FORGOTTEN ROOT CAUSES OF THE CRISIS •
A s c a r y a Center of Education and Central Banking Studies – Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2, Sjafruddin Prawiranegara Tower, 20th fl., Jakarta 10350, Indonesia Email:
[email protected]; Phone: +6221.381.7345; Fax: +6221.350.1912
A. Latar Belakang
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
60 50 40 30 20 10 0 1970
Frequency
Krisis keuangan dunia telah terjadi silih berganti semenjak runtuhnya rezim uang emas pada tahun 1915, yang kemudian menjelma menjadi Great Depression di tahun 1930‐an (Davies and Davies, 1996). Krisis mereda pada periode 1950‐1972 berkat adanya perjanjian internasional Bretton Woods yang menyepakati sistem tentang aturan, institusi, dan prosedur pengaturan sistem moneter internasional yang ketat dengan fixed exchange rate dengan dolar AS sebagai mata uang dunia. Era Bretton Woods sering disebut sebagai abad emas, ketika kesejahteraan masyarakat meningkat, volume perdagangan antarnegara melonjak, investasi meningkat, dan stabilitas ekonomi internasional terjaga. David Felix menyatakan bahwa tidak ada periode yang panjang, baik di masa lalu maupun di masa sekarang yang dapat diperbandingkan atau mendekati tingginya produksi, pertumbuhan produktivitas, pengangguran yang rendah, keadilan distribusi pendapatan dibanding yang dicapai era Bretton Woods. Perjanjian Bretton Woods akhirnya runtuh pada tahun 1971 ketika Amerika secara sepihak membatalkan sebagian kesepakatan dengan melepaskan nilai tukar dolar AS dari emas, sehingga AS menikmati keuntungan mencetak dolar seberapa pun tanpa harus di‐backup lagi dengan emas. Negara‐negara lain pun kemudian juga menyusul untuk menganut nilai tukar mengambang. Semenjak runtuhnya perjanjian Bretton Woods, krisis keuangan dunia mulai bermunculan kembali dengan frekuensi yang semakin sering, semakin luas, dengan intensitas yang semakin akut. Terakhir, krisis keuangan dunia saat ini yang berawal dari krisis subprime mortgage di Amerika yang telah menyebar ke seluruh dunia. Database terbaru tentang krisis keuangan yang terjadi di rentang waktu 1970‐2007 dapat dibaca dalam paper Laeven dan Valencia (2008), yang memuat 395 episode krisis keuangan (krisis perbankan, krisis mata uang dan krisis hutang pemerintah), termasuk 42 twin crises dan 10 triple crises.
Gambar 1. Frekuensi Krisis Keuangan Dunia •
Paper presented at IPEBI Serial Roundtable Discussion on “Krisis Keuangan Global dan Outlook Perekonomian Indonesia 2009: Tantangan Bagi Pegawai Bank Indonesia,” January 28, 2009.
1
Krisis yang berulang tidak kemudian membuat daya tahan ekonomi terhadap krisis. Padahal sejatinya krisis‐krisis yang terjadi berada dalam lingkungan sektoral ekonomi yang hampir selalu sama dengan gejala dan bentuk krisis yang juga sama, tetapi tetap saja krisis menampar ekonomi semakin hari semakin keras. Kelihatannya, terdapat akar penyebab krisis yang terlupakan, sehingga perlu dilakukan kajian komprehensif dan holistik untuk mengetahui anatomi krisis secara lengkap untuk dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan krisis secara tuntas serta terhindar dari kesalahan yang sama di masa yang akan datang, sehingga krisis yang sama tidak akan berulang lagi di masa yang akan datang.
