56
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Data
4.1.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) yang bersumber dari International Financial Statistic (IFS) yang dipublikasikan oleh International Monetery fund (IMF) ; buku statistik Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS); Laporan Bulanan Keuangan Bank Indonesia dan juga Laporan Mingguan yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berasal dari literatur – literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
4.1.2. Jenis Data Data yang digunakan adalah : 1. Tingkat Suku Bunga Dunia (SBW) 2. Industrial Production Index di Indonesia (IPI) 3. Consumer Price Index di Indonesia (CPI) 4. Nilai Tukar Rupiah di Indonesia (ER) 5. Money Supply dalam arti luas di Indonesia (M2) 6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
4.1.3. Sampel Data Tesis ini didasarkan atas data yang diobservasi selama periode waktu dari tahun 1999 – 2006. Data yang digunakan umumnya dalam bentuk bulanan (96 observasi) dari periode bulan Januari 1999 sampai bulan Desember 2006. Data tingkat IPI, CPI, SBI, SBW menggunakan data bulanan dari waktu 1999 – 2006.
57
Data untuk persamaan uang beredar (M2) menggunakan data bulanan dari periode waktu 1999-2006. Terakhir data untuk model nilai tukar nominal rupiah dengan dollar Amerika Serikat (ER). Semua variabel dapat dianalisis dengan mudah, pada waktu bersamaan dan dapat dipercaya. Tabel 2. Variabel, Indikator dan Satuan Data Variabel SBW IPI CPI ER M2 SBI
Indikator Suku Bunga Dunia Industrial Production Index Consumer Price Index Nilai Tukar Money Supply Sertifikat Bank Indonesia
Satuan Persen Index Index Rupiah/Dollar Rupiah Persen
Sumber : Data untuk diolah
4.2.
Metode Analisis Metode analisis yang akan digunakan adalah model Structural Vector
Autoregresive (SVAR). Enam variabel yaitu, Suku Bunga Dunia (SBW), Industrial Production Index (IPI), Tingkat Harga (CPI), Money Supply (M2), Nilai Tukar (ER),
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan. Sketsa kerangka
konseptual metode SVAR ini dapat dinyatakan sebagai berikut : a11 a 21 a31 a 41 a51 a 61
0
0
0
0
a 22 a 32
0 a33
0 0
0 0
a 42 a 52
a 43 a53
a 44 a54
0 a 55
a 62
a 63
a 64
a 65
0 SBW t b11 0 0 IPI t 0 b22 0 CPI t 0 0 = 0 0 ERt 0 0 M 2t 0 0 a66 SBI t 0 0
0
0
0
0 b33
0 0
0 0
0 0
b44 0
0 b55
0
0
0
0 SBW t−1 ε SBWt 0 IPIt −1 ε IPIt 0 CPIt −1 ε CPIt + 0 ERt −1 ε ERt 0 M 2 t−1 ε M 2t b66 SBI t −1 ε SBIt
................................................................................................................(4.1) Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t , eSBIt merupakan uncorrelated white noise disturbance dengan standar deviasi s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, s SBIt Untuk lebih sederhana, dalam hal ini variabel disebelah kanan hanya untuk satu lag, tapi dalam analisis dimungkinkan untuk menggunakan lag lebih dari satu. Selanjutnya
58
hubungan tersebut diatas dapat direpresentasikan secara sederhana sebagai berikut: AYt = BYt −1 + Dvt ....................................................................................(4.2) Dimana Yt adalah (n x 1) vector variable endogeneus dan vt adalah suatu vector white noise structural shock. Matrik A dalam persamaan (4.1) menunjukkan contemporaneous response atau immediate response dari masing-masing variabel terhadap perubahan variabel lainnya. Matriks B dalam persamaan merupakan lag dari masing-masing variabel dan D merupakan uncorrelated white noise disturbance. Untuk menjalankan proses regresi, maka diperlukan suatu variabel dependent disebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan. Persaman (4.2) dapat dinyatakan dalam reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 BYt −1 + A −1 Dvt ............................................................................(4.3) Selanjutnya apabila A-1B=? dan ut = A-1Dvt, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Yt = ΓYt −1 + ut ........................................................................................(4.4) Karena eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM 2t, eSBIt merupakan uncorrelated white noise distrubance akan memiliki rata-rata 0, variance yang konstan dan tidak memiliki otokorelasi serial. Apabila persamaan (4.3) ini diesksekusi maka akan muncul permasalahan, yaitu matriks A dan B tidak dapat dipisahkan karena yang dapat dilakukan adalah memperkirakan matriks ? solusi terhadap permasalahan ini adalah dengan membuat restriksi secara eksplisit terhadap koefisien matriks A dan D, dan biasanya dengan menetapkan koefisien matrik A atau D sama dengan 1 atau 0.
