IX. POSTWAR CONSENSUS and THE CRISIS OF DEMOCRACY
Dunia Barat pasca PD II ditandai dengan opitmisme baru dan antusiasme politik yang tinggi. Kecenderungan ini bukan saja menjadi jawaban terhadap kehancuran dan trauma perang tapi juga berkat kemakmuran ekonomi, stabilitas politik dan solidaritas yang semakin diperkuat oleh meningkatnya suhu konflik antara Barat dan Timur. Di balik itu semua adalah sebuah new politics yang berbasis
pada
fordism,
Keynesianism
dan
komitmen
pada
reformasi
sosioekonomi. Di akhir 1960an cerita indah dunia pasca perang berakhir tragis. Fordism yang berbasiskan economic of scale membawa petaka over production yang menjadi salah satu basis penting resesi ekonomi dunia berkepanjangan sejak awal 1970an. Krisis Fordism bukan saja mendeskreditkan model negara kesejahteraan yang dianjurkan Keynes tapi juga merusak komitmen pada reformasi politik yang pernah begitu mengakar. Implikasinya new politics berada diambang jurang kegagalan. Dua perkembangan penitng yang menandainya adalah pecahnya kolaisi "kanan" dan "kiri" yang selama ini dipertahankan melalui demokrasi sosial dan menurunnny akepercayaan pada manfaat negara yang serba terlibat dalam berbagai urusan. Perkembangan ini kemudian mendorong perdebatan baru dalam perkembangan pemikiran demokrasi. Perdebatan pertama terpusat pada asumsi lama yang menggapa .dan menilai positif konsensus politik pasaca perang—terutama yang berkembarig di Barat. Sedangkan perdebatan kedua menyoal krisis demokrasi.
Konsensus Politik Cerita
baik
tentang
konsensus
politik
dalam
masyarakat
Barat diperdebatkan oleh dua kelotnpok perspektif: the end of ideology dan the one dimensional society. Secara garis besar argumen the end of ideology— seperti yang diungkapkan Lipset—menganggap dukungan terhadap red flag wing dalam politik Barat telah menurun drastis, bersamaan dengan meredupnya Leninisme dan Marxisme sebagai ideologi alternatif. Sebaliknya, isu-isu kebijakan yang bersifat ideologis mulai tersingkir oleh isu-isu lain yang lebih
Universitas Gadjah Mada
menekankan aspek pragmatisme-ekonomi. Kecenderungan ini digambarkan sebagai proses berakhirnya konflik politik paling mendasar dalam masyarakat industrial. Menurut Buder dan Stokes berakhirnya konflik politik fundamental tersebut berkiatan dengan dua hal lainnya: pertama, melemahnya politik kelas, dan kedua, pergeseran debat politik ke centre ground. Di lain pihak perspektif the one dimensional society yang dikemukakan Marcuse memulai analisisnya dengan memperhatikan kombinasi berbagai faktor struktural yang berperan penting dalam menyokong kontrol dan sistem manajemen sosial perekonomian modern. Faktor-faktor struktural tersebut adalah perkembangan spektakulaer sistem produksi kapitalisme, meningkatnya regulasi dalam persaingan bebas dan penetapan kembali prioritas nasional berdasarkan kepentingan strategis dalam perang dingin. Implikasinya, menurut Marcuse, adalah depolitisasi secara masif. Urusan publik tidak lagi ditandai dengan perdebatan yang bersifat politis dan ideologis tapi terperangkap dalam perdebatan tentang cafa atau metode yang tepat untuk mengejar tujuan yang sudah given, yakni pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital. Depolitisasi ini bersumber dari merebaknya instrumental reason, yakni melauasnya perhatain dan kesadaran intelektual yang bertumpuk pada debat tentang metode dan cara yang paling efesien tanpa mempedulikan lagi persoalan-persoalan yang lebih mendasar atau filosofis tentang tujuan suatu masyarakat. Situasi ini, lanjut Marcuse, diperkuat oleh upaya penunudkan kultural atas kelas subordinan melalui media massa yang mempetoduksi packaged culture melalui media massa dan industri periklanan yang menimbulkan efek false consciousness. Akibatnya masyarakat pada umunya dan kelas subordinan khusunya gagal menyadari dan menemukan kepentingan riilnya selain kepentingan super real yang cenderung melayani kepentingan akumulasi kapital. Marcuse menambahkan packaged culture juga menciptakan modus perilaku baru yang cenderung adaptif, pasif dan patuh pada idelogi dominan.