B. Akar Krisis – Kesalahan Sistem yang Terlupakan Merujuk pada kontinuitas krisis ekonomi yang didominasi oleh krisis keuangan sejak perekonomian dunia mewujud dalam bentuk modern (akhir abad 19), dan kekerapan atau intensitas krisis yang semakin tinggi ketika integrasi ekonomi dunia terjadi, membuat kecurigaan bahwa penyebab utama krisis terletak pada kesalahan penggunaan konsep ekonomi semakin menguat, yang dipicu oleh kegagalan perilaku manusia ekonomi yang serakah (greed) , konsumtif (consumerism) dan mencari kesenangan (hedonism). INTERNATIONAL MONETARY SYSTEM
EXPECTED INFLATION
OUTPUT GAP
FOREIGN INFLATION
SUPPLY SHOCKS
EXCHANGE RATE
CRISIS
HYPER INFLATION BUBBLE ECONOMY
EXCESS MONEY SUPPLY
INTEREST RATE
CREDIT CARD FRACTIONAL RESERVE DERIVATIVES
FIAT MONEY SPECULATION
DECOUPLING REAL & MONETARY SECTORS
Gambar 2. Akar Krisis – Kesalahan Sistem yang Terlupakan Kesalahan penggunaan konsep menjadi lebih beralasan daripada menunjuk kesalahan kebijakan sebagai kambing hitam. Kalau kebijakan yang salah, mengapa krisis ini selalu terjadi. Mengapa krisis di Amerika dan Eropa itu dapat terjadi lagi, apakah mereka tidak belajar dari krisis keuangan Asia Tenggara 10 tahun silam. Karena ternyata apa yang mereka (Amerika dan Eropa) lakukan dalam merespon krisis, persis sama dengan apa yang dilakukan negara‐negara Asia Tenggara ketika itu. Disamping itu, apakah tidak cukup canggih metode pengelolaan risiko, good governance, transparency, business conduct dan segala instrumen penjaga di indusri perbankan dan keuangan dunia? Kemana pelajaran yang diambil dari krisis‐krisis terdahulu? Tidakkah cukup puluhan atau bahkan ratusan krisis yang telah terjadi, dalam memberikan pengalaman dan wawasan untuk membangun industri yang lebih resilience? Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis‐krisis dalam ekonomi dominan 2
bersumber dari kekacauan di sektor keuangannya. Krisis‐krisis tersebut merupakan akumulasi dari kesalahan konsep (sistem ekonomi) dan perilaku manusia. Interaksi antara kesalahan sistem dan prilaku bermuara pada kewujudan krisis yang secara reguler menghantam perekonomian dunia. Beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari penyebab krisis‐krisis yang terjadi silih berganti, agar kita tidak terperosok ke lubang yang sama berulang‐ulang, dapat dikelompokkan ke dalam akar utama krisis yang berupa kesalahan konseptual atau sistem ekonomi (yaitu kesalahan sistem yang terlupakan, yang berwarna merah pada gambar 2), yang diperparah oleh kegagalan moral dan kelemahan internal. Kesalahan sistem ekonomi dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1) excess money supply; 2) spekulasi; 3) sistem bunga; 3) sistem moneter internasional; dan 5) terpisahnya (decoupling) sektor riil dan sektor moneter. Ke lima kesalahan sistem tersebut telah mengakibatkan krisis selalu muncul kembali, karena sistem‐sistem tersebut selama ini dianggap bukan menjadi akar masalah, sehingga penyelesaian krisis selama ini tidak pernah sampai menyentuh perbaikan sistem‐ sistem ini. 1. Excess Money Supply Excess money supply dapat disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan dan penciptaan daya beli semu. Penciptaan uang yang berlebihan dapat melalui pencetakan uang kartal (seigniorage) dan pencetakan uang giral/uang bank (money multiplier), sedang penciptaan daya beli semu dapat melalui kartu kredit. Selain itu, penciptaan uang dapat juga terjadi di pasar uang dengan instrumen‐instrumen derivatives‐nya yang bertingkat‐tingkat. Excess money supply terbukti merupakan salah satu determinan utama inflasi di hampir semua negara, termasuk Indonesia (Ascarya, 2008). Perbankan dengan fractional reserve banking system‐nya ternyata dapat menciptakan uang baru berlipat‐lipat (money multiplier) tanpa perlu adanya aset yang mem‐backup‐nya. Sebagai contoh, Lehman Brothers dan Goldman Sachs memiliki rasio aset terhadap modal sebesar 30 kali dan 26 kali, sebelum keduanya bangkrut. Beberapa bank Eropa bahkan memiliki leverage lebih tinggi lagi, seperti BNP Paribas 32 kali, Dexia dan Barclays sekitar 40 kali, UBS 40 kali, dan Deutsche Bank sebesar 83 kali (Lietaer et al., 2008). Sementara jauh sebelum itu, pada tahun 1937 mantan direktur Bank of England, Lord Josiah Stamp, dalam pernyataannya di menggambarkan bagaimana kekuasaan sebuah bank menggunakan bunga sebagai senjatanya (Sakti, 2007). “The modern banking sistem manufactures money out of nothing. The process is perhaps the most astounding piece of sleight of hand that was ever invented. Banking was coinceived in inequity and born in sin. Bankers own the earth; take it away from them, but leave them with the power to create credit, and with the stroke of a pen they will create enough money to buy it back again. If you want to be slaves of the bankers, and pay the cost of your own slavery, then let the banks create money.”1
Kartu kredit pada dasarnya adalah pencipta daya beli instan bagi pemegangnya, yang sebetulnya belum memiliki daya beli tersebut. Semakin mudahnya mendapatkan kartu kredit (satu orang bahkan dapat memiliki puluhan kartu kredit sekaligus) menyebabkan hutang kartu kredit membengkak dengan cepat di hampir semua Negara. Kredit macet dari
1
Lord J. Stamp, Public Address in Central Hall, Westminster, 1937.
