola organisasi. Perilaku organisasi hakekatnya mendasarkan perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam organisasi. Kerangka dasar bidang pengetahuan ini
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
didukung paling sedikit dua komponen yaitu : 1. Individu-individu yang berperilaku 2. Organisasi formal sebagai wadah dari perilaku itu Organisasi dapat didefinisikan sebagai himpunan interaksi manusia yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama yang terikat dalam suatu ketentuan yang telah disetujui. Oleh karena itu ciri peradaban manusia yang bermasyarakat senantiasa ditandai
ISSN: 2355-8466
dengan keterlibatannya dalam suatu organisasi. Manusia juga tidak bisa lepas untuk tidak terlibat dalam kegiatan organisasi, namun manusia lahir dalam lingkugan organisasi, dididik oleh organisasi, dan hampir semua manusia mempergunakan waktunya bekerja pada organisasi. Dalam setiap organisasi diperlukan suatu manajemen yang dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang yang bertanggungjawab untuk melakukan berbagai fungsi manajemen. Didalam organisasi diperlukan pengorganisasian yang beraneka ragam kegiatan, ragam fungsi-fungsi dan sejauh mana aneka kegiatan tersebut yang lazimnya mempunyai kepentingan yang berbeda dapat diarahkan pada tujuan secara efisien dan aktif. Ketentuan-ketentuan yang seharusnya disetujui bersama mungkin terpaksa harus menyetujuinya, hal ini jelas terlihat didalam organisasi yang besar seperti departemen dalam lingkungan pemerintah, perusahaan negara, perusahaan swasta dan sebagainya. Pendekatan perilaku organisasi dalam suatu organisasi mempertaruhkan manusia dan organisasi merupakan suatu unsur yang rumit, oleh sebab itu ada suatu kebutuhan pemahaman teori yang didukung oleh riset secara empiris sangat diperlukan sebelum diterapkan dalam mengelola manusia itu sendiri secara efektif. Secara tradisional manajemen atau birokrasi memahami dimensi dalam organisasi didekati dari asumsi-asumsi ekonomi, security, suasana kerja dan lain sebagainya. Sehingga pendekatan-pendekatan hubungan kerja kemanusiaan seperti psikologi industri, teknik industri dipergunakan sebagai satu-satunya pendekatan. Dalam pendekatan dan pemahaman ini tampaknya tidak bertahan lama dan sekarang pendekatan perilaku organisasi telah menggantikan pendekatan tersebut, dan bisa diterima untuk memahami aspek-aspek manusia sebagai dimensi dalam organisasi.
Terdapat tiga dimensi pokok dalam mendiskusikan teori organisasi yang tidak bisa diabaikan, yaitu : 1. Dimensi Teknis Kemampuan teknis adalah kemampuan menggunakan pengetahuan , metode dan teknik pada peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan, training dan lainnya. 2. Dimensi Konsep Dimensi konsep adalah kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing keadaan organisasi operasi organisasi secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh dari pada atas dasar tujuan dan kelompok sendiri, dimensi ini merupakan motor penggerak dari dimensi pertama. 3. Dimensi Manusia Dimensi manusia adalah kemampuan (skill) dalam bekerja dengan dan melalui orang lain yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. Jika ketiga dimensi tersebut berinteraksi maka akan mampu menimbulkan suatu kegiatan organisasi yang efektif. Pada umumnya paling tidak terdapat tiga dimensi kemampuan yang diperlukan untuk melakukan proses manajemen. Menurut Warren B (1989), jika birokrasi dalam bekerja hanya mengandalkan pada dimensi pertama dan mengabaikan dimensi kedua atau menelantarkan dimensi ketiga, maka akan menimbulkan suatu iklim yang tidak respektif terhadap faktor pendukung atau faktor utama dalam organisasi yaitu manusia.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Gambar 1 Hubungan Manajemen
Manajemen Manajemen Teras Konseptual Manajemen Menengah
Manusia Teknik
Manajemen Supervisor
