1
PERILAKU TIDAK MEMILIH DALAM PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TANJUNGPINANG TAHUN 2012 PADA KELURAHAN TANJUNGPINANG KOTA
Naskah publikasi diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana bidang Ilmu Pemerintahan
Oleh
ELSI KARNISA NIM. 100565201333
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2014
2
ABSTRAK Perilaku tidak memilih (Golput) telah menjadi sebuah pilihan bagi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dengan berbagai alasan-alasan yang beragam, untuk itu dalam penelitian ini penulis mengambil judul Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012 Pada Kelurahan Tanjungpinang Kota. Pelaksanaan Pemilihan Walikota dan Calon Wakil Walikota Kota Tanjungpinang tahun 2012 ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya. Khususnya di Kecamatan Tanjungpinang Kota yang terdiri dari empat kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPU bahwa daerah yang paling banyak terdapat golput adalah Kecamatan Tanjungpinang Kota, yaitu sebanyak 3113 orang atau sekitar 51,44 % dibandingkan dengan kelurahan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak terdaftarnya warga sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak sebagai warga negara yaitu hak pemilih. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode statistik deskriptif dengan jumlah sampel 100 responden yang diambil dengan teknik Proportionale Stratifiled Sampling yaitu sampel yang di hitung berdasarkan perbandingan. Data diambil dengan menggunakan kuesioner berskala Guttman. Hasil jawaban kuesioner kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan bekerja, sakit, dan keluar kota, apatis, adanya anggapan bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan, dan masyarakat tidak memahami isi visi dan misi kandidat, tidak terdaftar dan tidak ada undangan, adanya perbedaan pandangan dengan para kandidat calon Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012, dan masyarakat/pemilih tidak percaya pada mekansime yang ada. Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Kelurahan Tanjungpinang Kota lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, karena beberapa faktor, seperti faktor teknis, faktor politis, faktor teknis-politis, dan faktor ideologi. Faktor yang paling utama yang menyebabkan masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, karena alasan teknis, seperti karena bekerja, sakit, dan keluar kota, yaitu sebesar 43 % atau sekitar 43 responden dari 100 responden yang ada. Kata Kunci : Perilaku Tidak Memilih, Pemilihan Walikota.
3
ABSTRACT Behavior is not opt (Abstentions) has become an option for the people in the elections with a variety of diverse reasons, for that in this study the authors take the title Electoral Behavior Choosing the Mayor and Deputy Mayor of the Village Tanjungpinang 2012 On Tanjungpinang City. Elections for Mayor and Deputy Mayor Candidate Tanjungpinang in 2012 found many flaws here and there. Not only in the counting procedures, but in fact from the voters themselves are still many shortcomings. Particularly in District Tanjungpinang City consisting of four wards. Based on the data obtained from the Commission that the area is the most numerous abstentions District of Tanjungpinang City, as many as 3113 people or about 51.44% as compared to the other villages. This is because people are not registered and not exploited as DPT rights as a citizen voters that right. This research is a quantitative study with descriptive statistical methods with a sample of 100 respondents drawn with Proportionale Stratifiled sampling techniques that sample is calculated based on the comparison. The data were taken using a Guttman scale questionnaire. The results of the questionnaire answers were then compiled, analyzed and presented to obtain a systematic overview of the condition and situation. The results showed that people choose not to exercise their voting rights for reasons of work, sick, and out of town, apathetic, the assumption that the election will not bring change, and people do not understand the contents of the vision and mission of the candidate, not registered and no invitation, the presence of differences with the candidate Tanjungpinang Mayor and Deputy Mayor in 2012, and the public / voters do not trust the existing Mechanism. The factors that cause people Tanjungpinang City Village prefer not to use their right to vote, due to several factors, such as technical factors, political factors, technical factorspolitical, and ideological factors. The most important factor that causes people choose not to vote, for technical reasons, such as work, sick, and out of the city, amounting to 43% or 43 respondents of 100 respondents.
Keywords: Choosing Behavior, Mayor Election.
4
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ABSTRAK…………………………...................................................................
i
ABSTRACT……………………………………………………………………...
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iii A. Latar Belakang …………………………………………………………….
1
B. Perumusan Masalah………………………………………………………..
11
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………….
11
D. Metode Penelitian……………………………………….........................
12
E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data………………………………………
14
F. Landasan Teori…………………………………………………………….
15
1. Partisipasi Politik
15
G. Hasil Penelitian…………………………………………………………….
14
1. Analisa Golput Secara Teknis…………………………………………..
22
2. Analisa Golput Secara Teknis Politis…………………………………..
23
3. Analisa Golput Secara Politis…………………………………………..
24
4. Analisa Golput Secara Ideologis……………………………………….
25
H. Penutup…………………………………………………………………….
28
1. Kesimpulan……………………………………………………………
28
2. Saran………………………………………………………………….
29
DAFTAR PUSTAKA
5
A. Latar Belakang Penelitian Pemilihan umum (Pemilu), merupakan prasyarat penting dalam bangunan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Pemilihan umum baik pilkada, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012. Sehingga, desain pemilu yang dilaksanakan, selalu mengalami perubahan atau hampir dapat dikatakan, sistem pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali penyelenggaraan pemilu mekanismenya selalu dirubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Penyelenggaraan Pemilihan umum di Indonesia pada hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara tegas (explicit) ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang–Undang Dasar 1945 menyebutkan, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang–Undang Dasar”. Penggunaan hak pilih (aktif) oleh setiap warga negara Indonesia, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 Undang–Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang–Undang”.
