RAMADHAN BERCAHAYA Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Oleh Lufti Avianto Eman Mulyatman Diyah Kusumawardhani
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Ditulis untuk Dompet Dhuafa Republika dan Diterbitkan di Koran Tempo selama Ramadhan 1431H
Penulis: Lufti Avianto | DKK
2
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
DAFTAR ISI
1. Kilometer Satu 2. Bisnis untuk Siapa 3. Mengusir Ramadhan 4. Al-Quran dan Kedermawanan 5. Zakat Itu Solusi 6. Berpuasa Tapi Merugi 7. Detoksifikasi Ruhani 8. Dokter Hebat 9. Satu Bulan Dua Perjuangan 10. Ramadhan-morfoself 11. Kewirausahaan Sosial 12. Blackberry Sang Amil 13. Saatnya Hijrah ke Keuangan Syariah 14. Dialog Imajiner Ramadhan-Syawal 15. Bacalah 16. Delapan Puluh Tiga Tahun 17. Gagal Ramadhan 18. Topeng Ramadhan 19. Surat dari Negeri Puasa 20. Kedahsyatan Tiga Huruf 21. Bekal Ramadhan 22. Belajar dari Suku Quraisy 23. Sapu Lidi dan Zakat 24. Sarjana Takwa 25. Modal Spirit Ramadhan 26. Istiqamah 27. Mempesona dengan Sabar 28. Sucikan Jiwa dengan Zakat 29. Kembali ke Fitrah 30. Kemenangan Sejati
Penulis: Lufti Avianto | DKK
3
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Kilometer Satu
Oleh Lufti Avianto “Dorrrr…” DESINGNYA bergema. Selongsong peluru meloncat ke udara, menandai perlombaan lari dengan jarak tempuh 30 kilometer, dimulai. Jutaan, bahkan milyaran peserta yang berada di belakang garis ‘start’, mulai berlari. Para peserta beragam; lelaki dan perempuan, tua, muda, bahkan ada anak-anak yang kesemuanya berasal dari beragam etnis dan suku bangsa dari seluruh penjuru dunia; Asia, Eropa, Afrika, Australia juga Timur Tengah. Ya, inilah lomba lari yang rutin digelar setiap tahun. Setiap peserta, memiliki catatan rekor masing-masing pada perlombaan sebelumnya. Karena itu para atlet selalu mengevaluasi dan melakukan persiapan untuk menghadapi perlombaan berikutnya. Tak hanya persiapan fisik, seperti rutin berolahraga tetapi juga kemantapan mental untuk menghadapi perhelatan ‘akbar’ itu. Tentu harapan para pelari yang beradu cepat itu sama, menjadi juara. Perlombaan lari, seperti digambarkan di atas, tentu sudah jamak kita dengar sebagai analogi ibadah puasa di bulan Ramadhan. Para penduduk bumi yang beriman, telah diseru Allah Swt. melalui firman-Nya, Surah Al-Baqarah 183. Mereka merupakan peserta yang berburu kemenangan dan kemuliaan Ramadhan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Dan kini, kita baru saja memasuki kilometer satu. Lazimnya perhelatan lomba, umat Islam tentu sudah melakukan persiapan untuk menjadi kampiun Ramadhan. Persiapan, latihan dan pemanasan, tentu sudah kita lakukan. Sebagaimana diajarkan Nabi tercinta, Muhammad Saw. yakni dengan berpuasa dan menjalankan ibadah sunah lain pada bulan Rajab dan Sya’ban. Ini dimaksudkan agar tak terjadi ‘keram’ saat menempuh sebulan penuh ‘lintasan’ Ramadhan. Begitu juga persiapan mental. Perasaan dan semangat untuk menggapai kemuliaan Ramadhan, juga sudah dipupuk dua bulan sebelumnya. Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharap ridho-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat." (Muttafaq Alaihi). Persiapan mental adalah persiapan iman dan niat. Bahwa dengan iman yang aktiflah, tubuh ini akan mampu bergerak melakukan aktifitas ibadah, baik wajib dan sunah. Bahwa dengan niat yang luruslah –hanya karena Allah Swt. – seluruh amal ibadah kita akan diterima, ditulis di sebelah kanan catatan amal kita, dan dibalas dengan kebaikan di Hari Pembalasan. Dan Penulis: Lufti Avianto | DKK
4
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
tentunya, mendapat gelar ‘takwa’ sebagai puncak kemenangan atas jerih payah di bulan mulia itu. Nah, kilometer pertama tengah kita tempuh saat ini. Masih ada sekitar 29 kilometer berikutnya yang menanti di bulan yang penuh keberkahan ini. Janganlah disia-siakan kesempatan emas ini untuk memperoleh banyak keuntungan; keberkahan, pengampunan dan ‘tiket’ pembebasan dari api neraka. Karena sejatinya, berpuasa tidak hanya urusan menahan lapar dan dahaga saja, tetapi juga menahan nafsu dan syahwat indera yang lima. Seperti disebutkan dalam hadits berikut: Abu Hurairah r.a, berkata, "Rasulullah bersabda, 'Allah berfirman, "Setiap amal anak Adam itu untuknya sendiri selain puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya. Puasa itu perisai. Apabila ada seseorang di antaramu berpuasa pada suatu hari, maka janganlah berkata kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci makinya atau memeranginya (mengajaknya bertengkar), maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa.' Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah adalah lebih harum daripada bau kasturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan yang dirasakannya. Yaitu, apabila berbuka, ia bergembira; dan apabila ia bertemu dengan Tuhannya, ia bergembira karena puasanya itu."
Penulis: Lufti Avianto | DKK
5
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Bisnis untuk Siapa?
Oleh Fatia Linvout DI TENGAH padang pasir nan tandus di Jazirah Arab. Panas terik menggigiti kulit hingga badan basah dengan peluh dan menguap di udara. Seorang bocah lelaki berada di tengah kerumunan ternak, menggiring binatang-binatang itu menuju daerah rerumputan. Muhammad, begitulah nama bocah itu. Sebuah nama yang akan mennguncang dunia dengan nubuwah yang dianugerahkan Pemilik Semesta, Allah ‘Azza wa Jalla. Kita tentu membaca sejarah, bagaimana seorang Muhammad kecil telah berkeringat menggembala ternak milik para hartawan kota Makkah, di kala anak seusianya tengah bermainmanja dengan orangtua. Dengan bayaran beberapa qirath (upah/gaji dalam bentuk dinar atau dirham), beliau mencoba berdikari di tengah asuhan sang paman, Abu Thalib. Keprihatinan yang membuat Muhammad kecil harus membantu ekonomi keluarga sang paman dengan bekerja serabutan. Beranjak remaja, Muhammad muda mencoba menapaki dunia bisnis pada usia 12 tahun. Yaitu ketika beliau turut serta dalam perdagangan yang dilakukan Abu Thalib ke Syiria. Menjelang dewasa, 17 tahun, beliau memutuskan untuk menjadi pedagang sebagai pilihan karirnya. Dimulai dengan berdagang kecil-kecilan di Makkah, kemudian semakin berkembang dengan kepercayaan modal yang dititipkan oleh janda kaya, termasuk dari Khadijah dan anak yatim yang tidak mampu mengelola hartanya. Dalam perspektif Islam, bisnis yang dilakukan seorang Muslim tidak hanya berdimensi kemakmudarn semata, tetapi juga untuk beribadah kepada Yang Mahapemurah. Pertama, bisnis dalam perspektif dunia sebaiknya diniatkan untuk berbagi kemakmuran. Karena asasinya, setiap manusia yang berada di muka bumi ini memiliki hak yang sama untuk menikmati kesejahteraan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ”Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami). Dari perniagaan yang dijalankan seorang Muslim, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. sebagaimana yang difirmankan Allah Swt. Dalam Al-Hasyr ayat tujuh: ”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul Penulis: Lufti Avianto | DKK
6
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” Kedua, bisnis sebagai ibadah memiliki konsekuensi bahwa semua roda usaha yang bergulir hendaknya disesuaikan dengan prinsip ibadah untuk mencari keridhoan Allah Swt. Mulai dari orientasinya, proses bisnis yang sesuai dengan nilai Islami serta hasil yang diperoleh, juga diprioritaskan untuk beribadah; zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya. Nabi Muhammad telah menjalankan bisnis dengan dua orientasi itu. Perkembangan usahanya dimulai sejak beliau memutuskan menjalankan bisnis sendiri pada usia 17 tahun, lalu menjadi pemilik usaha pada usia 25 tahunn setelah menikah dengan khadijah dan menjadi investor bisnis pada usia 30 tahun. Jelaslah aspek bisnis yang beliau jalankan telah berbagi kemakmuran dengam masyarakat. Sehingga, beliau bisa memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan tentang kondisi masyarakatnya yang masih berada dalam kejahiliahan. Pada masa inilah, Nabi telah mencapai kemandirian –apa yang disebut Robert Kiyosaki degan kebebasan finansial dan waktu. Nah, kinilah saat yang tepat –di bulan Ramadhan yang mulia ini–, untuk memantapkan orientasi semua pekerjaan, studi dan ibadah kita hanya untuk Allah. “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
7
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Mengusir Ramadhan
Oleh Khansa Sophia “Wah, asyik nih. Pasti bisnis penjualan pakaianku akan meningkat,” “Kalau Ramadhan, THR kita berapa kali lipat ya?” “Nanti lemes dan nggak semangat kerja, deh,” “Semoga bulan Ramadhan kali ini, aku bisa mengkhatamkan Al-Quran,” RAMADHAN. Ya, bulan yang mulia itu sudah ada di tengah kita. Cuplikan komentar dan harapan di atas tentang Ramadhan ini, mungkin mewakili sebagian besar masyarakat kita. Memang, Ramadhan selalu disikapi berbeda. Ada yang senang dan ada yang biasa saja, bahkan ada yang tak suka. Cuplikan dua komentar pertama, menunjukkan kebahagiaan seorang Muslim menyambut Ramadhan, meski untuk urusan dunianya saja. Sementara komentar ketiga, sikap yang merepresentasikan keengganan pada yang penuh berkah itu. Dan yang terakhir inilah, sikap seorang Muslim yang sangat ideal, yakni menyambut Ramadhan dengan harapan agar mampu melaksanakan ibadah dengan seoptimal mungkin. Lalu, sikap yang mana –dari cuplikan di atas– yang mewakili diri kita sendiri? Padahal, kita sudah kerapkali diingatkan mengenai banyaknya keutamaan di bulan, yang Allah Swt. telah menurunkan Al-Quran. Apa saja keistimewaan bulan Ramadhan? Allah Swt. akan membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka. Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila tiba bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu neraka dan setan-setan dibelenggu.” (Shahih Muslim No.1793) Allah yang Mahapengampun dan Mahapemaaf juga akan menggugurkan dosa-dosa kita. Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharap ridho-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat." (Muttafaq Alaih). Bahkan, di bulan ini, kita bisa memanen pahala. Ibadah sunah diganjar pahala ibadah wajib, sementara ibadah wajib dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Rasulullah bersabda, “Allah 'Azza wajalla mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunahkan shalat malam harinya. Barangsiapa berpuasa dan shalat malam dengan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
8
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Atau dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, “barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahalanya, dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Tirmidzi). Di bulan ini, semua kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat. Nuansa ibadah sangat kental terasa; shalat tarawih, berbuka puasa dengan anak yatim dan fakir miskin, tilawah al-Quran, mengkaji ilmu, dan berbagai jenis ibadah, dilazimkan. Sayangnya, nuansa Ramadhan yang indah itu sering dinodai dengan kepentingan pragmatis masyarakat kita. Tunjangan Hari Raya (THR) yang selalu turun di bulan ini, lebih diharapkan daripada ‘turunnya’ al-malam Qadr pada malam ganjil sepuluh terakhir. Semangat shalat tarawih mengalami ‘kemajuan’ shaf, di pertengahan hingga akhir yang dibarengi dengan semangat untuk memasak penganan lebaran. Atau, kesungguhan untuk mendekorasi rumah dan belanja menjelang Hari Raya, terlihat lebih gigih ketimbang kesungguhan ‘mendekorasi’ hati untuk sebelas bulan berikutnya pasca Ramadhan. Bahkan, menonton televisi dengan tayangan khas ala Ramadhan, lebih kita sukai daripada membaca al-QuranI yang menjanjikan pahala yang melimpah ruah, hidayah serta rahmat-Nya. Ironis. Kalau ini yang terjadi, sejatinya kita benar-benar tak suka saat Ramadhan hadir. Atau, menikmatinya lebih disebabkan dorongan pragmatisme kebutuhan Ramadhan yang melonjak dibanding bulan sebelumnya. Secara tak kasatmata, kitalah yang sesungguhnya telah mengusir Ramadhan pergi menjauh dari kesenangan hidup kita. Hadits dari Ibnu Khuzaimah, “andaikan setiap hamba itu tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka ia akan berharap setahun penuh adalah Ramadhan.”
