JURNAL YUDISIAL Vol-IV/No-01/April/2011
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email :
[email protected]
INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS RELEVANSI FAKTA HUKUM DALAM PENGGUNAAN SIFAT MELAWAN HUKUM NEGATIF Kajian Putusan Nomor 29/ Pid. B/2007/PN/PL. R, Luh Rina Apriani, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Pancasila
DALIH KEADILAN DAN ERROR JURIS SEBAGAI ALASAN MELEPASKAN TERDAKWADARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel. Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN EFEKTIVITAS SANKSI UNTUK KASUS HAKIM PENERIMA SUAP Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM Nur Agus Susanto, PNS Komisi Yudisial RI
PERAN HERMENEUTIKA DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PUTUSAN Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R Deni Bram,Fakultas Hukum Universitas Pancasila
KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA YANG DIJADIKAN ALAT BUKTI Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis N. Ike Kusmiati, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung
POTRET BURAM ANAK PEREMPUAN INDONESIA Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung
OPTIK GENDER DALAM PUTUSAN PERKARA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG Velliana Tanaya Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
JY I VOL - IV/NO-01/APRIL/2011 I HLM. 1-112 I JAKARTA I ISSN 1978-6506
VOL-IV/NO-01/APRIL/2011
I
JURNAL APRIL.indd 1
5/16/2012 4:59:52 PM
DISCLAIMER
J
urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.
Alamat Redaksi: Gedung Komisi Yudisial Lantai 3 Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email:
[email protected]
II
JURNAL APRIL.indd 2
5/16/2012 4:59:52 PM
DAFTAR ISI
Relevansi Fakta Hukum dalam Penggunaan Sifat Melawan Hukum Negatif ................................................................... kajian Putusan Nomor 29/ Pid. B/2007/PN/PL. R, Luh Rina Apriani, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
1
DALIH KEADILAN DAN ERROR JURIS SEBAGAI ALASAN MELEPASKAN TERDAKWA DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM ........................................................ Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel. Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
15
Independensi Kekuasaan Kehakiman dan Efektivitas Sanksi untuk Kasus Hakim Penerima Suap ............................................. Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM Nur Agus Susanto, PNS Komisi Yudisial RI
28
PERAN HERMENEUTIKA DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PUTUSAN ............................. Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA YANG DIJADIKAN ALAT BUKTI .................................... kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis N. Ike Kusmiati, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung Potret buram anak perempuan Indonesia ............................ Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung OPTIK GENDER DALAM PUTUSAN PERKARA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA ................................... Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG Velliana Tanaya, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Banten
46
62
75
89
III
JURNAL APRIL.indd 3
5/16/2012 4:59:52 PM
PENGANTAR
“INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS”
I
ndependensi dan rasionalitas menjadi tema pertama Jurnal Yudisial edisi pertama tahun 2011. Pemilihan tema tersebut bukan tanpa alasan. Tema tersebut sesuai dengan komitmen Komisi Yudisial selama ini untuk mendorong independensi dan transparansi kekuasaan kehakiman. Independensi kekuasaan kehakiman sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan dibutuhkan untuk mewujudkan konsep Negara demokrasi modern yang menjunjung tinggi asas check and balances. Tanpa ada independensi maka kekuasaan kehakiman tidak lebih sebagai kepanjangan tangan atau alat kekuasaan belaka.
Meski demikian, konsep independensi bukan tanpa batasan. Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa. Pepatah Arab tersebut sepertinya sama seperti teori yang diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, kekuasaan cenderung dikorupsi. Apabila ditarik benang merah dengan pemangku kekuasaan kehakiman yaitu hakim, maka dapat disimpulkan bahwa hakim juga manusia yang dapat salah dan menyalahgunakan kekuasaan. Oleh sebab itu, independensi kekuasaan hakim tidak tak terbatas. Independensi yang diusung oleh hakim harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Illahi dan umat manusia. Apabila hal itu tidak terjadi maka independensi akan selalu disalahgunakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman. Fakta itu terlihat di salah satu artikel jurnal edisi ini yang mengungkapkan seorang hakim telah memperjualbelikan putusan dan independensinya. Selain independensi, transparansi juga prinsip penting dalam kekuasaan kehakiman. Ketidaktransparan pemangku kekuasaan kehakiman mengakibatkan mereka dapat bermain mata dalam menjalankan wewenangnya. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila transparansi mutlak dibutuhkan guna mendorong kekuasaan kehakiman dalam hal pengambilan keputusan di pengadilan dan pemberian informasi yang mengedepankan keadilan dan pertanggungjawaban kepada publik. Bagi pencari keadilan, patut disyukuri adanya kesadaran dari Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung yaitu SK KMA No.144/ KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Dalam SK tersebut setidaknya adanya upaya Mahkamah Agung mendorong transparansi. Prinsip-prinsip transparansi akan ditemukan dalam beragam artikel yang tersaji dalam jurnal kali ini, misalnya saja tulisan Dr. Shidarta yang mengungkapkan tentang tuduhan pemalsuan kelamin, dan juga yang ditulis oleh Luh Rina Apriani, S.H., M.H., begitu juga artikel yang ditulis oleh nara sumber yang lain. Lalu bagaimana dengan rasionalitas? Dimana letak rasionalitas dalam putusan hakim? Pertanyaan itu layak bergelayut bagi Anda. Transparansi tanpa adanya rasionalitas sangat mustahil terjadi. Rasionalitas menjadi dasar sistem kekuasaan kehakiman yang transparan. Tanpa rasionalitas, jangan berharap adanya transparansi dalam kekuasaan kehakiman karena rasionalitas membutuhkan pertanggungjawaban yang dapat diterima oleh akal dan nurani. Pada akhirnya, hanya putusan pengadilan yang mengedepankan IV
JURNAL APRIL.indd 4
5/16/2012 4:59:52 PM
PEDOMAN PENULISAN
Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. I.
FORMAT NASKAH
Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. II.
SISTEMATIKA NASKAH Judul naskah
Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh: PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG Nama dan identitas penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh: Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email
[email protected]. V
JURNAL APRIL.indd 5
5/16/2012 4:59:52 PM
Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf. III. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. IV. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya. V.
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. VI. KESIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah. PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10). Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata
VI
JURNAL APRIL.indd 6
5/16/2012 4:59:52 PM
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut: Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010.
. PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.
VII
JURNAL APRIL.indd 7
5/16/2012 4:59:53 PM
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
: Muzayyin Mahbub.
Pemimpin Redaksi
: Patmoko
Penyunting/Editor
: 1. Hermansyah
2. Onni Roeslani
3. Heru Purnomo
4. Imron
5. Asep Rahmad Fajar
6. Suwantoro
Redaktur Pelaksana
: Dinal Fedrian
Sekretariat
: 1. Sri Djuwati
2. Yuni Yulianita
3. Romlah Pelupessy.
4. Ahmad Baihaki
5. Arif Budiman.
6. Adi Sukandar
7. Aran Panji Jaya
8. Nur Agus Susanto
Desain Grafis & Fotografer
JURNAL APRIL.indd 8
Arnis Duwita
: Widya Eka Putra
5/16/2012 4:59:53 PM
Relevansi Fakta Hukum dalam Penggunaan Sifat Melawan Hukum Negatif Kajian Putusan Nomor 29/Pid.B/2007/PN/PL.R Luh Rina Apriani Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: [email protected]
ABSTRACT This paper examines the relevance of the term ‘nature against the law in negative sense’ as the reason for the suppression of criminal law to the facts revealed at trial. The relevance is important because proving the existence of nature against the law in a negative sense associated with the values of decency and living habits in society. The judges in this case seems to disregard to assess the facts of existing law as a unity, and value it as something that is partial and stand alone. Logical thinking is also not used when assembling the facts to one another when it is impossible that the defendant’s actions are assumed to serve the public interest when the public interest that wants to be served has been completed long before the defendant’s caught redhanded transporting timber without legal documentation. When the judges missed in assessing the facts that are based on a reasonable interpretation and logical thought patterns, the decision therein therefore is a decision that denies the values of justice, expediency, and legal certainty as seen in this decision. Keywords: nature against the law in negative sense, relevance, legal facts ABSTRAK Tulisan ini menguji relevansi definisi “sifat melawan hukum” sebagai alasan menyembunyikan hukum pidana sebagai fakta dalam persidangan. Relevansi ini penting disebabkan sifat melawan hukum dikaitkan dengan nilai-nilai kesusialaan dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam kasus ini sepertinya luput untuk melihat hukum yang berlaku sebagai fakta satu kesatuan yang bukan berdiri sendiri dan terpisah. Logika berfikir juga tidak mengunakan dasar kepentingan umum sebagaimana fakta terdakwa tidak membawa dokumen hukum dalam menjalankan aksi pengangkutan kayu. Dokumen tersebut dapat disebut sebagai fakta reasonable, sehingga pengabaikan hal itu juga berarti mengabaikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kata kunci: sifat melawan hukum, relevansi, fakta hukum
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 1
JURNAL APRIL.indd 1
5/16/2012 4:59:53 PM
I.
PENDAHULUAN
Putusan Nomor 29/Pid.B/2007/PN/PL.R dengan terdakwa P alias LN merupakan putusan atas perkara illegal logging. Terdakwa ditangkap saat mengangkut kayu mempergunakan Dump Truck Mitsubishi tipe Colt DSL FE 73 berwarna kuning. Kayu yang diangkut adalah kayu hutan jenis meranti dengan ukuran 5x7x5 m sebanyak 54 (lima puluh empat) potong dengan volume 0,95 m3, kayu olahan ukuran 5x7x4 m sebanyak 75 (tujuh puluh lima) potong dengan volume 1,05 m3, kayu olahan ukuran 20x2x4 sebanyak 119 (seratus sembilan belas) potong dengan volume 1,90 m3, dengan jumlah volume keseluruhan sebanyak 3,90 m3. Terdakwa membeli kayu-kayu tersebut dengan harga Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) tiap kubiknya dari masyarakat di Desa Tuyun dan dari pinggir jalan Desa Dahian Tambuk untuk dipergunakan sebagai sarana memperbaiki jembatan darurat antara Palangka Raya menuju Kuala Kurun untuk memperlancar transportasi pada saat Pesparawi tingkat Propinsi Kalimantan Tengah. Perbaikan jembatan darurat ini merupakan proyek Pemerintah Daerah cq. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Tingkat I Kalimantan Tengah. Alasan penangkapan terhadap terdakwa dikarenakan terdakwa tidak dapat menunjukkan kepada kedua saksi surat-surat atau dokumen yang sah atas kayu yang diangkut oleh terdakwa saat dilakukan pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang sah atas kayu-kayu tersebut. Berdasarkan temuan awal di lapangan mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan maka penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yang disusun sebagai berikut: 1.
Kesatu: melanggar Pasal 50 ayat (3) hurf f jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
2.
Kedua: melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dakwaan penuntut umum merupakan dakwaan alternatif yang biasanya dikarenakan penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana yang akan terbukti nantinya di persidangan atau jika penuntut umum memiliki keraguan dasar hukum mana yang akan dipergunakan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti. Dakwaan alternatif memperbolehkan majelis hakim mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas menyatakan bahwa dakwaan kedua tidak terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama (Hamzah, 1996: 189). Majelis hakim dalam perkara ini setelah menilai kesesuaian fakta hukum yang terungkap di persidangan, akhirnya menentukan bahwa dakwaan yang lebih sesuai untuk didakwakan kepada terdakwa adalah dakwaan kedua yaitu terdakwa dipersalahkan telah melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 2
5/16/2012 4:59:53 PM
Berdasarkan perumusan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut maka unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan alternatif kedua adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang, Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan keterangan sahnya hasil hutan. Terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan alternatif kedua menjadikan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan penuntut umum. Namun majelis hakim tidak serta merta menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa karena majelis hakim masih harus mempertimbangkan adanya unsur melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Pembuktian terpenuhi atau tidaknya sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa dititik beratkan pada fakta persidangan bahwa kayu-kayu yang diangkut terdakwa pada saat terjadi penangkapan akan dipergunakan untuk memperbaiki jembatan agar tidak terjadi kecelakaan menjelang kegiatan Pesparawi sesuai dengan perintah Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU). Untuk itu majelis hakim berpendapat bahwa meskipun secara formil perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang namun jika ditinjau dari kepentingan yang ada pada masyarakat maka secara materiil perbuatan terdakwa bukanlah merupakan suatu perbuatan yang tercela karena dilakukan semata-mata untuk melayani kepentingan umum. Kesimpulan majelis hakim ini didukung dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara Machroes Effendi dengan pertimbangan bahwa “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor Negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”. Berdasarkan alasan dan pertimbangan di atas maka perbuatan terdakwa mengangkut kayu tanpa dilengkapi dengan SKSHH akan tetapi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan umum serta tidak ditemukannya fakta selama di persidangan bahwa terdakwa mendapatkan untung dari perbuatannya, telah kehilangan sifat melawan hukumnya sehingga bukanlah suatu perbuatan pidana. Pertimbangan majelis hakim sebagaimana diuraikan di atas mengerucut menjadi suatu putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, tetapi perbuatan tersebut tidaklah dapat dipidana; JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 3
JURNAL APRIL.indd 3
5/16/2012 4:59:53 PM
2. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging); 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya; 4. Memerintahkan agar barang-barang bukti berupa 1 (satu) mobil No. Pol B 9682 YZ dengan No. Sin: 4D34T-C22334 No. Ka/Nik: MHMFE 73 P 37 K000086, Merk/type: Mistsubishi/ Colt Dsl FE 73 (4x2) MT warna kuning serta kayu olahan ukuran 5x7x5 m sebanyak 54 (lima puluh empat) potong dengan volume 0,95 m3, ukuran 5x7x4 m sebanyak 75 (tujuh puluh lima) potong dengan volume 1,05 m3, 20x2x4 sebanyak 119 (seratus sembilan belas) potong dengan volume 1,90 m3, dengan jumlah volume keseluruhan sebanyak 3,90 m3 dikembalikan kepada terdakwa; 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara. II. RUMUSAN MASALAH Roeslan Saleh (1987: 1) menyatakan “memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya. Sehingga untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum. Perbuatan melawan hukum saat ini sudah mengalami pergeseran tidak sebatas perbuatan melawan hukum formal namun juga perbuatan melawan hukum materiil. Perbuatan hukum materiil pun dapat dipergunakan dalam artian yang positif maupun negatif. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Penggunaan yurisprudensi yang dalam sistem hukum kita lebih berifat persuassive force of precedent daripada the binding force of precedent mengakibatkan hakim harus pandai dalam mengelaborasi fakta-fakta hukum yang ada berdasarkan inteprestasi dan keyakinannya hingga didapat suatu kesimpulan bahwa dalam suatu perkara sudah terpenuhi atau tidak unsur perbuatan melawan hukum. Tulisan ini akan menyoroti relevansi antara penggunaan yurisprudensi serta fakta-fakta hukum dengan pertimbangan hakim saat mempergunakan pengertian perbuatan melawan hukum secara negatif yang menghasilkan suatu kesimpulan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Ini menjadi penting karena dalam mempergunakan pengertian negatif dari perbuatan melawan hukum selain diperlukan pembuktian dari fakta-fakta hukum di persidangan namun juga perlu adanya kepekaan majelis hakim untuk dapat merasakan nilai keadilan dan kepatutan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, didapatkan suatu putusan yang selain mengedepankan nilai kepastian juga bermuatan kemanfaatan dan keadilan.
4 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 4
5/16/2012 4:59:53 PM
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dalam makna sebenarnya” (Ali, 2002: 140). Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, “apabila kita memperhatikan undang-undang, ternyata bagi kita bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis baik “rechts maupun wetshistoris”, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum (Hock, 1965: 11). Oleh karena itu maka hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung lidah atau corong undang-undang (bousche de la loi/mouth of the laws) akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hakim harus menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law). Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup dalam menara gading”. Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 5
JURNAL APRIL.indd 5
5/16/2012 4:59:53 PM
lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif di mana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) di mana Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3
6 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 6
5/16/2012 4:59:53 PM
(tiga) sifat hilangnya unsur (bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung. (Mulyadi, 2006: 22). Selain itu, Mahkamah Agung berpendirian dengan membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi bahwa hilangnya sifat melawan hukum dapat juga dikarenakan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis sebagaimana pertimbangan itu disebutkan dengan redaksional sebagai berikut: “bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.” Dengan tolok ukur sebagaimana di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas “perbuatan melawan hukum materiil” (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsi negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/ Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995). Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.” Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 7
JURNAL APRIL.indd 7
5/16/2012 4:59:53 PM
merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.” Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas. Konklusi dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan. Salah satu contoh dari perkara di mana hakim mempergunakan ajaran perbuatan melawan hukum negatif adalah perkara illegal logging dengan terdakwa Ir. Palamoor Als. Lamor Nababan. Majelis hakim nampaknya berpandangan bahwa hukum acara pidana tidak hanya bersifat formil namun juga materiil sehingga perlu diuji apakah secara materiil tindakan terdakwa tersebut memenuhi unsur melawan hukum. Untuk mendukung pendapatnya majelis hakim mempergunakan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 42/K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang menyatakan bahwa ”suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”. Salah satu fakta hukum yang menjadi pertimbangan majelis hakim untuk menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum negatif dengan didasarkan pada yurisprudensi di atas adalah fakta bahwa kayu-kayu yang diangkut oleh terdakwa akan dipergunakan untuk membangun jembatan antara Palangka Raya menuju Kuala Kurun demi kelancaran transportasi pada saat pelaksanaan Pespawari tingkat Propinsi Kalimantan Tengah. Terdakwa, dalam kesaksiannya, menyatakan bahwa sebagai petugas proyek dirinya mendapat tanggung jawab agar tidak terjadi kecelakaan di jembatan tersebut saat berlangsungnya Pespawari. Berdasarkan hal tersebut majelis hakim berpendapat bahwa pengangkutan kayu-kayu oleh terdakwa, yang tidak disertai dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), semata-mata untuk melayani kepentingan umum tanpa adanya keuntungan bagi diri pribadi terdakwa. Penulis menilai bahwa hakim memiliki kebebasan untuk mempergunakan semua sumber hukum yang ada mulai peraturan perundang-undangan, doktrin maupun yurisprudensi dalam memutuskan suatu perkara. Namun yang perlu diingat adalah hakim memiliki tanggung jawab terhadap semua pilihan yang dipergunakannya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
8 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 8
5/16/2012 4:59:53 PM
persidangan serta tidak boleh meniadakan anasir nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga saat majelis hakim menilai bahwa perbuatan hukum terdakwa secara formil dapat dipidana kemudian memutuskan untuk meneliti alasan peniadaan pidana dengan menerapkan ajaran perbuatan hukum negatif, keputusan hakim tersebut harus sangat didukung oleh fakta yang ada serta kepekaan majelis hakim berkaitan dengan nilai-nilai keadilan. Karena sekali lagi perlu ditekankan perbuatan hukum materiil tidaklah berpatokan pada ketentuan peraturan perundangundangan namun lebih mengedepankan sensitivitas hakim untuk menilai suatu perbuatan hukum apakah dapat dipidana atau tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan yang kadang menyentuh sisi subyektifitas hakim. Sayangnya penilaian majelis hakim untuk meniadakan sifat melawan hukum terdakwa berdasarkan fakta bahwa kayu-kayu yang diangkat dipergunakan untuk kepentingan umum, menurut Penulis adalah kurang tepat. Ada beberapa hal yang menjadikan penggunaan fakta ini tidak tepat antara lain: Kegiatan Pespawari merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah bekerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum Tingkat I Kalimantan Tengah, sehingga semua kegiatan dan/atau orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut seharusnya dilengkapi oleh Surat Tugas yang menyatakan bahwa orang-orang tersebut benar terlibat dalam kegiatan itu. Namun majelis hakim dalam perkara ini nampaknya luput untuk mempertanyakan kelengkapan administrasi dari terdakwa walaupun terdakwa dalam kesaksiannya menyatakan sebagai koordinator proyek yang memiliki tanggung jawab besar dalam perbaikan jalan serta jembatan yang akan dipergunakan dalam kegiatan Pespawari tersebut, Fakta di persidangan memperlihatkan bahwa kegiatan Pespawari diadakan pada tanggal 20 November 2007 sampai dengan tanggal 26 November 2007 sehingga secara logika pembangunan dan/atau perbaikan jembatan dilakukan sebelum acara Pespawari tersebut dilaksanakan. Sedangkan terdakwa ditangkap tangan mengangkut kayu-kayu tanpa disertai SKSHH pada tanggal 1 Desember 2007 setelah Pespawari selesai dilakukan. Sehingga asumsi bahwa kayukayu yang diangkut terdakwa dipergunakan untuk kegiatan Pespawari yang secara tidak langsung ikut melayani kepentingan umum tidak dapat dipergunakan. Bagaimana mungkin terdakwa dibebaskan dari dakwaannya dengan alasan tindakan terdakwa dilakukan untuk melayani kepentingan umum sedangkan kepentingan umum yang seharusnya dilayani oleh terdakwa telah selesai diselenggarakan saat terdakwa tertangkap tangan sedang mengangkut kayu-kayu tanpa disertai dokumen yang lengkap? Penanganan tindak pidana kehutanan, perlu dipahami sebagai bagian mendorong terciptanya tujuan pembangunan kehutanan dalam rangka memenuhi kesejahteraan rakyat Indonesia dan tetap menjaga fungsi hutan sebagai konservasi, lindung dan produksi. Sehingga, penanganan permasalahan kehutanan harus lintas sektoral, termasuk keberanian untuk memahami tindak JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 9
JURNAL APRIL.indd 9
5/16/2012 4:59:53 PM
pidana kehutanan bukan sekadar bagian dari tindak pidana umum, serta tidak mereduksinya menjadi sebuah pelanggaran administratif, melainkan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan yang memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia. Pemahaman terhadap akar persoalan munculnya tindak pidana kehutanan, akan membuahkan hasil menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebab, penanganan tindak pidana kehutanan, tidak terlepas dari upaya bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran yang ditujukan bagi pemenuhan kesejahteraan rakyat (baik secara ekonomi maupun sosial dan budaya) melalui pembangunan di sektor kehutanan (Alvi Syahrin, “Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Kehutanan”, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/penegakan-hukumtindak-pidana-bidang.htm, diunduh untuk didownloud pada Rabu 20 April 2011, jam 08:30). Latar belakang penegakan hukum yang demikian, khususnya terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, seyogianya dapat memberikan tekanan kepada hakim bahwa putusan yang dijatuhkan akan menjadi preseden dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Peniadaan sifat melawan hukum yang didasarkan atas kepentingan umum adalah lumrah namun bisa menjadi repetisi tidak positif dalam kasus-kasus serupa yang terjadi di masa yang akan datang. Terlebih lagi saat alasan tersebut tumpang tindih dengan fakta lain yang seharusnya diperhatikan oleh majelis hakim. Terdakwa merupakan koordinator proyek yang mendapatkan mandat dari pemerintah daerah dan dinas pekerjaan umum untuk memperbaiki jembatan dalam rangka kegiatan Pespawari. Merupakan suatu harapan masyarakat apabila orang-orang seperti terdakwa selayaknyalah tidak melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya (analogi yang sama saat masyarakat mengharapkan apabila seorang anggota DPR tidak melakukan tindakan tercela, misalnya melakukan korupsi). Sehingga saat majelis hakim tidak mempertimbangkan bahwa tindakan pidana telah menciderai nilai kepatutan dan keadilan dalam masyarakat dan langsung memutuskan bahwa tindak pidana terdakwa dapat ditiadakan dengan alasan untuk melayani kepentingan umum, hakim dengan sendirinya telah meniadakan nilai keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum dari putusan yang dihasilkannya. Menurut teori ilmu hukum, idealnya hukum harus mampu berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan manusia yang sering saling bertabrakan satu sama lain (conflict of human interest). Konflik yang sering terjadi inilah yang lalu menjadi sebab wujudnya (raison d’etre) hukum. Selanjutnya, agar kepentingan manusia terlindungi dengan baik, hukum harus ditegakkan. Pada saat ditegakkan inilah hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Ia tidak lagi sekadar barisan pasal-pasal mati yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh living interpretator yang bernama hakim. 10 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 10
5/16/2012 4:59:53 PM
Hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengombinasikan tiga hal secara simultan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel atas tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat. Kepastian hukum ini, dalam teori ilmu hukum, sering diganti dengan istilah predictability. Maksudnya, penegakan hukum itu idealnya harus dapat diprediksi, pihak yang salah akan diputus bersalah dan pihak yang benar akan diputus benar. Sebaliknya, pihak yang salah diputus benar dan pihak yang benar diputus salah oleh pengadilan. Predictability ini menjadi elemen amat penting untuk menjaga keadaan hukum tetap sebagai rujukan terakhir dalam masyarakat dan melindungi kewibawaan hukum itu sendiri. Tetapi, fakta empiris lebih menunjukkan lembaga peradilan kita sering membuat putusan yang unpredictable. Unsur kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum mempunyai makna filosofis yang amat mendalam, yaitu karena hukum ditujukan untuk manusia, maka harus memberi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi manusia. Kemanfaatan ini terutama berbentuk terlindunginya kepentingan satu pihak dari perampasan yang dilakukan pihak lain. Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya paling genuine dan hakiki dari hukum itu sendiri. Aliran etis dalam hukum berpendapat, hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Pengadilan berfungsi amat vital dalam menopang pelaksanaan ide-ide hukum (das sollen) menjadi kenyataan-kenyataan hukum (das sein) sehingga Oliver Wendel Holmes mengatakan, “Law is what the courts will do in fact” (Holmes, 1979: 409). Karena itu, hakim sebagai aktor penegak hukum utama di pengadilan harus benar-benar melakukan “konkretisasi hukum” dengan tetap memperhitungkan perasaan keadilan masyarakat. Konkretisasi hukum berarti hakim telah menghidupkan pasal-pasal mati dalam sebuah peraturan perundang-undang (law in the book) menjadi suatu putusan nyata (law in action) untuk memberikan putusan terhadap suatu peristiwa hukum. Persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan kita adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim kita hanya menangkap apa yang oleh Roscoe Pound (RJ Simon, 1969: 12) disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Oleh karena itu, kohesivitas antara hukum positif dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat menjadi conditio sine qua non untuk menghindari keadaan di mana hukum ada di puncak menara gading yang jauh dari jangkauan pemahaman keadilan masyarakat. Hal ini juga menjadi perhatian
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 11
JURNAL APRIL.indd 11
5/16/2012 4:59:53 PM
dalam studi sosiologi hukum sebagaimana dianjurkan Eugen Ehrlich (1826-1922) dari aliran sociological jurisprudence. Ia mengatakan, hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah yang sesuai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Dengan demikian, penegak hukum juga tidak bisa mengabaikan eksistensi living law, bahkan harus terus menggali, mengikuti, dan memahaminya. Agaknya pengabaian terhadap living law inilah yang terjadi pada hakim-hakim kita. Peradilan sebagai benteng terakhir keadilan merupakan salah satu dari lembaga kemasyarakatan (social institution). Karena itu, sebagaimana hukum positif, kohesivitasnya dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain harus tetap terjaga untuk menghindari terjadinya apa yang oleh WF, Ogburn (1966: 200) disebut social lag, yaitu suatu keadaan di mana perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan berjalan secara tidak seimbang yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan di masyarakat. Penegakan hukum, misalnya, tidak hanya dibaca sebagai sebuah proses yang berdimensi hukum saja, tetapi juga mempunyai dimensi lain di luar hukum. Dengan demikian, penegakan hukum yang tidak konsisten akan mengakibatkan social institution lain terganggu keseimbangannya. Kegagalan peradilan kita dalam mengemban fungsi kemasyarakatan, karena sebagai social institution, akan berakibat fatal: krisis kepercayaan terhadapnya. Jika peradilan tidak lagi mempunyai kewibawaan yang cukup, anarkisme dalam segala aspeknya tidak lagi dapat dihindarkan. Putusan atas perkara illegal logging ini memang tidak bisa dijadikan tolok ukur bahwa peradilan telah gagal, namun akan lebih baik apabila majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat lebih teliti dalam menilai fakta-fakta yang ada didasarkan atas interpretasi yang masuk akal dan pola pikir yang logis sehingga dapat diminimalisasi produk pengadilan yang mengingkari nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum seperti terlihat dalam putusan ini. IV. SIMPULAN Putusan majelis hakim atas perkara Nomor: 29/ Pid.B/2007 /PN.PL.R. dengan terdakwa P alias LN ini secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara pidana, di mana formalitas putusan telah dipenuhi oleh majelis hakim dengan merangkai fakta dalam persidangan, buktibukti serta keterangan saksi yang mendukung pertimbangan hakim. Pembuktian unsur tindak pidana telah dilakukan secara terperinci selain mempergunakan dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan juga yurisprudensi. Namun penalaran hukum yang dipergunakan di beberapa uraian mengenai unsur tindak pidana tidak dilakukan secara sistematis dan beberapa didasarkan atas fakta yang tidak relevan sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang terkesan dipaksakan seperti saat majelis hakim berkesimpulan bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa hilang karena kayu yang
12 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 12
5/16/2012 4:59:53 PM
diangkut oleh terdakwa dipergunakan untuk membangun jembatan. Majelis hakim berpendapat dengan peruntukkan seperti itu maka perbuatan terdakwa sebenarnya dilakukan untuk melayani kepentingan umum tanpa mengambil keuntungan untuk dirinya pribadi. Majelis hakim nampaknya luput mencermati ketepatan penggunaan yurisprudensi yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dengan kronologis penangkapan dan waktu pembuatan jembatan sehingga langsung menyimpulkan bahwa walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana illegal logging namun karena tidak adanya sifat melawan hukum maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Seharusnya majelis hakim tidak hanya berusaha menegakkan keadilan prosedural dengan mentransformasi ketentuan undang-undang dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana tetapi juga memperhatikan serta mempertimbangkan faktor-faktor non yuridis yang menginterpretasi kebutuhaan riil masyarakat saat ini berkaitan dengan penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana illegal logging. Semoga hakim kita selalu ingat adagium hukum, equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum). (*)
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press. Fadjar, Mukthie. 2003. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik. Cet. 1., Malang: In-Trans. Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya. Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana. Indonesia Center of Environmental Law. 2006. Manual Investigasi Illegal Logging dengan Pendekatan Undang Undang Kehutanan, Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Kemitraan – ICEL. Pecker, Herbert L. 1968. The Model in Operation : From Arrest to Charge. California: Stanford University Press. Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press. _________, 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Penerbit Kompas. Saleh, Roeslan. 1987. Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Aksara Baru.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 13
JURNAL APRIL.indd 13
5/16/2012 4:59:53 PM
Sapardjaja, Komariah E. 2002. Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni. Shidarta. 2007. Utilitarianisme. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara. Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Alumni. Soemodipradja, Achmad S. 1984. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Van Bemmelen, J.M. 1997. Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta. Wilardjo, Liek. 1990. Realita dan Desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
14 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 14
5/16/2012 4:59:53 PM
DALIH KEADILAN DAN ERROR JURIS SEBAGAI ALASAN MELEPASKAN TERDAKWA DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel. Shidarta Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email [email protected]
ABSTRACT There are many conditions that could be determined as valid defences in court decisions. Some have been specified in the Indonesian Criminal Code but others appear from legal practices. In the verdict number 583/Pid.B/2010/PN Jkt Sel., panel of judges concluded that the accused was unpunishable due to the existence of valid defences related to legal justice, moral justice, and social justice. This article scrutinizes those reasons of the valid defence and comes to the conclusion that judges failed to support their arguments. The author refers to “error juris” as a more appropriate rationale that should be establised in the judges’ arguments. Keywords: valid defence, justice, error juris ABSTRAK Ada banyak kondisi yang dapat ditetapkan sebagai alasan pembenar dan/atau pemaaf dalam putusan hakim. Beberapa di antaranya sudah diatur dalam KUHP, tetapi selebihnya muncul dalam praktik hukum. Dalam putusan No. 583/Pid.B/2010/PN Jkt.Sel., majelis hakim berkesimpulan bahwa si terdakwa tidak dapat dipidana karena adanya alasan pemaaf terkait dengan keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan sosial. Tulisan ini menelaah argumentasi majelis atas alasan-alasan pemaaf tersebut yang membawa pada kesimpulan bahwa hakim gagal dalam mendukung penalaran mereka. Penulis artikel ini meujuk “error juris” sebagai dalih yang lebih tepat digunakan oleh majelis hakim dalam membangun argumentasi mereka. Kata kunci: alasan pemaaf, keadilan, error jurist.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 15
JURNAL APRIL.indd 15
5/16/2012 4:59:53 PM
I.
