Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi
Volume 1, Nomor 1, Januari -Juni 2017 http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/cjik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
ISLAM DAN MEDIATISASI AGAMA Nisa Nur Aulia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected] ABSTRACT The media has become an important resource, the media provide information on issues of religion, religious information and experience to be formed in accordance with the demands of media genres that are popular. As the cultural and social environment, the media has taken over many of the functions of cultural and social aspects of the institutionalized religions and provide spiritual guidance, moral orientation, verses ritual and a sense of community and belonging. This paper discusses the relationship between mediatisation and secularization at three levels, namely: people, organizations and individuals. At the community level, mediatisation is an integral part of the secularization. At the level of organizations and individuals, mediatisation may well encourage the practice and beliefs of secular and religious imagination usually invite more subjective nature. Keywords: Mediatisation, Islam, Religious Information ABSTRAK Media telah menjadi sumber penting, media memberikan informasi tentang isu-isu agama, informasi keagamaan dan pengalaman menjadi dibentuk sesuai dengan tuntutan dari genre media yang sedang populer. Sebagai lingkungan budaya dan sosial, media telah mengambil alih banyak fungsi budaya dan sosial dari agama-agama yang dilembagakan dan memberikan bimbingan spiritual, orientasi moral, ayat-ayat ritual dan rasa masyarakat dan milik. Tulisan ini membahas tentang hubungan antara mediatisation dan sekularisasi pada tiga tingkatan, yaitu: masyarakat, organisasi dan individu. Pada tingkat masyarakat, mediatisation merupakan bagian integral dari sekularisasi. Pada tingkat organisasi dan individu, mediatisation mungkin baik mendorong praktik dan keyakinan sekuler dan mengundang imajinasi keagamaan biasanya lebih bersifat subjektif. Kata Kunci : Mediatisasi, Islam, Informasi Keagamaan.
Pendahuluan Agama dan Media dalam satu sisi punya kesamaan yaitu dalam hal mencari kebenaran. Agama mencari kebenaran. Media juga bergerak mencari kebenaran. Bedanya adalah, kalau agama mengklaim dirinya telah menemukan kebenaran, sementara media tidak mengatakan seperti Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
137
Nisa Nur Aulia
itu. Salah satu disiplin media adalah melakukan cek dan ricek serta verifikasi sampai menemukan kebenaran sedekat mungkin. Kebenaran bagi media bersifat relatif. Sementara kebenaran bagi agama bersifat absolut. Agama di Indonesia merupakan bagian yang sangat penting. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis dan spiritual. Terlepas dari keragaman pemaknaan dan claim truth terhadap agama atau skte suatu agama, tetapi satu hal yang mungkin sama dimaknai oleh penganut agama di Indonesia yaitu agama tidak hanya menjadi institusi sosial melainkan juga sebagai relasi antara manusia dengan Tuhannya. Fakta seperti ini membuat isu-isu agama menjadi sangat sensitif, tak terkecuali dalam pemberitaan media. Maka dalam menghadapi situasi seperti ini, media harus merefleksikan kenyataan ini dan menangkap situasinya sehingga relasi agama dan media dapat berlangsung secara harmonis. Media itu penting dalam arti, bagaimana mereka bertugas sebagai cermin masyarakat. Untuk menunjukkan bentuk wajah masyarakat Indonesia itu seperti apa. Tetapi media juga punya misi tertentu. Beberapa media misalnya, punya misi mengajak masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berarti. Apapun ras, etnis, bahasa, agama, dan dari kelompok manapun, setiap warga negara berhak menikmati hidup yang bebas di negara ini. Bebas berekspresi, bebas berorganisasi, dan bebas mempraktekkan ajaran agamanya. Karena jaminan itu tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 (https://islamicculturalcenter.co.id.). Satu-satunya cara agar manusia mampu bertahan adalah dengan menjadi media itu sendiri (being media) (Deuze, 2012). Begitu juga, tidak ada jalan lain bagi agama untuk bisa survive selain menjadi media itu sendiri. Hal ini sesungguhnya bukan hal yang baru, karena pada dasarnya agama adalah media itu sendiri. Pada tataran teologis, agama (yang berwujud doktrin-doktrin ke Tuhanan) membutuhkan media untuk bisa sampai kepada dan dimengerti oleh manusia. Mediatisasi Agama Dalam konteks peradaban manusia saat ini dimana media menjadi hal ‘gaib’ (invisible) sekaligus ada di mana-mana (ubiquitous), sulit dibayangkan melepaskan diri dari media. Media dalam konteks ini mencakup hal-hal yang terlihat jelas seprti handphone, layar televisi, dan
