J. Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 113 – 120
ISSN 2302-6340
KONFLIK TIGA ELITE PENENTU PADA PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MAKASSAR 2013 Conflict in Three Elite Determinant Selection And Vice Mayor Mayor Makassar 2013 Endang Sari, Armin Arsyad, Gustiana A. Kambo Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Pemilihan WalikotaMakassar pada tahun 2013 diwarnai oleh konflik elit politik yang menjadi aktor penentu di partai. Penelitian ini bertujuan menggambarkan dan menganalisis polarisasi konflik yang terjadi di antara ketiga elite penentu dan menganalisis apa yang menjadi motif ketiga elite penentu tersebut berkonflik pada pemilukada Makassar 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif untuk menggambarkan persaingan tiga elit. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat kontekstual dan menekankan pemaknaan fenomena interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Polarisasi hadir ketika terjadi perebutan kekuasaan antar elit. Polarisasi mengarah pada dua ranah arena kekuasaan. Pertama, polarisasi secara internal partai dimana terjadi persaingan antar elit partai untuk menjadi distributor utama alokasi sumber-sumber kekuasaan. Kedua secara eksternal dimana elit antar partai, baik secara individu maupun atas nama institusi kepartaian saling berebut pengaruh untuk menguasai sumber daya kekuasaan yang lebih besar dan lebih luas, dengan menempatkan kandidat mereka pada sumber utama kekuasaan. Sementara motif di balik konflik tiga elit di Pemilihan Umum Walikota Makassar adalah upaya mempertahankan monohirarcial kekuasaan dan poliarki kekuasaan. Kata Kunci: Polarisasi, Motif, Monohirarchial, Poliarchial ABSTRACT Election of the Mayor of Makassar in 2013 was marked by the political elite conflict that became decisive actor in the party.This study aims to provide an overview of three groups of elite polarization decisive conflict in the mayoral election of 2013 and analyze his motives Makassar. This type of research is descriptive to describe the three elite competitions. The approach used is qualitative and contextual interpretation emphasizes the interaction phenomena of human behavior in certain situations. The results showed that the polarization is present when there is a power struggle among the elite. Polarization leads to two spheres of power arena. First, the polarization of the internal party where there is competition between the party elite to become a major distributor allocation of power resources. The second manner in which the elite among external parties, either individually or on behalf of the party institutions competing for influence to control resources more power and wider, by placing their candidate on the primary source of power. While the motive behind the three elite conflict in Makassar mayor is maintaining power and polyarchy monohirarcial power. Keywords: Polarization, Motives, Monohirarchial, Poliarchial
sosial yang unggul. Elite senantiasa menunjuk pada seseorang atau kelompok yang mempunyai keunggulan tertentu, dimana dengan keunggulan yang melekat pada dirinya yang bersangkutan dapat menjalankan peran yang berpengaruh pada cabang kehidupan tertentu (Haryanto, 1990). Sementara untuk mengidentifikasi peran elite dalam pembuatan kebijakan beberapa ahli seperti Lasswell, Mill dan Putnam melihatnya dari demensi yang berbeda. Menurut Laswell, elite
PENDAHULUAN Berdasarkan penelitian yang serupa yang berjudul Orang Kuat Partai di Aras Lokal (Jainuri, 2012). Sehingga penulis juga tertarik untuk meneliti kondisi dinamika Elit politik di Kota Makassar. Kata elite menurut Bottomore, (Haris, 2005), digunakan pada abad ketujuh belas untuk menggambarkan barang-barang dengan kualitas yang sempurna, penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok
113
Endang Sari
ISSN 2302-6340
