PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN WAKTU HIDROLISIS PADA TEPUNG BELALANG KEMBARA (Locusta sp.) TERHADAP DEGRADASINYA SECARA IN SACCO (The Effect of NaOH Concentration and Hydrolitic Time of Locusta sp. Mill on Its In Sacco Degradation) J. Daryatmo Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang, Magelang
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi NaOH pada tepung belalang kembara (Locusta sp.)terhadap degradasi in sacco. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2 X 3 dengan replikasi sebanyak tiga kali. Faktor pertama yaitu waktu hidrolisis 24 jam dan 48 jam. Faktor kedua yaitu konsentrasi NaOH 0%, 3% dan 6%. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kombinasi antara konsentrasi NaOH dan waktu hidrolisis yang tinggi mampu meningkatkan degradasi bahan kering, bahan organik dan protein tepung belalang kembara. Penggunaan konsentrasi NaOH sampai 6% mampu meningkatkan nilai degradasi teori (DT) bahan kering (BK), bahan organik (BO) dan protein kasar (PK) tepung belalang. Waktu hidrolisis hanya berpengaruh terhadap nilai DT BK. Interaksi juga hanya mempengaruhi nilai DT BK. Kombinasi konsentrasi NaOH 6% dan waktu hidrolisis 24 jam menghasilkan nilai DT BK tertinggi (51,57%). Oleh karena itu, kombinasi penggunaan konsentrasi NaOH dan waktu hidrolisis tersebut dapat disarankan sebagai upaya untuk meningkatkan kecernaan tepung belalang Kumbara. Kata kunci : degradasi in sacco, tepung belalang, waktu hidrolisis, NaOH ABSTRACT The experiment was carried out to study the effect of NaOH concentration and hydrolitic time of Locusta sp. mill on its in sacco degradation. Locusta sp. mills were hydolized with 0%; 3% and 6% NaOH solution, and each hydrolitic process was conducted for 24 and 48 hr. The study used a 2 X 3 factorial pattern in the completely randomized design with 3 replications. The NaOH concentration and hyroilitic time were set as fixed treatments. The results showed that the combined effect of highest NaOH concentration and longest hydrolitic time increased significantly the dry matter and organic matter degradation of Locusta sp. The use of 6% NaOH increased the value of degradation theory of dry matter, organic matter and crude protein of Locusta sp. mill. Hydrolitic time only affected the value of degradation theory of dry matter. The interactive treatments also only affected the value of degradation theory of dry matter. The combined effect of 6% NaOH and 24 hr hydrolitic time resulted in the highest value of degradation theory of dry matter. Therefore, it was suggested that the combined effect could be used to enhance the digestibility of dry matter and organic matter of Locusta sp. mill. Keywords : in sacco degradation, Locusta sp. mill, hydrolitic time, NaOH
136
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
PENDAHULUAN Di Indonesia, khususnya di Kalimantan, Sumatera (Lampung) dan Kupang, terdapat sejenis belalang perusak tanaman (locust) yang telah menyebabkan bencana bagi lahan pertanian. Migrasi belalang ini terjadi antar pulau, sehingga disebut ‘migratory locusts’ (Sudibyakto dan Suripto, 1999). Menurut data dari Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, diketahui bahwa belalang ini pada tahun 1971 menyerang Halmahera, 1990 di Kalimantan, sekitar Mei 1998 di Lampung dan terakhir pada awal 1999 diketahui sampai di Kupang. Serangan belalang tersebut dilaporkan terjadi lagi di Lampung dan di P. Sumba, Nusa Tenggara Timur pada pertengahan dan akhir 1999 (Sudibyakto dan Suripto, 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa locusta semula bukan hama, tetapi karena ledakan populasinya maka menjadi hama. Peningkatan harga protein hewani dan nabati konvensional yang kebanyakan bersumber pada ikan, kedelai dan produk samping, menyebabkan orang semakin tertarik untuk mencari sumber protein lain sebagai pengganti (Nasroedin, 1998). Beberapa laporan menyebutkan bahwa hewan dalam kelompok insekta (serangga) dipandang mempunyai prospek menggantikan sebagian tepung ikan. Penelitian kearah budidaya dan pengolahan serta mengklasifikasikan sebagai bahan pakan masih terus berkembang dan lebih dari itu telah diketahui bahwa hampir semua spesies insekta dapat dimakan oleh manusia, apalagi oleh ternak (Nasroedin, 1998). Kandungan protein kasar belalang mencapai 76% tetapi sedikit kelemahan pada tepung belalang adalah komposisi protein kasarnya mengandung nitrogen dalam bentuk senyawa khitin. Khitin tersebut terdapat pada bagian exoskeleton dan sulit dicerna oleh ayam, karena khitin mengandung Nacetylated-glucosamine polysacharide yang mengandung 7% nitrogen atau ekivalen dengan 43,7% protein kasar (+55% dari total protein kasar). Khitin ini yang menyebabkan nilai cerna protein kasar tepung belalang pada ayam hanya mencapai 62% (Nasroedin, 1998). Profil kandungan asam amino dari tepung belalang sedikit di bawah tepung ikan. Kandungan arginin, sistin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, tryptofan, dan tirosin
