HIMPSI ISSN: 0853-3098
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA 2017, Juni, Vol XII, No 1, h. 1-117
•
CONTRIBUTING FACTORS TO PORNOGRAPHY DISTRESS IN PORNOGRAPHY USERS’ WIVES (h. 1-18) Inez Kristanti and Dinastuti Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
•
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO INCREASE TEACHERS’ SELF EFFICACY IN TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS (h. 19-30) Amitya Kumara, Dian Mufitasari, Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
•
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK DEWASA MUDA DENGAN ACROPHOBIA (h. 31- 40) Garvin Universitas Bunda Mulia Monty Satiadarma dan Denrich Suryadi Universitas Tarumanagara
•
EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS (h. 41- 62) Nurussakinah Daulay Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
•
BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ? (h. 63-84) Agung Santoso Universitas Sanata Dharma
•
PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG KARYAWAN (h. 85-104) Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
•
ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (h. 105-117) Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti Universitas Gadjah Mada
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia Ketua Dewan Redaksi Dr. Tjipto Susana, M.Si., Psikolog Sekretaris Dewan Redaksi Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. Anggota Dewan Redaksi Prof. Dr. Faturochman, M.A. Prof. A Supratiknya, Ph.D., Psikolog Dr. Moordiningsih, M.Si., Psikolog J. Seno Aditya Utama, S.Psi., M.Si. Mitra Bestari FENDY SUHARIADI HERA LESTARI
Penerbit Himpunan Psikologi Indonesia Alamat Redaksi Sekretariat Himpunan Psikologi Indonesia Jl. Kebayoran Baru No. 85 B, Kebayoran Lama, Velbak Jakarta 12240 Telp/Fax: 021-72801625 Situs web: http://jurnal.himpsi.or.id ; https://independentscholar.academia.edu/JurnalPsikologiIndonesia Surat elektronik:
[email protected] Media Sosial: http://twitter.com/himpsipusat ; http://instagram.com/himpsipusat http://facebook.com/himpsi H Jurnal Psikologi Indonesia terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan berupa laporan hasil penelitian dalam bidang psikologi yang dilakukan oleh para ahli atau pemerhati psikologi. Tulisan dikirimkan dalam bentuk soft copy (DOC/DOCX) melalui surat elektronik.
Jurnal Psikologi Indonesia PORNOGRAPHY DISTRESS 2017, Vol. XII, No. 1, 1-18, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
1
CONTRIBUTING FACTORS TO PORNOGRAPHY DISTRESS IN PORNOGRAPHY USERS’ WIVES (FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PORNOGRAPHY DISTRESS PADA ISTRI PENGGUNA PORNOGRAFI) Inez Kristanti and Dinastuti Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia Some women react negatively to their husbands’ habit of using pornographic materials and this reaction is called pornography distress which can potentially bring damage to a marriage such as lowering the quality of sexual activities and marital satisfaction. To help solve the issue, the differentiating factors between women who experienced pornography distress and those who did not were identified. Seven contributing factors to pornography distress were proposed: perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude towards pornography use, and exposure to sexual content from the media, religious salience, and differentiation of self. This research aimed to discuss factors that significantly contribute to pornography distress. Data from 161 women who are married to pornography users were obtained through accidental sampling. All participants were currently residing in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, or Bekasi. Multiple linear regression analysis found four significant contributing factors: the way the subjects found out about their husbands’ pornography use, attitude towards pornography, religious salience, and differentiation of self. Results showed that contributing factors to pornography distress came from various sources. Each spouse should work together to achieve some sort of agreement and understanding to solve pornography distress issues. Several suggestions regarding the issue are discussed.
Keywords: marriage, pornography, pornography distress, sexuality, wives
Sebagian perempuan menunjukkan reaksi negatif terhadap kebiasaan suami menggunakan pornografi. Reaksi ini disebut sebagai pornography distress. Pornography distress dapat mendatangkan dampak buruk dalam pernikahan, misalnya menurunkan kualitas hubungan seksual dan kepuasan pernikahan. Untungnya, tidak semua perempuan menunjukkan tanda-tanda pornography distress. Untuk membantu penyelesaian masalah ini, faktor yang membedakan antara perempuan yang mengalami dan tidak mengalami pornography distress perlu diidentifikasi. Terdapat tujuh faktor yang diduga berkontribusi terhadap pornography distress; persepsi tentang frekuensi penggunaan pornografi suami, lama mengetahui penggunaan pornografi suami, cara mengetahui penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi secara umum, keterapaparan terhadap konten seksual dalam media, religious salience, dan diferensiasi diri. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap pornography distress. Data dari 161 istri pengguna pornografi diperoleh dengan accidental sampling. Semua partisipan tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi pada saat pengambilan data. Analisis menggunakan multiple linear regression menunjukkan adanya empat faktor yang berkontribusi secara sgnifikan: cara mengetahui penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi, religious salience, dan diferensiasi diri. Hasil
1
2
KRISTANTI & DINASTUTI
penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap pornography distress datang dari sumber yang beragam. Oleh karena itu, masing-masing pihak dalam pernikahan perlu bekerjasama untuk memperoleh kesepakatan dan pemahaman satu sama lain yang dapat menyelesaikan masalah pornography distress. Beberapa langkah praktis akan didiskusikan dalam artikel ini.
Kata kunci: pernikahan, pornography, pornography distress, seksualitas, istri
Pornography is “any sexually oriented material that is created simply for the purpose of arousing viewer” (Carroll, 2010). Pornography materials are easily accessed from almost all kinds of media-internet, in particular (Copper et al., as cited in Stewart & Szymanski, 2012; P.M. Markey & Markey, 2012). It is hard to tell the exact number of pornography users in Indonesia, however most people agree that this country shows high usage of pornography materials, occupying first to fifth rank in the world (“Kominfo sebut”, 2012; Olivia, 2013; Pitoyo, 2012; Suryanto, 2009). Research on pornography in Indonesia is largely emphasized on teenage population (Ramadhan, 2013; Roviana, 2011; “Sebagian besar”, 2013), when there are plenty of married individuals actively seeking pleasure from pornography materials. A pilot study conducted to 98 married individuals in Jabodetabek (an acronym referring to five big cities in West Java: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) shows that 81.63% of them uses pornography. Thirty percent of them uses pornography once to seven times a week. Large proportion (83.33%) of married women admit the tendency to use pornography with their partners while more men (56.82%) prefer to do it alone. Men tend to use pornography as a mean to achieve sexual pleasure without their
partners while women tend to use it to elevate sexual pleasure before having sexual intercourse. These findings are consistent with Hald (as cited in Carroll, 2010) and Strager (2003) that most of men use pornography to achieve sexual pleasure, by masturbating. The primary purpose of men’s pornography use as sexual gratification leads to further question about how the usage might psychologically affect their wives. There has not been a single study that addresses this issue in the context of marriage; however, there are at least two United States studies (Bergner & Bridges, 2002; Bridges, Bergner, & Hesson-McInnis, 2003) that question the impact of men’s pornography use towards women who are involved with them romantically. The first study conducted by analyzing online messages written by 100 women in four internet message boards about their partners’ heavy pornography usage (Bergner & Bridges, 2002). This study concluded that men’s pornography use can potentially alter their partners’ view about themselves: they tend to view themselves more negatively; they tend to feel less worthy or attractive, they tend to feel weak and stupid because their male partners have treated them inappropriately. These negative conceptions are not only developed towards themselves, but also
PORNOGRAPHY DISTRESS
their partners. They tend to view their partners as perverts or sex addicts. Men’s pornography use might also affect their partners’ view on their relationships. Women in these relationships tend to feel betrayed, as if their partners have “cheated”. Bridges, et al. (2003) summed up these negative responses with one term: pornography distress, or negative experience/condition that is felt by an individual as a response to her partner’s pornography use. These findings by Bergner and Bridges (2002) serve as empirical evidence that women might be significantly affected by their partners’ pornography use. Meanwhile, men’s pornography use is proved to correlate significantly with the overall relationship satisfaction (Poulsen, Busby, & Galovan, 2013). Moreover, a survey by American Academy of Matrimonial Lawyers in Chicago (as cited in Manning, 2006) shows that 56% of divorce cases in 2002 involved internet pornography usage issue by one of the spouses. The presence of this long-term effect makes pornography distress as an issue that needs to be addressed. One thing to keep in mind is that not all women who are married to pornography users actually experience pornography distress. Bergner and Bridges (2002) acknowledged that the data that they gathered for their first study was obtained from a highly distressed population (women who deliberately complained and sought help regarding their partners’ pornography use). They then conducted a quantitative study to 100 women who were involved in romantic relationships with pornography users
3
(Bridges et al., 2003). In general, this group of women showed neutral to positive reactions towards their partners’ pornography use. This same kind of variation was also found to the Jabodetabek pilot study (conducted by the authors). Sixteen percent out of 33 women also supported their husbands’ pornography use, 63.16% of them had neutral attitude, while only 21.05% if them felt surprised or uncomfortable. The presence of these women who shows more positive reactions towards their husbands’ pornography use may serve as the key to solve pornography distress problems. The next critical step is to identify factors that differentiate between women who experience pornography distress and those who do not. In identifying these differentiation factors, we took account both empirical and theoretical supporting evidence from several perspectives. Based on extensive review of literatures which focus on how pornography impacts marriage, we found seven factors which have been proven empirically to be related to pornography distress, or, at least have been expected to be theoretically related (Bergner & Bridges, 2002; Bridges et al., 2003; Cavaglion & Rashty, 2010; Ford, Durtschi, & Franklin, 2012; W. Maltz & Maltz, 2009; Ogas & Gaddam, 2011; Schneider, Weiss, & Samenow, 2012; Sessoms, 2011; Stewart & Szymanski, 2012; Ward & Friedman, 2006; Zitzman & Butler, 2009). These seven factors are: (1) perceived frequency of pornography use, (2) the duration of knowledge about pornography use, (3) the way of knowing about husband’s pornography use, (4)
4
KRISTANTI & DINASTUTI
attitude towards pornography use, (5) exposure to sexual content from the media, (6) religious salience, and (7) differentiation of self. Their relations to pornography distress will be discussed below. The inclusion of first factor (perceived frequency of pornography use) was supported by Bridges et al.’s (2003) study, which concluded that perceived frequency of husbands’ pornography use was positively correlated with pornography distress. Husbands’ frequency of pornography use-as reported by their wives-was negatively correlated with relationship quality, sexual satisfaction, and self-esteem (Stewart & Szymansky, 2012). The second factor (duration of knowledge about pornography use) were supported by findings that women showed fluctuated responses towards their partners’ pornography use from time to time (Cavaglion & Rashty, 2010; Schneider, Weiss, & Samenow, 2012; Zitzman & Butler, 2009). W. Maltz and Maltz (2009) discussed several stages that women experiences during their discovery of partners’ pornography use. They explained that women in general would feel surprised and hurt right after the discovery of partners’ pornography use. However, over time they would be expected to show a more accepting attitude towards this situation. Third, feelings of surprise and hurt might not be experienced universally by all women in this situation. We suspected that how women responding to their partners’ pornography use would be partially determined by how they discover the usage. There has not been found a single
literature that specifically addresses this issue, however, from case descriptions found in Ford, Durtschi, and Franklin (2012) and Ogas and Gaddam (2011) we can conclude that the reaction of distressed as feelings of being cheated or sense of worthlessness tended to be found in women who discover their partners’ pornography use by catching their partners on their acts or finding the evidence of their usage (such as internet histories or VCD/DVD materials). Meanwhile, we have not found any distress with the same level of intensity on women whose husbands honestly disclosed their pornography habit. This pattern of response would seem logical as study successfully concluded that some women felt that the heart of the problem did not lie on the usage per se, but on the dishonesty and deceit performed by their partners (Zitzman & Butler, 2009). These findings set a good foundation to include the third factor (the way of knowing about husband’s pornography use) into our hypothesis. Fourth, Bergner and Bridges (2002) found women who experienced pornography distress developed a more negative view towards their partners as individuals, such as seeing their partners as perverts or degraded in terms of sexuality. This finding raised further question: “are those negative conceptions emerged simply because it was their partners who used the pornography materials or these women had actually possessed those negative attitudes, regardless of the subjects who were using the materials?” The logic was to suspect that if women have been indeed holding
PORNOGRAPHY DISTRESS
negative attitudes towards pornography usage in general, it would be more likely for them to show high pornography distress when their partners were also users. Therefore, it was reasonable to suspect that women’s general attitude to pornography use also served as determinant for their pornography distress. Fifth, it is also important to address that pornography was never a sole provider of sexual contents, as people may also find them in other forms of media, such as movies, TV series, music videos, or internet. While all kinds of information from media have strong influence to individual’s opinions and beliefs, sexual content seen from media is also potential to alter individual opinions and beliefs regarding sexual matter. Moreover, Ward and Friedman (2006) also found that the habit of viewing sexual content from television had significant and positive correlation with individual support towards recreational sexual behavior, including pornography. Therefore, women who are exposed daily to sexual content from numbers of media are expected to show less rejection towards husbands’ pornography habit. In the other words, it is less likely that those women would experience pornography distress compared to their counterparts. Therefore, it was safe to conclude that fifth factor (exposure to sexual content from the media) might contribute to women’s experience of pornography distress. Sixth, the authors would also like to raise a religious factor as a contributor to pornography distress. Pornography is usually seen as something that goes against religious values. Several studies
5
showed that there was negative correlation between religiosity and individual acceptance to pornography materials (Carroll; Woodrum; Lambe; Nelson et al., as cited in Sessoms, 2011). It is probably safe as well to expect that the higher religious salience, the harder it is for her to accept if one of their significant others (e.g. spouse) is actively involved in pornography. Hypothetically, it is logical enough to expect that this acceptance difficult might result in high pornography distress. Last, a focus to individual internal factor might also beneficial in determining the contributing factors to pornography distress. In this regard, the authors proposed differentiation of self-the degree to which one is able to balance (a) emotional and intellectual functioning and (b) intimacy and autonomy in relationships as another possible contributing factor. Highly differentiated individual is able to regulate her emotion under stressful situation. In contrast, a poorly differentiated person tends to experience more difficulties to remain calm in response to the emotionality of others and tends to be easily affected by their close ones’ behavior. The authors argue that these tendencies might serve as one possible explanation underlying pornography distressed individuals’ behavior. The purpose of this study is to examine whether those seven factors-as a wholecontribute to pornography distress. If those seven factors together had shown significant contribution, it would be examined further which factors that show significant contribution individually. The importance of this study lay
6
KRISTANTI & DINASTUTI
primarily on the significance of pornography distress issue in marital context, while at the same time there had not been a single study intending to address this issue in Indonesia. Despite of the low number of women admitting their disapproval towards their husbands’ pornography use in the pilot study, almost half of them (42.42%) further admitted that they intend to eliminate or at least alleviate the usage. This slight inconsistency between the two data might be mediated by the nature of collectivistic culture in Indonesia which shows less favor on the expression of negative emotions (Eisenberg, Pidada, & Liew, 2001; Markus & Kitayama, 1991; Oyserman, 1993). It is highly possible that women who showed support or ignorance towards their husbands’ pornography use might secretly feel the negative emotion or pornography distress. It is important to take this possibility into account as an indication that the pornography distress problem in Jabodetabek might be more serious than it looks on the raw data. This study then might become the first ever culturally sensitive reference for treating the problem and anticipating its negative consequences in marital context. Based on the above, this research aimed to test one hypothesis and answer one question: H1: Perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude towards pornography use, exposure to sexual content from the media, religious salience, and differentiation of self, contributed together and significantly to pornography
distress. R1: Which factors among the seven proposed contribute individually to pornography distress?
Methods Participants Participants were 161 Indonesian women who met the following criteria: (1) married; (2) were aware of their husbands’ pornography use; (3) resided in Greater Jakarta which include Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, or Bekasi. There was no age limitation for participation as one of most important part of this study is the variation of its subjects (participants aged from 19-57 years). Mean age of participants was 35.81 years (SD = 9.77). City of residence were check against the estimated population of married women living in Jabodetabek (estimated through the number of household within the five areas; Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2010; Badan Pusat Statistik Kota Depok, 2010; Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, 2011; “Provinsi DKI”, 2010). Participants were found to be representative in terms of domicile. Procedure Online and hard copy questionnaires were administered to 565 married women living in Jabodetabek with the help from 8 enumerators (second year students of psychology undergraduate program in Atma Jaya Catholic University of Indonesia). 167 out of the 565 did not manage to finish all the questions and 237 did not aware of their husbands’
PORNOGRAPHY DISTRESS
pornography use. Complete responses were obtained from 161 eligible participants. Measures The instrument consisted of 120 items and was divided into seven parts. Part one consisted of a short instruction and items related to socio-demographic characteristics (age, sex, city of residence, education, religion, ethnicity, economic status, occupation, marriage status, age of spouse, and age of marriage). To preserve confidentiality, participants were allowed to provide initials instead of their real names. To avoid misinterpretation, participants were informed about the definition of pornography use: the act of seeing, reading, or hearing pornographic materials (e.g. pictures, sketches, illustrations, photos, narrations, sounds, moving images, animations, conversations) with the purpose of obtaining sexual pleasure. Any kinds of sexual contact with real persons are not considered as pornography here. Part two, three, four, five, and six consisted items to measure our research variable: Pornography distress: Pornography Distress Scale-Short Form (32-PDS). 32PDS was constructed by Bridges et al. (2003) measuring the extent of negative feelings experienced by women as the response to their partners’ pornography use. This measure was adapted to Indonesian version for the purpose of this study (Cronbach’s alpha= .96). Perceived frequency of husbands’ pornography use. This variable was measured by asking participants with the following question: “To your knowledge,
7
how often does your husband use pornography?” with the following options: 1) less than once a month; 2) two to four times a month; 3) one to two times a week; 4) three to five times a week; 5) once a day; 6) several times a day. Duration of knowledge about husband’s pornography use. This variable was measured by asking participants with the following question: “How long have you known about your husband’s pornography use? (please give your best estimate)” Participants were asked to respond in year and month (___ year(s) and ___ month(s)). The way of knowing about husband’s pornography use. This variable was measured by asking participants with the following question: “How did you first find out about your husband’s pornography use?” with the following options: 1) had been asked by husband to join his pornography use; 2) had been told by husband about his pornography use; 3) had found proof of his pornography use; 4) had caught him in his pornography using act; 5) others (please specify). Exposure to sexual content from the media. This variable was measured by a method of measuring exposure to a specific content from media introduced by Bleakley, Fishbein, Hennessy, Jordan, Chernin, and Stevens (2008), with slight adjustment to fit this research context. First, participants were asked to mention three television shows, three internet sites, three newspapers or magazines, and three music artists that they watch, access, read, or listen to the most. They then were asked to
8
KRISTANTI & DINASTUTI
rate: 1) the frequency of their consumption to those media from the last 12 months (from the scale of 1 to 4; 1 = “rarely”; 2 = “sometimes”; 3 = most of the time”; 4 = “always”); 2) the intensity of sexual content involved in those media (from the scale of 1 to 4: 1 = “no sexual content”; 2 = “a little sexual content”; 3 = “some sexual content”; 4 = “a lot of sexual content”). Because the scale of 1 refers to no sexual content at all, for analytical purpose the intensity of sexual content scale of 1 to 4 would be converted to 0 to 3. For each television show, internet site, newspaper, and magazine, the frequency score would then be multiplied by the intensity score, and finally the result of those multiplications would be added to produce the final exposure to sexual content from the media score. Attitude towards pornography use: Attitude towards Pornography Use Scale (APUS). APUS was constructed originally for the purpose of this study, measuring individual psychological tendency to give favorable or unfavorable evaluation towards pornography use (e.g. how individual thinks, feels, or reacts to pornography use). Cronbach’s alpha on this scale was .92. Religious salience: Religious Salience Scale (RSS). RSS was constructed originally for the purpose of this study, measuring the extent which religious belief influences individual’s thoughts and feelings in his daily lives. Cronbach’s alpha on this scale was .96. Differentiation of self: Differentiation of Self Inventory (DSI). DSI was constructed by Skowron and Friedlander
(1998) measuring the degree to which one is able to balance (a) emotional and intellectual functioning and (b) intimacy and autonomy in relationships (Bowen, as cited in Skowron & Friedlander, 1998). This measure originally consists of four subscales (Skowron & Friedlander, 1998): Emotional Reactivity (ER; “the degree to which a person responds to environmental stimuli with emotional flooding”, I Position (IP; “reflects a clearly defined sense of self and the ability to thoughtfully adhere to his convictions when pressured to do otherwise”), Emotional Cutoff (EC; “reflects feeling threatened by intimacy and feeling excessive vulnerability in relations with others”), and Fusion with Others (FO; “reflects emotional over involvement with others, including triangulation and over identification with parents”). Based on personal correspondence with the original author, only ER, IP, and EC subscales were adapted to Indonesian version for the purpose of this study, as these three subscales translate better across culture. Cronbach’s alpha on full scale and three subscales (ER, IP, and EC) were .84, .76, .77, and .77 respectively.
Results Considering the range of the instruments and the actual median obtained from the research data (Table 1), the authors made conclusion about each research variables. We present the data in median because it is less susceptible to extreme scores (Gravetter & Wallnau, 2013). Considering that the lowest possible score was 7 and the highest possible score
9
PORNOGRAPHY DISTRESS
Table 1 Descriptive Statistics of Continuously-Scaled Research Variables
Pornography distress Duration of knowledge about husband’s pornography use Attitude towards pornography use Exposure to sexual content from the media Religious salience Differentiation of self
Mean
Median
Score range of the instruments
Score range of the obtained data
92.7343
88.0000
7-224
34-189
8.535 (years)
5.000 (years)
-
1 (week)-40 (years)
38.8137
39.0000
6-84
12-79
17.2422
16.0000
0-144*
0-80
29.4886 127.4846
31.0000 127.0000
7-35 6-204
13-35 83-180
Table 2 Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Enter Method)
225.504
Standard of error 20.687
1.190
2.292
-6.646
B Constant Perceived frequency of husband’s pornography use Way of knowing about husband’s pornography use Had been told by husband about his pornography use* Had found proof of his pornography use* Had caught him in his pornography using act* Others* Duration of knowledge about husband’s pornography use Attitude towards pornography use Exposure to sexual content from the media Religious salience Differentiation of self * Dummy variable
β
t
p
10.901
.000
.034
.519
.604
6.298
-.078
-1.055
.293
15.796
6.445
.190
2.451
.015
44.647
9.758
.315
4.575
.000
21.687
15.935
.088
1.361
.176
.102
.298
.021
.344
.731
-.862
.178
-.333
-4.846
.000
.097
.159
.039
.613
.541
-1.717
.425
-.262
-4.036
.000
225.504 1.190
20.687 2.292
.034
10.901 .519
.000 .604
was 224, it can be concluded that the
10
KRISTANTI & DINASTUTI
Table 3 Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Stepwise Method)
228.285
Standard of error 20.052
47.693
9.010
-.833 -.497 -1.672 17.881
B Constant Way of knowing about husband’s pornography use: Had caught him in his pornography using act* Attitude towards pornography use Differentiation of self Religious salience Way of knowing about husband’s pornography use: Had found proof of his pornography use* * Dummy variable
research participants tended to show low pornography distress (median = 88). The data also showed that the participants tend to acknowledge their husbands’ pornography use for quite short time (5 years). Considering the possible range of 6-84, the data also showed that participants tended to hold normal to negative attitude towards pornography use (median = 39). The median of 16 (compared to 0-144 of range) showed that participants tended to be exposed to little amount of sexual content from media. On the other hand, median of 31 (compared to 7-35 of range) and 127 (compared to 6-204 of range) also showed that research participants tended to have high religious salience and differentiation of self. The descriptive statistics also showed that the majority of participant perceived very low frequency of husbands’ pornography use (over 44% of them reported less than once a month usage).
β
t
p
11.385
.000
.337
5.294
.000
.166 .123 .419
-.322 -.250 -.255
-5.024 -4.033 -3.993
.000 .000 .000
5.303
.215
3.372
.001
Another descriptive statistics showed a diverse figure on participants’ ways of knowing about their husbands’ pornography use. However, it might be concluded that the majority of participants acknowledged their husbands’ pornography use by finding proof of their husbands’ pornography use themselves (31.06%), through their husbands’ invitation to join them (29.19%), or through their husbands’ disclosure (29.19%). Hypothesis testing Hypothesis 1: Perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude towards pornography use, exposure to sexual content from the media, religious salience, and differentiation of self, contribute together and significantly to pornography
PORNOGRAPHY DISTRESS
distress. To test this hypothesis, we made use of multiple regression analysis, using Enter method (Table 2). One variable (way of knowing about husband’s pornography use) was measured in nominal scale, and for this case we made use of dummy variables to include it on the regression analysis. The result showed that perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude towards pornography use, exposure to sexual content from the media, religious salience, and differentiation of self, contributed together and significantly to pornography distress (F (10,150) = 12.200, p < 0.05). However, this analysis had not yet determined which of the seven factors individually contributed to pornography distress. This issue will be addressed on next research question. Answering research question Research question 1: Which factors among the seven proposed contribute individually to pornography distress? Using the Stepwise method of multiple regression analysis (Table 3) it was found that not all of the seven proposed factors actually contributed individually to pornography distress. Only four of them were: the way of knowing about husband’s pornography use (significant only on two dummy variables: had caught him in his pornography using act and had found proof of his pornography use), attitude towards pornography use, differentiation of self, and
11
religious salience (F (5,155) = 23.456, p < 0.05). This regression model contributed for 41.20% of the variation among pornography distress. The direction of each contribution may also be concluded. The biggest contributor (way of knowing about husband’s pornography use, dummy variable: 1) had caught him in his pornography using act (t = 5.294, p < .05); 2) had found the proof of his usage (t = 3.372, p < .05)) contributed in positive direction. In other words, if a woman discovered her husband’s pornography use by one of those two modes, her pornography distress would be increased. This finding confirmed the initial notion that women who find out about their husbands’ pornography use in a way that does not suggest their husbands’ openness about the issue to them, would then experience higher pornography distress. On the other hand, attitude towards pornography use (t = -5.024, p < .05), religious salience (t = -4.033, p < .05), and differentiation of self (t = -3.993, p < .05) all contributed in negative directions. In other words, the higher women’s attitude towards pornography use, religious salience, or differentiation of self, the lower pornography distress she would experience. Variable regarding women’s attitude towards pornography use showed a consistent direction with the initial idea that a positive attitude would help women to accept their husbands’ habits. A high differentiation of self-orthe ability to balance intimacy and autonomy function in a relationship-also seemed to be helpful in acceptinghusband’s pornography habit without showing any exaggerated feelings.
12
KRISTANTI & DINASTUTI
An interesting result was shown by religious salience variable. The research data showed that this variable contributed to pornography distress negatively, that the higher religious salience, the lower pornography distress would be. This result was not consistent with the initial expectation. This interesting inconsistency would be further discussed in discussion.
using pornography tended to show lower level of distress compared to women who were not involved in pornography (U = 931, p < .05). Moreover, women whose husbands’ usually used pornography with their friends experienced more pornography distress compared to women whose husbands’ had usually used the pornography with them (U = 321, p < .167).
Additional Findings This research also addressed several other aspects that may be related to pornography distress in marital context. Some additional information was gathered regarding participants’ religion, marital age, their own pornography use (whether they themselves actively use pornography), frequency of their own pornography use, pattern of husbands’ pornography habits (whether their husbands use pornography in a solitary way, with the wives’ companion, or with their friends’ companion), and when the discovery of their husbands’ pornography use took place (was it before or after marriage). Due to the unevenness of the distributions, analysis for these additional variables was conducted using nonparametric statistics. The results indicated that some of the variables (participants’ religion, their own pornography use, and pattern of husbands’ pornography habits) might add more information to our understanding of pornography distress. It was found that Buddhist women tended to show lower level of distress in regards of husbands’ pornography use, compared to Christian women (U = 145.5, p < .125). Also, women who themselves were actively
Discussion This study found that the regression model consisting seven proposed variables contributed significantly to pornography distress in pornography users’ wives. However, this was actually not the best model to predict the level of distress they are experiencing. It was also found that the better model consists of only four contributors: way of knowing about husband’s pornography use, attitude towards pornography use, differentiation of self, and religious salience. While there was at least a factor outside women’s control that determine her pornography distress (i.e. the way of knowing about their husbands’ pornography use), there were also factors related to women’s own psychological aspect (i.e. their own attitude towards pornography use, their differentiation of self, and their religious salience). Looking at this result, we are convinced that the nature of pornography consumption issue in marital context cannot be attributed solely to one party within the marriage. Therefore, counselors and individuals who are dealing with this problem should be aware that each party in the marriage needs to work together to
PORNOGRAPHY DISTRESS
achieve some sort of agreement and understanding to solve pornography distress issues. This finding also showed that despite of the absence of similar study conducted in Indonesia, the present study was successful on giving valuable information. This study also showed an interesting result in regards to religious salience variable. This particular variable actually showed significant contribution in the opposite direction compared to the initial hypothesis. It was expected that high identification to religious values might prevent women to accept their husbands’ pornography use. In other words, the higher religious salience, the higher pornography distress. This unconfirmed hypothesis might be explained by revisiting the role of religious salience in woman’s dynamic of emotion and distress while facing this issue. A couple of findings showed that religiosity can play a vital card in helping individual to be more resilient and adaptable while facing difficult situation (Van Dyke, Glenwick, Cecero, & Kim, 2009; Jang & Johnson, 2004; Marks, 2005; Roemer, 2010; Salsman & Carlson, 2005). Moreover, some findings showed that religiosity has become one of the main coping strategy for Indonesian individuals (Fathi, Nasae, & Thiangchanya, 2010; Ismail & Basuki, 2012; Safaria, Othman, &Wahab, 2010). Findings by Permatasari (2006) and Felicia (2005) also showed that one of the most popular coping strategies used by married women in Indonesia was turning to religion. With this notion in mind, we might see this present finding in
13
different light, that high religious salience may provide women to evaluate her husband pornography use more positively. Hence, she experiences lower pornography distress. Despite delivering interesting results, this study also met some limitations. One of them was low participation rate. Large number of participants (at total of 237 people) refused to continue their participation in this study. This might be explained by several factors: 1) lengthy questionnaire and 2) the nature of talking about sexuality in Indonesia, which is still considered taboo. The second limitation was generalization. Most of the samples were women with low pornography distress. This is an important matter to be addressed as these research findings may not be applicable to the more varied sample of women. The conception of sexual taboo in Indonesia may explain the low pornography distress showed by the majority of sample. It is very possible that women who agree to participate fully in this research are the ones who no longer hold negative attitude towards sexual discussion. Therefore, it seems logical if they also showed positive reactions towards their husbands’ pornography use. Third, we want to address three variables (perceived frequency of husband’s pornography use, duration of knowledge about husband’s pornography use, and exposure to sexual content from the media) which were expected to contribute significantly to pornography distress, but the research data failed to confirm this hypothesis. There are several
14
KRISTANTI & DINASTUTI
possible explanations why the first variable failed to show its contribution. Firstly, most of data (44.72%) were skewed on the lowest frequency (most participants perceived their husband pornography use to be less than once a month). This homogenous data might lower statistical power of rejecting null hypothesis. Despite this methodological limitation, it is possible that this result reflected the real relationship between perceived frequency of husband’s pornography use and pornography distress, that this variable was not a contributor to pornography distress. In this case, the heart of the problem may not lie on how frequent the pornography use is, it is actually about the honesty of partners in disclosing their habits. This notion is supported by one of this research finding that the way of finding out about husband’s pornography use significantly contributed to participants’ pornography distress, especially if this revelation came from catching husbands’ act firsthand or finding proof of their husbands’ behavior. Hence, it is possible that the perceived frequency of pornography use doesn’t play a significant role in building the problem, as long as the husbands are not being secretive about their usage. The reason why the second variable (duration of knowledge about husband’s pornography use) did not show significant contribution might also be due to the skewed data (most participants had just found out about their husbands’ pornography use) and this condition might also lower the statistical power of rejecting null hypothesis. The second possibility is related to memory bias. Asking about when
approximately did the participants find out about their husbands’ pornography use might force participants to retrieve old memories (almost half of the participants have been married for 15 years). Participants’ limitation on remembering such information might produce inaccurate data. There might also another interesting way to interpret this particular finding. The reason why this variable was included in this research model and became subject to be hypothetically tested was the notion from W. Maltz and Maltz (2009) about stages that women experienced while discovering about their partners’ pornography use. We translated these stages to the variable of duration. The idea was: if stages were seen as a reflection of women’s acceptance from time to time, then their duration of knowing about their husbands’ pornography use would also play part on their experience of pornography distress. However, this research finding raised the need of revisiting this translation. It is possible that each woman goes through these stages differently: there might be women who quickly moved between stages, but there might also be women who need longer time to move between stages. Therefore, their duration of knowing their husbands’ pornography use does not always reflect their current and advanced stages. The last variable to be discussed is exposure to sexual content from the media. This variable’s failure to show significant contribution might be explained by its measurement method. As explained before, this variable was measured by
PORNOGRAPHY DISTRESS
asking the participants to judge the degree of sexual content contained in their each of media consumption. This self-report method was actually supported by Bleakley et al. (2008), as the impact that a sexual media has on an individual is determined largely by how he/she perceived it rather than the actual content it has. However, there is a possibility that participants who frequently exposed to sexual contents had actually get used to the exposure and experience less awareness on what they receive. Without this awareness, the subjective report would no longer give an accurate description on what the participants actually perceived. Therefore, we suggest that future researcher may consider using judges in determining the degree of sexual content. To end this discussion, we would like to address one more important thing that the readers should keep in mind related to the interpretation of research findings. This research was designed from women’s point of view to capture the overall trend of pornography distress in Indonesia. While the research had been successful on its part, it had only covered one side of the story. Therefore, it is strongly suggested that future researcher would address this issue from the husband or couple’s perspective and also make use of qualitative designs to get more in-depth data.
References Badan Pusat Statistik Kota Depok (2010). Hasil sensus penduduk 2010: Data agregat per Kecamatan di Kota Depok. Depok: BPS.
15
Badan Pusat Statistik Kota Tangerang (2011). Kota Tangerang dalam angka 2011. Tangerang: BPS. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat (2010). Jawa Barat dalam angka 2010. Bandung: BPS. Bergner, R., & Bridges, A. (2002). The significance of heavy pornography involvement for romantic partners: Research and clinical implications. Journal of Sex & Marital Therapy, 28, 193-206. Bishara, A. J., & Hittner, J. B. (2012). Testing the significance of a correlation with non-normal data: Comparison of Pearson, Spearman, transformation, and resampling approaches. Psychological Methods, 17, 399-417. Blaine, B., & Crocker, J. (1995). Religiousness, race, and psychological well-being: Exploring social psychological mediators. Personality and Social Psychology Bulletin, 21(10), 1031-1041. Bleakley, A., Fishbein, M., Hennessy, M., Jordan, A., Chernin, A., & Stevens, R. (2008). Developing respondent based multi-media measures of exposure to sexual content. Common Methods of Measurement, 2(1-2), 43-64. Bridges, A., Bergner, R., & HessonMcInnis, M. (2003). Romantic partner’s use of pornography: Its significance for women. Journal of Sex and Marital Therapy, 29, 1-14. Carroll, J. L. (2010). Sexuality now: Embracing diversity (3th ed.). Belmont: Wadsworth. Cavaglion, G., & Rashty, E. (2010). Narratives of suffering among Italian
16
KRISTANTI & DINASTUTI
female partners of cybersex and cyberporn dependents. Sexual Addiction and Compulsivity, 17, 270-287. Eisenberg, N., Pidada, S., & Liew, J. (2001). The relations of regulation and negative emotionality to Indonesian children’s social functioning. Child Development, 72(6), 1747-1763. Fathi, A., Nasae, T., & Thiangchanya, P. (2010, April). Workplace stressors and coping strategies among public hospital nurses in Medan, Indonesia. Presented in International Conference of Humanities and Social Sciences, Songkhla, 10 April 2010. Felicia, J. P. (2005). Stress dan coping stress perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang tetap mempertahankan pernikahannya: Studi pada perempuan berpendidikan tinggi dan bekerja dan menjadi korban oleh suaminya. Unpublished undergraduate thesis. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Ford, J. J., Durtschi, J. A., & Franklin, D. L. (2012). Structural therapy with a couple battling pornography addiction. The American Journal of Family Therapy, 40, 336-348. Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2013). Statistics for the behavioral sciences. Belmont, CA: Wadsworth/Cengage Learning. Ismail, R. I., & Basuki, B. (2012). Coping strategies related to total stress score among post gradual medical students and residents. Health Science Journal of Indonesia, 3(2), 1-5. Jang, S. J., & Johnson, B. R. (2004). Explaining religious effects on distress
among African Americans. Journal for the Scientific Study of Religion, 43(2), 239-260. Kominfo Sebut Indonesia Pengakses Situs Porno Terbesar di Dunia (2012, 16 Juni). Seruu.com. Retrieved from http://utama.seruu.com/read/2012/06/1 6/103621/kominfo-sebut-indonesiapengakses-situs-porno-terbesar-didunia. Maltz, W., & Maltz, L. (2009). The porn trap: The essentials guide to overcoming problems caused by pornography. New York City, NY: William Morrow Paperbacks. Manning, J. C. (2006). The impact of internet pornography on marriage and the family: A review of the research. Sexual Addiction and Compulsivity, 13, 131-165. Markey, P. M., & Markey, C. N. (2012). Online pornography seeking behaviors. In Zheng, Y. (Ed.), Encyclopedia of cyber behavior. (pp. 837-847). Hershey, PA: IGI Global Snippet. Marks, L. (2005). Reljgion and bio-psychosocial health: A review and conceptual model. Journal of Religion and Health, 44, 173-186. Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224-253. Ogas, O., & Gaddam, S. (2011). A billion wicked thoughts: What the internet tells us about sexual relationships. New York City, NY: Penguin Group. Olivia, I. (2013, 28 March). Netty Heryawan Sesalkan Tingginya Pengakses Konten Pornografi. Indonesia Raya News.