PENDAHULUAN
Sekalipun setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tidak banyak ditemukan argumentasi tentang keadilan dimuat di dalam analisis putusan. Biasanya konsep keadilan dibiarkan oleh hakim sebagai area yang tidak tersentuh karena bernilai transenden dan sarat subjektivitas. Pengecualian atas fenomena umum itu ternyata dapat ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 583/ Pid.B/2010/PN.Jkt Sel., yang akan dipilih sebagai topik kajian dalam tulisan ini. Kasus ini sempat menyita perhatian publik di Tanah Air karena tergolong unik. Pihak terdakwa bernama AH (selanjutnya disebut terdakwa), seorang pria yang dituduh memalsukan jati diri terkait dengan status jenis kelaminnya. Jaksa menuntut terdakwa dengan menggunakan dakwaan berbentuk campuran kumulatif subsidaritas, yaitu dakwaan kesatu melanggar Pasal 266 ke-1 KUHP dan dakwaan kedua primer Pasal 266 ke-2 KUHP; dakwaan kedua subsidair melanggar Pasal 263 ke-2 KUHP. Bunyi Pasal 266 KUHP lengkapnya adalah sebagai berikut: “(1) Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.” Kemudian Pasal 263 ke-2 KUHP berbunyi: “Diancam dengan pidana yang sama (maksudnya sama dengan ayat di atasnya, yakni penjara paling lama enam tahun), barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.” Duduk perkaranya sendiri dapat diruntutkan sebagai berikut. Terdakwa adalah seorang warga negara Indonesia yang dilahirkan di Jayapura, tanggal 1 November 1977. Dalam akta kelahiran yang dikeluarkan Pemda Tingkat II Jayapura, tertulis jenis kelamin yang bersangkutan adalah perempuan. Beberapa tahun kemudian terdakwa menetap di Jakarta, dan di dalam kartu keluarga yang bersangkutan tanggal 11 September 2003 di kelurahan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tercatat terdakwa adalah anggota keluarga dengan jenis kelamin perempuan. Kepala keluarganya adalah Ch, ibu kandung terdakwa. Tahun 2006, terdakwa mulai memastikan ada kelainan pada pertumbuhan alat kelaminnya, sehingga ia mengajukan permohonan perubahan status jenis kelamin pada kartu keluarga mereka. Permohonan ini dikabulkan. Dengan bantuan ibunya, akta kelahirannya juga telah diurus perubahannya di Kantor Catatan Sipil Jayapura, sehingga kemudian tertulis sebagai laki-laki. Atas dasar perubahan itu, kartu tanda penduduk terdakwa juga telah disesuaikan statusnya menjadi 16 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 16
5/16/2012 4:59:53 PM
laki-laki. Untuk menghilangkan kegalauan adanya tonjolan payudara pada tubuhnya, terdakwa lalu mengadakan operasi pengangkatan payudara. Namun, di hadapan persidangan terdakwa menolak apabila ia pernah melakukan operasi kelamin. Menurutnya, kelaminnya adalah penis yang tumbuh alami, sekalipun bentuknya tidak normal. Ia juga mengaku penisnya bisa merasakan orgasme. Bukti ilmiah yang diajukan oleh jaksa dan penasihat hukum ternyata saling bertolak belakang. Hasil laporan tes DNA yang disampaikan jaksa menunjukkan terdakwa adalah perempuan (gen XX). Sebaliknya, laporan ahli forensik yang ditampilkan oleh penasihat hukum terdakwa menyatakan bahwa terdakwa adalah laki-laki dengan jenis kelamin yang mengalami klinefelter syndrome (gen XXY). Majelis hakim juga telah memastikan hal ini dengan memeriksa sendiri secara fisik kelamin terdakwa, dan menyimpulkan pada alat kelaminnya tumbuh penis dengan ukuran kecil (tidak normal sebagaimana penis laki-laki dewasa). Hanya terdapat kantor zakar, tetapi tidak terdapat buah zakar, serta tidak terdapat lubang vagina. Tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa bermula dari pernikahan yang dilakukan terdakwa. Tercatat terdakwa pernah menikah dua kali, pertama dengan seorang perempuan bernama Gr (lalu bercerai), dan kedua dengan perempuan bernama JD. Pernikahan kedua ini dilangsungkan di Amerika Serikat pada tanggal 9 September 2008. Pernikahan ini telah didaftarkan di Kantor Catatan Sipil Jakarta Pusat tanggal 28 Agustus 2009. Atas keterangan laporan perkawinan itu, selanjutnya terdakwa mengajukan penerbitan kartu keluarga di kediamannya di Jakarta, dengan dirinya sebagai kepala keluarga dan JD sebagai anggota keluarga. Tanggal 3 September 2009, JD yang masih tinggal di Jakarta bersama orang tuanya itu bertemu secara diam-diam dengan terdakwa di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. JD datang dengan berdua ditemani seorang pembantu rumah tangganya. Pada kesempatan itu terdakwa menitipkan bukti surat keterangan perkawinan dan kartu keluarga kepada pembantu tersebut sambil berpesan apabila orang tua JD ingin bertemu dengan anaknya agar datang ke rumah terdakwa atau menelepon. Selanjutnya JD diajak pergi dan tinggal bersama dengan terdakwa. Kejadian demikian mengejutkan kedua orang tua kandung JD, yang masing-masing bernama BGH dan MGS. Selain mereka tidak pernah diberi tahu tentang pernikahan antara terdakwa dan JD, mereka juga selama ini mengenal terdakwa sebagai seorang perempuan. MGS mengenal terdakwa sejak tahun 2002 sebagai sesama anggota ladies club dari klub golf di Kedoya Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan terdakwa bermain golf di bagian flat ladies yang khusus untuk perempuan. Informasi pernikahan antara terdakwa dan JD yang diterima dari pembantu rumah tangga mereka selain mengejutkan, juga dinilai telah mempermalukan keluarga. Namun, kedua orang tua JD mengaku telah mengetahui adanya hubungan khusus antara anaknya dengan terdakwa, yakni saat mereka berdua menjemput JD di Singapura pada tanggal 8 Agustus 2008. Ternyata BGH dan MGS menemukan anak mereka bersama dengan terdakwa di sana. Saat itu terdakwa
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 17
JURNAL APRIL.indd 17
5/16/2012 4:59:53 PM
mengatakan ingin pergi ke Kuala Lumpur. Keterangan tentang pertemuan ini berbeda dengan apa yang disampaikan JD di persidangan. Menurut JD, ia baru kenal dengan terdakwa pada tanggal 28 Agustus 2008 di Singapura, diperkenalkan oleh MGS. JD mengaku bahwa ia benar-benar mencintai terdakwa dan selama menikah juga merasakan kepuasan di dalam melakukan hubungan suami isteri. Tentang pemberitahuan soal pernikahan mereka, JD mengatakan terdakwa berinisiatif memberi tahu pernikahan itu kepada orang tua JD, tetapi JD melarang karena takut kedua orang tuanya shock. Di kemudian hari, kedua orang tua JD mendapati bahwa terdakwa telah memanfaatkan uang kiriman mereka untuk JD sewaktu anak mereka itu tinggal di luar negeri. Menurut keterangan MGS, ia pernah mengirim uang kepada JD sebesar US$46,000 untuk keperluan membeli mobil. Menurut keterangan kedua orang tua JD, anaknya memang membeli mobil seharga US$15,000, namun sisa uang itu telah ditransfer JD ke rekening terdakwa tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Hal ini merupakan kerugian bagi BHG dan MGS, sehingga memenuhi unsur ‘kerugian’ sebagaimana dimaksudkan dalam pasal-pasal yang menjadi dasar dakwaan jaksa. Terkait pembelian mobil ini, saksi JD memberi keterangan berbeda. Menurutnya ia tidak jadi membelikan mobil karena kakaknya (di Amerika Serikat) sudah membeli mobil. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim berpendirian apa yang dilakukan terdakwa telah memenuhi perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam surat dakwaan. Dengan perkataan lain, terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang diuraikan JPU dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua primer terebut, tetapi majelis masih mempertanyakan: apakah perbuatan terdakwa tersebut tergolong sebagai tindak pidana? Untuk menjawab pertanyaan inilah, majelis hakim lalu membuat pertimbangan dengan mengajukan alasan perlunya diperhatikan aspek keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan sosial dalam kasus ini. Alasan-alasan ini akan dibahas dan dianalisis dalam bagian ketiga tulisan ini. Atas dasar pertimbangan tersebut, majelis hakim lalu menetapkan di dalam amar putusannya, yaitu: 1.
menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dakwaan kesatu dan dakwaan kedua primer, akan tetapi perbuatan tersebut adalah bukan merupakan suatu tindak pidana;
2.
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging);
3.
memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
4.
menetapkan barang bukti berupa KTP, kutipan akta kelahiran, paspor, dan lain-lain (semuanya enam item) dikembalikan kepada terdakwa, dan beberapa barang bukti lain (dua item) tetap dilampirkan dalam berkas perkara;
18 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 18
5/16/2012 4:59:53 PM
5.
membebankan ongkos perkara kepada negara.
II. RUMUSAN MASALAH Pertimbangan majelis hakim untuk memasukkan perihal keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan sosial (social justice), merupakan langkah yang sebenarnya wajar. Akan tetapi, topik tentang keadilan ini mutlak membutuhkan pemahaman yang mendalam agar tidak terdistorsi tatkala struktur kasus di atas dihubungkan dengan struktur aturan yang didakwakan. Tulisan ini ingin menelaah seberapa tepat pemahaman itu disajikan majelis hakim di dalam putusan ini, termasuk pencerminan dari aspek keadilan tadi di dalam amar putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Di sisi lain ada perkembangan tentang alasan penghapus pidana berupa sesat tentang hukum (error juris) yang ingin diintroduksi oleh penulis dalam kajian kali ini. Alasan ini diajukan sebagai alternatif argumen yang layak dipertimbangkan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus ini. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Terkait dengan putusan PN Jakarta Selatan ini, fokus analisis dapat diawali dari pembahasan tentang alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) atau terkadang disebut dasar peniadaan pidana. Alasan penghapus pidana adalah keadaan yang secara khusus dipertimbangkan oleh hakim, yang dapat membuat tidak dapat dijatuhkan pidana kepada terdakwa sekalipun semua unsur-unsur tindak pidananya sudah dipenuhi. Alasan demikian cukup dikemukakan oleh terdakwa, tanpa perlu ia dibebani kewajiban membuktikan. Dalam literatur, alasan penghapus pidana itu biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Di luar keduanya, dikenal juga alasan peniadaan penuntutan pidana (vervolgingsuitsluitingsgrond), yang tidak ikut dibahas dalam tulisan ini. KUHP sendiri tidak memberikan definisi eksplisit yang membedakan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pencampuradukan bahkan terlihat dalam KUHAP, misalnya dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Moeljatno (1987: 137) meletakkan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf dengan kata-kata sebagai berikut: “Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.” Penjelasan yang kurang lebih sama dapat dilihat dalam tulisan Zulfa (2010: 48-49), yang menambahkan uraian tentang dua aliran dalam melihat keterkaitan antara perbuatan dan kesalahan.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 19
JURNAL APRIL.indd 19
5/16/2012 4:59:54 PM
Aliran monistis berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara unsur tindak pidana yang sifatnya subjektif (kesalahan dalam arti luas) dan unsur tindak pidana yang sifatnya objektif (melawan hukum). Penghapusan salah satu unsur tersebut atas tindak pidana yang terjadi menyebabkan suatu konsekuensi yang sama, yaitu putusan hakim harus berbunyi membebaskan terdakwa (vrijspraag). Aliran dualistis memperlakukan unsur tindak pidana yang sifatnya subjektif (kesalahan dalam arti luas) dan unsur tindak pidana yang sifatnya objektif (melawan hukum) secara berbeda. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penghapus pidana, penghapusan salah satu unsur tersebut atas tindak pidana yang terjadi menyebabkan suatu konsekuensi yang berbeda pula. Dalam kaitannya dengan dihapuskannya unsur kesalahan, maka terhadap pelaku, hukum pidana memaafkan perbuatan yang dilakukannya. Unsur kesalahan inipun tidak selalu harus dicantumkan sebagai unsur tertulis karena hukum pidana memang tidak membedakan unsur kesalahan ke dalam kategori tertulis dan bukan. Dalam pandangan ini, putusan hakim harus berbunyi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (onstlag). Secara umum dapat dikatakan bahwa alasan pembenar adalah dalih yang dipakai oleh hakim untuk menyatakan bahwa oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka perbuatan itu tidak sepantasnya dikategorikan tindak pidana. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat perbuatan itu menjadi dapat dibenarkan. Di sini terlihat bahwa aspek perbuatannyalah yang menjadi titik perhatian hakim. Lain halnya dengan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf, yang menjadi titik perhatian hakim adalah si subjek pelaku, yaitu oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka si pelaku tidak sepantasnya dicela. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat si pelaku dapat dimaafkan. Konsekuensi lebih lanjut dari pembedaan ini adalah bahwa pelaku utama yang mendapat alasan pemaaf (sehingga tidak dipidana), tidak serta merta lalu membuat pelaku lain bersama (mereka yang membujuk, ikut serta, menyuruh atau membantu melakukan), juga ikut dimaafkan. Hal ini tidak terjadi pada perbuatan yang mendapat alasan pembenar. Sekali suatu perbuatan dibenarkan, maka semua perbuatan yang dilakukan dalam kondisi yang sama, juga selayaknya ikut dibenarkan. Jadi, alasan pembenar berlaku untuk semua pelaku lain, sedangkan alasan pemaaf dipertimbangkan secara pribadi bagi si pelaku yang bersangkutan. Hamdan (2008: 5-6) menyatakan, hakim yang memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan pembenar, ingin menyatakan bahwa dia akan memperlakukan sama semua orang yang dalam keadaan sama juga berbuat demikian. Sebaliknya, hakim yang memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin mengatakan lebih daripada bahwa pelaku individual ini karena keadaan khusus yang mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat dimaafkan), deliknya tidak cukup dapat dicelakan kepadanya untuk dapat memidana dia (pelaku). Dengan mengutip G. Fletcher, Hamdan (2008: 7) menyatakan, dalam hal alasan pembenar, perbuatan pelaku sudah memenuhi peraturan sebagaimana yang dirumuskan undang-undang, 20 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 20
5/16/2012 4:59:54 PM
akan tetapi: apakah perbuatan itu memang salah? Di sisi lain, dalam alasan pemaaf, perbuatan itu memang salah, tetapi, apakah pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban? Dalam kasus yang dianalis dalam tulisan ini, majelis hakim tampaknya tidak cukup tegas memposisikan alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dari amar putusan yang pertama, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dakwaan kesatu dan dakwaan kedua primer, akan tetapi perbuatan tersebut adalah bukan merupakan suatu tindak pidana. Dari kata-kata “bukan merupakan suatu tindak pidana” menunjukkan majelis hakim lebih mengarah kepada aspek objek perbuatan, bukan pada subjek pelakunya. Sekilas majelis hakim cukup konsisten ketika mengaitkan “dapat dibenarkannya” perbuatan pelaku ini dengan konsep besar dan perenial di dalam hukum, yaitu keadilan. Di dalam putusan itu (halaman 40) dikatakan bahwa majelis hakim, “...dalam menjatuhkan putusannya diharapkan mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dalam putusan adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice aspect), keadilan moral (moral justice aspect), dan keadilan sosial (social justice aspect).” Apa yang dimaksud dengan aspek keadilan hukum (legal justice) itu dikaitkan oleh majelis hakim dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Menurut ketentuan ini, setiap penduduk yang melakukan perubahan jenis kelamin diwajibkan oleh undang-undang untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri dan setelah ada penetapan pengadilan negeri yang mengabulkan permohonan tersebut. Fakta di persidangan menunjukkan terdakwa telah mengajukan koreksi identitas diri pada akta kelahirannya ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura, tanpa terlebih dulu memperoleh penetapan dari pengadilan negeri. Sekalipun tanpa penetapan pengadilan negeri, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura mengabulkan permohonan koreksi itu pada tanggal 30 Desember 2006. Artinya ada kesalahan prosedur, tetapi majelis hakim berpendapat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak mengatur sanksi akibat kesalahan prosedur ini. Majelis setuju dengan keterangan ahli yang menyatakan bahwa sanksinya adalah akta kelahiran yang terbit setelah perubahan itu dianggap tidak sah, cacat hukum, sehingga harus dibatalkan. Setelah ada laporan tindak pidana diajukan kepada terdakwa, barulah terdakwa mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jayapura, dan kemudian keluar penetapan tanggal 29 Maret 2010 yang mengabulkan permohonan terdakwa untuk dinyatakan berjenis kelamin pria. Majelis hakim menyatakan bahwa penetapan Pengadilan Negeri Jayapura ini sudah sesuai prosedur hukum, sekalipun dilakukan setelah adanya laporan perbuatan memberi keterangan palsu. Hal ini menurut majelis hakim tidak bertentangan dengan hukum.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 21
JURNAL APRIL.indd 21
5/16/2012 4:59:54 PM
Sebenarnya tidak jelas di dalam putusan ini, kata-kata “tidak bertentangan dengan hukum” ini mengacu kepada penetapan Pengadilan Negeri Jayapura atau kepada perbuatan terdakwa yang mengajukan permohonan setelah ada laporan tindak pidana yang diajukan terhadap dirinya. Oleh karena terdakwa dalam kasus ini adalah AH, maka yang paling relevan untuk dipertimbangkan adalah sepenuhnya perbuatan terdakwa. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan absolut untuk mempersoalkan sah atau tidak sahnya penetapan Pengadilan Negeri Jayapura. Apa yang ingin dinyatakan sebagai keadilan hukum (legal justice) ini pada akhirnya menjadi absurd. Majelis hakim tampaknya ingin menyatakan bahwa permohonan terdakwa ke Pengadilan Negeri Jayapura yang baru disusulkan kemudian setelah ada laporan tindak pidana terhadap terdakwa adalah hal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Seharusnya, jika yang ingin dijadikan tolok ukur adalah keadilan hukum (iustitia legalis) maka sudah sangat jelas ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh terdakwa. Perbuatan itu nyata dilakukan pada saat terdakwa dilaporkan ke pihak berwajib. Sifat melawan hukum dari perbuatan ini tidak dapat hilang karena terdakwa mengoreksinya setelah ada laporan dari orang tua JD. Jadi, acuan perbuatan pidananya tidak boleh dikaitkan dengan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dengan menyatakan bahwa karena pasal itu tidak memuat sanksi, maka dengan demikian perbuatan terdakwa menjadi bukan tindak pidana. Pertimbangan putusan tersebut akan menjadi runtut dan sistematis apabila pada konteks ini, majelis hakim tidak lagi menyinggung-nyinggung soal ketentuan pasal-pasal yang didakwakan. Pertimbangan tentang dasar dakwaan sudah selesai dilakukan karena majelis sudah berkeyakinan bahwa dakwaan kesatu dan kedua primer memang terbukti dilakukan terdakwa. Pertimbangan majelis hakim dalam konteks ini seharusnya diarahkan pada argumentasi tentang adanya alasanalasan penghapus pidana itu, dalam hal ini alasan pemaaf (bukan alasan pembenar). Terdakwa memang benar melakukan tindak pidana yang didakwakan, tetapi terdakwa tidak dapat dinyatakan tercela telah melakukan perbuatan itu. Apabila titik berdiri (standpunt) dari amar putusan ini memang tetap ingin menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, maka argumentasi bertingkat (onderschikkende argumentatie) yang seharusnya dibangun majelis hakim adalah sebagai berikut: 1. Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum; KARENA: 2. Ada alasan pemaaf; KARENA: 3. Terdakwa tidak menyadari adanya kesalahan prosedur dalam pengajuan permohonan koreksi akta kelahirannya kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura; KARENA: 22 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 22
5/16/2012 4:59:54 PM
4. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura sendiri tidak mengingatkan adanya kesalahan prosedur itu dan juga tidak menolak permohonan tersebut. Alasan yang diajukan di atas dikenal dalam literatur sebagai sesat tentang hukum (error juris). Dalam buku yang ditulis oleh Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius (1995: 58 dan 71), ada disebutkan perihal sesat tentang hukum ini. Sesat ini dimasukkan sebagai salah satu alasan penghapus pidana di luar undang-undang (unwritten defences). Sekalipun ada asas yang mengatakan semua orang dianggap tahu hukum, hakim dapat mempertimbangkan jika ada orang yang sesat karena memang ia benar-benar tidak tahu tentang adanya aturan tertentu. Pada umumnya hal ini hanya terjadi kalau orang itu telah menghubungi pejabat yang bebas dan cukup berwenang, namun ia tidak memperoleh informasi yang lengkap. Untuk itu ia dapat dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam buku ini bahkan disebutkan sebuah yurisprudensi tentang kasus seorang pengendara sepeda motor yang minta penerangan pada pejabat polisi tertinggi setempat tentang surat-surat yang diperlukan. Ia tidak mendapatkan informasi yang lengkap, sehingga akhirnya ia ditangkap karna berkendaraan tanpa surat-surat yang lengkap. Hakim melepaskan orang ini dari tuntutan hukum (HR 22 November 1949). Black’s Law Dictionary (1990 : 543-544) menyebut alasan sesat tentang hukum ini dengan istilah error juris nocet. Kamus hukum ini membedakan antara error in law dengan error juris. Istilah pertama diartikan sebagai “An error of the court in applying the law to the cae on trial, e.g., in ruling on the admission of evidence, or in charging the jury.” Sementara error juris nocet adalah “Error of law injures. A mistake of the law has an injurious effect; that is, the party committing it must suffer the consequences.” Tentu yang dimaksud dengan error juris di sini adalah error juris nocet dan bukan error in law. Apa yang dilakukan terdakwa AH dengan menghubungi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura dan ternyata tidak mendapat penjelasan terkait penetapan pengadilan negeri merupakan bukti suatu sesat tentang hukum (error juris). Akibat kesesatan ini, terdakwa AH menerima konsekuensi yang sangat berat. Pertimbangan berikutnya yang dipakai oleh majelis hakim terkait alasan penghapus pidana adalah keadilan moral (moral justice). Di sini majelis hakim mengutarakan adanya faktor psikologis pada diri terdakwa, yaitu terdakwa merasa dirinya lebih nyaman dengan identitas dirinya sebagai seorang pria daripada perempuan. Faktor psikologis ini, menurut majelis hakim, terbukti dari rangkaian perbuatan terdakwa yang mendesak agar identitas dirinya dapat diubah dari perempuan menjadi pria. Pengaitan keadilan moral dengan faktor psikologis sebenarnya menjadi sebuah tanda tanya di dalam diskursus filsafat. Alasan-alasan karena kondisi psikologis berbeda dan harus dibedakan dengan alasan-alasan karena kondisi moral. Jika majelis hakim ingin mengajukan alasan penghapus pidana ini dari aspek ketiadaan ketercelaan secara moral, maka seharusnya JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 23
JURNAL APRIL.indd 23
5/16/2012 4:59:54 PM
majelis hakim mengupas beberapa pertanyaan berikut ini: 1. Apakah secara moral dapat diterima perilaku terdakwa yang menikahi anak orang lain tanpa memberi tahu kedua orang tua kandungnya? 2. Apakah secara moral dapat diterima perilaku terdakwa yang membawa pergi anak orang lain (sekalipun sudah diakui sebagai isteri) tanpa terlebih dulu meminta izin kepada orang tua kandungnya? 3. Apakah secara moral dapat diterima perilaku terdakwa menggunakan (menerima transfer) uang kiriman dari orang tua JD sementara ia tahu bahwa uang itu tidak diperuntukkan bagi dirinya? 4. Apakah faktor psikologis terkait dengan identitas jenis kelamin terdakwa ini memiliki kaitan dengan perilaku-perilaku di atas? Pertanyaan terakhir di atas menjadi sangat penting untuk diajukan, yakni benarkah faktor psikologis yang diyakini oleh majelis hakim terjadi pada diri terdakwa memiliki hubungan kausalitas dengan perilaku-perilakunya itu. Tampaknya, dari rangkaian tiga perilaku pertama yang diutarakan di atas, hanya perilaku nomor satu saja yang relevan. Artinya, terdakwa memang mengalami tekanan psikologis untuk berterus terang kepada kedua orang tua JD terkait perkawinan yang mereka lakukan. Fakta di persidangan menunjukkan bahwa terdakwa sebenarnya sudah bersedia untuk berterus terang kepada orang tua JD, namun justru JD yang melarang karena khawatir orang tuanya shock. Jadi, faktor psikologis yang diajukan oleh majelis hakim justru kehilangan relevansinya di sini. Ketiadaaan relevansi itu makin jelas terlihat pada perilaku-perilaku terdakwa yang lain. Tindakan terdakwa yang mengajak JD untuk meninggalkan rumah orang tuanya dengan menyampaikan pesan kepada seorang pembantu rumah tangga adalah sebuah perilaku yang tidak etis. Demikian juga perilaku terdakwa yang memanfaatkan uang pemberian orang tua JD, padahal diketahuinya uang itu bukan merupakan haknya, adalah tindakan yang tidak etis. Semua tindakan tidak etis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan faktor psikologis yang dideritanya. Dan, perlu diingat bahwa terdakwa sendiri adalah seorang sarjana lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang notabene selayaknya cukup matang dan dewasa untuk menimbangnimbang baik buruk dari perilaku-perilakunya. Yurisprudensi Mahkamah Agung dengan nomor perkara 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1965 menyebut satu faktor yang perlu dipertimbangkan untuk memberikan alasan penghapus pidana, yakni “terdakwa sendiri tidak mendapat untung” dari perbuatannya. Terbukti bahwa faktor ini tidak terpenuhi pada kasus terdakwa AH karena ia ternyata mendapat keuntungan material karena kehidupannya sempat dibiayai dari uang kiriman orang tua JD.
