III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil mencakup wilayah Indonesia dengan basis analisis pada masing-masing sektor yang menjadi objek penelitian yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor lainnya. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series. Deret waktu data yang digunakan adalah triwulanan pertama 1984 sampai triwulan empat tahun 2005. Data diperoleh dari dua sumber utama yaitu Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistika. 3.3. Spesifikasi Model Model dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil disusun dalam sistem persamaan simultan dalam tiga blok yaitu blok moneter,
blok
transmisi moneter ke sektor riil dan blok kinerja sektor riil. Secara rinci model yang disusun adalah sebagai berikut: A. Blok Moneter Suku Bunga IR = a10 + a11MB +a12RR+ a13 ISBI + a14 PDB+ a15 DKM+ a16 DBI + e01 ..(1) dimana: IR = Suku Bunga Deposito 1 tahun (persen) MB = Uang Primer (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) ISBI = Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 bulan (persen) PDB = Produk Domestik Bruto (milyar rupiah) DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: a12, a13, a14, a15 , a16 >0 a11 < 0
64
Nilai Tukar ER = b10 + b11 IR + b12 ILN+ b13 DKM+ b14 DBI + e02
……(2)
dimana: ER = Nilai Tukar (US$/Rp) IR = Suku Bunga riil Indonesia (persen) ILN = Suku Bunga Luar Negeri/SIBOR (persen) DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: b11, b13, b14 >0 b12 < 0 Alokasi Kredit Sektor Pertanian ACSPT = c10 + c11 IRC + c12 DPK + c13 RR + c14 LACSPT + c15 DKM + c16 DBI + c03
……(3)
dimana: ACSPT = Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSPT = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Pertanian DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia c11 , c13, c15 , c16 < 0 Hipotesis: c12, c14 >0 Alokasi Kredit Sektor Industri ACSI = d10 + d11 IRC + d12 DPK + d13 RR + d14 LACSI + d15 DKM + d16 DBI + d04 dimana: ACSI = Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSI = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Industri DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia d11 , d13, d15 , d16 < 0 Hipotesis: d12, d14 >0
……(4)
65
Alokasi Kredit Sektor Lainnya ACSL = e10 + e11 IRC + e12 DPK + e13 RR + e14 LACSL + e15 DKM + e16 DBI + e05
……(5)
dimana: ACSL = Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah) IRC = Suku Bunga Kredit (persen) DPK = Dana Pihak Ketiga (milyar rupiah) RR = Giro Wajib Minimum (persen) LACSL = Lag (t-1) Alokasi Kredit Sektor Lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia e11 , e13, e15 , e16 < 0 Hipotesis: e12, e14 >0 B. Blok Transmisi Moneter ke Sektor Riil Investasi InvSPT = f10+ f11 IR + f12 ACSPT +f13GPDBSPT+ f14LINVSPT+ f15 DKM + e6 InvSI
…………(6)
= g10+ g11 IR + g12 ACSI +g13GPDBSI+ g14LINVSI+ g15 DKM + e7
…………(7)
InvSL = h10+ h11 IR + h12 ACSL +h13GPDBSL+ h14LINVSL+ h15 DKM + e8 InvTotal = InvSPT+InvSI+InvSL
…………(8) ….........(9)
dimana: InvSPT
=
Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian (milyar rupiah) InvSI = Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri (milyar rupiah) InvSL = Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya (milyar rupiah) IR = Suku Bunga (persen) ACSPT = Alokasi Kredit Sektor Pertanian (milyar rupiah) ACSI = Alokasi Kredit Sektor Industri (milyar rupiah) ACSL = Alokasi Kredit Sektor Lainnya (milyar rupiah) GPDBSPT = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (milyar rupiah) GPDBSI = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri (milyar rupiah) GPDBSL = Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya (milyar rupiah) LINVSPT = Lag (t-1) Investasi Sektor Pertanian LINVSI = Lag (t-1) Investasi Sektor Industri LINVSL = Lag (t-1) Investasi Sektor Lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter Hipotesis: f12 , f13, f14, g12 , g13, g14, h12 , h13, h14 >0 f11 , f15, g11 , g15, h11 , h15 < 0
66
GPDBSPT = PDBSPT - LPDBSPT
............(10)
GPDBSI
= PDBSI - LPDBSI
............(11)
GPDBSL
= PDBSL - LPDBSL
............(12)
dimana: GPDBSPT = GPDBSI = GPDBSL = PDBSPT = PDBSI PDBSL LPDBSPT LPDBSI LPDBSL
= = = = =
Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tambahan Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar rupiah) Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah) Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah) Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya
Ekspor VXSPT = i10+i11 INFL+i12ER+ i13PDBSPT+i14LVXSPT + i15DKM+e11 VXSI
.........(13)
