ISTIHZA` Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed
Iman kepada Allah berpijak kepada ta’zhim (pengagungan) dan pemuliaan kepada Allah. Tidak akan pernah penghinaan dan perendahan kepada Allah berkolaborasi dalam satu qalbu. Berkata Ibnu AlQayyim,
ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳌﱰﻟﺔ ﺗﺎﺑﻌﺔ ﻟﻠﻤﻌﺮﻓﺔ ﻓﻌﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺍﳌﻌﺮﻓﺔ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﺃﺷﺪﻫﻢ ﻟﻪ ﺗﻌﻈﻴﻤﺎ:ﺍﻟﺮﺏ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ﻭﺃﻋﺮﻑ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻪ ﻭﺇﺟﻼﻻ ﻭﻗﺪ ﺫﻡ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﱂ ﻳﻌﻈﻤﻪ ﺣﻖ ﻋﻈﻤﺘﻪ ﻭﻻ ﻋﺮﻓﻪ ﺣﻖ ﻣﻌﺮﻓﺘﻪ ﻭﻻ ﻭﺻﻔﻪ ﺣﻖ ﺻﻔﺘﻪ ﻭﺃﻗﻮﺍﳍﻢ ﺗﺪﻭﺭ ﻋﻠﻰ :ﻭﻗﹶﺎﺭﹰﺍ{ ] ﻧﻮﺡ ﻪ ﻟﻠﱠ ﻮ ﹶﻥﺮﺟ ﺗ ﻢ ﻻ ﺎ ﹶﻟ ﹸﻜ }ﻣ:ﻫﺬﺍ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﻌﺎﱃ ﻫﻮ ﺍﻹﺟﻼﻝ ﻭﺍﶈﺒﺔ ﻓﺈﺫﺍ ﲣﻠﻰ: ﻭﺭﻭﺡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ...[ 13
Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
1
ﺬﻳﻦ ﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪﳘﺎ ﻋﻦ ﺍﻵﺧﺮ ﻓﺴﺪﺕ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻗﺘﺮﻥ ﺍﶈﺒﻮﺏ ﺍﳌﻌﻈﻢ ﻓﺬﻟﻚ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﳊﻤﺪ “Kedudukan ta’zhim ini bersumber dari ma’rifat. Ta’zhim kepada Rabb di dalam qalbu sesuai dengan kadar ma’rifat. Orang yang paling tinggi ma’rifatnya kepada Allah adalah orang yang paling besar ta’zhimnya kepada Allah. Allah telah mencela orang yang tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benarnya, tidak mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya dan tidak menyifati-Nya dengan sifat yang benar. Allah berfirman, “Mengapa engkau tidak percaya akan kemahabesaran Allah?” [Al-Qur`an surah Nuh ayat no. 13]... Ruh ibadah adalah pengagungan dan cinta. Bila salah satu dari keduanya hilang dari yang lain, niscaya rusak yang lain. Bila keduanya diikuti dengan pujian kepada Yang Dicintai dan Diagungkan, maka itulah hakekat ayat alhamdu (dalam surah Al-Fatihah).”1 Iman yang murni tidak akan memandang rendah Allah, iman yang murni akan selalu menyanjungnyanjung Allah. Adalah bohong, kalau mengklaim sebagai mu`min muwahhid kalau masih memandang remeh Allah, walaupun sedikit. Ibnu Taimiyyah menilai, mencaci dan menghina Allah bisa membatalkan tauhid, “Barangsiapa meyakini ketunggalan Allah dalam 1
Madarij As-Salikin 2/495 Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
2
uluhiyyah, risalah bagi hamba dan rasul-Nya kemudian keyakinan ini tidak diiringi dengan pengagungan dan penghormatan, yang merupakan konsekuensinya, dimana ia bersemayam dalam qalbu dan pengaruhnya terlihat dalam anggota badan, justru sebaliknya malah diikuti dengan penghinaan, pembodohan, pelecehan dengan ucapan ataupun perbuatan, maka keyakinan itu sama artinya dengan tidak ada.”2 Demi Allah, mereka yang menyebut nama Allah namun bukan untuk mengagungkan-Nya, melainkan untuk merendahkan dan meremehkan-Nya, mereka bukan orang mu`min muwahhid. Seperti dituturkan Ibnu Taimiyyah, “Membenarkan dengan qalbu menghalangi keinginan berbicara dan berbuat sesuatu yang mengandung penghinaan dan pelecehan, sebagaimana ia memicu kecintaan dan ta’zhim.”3 Di zaman sekarang, banyak kita dengar orangorang mendebat dan mengkritik syari’at Allah dengan sebelumnya mengatakan, “Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh syari’at Allah tidak bermutu, tidak humanis, tidak relevan, tidak holistik, tidak terlalu penting.” Dan penghinaan-penghinaan sejenis. Mereka bergaya menghormati Allah, namun beberapa saat selanjutnya mereka menjatuhkan kemuliaan Allah. Sungguh, kemuliaan Allah tidak akan jatuh oleh tingkah siapapun.