24 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 24
5/16/2012 4:59:54 PM
Faktor keterbatasan psikis memang secara konvensional dapat menjadi alasan penghapus pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. Sesuai pasal ini dimaknai bahwa pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan terhadap mereka yang mempunyai pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna (ziekelijke storing zijner verstandelijke vermogens). Artinya, hanya mereka yang akal sehatnya sempurna yang mampu dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Van Hammel menyebutkan tiga tolok ukur kemampuan akal sehat itu, yaitu: (1) mampu untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari apa yang ia lakukan, (2) mampu untuk menyadari bahwa tindakan itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat, dan (3) mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia lakukan (Lamintang, 1997: 397). Dari ketiga hal ini, terdakwa AH dapat dikatakan memiliki semua kemampuan tersebut. Faktor ketidaknyamanan identitas diri sama sekali tidak masuk di dalam tolok ukur keterbatasan psikis tersebut. Satu pertimbangan lain lagi yang diutarakan majelis hakim adalah soal keadilan sosial (social justice). Dalam konteks ini majelis hakim mengaitkan pertimbangannya dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Majelis hakim berpendapat bahwa Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami penduduk Indonesia, termasuk perubahan jenis kelamin. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hak asasi manusia yang harus dilindungi berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Bahwa benar Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan perlindungan dan pengakuan seperti diutarakan di atas, namun perlindungan dan pengakuan itu bukan tanpa syarat prosedural sama sekali. Majelis hakim telah menunjukkan dalam putusannya bahwa terdakwa terbukti tidak mengikuti prosedur ini, sehingga otomatis argumentasi yang mengatakan terdakwa berhak mendapatkan perlindungan dan pengakuan via Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan sendirinya juga menjadi tidak beralasan. Dengan perkataan lain, hak yang diberikan oleh undang-undang itu baru akan didapatkan apabila subjek hukum dimaksud terlebih dulu memenuhi kewajibannya. Selain alasan tersebut, korelasi antara keadilan sosial dan hak asasi terdakwa untuk dicatat dalam administrasi kependudukan, patut pula dipertanyakan. Hak terdakwa untuk tercatat dalam administrasi kependudukan adalah hak yang bersangkutan sebagai individu penduduk dan warga negara Indonesia. Apa yang menimpa terdakwa AH sama sekali tidak berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak asasi yang bersangkutan. Keadilan sosial adalah keadilan dalam hubungan antar-manusia, bukan keadilan untuk konteks individu. Jadi, istilah keadilan sosial merupakan sebuah tautologi yang serba salah (lihat penjelasan tentang hal ini dalam Kusumohamidjojo, 2004: 182-183). Majelis hakim tampaknya keliru mencari tali pengait isu keadilan di dalam konteks kasus ini. Alangkah indahnya jika majelis hakim dapat membawa persoalan hak untuk melangsungkan
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 25
JURNAL APRIL.indd 25
5/16/2012 4:59:54 PM
perkawinan dengan pasangan yang dicintai sebagai sebuah persoalan keadilan. Siapapun, termasuk negara, tidak boleh sampai menghilangkan hak ini sebab kehilangan hak tersebut pada hakikatnya merupakan sebuah kematian perdata (burgerlijk dood). KUH Perdata, misalnya, melarang kematian perdata dalam Pasal 3. Ketentuan senapas juga dimuat dalam UUD 1945, yakni pada Pasal 28B ayat (1), yang kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa hak untuk berkeluarga adalah hak asasi manusia. Terdakwa AH dan JD adalah dua manusia dewasa yang berhak untuk menentukan sendiri pasangan hidupnya. Tindakan orang tua JD untuk langsung melaporkan perilaku AH kepada polisi tanpa terlebih dulu meminta keterangan ahli, dapat saja dipandang sebagai upaya pengekangan atas hak asasi itu. Apalagi fakta di persidangan menunjukkan AH dan JD sama-sama saling mencintai dan JD dapat menerima AH apa adanya tanpa paksaan, demikian pula sebaliknya. Sangat tidak adil apabila hak untuk berkeluarga tersebut sampai harus dikorbankan oleh hukum hanya karena prasangka ketidakjelasan jenis kelamin. IV. SIMPULAN Amar putusan yang menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) akan terkesan argumentatif apabila pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dibangun secara runtut dan sistematis. Alasan penghapus pidana dengan mengetengahkan keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan sosial, tampaknya kurang relevan untuk diangkat karena secara majelis hakim tidak mampu mendalami konsep-konsep keadilan itu. Akan jauh lebih baik apabila majelis hakim memperagakan penalaran bertingkat (onderschikkende argumentatie) yang menyatakan terdakwa tidak dapat dicela karena ia tidak menyadari adanya kesalahan prosedur dalam pengajuan permohonan koreksi akta kelahirannya kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura disebabkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jayapura sendiri tidak mengingatkan adanya kesalahan prosedur itu dan juga tidak menolak permohonan tersebut. Dalam konteks ini terlihat bahwa terdakwa tidak memiliki itikad buruk untuk memalsukan data dirinya. Ia telah mengajukan perubahan secara resmi ke instansi yang menerbitkan akta kelahiran itu, tetapi ia tidak mendapat informasi tentang adanya syarat berupa dokumen penetapan pengadilan negeri. Alasan ini dalam literatur disebut sebagai sesat tentang hukum (error juris) yang dapat dipakai oleh hakim sebagai dalih untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Hal lain yang patut disayangkan juga di dalam putusan ini adalah ada sejumlah kesalahan dan ketidakcermatan pengetikan yang sangat mengganggu karena berkaitan dengan kata-kata kunci. Tulisan klinefelter syndrome, misalnya, ditulis secara salah dengan kata-kata sindrome
26 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 26
5/16/2012 4:59:54 PM
cline filter (hlm. 24 dan 26). Kalau saja majelis hakim ingin bertindak korek, dapat dengan mudah ditemukan informasi bahwa sebutan klinefelter ini sesungguhnya diadopsi dari nama Klinefelter yang pada tahun 1942 melakukan penelitian terhadap sembilan pria yang mengalami kelainan seperti payudara besar, penis kecil, dan ketidakmampuan memproduksi sperma (lihat antara lain Bock, 1993). Kesalahan pengetikan yang paling mengganggu adalah kata psikologis (kejiwaan) yang ditulis berkali-kali dengan kata spicologis (hlm. 41, 42, dan 45). Terlepas dari berbagai catatan di atas, putusan hakim dalam kasus ini sebenarnya secara implisit mengandung penemuan hukum yang dapat memperkaya alasan penghapus pidana di luar undang-undang (unwritten defences). Kiranya penegasan terkait sesat tentang hukum (error juris) yang tidak sempat dicantumkan secara eksplisit oleh majelis hakim dapat ditambahkan pada putusan di tingkat pengadilan berikutnya (seandainya saja ada pihak yang mengajukan upaya hukum lebih lanjut atas putusan ini). (*)
DAFTAR PUSTAKA Bryan, A Garber, Black Law Dictionary, west publishing co, Ninth Edition, USA, 2009. Bock, Robert. 1993. “Understanding Klinefelter Syndrome: A Guide for XXY Males and Their Families.” <www.nichd.nih.gov/publications/pubs/klinefelter.cfm>. Akses 1 Mei 2011. Hamdan, H.M. 2008. Pembaharuan Hukum tentang Alasan Penghapus Pidana. Medan: USU Press. Hengket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Kusumohamidjojo, Budiono. 2004. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Jakarta: Grasindo. Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti. Schaffmeister, D., N. Keijzer, & E. Ph. Sutorius. 1995. Hukum Pidana: Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda. Editor J.E. Sahetapy. Yogyakarta: Liberty. Shidarta. 2005. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Utomo. JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 27
JURNAL APRIL.indd 27
5/16/2012 4:59:54 PM
Independensi Kekuasaan Kehakiman dan Efektivitas Sanksi untuk Kasus Hakim Penerima Suap Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM Nur Agus Susanto PNS Komisi Yudisial Republik Indonesia Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta email: [email protected]
ABSTRACT The judge’s independence is characteristic law of state. There are judge’s who be under the protection with independence so thet abuse of power. One case happened to a Judge, with initials MA, who asked for sum of money to the circumcision whose case he handled. MA was eventually brought to trial on charges of corruption. He was guilty and sentenced two years in prison and fined Rp 50 millions IDR (fifty million rupiahs). This decision hurt the public sense of justice as the punishment was relatively mild, away from the proper provisions as contained in the Corruption Act. Such court sentence will not generate detterent effects to any law enforcer who is supposed to support government efforts to eradicate corruption. Keyword: independent judiciary, detterent effect, corruption ABSTRAK Independensi hakim sebagai salah satu karekteristik negara hukum. Namun, independensi itu juga menyebabkan sebagian hakim memiliki proteksi untuk menyalahgunakan kekuasaan. Salah satu fakta mendukung pandangan tersebut ialah hakim yang berinisial MA yang meminta uang untuk pesta khitanan anaknya. Kasus yang ditangani oleh MA terbukti adanya upaya penyuapan yang menjadi salah satu bentuk korupsi. Dia bersalah menerima uang Rp 50 juta. Kasus ini telah menyayat rasa keadilan dimana hukuman yang diterimanya relatif ringan dan tidak mengunakan undang-undang korupsi. Kondisi tersebut berdampak buruk upaya pembentasan korupsi yang digagas oleh pemerintah. Kata kunci: kemerdekaan kekuasaan kehakiman, berdampak kecil , korupsi
28 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 28
5/16/2012 4:59:54 PM
I.
PENDAHULUAN
Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) merupakan salah satu prinsip penting untuk menopang bangunan negara modern. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, termasuk oleh karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi) (Asshiddiqie, 2004). Dalam situasi sistem negara yang represif, prinsip di atas tidak mungkin berjalan dengan semestinya karena realitasnya ada pemangku kekuasaan yang lebih dominan, yang selalu berusaha mempengaruhi peradilan. Apabila perkara tersebut berpotensi melahirkan putusan yang dapat membahayakan kelangsungan dan kepentingan penguasa. Berbeda halnya dengan kondisi negara yang lebih demokratis. Intervensi terhadap pengadilan, kendati mungkin masih dilakukan, tidak akan ditunjukkan secara terang benderang, tetapi melalui cara yang lebih halus. Bahkan, ada pandangan bahwa ancaman terbesar justru datang dari lembaga pengadilan itu sendiri, yakni seberapa mampu mereka tetap memegang teguh prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan independensi tadi. Godaan dari pihak yang berperkara kepada oknum pengadilan dengan mudah terjadi di institusi pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara. Dalih demi independensi justru dipakai sebagai senjata ampuh guna memuluskan terjadinya penyimpangan. Artinya, hakim dapat saja melakukan tindakan yang menciderai independensinya, seperti menerima suap. Hal demikian telah menimpa hakim bernama inisial MAS, yang putusan atas perkara tersebut dijadikan objek kajian dalam tulisan ini. MAS adalah seorang hakim yang kebetulan juga menjabat sebagai ketua pengadilan yang bertugas di salah satu kota di Provinsi Jawa Barat. Setelah melalui pemeriksaan Komisi Yudisial dan atas desakan publik, MAS akhirnya menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas tuduhan menerima suap. Susunan hakim yang memeriksa dan mengadili MAS adalah TR, sebagai ketua majelis hakim merangkap anggota, dan DJ, dan KM yang masing-masing sebagai hakim anggota. Sementara Jaksa Penuntut Umum perkara ini berinisial ST. Pada tanggal 09 Desember 2010, pengadilan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa MAS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp.50 juta (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Putusan pengadilan ini tertuang dalam Putusan Nomor 904/PID/B/2010/ PN.JKT.TIM. Cerita penyuapan terhadap MAS sendiri bermula ketika yang bersangkutan menjadi ketua majelis hakim di Pengadilan Negeri Tangerang yang mengadili seorang pegawai pajak bernama GHPT alias GT atas tuduhan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. GT didakwa telah JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 29
JURNAL APRIL.indd 29
5/16/2012 4:59:54 PM
melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp. 370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta). Sementara itu ada uang lain, yakni senilai Rp. 28.000.000.000,- (dua puluh delapan juta) tidak ikut dipersoalkan karena dianggap tidak ada unsur pidananya mengingat uang itu diakui sebagai uang titipan dari seseorang bernama AK kepada GT. Melalui Putusan Nomor 49/PID.B/2010/PN.TNG tertanggal 12 Maret 2010, majelis hakim yang diketuai MAS memutuskan bahwa GT tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua, dan oleh karena itu membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama dan dakwaan kedua, selanjutnya memulihkan hak terdakwa (dalam hal kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya), memerintahkan barang bukti dikembalikan kepada terdakwa dan untuk uang sebesar Rp. 370.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta) dikembalikan kepada PT MCJ melalui saksi bernama Mus. Kasus GT ini kembali mencuat setelah Mantan Kabareskim Polri SD memberi keterangan yang diliput oleh media massa bahwa ada persoalan besar dalam tubuh Polri menyangkut dana sebesar Rp. Rp. 28.000.000.000,- (dua puluh delapan juta) milik GT yang sudah dicairkan oleh oknum Polri. Dana Rp.28 miliar itu, menurut SD, masih dibekukan ketika yang bersangkutan menjabat sebagai Kabareskim Polri. Pengungkapan ini lalu membuat banyak pihak melirik kembali putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 49/PID.B/2010/PN.TNG tersebut. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini dinilai sebagian kalangan sangat kontroversial. Komisi Yudisial Republik Indonesia pun tergerak untuk mencari tahu apakah ada kemungkinan pelanggaran etis di dalamnya. Atas dasar informasi awal bahwa ada salah satu saksi kunci yang tidak dimintai keterangan di persidangan, maka Komisi Yudisial melakukan investigasi. Hasilnya ditemukan ada potensi pelanggaran dalam kasus ini, yakni patut diduga hakim MAS telah menerima uang sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dan dalam perkembangan kemudian dikabarkan juga menerima US$40.000. Anggota Komisi Yudisial yang terdiri M. Busyro Muqoddas, Zainal Arifin, dan Soekotjo Soeparto memanggil dan memeriksa hakim MAS secara mendalam. Di dalam pemeriksaan itu MAS mengaku telah menerima uang sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sementara uang sebesar US$40.000 disangkalnya. Komisi Yudisial berkesimpulan bahwa MAS melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sehingga merekomendasikan agar MAS diajukan dalam Majelis Kehormatan Hakim untuk dijatuhi sanksi pemberhentian tidak hormat. Namun, rupanya Mahkamah Agung memilih sikap yang berbeda daripada rekomendasi KY, khususnya setelah MAS diperiksa secara intensif oleh kepolisian dan ditahan sejak tanggal 8 Mei 2010. Mahkamah Agung melalui Keputusan Nomor 136/KMA/SK/VII/2010 menetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan memutus perkara pidana atas terdakwa bernama MAS.
30 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 30
5/16/2012 4:59:54 PM
Selama persidangan berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu, cerita seputar proses suap yang melibatkan MAS dan GT makin terbuka lebar. Proses suap GT kepada MAS sendiri dimulai dari saat persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 24 Februari 2010. Sebelum dilakukan sidang lanjutan terhadap perkara GT, kepada panitera pengganti bernama IKT, MAS menyerahkan secarik kertas yang berisi nomor HP MAS dengan perkataan “Mas tolong kasih nomor saya ke GT, tolong suruh hubungi saya”. Pada malam harinya, terjadi kontak antara GT dan IKT, selanjutnya nomor GT ini diberikan ke MAS. Selanjutnya, pada pukul 21.38 WIB, MAS menghubungi GT melalui pesan singkat menanyakan apakah GT bisa membantu anaknya agar bisa diterima jadi PNS di kantor pajak. GT menjawab, “Saat ini tidak ada penerimaan nanti kalau ada penerimaan saya kabari dan saya siap bantu.” Pada tanggal 10 Maret 2010 pada pagi hari, ada sidang lanjutan perkara GT dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU. Terdakwa dikenai Pasal 372 KUHP dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun. Sekitar pukul 17.00 WIB, GT menanyakan IKT kapan bisa bertemu MAS. Pada kesempatan berbeda MAS menelpon IKT dan memerintahkan, “Mas, kalau GT datang, bawa ke rumah saja”. Sekitar pukul 19.00 WIB, GT datang ke kantor pengadilan dan bertemu IKT, selanjutnya diajak ke rumah dinas MAS. Di rumah dinas itu, MAS meminta agar GT memperhatikan [kesejahteraan] hakim-hakim. Pembicaraan ini berakhir pada kesepakatan, bahwa GT akan memberi uang sebesar US$20.000 dengan perincian US$10.000 untuk MAS dan US$10.000 akan dibagikan ke dua orang anggota majelis hakim. Malam harinya, MAS kembali menghubungi GT untuk meminta tambahan uang dengan bunyi pesan: “Khusus kopi saya ditambah 100% ya pak”. Kopi adalah sebutan tambahan uang yang harus diserahkan sebelum pukul 10.00 WIB pada tanggal 12 Maret 2010. Pagi hari pada tanggal 12 Maret 2010, MAS kembali menghubungi GT dengan meminta tambahan uang melalui SMS yang berbunyi ”Maaf pak, anak kami minta dibelin Honda Jazz, tolong kopinya ditambah 10 kg lagi, nanti permintaan bpk saya penuhi semua”. SMS itu dijawab GT dengan kalimat: “Iya Pak, saya akan berusaha yang terbaik.” Sebelum datang ke pengadilan pada kesempatan berikutnya, GT terlebih dulu mampir ke kantor dan mengambil uang sebesar US$40.000 terdiri pecahan US$100. Uang ini dimasukkannya ke dalam amplop coklat. Uang tersebut lalu diserahkan oleh GT kepada MAS di rumah dinas hakim tersebut. Tepat pukul 10.00 WIB sidang dimulai di Pengadilan Negeri Tangerang dan ternyata benar bahwa isi putusan dari majelis hakim yang diketuai oleh MAS memang sesuai dengan permintaan GT. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ini, MAS telah diproses melalui serangkaian pemeriksaan dan penyidikan Polri dan jaksa, dilanjutkan perkara MAS dilimpahkan ke pengadilan yang ditangani oleh TR, DJ, dan KM. Setelah melalui tahapan persidangan hingga pemanggilan saksi antara lain IKT, GT, AR, NS, NA, MI, HH, JA, WI, BW,HT, MA, DH, AS, WIP, MN sebagai ahli digital, Prof. Dr. Andi Hamzah sebagai saksi ahli, Dr. Etty Utju sebagai saksi ahli, maka majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur berpendapat bahwa, terdakwa MAS mengetahui JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 31
JURNAL APRIL.indd 31
5/16/2012 4:59:54 PM
unsur pidana sebagaimana tersebut di atas, secara sah telah melakukan suatu tindak pidana korupsi yaitu menerima uang dari GT, terbukti bersalah dan tidak ditemukan alasan pembenar dan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana sehingga MAS harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM tertanggal 09 Desember 2010 disebutkan bahwa perbuatan terdakwa MAS telah melanggar: pertama, Pasal 12 huruf c UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; kedua Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keempat, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur-unsur pidana dari ketentuan tersebut dapat diuraikan menjadi tiga, yaitu: 1.
pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2.
menerima hadiah atau janji;
3.
yang diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
II. RUMUSAN MASALAH Melihat putusan pengadilan tertuang dalam nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM memperlihatkan proses suap yang dilakukan oleh oknum hakim MAS yang dilakukan secara transparan melalui perangkat teknologi informasi yang sudah lazim digunakan. Apa yang tergambar dalam putusan memperlihatkan bahwa ada “permainan” dalam memutuskan perkara di pengadilan terlihat gamblang dan tidak terbantahkan. Bisa jadi, perkara ini menjadi satu-satunya kasus suap yang melibatkan hakim dalam memutuskan perkara yang diajukan di muka persidangan pidana. Sebab, selama ini indikasi suap hakim hanya diputus melalui Majelis Kehormatan Hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, dan bukan melalui proses persidangan pidana. 32 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 32
5/16/2012 4:59:54 PM
Merujuk pendahuluan di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah yaitu, apakah pertimbangan hakim yang tertuang dalam putusan 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM yang memberikan hukuman kepada MAS dengan penjara selama dua tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudah efektifitas dalam memberikan efek jera bagi hakim yang melakukan tindak pidana korupsi? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 ikut membawa berkah bagi dunia peradilan, setidaknya secara konseptual. Independensi dan sistem peradilan satu atap (one root of justice system) adalah dua hal penting bagi lembaga peradilan yang mendapatkan penguatan dalam era reformasi. Sebelum reformasi bergulir, konsep independensi kerap terabaikan baik semasa rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Di masa Orde Lama, penguasa yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari sistem pemerintah. Fakta bahwa ada klausul Pasal 11 Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mulai berlaku pada 31 Oktober 1964 yang menyatakan bahwa demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan. Kedua, dalam pasal 20 (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dikatakan bahwa hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman. Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada periode Orde Baru. Penguasa kala itu dapat melakukan kontrol terhadap yudikatif melalui aspek organisasi dan finansial. UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 dan juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, telah mengatur terjadinya dualisme kontrol peradilan di Indonesia. Satu sisi, secara teknis yudisial berada di bawah kontrol Mahkamah Agung, dan pada satu sisi yang berbeda, administrasi dan keuangan berada di masing-masing lembaga induknya. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengatakan: 1. Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (kementerian) yang bersangkutan. 2. Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri. Meski demikian, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jauh lebih maju dibandingkan ketentuan sebelumnya. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 33
JURNAL APRIL.indd 33
5/16/2012 4:59:54 PM
Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Berdasarkan pasal di atas terdapat dua hal besar yang terkandung di dalamnya. Kedua hal tersebut akan disinggung sebagai berikut: Pertama, kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang tidak mutlak yang berarti kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak tak terbatas sehingga peradilan dalam menjalankan wewenangnya tetap bertanggung jawab kepada kebenaran. Keterbatasan kekuasaan kehakiman juga mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana konsep negara hukum yang sudah disepakati bersama dalam konstitusi. Dengan demikian peradilan dan hakim terbatas dalam menjalankan kewenangannya sesuai dengan undang-undang, misalnya saja ketentuan hukum acara. Dengan keterbatasan itu, lalu dimana letak independensinya? Pertanyaan ini cukup relevan menjawab kekuasaan kehakiman yang tidak mutlak. Kemandirian itu terletak pada keleluasaan pengadilan dan hakim untuk memberikan pertimbangan hukumnya sebelum memberikan putusan terhadap suatu perkara. Di sini hakim dituntut untuk memperluas wawasan dan pandangannya pada saat memeriksa perkara karena hukum selalu ketinggalan dengan zamannya. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan hakim dalam persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim (Mertokusumo, 1998: 175). Kedua, putusan hakim yang mencerminkan rasa keadilan bangsa Indonesia. Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Keadilan memiliki subjek utama yaitu struktur dasar masyarakat atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Keadilan memiliki dua prinsip dasar yaitu, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Dan prinsip yang lain adalah ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur
34 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 34
5/16/2012 4:59:54 PM
sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (Rawls, 2006: 1-7). Akhir periode Orde Baru tahun 1998, menyiratkan kelahiran independensi peradilan melalui perubahan konstitusi. Melalui Undang-Undang Kekuasaan tahun 1999, Mahkamah Agung menjadi induk dari semua peradilan dan hakim di Indonesia. Implikasi amanat undang-undang tersebut menunjukkan independensi yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan, termasuk penguasa dan pengusaha. Independensi kekuasaan kehakiman setidaknya memiliki dua aspek yaitu: independensi kekuasaan kehakiman berarti independensi institusional atau dalam istilah lain disebut juga independensi eksternal atau independensi kolektif, dan independensi kekuasaan kehakiman meliputi juga independensi individual atau independensi internal atau independensi fungsional atau independensi normatif. Independensi individual meletakkan hakim sebagai titik sentral dari seluruh pengertian independensi yaitu kebebasan dari segala pengaruh dari luar, apapun bentuknya. Sedangkan independensi substantif lebih pada peran hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya untuk memutus perkara (Djohansjah, 2008: 138-139). Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang dimaksud independensi adalah berdiri sendiri (Poerwadarminta, 2006: 443). Jika merujuk dalam Black’s Law Dictionary, independensi diartikan sebagai “...not subject to the control or influence of another, not associated with another entity, not dependent or contigent on something else” (Garner, 2009: 838). Sementara itu, definisi peradilan adalah “A govermental body consisting of one or more judges who is to adjudicate and administer justice,” dan/atau “the building where the judge or judges converse to adjudicate dispute and administer justice” (Garner, 2009: 405). Kata “putusan” dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan decision, judgement, verdict, finding dan ruling (Stevens and Schmidgall, 2008: 792). Makna judgement dalam kamus hukum ialah “A court’s final determination of the right and obligations of the parties in a case” (Garner, 2009: 918). Sedangkan verdict ialah “A Jury’s finding or decision on the factual issues of a case dan/atau “.. a judge’s resolution of the issues of a case” (Garner, 2009: 1969). Dari berbagai definisi di atas dapat ditangkap pengertian bahwa tanpa independensi, keberadaan hakim kehilangan maknanya. Putusan hakim atau pengadilan yang tidak bersandarkan pada independensi juga akan kehilangan rohnya di mata para pencari keadilan (justitiabelen). Putusan demikian biasanya hanya cenderung menguntungkan salah satu pihak tanpa mempedulikan kebenaran formil dan materiil yang tersaji di persidangan. Kasus yang membelit hakim MAS memperlihatkan bahwa di balik independensi peradilan yang secara konseptual telah dibangun sejak era reformasi, masih terbuka kerapuhan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan. Justru dengan memanfaatkan independensi
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 35
JURNAL APRIL.indd 35
5/16/2012 4:59:54 PM
kekuasaan yang dimilikinya, MAS dapat leluasa menerbitkan sebuah putusan pengadilan dengan terlebih dulu mengakomodasi semua kepentingan yang menguntungkan diri pribadinya. Putusan tersebut dikemas dengan bahasa dan terminologi hukum yang lazim, sehingga seakan-akan pantas untuk diterima sebagai kebenaran. Bukankah ada asas hukum yang menyatakan putusan hakim selalu dianggap benar (res judicata pro veritate hebetur)? Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin oleh MAS praktis tidak menjadi perhatian publik sebelum diungkit oleh pejabat Polri bernama SD. Setelah kasus tersebut menjadi “bola panas” dan menyita perhatian publik, barulah aroma tidak sedap dari putusan tersebut juga tercium keluar. Dan, terbukti ketua majelis hakim yang juga ketua pengadilan melakukan tindakan yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang sudah disepakati bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009. Poin utama yang dilanggar hakim itu sendiri adalah klausul bahwa hakim bersikap “Tidak Jujur”. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menyatakan bahwa hakim tidak boleh meminta/ menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili, dan pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Sebagai aparat penegak hukum dalam jajaran peradilan, perbuatan MAS juga memenuhi unsur sebagai tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan. Perbuatan MAS makin memperkuat tudingan tentang telah rusaknya sendi-sendi independensi kekuasaan kehakiman akibat merajalelanya korupsi di berbagai sendi kehidupan negara dan masyarakat Indonesia. Fenomena seperti yang dialami Indonesia sesungguhnya juga pernah dialami sejumlah negara berkembang lainnya. Di Ukraina, misalnya 70% dari semua putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan akibat korupsi yang mengakar di sana (Pope, 2007: 123). Namun, pengalaman negara-negara lain seperti Italia dan Hongkong juga memberi optimisme bagi bangsa Indonesia, bahwa kanker korupsi yang menimpa lembaga peradilan di negara-negara tersebut ternyata dapat juga diakhiri apabila terdapat komitmen yang kuat untuk memberantasnya. Pemberantasan korupsi pada lembaga peradilan tentu tidak dilakukan dengan cara mengakhiri independensi kekuasaan kehakiman itu. Artinya, independensi itu tetap harus dijunjung tinggi. Kendati demikian, perilaku seperti hakim MAS yang secara leluasa berkolusi dengan GT untuk mengatur putusan, harus dapat diakhiri atau paling tidak diminimalisasi. Dalam konteks ini, pengawasan terhadap kinerja lembaga peradilan, kinerja hakim, dan kualitas putusan menjadi sangat penting. Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaaan kehakiman di Indonesia, sekaligus
36 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 36
5/16/2012 4:59:54 PM
sebagai pengawas internal para hakim, memiliki kepentingan untuk mengakhiri penyakit koruptif dalam lembaga peradilan di Indonesia. Mahkamah Agung selayaknya menyambut baik setiap langkah yang ditempuh untuk memperkokoh harkat dan martabat profesi hakim dan institusi peradilan di Indonesia. Keberadaan Komisi Yudisial harus dilihat salah satunya dalam konteks demikian. Efek Jera Secara leksikal hakim dapat didefinisikan sebagai pejabat publik yang memiliki wewenang untuk mendengarkan, memeriksa dan mengadili perkara dalam suatu pengadilan (judges are public official appointed or elected to hear and decide legal matter in court) (Garner, 2009: 916). Secara etimologis, hakim berarti pembuat yang menetapkan hukum, dan yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum (Dahlan ed., 2001: 503). KUHAP memberi makna terhadap hakim dengan kata-kata: “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.” Jadi, terminologi hakim memang tidak mungkin dapat dilepaskan dari fungsi utamanya, yaitu mengadili. Dalam bahasa Yunani, hakim diberi label “dischastes” yang harifiahnya berarti si pembagi. Sesuatu yang dibagi dua sama besar disebut “discha” atau “dichaion”; dan itulah keadilan. Kehormatan seorang hakim dapat dinilai dari putusan yang merupakan hasil dari proses persidangan yang dipimpinnya atau yang melibatkan dirinya sebagai salah satu anggota majelis. Tidak berlebihan apabila sebagian orang menyebut putusan adalah mahkota hakim. Sebab, tanpa putusan maka hakim tidak memiliki eksistensi secara profesional. Tanpa putusan tidak tercermin kewenangan yang diberikan hukum bagi dirinya untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara. Tanpa putusan, independensi dan integritas hakim tidak dapat dinilai. Pada dasarnya orang semakin sadar bahwa tanggung gugat (bukan tanggung gugat melalui pemilihan umum), sama sekali tidak mempengaruhi independensi, tetapi justru memperkuatnya. Hakim secara perorangan dapat dimintai pertanggungjawaban, dan ini meningkatkan integritas proses pengadilan dan membantu melindungi kekuasaan peradilan dari orang-orang yang ingin merebutnya (Pope, 2007: 122). Ini artinya hakim wajib memiliki tanggung gugat (liabilitas) atas apa yang diputuskan demi memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Apabila rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum ini tercederai oleh putusan hakim, maka putusan demikian wajib untuk dikoreksi. Koreksi demikian dapat diajukan melalui mekanisme upaya hukum oleh para pihak. Adalah kewajiban badan-badan peradilan yang berada di atasnya untuk ikut menjaga tercapainya nilai-nilai aksiologis dalam setiap putusan hakim. Perilaku hakim MAS dalam mengadili terdakwa GT di Pengadilan Negeri Tangerang telah memperlihatkan jelas-jelas telah menodai hakikat peradilan itu sendiri. Kerusakan yang JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 37
JURNAL APRIL.indd 37
5/16/2012 4:59:54 PM
ditinggalkan akibat perbuatan hakim MAS harus mendapat koreksi, pertama-tama dari institusi peradilan itu sendiri. Dalam konteks ini maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 904/Pid/B/2010/PN.JKT.TIM menjadi penting untuk disimak, yakni apakah benar-benar memiliki fungsi korektif untuk berupaya memulihkan kehormatan profesi hakim yang tercemar akibat tindakan hakim MAS. Salah satu poin utama dalam putusan yang menjadi tolok ukur dari niat baik untuk memulihkan kehormatan hakim itu adalah pemberian sanksi. Dan patut diingat bahwa tindakan MAS tidak hanya melanggar kode etik profesinya melainkan juga melakukan tindak pidana korupsi yang diberi label sebagai extraordinary crime. A. Djoko Sumaryanto dalam ujian terbuka doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga tanggal 5 Nopember 2008 sempat menyinggung isu ini. Melalui disertasinya yang berjudul “Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara”, ia mengatakan bahwa tujuan pemberian sanksi pidana pokok berupa pidana penjara, adalah untuk menjerakan pelaku tindak pidana korupsi, dan tujuan pemberian sanksi pidana pokok berupa pidana denda dan pidana uang pengganti dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Mengingat dalam tindak pidana korupsi yang berkenaan dengan keuangan negara dan perekonomian negara sangat besar pengaruhnya, karena negara dalam hal ini sebagai korban kejahatan. Sholehuddin (2003: 5-7) mengemukakan ada tiga hal pokok dalam menetapkan sanksi. Pertama, penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekadar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan ia bagian yang tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi atau materi perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi. Kedua, sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan the crisis of overcriminalization (krisis kelebihan kriminalisasi) dan the crisis of overreach of criminal law (krisis pelampauan batas dari hukum pidana). Ketiga, masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat membedakan sekaligus mengukur sejauhmana jenis sanksi, baik yang berupa pidana maupun tindakan yang telah ditetapkan pada tahap kebijakan legislasi itu dapat mencapai tujuan secara efektif. Dalam perkara MAS, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan bahwa MAS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena tidak ada pertimbangan yang menjadi alasan-alasan penghapus pidananya, maka untuk selanjutnya hakim memiliki kewenangan menetapkan besaran sanksi yang pantas untuk perilaku tersebut. Di
38 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 38
5/16/2012 4:59:54 PM
sini majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan pidana kepada MAS berupa pidana penjara selama dua tahun, dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Besaran sanksi ini menarik untuk ditelaah. Berdasarkan pendapat Sholehuddin, sekilas dapat disimpulkan bahwa amar putusan pengadilan tersebut di atas telah mengabaikan substansi perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi. Majelis hakim sudah menyimpulkan bahwa MAS melakukan korupsi dengan cara meminta secara aktif uang suap. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, hakim merupakan salah satu penyelenggara negara di samping pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, Menteri, Gubernur, pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Adapun definisi penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim sebagai penyelenggara negara yang melakukan tindakan korupsi yaitu menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selain itu, Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan perilaku tersebut di atas dapat Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. ..... b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001 juga dikatakan: dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 39
JURNAL APRIL.indd 39
5/16/2012 4:59:55 PM
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. ........ b. ........ c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. d. ........ e. ........ f. ........ g. ........ h. ........ Dalam putusan majelis hakim perkara MAS membenarkan bahwa dalam perkara ini adalah termasuk tindak pidana korupsi dengan menyatakan bahwa terdakwa secara sah menurut hukum telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi yaitu menerima pemberian uang dari orang lain yaitu dari GT. Apabila mengacu pada UU Nomor Nomor 20 Tahun 2001 seharusnya majelis hakim menggunakan pasal tersebut di atas dan bukan memberikan putusan yang lebih rendah dibandingkan ketentuan perundang-undangan. Menurut telaahan penulis, putusan hakim ini mungkin saja dilandasi hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu: -.
selama persidangan terdakwa bersikap sopan, mengakui terus terang perbuatannya sehingga memudahkan jalannya persidangan;
-
terdakwa telah pula diusulkan/direkomendasikan Komisi Yudisial untuk diberhentikan dari jabatannya/kedudukannya sebagai PNS dan penyelenggara Negara;
-
terdakwa menyesali sikap dan perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan kesusilaan;
-
selama ini terdakwa juga banyak jasa dan pengabdiannya kepada masyarakat dan negara di bidang hukum.