Penulis: Lufti Avianto | DKK
9
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Al-Quran dan Kedermawanan
Oleh Khansa Sophia Sahabat Anas ra. pernah mengisahkan: "Pada suatu hari ada seseorang yang datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau memberinya hadiah berupa kambing sebanyak satu lembah. Spontan lelaki itu berlari menemui kaumnya dan berkata kepada mereka: 'Wahai kaumku, hendaknya kalian semua segera masuk Islam, karena sesungguhnya Muhammad memberi pemberian yang sangat besar, seakan ia tidak pernah takut kemiskinan.” (HR Muslim). SEPERTI yang sudah kita ketahui bahwa manusia paling dermawan adalah Nabi Muhammad Saw. dan sikap derma ini akan semakin bertambah di bulan suci Ramadhan. Hadits di atas merupakan salah satu pertanda bahwa kedermawanan Rasulullah bisa dirasakan semua orang tanpa mengenal suku, agama, golongan atau ras, meski di antara masyarakat itu memiliki perbedaan martabat dan kekerabatan. Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa kedermawanan dalam syariat Islam adalah memberi sesuatu yang layak kepada orang yang pantas menerimanya. Dengan penjelasan ini bisa dipahami bahwa kedermawanan memiliki cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan sedekah. Lalu, bagaimana korelasi antara al-Quran dengan kedermawanan seseorang? Bagaimana Rasulullah yang dermawan mencapai puncaknya saat bulan suci Ramadhan? Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan dalam hal kebaikan. Beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya malaikat Jibril bertemu dengan beliau setiap tahun pada bulan Ramadan sampai selesai. Rasulullah Saw. membaca Al-Quran di hadapannya. Saat Rasulullah saw. bertemu dengan malaikat Jibril, maka beliau adalah orang yang paling dermawan dalam hal kebaikan melebihi angin yang berhembus.” (HR. Muslim). Para ulama menjelaskan hadits di atas tentang korelasi al-Quran yang dibaca Nabi Saw. di bulan Ramadhan, terlebih lagi setelah membacanya di hadapan Jibril. Ada perubahan yang dirasakan Nabi, yakni saat membaca dan memahami kandungan Al-Quran, maka mendorong beliau semakin merasa cukup dan terhindar dari sifat tamak. Perasaan inilah yang mendasari dan melipatgandakan kedermawanan beliau, di samping mengingat bahwa Allah Swt. juga melipatgandakan karunia-Nya. Dalam hadits lainyang diriwayatkan Jabir bin Abdullah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. tidak pernah dimintai sesuatu kemudian beliau mengatakan: Tidak. (HR. Muslim).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
10
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Kita bisa melihat bagaimana al-Quran dengan setiap hikmah dan makna yang dikandungnya ‘bekerja’ terhadap kedermawanan seseorang. Pada sisi ini, tentu kedermawanan seseorang harus berdimensi sosial terhadap masyarakat. Karena itu, setiap kalimat di dalam al-Quran yang kita baca dan hayati semestinya membawa dampak pada sikap kedermawanan kita. Bila tidak, koreksilah kembali setiap bacaan kita. Keutamaan yang ada di dalam bulan suci Ramadhan saat ini, seharusnya bisa dimanfaatkan setiap umat Islam sebagai momen untuk mendulang kebaikan dan proses perbaikan diri menjadi ‘lebih’ dermawan. Tidaklah al-Quran yang kita baca memberikan dampak yang diharapkan, bila masih ada tetangga kita yang kelaparan dan tak ada makanan untuk berbuka. Tidak juga al-Quran memberikan cahaya dan hikmahnya, bila hati kita tak pernah tergerak untuk membantu anak yatim, fakir, miskin, gharim, atau sesama yang benar-benar memerlukan uluran tangan. Yang jelas, selain kedermawanan seorang Muslim berdimensi keimanan terhadap dirinya, juga berdimensi sosial. Ia akan membawa dampak bagi dirinya: merasa cukup, mengikis kekikiran dan ketamakan, sementara manfaat lain juga dirasakan masyarakat yang membutuhkan. Jangan takut untuk menjadi dermawan. Karena kekikiran dan ketamakan justru hanya akan menyeret kita pada kehancuran. "Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun padanya, kemudian salah satunya berucap (berdoa): 'Ya Allah, berilah orang yang berinfaq pengganti,' sedangkan yang lain berdoa: 'Ya Allah timpakanlah kepada orang yang kikir (tidak berinfaq) kehancuran.'" (Muttafaqun 'alaih)
Penulis: Lufti Avianto | DKK
11
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Zakat itu Solusi
Oleh Lufti Avianto SUATU PAGI di sebuah komplek di kawasan Tangerang Selatan. Seperti biasa, kaum ibu sibuk berbelanja di tukang sayur. Rutinitas pagi itu, diselingi dengan aneka topik pembicaraan, mulai dari gosip selebritas, harga sembako yang meroket sampai membicarakan masalah bangsa. Seorang ibu muda mengeluh, “Aduh, kok kayaknya negeri ini banyak masalah yang nggak pernah selesai, ya?” “Iya tuh. Jadi ngeri. Berobat mahal. Kuliah mahal. Ujung-ujungnya, jadi pengangguran. Apa-apa susah dan mahal sekarang,” ibu yang lain menyahut. “Apalagi si Udin juga mulai naikin harga sayur nih,” seorang ibu lainnya menimpali sambil melirik sang penjual sayur. “Yaah, mau bagaimana lagi. Dari sononya juga udah mahal, bu,” Udin tersenyum kecut. *** INILAH potret keseharian kita. Keluhan mengenai persoalan masyarakat seperti tak ada habisnya. Karena miskin, rakyat sulit mendapat pendidikan yang berkualitas. Karena miskin pula, bila sakit, mereka tak juga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan murah, apalagi gratis. Kendati begitu, bukan berarti upaya pemerintah meminimalisasi persoalan ini tidak ada. Bukan, hanya saja belum efektif menuntaskannya hingga ke akar persoalan yang sebenarnya. Tapi, pernahkah kita berpikir untuk mencari solusi? Zakat misalnya. Kita tentu ingat bagaimana masa pemerintaharan khulafur rasyidin mengoptimalkan zakat untuk memakmurkan dan melakukan pembangunan peradabannya. Dari hasil penghimpunan zakat, bisa diberdayakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, pengobatan gratis untuk dhuafa, beasiswa pendidikan. Mungkinkah? Ada sekitar Rp 20 triliun potensi zakat di Indonesia. Sayangnya, puluhan lembaga amil zakat, infak dan sedekah (Lazis) yang ada di negeri ini, hanya mampu menghimpun sekitar Rp 1 triliun saja. Ini artinya, masih ada sekitar Rp. 19 triliun dana zakat itu yang masih menganggur. Apa sebab penyerapan itu belum optimal? Sebuah studi yang dilakukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada 2004 silam pernah mengungkap, penyerapan dana zakat masih terkendala oleh tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap Lazis. Para muzakki (orang yang wajib membayar zakat) lebih yakin zakatnya akan tersalurkan dengan baik Penulis: Lufti Avianto | DKK
12
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
manakala mereka memberikan langsung kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Penelitian ini menyisakan sebuah tanggungjawab bagi para amil, yakni tugas meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keutamaan membayar zakat secara kolektif. Bahwa membayar zakat melalui Lazis memiliki dampak yang signifikan daripada membayar zakat secara perorangan. Ini juga harus dibuktikan melalui pengelolaan zakat yang amanah, profesional dan transparan sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Lazis semakin baik. Selain itu, pemanfaatan zakat melalui program yang produktif, juga menentukan masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membayar zakat melalui lembaga. Sehingga diperlukan kreatifitas amil dalam mengelola zakat dan menelurkan program pendayagunaan zakat itu sendiri. Karena bila zakat tidak diberdayakan secara produktif, justru hanya akan menimbulkan penyakit baru di masyarakat, yakni cargo cult mentality (kebudayaan menunggu bantuan tanpa berusaha). Kalau program yang yang dijalankan Lazis bisa memberdayakan mustahik, maka hal ini sudah sejalan dengan prinsip zakat itu sendiri, yaitu “Mengubah mustahik menjadi muzakki”. Karena pada hakikatnya, zakat itu memberdayakan dhuafa. Perlu dipahami, bahwa zakat juga ada yang bersifat konsumtif disamping yang produktif. Jumlah pemberdayaan dana zakat di sektor produktif mesti digalakkan agar prinsip zakat tadi benar-benar terwujud. Namun bukan berarti zakat yang bersifat konsumtif itu tidak baik, hanya saja alokasinya perlu disesuaikan. Misalnya pemberian makanan sehat bagi bayi yang kurang gizi tetap harus dilakukan, di saat yang sama, para orangtua mereka yang miskin juga harus diperhatikan aspek ekonominya. Jangan sampai seperti pengalaman buruk yang terjadi di Bantul, Yogyakarta pasca gempa bumi yang melanda pada Mei 2006 silam. Para orangtua bayi yang menderita malnutrisi itu menjual makanan bayi dan susu yang diberikan oleh pemerintah untuk anak mereka. Ini dilakukan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Jadi program yang sifatnya produktif dan konsumtif mesti disinergikan ketika dana zakat akan diberdayakan bagi dhuafa. Sebab kalau tidak, justru penyimpangan yang akan terjadi.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
13
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Berpuasa Tapi Merugi
Oleh Lufti Avianto SUATU SIANG RAMADHAN, di Jalan Ibukota. Seperti biasa, jalanan sesak dengan kendaraan bermotor roda dua dan empat. Kemacetan mengular hingga lima ratus meter. Namun terik matahari, seperti mendidihkan darah para pengguna jalan hingga membuat mereka makin tak sabar. Apalagi, pasukan gerobak pedagang melawan arah, jadilah kemacetan itu kian parah. Tak ada petugas kepolisian. Hanya ‘polisi cepek’ yang terlihat kelimpungan karena dihujani klakson motor dan mobil yang memekakkan telinga. Tiba-tiba, “Brakkkk…” seorang pengendara sepeda motor jatuh tersenggol mobil. Sang sopir langsung mengumpat, “mata lo dimana, brengsek?!” Sudah jatuh, diumpat pula. Tak terima, si pengendara motor, balik memaki. “Sialan lo. Mata lo yang dimana, setan?!” Peristiwa berikunya bisa ditebak. Para pengguna jalan itu saling memaki, dan diakhiri baku hantam. Akibatnya, jalanan tambah macet dan merugikan pengguna jalan lain. Di sebuah kantor swasta, di bilangan Jakarta Selatan. Sebelum pukul Sembilan, para karyawan perusahaan itu sudah masuk kantor. Seorang karyawati menggunakan kesempatan beberapa menit itu untuk berselancar di dunia maya. “Waahh, bakalan tambah seru nih kasus video mesum artis yang mirip Ariel, Luna, Tari itu,” ia berseloroh sambil matanya tetap pada layar sebuah situs gossip selebritas. Karyawata lain di sebelahnya, menoleh. “Apa nih, berita terbarunya, jeng?” matanya mengintip layar komputer milik rekannya. Bisa dibayangkan adegan berikutnya. Dua karyawati itu terlibat obrolan gosip seru tiga selebritas yang tersangkut video asusila itu. Saling bertukar informasi ter-update dan saling mengomentari. Sementara, situasi yang tak berbeda di sebuah instansi pemerintah di Jakarta Timur. Seorang pemimpin mengumpulkan beberapa anak buah di ruangannya. “Jadi, kita bikin saja dinas fiktif ke Surabaya dan Bali. Yang mau, tandatangan, tapi dapat 80 persen saja,” sang pemimpin menawarkan kepada beberapa anak buahnya. “Daripada capek-capek bulan puasa ke luar kota. Mending buat tambahan THR, kan?” Anak buah itu mengangguk setuju atas usul si bos. Pertimbangan yang cerdas, pikir mereka. Jadilah, mereka serentak menandatangani dinas luar fiktif dengan imbalan sejumlah uang yang menggiurkan. Mereka keluar ruangan si bos, dengan wajah berseri-seri. “Rejeki nomplok,” ujar salah seorang di anatara mereka. Penulis: Lufti Avianto | DKK
14
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Sahabat, apakah inil perilaku sebagian (besar) kita? Semoga tidak. Memang, bulan Ramadhan telah membawa perubahan. Tapi, mungkin saja hanya sebuah perubahan ‘kecil’ pada kalender kita, dari Sya’ban ke Ramadhan. Atau perubahan pola makan kita, menahan dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Sayangnya, perubahan itu belum sampai kepada perubahan yang lebih substantif. Perubahan untuk berlatih mengendalikan emosi, berlatih untuk menghindari diri dari pembicaraan yang sia-sia, atau berlatih untuk lebih jujur dari perilaku koruptif. Ilustrasi di atas, hanyalah sebuah cerita ‘kecil’ keseharian kita. Dari sinilah, sebaiknya menjadi renungan harian Ramadhan kita hingga hari terakhir. Bahwa berpuasa, memiliki urgensi yang jauh lebih luas dari pada menahan lapar-dahaga semata. Jauh dari itu, puasa membentuk kepribadian yang sabar, berempati, dan jujur. Tidak hanya menjadi pribadi yang shalih secara pribadi, tetapi juga shalih secara sosial. Memang tak mudah, bukan berarti mustahil untuk mengisi hari-hari Ramadhan dengan penuh nuansa ibadah. Mengganti pembicaraan sia-sia dengan tilawah al-Quran, mengendalian emosi dengan dzikir dan istighfar, dan melatih kepedulian dengan empati terhadap nasib sesama. Karena, terlampau merugi bila melewati bulan keberkahan ini dengan kesia-siaan. Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, "Aamin", begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, "Mengapa Rasulullah mengucapkan "Aamin"? Beliau lalu menjawab, "Malaikat Jibril datang dan berkata, "Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu" lalu aku berucap "Aamin." Kemudian malaikat berkata lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga." Lalu aku mengucapkan "aamin". Kemudian katanya lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya." Lalu aku mengucapkan "Aamin." (HR. Ahmad)
Penulis: Lufti Avianto | DKK
15
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Detoksifikasi Ruhani
Oleh Lufti Avianto Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 57) DALAM istilah kedokteran, detoksifikasi bermakna proses penetralan yang terjadi terhadap toksin atau racun di dalam tubuh manusia. Puasa, secara medis juga membantu proses detoksifikasi agar tubuh menjadi pulih kembali. Ini juga berlaku tidak hanya bagi jasmani, detoksifikasi juga terjadi pada ruhani orang yang berpuasa. Bisa kita bayangkan, dosa, kesalahan dan khilaf kita –baik yang disengaja maupun tidak– di masa sebelas bulan yang lewat? Sebesar gunungkah? Dosa-dosa inilah yang menjadi ‘toksin’ di dalam ruhani manusia yang membawa keburukan bagi pelakunya. Bahkan, dosa yang dilakukan pelakunya, tak bisa ‘ditransfer’. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (QS. Al-An’am: 164). Sepertihalnya penyakit yang bersemayam dalam tubuh, jiwa yang teracuni penyakit juga memiliki gejala. Biasanya, orang yang qalbunya sakit, pandangan dan keinginan hatinya akan rusak sehingga menempuh jalan yang syubhat. Baginya, jalan kebatilan adalah jalan yang benar, sehingga dia lebih menyukai kebatilan yang merusak daripada jalan kebenaran yang bermanfaat. Memang, penyakit atau racun yang ada di dalam hati, tidak datang dengan sendirinya. Adakalanya, hati itu sakit, lemah, sembuh bahkan mati. Namun, hal ini biasanya disebabkan oleh syahwat yang dituruti, penyakit syubhat yang telah akut dan kejahiliahan seseorang. Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar. (QS. Al-Ahzab: 60).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
16
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Penyakit seperti ini –dengan izin Allah Swt. – masih bisa disembuhkan, yakni dengan kata-kata hikmah dan nasihat yang baik. Selain itu, momen bulan Ramadhan yang penuh keberkahan kali ini, sebaiknya dioptimalkan untuk mendeteksi sejauhmana tingkat kerusakan hati kita. Apakah telah redup sehingga sedikit cahaya Illahi yang menerobos masuk ke dalam hati kita? Atau bahkan sudah mati. Na’udzubillah min dzaalik. Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Q.S Al-Israa: 82). Dari salah satu firman Allah Swt. di atas, jelaslah sudah yang dimaksud sebagai penawar hati yang sakit. Zat yang membantu proses ‘detoksifikasi’ ruhani, yaitu al-Quranul kariim. Ia adalah penawar dari segala bentuk racun yang ada di dalam dada manusia. Racun yang bisa mendistorsikan kebenaran Illahi, melihat segala sesuatu menjadi sebaliknya; baik jadi buruk, salah jadi benar, terhadap pandangan hidup, niat, pengetahuan dan daya imajinasi seorang hamba. Ramadhan adalah bulan saat diturunkannya al-Quran. Di bulan inilah aat yang tepat untuk membumikan kembali lantunan ayat suci al-Quran ke dalam hati seorang hamba, ke dalam rumah-rumah keluarga Muslim, ke dalam masjid dan rumah Allah Swt. agar tetap semarak dengan suara keagungan-Nya. Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