dalam tepung belalang masing-masing adalah 4,8; 0,4; 3,6; 5,7; 5,9; 2,6; 4,6; 3,5; 5,6 dan 3,9 g/100g protein (Nasroedin, 1998). Menurut Hemsted (1947) dalam Bo Gohl (1975), locusts disukai oleh banyak suku di Afrika dan juga digunakan sebagai pakan untuk ternak. Locust yang telah mati sesekali waktu tersedia dalam jumlah besar. Locusta yang dibunuh dengan di-nitroortho-cresol dapat digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan yang dibasmi dengan arsenikum tidak dapat digunakan sebagai pakan karena belalang terkontaminasi oleh arsenikum. Pemanfaatan tepung belalang kembara sebagai pangan manusia menemui kendala, karena menimbulkan reaksi allergis bagi yang tidak tahan, umumnya berupa gatal-gatal di kulit (Sosromarsono, 1999). Cara pemberantasan yang umum dilakukan adalah dengan pengendalian massal oleh manusia secara bersama-sama dengan melibatkan banyak orang terjun langsung ke lahan pertanian yang diserang kemudian secara mekanis belalang ditangkap atau dibunuh secara manual dengan menggunakan jaring atau dengan insektisida. Namun penyemprotan dalam areal yang luas secara ekonomi tidak menguntungkan. Sebetulnya tanaman sudah rusak dan secara ekologis tidak dapat dipertanggungjawabkan karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan terbunuhnya musuh alami serta organisme bukan sasaran lainnya (Sosromarsono, 1999). Tepung belalang diketahui mengandung komponen-komponen yang tidak menunjang ketercernaannya antara lain khitin yang terdapat pada bagian eksoskeleton yang sulit dicerna dan kandungan serat kasarnya (Nasroedin, 1998). Hal inilah yang menyebabkan kecernaannya perluditingkatkan dengan perlakuan tertentu, atau pradigesti secara kimia. Dalam hal ini tepung belalang dihidrolisis menggunakan bahan kimia NaOH dengan konsentrasi tertentu. Perlakuan alkali (NaOH) ini diharapkan mampu meningkatkan kecernaan bahan pakan dan tepung belalang. Winarti (1992) menyatakan, perlakuan alkali yakni NaOH mampu menghidrolisis gugus asetil pada khitin. Khitin akan mengalami deasetilasi, sehingga khitin berubah menjadi khitosan yang menyebabkan kadar khitin berkurang.
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
137
Potensi belalang kembara yang cukup tinggi, terutama pada daerah yang mengalami ledakan populasi belalang, menyebabkan belalang dapat digunakan sebagai pakan ternak. Namun kualitas nutrisi dari belalang ini belum diketahui. Nilai nutrisi belalang kembara dapat dievaluasi dengan meneliti degradasinya secara in sacco. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi NaOH terhadap degradasi in sacco tepung belalang kembara (Locusta sp.). MATERI DAN METODE Sampel belalang didapat dari perkebunan tebu Gunung Madu Plantation, Lampung Tengah, Sumatera. Uji degradasi in sacco menggunakan 2 ekor sapi peranakan Friesian Holstein betina dewasa tidak laktasi dengan berat sekitar 350 kg yang difistula pada bagian rumennya. Sapi selama penelitian diberi pakan standar berupa hijauan dan konsentrat dengan perbandingan 70:30; untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya. Air minum diberikan secara ad libitum. Sampel tepung belalang didapat dengan cara mengeringkan belalang dengan oven 55-60oC selama 96 jam, kemudian digiling menjadi tepung dengan alat Wiley mill menggunakan saringan berdiameter 1 mm. Cuplikan diambil untuk dianalisis kadar air. Tepung belalang dalam 6 stoples kaca ditambahkan larutan NaOH 0%, 3% dan 6% dengan perbandingan berat per volume (b/v) 1:1 dan diaduk sampai rata sehingga menjadi 6 kombinasi perlakuan yaitu: 1. Waktu hidrolisis 24 jam dengan konsentrasi NaOH 0%; 2. Waktu hidrolisis 48 jam dengan konsentrasi NaOH 0%; 3. Waktu hidrolisis 24 jam dengan konsentrasi NaOH 3%; 4. Waktu hidrolisis 48 jam dengan konsentrasi NaOH 3%; 5. Waktu hidrolisis 24 jam dengan konsentrasi NaOH 6%; dan 6. Waktu hidrolisis 48 jam dengan konsentrasi NaOH 6%. Kesemuanya dilakukan pada temperatur ruang. Selesai masa hidrolisis, bahan dikeringkan dengan oven 50oC selama 72 jam. Keseluruhan proses yang sama diulangi 2 kali lagi sebagai replikasi, sehingga total replikasi 3 kali. Kantong dibuat dari kain nylon yang memiliki porositas sekitar 46 milimikron dan berukuran 6 X 11
