narasumber serta rangkaian diskusi, lokakarya, dan pertemuan yang pernah diikuti. 3.4 Metode Analisis Kajian Elaborasi terhadap data dan informasi yang telah terhimpun dirangkum dalam tiga tahapan utama, yaitu: a. Identifikasidan Analisis Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Identifikasi ini dilakukan melalui FGD, lokakarya, serta studi dokumentasi.Hasil dari identifikasi ini berupa data kegiatan penurunan emisi dari berbagai sektor yang dapat dikategorikan berdasarkan aspek MRV yang ada, untuk kemudian diambil satu contoh kegiatan untuk dianalisis dan dielaborasi lebih lanjut. b. Analisis Pengembangan dan Penerapan Measurable, Reportable and Verifiable (MRV) Salah satu kegiatan yang dianalisis pada tahapan sebelumnyaakandievaluasi sesuai dengantahapan dari MRV, yaitumetodologi pengukuran emisi yang dilakukan proses pembuatan laporan dan mekanisme pelaporan, serta tahapan verifikasi dari kegiatan yang dilakukan. Sejalan dengan penyusunan sistem MRV nasional, DNPI telah melakukan berbagai inisiatif dalam pengembangan sistem MRV dari salah satu kegiatan RAN-GRK yang ada.Sehingga secara keseluruhan pada tahapan ini, teknik yang dilakukan adalah wawancara, diskusi kelompok, serta mengikuti beberapa lokakarya yang diselenggarakan oleh DNPI dan instansi terkait lainnya. c. Tantangan dalam Pembangunan dan Pengembangan MRV Penerapan MRV di Indonesia merupakan sesuatu yang baru, sehingga dalam proses pengembangannya masih terdapat berbagai kendala dan tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah aspekteknis dan kelembagaan MRV. Oleh karena itu, kajian yang dilakukan akan lebih mengelaborasi kedua aspek tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang
dikoordinasikan oleh Bappenas, merupakan kompilasi dari sasaran dan target penurunan emisi sebesar 26% dan 41% dari total proyeksi emisi pada tahun 2020 dari berbagai sektor (DNPI 2010b).Perhitungan target penurunan emisi pada RAN-GRK didasarkan pada data hasil laporan inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2000 dan 2005,yang kemudian diproyeksikan pada tahun 2020. Proyeksi emisi Indonesia pada tahun 2020 tersebutadalah sebesar 2,95 GtCO2e secara Business as Usual(BAU) – tidak dilakukan apa-apa/tanpa rencana aksi dari data emisi tahun 2000 sebesar 1,72 GtCO2e dan 2,12 GtCO2e pada tahun 2005(Bappenas 2010b), seperti yang terlihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Proyeksi berdasarkan 2010a).
emisi BAU
Indonesia (Bappenas
Dari data laporan inventarisasi dan hasil proyeksi tersebut, diketahui bahwa penyumbang emisi terbesar di Indonesia berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut, disusul dengan sektor energi dan transportasi, limbah, pertanian, dan sektor industri.Oleh karena itu,kelima sektor tersebut menjadi sektor-sektor yang diprioritaskandalam rencana aksi nasional yangdibangun.Adapun proporsi emisi dari masing-masing sektor beserta target penurunan emisinya dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa total target penurunan emisi yang terukur dari kelima sektor tersebut diperkirakan mencapai 0,767 GtCO2e untuk target 26% serta 0,422 GtCO2e untuk target 41%. Untuk merealisasikan target tersebut, Bappenas meminta masing-masing sektor menyusun program-program rencana aksi penurunan emisi hingga tahun 2020 mendatang. Program-program rencana aksi
6
Tabel 1 Target penurunan emisi Indonesia (Bappenas 2010c dengan perubahan) Sektor Kehutanan dan Lahan gambut Energi dan Transportasi Limbah Pertanian Industri Total
Rencana Penurunan Emisi Tahun 2020 (Gt CO2e) 15% 26% (total 41%)
Emisi Tahun 2000 (Gt CO2e)
Emisi Tahun 2005 (Gt CO2e)
Proyeksi Emisi Tahun 2020 (Gt CO2e)
1.19
1.48
2.09
0.672
0.367
0.28
0.37
0.49
0.038
0.018
0.16 0.05 0.04 1.72
0.17 0.05 0.05 2.12
0.25 0.06 0.06 2.95
0.048 0.008 0.001 0.767
0.030 0.003 0.004 0.422
Tabel 2 Rencana aksi pada RAN-GRK (Bappenas 2010c dengan perubahan) Sektor
Kehutanan dan Lahan gambut
Energi dan Transportasi Limbah Pertanian Industri
Rencana Aksi Pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan sistem jaringan dan tata air, rehabilitasi hutan dan lahan, HTI, HR, Pemberantasan illegal logging, pencegahan deforestasi, pemberdayaan masyarakat Penggunaan biofuel, mesin dengan standar efisiensi BBM lebih tinggi, memperbaiki TDM, kualitas transportasi umum dan jalan, demand site management, efisiensi energi, pengembangan energi terbarukan Pembangunan TPA, pengelolaan sampah dengan 3R dan pengolahan air limbah terpadu di perkotaan Introduksi varietas padi rendah emisi, efisiensi air irigasi, penggunaan pupuk organik Efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain Total rencana aksi
tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan prioritas dan urgensinya menjadi kegiatan inti dan kegiatan pendukung. Selain dilakukan pengelompokkan, untuk memudahkan proses pelaksanaan dan pengawasan dari rencana aksi tersebut, disusun berbagai indikator dalam matriks kegiatan. Indikator tersebut terdiri dari sasaran, volume kegiatan, periode pelaksanaan, lokasi kegiatan, biaya dan sumbernya, serta penanggung jawab dan atau pelaksana rencana aksi tersebut. Dari data rencana aksi inti dan pendukung (Tabel 2) tersebut, didapatkan bahwa sektor kehutanan dan lahan gambut memiliki 49% rencana aksi dari total rencana aksi yang ada (terdiri dari 25 rencana aksi inti dan 34 rencana aksi pendukung).Hal tersebut sesuai dengan kapasitas dari sektor kehutanan dan
Jumlah Rencana Aksi Inti Pendukung 25
34
20
14
3
3
7
2
4
8
59
61
lahan gambut yang selain sebagai pengemisi(emitter)yang signifikan baik di Indonesia maupun di tataran global, tetapi juga memiliki potensi terbesar dalam menyerap dan menyimpan karbon.Secara lebih khusus, bagian dari kehutanan yang mengemisikan GRK berasal dari alih tata guna lahan dan hutanserta dari lahan gambut. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, elaborasi dari kegiatan dalam RANGRK selanjutnya lebih mengarahkepada sektor kehutanan dan lahan gambut.Adapun strategi dari rencana aksi sektor kehutanan dan lahan gambut dalam RAN-GRK dibagi menjadi enam hal (Bappenas 2010c): 1. Peningkatan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK; 2. Penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK;
