IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Proyek Pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang dan DAS Waduk Jatigede, Propinsi Jawa Barat yang berada Daerah Aliran Sungai Cimanuk dan didukung dengan hasil-hasil dari pelaksanaan Pembangunan di beberapa proyek pembangunan bendungan lainnya. Daerah Aliran Sungai Cimanuk dengan luas wilayah 3.600 km2, mempunyai curah hujan tahunan rata-rata 2.400 mm dan potensi air permukaan rata-rata sebesar 7,43 milyar m3/tahun. Di hilir lokasi Bendungan Jatigede telah dibangun Bendung Rentang dengan sistem irigasi seluas 90.000 ha, yang terletak di wilayah Kabupaten Majalengka, Cirebon, Indramayu yang sepenuhnya tergantung ketersediaan air di Sungai Cimanuk. Fluktuasi debit di Sungai Cimanuk yang tercatat di Bendung Rentang sangat besar. Debit maksimum di musim hujan adalah sebesar 1.004 m3/detik dan debit minimum di musim kemarau sebesar 4 m3/detik, sehingga rasio antara debit maksimum dan debit minimum adalah 1:251, padahal rasio untuk DAS kritis sekitar 1:50. Laju sedimentasi kondisi awal rencana sesuai uraian di Bab III adalah sebesar 5,32 mm/tahun, termasuk laju sedimentasi kritis karena di atas ambang 5,0 mm/tahun. DAS Waduk Jatigede terletak di bagian hulu DAS Cimanuk, seluas lebih kurang 1460 km2, berada di wilayah Kabupaten Garut dan Sumedang. DAS Waduk Jatigede mempunyai lahan kritis seluas 40.875 ha, atau sekitar 28 % dari luas DAS yang terbagi menjadi 11 sub DAS. Lokasi Bendungan Jatigede berada di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, yang dapat ditempuh dari kota Bandung melalui Sumedang dengan jarak sekitar 90 km dan dapat juga ditempuh dari kota Cirebon ke arah Barat melewati Kadipaten dengan jarak sekitar 75 km. Lokasi penelitian berada di DAS Cimanuk. DAS Waduk Jatigede merupakan bagian hulu DAS Cimanuk (Gambar 26).
65
66
Bendungan Jatigede
Gambar 26. Lokasi penelitian (BBWS 2009)
4.2. Rancangan Penelitian Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara: 1.
Studi literatur.
2.
Pengumpulan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari laporan dan dokumen serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Balai Besar Wilayah Sungai CimanukCisanggarung, Pemerintah Kabupaten Sumedang, Bappeda Propinsi Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik (BPS).
3.
Pengumpulan data primer. Data primer dikumpulkan dari lokasi penelitian di Bendungan Jatigede.
67
Data primer diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di lapangan (seperti data curah hujan, laju sedimentasi, banjir dan kekeringan), hasil pelaksanaan pembebasan tanah dan pemindahan situs di lapangan (data pembebasan tanah, relokasi penduduk, situs budaya, penggantian lahan, ganti rugi tegakan, reboisasi), dampak di lapangan. Data sekunder diperoleh dari publikasi Pemerintah Propinsi dan Kabupaten terkait berupa sistem dan kebijakan, data – data dan analisis dari pelaksanaan pembangunan. Data-data sekunder dari negara lain yang terkait dengan penelitian diadopsi untuk memberikan wawasan yang lebih luas. Jenis-jenis data yang digunakan, baik data primer maupun sekunder adalah : 1. Pembebasan lahan penduduk. Data-data primer yang digunakan adalah dasar peraturan pembebasan tanah, luas pembebasan tanah, lokasi desa dan kecamatan, biaya pembebasan tanah dan masalah – masalah pada pembebasan tanah. 2. Pengadaan lahan pengganti kawasan hutan. Data-data primer yang digunakan adalah dasar peraturan penggunaan kawasan hutan dan pengadaan lahan pengganti, jenis penggunaan kawasan hutan, luas lahan kawasan hutan yang digunakan berdasarkan jenis penggunaannya, lokasi lahan kawasan hutan dan jenis penggunaanya dan masalah-masalah dalam proses pengadaan lahan pengganti. 3. Relokasi (resettlement) Orang Terkena Dampak (OTD). Data-data yang digunakan terkait ini adalah data-data primer luas lahan asal dan desa-desa asal OTD, jumlah KK OTD yang berhak direlokasi dan
masalah-
masalahnya. 4. Sedimentasi. Data-data sekunder yang digunakan terkait ini adalah laju sedimentasi, volume sedimen dan jangka waktu sedimentasi, luas lahan kritis dan tutupan lahan, tata guna lahan, penanganan sedimentasi dan masalahnya. 5. Kuantitas air . Data-data primer dan sekunder yang digunakan adalah curah hujan dalam rentang tahun tertentu, debit sungai dalam rentang tahun tertentu, kebutuhan air untuk berbagai fungsi bendungan dan pola operasi air waduk.
68
Dalam analisis data, pada tahap awal dilakukan penentuan para pemangku kepentingan (stake holder) yang terkait dengan perencanaan pembangunan bendungan. Dari hasil telaahan di lapangan terdapat lima kelompok stake holder. Stake holder pertama adalah Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan Pemerintah
Pusat
adalah
Kementerian
Pekerjaan
Umum,
Kementerian
Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmingrasi, Kementerian Perumahan Rakyat, Bappenas dan Kementerian Keuangan; Termasuk dalam stake holder kesatu adalah pengusaha/kontraktor, konsultan perencana dan konsultan supervisi. Stake holder kedua adalah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumedang serta; Pemerintah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon sebagai Kabupaten penerima manfaat. Stake holder ketiga adalah masyarakat diluar masyarakat penerima manfaat termasuk di sini adalah masyarakat di daerah genangan di Kabupaten Sumedang, khususnya masyarakat di
lima kecamatan, yaitu
kecamatan Jatigede, Jatinunggal, Cisitu, Wado dan Darmaraja, masyarakat di DAS Waduk Jatigede yang berada di Kabupaten Garut dan Sumedang. Stake holder keempat adalah pengguna air yaitu petani dan masyarakat pemanfaat fungsi bendungan di Kabupaten Cirebon, Indramayu dan Kota Cirebon. Stake holder kelima adalah Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk di sini adalah kalangan akademisi. Analisis kebutuhan masing-masing ‘stake holder’ diuraikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Analisis Kebutuhan Stake Holder No. 1.