138
cm (Widyobroto et al. 1997). Kantong dibuat dengan cara diklem dengan alat klem pada ketiga sisinya. Kantong nylon ditandai sesuai dengan kode perlakuan dan nomor replikasi, kemudian kantong dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam dan ditimbang berat kosongnya. Selanjutnya kurang lebih 4 g sampel tepung belalang dimasukkan dalam kantong nylon, kemudian diklem lalu ditimbang. Kantong nylon dengan kode waktu inkubasi yang sama diikat jadi satu pada cincin besi berlapis chrom seberat 675 g dengan benang nylon yang berbeda-beda warnanya untuk memudahkan waktu pengambilan, kantong-kantong nylon tersebut akan dimasukkan ke dalam rumen sapi melalui fistula. Sebelum digunakan untuk penelitian sapi diadaptasikan dengan pakan penelitian. Adaptasi tersebut dilakukan untuk memperoleh kondisi rumen yang stabil selama penelitian berlangsung. Periode adaptasi dilakukan selama 2 minggu, ransum diberikan secara terbatas, untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan didistribusikan dua kali sehari. Konsentrat diberikan satu jam sebelum hijauan dan air minum diberikan secara ad libitum. Setelah masa adaptasi, dilakukan tahap penelitian selanjutnya yaitu inkubasi sampel tepung belalang di dalam kantong nylon ke dalam rumen sapi yang digunakan dalam penelitian. Inkubasi kantong ke dalam rumen dilakukan pada saat pakan pagi didistribusikan (maksimal 30 kantong per ekor). Kantong nylon diambil sesuai dengan waktu inkubasinya dan dicuci dengan air mengalir sampai bersih kurang lebih 10 menit, kemudian dianginanginkan dan dimasukkan ke dalam oven temperatur 55-60oC selama 48 jam sampai beratnya konstan. Kantong nylon yang telah dioven ditimbang, residu dikeluarkan dan kemudian dianalisis bahan kering, bahan organik dan protein kasarnya. Nilai a, b dan c yang diperoleh digunakan untuk menghitung degradasi teori (DT) dengan persamaan : DT=a+{(bc)/(c+Kp)}. Kp merupakan gerak laju partikel pakan keluar rumen (%/jam). Untuk menghitung DT digunakan program Microsoft Excel. Perhitungan pada program ini dilakukan dengan menggunakan asumsi nilai Kp sebesar 4%/jam.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
Tiga subsampel diambil secara acak dari masing-masing kombinasi perlakuan sampel tepung belalang untuk dianalisis proksimat (air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar) dan khitin. Sampel yang didapat dari percobaan degradasi in sacco dianalisis bahan kering (BK), bahan organik (BO) dan protein kasar (PK). Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan analisis variansi untuk rancangan acak lengkap pola faktorial 2 X 3. Jika hasilnya berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Dunnet T3 (Gomez dan Gomez, 1984; Hanafiah, 1994) HASIL DAN PEMBAHASAN Kinetika Degradasi Bahan kering Kinetika degradasi setiap waktu inkubasi bahan kering tepung belalang, yang merupakan ratarata dari 8 pengamatan disajikan pada Ilustrasi 1. Dari pengamatan yang dilakukan ternyata ada suatu peningkatan persentase degradasi BK dengan meningkatnya waktu inkubasi. Besarnya rerata persentase kehilangan BK pada inkubasi 2 jam pada perlakuan 0%-24 (T1); 0%-48 (T2); 3%-24 (T3); 3%-48 (T4); 6%-24 (T5) dan 6%-48 (T6) berturut-turut adalah 35,89; 36,17; 49,97; 47,61; 59,62 dan 56,95%, sedangkan pada inkubasi 48 jam, berturut-turut adalah 59,59; 59,96; 64,59; 63,23; 72,26; 67,82%. Peningkatan persentase kehilangan BK dari tepung belalang pada penggunaan konsentrasi NaOH yang makin tinggi dimungkinkan oleh
peningkatan fraksi yang mudah larut (a) sebagai akibat dari perlakuan NaOH. Hal yang sebaliknya terjadi pada penelitian Sakhidi (1998) yaitu terjadi penurunan persentase kehilangan BK dari jerami kacang tanah yang mengalami perlakuan pemanasan. Penurunan persentase kehilangan BK ini disebabkan oleh penurunan fraksi yang mudah larut (a) sebagai akibat dari perlakuan pemanasan, sehingga membutuhkan waktu untuk mengalami degradasi di dalam rumen (Sakhidi, 1998). Kustantinah et al. (1993) melaporkan bahwa dengan adanya pemanasan, hijauan akan tahan terhadap serangan mikrobia rumen. Menurut Jauhari (1999), degradasi cenderung makin meningkat sejalan dengan semakin lamanya waktu inkubasi, tetapi kecepatannya semakin menurun. Hal ini karena jumlah substrat yang tersedia untuk proses fermentasi di dalam rumen semakin menurun. Kecepatan degradasi BK ditunjukkan dengan slope grafik yang semakin kecil sedang data degradasi BK dihitung dari data kehilangan kumulatif dari waktu ke waktu. Analisis variansi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) dari faktor konsentrasi NaOH terhadap degradasi BK pada inkubasi 2, 4, 8, 16, 24 dan 48 jam. Faktor waktu hidrolisis berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) pada inkubasi 8, 16 dan 48 jam, sedangkan pada inkubasi 24 jam nyata (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada sejak awal inkubasi, degradasi BK tepung