59
secara umum dalam model SVAR diasumsikan bahwa D =1, sehingga dengan demikian terdapat n (n+1)/2 restriksi yang perlu di imposed pada matriks A. Restriksi dibuat berdasarkan teori atau judgement tertentu. Sehingga, apabila matriks A dapat diidentifikasikan dan matriks ? diketahui, maka matrik B dapat ditentukan sebagai : B = A?. Setelah identikasi matriks, selanjutnya dapat dibangun Impulse Response Function yang menunjukkan bagaimana goncangan pada salah satu variabel mempengaruhi variabel lainya. Berdasarkan Impulse Response Function, dapat dibuktikan apakah suatu variabel akan berlaku sesuai teori atau tidak. Apabila Impulse Response Function tidak sesuai dengan teori atau tidak logis, maka matrik A harus direstriksi kembali dan kemudian Impulse Response Function baru di rekontruksi kembali. Proses ini dilakukan terus sampai diperoleh Impulse Response Function yang logis. Jadi esensi dari penelitian ini adalah kombinasi antara pengolahan statistik dan pengetahuan teoritis, untuk membangun model yang menunjukkan bagaimana monetary shock akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi dan bagaimana nilai tukar rupiah dan inflasi mempengaruhi monetary policy. Meskipun model ini merupakan penyederhanaan dari model sebenarnya, namun diharapkan model ini dapat menunjukkan beberapa skema identifikasi yang melibatkan matriks A sebagai contemporaneus effect.
4.2.1. Uji Stasioneritas Data Isu statistik model dinamis digunakan untuk melihat kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel – variabel ekonomi
60
sebagaimana yang diharapkan dalam teori ekonomi. Dalam hal data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif dengan model ekonometrik standar seperti Ordinary Least Squares (OLS), jika
datanya
memungkinkan teknik ini dapat diterapkan. Teknik analisis dengan OLS hanya dapat dipakai jika datanya stasioner, baik variabel dependent maupun independentnya. Untuk mengetahui stasioneritas data, digunakan Uji Augmented Dickey –Fuller (ADF). Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root yang berarti bahwa data adalah stasioner, estimasi akan dilakukan dengan menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi ini akan dilakukan uji stasioneritasnya. Jika residu adalah stasioner, berarti diantara variabel – variabel terjadi kointergrasi, sehingga estimasi akan dilakukan dengan menggunakan teknik kointegrasi. Jika hasil uji unit root terhadap level dari variabel – variabel menerima hipotesis adanya unit root berarti data adalah tidak stasioner atau data yang termasuk random walk, maka dilakukan pengecekan terhadap orde integrasi dari masing-masing variabel. Jika semua variabel yang tidak stasioner memiliki orde integration yang sama, maka dilakukan cointegrasi test dengan Johansen Test for Cointegration. Jika hasil uji menunjukkan variabel cointegrated, maka regresi bisa dilakukan. jika tidak variabel diturunkan untuk mencari stasionernya. Jika semua variabel yang memiliki orde integrasi yang berbeda-beda (sebagaimana disampaikan diatas) sudah diturunkan (differensiasi), uji kembali variabel tersebut dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mengetahui apakah terdapat unit root atau tidak, dan lakukan kembali prosedur yang sama jika stasioneritas dari data belum dicapai.
61
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive Spesifikasi model Vector Autoregresive (VAR) meliputi pemilihan variabel dan jumlah lag yang akan digunakan didalam model VAR. Sehingga terlebih dahulu harus ditentukan jumlah lag untuk pembentukan sistem VAR yang stabil (Enders, 2004) menyarankan untuk memilih model VAR yang memiliki Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC) yang paling kecil. AIC dinyatakan sebagai berikut : AIC ( p) = T log | ∑ | + 2 N .....................................................................(4.5)
Sedangkan SBC dinyatakan sebagai : SBC ( p ) = T log | ∑ | + N log(T ) ............................................................(4.6)
dimana : T =
jumlah observasi
|S| =
determinan dari varian – varian matriks residual
N =
jumlah parameter yang diestimasi dalam semua persamaan
P =
jumlah lag, dipilih sedemikian sehingga AIC dan SBC adalah minimum.
