V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja moneter difokuskan analisis faktor-faktor penentu suku bunga, nilai tukar dan alokasi kredit. Hasil analisis masing-masing variabel moneter tersebut disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga menjadi penting diketahui terkait dengan perubahan target operasional oleh Bank Indonesia dari sebelumnya uang primer menjadi suku bunga.
Dalam
keyakinan
Liquidity
Preference Framework, perubahan suku bunga dapat dipahami dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang.
Dalam analisis ini, variabel uang primer, giro wajib
minimum dan suku bunga SBI dikelompokkan dalam faktor yang berpengaruh terhadap uang beredar, sedangkan Produk Domestik Bruto menjadi variabel yang mempengaruhi permintaan uang. Berdasarkan Tabel 7, uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI berpengaruh nyata terhadap suku bunga pasar. Dari arah parameter, uang primer mempengaruhi suku bunga dalam arah negatif yang artinya peningkatan uang primer menurunkan suku bunga riil. Sementara itu, peningkatan giro wajib miniumum dan peningkatan suku bunga SBI berpengaruh positif terhadap suku bunga.
Artinya, peningkatan giro wajib minimum menyebabkan jumlah
cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan jumlah uang beredar menjadi lebih rendah dan akhirnya meningkatkan
90
suku bunga riil. Demikian pula dengan peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) akan mendorong masyarakat menyimpan uang dalam SBI sehingga menurunkan uang beredar dan akhirnya meningkatkan suku bunga pasar.
Hasil ini mendukung langkah Bank Indonesia menjadikan suku bunga
pasar sebagai target operasional karena tingginya hubungan suku bunga pasar dengan uang primer, giro wajib minimum dan suku bunga SBI. Produk Domestik Bruto sebagai variabel yang mempengaruhi suku bunga dari sisi permintaan uang berpengaruh nyata terhadap suku bunga dengan arah yang positif. Artinya peningkatan produk domestik bruto yang mencerminkan kondisi perekonomoian yang lebih baik meningkatkan permintaan uang oleh masyarakat dan selanjutnya dengan jumlah uang beredar yang tetap akan meningkatkan suku bunga pasar. Tabel 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercep MB
Parameter Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas
33.7111
<.0001
-0.0005
0.0001
-0.0005
Uang Primer
RR
Giro Wajib Minimum
0.6348
0.0002
-0.2144
ISBI
Suku Bunga SBI
0.0098
0.0842
0.0108
PDB DKM DBI
Produk Domestik Bruto Dummy Krisis Moneter Dummy Independensi BI
0.0001 4.5057 4.8697
0.0465 0.0515 0.0292
0.4080
R2 = 0.98347;
1st Order Autocorrelation = 0.463326
Dummy krisis ekonomi dalam analisis ini ternyata berpengaruh nyata terhadap suku bunga dengan kecenderungan tingginya suku bunga sejak krisis ekonomi. Demikian pula independensi Bank Indonesia yang memiliki pengaruh positif terhadap suku bunga riil yang artinya terjadi kecenderungan peningkatan suku
bunga
riil
sejak
berlakunya
independensi
Bank
Indonesia
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas likuiditas dalam perekonomian.