Namun, apabila hakim berpijak pada pemberantasan tindak pidana korupsi maka alasan yang meringankan seyogianya bukan menjadi alasan yang kuat untuk mengabaikan tuntutan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum yang diharapkan oleh masyarakat luas dalam 40 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 40
5/16/2012 4:59:55 PM
gerakan pemberantasan korupsi. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 dikatakan tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang antikorupsi. Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Hamzah, 2005: 4-5). Memang harus diakui bahwa faktor-faktor sosiologis tertentu memang dapat dijadikan dalih timbulnya perilaku korupsi ini, sekalipun faktor-faktor ini belum tentu relevan jika dipakai sebagai alasan untuk meringankan hukuman bagi terdakwa seperti MAS. Korupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam. Sjahdeini (2007: 13-23) mengatakan penyebab adanya korupsi adalah kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat, latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia, manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efesien, dan modernisasi. Dalam kontek kasus MAS, orang mungkin dapat mengatakan alasan tersebut sebenarnya cukup relevan sebab: 1. Hakim sebagai pejabat negara masih belum mendapatkan hak sepenuhnya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Renumerasi yang merupakan tunjangan khusus bagi hakim masih berkisar 70% saja. 2. Kultur budaya Indonesia yang masih koruptif juga berlaku bagi hakim. 3. Kurangnya kontrol karena lebih mengedepankan independensi kekuasaan kehakiman mendorong hakim mengedepankan keuntungan pribadi. 4. Modernisasi kondisi saat ini mendorong perubahan gaya hidup bagi hakim dan keluarganya. Apabila hakim tidak bisa mengendalikannya maka perilaku koruptif bakal merajalela. Berdasarkan pengakuan MAS yang tertuang dalam putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT. TIM sebenarnya MAS sudah mengetahui aliran dana haram ini. Dana yang diperoleh GT adalah dana yang berasal dari pencucian uang (money loundering). Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 41
JURNAL APRIL.indd 41
5/16/2012 4:59:55 PM
penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memalsukan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. Menurut Sarah N Welling sebagaimana dikutip Sutan Remi, money loundering terjadi dari dua cara. Pertama, pengelakan pajak (tax evasion). Yang dimaksud dengan pengelakan pajak ialah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh. Kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hokum (Sjahdeini, 2007: 5-7). Jadi, MAS sepenuhnya mengetahui bahwa dana yang diperoleh GT berasal dari pengelakan pajak. MAS sama sekali tidak mempertimbangkan konsekuensi perbuatan GT ini terhadap kerugian negara, yang notabene juga berarti kerugian bagi masyarakat dan bangsa Indonesia keseluruhan. MAS justru memanfaatkannya dengan menekan GT agar dapat memberikan uang dan barang yang nilainya jelas-jelas telah melampaui kebutuhan pokok dan tanggung jawab ratarata seorang kepala keluarga di Indonesia. Hal itu misalnya terlihat ketika MAS menyampaikan pesan kepada GT dengan menanyakan lowongan pekerjaan di Direktorat Jenderal Pajak untuk anaknya yang lulusan sarjana ekonomi. MAS juga mencoba mengkaburkan makna korupsi dan money loundering. Sunaryo (2005: 344) mengungkapkam rumusan delik atau tindak pidana korupsi, dalam kenyataan sering dikaburkan dengan makna dan rumusan delik tentang delik atau tindak pidana lain dan atau perbuatan lain yang secara yuridis bukan merupakan tindak pidana atau delik. Tindak pidana lain atau perbuatan lain dimaksud adalah seperti hadiah, suap (tindak pidana suap), hibah, ucapan terima kasih, angpao, yang sogok, uang gedog, uang kunker (kunjungan kerja), uang tahu sama tahu, uang pelicin. Secara metodis, pemberian dan penerimaan uang tersebut sangat beragam caranya, ada yang terang-terangan, sembunyi-sembunyi, diam-diam, sampai dengan menggunakan metode dan modus secara legal struktural, melalui prosedur resmi proyek, pengadaan barang, permainan pengadaan dan promosi pegawai dan sebagainya. Cara inilah yang dilakukan MAS sehingga GT terlepas dari tuduhan korupsi dan melakukan pencucian uang. Jadi, apa yang dilakukan MAS menurut Amos (2007: 304) sungguh disebabkan sistem peradilan yang tertutup dan tidak transparan dalam hal memutuskan perkara dengan cara yang tidak berkeadilan (curang, melenceng, politisasi). Putusan hakim demikian merupakan jenis putusan yang tidak berdasarkan hukum substansial (material) formalitis, melainkan lebih pada kepentingan hakim dan para pihak yang berperkara semata. Ukuran utamanya adalah materi dan besaran suap menyuap yang menjadi takaran yang tak terhindarkan. Pengadilan dan aparaturnya menjadi rentan dan resisten terhadap kritik dan apapun bentuk ironisme masyarakat. Di balik itu semua telah terjadi segala bentuk penyimpangan dari aturan hukumnya, sampai barang bukti dan rekayasa lainnya sesuai dengan muslihat kelihaian aparatur hukum.
42 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 42
5/16/2012 4:59:55 PM
Hakim memiliki kepentingan nyata dalam memutuskan perkara yang membebaskan GT yaitu uang sehingga timbulkan suap menyuap dan muncul negoisasi besaran nilai penyuapan antara keduanya secara langsung. Ketika sudah dicapai kesepakatan antara keduanya maka terjadi rekayasa dan penyimpangan yang dilakukan oleh MAS ketika sebagai ketua majelis hakim. Perilaku demikian tidak selayaknya hanya diganjar dengan pidana penjara selama dua tahun, dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Sekalipun pemberian sanksi sepenuhnya merupakan kewenangan diskresioner yang harus dihormati dan merupakan bagian dari independensi profesi hakim, dampak dari amar putusan yang tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi akan dibaca secara luas oleh masyarakat sebagai sinyal buruk bagi penegakan martabat dan keluhuran profesi hakim di Tanah Air. Sanksi yang terlalu ringan dengan sendirinya tidak akan menimbulkan efektivitas menjerakan bagi terdakwa dan bagi calon-calon pelaku tindak pidana serupa. Kerugian negara akibat perilaku koruptif seperti yang dilakukan MAS tidak hanya sebesar nilai uang yang dikorupsi, melainkan juga kerugian akibat kerusakan sistemik bagi kehormatan dunia peradilan secara keseluruhan dan kepercayaan masyarakat terhadap profesi luhur (officium nobile) kehakiman. Dampak destruktif seperti ini tentu tidak sebanding dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp.Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah). IV. SIMPULAN Putusan atas perkara korupsi, apalagi korupsi yang dilakukan sendiri oleh aparat penegak hukum, selayaknya mendapat perhatian khusus dalam hal filosofi pemidanaannya. Filosofi tersebut harus memberi efek menjerakan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dikaji dalam tulisan ini jelas merupakan preseden buruk karena sanksi yang diberikan kepada terdakwa terlalu ringan dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku menurut spirit Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Minimnya sanksi yang dijatuhkan kepada MAS dikhawatirkan tidak akan membangun iklim di dunia peradilan. Sebaliknya, akan lebih bayak oknum hakim yang melakukan tindakan untuk memperkaya diri sendiri melalui putusan pengadilan. Oknum hakim dapat melakukan tindakan yang serupa meski dengan cara yang berbeda sehingga tujuan ideal dari peradilan tidak akan tercapai. Independensi kekuasaan kehakiman telah memberi kemerdekaan bagi hakim agar proses persidangan tidak sampai dipengaruhi oleh pihak manapun. Justru karena adanya independensi ini maka pengawasan terhadap kinerja institusi peradilan, kinerja hakim, dan kualitas putusan menjadi sesuatu yang mutlak perlu. Tanpa itu, independensi berpeluang digunakan sebagai
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 43
JURNAL APRIL.indd 43
5/16/2012 4:59:55 PM
kamuflase terjadinya tindakan koruptif sebagaimana tampak dari perilaku hakim MAS. Tentu saja, disadari bahwa mereduksi persoalan individual hakim untuk memotret kompleksitas sistem peradilan di Indonesia adalah sebuah tindakan yang menyederhanakan persoalan. Ada faktor-faktor lain yang secara simultan dan komprehensif harus dilakukan, dan faktor-faktor ini kebetulan tidak menjadi bagian dari topik bahasan tulisan ini. Jurgen Meyer sebagaimana dikutip Sidik Sunaryo (2005: 65), misalnya, mengatakan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang memihak kepada warga negara, yang lebih transparan dan efesien, maka sistem peradilannya harus direformasi. Caranya adalah, pertama, memperkuat pengadilan tingkat pertama (memperkuat penanganan proses pengadilan, memperkuat pemikiran bijaksana, menengahi pertikaian daripada mengambil keputusan yang menimbulkan pertengkaran, sistem bantuan pengadilan intern). Kedua, memperluas prinsip hakim tunggal, menata kembali perangkat hukum (naik banding yakni kesempatan untuk menuju pengadilan naik banding, menata kembali instrumen untuk mengontrol kesalahan, pemusatan kewenangan pada pengadilan tertinggi di negara bagian; peninjauan kembali), dan sistem aduan. (*)
DAFTAR PUSTAKA Amos, H.F. Abraham. 2007. Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Asshiddiqie, Jimly. 2004. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Orasi ilmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret. Dahlan, Abdul Azis dkk. ed. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Djohansjah, J. 2008. Reformasi MA menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Bekasi: Kesaint Blanc. Garner, Bryan A. 2009. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing co. Hamzah, Andi M. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi. Edisi terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor. Rawls, John. 2006. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &
44 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 44
5/16/2012 4:59:55 PM
Implementasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sjahdeini, Sutan Remy. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sunaryo, Sidik. 2005. Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 45
JURNAL APRIL.indd 45
5/16/2012 4:59:55 PM
PERAN HERMENEUTIKA DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PUTUSAN Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R Deni Bram Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: [email protected]
ABSTRACT There are many variables that determine the quality of the judge’s decision. The variables could come from the wider community or the environments where the judge socialize and interact. That is why, in making decision, a judge at least, required to absorb the information revealed in the legal facts as much as possible in the courtroom. The inability to absorb the information will make the decision become less ideal and qualified. One method that can be used in order to maximize the quality of a decision is to use the approach of legal hermeneutics in which its relation analyzed in this paper. Keywords: court decision, legal hermeneutics ABSTRAK Profesi hakim tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang panggilan jiwanya hanya sebagai “penguasa” apalagi sebagai “pengusaha”. Suara hati nurani yang hakekatnya berarti kesadaran moral atau sebagai pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan kepada manusia tentang baik dan buruk atau sebagai kenyataan dari budi kesusilaan. Kedudukan dan peran hakim dalam menjalankan fungsinya yang luhur dan mulia untuk hukum dan keadilan melalui badan-badan peradilan, tidaklah mudah karena berbagai godaan-godaan duniawi. Para pencari keadilan akan sangat kecewa apabila putusan hakim tersebut tidak rasa keadilan. Lebih-lebih jika tidak ada kepastian hukum tiada kepastian kapan putusan hakim dijatuhkan dan kapan pula dapat dilaksanakan. “Justice delayed is justice denied.” Kredibilitas semacam inilah yang kini banyak dipertanyakan, selain tidak profesional, diduga keras terdapat indikasi KKN dalam proses putusan hakim di semua jenjang dan tingkatan. Kata kunci : profesi hakim, pencari keadilan, kepastian hukum
46 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 46
5/16/2012 4:59:55 PM
I.
PENDAHULUAN
Perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Palangkaraya ini memposisikan terdakwa, yaitu SWGS, dalam kapasitasnya sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Tata Kota Kabupaten Gunung Mas berdasarkan SK. Bupati Gunung Mas tanggal 27 Juni 2006 Nomor SK.821.2/335/BKPLD/I/2006, yang juga berkedudukan sebagai Pengguna Anggaran pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007 berdasarkan SK. Bupati Gunung Mas tanggal 2 Januari 2007 Nomor 46 Tahun 2007. Kasus ini berawal dari tindakan terdakwa dalam menjalankan tugasnya selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Tata Kota Kabupaten Gunung Mas dan juga selaku Pengguna Anggaran pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007. Terdakwa bertugas untuk melaksanakan pelayanan di bidang lingkungan hidup serta bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan bidang-bidang yang ada di lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Mas, yang antara lain merumuskan/merencanakan kebijakan dan programprogram pengelolaan lingkungan hidup, serta juga mempunyai kapasitas untuk melakukan perikatan dengan pihak-pihak ketiga dalam rangka melaksanakan tugas tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, salah satu perikatan yang dilakukan oleh terdakwa selaku Pengguna Anggaran pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Mas yaitu telah membuat perikatan dengan BIT selaku Direktur PT EK dalam rangka melaksanakan Pekerjaan Pembangunan Jaringan Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di Kuala Kurun Tahun Anggaran 2007 yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerja Nomor 070/160.a/SPK/BLH-TK/X/2007 tanggal 5 Oktober 2007, dengan nilai kontrak sebesar Rp. 1.534.685.000 (satu milyar lima ratus tiga puluh empat juta enam ratus delapan puluh lima ribu rupiah). Menindaklanjuti perikatan yang telah dibuat sebelumnya, pada bulan November 2007, pekerjaan PJU. di Kuala Kurun tahun Anggaran 2007 yang menjadi tanggung jawab BIT selaku Direktur PT EK sudah selesai dilaksanakan. Oleh karena itu, PT EK sebagai kontraktor penyedia barang/jasa telah menerima pencairan dana kontrak sebagian, dan hanya tinggal 5% (lima persen) lagi yang belum dicairkan dari nilai kontrak sebesar Rp. 1.534.685.000 (satu milyar lima ratus tiga puluh empat juta enam ratus delapan puluh lima ribu rupiah). Setelah pekerjaan diselesaikan oleh pihak kontraktor, terdakwa dengan inisiatif pribadi, pada tanggal 2 Desember 2007, menelepon BIT supaya dia bisa datang ke rumahnya di Jln. Tambun Raya No. 9 Palangkaraya dengan alasan ada hubungannya dengan pekerjaan proyek yang sedang ditangani, yaitu proyek pekerjaan PJU di Kuala Kurun. Saat mendatangi rumah terdakwa, BIT bersama-sama dengan konsultan Pengawas Proyek PJU di Kuala Kurun, yaitu RIS. Setelah sampai di rumah terdakwa, terdakwa langsung bicara bahwa dia siap untuk menandatangani Berita Acara Penarikan Uang Pemeliharaan kalau BIT segera memberikan
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 47
JURNAL APRIL.indd 47
5/16/2012 4:59:55 PM
uang yang diminta oleh terdakwa sejumlah Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Mendengar pembicaraan terdakwa, BIT berpikir ini adalah menyangkut dengan prestasi perusahaannya. Tetapi BIT juga menyampaikan kepada terdakwa bahwa dirinya hanya memiliki persediaan uang sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), dan itupun ada di rekening BPD Kabupaten Gunung Mas. Mendengar hal tersebut, terdakwa tetap memaksa BIT agar segera menarik uang itu. BIT mengatakan kepada terdakwa jika terdakwa mau, maka terdakwa sendirilah yang harus mengambilnya di BPD Kalimantan Tengah (Kalteng) Cabang Pembantu Kuala Kurun, karena BIT tidak ada waktu untuk ke Kuala Kurun. Akhirnya terdakwa meminta kepada BIT agar segera menuliskan cek dengan nilai sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan atas nama penariknya adalah atas nama terdakwa sendiri, agar mudah untuk mencairkannya. Kemudian cek itu langsung BIT tulis dan diberikan kepada terdakwa dengan disaksikan oleh RIS. Berdasarkan pada indikasi adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dan juga keterangan awal dari BIT, pihak kepolisian untuk selanjutnya menindaklanjuti hal itu dengan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, yang kemudian dilanjutkan ke tahap penuntutan oleh jaksa penuntut umum. Untuk kasus ini, jaksa penuntut umum membuat dakwaan alternatif yang terdiri dari: Dakwaan primer, yaitu: Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atau dakwaan subsider, yaitu: Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atau dakwaan lebih subsider, yaitu: Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan dakwaan yang tersusun secara alternatif yang diungkapkan oleh jaksa penuntut umum di atas, majelis hakim bersandar pada uraian dan argumentasi hukum pada setiap unsur dakwaan dalam putusannya memberikan putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan jika pidana denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. II. RUMUSAN MASALAH Hakim seperti halnya manusia pada umumnya, dalam membuat suatu putusan sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya yang berkembang baik di lingkungan sekitar tempat ia bekerja maupun di masyarakat luas yang mencakup variabel ekonomi, politik, sosial budaya hingga adanya opini publik yang berkembang. Sebagai seorang jurist, seorang hakim paling tidak
48 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 48
5/16/2012 4:59:55 PM
dituntut untuk dapat menyerap informasi sebanyak mungkin di dalam ruang persidangan yang terungkap dalam fakta hukum yang ada. Hal ini memiliki peran penting pada saat hakim dengan keterbatasan pengetahuannya yang ada mencoba melakukan suatu penemuan hukum yang pada akhirnya justru menciptakan putusan yang dianggap tidak berkualitas atau tidak ideal. Dalam rangka memberikan arahan dalam masalah yang diungkapkan dalam paragraf di atas, maka pertanyaan yang dalam penelitian ini meliputi: 1.
Apakah keterbatasan pengetahuan hakim dalam pemaknaan fakta yang terungkap di persidangan dapat mempengaruhi kualitas sebuah putusan?
2.
Apakah pendekatan hermeneutika dapat membantu dalam rangka meminimalisasi ketidaksempurnaan putusan akibat keterbatasan pengetahuan hakim tersebut?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Sebagai institusi pemberi jaminan atas keadilan, hukum sudah hilang daya tariknya dalam alam kesadaran manusia Indonesia saat ini. Paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik jurisprudence kita yaitu paradigma positifisme yang menjadi ”kaca mata” kita dalam membaca hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab masalahmasalah hukum saat ini. Akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula (legalist fallacy). Hakim sebagai salah satu variabel penegak hukum tempat tumpuan harapan memiliki peran penting dalam rangka mengembalikan daya tarik hukum dengan memberikan karya terbaik dalam suatu putusan pengadilan. Manusia mempunyai kecenderungan dan kebutuhan akan kepastian dan keadilan. Sebab, hanya dalam kepastian berkeadilan manusia mampu untuk mengaktualisasikan segala potensi kemanusiaannya secara wajar dan baik. Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk menciptakan kepastian dan keadilan tersebut. Upaya yang semestinya dilakukan guna menciptakan kepastian dan keadilan ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan sehingga ketertiban berkeadilan terwujud. Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkret, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 49
JURNAL APRIL.indd 49
5/16/2012 4:59:55 PM
Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat menaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). Berbicara tentang hukum pada umumnya, masyarakat umumnya hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undangundang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa konkret tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam rangka maksimalisasi kualitas suatu putusan adalah dengan menggunakan pendekatan hermeneutika hukum. Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teksteks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Secara teologis peran Hermes tersebut dapat dinisbahkan sebagaimana peran Nabi, bahkan Sayyed Hossein Nashr menyatakan bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s. (Nasr, 1989: 71). Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau
50 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 50
5/16/2012 4:59:55 PM
memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksud di sini dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika. Adapun yang dimaksud dengan hermeneutika hukum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Gregory Leyh dalam buku “Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice”, di mana Gregory mengutip pendapat Gadamer yang menyatakan bahwa hermeneutika hukum bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus, tetapi ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, tempat ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Adapun fungsi dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. Sedangkan menurut Gregory, tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya (Hamidi, 2005: 42). Menurut B. Arief Sidharta (1999: 103), mula pertama hermeneutika itu dikembangkan adalah sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey hermeneutika dikembangkan sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya, lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Gadamer mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya “Truth and Method”. Dalam buku tersebut, Gadamer menyisihkan paragraf khusus dengan judul “the exemplary significance of legal hermeneutics” yang intinya berbicara mengenai signifikansi hermeneutika hukum (Gadamer, 1965: 289). Kemudian dalam karya Heidegger dan karya Gadamer, hermeneutika sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutika yang berintikan konsep-konsep kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutika (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical conciousness), dan perpaduan cakrawala (fusion of horizons) (Sidharta, 1999: 94). Menurut Gerald Ebeling (Grondin, 1994: 20), terdapat tiga proses yang dikategorikan mengandung makna hermeneutis yang utama. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata- kata (uiterance speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan (translating) suatu bahasa asing ke dalam bahasa yang lebih dikuasai. Menurut Palmer, pengertian hermeneutika dirangkum dalam pengertian menafsirkan (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya mengandung proses memberi pemahaman atau dengan kata lain menafsirkannya (Palmer, 1981: 14).
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 51
JURNAL APRIL.indd 51
5/16/2012 4:59:55 PM
Salah satu varian dari metode pendekatan yang peneliti lihat mempunyai relevansi dengan penelitian kali ini adalah keberadaan konsep verstehen dalam suatu putusan pengadilan. Max Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatan Verstehen (pemahaman) yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain tanpa prasangka tertentu. Dalam tradisi Verstehen, jika objeknya adalah sistem budaya, maka bisa dipilah antara tradisi agung (great tradition) dan tradisi rendah (little tradition). Melalui Verstehen dilakukan pemahaman dengan reliving atau re-experiencing, yaitu memproduksi makna seperti yang dihayati oleh penciptanya. Misalnya, kalau hendak memahami suatu teks, peneliti harus melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seolah-olah sang peneliti mengalami peristiwaperistiwa historis yang dialami oleh pengarang (Dilthey,1985: 159-161). Verstehen hadir sebagai suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan histori. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh aktor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan subjektif itu yang di sebut dengan Verstehende sociologie. Menurut konsep pendekatan verstehen Weber, untuk memahami makna tindakan seseorang, harus berasumsi bahwa seseorang dalam bertindak tidak hanya sekedar melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai (in-order to motive), sehingga untuk memahami tindakan individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari tindakan itu (Basrowi, 2004: 60). Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subjektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subjektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subjektif dalam tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuantujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol. Tindakan Subjek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subjektif yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subjektif ini secara objektif dan analitis. Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa objektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenisjenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “objektif” hanya berhubungan dengan gejalagejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subjektif“ 52 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 52
5/16/2012 4:59:55 PM
berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya. Fenomena korupsi kini tidak hanya terjadi secara sentralistik di pusat pemerintahan semata. Dalam laporan Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada disebutkan bahwa dari 30 (tiga puluh) kasus korupsi pada semester I selama tahun 2008, tercatat yang paling banyak kasus didominasi oleh pejabat pemerintah daerah (16 (enam belas) orang). Setelah itu baru dilakukan oleh pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN.) sebanyak 13 (tiga belas) orang, dan pengusaha swasta 11 (sebelas) orang. (”Pejabat Pemerintah Daerah Paling Korup”, Sinar Harapan: 14 Agustus 2008). Tindak pidana korupsi yang menjadi kajian dalam analisis ini adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dalam kapasitasnya sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Tata Kota Kabupaten Gunung Mas dan juga berkedudukan sebagai Pengguna Anggaran pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007. Dalam putusan ini terlihat secara jelas bentuk dakwaan dari jaksa penuntut umum yang disusun secara subsidiaritas, yang kemudian diuraikan oleh majelis hakim secara berurutan pula, yaitu mulai dari dakwaan primer, dakwaan subsider dan dakwaan lebih subsider. Pertimbangan fakta hukum dalam putusan ini telah disertai dengan alat-alat bukti yang diperoleh secara sah dan legal, baik berupa keterangan saksi dan bukti surat yang dihadirkan di muka persidangan, yang kemudian di analisis secara proporsional oleh majelis hakim. Putusan Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R telah dihasilkan oleh majelis hakim yang mengadilinya dengan melakukan analisis terhadap dakwaan jaksa penuntut umum yang ditunjang dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo. Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP.) dan juga doktrin hukum negatief wettelijk stelsel. Doktrin hukum itu menekankan pada keadaan salah atau tidaknya seorang terdakwa akan ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam melakukan analisis terhadap unsur-unsur pasal yang didakwakan, majelis hakim dalam Perkara Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R telah menggunakan beberapa rujukan dari Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung, seperti saat menguraikan unsur “memaksa, hadiah, atau janji”. Majelis hakim menggunakan yurisprudensi ini secara tepat, karena telah mempertimbangkan adanya persamaan karakteristik antara kasus yang ada pada yurisprudensi itu dengan kasus pada Perkara Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R. Pertimbangan seperti itu merupakan hal mendasar untuk dapat menerapkan secara tepat sebuah yurisprudensi dalam pengambilan putusan. Selain yurisprudensi, majelis hakim juga menggunakan beberapa doktrin hukum sebagai landasan pembuktian, seperti saat menguraikan unsur ke empat dakwaan primer, majelis hakim telah menggunakan doktrin unus testis nulus testis. Begitu pun saat menguraikan unsur ke tiga dakwaan subsider, majelis hakim telah menggunakan doktrin pro parte dolus, pro parte culpa. Tetapi, dalam JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 53
JURNAL APRIL.indd 53
5/16/2012 4:59:55 PM
kasus ini majelis hakim justru tidak terlihat sama sekali menggunakan pertimbangan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam menguraikan unsur-unsur kesalahan (unsur-unsur dakwaan). Uraian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R telah menganalisis satu persatu unsur tindak pidana yang berasal dari dakwaan dan requisitor yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Uraian majelis hakim itu, secara umum, telah didasari oleh fakta hukum yang relevan. Seperti saat menguraikan salah satu unsur dakwaan subsider, majelis hakim telah berpijak pada fakta hukum yang relevan berupa adanya hubungan yang terjadi antara kedudukan terdakwa dengan penerimaan hadiah/uang yang diterimanya, sehingga terdapat suatu asumsi kuat bahwa karena jabatan yang dimiliki oleh terdakwalah maka pemberian hadiah itu terjadi. Pada kasus yang didakwakan kepada terdakwa, terungkap di persidangan bahwa pemberian cek senilai Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dari BIT ialah karena ada ancaman sebelumnya dari terdakwa yang tidak mau menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Pembangunan Jaringan Lampu Penerangan Jalan Umum Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007. Perbincangan yang di dalamnya diduga ada bentuk ancaman dari terdakwa kepada BIT dilakukan pada suatu perbincangan dalam bahasa Dayak yang tidak dimengerti oleh saksi RIS, yang hadir pada saat itu. Perbincangan itu juga baru dilaporkan oleh BIT dalam waktu setelah lebih dari satu tahun, sehingga menurut majelis hakim, tidak secara jelas mengindikasikan telah terjadinya suatu ancaman kepada diri BIT. Salah satu bentuk argumentasi yang menarik untuk diperhatikan dalam putusan ini adalah pada saat majelis hakim menguraikan unsur “memaksa” dalam dakwaan primer. Beranjak dari keterbatasan pengetahuan saksi yang hadir pada saat terdakwa meminta sejumlah uang karena percakapannya dilakukan dalam bahasa Dayak, majelis hakim dengan segera sampai pada suatu titik simpulan bahwa tidak benar terdapat suatu unsur pemaksaan. Argumentasi serupa juga dilakukan oleh majelis hakim saat memperkuat simpulan tidak terpenuhinya unsur “memaksa” ini. Majelis hakim menganggap bahwa pemberian suatu fee kepada pemberi anggaran oleh kontraktor merupakan hal yang wajar dan telah sering terjadi secara berkelanjutan sehingga tidak merupakan suatu kesalahan. Uraian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam pembahasan unsur “memaksa” di atas secara jelas terlihat sangat memaksakan untuk sampai pada simpulan tidak terpenuhinya unsur “memaksa”. Simpulan seperti itu jelas berdasarkan pada pola logika yang melompat (jumping conclusion), yaitu bahwa karena keterbatasan kemampuan untuk melakukan elaborasi secara linguistik maka majelis hakim segera berkeyakinan bahwa tindakan pemaksaan tidak terjadi. Keterbatasan yang sesungguhnya dimiliki oleh saksi RIS (tidak memahami bahasa Dayak) seharusnya tidak menjadi suatu penghalang bagi majelis hakim untuk dapat mengetahui apakah isi pembicaraan antara terdakwa dengan BIT mempunyai indikasi ancaman (memaksa) atau tidak.
