Volume 1, Agustus, 2016
ISSN 2528-3472
j i s i e r a
اﻟﻤﺠﻠﺔ اﻟﺪراﺳﺎت اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ و اﻟﻌﻼﻗﺎت اﻟﺪوﻟﻴﺔ
the journal of islamic studies and international relations
Analisa Perspektif Islam dan Kosmopolitanisme terhadap Minimnya Upaya Global dalam Penanganan Pengungsi Suriah Lunyka Adelina Pertiwi Politik Luar Negeri Arab Saudi dan Ajaran SalafiWahabi di Indonesia Hasbi Aswar Pengaruh Pemerintahan Rezim Khmer Merah Terhadap Muslim Champa di Kamboja Bintar Mupiza Relevansi Teori Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam Julia Rizky Utami Shark Finning Sebagai Isu Global Penyebab Kepunahan Hiu di Dunia Tika Dian Pratiwi Kebijakan Amerika Serikat, China, dan Rusia dalam Kesepakatan Nuklir Iran Imam Mahdi
the Indonesian Islamic Studies and International Relations Association
Editor in Chief Muhammad Qobidl 'Ainul Arif, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia
Editorial Board Surwandono Wakidi Surjono, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia Ibnu Burdah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Proofreader Harri Fajri, Universitas Abdurrab Pekanbaru, Indonesia
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh the Indonesian Islamic Studies and International Relations Association (Insiera) dengan frekuensi sekali dalam satu tahun (annually). Jisiera menggalakkan diskusi ilmiah melalui artikel-artikel ilmiah yang bersifat multi dan inter-disiplin dengan titik tekan tema kajian pada permasalahan dunia Islam, pendekatan studi keislaman dalam Hubungan Internasional, dan aplikasi perspektif Islam dalam Hubungan Internasional. Meski demikian, Jisiera tidak membatasi diskusi ilmiah hanya pada tematema tersebut. Alamat: Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Jl. Kaliurang Km. 14,5 Sleman Yogyakarta 55548 Telepon (0274) 444898 Ext. 2122 Faximile (0274) 898444 Ext. 2106 HP: 081575609991, Email:
[email protected], Website: www.jisiera.insiera.org
Daftar Isi Analisa Perspektif Islam dan Kosmopolitanisme terhadap Minimnya Upaya Global dalam Penanganan Pengungsi Suriah Lunyka Adelina Pertiwi
1 - 13
Politik Luar Negeri Arab Saudi dan Ajaran Salafi-Wahabi di Indonesia Hasbi Aswar
15 - 30
Pengaruh Pemerintahan Rezim Khmer Merah Terhadap Muslim Champa di Kamboja Bintar Mupiza
31 - 41
Relevansi Teori Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam Julia Rizky Utami
43 - 57
Shark Finning Sebagai Isu Global Penyebab Kepunahan Hiu di Dunia Tika Dian Pratiwi
59 - 80
Kebijakan Amerika Serikat, Kesepakatan Nuklir Iran Imam Mahdi
81 - 95
China,
dan
Rusia dalam
ANALISA PERSPEKTIF ISLAM DAN KOSMOPOLITANISME TERHADAP UPAYA GLOBAL PENANGANAN PENGUNGSI SURIAH Lunyka Adelina Pertiwi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: The “waning” of inter-state boundaries in contemporary global politics leads the Syrian refugees issue into global concern. However, the global community, including Muslim-Arabic states, Western states, and international organizations are unable to handle and fulfill the needs of Syrian refugees. This article tries to answer of why the global community could not handle the issue of Syrian refugees properly. Both cosmopolitanism and Islamic perspectives respect to the basic human rights, condemn the discriminative actions and negative stereotypes, and condeming everybody who assuming human beings as the other. Islamic perspective does not support for the absence of consultation and discussion in searching for solutions of problems. Based on cosmopolitanism and Islam perspectives, there are two reasons, namely: the unwillingness to understand basic human rights of the refugees, and the absence of consultation and discussion among Muslims and other ethnic groups. Kata-kata Kunci: pengungsi Suriah; kosmopolitanisme; perspektif Islam
Pengantar Dalam lima tahun terakhir (2011-2016), krisis pengungsi Timur Tengah menjadi isu serius. Gelombang pengungsi dinilai sudah tidak terkendali akibat zona konflik di Timur Tengah yang semakin meluas. Kini kita tidak hanya bicara perihal konflik Palestina-Israel dan instabilitas keamanan di Afganistan. Perang sipil Suriah yang melibatkan serangkaian adu militer kelompok pendukung Presiden Bashar-Al Assad dan kaum pemberontak bersenjata telah menambah level krisis kemanusiaan di wilayah Timur Tengah. Tercatat jutaan orang menderita akibat terenggutnya hak dan akses mereka terhadap rasa aman dan pemenuhan kebutuhan dasar seperti
JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 1-13
Penanganan Pengungsi Suriah
makanan, kesehatan, dan tempat tinggal di tengah ketidakberdayaan pemerintah negara asal mereka dalam memberikan perlindungan. Menurut PBB, perang sipil di Suriah sudah memaksa sekitar 4,5 juta orang meninggalkan negara tersebut sementara sekitar 6,5 juta orang hidup tanpa tempat tinggal dan terjebak di dalam Suriah.1 Jumlah tersebut adalah yang resmi dicatat oleh UNHCR, namun diprediksi masih ada jutaan pengungsi dan pencari suaka yang belum teregistrasi. Walaupun begitu, di tengah jumlah pengungsi Suriah dan kebutuhan mereka yang meningkat dari hari ke hari, terdapat beberapa negara yang dituduh mengabaikan tanggung jawab moral akan keberadaan para pengungsi tersebut, contohnya Amerika Serikat dan Australia yang cenderung membatasi pengungsi Suriah untuk dapat masuk ke wilayahnya atau negara-negara Teluk yang dipandang tidak berkontribusi dalam menampung pengungsi Suriah. Sementara itu, negara-negara penampung (host country) tidak (lagi) mampu dalam memberi perlindungan dan memenuhi kebutuhan esensi para pengungsi Suriah. Banyak pengungsi Suriah yang saat ini mendiami Turki, Lebanon, dan Yordania. Sekitar dua juta ditampung pemerintah Turki, sementara Lebanon dan Yordania masing-masing menerima kurang lebih satu juta dan 600.000 pengungsi Suriah. Di Afrika, Mesir merupakan negara yang paling banyak didatangi pengungsi Suriah, dengan jumlah 130.000. Akan tetapi pemerintah di negaranegara tersebut menerapkan larangan bekerja formal dan membatasi akses pendidikan bagi pengungsi Suriah di tengah terbatasnya suplai makanan dan fasilitas kamp pengungsian, sehingga banyak pengungsi Suriah seakan tidak mempunyai harapan untuk meneruskan hidup. Tak sedikit dari mereka kemudian berusaha dengan berbagai cara untuk pergi ke benua lain seperti Eropa. Eropa, terutama Jerman dan Swedia dinilai mampu menawarkan kesempatan hidup lebih luas. Di benak para pengungsi, dua negara tersebut mampu memberikan jaminan sosial yang cukup baik. Apalagi, kebijakan kedua negara tersebut dikenal dengan open-door immigration policy yang memperbolehkan pengungsi dan pencari suaka bekerja di sektor formal swasta dan publik, bahkan membuka bisnis sendiri. Namun bukan berarti hidup dan bekerja di Eropa merupakan perkara mudah. Hungaria, Italia, Yunani, dan Perancis seringkali memperlakukan pengungsi secara tidak manusiawi. Komitmen Jerman dan Swedia kini juga dinilai tidak konsisten dimana pemerintahnya tidak berdaya dalam mempercepat proses pengesahan izin tinggal pengungsi sehingga banyak
2
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
dari mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian mulai frustasi dengan keadaan yang overpopulasi, minim makanan, pekerjaan, dan aktivitas. Respon internasional terhadap pengungsi Suriah yang mayoritas beragama Muslim ini tidak maksimal. Bahkan Amnesti Internasional mendeskripsikan bahwa respon internasional dalam menghadapi pengungsi Suriah sangat shameful (memalukan).2 Bukan hanya mayoritas negara-negara Barat yang tidak menunjukkan kejelasan komitmen kemanusiaan terhadap nasib dan masa depan pengungsi, tetapi terdapat pula negara-negara Muslim yang tidak fokus dalam mengatasi penderitaan saudara-saudara seiman mereka. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan, penulis akan berusaha mengembangkan penelitian dengan mengangkat rumusan masalah, “Mengapa upaya komunitas global terkait penanganan pengungsi Suriah tidak maksimal?” Tulisan ini akan memanfaatkan perspektif Islam dan kosmopolitanisme dalam menjawab kurang maksimalnya upaya komunitas global dalam menangani pengungsi Suriah. Studi Literatur Simon Adams dalam jurnal Global Centre For Responsibility To Protect menyertakan fakta mengenai seruan DK PBB yang sudah menyerukan bahwa kebutuhan darurat terhadap akses kemanusiaan adalah indikator manjanjikan bagi progres selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Suriah. Di mata DK PBB, pemerintah Suriah adalah pihak utama yang berkewajiban melindungi warga negaranya. Akan tetapi, semua pihak harus memfasilitasi tersedianya bantuan kemanusiaan dan menjaga kelancaran aksesnya bagi para pengungsi. Adams menyakini seruan PBB tersebut gagal dijalankan oleh semua pihak yang berada dalam lingkup komunitas internasional karena adanya perbedaan cara pandang politik dalam melihat siapa yang patut disalahkan dalam perang sipil Suriah. Selain itu kehadiran ISIS dan tidak adanya sinyal akan berakhirnya di Suriah turut memperparah ketidakfokusan masyarakat internasional dalam menangani krisis kemanusiaan yang dialami pengungsi Suriah. Literatur Simon Adams ini menitikberatkan pada pengaruh politik terhadap kurang maksimalnya respon mayoritas negara-negara di dunia. Namun, literatur ini tidak menganalisa kaitan antara level masyarakat dengan tidak maksimalnya komunitas global dalam upaya penangan pengungsi Suriah. 3 Dalam literatur lain yang ditulis oleh Carol Tan dengan judul Stratagic Sources: Culture and Society, dijelaskan bahwa kurang maksimalnya upaya Volume 1, Agustus, 2016
3
Penanganan Pengungsi Suriah
penanganan Suriah adalah akibat negara-negara penampung dan negaranegara lain enggan terbebani secara ekonomi dan sosial dengan keberadaan pengungsi Suriah. Selain itu, masyarakat lokal seringkali menganggap pengungsi Suriah sebagai the other yang tak patut menikmati perhatian pemerintah negara mereka. Situasi ini berimbas pada minimnya kontribusi international funding yang dapat mendukung kebutuhan tempat tinggal pengungsi.4 Tan menggambarkan betapa banyak negara dan masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan keadaan pengungsi Suriah yang semakin hari semakin memprihatinkan. Namun, Tan tidak menjelaskan secara komprehensif mengenai kebutuhan pengungsi Suriah yang harus dipenuhi padahal pengungsi sebagai manusia tentu bukan hanya berhak atas bantuan tempat tinggal tetapi juga bantuan pemberdayaan agar mereka dapat lebih mandiri dan menjadi manusia yang bermartabat. Kajian terhadap literatur di atas dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain dalam menjelaskan penyebab minimnya upaya komunitas global dalam menangani krisis pengungsi Suriah. Akan tetapi, literatur di atas belum mampu mengelaborasi penyebab-penyebab lain secara terstruktur menggunakan suatu konsep yang berkaitan dengan hak-hak fundamental manusia. Hal inilah yang akan penulis paparkan dalam artikel ini. Perspektif Islam dan Kosmopolitanisme dalam Aspek Kemanusiaan Kosmopolitan berasal dari kata “kosmo” yang berarti universe atau dunia dan kata “polis” yang berarti kota. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam dua lingkungan, yaitu kota dimana manusia tersebut tinggal dan di lingkup global dimana manusia menjadi bagiannya. Imanuel Kant mengungkapkan, “... kosmopolitan sangat menjunjung tinggi moral dimana semua manusia harus memiliki saling pengertian.”5 Dalam konteks hubungan internasional, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi faktor krusial bagi terwujudnya masyarakat kosmopolitan.6 Membentuk masyarakat kosmopolitan dalam era kontemporer dapat dikatakan terlihat mudah tapi sebetulnya sulit. Terlebih, fenomena globalisasi telah mendorong memudarnya arti penting batas-batas teritori sehingga seharusnya batas wilayah bukan lagi halangan dalam meningkatkan kesadaran bersama. Kendala dalam pembentukan masyarakat kosmopolit adalah minimnya pemahaman terhadap tiga prinsip, yaitu: 1) manusia yang merupakan unit politik dan moral yang paling penting, 2) setiap orang memiliki status moral yang sama, 3) status manusia merupakan subjek perhatian bagi manusia lain yang hidup dalam sebuah komunitas global. Apabila ketidakpahaman tersebut berlanjut, maka situasi yang muncul adalah 4
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
negative stereotyping. Apabila sudah ada negative stereotyping, maka yang kemudian mungkin terjadi adalah menganggap manusia sebagai the otherness. Menganggap manusia yang bukan berasal dari lingkup budaya atau sejarahnya sebagai the otherness adalah halangan utama bagi penciptaan masyarakat kosmopolitan yang sahih. Konsep kosmopolitan sebetulnya dapat dipahami melalui prinsip Islam dalam memandang manusia. Dalam surat An-Nahl ayat 90 Allah Subhanaahu wa Ta’aala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu mengambil pelajaran.” Namun implementasi terhadap prinsip tersebut terkadang terkendala akibat kurang/tiadanya syura (konsultasi) antar berbagai pihak (negara, warga negara/masyarakat, dan organisasi internasional). Padahal syura adalah basis komunikasi efektif untuk mengingatkan kembali mengenai prinsip ‘adl (keadilan) dan karamah (martabat) sehingga semua pihak dapat mengedepankan pemahaman mendalam mengenai keadaan sesama. Apalagi sesuai surat Al-Hujarat ayat 12, “Allah menjadikan umat manusia berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal,” sehingga penting bagi semua pihak untuk menghindari kristalisasi identitas lokal masing-masing agar tercipta aksi kemanusiaan dan program pemberdayaan yang terintegrasi untuk membantu mereka yang sedang kesusahan. Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, manusia memiliki lima kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu hak untuk menjaga diin (kepercayaan), menjaga nafs (diri mereka sendiri), menjaga ‘aql (kecerdasan), menjaga nasl (keturunan), dan menjaga maal (kekayaan).7 Aksi kemanusiaan bukan sekedar “perbuatan baik” semata, melainkan merupakan tindakan yang harus didasari keadilan sosial dan ditujukan untuk menyeimbangkan ketidaksetaraan sosial, terutama dalam lingkup memuliakan martabat sesama saudara Muslim. Penyebab Kurang Maksimalnya Komunitas Global dalam Menangani Pengungsi Suriah Melalui pesatnya proses penyebaran informasi, persoalan isu pengungsi Suriah telah berkembang dari isu lokal, regional, kemudian internasional, sehingga seharusnya merupakan tanggung jawab semua negara untuk berkontribusi dalam memperhatikan nasib pengungsi Suriah. Tetapi situasi tersebut lantas tidak membawa komunitas global bersatu secara total untuk menolong pengungsi Suriah melarikan diri, melepaskan rasa takut dan Volume 1, Agustus, 2016
5
Penanganan Pengungsi Suriah
kehilangan masa depan di negara asal mereka. Beberapa penyebab akan dijabarkan di bawah ini: 1. Keengganan Komunitas Global Dalam Memahami Hakikat Hak Dasar Manusia Banyak negara beserta masyarakatnya, terutama negara-negara Muslim di dunia Arab yang ternyata mengabaikan pengungsi Suriah sebagai bagian dari unit sosial yang memiliki status dan hak moral yang setara dengan manusia lain. Mereka seolah-olah menempatkan identitas lokal mereka lebih tinggi dibandingkan kaum pengungsi Suriah. Hal inilah yang mendasari ketidakpedulian negara-negara Muslim lain dan Barat terhadap nasib pengungsi Suriah. Negara-negara tersebut tidak memperhatikan lima hak dasar pengungsi (menurut Islam) yang harus dipenuhi selayaknya warga negara lain, yaitu beribadah, bekerja, memperoleh pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan hidup mandiri. Kita memang melihat adanya upaya hospitality yang ditunjukkan oleh negara-negara tetangga Suriah yaitu Turki, Lebanon, dan Yordania atau Jerman dan Swedia yang menampung paling banyak pengungsi Suriah per kapita. Tetapi hospitality yang hanya dilandaskan pada rasa kasihan tidak cukup mencerminkan masyarakat kosmopolitan yang sahih sebab dalam konteks hubungan internasional, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi faktor krusial bagi terwujudnya masyarakat kosmopolitan.8 Jika dipandang dari perspektif Islam, implementasi hospitality akan tidak berarti jika tidak dibarengi dengan absennya segala perlakuan keji dan diskriminatif. Contohnya, Lebanon dan Yordania menganggap pengungsi Suriah di negaranya sebagai temporary guest atau “tamu sementara”, sedangkan Turki hanya akan memberikan perlindungan dan perhatian penuh pada pengungsi dan pencari suaka yang lari dari zona konflik di Eropa.9 Keadaan ini merembet hingga ke level masyarakatnya yang tidak hanya mengabaikan bahwa pengungsi Suriah adalah manusia yang berhak dibantu, tetapi justru menciptakan sterotype tertentu pada mereka. Di Turki, Lebanon, dan Yordania, muncul “penilaian” bahwa pengungsi Suriah adalah "ancaman jangka panjang" bagi ruang gerak dan keamanan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal. Contohnya, di Yordania, banyak yang beranggapan bahwa pengungsi Suriah, khususnya kaum laki-laki, terlalu bebas dalam berpakaian sementara budaya berpakaian Yordania dikenal tertutup. Atau masyarakat lokal di Lebanon yang merasa kini harus berbagi sumber daya air, lahan, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, dan pendidikan, padahal negara tersebut juga mengalami instabilitas politik ekonomi dan keamanan akibat serangan teror bom oleh kelompok Hezbollah. Di Turki, cukup banyak masyarakat 6
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
yang menuduh keberadaan pengungsi Suriah menyebabkan peningkatan teror bom dan serangan dari militan Islamic State di daerah Turki yang berbatasan dengan Irak-Suriah. Stereotip negatif ini akhirnya berujung pada sebuah fakta, bahwa pengungsi Suriah digolongkan sebagai the otherness. Hal ini dimanifestasikan melalui melalui berbagai sikap dan kebijakan yang terkesan tidak adil. Contohnya, pemerintah Lebanon yang melarang bangunan yang dipergunakan khusus bagi para pengungsi Suriah sehingga mereka hanya tinggal di tenda-tenda sederhana. Situasi ini otomatis menghalangi penempatan permanen depot makanan, fasilitas ibadah yang layak, fasilitas pendidikan dan pelatihan, serta petugas dan peralatan medis. Turki, Lebanon, Yordania juga melarang pengungsi Suriah bekerja secara formal di negara mereka dengan beberapa alasan. Larangan ini berdampak besar pada peningkatan angka pengangguran, pekerja ilegal dan buruh anak di kelompok pengungsi. Sektor yang banyak menyerap pekerja tanpa dokumen lengkap ini hanyalah pertanian dan industri garmen. Ironisnya, pengungsi yang bekerja ilegal biasanya akan beresiko pada eksploitasi di tempat kerja. Selain itu, jika para pekerja ilegal dan buruh anak diketahui bekerja tanpa dokumen atau izin kerja oleh petugas setempat, maka mereka akan ditangkap dan bahkan dituntut denda serta ancaman deportasi. Situasi ini telah menciptakan tingginya tingkat kemiskinan dalam komunitas pengungsi Suriah, khususnya di Turki, Lebanon maupun Yordania, yang rata-rata menyentuh 60 hingga 89 persen. Kemiskinan pula yang menyebabkan sebagian pengungsi juga diam-diam terlibat hutang dengan para rentenir. Mereka yang terlibat hutang ini biasanya bermaksud untuk mengakses pelayanan kesehatan publik atau umum yang tidak gratis dan berada di luar wilayah kamp pengungsian. Selain itu, banyak anak-anak dari komunitas pengungsi Suriah diisolasi untuk melebur dan ikut belajar di sekolah umum di Turki, Lebanon, dan Yordania. Akibatnya, menurut UNICEF, 68 persen anak-anak pengungsi Suriah tidak bersekolah dimana generasi mereka terancam menjadi lost generation.10 Selanjutnya, mayoritas pemerintah dan masyarakat lokal di Eropa, Amerika, dan Australia juga mulai menyematkan stereotip negatif pada pengungsi Suriah sebagai “kriminal berbahaya”. Streotype ini didukung dengan banyaknya berita mengenai penyerangan warga lokal oleh imigran Muslim. Contoh stereotip negatif lain yang sering didengungkan bahwa masuknya imigran Muslim, terutama pengungsi Suriah, akan melakukan islamisasi di Eropa dan menganggu kemakmuran ekonomi domestik dan regional. Padahal semua prasangka prematur tersebut tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Salah satunya seperti yang dijelaskan Al-Jazeera yang Volume 1, Agustus, 2016
7
Penanganan Pengungsi Suriah
menerima laporan dari website HoaxMap, bahwa berita buruk mengenai pengungsi Muslim yang sering beredar belum tentu semuanya benar atau kemungkinan hanya rekaan yang disebarkan pihak-pihak (anti-migran) tertentu.11 2. Tidak Adanya Forum Konsultasi dan Diskusi Global yang Membahas Masalah Pengungsi Suriah Secara Khusus Saat globalisasi mampu membuka peluang bagi terbentuknya masyarakat kosmopolitan yang didasari oleh peningkatan kesadaran kolektif atas hak asasi manusia, negara-negara Muslim tidak menunjukan komitmen dan inisiatif merangkul perwakilan masyarakat lokal dan pengungsi Suriah untuk saling berkonsultasi dan berdialog secara intensif. Ketiadaan forum konsultasi dan diskusi dalam komunitas Muslim ini secara otomatis menutup pintu sarana untuk mengetahui keluhan pengungsi dan menyadarkan masyarakat lokal bahwa kaum pengungsi berhak memperoleh bantuan menyeluruh tanpa adanya diskriminasi dan ketidakadilan dari saudara sesama Muslim. Sebaliknya, yang terjadi kini justru hanya klaim-klaim sepihak oleh beberapa negara Muslim-Arab tertentu yang merasa sudah berkontribusi secara finansial. Contohnya, negara-negara Teluk yang dikritik karena dipandang zero contribution dalam menampung pengungsi Suriah, mengklaim sudah memberikan setidaknya 500 milyar dolar AS kepada organisasi internasional untuk membantu upaya pemenuhan kebutuhan pengungsi di kamp-kamp pengungsian. Qatar menyatakan sudah menyumbangkan 2,3 hingga 5 juta dolar AS secara langsung untuk penanganan pengungsi di berbagai host country pada tahun 2014-2015. Namun ternyata semua dana tersebut belum mampu memaksimalkan pemenuhan kebutuhan dan pemberdayaan pengungsi Suriah. Hal tersebut sangat disayangkan, karena untuk menangani krisis pengungsi Suriah, bantuan finansial seharusnya dibarengi pula oleh perhatian kolektif dari semua pihak terhadap kuantitas dan kualitas kebutuhan pengungsi yang perlu ditingkatkan, apalagi jika jumlah orang yang memutuskan meninggalkan Suriah bertambah. Pengungsi Suriah berhak memperoleh semua jenis bantuan termasuk program pemberdayaan dan pelatihan yang mampu mendorong mereka lebih mandiri di masa depan. Merupakan tugas kaum Muslim, tanpa memandang identitas lokalnya, untuk membantu saudara Muslimnya untuk menjadi kaum yang lebih bermartabat sehingga dapat mengikis ketidaksetaraan sosial antar kaum Muslim. Tidak nampaknya persatuan di kalangan negara dan masyarakat Muslim 8
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
otomatis menyulitkan adanya forum diskusi dan konsultasi intensif di tingkat global. Padahal dalam menyelesaikan suatu masalah yang imbasnya sudah dikategorikan lintas wilayah dibutuhkan pula dialog dengan negara-negara Barat (non-Muslim) dan organisasi kemanusiaan internasional. Hal ini seperti yang dianjurkan Islam, yaitu dengan saling memahami dan belajar dari suku bangsa lain. Jika dialog dan ruang konsultasi lintas budaya, bangsa, dan kepercayaan tidak tercipta, maka semua negara di dunia tidak akan mampu menyamakan persepsi dan mensinergiskan tindakan dalam memenuhi kebutuhan pengungsi secara layak serta komprehensif (meliputi kebutuhan pangan, papan, sandang, program pelayanan psikologis, pendidikan, pelatihan dan pemberdayaan keahlian, serta kewirausahaan). Sebaliknya, situasi ini secara bertahap memperparah stereotip negatif dan anggapan the otherness terhadap pengungsi Suriah, dan tidak membuka ruang bagi proses memahami kesulitan yang mereka alami. Selain itu, situasi ini akan menghalangi terbentuknya rancangan mengenai shared-responsibility dan program implementasi jangka panjang yang bersifat global berdasarkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua negara dan masyarakat. Dengan kata lain, kedua penyebab tersebut sebenarnya turut menggambarkan bahwa hospitality yang sesungguhnya di level pemerintahan dan masyarakat di banyak negara-negara, terutama negara-negara MuslimArab tidak pernah secara total terbuka lebar untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak pengungsi Suriah berlandaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan lima kebutuhan dasar manusia menurut Islam. Mereka menerima pengungsi Suriah seakan tidak lebih dari belas kasihan dan keramahan dan yang berkembang dalam budaya umum atau rekam jejak kebijakan politik mereka.12 Kesimpulan Perang Suriah yang terjadi antara kaum pemberontak dan tentara pemerintah Bashar al Assad telah berlangsung sekitar lima tahun dan berdampak pada jutaan orang yang terpaksa mengungsi. Khusus bagi pengungsi yang lari ke luar Suriah, diperkirakan sudah mencapai 4,5 juta jiwa. Namun komunitas global, baik negara-negara Muslim dan Barat, seakan tak peduli terhadap nasib dan masa depan para pengungsi tersebut sebab tidak terpenuhinya kebutuhan pengungsi di kamp-kamp pengungsian seperti sandang, pangan, papan, tempat ibadah, kesehatan, pendidikan, treatment psikologis, dan pekerjaan. Penulis menjelaskan bahwa konsep kosmopolitanisme dan Islam samasama menjunjung tinggi kesetaraan di antara manusia dan juga hak-hak dasar Volume 1, Agustus, 2016
9
Penanganan Pengungsi Suriah
manusia. Keduanya sangat menentang implementasi bantuan kemanusiaan yang hanya berlandaskan pada belas kasihan tanpa secara komprehensif mengerti hak-hak fundamental yang dimiliki orang yang sepatutnya ditolong. Dalam perspektif Islam, manusia memiliki 5 hak mendasar dalam hidupnya, yaitu hak untuk menjaga diin (kepercayaan), menjaga nafs (diri mereka sendiri), menjaga ‘aql (kecerdasan), menjaga nasl (keturunan), dan menjaga maal (kekayaan). Selain itu, konsep kosmopolitanisme dan Islam menerangkan bahwa ketiadaan forum konsultasi atau diskusi akan menyebabkan pintu menuju saling pengertian dan memahami tertutup dan konvergensi cara pandang dan kerjasama dalam melakukan aksi kemanusiaan juga tidak akan tercapai. Secara global, minimnya upaya komunitas global menangani pengungsi Suriah disebabkan oleh dua hal, yaitu: keengganan komunitas global dalam memahami hakekat manusia yang melekat pada pengungsi Suriah, kemudian tidak adanya forum diskusi dan konsultasi global yang secara khusus membahas masalah pengungsi Suriah. Keengganan komunitas global dalam melihat pengungsi Suriah memiliki status dan hak yang setara dengan manusia dapat mengarahkan negara dan masyarakatnya untuk membangun sterotype negatif terhadap pengungsi Suriah yang berujung pada anggapan bahwa pengungsi Suriah sebagai the otherness. Hal ini telah terjadi di Turki, Lebanon, dan Yordania sebagai tiga negara Muslim yang menampung paling banyak pengungsi Suriah per kapita. Lebanon dan Yordania menganggap pengungsi Suriah sebagai temporary guest sedangkan Turki hanya menganggap pengungsi dari Eropa yang layak mendapatkan perlindungan dari mereka. Masyarakat Turki memberikan stereotip negatif bahwa pengungsi Suriah adalah ancaman jangka panjang bagi keamanan politik, sosial, dan ekonomi bangsa mereka. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan pengungsi Suriah seadanya dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia serta lima macam kebutuhan dasar menurut Islam. Dan hal serupa bahkan juga terjadi di mayoritas negara Muslim-Arab lainnya dan negara-negara Barat. Ketiadaan forum konsultasi dan diskusi intensif yang membahas permasalahan pengungsi Suriah mengakibatkan tidak adanya ruang untuk saling memahami apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pengungsi Suriah dan meningkatkan kesadaran global akan pentingnya memandang pengungsi Suriah sebagai manusia yang memiliki hak asasi. Lebih disayangkan lagi, dalam lingkup negara-negara Muslim-Arab, forum diskusi dan konsultasi tidak tersedia karena di antara mereka terdapat keengganan untuk menanggalkan identitas lokal mereka. Dampaknya, negara-negara MuslimArab tidak mampu berdiskusi dan berkonsultasi dengan negara-negara 10
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
Muslim lain, negara-negara Barat, dan organisasi internasional untuk menciptakan rancangan mengenai shared-responsibility dan impelementasi jangka panjang bagi penanganan dan pemenuhan kebutuhan pengungsi Suriah secara komprehensif. Catatan Akhir 1 Syria: The story of the conflic”, BBC Online, 11 March 2016, dilihat 1 Juni 2016, http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868
2 “ UN agencies 'broke and failing' in face of ever-growing refugee crisis”, The Guardian, 6 September 2015, dilihat 29 Mei 2016, https://www.theguardian.com/world/2015/sep/06/refugee-crisis-un-agencies-brokefailing 3 Simon Adams. Failure To Protect: Syria and UN Security Council. (Global Centre For Responsibility To Protect, 2015)
Carol Tan. The Syrian Refugee Crisis: Conflicts in the Making. (Strategic Sectors: Culture and Society, IEMed. Mediterranean Yearbook Med. 2015) 4
5 Georg Cavallar. Cosmopolitanisms in Kant’s philosophy (Ethics & Global Politics Vol. 5, No. 2, 2012) p 104 6 Lorena Cebolla Sanahuja and Francesco Ghia. Cosmopolitanism: between ideals and reality (Cambriddge: Cambridge Scholars Publishing, 2015), p 14
7
As quoted in Muhammed Umer Chapra.The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid alShari’ah (Occasional Papers Series No. 15, International Institute of Islamic Thought, London and Washington, DC, 2000) p. 21 8 Lorena Cebolla Sanahuja and Francesco Ghia, loc.cit. 9 Dawn Chatty, “The Syrian Humanitarian Disaster: Disparities in Perceptions, Aspirations, and Behaviour in Jordan, Lebanon and Turkey” dalam Mariz Tadros & Jan Selby. (ed). Ruptures and Ripple Effects in the Middle East and Beyond (Volume 47 Issue 3, May 2016), pp 19-34, dilihat 1 Juni 2016, http://bulletin.ids.ac.uk/idsbo/article/view/2728/HTML. 10 UNICEF. “A Lost Generation?A Strategy for Children Affected by the Syria crisis” , October 2013, dilihat 3 Juni 2016,http://www.unicef.org/appeals/files/Lost_Generation__Final_Draft_for_distribution_to_participants_09Oct2013.pdf 11
“Hoaxmap: Debunking false rumours about refugee 'crimes'”, Al Jazeera, 17 Februari 2016, dilihat 2 Juni 2016, http://www.aljazeera.com/news/2016/02/debunks-falserumours-refugee-crimes-160216153329110.html 12 Dawn Chatty, loc.cit.