Tabel 1. Rerata Nilai Fraksi a, b, c dan dt Bahan Kering Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda Konsentrasi NaOH Fraksi Waktu hidrolisis 0% 3% 6% a (%) 24 jam 8,01 20,83 32,79 48 jam 8,65 17,32 30,06 Rerata 8,33a 19,08b 31,43 c b (%) 24 jam 51,58 43,76 39,47 48 jam 51,31 45,91 37,76 Reratans 51,45 44,84 38,62 c (%/jam) 24 jam 3,82 4,15 3,63 48 jam 3,82 4,69 3,17 Reratans 3,82 4,42 3,40 DT (%) 24 jam 33,21 43,12 51,57 48 jam 33,71 42,10 46,76 Rerata 33,46a 42,61b 49,17 c a,b,c ns
Rerata 20,54ns 18,68ns 44,94ns 44,99ns 3,87ns 3,89ns 42,63a 40,86 b
Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) Tidak berbeda nyata (P > 0,05)
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
139
80 70
Kehilangan BK (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
12
24
36
48
W a k t u In k u b a s i (ja m )
Ilustrasi 1. Kinetika Degradasi Bahan Kering (BK) Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda ( untuk 0% NaOH selama 24 jam; untuk 0% NaOH selama 48 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 24 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 48 jam; Ο untuk 6NaOH selama 24 jam; Ο untuk 6% NaOH selama 48 jam)
belalang diantara konsentrasi NaOH berbeda dimana degradasi tertinggi dicapai oleh konsentrasi 6%. Faktor waktu hidrolisis belum berpengaruh pada degradasi BK di awal waktu inkubasi, tetapi mulai berpengaruh setelah inkubasi 8 jam. Degradasi Bahan Kering Nilai fraksi a (mudah larut), fraksi b (potensial terdegradasi), fraksi c (laju degradasi fraksi b) dan DT (degradasi teori) bahan kering tepung belalang pada konsentrasi NaOH dan waktu hidrolisis yang berbeda, yang merupakan rata-rata dari 8 pengamatan disajikan pada Tabel 1. Peningkatan persentase fraksi a dan nilai DT BK secara nyata (P < 0,01) terjadi pada penggunaan konsentrasi NaOH yang makin tinggi. Peningkatan fraksi a ini diduga karena pada penggunaan konsentrasi NaOH yang makin tinggi dapat menurunkan substansi yang sukar larut pada tepung belalang antara lain menurunnya kandungan khitin dan serat kasar. Meskipun faktor waktu hidrolisis tidak berpengaruh, juga tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan.
140
Tepung belalang pada semua perlakuan tidak mengalami perbedaan yang nyata pada fraksi yang potensial terdegradasi (b) maupun fraksi c (laju degradasi dari fraksi b). Hal ini diduga karena bervariasinya hasil yang didapat dimana diantara ulangan dan diantara perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak beraturan sehingga hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hasil analisis variansi terhadap nilai DT BK tepung belalang menunjukkan bahwa baik konsentrasi maupun waktu berpengaruh secara sangat nyata (P < 0,01). Hasil uji lanjut antar konsentrasi terhadap nilai DT tepung belalang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) antara konsentrasi yang satu dengan konsentrasi yang lain. Nilai DT tertinggi dicapai pada penggunaan konsentrasi NaOH 6%, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH 6% dapat meningkatkan degradasi tepung belalang.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
Tabel 2. Rerata Nilai Fraksi a, b, c dan dt Bahan Organik Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda Konsentrasi NaOH Fraksi Waktu hidrolisis 0% 3% 6% a (%) 24 jam 13,68 26,61 35,76 48 jam 14,67 23,44 36,85 Rerata 14,18a 25,03b 36,31 c b (%) 24 jam 50,44 41,17 37,48 48 jam 49,68 44,06 34,68 Reratans 50,06 42,62 36,08 c (%/jam) 24 jam 3,47 3,60 3,13 48 jam 3,41 4,41 2,64 Reratans 3,44 4,01 2,89 DT (%) 24 jam 37,12 46,11 52,21 48 jam 37,53 46,55 50,64 Rerata 37,33a 46,33b 51,43 c a,b,c ns
Rerata 25,35ns 24,99ns 43,03ns 42,81ns 3,40ns 3,49ns 45,15ns 44,91ns
Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) Tidak berbeda nyata (P > 0,05)