54 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 54
5/16/2012 4:59:55 PM
Dari optik hermeneutika hukum dapat dilihat bahwa hakim mempunyai tugas untuk dapat melakukan suatu interpretasi secara menyeluruh dan komprehensif dalam rangka menghadirkan suatu putusan yang berkualitas. Keterbatasan pengetahuan saksi RIS terhadap bahasa Dayak sebagai bahasa yang dipergunakan dalam perbincangan antara terdakwa kepada BIT yang kemudian oleh majelis hakim dianggap suatu kesaksian yang sempurna membuat persidangan tidak mampu untuk menangkan pemaknaan dan melakukan interpretasi secara maksimal dalam menghasilkan putusan. Kondisi ini jelas dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kelemahan atau kelalaian hakim dalam bertindak profesional dalam rangka menghasilkan putusan yang berkualitas. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hakim dituntut untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya. Jelas dalam konsep ini majelis hakim apabila menemui kebuntuan dalam proses peradilan pada umumnya atau kendala bahasan sebagaimana ditemukan dalam kasus a quo, dapat mempergunakan menggunakan konsep verstehen dalam menghadirkan pemahaman atau pemaknaan secara menyeluruh terhadap kasus yang disidangkan. Paling tidak terdapat 2 (dua) cara yang dapat ditempuh sebagai bagian upaya penciptaan putusan yang berkualitas dengan memperhatikan kendala yang terjadi dalam kasus yang disidangkan di Pengadilan Negeri Palangkaraya ini. Pertama, hakim dalam melakukan suatu upaya konstruksi hukum dengan mencermati fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Metode eksposisi ini merupakan salah satu cara yang tersedia dalam rangka hakim melakukan suatu penemuan hukum. Metode eksposisi diartikan sebagai suatu bentuk metode untuk menjelaskan kata–kata atau membentuk pengertian, bukan menjelaskan barang (Bos, 1967:134). Indonesia sebagai negara hukum mengatur sistem hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Oleh karena dalam System Civil Law salah satu karakteristiknya adalah mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber hukum, maka dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia juga mengutamakan peraturan tertulis (undangundang) sebagai hukum. Akibatnya sesuai dengan ajaran Legisme, muara penegakan hukum terutama putusan pengadilan masih bersifat formal legalisme, yang dikejar adalah keadilan formal sesuai UU. Dan dalam prakteknya produk hukum yang bersifat formal legalistic itu sering tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan, sering menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis (undang-undang) tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri hakim harus
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 55
JURNAL APRIL.indd 55
5/16/2012 4:59:55 PM
menemukan hukumnya (rechtsvinding) dan atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Karena sesuai UU Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya masih samar. Di sinilah letak pentingnya penemuan hukum oleh hakim, untuk mengisi kekosongan hukum sehingga tercipta putusan pengadilan yang baik yang dapat digunakan sebagai sumber pembaharuan hukum atau perkembangan ilmu hukum. Fakta hukum yang terungkap bahwa pasca perbincangan antara terdakwa kepada BIT dalam bahasa dayak yang didengar langsung oleh Saksi RIS kemudian membuat BIT langsung menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Pembangunan Jaringan Lampu Penerangan Jalan Umum Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007 harusnya dapat ditengarai oleh majelis hakim sebagai suatu bentuk pemaksaan atau tindakan intimidasi kepada BIT yang berujung pada penandatanganan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan Pembangunan Jaringan Lampu Penerangan Jalan Umum Kabupaten Gunung Mas Tahun Anggaran 2007. Hal ini akan lebih mudah untuk dikonstruksikan saat diketahui ternyata terdakwa selama ini enggan untuk melakukan penandatanganan, sehingga hampir dapat dipastikan dalam perbincangan yang dilakukan dalam bahasa Dayak tersebut terdapat frasa-frasa atau ungkapan-ungkapan yang cukup signifikan untuk dapat merubah pendirian dan pemahaman terdakwa sehingga menjadi alasan utama BIT melakukan pemberian kepada terdakwa. Metode Kedua yang dapat ditempuh oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya dalam mengadili kasus ini adalah dengan memanfaatkan secara optimal keberadaan alat bukti yang ada. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, terdapat keterangan [saksi] ahli yang dapat diperdengarkan. Dalam konteks inilah majelis hakim dapat mempergunakan saksi ahli yang mengerti mengenai bahasa daya sehingga menjadi sangat amat memungkinkan jika interpretasi yang sepotong-sepotong ditangkap oleh saksi RIS dapat diterjemahkan sehingga kemudian memudahkan hakim untuk melakukan pemahaman (verstehen) terhadap fakta hukum yang ada dengan pemaknaan baru. Hakim merupakan salah satu catur wangsa dalam sistem penegakan hukum, yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice (keadilan masyarakat). Begitu pentingnya peran hakim dalam penegakan hukum, sehingga dalam hukum acara hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia novit) yang akan menentukan hitam putihnya
56 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 56
5/16/2012 4:59:55 PM
hukum melalui putusannya. Namun dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu hukum atau UU mengatur yang selengkaplengkapnya mengingat masyarakat yang diatur oleh hukum senantiasa berubah (dinamis). Oleh karena itu kekurangan atau ketidaklengkapan aturan hukum atau undang-undang harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subjek yang memiliki wewenang dalam menegakkan hukum cq. menemukan hukum itu adalah hakim. Pada hakekatnya semua perkara yang harus diselesaikan oleh hakim di Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis (kepastian), filosofis (keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis). Khusus mengenai argumentasi majelis hakim yang mengatakan bahwa pemberian fee merupakan suatu hal yang wajar dalam hubungan usaha antara pengguna anggaran dengan pihak kontraktor dan telah berlangsung dalam waktu lama, sehingga majelis hakim mengatakan bahwa tidak terdapat kesalahan dalam tindakan tersebut, secara jelas memperlihatkan majelis hakim telah mencoba untuk mengaburkan esensi dari pasal yang didakwakan, yaitu “penerimaan hadiah dan penyalahgunaan kekuasaan”. Walaupun hubungan perikatan yang timbul di antara kedua belah pihak, yaitu antara terdakwa dengan BIT, berada dalam ranah hukum privat yang mungkin mencantumkan dalam perjanjian tersendiri klausula mengenai pemberian fee, namun hal ini tidak serta-merta menghapuskan ketentuan hukum pidana (dalam ranah hukum publik). Walaupun hubungan hukum yang terjadi dalam proyek ini termasuk dalam lingkup Hukum Perjanjian namun pemberian fee terhadap pejabat negara atau pegawai negeri tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan menjadi kebiasaan umum. Dalam pembahasan hukum perdata pada umumnya dan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata pada khususnya, para pihak yang membuat perikatan mempunyai hak sepenuhnya untuk menentukan isi perjanjian sesuai dengan kehendak yang disepakati. Namun, kebebasan berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh prasyarat ”suatu sebab yang halal” yang bersumber pada hukum publik. Apabila terjadi pertentangan antara hukum privat dan hukum publik, maka yang harus didahulukan adalah hukum publiknya. Dalam konteks ini dapat dilihat dengan merujuk pada hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 13/Pid.B/TPK/2009/PN.Jkt.Pst. mengenai Tindak Pidana Korupsi Pada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Wilayah II Jawa Bagian Timur yang dalam putusannya mempertimbangkan bahwa pemberian fee kepada pejabat negara atau pegawai negeri yang dilakukan oleh seorang kontraktor dalam rangka pelaksanaan suatu proyek merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Sehingga alasan telah dilakukannya tindakan ini secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar terhadap terjadinya suatu pemberian kepada pejabat negara atau pegawai negeri.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 57
JURNAL APRIL.indd 57
5/16/2012 4:59:55 PM
Penggunaan pendekatan seperti diungkapkan di atas kiranya dapat selain memperbaiki kualitas putusan namun juga menjadi tumpuan dalam perwujudan nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, korupsi sudah terjadi semakin meluas, di berbagai bidang dan melalui cara yang sistematis, sehingga tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks pemberantasan korupsi, peran dari lembaga yudikatif (pengadilan) jelas memiliki arti yang sangat penting, yaitu sebagai pintu terakhir dalam menentukan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa tindak pidana korupsi. Peradilan pidana memang menjadi suatu titik temu antara keadilan individual dan keadilan sosial. Keadilan individual yang merujuk pada bentuk keadilan yang bergantung dari kehendak baik dan buruk masing-masing individu, sedangkan keadilan sosial sebagai bentuk keadilan yang pelaksanaannya bergantung pada struktur proses-proses ekonomi, sosial, budaya dan ideologis dalam masyarakat (Shidarta, 2007: 52). Hakim harus dengan cermat mempertimbangkan keberadaan nilai keadilan, baik bagi diri terdakwa, para pihak di persidangan, maupun bagi masyarakat luas. Dalam Perkara Nomor 31/ Pid.B/2009/PN.PL.R, mungkin saja bagi diri terdakwa putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim telah memenuhi nilai keadilan individualnya. Tindakan dari terdakwa yang menerima uang sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dari pihak kontraktor, menurut terdakwa, mungkin sudah setimpal dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang dikenakan kepadanya. Namun, suatu keadilan tidak hanya bersumber pada nilai individual semata, keadilan juga dapat bersumber pada nilai sosial. Tindak pidana korupsi yang sedang mendapat perhatian besar dari masyarakat menuntut setiap hakim untuk lebih adil dalam menghasilkan putusannya. Patut juga mendapatkan perhatian bahwa dampak lanjut dari suatu tindak pidana korupsi tidak hanya berhenti pada angka (nilai uang) yang diterima oleh terdakwa, namun juga mengurangi nilai pembangunan yang seharusnya dapat dilakukan secara maksimal. Dalam konteks seperti itulah, maka Putusan Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R dapat melukai nilai keadilan sosial dan substansial yang ada di masyarakat. Dalam perspektif Bentham, hukum yang bermanfaat ialah yang berdasarkan pada 4 (empat) tolok ukur utama pemenuhan nilai kemanfaatan, yaitu: menyediakan mata pencaharian, menghasilkan kemakmuran, mengutamakan kesamaan, dan menjaga keamanan (Shidarta, 2007: 39). Putusan Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R ini tidak dapat dianggap memenuhi nilai kemanfaatan yang dihasilkan melalui suatu putusan pengadilan. Hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang dikenakan kepada terdakwa secara eksplisit tidak dapat memaksimalkan kemakmuran bagi masyarakat banyak. Kedua nilai utama dari hukum, yaitu nilai keadilan dan kemanfaatan, seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam upaya mereformasi bidang hukum. Pemerintah
58 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 58
5/16/2012 4:59:55 PM
secara umum memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan peran serta dan juga memberikan kemanfaatan bagi masyarakat madani. Masyarakat madani (civil society) sering menjadi tolok ukur utama dalam melihat kemajuan peradaban suatu bangsa. Hukum, dalam perspektif Kohler, dapat dilihat dalam 3 (tiga) dimensi waktu yang berbeda. Pada kondisi masa lampau hukum merupakan produk dari peradaban, di masa kini hukum diharapkan dapat menjaga peradaban, dan untuk di masa yang akan datang hukum harus dapat melanjutkan dan memajukan peradaban (Pound, 1986: 143). Dari uraian tersebut terlihat titik singgung yang nyata dalam konsep hukum dan penguatan civil society. Salah satu indikator penguatan masyarakat madani yang dapat dikontribusikan oleh lembaga yudikatif (pengadilan) adalah supremasi hukum dan perwujudan keadilan sosial. Putusan Nomor 31/Pid.B/2009/PN.PL.R ini terlihat tidak mencerminkan keberpihakannya kepada penguatan masyarakat madani yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam proses persidanganpun, suara yang merepresentasikan masyarakat madani, seperti dari lembaga swadaya masyarakat yang punya kepedulian terhadap pemberantasan korupsi, jelas tidak diberi tempat oleh majelis hakim yang mengadili perkara. Sehingga dengan demikian, putusan ini memang tepat untuk dianggap sebagai putusan yang tidak memiliki kontribusi sama sekali bagi proses penguatan civil society. Hakim dan kewajiban-kewajibannya seperti tersirat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 adalah sebagai ‘sense of justice of the people”. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya untuk melaksanakan peran tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (undang-undang) atas perkara-perkara di pengadilan atau ‘agent of conflict”. Tetapi seharusnya juga mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilainilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan. Pelaksanaan peran hakim sebagai komponen utama lembaga peradilan, sekaligus sebagai bagian yang strategik dan sentral dari kekuasaan kehakiman, selain memberikan kontribusi dalam melaksanakan misi institusinya, juga menjadi kontributor dalam proses pelayanan publik dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Di sisi yang lain, juga akan berimplikasi nyata terhadap pemenuhan tanggung jawab kelembagaan kekuasaan kehakiman. Kian berkualitas putusan yang dihasilkannya, maka peran lembaga yudikatif ini akan semakin dirasakan kontribusi
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 59
JURNAL APRIL.indd 59
5/16/2012 4:59:55 PM
dan manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara. Perjuangan Oliver Wendel Holmes Jr., Hakim Agung Amerika Serikat yang populer itu yang dengan perannya itu begitu gigih berupaya membebaskan dunia hukum pada umumnya, dan dunia peradilan pada khususnya, dari belenggu “formalisme-positivisme”, kiranya layak untuk disimak dan ditiru aspek positifnya. Karena dengan perjuangannya, kemudian masyarakat dan terutama pencari keadilan merasakan bahwa produk hukum, termasuk putusan pengadilan dapat lebih dekat dan memihak pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak lagi memerankan dirinya sekedar “terompet Undang-undang”, melainkan menempatkan posisinya sebagai “living interpretator” dari rasa keadilan masyarakat. Atas dasar pemikiran tersebut, kinerja profesi hukum (khususnya hakim), bukan hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan (ilmu) hukum dan mempunyai keterampilan dalam menerapkan hukum. Di samping itu, ada aspek lain yang lebih penting, yaitu memiliki integritas berkepribadian atau moralitas yang tinggi. Ilmu hukum dan profesi hukum berhubungan dengan manusia dan kemanusiaan, moral dan dunia lainnya. ilmu hukum dan profesi hukum, dengan konsep-konsep ideal yang abstrak (yang sebagian dituangkan dalam teks-teks hukum) di satu pihak, dan dunia kenyataan, di lain pihak. Kedudukan dan peran hakim dalam menjalankan fungsinya yang luhur dan mulia untuk hukum dan keadilan melalui badan-badan peradilan, tidaklah mudah. Mudah diucapkan, namun sukar dilaksanakan. Karena hakim dalam mengemban amanat tersebut, serta merta terbebas dari godaan-godaan duniawi. Ironisnya, tidak sedikit hakim yang gagal mengemban amanat serta kepercayaan yang diletakkan di pundaknya itu, yang selain menciderai rasa keadilan masyarakat, juga merusak citra, harkat dan martabat peradilan dan pribadi hakim itu sendiri. Karena putusan yang dibuatnya, jauh bahkan bertentangan dengan hukum, keadilan dan kebenaran. Tentu, para pencari keadilan akan sangat kecewa apabila putusan hakim tersebut tidak rasa keadilan. Lebih-lebih jika tidak ada kepastian hukum tiada kepastian kapan putusan hakim dijatuhkan dan kapan pula dapat dilaksanakan. “Justice delayed is justice denied.” Kredibilitas semacam inilah yang kini banyak dipertanyakan. Selain tidak profesional, diduga keras terdapat indikasi KKN dalam proses putusan hakim di semua jenjang dan tingkatan. Untuk mendapatkan hakim yang berkualitas, profesional, bertanggung jawab, adil dan benar diperlukan juga pemberian penghargaan yang layak. Selain itu masih juga diperlukan manajemen dan kontrol terhadap kinerja hakim secara proporsional dan profesional, penerapan sistem ‘reward and punishment” secara tepat, pendidikan dan pelatihan profesi secara terstruktur, terprogram dan berkelanjutan, integritas, moralitas dan dedikasi. Menurut Widjojanto diperlukan, “public complain council” agar masyarakat memiliki akses untuk memantau berbagai penyelewengan hakim yang tidak sesuai dengan peran, fungsi dan kewajiban hukumnya tersebut.
60 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 60
5/16/2012 4:59:56 PM
IV. SIMPULAN Mengingat beratnya peran dan tanggung jawab hakim tersebut, diperlukan manusia-manusia yang terpilih dan terpanggil yakni mereka yang sungguh-sungguh terpanggil jiwa dan hati nurani sebagai hakim nuraninya sebagai hakim. Karena profesi hakim tidak dapat dilakukan oleh orangorang yang panggilan jiwanya hanya sebagai “penguasa” apalagi sebagai “pengusaha”. Suara hati nurani yang hakekatnya berarti kesadaran moral atau sebagai pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan kepada manusia tentang baik dan buruk (Thomas Aquinas) atau sebagai kenyataan dari budi kesusilaan (Imanuel Kant)
Daftar Pustaka Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju. Achmadi, Adib (ed.). 2005. Panduan Pengawasan Keuangan Daerah. Masyarakat Transparansi Indonesia. Ackerman-Rose, Susan. 2006. Korupsi Pemerintahan: Sebab, Akibat dan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Aditjondro, George J. 2002. Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: LSPP. Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta: Kemitraan. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. Pecker, Herbert L. 1968. The Model in Operation: From Arrest to Charge. California: Stanford University Press. Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Alumni. Shidarta. 2007. Utilitarianisme. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara. Soemodipradja, Achmad S. 1984. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press. __________. 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 61
JURNAL APRIL.indd 61
5/16/2012 4:59:56 PM
KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA YANG DIJADIKAN ALAT BUKTI Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN. Ciamis N. Ike Kusmiati Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung Email: [email protected]
ABSTRACT Matter of proof in civil cases is important, since the parties have to prove what is being disputed. It is stated in Article 163 HIR that whoever owned the rights to something, he has to prove it. There are some evidences which have the perfect strength of proof, namely, the written evidence, witness, suspicion, recognition, and the oath. But in practice, the problem arises. Letter of Interrogation of the Suspect was used as an evidence by the judge in the decision number 06/ Pdt/2001/PN.Ciamis. As analyzed in this paper, the Letter of Interrogation is only preliminary evidence, so other evidences are needed to make it enforceable, as stated in Article 164 HIR, in conjunction with Article 165 HIR. Keywords: strength of proof, evidence. ABSTRAK Pembuktian dan bukti dalam kasus perdata sangat penting semenjak para pihak harus membuktikan dari perselisihan yang muncul. Dalam pasal 163 HIR disebutkan bahwa siapun yang memiliki hak atas sesuatu maka dia harus membuktikannya. Ada beberapa macam alat bukti yang akan mengukur kekuatan pembuktiannya misalnya, bukti tertulis, saksi, pengakuan, dan sumpah. Namun dalam prakteknya selalu muncul persoalan. Surat berita acara pemeriksaan tersangka telah digunakan hakim sebagai bukti sebagaimana dalam putusan nomor 06/Pdt/2001/ PN.Ciamis. Dalam tulisan ini dianalisa bahwa berita acara pemeriksaab sebagai bukti permulaan, oleh sebab itu dibutuhkan bukti lain yang dapat menyakinkan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 164 HIR dan terkiat dengan pasal 165 HIR Kata kunci: kekuatan pembuktian, bukti, dan surat berita acara pemeriksaan
62 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 62
5/16/2012 4:59:56 PM
I.