7
3. Perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok pembagi; 4. Penyetabilan elevasi muka air pada jaringan; 5. Optimalisiasi sumberdaya lahan dan air secara optimal tanpa melakukan deforestasi; 6. Penerapan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal. Apabila ditelaah lebih lanjut, rencana aksi bidang lahan gambut disusun semaksimal mungkin dari data dan informasi yang ada, mengingat adanya berbagai kendala terkait lahan gambut di Indonesia. Beberapa kendala yang dihadapi diantaranya adalah belum tersedianya data dan informasi yang akurat mengenai lahan gambut, kemampuan yang terbatas dari lahan gambut untuk mendukung kegiatan kehutanan atau pertanian di atasnya, konversi lahan gambut yang terus menerus terjadi untuk kegiatan non-kehutanan, dan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan yang berada di lahan gambut (Bappenas 2010a). Untuk mendukung rencana aksi dari lahan gambut tersebut, pemerintahsecara khusus membuat arah kebijakan penggunaan lahan gambut sebagai berikut (Bappenas 2010c): 1. Perbaikan dalam pengelolaan lahan gambut, baik yang berada dalam kawasan hutan maupun kawasan non-hutan; 2. Jika kawasan lahan gambut harus dibuka untuk kepentingan masyarakat, harus dilakukan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar dan pengelolaan air yang berkelanjutan; 3. Penerapan pengelolaan tanah (soil) dan rehabilitasi lahan gambut yang mengalami kerusakan melalui pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, rehabilitasi dan pengelolaan lahan gambut yang terlantar, pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dengan menerapkan peraturan perundangan yang berlaku; 4. Konsolidasi, review, dan revisi rencana tata ruang wilayah untuk mencari kemungkinan ‘land-use swap’ (pengalihan tata guna lahan) dari pemanfaatan lahan gambut ke areal non-lahan gambut (lahan mineral). Selain melalui kebijakan, pemerintah juga menyiapkan berbagai bentuk intervensi terkait pengelolaan lahan gambut. Bentuk intervensi tersebut diantaranya adalah: pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan gambut, rehabilitasi lahan gambut melalui reboisasi
dan penghijauan, pengaturan tata air secara integratif, serta pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut terlantar(Bappenas 2010c). 4.2 Konsep Measurable, Reportable and Verifiable(MRV) yang Berkembang di Indonesia Dalam pembangunan suatu sistem MRV nasional, aspek dasar yang perlu diperhatikan adalah mengenai data.Adanya pasokan data yang berkesinambungan dengan periode pelaporan yang konsisten dengan tingkat ketelitian dan kecermatan yang memadai merupakan syarat dari sistem MRV yang kokoh dan dapat dipercaya. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change– Panel antar pemerintah dalam perubahan iklim) telah memberikan arahan bagi setiap negara dengan berbagai tingkatan data yang digunakan, yang selanjutnya dikelompokkan kedalam tiga tingkatan (IPCC 2006): Tingkatan 1: perhitungan emisi yang didasarkan kepada data faktor emisi global/local default. Tingkatan 2: perhitungan emisi yang didasarkan kepada data pengukuran. Tingkatan 3: perhitungan emisi yang didasarkan kepada kombinasi data pengukuran aktivitas dan data perhitungan langsung. Setelah adanya kejelasan mengenai tingkatan data yang akan dipakai dalam sistem MRVyang sedang dibangun, langkah selanjutnya adalahmengembangkan konsep MRV secara keseluruhan. Konsep MRV yang menyeluruh tersebut meliputi cakupan kajian yang akan dimasukkan dalam sistem MRV, aspek teknisdan non-teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan sistem MRV, serta kesiapan kelembagaan yang mewadahi keseluruhan kegiatan yang terakomodasi dalam sistem MRV yang dibangun. Dalam proses analisis dan elaborasi dari data-data yang sudah terkumpul dari berbagai dialog dan kegiatan mengenai MRV yang dilakukan dan diikuti di DNPI, teridentifikasi empat proposal/konsep mengenai pengembangan dan penerapan MRV. Keempat proposal/konsep tersebutterdiri dari skema MRV yang akan dibangun, teknis pelaksanaan MRV di sektor tertentu hingga kepada usulan kelembagaan dari MRV. Proposal/konsep yang teridentifikasi tersebut dirumuskan olehkementerian/lembaga maupun universitas yang berkaitan dengan perubahan iklim (seperti terlihat di Tabel 3).
8
Tabel 3 Proposal/konsep pengembangan sistem MRV yang teridentifikasi Lembaga/Institusi
Dewan Nasional Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan Hidup
Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+
Hokkaido University
Usulan Proposal/Konsep MRV • Mekanisme penyusunan dan pelaporanMRV dilakukan melalui 3 tahapan: (i) pencatatan/inventarisasi emisi GRK, (ii) penyusunan rencana aksi, (iii) penyusunan NAMAs. • Adanya pembedaan mekanisme MRV untuk target penurunan emisi 26% dan 41%. • Pengembangan sistem MRV mencakup 3 sub-sistem: pengumpulan/akuisisi data, pengolahan/analisis data, pengembangan sistem pelaporan. • Mekanisme pelaporan MRV dalam kerangka inventarisasi GRK dilakukan melalui 3 tahapan: (i) inventarisasi dan proyeksi emisi GRK, (ii) perencanaan aksi mitigasi nasional, (iii) laporan pelaksanaan dan pencapaian. • Pembentukan Sistem Inventarisasi GRK Nasional (SIGN) dalam mendukung sistem MRV yang dibangun. • Pelaporan pelaksanaan dan pencapaian diakomodasi dalam National Communication. • Merumuskan 4 opsi kelembagaan MRV dengan tingkat independensinya. • Merumuskan struktur organisasi MRV. • Merumuskan sistem MRV yang komprehensif dan spesifik pada lahan gambut. • Menggunakan 3 tingkatan pengukuran yang detaildan saling terintegrasi pada tahapan pengukurannya, yaitu: lapisan terjauh (satelit), lapisan menengah (foto udara), dan di lapisan permukaan (pengukuran langsung).