138
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
yang tidak terlihat seperti berbagai transaksi yang dilakukan dalam jaringan Internet. Hal ini berlaku juga bagi agama. Agama tidak bisa lepas dari media. Bahkan, visibilitas agama di media memberikan ‘power’ tersendiri bagi agama (Luis Mauro Sa Martino, 2013). Dan pada akhirnya, media merupakan jalan satu-satunya bagi agama untuk bisa survive saat ini. Menjadi media bagi agama berarti mengembalikan agama kepada "fitrah" aslinya yaitu menjadi media itu sendiri. Dalam tataran praktek, hal ini berarti mengejawantahkan ajaranajaran Islam dalam setiap ruang-ruang media. hanya dengan begitu, agama tidak punah, mampu bertahan di tengah perubahan zaman (kompasiana.com/agama-dan-adalah-media). Teori media telah didominasi oleh dua paradigma utama adalah. Paradigma teori efek media, media dapat menyebabkan perubahan sikap dan perilaku sosial. Studi tentang efek dari propaganda politik dan penelitian ke dalam mungkin konsekuensi dari paparan kekerasan di layar televisi. Paradigma kedua berfokus pada bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan media untuk berbagai keperluan. Yang disebut kegunaan-andgratification Pendekatan (Rosengren, Wenner, dan Palmgreen 1985) merupakan salah satu untai dalam paradigma ini dan telah mempelajari bagaimana spesifik bentuk penggunaan media dapat termotivasi oleh berbagai jenis sosial dan gratifikasi psikologis (misalnya pengalihan, kontak sosial dan prestise) yang orang dapat memperoleh melalui penggunaan media mereka. Dalam paradigma ini telah mempertimbangkan bagaimana penggunaan media tertentu dan interpretasi berbagai jenis teks media memainkan peran penting untuk pembangunan pemirsa 'dari identitas budaya dan rasa koneksi publik (Couldry, Livingstone, dan Markham 2007). Meskipun paradigma pertama terutama mempertimbangkan apa yang media lakukan untuk orang, paradigma kedua ini terutama berkaitan dengan apa yang orang lakukan dengan media. Paradigma pertama secara historis telah berusaha untuk mendokumentasikan kuat efek media, dan paradigma kedua umumnya telah diberikan penonton dengan kekuatan yang cukup untuk mengejar kebutuhan sendiri dan membangun budaya sendiri identitas. Kedua paradigma ini memiliki jasa-jasa mereka dan dapat memberikan wawasan yang berguna. Agama dan media tidak lagi perlu dipertentangkan karena keduanya dalam kondisi saling membutuhkan. Bagi masyarakat modern agama tidak lagi dapat dipelajari secara terpisah dari media paling tidak karena beberapa alasan berikut: Pertama, Bagi kebanyakan orang di masyarakat modern, media telah menjadi sumber utama ide-ide Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
139
Nisa Nur Aulia
keagamaan mereka, apakah mereka menyangkut agama mereka sendiri atau orang lain. Kedua, Media juga telah menjadi sumber utama imajinasi agama. Ketiga, Banyak fungsi sosial agama, terutama di mana menyangkut bangunan dan ritual masyarakat, telah diambil alih oleh media. Menurut Knut Lundby, mediatisasi (mediatisation) adalah proses melalui mana media berkontribusi untuk membentuk perubahan sosial (societal changes) pada masa modern. Mediatisasi adalah “meta-process” yang menentukan modernisasi, individualisasi, globalisasi dan komersialisasi. Media sebagai “social construction of reality.” Selain “mediatisation” dikenal pula dalam studi komunikasi istilah “mediation” merujuk pada peranan yang dimainkan oleh teknologi dan institusi media dalam komunikasi dan interaksi, enabler. Levingstone (2009) menyatakan jika mediasi sudah ada dalam kehidupan manusia, namun aspek skala, wilayah dan intensitasnya membutuhkan analisis mendalam. Seluruh proses transformasi di dalam masyarakat adalah melalui proses mediasi. Schulze (2004) mengidentifikasi empat hal media mengubah interaksi manusia: 