IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran operasional kebijakan moneter karena akan menentukan jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian.
Hal ini terlihat jelas dari pola pergerakan uang
primer dan jumlah uang beredar yang dalam paparan ini dibagi atas dua periode yaitu periode sebelum independensi Bank Indonesia dan periode setelah independensi Bank Indonesia 140.00 124.63
120.00
101.79 101.20
100.00 80.00
78.34 75.12 64.09
60.00 52.68
46.09
45.37
40.00
37.04
20.00
28.78 23.82 26.34 22.16 1 4.74 17.61 10.09 10.96 12.36 20.11
8.58 4.22
1984
1985
10.10 5.14 1986
12.69 14.39 7.12 6.15
11.68 6.12 1987
1988
1989
1990
1991
1992
Uang Primer
1993
1994
1995
34.41 25.85
1996
1997
1998
1999
Uang Beredar
300.00 253.82
250.00
281.91 267.64 239.78
Triliun Rp
223.80 223.73
200.00 150.00 100.00
162.19 133.83
177.73
174.02
127.80
119.94
160.14
125.62
191.94
194.88
138.25
132.40
199.45 155.83
110.60
198.43
155.47
94.56
50.00 2000.2 2000.4
2001.2
2001.4
2002.2 2002.4
Uang primer
2003.2 2003.4 2004.2 2004.4 2005.2 2005.4
Uang beredar
Gambar 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005
75
Pada gambar 7 tampak bahwa sebelum independensi Bank Indonesia (1984-1999), nilai nominal uang primer dan jumlah uang beredar terus meningkat dengan pola yang semakin curam.
Periode 1984 sampai 1995 peningkatan
dalam persentase yang relatif rendah antar tahun sehingga grafik landai dan mulai tahun 1996 terjadi lonjakan dan bahkan pada tahun 1997 sampai 1999 terjadi peningkatan yang sangat signifikan.
Kondisi ini ditunjukkan dari
persentase pertumbuhan uang primer pada periode sebelum krisis hanya sekitar 19.2 persen dan saat krisis tumbuh sebesar 44.15 persen. Sedangkan uang beredar pada tahun 1984-1996 tumbuh sekitar 18.53 persen dan meningkat menjadi 21.67 persen pada periode 1997-1999. Peningkatan uang primer dan jumlah uang beredar yang dimulai pada pertengahan tahun 1996 merupakan cerminan dari liberalisasi sektor keuangan dimana aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia khususnya dari pinjaman luar negeri sangatlah besar. Pada periode awal tahun 1997 Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan kontraktif dengan meningkatkan suku bunga. Namun peningkatan suku bunga dalam rangka menyerap likuiditas dalam negeri tersebut ternyata semakin mendorong masuknya aliran dana luar negeri dan kondisi inilah yang sebenarnya menjadi penyebab awal krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu solusi bagi penciptaan kestabilan moneter dan perekonomian Indonesia adalah diberlakukannya UU No. 23 tahun 1999 dimana secara jelas disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah pemegang otoritas moneter yang lebih independen.
Dengan adanya perubahan kebijakan moneter tersebut, uang
primer menjadi instrumen yang dikendalikan oleh Bank Indonesia dalam rangka pencapaian sasaran inflasi (inflation targeting) pada rate dan pertumbuhan tertentu dan langkah ini ternyata berdampak besar bagi kinerja uang primer dan uang beredar di Indonesia. Selama implementasi independensi Bank Indonesia,
76
pertumbuhan uang primer dan jumlah uang beredar berada pada kisaran dibawah empat persen. Pada periode 2000-2005 persentase pertumbuhan uang primer hanya berada pada kisaran yang ditargetkan yaitu 4.15 persen dan diikuti dengan pertumbuhan uang beredar sebesar 3.62 persen (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005 Komponen Pertumbuhan (%) Uang
1984-1996
1997-1999
2000-2005
Uang Primer
19.55
44.15
4.15
Uang Beredar (M1)
18.53
21.67
3.62
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1984-2005 (diolah) Selanjutnya dari pola pergerakan terlihat bahwa pergerakan uang primer dan uang beredar cenderung stabil dengan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Pada periode pertama setiap tahun terjadi penurunan dan sebaliknya pada periode akhir setiap tahunnya terjadi peningkatan uang primer dan jumlah uang beredar. Hal ini sangat terkait dengan siklus perekonomian dimana pada triwulan empat setiap tahunnya terjadi peningkatan uang kartal karena meningkatnya kebutuhan transaksi masyarakat untuk perayaan lebaran, natal dan tahun baru serta pada triwulan yang sama terjadi pula peningkatan giro perbankan di Bank Indonesia yang bersumber dari meningkatnya posisi giro wajib minimum sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga pada bank umum di Indonesia. Kinerja lebih rinci jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2) disajikan pada Tabel 2. Selama periode 1998 sampai 2005, jumlah uang beredar dalam artian sempit yaitu M1 menunjukkan pertumbuhan yang relatif stabil dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3.26 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian luas (M2) dimana dalam periode yang sama mencapai 2.74 persen.