Usulan proposal/konsep mengenai MRV yang dirangkum pada tabel 3 mengindikasikan bahwa setiap Kelemterian/Lembaga yang mengusulkan memiliki beberapa kesamaan visi dalam mengembangkan sistem MRV di Indonesia.Kesamaan visi tersebut adalah membentuk suatu sistem pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien serta dapat diterima pada tingkat internasional, dapat diterapkan dan diaplikasikan (feasible), dan memiliki tingkat independensi yang tinggi pada level kelembagaannya. Usulan dari masing-masing proposal/konsep mengenai MRV ini dijelaskan secara lebih lanjut pada sub bab ini. • Proposal/konsep MRV Dewan Nasional Perubahan Iklim Dalam mempersiapkan penyusunan dan pelaporan mengenai MRV, DNPI membuat tiga tahapan utama (gambar 3), yakni pencatatan/inventarisasi emisi, penyusunan rencana aksi, dan penyusunan NAMAs (pemilihan rencana aksi yang akan dikategorikan untuk masuk kedalam NAMAs unilateral atau NAMAs Supported). NAMAs unilateral merupakan upaya-upaya mitigasi domestik yang dilakukan dengan sumber daya sendiri, sedangkan untuk NAMAs Supported
aksi mitigasi yang dilakukan hanya akan berjalan apabila memperoleh dukungan pendanaan, alih teknologi, dan peningkatan kapasitas dari negara industri.Pada tahapan pencatatan emisi, emisi yang dihasilkan dari setiap kegiatan pembangunan dipersiapkan dan diinventarisasi untuk kemudian disusun berbagai potensi mitigasi yang dapat dilakukan beserta analisis pendukungnya.Setelah itu, dipilih aksi mitigasi mana yang masuk kedalam NAMAs.
Gambar 3 Elemen penting (DNPI 2010b).
dalam
MRV
Setelah aksi-aksi mitigasi terkelompokkan dalam NAMAs, penyusunan mekanisme
9
MRV untuk NAMAs unilateral dan supported secara garis besar adalah sama. Hal yang membedakan adalah adanya verifikasi pada National Communication secara internasional terkait dengan aksi mitigasi yang didanai secara internasional, seperti yang terlihat pada gambar 4 dan 5. Verifikasi yang dilakukan untuk NAMAs supported dilakukan secara terbuka dan bersifat internasional, kemudian hasil dari verifikasi tersebut dilaporkan kepada donor yang telah membantu dalam hal pendanaannya untuk dikoordinasikan dengan Bappenas.
Gambar 4 Mekanisme MRV untuk target penurunan emisi 26% (DNPI 2010b).
Gambar 5 Mekanisme MRV untuk target penurunan emisi 41% (DNPI 2010b). Dalam draft lampiran Peraturan Presiden mengenai RAN-GRK (Bappenas 2010a) tercantum beberapa tahapan penyusunan dalam mempersiapkan laporan MRV. Tahapan tersebut adalah: 1. Penyusunan sistem pendaftaran NAMA secara nasional dan internasional; 2. Pengukuran penurunan emisi dari aksi mitigasi akan menggunakan metodologi yang ditetapkan dalam sistem inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional; 3. Pelaporan pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim nasional dilakukan melalui dokumen Laporan Tahunan Aksi Mitigasi; 4. Pelaporan pelaksanaan MRV dari NAMA akan dilaporkan kepada UNFCCC
dilakukan melalui Laporan Komunikasi Nasional (National Communication); 5. Penyusunan kerangka kerja yang mengatur sistem verifikasi secara nasional bagi kedua jenis NAMA; 6. Penyusunan kerangka kerja yang mengatur sistem verifikasi bagi NAMAs yang mendapatkan bantuan internasional; 7. Penyusunan sistem MRV bagi bantuan dari negara maju yang digunakan dalam pelaksanaan NAMAsyang mendapatkan bantuan internasional. Untuk tahapan persiapan laporan MRV yang sifatnya nasional (urutan penyusunan pertama, ketiga, keempat, dan keenam) ditetapkan dengan Peraturan Perundangan yang berlaku secara nasional, sedangkan untuk tahapan yang sifatnya internasional (urutan penyusunan pertama, kelima, ketujuh, dan kedelapan), penyusunannya disesuaikan dengan keputusan COP (Conference of the Parties – Konferensi dari Negara-negara anggota UNFCCC).Pelaksanaan penyusunan di atas dilakukan bersama-sama dari setiap sektor sertaKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Kegiatan mitigasi dan inventarisasi GRK yang tertuang dalam National Communicationtersebut dilaporkan kepada UNFCCC.Kewajiban laporan untuk negara maju (industri) adalah setiap tahun, sedangkan untuk negara berkembang, kewajiban pelaporan ini tidak diatur waktu dan tingkat kecermatan perhitungannya.Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah menyerahkan laporan inventarisasi GRK yang pertama pada tahun 1994 dan laporan yang kedua dalam komunikasi nasional kedua (Second National Communication) pada bulan November 2010. Peran dari MRV dalam rencana aksi yang ada memiliki dua alasan logis berikut (DNPI 2010b): pertama, pencapaian target pengurangan emisi dalam RAN-GRK akan memobilisasi sumberdaya yang besar, baik finansial maupun kelembagaan, di berbagai tingkatan: nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, khususnya di areal yang menjadi target penurunan emisi; kedua, apabila terdapat kesenjangan antara rencana aksi dengan implementasi di lapangan, pemerintah diharapkan dapat mengendalikan kesenjangan tersebut sejak awal, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat dalam setiap tahapan pelaksanaan yang menyimpang. Kelembagaan MRV perlu dibangun untuk mengelola dan mengolah aliran data yang
10
besar yang datang secara teratur dari berbagai sumber sehingga mampu membangun baseline informasi yang komprehensif denganvaliditas terjamin. Komponen kelembagaan lain yang perlu diperhatikan adalah independensi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Selain bebas dari berbagai konflik kepentingan, lembaga tersebut haruslah memiliki kemampuan teknis dalam mengakomodasi berbagai fungsi esensial. Fungsi-fungsi esensial tersebut diantaranya adalah (DNPI 2010b): • Mengkonsolidasikan berbagai data dan informasi dari berbagai sumber kedalam suatu basis data yang terintegrasi; • Mengelola dan mengolah basis data untuk kepentingan pengarsipan maupun analisis; • Menyusun pelaporan dan verifikasi secara teratur baik untuk kepentingan para pembuat keputusan baik nasional maupun berbagai lembaga yang terkait; • Memberikan arahan, tuntunan dan rekomendasi teknis pelaksanaan MRV. DNPI mengembangkan suatu sistem MRV yang mencakup pengembangan 3(tiga) subsistem, yaitu: pengumpulan/akuisisi data, pengolahan/analisis data, pengembangan sistem pelaporan didukung oleh suatu basis data yang terstruktur (DNPI 2010b).Dalam prakteknya pengembangan sistem ini lebih jauh akan melibatkan berbagai rincian teknis untuk mengatur alur informasi antar lembaga, proses standardisasi maupun pengembangan berbagai perangkat analisis pendukungnya
(Gambar 8).Elaborasi lebih jauh padapengembangan sistem MRV nasional yang diusulkan DNPI dalam masing-masing sub-sistem yang dibangun tersebut antara lain: • Pengumpulan/akuisisi data Pada sub-sistem ini, dilakukan suatu proses pengumpulan dan akuisisi data dari berbagai sumber yang terkait dengan sistem untuk kemudian disesuaikan dengan format data tertentu (jenis, skala, satuan, dan format lainnya). Setelah data terkumpul sesuai dengan format masingmasing jenis datanya, data tersebut diintegrasikan ke dalam satu sistem manajemen pangkalan data. • Pengolahan/analisis data Proses yang dilakukan dalam sub-sistem ini adalah pengolahan data spasial dan non-spasial dalam perhitungan karbon; analisis target pencapaian dan performa kegiatan; serta pengarsipan dari analisis dan hasil yang telah dilakukan. • Pelaporan Dalam sub-sistem yang terakhir ini, cakupan kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah penyusunan rangkuman eksekutif dan dashboard management untuk para pengambil keputusan; penyusunan laporan rinci hasil analisis berdasarkan Rencana Aksi Nasional/Rencana Aksi Daerah (RAN/RAD); serta melakukan verifikasi data dan fakta lapangan.