yang
91
Tabel
8
menyajikan
hasil
analisis
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi nilai tukar dimana nilai tukar didefinisikan sebagai rasio dollar terhadap rupiah. Dari model yang dibangun, suku bunga berpengaruh nyata terhadap nilai tukar dengan arah paremeter yang positif. Artinya peningkatan suku bunga domestik akan mendorong peningkatan aliran dana masuk (capital inflow) sehingga kebutuhan rupiah meningkat dan mendongkrak nilai rupiah (apresiasi rupiah) sehingga nilai tukar dollar terhadap rupiah akan meningkat. Namun dilihat dari nilai elastisitasnya, variabel nilai tukar kurang responsif terhadap perubahan suku bunga pasar. Dua variabel lain yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah krisis moneter dan independensi Bank Indonesia dengan arah yang positif. Artinya, selama priode krisis moneter dan independensi Bank Indonesia, terjadi depreasiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar. Depresiasi nilai tukar selama krisis ekonomi dipicu oleh tindakan penarikan dana oleh investor asing secara besarbesaran karena ketidakpercayaan terhadap kondisi perekonomian saat itu dan meskipun sejak independensi Bank Indonesia telah terjadi perbaikan nilai tukar namun dibandingkan periode sebelum tahun 1997, nilai rupiah relatif masih lemah. Tabel 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercep
Parameter Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas
2150.69
0.0036
28.7738
0.4059
-0.1054
-16.85512
0.8436
0.0214
IR
Suku bunga Domestik
ILN
Suku bunga Luar Negeri
DKM
Dummy Krisis Moneter
5746.579
<.0001
DBI
Dummy Independensi BI
7310.434
<.0001
R2 = 0.85152 ; 1st Order Autocorrelation = 0.516384
92
Alokasi kredit oleh perbankan merupakan salah satu bentuk penggunaan dana yang dalam neraca perbankan menjadi komponen aset dan merupakan wujud peran intermediasi yang dijalankan perbankan dalam mendukung perekonomian. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi kredit kepada sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercept
Parameter Dugaan
Elastisitas Prob>ITI
3236.762
0.0073
Jangka Pendek
Jangka Panjang
IRC
Suku Bunga Kredit
-58.6362
0.0739
-0.0794
-0.3660
DPK
Dana Pihak Ketiga
0.020661
0.0111
0.0875
0.4037
RR
Giro Wajib Minimum Lag Alokasi Kredit Sektor Pertanian
-91.3100
0.0583
-0.0417
-0.1925
0.783199
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-110.307
0.8306
DBI
Dummy Independensi BI
-2277.51
0.0003
LACSPT
R2 = 0.95523 ;
1st Order Autocorrelation = -0.2948
Penyaluran kredit kepada sektor pertanian dipengaruhi oleh suku bunga kredit dengan arah berlawanan.
Artinya suku bunga yang lebih tinggi akan
menurunkan jumlah kredit yang disalurkan karena suku bunga menjadi biaya bagi peminjam sehingga suku bunga yang mahal menurunkan permintaan kredit dan akhirnya menurunkan jumlah kredit yang disalurkan. Selain suku bunga, dua variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap alokasi kredit kepada sektor pertanian adalah dana pihak ketiga (DPK) dan giro wajib minimum. Arah parameter DPK yang positif yang menunjukkan bahwa peningkatan DPK mendorong peningkatan alokasi kredit pada sektor pertanian karena dana pihak ketiga merupakan salah satu sumber dana (likuiditas) perbankan sehingga jumlah DPK yang lebih besar mendorong perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya dengan harapan memperoleh pendapatan yang lebih besar.
93
Sebaliknya giro wajib minimum mempengaruhi alokasi kredit dalam arah yang berlawanan dimana peningkatan giro wajib minimum akan menurunkan jumlah cadangan yang dipegang perbankan bank untuk menutupi giro sehingga bank cenderung menurunkan jumlah penyaluran kredit untuk meningkatkan cadangan. Berdasarkan hasil analisis, Independensi Bank Indonesia ternyata kurang mendukung peningkatan penyaluran kredit kepada sektor pertanian karena arah parameter dummy independensi BI yang negatif mengindikasikan bahwa Independensi Bank Indonesia mengurangi keleluasaan BI dalam mengatur penyaluran kredit oleh perbankan umum khususnya kredit bagi sektor riil sehingga terjadi kecenderungan merosotnya jumlah penyaluran kredit untuk sektor pertanian Tabel 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri, Tahun 2005
Variabel
Uraian
Intercept
Parameter Dugaan
Prob>ITI
23358.85