PORNOGRAPHY DISTRESS
Retrieved from http://indonesiarayanews.com/news/na sional/03-28-2013-15-48/nettyheryawan-sesalkan-tingginyapengakses-konten-pornografi. Oyserman, D. (1993). The lens of personhood: Viewing the self and others in multicultural society. Journal of Personality and Social Psychology, 65(5), 993-1009. Permatasari, P. (2006). Stress dan Coping Stresspada Perempuan Hamil Pengidap HIV. Unpublished undergraduate thesis. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Pitoyo, A. (2012, 22 March). Akses Situs Porno: RI Masih Duduki Peringkat 1. Bisnis.com. Retrieved from http://archive.bisnis.com/articles/aksessitus-porno-ri-masih-duduki-peringkat1. Poulsen, F. O., Busby, D. M., & Galovan, A. M. (2013). Pornography use: Who uses it and how it is associated with couple outcomes. Journal of Sex Research, 50(1), 72-83. Provinsi DKI Jakarta Per Kab/Kota Tahun 2010. (2010). Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Retrieved from http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWV udT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9 MDQmaWQ9MTE=. Ramadhan, M. (2013, 14 January). Tekan Pornografi, Pelajar di Tangerang Dibatasi Gunakan HP. Merdeka.com. Retrieved from http://www.merdeka.com/peristiwa/teka n-pornografi-pelajar-di-tangerangdibatasi-gunakan-hp.html. Roemer, M. K. (2010). Religion and
17
psychological distress in Japan. Social Forces, 89(2), 559-583. Roviana, A. F. (2011). Perilaku seks bebas pranikah dan penggunaan media pornografi atau sexual explicit material (sem) pada mahasiswa Universitas Diponegoro. Unpublished undergraduate thesis. Universitas Diponegoro, Semarang. Safaria, T., Othman, A. B., & Wahab, M. N.A. (2010). Religious coping, job insecurity, and job stress among Javanese academic staff: A moderated regression analysis. International Journal of Psychological Studies, 2(2), 159-169. Salsman, J. M., & Carlson, C. R. (2005). Religious orientation, mature faith, and psychological distress: Elements of positive and negative associations. Journal for the Scientific Study of Religion, 44(2), 201-209. Schneider, J. P., Weiss, R., & Samenow, C. (2012). Is it really cheating? Understanding the emotional reactions and clinical treatment of spouses and partners affected by cybersex infidelity. Sexual Addiction and Compulsivity, 19, 123-139. Sebagian Besar Pengguna Internet Buka Film Porno (2013, February 18). Poskotanews.com. Retrieved from http://m.poskotanews.com/2013/02/18/ sebagian-besar-pengguna-internetbuka-film-porno/. Sessoms, J. (2011). The cyber pornography use inventory: Comparing a religious and secular sample. Unpublished master thesis. Liberty University, Lynchburg.
18
KRISTANTI & DINASTUTI
Stewart, D. N., & Szymanski, D. M. (2012). Young adult women’s reports of their male romantic partner’s pornography use as a correlate of their self-esteem, relationship quality, and sexual satisfaction. Sex Roles, 67, 257-271. Strager, S. (2003). What men watch when they watch pornography. Sexuality & Culture, 7, 50-61. Suryanto (2009, November 4). Menkominfo: Indonesia Pengakses Situs Porno Terbesar di Dunia. Antara News. Retrieved from http://www.antaranews.com/berita/1257 335727/menkominfo-indonesiapengakses-situs-porno-terbesar-dunia. Van Dyke, C. J., Glenwick, D. S., Cecero, J. J., & Kim, S. K. (2009). The relationship of religious coping and spirituality to adjustment and psychological distress in urban early adolescents. Mental Health, Religion & Culture, 12(4), 369-383. Ward, L. M., & Friedman, K. (2006). Using TV as guide: Associations between television viewing and adolescents’ sexual attitudes and behavior. Journal of Research on Adolescence, 16(1), 133-156. Zitzman, S. T., & Butler, M. H. (2009). Wives’ experience of husbands’ pornography use and concomitant deception as an attachment threat in the adult pair-bond relationship. Sexual Addiction and Compulsivity, 16, 210240.
Alamat surel:
[email protected];
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia ‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 2017, Vol. XII, No. 1, 19-30, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
19
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO INCREASE TEACHERS’ SELF EFFICACY IN TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS (PROGRAM PELATIHAN GURU ‘AKTIF’ UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS GURU DALAM MENGAJAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) Amitya Kumara, Dian Mufitasari, Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia The purpose of this research is to examine the effectiveness of AKTIF Teacher training program to increase the teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. Untreated Control Group Design with Dependent pre-test and post-test sample method was used. 17 teachers were selected through purposive sampling method as experiment group and 5 teachers as control group. One-Way ANOVA test showed the three methods (case discussion, roleplay, and simulation) indicatedno fundamental difference in improving self-efficacy (F = 2.852, p = .091). Data analysis using the Mann Whitney U Test showed that the case discussion method significantly increased self-efficacy (z case discussion = -2.410, p = .016; z simulation = 0.754, p = .451; z role play = -1.916, p = .055). Wilcoxon-signed rank test showed that case discussion (p = 0.043) and roleplay (p = 0.035) were significant to improve self-efficacy, as opposed to simulation method which was not (p = 0.063).
Keywords: teacher training program, children with special needs, teacher’s self efficacy
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program pelatihan Guru AKTIF (Asih Kreatif Terampil InspiratiF) guna meningkatkan efikasi diri guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Desain penelitian menggunakan metode untreated control group with dependent pre-test and post-test. Subjek penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling melibatkan 17 guru sebagai kelompok eksperimen dan 5 guru sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan uji One Way ANOVA diketahui bahwa diantara ketiga metode (diskusi kasus, roleplay, dan simulasi), tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan efikasi diri (F = 2.852, p = .091). Hasil uji statistika dengan Mann Whitney U Test menunjukkan metode diskusi kasus signifikan meningkatkan efikasi diri (z diskusi kasus = -2,410, p = 0,016; z simulasi = -0,754, p = 0,451, z role play = -1,916, p = 0,055). Uji Wilcoxon signed rank menunjukkan metode diskusi kasus (p = 0,043) dan role play (0,035) signifikan meningkatkan efikasi diri. Sedangkan metode simulasi tidak signifikan untuk meningkatkan efikasi diri guru (p = 0,063).
Kata kunci: pelatihan guru, anak berkebutuhan khusus, efikasi diri guru
19
20
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
Survey results from a research about Children with Special Needs in Gunungkidul DIY performed by Kumara (2015) showed that during the four years of implementation of inclusive education (2011-2015), continuous training for teachers was still underdeveloped. Only 1 to 2 persons from each school were ever trained about the basic of inclusive education and how to attend to children with special needs. Teachers with seminars and workshops experiences still encountered problems in understanding the training materials, and therefore impeding the implementation of said system. Teachers were not confident enough of their ability, for the training was not continual and was limited. In addition to that, seminars and workshops they ever attended only covered the pedagogical side of their job, but overlooked the psychological one. This speaks about how the seminars and workshops were lacking both in quantity and quality. The lack of knowledge and skills of the staff and its inclusion makes teachers feel less able to teach children with special needs. Teachers are considered to have low self-efficacy. Regular school teachers feel they have difficulty in meeting the needs of students with special circumstances although they have been supported with a special education program. Gallis and Tanner (1995) stated that regular teachers usually have low confidence in their ability to implement inclusive education system in regular classrooms. Research conducted by Hofman and Kilimo (2014) later also
discovered that teachers faced many problems in implementing inclusive education, especially in dealing with students of various disabilities, shortage of teaching and learning materials, inadequate training, and unfavorable working environment. Teachers with low self-efficacy tend to face more problems in implementing inclusive education compared to teachers with high selfefficacy. Clearly, self-efficacy is a variable that is consistently correlated with positive teaching and student learning outcomes (Penrose, Perry, & Ball, 2007). The statement was further reinforced by Logan and Wimer (2012) who found that the factor of belief in the ability of teaching children with special needs has a significant effect on teachers’ attitude towards inclusive education. The concept of self-efficacy was initially developed by Bandura (1997) as a part of social cognitive theory. Bandura’s self-efficacy is based on one’s belief about his or her abilities that affects confidence in completing tasks as well as in performing optimally. In terms of educational setting, teachers’ self-efficacy will affect the students’ learning outcome in a positive way. This affirms the importance of studying the concept of self-efficacy of teachers as it has direct impact on the implementation of inclusive education at school. Research conducted by Hofman & Kilimo (2014) found that teachers who have low self-efficacy face more problems in implementing inclusive education. Teachers’ self-efficacy becomes a very important factor in education, both in general education system and the inclusive one. It influences how teachers teach
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
students, how they conduct classroom management, and get everyone in the classroom involved. It also affects student achievement in the classroom.Teachers with high self-efficacy can affect into increased motivation, self-esteem, selfdirection, and positive attitudes toward school. According to Hofman and Kilimo (2014), teachers with high level of selfefficacy are as follows: (a) Able to use teaching methods adequately to promote independence of students with special needs; (b) Equipped with adequate classroom management skills and are able to handle problems in class; (c) Innovative; and (d) Able to get all students engaged in classroom activities. A study done by Bandura (TschannenMoran & Hoy, 2001) revealed three aspects of teachers’ self-efficacy: a. Student engagement It refers to how confident teachers feel in establishing relationship with students, including motivating and resolving students’ issues. Some of the indicators shown are signs of friendliness towards students, helping them overcome problems, and knowing the way to face difficult students. b. Instructional strategies. This refers to how teachers believe in their ability to help students score academic achievement. The indicators are: (1)the presence of confidence in addressing questions from the students, (2)possessing a comprehensive approach in explaining study materials, and (3) being well-informed about students’ level of understanding. c. Classroom management.
21
It refers to teachers’ competency in managing the class in a purposeful and orderly way. The indicators are: (1) teachers are able to handle problems that arise in the classroom and ensure the teaching plan is implemented well. This study developed a teacher training program called AKTIF, an acronym for Asih Kreatif Terampil Inspiratif” (Caring, Creative, Skillful, Inspirative). This program was manifested into a training that did not only cover the pedagogical side, but also the psychological one. This training module was modified from Teacher Effectiveness Training (TET), a moduledeveloped by Gordon (1986) and the Teacher Training in Handling Children with Special Needs module compiled by Haifani (2011). Based on TET, there are six skills that should be delivered by teachers: being open, active listening, observing and identifying problems, confrontation, resolving conflicts of values, and problem-solving. The materials of the training consist of inclusive education, basic knowledge and identification of children with special needs, as well as various teaching strategies. This program was given to inclusive elementary school teachers who had no previous training experience in related field and organized by the Department of Education in Gunungkidul. Specification in elementary school teachers was brought out on these following reasons; (a) teachers tend to occupy morenegative perspectives when they teach children with special needs compared to adolescents with the same situation (Hastings &Oakford, 2003), (b) teaching children require more interaction and more intense help (Ratcliff, 2009), and
22
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
(c) teachers need more varied instructional strategies to teach elementary school children with special needs compared to ones in the secondary education level (Cipkin & Rizza, 2000). The basic theory used in producing Teacher Effectiveness Training module by Thomas Gordon (1986) is one belonging to Carl Rogers. Carl Roger’s theory of learning is one among other humanistic learning theories that emphasizes mutual respect and no prejudice in helping people to tackle life problems. Rogers (Schunk, 2012) also said that a teacher needs to pay attention to the class atmosphere by way of emotional approach to the students. A teacher must be responsive to the needs of students, in terms of both learning materials and the emotional needs. Teachers should also create a comfortable learning environment so that students feel comfortable in class. According to Rogers, a teacher should also have a congruent attitude, unconditional acceptance, and empathy. The AKTIF teacher training programused experiential learning approach. According to Beard & Wilson (2006), experiential learning is a process in which it involves active engagement between one and outside environment. Experiential learning was conceptualized by Kolb (1984) and contains five cycles of learning: experiencing, publishing, processing, generalizing, and applying. The AKTIF program is divided into three delivery methods, there are role play method, case discussion method, and simulation methods. Guru AKTIF program will be given at 4 inclusive primary schools
that have been designated as samples on the coast. Through the case method, the teacher will be honed to get an overview of the case and the solution (Gibson, 1998); Bridging the gap between theory and practice and develop the skills of reflection and analysis (Darling-Hammond, 2006); and explore and apply new ideas and solutions under the supervision of professionals (Lengyel & Vernon-Dotson, 2010). Kauffman (2005) also confirmed that the case method allows learners to understand the material more vividly by assessing the real situation rather than just by reading textbooks. Roleplay methods help teachers to produce a different perspective about things to develop empathy (Fry, Ketteridge, & Marshall, 1999). Learners will acquire direct experience, participate actively and associate experiences so that it can be categorized as a constructive way of learning (Joyner & Young, 2006). As such, an active and constructive learning process will be more memorable than apassive one. By doing role plays, learners can create a new attitude in accordance with the interpretation of the experience that they feel (Sotto, 2007). Role play also proves useful to prepare teachers in addressing learning problems in class (Crow & Nelson, 2014). Simulation method has been proven to help teachers engage more actively, as if they are living the experience for real. According to Pant (2009), the advantages of using simulation method in training are as follows; (1) it allows real life interaction, social processes and behaviors in situations that are relatively non-
23
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
threatening, (2) it allows for complex social processes to be experienced and understood throughout the learning process, (3) it is completely dependent upon individual’slearning ability, (4) it involves universal participation, (5) the learning takes place at the level of consciousness. Case discussions, role play and simulations are all part of the experiential learning method that allows individuals to be actively involved in the learning process (Kolb, 1984). In the study, individuals receive information or experience (experiencing) on inclusive education and children with special needs through case discussions, role play, and then share their simulated experiences. Individuals then publish what they have been given to other participants. Individual review the experience (processing) and then make an abstract of the experience and draw conclusions (generalizing) regarding inclusive education and teaching children with special needs. Individuals become more knowledgeable and confidence (selfefficacy). The last cycle involves individuals to apply this knowledge to the real world (applying). The self-efficacy of each teacher increased while teaching students with special needs. The objective of this umbrella research isto examine the effectivenessof AKTIFteacher training programto improve teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. The research held in inclusive primary schools in the coastal areas of Gunungkidul. The major hypothesis proposed by this research is that the AKTIF program significantly
increases teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. While the minor hypotheses proposed by this research are: (1) Role-play method works significantly to improve the teachers’ self efficacy in teaching children with special needs; (2) Case-based method works significantly to improve the teachers’ efficacy in teaching children with special needs; and (3) Simulation method works significantly increases the efficacy of teachers in teaching children with special needs.
Methods Participants and Design The independent variable in the study is AKTIF teacher training program, while teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs serves as the dependent variable. The study consists of three stages: research preparation, preparation of modules and implementation of pilot research module. Experimental method Untreated Control Group Design with Dependent PreTest and Post-Test Samples design was applied as shown in the Diagram 1. A total of 32 inclusive elementary school teachers around Purwosari were invited to attend the training. Participants were divided into three experimental groups, and each group was subjected to three alternate delivery methods which were case discussion method, role play method, and simulation method. There were 5 others placed into a control group and were not given any treatment. Criteria
24
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
for research subjects include some of the following: (1) Regular teachers from inclusive elementary schools around Purwosari and Panggang Gunungkidul, and (2) Homeroom teachers or subject teachers in the elementary schools The program was held for two consecutive days and delivered by trainers with the following qualifications: (1) Psychologist, (2) Experienced in inclusive education and issues alike, and (3) Have good communication skills in Indonesian& Javanese language. Measurement and Procedure Research instruments: First, Basic knowledge inventory for teachers. It refers to an inventory used to measure the extent of the accuracy of teachers in responding to information obtained during the training about inclusive education and children with special needs. This test was a modification of the knowledge test prepared byHaifani (2011), consistingof 18 itemswith item discrimination index rangingfrom0.407 to 0.848 and item difficulty index rangingfrom 0.320 to 0.973. Second, Teachers’ Self-Efficacy inventory. The said scale used in this study derived from Krisnindita (2013). The selfefficacy scale was adapted from Teacher’s Sense of Efficacy Scale that originally belonged to Tschannen-Moran & Hoy (2001) based on Bandura’s theory of selfefficacy. Teachers’ self-efficacy in dealing with students include three aspects, namely student engagement, instructional strategies, and classroom management. The scale consists of 32 statements with 19 favorable itemsand 13 unfavorable items.
Favorable items were weighed 0-3, as were the unfavorable ones. The scale of teacher efficacy obtained alpha reliability coefficient of 0.893. This umbrella research consists of three studies with three different methods program that are AKTIF Teacher Training with case discussion method, role play, and simulation. Each research data from all three studies will be analyzed using Mann Whitney and Wilcoxong Signed Rank analysis. After which, the data analysis of this research umbrella will be analyzed quantitatively using analysis of variance F Test. F-test analysis is used to compare scores obtained by the three research groups, which are groups who received training using case discussion method, role play, and simulation. Then, based on the statistical analysis result, we can acquire the most proven effective method in increasing teachers’ self efficacy when teaching students with special needs.
Results The AKTIF program for experimental group was held on Thursday and Friday (34 December 2015). Thirty two participants were invited to attend the training, but only 28 attended it. On the second day of the training, participants were divided into three groups randomly. Each group consisted of 9-10 participants.Within the group of case discussion method, the number of participants who stayed until the end of training was five in total, with four participants disqualified for permission to leave early with a variety of reasons. Meanwhile, in the simulation group, only
25
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
Diagram 1. Research Design Notes: NR O1 X O2
: Non Random Assignment; : Teachers’ self-efficacy before training : AKTIF training : Teachers’ self-efficacy after training PRE TEST
Graphic 1. Changes of Self-Efficacy Score in Case Discussion Group Pre‐Test Post‐Test
Graphic 2. Changes of Self-Efficacy Score in Role Play Group
pretes postes
four out of nineGraphic people stayed throughout 3. Changes of Self-Efficacy Score in Simulation Group
26
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
the two days training. There was no absenteeism found in the role play group. Through normality test, it was safe to say that all data gathered from three groups had a normal distribution (z casediscussion = -0.468; p = 0.981, z role play = 0.579; p = 0.890, and z simulation = 0.614; p = 0.846). Advanced data analysis was brought out by F-test to find outthe differences between the three experimental groups. Based One Way ANOVA test, the three methods did not share any significant differences in improving self-efficacy (F = 2.852, p = 0.091 by 0.091 > 0.05 ). The Mann Whitney U test compared the score of pre-test and post-test, later revealing a higher increase in self-efficacy in the case discussion experimental group compared to the control group (z = -2.410, p = 0.016), while participants that were trained with simulation method did not exhibit any escalation in self-efficacy between the experimental group and the control group (z = -0.754, p = 0,451 with 0.451 > 0.05). Likewise, participants who received training with roleplay method also shared similar outcome (z = -1.916, p = 0.055, with 0.055 > 0.05). This evidence confirms the minor hypothesis which states that case discussion method significantly increases teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. Two other hypotheses were adverse and therefore to be denied. Further tests with Wilcoxon Signed Rank were conducted to examine the differences in the level of self-efficacy of teachers before and after training in each group. The simulation method was reported to be less significant in improving self-
efficacy compared to case discussion and roleplay method. The value of case discussion method added up to z = -2.023, p = 0.043 (0.043 < 0.05), role play method was of z = -2.103 and p = 0.035 (0.035 < 0.05). On the other hand, the simulation method obtained a value of only z = -1.857 and p = 0.063 (0.063 > 0.05). Significant changes of self-efficacy score took place within the experimental group with case discussion method. All participants showed a maximum increase of self-efficacy score (100%) as shown by the Graphic 1, both before and after training. The Graphic 2 comparison of the pretest and posttest scores of trainee with role play method showed a significant change. The number of participants whoactively displayedan increase in selfefficacy was five out of eight (62.5%). The mean obtained on the pretest was 94, while that of the posttest was 103. Self efficacy score of participants using the simulation method showed insignificant difference (Graphic 3). All participants experienced a decrease in self efficacy score before and after training. Based on observation, decrease in the score was caused by uncondusive environment during post-test. Subjects seemed to conduct the self efficacy scale hastily because participants of other groups have finished training. A condusive training delivery affects the training result. There was no significant difference of self-efficacy scores from the simulation group. All participants exhibited a decline in self-efficacy scores before and after the training. A couple of external factors were
27
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
suspected as the cause, such as unconducive atmosphere that occurred during the post-test and the likes. This study highlights the importance of conducting research on self-efficacy of inclusive primary school teachers, especially in the coastal areas of Gunungkidul. The results showed there was no significant difference between the three methods in terms of increasing selfefficacy (F = 2.852, p = 0.091 (0.091 > 0.05). One among other possible reasons behind this was because the training materials that were delivered to the participants in all three groups were the same. The difference lied only in the delivery methods. Further analysis using the Wilcoxon Signed Rank indicated that case discussion method could significantly increase self-efficacy in the experimental group (z = -2.023, p = 0.043 (0.043 < 0.05). The level of self-efficacy on the subjects that belonged to the case discussion group increased after training in comparison with subjects in the control group (z = -2.410, p = 0.016 (0.016 < 0.05). Role play method was known to increase self-efficacy in the experimental group (z = -2.103, p = 0.035 (0.035 <0.05), but the increase in efficacy itself was quite insignificant compared to the control group (z = -1.916, p = 0.055, with 0.055 > 0.05). Simulation method was found to be effective in improving selfefficacy in the experimental group (z = 1.857 and p = 0.063 (0.063 > 0.05), and there was no increase in self-efficacy when compared with the control group (z = 0.754, p = 0.451, 0.451 > 0.05). Based on these results, we can conclude that case discussion is the most effective method to
increase self-efficacy.
Discussion The finding about the effectiveness of case discussion method was in line with that of Lengyel and Vernon-Dotson (2010), which revealed that the use of methods based on case provided an opportunity for learners to engage in discussion and receivefeedback, further developing their collaborative skills as professional teachers. Individuals were also trained to understand the concept of a case through understanding the alternatives and a variety of assumptions. Moreover, case discussion method also helps the development of the disposition of teachers to understand inclusive education better and improve their knowledge about theneeds of students with disability. The increased knowledge of teachers regarding students with special needs will simultaneously affect their confidence in teaching. Pendergast, Garvis, and Keogh (2011), also highlighted some key points in the development of teachers’ self-efficacy which were mastery experience, vicarious experience, verbal feedback and emotional support. Through case discussions, teachers were allowed some space to gain experience that would help them successfully interact with children with special needs and at the same time boost their confidence. The results of training with simulation methods and role play were not significant due to several factors, just like the study done by Sanjeevkumar&Yanan (2011); suggesting several factors that might affect
28
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
the effectiveness of training that come from both internal and external factors. Most participants seemed to be in a hurry and the condition at the end of training was already far from conducive. Internal factors consist of personal characteristics of the trainees, namely age, gender, educational level, cognitive abilities, learning styles, and other psychological characteristics such as confidence in the ability already possessed. External factors consist of circumstances beyond the control of individuals such as environmental conditions (conducive or boisterous), training facilities (refreshment, training aids), and training materials. According to observational result, almost all subjects in each group showed enthusiasm and were passionate during the training. However, self-efficacy score declined in the simulation method group as a result from the no-more conducive situation near the end of training. Participants were doing self-efficacy scale hastily asit was getting late and people in other groups had completed the whole training. Logan and Wimer (2013) found that the belief on the ability in teaching children with special needs had a significant effect on the attitudes of teachers about inclusive education. Teachers with high self-efficacy would be able to increase pupils’ motivation, self-esteem, self-direction, and positive attitudes toward school. In addition, according to Hofman and Kilimo (2014) teachers equipped with high self-efficacy would be adequate in using variedteaching methods to alleviate the independence of students with special needs, able to manage class amiably, handleproblems in the classroom, implement didactic
innovations in class, and encourage students to do their tasks. All being said, training modules delivered by means of case discussion method can be used to train teachers of inclusive schools that require increased efficacy in teaching children with special needs. The stronger sense of self-efficacy a teacher has, the more effectivethe implementation of inclusive education will be.
Conclusion and Suggestion The results showed that among the three methods of case discussions, role plays and simulations, there was no significant difference in increasing selfefficacy. However, the three different groups have proven that the case discussion is the most effective method to increase self-efficacy than the method of simulation and role play. Based on the results of the research and discussion, a couple of advices that can be listed down are: First, for Psychologists: Case discussion method can be used as a way to improve selfefficacy of teachers in teaching children with special needs in inclusive schools. The use of the training modules of course needs to be adapted beforehand to the respective conditions of participants and be improved based on criticism and advice given after the study has been carried out. Second, for Inclusive Elementary School Teachers (Trainees): The trainees are expected to apply their knowledge and skills in dealing with children with special needs that have been acquired during the training consistently and continuously.
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
Implications for forthcoming researchers: (a) Implementation of training for future researchers should be carried out with the same time discipline among the three methods so that a constructive atmosphere could be easily managed within three places, (b) Researchers also need to further consider personal characteristics of participants such as age gap, (c) The training module should better undergo some adjustment in accordance with the criticism and advice given after the implementation of this study.
References Bandura, A. (1997). Self efficacy: The exercise of control. New York: W.H Freeman and Company Beard, C., & Wilson, J. P. (2006). Experiential learning: A best practice handbook for educators and trainers (2nd ed.). London: Thomson-Shore, Inc. Cipkin, G., & Rizza, F. (2000). The attitude of teacher on inclusion. Retrieved from https://www.researchgate.net/publicatio n/260302863_THE_ATTITUDE_OF_T EACHERS_ON_INCLUSION Crow, M. L., & Nelson, L. P. (2014). Do active-learning strategies improve students’ critical thinking? Do activelearning strategies improve students’ critical thinking?. Higher Education Studies, 4(2), 77-90. Darling-Hammond, L. (2006). Powerful teacher education: Lessons from exemplary programs. San Francisco: Jossey-Bass
29
Fry, H., Ketteridge, S., & Marshall, S. (1999). A handbook for teaching and learning in higher education: Enhancing academic practice (2nd ed.). London: RoutledgeFalmer Galis, S. A., & Tanner, C.K. (1995). Inclusion in elementary school: A survey and policy analysis. Education Analysis Archieve, 3(15), 1-24. Gibson, J. T. (1998). Discussion teaching through case methods. Education, 118(3), 345-348. Gordon, T. (1986). Guru yang efektif (translated). Jakarta: Penerbit Rajawali Haifani, A. (2011). Pengaruh pelatihan “Guru peduli anak berkebutuhan khusus (ABK)” pada pengetahuan dan sikap penerimaan guru terhadap anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi. (Unpublished thesis), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Hastings R. P., & Oakford, S. (2003). Student teachers’ attitudes towards the inclusion of children with special needs. Educational Psychology, 23(1), 87-94. Hofman, R. H., & Kilimo, J. S. (2014). Teachers’ attitudes and self efficacy towards inclusion of pupils with disabilities in Tanzanian schools. Journal of Education and Training, 1(2), 177-198. Joyner, B., & Young, L. (2006). Teaching medical students using role play: Twelve tips for successful role plays. Medical Teacher, 28(3), 225-229. Kauffman, J. M. (2005). Cases in emotional and behavioral disorders of children and youth. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
30
KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice Hall Krisnindita, R. W. (2013). Program “teacher effectiveness training” untuk meningkatkan efikasi guru (Unpublished thesis). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Kumara, A. (2015). Survey kebutuhan pendampingan anak berkebutuhan khusus di pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta (Unpublished article). Yayasan Edukasi Anak Nusantara, Yogyakarta, Indonesia. Lengyel, L., & Vernon-Dotson, L. (2010). Preparing special education teacher candidates: extending case method to practice. Teacher Education and Special Education, 33(3), 248-256. doi:10.1177/0888406409357371. Logan, B. E., & Wimer, G. (2012). Tracing inclusion: determining teacher attitudes. Research in Higher Education Journal. Pant, M. (2009). Participatory training methodology and materials. Participatory Adult Learning, Documentation and Information Networking (PALDIN). UNESCO. Retrieved from http://www.unesco.org/education/aladin /paldin/pdf/course_01.pdf Pendergast, D., Garvis, S., & Keogh, J. (2011). Pre-service student-teacher self-efficacy beliefs: an insight into the making of teachers. Australian Journal of Teacher Education, 36(12), 46-58. Penrose, A., Perry, C., & Ball, I. (2007). Emotional intelligence and teacher self
efficacy: the contribution of teacher status and length of experience. Journal of Educational Psychology, 17(1). 100-125 Ratcliff, O. Y. M. (2009). Voices of classrooms managers: their realities of full inclusion. Electronic journal for inclusive education, 2(4), Art.6, 1-15. Sanjeevkumar, V., & Yanan, Hu. (2011). A study on training factors and its impact on training effectiveness in kedah state development corporation. International Journal of Human Resource Studies, 1(2), 136-156. doi:10.5296/ijhrs.v1i2.1130 Schunk, D. H. (2011). Learning Theories: An Educational Perspectives Sixth Edition. Boston: Pearson Education Inc. Sotto, E. (2007). When teaching becomes learning: A theory and practice of teaching. London: Continuum. Tschannen-Moran, M., & Hoy, A. W. (2001). Teacher efficacy: Capturing an elusive construct. Teaching and Teacher Education, 17, 783-805.
Alamat surel:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia EFEKTIVITAS CBT 2017, Vol. XII, No. 1, 31-40, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
31
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK DEWASA MUDA DENGAN ACROPHOBIA (THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY FOR YOUNG ADULTS WITH ACROPHOBIA) Garvin1, Monty Satiadarma2, dan Denrich Suryadi2 1
2
Universitas Bunda Mulia Universitas Tarumanagara
Acrophobia is one of anxiety disorders characterized by irrational fear and anxiety, resulting in the impedance of one's daily activity. The fear and anxiety are based on irrational thoughts and appear in behavior, so Cognitive Behavior Therapy is believed to be effective in treating acrophobia. The study involves three participants in the young adult stage. Each of the participants underwent seven sessions, consist of functional analysis, understanding irrational belief, cognitive restructuring, systematic desensitization, and in vivo exposure. Pretest-posttest design was used in this research, using measurement of heart rate for quantitative data and observation for qualitative data. The heart rate measurement was used and observation was conducted before and after intervention, when the subject was dealing with height phobia. The result of paired sample t-test showed that there was a significant decrease in heart rate when subject was exposed back to the height after therapy. Through observation, researchers found changes in behavior when dealing with fear of height after participating the therapy sessions.
Keywords: acrophobia, cognitive behavior therapy, young adult
Acrophobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut dan kecemasan yang tidak beralasan terhadap ketinggian sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan tersebut didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan muncul dalam bentuk perilaku, sehingga diprediksi Cognitive Behavior Therapy efektif untuk menangani acrophobia. Penelitian melibatkan tiga partisipan yang berada pada tahap usia dewasa muda. Masing-masing dari partisipan menjalani tujuh sesi terapi, terdiri dari functional analysis, memahami irrational belief, restrukturisasi kognitif, systematic desensitization, dan in vivo exposure. Desain yang digunakan adalah pretest-posttest design, menggunakan data kuantatif melalui pengukuran denyut jantung dan data kualitatif melalui observasi. Pengukuran denyut jantung dan observasi dilakukan sebelum dan sesudah menjalani intervensi, saat subjek berhadapan dengan objek ketinggian. Hasil paired sample t-test menunjukkan bahwa adanya penurunan denyut jantung yang signifikan ketika subjek dihadapkan kembali pada ketinggian setelah mendapatkan terapi. Melalui observasi, ditemukan juga adanya perubahan perilaku pada ketiga subjek terhadap objek ketinggian setelah melalui terapi.
Kata kunci: acrophobia, cognitive behavior therapy, dewasa muda
31
32
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Specific phobia merupakan salah satu gangguan psikologis yang memiliki prevalensi paling lebar dalam kehidupan manusia (Depla, Have, Balkom, & Graaf; 2008). Data menggambarkan bahwa sekitar 12% dari populasi dunia memiliki specific phobia (Taylor & Vaidya, 2009). Penderita specific phobia merasakan kecemasan yang intens ketika harus menghadapi objek fobia tersebut, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka terkadang harus berhadapan dengan objek tersebut sehingga membuat penderita specific phobia harus menjauhkan diri atau bahkan melarikan diri dari objek fobia tersebut (Halgin & Whitbourne, 2009). Bahkan, penderita fobia juga merasakan kecemasan yang intens dan cepat ketika mereka juga mempercayai bahwa ada kemungkinan mereka akan menghadapi objek fobia tersebut (Nolen-Hoeksema, 2004). Williams (2003) menyatakan bahwa penderita phobia sebenarnya secara logis mengetahui bahwa situasi objek tersebut tidak akan menyakiti, namun rasa kecemasan tersebut tetap muncul. Kring, Johnson, Davison, dan Neale (2010) menyatakan bahwa terkadang specific phobia dapat mengganggu tujuan hidup seseorang. Hal ini dikarenakan penderita specific phobia akan berusaha untuk menghindari atau bahkan melarikan diri dari objek yang ditakuti dengan kecemasan yang intens (Halgin & Whitbourne, 2009). Sebagian besar penderita specific phobia tidak mencari penanganan fobia atau tidak mendapatkan penanganan yang efektif (Adler & CookNobles, 2011). Salah satu specific phobia yang umum
dimiliki oleh individu adalah fobia ketinggian atau acrophobia (Taylor & Vaidya, 2009). Depla et al (2008) menemukan bahwa acrophobia merupakan specific phobia dengan prevalensi paling lebar. Penderita acrophobia merasakan kecemasan dan ketakutan terhadap lingkungan yang berkaitan dengan ketinggian, termasuk tangga, teras balkon, apartemen, dan kantor yang berlokasi di gedung-gedung tinggi, dan terkadang juga termasuk jembatan dan lift (Coelho & Wallis, 2010). Pada individu dewasa awal, beberapa tugas perkembangan yang penting adalah bekerja dan menjalin relasi dengan orang lain (Kail & Cavanaugh, 2010; Papalia & Feldman, 2012). Tugas-tugas perkembangan tersebut, dapat terganggu jika seseorang mengalami phobia. Bourne dan Garano (2003) menyatakan bahwa rasa takut dan kecemasan pada phobia cukup kuat untuk menganggu rutinitas normal, pekerjaan, atau relasi dan menyebabkan distress yang signifikan. Individu dengan acrophobia, jika dipertemukan dengan ketinggian, akan berusaha menghindar dengan kecemasan tinggi. Namun, dalam kehidupan saat ini, sulit untuk menghindari aktivitas yang berkaitan dengan ketinggian. Hal ini tentu menyulitkan individu dengan acrophobia untuk melakukan beberapa aktivitas yang terkait dengan ketinggian, seperti menumpangi pesawat untuk kepentingan pekerjaan, menaiki lift, bekerja pada kantor dalam gedung tinggi, atau hanya sekadar menyeberangi jembatan yang tinggi. Hal ini bisa menyebabkan distress. Tentu saja, diperlukan penanganan untuk acrophobia
33
EFEKTIVITAS CBT
agar individu dapat melakukan aktivitasaktivitas tersebut tanpa harus melewati kecemasan yang intens. Terdapat beberapa penanganan untuk acrophobia. Studi menemukan bahwa virtual reality exposure, yakni mengajak penyandang fobia untuk berhadapan dengan objek fobia dalam kehidupan nyata, mampu mengatasi acrophobia. (Coelho, Santos, Silverio, & Silva; 2006; Quervain et al., 2010; Emmelkamp, Bruynzeel, Drost, & Der Mast 2001). Selain psikoterapi, terapi fisik yakni vestibular physical therapy juga ditemukan mampu mengatasi acrophobia yang terkait dengan vertigo (Whitney et al., 2005). Antony dan Barlow (dalam Kring et al (2010) menemukan bahwa exposure therapy lebih efektif dibandingkan dengan cognitive therapy. Wilding dan Milne (2008) berpendapat bahwa cognitive behavior therapy dapat memberikan hasil untuk specific phobia. Adler dan Cook-Nobles (2011) menemukan bahwa penanganan spesific phobia dengan cognitivebehavioral therapy dengan penekanan pada in vivo exposure memberikan hasil yang efektif. Cognitive-behavioral therapy efektif dalam menangani specific phobia karena selain mengubah pemikiran individu terhadap objek fobia, juga mengubah perilaku individu jika terpapar oleh objek fobia tersebut. Hal ini dikarenakan cognitive-behavioral therapy mengatasi kognisi dan perilaku individu. Asumsi dasar CBT adalah perilaku didasari oleh pikiran (Hofmann, Asnaani, Vonk, Sawyer, & Fang, 2012; Sudak, 2006). Namun, hingga saat ini, penulis belum menemukan penelitian yang meneliti efektivitas cognitive behavior
therapy terhadap acrophobia pada dewasa muda di Indonesia. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian berjudul “Efektivitas Cognitive Behavior Therapy untuk Dewasa Muda dengan Acrophobia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas penerapan cognitive behavior therapy dalam mengatasi acrophobia pada dewasa muda.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Pada data kuantitatif, teknik analisis yang digunakan adalah paired sample t-test. Kriteria dari subjek penelitian ini adalah berusia 20-40 tahun (masa dewasa muda) dan menyandang acrophobia. Tidak ada pembatasan jenis kelamin, suku budaya, maupun agama dalam penentuan subjek penelitian. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Pengukuran kecemasan pada subjek acrophobia dilakukan dengan mengukur denyut jantung, menggunakan alat Omron. Peneliti juga melakukan observasi terhadap perilaku subyek ketika dihadapkan dengan objek ketinggian. Pengukuran dan observasi dilakukan sebelum dan sesudah pemberian intervensi (pre-test dan posttest) agar peneliti bisa melihat efektivitas dari intervensi yang diberikan kepada subjek. Intervensi yang digunakan adalah cognitive behavior therapy, yang diberikan dalam 7 sesi, dengan rincian sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
34
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Tabel 1 Rincian Rancangan Intervensi Pertemuan Rancangan Kegiatan Initial interview Perkenalan dan penjelasan mengenai penelitian yang peneliti lakukan, identifikasi keluhan, konfirmasi komitmen untuk (screening) berpartisipasi dalam penelitian. Sesi 1
Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6 Sesi 7
Pre-test dengan pengukuran denyut jantung untuk mengukur kecemasan, penjelasan rancangan terapi kepada partispan, psikoedukasi mengenai CBT dan fobia. Analisis fungsional Relaksasi Memahami irrational beliefs Systematic desensitization, cognitive restructuring In-vivo exposure, cognitive restructuring Post-test, terminasi
Tabel 2 Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada IH
Situasi yang Memunculkan Acrophobia Membayangkan berada di dalam gedung tinggi dan memandang dari jendela Melihat pemandangan dari jendela gedung lantai 5 Melihat pemandangan dari jendela gedung lantai 7 Melihat pemandangan dari jendela gedung lantai 9 Melihat pemandangan dari jendela gedung lantai 11 Melihat pemandangan dari jendela gedung lantai 13
Jumlah Denyut Jantung Sebelum Intervensi 93 kali/menit
Jumlah Denyut Jantung Setelah Intervensi 80 kali/menit
102 kali/menit
88 kali/menit
98 kali/menit
83 kali/menit
102 kali/menit
86 kali/menit
124 kali/menit
93 kali/menit
128 kali/menit
91 kali/menit
Tabel 3 Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DO
Situasi yang Memunculkan Acrophobia Membayangkan berada di tepi gedung mall lantai 5 dan melihat ke bawah Melihat pemandangan lantai dasar mall dari tepi mall lantai 3 Melihat pemandangan lantai dasar mall dari tepi mall lantai 4 Melihat pemandangan lantai dasar mall dariInitial tepi mallinterview lantai 5 bertujuan untuk
Jumlah Denyut Jantung Sebelum Intervensi 96 kali/menit
Jumlah Denyut Jantung Setelah Intervensi 73 kali/menit
92 kali/menit
72 kali/menit
96 kali/menit
74 kali/menit
98 kali/menit
75 kali/menit
EFEKTIVITAS CBT
melakukan screening. Pada sesi ini, calon subjek akan menjalani wawancara, observasi, serta psikotes. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, mengenai acrophobia serta keluhankeluhan yang terjadi akibat acrophobia tersebut, guna memastikan peneliti bahwa calon subjek memang benar mengalami masalah acrophobia. Melalui tahapan ini, terpilihlah 3 subjek yang memenuhi kriteria. Partisipan penelitian berjumlah 3 orang. Subjek 1 berusia 23 tahun dengan keluhan acrophobia, sehingga merasakan kecemasan yang berlebih ketika menaiki eskalator di dalam pusat perbelanjaan dan menaiki pesawat terbang. Subjek 2 berusia 25 tahun datang dengan keluhan mengalami acrophobia sehingga selalu menghindari ketinggian, termasuk ketika harus berada di pusat perbelanjaan dengan jumlah lantai banyak maupun menyeberangi jembatan. Subjek 3 berusia 36 tahun, datang dengan keluhan acrophobia sehingga sering mengalami kecemasan berlebihan dan menghindari berada di ujung ruangan ketika harus berada di dalam gedung tinggi. Subjek 1 berinisial IH, seorang laki-laki berusia 23 tahun. Saat ini menetap di rumah orang tuanya di daerah Serpong, beragama Katolik, dan bersuku Jawa, dengan pendidikan terakhir S1 Akuntansi. Saat ini IH belum menikah. Ia merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya saat ini berusia 47 tahun dan bekerja sebagai karyawan swasta, sedangkan ibunya berusia 43 tahun dan saat ini beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Saat ini, IH baru menyelesaikan pendidikan sarjananya dan sedang mencari pekerjaan.