77
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005 Periode 1998.1 1998.2 1998.3 1998.4 1999.1 1999.2 1999.3 1999.4 2000.1 2000.2 2000.3 2000.4 2001.1 2001.2 2001.3 2001.4 2002.1 2002.2 2002.3 2002.4 2003.1 2003.2 2003.3 2003.4 2004.1 2004.2 2004.3 2004.4 2005.1 2005.2 2005.3 2005.4 Rata-rata
Jumlah Uang Beredar (Miliar Rp) M2 MI Uang Kuasi 109480 450730 560210 102563 447841 550404 101197 476184 577381 105705 497620 603325 105964 509447 615411 118124 534165 652289 124633 521572 646205 124663 538284 662947 134663 538284 662947 133832 552196 686028 135430 551023 686453 162186 584842 747028 148375 618437 766812 160142 636298 796440 171383 607186 778569 177731 844053 1021784 166173 831411 997584 174017 838635 1012652 181791 863101 1044892 191939 883908 1075847 181239 877776 1059015 194878 894213 1089091 207587 911224 1118811 223779 955692 1179491 219086 716161 935247 223726 741440 975166 240911 745895 986806 253818 779710 1,033528 250492 770201 1020693 267635 806111 1073746 273954 876497 1150451 281905 921310 1203215
Pertumbuhan (%) M1 M2 -6.32 -1.33 4.45 0.25 11.48 5.51 0.02 8.02 -0.62 1.19 19.76 -8.52 7.93 7.02 3.70 -6.50 4.72 4.47 5.58 -5.57 7.53 6.52 7.80 -2.10 2.12 7.68 5.36 -1.31 6.84 2.36 2.90 3.26
-1.75 4.90 4.49 2.00 5.99 -0.93 2.59 0.00 3.48 0.06 8.82 2.65 3.86 -2.24 31.24 -2.37 1.51 3.18 2.96 -1.56 2.84 2.73 5.42 -20.71 4.27 1.19 4.73 -1.24 5.20 7.14 4.59 2.74
Pangsa (%) M1 M2 19.54 80.46 18.63 81.37 17.53 82.47 17.52 82.48 17.22 82.78 18.11 81.89 19.29 80.71 18.80 81.20 20.31 81.20 19.51 80.49 19.73 80.27 21.71 78.29 19.35 80.65 20.11 79.89 22.01 77.99 17.39 82.61 16.66 83.34 17.18 82.82 17.40 82.60 17.84 82.16 17.11 82.89 17.89 82.11 18.55 81.45 18.97 81.03 23.43 76.57 22.94 76.03 24.41 75.59 24.56 75.44 24.54 75.46 24.93 75.07 23.81 76.19 23.43 76.57 20.01 80.00
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia,1998-2005 Pertumbuhan M1 tertinggi terjadi pada triwulan IV tahun 2000 sebesar 19.76 persen yang berkemungkinan karena meningkatnya motif berjaga-jaga mengingat kondisi sosial politik negara yang tidak menentu.
Sedangkan
pertumbuhan M2 tertinggi terjadi pada triwulan IV/2001 yang mencapai angka 31.24 persen.
Hal ini mengindikasikan semakin membaiknya kondisi
perekonomian saat itu sehingga menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat
78
untuk meningkatkan aktivitas investasi pada perbankan dan meningkatkan motif spekulasi pada bentuk penyimpanan dana lainnya. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada triwulan pertama tahun 2004 dimana terjadi pertumbuhan negatif untuk jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) yang menjadi indikasi kurang kondusifnya kondisi perekonomian. Satu hal menarik tampak dari komposisi jumlah uang beredar dimana uang kuasi mendominasi uang yang beredar di masyarakat. Selama periode tersebut 80 persen lebih uang beredar adalah uang kuasi.
