Kumpulan Artikel
JIHAD MELAWAN
LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
ISLAM DAN LIBERALISME Oleh Kholid Syamhudi, Lc
Musuh-musuh islam tidak henti-hentinya menyerang kaum muslimin dan merusak agama mereka. Tidak cukup hanya dengan mencabik-cabik negara Islam menjadi negara-negara kecil dan terbelakang dengan mengambil sumber daya alamnya yang demikian kaya. Mereka masih terus dan akan terus merusak agama dan kehidupan kaum muslimin hingga mereka meninggalkan Islam dan mengikuti mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya“. [QS. Al-Baqarah: 217] Hal itu karena kedengkian yang terus ada dihati mereka. “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”. [QS. AlBaqarah: 109] Semua ini telah terbukti dan dijelaskan dalam ayat lainnya. Mereka tidak berhenti hingga kaum muslimin murtad dan mengikuti agama mereka. Allah berfirman: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu“. [QS. Al-Baqarah: 120] Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan kita untuk menampakkan petunjuk Allah dalam menghadapi semua konspirasi mereka. Karenanya, kita lihat banyak sekali pemikiran-pemikiran musuh-musuh Islam tersebut yang dimasukkan secara halus ataupun secara paksa masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Baik melalui tangan mereka secara langsung maupun melalui tangan-tangan anak-anak kaum muslimin yang tumbuh dalam didikan mereka. Anak-anak kaum muslimin ini mereka jejali dengan pemikiran dan harta berlimpah agar dapat menjalankan semua program terpadu mereka dalam merusak akidah Islam dan kaum muslimin. Memang mereka terlanjur kagum kepada para musuh tersebut dan terlalu butuh dengan bantuan finansial dan non finansial dari mereka sehingga dengan mudahnya menyebarkan pemikiran tersebut tanpa melihat akibat yang timbul darinya. Diantara pemikiran yang disebarkan tersebut adalah pemikiran liberal (liberalisme) yang dengan bangganya menampakkan kepalanya ditengah-tengah kaum muslimin tanpa rasa khawatir dan takut sama sekali. Melihat ini semua nampaknya perlu kita mengetahui sedikit tentang pemikiran ini dalam tinjauan islam agar kita tidak terjerumus ke dalamnya. Lebih lagi di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Pengertian Liberalisme Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas. [Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, Sulaiman al-Khirasyi, ha.l 12] Liberalisme adalah istilah Eropa yang sangat samar sehingga para peneliti baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi yang ada kembali kepada pengertian kebebasan dalam pengertian barat tentunya. Tertulis dalam The World Book Encyclopedia pada pembahasan Liberalism : “Liberalism dianggap sebagai istilah yang samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu”[Dinukil dari Hakekat Libraliyah, hal. 16]. Oleh karena itu syeikh Sulaiman al-Khirasyi menyimpulkan bahwa Liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu dan memandang kewajiban menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, mengungkapkan pendapat, kepemilikan pribadi dan kebebasan individu serta sejenisnya. Ensiklopedia Inggris menuliskan: “Kata Liberty (kebebasan) adalah kata yang menyimpan kesamaran, demikian juga kata liberal. Seorang liberalis bisa jadi beriman bahwa kebebasan adalah masalah khusus individu semata dan peran negara harus terbatas atau bisa jadi beriman bahwa kebebasan itu adalah masalah khusus negara. Sehingga negara dengan kemampuannya atau kemungkinan menggunakannya sebagai alat penguat kebebasan” [Encyclopedia Britannica pada pembahasan liberalism, dinukil dari Hakekat Libraliyah al-Khirasyi, hal. 17] JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
1
Asas Pemikiran Liberal Secara umum asas liberalisme ada tiga; kebebasan, individualis dan Aqlani (mendewakan akal). 1. Asas pertama: Kebebasan Yang dimaksud disini adalah setiap individu bebas dalam perbuatannya dan mandiri dalam tingkah lakunya tanpa diatur dari negara atau selainnya. Mereka hanya dibatasi oleh undang-undang yang mereka buat sendiri dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian liberalisme disini adalah sisi lain dari sekulerisme secara pengertian umum yaitu memisahkan agama dan membolehkan lepas dari ketentuannya. Sehingga menurut mereka manusia tu bebas berbuat, berkata, berkeyakinan dan berhukum sesukanya tanpa batasan syari’at Allah. Sehingga manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya serta bebas dari hukum ilahi dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran ilahi. Padahal Allah berfirman, “Katakanlah:”Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya;dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [QS. Al-An'am: 162-163] dan firman Allah: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui“. [QS. al-Jaatsiyah : 18] [Lihat Dalil al-'Uqul al-Haa'irah Fi Kasyfi al-Mazhahib al-Mu'ashorah, Haamid bin Abdillah al-'Ali hal. 18] 2. Asas kedua: Individualisme (Al-Fardiyah) Dalam hal ini ada dua pemahaman dalam Liberalisme: a. Individual dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran eropa sejak masa kebangkitan eropa hingga abad keduapuluh masehi. b. Individual dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Inilah pemahaman baru dalam agama liberal yang dikenal dengan Pragmatisme. [lihat Hakekat Libraliyah al-Khirasyi, hal. 17] 3. Asas ketiga: Mendewakan Akal (Aqlaniyah) Dalam pengertian kemerdekaan akal dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya. Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini: a. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar dari materi yang dapat disaksikan dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, pancaindra dan percobaan. b. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga -menurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideologi toleransi (al-Mabda’ at-Tasaamuh)[1]. Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab negara -versi merekaterbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. [Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24]. Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. -Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiranc. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan -versi seluruh kelompok liberal – adalah undang-undang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hokum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal. Islam dan Liberal Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberalisme hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun diatas sikap berpaling dari syari’at Allah, kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya Shallallahu’alaihi Wasallam serta menghalangi manusia dari jalan Allah. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan. Lalu bisakah Islam bergandengan dengan Liberal? Upaya menyatukan Islam dan Liberal. Pemikiran Liberal masuk kedalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah colonial, kemudian disambut orang-orang yang kagum dengan modernisasi eropa waktu itu. Muncullah dalam tubuh kaum JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
2
muslimin kelompok madrosah Al-Ishlahiyah dan madrasah At-Tajdid (kaum reformis) serta AlAshraniyun (kaum modernis) yang berusaha menggandengkan islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis dinegara-negara eropa. Upaya menyatukan liberalism kedalam islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad Abduh dan para muridnya kemudian ditahun 60-an muncullah gerakan reformis (Madrasah At-Tajdid) dengan tokoh seperti Rifa’ah ath-Thohthawi dan Khoiruddin at-Tunisi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu namun mereka memiliki kesamaan dalam upaya menggabung ajaran islam dengan modernisasi barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi barat. Oleh karena itu pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap komodernan barat dan kemajuannya yang terus berubah. Demikian juga mereka sepakat menjadikan akal sebagai sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam agama liberal. Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada Al-Qur’an dan sunnah dan pengaruh kuat pemikiran barat. Ada diantara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang berusaha memunculkan keraguan kedalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya atau dengan cara membolak-balikkan fakta dan realitas ajaran islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama islam ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.[2] Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali merujuk nash syari’at sebagai orang yang kolot dan paganis. Prof. Fahmi Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul: Watsaniyun Hum ‘Abadatun Nushush (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai paganisme baru (Watsaniyah jadidah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata, karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganism zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan simbol dan rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. (Lihat Al-Aqlaniyun Aprakh al-Mu’tazilah al-’Ashriyun, hal.63). Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran barat (westernisasi) dan menghilangkan akidah islam dari tubuh kaum muslimin serta memberikan kemudahan kepada musuh-musuh islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali fundamentalis garis keras. Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok ajaran islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran islam dan aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi adalah program utama dari liberalisme barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari kalangan reformis bias menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai liberalisme dan humanism”[Menjawab Modernisasi Islam, hal 178]. Demikianlah nilai-nilai pemahaman liberal masuk kedalam tubuh kaum muslimin dan kita berlindung kepada Allah darinya dan dari semua penyeru ajaran ini Liberal dalam pandangan hukum Islam Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk kedalam islam dan bukan hasil dari kaum muslimin. Pemikiran ini menafikan adanya hubungan dengan agama sama sekali dan menganggap agama sebagai rantai pengikat yang berat atas kebebasan yang harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya dalam semua marhalah dan sepanjang masa telah membentuk liberal berada diluar garis seluruh agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu walaupun agama yang menyimpang. Sehingga Liberalisme sangat bertentangan dengan islam bahkan banyak sekali pembatal-pembatal keislaman yang ada padanya, diantaranya: 1. 2. 3. 4.
Kufur Berhukum dengan selain hukum Allah Menghilangkan aqidah Al-Wala Dan Bara’ Menghapus banyak sekali ajaran dan hukum islam.
Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana dalam fatwa Syaikh Shalih AlFauzan yang dimuat dalam Surat kabar al-Jazirah hari Selasa tanggal 11 Jumada akhir tahun 1428 H. JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
3
Adakah Islam Liberal? Sungguh amat mengherankan masih juga ada orang yang ingin menggabungkan antara liberal dengan Islam padahal jelas sekali ketidak-mungkinannya. Sehingga bila ada yang menyatakan, saya adalah muslim liberal atau istilah Jaringan Islam Liberal ini adalah satu perkara yang kontradiktif. Ironisnya orang yang disebut profesor atau intelektual tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang hal ini. Wallahu al-Hadi ila Shirath al-Mustaqim. Referensi. Hakikat Liberaliyah Wa Mauqif Muslim Minha, Sulaiman al-Khirasyi Al-’Ashraniyun Baina Mazaa’im At-Tajdid Wa Mayaadin At-Taghrib Muhammad Hamid an-naashir dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi Islam, terbitan Darul Haq ‘Al-Aqlaniyun Aprakh Al-Mu’tazilah Al-’Ashriyun, Syeikh Ali Hasan Ali Abdulhamid , cetakan pertama tahun 1413 H, Maktabah al-ghuraba al-Atsariyah. Dalil Al-’Uqul Al-Haa’Irah Fi Kasyfi Al-Mazhahib Al-Mu’ashorah, Haamid bin Abdillah al-’Ali Penulis: Kholid Syamhudi, Lc. Artikel UstadzKholid.Com
[1] Pemikiran ini disampaikan John Look dalam kitab Risalah fi at-Tasamuh (lihat Hakekat Libraliyah hal 24). [2] Lihat tulisan Muhammad Hamid An-Naashir dalam kitab Al-’Ashraniyun Baina Mazaa’im At-Tajdid Wa Mayaadin At-Taghrib dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi Islam, terbitan Darul Haq hal 174. Juga lihat sebagian pujian mereka kepada mu’tazilah yang dinukilkan Syeikh Ali Hasan Ali Abdulhamid dalam kitab ‘Al-Aqlaniyun Aprakh al-Mu’tazilah al-’Ashriyun hal.61-68.
http://ustadzkholid.com/manhaj/islam-dan-liberalisme/
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
4
Kata 'liberal', menurut Ensiklopedi Britannica (2001), diambil dari bahasa Latin liber. Kata ini pun, menurut Oxford English Dictionary, bermakna sesuai untuk orang bebas, murah hati dalam seni liberal (liberal arts). Salah satu rekaman pertama mengenai contoh kata 'liberal' muncul pada 1375 yang memang digunakan untuk memerikan liberal arts. Dengan terbitnya masa Pencerahan (Enlightenment), kata tersebut memperoleh penekanan positif secara lebih menentukan dengan makna "bebas dari prasangka yang dangkal" pada 1781 dan "bebas dari kefanatikan" pada 1823. Dan di pertengahan abad ke-19, kata 'liberal' mulai digunakan sebagai istilah yang sangat politis. Sebagai kata sifat, kata ‘liberal’ sering dipakai untuk menunjukkan sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka, berpikiran luas lagi terbuka, dan -- karena itu – dianggap hebat. Ini terkait dengan penentangan untuk tunduk kepada kewibawaan apa pun, termasuk Tuhan -kecuali dirinya sendiri. Maka, jika ditelusur, liberalisme di Barat sejatinya berakar dari semangat perlawanan terhadap Tuhan dan agama. Di Eropa, semangat liberalisme sudah muncul sejak masa renaissance (Perancis); berasal dari kata “rinascita” (bahasa Italia) yang artinya: kelahiran kembali. Mulanya, istilah ini dikenalkan pertama kali oleh Giorgio Vasari pada abad ke-16 untuk menggambarkan semangat kesenian Italia mulai abad ke-14 sampai ke-16. Menurut Jacob Buchard, Renaissance, bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi juga kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, sebagi pribadi yang otonom, yang mempumyai kehendak bebas dan tanggung jawab. Setelah Renaissance, manusia telah meninggalkan zaman kegelapan abad Pertengahan yang didominasi kekuasaan dan nilai-nilai agama, tetapi telah menjadi manusia yang bebas, rasional, mandiri, dan individual. Inilah yang konon disebut sebagai “prototipe manusia modern”. (Ferguson, 1948: 194). Manusia modern adalah manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan Tuhan sebagai pusatnya (teosentris). Manusia modern tidak lagi berpegang pada prinsip memento mori (ingatlah bahwa engkau akan mati) tetapi diganti dengan semboyan carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup). Kata mereka: “Man can do all thing if they will.” (Manusia dapat mengerjakan apa saja, asalkan mereka mau). (Tentang Renaissance dan manusia modern, lihat, Sutarjo Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat, (Yogyakarta: Universitas Sanata Darma, 2007). John Locke (1632-1704) John Locke, secara luas dipandang sebagai Bapak Liberalisme. Ia berperan penting dalam pengembangan filsafat liberal. Locke secara sepadu memerikan beberapa asas dasar pergerakan liberal di awal mulanya, seperti hak kepemilikan pribadi dan persetujuan dari orang yang diperintah. Pembangun tradisi filsafat liberalisme ini menggunakan konsep hak alamiah dan kontrak sosial untuk menyatakan bahwa aturan hukum seharusnya menggantikan pemerintahan autokratik, bahwa pengatur menjadi ada di bawah persetujuan yang diatur, dan bahwa individu sebagai pribadi memiliki hak mendasar untuk hidup, bebas, dan berkepemilikan. Dasar dari konsep konsep Kontrak Sosial adalah dakwaan bahwa manusia secara alamiah bersifat bebas dan setara (lihat Two Treatises of Government). Hal ini menjadi dasar pembenaran dalam memahami pengesahan pemerintahan politik sebagai hasil kontrak sosial. Sifat bebas dan setara yang dimiliki manusia sejak awal kehidupannya, memberikannya hak "suara" dalam pendirian suatu pemerintahan. Pemerintahan bertujuan utama untuk melindungi hak-hak manusia seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Sifat bebas dan setara ini begitu penting karena dapat diperluas ke ranah kehidupan lainnya, seperti budaya, ekonomi, dan agama. Sehingga, untuk memahami kebebasan ini secara singkat adalah bebas dari paksaan kewibawaan apa pun yang menghilangkan sifat kemanusiaan. Setelah John Lock, John Stuart Mill (1806-1873) dikenal juga sebagai seorang pemikir besar liberal yang juga sangat berpengaruh. Laki-laki kelahiran Pentonville ini melanjutkan filsafat utilitarianisme Jeremy Bentham. Hanya saja kekhasan Mill terletak pada konsep asas kemanfaatan (utility) dalam bingkai liberalisme. Gagasannya jelas memiliki kesamaan dalam penekanan tentang kebebasan individu. Hanya saja, kebebasan bukanlah sebuah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana. Tujuan kebebasan dan tindakan insan adalah manfaat, baik kualitatif dan kuantitatif. Dan manfaat akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Tindakan manusia tidak hanya sesuatu yang tanpa tujuan. Sebab, jika demikian maka tindakan seseorang menjadi tidak bermakna. Manfaat, sebagai tujuan tindakan, dilihat dari hasrat seseorang dan terdapat kriteria objektif yang mendasarkan dirinya pada nilai kemanfaatannya bagi manusia — khususnya bagi keseluruhan manusia. Penekanan Mill terhadap aspek individualitas dari individu merupakan alasan terpenting keberadaan sebuah lembaga apa pun, termasuk pemerintah. Karena individualitas adalah susunan JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
5
utama dari kebahagiaan manusia yang harus dijamin pemerintah. Jika tidak, maka pemerintah tersebut harus diganti. Maka, kebebasan adalah hak manusia yang mendasar. Dari kebebasan inilah akan muncul kreativitas dan kemajuan sosial serta intelektual. Jika ditelaah secara mendasar, para pemikir liberal sejatinya berawal dari trauma terhadap “Tuhan” dan aturan-aturan agama yang pernah mendominasi masyarakat Barat di zaman Pertengahan. Mereka berpikir, dengan membuang Tuhan dalam kebebasan mereka, maka mereka akan merasakan kebahagiaan, yang tak lain adalah kebebasan. Karena itu, tak heran, jika filosof terkenal Perancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980) memekikkan slogan yang menolak eksistensi Tuhan. Sebab, ide tentang Tuhan membatasi kebebasan manusia: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karen Armstrong, History of God, 1993). (***) Penulis: Khayrurrijal (Guru Pondok Pesantren Husnayain, Sukabumi) http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106:liberalisme-bebasdari-tuhan&catid=17:pemikiran-liberal&Itemid=15
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
6
Proyek liberalisme agama membunuh pengaruh agama di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Oleh: Zarnuzi Ghufron* Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diisi dengan kemajemukan, di antaranya akan berwujud kemajemukan beragama dan berkeyakinan. Kita sebagai warga negara memang dituntut untuk dapat menghargai perbedaan tersebut. Akan tetapi, untuk menghargai sebuah perbedaan kita tidak harus membenarkan semua perbedaan yang ada, jika hal itu memang bertentangan dengan standar (mi'yar) keyakinan yang kita miliki. Sebuah keyakinan adalah ibarat sebuah takaran. Apabila dilihat dari sisi hubungannya dengan yang lain, memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi ke dalam adalah untuk menjadi identitas bagi keyakinan itu sendiri. Dan kedua, fungsi ke luar adalah untuk menjadi alat pembeda dengan keyakinan yang lain. Seperti keyakinan umat Islam tentang Tuhan. Menurut umat Islam, keyakinan yang benar adalah Tuhan itu hanya satu. Berarti hal ini berbeda dengan keyakinan yang lain yang menyatakan bahwa Tuhan itu terbagi tiga atau lebih. Dan adapun untuk menghargai perbedaan tersebut adalah tak lebih hanyalah bagaimana sikap kita ketika menyikapi perbedaan tersebut, yaitu dengan sikap bijaksana, bukan dengan mengubah apa yang ada di dada kita. Karena untuk mengormati pendapat orang lain, kita tidak harus menyetujui pendapatnya, atau dengan kata lain kita bisa menghormati orang lain walaupun kita tidak menyetujui pendapatnya. Karena memang tidak ada korelasi mengikat (talazum) antara menghormati dan membenarkan. Untuk menilai benar tidaknya sesuatu, kita punya takaran sendiri. Begitupun untuk menghormati pendapat yang lain, kita punya pertimbangan sendiri. Akhir-akhir ini, tidak sedikit kita temukan orang yang mengajak untuk membenarkan semua perbedaan keyakinan dengan atas nama menghargai perbedaan, dan mereka tahu bahwa keyakinankeyakinan tersebut sebenarnya saling kontradiksi sehingga tidak mungkin bisa benar secara bersamaan. Jika kita pelajari, cara seperti ini sebenarnya malah bertentangan dengan tujuan mereka sendiri. Karena dengan membenarkan semua keyakinan yang saling bebeda-beda dan kontradiksi tersebut, hal ini malah menghilangkan perbedaan yang ada, karena semua keyakinan telah mereka leburkan menjadi satu, yaitu sama-sama meyakini semuanya benar. Jika semua telah sama, lalu perbedaan apa yang harus mereka hargai, jika perbedaannya sudah tidak ada? Selain keyakinan tersebut lebur menjadi satu, keyakinan tersebut menjadi sama-sama tidak jelas dan kabur, kerena batasan-batasan antarkeyakinan sudah tidak jelas, dan akal siapapun tidak ada yang mampu menyatukan sebuah kontradiksi untuk dikatakan semuanya benar secara bersamaan. Dengan meyakini ragam standar keyakinan, hal ini pada akhirnya hanya akan memunculkan sebuah keyakinan baru, yaitu keyakinan multistandar. Yaitu sebuah keyakinan yang memiliki banyak standar dalam menilai sebuah masalah. Keyakinan multistandar memaksa seseorang untuk meyakini sesuatu hal yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinannya yang awal, karena banyaknya standar penilaian yang dia miliki, walaupun akhirnya memberi hasil yang saling kontradiktif. Dan akhirnya, keyakinan ini akan menciptakan sikap inkonsisten bagi penganut keyakinan tersebut di dalam beragama dan berkeyakinan. Hal ini wajar, karena setiap orang yang memiliki cara penilaian dobelstandar, lebih-lebih multistandar – di dalam masalah apapun – pasti orangnya tidak konsisten dalam menilai masalah tersebut. Karena standar penilaian mereka sendiri beragam dan kadang penuh kontradiksi. Gaya berpikir multistandar, untuk saat ini, dapat kita temukan dalam cara berfikir penganut faham JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