adalah individu-individu yang meraih nilai-nilai tertinggi dalam masyarakat karena kecakapannya terlibat secara aktif dalam pengambilan kebijakan. Lain halnya dengan Mills yang melihat peran elite dalam kebijakan karena posisi tertinggi individuindividu dalam institusi sedangkan Putnam membaginya dalam dua kategori yaitu elite yang mempunyai pengaruh langsung dalam proses pembuatan kebijakan dan elite yang pengaruhnya tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan (Budiarjo,1991). Meskipun terdapat banyak pengertian tentang konsep elite namun pada dasarnya ada kesamaan pemahaman bahwa konsep elite merujuk pada suatu kelompok dalam masyarakat yang mempunyai posisi utama dalam struktur masyarakat yang memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Keunggulan elite atas massa sepenuhnya tergantung pada keberhasilan mereka dalam memanipulasi lingkungannya dengan simbolsimbol, kebaikan-kebaikan atau tindakantindakan. Menurut Mas’oed (2006), elite merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki wewenang politik. Kelas elite ini terdiri dari minoritas terorganisasi yang memaksakan kehendaknya melalui manipulasi maupun kekerasan, khususnya dalam demokrasi. Dalam perubahan sosial kalangan elite adalah sekelompok orang yang memiliki peranan penting, merekalah sebenarnya yang memberi acuan dan memberi arah terhadap perkembangan dan dinamika masyarakat. Seperti yang di ulas sebelumnya dalam realitasnya elite tidak tunggal (misalnya hanya politisi) ia berasal dari berbagai jenis dan macam elite. Masing-masing dari mereka dalam geraknya membawa interest, teknik, cara dan values sendiri-sendiri, (Kantaprawira, 2004) values itu disebut “nilai antara”.Karena memiliki “nilai antara” sendirisendiri, masing-masing elite memiliki peranan yang berbeda-beda dalam perubahan sosial. Pemilukada Makassar yang dilaksanakan pada bulan September 2013 menghadirkan banyak fenomena berbeda dibandingkan pemilihan walikota Makassar tahun 2008. Bukan hanya karena pemilihan tersebut diikuti oleh 10 kontestan dari beragam latar belakang, tetapi juga karena konflik elite yang terasa sangat kental dalam mewarnai perebutan pengaruh nomor satu di Kota Makassar.
Hadirnya sepuluh kandidat pada pemilukada Makassar sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bila melihat fakta bahwa di awal penyelenggaraan pemilihan, sudah banyak kandidat yang memunculkan dirinya ke publik melalui spanduk dan baligho dengan atribut calon walikota ataupun calon wakil walikota. Akan tetapi, komposisi calon yang kemudian resmi terdaftar di KPU khususnya dari Partai Democrat dan Partai Golkar menunjukkan pengaruh luar biasa dari tiga elite politik, yakni, Syahrul Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halid. Dominannya pengaruh Syahrul Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halid pada pemilihan walikota Makassar memperkuat teori Suzanne Keller yang menyebutkan bahwa dalam dinamika partai politik diaras lokal, terdapat “orang kuat partai” yang secara individu memiliki kemampuan untuk menentukan arah dan kebijakan partai. Orang inilah yang disebut Suzane Keller sebagai elite penentu (Keller, 1995). Berangkat dari pandangan tersebut, penulis tertarik untuk melihat bagaimana ‘konflik antar elit terjadi khususnya pada pemilihan walikota Makassar’. Karena sudah diketahui secara luas, bahwa konflik sebenarnya bukanlah antara partai politik pendukung atau antara kandidat, konflik pemilukada Makassar sejak awal telah mengarah pada kontestasi ketiga elit penentu. Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk menggambarkan dan menganalisis Polarisasi konflik yang terjadi di antara ketiga elite penentu dan menganalisis apa yang menjadi motif ketiga elit penentu tersebut berkonflik pada Pemilukada Makassar 2013. METODE PENELITIAN Lokasi dan rancangan penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Alasan pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi penelitian karena pemilihan walikota Makassar yang dilaksanakan pada bulan September 2013 menghadirkan banyak fenomena berbeda dibandingkan pemilukada sebelumnya dan pemilukada di daerah lainnya. Bukan hanya karena pemilukada Makassar diikuti oleh 10 kontestan dari beragam latar belakang, tetapi juga karena konflik yang terasa sangat kental dalam mewarnai perebutan pengaruh
114
Polarisasi, Motif, Monohirarchial, Poliarchial
ISSN 2302-6340
nomor satu di kota Makassar yang memberi gambaran betapa Makassar menjadi arena kompetisi yang sarat akan kepentingan. Posisi strategis Kota Makassar sebagai jantung ekonomi bukan hanya untuk Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Kawasan Timur Indonesia membuat Kota Makassar menjadi barometer yang sangat menentukan bagi peta politik di Sulsel, KTI, bahkan IndonesiaKarena kedua daerah ini adalah bekas wilayah pemerintahan eks Kesultanan Buton, dimana Kota Baubau adalah pusat pemerintahan eks Kesultanan Buton.