= j10+j11 INFL+ j12 ER+ j13 PDBSI+ j14LVXSI + j15DKM +e12
.........(14)
VXSL = k10+k11 INFL+ k12ER+k13 PDBSL+k14LVXSL + k15DKM +e13 VX
= VXSPT+VXSI+VXSL
.........(15) .........(16)
dimana: VXSPT = Ekspor Sektor Pertanian (milyar rupiah) VXSI = Ekspor Sektor Industri (milyar rupiah) VXSL = Ekspor Sektor lainnya (milyar rupiah) INFL = Inflasi (persen) ER = Nilai Tukar (US$/Rp) PDBSPT = Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (milyar rupiah) PDBSI = Produk Domestik Bruto Sektor Industri (milyar rupiah) PDBSL = Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya (milyar rupiah) = Lag (t-1) Ekspor Sektor Pertanian LXSPT = Lag (t-1) Ekspor Sektor Industri LXSI = Lag (t-1) Ekspor Lainnya LXSL DKM = Dummy Krisis Moneter Hipotesis: i11, i12, i13, i14, i15, j11, j12, j13, j14, j15, k11, k12, k13, k14, k15 >0
67
C. Blok Kinerja Sektor Riil Produk Domestik Bruto PDBSPT = l10+l11LASPT+l12INVSPT+l13LPDBSPT+l14DKM+ l15DBI+e15
......(17)
= m10+m11LASI+m12INVSI+m13LPDBSI+m14DKM+ m15DBI+e16 ..... (18)
PDBSI
PDBSL = n10+n11LASL+n12INVSL+n13LPDBSL+n14DKM+ n15DBI+e17
..... (19)
PDB
......(20)
= PDBSPT + PDBSI + PDBSL
dimana: PDBSPT
=
Produk Domestik Bruto sektor Pertanian (milyar rupiah) PDBSI = Produk Domestik Bruto sektor Industri (milyar rupiah) PDBSL = Produk Domestik Bruto sektor lainnya (milyar rupiah) LASPT = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Pertanian (ribu orang) LASI = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Industri (ribu orang) LASL = Penyerapan Tenaga Kerja sektor Lainnya (ribu orang) INVSPT = Investasi yang disetujui untuk Sektor Pertanian (milyar rupiah) INVSI = Investasi yang disetujui untuk Sektor Industri (milyar rupiah) INVSL = Investasi yang disetujui untuk Sektor Lainnya (milyar rupiah) LPDBSPT = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Pertanian LPDBSI = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor Industri LPDBSL = Lag (t-1) Produk Domestik Bruto sektor lainnya DKM = Dummy Krisis Moneter DBI = Dummy Independensi Bank Indonesia Hipotesis: l11, l12, l13, l14, l15, m11, m12, m13, m14, m15, n11, n12, n13, n14, n15 >0 Penyerapan Tenaga Kerja LASPT = o10+o11WSPT+ o12 GPDBSPT+o13LLASPT + e19
....(21)
= p10+p11WSI+ p12 GPDBSI+p13LLASI+e20
....(22)
LASI
LASL = q10+q11WSL+ q12 GPDBSL+q13LLASL + e21
....(23)
LA
....(24)
= LASPT + LASI + LASL
dimana: LA LASPT
= =
LASI
=
LASL
=
Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri (ribu orang) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya (ribu orang)
68
WSPT
=
WSI WSL
= =
Tingkat Upah Riil Sektor Pertanian (rupiah per bulan) Tingkat Upah Riil Sektor Industri (rupiah per bulan) Tingkat Upah Riil Sektor Lainnya (rupiah per bulan)
GPDBSPT =
Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Pertanian GPDBSI = Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Industri GPDBSL = Perkembangan Produk Domestik Bruto sektor Lainnya LLASPT = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja sektor Pertanian LLASI = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri LLASL = Lag (t-1) Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya o11, p11, q12, < 0 Hipotesis: o12, o13, p12, p13, q12, q13 >0
Tingkat Pengangguran U = SL – LA
....(25)
dimana: U SL LA
= = =
Jumlah Pengangguran (ribu orang) Angkatan Kerja (ribu orang) Total Penyerapan Tenaga Kerja (ribu orang)
Identifikasi dan Metode Estimasi Sebelum
melakukan
metode
pendugaan
model,
suatu
model
ekonometrika persamaan struktural simultan memerlukan identifikasi model. Model persamaan struktural dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan (Koutsoyiannis, 1997). Metode order condition tersebut adalah: (K-M) > (G-1) dimana: K
=
M
=
G
=
Total variabel dalam model yaitu variabel endogen dan variabel pre determined Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam suatu persamaan tertentu dalam model Jumlah variabel endogen dalam model
69
Kondisi suatu persamaan dalam model mengikuti metode order condition adalah sebagai berikut (K-M) > (G-1)
:
(K-M) < (G-1)
:
(K-M) = (G-1)
:
persamaan yang bersangkutan teridentifikasi berlebih (over identified) persamaan yang bersangkutan tidak diidentifikasi (unidentified) persamaan yang bersangkutan dapat diidentifikasi secara tepat (exactly identified)