Ilmu perilaku organisasi mengurangi sikap birokrasi yang tidak respektif tersebut dengan menarik sebagai suatu pandangan terpusat pada perilaku manusia itu sendiri sebagai dimensi ketiga dalam suatu organisasi. Pada gambar 1 tersebut seseorang pada tingkat tertinggi pada organisasi makin sedikit kemampuan teknis yang diperlukannya, pada level kemampuan konseptual lebih diperhatikan. Pada tingkat supervisor diperlukan kemampuan teknis yang besar karena sering mengembangkan teknis pegawai lainnya dalam bidangnya. Pada sisi yang lebih eksekutif dalam organisasi tidak perlu banyak mengetahui cara melaksanakan suatu tugas yang spesifik pada level organisasi, tetapi harus mampu mengkaitkan tugas tersebut dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara menyeluruh. PEMBAHASAN Pendekatan Organization Behavior A. Pendekatan Perilaku Organisasi Studi ilmu yang menjadi cikal bakal organization behavior adalah industrial psycology dan berikut human relation, yang kesemuanya mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu mempelajari tentang perilaku manusia, namun ada beberapa perbedaan yaitu :
Industrial psycology, mempelajari individu yaitu berusaha mendalami hal yang menyangkut sifat, sikap, skill dan ketrampilan manusia. Human relation, mempelajari individu dan kelompok disamping mempelajari hal-hal yang menyangkut sifat, keahlian, juga mempelajari interaksi individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok Organization behavior, pembahasannya meliputi individu, kelompok dan juga sistem sosial termasuk lingkungan Jadi pendekatan dari ketiga ilmu tersebut mempunyai perbedaan, yaitu : Industri psycology : pada individu Industri relation : pada individu, kelompok dan organisasi Organization behavior : pada individu, kelompok dan organisasi dan lingkungan Seperti halnya dengan semua ilmu sosial, perilaku organisasi berusaha untuk mengontrol, memprediksikan, dan menjelaskan. Namun ada sejumlah kontroversi mengenai dampak etis dari pemusatan perhatian terhadap perilaku pekerja. Karena itu, perilaku organisasi (dan studi yang berdekatan dengannya, yaitu psikologi industri) kadang-kadang dituduh telah menjadi alat ilmiah bagi pihak yang berkuasa. Terlepas dari tuduhan-tuduhan itu, Perilaku Organisasi dapat memainkan peranan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
penting dalam perkembangan organisasi dan keberhasilan kerja. Meskipun studi ini menelusuri akarnya kepada Max Weber dan para pakar yang sebelumnya, studi organisasi biasanya dianggap baru dimulai sebagai disiplin akademik bersamaan dengan munculnya manajemen ilmiah pada tahun 1890-an, dengan Taylorisme yang mewakili puncak dari gerakan ini. Para tokoh manajemen ilmiah berpendapat bahwa rasionalisasi terhadap organisasi dengan rangkaian instruksi dan studi tentang gerak-waktu akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Studi tentang berbagai sistem kompensasi pun dilakukan. Setelah Perang Dunia I, fokus dari studi organisasi bergeser kepada analisis tentang bagaimana faktor-faktor manusia dan psikologi mempengaruhi organisasi. Ini adalah transformasi yang didorong oleh penemuan tentang Dampak Hawthorne. Perang Dunia II menghasilkan pergeseran lebih lanjut dari bidang ini, ketika penemuan logistik besar-besaran dan penelitian operasi menyebabkan munculnya minat yang baru terhadap sistem dan pendekatan rasionalistik terhadap studi organisasi. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, bidang ini sangat dipengaruhi oleh psikologi sosial dan tekanan dalam studi akademiknya dipusatkan pada penelitian kuantitatif. Sejak tahun 1980-an, penjelasan-penjelasan budaya tentang organisasi dan perubahan menjadi bagian yang penting dari studi ini. Metode-metode kualitatif dalam studi ini menjadi makin diterima, dengan memanfaatkan pendekatan-pendekatan dari ilmu sosial, sejarah, ekonomi, politik, hukum, antropologi dan sebagainya. B. Pengertian Perilaku Organisasi 1. Istilah Organization behavior sering disebut juga dengan istilah ‖administrasi behavior, manajemen behavior dan organization development (Robert B Law) 2. Definisi 4. Lingkungan