17
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Dokter Hebat
Oleh Khansa Sophia “Berpuasalah kamu, agar kamu sehat.” (HR. Tirmidzi). PUASA memang memberikan dampak positif bila dilihat dari aspek kesehatan. Tak ada yang memungkiri fakta ini, yang juga telah diungkapkan Rasulullah Saw. belasan abad silam. Secara tak langsung, memang puasa telah menjadi ‘seorang dokter pribadi yang hebat’ bagi umat Islam yang menjalankannya. Salah satu sebab inilah, mengapa Allah Swt. menyuruh hamba-Nya berpuasa. Bagaimana mungkin? Coba bayangkan sejenak, bagaimana lelahnya sistem pencernaan kita yang bekerja selama 18 jam sehari selama sebelas bulan yang lewat? Nah, selama bulan Ramadhan ini, sistem pencernaan itu beristirahat selama 14 jam sehari. Waktu ini cukup untuk mengistirahatkan kerja lambung yang sering memproses makanan secara berlebihan. Asalkan, saat berbuka, tidak melakukan aksi ‘balas dendam’ dengan melahap semua jenis makanan. Jika puasa dilakukan dengan benar, maka manfaatnya, sebagaimana sabda Rasulullah di atas, akan menyehatkan orang yang menjalankannya. Karena, puasa sangat berbeda dengan starvasi (kelaparan). Dalam puasa, tubuh memiliki cadangan nutrisi yang cukup saat sahur dan berbuka. Sehat dengan berpuasa, juga sudah direkomendasikan dokter seluruh dunia. Kabar terakhir, para dokter juga mengamini fakta ini dalam sebuah simposium mini bertema “Ibadah Berkualitas Selama Puasa Tanpa Gangguan Penyakit” yang digelar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Sabtu (7/8) lalu. Saat berpuasa, tubuh kita mengalami penggelontoran racun atau detoksifikasi, peremajaan atau rejuvenasi dan penyeimbangan kondisi. Ini semua terjadi di dalam tubuh kita secara alami. Subhanallah. Pada sepuluh hari pertama, biasanya terjadi proses detoksifikasi besar-besaran dalam tubuh. Hasil penelitian medis menyebutkan, pada fase ini kadar gula darah, kolesterol, asam urat, menurus drastis. Bila dalam proses detoksifikasi dengan obat-obatan (tentunya mahal), proses ini bisa memakan waktu hingga empat pekan. Selain itu, hasil penelitian terakhir juga menyebutkan manfaat puasa antara lain, menstabilkan berat badan yang berlebihan, meningkatkan kesuburan dan fungsi seksual pria, menghilangkan radang sendi, meningkatkan imunitas, dan terhindar dari penyakit kulit. Mayoritas di antara kita akan mengeluarkan jutaan rupiah untuk perawatan kesehatan agar terhindar dari sejumlah penyakit di atas. Namun, Allah Swt. melalui syariat-Nya menawarkan Penulis: Lufti Avianto | DKK
18
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
pengobatan yang jauh lebih hebat dan tanpa biaya pula. Dengan puasa 30 hari Ramadhan, atau ditambah tiga hari setiap b"ulannya, maka kita telah melakukan perawatan kesehatan dengan “dokter pribadi yang hebat.” Maka tak heran bila Rasulullah menganjurkan puasa, sebagaimana haditsnya; dari shahabat Abu Umamah, “wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku satu amalan yang Allah akan memberikan manfaat-Nya kepadaku dengan sebab amalan itu". Maka Rasulullah bersabda, "Berpuasalah, sebab tidak ada satu amalan pun yang setara dengan puasa.” (HR. An-Nasaa’i). Meski sudah banyak fakta yang dipublikasikan, namun dengan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia, masih banyak rahasia puasa yang belum terungkap. Sebab, sebagaimana disebut dalam firman-Nya, “Dan andai kalian memilih puasa tentulah itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 184). Karena itu, menjalankan ibadah puasa (shaum), tidak hanya memerlukan pengetahuan akan manfaat puasa bagi dirinya, tetapi perlu dengan niat dan keimanan yang haq, agar puasanya bernilai ibadah di hadapan Yang Mahakuasa. Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
19
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Satu Bulan, Dua Perjuangan
Oleh Lufti Avianto ALLAH SWT. menakdirkan bulan Ramadhan kali ini bersamaan dengan bulan Agustus, bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ramadhan di kalender Hijriah, Agustus di Masehi, tapi punya satu spirit yang sama; nilai perjuangan bagi umat Islam Indonesia. Ramadhan, mengandung nilai-nilai perjuangan seorang hamba yang beriman untuk menjadi sosok manusia yang bertakwa. Dengan berpuasa, seorang Muslim melatih kepekaan dan empati terhadap masalah sosial yang ada di sekitarnya. Sementara ruhaninya, juga dilatih dengan sejumlah ibadah agar terbebas dari penyakit hati dan selalu merasa dirinya diperhatikan Rabbnya. Agustus, juga sarat nilai perjuangan bagi bangsa ini. Bulan ini menyimpan nilai historis bangsa yang berjuang membebaskan diri dari penjajahan Kolonial Belanda, berturut kemudian Jepang. Sebuah perjuangan dan pengorbanan pendiri negara ini yang patut diingat dan diteladani anak bangsa. “Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,” begitu bunyi dalam konstitusi negara kita, Undang-undang Dasar 1945. Memang, bukan urusan mudah mencapai gelar ‘merdeka’ dan ‘takwa’. Namun, bukan pula berarti mustahil mencapainya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Quran yang mengharuskan setiap hamba untuk berjuang dalam setuap urusan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Kemerdekaan yang kita peroleh enam puluh lima tahun lalu bukanlah hasil dari pemberian sang penjajah. Bukan, tapi sebab kecerdikan bangsa ini melihat peluang, kesungguhan perjuangan dalam merebut kemerdekaan, keberanian melawan penindasan, serta semangat rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaulat. Itulah perjuangan. Dan karenanya, Allah Swt. menakdirkan bangsa ini mampu memproklamasikan kemerdekaannya sebagai bangsa yang berdaulat pada 17 Agustus 1945, juga pada bulan Ramadhan. Begitu juga gelar ‘takwa’ yang Allah Swt. janjikan dalam bulan penuh kemuliaan ini. Bukan urusan gampang menjadi orang yang berpredikat itu, sebagaimana firman-Nya dalam surah AlBaqarah: 183. Juga, takwa bukanlah pemberian secara cuma-cuma atau sesuatu yang datang dari langit dengan simsalabim. Bukan begitu. Penulis: Lufti Avianto | DKK
20
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Seorang yang meraih gelar ini, mestilah berjuang menjaga kualitas puasanya, tak sekadar menahan perih di perut dan panas di kerongkongan semata, melainkan juga menjaga hati dari penyimpangannya. Selain itu, berjuang menegakkan setiap ibadah sunah dan wajib di hari-hari Ramadhan, lalu melatih diri pula dalam menegakkan ibadah sosial di masyarakat. Itu esensi perintah puasa. Kini, dua bulan sarat perjuangan itu ada di hari-hari kita. Ada persamaan nilai yang harus dimaknai setiap Muslim Indonesia. Bahwa kesempatan Ramadhan ini, adalah momen penting bagi kemerdekaan diri dari segala bentuk penjajahan. "Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharap ridho-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat." (Muttafaq Alaihi). Pembebasan diri dari penjajahan dalam arti yang sebenarnya. Penjajahan korupsi. Penjajahan konflik horizontal. Penjajahan intervensi asing terhadap kepentingan negeri ini. Juga pembebasan diri dari hawa nafsu serta gelayut dunia dan seisinya. Berjuang, melalui ibadah shaum Ramadhan kali ini, agar diri ini dimerdekakan dari semua dosa dan kesalahan kita oleh Sang Mahapengampun. Hadits dari Ibnu Khuzaimah, “andaikan setiap hamba itu tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, maka ia akan berharap setahun penuh adalah Ramadhan.” Untuk apa setiap hari Ramadhan? Tentu agar setiap hari kita bernilai ibadah sebagai sebuah perjuangan dalam memerdekakan diri dari belenggu duniawi. Tapi, apa iya kita sudah benar-benar merdeka?
Penulis: Lufti Avianto | DKK
21
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Ramadhan-morfoself
Oleh Lufti Avianto ANALOGI metamorfosis ulat di dalam kepompong yang menjadi kupu-kupu– dengan momen perubahan kualitas hamba di bulan Ramadhan, sudah jamak kita dengar. Orang yang beriman selalu memanfaatkan bulan yang penuh berkah itu untuk memperbaiki hubungan vertikalnya dengan Sang Khaliq (hablum min Allah) dan memperbaiki jalinan horizontalnya dengan manusia (hablum min annaas). Harapannya, seperti yang termaktub dalam firman-Nya yang mulia: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Terminologi ‘takwa’ pasca ibadah Ramadhan, hendaknya tidak hanya definisikan secara kaku sebagai hamba yang ‘menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya’ saja. Bisa dengan maksud yang lebih rinci dan luas. Takwa juga berarti merasa berhati-hati dalam setiap perkara dan selalu merasa diawasi Allah Swt. atas setiap perbuatannya. Seorang hamba yang lulus dari Universitas Ramadhan, tentu telah mendapatkan perubahan positif bagi dirinya, tidak hanya perubahan jasmani, tetapi juga ruhani. Tidak hanya puasa telah menyehatkan badannya, tetapi juga akhlak, pemikiran, juga semangat ibadahnya untuk menghadapi sebelas bulan berikut. Karena ia sadar bahwa Ramadhan sebagai momen untuk bermetamorfosis menjadi pribadi muslim yang unggul dengan nilai-nilai ketakwaan. Dalam konteks ini, saya menyebutnya Ramadhan-morfoself. Gabungan dari beberapa kata yang dijadikan satu; Ramadhan, Metamorfosis dan Self. Maksudnya, seorang hamba yang menggunakan momentum Ramadhan sebagai sarana perubahan kualitas diri menjadi lebih baik, seperti analogi kupu-kupu di atas. Tapi, berapa banyak manusia yang memenuhi panggilan Allah Swt. dan bisa bermetamorfosis seperti yang Dia harapkan? Ada yang berpuasa, tapi tetap berdusta. Menghidupkan Ramadhan dengan tilawah al-Quran, tetapi membicarakan aib saudaranya (ghibah). “Barangsiapa tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa) maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.” (HR. Bukhari). Mendirikan shalat malam, namun tak meninggalkan makan yang berlebihan saat berbuka. Berbuka dengan menu yang mewah, tapi tak risih saat tetangganya tak ada makanan untuk berbuka. Penulis: Lufti Avianto | DKK
22
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
“Mungkin hasil yang diraih seorang shaum (yang berpuasa) hanya lapar dan haus, dan mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam (Qiyamul lail) hanyalah berjaga.” (HR. Ahmad dan Al Hakim). Bersemangat menjalankan ibadah Ramadhan, tapi tak berusaha meninggalkan kebiasaan buruk dan maksiat. Inikah yang dimaksud dengan metamorfosis manusia di bulan Ramadhan? "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya." Lalu aku mengucapkan "Aamin." (HR. Ahmad). Memang butuh kerja keras dan keringat untuk menggapai kemuliaan pribadi di bulan ini. bahkan, Rasulullah yang nyata-nyata telah dijamin Allah Swt. sebagai manusia yang pertama masuk surge pun, tetap beribadah luar biasa. Kakinya bengkak saking seringnya shalat tahajjud. Tangannya selalu terbuka untuk bersedekah. Lisannya basah dengan dzikir, hikmah dan alQuran. Bagaimana dengan kita yang belum tentu dijamin bebas dari neraka-Nya? Mumpung Ramadhan belum berakhir. Mumpung pula masih ada usia. Anggap saja ini sebagai Ramadhan kita yang terakhir, sehingga kita bisa beribadah di bulan ini mendapatkan keberkahan yang luar biasa; rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka. Sahl r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat (delapan pintu. Di sana ada pintu yang disebut Rayyan, yang pada hari kiamat akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa. Tidak seorang selain mereka yang masuk lewat pintu itu. Dikatakan, 'Dimanakah orang-orang yang berpuasa?' Lalu mereka berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang masuk darinya. Apabila mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup. Sehingga, tidak ada seorang pun yang masuk darinya.” Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
23
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Zakat dan Kewirausahaan Sosial
Oleh Fatia Linvout ISTILAH kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship mungkin masih terbatas diperbincangkan. Tapi, manfaatnya sudah bisa dirasakan dan keberadaannya sudah kasat mata. Mungkin anda pernah mendengar mengenai Mohammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang melayani kaum miskin dalam bantuan modal usaha di Bangladesh sana. Peraih Nobel Perdamaian 2006 ini berhasil menyalurkan kredit mikro kepada sekitar delapan juta nasabah warga miskin di 80 ribu desa. Kesuksesan ini telah meruntuhkan keangkeran lembaga perbankan selama ini, yang biasanya sangat curiga sebelum menyalurkan modal kepada masyarakat. Mau mengajukan pinjaman, terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi, soal gajilah, soal asetlah, ini-itu dan tetekbengek lainnya. Jadi, lembaga perbankan formal itu, belum-belum sudah beranggapan nasabah takkan bisa mengembalikan pinjamannya. Tapi Yunus tidak. Ia memulainya dengan kepercayaan. Bahkan, Yunus melalui Grameen Banknya yang menghampiri masyarakat untuk menggulirkan modal usaha. Dan ternyata, dia berhasil. Memecahkan masalah kemiskinan di Bangladesh dengan mendorong masyarakat miskin untuk mewujudkan kemandiriannya. Saya jadi teringat perkataan Erie Sudewo, pemenang Social Enterpreneur of The Year 2009 dari Ernst & Young bahwa upaya mengatasi seribu keluarga miskin, berarti telah menumbuhkan seribu kekuatan baru, itulah kekuatan sesungguhnya suatu bangsa. Bisa dibayangkan, berapa kekeuatan yang bisa dibangun di negeri ini? Apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang sukses sebagai seorang wirausaha sosial? Prinsipnya memang, seorang wirausaha sosial tidak puas hanya memberi “ikan” atau “kail” semata dalam usaha perbaikannya. Tidak juga puas setelah mengajarkan masyarakat bagaimana cara “memancing ikan” yang baik dan benar. Tidak itu saja. Tetapi, Ia akan terus memantau, sampai “industri perikanan” mengalami kemajuan dan perbaikan. Luar biasa bukan? Karena itu, menjadi seorang wirausaha sosial, memang harus mampu mengenali kemandegan dalam kehidupan masyarakatnya. Selalu saja ada kemandegan; kemiskinan, pengangguran, penyakit atau kebodohan. Setelah itu, ia harus berinisiatif dan menyediakan jalan keluar atas kemandegan itu. caranya, jeli melihat peluang untuk dijadikan solusi, mampu memetakan Penulis: Lufti Avianto | DKK
24
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
masalah, mencarikan solusi, lalu menyosialisasikan jalan keluarnya dan meyakinkan seluruh lapisan masyarakat untuk berani melakukan perubahan. Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan pakar di bidang kewirausahaan sosial pernah mengatakan bahwa kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat luar biasa dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Intinya, memang tak melulu duit. Tetapi dampak perubahan yang diharapkan dari bisnis yang dilakukan untuk perbaikan umat. Dari kasus perubahan yang dilakukan Yunus Grameen Bank-nya, kita bisa melihat dampak besar yang dilakukan seorang wirausaha sosial. Di Indonesia, hal serupa juga telah dilakukan oleh lembaga amil zakat, seperti Dompet Dhuafa, dalam program pemberdayaannya. Tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, kewirausahaan sosial juga lintas-bidang: pendidikan, bahkan kesehatan masyarakat. Ada dua garis yang bersinggungan dan kemudian bisa melahirkan perubahan besar bagi umat. Yakni antara kewirausahaan sosial dengan dasyatnya manfaat zakat. Berbagai persoalan keumatan yang besar, sebagaimana yang disebut kemandegan, sudah jelas terbentang. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk berzakat kian membaik. Sementara lembaga amil zakat dan elemen masyarakat lainnya sudah dan akan terus menelurkan program pemberdayaannya. Bila potensi zakat dikawinkan dengan gigihnya seorang wirausaha sosial, lalu, apa lagi yang ditunggu?
