BAB IV ANALISIS, DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Pada bab 4 ini akan disajikan penelitian berupa gambaran umum dari judul hubungan self efficacy dengan subjective well-being pada ODHA di Jakarta. 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Penulis mengupayakan semaksimal mungkin jumlah sampel dengan menyebar kuesioner kepada ODHA melalui LSM HIV/AIDS, dan para medis di daerah Jakarta sehingga didapatkan 70 ODHA. Penulis mengelompokkan usia sesuai teori Psikologi Perkembangan, Elizabeth B.Hurlock, dengan penyebaran usia sebagai berikut: Tabel 4.1 Subjek Penelitian Masa
Usia
Akhir Remaja
16-18 tahun
1 [1%] orang
Dewasa Dini
19-40 tahun
51 [73%] orang
Dewasa Madya
41-60 tahun
18 [26%] orang
Total
Jumlah Responden
70
orang
Dari tabel penyebaran usia diatas terlihat bahwa jumlah responden di masa remaja akhir 1 %, masa dewasa dini 73 % dan masa dewasa madya 26 %, dengan jenis kelamin semuanya adalah laki-laki.
37
Adapun hasil wawancara penulis dengan Ibu Fitri, Pengurus LSM HIV/AIDS di Jakarta mengatakan bahwa : “Orang yang ingin memeriksakan virus HIV banyak, baik pria, wanita ataupun waria, tetapi lebih banyak dari mereka laki-laki dan ratarata dari mereka mau mengikuti konsul-konsul yang dibuka, malah banyak juga yang menjadi pendamping ODHA lainnya” (wawancara pada tanggal 14 Februari 2015).
Wawancara lain dilakukan penulis dengan dr. Sumarsono, dokter Rumah Sakit 24 Medicare di Jakarta mengatakan bahwa: “Tidak ada perbedaan signifikan antara ODHA laki-laki dan perempuan namun laki-laki lebih terbuka tampil di public daripada perempuan, dan rata-rata penderita HIV perempuan merasa tidak bersalah karena mereka merasa tertular dari suaminya” (wawancara pada tanggal 22 Februari 2015). Dari dua wawancara yang dilakukan oleh penulis tersebut menggambarkan bahwa laki-laki lebih terbuka dan mau memeriksakan diri terkait virus HIV-nya. Dari faktor demografi, penulis membuat analisa menurut usia dengan menggunakan rumus simpangan baku untuk variabel self efficacy sebagai berikut sebagai berikut:
38
Tabel 4.2 Interval tingkat self efficacy Nilai
Keterangan
<60
Rendah
60 – 93
Sedang
>93
Tinggi
Pada variabel self efficacy (X) dengan 31 item pernyataan diolah berdasarkan penyebaran usia didapatkan tabel sebagai berikut: Tabel 4.3 Analisis Self efficacy Menurut Usia Masa
Usia
Jumlah Rendah
self efficacy Sedang
Tinggi
Akhir Remaja
16-18
1 (1%)
0 (0%)
1 (100%)
0 (0%)
Dewasa Dini
19-40 51 (73%)
6 (12%)
13 (25%)
32 (63%)
Dewasa Madya
41-60 18 (26%)
0 (0%)
0 (0%)
18 (100%)
70 (100%)
6 (9%)
14 (20%)
50 (71%)
Total
Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap pernyataan responden menurut kelompok usia tentang self efficacy terlihat bahwa masa akhir remaja yang mempunyai self efficacy rendah 0%, sedang 100% dan tinggi 0%, golongan masa dewasa dini, rendah 12%, sedang 25% dan tinggi 63%, dan masa dewasa madya, rendah 0%, sedang 0% dan tinggi 100%. Selanjutnya penulis membuat analisa usia dengan pendekatan interval untuk variabel subjective well-being sebagai berikut sebagai berikut:
39
Tabel 4.4 Interval tingkat subjective well-being Nilai
Keterangan
<36
Rendah
36 – 54
Sedang
>54
Tinggi
Pada variabel subjective well-being (Y) dengan 18 item pernyataan diolah berdasarkan penyebaran usia didapatkan tabel sebagai berikut: Tabel 4.5 Analisis subjective well-being Menurut Usia Masa
subjective well-being Rendah Sedang Tinggi
Usia
Jumlah
Akhir Remaja
16-18
1 (1%)
0 (0%)
0 (0%)
Dewasa Dini
19-40 51 (73%)
7 (14%)
13 (26%)
31 (60%)
Dewasa Madya
41-60 18 (26%)
0 (0%)
3 (17%)
15 (83%)
70 (100%)
7 (10%)
16 (23%)
47 (67%)
Total
1 (100%)
Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap pernyataan responden tentang subjective well-being terlihat bahwa masa akhir remaja yang mempunyai subjective well-being rendah 0%, sedang 0% dan tinggi 100%, golongan masa dewasa dini, rendah 14%, sedang 26% dan tinggi 60%, dan masa dewasa madya, rendah 0%, sedang 17% dan tinggi 83%.