3
kartu kredit diperkirakan akan menjadi ancaman berikutnya bagi Negara‐negara yang terkena krisis, khususnya Amerika. Produk‐produk derivatives merupakan pencipta uang di pasar modal yang digambarkan seperti piramida terbalik, dimana aset awal berada pada puncaknya, sedangkan produk derivatives‐nya telah tumbuh berlipat‐lipat jauh melebihi aset yang mem‐backup‐nya, sehingga kegagalannya tinggal menunggu waktu saja. Kegagalan subprime mortgage merupakan contoh yang begitu jelas. 2. Spekulasi Sistem ekonomi kapitalis yang dianut saat ini sangat bergantung kepada psikologi dari para spekulator, khususnya di pasar keuangan, karena sistem ini membolehkan produk dan transaksi yang menyuburkan kegiatan spekulasi. Kelemahan system ini pada umumnya tidak dipandang sebagai kecacatan system, sehingga tidak pernah ada kebijakan untuk melarang kegiatan spekulasi. Kebijakan paling keras yang diambil oleh pengambil keputusan hanyalah membatasi kegiatan spekulasi. Kegiatan spekulasi pada dasarnya merupakan zero‐sum game yang mendorong perilaku risk shifting yang tidak dapat menghasilkan nilai tambah riil, berbeda dengan risk sharing pada kegiatan investasi asli yang dapat menghasilkan nilai tambah riil. Spekulasi di pasar modal dan pasar uang terjadi ketika pemodal mengharapkan keuntungan sesaat dari capital gain, short‐selling, penyalah‐gunaan hedging, derivatives, dan sejenisnya. Spekulasi merupakan zero‐sum game (you lose what I gain) sehingga tidak ada nilai tambah dalam perekonomian, seperti yang dihasilkan dalam kegiatan perdagangan atau usaha yang berdasar risk sharing. Pasar modal merupakan wahana bertemunya pemodal dengan entrepreneur. Namun demikian, sistem dan aturan main yang ada membuat kegiatan investasi dan spekulasi sama‐sama dapat dilakukan, sehingga sulit untuk membedakan antara investor tulen dan spekulator. Perkiraan pesimis menyatakan bahwa 95 persen pemodal adalah speculator, bukan investor. Perkembangan produk dan transaksi yang semakin canggih semakin menyuburkan praktek spekulasi dan risk shifting. 3. Sistem Suku Bunga Sistem suku bunga merupakan awal dari krisis‐krisis keuangan. Penetapan suku bunga di awal sebelum proses ekonomi dilakukan (fixed and pre‐determined return) akan mendikte pasar dan menentukan perilaku pasar yang mislead dari yang seharusnya. Suku bunga seharusnya mencerminkan tingkat produktivitas modal dalam proses ekonomi. Tetapi hal itu tidak terjadi, sehingga selalu saja ada gap antara ketetapan suku bunga dan produktivitas riil, yang menyebabkan distorsi di pasar. Sistem suku bunga merupakan risk shifting yang sistematik sehingga selalu saja ada pihak yang dirugikan. Ketika semua pelaku pasar tidak mau menanggung risiko, karena risiko tidak bisa hilang (risiko adalah kondisi alamiah yang melekat pada setiap usaha dan return), maka somehow risiko itu pasti akan meminta korban diantara para pelaku pasar. Sementara pada tataran sistem, credit system telah mendikte pasar untuk tidak berperilaku alamiah. Penetapan suku bunga pada hakikatnya pemastian sebelah pihak terhadap potensi kejadian pada masa depan. Suku bunga (baik tinggi maupun rendah) memaksa pasar harus selalu memberikan return, padahal produktivitas riil bisa saja turun bisa pula naik, mungkin untung mungkin juga rugi. Ketika ada gap maka ini membuat pasar menjadi negatif (Sakti, 2007). Berbeda dengan pandangan ekonomi konvensional
4
pada umumnya, ternyata suku bunga merupakan determinan utama inflasi di Indonesia (Rusydiana dan Ascarya, 2008; Ascarya, 2009). Sejak lama, beberapa ekonom barat telah mengkritisi sistem suku bunga dengan mekanisme kreditnya yang menimbulkan masalah perangkap hutang (debt trap) yang melilit baik negara‐negara berkembang maupun negara‐negara maju. Akibat dari sistem ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah bersifat semu (bubble economy) dan sama sekali tidak menggambarkan produktivitas dan kesejahteraan yang riil. Bubble economy ini merupakan bom waktu yang suatu saat pasti akan meledak dalam bentuk krisis. Barbeton dan Lane (1999) dalam Sakti (2007) bahkan sudah memprediksi akan terjadinya krisis yang akan melanda negara‐negara maju. “The credit and capital markets have grown too rapidly, with too little transparency and accountability. Prepare for an explosion that will rock the western financial sistem to its foundations.”