6
Kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran/menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam pemerintahan yang demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam Pemilihan umum. Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip–prinsip pokok demokrasi konstitusional yang berdasarkan rule of law. Pelaksanaan pemilihan umum yang bebas untuk mengakomodir hak–hak politik masyarakat, merupakan salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat, pemilu diharapkan dapat tampil di tengah-tengah rakyat Indonesia yang plural dengan baik. Aspirasi yang dilakukan oleh rakyat, dimaksudkan agar terjadi sinergitas yang positif antara proses dengan hasil. Artinya, aspirasi rakyat merupakan ruh dalam pelaksanaan perkembangan dan pembangunan Indonesia ke depan. Negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yang menggunakan Pemilihan umum langsung yang memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk memilih sendiri pemimpin mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Tetapi dalam aplikasinya, pemilu di Indonesia itu sendiri ditanggapi secara apatis oleh masyarakatnya sehingga berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat
7
partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) atau perilaku tidak memilih dalam pemilu. Pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres ataupun pemilu kepala daerah (pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi sosok yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai sosok yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah ada sejak dulu di negeri ini, dan jumlahnya cukup banyak bahkan menyamai dan melebihi dengan jumlah suara tertinggi dalam suatu pemilu atau pilkada. Angka golongan putih (golput) atau voter’s turn out (VTO) apalagi jika melebihi dari jumlah suara pemenang, maka tentunya akan sulit untuk mengatakan bahwa kemenangan calon/kandidat adalah sudah merepresentatifkan kemauan sebagian besar masyarakat, lebih jauh lagi efek turunannya adalah sukar untuk membangun logika tentang dukungan maksimal dari masyarakat terhadap pemerintah yang akan datang. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) khususnya pemilihan Walikota merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan memimpin daerah tersebut. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999
8
tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung tidak sebatas hanya melalui pembentukan UU 32 tahun 2004 semata, tetapi juga lewat produk hukum lainnya baik itu berupa peraturan pemerintah (PP) seperti PP Nomor 6 Tahun 2005 mengenai Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ditetapkan oleh Presiden Yudhoyono pada 11 Februari 2005. Dan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) seperti Perpu Nomor 3 Tahun 2005 untuk merevisi sejumlah ketentuan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004. Sebagai respon terhadap putusan judicial review Mahkamah Konstitusi. Bersamaan dengan keluarnya Perpu tersebut tidak lama kemudian pemerintah menerbikan Peraturan Pemerintah lainnya yaitu PP No. 17 Tahun 2005 sebagai revisi atas PP No.6 Tahun 2005. Hak untuk memilih wakil rakyat sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat. Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak memilihnya, tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak tersebut dijamin oleh undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak politik warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan yang akan menentukan kualitas pemilu. Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak asasi manusia dan
9
untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak. Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakan haknya tersebut. Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Ada beberapa faktor yang memicu munculnya sikap apatisme yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Salah satu fenomena golput dengan persentase tinggi terjadi dalam pemilihan walikota (Pilwako) Kota Tanjungpinang tahun 2012 yaitu sekitar 42 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan jumlah golput pada Pilwako tahun sebelumnya. Besarnya masyarakat yang tidak memilih saat Pilkada menunjukkan banyaknya massa yang masih ragu. Dalam bahasa sosiologi politik, massa mengambang disebut sebagai floating mass atau kadang juga disebut floating voters. Mengambang artinya tidak ke sana, tidak ke sini atau tidak ke mana-mana. Jadi, massa mengambang menunjukkan sekelompok orang yang tidak menentukan pilihan mereka kepada suatu partai atau calon tertentu dalam suatu pemilihan. Padahal kita semua mengetahui bahwa calon-calon dalam Pilkada
10