Penulis: Lufti Avianto | DKK
25
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Blackberry Sang Amil
Oleh Khansa Sophia ADA kegelisahan seorang kawan yang terekam ingatan saya. Ia gundah, sebab sebagai seorang amil di sebuah lembaga amil zakat berskala nasional, ada kebijakan yang membuatnya tak sreg. Lembaga tempatnya mengabdi selama hampir sepuluh tahun itu, belakangan memberikan fasilitas komunikasi yang cukup mewah kepada karyawan setingkat manajer hingga ke atasnya. Blackberry. Ada yang senang, tentu para amil setingkat manajer itu. Ada yang gundah, termasuk kawan saya itu. “Saya merasa itu belum tepat,” keluhnya. Nadanya terdengar cemas dengan mimik serius. “Terlalu berlebihan.” Saya bisa merasakan kegelisahannya. Bukan sebab ia hanya selevel staf sehingga tak dapat merasakan asyiknya ber-BBM ria alias blackberry messanger-an atau berselancar di dunia maya setiap saat. Bukan itu. Saya tahu dia prihatin. Sebab, beberapa karyawan lain yang masih berstatus kontrak atau sukarelawan, benar-benar harus bekerja dengan ‘suka’ dan ‘rela’ atas kesejahteraan yang diberikan lembaga. Sementara sang sukarelawan harus tetap legowo dalam keprihatinannnya, segelintir amil menikmati fasilitas barunya seperti menggendong bayi baru mereka. Memang, harus diakui, bahwa kesejahteraan amil di satu sisi, dengan peningkatan produktifitas kinerja amil di sisi lain, menjadi hal yang sulit diputuskan. Katanya, seperti menghadapi buah simalakama. Dan, beberapa waktu belakangan ini, saya mengamati kebijakan yang terakhirlah yang menjadi pilihan beberapa lembaga zakat. Meski saya tetap berprasangka baik, bahwa lembaga zakat itu akan tetap memperhatikan kesejahteraan para amil yang benar-benar bekerja dengan ‘suka’ dan ‘rela’ tadi. Seharusnya memang, lembaga zakat yang profesional, bahkan berskala nasional itu, bisa lebih memperhatikan para amil yang berada pada level terbawah itu. Sebab, amil memiliki porsi dana zakat yang menurut Imam Syafii sebesar maksimal seperdelapan dari penghimpunan dana zakat. meski ada beberapa lembaga yang tak memaksimalkan porsinya. Namun, semakin besar penghimpunannya, semakin besar pula porsi amil. Mungkin, kegelisahan kawan saya terlalu berlebihan. Tapi, mungkin saja tidak. Menurutnya, sebagai seorang amil yang amanah, prinsip kesederhanaan perlu dikedepankan. Singkatnya, bila fasilitas lama masih layak, tak perlulah mengganti fasilitas yang baru. Tapi bagi saya, blackberry atau fasilitas lain, (mungkin) hanya sebagai sebuah simbol kemewahan secara tekstual. Namun, secara kontekstual, ini harus dipahami sebagai sebuah
Penulis: Lufti Avianto | DKK
26
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
tuntutan kinerja amil yang kian produktif dan profesional. Kerja luar biasa yang mencapai 24 jam nonstop sehingga ia harus tetap standby melayani umat. Ah, mungkin saja hal ini terlalu berlebihan. Sebab, amil memiliki kewenangan untuk menentukan kesejahteraan mereka dengan menggunakan porsi yang sudah ditetapkan-Nya dalam surah At-Taubah ayat 60 yang menurut Imam Syafii sebesar seperdelapan dari dana zakat yang berhasil dihimpun. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ‘amilin, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (AtTaubah: 60). Jadi, sebab amanahnya untuk menghimpun dan mengelola zakat, amil mendapatkan bagaiannya. Di tangan merekalah, kesadaran masyarakat untuk berzakat dibangunkan dari tidurnya. Sepatutnya, tak membesarkan fasilitas yang –Insya Allah- akan membawa produktifitas seorang amil dalam mengabdi bagi kepentingan umat. Bisa saja kawan saya terlalu gelisah memikirkannya. “Tapi blackberry harganya mahal,” kata lelaki ini suatu siang, Ramadhan ketiga. Saya tersenyum.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
27
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Berhijrah ke Sistem Keuangan Syariah Oleh Diyah Kusumawardhani INDONESIA bisa dibilang memiliki potensi besar dalam bidang keuangan syariah. Hal ini dilihat dari sejumlah penduduknya yang cukup besar, sekitar 225 juta jiwa, serta mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka tak heran jika belakangan banyak bisnis keuangan syariah menjamur. Seperti misalnya di sektor perbankan Indonesia. Setelah kemunculan Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, jumlah bank umum syariah (BUS) pun turut pula bertambah. Sebut saja di antaranya, Bank Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah, BRI Syariah, Bukopin Syariah, CIMB Niaga Syariah dan masih banyak lagi daftar bank syariah di negeri ini. Namun menurut peneliti ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Erie Febrian yang menyatakan kalau pertumbuhan perbankan syariah secara ekonomi termasuk yang lambat. Bahkan perbankan syariah dianggap belum mampu berkontribusi secara signifikan bagi perekonomian Indonesia, dalam hal ini meningkatkan kemakmuran rakyat. Meski begitu, kemunculan banyak BUS dewasa ini, sudah cukup mengindikasikan kepercayaan diri yang besar dalam perkembangan sektor keuangan syariah. Selain itu, sistem keuangan syariah ini ternyata juga sedang mendapatkan sorotan dunia internasional. Setelah sebelumnya Paus Benedictus pernah memuji sistem keuangan syariah bisa digunakan sebagai jalan keluar dari krisis global yang meluluh-lantakkan sendi perekonomian banyak negara. Kehancuran ekonomi dunia ini disinyalisasi sebagai akibat kegagalan sistem ekonomi konvensional. Komprehensifitas dalam sistem keuangan syariah ini didukung banyak ‘ijma ulama, khususnya bab pengharaman riba dalam berbagai transaksi keuangan. Keraguan terhadap riba dianggap sebagai ketidakmengertian terhadap ilmu moneter, keuangan dan ilmu ekonomi makro. Di sinilah para pakar ekonomi Islam dunia meminta siapa pun yang membuat fatwa untuk membahas interest rate dan kaitannya dengan inflasi, investasi, produksi, pengangguran, stabilitas moneter, volatilitas dan lainnya secara komprehensif. “Ulama fikih tidak bisa menganalisis bunga dari perspektif fikih secara sempit, melainkan harus memiliki disiplin ilmu yang komprehensif, bahkan harus melihat fakta sejarah krisis di seluruh Negara di dunia sejak 150 tahun terakhir,” tulis Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto dalam salah satu tulisannya di situs Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Riba adalah batu pengganjal seseorang yang menggeluti bisnis keuangan untuk masuk ke dalam surge. Karena dalam riwayat Muslim, Rasul melaknat para pelaku riba. “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang yang memakan riba dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba. Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transasksi riba dan saksi-saksinya. Nabi Saw bersabda, “mereka semua sama.” Bahkan dalam hadits lain Nabi jelas-jelas menegaskan para pelaku riba tidak akan masuk surga. •gEmpat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, Penulis: Lufti Avianto | DKK
28
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya. (HR. Hakim). Begitu besar dosa riba, bahkan kedudukannya sampai disamakan dengan orang yang berzina. Seharusnya ini menjadi cambuk bagi umat Islam untuk berhijrah sepenuhnya kepada sistem keuangan Islam, yang berlandaskan syariah Islam. Dan momen Ramadhan kali ini bisa digunakan sebagai munthalaq (titik tolak) bagi umat Islam yang belum meninggalkan sistem keuangan konvensional untuk berhijrah ke sistem keuangan syariah. Karena sejatinya, bila diri kita bersih dari riba, maka akan menghindarkan ibadah-ibadah kita dari ketertolakannya oleh Allah SWT.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
29
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Dialog imajiner Ramadhan-Syawal
Oleh Fatia Linvout ADA semburat gelisah yang memancar dari raut wajah Ramadhan. Matanya nyalang menyapu langit-langit sebuah ruangan. Pikirannya terbaca galau seperti menyemburatkan hatinya yang kalut. “Tampaknya kau gelisah, Dhan,” tanya Syawal suatu ketika. “Ehh… mmh…” berusaha mengendalikan diri. “Tak mengapa. Hanya kegelisahan kecil.” “Hei, ini kan waktumu kawan,” kata Syawal. “Umat Islam di seluruh dunia tengah menyemarakkan hari-harimu dengan ibadah sunah dan wajib. Hargailah sambutan mereka atas kedatanganmu.” “Sayangnya, aku tak merasakan penyambutan meriah itu,” katanya parau. “Kecuali sedikit di antara mereka yang benar-benar gembira atas kehadiranku.” “Heii.. kenapa kau jadi tambah sensitif begini, kawan? Syawal setengah berteriak. “Bagaimana tidak, atas namaku, tayangan teve bulan ini tetap menyambutku dengan nilai materialisme. Di Mall, mereka menyambutku dengan konsumerisme, di … semua tempat …” kata-katanya patah tersedak dengan tangisnya yang tertahan. “Bagaimana aku tak sakit hati karena hanya sekadar dimanfaatkan saja demi keuntungan sebagian orang?” Syawal tercenung. Tak menyangka sahabat sejatinya itu, merasakan kesedihan yang luar biasa. “Tapi, Dhan, kau menyimpan banyak keutamaan yang Allah Swt. anugerahkan. Bersabarlah..” Syawal berusaha menghibur. “Di masamu, al-Quran yang mulia diturunkan. Saat kedatanganmu, sudah ditunggu saat Rajab dan Sya’ban. Mereka yang menyambutmu dengan suka cita, akan diampuni Allah Swt, diberikan rahmat dan dibebaskan dari api neraka. Saat kau ada, disemarakkan semua ibadah, pahala dilipatgandakan dan badan mereka disehatkan pula. Di masa sepuluh terakhirmu, ada Lailatul Qadr.” Ramadhan diam, tangisnya mereda. Ia berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang disampaikan Syawal. Dia benar… “Sudahlah. Nikmati saja jamuan orang-orang beriman atasmu. Berbahagialah dengan lantunan tilawah al-Quran dari mereka. Senangkan hatimu dengan puasanya orang-orang beriman yang menahan diri dari kemaksiatan. Doakanlah mereka yang berdiri dan sujud pada malam milikPenulis: Lufti Avianto | DKK
30
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Nya. Meski jumlah mereka sedikit. Toh, Allah Swt. Mahatahu atas keimanan setiap hambaNya.” “Baiklah. Alhamdulillah. Terima kasih sudah menghiburku. Kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil melirik Syawal di sampingnya. “Aku? Ah, biasa saja. Aku justru prihatin dengan kemenangan yang Allah berikan di masaku. Sebab, tak semuanya yang berhasil mendapatkan kemenangan di masamu juga,” nadanya datar. “Menjelang kehadiranku, banyak manusia berlomba-lomba memperbagus rumahnya, pakaiannya, penampilannya. Tapi tidak berusaha memperbagus akhlak dan ibadahnya.” “Jadi, mereka menyambutmu masih seperti dulu?” giliran Ramadhan menyelidik. “Ya, begitulah. Masih sebatas ritual dengan ketupat, baju baru, mudik ke kampung halaman,” katanya. Masih datar nadanya. “Mereka senang menyambutku karena hal-hal itu. Ada kebiasaan yang tak berubah juga dari mereka.” “Apa itu?” Syawal menghela napasnya, “mereka lebih menyambut kedatangan Tunjangan Hari Raya daripada menyambutku penuh rasa kemenangan atas ibadahnya,” Syawal tersenyum kecut. “Kita bernasib sama, ya,” Ramadhan angkat bicara. Syawal mengangguk lemah. “Eh, bagaimana kalau kita buka puasa bersama sore ini?” Syawal usul sambil menggamit tangan Ramadhan. Mereka lalu meneruskan pembicaraan tentang rencananya sore itu dalam perjalanan pulang. Sambil menelusuri lorong kehidupan yang gelap, pengap dan panjang. Kedua makhluk Allah Swt. itu saling menguatkan dan menyemangati satu sama lain. Adakah kita termasuk orang yang diperbincangkan?