Daftar Pustaka Abdelhalim, Julten. “Cosmopolitanis and The Right to be Legal: The Practical Poverty of Concepts”, Transcience Journal, Vol. 1. No 1, 2010. Adams, Simon. “Failure To Protect: Syria and UN Security Council”, Global Volume 1, Agustus, 2016
11
Penanganan Pengungsi Suriah
Centre For Responsibility To Protect, 2015. Al-Ghazali, Imam Abu Hamid and Al-Mustasfa min ‘ilm al-usul “On Legal Theory of Muslim Jurisprudence.” Dilihat 25 Juni 2016, http://www.maktabah.org/en/item/933- almustasfa-min-ilm-alusul-on-legal-theory-ofmuslim-jurisprudence-by-imam-ghazali Al Jazeera, 17 Februari 2016.“Hoaxmap: Debunking false rumours about refugee 'crimes'”. Dilihat 2 Juni 2016, http://www.aljazeera.com/news/2016/02/debun ks-falserumours-refugee-crimes-160 216153329110.html BBC News, 24 Agustus 2013.“Viewpoints: Impact of Syrian refugees on host countries”. Dilihat 30 Mei 2016, http://www.bbc.com/news/world- 23813975 _________, 11 March 2016. “Syria: The story of the conflict” Dilihat 1 Juni 2016, http://www.bbc.com/news/world-middle-east- 26116868 Cavallar, Georg. “Cosmopolitanisms in Kant’s philosophy.” Ethics & Global Politics, Vol. 5, No. 2, 2012. Chapra, Muhammed Umer, “The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid alShari’ah”, Occasional Papers Series No. 15, International Institute of Islamic Thought, London and Washington, DC, 2000. Chatty, Dawn, “The Syrian Humanitarian Disaster: Disparities in Perceptions, Aspirations, and Behaviour in Jordan, Lebanon and Turkey” dalam Mariz Tadros & Jan Selby. (ed). Ruptures and Ripple Effects in the Middle East and Beyond , Volume 47 Issue 3, May 2016. Dilihat 1 Juni 2016 http://bulletin.ids.ac.uk/idsbo/article/view/2728/HTML Cebolla, Lorena., Sanahuja. ,Ghia, Francesco. Cosmopolitanism: between ideals and reality. Cambriddge: Cambridge Scholars Publishing, 2015. Culbertson, Shelly & Constant, Louay. Education of Syrian Refugee Children: Managing the Crisis in Turkey, Lebanon, and Jordan. Santa Monica: Rand Corporation, 2015. ILO, February 2016. “ILO Response To Refugees Crisis”. Dilihat 3 Juni 2016, http://www.ilo.org/pardev/informationresources/publications/WCMS_357159/lang--en/index.htm Karasapan. Omar, 25 April 2016. “Syria’s mental health crisis”. Dilihat 1 Juni 2016, http://www.brookings.edu/blogs/futuredevelopment/posts/2016/04/25-syria-mental-health-crisis12
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Lunyka Adelina Pertiwi
karasapan Koslowski, Rey. (Ed). Global Mobility Regimes. New York: Springer, 2011. Middle East Eye, 26 April 2016. “No work, no money': Bleak prospects await Syrians returned to Turkey”. Dilihat 1 Juni 2016, http://www.middleeasteye.net/news/eu-turkey- syrian-refugeeskilis-gaziantep-56202697 Sirin, Selcuk R and Sirin, Lauren Rogers, October 2015. “The Educational and Mental Health Needs of Syrian Refugee Children”, Dilihat 2 Juni 2016, http://www.migrationpolicy.org/research/educational-andmental-health-needs-syrian-refugee-children Tan, Carol. “The Syrian Refugee Crisis: Conflicts in the Making”. Strategic Sectors: Culture and Society, IEMed. Mediterranean Yearbook Med, 2015. The Guardian, 6 September 2015. “UN agencies 'broke and failing' in face of ever-growing refugee crisis”. Dilihat 29 Mei 2016, https://www.theguardian.com/world/2015/sep/ 06/refugeecrisis-un-agencies-broke-failing. Townhall, 18 November 2015. ”31 States: North Dakota Joins Majority Of Governors Refusing To Relocate Syrian Refugees, Cites Security Concerns”. Dilihat 2 Juni 2016, http://townhall.com/tipsheet/mattvespa/2015/1 1/18/31-statesnorth-dakota-joins-majority-of-governors-refusing-to-relocate-syrianrefugees-cites-security-concerns-n2082522 UNICEF, October 2013. “A Lost Generation?A Strategy for Children Affected by the Syria crisis” Dilihat 3 Juni 2016, http://www.unicef.org/appeals/files/Lost_Generation_Final_Dr aft_for_distribution_to_participants_09Oct2013.pdf
Volume 1, Agustus, 2016
13
POLITIK LUAR NEGERI ARAB SAUDI DAN AJARAN SALAFI-WAHABI DI INDONESIA Hasbi Aswar
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: This article aims to explore the role of Saudi Arabian Foreign Policy in disseminating Wahhabi doctrines in Indonesia. Islam is one important aspect in Saudi Arabian Foreign Policy since its beginning in 18th century until nowadays.In early Saudi Kingdom, its foreign policy focused on expansion of its power and spread the Wahhabi doctrines in the region of Arabia. This expansive policy resulted long conflict between Saudi Kingdom and Ottoman Empire. In modern Saudi Arabia Kingdom, Islam in Saudi Arabian Foreign Policy can be seen through its big role to support and contribute Islamic Da’wah (Preaching of Islam) in many ways, such as by education assistance and building Islamic Center in many countries. However, the expansion of Saudi Arabia Islamic da`wah remains controversy between many observers. Some contend that Islamic Da`wah based on Wahhabi doctrines can produce extrimism or radicalism becoming threat to world peace and security. Kata-kata Kunci: Wahabi; politik luar negeri Arab Saudi; Indonesia
Pengantar Seiring dengan berkembangnya ancaman gerakan terorisme dan radikalisme global, salah satu yang menjadi sorotan adalah paham SalafiWahabi. Paham ini oleh banyak kalangan dianggap menjadi sumber ideologi kekerasan yang dibawa oleh kelompok-kelompok esktrimis atau radikal. Karakter eksklusif, kaku, dan militan yang dimiliki paham ini dianggap bisa menginspirasi siapa saja untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan untuk melawan siapa saja yang dianggap musuh, baik sesama muslim, terlebih non-Muslim atau kafir. Pillalamari mencontohkan pengaruh Wahabi di Asia Selatan. Menurutnya, karakter wilayah ini yang cenderung Islam sufistik dan terpengaruh oleh tradisi Hindu menjadi berubah saat masuknya pengaruh paham Wahabi dari Arab Saudi di era perang Afghanistan tahun 1980an. Masuknya Wahabi meningkatkan skala JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 15-30
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam, khususnya di wilayah India, Kashmir dan Bangladesh.1 Ajaran yang diemban dan memiliki akar historis di Arab Saudi ini dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian diterima dengan baik oleh Muhammad bin Saud sebagai salah seorang kepala suku di jazirah Arab. Setelah itu, ajaran Abdul Wahhab disebarluaskan melalui kekuasaan dan kekuatan persenjataan Ibnu Saud. Hingga kini, hubungan saling menguntungkan antara penguasa Saudi dan aliran Wahabi tetap bertahan. Islam menjadi salah satu aspek penting dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi. Milyaran dolar digelontorkan oleh Kerajaan Saudi untuk menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga donatur milik Saudi. Wilayah yang menjadi prioritas penyebaran Islam oleh Saudi adalah wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara sebagai wilayah berpenduduk Muslim terbanyak di dunia.2 Sebagian kalangan menyebut dakwah Islam yang dijalankan oleh Saudi adalah ancaman terhadap keberagamaan dalam menjalankan ajaran Islam. Secara sinis, Bendle, menyebutnya sebagai sebuah usaha imperalialisme agama, Saudi Religious Imperialism.3 Diplomat senior Malaysia, Dennis Ignatius, mengungkapkan nada yang sama terkait pengaruh Wahabi di Asia Tenggara. Ignatius mengungkapkan pengaruh Wahabisme cenderung meningkatkan perilaku ekstrimisme di kalangan Muslim Asia Tenggara. Doktrin Wahabi ini menurutnya menjadi potensi ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas dunia karena memiliki cita-cita dominasi bukan hanya di Timur Tengah tapi juga di seluruh dunia. Ignatius menyebut usaha penyebaran ajaran Wahabi di Asia Tenggara ini sebagai Saudization of Southeast Asia.4 Keberadaaan Arab Saudi dan ideologi yang diekspornya ke seluruh dunia bagi banyak kalangan dianggap sebagai ancaman. Tulisan ini akan fokus membahas mengenai kebijakan Arab Saudi dalam mendukung dan memfasilitasi aliran Salafi-Wahabi di Indonesia serta respon masyarakat Indonesia terhadap aliran penyebaran aliran ini. Ajaran dan Gerakan Wahabi Gerakan Wahabi atau sering dikenal dengan gerakan Salafi merupakan sebuah gerakan yang berbasis di Arab Saudi, lahir dan berkembang di sana sejak abad 18. Ciri khas dari pemikiran ini adalah mengajak untuk kembali kepada Islam yang sesuai dengan al-salaf al-shalih, al-Quran, Sunnah Nabi, para sahabat dan ajaran ulama-ulama besar terdahulu. Bagi banyak penulis, 16
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
istilah Wahabi lebih banyak digunakan untuk menggambarkan pemikiran salafi yang berada di Saudi sebab penggunaan kata salafi juga digunakan oleh banyak gerakan selain dari Saudi seperti gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh Muhammad Abduh (1849) dan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897).5 Sementara itu salafi yang berada di Arab Saudi berakar pada pemikiran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kata Wahabi lazim digunakan untuk mengungkapkan aliran pemikiran yang dibawa oleh pengikut Abdul Wahhab meskipun para pengikutnya sendiri sebenarnya tidak senang disebut sebagai Wahhabiyyun atau pengikut gerakan Wahabi. Terdapat Beberapa ciri khas pemikiran Wahabi yang khas dan membedakan dengan aliran-aliran atau mazhab lain dalam Islam, antara lain: teks-teks al-Quran atau Hadits yang berkaitan dengan sifat Allah dipahami secara literal yang berdampak pada penyerupaan tuhan dengan makhluknya (anthropomorphist) seperti, tuhan duduk di singgasana (al-Kursi) dan Allah turun ke langit dunia secara fisik setiap sepertiga malam terakhir; mengharamkan praktek tawassul melalui orang-orang sholeh; Allah memiliki keterbatasan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya; serta membagi tauhid dalam beberapa bagian: Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid Asma` Wa Shifat.6 Madawi Rasheed menyebutkan karakter dari pemikiran Wahabi sebagai sebuah paham yang otoriter, sama seperti negara yang menyokongnya. Disebut otoriter karena aliran Wahabi menganggap ajarannya yang paling murni dan paling Islam sementara yang lain disebut sebagai ahli bid`ah atau orang-orang yang menyelewengkan agama. Rasheed menyebutkan, “Official Wahabiyya is religiously dogmatic, socially conservative and politically acquiescent” (inti dari ajaran Wahabi adalah dogmatis, konservatif, dan pasif secara politik).7 Secara historis ajaran Wahabi pertama kali dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian didukung oleh salah satu penguasa suku yang bernama Muhammad bin Saud. Abdul Wahhab memandang kondisi Arab waktu itu dan kesultanan Usmani telah banyak melenceng dari ajaran Islam. Bersama Kekuasaan Ibnu Saud, Abdul Wahhab menyebarkan ajarannya di wilayah Jazirah Arab. Sikap ekspansif Saudi membuatnya harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan Turki Usmani sebagai penguasa dunia Arab dan Islam saat itu. Turki Usmani memvonis gerakan Abdul Wahhab sebagai gerakan yang menyimpang dan telah melakukan pemberontakan di tubuh kekuasaan Usmani. Turki Usmani bahkan menyetarakan gerakan Abdul Wahhab sebagai kelompok Khawarij dan kelompok Syiah Qaramithah yang pernah mencuri hajar aswad.8 Berbagai peperangan pernah dilakukan antara Usmani dan kekuasaan Ibnu Saud, Volume 1, Agustus, 2016
17
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
namun Usmani tidak mampu menaklukkan dan menghapuskannya hingga akhirnya kekuasaan Saudi semakin terkonsolidasi dan berhasil mendeklarasikan negara Arab Saudi tahun 1932. Meskipun kelompok Wahabi menganggap diri mereka sebagai representasi Islam yang murni, bukan berarti para tokoh atau ulamanya juga memiliki pandangan yang sama. Dalam sejarah Saudi, pertentanganpertentangan dan saling menyalahkan dan bahkan menyesatkan telah terjadi antar tokoh atau ulama pengikut aliran Wahabi sendiri. Contohnya, pemberontakan kelompok bersenjata ikhwan yang memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah Saudi terkait modernisasi teknologi dan kebijakan ekspansi kerajaan, peristiwa pengepungan Masjid al-Haram tahun 1979 yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Juhayman alUtaybi dan Muhammad bin Abdullah al-Qahtani yang didasari atas ketidakpuasan terhadap pemerintah Saudi yang dianggap tidak menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengadopsi budaya barat, serta kritik yang dilakukan oleh banyak ulama Saudi pada tahun 90an terhadap kerajaan yang telah dianggap melenceng dari ajaran Islam. Beberapa tokoh ulama oposisi yang terkenal adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah, dan `Aidh alQarni.9 Masih banyak lagi isu-isu yang memperlihatkan tidak satunya pandangan sesama ulama dan tokoh aliran Wahabi. Walaupun terdapat problem dan silang pendapat yang terjadi di internal ulama dan tokoh Wahabi, ajaran ini tetap kokoh sebagai ajaran resmi negara yang dipegang oleh pemerintah Arab Saudi. Ajaran Islam Wahabi inilah yang dijadikan paradigma dalam mengatur negara Arab Saudi baik dari aspek ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan aspek sosial masyarakat, termasuk dalam politik luar negeri. Wahabi dan Politik Luar Negeri Pemerintah Saudi Berbeda dengan negara-negara Barat atau negara-negara yang menganut paham sekulerisme, negara yang menganut Islam seperti Arab Saudi menjadikan Islam sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan luar negerinya. Bukan hanya prioritas, bahkan Islam menjadi panduan legitimasi dari setiap aktifitas berbangsa dan bernegaranya. Konstitusi negara Arab Saudi adalah Islam, bahkan benderanya pun bertuliskan lafadz tauhid dan pedang sebagai simbol jihad. Tauhid bermakna bahwa Saudi menjadikan Islam sebagai nafas hidupnya dan Jihad sebagai simbol perjuangan untuk memperjuangkan atau membela agama Islam. Namun, tidak sedikit yang memandang sinis komitmen keislaman dari Arab Saudi seperti Madawi Rasheed yang mencibir penggunaan 18
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
simbol-simbol agama oleh Saudi sekedar hanya sebagai alat politik untuk mempertahankan stabilitas kerajaan. Dalam website kementerian luar negeri Saudi disebutkan bahwa Islam menempati posisi penting dan berpengaruh dalam politik luar negeri Arab Saudi. Bahkan, menurut Arab Saudi, negara ini sejak berdiri hingga saat ini telah mencurahkan berbagai potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk ikut terlibat dalam menangani berbagai persoalan yang terjadi di dunia Islam untuk meraih solidaritas dan persatuan umat Islam berdasarkan kesamaan aqidah. Dalam mewujudkan tujuan dari kebijakan solidaritas dan persatuan, Arab Saudi bersama negara-negara Muslim lain bahu membahu membentuk Organisai Kerjasama Islam (OIC) dan Liga Muslim Dunia sekaligus menjadi rumah bagi kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga ini dibentuk dengan tujuan menjaga hubungan damai antara sesama negara Islam serta sebagai wadah saling memberikan dukungan moral dan material kepada berbagai kelompok Islam dimanapun mereka berada dengan berbagai sarana seperti membangun masjid dan berbagai lembaga Islam yang lain.10 Bukti dari pengaruh Islam terhadap politik luar negeri Arab Saudi bisa dilihat dari dukungan finansial yang besar kepada para mujahidin saat terjadi invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1980an dan dukungan kepada kelompok-kelompok pejuang seperti PLO di Palestina serta Muslim di Bosnia. Di Asia, Arab Saudi menduduki posisi ke dua sebagai penyumbang donasi terbesar di dunia. Antara tahun 1973-1991 saja, Saudi telah menyumbang sekitar 60 juta dolar ke negara-negara berkembang dan pada tahun 1994, sudah mencapai 106 juta dolar ke negara-negara Muslim dan 14,6 juta dolar ke negara-negara yang lain. Sebagian dari donasi Saudi itu digunakan untuk mendukung aktifitas dakwah Islam di negara-negara Muslim seperti dukungan kepada madrasah, organisasi dakwah, dan sekolah-sekolah tinggi Islam lainnya. Disebutkan, jutaan dolar telah digelontorkan Arab Saudi untuk merekrut para pelajar untuk mengisi 1.500 masjid, 210 Islamic center, 202 perguruan tinggi Islam dan 2.000 madrasah, serta menempatkan di lembaga-lembaga tersebut sekitar 4.000 pendakwah di berbagai belahan dunia, Asia Tengah, Selatan dan Asia Tenggara serta Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Saudi juga menjadi penyumbang terbesar 4 per 5 dari jumlah keseluruhan percetakan buku Islam secara global.11 Untuk mencetak para pelajar atau para muballigh yang akan berdakwah di wilayah masing-masing di seluruh dunia, pemerintah Arab Saudi membangun universitas-universitas Islam di Arab Saudi Seperti Universitas Islam Madinah dan Ummul Qura.12 Volume 1, Agustus, 2016
19
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
Terdapat dua lembaga yang menjadi penyalur donasi Saudi ke seluruh dunia, yaitu Liga Muslim Dunia atau MWL (Muslim World League), Rabithah al-alam al-Islami, dan the World Assembly of Muslim Youth atau WAMY. MWL memiliki sekitar 56 kantor cabang di seluruh dunia serta berafiliasi dengan sekitar 14 lembaga yang aktif membangun jaringan dan menyalurkan dana ke seluruh dunia seperti The World Organization for Presenting Islam, the World Foundation for Reconstruction and Development of Mosques, the Islamic Fiqh Council, the Makkah Charity Foundation for Orphans, dan the International Islamic Relief Organization of Saudi Arabia (IIRO).13 Bagi Amerika Serikat, beberapa lembaga yang berafiliasi dengan MWL terindikasi terlibat jaringan terorisme sehingga dibekukan asetnya. Al-Haramain Islamic Foundation, tahun 2004 dibekukan oleh pemerintah Arab Saudi sendiri setelah lama dikritik oleh pemerintah Amerika Serikat karena keterlibatan yayasan tersebut dalam jaringan terorisme.14 Politik luar negeri Arab Saudi berupa bantuan amal dan pendidikan ke negeri-negeri Muslim dan negara-negara yang lain banyak dianggap sebagai ancaman. Misi pendidikan yang dibawa oleh Arab Saudi ke negara lain dianggap sebagai program indoktrinasi untuk menggantikan ajaran-ajaran Islam lain dengan doktrin Wahabi.15 Menurut Madawi Rasheed berbagai bantuan yang disebarkan Saudi ke seluruh dunia Islam (transnationalisation of Islam) sebenarnya bukan murni dilandasi oleh kepentingan Islam namun lebih merupakan motif politik. Menurut Rasheed, ada dua kepentingan utama Saudi terhadap kebijakan luar negeri terkait amal dan pendidikan. Pertama, kepentingan meraih simpati domestik sehingga stabilitas terjaga dari berbagai hal yang bisa menggoyang negara. Kedua, kepentingan internasional, yakni untuk membangun citra positif Arab Saudi sebagai kiblat Muslim dunia dengan tujuan agar tidak ada warga Muslim di negara manapun yang bisa melakukan provokasi untuk mendelegitimasi kekuasaan Saudi. “Charity and education proved to be powerful mechanisms: the first bought dissenting voices, while the second aimed to control the minds and hearts of Muslims from Detroit to Jakarta.”16 Wahabisme di Indonesia Keberadaan paham Wahabi di Asia Tenggara dipandang sebagai ancaman terhadap tradisi keagamaan, khususnya Islam yang telah berkembang lama dan berjalan beriring dengan budaya setempat. Wahabi dianggap ancaman karena cenderung ekslusif dan cenderung melakukan penyeragaman terhadap tradisi keislaman di wilayah Asia Tenggara. Bukan 20
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
hanya itu, beberapa kelompok yang sering dianggap biang terorisme di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran Wahabi. Upaya Arab Saudi menyebarkan aliran Islam-nya di Asia Tenggara disebut oleh Ignatius sebagai Saudization of South East Asia, sementara Christina Lin menyebut ekspor paham Wahabi sebagai senjata upaya pengembangan senjata pemusnah massal dari Saudi, Saudi WMD (Wahhabis of Mass Destruction) proliferation. Meskipun banyak kalangan menilai negatif keberadaan paham Wahabi di Asia Tenggara, namun secara institusional hubungan diplomasi antara negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia dengan Arab Saudi masih berjalan dengan baik serta tidak terpengaruh oleh usaha-usaha berbagai pihak yang mencoba melakukan sekuritisasi terhadap keberadaan Wahabi di negara-negara tersebut. Arab Saudi masih tetap menjalankan kebijakan eskpor pendidikan serta pemikiran di Indonesia melalui berbagai agenda yang telah dibuat. Di Indonesia, interaksi antara pemikiran Wahabi dengan masyarakat Indonesia mulai terlihat pada abad 19. Ide dakwah Ibnu Abdul Wahhab dianggap menginspirasi ulama asal sumatera Barat yang dikenal dengan kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Namun, fakta sejarah ini menurut Martin Van Bruinessen kurang kuat dalam mendukung argumen pengaruh Wahabi dalam gerakan Paderi. Bahkan banyak fakta lain yang justru tidak menunjukkan argumen tersebut.17 Pemikiran SalafiWahabi di Indonesia juga dianggap telah mempengaruhi pemikiran Syaikh Ahmad Syurkati pendiri Madrasah al-Irsyad di awal-awal abad 20.18 Pengaruh pemikiran Wahabi secara masif masuk ke Indonesia melalui peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Muhammad Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak mengirimkan mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Melalui dukungan dari Arab Saudi pula, DDII mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) tahun 1981 yang kurikulumnya mengikut Universitas al-Imam Muhammad bin Suud al-Islamiyyah di Riyadh. Dari LIPIA inilah lahir kader-kader dakwah salafi di Indonesia serta menjadi sarana diseminasi pemikiran Wahabi melalui kitab-kitab yang dicetak serta dibagikan gratis oleh lembaga ini. Melalui LIPIA pula banyak mahasiswa yang setiap tahun dikirim ke Arab Saudi untuk belajar Islam.19 Beberapa alumni LIPIA yang saat ini telah menjadi tokoh penting di kalangan Salafi di Indonesia, seperti: Yazid Jawwas di Minhaj us-Sunnah Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida''ul Islam Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Volume 1, Agustus, 2016
21
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; dan Yusuf Utsman Ba’isa direktur Pesantren al-Irsyad, Tengaran.20 Arab Saudi & Diseminasi Pemikiran Wahabi di Indonesia Pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didanai oleh Arab Saudi merupakan salah satu kesuksesan diplomasi Wahabi-Islam Saudi melalui jalur pendidikan di Indonesia. Para Alumni LIPIA ini, setelah lulus akan kembali dan menyebarkan pemikiranpemikiran Salafi-Wahabi di lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 2009, jumlah alumni LIPIA telah berjumlah sekitar 8.604 orang dan menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan profesi yang berbeda-beda, bahkan banyak diantaranya yang menjadi pejabat.21 Pendirian LIPIA tahun 1980an, menurut Amanda Kovacs, tidak hanya bermotifkan kepentingan dakwah Islam ke Indonesia, namun menjadi sarana Arab Saudi untuk membendung eskpansi pemikiran Syiah pasca revolusi Iran 1979. Keberadaan Iran dianggap membahayakan legitimasi Saudi sebagai sebuah negara Islam yang menjadi patron Islam seluruh dunia. Apalagi Iran sering menyerang hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai pengkhianat terhadap agama Islam sendiri. Institusi LIPIA dibentuk dan didanai oleh Arab Saudi sebagai containment policy, kebijakan pembendungan terhadap efek domino revolusi Iran di Asia Tenggara. Kebijakan pendirian LIPIA ini menurut Kovac sama persis dengan usaha Arab Saudi mendirikan universitas Islam Madinah tahun 1961 sebagai usaha untuk membendung kebijakan Jamal Abdul Nasser yang menjadikan Universitas al-Azhar sebagai representasi dakwah Islam ke seluruh dunia serta sebagai pusat penyebaran visi sosialisme Arab ala Abdul Nasser.22 Selain menjadikan LIPIA sebaga sarana pencetak kader-kader dakwah Salafi-Wahabi, Saudi juga rutin memberikan beasiswa setiap tahun kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Arab Saudi seperti Universitas Islam Madinah dan Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh. Setelah menjadi alumni, mereka pulang dan ikut menyebarkan aliran paham Wahabi di daerah masing-masing baik melalui ceramah di masjid-masjid, membentuk pesantren, mendirikan radio, membuat majalah, tabloid, bahkan membangun siaran TV. Di Indonesia, siaran TV dan Radio Rodja merupakan salah satu saluran televisi yang terkenal dan memiliki jangkauan seluruh Indonesia. Konten-konten dari ceramah para Ustad Salafi ini berisi ajakan untuk terikat pada ajaran salafussholeh versi pemahaman Wahabi dan meninggalkan praktek-praktek bidah yang sesat 22
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
seperti perayaan Maulid Nabi, Perayaan Isra` Mi`raj, Qunut Shubuh, Tahlilan 3, 7, 14, sampai 40 hari, mengaji di depan jenazah, mengaji di kuburan, membaca Yasin malam jumat, dan seterusnya. Semua praktek di atas dipandang sesat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.23 Salah satu ormas berskala nasional yang mendakwahkan ajaran salafi di Indonesia adalah Wahdah Islamiyah. Lembaga ini didirikan tahun 2002 di Makassar Sulawesi Selatan sebagai sebuah ormas resmi di Indonesia. Salah satu pendirinya, Ustad Zaitun Rasmin, Lc adalah lulusan universitas Islam Madinah.24 Wahdah Islamiah hingga saat ini sangat aktif dalam mendakwahkan Islam Salafi-Wahabi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan juga telah memiliki cabang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ormas ini memiliki sekolah-sekolah dan pesantren. Lembaga pendidikan yang paling penting sebagai wadah kaderisasi dakwah salafiyyah adalah STIBA, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab yang diasuh oleh para alumni Universitas Islam Madinah.25 Zaitun Rasmin sebagai ketua umum DPP Wahdah Islamiyah saat ini telah menjadi salah satu tokoh Islam yang diakui di Indonesia. Beliau menduduki jabatan di Majelis Ulama Indonesia dan sebagai wakil ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia). Demikianlah pengaruh besar dari politik luar negeri Arab Saudi di bidang pendidikan bagi penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Ajaran yang awalnya berada di Arab Saudi ini akhirnya menyebar ke Indonesia melalui pelajar-pelajar yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Arab Saudi untuk belajar di universitas-universitas di Arab Saudi. Para alumni tersebut mendirikan berbagai lembaga dakwah dan pendidikan untuk mereproduksi kader bagi dakwah Salafi-Wahabi di Indonesia. Bisa dibilang, Indonesia merupakan salah satu tempat tumbuh subur dan berkembangnya aliran Wahabi. Pemerintah Indonesia pun tidak mempersoalkan keberadaan aliran pemikiran ini, bahkan pemerintah memberikan kebebasan kepada pemerintah Arab Saudi untuk menjalin kerjasama pendidikan dengan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang menyuarakan ketidaksetujuan bahkan kekhawatirannya terhadap keberadaan aliran ini di Indonesia. Salah satu ormas yang paling merasa khawatir dengan gerakan ini adalah ormas Nahdlatul Ulama (NU). NU paling banyak merasa “terhakimi” oleh gerakan Wahabi di Indonesia. NU “terhakimi” sebab banyak praktek keagamaan yang dilakukan pengikutnya dianggap menyimpang atau bidah dan sesat oleh kaum Salafi-Wahabi. Contohnya, Volume 1, Agustus, 2016
23
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
melaksanakan tahlilan, membaca kitab al-Barazanji, bertawassul kepada orang-orang sholeh, serta membaca al-Quran di kuburan yang bagi kalangan NU praktek-praktek ini tidak menjadi masalah dan tidak bertentangan dengan Islam. Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqil Siradj, menganggap posisi NU bertentangan secara tegas dengan paham keagamaan yang dibawa oleh Wahabi. Wahabi menurut Siradj, sangat mudah memvonis sesat bagi kelompok-kelompok lain, bahkan ulama-ulama besar yang tak sepaham dengan aliran pemikiran mereka.26 Posisi Ketum PBNU ini sama dengan pandangan-pandangan tokoh-tokoh NU lainnya di Indonesia. K.H. Muhammad Idrus Ramli, seorang ulama NU, bahkan menyebut ajaran Wahabi sebagai ajaran di luar Ahlusunnah Wal Jamaah dan merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan.27 Azyumardi Azra melihat posisi Wahabi di Indonesia sebagai sebuah anathema, yang dipahami olehnya sebagai hal yang lebih dari kata jorok. Umat Islam di Indonesia sulit untuk menerima ajaran-ajaran Wahabi ini sebab masyarakat di Indonesia sudah sering dan senang mengamalkan praktik-praktik Islam yang sering dianggap sesat oleh kalangan Wahabi. Islam ala Wahabi menurut Azra adalah Islam yang terlalu kering, sederhana, dan terlalu primitif bagi masyarakat Indonesia.28 Sebuah kajian yang dilakukan oleh Bidah Khasanah Group menuliskan beberapa bahaya dari keberadaan pemikiran Wahabi di Indonesia antara lain: 1.