Krisis Demokrasi Sementara itu kemunduran ekonomi, krisis
negara kesejahteraan,
kekecewaan terhadap partai-partai dominan dan skeptisisme terhadap pemilu dan para politisi mencerminkan kesulitan struktural yang dihadapi negara-negara Barat. Memasuki akhir dekade 1960an hanya segelintir pengamat dan ilmuwan
Universitas Gadjah Mada
politik yang masih mempercayai optimisme konsensus politik ala the end of ideology. Sebaliknya, politik dalam masyarakat Barat beralih tidak lagi spenuhnya bergeraka ke arah centre ground. Begitu juga dukungan instrumental kelas subordinan perlahan-lahan berubah menjadi ketidakpuasaan dan konflik. Kesulitan struktural ini kemudian dianggap sebagai simptom yang tak terelakkan dari krisis demokrasi liberal yang tengah menjangkiti dunia Barat pada waktu itu. Dua kubu teori kemudian mendominasi perdebatan seputar krisis demokrasi liberal: overloaded state (OS) dan legitimation crisis (LC). Teori OS cenderung menggambarkan hubungan kekuasaan dalam konteks
fragmentasi.
Fungsi
pemerintah
dalam
banyak
hal
berupaya
mengengahi dan menyelesaikan berbagai kepentingan yang bertolak belakang. Di saat bersamaan ekonomi Keynesian yang bertumpu pada peran dominan negara menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat. Akibatnya terjadi peningkatan harapan yang luar biasa yang dibarengi dengan peningkatan respek terhadap otoritas politik. Dalam konteks ini tekanan terhadap pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat melalui kelompok-kelompok kepentingan berlipat ganda; menciptakan situasi yang memungkinkan para politisi yang memperebutkan suara dalam pemilu bernai mengumbar janji-janji kebijakan
melebihi
kemampuan
untuk
mewujudkannya
atau
bahkan
bertentangan satu sama lain; yang ujung-ujungnya justeru semakin memompa the rising of expectations. Startegi appeasement pemerintah dan partai— terutama yang berkuasa—ditambah dengan kepentingan pribadi para pejabat negara mendorong penambahan jumlah lembaga negara—perluasaan intervensi pemerintah. Seperti bisa diduga penambahan lembaga baru melemahkan kememapuan negara untuk beroperasi dan mengelola intervensinya secara efektif. Padahal perluasan intervensi tersebut juga telah merusak individualisme sebagai basis penting demokrasi liberal. Kesulitannya adalah situasi seperti ini menjadi lingkaran setan yang tak berujung karena tekanan pada pemerintah tidak pernah surut. Menurut teori OS lingkaran setan tersebut bisa ditanggulangi dengan kepemimpinan yang tegas dan mampu mengabikan tekanan dan tuntutan demokratis. Di lain pihak, sekalipun bersifat fragmentatif, kekuasaan politik menurut teori LC selalu dibatasi oleh ketergantungan negara terhadap sumber daya material yang dihasilkan melalui proses akumulasi kapital. Dalam perekonomian
Universitas Gadjah Mada
negara-negara Barat proses akumulasi ini dilakukan oleh sektor privat yang memiliki hak pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi. Selama periode pasac perang sitem produksi fordisme dan kebijakan ekonomi Keynesian menghasilkan kemakmuran ekonomi. Tapi perkeonomian yang berhasil sekalipun secara inheren selalu bersifat tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi secara permanen selalu diselingi dengan resesi, membuat krisis fordisme menjadi bagian yang tak terelakkan. Sementara untuk mempertahankan tertib politik dan ekonomi kapitalisme memerlukan peran negara yang efektif dengan tujuan menjamin keberlangsungan akumulasi kapital dan mengelola antagonisme kelas. Negara sendiri selalu berupaya untuk mendapatkan persetujuan dan sokongan kelas sosial dominan terutama komunitas bisnis. Dalam rangka menhindari krisis politik dan ekonomi pemerintah memutuskan untuk memperluas tanggungjawabnya ke wilayah ekonomi dan berbagai urusan lain yang menyangkut masyarakat sipil. Akibatnya pemerintah— dan negara secara lebih luas—harus memperbesar struktur administrasi dan karenanya kompleksitas internalnya. Tapi yang terpenting kompleksitas ini menghendaki penambahan jumlah anggaran yang tidak selamanya mampu dipenuhi. Situasinya adalah negara harus membiayai dirinya sendiri melalui pajak dan pinjaman dari pasar modal. Tapi negara tidak akan melakukannya jika bertentangan dengan kepentingan pemilik modal—karena akan mengganggu proses akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi. Hambatan ini menciptakan situasi inflasi dan krisis pembiayaan publik yang bersifat permanen. Akibatnya kegagalan dan perubahan kebijakn pemerintah selalu terjadi terus menerus. Di saat bersamaan meningkatnya intervensi negara menimbulkan politisasi sebagain besar aspek kehidupan masyarakat; ketika menjadi bagian dari kontrol negara. Perkembangan ini mendorong peningkatan tuntutan pada negara. Ketika negara tidak mampu memnuhi tuntutan tersebut krisis legitimasi dimulai. Dalam situasi seperti ini sebuah strong state yang menempatkan tertib sosial di atas segalanya, menekan protes dan membuang sumber-sumber krisis mungkin akan tampil ke depan, yang ujungnya justeru berakhir dengan lingkaran setan negara intervensionis. Namun menurut teori LC transformasi fundamental bisa terjadi tanpa harus melalui revolusi sosial. Melainkan transformasi ini merupakan sebuah proses yang ditandai dengan kelumpuhan orde sosial yang sedang berlaku untuk mereproduksi dirinya sendiri dan tampilnya lembaga-lembaga
Universitas Gadjah Mada
sosialis alternatif. Lembaga-lembaga sosialis yang dimaksud tampil diantaranya dalam bentuk upaya negara mengambil alih industri agar menjadi milik publik, penguasaan negara atas semakin banyak sumber daya berdasarkan kebutuhan (bukan keuntungan) dan perluasan demokrasi di tempat kerja dan komunitas lokal.