Peningkatan nilai degradasi teori bahan kering (BK) tepung belalang ini disebabkan karena pada konsentrasi NaOH yang semakin tinggi, kadar serat kasar dan kadar khitinakan semakin menurun, sehingga degradasi BK meningkat. Nasroedin (1998) menyatakan bahwa kelemahan pada tepung belalang adalah bahwa komposisi protein kasarnya mengandung nitrogen dalam bentuk senyawa khitin, terdapat pada bagian eksoskeleton dan sulit dicerna oleh ayam. Khitin mengandung N-acetylatedglucosamine polysacharide yang mengandung 7% nitrogen yang setara dengan 43,7% protein kasar (+ 55% dari total protein kasar) sehingga menyebabkan nilai cerna protein kasar tepung belalang oleh ayam hanya mencapai 62% (Nasroedin, 1998). Perkecualian pada burung pemakan insekta yang dapat mencerna khitin dengan baik karena memiliki enzim khitinase dalam saluran pencernaannya (Nasroedin, 1998). Kandungan khitin semakin menurun dengan semakin tingginya waktu hidrolisis dan meningkatnya konsentrasi NaOH. Hal ini disebabkan karena NaOH dapat menghilangkan gugus asetil pada khitin (khitin mengalami deasetilasi) sehingga merubah khitin menjadi khitosan (Winarti, 1992) yang menyebabkan kadar khitin berkurang. Winugroho (1981) dan Herrera et al. (1982) dalam Winugroho et al. (1983) melaporkan bahwa serat kasar yang tinggi pada jerami padi menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan. Perlakuan kimia yang menggunakan natrium hidroksida, kapur
atau ammonia dapat menaikkan kecernaan serat kasar. Suharto (1984) menyatakan bahwa perlakuan NaOH akan memperbesar volume dari partikel bahan pakan sehingga ikatan antar komponen pakan menjadi renggang. Kecernaan meningkat karena pecahnya ikatan antara lignin dengan hemiselulosa atau dengan selulosa (Klopfenstein, 1978 dalam Lebdosukojo dan Hartadi, 1982). Lebdosukojo dan Hartadi (1982) menyatakan bahwa terjadi perubahan struktur mikroskopik jaringan jerami padi yang diperlakukan dengan alkali dan diikuti pencernaan in vitro. Dengan ‘scanning electron microscope’ (SEM) terlihat bahwa dengan perlakuan NaOH 2% terjadi pemisahan sel-sel parenkim dengan sarung berkas pengangkut, kemudian setelah dicerna secara in vitro terjadi pelepasan berkas pengangkut dan pencernaan parenkim yang ekstensif tetapi jaringan epidermis masih utuh. Dengan NaOH 4% terjadi hal serupa, tetapi jaringan epidermis sebagian tercerna dan seluruh jaringan parenkim terlarut sedangkan serabut-serabut yang mengandung lignin terlepas. Perlakuan alkali diperkirakan melarutkan lamina inter selular yang serupa, meskipun peruraian sel-sel tergantung pada kebasaan larutan. Utomo et al. (1985) melaporkan bahwa perlakuan alkali menggunakan kostik soda dan urea sebanyak 4% dari berat bahan kering bagasse dapat menaikkan kecernaan bahan kering dan energi tercernanya, tetapi perlakuan tersebut tidak
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
141
menghasilkan protein dapat dicerna yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok domba. Perlakuan NaOH yang merupakan alkali kuat, dengan level 2, 4 ataupun 6% mampu meningkatkan kecernaan bahan kering secara nyata. Larutan NaOH merupakan alkali yang paling efektif meningkatkan kecernaan limbah pertanian atau industri, karena mampu membengkakkan ikatan lignoselulose yang lebih besar sehingga kecernaannya meningkat (Soejono et al., 1985). Waktu hidrolisis juga berpengaruh sangat nyata (P < 0,01). Waktu hidrolisis 24 jam ternyata menghasilkan nilai DT yang lebih tinggi daripada waktu hidrolisis 48 jam. Hal ini disebabkan penurunan kandungan bahan organik yang mudah tercerna pada tepung belalang seperti protein dan lemak tidak setinggi pada waktu hidrolisis 48 jam sehingga kandungan bahan organik pada penggunaan waktu hidrolisis 24 jam lebih tinggi dan oleh karena itu kadar abu pada waktu hidrolisis 48 jam lebih tinggi daripada waktu hidrolisis 24 jam. Selain itu, waktu hidrolisis 24 jam diduga sudah cukup meningkatkan degradasinya dan peningkatan waktu
hidrolisis justru menurunkan nilai DT. Interaksi antara kedua faktor adalah nyata (P < 0,01). Pada konsentrasi NaOH 6% dengan waktu hidrolisis 24 jam nilai DTnya paling tinggi. Kinetika Degradasi Bahan Organik Kinetika degradasi setiap waktu inkubasi bahan organik (BO) tepung belalang, yang merupakan rata-rata dari 8 pengamatan disajikan pada Ilustrasi 2. Dari pengamatan yang dilakukan ternyata terdapat suatu peningkatan persentase degradasi BO dengan meningkatnya waktu inkubasi. Besarnya rerata persentase kehilangan BO pada inkubasi 2 jam pada perlakuan 0%-24 (T1); 0%-48 (T2); 3%-24 (T3); 3%-48 (T4); 6%-24 (T5) dan 6%-48 (T6) berturut-turut adalah 42,09; 42,45; 55,26; 53,01; 62,10 dan 62,34% sedangkan pada inkubasi 48 jam, berturut-turut adalah 64,12; 64,35; 67,78; 67,50; 73,24 dan 71,53%. Peningkatan persentase kehilangan BO dari tepung belalang pada penggunaan konsentrasi NaOH yang makin tinggi disebabkan oleh peningkatan fraksi yang mudah larut (a) sebagai akibat dari perlakuan NaOH.