Penulis: Lufti Avianto | DKK
31
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Bacalah
Oleh Lufti Avianto INI tahun ketiga, saat Nabi Muhammad mengasingkan diri di Gua Hira. Berbekal roti, gandum dan air, ia kerap menyendiri di gua yang terletak di Jabal Nur, dua mil dari kota Makkah itu. Banyak soal yang dipikirkannya. Terutama sekali, kemusyrikan kaumnya yang tak terbendung lagi pada masa itu. Maka langkah mengasingkan diri, menjadi semacam penyucian ruh agar tak sibuk memikirkan gejolak duniawi. Saat berada di dalam, Muhammad dikejutkan dengan kehadiran sesosok malaikat, Jibril. “Bacalah,” sosok itu memintanya. “Aku tidak bisa membaca,” Muhammad menjawab dengan gemetar. Jibril lalu mendekatinya, merangkulnya dan memerintahkannya lagi, “bacalah!” Rangkulan itu terasa menyesakkan dirinya. Ia kembali memberikan jawaban yang sama. “Aku tidak bisa membaca.” Jibril merangkulnya lagi dan meminta Sang Nabi membaca kembali selembar kain sutera berisikan wahyu. Ini berlangsung hingga tiga kali dialog itu terjadi, namun Sang Nabi tetap tak mampu membacanya. Lalu, Jibril melepaskannya, seraya berkata: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Peristiwa ini kita kenal dengan Nuzulul Quran atau saat diturunkannya al-Quran. Dan ayat di atas, diyakini sebagai wahyu yang pertama kali turun. Umat Islam di seluruh dunia kerap memperingatinya dengan aneka kegiatan setiap 17 Ramadhan (meski ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai tanggal. Ada yang menyebut tanggal 7, 17 atau 21 Ramadhan). Namun, kita kerap alpa dengan makna perintah wahyu yang pertama kali turun ini. Ada yang lebih penting dari sekadar perayaan kolektif itu, yakni mengakrabkan diri dengan al-Quran dengan beberapa tahapan interaksi. Semoga, momentum ini bisa menambah semangat, kecintaan dan keimanan kita terhadap al-Quran. Tahap pertama adalah, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “sebaik-baik kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Mempelajari sekaligus Penulis: Lufti Avianto | DKK
32
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
membacanya merupakan sarana seorang Muslim menyelami nilai dan hikmah yang terkandung di dalam Kitab Suci. Ada hukum, prinsip kehidupan, nasihat dan panduan hidup. Lalu diikuti dengan mengajarkannya –tidak hanya cara membaca, tetapi juga nilai dan hikmah al-Quran– kepada Muslim lainnya. Naik ke tahapan berikutnya, dalam mengimani al-Quran kita dituntut untuk memahami dan mentadaburi isinya. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orangorang yang berakal.” (QS. Shaad:29). Tak mungkin seorang Muslim menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup bila ia tak memahaminya. Namun untuk mampu memahami dan mentadaburi keagungan-Nya melalui alQuran, kita harus menghilangkan penghalang pemahaman. Meninggalkan perbuatan dosa. Setelah tumbuh keimanan dan pemahaman Islam melalui al-Quran, langkah berikutnya adalah merealisasikannya dalam bentuk amal pada kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, kita bisa menyontoh langsung dari Rasulullah saw., karena, “akhlak beliau adalah seperti al-Quran yang berjalan,” begitu dalam sebuah hadits disebutkan. Ini kita lakukan sebab nilai al-Quran telah berada di dalam hati sehingga memancarkan sikap hidup yang Qurani. Seperti air teko yang berisi teh, ia juga hanya akan mengeluarkan teh. Bukan yang lain. Dengan demikian, kita juga telah turut menjaga dan memelihara al-Quran di atas kertas ke dalam sikap hidup. Selain kita juga menghafal ayat demi ayat-Nya. Bagi yang menghafalnya, Allah Swt telah menjanjikan kemuliaan, berupa surga yang nikmatnya tiada tara. Karena alQuran, telah digaransi keagungan dan kemuliaannya. “SesungguhnyaiKamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
33
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Delapan Puluh Tiga Tahun
Oleh Fatia Linvout SATU malam senilai seribu bulan. Kalau dikonversi, sama dengan delapan puluh tiga tahun. Jumlah yang luar biasa. Itulah malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Karena itu, sungguh beruntung bila seorang hamba mengisi malam itu penuh dengan ibadah yang dianjurkan oleh Sang Nabi, Muhammad saw. Namun, tahukan kita malam yang dimaksud? "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan, tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. al-Qadr: 15). Lailatul Qadr bermakna taqdir (penentuan) dan tadbir (pengaturan). Bisa pula dimaknai sebagai kemuliaan dan kedudukan. Kedua makna ini sejalan dengan sebuah peristiwa yang agung dalam sejarah kehidupan manusia, yakni peristiwa diturunkannya al-Quran, wahyu dan risalah. Menurut Sayyid Quth dalam Tafsir Fii Zhilalil Quran yang ia tulis, tak ada yang lebih agung dari peristiwa ini dalam hal petunjuknya tentang penentuan dan pengaturan dalam kehidupan seorang hamba. Ada quantum amal. Ada peningkatan nilai pada malam itu. Sangat signifikan. Inilah keutamaan yang dikaruniakan Allah Swt. bagi umat Islam dibandingkan dengan umat-umat terdahulu. Karena itu, Rasulullah dalam sebuah sabdanya menganjurkan kita untuk mencari malam kemuliaan yang setara dengan seribu bulan itu. Terutama pada sepuluh terakhir, malam-malam yang ganjil. Meski pengetahuan tentang waktu persisnya Malam Kemuliaan itu turun, hanyalah Allah ‘Azza wa Jalla yang mengetahuinya. Ubadah ibnush-Shamit berkata, "Nabi keluar untuk memberitahukan kepada kami mengenai waktu tibanya Lailatul Qadar. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum Muslimin yang berdebat. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukan kepadamu tentang waktu datangnya Lailatul Qadar, tiba-tiba si Fulan dan si Fulan berbantah-bantahan. Lalu, diangkatlah pengetahuan tentang waktu Lailatul Qadar itu, namun hal itu lebih baik untukmu. Maka dari itu, carilah dia (Lailatul Qadar) pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima.'” Namun, beliau mengisyaratkan, “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa beberapa shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat lailatul Qadr dalam mimpi tujuh malam terakhir, maka barangsiapa mencarinya hendaknya ia mencari pada tujuh malam terakhir." (HR. Muttafaq Alaihi). Karena itu, pada sepuluh malam yang terakhir, Rasulullah “mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Muttafaq Alaih). Beliau juga mengajarkan kita untuk memperbanyak ibadah; tilawah al-Quran, shalat sunah, sedekah dan Penulis: Lufti Avianto | DKK
34
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
itikaf di masjid. Selain mendulangn banyak kebaikan, kita juga dianjurkan untuk memohon ampun atas kesalahan dan maksiat yang telah kita lakukan. Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari Lalilatul Qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku)." (HR. Imam Lima selain Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim). Sebab kita telah banyak lalai pada tapak perjalanan usia kita, maka memohon ampunlah. Bangun di malam itu dengan penuh iman dan keikhlasan, agar kita memperoleh keberuntungan. Sebab Allah yang Mahapemurah sangat menyayangi hamba-Nya, disediakannya malam yang penuh kemuliaan. Agar satu malam penuh ibadah, setara dengan ibadah selama delapan puluh tiga tahun lamanya. Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
35
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Gagal Ramadhan
Oleh Lufti Avianto SAYA YAKIN, di dunia ini tak ada satu pun manusia yang menyukai kata gagal. Meski gagal kerap didekatkan dengan pepatah sebagai suatu sukses yang tertunda. Gagal dalam pepatah itu, mungkin baik bila didekatkan dengan konteks upaya menggapai cita-cita, agar tak lekas patah arang. Tapi dalam konteks lain, akan terasa menyakitkan, misalnya rumah tangga, kesehatan, bahkan konteks akhirat. Kita masih bisa membayangkan betapa pahitnya sebuah keluarga yang mengalami gagal rumah tangga. Kita juga tahu persis rasa sakit dan ngilunya seorang pasien yang mengalami gagal jantung atau gagal ginjal. Tapi, bisakah kita bisa membayangkan bagaimana seseorang yang mengalami gagal akhirat? Pastilah celaka. Barang siapa yang hari kemarin lebih buruk dari hari ini, maka dia celaka. Barang siapa yang kemarin sama dengan hari ini, maka dia merugi. Dan barangsiapa yang hari kemarin lebih baik dari hari ini, maka beruntungla dia. Cukuplah hadits di atas mengingatkan kita tentang sebuah kegagalan. Sebab, seseorang yang tak mampu mempersiapkan bekal untuk Hari Akhirnya, maka merugilah ia dengan sebenarbenarnya rugi. Kalau sudah begini, akan kemana ia meminta pertolongan? Nah, untuk mempersiapkan bekal itulah, bulan Ramadhan hadir bagi orang-orang yang beriman. Di sinilah, umat Islam mempersiapkan akhiratnya dengan memperbanyak ibadah, doa dan memohon ampunan agar terbebas dari api neraka dan beroleh rahmat. Namun, bagaimana bila seorang Muslim mengalami gagal Ramadhan? Akankah berujung pada gagal akhirat? Na’udzubillah min dzaalik. Gagal Ramadhan berarti ketidakmampuan seorang Muslim dalam menjalani ibadah shaum dan ibadah lainnya di bulan yang penuh berkah ini, agar menjadi insan yang bertakwa. Takwa dalam terminologi keshalihan pribadi dan juga keshalihan sosial secara simultan. Di Ramadhan, ia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena itu, hal ini perlu didiagnosa, agar penyakit gagal Ramadhan ini, bisa diobati lebih dini. Ada beberapa gejala yang bisa kita rasakan, apakah kita sedang, tengah atau akan mengidap penyakit gagal Ramadhan. Pertama, kita tak mempersiapkan kehadiran Ramadhan sebaikbaiknya. Karena, Rasulullah dan para sahabat menyambut Ramadhan sejak bulan Sya’ban dengan memperbanyak shaum dan ibadah sunah lainnya. Penulis: Lufti Avianto | DKK
36
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa berpuasa sehingga kami menyangka beliau tidak akan berbuka dan beliau berbuka sehingga kami menyangka beliau tidak akan berpuasa. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. (HR. Muttafaq Alaihi). Kedua, kita tak menjadi lebih pemurah dari bulan-bulan sebelumnya. Sebab, di bulan ini, Rasulullah saw sangat pemurah dan rlebih rajin bersedekah ketimbang bulan-bulan sebelumnya. “Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dan bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan (HR. Bukhari). Ketiga, ibadah kita tak meningkat di bulan yang mulia ini, sama seperti bulan lainnya. Keempat, tak ada perubahan kebiasaan makan kita. Puasa hanya mengubah waktu makan saja, tetapi tidak menu makanannya. Puasa yang seharusnya menjadi obat dan detoksfisikasi alami, malah menjadi racun dengan menu makanan yang serba wah dan tak terkontrol. Bahkan, saat berbuka menjadi ajang wisata kuliner dan balas dendam untuk makan sepuas-puasnya. Kelima, kita tak menjadi pribadi yang empati terhadap kesulitan sesama. Bukankah puasa hakikatnya juga mengandung nilai ibadah sosial? Rasa lapar di perut kita, sejatinya bukanlah tanpa makna. Dengan ibadah ini, Allah Swt. mengajarkan kita rasa solidaritas terhadap si fakir dan si miskin yang setiap hari merasakan laparnya. Keenam, kita lengah di etape terakhir. Sepertihalnya lomba marathon, kita harus sprint di beberapa kilometer menjelang finish. Rasulullah Saw. selalu menggunakan kesepatan sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan beritikaf. Memperbanyak ibadah, doa, dzikir dan taubat kepada Yang Maha Penyayang. 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila memasuki sepuluh hari –yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan—mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Muttafaq Alaihi).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
37
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Topeng Ramadhan
Oleh Fatia Linvout ANEH. Sepanjang Ramadhan, memang hampir semua barang dagangan laris-manis. Sebutlah aneka penganan berbuka puasa, kue-kue kering menggoda selera, pakaian untuk lebaran berikut aksesoris yang akan dipadu-padankan. Tapi ternyata ada yang jauh lebih laris lagi dari komoditas tadi. Apa itu? Topeng. Topeng bukan sembarang topeng. Topeng ini bisa menyulap si pemilik wajah terlihat seperti yang diinginkan. Ingin wajah terkesan sholih atau sholihah? Ada. Atau ingin tampil kalem, juga bisa. Pokoknya apa pun karakter dan tampilan yang diinginkan, pasti bisa. Karena di bulan ini, semua orang ingin menyesuaikan dengan nuansa Ramadhan yang serbaislami. Benarkah begitu? Nyatanya, banyak orang yang mendadak tampil Islami. Sebut saja, selebritas kita yang meramaikan layar kaca saat menemani santap sahur dan berbuka puasa keluarga di rumah. Salah seorang kawan saya dari sebuah harian nasional pernah iseng menunjukkan foto salah seorang aktris yang tampil dengan topeng itu. “Nih, lihat kelakuan selebritas kita,” katanya sambil menyorot foto sang aktris dengan busana setengah telanjang. Dalam sebuah film bertajuk ‘Air Terjun Pengantin’. Posisinya duduk di sebuah ranjang. Wah. “Nih, lihat lagi yang ini,” kali ini monitor laptopnya memperlihatkan aktris yang sama dengan balutan busana Muslimah. Berjilbab putih. Anggun. Namun kontras dengan gambar sebelumnya. “Nih, bagaimana tuh?” ia mengatakan ‘nih’ ketiga kalinya dengan nada meledek. Entah meledek apa. Mungkin meledek kepalsuan. Mungkin juga meledek topeng yang saat ini larismanis terjual. Atau mungkin meledek aktris yang ketahuan berganti topeng? Entahlah. Itulah Ramadhan yang membawa dampak perubahan. Orang berbondong-bondong segera meRamadhan-kan penampilannya, meski lupa menghadirkan nuansanya di dalam hati. Ramadhan alpa dalam presensi ibadahnya. Padahal, Rasulullah banyak sekali mengingatkan kita soal ini. “Mungkin hasil yang diraih seorang shaum (yang berpuasa) hanya lapar dan haus, dan mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam (Qiyamul lail) hanyalah berjaga.” (HR. Ahmad dan Al Hakim).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
38
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Mungkin percuma, puasa yang kebanyakan kita jalani. Hanya menyisakan lapar dan lelah saat beribadah. Sebab, kita justru lebih sibuk mengganti topeng, dari situasi yang satu ke situasi yang lain. Mengepaskan. Mengganti. Dan mengepaskan lagi hingga benar-benar kita disebut orang dengan gelar yang kita kehendaki. “Aiih, cantiknya.”, “Pemuda yang sholih.” Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, "Aamin", begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, "Mengapa Rasulullah mengucapkan "Aamin"? Beliau lalu menjawab, "Malaikat Jibril datang dan berkata, "Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu" lalu aku berucap "Aamin." Kemudian malaikat berkata lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga." Lalu aku mengucapkan "aamin". Kemudian katanya lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya." Lalu aku mengucapkan "Aamin." (HR. Ahmad). Kira-kira, saat Allah Swt. membalas semua amal dan menyerahkan kitab catatan perbuatan semua manusia, topeng apalagi yang akan digunakan? Memelas ampunan dan pembebeasan dari api neraka, sekaranglah saatnya. Sebelum semuanya terlambat. Karena nasi, belum menjadi bubur.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
