IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Kerangka Pemikiran 4.1.1. Kerangka Konseptual Struktur percengkehan nasional ditopang oleh dan merupakan interaksi antara dua komponen utama, yaitu: pasokan/penawaran dan permintaan cengkeh, namun yang menjembatani kedua komponen tersebut adalah komponen tataniaga cengkeh. Di dalam komponen pasokan/penawaran cengkeh terdapat industri cengkeh dimana petani cengkeh sebagai pelaku utamanya. Besarnya pasokan cengkeh pada suatu waktu tertentu (t) diperoleh dari besarnya produksi cengkeh dalam negeri, ditambah cengkeh impor pada waktu tersebut serta stok awal cengkeh (stok akhir pada periode sebelumnya). Sementara itu, di dalam komponen permintaan terdapat industri rokok kretek, dimana pabrik rokok kretek adalah pelaku utamanya. Besarnya permintaan cengkeh pada waktu tertentu (t) terdiri dari permintaan domestik dan permintaan ekspor. Dewasa ini permintaan cengkeh domestik oleh pabrik rokok kretek lebih dominan daripada permintaan ekspor, karena setiap tahunnya pabrik rokok kretek membutuhkan sekitar 100 000 ton cengkeh, jauh di atas kebutuhan industri-industri lainnya. Peranan ekspor cengkeh melalui ekspor rokok kretek lebih menjanjikan dibandingkan dengan ekspor cengkeh atau produk dari cengkeh lainnya. Sementara itu, komponen tataniaga berfungsi untuk menyelaraskan hubungan antara komponen permintaan dan komponen pasokan (Gonarsyah, 1996).
75
PERCENGKEHAN NASIONAL
SISI PENAWARAN
Tanaman Cengkeh
- Luas Areal - Produktivitas
Harga Cengkeh
INDUSTRI CENGKEH
CENGKEH
Petani Cengkeh
- Fluktuasi Harga * Pendapatan * Kesejahteraan
CENGKEH IMPOR
KEBIJAKAN PEMERINTAH
SISI PERMINTAAN
Pemasaran dan Struktur Pasar - Struktur Biaya Pemasaran - Struktur Pasar - Ekspor - Pasar Domestik
TATANIAGA INDUSTRI ROKOK KRETEK
ROKOK KRETEK
PRK
- Harga Rokok Kretek - Harga Cengkeh - Pendapatan/ Kapita - Tarif Cukai - Aspek Kesehatan
- Kelangsungan Usaha * Pasokan bahan baku
Gambar 9. Struktur Percengkehan Nasional
76 Dalam industri cengkeh nasional saat ini, terdapat banyak petani cengkeh (produsen) dengan rata-rata kepemilikan kebun berkisar 0.5–1.5 ha dan tingkat kesejahteraan yang relatif stagnan, sementara industri rokok kretek (konsumen) didominasi oleh tiga pabrik rokok besar yaitu PT. Gudang Garam, PT. Djarum dan PT. HM Sampoerna (PT. Phillip Morris)4, yang menyerap sekitar 80 hingga 90 persen produksi cengkeh nasional dengan tingkat produksi dan ekspor rokok kretek yang semakin meningkat serta penggunaan cukai yang semakin signifikan terhadap penerimaan negara (Gappri, 2003; Puslitbun, 2004; Husodo, 2006). Dengan demikian, struktur pasar cengkeh di Indonesia cenderung bersifat oligopsoni (Bird, 1999; Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003). Kondisi tersebut mengakibatkan posisi rebuttawar (bargaining position) petani cengkeh menjadi lebih lemah dibandingkan pabrik rokok kretek, terutama pada saat panen raya. Adanya distorsi pasar akibat ketidaksempurnaan pasar ini menyebabkan harga cengkeh di tingkat petani sangat fluktuatif. Secara historis, permasalahan tersebut sudah mendapat perhatian dari pemerintah. Pada masa Orde Baru, percengkehan nasional sarat dengan intervensi pemerintah baik di bidang produksi maupun di bidang tataniaga cengkeh. Di bidang tataniaga, beberapa paket kebijakan pernah diterapkan pemerintah, yang antara lain bertujuan untuk stabilisasi harga cengkeh di pasar domestik. Fluktuasi harga cengkeh di pasar domestik terjadi karena adanya fluktuasi pasokan. Gambar di bawah ini, menjelaskan mekanisme kebijakan stabilisasi harga cengkeh akibat adanya fluktuasi pasokan.
4
Kompas, 9 Mei 2005
77
P S1F
SF2
f
PF1
a
PFS
c
2 F
Q
b d
R
T e
P
g
DF
0
Q
Gambar 10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh Apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF) konstan; kurva pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF2 pasokan besar (panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar cengkeh yang ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan pasokan berlebih (saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan permintaan berlebih (saat panen kecil), dan biaya untuk menyangga adalah nol, dalam arti kegiatan ini tidak mendatangkan laba atau rugi. Pada Gambar di atas tampak juga bahwa pada kondisi pasokan kecil SF1, tingkat harga yang terjadi adalah PF1 (panen kecil) dan surplus produsen (producers’ surplus) adalah daerah (a+c+g), serta surplus konsumen (consumers’ surplus) adalah daerah f. Sementara apabila kondisi
78 pasokan besar SF2 (panen raya), tingkat harga yang terjadi adalah PF2, dan surplus produsen adalah daerah (g+h), sedang surplus konsumen adalah daerah (a+b+c+d+f). Dan dengan adanya penetapan harga dasar PFS dimana melalui kegiatan penyanggaan suplai berlebih (RT) akan dibeli pada saat panen raya, untuk kemudian dijual kembali pada waktu terjadi permintaan berlebih (QR), pada saat paceklik. Pada saat terjadi panen raya (SF2), dengan diberlakukannya harga dasar maka surplus produsen meningkat sebesar daerah (c+d+e), sementara surplus konsumen berkurang sebesar daerah (c+d), serta surplus neto sebesar daerah (e). Pada saat paceklik (SF1), surplus produsen berkurang sebesar daerah (a), sementara surplus konsumen bertambah sebesar (a+b), dan surplus neto sebesar daerah (b) (Just, Hueth and Schmitz, 1982). Dengan demikian, secara teoritis, dengan diberlakukannya kebijakan harga dasar sekaligus kegiatan penyanggaan maka produsen cengkeh diuntungkan karena surplusnya meningkat sebesar daerah (c+d+e-a), sementara konsumen dirugikan karena surplusnya berkurang sebesar (c+d-a-b) dan masyarakat secara keseluruhan diuntungkan rata-rata sebesar ½ (b+e). Namun, patut untuk ditekankan disini bahwa memperhitungkan “kompensasi” yang diterimanya dalam bentuk terjaminnya pasokan cengkeh dan penghematan biaya penyimpanan serta modal kerja, maka konsumen PRK sebetulnya, tidak dirugikan dengan diberlakukannya harga dasar cengkeh tersebut. Selanjutnya, salah satu paket kebijakan tataniaga yang menetapkan harga dasar sekaligus kegiatan penyanggaan adalah kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/KP/XII/1990 tentang
79 Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, dimana dalam pelaksanaannya membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang menangani tataniaga cengkeh secara keseluruhan. Menurut Gonarsyah (1998), secara konseptual, fungsi BPPC untuk stabilisasi harga cengkeh sangat baik, namun kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa dampak penerapan kebijakan tersebut, ternyata tidak sesuai dengan konsepnya, karena hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sangat tidak berpihak kepada petani. Prinsip penyanggaan yang dilakukan oleh BPPC berdasarkan kebijakan tersebut, diilustrasikan dalam Gambar 11. Secara substansial, dasar pemikiran yang melandasi kebijakan stabilisasi harga dengan menetapkan harga dasar adalah sebagai berikut, apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF) konstan; kurva pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF2 pasokan besar (panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar cengkeh yang ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan pasokan berlebih (saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan permintaan berlebih (saat panen kecil). Tampak pada Gambar 11, pada saat harga dasar PFS, dan pasokan SF2 , jumlah pasokan (PFST) melebihi jumlah permintaan (PFSR) sebanyak RT, yaitu jumlah yang harus dijual manakala terjadi permintaan sebanyak QR karena pasokan berkurang menjadi SF1. Untuk kegiatan penyanggaan, diperlukan dana sebanyak RTT’R’. Sementara itu, sejak beroperasinya BPPC, jumlah yang disangga tidak hanya RT tapi juga PFSR, jumlah yang secara teoritis dibeli oleh pabrik rokok kretek (PRK) pada tingkat harga dasar. Artinya BPPC melakukan juga berbagai fungsi tataniaga
80 cengkeh yang tadinya dilakukan oleh PRK selama sekian tahun. Konsekuensinya, biaya penyanggaan membengkak dari RTT’R’ menjadi PFSTT’0. Dengan demikian, dalam waktu singkat dana pengadaan cengkeh membengkak dengan cepat.
P
S1F
Q
PFS
R
SF2
T
DF Q’
0
R’
Q
T’
Gambar 11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC Untuk mengatasi hal tersebut dan sekaligus menekan Gappri, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan terpadu dari beberapa departemen teknis terkait yakni
melalui
Surat
Keputusan
Bersama
Menteri
Perdagangan
RI
Nomor
221/kpb/IX/1994 dan Menteri Keuangan RI Nomor 475/KMK.05/1994 yang mengaitkan
penyerahan
cengkeh
dengan
pemesanan
pita
cukai.
Hal
ini
menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah dapat “memaksa” pihak PRK untuk bekerjasama dengan petani cengkeh. Gonarsyah et al. (1995) mengemukakan bahwa tidak berjalannya mekanisme penyanggaan cengkeh, seperti yang dijelaskan di atas juga disebabkan oleh
81 berlakunya semacam gejala Cobweb dalam hubungan antara harga dan jumlah yang diminta. Secara skematik, hubungan kausal komoditas cengkeh adalah: Q1
Q6
Q11
P1
P6
Q11
……..
Pada dasarnya gejala Cobweb dapat mengarah pada siklus harga dan jumlah yang mengumpul (convergent) bila suplai lebih inelastik daripada demand, konstan (constant) bila elatisitas demand sama dengan elastisitas suplai, atau menyebar (divergent) bila suplai lebih elastis daripada demand (Tomek and Robinson, 1990). Tampaknya, hubungan harga dan jumlah pada cengkeh, pada tahun tujuhpuluhan hingga pertengahan delapanpuluhan, mengarah pada siklus menyebar (divergent), karena elastisitas permintaan cengkeh bersifat inelastis, sementara elastisitas pasokan cenderung elastis. Kemudian, hingga pertengahan tahun sembilanpuluhan, memburuknya harga cengkeh belum diikuti oleh menurunnya produksi cengkeh nasional. Namun perkembangan terakhir menunjukkan produksi cengkeh ada kecenderungan meningkat yang diikuti dengan penurunan harga di tingkat petani, terlebih di saat panen raya, dan tampaknya hubungan antara harga dan jumlah pada cengkeh mengarah pada siklus mengumpul (convergent), mengingat konsumsi cengkeh cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya produksi rokok kretek, sedangkan produksi cengkeh meskipun cenderung meningkat namun belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku cengkeh pabrik rokok kretek yang didominasi oleh tiga pabrik besar.