Gambar 6 Rekomendasi Kerangka Pengembangan Sistem MRV Nasional (DNPI 2010b).
11
Proposal/konsep MRV Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga membuat sebuah mekanisme pelaporan pelaksanaan MRV.Mekanisme tersebut meliputi kegiatan yang dilakukan serta peranan dari institusi/lembaga yang terkait. Dalam alur pelaksanaannya, secara umum mekanisme yang diusulkan oleh KLH memiliki tiga tahapan, yaitu terdiri dari kegiatan inventarisasi emisi GRK, perencanaan mitigasi perubahan iklim secara nasional, pelaporan pelaksanaan mitigasi dan pencapaian rencana aksi, serta membuat laporan tersebut dalam bentuk National Communicationsetiap dua tahun dan laporan pencapaian target penurunan emisi sampai pada tahun 2020 (terlihat pada Gambar 7). Selain mengenai NAMAs, dalam pelaksanaannya MRV harus mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku dalam Konvensi dan Protokol Kyoto, yaitu kewajiban semua negara untuk ikut serta dalam upaya stabilisasi GRK di atmosfir denganmengindahkan prinsip common but differentiated responsibilities and respective capablities serta historical responsibilities dari emisi GRK setiap negara. Dengan demikian untuk mendukung MRV nasional diperlukan national GHGInventory System (SIGN: Sistem Inventarisasi GRK Nasional).
•
Sistem Inventarisasi GRK Nasional atau SIGN, merupakan satu sistem mengenai inventarisasi GRK secara nasional yang diusulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sistem ini memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut (KLH 2010): - Melaksanakan dan/atau mengkoordinasikan proses inventarisasi GRK di tingkat nasional, regional dan lokasi; - Memantau tingkat dan status emisi GRK nasional; - Mengevaluasi rencana aksi dan implementasi dari pengurangan emisi nasional; Melaporkan status emisi GRK.Sistem Inventarisasi GRK Nasional atau SIGN, merupakan satu sistem mengenai inventarisasi GRK secara nasional yang diusulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sistem ini memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut (KLH 2010): - Melaksanakan dan/atau mengkoordinasikan proses inventarisasi GRK di tingkat nasional, regional dan lokasi; - Memantau tingkat dan status emisi GRK nasional; - Mengevaluasi rencana aksi dan implementasi dari pengurangan emisi nasional; - Melaporkan status emisi GRK.
Gambar 7 Pelaporan pelaksanaan MRV melalui national communication (KLH 2010).
12
Gambar 8 Alur inventarisasi GRK nasional yang diusulkan (KLH 2010). Dalam penerapannya, diperlukan unit-unit kerja di setiap sektor dan daerah untuk mengumpulkan data aktivitas terkait dengan inventarisasi GRK secara berkala, misalnya luasan wilayah reboisasi hutan, jumlah timbunan sampah domestik, konsumsi bahan bakar fosil, dan kegiatan lainnya yang menghasilkan atau menyerap emisi GRK. Hasil pengumpulan dan analisis data aktivitas dari sektor dan daerah diolah menjadi status emisi GRK tingkat daerah (profil emisi kota/kabupaten) dan nasional.Status emisi GRK tersebut nantinya digunakan sebagai bahan penyusunan National Communication.Alur dari inventarisasi GRK secara nasional dapat dilihat pada Gambar 8. Pelaporan pelaksanaan MRV melalui National Communication meliputi peran dari berbagai institusi terkait dan kegiatan yang dilakukannya.Pelaporan tersebut merupakan lanjutan dari alur yang diusulkan sebelumnya.Status emisi dan hasil dari inventarisasi emisi GRK yang dilakukan pada alur yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah dengan proyeksi emisi GRK 10 tahun mendatang, menjadi masukan dalam perencanaan mitigasi perubahan iklim nasional di masing-masing sektor. Rencana mitigasi tersebut tertuang dalam RAN-GRK yang dikompilasi oleh Bappenas serta diverifikasi oleh suatu lembaga independen. Hasil dari pelaksanaan mitigasi dan pencapaian penurunan emisi tersebut dilaporkan secara nasional, kemudian
dikembangkan menjadi laporan national communication setiap dua tahunan dan laporan pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% di tahun 2020 dalam kerangka MRV. • Proposal/konsep MRV Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+ Berbeda dengan proposal/konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, proposal/konsep mengenai MRV yang dirumuskan oleh Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+ lebih menitikberatkan kepada usulan bentuk kelembagaan MRV.Satuan Tugas Pembentukan kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) yang dibentuk oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bulan September tahun lalu, merumuskan beberapa konsep kelembagaan MRV berikut dengan analisis tingkat independensinya serta struktur organisasinya (dapat terlihat pada Gambar 9 dan 10). Konsep kelembagaan yang diusulkan oleh Satgas REDD+mengindikasikan bahwa tingkat independensi lembaga MRV memiliki nilai yang tinggi apabila lembaga MRV yang dibangun melaporkan kinerjanya kepada publik, tidak berupa suatu unit dalam suatu Kementerian ataupun sebagai Lembaga yang melaporkan langsung kepada presiden. Namun, pada proses pembentukan dan pelaksanaannya, lembaga MRV yang dibangun dan kemudian menyampaikan laporan kinerjanya langsung kepada publik,
13
cukup sulit untuk dibangun dan dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan pada proses pembentukan misalnya, ada kekhawatiran bahwa struktur organisasi dan pejabatnya tidak cukup kuat dan berpengaruh untukmemberikan arahan kepada Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan ketika muncul suatu rekomendasi tertentu terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan.Sehingga bentukdiLembaga MRV yang lebih feasible untuk dibangun adalah lembaga yang melaporkan kinerjanya langsung kepada presiden, namun secara bersamaan melaporkannya juga kepada publik. Peran dariketua/kepala dari lembaga MRV pada lembaga tersebut adalah mengoordinasikan Kementerian-kementerian
dan Lembaga/instansi lain yang terkait dengan kegiatan MRVterhadap suatu rekomendasi atau kebijakan tertentu, kemudian bekerja bersama-sama dengan unit kerja khusus dalam lembaga MRV yang ada dan Kementerian/ lembaga terkait dalam pelaksanaannya. Dalam menjaga tingkat independensi dan penilaian dari unit verifikasi dalam lembaga tersebut, lembaga ini diharapkan memiliki unit verifikasi tersendiri yang keberadaanya terdapat di luar sistem.Secara lebih singkat, usulan bentuk kelembagaan dan stuktur organisasi yang diusulkan digambarkan pada Gambar 9 dan 10. Lembaga MRV yang terbentuk pada akhirnya harus mampu menjalankan fungsifungsi esensialnya serta memiliki sistem informasi yang terintegrasi dalam pengolahan,
Gambar 9 Konsep kelembagaan MRV (Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+ 2010).