2.
3.
24
Sikap eksklusif dari Wahabi yang hanya merasa benar sendiri dan menyesatkan ummat Islam lain akan berdampak pada menyebarnya kebencian antara sesama Muslim dan akan memecah belah persatuan ummat Islam. Sikap Wahabi yang merasa diri mengikuti ulama salaf merupakan sebuah kebohongan. Sebab, berbagai praktek yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslim seperti Maulid Nabi, membaca Quran di kuburan, bertawassul dengan orang-orang sholeh yang selama ini dianggap sesat oleh kalangan Wahabi, padahal ada banyak ulama salaf juga yang membolehkannnya. Doktrin Sunnah dan Bid`ah yang diyakini dan sering dipropagandakan oleh Wahabi akan berdampak pada kejumudan dalam beragama. Bagi kalangan Wahabi, semua yang tidak memiliki referensi dari Nabi adalah sesat sehingga berdampak pada ketidakmampuan kalangan Wahabi untuk melaksanakan ajaran agama secara dinamis. Padahal, dalam pandangan para ulama, tidak selamanya aktifitas yang tidak dilakukan oleh Nabi berarti tidak boleh dikerjakan oleh umatnya.
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
4.
Sebenarnya, persoalan yang diangkat oleh kalangan Wahabi merupakan perdebatan klasik dan telah diselesaikan oleh ulamaulama terdahulu. Bedanya, ulama terdahulu tidak esktrem menyesat-nyesatkan orang hanya karena perbedaan yang sifatnya tidak prinsipil atau furuiyyah. Sementara, kelompok Wahabi menyesatkan orang-orang yang dianggap bid`ah dan semua yang bid`ah tempatnya di neraka.29
Dengan prinsip dakwah Sunnah dan Bid`ah yang dilakukan Wahabi ini berdampak serius di tengah-tengah masyarakat, seperti hubungan silaturahim antara sesama keluarga dan tetangga menjadi terganggu, rusaknya hubungan kebersamaan dalam berkegiatan di masyarakat, masjid, mushalla dan tempat pengajian, dan pecahnya umat Islam karena adanya perebutan lahan-lahan dakwah seperti masjid, mushalla, kantor, dan sekolah.30 Sadar dengan bahaya dari dakwah Salafi-Wahabi di Indonesia, beberapa kelompok masyarakat melaksanakan berbagai macam kegiatan pelatihan, demonstrasi, bahkan debat dengan tokoh-tokoh Wahabi, seperti aksi penolakan ajaran Wahabi yang pernah terjadi di Madura dan Aceh. Di Aceh, aksi tersebut bahkan melibatkan puluhan ribu masyarakat dari berbagai ormas, baik NU, Front Pembela Islam, dan Gabungan Pondok Pesantren Se-Aceh.31 Debat juga sering dilakukan baik melalui mediamedia online maupun di forum-forum ilmiah seperti yang sering dilakukan oleh K.H. Muhammad Idrus Ramli dengan tokoh-tokoh Wahabi di berbagai forum. Kesimpulan Keberadaan pemikiran Salafi-Wahabi serta penyebarannya di Indonesia adalah hasil dari politik luar negeri Arab Saudi. Dakwah Islam merupakan salah satu prioritas dari misi politik Kerajaan Arab Saudi sehingga Arab Saudi menggelontorkan banyak dana untuk menyukseskan dakwah Islam di seluruh dunia. Namun, dakwah Islam yang disebarkan oleh Arab Saudi memiliki kekhasan tersendiri, yakni berasas pada manhaj Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal sebagai aliran Salafi-Wahabi. Aliran ini oleh banyak kalangan dianggap mengajarkan paham-paham ekstrimisme dan radikalisme serta sangat eksklusif dalam beragama. Di Indonesia, keberadaan dakwah Salafi didukung oleh bantuan dana yang besar dari pemerintah Arab Saudi, baik dalam hal pemberian beasiswa kuliah ke Arab Saudi ataupun kerjasama pendidikan dengan lembaga dan perguruan tinggi di Indonesia. Para pelajar Indonesia yang lulus dari Arab
Volume 1, Agustus, 2016
25
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
Saudi inilah yang membangun berbagai lembaga dakwah dan pendidikan untuk menyebarkan aliran pemikiran Wahabi di Indonesia. Namun, keberadaan gerakan Wahabi di Indonesia juga mendapatkan banyak kecaman dan kritik. Gerakan Wahabi dianggap berpotensi merusak keberagamaan umat Islam di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang telah memiliki banyak tradisi keberagamaan seperti tahlilan dan maulidan dianggap sesat dan menyimpang oleh kalangan Wahabi. Doktrin-doktrin kalangan Wahabi ini oleh banyak kalangan ormas dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia mengancam keharmonisan aktifitas beragama umat Islam di Indonesia. Berbagai kalangan ummat Islam akhirnya melakukan perlawanan, baik dalam bentuk tulisan, debat, maupun aksi-aksi lapangan untuk menyuarakan penolakan terhadap merebaknya ajaran Salafi-Wahabi di Indonesia. Nampaknya, sikap sebagian masyarakat Indonesia dan kekhawatiran mereka terhadap gerakan Wahabi ini sama dengan kekhawatiran banyak kalangan di berbagai negara. Dakwah Islam yang didukung dan difasilitasi Kerajaan Arab Saudi dianggap sebagai usaha untuk mendominasi dunia dengan perspektif keberagamaan ala Wahabi. Catatan Akhir 1“The Radicalization of South Asian Islam: Saudi Money and the Spread of Wahabism”.AkhileshPillalamarri, 20 Oktober 2014, dilihat 21 Maret 2016,http://georgetownsecuritystudiesreview.org/2014/12/20/the-radicalization-of-southasian-islam-saudi-money-and-the-spread-of-Wahabism/ 2 “Saudi Arabia, Wahabism and the Spread of Sunni Theofascism". Vol. 2 No. 1 June/July 2007, Curtin Winsor, Jr, 05 Juli 2007, dilihat 01 April 2016, http://www.mideastmonitor.org/issues/0705/0705_2.htm, 6. 3 Mervyn F. Bendle. “Secret Saudi Funding of Radical Islamic Groups In Australia”. National Observer (Council for the National Interest, Melbourne), No. 72, 2007,hal: 7 4 “Wahabism in Southeast Asia”, Dennis Ignatius, 27 Maret 2015, dilihat 21 Maret 2016, http://www.asiasentinel.com/society/Wahabism-in-southeast-asia/ 5 MadawiRasheed. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation (New York: Cambridge University Press, 2007), 3. 6 Ahmad Moussalli. Wahabism, Salafism and Islam: Who Is The Enemy?.A Conflict Forum Monoghraph.(Beirut: Conflict Forum, 2009), 6. 7 Rasheed, op. cit., 5. 8 David Commins. The Wahabi Mission and Saudi Arabia.(London: I.B.Tauris& Co Ltd, 2006), 50. 9 Hasbi Aswar. Peran Ulama dalam Kebijakan Pemerintah Saudi: Studi Kasus: Kontraterorisme dan Fenomena Arab Spring. Tesis Magister Hubungan Internasional. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013), 44-47.
26
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
10 “The foreign policy of the Kingdom of Saudi Arabia’,Ministry of Foreign Affairs, 16 Februari 2016, dilihat 15 April 2016,http://www.mofa.gov.sa/sites/mofaen/KingdomForeignPolicy/Pages/ForeignPolicy 24605.aspx 11 “The Saudi Connection: Wahabism and Global Jihad”, Carol E. B. Choksy and Jamsheed K. Choksy, mei/juni 2015, dilihat 02 Mei 2016 http://www.worldaffairsjournal.org/article/saudi-connection-Wahabism-and-global-jihad 12 Commins, op. cit., 126. 13 Teresa Harings. 2012. The Muslim World League: Creeping Wahabi Colonialism?.Tel Aviv Notes.(Tel Aviv: The Moshe Dayan Center, 2012), 2. 14 Christopher M. Blanchard & Alfred B. Prados.Saudi Arabia: Terrorist Financing Issues. (CRS Report Congress. Order Code, RL32499, 2007), 19. 15 “Guide to Wahabi Organizations in North America”, Jamaluddin B. Hoffman, tt, dilihat 01 April 2016http://soerenkern.com/pdfs/islam/GuideWahabiNorthAmerica.pdf, 3. 16 Rasheed, op.cit., 126. 17 “Wahabi influences in Indonesia, real and imagined”, Martin van Bruinessen, 10 juni 2002, dilihat 01 April 2016, Journéed’EtdudesWahabisme. CEIFR (EHESS-CNRS) – MSH http://www.archivesaudiovisuelles.fr/11/163/martin_van_bruinessen-7.pdf, 1. 18 ”PerkembanganDakwahSalafiyah Di Indonesia”, Abdurrahman bin Abdul Karim AtTamimi, 21 February 2015, dilihat 07 Mei 2016, https://almanhaj.or.id/1128perkembangan-dakwah-salafiyah-di-indonesia.html. Lihat pula Ahmad Syafi’iMufid, edt.PerkembanganPahamKeagamaanTransnasional di Indonesia.(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011), 227-230. 19 Abdurrahman Wahid, edt.Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di Indonesia.(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 78. 20 “PerkembanganSalafi di Indonesia”,As'ad Said Ali, 30 Juni 2011, dilihat 13 Juni 2016http://www.nu.or.id/post/read/32743/perkembangan-salafi-di-indonesia 21 “Saudi Buka 3 CabangBaru LIPIA di Indonesia”, Kemenag, 29 Januari 2009, dilihat 08 Juni 2016,http://kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=81822 22 Amanda Kovacs. Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesia’s Muslims.Number 7.(GIGA Focus International Edition, 2014), 4-5. 23 Ahmad Syafi’i Mufid, edt. op.cit., 225-239. 24 “Pencetak Dai dari Timur”,Masykur, 03 Juni 2010, dilihat 10/06/2016,http://majalah.hidayatullah.com/2010/06/pencetak-dai-dari-timur/ 25 “Profil”, Dhiyaulhaq, 08 Oktober 2013, dilihat 10/06/2016, http://stiba.ac.id/tentangstiba/profil/ 26 “Kang Said: Sikap NU Tegas, Menolak Wahabi”. Nu Online, 01 Oktober 2013, dilihat 14 Juli 2016. http://www.nu.or.id/post/read/47355/kang-said-sikap-nu-tegas-menolakwahabi 27 “Nu – Wahabi Bersatu, Mungkinkah?”. Idrus Ramli, 10 Maret 2015, dilihat 14 Juli 2016. http://santri.net/kajian-khusus/kontra-wahabi/mungkinkah-nu-dan-wahabi-bersatu/ 28 “Islam Indonesia berbunga-bunga, bukan Wahabi yang primitif”. Heyder Affan, 21 Mei 2016, dilihat 14 Juli 2016.
Volume 1, Agustus, 2016
27
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160506_indonesia_lapsus_radi kalisasi_anakmuda_wwcr_azyumardiazra 29 “Menyingkap Tipu Daya dan Fitnah Keji Fatwa-Fatwa Kaum Salafi-Wahabi”. AtsSauriy dkk, tt, dilihat 24 Juli 2016. http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Aswaja/Darul%20Mukhtar/Bab%2008.ht m 30 Ibid. 31 “13 Butir Parade Aswaja Aceh: Larang Wahabi, Syiah Dan Komunis Dari Aceh!”. NUGarisLurus.Com, 10 September 2015, dilihat 14 Juli 2016. http://www.nugarislurus.com/2015/09/13-butir-parade-aswaja-aceh-larang-wahabi-syiahdan-komunis-dari-aceh.html
Daftar Pustaka Amanda Kovacs. Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesia’s Muslims. Number 7. GIGA Focus International Edition, 2014. Aswar, Hasbi. Peran Ulama dalam Kebijakan Pemerintah Saudi: Studi Kasus: Kontraterorisme dan Fenomena Arab Spring. Tesis Magister Hubungan Internasional. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013 Bendle, Mervyn F. “Secret Saudi Funding of Radical Islamic Groups In Australia”. National Observer Council for the National Interest, Melbourne , No. 72, 2007 Blanchard, Christopher M. & Alfred B. Prados. Saudi Arabia: Terrorist Financing Issues. CRS Report Congress. Order Code, RL32499, 2007. Commins, David. The Wahabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd, 2006 Harings, Teresa. The Muslim World League: Creeping Wahhabi Colonialism?. Tel Aviv Notes. Tel Aviv: The Moshe Dayan Center, 2012. Moussalli, Ahmad. Wahhabism, Salafism and Islam: Who Is The Enemy?. A Conflict Forum Monoghraph. Beirut: Conflict Forum, 2009 Mufid, Ahmad Syafi’i. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011. Rasheed, Madawi. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation New York: Cambridge University Press, 2007 Wahid, Abdurrahman, edt. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Affan, Heyder. “ 21 Mei 2016. ”Islam Indonesia berbunga-bunga, bukan Wahabi yang primitif’, dilihat 14 Juli 2016. 28
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Hasbi Aswar
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160506_i ndonesia_lapsus_radikalisasi_anakmuda_wwcr_azyumardiazra Ali, As'ad Said, 30 Juni 2011, “Perkembangan Salafi di Indonesia”, dilihat 13 Juni 2016 http://www.nu.or.id/post/read/32743/perkembangan-salafi-diindonesia “Ats-Sauriy, dkk. tt. Menyingkap Tipu Daya dan Fitnah Keji Fatwa-Fatwa Kaum Salafi-Wahabi”, dilihat 24 Juli 2016. http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Aswaja/Darul%20M ukhtar/Bab%2008.htm At-Tamimi, Abdurrahman bin Abdul Karim. 21 February 2015. ”Perkembangan Dakwah Salafiyah Di Indonesia”, dilihat 07 Mei 2016, http://almanhaj.or.id/1128-perkembangan-dakwah-salafiyah-diindonesia.html Bruinessen, Martin van. 10 juni 2002. “Wahhabi influences in Indonesia, real and imagined”, dilihat 01 April 2016, Journée d’Etdudes Wahabisme. CEIFR EHESS-CNRS – MSH http://www.archivesaudiovisuelles.fr/11/163/martin_van_bruinesse n-7.pdf Choksy, Carol E. B. & Jamsheed K. Choksy, Mei/Juni 2015, “The Saudi Connection: Wahabism and Global Jihad”, dilihat 02 Mei 2016 http://www.worldaffairsjournal.org/article/saudi-connectionWahhabism-and-global-jihad. Dhiyaulhaq, 08 Oktober 2013, “Profil”, dilihat 10/06/2016, http://stiba.ac.id/tentangstiba/profil/ Hoffman, Jamaluddin B. Tt. “Guide to Wahabi Organizations in North America”, dilihat 01 April 2016 http://soerenkern.com/pdfs/islam/GuideWahabiNorthAmerica.pdf Ignatius, Dennis. 27 Maret 2015. “Wahhabism in Southeast Asia”, dilihat 21 Maret 2016, http://www.asiasentinel.com/society/Wahhabism-insoutheast-asia/ Kemenag. 29 Januari 2009. “Saudi Buka 3 Cabang Baru LIPIA di Indonesia”, dilihat 08 Juni 2016, http://kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=81822 Masykur. 03 Juni 2010. “Pencetak Dai dari Timur”, dilihat 10/06/2016, http://majalah.hidayatullah.com/2010/06/pencetak-dai-dari-timur/ Ministry of Foreign Affairs. 16 Februari 2016. “The foreign policy of the Kingdom of Saudi Arabia’, dilihat 15 April 2016, Volume 1, Agustus, 2016
29
PLN Arab Saudi dan Salafi-Wahabi di Indonesia
http://www.mofa.gov.sa/sites/mofaen/KingdomForeignPolicy/Page s/ForeignPolicy24605.aspx. Nu Online. 01 Oktober 2013. Kang Said: Sikap NU Tegas, Menolak Wahabi. dilihat 14 Juli 2016. http://www.nu.or.id/post/read/47355/kang-said-sikap-nu-tegasmenolak-wahabi NUGarisLurus.Com. 10 September 2015. 13 Butir Parade Aswaja Aceh: Larang Wahabi, Syiah dan Komunis Dari Aceh!, dilihat 14 Juli 2016. http://www.nugarislurus.com/2015/09/13-butir-parade-aswaja-acehlarang-wahabi-syiah-dan-komunis-dari-aceh.html Pillalamarri, Akhilesh, 20 Oktober 2014. “The Radicalization of South Asian Islam: Saudi Money and the Spread of Wahhabism”. dilihat 21 Maret 2016, http://georgetownsecuritystudiesreview.org/2014/12/20/theradicalization-of-south-asian-islam-saudi-money-and-the-spread-ofWahabism/. Ramli, Idrus. 10 Maret 2015. “Nu – Wahabi Bersatu, Mungkinkah?”, dilihat 14 Juli 2016, http://santri.net/kajian-khusus/kontrawahabi/mungkinkah-nu-dan-wahabi-bersatu/ Winsor, Jr, Curtin. 05 Juli 2007. “Saudi Arabia, Wahhabism and the Spread of Sunni Theofascism". Vol. 2 No. 1 June/July 2007, dilihat 01 April 2016, http://www.mideastmonitor.org/issues/0705/0705_2.htm
30
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
PENGARUH PEMERINTAHAN REZIM KHMER MERAH TERHADAP MUSLIM CHAMPA DI KAMBOJA Bintar Mupiza
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: Red Khmer, known as Khmer Rouge, was a military wing of Communist Party of Cambodia operated in land of Cambodia. It took power in 1975 and ended down in 1979. Khmer Rouge made tremendous human right violations in Cambodia. Under Pol Pot’s reign, Khmer Rouge turned into the bloodiest regime in Asian History. During his reign, Khmer Rouge persecuted many religious and minorities groups. One of the most persecuted whom he targeted was Chams, a Muslim ethnic. The Communist Khmer Rogue started the persecution of Chams when they took power. They destroyed mosques, burned holy Quran, and banned Chams to practice their religion so that there were significant changes over this ethnic. This paper aimed to explore Khmer Rouge influences toward Cham ethnic in Cambodia using qualitative research method by collecting data from books, journal, and online sources. Kata-kata Kunci: Khmer Merah; etnis Muslim Champa; Pol Pot
Pengantar Etnis Champa merupakan suku bangsa yang berasal dari Vietnam Tengah dan Selatan,1 dimana etnis ini menuturkan bahasa Rumpun Austronesia yang berbeda dengan etnis lain di Indo-China yang bertutur bahasa rumpun Austroasiatik.2 Dalam sejarahnya, etnis Champa pernah memiliki wilayah kekuasaan yang kini merupakan wilayah Vietnam bagian Selatan. Sesuai dengan sebutan etnis ini, kerajaan yang pernah berkuasa juga bernama Kerajaan Champa. Kerajaan ini memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan penguasa-penguasa Nusantara. Pada mulanya, kerajaan Champa dan etnis Champa menganut agama Hindu dan Budha. Namun setelah Islam datang ke negeri ini kemudian mereka menjadi kerajaan Islam. Dalam perkembangannya, kerajaan Champa mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Pada akhirnya, kerajaan ini JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 31-40
Pengaruh Khmer Merah terhadap Muslim Champa
dihancurkan oleh kekaisaran Nam dalam peperangan yang terjadi di antara keduanya. Setelah kekalahan ini, banyak terjadi migrasi besar-besaran etnis Champa ke berbagai wilayah di sekitarnya, termasuk ke Kerajaan Khmer/Kamboja. Migrasi etnis Champa ke wilayah Kerajaan Khmer tersebut terbagi ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama di tahun 1471, ketika Vietnam menduduki Vijaya. Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1969 ketika Vietnam manduduki Panduranga. Gelombang ketiga, ketika Vietnam menduduki penuh wilayah Champa pada tahun 1832.3 Seiring berjalan waktu, etnis Champa di kerajaan Khmer dapat diterima dengan baik. Etnis Champa diterima sebagai bagian dari masyarakat Khmer tanpa menghilangkan identitas dan kepercayaan, bahkan kerajaan Khmer tidak menganggap etnis Champa sebagai etnis asing atau pendatang.4 Hubungan yang demikian merupakan bukti dapat diterimanya masyarakat Champa di Kamboja. Pergantian rezim pemerintahan sejak masa monarki absolut hingga masa Lon Nol dengan sistem republik tak mempengaruhi perlakuan pemerintah Kamboja terhadap etnis Champa. Mereka masih dianggap sebagai bagian dari masyarakat Kamboja. Namun, pada tahun 1975, Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan pemerintahan Lon Nol dan membawa perubahan yang sangat mendasar bagi nasib etnis Muslim Champa dalam berbagai sektor kehidupan. Khmer Merah mencatatkan sejarah kelam atas tindakanya terhadap etnis Campha di Kamboja. Tulisan ini akan membahas mengenai pengaruh Khmer Merah terhadap etnis Muslim Champa dimana sejarah kelam Asia Tenggara tersebut tidaklah patut untuk dilupakan. Khmer Merah Khmer Merah atau Khmer Rougue (Bahasa Prancis Rouge: Merah) merupakan sebuah sayap militer Partai Komunis Kamboja.5 Kelompok ini memimpin Kamboja pada rentang waktu 1975 - 1979 dengan mengambil kekuasaan secara paksa dari Lon Nol pada tahun 1975. Sesuai dengan nama organisasi induknya, Khmer Merah menganut ideologi Komunis radikal.6 Pada masa kepemerintahannya, kelompok ini melakukan banyak penindasan terhadap rakyat yang dianggap borjuis, kaum feodal, dan kaum agamawan. Dalam struktur kepemimpinan, kelompok ini diketuai oleh seorang bernama Pol Pot yang juga merangkap sebagai Sekretaris Jendral Partai Komunis Kamboja.
32
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Bintar Mupiza
Selama masa kepemimpinanya, Pol Pot lebih menekankan pada kebijakan ruralisasi.7 Kebijakan tersebut memaksa ribuaan rakyat Kamboja yang tinggal di daerah perkotaan untuk melakukan perpindahan ke daerah pedesaan guna menjalankan sektor pertanian. Program ini dijalankan dengan tujuan mengembalikan kejayaan masa lampau Kamboja yang berpaku pada sektor pertanian.8 Selain itu, rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot juga melakukan kekejaman terhadap lawan-lawan politiknya dimana para tawanan politik dikumpulkan dalam kamp-kamp kecil dan berakhir dengan penyiksaan serta pembunuhan. Akibat kebijakan dan tindakan yang demikian, setidaknya lebih dari dua juta orang meninggal pada periode Pol Pot di Kamboja.9 Hal ini merupakan salah satu krisis kemanusiaan paling parah di kawasan Asia Tenggara. Dalam menjalankan kebijakannya, Khmer Merah terjangkit sentimen xenaphobia.10 Sentimen ini merupakan bentuk kekhawatiran terhadap pihak asing atau pihak pendatang. Dalam konteks yang terjadi di Kamboja pada masa pemerintahan Pol Pot, pihak Khmer Merah melakukan berbagai tindakan diskriminatif terhadap etnis-etnis minoritas yang dianggap pendatang di Kamboja. Apa yang dialami Etnis Champa dan Viet merupakan contoh tindakan diskriminatif rezim Pol Pot. Kedua etnis tersebut dipaksa melebur ke dalam masyarakat Khmer. Tindakan Khmer Merah ini bertolak belakang dengan penguasa-penguasa Kamboja sebelumnya yang menerima etnis Champa sebagai bagian dari komponen negara tanpa memandang identitas dan kebudayaan yang mereka bawa. Pada tahun 1979, pemerintahan Khmer Merah mengatakan, “The Cham nation no longer exists on Cambodian soil belonging to the Khmer.”11 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa rezim Khmer Merah tidak dapat menerima kehadiran etnis Champa sebagai bagian dari masyarakat Kamboja. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari akutnya perasaan xenophobia Khmer Merah karena apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka mengembalikan kemurnian darah Khmer. Akibatnya, rezim Khmer Merah melegalkan kekerasan terhadap etnis Muslim Champa.12 Kondisi Etnis Champa: Sebelum dan Setelah Kedatangan Khmer Merah Pada masa awal kedatangan etnis Champa ke kerajaan Khmer, penguasa di sana memberikan tanah khusus untuk masyarakat Champa di wilayah Oudong (Ibukota kerajaan Khmer), Thbaung, Khmum, Stung Trang, daerah-daerah di Kompot, Battambang dan Kampung Luong.13 Pada masa itu etnis Champa disebut dengan Melayu-Champa. Penyebutan Volume 1, Agustus, 2016
33
Pengaruh Khmer Merah terhadap Muslim Champa
ini merujuk pada perpaduan etnis Champa dengan etnis-etnis nusantara Indonesia seperti Jawa dan Melayu yang telah lama berdiam di Kamboja. Dengan adanya pemberian suaka khusus tersebut dapat dilihat betapa harmonis hubungan antara kerajaan Khmer dan etnis Champa pasa masa itu. Setelah hidup pada masa kerajaan, Kamboja kemudian dijadikan wilayah jajahan oleh Prancis pada tahun 1860-an hingga mencapai kemerdekaan di tahun 1953. Pada awal kemerdekaan, penguasa Kamboja saat itu, Raja Norodom Sihanouk, menetapkan bahwa etnis Champa dilarang disebut sebagai etnis Melayu-Champa, melainkan harus disebut sebagai Khmer Islam.14 Sebutan ini menjadi populer hingga saat ini. Meski dilakukan pergantian nama penyebutan, status dan hak kewarganegaraan etnis Champa tidak dikurangi. Pada tanggal 18 Maret 1970, terjadi kudeta militer yang dilakukan oleh salah satu orang terdekat raja, Lon Nol. Dengan bantuan militer, Lon Nol merubah sistem negara menjadi republik dan mengangkat dirinya menjadi presiden. Pada masa Lon Nol, partisipasi etnis Champa dalam politik pemerintahan mulai meningkat. Hal ini ditandai dengan pengangkatan seorang Champa bernama Les Kosem sebagai Jendral di Angkatan Kesatuan Payung Kamboja. Oleh pihak pemerintah, Les Kosem ditunjuk sebagai utusan untuk mengatasi berbagai masalah internal yang terjadi dalam masyarakat Champa serta dijadikan sebagai wakil pemerintah Kamboja di berbagai negara Islam.15 Posisi yang menjanjikan di masa Lon Nol berakhir setelah Khmer Merah di bawah Pol Pot melakukan kudeta militer terhadap pemerintahan yang ada. Di bawah rezim komunis atheis, Khmer Merah melarang warga Kamboja melakukan kegiatan beragama.16 Etnis Muslim Champa merasakan penindasan yang hebat. Mereka dilarang menggunakan atribut religius seperti jilbab dan jenggot serta dilarang beribadah, termasuk sholat di masjid atau di rumah. Khmer Merah juga melakukan pembakaran terhadap kitab suci al-Quran, menjadikanya sebagai tisu toilet, melakukan penghancuran terhadap masjid-masjid yang sebagiannya dijadikan sebagai tempat penyimpanan beras.17 Kebrutalan Khmer Merah terhadap etnis Champa membuat banyak orang Champa pada masa itu mengaku sebagai orang Khmer. Jika menolak untuk melakukan hal tersebut maka mereka akan menghadapi pembunuhan yang keji.