82 Meskipun, struktur pasar cengkeh bersifat oligopsoni, sebagaimana yang dikemukakan
sebelumnya,
namun
karena
sulit
untuk
mengidentifikasi
dan
memperoleh informasi yang akurat mengenai berapa besar konsumsi cengkeh masing-masing PRK besar tersebut dalam pasar cengkeh domestik maka asumsi pasar persaingan sempurna digunakan sebagai aproksimasi dari kondisi pasar cengkeh yang bersifat oligopsoni, karena pada dasarnya ketiga PRK tersebut tetap memiliki persaingan dalam pasar cengkeh maupun pasar rokok kretek. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Murniningtyas (1989), bahwa meskipun Jepang memiliki kekuatan monopoli sekaligus monopsoni di pasar gandum dunia, namun pasar diasumsikan bersaing sempurna apabila kekuatan monopoli sama dengan kekuatan monopsoni. Dengan demikian, perkembangan penawaran dan permintaan cengkeh yang menunjukkan keterkaitan antara industri cengkeh di satu sisi dengan industri rokok kretek di sisi lain menjadi penting untuk dianalisis, sehingga dapat diketahui faktorfaktor apa saja yang paling berpengaruh didalamnya dan untuk itu digunakan pendekatan ekonometrik yang dapat menggambarkan hubungan timbal balik antara peubah-peubah utama dari kedua industri tersebut. Selanjutnya, komponen tataniaga cengkeh berfungsi untuk menyelaraskan komponen penawaran dan permintaan yaitu mendistribusikan atau menyalurkan cengkeh dari petani cengkeh (produsen) ke PRK (konsumen). Diperlukan adanya sistem distribusi ini karena adanya perbedaan spasial (letak geografis) antara petani cengkeh yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa dengan PRK yang berlokasi di pulau Jawa. Di Provinsi Sulawesi Utara, tataniaga cengkeh di lakukan oleh
83 lembaga-lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul desa, kabupaten dan/atau pedagang antar pulau (yang sebagian besar merupakan perwakilan PRK) serta koperasi yang akhir-akhir ini perannya makin berkurang. Jadi yang memegang peran utama dalam tataniaga cengkeh di daerah sentra produksi cengkeh tersebut (juga di daerah lainnya di Sulawesi Utara) adalah para pedagang cengkeh. Hal ini mengakibatkan harga cengkeh di tingkat petani cenderung rendah, terlebih pada saat berlangsungnya panen raya. Pada umumnya, petani mengeluhkan bahwa tingkat harga cengkeh yang diterimanya sudah tidak sesuai atau tidak layak, dalam arti tidak mampu menutupi biaya produksinya. Namun, hingga kini, belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis biaya produksi cengkeh per kilogram dengan memperhitungkan keseluruhan biayanya. Oleh karena itu, perlu dianalisis berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Dan perhitungan dengan matriks analisis kebijakan (PAM) multi-period, menjadi sangat relevan untuk digunakan. Sementara itu, di sisi industri rokok kretek, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa “kelangsungan usaha” PRK sebenarnya sangat tergantung pada pasokan bahan baku cengkeh domestik karena total produksi cengkeh dari dua negara produsen utama di luar Indonesia yakni Madagaskar, Tanzania (Zanzibar) serta enam negara produsen kecil seperti, Komoro, Srilanka, Malaysia, Grenada, Kenya dan Togo, hanya berkisar antara 25 000 hingga 30 000 ton atau hanya 20 sampai 30 persen dari kebutuhan cengkeh pabrik rokok kretek (FAO, 2004 dan Husodo, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa tampak adanya saling ketergantungan antara petani cengkeh dan PRK, untuk menjamin kelangsungan usahanya masing-masing.
84 Petani cengkeh adalah pemasok cengkeh utama bagi PRK, sebaliknya PRK adalah konsumen utama cengkeh produksi petani. Salah satu pihak sangat membutuhkan keberadaan pihak yang lain. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang sinergis antara kedua pihak ini melalui koordinasi dalam produksi dan pemasaran ataupun sebaliknya.
Untuk itu, diperlukan analisis teori permainan (game theory), yang
diharapkan mampu menggambarkan keterkaitan antara kedua pihak tersebut secara interaktif. Juga sebagai upaya untuk menjajagi kemungkinan yang dapat mengarah pada kerjasama yang saling menguntungkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hobbs and Young (2001) bahwa sektor pertanian khususnya komoditas pangan di Canada dan Amerika Serikat cenderung mengarah ke koordinasi vertikal antara tahapan produksi dan pemasaran. Koordinasi vertikal didefinisikan oleh Mighell dan Jones sebagai: cara-cara yang digunakan untuk menyelaraskan tahapan-tahapan vertikal dalam produksi dan pemasaran. Sementara dalam Hobbs (1997) dinyatakan bahwa sistem harga pasar, integrasi vertikal, perjanjian kontrak dan kerjasama, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama adalah bentuk dari koordinasi. Dalam koordinasi vertikal, sinkronisasi urutan tahap-tahap dari produksi dan pemasaran dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas dan waktu dari aliran produk (Perry, 1989; Martinez, 2002; Wysocky, Peterson and Harsch, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan
sebagai
upaya
untuk
membantu
memecahkan
permasalahan
percengkehan nasional secara komprehensif dan dengan ditopang oleh ketiga metode analisis seperti yang dijelaskan di atas maka diharapkan temuan dan kesimpulan yang diperoleh akan lebih memuaskan.
85 4.1.2. Kerangka Teoritis 4.1.2.1. Kerangka Teoritis Model Keterkaitan Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional a. Penawaran Cengkeh 1. Produksi Cengkeh Secara teoritis, pada tingkat teknologi tertentu, fungsi produksi cengkeh dapat didefinisikan sebagai berikut: PRODC
= q(A, L, F, O)
(1)
dimana : PRODC
= produksi cengkeh (ton)
A
= luas areal (ha)
L
= jumlah tenaga kerja (orang)
F
= jumlah pupuk (kg)
O
= jumlah faktor produksi lain (unit)
Apabila harga masing-masing faktor sebagai berikut: RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
SEWA
= sewa riil lahan (Rp/ha)
UPAHP
= upah tenaga riil kerja di sektor perkebunan (Rp/HOK)
RPF
= harga riil pupuk (Rp/kg)
RPO
= harga riil faktor produksi lain (Rp/unit)
Maka fungsi keuntungan produsen cengkeh, dapat dirumuskan sebagai berikut (Henderson and Quandt, 1980):
86 π
= RPC x q(A,L,F,O)–(A x SEWA+L x UPAHP + F x RPF + O x RPO)
(2)
Jika first-order dan second order condition dipenuhi, maka fungsi keuntungan dapat dimaksimumkan sebagai berikut: RPC x A’ – SEWA
= 0 atau SEWA = RPC x A’
(3)
RPC x L’ – UPAHP
= 0 atau UPAHP = RPC x L’
(4)
RPC x F’ – RPF
= 0 atau RPF
= RPC x F’
(5)
RPC x O’ – RPO
= 0 atau RPO
= RPC x O’
(6)
dimana A’, L’, F’ dan O’ adalah produk marginal dari faktor produksi A, L, F dan O. Maka fungsi permintaan faktor produksi A,L,F dan O oleh petani/produsen cengkeh adalah: A
= a(SEWA, RPC, UPAHP, RPF, RPO)
(7)
L
= l(UPAHP, RPC, SEWA, RPF, RPO)
(8)
F
= f(RPF, RPC, SEWA, UPAHP, RPO)
(9)
O
= o(RPO, RPC, SEW, UPAHP, RPF)
(10)
Dengan mensubstitusikan persamaan (7)–(10) ke persamaan (1) maka fungsi penawaran dari produksi dalam negeri dapat dirumuskan sebagai berikut: PRODC
= q(RPC, SEWA, UPAHP, RPF, RPO, DUT)
(11)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa penawaran cengkeh dari produksi cengkeh dalam negeri merupakan fungsi dari harga riil cengkeh di tingkat petani dan harga riil dari faktor-faktor produksi yang digunakan serta kebijakan pemerintah di bidang produksi.