7
pluralisme agama (faham yang dianut kaum Islam Liberal), yang menyatakan bahwa semua agama dan keyakinan adalah benar. Walaupun mereka awalnya telah beragama, tapi mereka tidak ada yang konsisten dengan ajaran agamanya sendiri. Agama tidak mampu mengarahkan kehidupan mereka, tapi malah sebaliknya, agama malah yang mereka arahkan agar sesuai dengan pemikiran mereka, dengan berpindah dari standar ke standar yang lain dalam rangka menyesuaikan keinginan mereka. Walaupun standar yang mereka pakai harus diambil dari agama lain dan kadang bertentangan dengan agama mereka sendiri. Dogma-Dogma Kebenaran Adanya kontradiksi antarkeyakinan sebenarnya telah disadari oleh penganut faham multistandar. Oleh karena itu, mereka mencoba mengeluarkan dogma-dogma tentang kebenaran, sebagai upaya pelarian mereka dari ketidaksanggupan mereka untuk menjelaskan secara rasional bahwa kontradiksi tersebut bisa benar secara bersamaan. Tetapi, di sisi lain mereka tetap ingin membenarkan semua keyakinan tersebut. Dogma-dogma yang sekarang telah mereka keluarkan adalah: "kebenaran itu relatif", "tentang kebenaran yang tahu hanya Tuhan", dan yang terakhir adalah "kebenaran itu banyak, karena semua punya takaran sendirisendiri". Pertama, mereka mengatakan kebenaran adalah relatif, karena mereka tak ingin setiap umat beragama memastikan bahwa keyakinan agamanya adalah yang paling benar dan yang lain salah, sehingga jika mereka menemukan kontradiksi di antara dua keyakinan maka mereka tidak mau memberi keputusan, walau untuk diri sendiri, mana yang benar dan mana yang salah di antara dua keyakinan tersebut, karena keduanya telah sama-sama direlatifkan. Kedua, mereka mengatakan soal kebenaran yang tahu hanya Tuhan. Tujuan mereka tak jauh beda dengan tujuan mereka ketika mereka mengeluarkan dogma kebenaran adalah relatif, yaitu umat beragama, menurut mereka, sama-sama tidak punya hak untuk memastikan mana yang paling benar dan mana yang salah. Dan ketiga, ada seorang pemikir Islam Liberal meyatakan bahwa kebenaran itu banyak, sehingga menurutnya, setiap kebenaran punya takaran sendiri-sendiri. Jika kita pelajari, dogma baru mereka ini keluar tak lain halnya adalah juga sebagai upaya pelarian mereka dari relitas kontradiksi yang ada di antara berbagai keyakinan dengan cara membenarkan semua keyakinan tersebut. Selain itu, agar kita umat Islam melupakan realitas keberagaman kondisi kitab suci umat beragama, yang dalam hal ini sebagai sumber takaran kebenaran setiap keyakinan; ada yang sudah tidak asli lagi, ada yang hasil olah tangan manusia, dan ada yang masih asli dari Rasul. Selain itu, agar kita juga tidak membedabedakan antara keyakinan hasil spekulasi filosofis manusia dengan keyakinan yang bersumber dari wahyu Tuhan. Pernyataan kebenaran adalah banyak, karena setiap kebenaran mempunyai takaran sendiri-sendiri adalah pernyataan problematik. Apakah hanya dengan mempunyai takaran maka setiap orang yang mendakwakan kebenaran maka akan dengan sendirinya diterima sebagai sebuah kebenaran? Dan tidak berusaha berfikir kritis bahwa kemungkinan malah takarannya yang salah atau bermasalah, yang akhirnya berkonsekuensi pada hasil takarannya yang ikut menjadi salah. Oleh karena itu, kesalahan pada takaran malah lebih berbahaya karena bisa membawa pada kesalahan yang lebih luas. Jika kaum Islam Liberal tetap memaksakan diri untuk membenarkan setiap takaran kebenaran, tanpa mau berpikir kritis, maka anak kecil yang belum sekolah dan mengaji dan berkata tentang kebenaran, maka mau-tak mau harus mereka benarkan. Karena anak kecil pun punya takaran sendiri? Korelasi Pluralisme Agama dan Liberalisme Agama Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa faham multistandar atau pluralisme agama dapat mempengaruhi sikap para pemeluk agama, yaitu membentuk sikap tidak inkonsisten dalam beragama dan berkeyakinan. Faham ini akan membantu proses liberalisasi agama di Indonesia, karena proyek liberalisme agama adalah membunuh pengaruh agama di dalam kehidupan bermasyarakat dan JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
8
bernegara atau di wilayah publik. Sedangkan pluralisme agama bertugas menanamkan sikap ragu (skeptis) serta menciptakan sikap inkonsisten umat beragama dalam menjalankan agamanya. Jika sikap inkonsisten tersebut sudah terwujud dalam diri umat beragama, maka akan sangat mudah mengajak mereka untuk meninggalkan ajaran-ajaran agama. Dengan cara ini, proyek liberalisme agama di Indonesia bisa terwujud. Oleh kerena itu, para pengusung faham liberal adalah juga pengusung faham pluralisme agama. Dengan ini, dapat kita ketahui bahwa pluralisme agama bukan hanya sekedar faham, tapi juga sebuah strategi dan siasat untuk mewujudkan liberalisasi dan sekulerisasi kehidupan umat beragama. Begitupun juga dogma-dogma kaum liberalis bukan murni kerja pikiran, tapi juga sebuah strategi untuk menciptakan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran mereka yang lain. Jika proyek tersebut telah berhasil, maka kedudukan “nabi-nabi” umat beragama akan digantikan oleh para pemikir liberal dan “kitab-kitab suci” akan digantikan dengan buku-buku dan artikel para pemikir liberal, walaupun tidak disakralkan, tapi diikuti. Wallahu a'lam bisshowab. Penulis adalah mahasiswa tingkat IV Fakultas Syari'ah wa Qonun Univesitas al-Ahgaff, Hadramaut, Yaman http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran/13337-keyakinan-multistandar-danproblematika-pemikiran-islam-liberal
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
9
Pada 12 Mei 2010 lalu, saya diminta kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, untuk mempresentasikan sebuah makalah berjudul ”Islamic Studies Today: The Challenge of Orientalists” (Studi Islam Hari Ini: Tantangan dari Orientalis). Suasana diskusi cukup semarak. Hadirin sebagian besar adalah mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai fakultas; studi Islam, hukum, pendidikan, ekonomi, dan sosial-politik di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada juga beberapa profesor, dosen senior, peneliti dan beberapa perwakilan lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang tampak hadir. Ini adalah kali kedua dalam seri kuliah bulanan di ISTAC yang mengambil tema ”Islamic Thought after Post-Modernism”. Istilah‘Orientalis’ biasanya ditujukan kepada para Ilmuan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas hanya soal agama Islam, tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas kajiannya dalam peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, China, Mesopotamia, dan Mesir. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban Timur juga dibarengi dengan semangat Enlightenment, yang terkenal dengan istilah ”Ex Oriente Lux” (dari Timurlah munculnya cahaya). Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam telah muncul sejak zaman pertengahan, terutama saat terjadinya Perang Salib. Mereka memulai dengan menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Pada tahun 1143 M, al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton yang diberi judul ’Lex Mahumet Psudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan dari Peter the Venerable, seorang Kepala Biara Cluny di Prancis. Demikian pula dengan karyakarya intelektual Muslim seperti al-Shifa, Qanun fi al-Tibb, al-Tasrif, dan al Zij. Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 banyak universitas di Eropa mulai mengajarkan bahasa Arab dan bahasa orang-orang Islam yang lain seperti; Persia dan Turki. Di Paris materi ini dibuka pada tahun 1635, Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, diikuti Leiden, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna. Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaranajarannya. Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugasi untuk mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk mempelajari daerah Aceh yang dilakukan oleh Snouck Horgronje. Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada kitab Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya. Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influece), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka; A Literary History of the Arabs (Reynold Nicholson), Judaism in Islam (Abraham I. Katsh), Quranic Studies (John Wansbrough), the Qur’an as Text (Stefan Wild) dan sebagainya. Bahkan metode mereka telah mempengaruhi para intelektual Muslim Indonesia yang muncul dalam karya mereka diantaranya Edisi Kritis al-Qur’an. Perbedaan Studi Islam yang dilakukan Orientalis dan kaum Muslim dapat dilihat dari cara mereka berasumsi. Para Orientalis beranggapan bahwa agama Islam adalah objek penelitian yang tidak ada hubungan dengan kebenaran yang ada dalam agama Islam. Mereka melakukan kajian sekedar untuk tujuan penelitian, tanpa mempertimbangkan orang-orang Islam yang memeluknya dan kebenaran yang telah mereka yakini dari agama ini. Selain itu, mereka juga melihat agama Islam sebagai fenomena sosial atau literatur yang layak dikaji melalui pendekatan budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan perbandingan agama. Dengan begitu, mereka membagi Islam dalam dua kategori; Islam normatif (yakni segala norma dan aturan keagamaan yang ditentukan oleh Allah swt), dan Islam aktual (ajaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam di berbagai tempat). Akibatnya muncul kategori-kategori aneh semacam Islam klasik, Islam Fundamental, Islam Pertengahan, Islam Moderat, Islam Radikal, dan Islam liberal. Semua ini adalah pembagian yang tidak tepat. Untuk membendung serbuan intelektual yang sangat masif dari kaum orientalis, maka kini diperlukan munculnya cendekiawan-cendekiawan Muslim yang memiliki basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, menguasai wacana dan kiat-kiat orientalis dalam studi Islam, bermental ”bangga sebagai Muslim” dan berani bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Dalam kajian Sejarah Islam di wilayah Melayu-Indonesia, misalnya, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah merintis studi yang mendalam dan kritis terhadap hasil kajian orientalis tentang JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