Lebih jauh lagi, sistem bunga sebenarnya sudah dilarang semenjak jaman dahulu dalam ajaran Yahudi (Eksodus 22: 25, Deuteronomy 23: 19, Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (Lukas 6: 34‐35, pandangan pendeta awal/abad I‐XII, pandangan sarjana Kristen/abad XII‐XV, pandangan reformis Kristen/abad XVI‐1836) , maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan oleh Plato (427‐347 SM) dan Aristoteles (384‐322 SM). Terakhir, sistem bunga ditegaskan lagi pelarangannya dalam ajaran Islam melalui Al Qur’an secara bertahap dimulai dari QS 30:39, QS 4:161, QS 3:130‐132, dan QS 2:275‐279 (Ascarya, 2007). 4. Sistem Moneter Internasional Sistem moneter Internasional saat ini berlandaskan pada fiat money (uang kertas) masing‐ masing negara yang nilainya mengambang bebas dan tidak di back‐up oleh aset riil apapun. Oleh karenanya, setiap negara memperoleh keuntungan dari pencetakan uang (seigniorage) dengan korban semua rakyat pemegang uang tersebut yang daya belinya terus menurun (inflasi). Lebih beruntung lagi negara besar yang mata uangnya menjadi mata uang perdagangan dunia, khususnya dolar Amerika. Negara Amerika menikmati seigniorage yang luar biasa besar dari penggunaan uang dolar‐nya di dalam negeri dan di luar negeri. Keadaan ini menyebabkan inflasi yang persisten dan ketidak‐adilan, terutama bagi negara‐negara kecil, miskin, dan mata uangnya tidak ‘convertible’. Semakin mata uang suatu negara banyak digunakan dalam perdagangan internasional (convertible currencies), semakin besar keuntungan seigniorage negara tersebut. Sementara itu, negara yang mata uangnya tidak convertible (negara berkembang, negara kecil, dan negara miskin) hanya dapat menikmati seigniorage di tingkat nasional saja. Sementara itu, penciptaan uang melalui bank telah membuat abad 20 menjadi abad yang paling tinggi inflasinya (Lietaer et al., 2008). Nilai tukar terbukti menjadi salah satu determinan utama penyebab inflasi di beberapa negara, termasuk Indonesia (Yanuarti dan Hutabarat, 2006; Rusydiana dan Ascarya, 2008). Ketika mata uang masih dikaitkan dengan emas nilainya stabil, namun ketika mata uang tidak lagi dikaitkan dengan emas nilainya terdepresiasi dengan cepat. Penelitian yang dilakukan Prof. Roy Festrem dari Barkeley University menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam kurun waktu 400 tahun hingga tahun 1976 harga emas konstan dan stabil. Justru nilai emas dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan (Sanrego dan Ali, 2008). Tahun 1800 harga emas setara dengan 19,39 Dolar AS per troy ounce dan sebelum Bretton Woods runtuh pada tahun 1971 harga emas setara dengan 35 Dolar AS per troy ounce. Tetapi pada tahun 2004, dengan kadar yang sama harga emas telah melonjak 5