2.
3.
Stake Holder Pemerintah Pusat
Masyarakat di hulu dan di daerah genangan Pengguna air
4.
LSM/ Akademisi
5.
Pemerintah Daerah
Kebutuhan • • • • • • • • • • • • • • • • •
Tercapainya rencana pembebasan tanah Relokasi permukiman yang lancar Pelaksanaan pembangunan yang minim konflik dan dampak Pencapaian fungsi bendungan yang optimal Penggantian kawasan hutan yang dipakai beserta tegakannya. Reboisasi kawasan hutan pengganti Pembebasan lahan yang sesuai dengan kesepakatan harga yang menguntungkan Pemindahan situs budaya yang ada Dampak lingkungan yang rendah Penyelesaian pembangunan tepat waktu Pencapaian fungsi bendungan sesuai rencana Masyarakat tidak dirugikan akibat pembangunan Program relokasi permukiman berjalan lancar Ikut berperan dalam menangani masalah sosial-budaya dan teknis Melakukan studi pembangunan Relokasi permukiman yang lancar. Tidak terjadi pelanggaran hukum dalam pembebasan tanah, pemindahan situs dan pelaksanaan pembangunan
69
4.2.1. Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System) Sistem menurut Gordon (1989) dipandang sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang terangkai dalam interaksi dan kesalingbergantungan yang teratur. Dilihat dari sudut pandang tujuan yang ingin dicapai, sistem merupakan sekumpulan elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan untuk tujuan yang sama. Tahapan analisa sistem hingga pemodelan sistem dapat dilakukan dalam berbagai tahapan sesuai Gambar 27.
Mulai
Analisa Kebutuhan
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
Pemodelan Sistem
Tidak
Memuaskan ya
Implementasi
Memuaskan
Tidak
ya
Selesai Gambar 27. Tahapan analisis sistem ( Eriyatno 1998 ).
70
1. Analisa Kebutuhan dari stake holder dan faktor-faktor dalam sistem; 2.
Formulasi permasalahan yang ada;
3.
Identifikasi sistem;
4.
Pemodelan sistem yang diverifikasi dan jika tidak memuaskan harus mengulang proses identifikasi dan pemodelan sistem;
5.
Implementasi model yang diverifikasi dan jika tidak memuaskan harus mengulang proses identifikasi, pemodelan dan implementasi sistem. Turban (1990) dan Turban & Aronson (2001) menyebutkan bahwa
konsep Sistem Penunjang Keputusan (SPK) muncul pertama kali pada awal tahun 1970-an oleh Scott-Morton. Mereka mendefinisikan sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diindikasikan empat karakteristik utama dari SPK, yaitu : 1. SPK menggabungkan data dan model menjadi satu bagian; 2. SPK dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan dari masalah yang bersifat semi struktural (atau tidak terstruktur); 3. SPK lebih cenderung dipandang sebagai penunjang penilaian manajer dan sama sekali bukan untuk menggantikannya; 4. Teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari pengambil keputusan. Secara umum SPK terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Manajemen data, didalamnya adalah database yang berisi data yang berhubungan
dengan sistem yang diolah menggunakan perangkat lunak
yang disebut sistem manajemen basis data; 2. Manajemen model, yaitu paket perangkat lunak yang terdiri dari model finansial, statistikal, ilmu manajemen atau model kuantitatif lain yang menyediakan kemampuan sistem analisis; 3. Subsistem dialog, yaitu subsistem yang menghubungkan pengguna dengan perintah-perintah dalam SPK. Pada
penelitian
ini,
data-data
yang
dikumpulkan
dalam
sistem
manajemen basis data yaitu pembebasan tanah penduduk, relokasi penduduk, penggantian kawasan hutan, pemindahan situs budaya, kuantitas air dan
71
sedimentasi. Sedangkan submodel yang ada dalam sistem manajemen basis model yaitu sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air (water balance) dari model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Gambar 28 mendeskripsikan SPK dari Model Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan dengan Sistem Manajemen Basis Datanya. MODEL
DATA
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
DATA DEBIT INFLOW
SUB MODEL SEDIMENTASI DATA KEBUTUHAN AIR
DATA HIDROLOGI DATA SEDIMENTASI
DATA TEKNIS BENDUNGAN
SUB MODEL KESEIMBANGAN AIR (WATER BALANCE)
DATA HASIL KAJIAN TEKNIS PENGADAAN TANAH DATA TUTUPAN LAHAN DAN JENIS TANAH
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
PENGGUNA
Gambar 28. Sistem Penunjang Keputusan (Marimin 2004)
72
4.2.2. Tahapan Penelitian Pada tahap awal dilakukan kajian berdasarkan pustaka terkait dengan penelitian untuk menyusun dua sub model. Dua sub model dari model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan, yaitu : (i) sub model sedimentasi yang terjadi di dalam waduk yang mempengaruhi umur layanan bendungan dan (ii) sub model keseimbangan air (water balance) yaitu pemodelan terhadap keseimbangan kuantitas air terhadap ketersediaan air, kebutuhan air dan pengaruh penguapan di waduk dalam pola operasi operasi waduk. Selanjutnya dilakukan kajian pengadaan tanah dalam perencanaan optimal pelaksanaan pembangunan bendungan, yaitu : (i) penggantian tanah kawasan hutan yang terpakai dalam pembangunan, (ii) pembebasan tanah milik penduduk yang terpakai dalam pembangunan, dan (iii) pemindahan orang terkena dampak dari daerah genangan. Masalah pembebasan tanah, relokasi penduduk dan situs budaya tidak akan dimasukan ke dalam sub model, tetapi akan dilakukan pengkajian teknis untuk mencari rekomendasi penanganan yang paling tepat menanganinya berdasarkan kajian data sekunder serta kajian pustaka yang ada. Pada sub model sedimentasi juga dilakukan pengkajian pustaka terhadap faktor sedimentasi serta perubahan tata guna lahan dalam Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu yang merupakan DAS Waduk Jatigede. Pada sub model ini akan dilakukan
kajian pustaka terhadap data-data terkait dengan sedimentasi di