melalui observasi, wawancara dan studi literatur dalam penelitian ini selanjutnya akan dianalisis kualitatif.Menurut Miles & Huberman (Miles dan Huberman, 1992) bahwa analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi HASIL Polarisasi Konflik Tiga Elite Penentu pada Pemilihan Walikota Makassar dan Wakil Walikota Makassar 2013 Dalam ilmu politik, polarisasi adalah proses di mana opini publik membagi dan mengarah ke ekstrim. Polarisasi bisa berlangsung pada tingkatan elit politik ataupun pada massa pemilih. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, polarisasi diartikan pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang memiliki kepentingan) yang saling bersaing . Pada perkembangan modern dengan mengarahnya Indonesia menuju sistem politik yang berlangsung secara multipartai, polarisasi bukan hanya terbagi menjadi dua bahkan kini dikenal satu istilah multi polarisasi. Dalam konteks pemilihan kepala daerah Kota Makassar, Polarisasi ini hadir dalam wujud konflik antar kandidat calon walikota yang berhubungan dengan tiga elit penentu yakni Syahrul Yasin Limpo, Nurdin Halid dan Ilham Arief Sirajuddin. Konflik dan polarisasi yang dihadirkan oleh tiga elit tersebut mendominasi opini publik dan dukungan bagi tiga pasangan walikota Makassar yakni Supomo Guntur-Kadir Halid yang merepresentasikan kekuatan politik Nurdin Halid, Ramdan Pomanto-Syamsurizal yang didukung oleh Ilham Arif Sirajuddin dan yang ketiga Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah yang mendapatkan restu dari Syahrul Yasin Limpo. Kehadiran tiga pasang kandidat tersebut, diantara sepuluh pasangan kandidat lainnya sangat mendominasi opini pemilih yang membuat tujuh pasangan kandidat walikota lainnya kurang mendapatkan dukungan pemilih secara luas (Tabel 1). Dalam sejarah politik Kota Makassar dan mungkin kota-kota lain di Indonesia Timur, untuk pertama kalinya sebuah pemilihan walikota diikuti sampai dengan sepuluh pasangan kandidat. Sebuah fenomena yang tak biasa, yang
Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fenomenologi. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan penelitian yang bersifat kontekstual yang berusaha menekankan pada pemaknaan suatu fenomena interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu Oleh karena itu, penekanan unsur manusia sebagai instrumen penelitian menjadi sangat penting.Penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan menghasilkan data desktirptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati kemudian di analisis (Moleong, 1998). Teknik pengumpulan data Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai penelitian ini yaitu Data Sekunder, adapun data sekunder diperoleh melaluiStudy kepustakaan (library research), dokumentasi dan data primer yang terdiri dari observasi, interview melalui wawancara, penentuan informan yang terdiri dari orang-orang yang ahli dibidangnya, tokoh masyarakat, akademisi, elit politik dan jurnalis. Adapun teknik penentuan informan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan teknik purposive. Analisis data Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dalam penelitian ini maka data yang didapatkan 115
Endang Sari
ISSN 2302-6340
