JURNAL FORUM KESEHATAN Journal Of Health Forum
ISSN : 2087-9105
Berat Badan Lahir Rendah Sebagai Faktor Risiko Pendek Pada Remaja Di Kabupaten Gunung Mas Vissia Didin, Maria Julin Rarome, Heti Ira Ayue ........................................................
1
Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 7-23 Bulan POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Noordiati, Legawati, Riyanti ..........................................................................................
8
Dampak Pelatihan Terhadap Kemampuan Kader Jumantik Dalam Melakukan Penyuluhan PSN DBD Dan Pemeriksaan Jentik Di Wilayah Puskesmas Menteng Dinkes Kesehatan Kota Palangka Raya Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati ..............................................................
16
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Taksiran Berat Janin Ibu Hamil Trimester III Di Palangka Raya Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna .................................................
21
Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Pendidikan Dengan Konsumsi Nutrasetika Di Kota Palangka Raya Mars Khendra, Mohamad Muchtar, NilaSusanti .........................................................
27
Hubungan Konsumsi Baram Dengan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Dayak Di Desa Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba Kabupaten Katingan Volume II Nomor 4, Agustusi 2011
ISSN : 2087 - 9105
Barto Mansyah, Mars Khendra, Mohamad Muchtar ...................................................
40
Pengaruh Pemberian Regimen Air Susu Ibu Pada Perawatan Tali Pusat Terhadap Waktu Pelepasan Tali Pusat Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia ..............................................
50
ISSN : 2087-9105
Volume II Nomor 4, Agustus 2011
TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes (Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya) : Pudir I Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Pelindung
Pudir II Poltekkes Kemenkes Palangka Raya Pudir III Poltekkes Kemenkes Palangka Raya Kepala Unit PPM Poltekkes Kemenkes Palangka Raya. Ketua Penyunting
: Iis Wahyuningsih, S.Sos.
Penyunting Ahli
: DR.Djenta Saha, S.Kp, MARS Visia Didin Ardiyani, SKM, MKM Prof. Diana Brown
Penyunting Pelaksana
: Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA Erma Nurjanah Widiastuti, SKM
Pelaksana TU
: Deddy Eko Heryanto, ST Daniel, A.Md.Kom Arizal, A.Md
Alamat Redaksi : Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah Telepon/Fax : 0536 - 3230730 Email
:
[email protected],
Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id Terbit 2 (dua) kali setahun.
ISSN : 2087-9105
PENGANTAR REDAKSI Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan. FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN volume kedua nomor keempat ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan muncul pada penerbitan – penerbitan selanjutnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN volume kedua nomor keempat ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dewan Redaksi yang telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi. Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM KESEHATAN ini selanjutnya. Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume kedua nomor keempat ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya. Tim Redaksi
ISSN : 2087-9105
DAFTAR ISI Hal. Berat Badan Lahir Rendah Sebagai Faktor Risiko Pendek Pada Remaja Di Kabupaten Gunung Mas Vissia Didin, Maria Julin Rarome, Heti Ira Ayue ........................................................
1
Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 7-23 Bulan Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Noordiati, Legawati, Riyanti ..........................................................................................
13
Dampak Pelatihan Terhadap Kemampuan Kader Jumantik Dalam Melakukan Penyuluhan PSN DBD Dan Pemeriksaan Jentik Di Wilayah Puskesmas Menteng Dinkes Kesehatan Kota Palangka Raya Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati ..............................................................
23
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Taksiran Berat Janin Ibu Hamil Trimester III Di Palangka Raya Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna ..................................................
32
Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Pendidikan Dengan Konsumsi Nutrasetika Di Kota Palangka Raya Mars Khendra, Mohamad Muchtar, NilaSusanti .........................................................
42
Hubungan Konsumsi Baram Dengan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Dayak Di Desa Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba Kabupaten Katingan Barto Mansyah, Mars Khendra, Mohamad Muchtar ...................................................
48
Pengaruh Pemberian Regimen Air Susu Ibu Pada Perawatan Tali Pusat Terhadap Waktu Pelepasan Tali Pusat Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia ..............................................
54
Volume II Nomor 4, Agustus 2011
BERAT BADAN LAHIR RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENDEK PADA REMAJA DI KABUPATEN GUNUNG MAS LOW BIRTH WEIGHT AS A STUNTED RISK FACTOR IN ADOLESECENT IN GUNUNG MAS DISTRICT Vissia Didin*, Maria Julin Rarome**, Heti Ira Ayue** *
Jurusan Keperawatan, **Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Abstrak Defisit pertumbuhan tinggi badan anak usia kurang dari 5 tahun banyak didapatkan di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. WHO melaporkan di tahun 1992 terdapat kurang lebih lima puluh persen anak berumur kurang dari 5 tahun diklasifikasikan sebagai pendek (stunted), keadaan ini masih tetap bertahan sampai dengan tahun 1997. Tahun 2010, di Asia mengalami penurunan drastic yaitu 28%. Walaupun di Asia telah terjadi penurunan yang drastis, namun di Indonesia (dan beberapa provinsi) prevalensi stunting masih lebih tinggi (37%) dan masih merupakan masalah di beberapa provinsi di Indonesia. Jika keadaan ini di Indonesia tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, maka dapat membawa dampak terutama pada perkembangan kognitif anak di usia remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi factor penyebab terjadinya stunted di Kabupaten Gunung Mas. Penelitian ini menggunakan data primer yang diambil dari 3 sekolah yang mewakili. Data dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistic. Hasil penelitian menunjukan variabel yang dapat mempengaruhi defisit tinggi badan anak pada usia remaja adalah BBLR, faktor genetik (tinggi badan bapak), kebiasaan minum susu, dan pemberian ASI. Berdasarkan penelitian tersebut disarankan perlunya peran orang tua dalam memantau perkembangan anak sejak dini, perbaikan kondisi sosial ekonomi, edukasi bagi orang tua, revitalisasi fungsi posyandu, dan penyuluhan nutrisi bagi remaja. Kata Kunci: Pendek, Remaja, Kabupaten Gunung Mas, BBLR Abstract Height growth deficits of children aged less than 5 years found in many Southeast Asian countries, including Indonesia. WHO report in 1992 there were approximately fifty percent of children younger than 5 years were classified as short (stunted), this situation persisted until 1997. In 2010, in Asia has decreased drastically at 28% 3. Although in Asia there has been a drastic decline, but in Indonesia (and some provinces) the prevalence of stunting was higher (37%) and is still a problem in some provinces in Indonesia. If this situation in Indonesia did not change from year to year, it could have an impact especially on children's cognitive development in adolescence. This study aims to determine what the cause of stunted factor in Gunung Mas. This study uses primary data drawn from three schools are represented. Data were analyzed using logistic regression test. The results showed a deficit of variables that can affect a child's height in adolescence are genetic factors (father's height), the habit of drinking milk, breastfeeding, and low birth weight. Based on these studies suggested the role of parents in monitoring children's development, improvement of socioeconomic conditions, education for parents, revitalization posyandu function, and nutrition education for adolescents. Keywords: Stunted, Adolesecent, Gunung Mas District, LBW 1
masa balita sangat berkaitan erat dengan tingkat kesehatannya pada masa bayi baru lahir. Bayi lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan maternal. Derajat kesehatan maternal terkait erat dengan tingkat kesehatan pada usia sekolah. Derajat kesehatan pada periode usia sekolah sangat terkait dengan kondisi kesehatan anak semasa balita. Dengan demikian, derajat kesehatan anak perlu diketahui perkembangannya dan tidak hanya dilihat sesaat, melainkan harus dilihat secara berkesinambungan selama kehidupan anak. Di Indonesia masalah pertumbuhan fisik masi tinggi dibandingkan dengan keadaan gizi di negara sedang berkembang, gizi kurang pada anak-anak di Indonesia masih merupakan problem yang serius2. Prevalensi anak usia sekolah yang pendek (stunted) pada tahun 1990-2001 tidak mengalami perubahan: 44,5%, 41,4%, 45,9%, dan 45,6% pada tahun 1990, 1992, 1995, dan 2001 secara berurutan2. Diperoleh data terakhir mengenai pendek (stunting) pada balita di Indonesia sebanyak 37% pada tahun 20076. Informasi mengenai penelitian mengenai pertumbuhan fisik pada balita sampai dengan usia sekolah di Kabupaten Gunung Mas belum tersedia. Sedangkan menurut informasi dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas, saat ini sangat sulit untuk mencari calon peserta paskibraka yang memenuhi kriteria standard tinggi badan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan fisik tinggi badan remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan pertumbuhan fisik tinggi badan remaja di Kabupaten Gunung Mas.
Pendahuluan Defisit pertumbuhan tinggi badan anak usia kurang dari 5 tahun banyak didapatkan di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia1,2. WHO melaporkan di tahun 1992 terdapat kurang lebih lima puluh persen anak berumur kurang dari 5 tahun diklasifikasikan sebagai pendek (stunted), keadaan ini masih tetap bertahan sampai dengan tahun 19971. Defisit pertumbuhan di sebagian negara berkembang terjadi pada masa balita3,4. Ada beberapa penyebab terjadinya defisit pertumbuhan pada masa balita, pada negara berkembang faktor utamanya adalah tidak cukupnya asupan makanan, infeksi, dan berat badan pada waktu lahir3,4. Ditemukan juga bahwa umur dan status gizi dari ibu dapat mempengaruhi pertumbuhan janin. Ibu yang kurang gizi berpotensi mempunyai janin yang kecil. Faktor sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi status gizi anak, tetapi lebih dikarenakan ketersediaan pangan dan asupan makanan di keluarga serta meningkatnya kesakitan pada anak1. Anak-anak yang mengalami stunting pada masa balita (early childhood) biasanya akan menjadi anak yang lebih pendek pada masa dewasa (adults)5. Lebih lanjut, satu diantara orang dewasa yang memiliki ukuran pendek berasal dari masa kanak-kanak yang pendek juga (stunted). Hal tersebut akan berakibat pada saat mereka memasuki usia dewasa dan bekerja akan mengurangi kapasitas atau kemampuan kerja mereka. Di lain pihak wanita yang bertubuh pendek berisiko mempunyai bayi yang kecil. Seperti dilaporkan oleh Klebanoff et al, terjadi efek antargenerasi, yaitu bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah nantinya akan mengalami keterlambatan pertumbuhan. Keadaan yang rentan (misalnya infeksi dan asupan makanan tidak cukup) yang kumulatif menyebabkan proses pertumbuhan kerangka tubuh lambat atau stunting (defisit pertumbuhan) atau biasa disebut sebagai pendek, dengan panjang badan yang dicapai tidak sesuai dengan umur. Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses panjang yang berkesinambungan. Derajat kesehatan anak pada
Metodologi Jenis penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Umum (SMU) di Kabupaten Gunung Mas. Waktu penelitian yaitu pada bulan Oktober – Desember 2011. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja yang bersekolah di sekolah menengah umum di Kabupaten Gunung Mas. Sampel, besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus Lameshow dengan dengan 2
menetapkan taraf kepercayaan 95% dan besarnya power test 90% (untuk uji satu pihak harga Z1-α sesuai dengan 1,645 dan harga Z1-β sesuai dengan 1,28), sehingga didapatkan besar sampel miniml yaitu 50 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Pertama dibuat kerangka sampel semua SMU yang ada di Kapubaten Gunung Mas, kemudian diambil sebanyak 3 SMU yang mewakili. Masing-masing SMU diambil 2 kelas yaitu kelas 1 dan 2. Data dianalisis dengan analisis univariate, bivariate, dan multivariate (Regresi Logistic).
(nilai P=0,017), tinggi badan bapak (nilai P=0,052), penyakit kronis (nilai P=0,000), ASI (0,044), minum susu (nilai P=0029), dan makan buah (nilai P=0,042). (Tabel 1, 2, dan 3). Model akhir multivariate terdapat hubungan antara BBLR, tinggi badan bapak, ASI, dan kebiasaan minum susu. Penurunan 1 cm tinggi badan bapak, akan menurunkan pertumbuhan tinggi badan anak sebesar 0,054 kali. Anak yang tidak pernah minum susu berisiko untuk mengalami defisit pertumbuhan sebesar 2 kali dibandingkan dengan anak yang minum susu setiap hari setelah dikontrol oleh variabel lain. Anak yang minum susu mingguan berisiko mengalami defisit pertumbuhan sebesar 1,57 kali dibandingkan dengan anak yang minum susu setiap hari setelah dikontrol oleh variabel lain. Anak yang diberi ASI <4 bulan berisiko mengalami defisit pertumbuhan sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan anak yang diberi ASI ≥4 bulan setelah dikontrol oleh variabel lain. Anak yang berat badan lahir rendah berisiko mengalami defisit pertumbuhan sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan anak yang berat badan lahir normal setelah dikontrol oleh variabel lain. (Tabel 4).
Hasil Penimbangan berat badan saat bayi hanya dilakukan pada 78,3% responden. Rerata berat lahir yaitu 3024 ± 659 gram dengan nilai median 3000 gram. Berat lahir terendah yaitu 1000 gram dan yang terbesar yaitu 5000 gram. Pengukuran panjang badan bayi dilakukan oleh 69,7% responden. Rerata panjang badan 46,3 ± 8,9 cm dengan nilai median 48 cm. panjang badan terendah 28 cm dan tertinggi 65 cm. Tujuh puluh persen responden adalah anak ke-1 sampai dengan anak ke-3. Urutan anak ke-5 atau lebih yaitu sebesar 19,5%. Jumlah saudara kandung 1-3 orang sebesar 49,8%, sedangkan jumlah saudara kandung empat atau lebih dari empat 50%. Jumlah saudara kandung terbanyak yaitu 11 orang. Kebiasaan makan anak diukur dengan menggunakan metoda food frequency sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama harian dan minggu. Frekuensi makan responden sebagian besar yaitu 3 kali sehari (80,9%). Hasil penelitian menunjukan bahwa konsumsi protein per hari cukup besar, meliputi telur (32,5%), minum susu (31,8%), dan makan ikan segar (25,6%). Konsumsi sayur-sayuran per hari juga besar yaitu sebesar 55,6%. Konsumsi buah-buahan per hari yaitu 21,3% anak yang mengkonsumsi buah-buah setiap harinya. Konsumsi makan remaja yang paling digemari (ukuran setiap hari) yaitu mie (40,4%), gorengan (44%), minum teh (27,4%), dan minum softdrink (23,1%). Dari hasil bivariate ditemukan variable yang memenuhi kriteria kandidat model adalah BBLR
Pembahasan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Ukuran badan yang lebih pendek pada umur tertentu dapat disebut sebagai pendek (shortness) atau retardasi pertumbuhan (stunting). Pendek merupakan deskriptif untuk ukuran badan yang lebih pendek untuk umur tertentu. Definisi ini sama tidak mencerminkan sebab terjadinya pendek tersebut dan juga tidak mencerminkan suatu keadaan baik normal maupun patologis. Stunting merupakan definisi yang umumnya dipakai untuk menyatakan bahwa pendek merupakan suatu keadaan yang patologis. Stunting mencerminkan suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang potensial sebagai akibat adanya status kesehatan atau status gizi.
3
Tabel 1. Hasil Analisis Bivariate (Chi Square) Karakteristik Awal Remaja terhadap Kejadian Pendek di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219) Variabel Independent Jenis Kelamin
TB/U Normal Stunted laki-laki perempuan
Berat Badan Lahir
Nama Sekolah
24 35,3% 48 32.5%
68 100.0% 151 100.0%
0,609
0,017
132
56
188
BBLR
% Jumlah %
70.2% 15 48.4%
29.8% 16 51.6%
100.0% 31 100.0%
Jumlah % Jumlah %
61 70.9% 86 64.7%
25 29.1% 47 35.3%
86 100.0% 133 100.0%
0,930
Jumlah
129
48
177
0,000
72.9%
27.1%
100.0%
18
24
42
42.9%
57.1%
100.0%
57
18
75
76.0%
24.0%
100.0%
90
54
144
%
62.5%
37.5%
100.0%
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
33 67.3% 90 68.7% 24 61.5%
16 32.7% 41 31.3% 15 38.5%
49 100.0% 131 100.0% 39 100.0%
Kurun
Tidak Ya
Jumlah %
≥4 bln
Jumlah %
< 4bln Jumlah sdr Kandung
44 64.7% 103 68,2%
Jumlah
%
ASI
Nilai P
Normal
Manuhing Penyakit kronis
Jumlah % Jumlah %
Total
1-2 org 3-5 org >5 org
Jumlah
0,044
1 0,571 0,404
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate (t-test tidak berpasangan) Faktor Genetik (TB orang tua) terhadap Kejadian Pendek di Kapubaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219) n
Rerata
SD
Nilai P
TB Ibu Pertumbuhan TB/U Stunted
72
152,6
7,4
Normal
147
153,6
5,3
4
0,326
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate (lanjutan) n
Rerata
Nilai
SD
P
TB Ibu Pertumbuhan TB/U Stunted
72
161,4
7,3
Normal
147
163,5
7,4
0,052
Tabel 3. Hasil Analisis Bivariate (t-test tidak berpasangan) Faktor Kebiasaan Makan Remaja terhadap Kejadian Pendek, Kapubaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219) Kebiasaan Makan Remaja
Kejadian Stunted Stunted
Total
Nilai P
Non Stunted
n
%
n
%
n
%
Tidak pernah
11
50
11
50
22
100
0,996
Mingguan
39
31
87
69
126
100
0,108
Setiap hari
22
31
49
69
71
100
1
Tidak pernah
9
37,5
15
62,5
24
100
0,500
Mingguan
46
33,3
92
66,7
138
100
0,634
Setiap hari
17
70,2
17
29,8
57
100
1
Tidak pernah
27
30,7
61
69,3
88
100
0,291
Mingguan
38
32,8
78
67,2
116
100
0,229
Setiap hari
7
46,7
8
53,3
15
100
1
Tidak pernah
8
38,1
13
61,9
21
100
0,182
Mingguan
55
35
102
65
157
100
0,115
Setiap hari
9
22
32
78
41
100
1
Tidak pernah
16
34,8
30
65,2
46
100
0,029
Mingguan
40
38,8
63
61,2
103
100
0,162
Setiap hari
16
22,9
54
77,1
70
100
1
Tidak pernah
11
40,7
16
59,3
27
100
0,542
Mingguan
33
30
77
70
110
100
0,536
Setiap hari
28
34,1
54
65,9
82
100
1
Tidak pernah
22
33,3
44
66,7
66
100
0,744
Mingguan
33
32
70
68
103
100
0,854
Setiap hari
17
34
33
66
50
100
1
Kebiasaan makan Telur
Kebiasaan makan Ikan
Kebiasaan makan Ikan Asin
Kebiasaan minum Daging
Kebiasaan makan Susu
Kebiasaan makan Mie
Kebiasaan makan Softdrink
5
Kebiasaan Makan Remaja
Kejadian Stunted Stunted
Total
Nilai P
Non Stunted
n
%
n
%
n
%
Tidak pernah
5
22,7
17
77,3
22
100
0,529
Mingguan
35
34,7
66
65,3
101
100
0,144
Setiap hari
32
33,3
64
66,7
96
100
1
Tidak pernah
14
23,7
45
76,3
59
100
0,584
Mingguan
33
34,7
62
65,3
95
100
0,305
Setiap hari
25
38,5
40
61,5
65
100
1
Tidak pernah
10
19,6
41
80,4
51
100
0,394
Mingguan
54
38,6
86
61,4
140
100
0,460
Tidak pernah
15
27,8
39
72,2
54
100
Mingguan
47
34,6
89
65,4
136
100
0,350
Setiap hari
10
34,5
19
65,5
29
100
0,726
Tidak pernah
34
30,1
79
69,9
113
100
Mingguan
36
36,7
62
63,3
98
100
0,185
Setiap hari
2
25
6
75
8
100
0,311
Tidak pernah
4
18,2
18
81,8
22
100
Mingguan
30
39,5
46
60,5
76
100
0,154
Setiap hari
38
31,4
83
68,6
121
100
0,491
Tidak pernah
14
26,4
39
73,6
53
100
Mingguan
48
40,3
71
59,7
119
100
0,042
Setiap hari
10
21,3
37
78,7
47
100
0,162
Setiap hari
8
28,6
20
71,4
28
100
1
Kebiasaan makan Gorengan
Kebiasaan makan Gula
Kebiasaan makan Tahu
Kebiasaan makan Tempe
1
Kebiasaan makan Umbi
1
Kebiasaan makan Sayur
1
Kebiasaan minum Buah
1
Tabel 4. Model Akhir Analisis Regresi Logistik Berganda antara Determinan Stunted dengan Kejadian Pendek pada Remaja, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, 2011 (n=219) No. 1
2
Variabel
OR
95% CI
Nilai P
BBLR
1.6
0,701 – 3,792
0,256
Normal
1 1,868 – 8,525
0,000
Kondisi lahir
Penyakit Kronis Ya Tidak
3.9 1
6
Tabel 4. Model Akhir Analisis Regresi Logistik Berganda (Lanjutan) No. 3
Variabel
OR
95% CI
Nilai P
<4 bulan
1.54
1,377 – 5,068
0,077
≥4 bulan
1 0.9
0,907 – 0,991
0,017
Tidak pernah
2.3
0,996 – 5,333
0,051
Mingguan
1.2
0,428 – 3,123
0,775
Setiap hari
1
ASI
4
TB Bapak (cm)
5
Makan buah
R2=0,185 ; -2 log likelihood = 246,236
Pada penelitian ini, remaja yang stunted yaitu sebesar 33%. Kondisi ini dapat mencerminkan kondisi gizi remaja di masa lalu. Pada penelitian ini, remaja yang menjadi responden adalah remaja berusia 15-16 tahun. Pengukuran antropometri selama masa remaja merupakan hal yang sangat penting karena pengukuran tersebut memberikan pemantauan dan evaluasi terhadap perubahan hormone, perubahan dalam pertumbuhan, dan maturasi selama periode ini. Perubahan terjadi secara cepat selama remaja termasuk peningkatan dalam ukuran badan, seperti pertumbuhan dan pencapaian progresif dari status dewasa. Perubahan fisik dan seksual pada remaja berjalan seirama dengan perubahan kognitif, emosional, social, kultural, dan adaptasi. Masa remaja ini merupakan hampir separuh periode pertumbuhan pada manusia dan merupakan satu-satunya periode setelah lahir, pada masa ini kecepatan pertumbuhan biasanya meningkat. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja harus dipertimbangkan secara terpisah antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki rata-rata lebih besar daripada anak perempuan sejak lahir sampai dengan masa pubertas. Pertumbuhan fisik selama masa remaja hampir selalu terjadi dengan urutan yang sama tetapi saat timbulnya kecepatan dan umur selesainya perubahan itu sangat berbeda-beda. Percepatan pertumbuhan pada anak laki-laki dimulai antara umur 13-15,5 tahun. Selama waktu ini penambahan tinggi badan rata-rata 20 cm. Pada
perumpuan percepatan pertumbuhan dimulai kirakira satu setengah tahun sebelum laki-laki dan hampir lengkap pada usia 13,5 tahun, dalam tahun perubahan puncak tinggi badan bertambah kirakira 8 cm. Setelah ini, kecepatan pertumbuhan tinggi badan berkurang, dan pada umur 18 tahun pertumbuhan tinggi badan hampir lengkap. Untuk anak laki-laki masih terjadi pertambahan tinggi badan kira-kira 2,5cm lagi. Antropometri remaja bervariasi sangat signifikan di dunia. Pertumbuhan berbeda antara kelompok-kelompok dan berhubungan dengan status nutrisi, tingkat social ekonomi, tingkat urbanisasi, dan ketinggian tempat. Untuk individu remaja pertumbuhan mungkin terbatas pada beberapa factor, diantaranya lamanya kekurangan nutrisi, infeksi, dan penyakit kronis. Terdapat bukti bahwa anak yang mempunyai pengalaman pada masa anak-anak dengan kemiskinan dan kemudian diadopsi oleh keluarga kaya dapat menunjukkan kejar tumbuh dan perkembangan pubertas yang lebih cepat mencapai batas normal8. Indikator antrometri – dalam hal ini stunting untuk remaja yaitu <-2 Z skor adalah sama dengan yang digunakan untuk anak-anak. Meskipun prevalensi yang diharapkan untuk stunting selama remaja lebih rendah lebih rendah, rekomendasi ini merupakan kelanjutan dari usia muda. Jika pada penelitian ini stunting pada remaja 33% itu berarti kelanjutan stunting di usia kanak-kanak. Defisit pertumbuhan tinggi badan anak telah dialami sejak usia 1-2 tahun, baik pada anak 7
perempuan maupun anak laki-laki. Prevalensi anak yang mengalami defisit tinggi badan lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih berisiko untuk mengalami defisit tinggi badan sebesar 1,7 kali dibandingkan dengan anak perempuan setelah dikontrol oleh varibale lainnya7. Hal ini disebabkan karena tingkah laku anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan sehingga kebutuhan energinya lebih banyak pada anak laklaki8. Pada penelitian ini deficit pertumbuhan tinggi badan pada anak laki-laki dan perempuan tidak mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Jika pada usia 1-2 tahun, balita tidak memperoleh asupan gizi yang seimbang, dan juga kondisi social ekonominya tidak mengalami perubahan maka keadaan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhannya di masa remaja. Menurut penelitian Ardiyani (2009), pada penelitian ini digunakan 7000 anak usia1-2 tahun kemudian diikuti sampai usia 7-8 tahun (data IFLS 1993-2000) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang significant antara deficit pertumbuhan yang terjadi di usia1-2 tahun dengan deficit pertumbuhan usia 7-8 tahun (OR=1,3; 95% CI=1,051 – 1,510). Jika kondisi social ekonomi, asupan gizi tidak berubah makan kemungkinan terjadi stunting dimasa remaja tinggi7.