34
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Bintar Mupiza
Pemberontakan Khmer Merah mulai melakukan penindasan terhadap etnis Muslim Champa dengan pelarangan penggunaan jilbab bagi wanita Champa, pelarangan ibadah terutama sholat, pemaksaan untuk memakan daging babi, penghancuran rumah ibadah, serta pembunuhan terhadap tokohtokoh agama yang dianggap sebagai pelayan feodal. Penindasan yang berkelanjutan terhadap etnis Muslim Champa kemudian menyebabkan munculnya pemberontakan. Hal ini merupakan aksi pemberontakan pertama yang dilakukan etnis Muslim Champa terhadap pemerintah Kamboja karena perlakuan rezim Khmer Merah sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Pemberontakan tersebut dilakukan pada bulan Oktober dan September (tepat pada bulan Ramadhan) 1975 di desa Svay Khleang. 18 Etnis Muslim Champa di desa ini merasa harus melawan penindasan terhadap kebebasan beribadah yang dilakukan oleh Khmer Merah. Hal ini disampaikan oleh salah satu saksi hidup yang menyaksikan peristiwa pemberontakan ini, Yse Osman. Ia mengaku bahwa pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh aksi pembakaran al-Quran, Masjid, dan penangkapan pemerintah terhadap tokoh-tokoh Muslim.19 Pemberontakan tersebut telah menewaskan ratusan warga etnis Muslim Champa, sementara korban dari pihak Khmer Merah tidaklah terlampau besar karena mereka menggunakan perlengkapan perang lengkap di saat menghadapi Muslim Champa yang hanya menggunakan peralatan tradisional. Genosida dan Populasi Etnis Champa di Kamboja Penindasan terhadap etnis Muslim Champa dilatarbelakangi oleh keinginan Khmer Merah untuk memurnikan etnis Khmer yang telah bercampur dengan etnis lainya, termasuk Champa. Selain itu, etnis Muslim Champa yang religius dianggap tidak selaras dengan misi Khmer Merah yang berideologikan komunis. Oleh karena itu, pembantaian massal terhadap etnis Muslim Champa dianggap sesuatu yang seharusnya terjadi. Dari keseluruhan pembantaian yang dilakukan rezim Khmer Merah, diperkirakan terdapat lebih dari dua juta korban tewas. Dari jumlah korban tewas tersebut, lebih dari 500 ribu berasal dari etnis Muslim Champa.20 Hal tersebut lantas seringkali disebut sebagai genosida tersistematis oleh Khmer Merah terhadap etnis Muslim Champa di Kamboja.
Volume 1, Agustus, 2016
35
Pengaruh Khmer Merah terhadap Muslim Champa
Gambar 1. menunjukkan bagaimana banyaknya kamp pembantaian di daerah yang mayoritas penduduknya adalah etnis Muslim Champa. Dua daerah yang mayoritas penduduknya etnis Muslim Champa, Kampong Cham dan Battambang, teryata menjadi konsentrasi ladang pembantaian tentara Khmer Merah. Tak mengherankan kemudian jika sekitar 500 ribu warga etnis Muslim Champa menjadi korban terbesar dari sekitar dua juta korban jiwa kekejaman tentara Khmer Merah.
Gambar 1. Lokasi Pembantaian oleh Khmer Merah. Sumber: http://i.dailymail.co.uk/i/pix/2015/04/17/article-doc-1s3y66XqmKtbIgHSK2-631_634x716.jpg
36
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Bintar Mupiza
Genosida yang dilakukan Khmer Merah terhadap etnis Muslim Champa tentu berdampak pada jumlah populasi etnis Muslim Champa di Kamboja. Untuk melihat dampaknya, harus didapatkan terlebih dahulu data populasi etnis tersebut sebelum dan sesudah terjadinya pembantaian. Menurut data yang disajikan Phonm Penh Post Online, terdapat sekitar 700.000 Muslim yang hidup sebelum Khmer Merah naik sebagai penguasa di Kamboja.21 Dengan perkiraan sekitar 500.000 etnis Muslim Campha yang dibantai, maka hanya tersisa 200.000 orang yang selamat setelah Khmer Merah turun dari tampuk kekuasaan. Hal serupa dikemukakan oleh Hurst Hannum dalam bukunya yang berjudul “International Law and Cambodian Genocide: The Sounds of Silence: Human Rights Quarterly.” Ia menyatakan bahwa terdapat 700 ribu etnis Muslim Champa yang tinggal di Kamboja. Namun setelah terjadinya pembantaian oleh Khmer Merah, hanya tersisa 200 ribu orang.22 Dengan demikian, naiknya Khmer Merah ke tampuk kekuasaan di Kamboja telah berdampak secara signifikan pada berkurangnya populasi etnis Muslim Champa di sana. Meski demikian, pasca kejatuhan rezim Khmer Merah, kondisi etnis Muslm Champa berangsur-angsur membaik. Mereka telah diterima kembali oleh pemerintah Kamboja. Hal tersebut tentu membuka harapan baru bagi peningkatan kualitas hidup etnis Muslim Champa di Kamboja. Kesimpulan Etnis Champa telah lama mendiami wilayah Kamboja, yakni sejak tanah air mereka dikuasai oleh bangsa Nam hingga masa kini. Etnis Champa selalu menjalin hubungan baik dengan kerajaan atau pemerintahan Khmer. Namun, hubungan harmonis tersebut berubah drastis tatkala Pol Pot beserta sayap militernya, Khmer Merah atau Khmer Rouge, mengambil alih kekuasaan pada tahun 1975 hingga 1979. Selama masa kekuasaanya, Khmer Merah melakukan penindasan terhadap masyarakat beragama di Kamboja. Sebagai etnis yang berkaitan kental dengan nilai Islam, etnis Champa juga tak terlepas dari penindasan tersebut. Penindasan tersebut berupa pelarangan atas penggunaan simbol keagamaan, praktik ibadah, penghancuran rumah ibadah, serta pembunuhan terhadap tokoh-tokoh agama. Hal itu kemudian menyebabkan pembantaian atas etnis Muslim Champa di Kamboja. Dengan adanya aksi pembantaian oleh rezim Khmer Merah tersebut, beberapa orang Champa melakukan pemberontakan pada bulan September dan Oktober tahun 1975. Meski berakhir dengan kekalahan telak di pihak Muslim Champa, namun pemberontakan tersebut telah menandakan Volume 1, Agustus, 2016
37
Pengaruh Khmer Merah terhadap Muslim Champa
adanya pergerakan politik etnis Muslim Champa melawan pemerintahan Kamboja yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Berkuasanya rezim Khmer Merah di Kamboja juga berdampak pada penurunan jumlah orang Champa di Kamboja dengan sangat signifikan. Pada masa sebelum Khmer Merah berkuasa, terdapat sekitar 700 ribu orang Champa yang hidup. Namun, jumlah tersebut berkurang drastits menjadi 200 ribu jiwa ketika Khmer Merah turun dari tampuk kekuasaan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa rezim Khmer Merah di Kamboja telah membawa dua dampak yang cukup besar bagi komunitas etnis Muslim Champa, yakni berupa perubahan orientasi politik perlawanan serta berkurangnya populasi etnis Muslim Champa dengan sangat signifikan. Catatan Akhir 1 Saifullah, Islam di Kamboja :Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Padang: Pustaka Pelajar, 2010), 223-50. 2 “Austro-Asiatic Language Family”, Institute of Linguistic, dilihat 07 Juni 2016, http://www.ling.fju.edu.tw/typology/Austro-Asiatic.htm 3 Saifullah, op.cit., 223-50. 4 Ibid. 5 Frings, K. V. Modern Asian Studies : Rewriting Cambodian History to Adapt it to A New Political Context : The Kampuchean People’s Revolutionary Party’s Historiography (United Kingdom : Cambridge University Press,1997), 807. 6 “Remembering the Fall of Phnom Penh”, The Diplomat, 17 April 2015, dilihat 07 Juni 2016, http://http://thediplomat.com/2015/04/remembering-the-fall-of-phnom-penh/ 7 Valerie Sperling, The Globalization of Accountability (Newyork : Cambridge Press, 2009), 108. 8 “Speaking Out About Genocide : Cambodia”, USF Digital Library, dilihat 07 Juni 2016, http://exhibits.lib.usf.edu/exhibits/show/speakingout1/about/cambodia 9 “Cambodia’s Brutal Khmer Rouge Regime”, BBC News, 4 Agustus 2014, dilihat 07 Juni 2016, http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-10684399 10 Rebecca Joyce. F, Global Issues : Genocide and International Justice ( Newyork : Infobase Publishing, 2009), 87. 11 “ The Question of Genocide And Cambodia’s Muslims”, Al-Jazeera, 19 November 2015, dilihat 08 Juni 2016, http://www.aljazeera.com/news/2015/11/question-genocidecambodia-Muslims-151110072431950.html 12 Alex Alvarez, Government, Citizens and Genocide : A Comparative and Interdisciplinary Approach Indiana : Indiana University Press, 2001), 12. 13 Saifullah, op.cit., 223-50. 14 Ibid. 15 Ibid.
38
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Bintar Mupiza
Ibid. “Cambodia Remembers its Fallen Muslims”, Asia Times, 11 January 2011, dilihat 08 Juni 2016, http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/MA06Ae01.html 18 “ The Question of Genocide And Cambodia’s Muslims”, Al-Jazeera, 19 November 2015, dilihat 08 Juni 2016, http://www.aljazeera.com/news/2015/11/question-genocidecambodia-Muslims-151110072431950.html 19 “Cham Muslim Recounts Desperate Battle Against Khmer Rouge”, Khmer Times, 26 Februari 2016, dilihat 08 Juni 2016, http://www.khmertimeskh.com/news/22023/chamMuslim-recounts-desperate-battle-against-khmer-rouge/ 20 “How many Cham Killed Important Genocide Evidence”, Phnom Penh Post, 10 Maret 2006, dilihat 8 Juni 2016, http://www.phnompenhpost.com/national/how-many-chamkilled-important-genocide-evidence 21 Ibid. 22 Hannum Hurst, International Law and Cambodian Genocide: The Sounds of Silence: Human Rights Quarterly (The Johns Hopkins University Press, 1989), 82-138. 16 17
Daftar Pustaka Alvarez, A. (2001). Governments, Citizens, and Genocide: A Comparative and Interdisciplinary Approach. Indiana: Indiana University Press. Austro-Asiatic Language Family. (n.d.). Diakses 7 Juni 2016, dari http://www.ling.fju.edu.tw/typology/Austro-Asiatic.htm BBC. (4 Agustus 2014). Cambodia's brutal Khmer Rouge regime. Diakses June 07, 2016, dari BBC: http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific10684399 COX, J. (26 Februari 2016). CHAM MUSLIM RECOUNTS DESPERATE BATTLE AGAINST KHMER ROUGE. Diakses 8 Juni 2016, dari http://www.khmertimeskh.com/news/22023/chamMuslim-recounts-desperate-battle-against-khmer-rouge/ Coz, C. L. (19 Nopember 2015). The question of genocide and Cambodia's Muslims. Diakses 8 Juni 2016, dari Al-Jazeera: http://www.aljazeera.com/news/2015/11/question-genocidecambodia-Muslims-151110072431950.html Frey, R. J. (2009). Global Issues : Genocide and International Justice. New York: Infobase Publishing. Frings, K. V. (1997). Rewriting Cambodian History to adapt it to A New Political Context : The Kampuchean People's Revolutionary Party's Historiography (1979-1991). Diakses 7 Juni 2016, dari http://www.jstor.org/stable/312846?seq=1#page_scan_tab_contents
Volume 1, Agustus, 2016
39
Pengaruh Khmer Merah terhadap Muslim Champa
Hannum, H. (1989). International Law and Cambodian Genocide: The Sounds of Silence". Human Rights Quarterly. The Johns Hopkins University Press. Masis, J. (11 Januari 2011). Cambodia remembers its fallen Muslims. Diakses June 08, 2016, dari http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/MA06Ae01.html Ponniah, K. (17 April 2015). Remembering the Fall of Phnom Penh. Diakses 7 Juni 2016, dari thediplomat.com: http://thediplomat.com/2015/04/remembering-the-fall-of-phnompenh/ Saifullah. (2010). Islam di Kamboja. In Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (p. 223). Padang: Pustaka Pelajar. Sperling, V. (2009). Altered States: The Globalization of Accountability. Newyork: Cambridge University Press. ThePhnomPenhPost. (10 Maret 2006). How many Cham killed important genocide evidence. Diakses 7 Juni 2016, dari http://www.phnompenhpost.com/national/how-many-cham-killedimportant-genocide-evidence USFDigitalLibrary. (n.d.). Cambodia. Diakses 7 Juni 2016, dari http://exhibits.lib.usf.edu/exhibits/show/speakingout1/about/camb odia
40
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
RELEVANSI TEORI HUMANITARIAN INTERVENTION DALAM PERSPEKTIF ISLAM Julia Rizky Utami
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: This article explains the relevance of humanitarian intervention theories in Islamic perspective containing analytical writings on ontological, epistemological, and axiological aspects. Todays humanitarian intervention theories are similar to Islamic thought in its humanity aspects. Islam teaches about karomah insaniyah or known as human dignity. The developed humanitarian intervention theories have the same ideas with Islamic values. Islam teaches that intervention is justified by morality principles as well as to guarantee human rights of the citizens in the conflicting state or victims in the disasters. Therefore, the writer assumes that humanitarian intervention theories are relevant to Islamic values. Kata-kata Kunci: intervensi kemanusiaan; perspektif Islam; nilai Islam; Hak Asasi Manusia
Pengantar Konsep humanitarian intervention pada era kontemporer hangat berkembang dalam lingkup diskusi akademisi Barat terutama menyangkut hukum internasional. Dalam pengertian Barat, humanitarian intervention diperkenankan untuk dilakukan jika berkaitan dengan moralitas, jika prinsip non-intervensi berpotensial menimbulkan bencana terhadap manusia, serta jika suatu kekacauan telah sampai pada tahap dimana rezim pemerintahan melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya, genosida, dan kekerasan terhadap kemanusiaan dalam skala yang besar.1 Kekerasan terhadap kemanusiaan jelas tergolong sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip non-intervensi atas kedaulatan negara lain. Secara normatif, intervensi kemanusiaan dimengerti sebagai penggunaan kekuatan yang dilakukan untuk mencegah tragedi kemanusiaan terjadi dalam teritori negara lain tanpa seizin pemerintah negara yang bersangkutan. Namun pada tataran aplikatif, intervensi kemanusiaan tak JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 41-54
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
luput dari berbagai motif yang mendasarinya, termasuk motif pragmatis seperti kepentingan ekonomi. Banyaknya variabel yang berperan dalam suatu konflik di negara tertentu dijadikan pertimbangan dalam proses pelaksanaan intervensi. Menurut pendekatan liberalisme dan realisme, intervensi kemanusiaan tergolong sebagai tindakan yang tidak logis dan merugikan karena upaya tersebut tidak melayani kepentingan negara, baik dari segi kekuasaan militer menurut realisme ataupun kekuasaan ekonomi menurut liberalisme. Jika dianalisis menggunakan perspektif realisme dan liberalisme, maka teori intervensi kemanusiaan sangat kontradiktif dengan kedua pendekatan tersebut. Namun apabila ditelaah dengan pendekatan konstruktivisme, humanitarian intervention dimengerti sebagai sebuah iktikad baik demi melindungi umat manusia dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintahan suatu negara. Dalam aplikasinya, humanitarian intervention akan dianggap sah apabila memenuhi empat kriteria berikut: 1.
2. 3.
4.
Just cause: intervensi militer boleh dilakukan apabila negara sasaran perang itu benar-benar secara nyata berada dalam kondisi bencana kemanusiaan. Just intention: intervensi militer harus dilakukan dengan tujuan yang benar, yaitu untuk menghentikan penderitaan manusia. Just authority: keputusan intervensi militer harus diambil oleh otoritas yang paling berhak, dalam hal ini otoritas tersebut dapat dimengerti sebagai PBB. Last resort: intervensi militer hanya boleh dilakukan jika dan hanya jika seluruh upaya damai sudah dilakukan dan tidak menemui hasil.2
Gagasan konstruktivis dalam hal humanitarian intervention tersebut sangat relevan apabila dikaji menurut perspektif Islam. Jika ditelusuri melalui konteks historis masa penyusunan syariah dan penerapannya oleh umat Islam, dijelaskan bahwa telah terjadi masa pertentangan antara umat Islam dan umat non-muslim dimana tindakan penggunaan kekerasan terhadap mereka dibenarkan. Dengan kata lain, posisi syariah atas apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hak-hak asasi manusia juga dibenarkan oleh Islam dengan adanya bukti kuat dalam konteks historis. Islam memiliki nilai yang menjunjung tinggi harkat martabat dan hakhak manusia yang diatur dalam nilai karomah insaniyah (kehormatan manusia).3 Segala pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia merupakan alasan logis untuk melakukan sejumlah upaya dalam rangka memberikan jaminan tercapainya hak-hak tersebut, termasuk dengan melakukan 42
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
intervensi kemanusiaan untuk menghindari dan mengatasi terjadinya krisis dan tragedi kemanusiaan. Nilai-nilai yang diajarkan Islam sangat menjunjung tinggi prinsip melindungi, mengasihi sesama, dan saling membantu dalam kebaikan. Apabila saudara sesama manusia terlebih sesama ummat Muslim tertimpa musibah yang mengancam kehidupan mereka, maka suatu kewajiban bagi umat Islam lainnya untuk membantu mengatasi kekacauan dan tragedi tersebut. Oleh karena itu, konsep-konsep humanitarian intervention merupakan sesuatu yang mutlak dan sangat dibenarkan pelaksanaannya jika berdasar kepada perspektif Islam. Upaya intervensi kemanusiaan tersebut dilakukan karena adanya pertimbangan moralitas untuk membantu sesama dan memberikan perlindungan HAM. Upaya humanitarian intervention dalam Islam semata-mata dilakukan untuk memberikan manfaat dan bukan untuk tujuan materiil demi memperoleh manfaat. Studi Literatur Dalam buku Aidar Hehin yang berjudul Humanitarian Intervention: An Introduction, disajikan beberapa pengertian tentang intervensi kemanusiaan menurut beberapa akademisi.4 Menurut J.L. Holzgrefe, intervensi kemanusiaan dimengerti sebagai penggunaan ancaman maupun kekerasan oleh negara ataupun sekelompok negara dengan tujuan menghindari ataupun mengakhiri perluasan kekerasan fatal atas hak asasi manusia yang dimiliki individu secara fundamental. Tindakan negara tersebut dilakukan tanpa menunggu persetujuan dari negara tempat berlangsungnya kekerasan terhadap kemanusiaan. Sedangkan menurut Robert O. Keohane, intervensi kemanusiaan diartikan layaknya sebuah ruangan yang penuh dengan filosofi, legal scholars, maupun ilmuwan politik dimana terjadi ledakan tangis dalam keramaian yang akan menarik perhatian seluruh orang yang berada di ruangan itu dalam sekejap.5 Selain itu, gagasan terkait dengan humanitarian intervention juga dapat ditemui dalam Blacks Law Dictionary yang mengatakan bahwa intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu negara walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan dari negara yang bersangkutan. Penjelasan mengenai intervensi kemanusiaan tersebut memiliki empat elemen. Pertama, adanya penggunaan militer sebagai kekuatan pemaksa. Kedua, pada umumnya intervensi tersebut dilakukan Volume 1, Agustus, 2016
43
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
tanpa persetujuan negara target. Ketiga, intervensi yang dimaksudkan adalah untuk melindungi warga negara dari negara target. Keempat, aktor intervensi merupakan negara-negara secara unilateral, kelompok negara, ataupun organisasi internasional seperti PBB. Namun di sisi lain, Anthony Lang secara kontras mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai konsep yang tidak memiliki definisi yang jelas karena definisi yang ada selalu mengandung asumsi yang normatif.6 Intervensi kemanusiaan menjadikan ancaman dan pengerahan militer sebagai fitur utamanya. Intervensi ini berarti ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara dengan mengirimkan pasukan militer ke wilayah atau ruang udara negara berdaulat yang belum melakukan agresi ke negara lain. Intervensi ini bertujuan menanggapi situasi yang sebetulnya tidak mengancam kepentingan strategis negara lain, namun didorong oleh tujuan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan yang secara harfiah dimengerti sebagai tindakan yang didasari oleh moralitas tentu sangat relevan dengan konsep intervensi kemanusiaan dalam pandangan Islam. Hal ini sesuai dengan yang disajikan dalam buku karya Haka pada tahun 1981, Human Rights in Islam, vis a vis Universal Declaration of Human Rights of the United Nations dan buku The Concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic Civilization dimana dinyatakan baik hukum internasional dan hukum Islam memiliki fondasi dan background yang sama dalam melakukan intervensi kemanusiaan, yakni dari aspek moralitas.7 Hukum Islam menyajikan banyak dasar untuk mendukung dan meligitimasi konsep intervensi kemanusiaan baik dari segi aturan legal yang tertulis dalam Al Quran, opini ilmiah, maupun prinsip-prinsip Islam. Baik hukum internasional maupun hukum Islam tak memiliki pertentangan dalam memahami isu fundamental ini. Menurut keduanya, perlindungan terhadap martabat dan kehormatan manusia merupakan suatu kesepakatan yang disepakati seluruh pihak. Aspek Ontologis Humanitarian Intervention Menurut Perspektif Islam Konsep humanitarian intervention dalam paham internasional merupakan paham yang telah dijalankan sejak lama, tepatnya sejak era kekuasaan Britania kuno dan Ottoman Empire.8 Namun konsep ini secara legal baru disahkan pada tahun 1999 ketika Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, membahas konsep ini dalam pidatonya di hadapan anggota PBB.9 Terkait hal tersebut, intervensi kemanusiaan dilegalkan dengan tujuan mengem44
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
bangkan norma internasional dalam melindungi hak masyarakat sipil yang terancam dari upaya genosida maupun upaya pembunuhan lain dalam skala masal. Oleh karena itu, dalam lingkungan internasional, intervensi kemanusiaan perlu dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dan hak asasi manusia bagaikan dua mata koin yang tak terpisahkan. Mereka saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Secara harfiah hak asasi manusia dimaknai sebagai hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Atau dengan kata lain, HAM berarti segenap hak yang melekat pada diri manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan gender, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.10 Hak tersebut bersumber dari pemikiran moral manusia, sehingga untuk melindungi tercapainya hak tersebut diperlukan upaya untuk menjaga harkat dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. Dalam perkembangannya, HAM telah menjadi sebuah konsep hukum tertulis yang ditetapkan melalui sejumlah konferensi internasional seperti Magna Charta tahun 1215 di Inggris, Bill of Rights tahun 1689 di Amerika Serikat, Declaration of Independence tahun 1776, African Charter on Human and People Rights, dan Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 yang ditetapkan oleh PBB.11 Dalam dokumen tersebut diakui bahwa manusia adalah individu yang menyandang status sebagai subjek hukum internasional di samping negara. Penegasan ini kemudian dikuatkan dengan lahirnya Deklarasi Wina 1993 yang menyatakan setiap negara berkomitmen dan mengakui bahwa perlindungan hak asasi manusia itu bersifat universal, tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan (interdependence), dan saling terkait (interrelated). Dengan demikian, apabila ada pelanggaran HAM di suatu tempat, maka hal tersebut akan menjadi perhatian dan tanggung jawab komunitas internasional. Hal tersebut kemudian menjadi landasan legal bagi setiap negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan dalam lingkungan Internasional. Intervensi kemanusiaan dibenarkan menurut hukum internasional dan piagam PBB Bab VII yang menyatakan bahwa dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM berat di suatu negara atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan interasional. Dalam situasi seperti ini, negara yang bersangkutan akan dibatasi kedaulatannya apabila
Volume 1, Agustus, 2016
45
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
negara tersebut tidak bisa melindungi hak asasi manusia warga negaranya, atau dengan sengaja melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dasar ontologis dilakukannya intervensi kemanusiaan menurut perspektif Islam hadir sebagai penyempurna konsep dalam term internasional dan juga didukung oleh alasan lainnya. Pendekatan Islam memandang intervensi kemanusiaan sebagai upaya signifikan yang dibutuhkan dan didorong oleh banyak faktor.12 Salah satunya adalah dari level teori, dimana konsep intervensi kemanusiaan yang dimengerti oleh norma internasional sangat jauh dari konsep elaborasi mutlak yang dapat diterima secara universal. Konsep tersebut bahkan jauh lebih problematis pada negara-negara Dunia Ketiga dimana segala bentuk intervensi ditolak karena adanya imperialisme oleh pihak Barat. Oleh sebab itu, dari segi teori, dibutuhkan gagasan perspektif Islam untuk melengkapi konsep intervensi kemanusiaan. Karena konsep Islam notabene dapat melakukan penyempurnaan atas ketimpangan konsep intervensi kemanusiaan yang dimengerti oleh masyarakat internasional dimana pertimbangan dilakukannya intervensi masih dilandasi oleh kepentingan-kepentingan para aktor yang terlibat. Konsep Islam sangat dibutuhkan sebagai katalis atau penyeimbang kepentingan tersebut, karena motif dilakukannya intervensi kemanusiaan dalam perspektif Islam adalah murni untuk menjamin terlindunginya hak asasi manusia sehingga tragedi kemanusiaan dapat dihindari, bahkan diatasi. Kajian dari perspektif Islam juga sangat vital karena selama periode pengembangannya, prinsip intervensi kemanusiaan dilandaskan sebagai suatu hal yang bersifat universal dan merupakan konsensus lintas budaya dari hak asasi manusia secara fundamental dimana faktor tersebut kemudian menjadi legitimasi untuk mendorong terlaksananya intervensi. Alasan kedua perlunya intervensi kemanusiaan yang dikaji oleh perspektif Islam adalah terkait dengan level praktis. Hal tersebut disebabkan karena dewasa ini sebagian besar krisis internasional yang terjadi dan membutuhkan perhatian serius, melibatkan populasi Muslim dalam jumlah yang signifikan.13 Dalam dua tahun terakhir, PBB dan agensinya sudah melakukan sejumlah upaya untuk menginisiasi penanganan masalah kemanusiaan yang melibatkan kaum Kurdi Irak, Bosnia, maupun Somalia. Kasus tadi hanya beberapa contoh dari sekian banyak kasus krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian. Oleh karena itu, dibutuhkan pembentukan suatu institusi dalam setiap kawasan yang berkewajiban untuk menghindari resiko dan bahkan menangani terjadinya kasus krisis kemanusiaan tersebut. Dalam Al Quran, 46
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
pembentukan organisasi politik merupakan hal yang didasarkan pada konsep ontologi dasar setiap manusia. Seluruh ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala dideskripsikan sebagai keseluruhan satuan dengan asal yang sama, tujuan yang sama, dan akhir yang sama, yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta. Konsep ini dikenal dengan ummatan wahidah (kesatuan ummat) dimana sejak masa primordial, manusia memang berkelompok-kelompok berdasarkan kepercayaannya. Aspek Epistemologi Humanitarian Intervention Menurut Perspektif Islam Jika dikaji dalam konteks lingkungan internasional, intervensi kemanusiaan secara epistemologi akan dilakukan dengan melibatkan kekuatan militer jika negara yang bersangkutan tidak lagi sanggup melindungi hak asasi manusia warga negaranya. Sedangkan berdasarkan perspektif Islam, konsep intervensi kemanusiaan dari segi epistemologi merupakan sebuah instrumen untuk menangani, mengatasi, dan mengakhiri penderitaan manusia sehingga harus dibentuk institusi regional untuk melakukan fungsi tersebut secara menyeluruh demi memberikan jaminan keamanan dan perlindungan atas hak asasi manusia.14 Kebutuhan akan organisasi Islam yang menangani kasus kemanusiaan ini penting untuk ditegaskan karena pelanggaran terhadap nilai moral sebuah nation state tidak menjadi alasan berakhirnya sebuah komunitas politik secara partikular yang merupakan bagian dari konsep kesatuan umat menurut Islam. Al Quran dalam Surat Al Hujurat ayat 13 menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala secara berkelompokkelompok menjadi sebuah bangsa ataupun suku agar individu tersebut dapat saling mengenal satu sama lain. Berdasarkan pernyataan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ayat tersebut, pengelompokkan tersebut jangan dianggap sebagai identitas kelompok belaka, melainkan alat referensi untuk memfasilitasi interaksi antar manusia yang tidak didasarkan atas rasisme ataupun chauvinisme. Konsep intervensi kemanusiaan yang didasarkan pada prinsip kesatuan umat ini kemungkinan besar akan menimbulkan distorsi dalam pandangan kelompok Islam radikal dimana mereka tidak menolak penggunaan kekerasan dalam pengaplikasian intervensi kemanusiaan. Sebagian dari kelompok Islam radikal bahkan menjustifikasi strategi mereka berdasarkan legitimasi agama untuk menolak dan melawan tirani pemerintahan sebuah rezim dengan menggunakan kekerasan. Dalam
Volume 1, Agustus, 2016
47
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
aplikasinya, intervensi kemanusiaan dalam lingkungan internasional dimengerti sebagai penggunaan kekerasan. Namun dalam Islam, intervensi yang dimaksud cenderung berbeda secara aplikatif. Kekerasan digunakan sebagai final means karena untuk mengatasi krisis kemanusiaan tidak perlu menimbulkan pertumpahan darah dengan menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu, intervensi kemanusiaan dilakukan dengan alasan dan melalui instrumen yang mengedepankan moralitas. Hal ini sesuai dengan Al Quran Surat Al Haj ayat 39 yang berbunyi, “Untuk mereka yang melawan kaum yang menciptakan perang, maka diizinkan bagi mereka melawan karena umat tersebut bersalah, dan hanya Allah lah yang Maha Memberi Bantuan”. Kekerasan dilakukan apabila itu merupakan jalan terakhir untuk mengatasi sebuah krisis kemanusiaan.15 Menurut perspektif Islam, pelaksanaan intervensi kemanusiaan sebaiknya dilakukan dengan berpacu pada prinsip kesatuan umat tersebut karena komunitas bersama umat Islam berpegang teguh pada Al Quran dengan mengedepankan prinsip moralitas selama hal itu membawa manfaat bagi sesama dan tidak menimbulkan mudharat. Perintah untuk bertindak adil dan menegakkan keadilan adalah kewajiban kolektif yang harus dilakukan dan ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kelas tertentu ataupun kelompok tertentu dalam masyarakat. Keadilan yang harus ditegakkan oleh umat Muslim dalam hal ini terdiri dari prinsip universal aplikatif yang berasal dari Sang Pencipta dan diinvestasikan oleh manusia melalui rasa naluriahnya sebagai manusia yang berperikemanusiaan, tidak melalui afiliasi dalam bentuk kelompokkelompok tertentu yang didasarkan atas ras, etnis, maupun nasionalitas. Dalam konteks inilah keadilan dalam teori Islam mengelaborasikan konsep jihad. Sehingga, etika dalam melakukan intervensi kemanusiaan menurut Islam dinilai sebagai bentuk umum dari upaya jihad.16 Dalam menganalisis sisi epistemologi intervensi kemanusiaan berdasarkan perspektif Islam, penting untuk melakukan kategorisasi berdasarkan ruang lingkup. Pertama, intervensi dilakukan atas nama umat Muslim yang menghadapi penindasan oleh umat non-muslim yang merupakan mayoritas penduduk di suatu negara atau yang mengontrol penggunaan kekerasan di suatu negara. Al Quran menyarankan dua langkah tindakan. Yang pertama, seperti dinukil dalam Surat An Nisa ayat 97, yakni dengan melakukan hijrah atau memindahkan ummat Muslim yang tertindas di negara tersebut ke wilayah negara lain yang lebih aman. Yang kedua, seperti dinukil dalam Surat An Nisa ayat 75, adalah berupa respon kolektif komunitas Muslim dalam rangka mendukung, membantu 48
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
dan memenuhi permintaan atau kebutuhan ummat yang tertindas. Dalam mendeskripsikan komunitas yang tertindas tersebut, Al Quran menggunakan terminologi mustad’afin.17 Apabila umat yang tertindas tersebut memungkinkan untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman, maka pilihan itu merupakan pilihan terbaik yang harus segera dilakukan terutama oleh komunitas Muslim. Dalam Al Quran ditegaskan bahwa intervensi kemanusiaan harus segera dilakukan terutama setelah komunitas Muslim mengetahui bahwa krisis kemanusiaan telah terjadi. Umat Muslim tak boleh membiarkan problem kemanusiaan terjadi berlarut-larut dan menimpa saudara mereka sesama Muslim. Hal ini berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 91 yang mengatakan bahwa penganiayaan lebih kejam daripada pembunuhan. Ruang lingkup kedua yakni dimana konflik yang terjadi melibatkan sesama Muslim. Dalam menangani suatu kasus dengan menggunakan intervensi kemanusiaan, Al Quran menyarankan beberapa langkah. Yang pertama, dengan menggunakan intervensi tanpa kekerasan. Apabila dua golongan umat Muslim terlibat perselisihan, maka ciptakanlah perdamaian di antara mereka, namun jika salah satu dari mereka melampaui batas terhadap pihak lainnya kemudian melawan kalian semua bersama-sama, maka lawanlah pihak yang melampaui batas sampai dia kembali ke jalan Allah. Namun jika mereka tak melampaui batas, maka damaikanlah mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil.18 Pernyataan tersebut menegaskan penggunaan intervensi tanpa kekerasan untuk merekonsiliasi konflik yang melibatkan sesama Muslim. Dengan melakukan intervensi secara preventif, perselisihan diharapkan dapat berakhir tanpa memicu permusuhan. Yang kedua, dengan melakukan intervensi bersama atas nama pihak yang bertikai. Ayat dalam Al Quran mempertahankan netralitasnya secara vis a vis terhadap dua pihak yang bertikai.19 Nantinya pihak yang akan dilawan secara kolektif melalui intervensi adalah pihak yang menggunakan cara-cara yang tidak dapat diterima untuk mencapai tujuannya. Contoh nyata hal ini adalah koalisi negara-negara Muslim bergabung dengan Amerika Serikat dalam menghadapi Irak selama Perang Teluk karena tindakan Irak yang jika dikaji menggunakan Al Quran tergolong sebagai upaya menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk mencapai tujuannya dalam konfliknya dengan Kuwait. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan strategi yang kedua ini, Al Quran menjelaskan bahwa intervensi kolektif dilakukan dengan mempertimbangkan cara-cara pihak yang terlibat untuk mencapai tujuannya.