87 2. Volume Impor Cengkeh Impor cengkeh merupakan salah satu komponen penawaran dari luar negeri, yang dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak terpenuhi. Secara teoritis, volume impor cengkeh dipengaruhi oleh penawaran cengkeh domestik (produksi domestik dan stok) juga oleh konsumsi cengkeh domestik (konsumsi PRK dan nonPRK). Selain itu, volume impor cengkeh juga dipengaruhi oleh nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika, serta oleh kebijakan pemerintah seperti: tarif impor atau kebijakan lainnya, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: IMPC
= m(RPCM,PRODC,STOC,DCPRK,DCNPRK, KURS,DIMP)
(12)
dimana: IMPC
= volume impor cengkeh (ton)
RPCM
= harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
PRODC
= produksi cengkeh (ton)
STOC
= stok cengkeh (ton)
DCPRK
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCNPRK
= konsumsi cengkeh non-PRK (ton)
KURS
= nilai tukar riil (Rp/US$)
DIMP
= kebijakan tarif impor
3. Stok Cengkeh Nasional Stok cengkeh nasional merupakan selisih dari penawaran dan permintaan cengkeh dimana stok akhir pada periode t-1 (STOCt-1) adalah merupakan stok awal periode t dan merupakan salah satu komponen penawaran cengkeh periode t,
88 sementara stok cengkeh periode t (STOCt) merupakan permintaan cengkeh pada periode t. Selain itu, stok cengkeh juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang tataniaga seperti Keppres No. 8 Tahun 1980 dan beroperasinya BPPC, dengan asumsi stok cengkeh pada akhir 1974 sama dengan nol, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: STOC
= s(PRODC, RPC, RPCM, DKTN)
(13)
dimana: STOC
= stok cengkeh (ton)
PRODC
= produksi cengkeh (ton)
RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPCM
= harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
DKTN
= kebijakan tataniaga
4. Jumlah Penawaran Cengkeh Penawaran cengkeh (SUPC) merupakan penjumlahan dari persamaan (11) hingga (13), dan dapat dirumuskan sebagai berikut: SUPC
= PRODC + IMPC + STOC
dimana: SUPC
= penawaran cengkeh nasional (ton)
PRODC
= produksi cengkeh (ton)
IMPC
= volume impor cengkeh (ton)
STOC
= stok cengkeh (ton)
(14)
89 b. Permintaan Cengkeh 1. Permintaan Cengkeh Pabrik Rokok Kretek, Non Pabrik Rokok Kretek dan Total Fungsi permintaan cengkeh industri rokok kretek diturunkan dari fungsi produksi rokok kretek. Pada tingkat teknologi tertentu, bentuk umum dari fungsi produksi untuk rokok kretek baik rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM) maupun klobot (KLB), dapat dirumuskan sebagai berikut: PRODRKj
= qj(DCSKj, TSKj, LSKj, OSKj)
dimana: PRODRK
= produksi rokok kretek (juta batang)
DCSK
= konsumsi cengkeh (ton)
TSK
= konsumsi tembakau (ton)
LSK
= tenaga kerja yang digunakan (orang)
OSK
= faktor produksi lain (unit)
j
= untuk SKT,SKM, KLB
Apabila harga masing-masing sebagai berikut: RPRK
= harga riil rokok kretek (Rp/bungkus)
RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPTB
= harga riil tembakau (Rp/kg)
UPAHI
= upah tenaga kerja riil di sektor industri (Rp/Hari)
RPO
= harga riil faktor produksi lain (Rp/unit)
(15)
90 Maka fungsi keuntungan masing-masing rokok kretek dapat dirumuskan sebagai berikut: (Henderson and Quandt, 1980) πj
= RPRKj x qj (DCSKj, TSKj, LSKj, OSKj) – (RPCj x DCSK + TSK x RPTK + UPAHI x LSK + RPO x OSK)
(16)
Jika first order dan second order condition terpenuhi maka fungsi keuntungan dapat dimaksimumkan sebagai berikut: RPRKj x DCSKj’ – RPCj = 0 atau RPCj = RPRKj x DCSKj’
(17)
RPRKj x TSKj’ – RPTKj
= 0 atau RPTKj = RPRKj x TSKj’
(18)
RPRKj x LSKj – UPAHIj = 0 atau UPAHIj = RPRKj x LSKj
(19)
RPRKj x OSKj’ – RPOj
(20)
= 0 atau RPOj
= RPRKj x OSKj’
dimana: DCSKj’, TSKj’. LSKj’ dan OSKj’ merupakan produk marginal dari DCSK, TSK, LSK dan OSK. Maka fungsi permintaan masing-masing faktor produksi dapat dirumuskan, sebagai berikut: DCSKj
= cj(RPCj, RPRKj, RPTKj, UPAHIj, RPOj)
(21)
TSKj
= tj(RPTKj , RPCj, RPRKj, UPAHIj, RPOj)
(22)
LSKj
= lj(UPAHIj, RPCj, RPRKj, RPTKj, RPOj)
(23)
OSKj
= zj(RPOj, RPCj, RPRKj, PRTKj, UPAHIj)
(24)
Persamaan (21) menunjukkan bahwa permintaan cengkeh atau konsumsi cengkeh oleh PRK merupakan fungsi dari tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC), harga riil rokok kretek (RPRK), dan harga riil faktor-faktor produksi lain. Yang
91 dimaksudkan disini adalah konsumsi cengkeh oleh PRK yang legal, karena tidak terdapatnya data konsumsi cengkeh oleh PRK “ilegal” (liar). Dengan demikian, jumlah permintaan cengkeh pabrik rokok kretek adalah penjumlahan dari konsumsi cengkeh SKT, SKM dan KLB, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DCPRK
(25)
= DCSKT + DCSKM + DCKLB
dimana: DCPRK
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCSKT
= konsumsi cengkeh untuk SKT (ton)
DCSKM
= konsumsi cengkeh untuk SKM (ton)
DCKLB
= konsumsi cengkeh untuk KLB (ton)
Sementara
itu,
permintaan
cengkeh
non-PRK
(DCNPRK)
merupakan
konsumsi cengkeh untuk rumah tangga, industri kosmetik, industri farmasi dan industri lainnya, namun dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan konsumsi PRK. Pada penelitian ini, konsumsi cengkeh non-PRK akan didekati berdasarkan konsumsi per kapita dikali populasi penduduk, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DCNPRK
= POP x DCKAP
dimana: DCNPRK
= konsumsi cengkeh non PRK (ton)
POP
= populasi penduduk (orang)
DCKAP
= konsumsi cengkeh per kapita/tahun (unit)
(26)
92 Konsumsi cengkeh nasional merupakan penjumlahan dari konsumsi cengkeh baik oleh pabrik rokok kretek maupun non-pabrik rokok kretek, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DCDOM
= DCPRK + DCNPRK
(27)
dimana: DCDOM
= permintaan cengkeh nasional (ton)
DCRPK
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCNPRK
= konsumsi cengkeh non-PRK (ton)
2. Ekspor Cengkeh Ekspor cengkeh merupakan kelebihan penawaran yang tidak dikonsumsi atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Labys, 1973), maka fungsi ekspor cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut: EXPC
= x(RPCX, RPC, PRODC, DCPRK, KURS)
dimana: EXPC
= ekspor cengkeh (ton)
RPCX
= harga riil cengkeh ekspor (Rp/kg)
RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
PRODC
= produksi cengkeh (ton)
DCRPK
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
KURS
= nilai tukar riil (Rp/US$)
(28)
93 3. Jumlah Permintaan Cengkeh Permintaan cengkeh (DEMC) merupakan penjumlahan dari persamaan (27), (28) dan (13), dan dapat dirumuskan sebagai: DEMC
= DCDOM + EXPC + STOC
(29)
dimana: DEMC
= permintaan cengkeh (ton)
DCDOM
= konsumsi cengkeh nasional (ton)
EXPC
= volume ekspor cengkeh (ton)
STOC
= stok cengkeh (ton)
c. Harga Cengkeh dan Harga Rokok Kretek Pasar komoditas cengkeh menunjukkan hubungan antara produksi cengkeh nasional (PRODC) dengan konsumsi cengkeh nasional yang didominasi oleh pabrik rokok kretek (DCPRK) yang menentukan tingkat harga cengkeh di pasar domestik. Sementara, harga rokok kretek, secara teoritis, dipengaruhi antara lain oleh biaya produksi, total produksi rokok kretek serta tarif cukai. Hubungan-hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: RPC
= f(PRODC, DCPRK, DKTN)
(30)
RPRK
= f(RPC, PRODRK, BEARK, DKTN, DHEALTH)
(31)
dimana: RPC
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
PRODC
= produksi cengkeh nasional (ton)
94 DCPRK
= konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek (ton)
DKTN
= kebijakan tataniaga
RPRK
= harga riil rokok kretek (Rp/bungkus)
PRODRK
= produksi rokok kretek (ton)
BEARK
= tarif cukai riil rokok kretek (Rp)
DHEALTH
= kebijakan di bidang kesehatan
4.1.2.2. Kerangka Teoritis Policy Analysis Matrix Tanaman cengkeh merupakan tanaman tahunan (perennial crops), dimana dari proses penanaman hingga proses pemanenannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Dengan demikian, untuk menganalisis sistem produksi dan tataniaga cengkeh maka digunakan multi-period (PAM). Secara umum, perhitungan PAM untuk tanaman tahunan, relatif sama dengan perhitungan untuk tanaman semusim, hanya pada tanaman tahunan memerlukan perhitungan total net present value (NPV), berdasarkan umur tanaman tersebut. Perhitungan NPV penting untuk dilakukan karena future value lebih kecil dari present value dari biaya dan pengembalian. Sehingga dapat dikatakan bahwa
multi-period PAM bersifat dinamis, sementara single-period PAM bersifat statis (Pearson, Gotsch and Bahri,2004). Selanjutnya, perhitungan net present value (NPV) adalah sebagai berikut:
Rt t =1 (1 + i) t n
NPVR = ∑ dimana:
(32)
95 R = revenue (penerimaan) t = umur tanaman i = tingkat bunga Selanjutnya, perhitungan NPV untuk aspek lainnya seperti: biaya input yang diperdagangkan, biaya faktor domestik dan juga keuntungan, menggunakan metode yang sama dengan contoh di atas, baik yang berdasarkan harga privat maupun harga sosial. Nilai NPV untuk penerimaan, input, dan faktor domestik kemudian disusun seperti single-period PAM (bentuk tradisional). Demikian juga dengan cara menginterpretasikan hasilnya, sama dengan single-period PAM. Tabel 16. Bentuk Umum Tabel Multi-period PAM Biaya Uraian
Penerimaan
Faktor Domestik C G
Keuntungan
A E
Input Tradable B F
Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan Dan Distorsi Pasar
I3
J4
K5
L6
D1 H2
Sumber: Monke dan Pearson, 1995
Matriks PAM terdiri dari dua identitas perhitungan yaitu : profitability identity dan divergences identity. Identitas keuntungan adalah perhitungan berdasarkan kolom dari matriks dimana keuntungan adalah penerimaan dikurangi biaya. Sedangkan identitas divergensi adalah perhitungan berdasarkan baris dari matriks. Adanya perbedaan antara harga privat dan harga sosial disebabkan adanya distorsi dari kebijakan pemerintah dan/atau karena adanya kegagalan pasar (market failure) untuk mencapai harga yang efisien (Pearson, Gotsch and Bahry, 2004).
96 Dari matriks PAM multi-period di atas dapat dilakukan beberapa analisis sebagai berikut: a. Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial 1. Keuntungan Privat Keuntungan privat (private profitability) merupakan perhitungan dari penerimaan dikurangi biaya untuk input yang diperdagangkan dan faktor domestik, pada harga aktual atau D=A-(B+C). Keuntungan privat juga merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas cengkeh berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika keuntungan privat negatif (D<0), maka petani mengalami kerugian dan akan berhenti berusaha kecuali ada perubahan yang dapat meningkatkan keuntungannya, paling tidak mencapai keuntungan normal (D=0). Sebaliknya, apabila D>0 berarti usahatani cengkeh memperoleh profit di atas normal, sehingga mampu untuk berekspansi, kecuali tidak dapat lagi menambah luas areal pertanamannya atau mengganti dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan. 2. Keuntungan Sosial Keuntungan
sosial
(social
profitability)
merupakan
perhitungan
dari
penerimaan dikurangi biaya untuk input yang diperdagangkan dan faktor domestik, pada harga sosial atau H=E-(F+G). Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pertanian pada kondisi pasar persaingan sempurna dimana pada kondisi tersebut tidak terdapat lagi kegagalan pasar maupun intervensi pemerintah. Untuk output (E) atau input (F)
97 yang diperdagangkan di pasar internasional, harga sosialnya adalah harga dunia, dimana harga impor (c.i.f) untuk komoditas importables dan harga ekspor (f.o.b) untuk komoditas exportables. Untuk faktor domestik, seperti tenaga kerja, modal dan lahan, harga sosialnya ditentukan di pasar domestik. Apabila H>0 dan nilainya makin besar menunjukkan bahwa usahatani cengkeh makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. b. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi 1. Rasio Biaya Privat Rasio biaya privat (private cost ratio atau PCR) merupakan rasio antara biaya faktor domestik (C) dengan nilai tambah pada harga privat (A–B) atau PCR=C/(A-B). Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dan biaya input yang diperdagangkan (tradable). Rasio biaya privat adalah ukuran untuk melihat efisiensi finansial yang menunjukkan kemampuan untuk membiayai faktor domestik dan tetap berada pada kondisi kompetitif yakni BEP setelah mencapai keuntungan normal (D=0). Perusahaan lebih menyukai D>0 untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dan dapat dicapai jika C<(A-B). Dengan demikian, perusahaan akan meminimalkan PCR (PCR<1) dengan menekan biaya input tradable
untuk
memaksimumkan keuntungannya. 2. Biaya Sumberdaya Domestik Biaya sumberdaya domestik (domestic resource cost atau DRC) merupakan rasio antara biaya faktor domestik (G) dengan nilai tambah output pada harga sosial (E–F) atau DRC=G/(E-F). Biaya sumberdaya domestik adalah ukuran untuk melihat
98 efisiensi ekonomi yang menunjukkan kemampuan sistem membiayai faktor domestik pada harga sosial. Nilai DRC<1 menunjukkan bahwa usahatani cengkeh efisien atau menguntungkan secara ekonomis dalam pemanfaatan sumberdaya domestik dan apabila DRC>1 menunjukkan bahwa kegiatan tersebut tidak efisien sehingga lebih menguntungkan untuk impor.