14
Gambar 10 Stuktur organisasi MRV (Satgas Pembentukan Kelembagaan REDD+ 2010). pengarsipan, analisis, maupun visualisasi dalam RAN-GRK, yaitu sektor kehutanan dan informasi yang dapat menggambarkan lahan gambut. performa kegiatan tiap sektor yang Pada tahapan pengukuran (measure) dalam melaksanakan kegiatan mitigasi perubahan proposal/konsep MRV yang dibangun, iklim yang transparan dan diakui secara mengintegrasikan berbagai instrumen nasional dan internasional. Selain itu, lembaga penginderaan jauh dan teknologi pengukuran tersebut juga diharapkan mampu emisi langsung di wilayah kajian dalam mengevaluasi kinerja dari program-program kegiatan pengukuran dan pemantauan sumber dalam RAN-GRK tersebut dengan satuan emisi baik di wilayah hutan, maupun di lahan tugas verifikasi terpisah dari sistem gambut. Instrumen-instrumen yang digunakan kelembagaan. Adapun prinsip-prinsip yang dan kegiatan yang dilakukan dalam sistem ada dalam sistem MRV mengacu kepada MRV tersebut ditempatkan dalam tiga lapisan enam prinsip yang ada, yaitu: akurasi vertikal utama dari permukaan, yaitu: (accuracy), kelengkapan (completeness), - lapisan terjauh: satelit (GOSAT, konsistensi (consistency), efisiensi Terra&Aqua MODIS, Landsat, SPOT, (efficiency), transparansi (transparancy), dan Quickbird, TerraSAR, ANVIR-2, Hisui, dapat dibandingkan (comparability). PALSAR, dan AMSR-E); - lapisan menengah: Unmanned Aerial • Proposal/konsep MRV Universitas Vehicle(UAV – kendaraan udara tanpa Hokkaido awak) dan Light Detection and Ranging Salah satu proposal/konsep mengenai Platform (LiDAR Platform– wahana udara MRV lainnya adalah berasal dari Universitas yang dapat mengukur data topografi serta Hokkaido, Jepang. Proposal/konsep komposisi dan konsentrasi zat kimia); MRVyang sedang dikembangkan bersama - lapisan permukaan: DGPS, menara dan oleh tim ahli dari Universitas Hokkaido bilik pengukur fluks CO2 vertikal, dengan DNPI dan berbagai penggalian, Fiber Etalon Spectrometer Kementeian/Lembaga terkait lainnya lebih measurement of CO2 (FES-C – alat mengelaborasi kepada teknis pelaksanaan dan pengukur CO2), dan pengukuran aplikasi MRV pada salah satu sektor yang ada ketinggian air (water gauge).
Gambar 11 Konsep sistem penginderaan komprehensif pada lahan gambut (Osaki et al2010).
15
Gambar 12 Sistem MRV lahan gambut yang diusulkan (Osaki et al2010). Dalam sistem tersebut, terdapat delapan parameter utama yang dapat diukur. Kedelapan parameter yang diukur dan instrumen-instrumen pengukurnya antara lain (Osaki et al 2010): 1. Konsentrasi CO2: GOSAT, UAV, FES-C, serta menara dan bilik pengukur. 2. Kebakaran dan titik api: Terra&Aqua MODIS. 3. Deforestasi, degradasi hutan dan pemetaan spesies: Landsat, SPOT, Quickbird, TerraSAR, ANVIR-2, Hisui, dan UAV. 4. Perubahan biomassa hutan: PALSAR, AMSR-E, dan LIDAR. 5. Penurunan ketinggian gambut: PALSAR, AMSR-E, LiDAR, dan DGPS. 6. Ketinggian air, kelembaban tanah: PALSAR, AMSR-E, dan water gauge. 7. Kubah dan ketebalan gambut: penggalian. 8. Karbon organik larut air: Landsat, SPOT, Quickbird, TerraSAR, ANVIR-2, dan Hisui. Pengukuran konsentrasi CO2 pada sistem dibantu melalui penginderaan jauh dengan memanfaatkan data dari satelit GOSAT.TheGreenhouse Gases Observing Satellite,atau yang disingkat dengan GOSAT, merupakan satelit pertama di dunia yang dapat mengukur konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang diluncurkan pada Januari 2009. Satelit ini berada di ketinggian kurang lebih 666 km dari permukaan bumi dengan waktu satu revolusi sekitar 100 menit dan akan kembali melewati titik yang sama yang dilewatinya dalam tiga hari. Dengan
adanya satelit tersebut, pengukuran CO2 dan CH4 dapat menjadi lebih mudah dan efisien.Pengukuran parameter selanjutnya yang dapat dilakukan dengan satelit adalah estimasi kadar kelembaban tanah dengan menggunakan citra ALOS/PALSAR. Mekanisme ekstraksi data kadar kelembaban tanah tersebut berasal dari kapasitas konduktif spesifik pada tanah, yang menggambarkan berbagai tingkatan kekuatan hamburan balik (backscatter strength) dari berbagai jenis kadar air (water content). Setelah dilakukannya berbagai pengukuran dan analisis terhadap parameter-parameter tersebut, hasil dari analisis yang dilakukan dapat dibuat menjadi beberapa practical carbon budget terpadu, seperti sebaran dan konsentrasi dari emisi karbon dari kebakaran gambut, kehilangan karbon melalui air, emisi karbon dari degradasi mikroorganisme, atau pertumbuhan/kematian tanaman, yang kemudian diikuti dengan pembuatan laporan, verifikasi serta sertifikasi (seperti pada Gambar 12). Konsep penginderaan jauh tersebut dapat pula diaplikasikan pada bidang dalam RANGRK yang memerlukan perhatian khusus lainnya (LULUCF misalnya), karena pada umumnya sistem karbon pada lahan gambut lebih kompleks dibandingkan dengan sistem karbon di lahan kering (dry land).Sehingga apabila diaplikasikan, beberapa parameter pengukuran spesifik pada lahan gambut (ketebalan gambut, penurunan gambut, dan
16