35
IH mengaku pertama kali menyadari mengalami acrophobia ketika ia berada pada usia 4 tahun. Saat itu, ia berada di eskalator mall dan berloncat-loncat di sana. Karena tidak seimbang, ia pun terjatuh dengan posisi kepala berada di bawah dan melihat ke lantai bawah secara langsung. Hal ini membuat ia sejak itu merasa cemas dan takut dengan ketinggian, dan selalu menghindari ketinggian. Subjek 2 berinisial DO, berjenis kelamin perempuan dan berusia 26 tahun. Saat ini tinggal di sebuah kamar kost di kawasan Jakarta Barat, beragama Kristen, dan bersuku Tionghoa, dengan pendidikan terakhir SMA. Saat ini DO belum menikah. Dalam keluarganya, DO adalah anak ke-4 dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya masih hidup dan saat ini ia bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. DO mengaku tidak dapat mengingat kejadian pertama kali yang menyebabkan ia mengalami acrophobia. Namun ia mengingat pertama kali ia menyadari bahwa ia menyandang acrophobia pada saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4. Saat itu ia sedang mengikuti program karyawisata, dan di sana ia selalu merasa takut serta ingin menghindar ketika didekatkan dengan ketinggian. Subjek 3 berinisial DD, seorang lakilaki berusia 39 tahun. Saat ini tinggal di Jakarta Selatan di sebuah kamar kost, beragama Islam, dan bersuku Jawa, dengan pendidikan terakhir S1 Arsitektur. Saat ini DD belum menikah. Ia merupakan anak 3 dari 5 bersaudara. Saat ini, DD bekerja sebagai freelancer yang bekerja di dalam mall. DD mengaku pertama kali mengalami
36
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Tabel 4 Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DD
Situasi yang Memunculkan Acrophobia Membayangkan berada di tepi gedung mall lantai 5 dan melihat ke bawah Melihat pemandangan lantai dasar mall dari tepi mall lantai 3 Melihat pemandangan lantai dasar mall dari tepi mall lantai 4 Melihat pemandangan lantai dasar mall dari tepi mall lantai 5
Jumlah Denyut Jantung Sebelum Intervensi 105 kali/menit
Jumlah Denyut Jantung Setelah Intervensi 73 kali/menit
103 kali/menit
71 kali/menit
106 kali/menit
78 kali/menit
109 kali/menit
73 kali/menit
Tabel 5 Hasil Intervensi Ketiga Subyek Berdasarkan Respon Fisiologis (Denyut Jantung)
Keterangan Rata-rata denyut jantung dalam kondisi normal Rata-rata skor pre-test ketika dihadapkan dengan objek ketinggian Rata-rata skor post-test ketika dihadapkan dengan objek ketinggian
Subjek 1 (IH)
Subjek 2 (DO)
Subjek 3 (DD)
83
70,13
71,5
107,83
93,5
103,25
86,83
72,5
73
Tabel 6 Hasil Paired Sample t-test dari Denyut Jantung Ketiga Subjek
Denyut jantung
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
T
df
Sig.
24,08333
5,34049
3,08333
7,811
2
0,016
Tabel 7 Hasil Intervensi Ketiga Subyek berdasarkan Perilaku Subyek IH
DO
DD
Sebelum berani menaiki
1. Tidak eskalator sendirian 2. Tidak berani melihat pemandangan ke bawah dari dalam gedung bertingkat 1. Tidak berani melihat pemandangan ke bawah dari tepi mall. 2. Tidak berani menyeberangi jembatan penyeberangan. Bila terpaksa, dilakukan dengan berjalan cepat dan berlari. 1. Tidak berani melihat pemandangan ke bawah dari tepi mall. 2. Tidak berani melihat pemandangan dari balkon kost.
acrophobia ketika ia masih duduk di
Sesudah berani menaiki
1. Sudah eskalator sendirian. 2. Sudah berani melihat pemandangan ke bawah dari dalam gedung bertingkat. 1. Sudah berani melihat pemandangan ke bawah dari tepi mall. 2. Sudah berani menyeberangi jembatan penyeberangan tanpa harus berlari. 1. Sudah berani melihat pemandangan ke bawah dari tepi mall. 2. Sudah berani melihat pemandangan dari balkon kost.
EFEKTIVITAS CBT
bangku SMP. Saat itu, rumahnya belum selesai direnovasi. Pada saat itu, ia datang melihat-lihat rumahnya yang sedang diperbaiki dan menaiki tangga rumahnya yang belum memiliki pegangan. Tiba-tiba, ia terpeleset dan terjatuh dari tangga tersebut, sehingga badannya terjatuh dan menghantam lantai. Ia sangat terkejut, meski tidak mengalami luka fisik yang serius. Sejak saat itu, ia selalu berpikir bahwa ketinggian adalah hal yang berbahaya dan harus ia jauhi.
Hasil Berdasarkan pengukuran denyut jantung, ditemukan adanya penurunan frekuensi denyut jantung yang mengindikasikan turunnya kecemasan pada ketiga subjek. IH mengaku, setelah mengikuti program intervensi, ia merasa lebih tenang ketika menghadapi ketinggian. Ia sudah mampu menaiki eskalator tanpa harus berpegangan pada pundak atau baju temannya lagi, sehingga ia tidak lagi ditertawakan oleh teman-temannya. Selain itu, ia juga sudah berani untuk menatap pemandangan dari dalam jendela gedung bertingkat. Ia mengaku mengalami penurunan gejala acrophobia. Hasil pretest dan post-test pada IH dapat dilihat pada Tabel 2. Pada DO, ia mengaku mengalami peningkatan yang cukup baik setelah mengikuti program intervensi. Ia mengaku sudah mampu mengabaikan pemikiran negatifnya ketika berada di tepi mall. Hal ini membuat ia lebih nyaman ketika sedang berada di dalam mall. Selain itu, ia juga mengaku merasakan adanya penurunan
37
gejala acrophobia. Hasil pre-test dan posttest pada DO dapat dilihat pada Tabel 3. Pada DD, ia mengaku lebih tenang dalam menghadapi ketinggian setelah mengikuti program intervensi. Ia mengaku tidak memiliki pemikiran negatif lagi terhadap ketinggian, sehingga ketika ia menatap dari tepi mall ke lantai dasar, ia sudah mampu memahami bahwa ketakutan tersebut tidak rasional. Hal ini memudahkannya karena ia seringkali bekerja di dalam mall. Hasil pre-test dan post-test DD dapat dilihat pada Tabel 4. Ketiga subjek mengalami penurunan denyut jantung ketika dihadapkan pada objek ketinggian, hal ini mengindikasikan bahwa kecemasan pun menurun ketika ketiga subjek dipaparkan pada objek fobianya, dan mendekati rata-rata jumlah denyut jantung dalam kondisi normal. Hal ini terangkum dalam Tabel 5. Kemudian, peneliti juga melakukan analisis data kuantitatif dengan menggunakan paired sample t-test untuk mengetahui apakah perubahan jumlah denyut jantung antara pre-test dan posttest menurun secara signifikan. Hasil paired sample t-test menunjukkan signifikansi p = 0,016 < 0,05; yang berarti ada perubahan jumlah denyut jantung secara signifikan pada ketiga subjek setelah menjalani sesi intervensi. Selain melalui pengukuran denyut jantung, evaluasi juga dilakukan melalui observasi. IH pada awalnya tidak berani menaiki eskalator sendirian, sehingga seringkali memegang pundak temannya untuk menenangkan diri ketika menaiki eskalator. Kini, IH sudah berani untuk menaiki eskalator sendirian. Selain itu, IH
38
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
yang sebelumnya tidak berani melihat pemandangan dari jendela gedung tinggi, kini sudah berani. Demikian juga dengan DO, yang awalnya selalu menjauhi tepi mall karena takut melihat ke bawah, kini sudah berani melakukannya. DO juga sudah berani menyeberangi jembatan penyeberangan setelah mengikuti program intervensi. DD, yang sebelumnya juga selalu menjauhi tepi mall karena takut melihat ke bawah, kini sudah berani mendekati tepi mall ketika berada di dalam mall. DD juga sudah tidak merasa cemas lagi ketika berada di balkon kostnya yang berada di lantai 3. Hasil intervensi dalam bentuk observasi perilaku terangkum dalam Tabel 7.
Diskusi Acrophobia merupakan salah satu jenis specific phobia. IH mengalami acrophobia sehingga tidak berani menaiki eskalator sendirian, selalu merasa cemas berlebihan ketika menaiki pesawat, dan tidak berani menyeberangi jembatan gantung. DO menyandang acrophobia sehingga tidak berani menaiki tangga untuk mengganti lampu, merasa cemas ketika menaiki pesawat, dan tidak berani melihat ke bawah ketika berada di tepi mall. Demikian juga DD yang merasa terganggu dengan acrophobia yang ia sandang sehingga ia kerapkali menjauhi tepi mall agar tidak perlu melihat ke bawah. Baik ketiganya merasakan gangguan dari acrophobia tersebut ke dalam kehidupannya, baik secara sosial maupun pekerjaan. Baik ketiganya juga memiliki irrational belief atau keyakinan yang tidak rasional terhadap
ketinggian. Baik IH, DO, maupun DD; selalu meyakini bahwa jika mereka dekat dengan ketinggian, mereka dapat terjungkal dan terjatuh hingga menyebabkan luka berat atau kematian. Selain itu, mereka juga selalu meyakini bahwa ada temannya yang akan iseng dan mendorong mereka hingga jatuh bila mereka berada dekat dengan ketinggian. Hal ini yang kemudian membuat mereka merasa cemas dan menjauhi ketinggian. Baik pada ketiga subyek, keyakinan yang tidak rasional tersebut berasal dari pengalaman traumatis di masa kecil yang berkaitan dengan ketinggian. Kesadaran subjek bahwa acrophobia yang ia alami berasal dari keyakinannya yang tidak rasional mulai muncul pada sesi keempat, yakni sesi memahami irrational belief. Pada sesi ini, peneliti menjelaskan bahwa acrophobia muncul dari keyakinan yang salah, dan subjek memiliki keyakinan yang salah ini sehingga memunculkan gejala kecemasan dan ketakutan yang intens ketika didekatkan dengan ketinggian. Ketiga subjek, IH, DO, dan DD mengaku mulai memiliki perubahan pandangan terhadap ketinggian setelah melewati sesi keempat ini, namun masih belum mampu mengatasi acrophobia. Pada akhirnya, ketiga subjek mengaku mengalami penurunan intensitas acrophobia setelah mengikuti program Cognitive Behavior Therapy dengan lengkap, baik yang berjenis kelamin lakilaki maupun perempuan. Hal ini berarti bahwa program Cognitive Behavior Therapy untuk acrophobia tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Namun IH dan DO menyatakan bahwa tujuh sesi yang dijalani
39
EFEKTIVITAS CBT
terlalu lama, sehingga terkadang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan waktu antara jam pulang kerja dan sesi.
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga partisipan dengan gangguan acrophobia, dapat disimpulkan bahwa Cognitive Behavior Therapy efektif untuk mengatasi acrophobia pada dewasa awal, yang berada pada rentang usia 20 sampai dengan 40 tahun, baik pada jenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari penurunan denyut jantung serta perubahan perilaku pada ketiga partisipan setelah mengikuti program terapi, masing-masing sebanyak tujuh sesi selama sekitar 2 bulan atau 8 hingga 10 minggu. Hal ini mengimplikasikan bahwa Cognitive Behavior Therapy dapat digunakan untuk mengatasi acrophobia pada dewasa muda dalam jangka waktu kurang lebih 2 bulan, sehingga dapat membantu dewasa muda penyandang acrophobia agar dapat beraktivitas sesuai perannya tanpa harus mengalami kecemasan terhadap ketinggian. Pada penelitian selanjutnya, dapat disarankan untuk menambah jumlah partisipan dengan latar belakang yang lebih beragam, misalnya dari bidang pekerjaan dan usia yang berbeda-beda. Selain itu, disarankan untuk menambah partisipan dengan jenis acrophobia yang lebih beragam juga. Dalam penelitian ini, lebih ditekankan pada ketinggian dari dalam gedung, sedangkan masih banyak jenis acrophobia lainnya seperti jembatan,
tangga, atau menaiki pesawat. Selain itu, dua dari tiga subjek mengeluhkan bahwa program intervensi yang cukup lama. Pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk dapat mencari dan merumuskan program intervensi acrophobia yang lebih singkat, sehingga dapat menghemat waktu, tanpa mengurangi efektivitas dari terapi tersebut.
Referensi Adler, J. M., & Cook-Nob les, R. (2011). The successful treatment of spesific phobia in a college counseling center. Journal of College Student Psychotherapy, 25(1), 56-66. Bourne, E. J., & Garano, L. (2003). Coping with anxiety: 10 simple ways to relieve anxiety, fear, and worry. CA: New Harbinger Publications. Coelho, C. M., Santos, J. A., Silverio, J., & Silva, C.F. (2006). Virtual reality and acrophobia: One-year follow-up and case study. Cyberpsychology & Behavior, 9(3), 336-341. Coelho, C. M., & Wallis, G. (2010). Deconstructing acrophobia: Physiological and psychological precursors to developing a fear of heights. Depression and Anxiety, 27, 864-870. Depla, M., Have, M. T., Balkom, A. J., & Graaf, R. (2008). Specific fears and phobias in the general population: Results from the Netherlands Mental Health Survey and Incidence Study (NEMESIS). Psychiatry Epidemiology, 43, 200-208. Emmelkamp, P. M. G., Bruynzeel, M.,
40
GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI
Drost, L., & Van Der Mast, C. A. (2001). Virtual reality treatment in acrophobia: A comparison with exposure in vivo. Cyberpsychology & Behavior, 4(3), 335-339. Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2009). Abnormal psychology: Clinical perspective on psychological disorders (6th ed.). NY: McGraw-Hill. Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The efficacy of cognitive behavioral therapy: A review of meta-analyses. Cognitive Therapy and Research, 36(5), 427-440. Kail, R. V., & Cavanaugh, J. C. (2010). Human development: A life-span view (5th ed.). NY: McGraw-Hill. Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J.M. (2010). Abnormal psychology (11th ed.). NY: McGrawHill. Nolen-Hoeksema, S. (2004). Abnormal psychology (3rd ed.). NY: McGraw-Hill. Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2012). Experience human development (12th ed.). NY: McGraw-Hill. Quervain, D. J., Bentz, D., Michael, T., Bolt, O. C., Wiederhold, B. K., Margraf, J., & Wilhelm, F. H. (2010). Glucoticoids enhance extinction-based psychotherapy. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 108(16), 6621-6625. Sudak, D. M. (2006). Cognitive behavioral therapy for clinicians. PN: Lippincott Williams & Wilkins. Taylor, M. A., & Vaidya, N. A. (2009). Descriptive psychopathology: The signs and symptoms of behavioral
disorders. UK: Cambridge University Press. Whitney, S. L., Jacob, R. G., Sparto, P. J., Olshanky, E. F., Detweiler-Shostak, G., Brown, E. L., & Furman, J. M. (2005). Acrophobia and pathological height vertigo: Indications for vestibular physical therapy? Physical Therapy, 8(5), 443-458. Wilding, C., & Milne, A. (2008). Cognitive behavioural therapy. UK: Bookpoint. Williams, C. (2003). Overcoming anxiety: A five areas approach. NY: Oxford University Press.
Alamat surel:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia EMOSI POSITIF 2017, Vol. XII, No. 1, 41-62, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
41
EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS (POSITIVE EMOTIONS IN MOTHERS OF CHILDREN WITH AUTISM SPECTRUM DISORDER) Nurussakinah Daulay Universitas Islam Negeri Sumatera Utara This research is an empirical study aims to explore the positive emotions felt during the maternal care of autistic children. Participants in this study involves 58 mothers of children with autism in the city of Medan. Sampling was done by purposive sampling. Subjects were asked to complete a questionnaire open questions related to positive emotions felt by the mother. The results showed that positive emotions in mothers of children with autism will appear after the mother is able to accept her condition. The admission process against her mother influenced by social support, knowledge mother, religious coping, and symptom severity of the child. Displayed positive emotions such as compassion mothers, quiet, relieved, happy. Positive emotions make people more open to new experiences that expand the personal resources, both physical resources, cognitive, and social.
Keywords: positive emotions, parenting, mothers, children with autism
Penelitian ini merupakan penelitian empiris, bertujuan untuk mengeksplorasi emosi positif yang ibu rasakan selama mengasuh anak autis. Partisipan dalam penelitian ini melibatkan 58 ibu-ibu yang memiliki anak autis di kota Medan. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Subjek diminta untuk mengisi angket terbuka dengan pertanyaan yang berkaitan dengan emosi positif dirasakan ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi positif pada ibu yang memiliki anak autis akan muncul setelah ibu mampu menerima kondisi anaknya. Proses penerimaan ibu terhadap anaknya dipengaruhi oleh dukungan sosial, pengetahuan ibu, koping religius, dan gejala tingkat keparahan anak. Emosi positif yang ditampilkan ibu seperti kasih sayang, tenang, merasa lega, dan bahagia. Emosi positif membuat individu lebih terbuka pada pengalaman baru sehingga memperluas sumber daya pribadi, baik sumber daya fisik, kognitif, maupun sosial.
Kata kunci: emosi positif, pengasuhan, ibu, anak autis
Kehadiran anak bagi orang tua sendiri merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar orang tua akan kedekatan, rasa pencapaian dan
kedewasaannya dalam kehidupan. Orang tua sebagai individu yang mengasuh, melindungi, dan membimbing anaknya dari bayi hingga tahapan dewasanya, berupaya 41
42
DAULAY
untuk memberikan tanggung jawab dengan penuh kasih sayang pada setiap tahapan perkembangan anak. Setiap orang tua (khususnya ibu) juga berharap bahwa anak yang dilahirkannya dalam keadaan sehat, cerdas dan normal layaknya anak-anak lain. Ibu adalah sosok individu yang telah mengandung, melahirkan dan merawat anak sesuai tahapan perkembangan anak. Setiap ibu memiliki gambaran ideal tentang anaknya sendiri, namun ketika anaknya lahir dalam keadaan tidak normal ataupun mengalami penurunan perkembangan dalam dua tahun pertama kehidupan anak, maka hal ini akan memunculkan kekecewaan yang mendalam pada diri ibu. Memiliki anak berkebutuhan khusus terutama autis menjadi pengalaman tersendiri buat ibu. Gangguan spektrum autis adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan penurunan dalam bahasa dan komunikasi, interaksi sosial, dan bermain serta imajinasi, dengan terbatasnya perhatian akan minat dan perilaku yang berulang-ulang (American Psychiatric Association [APA], 2013). Pada DSM-IV-TR (APA, 2000), autis masuk dalam payung gangguan perkembangan pervasif bersama dengan gangguan asperger, gangguan disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder), gangguan rett (rett’s disorder), dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak dapat dikategorikan (pervasive developmental disorder-not otherwise specified atau PDD-NOS). Pada DSM-5 (APA, 2013), autis dipandang sebagai entitas tunggal dan diubah menjadi sebuah spektrum yang meliputi seluruh gangguan perkembangan pervasif kecuali gangguan
rett. Istilah spektrum menunjukkan bahwa gejala gangguan ini bervariasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Ada anak yang gejalanya ringan sehingga sedikit membutuhkan bantuan dari lingkungan, namun terdapat juga anak yang gejalanya sangat berat dan membutuhkan dukungan yang intens dari lingkungan, seperti perilaku tantrum dan menyakiti dirinya sendiri. Mash dan Wolfe (1999) juga menekankan bahwa beberapa individu didiagnosa autis terlibat dalam perilaku yang sangat agresif dan merugikan diri sendiri. Secara keseluruhan, derajat tingkat keparahan setiap anak dan area gangguannya sangat berbeda satu dengan lainnya. Wing (1997) mengungkapkan bahwa gangguan spekrum autis adalah kondisi neurodevelopmental sepanjang kehidupan yang dikarakteristikkan dengan penurunan dalam komunikasi sosial, hubungan timbal balik sosial, dan perilaku stereotipe dan minat yang berulang. Gangguan spektrum autis didiagnosa selama masa anak-anak awal menggunakan observasi perilaku dan/atau interview klinis (Lord et al., 1994, 2000, dalam Ecker, 2016)). Perkiraan prevalensi berkisar 1% dalam populasi umum (Baird et al., 2006, dalam Ecker, 2016). Bailey, Phillips & Rutter (1996, dalam Zillmer, Spiers & Culbertson, 2008) menjelaskan bahwa dalam perilakunya, anak dengan gangguan spektrum autis menunjukkan diskoneksi sosial dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Kesadaran terbatas, ketertarikan, hasrat, kebutuhan, tekanan atau kehadiran orang lain, (2)
EMOSI POSITIF
Keterpurukan emosi dan sikap acuh tak acuh, (3) Kegagalan berbagi aktivitas, kesenangan, dan menjalin hubungan dengan orang lain, (4) Kurang memahami pada konvensi sosial, (5) Kerusakan dalam perspektif sosial dan peran empati, (6) Kemampuan sosial terbatas, seperti perilaku pemberian salam, dan (7) Canggung dalam merespon orang lain. Ibu yang memiliki anak autis umumnya reaksi pertama kali ketika mengetahui anaknya terdiagnosa autis akan merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau marah terhadap diri sendiri maupun marah terhadap Tuhan. Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orangtua, khususnya ibu sebagai figur terdekat dan umumnya lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan anak. Adapun ibu yang mengalami depresi cenderung (1) menyembunyikan anak dari orang lain; (2) meminimalkan tanggung jawab dalam pengasuhan dan perawatan anak; dan (3) membatasi interaksi dengan anak yang terbelakang mental tersebut (Larsson et al., 2005). Ibu yang memiliki anak autis memiliki ciri-ciri profil stres (Koegel et al., 1992, dalam Weiss, 2002). Profil ini menunjukkan fokus berlebih pada ketergantungan anak dan terbatasnya kesempatan keluarga dianggap menjadi kontributor stres pengasuhan ibu. Senada dengan itu, Abbeduto et al. (2004) juga menjelaskan bahwa ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis secara umum dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki anak dengan gangguan lain. Donovan (1988)
43
juga menekankan bahwa ibu dengan anak autis akan lebih stres dibandingkan ibu dengan anak mental retardasi, atau anak dengan cystic fibrosis, penyakit fisik kronik (Bouma & Schweitzer, 1990, dalam Weiss, (2002; Baker-Ericzen et al., 2005; Bromley et al., 2004; Eisenhower et al., 2005; Estes et al. 2009; Pisula & Kossakowska, 2010; dalam McStay et al., 2014). Ibu adalah orang yang terlibat langsung dalam kepengasuhan anak sepanjang hari. Ibu merasakan beban dan stres dalam mengasuh dan merawat anak autis. Ibu mengalami emosi-emosi negatif seperti menolak, menyalahkan diri sendiri, cemas, malu, takut, sehingga ibu tidak optimal dalam mengasuh anaknya, sedangkan di sisi lain anak autis sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangorang terdekat. Hal ini akan berakibat buruk dalam pengasuhan karena stres dan emosi negatif yang sering dialami membuat ibu berperilaku tidak sehat, tidak positif dan akan memperparah keadaan anak autis, seperti menelantarkan anaknya bahkan berperilaku kasar terhadap anaknya. Pada awal diagnosa anak, ternyata tidak semua ibu dapat menerima kondisi anaknya, sebab mengasuh anak autis membutuhkan kerja keras serta berbagai permasalahan yang muncul seperti besarnya biaya untuk terapi dan pengobatan anak, pandangan negatif dari masyarakat yang belum mengetahui akan kondisi anak autis, perhatian dan pengasuhan yang intens dilakukan sepanjang kehidupan anak, rendahnya waktu luang yang dimiliki ibu untuk dirinya sendiri, ibu juga tidak mempunyai keyakinan akan kemampuan pada anaknya
44
DAULAY
untuk menghadapi kehidupannya sendiri, bahkan ada beberapa diantara ibu-ibu yang memberikan pengasuhan anak sepanjang hari di sekolah-sekolah autis (boarding) dan membiarkan mereka diasuh orang lain tanpa pengasuhan ibunya langsung. Ibu yang kurang mampu menerima kondisi anaknya tentu dapat berpengaruh terhadap munculnya emosi-emosi negatif dalam diri ibu, sikap ibu yang kurang sabar dalam merawat anak, hal ini akan berdampak ibu menjadi kurang tangguh dalam mengasuh sepanjang kehidupan anak. Disinilah letak pentingnya memiliki emosi positif sebagai kekuatan internal ibu agar tetap sehat di bawah tekanan permasalahan anak. Mengingat peran emosi positif memiliki pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan ketangguhan dan proses pengasuhan positif pada ibu, maka penelitian ini merupakan studi awal dalam menjelaskan emosi positif pada ibu yang memiliki anak autis. Menurut Wade dan Tavris (2007), emosi merupakan suatu stimulus yang melibatkan perubahan pada tubuh dan wajah, aktivasi pada otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif, dan kecenderungan melakukan suatu tindakan, yang dibentuk seluruhnya oleh peraturanperaturan yang terdapat di suatu kebudayaan. Penelitian mengenai aspekaspek fisiologis dari emosi menunjukkan bahwa manusia, dimanapun berada, telah memiliki dasar-dasar emosi atau telah memiliki emosi primer semenjak mereka dilahirkan. Emosi primer umumnya meliputi rasa takut (fear), marah (anger), sedih (sadness), senang (joy), terkejut (surprise), jijik (disgust), dan sebal (comptempt).
Sebaliknya, emosi sekunder meliputi semua variasi dan campuran berbagai emosi yang bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya serta berkembang secara bertahap sesuai dengan tingkat kebudayaan kognitif. Hardy dan Heyes (1985) menjelaskan bahwa emosi dapat dikategorikan sebagai yang positif (misal kesenangan, keriangan, cinta) dan yang negatif (misal benci, marah, takut). Hampir semua orang secara aktif mencari perasaan emosional yang positif serta berusaha menolak perasaan yang negatif. Emosi positif merupakan salah satu faktor yang mempercepat recovery (penyembuhan) yang adaptif terhadap stres (Sholichatun, 2008). Menurut Zautra (dalam Sholichtun, 2008) dalam teori dynamic model of affect (DMA) dalam keadaan normal atau keadaan biasa, emosi positif dan emosi negatif merupakan emosi yang berdiri sendiri/independen. Namun pada saat individu mengalami stres, emosi positif dan emosi negatif mempunyai hubungan yang berbeda. Berkurangnya emosi positif pada masa stres akan meningkatkan kepekaan individu terhadap efek negatif stres. Dengan kata lain, jika individu mengembangkan emosi positif dalam kondisi stres, maka emosi positif akan menyumbang resistensi stres dan penyesuaian terhadap stres melalui terganggunya pengalaman emosi negatif yang terjadi stres berlangsung. Menurut Frederickson (2000, dalam Yeni 2013), emosi positif dapat berfungsi sebagai koping dalam tiga hal. Pertama,
45
EMOSI POSITIF
Tabel 1 Karakteristik Demografi pada Ibu dan Anak Autis No
Variabel
Kategori
Freku
Persen
SD
Mean
ensi 1.
Usia ibu
2.
Suku
3.
Status pernikahan
4.
Hidup bersama
5.
Status pekerjaan
6.
Pendidikan
7.
Jumlah anak
8.
Pendapatan
9.
Jenis autis
10.
Usia anak
11.
Jenis anak
kelamin
20 – 30 tahun 30 – 40 tahun 40 - 50 tahun > 50 tahun Jawa Batak Tionghoa Minang Melayu Bali Menikah Janda (suami meninggal) Janda (bercerai) Hidup bersama anak, orang dewasa lain Hidup bersama anak, suami Hidup bersama anak, suami dan orang dewasa lain Wiraswasta PNS Guru Dokter Pegawai swasta Ibu rumah tangga Tamatan SD Tamatan SMP Tamatan SMA Tamatan S1 1 2 3 >3 < Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 – 2.000.000 Rp. 2.000.000 – 3.000.000 Rp. 3.000.000 4.000.000 >Rp. 4.000.000 Autis mild Autis moderate Autis severe 2-5 tahun 5-10 tahun 10-15 tahun 15-20 tahun Laki-laki Perempuan
8 31 18 1 22 16 10 5 4 1 50 4 4 8
13.7% 53.4% 31.03% 1.7% 37.9% 27.5% 17.2% 8.6% 6.8% 1.7% 86.2% 6.8% 6.8% 13.7%
46.8 49 48.2 53 49.7 48.6 48.4 49 46 49 48.8 51 47.2 49.6
4.9 3.9 4.7 5.01
30
51.7%
49.2
4.3
20
34.4%
48
5.5
10 9 3 4 4 28
17.2% 15.5% 5.1% 6.8% 6.8% 48.2%
48.5 49.3 52 47 51.5 48.4
5.3 6.1 7 5.2 3.5 4.1
0 0 12.06% 87.9% 18.9% 43.1% 27.5% 10.3% 1.7% 13.7%
0 0 47.3 49.1 48.9 48.8 49.8 47.8 50 47.5
0 0 3.9 4.9 3.8 5.7 4.01 4.8
Rp.
0 0 7 51 11 25 16 6 1 8
Rp.
9
15.5%
47.8
4.8
Rp
16
27.5%
50.4
3.7
24 36 17 5 9 31 12 6
41.3% 63.8% 27.5% 8.6% 15.5% 53.4% 22.4% 8.6%
48.6 48.9 48.9 48.2 45.7 49.1 50.5 48.8
5.1 4.4 5.7 5.4 4.4 3.8 6.2 5.9
46 12
79.3% 20.6%
49.3 47
4.8 4.5
5.6 4.4 5.6 5.3 5.1 4.5 3.3 4
6.02
46
DAULAY
bahwa emosi positif akan membantu seseorang menghadapi permasalahan karena emosi positif membantu seseorang agar lebih berpikir objektif. Kedua, emosi positif dan dukungan sosial sangat berhubungan, dimana dukungan sosial akan sangat membantu meningkatkan keadaan kestabilan emosi seseorang. Ketiga, emosi positif akan meningkatkan kemampuan dalam menangani dampak fisik karena stress. Koping dapat diartikan sebagai mekanisme penyesuaian diri secara psikologis terhadap stimulus yang dinilai sebagai ancaman ataupun tantangan. Menurut Lucas, Diener, dan Larsen (2006), emosi positif merupakan pengalaman emosional yang menyenangkan atau menggembirakan. Menurut Frederickson (2000, dalam Yeni, 2013), pola pikir yang menyertai emosi positif pada gilirannya membawa keuntungan adaptif jangka panjang karena memperluas sumber daya pribadi. Sumber daya ini mencakup; sumber daya fisik, misalnya perbaikan kesehatan, umur panjang; sumber daya sosial, misalnya persahabatan, dukungan sosial; sumber intelektual, misalnya menguasai pengetahuan; dan sumber daya psikologis, misalnya resiliensi, optimis dan kreatif. Sumber daya ini bertahan lama, efeknya adalah peningkatan sumber daya pribadi seseorang. Sumber daya ini dapat digunakan dalam keadaan emosi yang berbeda. Menurut Tugade, Frederickson, dan Barret (2004), melalui pengalaman emosi positif maka individu dapat mengubah diri, menjadi lebih kreatif, berpengalaman, ulet, sosial dan menjadi individu yang sehat.
Pada ibu yang memiliki anak autis akan sering mengalami stres jika ibu memaknai pengasuhan terhadap anak autis lebih banyak dipengaruhi emosi negatif. Sanders dan Morgan (1997) melaporkan bahwa pada ibu yang memiliki anak autis akan mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan ibu dengan anak yang mengalami gangguan perkembangan lainnya (seperti down syndrome). Menurut Sharpley, Bitsika, dan Efremidis (1997), terdapat tiga faktor terpenting stres berhubungan dengan pengasuhan anak autis, yaitu (a) konsentrasi penuh pada kondisi ketidakmampuan anak; (b) penerimaan lingkungan yang rendah akan perilaku anak autis; juga dari anggota keluarga; (c) rendahnya dukungan sosial yang diterima dari orang tua. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan angket terbuka, berdasarkan angket terbuka menjelaskan bahwa hampir keseluruhan ibu-ibu yang memiliki anak autis pada awalnya mengalami emosi negatif dalam dirinya, seperti stres, sedih, menyalahkan diri, mengeluh, marah, depresi, menolak anak. Emosi negatif ini yang mempengaruhi ibu menjadi terhambat dalam menerima kondisi anak. Proses penerimaan terhadap anak autis pada setiap ibu akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat gejala keparahan anak, dukungan sosial yang ibu terima, dan pengetahuan yang ibu miliki. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Mashita (2015) tentang penerimaan orang tua terhadap anak penderita autis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (1) permasalahan awal yang dihadapi orang tua adalah orang tua merasa sedih saat
47
EMOSI POSITIF
mengetahui anaknya mengalami autis, bingung apa yang harus dilakukan oleh orang tua, biaya terapi serta kebutuhan anak, tipe suami yang kurang perhatian, membutuhkan waktu yang ekstra untuk memperhatikan anak; (2) proses penerimaan orang tua pada anak autis diawali dengan proses penolakan ditunjukkan dengan ketidakpercayaan serta kebingungan orang tua atas kondisi anak, selain itu orang tua merasa sedih, shock. Kemudian proses kemarahan terhadap diri sendiri, anak dan orang lain. Selanjutnya proses tawar menawar, diwujudkan dengan cara berbicara dalam hati dan melakukan pembenaran serta pembelaan sebagai wujud untuk bisa menentramkan hati orang tua. Kemudian proses depresi, yang ditunjukkan orang tua dengan perasaan bersalah, kecewa atas kondisi yang terjadi pada anak, kemudian proses terakhir yaitu penerimaan, ditunjukkan dengan sikap pasrah orang tua atas kondisi anaknya serta memperhatikan perkembangan anak selama proses terapi dan belajar di rumah serta memasrahkan kesembuhan anak pada Tuhan. Penelitian mengenai efek emosi positif dalam menghadapi kesulitan pernah dilakukan oleh Rick Snyder (dalam Lazarus, 2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang yang mempunyai emosi positif mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan melakukan langkah pencegahan terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Lazarus (2005) juga mengungkapkan lebih banyak lagi manfaat emosi positif bagi individu, seperti memperluas dan membangun intelektual,
membangun sumber daya fisik, meningkatkan produktivitas, dan membangun sumber daya sosial. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengeksplorasi peran emosi positif dalam mempengaruhi pengasuhan ibu terhadap anak autis. Penelitian ini bertujuan untuk menggali emosi positif yang ibu rasakan dan ibu alami selama mengasuh anak, maka penelitian ini menarik sekali dikaji lebih lanjut untuk memperkaya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi positif, psikologi perkembangan, psikologi klinis dengan menjelaskan emosi-emosi positif pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi (Moustakas, 1994). Penelitian fenomenologi umumnya membahas pertanyaan tentang pengalaman manusia sehari-hari yang diyakini sebagai fenomena penting di lapangan ilmu sosial. Ibu-ibu yang memiliki anak autis merupakan komunitas khas tersendiri yang perlu digali pengalamannya selama mengasuh anak autis. Subjek penelitian berjumlah 58 orang ibu yang memiliki anak autis dan berdomisili di kota Medan Sumatera Utara (Tabel 1). Peneliti bekerjasama dengan 2 sekolah dan 6 terapi anak autis di kota Medan, dari sekolah dan terapi tersebut didapatkan 58 orang subjek penelitian. Selanjutnya subjek diminta untuk mengisi angket terbuka dengan pertanyaan sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa yang membuat ibu mampu bertahan dalam
48
DAULAY
mengasuh anak autis?, (2) Ceritakan bagaimana emosi positif yang ibu rasakan selama memiliki anak autis?, (3) Usahausaha apa saja yang ibu lakukan untuk dapat membangkitkan emosi positif dalam diri ibu?, (4) Bagaimana peran emosi positif dalam mempengaruhi pengasuhan ibu terhadap anak?, dan (5) Bagaimana perasaan ibu sekarang? Data yang diperoleh pada tahap ini kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik koding (Strauss & Corbin, 2003) yang terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) open coding, dimana peneliti mulai mengidentifikasi kategori-kategori tema yang muncul, (2) axial coding, dimana peneliti berusaha melihat hubunganhubungan antara kategori satu dengan yang lainnya, dan (3) selective coding, dimana peneliti menyeleksi kategori yang paling mendasar, secara sistematis menghubungkannya dengan kategorikategori lain dan memvalidasi hubungan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini akan menghasilkan faktor-faktor yang membuat ibu mampu bertahan dan salah satunya adalah peran emosi positif ibu, kondisi emosi ibu selama mengasuh anak pada saat sebelum terdiagnosa autis dan setelah terdiagnosa autis, perasaan ibu sekarang mengasuh anak autis.
Hasil dan Diskusi Hasil dari penelitian ini adalah berupaya untuk menggali perasaan positif ibu selama mengasuh anak autis hingga sekarang.