39
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Surat dari Negeri Puasa
Oleh Fatia Linvout Kepada Sahabatku, Mat Ali Di Negeri Endonesya Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh Ingin sekali kukabarkan keindahan Ramadhan di Negeri Puasa kepada sahabatku di Negeri Endonesya. Kami, rakyatnya yang lelaki disebut shoo-imin, sementara yang wanita disebut shoo-imat, selalu gembira ketika Ramadhan tiba dan merasa sedih bila ia berakhir. Mudahmudahan, Mat Ali di Endonesya juga begitu. Kami semua berpuasa dengan sebenar-benarnya puasa, lho. Tak ada yang ngumpet-ngumpet buka atau pura-pura puasa. Semuanya puasa. Puasanya, tak hanya menahan lapar-dahaga atau syahwat seksual saja, tetapi juga penglihatan, pendengaran, pembicaraan, perasaan dan pikiran kami. Seluruh anggota tubuh pun berpuasa. Hebatnya lagi, kami menjalankannya dengan hati riang dan ikhlas untuk mengharap ridho Allah Swt. Apalagi hari-hari kami, selalu diisi dengan banyak ibadah. Kami di sini, saling mengingatkan untuk selalu tilawah al-Quran, bersedekah, shalat tarawih berjamaah bahkan yang paling seru, kami saling mengundang untuk berbuka puasa bersama. Seru bukan? Oh ya, tak lupa juga saatsaat sepuluh hari terakhir, kami beritikaf bersama di masjid raya yang berada di tengah Kota Puasa. Ada satu yang pasti jarang ditemui di Negeri Endonesya. Saya yakin ini kawan. Sebab di negeri kami, semua perusahaan meliburkan para karyawannya selama bulan Ramadhan. Karena sebelas bulan sebelumnya, perusahaan sudah mempersiapkan ini. Jadi, para pekerja seperti kami, juga para pengusaha, bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang. Hebat, bukan? Wah, pokoknya, suasana Ramadhan di sini sangat luar biasa. Oh iya, ada hal yang mau saya tanyakan, sahabat. Bagaimana soal penyaluran zakat kami di Endonesya? Semoga lancar-lancar saja ya. Bukan apa-apa, kami di sini selalu miris bila melihat dari layar kaca perihal saudara seiman kami yang berebut menerima zakat atau sedekah di sana. Berebut sembako atau uang yang nilainya tak seberapa. Sampai ada yang terluka atau korban jiwa. Aduh, pilu hati ini rasanya.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
40
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Insya Allah, tahun ini, kami akan kembali mengekspor zakat dan sedekah Negeri Puasa ke negeri kalian dalam jumlah dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Rp 2 trilyun. Tapi, jangan lupa laporan keuangannya ya, agar tetap terjaga transparansinya. Soalnya, kami suka khawatir bila melihat berita tentang korupsi di Endonesya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan saja. Seolah-olah, korupsi itu sudah merasuki semua sendi kehidupan di Endonesya. Apalagi kabar terakhir, para koruptor itu mendapat remisi dan grasi ya? Karena itulah, kami di sini selalu mempertanyakan laporan keuangan penyaluran zakat dan sedekah negeri kami. Maaf ya kalau terlihat cerewet. Bukan kami tak percaya dengan amil dari negeri kalian, bukan pula kami menuduh dana zakat dan sedekan kami dikorupsi. Na’udzubillah. Kami tidak sampai berpikir seperti itu. Ini kami lakukan hanya untuk menjaga profesinalisme amil dan menambah rasa percaya para muzaki agar bisa saling percaya. Bukan begitu? Okelah kalau begitu sahabat. Surat ini, saya akhiri dulu. Saya terlalu banyak bercerita. Saya berharap, tahun depan kalian bisa berkunjung ke Negeri Puasa saat Ramadhan. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang beruntung agar bisa dipertemukan Ramadhan tahun depan. Amiin. Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 22 Ramadhan 1431 H Sahabatmu, Abdullah
Penulis: Lufti Avianto | DKK
41
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Kedahsyatana Tiga Huruf
Oleh Khansa Sophia SADARKAH KITA, sebagai seseorang yang beriman, kita semua memiliki senjata yang ampuh, namun sering dilupakan? Kekuatan dahsyat yang tidak dimiliki kaum lain, selain kaumnya Nabi Muhammad Saw. Itulah doa. Tiga huruf yang dahsyat; d-o-a. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186). Berdoalah maka Allah Swt. akan mengabulkan. Berdoalah sebagai wujud ketergantungan hamba kepada Penciptanya. Berdoalah kepada Yang Mahakuat sebab kita adalah makhluk yang lemah. Berdoalah sebagai bukti kerendahan diri. Dan berdoalah, sebab itulah senjata kaum beriman. Namun, apa jadinya bila kita sudah berdoa, tapi belum juga dikabulkan Dia? Seharusnya bukan pertanyaan ini yang muncul. Sebaliknya, seberapa yakin anda terhadap doa yang anda panjatkan sendiri? Inilah motivasi doa. Banyak orang berdoa, tapi tidak yakin bahwa doanya akan dikabulkan. Padahal, Allah Swt. sudah menjanjikan kepastian dikabulkannya doa dalam firman-Nya. Sungguh, janji-Nya itu lebih pasti dari terbitnya mentari pagi di ufuk timur: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina.” (Al-Mu’min: 60) Selain motivasi bahwa doanya akan dikabulkan, seseorang yang berdoa juga harus memperhatikan adab dan waktu berdoa. “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’raaf: 55). Ada beberapa waktu yang mustajabah untuk berdoa. Di antaranya: 1. Saat berpuasa. Rasulullah Saw. bersabda, “tiga orang yang tidak akan tertolak doanya; pemimpin yang adil, seorang yang sedang berpuasa hingga ia berbuka dan doa orang yang teraniaya.” (HR. Tirmidzi). 2. Saat berbuka. Rasulullah Saw. bersabda, “sesungguhnya orang yang berpuasa, pada saat berbuka, memiliki doa yang tidak akan tertolak.” (HR. Ibnu Majah). Penulis: Lufti Avianto | DKK
42
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
3. Antara adzan dan iqomah. Rasulullah bersabda, “doa antara adzan dan iqomah tidak akan tertolak, maka berdoalah.” (HR. Ibnu Hujaimah dan Ibnu Hibban). 4. Dalam keadaan sujud. Nabi saw. bersabda, posisi terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sedang bersujud, maka perbanyaklah berdoa karena doa kalian pada waktu itu sangat patut untuk dikabulkan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud). 5. Setelah shalat fardhu. Rasulullah pernah ditanya, “Doa manakah yang paling didengar Allah?” Beliau menjawab, “doa di tengah malam yang terakhir dan seusai shalat wajib.” (HR. Tirmidzi). 6. Sepertiga malam terakhir. Rasulullah bersabda, Tuhan kita Yang Mahasuci lagi Mahatinggi setiap malam turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir seraya berfirman, Siapakah yang berdoa kepada-Ku, lalu Aku akan mengabulkannya? Siapakah yang memohon kepada-Ku, lalu Aku akan memberikannya? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, lalu Aku mengampuninya?” (HR. Bukhari dan Muslim). 7. Hari Jumat. Rasulullah bersabda, “sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu, di mana tidak ada seorang Muslim yang bertepatan berdoa memohon kebaikan Allah pada waktu itu melainkan Allah akan mengabulkannya. Waktu itu adalah setelah Ashar.” (HR. Ahmad). 8. Malam al-Qadr. Ada doa yang dianjurkan untuk diulang-ulang pada mala mini. “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai ampunan maka ampunilah aku.” (HR. Ahmad). Waktu-waktu itu, kini terbentang dalam hari-hari Ramadhan. Berdoalah dan yakinlah, niscaya Dia akan mengabulkan doa kita. Amiin.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
43
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Bekal Ramadhan
Oleh Khansa Sophia HARI INI, masih saja terlihat sebagian (besar) kita mengejar target tilawah dengan blackberrynya, sementara al-Quran teronggok dilupakan. Padahal, Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir. Masih juga terlihat, mayoritas di antara kita, beri’tikaf di mall dan pasar seraya memilah baju dan aksesoris yang akan dikenakan saat Hari Raya. Tak ketinggalan, aneka kue dan sajian ketupat siap untuk disajikan. Di kantor, bekerja sudah tak bergairah. Alasan ngantuk akibat kurang tidur saat sahur, atau lebih suka membicarakan, berapa kali lipat tunjangan bakal didapat. Bukan soal, berapa anak yatim yang akan disantuni dari berlipatnya tunjangan. Tidak pula suka membicarakan, apakah kita sukses beribadah di bulan mulia ini? Tak jua kunjung membicarakan tentang, apakah kita masih akan berjumpa dengan Ramadhan di tahun depan? Inikah bekal yang kita persiapkan saat Ramadhan? Ramadhan yang hanya satu bulan, dipersiapkan bagi hamba untuk mempersiapkan bekal dalam menghadapi sebelas bulan berikutnya. Kalaulah kita mempersiapkan bekal harta, tentulah itu akan habis. Lihat saja tunjangan hari raya, pasti sudah ludes untuk persiapan menyambut Idul Fitri, mudik, dan bagi-bagi angpao untuk sanak-famili. Bukan bekal itu yang dimaksud. “… Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. al-Baqarah: 197). Mengapa harus berbekal? Perjalanan seorang hamba mengarungi hidup berdurasi sangat pendek dan sangat panjang. Sangat pendek ketika berada di dunia yang diibaratkan para ulama seperti menyeberang jembatan saja. Itula kehidupan dunia. Sangat panjang, sebab akhirat yang kekal lagi abadi, dekat dengan pelupuk mata setiap hamba. Di sanalah kita semua akan kembali, entah berakhir bahagia ataukah sengsara. Karena itulah kita berbekal dengan sebaik-baik bekal, yaitu takwa. Bekal takwa adalah bekal yang kekal. Di dunia, bekal inilah yang akan menjaga kita dalam mengarungi kehidupan yang keras-menggilas, dimana halal-haram, hitam-putih, dan benarsalah, sangat tipis perbedaannya. Takwalah yang akan menjaga kita agar terhindar dari apa yang dimurkai-Nya.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
44
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Dan takwa jugalah yang Allah swt. harapkan melalui ibadah puasa Ramadhan ini. “…agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183). Dengan takwa pula, yang mengindikasikan kita mendapat kemenangan atau tidak. “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. al-Baqarah: 52). Meski begitu, takwa tidak hanya akan bertahan sebatas sebelas bulan berikut di dunia saja, tetapi juga sebagai bekal untuk kita mudik ke Kampung Akhirat. Bekal takwa yang akan menemani diri kita saat melakukan perjumpaan manis dengan Allah Swt pada Hari Pembalasan. Catatan amal diberikan dari sisi kanan, seraya Dia menyebut kita dari golongan umat Muhammad saw. sekaligus pengakuan-Nya bahwa kita merupakan hamba-Nya.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
45
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Belajar dari Suku Quraisy
Oleh Eman Mulyatman SETIAP ayat al-Qur’an meski bernada kabar gembira, pada hakikatnya adalah sinyal peringatan. Ketika Allah SWT menyebut Quraisy maka ada suatu keutamaan dari suku ini yang harus kita cermati. Sehingga jalan menuju keridhaan-Nya bisa kita raih. Surat al-Quraisy merupakan surat dengan urutan ke 106. Surat ini terdiri atas 4 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah dan diturunkan sesudah surat at-Tiin. Nama Quraisy diambil dari kata Quraisy yang terdapat pada ayat pertama, artinya Suku Quraisy. Suku Quraisy adalah suku yang mendapat kehormatan untuk memelihara Ka'bah. Pokok-pokok isinya adalah peringatan kepada orang Quraisy tentang nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada mereka karena itu mereka diperintahkan untuk menyembah Allah. Surat Quraisy menerangkan kehidupan orang Quraisy serta kewajiban yang seharusnya mereka penuhi. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan lainnya yang bersumber dari Ummu Hani binti Abi Thalib dikemukakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Allah mengutamakan Quraisy dengan tujuh perkara, sampai akhir hadits diantaranya turun ayat berkenaan dengan mereka yang tidak diturunkan kepada yang lainnya, yaitu ayat ini (QS 106:1-4). Dalam surat Quraisy ini di ayat 1dan 2 Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas, ketika matahari memanggang rumah mereka bak oven. Sebaliknya ketika rumahrumah mereka sedingin kulkas mereka pergi berdagang ke negeri Yaman. Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa di negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Sewajarnyalah mereka menyembah Allah SWT yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka. Bisnis Internasional Suku Quraisy Sebagian besar tanah di wilayah Hijaz, khususnya sekitar Makkah adalah kering, berpasir, bebatuan. Tak mungkin untuk bercocok tanam, sehingga mata pencaharian penduduk di kawasan itu terfokus berniaga. Quraisy yang merupakan suku asal Rasulullah saw mempunyai model bisnis tersendiri terutama dalam hal perdagangan internasional kala itu. Suku Quraisy sangat disegani dalam bidang perdagangan terutama dalam melakukan integrasi ekonomi. Makkah menjadi kota trasnsit yang sukses di kawasan itu. Penulis: Lufti Avianto | DKK
46