agar parameter-parameter dapat diduga maka setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified Suatu persamaan yang teridentifikasi akan memenuhi rank condition jika dan hanya jika memungkinkan minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural yang tidak termasuk dalam persamaan. Jumlah persamaan pada model ekonometrika yang telah disusun sebanyak 25 persamaan yang terdiri atas 8 persamaan identitas dan 17 persamaan struktural. Jumlah seluruh variabel dalam model adalah 52 variabel. Sementara jumlah variabel dalam satu persamaan tidak ada yang melebihi 6 buah variabel sehingga semua persamaan dalam model ini bersifat over identified. Suatu persamaan yang teridentifikasi berlebih diduga dengan metode Two Stage Least Square (2 SLS) yang didasarkan pada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan model yaitu analisis struktural dan evaluasi kebijakan. Selain itu sampel data yang tersedia relatif kecil dan tidak sensitif terhadap modifikasi model baik untuk analisis struktural maupun analisis simulasi. Perhitungan pendugaan parameter persamaan struktural dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS/ETS versi 8.0 (Statistical Analysis System/Econometric Time Series). Uji serial korelasi (autocorrelation) dengan menggunaka uji DurbinWatson Statistic tidak valid dalam persamaan simultan jika model mengandung
70
lagged endogeneous variables. Oleh karena itu untuk menguji adanya serial korelasi digunakan uji Durbin h statistik dengan rumus sebagai berikut: h = (1-0.5 DW ) (T/(1-T(Var Bhart))0.5 dimana: h T Var Bhart DW
= = = =
Angka statistik Durbin-H Jumlah pengamatan contoh Varians dari koefisien variabel beda kala Nilai statistik Durbin Watson
Suatu persamaan tidak mengalami masalah serial korelasi bila nilai mutlak h hitung lebih kecil dari nilai mutlak tabel. Pada taraf nyata 5% suatu persamaan tidak mengalami serial korelasi jika hhit < 1.96. Nilai statistik durbin h tidak akan diperoleh jika hasil kali T dan var βlag lebih besar dari 1 karena akan diperoleh nilai penyebut yang negatif sehingga nilai akarnya tidak dapat didefinisikan. 3.4. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu RMSE (Root Mean Squares Error), RMSPE (Root Mean Squares Percent Error) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Nilai RMSE yang kecil atau rendah adalah ukuran yang diinginkan dari ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu peubah terhadap nilai aktualnya dalam persen.
Sedangkan koefisien
ketidaksamaan Theil digunakan untuk simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien determinasi). Makin kecil RMSE, RMSPE, U serta makin besar R2 maka model
71
semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0 maka pendugaan model sempurna dan sebaliknya. 3.5. Simulasi Model Simulasi antara lain bertujuan untuk : (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, (2) mengevaluasi kebijakan pada masa lampau, dan (3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation).
Skenario simulasi yang akan dilakukan dalam
penelitian ini adalah goncangan beberapa variabel pada jalur transmisi yaitu cadangan wajib (giro) minimum perbankan, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan alokasi kredit. Penurunan Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75 menjadi 10.25
dan pada 7 Desember 2006, BI kembali memutuskan
menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam persentase penurunan yang sama.
Keputusan tersebut diambil setelah
melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk upaya pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007. Keputusan tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan.
72
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia sejak Juni 2005 dari sebelumnya menggunakan uang primer (base money) menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi.
Keuntungan lain menggunakan suku bunga
adalah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi aset
masyarakat
karena
masyarakat
bisa
menganalisis
dananya
akan
ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat (Halim, 2005). Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi. Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu BI menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau
73
berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen. Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan UMKM.
Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada
UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance Cooperation (IFC)- World Bank tentang “Access to Finance for SME’s in Indonesia”. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD 100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun 2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan BI, 2006).