Daerah Aliran Sungai Cimanuk hulu dengan menggunakan data-data sekunder dari berbagai bendungan di Indonesia. Pendekatan sistem dilakukan dengan menilai analisis kebutuhan, memformulasi permasalahan dan mengidentifikasi sistem. Kemudian disusun strukturisasi sub model sedimentasi pada DAS Waduk Jatigede untuk memprediksi kondisi sedimentasi di waduk dan laju sedimentasi di masa datang serta pengaruhnya terhadap fungsi bendungan dengan model dinamik. Variabel-variabel yang menjadi keluaran dari sub model sedimentasi dalam kondisi dinamik (kondisi di mana terjadi perubahan nilai sesuai dengan umur layanan bendungan) adalah volume sedimen, volume tampungan, luas areal waduk, elevasi waduk dan daya dukung tampungan terhadap fungsi – fungsi bendungan. Terdapat tiga kondisi yang ditinjau dalam sub model sedimentasi sesuai dengan laju sedimentasi yang terjadi pada masing-masing kondisi. Kondisi pertama yaitu kondisi sesuai rencana awal, yaitu kondisi di mana laju
73
sedimentasi diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan pada saat dilakukan Pekerjaan Review Desain Bendungan Jatigede. Kondisi kedua yaitu kondisi terkini yang merupakan kondisi dengan laju sedimentasi terkini yang diperoleh dengan menggunakan Peta Digital topografi pada DAS Waduk Jatigede, Peta Jenis Tanah DAS Cimanuk, Peta Tutupan Lahan dan Data hujan. Kondisi ke tiga adalah kondisi dengan fungsi optimal, di mana laju sedimentasi dihitung dengan cara ‘ trial and error’ sehingga daya dukung terhadap fungsi bendungan mencapai kondisi paling optimal. Metode yang digunakan untuk menghitung laju sedimentasi adalah metode USLE. Sub model sedimentasi nantinya dapat dikaitkan dengan sub model keseimbangan air. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) atau alur di bawah keadaan tertentu. USLE juga bermanfaat untuk tanah tempat bangunan dan penggunaan non pertanian, tetapi juga dapat memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai. USLE dikembangkan di National Runoff dan Soil Loss Data Centre yang didirikan tahun 1954 oleh The Science and Education Administration Amerika Serikat (dahulu namanya Agricultural Research Service) bekerja sama dengan Universitas Purdue (Wischmeier dan Smith, 1978). Proyek-proyek penelitian Federal dan Negara Bagian menyumbangkan lebih dari 10.000 petak-tahun data erosi dan aliran permukaan untuk analisis statistik. Persamaan USLE adalah sebagai berikut : A = R.K.L.S.C.P Dimana A adalah banyaknya tanah tererosi dalam ton/ha/tahun (laju erosi); R adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan; K adalah faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu jenis tanah; L adalah faktor panjang lereng; S adalah faktor kecuraman lereng; C adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman; P adalah faktor tindakantindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan,teras). Penjelasannya yaitu R sangat dipengaruhi oleh kekuatan energi dan kekuatan perusak hujan, sedangkan kemungkinan erosi tanah ditentukan oleh K sebagai sifat tanah dan faktor pengelolaan tanah yang terdiri dari cara pengelolaan lahan di mana terdapat faktor panjang lereng ‘L’ dan kemiringan lereng ‘S‘ serta faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah ‘P’, lainnya
74
oleh faktor pengelolaan tanaman ‘C’. Erosi yang dihasilkan dari metode USLE masih merupakan erosi yang terjadi di dalam DAS dan belum dapat dipergunakan langsung sebagai erosi yang masuk ke waduk. Istilah erosi dalam penelitian ini mengacu pada erosi yang terjadi di dalam DAS, sedangkan erosi yang masuk ke dalam waduk melalui sungai diistilahkan sebagai sedimen. Untuk mengkonversi erosi yang terjadi di dalam DAS dipakai suatu Sediment Delivery Ratio (SDR) yang merupakan rasio dari erosi yang terjadi di dalam DAS dengan sedimen yang masuk ke sungai. Dalam penelitian ini dipakai Metode Robinson dalam Arsyad, S (2010), di mana dengan luas DAS Waduk Jatigede 1.462 km2 diperoleh nilai SDR sebesar 8,44 %. Jadi dari erosi yang terjadi di dalam DAS Waduk Jatigede hanya 8,44 % yang mengalir ke dalam waduk melalui Sungai Cimanuk sebagai sedimen Untuk distribusi sedimen di dalam waduk digunakan metode Area Reduction yang diperkenalkan oleh Lara dan Sanders (1970) karena
pada
metode ini sedimen tidak akan terdistribusi sepenuhnya pada daerah tampungan sedimen yang disebut dead storage tetapi akan menyebar mulai dari elevasi dasar hingga mencapai luasan nol pada muka air normal, dengan konsekuensi terjadi pengurangan luas asal waduk akibat luasan sedimen yang ada. Penyebaran sedimen tersebut terutama dipengaruhi oleh faktor tipe waduk. Sedangkan metode Trap Efficiency, yang menjadi dasar penentuan elevasi dead storage pada elevasi + 221.0 m, menganggap elevasi sedimen akan merata pada elevasi tertentu dan areanya terfokus pada elevasi dead storage. Perhitungan metode area reduction dapat diuraikan dengan urutan sebagai berikut : (i) hitung berat jenis awal sedimen, (ii) hitung berat jenis sedimen pada T tahun (Wt), (iii) hitung volume sedimen pada T tahun dgn rumus : Vt = Inflow sedimen x T x efisiensi Brune/Wt Di mana efisiensi Brune dapat ditarik dari perhitungan di Bab III, (iv) tentukan tipe waduk dengan nilai ‘m’ kemudian dapatkan kurva desain distribusi sedimen yg sesuai, (v) hitung nilai Fploting dengan rumus : F = (S-Vh)/(H.Ah) Perhitungan nilai Fploting ini untuk menentukan elevasi sedimen, dengan S adalah volumen sedimen saat T; Vh adalah tampungan waduk pada elevasi h kondisi original; H adalah kedalaman sampai dasar waduk kondisi original; Ah adalah luas permukaan waduk pada elevasi h kondisi original, (vi) plot nilai Fploting yang diperoleh pada grafik hubungan Fstandar dengan relative depth (p) yang diperoleh sesuai dengan tipe waduk, dan tentukan nilai relative depth pada perpotongan
75
garis Fploting dengan kurva Fstandar dan nilai yang
diperoleh adalah nilai po, (vii)