adalah yang mendapat dukungan dari partai politik. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri menjelang Pemilu mendatang. Besaran angka golongan putih (golput) apalagi jika melebihi dari jumlah suara pemenang, maka tentunya akan sulit untuk mengatakan bahwa kemenangan calon/kandidat adalah sudah merepresentatifkan kemauan sebagian besar masyarakat, lebih jauh lagi efek turunannya adalah sukar untuk membangun logika tentang dukungan maksimal dari masyarakat terhadap pemerintah yang akan datang. Banyak pandangan tentang pilihan golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau disebut kelompok golput. Keikutsertaan warga negara dalam Pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, Sehingga, keputusan untuk tidak memilih ini juga merupakan suatu pilihan yang memungkinkan untuk diambil. Hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari berbagai macam karakteristik perilaku politik masyarakat yang diuraikan antara lain menyumbang dan memberikan dana bagi
organisasi,
mendirikan
organisasi,
menjadi
anggota
organisasi,
mengemukakan pendapat, memberikan suara dan bersikap apolitis. Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
11
Namun
pada
kenyataannya
masih
banyak
pemilih
yang
tidak
menggunakan hak pilihnya alias golongan putih (golput). Tentunya potensi golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Fenomena golput dapat diidentikkan dengan perilaku memilih, karena perilaku memilih itu sendiri dalam khasanah ilmu politik didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam Pemilihan umum apakah memilih untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak. Jika memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya maka ia akan memilih salah satu kandidat baik itu calon perseorangan maupun partai yang ditawarkan dalam Pemilihan umum. Sedangkan bila berlaku sebaliknya atau tidak menggunakan hak pilihnya maka yang bersangkutan akan memilih untuk golput atau tidak memilih sama sekali calon maupun partai yang berkompetisi memperebutkan dukungan rakyat dalam pemilu. Meningkatnya angka golput dalam setiap pemilihan mencerminkan kian meluasnya kesadaran masyarakat akan sistem politik yang lebih demokratis, adil dan berpihak kepada kepentingan umum. Sistem Pemilu atau Pilkada, mekanisme pencalonan
kandidat
dan
format
penyelenggaraannya
dipandang
belum
merepresentasikan partisipasi dan kepentingan publik yang memiliki uang untuk mendapat kekuasaan, tetapi lalu mengkianati mandat rakyat saat sudah terpilih. Meluasnya fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang diindikasikan
12
pengadilan terhadap para mantan wakil rakyat, bupati, wali kota, gubernur, bahkan mantan menteri. Dengan banyaknya golput, keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh. Dengan kata lain, menurunnya kredibilitas dan legitimasi pemerintah yang dihasilkannya sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik. Tingkat golput yang ada di Kota Tanjungpinang sangat besar, masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya. Seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 1.1. Data Pemilih Pada Pemilihan umum Walikota dan Wakil Walikota Kota Tanjungpinang Tahun 2012
No. 1
Data Pemilih DPT
Kec. Tpi Barat
Kec. Tpi Kota
Kec. Tpi Timur
41.371
17.118
51.683
Kec. Bukit Bestari 43.309
Jumlah Pemilih 2 yang menggunakan 23.298 9.589 29.643 24.515 hak pilih Jumlah Pemilih yang tidak 3 18.073 7.529 22.040 18.794 menggunakan hak pilih Persentase Golput 43,96% 43,98% 42,64% 43,39% Sumber : KPU Kota Tanjungpinang, 2012
Jumlah 153.48 1 87.045
66.436
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat golput yang terbanyak terdapat di Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan jumlah golput sebanyak 7.529 dari banyaknya pemilih yang berjumlah 17.118 atau dengan kata lain bahwa sebanyak 43,98 % masyarakat untuk memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah masyarakat yang golput di Kecamatan Tanjungpinang Kota
13
adalah 7.455 orang teersebut, tersebar di empat kelurahan seperti Kel. Tanjungpinang Kota, Kel. Senggarang, Kel. Kampung Bugis, dan Kel. Penyengat. Tabel 1.2. Data Jumlah Golput di Kecamatan Tanjungpinang Kota
No. 1
Data Pemilih
Kel. Tpi Kota 6052
Kel. Kp. Bugis 6159
Kel. Senggarang
DPT 3035 Jumlah Pemilih yang 2 2939 3439 2004 menggunakan hak pilih Jumlah Pemilih yang tidak 3 3113 2720 1031 menggunakan hak pilih Persentase Golput 51,44% 44,16 % 33,97 % Sumber : KPU Kota Tanjungpinang, 2012
Kel. Penyengat 1872
Jumlah 17118
1281
9663
591
7455
31,57%
Berdasarkan data di atas, jumlah golput yang paling banyak terdapat di Kelurahan Tanjungpinang Kota, yaitu sekitar 3113 atau sekitar 51,44% dibandingkan dengan kelurahan yang lainnya. Pelaksanaan Pilwako dan Cawako Kota Tanjungpinang tahun 2012 ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya. Khususnya di Kecamatan Tanjungpinang Kota yang terdiri dari empat kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPU bahwa daerah yang paling banyak terdapat golput adalah Kecamatan Tanjungpinang Kota. Hal ini dikarenakan tidak terdaftarnya warga sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak sebagai warga negara yaitu hak pemilih.