80 70
Kehilangan BO (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
12
24
36
48
W a k tu In k u b a s i (ja m )
Ilustrasi 2. Kinetika Degradasi Bahan Organik (BO) Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda ( untuk 0% NaOH selama 24 jam; untuk 0% NaOH selama 48 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 24 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 48 jam; Ο untuk 6NaOH selama 24 jam; Ο untuk 6% NaOH selama 48 jam)
142
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) dari faktor konsentrasi NaOH terhadap degradasi BO pada inkubasi 2, 4, 8, 16, 24 dan 48. Waktu hidrolisis berpengaruh secara tidak nyata pada seluruh waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada sejak awal inkubasi, degradasi BO tepung belalang antar konsentrasi adalah berbeda dimana degradasi tertinggi dicapai oleh konsentrasi 6%. Faktor waktu hidrolisis tidak berpengaruh pada persentase kehilangan BO. Degradasi Bahan Organik Nilai fraksi a (mudah larut), fraksi b (potensial terdegradasi), fraksi c (laju degradasi fraksi b) dan DT (Degradasi Teori) BO tepung belalang pada konsentrasi dan waktu hidrolisis NaOH yang berbeda, yang merupakan rata-rata dari 8 pengamatan disajikan pada Tabel 2. Peningkatan persentase fraksi a dan nilai DT BO secara nyata (P < 0,01) pada penggunaan konsentrasi NaOH yang semakin tinggi. Peningkatan fraksi a (mudah larut) ini disebabkan karena pada penggunaan konsentrasi NaOH yang makin tinggi dapat menurunkan khitin dan serat kasar. Meskipun faktor waktu hidrolisis tidak berpengaruh, juga tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Fraksi yang potensial terdegradasi (b) dan laju fraksi b (c) pada semua perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata dan interaksi kedua
faktor perlakuan juga tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh variasi hasil yang didapat dimana antar sapi dan antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup besar sehingga hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hasil analisis variansi nilai DT BO tepung belalang menunjukkan bahwa konsentrasi berpengaruh secara sangat nyata (P < 0,01). Hasil uji lanjut antar konsentrasi terhadap nilai DT tepung belalang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara konsentrasi yang satu dengan konsentrasi yang lain. Nilai DT tertinggi dicapai pada penggunaan konsentrasi NaOH 6% Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH 6% dapat meningkatkan degradasi BO tepung belalang. Peningkatan degradasi bahan organik (BO) tepung belalang ini disebabkan oleh kadar serat kasar pada konsentrasi NaOH yang semakin tinggi cenderung menurun, sehingga degradasinya cenderung meningkat. Winugroho (1981) dan Herrera et al. (1982) dalam Winugroho et al. (1983) menyatakan bahwa serat kasar yang tinggi pada jerami padi menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan. Perlakuan kimia yang menggunakan natrium hidroksida, kapur atau ammonia tampaknya dapat menaikkan kecernaan serat kasar. Menurut Suharto (1984), perlakuan NaOH akan memperbesar volume dari partikel bahan pakan sehingga ikatan antar komponen pakan menjadi renggang. Kecernaan
Tabel 3. Rerata Nilai Fraksi a, b, c dan dt Protein Kasar Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda Konsentrasi NaOH Fraksi Waktu hidrolisis 0% 3% 6% a (%) 24 jam 13,71 26,11 37,90 48 jam 16,21 21,07 39,69 Rerata 14,96a 23,59b 38,79c b (%) 24 jam 49,57 40,39 34,49 48 jam 50,50 42,85 26,61 Reratans 50,04 41,62 30,55 c (%/jam) 24 jam 4,12 5,35 3,18 48 jam 4,80 5,52 4,79 Reratans 4,46 5,44 3,99 DT (%) 24 jam 38,86 49,22 53,18 48 jam 43,75 45,92 54,19 Rerata 41,31a 47,57b 53,69c a,b,c ns
Rerata 25,91ns 25,66ns 41,48ns 39,99ns 4,22ns 5,04ns 47,09ns 47,95ns
Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) Tidak berbeda nyata (P > 0,05)
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
143
80
Kehilangan PK (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
12
24
36
48
Waktu Inkubasi (jam) Ilustrasi 3. Kinetika Degradasi Protein Kasar (PK) Tepung Belalang pada Konsentrasi NaOH dan Waktu Hidrolisis yang Berbeda ( untuk 0% NaOH selama 24 jam; untuk 0% NaOH selama 48 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 24 jam; ∆ untuk 3% NaOH selama 48 jam; Ο untuk 6NaOH selama 24 jam; Ο untuk 6% NaOH selama 48 jam)
akan meningkat karena pecahnya ikatan antara lignin dengan hemiselulosa atau dengan selulosa (Klopfenstein, 1978 dalam Lebdosukojo dan Hartadi, 1982). Lebdosukojo dan Hartadi (1982) menyatakan bahwa selain itu terjadi perubahan struktur mikroskopik jaringan jerami padi yang diperlakukan dengan alkali dan diikuti pencernaan in vitro. Dengan SEM terlihat bahwa dengan perlakuan NaOH 2% terjadi pemisahan sel-sel parenkim dengan sarung berkas pengangkut, kemudian setelah dicerna secara in vitro terjadi pelepasan berkas pengangkut dan pencernaan parenkim yang ekstensif tetapi jaringan epidermis masih utuh. Dengan NaOH 4% terjadi hal serupa tetapi jaringan epidermis sebagian tercerna dan seluruh jaringan parenkim terlarut sedangkan serabut-serabut yang mengandung lignin terlepas. Perlakuan alkali diperkirakan mampu melarutkan lamina inter selular sehingga sel-sel terurai, yang menyebabkan mudahnya penyerangan oleh mikroorganisme sehingga kecernaan meningkat. Waktu hidrolisis berpengaruh tidak nyata dan tidak
144
terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap nilai DT BO. Kinetika Degradasi Protein Kasar Kinetika degradasi setiap waktu inkubasi protein kasar tepung belalang pada konsentrasi dan waktu hidrolisis NaOH yang berbeda, yang merupakan rata-rata dari 8 pengamatan disajikan pada Ilustrasi 3. Persentase kehilangan PK di dalam rumen pada waktu inkubasi 2 jam pada kombinasi perlakuan 0%-24 (T1); 0%-48 (T2); 3%-24 (T3); 3%-48 (T4); 6%24 (T5) dan 6%-48 (T6) berturut-turut adalah 42,89; 45,87; 54,89; 51,40; 62,96 dan 59,94% sedangkan pada inkubasi 48 jam, adalah 63,28; 66,70; 66,50; 63,92; 72,39 dan 66,30%. Persentase degradasi PK akan meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi, sedangkan kecepatannya semakin lama semakin menurun. Hasil degradasi yang cenderung meningkat ini disebabkan oleh semakin lamanya sampel tinggal di dalam rumen, yaitu dengan meningkatnya waktu inkubasi di dalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Hvelplund (1991) dalam Isnainiyati (1998) bahwa degradasi