4.2.3. Uji Unit Root Uji akar unit dipandang sebagai uji stasionaritas, karena pada intinya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dan model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam kasus dimana data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang lancung/palsu (spurious regression relationship), selanjutnya langkah awal yang harus dilakukan dalam pengujian ini adalah menaksir model otoregresif dari masing-
62
masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS (Ordinary Least Square). Perbedaan lain antara data series yang stasioner dan yang non stasioner yaitu shock yang terjadi pada data series yang stasioner bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock akan berkurang dari series data akan kembali ke long run mean levelnya. Secara umum, prilaku dari data series yang stasioner adalah sebagai berikut : (Enders, 2004) 1. Mean dari data stationer menunjukkan perilaku yang konstan 2. Data stasioner menunjukkan variance yang konstan 3. Data stasioner menunjukkan correlogram yang menyempit (deminishing) seiring dengan penambahan waktu (lag). Sebaliknya, data yang non stasioner adalah time dependent, atau cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan jalannya waktu, secara umum, prilaku dari non stasioner time series adalah sebagai berikut (Enders, 2004): 1. Data series yang non stasioner tidak memiliki longrun mean 2. Data series yang non stasioner memiliki ketergantungan terhadap waktu, variance dari data semacam ini akan membesar tanpa batas seiring dengan waktu 3. Correlogram dari data ini cendrung akan melebar Apakah suatu data series bersifat stasioner atau non stasioner dapat dilihat dari bentuk correlogramnya, apakah menyempit atau melebar. Pengamatan dengan cara ini sudah mulai ditinggalkan. Dewasa ini pendekatan yang lebih bersifat spurious mulai banyak digunakan. Pendekatan ini disebut unit root test. Pengujian unit root dilaksanakan untuk melihat apakah datanya mengandung unit
63
root atau tidak, apabila datanya mengandung unit root maka berarti data tersebut tidak stasioner. Salah satu bentuk pengujiannya adalah Dickey-fuller Test yang diperkenankan pada tahun 1979. Pengujian ini dilaksanakan melalui regresi suatu variabel terhadap lagnya. Analisa stasionaritas pada persamaan Autoregressive 1 atau AR(1) ditunjukkan dengan: yt = a0 + γyt −1 + ε t ..................................................................................(4.7) dimana et adalah white noise Jika diasumsikan bahwa parameter ? akan positif (? = 1) maka variabel yt nonstasioner dan jika parameter ? lebih kecil dari 1 (? < 1) maka variabel yt stasioner yang diringkas melalui hipotesa berikut : H0 : ? = 1 Nonstasioner, ada unit root HA : ? < 1 Stasioner, tidak ada unit root Dengan aplikasi OLS maka didapat γˆ (estimasi dari ?) dan S γˆ (estimasi standar error ) maka test statistik adalah : γˆ − 1 TS = ..........................................................................................(4.8) Sγˆ Apabila nilai tes statistik lebih kecil dari nilai kritis maka tolak H0, mengimplikasikan bahwa variabel tidak mengandung unit root artinya stasioner. Namun permasalahan yang muncul dalam proses tersebut adalah estimasi OLS untuk γˆ akan bias jika jumah sampel kecil (Thomas, 1997). Dickey-fuller menganjurkan untuk melakukan transformasi data ke dalam tiga persamaan regresi dibawah ini (Enders,2004): yt – yt-1 = ? yt = ?yt -1 + et
................................................................(4.9)
64
yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + et .........................................................(4.10) yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + a2t + et.................................................(4.11) dimana t = variabel trend, ? = a1 – 1. Hipotesa menjadi : H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t Test statistik untuk hipotesis ini menjadi : γˆ TS = ...........................................................................................(4.12) Sγˆ Namun permasalahan bias juga direfleksikan pada γˆ dan dengan null hyphotesis non stasioner, t rasio memiliki distribusi tidak standar bahwa untuk jumlah contoh yang besar, artinya bahwa tabel normal t tidak dapat digunakan untuk mendapatkan nilai kritis untuk t ratio. Dickey dan Fuller (1997) dalam Thomas (1997) dan (Sedighi, 2000) berdasarkan simulasi Monte Carlo, jika hipotesis menunjukkan bahwa H0 tidak dapat ditolak artinya ada unit root dalam proses menghasilkan data, memiliki nilai kritis untuk TS yaitu t(tau) statistik. Nilai kritis ini telah digunakan oleh Mackinnon melalui simulasi Monte Carlo. Aplikasinya adalah jika data time series stasioner maka nilai TS harus lebih negatif dari nilai kritis. Pengujian