Artinya motif
spekulasi semakin menonjol di kalangan masyarakat. Namun dilihat dari sisi laju pertumbuhan, ada kecenderungan terjadinya laju pertumbuhan yang meningkat pada M1, sedangkan M2 mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan M2 ini dipicu berbagai faktor diantaranya pada satu sisi fungsi intermediasi perbankan belum berjalan optimal, sedangkan disisi lain alternatif penyimpanan dana dalam bentuk lain (non bank) semakin berkembang sehingga terjadi pengalihan aset masyarakat dari aset perbankan ke aset non bank. 4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Berdasarkan Tabel 3, terdapat kesamaan pola hubungan antara sektor riil dengan sektor moneter, dalam arti ada hubungan searah antara pertumbuhan ekonomi dengan pertambahan jumlah beredar dan pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. Dari tahun 1980 sampai 2005 terjadi peningkatan jumlah uang beredar baik itu jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) maupun M2. Peningkatan jumlah uang beredar ini diikuti pula dengan peningkatan PDB nominal dan peningkatan indeks harga konsumen yang menunjukkan adanya inflasi.
79
Tabel 3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia, Tahun1980-2005 Tahun 1980
Jumlah Uang Beredar (Rp Miliar) M1 M2 4995 7691
Output (Rp Miliar)
IHK 1993=100
45500
27.30
1990
23818
84629
196600
72.30
1995
52677
222638
454700
177.80
1996
64089
288632
532700
189.60
1997
78343
355643
625500
211.60
1998
101197
577381
1002300
198.60
1999
124633
646205
1107300
202.40
2000
162186
747028
1290700
221.40
2001
177731
844054
1684280
249.10
2002
191839
883098
1863274
274.10
2003
223799
955692
2036351
287.90
2004
253818
1033528
2261724
116.86
2005
281905
1203215
2729708
136.86
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 1980-2005 (diolah) Dari Tabel 4 terlihat bahwa selama periode 1980-1990 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Pada periode tahun 1990-1995 pertumbuhan ekonomi terus membaik dengan peningkatan persentase pertumbuhan 7,1 persen per tahun yang dilanjutkan pada tahun 1996 dengan persentase 7.8 persen. Namun krisis ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian yang tercermin dari pertambahan PDB riil yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan menjadi hanya 4 persen. Kondisi buruk terus terjadi pada tahun 1998 dengan pertumbuhan ekonomi negatif 13.4 persen.
80
Setelah mengalami stagnansi pada tahun 1999, perekonomian Indonesia kembali membaik pada tahun 2000 dengan persentase pertumbuhan mencapai 4 persen pertahun. Selanjutnya sampai tahun 2003 perekonomian Indonesia tumbuh pada kisaran angka 4 persen dan angka ini yang paling realistis mengingat kondisi
Indonesia yang masih dalam proses pemulihan.
Sampai
tahun 2005 perekonomian terus menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan yang meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini menjadi acuan bagi pelaku ekonomi untuk mulai menggerakkan kembali usaha produktifnya. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan jumlah uang beredar terlihat bahwa dalam kondisi sebelum krisis (1980-1997) pertumbuhan ekonomi berhubungan searah dengan pertumbuhan jumlah uang beredar dimana pertumbuhan jumlah uang beredar sekitar 3 kali pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang teori Klasik, hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan penggunaan uang sebagai alat transaksi (M1) yang biasanya memang semakin meningkat pada saat perekonomian tumbuh.
Sedangkan dari sudut pandang teori Keynesian,
peningkatan jumlah uang beredar ini terjadi berkemungkinan karena suntikan kredit yang akan mendorong aktivitas investasi dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama periode krisis, jumlah uang beredar sempat bertambah tinggi khususnya pada periode tahun 1998-2000. Saat itu pertambahan M1 melebihi angka 20 persen per tahun dan bahkan pertumbuhan M2 mencapai 62 persen. Walaupun pertambahan jumlah uang beredar relatif tinggi, namun pertumbuhan ekonomi justru menjadi negatif dan hampir tidak berkembang. Hal ini terjadi berkemungkinan karena kondisi abnormal selama awal krisis yang mendorong masyarakat
untuk
menyimpan
uang
untuk
berjaga-jaga
dan
transaksi.