14
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu warga yang ada di Kampung Bugis yang memilih menjadi golput karena alasan cuaca yang kurang mendukung. Hujan deras yang terus menerus mengguyur Kota Tanjungpinang menjadikan warga enggan untuk datang ke TPS yang telah disediakan. Jadi terpaksa sebagian warga tidak jadi menggunakan hak pilihnya padahal mereka sudah menyiapkan nama-nama yang akan mereka pilih. Selain itu, hasil investigasi dilapangan, masih banyak warga yang belum mendapatkan kartu pemilih. Seperti alamat pemilih tidak jelas, dan jarak rumah pemilih ke TPS cukup jauh. Alasan lain yang dilontarkan oleh warga lain yang juga tidak menggunakan hak pilihnya karena mereka sudah sering melakukan pemilihanpemilihan seperti pemilihan ketua RT, sehingga mereka sudah merasa jenuh dan bosan serta merasa kebingungan dengan banyaknya pemilihan-pemilihan dengan tujuan yang berbeda-beda. Berbeda halnya dengan salah seorang warga yang bermukim di sekitar daerah pelantar senggarang setelah dilakukan wawancara singkat diketahui bahwa kebanyakan mereka yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena mereka enggan untuk meninggalkan pekerjaannya dan sebagian warga ada yang pergi ke luar negeri. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka tidak merasa tertarik dengan salah satu calon yang ada. Merujuk data tersebut, sangat miris dan disayangkan terdapatnya banyak pemilih yang memilih untuk menjadi golput. Hal ini menjadi faktor yang harus disikapi dengan meningkatkan kualitas pemilu. Salah satu tolak ukur keberhasilan
15
pemilu adalah tingginya jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya. Hal ini karena pemilu merupakan instrumen utama bagi terlaksananya dukungan rakyat dalam suatu demokrasi perwakilan. Berdasarkan uraian di atas dan besarnya tingkat golput dari data yang diperoleh dari KPU Kota Tanjungpinang tahun 2012, maka peneliti mengambil judul “Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012 pada Kelurahan Tanjungpinang Kota” B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah Mengapa masyarakat di Kecamatan Tanjungpinang Kota khususnya di Kelurahan Tanjungpinang Kota yang memiliki hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian menurut Riduwan (2009:14) bahwa tujuan penelitian adalah keinginan-keinginan peneliti atas hasil penelitian dengan mengetengahkan indikator-indikator apa yang hendak ditemukan dalam penelitian, terutama yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu; Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang mendominasi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemiliha Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012 dikelurahan Tanjungpinang Kota?
16
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode statistik deskriptif, artinya penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numeric (angka), dengan menggunakan metode penelitian ini akan diketahui hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti, sehingga menghasilkan kesimpulan yang akan memperjelas gambaran mengenai objek yang diteliti. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjungpinang Kota yang ada di Kecamatan Tanjungpinang Kota sebagai kelurahan dengan tingkat golput (tidak memilih) tertinggi diantara Kelurahan Senggarang, Kelurahan Kampung Bugis, dan Kelurahan Penyengat. 3. Populasi dan Sampel Populasi merupakan keseluruhan obyek yang diteliti dan terdiri atas sejumlah individu, baik yang terbatas (finite) maupun tidak terbatas (infinite) (Sumarni, et al., 2006:69). Jumlah populasi tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini, antara lain sebagai berikut ;
17
Tabel 1.3 Rincian Data Jumlah Golput di Kelurahan Tanjungpinang Kota No. TPS
Jumlah DPT
Yang Hadir
102 496 167 103 525 217 104 303 147 105 452 198 106 386 181 107 288 126 108 317 166 109 365 238 110 370 185 111 494 230 112 344 198 113 311 156 114 417 204 115 465 250 116 519 276 Jumlah 6052 2939 Sumber : KPU Kota Tanjungpinang, 2012
%
Yang Tidak Hadir 329 308 156 254 205 162 151 127 185 264 146 155 213 215 243 3113
%
Berdasarkan jumlah populasi di atas yang mana jumlah pemilih yang tidak hadir saat pemilihan sebanyak 3113 orang. Untuk itu, dapat ditentukan jumlah sampel berdasarkan ketentuan dari Slovin (dalam Riduwan, 2009:65) sebagai berikut: 𝑛=
𝑁 1 + 𝑁 . 𝑒2
Keterangan : N = Jumlah Populasi n
= Jumlah Sampel
e2 = Presisi (ditetapkan 10 % dengan tingkat kepercayaan yang diharapkan sebesar 90 %)
18
𝑛=
3113 1 + 3113 . 0,12
𝑛=
3113 1 + 3113 . 0,01
𝑛=
3113 1 + 31,13
𝑛=
3113 32,13
= 96,89 responden Jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 96,89 responden dan untuk memudahkan peneliti sehingga dibulatkan menjadi 100 responden yang diambil secara acak (random). Teknik sampling yang digunakan untuk mengambil 100 responden yaitu Proportionale Stratifiled Sampling yaitu sampel yang di hitung berdasarkan perbandingan. Menurut Slovin (dalam Sugiyono, 2010 : 82) yang menjelaskan bahwa teknik ini di gunakan apabila populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Dengan demikian, banyak sedikitnya responden/sampel yang diambil berdasarkan jumlah banyak atau sedikitnya jumlah DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dari 15 TPS yang terdiri dari tingkat RW dan RT yang ada di Kelurahan Tanjungpinang Kota. Selain itu, pemilihan responden berdasarkan jenis kelamin dan etnis. 4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Di dalam penelitian ini teknik dan pengumpulan data dilakukan dengan cara antara lain ;
19
a. Observasi, metode ini menuntut adanya pengamatan dari si peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek yang diteliti dengan menggunakan instrumen berupa pedoman penelitian dalam bentuk lembar pengamatan atau lainnya (Umar, 2007:87). Observasi juga dilakukan untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi pada subjek penelitian,