Dalam mendefinisikan Organization behavior beberapa para ahli memberikan pandangan yang berbeda, namun mempunyai fokus yang tidak jauh berbeda. Dengan mendasarkan pointpoint tersebut diatas, maka jelaslah bahwa perilaku organisasi menitik beratkan pada seperangkat konsep yang meliputi manusia (interaksi, motivasi, eksternal yang mempengaruhinya). Perilaku organisasi saat ini merupakan bidang studi yang berkembang. Jurusan studi organisasi pada umumnya ditempatkan dalam sekolah-sekolah bisnis, meskipun banyak universitas yang juga mempunyai program psikologi industri dan ekonomi industri pula. Bidang ini sangat berpengaruh dalam dunia bisnis dengan para praktisi seperti Peter Drucker dan Peter Senge yang mengubah penelitian akademik menjadi praktik bisnis. C. Unsur Pokok Dalam Perilaku Organisasi Menurut Davis dan john W.N. unsur pokok dalam organisasi behavior adalah : 1. Orang Membentuk sistem sosial intern, mereka terdiri dari sekumpulan orang yang berjiwa, berfikiran dan berperasaan yang menciptakan organisasi untuk mencapai tujuan mereka. Organisasi dibentuk untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya orang hidup untuk melayani organisasi. 2. Struktur Merupakan hubungan resmi orang-orang dalam organisasi yang terdiri dari berbagai pekerjaan dan fungsi-fungsi. Kemudian dihubungkan dengan cara tertentu yang berstruktur agar dapat melakukan pekerjaan atau aktivitasnya secara efektif. 3. Tekhnologi Merupakan sumber daya sebagai sarana yang memungkinkan manusia melakukan banyak pekerjaan dengan kualitas yang lebih baik, tetapi juga bisa sebaliknya.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Organisasi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yang terdiri dari berbagai unsur seperti pemerintahan, keluarga dan organisasi lainnya. Semua unsur saling mempengaruhi dalam suatu sistem yang rumit, lingkungan eksternal mempengaruhi sikap, kondisi kerja dan persaingan. Oleh karena itu lingkungan eksternal harus diperhatikan. Selain ke empat unsur yang disampaikan Davis dan john W.N. tersebut, David S. Walonick menambahkan satu unsur yaitu informasi, dimana Informasi sebagai hasil dari pengolahan data dalam bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimaannya yang menggambarkan kejadian-kejadian yang nyata yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam organisasi.
D. Sudut Pandang Administrasi Semua orang dalam organisasi berhubungan dengan upaya meningkatkan perilaku organisasi dan karenanya akan mempengaruhi kualitas perilaku kehidupan dalam organisasi. Akan tetapi para pimpinan cenderung mempunyai peran yang lebih besar, karena merekalah yang memiliki decision (pengambilan keputusan) yang berpengaruh besar dan mempengaruhi banyak orang dalam organisasi. Jadi para pimpinan mewakili peran sistem administrasi dan peran meraka adalah bagaimana pendayagunaan perilaku organisasi agar meningkatkan hubungan dengan organisasi. Jadi para pimpinan berusaha untuk selalu menciptakan iklim yang kondusif untuk memotivasi orangorang untuk bekerjsama secara produktif.
Gambar 2 Hubungan Sistem Administrasi dalam Prilaku Organisasi Tujuan
Sistem Administrasi
Organisasi Perilaku Organisasi
Hubungan orang dengan organisasi yang lebih efektif
Tujuan Masyarakat
Tujuan Manusia
1.
Minat mempelajari perilaku manusia dapat ditelusuri dari awal periode sejarah, filosofi Yunani ‖Pluto‖ yang acap kali membicarakan tentang jiwa manusia membagi atas tiga bagian, yaitu : Philosophic, merupakan orientasi manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan pengertian
2.