Sedangkan pertambahan M2 yang sempat melebihi angka 60 persen pada tahun
81
1998 sangat berkaitan dengan tingkat bunga deposito yang pada masa itu mencapai 64 persen per tahun. Mulai tahun 2001, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter yang independen menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy). Hal ini menyebabkan pertambahan jumlah uang beredar sangat terkendali menjadi sekitar 10 persen per tahun. Pengetatan jumlah uang beredar ini ternyata tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi karena terbukti selama periode 2001-2005 pertumbuhan ekonomi tetap stabil pada kisaran angka 3-5 persen per tahun. Tabel 4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005 Tahun 1980-1990 1990-1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pertumbuhan (%) Uang Beredar PDB Riil M1 M2 17.5 22.1 5.0 17.2 30.6 7.1 21.7 29.6 7.8 22.2 23.2 4.9 29.2 62.3 -13.4 23.2 11.9 0.2 30.1 15.6 4.8 9.6 13.0 3.6 8.0 4.7 3.7 16.6 8.1 4.1
13.4 8.1 5.1 11.1 16.4 5.6 Keterangan : PDB riil = tahun dasar 1993 Sumber : Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, 1980-2005 (diolah)
IHK 10.8 11.1 9.3 12.5 73.6 10.3 9.3 12.5 10.0 5.1 6.4 17.1
Dari data pada Tabel 4 terlihat pula bahwa terdapat hubungan searah antara inflasi dengan pertambahan jumlah uang beredar terutama jumlah uang beredar untuk kebutuhan transaksi (M1). Namun dari pola pergerakan, pertambahan M1 tidak segera mempengaruhi inflasi karena membutuhkan tenggang waktu sekitar 1 tahun yang diindikasikan dari pola pergerakan yang sama pada tahun berikutnya. Dengan kata lain, jika dilakukan perubahan jumlah uang beredar tahun ini, dampaknya terhadap inflasi akan tampak pada tahun
82
berikutnya.
Dari besaran nilainya terlihat pula bahwa inflasi tidak dapat
dipandang hanya sebagai gejala moneter karena terdapat masa-masa dimana pertambahan jumlah uang beredar relatif rendah, namun inflasi tetap tinggi seperti pada tahun 1998 pertambahan jumlah uang beredar hanya 29.2 persen namun inflasi mencapai 73.6 persen dan kondisi sebaliknya pada tahun 2003 pertambahan jumlah uang beredar 16.6 persen namun inflasi tetap rendah pada kisaran 5 persen. Akhir tahun 2005 inflasi meningkat signifikan dan mencapai dua digit angka (17%) yang terutama disebabkan oleh kenaikan harga yang diatur pemerintah yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak disertai dengan tingginya inflasi bahan makanan akibat terganggunya pasokan dan distribusi (laporan tahunan BI, 2005). 4.1.3. Kinerja Suku Bunga Suku bunga sertifikat Bank Indonesia merupakan salah satu instrumen utama pengendalian moneter dalam menjaga stabilitas jumlah uang beredar dalam perekonomian. Suku bunga SBI akan menjadi stimulus bagi sektor perbankan dalam menaikkan atau menurunkan suku bunga nominal (suku bunga deposito). Berdasarkan Gambar 8, pergerakan suku bunga deposito 6 bulanan dari tahun 1984 sampai 2001 mengikuti pergerakan suku bunga SBI dengan tenggang waktu yang relatif pendek. Artinya instrumen suku bunga SBI langsung direspon oleh bank-bank umum dengan suku bunga deposito bulanan atau enam bulanan dan tahunan. Pada periode 1984-1990, suku bunga SBI dan suku bunga simpanan (deposito) 6 bulanan relatif stabil pada kisaran 14-16 persen. mengindikasikan bahwa kondisi likuiditas Indonesia relatif baik.
Angka ini Sejak tahun
2002 perkembangan jumlah uang beredar yang terkendali serta ekspektasi positif
83
masyarakat terhadap inflasi ke depan yang cenderung membaik memberi peluang kepada Bank Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku bunga SBI. 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
Suku bunga SB I
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
I-
II -
III -
IV -
2000
2000
2000
2000
Suku bunga Depo sito 6 bulan
Gambar 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito, Tahun 1984-2000 Dalam operasionalnya, penurunan suku bunga instrumen moneter telah diikuti oleh penurunan suku bunga simpanan perbankan dengan laju yang lebih cepat.
Artinya pergerakan suku bunga simpanan perbankan searah dengan
penurunan suku bunga instrumen moneter, dimana selama tahun 2004 suku bunga simpanan dan deposito mengalami penurunan signifikan. Suku bunga deposito rata-rata tertimbang 1 bulan mengalami penurunan hingga mencapai 6.62 persen dibanding tahun sebelumnya.
Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi penurunan suku bunga deposito adalah meningkatnya ekses likuiditas perbankan dan menurunnya marjin penjaminan suku bunga simpanan. Penurunan suku bunga simpanan ini diikuti pula oleh suku bunga kredit, namun dengan laju penurunan yang lambat. Suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) mengalami penurunan 318 basis point (bps) menjadi 13.41 persen dan suku bunga kredit investasi menurun 214 bps sehingga menjadi 14.05 persen.
84
Sedangkan suku bunga kredit konsumsi mengalami penurunan yang kecil yaitu 152 bps menjadi 18.69 persen . Tabel 5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005
No 1
2
3
Suku bunga
Tahun 2001
2002
2003
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan 17.6 12.9 11.4 3 bulan 17.6 13.1 11.9 Deposito 1 bulan 16.7 12.8 11.9 3 bulan 17.2 13.6 12.9 6 bulan 16.2 13.8 13.2 12 bulan 15.5 15.3 14.2 Kredit Modal Kerja 19.9 18.2 18.1 Investasi 17.9 17.8 17.8
Perubahan 2002- 20032003 2004
2004
2005
20012002
20042005
7.4 7.3
12.7 12.8
26.6 25.6
11.8 -8.8
34.8 39.1
71.6 75.9
6.4 6.7 7.1 7.1
11.9 11.7 10.2 10.9
23.3 20.9 14.8 -1.3
-7.1 -5.4 -4.1 -7.3
45.9 47.9 46.1 50.1
86.3 75.1 42.8 54.9
13.4 14.1
16.2 15.7
-8.3 -0.5
-0.9 0.2
25.8 21.3
21.0 11.5
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 2001-2005 (diolah) Lambatnya penurunan suku bunga kredit ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal dan eksternal perbankan.
Faktor internal terkait dengan
struktur aset dan kinerja keuangan bank termasuk di dalamnya tingkat profitabilitas bank, tingkat likuiditas, biaya dana dan rasio kecukupan modal. Sedangkan faktor eksternal adalah perkembangan perekonomian nasional dan internasional, tingkat persaingan perbankan, suku bunga investasi alternatif serta regulasi sektor perbankan (Bank Indonesia, 2003). Namun pada tahun 2005, Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau yang dikenal sekarang dengan nama BI rate. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengembalikan inflasi pada kisaran awal yaitu 6 persen ± 1 persen. Sampai akhir tahun, BI rate mencapai 12.75 persen atau naik 71.6 persen dari tahun sebelumnya.
85
Perubahan ini direspon oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga simpanan menjadi 11.98 persen untuk suku bunga deposito bulanan.
Suku
bunga kredit meningkat 21 persen dari tahun 2004 menjadi 13.41 persen (KMK) dan 15.66 persen untuk kredit investasi. Kebijakan kontraktif ini pada satu sisi dapat mengembalikan inflasi pada kisaran awal konsisten dengan landasan kebijakan moneter (inflation trageting), namun pada sisi lain menjadi sinyal negatif bagi sektor riil dalam memperluas usaha yang khawatir dengan biaya modal yang semakin memberatkan mereka. 4.2. Kinerja Sektor Riil Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah terhitung tanggal 1 Juni 1983 dicanangkan dengan tujuan meningkatkan peranan perbankan sebagai
media
transmisi
kebijakan
moneter
ke
sektor
produksi
dan
perekonomian secara keseluruhan. Pesatnya perkembangan sektor perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kredit/pembiayaan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ditambah lagi,
kemudahan kredit yang disediakan perbankan serta proses transaksi yang makin cepat dan sederhana diharapkan dapat meningkatkan akses pelaku ekonomi terhadap sumber modal sehingga meningkatkan aktivitas investasi.
Adanya
pertumbuhan dalam aktivitas investasi dan berlanjut pada peningkatan pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat pula memperluas kesempatan kerja di Indonesia. Namun dalam realitasnya, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak berjalan searah secara proporsional.
Selama
periode 1984-1997 pertumbuhan output yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto mencapai 3.39 persen dengan pertumbuhan investasi 11.21 persen. Namun pertumbuhan penyerapan tenaga kerja jauh dibawahnya yaitu
86
hanya 0.76 persen.