karbon organik yang terlarut dalam air) tidak diperlukan. 4.3 Studi Kasus Implementasi MRVpada Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut dalam RAN-GRK Secara teknis, pelaksanaan MRV untuk sektor yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya hutan,tata guna lahan, alih tata guna lahan hutan dan hutan (Land Use Land Use Change and Forestry – LULUCF), memerlukan data penginderaan jauhdalam konteks pemantauan ataupun verifikasi data lapangan dengan rencana aksi yang disusun.Penggunaan data penginderaan jauh, seperti citra satelityang dikombinasikan dengan foto udara, citra optik dan radar (untuk mengatasi adanya liputan awan yang tidak bisa ditembus oleh citra satelit), dan aplikasi sistem informasi geografi (SIG) merupakan suatu jalan keluar untukmelakukan pemantauan maupun verifikasi kegiatan dilapangan yang efisien dan efektif.Hal tersebut dapat pula diterapkan dalam salah satu bidang dalam RAN-GRK yang membutuhkan perhatian lebih saat ini, yaitu lahan gambut. Pelepasan karbon dari lahan gambut tropis memberikan tantangan tersendiri. Indonesia merupakan tempat bagigambut tropis yang jumlahnya sekitar 50 persen dari total wilayah gambut tropis dunia (DNPI 2010a). Dalam skenario bisnis seperti biasa/tidak melakukan apa-apa (business as usual – BAU), emisi dari lahan gambut di Indonesia diperkirakan akan meningkat sampai dengan 20 persen dari 772
MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 972 MtCO2e pada tahun 2030. Sumber utama emisi terkait gambut ini berasal dari kebakaran dan dekomposisi gambut (DNPI 2010a). Penelitian dan studi mengenai emisi yang berasal dari lahan gambut di Indonesia masih tergolong sedikit apabila dibandingkan dengan penelitian terhadap emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan maupun perubahan alih tata guna lahan.Beberapa studi mengenai perhitungan emisi yang berasal LULUCF dan lahan gambut sudah dilakukan. Studi tersebutdiantaranya dilakukan oleh Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA), Center for International Forestry Research (CIFOR), Bank Dunia, KLH, DNPI, dan beberapa institusi serta peneliti lainnya untuk emisi pada tahun 2005. Hasil perkiraan perhitungan emisi dari LULUCF dan gambut dikelompokkan menjadi tiga sumber, yakni: LULUCF, kebakaran gambut, dan pembusukan gambut.Dari hasil studi yang dilakukan oleh IFCA, nilai perkiraan emisi yang berasal dari LULUCF dan kebakaran gambut berturutturut adalah 473 dan 30 MtCO2e (Kementerian Kehutanan 2008). Perkiraan perhitungan emisi selanjutnya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui laporan Komunikasi Nasional Kedua (Second National Communication – SNC), Bank Dunia, dan CIFORdalam Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia (DNPI 2010a) berturut-turut adalah 290, 538,
17
Gambar 13 Perkiraan emisi dari LULUCF dan lahan gambut tahun 2005 (DNPI 2010a dengan perubahan). dan 528 MtCO2e dari LULUCF; 451, 1260, dan 1271 MtCO2e dari kebakaran gambut; serta 379, 600, dan 600 MtCO2e dari dekomposisi gambut. Studi yang dilakukan oleh DNPI bersama konsultan sendiri, perkiraan emisi yang dihasilkan dari LULUCF, kebakaran dan pembusukan gambut berturut-turun adalah 838, 472, dan 300 MtCO2e (DNPI 2010a).Studi dan penelitian berikut hasil perkiraan perhitungan emisi yang dilakukan lainnya dapat dilihat secara rinci pada Gambar 13. Dari beberapa hasil studi dan penelitian tersebut, masing-masing hasil studi menunjukkan perbedaan pada nilai emisi yang dihasilkan dari lahan gambut dan LULUCF.Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakpastian dalam menghitung emisi yang berasal dari sektor LULUCF dan gambut, khususnya dari lahan gambut.Ketidakpastian dalam pengukuran di gambut diakibatkan oleh struktur biomasa gambut yang dominan berada dibawah permukaan tanah serta adanya kehilangan perhitungan karbon. Sehingga ketika dilakukan pengukuran terhadap emisi dari gambut, terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhinya, yakni: pendekatan, metode, model, dan asumsi pengukurannya. Sebagai contoh, menurut penelitian yang dilakukan oleh Stahlhut dan Rieley (2007), hasil pengukuran dengan menggunakan model tren perubahan (metode 2nd order polynomial)
akan memiliki hasil yang berbeda dengan hasil pengukuran model interpolasi (model pembobotan jarak terbalik atau inverse distance weighting – IDW)maupun dengan model geostatistik (metode Kriging) dan model geostatistik yang dilakukan oleh Wetlands International, seperti tergambar pada Gambar 14. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan hasil pengukuran volume gambut pada model geostatistik yang menggunakan metode Krigging dan yang dilakukan oleh Wetlands International sekitar 5,95 km2 atau sekitar 57 persen. Perbedaan yang sangat besar tersebut juga kemungkinan disebabkan oleh adanya ketidaktersediaannya data luasan gambut yang dalamnya lebih dari 3 meter. Selain dari empat faktor tersebut, faktor lain yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil pengukuran adalah faktor kehilangan perhitungan karbon terkait dengan ketinggian air, kebakaran gambut, serta degradasi dan dekomposisi oleh mikroorganisme yang ada di dalam gambut tersebut.Ketidakpastianketidakpastian tersebut dapat dikurangi dampaknya dengan adanya sertifikasi standard internasional, jejaring penelitian internasional yang meneliti lebih dalam tentang gambut, serta sistem pengukuran yang komprehensif pada lahan gambut itu sendiri.