menderita buta (1,1%); 70 anak menderita juling (11,4%), 11 anak (1,8%) menderita gangguan pendengaran dan ketajaman penglihatan (3,6%). Gangguan neuromotor terdapat pada 82 anak (13,4%), yang terdiri dari tanda klinis dan abnormal 35 anak (5,7%), gangguan disertai cacat berat 23 anak (3,8%), dan cacat sedang 24 anak (3,9%). Status cacat fisik (disability) 36 anak menderita cacat berat (5,9%); 67 anak menderita cacat sedang (11%), dan cacat ringan pada 174 anak (28,5%). Makin rendah berat badan lahir makin tinggi persentase gangguannya. Pertumbuhan tinggi badan serta lingkar kepala dan berat badan dengan membandingkan sentil kurva standard sesuai dengan umur, mempunyai nilai rata-rata di bawah standar rata-rata populasi10. Penelitian di Cebu, Filipina menunjukkan terjadi peningkatan status tinggi badan mulai usia 2 hingga 12 tahun. Pada usia 2 tahun sekitar 63% anak menderita stunted dari yang stunted ini pada usia 8,5 tahun menurun menjadi 30% dan pada usia 12 tahun yang tetap stunted menjadi 32,5%. Namun, persentase stunted pada usia 8,5 tahun adalah 51,2% (Adair, 1999). Ford et al (2000) melaporkan hasil penelitian kohor di Melbourne, Australia untuk pertumbuhan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala dari anak dengan berat lahir sangat rendah (<1500 gram) apabila dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal (>2499 gram), hasilnya didapatkan pada usia 2,5,8, dan 14 tahun anak dengan berat badan lahir sangat rendah secara signifikan lebih pendek dan lebih kurus serta lebih kecil lingkar kepalanya daripada anak dengan berat lahir normal.Anak yang berat lahirnya <1000 gram dan berat lahirnya antara 1000-1499 gram menunjukkan ada perbedaan yang bermakna untuk Z skor (tinggi badan) pada usia 2 tahun dan Z skor (lingkar kepala) pada usia 8 tahun9. Pada penelitian ini dilaporkan ada perbedaan pertumbuhan fisik remaja antara berat badan lahir rendah dan berat badan normal saat lahir. Hasil pada penelitian ini menunjukan hal yang sama dengan penelitian Ford (2000)9, Adair (1999)10, dan kusharisupeni (2003)4. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian dari orang tua dan juga tenaga
Kondisi Lahir dan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Bayi berat lahir rendah mengalami kombinasi dari berbagai gangguan neurosensorik, perkembangan, dan masalah kesehatan. Beberapa hasil jadi untuk bayi dengan berat lahir rendah yang telah dilaporkan adalah a). neurosensorik, b). kognitif, c). tingkah laku dan kompetensi social, d). prestasi sekolah dn akademik, dan e). kesehatan. The Scottish low birthweight Study Group melakukan penelitian di Skotlandia untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan neuromotor dan sensorik pada anak dengan berat lahir <1750 gram usia 4,5 tahun. Dari 908 yang diteliti 71% masih bertahan hidup sampai usia 4,5 tahun. Dari yang hidup ini (611 anak yang dapat dipantau sebesar 96%). Ditemukan 7 anak 8
kesehatan untuk berupaya menurunkan angka kejadian BBLR sekecil mungkin. Usaha tersebut diantaranya adalah dengan melakukan intervensi perbaikan saat ibu hamil seperti usia kehamilan tidak boleh kurang dari 18 tahun dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, jarak kelahiran tidak boleh kurang dari 2 tahun, dan menurunkan kesakitan ibu hamil seperti anemia, kekurangan yodium dengan cara memberikan makanan tambahan, pemberian vitamin dan mineral selama hamil.
sebesar 0,054 kali (penurunannya sangat sedikit). Namun, tinggi badan ibu tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan fisik anak. Walaupun konstitusi seseorang ditentukan oleh bakat, namun faktor lingkungan akan memberi pengaruh dan sudah berperan sejak konsepsi, dalam perkembangan embrional intra uterine dan seterusnya. Perbedaan pertumbuhan pada anakanak di negara berkembang jika dibandingkan dengan negara maju lebih disebabkan oleh perbedaan sosial ekonomi dan kondisi tempat tinggal daripada oleh faktor keturunan. Kecenderungan sekular (secular trend) pada tinggi badan menjadi isu yang menarik karena menimbulkan pertanyaan besar tentang faktor apakah yang berada dibalik perubahan itu. Yang dimaksud dengan kecenderungan sekular adalah fenomena yang menunjukkan bahwa anak-anak pada saat ini pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan anak-anak beberapa puluh tahun yang lalu. Kesenjangan yang nyata antara status sosial ekonomi antargenerasi menimbulkan perbedaan tinggi badan, yaitu bahwa generasi yang lahir dan tumbuh pada situasi sosial ekonomi yang baik atau makmur memiliki tubuh yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Keadaan ini terjadi di Czech pada penelitian yang dilakukan selama 100 tahun menunjukkan bahwa rerata tinggi badan anak lakilaki yang berumur 10 tahun meningkat antara tahun 1895 dan 2001 sebesar 17,3 cm dan anak perempuan 18,9 cm. Antara tahun 1991 dan 2001, rerata pertumbuhan anak laki-laki meningkat 2,1 cm dan pada anak perempuan hanya 1 cm. Oleh karena itu, pendekatan perbaikan status gizi anak lebih ditekankan pada perubahan kondisi sosial ekonomi.
Kondisi Sosial Ekonomi, Kesehatan Lingkungan, dan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Pertanyaan mengenai seberapa besar defisit pertumbuhan dan kesehatan yang buruk pada masa balita dapat mempengaruhi tinggi badannya diusia remaja dapat dijawab dengan beberapa pendekatan. Pada subbab ini dibahas mengenai kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lingkungan Pendekatan pertama yaitu dengan pendekatan sosial ekonomi anak. Kondisi sosial ekonomi rendah dan kondisi lingkungan yang buruk pada anak terus menerus tanpa suatu perbaikan menyebabkan anak terpapar pada keadaan yang buruk, sehingga membuat pertumbuhan anak terhambat. Pada penelitian ini tidak dapat diukur perubahan status social ekonomi orang tua remaja sehingga tidak dapat diketahui apakah remaja yang dahulu berasal dari keadaan miskin berubah kondisi menjadi keadaan yang lebih baik pertumbuhan fisiknya mengalami perubahan yang lebih baik juga. Faktor Genetik dan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Pengaruh genetik bersifat heredokonstitusional yang berarti bahwa bentuk untuk konstirusi sesorang ditentukan oleh faktor keturunan. Dengan kata lain, seorang anak akan besar dan tinggi bila ayah dan ibunya juga besar dan tinggi. Dilaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan bapak dan juga ibu terhadap defisit pertumbuhan tinggi badan anak. Setiap kenaikan 1 cm tinggi badan bapak, akan menurunkan pertumbuhan tinggi badan
Pemberian ASI Eksklusif dan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Ada keraguan tentang pola pertumbuhan anak terhadap kecukupan gizi ASI. Jarangnya dilakukan penelitian longitudinal tentang pertumbuhan dan pemberian ASI pada bayi yang sehat menjadikan keraguan tersebut lebih rumit. ASI diyakini sebagai minuman/makan yang terbaik bagi bayi. 9
Selain zat gizi yang cukup, air susu ibu juga mengandung zat anti infeksi. Proporsi zat gizi mikro, kecuali lemak, dalam air susu ibu dengan gizi kurang dibandingkan dengan air susu ibu gizi baik hampir tidak berubah, tetapi produksi air susu ibu berkurang jumlahnya pada ibu dengan gizi kurang. Beberapa vitamin yang larut dalam air (asam askorbik, thiamin, dan B12) sangat cepat terpengaruh oleh diet yang kurang dan produksi ASI ibu makin menurun. Meskipun, hasil penelitian berdasarkan analisis multivariate menunjukan tidak adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan terjadinya defisit pertumbuhan tinggi badan hanya pada kategori pemberian ASI eksklusif < 4 bulan, namun variable ASI merupakan confounding bagi kondisi lahir . Anak yang diberi ASI eksklusif < 4 bulan akan mengalami defisit pertumbuhan sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan anak yang diberi ASI eksklusif selama ≥ 4 bulan. Meskipun perbedaan ini hanya terdapat pada anak dengan ASI eksklusif < 4 bulan, secara substantif hal itu mempunyai arti besar, yaitu bahwa ASI eksklusif tetap merupakan minuman/makanan terbaik bagi anak sampai dengan umur 4 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ardiyani (2009) yang meneliti 7000 anak usia 1-2 tahun secara longitudinal7. Umumnya, di negara berkembang, kemampuan luar biasa ibu-ibu dari semua lapisan sosial ekonomi untuk menyusukan bayinya sampai periode tertentu merupakan aset nasional yang berharga. Perilaku yang bermanfaat ini tampaknya saat ini mengalami erosi yang progresif, harus dipertahankan dan dilindungi. Kebiasaan Makan dan Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja Kebiasaan makan adalah perilaku yang berhubungan dengan makanan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, distribusi makanan dalam keluarga dan cara memilih makanan11 Penilaian kebiasaan makan makan adalah suatu metoda yang digunakan dalam penentuan status gizi seseorang secara kualitatif. Penilaian ini tidak secara langsung dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat,
akan tetapi hasil penilaian kebiasaan makan dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkian terjadinya kekurangan gizi pada seseorang. Penelitian ini menggunakan metode frekuensi makanan (food frekuensi) dimana ditanyakan tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau minuman jadi selama periode satu minggu. Pola makan pada anak akan menentukan pertumbuhan fisik optimal yang akan dicapai sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsumsi susu sangat mempengaruhi defisit pertumbuhan tinggi badan usia remaja. Pada anak yang tidak pernah minum susu akan mengalami defisit pertumbuhan tinggi badan sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan anak yang minum susu tiap hari. Hasil ini juga ditemukan pada penelitian Ardiyani (2009) yaitu anak yang tidak pernah minum susu akan mengalami defisit pertumbuhan tinggi badan sebesar 2,3 kali (95% CI: 1,752 – 2,890) dibandingkan dengan anak yang minum susu tiap hari7. Susu sebagaimana bahan pangan hewani lainnya dikenal kaya dengan kandungan gizi. Selain mengandung kalsium, susu juga mengandung hampir seluruh zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh karena itu di tahun 1950-an, susu dikategorikan sebagai bahan pangan yang dapat menyempurnakan. Konsumsi susu secara nyata memacu perbaikan mineral tulang karena susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa susu dan produk olahannya adalah sumber kalsium terbaik, dan menemukan bahwa anakanak usia > 5 tahun yang mengkonsumsi susu atau produk olahannya mempunyai tulang lebih kuat dan status gizi yang lebih baik (National Dairy Council, 2000). Walaupun konsumsi susu berpengaruh terhadap tinggi badan namun tidak semata-mata asupan gizi dari sumber lain tidak diperlukan. Asupan gizi dari sumber energi, protein (selain susu), dan lemak juga merupakan faktor penentu dalam pertumbuhan fisik anak. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya
10
energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian. Distribusi makanan di area kota dan desa berpengaruh terhadap pola konsumsi makan anak. Pola konsumsi makanan di Indonesia pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yakni pola konsumsi moderen di area kota dan pola konsumsi tradisional di area desa13. Pola modern, makanan lengkap meliputi makanan pokok, sayur mayur, lauk pauk (daging, telur, dan ikan), dan susu. Pola konsumsi tradisional di area pedesaan sederhana meliputi makanan pokok, sayur mayur (tani), dan ikan (nelayan). Tidak diikutsertakannya faktor budaya dalam menganalisis kebiasaan makan akan menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Dan tidak diukurnya kebiasaan makan anak di usia 1-2 tahun juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Kesimpulan dan Saran Sebanyak 33% remaja di Kabupaten Gunung Mas Stunting. Faktor yang mempengaruhi yaitu tinggi badan bapak, kebiasaan minum susu, pemberian ASI, dan kondisi saat lahir. Terkait dengan kondisi saat lahir, kiranya perlu mendapat perhatian dari orang tua dan juga tenaga kesehatan untuk berupaya menurunkan angka kejadian BBLR sekecil mungkin. Usaha tersebut diantaranya adalah dengan melakukan intervensi perbaikan saat ibu hamil seperti usia kehamilan tidak boleh kurang dari 18 tahun dan tidak boleh lebih dari 30 tahun, jarak kelahiran tidak boleh kurang dari 2 tahun, dan menurunkan kesakitan ibu hamil seperti anemia, kekurangan yodium dengan cara memberikan makanan tambahan, pemebrian vitamin dan mineral selama hamil. Perlunya promosi ASI secara multilevel, baik dari level
individu (ibu), level keluarga (ayah dan orang tua), level pemerintahan (Dinkes dan Pemda Kabupaten Gunung Mas) sehingga semua pihak saling mendukung para ibu memberikan ASInya secara eksklusif selama 6 bulan. Memberikan penyuluhan mengenai program gizi seimbang pada remaja saat ini. Daftar Pustaka 1. WHO. 1997. WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition. Geneva: WHO Press. 2. Schultink, Werner. Past trends in nutritional status of urban children in southeast asia, and present changes in indonesia related to the socio-economic crisis. S A J Clin Nutr 2000 February Vol. 13 No 1. 3. Atmarita. 2005. Article: Nutrition Problems in Indonesia. Disampaikan pada: An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle-Related Disease Gajah Mada University, 19-20 March, 2005. 4. Kusharisupenni. 1999. Dissertation: Peran Berat Lahir dan Masa Gestasi terhadap Pertumbuhan Linier Bayi di Kecamatan Sliyeg dan Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 1995-1997. Jakarta: FK-UI Postgraduate Programme. 5. Martorell, 1992. Growth in Early Childhood in Developing Countries dalam Frank Falkner (Ed.). Human Growth: A Comprehensive Treatise. Hlm. 249-251. New York: Plenum Press. 6. Depkes R.I. 2010. Riset Kesehata Dasar Tahun 2010. Jakarta: Depkes R.I. 7. Vissia 2009. Thesis: Determinan Stunted pada Anak Usia 7-8 tahun: Study Longitudinal IFLS 1993-2000. 8. Soetjiningsih et al. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Edisi Pertama Tahun 2002. Jakarta: CV. Sagung Seto. 9. Ford, G.W., Doyle, L.W., Davis, N.M. Callanan, C. 2000. Very Low Birth Weight and Growth into Adolescent. Arch. Pediatr.Adolesc.Med. 154:778-784.
11
10. Weir, W. Et al. 1992. The Scottish Low http://www.nationaldairycouncil.org/Education Birthweight study: I, Survival, growth, Materials/DietaryGuidance/Pages/DietaryGuid neuromotor and sensory impairment. Arch. Dis ance.aspx Child. 67:675-681. 13. Hardjana, A. Andre. 1992. Orientasi Perilaku 11. Suharjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Konsumen tentang Masalah Pangan dan Gizi Jakarta: Bumi Aksara. dari Sumber Hayati Kelautan dalam Widya 12. National Dairy Council 2010. Dietary Karya Pangan dan Gizi. Jakarta. Guidelines Materials 2010, [online]. Available:
12
Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 7-23 Bulan Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya Association Between Early Weaning and Acute Respiratory Infection Among Children Age 7-23 Months in Pahandut Primary Health Care Noordiati, Legawati, Riyanti Jurusan Kebidanan Poltekkes KemenkesPalangka Raya ABSTRAK Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007 menunjukkan angka kematian balita sebesar 44/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi sebesar 34/1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Penyebab utama kematian bayi adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Salah satu faktor risiko terjadinya ISPA adalah penyapihan dini. Tujuan penelitian yaitu mengetahui hubungan antara penyapihan dini dengan kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak usia 7-23 bulan. Jenis penelitian observasional dengan menggunakan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah anak usia 7-23 bulan, jumlah sampel 177 responden yang datang berobat di puskesmas. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah ujistatistik Chi Square serta analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik. Analisis multivariabel menunjukkan prevalensi ISPA 1,84 kali lebih banyak pada anak yang disapih dini dibandingkan anak yang tidak disapih dini (RP=1,84, 95% CI=1,43-2,38). Anak usia 7-23 bulan dengan status gizi kurang 1,48 kali lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan anak yang status gizi baik (RP=1,48, 95% CI=1,20-1,83). Prevalensi ISPA anakusia 6-23 bulan 1,63 kali lebih banyak pada keluarga yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki kebiasaan merokok.Tidak menyapih anak secara dini bermanfaat mengurangi kejadian ISPA. Kata kunci: Penyapihan dini, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). ABSTRACT According to Indonesian Health Profile 2007 indicated that mortality rate of underfives was 44 per 1000 live births and infant mortality rate was 34 per 1000 live births. The major cause of infant mortality is acute respiratory tract infection (ARI). One risk factor of ARI was early weaning..To identify the association between early weaning and the prevalence of ARI in children age 7 – 23 months. This observational study with cross sectional design. Subject of the study were children age7 – 23 months withas many as 177 samples of respondents that visited health centers. Data analysis used chi square statistical test and multivariate technique with logistic regression. The result of multivariate analysis showed that the prevalence of ARI was 1.84 times higher in children with early weaning than in those with non early weaning (RP=1.84, 95% CI=1.43 – 2.38). Children of 7 – 23 months with undernourished nutrition status had 1.48 times higher for ARI than those with good nutrition status (RP=1.48, CI95%=1.20 – 1.83). The prevalence of ARI in children of 7 – 23 months was 1.63 times higher in the smoking exposure that in those that non smoking exposure. Non early weaning had the advantage of minimizing the prevalence of ARI. Keywords: early weaning, acute respiratory tract infection.
13
mudah terserang penyakit ISPA dan diare. Risiko bayi yang tidak mendapat ASI penuh atau mendapat ASI parsial terhadap kejadian kematian akibat penyakit ISPA dan diare sebesar 2,23 kali lebih tinggi dibanding dengan pemberian ASI eksklusif5. Rekomendasi World Health Organization (WHO) dan UNICEF bahwa menyusui eksklusif (exclusive breastfeeding) sejak lahir selama 6 bulan pertama hidup anak, dan tetap disusui bersama pemberian makanan pandamping ASI (MP-ASI) yang cukup sampai usia 2 tahun atau lebih. Namun sebagian besar ibu di berbagai negara mulai memberi bayi makanan dan minuman buatan sebelum 6 bulan, dan berhenti menyusui jauh sebelum anak berusia 2 tahun. Alasan umum adalah ibu merasa dirinya tidak punya cukup ASI. Hal ini disebabkan karena ibu bekerja di luar rumah dan tidak tahu bagaimana menyusui sambil bekerja 6. Penyapihan merupakan stadium nutrisional yang kritis pada kehidupan bayi dan usia optimal untuk ini telah banyak diperdebatkan. Keputusan kapan untuk melakukan penyapihan harus dipertimbangkan dengan risiko bahwa penyapihan yang terlalu dini akan mengganggu sistim pencernaan, ginjal dan sistim imun yang bisa mengakibatkan immaturitas dan menurunnya paparan pengaruh protektif ASI 7. Penyapihan dini mengakibatkan bayi kehilangan makanan terbaiknya dan zat protektif, dimana ASI melalui antibodi SIgA dapat melindungi bayi dari kuman Haemophilus influenzae yang terdapat pada mulut dan hidung, serta menurunkan risiko terkena infeksi. Dilaporkan bahwa ASI menurunkan risiko infeksi saluran pernapasan atas dan bawah 8. Pemberian ASI dapat menurunkan angka kejadian diare, infeksi saluran pernapasan akut, otitis media, meningitis dan infeksi saluran kemih. Pola pemberian ASI pada bayi dikaitkan dengan beberapa hal antara lain kondisi pekerjaan ibu, dukungan dari keluarga, pengetahuan ibu, dan tersedianya akses fasilitas pelayanan kesehatan 9.
Pendahuluan. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan yang utama karena merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang terbanyak di dunia. Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 1.9 juta anak meninggal karena penyakit ISPA dan 70% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara1. Berdasarkan estimasi tahun 2006 tercatat bahwa sekitar 500 sampai 900 juta penyakit ISPA terjadi dalam setiap tahunnya di negara-negara berkembang, sehingga penyakit ISPA perlu mendapat perhatian dan prioritas dalam penanganan masalah kesehatan2. Berbagai komitmen global tentang kesehatan anak telah dicanangkan oleh masyarakat dunia, antara lain: Convention on the Rightsof the Child, World Summit for Children tahun 1990; Millennium Development Goals bidang kesehatan yang salah satunya ialah menurunkan 2/3 kematian balita pada rentang waktu antara tahun 1990-2015; review tahun 2002 dalam pertemuan United Nations Special Session on Children di New York, yang menghasilkan dokumen A World Fit for Children dan ditegaskan kembali tujuan Millennium Development Goals yang belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada dokumen itu disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan di atas, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah menurunkan sepertiga kematian karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) (Departemen Kesehatan3. Air susu ibu (ASI) terutama kolostrum mengandung imunoglobulin yaitu IgA (SIgA), IgE, IgM, dan IgG. Dari semua imunoglobulin itu yang paling banyak adalah SIgA (IgA) dan ASI banyak mengandung vitamin A, C, dan E. Selain itu ASI banyak mengandung sel-sel berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis mikroorganisme dengan membentuk C3 dan C4, lisozim dan lactoferin4. Bayi yang tidak mendapat ASI penuh atau mendapat ASI parsial dengan
14
Berdasarkan profil kesehatan kota Palangka Raya (2009) cakupan pemberian ASI eksklusif pada tahun 2008 baru mencapai 12,54%, hal tersebut masih jauh dari target nasional yaitu 80%, sedangkan ISPA sampai saat ini masih meempati urutan tertinggi dalam 10 pola penyakit terbanyak. Pada tahun 2008 kejadian ISPA pada balita sebesar (535) 97% dan tahun 2009 sebesar (255) 91%.10,11. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penyapihan dini dengan kejadian ISPA pada anak usia 7-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pahandut. Hipotesa penelitian ini prevalensi ISPA berpeluang lebih besar pada kelompok anak disapih dini dibandingkan pada kelompok anak yang tidak disapih diri.