PENDAHULUAN
Tugas pokok hakim adalah memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga hakim hanya memiliki satu pilihan kecuali memeriksa dan memutuskan perkara tersebut untuk membantu para pencari keadilan. Hakim memberi putusan berdasarkan keadilan. Artinya, hakim harus mengadili menurut hukum sehingga hakim harus mengenal hukum dan peristiwa, serta dianggap tahu hukumnya atas berbagai peristiwa konkret (ius curia novit). Oleh sebab itu hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas, tidak lengkap. Bahkan, meski undang-undang belum mengatur tentang suatu peristiwa maka hakim harus menggali norma-norma yang tumbuh hidup dalam masyarakat sebagai kebiasaan. Hal di atas sebagai konsekuensi dari hakim harus mengadili menurut hukum. Artinya, hakim dalam memutus perkara selain bersandarkan pada undang-undang, juga bersandarkan kebiasaan sebagai hukum tidak tertulis sebagaimana tersurat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan di atas berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 20 AB di mana hakim mengadili berdasarkan undang-undang sehingga memberi ruang gerak lebih sempit pada hakim, karena hukum itu hanya menjelma dalam undang-undang saja sehingga hakim hanya mengikuti apa bunyi teks undang-undang. Sebagai konsekuensi dari hakim mengadili berdasarkan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 48 Tahun 2009 di atas, maka hakim harus memiliki pengetahuan tentang hukum. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus mengenal hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hal itu menuntut hakim harus mengetahui peristiwa atau fakta yang disampaikan oleh para pihak sehingga hakim mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan melalui pembuktian di depan sidang. Pembuktian di depan persidangan berarti memberi kepastian sebuah peristiwa tertentu. Hal itu disebabkan hakim mengonstatir, kemudian mengkualifisirnya terhadap setiap peristiwa yang dihadapinya sehingga hakim harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya, selanjutnya hakim menerapkan hukum terhadap peristiwa. Peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan masih perlu diteliti kebenarannya oleh hakim, sekalipun telah diajukan pembuktian. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata) bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan hak/peristiwa itu. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang harus membuktikan adalah yang merasa mempunyai suatu hak dan mereka yang membantah haknya tersebut. Artinya, penggugat yang merasa mempunyai hak harus membuktikan bahwa bukti tersebut menjadi dasar dari haknya. Sebaliknya terhadap tergugat yang mengatakan bahwa penggugat bukanlah orang yang berhak, maka tergugat harus membuktikan kebenarannya. JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 63
JURNAL APRIL.indd 63
5/16/2012 4:59:56 PM
Melalui pembuktian pihak yang merasa dirugikan harus dapat membuktikan adanya kesalahan dari pihak yang dituntutnya dengan bukti-bukti yang cukup. Membuktikan berarti memberi keyakinan/meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam persengketaan yang akan menjadi tolok ukur hakim dalam menyelesaikan perselisihan di antara para pihak. Yang harus dibuktikan hanya berkisar tentang hak-hak yang dipersengketakan saja, yang meliputi hal-hal yang diajukan oleh pihak yang satu, tetapi dibantah oleh pihak lain. Berkenaan dengan pembuktian tersebut Pasal 164 HIR (Pasal 1866 KUHPerdata) mengatur tentang alat-alat bukti yang terdiri dari bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Berkenaan dengan alat-alat bukti tersebut dalam praktek manarik untuk dikaji atas putusan Pengadilan Negeri Ciamis dalam perkara perdata No.06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis, dimana dalam perkara tersebut Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka dijadikan alat bukti oleh penggugat untuk menuntut tergugat, dan majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut mengabulkan gugatan penggugat dengan mendasarkan kepada alat bukti berupa Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka yang secara hukum tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna sebagaimana katentuan dalam Pasal 164 HIR. A. Kasus Posisi Persoalan ini bermula pada hari Rabu tanggal 11 April 1990, IT (penggugat) membeli sebidang tanah seluas ± 1740 m2 beserta bangunan permanen, yang berdiri di atasnya dari SF. Jual beli tersebut dilakukan dihadapan notaris RO, selaku pejabat pembuat akta tanah dengan Akta Jual Beli Nomor 11/JB/CMS/1990 tertanggal 11 April 1990. Tanah dan bangunan terletak di blok lebak jangkung lingkungan Kertahayu, Kelurahan Sindangrasa Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis Jawa Barat, dengan sertifikat Hak Milik Nomor 114/Desa Sindang Rasa atas nama SF yang sekarang dikenal dengan Jalan Tirta Winaya No. 12 Ciamis. Ketika penggugat akan membalik namakan sertifikat tanah tersebut atas nama penggugat, DMS (tergugat I) menawarkan jasa untuk menguruskannya. Tetapi ternyata tergugat I tidak mengurus membalik namakan sertifikat tersebut, melainkan telah menjual objek sengketa terebut pada tanggal 12 Desember 1991 kepada EDS dengan cara tergugat I membuat surat kuasa khusus seolah-olah mendapat kuasa dari SF untuk menjual tanah dan bangunan tersebut dan tanda tangan SF telah dipalsukan. Jual beli antara tergugat I dan EDS dilakukan di hadapan MAS (tergugat VII) selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan akta Jual Beli Nomor 8/7/12/JB/CMS tertanggal 12 Desember 1991, setelah terjadi jual beli objek sengketa kemudian EDS membalik namakan sertifikat menjadi atas nama dirinya yang dikeluarkan BPN Kabupaten Ciamis (tergugat VIII). Sejak tahun 1993 objek sengketa dengan tanpa hak yang sah dikuasai atau dimiliki oleh AB (tergugat IV) dan Ny. NH (tergugat V) sewaktu keduanya masih suami isteri, kemudian setelah
64 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 64
5/16/2012 4:59:56 PM
keduanya bercerai maka objek sengketa dikuasai oleh tergugat V dan oleh anak angkat tergugat IV dan tergugat V yaitu: AG (tergugat VI), maka penguasaan dan atau pemilikan oleh tergugat IV, tergugat V dan tergugat VI, adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum. EDS telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang janda yaitu Ny. IY (tergugat II) dan tiga orang anak hasil perkawinan, yaitu satu orang anak perempuan telah dewasa secara hukum yaitu YB (tergugat III) dan dua orang anak belum dewasa bernama SH dan SA. Meskipun objek sengketa yang tercantum dalam sertifikat Nomor 114/Desa Sindang Rasa atas nama EDS oleh karena pembalikan nama tersebut dilakukan dengan dasar jual beli yang melawan hukum, maka objek sengketa tersebut bukan hak milik EDS sehingga objek sengketa bukan merupakan harta warisan. Akibatnya, secara hukum tergugat II dan tergugat III tidak berhak untuk mewarisi objek sengketa dan secara hukum dapat diminta pertanggugjawabannya terhadap segala perbuatan yang dilakukan EDS yang telah menimbulkan kerugian bagi penggugat. Dari uraian tersebut di atas maka perbuatan tergugat telah merugikan kepentingan penggugat, dalam hal ini sesuai Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap Perbuatan Melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. B. Pertimbangan Majelis Hakim Petimbangan hukum yang dilakukan majelis hakim dalam menjatuhkan Putusan Pengadilan Negeri No. 06/Pdt.G/2001/PN.CMS mengenai gugatan yang dilakukan oleh penggugat yaitu IT terhadap para tergugat yaitu DMS dan kawan-kawan. Putusan tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu: 1. Pasal 1320 KUH Perdata. Jual-beli adalah merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, di mana berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat sepakat mereka yang mengikat dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab/kausa yang halal. Mengenai jual beli yang dilakukan tergugat EDS, hakim melihat bahwa pada mulanya perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sehingga perjanjian SF dengan EDS adalah tetap sah. Tetapi berdasarkan keterangan saksi SF sebagai pihak penjual dari objek sengketa menyatakan bahwa dia tidak pernah memberi kuasa kepada tergugat untuk menjual objek sengketa sebab saksi hanya pernah memberi kuasa kepada AS untuk menjual objek sengketa tersebut. Oleh karena peralihan objek sengketa tanpa kesepakatan dari SF dan dengan surat kuasa yang palsu (tanda tangan dipalsukan tergugat), dengan demikian maka perjanjian jual beli
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 65
JURNAL APRIL.indd 65
5/16/2012 4:59:56 PM
EDS adalah cacat hukum karena telah tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata dan suatu perjanjian yang cacat kehendak adalah dapat dibatalkan. 2. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Hakim melihat bahwa yang dilakukan oleh tergugat I dengan menjual objek sengketa kepada EDS tidak didasarkan kepada itikad baik, hal ini terlihat dengan perbuatan tergugat I dengan memalsukan tandatangan SF untuk menjual objek sengketa sehingga terjadi peralihan secara melawan hukum kepada pihak ketiga. 3. Pasal 1365 KUH Perdata. Berdasarkan pertimbangan hakim perbuatan tergugat I yang memalsukan tanda tangan SF adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat karena menguasai dan memiliki tanah dan bangunan objek sengketa dengan tanpa dasar pemilikan yang sah menurut hukum. 4. Pasal 165 H.I.R. Ketentuan Pasal 165 H.I.R akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, sebagai bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu. Penggunaan surat berita acara pemeriksaan tersangka sebagai akta otentik dijadikan bukti permulaan untuk menentukan sah atau tidaknya jual beli yang dilakukan tergugat dengan EDS sedangkan mengenai putusan pokok perkaranya tidak dapat ditentukan oleh bukti permulaan, dalam hal ini surat berita acara pemeriksaan tersangka karena memerlukan dukungan bukti-bukti yang lain. 5. Pasal 164 H.I.R. Berdasarkan pertimbangan hakim ini untuk membuat surat berita acara pemeriksaan tersangka berkekuatan pembuktian sempurna dan lengkap maka harus didukung oleh alat bukti lain yaitu bukti surat lainnya dan bukti saksi. Dalam perkara ini yang menjadi maksud dan tujuan penggugat yaitu untuk mengambil kembali hak milik atas tanah yang dikuasai tergugat secara melawan hukum dan menggugat tergugat untuk mengganti kerugian akibat perbuatannya kepada penggugat. Tetapi berdasarkan beberapa pertimbangan hukum tersebut di atas, maka mungkin hakim dapat menjatuhkan putusan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan mungkin dapat digunakan oleh penasihat hukum tergugat sebagai celah untuk dilakukannya upaya hukum. C. Putusan Hakim Dalam Perkara No. 06/Pdt.G/2001/Pn.CMS berdasarkan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim, maka majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut, yaitu menolak eksepsi para tergugat. Sementara dalam pokok perkara, hakim memutuskan: 1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian
66 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 66
5/16/2012 4:59:56 PM
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan terhadap objek sengketa 3. Menyatakan sah menurut hukum jual beli objek sengketa yang dilakukan SF dan IT 4. Menyatakan Akta Jual Beli Nomor: 11/JB/CMS/1990 tertanggal 1 April 1990 yang dikeluarkan Notaris RO, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sah menurut hukum. 5. Menetapkan objek sengketa merupakan hak milik yang sah dari penggugat 6. Menyatakan perbuatan jual beli antara tergugat I dan EDS adalah perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat 7. Menyatakan Akta Jual Beli No. 80/12/JB/CMS tanggal 3 Desember 1991 yang dikeluarkan tergugat VII antara tergugat I dengan EDS batal demi hukum 8. Menyatakan batal demi jual beli objek sengketa yangdilakukan oleh tergugat I dengan EDS. 9. Menetapkan Sertifikat Hak Milik No. 114/Desa Sindang Rasa atas nama EDS tidak mempunyai kekuatan hukum 10. Memerintahkan kepada tergugat VII untuk membatalkan Sertifikat Hak Milik No. 114/Desa Sindangrasa atas nama EDS 11. Menyatakan bahwa tergugat IV, tergugat V, dan tergugat VI telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai dan atau memiliki objek sengketa tanpa atas hak yang sah 12. Menghukum tergugat IV, tergugat V dan tergugat VI yang menguasai dan atau memiliki objek sengketa untuk menyerahkan objek sengketa kepada penggugat secara seketika dan bebas dari pembebanan jenis apapun. 13. Menghukum tergugat IV, tergugat V, dan tergugat VI secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan objek sengketa kepada penggugat yang diperhitungkan sejak putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 14. Menghukum tergugat I untuk mengganti kerugian sebesar Rp.4.000.000 (empat juta rupiah) kepada penggugat 15. Menghukum tergugat IV, tergugat V, dan tergugat VI secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.2.000.000 (dua juta rupiah) setiap tahun sejak tahun 1993 sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap 16. Menolak gugatan pengugat untuk selain dan selebihnya
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 67
JURNAL APRIL.indd 67
5/16/2012 4:59:56 PM
Selain dua hal di atas, hakim dalam gugatan rekonpensi dari penggugat dalam rekonpensi menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara yang kini ditaksir sebesar Rp.809.000 (delapan ratus sembilan ribu rupiah). II. RUMUSAN MASALAH Atas dasar latar belakang penulis mengkaji putusan tersebut tersebut, penulis dapat merumuskan persoalan-persoalan atas putusan tersebut yaitu bagaimana kekuatan pembuktian tersebut dari surat berita acara pemeriksaan tersangka yang dijadikan alat bukti dalam perkara perdata, bila dikaji dari perundang-undangan di Indonesia? Bagaimana penerapan Pasal 1365 KUH Perdata dalam Putusan Perdata Nomor 06/Pdt.G/2001/PN-Ciamis? Dan, apakah Putusan Pengadilan Negeri Ciamis dalam perkara Perdata Nomor 06/Pdt.G/2001/PN-Ciamis pertimbangan hukumnya telah tepat? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Tugas hakim adalah mengadili menurut hukum yaitu menyelesaikan peristiwa konkret yang dihadapinya berdasarkan hukum tertulis dan norma kebiasaan sebagai hukum tidak tertulis yang tumbuh hidup dalam masyarakat. Dalam kenyataannya seorang hakim tidak mengetahui segala peraturan, karena pada hakekatnya seorang hakim hanya diminta mempertimbangkan benartidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang dan memberi putusannya. Di sini hakim hanya mempertimbangkan benar-tidaknya suatu peristiwa, maka pada hakekatnya hakim tidak perlu tahu akan hukumnya. Hukum atau peraturannya dapat ditanyakan kepada ahlinya, melalui keterangan ahlinya, sehingga berdasarkan keterangan ahlinya tersebut hakim menjatuhkan putusan (Mertokusumo, 2005: 11). Hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mencukupkan alasan-alasan hukum yang mungkin tidak dikemukakan oleh para pihak, dan hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat. Alasan-alasan hukum di sini tidak lain adalah kaidah hukum objektif yang menjadi dasar pertimbangan hakim, sehingga apabila penggugat dalam surat gugatannya tidak menyebut dasar gugatannya atau keliru menggunakan dasar gugatannya, maka hakim dalam pertimbangannya akan mencukupkan segala alasan hukum, agar menang kalahnya salah satu pihak menjadi terang (Retnowulan, 2005: 111). Oleh karenanya pengetahuan hakim untuk menemukan hukum dari suatu peristiwa yang dihadapinya menjadi penting. Hakim harus memecahkan persoalan hukum yang dihadapinya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada, atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian hakim memiliki tanggung jawab
68 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 68
5/16/2012 4:59:56 PM
untuk menemukan hukum guna memecahkan setiap kasus konkret yang diajukan oleh para pencari keadilan. Berkenaan dengan pentingnya penemuan hukum sebagai upaya mengisi kekosongan hukum, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa penemuan hukum itu? Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lain yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret. Atau pengetahuan hukum adalah proses konkritisasi peraturan hukum (das sollen) terhadap peristiwa konkret (das sein) tertentu (Mertokusumo, 2005: 37). Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa tertentu. Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesqueia dan Immanuel Kant bahwa hakim dalam menjalankan perannya dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum, sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri, karena hakim hanya penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de laloi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang. Hakim tidak dapat menambah dan tidak pula menguranginya apa yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut (Mertokusumo, 2005: 40). Pendapat Montesquiea ini diilhami oleh aliran Legisme, di mana undang-undang satu-satunya sumber hukum, tidak ada hukum di luar undang-undang, hanya ada satu hukum yaitu undang-undang. Ini demi kepastian hukum. Merujuk pada teori di atas maka hakim harus ada merujuk kepada undang-undang. Berdasarkan pandangan ini maka peradilan hanyalah bentuk silogisme di mana konsep berpikirnya hakim dalam mengambil kesimpulan berdasar pada hal-hal yang umum (premis mayor) ke halhal yang khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undang-undang, dan premis minornya adalah peristiwanya, dan putusannya sendiri adalah kesimpulan yang logis. Jadi, putusan hakim tidak akan berisi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang. Hal ini sejalan dengan Pasal 20 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) bahwa hakim harus mengadili menurut undangundang. Selain itu, hakim tidak boleh menilai isi dan keadilan dari undang-undang sehingga ruang gerak hakim tidak bebas dan lebih sempit dalam penerapan undang-undang. Berbeda dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Makna dari ketentuan tersebut, bahwa dalam memberi keadilan hakim tidak diperkenankan membedakan seseorang dari status dan jabatannya, melainkan memandang semua orang itu sama di hadapan hukum (equality before the law). Ini melumpuhkan ketentuan Pasal 20 AB, karena pengertian menurut hukum lebih luas ketimbang menurut undang-undang. Oleh sebab itu hakim diberi kebebasan dalam memutus perkara yang dihadapinya berdasarkan intuisinya atau perasaan keadilan sehingga hakim harus memutus berdasarkan hukum, baik hukum JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 69
JURNAL APRIL.indd 69
5/16/2012 4:59:56 PM
tertulis maupun hukum tidak tertulis sebagai norma yang hidup dalam masyarakat. Konsekunesi dari konsep di atas adalah hakim harus mengenal hukum mana yang akan diterapkan terhadap peristiwanya. Ini mambawa konsekuensi bahwa hakim harus tetap berada dalam sistem, yaitu dapat menginterpretasikan apa yang menjadi keinginan pembentuk undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah penulis sebut di atas, di mana hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke hadapannya. Intinya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan menginterpretasi atau bahkan melakukan konstruksi hukum, dengan jalan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Berdasarkan ketentuan ini, hakim dalam memutus perkara tidak hanya mendasarkan pada undang-undang sebagai hukum tertulis melainkan juga hukum kebiasaan sebagai norma tidak tertulis. Dengan demikian melalui penemuan hukum, hakim tidak hanya menerapkan aturan terhadap peristiwanya saja, tetapi juga hakim menciptakan hukum, sekaligus melakukan pembaharuan hukum. Apabila dikaji, Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 06//Pdt.G/2001/PN. Ciamis, termasuk dalam golongan akta otentik, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk membuat akta tersebut, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, tetapi sejauh mana kekuatan akta tersebut apakah berkekuatan hukum sempurna atau tidak? Ini perlu untuk dikaji, sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, fungsi akta adalah untuk memberi ciri atau mengindividualisir sebuah akta, sedangkan akta otentik manurut Pasal 165 HIR (1868 KUHPerdata, 285 Rbg) bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka. Akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta. (Mertokusumo, 1993: 124). Dengan demikian akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu oleh penguasa. Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka yang dibuat oleh kepolisian dapat digolongkan sebagai akta otentik, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang membuatnya, yaitu kepolisian, tetapi untuk dijadikan sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan yang sempurna masih harus ditambah dengan adanya alat-alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 164 HIR, yaitu adanya bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah (R.Subekti, 2001: 19). Agar surat berita acara sebagai bukti itu memiliki kekuatan hukum, apalagi bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan
70 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 70
5/16/2012 4:59:56 PM
bukti yang utama dijadikan bukti yang dapat dipakai apabila timbul persengketaan diantara para pihak. Dalam putusan tersebut hakim menggunakan Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka sebagai alat bukti permulaan, yaitu surat tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1902 KUHPerdata tentang permulaan bukti tertulis, yaitu, harus ada akta, akta itu dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya, dan akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwanya yang bersangkutan. Oleh karenanya untuk dijadikan bukti yang sempurna dan lengkap masih memerlukan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 164 HIR. Dalam perkara Perdata No.06/Pdt.G/2001.PN.Ciamis, berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR jo. Pasal 165 HIR, maka Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka dijadikan bukti permulaan dengan dilengkapi alat bukti lain, berupa bukti surat lainnya dan saksi. Hal ini dilakukan untuk menentukan sah tidaknya jual beli yang dilakukan tergugat dengan EDS, karena fakta hukumnya tergugat tidak mengurus balik nama sertifikat dari SF menjadi atas nama penggugat, tetapi malah menjual objek sengketa tersebut pada tanggal 12 Desember 1991 kepada EDS dengan cara tergugat membuat surat kuasa khusus yang seolah-olah mendapat surat kuasa dari SF untuk menjual tanah dan bangunan tersebut dan tanda tangan SF telah dipalsukannya. Dalam perkara tersebut yang harus memberikan ganti rugi tidak hanya tergugat l, tergugat lV, tergugat V, dan tergugat Vl, melainkan juga SF, karena SF tidak cukup hanya sebagai saksi, tetapi juga harus manjadi pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum oleh penggugat, yaitu dengan cara menyertai (voeging) penggugat untuk membela kepentingannya, karena atas Pasal 279 Brv bahwa pihak yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan cara menyertai atau menengahi (tussenkomst). Berdasarkan Pasal 5 ayai (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana mewajibkan kepada hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan ketentuan tersebut pada pundak hakim dituntut untuk berperan aktif. Dalam putusan tersebut hakim telah memberikan putusan yang tepat, karena menggunakan Surat Berita Pemeriksaan Tersangka sebagai alat bukti permulaan. Ini merupakan peran aktif dari hakim dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya. Artinya surat tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1902 KUHPerdata. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pertimbangan hakim dalam putusan terhadap perkara tersebut, yaitu mengenai jual beli yang dilakukan tergugat dengan EDS, hakim melihat bahwa awalnya perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, hal tertentu sebagai objek perjanjian dan adanya kausa halal, sehingga perjanjian antara SF dengan EDS sah secara hukum.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 71
JURNAL APRIL.indd 71
5/16/2012 4:59:56 PM
Akan tetapi berdasarkan keterangan saksi SF tidak pernah memberi kuasa kepada tergugat untuk menjual objek sengketa, karena saksi hanya pernah memberi kuasa kepada AS untuk menjual objek sengketa tersebut. Oleh karena peralihan objek tanpa kesepakatan dari SF dan surat kuasa yang dipalsukan tergugat, maka perjanjian jual beli dengan EDS cacat karena tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Seharusnya pertimbangan hukum hakim ditambahkan Pasal 1321 KUHPerdata yang mengatur tentang faktor-faktor yang menyebabkan cacat kehendak, yaitu adanya kekhilafan (dwang), paksaan (dwaling) dan penipuan (bedrog) (Subekti, 2005: 23). Pasal ini dapat diterapkan terhadap kasus tersebut, karena ada unsur penipuan yang dilakukan tergugat sehingga akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Penerapan Pasal 1338 ayat (3) terhadap kasus ini telah tepat, karena tergugat l menjual objek sengketa kepada EDS tidak didasarkan atas itikad baik karena memalsukan tanda tangan SF. Selain itu, Penerapan Pasal 1365 KUHPerdata juga sudah tepat karena tergugat l yang memalsukan tanda tangan SF merupakan perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan di sini yaitu penggugat IT karena penggugat sebagai pembeli tanah yang menjadi objek sengketa. Berdasarkan pasal tersebut barang siapa membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut telah terpenuhi, yaitu: adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian (Fuady, 2005: 10). Unsur perbuatan dalam kasus tersebut telah terpenuhi karena tergugat l telah memalsukan tanda tangan SF. Perbuatan tersebut telah melawan hukum, karena telah melanggar ketentuan hukum, di mana perbuatan tergugat I telah melanggar undang-undang, juga talah melanggar hak orang lain, yaitu memalsukan tanda tangan SF, juga bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, yaitu membaliknamakan objek sengketa dan bukan menjualnya. Perbuatan tergugat l juga bertentangan dengan kesusilaan sebagai norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, bertentangan dengan sikap kehati-hatian di mana tergugat l tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian oleh karena unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi maka akibat hukumnya tergugat harus membayar ganti rugi sebagaimana dalam putusan tersebut, yaitu, tergugat l membayar ganti rugi sebesar Rp.4.000.000 (empat juta rupiah), tergugat lV, V dan Vl sebesar Rp.2.000.000 (dua juta rupiah) setiap tahun sejak 1993 dan membayar uang paksa (dwangson) secara tanggung renteng sebesar Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari karena keterlambatan menyerahkan objek sengketa kepada penggugat sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap.
72 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 72
5/16/2012 4:59:56 PM
IV. SIMPULAN Kekuatan pembuktian Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna, meskipun surat tersebut tergolong akta, tetapi untuk dikatakan sebagai akta yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna perlu didukung atau dilengkapi alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 164 HIR jo. Pasal 165 HIR. Penerapan Pasal 1365 KUHPerdata dalam putusan tersebut, telah sesuai, karena telah memenuhi unsur-unsur suatu perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, dan perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian dan adanya sikap kehati-hatian yang selalu dipelihara dalam pergaulan masyarakat. Akibat hukumnya dari perbuatan melawan hukum tersebut adalah mengganti kerugian. Pertimbangan hukum yang dijatuhkan hakim telah tepat di mana hakim memberlakukan Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka sebagai bukti permulaan dalam menentukan sah tidaknya jual beli antara EDS dengan tergugat l berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian, juga Surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka yang didukung oleh alat bukti lain, yaitu bukti surat dan saksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 164 HIR telah tepat.
DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. _________. 2005. Perbuatan Melawan Hukum Kontemporer. Bandung: PT. Citra Adtya Bakti. HS, Salim. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. ____________. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. ____________. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Retnowulan. 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju. Subekti, R. & Tjitrosudibio, R. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Subekti, R. 2007. Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta. _________. 1993. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 73
JURNAL APRIL.indd 73
5/16/2012 4:59:56 PM
_________. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. _________. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Supomo. 2005. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. Widjaya, Rai. 2003. Merancang Suatu Kontrak. Jakarta: Kasaint Blanc.
74 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 74
5/16/2012 4:59:56 PM
Potret buram anak perempuan Indonesia Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest Anthon F. Susanto Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung Email: [email protected]
ABSTRACT Incest committed by immediate family members is usually considered as a family disgrace. Thus, if there are other family members who know about it, usually they will keep it secret, so the case was hidden and the crime find a safe place to hide. This paper raised a case about a family tragedy in Cimahi, West Java. The case is about parental violence (father) to his daughter, in the form of sexual abuse, threats, to rape that resulted her daughter to be pregnant. This paper studies the judge’s consideration of the case and what steps to overcome such problems. The hudge’s ruling was correct because during the trial did not find any reason or justication that forgiving the defendant should be punished. Keywords: incest, parental violence, sexual abuse. ABSTRAK Insest terjadi dalam anggota keluarga yang biasanya biasanya dari aib keluarga. Karena memiliki hubungan kekeluargaan maka apabila peristiwa itu terjadi maka keluarga besar cendering untuk merahasiakan dan menutupinya seperti mengungsikannya ke suatu tempat. Tulisan ini lahir dari sebuah kasus tragedi keluarga di Cimahi, Jawa Barat. Kasus ini terkait kekerasan keluarga (ayah) kepada anak perempuannya dengan melakukan pelecehan seksual, ancaman, dan pemerkosaan sehingga anak tersebut hami. Tulisan ini mengkaji pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Putusan hakim sudah tetap dengan memberikan hukum setimpal dengan yang dilakukan terdakwa. Kata kunci: perkawinan sedarah, kekerasan orang tua, pelecehan seksual
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 75
JURNAL APRIL.indd 75
5/16/2012 4:59:56 PM
I.
PENDAHULUAN
Sebuah kenyataan sosial yang tidak dapat dipungkiri bahwa, ancaman tindak kekerasan sering dialami oleh anak perempuan di mana saja, di jalanan, sekolah, pasar, lingkungan pergaulannya atau bahkan yang sangat menyedihkan adalah di lingkungan keluarganya sendiri. Bentuknya tentu saja beraneka ragam, mulai dari kekerasan fisik sampai kepada kekerasan psikis, mulai dari penyiksaan hingga pelecehan dan perkosaan. Apabila ancaman dan tindak kekerasan terhadap anak perempuan terjadi dalam sistem sosial kita, maka kitapun harus menyadari bahwa rumah di mana kita tinggal bukanlah tempat yang aman bagi perempuan dan anak-anak kita (Guberman dan Wolfe, 1985). Lebih jauh lagi, menjadi sangat mengerikan ketika dalam kenyataannya kita, secara langsung maupun tidak lebih banyak mendorong perbuatan kekerasan tersebut terjadi daripada ikut mencegah atau melarangnya. Kebudayaan di mana kita hidup tampaknya ikut menyumbang terhadap terjadinya kekerasan tersebut, sebut saja yang paling gampang misalnya programprogram televisi dan film. Di sana kita banyak melihat berbagai bentuk kekerasan ditampilkan. Rumah yang semestinya menjadi tempat aman dan nyaman dan berlindung bagi anak, berubah menjadi tempat yang menyeramkan sekaligus nyaman bagi bersemayamnya kejahatan. Di Amerika Serikat misalnya merupakan contoh dari negara maju yang tingkat pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak (sexual child abuse), masih merupakan persoalan besar, dan hal ini dikenal sebagai tragedi rumah tangga yang tersembunyi. Sebagai sebuah ilustrasi ditampilkan data yang cukup lama namun masih sangat relevan sebagai berikut: (Billah, 1977: 34) 1.
Diperkirakan 25% wanita dewasa pernah mengalami pelecehan seksual semasa kecilnya;
2.
Diperkirakan 40% pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur ini adalah orang tuanya sendiri, seperti ayah kandung, ayah tiri atau ayah angkat;
3.
Diperkirakan 80% si pelaku adalah orang yang dikenal oleh si anak, misalnya orang tuanya, kakaknya, pamannya, teman dekan dari kedua orang tuanya dan tetangganya.
Sementara itu, hampir selalu tindak kejahatan yang terjadi pada anak perempuan di dalam keluarga oleh masyarakat pada umumnya, tidak dilihat sebagai suatu kejahatan. Misalnya kekerasan yang dilakukan anggota saat ini, sering dipandang sebagai urusan intern keluarga itu sendiri, dan bahkan seringkali dipahami bahwa apa yang mereka lakukan tersebut dalam rangka mendidik anak-anak mereka (Lita Purnama, 2001: 39). Jika demikian persoalannya, maka bukan tidak mungkin apabila kejadian-kejadian seperti pemerkosaan terhadap anak perempuan yang dilakukan oleh anggota keluarga terdekat juga dianggap sebagai suatu permasalahan dalam keluarga, dan tidak ada kaitannya dengan masyarakat atau pemerintah. Masalah tragedi rumah tangga yang tersembunyi ini semakin lengkap sudah
76 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 76
5/16/2012 4:59:56 PM
dengan adanya pandangan masyarakat yang menganggap nama baik keluarga adalah segalanya. Dengan demikian meskipun ada anggota keluarga lainnya yang mengetahui adanya kekerasan seperti pemerkosaan tersebut, maka biasanya mereka akan menyimpan masalah itu dalam keluarga. Tulisan ini mengangkat sebuah tragedi dalam keluarga di wilayah kota Cimahi Jawa Barat, mengenai tindakan kekerasan orang tua (ayahnya) terhadap anak kandungnya, yaitu RS yang mengalami pelecehan seksual, ancaman dan bahkan persetubuhan yang mengakibatkan RS mengalami kehamilan dari perbuatan yang dilakukan ayahnya tersebut, sebagaimana secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: AS menikah dengan UK, dari hasil pernikahan tersebut lahirlah anak yang bernama RS. Pada sekitar bulan Februari 2006 bertempat tinggal di Jl. R.H Abdul Halim Kp. Sindangsari Rt. 04 / 03 Kel. Cigugur Tengah, Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi, ketika RS pulang sekolah dan selesai mandi, ayahnya mengikuti masuk ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar, ayahnya berkata “pingin minta” namun RS tidak mau dan keluar dari kamar, tetapi kemudian ditarik oleh ayahnya masuk ke dalam kamar. Ayahnya mengancam “kalau tidak mau tidak boleh tinggal di sini dan akan diusir”. Mendapat ancaman tersebut akhirnya RS tidak berdaya dan tidak melawan lagi dan selanjutnya tubuh RS dibaringkan, dan kemudian terjadilan tindakan perkosaan. Perbuatan tersebut terdakwa lakukan sebanyak kira-kira enam kali terhadap anak kandungnya tersebut dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2007. Akibat perbuatan tersebut RS yang merupakan korban dari perbuatan ayah kandungnya sendiri, RS kemudian hamil dan usia kehamilan sekarang kira-kira enam bulan sebagaimana diterangkan dalam surat keterangan pemeriksaan No. 081/IX/ CM/RSUC/2007 tertanggal 10 September 2007 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Jefri Iman Gurnadi di Rumah Sakit Cibabat Cimahi. Pada saat perbuatan tersebut dilakukan, usia saksi korban RS berusia 13 (tiga belas) tahun sampai 14 (empat belas) tahun. AS, ayah dari RS, ditahan sejak tanggal 9 September 2007 berdasarkan laporan saksi-saksi serta barang bukti, bahwa AS terbukti bersalah secara sah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut, hal ini diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHPidana Jo. Pasal 81 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2003. Majelis hakim memberikan putusan terhadap terdakwa AS telah melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2003 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, terdakwa telah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan melakukan kekerasan, memaksa anak bersetubuh dengannya secara berlanjut, karena perbuatan tersebut oleh hakim terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun. Persoalan ini kemudian diadili oleh PN “B” Jawa Barat yang kemudian memutuskan sebagai berikut: JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 77
JURNAL APRIL.indd 77
5/16/2012 4:59:56 PM
1. Menyatakan bahwa terdakwa AS terbukti bersalah melakukan tindak pidana ”Dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut”. 2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 13 (tiga belas) tahun. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya. 4. Menghukum pula terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah), bilamana terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan 6 (enam) bulan kurungan. 5. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan. 6. Menghukum pula terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). Demikanlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis hakim pada hari Selasa, tanggal 04 Maret 2008, oleh AE, ST, AM. Masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh majelis hakim tersebut dengan didampingi oleh hakim-hakim anggota dan dibantu oleh LS sebagai panitera pengganti dan dihadiri oleh GP, jaksa penuntut umum, dan terdakwa tersebut. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemaparan di atas bagaimana pertimbangan putusan hakim menyikapi peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri, mengingat putusan yang dijatuhkan cukup maksimal, yaitu mengabulkan seluruhnya tuntutan jaksa penuntut umum. Nampaknya putusan dijatuhkan tidak saja sebagai upaya untuk membuat jera si pelaku tindak pidana, namun lebih dari itu tujuannya adalah untuk melakukan perlindungan terhadap anak perempuan dari kejahatan-kejahatan tersembunyi dalam keluarga. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dalam sisi pandang sentralitis kehidupan, seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadi pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Anak diletakkan dalam lingkungan sosial, anak diletakkan dalam advokasi dan Hukum Perlindungan Anak menjadi objek dan subyek yang utama dari proses legitimasi, generalisasi dalam sistematika dari sistem hukum positif yang mengatur tentang anak 78 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 78
5/16/2012 4:59:56 PM
pengelompokan status hak-hak anak dimulai dari sistematika yang mendasar dalam advokasi dari hukum perlindungan anak secara transparan. Hukum Perlindungan Anak adalah bagian dari sub pokok bahasan hukum pidana dengan segala karakteristik. Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak dan Hukum Pidana dapat disebut berhubungan dengan adagium dari asas lex spesialis derogant, lex generalis. Artinya, hukum perlindungan anak menjadi hukum khusus yang mengatur tentang asas hukum tentang anak dan hak-hak anak secara detail, sedangkan hukum pidana adalah hukum umum yang meletakkan mekanisme dari asas formal dan material hukum pidana dan hukum acara pidana anak, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (Wadong, 2000: 1-3). Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan juga menjadi sarana guna mencapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan makmur. Anak menjadi korban kejahatan disebut juga dengan istilah viktim. Ruang lingkup viktim dikembangkan menjadi species dari bidang kriminologi yang dituangkan dalam cabang ilmu khusus dan dinamai dengan victimology yang berarti ilmu yang mempelajari seluk-beluk dari korban kejahatan yang fungsional dan struktural. Mengenai korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki aspek hukum dari kausitas bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan kejahatan dan pelanggaran. Arif Gosita menyebutkan dengan, “Masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara proporsional dimensional dari peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Viktimologi hanya memusatkan perhatian pada si korban dan pembuatannya yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana (Gosita, 1985: 117). Pengertian viktim dikemukakan oleh Agung Wahyono, dan Siti Rahayu, “Bahwa pengetahuan tentang studi korban (viktimologi) hanya bertolak dari pelaku kejahatan (faktor kriminologi), tetapi juga menunjukkan hubungan antara korban, pelaku, sistem serta struktur (a relation crimininology). Pengertian korban adalah mereka yang menderita baik rohani maupun jasmani (dapat berupa kerugian dan lain-lain) akibat suatu perbuatan atau bukan perbuatan (dalam delik emosi dan delik komisi), juga karena suatu perbuatan di luar batas kemampuan korban baik berupa tindakan individu ataupun karena ketentuan dalam undang-undang yang menunjuk pada sistem dan struktur tertentu dalam masyarakat.” (Wahyono dan Rahayu, 1993: 10). Kekerasan seksual, kasus incest sebenarnya bukanlah kasus baru. Fakta tentang incest sering kali tidak muncul karena dianggap aib keluarga. Padahal menyimpan dan menyembunyikan fakta incest bagaikan menyimpan api dalam sekam. Tetapi pendampingan kasus incest bukanlah hal yang mudah. Perlu keberanian dari berbagai pihak, terutama keluarga, untuk bisa melihat ini
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 79
JURNAL APRIL.indd 79
5/16/2012 4:59:56 PM
secara proporsional dan berpihak korban. Boyke mengatakan, “Berbagai dampak bisa muncul karena perkawinan sedarah. Kalau pertalian darah itu jauh (bukan saudara kandung atau sepupuan) perkawinan diperbolehkan. Pada perkawinan yang hubungan darahnya dekat, seringkali penyakitpenyakit yang diturunkan muncul (misalnya penyakit talesemia, kulit hernopilia dan lain-lain). Kalau orang tuanya penderita kulit bersisik, maka kemungkinan besar keturunannya juga menderita kulit bersisik”. (www. Bali-travernews.com). Kepala Divisi Kesehatan Reproduksi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jakarta Ramonsari mengatakan incest (www. Bali-travernes.com) adalah hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah. Dalam hal ini hubungan seksual sendiri ada yang bersifat sukarela dan ada yang bersifat paksaan. Jika terjadi antara dua orang yang bertalian darah itulah yang dinamakan incest. Perkawinan sedarah misalnya antara kakak dengan adik, ibu dengan anak, bapak dengan anak, atau paman dengan keponakannya. Dalam arti yang masih sangat dekat hubungannya. Tetapi yang benar dikatakan incest itu yang murni hubungan sedarah seperti kakak dengan adik, atau bapak dengan anak. Menurut Masland dan Estridge, idjatnika.multiply.com, incest adalah “Jenis perlakuan atau penyiksaan secara seksual yang melibatkan dua anggota keluarga dalam satu keluarga, ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan dan kakek dengan cucu perempuan. Incest biasanya dapat terjadi karena rumah mereka sangat sempit, akses untuk main keluar tidak ada atau sangat terbatas”. Menurut Ramonsari dijelaskan bahwa incest adalah “Hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah di mana ikatan pertalian darah yang diantara mereka cukup dekat misalnya antara kakak dengan adik, bapak dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki atau paman dengan keponakan. Dalam hal ini hubungan seksual yang terjadi ada yang bersifat sukarela dan ada yang bersifat paksaan. Yang bersifat paksaan itulah yang dinamakan perkosaan. Kasus incest yang banyak diketahui masyarakat adalah perkosaan incest, karena kasus inilah yang lebih banyak dilaporkan oleh korban atau keluarganya” idjatnika.multiply.com. Menurut Hayati pengertian incest adalah “Perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang telah dianggap sebagai anggota keluarganya. Kekerasan seksual dalam kategori ini adalah yang terberat mengingat bahwa si pelaku adalah orang dekat atau keluarga sendiri sehingga incest biasanya terjadi berulang-ulang, dan diantara si korban dan si pelaku besar kemungkinan untuk saling bertemu. Keadaan ini tentu saja sangat berat bagi korban, karena pertemuan dengan si pelaku akan memacu ingatan korban akan kejadian perkosaan yang dialaminya” idjatnika. multiply.com. Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa incest dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
80 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 80
5/16/2012 4:59:56 PM
1. Dampak dari sudut fiqh Islam dan hukum; Dari berbagai peristiwa hubungan incest yang banyak dilaporkan media akhir-akhir ini menunjukkan betapa menderitanya perempuan korban incest. Ketergantungan dan ketakutan akan ancaman membuat perempuan tidak bisa menolak diperkosa oleh ayah, kakek, paman saudara atau anaknya sendiri. Sangat sulit bagi mereka untuk keluar dari kekerasan berlapis-lapis itu karena mereka sangat tergantung hidupnya pada pelaku dan masih berpikir tidak mau aib laki-laki yang pada dasarnya disayanginya dan seharusnya menjadi perlindungannya. Akibatnya mereka mengalami trauma seumur hidup dan gangguan kejiwaan. 2. Dampak dari segi kemanusiaan; nurani kemanusiaan universal (secara umum) yang beradab sampai hari ini mengutuk incest sebagai kriminalitas terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun dilakukan secara suka sama suka (sukarela) dan tidak ada yang merasa menjadi korban, incest telah mengorbankan moral publik. 3. Dampak dari segi sosial; Peristiwa hubungan incest yang terjadi pada satu keluarga akan menyebabkan hancurnya nama keluarga tersebut di mata masyarakat. Keluarga tersebut dapat dikucilkan oleh masyarakat dan menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat. Masalah yang lebih penting dicermati dari kasus anak kecil hasil incest adalah karena kondisi yang tidak sehat dalam konteks sosial, yang berkaitan dengan konstruksi sosial tentang keluarga. Misalnya masyarakat mengenal ayah dan anak sebagai satu kesatuan keluarga. Tetapi jika terjadi kasus incest, di mana ayah menghamili anak perempuannya, maka bila lahir anak dari anak perempuan tersebut maka status ayah itu menjadi ganda, ayah sekaligus kakek. 4. Dampak dari segi kesehatan; Peristiwa incest apalagi perkosaan incest dapat menyebabkan rusaknya alat reproduksi anak dan resiko tertular penyakit menular seksual. Korban dan pelaku menjadi stres yang akan merusak kesehatan kejiwaan mereka. Dampak lainnya dari hubungan incest adalah menghasilkan keturunan yang lebih banyak membawa gen homozygot. Beberapa penyakit yang diturunkan melalui gen homozygot resesif yang dapat menyebabkan kematian pada bayi, yaitu fatal anemia, gangguan penglihatan pada anak umur 4-7 tahun yang bisa berakibat kebutaan, albino, polydactyl dan sebagainya. Pada perkawinan sepupu yang mengandung gen albino maka kemungkinan keturunan gen albino lebih besar 13,4 kali dibandingkan perkawinan biasa. Kelemahan genetik lebih berpeluang muncul dan riwayat genetik yang buruk akan bertambah dominan serta banyak muncul ketika lahir dari orang tua yang memiliki kedekatan keturunan. Gangguan emosional yang dialami si ibu akibat kehamilan yang tidak diharapkan akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin pra dan pasca-kelahiran. Selain itu banyak penyakit genetik yang berpeluang munculnya lebih besar dari pada anak yang dilahirkan dari kasus incest seperti kelainan genetik yang menyebabkan gangguan kesehatan jiwa (skizoprenia),
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 81
JURNAL APRIL.indd 81
5/16/2012 4:59:57 PM
keterlambatan mental (idiot) dan perkembangan otak yang lemah. Untuk meletakkan seorang anak ke dalam pengertian subjek hukum yang normal atau layaknya seorang yang disebut subjek hukum, seperti orang dewasa dan keadaan hukum, maka faktor-faktor yang perlu dan dipandang mendasar adalah unsur-unsur yang berada secara internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut, akan turut memberikan ketertundukan akan atau keterikatan anak terhadap sistem hukum yang ada dari peristiwa-peristiwa hukum yang dilakukan anak itu sendiri. Unsur-unsur eksternal dan internal sebagai berikut: 1. Unsur Internal pada diri anak; Subyek hukum, sebagai seorang manusia anak juga digolongkan memiliki human right yang terikat dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dengan golongan orang yang belum dewasa, seorang anak yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu meletakkan perbuatan hukum. 2. Unsur Eksternal pada diri anak a.
Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law), dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk membuat peristiwa hukum, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang kualifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan.
B.
Hak-hak previlage yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari Undangundang Dasar 1945 dan Perundang-undangan.
Dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada wanita yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang menimpanya, seperti kehamilan akibat perkosaan. Korban tindak kekerasaan seksual memiliki hak-hak yang wajib ditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan dan berbagai macam dampak buruk yang menimpa dirinya pasca tindak kekerasan itu mendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Korban tidak boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya, namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam memperjuangkan nasibnya (Wahid dan Irfan, 2000: 96). Saat ini ada kecenderungan yang meluas di Indonesia mengenai bagaimana anak diperlakukan dan bagaimana terabaikannya mereka ketika menjadi korban kekerasan atau perlakuan tidak semestinya. Persoalan demikian itu sudah dibahas secara panjang sebelumnya oleh Mic Hunter
82 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 82
5/16/2012 4:59:57 PM
maupun oleh Frida Brigss (Susanto, 2006: 13-14) bahwa perlakuan salah terhadap anak secara seksual mulai menjadi perhatian dunia pada pertengahan tahun 1980-an. Statistik memperlihatkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual jauh lebih banyak terjadi pada anak, dengan kaum dewasa sebagai pelakunya, khususnya mereka yang memiliki relasi keluarga. Menurut Rita Serena S (Susanto, 2006: 14) “jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia ayah dari korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum. Orang tua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani proses hukum. Ibu korban juga sulit diharapkan untuk membantu karena takut pada suami dan keluarga. Padahal dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12 tahun orang tua atau wali. Anak perempuan korban kekerasan seksual tidak hanya menderita trauma fisik, misalnya kehilangan virginitas (keperawanan) atau cidera tubuh, tetapi terutama sekali menderita stres mental yang amat berat, dan ini bisa berlangsung seumur hidup. Beberapa akibat yang dapat diidentifikasi dari perbuatan kekerasan seksual terhadap anak misalnya: a. Terdapat stres berat yang diakibatkan kejadian tersebut (kekerasan perkosaan). Ini menimbulkan penderitaan yang berat bagi hampir setiap orang yang mengalaminya; b. Gambaran akan kejadian tersebut akan terus berulang yang muncul dalam bentuk: (1) mimpi buruk, (2) ingatan yang muncul kembali secara berulang-ulang dan (3) perilaku atau perasaan yang tampil secara tiba-tiba yang berkaitan dengan peristiwa tersebut seolah-olah terjadi kembali, dan ini berhubungan dengan stimulus yang berasal dari lingkungan. c. Menurunnya secara drastis keinginan untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan dunia luar, dan ini biasanya muncul sesudah kejadian tersebut. Gejala ini antara lain terlihat dari bentuk perasaan terlepas atau terasing dari orang lain atau lingkungannya, murung dan putus asa, tidak ada minat lagi terhadap aktivitas yang sebelumnya biasa dilakukan, kewaspadaan atau reaksi yang berlebihan, tidak dapat berkonsentrasi, gangguan tidur dan bahkan keinginan yang kuat untuk mengakhiri hidupnya. Di dalam kasus perkosaan yang dilakukan ayah kandung terhadap anaknya RS, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam memutus perkara tersebut, yaitu: 1. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dihubungkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam dakwaan penuntut umum, maka pengadilan berpendapat bahwa semua unsur telah terbukti menurut hukum, oleh karenanya terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. 2. Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf ataupun pembenar yang dapat menghapuskan pidana dari perbuatan terdakwa, JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 83
JURNAL APRIL.indd 83
5/16/2012 4:59:57 PM
maka terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, oleh karenanya terdakwa haruslah dihukum. 3. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman bagi diri terdakwa, akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban RS. Sedangkan hal-hal yang meringkankan terdakwa mengaku terus terang dan menyesali perbuatannya, dan terdakwa belum pernah dihukum. 4. Menimbang, bahwa karena terdakwa ditahan, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa, dikurangkan seluruhnya dengan hukuman yang dijatuhkan dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5. Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajukan ke persidangan akan ditetapkan dalam amar putusan ini. 6. Menyatakan, bahwa terdakwa AS terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan kekerasaan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Melihat pertimbangan hakim sebagaimana dijelaskan di atas, apakah pertimbangan hakim tersebut telah tepat? Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dihubungkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam dakwaan penuntut umum, hakim berpendapat bahwa semua unsur telah terbukti menurut hukum. Istilah terbukti dalam pendapat hakim di atas bahwa setiap unsur yang ada dalam rumusan undang-undang memang cocok dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa dan ditunjang oleh alat bukti. Jadi pada posisi ini hakim melakukan teknik subsumtif, pencocokan aturan dengan fakta, yang selanjutnya melihat bukti-bukti pendukungnya. Oleh karena itu, terdakwa kemudian dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Namun demikian hakim melihat persoalan besar menyangkut akibat atau dampak yang muncul terhadap korban, bahwa sesungguhnya kekerasan seksual atau kejahatan seksual merupakan istilah yang menunjuk kepada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban khususnya kehidupan jangka waktu anak yang mengalami korban perkosaan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, (Susanto, 2006: 14) diperlukan waktu berbulan-bulan untuk dapat bekerja sama dengan bantuan konseling dan psikiatri, setelah diajak kerjasamapun tidak bisa pulih seperti semula, akan ada perubahan perilaku seperti suka menggunting rambut 84 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 84
5/16/2012 4:59:57 PM
dan menolak memakai rok. Data yang ditunjukkan banyak surat kabar atau media elektronik memperlihatkan bahwa kekerasan fisik, seksual, dan penelantaran anak cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Selama proses pemeriksaan di persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf ataupun pembenar yang dapat menghapuskan pidana dari perbuatan terdakwa, bahkan sebaliknya sebagai orang tua seharusnya menjadi pelindung maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, oleh karenanya terdakwa haruslah dihukum. Dengan adanya unsur lain yang dibuktikan, maka di dalam pertimbangan hakim harus menerapkan bahwa terdakwa telah melenggar Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh pemerhati dan lembaga masyarakat adalah aspek yuridis (KUHP), yang dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan kekerasan seksual. KUHP Indonesia, yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa. Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim atas pelaku perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh perkosaan itu dalam kehidupan korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 (dua belas) tahun hanya menjadi sederajat kata-kata di dalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pemerkosaan berkisar 5 (lima) bulan hingga 2 (dua) tahun penjara. Penjatuhan pidana yang relatif ringan, praktisi peradilan selama ini dikhawatirkan akan membuat pelaku tak takut atau tak jera. Deskripsi ini makin jelas menunjukkan mengenai posisi korban yang tidak berdaya di dalam praktik peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum, dalam hal ini hakim, yang berkewajiban menjatuhkan vonis. Terbukti, putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan tindak kejahatan yang dilakukan pada korban. Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebut sebagai proses edukasional terhadap ketidakpahaman atau ketidakmampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak yang dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian program, JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 85
JURNAL APRIL.indd 85
5/16/2012 4:59:57 PM
stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan salat, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak, menurut ketentuan-ketentuan sistem hukum nasional ditentukan sebagai berikut: “Hukum Perlindungan Anak adalah peraturan-peraturan hukum formal dan materiil yang bertujuan untuk melakukan kegiatan pembinaan atau pembelaan dan perlindungan hak terhadap perbuatan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang timbul dari/dan kepentingan anak.” Dari definisi Hukum Perlindungan Anak tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur yang esensial yang meletakkan hak-hak anak dalam proses pembinaan/pembelaan dan perlindungan yang ditentukan oleh hukum. Unsur-unsur tersebut sebagai berikut: a. peraturan hukum formal dan material yang bersifat memaksa; b. proses perlindungan hak atau hak-hak anak; c. adanya perbuatan tindak pidana; (straafbaar feit) dan perbuatan melawan hukum; d. adanya kepentingan hak anak yang terlindungi. Dimulai dari asas dua deklarasi hak-hak anak yang berbunyi: “Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental akhlak, rohani dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.” Pengembangan hak-hak anak dalam proses pengadilan pidana guna mewujudkan perlindungan anak, diperlakukan mengerti permasalahannya menurut proporsi yang sebenamya secara meluas, dimensional dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi dari adanya interaksi dari adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, di mana hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan di mana keputusannya diambil dengan mempunyai suatu motivikasi tertentu. Hak-hak yang kiranya perlu diperhatikan dan diperjuangkan adalah: 1. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. 2. Hak-hak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. 3. Hak mendapat pendamping dari penasehat hukum.
86 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 86
5/16/2012 4:59:57 PM
4. Hak mendapat fasilitas transport serta penyuluhan dalam ikut serta memperlancar pemeriksaan. 6. Hak untuk menyatakan pendapat. 6. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. 7. Hak untuk mendapat pembinaan yang menusiawi sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dan ide pemasyarakatan. 8. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan konsekuensinya persiapan yang matang sebelum sidang dimulai. 9. Hak untuk dapat berhubungan dengan orang tua dan keluarganya. IV. SIMPULAN 1. Bahwa pertimbangan hukum hakim menyatakan terdakwa AS terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2. Putusan hakim tersebut telah tepat, karena selama pemeriksaan di persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf ataupun pembenar yang dapat menghapuskan pidana dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, oleh karenanya terdakwa haruslah dihukum. 3. Upaya hukum yang harus dilakukan terhadap pelaku tindak pidana incest ini perlu diberikan arahan melalui serangkaian program misalnya melalui bimbingan kerohanian, stimulasi, yang di mana melalui serangkaian program-program tersebut bertujuan agar pelaku tindak pidana incest ini tidak mengulangi lagi perbuatannya.
DAFTAR PUSTAKA Billah, M. Muntaji. et all. 1977. Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja. LAKESDAM. F. Susanto, Anthon. 2006. Kata pengantar dalam bukunya Abu Huraerah berjudul, Child abuse; kekerasan terhadap anak. Bandung: Nuansa. Gautama, Chandra. 2000. Konvensi hak Anak; Panduan Jurnalis. Lembaga studi pers dan pembangunan dan The Asia Foundation.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 87
JURNAL APRIL.indd 87
5/16/2012 4:59:57 PM
Gosita, Arif. 1985. Masalah Korban Kejahatan. Penerbit Akademika Pressindo. Guberman, Connie & Wolfe, Margie (eds). 1985. No Saee Place; Violence Agaist Woman and Children. Women’s Press. Kansil, C.S.T. 2000. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan, dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika. Sahetapy, J.E. (et. Al). 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung: Eresco. Said, Buchari. 2006. Ringkasan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Pidana. Bandung. Soetodjo, Wagiati. 2005. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama. Wadong, Maulana Hassan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Wahid, Abdul & Irfan, Muhammad. 2000. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Malang: Refika Aditama. Wahyono, Agung & Rahayu, Siti. 1993. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia. Sinar Grafika. Weda, Made Dharma. 1994. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sumber Lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP dan Penjelasan) Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung. No. 1210/PID.B.B/PN.BB www.bali-travelnews.com www.lingkungan Awaking-Incest apa pula itu?
88 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 88
5/16/2012 4:59:57 PM
OPTIK GENDER DALAM PUTUSAN PERKARA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG Velliana Tanaya Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jl. MH Tamrin Boulevard, Tangerang, Banten email: [email protected]
ABSTRACT Domestic violence is such a lot happened phenomenon that it has become quantitatively an object in a court case after the enactment of Act Number 23 year 2004. One important aspect associated with this criminal act is that the victims are almost entirely women, by and large in a position as a wife. Analysis of the decision of District Court of Tangerang does not only highlight on the provision of formal and material aspects of the criminal law, but also consider the perspective of gender equality, which should be put as an initial point for the legal reasoning of the panel of judges. Key words: domestic violence, gender equality, victim ABSTRAK Lonjakan perkara Kekerasan rumah tangga di pengadilan meningkat tajam semenjak pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Salah satu aspek yang penting dalam terkait dengan tindak pidana adalah korban selalu di pihak perempuan, dan kebanyakan mereka sebagai isteri. Terkait hal itu, analisa dalam putusan dari Pengadilan Negeri Tangerang tidak hanya mengedepankan ketentuan formal dan materiil dalam hukum pidana sebagai permulaan alasan hukum oleh majelis hakim, namun juga mempertimbankan pandangan kesamaan gender. Kata kunci: kekerasan rumah tangga, persamaan gender, korban.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 89
JURNAL APRIL.indd 89
5/16/2012 4:59:57 PM
I.
PENDAHULUAN
Putusan yang diputus oleh Pengadilan Negeri Tangerang ini bermula dari rangkaian peristiwa konkret yang terjadi dalam perkara tindak pidana dengan melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh terdakwa TPS, dilakukan dengan runtutan kronologi sebagai berikut: Tanggal
Keterangan
Juni 2007
Sejak bulan Juni 2007, terdakwa TPS tidak pernah pulang ke rumahnya di Cipondoh, yang ditempati bersama dengan isterinya yang bernama NMS.
Selasa 2 Oktober 2007
Korban (isteri terdakwa) NMS dengan ditemani HRS dan SS sekitar jam 19.00 wib atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain yang masih termasuk dalam bulan Oktober di tahun 2007, mendatangi rumah terdakwa di belakang LP Wanita Tangerang. Sesampainya disana, Korban NMS mendapati ada wanita lain yang tinggal di kost/kontrakan terdakwa. Selanjutnya antara NMS dan terdakwa terjadi perang mulut (pertengkaran) dan karena emosi yang memuncak terdakwa memukul (menonjok) ke arah muka korban NMS dengan tangan dikepal sebanyak 3 (tiga) kali selanjutnya mendorong badan korban dengan kaki sebelah kanan terdakwa sambil berkata “Cepat kamu keluar dari sini kalau ngak kamu saya matiin” dan kembali terdakwa berkata “Cepat kamu pergi kalau enggak akan saya tabok”. Karena takut korban NMS segera meninggalkan rumah kontrakan terdakwa.
Sabtu 27 Oktober 2007
Telah keluar surat Visum et Repertum No.P.02/16/16/X/2007 tanggal 27 Oktober 2007 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr Yasmina Ediani a/n Dokter Pemeriksa Forensik dr. Ade Firmansyah, mengetahui Ahli Kedokteran Forensik dr. Zulhasmar, S., SpF., SH. Dari RSU Daerah Tangerang. Berdasarkan pemeriksaan terhadap korban NMS, diambil kesimpulan bahwa pada tubuh korban NMS ditemukan: Pada dahi kiri, 3 (tiga) sentimeter dari garis pertengahan depan, 0,5 sentimeter di bawah sudut mata terdapat memar kemerahan ukuran 3x1 sentimeter; Pada pipi kiri, 5 (lima) sentimeter dari garis pertengahan depan, 1,5 sentimeter dibawah sudut mata terdapat memar kemerahan ukuran 2x2 sentimeter; Pada bibir bawah bagian dalam sisi kiri 2,5 sentimeter dari garis pertengahan depan terdapat memar warna ungu ukuran 0,5 x 0,5 sentimeter.
Kesimpulan : pada korban ditemukan memar pada wajah yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul, yang tidak mengakibatkan penyakit dan halangan dalam melakukan pekerjaannya. 90 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 90
5/16/2012 4:59:57 PM
Majelis hakim memvonis bersalah terdakwa dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dengan dasar hukum pemidanaan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan pasal-pasal lain dari Undang-Undang dan peraturan lain yang bersangkutan. Pasal 44: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Pasal 5 huruf a: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.
kekerasan fisik;
b.
kekerasan psikis;
c.
kekerasan seksual; atau
d.
penelantaran rumah tangga.
Dalam perkara 1309/Pid B/2008/PN.TNG, majelis hakim sebelum menjatuhkan amar putusannya, memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti, maka didapatkan fakta hukum sebagai berikut: 1.
Bahwa menurut keterangan saksi korban NMS. Ia adalah isteri terdakwa yang menikah pada tanggal 28 Maret 1998 yang dilaksanakan di Gereja. Antara saksi korban dengan terdakwa sudah pisah rumah, dimana terdakwa yang meninggalkan rumah. Sebelumnya terdakwa mengajukan gugatan cerai pada diri saksi korban dan telah diputus oleh PN Tangerang, dan sekarang ini saksi korban telah mengajukan banding dan belum turun bandingnya.
2.
Bahwa menurut keterangan saksi korban NMS, saksi HRS dan saksi SS, ketiganya menyatakan bahwa kejadian bermula pada tanggal 2 Oktober 2007 sekitar jam 19.00 wib di rumah kontrakan terdakwa d belakang LP wanita;
3.
Bahwa saksi korban dengan saksi HRS yang mendatangi rumah terdakwa, sedangkan saksi Santi Sinaga ada dimulut gang, yang jaraknya dengan rumah terdakwa kurang lebih 10 meter.
4.
Bahwa saksi korban dengan saksi HRS menjumpai seorang perempuan di rumah JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 91
JURNAL APRIL.indd 91
5/16/2012 4:59:57 PM
kontrakan terdakwa. Saksi koban menanyakan ada keperluan apa ia berada di rumah kontrakan terdakwa, kemudian perempuan itu menjawab, bahwa ia adalah tukang cuci terdakwa. Karena saksi korban kesal atau marah, maka perempuan tadi diusir dari rumah terdakwa oleh saksi korban. 5.
Bahwa pada saat kejadian tersebut, terdakwa berada di rumah kontrakannya dan langsung marah kepada saksi korban dan kemudian melakukan pemukulan kepada saksi korban dan mendorong saksi korban keluar dari rumah dengan mengeluarkan kata-kata, “Cepat kamu pergi kalao enggak akan saya tabok“. Pada saat saksi korban mengalami pemukulan di dalam rumah hanya diketahui oleh saksi korban dengan saksi Hari Rinaldo Situmorang, namun pada saat terdakwa menonjok dan menendang saksi korban di luar rumah, saksi Santi Sinaga melihat dan juga mendengar terdakwa menyuruh saksi korban segera pulang.
6.
Bahwa saksi HRS dan saksi SS melihat secara langsung pemukulan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap diri saksi korban di bagian wajah dan punggung. Selain itu, kedua saksi melihat ada bagian memar dimuka dan di bagian punggung yang disebabkan karena pemukulan.
7.
Bahwa saksi korban menyatakan waktu masih baru berumah tangga, terdakwa sudah pernah memukul saksi korban. Selain itu, saksi korban juga menyatakan, bahwa terdakwa meninggalkan rumah karena tidak setuju saksi korban mengangkat anak, karena selama perkawinan, saksi korban dengan terdakwa belum dikaruniai seorang anak pun dan terdakwa meninggalkan rumah setelah 2 (dua) bulan saksi mengangkat anak.
8.
Bahwa, pertama, keterangan ketiga saksi tersebut di atas, dibantah oleh keterangan terdakwa, yang menyatakan bahwa terdakwa tidak mengontrak rumah di belakang LP Wanita, namun di jalan Sudirman Daerah Cikokol depan Pom Bensin. Kedua, terdakwa juga menyatakan tidak pernah memukul saksi korban sebagaimana dituduhkan pada terdakwa, hanya pada tahun 1998 terdakwa pernah memukul saksi korban tetapi itu juga terdakwa mau dipukul oleh saksi NMS. Ketiga, pada tanggal 2 Oktober 2007, sekitar jam 19.00 wib terdakwa baru pulang mengajar dan tidak langsung pulang kerumah tapi nongkrong di warung. Terdakwa pada tanggal 2 Oktober 2007 mengajar dan pulang mengajar pada jam 19.30 wib.
9.
Bahwa terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan melakukan perbuatan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang unsurunsurnya sebagai berikut:
92 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 92
5/16/2012 4:59:57 PM
-
Melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim mendefisikan kekerasan dalam rumah tangga, yang diambil dari Pasal 1 U Nomor 23 Tahun 2004, pengertiannya adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, bahwa terjadi pemukulan/menonjok dan didorong dengan menggunakan kaki kanan yang dilakukan terdakwa terhadap diri korban yang dilakukan di rumah kontrakan terdakwa di Jl. Sudirman belakang LP Wanita Tangerang. Perbuatan terdakwa itu, kemudian diikuti dengan makian terdakwa yang mengatakan, “Cepat kamu pergi kalau enggak saya tabok“. Saksisaksi mengatakan, telah terjadi pemukulan sebanyak 3 (tiga) kali dibagian muka, sehingga saksi korban menderta memar, sesuai dengan Visum et Repertum yang dibuat oleh dr. Yasmina Ediani, dokter RSUD Pemkab Tangerang tertanggal 27 Oktober 2007.
Dengan demikian disimpulkan pada diri korban ditemukan memar pada wajah yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul, yang tidak mengakibatkan penyakit dan halangan dalam melakukan pekerjaannya
10. Bahwa dengan demikian, terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tanggal sesuai dengan yang didakwakan oleh JPU dalam Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 ayat (1) a UU No 23 Tahun 2004, lingkup rumah tangga pertama adalah suami, isteri atau anak. 11. Bahwa majelis hakim dalam pemeriksaan dipersidangan tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapus pidana bagi terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar, karena it terdakwa harus dijatuhi pidana yang jenis dan lamanya disebutkan dalam amar putusan; 12. Bahwa dalam perkara ini terdakwa tidak ditahan, maka dalam pertimbangannya, majelis hakim menetapkan terdakwa harus tetap dalam tahanan. 13. Bahwa majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan di persidangan, sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa tidak menunjukkan rasa penyesalan dengan apa yang telah diperbuatnya. JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 93
JURNAL APRIL.indd 93
5/16/2012 4:59:57 PM
14. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim memutuskan dalam amar putusannya sebagai berikut: 1.
Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga”;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;
3.
Memerintahkan agar terdakwa ditahan;
4.
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).
II. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah: apakah putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini memenuhi ketentuan hukum acara dan pidana material dalam konteks tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan selanjutnya bagaimana isu kesetaraan gender diakomodasikan di dalam putusan ini? III. STUDI PUSTAKA 1. Membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan Dalam putusan nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG ini, majelis hakim telah membuktikan unsur kesalahan terdakwa dengan mengikuti ketentuan dalam KUHAP, yaitu dengan sekurangkurangnya ada dua alat bukti yang sah, antara lain bukti surat dan keterangan saksi, maka hakim memiliki keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 183 KUHAP, menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan ditujukan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Namun demikian, untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang itu, harus memenuhi sedikitnya ketentuan: (1) Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah; (2) Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa : tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim harus ada
94 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 94
5/16/2012 4:59:57 PM
hubungan causal (sebab-akibat). Hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan: “Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.” Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Pasal 6 (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Hukum pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam menilai kekuatan pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pertama, teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alatalat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formel tercantum dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan (Poernomo, 1984: 40). Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat (Hamzah, 1996: 259). Kedua, Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction intime). Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman Prodjohamidjojo (1983: 16) tidak dianut dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri. Sementara itu, menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun (Hamzah, 1996: 260). Ketiga, teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee). Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 95
JURNAL APRIL.indd 95
5/16/2012 4:59:57 PM
pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat (berendeneerde overtuiging) dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakaan alat bukti yang lain. Keempat, teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu : wettelijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang; negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim (Prodjohamidjojo, 1983: 14). Dari keempat teori pembuktian di atas, KUHAP mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Selain itu, asas negatief wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 2. Mencerminkan penalaran hukum Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound (1978: 7) menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks keindonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan
96 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 96
5/16/2012 4:59:57 PM
perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di depan melalui pemberlakuan peraturan perundangundangan itu. Namun demikian, hukum yang dicita-citakan sebagai perekayasa masyarakat tidak saja menjadi kewenangan dari badan legialatif semata. Pelaksana kebijakan hukum yang berhadapan langsung dengan masalah-masalah hukum, seperti hakim dalam menjatuhkan putusannya, selalu dituntut untuk mengkaji nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tanpa harus menjadi corong dari peraturan perundang-undangan yang dirumuskan oleh badan legislatif dengan menggunakan pendekatan teori-teori hukum. Teori hukum tidak pernah mengarah pada penyelesaian masalah-asalah hukum konkret atau mengkategorikan masalah-masalah hukum, melainkan hanya pada upaya mempelajari teknikteknik dan metode yang digunakan dalam dogmatika hukum dan praktik hukum untuk penyelesaian masalah-masalah hukum. Namun, dalam perkembangannya dewasa ini teori hukum tidak hanya membatasi diri pada studi atas teknik-teknik dan metode-metode yang digunakan oleh dogmatika hukum, namun juga aspek-aspek lain dari dogmatika hukum menjadi objek telaah kritis, seperti model ilmu dari dogmatika hukum atau gambaran manusia dan masyarakat yang secara implisit ada dalam kontruksi yuridis tertentu, jadi keliru kalau dewasa ini berpendapat bahwa objek studi teori hukum hanya digmatika hukum dan bukan hukum itu sendiri atau kenyataan yuridis. Oleh karenanya, untuk dapat memecahkan permasalahan hukum dengan metode tersebut diperlukan seperangkat pendekatan yang logis. Pendekatan secara logis adalah pendekatan dengan menggunakan penalaran yang runtut untuk mencari kedekatan hubungan sebab dan akibat. Dalam kasus nomor 1309 ini, peneliti mencoba untuk meruntut penalaran majelis hakim dalam memeriksa perkara dan akhirnya menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa, dengan runtutan yang telah diurai dalam kronologi kasus, keterangan saksi dan alat bukti sebagai berikut: •
Bahwa antara korban dengan terdakwa adalah suami istri yang menikah pada tanggal 24 Maret 1988 di Gereja, dan didukung dengan kutipan akta perkawinan No. 13/G/ JB/1998.
•
Bahwa karena pasangan suami istri ini belum memiliki anak, maka korban berkeinginan untuk mengadopsi seorang anak, namun terdakwa tidak menyetujui korban mengadopsi seorang anak, sehingga terdakwa memilih untuk meninggalkan rumah. Perbuatan terdakwa ini dilakukan setelah 2 (dua) bulan saksi korban mengangkat anak.
•
Bahwa menurut keterangan para saksi, bermula pada tanggal 2 Oktober 2007 sekitar jam 19.00 wib di rumah kontrakan terdakwa di belakang LP wanita, korban dengan saksi HRS yang mendatangi rumah terdakwa, sedangkan saksi SS ada dimulut gang, yang jaraknya dengan rumah terdakwa sekitar 10 meter.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 97
JURNAL APRIL.indd 97
5/16/2012 4:59:57 PM
•
Bahwa korban dengan saksi HRS menjumpai seorang perempuan di rumah kontrakan terdakwa. Saksi koban NMS menanyakan ada keperluan apa ia berada di rumah kontrakan terdakwa, kemudian perempuan itu menjawab, bahwa ia adalah tukang cuci terdakwa. Karena saksi korban kesal atau marah, maka perempuan tadi diusir dari rumah terdakwa oleh saksi korban.
•
Bahwa pada saat kejadian tersebut, terdakwa berada di rumah kontrakannya dan langsung marah kepada saksi korban dan kemudian melakukan pemukulan kepada saksi korban dan mendorong saksi korban keluar dari rumah dengan mengeluarkan kata-kata, “cepat kamu pergi kalao enggak akan saya tabok“. Pada saat saksi korban mengalami pemukulan di dalam rumah hanya diketahui oleh saksi korban dengan saksi HRS , namun pada saat terdakwa menonjok dan menendang saksi korban di luar rumah, saksi SS melihat dan juga mendengar terdakwa menyuruh saksi korban segera pulang.
•
Bahwa saksi HRS dan saksi SS melihat secara langsung pemukulan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap diri saksi korban di bagian wajah dan punggung. Selain itu, kedua saksi melihat ada bagian memar dimuka dan di bagian punggung yang disebabkan karena pemukulan.
•
Bahwa saksi korban menyatakan waktu masih baru berumah tangga, terdakwa sudah pernah memukul saksi korban.
•
Bahwa berdasarkan plodoi terdakwa, terdakwa membantah masih terikat hubungan suami istri dengan korban dengan dibuktikan salinan putusan PN Tangerang No. 121/ Pdt.G/2007/PN.TNG.
•
Bahwa korban NMS membantah pledoi terdakwa dengan mengatakan, bahwa diantara mereka masih ada hubungan sebagai suami isteri, karena dalam perkara gugat cerai tersebut, korban mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Namun demikian, majelis hakim dalam putusan ini tidak meminta nomor register perkara banding tersebut, jadi bukti surat yang menguatkan bahwa mereka masih dalam perikatan suami istri tidak ada. Kalau korban tidak mengajukan bukti surat atas sanggahannya, maka kekuatan pembuktian keterangan korban yang menyatakan masih adanya ikatan hubungan suami isteri hanya sebagai petunjuk saja.
•
Bahwa melihat juga bukti Visum et Repertum yang menyatakan adanya kekerasan fisik yang diderita korban karena kekerasan tumpul, yang tidak mengakibatkan penyakit dan halangan dalam melakukan pekerjaannya.
Kalau kita melihat dari keruntutan pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh majelis hakim dalam putusan ini, maka kita dapat menarik kesimpulan, bahwa putusan hakim selain 98 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 98
5/16/2012 4:59:57 PM
menggunakan landasan juridis juga diperlukan landasan lainnya, yaitu landasan filosofi dan landasan sosiologi. Landasan hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini tertuang dalam pasal 44 ayat (1) yaitu “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah )”. Apabila dalam hal sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, di pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) Apabila mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Apabila mengakibatkan matinya korban, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh juta rupiah). Hal ini di jadikan rujukan dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari hukum formil atau hukum acaranya. Hukum formil menentukan bagaimana bagaimana caranya melaksanakan hukum materiil, bagaimana caranya mewujudkan hak dan kewajiban dalam hal ada pelanggaran hukum atau sengketa. Hukum formil merupakan aturan permainan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di pengadilan (Mertokusumo, 2005: 127). Landasan yang kedua yaitu landasan filosofi yaitu gambaran tentang bagaimana perkara itu terjadi dengan pertimbangan keterangan beberapa saksi, apakah ia sudah sering melakukan tindak pidana atau baru satu kali. Selain mengacu pada Undang-undang hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringakan. Seperti apakah terdakwa menyesali perbuatanya dan minta maaf kepada korban atau tidak, terdakwa pernah dihukum atau tidak. apakah kekerasan terjadi karena kesalahan dari pihak istri ataukah pihak suami, dan dengan pertimbangan sesuai dengan derita yang dialami oleh korban tersebut termasuk luka ringan atau luka berat, serta keterangan dari beberapa saksi Majelis Hakim memutuskan berdasarkan Undang-undang yang ada. Dalam pengambilan keputusan boleh kurang dari ketentuan yang ada, akan tetapi tidak boleh melebihi ketentuan yang telah di tetapkan dalam Undang-undang. Sementara landasan yang ketiga adalah, pertimbangan sosiologi, yaitu bagaimana kehidupan masyarakat mereka. Apakah lingkungan yang ada juga sering terjadi kekerasan atau kekerasan di anggap hal yang sangat dilarang dalam kehidupan masyarakatnya. Landasan filosofi dan sosiologi di sini tidak di atur dalam undang-undang, sebagaimana landasan hukum yang ada. 3. Mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan Tugas hukum adalah keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima yang memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Pengikut teori ini, Geny
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 99
JURNAL APRIL.indd 99
5/16/2012 4:59:57 PM
dalam bukunya “Science et tecnique en droit prive positif” mengajarkan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata mencapai keadilan yang berangsur “kepentingan daya guna dan kemanfaatan” (Soeroso, 2002: 58). Berdasarkan uraian nomor 3 tersebut diatas, perihal uraian yang berdasarkan penalaran hukum, mejelis hakim berkesimpulan, berdasarkan keterangan para saksi dan disertai alatalat bukti (surat Visum et Repertum No. P.02/16/16/X/2007), maka telah terjadi tindak pidana kekerasan terhadap diri korban yang dilakukan oleh suaminya (bukti akta perkawinan No. 13/G/ JB/1998). Meskipun suami korban, selaku terdakwa dalam perkara ini, membantah masih adanya status hubungan suami-isteri diantara mereka yang dikuatkan dengan putusan (Pengadilan Negeri No. 12/Pdt.G/2007/PN.TNG), namun, korban sedang dalam mengajukan banding atas putusan gugatan cerai PN Tangerang tersebut, dan tidak disebutkan adanya surat register Pengadilan Tinggi (banding). Dalam perkara ini, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara terhadap terdakwa selama 7 (tujuh) bulan penjara, sesuai dengan tuntutan JPU dengan mendasar pada pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana, pasal tersebut berbunyi: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Disini jelas sekali terlihat, bahwa pasal 44 ayat (1) mengatur terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Apa yang terjadi dalam amar putusan majelis hakim nomor 1309 ini sungguh jauh dari rasa keadilan masyarakat. Terdakwa hanya dihukum selama 7 (tujuh) bulan penjara, padahal, undang-undang menyebitkan secara jelas paling lama 5 (lima ) tahun penjara. Memang majelis hakim mendasar pada tuntutan dari JPU, namun hakim perlu menggali history, mengapa lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang bersifat mengglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Kaum perempuan dan anak, dipandang sebagai kelompok warga masyarakat yang paling rentan (berisiko tinggi) terhadap perlakuan kekerasan. Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/
100 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 100
5/16/2012 4:59:57 PM
atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Jadi, ada empat jenis kekerasan yang diancam dengan sanksi, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan penelantaran rumah tangga. Secara sosiologis dan etis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela dalam masyarakat. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan di luar kerangka pendekatan yang sifatnya sistemik. Pendekatan sistemik yang dipilih dan kemudian diaplikasikan dalam mencegah serta menanggulangi kekerasan ini dalam melalui sarana hukum pidana, yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perempuan dan anak sebagai sasaran perlindungan didasarkan pada pertimbangan bahwa dilihat dari sudut pandang hukum pidana, kaum perempuan dan anak merupakan warga masyarakat yang paling berpeluang menjadi korban tindak pidana kekerasan. Dengan demikian, apakah putusan nomor 1309 ini sudah mencerminkan penegakkan hukum kekerasan dalam rumah tangga dengan menjatuhkan vonis selama 7 (tujuh) bulan penjara? Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo (1983: 2425), merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983: 15), dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundangundangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 101
JURNAL APRIL.indd 101
5/16/2012 4:59:57 PM
Sementara itu Satjipto Rahardjo membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undangundang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial (Soekanto, 1983: 45). Pada sisi lain, Jerome Frank, juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi (Huijbers, 1991: 122). Sementara itu, Lawrence M. Friedman (1977: 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasangagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti (Friedman, 1984: 16). Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell (1984: 25), konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktikpraktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering
102 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 102
5/16/2012 4:59:57 PM
dari Roscoe Pound (1989: 51), atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja (1986: 11) disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono (1991: 53) melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini. Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh (1979: 12) menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang. Apa yang telah disampaikan oleh ahli mengenai penegakan hukum di Indonesia tersebut diatas, seharusnya menjadi pegangan bagi majelis hakim dalam menjatuhkan vonisnya dalam putusan nomor 1309 ini. Upaya banyak pihak untuk mengkriminalisasikan kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian direspon positif oleh negara dengan mengundangkan UU Nomor 23 Tahun 2004, semestinya juga diikuti oleh catur wangsa penegak hukum di Indonesia. Alangkah menjadi sia-sia jika, upaya itu akan mandek ketika berhadapan dengan benteng hukum terakhir ini. Kekerasan dalam rumah tangga, bukanlah hal baru yang harus diikuti dan diterapkan di Indonesia, dalam konteks kekerasan perempuan dan anak dalam rumah tangga, instrumen hukum JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 103
JURNAL APRIL.indd 103
5/16/2012 4:59:58 PM
Internasional telah lama memberikan aturan dalam ranah keadilan gender. Pada tahun 2000 Pemerintah menganggap perlu diterbitkan Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dengan maksud sebagaimana dituangkan dalam Intruksi Presiden No.9 Tahun 2000, tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program Pembangunan Nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menangani perkara-perkara berbasis gender, apakah perempuan sebagai korban maupun sebagai pelaku, upaya penanganan dalam perkara Kriminal masuk dalam yurisdiksi Peradilan Pidana. Upaya pencegahan kejahatan (crime prevention) dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 1.
Primary prevention, dengan melakukan kebijakan public agar dapat mempengaruhi persepsi/pendapat public dengan mensosialisasikan sebab musabab terjadinya tindak pidana akar permasalahan (sumber kejahatan) yang perlu diketahui oleh masyarakat umum.
2.
Secondary prevention, antara lain dengan kriminalisasi memperbaharui undangundang hukum bahwa perbuatannya adalah tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang baru termasuk berat ringannya ancaman pidana (sasarannya adalah calon pelaku).
3.
Tertiery prevention, tahapan ini telah mempergunakan pendekatan represif melalui proses penegakan hukum bagi mereka yang melakukan tindak pidana yang pengaturannya telah mengalami tahap kriminalisasi (Muladi, 2002: 156).
Dalam upaya pencegahan kejahatan yang telah dilakukan saat ini terutama Primary, dan Secondary prevention adalah hal kekerasan terhadap perempuan, diantaranya melalui pembuatan undang-undang yang lebih mendukung perempuan, seperti UU Penghapusan KDRT dan UU Perlindungan Saksi, juga program penguatan terhadap penegak hukum, baik dari sisi pengetahuan maupun sikap dalam mewujudkan keadilan gender. Ketidakadilan jender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: (1) Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi; (2) Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik; (3) Pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif; (4) Kekerasan (violence) berupa serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental–psikis; dan (5) Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) (Fakih, 1998: 12-24). Dari segi hukum internasional, dapat dirujuk pada konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yakni Convention On The Elimination Of All Forms Of 104 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 104
5/16/2012 4:59:58 PM
Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Tujuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif yang mendukung keberadaan perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang menjalankan peranannya dan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki sebagai warga masyarakat. Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan berisi asas-asas dan upayaupaya yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta untuk membuat peraturan yang diperlukan dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan perwujudannya. Konsekuensi logis dari diratifikasinya suatu konvensi internasional, adalah kewajiban untuk menindaklanjutinya di dalam tataran perundang-undangan nasional serta pengimplementasinyannya di dalam berbagai bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya dalam upaya penegakan hukum serta penyelesaian perkara-perkara hukum secara kongkrit. Telah diratifikasinya Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan oleh pemerintah Republik Indonesia, merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Komitmen bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya Pemerintah, memiliki kemauan melaksanakan apa yang diamanatkan oleh konvensi tersebut melalui peraturan perundangundangan, dilihat lebih lanjut dalam bentuk kebijakan publik khususnya berupa peraturan perundang-undangan. Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia); yang memuat pernyataan pengakuan berlakunya Konvensi Internasional yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1984 tersebut, serta komitmen untuk mengimplementasikannya di dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Sebelumnya Indonesia telah memberikan persetujuan dan menandatangani Konvensi tersebut pada 23 Oktober 1985. Kedua, Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; memuat pernyataan pembentukan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Pembentukan komnas ini dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 105
JURNAL APRIL.indd 105
5/16/2012 4:59:58 PM
Ketiga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; yang memuat pengakuan berbagai hak asasi manusia secara umum, secara khusus juga memuat pengakuan dan jaminan perlindungan berbagai hak wanita yang termuat pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51. Keempat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; yang memuat kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU ini penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gender; (b) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban. Penghapusan kekerasan rumah tangga bertujuan (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kaidah penting yang dimuat di dalam Undang-Undang ini terdapat pada Pasal 5 yang memuat pernyataan: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga.” Kelima, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional 1999/2000; yang di dalam Buku II memuat Tindak Pidana khususnya dalam Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan, beberapa pasal tindak pidana kesusilaan (a) perluasan terhadap bentukbentuk tindak pidana kesusilaan yang penah dikenal di dalam KUHP yang sekarang berlaku; dan (b) memunculkan bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan baru yang sebelumnya belum dikenal. Perluasan dan pembentukan tindak pidana kesusilaan semacam ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada kaum perempuan dari kemungkinan menjadi korban dari perbuatan-perbuatan pelanggaran nilai-nilai kesusilaan. Selain dalam wujud peraturan perundang-undangan, pengejawantahan perspektif jender di dalam penanggulangan kejahatan secara tidak langsung terlihat pula dalam praktek pelayanan pihak Kepolisian di dalam penanganan perkara pidana, pihak Kejaksaan serta pihak Pengadilan di dalam pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan perempuan sebagai pelaku ataupun sebagai korbannya. Penetapan berbagai perbuatan sebagai tindak pidana atau melakukan kriminalisasi beberapa pasal di dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebenarnya lebih merupakan penegasan ulang bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat kekerasan dalam lingkup spesifik rumah tangga itu adalah dilarang dan diancam pidana. Berbagai perbuatan yang dijadikan tindak pidana di dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini sebenarnya secara umum telah ditetapkan sebagai tindak pidana dengan ancaman pidana yang lebih ringan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
106 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 106
5/16/2012 4:59:58 PM
(eks WvS). Dikatakan secara umum, oleh karena konteks terjadinya perbuatan yang mengandung kekerasan sebagai tindak pidana di dalam KUHP tidak spesifik dalam lingkup rumah tangga melainkan dapat berlaku dalam lingkup yang umum. Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan (Pasal 53). Secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak si korban. Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 107
JURNAL APRIL.indd 107
5/16/2012 4:59:58 PM
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik. Dalam hal demikian, dari sudut pandang hukum pidana, penegakan ketentuan di dalam undang-undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini. Dilihat dari segi politik hukum pidana, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini menjadi sesuatu yang hampir mustahil berhasil. Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai-nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu. Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontraproduktif terhadap tujuan dasar pembentukan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sendiri. Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral antikekerasan dalam rumah tangga. Dengan menetapkan sebagai tindak pidana aduan, maka hukum pidana tetap dipertahankan sebagai sarana yang terakhir dalam upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Secara implisit dapat disimpulkan pula, bahwa sarana primer penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tetaplah hukum administrasi negara. Dari sudut pandang politik kriminal, terlihat pendirian pembentuk undang-undang untuk memposisikan hukum pidana sebagai sarana pendukung bagi penanggulangan masalah sosial di dalam masyarakat. Para pembuat kebijakan telah menutup mata dari kenyataan yang sangat jelas bahwa kebanyakan perempuan yang terlibat dalam dunia prostitusi adalah korban dari proses pemiskinan (kebijakan) Negara dan kegagalan Negara dalam memberikan pendidikan (pemberdayaan) dan menciptakan lapangan kerja yang layak bagi perempuan khususnya yang miskin (LBH APIK, 2005: 3). Baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak boleh menjalankan acara pidana tanpa dasar, tetapi harus berdasarkan pada ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP (Undang-Undang Hukum 108 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 108
5/16/2012 4:59:58 PM
Acara Pidana) dan perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang (Hamzah, 1996: 1-2). Mengenai hukum nasional Indonesia yang diskriminatif, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sejak 21 tahun yang lalu, tepatnya dengan UU No. 7 tahun 1984. Kemudian barulah dilakukan harmonisasi menjadi landasan hukum dari UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Penghapusan KDRT dan undang-undang Perlindungan Saksi/ Saksi Korban tersebut hanya merupakan bagian kecil saja dari materi Konvensi Wanita/CEDAW, sedangkan ketentuan tentang Women trafficking hingga kini masih berupa RUU. Permasalahannya terletak pada tidak adanya konsistensi dari penegak hukum dalam upaya mewujudkan keadilan berperspektif gender, hal ini dikarenakan banyak produk undang-undang seperti pelaksanaan UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT yang merupakan bagian dari Konvensi Wanita hendak perlu dimengerti lebih dalam oleh para penegak hukum, khususnya para Hakim dan memahami pula latar belakang pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan, sehingga Hakim belum berperan dalam memutuskan perkara-perkara yang berbasis gender sehingga hakim dapat lebih berperan dalam mewujudkan keadilan gender. Walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan. Dengan kata lain, sistem hukum belum berperspektif perempuan. Banyak kasus kekerasan yang berbasis gender yang gagal diproses sampai ke pengadilan karena kesulitan pembuktian, putusan yang belum memenuhi rasa keadilan, selain itu, banyak juga perempuan yang memilih untuk mendiamkan kekerasan dan perkara lainnya yang dialaminya karena takut ancaman fisik, psikis, seksual dan kehilangan sumber penghasilan dari pelaku. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan langsung ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk penyerangan terhadap integritas tubuh perempuan serta harkat dan martabatnya sebagai manusia. IV. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisa Putusan No 1309/Pid B/2008/PN.TNG sebagai berikut: 1.
Majelis hakim telah membuktikan unsur kesalahan terdakwa dengan mengikuti ketentuan dalam KUHAP, yaitu dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, antara lain bukti surat dan keterangan saksi, maka hakim memiliki keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 109
JURNAL APRIL.indd 109
5/16/2012 4:59:58 PM
Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2.
Majelis hakim dalam putusan No 1309 ini telah mencerminkan penalaran hukum ysng logis, yakni runtut dan sistematis sebagaimana telah diuraikan diatas.
3.
Putusan pidana 7 (tujuh) bulan penjara dalam putusan No 1309 ini dianggap jauh dari rasa adil mengingat ancaman pidana yang diberikan dalam Pasal 44 ayat (1) UU No 23 tahun 2004 tentang Pemghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah paling lama 5 (lima) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).
Ada beberapa langkah dan tindakan yang perlu dilaksanakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender: Pertama, Substansi hukum dan kebijakan dengan mengintegrasikan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum, menghapus peraturan perundangan yang diskrimintif dan menetapkan peraturan yang melarang diskriminasi perempuan, serta menerapkan norma dan standar yang ditetapkan CEDAW. Kedua, struktur dan proses institusional melalui pengembangan kapasitas lembaga yang melaksanakan atau menegakan peraturan yang non-diskriminatif, dan menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan pemenuhan hak asasi perempuan, dan langkah ketiga, Faktor budaya dengan meningkatkan kesadaran dan komitmen negara (eksekutif, yudikatif, legislatif dan seluruh masyarakat akan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh konvensi CEDAW. Pandangan dan pemikiran untuk menuju sistem hukum yang berkeadilan gender perlu mendapat perhatian bersama, baik dari Pemerintah/Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Bahwa putusan Hakim, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik Putusan pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang selalu diikuti oleh hakim-hakim dapat menjadi yurisprudensi/judge made law, Yurisprudensi tetap dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau banyak diantaranya malah telah dijadikan undang-undang. Kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak bisa diselesaikan secara baik, seperti untuk mendapatkan perlindungan hukum. Banyak kasus-kasus Kekerasan yang menimpa perempuan akhirnya tidak bisa dilanjutkan, karena respon penegak hukum yang masih belum memberi arti penting Kekerasan yang menimpa perempuan. Akibatnya perempuan yang menjadi korban kekerasan kebanyakan urung untuk melanjutkan niatnya melaporkan Kekerasan yang diterima, disamping takut tidak ditanggapi oleh aparat, mereka takut malah dicemooh ketika melaporkan kasusnya. Alasan ini pula yang melahirkan perlunya pengaturan acara tersendiri dalam persidangan perkara-perkara umumnya, kekerasan terhadap perempuan khususnya.
110 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 110
5/16/2012 4:59:58 PM
DAFTAR PUSTAKA Cotterrell, Roger. 1984. The Sociology of Law An Introduction. London: Butterworths. Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender. Yogyakarta: CIDESINDO. Friedman, Lawrence M. 1977. Law and Society An Introduction. New Jersey: Prentice Hall Inc. __________. 1984. American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives. New York: W.W. Norton & Company. Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya. Harahap, M.Yahya. 1990. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I. Jakarta: Pustaka Kartini. Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. Huijbers, Theo. 1991. Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius. Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978 __________. 1986. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta. LBH APIK, 2005. Refleksi dan Catatan Tahunan 2005 Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2003. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta: MA. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Habibie Center. Poernomo, Bambang. 1984. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara. Pound, Roscoe. 1978. Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara. ___________. 1989. Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. JURNAL YUDISIAL | Independensi dan Rasionalitas | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | 111
JURNAL APRIL.indd 111
5/16/2012 4:59:58 PM
Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru. Rasjidi, Lili. 1991. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, ___________. 1992. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni. Saleh, Roeslan. 1979. Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara. Soedirjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta: Akademika Pressindo. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali. ____________ 1983a. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta. Soeroso, R. 2002. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Zulkarnain. 2006. Peradilan Pidana: Penuntun Memahami & Mengawal Peradilan Pidana bagi Pekerja Anti Korupsi. Jakarta: Yappika.
112 | VOL-IV/NO-01/APRIL/2011 | Independensi dan Rasionalitas | JURNAL YUDISIAL
JURNAL APRIL.indd 112
5/16/2012 4:59:58 PM
BIODATA PENULIS Luh Rina Apriani, S.H., M.H., lahir di Bali, 21 April 1979. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP) pada kelompok mata kuliah Hukum Adat. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada tahun 2001 dan pendidikan S2 pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Konsentrasi Hukum Bisnis di tahun 2006. Sejak tahun 2006 sampai sekarang menjabat sebagai bendahara pada Jurnah Hukum Themis dan aktif sebagai peneliti pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected]. Nur Agus Susanto, lahir di Demak pada tanggal 1 Agustus 1979. Menyelesaikan sarjana strata satu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) pada tahun 2002 dengan predikat lulusan terbaik, dan melanjutkan pendidikan strata dua Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta tahun 2006-2008 melalui Program Beasiswa Mahasiswa Unggulan Depdiknas. Pernah bergabung THE RIDEP INSTITUTE, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang penelitian keamanan, militer, dan perdamaian, sebagai associate researcher pada tahun 2002-2004. Selanjutnya, bekerja sebagai wartawan di tabloid dan harian KONTAN, kelompok Kompas Gramedia, sejak 2004-2009. Semenjak tahun 2009 hingga saat ini bekerja di Komisi Yudisial. Pengalaman organisasi tercatat pernah sebagai President Student English Activity UMY 2008-2009, Ketua Umum Senat Mahasiswa FH UMY 2009-2000, dan Ketua Penelitian Mahasiswa UMY 2010-2011. Deni Bram, S.H., M.H., lahir pada tanggal 3 Desember 1984. Pengajar mata kuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (2006), S2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila (2008), dan sedang melanjutkan Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti di Pusat Kajian Ilmu
JURNAL APRIL.indd 113
5/16/2012 4:59:58 PM
Hukum (PKIH) Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Publikasi yang telah diterbitkan diantaranya adalah buku Hukum Lingkungan Internasional (Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara), dan “Optimization of Multidisiplinary Approach In Environmental Research for Supporting Environmental Law Enforcement”, Universitas Mercu Buana, International Seminar Proceeding. N. Ike Kusmiati, SH, M.Hum, lahir di Garut pada tanggal 17 Agustus 1967, Sarjana S l diselesaikan di Fakultas Hukum Unpas, dan S2 diselesaikan di FAKULTAS Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini adalah dosen pada program sarjana dan pascasarjana Fakultas Hukum Unpas, mengajar mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Perikatan, Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Pembiayaan. Kegiatan lain yang dilaksanakan adalah sebagai Pengurus Jurnal Litigasi Fakultas Hukum Unpas, dan aktif sebagai Ketua Pusat Pengembangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unpas. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum., lahir di Bandung pada 17 Mei 1969. Sarjana Hukum dari Universitas Pasundan (1994), S2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP Semarang (2001), S3 Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Beliau adalah dosen Program S1 dan Program Pascasarjana FH UNPAS Bandung. Aktif sebagai peneliti dan penulis, baik artikel untuk jurnal maupun buku, diantaranya Wajah Hukum di Era Reformasi dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, dan Menyikapi dan Memaknai Syari’at Islam Secara Global dan Nasional (Refika Aditama, 2004). Velliana Tanaya, S.H., M.H., pengajar di FH Universitas Pelita Harapan. Menyelesaikan sarjana strata satu dan strata dua di institusi yang sama, Universitas Pelita Harapan. Keahlian di hukum bisnis sedangkan subjek mata kuliah yaitu, Hukum Kontrak, Hukum Pasar Modal, Hukum Perdata Internasional, dan Perbuatan Melawan Hukum. Publikasi: Tanggung Jawab Bapepam, Konsultan Hukum dan Direksi terhadap Informasi yang Menyesatkan dalam Prospektus Penawaran Umum Saham (Go Public) dan Penawaran Umum Terbatas (Right Issue), Eksistensi Legal Opinion dalam Prospektus Rigth Issue dan Alternative Dispute Settlement for Capital Market in Indonesia. Stanislaus Atalim, adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta dengan jenjang kepangkatan akademik sebagai Lektor Kepala.. Lulusan S-1 dan S-2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
JURNAL APRIL.indd 114
5/16/2012 4:59:58 PM