18
Gambar 14 Perbandingan estimasi ketebalan dan volume gambut (Stahlhut dan Rieley 2007). 4.4 Tantangan dalam Pembangunan dan Pengembangan MRV di Indonesia Secara makro pengembangan sistem MRV pada dasarnya diarahkan pada pembangunan sistem audit nasional yang terintegrasi yang memverifikasi program atau kegiatan secara administratif maupun verifikasi kegiatan langsung di lapangan. Dengan demikian, tiga hal utama dalam langkah tindak pengembangan MRV adalah: konsensus mengenai MRV, pengembangan kerangka sistem MRV, dan implementasi atau exercise kegiatan mitigasi dalam kerangka sistem MRV di lapangan.Konsensus mengenai MRV yang masih belum ada kejelasan menjadi kendala utama yang harus segera diselesaikan. Segera setelah terbentuknya suatu konsensus mengenai MRV beserta perangkat pendukungnya, isu lain yang menjadi perhatian adalah exercise dari pelaksanaan MRV. Penerapan sistem MRV di Indonesia, khususnya pada RAN-GRK dan kegiatan aksi mitigasi perubahan iklim lainnya masih akan dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala yang utama yang dihadapi adalah mengenai konsensus mengenai MRV (seperti apa sistem, mekanisme serta bentuk dari lembaga MRV) yang masih belum jelas, teknis pelaksanaan MRV pada setiap tahapannya, serta belum adanya inisiatif untuk implementasi/exercise dari pelaksanaan MRV di lapangan. • Mekanisme MRV Sistem MRV yang dimulai dengan tahapan pengukuran, menjadi kendala utama dalam penerapannya di RAN-GRK. Hal tersebut dikarenakan apabila terdapat kendala pada tahapan ini, seperti adanya perbedaan hasil pengukuran emisi, kendala tersebut akan terus berulang pada tahapan selanjutnya. Sebagai contoh, perbedaan hasil pengukuran emisi yang terjadi pada lahan gambut akan menyebabkan kendala pada tahapan verifikasi dari pelaporan kegiatan yang dilakukan di lahan gambut tersebut yang seharusnya dapat diselesaikan pada tahapan sebelumnya. Kendala tersebut terjadi bukan hanya pada sektor kehutanan dan lahan gambut saja, melainkan dapat terjadi pula pada sektorsektor lainnya dalam RAN-GRK.Perbedaan diantaranya adalah dalam teknis pengukuran masing-masing sektor.Pada sektor energi dan transportasi misalnya, potensi yang dapat
menimbulkan kendala berada pada perhitungan audit energi, pengukuran emisi dari transportasi (emisi sumber begerak).Potensi lain yang dapat menjadi kendala pada sektor lain diantaranya adalah perhitungan emisi dari sektor limbah, pertanian, dan industri. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa kendala dalam tahapan pengukuran dapat disebabkan dari beberapa faktor.Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah perbedaan pendekatan, metode, model, dan asumsi pengukuran yang digunakan. Solusi dalam mengurangi potensi terjadinya kendala dalam tahapan pengukuran ini dapat dilakukan dengan standardisasi proses perhitungan emisi dari masing-masing sektor (penggunaan asumsi, pendekatan, metode, dan model yang digunakan), kolaborasi dan koordinasi yang baikdalam jaringan penelitian atau proyek dalam bidang pengukuran tertentu, serta pelaporan yang terekam dengan baik dari hasil kajian atau proyek yang berkaitan. Potensi yang dapat timbul sebagai kendala dalam tahapan berikutnya, yakni pelaporan hasil dari tahapan pengukuran yang dilakukan, diantaranya adalah ketidaksamaan format pelaporan, kelengkapan dari parameter laporan, ketepatan waktu penyelesaian laporan, serta pengelolaan laporan-laporan yang masuk dalam sistem MRV ini.Potensipotensi yang dapat menjadi kendala tersebut dapat diminimalisir dengan melakukan konsolidasi format dan parameter laporan, prosedur dan batasan waktu pelaporan, serta manajemen pengelolaan pelaporan yang sistematis dan terstruktur. Selain dari pengelolaan laporan yang baik, akses terhadap laporan yang sudah ada tersebut akan lebih baik apabila dapat diakses oleh Kementerian/Lembaga lain yang terkait, asosias/akademisi yang membutuhkan, maupun organisasi non-pemerintah (LSM nasional/internasional) dan publik pada umumnya. Tahapan terakhir dalam mekanisme MRV yang dibangun adalah verifikasi kegiatan yang dilakukan dalam RAN-GRK. Apabila dilakukan identifikasi terhadap potensipotensi yang dapat menjadi kendala pada verifikasi ini, beberapa potensi kendala tersebut diantaranya adalah:kebutuhan verifikasi lebih lanjut (seperti pengecekan langsung dilapangan) di beberapa sektor dalam RAN-GRK (kehutanan dan lahan gambut misalnya), keterbatasan data untuk
19
proses verifikasi (hanya dapat memverifikasi data sekunder), sifat data yang dikhawatirkan subjektif. Selain dari teknis verifikasi, kendala lain yang dapat muncul dalam tahapan ini berasal dari lembaga/instansi yang melakukan verifikasi, yakni adanya konflik kepentingan. Dalam upaya pencegahan terjadinya kendala tersebut, beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah penggunaan data penginderaan jauh dengan menggunakan citra hyperspectral ataupun foto udara resolusi tinggi, mengadakan asistensi oleh para verifikator di tahapan pengukuran, serta memiliki lembaga verifikasi yang terpisah secara struktur dari lembaga MRV yang dibangun. • Teknis Pelaksanaan MRV Selain isu mengenai mekanisme MRV yang harus dihadapi, isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai teknis penyelenggaraan MRV. Secara garis besar, teknis penyelenggaraan MRV dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ketersediaan dan akses data, pengumpulan/akuisisi data, serta pengolahan dan pengelolaan data. Ketersediaan dan akses data merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk inventarisasi dan pemenuhan data-data yang diperlukan.Dalam tahapan ini, berbagai pilihan pemenuhan data untuk MRV perlu dilakukan mengingat keterbatasan pasokan data dan teknologi yang diterapkan. Pilihan pemenuhan itu dapat dilakukan antara lain dengan: memobilisasi sumber data lain di luar kapasitan yang dimiliki, mengombinasikannya dengan pengamatan in-situ, atau melalui peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga-lembaga pendukung. Setelah ketersediaan data terpenuhi (data spasial dan non-spasial), aksesibilitas terhadap data, serta mekanisme dan standar pertukarannya perlu dikonsolidasikan.Untuk selanjutnya, data-data tersebut diseragamkan format dan skalanya, kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistem manajemen pangkalan data (database management system – DBMS) dan diintegrasikan ke dalam jaringan insrastruktur pangkalan data nasional. Peningkatan kapasitas perlu juga dilakukan dalam pengolahan dan pengelolaan data MRV, pembangunan infrastruktur teknologi informasi pendukung misalnya. Peningkatan kapasitas tersebut juga dilakukan dengan mengadakan pelatihan teknis yang komprehensif dan berkesinambungan dari tingkatan manajerial hingga operator teknis, memfasilitasi berbagai dialog teknis dalam