menjadi 455,75 Dolar AS per troy ounce dan awal Desember 2008 melonjak lagi menjadi 769,40 Dolar AS per troy ounce. Hal ini berarti bahwa, nilai mata uang Dolar AS stabil dalam jangka waktu lama ketika masih di‐backup dengan emas, namun nilai Dolar AS terdepresiasi dengan cepat dalam waktu singkat ketika tidak lagi di‐backup dengan emas. Hal ini juga berlaku bagi mata uang (fiat money) lainnya. 5. Terpisahnya (Decoupling) Sektor Riil dan Sektor Moneter Dalam sejarahnya entitas utama ekonomi adalah aktifitas produktif barang dan jasa di sektor riil dengan uang yang berfungsi sebagai medium of exchange. Dengan berkembangnya sistem bunga dengan uang sebagai komoditas yang diperdagangkan dan tingkat suku bunga sebagai harganya, muncullah pasar baru yang sejajar dengan pasar utama barang dan jasa di sektor riil, yaitu pasar keuangan, seperti pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, dan pasar derivatif. Dengan adanya kepastian keuntungan (fixed and pre‐ determined return) dana/modal mengalir deras ke sektor keuangan yang seharusnya mengalir ke sektor riil, sehingga perputaran modal jauh lebih cepat dan banyak di sektor keuangan, yang sebenarnya tidak menghasilkan nilai tambah nyata, dari pada di sektor riil yang benar‐benar dapat menghasilkan nilai tambah nyata. Sektor keuangan yang pada awalnya hanyalah bersifat pendukung bagi sektor riil, kini telah tumbuh menjadi sektor terpisah dari sektor riil yang memiliki produk dan harganya sendiri. Dengan demikian, Sakti (2007) menyatakan bahwa disadari atau tidak (disengaja atau tidak) perekonomian terdikotomi pada dua aktivitas utama, yaitu aktivitas moneter dan aktivitas riil (classical dichotomy).2 Akibat mis‐
alokasi resources ini, sektor riil kekurangan modal untuk pertumbuhan, sedangkan sektor keuangan tumbuh, namun pertumbuhan ini sifatnya semu (bubble economy) yang suatu saat pasti akan terjadi koreksi dengan pecahnya bubble dalam bentuk krisis. Selain itu, tercipta juga kesenjangan ekonomi yang semakin dalam antara si kaya dan si miskin. Paradigma bahwa sektor keuangan merupakan sektor mandiri dalam perekonomian, boleh jadi merupakan paradigma yang keliru, yang menyebabkan perkembangan ekonomi selalu dihadapkan pada fakta‐fakta (konsekuensi) ketimpangan antara sektor keuangan dan riil. Sektor keuangan sepatutnya menjadi sektoral yang berfungsi mendukung pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas riil. Oleh sebab itu, semua elemen dan instrumen dalam sektor keuangan sepatutnya dipelihara dan dijaga untuk mendukung penuh aktifitas riil. Dengan demikian, kecenderungan penggelembungan sepihak sektor keuangan yang kerap terjadi akan dapat dihindari.
C. Strategi Penanganan Krisis Penyelesaian krisis‐krisis sebelumnya, semuanya hanya mengobati kulit luarnya (symptoms) saja tanpa menyentuh akar masalah (root systemic cause) secara tuntas. Oleh karena itu, grand strategy yang harus diambil adalah untuk mengobati krisis dari akar sumbernya secara bertahap. Untuk akar masalah yang belum dapat ditemukan obatnya, maka strateginya adalah membuatnya menjadi tidak dominan dalam perokomian dan sepenuhnya dapat dikontrol. 1. Excess Money Supply 2
Keadaan ini dikuatkan oleh teori‐teori moneter golongan klasik, yang intinya mengatakan bahwa kebijakan pada uang beredar tidak akan mempengaruhi sektor riil. Penambahan uang beredar menurut klasik hanyalah akan mengakibatkan kenaikan harga, sementara jumlah output tidak akan bertambah.