3.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
Spirited, suatu aspek dari jiwa manusia yang berusaha untuk mencari kekuasaan dan ambisi Appetite, suatu aspek dari manusia yang berorientasikan pada pemenuhan selera, seperti makan, minum, seks, uang dan sebagainya Menurutnya bahwa salah satu dari tiga bagian tersebut bisa mendominasi tingkah laku manusia, oleh karenanya manusia digolongkan atas tiga tipe yaitu
ISSN: 2355-8466
filosofis, ambisius dan pencipta keberuntungan. Dengan menggambarkan perilaku manusia secara filosofis tersebut akan membawa pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran bagaimana organisasi dibentuk dan dibina. Pada awal abad ke 20 terdapat tiga orang yang mempunyai andil dalam melahirkan konsep-konsep yang mendasari ilmu pengetahuan perilaku
organisasi, yaitu Max Weber, Henry Foyal dan Fredrick W. Taylor. Karakteristik indvidu dalam hubungan dengan organisasi menurut David Nedler J. Richard Hackerman bahwa : Perilaku individu dalam organisasi merupakan perwujudan dan interaksi karakteristik individu dan karakteristik organisasi.
Gambar 3 Perilaku Individu Dalam Organisasi Karakteristik Individu Perilaku Individu Dalam Organisasi Karakteristik Organisasi 1. Karakteristik Individu Individu sebagai anggota organisasi membawa ke dalam tatanan organisasi yang meliputi : - Kemampuan - Kepercayaan pribadi - Pengharapan kebutuhan - Pengalaman masa lalu Hal tersebut adalah karakteristik yang dimiliki oleh individu dan karakteristik ini akan dibawa manakala ia akan memasuki suatu lingkungan baru yaitu organisasi. Organisasi juga merupakan suatu lingkungan bagi individu yang mempunyai karakteristik pula. 2. Karakteristik Organisasi Adapun kriteria organisasi berupa keteraturan yang diwujudkan ke dalam beberapa dimensi, yaitu : Susunan hirarki - Pekerjaan - Tugas-tugas - Wewenang dan tanggungjawab - Sistem penggajian - Sistem kontrol Jika karekteristik individu berinteraksi dengan organisasi maka akan
menimbulkan perilaku dan organisasi. Menurut Lawler, ada dua macam pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mempelajari dalam organisasi. Pertama : Pendekatan universalistik yang mempunyai asumsi bahwa individu dalam organisasi adalah sama dalam kebutuhan, ketrampilan dan kecakapan. Dengan kesamaan tersebut ada dua cara tertentu yang dapat digunakan untuk memperlakukan semua anggota organisasi Kedua : Pendekatan non universalistik mendasarkan pada asumsi yang sebaliknya, bahwa berbeda-beda kebutuhan, ketrampilan dan kecakapan tersebut dapat di ukur sehingga dengan data dipergunakan untuk meningkatkan efektifitas organisasi Umumnya studi perilaku organisasi dalam organisasi masih menggunakan pendekatan universalistik, namun diantaranya telah menyadari pentingnya perbedaan-perbedaan tersebut.