kalikan nilai po dengan H, sehingga diperoleh ketinggian sedimen dari dasar waduk, (viii) buat kurva distribusi sedimen dengan menghubungkan antara elevasi waduk original, kapasitas tampungan original, kedalaman relatif (relative depth), luas relatif (relative area), sediment area, volume sedimen, luas baru area waduk dan kapasitas baru waduk. Rumus untuk luas relatif sedimen dengan p adalah kedalaman relatif yang diukur dari dasar waduk, untuk tipe waduk, tipe II adalah : a = 2,487 x p0,57 x (1-p)0,41 Perlu diperhatikan untuk luas daerah sedimen (sediment area), dengan ketentuan bahwa elevasi sedimen dipakai dari hasil sebelumnya (proses nomor vii), sejak elevasi tersebut ke dasar waduk, baik area sedimen maupun volume sedimen bernilai sama dengan kondisi original. Elevasi sedimen adalah elevasi di mana hanya ada volume sedimen tanpa ada tampungan airnya. Perhitungan sedimen area dari elevasi sedimen ke atas (ke FSL), nilai diperoleh dengan perbandingan nilai relative area nilai atas kolom dengan nilai bawah kolom dikalikan nilai area kondisi original. Contohnya (1,068/1,059)x554,1 = 559 dan seterusnya. Untuk volume sedimen juga perlu diperhatikan, dengan ketentuan bahwa elevasi sedimen dipakai dari hasil sebelumnya (proses nomor vii), sejak elevasi tersebut ke dasar waduk, baik area sedimen maupun volume sedimen bernilai sama dengan kondisi original. Perhitungan dimulai dari atas. Volume sedimen total di elevasi FSL sama dengan volume sedimen total. Perhitungan berikutnya dihitung berdasarkan perbandingan bentuk distribusi sedimen, dari FSL ke elevasi di bawahnya bentuknya segitiga dan bentuk selanjutnya jajaran genjang. Contohnya Elevasi FSL +651,05 m, elevasi di bawahnya + 649,22 m (selisih elevasi = 1,83 m). Volume sedimen di FSL adalah 330,085 juta m3. Sediment area di elevasi FSL = 0,0 m2 sedangkan di elevasi +649,22 adalah 282,9 ha. Volume sedimen dari elevasi FSL ke elevasi +649.22 adalah (282,9 x 10.000 m2 x 1,83 m)/2 = 2.588.535 maka volume sedimen di El +649.22 = 327,498 juta m3. Untuk elevasi berikutnya di + 646,18 m, selisih tinggi 3,04 m, sedimen area = 412,3 ha. Bentuk yang dibentuk oleh volume sedimen antara el +649,22 m ke + 646,22 m adalah jajaran genjang. Volume sedimen yang ada di antara kedua elevasi adalah (282,9+412,3)/2 x10000 x 3,04 = 10.567.040 m3, sehingga volume sedimen di elevasi + 646,22 m adalah 327,498 juta m3 – 10,567 juta m3 =
76
316.903.000 m3. Selanjutnya dapat dihitung versi revisi untuk Area tampungan dan Volume tampungan waduk dengan mengurangkan sedimen area dan volume sedimen terhadap area dan volume tampungan original di elevasi tertentu. Gambar 29 memberikan gambaran pendekatan sistem analisis model sedimentasi. Pendekatan sistem dimulai dengan menganalisa kebutuhan volume waduk untuk mencapai daya dukung optimal terhadap fungsi, serta laju sedimentasi yang terjadi atau laju sedimentasi maksimal yang dibutuhkan. Selanjutnya diformulasikan masalah yang timbul untuk mencapai kebutuhan volume waduk yang mempunyai daya dukung optimal terhadap fungsi bendungan. Identifikasi sistem dilakukan dengan mengidentifikasikan variabel – variabel yang menentukan dalam proses sedimentasi dan selanjutnya dapat disusun sub model matematis untuk menganalisis sub model sedimentasi. Sedangkan Gambar 30 menampilkan diagram sebab akibat model dinamik sedimentasi sesuai metoda USLE. Di mana faktor-faktor jenis tanah, curah hujan, jenis tanaman, kemiringan lereng dan panjang lereng mempengaruhi besaran sedimentasi/erosi yang terjadi. Erosi akan semakin besar jika faktor hujan dan faktor aliran permukaan (run off) membesar, demikian sebaliknya, erosi akan berkurang jika faktor hujan dan aliran permukaan menurun. Kebijakan pengendalian sedimentasi antara lain dapat berupa tindakan konservasi dalam mempengaruhi kemiringan lereng dan perlindungan massa tanah yang ada. Kebijakan yang lain adalah memperbaiki tutupan lahan yang memberi dampak mengurangi koefisien aliran permukaan (run off coeficient) sehingga mengurangi kecepatan aliran air dan mengurangi tenaga air dalam mengakibat erosi dan lebih lanjut mengurangi laju sedimentasi yang terjadi. Terdapat lingkaran A dan lingkaran B yang menunjukkan keterkaitan dengan sub model keseimbangan air (water balance).
77
METODE
PENDEKATAN SISTEM
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Permasalahan
• Identifikasi Sistem
MULAI
Strukturisasi sub model sedimentasi
Menentukan prioritas alternatif kebijakan dan memperkirakan kondisi keberlanjutan ‘sedimentasi’ di masa datang
Observasi, pengolahan data primer dan sekunder serta referensi
Model Dinamik
Gambar 29. Pendekatan sistem sub model sedimentasi (Hasil penelitian) Keterkaitan A dengan sub model keseimbangan air
adalah aliran
permukaan akan mempengaruhi besarnya debit sungai, semakin besar run off maka semakin besar debit sungai yang mengalir ke waduk. Keterkaitan B dengan sub model keseimbangan air adalah dengan tampungan waduk, semakin besar sedimentasi maka tampungan waduk akan berkurang. Dinamika dalam sub model sedimentasi hanya ditinjau terhadap waktu umur layanan. Dinamika dalam jumlah penduduk terhadap laju sedimentasi tidak terkait secara langsung, pertambahan jumlah penduduk biasanya terkait dengan jumlah kebutuhan air terutama kebutuhan air baku. Suplai air baku dari Bendungan Jatigede didesain sebesar 3.500 liter per detik untuk kebutuhan air baku di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, jika terjadi peningkatan kebutuhan lebih besar dari suplai yang didesain maka harus dibangun bendungan atau sumber air lainnya. Undang – undang
nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang telah
mengatur porsi luasan kawasan hutan minimal sebesar 30% dari luas DAS, di mana dengan besaran minimal ini kelestarian DAS lebih memenuhi syarat keberlanjutan. Peningkatan luasan hutan akan menekan koefisien run off , berarti menurunkan aliran permukaan, meningkatkan aliran bawah tanah (sub flow),
78
menekan laju sedimentasi, menekan rasio Qmaks dan Qmin yang berarti peningkatan kualitas DAS. Porsi luasan hutan di DAS Waduk Jatigede berdasarkan data tahun 1991 berkisar 22,76% dan diperkirakan luasan hutan tersebut berkurang pada saat ini. Kebijakan penyediaan tanah pengganti atau kompensasi terhadap penggunaan kawasan hutan memang tepat, karena jika tidak diganti akan mengakibatkan pengurangan kawasan hutan. Penyediaan lahan pengganti/ kompensasi diutama pada DAS dimana kawasan hutan berada agar tidak terjadi penurunan kualitas DAS. Lahan terbuka yang tidak dimanfaatkan juga dapat diberdayakan
dengan
merubahnya
menjadi
kawasan
hutan.