Populasi penelitian adalah semua anak yang berusia 7-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pahandut. Subjek penelitian ini adalah anak yang berusia 7-23 bulan yang berkunjung ke wilayah kerja Puskesmas Pahandut, menderita ISPA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Kriteria Inklusi anak yang berumur 7-23 bulan yang datang berkunjung ke Puskesmas, bertempat tinggal di wilayah kerja PKM Pahandut dan bersedia mengikuti penelitian.Kriteria Eksklusi: Anak dengan riwayat prematur, BBLR (<2500 gram), dan mempunyai riwayat TBC. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak komputer Stata Intercooled Versi 9.0, analisis yang dilakukan meliputi univariabel dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik data masing-masing variabel yang diteliti dan disajikan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, Analisis bivariabel dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, variabel luar dengan variabel terikat dan variabel luar dengan variabel bebas, uji statistik yang digunakan adalah chi-square, dinilai dari RP dengan tingkat kemaknaan p<0,05 dan 95 %CI, dan analisis multivariabel dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel, uji statistik yang akan digunakan adalah regresi logistik dengan tingkat kemaknaan sebesar p<0.05 dan CI 95%.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah observasional menggunakan rancangan cross- sectional study. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan, dan cacatan rekaman medik, adapun pengukuran masing-masing variabel antara lain:Variabel ISPA dengan melihat rekam medik anak di Puskesmas, variabel penyapihan dini dengan kuesioner dan pedoman wawancara yang berisikan kebiasaan ibu memberikan ASI. Pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ibu dengan berpedoman pada kuesioner penelitian. Variabel status gizi dengan menggunakan pengukuran berat badan dengan timbangan dan melihat KMS anak. Variabel status imunisasi dengan melihat kohort anak dan KMS.Variabel kepadatan penghuni rumah adalah mengukur dengan menggunakan roll meter. Cara mengukur : luas lantai dibagi jumlah penghuni tetap.Variabel pendidikan ibu, pekerjaan dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan menggunakan kuesioner. Cara pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan panduan yang ada di kuesioner penelitian.
Hasil Penelitian Analisis Univariabel Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 177 orang. Responden diambil dari ibu anak yang berkunjung ke puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian mengalami ISPA yaitu 62,71%. Anak yang tidak disapih dini hanya 38,42% sedangkan anak yang disapih dini sebanyak 61,58%. Alasan penyapihan dini antara lain karena ASI tidak banyak dan anak malas menyusu. Sebagian besar anak mendapat
15
imunisasi lengkap namun ada 37,85% yang masih belum mendapat imunisasi lengkap. Tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai oleh sebagian besar responden adalah tamat SLTA dan tamat SLTP masing-masing sebesar 51,98% dan 25,42%, yang mencapai ke Perguruan Tinggi hanya sebesar 11,30% sedangkan sisa yang lain hanya tamat SD dan tidak tamat SD. Selanjutnya pendidikan dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Untuk status pekerjaan responden dominan responden tidak bekerja yaitu sebanyak 85,31%. Terdapat 36,72% subjek yang tinggal di rumah padat huni, sedangkan kebiasaan merokok dalam keluarga sebanyak 40,68%. Status gizi anak pada penelitian ini dikategorikan menjadi empat kategori yaitu status gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk yang di ukur/dinilai secara antropometri berdasarkan berat badan terhadap umur (BB/U) dibandingkan menurut standar WHO-NCHS (National Centre for Health Statistic). Hasil penelitian terlihat bahwa proporsi terbesar pada anak dengan gizi baik yaitu sebanyak 74,58% dan anak dengan gizi kurang sebanyak 25,42% dan tidak ada anak dengan status gizi lebih maupun gizi buruk.
bermakna dengan kejadian ISPA pada anak umur 6-23 bulan karena nilai p value>0,05 dan nilai 95% CI melewati nilai 1. Namun jika dilihat dari nilai RP masing-masing variabel secara praktis memberi peluang terjadi ISPA pada anak sebesar 1,20; 1,21 dan 1,10. Analisis kepadatan penghuni rumah dan kejadian ISPA secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan. Nilai RP sebesar 1,36 (95%CI; 1,10-1,69) didapatkan pada rumah yang padat huni. Artinya anak usia kurang dari 2 tahun yang tinggal dirumah yang huniannya padat mempunyai peluang 1,36 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat huni. Subjek penelitian yang tinggal dirumah dengan anggota keluarga yang perokok lebih banyak mengalami ISPA yaitu sebesar (76,61%). Sedangkan di dalam anggota keluarga tidak ada yang merokok, terdapat 58 (55,24%) terjadi ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai RP=1,33 (95% CI =1,071,70)diperoleh pada keluarga yang perokok, artinya ada hubungan yang signifikan antara anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada anak umur 6-23 bulan. Anak yang tinggal dirumah dengan perokok mempunyai peluang 1,33 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah dengan keluarga tidak perokok. Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA diperoleh sebanyak 34 (75,56%) status gizi anak kurang terjadi ISPA. Sedangkan diantara anak yang status gizi baik terdapat 77 (58,33%) terjadi ISPA. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,039 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian ISPA antara anak yang status gizi kurang dengan anak yang status gizi baik, artinya ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak umur 6-23 bulan. Dari hasil analisis diperoleh nilai RP=1,29 (95% CI=1,031,61), artinya status gizi kurang mempunyai peluang 1,29 kali untuk terjadi ISPA pada
Analisis Bivariable Hasil analisis bivariable pada tabel 2 menunjukkan bahwa penyapihan dini dan kejadian ISPA terdapat hubungan yang signifikan. Nilai RP sebesar 1,47 (95% CI=1,12-1,93) didapatkan pada anak yang disapih dini, dapat diartikan bahwa kejadian ISPA lebih tinggi pada yang disapih dini yaitu 1,47 kali dibandingkan dengan anak yang tidak disapih dini. Dengan demikian hipotesis penelitian ini yang menyebutkan bahwa kejadian ISPA berpeluang lebih besar pada kelompok anak yang disapih dini dibandingkan pada kelompok anak yang tidak disapih dini dapat diterima. Hasil uji statistik variabel status imunisasi, pendidikan ibu dan pekerjaan ibu menunjukkan tidak ada hubungan yang
16
anak usia 6-23 bulan dibanding anak yang
status
gizinya
Tabel 1. Hasil analisis bivariabel hubungan antara variabel bebas, dan variabel luar dengan variabel terikat (n=177) Kejadian ISPA Variabel ISPA Tidak ISPA p RP ² n % n % Penyapihan Dini Disapih Dini 78 71,56 31 28,44 9,50 0,002 1,47 Tidak Disapih Dini 33 48,53 35 51,47 Status Imunisasi Tidak Lengkap 47 70,15 20 29,85 2,55 0,110 1,20 Lengkap 64 58,18 46 41,82 Pendidikan Ibu Rendah 46 70,77 19 29,23 2,85 0,091 1,21 Tinggi 65 58,04 47 41,96 Status Pekerjaan Ibu Bekerja 15 57,69 11 42,31 0,33 0,566 1,10 Tidak Bekerja 96 63,58 55 36,42 Kepadatan Penghuni Rumah Padat 49 75,38 16 24,62 7,05 0,007 1,36 Tidak Padat 62 55,36 50 44,64 Kebiasaan Merokok Merokok Tidak Merokok 53 76,61 19 26,39 6,17 0,013 1,33 58 55,24 47 44,76 Status Gizi Anak Gizi Kurang 34 75,56 11 24,44 4,26 0,039 1,29 Gizi Baik 77 58,33 55 41,67
baik.
95% CI
1,12-1,93*
0,96-1,51
0,97-1,52
0,77-1,56
1,10-1,69*
1,07-1,70*
1,03-1,61*
*Signifikan secara statistic (nilai P<0,05)
Analisis Multivariabel Berdasarkan hasil analisis model pada multiple logistic regression, dipilihlah model 4 sebagai model yang secara statistik dan praktis lebih efektif dan efisien dalam memberikan kontribusi terhadap hubungan penyapihan dini dengan kejadian ISPA pada anak. Penyapihan dini dengan kejadian
ISPA pada anak umur 7-23 bulan menunjukkan nilai RP=1,84(95% CI=1,432,38), artinya prevalensi ISPA sebesar 1,84 kali lebih besar pada anak yang disapih dini dibandingkan dengan anak yang tidak disapih dini dengan mengontrol variabel status gizi anak dan variabel kebiasaan merokok.
Tabel 2. Hasil analisis multiple logistic regression hubungan antara penyapihan dini dan kejadian ISPA dengan mengontrol variabel status gizi anak, kepadatan rumah dan kebiasaan merokok (n=1177) Variabel
Penyapihan Dini Disapih dini Tidak Disapih Dini Status Gizi Anak Gizi Kurang Gizi Baik
Model 1 RP (95% CI)
Model 2 RP (95% CI)
Model 3 RP (95% CI)
Model 4 RP (95% CI)
Model 5 RP (95% CI)
1,47 (1,12-1,94) 1
1,55 (1,18-2,02) 1
1,78 (1,38-2,29) 1
1,84 (1,43-2,38) 1
1,82 (1,42-2,35) 1
1,39 (1,11-1,74) 1
1,52 (1,23-1,89) 1
1,48 (1,20-1,83) 1
1,51 (1,21-1,88) 1
17
Tabel 2. Hasil analisis multiple logistic regression hubungan antara penyapihan dini dan kejadian ISPA dengan mengontrol variabel status gizi anak, kepadatan rumah dan kebiasaan merokok (n=1177) Variabel
Model 1 RP (95% CI)
Model 2 RP (95% CI)
Kepadatan Rumah Padat
Model 4 RP (95% CI)
1,63 (1,31-2,03) 1
Tidak Padat Kebiasaan Merokok Merokok Tidak Merokok -2 log likelihood R2 N
Model 3 RP (95% CI)
321,92 0,011 177
319,53 0,019 177
313,66 0,036 177
Model 5 RP (95% CI) 1,30 (0,77-2,18) 1
1,63 (1,31-2,03) 1 313,72 1,037 177
1,28 (0,76-2,16) 1 313,46 0,037 177
risiko terkena ISPA 11.17 dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI ekslusif selama 4 bulan14. Hasil penelitian lain diperoleh data bahwa bayi yang tidak mendapat ASI penuh atau mendapat ASI parsial dengan mudah terserang penyakit ISPA dandiare. Risiko bayi yang tidak mendapat ASI penuh atau mendapat ASI parsial terhadap kejadian kematian akibat penyakit ISPA dan diaresebesar 2.23 kali lebih tinggi dibanding dengan pemberian ASI eksklusif5. Hasil analisis deskriptif memperlihatkan bahwa status imunisasi anak sebagian besar mempunyai status imunisasi lengkap. Analisis bivariabel pada status imunisasi dengan kejadian ISPA secara statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, namun secara praktis dapat dilihat bahwa status imunisasi yang tidak lengkap mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian ISPA pada anak umur 7-23 bulan dibandingkan dengan anak yang imunisasinya lengkap. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain menyimpulkan bahwa status imunisasi tidak memberikan efekprotektif terhadap kejadian ISPA15. Diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 723 bulan. Hal ini menggambarkan bahwa penyakit ISPA lebih cenderung di sebabkan oleh faktor lain. Selain itu dapat
Pembahasan ISPA pada anak. Proporsi penyapihan dini lebih besar ditemukan pada kelompok ISPA dibanding kelompok tidak ISPA. Variabel kepadatan penghuni rumuah, kebiasaan merokok dalam keluarga dan status gizi anak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian ini memberi gambaran akan dampak/risiko penyapihan dini pada anak. Penyapihan dini yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya berdampak pada asupan nutrisi yang ada pada ASI tidak dapat dikonsumsi lagi oleh anak sehingga jika konsumsi ASI yang seharusnya diperoleh si anak tidak digantikan dengan nutrisi yang lain maka keadaan ini berdampak pada status kesehatan anak. Salah satu kandungan yang ada di ASI adalah SIgA (IgA). Bayiyang mengalami penyapihan dini secara otomatis asupan salah satu kandungan ASI yaitu SIgA (IgA) tidak diperoleh lagi oleh bayi. Keadaan iniyang merupakan penyebab kejadian ISPA karena tubuh bayi tidak mampu melindungi dari serangan penyakit. Hasil penelitian lain menemukan data bahwa bayi yang masuk rumah sakit 4,9 kali lebih tinggi pada bayi yang tidak menerima ASI dan2,45 kali lebih tinggi pada bayi yang menerima ASI < 4 bulan13. Hasil penelitian ini sesuai juga dengan penelitian lain yang dilakukan terhadap 170 subjek diperoleh hasilbahwa bayi yang mendapat ASI tidak penuh dan diberikan susu formula memiliki 18
disebabkanjuga oleh keberhasilan program dinas kesehatan dimana aksesin formasi mengenai kesehatan dapat dengan mudah diperoleh masyarakat sehingga baik ibu yang berpendidikan tinggi maupun ibu yang berpendidikan rendah memiliki wawasan tentang kesehatan yang hampir sama. Hasil ini di dukung oleh penelitian sebelumnya yang mendapatkan bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan dengan kejadian ISPA bawah(RR=0,62; 95% CI =0,14-2,93)16. Hasil penelitian lain menyatakan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu yang tidaksekolah dengan kejadian ISPA (RR=1,30; 95% CI =0,81-2,07)17. Hasil penelitian analisis bivariabel memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA, namun secara praktis mempunyai hubungan yangbermakna hal tersebut dapat dilihat dari nilai p=0,566 (95% CI =0,77-1,56). Hasil penelitian lain tahun 2005 mendapatkan hubungan ini di dua tempat penelitian (Tamil Nadu dan Andhra Pradesh) dengan hasil yang berbeda. Di daerah Tamil Nadu secara statistik ibu-ibu yang bekerja berhubungan dengan kejadian batuk pada anaknya (OR=1,4; pvalue<0,10). Sedangkan di daerah Andhra Pradesh didapat ibu-ibu yang bekerja tidak berhubungan dengan kejadian batuk pada anaknya(OR=1,1; p value>0,10)18. Hasil analisis multivariat menunjukkan konsistensi bahwa kejadian ISPA berhubungan dengan kepadatan rumah. Kepadatan rumah mempunyai prevalensi kejadian ISPA sebesar 1,36, artinya anak yang tinggaldirumah yang padat huni mempunyai prevalensi ISPA 1,36 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat huni. Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan anak balita yang tinggal di rumah padat huni berpeluang untuk mengalami batuk dengan nafas cepat 1,43 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah tidak padat huni19.
Penelitian lain menyatakan bahwa kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko kejadian ISPA pada anak balita. Kepadatan penghuni berperan terhadap kejadian ISPA karena jumlah penghuni rumah sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni kuman penyebab penyakit menular20. Rumah yang padat penghuni akan mempermudah penularan penyakit diantara penghuninya terutama penyakit-penyakit menular yang penularannya secara direct contact dan droplet spread 12. Hasil analisis statistik regresi logistik menunjukkan ada hubungan signifikan antara kebiasaan merokok dalam keluarga dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara didalam ruangan selain berasal dari penetrasi polutan dari luar ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan didalam ruangan , seperti asap rokok, asap yang berasaldari dari dapur atau pemakaian obat nyamuk bakar. Bahan partikel yang terdapat dalam ruangan dapat saja sama dengan yang diluar ruangan,hanya saja kadarnya yang berbeda, partikel dalam ruangan dapat terdiri dari partikel debu, partikel asap rokok, aero allergen dan bahan kecantikan. Perbedaan bahan polutan ini tergantung dari beberapa faktor seperti gaya hidup individu, keadaan sosial ekonomi, struktur bangunan,kondisi bahan polutan diluar dan didalam ruangan, ventilasi, geografi dan meteorologi, lokasi sumber polutan didalam ruangan. Efek pencemaran udara menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan yang dapat menyebabkan gerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan jalan nafas, meningkatkan produksi lendir, rusaknya sel pembunuh bakteri, pembengkakkan saluran pernafasan, lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir hal ini menyebabkan kesulitan bernafas, sehingga benda asing/mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan21. Penelitian ini mendukung penelitian yang lain yang menyatakan lingkungan penderita ISPA menunjukkan bahwa faktor
19
polusiudara yang berperan adalah jumlah orang yang merokok dirumah, dan jumlah rokok yang dihisap, serta masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga (karena ventilasi tidak baik) dan jarak rumah dari bengkel las/tempat sampah22. Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar anak dengan status gizi baik sebesar 74,58% dan terdapat 25,42% yang status gizianak kurang. Berdasarkan analisis bivariabel dan multivariabel status gizi anak kurang dengan kejadian ISPA menunjukkan hubungan yang signifikan. Prevalensi ISPA pada anak umur 6-23 bulan dengan status gizi kurang sebesar 1,48 kali dibandingkan dengan anak yang status gizinya baik. Keadaan ini berkaitan dengan sebagian besar anak yang mengalami ISPA diikuti dengan status gizi yang kurang. Pada keadaan status gizi yang kurang cenderung akan menganggu sistem imunitas tubuh sehingga penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh.Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa balita dengan gizi yang baik akan lebih tahanterhadap penyakit infeksi seperti ISPA23. Keadaan malnutrisi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA bagian bawah atauacute lower respiratory infection (ALRI) 2. Gizi merupakan faktor yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Keadaan gizi merupakan refleksi persediaan zat gizi dalam tubuh. Tingkat pertumbuhan fisik dan imunologik seseorang sangat dipengaruhi oleh adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit. Hal ini disebabkan infeksi akan mengganggu proses pencernaan dan ketika asupan makanan berkurang zat gizi yang diperlukan juga akan berkurang, sehingga akan memperburuk kondisi dan berakibat tubuh menjadi rentan.Leukosit merupakan sel yang melawan agen infeksi terbentuk dari zatgizi yang ada dalam tubuh yaitu vitamin dan asam amino, oleh karenaitu dengan keadaan
gizi yang baik akan lebih tahan terhadap penyakit infeksi termasuk ISPA 24. Kesimpulan Riwayat penyapihan dini berhubungan dengan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan. Prevalensi ISPA 1,8 kali lebih tinggi pada anak yang disapih dini dibandingkan dengan anak yang tidak disapih dini.Status gizi kurang pada anak umur 6-23 bulan mempunyai hubungan yang bermakna baik secara statistik maupun praktis dengan prevalensi ISPA.Rumah yang padat huni dan kebiasaan merokok dalam keluarga berhubungan dengan prevalensi ISPA baik secara praktis maupun secara statistik Saran Untuk menurunkan angka penyapihan dini diperlukan kegiatan yang proaktif dengan sistem jemput bola seperti kegiatan surveilans dengan melibatkan kelompok dasa wisma dan posyandu untuk menjaring ibu hamil dan ibu-ibu yang baru melahirkan dan untuk meningkatkan pengetahuan ibu perlu adanya kegiatan penyuluhan yang berkesinambungan tentang cara menyusui yang benar, pentingnya pemberian ASI pada bayi, dan perawatan payudara melalui pembentukan kelas ibu di Puskesmas.Perlu monitoring di level rumah tangga oleh petugas kesehatan, dimana perlu pengontrolan apakah ibu sudah melakukan cara menyusui yang baik dan benar sehingga penyapihan dini tidak terjadi. Dinas Kesehatan harus lebih memperhatikan faktor-faktor risiko penyakit ISPA seperti status gizi, dan lingkungan tempat tinggal dengan cara pemberian makanan tambahan pada anak yang kurang gizi dan perbaikan lingkungan dengan cara meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan hidup sehat melalui kegiatan kunjungan rumah. Daftar Pustaka 1.
20
William, B.W., Gouws, E., Boschi, C.P., Bryce, J. & Dye, C. Estimates of
world-wide distribution of child deaths from acute respiratory infections. Lancet Infect Dis. 2002: 2(1): 25-32. 2. Savitha, M.R., Nandeeshwara, S.B., Kumar, M.J.P., Haque, F. & Raju,C.K. Modifiable risk factor for acute lower respiratori tractinfections. Indian J Pediatr. 2007;27(5): 447-481. 3. Depkes. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pnemonia Balita Tahun 2005-2009. Jakarta: Depkes. 2005 4. Perkumpulan Perinatologi Indonesia (2004) Manajemen laktasi. Edisi 2,Jakarta. 2002 5. Arifeen, S., Black, R.E., Antelman, G., Baqui, A., Caufield, L. & Becker, S.Exlusive breastfeeding reduce acute respiratory infectionand diarrhea deaths among infants in dhaka slums.Pediatrics,2001;108(4): E67 6. Depkes.Pedoman Tata Laksana Pnemonia Balita, Dirjen P2PL: Jakarta. 2007. 7. Wright, C.M., Parkinson, K.N. & Drewett, R.F. Why are babiesweaned early ? Data from a prospective population based cohortstudy. Arch Dis Child. 2004;89(9): 813-816. 8. Hanson, L.A. Breast-feeding and protection against infection. ScanJ Nutr. 2006;50, 32-34. 9. Fauzie, R., Suradi, R., Rezeki, S. & Hadinegoro Pattern and influencing factor of breastfeeding of working mothers in several areas in Jakarta. Paediatr Indones, 2007;47(1). 10. Dinkes Kota Palangka Raya. Profil Kesehatan Kotak Palangka Raya. Dinkes Kota Palangka Raya: Palangka Raya. 2009. 11. Dinkes Kota Palangka Raya. Profil Kesehatan Kotak Palangka Raya. Dinkes Kota Palangka Raya: Palangka Raya. 20120. 12. Gordis, L. Epidemiology: (3rd ed). W.B. Saunder Company: Philadelpia. 2004.
13. Talayero, J.M.P., Lizan-Garcia, M., Puime, A.O., Muncharaz, M.J.B., Soto,B.B., Sanchez-Palomares, M., Serrano, L.S. & Rivera, L.L. Full breastfeeding and hospitalization as a result of infection in thefirst year of life. Pediatrics. 2006;118(1): e92-e99. 14. Lopes-Alarcon, M., Villalpando, S. & Fajardo, A. Breast-fedding lowers the frequency and duration of acute respiratory infections and diarrhea in infants under six months of age. J Nutr, 1997;127(3): 436-443. 15. Bruce, N., Padilla, R.P., Albalak, R. Indoor air pollution in developing countries: a major environmental and public health challenge. Bulletin of World Health Organization, 2000;79(9):1078-1091. 16. Bachrach, V.R.G., Schwarz, E., & Bachrach, L.L. Breastfeedingand the risk of hospitalization for respiratory disease in infancy.Arch Pediatr Adolesc Med.2003;157:237-243. 17. Koch, A., Molbak, K., Homoe, P., Sorensen, P., Hjuler, T., Olesen, M.E.,Peji, J., Pedersen, F.K., Olsen, O.R. & Melbye, M. RiskFactors for Acute Respiratory tract infections in youngGreenlandic children. Am J Epidemiol, 2003;158 (4):374-384. 18. Audinarayana, N. Housing environment and child morbidity in rural Andhra Pradesh and Tamil Nadu States: an analysis of the NFHS-2 Data. Paper presented at: National Seminar on Population Environment and Nexus, Mumbai, India. 2005. 19. Sukar. Risiko Relatif lingkungan sosial dan kimia terhadap kejadianpenyakit ISPA pneumonia di Indramayu Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran,1997;114: 41-44. 20. Smith, K.R., Samet, J.M., Romieu, I. Bruce, N. Indoor air pollution in developing countries and acute lower respiratory infections in children. Thorax. 2000;55: 518-532.