Faktor-faktor yang Membuat Ibu Mampu Bertahan Dalam Mengasuh Anak Autis Jika dilihat dari sisi anak autis sendiri yang mengalami gangguan perkembangan dan terjadi sepanjang rentang kehidupan anak, dengan ciri-ciri memiliki perilaku excessive (berlebihan) ditandai dengan hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, memukul diri sendiri, mencakar, serta perilaku yang deficit (berkekurangan) ditandai dengan gangguan bicara, senang menyendiri, tatapan mata kosong, perilaku sosial rendah. Bagi ibu, bukanlah hal yang mudah untuk mengasuh anak autis. Oleh karena itu dibutuhkan pertanyaan awal yang penting diajukan adalah faktor apa yang membuat ibu mampu bertahan dalam mengasuh anak autis. Berdasarkan analisis koding terhadap angket terbuka, diperoleh faktor-faktor yang membuat ibu mampu bertahan yaitu peran agama, dukungan, pengetahuan tentang anak autis, emosi positif, dan naluri ibu. Salah satu faktor yang membuat ibu mampu bertahan adalah adanya emosi positif yang ibu rasakan selama mengasuh anak autis, yaitu kasih sayang, perduli, tenang, bersyukur, bahagia. Hal ini sesuai dengan pendapat Lazarus (1991), terdapat empat aspek emosi positif yaitu bahagia (happy), bangga (pride), kasih sayang (love/affection), dan lega (relief). Bahagia muncul pada saat ibu merasa bahwa ibu telah berbuat dan berjuang demi kemajuan yang berarti untuk anak, biasanya ini terkait dengan tujuan jangka panjang, seperti ibu berusaha untuk membawa anak ke terapi, ke sekolah autis, berkonsultasi dengan
49
EMOSI POSITIF
Tabel 2 Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998) Aspek Emosi Positif Joy
Interest
Verbatim
Wujud Emosi Positif
“Rasanya luar biasa banget kalau melihat anak sudah Subjek merasa senang bisa makan sendiri, pakai baju sendiri...meskipun ketika anak mampu awalnya berat...” (Subjek 3) menunjukkan “Saya menyadari peran saya sebagai ibu..jadi saya kemajuan dalam harus bertanggung jawab untuk bisa mandiri” (Subjek perilaku. 7) “Perasaan saya lebih baik, setelah sekian lama saya terapi anak sekarang mulai mandiri” (Subjek 11) “Dulu saya harus berjuang lebih keras.. membawa anak Subjek merasa bahagia ke terapi.. sekarang anak sudah bisa diajak karena anak mampu bicara...sekali-kali ada kontak mata juga...” (subjek 14) berinteraksi sosial, “Alhamdulillah..melihat kemajuan yang dialami anak sudah mulai ada kami sudah membuat kami bahagia dan bangga, sedikit hubungan timbal balik demi ucapan yang keluar dari bibirnya, dan saat ini anak kami sudah mulai memahami apa yang diperintahkan.Cuma saja terkadang emosi yang muncul tiba-tiba membuatnya marah dan menangis” (subjek 4) “Kalau diingat-ingat.. dulu parah tantrumnya, sampai Subjek merasa bahagia kepala dibentur ke dinding.. tapi dengan kesabaran kita karena berkurangnya mengatasi perilaku anak...syukurlah tantrumnya sudah perilaku tantrum anak sangat berkurang..” (Subjek 23) “Saya berharap anak saya bisa berbicara dan berinteraksi dengan orang lain seperti anak normal lainnya. Anak saya bisa mengenal saya sebagai mamanya dan mengenal papanya.” (Subjek 31) “Perasaan saya sekarang lebih tenang dan sabar dalam menghadapi permasalahan yang ada pada R, berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan perkembangan R anak saya dan tentunya saya harus kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan memantau terus perkembangan abangnya R juga”. (subjek 37). “Saat saya melihat tingkah lakunya berbeda dengan Subjek berkeinginan abangnya dan anak-anak pada umumnya, saya untuk mencari mengalami ketakutan dan kesedihan yang laur biasa, informasi tentang gimana masa depan anak Saya berusaha terus bawa pengasuhan positif ke beberapa psikolog, konsul dengan beberapa dokter, terhadap anak THT, dr spesialis anak & tingkah laku, segala macam cara saya lakukan, tes darah, urin, diet makan organik, gutenfree, logam berat yang tidak boleh anak saya konsumsi.”(subjek 7) “Bagi saya dengan membawa K ke mall, ke tempat Subjek berkeinginan undangan merupakan pengalaman yang berarti, karena berbagi pengalaman banyak orang memperhatikan dan bertanya-tanya akan dalam mengasuh anak kondisi anak...ya jadi harus saya jelaskan..” (subjek 29). “Saya sangat bersemangat ketika ada kegiatan di terapi Subjek bersedia autis ini dalam rangka meningkatkan kemampuan mengikuti kegiatan motorik anak” (subjek 45) terkait pengasuhan “Pemerintah sekarang sudah mulai mensosialisasikan anak autis kondisi anak autis, seperti dengan adanya Hari Anak Autis Nasional” (subjek 34).
50
DAULAY
Tabel 2 (lanjutan) Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998) Aspek Emosi Positif
Content ment
Love
Verbatim
Wujud Emosi Positif
“Saya memiliki keyakinan bahwa tidak akan ada usaha Subjek merasa puas yang sia-sia dengan keikhlasan dan kesabaran pasti J dan bangga bisa bisa melewati semua ini” memberikan pelayanan “Meskipun perjalanan ke tempat terapi sangat jauh.. terbaik untuk anak karena kita tinggal di kota kecil.. bisa dua jam perjalanan, saya gak putus asa.. pasti usaha yang dilakukan akan berbuah manis.” (subjek 30). “Saya tidak merasa berkecil hati atas kondisi anak Subjek bersyukur saya, justru saya banyak diberi pengalaman, anugerah, dianugerahi anak autis rezeki yang lumayan dan hikmah yang tidak terhingga dengan segala besarnya sejak saya memiliki L...” (Subjek 2) kelebihan dan “Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya terima kekurangannya karena anak adalah anugerah” (subjek 11) “Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki juga Subjek bersyukur anak dengan kehadiran R dalam kehidupan keluarga kami” anugerah bagi (subjek 42) keluarga, sehingga banyak hal yang dimudahkan dalam urusan “Sudah 17 tahun usia T sekarang.. banyak sekali yang saya rasakan perubahan dalam diri saya..menjadi lebih bersabar, lebih dewasa dalam menyikapi masalah” (Subjek 56) “Saya yakin dengan kasih sayang yang kami berikan, anak saya dapat merasakannya” (subjek 14) “Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya, kasih sayang ini yang sangat mempengaruhi dalam menerima anak kita.” (subjek 19) “Terkadang saya sering ditanyain juga yang berhubungan dengan pengalaman selama memiliki anak autis...bagi saya hal ini positif karena memberikan informasi yang baik” (subjek 26) “Terkadang saya membawa anak ke mall, ke restauran.. dia sangat senang sekali...” (subjek 55) “Meskipun ada saja orang yang mencemoh anak, saya tidak perduli.. ini demi kebaikan U juga” (subjek 40).
dokter atau psikolog untuk tumbuh kembang anak, ibu juga berupaya mengajarkan anak agar mampu mandiri. Bangga muncul ketika anak sudah menampakkan kemajuan yang signifikan akan kemampuannya. Keberhasilan ini
Subjek menjadi lebih positif Subjek sangat menyayangi anaknya
Subjek senang bisa berbagi pengalaman dengan orang lain Subjek membawa anak ke masyarakat agar anak dapat mengenal lingkungannya
disebabkan karena upaya yang optimal, kerja keras dan ikhtiar dari ibu. Kasih sayang tidak akan muncul jika ibu belum bisa menerima anaknya, di awal diagnosa anak biasanya emosi yang muncul adalah emosi negatif seperti sedih, menyalahkan
51
EMOSI POSITIF
diri, takut, cemas, marah, dibarengi dengan perasaan kasihan akan kondisi anak. Pada setiap ibu prosesnya berbeda dalam menerima keterbatasan anak. Ketika ibu sudah mampu menerima anaknya maka rasa kasihan ini akan berubah menjadi kasih sayang, dan akan diwujudkan ibu dalam bentuk sikap yang sabar, jarang marah, jarang mengeluh, dan berusaha melakukan yang terbaik untuk anak. Lega akan muncul pada saat tujuan yang semula dinilai tidak sesuai menjadi kebutuhan yang penting dan terjadi penurunan emosi yang negatif. Ketika anak mulai menunjukkan kemajuan perilaku, emosi, dan komunikasi, ibu akan mengalami penurunan emosi yang negatif yaitu berkurangnya rasa cemas, takut akan masa depan, sedih, ada kelegaan yang ibu rasakan. Ibu juga merasa lega karena cukup menerima dukungan informal (keluarga, pasangan) dan dukungan formal (sekolah, terapi). Faktor-faktor yang membuat ibu mampu bertahan dalam mengasuh anak autis dapat terlihat pada ungkapan pengalaman berikut ini. Dukungan suami dan keluarga, dukungan lingkungan sekitar (subjek 3) Seorang ibu mempunyai tanggung jawab besar terhadap anakanaknya, mempunyai doa dan harapan besar buat aak-anaknya, ingin anak mandiri nantinya, yang pasti dukungan keluarga membuat saya mampu bertaha (subjek 12) Anak saya membutuhkan saya, merasa bangga dan menyayangi anak saya (subjek 19)
Informasi yang jauh lebih banyak mengenai autisme dan bakat yang ada di dalam anak saya (subjek 27) Anak adalah titipan Tuhan yang amat berharga. Tuhan menitipkan anak autis karena orang tuanya mampu merawatnya (subjek 34) Suatu ujian dari Tuhan dan melatih kesabaran orang tua (subjek 36) Untuk membuktikan pada lingkungan bahwa seorang anak autis sama dengan anak biasa pada umumnya, dan mereka juga mempunyai kelebihan (subjek 42) Dukungan keluarga, beribadah dan berdoa (subjek 47) Rasa sayang, dukungan dari keluarga, suami, pemahaman saya yang sudah lebih meningkat tentang anak autisme (subjek 51) Selain dukungan pasangan, dukungan dari ibu-ibu yang mempunyai anak yang autis juga penting (subjek 53). Emosi yang Ibu Memiliki Anak Autis
Rasakan
dengan
Pada dasarnya individu memiliki dua macam emosi, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi merupakan reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Mashar, 2008). Emosi positif merupakan emosi yang menimbulkan dampak atau reaksi menyenangkan pada orang yang merasakannya. Contoh emosi positif seperti senang, santai, tenang. Sedangkan emosi negatif merupakan emosi yang menimbulkan dampak atau reaksi yang
52
DAULAY
tidak menyenangkan bagi orang yang merasakannya (Safaria & Nofrans, 2012). Contoh emosi negatif adalah sedih, marah, depresi. Ketika seorang individu merasakan emosi negatif, maka individu tersebut akan merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Ekawati (dalam Fitroh, 2011) menyatakan bahwa individu yang matang emosi akan memiliki kemampuan untuk menilai situasi secara kritis sebelum bertindak dan kemampuan mengontrol emosi dengan baik sehingga memberikan hasil pada penyesuaian diri yang baik. Memperkuat juga teori Sheridan & Radmacher (1992) yang menyatakan bahwa individu yang mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik terhadap kehidupannya karena memiliki karakteristik kepribadian yang sehat yaitu ketangguhan. Menurut Frederickson (1998), emosi positif mempunyai empat aspek. Pertama, Joy (kegembiraan). Joy merupakan bagian dari kegembiraan yang berperan dalam pengembangan intelektual seseorang. Dalam beberapa kasus, joy dianggap sebagai sebuah peristiwa atau keadaan menuju pencapaian sebuah tujuan. Joy dapat berupa happiness (kebahagiaan), amusement (keceriaan), elation (kegirangan hati), gladness (kesenangan hati) sebagai kondisi yang muncul berkaitan dengan kecenderungan yang berupa aktivitas bebas seperti melompat, berlari, bermain Sebagai contoh, ibu akan mengajak anak untuk belajar di tempattempat terapi serta berjalan-jalan keluar rumah agar pengetahuan anak akan lingkungan juga berkembang. Kedua, Interest (ketertarikan). Interest
berperan dalam mengeksplorasi dan meningkatkan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Menurut Frederickson (1998), kecenderungan individu untuk melakukan tindakan dipicu oleh ketertarikan. Interest dapat berupa perasaan curosity (keingintahuan), intrigue (minat), excitment (gairah), wonder (heran), intrinsic motivation (motivasi intrinsik). Sebagai contoh agar ibu memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang anak autis, maka ibu akan lebih aktif untuk terus belajar menggali informasi tentang pengasuhan positif terhadap anak autis. Ketiga, Contentment (kepuasan hati). Mashar (2008), contentment merupakan sebuah perasaan tenang. Menurut Frederickson, de Rivera, dan Izard (dalam Frederickson, 1998) menjelaskan contentment mendorong individu untuk menikmati hidup mereka pada saat ini dan keberhasilan yang baru saja didapatkannya. Contohnya ibu akan merasakan kebahagiaan ketika anak mengalami kemajuan dalam perkembangannya, misal anak sudah mampu untuk makan sendiri. Keempat, Love (cinta). Love lebih berperan dalam menguatkan ikatan sosial dan kelekatan. Love sendiri merupakan gabungan dari berbagai emosi positif yang mencakup joy, interest, dan contentment dengan orang lain dalam mendukung interaksi sosial dan kelekatan pada setiap pembentukan sebuah hubungan. Contohnya Ibu akan mengajar dan mengasuh anak dengan kasih sayang, ibu merasa sangat bertanggung jawab atas kehidupan anak. Berdasarkan teori Frederickson (1998),
EMOSI POSITIF
maka dapat terlihat emosi positif pada ibu yang memiliki anak autis adalah sebagaimana nampak pada . Emosi positif dalam diri seseorang tentu tidak akan muncul dengan begitu saja. Emosi positif yang dirasakan seseorang sangat tergantung pada interpretasi orang tersebut terhadap peristiwa yang terjadi (Safaria & Nofrans, 2012). Emosi positif dalam diri ibu, seperti menerima keterbatasan anak, rasa sayang, lebih tenang, lega, bersyukur dengan kehadiran anak, sehingga membuat ibu sekarang menjadi tangguh dalam mengasuh anak autis, juga tidak akan muncul dengan begitu saja. Selain dukungan sosial yang ibu terima dalam menerima anak, faktor kepribadian ibu sendiri juga berperan penting dalam memunculkan emosi positif ibu. Ketika ibu menginterpretasikan anak autis sebagai sesuatu yang positif, seperti ibu menganggap bahwa anak adalah anugerah Tuhan dan anak adalah sebagai ladang ibadah ibu dengan harapan ibu mendapatkan keberkahan hidup dari Tuhan. Sedangkan ibu yang menginterpretasikan anak autis sebagai sesuatu yang buruk maka akan timbul emosi negatif dalam diri ibu, seperti ibu akan terus mengalami stres pengasuhan, cemas, sedih dan menolak kehadiran anak. Seligman (2005) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi emosi positif. Pertama, Keluarga dan lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketangguhan ibu sekarang adalah dengan bergabungnya ibu ke dalam komunitas ibu yang memiliki anak autis, ibu menjadi lebih tenang dengan saling berbagi
53
akan permasalahan dalam mengasuh anak. Faktor dukungan dari keluarga dan suami juga sangat mempengaruhi ibu. Orang tua dengan anak berkebutuhan memiliki stres yang tinggi dan rasa ketidak seimbangan dalam sistem keluarga (Burrel, Thompson & Sexton, 1994). Ini penting bahwa orang tua mampu memaknai koping terhadap stres, dan satu faktor yang mengurangi stres orang tua adalah dukungan sosial (Bristol, 1984; Dyson, 1997; Sharpley, Bitsika & Efremidis, 1997, dalam Boyd, 2002). Seligman (2005) juga menjelaskan individu yang terbuka dan banyak melakukan sosialisasi dengan orang lain akan meningkatkan kebahagiaan. Keterbukaan dan banyaknya relasi yang dimiliki membuat hubungan sosial yang kaya sehingga mampu mendatangkan dukungan secara sosial. Kedua, rasa syukur. Ketangguhan ibu dalam mengasuh anak autis karena ibu telah menerima kondisi anak dan ibu bersyukur dengan kehadiran anak dalam kehidupannya. Ibu sangat merasakan perubahan dalam dirinya sekarang menjadi lebih bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan hidup, ibu menjadi lebih tenang karena ibu menganggap anak merupakan anugerah yang telah dititipkan Tuhan kepadanya, ada keyakinan bahwa anak sebagai penolong (syafa’at) bagi ibu agar ibu mendapatkan tempat yang terbaik di Hari Akhirat. Sesuai dengan penelitian Seligman (2005) bahwa rasa syukur dalam diri individu akan meningkatkan kesejahteraan individu tersebut. Selain itu mengekspresikan rasa syukur atas apa yang diperoleh dalam kehidupan akan meningkatkan perasaan positif pada diri
54
DAULAY
Tabel 3 Hal-hal yang mempengaruhi emosi positif ibu berdasarkan teori Seligman (2005) Faktor Rasa syukur
Religi
Lingkungan
Keluarga
Verbatim
Keterangan
“Ikhlas terhadap ketentuan Yang Maha Kuasa” (subjek 2) “Perasaan saya sekarang menerima dengan ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha terbaik buat anak, saya percaya ada kekurangan pasti ada kelebihan” (subjek 24) “Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya terima karena anak adalah anugerah” (subjek 11) “Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki juga dengan kehadiran R dalam kehidupan keluarga kami” (subjek 42) “Sudah 17 tahun usia T sekarang..banyak sekali yang saya rasakan perubahan dalam diri saya..menjadi lebih bersabar, lebih dewasa dalam menyikapi masalah” (Subjek 56) “Kehadirran D membuat saya semakin yakin akan kekuasaan Tuhan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagiNya, ini merupakan cobaan buat keluarga kami..saya banyak berdoa agar dimudahkan segala permasalahan yang sedang dihadapi”.(subjek 11). “Kehidupan di dunia ini hanya sementara, kehadiran anak seperti H ini mudah-mudahan menjadi penolong bagi saya di hari Akhirat..saya mendapatkan amal ibadah yang banyak dengan merawat H.” (subjek 16) “Saya akhirnya dapat menerima kondisi anak saya berkat dukungan atasan tempat saya bekerja, teman-teman dan juga keluarga yang mengatakan bahwa anak saya itu anak yang istimewa dan memiliki kelebihan dari anak-anak lain.Akhirnya saya pun sadar bahwa itu adalah titipan Tuhan yang harus saya jaga dengan sebaik-baiknya” (subjek 57). “Memasukkan anak ke sekolah yang tepat merupakan salah satu cara dalam meminimalisir perilaku anak yang bermasalah..di sini saya mendapatkan motivasi yang membuat saya semakin kuat”. (subjek 29) “Saling berbagi dengan sesama ibu-ibu yang memilik anak autis akan membuat kita menjadi termotivasi” (subjek 8)
Subjek bersyukur dianugerahi anak autis dengan segala kelebihan dan kekurangannya
“Syukurnya....suami saya mengerti dengan kondisi anaknya..dan mau membantu juga menyiapkan makanan anak” (subjek 53)” “Suami biasanya memberikan biaya buat kebutuhan R..meskipun ayahnya sibuk”. (subjek 46).
Subjek bersyukur anak anugerah bagi keluarga, sehingga banyak hal yang dimudahkan dalam urusan Subjek menjadi lebih positif Subjek menjadi lebih rajin dalam beribadah
Subjek memasrahkan segala permasalahan hanya kepada Tuhan Subjek mendapat dukungan baik secara emosional maupun material dari lingkungan tempat tinggal
Subjek mendapat dukungan dari sekolah/terapi autis Subjek mendapat dukungan dari komunitas ibu yang memiliki anak autis Subjek mendapat dukungan dari suami Subjek mendapat dukungan dari keluarga pihak suami dan keluarga besarnya sendiri.
EMOSI POSITIF
seseorang (Sheldon & Sonja, 2006). Ketiga, Religi. Ibu adalah individu yang kuat, sehingga Tuhan menitipkan anak autis dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ibu meyakini bahwa semua yang ibu lakukan untuk kebaikan anak adalah karena ibu semata-mata mengharapkan ridho dari Tuhan agar mendapatkan keberkahan hidup. Hal ini yang membuat ibu menjadi lebih bijaksana dalam hidup, ketika ibu mendapati masalah ataupun cobaan maka ibu akan mengembalikan permasalahan tersebut dengan mengadu dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Seligman (2005) mengungkapkan bahwa Individu yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya dibandingkan individu yang tidak religius. Agama mengisi manusia dengan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam kehidupan. Hubungan antara harapan akan masa depan dan keyakinan beragama merupakan landasan mengapa keimanan sangat efektif melawan keputusasaan dan meningkatkan kebahagiaan. Berdasarkan pendapat Seligman di atas, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang mempengaruhi emosi positif diantaranya adalah keluarga dan lingkungan, rasa syukur, religi. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti menambahkan hal yang mempengaruhi emosi positif khususnya pada ibu yang memiliki anak autis adalah adanya rasa ikhlas, bersyukur, yakin, dan kasih sayang dalam pengasuhan positif ibu (lihat Tabel 3). Usaha-usaha yang Ibu Lakukan Untuk Dapat Membangkitkan Emosi Positif
55
Berdasarkan hasil angket terbuka pada penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa emosi positif pada ibu akan muncul seiring dengan kemajuan perkembangan anak dan dukungan sosial yang ibu dapatkan. Ibu akan lebih bahagia, senang, dan lebih tenang ketika melihat anaknya sudah mampu menunjukkan perkembangan yang signifikan, seperti berbicara, cukup mandiri, berkurangnya perilaku tantrum dan menyakiti diri sendiri. Namun terkadang, emosi positif ini sifatnya tidak menetap, artinya meskipun ibu merasakan kebahagiaan namun ibu terkadang juga merasa sedih dan cemas mengingat akan masa depan anak. Usaha-usaha yang ibu lakukan untuk membangkitkan emosi positif diantaranya seperti ibu tetap menjalin komunikasi dan saling berbagi pengalaman bersama komunitas ibu-ibu yang memiliki anak autis, ibu berdoa dan mengadu akan masalah yang dihadapi hanya kepada Tuhan, ibu dapat melakukan aktivitas yang membantu pemulihan kondisi fisik dan psikologisnya, seperti memenuhi kebutuhan pribadi, menyalurkan hobi, bercanda dan bersosialisasi dengan teman-teman. Menurut Frederickson (2000) bahwa emosi positif akan sangat membantu mengatasi stres dalam beberapa hal. Pertama, bahwa emosi positif akan membantu seseorang menghadapi permasalahan karena emosi positif membantu seseorang agar lebih berpikir objektif. Kedua, emosi positif dan dukungan sosial sangat berhubungan, karena dukungan sosial sangat membantu meningkatkan keadaan kestabilan emosi seseorang. Ketiga, emosi positif akan
56
DAULAY
Tabel 4 Ungkapan Emosi Positif Peran
Verbatim
Secara
“Saya mengubah pemikiran saya dari anak yang saya menimbulkan masalah menjadi punya pemikiran bahwa anak adalah anugerh” (subjek 5) “Dengan kehadiran anak..membuat hidup saya menjadi menantang..hari ini dan besok adalah sebuah peristiwa yang menyenangkan dlam mengasuh anak”. (subjek 12)
Berpikir positif atas kehadiran anak
Secara sosial
“Awalnya saya sering uring-uringan dan stres ketika menghadapi anak saya..bingung..tapi semakin kita stres akan semakin memperburuk hubungan saya denga anak...semakin lama saya mulai menerima kehadiran F..dan ini sangat membantu saya..menjadi lebih tenang..ditambah lagi berkumpul dengan komunitas ibu..ini sangat membantu” (subjek 9)
Memiliki emosi positif akan mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Secara fisik
“Saya selalu berusaha menjaga kondisi tubuh..jangan sampai sakit..karena kalau saya sakit..siapa yang akan merawat D..kalau bukan saya...” “Ketika kita ibunya bersemangat..anak pasti akan merasakannya..dan dia juga senang...tentu dengan selalu bersemangat dalam hidup akan mempengaruhi kondisi tubuh juga baik.
Meskipun lelah, namun ibu tetap bahagia Jarang sakit
kognitif
Gambar 1. Dinamika Emosi Positif
Keterangan
EMOSI POSITIF
57
Tabel 5 Ungkapan Perasaan Ibu Perasaan Bahagia (bangga, lega, lebih baik, lebih tenang)
Verbatim Perasaan saat ini lebih baik meskipun selalu lelah menghadapi anak saya (subjek 3) Alhamdulillah melihat kemajuan yang dialami anak kami sudah membuat kami bahagia dan bangga, sedikit ucapan yang keluar dari bibirnya merupakan kebahagiaan yang sangat luar biasa bagi kami, dan saat ini anak kami sudah mulai memahami apa yang kami inginkan atau perintahkan, cuma saja terkadang emosi yang muncul tiba-tiba dan membuatnya marah dan menangis (subjek 6 ) Lebih tenang dan sabar dalam menghadapi permasalahan yang ada pada anak, berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan perkembangan anak saya dan tentunya saya harus kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan memantau terus perkembangan abang-abangnya juga (subjek 12) Merasa lega, karena anak autisme bisa dididik dan bisa menjadi kebanggaan buat saya, karena anak saya banyak kemajuan (subjek 20) Sudah lebih nyaman dan lebih enjoy, yakin kalau anak saya hebat (subjek 26)
Optimis (antusias, terus berusaha, bersemangat , tetap sabar, berdoa, tabah)
Lega dan bersyukur (subjek 35) Saya merasa bangga dengan anak saya (subjek 38) Sangat bahagia (subjek 43) Bahagia, bersemangat, antusias (subjek 1) Optimisme untuk membantu anak, ikhlas dan berusaha (subjek 5 ) Optimis bahwa anak saya bisa sembuh walaupun tidk seperti anak-anak normal lainnya (subjek 10 ) Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam menerima cobaan ini (subjek 19 ) Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam menerima cobaan ini (subjek 25 )
Lebih menerima (lebih ikhlas, pasrah)
Berusaha mencari cara mengajarinya supaya mengerti, bisa mengerjakan apapun sendiri, berusaha mencari tahu cara mengatasi kesulitan belajarnya (subjek 29 ) Sudah bisa menerima kondisi anak dan saya sangat menyayanginya (subjek 4) Sudah bisa menerima keadaan yang ditentukan Tuhan (subjek 14 ) Menerima dengan ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha terbaik buat anak, saya percaya ada kekurangan pasti ada kelemahan (subjek 23) Menerima dan terus bertekad bahwa anak kami akan diperjuangkan (subjek 27) Saya sekarang sudah bisa menerimanya, setiap saya putus asa berusaha untuk berdoa dan berkata Tuhan pasti tidak tutup mata untuk pengorbanan saya untuk anak-anak saya (subjek 33)
Lebih sayang
Sedih (cemas, takut)
Lebih tenang, sabar, ikhlas (subjek 43) Saya lebih menyayanginya (subjek 11) Kadang ngerasa lebih sayang ke J daripada ke kakaknya juga, mungkin karena J masih butuh perhatian lebih (subjek 17) Masih sedih tetapi lebih berniat dan berusaha untuk mengusaha lebih baik (subjek 18) Sedih, takut, berpasrah pada Tuhan (subjek 23) Sedih jika melihat kondisi anak saya karena sangat berbeda dengan teman2 sebayanya (subjek 54)
58
DAULAY
meningkatkan kemampuan dalam menangani dampak fisik karena stres. Usaha-usaha yang ibu lakukan untuk dapat membangkitkan emosi positif dapat terlihat pada ungkapan pengalaman di bawah ini: Berusaha positive thinking, meskipun orang lain sering menghina dan mencemoh anak saya.. akan jauh lebih baik saya diam aja dan berpikir positif aja (subjek 9 ) Ketika anak mulai tantrum dan Ketika anak mulai tantrum dan bermasalah perilakunya...ibu harus kuat dan harus tenang dulu..sehingga ini akan berpengaruh ke pengasuhan positif (subjek 11) Dengan rajin membaca, cari info di google, dan sharing ke teman-teman tentang pengasuhan anak autis dapat membantu saya untuk lebih tenang dan tidak panik mengasuh K (subjek 14). Peran Emosi Positif Pada Diri Ibu Pada awal anak terdiagnosa autis, ibu cenderung menunjukkan emosi negatif seperti sedih, menolak, marah, menyalahkan diri, cemas. Mengingat beratnya hambatan yang dialami anak autis dan kompleksnya penanganan yang mereka butuhkan. Ada beberapa cara yang ibu lakukan untuk mengatasi masalah dengan menggunakan strategi koping yaitu mengubah kognitif dan perilakunya agar dapat mengatasi tekanan atau masalah yang ibu rasakan. Pada ibu, strategi koping yang tepat akan membantu ibu tidak mudah mengalami stres selama mengasuh anak. Emosi positif juga dapat dianggap sebagai salah satu strategi koping yang
baik. Hal ini senada dengan pendapat Frederickson (2000) bahwa emosi positif berfungsi sebagai koping karena emosi positif membantu seseorang agar lebih berpikir objektif dalam menghadapi permasalahan. Pola pikir yang mneyertai emosi positif pada gilirannya membawa keuntungan adaptif jangka panjang karena memperluas sumber daya pribadi. Sumber daya ini mencakup : a) sumber daya fisik, misalnya perbaikan kesehatan, umur panjang; b) sumber daya sosial, misalnya persahabatan, dukungan sosial; c) sumber intelektual, misalnya menguasai pengetahuan, dan d) sumber daya psikologis, misalnya resiliensi, optimis dan kreatif. Peran emosi positif berdasarkan pendapat Frederickson (1998) adalah sebagai berikut. Pertama, secara kognitif. Ibu mengakui bahwa dengan memiliki anak autis membuat ibu menjadi lebih dewasa dan bijaksana dalam memecahkan masalah. Permasalahan perilaku anak autis membuat ibu lebih bersabar dalam mengasuh anak, kesabaran dan dibarengi dengan berpikir positif dapat membuat ibu menjadi lebih tenang dan mampu bertahan. Secara kognitif, emosi positif berperan dalam membantu individu untuk berprestasi dan melakukan coping yang lebih fleksibel sebagai upaya pemecahan masalah (Mashar, 2008). Selain itu, Isen (dalam Frederickson, 1998) berspekulasi bahwa emosi positif mampu memperluas kemampuan kognitif individu dalam hal ide atau konsep sehingga emosi positif akan meningkatkan kreativitas yang dimiliki seseorang. Kedua, secara sosial. Kesabaran,
EMOSI POSITIF
ketenangan selama mengasuh anak autis dapat berdampak positif pada diri ibu. Emosi positif membantu individu dalam hal kelekatan atau kedekatan dengan individu lain. Ketika seseorang sedang berada dalam emosi positif, hubungan pertemanan dan hubungan sosial lain akan lebih mudah terjalin. Hal ini disebabkan karena pada saat individu merasakan emosi positif, keadaan mental seseorang bersifat lebih fleksibel, toleran, dan kreatif sehingga lebih terbuka terhadap pengalaman baru (Seligman, 2005). Ketiga, secara fisik. Individu yang sehat akan mampu melihat lingkungannya secara objektif dan cerdas. Atas dasar pandangan inilah, ibu-ibu akan mengambil manfaat dari berbagai karunia dan cobaan Tuhan dengan penuh rasa tanggung jawab akan perannya sebagai seorang ibu. Ibu akan memberikan usaha yang terbaik buat anak, agar tumbuh kembangnya optimal. Menjalani hidup degan penuh keikhlasan, kesabaran, bersyukur dan berpikir positif akan membuat ibu lebih bahagia secara bathin dan tampil dalam fisik yang sehat. Seligman (2005) menyatakan bahwa kesehatan dan umur yang panjang merupakan suatu indikator yang digunakan untuk mengukur daya tahan fisik. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat bukti langsung bahwa emosi positif mampu mempengaruhi kesehatan dan umur panjang. Emosi positif mempunyai energi yang tinggi, misalnya saja keceriaan. Emosi positif juga melindungi individu dari kondisi buruk yang biasanya mengiringi proses penuaan, dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada individu yang tidak merasakan emosi
59
positif. Emosi positif yang ibu rasakan terlihat pada ungkapan pengalaman sebagaimana nampak pada Tabel 4.
Kondisi Perasaan Ibu Sekarang Fungsi emosi positif bagi ibu adalah mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis ibu dan ibu lebih menerima kondisi anaknya, meskipun masih saja terdapat ibu-ibu yang memiliki emosi negatif, seperti sedih, cemas, takut. Emosi positif tersebut selanjutnya diperkaya dengan pengalaman ibu. Menurut Folkman dan Moskowitz (2000), seseorang dapat mengalami emosi positif, bahkan di saat situasi yang penuh stres. Hasil penelitian semakin menunjukkan bahwa emosi positif dapat memiliki pengaruh yang unik pada kesehatan, bebas dari pengaruh negatif. Fredrickson (2004) juga mengungkapkan fungsi emosi positif antara lain adalah emosi positif mengatur emosi negatif, yang pada akhirnya menghasilkan konsekuensi yang menguntungkan bagi kesejahteraan psikologis dan fisiologis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, emosi positif memiliki beberapa keuntungan seperti emosi positif memperluas pemikiran, emosi positif dapat membatalkan emosi negatif, emosi positif menjadi energi untuk resiliensi psikologis, emosi positif membangun sumber daya individu, dan emosi positif menjadi energi untuk kesejahteraan fisik dan psikologis. Berdasarkan analisis koding terhadap angket terbuka, diperoleh kategori tematema tentang emosi positif yang ibu rasakan sekarang. Perasaan yang ibu
60
DAULAY
rasakan sekarang akan ungkapan pengalaman nampak pada Tabel 5.
terlihat pada sebagaimana
Kesimpulan dan Saran Penelitian ini bertujuan untuk menggali emosi positif yang ibu rasakan selama mengasuh anak autis. Emosi positif sangat tergantung pada penilaian individu terhadap suatu keadaan atau peristiwa, dan dapat memberi pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, kognitif, dan sosial individu. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk memahami peran emosi positif dalam mempengaruhi ketangguhan ibu mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu pengambilan data hanya menggunakan angket terbuka sehingga disarankan untuk melakukan wawancara mendalam agar dapat tergali informasi mengenai perasaan ibu dalam mengasuh anak autis dan ketangguhan ibu yang dipengaruhi oleh emosi positif.
Referensi Abbeduto, L., Seltzer, M. M., Shattuck, P., Krauss, M. W., Orsmond, G., & Murphy, M. M. (2004). Psychological well being and coping in mothers of youths with autism, down syndrome, or fragile X syndrome. American Journal on Mental Retardation, 109, 237-254. American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Washington,
DC : American Psychiatric Association. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 5th edition. (DSM-5 TM). Washington, DC: American Psychiatric Association. Boyd, B. A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 17(4). doi: 10.1177/10883576020170040301 Burrel, B., Thompson, B., Sexton, D. (1994). Predicting child abuse potential across family types. Child Abuse and Neglect, 18, 1039-1049. Donovan, A. M. (1988). Family stress and ways of coping with adolescents who have handicaps: Maternal perceptions. American Journal of Mental Retardation, 92, 502-509. Ecker, C. (2017). The neuroanatomy of autism spectrum disorder: An overview of structural neuroimaging findings and their translatability to the clinical setting. Autism, 21(1). doi: 10.1177/1362361315627136 Frederickson, B. L. (1998). What good are positive emotions? Review of General Psychology, 2(3), 300-319. Frederickson, B. L. (2000). Cultivating positive emotion to optimize health and well being. Prevention & Treatment, 3(1), 1a. Frederickson, B. L. (2004). The broadenand-build theory of positive emotion. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 359(1449), 1367.
EMOSI POSITIF
Fitroh, S. F. (2011). Hubungan antara kematangan emosi dan hardiness dengan penyesuaian diri menantu perempuan yang tinggal di rumah ibu mertua. Psikoislamika, 8(1), 83-89. Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2000). Positive emotion, and coping. American Psychological Society, 9(4), 115-118. Hardy, M., & Heyes, S. (1985). Pengantar psikologi (Soenardji, Trans.). Yogyakarta: Erlangga. Larsson, H., Eaton, W., Madsen, K., Vestergaard, M., Olesen, A., Agerbo, E., & Mortensen, P. (2005). Risk factors for autism: Perinatal factors, parental psychiatric history, and socioeconomic status. American Journal of Epidemiology, 161(10), 916925. Lazarus, R. S. (1991). Progress on a cognitive-motivational-relational theory of emotion. American Psychologist, 46(8), 819-834. doi:10.1037/0003066X.46.8.819 Lazarus, R.S. (2005). Emotion & adaptation. New York: Oxford University Press. Lucas, R. E., Diener, E., & Larsen, R. J. (2006). Measuring positive emotion. In S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.), Positive psychological assessment: A handbook of models and measure. Washington: American Psychological Association. Mashar, R. (2008). Pengaruh stimulasi “Aku anak ceria” terhadap peningkatan emosi positif anak usia dini. Humanitas, 5(2), 149-164. Mashita, P. (2015). Penerimaan orang tua terhadap anak penderita autis di
61
Surakarta (Unpublished bachelor’s thesis). Universitas Muhammadiyah. Surakarta. McStay, R., Dissanayake, C., Scheeren, A., Koot, H., Begeer, S. (2014). Parenting stress and autism: The role of age, autism severity, quality of life and problem behaviour of children and adolescents with autism. Autism, 18(5), 502-510. doi:10.1177/1362361313485163 Mash, E.J., & Wolfe, D.A. (1999). Abnormal child psychology. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. London: SAGE Pub. Safaria, T., & Nofrans, E. S. (2012). Manajemen emosi: Sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup. Jakarta: Bumi Aksara. Sanders, J. L., & Morgan, S. B. (1997). Family stress and management as perceived by parents of children with autism or down syndorme: Implications for intervention. Child and Family Behavior Therapy, 19, 15-32. Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan Pustaka. Sharpley, C. F., Bitsika, V., & Efremidis, B. (1997). Influence of gender, parental health, and perceived expertise of assistance upon stress, anxiety, and depression among parents of children with autism. Journal of Intellectual and Developmental Disability, 22, 19-28. Subandi. (2011). Sabar: Sebuah konsep psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2), 215-
62
DAULAY
227. Sheldon, K. M., Sonja, L. (2006). How to increase and sustain positive emotion: The effect of expressing gratitude and visualizing best possible selves. The Journal of Positive Psychology, 1(2), 73-82. Sholichatun, Y. (2008). Hidup setelah menikah, mengurai emosi positif dan resiliensi pada wanita tanpa pasangan. Egalita, 3(1). Retrieved from http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/egalita/article/vi ew/1969/pdf Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992). Health psychology: Challenging the biomedical model. Oxford, England: John Wiley & Sons. Strauss, A., & Corbin, J. (2003). Dasardasar penelitian kualitatif (Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tugade, M. M., Fredrickson, B. L. & Barrett, L. F. (2004). Psychological resilience and positive emotional granularity: examining the benefits of positive emotion on coping and health. Journal of Personality, 72(6), 1175-1182. Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi. (Padang Mursalin & Dinastuti, Tans.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Weiss, M. J. (2002). Hardiness and social support as predictors of stress in mother of typical, children with autism, and children with mental retardation. Autism, 6(1), 115-130. Wing, L. (1997). The autistic spectrum. The Lancet, 350(9093), 1761-1766. Yeni, F. (2013). Hubungan emosi positif dan kepuasan hidup pada lanjut usia
(Lansia) di kota Padang Provinsi Sumatera Barat. Ners Jurnal Keperawatan, 9(1), 10-21. Zillmer, E., Spiers, M., Culbertson, W. (2008). Principles of neuropsychology. USA: Thomson Higher Education. Alamat surel:
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia UKURAN SAMPEL 2017, Vol. XII, No. 1, 63-84, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
63
BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ? (IS IT TRUE THAT THE MINIMUM SAMPLE SIZE IS 30 ?) Agung Santoso Universitas Sanata Dharma The current article is written as an effort to answer the question about the sample size needed in a research. First, the article examines two arguments that have been referred to by many researchers supporting the opinion that the minimum sample size is 30. The two arguments are as follow: (a) sample size of 30 well represents the population characteristics; (b) the sample size tends to provide data that follow normal distribution. Three simulations were conducted; One for testing the first argument and two for testing the second argument. The results did not support the two arguments. Samples that are larger than 30 still have a large increase of precision. The sample size is not the determinant of the sample to pass the normality test or the statistics, the mean in this study, to follow normal distribution, particularly when the distribution in the population considerably deviates from the normal distribution. Then, the article offers to use power analysis as a way to determine the sample size.