0.0056
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
IR
Suku Bunga Kredit
-789.237
0.0044
-0.2439
-0.9097
DPK
Dana Pihak Ketiga
0.108753
0.0173
0.1052
0.3924
RR
-319.742
0.2305
-0.0334
-0.1244
LACSI
Giro Wajib Minimum Lag Alokasi Kredit Sektor Pertanian
0.731871
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-425.512
0.8993
DBI Dummy Independensi BI -8242.48 2 st R = 0.92377; 1 Order Autocorrelation = -0.25423
0.0078
Keragaaan yang sama terlihat pula pada alokasi kredit sektor industri dimana suku bunga kredit dan giro wajib minimum berpengaruh negatif sedangkan dana pihak ketiga berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit kepada sektor industri. Bahkan dalam jangka panjang, nilai elastisitas suku bunga mendekati satu (0.9097) yang menunjukkan bahwa jumlah kredit yang
94
disalurkan kepada sektor industri sangat responsif terhadap perubahan suku bunga. Hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit ini menggambarkan bahwa jalur kredit khususnya jalur pinjaman bank melalui penetapan giro wajib minimum efektif mempengaruhi alokasi kredit kepada sektor riil dimana ekspansi penyaluran kredit dapat diupayakan melalui penurunan giro wajib minimum yang disimpan bank umum pada Bank Indonesia dan sebaliknya. Namun dalam operasionalnya, kebijakan moneter ini menjadi kurang efektif jika suku bunga kredit masih tinggi karena mengurangi minat sektor riil mengingat mahalnya biaya modal yang harus ditanggung. 5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil Kinerja sektor riil dalam bahasan berikut ini dilihat dari empat indikator yaitu investasi, ekpor, produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja. Analisis setiap indikator kinerja ini dibedakan antara sektor pertanian dan sektor industri dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku teknologi yang khas oleh dua sektor produksi ini. Tabel 11 menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pada sektor pertanian dan industri. Investasi pada sektor pertanian dan sektor industri dipengaruhi oleh suku bunga dan arah parameter yang negatif menunjukkan bahwa suku bunga yang tinggi akan menurunkan nilai investasi pada kedua sektor.
Alasannya adalah suku bunga merupakan biaya modal bagi pelaku
ekonomi sehingga biaya modal yang lebh tinggi menurunkan minat berinvestasi. Dari nilai elastisiitasnya tampak bahwa dalam jangka panjang variabel suku bunga ini memiliki nilai elastisitas sebesar 1.1817 yang menunjukkan bahwa investasi pada sektor pertanian sangat responsif terhadap perubahan suku bunga. Dikaitkan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter, maka hasil ini
95
menunjukkan bahwa jalur tranmisi melalui suku bunga bekerja efektif dalam mempengaruhi aktivitas investasi pada sektor riil dimana otoritas moneter dapat mendukung upaya perbaikan investasi melalui penciptaan suku bunga yang murah. Tabel 11.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005
Sektor/Variabel
Uraian
Parameter Dugaan
Prob>ITI
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Pertanian Intercept
-261.157
0.3034
IR
Suku Bunga
-9.55172
0.194
-0.5583
-1.1817
ACSPT
3263.967
0.101
0.2577
0.0011
GPDBSPT
Alokasi Kredit Sektor Pertanian Perkembangan PDB sektor Pertanian
0.074038
0.086
0.0009
0.0009
LINVSPT
Lag Investasi Sektor Pertanian
1.002156
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-44.7899
0.5961
-1716.82
0.5101
IR
Suku Bunga
-186.033
0.0037
-0.1685
-0.1707
ACSI
5663.908
0.2695
0.4669
0.4730
GPDBSI
Alokasi Kredit Sektor Industri Perkembangan PDB sektor Industri
0.11021
0.4246
0.0080
0.0081
LINVSPT
Lag Investasi Sektor Industri
0.099208
<.0001
-999.429
0.1661
Industri Intercept
DKM
Dummy Krisis Moneter
R2 = 0.98145; R2 = 0.83942;
1st Order Autocorrelation 1st Order Autocorrelation
= -0.11701 = 0.06518
Faktor lain yang menjadi pertimbangan pelaku usaha dalam perencanaan investasi adalah alokasi kredit karena sampai saat ini sebagian besar pembiayaan sektor produksi masih tergantung pada kredit. Kondisi ini tampak jelas pada sektor pertanian dimana variabel kredit berpengaruh nyata terhadap investasi sektor pertanian dengan arah yang positif. Artinya, peningkatan jumlah kredit yang disalurkan pada sektor pertanian berpotensi meningkatkan investasi pada sektor tersebut.