21
21. Mukono, H.J. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press: Surabaya. 2000. 22. Lubis, I. Pengaruh Lingkungan Terhadap Penyakit ISPA. Cermin Dunia Kedokteran: 1991;70. 15-17. 23. Yoon, P.W., Black, R.E., Moulton, L.H., Becker, Stan. Effect of not
breastfeeding on the risk of diarrheal and respiratory mortality in children under 2 years of age in Metro Cebu, The Philippines. American Journal of Epidemiology, 1996; 143:1142-1148. 24. Soekirman.Ilmu gizi Dan Aplikasinya : Untuk Keluarga Dan Masyarakat, EGC: Jakarta.2000.
22
DAMPAK PELATIHAN TERHADAP KEMAMPUAN KADER JUMANTIK DALAM MELAKUKAN PENYULUHAN PSN DBD DAN PEMERIKSAAN JENTIK DI WILAYAH PUSKESMAS MENTENG DINKES KESEHATAN KOTA PALANGKA RAYA Yonwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati Jurusan Keperawatan Politeknik Kemenkes Palangka Raya Abstract Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat endemik di Puskesmas Menteng Palangkaraya sehingga perlu dilakukan dalam komunitas gerakan pemberdayaan nyamuk pemberantasan sarang DBD dapat diimplementasikan untuk benar dan optimal, maka jumantik diperlukan mengingat kemampuan perluasan pemberantasan sarang nyamuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak pelatihan pada konseling keterampilan dalam menerapkan PSND jumantik DBD dan larva pemeriksaan. Penelitian ini menggunakan desain satu pra kelompok eksperimen dan desain postes dengan intervensi pelatihan. Pra-tes yang dilakukan pada bulan November 2011 terhadap 25 kader di Posyandu Menteng Kesehatan Pusat dan post-test pada bulan Desember 2011. Data dikumpulkan dengan wawancara linatih terus evaluasi kemampuan untuk menggunakan daftar observasi (Periksa daftar). Data dianalisis dengan univariat dan bivariat yaitu Chi square test, Mann Whitney dan korelasi Peason. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh intervensi pada pengetahuan dan perilaku ada perbedaan (p = <0,050), ada hubungan skor pengetahuan tentang aeradication Konseling dari sarang nyamuk dan larva dan pelaksanaan pemeriksaan (P = <0,050). Saran tersebut merekomendasikan bahwa Departemen Kesehatan Palangkaraya setiap tahun dianggarkan biaya pelatihan dan jumantik insentif di beberapa desa dengan stratifikasi dengue endemik, dan untuk pusat kesehatan akan dapat memanfaatkan jari ahli Watcher sekejap Menteng pada kader yang telah dilatih dalam jentik berkala pemeriksaan kegiatan (SPA) Kata kunci: Aedes aegypti, , pemberantasan nyamuk demam berdarah. Abstacts Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an endemic public health problem in the area Primary Health Center Menteng Palangkaraya so it needs to be done in the community empowerment movement mosquito eradication nest DHF can be implemented in order to properly and optimally, then jumantik necessary given the ability of the extension of the eradication of mosquito den. The purpose of this study was to evaluate the impact of training on counseling skills in implementing PSND jumantik DBD and examination larva. This study uses an experimental design one group pre and posttest design with a training intervention. Pre-test conducted in November 2011 against 25 cadres in the IHC Health Center Menteng and post-test in December 2011. Data were collected by interviews linatih continued evaluation of the ability to use a list of observations (Check list). Data were analyzed with univariate and bivariate ie Chi square test, Mann Whitney test and Peason correlation. The results showed that the effect of intervention on knowledge and behavior there is a difference (p = <0.050), there is a relationship score of knowledge on Counseling aeradication of mosquito den and larvae and the implementation of the examination (P = <0.050). The advice recommended that the Health Department Palangkaraya annually budgeted cost of training and incentives jumantik in some villages with endemic dengue stratification, and for the health center would be able to utilize Menteng Watcher expert snap fingers at the cadres who have been trained in the wiggler periodic inspection activities (SPA) Keywords : Aedes aegypti, eradication of mosquito dengue. 23
juru pemantau jentik (Jumantik) dalam melakukan pemeriksaan jentik secara berkala dan terus-menerus serta menggerakan masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.3 Selanjutnya untuk memaksimal kegiatan penyuluhan tentang PSN DBD dan pemantauian jentik berkala yang melibatkan peran serta aktif masyarakat, maka diperlukan pelatihan kader jumantik yang dipilih dan diambil dari masyarakat setempat. Dengan adanya kader jumantik mampu melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD. Dengan kunjungan yang berulang-ulang disertai penyuluhan diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PSN DBD secara teratur dan terus-menerus. Kader juru pemantau jentik (Jumantik) yang aktif diharapkan akan mempunyai nilai ungkit dalam membantu penurunkan angka kasus DBD, oleh karena itu diperlukan pelatihan dan penyegaran kader jumantik tentang pemeriksaan jentik dan penyuluhan kesehatan (PSN DBD). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Dampak pelatihan terhadap kemampuan (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) kader Jumantik dalam melakukan penyuluhan PSN DBD dan pemeriksaan jentik di wilayah kerja Puskesmas Menteng Dinkes Kota Palangka Raya.
Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang endemis dan hingga saat ini angka kesakitan DBD cenderung meningkat dan Kejadian Luar Biasa (KLB) masih sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia (Depkes 2005). Permasalah utama dalam upaya menekan angka kesakitan adalah masih belum berhasilnya upaya penggerakan masyarakat dalam PSN DBD melalui gerakan 3M yang dintersipkan sejak 1992. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di wilayah Kota Palangka Raya terjadi pada bulan Desember 2009 dengan jumlah kasus 56 kasus, meninggal 3 orang dan puncaknya pada minggu kedua bulan januari 2010 jumlah kasus 123. kelompok umur yang banyak terserang DBD : 1) 5 – 14 tahun & 14 – 44 tahun, 2) 1- 4 tahun, 3) ≥ 45 tahun. 4) ≤ 1 tahun . Selanjutnya dilihat dari penyebaran jumlah penderita relative banyak di kelurahan Menteng dan Palangka kecamatan Jekanraya.1 Penanggulangan fokus di beberapa kelurahan Kota Palangka Raya dilakukan melalui kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), penyuluhan , abatetisasi dan pengasapan (Fogging) menggunakan insektisida dengan criteria. Keberhasilan PSN DBD menurut Depkes (2005) antara lain dapat diukur dengan seberapa besar angka bebas jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sedangkan hasil Pemeriksaan jentik berkala dilaksanakan oleh Puskesmas Menteng pada tahun 2010 ditemukan angka bebas jentik (ABJ) rerata : 86,6, pemeriksaan Jentik Berkala (PJK) , dan penyuluhan PSN DBD di Puskesmas selama ini dilakukan oleh petugas di masing-masing Puskesmas Pembantu. Hal ini dirasakan belum maksimal karena seyogianya pemeriksaan jentik berkala (PJB) dapat dilakukan oleh kader, PKK, Jumantik atau tenaga pemeriksa jentik lainya.2 Dalam rangka untuk meningkatkan upaya pemberantasan penyakit DBD pada tahun 2004, baik selama dan sesudah KLB dan untuk tahun yang akan datang diperlukan
Metode Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan jenis desain Pretest Postest only design atau one group pre and posttest Design ialah rancangan penelitian yang hanya menggunakan satu kelompok subyek serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan pada subyek. Perbedaan kedua hasil dianggap sebagai efek perlakukan.4 Populasi penelitian ini adalah semua Kader yang terdapat pada 8 Posyandu di wilayah Kerja Puskkesmas Menteng Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya. Pada penelitian ini sampel ditarik dari populasi dengan jenis Purposive Sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan – 24
pertimbangan tertentu , sedangkan pertimbangan yang itu berdasarkan tujuan penelitian.5 sehingga diperoleh sampe l25 responden. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dimana sebelumnya dilakukan uji coba intrument pada 20 responden kemudian diuji tingkat realibilitas dan validitasnya dan observasi dengan lembaran daftar tilik (chek list)oleh enomerator yang sudah dilatih. Data yang diperoleh diolah dan dianalisa menggunakan SPSS versi 17.6. Teknik analisa data yang dilakukan adalah analisa univarian yang menjelaskan karakteristik masing-masing dengan persentase (distribusi frekuensi masing-masing variabel).Analisa bivariant untuk menampilkan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya dengan uji chi square (X2). Uji Mann Whiney dan Uji korelasi Pearson.
yang termuda yaitu berumur 31 tahun dan yang tertua berumur 70 tahun. Range umur responden sebesar 39 tahun. Jarak yang cukup jauh. Rata-rata umur responden yaitu 42 tahun. Umur yang paling banyak yaitu umur 33 tahun dan 48 tahun. Distribusi pendidikan responden yang terbanyak yaitu berpendidikan sekolah menengah umum (SMU) dan perguruan tinggi (PT) masing-masing sebesar 44%. Dua belas persen responden berpendidikan sekolah menengah tingkat pertama. Sebagian besar responden (60%) bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tiga puluh enam persen bekerja sebagai ibu rumah tangga. Dan empat persen pensiunan PerilakuMasyarakat dalam pencegahan DBD sebelum Intervensi Gambaran Perilaku Masyarakat dalam Pencegahan DBD sebelum IntervensiPerilaku Responden sebelum Intervensi, seperti terdapat pada tabel 1, dibawah ini.
Hasil Penelitian Karakteristik responden Berdasarkan umur dari 25 responden yang menjadi sampel penelitian ini umur responden
Tabel.1 Perilaku Masyarakat dalam pencegahan DBD Perilaku Frekuensi Pencegahan Memakai kelambu Semprotan nyamuk Mengolesi autan Membakar obat nyamuk Tidak ada PSN yang dilakukan Menguras bak mandi Menutup tempat penampungan air Menyimpan ban bekas Membersihkan saluran air Mengumpulkan sampah Mengganti vas bunga Memelihara ikan Memeriksa TPA Ya Tidak Pengelolaan TPA Membiarkan begitu saja Mengeringkan air Mengubur Memberikan bubuk abate Menguras
25
Persen
13 5 2 2 3
52 20 8 8 12
2 4 6 4 4 1 1
8 16 24 16 16 4 4
22 3
44 6
9 5 8 2 1
36 20 32 8 4
Tabel.1 Perilaku Masyarakat dalam pencegahan DBD Perilaku Frekuensi Pembersihan Setiap hari Kurang dari 1 minggu Tidak setiap hari Setiap bulan Tidak ada jawaban Tempat menyebar abate Tidak dilakukan Bak mandi Ember/tempayan Drum Kolam ikan Perkumpulan Ya Tidak Perkumpulan pernah menyuluh ttg PSN Ya Tidak Pernah dilakukan penyuluhan Ya Tidak Orang yang melakukan penyuluhan Tenaga kesehatan PKK Toma
Frekuensi
Persen
7 7 7 2 2
28 28 28 8 8
2 15 3 3 2
8 60 12 12 8
17 8
68 32
8 17
32 68
13 12
52 48
11 1 1
84,6 7,6 7,6
Rata-rata skor perilaku sebelum penyuluhan yaitu 7,8, median 8, dan modus 8 dengan SD 1,44. Range skor perilaku 6 dengan nilai minimum 4 dan maksimum 10 (Tabel .2.).
Pengaruh Intervensi terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden Berdasarkan Hasil analisis bivariat bahwa ukuran nilai tengah terdapat perbedaan skor pengetahuan, skor sikap, dan skor perilaku antara sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Rata-rata skor pengetahuan sebelum dilakukan penyuluhan yaitu 23,28, median 22, dan modus 19 dengan standar deviasi (SD) yaitu 8,08. Range skor pengetahuan cukup besar yaitu 28 dengan nilai minimum 9 dan maksimum 37. Rata-rata skor sikap sebelum dilakukan penyuluhan yaitu 34,36, median 36, dan modus yaitu 35 dan 36 dengan SD 8,8. Range skor sikap yaitu 44 dengan nilai minumum 0 dan maksimum 44.
Rata-rata skor perilaku sesudah dilakukan penyuluhan yaitu 8,6, median 9, modus 8 dengan SD 0,8. Range skor perilaku 3 dengan nilai minimum 7 dan maksimum 10. Rata-rata skor pengetahuan sesudah dilakukan penyuluhuan 36,16, median 36, modus 44 dengan SD 5,9. Range skor pengetahuan 22 dengan nilai minimum 22 dan maksimum 44. Rata-rata skor sikap 35,84, median 37, modus 35 dan 38. Range skor sikap 43 dengan nilai minimum 0 dan maksimum 43 (Tabel 2.).
26
Tabel.2. Rata-rata, Median, Modus, Standar Deviasi Skor Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku sebelum dan sesudah dilakukan Pelatihan Pengetahuan Sikap Perilaku Pre Post Pre Post Pre Post Mean 23,28 36,16 34,36 35,84 7,8 8,64 Media 22 36 36 37 8 9 Modus 19 44 35 & 36 35 & 38 8 8 SD 8,08 5,97 8,8 8,09 1,44 0,81 Range 28 22 44 43 6 3 Min 9 22 0 0 4 7 Maks 37 44 44 43 10 10 Tabel.3. Pengaruh Intervensi terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden Variabel Pre Post Beda Mann Whitney Test (I) (II) (I – II) Pengetahuan 23,28 36,16 12 0,000 Sikap 34,36 35,84 1,48 0,392 Perilaku 7.8 8,6 0,84 0,029
Skor pengetahuan, sikap, dan perilaku dianalisis dengan menggunakan Uji Mann Whitney. Hal ini dikarenakan data tidak berdistribusi normal (berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov p>0,05). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan rerata skor pengetahuan yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi (p<0,000). Nilai perbedaannya yaitu 12. Berdasarkan analisis didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan rerata skor sikap antara sebelum dan sesudah intervensi. Perbedaannya yaitu 1,48. Sedangkan skor perilaku dengan perbedaan 0,84 berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang siginifikan rerata skor perilaku antara sebelum dan sesudah penyuluhan (p<0,05). (Tabel 3.) Penilaian Kemampuan Penyuluhan dan Pemeriksaan Jentik Penilaian persiapan peserta saat akan penyuluhan rerata skor nilai 3. Semua peserta melakukan dengan baik. Sementara itu penilaian saat melakukan kunjungan rumah nilai tertinggi yaitu 4 dan nilai terendah yaitu 2 (nilai yang seharusnya didapat yaitu 5). Range nilai untuk kunjungan rumah tidak besar yaitu 2 demikian pula dengan standar deviasi tidak
besar yaitu 0,748. Rerata nilai kunjungan rumah 4,68 dengan nilai terbanyak yaitu 5. Rerata nilai pemeriksaan jentik yaitu 3,76±0,597 dengan nilai terbanyak 4 . Range nilai 2 dengan nilai terendah 2 dan tertinggi 4. Sedangkan nilai pencatatan cukup tinggi dari nilai yang seharusnya didapat yaitu 6, peserta mendapatkan rerata nilai 5,6±0,7 dan nilai yang terbanyak yaitu 6. Range nilai 2 dengan nilai terendah 4 dan tertinggi 6. Selanjutnya gambaran penilaian kemampuan penyuluhan dan pemeriksaan jentik Hubungan Skor Pengetahuan Pemeriksaan Jentik dan Pelaksanaan Pemeriksaan Jentik Berdasarkan hasil uji pearson didapatkan bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang pemeriksaan jentik dengan pelaksanaan pemeriksaan jentik (p<0,05). Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang pemeriksaan jentik semakin tinggi nilai pelaksanannya. Hubungan Skor Pengetahuan tentang penyuluhan dan Pelaksanaan penyuluhan Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang penyuluhan dengan pelaksanaan kunjungan rumah/penyuluhan (p<0,05). Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang kunjungan rumah semakin tinggi nilai pelaksanannya. 28 27
Menurut hasil uji pearson didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang pemeriksaanjentik dengan pelaksanaan pemeriksaanjentik (p>0,05).(Tabel 8). Hubungan Skor Sikap tentang penyuluhan dan Pelaksanaan penyuluhan. Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang kunjunganrumah/penyuluhan dengan pelaksanaan kunjunganrumah (p>0,05).(Tabel 9).
Hubungan Skor Pengetahuan tentang Pencatatan dan Pelaksanaan Pencatatan Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang pencatatan dengan pelaksanaan pencatatan(p<0,05). Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang pencatatan semakin tinggi nilai pelaksanannya. Hubungan Skor Sikap tentang Pemeriksaan dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan Pemeriksaan dan penecatatam Jentik
Tabel 4. Penilaian Kemampuan Penyuluhan dan Pemeriksaan Jentik Persiapan Kunjungan Pemeriksaan Pencatatan Rumah Jentik Mean 3 4,68 3,76 5,6 Median 3 5 4 6 Modus 3 5 4 6 SD 0 0,748 0,597 0,7 Range 0 2 2 2 Min 3 2 2 4 Max 3 4 4 6 Tabel.5 Hubungan Variabel Pengetahuan dan Sikap dengan Variabel Pelaksanaan Variabel Jentik Korelasi Person Nilai P Periksa jentik 2,157 0,043 Pelaksanaan Penyuluhan Penyuluhan 3,186 0,037 Pencatatan Pencatatan 5,025 0,009 Pemeriksaan Jentik Skor sikap sesudah pelatihan 0,323 0,115 Pelaksanaan Penyuluhan Skor sikap tentang penyuluhan -0,065 0,756
relatif kurang dari rata-rata sebelum intervensi 34,38 menjadi 35,84 setelah intervensi dengan P-value 0,392 (P>0,050). Hasil penelitian ini sesuai Peningkatan perilaku dari nilai rat-rata sebelum dan sesudah intervensi 7,8 menjadi 8,6 setelah intervensi dengan p-value : 0,029 (P<0,050). Secara teori bahwa level kedua dari evaluasi pelatihan merupakan Jenis evaluasi yang termasuk relatif mudah, biasanya menggunakan pre dan post test. Peningkatan nilai yang diperoleh dari pre dan post test merupakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari proses
Pembahasan Pelaksanaan kegiatan penyuluhan PSN DBD dan pemeriksaan jentik diawali dengan pelatihan Juru pemantau Jentik (Jumantik). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan rerata skor pengetahuan, perilaku yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi, terkecuali rerata skor sikap tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi. Perbedaan berupa peningkatan dari nilai rerata sebelum intervensi 23,28 menjadi 36,16 setelah dengan P.value : 0,000 (p<0,050). Peningkatan sikap vii 28
pembelanjaran.7 Gillies (1994) menyatakan bahwa aktivitas pengembangan staf meliputi pendidikan dan pelatihan untuk meningkatan pengetahuan, sikap, ketrampilan/perilaku. Marquis dan Huston (2000) menyatakan pelatihan sebagai metode untuk menjamin bahwa seseorang mempunyai pengetahuan dan ktrampilan khusus yang diperlukan untuk melakukan tugas. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Siti Rochmani (2003) yang membuktikan bahwa adanya peningkatan ketrampilan perawat dalam melakukan hubungan terapeutik dengan klien dari nilai rata-rata sebelum intervensi 90,1 menjadi 94,7 setelah intervensi dengan(p-value 0,002) di RSUD Tarakan Jakarta.8 Hubungan Skor pengetahuan tentang kunjungan rumah / penyuluhan dan pelaksanaan kunjungan rumah/penyuluhan Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang kunjungan rumah dengan pelaksanaan kunjungan rumah (p<0,05). Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang kunjungan rumah semakin tinggi nilai pelaksanannya. Menurut Roger yang dalam Djamaludin Ancok (1985) bahwa pengetahuan tentang suatu obyek tertentu sangat penting bagi terjadinya perubahan perilaku yang merupakan proses yang sangat kompleks.9 Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang akan memutuskan untuk menerima atau menolak perilaku baru maupun ide baru tersebut . Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathi, dkk (2005). Fathi juga menemukan bahwa pengetahuan responden berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Mataram Nusa tenggara Barat.10 Hubungan Skor Pengetahuan Pemeriksaan dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan Pemeriksaan dan pencatatan Jentik Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang pemeriksaan dan pencatatan jentik dengan pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan jentik (p<0,05). Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang pemeriksaan dan pencatatan jentik semakin tinggi nilai pelaksanannya. Menurut Bloom dalam Soekidjo.S. (2005) mengatakan bahwa
Pengetahuan (knowledge) adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan pancainderanya Tingkat pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu : tahu, memahami, aplikasi, analisis, sistesis.11 Donal Kirkpatrick (2000) mengatakan bahwa jenis evaluasi pembelajaran level kedua adalah jenis evaluasi yang relatif mudah biasanya menggunakan pre dan post test.7 Peningkatan nilai yang diperoleh dari pre dan post test merupakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan/perilaku yang diperoleh dari proses pembelanjaran. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Pada dasarnya perilaku merupakan perwujudan dari pengetahuan dan sikap. Pada penelitian ini perilaku diasumsikan sebagai kemampuan kader jumantik dalam melakukan penyuluhan PSN DBD dan pemeriksaan jentik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Benthem et al dalam Saleha Sungkar, dkk, dalam meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailan mengenai pemberantasan dan dan pencegahan DBD. Hasilnya menunjukan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya pencegahan yang jauh lebih baik. Konraads et al dan kittgul et al juga melaporkan bahwa terdapat hubungan langsung antara pengetahuan mengenai pencegahan DBD dengan upaya melakukan PSN DBD.12 Hubungan Skor Sikap tentang penyuluhan dan Pelaksanaan penyuluhan PSN DBD Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang kunjungan rumah dengan pelaksanaan kunjunganrumah (p>0,05). Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Jamaludin Ancok bahwa sikap positif dan negatif yang terbentuk dalam diri seseorang tergantung dari segi manfaat atau tidaknya komponen pengetahuan, makin banyak manfaat yang diketahui semakin positif pula sikap yang terbentuk.9 Perilaku digambarkan dalam hubungan antara pengetahuan sikap, niat dan tindakan/praktek. Niat untuk melakukan tindakan x secara teoritis vii 29
terbentuk oleh interaksi antara komponen yang mendahuluinya yaitu sikap terhadap tindakan x ketidak serasian antara kedua komponen mungkin saja terjadi, apakah niat selanjutnya menjadi tindakan tergantung pula pada beberapa faktor lain misalnya ketersediaan dan keterjankauan sarana. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yudhastuti dalam Anton Sitio (2008) yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna (P= 0,11) antara sikap responden dengan keberadan jentik di kelurahan Wonokusumo, kota Surabaya.13 Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Fatti,dkk yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0,005) dan RR = 2,24) antara sikap responden dengan kejadian DBD dimana semakin hati-hati sikap responden terhadap DBD, maka semakin berkurang resiko terjadi DBD.10
pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan jentik (p>0,05). Hal ini berarti antara responden tidak konsisten dengan prakteknya atau perilakunya. Ada beberapa argumentasi mengapa sikap tidak berhubungan atau konsiten dengan perilakunya yaitu : Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Menurut Kontjaraningrat dalam Heri.D.J.Maulana (2009) sikap merupakan kecendrungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu obyek akibat pendirian dan perasaan terhadap obyek tersebut. Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu sering kali memperlihatkan tindakan bertentangan dengan sikapnya Sarwono.14 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yongwan Nyamin, (1984) menemukan tidak ada tidak ada perbedaan yang bermakna (P=0,689) variabel sikap Siswa SMA Kesatrian I terhadap perilaku donor darah sukarela di UTD PMI.15
Hubungan Skor Sikap tentang Pemeriksaan dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan PemeriksaanJentik Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang pemeriksaan dan pencatatan jentik dengan KESIMPULAN DAN SARAN Koordinasi lintas sektor antara pihak Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan Puskesmas Menteng dan Kelurahan Menteng terdapat perbedaan rerata skor pengetahuan, kiranya dapat diwujutkan melalui revitalisasi perilaku antara sebelum dan sesudah kemitraan dengan wadah POKJANAL DBD di intervensi, ada hubungan antara nilai tingkat RW/RT. pengetahuan penyuluhan dan pemeriksaan Hendaknya Pukesmas Menteng dapat jentik dan pelaksanaannya. Selanjuknya tidak memberdayakan kader Jumantik yang telah terdapat perbedaan rerata sikap antara sebelum mrndapatkan pelatihan sebagai penyuluh PSN dan sesudah intervensi, tidak ada hubungan DBD dan pemeriksaan jentik berkala (PJK). antara nilai sikap tentang penyuluhan dan Hendaknya Pukesmas Menteng dapat pemeriksaan jentik dan pelaksanaannya. meningkatkan prekwensi kegiatan penyuluhan baik dalam gedung maupun luar gedung. Saran-Saran : Kiranya Dinkes Kota Palangka Raya dapat Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menganggarkan biaya pelatihan dan insentif menambah variabel lain seperti : foging, bagi kader Jumantik pada beberapa kelurahan abatetisasi,) dan sampel pembanding (group yang menjadi daerah endemis Demam berdarah control) Dengue (DBD) Daftar Rujukan : 1.