40
Penulis juga membuat analisis subjek sesuai dengan jenis pekerjaannya. Karena vareasi pekerjaan cukup banyak, maka penulis mengelompokkan menjadi dalam 5 jenis pekerjaan yaitu karyawan (termasuk didalamnya karyawan office/pabrik/karaoke, satpam, driver, buruh), wiraswasta (termasuk didalamnya penjahit, tukang ojek), Freelance, PNS, Mahasiswa (termasuk didalamnya pelajar SLTA). Pada variabel self efficacy (X) dengan 31 item pernyataan diolah berdasarkan penyebaran jenis pekerjaan didapatkan tabel sebagai berikut: Tabel 4.6 Analisis self efficacy Menurut Jenis Pekerjaan Masa
Jumlah Rendah
self efficacy Sedang
Tinggi
Karyawan
39 (56%)
3 (8%)
7 (18%)
29 (74%)
Wiraswasta
9 (13%)
1 (11%)
2 (22%)
6 (67%)
13 (19%)
0 (0%)
5 (38%)
8 (62%)
PNS
5 (7%)
2 (40%)
0 (0%)
3 (60%)
Mahasiswa
4 (5%)
1 (25%)
1 (25%)
2 (50%)
70 (100%)
16 (23%)
38 (54%)
16 (23%)
Freelance
Total
Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap pernyataan responden menurut kelompok jenis pekerjaan tentang self efficacy terlihat bahwa karyawan yang mempunyai self efficacy rendah 8%, sedang 18% dan tinggi 74%, kelompok wiraswasta, rendah 11%, sedang 22% dan tinggi 67%, kelompok Freelance,
41
rendah 0%, sedang 38% dan tinggi 62%, kelompok PNS, rendah 40%, sedang 0% dan tinggi 60%, kelompok mahasiswa, rendah 25%, sedang 25% dan tinggi 50%. Pada variabel subjective well-being (Y) dengan 18 item pernyataan diolah berdasarkan penyebaran jenis pekerjaan didapatkan tabel sebagai berikut: Tabel 4.7 Analisis subjective well-being Menurut Jenis Pekerjaan Masa
Jumlah Rendah
subjective well-being Sedang Tinggi
Karyawan
39 (56%)
3 (8%)
9 (23%)
27 (69%)
Wiraswasta
9 (13%)
0 (0%)
2 (22%)
7 (78%)
13 (19%)
1 (8%)
5 (38%)
7 (54%)
PNS
5 (7%)
2 (40%)
1 (20%)
2 (40%)
Mahasiswa
4 (5%)
1 (25%)
1 (25%)
2 (50%)
70 (100%)
7 (10%)
18 (26%)
45 (64%)
Freelance
Total
Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap pernyataan responden menurut kelompok jenis pekerjaan tentang subjective well-being terlihat bahwa karyawan yang mempunyai subjective well-being rendah 8%, sedang 23% dan tinggi 69%, kelompok wiraswasta, rendah 0%, sedang 22% dan tinggi 78%, kelompok Freelance yang mempunyai subjective well-being rendah 8%, sedang 38% dan tinggi 54%, kelompok PNS, rendah 40%, sedang 20% dan tinggi 40%, kelompok mahasiswa, rendah 25%, sedang 25% dan tinggi 50%.
42
4.2. Analisis Hubungan self efficacy Terhadap subjective well-being Tabel dibawah ini adalah hasil analisis korelasi Pearson menggunakan bantuan program SPSS yang berguna untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel self efficacy dengan subjective well-being. Jika ada, berapa besarnya hubungan kedua variabel tersebut. Penulis mengkorelasikan self efficacy dan subjective well-being sesuai tabel dibawah ini: Tabel 4.8 Analisis Hubungan self efficacy dan subjective well-being Correlation self efficacy subjective well-being subjective well-being self efficacy
0.774 0.774
Penulis mengkorelasikan self efficacy dan subjective well-being untuk dua dimensi yaitu afeksi dan kognisi.
43
Tabel 4.9 Analisis Hubungan self efficacy dan subjective well-being Per dimensi SWB Correlation Afeksi
SE SE
1
Kognisi
0.788
0.571
Afeksi
0.788
1
0.758
Kognisi
0.571
0.758
1
Dari analisis tabel diatas dapat diketahui bahwa besar hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being untuk dimensi afeksi adalah 0.788 dan hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being untuk dimensi kognisi adalah 0.571. Hubungan kedua variabel tersebut kuat. Korelasi dimensi afeksi lebih tinggi daripada dimensi kognisi pada variabel subjective well-being. Ini berarti bahwa ODHA memiliki afek/mood yang menyenangkan yaitu memiliki semangat, sabar dan mau bersosialisasi dengan baik lebih banyak daripada perasaan puas terhadap kehidupan yang sekarang dijalaninya. Hubungan self efficacy dengan subjective well-being signifikan jika dilihat dari angka probabilitas (sig) sebesar 0.000 yang mana angka tersebut lebih kecil dari 0.05. Angka probabilitas yang diperoleh adalah 0.000 < dari 0.5 maka H0 ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal tersebut senada dengan interview yang dilakukan penulis dengan dr. Sumarsono, dokter Rumah Sakit 24 Medicare di Jakarta mengatakan bahwa: “Pada waktu seseorang mengetahui terinfeksi HIV serasa dunia runtuh, nah kita sebagai para medis mengarahkan hal-hal apa yang harus
44
dilakukan untuk menyikapi penyakitnya. Kebanyakan dari mereka tetap aktif dan mengikuti nasehat dokter karena tidak ingin kena penyakit sekunder. Mereka yang mau berbagi dan terbuka dengan orang yang dipercayainya terlihat lebih segar dan bersemangat karena kekebalan tubuhnya terjaga” (wawancara pada tanggal 22 Februari 2015). Dari data-data diatas secara umum tergambar bahwa self efficacy dan subjective well-being
cenderung baik. Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian sebelumnya oleh Tong dan Song (2004) yang mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap keyakinan antara laki-laki dan perempuan tetapi ada hubungan positif antara self efficacy dengan subjective well-being yaitu individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi.
45