Dickey-Fuller
(DF)
mengasumsikan
bahwa
variabel
diformulasikan sebagai proses first order AR dengan disturbance white noise. Namun jika asumsi tersebut tidak terpenuhi maka terjadi permasalahan autokorelasi pada error dari estimasi OLS sehingga Dickey Fuller Test tidak
65
valid. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu memodifikasi prosedur uji dengan menggenaralisasikan persamaan. Modifikasi dari Dickey-Fuller Test itu adalah Augmented Dickey-Fuller Test (Enders, 2004). Disini dilaksanakan pengujian atas persamaan regresi yang memiliki order lebih dari first order difference, representasi matematis dari Augmented Dickey-Fuller Test ini adalah : yt = α + a1 yt −1 + a2 yt −2 + ... + a r yt −i + ε t …………....…..……………(4.13) direparameterisasi menjadi : p
∆yt = α 0 + γyt −1 + ∑ β i ∆y t −i +1 + ε t ………......……………………….(4.14) i =2
dimana : ? = -[1-Sai]; i = 1,2,...,P dan ßi = Sa j; j = 1,2,...,P Hipotesis H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t Penyisipan dalam persamaan awal DF dengan Lagged dari variabel dependent (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan autokorelasi pada error. Untuk menentukan lagged yang harus dimasukkan dalam persamaan maka digunakan kriteria Akaike’s Information Criterion (AIC) dan Schwartz Criterion (SC) (Seddighi, 2000). Philips-Perron Test merupakan pengembangan dari Dickey-Fuller Test. Dalam pengujian ini tidak diperlukan adanya asumsi error yang homogen dan independent seperti dalam Dickey Fuller Test, sehingga kondisi error yang dependent dan heterogen juga dapat diakomodasi dalam pengujian ini. Kelebihan lain dari Philips-Perron Test dibandingkan dengan Dickey-Fuller Test adalah
66
tidak adanya masalah dalam pemilihan jumlah lag, sementara dalam DickeyFuller Test jumlah lag merupakan hal yang kritis yang dapat mempengaruhi hasil pengujian kesalahan dalam penentuan jumlah lag bisa berakibat hasil pengujian menjadi bias. Phillips-Perron Test juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan dalam data series seperti misalnya structural break sebagai akibat dari oil shock, financial deregulation, atau intervensi dari bank sentral terhadap kebijakan moneter, structural break ini seringkali mengakibatkan berubahnya struktur data secara permanen (Abimanyu, 1998). Model yang digunakan dalam Phillip-Perron Test adalah : Yt – yt-1 = ? yt = ?*yt-1 + et ...................................................................(4.15) Pengujian kemudian dilakukan terhadap Ho : ?* = ? – 1 = 0. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Mckinnon Critical Value. 4.3.
Analisis Vector Autoregressive Vector Autoregressive (VAR) merupakan metode lebih lanjut dari sebuah
sistem persamaan yang bercirikan pada penggunaan sejumlah variabel dalam model secara bersama-sama. Jika didalam persamaan simultan terdapat variabel endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris karena sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau eksogen. Endogenitas tingkat harga menyatakan bahwa harga merupakan hasil interaksi antara permintaan dan penawaran harga, model VAR secara umum dapat menggambarkan apakah suatu variabel seperti uang beredar mempengaruhi tingkat harga atau tidak. Apabila sebaliknya, dimana tingkat harga mempengaruhi
67
uang beredar, maka model VAR memungkinkan untuk melakukan uji causalitas terhadap kemungkinan tersebut. Model VAR juga memungkinkan untuk memilih struktur selang (lag) yang fleksibel dan menangani pengaruh causalitas Secara umum bentuk hubungan dalam persamaan (4.1) tersebut diatas dapat direpresentasikan sebagai berikut, (Gottschalk, 2001): AYt = B ( L)Yt + ε t ................................................................................(4.16) Sistem persamaan diatas dikenal sebagai Structural VAR (SVAR) atau bentuk sistem primitif, dimana Yt adalah vector variabel endogenous dan et adalah suatu vector structural shock, dengan rata-rata nol dan matrik variance covariance konstan. Untuk menjalankan proses regresi, maka di perlukan satu variabel dependent sebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan, selanjutnya persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 B ( L)Yt + A −1ε t .........................................................................(4.17) Atau representasi model Vector Autoregressive (VAR) sebagai berikut : Yt = Γ ( L)Yt −1 + et ..................................................................................(4.18) Sedangkan representasi model Moving Average (MA) dapat diturunkan sebagai berikut dibawah ini. (1 − Γ( L ))Yt = et ...................................................................................(4.19)