c. Analisis Dampak Kebijakan Output, Input dan Input-Output 1. Transfer Output Transfer output (output transfer) merupakan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial atau I=A-E. Apabila nilai transfer output positif berarti ada transfer masyarakat (konsumen) terhadap produsen atau produsen diuntungkan. Ini berarti konsumen membeli dan produsen menerima harga yang lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya. 2. Koefisien Proteksi Output Nominal Koefisien proteksi output nominal (nominal protection coefficient on tradable
output atau NPCO) merupakan rasio penerimaan berdasarkan harga privat dan berdasarkan harga sosial. Nilai koefisien proteksi output nominal menunjukkan dampak kebijakan yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan harga sosial terhadap harga output. Rasio ini menunjukkan derajat dari transfer output. Apabila nilai NPCO sebesar 1.10, menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah berdampak meningkatkan harga output di pasar domestik 10 persen dari harga dunia.
99 3. Transfer Input Transfer input (input transfer) merupakan selisih antara biaya input yang diperdagangkan pada harga privat dengan harga input yang diperdagangkan pada harga sosial atau J=B-F. Apabila nilai transfer input positif menunjukkan bahwa produsen membayar input lebih mahal dari harga yang sesungguhnya. 4. Koefisien proteksi input nominal Koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable
input atau NPCI) merupakan rasio antara biaya input yang diperdagangkan yang dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosialnya atau NPCI=B/F. Nilai koefisien proteksi input nominal menunjukkan dampak adanya kebijakan pemerintah dan/atau adanya kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga privat dan harga sosial untuk input
tradable. Rasio ini menunjukkan derajat dari transfer input. Apabila nilai NPCI sebesar 0.80, menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah berdampak mengurangi harga input dan rata-rata harga input di pasar domestik hanya sebesar 80 persen dari harga dunia. 5. Transfer Faktor Transfer faktor (factor transfer) menunjukkan perbedaan harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk membayar faktor domestik atau K=C-G. Perbedaan dapat disebabkan adanya intervensi pemerintah. Apabila nilai dari transfer faktor positif berarti adanya kebijakan pemerintah bersifat melindungi faktor domestik dengan pemberian subsidi positif.
100 6. Koefisien Proteksi Efektif Koefisien
proteksi
efektif
(effective protection coefficient
atau
EPC)
merupakan rasio antara nilai tambah pada harga privat (A-B) dengan nilai tambah pada harga sosial (E-F) atau EPC=(A-B)/(E-F). Koefisien ini mengukur sampai sejauhmana transfer kebijakan pada pasar produk, baik output maupun input tradable. Apabila nilai koefisien proteksi efektif lebih besar dari 1 berarti kebijakan pemerintah secara efektif melindungi produsen. 7. Transfer Bersih Transfer bersih (net transfer) adalah selisih dari keuntungan bersih yang diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya atau L=D-H. Tranfer bersih menunjukkan berapa tambahan suplus atau sebaliknya berkurangnya surplus produsen akibat adanya kebijakan pemerintah dan/atau kegagalan pasar faktor. Apabila nilai transfer bersih positif berarti produsen mengalami peningkatan surplusnya. 8. Koefisien keuntungan Koefisien
keuntungan
(profitability
coefficient
atau
PC)
merupakan
perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya atau PC=D/H. Koefisien kuntungan merupakan indikator yang lengkap dibandingkan dengan koefisien proteksi efektif karena koefisien ini menunjukkan pengaruh dari kebijakan pemerintah dan/atau kegagalan pasar di pasar faktor. Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari 1 berarti adanya kebijakan atau intervensi pemerintah secara keseluruhan memberikan insentif kepada produsen.
101 9. Rasio Subsidi Produsen Rasio subsidi produsen (subsidy ratio to produser atau SRP) adalah prosentase subsidi atau insentif bersih atas penerimaan sosial atau SRP=L/E. Apabila nilai rasio subsidi bagi produser positif berarti adanya kebijakan pemerintah mengakibatkan produsen membayar biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi.
4.1.2.3. Kerangka Teoritis Game Theory Analisis teori permainan (game theory) digunakan untuk menganalisis interaksi antara dua pihak yang terkait dalam permasalahan percengkehan nasional, yakni petani cengkeh dan pabrik rokok kretek. Menurut Gibbons (1992) dan Anwar (2002), Teori Permainan (game theory) merupakan suatu penelaahan mendasar yang menyangkut interaksi antara para pengambil keputusan (decision makers), terutama yang menyangkut interaksi-interaksi yang terjadi antara para peserta ekonomi (economic agents). Selanjutnya Myerson (2001) mengemukakan bahwa
game theory dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan model matematika terhadap konflik dan kerjasama antara para pengambil keputusan (decision makers).
Game theory menjadi penting karena memberikan landasan fundamental bagi setiap interaksi hubungan-hubungan sosial dan ekonomi antar manusia. Bahwa suatu permainan dapat menggambarkan interaksi tentang perilaku manusia secara luas yang hasil-hasilnya tergantung dari strategi-strategi interaktif dari antara dua atau lebih hubungan-hubungan antara orang-orang yang saling berlawanan atau setidaknya motivasinya campuran (Anwar, 2002).
102 Suatu permainan mempunyai tiga elemen dasar yaitu : (1) pemain (player) yaitu pihak yang mengambil keputusan dalam suatu permainan, bisa berupa perorangan, perusahaan atau bahkan suatu negara, (2) strategi (strategy) adalah tindakan yang diambil oleh seorang pemain, bisa berupa tindakan yang sangat sederhana atau suatu tindakan yang sangat kompleks tergantung jenis permainan, dan (3) hasil (payoffs) merupakan hasil akhir bagi pemain dari suatu permainan, biasanya diukur dengan tingkat kepuasan yang dicapai oleh para pemain, meskipun sering digunakan hasil dalam bentuk moneter (Nicholson, 2000). Gibbons (1992) mengemukakan bahwa dalam suatu bentuk permainan normal, masing-masing pemain secara simultan memilih strateginya dan kombinasi strategi yang dipilih oleh pemain-pemain tersebut akan menentukan hasilnya masing-masing. Ilustrasi sederhana dari gambaran bentuk permainan normal yang klasik adalah The Prisoners’ Dilemma (dilema narapidana). Terdapat dua tersangka yang ditahan dan dituntut karena kejahatannya. Polisi kurang memiliki bukti untuk menghukum tersangka kecuali kalau salah satunya mengaku. Polisi menempatkan masing-masing tersangka dalam sel yang terpisah dan menjelaskan konsekuensi dari tindakan yang akan diambilnya. Jika kedua-duanya tidak mengaku maka keduaduanya hanya dipenjara selama satu bulan. Jika kedua-duanya mengaku maka kedua-duanya akan dipenjara selama 6 bulan. Akhirnya, jika salah satunya mengaku dan yang lainnya tidak mengaku maka yang mengaku akan segera dibebaskan sementara yang tidak mengaku akan dipenjara selama 9 bulan. Permasalahan narapidana tersebut dapat digambarkan dalam suatu matriks yang disebut bi-matriks, berikut ini:
103 Narapidana 2 Tidak Mengaku Narapidana 1
Mengaku
Tidak Mengaku
-1, -1
-9, 0
Mengaku
0, -9
-6, -6
Gambar 12. Dilema Narapidana Sebagaimana tampak pada Gambar 12, masing-masing pemain dalam permainan ini memiliki dua strategi yaitu mengaku dan tidak mengaku. Hasil yang diterima oleh kedua pemain, ketika pasangan strategi ini yang dipilih ditunjukkan oleh masing-masing sel dari matriks di atas. Hasil berdasarkan baris (narapidana 1) adalah hasil yang pertama, diikuti dengan hasil yang berdasarkan kolom (narapidana 2). Jadi jika narapidana 1 tidak mengaku dan narapidana 2 mengaku maka narapidana 1 akan mendapat hasil -9 (9 bulan dalam penjara) dan narapidana 2 mendapat hasil 0 (segera dibebaskan).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Cakupan penelitian ini adalah nasional (Indonesia). Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan secara langsung dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (Gappri), Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bank Indonesia, website, dan dokumen yang dipublikasikan oleh lembaga dalam dan luar negeri.
104 Pengumpulan data primer dilakukan di provinsi Sulawesi Utara dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu sentra produksi cengkeh yang potensial di Indonesia karena memiliki daya saing dan keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain (Gonarsyah, 1996). Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Juli 2005 sampai Desember 2005.
4.3. Jenis dan Sumber Data Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data deret waktu (time series) tahunan untuk kurun waktu tahun 1975 hingga 2004, menyangkut data industri cengkeh nasional dan industri rokok kretek. Data tersebut bersumber dari BPS, Gappri, Dirjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, website, dan dokumen yang dipublikasikan oleh lembaga dalam dan luar negeri. Data sekunder yang dikumpulkan, antara lain: 1. Luas areal tanaman cengkeh (Ha). 2. Produksi cengkeh (ton). 3. Volume impor cengkeh (ton). 4. Volume ekspor cengkeh (ton). 5. Produksi rokok kretek jenis SKT, SKM dan Klobot (batang). 6. Kandungan cengkeh dalam rokok kretek menurut jenisnya (gram/batang). 7. Konsumsi rokok per kapita (batang/kapita/tahun). 8. Harga cengkeh di pasar domestik (Rp/kg). 9. Harga cengkeh impor (Rp/kg). 10. Harga cengkeh ekspor (Rp/kg).