Volume 1, Agustus, 2016
49
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
Dalam perkembangannya di era kontemporer saat ini, ummat Islam tidak memiliki institusi yang dapat diandalkan untuk menjalankan resolusi internasional dalam hal upaya intervensi secara kolektif. Komunitas Muslim memang beberapa telah terbentuk seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang terbentuk sejak 1972 dengan fokus tujuannya tindakan okupasi Israel di Yerusalem sejak 1967. Namun upaya-upaya dan dokumen tertulis yang dibentuk oleh komunitas ini untuk menanggulangi krisis itu hingga saat ini belum memperoleh hasil yang berarti. Hingga saat ini, belum ada upaya untuk melembagakan mekanisme keamanan bersama untuk melakukan pengamanan terhadap hak asasi manusia terhadap masyarakat Muslim. Kekurangan ini membuat segala upaya intervensi kemanusiaan yang dilakukan dalam dunia Muslim tak kunjung dilakukan tanpa bantuan dari pihak Barat yang notabene memiliki kepentingannya sendiri dalam melakukan intervensi. Organisasi Kerjasama Islam tak bisa diharapkan untuk memainkan perang penting dalam mengimplementasikan prinsip intervensi kemanusiaan di negara Muslim. Untuk mengatasi hal ini, OKI harus melakukan beberapa upaya dengan memainkan peran pendukung dalam upaya intervensi kemanusiaan yang diorganisir organisasi dunia seperti PBB. Dalam jangka panjang, OKI perlu memperjelas posisinya dan posisi pemikiran Islam dalam sistem internasional. Hal ini merupakan satu langkah penting untuk mencapai tujuan demi menyelenggarakan dan membentuk komisi internasional hukum Islam dan memfasilitasi adanya diskusi terbuka serta sistemik dimana posisi teori Islam dalam sistem internasional kontemporer dapat diamankan. Aspek Aksiologis Humanitarian Intervention Menurut Perspektif Islam Upaya intervensi kemanusiaan tak lain ditujukan untuk alasan kemanusiaan. Tujuan segala hukum, baik internasional maupun nasional, pada akhirnya berujung pada perlindungan dan jaminan HAM bagi setiap individu. Dengan dilakukannya intervensi kemanusiaan, krisis kemanusiaan dapat segera teratasi sehingga jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dapat diberikan dengan segera pada umat yang tertindas. Terkait dengan hal itu, berdasarkan perspektif Islam, upaya intervensi kemanusiaan juga bermanfaat untuk menghindari permusuhan.20 Intervensi kemanusiaan yang dilakukan tanpa menggunakan kekerasan dapat menghindari terciptanya permusuhan dan menghindari memburuknya situasi konflik yang telah ada. Dalam Al Quran ditegaskan bahwa upaya 50
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
intervensi kemanusiaan secara kolektif dilakukan untuk menghentikan permusuhan, bukan untuk mengeliminasi satu pihak dari pihak lainnya yang bersengketa. Manfaat lainnya yang dapat diperoleh dari pengkajian teori intervensi kemanusiaan dengan menggunakan perspektif Islam ini adalah terlengkapinya gagasan penting asumsi Barat yang masih mengalami ketimpangan. Konsep intervensi menurut Barat semata-mata digunakan untuk mencapai kepentingan. Instrumen yang digunakan pun terbatas dengan menggunakan kekerasan. Namun konsep Islam muncul melengkapi ketimpangan tersebut dan dapat berperan besar untuk mengembalikan upaya intervensi kemanusiaan ke tujuan awalnya, yakni memberikan perlindungan HAM terhadap individu yang mengalami penindasan. Instrumen yang digunakan dalam perspektif Islam pun tidak hanya pada penggunaan kekerasan. Cara-cara intervensi preventif lebih dikedepankan. Kekerasan dan segala tindakan represif merupakan cara terakhir yang akan diambil apabila alternatif lain tidak kunjung menemui hasil. Sehubungan dengan itu, muncul manfaat lainnya yang dapat diperoleh, yakni jatuhnya korban jiwa dapat diminimalisir dan hak-hak orang lain yang harus dilindungi dapat terjaga. Konflik sudah tentu akan menimbulkan korban dan kerugian. Untuk mengatasi krisis kemanusiaan, tidak perlu menimbulkan krisis kemanusiaan yang baru dengan menggunakan instrumen kekerasan. Pendekatan Islam dalam hal intervensi kemanusiaan merupakan pendekatan yang sangat menguntungkan dari berbagai sisi terutama aspek kemanusiaan. Karena sejatinya, prinsip dan nilai-nilai Islam mengajarkan untuk menghormati manusia beserta seluruh hak, kewajiban, kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya. Hal ini tertuang dalam Al Quran yang dikenal dengan prinsip karomah insaniyah. Perlindungan terhadap manusia merupakan hal vital dan harus dikedepankan. Dengan adanya intervensi kemanusiaan untuk membantu umat yang tertindas, maka secara tidak langsung umat telah menjalankan prinsip karomah insaniyah. Banyak kasus krisis kemanusiaan terjadi di negara Islam ataupun negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Karenanya, sangat dibutuhkan pengkajian intervensi kemanusiaan berdasarkan perspektif Islam. Kajian tersebut akan memungkinkan masyarakat di negara Dunia Ketiga, termasuk ummat Muslim, untuk mengerti hak dan kewajiban yang melekat dalam konsep intervensi kemanusiaan.
Volume 1, Agustus, 2016
51
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
Kesimpulan Perspektif Islam sangat relevan digunakan untuk mengkaji teori intervensi kemanusiaan terutama jika diselaraskan dengan fenomena dunia internasional kontemporer. Tujuan intervensi kemanusiaan menurut perspektif Islam murni untuk menjamin terlindungi dan terpenuhinya Hak Asasi Manusia sehingga tragedi kemanusiaan dapat dihindari bahkan diatasi. Selain itu, upaya intervensi kemanusiaan juga bermanfaat untuk menghindari permusuhan. Karena pada dasarnya, intervensi kemanusiaan merupakan tindakan non violent yang dapat menghindari terciptanya permusuhan dan menghindari memburuknya situasi konflik yang telah ada. Dalam Al Quran ditegaskan bahwa upaya intervensi kemanusiaan secara kolektif dilakukan untuk menghentikan permusuhan, bukan untuk mengeliminasi satu pihak dari pihak lainnya yang bersengketa. Jika dikaji dari sisi akademis, dapat dianalisis bahwa intervensi kemanusiaan dari sudut pandang Islam merupakan pelengkap bagi gagasan atau asumsi Barat yang masih mengalami ketimpangan. Konsep Islam muncul untuk melengkapi ketimpangan asumsi Barat dan dapat berperan besar untuk mengembalikan upaya intervensi kemanusiaan tersebut ke tujuan awalnya, yakni untuk memberikan perlindungan HAM dengan mengedepankan cara-cara intervensi yang preventif sehingga jatuhnya korban jiwa dapat diminimalisir dan hak-hak orang lain yang harus dilindungi dapat senantiasa terjaga. Catatan Akhir Michael Walzer, “Intervention”, Just and Unjust War (New York:Basic Books,1977) Jenifer Welsh M, Humanitarian Intervention and Internaional Relations (New York:Oxford University Press,2004) 3 Sohail H. Hashmi journal, “Is There an Islamic Ethic of Humanitarian Intervention”. 4 Aidar Hehin, Humanitarian Intervention : An Introduction (China:Palagrave Macmillan, 2010) 5 Robert O Keohane, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas (Cambridge:Cambridge University Press, 2003). 6 A. Cottey, Beyond Humanitarian Intervention: The New Politics of Peacekeeping and Intervention (Contemporary Politics, 2008). 7 Francis Kofi Abiew, The Evolution of the Doctrine and Practice of Humanitarian Intervention (Kluwer Law International, 1999). 8 Brendan Simms, Humanitarian Intervention : A History (Hamburg:Cambridge University Press). 9 Bob Golan, “Tantangan dan Prospek intervensi kemanusiaan saat ini,” Kompasiana, 26 Juni 2015, diakses pada 27 April 2016, 1 2
52
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Julia Rizky Utami
http://hankam.kompasiana.com/2010/10/25/tantangan-dan-prospek-intervensikemanusiaan-saat-ini/ 10 “Disertasi tentang Hipokritas Humanitarian Intervention”, Indonesian IRIB. diakses pada 27 April 2016, http://indonesian.irib.ir/artikel/wacana/item/70076Disertasi_tentang_Hipokritas_Humanitarian_Intervention. 11 Garry Bass J, Freedom’s Battle: The Origins Of Humanitarian Intervention (New York:Alfred A Knopf, 2008). 12 Francis Kofi Abiew, The Evolution of the doctrin and practice of humanitarian intervention (Kluwer Law International, 1993). 13 Sohail H. Hashmi journal, “Is There an Islamic Ethic of Humanitarian Intervention”. 14 Op.cit. 15 Dr. Hasan Ko Nakata journal, “Humanitarian Intervention from sunnite Islamic Perspective”. 16 Francis Kofi Abiew, The Evolution of the Doctrine and Practice of Humanitarian Intervention (Kluwer Law International, 1999). 17 Ibid. 18 “Al Hujurat”, Quran Online, diakses pada 27 April 2016 http//www.quran.com 19 Brian D Lepard, Rethinking Humanitarian Intervention: a fresh legal approach based on fundamental ethical principles in international law and world religion (2010). 20 Brian D Lepard, Rethinking Humanitarian Intervention: a fresh legal approach based on fundamental ethical principles in international law and world religion (2010).
Daftar Pustaka Abiew, Francis Kofi. The Evolution of the Doctrine and Practice of Humanitarian Intervention. Kluwer Law International, 1999. A, Cottey. Beyond Humanitarian Intervention: The New Politics of Peacekeeping and Intervention. Contemporary Politics, 2008. Bass J, Garry. Freedom’s Battle: The Origins Of Humanitarian Intervention. New York: Alfred A Knopf, 2008. Golan, Bob. “Tantangan dan Prospek intervensi kemanusiaan saat ini,” Kompasiana, 26 Juni 2015, diakses pada 27 April 2016, http://hankam.kompasiana.com/2010/10/25/tantangan-danprospek-intervensi-kemanusiaan-saat-ini/ Hashmi, Sohail H. “Is There an Islamic Ethic of Humanitarian Intervention”. Hehin, Aidar.“HumanitarianIntervention: An Introduction.” China: Palagrave Macmillan, 2010. Indonesian IRIB. “Disertasi tentang Hipokritas Humanitarian Intervention”, Indonesian IRIB. diakses pada 27 April 2016, http://indonesian.irib.ir/artikel/wacana/item/70076Disertasi_tentang_Hipokritas_Humanitarian_Intervention. Volume 1, Agustus, 2016
53
Relevansi Humanitarian Intervention dalam Perspektif Islam
Keohane, Robert O. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Cambridge:Cambridge University Press, 2003. Ko Nakata, Dr. Hasan. “Humanitarian Intervention from sunnite Islamic Perspective”. Lepard, Brian D. Rethinking Humanitarian Intervention: a fresh legal approach based on fundamental ethical principles in international law and world religion. 2010. Quran Online. “Al Hujurat”. diakses pada 27 April 2016 http//www.quran.com Simms, Brendan. Humanitarian Intervention : A History. Hamburg: Cambridge University Press. Welsh M, Jenifer. Humanitarian Intervention and Internaional Relations. New York: Oxford University Press, 2004. Walzer, Michael.“Intervention”, Just and Unjust War. New York:Basic Books, 1977.
54
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
SHARK FINNING SEBAGAI ISU GLOBAL PENYEBAB KEPUNAHAN HIU DI DUNIA Tika Dian Pratiwi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: This article explores about the shark finning, a an activity of shark hunting in order to remove and retent its fins for commercial purpose. Rumor has spead that shark fin is good for healthy. Meanwhile, based on researchs and experts, the shark actually contains high methyl mercury that is dangerous for humans. The echo-sounding is the activity of shark finning, believed for sustaining the economy of the fishermen. This is not entirely true since the fishermen still have sufficient income without doing shark finning. This article explains that taking advantage from the shark conservation is a good alternative for the livelihood of fishermen and also for the survival of sharks. Shark population has declined even closer to the extinction due to shark finning. Shark extinction would damage the marine eco-system since the sharks are giving many benefits for the marine eco-system due to its position as the top predators in the marine food chain. The government issued various policies to support the global fight against shark finning. Non-governmental organizations are also advocating the same mission, to protect sharks from extinction. However, the number of regulations and sharks safeguarding activities will not be effective without good cooperation with the fishermen or those who are hunting sharks irresponsibly. Kata-kata Kunci: kepemerintahan global; perburuan hiu; kepunahan hiu; suaka hiu
Pengantar Laju perburuan hiu dari waktu ke waktu tidak dapat dihentikan sehingga menjadikannya sebagai isu yang sangat serius dan menjadi perhatian tidak hanya bagi Indonesia, melainkan seluruh dunia. Berbagai kasus terkait shark finning terus bermunculan di beberapa negara, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu alasan dari sekian banyak faktor perburuan hiu masih terus terjadi adalah faktor ekonomi. Nelayan-nelayan JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 55-73
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
yang sering memburu hiu menjadikan hewan ini sebagai tangkapan yang menggiurkan. Sayangnya, hal ini mengesampingkan kesadaran akan populasi hiu yang semakin merosot akibat perburuan yang dilakukan para nelayan. Saat ini, ketika masih ada hiu yang dapat diburu terus menerus, para nelayan ataupun pemburu tetap tidak melihat dampak buruknya bagi kelangsungan ekosistem laut. Akan tetapi, sekian waktu yang akan datang, warga dunia akan merasakan dampak dari punahnya hiu. Bukan hanya karena kita tidak lagi bisa melihat hiu di laut, melainkan punahnya hiu juga akan berdampak buruk bagi kesehatan lingkungan, khususnya bagi kesehatan dan kebersihan laut.
Shark Finning Shark finning adalah aktivitas perburuan dan penangkapan hiu di laut lepas oleh para nelayan. Setelah diburu, hiu-hiu tersebut hanya dipotong dan diambil organ siripnya saja, sementara bagian tubuh lainnya (95%) secara utuh dibuang kembali ke laut. Praktek keji ini dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya dari sekitar 26 hingga 73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia. Ini berarti sekitar satu hingga dua hiu tertangkap setiap detiknya. Hal ini tentu sangat memprihatinkan mengingat hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebih.1 Pada awalnya, kegiatan menangkap hiu hanya merupakan tangkapan sampingan (by fishing), hiu yang tidak sengaja tersangkut di jaring nelayan dijadikan hasil produksi dan dagingnya dikonsumsi sebagai hasil tangkapan laut. Semenjak permintaan akan sirip hiu meningkat, kegiatan ini bukan hanya merupakan tangkapan sampingan lagi, tetapi menjadi tangkapan utama dimana para nelayan membantai hiu dengan tujuan mengambil siripnya saja lalu sisa tubuhnya yang masih hidup dibuang kembali ke laut tanpa harapan hidup. Sirip Hiu Berbahaya bagi Kesehatan Tubuh Aktivitas shark finning ini terus merajalela untuk memenuhi konsumsi sup sirip hiu yang cukup tinggi seperti di negara Cina dan beberapa negara lainnya. Di negara tersebut, sup sirip hiu merupakan lambang kemewahan dan dianggap memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan terutama daya tahan tubuh dan merupakan bahan utama dari Chinese Shark Fin Soup (Hisit). Dari seluruh organ tubuh hiu, bagian sirip selalu menjadi incaran para nelayan karena harganya yang sangat mahal dan dianggap 56
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
mengandung khasiat yang baik untuk tubuh, meskipun menurut para ahli biologi sirip hiu tidak memiliki khasiat seperti yang digembar-gemborkan. Pada kenyataannya, hiu justru termasuk jenis ikan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Ikan pemakan daging atau karnivora ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi karena banyak mengandung logam berat metil merkuri yang berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Dampak buruk dari masuknya metil merkuri ke dalam tubuh dapat mengganggu kesehatan reproduksi dan menimbulkan kerusakan saraf serta otak. Hal ini telah ditegaskan oleh Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Berdasarkan sejumlah penelitian terhadap hiu, ditemukan fakta bahwa hiu mengandung kadar merkuri dan logam berat yang tinggi. Bahkan, pada beberapa jenis hiu, kandungan merkurinya sangat tinggi atau di atas ambang normal.2 Wild Aid, sebuah organisasi peduli lingkungan di California Amerika Serikat, telah melakukan penelitian terhadap sirip hiu. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa orang yang sering mengonsumsi sirip hiu sangat beresiko tinggi mengalami keracunan logam berat metil merkuri. Menurut EPA (Environmental Protection Agency), sebuah lembaga perlindungan lingkungan di Amerika, dalam 1 kilogram daging hiu terkandung sekitar 1.400 mikrogram merkuri. Sementara batasan konsumsi merkuri yang masih diperbolehkan dan tergolong aman bagi tubuh kita hanyalah sebesar 0.1 mikrogram per kilogram berat badan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki berat badan 70 kilogram, batasan kadar merkuri yang masih dianggap aman baginya adalah sebesar 7 mikrogram. Tentu sangat membahayakan kesehatan jika kadar merkuri yang masuk ke tubuh manusia melebihi batas normal yang ditoleransi oleh tubuh.3 Beberapa Kasus Shark Finning Shark Finning atau perburuan hiu dengan hanya mengambil bagian siripnya sebenarnya terjadi di beberapa negara di dunia. Namun pada bagian ini, berdasarkan data yang penulis peroleh, akan dipaparkan tiga negara yang melakukan perburuan hiu, yakni Taiwan, Indonesia dan Cina. a. Shark Finning di Taiwan Salah satu kasus terkait perburuan hiu pernah terjadi di Taiwan. Pada Februari 2016 lalu di pinggir pantai dekat Kota Hsinchu Taiwan, puluhan bayi hiu ditemukan mati mengenaskan dalam keadaan tanpa sirip. Bayi-bayi hiu tersebut tidak memiliki luka lain selain sayatan pada bagian siripnya. Volume 1, Agustus, 2016
57
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
Kejadian ini menyulut amarah masyarakat Taiwan karena perburuan hiu menyebabkan populasi hewan tersebut menurun drastis. Meski sudah sejak 2012 lalu pemerintah Taiwan secara resmi melarang perburuan hiu untuk diambil siripnya, namun aktivitas ilegal tersebut masih terjadi dan sulit dihentikan.4 Menanggapi berbagai aktivitas perburuan hiu di Taiwan, pemerintah Taiwan setempat melarang nelayan untuk melempar bangkai hiu kembali ke laut setelah mengiris siripnya. Berbagai upaya atau langkah-langkah dari pemerintahan Taiwan yang melarang pemburuan sirip hiu selalu gagal karena nelayan tetap melakukan perburuan hiu. Dalam rancangan Undangundang Taiwan, setiap nelayan yang melanggar akan didenda, nelayan dilarang meninggalkan pelabuhan, tangkapan nelayan disita, bahkan lisensi memancingnya dicabut. Hal ini juga tergantung pada tingkat keseriusan pelanggaran yang dilakukan. Berdasarkan data dari Masyarakat Lingkungan dan Hewan Taiwan (EAST), diperkirakan empat juta hiu dibantai setiap tahun di Taiwan. Kelompok lingkungan hidup ini memperkirakan bahwa hingga 73 juta hiu dibunuh setiap tahunnya di seluruh dunia untuk diambil siripnya. Ini menyebabkan penurunan spesies hiu hingga 90 persen dan bisa mengancam kepunahan predator tersebut.5 b. Shark Finning di Indonesia Perburuan sirip hiu lainnya juga terjadi di Indonesia. Pada awal tahun 2016, pihak Bea Cukai (BC) Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan sirip hiu dan ubur-ubur yang semula akan dikirim dari Surabaya ke Hong Kong. Terdapat empat unit kontainer berisi 20.814 kilogram sirip hiu martil dan 93.412 kilogram ubur-ubur. Pada mulanya, kontainer-kontainer tersebut dilaporkan berisi jerohan (perut ikan) beku sebanyak 389 karton seberat 19.123 kilogram. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Bali, sirip-sirip hiu yang akan diselundupkan tersebut adalah sirip hiu martil dan hiu biru (blue shark) yang merupakan jenis hiu yang dilindungi. Menjelang perayaan Imlek, permintaan sirip hiu memang semakin meningkat dan Indonesia adalah salah satu negara pemasok sirip hiu terbesar di dunia.6 Indonesia adalah salah satu negara penangkap hiu terbesar di dunia saat ini. Hal ini tertera dalam laporan yang disampaikan TRAFFIC, lembaga pemantau perdagangan satwa liar dunia. Selain Indonesia, India juga menjadi negara terbesar pembunuh hiu secara gobal. Kedua negara ini menyumbangkan lebih dari seperlima kebutuhan daging dan sirip hiu untuk 58
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
kebutuhan ekspor. Meski kedua negara ini menduduki posisi teratas, namun Indonesia adalah negara terbesar pemasok sirip hiu dan perburuan hiu di Indonesia sudah dalam titik kritis. Pada tahun 2013 lalu, di sebuah pasar di Pontianak tersaji sirip-sirip bayi hiu. Hal ini merupakan pertanda bahwa hiu dewasa sudah mulai langka.7 Perburuan hiu di Indonesia telah menyebar ke beberapa wilayah, seperti di Jawa yang meliputi Muncar Banyuwangi dan Blitar bahkan telah masuk ke kawasan konservasi di Raja Ampat Papua setelah ditemukan bangkai hiu tergeletak tanpa sirip di dasar laut pada akhir Desember 2015 lalu. Perairan Indonesia Timur juga terhitung sebagai daerah penyumbang perdagangan hiu terbanyak di Indonesia bersama paus, penyu, dan pari manta. Pola penjualannya, sirip hiu dari Indonesia Timur akan dikirim ke Jawa sebelum di ekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, Cina, dan Taiwan. Lembaga konservasi hutan dan satwa Protection of Forest and Fauna (ProFauna) menginformasikan bahwa angka perburuan hiu di Indonesia mencapai jumlah 10 juta ekor dalam satu tahun.8 c. Shark Finning di Cina Kelompok konservasi lingkungan di Hong Kong, Wild Life Risk menemukan sebuah pabrik di Cina Selatan yang mengolah sekitar 600 ekor hiu setiap tahunnya. Aktivitas yang dilakukan pabrik tersebut dianggap sebagai penjagalan terbesar atas spesies yang terancam punah di dunia. Pabrik tersebut mengolah hiu paus atau cucut geger lintang di kota Pu Qi di provinsi Zhejiang Cina. Kelompok Wild Life Risk sebelumnya telah memantau kegiatan pabrik tersebut selama empat tahun sebelum akhirnya melakukan penggeledahan.9 Dari pabrik inilah ratusan hiu paus disembelih dan diolah, sebagian besar untuk diambil minyaknya. Minyak hiu biasanya dikonsumsi sebagai suplemen bagi kesehatan. Berdasarkan rekaman video yang diambil secara diam-diam oleh organisasi konservasi ini, menunjukkan bagaimana para pekerja memotong sirip belakang hiu paus totol dan spesies paus lainnya. Sebagian besar minyak hiu paus tersebut diolah menjadi kosmetik seperti lipstik, krim wajah, dan suplemen kesehatan. Sedangkan sirip hiu diolah menjadi sup. Pabrik yang terletak di Cina tersebut juga membunuh spesies lain dari hiu, termasuk hiu biru dan hiu penjemur. Dari hasil olahannya, pabrik tersebut menghasilkan 200 ton minyak hiu per tahun. Pemilik pabrik tersebut, yang hanya diidentifikasi bernama Li, mengakui bahwa kulit ikan hiu tidak hanya dijual ke berbagai restoran yang ada di Cina,
Volume 1, Agustus, 2016
59
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
tetapi juga diselundupkan ke negara-negara Eropa, seperti Italia dan Perancis.10 Regulasi Terkait Shark Finning a. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Tidak hanya Indonesia yang dikenal sebagai negara pemburu hiu terbesar di Indonesia, terdapat 19 negara lainnya yang juga tercatat sebagai pembunuh hiu terbesar di dunia, yaitu India, Spanyol, Taiwan, Argentina, Meksiko, Amerika Serikat, Malaysia, Pakistan, Brasil, Jepang, Prancis, Selandia Baru, Thailand, Portugal, Nigeria, Iran, Sri Lanka, Korea Selatan, dan Yaman. Upaya pemerintah global untuk melindungi hiu adalah dengan menetapkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang merupakan suatu pakta perjanjian dan disusun pada suatu konferensi diplomatik di Washington DC pada tanggal 3 Maret 1975. Konferensi yang dihadiri 88 negara tersebut juga disebut sebagai Washington Convention. CITES merupakan tanggapan terhadap Rekomendasi No. 99.3 yang dikeluarkan pada saat Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. CITES ditandatangani oleh 21 negara dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975. Sekretariat CITES berada di Swiss. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Saat ini jumlah negara anggota CITES berjumlah 175 negara. Indonesia masuk menjadi anggota CITES yang ke-48 pada tanggal 28 Desember 1978. Negara yang baru bergabung dengan CITES adalah Bosnia dan Herzegovina yang menjadi anggota CITES ke 175 pada 21 Januari 2009.11 CITES merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global yang fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar dari perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Misi dan tujuan konvensi ini adalah melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam punah. Ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu: 1.