10
bidang ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dirintisnya. http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=189:tantanganorientalisme&catid=3:syamsuddin-arif
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
11
Tiga hal mencakup paham liberalisme. Pertama kebebasan berfikir, pandangan skeptik dan agnostik. Terakhir manifestasi nifaq. Tidak mau disebut kafir jika sudah tidak committed pada agamanya Selasa, 30 Agustus 2005 Oleh Syamsuddin Arif, Ph.D
Menyusul terbitnya fatwa MUI belum lama ini, terdengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan definisi liberalisme. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yaitu arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta grammatika, logika dan rhetorika (trivium). Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu. Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 -kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to an authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself). Di sini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
12
nihilisme semacam Nietzsche. Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan 16, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, agar ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti-Tuhan namun dianggap benar. Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius ke-9, Leo ke-13 dan Pius ke10. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka sebut “modernisme” (Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill, Histoire de Catholicisme libéral en France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New York, 1869). Di dunia Islam virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at-Tahtawi (18011873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M). Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, London, 1962; Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988; dan Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998; dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, 1999). Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain. Pendek kata, meminjam ungkapan Binder, liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without equivocation. Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa Islam and liberalism appear to be in contradiction (hlm.2) Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal: (1) free thinking; (2) sophisme; dan (3) loose adherence to and free exercise of religion. Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok dilarang,” ujar mereka. Yang kedua biasanya lebih dikenal dengan istilah ‘sūfasthā’iyyah’, yakni pandanganJIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
13
pandangan skeptik, agnostik, dan relativistik. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama. *) Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat di Hidayatullah.com http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2220&I
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
14
Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia? Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi suratmenyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini. Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anakwanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang. Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii). Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarahdaging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini. Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baikbaik saja. “Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348). *** Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis. Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal. JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
15
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20. Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam. http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=45:liberalisme-danfeminisme&catid=13:tiar-anwar-bachtiar
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
16
Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi Akar Pemikiran Liberal Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89). Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din ‘an alhayah). Sejarah Pemikiran Liberal Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21). Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73). Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat. Sejarah Masuknya Pemikiran Liberal di Indonesia Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam UndangUndang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27). JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
17
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12). Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183). Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular. Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular. Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). (Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. (Said, 1995:101). Tokoh-Tokoh Liberal Indonesia Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya (Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal. (Husaini & Hidayat, 2002:34). Benar, Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka. Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003). Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,”Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam.” (Anshari, 1997:27). Jadi, Soekarno dan Hatta sebenarnya bukan pahlawan dan bukan teladan yang baik bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Keduanya hanyalah bagian dari kelompok sekular di negeri ini yang hakikatnya tidak melakukan apa-apa, selain melestarikan ideologi penjajah di Indonesia dengan mengikuti model negara sekular yang dijalankan kaum Yahudi dan Nasrani yang kafir. Seharusnya umat Islam tidak boleh mengikuti jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani (QS Al-Maidah:51), meski kita tak perlu terlampau heran kalau memang terjadi. Karena Rasulullah SAW jauh-jauh hari JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
18
telah berpesan : “Sungguh kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk lubang biawak, kamu akan tetap mengikuti mereka.” Para shahabat bertanya,”Apakah mereka Yahudi dan Nasrani?” Jawab Rasulullah SAW,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari & Muslim). Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004 Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press), 2002 Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani Press), 1997 Al-Qashash, Ahmad, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995 Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1992 Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984 Falah, Maslahul, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2003 Husaini, Adian & Hidayat, Nuim, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta : : Gema Insani Press), 2002 Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi hSekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005 Idris, Ahmad, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil, (Jakarta : Gema Insani Press), 1991 Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES), 1991 Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah), 1995 Shodiq, Abdulloh, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal, (Pasuruan : PT Garoeda Buana Indah), 1992 Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES), 1986 Ulwan, Abdullah Nashih, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar’ah Az-Zaman wa Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996 http://ayok.wordpress.com/2008/07/18/akar-sejarah-pemikiran-liberal/
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
19
Gunung Merapi di Jawa banyak menyimpan misteri. Bukan hanya potensi letusan, Merapi juga menyimpan misteri sejarah dan berbagai mitos yang membelitnya. Di lereng salah satu gunung berapi teraktif di dunia inilah, berbagai proses dan pergulatan sosial telah datang silih berganti. Hinduisasi, Nativisasi, Islamisasi, juga Kristenisasi dengan mudah dapat dijumpai di berbagai kawasan lereng Merapi. Dilihat dari sejarah Islamisasi, kawasan lereng Merapi bisa dikatakan agak belakangan, terutama bila dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Ini terkait dengan topografinya yang relatif lebih sulit, dibandingkan daerah lain. Dalam catatan Kareel Steenbrink pada abad ke 17, wilayah gunung Merapi masih merupakan wilayah Hindu. Ini terbukti dari naskah-naskah yang ditemukan di daerah tersebut. Dengan mengutip pendapat W. van der Molen, Steenbrink menjelaskan: Kebanyakan karangan Jawa kuno memang terkumpul di Pulau Bali sejak pertengahan abad ke 19. Satu-satunya koleksi besar yang lebih tua berasal dari pertapaan di lereng gunung Merbabu, dalam koleksi itu ditemukan sejumlah naskah, yang berasal dari abad ke 17. Pertapaan-pertapaan di Gunung Merapi pada waktu itu masih menganut agama Hindu. Pada periode terakhir abad ke 18, pertapaan tersebut memeluk agama Islam, sehingga koleksi Merbabu itu juga ditemukan karangan campuran Hindu – Islam dan karangan yang kurang lebih sudah murni keislamannya. (Kareel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press hal. 34-35), dikutip dari DW. van der Molen, Javaanse Tekskritiek, (Leiden :KITLV, 1983). Sejalan dengan Steenbrink, K.H. Muhammad Sholikhin, seorang penulis produktif tentang Islamisasi di Tanah Jawa, juga menjelaskan, bahwa rintisan dakwah di daerah lereng Merapi dimulai pada tahun 1700-an. Dalam wawancara dengan penulis, Kyai Sholikhin mencatat beberapa nama yang aktif merintis dakwah Islam di lereng Merapi, seperti Kyai Handoko Kusumo, Kyai Ragasari, Kyai Hasan Munadi dan Kyai Rohmadi. Nama yang terakhir ini populer dikenal sebagai juru kunci Merapi. Diperkirakan, mereka adalah generasi kedua murid Sunan