105 11. Harga rokok kretek (Rp/bungkus). 12. Harga rokok putih (Rp/bungkus). 13. Penggunaan cukai untuk rokok kretek SKT, SKM dan Klobot (Rp). 14. Jumlah penduduk (orang) 15. Pendapatan per kapita (Rp/kapita/tahun) Selanjutnya, untuk data sekunder yang berkaitan dengan harga, seperti data harga cengkeh baik harga domestik, harga impor maupun harga ekspor, serta data harga rokok kretek dan harga rokok putih, yang berupa data nominal, dijadikan data riil dengan menggunakan deflator indeks harga konsumen tahun dasar 1988. Hal yang sama juga dilakukan untuk data peubah-peubah lainnya yang masih bersifat nominal seperti penggunaan cukai untuk rokok kretek jenis SKT, SKM dan KLB, pendapatan per kapita, dan lain-lain. Data primer yang dikumpulkan adalah keseluruhan data usahatani cengkeh dimulai dari identitas responden. Kemudian, data mengenai usahataninya, sejak ditanam sampai panen dan pascapanen serta pemasaran, menyangkut beberapa aspek biaya, berikut ini: 1. Biaya untuk sarana produksi (bibit, pupuk, insektisida). 2. Biaya tenaga kerja untuk pemeliharaan (pembersihan kebun, pemupukan, pemberantasan gulma, serta pemberantasan hama dan penyakit). 3. Biaya tenaga kerja untuk panen dan pascapanen. 4. Biaya peralatan untuk pemeliharaan, panen dan pascapanen. 5. Biaya pemasaran dan biaya lainnya.
106 Data tersebut diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner, dan pengamatan/peninjauan di lokasi penelitian. Data tersebut bersumber dari petani cengkeh di Desa Kombi, Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara serta pedagang cengkeh di tingkat desa dan kecamatan atau kabupaten yang terkait.
4.4. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi dan responden penelitian menggunakan metode purposive
sampling dengan memperhatikan keragaman populasinya. Penggunaan metode ini dimaksudkan agar supaya informasi yang diperoleh dapat menggambarkan dan merepresentasikan usahatani cengkeh di provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih adalah kabupaten Minahasa, yang merupakan daerah sentra produksi cengkeh yang potensial dengan tingkat produksi cengkeh terbesar di Sulawesi Utara. Selanjutnya, ditentukan kecamatan dan desa penelitian yaitu kecamatan Kombi dan desa Kombi sebagai kecamatan dan desa penelitian. Kecamatan kombi dipilih karena merupakan penghasil cengkeh terbesar di kabupaten Minahasa dan desa Kombi dipilih sebagai desa penelitian dengan pertimbangan, bahwa: 1. Produksi cengkehnya terbesar. 2. Usahatani cengkehnya dominan dan/atau tipikal. 3. Lokasinya relatif mudah terjangkau. Menurut Monke dan Pearson (1995), dalam analisis PAM baik single-period maupun multi-period PAM, membutuhkan identifikasi petani berdasarkan komoditas yang diusahakan, teknologi yang digunakan dan lokasi kebunnya berdasarkan zone agroklimat. Dengan demikian, penentuan contoh petani cengkeh di desa penelitian,
107 telah mempertimbangkan pola usahatani dan pemasaran cengkeh yang dominan di Kabupaten Minahasa dengan beberapa spesifikasi berikut ini: 1. Memiliki lahan cengkeh. 2. Menggunakan teknologi budidaya, panen dan pascapanen yang relatif sama. 3. Memiliki akses untuk memperoleh modal dan akses pasar yang relatif sama. Petani cengkeh di desa Kombi dapat dibedakan berdasarkan faktor kepemilikan lahan dan penggunaan teknologi budidaya cengkeh. Berdasarkan faktor kepemilikan lahan, petani cengkeh di desa Kombi, dapat dibedakan atas: tidak memiliki lahan (penggarap), memiliki lahan sempit (>0.5 ha), memiliki lahan menengah (0.5–1.5 ha), dan memiliki lahan luas (>1.5 ha). Sementara itu, berdasarkan penggunaan teknologi budidaya, petani dapat dibedakan atas: menggunakan teknologi konvensional, menggunakan teknologi semi-intensif, dan menggunakan teknologi intensif. Berdasarkan penggolongan di atas, maka ditentukan petani yang menjadi sasaran penelitian ini, sebanyak 50 responden, dan karena tenyata para petani memiliki akses yang sama untuk memperoleh modal dan pasar, maka petani yang terpilih memiliki dua kriteria berikut ini: 1. Memiliki lahan cengkeh dengan luas berkisar antara 0.5–1.5 ha. 2. Menggunakan
teknologi
semi-intensif
(melakukan
pembersihan
kebun,
pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan gulma paling sedikit 1 kali dalam setahun). Sedangkan yang dimaksud dengan pedagang cengkeh dalam penelitian ini adalah pedagang cengkeh di tingkat desa dan pedagang cengkeh di tingkat kabupaten yang menjalankan usahanya di desa Kombi dan di kota Tondano. Karena
108 lokasi desa Kombi yang berdekatan dengan kota Tondano sebagai ibukota kabupaten Minahasa maka tidak ada pedagang tingkat kecamatan. Di desa Kombi terdapat 5 pedagang cengkeh, namun hanya 2 orang yang melakukan pembelian cengkeh secara kontinyu. Sementara di kota Tondano terdapat 3 pedagang cengkeh besar dan beberapa pedagang kecil lainnya yang beroperasi pada waktu-waktu tertentu. Dan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 2 pedagang tingkat desa dan 2 pedagang tingkat kabupaten.
4.5. Metode Analisis Data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini, dianalisis menggunakan beberapa pendekatan, berikut ini:
4.5.1. Pendekatan Deskriptif Pendekatan deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Data dan informasi yang diperoleh tersebut, disajikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, data disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau gambar, sedangkan secara kualitatif data disajikan dalam bentuk ulasan-ulasan maupun matriks.
4.5.2. Pendekatan Ekonometrik Pendekatan ekonometrik digunakan untuk menganalisis hubungan timbal balik antara industri cengkeh dengan industri rokok kretek nasional dengan membangun suatu model ekonometrik dalam bentuk sistem persamaan simultan percengkehan nasional.
109 4.5.2.1. Spesifikasi Model Tahap ini diawali dengan suatu fenomena ekonomi yang berlaku beberapa waktu terakhir ini dalam struktur percengkehan nasional. Untuk dapat mencoba menangkap fenomena keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional maka disusunlah model percengkehan nasional dalam bentuk sistem persamaan simultan, yang dinamis dan terintegrasi dengan menggunakan data deret waktu (time series), periode tahun 1975-2004. Alasan pemilihan periode waktu tersebut karena sejak tahun tujuhpuluhan, percengkehan nasional mengalami perkembangan yang pesat ditinjau dari segi produksi, kebutuhan maupun harganya (Kemala dan Wahyudi, 1989; Husodo, 2006). Selanjutnya, model dibangun sebagai model ekonometrik yang dapat menggambarkan hubungan antara peubah penjelas (explanatory variables) dengan peubah endogen (endogenous variables) terutama menyangkut tanda dan besaran (sign and magnitude) dari penduga parameter yang diharapkan secara teoritis. Adanya keterkaitan antar peubah memungkinkan model dibangun dalam bentuk persamaan simultan, dan setelah melalui beberapa proses respesfikasi dari model awalnya atau model idealnya, berikut ini spesifikasi terakhirnya: a. Penawaran Cengkeh 1. Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan Areal tanaman cengkeh yang dimaksud adalah luas areal pertanaman cengkeh yang sudah menghasilkan. Karena tanaman cengkeh berproduksi pada saat berumur 4 hingga 5 tahun maka dalam penelitian ini diasumsikan bahwa tanaman
110 menghasilkan pada umur 5 tahun. Dengan demikian, perilaku luas areal tanaman cengkeh menghasilkan dipengaruhi oleh keputusan berinvestasi petani untuk menanam cengkeh yang didorong oleh perkembangan harga riil cengkeh di pasar domestik pada saat itu atau periode t-5 (RPCt-5). Selain itu, juga dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga berdasarkan beroperasinya BPPC, karena pada saat itu terjadi kelebihan pasokan cengkeh sehingga disarankan untuk menebang tanaman cengkeh, dan luas areal tanaman cengkeh menghasilkan pada tahun sebelumnya dan dapat dirumuskan sebagai berikut: ATMt
= a0 + a1RPCt-5 + a2DKTN2 + a3ATMt-1 + u1
(33)
Parameter dugaan yang diharapkan: a1 > 0 ; a2 < 0 ; 0 < a3 < 1 dimana: ATMt
= areal tanaman cengkeh yang menghasilkan (ha)
RPCt-5
= harga riil cengkeh di pasar domestik periode t-5 (Rp/kg)
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
ATMt-1
= peubah lag dari ATM periode t-1 (ha)
u1
= peubah pengganggu
2. Produktivitas Tanaman Cengkeh Produktivitas tanaman cengkeh terutama dipengaruhi oleh pola panen cengkeh yang bersifat musiman, dimana musim panen raya terjadi 4 tahun sekali dengan diselingi panen kecil. Selain itu, juga dipengaruhi oleh harga riil cengkeh
111 pada periode t-5, rasio luas areal tanaman cengkeh yang menghasilkan terhadap total luas areal pertanaman cengkeh, kebijakan usahatani, kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 serta kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: YTCt
= b0 + b1RPCt-5 + b2ATMtTTL + b3DUT + b4DRAYA + b5DKTN2 + u2
(34)
Parameter dugaan yang diharapkan: b1, b3, b4, b5 > 0; b2 < 0 dimana: YTCt
= produktivitas tanaman cengkeh (ton/ha)
RPCt-5
= harga riil cengkeh di pasar domestik periode t-5 (Rp/kg)
ATMtTTL
= rasio luas areal tanaman cengkeh yang menghasilkan terhadap total luas areal tanaman cengkeh
DUT
= peubah sandi kebijakan usahatani berupa kredit uang tunai dan sarana produksi, tahun 1975-1982 = 1; tahun 1983-2004 = 0
DRAYA
= peubah sandi musim panen raya; - tahun 1977, 1980, 1984, 1988, 1991, 1995, 1998, 2002=1 - tahun lainnya=0
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
u2
= peubah pengganggu
112 3. Produksi Cengkeh Nasional Produksi
cengkeh
nasional
adalah
perkalian
antara
areal
tanaman
menghasilkan dengan tingkat produktivitasnya, dan dirumuskan sebagai berikut: PRODCt
= ATMt * YTCt
(35)
dimana: PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
ATMt
= areal tanaman cengkeh yang menghasilkan (ha)
YTCt
= produktivitas tanaman cengkeh (ton/ha)
4. Impor cengkeh Impor cengkeh merupakan salah satu komponen penawaran cengkeh yang berasal dari luar negeri. Secara umum, volume impor cengkeh dipengaruhi oleh tingkat harga riil cengkeh impor, produksi cengkeh nasional, konsumsi cengkeh PRK untuk rokok jenis SKT, SKM dan KLB, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika, kebijakan impor seperti tarif impor, kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC,
dan
dapat dirumuskan sebagai berikut: IMPCt
= c0 + c1RPCMt + c2PRODCt + c3DCSKTt + c4DCSKMt + c5DCKLBt +c6KURSR + c7DIMP + c8DKTN2 + u3
Parameter dugaan yang diharapkan : c3, c4,c5 > 0 ; c1, c2, c6,c7,c8 < 0 dimana: IMPCt
= volume impor cengkeh (ton)
RPCMt
= harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
(36)
113 PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
DCSKT
= konsumsi cengkeh PRK untuk SKT (ton)
DCSKM
= konsumsi cengkeh PRK untuk SKM (ton)
DCKLB
= konsumsi cengkeh PRK untuk KLB (ton)
KURSRt
= nilai tukar riil (Rp/US$)
DIMP
= peubah sandi kebijakan tarif impor sebesar 5 persen - tahun 1975-1989 = 0 - tahun 1990-2004 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990 – 1998 = 1
u3
= peubah pengganggu