menggambarkan bahwa kekuasaan atas Kota Makassar adalah sebuah arena yang menarik, sekaligus sarat kepentingan. Polarisasi kekuasaan yang didukung oleh tiga elit ini dari sepuluh pasangan calon terlihat dari hasil perolehan resmi suara dimana dua pasangan yang didukung oleh dua elit utama yang berkonflik yakni antara Ilham Arif Sirajuddin dan Syahrul Yasin Limpo nampak mendominasi hasil perolehan suara pada pemilihan walikota Makassar (Tabel 2). Pemilukada Kota Makassar 2013 menunjukkan gejala bahwa pertarungan yang terjadi bukanlah antara partai politik pendukung atau antara kandidat. Pertarungan pemilukada Makassar sejak awal telah mengarah pada arena kontestasi orang-orang kuat lokal yaitu antara Ilham Arief Sirajuddin, Syahrul Yasin Limpo, dan Nurdin Halid yang dalam sebutan Suzane Keller diistilahkan ‘sebagai elit penentu’ Akar konflik politik antara ketiga elite penentu tersebut bisa ditelusuri dari persinggungan-persinggungan yang telah mereka alami dalam perebutan kekuasaan di berbagai posisi kunci baik di tubuh Golkar maupun konteks Sulawesi Selatan. Persaingan Syahrul dan Ilham bermula dari kacamata konflik struktural yakni persingungan antara Ilham dan Syahrul Yasin Limpo saat bersaing menjadi ketua dewan pimpinan daerah partai Golkar. Sementara konflik
Syahrul dan Nurdin Halid terjadi pada proses penetapan calon wakil walikota yang akan diusung partaiGolkar. Rekomendasi DPP Golkar yang menetapkan Kadir Halid sebagai calon Golkar tidak bisa dilepaskan dari peran besar Nurdin Halid sebagai salah satu elit penentu di Golkar untuk kawasan Indonesia Timur. Betapa tidak, sebelum penetapan, kandidat yang diunggulkan berdasarkan survey internal Partai Golkar adalah Farouk M. Betta (kandidat yang diinginkan Syahrul Yasin Limpo) dan survey eksternal Golkar banyak mengunggulkan A. Yagkin Padjalangi (nama Kadir Halid justru tidak diperhitungkan). Misalnya survey oleh Indonesia Development Engeenering Consultant (IDEC) pada April 2013 menemukan fakta bahwa Andi Yagkin Padjalangi memiliki tingkat popularitas tertinggi diantara semua kader Golkar yaitu 11,22% dan kader yang lain hanya dikisaran 1%. Kali ini persaingan antara Syahrul dan Nurdin Halid tak bisa lagi disangkal dan mengarah pada konfrontasi terbuka. Dengan ditetapkannya Kadir Halid yang merupakan adik kandung Nurdin Halid, merupakan sinyal bahwa Nurdin Halid ingin terlibat secara langsung dalam arena politik Makassar dan menunjukkan bahwa Bukan hanya Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arif Sirajuddin yang menjadi eliti penentu di kota Makassar.
Tabel 1. Pasangan Calon dan Nomor Urut pad Pemilukada Kota Makassar 2013 Nama Pasangan Calon Walikota Makassar 2013
No. Urut Pasangan
Adil Patu - Israidi Zainal
No. Urut 1
Supomo Guntur - Kadir Halid
No. Urut 2
Rusdin Abdullah - Idris Patarai
No. Urut 3
Herman handoko – Abd. Latif Aa. Bafadal
No. Urut 4
Erwin Kallo - Hasbi Ali
No. Urut 5
Tamsil Linrung – Das’ad Latif
No. Urut 6
Muhyna Muin – HM. Syaiful Saleh
No. Urut 7
Danny Pomanto – Syamsu Rizal
No. Urut 8
Irman Yasin Limpo – Busrah Abdullah
No. Urut 9
Appiaty Amin Syam – H. Zulkifli Gani Ottoh
No. Urut 10
Sumber: KPU Kota Makassar
116
Polarisasi, Motif, Monohirarchial, Poliarchial
ISSN 2302-6340
Table 2. Gambar Hasil Perolehan Suara Calon Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2013 No
Nama Pasangan Calon
Hasil Perolehan Suara
Persentase
1.
Adil Patu - Israidi Zainal
14,556
2,49%
2.
Supomo Guntur - Kadir Halid
84,153
14,38%
3.
Rusdin Abdullah - Idris Patarai
23,846
4,07%
4.
Herman handoko – Abd. Latif Aa. Bafadal
2,930
0,50%
5.
Erwin Kallo - Hasbi Ali
5,489
0,94%
6.
Tamsil Linrung – Das’ad Latif
93,868
16,04%
7.
Muhyna Muin – HM. Syaiful Saleh
56,607
9,67%
8.
Danny Pomanto – Syamsu Rizal
182,484
31,18%
9.