Diperlukan
kerjasama yang baik antara pemerintah kabupaten yang berada di hulu dan pemerintah kabupaten yang berada di hilir dalam DAS, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat untuk meningkatkan tutupan lahan dan membangun bangunan pengendali sedimen. Pembagian peran antar instansi pemerintah dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti akademisi, masyarakat yang tinggal di dalam DAS baik di hulu maupun hilir, masyarakat pengguna air dan LSM, akan dapat meningkatkan kualitas DAS.
K e m ir ingan le r e n g
T ip e Tanah D am pak k e m ir in g a n le r e n g
D asar ta n a h yang te r g e r u s l h i
Dam pak je n is ta n a m a n
T re n h u ja n
Tanah te r g e r u s p e r u n it a ir
G a m b a r 3 0 . D ia g r a m S u b M o d e l D in a m ik S e d im e n ta s i
Tanah n o rm a l te r g e r u s o e h a ir
D am pak k e te r s e d ia a n ta n a h
K o n s e rv a s i Tanah
Run o ff
D am pak a lir a n a ir
S e d im e n ta s i / E ro s i
A
B
Im p le m e n ta s i k e b ija k a n pengenda lia n e r o s i
79
80
Pada sub model ‘water balance’ akan dilakukan kajian terhadap faktorfaktor ketersediaan air, kebutuhan air, fungsi-fungsi bendungan dan pola operasi waduk
dengan menggunakan data-data dari Daerah Aliran Sungai Waduk
Jatigede . Pendekatan sistem yang dilakukan dengan menilai analisis kebutuhan sistem, yaitu tercapainya fungsi optimal bendungan berarti tingginya keandalan ketersediaan air, mengformulasi permasalahan yang muncul untuk mencapai kebutuhan, dan mengidentifikasi sistem berupa penentuan variabel-variabel yang mempengaruhi sistem. Lalu disusun strukturisasi model keseimbangan air (water balance) di waduk untuk memprediksi kondisi ketersediaan air dan kebutuhan air di masa datang, berupa model matematis. Analisis lebih lanjut menggunakan data-data yang ada serta menggunakan pendekatan model dinamik dengan dinamika terhadap umur layanan serta faktor laju sedimentasi maka dapat ditentukan prioritas alternatif kebijakan dan perkiraan kondisi keberlanjutan keseimbangan air di masa datang. Pendekatan sistem sub model keseimbangan air disajikan pada Gambar 31 dan sub model dinamik keseimbangan air disajikan Gambar 32.
METODA
PENDEKATAN SISTEM
• Analisis Kebutuhan • Formulasi Permasalahan
• Identifikasi Sistem
MULAI
Strukturisasi sub model ‘water balance’
Menentukan prioritas alternatif kebijakan dan memperkirakan kondisi keberlanjutan ‘water balance’ di masa datang
Observasi, pengolahan data primer dan sekunder dan referensi
Model Dinamik
Gambar 31. Pendekatan sistem sub model keseimbangan air (Hasil penelitian) Pada Gambar 32 diagram sub model dinamik untuk keseimbangan air (water balance) ditampilkan bagaimana sub flow (aliran air bawah tanah) dan run
81
off (aliran permukaan) menjadi sumber air bagi aliran sungai atau debit inflow di mana di dalam waduk dipengaruhi hujan yang turun dan penguapan, selanjutnya tampungan waduk dimanfaatkan untuk berbagai fungsi bendungan. Jumlah kebutuhan
dipengaruhi
oleh
penghematan
air
yang
dapat
dilakukan.
Implementasi kebijakan pengelolaan keseimbangan air dalam DAS akan mempengaruhi kualitas DAS. Kualitas DAS yang baik akan memperbaiki kandungan air tanah sehingga menstabilkan debit sub flow (aliran air tanah) dan menurunkan koefisien run off (aliran permukaan) sehingga rasio Qmaks dan Qmin akan menjadi lebih baik (menurun di bawah 50) serta laju sedimentasi menurun menjadi di bawah 5 mm/tahun, menjadi kondisi sub kritis (2 < laju sedimentasi ≤ 5 mm/tahun) atau menjadi normal dengan laju sedimentasi ≤ 2,0 mm/tahun. Lingkaran A dan lingkaran B menunjukkan hubungan sub model keseimbangan air dengan sub model sedimentasi. Rumus dasar atau persamaan yang digunakan pada sub model keseimbangan air di waduk adalah : I–O–E= ∆S Dimana I adalah inflow dalam m3/detik, O adalah outflow dalam m3/detik, E adalah evaporasi (=penguapan) dalam
mm/hari atau juta m3 dan ∆S adalah
perubahan tampungan waduk dalam juta m3 . Terdapat
empat
kondisi
yang
menjadi
kajian
pada
sub
model
keseimbangan air, yaitu (i) kondisi sesuai rencana awal, di mana tidak ada perubahan alokasi debit inflow yang masuk ke Waduk Jatigede dan laju sedimentasi awal sesuai hasil pengukuran saat desain dibuat (ii) kondisi terkini, terdapat
perubahan
alokasi
debit
inflow
akibat
dibangunnya
Bendung
Leuwigoong dan laju sedimentasi terkini (iii) kondisi optimal, terdapat perubahan alokasi debit inflow akibat Bendung Leuwigoong, laju sedimentasi maksimal yang diijinkan serta penghematan pemakaian air irigasi dan (iv) kondisi dengan pengendalian laju sedimentasi dari sedimentasi yang terjadi saat ini hingga akhir umur layanan dan terjadi perubahan alokasi debit inflow.