5. Stok Cengkeh Nasional Stok cengkeh merupakan residual dari jumlah penawaran dan jumlah permintaan cengkeh. Stok cengkeh akhir tahun lalu (STOCt-1) merupakan komponen penawaran, sedangkan stok tahun ini (STOCt) merupakan komponen permintaan. Secara umum, stok cengkeh dipengaruhi oleh produksi cengkeh nasional, harga riil cengkeh di pasar domestik, harga riil cengkeh impor, kebijakan pemerintah di bidang tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 dan berdasarkan BPPC, serta stok cengkeh tahun sebelumnya, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: STOCt
= d0 + d1PRODCt + d2RPCt + d3RPCMt + d4DKTN1 + d5DKTN2 + d6STOCt-1 + u4
Parameter dugaan yang diharapkan: d1, d2, d4, d5 > 0 ; d3 < 0 ; 0 < d6 < 1
(37)
114 dimana: STOCt
= stok cengkeh nasional (ton)
PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
RPCt
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
RPCMt
= harga riil cengkeh impor (Rp/kg)
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
STOCt-1
= peubah lag dari STOC periode t-1 (ton)
u4
= peubah pengganggu
6. Jumlah Penawaran Cengkeh Penawaran cengkeh merupakan penjumlahan dari produksi dan impor cengkeh pada periode t serta stok cengkeh pada periode t-1, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: SUPCt
= PRODCt + IMPCt + STOCt-1
dimana: SUPCt
= penawaran cengkeh nasional (ton)
PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
IMPCt
= impor cengkeh (ton)
STOCt-1
= peubah lag dari STOC periode t-1 (ton)
(38)
115 b. Permintaan Cengkeh 1. Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek, Konsumsi Non-Pabrik Rokok Kretek dan Total Konsumsi Cengkeh Besarnya konsumsi cengkeh PRK (DCPRK) diperoleh dari hasil perkalian antara produksi rokok SKT (PRODSKT), SKM (PRODSKM) dan KLB (PRODKLB) dengan jumlah kandungan cengkeh masing-masing jenis rokok tersebut5, yaitu: (1) k1 adalah jumlah kandungan cengkeh dalam SKT sebesar 0.65 gr per batang, (2) k2 adalah jumlah kandungan cengkeh dalam SKM sebesar 0.35 gr per batang, dan (3) k3 adalah jumlah kandungan cengkeh dalam KLB sebesar 0.88 gr per batang. Konsumsi atau permintaan cengkeh oleh PRK dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga riil cengkeh di pasar domestik, produksi rokok kretek jenis SKM, SKT dan KLB, kebijakan pemerintah di bidang tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres Nomor 8 Tahun 1980 dan berdasarkan BPPC, konsumsi cengkeh PRK tahun sebelumnya dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DCPRKt
= e0 + e1RPCt + e2PRODSKTt+ e3PRODSKMt+ e4PRODKLBt + (39) e5DKTN1t + e6DKTN2 + e7DCPRKt-1 + u5
Parameter dugaan yang diharapkan: e2, e3, e4,e5 > 0 ; e1,e6 < 0 ; 0 < e7 < 0 dimana:
5
DCPRKt
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
RPCt
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
PRODSKTt
= produksi rokok kretek (juta batang)
PRODSKMt
= produksi rokok kretek (juta batang)
Berdasarkan data Gappri, 2004
116 PRODKLBt
= produksi rokok kretek (juta batang)
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
DCPRKt-1
= peubah lag dari DCPRK periode t-1 (TON)
u5
= peubah pengganggu
Sementara itu, permintaan cengkeh non-PRK (DCNPRK) merupakan konsumsi cengkeh untuk rumah tangga dan industri-industri lainnya, namun dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan konsumsi PRK. Pada penelitian ini, konsumsi cengkeh non-PRK didekati berdasarkan konsumsi cengkeh per kapita dikali populasi penduduk Indonesia dengan asumsi konsumsi cengkeh industri lainnya relatif kecil, dan dirumuskan sebagai berikut: DCNPRK
= POP x DCKAP
(40)
dimana: DCNPRK
= konsumsi cengkeh non PRK (ton)
POP
= populasi penduduk (orang)
DCKAP
= konsumsi cengkeh/kapita/tahun (0.1 gram/kapita/tahun)6
Konsumsi cengkeh domestik merupakan penjumlahan dari konsumsi cengkeh PRK dan non-PRK, dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
6
Berdasarkan data SUSENAS 2002
117 DCDOM
= DCPRK + DCNPRK
(41)
dimana: DCDOM
= konsumsi cengkeh nasional (ton)
DCRPK
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
DCNPRK
= konsumsi cengkeh non-PRK (ton)
2. Ekspor Cengkeh Volume ekspor cengkeh adalah kelebihan penawaran (excess supply) yang tidak dikonsumsi dalam negeri. Secara umum, ekspor cengkeh dipengaruhi oleh harga riil cengkeh ekspor, produksi cengkeh nasional, konsumsi cengkeh PRK untuk rokok jenis SKT, SKM dan KLB, harga riil cengkeh di pasar domestik, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: EXPCt
= g0 + g1RPCXt + g2PRODCt + g3DCSKTt + g4DCSKMt + g5DCKLBt + g6RPCt + g7KURSRt + u6
Parameter dugaan yang diharapkan: g1, g2, g7 > 0 ; g3, g4, g5, g6 < 0 ; 0 < g8 < 1 dimana: EXPCt
= ekspor cengkeh (ton)
RPCXt
= harga riil cengkeh ekspor (Rp/kg)
PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
DCSKT
= konsumsi cengkeh PRK untuk SKT (ton)
DCSKM
= konsumsi cengkeh PRK untuk SKM (ton)
DCKLB
= konsumsi cengkeh PRK untuk KLB (ton)
RPCt
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
(42)
118 KURSRt
= nilai tukar riil (Rp/US$)
u6
= peubah pengganggu
3. Jumlah Permintaan Cengkeh Permintaan cengkeh adalah penjumlahan dari permintaan cengkeh domestik, ekspor cengkeh dan stok cengkeh, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DEMCt
= DCDOMt + EXPCt + STOCt
(43)
dimana: DEMCt
= permintaan cengkeh (ton)
DCDOMt
= konsumsi cengkeh domestik (ton)
EXPCt
= ekspor cengkeh (ton)
STOCt
= stok cengkeh (ton)
c. Harga Cengkeh di Pasar Domestik Secara teoritis, harga cengkeh di pasar domestik, dipengaruhi oleh produksi cengkeh nasional, konsumsi cengkeh PRK, kebijakan di bidang tataniaga, harga riil cengkeh tahun sebelumnya, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: RPCt
= h0 + h1PRODCt + h2DCPRKt + h3DKTN1 + h4DKTN2 + h5RPCt-1 + u7
Parameter dugaan yang diharapkan: h1, h3, h4 > 0 ; h2 < 0 ; 0 < h5 < 1 dimana: RPCt
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
PRODCt
= produksi cengkeh nasional (ton)
(44)
119 DCPRKt
= konsumsi cengkeh PRK (ton)
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
RPCt-1
= peubah lag RPC periode t-1 (Rp/kg)
u7
= peubah pengganggu
d. Permintaan, Ekspor dan Harga Rokok Kretek 1. Permintaan Rokok Kretek Untuk
mengetahui
perilaku
permintaan
rokok
kretek
maka
karena
ketidaktersediaan data permintaan rokok maka coba didekati dengan konsumsi rokok kretek per kapita. Bahwa permintaan rokok kretek merupakan perkalian antara konsumsi rokok kretek per kapita per tahun dengan populasi penduduk Indonesia. Secara teoritis, konsumsi rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil rokok kretek itu sendiri, harga riil rokok putih, produksi rokok jenis SKT, produksi rokok jenis SKM, pendapatan per kapita riil, dan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DEMRKt
= i0 + i1RPRKt + i2RPRPt + i3PRODSKTt + i4PRODSKM + i5PRODKLB + i6INCPKR + i7DHEALTH + u8
Parameter dugaan yang diharapkan: i2, i3, i4, i5,i6 > 0 ; i1,i7 < 0
(45)
120 dimana: DEMRKt
= permintaan rokok kretek (juta batang)
RPRKt
= harga riil rokok kretek (Rp/10 batang)
RPRPt
= harga riil rokok putih (Rp/20 batang)
PRODSKTt
= produksi rokok jenis SKT (juta batang)
PRODSKMt
= produksi rokok jenis SKM (juta batang)
INCPKRt
= pendapatan riil per kapita (Rp)
DHEALTH
= peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan berdasarkan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah lainnya - tahun 1975-1991 = 0 - tahun 1992-2004 = 1
u8
= peubah pengganggu
2. Ekspor Rokok Kretek Produksi rokok kretek, bukan hanya dikonsumsi dalam negeri tapi juga diekspor. Secara umum, ekspor rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil ekspor rokok kretek, produksi rokok kretek jenis SKM dan SKT (karena klobot tidak diekspor), nilai tukar riil rupiah terhadap US dollar, kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: EXPRKt
= j0 + j1RPXRKt + j2PRODSKTt + j3PRODSKMt + j4KURSR + (46) j5DKTN1 + j6DKTN2 + u9
Parameter dugaan yang diharapkan: j1, j2, j3,j4 > 0 ; j5,j6 < 0 dimana:
121 EXPRKt
= ekspor rokok kretek (ton)
RPXRKt
= harga riil ekspor rokok kretek (Rp/kg)
PRODSKTt
= produksi rokok kretek (juta batang)
PRODSKMt
= produksi rokok kretek (juta batang)
KURSR
= nilai tukar riil (Rp/US$)
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
u9
= peubah pengganggu
3. Harga Rokok Kretek Secara umum, harga riil rokok kretek dipengaruhi oleh produksi rokok kretek jenis SKT dan SKM, permintaan rokok kretek, harga riil cengkeh di pasar domestik, nilai riil cukai rokok kretek, kebijakan pemerintah di bidang tataniaga cengkeh dan di bidang kesehatan, serta faktor-faktor lainnya, dan dirumuskan sebagai berikut: RPRKt =
l0 + l1PRODSKT + l2PRODSKM + l3DEMRK + l4RPC + l5RBEARKt + l6DKTN1 + l7DKTN2 + l8DHEALTH + u10
Parameter dugaan yang diharapkan: l3, l4, l5, l6, l7,l8 > 0 ; l1,l2 < 0 dimana: RPRKt
= harga riil rokok kretek (Rp/10 batang)
(47)
122 PRODSKTt
= produksi rokok kretek (juta batang)
PRODSKMt
= produksi rokok kretek (juta batang)
DEMRKt
= permintaan rokok kretek (juta batang)
RPCt
= harga riil cengkeh di pasar domestik (Rp/kg)
BEARKt
= nilai riil cukai rokok kretek (ribu Rp/tahun)
DKTN1
= peubah sandi kebijakan tataniaga I; berdasarkan Keppres RI No.8 Tahun 1980 - tahun 1975-1979 dan tahun 1990-2004 = 0 - tahun 1980-1989 = 1
DKTN2
= peubah sandi kebijakan tataniaga II; berdasarkan BPPC - tahun 1975-1989 dan tahun 1999-2004 = 0 - tahun 1990-1998 = 1
DHEALTH
= peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan - tahun 1975-1991 = 0 - tahun 1992-2002 = 1
u10
= peubah pengganggu
4.5.2.2. Identifikasi Model Sebelum menentukan metode yang dipakai untuk menduga parameter, maka model perlu diidentifikasi terlebih dulu. Identifikasi model dilakukan dengan menggunakan metode order condition sebagai syarat keharusan dan metode rank
condition sebagai syarat kecukupan. Berdasarkan kriteria rank condition, maka suatu persamaan akan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk paling sedikit satu determinan bukan nol pada order (G–1) dari parameter struktural, pada peubah yang tidak termasuk dalam persamaan yang bersangkutan. Sementara
123 itu berdasarkan kriteria order condition, agar setiap persamaan dapat dikatakan teridentifikasi, maka harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut: (Koutsoyiannis, 1977) (K – M) > (G – 1) dimana: K = jumlah total peubah di dalam model, baik peubah endogen maupun predetermined M = jumlah peubah dalam suatu persamaan (endogen dan eksogen) yang sedang diuji dan diidentifikasi G = jumlah persamaan atau jumlah total peubah endogen Bila sebuah persamaan memperlihatkan kondisi (K–M) < (G–1) maka dikatakan tidak teridentifikasi (under identified). Sedangkan bila dipenuhi kondisi (K–M) > (G–1) maka disebut teridentifikasi berlebih (over identified). Diharapkan bahwa hasil identifikasi setiap persamaan struktural berada dalam kondisi exactly
identified atau over identified, sehingga persamaan- persamaan yang dimaksud dapat diduga parameternya. Model yang dikembangkan merupakan model persamaan simultan dinamis yang tersusun atas 15 persamaan yang terdiri dari 10 persamaan struktural dan 5 persamaan identitas. Ini berarti model memiliki 15 peubah endogen (current
endogenous) (G), dengan variabel predetermined sebanyak 27 peubah yang terdiri dari variabel eksogen dan lag endogenous, dengan demikian total peubah didalam model (K) adalah sebanyak 42 peubah. Melalui pengujian setiap persamaan, ternyata semua persamaan struktural memenuhi kriteria identifikasi model (over
identified).