Keywords: sample size, power analysis, effect size, type I error, type II error
Artikel ini ditulis sebagai usaha penulis untuk menjawab pertanyaan mengenai banyaknya jumlah partisipan yang perlu dilibatkan dalam penelitian. Terlebih dahulu, penulis menguji dua argumen yang sering diacu banyak peneliti yang mendasari pendapat bahwa besarnya ukuran sampel minimal adalah 30 orang. Kedua argumen tersebut adalah: (a) sampel dengan ukuran 30 cukup mewakili karakteristik populasi dan, (b) sampel dengan ukuran 30 cenderung menghasilkan data yang berdistribusi normal . Penulis melakukan satu simulasi untuk menguji argumen pertama dan dua simulasi untuk menguji argumen kedua. Hasil simulasi tidak menunjukkan dukungan memadai pada kedua argumen. Sampel dengan ukuran lebih dari 30 masih mengalami peningkatan presisi yang besar. Ukuran sampel yang makin besar juga bukan merupakan determinan dari lolosnya uji normalitas dari sampel. Ukuran sampel sebesar 30 juga tidak menjamin sebaran statistik, dalam hal ini mean, mengikuti distribusi normal khususnya ketika distribusi di populasi sangat jauh dari distribusi normal. Penulis menawarkan penggunaan analisis power sebagai salah satu cara untuk menentukan ukuran sampel.
Kata kunci: ukuran sampel, analisis power, ukuran efek, kesalahan tipe 1, kesalahan tipe 2
Penentuan ukuran sampel merupakan salah satu masalah yang sering muncul dalam penelitian di bidang Psikologi di Indonesia. Pertanyaan mengenai ukuran sampel minimal, seringkali diajukan tidak hanya oleh mahasiswa S1 dalam proses penyusunan skripsi mereka, tetapi juga
oleh para dosen dan peneliti yang lebih mapan di bidang Psikologi. Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena ukuran sampel, sebagai bagian dari desain penelitian, merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu penelitian (Burmeister & Aitken, 2012; Columb & Stevens, 2008; 63
64
SANTOSO
(a)
Data dari semua responden (b) Data dari pengajar rutin statistik Gambar 1. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 1
(a) Data dari semua responden (b) Data dari pengajar rutin statistik Gambar 2. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 2
Gambar
3.
Grafik
Mean,
IK
dan
Range
dari
Mean
Hasil
Simulasi
A
UKURAN SAMPEL
Stokes L, 2014). Sampel sebesar 30 merupakan jawaban yang paling sering diberikan sebagai persyaratan minimal ukuran sampel dalam penelitian. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey kecil yang dilakukan penulis mengenai ukuran sampel minimal yang dibutuhkan dalam suatu penelitian. Dua pertanyaan diajukan dalam survey tersebut terkait dengan isu mengenai ukuran sampel ini: (1) Besarnya sampel minimal untuk analisis statistik parametrik adalah 30 SECARA KESELURUHAN, dan; (2) Besarnya sampel minimal untuk analisis statistik parametrik adalah 30 TIAP KELOMPOK. Dua grafik pie dalam Gambar 1 menunjukkan persentase responden survey yang menyatakan “Benar”, “Salah” dan “Tidak Tahu” terkait dengan pernyataan 1. Kurang lebih 30% (n=17) responden menjawab “Benar” pada pernyataan tersebut (lihat Gambar 1a). Dari keseluruhan responden yang menjawab “Benar” tersebut, dua di antaranya adalah pengajar rutin statistik (lihat Gambar1b). Persentase menjawab “Benar” menjadi lebih banyak lagi pada pernyataan 2 yaitu 60% (lihat Gambar 2a). Pengajar statistik yang menjawab “Benar” dan “Salah” pada pernyataan ini memiliki jumlah yang sama yaitu 2 responden (lihat Gambar 2b). Sayangnya, sejauh yang dapat diketahui penulis, tidak ada kajian dan / atau publikasi yang memadai yang menyebutkan asal dari nilai sebesar 30 ini dan dasar pertimbangannya. Beberapa pertimbangan yang diketahui oleh penulis
65
didapatkan secara lisan yang mencakup (a) keterwakilan karakteristik populasi dan (b) pemenuhan asumsi yang terkait dengan bentuk distribusi data Argumen yang diajukan terkait dengan pertimbangan (a) adalah bahwa sampel sebesar 30 subjek dianggap sudah cukup baik untuk mewakili karakteristik populasi. Sayangnya, tidak cukup jelas apa yang dimaksud dengan mewakili karakteristik populasi ini. Saat ini, penulis baru dapat memikirkan dua kemungkinan maksud yang dikandung dalam “mewakili karakteristik populasi” ini. Pertama, estimasi parameter populasi yang diperoleh dari sampel sebesar 30 amatan, memiliki akurasi yang memadai. Akurasi berarti estimasi parameter populasi dari sampel tidak mengalami bias (Casella & Berger, 2001). Kedua, estimasi parameter dari sampel sebesar 30 dianggap sudah memiliki tingkat presisi yang baik. Presisi di sini berarti estimasi parameter populasi memiliki fluktuasi (variasi) yang kecil dari sampel satu ke sampel yang lain (Casella & Berger, 2001). Ukuran sampel lebih dari 30 dianggap tidak membuat estimasi memiliki presisi yang jauh lebih baik, sehingga ukuran sampel 30 ini ditentukan sebagai ukuran sampel minimal. Sampel sebesar 30 juga dianggap mencukupi untuk menghasilkan data yang mengikuti distribusi normal. Pertimbangan ini memiliki dua kemungkinan makna:(a) Data dari sampel sebesar 30 amatan itu sendiri yang mengikuti distribusi normal atau (b) Distribusi estimasi parameter yang dihasilkan dari sampel sebesar 30 lah yang mengikuti distribusi normal. Tidak jarang pertimbangan ini muncul dalam pernyataan yang kurang lebih berbunyi, “Jika jumlah
66
SANTOSO
Gambar 4. Gambaran Fluktuasi Mean-mean Sampel dari Replikasi Pertama hingga ke-1000
67
UKURAN SAMPEL
subjek minimal 30, kita bisa menggunakan statistik parametrik tanpa pengecekan asumsi”, atau bahkan, “meskipun pengecekan asumsi menunjukkan data tidak mengikuti distribusi normal”. Artikel ini ditulis untuk menguji pendapat “ukuran sampel minimal 30 amatan” ini beserta kedua argumen yang mendukungnya, sekaligus memperkenalkan pendapat lain mengenai penetapan ukuran sampel dalam suatu penelitian. Pendapat lain ini didasarkan pada studi dan tulisan yang sebenarnya sudah lama ada dalam literatur metode penelitian di Psikologi seperti Cohen (1988); Dattalo (2008); Hsu (1993); dll, yang tampaknya tidak terlalu dikenal dalam penelitian Psikologi di Indonesia. Ukuran sampel, dalam pandangan ini, ditetapkan untuk memperoleh besarnya power yang diinginkan dari analisis. Penulis menyusun artikel ini dalam beberapa bagian sebagai berikut. Pertama, penulis akan mengkaji pendapat “ukuran sampel minimal 30” beserta kedua argumen yang pendukungnya, dengan menggunakan studi simulasi. Pada bagian berikutnya, penulis akan memberikan perkenalan dan paparan sekilas mengenai penetapan ukuran sampel yang didasarkan pada analisis power. Paparan yang menyeluruh akan sulit dilakukan karena ruang lingkup topik mengenai analisis power ini sangat luas, karena setiap teknik analisis memiliki fungsi power -nya sendiri-sendiri. Paparan penulis akan dibatasi pada gambaran umum mengenai analisis power dan aplikasinya pada teknik analisis yang sederhana.
Penulis berharap artikel ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan mutu penelitian Psikologi di Indonesia khususnya terkait dengan penetapan ukuran sampel penelitian.
Studi Simulasi A Tujuan Simulasi ini dirancang untuk menguji argumen bahwa sampel sebesar 30 akan memberikan hasil estimasi parameter populasi yang memiliki akurasi dan presisi yang baik. Rancangan Simulasi Simulasi dilakukan dengan membuat (generate) data dari sebuah populasi yang memiliki distribusi normal dengan µ = 100 dan σ = 15 yang disebut sebagai variabel X. Penulis membuat data yang memiliki ukuran sampel yang bervariasi dari n = 10 hingga n = 500 dengan interval 10. Untuk setiap ukuran sampel, penulis mengambil sampel sebanyak NR = 1000 dan menghitung mean aritmatik dari setiap sampel yang kemudian disimpan sebagai data. Penulis kemudian menghitung mean aritmatik, standard deviasi, batas atas (U), batas bawah (L) dan jarak dari interval kepercayaan 95% (IK) dan nilai minimum (Min), maksimum (Max) dan range (R) dari mean-mean sampel tersebut, untuk setiap ukuran sampel. Nilai-nilai ini akan digunakan untuk melihat apakah sampel dengan ukuran tertentu dapat memberikan estimasi parameter populasi dengan akurasi dan presisi yang baik. Akurasi akan ditunjukkan oleh kecilnya bias atau dekatnya nilai mean dari mean-mean sampel ( ), dari nilai µ;
68
SANTOSO
semakin dekat dari µ, berarti mean yang berasal dari sampel dengan ukuran tertentu semakin akurat. Perlu dicatat di sini bahwa bias tidak mengacu pada hasil estimasi dari satu sampel saja, melainkan mean dari hasil estimasi dari banyak sampel jika sampel terus menerus diambil sampai tak terhingga (Casella & Berger, 2001). Dalam simulasi ini “tak terhingga” didekati dengan jumlah replikasi sebanyak 1000. Presisi akan ditunjukkan oleh seberapa besar fluktuasi nilai mean-mean sampel dari 1000 replikasi yang dilakukan. Semakin kecil fluktuasi, semakin tinggi presisi hasil estimasi parameter populasi. Dalam penelitian ini, presisi dikuantifikasi dengan menggunakan IK dan range. Ini berarti makin kecil IK atau range yang dihasilkan dari suatu ukuran sampel, makin tinggi presisi estimasi yang dihasilkan dari ukuran sampel tersebut. Untuk memudahkan penilaian, hasil simulasi akan dipaparkan dalam bentuk grafik. Grafik pertama akan menggambarkan nilai mean, IK 95%, nilai maksimum dan minimum dan range. Penilaian dapat diberikan terhadap performansi dari estimasi parameter populasi jika menggunakan ukuran sampel tertentu dengan menggunakan grafik tersebut. Grafik kedua akan menunjukkan mean-mean sampel dari replikasi pertama hingga replikasi ke-1000 untuk empat ukuran sampel: 30, 100, 250, 500. Empat ukuran sampel dipilih sebagai contoh untuk memberikan gambaran seberapa besar fluktuasi nilai mean-mean sampel.
Hasil Simulasi Hasil simulasi A dapat dilihat dalam Gambar 3 dan Gambar 4. Untuk semua ukuran sampel, mean dari mean-mean sampel mendekati nilai µ = 100 (lihat Gambar 3). Ini berarti dalam simulasi ini, ukuran sampel tidak mempengaruhi bias yang dialami oleh mean sampel. Hal ini diakibatkan estimator yang digunakan, yaitu memang tidak bias, terlepas dari ukuran sampel yang digunakan. Presisi dari mean yang dihitung dari sampel dengan ukuran yang lebih besar lebih baik daripada presisi dari mean sampel dengan ukuran yang lebih kecil. Hal ini ditunjukkan oleh area berwarna abu-abu yang mengecil ketika mean dihitung dari sampel dengan ukuran yang lebih besar. Area berwarna abu-abu ini dibatasi oleh dua garis merah yang merupakan nilai maksimum dan minimum mean sampel yang merupakan nilai mean terbesar dan terkecil dari mean yang dihitung berdasarkan sampel-sampel hasil replikasi. Garis berwarna hijau merupakan perhitungan IK 95% dengan standard error (SE) yang dihitung berdasarkan data meanmean sampel dari hasil replikasi. Penulis juga menghitung range dan interval antara batas atas dan batas bawah IK 95% dari 4 ukuran sampel untuk dijadikan gambaran mengenai seberapa baik presisi dari mean yang dihitung dari sampel dengan ukuran tertentu. Mean dari sampel dengan ukuran 30 memiliki range sebesar 16.94 dan IK 95% sebesar 10.81. Ini berarti ketika seorang peneliti menghitung mean dari sampel dengan ukuran 30, untuk mengestimasi µ populasi sebesar 100, ia akan memperoleh nilai mean sampel
UKURAN SAMPEL
69
Gambar 5. Persentase Sampel yang Lolos Paling Tidak Satu Uji Normalitas
Gambar 6. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100, 250, 500 yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Normal
70
SANTOSO
yang dapat bergerak antara 91.87 hingga 108.81. Dengan menggunakan IK 95%, nilai mean dari sampel dengan ukuran 30 memiliki probabilitas 95% untuk berada di antara 94.73 hingga 105.54. Dalam simulasi ini, range dan IK ini menjadi paling kecil ketika mean dihitung dari sampel dengan ukuran 500 (range=4.26, interval=2.55). Fluktuasi nilai mean dari sampel dengan ukuran 30, 100, 250, dan 500 juga dapat dilihat lebih jelas dalam Gambar 4. Ketika sampel dengan ukuran 30 digunakan, nilai mean yang diperoleh memiliki fluktuasi yang sangat lebar dari sampel yang satu ke sampel yang lain, sementara ketika menggunakan sampel dengan ukuran 500, kisaran nilai mean sampel tidak terlalu lebar. Kedua gambar ini menunjukkan bahwa penggunaan sampel dengan ukuran kecil memperbesar kemungkinan untuk memperoleh estimasi yang nilainya jauh berbeda dari parameter di populasi. Melibatkan sampel dengan ukuran yang lebih besar akan memperkecil kemungkinan ini. Dalam simulasi ini, menambah ukuran sampel menjadi 100 akan membuat range menjadi 40% lebih kecil daripada jika ukuran sampel sebesar 30. Sementara, menggunakan ukuran sampel sebesar 250 dan 500 mengurangi range hingga 60% dan 75% dari ukuran sampel 30. Ukuran sampel sedikit lebih besar dari 30 juga masih menunjukkan peningkatan presisi yang tajam sehingga argumen bahwa peningkatan presisi menjadi tidak terlalu besar setelah ukuran sampel mencapai 30 tidak didukung oleh hasil
simulasi ini. Simulasi B Tujuan Simulasi ini dilakukan untuk menguji apakah sampel dengan n = 30 akan menghasilkan data yang mengikuti distribusi normal. Rancangan Simulasi Simulasi dilakukan dengan cara membuat data sampel dengan ukuran yang berbeda-beda dari 10 hingga 500 dengan interval 10. Data sampel tersebut diambil dari populasi dengan distribusi yang berbeda: distribusi normal, distribusi t dengan db = 5, dan distribusi F dengan db 1 = 2, db 2 = 50. Dua distribusi selain distribusi normal dipilih untuk menggambarkan kondisi ketika populasi tempat sampel diambil itu sendiri tidak mengikuti distribusi normal. Distribusi t dengan db = 5 dipilih untuk menggambarkan distribusi yang heavytailed tetapi simetris, sementara distribusi F dengan db 1 = 2, db 2 = 50 dipilih untuk menggambarkan distribusi yang juling. Untuk setiap ukuran sampel, penulis melakukan replikasi sebanyak 1000, kemudian melakukan uji normalitas menggunakan enam teknik pada tiap sampel dan menghitung persentase sampel yang lolos paling tidak satu uji normalitas yang dilakukan. Enam uji normalitas yang digunakan dalam studi ini adalah uji Anderson-Darling, Shapiro Wilk, Cramer-von Mises, KolmogorovSmirnof dengan koreksi dari Lilliefors, Chi Square dari Pearson, dan Shapiro-
71
UKURAN SAMPEL
Francia dengan menggunakan salah satu paket dari R bernama nortest (Gross & Ligges, 2015). Hasil Simulasi Hasil simulasi ditampilkan dalam Gambar 5. Ketika populasi memiliki distribusi normal, semua ukuran sampel memiliki persentase sampel yang lolos paling tidak satu uji asumsi hampir 100%. Ini berarti ukuran sampel tidak berpengaruh terhadap kenormalan data jika diambil dari populasi yang memiliki distribusi normal. Hal ini berbeda dengan sampel yang diambil dari populasi dengan distribusi heavy-tailed. Besarnya persentase sampel yang lolos paling tidak satu uji normalitas semakin kecil ketika ukuran sampel membesar. Ketika sampel berukuran n = 30, persentase banyaknya sampel yang lolos paling tidak satu uji normalitas adalah sekitar 95%, dan menjadi sekitar 80% ketika ukuran sampel sebesar 100 amatan, 70% ketika ukuran sampel sebesar 250, dan hanya sekitar 40% ketika sampel berukuran 500. Ini berarti semakin besar ukuran sampel, makin besar kemungkinan data dari sampel tidak lolos uji asumsi normalitas ketika populasi tidak mengikuti distribusi normal. Persentase sampel yang lolos paling tidak satu uji asumsi normalitas makin kecil ketika populasi memiliki distribusi yang juling. Ketika n = 10, persentase sampel yang lolos
mencapai kurang lebih 75%, dan menjadi sekitar 20% ketika n = 30. Persentase ini mendekati nol ketika sampel memiliki ukuran sebesar 70 atau lebih. Ini berarti makin besar sampel, makin kecil kemungkinan sampel tersebut lolos uji normalitas ketika populasi memiliki distribusi yang juling. Berdasarkan hasil simulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa besarnya ukuran sampel tidak dapat memberikan jaminan untuk memperoleh data sampel yang lolos tes normalitas. Ukuran sampel yang makin besar justru makin memperbesar kemungkinan sampel tidak lolos uji normalitas ketika populasi tempat sampel itu berasal, tidak berdistribusi normal. Ketika sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, ukuran sampel sebesar 30 tidak menunjukkan perbedaan persentase lolos uji normalitas yang mencolok dengan ukuran sampel lain. Semua ukuran sampel, bahkan dengan n = 10 sekalipun, memiliki persentase lolos uji normalitas mendekati 100%. Oleh karena itu argumen yang menyatakan bahwa besar sampel 30 cenderung akan menghasilkan data yang memenuhi asumsi normalitas tidak didukung oleh hasil simulasi ini. Distribusi di populasi lah yang merupakan determinan dari lolos tidaknya uji normalitas data di sampel. Simulasi C Tujuan Simulasi ini dirancang untuk menguji argumen bahwa dengan ukuran sampel
72
SANTOSO
Gambar 7. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100, 250, 500 yang Diambil dari Populasi Heavy-tailed.
Gambar 8. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100, 250, 500 yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Juling
73
UKURAN SAMPEL
Gambar 9. Ilustrasi Besarnya Power Tabel 1 Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Berdistribusi Normal
n=10
n=30
n=100
n=250
n=500
AndersonDarling (A)
Shapiro -Wilk (W)
Cramer -von Mises (W)
Lilliefors-KS (D)
Pearson Chi Square (P)
Shapiro -Francis (W)
0.343
0.998
0.054
0.018
21.952
0.999
( p = 0.49 )
( p = 0.54 )
( p = 0.46 )
( p = 0.63 )
( p = 0.82 )
( p = 0.56 )
0.499
0.997
0.066
0.022
29.248
0.997
( p = 0.21 )
( p = 0.08 )
( p = 0.31 )
( p = 0.27 )
( p = 0.45 )
( p = 0.12 )
0.232
0.999
0.036
0.022
28.608
0.999
( p = 0.8 )
( p = 0.75 )
( p = 0.75 )
( p = 0.3 )
( p = 0.49 )
( p = 0.67 )
0.317
0.999
0.04
0.017
41.536
0.999
( p = 0.54 )
( p = 0.72 )
( p = 0.68 )
( p = 0.73 )
( p = 0.06 )
( p = 0.61 )
0.245
0.998
0.031
0.017
23.04
0.998
( p = 0.76 )
( p = 0.43 )
( p = 0.84 )
( p = 0.69 )
( p = 0.77 )
( p = 0.25 )
Shapiro -Francis (W)
Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Heavy-tailed
n = 10
n = 30
n = 100
n = 250
n = 500
AndersonDarling (A)
Shapiro -Wilk (W)
Cramer -von Mises (W)
Lilliefors-KS (D)
Pearson Chi Square (P)
0.913
0.996
0.139
0.029
34.816
0.996
( p = 0.02 )
( p = 0.02 )
( p = 0.03 )
( p = 0.05 )
( p = 0.21 )
( p = 0.02 )
0.214
0.996
0.028
0.014
24
0.995
( p = 0.85 )
( p = 0.01 )
( p = 0.87 )
( p = 0.88 )
( p = 0.73 )
( p = 0.00 )
0.241
0.999
0.034
0.017
25.92
0.999
( p = 0.77 )
( p = 0.84 )
( p = 0.79 )
( p = 0.69 )
( p = 0.63 )
( p = 0.67 )
0.218
0.999
0.035
0.017
30.72
0.999
( p = 0.84 )
( p = 0.8 )
( p = 0.76 )
( p = 0.71 )
( p = 0.38 )
( p = 0.77 )
0.6
0.998
0.096
0.023
28.736
0.998
( p = 0.12 )
( p = 0.14 )
( p = 0.13 )
( p = 0.25 )
( p = 0.48 )
( p = 0.25 )
74
SANTOSO
sebesar 30, estimasi parameter akan mengikuti distribusi normal. Rancangan Simulasi Simulasi ini dilakukan dengan menarik sampel dari tiga populasi yang memiliki distribusi yang berbeda seperti pada simulasi B: distribusi normal, distribusi t dengan df = 5 (distribusi heavy-tailed) dan distribusi F dengan df 1 = 2, df 2 = 50 (distribusi juling). Ukuran sampel yang digunakan juga dipilih dari 10 hingga 500 dengan interval 10. Untuk setiap ukuran sampel, penulis menarik 1000 sampel yang kemudian dihitung nilai meannya dan disimpan sebagai data. penulis kemudian mengecek apakah distribusi dari mean-mean sampel untuk tiap ukuran sampel ini mengikuti distribusi normal. Distribusi dari meanmean sampel ini dilihat kesesuaiannya dengan distribusi normal dengan menggunakan grafik garis dan 6 uji normalitas yang digunakan pada simulasi B. Hasil Simulasi Hasil simulasi ini dijabarkan dalam tiga grafik dan tiga tabel. Masingmasing grafik dan tabel menampilkan distribusi dari mean-mean sampel yang berasal dari tiga populasi dengan distribusi yang berbeda. Gambar 6 menampilkan sebaran mean dari sampel-sampel dengan ukuran 10, 30, 100, 250 dan 500 yang diambil dari populasi berdistribusi normal. Dengan pengamatan subjektif
dapat dilihat bahwa semua ukuran sampel menghasilkan distribusi mean sampel yang mengikuti distribusi normal dengan standard deviasi yang berbeda. Tabel 1 juga menunjukkan hal yang sama. Tidak satupun uji normalitas memiliki statistik yang signifikan yang berarti data mean sampel yang dihasilkan dari semua ukuran sampel mengikuti distribusi normal. Gambar 7 memberikan gambaran sebaran mean dari sampel-sampel yang diambil dari populasi berdistribusi heavy-tailed. Kita dapat melihat bahwa dari gambar tersebut, ketika n = 10 dan n = 30, bentuk distribusi mean sampel terlihat agak juling, sementara ukuran sampel yang lebih besar cenderung menghasilkan data mean sampel yang mengikuti distribusi normal. Tabel 2 memberikan informasi yang mendekati hasil pengamatan ini. Untuk n = 10 dan n = 30, ada beberapa uji asumsi normalitas yang memberikan hasil yang signifikan. Misalnya untuk n = 10, hanya uji normalitas menggunakan Pearson-Chi Square yang melaporkan nilai p > 0.05. Sementara untuk n = 30, dua uji normalitas memberikan hasil yang signifikan. Ini berarti sampel sebesar 10 dan 30 masih dapat menghasilkan data mean sampel yang tidak berdistribusi normal. Dalam simulasi ini, hanya sampel sebesar 100 atau lebih besar yang memiliki hasil uji normalitas yang tidak signifikan untuk semua uji. Ketika tingkat ketidaknormalan semakin parah di populasi, yang diwakili
75
UKURAN SAMPEL
Tabel 3 Hasil Uji Normalitas dari Sampel yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Juling
n = 10 n = 30
AndersonDarling (A)
Shapiro -Wilk (W)
Cramer -von Mises (W)
Lilliefors-KS (D)
Pearson Chi Square (P)
Shapiro -Francis (W)
4.877
0.977
0.785
0.053
73.216
0.978
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
2.064
0.029
69.248
0.987
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
( p = 0.00 )
0.039
42.688
0.988
( p = 0.05 )
( p = 0.05 )
( p = 0.00 )
0.025
29.248
0.998
( p = 0.15 )
( p = 0.45 )
( p = 0.16 )
0.026
33.216
0.998
( p = 0.11 )
( p = 0.27 )
( p = 0.44 )
0.987 0.228 ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )( p = 0.05 )
n = 100 2.291
0.988
0.377
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) n = 250 0.532
0.998
0.083
( p = 0.17 ) ( p = 0.24 ) ( p = 0.19 ) n = 500 0.478
0.998
0.07
( p = 0.24 ) ( p = 0.49 ) ( p = 0.28 )
dengan distribusi juling, distribusi sampel mean juga semakin sulit untuk mengikuti distribusi normal. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 8 dan Tabel 3 . Dibutuhkan sampel yang makin besar agar bentuk distribusi mean sampel dapat mengikuti distribusi normal. Dalam simulasi ini, dibutuhkan n = 250 atau lebih besar agar distribusi mean sampel dapat lolos semua uji normalitas. Sementara jika sampel berukuran 100 atau lebih kecil, bentuk distribusi dari mean sampel akan cenderung tidak mengikuti distribusi normal. Kesimpulan Hasil Simulasi Tiga simulasi telah dilakukan untuk menguji argumen yang mendasari klaim bahwa ukuran sampel minimal dalam sebuah penelitian adalah 30. Hasil ketiga simulasi tersebut
menunjukkan bahwa argumen yang mendasari klaim tersebut tidak didukung oleh data simulasi dalam studi ini. Akurasi estimasi parameter di populasi tidak terkait langsung dengan ukuran sampel, yang ditunjukkan oleh kecilnya bias estimasi meskipun ukuran sampel bahkan lebih kecil daripada 30. Hal ini menunjukkan bahwa penentu bias estimasi parameter bukanlah ukuran sampel melainkan pilihan estimatornya. Ukuran sampel sebesar 30 memiliki masalah dalam hal presisi. Peningkatan presisi pada ukuran sampel lebih besar dari 30 juga masih cukup besar. Ini berarti argumen bahwa presisi dari ukuran sampel sebesar 30 sudah baik dan ukuran sampel lebih besar dari 30 tidak mengalami banyak peningkatan tidak didukung oleh studi simulasi ini. Simulasi juga menunjukkan bahwa argumen yang menyatakan bahwa ukuran sampel sebesar 30 cenderung
76
SANTOSO
menghasilkan data yang mengikuti normalitas tidak didukung oleh data. Distribusi data di sampel lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk distribusi data di populasinya. Bahkan, ukuran sampel sebesar 30 cenderung memberikan informasi yang keliru mengenai bentuk distribusi di populasi mengingat persentase sampel dengan ukuran 30 yang lolos paling tidak satu uji normalitas ketika distribusi di populasi tidak mengikuti distribusi normal masih tinggi: (a) Lebih dari 90% ketika distribusi di populasi mengikuti distribusi heavy-tailed, (b) Sekitar 20% ketika distribusi di populasi mengikuti distribusi juling. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa ukuran sampel sebesar 30 cenderung tidak menghasilkan distribusi mean sampel yang mengikuti distribusi normal ketika populasi tidak mengikuti distribusi normal. Hanya ketika populasi mengikuti distribusi normal saja, ukuran sampel sebesar 30 menghasilkan mean sampel yang berdistribusi normal. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan ukuran sampel minimal sebesar 30 memiliki beberapa kelemahan. Pertama, statistik yang dihasilkan dari ukuran sampel lebih besar dari 30 memiliki tingkat presisi yang masih jauh lebih baik dibandingkan statistik dari sampel dengan ukuran 30. Oleh karena itu menjadikan ukuran sampel sebesar 30 sebagai ukuran minimal, akan meningkatkan besarnya kemungkinan memperoleh estimasi
di sampel yang tidak menggambarkan keadaan populasinya. Kedua, ukuran sampel tidak dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi ketidaknormalan data di sampel, karena bentuk distribusi di populasi lah yang merupakan determinan yang berpengaruh. Ketiga, ketika distribusi populasi sangat jauh dari distribusi normal, ukuran sampel yang dibutuhkan untuk menghasilkan statistik, misalnya mean, yang berdistribusi normal juga semakin besar. Ukuran sampel sebesar 30 tidak memadai untuk menghasilkan distribusi statistik yang mengikuti kurve normal dalam kondisi ini. Lebih jauh lagi, kedua kriteria yang digunakan untuk menetapkan besarnya sampel memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama terkait dengan subjektivitas yang terlalu besar yang dilibatkan dalam penentuan besarnya sampel. Misalnya apa batasan besarnya sampel memberikan presisi estimasi yang baik? Kelemahan kedua terkait dengan informasi yag dapat disajikan oleh kriteria tersebut. Misalnya jika besarnya sampel tertentu dianggap mewakili populasi, seberapa mewakili? Selain itu, kedua kriteria tersebut lebih banyak terkait dengan bentuk distribusi di populasi daripada besarnya sampel. Misalnya, dari hasil simulasi juga dapat kita lihat bahwa bentuk distribusi sampel atau mean sampel lebih ditentukan oleh bentuk populasinya. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan kriteria atau pendekatan lain untuk menetapkan besarnya sampel yang dapat mengatasi kelemahan-
UKURAN SAMPEL
kelemahan ini. Analisis Power: Alternatif Penentuan Ukuran Sampel Power adalah probabilitas menolak H0 ketika H0 salah di populasi, yang dilambangkan dengan (1 − β) (Cohen, 1988; Dattalo, 2008; Murphy et al., 2003). Untuk memahami power ini, perlu kiranya penulis membahas terlebih dahulu mengenai dua tipe kesalahan yang mungkin terjadi ketika seorang peneliti mengambil keputusan untuk menolak atau gagal menolak hipotesis nul (H 0 ). Tipe kesalahan 1 merupakan kesalahan yang dilakukan peneliti ketika memutuskan untuk menolak H 0 ketika H 0 benar. Probabilitas melakukan kesalahan tipe 1 ini dilambangkan dengan α. Tipe kesalahan 2 merupakan kesalahan pengambilan keputusan ‘gagal menolak‘ H 0 ketika H 0 salah. Probabilitas melakukan kesalahan tipe 2 ini dilambangkan dengan . Besarnya hanya dapat diketahui jika besarnya efek di populasi juga diketahui. Oleh karena peneliti biasanya tidak mengetahui besarnya efek di populasi, maka besarnya juga tidak diketahui secara pasti. Peneliti hanya dapat mengestimasi besarnya efek di populasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, sehingga yang diperoleh juga hanya berupa perkiraan. Power didefinisikan sebagai (1 - ) atau probabilitas menolak H 0 ketika H 0 salah. Ilustrasi power ada dalam Gambar 9. Misalnya seorang peneliti hendak menguji H 0 yang menyatakan tidak ada korelasi antara X dan Y. Ia
77
menetapkan α sebesar 0.05. Jika ternyata, korelasi antara X dan Y sama dengan nol di populasi (tidak ada korelasi atau H 0 benar), maka besarnya kemungkinan peneliti menolak H 0 tersebut (atau memperoleh hasil yang signifikan) adalah 0.05. Jika ternyata, korelasi antara X dan Y sama dengan 0.5 (atau nilai lain yang tidak sama dengan nol, atau H 0 salah), maka besarnya probabilitas ‘gagal menolak’ H 0 (atau memperoleh hasil yang tidak signifikan) adalah sebesar dan probabilitas menolak H 0 sebesar (1 - ) atau sama dengan besarnya power. Besarnya power dipengaruhi oleh, paling tidak, tiga komponen; yaitu: Pertama, Besarnya kesalahan tipe 1 atau α yang diijinkan dalam uji hipotesis nul. Dalam penelitian di Psikologi, α biasanya ditetapkan sebesar 0.05 dengan beberapa pertimbangan (Howell, 2009; Santoso, 2009). Besarnya α ini berbanding lurus dengan power; semakin kecil α yang digunakan, semakin kecil power dari uji yang dijalankan. Kedua, Standard error (SE) dari estimasi parameter atau oleh Cohen (1988) disebut sebagai reliabilitas hasil yang diperoleh dari sampel. SE dari estimasi parameter yang diuji berbanding terbalik dengan power; semakin besar SE semakin kecil power dari uji yang dijalankan. SE sendiri dipengaruhi oleh karakteristik dari teknik estimasi yang digunakan. Misalnya estimasi koefisien regresi dengan menggunakan metode Least Squares (LS) dianggap memiliki SE terkecil dibandingkan metode lain.
78
SANTOSO
Besarnya sampel merupakan faktor lain yang mempengaruhi SE; semakin besar sampel, SE dari estimasi parameter akan menjadi semakin kecil. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam rumus SE untuk mean sampel berikut: (1) merupakan standard deviasi dari X di populasi dan n adalah besarnya sampel. Semakin besar n σ
akan
membuat
nilai
menjadi
semakin kecil. Ketiga, besaran efek (effect size). Ada beberapa besaran efek yang diperkenalkan oleh Cohen (1988), dan sering digunakan dalam penelitian psikologi, misalnya d, f2 , dan r. Ketiga besaran efek ini dapat saling ditransformasi ke nilai yang lain. Besaran efek ini berbanding lurus dengan power; semakin besar efek dalam suatu penelitian, semakin besar power dari uji yang dilakukan terhadap efek tersebut. Analisis power merupakan analisis yang digunakan untuk menghitung besarnya power dari suatu analisis statistik dalam suatu penelitian. Ada dua tujuan dilakukannya analisis power ini (Cohen, 1988; Dattalo, 2008; Murphy et al., 2003): Pertama, Mengetahui besarnya power dari suatu analisis yang telah dilakukan. Misalnya apakah analisis yang telah dijalankan memiliki power yang memadai untuk mengidentifikasi
efek variabel independen pada variabel dependen. Kedua, mengetahui besarnya sampel yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi efek dengan besaran tertentu. Pengetahuan ini biasanya berguna dalam tahap perencanaan, yaitu untuk menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam penelitian. Analisis power ini memiliki prosedur yang sangat beragam, masing-masing bergantung pada teknik analisis yang digunakan dan bentuk distribusi dari statistik yang diujikan, misalnya t, F, χ2 , dll. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis hanya akan memberikan contoh pada uji aplikasi analisis power perbedaan mean dua kelompok independen dengan menggunakan uji t untuk menentukan besarnya sampel. Contoh ilustrasi Seorang penulis hendak mempelajari efek dari tritmen yang dirancangnya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Ia memasukkan partisipanpartisipan penelitiannya ke dalam dua kelompok secara random, satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Banyaknya partisipan yang terlibat sebesar 15 untuk tiap kelompok. Besarnya mean dan standard deviasi yang diperoleh dari setiap kelompok ditunjukkan dalam tabel 4 . Hasil analisis menggunakan uji t sampel independen memberikan hasil yang tidak signifikan (t(df = 28) = 1.0531, p = 0.301). Berapakah besarnya power dalam analisis tersebut? Jika besarnya efek dalam penelitian ini
79
UKURAN SAMPEL
dianggap sebagai efek dalam populasi, berapakah ukuran sampel yang seharusnya diambil agar analisis ini memiliki power sebesar 80%? Tabel 4 Mean dan Standard Deviasi untuk Setiap Kelompok Kelompok
Mean
SD
Kontrol
100.064 4.740
Eksperimen 100.786 4.200 Perhitungan power dalam kasus ini dimulai dengan menghitung besarnya besaran efek (effect size) d dalam analisis tersebut. Untuk menghitung besarnya d ini perlu dihitung lebih dulu spool yang merupakan standard deviasi dari gabungan standard deviasi kedua kelompok, yang dihitung sebagai berikut:
Besarnya d dihitung sebagai 1988):
kemudian dapat berikut (Cohen,
ditemukan dengan melihat tabel 2.3.5 yang disediakan Cohen (1988, h.36). Dalam tabel tersebut, tidak ditemukan angka d = 0.385. Oleh karena itu digunakan nilai yang terdekat yaitu 0.4. Dengan n = 15 untuk tiap kelompok dan d = 0.4, power dari analisis yang dilakukan adalah sebesar 18%. Besarnya power dapat juga ditemukan dengan menggunakan perintah pwr.t.test dari paket pwr (Champely, 2015) dalam program R (R Core Team, 2015). Dengan menggunakan perintah ini, ditemukan power dari analisis ini sebesar 17.47%, mendekati nilai yang ditemukan dalam tabel Cohen (1988). Ini berarti, jika hipotesis nul di populasi salah, besarnya probabilitas ditemukan hasil yang signifikan dalam analisis ini hanya sebesar 18%. Untuk menjawab pertanyaan kedua, tabel 2.4.1 yang disediakan Cohen (1988, h.55) dapat digunakan. Dalam tabel tersebut, dengan d = 0.4, α = 0.05, dan power = 0.8, besarnya n yang dibutuhkan untuk tiap kelompok adalah 99 orang. Besarnya n ini juga dapat dihitung menggunakan perintah yang pwr.t.test. Besarnya n yang ditemukan adalah 106.87, sedikit berbeda dari tabel 2.4.1 Cohen (1988). Ini berarti dibutuhkan sampel dengan total partisipan sebesar kurang lebih 214 orang agar probabilitas memperoleh hasil signifikan dalam analisis ketika hipotesis nul salah adalah 80%. Pembahasan
Besarnya
power
dapat
Artikel ini ditulis untuk mencapai
80
SANTOSO
dua tujuan: (a) menguji argumen yang mendasari pendapat bahwa ukuran sampel minimal dalam penelitian sebesar 30, dan (b) memperkenalkan pendekatan lain dalam menentukan besar sampel yang didasarkan pada analisis power. Hasil simulasi dalam penelitian ini tidak menunjukkan dukungan terhadap argumen yang mendasari penentuan ukuran sampel sebesar 30. Ukuran sampel sebesar 30 tidak memiliki presisi yang memadai untuk mewakili karakteristik populasi. Statistik yang diperoleh dari sampel dengan ukuran lebih besar dari 30 masih mengalami peningkatan besar. Ukuran sampel sebesar 30 tidak menjamin data di sampel akan lolos uji asumsi normalitas. Faktor penentu dari lolos uji asumsi ini adalah bentuk distribusi di populasi, bukan ukuran sampel. Distribusi statistik tidak ditentukan oleh ukuran sampel, melainkan oleh bentuk distribusi di populasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa argumen yang mendukung pendapat ukuran sampel sebesar 30 tidak memperoleh dukungan dalam penelitian ini. Lebih jauh lagi, kriteria yang digunakan dalam kedua argumen tidak dapat digunakan sebagai cara menentukan besarnya sampel. Penentuan besarnya sampel berdasarkan presisi memiliki kelemahan dalam hal tidak adanya kriteria yang dapat diberlakukan secara universal. Hal ini dikarenakan SE sebagai ukuran presisi tergantung
pada unit pengukuran dari data yang diperoleh. Misalnya data yang berasal dari tes yang terdiri dari 20 item akan memiliki unit pengukuran yang berbeda dari tes yang terdiri dari 40 item. Sementara itu, bentuk distribusi data di sampel dan distribusi statistik lebih banyak ditentukan oleh bentuk distribusi populasi, bukan ukuran sampel. Oleh karena itu dibutuhkan kriteria lain yang dapat mengatasi kedua kelemahan tersebut. Penggunaan ukuran sampel sebesar 30 ini dapat menurunkan kualitas penelitian Psikologi di Indonesia. Kemampuan peneliti untuk mengidentifikasi parameter yang memiliki nilai kecil di populasi akan menjadi makin kecil dikarenakan power yang rendah. Ukuran sampel sebesar 30 akan cenderung memberikan hasil estimasi yang memiliki presisi yang rendah. Presisi yang rendah ini berarti hasil estimasi di sampel akan cenderung memiliki penyimpangan yang lebar dari parameter yang diestimasi, atau memberikan gambaran yang tidak sebenarnya dari kondisi di populasi. Pendekatan analisis power dapat mengatasi kedua kelemahan pendekatan sebelumnya. Dalam analisis power, kriteria yang digunakan untuk menentukan besarnya sampel adalah power yang bergerak dari 0 hingga 1. Power ini tidak dipengaruhi oleh unit pengukuran dari data yang diperoleh, sehingga nilainya dapat diberlakukan secara universal. Meskipun besarnya power ditentukan
81
UKURAN SAMPEL
secara subjektif, saat ini ada kesepakatan mengenai nilai power yang dianggap memadai yaitu satu dikurangi empat kali besarnya α yang ditentukan (1 – 4*α) (Dattalo, 2008). Oleh karena itu, jika peneliti menentukan α sebesar 5% maka besarnya power yang memadai adalah 80%. Ukuran sampel dalam pendekatan sebelumnya bukan merupakan penentu bentuk distribusi di sampel atau bentuk distribusi statistik. Hal ini berbeda dengan analisis power: ukuran sampel merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya power. Power ditentukan oleh α, besaran efek dan SE yang dipengaruhi secara langsung oleh ukuran sampel. Oleh karena itu, dengan mengendalikan α dan besaran efek, power dapat dicari berdasarkan ukuran sampel tertentu dan sebaliknya ukuran sampel yang diharapkan dapat dicari berdasarkan power yang dianggap memadai. Penentuan besarnya sampel dengan pendekatan analisis power juga memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya. Dengan menggunakan pendekatan ini, peneliti dapat menggunakan informasi yang diperoleh melalui analisis power untuk mengevaluasi hasil analisis yang telah dijalankan atau menentukan besarnya sampel yang dapat mengidentifikasi efek dengan kuantitas yang berbeda. Jika peneliti mengantisipasi ukuran efek yang kecil, maka analisis power ini
dapat digunakan untuk menentukan ukuran sampel agar analisis memiliki probabilitas memperoleh hasil yang signifikan dengan besaran yang diharapkan peneliti. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan penggunaan analisis power untuk menentukan besarnya sampel. Pemahaman peneliti psikologi di Indonesia mengenai ukuran sampel minimal sebesar 30 perlu diluruskan, baik melalui jalur pendidikan formal, seminar atau workshop agar dampak dari penggunaan ukuran sampel terhadap kualitas penelitian psikologi di Indonesia dapat diatasi.