60
Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia.
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
2. 3. 4.
Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi. Semakin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari eksploitasi yang berlebihan melalui kontrol perdagangan internasional. 12
Pertemuan anggota-anggota CITES pada Maret 2014 di Bangkok, Thailand, mengumumkan bahwa terdapat 12 spesies hiu yang dilindungi. Regulasi ini diterapkan mulai September 2014. Hiu dimasukkan dalam daftar Appendix 1, 2, dan 3, yang secara garis besar berisi larangan memperdagangkan suatu spesies karena terancam punah. Berikut adalah isi dari ketiga Appendix tersebut: 1. 2. 3.
Secara umum hiu dilarang diperdagangkan karena terancam punah. Mengatur pengelolaan spesies yang menuju ancaman punah melalui aturan perdagangan yang ketat. Mengatur perlindungan spesies setidaknya di satu negara anggota CITES. 13
Berdasarkan regulasi CITES terdapat beberapa jenis hiu yang dilindungi berdasarkan kategori Appendix, yaitu jenis Pristidae spp (Sawfishes) dalam Appendix 1; Pristidae microdon (sawfish), Cetorhinus maximus (basking shark), Carcharodon carcharias (Great White Shark), dan Rhincodon typus (Whale Shark) dalam Appendix 2; Sphyrna lewini (Scalloped Hammerhead) di Kosta Rika, dan Lamna nasus (porbeagle) (di beberapa negara Eropa) dalam Appendix 3. Sejauh ini, di dunia terdapat 73 jenis hiu yang dilindungi. Dua di antaranya berhabitat di Indonesia, yakni hiu martil dan hiu koboi. Uniknya, Indonesia juga merupakan habitat bagi empat jenis hiu yang tercantum dalam daftar Appendix 2 CITES yaitu, oceanic whitetip shark dan tiga jenis hammerhead shark, yakni: scalloped hammerhead, smooth hammerhead dan great hammerhead. b. FAO (Food and Agriculture Organization) FAO menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem laut. Bahkan FAO mengeluarkan International Plan of Action (IPOA) untuk melindungi hiu. IPOA juga menjadi mandat bagi negara anggotanya untuk membuat National Plan of Action (NPOA) atau Rencana Kerja Aksi bagi pengelolaan hiu. Indonesia adalah salah satu negara yang telah mendukung NPOA Hiu sejak 2009, akan tetapi masih bersifat himbauan dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Volume 1, Agustus, 2016
61
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
Beberapa negara yang sudah memiliki NPOA adalah Jepang, Argentina, Uruguay, Kanada, Malaysia, Ekuador, Australia, Meksiko, Taiwan, UK, USA, dan New Zaeland. Selain menetapkan aturan untuk melindungi hiu, pada 2013 lalu FAO juga mengeluarkan teknik digital baru yang disebut iSharkFin. Teknologi tersebut dapat membantu melindungi spesies hiu yang terancam punah dan memerangi perdagangan sirip hiu yang ilegal. Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric dalam taklimat harian di Markas Besar PBB, New York mengatakan bahwa perangkat lunak tersebut memungkinkan pengidentifikasian cepat spesies hiu. Alat tersebut diperuntukkan bagi petugas bea cukai dan pemeriksa di pasar ikan serta untuk nelayan yang ingin menghindari penangkapan spesies yang dilindungi. Dengan adanya perangkat lunak tersebut, orang yang tidak mendapatkan pelatihan taksonomik formal mampu mengidentifikasi spesies hiu dengan mengunggah gambar. iSharkFin juga memudahkan penggunanya untuk memilih beberapa poin penting terkait bentuk sirip serta mengidentifikasi beberapa ciri khas dari spesies hiu yang dilindungi.14 Upaya Perlindungan Hiu di Indonesia Pada bagian ini, penulis akan membaginya menjadi dua bagian, yaitu upaya perlindungan hiu yang dilakukan oleh pemerintah dan upaya yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah. a. Upaya Perlindungan Hiu yang Dilakukan Pemerintah 1. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/KEPMENKP/2013 Perlindungan bagi hiu sebagai upaya menghentikan shark finning juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah mengeluarkan penetapan status perlindungan penuh bagi hiu paus (Rhincodon typus) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/KEPMENKP/2013. Keputusan Menteri tersebut merupakan bentuk komitmen KKP untuk mengelola aset bahari nasional melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan. Selanjutnya KKP merancang pola pengelolaan hiu dan pari melalui penyusunan regulasi dan instrumen pendukungnya sebagai upaya konservasi terhadap beberapa jenis hiu dan pari manta yang ada di Indonesia.15
62
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus) dijelaskan bahwa hiu jenis ini dilindungi dan hanya boleh ditangkap untuk keperluan penelitian serta pengembangan. Di dalam Keputusan Menteri ini, juga dijabarkan mengenai deskripsi ikan hiu paus mulai dari klasifikasi, gambar anatomi tubuh, ciriciri morfologi, serta karakteristik biologinya.16 Selain hiu paus, terdapat jenis hiu lainnya yang juga terancam punah, di antaranya pari manta (Manta birostris dan Manta alfredi), hiu martil/Hammerhead (Sphyrna leweni, S. mokarran dan S. zygaena), dan hiu koboy/Oceanic whitetip (Carcharhinus longimanus). Satu spesies lain yang sudah berstatus dilindungi adalah hiu gergaji. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 9 Tahun 2012 Raja Ampat adalah salah satu daerah di Papua yang tidak hanya menjadi destinasi menarik untuk berlibur, tetapi juga sebagai rumah bagi berbagai jenis hiu langka yang dilindungi. Oleh karena itu, pemerintah daerah tersebut memiliki sikap yang serius dalam upaya melindungi populasi hiu. Hal ini tercetus dalam Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 9 Tahun 2012 tentang Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat. Di dalam peraturan daerah tersebut, Pasal 6 menjelaskan mengenai jenis-jenis hiu yang dilindungi serta beberapa jenis ikan lainnya. Penangkapan boleh dilakukan untuk jenis-jenis ikan yang tidak dikategorikan langka. Proses penangkapannya pun harus menggunakan alat yang ramah lingkungan dan harus mengantongi izin bupati. Peran masyarakat juga merupakan elemen penting untuk turut serta menjaga kekayaan laut Raja Ampat. Hal ini dijelaskan pada Bab V. Sedangkan ketentuan pidana dalam peraturan daerah ini berada di Bab VII yang menjelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum yang sengaja melakukan pelanggaran dan mengurangi populasi jenis-jenis ikan tertentu, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50 juta rupiah.17 b. Upaya Perlindungan Hiu yang Dilakukan oleh Non Pemerintah 1. #SaveShark Indonesia Perburuan hiu yang sangat sulit dihentikan membuat berbagai pihak di dunia baik negara maupun organisasi non negara melakukan berbagai Volume 1, Agustus, 2016
63
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
aktivitas kampanye untuk melindungi predator nomor satu di laut tersebut. Salah satu organisasi non negara yang tidak ketinggalan dalam mengkampanyekan perlindungan hiu adalah #SaveShark Indonesia. Pada mulanya, di akhir 2010, Majalah Divemag Indonesia mengamati bahwa dukungan untuk penyelamatan hiu tidak terdengar gaungnya. Sementara itu kesadaran dunia internasional akan pentingnya menyelamatkan hiu dari kepunahan sudah ramai digerakkan. Divemag Indonesia akhirnya menjadi inisiator untuk kampanye yang kini populer dengan nama #SaveSharks Indonesia. Pada 2011, kampanye ini menjadi lebih intens dan melahirkan Itong Hiu sebagai ikon #SaveSharks Indonesia. Fokus kampanye yang dilakukan #SaveSharks Indonesia adalah pada konsumen. Hal ini dilakukan karena minimnya informasi mengenai dampak negatif mengonsumsi hiu untuk kesehatan, hingga perihal nyaris punahnya hiu di dunia. Kampanye #SaveSharks Indonesia dilakukan melalui social media maupun situs http://savesharksindonesia.org.18 Direktur kampanye #Savesharks Indonesia adalah Riyanni Djangkaru dan salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh #SaveShark bekerjasama dengan Greenpeace Indonesia adalah mendukung rumah makan The Grand Ducking serta Duck King Group di Jakarta untuk tidak menyediakan sajian sup sirip hiu dalam sajian kuliner mereka. Dukungan pelaku usaha makanan dan sajian (kuliner) terhadap perlindungan hiu dapat dilakukan dengan tidak menyajikan menu makanan berbahan dasar hiu. Hal ini berperan penting dalam upaya menyelamatkan hiu dari kepunahan. Selain itu, dengan menghentikan penawaran, pengusaha kuliner telah turut membantu menjaga hiu dari kepunahan.19 2. #SOSharks #SOSharks adalah singkatan dari Save Our Sharks, yaitu sebuah kampanye untuk menghentikan penjualan hiu di pasar swalayan, toko online, dan restoran serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa. Aktivitas kampanye ini dipelopori oleh World Wide Fund for NatureIndonesia (WWF Indonesia). Kampanye ini merupakan gerakan terbuka yang mendorong adanya tekanan dari publik (public pressure) melalui dukungan dari masyarakat lewat petisi dan berbagai aksi media online guna membangun wacana publik. Kampanye #SOSharks ini dilakukan dengan tujuan menurunkan perdagangan sirip hiu di Indonesia melalui berbagai cara, seperti menghentikan perdagangan berbagai komoditi/produk hiu pada rantai perdagangan di ritel (toko swalayan, supermarket, dan lain-lain), restoran, 64
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
hotel, online shopping, eksportir, dan lain sebagainya. #SOSharks juga berupaya menghentikan konsumsi berbagai produk dari hiu melalui stasiun televisi nasional serta mendorong promosi pemanfaatan hiu yang berkelanjutan. Melalui kampanye SOShark ini WWF mengajak berbagai pihak untuk mengambil langkah nyata, yaitu mulai menghentikan aktivitas mengonsumsi sirip hiu. Pedagang atau penjual juga diharapkan menghentikan penjualan produk-produk dari hiu dan bagi media massa untuk berhenti mempromosikan kuliner hiu. WWF Indonesia yakin bahwa bisnis yang dilakukan secara ramah lingkungan akan membawa keuntungan bagi keberlangsungan bisnis itu sendiri. Dalam website resmi WWF Indonesia, juga tertera nama-nama public figure yang turut menyukseskan kampanye #SOSharks ini. Tercatat ada 19 nama, beberapa diantaranya adalah William Wongso (Pakar Kuliner), Bondan Winarno (Pakar Kuliner), Olga Lydia (Model dan Presenter) dan Nugie (Musisi dan Aktivis Lingkungan). Selain mengadakan kampanye #SOSharks, WWF Indonesia dalam website resminya juga melampirkan beberapa hal sebagai bentuk perlindungan dan penyelamatan hiu, yaitu: 1.
2. 3.
4.
5.
Melakukan advokasi pelaksanaan National Plan of Action Pengelolaan Hiu yang berkelanjutan melalui pendekatan ekosistem, atau dikenal sebagai EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management-Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem http://eafm-indonesia.net/tentang-eafm.html). Selain itu, WWFIndonesia juga bekerja melalui strategi Kawasan Perlindungan Laut untuk melindungi ekosistem laut, termasuk hiu di dalamnya. WWF-Indonesia melakukan upaya mitigasi tangkapan sampingan (bycatch) hiu di perikanan tuna rawai panjang dengan himbauan untuk tidak menggunakan kawat baja pada tali cabang rawai tuna. Secara global, WWF bersama mitra (akademisi, nelayan, industri, NGO) berupaya mencari solusi modifikasi alat tangkap untuk menghindari bycatch hiu melalui kompetisi Smart Gear (alat tangkap ikan ramah lingkungan - www.smartgear.org). Spesifik untuk Hiu Paus (Whale Shark - Rhincodon typus), WWF melakukan penelitian untuk mengidentifikasi habitat penting yang hasilnya diharapkan bisa menjadi masukan untuk mendukung penyusunan aturan perlindungan Hiu Paus di Indonesia. Program ini menjadi salah satu fokus program WWF di wilayah Taman Nasional Teluk Cenderawasih Papua. WWF mengangkat isu hiu di ranah publik melalui rangkaian edukasi dan kampanye untuk meningkatkan kesadartahuan serta perubahan sikap dan perilaku. Dalam Seafood Guide WWF-Indonesia (www.wwf.or.id/seafoodguide), hiu dimasukkan dalam kategori yang harus dihindari yang artinya masyarakat dihimbau untuk tidak
Volume 1, Agustus, 2016
65
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
mengonsumsinya. Melalui mekanisme Seafood Savers (www.seafoodsavers.org) yang melibatkan pihak industri, WWF mewajibkan penghentian perdagangan hiu oleh para anggota. 20
Menunjang Perekonomian Nelayan Tidak Harus Memburu Hiu Shark finning adalah perburuan hiu untuk diambil organ siripnya. Hal ini merupakan masalah bersama bagi masyarakat internasional. Bukanlah hal yang mudah untuk menghentikan praktek ilegal ini. Perburuan hiu ini merupakan masalah yang kompleks karena melibatkan beberapa sektor, seperti lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan tentunya masalah konservasi terhadap satwa yang terancam punah. Akar masalah dalam kasus ini, selama masih ada penadah, pembeli, dan penikmat sirip hiu, maka laju perburuan akan terus terjadi seiring tingginya permintaan. Dengan demikian, penyelesaian masalah ini perlu menggunakan sudut pandang holistik. Tidak cukup hanya dengan menangkap pemburunya, tetapi juga harus menghentikan pengkonsumsiannya. Tidak cukup hanya pemerintah ataupun organisasi lingkungan yang harus membasmi praktek shark finning, tetapi juga diperlukan bantuan dari seluruh masyarakat Indonesia, bahkan seluruh masyarakat dunia. Perburuan hiu selama ini identik dan berkaitan erat dengan faktor ekonomi bagi para nelayan. Dengan berburu hiu, maka akan menopang perekonomian nelayan. Bahkan tidak jarang, dengan berburu dan menjual sirip hiu, nelayan mampu bertahan hidup. Seakan tidak ada alternatif tangkapan lain selain hiu. Akan tetapi, berdasarkan informasi yang dikutip dari situs informasi dan berita mengenai lingkungan, Mongabay.co.id, terdapat satu hal yang sangat menarik dan berlawanan dengan informasi tersebut karena ternyata nelayan tidak mengalami penurunan penghasilan yang signifikan jika tidak menangkap hiu. Dalam setiap penangkapan hiu, dari kasus yang diangkat tahun 1989 di Desa Karangson di sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti selama 2 bulan ditemukan fakta bahwa keuntungan dari penangkapan hiu setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp 160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal dan dibagi setengahnya kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal, dan 10% untuk setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, delapan di antaranya justru mengalami kerugian karena biaya untuk menangkapnya lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun biaya operasional untuk menangkap dan keuntungannya bagi para nelayan justru terus menurun. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, si peneliti 66
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
mencoba mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50%, dan meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu. Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal dan hanya berkurang 3% bagi awak kapalnya.21 Dengan hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nelayan tidak mengalami kerugian finansial yang signifikan jika tidak menangkap hiu. Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar hiu yang menerima sirip hiu dari para nelayan. Keuntungan lainnya juga hanya dinikmati oleh restoran-restoran yang menjual olahan sirip hiu, seperti sup sirip hiu. Hal ini dikarenakan, satu mangkuk sup sirip hiu dihargai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Alternatif Mata Pencaharian Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya terdapat mata pencaharian lain yang bisa menghasilkan keuntungan lebih besar dibandingkan memburu hiu. Keuntungan yang diperoleh nelayan akan semakin tinggi jika memanfaatkan potensi alam untuk ecotourism. Dengan memelihara dan menjaga kelestarian hiu, maka hal ini akan menarik wisatawan dunia. Jika saja para nelayan di Indonesia membaca peluang ini, tidak menutup kemungkinan para wisatawan atau para penyelam dari berbagai penjuru dunia akan datang berbondong-bondong ke Indonesia agar dapat melihat hiu di laut secara langsung. Bukan tidak mungkin jika mereka juga berani membayar mahal untuk destinasi wisata ini. Manfaat lainnya, Indonesia yang menyediakan tempat wisata atau tempat konservasi hiu akan semakin terkenal di mata dunia. Hal ini bisa membuka peluang usaha lainnya. Masyarakat sekitar bisa menyewakan kapal lengkap dengan peralatan menyelam. Beberapa warga bisa dilatih untuk menjadi pemandu wisata. Sektor bisnis lainnya juga akan mendapat keuntungan. Warga bisa menjual makanan khas, berbagai kerajinan tangan, membuka tempat penginapan, tempat kuliner dan lain sebagainya untuk para wisatawan yang berkunjung. Hal ini jauh akan menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dibandingkan menjadikan hiu sebagai sasaran perburuan. Manfaat lainnya yang bisa diperoleh jika Indonesia memiliki populasi hiu yang beragam, bahkan memiliki konservasi hiu yang terawat dengan baik, maka peneliti-peneliti dari berbagai dunia akan memilih Indonesia sebagai tempat untuk melakukan penelitian mengenai hiu. Aktivitas ini tentu akan memberi pemasukan bagi Indonesia. Tidak hanya pemasukan Volume 1, Agustus, 2016
67
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
dari sisi materi, tetapi pemasukan dari sisi akademik. Hiu tidak hanya akan mendatangkan keuntungan finansial, tetapi juga memberi pengetahuan baru bagi Indonesia, bahkan bagi dunia secara menyeluruh. Manfaat Hiu Bagi Ekosistem Laut Dari berbagai upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan hiu, tentu tujuan utamanya adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup hiu. Lalu seberapa pentingkah keberadaan hiu di laut sehingga hewan ini mendapat perhatian penuh semua pihak? Apa manfaat dari terjaganya keberlangsungan hiu di dunia? Di lautan lepas, berbagai jenis ikan dan organisme laut saling tergantung satu sama lainnya untuk bertahan hidup. Hiu menempati posisi predator tingkat atas yang bertugas memastikan terkendalinya populasi ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Salah satu fungsi hiu di laut adalah memakan hewan yang terluka atau sakit sehingga bisa membersihkan laut karena membantu menghilangkan hewan dalam kondisi lemah dan sakit. Dengan demikian, hiu berperan sebagai pembersih lautan yang memastikan kesehatan ekosistem laut bisa terjaga. Salah satu contoh nyata akibat dari berkurangnya populasi hiu di laut terjadi di Atlantik. Wilayah tersebut mengalami penurunan pada 11 jenis hiu sehingga mengakibatkan meledaknya populasi 12 jenis ikan pari hingga 10 kali lipat. Berbagai jenis pari tersebut merupakan pemangsa jenis kerang-kerangan atau bivalvia. Tingginya konsumsi bivalvia oleh ikan pari menyebabkan jenis kerang tersebut menghilang dan mengakibatkan air laut menjadi keruh. Keruhnya air laut berdampak pada menurunnya kemampuan fotosintesis bagi lamun. Hilangnya lamun menyebabkan ikanikan mati atau tidak bisa bertahan hidup. Keadaan ini menyebabkan kawasan Atlantik disebut dead zone. Keadaan yang mengkhawatirkan ini juga berdampak pada runtuhnya bisnis kuliner di lokasi tersebut karena hilangnya spesies kerang dan pada akhirnya membuat sistem perekonomian terganggu.22 Hal ini merupakan gambaran nyata bahwa punahnya hiu akan mempengaruhi biota laut lainnya. Laut akan menjadi dead zone jika perburuan hiu terus dilakukan. Dengan kata lain, ekosistem laut akan tetap terjaga jika tidak kehilangan salah satu mata rantainya. Hiu berfungsi sebagai predator yang memangsa ikan-ikan yang lemah dan sakit. Bisa dibayangkan jika hiu punah, maka tidak akan ada lagi predator yang memangsa ikan-ikan yang sakit. Akibatnya, laut akan kotor oleh bakteri yang terkandung dalam bangkai-bangkai ikan tersebut. Efek 68
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
yang lebih buruk lagi, dengan kondisi laut yang tidak bersih maka segala macam penyakit akan mudah menyebar ke sesama biota laut, bahkan hingga menjangkiti manusia. Sebagai predator teratas, hiu juga berfungsi mengontrol populasi hewan laut dalam rantai makanan. Populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan bernilai ekonomis lainnya yang kita konsumsi. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa populasi hiu yang terjaga dengan baik juga akan menjamin keberlangsungan hidup berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Kesimpulan Shark finning adalah salah satu penyebab berkurangnya populasi hiu di lautan. Jika hal ini terus berlangsung tanpa penanganan yang serius, maka hiu akan benar-benar punah. Shark finning juga merupakan praktek ilegal yang mendatangkan keuntungan bagi segelintir pihak yang tidak bertanggungjawab namun sangat merugikan ekosistem laut secara global. Shark finning tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian pemerintah dunia secara global. Di era globalisasi ini berbagai organisasi-organisasi non-pemerintah dilengkapi dengan gerakan atau kampanye perlindungan hiu semakin gencar dilakukan. Hal ini merupakan harapan besar bagi masyarakat internasional agar tetap bisa melihat populasi hiu hingga masa yang akan datang. Pada hakikatnya, jika kita ingin menjaga kelestarian hiu di laut, segala macam peraturan, konferensi, perjanjian internasional, serta kampanye harus bersinergi dengan upaya-upaya penanaman pemahaman bagi para nelayan di seluruh penjuru dunia mengenai pentingnya hiu bagi ekosistem laut karena alasan hiu terus diburu adalah kurangnya pemahaman para nelayan mengenai pentingnya keberadaan hiu. Jika para nelayan paham dengan baik fungsi hiu di lautan, maka sangat mungkin praktek shark finning akan mudah dihentikan. Catatan Akhir 1 WWF. Frequently Ask Question #SOShark Campaign. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwework/campaign/soshark s/faq/, pada 12 Juni 2016, pukul 13.15 WIB. 2 Informasitips. 2015. Bahaya Mengonsumsi Sirip Ikan Hiu. Diakses dari http://informasitips.com/bahaya-mengonsumsi-sirip-ikan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 13.30 WIB. 3 Ibid.
Volume 1, Agustus, 2016
69
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
4 Viva. 2016. Puluhan Ikan Hiu Mati Tanpa Sirip di Taiwan. Diakses dari http://dunia.news.viva.co.id/news/read/733618-puluhan-ikan-hiu-mati-tanpa-sirip-ditaiwan, pada Senin, 6 Juni 2016, pukul 20.53 WIB. 5 Oke Zone. 2011. Taiwan Larang Berburu Sirip Hiu. Diakses dari http://techno.okezone.com/read/2011/07/11/56/478419/taiwan-larang-berburu-siriphiu, pada 12 Juni 2016, pukul 14.34 WIB. 6 Antara News. 2016. Penindakan Perburuan dan Penyelundupan Sirip Hiu. Diakses dari http://lampung.antaranews.com/berita/288037/penindakan-perburuan-danpenyelundupan-sirip-hiu, pada Senin, 6 Juni 2016, pukul 20.14 WIB. 7 Satu Harapan. 2013. Indonesia Belum Serius Melarang Perburuan Hiu. Diakses dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/indonesia-belum-serius-melarangpemburuan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 14.02 WIB. 8 Rappler. 2015. Setahun 10 Juta Ekor Hiu Ditangkap di Perairan Indonesia. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/117673-setahun-10-juta-ekor-hiu-ditangkap-diperairan-indonesia, pada 12 Juni 2016, pukul 14.15 WIB. 9 DW. 2014. Penjagalan Hiu Paus Besar-besaran Ditemukan di Cina. Diakses dari http://www.dw.com/id/penjagalan-hiu-paus-besar-besaran-ditemukan-di-cina/a17389935, pada 12 Juni 2016, pukul 20.04 WIB. 10 Ibid. 11 Warta Bea Cukai, Jaga Alam, Lindungi Flora dan Fauna Indonesia, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bea dan Cuka, 2015), hlm: 6. 12 Ibid. 13 WWF. Frequently Ask Question #SOShark Campaign. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwework/campaign/soshark s/faq/ 14 Antara News.2015. FAO Sarankan Penggunaan Perangkat Lunak Baru Guna Lindungi Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/481046/fao-sarankan-penggunaanperangkat-lunak-baru-guna-lindungi-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 20.42 WIB. 15 Antara News. 2013. KKP Tetapkan Peraturan Perlindungan Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/393109/kkp-tetapkan-peraturan-perlindungan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 22.39 WIB. 16 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2013. Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus). Diakses dari http://www.kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/dokumen/regulasi-hukum/keputusanmenteri/finish/14-keputusan-menteri/413-kepmen-kp-no-18-tahun-2013-tentangpenetapan-status-perlindungan-penuh-ikan-hiu-paus-rhincodon-typus, pada 12 Juni 2016, pukul 22.32 WIB. 17 Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat. 2012. Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat. Diakses dari http://birdsheadseascape.com/download/legislation%20and%20legal%20documents/PER DA%20Raja%20Ampat%209:2012%20tentang%20larangan%20penangkapan%20hiu%20d an%20pari%20manta.pdf, pada 12 Juni 2016, pukul 23.04 WIB. 18 SaveShark. 2013. Profile. Diakses dari http://savesharksindonesia.org/about/profile/, pada 12 Juni 2016, pukul 14.58 WIB.