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Memang, suku Quraisy biasanya mengadakan perjalanan perdagangan ke negeri Syiria pada musim panas dan negeri Yaman pada musim dingin, itulah yang dimaksud dengan kata (rihlah al-syita’ wa al syaif). Para ahli tafsir mengatakan ayat ini diturunkan berkenaan dengan kemuliaan orang-orang Quraisy khusus nya dalam perdagangan. Sesungguhnya, hubungan dagang antar negara telah dimulai dari sejak nenek moyang Rasulullah saw. Dalam catatan sejarah, empat putra Abdul Manaf (garis ke atas Rasulullah Saw.) yakni Hasyim, Abdul Syam, Muthallib dan Naufal mengantongi izin perjalanan dan keamanan dagang dari para penguasa negeri-negeri tetangga. Hasyim pergi ke Syiria dan memperoleh persetujuan penguasanya, Naufal memperolehnya dari penguasa Irak, Muthallib Ethopia. Kemampuan niaga khususnya diplomasi para petinggi Quraisy menjadikan Makkah sebagai entitas yang sangat disegani saat itu. Nama Quraisy menjadi jaminan mutu di dalam maupun di luar negeri. Makkah berkembang menjadi pusat perdagangan yang sangat makmur, pasar-pasar didirikan sebagai tempat berdagang yang datang silih berganti. Lebih dari itu, pedagang-pedagang Quraisy juga sangat disegani di luar negeri. Tak heran bila ‘negara’ yang mereka lalui memberi jaminan keamanan jika melakukan perjalanan di negeri lain. Tak berlebihan bila orang mengatakan telah terjadi perdagangan bebas di sekitar wilayah Saudi Arabia. Selain orang menghormati Makkah karena posisinya sebagai tempat beradanya Ka’bah, kelebihan suku Quraisy terletak pada kemampuan mereka menjaga stabilitas keamanan kota. Jaminan keamanan inilah yang membuat para investor dari negara lain menyukai Makkah. Integrasi ekonomi Suku Quraisy adalah suku yang mampu dan jeli menangkap peluang pasar. Sehingga produk yang mereka tawarkan kepada negara lain dapat diterima secara luas dengan keuntungan yang berlipat. Jika pada musim dingin (al-syifa’) mereka pergi ke Yaman dengan membeli produk berupa kain sutera, barang pecah-belah, rempah, bahan kapur barus untuk kemudian dikirim ke Syiria pada musim panas (al-syaif) nanti. Sebaliknya, mereka mengambil barang dagangan gandum dan buah-buahan dari Syiria pada musim panas yang nantinya dijual pada musim dingin di Yaman, demikian seterusnya. Kejelian menangkap pasar inilah yang menunjukkan kemampuan suku Quraisy dalam melakukan pengklasifikasian produk dan integrasi perekonomian dengan negara-negara sekawasan. Inilah yang menjadikan suku Quraisy menjadi suku yang disegani disekitar Jazirah Arab. Padahal, sebagaimana lazimnya kota metropolitan, Makkah kala itu dilanda kesenjangan. Yang kaya makin istimewa dan setiap kesalahan untuk si Miskin. Rakyat menikmati kezaliman karena perut mereka kenyang dan aman. Seperti kata despot di negeri-negeri yang baru tumbuh Penulis: Lufti Avianto | DKK
47
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
“Kenyangkan perut rakyatmu setelah itu nyamankan sarangmu.” Sedangkan di ayat 3 dan 4 Allah berfirman, “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” Satu hal yang penting diapresiasi di sini adalah fakta mental-sosial kaum Quraisy memang memiliki keunggulan tersendiri yang membuat bangsa-bangsa lain menghormatinya, memberi keamanan pada mereka, dan menjamin keberlangsungan kehidupan mereka di negeri lain. Hal ini direkam dalam surah Quraisy tepatnya pada ayat empat. Dalam surah itu dijelaskan apabila mereka melakukan perjalanan ke Utara (Yaman) di musim dingin dan ke negara-negara Selatan (Syam) di musim panas, mereka mendapatkan jaminan keamanan dan makanan. Suku Quraisy mendapat jaminan internasional dari bangsa lain menurut Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasyaf, tak lain karena etos kerjanya. Lafadz ilaf dalam kitab-kitab tafsir diartikan sebagai kebiasaan. Yakni kebiasaan orang-orang Quraisy untuk melakukan perdagangan internasional lintas negara. Lebih lanjut Zamakhsyari menganalisis kedalaman kebiasaan perjalanan kaum Quraisy ini yang membedakan dengan kaum lainnya dari lafadz ilaf yang disebutkan dua kali secara berulang pada ayat satu dan dua. Menurutnya, kebiasaan kuat yang dimiliki kaum Quraisy terletak pada etos kerjanya yang luar biasa. Hal inilah yang membuat suku Quraisy disegani. Jadi ada korelasi antara etos kerja dengan bangsa yang bermartabat. Para pekerja, mahasiswa, diplomat, birokrasi, pejabat Indonesia yang beretos kerja tinggi di dalam maupun yang sedang di luar negeri, tentu akan dihormati bangsa lain. Mereka akan mendapat jaminan keamanan dan tidak akan kelaparan di negeri orang. Sebuah bangsa akan terpuruk bila etos kerjanya buruk. Logika Logistik Logika tanpa logistik akan menjadi anarkis. Banyak contoh mengenai perubahan yang disebabkan sejengkal jari tangan manusia. Coba masukan satu jari Anda ke tenggorokan. Ternyata jarak yang cuma satu jari itu, telah menyebabkan cerita berkepanjangan. Menjadi tragedi yang diceritakan hingga anak cucu. Padahal ketika makanan melewati tenggorokan semua sama, akan menjadi limbah. Konon kenikmatan untuk urusan di bawah perut pun tak jauh berbeda. Setelah Perang Dunia II Jerman dibagi dua, sejak pemisahan Jerman sampai tahun 1961 sekurang-kurangnya 2,7 juta orang meninggalkan Jerman Timur. Mereka umumnya menyeberang ke Jerman Barat karena ingin kehidupan yang lebih baik. Uni Soviet bertahan puluhan tahun sampai ekonominya dilanda badai. Kelaparan mengantarkan rakyat negeri tirai besi ini ke pintu reformasi. Presiden Gorbachev memenuhinya. Negeri Komunis lainnya, Korea Utara tenang-tenang saja, karena Presiden Penulis: Lufti Avianto | DKK
48
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
mereka sanggup memenuhi perut rakyatnya. Terorisme merajalela, umat Islam kembali menjadi korban. Mengapa terjadi teror, bisa karena eksistensi yang terganggu. Tidak ada rasa aman, karena tak jelas siapa teror dan siapa meneror. Ternyata selain rasa lapar yang terpenuhi ada lagi yang akan dituntut oleh manusia, yaitu adanya pengakuan. Ini akan menimbulkan rasa aman. Lapar adalah masalah fisik, sedangkan ketakutan masalah psikis. Bila rasa lapar berpadu dengan ketakutan maka yang timbul adalah energi negatif. Kepercayaan terkoyak rakyat akan berontak kekuasaan pun runtuh. Hal ini diketahui benar oleh musuh-musuh Islam. Maka pemurtadan bisa terjadi karena hal sepele. Hanya karena sebungkus mi instan. Hanya karena dihantui perasaan bahwa anaknya tidak akan menjadi sarjana kalau tidak menerima beasiswa dari mereka. Seyogianya seorang dai mengetahui hal ini dengan baik. Jangan justru sang dai sendiri yang kelaparan dan rumah tangganya tidak aman. Artinya dakwah harus profesional. Seperti Quraisy yang penuh perhitungan terhadap musim. Menyiapkan bekal untuk perjalanan jauh sehingga perniagaannya untung.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
49
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Sapu Lidi dan Zakat
Oleh Fatia Linvout URUSAN berzakat, memang masih memerlukan upaya penyadaran yang lebih luas lagi di negeri ini. Sebab, kesadaran masyarakat tidak hanya sekadar mengeluarkan zakat, tetapi juga kesadaran membayarkannya melalui lembaga zakat. Meski kita sama-sama tahu, bahwa potensi kedermawanan Islam (zakat, infak, sedekah dan wakaf) sangat besar. Inilah pentingnya pengelolaan zakat yang professional melalui lembaga zakat yang amanah. Masih ada masyarakat yang menilai, memberikan zakat langsung kepada mustahik jauh lebih baik. Namun, bila berkaca pada sikap yang dilakukan Rasulullah saw. pada zamannya, tidaklah demikan. Dalam sebuah kesempatan, beliau pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Atau saat beliau menunjuk seorang pemuda yang bernama Ibnu Lutaibah dari Suku Asad untuk mengurus zakat Bani Sulaim. Begitu pun seterusnya, ini tetap dilakukan pada masa khulafaur rasyidin setelahnya. Nah, urusan membayar zakat memang selain bernilai ibadah diri, juga bernilai secara sosial melalui pengelolaan zakat yang baik melalui lembaga amil zakat. Pekerjaan sang amil, menurut Imam Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang diberi tugas untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatat zakat yang diambil dari muzakki lalu mendistribusikannya kepada mustahik. Karena itu, pengelolaan zakat melalui lembaga amil akan memberian dampak pemerataan bagi distribusi zakat kepada mustahik. Tidak ada mustahik yang akan menerima dobel, sementara mustahik di daerah lain tidak mendapatkan haknya. Inilah salah satu hikmah zakat. Secara personal, menunaikan zakat melalui lembaga juga akan mengikis sifat ‘egoisme’ yang ada pada muzakki, yang memandang bahwa harta zakat seolah-olah hanyalah miliknya semata. Selain itu, dengan cara ini juga akan meminimalisasi ‘perendahan’ mustahik saat menerima zakat dari sang muzaki. Saya jadi teringat filosofi sapu lidi. Kalau lidi itu hanya satu atau beberapa gelintir saja, ia takkan mampu berdaya guna membersihkan sampah yang terserak. Sementara bila lidi itu digabungkan dan diikat, maka akan bisa ‘berbuat’ mengatasi masalah kebersihan yang ada. Ya, anggap saja, lidi adalah zakat. Pengikat dan gagangnya adalah lembaga amil yang amanah dan professional. Sebaiknya memang dihimpun dan dikelola secara massif sehingga mampu ‘berbuat’ banyak mengatasi masalah kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan, Penulis: Lufti Avianto | DKK
50
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
memberikan keterampilan, atau memberikan bantuan yang sifatnya konsumtif yang langsung bisa dirasakan sang mustahik seperti di daerah bencana alam atau kelaparan. Dengan pelaporan yang kian canggih dan transparan dari lembaga zakat yang sudah ada, saya yakin kesadaran masyarakat semakin baik. Canggih karena sistem pelaporan yang diberikan dalam beragam bentuk; data biasa, foto bahkan video tentang program pendistribusian zakat tersebut. Sehingga para muzaki bisa mengaksesnya secara cepat dan mudah dengan teknologi terkini yang sudah ada. Jadi, hari gini masih belum membayar zakat melalui lembaga amil? Apa kata sapu lidi…?
Penulis: Lufti Avianto | DKK
51
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Sarjana Takwa
Oleh Khansa Sophia MASA belajar di Universitas Ramadhan akan segera berakhir. Singkat memang, hanya satu bulan. Para mahasiswanya mengekspresikan detik-detik akhir ini dengan berbeda. Karena sejatinya, mereka juga memiliki perbedaan perasaan dan pemikirian saat menyambut, menjalani dan mengakhiri Ramadhannya. Ada yang senang karena merasa akan segera terbebas dari segala ‘penderitaan’ menahan hawa nafsu. Ada juga yang menyesal, karena tak mampu mengoptimalkan masa belajar itu untuk mendulang hikmah, rahmat dan ampunan. Dan, ada pula yang sedih, karena Ramadhan berakhir dan ia tak yakin akan menemui kembali di tahun yang akan datang. Milyaran umat Islam di seluruh dunia akan segera diwisuda. Namun tak semuanya mendapatkan gelar sebagai muttaqiin, orang yang bertakwa. Sarjana Takwa, hanyalah bagi para mahasiswa yang benar-benar lulus ujian dan berhasil memaknai puasa serta ibadah lainnya di Ramadhan. Selebihnya, hanya bisa ikut-ikutan memeriahkan acara wisuda dengan ketupat dan baju barunya saja. Atau mendekorasi ulang interior rumah, sekadar menandakan; ini sudah Idul Fitri. Meski tahu begitu, mayoritas kita yang tak mendapat gelar takwa itu tetap juga tak peduli. Masjid kian sepi. Al-Quran tak lagi dijamah. Shalat malam tak lagi tegak. Dan ada yang lebih penting dan menarik lagi, yaitu menghabiskan uang tunjangan hari raya dari kantor untuk persiapan lebaran dan pulang kampung. Padahal, ketika milyaran mahasiwa Ramadhan diwisuda, mereka diharapkan bisa survive menghadapi sebelas bulan yang akan datang. Menjadi manusia takwa yang mengenal Tuhannya, tahu siapa dirinya dan memahami akan kemana ia setelahnya. Niscaya, gelar takwa yang disandang akan membawa kemaslahatan dirinya di dunia dan akhirat. Meski sebenarnya, seluruh amal kita –termasuk di bulan Ramadhan- takkan mampu mengantarkan kita di sisi Surga-Nya kelak. Sebagian kita mungkin bertanya, kalau begitu apa manfaat gelar takwa yang diperoleh? Sejumlah fasilitas dari Allah bagi para peraih gelar Sarjana Takwa, adalah penghapus dosa-dosa. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah nsicaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.”(QS. athThalâq: 5).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
52
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Takwa pula yang menyelamatkan manusia dari adzab Allah di akhirat. “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 72). Takwa pula yang menjadi kualifikasi serang hamba masuk surge-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (QS.,al-Qamar: 54-55). Di dunia, takwa memberikan banyak manfaat bagi pemiliknya. Sebagai faktor meraih rizki, baik dalam waktu yang segera ataupun yang akan datan serta menghindarkannya dari bencana dan krisis. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangkasangkanya.”(QS. ath-Thalâq:2,3). Wallahu a’lam.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
53
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Modal Spirit Ramadhan
Oleh Eman Mulyatman RAMADHAN masih seperti hari-hari biasanya. Seperti tak ada bekasnya, Tak ada kesan bulan ini sebagai bulan menahan hawa nafsu. Lomba belanja dan lomba memenuhi materi terus diumbar. Ramadhan yang kali ini bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia pun tak ada tandanya. Tanda bahwa bangsa ini adalah bangsa pejuang. Atau sebaliknya tanda bahwa bangsa ini sedang dirundung utang. Indonesia dipenuhi Generasi Happy. Generasi yang maunya gembira terus, mau enaknya saja. Generasi Meok (makan enak ogah kerja). Lihatlah bagaimana sinteron Indonesia yang menyajikan serba enak dan glamour. Turun naik mobil, makan enak dan kerjanya belanja. Negeri yang aneh memang. Kadang bicara kemiskinan, di koran tertulis ada ibu yang membunuh anaknya karena takut miskin. Tapi di sisi lain ada jalan yang macet dipenuhi mobil mewah. Lihatlah Idul Fitri ini —seperti idul fitri sebelumnya— rame-rame mudik dan jalan pun macet. Bahkan sekarang ini perlombaan pun ditambah dengan berlomba umrah. Begitu Syawal yang ramai justru tempat wisata. Kami bukannya tidak setuju dengan mudik dan umrah. Kami hanya bertanya apa benar Indonesia miskin? Coba lihat, di Ramadhan ini siapakah yang meramaikan pasar? Siapakah yang memacetkan jalan? Tak terbantahkan, itulah umat Islam. Berapakah uang yang dibawa untuk mudik? Bayangkan kalau satu mobil seharga 100 juta? Artinya kita melihat uang ratusan juta yang berderet sepanjang Pantura (Pantai Utara - pulau Jawa). Jadi siapa bilang umat Islam di Indonesia miskin? Karena dengan kemiskinannya itu tokh masih bisa mempertontonkan kemewahan. Yang kelas pembantu rumah tangga pulang membawa Handphone seri terakhir, yang menengah dengan mobilnya dan yang high class dengan segala kemewahannya, membuat panggung ini dan itu. Semua bergembira di hari raya. Jadi persoalannya adalah pada pengelolaan, potensi umat ini tidak dikelola secara optimal. Andai semua ini bisa dikelola dengan baik maka Indonesia akan sejajar berdiri dengan bangsa lainnya. Kami berkepentingan mengingatkan ini, karena kalau umat Islam sadar akan potensinya. Indonesia juga yang untung karena penduduk ini mayoritas Muslim. Para pemimpin harus disadarkan tentang hal ini. Karena kendali ada di tangan mereka. Karena tugas pemimpin adalah mengelola semua potensi ini. Penulis: Lufti Avianto | DKK
54
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Harus terus digaungkan kesadaran bahwa negeri ini direbut dari tangan penjajah kafir dengan cucuran darah, Agar lahir generasi yang tangguh generasi mendatang, bukan generasi Meok.
Karena Ramadhan artinya membakar. Saatnya membakar semangat bahwa negeri ini harus dibebaskan dari penjajahan yang masih membelitnya. Mudah-mudahan Ramadhan ini menumbuhkan keberanian. Berani untuk berteriak sekali lagi, merdeka!