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
protein dalam rumen dipengaruhi oleh laju hidrolisis dan waktu tinggal pakan di dalam rumen. Penurunan laju degradasi disebabkan oleh penurunan substrat yang mudah terdegradasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kempton (1978) bahwa degradasi berhubungan dengan tersedianya substrat untuk fermentasi, sehingga dengan penurunan substrat yang mudah terdegradasi maka laju degradasi cenderung turun. Leng dan Preston (1985) dalam Isnainiyati (1998) menyatakan bahwa kehilangan protein dalam rumen merupakan indikasi peningkatan tersedianya NH3 untuk sintesis protein mikrobia di dalam rumen. Laju degradasi yang cepat disebabkan tingginya jumlah N yang cepat terdegradasi (N sitoplasma), sehingga menyebabkan kehilangan fraksi N yang tinggi. Berkurangnya laju degradasi menunjukkan bahwa jumlah N yang mudah terdegradasi semakin berkurang. Seperti halnya pada BK dan BO, persentase kehilangan PK yang meningkat ini dimungkinkan oleh meningkatnya nilai fraksi yang mudah larut (a) secara nyata (P < 0,01) pada konsentrasi yang semakin tinggi. Meskipun faktor waktu hidrolisis tidak berpengaruh, juga tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan. Peningkatan nilai fraksi a disebabkan menurunnya substansi sukar larut seperti serat kasar dan khitin. Nilai a PK yang tinggi menunjukkan tingkat kelarutannya yang tinggi, sehingga mudah didegradasi menjadi NH3 oleh mikrobia rumen. Menurut Hume (1982) yang disitasi oleh Sakhidi (1998), kelarutan protein merupakan faktor utama yang mempengaruhi degradasi pakan, sehingga dengan meningkatnya substansi yang sukar larut maka tingkat degradasinya semakin menurun. Analisis variansi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) dari faktor konsentrasi NaOH terhadap degradasi PK pada inkubasi 2, 4, 8, 16 dan 24 jam, sedangkan pada inkubasi 48 jam, pengaruhnya nyata (P < 0,05). Waktu hidrolisis berpengaruh secara tidak nyata pada seluruh waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada sejak awal inkubasi, degradasi PK tepung belalang antar konsentrasi berbeda, dengan degradasi tertinggi dicapai oleh konsentrasi 6%.
Waktu hidrolisis berpengaruh tidak nyata pada degradasi PK. Degradasi Protein Kasar Nilai fraksi a (mudah larut), fraksi b (potensial terdegradasi), fraksi c (laju degradasi fraksi b) dan DT (Degradasi Teori) protein kasar (PK) tepung belalang pada konsentrasi dan waktu hidrolisis NaOH yang berbeda, yang merupakan rata-rata dari 8 pengamatan disajikan pada Tabel 3. Pada berbagai konsentrasi NaOH yang digunakan hanya fraksi a (mudah larut) dan nilai DT (degradasi teori) PK berbeda nyata (P < 0,01). Waktu hidrolisis berpengaruh tidak nyata pada semua variabel yang diamati, selain itu interaksi hanya nyata (P < 0,05) pada nilai DT PK, sehingga sesungguhnya kedua faktor secara bersama mempengaruhi nilai DT PK. Tepung belalang pada berbagai konsentrasi dan waktu hidrolisis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada fraksi yang potensial terdegradasi (b) maupun fraksi c (laju degradasi dari fraksi b). Hal ini dimungkinkan oleh variasi hasil antar sapi dan antar perlakuan yang menunjukkan perbedaan potensial terdegradasi (fraksi b) dan kecepatan laju degradasi dari fraksi b (fraksi c) yang tidak beraturan, sehingga hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hasil analisis variansi terhadap nilai DT PK tepung belalang menunjukkan bahwa konsentrasi berpengaruh secara sangat nyata (P < 0,01). Hasil uji lanjut antar konsentrasi terhadap nilai DT tepung belalang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara konsentrasi 0, 3 dan 6%. Nilai DT tertinggi sebesar 53,69% dicapai pada penggunaan konsentrasi NaOH 6%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH 6% dapat meningkatkan nilai DT PK tepung belalang. Nilai DT PK tepung belalang pada penggunaan konsentrasi NaOH 6% adalah paling tinggi. Hal ini disebabkan nilai DT PK, sesuai persamaan yang digunakan, sangat dipengaruhi oleh nilai fraksi a. Pada penggunaan konsentrasi NaOH 6% nilai fraksi a adalah paling tinggi sehingga dalam perhitungan didapatkan nilai DT yang paling tinggi pula. Hasil ini berarti bahwa tingkat kelarutan protein tepung belalang pada konsentrasi NaOH 6% adalah paling cepat, yang menyebabkan pada penggunaan
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
145
konsentrasi ini tepung belalang mampu meyediakan prekursor N lebih cepat dibanding pada penggunaan 0 dan 3%. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnainiyati (1998) yang menyatakan bahwa pada sapi yang diberi pakan jerami kacang tanah, nilai DT PK yang paling tinggi disebabkan oleh nilai fraksi a yang paling tinggi. Fenomena ini disertai dengan tingkat kelarutan protein jerami kacang tanah yang paling cepat karena jerami kacang tanah mampu menyediakan prekursor N lebih cepat dibandingdengan bungkil kelapa. Di lain pihak, waktu hidrolisis berpengaruh tidak nyata terhadap nilai DT PK. Selain itu, tidak terdapat interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan terhadap nilai DT PK
Bungkil Kelapa di dalam Rumen Sapi Peranakan Friesian Holstein. Skripsi S1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jauhari, M. 1999. Komposisi Kimia dan Degradasi In Sacco Bahan Kering, Bahan Organik dan Serat Kasar Jerami Padi Segar yang Difermentasi dengan Probiotik. Skripsi S1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kempton, T.J., J.V. Nolan and R.A. Leng. 1978. Principles for use for protein nitrogen by pass protein in diet of ruminant nutrition. The World Anim. Review. FAO, Rome.