Pada periode krisis, meskipun pertumbuhan output
menunjukkan angka negatif (-0.75%), namun aktivitas investasi masih tumbuh 0.86 persen sehingga persentase penyerapan tenaga kerja menurun menjadi 0.35 persen. Sebaliknya pada periode setelah krisis, output tumbuh 12.9 persen, dan investasi mulai membaik dengan persentase 3.75 persen, namun penyerapan tenaga kerja turun drastis menjadi hanya 0.04 persen. Dari sisi jumlah nominal, penambahan kesempatan kerja kurang dari satu juta orang setahun, padahal penambahan angkatan kerja mencapai lebih dari 2 juta orang setahun. Kondisi ini bisa dijelaskan dari sisi kinerja sektoral yang dalam paparan berikutnya difokuskan pada dua sektor produksi dalam perekonomian yaitu sektor pertanian dan industri dengan alasan dua sektor ini mempunyai teknologi produksi yang sangat berbeda dimana sektor pertanian dengan labor intensive dan sektor industri yang cenderung capital intensive. Dari tiga periode waktu seperti tampak pada Tabel 6, kontribusi PDB sektor industri terhadap PDB total terus meningkat dan sebaliknya dengan kontribusi produksi sektor pertanian yang terus menurun. Pada periode 19841997 kontribusi PDB sektor pertanian terhadap pembentukan total output nasional hampir sama dengan kontribusi sektor industri yaitu 19.26 persen dan 19.28 persen. Namun mulai tahun 1998 kontribusi sektor pertanian menurun sampai pada tahun 2005 hanya menjadi 15.5 persen.
Disamping itu,
pertumbuhan produksi sektor pertanian juga lebih kecil daripada pertumbuhan sektor industri. Kecenderungan ini juga terjadi pada aktivitas investasi kedua sektor dimana investasi sektor pertanian cenderung melambat.
Kontribusi investasi
pada sektor industri pun jauh lebih besar dibandingkan investasi sektor pertanian dengan nilai nominal yang sangat timpang. Total investasi sektor pertanian sejak
87
tahun 1984 berada pada kisaran Rp 669 sampai Rp 1 428 miliar, sedangkan nilai investasi sektor industri berkisar Rp 6 sampai Rp 12 triliun rupiah. Tabel 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005 Kinerja
1984-1997
1998-1999
48569 3.39
94150 -0.75
325738 12.9
8570 19.26 3.58
16294 17.31 -1.99
47759 15.5 11.1
10409 19.28 5.04
24079 25.57 0.4
91241 27.6 12.3
9989 11.21
15650 0.86
23559 3.75
1428 17.55 14.76
1027 6.62 -6.49
710 2.9 6.6
6416 62.35 11.69
12324 78.61 2.79
9777 41.5 0.4
73590 0.76
88730 0.35
91152 0.04
38284 0.36
39376 0.5
30695 0.2
7605 1.05
10685 1.47
11484 -1.0
Output a. PDB Nominal - Nilai (Miliar Rp) - Pertumbuhan (%/thn) b. PDB Pertanian - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) c. PDB Industri - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) Investasi a. Investasi Total - Nilai (Miliar Rp) - Pertumbuhan (%/thn) b. Investasi sektor Pertanian - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) c. Investasi sektor Industri - Nilai (Miliar Rp) - Share (%) - Pertumbuhan (%/thn) Penyerapan Tenaga Kerja a. Total Penyerapan Tenaga Kerja - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn) b. Penyerapan TK sektor Pertanian - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn) c. Penyerapan TK sektor Industri - Jumlah (ribu orang) - Pertumbuhan (%/thn)
2000-2005
Kondisi ini terjadi berkemungkinan karena liberalisasi perbankan mendorong
terbentuknya
struktur
industri
perbankan
oligopolis
yang
menimbulkan kesulitan bagi pelaku ekonomi di sektor pertanian untuk memperoleh kucuran kredit sebagai sumber permodalan usaha mengingat
88
keterbatasan petani dalam pemenuhan persyaratan perbankan, kurangnya akses informasi dan rendahnya tingkat pendidikan. Padahal dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menjadi mata pencaharian 38 juta orang penduduk, sedangkan sektor industri hanya menyerap tenaga kerja seperlimanya sektor pertanian yaitu sekitar 7.6 juta orang. Bahkan sepanjang tahun 2005, sektor industri mengalami ekonomi biaya tinggi dengan kenaikan input produksi sehingga mendorong pelaku usaha sektor industri untuk melakukan efisiensi yang salah satunya diupayakan melalui pengurangan tenaga kerja. Hal ini tercermin dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini yang negatif 1 persen.