guna
menemukan
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang diteliti. b. Dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksud disini adalah laporan rekapitulasi DPT yang hadir dan yang tidak hadir saat pemilu yang diambil dari Komisi Pemilihan umum (KPU) Kota Tanjungpinang. c. Kuesioner/Angket. Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara membagikan lembaran pertanyaan mengenai alasan-alasan responden tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Pilwako dan Wawako Kota Tanjungpinang tahun 2012. d. Studi Literatur (Kepustakaan). Merupakan teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan, membaca dan mengkaji dokumen, jurnal-jurnal, internet, dan buku-buku yang relevan baik yang dibeli maupun yang ada diperpustakaan Provinsi Kepulauan Riau dan Perpustakaan Kota Tanjungpinang. E. Landasan Teori Partisipasi politik menurut Huntington dan Joan Nelson (dalam Mufti, 2012 :151) mengatakan bahwa partisipasi politik adalah sikap politik yang mencakup segala kegiatan atau aktivitas (action) yang mempunyai relevansi
20
politik ataupun hanya mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah tindakan masyarakat yang dapat mempengaruhi keputusan politik. Partisipasi politik menurut Herbert McClosky adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (Budiarjo, 2008 : 368). Partisipasi politik menurut Surbakti (2007 : 140) ialah keikutsertaan waga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan masyarakat/warga negara dalam mempengaruhi pengambilan keputusan yang pada akhirnya mempengaruhi hidupnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang yaitu kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik), menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Selain itu, faktor yang berdiri sendiri (bukan variabel independen). Artinya tinggi rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi. Yang dimaksud status sosial adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-
21
lain. Yang dimaksud status ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Hal ini diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun pemilikan benda-benda berharga. Seseorang memiliki status sosial dan status ekonomi yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah (Surbakti, 2007 : 145). Interaksi politik antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga merupakan perilaku politik. Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Asfar, 2006 : 47). Harold D. Lasswell dalam Mufti (2012 : 87) mengatakan bahwa perilaku politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan dan bertujuan menjangkau masa depan, bersifat mengantisipasi, berhubungan dengan masa lampau, dan senantiasa memerhatikan kejadian masa lalu. M. Brewster Smith (dalam Mufti, 2012 : 90) bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang, seperti : a. Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. b. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan lingkungan bisnis.
22
c. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Ada 3 basis fungsional yang perlu diperhatikan seperti, kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri. d. Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuk. Perilaku politik erat kaitannya dengan perilaku pemilih. Perilaku menurut S. Notoatmodjo (2007:78) menjelaskan bahwa perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus dan rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan (Firmanzah, 2007:102). Sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 mengatakan pemilih adalah warga negara indonesia yang telah genap berumur 17 tahun, atau sudah pernah kawin. Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa Perilaku Pemilih adalah bentuk respon atau reaksi oleh seseorang atau kelompok untuk mendukung dan memberikan suaranya kepada salah satu partai politik dalam Pemilu yang genap berumur 17 tahun, atau sudah pernah kawin, dan sebaliknya.
23
Nursal (2004:54-73) menyebutkan terdapat 4 teori pendekatan yang sering digunakan untuk memahami perilaku pemilih diantaranya pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan pilihan rasional, dan pendekatan domain kognitif (marketing). a. Pendekatan sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan seseorang seperti status sosioekonomi (pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan dan kelas), agama, etnik, bahkan wilayah tempat tinggal. b. Pendekatan psikologis menerangkan bahwa perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang menyelimuti diri pemilih. Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai dan norma yang diturunkan orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk penurunan dan penanaman kepada generasi baru. c. Pendekatan pilihan rasional mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara. d. Pendekatan marketing menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi dari mulut ke mulut dan media massa. Perilaku pemilih berbeda dengan perilaku memilih. Menurut Surbakti (2007 :145) perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam Pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, secara langsung maupun tidak langsung dalam Pemilihan umum. Memilih ialah suatu aktifitas
24
yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif. Perilaku memilih sangat dipengaruhi loyalitas dan ideologi. Konsep loyalitas dapat dilihat dari dua arah yaitu dari konstituen kepada partai politik dan dari partai politik ke konstituen. Selain itu, perilaku memilih juga sarat dengan kedekatan ideologi antara pemilih dengan partai politik. Beda halnya dengan perilaku tidak memilih atau biasa disebut sebagai Golongan Putih (Golput) adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu (Arianto, 2011:54). Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit dalam Arianto, 2011:53).