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Hakekat Manusia dan Organisasi A. Pendekatan Dasar 1. Sifat Dasar Manusia Individu Differences/perbedaan individu: Merupakan motivasi bagi manajer untuk memanfaatkan kemampuan yang berbeda-beda ke arah efektifitas pelaksanaan pekerjaan organisasi Manajer perlu memperlakukan masing-masing individu secara tidak sama The Whole Person/manusia seutuhnya : Manusia terdiri dari jasmani dan rohani Manusia memiliki kelebihankelebihan dan kekurangan, oleh karena itu dalam memperlakukan individu hal ini perlu diperhatikan Caused Behavior/perilaku penyebab : Manusia dalam berperilaku tentu ada sebabnya Perilaku itu disebabkan karena ingin memenuhi kebutuhannya, hal inilah sebagai motivasi yang menyebabkan berperilaku tertentu Human Dignity/martabat manusia: Manusia ingin diperlakukan dengan hormat atau diakui secara layak atas aspirasi dan prestasinya 2. Sifat Organisasi Organisasi merupakan sistem sosial : Organisasi merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih besar Organisasi harus memiliki tanggung jawab sosial Organisasi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai umum dalam masyarakat Organisasi merupakan kepentingan bersama: Kelangsungan organisasi merupakan tanggung jawab semua anggota 3. Kepribadian Definisi : Keseluruhan cara bagaimana individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain Serangkaian karakteristik dan kecenderungan perilaku orang yang relatif stabil, bersifat berkesinambungan dan konsisten
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
B. Persepsi Dalam suatu kelompok atau organisasi selalu terjadi proses hubungan dua arah/komunikasi, tentu ada yang memberi dan menerima informasi tergantung dari baik atau tidak proses komunikasi yang berlangsung, baik tidaknya proses hubungan/komunikasi dalam organisasi, bagaimana penerimaan persepsi dari anggota dalam suatu organisasi. Dengan demikian peran persepsi dalam organisasi sangat penting terutama dalam proses pengambilan keputusan atau pemecahan masalah dan efektivitas pelaksanaan kerja. Jadi dalam usaha mengubah perilaku mendapat perilaku yang efektif dalam organisasi haruslah memberikan sesuatu yang mempunyai konsekuensi persepsi positif. a. Stephen P. Robbins Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan yang diterima melalui inderanya agar mendapat pengertian terhadap lingkungan. b. W. Clay Hammer dan Dennis W. Organ Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikiran, menafsirkan, mengalami dan mengolah sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya. c. Huljbers & Davidoff Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktifitas yang intergrated dalam diri individu. b. Moskowitz & Orgel Dibidang kognisi atau pemikiran, persepsi merupakan kontak utama manusia dengan dunia. Di bidang afeksi atau perasaan, persepsi merupakan fungsi karena dapat membangkitkan perasaan-perasaan
ISSN: 2355-8466
tertentu seperti gembira, sedih, dan sebagainya. Di bidang konasi atau tindakan, persepsi membuka kemungkinan untuk bertindak. Dari beberapa ahli yang lain pada dasarnya menguraikan bahwa persepsi dapat disimpulkan sebagai berikut : Proses pemberian arti kognitif (kesadaran, pengertian) yang dialami seseorang di dalam menerima stimulus (rangsangan obyek, kejadian, situasi) yang berasal dari luar melalui panca indra yang selanjutnya diseleksi, diorganisasikan dan di interpretasikan sehingga memperoleh gambaran pengertian yang tertentu. Proses persepsi berhubungan dengan bagaimana persepsi tersebut dibentuk sehingga memberikan reaksi/respon dalam bentuk sikap dan perilaku. a. Gibson, Ivancevich & Donneley: - Penerimaan stimulus - Pengorganisasian stimulus - Menerjemahkan stimulus b. Udai Persek: - Penerimaan stimulus (inputs) - Pengorganisasian stimulus
- Menerjemahkan stimulus - Pengujian Reaksi Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa tahapan dari proses persepsi atau komponen persepsi yaitu : a. Menerima stimulus Proses persepsi dimulai ketika seseorang dihadapkan dengan stimulus dari beberapa obyek, kejadian, situasi yang berasal dari lingkungan. Stimulus ini diterima melalui indera seperti ; penciuman, penglihatan, pendengaran, perasaan dan sentuhan. b. Seleksi stimulus Seseorang setiap hari secara tetap atau tidak dipengaruhi oleh berbagai stimulus. Banyak stimulus yang mempengaruhi inderanya, ditambah dengan pengaruh situasi lingkungan secara keseluruhan. Dengan semua stimulus yang datang melanda seseorang maka mereka memerlukan seleksi sehingga diperoleh suatu stimulus yang tepat, relevan dengan masalah yang dihadapi atau menarik pehatiannya.