Kalijaga. Dari nama-nama tersebut, yang paling legendaris adalah sosok Kyai Handoko Kusumo. Dalam tradisi tutur penduduk setempat, Kyai Handoko disebut-sebut seorang keturunan Arab, berkulit putih kemerahan dan berhidung mancung. Gara-gara faktor hidung mancung inilah, masyarakat setempat menjulukinya sebagai Mbah Petruk. Bahkan, Kyai Handoko Kusumo atau Mbah Petruk ini akhirnya dimitoskan oleh masyarakat sebagai penunggu Merapi, karena tidak diketahui dengan jelas kapan dan dimana meninggalnya. Beberapa kalangan menganggapnya moksa. Ritual Tolak Bala Proses peralihan dari Hindu yang bercorak Bhairawatantra (lihat tulisan tentang Bhairawa Tantra oleh Muh. Isa Anshory) ke Islam memang berjalan evolutif. Karena itu, meskipun Islam sudah diterima sebagai agama baru, tetapi sisa-sisa Hindu masih terlihat dari aneka kesenian rakyat dan ritus budaya penduduk seperti wayang orang, jathilan, jalantur, seni pahat, seni lukis, jangkrik ngentir, kobro dan slawatan. (Yohannes Paryogo et al, 2006, Opera Zaman, Grafindo Litera Media, Yogyakarta). Dari ragam kesenian tersebut, hanya tradisi sholawatan yang masih mencerminkan wujud kesenian Islam. Dalam seni jathilan dan kobro, masih dominan corak sinkretisnya, terutama berkaitan dengan ritual ”kesurupan” yang menurut Paul Stange sebagai bentuk unsur Hindu dalam tradisi Jawa. Bahkan praktek mistik seperti ritual tari telanjang untuk menolak bala juga masih dilakukan. Ritus ini dilakukan selepas tengah malam pada setiap awal bulan Syuro di Candi Lumbung. Peserta ritus bertelanjang bulat mengelilingi candi lumbung sambil membaca mantra-mantra di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 2009). Hampir semua wujud kesenian dan tradisi yang ada di masyarakat sekitar Gunung Merapi adalah bentuk ritual tolak bala, yakni sebuah upaya spiritual supaya terhindar dari bencana Merapi. Ini bisa diahami, sebab Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia. Dari aneka budaya lokal tersebut, ritual sedekah gunung merupakan bentuk ritual yang paling banyak diberitakan. Namun bila ditelaah, tiap komunitas masyarakat mempunyai keyakinan dan bentuk yang berbeda dalam melaksanakan tradisi ini. Dalam pandangan masyarakat Desa Lencoh Boyolali, sedekah gunung dilakukan untuk menghormati leluhur mereka yakni Mbah Petruk yang diyakini telah moksa dan saat ini menjadi pelindung ghaib mereka dari ancaman gunung Merapi. Bentuk tradisi di Lencoh ini bahkan mengalami modifikasi. Semula, tradisi ini sekedar hajatan sederhana dengan menanam kepala kerbau di Pasar Bubrah. Lalu, untuk kepentingan pariwisata, dibuat acar lebih menarik. Sebelum disembelih, kerbau terlebih dahulu dikirab keliling kampung. Kristenisasi JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
20
Proses Islamisasi yang belum tuntas di lereng Merapi tampaknya ditangkap dengan jeli sejumlah tokoh misi Kristen/Katolik. Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Pastur Jesuit, misalnya, menjadikan kawasan lereng Merapi sebagai pusat pengembangan misi Katolik di tanah Jawa pada tahun 1899. (FL. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2009). Pada perkembangannya, Kolese Xaverius yang didirikan van Lith mampu mencetak para guru dan imam pribumi yang tersebar hampir di seluruh Jawa bahkan Indonesia. Inkulturasi adalah sebuah proses olah budaya dimana seorang Katolik tetap merasa bisa sebagai orang Katolik 100% sekaligus juga orang Jawa 100%. Konsep inkulturasi budaya yang ditawarkan para rohaniawan Katolik tersebut dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Konsep inkulturasi ini kemudian didekritkan oleh Paus Yohanes Paulus II dengan menyatakan bahwa Kristus tidak boleh asing dari suku, bangsa atau budaya manapun dimana saja ia berada. Gereja harus menanamkan akarnya dalam-dalam ke tanah rohani dan budaya setiap negeri. (RM. John Tondowidjoyo, Etnologi Pastoral di Indonesia, (Ende: Nusa Indah, 1992). Dengan proses ini, kata Roest Cornellius, diharapkan gereja akan mampu menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan memperabarui kebudayaan tersebut. (J.B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pembentukan Persekutuan Jema’at-Jema’at Kontekstual dan Berteologi Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius). Saat ini di sepanjang lereng Merapi dan Merbabu banyak berdiri padepokan seni, yang bertujuan untuk melestarikan budaya asli masyarakat. Para pendiri padepokan tersebut ada yang bergelar “Romo” (istilah untuk pastur) dan ikut berkecimpung secara aktif. Salah satu yang ditokohkan adalah Romo Vincentius Kirjito. Ia dikenal sebagai budayawan penggagas dan pemrakarsa gelar-gelar budaya Merapi di wilayah Barat. Sebagai seorang Padri Katolik Roma, ia mengintegrasikan kesenian Merapi dalam liturgi, pastoral, wacana, diskusi hingga protes terhadap kebijakan pemerintah. Selain mendampingi masalah budaya, para romo, suster dan aktifis Katolik juga dibekali ilmu pertanian yang mumpuni. Kampanye back to nature, pertanian organik dan hidup selaras alam, bisa mereka ejawantahkan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Sehingga masyarakat yang merasakan ladang dan sawahnya menurun kesuburannya semenjak pemerintah memaksakan pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia lewat program Panca Usaha Tani, menemukan jawaban melaui ajaran “organik” para pastur. Tuntutan Dakwah Saat meletus Perang Jawa (Perang Diponegoro) 1825-1830, Kyai Mojo yang menjadi penasehat Pangeran Diponegoro memobilisasi pasukannya dari lereng Merapi. Bahkan sejarah mencatat terjadinya pertemuan antara Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro, untuk memberikan dukungan bantuan melawan penjajah Belanda. Mereka bertemu di sebuah tempat bernama Guo Rojo. Akhirnya Belanda mengetahui pertemuan itu. Pakubuwono VI ditangkap dan kemudian diasingkan ke Ambon. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Islamisasi terus berlangsung di seputar Merapi. Lereng gunung ini bahkan pernah menjadi salah satu basis kekuatan politik Islam dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam bukunya, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, P. Swantoro, menulis ungkapan Pangeran Diponegoro: “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). Hingga kini, proses dakwah atau Islamisasi di lereng Merapi masih berjalan tiada henti. Beberapa ormas Islam terus melebarkan sayap dakwahnya. Sejumlah pondok pesantren juga telah berdiri di seputar Merapi seperti pondok pesantren At Tauhid dan Pondok Pesantren Gontor VI yang ada di Kecamatan Sawangan Magelang. Ritual sedekah gunung yang selama ini dicitrakan sebagai wajah penduduk Merapi, menurut KH. Muhammad Sholikhin sebenarnya sudah mulai ditinggalkan masyarakat seiring meningkatnya pengetahuan dan keislaman masyarakat. Contoh, saat terjadi bencana Merapi pada 2006, masyarakat desa Pedhut masih melakukan ritual sesajen dengan menanam kepala kambing di tiap perempatan desa. Namun pada bencana Merapi tahun 2010 ini, masyarakat sudah tidak melakukan ritual sesajen, tapi mujahadah di masjid kampung dengan jalan melakukan zikir bersama. Ada pun acara sedekah gunung yang dilaksanakan secara massal seperti di Desa Lencoh, lebih merupakan agenda resmi Dinas Pariwisata Boyolali. Kini, di tahun 2010 ini, Merapi beraksi lagi. Bagi kaum Muslim, musibah pasti membawa hikmah. Dakwah Islam terus dinanti. (***) http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=187:islamisasikristenisasi-dan-nativisasi-di-lereng-merapi&catid=21:sejarah&Itemid=19 JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
21
Saya fikir bahwa paham Pluralisme Agama adalah wacana yang terjadi di tataran akademik saja. Tapi, rupanya sudah masuk ke desa-desa Oleh Arif Munandar Riswanto* Pada awal bulan Oktober 2010, saya diundang mengikuti acara halal bi halal Idul Fitri 1431 Hijriah di kawasan Bandung Timur. Sesuai dengan namanya, acara yang diadakan oleh Rukun Warga (RW) tersebut berisi silaturahmi warga sekitar. Maklum, hampir seluruh warga di kampung tersebut adalah orangorang perantauan. Jadi, ketika lebaran, mayoritas warga mudik ke kampung halamannya. Dengan demikian, maka otomatis, lebaran akan dilalui tanpa salaman. Karena, seperti yang telah menjadi tradisi kita, lebaran akan terasa kurang afdhal jika tidak bersalaman. Agar tidak sekadar salaman saja, acara halal bi halal tersebut diisi dengan ceramah. Tampil yang memberikan ceramah adalah seorang sarjana jebolan Universitas Islam terkenal di Bandung. Agar matching dengan situasi dan kondisi, tema ceramah yang diangkat adalah seputar silaturahmi. Saya sendiri terlambat mengikuti acara yang diadakan di halaman masjid tersebut. Beberapa menit di penghujung acara, saya baru datang. Ketika datang, saya pun langsung mendengarkan ceramah. Ceramah yang diberikan sangat cair. Sesekali diselingi humor ringan. Layaknya ceramah yang biasa diberikan kepada masyarakat awam. Ketika baru datang, saya langsung mendengarkan penjelasan tentang silaturahmi. Pemateri kemudian menjelaskan akar kata silaturahmi yang berasal dari bahasa Arab. Namun, ketika sedang menjelaskan silaturahmi, saya kemudian sangat terkejut. Pemateri tersebut menjelaskan bahwa setiap Muslim yang tidak pernah ibadah ke masjid, orang Kristen yang tidak pernah pergi ke Gereja, dan orang Hindu yang tidak pernah datang ke Pura, hidupnya akan hampa. Karena, ia tidak pernah berhubungan (silaturahmi) dengan Tuhan. Dan, kehidupan orang seperti itu pasti akan menderita. Saya sangat terkejut, karena isi ceramah yang disampaikan jelas-jelas menyamakan seluruh agama. Menurutnya, setiap pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, yang datang ke tempat ibadah masing-masih adalah orang-orang yang sedang “bersilaturahmi” dengan Tuhan. Tanpa melihat konsep Tuhan dan ibadah dari setiap agama. Rasa terkejut saya semakin besar ketika materi seperti itu harus disampaikan kepada masyarakat awam. Di mana masyarakat yang tidak mengerti ajaran Islam begitu dalam. Sebagai Muslim, kita yakin bahwa ibadah yang dilakukan oleh orang-orang non-Muslim adalah ibadah yang tidak benar. Seketat dan sepatuh apa pun mereka melaksanakan ajaran agamanya. Jika tidak benar, berarti “jalan silaturahmi” yang mereka lakukan adalah sangat keliru. Karena, tata cara ibadah, kitab suci, dan ajaran-ajaran yang mereka anut adalah tidak sama. Tentu saja, hal tersebut tanpa menafikan ajaran Islam untuk memberikan kebebasan kepada mereka dalam memeluk agama yang diyakininya. Saya bingung, kenapa materi seperti itu harus disampaikan di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota. Saya kemudian bertanya kepada orang yang ada disebelah saya, apakah di antara audience ada nonMuslim. Seketika, orang yang ditanya mengiyakan pertanyaan saya. Saya kemudian melihat orangorang yang di sekitar saya. Ternyata diantara audience banyak orang non-Muslim. Bahkan, saya melihat ada anak kecil yang membawa mainan berbentuk salib. Saya tidak tahu, apakah anak tersebut sengaja datang di komunitas Islam atau memang sudah bercampur-aduk kondisinya. JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