70
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
19 Antara News. 2015. Greenpeace dan SaveShark Gelar Dukungan Makanan Tanpa Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/506623/greenpeace-dan-savesharksgelar-dukungan-makanan-tanpa-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 15.07 WIB. 20 WWF Indonesia. Campign SOSharks. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwework/campaign/soshark s/faq/, pada 12 Juni 2016, pukul 15.26 WIB. 21 Mongabay. 2014. Perburuan Hiu dan Lumba-lumba Menggila di Tanjung Luar. Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2014/02/19/perburuan-hiu-dan-lumba-lumba-menggila-ditanjung-luar/, pada 18 Juni 2016, pukul 10.01 WIB. 22 WWF. Frequently Ask Question #SOShark Campaign. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwework/campaign/soshark s/faq/. Op.cit.
Daftar Pustaka Sumber Majalah Online: Warta Bea Cukai. 2015. Jaga Alam, Lindungi Flora dan Fauna Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cuka. Sumber Internet: Antara News. 2016. Penindakan Perburuan dan Penyelundupan Sirip Hiu. Diakses dari http://lampung.antaranews.com/berita/288037/penindakanperburuan-dan-penyelundupan-sirip-hiu, pada Senin, 6 Juni 2016, pukul 20.14 WIB. Antara News.2015. FAO Sarankan Penggunaan Perangkat Lunak Baru Guna Lindungi Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/481046/fao-sarankanpenggunaan-perangkat-lunak-baru-guna-lindungi-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 20.42 WIB. Antara News. 2013. KKP Tetapkan Peraturan Perlindungan Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/393109/kkp-tetapkan-peraturanperlindungan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 22.39 WIB. Antara News. 2015. Greenpeace dan SaveShark Gelar Dukungan Makanan Tanpa Hiu. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/506623/greenpeace-dansavesharks-gelar-dukungan-makanan-tanpa-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 15.07 WIB. DW. 2014. Penjagalan Hiu Paus Besar-besaran Ditemukan di Cina. Diakses dari http://www.dw.com/id/penjagalan-hiu-paus-besar-besaranditemukan-di-cina/a-17389935, pada 12 Juni 2016, pukul 20.04 WIB.
Volume 1, Agustus, 2016
71
Shark Finning Penyebab Kepunahan Hiu
Informasitips. 2015. Bahaya Mengonsumsi Sirip Ikan Hiu. Diakses dari http://informasitips.com/bahaya-mengonsumsi-sirip-ikan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 13.30 WIB. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2013. Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus). Diakses dari http://www.kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/dokumen/regulasihukum/keputusan-menteri/finish/14-keputusan-menteri/413kepmen-kp-no-18-tahun-2013-tentang-penetapan-statusperlindungan-penuh-ikan-hiu-paus-rhincodon-typus, pada 12 Juni 2016, pukul 22.32 WIB. Mongabay. 2014. Perburuan Hiu dan Lumba-lumba Menggila di Tanjung Luar. Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2014/02/19/perburuanhiu-dan-lumba-lumba-menggila-di-tanjung-luar/, pada 18 Juni 2016, pukul 10.01 WIB. Oke Zone. 2011. Taiwan Larang Berburu Sirip Hiu. Diakses dari http://techno.okezone.com/read/2011/07/11/56/478419/taiwanlarang-berburu-sirip-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 14.34 WIB. Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat. 2012. Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat. Diakses dari http://birdsheadseascape.com/download/legislation%20and%20legal %20documents/PERDA%20Raja%20Ampat%209:2012%20tentang %20larangan%20penangkapan%20hiu%20dan%20pari%20manta.pdf, pada 12 Juni 2016, pukul 23.04 WIB. Rappler. 2015. Setahun 10 Juta Ekor Hiu Ditangkap di Perairan Indonesia. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/117673-setahun-10juta-ekor-hiu-ditangkap-di-perairan-indonesia, pada 12 Juni 2016, pukul 14.15 WIB. Satu Harapan. 2013. Indonesia Belum Serius Melarang Perburuan Hiu. Diakses dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/indonesia-belumserius-melarang-pemburuan-hiu, pada 12 Juni 2016, pukul 14.02 WIB. SaveShark. 2013. Profile. Diakses dari http://savesharksindonesia.org/about/profile/, pada 12 Juni 2016, pukul 14.58 WIB. Viva. 2016. Puluhan Ikan Hiu Mati Tanpa Sirip di Taiwan. Diakses dari http://dunia.news.viva.co.id/news/read/733618-puluhan-ikan-hiumati-tanpa-sirip-di-taiwan, pada Senin, 6 Juni 2016, pukul 20.53 WIB. 72
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Tika Dian Pratiwi
WWF. Frequently Ask Question #SOShark Campaign. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwewor k/campaign/sosharks/faq/, pada 12 Juni 2016, pukul 13.15 WIB. WWF Indonesia. Campign SOSharks. Diakses dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwewor k/campaign/sosharks/faq/, pada 12 Juni 2016, pukul 15.26 WIB.
Volume 1, Agustus, 2016
73
ANALISA KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT, CINA, DAN RUSIA DALAM KESEPAKAN NUKLIR IRAN Imam Mahdi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract: Iran and P5+1 (Cina, France, Russia, the United Kingdom, and the United States; plus Germany) reached agreement on June 2015 for Iranian nuclear issue. It had taken time more than thirteen years since Iran started its program. In the one side, this agreement succeeded due to Iranian politic and economic changes. In the other side, this deal succeeded because the United States changed its policy towards Iran under Obama’s regime. Russia and Cina also supported that deal while they were hoping the lifting of all sanctions. Kata-kata Kunci: kesepakatan nuklir Iran; kebijakan luar negeri; perundingan
Pengantar Isu tentang program nuklir Iran telah menjadi bahan perdebatan di berbagai negara semenjak tahun 2002, tepatnya setelah Iran membangun kembali alat pengayaan uranium heavy water plant di dekat Arak dan Natanz.1 Program ini sebenarnya sudah direncakan pada waktu Syah Reza memimpin Iran, hanya saja terhambat oleh agenda revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979.2 Di Era Presiden Mohammad Khatami, program ini dijadikan sebagai pilot project dalam rangka revitalisasi industri Iran agar lebih terbuka terhadap pasar (open market). Agenda ini langsung mendapatkan respon negatif dari negara-negara Barat (Westren countries), terutama Amerika Serikat (AS) yang notabene merupakan hegemon di Timur Tengah. Di bawah Bush, AS merancang draft resolusi agar Iran menghentikan program nuklirnya.3 Setali tiga uang dengan AS, Uni Eropa (UE) juga mengagendakan hal yang sama. Kawasan Timur Tengah harus bebas dari segala bentuk senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction), terutama nuklir.
JISIERA: THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND INTERNATIONAL RELATIONS Volume 1, Agustus, 2016; ISSN 2528-3472: 75-89
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
Respon negatif dari negara-negara Barat tidak membuat Iran memberhentikan programnya. Iran sengaja mengumumkan untuk meningkatkan kapasitas pengayaan uraniumnya sebagai counter attack terhadap respon Barat, dari 3,5 % menjadi 5%, kemudian dari 5% menjadi 20%.3 Iran memberikan argumen bahwa nuklir ditujukan untuk energi, baik untuk kesehatan, penerangan listrik maupun untuk pertanian (non proliferation). Iran yang tetap menjalankan program nuklir pada akhirnya mendapatkan sanksi dari Security Council (DK PBB) pada tahun 2006 sampai 2010. Sanksi tersebut dibuat dalam enam tahapan yang berbeda, yakni: 1696 (2006), 1737 (2006), 1747(2007), 1803 (2008), 1835(2008), dan 1929 (2010).4 Orientasi dari semua sanksi tersebut adalah untuk menghentikan segala aktivitas Iran yang mempunyai korelasi dengan nuklir. Pertama, Iran dilarang untuk melakukan segala transaksi ekonomi dari negara lain menuju Iran, ini juga berlaku sebaliknya. Kedua, semua Individu yang terlibat dalam program ini mendapatkan black list untuk bepergian ke luar negeri. Ketiga, semua kelompok di Iran terutama Garda Revolusi Iran mendapatkan pressure untuk segera berhenti dalam melakukan konfrontasi di wilayah Timur Tengah. DK PBB bukanlah satu-satunya lembaga yang memberikan sanksi kepada Iran, UE sebagai lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi di eropa juga memberlakukan hal yang sama.5 Mereka bahkan menambah daftar sanki yang diberikan DK PBB. Salah satu yang paling berat adalah larangan transfer dana dari negara Eropa menuju Iran dengan alasan apapun dan melarang segala jenis penerbangan maskapai Iran menuju Eropa. Lebih dari tiga belas tahun, program nuklir Iran tidak bisa dihentikan. Segala upaya sudah dilakukan DK PBB dan UE agar Iran mundur dari rencana awalnya. Pada faktanya, Iran mendapatkan dampak buruk (bad impact) dari program tersebut, khsusunya dalam bidang ekonomi. Sebagai konsekuensinya, pengangguran menjadi bertambah, harga kebutuhan meningkat, inflasi mencapa dua digit, serta pengurangan subsidi yang biasanya diberikan pada warga Iran.6 Iran tetap konsisten pada komitmen awalnya untuk tetap melanjutkan program nuklir. Bahkan semasa Ahmadinejad memimpin Iran, hubungan antara AS dan Iran semakin menegang. Di dalam forum-forum resmi, Ahmadinejad selalu mengkrtik segala kebijakan AS, DK PBB, dan UE yang dianggap hanya sedang berupaya mendeskreditkan Iran dalam kancah politik internasional. Semenjak perubahan konstelasi politik Iran, yang ditandai dengan pergantian presiden dari Ahmadinejad kepada Hasan Rouhani, kebijakan 76
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
Iran mulai melunak (soft policy). Rouhani lebih mengutamakan pendekatan diplomasi (diplomatic approach) sebagai solusi terhadap program nuklirnya. Rouhani juga menyempatkan diri untuk menghubungi Obama secara langsung setelah resmi terpilih pada tahun 2014. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa Iran akan merubah pola komunikasinya dalam menyikapi reaksi internasional yang cendrung semakin mengucilkan Iran. Pada Juni 2015, Iran dan P5+1 yang berisikan negara-negara DK PBB ditambah Jerman mencapai kesepakatan yang tertuang dalam JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action). Adapun poin-poin utamanya adalah: Pertama, kapasitas pengayaan uranium nuklir Iran hanya boleh sampai 20% dan dibatasi jumlah alat pengayaan nuklirnya. Kedua, IAEA (International Atom Energy Agreement) menjadi pengontrol semua kegiatan nuklir Iran, dan diperbolehkan kapanpun melakukan investigasi. Ketiga, AS dan UE akan mencabut sanksi jika Iran mengikuti segala aturan yang sudah ditetapkan.7 Tercapainya kesepakan antara Iran dan P5+1 seperti sesuatu yang mustahil (impossible agreement). Sebab Iran dikenal sebagai negara yang teguh dalam memegang ideologinya. Iran juga disebut sebagai negara anti Barat, sehingga kesepakatan nuklir Iran seolah menjadi sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya (unpridictable). Dengan demikian, patut untuk ditelaah bagaimana perubahan pola kebijakan luar negeri Iran serta peran Amerika Serikat, Rusia, dan Cina dalam kesepakatan nulir Iran (nuclear deal agremeent). Dinamika Politik dan Ekonomi Iran Beberapa analisis menghubungkan bahwa kepemimpinan Rouhani merupakan salah satu faktor penting dibelakang tercapainya kesepakatan nuklir Iran. Dia dianggap sebagai pemain kunci (key player) yang mencoba mencairkan hubungan antara Iran dan P5+1 yang selama ini menjadi hambatan. Ini tidak bisa dilepaskan dari platform politik yang telah disiapkan Rouhani. Dia mengusung sebuah planning agar krisis nuklir Iran segera berhenti dan segala sanksi yang diberikan akan dicabut. Dia juga mendeklarasikan terwujudnya kemerdekaan dalam kehidupan sosial dan politik bagi masyarakat Iran.8 Rouhani merupakan pribadi moderat yang tidak konfrontatif seperti Ahmadinejad. Dalam forum perundingan, Rouhani mengedepankan pilarpilar demokrasi dan tidak mendiskreditkan Barat sebagai ancaman (threat) yang harus disingkirkan. Maka cara yang paling logis bagi Iran menurut Rouhani ialah dengan merubah image negatif yang selama ini melekat pada
Volume 1, Agustus, 2016
77
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
Iran. Rouhani lebih menekankan pendekatan diplomasi (diplomacy approach) dan komunikasi sebagai cara yang elegan untuk merumuskan konflik Iran dan Barat.9 Hal ini tidak bisa dilepaskan dari background pendidikan Rouhani yang memang lulusan Glasgow Caledonian University serta platform partai politik Rouhani. Secara politik, persepsi masyarakat Iran terhadap krisis nuklir Iran sudah mulai pada tahap menjenuhkan. Masyarakat cenderung menginginkan agar sanksi segera dicabut. Ini dibuktikan dengan perayaan masyarakat terhadap terpilihnya Rouhani. Beberapa media yang terbit di Iran membuat tagline berita, “hope in days after lifting sanction”.10 Ekspektasi yang besar ini didasarkan pada kondisi internal Iran yang mulai merasakan dampak buruk dari sanksi yang diberikan DK PBB dan UE. Ekspektasi masyarakat Iran baru bisa dijalankan jika mendapat persetujuan Ayatullah Khomaeini sehingga Rouhani melakukan pendekatan pada Ayatullah Ali Khomaeni sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur pemerintahan Iran. Ali Khomeini akhirnya menyetujui perundingan tersebut dengan syarat, selama Iran tidak dirugikan. Sebab, image bahwa DK PBB berusaha mengambil keuntungan dalam proses negosiasi tidak bisa dihindarkan.11 Tantangan terberat dari kebijakan yang dibuat Rouhani adalah parlemen. Mayoritas parlemen Iran berasal dari partai konservatif. Perundingan Iran dan P5+1 mendapat perlawanan dari partai konservatif, setidaknya sampai Februari 2015. Mayoritas anggota parlemen mengiginkan agar perundingan dihentikan karena tidak sesuai dengan platform nuklir yang diinginkan Iran.12 Namun parlemen tidak mempunyai hak secara langsung untuk menggagalkan perundingan. Apalagi, kesepakatan ini mendapat dukungan dari Ali Khomeini. Kondisi ekonomi Iran sebelum tercapainya kesepakatan nuklir mengalami kendala yang menyeluruh (comprehensive problem). Hal ini berdasarkan beberapa faktor. Pertama, dari segi ekspor sumber daya alam, terutama minyak dan gas yang mengalami penurunan harga sangat drastis. Turunnya harga minyak dunia yang dimulai dari akhir tahun 2014 sampai pertengahan 2015 berdampak buruk pada ekonomi Iran. Padahal Iran merupakan negara yang bergantung pada harga minyak dunia. Selama ini, lebih dari 50% pendapatan Iran berasal dari minyak bumi.13 Bahkan jumlah ekspor minyaknya juga turun drastis, dari 1,9 juta barel setiap hari pada 2012, kemudian turun menjadi 1 juta barel pada 2014.14 Iran bukan hanya sebagai eksportir minyak, namun juga gas. Di bawah sanksi ekonomi, Iran tidak bisa dengan bebas melakukan transaksi gas. Pada saat yang sama, ada beberapa negara yang membutuhkan gas Iran sebagai sumber penopang pertumbuhan ekonomi di negaranya. Di antara 78
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
negara tersebut adalah Jepang, Korea Selatan, dan India. Akan tetapi Iran membutuhkan teknologi modern dimana teknologi tersebut tidak bisa didapatkan jika masih dalam sanksi. Kedua, jumlah pengangguran di Iran mencapai 10% dari total angkatan kerja. Jumlah tersebut akan terus bertambah andai sanksi ekonomi Iran tidak dicabut. Dari total angkatan kerja tersebut, jumlah pengangguran 30% berasal dari laki-laki, sedangkan 40% adalah perempuan. Inflasi yang terjadi di Iran pada tahun 2015 berkisar 16%.15 Ketiga, pertumbuhan ekonomi Iran hanya berkisar di tataran 4-5%. Kondisi yang terparah terjadi pada tahun 2012 dan 2013 dimana pertumbuhan ekonomi tidak sampai 4%. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari indeks keterbukaan ekonomi Iran yang juga menurun, dari 43,5 pada tahun 2010, menjadi 41 pada tahun 2014.16 Menurut Khajehpour, sanksi ekonomi hanya berimplikasi 25% dari total permasalahan ekonomi yang dihadapi Iran. Hal ini terjadi dikarenakan masih banyaknya permasalahan internal yang sulit ditangani, seperti korupsi, kebijakan yang tidak pro terhadap pasar, dan arah ekonomi global yang belum sepenunya pulih dari krisis. Meskipun demikian, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi Iran bisa mencapai 5-6% jika sanksi ini dicabut. Sektor swasta bisa tumbuh dan mengurangi angka pengangguran.17 Maka, upaya Rouhani untuk maju dalam perundingan merupakan tindakan produktif untuk mengurangi dampak buruk ekonomi Iran. Dinamika politik dan ekonomi membuat Iran lebih realistis dalam menjalankan program nuklirnya. Kebijakan untuk mencabut sanksi merupakan pilihan yang tepat, di saat rakyat Iran juga menginginkannya. Maka, kehadiran dalam meja perundingan menjadi penting agar kepentingan nasional Iran bisa terwujud. Kebijakan Amerika terhadap Iran di bawah Obama Hubungan bilateral AS dengan Iran sudah putus semenjak terjadi revolusi Iran 1979. Revolusi tersebut menyisakan trauma bagi warga AS yang berada di Iran. Mereka ditawan dan mendapat intimidasi dari para demonstran. Kondisi ini seolah menjadi titik awal putusnya hubungan diplomatik Iran-AS yang selama berada di bawah kepemipinan Reza Pahlevi terkesan sangat harmonis. Hubungan Iran-AS semakin memanas pasca Iran mengumumkan akan kembali mengaktifkan program nuklirnya. Bagi AS, pengumuman itu sebagai titik awal untuk bisa menjerat Iran ke DK PBB. Setidaknya ada tiga
Volume 1, Agustus, 2016
79
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
faktor yang menyebabkan AS meyakini bahwa nuklir Iran tidak peruntukkan buat energi (energy oriented). Pertama, Iran baru mengembangkan kembali nuklirnya pada tahun 2002. Ada korelasi dengan terjadinya pengeboman di Gedung WTC. Kuat dugaan Iran menjadi bagian dari teroris, setidaknya Iran memberikan aliran dana dan bantuan persenjataan. Kedua, peningkatan kapasitas militer Iran dan pengembangan missile yang dianggap mempunyai koneksi dengan nuklir Iran. Ketiga, dalam pendekatan ekonomi, sangat tidak logis bagi Iran untuk membangun program nuklir sampai mencapai level yang mendekati dengan kapasitas bom nuklir.18 Sebab konversi nuklir yang diperuntukkan buat energi menjadi bom sangat mungkin terjadi. Bias kapasitas nuklir inilah yang kemudian menjadi keraguan bagi AS bahwa nuklir tersebut hanya buat kepentingan industri saja. Ada dua cara yang diterapkan Obama dalam memahami zero nuklir dalam dunia global, termasuk nuklir Iran. Pertama, Obama menyadari bahwa meningkatnya senjata nuklir disebabkan adanya stigma akan adanya serangan lebih lanjut setelah kejadian runtuhnya gedung WTC 2011, termasuk bagi negara Muslim. Disamping itu, ada kesan akan terjadinya Perang Dingin Kedua, dimana semua negara atas nama kepentingan nasional menjadikan nuklir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ancaman dunia (global terror) (Andrew, 2011). Oleh karena itu, Obama cenderung melakukan pendekatan dengan istilah “moral responsibliti to act” dimana negara harus bertanggungjawab atas penggunaan nuklirnya. Kedua, Obama menjadikan AS sebagai sebuah role model, perlahan AS akan memusnahkan senjata nuklirnya. Dengan sebuah ekspektasi agar semua negara mulai melakukan hal yang sama, meninggalkan senjata nuklir.19 Ternyata efek domino dari Perang Dingin sampai saat ini masih terasa, terutama negara-negara yang merupakan aktor dalam Perang Dingin tersebut. Di periode pertama Obama sebagai presiden AS, diplomasi tidak dijadikan sebagai media yang tepat untuk mengurangi ketegangan hubungan Iran-AS. Kondisi ini terjadi dikarenakan Ahmadinejad selalu menyatakan peran sentral AS yang dianggap sebagai perusak negara-negara kecil, diantaranya Iraq dan Afganistan. Maka, AS menyetujui dan menginisiasi sanksi terus menerus bagi Iran dengan harapan Iran mau menghentikan program nuklirnya. Disamping itu, ada beberapa alasan mendasar yang membuat perundingan Iran dan AS sulit dicapai. Iran berfikir bahwa AS mempunyai tendensi politik untuk menjadi pemain dominan dalam perundingan dengan tujuan pengayaan uranium yang selama ini dibuat Iran harus 80
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
diserahkan ke negara Barat. Sebagai gantinya, AS akan menukar uranium Iran dengan kadar yang lebih rendah yang setara untuk pengembangan energi listrik. Di sisi lain, AS masih merasa bahwa Iran tetap menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hegemoni AS di Timur Tengah, terutama bagi negara-negara Muslim yang sangat memungkinkan menjadikan revolusi Iran sebagai rujukan dalam melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat.20 Di periode kedua, Obama dalam beberapa forum menginginkan agar negara-negara muslim menginisiasi dan ikut ambil andil mendorong Iran untuk lebih kooperatif dalam menyelesaikan masalah nuklirnya. Obama pernah menyerukan, ”... The world must work to stop Iran's uranium enrichment program and prevent Iran from acquiring nuclear weapons. It is far too dangerous to have nuclear weapons in the hands of a radical theocracy.”21 Obama secara langsung mengajak negara-negara Muslim untuk bersatu menghentikan program nuklir Iran. Harapan Obama bisa diimplementasikan dengan terpilihnya Hasan Rouhani pada 2013. Hal ini menjadi lembaran baru bagi hubungan diplomatik AS-Iran. Di bawah kepemimpinan Rouhani, Iran lebih mengedepankan perundingan sebagai jalan untuk mendapatkan kesepakatan. Kondisi ini sejalan dengan rencana Obama yang sebenarnya menginginkan mediasi sebagai upaya terbaik dalam menyikapi program nuklir Iran. Rencana Obama untuk melakukan pendekatan diplomatik dengan Iran ditentang oleh sekutu AS di Timur Tengah, dua sekutu utama AS, yaitu Israel dan Arab Saudi. Kedua negara ini memiliki hubungan yang tidak baik dengan Iran. Bagi Israel, Iran merupakan satu-satunya ancaman yang besar bagi eksistensi Israel. Iran dengan kekuatan militernya dianggap mampu mencapai level militer yang dimiliki Israel, terlebih Iran sering meneror Israel dengan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel di Palestina. Bukan hanya itu, Israel juga dianggap sebagai negara ilegal yang melakukan pendudukan wilayah secara paksa pada Palestina. Bagi Arab Saudi, Iran juga merupakan kompetitor dalam penyebaran paham Islam (Islamic view). Arab Saudi yang beraliran Sunni merasa perlu menjaga para negara Muslim di Timur Tengah untuk selalu menjadi Muslim Sunni. Sedangkan Iran yang merupakan Muslim Syiah juga mempunyai agenda untuk memperluas pengaruhnya. Dalam konteks sejarah, Arab Saudi dan Iran mempunyai masalah besar terkait proses penyelenggaran haji pada tahun 1987. Dua sekutu AS ini secara terang-terangan menolak keinginan Obama untuk melakukan perundingan dengan Iran. Terlepas dari penolakan yang
Volume 1, Agustus, 2016
81
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
dilakukan oleh Arab Saudi dan Israel, Obama merasa bahwa perundingan merupakan jalan terbaik (win win solution). Di balik penolakan ini, terdapat analisis yang menjelaskan bawa AS membutuhkan Iran dalam menyelesaikan beberapa konflik di Timur Tengah. Iran disebut merupakan bagian terpenting dalam menyelesaikan konflik tersebut. Konflik tersebut terkait dengan isu terorisme dan keamanan nasional (national security). Di Afganistan, Iran merupakan negara yang mempunyai pengaruh. Terhitung dari tahun 2008, Iran memberikan sumbangan terhadap Afganistan.22 Pemberian bantuan ini bukanlah tanpa kepentingan (less intrest). Iran menginginkan agar pemerintah Afganistan mau bekerjasama dengan Iran dalam perlawanan menghadapi musuh-musuh Iran. Di Syiria dan Suriah, Iran juga mempunyai kekuatan. Mereka merupakan negara di balik sulitnya penumbangan kepemimpinan Bashar Al-Ashad, sehingga tercapainya perundingan dengan Iran akan mempermudah arah koalisi dan sinergi untuk menjalankan kepentingan AS di Timur Tengah, termasuk masalah Suriah. Posisi Cina Cina dikenal sebagai negara yang tetap menjalin kerjasama dengan Iran sekalipun Iran dalam sanksi DK PBB. Orientasi politik Cina tetap ditujukan pada pengembangan ekonomi (economy oriented). Salah satu yang termasuk dalam bagian ini adalah tersedianya jaminan gas dari Iran untuk menjalankan roda perekonomian Cina. Bahkan, Cina berupaya membuat terowongan agar gas Iran bisa langsung mencapai Cina. Kerjasama Cina-Iran juga terwujud dalam bentuk penanaman modal. Ini dibuktikan dengan beberapa infrastruktur di Iran yang dibangun oleh pihak Cina, baik dari pihak pemerintah maupun pihak swasta. Eratnya hubungan Iran dan Cina juga dibuktikan dengan masuknya Iran dalam SCO (Sanghai Cooperatian Organization). Bagi Iran, Cina merupakan pangsa pasar yang besar dalam bidang minyak dan gas sehingga Iran bersedia melakukan perjanjian dalam jangka panjang dengan Cina. Hal ini termaktub dalam perjanjian dari Iranian National Oil Company and Sinopec yang menjual gas sebesear 250 juta dolar dalam kurun waktu 30 tahun.23 Hubungan jual beli ini juga terjadi dengan Zhuhai Zhenong Xoeporain sejak 2004 sampai dua puluh lima tahun kedepan yang mencapai 25 juta dollar. Secara umum kepentingan Cina di Iran lebih didominasi oleh faktor ekonomi. Meskipun demikian, secara politik ada juga upaya untuk mengcounter kuatnya pengaruh AS di Timur Tengah.24 Cina, sebenarnya juga 82
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
melakukan kerjasama dengan beberapa negara Asia Barat, seperti Pakistan dan India. Namun relasi dengan Iran dianggap jauh menguntungkan sebab Iran juga mempunyai bargaining politik yang lebih di kawasan Timur Tengah. Dalam konteks program nuklir, sebenarnya Cina sangat mendukung agar semua negara bebas dari senjata pemusnah massal. Hanya saja kebutuhan ekonomi membuat Cina tetap melakukan kerjasama dengan Iran, Myanmar, Sudan, Vezuela, dan Zimbabwe sebagai negara yang dicurigai memiliki senjata pembuhun massal.25 Atas dasar itulah Cina kemudian memberikan persetujuan terhadap sanksi yang diberikan pada Iran. Namun kuat dugaan, persetujuan yang diberikan Cina lebih pada menjaga hubungan ekonomi dengan AS. Bisa saja Cina melakukan veto terhadap keingin AS di forum DK PBB. Hanya saja, hal tersebut akan membawa dampak buruk dalam upaya menjaga hubungan dagang dengan AS. Jumlah perdagangan kedua negara, jauh lebih besar dari total hubungan dagang Cina-Iran. Menurut Dengli Shen ada lima persepsi yang dibangun Cina dalam melihat kasus nuklir Iran.26 Pertama, menghormati upaya Iran dalam menggunakan nuklir dengan tujuan damai. Jaminan terhadap ini juga terdapat dalam NPT (Nuclear non-Proliferation Treaty). Artinya, semua negara mempunyai peluang dalam mengelola nuklir dengan tujuan damai. Kedua, mendukung rezim yang non-prolefasi, termasuk Iran yang sudah menandatangani NPT. Ketiga, memelihara hubungan bilateral terkait energi dan ekonomi dengan Iran. Keempat, menjaga hubungan baik dengan AS dan mempromosikan image Cina dalam forum internasional. Kelima hal ini merupakan alasan penting mengapa Cina membujuk Iran agar ikut serta dalam perundingan dengan P5+1. Posisi Rusia Dalam Perundingan Rusia merupakan negara yang mempunyai hubungan diplomatik yang dekat dengan Iran dibandingkan dengan negara lainnya di Eropa. Hubungan Rusia-Iran sudah mulai terlihat dari adanya bantuan Rusia dalam program nuklir Iran. Bantuan yang diberikan berupa teknologi dan tenaga ahli. Tanpa bantuan dari Rusia, Iran tidak bisa menjalankan program nuklirnya. Hubungan baik kedua negara dibuktikan dengan beberapa kali lawatan dilakukan Ahmadinejad ke Rusia. Dalam setiap sanksi yang hendak diberlakukan DK PBB, Iran selalu melakukan lobi agar Rusia