25
Eep Saefullah Fatah (Arianto, 2011:54) yang telah merangkum sebabsebab orang untuk tidak memilih (golput), diantaranya adalah : a. Golput teknis, hal ini dikarenakan sifat teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara karena sakit, keluar kota, bekerja, dan cuaca buruk. b. Golput politis, hal ini untuk masyarakat yang tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau pesimistis bahwa pemilu/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan, serta tidak ada sosialisasi tentang visi dan misi kandidat sehingga pemilih tidak memahami isi visi dan misi kandidat. c. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu), tidak mendapatkan undangan, tidak ada sosialisasi tentang pelaksanaan pemilu, dan tidak tahu jika dapat menggunakan KTP untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. d. Golput ideologis, yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat didalamnya entah karena alasan nilai-nilai agama atau pandangan yang berbeda. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dibuat kerangka konsep seperti yang terlihat di gambar 1.1 di bawah ini;
26
Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian
TEKNIS Berhalangan Hadir karena sakit, keluar kota, bekerja, dan cuaca buruk
IDEOLOGI Tidak ada kepercayaan terhadap mekanisme, bertentangan dengan unsur keagamaan, dan pandangan yang berbeda
GOLPUT POLITIS Tidak ada pilihan/Apatis, tidak ada sosialisasi tentang visi dan misi kandidat, tidak memahami isi visi dan misi, dan pandangan tidak ada perubahan
TTT
TEKNIS - POLITIS Tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak mendapatkan undangan, tidak ada sosialisasi tentang pelaksanaan pemilu, dan tidak tahu jika dapat menggunakan KTP untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih
Sumber : Eep Saefullah Fatah (dalam Arianto, 2011 : 54)
F. Hasil Penelitian 1. Analisa Alasan Golput Secara Teknis Secara teknis, seseorang tidak menggunakan hak pilihnya terdiri dari lima (5) indikator, seperti; karena sakit, bekerja, letak TPS yang tidak terjangkau, cuaca buruk, dan keluar kota. Faktor teknis dikarenakan sifat teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara karena sakit, keluar kota, bekerja, dan cuaca buruk. Menurut hasil analisis data terhadap jawaban kuesioner pada 100 responden diperoleh faktor yang paling banyak
27
menyebabkan seseorang tidak menggunakan hak pilihnya adalah karena bekerja, sakit, dan keluar kota. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kelurahan Tanjungpinang Kota tahun 2013 bahwa masyarakat di Kelurahan Tanjungpinang Kota mayoritas bekerja sebagai wiraswasta dan karyawan swasta dengan anggapan
bahwa
masyarakat
di
Kelurahan
Tanjungpinang
Kota
lebih
mementingkan pekerjaannya karena mereka beranggapan bahwa jika mereka tidak bekerja maka mereka tidak akan mendapatkan penghasilan. Hal ini dikarenakan mereka mayoritas adalah pebisnis dan sering keluar kota untuk urusan bisnis/pekerjaan. Sesuai dengan hasil tabulasi data, dari 100 responden terdapat 43 responden atau sekitar 43 % yang menjawab tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan teknis. 43 % tersebut, laki-laki yang beretnis Pribumi yang paling banyak menjawab yaitu sebesar 16 %, sedangkan laki-laki Tionghoa hanya 10 %, perempuan Pribumi sebanyak 7 %, dan perempuan Tionghoa sebanyak 10 %. Dengan demikian, laki-laki etnis Pribumi (Batak/Melayu/Jawa) yang lebih mementingkan pekerjaan daripada mendatangi ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. 2. Analisa Alasan Golput Secara Teknis-Politis Berdasarkan indikator pengukuran yang digunakan dalam kuesioner untuk mengetahui faktor-faktor seseorang tidak menggunakan hak pilihnya secara teknis-politis, seperti; tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak mendapatkan undangan, tidak tau penggunaan KTP sebagai syarat untuk mendaftar diri langsung ke TPS jika tidak terdaftar sebagai pemilih di lingkungannya, tidak ada
28
sosialisasi tentang pelaksanaan pemilu, dan kurang melengkapi data sehingga tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Faktor ini dikarenakan mereka tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya seperti kurang melengkapi data atau karena kesalahan pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu), tidak mendapatkan undangan, tidak ada sosialisasi tentang pelaksanaan pemilu, dan tidak tahu jika dapat menggunakan KTP untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Faktor teknis-politis seseorang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah masyarakat/pemilih tidak mendapatkan undangan untuk mengikuti pemilu sebesar 5% dari 6% yang memberikan jawaban karena alasan teknispolitis. Sedangkan 1% responden beralasan karena tidak terdaftar. Untuk yang tidak mendapatkan undangan
sebesar 5% dengan alasan
dikarenakan tidak terdatanya responden tersebut di daftar pemilih. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu, kurangnya perhatian perangkat desa untuk mendata warganya, dan ketidaktahuan masyarakat bahwa pendaftaran dapat dilakukan dengan mendatangi TPS secara langsung dengan menggunakan KTP setempat. Selain itu, masyarakat tidak jarang melakukan pindah domisili dan tidak melaporkan diri ke pihak kelurahan, sehingga pihak kelurahan tidak mengetahui dan tidak mendata warga baru yang ada. 3. Analisa Alasan Golput Secara Politis Indikator yang dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui faktorfaktor/alasan mengapa masyarakat yang ada di Kelurahan Tanjungpinang Kota
29
lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya/golput, dapat dilihat dari; apatis, adanya anggapan bahwa tidak membawa perubahan, tidak adanya sosialisasi tentang visi dan misi kandidat, dan masyarakat tidak memahami isi visi dan misi kandidat. Pada factor ini alasan yang paling banyak dipilih oleh responden untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena adanya anggapan mereka bahwa pemilu yang ada tidak akan membawa perubahan yang berarti, yaitu sebanyak 18 orang atau sekitar 18 % dari 100 responden yang ada. Faktor ini untuk masyarakat yang tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau pesimistis bahwa pemilu/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan karena serta tidak ada sosialisasi tentang visi dan misi kandidat sehingga pemilih tidak memahami isi visi dan misi kandidat. Namun faktor yang paling banyak menyebabkan seseorang tidak menggunakan hak pilihnya adalah adanya anggapan bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan yang berarti, yaitu sebanyak 18 % atau 18 responden dimana masyarakat menganggap berganti atau tidaknya pemimpin, kehidupan mereka akan tetap sama seperti sebelumnya sehingga dengan demikian mereka merasa bahwa tidak ada pilihan kandidat apatis (6%) yang memenuhi kriteria mereka dan tidak sesuai dengan harapan mereka. Sedangkan 1 % responden beralasan tidak memahami visi dan misi dari para kandidat atau calon. 4. Analisa Alasan Golput Secara Ideologi Indikator yang dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui faktorfaktor/alasan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun
30
2012, adalah; tidak percaya pada mekanisme, bertentangan dengan unsur keagamaan, dan adanya perbedaan pandangan. Faktor ideologi ditujukan bagi mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan nilainilai agama atau perbedaan pandangan. Faktor yang paling banyak menyebabkan seseorang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah karena adanya perbedaan pandangan antara masyarakat dengan para kandidat yang ikut dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012, yaitu sebesar 13% dan masyarakat/pemilih tidak percaya dengan mekanisme atau sistem
penyelenggaraan pemilihan yang digunakan, yaitu
sebesar 13%. Berdasarkan keempat faktor di atas tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktor penyebab yang paling mempengaruhi responden tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan teknis seperti karena bekerja, sakit, dan keluar kota, yaitu sebanyak 43 responden yang terdiri dari 10 orang laki-laki Tionghoa, 15 orang laki-laki Pribumi, 10 orang perempuan Tionghoa, dan 7 orang perempuan Pribumi. Hal inilah yang menjadi faktor utama responden untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012, yaitu sebesar 43%. Urutan yang kedua yang mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya adalah karena alasan secara ideologi seperti adanya perbedaan pandangan antara pemilih dengan kandidat dan pemilih tidak percaya dengan mekanisme pemilu sebesar 26%. Ketiga, karena alasan politis seperti pemilih
31
bersifat apatis, tidak membawa perubahan, dan tidak tahu isi visi dan misi kandidat sebesar 25% dan yang keempat karena alasan teknis-politis seperti pemilih tidak terdaftar, tidak mendapatkan undangan, tidak tahu bahwa bisa menggunakan KTP, tidak ada sosialisasi dan kurang melengkapi data sebesar 6%. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 100 responden yang dijadikan sampel penelitian, untuk jenis golput secara teknis adalah faktor yang paling mendominasi 43% mereka tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilu adalah karena keluar kota 14%, sakit 13%, dan sedang bekerja 16 %. Selain itu untuk jenis golput ideologi, faktor yang paling mendominasi adalah adanya perbedaan pandangan antara masyarakat dengan kandidat dalam pemilu sebesar 13 %. Adanya perbedaan pandangan ini, menyebabkan masyarakat tidak tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, sebanyak 13 % pemilih tidak percaya pada mekanisme yang dilaksanakan saat pemilu. Untuk jenis golput politis, faktor yang paling mendominasi adalah adanya anggapan bahwa pemilu yang dilaksanakan tidak akan membawa perubahan berarti, yaitu sebanyak 18 %. Adanya asumsi seperti ini menyebabkan mereka tidak mendatangi TPS dan tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor kedua yang juga mendominasi adalah karena adanya anggapan bahwa pada pemilu Walikota dan Wakil Walikota tahun 2012 tidak ada calon kandidat yang sesuai dengan yang diharapkan/tidak ada pilihan (apatis) sebanyak 6%. Anggapan tersebut juga mempengaruhi mereka untuk tidak menggunakan hak pilih mereka. Selain itu, juga karena masyarakat tidak mengetahui isi visi dan misi kandidat sebesar 1% saja. Demikian juga halnya dengan jenis golput teknis-politis, faktor yang paling
32
mendominasi mereka tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilu dilaksanakan adalah karena tidak adanya undangan untuk mengikuti pemilu sebanyak 5 % dan tidak terdaftar sebanyak 1 %. G. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan bekerja, sakit, keluar kota, apatis, adanya anggapan bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan, pemilih tidak mengetahui isi visi dan misi kandidat, tidak terdaftar, tidak ada undangan, adanya perbedaan pandangan dengan para kandidat calon Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012, dan masyarakat atau pemilih pada umumnya tidak percaya terhadap mekanisme pemilu. Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Kelurahan Tanjungpinang Kota lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, karena beberapa faktor, seperti faktor teknis, faktor politis, faktor teknis-politis, dan faktor ideologi. Faktor yang paling menyebabkan masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, karena alasan teknis sebesar 43 % atau sekitar 43 responden. Urutan kedua adalah faktor ideologi sebesar 26 % atau 26 responden. Urutan ketiga adalah faktor politis sebesar 25 % atau sekitar 25 responden. Urutan yang keempat adalah faktor teknis-politis sebesar 6 % atau sebanyak 6 responden.