124 4.5.2.3. Pendugaan Model Ada beberapa alternatif metode pendugaan yang dapat digunakan, dan masing-masing
mempunyai
kelebihan
serta
kekurangannya.
Dengan
mem-
pertimbangkan ketersediaan data sampel (n=30) dan kemungkinan adanya respesifikasi model ketika dilakukan analisis struktural, maka dipilih metode 2 SLS (two stage least square) yang relatif kurang sensitif guna menduga parameter struktural (Sinaga, 1989). Berbagai tipe studi Monte Carlo menunjukkan bahwa dari metode-metode yang konsisten dan efisien secara asymptotis, maka metode 2 SLS adalah yang paling robust. Disamping itu, metode ini diterima sebagai pendekatan persamaan tunggal yang paling penting untuk mengestimasi model yang over
identified, serta menggambarkan pemakaian yang lebih umum.
4.5.3. Pendekatan Policy Analysis Matrix Pendekatan matriks analisis kebijakan (Policy Analysis Matrix atau PAM) yang dikembangkan oleh Eric A. Monke dan Scott R. Pearson, merupakan penyempurnaan dari penerapan analisis kebijakan dengan pendekatan biaya sumberdaya domestik (domestic resource cost, DRC) (Gonarsyah, 1996). Pendekatan PAM digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya terhadap sistem komoditas cengkeh dimulai dari aktivitas produksi sampai pemasarannya secara keseluruhan dan sistematis (Monke dan Pearson, 1995). Selanjutnya, daur hidup tanaman cengkeh dianggap 30 tahun, dengan masa produktif dimulai pada saat 5 tahun (Gwyer, 1976; Kemala, 1989,
125 Gonarsyah, 1996), dengan demikian yang cocok untuk digunakan adalah multi-
period PAM.
4.5.3.1. Perilaku Produksi Tanaman Cengkeh Dalam analisis PAM diperlukan informasi mengenai perilaku produksi tanaman cengkeh guna menentukan input-input serta teknologi yang digunakan dalam proses produksinya. Gwyer (1976) mengemukakan bahwa, produksi cengkeh di Indonesia cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun, mengikuti pola musiman empat tahunan, dimana satu tahun untuk panen raya, dua tahun panen kecil dan satu tahun gagal panen. Tanaman cengkeh mulai berproduksi pada umur 4-7 tahun dan dapat berproduksi hingga berumur lebih dari 30 tahun. Perbedaan hasil antara panen raya dan panen kecil sangat besar, bahkan dapat mencapai hingga 60 persen (Dhalimi dan Wahid, 1989). Penyebab utama terjadinya fluktuasi hasil pada tanaman cengkeh adalah: 1. Faktor iklim. Faktor ini cukup menentukan pembungaan tanaman cengkeh. Untuk pembungaan diperlukan periode yang agak kering tanpa hujan sama sekali dan penyinaran matahari yang terik. 2. Faktor
genetis.
Terdapat
tiga
faktor
genetis
tanaman
cengkeh
yang
berhubungan dengan fluktuasi hasil, yaitu sifat berbunga terminal, daya regenerasi yang rendah dan jarak antara waktu panen ke masa pembungaan selanjutnya yang relatif pendek. 3. Faktor fisiologis. Kondisi fisiologis mencakup status senyawa-senyawa yang dapat mempengaruhi terbentuknya bunga.
126 4. Faktor budidaya. Dari aspek ini yang paling berpengaruh adalah penggunaan tanaman yang kurang unggul, pemeliharaan dan cara panen.
4.5.3.2. Asumsi-asumsi dalam Multi-period PAM Penyusunan multi-period PAM dari usahatani cengkeh di Sulawesi Utara merupakan suatu proses rekonstruksi dari seluruh aspek kegiatan dalam usahatani tersebut berdasarkan umur tanaman cengkeh yakni sejak tahun pertama hingga tahun ketigapuluh, sebagaimana analisis usahatani yang pernah dilakukan oleh Ditjenbun (2000). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis multi-period PAM adalah sebagai berikut: 1. Luas areal tanaman cengkeh adalah 1 hektar, dan didalamnya terdapat 180 hingga 200 tanaman. 2. Umur tanaman cengkeh adalah 30 tahun. 3. Harga input berdasarkan data pada waktu penelitian ini dilaksanakan yaitu semester kedua tahun 2005. 4. Harga cengkeh di tingkat petani adalah harga yang berlaku saat penelitian ini dilaksanakan yakni sebesar Rp. 26 000 per kg. 5. Tingkat bunga modal dari private interest rate adalah sebesar 17 persen, berdasarkan tingkat bunga kredit modal kerja yang berlaku di bank komersial. 6. Tingkat bunga modal dari social value of capital adalah sebesar 12 persen, yakni sekitar 70 persen dari tingkat bunga modal dari private interest rate. Diasumsikan tingkat bunga sosial lebih rendah karena tidak terdapat intervensi pemerintah.
127 4.5.3.3. Metode Penentuan Harga Sosial Penentuan harga sosial adalah kunci kesuksesan analisis PAM karena pendugaan nilai sosial dari suatu faktor produksi hanya dapat diperkirakan. a. Harga Sosial Output atau Input Tradable Pearson, Gotsch and Bahri (2004), mengemukakan bahwa harga sosial untuk output dan input tradable adalah harga dunia yaitu harga impor untuk komoditas impor (importable) dan harga ekspor untuk komoditas ekspor (exportable). Harga dunia merupakan pengukuran terbaik untuk biaya oportunitas sosial dari komoditas yang tradable. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah: 1. Apabila harga dunia untuk output atau input telah diperoleh maka perlu memperhatikan lokasi, waktu dan kualitas (bentuk) dari komoditas yang bersangkutan. Jadi perbandingan harga domestik dengan harga dunia harus dilakukan pada lokasi yang identik (misalnya, dekat dengan pasar), pada saat yang sama (misalnya, pada musim panen) dan pada kualitas yang sama (misalnya, kadar airnya). 2. Apabila akan membandingkan harga domestik dan harga dunia di tingkat petani, maka perlu untuk menghitung harga paritas impor (import parity price) atau harga paritas ekspor (export parity price). Untuk harga paritas impor, biaya penanganan dan transportasi domestik ditambahkan pada harga impor di pelabuhan. Sementara, untuk harga paritas ekspor biaya penanganan dan transportasi domestik dikurangkan pada harga ekspor di pelabuhan.
128 Untuk harga sosial dari cengkeh, digunakan harga impor berdasarkan harga c.i.f Surabaya, dan untuk input tradable yaitu pupuk Urea, SP36 dan KCl, digunakan harga f.o.b berdasarkan pelabuhan asalnya (Urea = Black Sea, TSP = US Gulf dan KCl = Vancouver). b. Harga Sosial Input Nontradable Pearson, Gotsch and Bahri (2004), mengemukakan bahwa harga sosial untuk faktor produksi domestik seperti lahan, tenaga kerja dan modal adalah biaya oportunitasnya karena faktor-faktor tersebut tidak diperdagangkan di pasar internasional sehingga tidak ada harga dunianya. Harga Sosial Lahan Penentuan harga sosial lahan didasarkan pada berapa nilai lahan tersebut apabila digunakan untuk komoditas lainnya yang juga menguntungkan (misalnya, kalau tidak ditanami cengkeh maka berapa nilainya kalau ditanami komoditas lain, seperti kelapa). Harga Sosial Tenaga Kerja Penentuan harga sosial tenaga kerja mengacu pada hasil penelitian dari Stanford University dan Pusat Sosial Ekonomi Pertanian Bogor yang menemukan bahwa distorsi kebijakan pemerintah tidak signifikan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja di pedesaan. Dengan demikian harga privat untuk semua kategori tenaga kerja di pedesaan adalah sama dengan harga sosialnya. Namun, pada lokasi penelitian ini harga privat tenaga kerja relatif lebih tinggi daripada harga sosialnya
129 karena ketersediaan tenaga kerja di daerah ini relatif kurang sehingga harus mendatangkan tenaga kerja dari daerah-daerah lain. Oleh karena itu, harga sosial tenaga kerja diasumsikan 80 persen dari harga privatnya. Harga Sosial Modal Yang dimaksud dengan input modal yaitu peralatan yang digunakan dalam proses produksi, panen dan pasca panen. Penentuan harga sosial dari peralatan tersebut sama dengan penentuan harga privatnya, yaitu didasarkan pada nilai penyusutannya. Nilai penyusutan setiap tahunnya diperoleh dengan menggunakan metode capital recovery cost dan melalui metode ini biaya opotunitas penyusutan ikut
diperhitungkan
karena
disesuaikan
dengan
tingkat
bunga.