Referensi Burmeister, E. & Aitken, L. M. (2012). Sample size: How many is enough? Australian Critical Care, 25(4), 271– 274. Casella, G. & Berger, R. L. (2001). Statistical inference ( 2nd ed.). Pacific Grove, CA: Duxbury Press. Champely, S. (2015). pwr: Basic functions for power analysis. R package version 1.1-3. Retrieved from http://CRAN.Rproject.org/package=pwr Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral sciences. Hillsdale, N.J: Routledge. Columb, M. O. & Stevens, A. (2008). Power analysis and sample size calculations. Current Anaesthesia & Critical Care, 19(1), 12–14. Dattalo, P. (2008). Determining sample size balancing power, precision, and
82
SANTOSO
practicality. New York, NY: Oxford University Press. Gross, J. & Ligges, U. (2015). nortest: Tests for normality. R package version 1.0-3. Retrieved from http://CRAN.Rproject.org/package=nortest Howell, D. C. (2009). Statistical methods for psychology (7th ed.). Belmont, CA: Cengage Learning. Hsu, L. M. (1993). Using Cohen’s tables to determine the maximum power attainable in two-sample tests when one sample is limited in size. Journal of Applied Psychology, 78(2), 303–305. Murphy, K. R., Myers, B., Murphy, K., & Wolach, A. (2003). Statistical power analysis: A simple and general model for traditional and modern hypothesis tests (2nd ed.). Mahwah, N.J: Routledge. R Core Team. (2015). R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. Retrieved from http://www.R-project.org/. Santoso, A. (2009). Menyoal taraf signifikansi: Tanggapan terhadap artikel "Aplikasi llmu statistika di Fakultas Psikologi" (Hadi, 2005). MANASA, 3(2), 129 – 139. Stokes L (2014). Sample size calculation for a hypothesis test. JAMA, 312(2), 180–181. Alamat surel:
[email protected]
Apendiks A Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi untuk Menguji Keterwakilan Populasi #################################### ## Simulasi Mean dari Satu Sampel ## #################################### X<-NULL seqn<-seq(10,500,10) for(j in seqn){ x.col<-NULL for(i in 1:1000){ x<-rnorm(j,100,15) x.col<-cbind(x.col,x) } X<-cbind(X,colMeans(x.col)) } mean.X<-colMeans(X) sd.X<-apply(X,2,sd) minx<-apply(X,2,min) maxx<-apply(X,2,max) CIx.L<-mean.X-1.96*sd.X CIx.U<-mean.X+1.96*sd.X ### plotting mean and 95%CI ## #drawing shade 95% plot(seqn,mean.X,type='n',ylim=c(85,115),yla b="X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10)) xx<-c(seqn,rev(seqn)) yy<-c(minx,rev(maxx)) #yy<-c(CIx.U,rev(CIx.L)) polygon(xx,yy,col='lightgrey',border='white' ) #plotting mean and 95% CI lines(seqn,mean.X,ylim=c(90,110),lty=3,ylab= "X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10),lwd=2) lines(seqn,minx,type='l',col='red') lines(seqn,maxx,type='l',col='red') lines(seqn,CIx.L,type='l',col='green') lines(seqn,CIx.U,type='l',col='green') texting<-function(n){ x<-which(seqn==n) abline(v=seqn[x],col='blue',lty=3) text(x=seqn[x],y=85,label=paste("n=", seqn[x]),col='blue') text(x=seqn[x],y=minx[x],label=paste( "Min=",round(minx[x],digits=2)),pos=1) text(x=seqn[x],y=maxx[x],label=paste( "Max=",round(maxx[x],digits=2)),pos=3)
83
UKURAN SAMPEL text(x=seqn[x],y=101,label=paste("R =",round(maxx[x]-minx[x], digits=2))) text(x=seqn[x],y=CIx.L[x],label=pas te("L=",round(CIx.L[x],digits=2)),pos=1,of fset=0.1) text(x=seqn[x],y=CIx.U[x],label=pas te("U=",round(CIx.U[x],digits=2)),pos=3,of fset=0.1) text(x=seqn[x],y=99.2,label=paste(" CI=",round(CIx.U[x]-CIx.L[x], digits=2))) } texting(30) texting(100) texting(250) texting(500) legend("topright",legend=c("MaksimumMinimum","95% Confidence Interval","Mean"), col=c('red','green','black'),lty=c( 1,1,3),lwd=c(1,1,2),bg='white') ### plotting fluctuations ### layout(matrix(1:5, ncol = 1), widths = 1, heights = c(1,4,4,4,5), respect = FALSE) par(mar=c(0, 4, 0, 0)) plot(1, type = 'n', axes = FALSE, bty = 'n', ylab = '') par(mar=c(0, 4, 2, 1), bty = 'o') plot(X[,3],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max( X[,3])),main="n=30",xaxt='n',ylab="") plot(X[,10],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max (X[,3])),main="n=100",xaxt='n',ylab="") plot(X[,25],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max (X[,3])),main="n=250",xaxt='n',ylab="") par(mar=c(4, 4, 2, 1)) plot(X[,50],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max (X[,3])),main="n=500",xaxt='n',ylab="",xla b="Nomor Replikasi") mtext("Kecerdasan",side=2,at=135,line=2.5, cex=1.1) axis(1, 1:1000, cex.axis = 1.5)
Apendiks B Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi untuk Menguji Normalitas Data Sampel dengan n = 30
################################### # n=30, distribusi sampel normal? ################################### library(nortest)
#
nr<-1000 ave.f<-ave.normal<-ave.t<-NULL for(j in seqn){ y1<-0 y2<-0 y3<-0 for(i in 1:nr){ normal<-rnorm(j) f<-rf(j,2,50) t<-rt(j,5) y1<-y1+ifelse((ad.test(normal)$p.value>.05 |shapiro.test(normal)$p.value>.05 |cvm.test(normal)$p.value>.05 |lillie.test(normal)$p.value>.05 |pearson.test(normal)$p.value>.05 |sf.test(normal)$p.value>.05),1,0) y2<-y2+ifelse((ad.test(t)$p.value>.05 |shapiro.test(t)$p.value>.05 |cvm.test(t)$p.value>.05 |lillie.test(t)$p.value>.05 |pearson.test(t)$p.value>.05 |sf.test(t)$p.value>.05),1,0) y3<-y3+ifelse((ad.test(f)$p.value>.05 |shapiro.test(f)$p.value>.05 |cvm.test(f)$p.value>.05 |lillie.test(f)$p.value>.05 |pearson.test(f)$p.value>.05 |sf.test(f)$p.value>.05),1,0) } ave.normal<-c(ave.normal,sum(y1)/nr) ave.t<-c(ave.t,sum(y2)/nr) ave.f<-c(ave.f,sum(y3)/nr) } plot(ave.normal,type='l',ylim=c(0,1),xaxt='n ',col='blue',ylab="%",xlab="Ukuran Sampel") axis(1,1:50,labels=seqn) lines(ave.t,lty=2,lwd=2,col='red') lines(ave.f,lty=3,lwd=2,col='green') abline(v=3,lty=3) text(3,0.03,label='n=30',pos=2,offset=0.1) abline(v=10,lty=3) text(10,0.03,label='n=100',pos=2,offset=0.1) abline(v=25,lty=3) text(25,0.03,label='n=250',pos=2,offset=0.1) abline(v=50,lty=3)
84
SANTOSO
text(50,0.03,label='n=500',pos=2,offset=0. 1) legend(26,0.3,legend=c('Distribusi Normal','Distribusi t (df=5)', 'Distribusi F (df1=2,df2=50)'),lty=c(1,2,3),lwd=c(1,2,2) , col=c('blue','red','green'),bg='whi te')
################################### # n=30 distribusi mean sampel normal? # ################################### set.seed(8888) dat.z<-NULL for(j in c(10,30,100,250,500)){ mean.z<-NULL for(i in 1:1000){ z<-rnorm(j) #z<-rt(j,5) #z<-rf(j,2,50) mean.z<-c(mean.z,mean(z)) } dat.z<-cbind(dat.z,mean.z) } colnames(dat.z)
tic,digits=3)) test[2*(j-1)+2,2]<-paste("( p=",round(shapiro.test(dat.z[,j])$p.value,di gits=2),")") test[2*(j-1)+1,3]<paste(round(cvm.test(dat.z[,j])$statistic,di gits=3)) test[2*(j-1)+2,3]<-paste("( p=",round(cvm.test(dat.z[,j])$p.value,digits =2),")") test[2*(j-1)+1,4]<paste(round(lillie.test(dat.z[,j])$statistic ,digits=3)) test[2*(j-1)+2,4]<-paste("( p=",round(lillie.test(dat.z[,j])$p.value,dig its=2),")") test[2*(j-1)+1,5]<paste(round(pearson.test(dat.z[,j])$statisti c,digits=3)) test[2*(j-1)+2,5]<-paste("( p=",round(pearson.test(dat.z[,j])$p.value,di gits=2),")") test[2*(j-1)+1,6]<paste(round(sf.test(dat.z[,j])$statistic,dig its=3)) test[2*(j-1)+2,6]<-paste("( p=",round(sf.test(dat.z[,j])$p.value,digits= 2),")") } colnames(test)<-c("Anderson-Darling (A)","Shapiro-Wilk (W)", "Cramer-von Mises (W)","Lilliefors-KS (D)", "Pearson chisquare (P)","Shapiro-Francis (W)") rownames(test)
Jurnal Psikologi Indonesia 2017, Vol. XII, No. 1, 85-104, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG KARYAWAN (WORK SAFETY PRACTICES FROM EMPLOYEES PERSPECTIVES) Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
In Indonesia, there are still high levels of workplace accidents and safety rule violations with human error as the main factor. It is assumed that this condition happened because of lack of employees' involvement. Effective employees' involvement can only be done when there is focus on understanding the employees' perspective. This research aims to describe safety practices from the employees' perspective. In-depth interviews are conducted to three mechanics from a workshop in a heavy equipment distribution company in Jakarta, which is considered as a high risk workplace. Participants are selected by using typical case sampling. Results show that participants view that there are many safety practices conducted by their immediate supervisor, but with no strict disciplinary action. Participants also perceive a conflict between priority given to work productivity and safety. According to participants, safety departement has not involved them when implementing the practices. As a consequence, safety is not perceived as a priority. Individual factors such as unsafe behaviors habits, minimal job experience, and fatique could also inhibit the display of safety behaviors, which lead to high levels of accidents and unsafe behaviors in the workshop. Results of this study could be used as a feedback for the management, not only in implementing safety practices, but also in planning efforts to achieve greater acceptance and support from their employees.
Keywords: safety practices, unsafe behavior, employee involvement, employee perception
Tingkat kecelakaan dan pelanggaran aturan keselamatan kerja di Indonesia masih tergolong tinggi dengan kelalaian manusia sebagai penyebab utama. Hal ini diasumsikan terjadi akibat kebijakan praktek keselamatan kerja yang bersifat searah dari manajemen dan kurang melibatkan karyawan sebagai pelaksana dari kebijakan tersebut. Pelibatan karyawan secara efektif hanya dapat dilakukan apabila sudut pandang karyawan menjadi perhatian dalam perancangan kebijakan keselamatan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan praktek keselamatan kerja perusahaan yang ditinjau dari sudut pandang karyawan. Wawancara mendalam dilakukan kepada tiga orang mekanik workshop yang merupakan area dengan risiko kecelakaan tinggi di suatu perusahaan distribusi alat berat di Jakarta. Responden dipilih berdasarkan kasus tipikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden memandang atasan langsung sudah berupaya melakukan berbagai praktek keselamatan kerja, namun belum dalam bentuk sanksi yang tegas. Di sisi lain responden juga melihat adanya inkonsistensi atasan langsung dalam menerapkan prioritas antara produktivitas kerja dengan keselamatan kerja yang seringkali saling bertolak belakang. Prioritas pada produktivitas kerja terkadang membuat pengabaian pada keselamatan kerja. Menurut responden, divisi keselamatan kerja kurang melibatkan karyawan dalam melakukan praktek keselamatan kerja. Akibatnya, keselamatan kerja tidak dianggap prioritas oleh karyawan. Faktor individual seperti kebiasaan melakukan perilaku tidak aman, minimnya pengalaman kerja dan kondisi fisik yang kurang optimal juga dapat menghambat diterapkannya perilaku aman oleh karyawan. Sebagai dampaknya, masih banyak terjadi kecelakaan kerja dan perilaku tidak aman di workshop. Hasil penelitian diharapkan dapat
85
86 NURITA & DAHESIHSARI menjadi masukan bagi organisasi, tidak hanya dalam menetapkan kebijakan praktek keselamatan kerja, namun juga dalam merancang upaya pendekatan yang tepat kepada karyawan agar mereka dapat menerima dan menjalankan praktek tersebut secara optimal.
Kata kunci: praktek keselamatan kerja, perilaku tidak aman, kecelakaan kerja, pelibatan karyawan, sudut pandang karyawan
Di Indonesia, isu keselamatan kerja sudah mendapatkan perhatian sejak lama dari pemerintah. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, pemerintah menetapkan sejumlah peraturan, diantaranya Undang-Undang No. 1 tahun 1970 dan Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 yang mewajibkan setiap perusahaan untuk memastikan keselamatan kerja karyawannya. Sebagian besar perusahaan juga pada umumnya sudah mempunyai sistem pengelolaan keselamatan kerja yang tidak hanya mematuhi standar nasional (SMK3) namun juga standar internasional (ISO 14001, OHSAS 18001). Beberapa perusahaan bahkan memiliki divisi tersendiri yang bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan prosedur serta mengelola program-program keselamatan kerja karyawan. Adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak manajemen perusahaan diharapkan dapat menekan tingkat kecelakaan kerja di Indonesia, namun pada kenyataannya kecelakaan kerja masih sering terjadi. Data PT. Jamsostek menunjukkan total kecelakaan kerja mencapai 103.000 kasus pada tahun 2012, dengan sembilan pekerja yang meninggal dunia setiap harinya akibat kecelakaan kerja (“Jamsostek: Setiap hari”, 2013). Banyaknya kecelakaan
menunjukkan masih belum tercapainya target perusahaan terkait keselamatan kerja karyawan yaitu zero accident (tidak adanya kecelakaan sama sekali) (Jeffries, 2011). Kecelakaan kerja tidak hanya menyebabkan kerugian bagi karyawan namun juga menyebabkan kerugian finansial bagi perusahaan. Data ILO menunjukkan kerugian yang harus ditanggung akibat kecelakaan kerja di negara-negara berkembang mencapai 4% dari Produk Nasional Bruto (“Kecelakaan Kerja”, 2013). Data yang ada menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan belum efektif untuk meminimalisir tingkat kecelakaan kerja. Menurut National Safety Council (dalam Zohar, 2002), perilaku manusia memainkan peranan besar dalam menyebabkan kecelakaan kerja. Hal ini didukung oleh pendapat Desmukh (2006) bahwa kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh kelalaian manusia yang menciptakan kondisi-kondisi atau situasi yang tidak aman, baik secara sengaja atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengubah perilaku karyawan dari perilaku tidak aman menjadi perilaku yang aman. Setiap bentuk perubahan, termasuk perubahan perilaku, merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh karyawan.
87 KESELAMATAN KERJA
Adanya perubahan menuntut karyawan untuk melepaskan diri dari apa yang mereka ketahui dan memasuki wilayah yang asing bagi mereka (Cummings & Worley, 2009). Karyawan juga umumnya merasa tidak yakin akan kemampuan yang dimiliki, kontribusi yang dapat dilakukan, dan manfaat dari perubahan yang terjadi untuk mereka sendiri. Hal-hal ini dapat menyebabkan kecemasan dan penolakan dari pihak karyawan untuk berubah (resistance to change) (Cummings & Worley, 2009). Praktek keselamatan kerja yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan umumnya bertujuan untuk mengubah perilaku karyawan menjadi lebih aman, namun sejauh ini kurang efektif dalam mencapai tujuan tersebut. Kurang efektifnya praktek keselamatan kerja dapat disebabkan oleh diberlakukannya suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu memastikan bahwa orang-orang yang terlibat bersedia dan terdorong untuk mengubah perilakunya. Proses ini oleh Bartlett dan Ghoshal (dalam Miltersen, 2009) disebut dengan traditional change process. Karyawan juga seringkali dihadapkan pada sejumlah praktek kerja yang tidak konsisten atau bertolak belakang. Dalam kondisi ini, karyawan mencoba memahaminya dengan menyimpulkan pola yang menunjukkan prioritas sebenarnya di tempat kerja (Zohar & Luria, 2005). Jika karyawan menyimpulkan bahwa keselamatan kerja sebenarnya bukanlah prioritas dari pihak manajemen, maka akan semakin menghambat munculnya perilaku aman.
Menurut Bartlett dan Ghoshal (dalam Miltersen, 2009) proses perubahan sebaiknya mengikuti emerging change process, yaitu perubahan sikap dan mentalitas individu untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan proses dan struktur. Upaya ini akan memperbesar peluang sukses perubahan yang dilakukan. Peningkatan kemungkinan karyawan untuk menerima dan melakukan perubahan juga dapat dilakukan dengan menunjukkan rasa empati dan dukungan kepada karyawan, mengomunikasikan perubahan beserta manfaatnya bagi karyawan, dan melibatkan karyawan dalam merencanakan dan melakukan perubahan (Cummings & Worley, 2009). Pelibatan karyawan dalam merencanakan dan melaksanakan perubahan juga penting untuk dilakukan pihak manajemen perusahaan. Menurut Zohar dan Luria (2010), gaya manajemen yang partisipatif atau melibatkan karyawan lebih dapat memrediksikan keselamatan kerja dibandingkan manajemen yang otoritatif. Pelibatan karyawan dapat meningkatkan kepatuhan dan partisipasi karyawan dalam menjaga keselamatan kerja, dan juga meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas (O’Creevy dalam Ariss, 2003; Borbidge, 2007). Salah satu pendekatan yang berkaitan erat dengan pelibatan karyawan adalah Behavior-Based Safety (BBS) (Blair, 1999). Dalam BBS, keselamatan kerja dikelola sendiri oleh karyawan. Karyawan juga diharapkan untuk terus berupaya mengembangkan perilaku-perilaku mereka untuk menjamin terjadinya keselamatan di tempat kerja. Karyawan akan memiliki rasa
88 NURITA & DAHESIHSARI
kebanggaan dan kepemilikan jika mereka mengembangkan dan mengelola sendiri proses perilaku pribadi mereka (Blair, 1999). Program-program keselamatan kerja pada umumnya masih bersifat searah dan ditentukan secara sepihak oleh manajemen, sehingga diasumsikan kurang efektif karena tidak menggunakan pendekatan BBS. Untuk menggunakan pendekatan BBS, perlu diketahui terlebih dahulu pandangan karyawan mengenai semua program yang sudah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan karyawan tersebut. Salah satu konstruk yang dapat digunakan untuk mengeksplor sudut pandang karyawan adalah iklim keselamatan kerja (safety climate), yaitu persepsi karyawan mengenai keselamatan kerja (Yule, Flin, & Murdy, 2007). Zohar dan Luria (2002) mendefinisikan iklim keselamatan kerja sebagai persepsi yang dimiliki oleh seluruh karyawan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktek kerja yang mengindikasikan kepedulian perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan karyawan. Zohar (dalam Cooper & Phillips, 2004) menambahkan iklim keselamatan kerja sebagai tingkat kepercayaan karyawan bahwa keselamatan kerja merupakan prioritas sebenarnya dari organisasi. Jika keselamatan kerja tidak dipersepsikan karyawan sebagai prioritas perusahaan, maka karyawan juga tidak akan memrioritaskan keselamatan kerja dan menghambat dilakukannya perilaku aman (Zohar & Luria, 2005). Zohar dan Luria (2005) membagi iklim keselamatan kerja dalam dua tingkatan,
yaitu tingkat organisasi dan kelompok. Hasil penelitian Tomas, Melia, dan Oliver (dalam Yule dkk., 2007) juga menunjang adanya dua tingkatan analisis tersebut, dimana dijelaskan bahwa manajemen memiliki pengaruh terhadap kondisi keselamatan kerja, namun kepatuhan tenaga kerja terhadap aturan dan regulasi keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh persepsi terhadap keadilan yang ditunjukkan Supervisor. O’Dea (dalam Yule, Flin & Murdy, 2007) juga menemukan bahwa komitmen Supervisor terhadap keselamatan kerja memrediksi dorongan yang dimiliki karyawan untuk mengambil inisiatif keselamatan kerja dan mematuhi aturan. Selain tingkat organisasi dan kelompok, Robbins (2005) menambahkan satu tingkatan analisa dalam menjelaskan perilaku dalam organisasi, yaitu tingkat individual. Setiap individu memiliki keunikan yang mempengaruhi perilaku mereka dalam bekerja, diantaranya sikap dan pembelajaran yang sudah dilakukan. Tingkat analisa ini dapat digunakan untuk melihat aspek-aspek individual yang mempengaruhi cara pandang karyawan terhadap praktek keselamatan kerja dalam suatu organisasi. Dengan demikian dalam penelitian ini, praktek keselamatan kerja akan dianalisa pada tingkat organisasi, kelompok, dan individu. Penelitian dilakukan di PT. X, sebuah perusahaan distribusi alat berat yang berlokasi di Jakarta. PT. X dipilih karena sejak pertama kali berdiri, keselamatan kerja karyawan sudah menjadi perhatian pihak manajemen. PT. X bahkan memiliki departemen khusus, yaitu departemen
89 KESELAMATAN KERJA
Environment, Health and Safety (EHS), yang menangani pengelolaan lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Upaya mencegah terjadinya kecelakaan dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman misalnya dengan menyediakan rambu-rambu keselamatan kerja dan pengolahan serta pembuangan limbah menggunakan prosedur dan sarana yang aman bagi karyawan. Selain itu, dicanangkan pula sejumlah program untuk menciptakan kesadaran berperilaku aman, misalnya program induksi untuk keselamatan di tempat kerja, diskusi rutin tentang keselamatan kerja serta analisis terhadap kondisi keselamatan kerja. Meskipun berbagai program keselamatan kerja telah dilakukan, namun data perusahaan menunjukkan bahwa walaupun tingkat kecelakaan memang cenderung menurun, namun masih sering terjadi perilaku-perilaku tidak aman. Pengambilan data khususnya dilakukan di bagian Workshop sebagai lokasi kerja yang rawan terhadap kecelakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai praktek keselamatan kerja dari sudut pandang karyawan Workshop PT. X. Cabang Jakarta.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi secara mendalam pandangan-pandangan yang dimiliki karyawan mengenai praktek keselamatan kerja. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam (Patton, 2002), sehingga panduan wawancara dirancang secara terbuka, diawali dengan pertanyaan umum
seputar sistem dan kebijakan keselamatan kerja yang diterapkan, dan kemudian secara bertahap mengelaborasi pandangan, penghayatan serta pengalaman personal terkait praktekpraktek keselamatan kerja. Data dianalisis secara induktif, melalui proses pemaknaan data-data yang ada secara sistematis untuk menghasilkan tema-tema yang dapat menjelaskan pandangan partisipan tentang praktek keselamatan kerja (Patton, 2002). Kredibilitas penelitian ini dijaga menggunakan teknik argumentatif, dimana hasil penelitian dianalisis berdasar kerangka teori yang ada serta hasil studi lain yang terkait, serta didukung oleh bukti yang didapatkan dari hasil wawancara (Poerwandari, 2001). Responden adalah para mekanik yang bekerja di Workshop PT. X Cabang Jakarta dan berstatus sebagai karyawan tetap. Responden yang dipilih berjumlah tiga orang dengan menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkan kasus tipikal, yaitu responden yang dianggap memiliki karakteristik dan pengalaman yang mewakili kelompok yang diteliti (Poerwandari, 2001). Dengan penggunakan teknik sampling tersebut maka tiga orang responden diasumsikan memadai untuk mendapatkan pandangan yang kaya mengenai kebijakan dan praktek keselamatan kerja yang dialami. Kekayaan dan kedalaman informasi lebih ditekankan dalam disain penelitian ini dibanding variasi berbagai pengalaman dari sumber data yang meluas (Patton, 2002). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, untuk dapat menggali pengalaman yang kaya dari
90 NURITA & DAHESIHSARI
Tabel 1 Gambaran Responden Responden 1 Inisial AN Jabatan Mekanik Jenis Kelamin Pria Usia 33 tahun Lama Bekerja di 6 tahun Workshop Pengalaman Terjatuh dari Kecelakaan Kerja excavator
setiap responden terkait pandangan mereka tentang kebijakan dan praktek keselamatan kerja yang dijalani dalam tugas sehari-hari. Panduan wawancara disusun berdasar konsep yang dibangun oleh Zohar dan Luria (2005) yang membagi iklim keselamatan kerja dalam dua tingkatan, yaitu tingkat organisasi dan kelompok. Pertanyaan umum disusun untuk menggali pandangan terhadap kebijakan dan praktek keselamatan kerja di kedua tingkatan tersebut, baik di tingkat organisasi maupun kelompok. Aspek organisasi yang digali meliputi antara lain tentang sistim pengelolaan, kebijakan, pengawasam dan penegakan aturan, serta implementasi keputusan di lapangan terkait dengan keselamatan kerja. Pada aspek kelompok, digali data tentang perilaku dan interaksi dengan atasan langsung dan rekan kerja dalam kelompok yang terkait dengan keselamatan kerja. Disamping itu ditambahkan pula tingkatan individu sebagai aspek yang dipandang juga berperan dalam pandangan responden (Robbins, 2005). Aspek individu yang digali meliputi nilai-nilai yang diyakini karyawan
Responden 2 AS Mekanik Pria 24 tahun 3 tahun
Responden 3 GA Mekanik Pria 26 tahun 8 tahun
Rekan kerja terkena Terkena ledakan piston semburan oli (responden terlibat dalam kegiatan yang menyebabkan kecelakaan) terkait dengan pentingnya memperhatikan keselamatan kerja, kebutuhan mereka akan keselamatan kerja, dan kebiasaan bekerja mereka yang terkait dengan keselamatan kerja. Di samping itu dalam wawancara yang dilakukan juga digali halhal lain yang muncul dan bermakna dalam pandangan responden terkait pengalaman mereka dalam topik keselamatan kerja tanpa membatasi hanya secara khusus pada acuan teori di atas. Untuk memastikan hasil penelitian yang akurat dan dapat dipercaya maka dilakukan beberapa strategi dalam menjaga kredibilitas penelitian. Kredibilitas komunikatif dilakukan dengan mengkonfirmasi hasil wawancara yang telah dicatat oleh peneliti (data verbatim) dengan masing-masing responden. Konfirmasi tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa apa yang dicatat oleh peneliti sama dengan apa yang disampaikan langsung oleh setiap responden. Dengan demikian bukti hasil wawancara yang digunakan untuk membangun interpretasi hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan
91 KESELAMATAN KERJA
keakuratannya. Di samping itu juga kredibilitas argumentatif digunakan untuk memastikan bahwa alur penelitian dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan acuan teori dari Zaher dan Luria (2005) serta Robbins (2005) dan disertai dengan bukti hasil wawancara yang mendukung (Patton, 2002).
Hasil Gambaran responden tampak dalam Tabel 1. Iklim Keselamatan Kerja Kelompok. Berkaitan dengan pelaksanaan praktek keselamatan kerja dalam tingkat kelompok, yaitu pada Workshop Cabang Jakarta PT. X, pandangan karyawan yang menonjol meliputi hal-hal berikut: Atasan langsung memberikan perhatian pada keselamatan kerja di workshop. Supervisor sebagai atasan langsung dipandang responden telah memberikan perhatian pada keselamatan kerja karyawan di workshop melalui program seperti briefing pagi harian, mempercepat diperolehnya peralatan keselamatan kerja, serta pengembangan kemampuan karyawan terkait keselamatan kerja. Dalam briefing pagi harian, Supervisor tidak hanya mengulas pekerjaan yang telah dan akan dilakukan namun juga mengingatkan karyawan akan risiko pekerjaan dan pentingnya keselamatan kerja. “…sebelum memulai aktivitas aja kita tiap hari rutin melakukan briefing pagi…Supervisor itu selalu mengingatkan tentang safety sebelum melakukan aktivitas pekerjaan. (AS,
Mekanik) Supervisor juga berperan dalam mengupayakan secara cepat tersedianya peralatan kerja dan alat pelindung diri yang layak bagi karyawan. “Kalo misalkan kita mengajukan BAK [Berita Acara Kerusakan] itu kan kalo ga berdasarkan atas rekomendasi Supervisor itu kan proses turunnya lama…kita masukkan dalam briefing…“Pak ini kacamata udah rusak, tolong di-pushkan lagi biar BAK-nya cepet keluar”. (AS, Mekanik) Pengembangan kemampuan karyawan yang berhubungan dengan keselamatan kerja, juga dilakukan atasan langsung misalnya dengan mewajibkan karyawan mengikuti pelatihan dan lomba tanggap darurat. “Disini kan diadakan perlombaan TKTD. Itu kan tujuannya kan untuk kita seberapa tanggap kita terhadap terjadi kecelakaan…Sebelum perlombaan pasti diadakan training TKTD dulu…Supervisor tuh melibatkan semua karyawan yang disini bisa dapet kesempatan untuk mengikuti.” (AS, Mekanik) Pelibatan karyawan dalam menjaga keselamatan kerja. Karyawan juga melihat adanya upaya Supervisor untuk melibatkan mereka dalam menjaga keselamatan kerja. Semua masukan dan pendapat yang diberikan karyawan terkait upaya mengoptimalkan keselamatan kerja segera ditanggapi oleh Supervisor sehingga proses berjalan dengan cepat. “Kalo masukan sering banget
92 NURITA & DAHESIHSARI
banyak…Pasti pertanyaan gimana caranya supaya cepet. Cepet selesai, aman. Kan dari kita masukannya kan. Karena kita yang mengerjakan.” (AN, Mekanik) Tidak adanya sanksi tegas untuk pelanggar aturan. Meskipun sudah berupaya untuk melakukan praktek keselamatan kerja, Supervisor belum memberikan sanksi yang tegas dan cenderung hanya menegur dan mengingatkan karyawan yang berperilaku tidak aman. “Di PT. X ini..misalkan kaya kesalahankesalahan kaya itu, ga adanya hukuman sih Mba.” (AS, Mekanik) Responden berpandangan bahwa peringatan yang diberikan Supervisor kurang efektif karena mereka seringkali tetap lupa akan aturan yang ada. “..untuk itu, hal yang lupa itu ya. Ngga efektif, kan sering kita diingatkan, tapi jika sudah bekerja sering lupa juga…” (GA, Mekanik) Menurut karyawan, pemberian sanksi yang tegas oleh Supervisor perlu dilakukan agar karyawan lebih disiplin dalam bekerja dan meminimalisir terjadinya perilaku tidak aman. “…mungkin kalo Supervisor lebih ketat lagi, lebih menegakkan aturan. Jadi kan orang mungkin berfikir bisa lebih disiplin. Dan mungkin risiko untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran kan mungkin bisa di-minimize.”(AS, Mekanik) Inkonsistensi Prioritas Kerja oleh Supervisor.