Irman Yasin Limpo – Busrah Abdullah
114,032
19,48%
10. Appiaty Amin Syam – H. Zulkifli Gani Ottoh
7,326
1,25%
Sumber: KPU Kota Makassar 2013
pasca dukungan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar yang menetapkan pasangan SupomoKadir Halid yang merepresentasikan patron Nurdin Halid. Sementara itu Ilham lebih memilih menggunakan otoritas sebagai elit poliarki dalam konflik tersebut yang mendistribusikan kekuasaannya kepada otoritas di luar kehendak monarki politik. Sejalan dengan pendapat Mosca, apa yang dilakukan Ilham Arif Sirajuddin adalah membangun “sub-elit” yang terdiri dari kelompok besar dari “seluruh kelompok menengah yang baru, aparatur pemerintahan, manager, administrator, ilmuwan lainnya. Sejatinya motif konflik yang berjalan tetap sama yakni pada upaya menjadikan diri mereka sebagai sumber distribusi dari kekuasan. Namun praktek dan bentuk dalam menjalankan konflik kekuasaan tersebut menjadi berbeda yakni melalui bentuk tradisional yaitu monohircial dengan jalan dinasti politik/politik kekerabatan berdasarkan pertalian darah dan polyarchial melalui upaya distribusi kekuasaan pada sub elit yang bukan mewakili pertalian darah/kerabat tapi kedekatan secara personal seperti yang ditunjukkan Ilham Arif Sirajuddin sebagai elit penentu dalam memajukan Danny Pomanto dan Syamsu Rizal. Sebagai sebuah arena, Pemilukada Makassar merupakan arena ‘orang-orang besar’ yang saling bersaing ‘untuk memperebutkan kekuasaan
Motif Konflik Tiga Elite Penentu Pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2013 Motif di balik pertarungan tiga elit di pemilihan walikota Makassar bisa dilihat dari dua hal yakni upaya mempertahankan monohirarcial kekuasaan dan poliarki kekuasaan agar tetap bertahan sebagai kelas pemimpin sehingga mereka tetap memegang control sumber daya kekuasaan. Pada konteks monohiarcial kekuasaan inilah kategorisasi patron yang dibawa oleh Nurdin Halid dan Syahrul Yasin limpo yang melibatkan jejaring keluarganya dalam perebutan kontestasi politik Kota Makassar. Sedangkan Ilham cenderung mengambil di luar patron keluarga dan memilih menjadi bagian dari elit poliarki yang mendistribusikan kekuasannya diluar jejaring patron keluarga yang dimilikinya. Hal ini nampak dari kehendak Ilham untuk membagi kewenangan pada sosok di luar jejaring keluarga maupun mereka yang menjadi kader Partai Demokrat. Motif ini nampak dari keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Irman Yasin Limpo di balik motivasinya menjadi calon walikota yang lebih karena faktor psikokultural kedekatannya dengan Syahrul Yasin Limpo sebagai bagian dari patron otoritas keluarga Yasin Limpo yang merasa otoritas Syahrul menjadi terancam dengan konflik struktural yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar
117
Endang Sari
ISSN 2302-6340
menjadi elit pemutus’ dalam mengatur distribusi kekuasaan di Kota Makassar. Pada konteks Pemilukada Makassar pertarungan ini dikusai oleh tiga orang elit yakni Nurdin Halid, Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arif Sirajuddin. Ketiganya berada pada posisi sebagai aktor penting yang memastikan alokasi sumber-sumber kekuasaan dan reputasi (own rules). Sebagai ‘orang kuat partai’ ketiga tokoh ini memiliki kekuasaan dalam menentukan policy partai, karena memiliki kelebihan-kebihan diatas ratarata pengurus partai lainnya baik dari segi posisi yang dimiliki maupun pada kapasitas sebagai elit penentu (sesuai defenisi dari Suzanna Keller) yang telah dipercayai secara internal. Ketika berada pada ‘arena eksternal’ polarisasi ketiganya direpresentasikan dari tiga calon yang mereka dukung yakni Supomo GunturKadir Halid, Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah dan Danny Pomanto- Syamsu Rizal. Ketiga calon walikota ini merepresentasikan dua kekuatan clien dan satu kekuasan patron individu.