KESIMPULAN Penggunaan konsentrasi NaOH sampai 6% mampu meningkatkan nilai DT BK, BO dan PK tepung belalang. Waktu hidrolisis hanya berpengaruh pada nilai DT BK. Interaksi juga hanya mempengaruhi nilai DT BK. Kombinasi konsentrasi NaOH 6% dan waktu hidrolisis 24 jam menghasilkan nilai DT BK tertinggi. DAFTAR PUSTAKA Bo Gohl. 1975. Tropical Feeds. Feeds Information Summaries and Nutritive Values. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Gomez, K. A. and A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Ed. An International Rice Research institute Book. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore. Hanafiah, K. A. 1994. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Ed. 2. Cet. Ke 3. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Isnainiyati, N. 1998. Degradasi In Sacco Bahan Organik dan Protein Kasar Jerami Kacang Tanah, Rumput Raja, Dedak Halus dan
146
Kustantinah, Z. Bachruddin dan H. Hartadi. 1993. Evaluasi Pakan Berserat pada Ruminansia. Forum Komunikasi Hasil Pendidikan Bidang Peternakan Direktorat Pembinaan, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Lebdosukojo, S. dan H. Hartadi. 1982. Struktur mikroskopik jaringan jerami padi yang diperlakukan dengan alkali dan diikuti pencernaan in vitro. Proceedings Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Nasroedin. 1998. Sumber Protein Alternatif untuk Ayam. Kuliah Perdana Program Studi Ilmu Peternakan Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sakhidi. 1998. Pengaruh Pengeringan Jerami Kacang Tanah terhadap Degradasi Fraksi Pakan di dalam Rumen dan Kecernaannya di dalam Intestinum. Skripsi S1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (3) September 2004
Soejono, M., R. Utomo dan S. P. S. Budhi. 1985. Pengaruh perlakuan alkali terhadap kecernaan in vitro bagasse. Proceedings Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Hal. 144-147. Soejono, M., R. Utomo dan Widyantoro. 1988. Peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan berbagai perlakuan. Dlm.:Limbah pertanian sebagai pakan dan manfaat lainnya. Editor: M. Soejono, A. Musofie, R. Utomo, N.K. Wardhani, J.B. Shiere. Proceeding Bioconvertion Project Second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purposes. Grati. Hal. 36-58 Sosromarsono, S. 1999. Belalang kembara, saat berkelompok jadi ganas. Kompas, 1 Mei 1999: 4 Sudibyakto dan B.A. Suripto. 1999. Dampak perubahan tataguna lahan dan kebakaran hutan terhadap ledakan belalang kembara (Locusta migratoria) dengan menggunakan data inderaja dan SIG: kasus di propinsi lampung dan pulau sumba, nusa tenggara timur. Makalah. Kongres IV PERHIMPI dan Simposium Internasional I. Bogor. Hal. 1-15. Suharto, B. 1984. Pengaruh perlakuan 1,5% NaOH dan pengukusan terhadap nilai gizi bahan pakan berserat kasar tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Utomo, R., M. Soejono dan B. Soehartanto. 1985. Pengaruh sodium hidroksida, kalsium hidroksida dan karbamida terhadap nilai hayati bagasse. Proceedings Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 97-101. Widyobroto, B.P. , S. Padmowijoto, R. Utomo, dan K. Adiwimarta. 1997. Pendugaan kualitas protein bahan pakan untuk ternak ruminansia. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Winarti, R. 1992. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Waktu Deasetilasi Khitin terhadap Pembentukan Khitosan. Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Windiharti, S. 1997. Pengaruh Pemanasan Bungkil Kedelai terhadap Degradasi Fraksi Protein dalam Rumen dan Kecernaan Fraksi Protein Tidak Terdegradasi di Intestinum. Skripsi S1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Winugroho,M., B. Bakrie, T. Panggabean, dan N.G. Yates. 1983. Pengaruh panjang potongan dan perlakuan kimia terhadap jumlah konsumsi dan daya cerna jerami padi. Proceedings Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
The In Sacco Degradation of NaOH-Hydrolized Locusta sp.Mill (Daryatmo)
147