22
Rasa terkejut saya semakin bertambah ketika di penghujung acara, dengan jumawa, pemateri mengajak seluruh audience untuk melakukan doa lintas agama. “Mari kita berdoa sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.” Atas seruan tersebut, maka terjadilah praktik doa lintas agama di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk wacana akademik. Pemateri melakukan doa dengan cara Islam, kemudian audience mengatakan “amin”—termasuk orangorang non-Muslim, bahkan diantara mereka ada yang mengangkat tangannya. Kepada DKM masjid saya bertanya, mengapa materi dan praktik doa lintas agama bisa terjadi di masjid yang dipimpinnya? Dengan spontan, dia menjawab bahwa doa tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing. Padahal, ia adalah seorang tokoh agama setempat. Saya menjelaskan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya melakukan doa lintas agama. Bahkan, dalam fatwa bernomor 03/MUNAS VII/MUI/7/2005 tersebut, MUI menjelaskan bahwa doa lintas agama adalah perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Oleh karena itu, perbuatan tersebut bisa masuk ke dalam kategori bid’ah. Bukan wacana akademik saja Pluralisme Agama adalah ajaran yang mengajarkan bahwa seluruh agama adalah jalan yang benar menuju Tuhan. Setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar sedangkan agama-agama lain salah. Agama hanya jalan menuju the ultimate. Jalan yang ditempuh boleh berbeda, tetapi tujuan terhadap the ultimate adalah satu. Nurcholish Madjis, misalnya, pernah menulis, “Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada Istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan’.” Sedangkan Ulil Abshar Abdalla pernah menulis di harian Kompas, “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi , tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiutas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” Sudah banyak kajian yang menjelaskan tentang paham baru ini. Kajian yang serius tentang masalah ini adalah penelitian Dr. Anis Malik Thoha. Dr. Anis telah menulis disertasi tentang Pluralisme Agama di International Islamic University Islamabad Pakistan dalam bidang Comparative Religion. Pada tahun 2006, Gema Insani Press menerbitkan disertasi tersebut dengan judul Tren Pluralisme Agama. Bahkan, pada tahun 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Pluralisme Agama adalah paham yang haram. Selama ini, saya berpikir bahwa paham Pluralisme Agama adalah wacana yang terjadi di tataran akademik saja. Kalaupun diaplikasikan, ia biasanya dipraktikkan oleh orang-orang “elit” saja. Namun, dari kejadian yang saya alami sendiri, pemikiran saya ternyata tidak tepat. Paham Pluralisme Agama ternyata sudah masuk ke desa-desa. Memang betul, jika dipahami secara akademik, paham Pluralisme Agama tidak mungkin bisa dipahami dengan baik oleh masyarakat awam. Namun, bukan berarti bahwa paham tersebut tidak bisa “diajarkan” kepada masyarakat awam. Paham tersebut bisa diajarkan kepada masyarakat awam sesuai dengan tingkat pengetahuan yang mereka miliki. Di sinilah perlunya dakwah Islam diberikan dengan paripurna. Dakwah harus menyentuh masyarakat awam. Lapisan masyarakat seperti itu harus diberikan pemahaman Islam yang benar. Tentu saja, pemahaman yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat keilmuan mereka. Orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang sibuk bekerja. Mereka hanya mendapatkan pemahaman Islam dari sisasisa waktu bekerja. Jangan sampai sisa waktu yang mereka dapatkan untuk memahami Islam diberikan JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
23
oleh orang yang tidak memiliki worldview dan epistemologi Islam. Karena, pemahaman apa pun yang mereka dapatkan, pasti akan mereka telan bulat-bulat. Tantangan dakwah ke depan semakin berat. Dakwah harus ditata dengan sangat baik. Seluruh Ormas, LSM, ustadz, kyai, alim ulama, cendekiawan, mahasiswa, guru, dan lain sebagainya harus bergerak aktif dalam berdakwah. Yang perlu ditekankan, dakwah bukan hanya bicara di atas mimbar. Namun, cakupan dakwah sangat luas. Dan, dakwah yang paling urgent dilakukan pada saat sekarang ada dakwah ilmu. Masyarakat Muslim—dari seluruh lapisan—harus diberikan keilmuan yang sesuai dengan worldview dan epistemologi Islam. Karena, dari ilmu seperti itu akan lahir pemahaman dan perbuatan yang sesuai dengan Islam. Jika ilmunya salah, pemahaman dan tindakannya pun pasti akan salah. Sebaliknya, jika ilmunya benar, pemahaman dan tindakannya pun pasti akan benar. Jadi waspadalah! Waspadalah! Wallahu a’lam bish-shawab. Penulis adalah Direktur Muaddib Institute http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran/13806-pluralisme-agama-masuk-desa-
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
24
Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran. Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading). Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masingmasing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama. Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologiideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik. Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”. Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita. Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelasjelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
25
New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini: I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis) (Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal). Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu. Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat). Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.” (hal. 251) Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan ”imankufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam. Al-Quran jelas menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama. Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***) http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=24%3Apluralismekerancuan-istilah-dan-pemahaman-&catid=5%3Aanis-malik-thaha&Itemid=19 JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
26
Pemikiran liberal yang berkembang hari ini, dianggap lanjutan pembaharuan yang dibangun Afghani atau Abduh, padahal tidak Oleh: Nirwan Syafrin* ABAD ke-18 bagi dunia Islam merupakan abad kejatuhan dan keterpurukan. Saat itu banyak teritori dunia Islam yang jatuh ke tangan Kolonial Eropa. Tahun 1774, di bawah perjanjian Kuchuk Kainarja, Daulah Utsmaniyyah terpaksa melepaskan beberapa teritorinya kepada Rusia. Dan keadaan menjadi parah ketika Napoleon berhasil melakukan invasi militer ke Mesir pada tahun 1798. Menjelang abad 20, banyak dunia Islam yang sudah berada di bawah kontrol negara asing alias dijajah. Peristiwa ini telah mendorong intelektual muslim Rifa’ah Tahtawi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, di Timur Tengah; Syed Ahmad Khan dan Syed Amir Ali di benua India untuk melakukan pembenahan. Mereka ini lalu disusul oleh generasi baru yang dinilai orang dengan berbagai sebutan, seperti pembaharuan (tajdid), modernisasi, sekularisasi, dan bahkan liberalisasi. Albert Hourani, misalnya, menyebut rentang waktu 1798-1939 sebagai Abad Kebebasan (Liberal Age) dalam Islam. Namun, masalahnya apakah gerakan ini dapat disebut gerakan tajdid yakni pembaharuan pemikiran seperti dalam tradisi intelektual Islam atau liberalisasi seperti yang terjadi di Barat, hal ini memerlukan penjelasan. Berbentuk Kritik Secara historis upaya pembenahan yang dilakukan generasi Abduh ternyata tidak menghasilkan buah seperti yang diinginkan. Sebab setelah berjalan selama seratus lima puluh tahun (pada Juni 1967), dunia Arab justru harus tunduk malu menanggung kekalahan dari sebuah negara yang baru saja berdiri ketika itu, Israel. Sadiq Jalal al-‘Azm menyebut peristiwa itu seperti halilintar di siang bolong yang telah mengubah orientasi karir intelektualnya. Dalam salah satu wawancara dia pernah mengatakan, “I found myself suddenly preoccupied with writing about and debating direct political questions which I never dreamed would be a concern of mine.” (di interview oleh Ghada Talhami, Arab Studies Quarterly, Summer 1996). Namun, dari peristiwa politik ini respon yang muncul justru berbalik mengkritik tradisi Islam. Memang tak lama setelah peristiwa tersebut, ‘Azm pun mulai menulis beberapa artikel dan buku yang mengkritik tradisi intelektual Islam. Ia menulis, misalnya al-Naqd al-Dhati Ba’da al-Hazimah dan Naqd al-Fikr al-Dini, yang kedua ini dianggap sangat kontroversial. Dalam buku ini dia mempertanyakan cerita Al-Quran tentang kejadian Nabi Adam (AS) serta perintah Allah terhadap Iblis untuk sujud patuh pada nabi Adam, apakah hanya sekedar sebuah mitos atau kejadian yang sebenarnya. Dia juga mempersoalkan keimanan umat Islam pada Jin dan Malaikat sebagai berdasarkan mitologi Tuhan Yunani. Karena menurutnya, kisah yang disebutkan di atas itu tidak bisa dibuktikan secara saintifik. Karena isi buku ini, penulisnya dihadapkan ke pengadilan, dan bukunya dilarang untuk beredar. ‘Azm ternyata tidak sendiri. Hasan Hanafi, misalnya, tampil dengan al-Turāth wa al-Tajdīd, Tayyib Tizini dengan gagasan Min al-Turath ila al-Thawrah, dan Husayn Muruwwah dengan al-Naz’ah alīddiyah fi al-Falsafah al-Islāmiyyah. Mohammad Arkoun mengambil inisiatif untuk membangun Proyek Kritik Nalar Islam (Naqd al-‘Aql al-Islam), sementara Mohammad ‘Abid al-Jabiri melakukan Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi). JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
27