Yt = (1 − Γ( L)) −1 et ................................................................................(4.20) Yt = C ( L)et ...........................................................................................(4.21) dimana : Γ = A −1 B ..............................................................................................(4.22)
et = A −1et ..............................................................................................(4.23)
68
C = (1 − Γ ) ...........................................................................................(4.25) Dari representasi model AR (4.18) dan MA (4.21) terlihat bahwa dalam model AR variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari nilai masa lalu dari dirinya sendiri, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Sebaliknya dalam representasi model MA variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari structural shock. Model VAR dinamis pada persamaan (4.18) disebut sebagai unrestricted VAR karena tidak ada pembatasan linier. Dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah restriksi linier akan di imposed berdasarkan prediksi teoritis yang sudah ada sebelumnya. Orthogonalitas VAR Restriksi yang membedakan model SVAR dengan model persamaan simultan adalah asumsi bahwa structural innovation adalah orthogonal, yaitu inovasi eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, eSBIt tidak berkorelasi secara formal hal ini mensyaratkan matriks variance-covariance Se memiliki bentuk σ SBW 2 0 0 ∑e = 0 0 0
0
0 0
0 0
0 0
0
σ CPI2
0
0
0 0
0 0
σ ER 2 0
0 σ M 22
0
0
0
0
σ IPI 2
0 0 0 0 0 σ SBI 2
Karena residu dari reduce form terhubung dengan structural innovation melalui et=A-1et. Maka matriks variace –covariance bentuk struktural dan reduce form terhubung melalui ASeA'. Normalisasi VAR Model SVAR didasarkan atas respresentrasi model MA (4.21) dari model struktural, selanjutnya analisa empiris mencoba untuk memperkirakan impulse response function (IRF) yang diberikan oleh matriks C (L). IRF dihitung untuk
69
menunjukkan respon model struktural terhadap shock structural innovation sebesar satu standar deviasi, Normalitas model SVAR dilakukan dengan menentapkan varian s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, dan s SBIt sama dengan satu. Oleh karena shock standar deviasi berhubungan dengan unit inovasi dari eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt secara berurutan, maka matrik variance covariance dari innovasi struktural diasumsikan memiliki bentuk : 1 0 0 ∑ e = 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0
0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1
Atau Se= I secara teknis, karena struktural innovation hubungan dengan gangguan pada reduce form dalam bentuk et=A-1et, maka matrik A di normalisasi sedemikian rupa sehingga A Se A = Se=I Identifikasi Matrik A Model SVAR bertujuan untuk mengidentifikasi structural innovation e dan melacak respon variabel lain dalam model dinamis terhadap shock tersebut. Model SVAR memberikan fokus perhatian terhadap gubungan et = A-1et dan mengidentifikasikan struktural innovation e dengan menetapkan restriksi pada matriks A. Dengan kata lain, Dalam model SVAR hubungan dinamis dalam perekonomian di modelkan dalam bentuk suatu hubungan antar shock. Secara umum persamaan (4.23) menyatakan bahwa error reduce form terhubung dengan struktural shock semata-mata melalui struktur matrik A apabila matrik A-1 dinyatakan sebagai berikut :
70
γ 11 γ 21 γ 31 A−1 = γ 41 γ 51 γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23
γ 24
γ 25
γ 32
γ 33
γ 34
γ 35
γ 42
γ 43
γ 44
γ 45
γ 52 γ 62
γ 53 γ 63
γ 54 γ 64
γ 55 γ 65
γ 16 γ 26 γ 36 ................................................(4.26) γ 46 γ 56 γ 66
Sehingga error reduce form terhubung dengan struktural shock melalui struktur matrik A dapat dinyatakan sebagai berikut :
et = A −1ε t .............................................................................................(4.27) eSBW ,t e IPI ,t eCPI,t = e ER , t e M 2 ,t eSBI ,t
γ 11 γ 21 γ 31 γ 41 γ 51 γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23 γ 24
γ 25
γ 32
γ 33 γ 34
γ 35
γ 42
γ 43 γ 44
γ 45
γ 52 γ 62
γ 53 γ 54 γ 63 γ 64
γ 55 γ 65
γ 16 ε SBW ,t γ 26 ε IPI ,t γ 36 ε CPI,t …………..……..(4.28) γ 46 ε ER ,t γ 56 ε M 2 ,t γ 66 ε SBI ,t
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt merupakan struktural shock. Hal ini memungkinkan untuk menelurusi respon model dinamis terhadap structural shock
suatu
variabel
ekonomi
akan
memberikan
tanggapan
secara
contemporaneous terhadap semua shock yang relevan terhadap dirinya. Hal ini berarti bahwa tidak ada elemen baris dari matrik A-1 yang berhubungan dengan variabel tersebut bernilai nol. 4.4.