mengakibatkan lahirnya shadowpower dan elit boneka yang berkuasa namun dikontrol oleh mereka sebagai elit penentu. Motif kepentingan dibalik perebutan kekuasaan Makassar bisa dilihat dari beberapa aspek penting kepentingan elit atas Kota Makassar. Melemahnya partai politik (deparpolisasi) utamanya Demokrat merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh Ilham Arif Sirajudin untuk menjadi penguasa tunggal untuk mempertahankan sumber kekuasaan tetap berada kontrol dan kendali kekuasaannya secara penuh, tanpa perlu terlibat konfrontasi baik secara internal maupun ekternal, kondisi yang menunjukkan Ilham Arif Sirajuddin sebagai aktor elit penentu tunggal dalam mendistribusikan kekuasaan di Kota Makassar.sementara partai Golkar gagal melakukan konsolidasi diantara elitenya. Fakta ini juga mengindikasikan bahwa selama ini Golkar bukan membangun struktur politik namun membangun patronase politik, karena pasca Ilham hengkang dari Partai Golkar maka pada saat yang sama Golkar Makassar mengalami kekalahan, sebuah indikasi ketergantungan partai politik dan berkuasanya apa yang disebut oleh patron elitisme. Karena jika berfungsi secara efektif, partai politik harusnya membangun poros kekuatan institusional bukan memperkuat posisi elit yang berkuasa. Namun dari banyak kasus, selama ini memang partai justru selalu kalah oleh elit yang mengendalikannya. Institusionalisasi partai sebagai keputusan kolektif kalah bersaing dengan sejumlah elit yang memiliki kuasa memutuskan. Suara partai kemudian berubah menjadi suara elit partai. Telah tejadi pergesekan yang besar dari state formation (formasi negara) menuju social formation (formasi sosial) di mana arena kekuasaan sosial tersebut dikuasai oleh segelintir elit yang selama ini menjadi elit penentu atau orang kuat local/localstrongmen (Sidel, 2005) Sidel telah menganalisi tentang local strongmen dengan membandingkan kasus di negara Philipina, Thailand dan Indonesia. Khususdi Indonesia local strongmen diulas Sidel dengan setting fenomena pemilihan kepala daerah yang melibatkan: politik uang, premanisme, keterlibatan kelompok ekonomi kuat dan keterlibatan kelompok preman. Menurut Sidel kondisi-kondisi ini kurang lebih sama dengan di Philipina dan Thailand yang diidentifikasi Sidel
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa Polarisasi hadir ketika terjadi perebutan kekuasaan antar elit.Pertama, bahwa pada dasarnya polarisasi elit terjadi pada dua arena yakni secara internal dan eksternal. Polarisasi internal adalah kompetisi antar elit penentu dalam arena internal partai yang berkuasa untuk saling berebut menjadi distributor utama dalam kekuasaan politik. Dalam kasus pemilihan walikota Makassar ini terjadi dalam polarisasi dua elit Partai Golkar yakni Nurdin Halid dan Syahrul Yasin Limpo yang saling bertarung untuk menjadi orang kuat tunggal atau sumber distributo. Kedua, polarisasi elit eksternal terjadi akibat gagalnya konfensi antarelit baik secara internal maupun eksternal yang dibentuk oleh sejarah pertarungan antar elit maupun faktor pencapaian ambisi kekuasan politik pribadi yang mengabaikan fungsi institusi resmi kepartaian, bahkan mengarah pada dominasi kekuasaan keluarga dan maupun kedekatan pribadi. Ketika berada pada ‘arena eksternal’ polarisasi ketiganya direpresentasikan dari tiga calon yang mereka dukung yakni Supomo Guntur –Kadir Halid, Irman Yasin Limpo- Busrah Abdullah dan Danny Pomanto- Syamsu Rizal. Ketiga calon walikota ini merepresentasikan dua kekuatan clien dan satu kekuasan patron individu. Dampak dari hal ini 118
Polarisasi, Motif, Monohirarchial, Poliarchial
ISSN 2302-6340