Dinkes Kota Palangka Raya, 2010, Profil Kesehatan Kota Palangka Raya
2.
viii 30
Depkes RI., 2005. Pemberantasan dan Pencegahan Demam Berdarah di Indonesia. Diejend. P2M & LP Jakarta
3.
Depkes RI, 2006, Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Jumantik 4. A.Watik Pratiknya, 2003. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, RajaGarapindo Persada Jakarta 5. Singarimbun, M dan Effendi, S. (1995) Metode Penelitian Survey, Cetakan Pertama LP3ES, Jakarta. 6. C.Trihendradi, 2009. 7 Langkah Mudah melakukan Analisis Statistik menggunakan SPSS 17.Andi Jogjakarta. 7. Donald Kirktrick, 2006. Evaluating Training Program, Barett-Keckler ISBN. 8. Siti Rochmani (2003), Pengaruh hubungan terapeutik perawat-klien terhadap kemampuan perawat dalam melakukan hubungan terapeutik dengan klien dan kepuasan kerja perawat di RSUD Tarakan dan RSUD Koja Jakarta. 9. Djamaludin Ancok, 1989. Teknik Pengukuran da Skala Pengukuran seri Metologi N 10. Pathi. Dkk. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan DBD di Kota
vii 31
Mataram , Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No.1 Juli 2005. 11. Notoatmodjo, Soekidjo. N. 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta Jakarta 12. Saleha Sungkar, dkk, Pengaruh Penyuluhan terhadap tingkat pengetahauan masyarakat dan kepadatan Aedes aegypti di Kecmatan Bayah, Propinsi Banten, Maraka Kesehatan, Vol14. NO.2. Desember 2010 : 81-85. 13. Anton Sitio.2008. Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD di Kec.Medan Perjuangan Kota medan . 14. Heri D.J.Maulana, 2009, Promosi Kesehatan, EGC Jakarta. 15. Yongwan Nyamin (1984) Perilaku ( Pengetahuan, sikap dan praktek)siswa SMA Kesatrian I mengenai Donor Darah Sukarela pada UTD PMI Kotamadya Semarang
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TAKSIRAN BERAT JANIN IBU HAMIL TRIMESTER III DI PALANGKA RAYA Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna Jurusan Keperawatan Politeknik Kemenkes Palangka Raya
Abstrak Selama hamil diharapkan pertumbuhan dan perkembangan janin meningkat serta lahir dengan berat badan minimal 2500gr. Banyak faktor yang berperan dalam pertumbuhan janin menjelang akhir kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi taksiran berat janin (TBJ) dan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh faktor-faktor tersebut dengan TBJ. Penelitian ini menggunakan 330 ibu hamil trimester III. Data dianalisis uji Pearson Correlation, Uji T tidak berpasangan serta Uji ANOVA dan uji Regresi Linear. Hasil penelitian tidak ada korelasi antara umur ibu dan TBJ ( p>0,05.), ada korelasi antara usia kehamilan dengan TBJ ( p=0,000) , tidak ada perbedaan antara TBJ ibu dengan jarak kehamilan (p>0,058), ada perbedaan antara TBJ dengan paritas (p=0,018), ada korelasi antara TBJ dengan gizi ibu (p=0,000), tidak ada perbedaan antara TBJ dengan ante natal care ( p=0,05,), ada korelasi antara TBJ dengan pendidikan (p = 0,001), tidak ada perbedaan TBJ dengan anggota rumah tangga (p=0,146), ada perbedaan TBJ dengan pengetahuan (p=0,021). Analisis regresi linear dapat menjelaskan 39,3% variasi variabel dependen berat badan bayi TBJ sisanya 60,7% dijelaskan oleh faktor lain. Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi peningkatan pelayanan dan pendidikan serta perkembangan ilmu dan bagi pengambil kebijakan untuk meningkatkan TBJ pada ibu hamil. Kata kunci: Taksiran Berat Janin, Faktor-faktor ibu, Hamil Trimester III Abstract During pregnancy, fetal growth and development is expected to increase in order to avoid low birth weight or less than 2500 grams. Many factors play a role in fetal growth in late pregnancy. This study aimed to identify factors in pregnant women which are to know the relation and the influence of factors with estimated fetal weight in the third trimester pregnant women in Palangka Raya. The data were analyzed by Pearson Correlation test, unpaired T test, ANOVA test and linear regression test. There was no correlation between the estimated fetal weight with maternal age (p>0,05), with a range of pregnancy (p>0,058), with ante natal care (p=0,05), with family (p=0,146), There was a correlation between the estimated fetal weight with gestational age (p=0,000), with parity (p=0,018), with the mother's nutrition (p=0,000), education (p=0,001), the knowledge of the mother (p=0,021). Gestational age, maternal nutritional status, and education level are able to explain 39,3 % estimated fetal weight and the rest 60,7%, be explained by other factors. This research is expected to provide benefits for service improvement and education also the development of science and the decision maker to increase estimated fetal weight in pregnant women. Key words: estimated fetal weight, maternal factors, pregnancy in the third semester
32
.
Pendahuluan Selama hamil diharapkan pertumbuhan dan perkembangan janin meningkat agar terhindar dari gangguan pertumbuhan dan perkembangan selama kehamilan serta lahir dengan berat badan rendah atau kurang dari 2500gr. Faktor penentu utama pertumbuhan janin menjelang akhir kehamilan sebagian besar yang dipengaruhi oleh faktor status sosioekonomi ibu, diet, merokok, atau penyalahgunaan obat terlarang ¹. Status nutrisi ibu dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia ibu, paritas, ras, konsumsi rokok, pendidikan, keluarga, nutrisi, pendapatan, kesehatan, dan motivasi.¹-8 Bayi lahir dengan berat badan rendah di Indonesia sebesar 11%, sedangkan di Nusa Tenggara Timur 19,2% sebagai propinsi tertinggi pertama dengan berat badan bayi lahir rendah < 2500gr 9. Kalimantan Tengah pada urutan ke dua yaitu 18,5% dan Papua pada urutan ke tiga yaitu 17,9%. Karakteristik bayi lahir dengan berat badan rendah adalah 15,1% tidak tamat SD, memiliki pekerjaan sebagai petani/ nelayan/buruh adalah 12,9%. Sumber informasi bayi lahir dengan berat badan rendah 34% dari catatan KMS/KIA sedang selebihnya adalah pengakuan ibu9 Berdasarkan penelitian di Boyolali ditemukan 14,29% bayi lahir dengan berat badan rendah dengan riwayat kenaikan berat badan ibu selama hamil < 7 kg adalah 17,14%10 sedangkan bayi lahir dengan berat badan rendah di Kota Palangkaraya ditemukan sebanyak 15,4% 9. Peningkatan berat badan ini selama hamil akan mempengaruhi berat janin dalam kandungan dan wanita yang berisiko paling besar melahirkan bayi berat lahir rendah (<<2500g) adalah yang pertambahan beratnya selama hamil kurang dari 7 kg selain faktor-faktor seperti dikemukakan di atas 1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor yang berhubungan dengan
33
taksiran berat janin pada ibu hamil trimester III. Metode Penelitian Rancangan ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan crossectional. Rancangan ini dibuat untuk mengukur banyak faktor yang ingin diteliti dengan satu kali pengamatan pada saat yang bersamaan. Analisa univariat dilakukan untuk menganalisa karakteristik ibu hamil berdasarkan usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, paritas, jumlah kunjungan ANC dan pemahaman terhadap buku KMS ibu hamil. Analisa Bivariat menggunakan uji Pearson Correlation dan analisa multivariat menggunakan regresi linear dan uji Anova. Pengambilan data pada minggu ke dua Oktober sampai dengan Desember 2011. Sampel dalam penelitian didapat dari Puskesmas Pahandut, Puskesmas Panarung, Puskesmas Bukit Hindu dan Puskesmas Kayon sebanyak ini adalah 330 ibu hamil Hasil Penelitian Analisis Univariate Tabel 1 memperlihatkan Umur ibu hamil paling banyak pada kelompok umur 20-35 tahun (81,8%). Ibu hamil dengan umur <20 tahun sebanyak 10,6% dan yang >35 tahun sebanyak 7,6%. Tingkat pendidikan ibu hamil paling banyak SMA (37%) dan SMP (33,6%). Ibu yang berpendidikan SD dan perguruan tinggi masing-masing 16,1% dan 13,3%. Jumlah anggota dalam rumah tangga rata-rata adalah 3 orang . Jumlah anggota rumah tangga terkecil adalah 2 orang dan terbanyak 5 orang. Jumah anggota rumah tangga paling banyak 24 orang (87,9%). Ibu hamil yang terbanyak yaitu ibu yang lebih dari satu kali hamil (multigravida) sebanyak 56,4%, kemudian ibu yang baru pertama kali hamil (primigravida) sebanyak 43,3%, dan paling sedikit adalah grande (0,3%). Bila dilihat dari kunjungan ANC ibu hamil ke puskesmas paling banyak adalah
kunjungan 1-3 kali (59,1%), kunjungan 4 kali 10,9%, dan lebih dari 4 kali 30%. Jarak kehamilan ibu yang sudah pernah hamil yaitu paling banyak >2 kali (96,4%). Gizi ibu hamil lebih banyak yang bergizi baik (70,9%). Sebagian besar ibu (69,1%) mengaku memahami isi buku KIA. Tabel 1.Distribusi Karakteristik Ibu Hamil, Palangka Raya, 2011 (n=330) Variabel Frekuensi Persentase (%) Umur < 20 tahun 35 10,6 20-35 tahun 270 81,8 >35 tahun 25 7,6 Jumlah 330 100 Pendidikan SD 53 16,1 SMP 111 33,6 SMA 122 37,0 PT 44 13,3 Jumlah 330 100 Jumlah ART 2-4 org 290 87,9 >4 org 40 12,1 Jumlah 330 100 Paritas Primigravida 143 43,3 Multipara 186 56,4 Grande 1 0,3 Jumlah 330 100 ANC 1-3 kali 195 59,1 4 kali 36 10,9 >4 kali 99 30 Jumlah 330 100 JarakKehamilan < 2 tahun 12 3,6 >2 tahun 318 96,4 Jumlah 330 100 GiziIbuHamil Baik 234 70,9 Kurang 96 29,1 Jumlah 330 100 Pengetahuan KIA Memahami 228 69,1 Tidak memahami 102 30,9 Jumlah 330 100 Pengetahuan gizi Baik 224 67,9 Buruk 106 32,1 Jumlah 330 100
janin rata-ratanya yaitu 2635 gram ± 470,8 gram dengan nilai terrendah 1085 gram dan tertinggi 4030 gram. (Tabel 2.). Tabel 2. Rerata, Min-Max, Standar Deviasi Variabel Usia Kehamilan, TFU, TBJ Ibu Hamil, Palangka Raya, 2011 (n=330)
Variabel Usia hamil (mg) TFU TBJ
Rerata 30
Min-Max 28-41
SD 3,5
28 2635
18-37 1085-4030
3 470,8
Analisis Bivariate Usia Ibu dan TBJ Berdasarkan uji Pearson Correlation di dapatkan nilai P>0,05. Artinya tidak ada korelasi antara umur ibu dan TBJ (Tabel 3). Usia Kehamilan dan TBJ Dari hasil uji Pearson Correlation didapatkan bahwa ada korelasi antara usia kehamilan dengan taksiran berat janin (nilai P=0,000). Korelasi variable ini adalah searah. Artinya semakin tinggi usia kehamilan semakin besar taksiran berat janin. (Tabel 3) Status Gizi Ibu Hamil dan TBJ Berdasarkan hasil uji pearson correlation didapatkan bahwa ada korelasi antara TBJ dengan status gizi ibu. Arah korelasi yatu searah, artinya semakin tinggi TBJ semakin tinggi status gizi ibu.(Tabel 3.). Tabel 3. Hasil Uji Pearson Correlation Faktor –faktor Ibu Dan TBJ (n=330)
FaktorFaktor Ibu Umur
Usia Kehamilan
Gizi
Rata-rata usia kehamilan ibu 30 ± 3,5 minggu dengan usia kehamilan terkecil 28 minggu dan terpanjang 41 minggu. Tinggi fundus uteri rata-ratanyaadalah 28 ± 3, nilai terkecil 18 dan terbesar 37.Taksiran berat 34
TBJ Pearson Correlation -.015 Sig. (2-tailed)
.784
N
330
Pearson Correlation
.556**
Sig. (2-tailed)
.000
N
330
Pearson Correlation .381** Sig. (2-tailed)
.000
N
330
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
Jarak Kehamilan dan TBJ Rerata TBJ menurut jarak kehamilan yaitu rerata TBJ ibu dengan jarak kehamilan > 2 tahun 2605 gr dan yang < 2 tahun 2867 gr. Berdasarkan hasil uji T tidak berpasangan didapatkan nilai P=0,058 (p>0,05). Artinya tidak ada perbedaan TBJ antara ibu dengan jarak kehamilan > 2 tahun dan< 2 tahun. (Tabel 4). Tabel 4.Hasil Uji T Tidak Berpasangan RerataTaksiran Berat Janin Berdasarkan Faktor – Fantor Ibu Hamil (n=330) Faktor Ibu t P 95% CI -1,902 0,058 -533,5 – 9,010 Jarak -2,370 0,018 -218,2 - -20,3 Paritas -2,323 0,001 94,614 - 369,5 Pendidikan
Keluarga Pengetahuan
-1,478 -2,312
0,146 0,021
-54,041 –351,946 18,9 – 235,9
Paritas dan TBJ Rerata TBJ menurut paritas, ibu primipara rerata TBJ 2547 gram dan ibu dengan multipara rerata TBJ 2666 gram dengan mean difference -199,2. Dari hasil uji T tidak berpasangan didapatkan nilai P=0,018 (<0,05). Artinya ada perbedaan rerata TBJ antara ibu primipara dengan ibu multipara(Tabel 4.). Pendidikan Ibu Hamil danTBJ Berdasarkan table 4. didapatkan rerata TBJ pada ibu berpendidikan tinggi 2638,9 gram dan pada ibu yang berpendidikan dasar rerata TBJ 2406,9 gram dengan mean difference 232,2 gram. Hasil uji T tidak berpasangan didapatkan nilai P = 0,001. Keluarga (jumlah anggota keluarga) dan TBJ Rerata TBJ menurut jumlah anggota rumahtangga 2-4 orang 2632,8 gr dan yang > 4 orang 2483,9 gr dengan mean difference 148,9 gr. Hasil uji T tidak berpasangan didapatkan nilai p=0,146. Artinya tidak ada perbedaan rerata TBJ antara ibu dengan jumlah ART 2-4 orang dan yang jumlah ARTnya> 4 orang. (Tabel 4). 35
Pengetahuan Gizi dan TBJ Rerata TBJ menurut skor pengetahuan gizi baik dengan TBJ 2655,7 gram dan skor pengetahuan gizi kurang baik 2528 gram (mean doffrence=127,5). Berdasarkan hasil t test tidak berpasangan di dapatkan nilai P=0,021. Artinya ada perbedaan rerata TBJ antara ibu yang pengetahuannya baik dengan ibu yang pengetahuannya buruk.(Tabel 4.). Pemeriksaan Kehamilan dan TBJ Rerata TBJ menurut kunjungan ANC didapatkan hasil yang berbeda-beda. Seiring dengan seringnya ibu hamil melakukan ANC semakin meningkat TBJ-nya. Ibu dengan kunjungan ANC 1-3 rerata TBJnya 2569,77 gr, ANC 4 kali 2768,7 gr, ANC >4 kali 2647,5 gr. Berdasarkan uji ANOVA tidak ditemukan adanya perbedaan rerata TBJ menurut kunjungan ANC (nilai p=0,05). (Tabel 5) Analisis Multivariate Pada tabel 4, Model 1 didapatkan nilai Rsquare sebesar 0,401, artinya ke-5 variabel independen dapat menjelaskan variabel TBJ sebesar 40,1% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Dari hasil uji statistik didapatkan (lihat prob>F) didapatkan p value=0,000 berarti persamaan garis regresi secara keseluruhan sudah signifikan Dari Model 2, didapatkan nilai R-square sebesar, artinya ke-4 variabel independen dapat menjelaskan variabel TBJ sebesar sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Dari hasil uji statistik didapatkan (lihat prob>F) didapatkan p value=0,000 berarti persamaan garis regresi secara keseluruhan sudah signifikan Model 3 final, Setelah dilakukan analisis multivariat, ternyata variabel independen yang masuk model regresi adalah usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat pendidi kan. Pada tabel 3 regresi akhir terlihat koefisien determinasi (Rsquare) menunjukkan nilai 0,393 artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 39,3% variasi variabel dependen berat badan bayi. Kemudian pada uji
ANOVA, hasil uji F menunjukan nilai ρ=0,0000, berarti pada α 5% kita dapat menyatakan bahwa model regresi cocok (fit) dengan data yang ada. Tabel 4 Model Persamaan Regresi Linier
Model 1
TBJ (n=330) B Sig
t
Usia hamil Paritas Gizi
66.663 58.265 -259.975
9.953 1.316 -5.301
.000 .189 .000
Edu
-134.647
-2.394
.017
Skortahu
-54.292
-1.180
.239
R²=0, 393 Model 2
B
Sig
t
Usia hamil Paritas Gizi
67.549 64.248 -255.994
.000 .146 .000
10.143 1.459 -5.228
Edu
-137.317
.015
-2.442
Skortahu
-
-
-
R²=0,409 Model 3 Usia hamil Gizi Edu Paritas Skortahu
B
Sig
T
69.000 -257.412 -131.711
.000 .000 .020
10.457 -5.248 -2.343
-
-
-
R²= 0,409
Persamaan regresi yang diperoleh adalah: TBJ = 528.667 + 69 usia hamil – 257,4 gizi – 131,7pendidikan
Interpretasi: 1. R-square = 0,409 artinya model persamaan ini dapat menjelaskan 40,9% variasi TBJ sisanya 60,7% dijelaskan oleh faktor lain. 2. Setiap kenaikan 1 bulan usia kehamilan ibu, maka TBJ akan naik sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan. 3. Setiap penurunan 1kg status gizi ibu, maka TBJ akan turun sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan.
36
4. Pada ibu yang tingkat pendidikannya dasar TBJ akan lebih rendah sebesar 131,7 gram dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya tinggi setelah dikontrol status gizi dan pendidikan.
Pembahasan Ibu hamil sebagai Responden sebanyak 330 orang dari Puskesmas Pahandut, Puskesmas Kayon dan Puskesmas Bukit Hindu jumlah responden yang diperoleh dari tiap-tiap puskesmas berbeda-beda Perbedaan memperoleh responden pada penelitian ini tidak mempengaruhi hasil penelitian karena pengambilan responden didasarkan pada kriteria inklusi dan pada semua puskesmas induk (tipe setara). Penelitian ini menghubungkan Taksiran Berat Janin dengan usia ibu, usia kehamilan, jarak kehamilan, paritas, status gizi ibu hamil, pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu hamil, keluarga dan pengetahuan gizi. Pemahaman ibu hamil terhadap buku KMS yang dimilikinya akan dijelaskan , tetapi variabel ini tidak dihubungkan dengan taksiran berat janin yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Usia Ibu Hamil Dalam penelitian ini ditemukan bahwa usia ibu hamil paling banyak (81%) pada kelompok 20-35 tahun. Pada kelompok usia ini sangat dianjurkan untuk hamil karena pada usia kurang dari 20 tahun perkembangan organ-organ reproduksi terutama ossifikasi panggul belum sempurna dan fungsi uterus fisiologisnya belum matang sehingga diragukan bagi pertumbuhan janin. Sedangkan untuk hamil diatas usia 35 tahun risiko yang dapat muncul terutama abortus, cacat kongenital, hipertensi, berat badan lahir rendah1,17. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu hamil dengan taksiran berat janin (P> 0,05) . Nahum dkk yang menyatakan bahwa usia ibu bukan prediktor independen dari berat badan janin11. Berbeda dengan pernyataan tersebut Bobak dan Rochjati menyebutkan bahwa
bayi berat badan lahir rendah (BBLR) berkorelasi dengan usia ibu3,17. Penyataan tersebut didukung oleh Nobile dkk bahwa berat badan lahir rendah berkorelasi dengan usia ibu yaitu pada usia remaja dan usia ibu yang sudah tua 15. Dalam penelitian ini, hasil univariat menunjukkkan kelompok usia dibawah 21 tahun hanya sebanyak 10% dan >35 tahun sebanyak 7.6%. Usia Kehamilan Responden antara usia kehamilan 28 minggu sampai 42 minggu yang pada usia kehamilan trimester III. Ditemukan korelasi usia kehamilan dengan taksiran berat janin (P= 0,000) .Aanalisis multivariat menunjukkan bahwa kenaikan usia kehamilan akan meningkatkan taksiran berat janin . Bahwa setiap peningkatan usia kehamilan 1 bulan, maka taksiran berat janin akan naik sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan demikian sebaliknya. Anitha dkk pada penelitian serupa di Kerala India menyebutkan bahwa salah satu prediktor berat badan bayi adalah usia kehamilan (P<0.001)15. Nahum dkk menyebutkan bahwa berdasarkan jenis kelamin fetus peningkatan berat badan antara 12.7 ± 1,4 gram/ hari dengan perbedaan ± 0.3 gram/ hari antara fetus berjenis kelamin lakilaki dan perempuan ( fetus laki-laki berat badan meningkat lebih cepat dari fetus perempuan)11 dan bayi laki-laki lebih berat 100 gram dari bayi perempuan 1. Jarak Kehamilan Jarak Kehamilan atau kelahiran menurut BKKBN yang ideal adalah 2 tahun atau lebih. Dengan jarak kehamilan yang cukup, ibu memiliki waktu yang cukup untuk pemulihan kondisi18. Sejalan dengan pernyataan tersebut Rochjati menyebutkan bahwa jarak kehamilan yang kurang dari 2 tahun dapat menyebabkan bayi lahir prematur atau bayi dengan berat badan lahir rendah18. Dari analisis univariat ditemukan bahwa 96,4 % ibu hamil dengan jarak kehamilan >2 tahun dan ditemukan tidak ada perbedaan TBJ antara ibu dengan jarak kehamilan > 2 ( P = 0.058). 37
Hasil ini dapat dihubungkan dengan pernyataan sebagian besar (69%) responden yang menyatakan memahami Buku KMS yang diberisi informasi tentang perawatan kehamilan dan persalinan.