Gambar 7 Proses Terjadinya Persepsi Individu
Pengamatan langsung
Stimulus
pengetahuan
Pengamatan Tdk langsung
Kondisi dan nilai
Persepsi ditanggapi dengan dasar
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
Objek persepsi berwujud benda disebut persepsi benda atau juga biasa disebut dengan non-sosial perseption. Sedangkan jika objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifatsifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi. Tim Kerja yang Tangguh Tim kerja terdiri dari sekumpulan karyawan yang dikoordinasi oleh ketua tim dan atau seorang manajer. Pada umumnya tim kerja dibentuk sebagai suatu kebutuhan organisasi agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Dengan tim kerja diharapkan fungsi kontrol akan berjalan lebih efektif dan efisien. Konflik-konflik atau deviasi kerja bisa ditekan seminim mungkin dengan kepemimpinan yang kuat dari seorang manajer. Mekanisme hubungan sesama mitra kerja pun dapat berjalan intensif. Ketangguhan sebuah tim kerja dicirikan oleh orang-orang terpilih yang menduduki posisi tertentu dan mampu menjalankan tugas sesuai dengan kompetensinya. Keberhasilan tim merupakan akumulasi dari proses dan kinerja setiap karyawan. Katakanlah, semacam tugas dan hasil kolektif dalam suatu sistem kerja yang sinergis. Semakin tinggi kekuatan sinergitas diantara karyawan dan manajer semakin tinggi kekuatan sebuah tim. Tingkat kesalahan dalam pekerjaan pun dapat ditekan sekecil mungkin. Beberapa ciri yang mencerminkan terdapatnya ketangguhan sebuah tim kerja meliputi: 1. Kesamaan visi dan misi kerja. Para karyawan dan manajer memiliki sudut pandang yang relatif sama dalam mengerjakan tugas perusahaan. Orientasi dan fokusnya pada proses dan hasil. Walau debat diantara karyawan tidak bisa dihindarkan namun selalu diarahkan pada bagaimana target hasil JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
bisa dicapai. Perbedaan pendapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Karena itu biasanya konflik bisa ditekan dengan cara saling menumbuhkan pengertian yang dipandu manajer. 2. Prioritas perhatian dan tindakan pada sesuatu yang terbaik buat organisasi. Tim memandang baik buruknya kinerja perusahaan merupakan akumulasi dari kinerja tim. Sementara kalau perusahaan memiliki kinerja (profitability) yang baik maka akan berpengaruh terhadap kompensasi yang diberikan kepada karyawan. Semakin besar kompensasi semakin puas karyawan dalam bekerja. Pada gilirannya kinerja karyawan juga akan meningkat. Untuk itu tim yang baik adalah tim yang mampu mempertahankan bahkan mencapai tujuan organisasi yang lebih besar secara taatasas (konsisten). 3. Karyawan berkomitmen tinggi pada pekerjaan. Pada umumnya tim yang kuat dicerminkan pula oleh kekuatan kepentingan para karyawannya. Tanggung jawab dan hak dibuat sedemikian rupa secara seimbang. Mereka tidak saja bekerja untuk kepentingan memperoleh taraf kehidupan keluarga yang semakin baik tetapi juga buat kesehatan organisasi. Karena itu demi kepentingan seperti itu mereka umumnya sebagai pekerja keras. Enerji yang dikeluarkan untuk organisasi cenderung relative seimbang dengan enerji yang dikeluarkan buat keluarganya dan bahkan buat lingkungan sosialnya. Dengan kata lain bekerja bagi kepentingan tim dan kepentingan individu karyawan plus keluarganya menyatu dalam totalitas kepentingan organisasi. 4. Karyawan dapat hidup berdampingan dalam keragaman. Tiap individu tim sadar akan adanya keragaman latar belakang budaya, gender, usia, pendidikan, pengalaman, dan kepribadian di antara mereka. Keragaman tidak dipandang sebagai hambatan. Tetapi justru sebagai kekuatan dalam saling memahami dan mengisi kekurangan, dan memperkuat
ISSN: 2355-8466