Sedangkan pada sektor industri, signifikansi pengaruh
kredit terhadap investasi terlihat pada taraf kepercayaan 30 persen. Hasil ini menjadi gambaran bahwa jalur transmisi melalui kredit bekerja efektif dalam
96
mempengaruhi investasi sektor pertanian sehingga prioritas penyaluran kredit bagi sektor pertanian tetap dibutuhkan. Variabel lain yang berpengaruh juga terhadap investasi pada sektor pertanian adalah perkembangan produksi sebagai potensi ekonomi di sektor tersebut. Arah parameternya mengindikasikan bahwa tambahan output sektor pertanian mendorong minat pelaku usaha untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian karena adanya potensi ekonomi yang lebih baik. Kinerja sektor riil juga dapat diamati dari kinerja ekspor. Sebagaimana disajikan pada Tabel 12,
kinerja ekspor sektor pertanian dan sektor industri
memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Ekspor sektor pertanian dipengaruhi hanya oleh tingkat produksi sektor tersebut dengan arah yang positif. Hal ini terjadi berkemungkinan karena output sektor pertanian relatif spesifik dan memiliki keunggulan komparatif sehingga peningkatan ekspor sangat responsif terhadap peningkatan produksi sektor itu sendiri. Sedangkan variabel yang dominan mempengaruhi ekspor sektor industri adalah inflasi.
Dari arah
parameternya diketahui bahwa peningkatan inflasi yang mencerminkan kenaikan harga barang-barang menurunkan nilai ekspor karena harga barang ekspor menjadi lebih mahal dan menurunkan daya saing produk ekspor sektor industri di pasar dunia.
Disamping itu, harga domestik yang lebih tinggi menarik minat
investor untuk mengurangi volume ekspor karena lebih memilih pasar dalam negeri. Satu fenomena yang menarik dari analisis ini adalah nilai tukar yang menjadi variabel transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga aset ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap eskpor sektor pertanian dan ekspor sektor industri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa transmisi moneter melalui
jalur harga aset yaitu efek nilai tukar tidak bekerja optimal dalam mendorong kinerja ekspor sektor riil.
97
Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005 Variabel
Uraian
Elastisitas
Parameter Dugaan
Prob>ITI
87.0600
0.166
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Pertanian Intercept INFL
Inflasi
0.0659
0.987
0.0381
-0.1450
ER
Nilai Tukar
0.0032
0.731
0.0161
-0.0612
PDBSPT
Produksi sektor pertanian
0.0056
0.060
0.0587
0.2234
LVXSPT
Lag Ekspor sektor Pertanian
DKM
Dummy Krisis Moneter
0.7879
<.0001
51.3417
0.248
222.3393
0.0798
Industri Intercept INFL
Inflasi
ER
Nilai Tukar
PDBSI
Produksi sektor industri
LVXSI
Lag Ekspor sektor industri
DKM
Dummy Krisis Moneter
-36.8204
0.0438
-0.0574
-0.6506
0.0176
0.5686
0.0114
-0.1297
0.010835
0.5955
0.0566
0.6415
0.979397
<.0001
168.2534
0.4174
produksi
dalam
2
1 Order Autocorrelation = 0.062607
2
1 Order Autocorrelation = 0.022181
R = 0.64275; R =0.97670;
st st
Produk
Domestik
Bruto
menunjukkan
tingkat
perekonomian dimana analisis faktor-faktor yang mempengaruhinya disajikan pada Tabel 13.
Pada sektor pertanian, tenaga kerja berpengaruh negatif
terhadap produksi sedangkan investasi yang menjadi cerminan kapital berpengaruh positif terhadap tingkat produksi sektor pertanian.
Hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian saat ini sudah berlebih sehingga penambahan tenaga kerja hanya akan menurunkan jumlah produksi. Selanjutnya arah parameter investasi yang positif menunjukkan bahwa peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan dengan menambah investasi modal/kapital. Dikaitkan dengan hasil analisis pada Tabel 11, maka kebijakan moneter yang dapat diupayakan untuk menstimulasi peningkatan produksi sektor pertanian melalui investasi kapital/modal adalah
98
melalui penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian. Pada sektor industri, variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi dengan arah yang positif.
Hasil ini sangat terkait dengan struktur
industri di Indonesia yang sebagian besar adalah industri kecil dan industri rumah tangga sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan meningkatkan total produksi. Disamping itu, produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang biasanya dipekerjakan di sektor industri memang relatif lebih baik sehingga mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap peningkatan produksi.
Dalam
jangka panjang, variabel tenaga kerja ini bahkan sangat elastis sehingga tingkat output sektor industri sangat responsif terhadap perubahan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri. Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian, Tahun 2005
Variabel Pertanian
Uraian
Parameter Dugaan
Intercept
Prob>ITI
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
5705.806
0.0062
LACSPT
Penggunaan Tenaga Kerja
-0.11815
0.0226
0.0099
0.0478
INVSPT
Investasi
0.429825
0.0003
0.0741
0.3588
LPDBSPT
Lag Produksi Sektor Pertanian
0.673881
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
997.0357
0.0051
DBI Industri
Dummy Independensi BI
2070.318
0.0001
-3861.53
0.0212
Penggunaan Tenaga Kerja
0.713666
0.0248
0.6336
2.7661
0.0018
0.0078
Intercept LACSI INVSI
Investasi
-0.00053
0.9926
LPDBSI
Lag Produksi Sektor Industri
0.873862
<.0001
DKM
Dummy Krisis Moneter
-602.237
0.4429
Dummy Independensi BI
-717.391
0.4449
DBI R2 =
0.97252;
1st Order Autocorrelation =
-0.13836
R2 = 0.98084;
1st Order Autocorrelation =
0.098572
99
Peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu tujuan akhir pembangunan nasional sehingga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja masing-masing sektor produksi menjadi sangat penting. Performan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005
Variabel
Parameter Dugaan
Uraian
Prob>ITI
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Pertanian Intercept WSPT
Upah sektor pertanian Perkembangan PDB sektor Pertanian Lag Penyerapan TK sektor pertanian
GPDBSPT LLASPT
1216.285
0.4699
-0.00228
0.1973
-0.0098
-0.4788
-0.15609
0.4012
-0.0001
-0.0054
0.982622
<.0001
-189.889
0.2035
-0.001481
0.0123
0.0392
3.4844
0.011347
0.3172
0.0004
0.0363
0.988634
<.0001
Industri Intercept WSPT
Upah sektor industri
GPDBSPT
Perkembangan PDB sektor Industri Lag Penyerapan TK sektor Industri
LLASPT R2 = 0.88810; R2 = 0.99509;
1sOrder Autocorrelation = -0.01519 1s Order Autocorrelation = 0.692474
Pada sektor pertanian, upah menjadi faktor yang berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja dengan arah yang negatif dimana semakin murah upah tenaga kerja yang dibayarkan, maka semakin banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan
teknologi produksi sektor pertanian yang padat tenaga kerja sehingga penurunan upah menjadi sinyal baik pelaku usaha pertanian untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja. Fenomena yang sama juga terlihat pada sektor industri dimana upah yang lebih rendah akan mendorong penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak. Bahkan dalam jangka panjang, penyerapan tenaga kerja sektor industri
ini
sangat
responsif
terhadap
perubahan
upah
sebagaimana
100
diindikasikan dari nilai elastisitas sebesar 3.48.
Variabel lain yang juga
berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja oleh kedua sektor adalah lag penyerapan tenaga kerja periode sebelumnya yang mengindikasikan bahwa keputusan penambahan atau pengurangan penggunaan tenaga kerja oleh sektor riil mempertimbangkan kondisi periode sebelumnya.