33
2. Saran 1. Masyarakat Diharapkan kepada masyarakt untuk lebih berperan aktif dan lebih sadar akan pentingya menggunakan hak pilih serta keterlibatannya terhadap penyelenggaraan pemilu. 2. Penyelenggara Pemilu Kepada pihak penyelenggara pemilu dan pihak lainnya yang terkait diharapkan untuk lebih berperan aktif dalam sosialisasi yang lebih intensif agar informasi mengenai penyelenggaraan dan mekanisme pemilu lebih dipahami masyarakat serta agar masyarakat lebih sadar akan pentingya menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa permasalahan yang cukup mempengaruhi masyarakat untuk tidak memilih dalam pemilu adalah karena tidak terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap) maupun karena tidak mendapatkan undangan, untuk itu diharapkan kepada pihak terkait untuk lebih memperhatikan masalah pendataan. 3. Peserta Pemilu Alasan lainnya yang menyebabkan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah karena mereka tidak memahami akan visi dan misi yang disampaikan oleh para calon atau kandidat, untuk itu diharapkan kepada calon atau kandidat untuk lebih mensosialisasikan visi dan misinya dengan bahasa yang lugas dan jelas serta mudah dipahami oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak bersikap apatis untuk melibatkan dirinya dalam penyelenggaraan pemilu. 4. Peneliti Selanjutnya
34
Diharapkan penelitian selanjutnya untuk dapat menambahkan variabel penelitian serta menambah jumlah sampel penelitian agar diproleh hasil penelitian dengan tingkat generalisasi yang lebih tinggi serta menggunakan metode yang berbeda agar mendapatkan hasil yang lebih berkualitas.
35
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ardial. 2010. Komunikasi Politik, Jakarta: Indeks. Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih. Surabaya: Pustaka Eureka. Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Firmanzah. 2007. Marketing Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jimly, Asshidiqqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. Mufti, Muslim. 2012. Teori-Teori Politik, Bandung : Pustaka Setia. Nimmo, Dan. 2006. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Jakarta : Rineka Cipta. Nursal, Adman. 2004. “Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden”, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Prihatmoko, Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Riduwan. 2009. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta. Soedarsono. 2005. Mahkamah Konstitusis Sebagai Pengawal Demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Soemarsono. (2002). Komunikasi Politik. Bandung : Universitas Terbuka. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan “Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D”. Bandung : Alfabeta. Sumarni, Murti dan Salamah Wahyuni. 2006. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta : Andi.
36
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tricahyo, Ibnu. 2009. Reformasi Pemilu. Malang:In-Trans Publishing. Umar, Husain. 2007. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Bisnis. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Usman, Husaini dkk. 2006. Pengantar Statistika, Jakarta : Bumi Aksara. Wirjokusumo, Iskandar dan Soemardji Ansori. 2009. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora (Suatu Pengantar), Surabaya : UNESA University Press. B. Skripsi dan Jurnal Penelitian Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu, Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Haji Tanjungpinang, Vol.1 No.1. Hamzali, Said, Taufik Nur Adrian, Purwoko Romi Atmojo. 2011. Rasionalitas Golput Pemilih Pemula Di Kecamatan Gondokusuman Dalam Pemilukada Masyarakat Kota Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi. Sholihin, Mohammad. 2009. Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada Langsung Di Kabupaten Kudus, Universitas Diponegoro Semarang. Tesis. Handayani, Nunuk. 2011. Fenomena Golput dalam Pemilihan Bupati Tuban Tahun 2006 dalam Perspektif Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tesis. Mardatillah. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Golput, Universitas Sumatera Utara Medan. Skripsi. Rabbani, Muhammad. 2013. Fenomena Golongan Putih di Kota Makassar pada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2013, Universitas Hasanudin Makassar. Skripsi Dwijanto, Tauchid. 2008. Fenomena Golput pada Pilgub Jateng 2008-2013, Universitas Diponegoro Semarang, Skripsi.
37
C. Peraturan dan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 5/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. C. Sumber Website dan Internet Edward Mushalli. 2012, Fenomena dalam Pilkada, http://edwardmushalli. wordpress.com/2012/05/17/fenomena-dalam pilkada, diposkan pada 17 Mei 2012. Di akses 23 Maret 2014 Riau People. 2012. http://www.riaupeople.com/5685/pilwako-tanjungpinangdiprediksi-2-putaran/, diposkan pada 12 Mei 2012. DI akses 23 Maret 2014