Kritik para intelektual Arab di atas menurut Abu Rabi’ dilakukan dari latar belakang ideologis, meskipun terdapat pula dari latar belakang tradisi keilmuan Islam (Ibrahim Abu Rabi’, Contemporary Arab Thought, 10). Karena nuansa kritis terhadap tradisi intelektual Islam begitu menonjol, maka Fadi Isma'il menyimpulkan bahwa dunia intelektual Arab memasuki periode baru yang ia sebut “a stage of epistemic critique.”( Fādi Ismā’īl, al-Khitāb al-'Arabi al-Mu'āsir, 28). Di sini proyeknya bukan lagi kritik tapi malah menjadi penilaian total atas warisan pemikiran Islam, tak terkecuali bangunan Islam itu sendiri. Dekonstruksi Pemikiran Pemikiran liberal yang berkembang hari ini, menurut sementara orang merupakan lanjutan dari gerakan pembaharuan yang dibangun Afghani, Abduh, dan murid-muridnya. Tapi sebenarnya tidak demikian. Seperti dikemukan oleh Nissim Rejwan, Pembaharuan Afghani dan Abduh tidak bertujuan melakukan “penilaian intelektual yang radikal terhadap Islam atau berusaha melakukan revisi terhadap ajaran-ajaran pokoknya."radical intellectual reexamination of Islam or sought at a revision of its basic precepts." (Arabs Face the Modern World, 3). Yang benar, pemikiran pembaharuan para intelektual Arab di atas mengikuti jejak intelektual Arab sesudah Afghani-Abduh, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Abid al-Jabiri dsb. Perbedaannya begitu jelas. Arkoun dan Nasr Hamid, misalnya mengutak-atik konsep wahyu, Al-Quran, iman, Islam dan sebagainya. Hasan Hanafi mengajak umat ini agar membersihkan bahasa mereka dari kosa kata-kosa kata, seperti Allah, Surga, Neraka, Akhirat, Hisab, Siksa, Sirat, Timbangan (mizan),” karena “akal manusia tidak bisa berinteraksi dengan kata-kata tersebut tanpa melalu pemahaman, penafsiran, dan ta’wil,” (Louy Safi, “al-‘Aql wa al-Tajdid,” dalam Qadaya al-Tanwir wa al-Nahdah, 57). Padahal kata-kata tersebut adalah kata kunci dalam membentuk pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Selain itu Abdullah Ahmad an-Na’im, pemikir asal Sudan tampil mempersoalkan kaidah fikih klasik “la ijtihada fi mawrid al-nass (tidak dibenarkan ijtihad ketika ada nass Al-Quran). Karena jika aksioma ini tidak diruntuhkan, menurut dia, kita tidak akan bisa melakukan pembaharuan terhadap hukum-hukum bermasalah seperti hukum yang terkait dengan hajat public, seperti hukum hudud, qisas, dst. Karena hukum ini sudah ditetapkan oleh nas-nas qat’i dalam Al-Quran (Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation, 49-50) D isamping itu kaum liberal juga mempertanyakan hukum Islam yang selalu berorientasi teks (Al-Quran dan Sunnah). Bagi Jabiri, hal ini disebabkan begitu dominannya metode qiyasi yang dibangun oleh Imam Syafi’i yang selalu mengedepankan teks ketimbang pertimbangan yang lain. Bahkan Imam Syafi’i dikritik karena dianggap bertanggung jawab membekukan pemikiran Islam dengan metode usul fikihnya. Nampaknya mereka menginginkan agar umat Islam menggunakan akalnya dan membebaskan diri mereka dari teks. Dan juga agar umat Islam mendekonstruksi basis epistemologi Islam. Padahal baik Afghani maupun Abduh tidak pernah mempersoalkan masalah-masalah keilmuan Islam. Meski keduanya kerap mengkritik ulama silam, namun mereka tidak pernah mempersoalkan bangunan epistemologi dan metodologi mereka. Sementara pemikir Arab yang di antaranya disebutkan di atas justru merombak dan membongkar dasar-dasar epistemologi Islam, khususnya untuk hukum Islam. Mereka itulah di antara sumber pemikiran liberal di Indonesia dan mereka itulah pemikir liberal di dunia Arab.* *)Penulis adalah peneliti INSISTS, kini tinggal di Sukabumi http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran/11712-dunia-arab-dan-liberalisasi-pemikiran-
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
28
Yang seharusnya menjadi pertanyaan, apakah cocok budaya dan pemikiran Barat itu jika diterapkan pada masyarakat Indonesia? Oleh: Ahmad Sadzali Hidayatullah.com--Sudah menjadi maklumat umum bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi, baik keberagaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, norma masyarakat, bahkan sampai watak dan karakteristik setiap penduduknya. Indonesia memiliki 17.667 buah pulau, baik besar maupun kecil. Sebagian besar adalah perairan, sedangkan luas wilayah daratannya hanya 735.000 mil persegi (seluas Alaska). Di sekian banyak pulau yang ditempati penduduk Indonesia tersebut, terdapat lebih dari 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang sangat berbeda. Dan sistem sosialnya juga berbeda-beda, dari desa-desa kecil yang terpencil sampai kepada kota-kota metropolitan yang besar dan maju. Maka wajar saja kalau negara kita ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka ragam namun satu jua. Semboyan ini sesungguhnya sudah sangat mewakili gambaran masyarakat Indonesia. Meski keberagaman itu banyak sekali, namun semuanya itu masih tetap berada di bawah satu atap, yaitu negara Republik Indonesia. Keragaman yang ada bukanlah suatu hambatan bagi masyarakat Indonesia untuk bersosial dan berinteraksi. Ketika semboyan ini diserukan, seketika itu juga jiwa persatuan itu tumbuh. Akan tetapi permasalahannya tidak hanya sampai di situ saja. Ternyata di balik semboyan ini juga tersirat suatu peringatan yang penting bagi masyarakat Indonesia agar selalu menjaga integritas bangsa. Dengan kata lain, sebenarnya semboyan tersebut sangatlah sensitif terhadapat keutuhan tanah air. Jika keberagaman tersebut tidak dapat dijembatani dengan baik, maka dengan mudahnya masyarakat Indonesia akan pecah. Terbukti dengan kasus bercerainya Timor Timur dari NKRI, adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), perang suku yang terjadi di Sambas, kericuhan antara umat Islam dan Kristen di Poso, dan lain sebagainya. Tentu saja ini menjadi catatan dan perhatian yang serius bagi kita semua. Keutuhan NKRI bagaimanapun harus tetap dijaga dan dipertahankan. Namun bukan berarti untuk mempertahankannya itu, kita harus mengorbankan keberagaman yang ada. Bukan berarti juga keberagaman itu yang menjadi sebab utama perpecahan yang ada. Karena keberagaman yang ada memang sudah menjadi sunnatullah. Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut, bisa menjadikan rahmat bagi umat. Ujian liberalisme Sekarang keberagaman yang ada di Indoneisa, khususnya keberagaman budaya, tengah menghadapi ujian yang cukup besar. Ujian itu datang melalui arus yang diberi nama dengan liberalisasi. Arus ini seolah menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi keberagaman tersebut. Kebebasan menjadi alternatif persamaan atas perbedaan. Sebab inilah mengapa liberalisasi itu dikatakan sebagai ujian bagi keberagaman Indonesia. Bahkan liberalisasi tidak hanya sebagai ujian saja bagi kebhinekaan nusatara, namun lebih dari itu ia juga menjadi pengkhianat bagi kultur budaya Indonesia. Liberalisasi telah menjadi musuh dalam selimut bangsa. Salah satu buktinya adalah ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dilayangkan, banyak para liberalis yang mengatasnamakan keberagaman budaya untuk menolaknya. Gesekan budaya Indonesia dengan budaya Barat sudah sejak lama muncul. Yaitu ketika mulai masuknya kolonial bangsa Barat ke Indonesia. Bangsa Barat ketika menjajah Indonesia, tentu saja tidak hanya karena mengeksplorasi rempah-rempah atau kekayaan alam Indonesia belaka. Di samping itu juga terdapat visi lain, yaitu penyebaran ajaran kepercayaan dan kebudayaan Barat. Orang Indonesia yang hidup di zaman kolonial ini tentu sangat merasakan bagaimana gesekan budaya pribumi dengan budaya Barat itu terjadi. Dengan kekuasaannya, Barat sangat mudah memaksakan budaya dan pemikirannya kepada masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah modernisasi adat dan budaya itu sendiri. Tapi yang seharusnya menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah, apakah cocok budaya dan pemikiran Barat itu jika diterapkan pada masyarakat Indonesia? JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
29
Pada dasarnya kultur Barat dan Indonesia sangat berbeda. Kultur Barat dengan kapitalismenya memiliki sifat seperti berikut; adanya minat yang tinggi terhadap hal yang baru, adanya semangat berpetualang dalam mengusahakan hal-hal yang baru tersebut, tingginya individualisme, dan pengagungan kepada materi. Sifat seperti ini tidak mudah untuk ditanamkan di tempat lain. Ibarat suatu bibit tanaman, maka sifat-sifat yang ada pada Barat ini membutuhkan lahan yang sesuai dengannya, agar ia bisa tumbuh subur. Agar lahan itu cocok dengan bibitnya, maka setidaknya ada persyaratan yang harus dimiliki. Salah satu syarat untuk lahan tersebut adalah, adanya suatu suatu kelas yang kuat dari kaum urban yang terdiri dari orang-orang yang relatif bebas serta mandiri. Namun sayangnya Indonesia belum memiliki kelas seperti itu. Seperti realita sekarang, di Indonesia masih memiliki keragaman sosial. Konsep pemerintahan yang menjadi faktanya. Ada pemerintahan kota, ada juga pemerintahan desa. Dan keragaman seperti ini telah melekat dengan budaya Indonesia, serta masuk dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu bukti untuk menguatkan pendapat ini adalah kebijaksanaan kolonial Belanda di bidang perdagangan pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan di abad ke-19, hanya mampu membawa sedikit perubahan di bidang kehidupan ekonomi. Kebijakan ekonomi Belanda ternyata tidak mampu mengubah struktur sosial masyarakat Indonesia secara berarti. Sekiranya ini sudah cukup untuk membuktikan kalau budaya pemikiran Barat itu tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Negara ini bukan lahan yang pantas bagi bibit-bibit Barat seperti liberalisme. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kultur Barat dan Indonesia, yang menyebabkan ketidakcocokan itu. Selanjutnya, ada catatan penting yang harus disampaikan di sini. Kolonialisme Barat ternyata masih belum berakhir. Sampai sekarang gaungnya masih dapat didengarkan, meskipun masih sayup-sayup. Jika dulu kolonialisme adalah dengan cara pendudukan pemerintahan dan mengambil segala kekayaan alam yang ada di Indonesia, namun sekarang gerakan kolonialisme itu berbentuk ekspansi pemikiran Barat ke dalam masyarakat kita. Akan tetapi tujuan utama dari kolonialisme kuno dan sekarang tetap sama, yaitu menguasai negara dan dunia. Jika itu di Indonesia, niscaya ia akan mengusai Indonesia. Maka di sinilah letaknya peranan kebudayaan beragam Indonesia dalam membasmi bibit-bibit Barat yang kolonialis dan liberalis. Keragaman budaya ini jangan mau dirasuki begitu saja oleh paham-paham seperti ini. Konsep pemikiran Barat seperti liberalisme itu bukan malah menjadi perantara untuk menjembatani kebhinnekaan Indonesia, akan tetapi justru menjadi bumerang yang nantinya menimbulkan kekacauan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Wallahu’alam.[www.hidayatullah.com] Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo. Banyak cerita beredar seputar bentuk-bentuk ritual kuno di wilayah lereng Merapi. Salah satunya adalah ajaran Bhairawa Tantra, yang merupakan bentuk sinkretisme dari agama tertentu. Awalnya keyakinan ini hanya berkembang di elit politis Keraton saja dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu, sehingga kecenderungan jiwa akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (Jakarta-Groningen: J.B. Wolter, 1953:89) Bhairawa Tantra muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah Timur. Dari sini, lalu tersebar ke Utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah Timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain di Jawa, sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme. Seorang raja terkenal dari kerajaan Melayu kuno, diceritakan menerima pelantikannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang menebarkan bau busuk. Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat semerbak baunya. Pengikut sekte Bhairawa Tantra berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka, pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan secara JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