R a in fa ll T re n d
B a s in c o n s e r v a tio n
R u n O ff
A
A lir a n Sungai
B H u ja n d i p e rm u k a a n waduk
Tam pu ngan waduk
Penguapan di p e rm u k a a n waduk
D e b it L in g k u n g a n
A ir baku
Ir ig a s i / PLTA
G a m b a r 3 2 . D ia g r a m S u b M o d e l D in a m ik K e s e im b a n g a n a ir ( d y n a m ic b y tim e )
S u b flo w
Im p a c t o f la n d c o v e r
Pem enuh an k e b u tu h a n a ir
Penga ru h E fis ie nsi
Im p le m e n ta s i k e b ijk a n pengen d a lia n
82
83
4.2.3. Analisa Dinamik Analisa dinamik merupakan salah satu teknik yang menitikberatkan pada analisa karakteristik struktur sistem yang dipetakan secara nyata. Analisa ini digunakan untuk menganalisa suatu proses serta hal-hal yang berkaitan dengan perumusan strategi di masa mendatang. Struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh hubungan sebab akibat antara-antara faktor-faktor yang ada. Pada analisa sub model/model digunakan untuk memperkirakan kondisi yang terjadi jika suatu kebijakan terpilih digunakan. Analisa dinamik digunakan pada kedua sub model digunakan dalam penelitian ini, yaitu sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air pada semua kondisi yang digunakan pada masing – masing sub model. Nilai dinamik dalam ke dua model hanya ditinjau terhadap waktu. Nilai dinamik terhadap jumlah penduduk tidak dilakukan karena yang dipertimbangkan untuk fungsi irigasi adalah target luasan sawah yang harus diairi pada Musim Tanam I dan Musim Tanam II seluas 90.000 ha dan seluas 76.500 ha pada Musim Tanam III. Untuk fungsi air baku targetnya adalah debit outflow untuk suplai ke Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu sebesar 3.500 liter/detik. Sedangkan untuk fungsi PLTA, sesuai rencana awal, yang dipertimbangkan adalah debit outflow sebesar 73.0 m3/detik dan keandalan 95 % serta produksi listrik sebesar 590 GWh per tahun. Dalam Bab V akan terungkap bahwa debit outflow dan keandalan sesuai itu sulit tercapai sehingga produksi energi dalam kasus Bendungan Jatigede tidak menjadi prioritas, terutama karena fungsi utama bendungan adalah untuk irigasi dan penyediaan air baku. 4.2.4. Diagram Input- Output Diagram Input-Output (Gambar 33) disusun untuk memetakan faktor-faktor yang mempengaruhi
model
perencanaan
pembangunan
bendungan
yang
berkelanjutan dalam kelompok input yang terdiri dari input terkontrol, input tak terkontrol dan input lingkungan dan kelompok output dalam output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Jika tercapai kondisi output yang tidak diinginkan maka harus dilakukan evaluasi terhadap input terkontrol. Gambar
33
menggambarkan
bendungan yang berkelanjutan.
diagram
input-output
model
perencanaan
84
INPUT LINGKUNGAN 1. UU no. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. 2. UU no. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air. 3. UU no. 26/2007 Tentang Penataan Ruang. 4. UU no. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 5. UU no. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 6. UU no. 41/1999 Tentang Kehutanan.
OUTPUT YANG DIINGINKAN 1. Minimalisasi peningkatan. 2. Meningkatkan kesejahteraan. 3. Mengoptimalkan daya dukung tampungan dan fungsi bendungan. 4. Pemeliharaan ekosistem DAS waduk. 5. Minimalisasi konflik dan dampak.
INPUT TAK TERKONTROL 1. Perubahan iklim. 2. Pergantian musim. 3. Kondisi geologi. 4. Kondisi ekonomi - sosial - budaya regional.
MODEL PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN YANG BERKELANJUTAN
OUTPUT YANG TIDAK DIINGINKAN 1. Tidak tercapainya kelayakan ekonomi pembangunan yang direncanakan. 2. Konflik antara pemerintah dan masyarakat yang terkena dampak. 3. Terjadinya bencana akibat dampak. 4. Penurunan kualitas lingkungan hidup. 5. Penurunan kesejahteraan masyarakat.
INPUT TERKONTROL 1. Kebijakan Pemerintah. 2. Koordinasi kelembagaan. 3. Perencanaan pembangunan. 4. Penegakan hukum.
EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN Gambar 33. Diagram Input – Output
85
4.2.5. Diagram sebab akibat perencanaan pembangunan bendungan Diagram sebab akibat atau causal loop adalah loop (hubungan) sebab akibat
dari
berbagai faktor-faktor
dalam
model
kebijakan
perencanaan
pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Hubungan tersebut ditandai dengan hubungan positif (+) jika hubungan antar faktor memiliki trend positif yang berarti peningkatan nilai faktor yang satu akan meningkatkan nilai faktor yang lain, di lain hal hubungan akan ditandai negatif (-) jika hubungan antar faktor memiliki trend negatif yang berarti peningkatan nilai faktor yang satu akan menurunkan nilai faktor yang lain. Causal loop dan penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dalam model merupakan bagian dari tahapan identifikasi sistem (Gambar 34). Kelancaran pelaksanaan pembangunan bendungan akan dipengaruhi oleh proses pembebasan tanah di daerah genangan waduk, bendungan, bangunan pelengkap dan fasilitas lainnya, pembebasan tanah baik milik penduduk maupun tanah yang dimiliki oleh Kementerian Kehutanan/ Perum Perhutani. Relokasi permukiman yang menjadi kewajiban Pemerintah dalam kasus Bendungan Jatigede sebagai akibat Permendagri nomor 15/1975 yang menjadi dasar pengadaan
tanah
tahun
1982-1986
juga
menjadi
hal
yang
penting
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan. Pencapaian
fungsi
optimal
bendungan
dipengaruhi
terutama
oleh
sedimentasi, keseimbangan air di dalam DAS, kualitas air serta penataan ruang dalam DAS terutama yang terkait dengan target DAS ideal dengan luasan kawasan hutan minimal 30 %. Penataan ruang juga terkait dengan pembebasan tanah milik dan tanah kehutanan karena Ijin Penetapan Lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati harus mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, juga karena pengadaan lahan pengganti/kompensasi dalam penggunaan kawasan hutan harus dapat meningkat kualitas tutupan lahan DAS bendungan. Tanda negatif (-) yang menghubungkan dua atribut di dalam Gambar 34 berarti hubungan di antara atribut berbanding terbalik, jika atribut pertama nilainya meningkat maka nilai atribut ke-dua akan menurun. Tanda positif (+) di antara dua atribut, berarti hubungan kedua atribut berbanding lurus, jika nilai atribut pertama meningkat maka nilai atribut ke-dua juga akan meningkat. Kelancaran pelaksanaan pembangunan bendungan dan pencapaian fungsi optimal bendungan menjadi parameter utama pembangunan bendungan yang
86
berkelanjutan. Keberhasilan mencapai target pada kedua parameter
yang
direncanakan
yang
akan
berarti
pencapaian
pembangunan
bendungan
berkelanjutan. Beberapa faktor di dalam ‘causal loop’ seperti kualitas air dan penataan ruang yang juga berpengaruh terhadap pencapaian fungsi optimal bendungan tidak dibahas secara khusus di dalam penelitian ini. Penataan ruang tidak dibahas dengan pertimbangan bahwa pembangunan bendungan sudah harus masuk dalam RTRW Kabupaten atau Propinsi, sehingga aspek tata ruang sudah dievaluasi dan memenuhi syarat penataan ruang wilayah. Sedangkan kualitas air berpengaruh terhadap pencapaian fungsi optimal khususnya untuk suplai air baku, namun dengan pertimbangan, kompleksitas masalah kualitas air jika dimasukkan dalam penelitian dan menimbang bahwa kualitas air baku di DAS Waduk Jatigede dapat memenuhi ambang baku pada saat tertentu namun pada kali lain di atas ambang, tetapi masih dapat ditanggulangi dengan proses pengolahan yang lebih intensif, maka masalah kualitas air tidak termasuk dalam kajian penelitian ini. Untuk memberikan gambaran perbandingan kualitas air di daerah hulu dan hilir Bendungan Jatigede dan perbandingan nilainya terhadap Baku Mutu Air Kelas 1 dari Peraturan Pemerintah nomor 82/2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pada Tabel 13 dan Tabel 14, disajikan kualitas air sungai Cimanuk yang diobservasi oleh Puslitbang Air (2002) pada tiga kali kesempatan yaitu pada bulan September 2002 dan November 2002 dan Desember 2002, di empat lokasi, dua lokasi di hulu Bendungan Jatigede yaitu di Bayongbong dan Sukamantri, dua lokasi lainnya di hilir Bendungan Jatigede di Tomo dan Kertasemaya. Tabel 13.Kualitas air di hulu Bendungan Jatigede (Puslitbang Air 2005) Lokasi Tanggal pH DO (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) SS (mg/l) E.Coli x 10^5 Debit (m3/det)
Bayongbong
Baku mutu air kelas 1
Sukamantri
(nilai maksimum)
12/09/2002
01/12/2002
12/09/2002
01/12/2002
7,78
6,62
7,56
6,88
9 6 (minimum)
6,22
0,67
4,68
6,39
4
44
5
22
2
7
118
13
74
10
50
787
21
684
1000
3 2,64
0,05 4,8
1 3,35
0,1 8,56
0,1
87
Membandingkan hasil tersebut dengan Baku Mutu Air Kelas 1, tampak bahwa pada pengambilan sampel di bulan September
2002 hasil pada item yang
diambil cenderung memenuhi persyaratan baku mutu. Sedangkan hasil pada bulan November dan Desember 2002, hasil yang kurang baik terdapat pada nilai BOD, COD dan E coli, ini berarti perlu pengolahan air baku yang lebih intensif untuk menjadi air minum. Tabel 14. Kualitas air di hilir Bendungan Jatigede (Puslitbang Air 2005) Lokasi
Tomo
Baku mutu air kelas 1
Kertasemaya
13/09/2002
30/11/2002
13/09/2002
30/11/2002
8,01
7,42
7,91
6,95
Maksimum 9
DO (mg/l)
8
5,56
6,42
4,81
6 (minimum)
BOD (mg/l)
3
15
4
26
2
Tanggal Ph
5
39
5
65
10
SS (mg/l)
24
226
10
296
1000
E.Coli x 10^5 Debit (m3/det)
2,5 14
10 150
4 13,67
5 43,94
COD (mg/l)
0,1
4.2.6. Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan dilakukan dalam rangka melakukan penilaian terhadap tingkat keberlanjutan dari kondisi yang ada, yaitu kondisi eksisting dan kondisi ke depan yang lebih baik. Analisis terhadap tingkat keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin (multi disciplinary rapid appraisal), yaitu Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak Rapfish, Kavanagh (2001). Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan sekunder.
Acuan penilaian indeks keberlanjutan
menurut Rapfish adalah (i) jika indeks bernilai ≤ 25 termasuk dalam kategori buruk, (ii) 25 < nilai indeks ≤ 50 termasuk dalam kategori kurang, (iii) 50 < nilai indeks ≤ 75 termasuk dalam kategori cukup dan (iv) 75 < nilai indeks ≤ 100 termasuk dalam kategori baik.