Keselamatan
Di satu sisi, Supervisor telah mengupayakan terjadinya perilaku aman oleh karyawan misalnya dengan melakukan pemantauan atau inspeksi keliling di area Workshop secara intensif. Menurut karyawan, adanya upaya terus menerus dari Supervisor dalam mengingatkan tentang keselamatan kerja dapat mencegah mereka untuk melakukan perilaku tidak aman. “Supervisor setiap saat dia bisa ngasih tau, bukan cuma pagi. Misalnya lagi keliling Workshop, liat ada yang ga safety, dia ngasih tau juga. Setiap jam juga bisa” (AN, Mekanik) Namun di sisi lain, Supervisor terkadang mengizinkan dan bahkan memerintahkan karyawan untuk mengabaikan perilaku aman agar pekerjaan terselesaikan, misalnya penggunaan alat kerja yang tidak layak pakai sementara alat baru belum didapatkan. “Semacam serabut-serabut kabel-kabel listrik...dr audit itu kan ga bole dipake…untuk fasilitas emang stoknya blum ada. Jadi karena pekerjaan dituntut lebih cepet, kita tetep pake…kan kita juga bekerja berdasarkan aturan Supervisor kan. Kalo Supervisor mengijinkan ya udah pake dulu…” (AS, Mekanik) Supervisor juga terkadang mengetahui atau bahkan memberikan perintah kepada karyawan untuk mengoperasikan alat berat meskipun karyawan tersebut tidak memiliki ijin. Hal tersebut menyebabkan karyawan merasa tidak masalah dengan perilaku tersebut. “…kita ngga punya SIO [ijin]. Tapi kalo
93 KESELAMATAN KERJA
emang Supervisor membikinkan memo untuk kita mengoperasikan unit, berarti kan…udah ada yang nyuruh, ada yang mau bertanggung jawab…kan ga disebut kaya inisiatif lagi kan, itu emang udah perintah.” (AS, Mekanik) Pelanggaran lain yang dilakukan atas perintah atasan adalah penempatan lebih satu unit dalam satu base. Hal tersebut dapat menyebabkan risiko kecelakaan akibat area kerja yang sempit, namun tetap dilakukan karena keterbatasan mekanik dan tuntutan untuk menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh pelanggan. “Ya karena kita juga…keterbatasan mekanik, terus kerjaan lagi banyak…dari customer banyak problem…mau ngga mau ya kita harus nanganin secara langsung untuk kepuasan customer juga sih.“ (AS, Mekanik) Pemberian perintah untuk bekerja tidak sesuai aturan menurut karyawan dilakukan Supervisor dengan menimbang risiko. Keselamatan tetap diprioritaskan dalam bekerja, namun ada situasi dimana Supervisor mempertimbangkan besarnya risiko suatu pekerjaan untuk menentukan apakah pekerjaan tetap bisa dilakukan meskipun tidak sesuai aturan. “…Supervisor juga melihat, dia bisa melihat seberapa sih risiko bahaya yang terjadi? Kalo emang ini risikonya besar, pasti Supervisor juga lebih bijaksana…Kalo menurut dia emang bisa, mekanik saya bisa, Supervisor pasti mereka akan menyuruh untuk menjalankannya…” (AS, Mekanik) Selain yang berhubungan dengan atasan langsung, bagaimana rekan kerja
menjalankan praktek keselamatan kerja dalam kelompok kerja juga memengaruhi perilaku aman karyawan. Perilaku tidak aman rekan kerja. Terkadang, karyawan sudah mematuhi aturan keselamatan kerja namun tetap mengalami kecelakaan akibat perilaku tidak aman yang ditunjukkan oleh rekan kerjanya. “…dia sebenernya bekerja udah aman…jarak 3 meter itu ada teman membersihkan pake gerinda. Percikannya itu lari..tau-tau dikira mungkin apa kotorannya masuk mata, dia kucek matanya, tau-tau berdarah” (AS, Mekanik) Rasa segan karyawan yunior untuk menegur karyawan senior. Menurut responden, terdapat pula perasaan segan yang menghambat karyawan yunior ketika ingin menegur karyawan senior yang melakukan perilaku tidak aman. Terkadang karyawan senior marah ketika ditegur oleh karyawan junior. “…Ada yang gampang emosi, ada yang..kalo diperingatin tuh kaya malah ngga mau… yunior sama senior untuk peringati hal safety kan harusnya kan ga memandang itu. Tapi kan ada aja orang yang diingetin malah marah.” (AS, Mekanik) Iklim Keselamatan Kerja Organisasi Untuk praktek keselamatan kerja yang diberlakukan di seluruh perusahaan, halhal yang dipandang menonjol oleh karyawan adalah:
94 NURITA & DAHESIHSARI
Kepedulian manajemen akan keselamatan karyawan di tempat kerja. Berbagai program yang dicanangkan manajemen seperti program induksi keselamatan kerja bagi karyawan baru, diskusi rutin tentang keselamatan kerja, serta pengisian analisis keselamatan kerja sebelum memulai suatu pekerjaan dipandang responden menunjukkan kepedulian manajemen terhadap keselamatan kerja mereka. “Mulai saya awal masuk itu udah pertama kita induction… disitu kita pelajari apa sih bahayanya yang ada di site ini? Kita harus mengenali lingkungan...itu lebih basic lah.“ (AS, Mekanik) “Kemaren dikasih tau kalo ini kita pake sembarangan kan bahaya nih…Terus kita bisa langsung ngelakuin, “Oh kemaren dia perintahin kalo gini dari EHS harus kaya gini”. Kan jadi tau, yang aman seperti ini. Tapi jika lebih sering akan lebih bagus lagi” (AN, Mekanik) “…sebelum mengerjakan sesuatu, itu bikin JSA-nya, Job Safety Analysis-nya …apa sih risikonya, ataukah terjepit, terjatuh, atau tertimpa…sebelum pekerjaan dilakukan, JSA itu harus dishare terlebih dahulu.” (AS, Mekanik) Pelaporan kecelakaan yang tidak lengkap. Salah satu upaya lain yang dilakukan untuk mengurangi tingkat kecelakaan adalah dengan mewajibkan pelaporan kecelakaan yang terjadi di Workshop, khususnya yang menyebabkan hilangnya jam kerja (Loss Time Injury/LTI), yang
didokumentasikan. Sayangnya kecelakaan minor yang lebih sering terjadi justru tidak dilaporkan dan hanya dibahas pada saat briefing pagi oleh Supervisor. Penilaian perlu atau tidaknya sebuah kecelakaan dilaporkan dilakukan oleh manajemen Workshop. “Sebenernya sih kalo emang terjadi banyak banget ya, kaya kejepit…terpeleset karena penggunaan alat. Itu kan yang ga ter-record-terrecord itu kan cuman kita masukin di briefing pagi.” (AS, Mekanik) Menurut responden, kecelakaan ringan seharusnya dilaporkan untuk diketahui penyebabnya dan agar karyawan lebih waspada terhadap risiko di area kerja. “…sekecil apapun kecelakaan itu kan harus dilaporkan…ya lebih untuk mengantisipasi lagi...lebih kita lebih waspada lagi ya.” (GA, Mekanik) Terdapat juga kecelakaan yang seharusnya dilaporkan tetapi tidak dilakukan atas keputusan Supervisor. Kecelakaan yang terjadi juga tidak selalu dilaporkan karyawan kepada Supervisor, khususnya untuk kecelakaan minor. “Kalo pas Supervisor lagi mo kesitu, lagi inspeksi kesitu bisa tau. Kalo lagi…pas ngga di tempatnya itu mungkin kalo dia ngga ada laporan ya jadi ngga tau.” (GA, Mekanik) Pengawasan yang kurang intensif. Para karyawan menilai pengawasan keselamatan kerja yang dilakukan tidak intensif. “Kenyataan aktualnya belum terjadi disini setiap waktu ada Safety Officer (SO). Jadi cuman SO mungkin
95 KESELAMATAN KERJA
berkeliling pagi, memantau keadaan, udah. Cuma kan pagi, siang, sore, itu kan keadaan berbeda-beda kan…Dan kecelakaan itu kan ga melihat waktu kan, kapanpun bisa terjadi.” (AS, Mekanik) Supervisor memiliki banyak tanggung jawab sehingga tidak bisa fokus hanya pada keselamatan karyawan. Untuk mengurangi resiko kecelakaan, responden mengharapkan karyawan bagian keselamatan kerja dapat melakukan pengawasan dengan lebih intensif, termasuk dalam menegur karyawan yang berperilaku tidak aman. “…Supervisor mungkin ngga cuman ke safety-nya doang. Karena pekerjaannya kan banyak banget yang mesti diurusin…harusnya kan yang lebih condong ke safety disini kan SO, dia bisa meng-keep, dalam arti menjaga supaya keadaan tuh tetep aman. Kalo misalkan Supervisor lagi ngga ada di tempat gitu kan.” (AS, Mekanik) Sayangnya justru menurut responden, karyawan bagian keselamatan kerja jarang berada di area Workshop. Selain tidak intensif dalam pengawasan, jarangnya mereka berada di workshop membuat karyawan berpandangan bahwa mereka kurang memahami pekerjaan yang dilakukan karyawan Workshop, sehingga keamanan kerja ditekankan tanpa mempertimbangkan karakteristik dan target pekerjaan yang ada. “…SO kan ga setiap saat. Kalo yang disini kan dia bisa tau lagi ngerjain apa, kasarannya gitu lebih tau situasinya lah.”(AN, Mekanik) “SO nya tetep safety aja. Ga ada
pandangan..gimana sih cara supaya bisa kerja lebih cepet? Selesai lebih cepet? Ga ada. Ini mesti aman, ya udah. Pokoknya aman aja dia. Kaya gitu.” (AN, Mekanik) Terkadang, karyawan merasa kecewa karena pekerjaan mereka terhenti akibat keputusan karyawan bagian keselamatan kerja yang menurut mereka tidak mempertimbangkan aspek teknis pekerjaan dan lebih berfokus ada aspek pelaksanaan kerja secara aman. “..Kita dituntut pekerjaan selesai. Tapi menurut SO ngga, ga usah dilakukan. Itu kan menghambat.” (AS, Mekanik) Melarang tanpa ada penjelasan. Kondisi lain yang terjadi adalah perilaku karyawan bagian keselamatan kerja yang menurut karyawan terkadang lebih berfokus pada dokumentasi perilaku aman dan hanya melarang karyawan untuk melakukan perilaku tersebut. Perilaku tersebut tidak diharapkan oleh karyawan, karena mereka menginginkan karyawan bagian keselamatan kerja berupaya menjelaskan kepada mereka mengenai cara bekerja yang lebih aman. “Biasanya dia langsung netapkan. Langsung nge-judge, wah ini ga boleh. Ini harusnya begini, gitu. Ga ada timbang-timbang lagi, ga ada.” (AN, Mekanik) “Kan image-nya tuh kadang dia suka maen foto aja kan. Dengan dia datengin, dia kasih ilmu kita, informasi kita kan, “Oh itu bakal terjadi ini kalo kerja ngga safe. ini ngga safe, posisi ngga safe. Kaya gini. Harusnya seperti ini kan” Jangan udah foto terus, “Mas itu
96 NURITA & DAHESIHSARI
ntar diganti yah”, jalan, gitu kan. Jangan sekedar gitu. “Itu ngga aman ini.” Gitu.” (AN, Mekanik) Intensitas keterlibatan dalam kebijakan maupun praktek keselamatan kerja juga diharapkan oleh para karyawan Workshop. Hal ini dirasa bermanfaat agar terjadi pertukaran ilmu antara karyawan bagian keselamatan kerja dengan karyawan Workshop. Dengan proses tersebut diharapkan karyawan bagian keselamatan kerja dapat lebih memahami mengenai aspek teknis dari pekerjaan karyawan Workshop, sementara karyawan dapat lebih memahami aspek keselamatan kerja. “..dia kan tau tentang teori, secara teknisnya dia kan ngga menguasai. Kalo dia lebih sering disini, dia kan lebih cenderung terbuka, lebih cenderung bisa share bareng-bareng belajar. Kita belajar teorinya, dia belajar teknisnya.” (AS, Mekanik) Saling memahami posisi pekerjaan masing-masing juga dipandang perlu untuk menghindari adanya perdebatan yang tidak perlu antara karyawan Workshop dengan karyawan bagian keselamatan kerja. “Kalo udah sharing itu kan bisa menghindari miscommunication ato halhal perdebatan yang ngga perlu didebatin…” (AS, Mekanik) Perilaku karyawan bagian keselamatan kerja yang sekedar melarang karyawan untuk berperilaku aman tanpa memberikan solusi pada karyawan memberikan kesan bahwa mereka hanya menjadi pengawas dan penindak karyawan yang melakukan perilaku tidak aman. Akibatnya, karyawan berperilaku aman karena merasa takut terhadap karyawan bagian keselamatan
kerja, bukan karena menghindari kecelakaan. “Ya kaya polisi aja jadinya...Jadi kita ntar takutnya pas ada dia doang...” (AN, Mekanik) Inkonsistensi Keputusan yang Diberikan Atasan Langsung dengan yang diberikan oleh Divisi Keselamatan Kerja. Inkonsistensi terjadi antara keputusan yang diberikan oleh Supervisor dengan karyawan bagian keselamatan kerja terkait pekerjaan yang dilakukan karyawan. Supervisor menginstruksikan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan, sementara karyawan bagian keselamatan kerja meminta karyawan untuk menghentikan pekerjaan karena dianggap tidak aman. Kondisi ini menyebabkan kebingungan pada karyawan. Jika menghadapi kondisi ini, karyawan mengacu pada keputusan yang diambil oleh Supervisor. “…Supervisor dia juga menyuruh kita supaya pekerjaannya selesai...menurut SO ini ngga aman. Jadi kita kan memilih kita mau lanjutkan pekerjaan tapi menurut SO kita ga aman, kita berhenti itu juga dituntut selesai. Serba salah mekaniknya kan. Ya kita kembali ke keputusan Supervisor lagi. Apa Supervisor mengizinkan ini ato ada cara lain untuk menyelesaikan kerjaan.” (AS, Mekanik) Faktor Individu yang Mempengaruhi Cara Pandang Karyawan terhadap Praktek Keselamatan Kerja. Selain iklim keselamatan kerja pada tingkat kelompok dan organisasi, ditemukan sejumlah faktor individual yang
97 KESELAMATAN KERJA
juga mempengaruhi cara pandang karyawan terhadap praktek keselamatan kerja. Kesadaran akan pentingnya keselamatan dalam bekerja. Para karyawan menyadari pentingnya keselamatan saat bekerja serta dampak negatif perilaku tidak aman terhadap karyawan secara pribadi, misalnya terjadinya kecelakaan yang menyebabkan cacat fisik. Perilaku tidak aman juga disadari dapat berdampak negatif terhadap pekerjaan mereka, misalnya terhambatnya pencapaian target akibat kehilangan jam kerja. “Ya itu, karena sering denger banyak terjadi kecelakaan karena ngga memakai APD, ngga memakai earplug, melihat banyak sekali orang-orang yang bekerja itu menjadi cacat karena faktor accident, kelalaian.” (AS, Mekanik) Meskipun mementingkan keselamatan bekerja, karyawan juga merasakan perlunya menyeimbangkan antara keselamatan dengan pelaksanaan pekerjaan mereka. “Karena segala sesuatu mau pekerjaan model apa kan selain hasil maksimal, kualitas, waktu dicapai, kosong hasilnya kalo ada sedikit kecelakaan. Karena memang factor utama safety itu. Tapi bukan berarti gara-gara safety kerjaan ketahan. Kan kita mesti tau gimana caranya, prosedurnya ada.” (AN, Mekanik) Prioritas karyawan terkadang lebih pada produktivitas kerja. Meskipun telah menyadari pentingnya
menjaga keselamatan kerja, karyawan juga mengakui bahwa terkadang mereka menomorduakan keselamatan kerja karena lebih memprioritaskan produktivitas. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan pribadi untuk menyelesaikan pekerjaan. “…saya lebih mementingkan ke produktivitas. Dalam arti saya lebih mementingkan pekerjaan ketimbang saya berfikir tentang safety saya sendiri.” (AS, Mekanik) “ Sebenarnya sih kita ingin kerjaan itu cepet kelar Mba.” (AS, Mekanik) Kebiasaan berperilaku tidak aman. Perilaku tidak aman pada umumnya merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh karyawan, sehingga sulit untuk diubah. Perilaku tersebut juga belum menyebabkan terjadinya kecelakaan sehingga dirasa aman untuk terus dilakukan. “Ya kebiasaan itu, “Ah kemarin ga papa kok”, gitu kan. Udah pernah pengalaman dia.” (AN, Mekanik) Terdapat pula anggapan karyawan bahwa pelaksanaan perilaku aman menghambat produktivitas kerja, sehingga mereka memilih untuk berperilaku tidak aman. “Saya ngga mau buang [limbah pada tempatnya]. Karena load kerjaan saya kan juga banyak.” (GA, Mekanik) Pengalaman kerja karyawan. Kecelakaan kerja umumnya terjadi pada karyawan yang belum menyadari bahaya yang ada di lingkungannya dan melakukan suatu tindakan atas inisiatif sendiri tanpa mempertimbangkan risiko yang ada.
98 NURITA & DAHESIHSARI
Kelelahan fisik karyawan. Selain adanya keyakinan dan sikap terhadap perilaku aman, kelelahan yang dialami oleh karyawan juga dapat memengaruhi kinerja dan juga menyebabkan kecelakaan. “Sebetulnya sih kebanyakan kecelakaan terjadi itu karena faktor kelelahan… terus badan kondisi yang ga fit, diem…Ngga tau pas mungkin disuruh ngangkat berat, dia lagi sakit, keadaan kondisi yang ga fit kan. Ngangkat, jatoh, banyak sih kaya gitu.(AS, Mekanik) Para karyawan khususnya mekanik banyak mengunakan tenaga fisik saat bekerja. Lokasi tempat mereka bekerja juga cenderung sempit dan alat yang digunakan banyak yang menghasilkan panas, sehingga kelelahan mudah untuk dialami karyawan. Masih Tingginya Tingkat Kecelakaan dan Perilaku Tidak Aman di Area Workshop Dengan adanya praktek-praktek keselamatan kerja yang diupayakan oleh pihak manajemen, ternyata masih ditemukan adanya kecelakaan-kecelakaan di area Workshop. Kecelakaan yang terjadi diantaranya terbentur, terjatuh dari ketinggian, dan terpeleset. “...yang sering saya alami..kepukul. Kepukul sama kejedot.” (GA, Mekanik) Selain kecelakaan, karyawan juga masih melihat dan melakukan sejumlah perilaku tidak aman di area Workshop. Contoh pelanggaran yang dilakukan adalah merokok di area Workshop, tidak
menggunakan alat pelindung diri, dan membuang limbah tidak pada tempatnya. “Sebenernya menurut saya mah ga boleh karena masih lingkungan Workshop. …Cuman saya juga ngerokok disitu…” (AN, Mekanik) Diskusi Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa aspek-aspek yang dinyatakan dalam iklim keselamatan kerja dari Yule, Flin dan Murdy (2007) muncul pula secara menonjol dalam penelitian ini. Dengan demikian hasil penelitian selaras dengan hasil dari studi-studi pada topik yang sama yang menunjukkan bahwa peran faktor organisasi, kelompok dan individu sama-sama penting. Misalnya, dalam iklim kerja kelompok ditemukan bahwa walaupun ada perhatian melalui pertemuan rutin dan fasilitasi yang dibutuhkan untuk keselamatan kerja, namun di sisi lain pelanggaran di lapangan tidak diberikan sanksi yang tegas. Hal ini yang menyebabkan responden tidak memandang penting untuk berperilaku aman di tempat kerja. Pandangan responden tersebut selaras dengan hasil studi lain yang menyatakan bahwa belum adanya sanksi yang tegas bagi karyawan yang berperilaku tidak aman dapat menyebabkan karyawan kurang memiliki dorongan untuk mengubah perilakunya, dan dapat mengurangi efektivitas praktek keselamatan kerja. Pendisiplinan karyawan secara tegas dapat mengurangi tingkat kecelakaan kerja (Brahmasrene & Smith, 2009). Temuan lain dalam penelitian ini
99 KESELAMATAN KERJA
menunjukkan bahwa Supervisor selalu menekankan keselamatan kerja sebagai prioritas, namun terdapat tindakan dan keputusan yang menunjukkan lebih diprioritaskannya produktivitas daripada keselamatan kerja. Hal ini selaras dengan hasil studi lain yang menunjukkan bahwa meskipun banyak perusahaan memromosikan keselamatan kerja dalam bentuk aturan dan kebijakan formal organisasi, pada aktivitas sehari-hari umumnya produksi lebih diutamakan dibandingkan keselamatan kerja (Zohar dalam Wallace & Chen, 2006). Jika karyawan memersepsikan bahwa pihak manajemen lebih memrioritaskan produktivitas dibandingkan keselamatan kerja, maka karyawan dapat berasumsi bahwa mereka lebih baik memiliki prioritas yang sama (Fleming, Flin, Mearns & Gordon dalam Diaz & Resnick, 2000). Inkonsistensi pemberian prioritas dapat melemahkan iklim keselamatan kerja kelompok yang dipersepsikan oleh karyawan (Zohar dalam Zohar, 2002). Pandangan responden tentang inkonsistensi lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah inkonsistensi kebijakan di tingkat organisasi dan di tingkat kelompok. Aturan dan larangan di tingkat organisasi seringkali dipandang oleh responden kurang memfasilitasi kebutuhan produktivitas dan kendala yang dihadapi unit kerja di lapangan. Lemahnya pemahaman dan perhatian pengambil kebijakan tentang bagaimana penerapan aturan keselamatan kerja di dalam kondisi lapangan yang ada dipandang responden sebagai penyebab dari terjadinya inkonsistensi tersebut, yang kemudian
berdampak pada iklim keselamatan kerja yang dipersepsikan oleh responden. Iklim keselamatan kerja yang demikian berdampak pada kurangnya kesadaran karyawan untuk berperilaku aman dan memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Karyawan Workshop sudah memiliki kemauan untuk mematuhi aturan keselamatan kerja dan menegur rekannya yang berperilaku tidak aman, yang berpengaruh terhadap munculnya perilaku aman. Meskipun begitu, sikap senior yang tidak mau ditegur dapat mengurangi perilaku peneguran oleh karyawan yunior karena mereka merasa bahwa perilaku tersebut tidak diharapkan. Akibatnya, perilaku tidak aman dapat terus dilakukan oleh para karyawan Workshop. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa interaksi dengan rekan kerja membentuk pemahaman individu mengenai apa yang diharapkan dari mereka dalam bekerja (Chiaburu & Harrison dalam Lingard, Cooke, & Blismas, 2011; Hoffman & Stetzer dalam Lingard, Cooke, & Blismas, 2011). Temuan tentang pandangan responden terhadap pelaporan kecelakaan kerja yang belum menyeluruh juga sesuai dengan hasil studi sebelumnya. Pelaporan kecelakaan merupakan salah satu elemen utama dalam pengelolaan kesehatan dan keselamatan kerja (Bhattacharya, 2012). Pelaporan memungkinkan organisasi untuk belajar dari kecelakaan yang terjadi dengan menganalisa faktor-faktor penyebab untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa di masa depan. Menurut responden, di
100 NURITA & DAHESIHSARI
Workshop tempatnya bekerja, pelaporan dan pendokumentasian kecelakaan hanya difokuskan pada lost time injury sementara insiden yang lebih sering terjadi yaitu kecelakaan minor dan near miss (kondisi yang hampir menyebabkan kecelakaan) tidak terdokumentasi dan terlaporkan dengan lengkap. Padahal kegagalan untuk mengenali dan mempelajari tanda-tanda awal tersebut seringkali menyebabkan terjadinya kecelakaan yang sifatnya lebih besar (Sanne dalam Littlejohn, Margaryan, & Lukic, 2010). Near miss juga umumnya lebih sering terjadi daripada kecelakaan besar sehingga lebih banyak kasus yang bisa dipelajari (Wright & van der Schaaf dalam Bhattacharya, 2012). Pembelajaran dari near miss juga menunjukkan sikap preventif terhadap upaya menjaga keselamatan dan kesehatan karyawan. Menurut Lauver, Lester, dan Le (2009), salah satu alasan karyawan tidak melaporkan kecelakaan adalah asumsi bahwa pihak manajemen tidak melakukan perubahan atau tidak merespon adanya pelaporan kecelakaan. Kurangnya respon Supervisor terhadap terjadinya kecelakaan minor juga dapat menyebabkan karyawan merasa tidak perlu melaporkan kecelakaan minor yang dialami. Di tingkat individu, kepercayaan dan evaluasi seseorang terhadap konsekuensi dari suatu perilaku akan menentukan sikap terhadap perilaku tersebut (Fishbein & Ajzen, 1975). Para karyawan memiliki sikap positif terhadap perilaku aman karena mengetahui dampak negatif yang dapat dialami jika perilaku tersebut tidak dilakukan. Meskipun begitu, terdapat aspek lain yang dapat mengurangi sikap positif
tersebut, yaitu pemberian prioritas pada produktivitas kerja. Pemberian prioritas kerja berasal dari kebutuhan pribadi untuk menyelesaikan pekerjaan, namun juga dapat dipengaruhi pemberian prioritas oleh atasan langsung. Sementara itu, perilaku aman dianggap menghambat produktivitas kerja. Ditambah lagi, terdapat pandangan bahwa perilaku tidak aman yang biasa dilakukan tidak menyebabkan dampak negatif sehingga aman untuk dilakukan. Pandangan-pandangan ini dapat menyebabkan menurunnya sikap positif karyawan terhadap pelaksanaan perilaku aman sehingga dilakukan pengabaian terhadap perilaku tersebut. Sikap terhadap suatu perilaku dapat menurunkan atau meningkatkan tingkat intensi seseorang untuk melakukan perilaku tersebut (Fishbein & Ajzen, 1975). Sikap yang kurang positif terhadap perilaku aman dapat menyebabkan karyawan kurang termotivasi untuk melaksanakan perilaku tersebut. Terkait dengan hasil penelitian yang terkait dengan pengalaman kerja, hal ini sesuai dengan penelitian Chi dan Wu (dalam Diaz & Resnick, 2000) yang menyatakan bahwa risiko terjadinya kecelakaan lebih dipengaruhi oleh pengalaman dibandingkan dengan usia. Karyawan yang baru memiliki pengalaman kerja kurang dari satu tahun memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan. Di samping keselarasan dengan hasil studi sebelumnya di area iklim keselamatan kerja, penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif pengelolaan perubahan yang juga digunakan sebagai kerangka
101 KESELAMATAN KERJA
konseptual ternyata dapat diterapkan dalam menelaah tentang keselamatan kerja. Perubahan perilaku karyawan dari perilaku berisiko menjadi perilaku aman adalah bagian dari perubahan yang perlu dikelola oleh perusahaan. Tidak hanya mengandalkan kesiapan di aspek individu karyawan semata sebagai hal yang umumnya menjadi perhatian banyak studi psikologi tentang kesehatan dan keselamatan kerja, sudut pandang pengelolaan perubahan yang digunakan membantu untuk memahami adanya upaya sistemik yang penting dilakukan. Kebijakan dan aturan keselamatan kerja, walaupun dengan tujuan yang baik, yang disampaikan pihak manajemen secara sepihak tanpa melibatkan karyawan menyebabkan karyawan tidak melihat manfaat positif dari kebijakan tersebut. Konsekuensinya, dalam situasi kerja yang tanpa pengawasan, karyawan tidak tergerak untuk mengubah perilaku berisiko mereka menjadi perilaku aman. Mengundang keterlibatan karyawan dalam bentuk diskusi tentang aturan dan kesesuaiannya dengan tantangan serta kendala di lapangan bisa berdampak positif yang mendorong karyawan untuk mengusahakan perilaku aman di tempat kerja. Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai praktek keselamatan kerja dari sudut pandang karyawan Workshop PT. X Cabang Jakarta. Walaupun berbagai program sudah diterapkan baik di tingkat kelompok kerja maupun organisasi yang
menunjukkan kepedulian manajemen terhadap keselamatan kerja karyawan, namun dalam prakteknya kurangnya pelibatan karyawan dalam programprogram tersebut, konflik prioritas antara produktivitas dan keselamatan kerja yang diterapkan, serta lemahnya pengawasan, pelaporan yang kurang lengkap dan sanksi membuat karyawan masih belum memberikan perhatian yang serius untuk menjaga perilaku aman di tempat kerja. Akibatnya, kecelakaan dan perilaku tidak aman masih sering terjadi. Mengacu pada pendekatan behavior based safety dan change management, kurangnya keterlibatan karyawan menyebabkan mereka lebih ditempatkan dalam posisi pasif penerima program. Kesadaran pribadi untuk menjalankan praktek keselamatan kerja cenderung minimal dan kedisiplinan hanya terjadi pada saat dilakukan pengawasan yang intensif. Saran Penelitian ini membahas topik yang cukup sensitif yang menuntut keterbukaan responden dalam wawancara. Pendekatan yang baik membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga terbangun hubungan yang terbuka dan saling percaya antara peneliti dan responden. Keberadaan peneliti selama beberapa bulan proses magang di perusahaan tersebut menyebabkan ruang membangun kedekatan dan keterbukaan tersedia dan dapat dioptimalkan dalam pengambilan data penelitian ini. Keterbukaan yang terjadi membantu peneliti untuk menggali data yang kaya di lapangan.
102 NURITA & DAHESIHSARI
Namun di samping kekayaan data karena keterbukaan responden, kekayaan data sebenarnya juga akan lebih optimal apabila pendekatan peneliti dalam wawancara lebih berorientasi pada eksplorasi pengalaman di lapangan dibandingkan dengan wawancara yang mengacu sepenuhnya pada kerangka teori yang digunakan. Panduan wawancara yang mengacu sepenuhnya pada kerangka teori agak membatasi peneliti untuk menggali data lapangan secara lebih komprehensif. Walaupun sudah diperoleh data-data di luar apa yang telah dibahas dalam teori, namun pengalaman di lapangan masih memiliki ruang yang lebih untuk dieksplorasi apabila panduan wawancara lebih diarahkan pada pengalaman responden di lapangan secara nyata dibanding kerangka teoritis. Di samping itu, mengingat cukup banyak pandangan responden yang mengacu pada kebijakan dan aturan tertentu yang ada di perusahaan terkait dengan keselamatan kerja, maka penelitian ini akan lebih komprehensif apabila dilakukan triangulasi metode dengan studi dokumen tentang kebijakan, aturan dan pelaporan keselamatan kerja yang ada. Triangulasi metode juga bisa dilakukan dengan pengambilan data menggunakan metode observasi untuk mengamati praktek keselamatan kerja dan perilaku aman karyawan di workshop. Namun observasi langsung di lapangan memang mendapatkan kendala mengingat kegiatan di workshop yang sangat berisiko dari sisi keselamatan sehingga tidak semua orang bisa masuk dan melakukan pengamatan di sana dengan leluasa. Iklim keselamatan
kerja kelompok dan organisasi juga sebaiknya dilengkapi dengan data yang bersumber dari atasan dan petugas keselamatan kerja untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih komprehensif. Di luar hal-hal yang perlu dipertimbangkan dan diperbaiki dalam penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini cukup tajam untuk digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan oleh manajemen. Kebijakan dan program keselamatan kerja pada umumnya menuntut perubahan perilaku karyawan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan perubahan adalah peningkatan pelibatan karyawan dalam program-program keselamatan kerja yang sudah dikembangkan. Di samping itu konsistensi kebijakan di tingkat organisasi dan praktek pelaksanaannya di lapangan melalui instruksi atasan langsung perlu dijaga. Pelaporan seluruh jenis kecelakaan dan near miss yang dialami di lapangan berikut sanksi yang lebih tegas yang diberikan kepada karyawan yang tidak melaporkan kecelakaan atau berulang kali melakukan perilaku tidak aman di area kerja perlu diupayakan untuk menunjukkan komitmen dalam upaya menjaga keselamatan kerja karyawan.
Referensi Ariss, S. (2003). Employee involvement to improve safety in the workplace: An ethical imperative. Mid-American Journal of Business, 18 (2), 9. Bhattacharya, S. (2012). Sociological factors influencing the practice of
103 KESELAMATAN KERJA
incident reporting: The case of the shipping industry. Employee Relations, 34 (1), 4-21. Blair, E. (1999). Behavior-based safety: Myths, magic & reality. Professional Safety, 44 (8), 25-29. Borbidge, D. J. (2007). Fostering participation in behavior-based safety: Trust is needed throughout your organization. ISHN, 41 (1), 58-59. Brahmasrene, T., & Smith, S. S. (2009). The influence of training, safety audits, and disciplinary action on safety management. Journal of Organization Culture, Communications and Conflict, 13 (1), 9-19. Cooper, M. D., & Phillips, R. A. (2004). Exploratory analysis of the safety climate and safety behavior relationship. Journal of Safety Research, 35 (5), 497512. Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2010). Organizational development and change (9th ed). Canada: SouthWestern. Desmukh, L. M. (2006). Industrial safety management: Hazard identification and risk control. Delhi: Tata McGraw-Hill. Diaz, Y. F., & Resnick, M. L. (2000). A model to predict employee compliance with employee corporates’s safety regulations factoring risk perception. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting, 4. Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention and behavior: An introduction to theory and research. Massachusetts: Addison-Wesley. Jamsostek: setiap hari 9 meninggal karena kecelakaan kerja. (2013). ANTARA
News. Diakses pada 24 April 2013 dari www.antaranews.com/berita/360749/ja msostek-setiap-hari-9-meninggalkarena-kecelakaan-kerja Jeffries, F. L. (2011). Predicting safety related attitudes in the workplace: The influence of moral maturity and emotional intelligence. Journal of Behavioral and Applied Management, 12(3), 200-216. Kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi. (2013, 15 Januari). Metro TV News. Diakses pada 12 Mei 2013 dari www.metrotvnews.com/metronews/read /2013/01/15/2/122976/KecelakaanKerja-di-Indonesia-masih-Tinggi Lauver, K. J, Lester, S., & Le, H. (2009). Supervisor support and risk perception: Their relationship with unreported injuries and near misses. Journal of Managerial Issues, 21(3), 327-343. Lingard, H., Cooke, T., & Blismas, N. (2011). Coworkers’ response to occupational health and safety. Engineering, Construction and Architectural Management, 18(2), 159175. Littlejohn, A., Margaryan, A., & Lukic, D. (2010). How organizations learn from safety incidents: A multifaceted problem. The Journal of Workplace Learning, 22 (7), 428-460. Miltersen, M. S. (2009). The relationship between international management and organizational behaviour: A comparative study of the theories and ideas of Geert Hofstede, and Christopher A. Bartlett and Sumantra Ghoshal. Tesis, tidak diterbitkan. Aarhus School of Business, Aarhus University, Aarhus.
104 NURITA & DAHESIHSARI
Patton, M. Q. (2002). Qualitative research and evaluation methods. (3rd.ed). Thousand Oaks: Sage Publications. Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Robbins, S. P. (2005). Organizational Behavior (11th ed.). New Jersey: Prentice Hall. Yule, S., Flin, R., & Murdy, A. (2007). The role of management and safety climate in preventing risk-taking at work. [Versi elektronik]. International Journal of Risk Assessment and Management, 7 (2), 137-151. Wallace, C., & Chen, G. (2006). A multilevel integration of personality, climate, self-regulation, and performance. Personnel Psychology, 59(3), 529-557. Zohar, D. (2002). The effects of leadership dimensions, safety climate, and assigned priorities on minor injuries in work groups. Journal of Organizational Behavior, 23(1), 75-92. Zohar, D., & Luria, G. (2005). A multilevel model of safety climate: Cross-level relationships between organization and group-level cimates. Journal of Applied Psychology, 90(4), 616-628. Zohar, D., & Luria, G. (2010). Group leaders as gatekeepers: Testing safety climate variations across levels of analysis. Apllied Psychology: An International Review, 59 (4), 647-673.
Alamat surel:
[email protected],
[email protected]
Jurnal Psikologi Indonesia 2017, Vol. XII, No. 1, 105-117, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (ART THERAPY BASED ON CBT TO REDUCE AGGRESSIVENESS OF CHILD VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE) Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti Universitas Gadjah Mada
Children who had experienced domestic violence will loose affection and coping behaviour other than violence. They have difficultiesin understanding how to express their emotion. One of them is aggresion. Aggresive behaviour derived from the result of modelling domestic violence. Art therapy as a means of children to learn to feel their emotions and cope with their aggressive behaviour through alternative thinking. The aim of this study is to see the effectiveness art therapy based on Cognitive Behaviour Therapy (CBT) to lower aggressive behavior in children victims of domestic violence. Research method used was the single case ABA ad givenin 8 sessions. Subjects are 2 children who had aggresive behaviour and domestic violence. They lived in a orphanage. Manipultion check used Buss-Perry aggresive scale to measure intention of child aggresive behaviour. The result showed a decrease in intention of aggression after treatment. Effect of intervention is measured by visual inspection. The result shows that art therapy can lower the aggressiveness of the behavior of children in the orphanage. Art therapy could lower the aggressiveness of the behavior of children.
Keywords: domestic violence, art therapy, CBT
KDRT mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak. Anak terpapar KDRT sehingga kurang mendapat afeksi dan alternatif perilaku selain kekerasan. Anak menjadi sulit memahami dan mengekspresikan emosinya. Salah satu bentuk coping dari sulit memahami dan mengekspresikan emosi yaitu agresivitas. Perilaku agresif berasal dari hasil modeling anak dari kekerasan yang diterima. Art therapy menjadi sarana anak untuk belajar merasakan emosinya dan mengubah coping agresifnya melalui berpikir alternatif. Tujuan penelitian untuk melihat keefektivan modul Art therapy berbasis CBT terhadap penurunan perilaku agresif anak korban KDRT. Penelitian ini dilakukan dengan single-case ABA dan diberikan dalam 8 sesi selama 1,5-2 jam kepada 2 anak yang tinggal di Panti Sosial Asuh Anak dengan kecenderungan agresif korban kdrt. Cek manipulasi menggunakan skala agresivitas Buss-Perry untuk mengukur intensi agresivitas anak. Hasilnya menunjukan adanya penurunan intensi agresi setelah tritmen. Pengaruh intervensi diukur dengan visual inspection. Hasilnya menunjukan bahwa art therapy dapat menurunkan perilaku agresivitas anak di dalam panti asuhan.