Untuk
perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran. Perhitungan penyusutan per tahun, mengikuti formula:
(1 + i)n i S x(A − Annual Recovery Cost = ) n (1 + i) − i (1 + i)n
(48)
dimana: A = initial cost (nilai awal) S = salvage value (nilai sisa) i = tingkat bunga n = umur ekonomis.
Salvage value ditetapkan 10 persen dari initial cost. Ini merupakan asumsi bahwa nilai sisa dari aset yang tidak dapat dipergunakan lagi adalah 10 persen dari nilai awal sebelum aset tersebut dipakai.
130 4.5.4. Pendekatan Game Theory Bagian dari penelitian ini, berusaha melakukan kajian interaksi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek dalam tataniaga cengkeh sebagai suatu kesatuan proses untuk menilai bagaimana keterkaitannya secara langsung dalam pemasaran cengkeh, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Strategi yang diterapkan dalam permainan diharapkan dapat menjawab hubungan ataupun proses interaksi
antar
manusia
dalam
organisasi
masyarakat
secara
konseptual.
Sebagaimana yang berlaku dalam proses interaksi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek, dan dapat dimodelkan secara sederhana dalam suatu bentuk model permainan (game modelling). Model teori permainan bertujuan untuk mengidentifikasikan strategi atas rencana optimal untuk setiap permainan. Miller (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam setiap permainan, yakni: (1) sekumpulan pemain, (2) gerakan yang dilakukan oleh para pemain, dan (3) hasil yang dapat diterima oleh para pemain. Para pemain akan memilih gerakannya masing-masing yang
bertujuan
untuk
memaksimumkan
hasilnya.
Setiap
pemain
selalu
mengasumsikan bahwa pemain lainnya akan berusaha untuk memaksimumkan hasilnya juga. Sementara itu, dalam teori permainan, petani cengkeh dan pabrik rokok kretek
adalah
pihak-pihak
yang
berkepentingan
secara
langsung
dalam
permasalahan percengkehan nasional disebut pemain (player). Selanjutnya, angkaangka dalam matriks pay off, atau biasa disebut juga matriks permainan, menunjukkan hasil (pay off) dari strategi-strategi permainan yang berbeda-beda,
131 dan hasil ini dinyatakan dalam suatu bentuk ukuran efektifitas, seperti: uang, prosentase market share, atau kegunaan (utility) (Wafda, 2005). Selanjutnya,
setiap
pemain
dalam
permainan
tersebut,
diasumsikan
mempunyai sifat rasionalitas mutlak (penuh) dalam membuat pilihan strateginya yaitu berusaha memaksimumkan hasil. Asumsi rasionalitas tersebut berlaku dengan memaksimumkan hasil suatu kelompok pengambil keputusan yang berinteraksi, dengan demikian hasil rasional yang diperoleh merupakan sebagai suatu solusi permainan. Sampai sejauh ini, hubungan antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek (PRK) dalam permasalahan percengkehan nasional pada pemodelan game theory bersifat noncooperative game, dimana dalam penetapan harga cengkeh berdasarkan mekanisme pasar, namun PRK berada pada posisi yang lebih kuat karena struktur pasar
cengkeh
bersifat
oligopsoni.
Dalam
upaya
membantu
memecahkan
permasalahan percengkehan nasional, Pemerintah turut berperan serta sebagai fasilitator, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI yang mencoba mempertemukan kepentingan petani cengkeh dari beberapa daerah penghasil utama cengkeh di Indonesia dengan pabrik rokok kretek untuk membuat suatu kesepakatan tentang penetapan harga minimum pembelian cengkeh, yaitu pada saat panen raya cengkeh dimana harga cengkeh berada pada tingkat yang sangat rendah. Dalam kenyataannya, masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbedabeda sesuai dengan kepentingannya untuk kelangsungan usahanya. Petani cengkeh mengharapkan akan memperoleh tingkat harga cengkeh yang tinggi sehingga
132 penerimaan dari usahatani cengkehnya akan meningkat pula. Dampak dari tingginya harga
cengkeh,
diharapkan
dapat
menjadi
insentif
bagi
petani
untuk
mengintensifkan pemeliharaan tanamannya sehingga dapat meningkatkan produksi cengkehnya. Sedangkan pabrik rokok kretek mengharapkan dapat menekan biaya produksi rokoknya, antara lain dengan menekan biaya bahan baku cengkeh. Juga menginginkan jaminan kontinuitas atas ketersediaan bahan baku cengkeh untuk kelangsungan produksi rokok kreteknya. Analisis game theory ini bersifat nasional, maka diasumsikan bahwa pihak petani cengkeh merupakan total petani cengkeh nasional, sementara pihak PRK adalah total pabrik rokok kretek anggota Gappri. Posisi strategi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 13, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Para petani akan bekerjasama dengan cara membentuk kelompok, himpunan atau asosiasi petani cengkeh dalam memasarkan cengkehnya sehingga harga cengkeh dapat yang diterimanya adalah harga minimum sesuai yang ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatannya dengan pabrik rokok kretek. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga cengkeh minimum adalah sebesar Rp. 30 000 per kg (P1). Diasumsikan produksi cengkeh petani sebesar 98 persen dari total produksi nasional (Q1). 2. Petani tidak bekerjasama atau bertindak sendiri-sendiri dalam memasarkan cengkehnya sehingga harga cengkeh yang diterimanya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar pada saat itu (P2).
133 3. PRK mematuhi harga pembelian minimum yang ditetapkan pemerintah karena merupakan harga kesepakatannya dengan petani cengkeh. Diasumsikan konsumsi cengkeh merupakan total konsumsi cengkeh anggota Gappri dimana konsumsi cengkeh PRK sebagian besar (90%) berasal dari produksi dalam negeri. Pada saat PRK patuh pada penetapan harga cengkeh dari pemerintah maka harga cengkeh lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar (P1). Konsekuensi logis yang terjadi adalah PRK diperkirakan akan mengurangi pembeliannya menjadi sekitar 75 persen dari total kebutuhan/konsumsi cengkehnya
(Q3=0.75xQ2),
dan
untuk
memenuhi
kebutuhan/konsumsi
cengkehnya, PRK akan menggunakan stok cengkeh yang dimilikinya. 4. PRK tidak mematuhi harga pembelian minimum yang ditetapkan pemerintah, meskipun telah sepakat dengan petani cengkeh. Apabila PRK tidak patuh pada penetapan harga cengkeh dari pemerintah maka tingkat harga cengkeh yang diterimanya, tergantung pada mekanisme pasar, namun biasanya lebih rendah dari harga minimum yang ditetapkan pemerintah (P2). Dengan menerima harga cengkeh yang lebih rendah tersebut, maka diasumsikan PRK akan membeli cengkeh sesuai dengan konsumsinya (Q2). Pilihan strategi yang dilakukan petani cengkeh adalah bekerjasama dengan harapan PRK akan menepati kesepakatan tentang harga minimum pembelian cengkeh yang lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar, atau tidak mampu menjalin kerjasama sehingga hanya dapat menerima tingkat harga yang rendah. Lebih lanjut, apabila PRK mematuhi harga minimum yang ditetapkan pemerintah, maka penerimaan petani cengkeh menjadi sebesar P1 dikali Q1 yaitu harga yang
134 ditetapkan
pemerintah
dikali
dengan
jumlah
cengkeh
yang
diproduksinya.
Sedangkan apabila petani tidak bekerjasama atau bersifat individual, maka penerimaan petani hanya sebesar P2 dikali Q1 karena P2 < P1. Dengan demikian strategi permainan untuk petani cengkeh dapat dinotasikan sebagai berikut: Jika petani bekerjasama dalam memasarkan cengkehnya maka fungsi penerimaannya adalah: RPT1 = P1 x Q1
(49)
dan jika petani cengkeh tidak bekerjasama, maka penerimaannya hanya sebesar: RPT2 = P2 x Q1
(50)
Pilihan strategi yang dilakukan oleh pabrik rokok kretek adalah patuh terhadap penetapan harga pemerintah yang lebih tinggi dari harga yang berlaku, namun dengan mengurangi kuantitas cengkeh yang dibelinya supaya biaya bahan baku cengkehnya tidak meningkat, atau tidak patuh pada penetapan harga pemerintah dengan harapan petani tidak punya pilihan lain untuk menjual cengkehnya selain kepada PRK. Lebih lanjut, apabila pabrik rokok kretek patuh pada penetapan harga pemerintah maka biaya yang dikeluarkannya untuk bahan baku cengkeh sebesar P1 dikali Q2 yaitu harga yang ditetapkan pemerintah dikali dengan jumlah kebutuhan atau konsumsi cengkehnya dimana Q3=75%xQ2, sedangkan apabila PRK tidak patuh pada penetapan harga pemerintah maka PRK akan membeli sesuai dengan kebutuhan cengkehnya, namun pada tingkat harga yang berlaku di pasar, dengan demikian biayanya menjadi sebesar P2 dikali Q2 yaitu harga yang berlaku di pasar
135 dikali dengan jumlah cengkeh yang dibeli PRK. Dengan demikian strategi permainan untuk PRK dapat dinotasikan sebagai berikut: Jika PRK patuh pada penetapan harga pemerintah maka fungsi biayanya adalah: CPR1 = P1 x Q3
(51)
dan jika tidak patuh pada penetapan harga pemerintah, maka biayanya menjadi : (52)
CPR2 = P2 x Q2
CPR1
P1 x Q1, P1 x Q3
PRK RPT1
CPR2
RPT2
CPR1
P1 x Q1, P2 x Q2
Petani
PRK
P2 x Q1, P1 x Q3
CPR2
P2 x Q1, P2 x Q2
Gambar 13. Bentuk Permainan antara Petani Cengkeh dan PRK Adapun peubah-peubah yang digunakan untuk gaming permasalahan percengkehan nasional adalah sebagai berikut: Tabel 17. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Gaming Permasalahan Percengkehan Nasional Peubah Produksi cengkeh nasional Produksi cengkeh perkebunan rakyat Konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek Harga minimum penetapan pemerintah Harga pasar
Jenis Data Sekunder Sekunder Sekunder Primer Primer
Sumber Data Siregar dan Suhendi, 2006 Siregar dan Suhendi, 2006 Siregar dan Suhendi, 2006 Hasil survey, 2005 Hasil survey, 2005