kelebihan masing-masing individu sebagai kekuatan tim. Kekuatan ini tidak dilihat dari sisi fisik tetapi dari karakteristik potensi personal sebagai kekuatan yang sifatnya alami. 5. Tim yang kuat sebagai magnit talenta. Dalam bekerja, setiap anggota tidak lepas dari suasana kompetisi sesama mitra kerja. Idealnya setiap orang ingin siap untuk itu. Namun dalam kenyataannya ada saja yang tidak bisa dan tidak biasa bekerja keras. Istilahnya pekerja minimalis. Sementara organisasi menghendaki semua karyawannya mampu bekerja keras. Karena itu manajer mengkondisikan suasana bekerja yang intensif namun dalam suasana nyaman tanpa harus ada tekanan-tekanan psikologis. Untuk itu manajer menumbuhkan adanya tantangan-tantangan dan sifat tanggung jawab di kalangan karyawannya. Hal itu baru bisa berjalan baik apabila suasana proses pembelajaran berjalan efektif. Setiap karyawan didorong untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikapnya melalui pelatihan di kelas atau dalam diskusidiskusi membahas suatu ide. Pembelajaran lewat trial and error juga diterapkan agar mereka terbiasa untuk menghadapi dan mengatasi masalah. Tim kerja yang tangguh adalah dambaan setiap manajemen puncak. Disadari tim kerja yang kuat tidak timbul tiba-tiba. Tetapi harus dibentuk dan dikembangkan. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan operasional yang dapat dilaksanakan dan terukur. Dukungan operasional seperti sumberdaya fasilitas dan waktu serta upaya sistematis akan memercepat terbentuknya tim tangguh atau kuat. Sebagai tingkat awal membentuk tim yang kuat adalah penting tetapi tidaklah cukup untuk kelangsungan organisasi. Dengan kata lain setiap manajer harus mampu menciptakan pertumbuhan tim yang berkesinambungan melalui pelatihan, insentif kompensasi, dan membangun hubungan kerja antarkaryawan dan manajer dengan karyawan secara intensif.
KESIMPULAN Perilaku Organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi). Perilaku organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi. Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan psikologi. Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang Sumber daya manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi. Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Ditilik dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia itu disebabkan karena kemampuan, kebutuhan, cara berpikir untuk menentukan pilihan perilaku, pengalaman, dan reaksi afektifnya berbeda satu sama lain. Pendekatan yang sering dipergunakan untuk memahami perilaku manusia adalah ; pendekatan kognitif, reinforcement, dan psikoanalitis. Pendekatan kognitif menekankan mental internal seperti berpikir dan menimbang. Penafsiran individu tentang lingkungan dipertimbangkan lebih penting dari lingkungan itu sendiri. Pendekatan kognitif, perilaku dikatakan timbul dari ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian pada struktur kognitif, yang dapat dihasilkan dari persepsi tentang lingkungan. Pendekatan kognitif menyatakan bahwa kognisi (pengetahuan dan pengalaman) adalah proses mental, yang saling menyempurnakan dengan struktur kognisi yang ada. Dan akibat ketidak sesuaian (inconsistency) dalam struktur menghasilkan perilaku yang dapat mengurangi ketidak sesuaian tersebut. Pendekatan penguatan (reinforcement) menekankan pada peranan lingkungan
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466