4.Paritas Ibu dengan grande memiliki risiko tinggi dengan kehamilan dan persalinan. Pada ibu hamil dapat terjadi kelainan letak, persalinan lama dan perdarahan post partum1-4,18. Pertumbuhan janin berlangsung dengan baik jika determinan berat badan lahir seperti paritas, berat badan ibu, dan tinggi badan dipertimbangkan1.. Rerata TBJ menurut paritas, ibu primipara rerata TBJ 2547 gram dan ibu dengan multipara rerata TBJ 2666 gram dengan mean difference -199,2. Dari hasil uji T tidak berpasangan didapatkan nilai P=0,018 (<0,05). Artinya ada perbedaan rerata TBJ antara ibu primipara dengan ibu multipara. Status Gizi Ibu Didapatkan korelasi antara TBJ dengan status gizi ibu. Arah korelasi yatu searah, artinya semakin tinggi TBJ semakin tinggi status gizi ibu.(Tabel 4.7.). Ditetapkan nilai minimal peningkatan berat badan ibu hamil selama trimester III adalah 7 kg, yang merujuk ketetapan Depkes RI27, Peningkatan berat badan selama kehamilan menunjukan bahwa terjadi penambahan intake kalori oleh ibu dan banyaknya kalori yang ini konsumsi ibu membantu pertumbuhan janin. Penelitian ini sejalan dengan pernyataan Cunningham bahwa diantara kehamilan 27- 28 minggu terjadi peningkatan berat badan janin sebesar 1000gr dengan penambahan berat badan rata-rata ibu adalah 7,2 kg1. Pemeriksaan Kehamilan Nobile dkk dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan antara frekwensi antenatal care dengan kejadian berat badan lahir rendah15. Frekwensi kunjungan ANC yang meningkat menurunkan risiko berat badan lahir rendah. Depkes menetapkan
minimal kunjungan ibu selama hamil adalah 4 kali yaitu 1kali di timester pertama, 1 kali di trimester kedua dan 2 kali di trimester ketiga. Diketahui bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan rerata TBJ menurut kunjungan semua (nilai p=0,05). Ibu dengan kunjungan ANC 1-3 rerata TBJnya 2569,77 gr, ANC 4 kali 2768,7 gr, ANC >4 kali 2647,5 gr. Pendidikan Tingkat pendidikan responden bervariasi SD, SMP, SMA , dan PT. Hasil uji statistik pada bivariat dengan uji T tidak berpasangan ditemukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan taksiran berat janin.Pendidikan yang dimiliki ibu hamil membantunya mengambil keputusan terhadap sebuah informasi kesehatan. Disebutkan juga bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada ibu hamil, dengan tingkat pendidikan yang tinggi ibu hamil akan mengetahui tentang asupan gizi yang baik untuk ibu selama kehamilan. Gangguan pertumbuhan intrauteri pada janin berhubungan dengan rendahnya pendidikan6. Anggota Keluarga Hampir semua responden penelitian ini memiliki jumlah anggota keluarga yang ideal. Keluarga yang ideal menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menyebutkan bahwa anggota keluarga ideal adalah empat orang18. Tetapi penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan rerata taksiran berat janin pada kelurga ideal dan keluarga tidak ideal. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa besarnya keluarga tidak mempengaruhi taksiran berat janin. Hasil penelitian berbeda dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi kesejahteraan dan status gizi ibu hamil3,19. Penelitian ini tidak menggali lebih dalam tentang insentif yang diterima keluarga serta komposisi dalam keluarga. Bayi-bayi yang dilahirkan dari keluarga dengan status sosialekonomi tinggi menunjukkan sedikit masalah pada perkembangan janin, berbeda dengan bayi yang dilahirkan dari keluarga tidak mampu 38
akan mengalami gangguan yang berarti1.. dengan kata lain semakin rendah keadaan sosioekonomi, semakin lambat laju pertumbuhan janin pada akhir kehamilan. Demikian juga pekerjaan suami dan rendahnya pendidikan suami menyebabkan rendahnya berat badan lahir janin11. Bobak menghubungkan jaringan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir kehamilan pada penghasilan keluarga untuk anggaran belanja makanan, sebagai jaminan ketersediaan makanan bagi anggota keluarga terutama ibu hamil3 Pengetahuan Gizi Salah satu faktor yang mempengaruhi asupan gizi ibu hamil antara lain faktor pengetahuan. Pengetahuan gizi dalam penelitian ini menanyakan tentang pengertian gizi, akibat kekurangan gizi bagi ibu dan janin, penambahan berat badan selama hamil, pemantauan pemenuhan gizi, makanan dan suplemen yang baik selama kehamilan. Hasil penelitian menemukan bahwa ada perbedaan rerata TBJ antara ibu yang pengetahuannya baik dengan ibu yang pengetahuannya buruk.(Tabel 4.12.). Pemahaman Ibu Hamil terhadap Buku KIA. Hasil analisis univariat diketahui bahwa 69,1% ibu hamil memahami buku KIA yang dimilikinya dan 32,1% ibu hamil mengaku tidak memahami buku KIA. Interpretasi Hasil Penelitian Multivariate Berdasarkan analisis pada umur, usia kehamilan,paritas, pendidikan, jumlah ANC, keluarga, jarak kehamilan, jumlah anggota keluarga, peningkatan gizi ibu hamil, dan pengetahuan terhadap gizi ibu hamil. Ditemukan hanya lima karakteristik ibu hamil yang berhubungan dengan taksiran berat janin yaitu usia kehamilan ibu, paritas, pendidikan, status gizi ibu hamil, dan pengetahuan terhadap gizi ibu hamil. Dalam Analisis Regresi Linier ditemukan usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat pendidikan mampu mempengaruhi 39,3%
variabel dependent taksiran berat janin pada ibu hamil trimester III di kota Palangka Raya sedangkan 60,7% dijelaskan oleh faktor lain. Pengaruh tersebut menjelaskan setiap kenaikan 1 bulan usia kehamilan ibu, maka TBJ akan naik sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan. Setiap penurunan 1kg status gizi ibu, maka TBJ akan turun sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan. Pada ibu yang tingkat pendidikannya dasar TBJ akan lebih rendah sebesar 131,7 gram dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya tinggi setelah dikontrol status gizi dan pendidikan. Berbeda dengan Anitha (2009) yang menyebutkan bahwa faktor independen terhadap berat badan lahir selain paritas dan usia gestasi, tinggi badan, pregnancy induced hypertensi (PIH) dan riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah juga merupakan faktor independen terhadap berat badan lahir. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini hanya mencapai jumlah minimal yaitu 330 orang karena keterbatasan waktu penelitian. Kunjungan ibu hamil disetiap Puskesmas tidak dapat diduga. Pada waktu tertentu kunjungan ibu hamil banyak di awal bulan atau hari pertama sampai hari ketiga tiap minggunya. Kelemahan berikutnya adalah peluang anggota populasi tidak diketahui karena pengambilan sampel tidak dilakukan acak. Kolektor data tidak selalu ada di Puskesmas, tugas mencapai target program yang dilaksanakan di luar gedung menuntutnya untuk tugas luar. Sehingga dalam penelitian ini ada kemungkinan sampel yang representatif tidak terpilih. Implikasi Terhadap Pelayanan Ibu Hamil Hasil penelitian ini merupakan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa hanya usia kehamilan, pendidikan dan status gizi yang mampu menjelaskan 39,3% taksiran berat badan janin pada usia kehamilan trimester III di Palangka Raya.
Penting bagi pemberi layanan untuk mengetahui latar belakang pendidikan ibu hamil dan karakteristik klien (klien usia remaja) sebelum memberikan informasi tentang peningkatan gizi selama kehamilan. Perlu bagi untuk selalu membicarakan indikator peningkatan gizi yang dapat dirasakan ibu dengan bertambahnya berat badan ibu serta meningkatnya ukuran tinggi fundus setiap bertambahnya usia kehamilan. Perlu di pertimbangkan pernyataan 102 responden (32.1%) yang mengatakan tidak memahami isi buku KIA Ibu Hamil yang mereka miliki. Masukan tersebut memperjelas bahwa selama kehamilannya buku KIA yang dimiliki tidak maksimal membantu mereka dalam perawatan kehamilan. Perlu untuk menyediakan waktu memberikan informasi tentang buku KMS tersebut. Penanganan khusus seperti homecare atau homevisit bagi bagi ibu hamil dengan indikator pemenuhan gizi yang kurang dapat dipertimbangkan. Penutup Kesimpulan Usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat pendidikan yang mampu menjelaskan TBJ pada ibu hamil trimester III di kota Palangkaraya. Dari hasil analis tersebut ; Usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat pendidikan yang mampu menjelaskan 39,3% taksiran berat janin dan sisanya 60,7% dijelaskan oleh faktor lain. Setiap kenaikan 1 bulan usia kehamilan ibu, maka TBJ akan naik sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan. Setiap penurunan 1kg status gizi ibu, maka TBJ akan turun sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel status gizi dan pendidikan. Pada ibu yang tingkat pendidikannya dasar TBJ akan lebih rendah sebesar 131,7 gram dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya tinggi setelah dikontrol status gizi dan pendidikan.
39
Saran Bagi penyedia dan pemberi layanan kesehatan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan perencanaan program bagi ibu hamil untuk peningkatan taksiran berat janin. Memberikan perhatian khusus pada ibu hamil yang berusia remaja dan ibu hamil yang berusia diatas 35 tahun saat melakukan pemeriksaan kehamilan, terutama hasil pemeriksaan pengukuran tinggi fundus uteri untuk dijelaskan sebagai indikator peningkatan taksiran berat janin selama hamil. Memberikan perhatian khusus bagi ibu hamil dengan jarak kehamilan kurang dari dua tahun dari kehamilan sebelumnya. Memperhatikan jumlah kunjungan ibu dan menjelaskan agar melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan atau setiap bulan selama kehamilan serta mendokumentasikan jumlah kunjungan yang dilakukan di Puskesmas atau praktik swasta. Memberikan penjelasan khusus kepada ibu hamil dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari empat orang untuk memperhatikan kecukupan nutrisi selama kehamilan. Menyediakan waktu untuk menjelaskan tentang buku KIA kepada setiap ibu hamil atau sekelompok ibu hamil . Perlu dilakukan penelitian dengan karakteristik yang berbeda serta jumlah responden yang lebih banyak untuk sehingga hasilnya lebih representatif.
Daftar Pustaka 1.Cunningham, F.G.; McDonald, P.C.; Gant, th
N.F. 1993. Williams Obstetrics, 19 ed. Prentice-Hall Int., Norwalk, CT, USA. William 2.Reeder, S.J., Martin, L.L,. & Griffin, D.K. (1997). Maternity nursing: Family, newborn and womens health care. Lippincott: Philadelphia. 3.Bobak, M.I., Lodermik, L.D., & Jensen, D.M. (2005). Buku ajar keperawatan 40
maternitas. Alih bahasa Maria A.Wijayarini & Peter I.Anugerah. Jakarta :EGC. 4.Gorrie, Mc Kinney & Murray.(1998). Foundations of maternal newborn nursing.(2 nd ed). Philadelphia : W.B.Saunders. 5. Elisabeth ,DK.,dkk (1998). Does passive smoking in early pregnancy increase the risk of small-for-gestational-age infants? American Journal of Public Health. Washington: Oct 1998. Vol. 88, Iss. 10; pg. 1523, 5 pgs 6. Nordentoft , dkk (1996). Intrauterine growth retardation and premature delivery: The influence of maternal smoking and psychosocial factors .American Journal of Public Health. Washington: Mar 1996. Vol. 86, Iss. 3; pg. 347, 8 pgs7. 7. Seppo Heinonen, Markku Ryynanen & Pertti Kirkinen (1999).The effects of fetal development of high alpha-fetoprotein and maternal smoking. American Journal of Public Health. Washington: Apr 1999. Vol. 89, Iss. 4; pg. 561, 3 pgs 8. Sven Cnattingius & Bengt Haglund. (1997). Decreasing smoking prevalence during pregnancy in Sweden: The effect on smallfor-gestational-age births. American Journal of Public Health. Washington: Mar 1997. Vol. 87, Iss. 3; pg. 410, 4 pgs 9.Riskesdas (2007).Propinsi kalimantan Tengah.Departemen Kesehatan RI 10.Setianingrum (2005). Hubungan Antara Kenaikan Berat Badan, Lingkar Lengan Atas, dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Ampel I Boyolali .Skripsi. UNNES 11. Nahum,GE. Estimation of Fetal Weight . Nebraska Medical Association, and Society for Maternal-Fetal Medicine 12. Sjahmien Moehji. (2003). Ilmu Gizi II. Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Papas 13.Sarwono, Prawiroharjo (2009).Ilmu Kebidanan.Jakarta.Bina Pustaka 14.Notoatmodjo, S. (2002). Pendidikan dan perilaku kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.
15.Anitha, CJ. Dkk (2009). Predictors of Birthweight – A Cross Sectional Study. Indian Pediatrics vol 46, Januari 2009 16. Nobile GA., dkk (2007). Influence of Maternal and Social Factors As Predictors of Low Birth Weight in Italy. BMC Public Health. 7, Agustus 2007 17.C Philipps & NE Johnson (2007). The impact of quality of diet and other factors on birth weight of infants. BMC Public Health. 2007; 7: 192. 18.Rochjati,P.(2003).Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil.FK Unair.Surabaya 19.Suryadarma, dkk (2005). Ukuran Objektif Kesejahteraan Keluarga untuk Penargetan Kemiskinan. Lembaga Penelitian SMERU.Jakarta 20.Johansson K. dkk, Maternal predictors of birthweight: The importance of weight gain during pregnancy. Obesity Research & Clinical Practice, Volume 1 21. Solihin Pudjiadi. 2003. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 22. Arikunto. (2002). Prosedur penelitian. (5th ed). Jakarta : Rineka Cipta. 23 .Aziz, A. (2002). Riset keperawatan & tehnik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. 24.Dempsey, & Dempsey .(2002).Nursing Research: Riset keperawatan . Alih bahasa Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC. 25.Sugiyono.(2001).Statistik untuk penelitian. Bandung: Alpabeta. 26.Depkes RI.(2009). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.Depkes 27.Depkes RI. 2000. Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas). Jakarta;Departemen Kesehatan 28. ___. 2002. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Bayi Ibu Hamil Dan Ibu Menyusui (Pedoman Petugas Puskesmas). Jakarta: DKKS RI
41
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN DENGAN KONSUMSI NUTRASETIKA DI KOTA PALANGKA RAYA Mars Khendra, Mohamad Muchtar, Nila Susanti Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Indonesian people who get medicinal treatment with him self about 57,7 % and the others had traditional therapy (31,7%)1. The result was reported to socioeconomic survey on 2001. The people can use a herbal medicine allowed openly without consultation. It was made a tendency to be a doctors for him self. They were also consume a herbal medicine together with convensional medicine. They suggest that herbal medicine was safely than conventional medicine. That fenomena had been feeling concerned about because it was a wrong perception. The objective of this research was got to know correlation between a level of knowledge and the degree of education level in nutraceutical consume on Kota Palangka Raya. Focus to ever and never consume, how long to consume and the reason to consume nutraceutical. The research was design a cross sectional study in municipality of Palangka Raya on october 2011. The population was identified and with systematic random sampling we got 100 people who give him/his signature on informed consence to be a responden. To get information how deep their knowledge about nutraceutical, we made a list of questions with scoring of each others of the question. Chi square test has used to know relationship between a level of knowledge and the degree of education level in nutraceutical consume. Eighty two percen (82 %) of responden had a high level of education and only 11 % had well a level of knowledge (nutraceutical). Seventy six percent (76 %) of responden had recognized to got nutraceutical as supplement and 65% as herbal product. Long of consume nutraceutical between responden known above to 3 month. Great advertisement (herbal and supplement product) was influence consume. Level of knowledge had significanly be engaged in nutraceutical (herbal and supplement product) consume (p valeu < 0,05) but not significanly related to long of nutraceutical consume and the reason of nutraceutical consume (p value > 0,05). The degree of education level had not correlated in nutraceutical consume but the level of knowledge had corerelated. Key words. Nutraceutical, herbal, supplement, level of knowledge, the degree of education level.
42
Meskipun demikian, produk nutrasetika (herba) bermunculan semakin banyak dengan berbagai klaim diantaranya adalah menurunkan risiko penyakit degeneratif (kolesterol, hipertensi, diabetes, dll) dan merangsang nafsu makan. Dengan teknik pemasaran yang melibatkan metode multi level marketing (MLM) serta perubahan pola pikir masyarakat, produk herba pun semakin banyak dikonsumsi. Namun ketertarikan iklan dengan klaim tertentu tersebut seringkali membuat konsumen tidak menghiraukan keamanan produk tersebut. Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti ingin mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan dengan konsumsi nutrasetika (suplemen dan herbal) di Kota Palangka Raya.
Pendahuluan Saat ini konsumsi produk nutrasetika khususnya herba di Indonesia telah meningkat tajam. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 65% dari penduduk negara-negara maju menggunakan obat-obatan herba. Selain karena trend back to nature, juga karena ia merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah diperoleh dan terjangkau. Proporsi penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri adalah 57.7% dan 31,7 % menggunakan obat tradisional1. Masyarakat dapat menggunakan herba secara bebas tanpa harus berkonsultasi dengan dokter. Kecenderungan yang ada adalah masyarakat telah bertindak menjadi dokter untuk dirinya sendiri dalam konsumsi herba. Bahkan tidak jarang mereka mengkonsumsinya bersamaan dengan obat konvensional. Hal ini terjadi karena mayoritas dari mereka menganggap herba aman dikonsumsi karena sudah digunakan secara turun temurun. Fenomena ini tentu saja sangat mengkhawatirkan karena paradigma herba pasti aman merupakan hal yang salah. Faktanya adalah banyak jenis herba yang dalam konsumsinya perlu pengawasan ketat dari tenaga medis profesional, bahkan ada beberapa jenis herba yang sudah dilarang konsumsinya oleh Badan POM karena efek sampingnya sangat besar. Selain itu, konsumsi herba seringkali memiliki interaksi negatif bila dikonsumsi bersamaan dengan obat konvensional. Dari penelitian diungkap bahwa sekitar 63% tanaman obat tradisional Indonesia dapat menyebabkan interaksi farmakokinetik dengan obat-obat konvensional bila dikonsumsi secara bersamaan. Berbeda dengan obat, produk herba tidak diwajibkan melalui proses uji klinis untuk membuktikan seberapa besar kebenaran manfaatnya. Padahal kebanyakan efeknya kecil sekali, cuma membonceng efek plasebo yaitu efek yang terkait dengan proses penyembuhan tubuh secara alami. Selain manfaatnya yang diragukan, mengkonsumsi suplemen apalagi terus menerus dalam jangka waktu lama juga diduga dapat menimbulkan efek negatif.
Metodologi Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional atau potong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Palangka Raya pada bulan Desember 2011. Populasi dari peneltian ini adalah penduduk di Kota Palangka Raya. Jumlah sampel dalam penelitian ini terpenuhi bahkan melebihi dari kuota berdasarkan perhitungan sampel2. Jumlah sampel yang bersedia memberikan informed consent-nya adalah sebanyak 100 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan. Sedangkan variabel terikatnya adalah konsumsi nutrasetika (suplemen dan herbal). Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan panduan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan persentase, sedangkan analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan dengan konsumsi nutrasetika (suplemen dan herba) dengan menggunakan uji chi square.
43
Distribusi tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil Penelitian Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi : umur, status dalam keluarga, pendidikan formal , pekerjaan dan pendapatan. Distibusi frekuensi dari karakteristik responden tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden (n=100) Tingkat N % Pendidikan Rendah 18 18,0 Tinggi 82 82,0
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=100) Karakteristik Responden Persentase (%) Umur < 40 tahun 70 ≥ 40 tahun 30 Status keluarga Ayah 22 Ibu 35 Anak 41 Saudara ayah/ibu 1 Kakek/Nenek 1 Pendidikan Formal SD 7,0 SLTP 11,0 SLTA 59,0 PT 23,0 Pekerjaan tidak bekerja/IRT 20,0 PNS 19,0 Swasta 26,0 Petani 2,0 Buruh 4,0 Pensiunan 2,0 TNI/POLRI 27,0 Pendapatan ≤ 500.000 0 500.000 - 999.999 12,0 1.000.000 - 1.499.999 13,0 1.500.000 - 1.999.999 16,0 ≥ 2.000.000,59,0
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa 82 % dari seluruh responden memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa rata-rata responden berijazah SLTA dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan data yang diperoleh melalui proses wawancara langsung dengan panduan kuesioner yang berisi 20 pertanyaan pengetahuan tentang konsumsi nutrasetika (suplemen dan herbal), diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah. Distribusi tingkat pengetahuan yang sudah dikategorikan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Distribusi Tingkat Pengetahun Responden Tingkat N % Pengetahuan Baik 11 11,0 Kurang 89 89,0 Total 100 100
Tingkat pendidikan yang tinggi ternyata tidak diiringi oleh tingkat pengetahuan yang baik tentang produk nutrasetika dari responden. Terlihat dari Tabel 3 diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai konsumsi nutrasetika 89% nya tergolong kurang.
Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 1 di atas diketahui bahwa 70 % responden berusia di bawah 40 tahun dengan status dalam keluarga yang menyebar cukup merata antara ayah, ibu dan anak (berturut-turut 22%, 35% dan 41%). Lima puluh sembilan persen (59%) responden berpendidikan tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Kebanyakan responden bekerja sebagai TNI/POLRI (27%), swasta (26%) dan 20% ibu rumah tangga. Separuh (59%) dari responden memiliki rata-rata pendapatan lebih dari 2 juta perbulan.
Konsumsi Nutrasetika Gambaran konsumsi nutrasetika dalam penelitian ini bukan hanya terbatas pada konsumsi produk herbal saja, namun lebih luas terhadap konsumsi suplemen. Hal ini didasarkan bahwa pengelompokkan nutrasetika oleh konsumen beragam. Selain itu alasan mengenai kemudahan dalam pemahman responden mengenai produk yang dimaksud dapat tercapai. Beberapa pertanyaan yang terkait dengan konsumsi nutrasetika diantaranya adalah pertanyaan tentang pernah tidaknya
Tingkat Pendidikan Jenjang pendidikan dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam 2 kategori jenjang pendidikan yaitu pendidikan tinggi dan pendidikan rendah (dasar) sesuai dengan undang-undang sistem pendidikan nasional. 44
mengkonsumsi, jenis produk yang pernah dikonsumsi, lamanya mengkonsumsi produk tersebut serta alasan mengkonsumsi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan keempat item tersebut di tabulasikan seperti pada Tabel 4 berikut.
herbal yang diproduksi secara pabrikan (modern) dengan lama konsumsi rata-rata diatas 3 bulan. Alasan mengkonsumsi produk nutrsetika sebagai besar responden menyatakan terpengaruh dari klaim manfaat produk untuk kesehatan tubuh (65%).
Tabel 4. Konsumsi Nutrasetika Item Pertanyaan
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsumsi Nutrasetika
Persentase (%)
1. Pernahkah mengkonsumsi produk suplemen Ya Tidak 2. Pernahkah mengkonsumsi produk herbal Ya Tidak 3. Jenis Produk Pabrikan Non Pabrikan 4. Lamanya konsumsi < 3bulan ≥ 3 bulan 5. Alasan mengkonsumsi Atas perintah/saran dokter/tenaga kesehatan/teman/saudara manfaatnya untuk kesehatan tubuh
Jenjang pendidikan formal responden dikategorikan menjadi kategori pendidikan tinggi dan rendah. Kategori pendidikan rendah dimaksudkan apabila yang bersangkutan hanya menempuh pendidikan formal sampai lulus SLTP dan jika lebih dari itu maka dikategorikan menjadi pendidikan tinggi (> SLTA). Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan konsumsi nutrasetika. Namun terlihat bahwa rata-rata responden yang mengkonsumsi produk nutrsetika (suplemen dan herbal) adalah mereka yang berpendidikan tinggi.