4.2.7. Keterkaitan Antar Tahapan Penelitian Keterkaitan antar tahapan penelitian mulai dari penyusunan dan analisis sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah serta analisis keberlanjutan dapat disusun sebagaimana disajikan dalam Gambar 35. Analisis pada sub model sedimentasi dimulai dengan penentuan laju sedimentasi dengan cara pengukuran sedimen pada
88
kondisi rencana awal. Perhitungan laju sedimentasi terkini dengan menggunakan beberapa informasi terkait mengenai DAS Waduk Jatigede seperti peta jenis tanah, peta tutupan lahan, data hujan, peta digital topografi dengan skala 1:25.000 dan diolah dengan menggunakan program Sistim Informasi Geografis. Laju sedimentasi maksimal untuk kondisi optimal irigasi serta pengendalian laju sedimentasi bertahap diperhitungkan dengan cara ‘ Trial dan Error ‘. Selanjutnya dilakukan penentuan distribusi sedimen selama umur layanan pada masingmasing kondisi selama umur layanan dengan metode area reduction. Kemudian ditentukan daya dukung tampungan terhadap fungsi bendungan selama umur layanan bendungan. Untuk
sub
model
keseimbangan
air,
dimulai
dengan
penentuan
ketersediaan air dari data debit bulanan atau curah hujan. Ketersediaan air pada masing-masing kondisi tidak berbeda, kecuali ada perubahan alokasi inflow seperti pada Bendungan Jatigede terdapat perubahan alokasi inflow akibat dibangunnya Bendung Leuwigoong. Selanjutnya ditentukan kebutuhan air dari fungsi bendungan yang direncanakan. Untuk fungsi irigasi pada bendungan sejak awal biasanya sudah ditentukan target luasan areal irigasi yang diairi selama umur layanan, demikian halnya dengan air baku juga sudah ditentukan target suplai air baku, untuk PLTA tidak jauh berbeda sudah ada target produksi energi dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang. Selanjutnya ditentukan keandalan ketersediaan air untuk berbagai fungsi dan pola operasi waduk selama umur layanan bendungan. Penetuan pengaruh sedimentasi terhadap keandalan ketersediaan air dan pola operasi waduk merupakan titik temu antara sub model sedimentasi dan sub model keseimbangan air. Hasil ini akan menjadi masukan bagi penyusunan rekomendasi
kebijakan
untuk
pencapaian
keberlanjutan
perencanaan
pembangunan bendungan setelah digabungkan dengan hasil dari kajian teknis pengadaan tanah. Kajian teknis pengadaan tanah dimulai dengan penentuan atau identifikasi permasalahan pengadaan tanah. Dilanjutkan dengan penentuan alternatif solusi masalah pengadaan tanah. Lalu dilakukan simulasi dari alternatif solusi yang ada dalam proses pengadaan tanah untuk menentukan solusi terbaik. Hasil ini diintegrasikan
dengan
hasil
sub
model
sedimentasi
dan
sub
model
keseimbangan air untuk menyusun rekomendasi kebijakan bagi pencapaian perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan.
89
Analisis keberlanjutan kondisi perencanaan pembangunan bendungan, dengan studi kasus Bendungan Jatigede, dimulai dengan menentukan nilai indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting saat perencanaan pembangunan bendungan dibuat. Idealnya indeks keberlanjutan eksisting telah mencapai nilai indeks keberlanjutan yang cukup, hal ini mengindikasikan perencanaan pembangunan
bendungan
sudah
berkelanjutan.
Namun,
jika
indeks
keberlanjutan masih kurang, maka hasil dari sub model sedimentasi, sub model keseimbangan
air
dan
kajian
teknis
pengadaan
tanah,
dalam
bentuk
rekomendasi kebijakan dapat digunakan untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan eksisting untuk mencapai keberlanjutan. Dengan memperhatikan atribut atau sektor kunci dari proses analisis keberlanjutan serta hasil dari sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah, rekomendasi kebijakan dapat diuraikan lagi dalam bentuk implementasi rekomendasi kebijakan untuk perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Jika implementasi dilaksanakan dengan benar maka pembangunan bendungan yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Gambar 35 menyajikan gambaran keterkaitan tahapan – tahapan penelitian yang telah diuraikan.
4.2.7. Metode Jalur Kritis (Critical Path Method) Critical Path Method (CPM) atau metode jalur kritis adalah teknik pemodelan proyek yang dikembangkan di akhir tahun 1950-an oleh Morgan R. Walker dan James E. Kelley Junior. Mereka berdua memiliki hubungan bersejarah dalam pengembangan CPM di tahun 1989. Kelley memunculkan istilah ‘critical path’ (jalur kritis) kepada para pengembang Program Evaluation and Review Technique (PERT) yang dikembangkan pada waktu yang sama oleh Booz Allen Hamilton dan US Navy. CPM banyak digunakan pada segala bentuk proyek termasuk konstruksi, penerbangan, pertahanan dan pengembangan piranti lunak. Dalam CPM, titik – titik kegiatan dihubungkan satu sama lain dengan garis panah. Titik – titik kegiatan dapat disusun berurutan maupun paralel. Di titik kegiatan terdapat informasi nomor urutan kegiatan, waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut dan total kumulatif waktu hingga kegiatan tersebut. Jalur kritis adalah jalur waktu paling lama yang tidak boleh mengalami keterlambatan.
D am pak K o n s tru k s i
P e m in d a h a n S itu s
P e la k sa n a a n Pem bangunan Bendungan
Pem bebasan ta n a h k e h u ta n a n
P e n a ta a n Ruang
K u a lita s A ir
S e d im e n ta s i
F u n g s i O p tim a l Bendungan
K e s e im b a n g a n A ir
G a m b a r 3 4 . D ia g ra m S e b a b A k ib a t (C a u s a l L o o p )
Pem bebasan ta n a h m ilik
R e lo k a s i P e m u k im a n
90
Sub Model Sedimentasi
Model Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan
Sub Model Keseimbangan Air
Kajian Teknis Pengadaan Tanah Analisa Keberlanjutan kondisi perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede
Penentuan Laju Sedimentasi dari : data pengukuran sedimen, perhitungan kondisi terkini serta Trial dan Error utkkondisi optimal
PenentuanKetersediaan air dari data debit bulanan
Penentuan/identifikasi permasalahan pengadaan tanah
Indeks Keberlanjutan Kondisi Eksisting dalam pembangunan Bendungan Jatigede (skenario pesimis)
Penentuandistribusi sedimen selama umur layanan dengan metode Area‐Reduction
PenentuanKebutuhan air untuk berbagai fungsi bendungan dan perubahan alokasi air
Penentuan alternatif solusi masalah pengadaan tanah
Penentuandaya dukung tampungan terhadap fungsi bendungan selama umur layanan
Penentuankeandalan ketersediaan air utk berbagai fungsi dan pola operasi waduk dengan rumus keseimbangan air
Simulasi dari alternatif solusi yang ada untuk penentuan solusi terbaik
RekomendasiKebijakan untuk pencapaian keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan
Penentuanpengaruh sedimentasi terhadap keandalan ketersediaan dan pola operasi waduk selama umur layanan
RekomendasiKebijakan untuk pencapaian keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan
Implementasi Rekomendasi Kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan
Pembangunan bendungan yang berkelanjutan
Indeks Keberlanjutan yang mungkin ditingkatkan untuk keberlanjutan perencanaan pembangunan bendungan (skenario optimis)
Gambar 35. Keterkaitan antar tahapan penelitian
91