dalam perilaku manusia. Lingkungan dipandang sebagai suatu sumber stimuli yang dapat menghasilkan dan memperkuat respon perilaku. Pendekatan reinforcement menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan oleh stimuli lingkungan baik sebelum terjadinya perilaku maupun sebagai hasil dari perilaku. Pendekatan reinforcement, lingkungan yang beraksi dalam diri individu mengundang respon yang ditentukan oleh sejarah. Sifat dari reaksi lingkungan pada respon tersebut menentukan kecenderungan perilaku masa mendatang. Menurut pendekatan psikoanalitis, perilaku itu ditimbulkan oleh tegangan (tensions) yang dihasilkan oleh tidak tercapainya keinginan. Pendekatan psikoanalitis menekankan peranan sistem personalitas di dalam menentukan sesuatu perilaku. Lingkungan dipertimbangkan sepanjang hanya sebagai ego yang berinteraksi dengannya untuk memuaskan keinginan. Dalam pendekatan psikoanalitis, keinginan dan harapan dihasilkan dalam Id kemudian diproses oleh Ego dibawah pengamatan Superego. Pendekatan kognitif tidak memperhitungkan masa lalu (ahistoric). Pengalaman masa lalu hanya menentukan pada struktur kognitif, dan perilaku adalah suatu fungsi dari pernyataan masa sekarang dari sistem kognitif seseorang, tanpa memperhatikan proses masuknya dalam sistem. Teori reinforcement bersifat historic. Suatu respon seseorang pada suatu stimulus tertentu adalah menjadi suatu fungsi dari sejarah lingkungannya. Menurut pendekatan psikoanalitis, masa lalu seseorang dapat menjadikan suatu penentu yang relatif penting bagi perilakunya. Kekuatan yang relatif dari Id, Ego dan Superego ditentukan oleh interaksi dan pengembangannya dimasa lalu. Dalam pendekatan kognitif memang ada aneka ragam tingkatan kesadaran, tetapi dalam kegiatan mental yang sadar seperti mengetahui, berpikir JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
dan memahami, dipertimbangkan sangat penting. Dalam teori reinforcement, tidak ada perbedaan antara sadar dan tidak. Biasanya aktifitas mental dipertimbangkan menjadi bentuk lain dari perilaku dan tidak dihubungkan dengan kasus kekuasaan apapun. Aktifitas mental seperti berpikir dan berperasaan dapat saja diikuti dengan perilaku yang terbuka, tetapi bukan berarti bahwa berpikir dan berperasaan dapat menyebabkan terjadinya perilaku terbuka. Pendekatan psikoanalitis hampir sebagian besar aktifitas mental adalah tidak sadar. Aktifitas tidak sadar dari Id dan Superego secara luas menentukan perilaku. DAFTAR PUSTAKA Bellinger, Gene. 2001. Organizational Citizenship Behavior. Virtual Library on Management. San Fransisco: Berret-Koehler Publishers, Inc. Davis, Keith and John Newstrom. 2006. Human Behavior at Work. 4th Edition. Mc. Graw Hill Book Company. New York Gibson, James L. et. Al. 2001. Organisasi, Perilaku Struktur, Proses. Penerbit Erlangga Jakarta. Gitosudarsono, Indriyo & I Nyoman S. 2007. Perilaku Keorganisasian. BPFE. Edition I. Yogyakarta. Hersey, Paul and Kenneth H. B. 2002. Manajemen Perilaku Organisasi. Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Erlangga Jakarta. Hartono, Timotius. 2003. Manajemen Konflik. Short Course. Kemepemimpinan Eksekutif. LPA. FIA. Unibraw Malang dan Kadinda Jakarta. Hany .T. Handoko. 2008. Organisasi Perusahaan. Teori dan Perilaku dalam Manajemen. BPFE, Yogyakarta Sveiby, Karl Erik. 2001. The New Organizational Wealth: Managing and Measuring Knowledge-Based Assets, San
ISSN: 2355-8466
Fransisco: Berret-Koehler Publishers, Inc. Tanthowi, Jawahir. 2010. Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Quran, Penerbit Pustaka Al Husna. Jakarta. Takeuci, Hirotaka. 2013. Beyond Organizational Citizenship Behavior Management. Lessons
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
from www. Virtual Library on Knowledge Management. Japan. Thoha, Miftah. 2003. Perilaku Organisasi. Fisipol Universitas Gajah Mada. CV. Rajawali, Jakarta. Wahono, W. 2010. Perilaku Individu dan Organisasi. Symposium on Distance Education and Open Learning at. Jakarta.
ISSN: 2355-8466
JAMAK (Volume 3, Nomor 1, Oktober 2016)
ISSN: 2355-8466