2 3
Ash-Sharim Al-Maslul hal. 324 Idem hal. 524 Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
3
Acapkali para pencela Allah mengelak bila disebut mencela Allah dengan berdalih, “Memangnya apa sih pengertian mencaci itu? Tidak ada barometer yang qath’i dalam Al-Qur`an?” Ibnu Taimiyyah menjawab argumen keropos mereka, “Batasan dan patokan mencaci adalah ‘urf (kebiasaan yang berlaku dalam sebuah masyarakat). Apa yang dianggap oleh ‘urf sebagai cacian dan hinaan atau aib atau celaan dan lainnya, maka itu termasuk mencaci.”4 Ibnu Hajar mencoba memberikan definisi sebagai bantuan untuk membantah dalih para pencela Allah, “Mencaci adalah menyifatkan (menyandangkan sifat) yang menunjukkan kekurangan.”5 Setelah definisi dari Ibnu Hajar ini, masih adakah yang bisa mengelak?
Istihza` adalah Kekufuran yang Membatalkan Iman Ibnu Taimiyyah menguraikan, “Mencaci adalah penghinaan dan pelecehan sementara tunduk kepada perintah berarti memuliakan dan menghargai, maka mustahil qalbu menghina atau meremehkan sesuatu yang ia tunduk kepadanya, patuh dan berserah diri kepadanya. Jika di dalam qalbu terdapat penghinaan dan pelecehan, berarti tidak terkandung di dalamnya ketundukan dan penyerahan diri, maka artinya tidak ada iman di dalamnya. Inilah kekufuran Iblis itu sendiri, 4 5
Idem, hal. 561 Idem hal. 531 dan 540 Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
4
dimana ia mendengarkan perintah Allah dan ia tidak mendustakan seorang rasul pun, namun ia tidak tunduk kepada perintah.”6 Beliau juga menjelaskan dengan retorika sebabakibat, “Ucapan dan perbuatan yang mengandung penghinaan dan pelecehan mengisyaratkan tidak adanya pembenaran (dalam qalbu) yang bermanfaat, dan begitu pula ketundukan dan penyerahan diri, dan oleh karena itu, maka (orang yang mencaci Allah) adalah kafir.”7 Allah telah berfirman mengenai keluarnya para pelaku istihza` dari Islam,
ﻲﺎ ﻓﻢ ﹺﺑﻤﻨّﹺﺒﹸﺌﻬﺗ ﺭ ﹲﺓ ﻮﻢ ﺳ ﻴ ﹺﻬﻋﹶﻠ ﺰ ﹶﻝ ﻨﺗ ﻓﻘﹸﻮ ﹶﻥ ﺃﹶﻥﺎﻤﻨ ﺭ ﺍﹾﻟ ﺤ ﹶﺬ ﻳ ﴾٦٤﴿ ﻭ ﹶﻥﺤ ﹶﺬﺭ ﺗ ﺎﺝ ﻣ ﺨ ﹺﺮ ﻣ ﻪ ﻬ ﹺﺰﺋﹸﻮﺍ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ ﺘﺳ ﻢ ۚ ﹸﻗ ﹺﻞ ﺍ ﹸﻗﻠﹸﻮﹺﺑ ﹺﻬ ﻪ ﺐ ۚ ﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﺃﺑﹺﺎﻟﱠﻠ ﻌ ﻧ ﹾﻠﻭ ﺽ ﻮﻧﺨ ﺎﺎ ﹸﻛﻨﻧﻤﻦ ﹺﺇ ﻴﻘﹸﻮﹸﻟﻢ ﹶﻟ ﻬ ﺘﺳﹶﺄﹾﻟ ﻦﻭﹶﻟﺌ ﺪ ﻭﺍ ﹶﻗﺬﺭ ﺘﻌ ﺗ ﴾ ﻟﹶﺎ٦٥﴿ ﻬ ﹺﺰﺋﹸﻮ ﹶﻥ ﺘﺴ ﺗ ﻢ ﺘﻪ ﻛﹸﻨ ﻟﻮﺭﺳ ﻭ ﻪ ﺗﺎﺁﻳﻭ ﺋ ﹶﻔ ﹰﺔﺏ ﻃﹶﺎ ﺬّ ﻌ ﻧ ﻢ ﻣّﻨ ﹸﻜ ﺔ ﺋ ﹶﻔﻦ ﻃﹶﺎﻒ ﻋ ﻌ ﻧ ﻢ ۚ ﺇﹺﻥ ﺎﹺﻧ ﹸﻜﺪ ﹺﺇﳝ ﻌ ﺑ ﻢﺮﺗ ﹶﻛ ﹶﻔ ﴾٦٦﴿ ﲔ ﻣ ﺠ ﹺﺮ ﻣ ﻮﺍﻢ ﻛﹶﺎﻧ ﻬ ﻧﹺﺑﹶﺄ
6 7
Idem hal. 519 Idem hal. 524 Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
5