Handout 10: The Crisis of Democracy and the Post-war Consensus •
New optimism and new spirit of political commitment in the West Æ economic progress and political stability + political consensus forged by the cold war
•
New politics Æ commitment to socio economic reform + interventionist state
•
The end of fordism, keynesianism, social democratic Æ the crisis of new politics Æ the coalition of left and right was broken up + there was a question of interventionist state Æ new debate on social consensus and crisis of democracy
Debate on Social Consensus •
The end of ideology vs the one dimensional society
•
Lipset o
A decline in support for 'red flag waving' Æ the demise of Marxism and Leninism as an alternative ideology
o
The
ideological
issues
have
been
reduced
to
economic
pragmatism Æ the fundamental conflict of the industrial revolution has been resolved •
•
Butler and Stokes o
The decline of class politics
o
A drift to centre ground
Marcuse o
Focusing on multiple forces which are combining to help the management and control of the modern economy—economic progress + social consensus Æ spectacular development of the
Universitas Gadjah Mada
means of production, the increasing regulation of free competition, the reordering of national priorities by the cold war o
The consequences (of economic progress and social consensus) Æ (1) depoliticisation: public affairs are about debating different means for the given ends i.e. more and more production + focusing on the efficiency of different means with respect to pregiven ends—instrumental reason (2) Reinforced by packaged culture of the subordinate class: people failed to know their real interests (false consciousness) + creating modes of behaviour that are adaptive, passive and acquiescent + sustained by social and ideological forces
•
Critics of consensus and stability Æ depending on the prosperity of Western economy
The Crisis of Democracy •
The overloaded government o
Power is shared and bartered by numerous groups representing diverse and competing interests; governments try to mediate and adjudicate between demands Æ the rising of mass affluence brought about by the success of Keynesian economic policy
o
The rising expectations Æ linked to higher standard of living
o
Decline in deference Æ 'welfarism' undermined private initiative and responsibility + egalitarianism promised much more that could ever realistically be achieved
o
Politicians and governments found hard to meet the rising expectations
o
In order to secure votes politicians promised more than they can deliver
o
Aspirations 'were reinforced, expectations increased further
o
Appeasement strategies led to ever more state agencies
o
The state lose capacity to manage efficiently
o
The state expanded, destroyed the realm of individual initiative
o
A vicious circle begins Æ can be broken only by firm, decisive political leadership less responsive to democratic pressures and
Universitas Gadjah Mada
demands •
Legitimation crisis o
Democratic and representative process is severely constrained by the state's dependence on resources generated by private capital accumulation Æ the Keynesian state helped to sustain prosperity
o
The economy is inherently unstable Æ growth is constandy disrupted by crisis
o
Extensive state intervention is required to sustain the capitalist economy and manage class antagonism Æ ensuring the acquiescence and support of powerful groups esp. the business community and trade unions
o
Avoiding crisis governments take on responsibility for more and more areas of the economy and civil society
o
Governments and the state have to expand their administrative structures Æ requires an expanding state budget
o
The state must finance itself but it cannot interfere with the accumulation process and jeopardise economic growth Æ creating situation of almost permanent inflation and crisis in public finances
o
The result is a pattern of continuous change and breakdown in government policy and planning
o
The growing state's intervention makes more and more areas of life are seen by the general population as politicised Æ stimulating ever-greater demands on the state
o
If these demands cannot be fulfilled, the state may face a legitimation and motivation crisis
o
A strong state may emerge to cope with the crisis Æ representative governments use more strong arm tactics Æ a vicious circle is set in motion
o
The fundamental transformation is more likely to be marked by the continuous erosion of the existing order's capacity to be reproduced and the emergence of alternative socialist institutions
Universitas Gadjah Mada