6
a. Fiat Money Æ Gold Standard Stage 1: M2 Æ M1 Æ token M0, through 100% reserve banking. Stage 2: token M0 Æ intrinsic M0, through gold accumulation. Possibility: Long term: YES / NO; Medium term: NO; Short term: NO b. Fractional Reserve Banking Æ Narrow Banking or Free Banking Possibility: Long term: YES; Medium term: YES / NO; Short term: NO c. Credit Card Æ Debit Card Possibility: Long term: YES; Medium term: YES; Short term: YES / NO d. Derivatives Æ ABS or Sukuk Possibility: Long term: YES; Medium term: YES; Short term: YES / NO
2. Interest Æ PLS e. Increase the share of Islamic Finance Possibility: Long term: YES; Medium term: YES; Short term: YES f. Monetary Instrument Possibility: Long term: YES; Medium term: YES; Short term: NO 3. Speculation g. Prohibition or restriction in all markets Possibility: Long term: YES; Medium term: YES; Short term: YES / NO a. International Monetary System h. Regional (East Asia 14 or OIC 57) Union Æ Regional Currency Æ Single Global Currency. East Asia = ASEAN, China, Japan, Korea, India, Australia, and New Zealand = 21%, EU = 22.3%, North America = 30% of world GDP. Possibility: Long term: YES / NO; Medium term: NO; Short term: NO b. Decoupling Real and Monetary Sectors i. j.
Refer to a, d, e, f, and g. Monetary sector accommodates and supports real sector.
D. Rekomendasi 1. Under dual monetary system, root causes of the crisis can be partly eradicated and partly controlled. The extension of eradication can go as far as Austrian school with the elimination of money and credit creations, as well as the restriction of speculative activities gradually and systematically. What essentially required is government will and commitment. Other root causes of the crisis that cannot be eradicated should be controlled tightly with discipline. Meanwhile, to minimize the negative impact of crisis can be done by increasing the share of PLS‐based Islamic finance (banking, capital market, insurance, mutual funds, etc.) and adopting PLS returns as policy rate anchor as well as PLS‐based monetary instruments. Moreover, speculation in all markets should be prohibited or highly restricted, while every financial instrument should be backed by underlying real transaction. 2. The determinant of inflation from supply side is very significant and cannot be ignored. Therefore, coordination between monetary and fiscal authorities is a must. 7
3. BI officers should understand conventional and Islamic economics and finance, since the future of Bank Indonesia is towards dual central banking.
E. Referensi Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers. Ascarya. 2009. “The determinants of Inflation under Dual Monetary System in Indonesia.” Working Paper Bank Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. Ascarya, Ali Sakti, and Noer A. Achsani. 2008a. “Towards Integrated Monetary Policy under Dual Financial System: Interest System vs. Profit‐and‐Loss Sharing System.” Paper. BIBF‐IRTI International Conference on Islamic Financial Sector Development, Manama, Bahrain: BIBF, March. Ascarya, Heni Hasanah, and Noer A. Achsani. 2008b. “Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia.” Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan Bank Indonesia Vol. 11, No.1. Jakarta: Bank Indonesia. Development Research Group. 2008. “Lessons from World Bank Research on Financial Crises.” Policy Research Working Paper no.4779. Washington, D.C.: World Bank, Development Research Group. Harahap, Sofyan S. 2008. “Ekonomi Syariah, Bretton Woods, KTT ASEM, dan AS.” Harian Republika 3 November hal.6. Indonesia. Laeven, Luc and Fabian Valencia. 2008. “Systemic Banking Crises: A New Database.” IMF Working Paper WP/08/224. Washington, D.C.: International Monetary Fund. Lietaer, Bernard, Robert Ulanowicz, and Sally Goerner. 2008. “White Paper on the Options for Managing Systemic Bank Crises.” Mimeo. Reinhart, Carmen M. and Kenneth S. Rogoff. 2008. “Is the 2007 US Sub‐prime Financial Crisis So Different? An International Historical Comparison.” NBER Working Paper no.13761. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Rusydiana, Aam S. and Ascarya. 2008. “Determinan Inflasi Indonesia: Perbandingan Pendekatan Islam dan Konvensional.” Mimeo. Sakti, Ali. 2007. Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern. Paradigma & Aqsa Publishing, Jakarta, Indonesia. Sanrego, Yulizar D. dan Nuruddin Mhd. Ali. 2008. “Krisis Global dan Babak Baru Ekonomi Islam.” Mimeo. Sennholz, Hans F. 2006. “Age of Inflation Continued.” Mimeo. Siddiqi, Muhammad N. 2008. “Current Financial Crisis and Islamic Economics.” Mimeo. Thomas, Abdulkader. 2008. “Lessons Not to Learn.” Islamic Finance Asia October/November edition. Yanuarti, Tri and Akhis R. Hutabarat. 2006. “Perbandingan Determinan Inflasi Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina.” Bank Indonesia Working Paper WP/05/2006. Jakarta: Bank Indonesia. 8