sebagai berikut: 1). Kompetisi politik yang terbuka di level lokal telah membuka peluang akumulasi kekuasaan di tangan mafia lokal, jaringan, dan klan. Sementara studi yang lain seperti yang dilakukan oleh Richard Robinson dan Vedi R Hadis (Obinson, et al., 2004) di Indonesia tentang perkembangan ekonomi-politik lokal pascarezim Soeharto, ditemukan kecenderungan reorganisasi kekuasaan dari kelompok oligarki, yang mengusai jaringan sosial ekonomi dan politik lokal untuk kepentingan mereka sendiri. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh FISIPOL UGM tahun 2000, memperlihatkan bahwa politik lokal pasca Soeharto ditandai dengan bangkitnya kembali entitas politik masa lalu (Karaton, Fetor, dan Karaeng) serta semakin dominannya peranan Local Boss,the big man (orang besar) dalam interaksi ekonomi-politik lokal. Potret buram tentang dinamika politik lokal juga dicermati oleh Okamoto Masaaki (Okamoto, 2006) dan teman-temannya, mereka mencermati proses demokrasi di ranah lokal melalui politik desentralisasi dan otonomi daerah, ternyata demokratisasi di level daerah ini banyak di manfaatkan oleh bos-bos lokal untuk merengkuh kekuasaan dengan menjadi penentu di partainya masing-masing Dalam kasus pemilihan walikota Makassar maka bisa dilihat bagaimana kekuasaan Nurdin Halid sebagai elit penentu ditunjukkan dengan penetapan pencalonan Supomo Guntur- Kadir Halid yang disinyalir merupakan produk dari ‘kawin paksa’ yang merepresentasikan kepentingan Nurdin Halid sebagai sebagai salah satu orang kuat di Golkar. Kekalahan partai Golkar banyak dinilai tidak lepas dari sikap otoriter yang ditunjukkan elite DPP, terutama Koordinator Wilayah (Korwil) Pemenangan Sulawesi Nurdin Halid. Nurdin yang selalu menjadi aktor penentu pasangan kandidat yang akan diusung, dianggap terlalu otoriter dan telah mengabaikan aspirasi kader di daerah. Sikap DPP yang memaksakan mengusung calon tertentu inilah yang membuat kader Golkar terpecah karena dominannya kekuasaan elite. Tentang elite dan kekuasaan, Varma (2001) berargumen:”Apa yang mendorong elite politik atau kelompok-kelompok elite untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) ada dorongan
kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakanpermainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut”. Keinginan berebut kuasa dan berusaha memperbesar kekuasaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergumulan politik antar elite di dunia politik. Setiap elite ingin melanggengkan kekuasaan, bagi elite kekuasaan telah memberikan segalagalanya mulai dari kemudahan sampai pengaruh yang besar untuk memerintah orang lain, oleh karena itu sumber-sumber kekuasaan yang dipegangnya harus dipertahankan sampai kapanpun. Untuk mempertahankan kekuasaan itulah sehingga Marx melihat bahwa konflik pasti akan selalu terjadi. Marx berpendapat bahwa konflik bermula dari keserakahan, di mana materi, harga diri (prestige), kekuasaan (power) adalah sesuatu yang mutlak untuk dimiliki. Karena itu dalam rangka melakukan suatu perubahan, maka konflik adalah jalan terbaik untuk ditempuh. Muara dari konflik elit ini sendiri dapat terjelaskan dari pandangan bahwa elit bertahan untuk dua hal penting yakni elit pemimpin (a class that rules) dan yang dipimpin (a class that is ruled). Upaya untuk tetap menjadi kelas pemimpin ini sendiri adalah bagian dari strategi mempertahankan sumber kekuasaan tetap berada pada kendali penuh jejaring elit yang mereka miliki. Banyak cara yang dilakukan elite untuk melanggengkan pengaruhnya. Salah satunya adalah penguatan terhadap jejaring kekuasaan dengan cara menempatkan orang-orang yang mewakili patron keluarga (monohirarcial) maupun dengan menempatkan orang-orang di luar patron keluarga (polyarchial) pada posisi strategis. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah Polarisasi hadir ketika terjadi perebutan kekuasaan antar elit. Pertama, bahwa pada dasarnya polarisasi elit terjadi pada dua arena yakni secara internal dan eksternal. Polarisasi internal adalah kompetisi antar elit penentu dalam arena internal partai yang berkuasa untuk saling berebut menjadi distributor utama dalam kekuasaan politik. Dalam kasus pemilihan 119
Endang Sari
ISSN 2302-6340