Penulis: Lufti Avianto | DKK
55
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Istiqamah
Oleh Khansa Sophia APA yang seharusnya tersisa dari bulan Ramadhan yang mulia? Mungkin sebagian kita menjawab, ketupat lebaran yang bisa dinikmati beberapa hari setelah Hari Raya, THR untuk jalan-jalan bersama keluarga, atau dekorasi rumah yang ditata ulang untuk menyambut lebaran. Mungkin saja. Tapi cobalah untuk merenungkan hadits berikut ini. Dari Abi Amr, Amrah bin Sufyan bin Abdullah ra. ia berkata, “saya telah bertanya kepada Rasulullah saw, ‘wahai Rasulullah katakanlah kepadaku dalam Islam suatu perkara yang saya tidak akan bertanya tentang itu kepada orang lain selain Anda,’ Maka Rasulullah bersabda, ‘katakanlah bahwa aku beriman kepada Allah swt. lalu istiqamahlah.” (HR. Muslim). Pada detik-detik akhir Ramadhan seperti ini dan seusainya, nilai yang patut tersisa dan dipertahankan adalah istiqamah. Istiqamah adalah konsistensi dan berpegang teguh terhadap agama yang hanif. Semangat konsistensi untuk meneruskan ibadah di bulan berikutnya yang sudah dilakukan di bulan Ramadhan. Sebab istiqamah menjanjikan lurusnya iman. Lurusnya iman diperoleh dari lurusnya hati dan lurusnya hati didapat dari lurusnya lisan. Di sinilah istiqamah dimulai. Istiqamah lisan adalah menjaganya agar tetap baik tutur katanya atau diam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. “Barangsiapa yang berimana kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” Karena lisan merupakan pancaran hati seseorang. Kedua, istiqamah hati. Gerakan hati bisa mempengaruhi seluruh anggota tubuhnya untuk beraktifitas dan beribadah. Bahkan Rasulullah sangat memperhatikan hati sebagai tolak ukur kebaikan seluruh amalnya, sebab perkara hati dalam diri manusia. “Ketahuilah di dalam tubuhmu ada segumpal daging. Jika ia baik maka baik seluruh tubuh dan jika ia rusak maka rusakklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim). Karena hati menjadi semacam pusat aktifitas dan ibadah yang akan menentukan baik-buruknya seseorang, maka jagalah ia. Istiqamah hati selama berpuasa di bulan Ramadhan senantiasa dilakukan dan ditingkatkan kualitasnya pasca Ramadhan. Sehingga ia benar-benar mendapatkan kebaikan akhlak. Ketiga, istiqamah iman yang dilakukan dengan melaksanakan Islam sepanjang hayatnya. Sebab tak ada satu pun yang mampu menjamin hidayah iman dan Islam itu akan tetap ada pada diri Penulis: Lufti Avianto | DKK
56
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
setiap orang. Gerak iman seseorang akan terpancar melalui amal ibadahnya yang produktif. Beribadah dengan utuh dan sempurna juga penting, menurut Imam Ghazali untuk merawat hidayah yang telah ada pada diri kita. Kalau tak dirawat, bisa saja hidayah itu hilang. Karena nilai manusia akan ditentukan pada titik akhir hayatnya. “Sesungguhnya di antara kalian ada yang beramal dengan amalan surga sehingga jarak dia dengan surga tinggal sejengkal maka tiba-tiba ketentuan jatuh pada dirinya sehingga ia melakukan amalan neraka, maka ia menjadi ahli neraka. Dan sungguh di antara kalian ada yang beramal dengan amalan neraka sehingga jarak dia dengan neraka tinggal sejengkal maka tibatiba ketentuan jatuh pada dirinya sehingga ia melakukan amalan surga, maka isurga menjadi tempat kembalinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
57
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Mempesona dengan Kesabaran
Oleh Fatia Linvout SIKAP apa yang semestinya berbekas pada diri seorang hamba yang baru saja usai menjalani Ramadhan-nya? Katanya, kesabaran kita dilatih selama satu bulan penuh. Tapi, usai Ramadhan, masihkah kesabaran itu menyisa di dalam keseharian kita? Ya, kesabaran semestinya akan tetap ada pada sebelas bulan mendatang. Sabar, bukan berarti ditampar pipi kanan lalu memberikan pipi kiri. Sabar bukan berarti pengecut. Sabar bukan soal nrimo. Bukan itu. Tetapi sabar adalah menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Namun, kesabaran tidak melulu berbicara soal sikap menahan diri dari kemalangan semata. Para ulama membagi sikap sabar terhadap tiga hal; sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan dan sabar dalam menghadapi ujian-Nya. Dalam urusuan ketaatan, ternyata kita juga diperintahkan untuk bersabar. Karena secara manusiawi, manusia memiliki rasa enggan untuk beribadah akibat rasa malas dan kikir. Karena itu, untuk memperoleh derajat takwa, membutuhkan proses yang tak sebentar dan tak mudah. Di sinilah kesabaran dibutuhkan. Kedua, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Sikap sabar atau menahan diri dari perbuatan maksiat juga dibutuhkan agar kita terhindar dari perilaku maksiat yang mudah dilakukan, seperti ghibah, dusta, memandang sesuatu yang haram, dan lainnya. Terakhir, sabar dalam menghadapi ujian dari Allah, seperti mendapatkan musibah, seperti kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai, bencana alam, dan sebagainya. Kesabaran dalam bentuk ini sudah dipahami maksudnya secara awam. Lalu, bagaimana seorang Muslim harus bersabar? Sikap sabar, sejatinya merupakan kebaikan bagi seorang Muslim. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah saw. melalui sabdanya. Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim).
Penulis: Lufti Avianto | DKK
58
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Inilah pesona seorang beriman dengan kesabarannya. Bahwa sikap itu berpangkal dari positif thinking. Ia selalu memandang segala urusannya -baik kebahagiaan ataupun musibah- dari sudut dan cara pandang positif. Kebahagiannya, direfleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah SWT. Karena ia memahami itu sebagai anugerah Allah. Sebaliknya, jika ia mendapatkan musibah atau kemalangan kesabaranlah yang terpancar. Karena ia yakin, itu merupakan cobaan bagi dirinya yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sebagian ulama bersepakat bahwa sabar merupakan setengah dari iman. Tak mungkin seorang mukmin memancarkan kesabaran bila tak memiliki keimanan yang kuat. Karena itu, latihan kesabaran selama Ramadhan ini, semestinya bisa memancar sebagai buah dari keimanan yang ditempa melalui ibadah sunah dan wajib.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
59
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Sucikan Jiwa dengan Zakat
Oleh Khansa Sophia “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. AtTaubah: 103). SESUAI dengan firman di atas, zakat merupakan penyuci jiwa. Ia membebaskan manusia dari daya tarik dunia dan menyucikannya karena dosa dan kemaksiatan. Karena tabiat manusia yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Sementara kebersihan jiwa merupakan sebaik-baiknya bekal manusia. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10). Kecintaan manusia terhadap dunia disamakan dengan keserakahan. Bila seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia berkeinginan untuk memiliki lembah emas lainnya. Ditambah terus, sampai keinginan itu dihentikan oleh kematiannya. Allah Swt. menginginkan kebaikan bagi setiap hamba-Nya. Melalui syariat Islam, kecenderungan terhadap harta dunia itu disucikan melalui ibadah zakat. bahwa pesan yang disampaikan melalui ibadah ini adalah harta itu bukanlah mutlak miliknya, melainkan titipan Allah terhadap dirinya dan ada hak mereka yang membutuhkan. Dengan begitu, umat Islam berpandangan bahwa harta yang dimiliki bukanlah tujuan akhir kehidupan dunia, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui ibadah zakat. Seperti zakat fitrah yang wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits berikut. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat ‘id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat ‘id, maka itu adalah shadaqah biasa, (bukan zakat fitrah).” (Hasan : Shahihul Ibnu Majah no: 1480, Ibnu Majah I: 585 no: 1827 dan ‘Aunul Ma’bud V: 3 no:1594). Penulis: Lufti Avianto | DKK
60
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Setiap muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari semalam, maka wajiblah ia membayar zakat fitrah. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim. Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintahkan (kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161). Dengan zakat inilah, Allah Swt. bermaksud menyucikan diri kita dari jeratan syahwat harta dunia. Tidak hanya zakat fitrah, momentum ini bisa kita jadikan sebagai momen penyucian diri, jiwa dan harta kita dengan menunaikan zakat harta, zakat perniagaan ataupun infak dan sedekah. Sehingga kita benar-benar kembali kepada fitrah manusia yang suci, seperti saat kita diciptakan ke dunia. Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
61
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Kembali ke Fitrah
Oleh Fatia Linvout AIR MATA menetes. Keharuan menyeruak dari bilik hati yang bening. Hati yang ditempa dengan ibadah nonstop 24 jam di bulan suci. Kini, bulan Ramadhan harus pergi meninggalkan kaum Muslimin. Meninggalkan manusia dengan segenap penyesalan, akankah Ramadhan kali ini dihayati dengan sepenuh jiwa? Perpisahan dengan Ramadhan sudah berada di pelupuk mata. Sudah dekat. Namun, kepergiannya meninggalkan pesan baru, bahwa manusia kini mulai menapaki tapak-tapak fitrahnya sebagai seorang hamba, seperti saat-saat pertama diciptakannya. Titik dimana Allah menciptakan kita dengan bersih dan suci. Kalau kita cermati, kata ‘fitrah’ diambil dari kata fathara yafthuru artinya menciptakan. Dalam setiap penciptaan manusia, tak pernah terbersit niat buruk dari Allah swt terhadap makhlukNya. Karena sejatinya, Dia menginginkan kesempurnaan manusia sebagai ciptaannya sebagaimana permulaan diciptakannya. Titik fitrah. “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariat: 56). Namun, karena sepanjang kehidupan manusia kerap lalai, lupa dan salah itulah yang menjauhkannya dari titik fitrah seorang hamba. Akhirnya, bergelimang dosa akibat kemaksiatan yang menahun. Kini, kita dikembalikan kepada fitrah diri. Melalui tuntunan Nabi dalam menjalani Ramadhan, kita dituntun seirama dengan fitrah itu. Bila tak seirama dengan tuntunan sang baginda Rasulullah saw., terpelesetlah kita kepada kesia-siaan. Padahal semua rangkaian ibadah Ramadhan adalah tangga kembali menuju fitrah. Sayangnya, tak semua hamba bisa menapakinya menuju kesuciannya. Mengapa? Tanyakanlah setiap hati kita. Apakah kita sudah optimal beribadah di bulan ini? Seberapa besar semangat kita mendirikan shalat malam, bersedekah, atau tilawah al-Quran? Sudahkah kita serius dalam memuasakan perut, tenggorokan, kemaluan, mata, telinga, pikiran dan hati kita? Dan, sudah berapa Ramadhan kita yang berlalu, tapi selalu berakhir dengan penyesalan? Banyak orang masuk Ramadhan dengan semangat di awal-awal saja, sementara di akhir-akhir Ramadhan, terkapar dan tak lagi berdaya melanjutkan ibadahnya. Yang menyedihkan, banyak di antara kita yang menyibukkan diri berbelanja menghamburkan tunjangan hari raya di mal dan swalayan. Masjid yang di awal Ramadhan penuh, kini sepi kembali.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
62
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali.” (QS an-Nahl: 92). Allah Swt. melarang kita berbuat kesia-siaan seperti perempuan pemintal benang. Di Ramadhan, kita berlomba-lomba beribadah, lepas Ramadhan justru perbuatan maksiat kita lanjutkan. Apa yang tersisa dari Ramadhan kita? Dan melalui Ramadhan, kita dituntun Yang Mahakuasa kembali kepada fitrah diri. Ibadah Ramadhan telah menempa iman sehingga ia kuat. Dan zakat, menyucikan kekerdilan nafsu terhadap dunia yang menipu, sehingga bersih kembali. Dan fitrah itu, semoga saja bisa dipertahankan, hingga kita bertemu dengan Ramadhan kembali, atau kita menghadap Yang Mahasuci.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
63
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
Kemenangan Sejati
Oleh Khansa Sophia HARI Kemenangan itu datang, bertepatan dengan berakhirnya bulan penuh berkah, Ramadhan. Sambutan atas kemenangan yang fitri, bergema di mana pun kaum Muslimin berada dengan takbir, tahmid, takbir dan tahlil. Namun, apa hakikat kemenangan itu sesungguhnya? Yang jelas, bukan kemenangan atas pembebasan diri dari pembatasan makan dan minum dengan ketupat dan opor ayam. Dan kebebasan untuk tak berempati dengan pakaian dan perhiasan pada Hari Raya di hadapan sesama yang kurang beruntung. Bukan itu kemenangan sejati. Kemenangan seorang hamba yang meraih gelar takwa, adalah kemenangan keimanannya atas kekufuran. Kemenangannya atas orientasi akhirat ketimbang urusan dunianya. Kemenangan atas karakter diri sebagai pribadi yang sabar dan penuh pengendalian diri. Dan kemenangan atas rasa kepedulian terhadap sesama. Inilah kemenangan sejati yang dimaksud. Kenapa keimanan itu pasti menang? Karena, keimananlah yang menghidupkan hari-hari seorang Muslim. Keimanan atas Allah azza wa jalla yang menggerakkan kehidupannya untuk beramal dan beraktifitas dengan produktif. Memperbaiki diri dan membangun masyarakatnya dengan amal yang kontinyu. “Wahai orang-orang yang berimana! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerukan kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS: 8: 24). Kemenangan akhirat adalah keberhasilan Ramadhan seorang Muslim saat melatih dirinya memprioritaskan Allah Swt. yang kemudian diimplementasikan di waktu yang akan datang. Dengan ibadah itu, ia menyadari sepenuh hati bahwa ia tengah mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah matinya. Dan itulah yang abadi. “Wahai orang-orang yang beriman!mengapa apabila dikatakan kepadamu ‘berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS: 9: 38). Hari Kemenangan itu, telah mewariskan pribadi yang sabar penuh pengendalian diri. Tak mudah marah karena begitulah Ramadhan telah mengajarkannya pada sebulan penuh hariharinya. Mengendalikan diri dari perbuatan yang dibenci, bahkan diharamkan-Nya. Ada
Penulis: Lufti Avianto | DKK
64
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
remnya, setiap kali bertemu dengan perkara syubhat, makruh dan haram. Ia mampu menahan dirinya. Dan kemenangan lainnya, adalah kemenangan rasa empati dan kepedulian sosial. Rasa masa bodoh dan tak acuh, sirna dilumat kepedulian. Semua ibadah Ramadhannya telah mengikis egoisme diri. Puasanya, telah terbiasa dengan acara berbuka dan sahur bersama dhuafa. Shalat tarawih telah melatihnya kebersamaan. Zakat dan sedekahnya, tidak hanya membersihkan dirinya, juga telah mengikis kikir dan bakhilnya serta berbagi kebahagiaan bersama mustahik. Kalau kemenangan ini yang kita maksud, itulah kemenangan sejati yang telah kita raih di bulan suci Ramadhan. Semoga kita meraih kemenangan sejati di Hari Raya nan fitri. Insya Allah.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
65
Ramadhan Bercahaya
Kumpulan Artikel Membangun Jiwa
PENULIS
Lufti Avianto. Dalam kumpulan artikel ini, ia menggunakan tiga nama, satu atas nama dirinya, dan dua nama pena; Fatia Linvout dan Khansa Sophia. Bukan apa-apa, lelaki ini sedikit canggung saat menyitir ayat demi ayat ke dalam tulisannya. Lulusan pesantren bukan, belajar agama pun ia peroleh secara otodidak dengan membaca buku dan mengikuti pengajian. Sekarang, mantan wartawan Gatra dan Sabili ini bekerja secara mandiri sebagai penulis, editor dan trainer untuk pelatihan jurnalistik. Sesekai, ia juga menyempatkan menulis untuk website remaja di www.kacanako.co.nr. Anda bisa berkomunikasi dengannya melalui email;
[email protected] atau berkunjung di blog pribadinya www.manglufti.co.nr
Eman Mulyatman adalah jurnalis senior di Majalah Sabili. Kini, ayah tiga anak ini memegang amanah sebagai Redaktur Pelaksana sekaligus Koordinator Liputan. Selain hobi hiking dengan anak-anaknya, ia juga gemar beternak bebek. Satu hal yang kini ia cita-citakan adalah mengembangkan jurnalisme Islam di tanah air. Tentu saja, dalam memulai semua amanahnya, ia selalu berpegang dengan moto favoritnya, “A great adventure start from a first step.”
Diyah Kusumawardhani, atau rekan dan kerabat terdekatnya memanggilnya Menik. Calon ibu ini berprofesi sebagai Redaktur Lembar Khazanah, sebuah rubric khusus remaja di Majalah Sabili.
Penulis: Lufti Avianto | DKK
66