Granger Causality Test Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara
dua variabel yang diuji. Setelah mengetahui lag optimal bagi sistem VAR, pengujian ini pun akan langsung dapat dilakukan. Model uji kausalitas granger (1969) dibawah ini yt = α 0 + α1 yt −1 + α 2 yt −2 + α 3 yt −3 + β1 xt −1 + β 2 xt −2 + β 3 xt −3 + ε t ........(4.29)
71
Hipotesis nol yaitu kedua variabel tidak memiliki pengaruh antar variabel, Bila gunakan Probability value < alpha (10%) maka hipotesis nol ditolak artinya ada hubungan kausalitas searah antar variabel. Dengan kata lain pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain.
4.5.
Analisis Impulse Response Function Decomposition
dan Forecast Error Variance
4.5.1. Impulse Response Function Impulse Response Function (IRF) dapat dijelaskan dengan menggunakan representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas model VAR. secara umum representasi AR (4.18) tersebut diatas dapat dituliskan sebagai berikut : p
Yt = ∑ ΓiYt −1 + et .................................................................................(4.30) i =1
Sedangkan representasi model MA (4.21) diatas dituliskan sebagai berikut dibawah ini : ∞
Yt = ∑ Cjet − j .......................................................................................(4.31) j=0
Dengan mengsubtitusi
persamaan (4.30) kedalam persamaan (4.31) maka
diperoleh : ∞
∞
∞
∞
j =0
j=0
j =0
j=0
∑ Cjet − j = Γ1∑ Cje j−i−1 + Γ 2∑ Cje j−i−2 + ... + Γp ∑ Cje j−i−k + et .......(4.32) Selanjutnya dengan menyederhanakan persamaan (4.32) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini : C (C0 − I )et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ 2(0)et −2 + .... ... +
∞
∑
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γi( j − i)et − j = 0..........................................................(4.33) i =1
72
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (4.33) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini (C 0 − T ) et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ2C 0 )et −2 + ...... ∞
∑
...... +
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γ ( j − i)et − j = 0 ......................................................(4.34) i =1
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (4.21) maka diperlukan bahwa masing-masing ekspresi didalam kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung sebagai berikut : C0 = I C1 = Γ1C 0 ........ ........ p
Cj = ∑ ΓiC j −i , untuk 1 = p .................................................................(4.35) i =1
Setelah diperoleh Cj selanjutnya dapat dibuat model representasi MA berkaitan dengan struktural shock et berdasarkan identifikasi matrik A dan hubungan pada persamaan (4.23), maka persamaan (4.31) dapat ditulis sebagai berikut : Yt =
∞
∑ CjA j=0
−1 0 t− j
ε
..................................................................................(4.36)
∞
Yt = ∑ Ψ j ε t − j ......................................................................................(4.37) j=0
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap dampaknya kepada pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lain, sebenarnya FEVD memberikan informasi secara relatif tentang seberapa penting setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).
73
Berdasarkan representasi MA persamaan (4.35) dapat dibuat deviasi dari peramalan h periode kedepan Et(Xt+h ) dari nilai aktual Xt+h , yaitu sebagai berikut : ∞
Yt + h − Et (Yt + h ) = ∑ Ψ j (ε t + h− j − Et ε t + h− j ) j=0
h−1
= ∑ Ψ j ε t + h− j ................................................................(4.38) j=0
Dan Forecast Error Variance dihitung melalui komponen diagonal sebagai berikut: h−1
E (Yt + h − Et Yt + h ) 2 = ∑ Ψ j ∑ eΨ ' j .......................................................(4.39) j=0
Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari variabel k dihitung sebagai berikut : h −1
= ∑ Ψ j , k ∑ eΨ ' j, k .............................................................................(4.40) j =0
Dimana Ψj, k merupakan baris ke k dari Ψj .