Volume 1, Agustus, 2016
83
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
menggunakan hak vetonya. Pada kenyataannya, Rusia selalu memberikan persetujuan (agreement) terhadap penerapan sanksi kepada Iran. Rusia tidak mau mengambil resiko jika dianggap sebagai negara di belakang nuklir Iran. Posisi Rusia dalam perundingan nuklir Iran sangat dilematis. Pada hakikatnya, Rusia mendapatkan beberapa keuntungan dari posisi Iran yang sedang menghadapi embargo. Pertama, Rusia mendapatkan keuntungan finansial dari penjualan minyak dan gas. Layaknya Iran, 60% total ekspor Rusia didominiasi oleh minyak dan gas, serta mendapatkan pemasukan 30% total GDP (Gross Domestic Product).27 Jika saja Iran tetap mendapatkan sanksi, maka hal itu akan membuat Rusia menjadi pemasok utama minyak dan gas ke Eropa. Hal tersebut akan meningkatkan power Rusia terhadap Eropa. Kedua, selain keuntungan finansial, Rusia juga akan mendapatkan sumber kekuatan baru (new resourches power). Rusia seolah menjadi hegemon dalam bidang minyak dan gas di negara-negara Eropa. Rusia mendapatkan bargaining position untuk menekan Eropa dalam kasus Georgia, Ceko, dan Suriah. Sebaliknya, jika sanksi terhadap Iran dicabut maka dua hal tadi akan hilang dengan sendirinya. Iran merupakan negara penghasil minyak dan gas. Secara geografis sangat memungkinkan Iran menjadikan Eropa sebagai pangsa pasar produknya. Iran bisa mengekspor minyak dan gas melalui Turki, Irak, dan Aremenia. Hal ini diperkuat dengan statement Rouhani yang menyatakan bahwa Iran bisa menjadi alternatif baru bagi energi di Eropa.28 Tentu ini merupakan ancaman bagi hegemoni minyak dan gas Rusia. Meskipun secara ekonomi ada kemungkinan Iran akan menggerus posisi Rusia di Eropa, namun secara militer Rusia tetap diuntungkan. Selama beberapa dasawarsa ke belakang, Rusia merupakan pemasok persenjataan militer Iran, baik dalam pengadaan pesawat tempur, ballistik, tank, dan persenjataan lainnya. Di bawah sanksi DK PBB, Iran menjadikan Rusia sebagai rekanan utama dalam bidang militer. Rusia-Iran mempunyai kontrak pengadaan pertahanan udara S-300. Kontrak ini sendiri membuat hubungan Rusia dan AS memanas.29 Selama sanksi, Iran dilarang melakukan transaksi apapun, terutama dalam bidang pertahanan militer. Bukan hanya itu saja, Iran sebenarnya membutuhkan tenaga ahli Rusia untuk membantu pengayaan uranium nuklirnya. Terlepas dari posisi ini, Rusia tetap mengiginkan jalan damai dalam masalah nuklir Iran. Dalam perundingan, Rusia selalu menempatkan diri pada posisi yang tidak terlalu mendiskreditkan Iran. Bagi Rusia, keinginan Iran untuk meningkatkan kapasitas nuklirnya sampai level 20% merupakan
84
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
sebuah keputusan yang harus ditinjau ulang. Bahkan, Rusia juga menawarkan diri sebagai negara yang nanti akan membantu Iran dalam menjalankan nuklirnya dengan syarat kapasitas nuklirnya hanya 3,5% dan digunakan untuk kebutuhan dalam negerinya. Kesimpulan Keberhasilan perundingan nuklir Iran bukanlah sesuatu yang berjalan dengan sendirinya. Perubahan kondisi politik dalam negeri di bawah kepemimpinan Rouhani menghasilkan perspektif yang berbeda dalam menangani isu nuklir. Rouhani yang berlatar belakang partai reformis menginginkan agar Iran lebih kooperatif dan terbuka dalam melakukan komunikasi dengan negara yang berpengaruh di DK PBB, terutama AS, Cina, dan Rusia. Kebijakan yang diambil oleh Iran juga didasarkan pada kondisi kemerosotan ekonomi yang ditandai dengan turunnya jumlah ekspor minyak dan gas, serta diperparah oleh turunnya harga jual minyak mentah dunia. Di sisi lain, masalah pengangguran juga belum terlesaikan karena pertumbuhan ekonomi Iran di bawah 5%. Kebijakan Rouhani yang lebih soft terhadap Barat membuat AS di bawah Barack Obama mau melakukan perundingan. Perundingan tersebut dilakukan secara komprehensif yang dituangkan dalam JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), keputusan yang membuat Iran harus tunduk dalam kerangkan perjanjian Iran dan P5+1. Terwujudnya kesepakatan tersebut tidak bisa dipisahkan dari peran Cina dan Rusia. Cina yang mempunyai hubungan ekonomi dengan Iran menginginkan agar sanksi dicabut. Kepentingan utama Cina adalah untuk menjaga hubungan dagang Cina-AS yang selama ini sangat menguntungkan bagi Cina. Sedangkan Rusia, yang memiliki hubungan bilateral baik dengan Iran, menginginkan agar sanksi tersebut dapat dicabut karena akan membuat Rusia leluasa dalam menjalin kerjasama dengan Iran dalam berbagai aspek. Catatan Akhir 1 Frank N Hippel, The Feasibility of a Diplomatic Solution to the Confrontation over Iran’s Nuclear Program (Springer, 2013), 67. 2 Saira Khan, Iran and Nuclear Weapons; Protracted conflict and proliferation (New York: Routledge Global Security Studies, 2010), 47. 3 Geoffrey Kemp, U.S-Iranian Strategic Coopertion since 1979. Diakses 17 Februari 2016, http://www.strategicstuiesintitute.army.mil/
Volume 1, Agustus, 2016
85
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
4 Paul K. Kerr, Iran’s Nuclear Program: Status, Diakses 17 Februari 2016, https://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf 5 Document of UN Security Council Resolution, Resolution 2231 (2015), Diakses 17 Februari 2016, www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D274E9C.../s_res_2231.pdf 6 Chang and Mihan, Iran-Sanctions, Energy, Arms Control, and Regime Change, Diakses 17 Februari 2016, https://csisprod.s3.amazonaws.com/s3fs.../140122_Cordesman_IranSanctions_Web.pdf 7 Alireza Nader, The Impact of Sanctions Relief on Iran, Diakses 20 Juni 2016, www.rand.org/content/dam/rand/pubs/testimonies/CT400/.../RAND_CT442.pdf 8 The White House Washington, The Iranian Nuclear Deal; What You Need To Know About The JCPOA. Diakses 17 Februari 2016, Wh.gov/iran-deal. 9 Farzan Sabet, “Iran’s Conservative Consensus on the Nuclear Deal,” Pomet Studies 13, (2015):15. 10 Rodger Shanahan, Iranian foreign policy under Rouhani. Diakses 20 Juni 2016, http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/188299/ipublicationdocument_singledoc ument/8d35a459-9613-45ce-b59a-9175063f0cb0/en/iranian-foreign-policy-underrouhani.pdf. 11 Mohammad Ali Kadivar, “Iran’s Grass-roots Politics and the Nuclear Deal,” Pomet Studies, 13. (2015): 9. 12 Sugito, “Liga Arab dan Demokratisasi di Dunia Arab.” Journal Hubungan Internasional, 2. (2012): 183. 13 Paasha Mahdavi, “Will Iran’s Parlement Block the Nuclear Deal?,” Pomet Studies, 13. (2015): 21. 13 Abbas William Samii, Winning Iranian Hearts and Minds. Diakses 20 Juni 2016, http://www.strategicstuiesintitute.army.mil/ 14 Farid Mirbagheri, “Iran and the West: A Nuclear Settelement and Its Aftermath,” International Business Management, 13 (2015):11. 15 Economic Indicators , Diakses 20 Juni 2016, http://www.tradingeconomics.com/iran/indicators 16 Human Development Report 2015, Diakses 20 Juni 2016, hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/IRN.pdf 17 Bijan Khajehpour. The Economic Significance of the Nuclear Deal for Iran, Diakses 5 Februari 2016, https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/bijan_khajehpour_presentation.pdf. Saira Khan, Iran and Nuclear Weapons; Protracted conflict and proliferation (New York: Routledge Global Security Studies, 2010), 47. 18 Mark Fitzpatrick, Is Iran’s Nuclear Capability Inevitable?. (London: Praiger Security International, 2008), 124 19 Andrew, The United States After Unipolarity: Obama‘S Nuclear Weapons Policy In A Changing World. (London: LSE IDEAS, 2011), 37. 20 Ozden Ocav, Understanding Obama’s Policies towards a Nuclear Iran. Diakses 5 Februari 2016, https://www.researchgate.net/publication/274008584. 21 Farideh Farhi, Atomic Energy is Our Assured Right: Nuclear Policy and the Iranian Shaping Public Opinion, (Washington: National Defense University Press, 2010), 8.
86
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
22 Alireza Nader, et.al. Iran’s Influence in Afghanistan Implications for the U.S. Drawdown, Diakses 5 Juni 2016, www.rand.org/content/dam/rand/pubs/research_reports/RR600/.../RAND_RR616.pdf 23 Mohammad Elahee, et al.”,Reintegrating Iranwith the West: Challanges and Opportunities,” International Business Management, 13 (2015):137. 24 Hireen T Hunter, Iran’s Foreign Policy in The Post-Soviet Era, (California: Praeger, 2010) 118. 25 Dingli Shen, Iran’s Nuclear Ambitions Test Cina’s Wisdo, Diakses 5 Juni 2016, http://web.pdx.edu/~ito/06spring_shen.pdf. 26 De Dingli Shen, Iran’s Nuclear Ambitions Test Cina’s Wisdo. 27 Tiusanen & Kinnunen, The Implications of a Nuclear Deal with Iran on The GCC, Cina, and Russia, Diakses 5 Juni 2016, http://studies.aljazeera.net/en/reports/2015/06/201561483721936465.html 28 Thrassy N . Marketos, Iran’s Geopolitics In Midst Of The Usrussia-Cina Energy Security Struggle For The Geo-Strategic Control Of Eurasia, Diakses 5 Juni 2016, www.rieas.gr/images/marketos09.pdf. 29 Elizabeth Zolotukhina, S-300 Missile Systems From Russia to Iran with Love?, Diakses 5 Juni 2016, www.cgsrs.org/files/files/publications_12.pdf
Daftar Pustaka Alireza Nader et al. Iran’s Influence in Afghanistan Implications for the U.S. Drawdown. Diakses 5 Juni 2016. www.rand.org/content/dam/rand/pubs/research_reports/RR600/.../RAND_ RR616.pdf. Andrew. The United States after Unipolarity: Obama‘S Nuclear Weapons Policy in A Changing World. London: Lse Ideas, 2011. Chang and Mihan. Iran-Sanctions, Energy, Arms Control, and Regime Change. Farhi, Farideh. Atomic Energy is Our Assured Right: Nuclear Policy and the Iranian Shaping Public Opinion. Washington: National Defense University Press, 2010. Fitzpatrick, Mark. Is Iran’s Nuclear Capability Inevitable?. London: Praiger Security International, 2008. Hippel, Frank N. The Feasibility of a Diplomatic Solution to the Confrontation over Iran’s Nuclear Program. New York: Springer, 2013. Hunter, Hireen T. Iran’s Foreign Policy in The Post-Soviet Era. California: Praeger, 2010. Kadivar, Mohammad Ali. “Iran’s Grass-roots Politics and the Nuclear Deal.” Pomet Studies 13 (2015): 9. Kemp, Geoffrey. U.S-Iranian Strategic Coopertion since 1979. Diakses 17 Februari 2016. http://www.strategicstuiesintitute.army.mil/.
Volume 1, Agustus, 2016
87
Kebijakan AS, Cina, dan Rusia dalam Kesepakan Nuklir Iran
Kerr, Paul K. Iran’s Nuclear Program: Status, Diakses 17 Februari 2016. https://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf. Khajehpour, Bijan. The Economic Significance of the Nuclear Deal for Iran, Diakses 5 Februari 2016. https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/bijan_khajehpour_ presentation.pdf. Khan, Saira. Iran and Nuclear Weapons; Protracted conflict and proliferation. New York: Routledge Global Security Studies, 2010. Mahdavi, Paasha. “Will Iran’s Parlement Block the Nuclear Deal?.” Pomet Studies 13 (2015): 21. Marketos, Thrassy N. “Iran’s Geopolitics In Midst Of The Usrussia-Cina Energy Security Struggle For The Geo-Strategic Control Of Eurasia.” Diakses 5 Juni 2016. www.rieas.gr/images/marketos09.pdf. Mirbagheri, Farid. “Iran and the West: A Nuclear Settelement and Its Aftermath.” International Business Management 13 (2015):11. Mohammad Elahee et al. ”Reintegrating Iranwith the West: Challanges and Opportunities.” International Business Management 13 (2015):137 Nader, Alireza. The Impact of Sanctions Relief on Iran. Diakses 20 Juni 2016. www.rand.org/content/dam/rand/pubs/testimonies/CT400/.../RAND_CT4 42.pdf. Ocav, Ozden. Understanding Obama’s Policies towards a Nuclear Iran. Diakses 5 Februari 2016. https://www.researchgate.net/publication/274008584. Sabet, Farzan. “Iran’s Conservative Consensus on the Nuclear Deal,” Pomet Studies 13 (2015):15. Samii, Abbas William. Winning Iranian Hearts and Minds. Diakses 20 Juni 2016. http://www.strategicstuiesintitute.army.mil/. Shanahan, Rodger. Iranian foreign policy under Rouhani. Diakses 20 Juni 2016. http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/188299/ipublicatio ndocument_singledocument/8d35a459-9613-45ce-b59a9175063f0cb0/en/iranian-foreign-policy-under-rouhani.pdf. Shen, Dingli. Iran’s Nuclear Ambitions Test Cina’s Wisdo, Diakses 5 Juni 2016. http://web.pdx.edu/~ito/06spring_shen.pdf. Sugito. “Liga Arab dan Demokratisasi di Dunia Arab.” Journal Hubungan Internasional 2 (2012): 183. The White House Washington, The Iranian Nuclear Deal; What You Need To Know About The JCPOA. Diakses 17 Februari 2016. Wh.gov/iran-deal.
88
Jisiera: the Journal of Islamic Studies and International Relations
Imam Mahdi
Tiusanen & Kinnunen, The Implications of a Nuclear Deal with Iran on The GCC, Cina, and Russia. Diakses 5 Juni 2016. http://studies.aljazeera.net/en/reports/2015/06/2015614837219364 65.html. Trading Economis. “Economic Indicators.” Diakses 20 Juni 2016. http://www.tradingeconomics.com/iran/indicators UN Security Council Resolution. “Resolution 2231 (2015).” Diakses 17 Februari 2016. www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D274E9C.../s_res_2231.pdf. United Nations Development Programm. “Human Development Report 2015.” Diakses 20 Juni 2016. hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/IRN.pdf. Zolotukhina, Elizabeth. S-300 Missile Systems From Russia to Iran with Love?. Diakses 5 Juni 2016. www.cgsrs.org/files/files/publications_12.pdf.
Volume 1, Agustus, 2016
89
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Fokus dan Ruang Lingkup Jisiera The Journal of Islamic Studies and International Relations, disingkat Jisiera, merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh the Indonesian Islamic Studies and International Relations Association (Insiera) dengan frekuensi sekali dalam satu tahun (annually). Penerbitan jurnal ini dimaksudkan sebagai sarana komunikasi akademik dalam rangka memperkuat jaringan dan wujud diseminasi penelitian atau pemikiran yang berkontribusi positif bagi Ummat serta ilmu pengetahuan. Jisiera menggalakkan diskusi ilmiah melalui artikel-artikel ilmiah yang bersifat multi dan inter-disiplin dengan titik tekan tema kajian pada permasalahan dunia Islam, pendekatan studi keislaman dalam Hubungan Internasional, dan aplikasi perspektif Islam dalam Hubungan Internasional. Meski demikian, Jisiera tidak membatasi diskusi ilmiah hanya pada tematema tersebut. Ketentuan Umum 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan ragam bahasa tulis akademik yang baik dan benar. 2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, telaah pemikiran, dan ulasan buku. 3. Naskah merupakan karya orisinal penulis yang belum pernah dan tidak sedang dalam proses publikasi oleh terbitan lain dengan ISSN. 4. Naskah akan ditelaah oleh mitra bestari (editorial board) dengan sistem blind peer review. 5. Naskah dikirim melalui Open Journal System Jisiera (http://www.jisiera.insiera.org) setelah mendafatarkan diri sebagai penulis (author) dengan mengunggah berkas artikel ke halaman yang telah ditentukan. 6. Mengunggah Curriculum Vitae terbaru dan Surat Pernyataan Keaslian Naskah sebagai dukumen pelengkap (supplementary files) pada halaman telah yang ditentukan.
Format Penulisan 1. Naskah diketik menggunakan format file MS Word minimal versi 972003, ukuran kertas dengan panjang 16 cm dan tinggi 23 cm, margin atas dan bawah 2,54 cm, margin kanan dan kiri 2 cm, posisi gutter di kiri 0,7 cm, font Garamond ukuran 11, spasi tunggal, jarak antar paragraf 3 points, gaya paragraf rata kanan-kiri/justify, alinea pertama setiap paragraf menjorok 0,7 cm. 2. Halaman depan (front page) hanya memuat: (1) judul yang ditulis setelah dua ketuk spasi dari margin atas, letak di tengah halaman (center text), menggunakan huruf kapital, font Cambria ukuran 13; (2) kata "Abstract:" ditulis setelah dua ketuk spasi di bawah judul, kemudian isi abstraksi dibuat dengan font Garamond ukuran 10, panjangnya hanya satu paragraf dan maksimal 200 kata, indentation before and after text 0,7 cm, jika naskah dalam bahasa Indonesia maka abstraksi menggunakan bahasa Inggris dan begitu sebaliknya; (3) frase "Kata-kata Kunci:" ditulis di bawah abstraksi, font Garamond miring (italic) ukuran 10, memuat minimal 3 istilah, dan antar istilah diberi tanda titik koma; (4) jika abstraksi ditulis dalam bahasa Inggris, maka istilah-istilah yang terdapat dalam kata-kata kunci harus menggunakan bahasa Indonesia apabila bisa diterjemahkan atau terdapat padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, jika abstraksi dalam bahasa Indonesia, kata-kata kunci ditulis sebagai “Keywords” dan menggunakan bahasa Inggris. 3. Teknik pengutipan dan penulisan daftar pustaka mengikuti gaya Chicago Manual of Style (CMS) terbaru. Ketentuan mengenai gaya tersebut dapat dilihat di www.chicagomanualofstyle.org 4. Seluruh kutipan dirujuk menggunakan catatan akhir (endnotes). Tanda (nomor) rujukan di dalam teks utama dibuat menggunakan superscript (dengan menekan tombol Ctrl, Shift, +, secara bersamaan pada keyboard komputer), bukan dengan memasukkan endnote secara langsung (Alt+ Ctrl+D) 5. Kutipan langsung ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: (a) apabila kutipan langsung tersebut kurang dari 40 kata maka ditulis di antara tanda kutip (“...”) sebagai bagian terpadu dari teks utama; (b) jika terdapat tanda kutip dalam kutipan, maka digunakan tanda kutip tunggal (‘...’); (c) apabila kutipan langsung tersebut sebanyak 40 kata atau lebih maka ditulis tanpa tanda kutip secara terpisah dari teks utama, ditulis 0,7 cm dari tepi garis sebelah kiri dan kanan, diketik dengan spasi tunggal serta ukuran font 10; (d) apabila terdapat kata-kata
dalam kalimat yang dibuang, maka kata-kata yang dibuang tersebut diganti dengan tiga titik (...). 6. Kutipan tidak langsung ditulis setelah diparafrase terlebih dahulu dan penulisannya terpadu di dalam teks utama. 7. Setiap kutipan, baik langsung maupun tidak langsung, diakhiri dengan tanda (nomor) rujukan yang mengarah pada bagian catatan akhir. 8. Naskah yang berupa hasil penelitian dapat memuat: (1) pendahuluan yang berisi latar belakang, tinjauan pustaka, dan rumusan permasalahan; (2) metode penelitian; (3) hasil; (4) pembahasan; (5) kesimpulan; (6) catatan akhir; (7) daftar pustaka. 9. Naskah berupa hasil pemikiran dapat memuat: (1) pendahuluan; (2) bahasan utama yang dapat dibagi kedalam beberapa sub-bagian; (3) penutup atau kesimpulan; (4) catatan akhir; (5) daftar pustaka. 10. Naskah berupa ulasan buku memuat: (1) data buku: judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, cetakan, tebal buku, harga buku, dan gambar halaman depan buku; (2) ulasan atau resensi yang memuat isi buku secara kronologis, keunggulan dan kelemahan isi, tinjauan bahasa hingga kesalahan cetak yang ditemukan; (3) penutup yang memuat pendapat penulis bahwa buku tersebut penting untuk siapa dan mengapa. 11. Pencantuman tabel mengacu pada ketentuan berikut: (1) tabel dibuat sederhana dan dipusatkan pada beberapa ide yang berhubungan secara efektif dengan argumen penulis; (2) panjang tabel tidak boleh melebihi setengah halaman; (3) berikan jarak satu spasi antara teks utama sebelum dan setelah tabel; (4) identitas tabel berupa nomor dan nama tabel diletakkan di atas tabel; (5) nomor tabel ditulis menggunakan angka arab; (6) nama tabel ditulis menggunakan huruf kapital di awal setiap kata; (7) tabel yang dikutip dari sumber lain wajib diberi keterangan sesuai ketentuan penulisan catatan kaki gaya CMS dan sumber tersebut dituliskan tepat di bawah tabel; (8) pengacuan tabel menggunakan angka, bukan dengan menggunakan kata “tabel di atas” atau “tabel di bawah.” 12. Pencantuman gambar mengacu pada ketentuan berikut: (1) gambar dapat berupa foto, grafik, bagan, chart, peta sket, diagram dan gambar lainnya; (2) gambar dibuat sederhana untuk dapat menyampaikan ide dengan jelas dan dapat dipahami tanpa harus disertai penjelasan tekstual; (3) besar gambar tidak boleh melebihi setengah halaman; (4) judul gambar ditempatkan di bawah gambar, bukan di atasnya; (5) cara penulisan judul gambar sama dengan penulisan judul tabel; (6) gambar
yang dikutip dari sumber lain wajib diberi keterangan sesuai ketentuan penulisan catatan kaki gaya CMS dan sumber tersebut dituliskan di bawah judul gambar; (7) penyebutan adanya gambar mendahului gambar; (8) gambar diacu menggunakan angka, bukan dengan kata “gambar di atas” atau “gambar di bawah.” 13. Berikut contoh penulisan daftar rujukan berupa catatan akhir (endnotes) dan daftar pustaka sesuai gaya CMS yang diambil dari website resmi CMS, www.chicagomanualofstyle.org: Book
One author Michael Pollan, The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals (New York: Penguin, 2006), 99–100. 2 Pollan, Omnivore’s Dilemma, 3. Pollan, Michael. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. New York: Penguin, 2006. 1
Two or more authors 1 Geoffrey C. Ward and Ken Burns, The War: An Intimate History, 1941– 1945 (New York: Knopf, 2007), 52. 2 Ward and Burns, War, 59–61. Ward, Geoffrey C., and Ken Burns. The War: An Intimate History, 1941– 1945. New York: Knopf, 2007. For four or more authors, list all of the authors in the bibliography; in the note, list only the first author, followed by et al. (“and others”): 1 Dana Barnes et al., Plastics: Essays on American Corporate Ascendance in the 1960s . . . 2 Barnes et al., Plastics . . . Editor, translator, or compiler instead of author 1 Richmond Lattimore, trans., The Iliad of Homer (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 91–92. 2 Lattimore, Iliad, 24. Lattimore, Richmond, trans. The Iliad of Homer. Chicago: University of Chicago Press, 1951. Book published electronically If a book is available in more than one format, cite the version you consulted. For books consulted online, list a URL; include an access date
only if one is required by your publisher or discipline. If no fixed page numbers are available, you can include a section title or a chapter or other number. 1 Jane Austen, Pride and Prejudice (New York: Penguin Classics, 2007), Kindle edition. 2 Philip B. Kurland and Ralph Lerner, eds., The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago Press, 1987), accessed February 28, 2010, http://press-pubs.uchicago.edu/founders/. 3 Austen, Pride and Prejudice. 4 Kurland and Lerner, Founder’s Constitution, chap. 10, doc. 19. Austen, Jane. Pride and Prejudice. New York: Penguin Classics, 2007. Kindle edition. Kurland, Philip B., and Ralph Lerner, eds. The Founders’ Constitution. Chicago: University of Chicago Press, 1987. Accessed February 28, 2010. http://press-pubs.uchicago.edu/founders/. Journal article
Article in a print journal In a note, list the specific page numbers consulted, if any. In the bibliography, list the page range for the whole article. 1 Joshua I. Weinstein, “The Market in Plato’s Republic,” Classical Philology 104 (2009): 440. 2 Weinstein, “Plato’s Republic,” 452–53. Weinstein, Joshua I. “The Market in Plato’s Republic.” Classical Philology 104 (2009): 439–58.
Article in an online journal Include a DOI (Digital Object Identifier) if the journal lists one. A DOI is a permanent ID that, when appended to http://dx.doi.org/ in the address bar of an Internet browser, will lead to the source. If no DOI is available, list a URL. Include an access date only if one is required by your publisher or discipline. 1 Gueorgi Kossinets and Duncan J. Watts, “Origins of Homophily in an Evolving Social Network,” American Journal of Sociology 115 (2009): 411, accessed February 28, 2010, doi:10.1086/599247. 2 Kossinets and Watts, “Origins of Homophily,” 439.
Kossinets, Gueorgi, and Duncan J. Watts. “Origins of Homophily in an Evolving Social Network.” American Journal of Sociology 115 (2009): 405– 50. Accessed February 28, 2010. doi:10.1086/599247. Article in a newspaper or popular magazine Newspaper and magazine articles may be cited in running text (“As Sheryl Stolberg and Robert Pear noted in a New York Times article on February 27, 2010,. . .”) instead of in a note, and they are commonly omitted from a bibliography. The following examples show the more formal versions of the citations. If you consulted the article online, include a URL; include an access date only if your publisher or discipline requires one. If no author is identified, begin the citation with the article title. 1 Daniel Mendelsohn, “But Enough about Me,” New Yorker, January 25, 2010, 68. 2 Sheryl Gay Stolberg and Robert Pear, “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote,” New York Times, February 27, 2010, accessed February 28, 2010, http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html. 3 Mendelsohn, “But Enough about Me,” 69. 4 Stolberg and Pear, “Wary Centrists.” Mendelsohn, Daniel. “But Enough about Me.” New Yorker, January 25, 2010. Stolberg, Sheryl Gay, and Robert Pear. “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote.” New York Times, February 27, 2010. Accessed February 28, 2010. http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html. Thesis or dissertation 1 Mihwa Choi, “Contesting Imaginaires in Death Rituals during the Northern Song Dynasty” (PhD diss., University of Chicago, 2008). 2 Choi, “Contesting Imaginaires.” Choi, Mihwa. “Contesting Imaginaires in Death Rituals during the Northern Song Dynasty.” PhD diss., University of Chicago, 2008.
Website A citation to website content can often be limited to a mention in the text or in a note (“As of July 19, 2008, the McDonald’s Corporation listed on its website. . .”). If a more formal citation is desired, it may be styled as in the examples below. Because such content is subject to change, include an access date or, if available, a date that the site was last modified. 1 “Google Privacy Policy,” last modified March 11, 2009, http://www.google.com/intl/en/privacypolicy.html. 2 “McDonald’s Happy Meal Toy Safety Facts,” McDonald’s Corporation, accessed July 19, 2008, http://www.mcdonalds.com/corp/about/factsheets.html. 3 “Google Privacy Policy.” 4 “Toy Safety Facts.” Google. “Google Privacy Policy.” Last modified March 11, 2009. http://www.google.com/intl/en/privacypolicy.html. McDonald’s Corporation. “McDonald’s Happy Meal Toy Safety Facts.” Accessed July 19, 2008. http://www.mcdonalds.com/corp/about/factsheets.html. E-mail or text message E-mail and text messages may be cited in running text (“In a text message to the author on March 1, 2010, John Doe revealed . . .”) instead of in a note, and they are rarely listed in a bibliography. The following example shows the more formal version of a note. 1 John Doe, e-mail message to author, February 28, 2010. Item in a commercial database For items retrieved from a commercial database, add the name of the database and an accession number following the facts of publication. In this example, the dissertation cited above is shown as it would be cited if it were retrieved from ProQuest’s database for dissertations and theses. Choi, Mihwa. “Contesting Imaginaires in Death Rituals during the Northern Song Dynasty.” PhD diss., University of Chicago, 2008. ProQuest (AAT 3300426).
ISSN 2528-3472
9 772 528 34 700 4