76,0 24,0 65,0 35,0
100,0 0,0 30,0 50,0 15,0
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Konsumsi Nutasetika
65,0
Pada penelitian ini konsumsi produk nutrasetika difokuskan pada produk suplemen dan herbal saja. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengumpulkan informasi dan menyamakan persepsi dengan responden. Tujuh puluh enam persen responden mengakui pernah mengkonsumsi nutrasetika dalam bentuk suplemen. Untuk konsumsi produk herbal, 65 % respondennya menyatakan pernah mengkonsumsi produk herbal. Seluruh responden mengkonsumsi produk suplemen dan
Seperti yang telah dijelaskan pada item sebelumnya bahwa 89% tingkat pengetahuan rensponden tentang produk nutrasetika masih tergolong kurang. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan konsumsi nutrasetika dilakukan analisis berdasarkan uji chi square. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa tingkat pengetahuan berhubungan dengan konsumsi nutrasetika dengan signifikansi < 0.05 (p value 0,035).
Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Konsumsi Nutrasetika Tingkat Pendidikan Tinggi Rendah Total Tingkat Pendidikan
Tinggi Rendah Total
Konsumsi Nutrasetika Ya Tidak 66 16 13 5 79 21 Jenis Produk Nutrasetika Pabrikan Non Pabrikan 11 0 63 0 74 0
45
p-value 0.436
p-value
0.174
Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Konsumsi Nutrasetika Tingkat Pendidikan
Lama Konsumsi < 3bulan ≥ 3 bulan
Tinggi Rendah Total Tingkat Pendidikan
24 43 6 7 30 50 Alasan Konsumsi Atas Klaim perintah manfaat dokter/nak es 11 56 4 9 15 65
Tinggi Rendah
p-value
0.525
p-value
0.225
Tabel 6. Hubungan tingkat pengetahuan dengan konsumsi nutrasetika Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total
Konsumsi nutrasetika Ya Tidak 6 5 73 16 79 21 Jenis Produk Nutrasetika Pabrikan Non Pabrikan 6 0 68 0 74 0 Lama Konsumsi < 3bulan ≥ 3 bulan 2 4 28 46 30 50 Alasan Konsumsi Atas Manfaat perintah nutrasetika 2 4 13 61 15 65
p-value 0.035*
p-value
0.792
p-value 0.08
p-value 0.341
Keterangan : * ada berhubungan (p < 0.05)
Pengetahuan responden terhadap nutrasetika terbatas hanya pada klaim manfaat kesehatan terhadap suatu produk (65 %). Hal ini tentu saja perlu diwaspadai karena produk tersebut belum tentu sudah melalui suatu proses percobaan secara klinis dan tidak menimbulkan efek yang merugikan bagi konsumen. Tujuh puluh tiga persen responden yang memiliki tingkat pengetahuan tentang nutrasetika yang kurang mengkonsumsi nutrasetika dengan lama konsumsi ≥ 3 bulan (46 %) dan 61% responden
Pembahasan Berdasarkan data, tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini rata-rata termasuk dalam kategori tingkat pendidikan tinggi atau berada pada level SLTA hingg Perguruan Tinggi (82 %), namun tingkat pendidikan yang tinggi tersebut ternyata tidaklah dibarengi dengan tingkat pengetahuan tentang nutrasetika yang baik. Penelitian ini membuktikan bahwa 89% responden memiliki pengetahuan yang kurang. 46
mengkonsumsi dengan alasan manfaat kesehatan. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan konsumsi nutrasetika (p value < 0,05). Namun sebaliknya tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan lama konsumsi, jenis produk dan alasan mengkonsumsi nutrasetika (p value > 0,05). Hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan beberapa hasil penelitian yang lainnya. Penelitian serupa terkait nutrasetika (soft drink) juga memberikan hasil yang sama seperti yang telah dipublikasikan yaitu ada hubungan tingkat pengetahuan dengan konsumsi soft drink3. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pengetahuan dengan konsumsi makanan dan minuman instan4. Sedangkan penelitian lainnya menyatakan bahwa konsumsi makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan gizi, lingkungan sosial, tingkat ekonomi, pola makan, besar keluarga dan faktor pribadi5. Seorang dewasa baik pria maupun wanita akan cenderung memprioritaskan kebugaran, stamina, penampilan awet muda dan tubuh langsing. Usaha menjaga kondisi tubuh ini memerlukan pengetahuan yang cukup tentang makanan bergisi serta pola hidup sehat dan komitmen yang kuat untuk dapat melakukannya setiap hari. Semakin bagus manfaat sebuah produk nutrasetika dapat meningkatkan konsumsi produk tersebut meskipun tingkat pengetahuan tentang produk tersebut kurang6.
SMA Sutomo 1. Universitas Sumatra Utara Press.2010. 4. Lastariwati dan Ratnaningsih, Hubungan antara Pengetahuan dan Konsumsi Makanan dan Minuman Instan dengan Status Gizi Remaja Puteri. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol 22. No.1. Jogjakarta. 2006. 5. Suharjo. Survei Konsumsi Pangan. PAU. IPB. Bogor. 1989. 6. Wiryono. P. Nutrasetika Sebuah Tinjauan Pengembangan Produk Pangan. Yogyakarta. Penerbit USD. 2009.
Kesimpulan Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan seseorang dengan konsumsi nutrasetika (produk herbal dan suplemen). Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan konsumsi nutrasetika (produk herbal dan suplemen). Daftar Pustaka 1. Rizal, dkk.Survei Sosial Ekonomi Indonesia. 2001 2. Lemeshow. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.1997. 3. Lubis.H dan Nenni. D. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Konsumsi Terhadap Soft Drink Pada Siswa Kelas XI 47
HUBUNGAN KONSUMSI BARAM DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI DESA SAMBA DANUM KECAMATAN TUMBANG SAMBA KABUPATEN KATINGAN Barto Mansyah*, Mars Khendra**, Mohamad Muchtar** *Jurusan Keperawatan, **Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka raya
Abstrak Berdasarkan data riskesdas (2007) yang dikaitkan dengan prevalensi minum alkohol selama 12 bulan terakhir, Kalimantan Tengah bersama 15 provinsi lainnya termasuk dalam kategori di atas angka prevalensi nasional. Mengkonsumsi ALKOHOL pada masyarakat Dayak telah menjadi kebiasaan. Mereka selalu minum minuman disebut "Baram". Baram adalah minuman fermentasi tradisional dengan isi ALKOHOL sebagai 5 banyak - 20%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara Baram mengkonsumsi dengan kasus hipertensi di Desa Samba Danum Katingan kabupaten. Desain penelitian ini yaitu Cross sectional. Rata-rata tekanan darah masyarakat Dayak adalah 142 mmHg. Enam puluh satu persen (61,5%) memiliki hipertensi, 34,6% pra-hipertensi dan sisanya normal (3,8%). Masyarakat Dayak di Desa Samba Danum telah meminum Baram sejak remaja. Ini berarti lebih dari 5 tahun (82,7%) dengan frekuensi 2 - 4 kali minggu (55,8%). Berdasarkan analisis bivariat (fisher exact) mengkonsumsi Baram (frekuensi dan dosis) yang secara signifikan berkorelasi dengan hipertensi (p value <0,05) pada Desa Samba Danum. Kata Kunci: Baram, Alkohol, Masyarakat Dayak , Hipertensi,
Abstract Fifteen province with prevalence alkohol consume at least 12 month ago including central borneo province1. That prevalence has known above from national number1. Alkohol consume between dayak community had been habbit for the last time ago. They always drink some beverage are called “baram”. Baram is a traditional fermented beverage with content of alkohol as many 5 – 20%. The objective of the research was to knew the correlation between baram consume with case of hypertensi in samba danum village katingan district. Cross sectional was establised to design the research. Blood pressure everage from dayak community were 142 mmHg. Sixty one percent (61,5%) had hypertensi, 34,6% pre-hypertensi and the rest normal (3,8 %). Dayak community in samba danum village had been consuming baram since adolescent. It means more than 5 years (82,7 %) with the frequency 2 – 4 times a weeks (55,8%). Building on analysis of bivariate (fisher exact) of baram consume (frequency and dose) were significanly correlated with hypertensi (p value < 0,05) in samba danum village. Keywords: Baram, alcohol, dayak community, hypertensi
48
Pendahuluan Terjadinya transisi epidemiologi, mengakibatkan Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan, yang ditandai dengan adanya penyakit infeksi menular yang diderita oleh masyarakat. Namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular diantaranya penyakit jantung dan pembuluh darah2. Faktor resiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipertensi. Saat ini hipertensiadalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan kematian dini3. Komplikasi pembuluh darah yang disebabkan hipertensi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, infark jantung, stroke, dan gagal ginjal. Selain itu hipertensi juga berdampak pada penurunan kualitas hidup4. Sembilan puluh persen kejadian hipertensi merupakan hipertensi primer (esensial), yaitu yang tidak diketahui penyebabnya sehingga sangat penting untuk mempelajari faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi, baik sebagai faktor risiko yang dapat dikontrol maupun yang tidak dapat dikontrol. Kenaikan tekanan darah ada hubungannya dengan konsumsi alkohol5 . Fakta ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa konsumsi alkohol setiap hari mampu meningkatkan tekanan darah sebesar 1,21 mmHg (sistolik) dan 0,55 mmHg (diastolik) untuk rata-rata satu kali minum per hari6. Disamping itu peneliti lain juga mengemukakan bahwa kejadian hipertensi juga dipengaruhi oleh pola makan yang salah7. Berdasarkan data riskesdas yang dikaitkan dengan prevalensi minum alkohol selama 12 bulan terakhir, Kalimantan Tengah bersama 15 provinsi lainnya termasuk dalam kategori di atas angka prevalensi nasional1. Salah satu minuman tradisional yang dibuat dan dikonsumsi secara turun temurun oleh masyarakat suku dayak di Provinsi Kalimantan Tengah (Baram) ditengarai mempunyai andil terhadap tingginya prevalensi tersebut. Masyarakat suku dayak memiliki ragam atau variasi cara pembuatan minuman 49
tradisional yang diketahui berkadar alkohol tinggi (5 – 20%) dengan nama “Baram”. Keberadaan baram sendiri dalam adat budaya suku dayak merupakan minuman khas tradisional yang selalu ada dalam setiap kegiatan khususnya dalam acara ritual seperti tiwah, sambut pengantin, basarah, balian, patahu lewu dan acara penyambutan tamu yang datang ke daerah tersebut seperti pejabat tinggi pemerintah daerah. Ada juga tradisi besomok yaitu tradisi bertarung minum baram. Berbagai kegiatan tradisi ini terkadang menjadi alasan dalam mengkonsumsi baram secara berlebihan dan tentu saja sangat merugikan kesehatan. Dengan demikian menjadi menarik untuk dilakukan penelitian mengenai pola makan dan perilaku mengkonsumsi baram pada masyarakat suku dayak katingan di Kabupaten Katingan. Metologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba Kabupaten Katingan. Lokasinya berjarak kurang lebih 120 km dari Kota Palangka Raya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini didesain dengan rancangan cross sectional dimana seluruh data atau variabel penelitian diambil dalam satu waktu. Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan, maka instrumen penelitian terdiri dari tensi meter (mmHg) dan kuesioner. Tensi meter digunakan untuk mengukur tekanan darah responden. Sedangkan kuesioner merupakan kumpulan pertanyaan yang berisi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat di desa samba danum kecamatan tumbang samba kabupaten katingan. Sedangkan sampel diambil secara purposive sampling dengan kriteria suku dayak asli dan telah menetap di lokasi penelitian selama minimal 10 tahun. Berdasarkan hal tersebut diperoleh sampel sebanyak 52 orang.
Data tekanan darah diukur dengan tensi meter dengan satuan mmHg. Tekanan darah sistolik dan diastolik merupakan indikator pada level mana tekanan darah seseorang. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Sedangkan data karakteristik responden diketahui melalui kuesioner sebagai panduan wawancara yang dilakukan interviewer. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan persentase, sedangkan analisis bivariat yang digunakan adalah fisher exact untuk mengetahui hubungan diantara variabel penelitian.
dalam seminggu dapat dilihat pada Tabel berikut. Kejadian Hipertensi Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengukuran tekanan darah responden, diketahui bahwa hampir seluruhnya memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik di atas normal. Banyak diantaranya dapat digolongkan ke dalam kategori prehipertensi. Tabel di bawah ini dapat menjelaskan lebih rinci tentang prevalensi prehipertensi dan hipertensi dari responden. Hampir 100 % penduduk di desa samba danum memiliki tekanan darah melebihi nilai normal. Tiga puluh empat koma enam persen dapat dikategorikan ke dalam pre-hipertensi dan 61,5% sudah dalam kondisi hipertensi.
Hasil Penelitian Karakteristik Responden Jumlah sampel yang bersedia menjadi responden dan masuk dalam kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini berjumlah 52 orang. Pengambilan data dilakukan secara individual dengan di awali pengukuran tekanan darah dan kemudian diwawancara dengan panduan kuesioner. Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui distribusi frekuensi karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tabel 1 menjelaskan karakteriktik responden tersebut. Tekanan Darah Pengukuran tekanan darah dilakukan oleh tenaga profesional sebelum wawancara. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut ratarata tekanan darah responden 142 mmHg / 99 mmHg. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut. Konsumsi Baram Konsumsi baram dapat dideteksi dari informasi yang diberikan oleh responden pada saat wawancara. Kuesioner memberikan informasi tentang konsumsi baram, lama konsumsi, jumlah yang dikonsumsi serta frekuensi konsumsi baram
50
Perlu bakat dan keterampilan khusus serta ketelatenan untuk menghasilkan baram yang nikmat, karena pembuatannya melalui banyak proses peracikan berbagai macam bahan dan penakaran yang pas. Resep dan keterampilan membuat baram ini diwariskan secara turun temurun, kebanyakan dilakukan oleh kaum perempuan. Semakin lama disimpan, maka kadar alkohol baram akan semakin tinggi dan memabukkan. Baram pada umumnya memiliki kadar alkohol di atas 10% - 20%, hasil dipendam selama seminggu lebih, dan rasa baram akan manis. Kadar alkohol baram dapat diukur dari bau dan kejernihannya. Baram yang berbau keras artinya memiliki kadar alkohol yang tinggi. Baram juga, semakin bening dan jernih, maka semakin tinggilah kadar alkoholnya, bisa mencapai 80% jika dipendam selama berbulan-bulan hingga setahun. Baram yang terlihat agak keruh kadar alkoholnya rendah dan rasanya agak masam. Di Kalimantan Tengah dan sekitarnya, selain dalam ritual adat, umumnya baram dapat ditemukan di pasar tradisional dan toko
Hubungan Konsumsi Baram Dengan Kejadian Hipertensi Keterpaparan seseorang dengan minuman beralkohol secara teoritis berkaitan erat dengan kejadian hipertensi. Baram merupakan minuman khas suku dayak dengan kadar alkohol 5 – 20 % sudah sepatutnya dicurigai sebagai pemicu terjadinya hipertensi. Tabel di bawah ini menunjukkan hubungan konsumsi baram dengan kejadian hipertensi di desa samba danum. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi baram, frekuensi minum dan takaran minum dengan kejadian hipertensi (p value < 0,05). Pembahasan Tidak diketahui dengan pasti mulai dari kapan orang Dayak mengenal teknik fermentasi dan penyulingan baram ini, yang jelas itu telah menjadi tradisi selama beratusratus tahun karena baram digunakan dalam ritual sebagai sesaji untuk para roh leluhur. 51
minuman keras. Namun biasanya untuk mendapatkan baram yang enak dan murah, dapat dicari di rumah-rumah warga yang memang memproduksi baram secara industri rumahtangga9. Tingginya kejadian hipertensi pada masyarakat suku dayak memiliki beberapa dugaan jawaban atas kejadian tersebut. Selai faktor mungkin karena faktor keturunan, faktor lingkungan seperti kebiasan mengkonsumsi baram (minuman khas dayak dengan kandungan alkohol yang tinggi) merupakan salah satu alasan yang dapat menjawab pertanyaan di atas. Teori menjelaskan bahwa pada beberapa populasi, konsumsi alkohol selalu berkaitan dengan hipertensi. Efek akut dan kronis dari alkohol dapat meningkatkan tekanan darah. Peminum harian ternyata mempunyai tingkat tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan peminum sekali seminggu, berapapun jumlah total yang diminum setiap minggunya2. Penggunaan alkohol secara kronis meningkatkan tekanan darah. Pengaruhnya lebih banyak pada sistolik. Secara akut maupun kronis alkohol menurunkan kontraktilitas miokardium. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pengaruh alkohol terhadap pembuluh darah bisa vasokonstriktif maupun bisa vasodilatatif, tergantung pada pembuluh darah yang mana, tetapi pada pembuluh darah otot polos bersifat dilatatif. Pengguna alkohol yang sedang dan berat, dapat meningkatkan sistolik maupun diastolik
sebanyak 5-10 mmHg. Secara akut, alkohol tidak konsisten pengaruhnya terhadap tekanan darah. Pada putus alkohol, tekanan darah meningkat, lalu turun kembali sampai pada keadaan semula. Renin, aldosteron, dan katekolamin meningkat sesudah minum alkohol dan pada waktu putus alkohol. Pada penelitian epidemiologi, naiknya tekanan darah tampaknya disebabkan oleh aktivasi susunan saraf simpatis dan sistem reninangiotensin-aldosteron pada waktu putus alkohol8. Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah7. Hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan beberapa hasil penelitian serupa. Secara kuantitatif minuman keras yang diminum sedikitnya dua kali per hari meningkatkan tekanan darah sistolik kira-kira 1,0 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 0,5 mmHg per satu kali minum10. Peminum harian ternyata mempunyai tekanan darah sistolik lebih tinggi 6,6 mmH dan tekanan darah diastolik 4,7 mmHg dibandingkan dengan peminum sekali seminggu tanpa memperhatikan jumlah total yang diminum setiap minggunya10.
52
Kesimpulan Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi baram, frekuensi minum dan takaran minum dengan kejadian hipertensi di desa samba danum kecamatan tumbang samba kabupaten katingan.
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010. 2. Kaplan, N.M. Clinical Hypertension. Sixth edition. Baltimore: Wiliam &Wilkins. 1994. 3. Chen,L., Smith,G.D., Harbord, R.M. & Lewis, S.J. Alcohol Intake and Blood Pressure: A Systematic Review Implementing a Mendelian Randomization Approach.JplosMedicine. 5(3):461471.2008 4. Russel,M.L., Frone, M.R., & Welte,J.W. Alcohol Drinking Patterns and Blood Pressure. American Journal Public Health. 81(4):457-457. 1991. 5. Saraswati, S. Diet bagi Penderita Penyakit Hipertensi. Dalam Diet Sehat untuk Penyakit Asam Urat, Diabetes, Hipertensi, dan Stroke. Jogyakarta: A-plus Books.Hal 87-129. 2009. 6. Bustan,M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta. 2007. 7. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Dep.Kes RI. 2006. 8. Joewana, S. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif.Jakarta:EGC. 2005. 9. Gunawan. Cara Pembuatan Tuak Khas Dayak. 2007. 10.Padmawinata, K. Pengendalian Hipertensi. Laporan Komisi Pakar WHO. Bandung: Penerbit ITB. 2001.
53
PENGARUH PEMBERIAN REGIMEN AIR SUSU IBU PADA PERAWATAN TALI PUSAT TERHADAP WAKTU PELEPASAN TALI PUSAT Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Abstrak Puskesmas Pahandut Palangka Raya, menggunakan perawatan tali pusat kering tanpa antimikrobial, tanpa alkohol dan belum menggunakan ASI. Penelitian mengetahui perbedaan rerata waktu pelepasan tali pusat antara perawatan tali pusat dengan menggunakan regimen ASI dan perawatan kering. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen. Populasi penelitian ini bayi baru lahir normal. Rerata waktu lepas tali pusat dengan menggunakan regimen ASI 90,06 jam, tanpa menggunakan regimen 121,16 jam (p = 0,000). Diameter tali pusat berpengaruh terhadap waktu lepas tali pusat. Kata kunci: tali pusat, perawatan, air susu ibu, perawatan kering, waktu pelepasan.
Abstract Puskesmas Pahandut of Palangka Raya used dry umbical cord care without antimicrobials, no alcohol and not using the breast milk yet. Purpose of the study was to know the average time difference of the umbilical cord separation between umbilical cord care with breast milk and dry care. The experimntal design used in this study. The population was normal newborn. The average time of umbilical cord separation using breast milk regimen was 90.06 h, without regimen was 121.16 h (p = 0.000). Diameter of umbilical cord effected the time of umbilical cord separation. Keywords: umbilical cord, care, breast milk, dry care, time of separation.