30
penuh memanjakan kenikmatan hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral ini puncaknya adalah untuk melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut. Bentuk ritual sekte ini meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks bebas). (Lihat, HM Rasjidi, Islam dan Kebatinan. (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1967, juga R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Yogyakarta: Kanisius, 1988). Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Lihat, Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2006:253, 448). Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2010:347). Praktik mistik yang lain yang masih eksis di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Majalah Liberty, 11-20/1/2008). Ritual ini juga masih memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi, bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Konon, berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari. Banyak penduduk sekitar bisa mendengarnya. Namun masyarakat setempat kini telah memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu. Tradisi ritual semacam ini tentu saja sudah ditinggalkan masyarakat sekitar lereng Merapi. Sebagian besar mereka kini memeluk agama Islam. Bahkan, tradisi-tradisi sesudahnya, seperti penanaman kepala kerbau juga berangsur ditinggalkan oleh masyarakat. Pemahaman Islam telah mengubah persepsi mereka tentang makna ibadah dan “kurban”. Ironisnya, kini dengan berlindung dibalik slogan “kearifan lokal” ada pemerintah daerah setempat berupaya mengkomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan tersebut. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah bentuk stagnasi sebuah periode sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai obyek mati yang statis dalam merespon perkembangan kebudayaan manusia. Padahal cara pandang ini sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah banyak ditinggalkan. Van Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap kebudayaan hari ini telah bergeser, dimana setiap orang merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbitan Kanisius, 1976:12). Dengan kondisi budaya dan agama seperti itu, bisa dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh Wali Songo saat menyebarkan Islam di tanah Jawa. Mereka harus menyadarkan para pengikut Bhairawa Tantra. Melalui proses yang lama dan tidak mudah, ajaran sekte ini akhirnya ditinggalkan orang. Sisa-sisa ajaran Bhairawa Tantra memang masih bisa ditemukan pada sebagian individu. Hingga kini, Islamisasi di lereng Merapi terus berjalan meski harus berhadapan dengan Kristenisasi dan nativisasi. (***) http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=190:ritual-kuno-dilereng-merapi&catid=21:sejarah&Itemid=19
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
31
Kyai Hasyim Asy’ari dikenal pembela syariat Islam. Andai beliau masih hidup, pasti berada di garda depan menolak pemikiran Liberal Oleh: Kholili Hasib* SUSUNAN Pengurus PBNU telah diumumkan, namun apakah sudah steril dari orang-orang liberal? Tentunya, harapan itu besar bagi umat Islam Indonesia. Sudah saatnya arus liberalisasi agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU belakangan ini ditanggapi serius dan tegas. Sebab, pemikiran ‘nyeleneh’ mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari –pendiri NU – yang dikenal tegas dan tidak kompromi terhadap tradisi-tradisi batil. Ironinya, ketokohan Kyai Hasyim tidak hanya sudah ditinggalkan, akan tetapi malah berusaha ditarik-tarik dengan mengatakan, Kyai Hasyim adalah tokoh inklusif. “KH. Hasyim adalah tokoh moderat, menghargai keberagamaan, dan terbuka,” begitu ungkap seorang kader muda NU, dalam acara bedah bukunya berjudul “Hadratussyaikh; Moderasi Keumatan dan Kebangsaan” pada 13 Maret 2010 di Jombang. Penulisnya yang juga aktivis Islam Liberal, tampaknya ingin menarik-narik bahwa pemikiran Kyai Hasyim sesuai dengan pemikiran progresif anak-anak muda NU saat ini. Progresif dalam pemikirannya, adalah yang tak jauh dari pemikiran liberal dan inklusif. Tentu, ini sebuah kesimpulan yang cenderung gegabah. Kesimpulannya tersebut akan membawa dampak tidak sehat terhadap organisasi NU ke depan. Sebab, ketokohan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat jauh dari ide-ide inklusifisme (keterbukaan) mereka. Pada zamannya, harap dicatat, Kyai Hasyim adalah tokoh sangat concern membela syari’at Islam. Dalam konteks dinamika pemikiran progresif anak-anak muda NU seperti sekarang, cukup menarik bila kita mengkomparasikan dengan pemikiran founding father Jam’iyah NU ini. Ada jarak yang cukup lebar ternyata antara ide-ide Kyai Hasyim dengan wacana-wacana yang dikembangkan kader-kader muda NU yang liberal itu. Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari yang sangat disegani, membuat orang NU ingin diakui sebagai pengikut beliau. Akan tetapi, upaya pengakuan yang dilakukan anak-anak muda liberal NU tidak dilakukan dengan mengaca pada perjuangan dan ideologi Kyai Hasyim. Sebaliknya, pemikiran Kyai Hasyim justru secara paksa disama-samakan dengan pemikiran iklusivisme mereka. Padahal Kyai Hasyim pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar. Ketegasan Kyai Hasyim Wajah pemikiran pendiri NU ini yang paling menonjol adalah dalam pendidikan Islam, sosial politik, dan akidah. Akan tetapi pemikiran terakhir beliau ini belum banyak dielaborasi. Padahal untuk bidang keyakinan yang prinsip, beliau dikenal mengartikulasikan basicfaithnya secara ketat, tegas, dan tidak kompromi. Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orangorang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi. Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
32
Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut. Dalam aspek keyakinan, Kyai Hasyim juga telah wanti-wanti warga Nadliyyin agar menjaga basic-faith dengan kokoh. Pada Muktamar ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting. Seakan sudah mengetahui akan ada invasi Barat di masa-masa mendatang, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk.” Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan AlQur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidahakidah sesat”, lontar Kyai Hasyim. Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik pada masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,” tegasnya. Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat. Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya. Dalam kitab yang sama, mbah Hasyim (demikian sering dipanggil) menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu - , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya. Menurut Kyai Hasyim, term wihdatul wujud dan hulul dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Kalaupun term itu diamalkan oleh seorang tokoh sufi dan para wali, maka maksudnya bukan penyatuan Tuhan dan manusia (manunggaling kawula). Seorang sufi yang mengatakan “Maa fi al-Jubbah Illa Allah”, maksudnya adalah bahwa sesuatu yang ada dalam jubbah atau benda-benda lainnya di alam ini tidak akan wujud, kecuali karena kekuasaanNya. Artinya, menurut Kyai Hasyim, jika istilah itu dimaknai manunggaling kawula, maka beliau secara tegas menghukumi kafir. Karakter pemikiran yang diproduk Kyai Hasyim memang terkenal berbasis pada elemen-eleman fundamental. Dalam karya-karya kitabnya, ditemukan banyak pandangan beliau yang menjurus pada penguatan basis akidah. Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu misalnya, Kyai kelahiran Jombang ini menulis banyak riwayat tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman. Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu. NU Tapi Liberal JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
33
Sayangnya, model pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut tidak menjadi kaca yang baik. Bahkan ‘kaca’ pemikiran Kyai Hasyim berusaha diburamkan sedemikian rupa, terutama oleh anak-anak muda NU yang liberal. Punggawa-punggawa Jaringan Islam Liberal (JIL) tak sedikit berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim, melainkan pluralisme, sekularisme, kesetaraan gender, dan civil society. Beberapa intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama harus ditanggapi serius. Pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan. Tidak hanya bagi NU, tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum. KH. Hasyim Muzadi ketika masih menjabat ketua PBNU telah merasa gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau telah menyadari bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU. Sebab, liberalisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009. Kekhawatiran tersebut memang perlu menjadi bahan muhasabah di kalangan warga NU. Sebab, invasi anak-anak muda tersebut pelan-pelan akan menghujam ormas Islam terbesar tersebut. Kasus Ulil yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai ketua PBNU dalam muktamar kemarin adalah sebuah sinyal kuat, bagaimana tokoh liberal bisa masuk bursa calon ketua. Harusnya, ada ketegasan sikap dari elit-elit NU untuk mencegah. Padahal, KH. Hasyim Asy’ari sangat menetang ide-ide pluralisme, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratusyekh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya. Memang mestinya, nadliyyin yang liberal tidak mendapat tempat di dalam NU. Sebab, perjuangan Kyai Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ketegasannya semoga tidak sekadar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi. Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah. Maka, andai Kyai Hasyim hidup saat ini, beliau pasti akan berada di garda depan menolak pemikiran Liberal.[www.hidayatullah.com] *)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor – Ponorogo
JIHAD MELAWAN LIBERALISME oleh Brilly El-Rasheed
34