Kata kunci: KDRT, art therapy, CBT
105
106 SEPTIANI & ADIYANTI
Kekerasan menurut World Health Organization (WHO) adalah intensi perilaku yang menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan dalam bentuk ancaman terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, gangguan perkembangan atau perampasan (Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, & Lozano, 2002). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan hal yang sensitif dan sering terjadi dalam sebuah hubungan keluarga. Setiap tahun kasus KDRT diperkirakan meningkat, namun masih banyak masyarakat yang tidak mau melapor (Gandhi, 2013). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa jumlah kekerasan anak paling banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga. Mulai dari Januari – Agustus KPAI 2012 mencatat ada 3.332 kasus. Wilayah DIY dan sekitarnya juga memiliki catatan terhadap kekerasan anak. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Rifka Annisa (RA) mencatat kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah umur 18 tahun tahun 2010-2013 sejumlah 42 pelaku kekerasan usia anak. Tahun 2009 RA mencatat 209 kasus dengan 6 orang remaja sebagai korban langsung, 2010 ada 236 kasus, 2011 ada 228 kasus dengan 5 remaja korban langsung, 2012 ada 239 kasus dengan 3 remaja sebagai korban langsung, 2013 ada 256 kasus, dan 2014 ada 185 kasus. LPA Yogyakarta mencatat tahun 2013 terdapat 6 kasus KDRT terhadap anak, tahun 2014 terdapat 11 kasus kekerasan pada anak. Hal ini menunjukan bahwa setiap tahun terjadi kasus kekerasan terhadap anak, apabila
tidak diberikan penanganan akan berdampak pada anak tersebut dan lingkungan sekitar. Anak yang mengalami atau sekedar menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarga menjadi rentan berbuat agresif, apatis terhadap orang lain, kecemasan tinggi, sulit untuk bersosialisasi dan tidak merasa nyaman di dalam rumah (Ah Yoo & Huang, 2012; Jeevasuthan & Hatta, 2013; Holmes, 2013; Sim Doh et al., 2012). Pada anak laki-laki khususnya berpotensi menumbuhkan perilaku agresif dalam fase perkembangannya hingga masa dewasa (Bergen, dalam Hidayat, 2009; Burk, 2008; Choi & Goo, 2012; Tachie, 2010). Seseorang yang mengalami kejadian stressful, panca inderanya menangkap kejadian tersebut kemudian otak memprosesnya lewat memori dan mengirimkan impuls ke seluruh tubuh. Proses kognitif berjalan bagaimana seseorang mempersepsikan kejadian itu sehingga berpengaruh pada regulasi emosi dan kondisi fisik. Saat anak mendapat kekerasan baik fisik maupusn psikis yang berulang kali dari orang terdekatnya maka ia akan mempersepsikan kejadian tersebut menjadi peristiwa traumatik dan stresful. Anak perlu melakukan coping untuk memulihkan kembali kondisi emosinya jika kejadianya berulang. Untuk itu anak menyalurkan energi-energi negatifnya melalui perilaku seperti bertindak agresif dan jika tidak maka akan menganggu aspek kehidupan anak seperti prestasi sekolah menurun, kondisi psikis yang terganggu, dll. Agresivitas adalah cara untuk melampiaskan rasa frustasi dan sarana
107 ART THERAPY
mencapai tujuan untuk sengaja menyakiti, membahayakan serta mengancam orang lain (Baron & Byrne, 1991; Berkowitz, 2003). Perilaku agresif merupakan bentuk simptom dari dampak anak mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis (Hemsi, 2006; Sprinkle, 2007). Rasa frustasi terhadap figure lekat, penolakan orang tua, perilaku kekerasan, dan penganiayaan menyebabkan agresivitas anak muncul (Berkowitz, 2003). Menurut perspektif belajar sosial oleh Bandura, perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman lalu melalui imitasi serta me-modeling. Proses imitasi membutuhkan kerja kognitif dalam menangkap informasi yang masuk dan mempersepsikannya sehingga anak dapat dapat menyikapi suatu perilaku (Fantuzzo & Mohr, 1999). Anak-anak belajar perilaku dari informasi yang terlihat di hadapan mereka, lalu mereka menginternalisasi perilaku tersebut untuk digunakan di lingkungan sosialnya (Berkowitz, 2003; Simmons., Starsworth, & Wentzel, 1999). Proses kerja kognitif juga berkaitan dengan emosi dan perilaku, sehingga apabila anak melihat kekerasan sebagai suatu hal yang biasa maka ia mengalami kesulitan dalam problem solving. Art therapy dapat menjadi sarana yang tepat bagi proses intervensi anak yang mengalami KDRT. Proses art making dianggap sebagai cara untuk berkomunikasi yang menekankan pada gambar, lukisan, dan ekspresi-seni lainnya (Farokhi, 2011; Waller, 2006). Anak-anak dapat mengkomunikasikan dan mengekspresikan perasaan lewat proses art making seperti: menggambar, melukis,
dan membuat clay (Bishop, 2012; Cristina & Aneta, 2012; Eaton, Dorhetty, & Widrick, 2007; Farokhi, 2011; Riley, 2001). Art therapy memfasilitasi klien menggunakan media seni, proses berpikir kreatif dan hasil karya seni untuk mengekslorasi perasaan, mendamaikan konflik emosional, lebih membuat seseorang aware terhadap dirinya, mengelola perilaku, mengembangkan keterampilan sosial, meningkatkan orientasi realitas, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan harga diri. Art therapy efektif dalam menangani para pasien disorder yang memiliki kecenderungan bertindak kekerasan (Broek, De Vos, & Bernstein, 2011; Malchiodi, 2003). Penelitian lain juga menunjukan bahwa Art therapy bisa menjadi sarana belajar anak yang tidak membosankan untuk menurunkan perilaku agresif, meningkatkan regulasi emosi dan sangat efektif bagi anak yang mengalami peristiwa traumatis karena art therapy bisa memfasilitasi ekspresi emosi dalam setting yang aman (Atkinson & Robson, 2012; Aviv, Regev, & Guttmann, 2014; Bishop, 2012; Brown & Sack, 2013; Samadzadeh, Abbasi, & Shahbazzadegan, 2013; Khadar, Bapaour, & Sabourimoghaddam, 2013). Pemanfaatan seni dapat membantu anak untuk mengamplifikasi hubungan interpersonal yang belum terselesaikan dan memungkinkan terapis untuk menyadari pengalaman anak terlepas dari kemampuan verbal (Malchiodi, 2003; Rankanen, 2014). Anak korban KDRT mengalami banyak emosi negatif sehingga hal ini mempengaruhi proses perkembangan emosi serta kognitifnya. Mereka banyak
108 SEPTIANI & ADIYANTI
Tabel 1 Metode Single-case ABA Baseline (A)
Tritmen (B)
Baseline (A)
O 1 -O 2 - O 3 - O 4 - O 5 O6- O7
O 1 -O 2 -O 3 -O 4 -O 5 -O 6 O 7 -O 8
O1- O2- O3- O4- O5O 6 -O 7
Tabel 2 Hasil Analisis Interclass Correlation Coefficient Reliabilitas antar Rater Modul Art Therapy Intraclass Correlationa Single Measures Average Measures
.662a .979b
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound .445 .951
.893 .995
F test with True Value Value
df1
df2
47.932 47.932
7 7
161 161
Gambar 1. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek IK
Gambar 2. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek SA
109 ART THERAPY
terpapar pola perilaku kekerasan orangtunya, sehingga mereka memiliki sedikit alternatif dalam mengelola dan mengontrol emosinya. Anak pun mengimitasi perilaku itu dan masuk ke dalam belief-nya. Hambatan dalam meregulasi emosi dan belief agresif tadi memunculkan pikiran atau ide-ide melakukan perilaku kekerasan dalam menghadapi stressor. Maka dari itu coping yang terjadi adalah perilaku agresif, sikap bermusuhan, dan menghindar. Art therapy dengan pendekatan CBT adalah bentuk terapi seni dimana klien terlibat dalam cara berpikir tentang masalah mereka. Klien dapat mempersepsikan masalah mereka dari perspektif baru melalui gambar dan sadar terhadap perasaan dan pikiranya (Alavinezhad, Mousavi, & Sohrabi, 2014; Malchiodi, 2003). Art therapy CBT menekankan anak untuk aware terhadap perasaan dan pikiranya. Proses ini penting agar anak belajar untuk menerima pengalaman stresornya lewat habituasi agar terbentuk coping skill yang baik (Alavinezhad et al., 2014; Samadzadeh et al., 2013). Proses art therapy dalam mengintervensi anak terletak pada mediasi ekspresi emosi lewat gambar kemudian dari gambar tersebut anak diminta untuk bercerita. Dalam menggambar terdapat proses ekspresi yang membutuhkan ide kreatif sehingga melibatkan proses otak visual cortex, dan keterlibatan fisiologis seperti gerakan tangan. Ketika menuangkan gambar, anak dapat mereduksi tegangan (Malchiody, 2003), membingkai ulang apa yang mereka
rasakan, menanggapi suatu peristiwa atau pengalaman, dan bekerja pada perubahan emosi dan perilaku. Setelah proses mereduksi tegangan, terapis membimbing anak untuk merekonstruksi belief system atau pikiran negatifnya terhadap kekerasan lewat gambar. Cerita yang keluar dari anak dapat melihat bagaimana anak mempersepsi stressor tersebut. Terapis dapat membantu anak dalam mengubah distorsi kognitifnya dengan visual coping seperti bertanya “what if” dan feedback. Tujuan penelitian ini untuk melihat kefektifan art therapy terhadap dampak penurunan agresivitas anak korban KDRT.
Metode Prosedur dalam penelitian ini yaitu melakukan preliminary study dengan mewawancari significant other dan study literature data sekunder laporan hasil pemeriksaan psikologis sebelumnya dari masing-masing subjek. Desain penelitian menggunakan singlecase A-B-A (Tabel 1). Dasar penelitian single-case terletak pada pengukuran observasi yang berulang untuk melihat keefektifan tritmen setelahnya (Kazdin, 2011). Metode rating scale dalam penelitian ini menjadi pengukur jumlah periaku agresivitas subjek. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari dua orang anak laki-laki memiliki pengalaman KDRT dengan kecenderungan perilakua agresif. Instrumen penelitian adalah: skala agresivitas Buss-Perry (1992), modul art therapy, dan lembar observasi perilaku agresivitas. Hasil data
110 SEPTIANI & ADIYANTI
Gambar 3. Grafik Pengukuran Skala Agresivitas Kedua Subjek
skor skala agresivitas dan observasi perilaku agresivitas kedua subjek diolah dalam visual inspection. . Validasi instrumen skala agresivitas menggunakan profesional judgement dan ujicoba skala. Analisa hasil profesional judgement menggunakan aiken’s v. Peneliti juga melakukan telaah observasi perilaku, gambar dan perspektif anak selama proses art therapy. Modul art therapy berisi 8 sesi (Alavinezhad et al., 2014) antara lain: sesi Free drawing, sesi Egg Drawing, Sesi Cave Drawing, Sesi Family drawing, Sesi Human Figure, Sesi Best and Worst Self, sesi Bad Situatuion, dan sesi terminasi. Setiap sesi dilakukan selama 1,5 - 2 jam pertemuan. Validasi modul menggunakan beberapa pengukuran antara lain: profesional judgement dianalisis dengan Intraclass Correlation Coefficient dan ujicoba modul dengan menggunakan kesepakatan antar rater. Hasil validasi modul (24 butir) menggunakan Intraclass Correlation Coefficient (ICC) menunjukan α = 0,979, artinya ada kesepakatan yang tinggi antar
rater bahwa modul sesuai dengan tujuan. Analisa hasil profesional judgement skala agresivitas Buss-Perry (1992) menggunakan aiken’s V. Aitem skala yang memiliki v < 0,5 ada dua dan dinyatakan gugur. Skor daya beda ujicoba skala < 0,25 dengan α = 0,779 (n of items = 31). Rerata skor total = 59,56 dengan standard deviation 16,407. Kategorisasi skor empirik adalah SR sebanyak 3 (5.9%), R sebanyak 13 (25.5%), S sebanyak 18 (35.3%), T sebanyak 13 (25.5%), dan ST sebanyak 3 (5.9%). Ada 1 (2%) missing. Grafik visual inspection terlihat penurunan yang terjadi pada fase baseline, intervensi dan baseline (setelah intervensi) (Gambar 1). Pada baseline jumlah rata-rata perilaku agresivitas subjek IK adalah 3 kali muncul perperilaku agresif per hari, sedangkan saat intervensi rata-rata perilaku yang muncul per hari sebanyak 1 kali, dan setelah intervensi hanya muncul sekali pada hari ke-4 saja selama 7 hari. Grafik visual inspection perilaku agresivitas subjek SA menunjukan adanya penurunan (Gambar 2). Pada baseline jumlah rata-rata perilaku agresivitas SA
111 ART THERAPY
adalah 3 kali muncul per hari, sedangkan pada intervensi rata-rata perilaku yang muncul per hari sebanyak 2 kali, dan setelah intervensi muncul 1-2 kali. Di akhir sesi, terapis selalu memberikan feedback sebagai penguat apa yang telah didapat anak selesai sesi. Perubahan distorsi kognitif terjadi setelah diberikan art therapy. Hal itu dibuktikan dari cek manipulasi terhadap kedua subjek dengan mengisi skala agresivitas Buss-Perry (1992). Peneliti mengukur intensi agresivitas kedua subjek pada pre-test I sebelum pengukuran fase baseline kemudian pre-test II setelah fase baseline. Tujuanya untuk mengetahui apakah terjadi maturitas sebelum diberikan tritmen. Kemudian post-test dilakukan setelah proses tritmen selesai. Hasilnya terjadi penurunan skor skala agresivitas kedua subjek pada pre-test II dengan post -test. Subjek SA mengalami penurunan skor skala Buss-Perry (1992) sebanyak 26 poin dari pre-test II ke post-test (Gambar 3). Pada pre-test I dan pre-test II intensitas agresivitas subjek SA naik 6 poin dan masih berada dalam kategori sedang ke tinggi. Pada pre-test II ke post-test intensi agresivitas subjek SA turun ke dalam kategori rendah. Subjek IK pada pre-test I ke pre-test II mengalami penurunan skor skala agresivitas sebanyak 3 poin, sedangkan dari pre-test II ke post-test turun sebanyak 8 poin. Keduanya masih dalam tarah sedang.
Diskusi Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
art therapy dengan pendekatan CBT dapat menurunkan agresivitas anak korban KDRT. Berdasarkan hasil visual inspection perilaku agresivitas kedua subjek menurun. Hasil tersebut dikuatkan dengan cek manipulasi perspektif intensi agresivitas kedua subjek yang menurun. Pengukuran cek manipulasi yang berulang tersebut bertujuan untuk melihat perubahan subjek terjadi akibat art therapy atau maturitas. Perubahan intensi agresivitas tersebut tidak diikuti oleh penurunan perilaku agresif anak. Hasil visual inspection masingmasing subjek menunjukan bahwa penurunan perilaku agresif tidak terlalu tampak. Harapanya dalam penelitian ini, apabila intensi agresivitas menurun maka perilakunya ikut menurun. Peneliti melihat ada dua aspek yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu afeksi dan kontrol modeling anak. Perubahan perilaku terjadi apabila individu mengalami suatu kejadian yang dipersepsikan ke dalam kognitif dan ia rasakan sebagai emosi tertentu. Pada tritmen art therapy ini masih mengajak anak untuk menyadari perasaan dan pikiran yang muncul saat mengingat kejadian tertentu. Penelitian ini masih berfokus pada perubahan distorsi kognitif agar anak mendapat alternatif ide selain kekerasan Tritmen ini masih sebatas memfasilitasi pada ekspresi emosi dalam gambar. Anak belum dapat memaknai emosi pada setiap peristiwa. Pemaknaan emosi dalam suatu peristiwa dibutuhkan proses yang panjang dan dalam, sedangkan proses art therapy berlangsung sedikitnya 8 sesi dengan 8 pertemuan. Selain itu perubahan perilaku biasanya
112 SEPTIANI & ADIYANTI
tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan membutuhkan range waktu 18-265 hari. Setiap orang memiliki waktu yang berbeda. Untuk membentuk perilaku menjadi habit dibutuhkan pula reward eksternal. Semakin pendek range waktu yang dibutuhkan, semakin besar pula motivasi dalam diri dan faktor eksternal yang mendukung (Lally, Pots, Van Jaarsveld, & Wardle, 2010). Hal ini tidak dapat terlepas dari faktor eksternal subjek. Sehari-hari para subjek tinggal dengan teman-temannya yang memiliki rendahnya kontrol dari orang dewasa. Menurut Duru, Redzuan, Hamsan, dan Sharimin (2015) ada tingkat moderat dari kelekatan peer grup untuk mempengaruhi intensi perilaku agresif yang menghasilkan perilaku. Mereka belum memiliki kontrol pada diri sendiri atas konsekuensi yang akan dialami, sehingga apa yang dilihatnya akan dilakukannya di situasi lainnya. Rendahnya kontrol dari orang dewasa membuat mereka tidak tahu apa yang semestinya dilakukan dan tidak saat menghadapi situasi-situasi yang kurang menyenangkan. Selama proses art therapy dengan pendekatan CBT, anak diajak untuk memikirkan risiko-risiko intensi agresivitasnya terhadap lingkungan dan dirinya melalui proses menggambar. Anakanak yang mengalami KDRT akan menimbulkan perasaan kurang nyaman saat menceritakan kembali keluarganya. Kekerasan dalam keluarganya diidentifikasikan sebagai sesuatu pengalaman yang menakutkan dan mengecewakan, serta menimbulkan kemarahan pada diri anak. Emosi yang dirasakan termanifestasi ke dalam perilaku.
Dengan menggambar, anak dapat mempersepsikan masalah mereka dari perspektif baru dan menekankan anak untuk aware terhadap perasaan dan pikiranya (Alavinezhad et al., 2014; Malchiodi, 2003). Hal ini terlihat dari sesi family drawing pada kedua subjek karena menolak menggambar figur keluarga. Mereka mengalami kebingungan dalam merasakan atau menyikapi suatu peristiwa. Hal ini terjadi karena tidak adanya figur dewasa yang mengajarkan anak. Hasil art therapy menunjukan bahwa mereka tidak paham mengenai emosi yang dirasakan, hanya tahu peristiwa yang menyertai emosi tersebut atau perilaku yang tampak, misalkan emosi sedih disebut sebagai orang menangis, marah disebut dengan jika ada orang yang nakal dengan kita, dll. Mereka akan sulit untuk mengatakan nama emosi tersebut kecuali jika terapis memberikan gambar emoticon. Proses menggambar memunculkan emosi tertentu pada anak. Gambar dapat digunakan sebagai media ekspresi. Proses tersebut dianggap sebagai cara untuk berkomunikasi yang menekankan pada gambar dan memfasilitasi proses berpikir untuk mengekslorasi perasaan, mendamaikan konflik emosional, lebih membuat seseorang aware terhadap dirinya, mengelola perilaku, mengembangkan keterampilan sosial, meningkatkan orientasi realitas, mengurangi kecemasan, serta meningkatkan harga diri (Broek et al., 2011; Farokhi, 2011; Malchiodi, 2003; Waller, 2006). Cerita yang muncul dari gambar merupakan persepsi anak terhadap suatu kejadian. Persepsi anak
113 ART THERAPY
merupakan proses berpikir, sehingga cerita yang disampaikan anak merupakan media proses kognitif pada art therapy. Dalam art therapy teknik pertanyaan “what if” membantu anak merestruktur distorsi kognitif, sehingga anak dapat mencari alternatif solusi selain melakukan kekerasan. Teknik pertanyaan what if adalah teknik bertanya dengan memprobing kalimat yang diucapkan anak dengan membalikan situasi yang bertentangan. Keberhasilan tritmen art therapy ini tidak terlepas dari kerjasama terapis, peneliti dengan subjek. Keberhasilan tersebut terbagi menjadi beberapa aspek yaitu: minat anak terhadap gambar, perasaan anak setelah menggambar per sesi, pemahaman anak mengenai materi baru yang diperoleh anak, dan anak masih mempertahankan aktivitas menggambar meskipun tritmen sudah selesai. Peneliti melakukan cek minat gambar sebelum memberikan tritmen art therapy dengan bertanyan kepada subjek. Hasilnya para subjek mengatakan tidak keberatan dengan aktivitas menggambar. Maka dari itu terapis melanjutkan untuk member tritmen art therapy. Peneliti juga melakukan cek emosi subjek sebelum dan setelah menggambar. Hal ini untuk mengetahui perbedaan yang diberikan art therapy pada afeksi anak. Hasilnya anak mengalami perubahan emosi sebelum dan setelah menggambar. Perbedaan emosi tidak hanya emosi senang namun juga emosi yang kurang nyaman. Peneliti perlu mempertimbangkan intervensi dari faktor lingkungan anak sebagai penyebab KDRT. Faktor penyebab
KDRT yang dialami anak berasal dari berbagai faktor antara lain: faktor internal yaitu tingkat menghargai antar anggota keluarga, karakter orangtua atau pelaku kekerasan yang memiliki coping sosial skiil yang rendah; dari faktor eksternal seperti rendahnya tingkat sosial ekonomi, pendapatan keluarga; dari faktor situasional ada seperti interaksi dengan anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut apabila tidak dihilangkan akan mengembalikan perilaku kekerasan terhadap anak lagi. Untuk itu peneliti perlu mempertimbangkan pula melakukan intervensi di keluarga minimal orangtua, seperti memberikan konseling terhadap ibu yang dinilai sebagai korban, memberikan psikoedukasi dalam mengasuh anak, dsb. Tujuannya untuk mempersiapkan anak apabila kembali dalam lingkungan keluarga sehingga orangtua tahu bagaimana memperlakukan anak tanpa adanya kekerasan. Penelitian ini masih berfokus dalam melakukan tritmen terhadap anak. Secara kode etik psikologi selain melakukan tritmen terhadap seorang klien, psikolog perlu mempertimbangkan pemberian tritmen di lingkungan klien agar tercapai keberhasilan terapi secara holistik. Keterbatasan Perilaku agresif dapat menjadi salah satu alternatif perilaku yang muncul di lingkungan panti saat berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan. Lingkungan tempat tinggal anak mempengaruhi perilakunya. Anak-anak yang tinggal di panti bersama teman-teman sebaya, teman-teman yang lebih tua serta jauh dari orang tua membuat anak akan memodelling perilaku yang tampak.
114 SEPTIANI & ADIYANTI
Perilaku agresif dapat menjadi salah satu alternatif perilaku yang muncul di lingkungan panti saat berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan. Subjek melihatnya sebagai cara bertahan hidup jauh dari figur pelindung (keluarga, orangtua, dll). Untuk itu anak membutuhkan rasa aman dari seorang figur dewasa, sehingga kedatangan terapis kepada dapat memenuhi kebutuhan afeksi dan rasa amanya. Perubahan intensi agresivitasnya menurun karena attachment dengan terapis. Hasil tritmen art therapy tersebut belum dapat digeneralisasikan pada kasus anak lainnya Pengukuran perilaku agresif dengan metode observasi rating scale tidak dapat melihat perilaku anak pada situasi tertentu. Subjektivitas observer dalam mencatat perilaku agresif dan saat mencatat hasil tritmen setiap sesi masih ada. Untuk meminimalisir subjektivitas tersebut, peneliti membuat indikator keberhasilan untuk sesi art therapy dan indikator perilaku agresif. Namun subjektivitas masih tetap ada karena masinng-masing observer mengukur subjek yang berbeda. Peneliti belum mengukur kesamaan pandangan antar observer dalam melihat perilaku agresif. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penelitian Art therapy dapat menurunkan perilaku agresivitas anak korban KDRT. Hal ini terlihat dari intensitas agresivitas kedua subjek yang menurun dari hasil skor skala agresivitas. Hal tersebut terlihat dalam visual inspection perilaku agresivitas kedua subjek meskipun tidak banyak penurunan perilakunya.
Art therapy dengan pendekatan CBT dapat membantu anak merekonstruksi pikiran yang sebelumnya berpikiran bahwa kekerasan membuat lega dan dapat menyelesaikan masalah menjadi kekerasan itu tidak membuat puas dan jika takut itu berarti banci menjadi harus tetap berani meskipun takut. Teknik feedback dan teknik pertanyaan “what if” dari terapis dapat membimbing anak menemukan cara lain dalam mengatasi situasi yang tidak menyenangkan selain melakukan kekerasan. Maka dari itu Art therapy dapat membantu anak menemukan alternatif berpikir bahwa ada cara lain menghadapi peristiwa yang menimbulkan emosi negatif selain dengan permusuhan atau kekerasan yaitu dengan menggambar, bermain bola, bermain dengan teman yang lain, berbicara dengan orang yang mengganggu, dan sholat. Art therapy membantu anak yang tadinya sulit mengatakan emosinya ke dalam kata-kata menjadi lebih sadar terhadap perasaan dan pikirannya. Cek emosi dalam yang dilakukan sebelum dan setelah tritmen membantu terapis mengerti seberapa emosionalkan pengalaman tersebut bagi anak. Bagi anak sendiri, cek emosi membantunya untuk lebih sadar terhadap perasaan dan pikiran saat menceritakan suatu peristiwa. Saran Kehadiran peneliti dan terapis dapat menjadi supportive grup bagi anak yang tinggal di panti, yang menjadi bahan pertimbangan hasil anak dalam art therapy. Selain itu subjektivitas antar observer dapat
115 ART THERAPY
diminimalisir dengan melakukan cek kesepakatan antar dua observer pada dua anak. Peneliti perlu menambah jumlah sesi atau memperpanjang tritmen art therapy agar tercapai penurunan intensi dan perilaku agresivitas yang optimal. Anak dengan KDRT memiliki regulasi emosi yang kurang baik sehingga berdampak pada coping perilakunya. Untuk itu sangat penting dan disarankan memberikan psikoedukasi emosi. Psikolog dengan dibantu oleh pekerja sosial dapat mengajak anak untuk menyadari perasaannya dengan menanyakan pada anak. Gambar emoticon sangat berguna bagi anak yang sedang dalam tahap menentukan emosi yang dirasakanya. Pemberian checking emotion sebaiknya dilakukan setiap sesi agar anak terbiasa dengan nama-nama emosi.
Referensi Ah Yoo, J., & Huang, C. C. (2012). The effects of domestic violence on children's behavior problems: Assessing the moderating roles of poverty and marital status. Children and Youth Services Review, 34(12), 2464-2473. Alavinezhad, R., Mousavi, M., & Sohrabi, N. (2014). Effects of art therapy on anger and self-esteem in aggressive. Social and Behavioural Science, 113, 111-117. Atkinson, S., & Robson, M. (2012). Arts and health as a practice of liminality: Managing the spaces. Health & Place, 18(6), 1348-1355. Aviv, T. P., Regev, D., & Guttmann, J. (2014). The unique therapeutic effect of differen art materials on psychological
aspects. The Arts in Psychotherapy, 41, 293-301. Baron, R. A., & Byrne, D. E. (1991). Social psychology: Understanding human interaction. (6th ed). Boston: Allyn & Bacon. Berkowitz, L. (2003). Aggression: Its causes, consequence, and control. New York: McGraw-Hill. Bishop, K. (2012). The role of art in a paediatric healthcare environment from. Asia Pacific International Conference on Environment-Behaviour Studies (pp. 8188). Kuching: Social and Behavioural Science 38. Broek, E. V., De Vos, M. K., & Bernstein, D. P. (2011). Arts therapies and Schema Focused therapy: A pilot study. The Arts in Psychotherapy, 38, 325-332. Brown, E. D., & Sack, K. L. (2013). Arts enrichment and preschool emotions for low-income children at risk. Early Childhood Research Quarterly, 28, 337346. Burk, L. R. (2008). Identification of early child and family risk factors for aggressive victim status in the first grade. Abnormal Child Psychology, 36, 513-526. Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The aggression questionnaire. Journal of Personlity and Social Psychology, 63, 452-459. Choi, S., & Goo, K. (2012). Holding environment: The effects of group art therapy on mother–child. The Arts in Psychotherapy, 39, 19-24. Cristina, C., & Aneta, F. (2012). How can we improve the existing assessments used in art therapy. A meta-analysis on
116 SEPTIANI & ADIYANTI
art therapy assesments. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 33, 358-362. Duru, C. K., Redzuan, M., Hamsan, H., & Sharimin, M. I. (2015). Peer attachment and intention of aggressive behavior among school children. Journal of Humanities and Social Science, 20(1), 66-72. Eaton, L. G., Dorhetty, K., & Widrick, R. M. (2007). A review of research and methods used to establish art therapy. The Arts in Psychotherapy, 34, 256-262. Fantuzzo, J., & Mohr, W. (1999). Prevalence and effects of child exposure to domestic violence. The Future of Children, 9(2), 21-32. Farokhi, M. (2011). Art therapy in humanistic psychiatry. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 30, 2088 2092. Gandhi, T. (2013, Februari). Dianggap aib dan makan biaya, korban kekerasan enggan melapor. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak “Rekso Diah Utami”. Retrieved from http://reksodyahutami.blogspot.co.id/201 3/02/dianggap-aib-dan-makan-biayakorban.html Hemsi, M. H. (2006). What is art therapy. Journal of Mental Health, 6 (2 & 3), 7870. Hidayat, R. (2009). Wajah kekerasan: Analisis atas data kasus kekerasan terhadap perempuan di Rifka Annisa Tahun 2000 – 2006. Yogyakarta: Rifka Annisa Woman Crisis Centre. Holmes, M. (2013). Aggressive behavior of children exposed to intimate partner violence: An examination of maternal mental health, maternal warmth and
child maltreatment. Child Abuse Neglect, 37, 8, 520-530. DOI: 10.1016/j.chiabu.2012.12.006. Jeevasuthan, S., & Hatta, Z. A. (2013). Behavioural Problems of Children Exposed to Domestic Violence in Rural Villages: A Micro Social Work Inquiry in Piranpattru Village at Chankanai Divisional Secretariat, Jaffna, Sri Lanka. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 91, 201-207. Kazdin, A. E. (2011). Single-case research designs: Method for clinical and applied setting (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Khadar, M. G., Bapaour, J., & Sabourimoghaddam, H. (2013). The effect of Art therapy based on painting therapy in reducing symptoms of separation anxiety disorder (SAD) in elementary school boys. Social and Behavioural Sciences, 84, 1872-1878. Krug, E. G., Dahlberg, L. L., Mercy, J. A., Zwi, A. B., & Lozano, R. (2002). World report on violence and health. World Health Organization. Ganeva. Lally, P., Pots, H. W. W., Van Jaarsveld, C. H. M., & Wardle, J. (2010). How are habits form: Modelling habits formation in real world. European Journal of Social Psychology, 40, 998-1009. doi:10/1002/ejsp.614. Malchiodi, C.A. (2003). Handbook of art therapy. New York: The Guilford Press. Rankanen, M. (2014). Clients’ positive and negative experiences of experiential art therapy group process. The Arts in Psychotherapy, 41(2), 193-204. Riley, S. (2001). Art therapy with adolescence. Western Journal of
117 ART THERAPY
Medicine, 175(1), 54. Samadzadeh, M., Abbasi, M., & Shahbazzadegan, B. (2013). The effect of visual arts on education of coping strategies in annoyed children. ProcediaSocial and Behavioral Sciences, 83, 771-775. Sim Doh, H., Shin, N., Kim, M. J., Hong, J. S., Choi, M. K., & Kim, S. (2012). Influence of marital conflict on young children's aggressive behavior in South Korea: The mediating role of child maltreatment. Children and Youth Services Review, 34(9), 1742-1748. Simmons, B. J., Starsworth, K., & Wentzel, H. (1999). Television Violence and Its Effects on Young Children. Early Childhood Education Journal, 26(3), 149-153. Sprinkle, J. E. (2007). Domestic Violence, Gun Ownership, and Parental Educational Attainment: How do They Affect the Aggressive Beliefs and Behaviors of Children?. Child and Adolescent Social Work Journal, 24(2), 133. Tachie, R. M. (2010). Aggression in siblings exposed to domestic violence (Unpublished thesis). Department of Family Social Sciences University of Manitoba Winnipeg, Ottawa. Retrieved from http://mspace.lib.umanitoba.ca/bitstream /1993/4233/1/Tachie_Rose-Marie.pdf. Waller, D. (2006). Art therapy for children: How it leadsto change. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 11(2), 271282. doi: 10.1177/1359104506061419. Alamat surel:
[email protected]
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Artikel dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris. 2. Judul artikel harus spesifik dan efektif, serta tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia atau 10 kata bahasa Inggris. 3. Artikel harus dilengkapi dengan nama penulis, nama lembaga tempat kegiatan penelitian dilakukan (universitas, lembaga atau pusat penelitian, atau organisasi lain), dan alamat korespondensi termasuk alamat e-‐mail yang jelas. 4. Artikel harus dilengkapi dengan satu paragraf abstrak berbahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Abstrak harus ditulis secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. 5. Artikel belum pernah diterbitkan dalam bentuk artikel jurnal, artikel dalam buku, atau artikel dalam prosiding lengkap. 6. Artikel harus berupa laporan penelitian empiris, kecuali artikel atas undangan Redaksi (dapat berupa paparan gagasan atau kajian teoritis). Topik artikel harus dalam bidang psikologi serta relevan dengan perkembangan zaman. 7. Artikel harus dilengkapi dengan kata kunci yang dipilih secara cermat sehingga mampu mencerminkan konsep yang terkandung di dalamnya. 8. Artikel ditulis dengan sistematika dan pembaban yang baik mengikuti sistem American Psychological Association (APA). Pembaban tidak boleh menyerupai penulisan skripsi dengan mencantumkan kerangka teori, perumusan masalah, manfaat penelitian, saran, dan sejenisnya. 9. Artikel dilengkapi dengan daftar acuan, bukan bibliografi. Perujukan daftar acuan dalam naskah dan penyusunan daftar acuan mengikuti sistem APA. 10. Diutamakan artikel yang mengedepankan keuniversalan, bukan kenasionalan apalagi kelokalan. 11. Diutamakan artikel dengan sumber-‐sumber acuan yang terbit dalam 10 tahun terakhir. Pengacuan terhadap karya sendiri yang terlalu banyak dalam satu artikel seyogyanya dihindari. 12. Khusus untuk penelitian kuantitatif-‐survey (non-‐psikometri, non-‐eksperimen), penelitian harus melibatkan minimal 3 (tiga) variabel. 13. Penulis membuat pernyataan bahwa artikelnya merupakan hasil karya sendiri, dan jika didasarkan pada karya lain yang melibatkan penulis/peneliti lain (skripsi, tesis, disertasi, penelitian kelompok), penulis harus menyertakan pengakuan tentang kontribusi para penulis lain dan surat izin dari peneliti/penulis lain yang terkait. 14. Penulis akan menerima hasil review dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan, dengan kategori hasil review: (1) Diterima tanpa perbaikan, (2) Diterima dengan perbaikan (disertai catatan tentang hal-‐hal yang harus diperbaiki), (3) Ditolak (disertai alasan penolakan). Apabila naskah diterima dengan perbaikan, maka penulis wajib merevisi tulisannya sesuai dengan hasil review maksimal 1 (satu) bulan. 15. Sistematika dan format penulisan artikel (Template dapat diunduh melalui media sosial Himpsi).
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
JUDUL
(Center)
[Maksimum 14 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul sebaiknya ringkas dan lugas menggambarkan isi tulisan. Kata pengaruh, hubungan, dan studi kasus sebaiknya tidak digunakan sebagai judul. Lokasi penelitian dipaparkan di bagian metode, tidak disebut di judul]
Penulis1, Penulis2, Penulis3 [Tuliskan nama lengkap penulis tanpa gelar, instansi tempat penulis bekerja/ belajar, dan alamat korespondesi (e-mail) penulis] 1,2 Institusi/afiliasi; alamat, telp/fax of institusi/afiliasi e-mail: *
[email protected],
[email protected],
[email protected] (Center, Garamond 12 spasi 1)
Abstrak Kata Kunci Abstract Keywords Abstrak/abstract. Maksimal 150 kata, spasi 1. Abstrak harus jelas, deskriptif dan harus memberikan gambaran singkat masalah yang diteliti. Abstrak meliputi alasan pemilihan topik atau pentingnya topik penelitian, hipotesis/tujuan penelitian, metode penelitian (rancangan penelitian, subjek, alat pengumpul data, dan cara analisis data), ringkasan hasil, dan implikasi hasil penelitian. Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata Pengantar (Memuat latar belakang dan rumusan masalah/hipotesis) Uraikan tentang latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, dan diakhiri dengan hipotesis (untuk penelitian kuantitatif) atau pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif. Jumlah halaman maksimal bagian pengantar 20% dari keseluruhan halaman naskah. Bagian Pengantar berisi antara lain: (a) paparan perkembangan terkini bidang ilmu yang diteliti yang argumentasinya didukung oleh hasil kajian pustaka primer dan mutakhir; (b) paparan kesenjangan; (c) argumentasi peneliti dalam menutup kesenjangan tersebut sebagai janji kontribusi penelitian bagi perkembangan ilmu; dan (d) paparan tujuan penelitian.
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
Metode Memuat rancangan penelitian, subjek/sampel, instrumen/teknik pengambilan data disertai pertanggungjawaban mutu berupa validitas dan reliabilitas instrumen, dan rancangan analisis data yang dilengkapi dengan informasi uji asumsi. Untuk penelitian kualitatif, ditambah dengan pertanggungjawaban refleksivitas Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan pemaparan tentang hasil analisis dan pemaknaan dari hasil analisis data. Untuk studi kuantitatif, selain hasil uji hipotesis, perlu juga mencantumkan statistik deskriptif. Sementara itu untuk studi kualitatif selain mencantumkan hasil analisis data perlu dilengkapi dengan kredibilitas data. Jumlah halaman maksimal adalah 20 % dari jumlah halaman keseluruhan naskah. Diskusi Penjelasan mengenai hasil penelitiaan, merupakan pemaknaan secara substansial terhadap hasil analisis serta telaah kritis terhadap hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan literatur terkini yang relevan (jumlah halaman maksimal 30-40% dari keseluruhan halaman naskah). Berdasarkan telaah kritis tersebut, peneliti memaparkan potensi kontribusi penelitiannya bagi pengembangan ilmu atau aplikasi Psikologi. Kesimpulan dan Implikasi Kesimpulan berisi rumusan jawaban atas pertanyaan penelitian, keterbatasan penelitian, kontribusi penelitian atau implikasi dari penelitian ini. dan saran bagi peneliti lain atau praktisi. Saran Saran sebaiknya dirumuskan secara kongrit, ringkas dan padat. Saran dirumuskan berdasarkan hasil penelitian yang sudah diintegrasikan dengan kajian kritis terhadap literatur yang relevan, konteks penelitian, dan penelitian-penelitian sebelumnya. Saran bisa ditujukan kepada peneliti lain, praktisi, atau pengambil kebijakan.
Daftar Acuan
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
16. Contoh penyusunan daftar acuan (Semua sitasi di badan naskah harus tercantum di dalam Daftar Acuan ini): Buku (urut abjad): Gibbs, J. T., & Huang, L. N. (Ed.). (1991). Children of color: Psychological interventions with minority youth. San Fransisco: Jossey-‐Bass. Mitchell, T. R., & Larson, J. R., Jr. (1987). People in organizations: An introduction to organizational behavior (ed. ke-‐3). New York: McGraw-‐Hill.
Naskah dalam Buku Suntingan (urut abjad):
Beiser, M. (1985). A study of depression among traditional Africans, Urban North Americans, and Southeast Asian Refugees. Dalam Kleinman, A. & Good, B. (Eds.), Culture and Depression (hh.272-‐298). London: University of California Press.
Jurnal tanpa Digital Object Identifier (doi) (urut abjad): Bjrok, R. A. (1989). Retrieval inhibition as an adaptive mechanism in human memory. Dalam H. L. Roediger III & F. I. M. Craik (Ed.), Varieties of memory & consciousness (hh. 309-‐330). Kandel, E. R., & Squire, L. R. (2000, 10 November). Neuroscience: Breaking down scientific barriers to the study of brain and mind. Science, 290, 1113-‐1120. Mellers, B. A. (2000). Choice and the relative pleasure of consequences. Psychological Bulletin, 126, 910-‐924. VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of resources by psychology undergraduates. Journal of Bibliographic Research, 5, 117-‐123.
Jurnal dengan Digital Object Identifier (doi) (urut abjad):
Herbst-‐Damm, K. L., & Kulik, J. A. (2005). Volunteer support, marital status, and the survival times of terminally ill patients. Health Psychology, 24(1), 225-‐229. http://dx.doi.org/10.1037/0278-‐ 6133.24.2.225 Naskah dari harian/mingguan/bulanan (urut abjad): a. Ada penulis Yossihara, A. (2008, 17 Mei). Banten lama, tak sekadar wisata ziarah. KOMPAS, h. 27. b. Tidak ada penulis
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA Sektor industri mulai menggeliat. (2008, 17 Mei). KOMPAS, h. 21.
Naskah dari majalah online (urut abjad): Clay, R. (2008, June). Science vs. ideology: Psychologists fight back about the misuse of research. Monitor on Psychology, 39(6). Diunduh dari: http://www.apa.org/monitor/ tanggal 10 Agustus 2012. Naskah dari Internet (urut abjad): Rinholm, J. (2001). Classroom behavior strategies: Helping children stay on task. Diakses pada tanggal 28 Maret 2001 dari http://members.home.net/jrinholm/Tidbits/offtask.htm. Skripsi, Tesis atau disertasi yang tidak dipublikasikan (urut abjad): Wilfley, D. E. (1989). Interpersonal analyses of bulimia: Normal-‐weight obese. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan, University of Missouri, Columbia. Naskah dari universitas yang tidak dipublikasikan (urut abjad): Nuryati, A., & Indati, A. (1993). Faktor-‐faktor yang memengaruhi prestasi belajar. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Naskah yang disajikan dalam pertemuan ilmiah(urut abjad): Ruby, J., & Fulton, C. (1993, Juni). Beyond redlining: Editing software that works. Sesi poster disajikan dalam pertemuan tahunan the Society for Scholarly Publishing, Washington, DC. Ryder, A. G., Yang, J., Yao, S., Zhu, X., Yi, J., & Bagby, R. M., (2006, July). Depression in China and Canada: Does alexithymia modify cross-‐cultural presentation of symptoms?. Paper disajikan dalam konvensi dua tahunan the International Association for Cross-‐Cultural Psychology ke-‐18, Spetses, Yunani. Naskah dalam proses publikasi (urut abjad): Zuckerman, M., & Kieffer, S. C. (dalam proses penerbitan). Race differences in faceism: Does facial prominence imply dominance? Journal of Personality and Social Psychology. Sumber dari media massa (urut abjad): Hillsdale, NJ: Erlbaum.Crystal, L. (Produser Pelaksana). (1993, 11 Oktober). The MacNeil/Lehrer news hour [Tayangan televisi]. New York dan Washington, DC: Public Broadcasting Service.
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA Scorsese, M. (Produser), & Lonergan, K. (Penulis/Sutradara). (2000). You count on me [Film].United States: Paramount Pictures. Shocked, M. (1992). Over the waterfall. Dalam Arkansas traveler [CD]. New York: PolyGram Music. Diunduh 13 Oktober 2001, dari http://jbr.org/articles.html