“Orang-orang yang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surah yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya.” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kalian takuti itu. Dan jika engkau tanyakan kepada mereka (tentang ejekan yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. Jikalau Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran merekab bertaubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [Al-Qur`an surah At-Taubah ayat no. 6466] Ibnu Taimiyyah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Allah mengabarkan bahwa mereka kafir setelah mereka beriman walaupun mereka berkata, kami berbicara kekufuran tanpa meyakini, kami hanya iseng dan bergurau... Ini menunjukkan bahwa mereka melakukan kekufuran, tapi justru mereka mengira bahwa hal itu bukan kufur.”8 Jika menghina Allah adalah kekufuran, baik pelakunya menganggapnya halal atau tidak, maka 8
Majmu’ Fatawa 7/220, 273 dengan sedikit adaptasi Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
6
mencaci lebih layak dihukumi kufur karena mencaci Allah itu sendiri adalah kufur tanpa memandang ada tidaknya keyakinan akan haramnya hal tersebut. Jumhur ulama menetapkan kufurnya tindakan mencaci Allah dengan kekufuran zhahir dan bathin, sebagaimana dicatat Ibnu Taimiyyah,
ﺇﻥ ﺳﺐ ﺍﷲ ﺃﻭ ﺳﺐ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻛﻔﺮ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺴﺎﺏ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﳏﺮﻡ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﺤﻼ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﺫﺍﻫﻼ ﻋﻦ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﻫﺬﺍ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ .ﺍﻟﻘﺎﺋﻠﲔ ﺑﺄﻥ ﺍﻹﳝﺎﻥ ﻗﻮﻝ ﻭﻋﻤﻞ “Mencaci Allah atau Rasul-Nya adalah kufur zhahir dan bathin, baik orang yang meyakini bahwa hal itu haram ataupun ia menghalalkannya, atau tidak memiliki keyakinan. Ini adalah madzhab ulama pakar fiqih dan seluruh Ahlus Sunnah yang berkata bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan (serta keyakinan dalam qalbu).” Ibnu Taimiyyah kemudian menukil pernyataan Ibnu Rahawaih sebagai penguat,
ﻗﺪ ﺃﲨﻊ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺳﺐ ﺍﷲ ﺃﻭ ﺳﺐ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﻭ ﺩﻓﻊ ﺷﻴﺌﺎ ﳑﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﷲ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ ﻧﺒﻴﺎ ﻣﻦ ﺃﻧﺒﻴﺎﺀ ﺍﷲ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻘﺮﺍ ﲟﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﷲ Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
7
“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa mencaci Allah atau mencaci Rasul-Nya, atau mendepak sesuatu dari apa yang diturunkan Allah (yaitu kitabkitab-Nya), atau membunuh seorang nabi dari nabi-nabi Allah, maka dengan itu ia kafir walaupun ia menetapkan (mengimani) apa yang Allah turunkan (yaitu kitab-kitabNya).”9
9
Ash-Sharim Al-Maslul hal. 512-513 dengan ringkasan Istihza` | Abu ‘Abdul ‘Azhim Brilly El-Rasheed | brillyelrasheed.wordpress.com | ISLAMIA Publishing
8