walikota Makassar ini terjadi dalam polarisasi dua elit Partai Golkar yakni Nurdin Halid dan Syahrul Yasin Limpo yang saling bertarung untuk menjadi orang kuat tunggal atau sumber distributo. Kedua, polarisasi elit eksternal terjadi akibat gagalnya konfensi antarelit baik secara internal maupun eksternal yang dibentuk oleh sejarah pertarungan antar elit maupun faktor pencapaian ambisi kekuasan politik pribadi yang mengabaikan fungsi institusi resmi kepartaian, bahkan mengarah pada dominasi kekuasaan keluarga dan maupun kedekatan pribadi. Ketika berada pada ‘arena eksternal’ polarisasi ketiganya direpresentasikan dari tiga calon yang mereka dukung yakni Supomo Guntur–Kadir Halid, Irman Yasin Limpo- Busrah Abdullah dan Danny PomantoSyamsu Rizal. Ketiga calon walikota ini merepresentasikan dua kekuatan clien dan satu kekuasan patron individu. Dampak dari hal ini mengakibatkan lahirnya shadowpower dan elit boneka yang berkuasa namun dikontrol oleh mereka sebagai elit penentu. Motif konflik tiga elit di pemilihan walikota Makassar adalah upaya mempertahankan monohirarcial kekuasaan dan poliarki kekuasaan. Pada konteks monohirarcial kekuasaan inilah kategorisasi patron yang dibawa oleh Nurdin Halid dan Syahrul Yasin limpo yang melibatkan jejaring keluarganya dalam perebutan kontestasi politik Kota Makassar. Sedangkan Ilham cenderung mengambil di luar patron keluarga dan memilih menjadi bagian dari elit poliarki yang mendistribusikan kekuasannya dil uar jejaring patron keluarga yang dimilikinya. Hal ini nampak dari kehendak Ilham untuk membagi kewenangan pada sosok di luar jejaring keluarga maupun mereka yang menjadi kader Partai Demokrat. Muara dari konflik elit tersebut adalah upaya untuk tetap menjadi kelas pemimpin sebagai bagian dari strategi mempertahankan sumber kekuasaan tetap berada pada kendali penuh jejaring elit yang mereka miliki. Adanya elite penentu di partai politik menunjukkan kapasitas individu yang memiliki otoritas untuk menentukan berbagai konteks kekuasaan, padahal partai seharusnya mendorong demokratisasi dengan mewacanakan kolektif kolegialitas pimpinan dalam menentukan berbagai konteks kebijakan partai. Perlu pengaturan yang
lebih tegas terhadap mekanisme aturandi dalam partai. Partai harus mendorong kaderisasi yang lebih optimal sehingga partai tidak lagi mengusung non-kader ketika pemilukada berlangsung. Penguatan sistem di dalam tubuh partai harus terus didorong sehingga partai tidak lagi bersandar pada popularitas dan ketokohan segelintir elitenya. Pemilukada harus diupayakan menjadi pertarungan visi dan misi antar kandidat sehingga persoalan psikologis seperti kekerabatan, ras, suku, dan agama tidak lagi menjadi perdebatan dominan. DAFTAR PUSTAKA Budiarjo, Miriam. (1991). Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Pustaka Sinar harapan: Jakarta. Harris, John. (2005). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Demos: Jakarta. Haryanto. (1990). Elit, Massa dan Konflik. Pusat Antar Universitas-Studi sosial, UGM: Yogyakarta. Jainuri. (2012). Orang Kuat Lokal di Aras Lokal.Citra Mentari Press: Malang. Kantaprawira, Rusadi. (2004). Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar. Penerbit Sinar Baru Al Gesindo: Bandung. Keller, Suzanne. (1995). Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite–penentu dalam Masyarakat Modern. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. Mas’oed, Mohtar. (2006). Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Miles, Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber Metode-metode Baru. UI Press: Jakarta. Okamoto, Masaaki. (2006). Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi. IRE Press, Yogyakarta. Robinson, Richard; Hadis,Vedi R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of markets. RutledgeCurzon: New York. Sidel, J. (2005). Capital, Coercion, And Crime. Bossism in Philippines. Stanford University Press: Stanford. Varma, SP. (2001). Teori Politik Modern. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
120