54
Pendahuluan Tali pusat adalah tali penghubung yang memanjang dari umbilikus sampai ke permukaan fetal plasenta. Umumnya tali pusat lepas saat bayi berumur antara 6-7 hari, tetapi lepasnya tali pusat dapat pula terjadi dalam 2 minggu setelah lahir.(1) Sisa pemotongan tali pusat akan membentuk luka dan memungkinkan segala bentuk bakteri dan kuman berkoloni dan hidup didalamnya.(2) Bakteri yang berada dalam tali pusat dapat menyebabkan infeksi lokal pada tali pusat, maupun infeksi sistemik atau sepsis neonatorum.(3) Perempuan di KwaZulu-Natal, Kenya telah menggunakan ASI (kolostrum) untuk perawatan tali pusat bayi baru lahir.(4) Perawatan tali pusat di Rumah Bersalin Sakina Idaman Yogyakarta melakukan perawatan tali pusat dengan alkohol dan pemberian ASI.(5) Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat diketahui bahwa kelompok bayi yang mendapat perawatan tali pusat dengan cara kering terbuka mempunyai waktu pelepasan tali pusat lebih pendek dibanding kelompok yang mendapat perawatan tali pusat dengan menggunakan alkohol.(6) Penggunaan povidone-iodine dapat menimbulkan efek samping karena diabsorpsi oleh kulit dan berkaitan dengan terjadinya transien hipotiroidisme yang berbahaya untuk fungsi hormon tiroid. Alkohol juga tidak lagi dianjurkan untuk merawat tali pusat karena dapat mengiritasi kulit dan menghambat pelepasan tali pusat. WHO menyarankan agar penelitian diarahkan pada penggunaan zat pengering tradisional seperti air susu ibu atau kolostrum.(4) Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan regimen untuk perawatan tali pusat masih menjadi perdebatan.Di Rumah Sakit Dosis dan Puskesmas Palangka Raya, menggunakan perawatan tali pusat secara kering tanpa antimikrobial dan tanpa alkohol dan belum ada yang menggunakan ASI. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektifitas penggunaan pengering tradisional air susu ibu
terhadap waktu pelepasan tali pusat. Penggunaan ASI sebagai perawatan tali pusat di Indonesia masih belum banyak digunakan, padahal ASI memiliki keunggulan digunakan sebagai pengering tali pusat karena steril, mengandung antimikroba, tidak ada efek samping pada bayi, murah dan mudah didapat. Metode Penelitian Lokasi dalam penelitian ini yaitu Kecamatan Pahandut di kota Palangka Raya. Adapun dasar pemilihan tempat ini karena jumlah persalinannya cukup banyak. Jumlah persalinan tahun 2010 di Kecamatan Pahandut 1.456, rata-rata perbulan 122 orang.(7, 8) Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen, dimana penelitian ini ada perlakuan pemberian air susu ibu saat perwatan tali pusat pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol perawatan tali pusat dilakukan tanpa menggunakan regimen. Adapun rancangan penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut. Kelompok Intervensi
Perawatan tali pusat dengan regimen ASI
Kelompok Kontrol
Perawatan tali pusat tanpa regimen
Waktu pelepa san tali pusat
Gambar 1. Rancangan Penelitian
Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen penelitian yang terdiri dari:Kuesioner penelitian digunakan untuk mengumpulkan data perawatan tali pusat termasuk data variabel bebas yaitu menggunakan ASI atau tidak menggunakan ASI, pengumpulan data demografi, identitas ibu, dan identitas bayi. Lembar Obervasi untuk mengetahui pemantauan perawatan tali pusat, kepatuhan pada ketentuan penelitian dan waktu pelepasan tali pusat. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di Puskesmas Pahandut yang memerlukan
55
perawatan tali pusat dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu: Bayi baru lahir cukup bulan (≥ 37 minggu kehamilan), lahir spontan, berat lahir antara 2500-4000 gram, Ibu imunisasi TT 2 kali, dan mendapat persetujuan orang tua. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu terjadi infeksi pada tali pusat, tidak merawat tali pusat sesuai
petunjuk, bayi menderita penyakit lain, perawatan tali pusat diberikan obat-obatan yang lain. Besar sampel menggunakan rumus beda rerata dari Lemeshow et al. Dengan power 80 %, α = 0,05, uji satu arah, maka jumlah sampel yang dibutuhkan n1= 31 dan n2= 31,(9). Bagan penempatan subjek penelitian dapat dilihat sebagai berikut
Kriteria Inklusi Informed consent ( N = 62) Kriteria Eksklusi Menolak berpartisipasi Kelompok Perlakuan (n = 31)
Kelompok Kontrol (n = 31) Berhenti (n =0 ) Pindah alamat (n =0 ) Drop out (n =0 )
Berhenti (n =0 ) Pindah alamat (n =0 ) Drop out (n =0 ) Follow up (n =31 )
Follow up (n = 31)
Gambar 2. Bagan Penempatan Subjek Penelitian
Pengumpulan data dibantu oleh bidanbidan yang bertugas di wilayah kerja Puskesmas Pahandut baik di Puskesmas Induk maupun di Puskesmas Pembantu. Sebelum pengambilan data, dilakukan sosialisai terlebih dahulu bagi bidan-bidan di wilayah kerja Puskesmas Pahandut untuk menyamakan persepsi dan mengajarkan bagaimana cara pengumpukan data dan perlakuan bagi kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta bagaimana menilai perkembangan perawatan tali pusat, kepatuhan terhadap intervensi dan waktu pelepasan tali pusat. Setiap ibu yang anaknya diikutkan dalam penelitian diberikan penjelasan dan diberikan kesempatan untuk bertanya. Apabila ibu bersedia anaknya diikutkan dalam penelitian, ibu menandatangi persetujan atau inform consent. Semua responden yang memenuhi kriteria inklusi
diikutkan dalam penelitian. Ibu diminta memilih sebuah amplop yang berisi kuesioner penelitian sekaligus untuk menentukan apakah masuk dalam kelompok intervensi atau dalam kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan saat hari pertama postpartum, diobservasi setiap hari oleh bidan Puskesmas sampai tali pusat lepas. Perawatan tali pusat dapat dilakukan oleh orang tua bayi setelah diajarkan cara perawatan tali pusat atau dilakukan petugas kesehatan di Puskesmas Pahandut. Metoda analisa data ini menggunakan fasilitas komputer dengan program Stata. Analisis univariabel dilakukan untuk mengetahui homogenitas data. berdasarkan Analisis bivaribel dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu regimen air susu ibu dan variabel luar yaitu imunisasi TT dan diameter tali pusat
56
terhadap variabel terikat yaitu waktu lepasnya tali pusat. Uji statistk yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat adalah uji independent t test. Uji statistik untuk melihat hubungan antara variabel luar dan variabel terikat digunakan uji dan uji independent t test. Analisis multivariabel dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu pemberian regimen air susu ibu dan variabel terikat waktu pelepasan tali pusat yang dilihat berdasarkan perubahan variabelvariabel luar yang bermakna pada saat analisis bivariabel. Uji statistik yang digunakan adalah regresi linier.
semua reponden mengeluarkan ASI pada hari postpartum hanya sebesar 19%, kebanyakan keluar ASI pada hari pertama sebanyak 62%, tetapi semua responden sudah mengeluarkan kolostrum pada hari postpartum. Paling lama ASI keluar hari kedua sebanyak 19%. Pada kelompok intervensi, apabila ASI belum keluar maka tali pusat diolesi dengan kolostrum. Semua ibu postpartum sudah mendapat imunisasi TT sewaktu hamil. Tidak ada tanda-tanda infeksi tali pusat pada semua kelompok penelitian. Hasil analisis univariabel yang dilihat dari beberapa variabel didapatkan gambaran karakteristik subjek penelitian baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Tabel 1 menunjukkan karakteristik subjek penelitian pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
Hasil Penelitian Semua sampel telah mengikuti penelitian sampai selesai sesuai aturan yang ditentukan. Berdasarkan pendataan kuesioner, tidak
Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Kelompok Karakteristik n
Intervensi % Rerata
Pendidikan Ibu: SD/ Sederajat 6 19,25 SMP/ Sederajat 8 24,19 SMA/Sederajat 10 32,26 PT/Sederajat 7 22,58 Pekerjaan Ibu Swasta 7 22,58 PNS 8 25,51 Ibu Raumah Tangga 16 51,61 Jenis Kelamin Laki-laki 12 28,71 Perempuan 19 61,29 Perawat Tali Pusat Petugas Kesehatan 25 80,65 Bukan Petugas 6 19,25 Kesehatan Usia Ibu Hari Keluarnya ASI Berat Bayi Lahir Panjang Bayi Lahir Diameter Tali Pusat Keterangan: n = jumlah sampel, p = p value,
SD
25,45 5,09 0,98 0,55 3138,71 309,49 49,58 1,52 1,51 0,28 SD = Standar deviasi
Berdasarkan data variabel katagori yang disajikan dalam frekuensi dan persentasi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol dikelahui memiliki nilai p > 0,05. Nilai tersebut menunjukan bahwa vaarian
Kontrol Rerata
p
n
%
SD
7 7 11 6
22,58 22,58 35,48 19,35
0,966
5 9 17
16,12 29,02 54,84
0,810
17 14
54,64 45,16
0,202
25 6
80,65 19,25
1,000 28,68 1,02 3404,83 49,52 1,52
5,19 0,71 265,00 1,46 0,29
0,991 0,121 0,248 0,757 0,645
data antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sama. Gambaran data variabel numerik yang disajikan dalam rerata dan standar deviasi memperlihatkan niai p > 0,05. Nilai ini juga berarti bahwa kelompok
57
keduanya berkisar antara interval 0,20 – 0,399 yang berarti keduanya mempunyai kekuatan hubungan yang lemah. Variabel Perawat tali pusat dan hari keluarnya ASI mempunyai nilai P>0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap waktu lepas tali pusat. Semua variabel yang tidak bermakna tidak diikutkan kembali dalam analisis multivariabel. Analisis multivariabel digunakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas yaitu pemberian regimen ASI terhadap waktu lepas tali pusat dilihat berdasarkan variabel luar yang bermakna pada uji bivariabel yaitu diameter tali pusat. Analisis multivariabel ini menggunakan uji regresi linier karena variabel terikatnya berskala numerik. Analisis multivariabel menggunakan permodelan. Model pertama dibuat dengan memasukkan variabel perlakuan pemberian regimen ASI dan tanpa regimen. Model kedua dibuat dengan memasukkan variabel luar diameter tali pusat.
kontrol dan kelompok intervensi memiliki karakteristik yang sama atau homogen Tabel 2. memperlihatkan hasil uji analisis independent t test equal variances. Hasil uji memperlihatkan nilai p < 0,05 dan nilai interval kepercayaan tidak terdapat angka 0. Kesimpulan hasil berarti terdapat perbedaan rerata waktu pelepasan tali pusat yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi dengan selisih perbedaan sebesar 31,07 jam. Waktu pelepasan tali pusat lebih cepat pada kelompok intervensi sebesar 25,64% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tabel 3. memperlihatkan hasil uji bivariabel antara variabel luar dengan waktu lepas tali pusat. Hasil uji diameter tali pusat terhadap waktu lepas tali pusat memperlihatkan nilai p < 0,05. Kesimpulan hasil berarti korelasi antara diameter tali pusat dan waktu pelepasan tali pusat bermakna. Arah korelasi keduanya mempunyai arah korelasi positif berarti semakin besar diameter tali pusat semakin lama waktu lepas tali pusatnya. Nilai r
Tabel 2 Analisis independent t test equal variances Beda Perubahan Waktu Lapas Tali Pusat pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Kelompok
Rerata
Standar Deviasi (SD)
Beda Rerata CI
Tanpa Regimen (Kontrol) 121,16 3,28 31,07 (22,42 – 39,77) Regimen ASI (Intervensi) 90,06 2,84 Keterangan : SD = standar deviasi, CI = Confidence Interval
Statistik t
p
7,17
0,0000
Tabel 3 Pengaruh Variabel Luar Terhadap Waktu Lepas Tali Pusat Variabel Perawat tali pusat Hari keluarnya ASI Diameter tali pusat r = kekuatan korelasi t = t hitng
Waktu Lepas Tali Pusat r T -0,5213 -0,0861 0,2832 -
Tabel 4. memperlihatkan hasil analisis dua macam permodelan. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua permodelan
p 0,6041 0,5059 0,0257
memiliki nilai p < 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna antara perlakuan pemberian regimen ASI dengan waktu pelepasan tali
58
pusat baik sebelum maupun sesudah dikontrol dengan variabel luar yaitu diameter tali pusat. Berdasarkan nilai koefisien regresi diketahui bahwa pemberian regimen ASI selama perawatan tali pusat dapat mempercepat watku pelepasan tali pusat dengan beda waktu sebesar 31,097 jam lebih cepat pada kelompok intervensi apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Berdasarkan nilai adjusted r square yang mempunyai arti berapa besaar nilai persen yang diperoleh mampu menjelaskan besaran prosuksi ASI. Pada dua model diatas, model kedua adalah model terbaik yang dipilih karena mampu menjelaskan waktu pelepasan tali pusat sebesar 53%, sisanya sebesar 47%
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Model kedua yang dipilih yaitu pengaruh pemberian ASI pada perawatan tali pusat terhadap waktu pelepasan tali pusat dengan dikontrol variabel luar yaitu diameter tali pusat bayi. Nilai p = 0,0000 menindikasikan poin dimana garis dapat melewati sumbu y (intercept point waktu pelepasan tali pusat). Sedangkan nilai 30,668 dan 21,117 adalah koefisien regresi atau slope pada garis regresi, untuk menjelaskan waktu pelepasan tali pusat. Aplikasi dari persamaan yang diperoleh untuk mempresiksi waktu pelepasan tali pusat diformulasikan dalam persamaan regresi linier.
Tabel 4. Analisis Regresi Linier Pengaruh Pemberian ASI pada Perawatan Tali Pusat Terhadap Waktu Lepas Tali Pusat dengan dikontrol Variabel Luar Model.1 Model.2 Koefisien Koefisien Variabel CI CI ρ value ρ value -31,097 -30,688 Kelompok Perlakuan (-39,772) - (-22,421) (-38,877) – (-22,499) 0,000 0,000 21,117 Diameter tali pusat 6,597 – 35,638 0,000 Adjusted R² 0,453 0,529 Constanta 121,161 89,008 N 62 62
Waktu lepas tali pusat = 89,008 + (-30,668)(pemberian ASI) + 21,117 ( diameter tali pusat)
Dengan model persamaan tersebut maka dapat diperkirakan waktu lepas tali pusat dengan menggunakan variabel pemberian ASI dan diameter tali pusat. Untuk melihat kualitas persamaan hasil analisis regresi linier adalah dengan melihat nilai uji ANOVA (nilai F). Suatu persamaan layak digunakan bila nilai F pada uji ANOVA 0,05. Pada uji ANOVA hasil penelitian ini, nilai F adalah sebesar 0,0000
(< 0,05). Dengan demikian, rumus ya;ng diformulsikan layak untuk digunakan. Pembahasan Penggunaan ASI kolostrum atau ASI matur sebagai regimen yang tepat untuk mempercepat pelepasan tali pusat karena memeliliki keunggulan, yang pertama adalah berkhasiat menyembuhkan luka, mencegah infeksi dan menyembuhkan infeksi, kedua merupakan regimen yang sangat cocok bagi
59
bayi, dan tidak menyebabkan efek samping bagi bayi. ASI kolostrum mempunyai lima macam immunoglobulin yaitu IgA, IgM, IgO, IgE dan IgD. IgA memiliki konsentrasi paling tinggi dan memiliki peran penting dalam fungsi biologis. ASI kolostrum mengandung kadar protein yang tinggi terutama gama globulin sehingga dapat memberikan daya perlindungan tubuh terhadap infeksi, mengandung faktor bioaktif dan mengandung zat antibodi lebih banyak dari ASI matur karena mengandung trypsin inhibitor sehingga mampu melindungi tubuh bayi dari penyakit infeksi.(10) Protein berfungsi sebagai pembentuk ikatan essensial tubuh, mengatur keseimbangan cairan tubuh, memeliharan netralisasi tubuh dengan bereaksi terhadap asam basa agar PH tubuh seimbang, membentuk antibodi, serta memegang peranan penting dalam mengangkut zat gizi kedalam jaringan. Protein yang terdapat dalam ASI akan berikatan dengan protein dalam tali pusat sehingga membentuk raksi imun dan terjadi proses apoptosis (proses kematian).(10) Peran protein ASI yang bereaksi dengan protein tali pusat sehingga terjadi proses apoptosis akan mempercepat pengeringan jaringan potongan tali pusat dan tali pusat cepat mengerut dan menjadi hitam atau mumifikasi tali pusat. Pembentukan reaksi imun akan menjaga agar tidak terjadi infeksi yang menyebabkan tali pusat basah dan akan memperlambat lepasnya tali pusat. Zat gizi yang ada pada ASI terutama protein ASI kolostrum sebesar 4,1g% dan ASI matur 1,6 g% sebagai pembentuk ikatan esensial tubuh akan mempercepat proses penyembuhan luka pada dasar tali pusat sehingga mempercepat pelepasan tali pusat.(11) Keunggulan lain dari ASI adalah mengandung leukosit yang berperan dalam melindungi tubuh dari infeksi dan membantu proses penyembuhan. Sel darah putih yang termasuk sebagai antiinfeksi meliputi: neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan makrofag, sedangkan limposit berfungsi
sebagai respon imun. Leukosit polymorphonukklear mengandung substansi biologik aktif yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi. Leukosit polimorfonuklear (PMN) akan menembus dinding kapiler sehingga terjadi fagositosis. Leukosit dalam ASI terdiri atas 90% makrofag dan 10% limposit (T dan B). Makrofag berfungsi membunuh dan memfagositosis mikroorganisme, komplemen (C3 dan C4), laktoferin dan lisosim. Limfosit T dan B sebagai sintesis antibodi. Angka leukosit pada kolostrum kira-kira 5000/ml, setara dengan angka leukosit darah tepi.(12) Netrofil adalah sel darah putih yang pertama kali berada di daerah yang mengalami peradangan Eosinofil befungsi protektif dengan mengakhiri respon peradangan. Basofil bersirkulasi dalam aliran darah. Tubuh yang terdapat luka maupun infeksi akan menyebabkan basofil mengeluarkan histamine, bradiknin, dan serotonin. Sel ini terlibat dalam pembentukan respon alergik.(13) Limfosit terdiri dari dua sel yaitu sel B dan sel T. Sel B berfungsi sebagai imunitas humoral, respon immunoglobulin yang dapat mengenali antigen asing dan dapat berkembang sebagai plasma sel pembentuk antibodi. Sel T befungsi sebagai penolong sel B dalam membentuk antibodi, memiliki reseptor khusus terhadap antigen dan berperan dalam menekan respon imun. Secara fisiologis saat terdapat benda asing dalam tubuh maka sel B atau sel T akan diaktifkan dan membuat respon terhadap makrofag untuk melawan benda asing, akibatnya sel B dan T akan berproliferasi dengan makrofag dan terjadi pembelahan secara mitosis. Peristiwa ini membuat sel plasma memproduksi antibodi dan merangsang limfosit T untuk berinteraksi dengan benda asing. Antibodi ini akan membentuk immunoglobulin spesifik yang berespon terhadap antigen.(13) Bahan-bahan yang terdapat pada ASI yang berperan sebagai faktor anti microbaketrial yaitu antibodi terhadap
60
bakteri dan virus, cell (phagocyle, granulocyle, macrophag, lymhocycle type T, lactobacillus, Bifidus), Enzim (lysozime, lactoperoxidase), protein (lactoferin, B12 ginding protein), Faktor resisten terhadap staphylococcus, dan complecement ( C3 dan C4). Laktosa ASI akan dipermentasi menjadi asam laktat yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen, merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menghasilkan asam organik dan mensintesa beberapa jenis vitamin.(12) Penggunaan regimen antiseptik povidone-iodine dapat diabsorbsi oleh kulit bayi dan menyebabkan transien hipotiroidisme yang berbahaya untuk fungsi hormon tiroid. Penggunaan regimen alkohol untuk perawatan tali pusat dapat mengiritasi kulit dan alkohol mudah menguap sehingga tinggallah kain kasa yang basah yang memperlambat pengeringan dan pelepasan plasenta.(4) ASI sangat dianjurkan untuk diberikan kepada bayi sejak lahir sampai usia enam bulan dan dianjurkan sampai anak usia dua tahun. ASI adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai utnuk pertumbuhan dan perkembangan. Semua ibu melahirkan dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusive dengan mengacu pada 10 langkah keberhasilan menyusui.(14) Alasan pemberian ASI karena banyak manfaatnya yaitu merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, praktis, ekonomis. Mudah dicerna dan memiliki komposisi zat gizi yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi. ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin yang dapat menyebabkan alergi pada bayi.(11) Penggunaan ASI sebagai obat topikal pada perawatan tali pusat tentu dapat menimbulkan reaksi dapat diabsorbsi oleh tubuh bayi. Karena ASI sangat dibutuhkan oleh bayi dan sangat besar manfaatnya bagi bayi sehingga hal ini tidak menjadi masalah bagi bayi bahkan menjadi sangat berguna.
ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin yang dapat menyebabkan alergi, selain itu ASI tidak menyebabkan iritasi kulit sehingga tidak mengganggu proses percepatan penyembuhan luka. ASI merupakan bahan alamiah pembentuk ikatan essensial tubuh, mengatur keseimbangan cairan tubuh, memeliharan netralisasi tubuh dengan bereaksi terhadap asam basa agar PH tubuh seimbang, serta memegang peranan penting dalam mengangkut zat gizi kedalam jaringan sehingga membantu mempercepat penyembuhan luka pada dasar tali pusat dan mempercepat pelepasan tali pusat. Kesimpulan Dan Saran Penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa waktu pelepasan tali pusat lebih cepat pada perawatan tali pusat dengan menggunakan ASI dibandingkan dengan perawatan tali pusat dengan cara kering tanpa menggunakan apaapa. Diameter tali pusat berkorelasi terhadap waktu pelepasan tali pusat, arah korelasi positif yang berarti semakin besar diameter tali pusat semakin lama waktu pelepasan tali pusat. Penelitian ini perlu dikembangkan tidak hanya pada bayi normal tetapi juga pada bayi dengan berat lahir rendah, bayi tidak cukup bulan maupun bayi lain yang bermasalah/ berisiko. Perlu dipertimbangkan penggunaan regimen ASI pada perawatan tali pusat. Perlu sosialisasi hasil penelitian agar bisa dipergunakan masyarakat di Kalimantan tengah.Perlu dukungan dari instansi yang terkait seperti rumah sakit umum, rumah sakit bersalin, puskesmas maupun praktik bidan swasta untuk menerapkan perawatan tali pusat dengan menggunakan ASI.
Kepustakaan 1.
61
Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NP. The Umbilical Cord in Neonates Pediatr Infect Dis J. 2001;444(17):129-30.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
Page LA, Percival P, Kitzinger S. The New Midwifery Science and Sensitivity in Practice. London: Churchill Living Stone; 2000. Gallagher PG, Shah SS. Omphalitis. Pediatr Surg Int. 2002;18(8):413-16. WHO. Maternal and Newborn Health Safe Matherhood-care of the Umbilical Cord: a review of evidence: http://www.who.int; 1998. Sumaryani S. Perbedaan Waktu Pelepasan Tali Pusat dan Kejadian Omphalitis pada Waktu Perawatan Tali Pusat dengan ASI dan Alkohol 70% 2006. Evens K, George J, Angst D, Schweig L. Does Umbilical Cord Care in Preterm Infant Influence Cord Bacterial Colonization of Detachment. JPerinatol. 2004;24(2):100-4. BPS. Kalimantan Tengah Dalam Angka. Palangka Raya: BPS Kalimantan Tengah; 2008. Dinkes. Kota Palangka Raya Dalam Angka 2009. Palangka Raya: Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya; 2009.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
62
Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK, editors. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Pertama ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1997. Lawrence RA, Lawrence RM. Nutrition in Pediatrics; Approach to Breastfeeding. 4 ed. 4, editor. Canada: BC Decker Inc; 2008. Roesli U. ASI Eksklusif. 6 ed. 1, editor. Jakarta: Wisma Hijau; 2009. Suradi R, Kristina H, Sidi LPS, Masuara S. Bahan Bacaan Manajemen Laktasi. 2 ed. Jakarta: Program Manajeman Laktasi Perkumpulan Perinatologi Indonesia.; 2004. Blacburn ST, Loper DL. Maternal, Fetal and Neonatal Physiology, a Clinical Prospective. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 450/Menkes/Sk/Iv/2004 Tentang Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Secara Eksklusif Pada Bayi Di Indonesia [database on the Internet]2004.
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan. 2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang ditujukan kepada Forum Kesehatan, belum dipublikasikan di tempat lain. 3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan publikasi dan ditandatangani oleh penulisa. 4. Komponen naskah: Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf dan spasi. Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman pertama. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian. Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, prosedur analisa data. Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan, bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir. Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat. Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas. Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada. 5. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti “dkk (et al)”. Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar, selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris bawah dan ditebalkan hurufnya. Artikel Jurnal Penulis Individu: Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T, Villalpando S. Impact of the Mexican Program for Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth and Anemia in infants and young children a randomized effectiveness study. JAMA. 2004; 291(21):2463-70. Artikel Jurnal Penulis Organisasi Diabetes Prevention Program Research Group. Hypertension, insulin, and prosulin in participants with impaired glucose tolerance. Hypertension. 2002;40(5):679-86.
Buku yang ditulis Individu: Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource Management: Present and Future Challenges. St. Louis: Mosby;1998. Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit: Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Departement of Clinical Nursing. Compendium of nursing research and practice dvelopment, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001. Bab dalam Buku: Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262. Artikel Koran: Tynan T. Medical improvements lower homicide rate: study sees drop in assault rate. The Washington Post. 2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4). CD-ROM: Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual Health [CD ROM], London: Reproductive Health Matters;2005. Artikel Jurnal di Internet: Griffith, AI. Cordinating Family and School: Mothering for Schooling, Education Policy Analysis Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ; 102 (3): [about 3 p.]. Available from: http://olam.ed.asu.edu/epaa/. Buku di Internet: Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.edu/books/0309074029/html/. Situs Internet: Canadian Cancer Society [homepage on the internet]. Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12; cited 2006 Oct 17]. Available from: http://www.cancer.ca/. 6. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word, dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen tertulis. 7. Naskah harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan tertulis. 8. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal ‘Forum Kesehatan’, Perpusatakaan Gedung B Lantai 2 Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George Obos No.32 Palangka Raya. Telp/Fax: 0536-3230730 Atau email :
[email protected].
UNIT PPM