pengelolaan dan pengolahan data/informasi di tingkat nasional maupun internasional. Keseluruhan isu teknis dan rekomendasi yang diusulkan tersebut tidak akan terbentuk apabila tidak didukung dengan adanya dukungan pendanaan yang baik. Pendanaan tersebut dapat berasal dari anggaran yang ada di pemerintah maupun dari bantuan dan kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara-negara donor.Selain itu, peran serta dari pendanaan yang berasal dari sektor publik atau investasi sektor swasta dapat diarahkan untuk mendukung penyusunan, pengembangan, serta implementasi kebijakan yang diputuskan. • Kelembagaan MRV Dari berbagai rangkaian dialog yang difasilitasi oleh DNPI,pembangunan sistem MRV nasional mengarah kepada pembangunan sistem audit yang mampu melihat capaian target penurunan emisi dari berbagai program yang digulirkan seiring dengan pengelolaan pembangunan secara keseluruhan. Dengan demikian,kelembagaan MRV mencakup bukan saja lembaga/instansi yang terkait langsung dengan perubahan iklm, akan tetapi mencakup lembaga pengawas. Dengan kata lain, pemisahan yang tegas perlu dilakukan antara lembaga pelaksana kegiatan dengan lembaga yang ditugaskan untuk melakukan verifikasi terhadap performa program yang dilaksanakan. Hal tersebut penting dalam suatu lebaga verifikasi yang bebas dari berbagai konflik kepentingan. Peran rinci dari berbagai lembaga ini, baik dari lembaga pengawas maupun lembaga pelaksana, perlu dirumuskan lebih lanjut untuk kemudian diputuskan kelembagaan MRV seperti apa yang akan diterapkan di Indonesia.Penetapan konsensus tersebut berlaku pula pada cakupan tugas dan fungsinya, mekanisme kerja antar lembaga, serta bentuk kebijakan dan pelaksanaannya.Setelah konsensus mengenai cakupan tugas dan fungsi serta mekanisme kerja antar lembaga dan kebijakan dapat ditetapkan, lembaga MRV yang dibangun dapat memberikan usulan berbagai kebijakan terkait pelaksanaan dan pengawasan programprogram dalam RAN-GRK ataupun aksi-aksi mitigasi lainnya.Kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga MRV tersebut untuk kemudian dapat berperan sebagai umpan balik terhadap hasil verifikasi dan pengecekan silang (cross check) terhadap kegiatan yang diusulkan dan realisasinya dilapangan. Sehingga kinerja dari masing-masing sektor kedepannya diharapkan
20
akan semakin baik setelah kebijakan yang tepat diputuskan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia salah satunya dilakukan dengan menetapkan dan melaksanakan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara sukarela pada sektor-sektor penghasil emisi utama.Target penurunan emisi GRKyang ditetapkan oleh pemerintah dalam rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) adalah sebesar 26% (dengan pendanaan domestik) dan 41% (dengan tambahan pendanaan dari internasional).RAN-GRK tersebutmemerlukan suatu sistem pemantauan yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi (measurable, reportable and verifiable – MRV) yang bersifat transparan dan dapat diakui secara internasional. DNPI dalam mengembangkan satu sistem MRV melakukan pendekatan secara ekstensif dan inklusif dengan melibatkan para pihak kunci (pemerintah, non-pemerintah), sehingga teridentifikasi berbagai elemen-elemen kunci, baik aspek teknis maupun non-teknis.Evaluasi terhadap pengembangan dan penerapan sistem MRV membutuhkan mekanisme pengukuran, pelaporan dan verifikasi yang komprehensif terkait dengan adanya potensi kendala tersendiri pada masing-masing sektor.Setiap tahapan dalam sistem MRV, yakni pengukuran, pelaporan dan verifikasi akan memberikan kendala yang spesifik dan berantai. Tahapan pengukuran pada sektor kehutanan dan lahan gambut misalnya, memerlukan mekanisme pengukuran yang detail dan akurat terkait dengan adanya kesulitan pada pengukuran kedalaman dan volume dari suatu wilayah gambut.Hal tersebut berlaku juga pada sektor-sektor lainnya dalam RAN-GRK. Kendala teknis tersebut dapat diminimalisir dengan adanya mekanisme komprehensif dan terstandardisasi dalam melakukan kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi dari pelaksanaan programprogram RAN-GRK.Selain itu, adanya transfer teknologi, pendanaan internasional, serta penguatan kapasitas kelembagaan MRV juga perlu dibangun dalam memberikan arahan, tuntutan, dan rekomendasi teknis pelaksanaan MRV yang akurat, efisien,
lengkap, serta dibandingkan.
konsisten
dan
dapat
5.2 Saran Kedepannya, sistem dan lembaga MRV yang dibangun diharapkan bukan hanya melingkupi kegiatan di bidang perubahan iklim saja, melainkan melingkupi berbagai kegiatan lainnya di luar isu perubahan iklim (kegiatan pembangunan dan perekonomian, program kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, kegiatan penanggulangan terhadap suatu bencana, serta isu lainnya yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara luas).Sehingga berbagai program pemerintah yang direncanakan dapat terlaksana sesuai dengan rencana awal.Hasil penelitian ini dapat dijadikan tahap awal untuk menuju ke arah tersebut. Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada kajian ini dapat dielaborasi dan dianalisis lebih lanjut dalam kajian yang lebihmendalam mengenai komponen-komponen yang ada dalam sistem MRV.Beberapa komponen MRV yang direkomendasikanuntuk dielaborasi diantaranya adalah mengenai penggunaan data spasial dalam mendukung sistem MRV, pengukuran perhitungan emisi GRK dari sektor lainnya, pengembangan metodologi dan analisis MRV, verifikasi hasil pada tahapan pengukuran dalam MRV, serta topik-topik kajian lainnya yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keilmuan.
21