1) Media memperluas kemampuan komunikasi manusia, 2) Mediasi mengganti bentuk-bentuk interaksi sosial yang tidak termediasi, 3) Media mendamaikan the amalgamation of activities, dan 4) pengguna media berkecenderungan pada fitur dan karakteristik tekonologi (Hjarvard, Stig, 2011: 119-135). Mediasi mencoba untuk menangkap kekhususan-kekhususan yang `menandai setiap jenis teknologi komunikasi dan manusia yang menggunakannya, pelbagai macam dinamika termasuk the flow of production, sirkulasi, interpretasi atau persepsi dan seterusnya sampai kehidupan manusia. Mediasi kadang dianggap sebagai proses dalam mediatisasi. Mediasi adalah tindakan kongkrit komunikasi melalui perantaraan dalam konteks tertentu. Media menciptakan tantangan sendiri bagi otoritas tradisional yang sudah lama dipegang oleh; posisi dan fungsinya. Mediatisasi menyebabkan hubungan baru, kandungan baru dan penafsiran baru soal posisi dan fungsi agama di atas. Mediasi dan Mediatisasi diperkenalkan dalam kajian media sebelum teknologi digital diaplikasikan dalam storytelling. Definisi kedua konsep ini tumpang tindih dan sering diperdebatkan mana yang lebih tepat untuk mengkaji media bagi masyarakat. Mediasi dianggap memiliki definisi yang lebih netral terkait transmisi atau pertukaran pesan melalui media tanpa berhubungan langsung dengan otonomi media atau pengaruhnya bagi 140
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
masyarakat, sedangkan Mediatisasi lebih memiliki muatan manipulatif dan cenderung digunakan dalam iklan komersial maupun konteks politik. Mediasi menitik beratkan pada media dan bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi melalui media tersebut. Mengkaji terutama transmisi pesan dan aspek semiotik pada media sehingga simbol dalam hubungan antara media sebagai pesan dan penerima pesan dapat dipahami. Mediasi lebih menyorot aspek “teknis” bagaimana komunikasi berlangsung. Mediasi menyelidiki bagaimana media dapat menyampaikan pesan, bagaimana penerima pesan saling memahami simbol-simbol yang dikomunikasikan oleh media tanpa memandang pengaruhnya. Mediatisasi berkaitan dengan pengaruh media terhadap khalayak dan bagaimana kemudian khalayak menjadi sangat bergantung pada media. Mediatisasi berkaitan erat dengan hubungan media dan perubahan sosio-kultural dalam masyarakat. Mediatisasi adalah proses sosial dimana masyarakat menjadi jenuh dan terbanjiri oleh media sehingga media dan masyarakat dianggap tidak lagi dapat dipisahkan. “Mediatization is a social process whereby the society is saturated and inundated by the media to the extent that the media cannot longer be thought of separated from other institutions within the society”- Stig Hjarvard Dengan mediasi dan mediatisasi, kita dapat mengkaji bagaimana masyarakat periklanan dalam televisi mengkonstruksi dan membangun kesadaran palsu melalui digital strorytelling untuk member kesan kuat terhadap produk yang diiklankan. Iklan-iklan berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri. Mediatisation telah muncul sebagai kerangka teori baru untuk meninjau kembali dan membingkai ulang lama, namun pertanyaan mendasar tentang peran dan pengaruh media dalam budaya dan masyarakat. Secara khusus, teori mediatisation telah terbukti bermanfaat untuk analisis dan pembahasan bagaimana media menyebar ke, menjadi terkait dengan, dan mempengaruhi bidang lainnya atau lembaga sosial seperti politik, keluarga dan agama. Di umum, mediatisation menunjukkan proses sosial dan budaya melalui mana lapangan atau lembaga sampai batas tertentu menjadi tergantung pada logika media (Asp 1986; Hjarvard 2008b). Banyak analisis telah menunjukkan, misalnya, bagaimana institusi politik dalam berbagai cara telah diakomodasi dengan tuntutan dari kedua media berita dan hiburan (Stro¨mback 2008) pada waktu yang sama partai politik dan politisi individu membangun keahlian media dan memanfaatkan dari berbagai media interaktif seperti blog, Twitter dan Facebook untuk Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
141
Nisa Nur Aulia
membangun kembali kontak dengan pemilih mereka. Dalam nada yang sama, agama sebagai sosial dan lembaga kebudayaan memiliki berbagai cara menjadi dipengaruhi oleh media (Hjarvard, 2011: 119 — 135). Mediatisation adalah tentang jangka panjang perubahan sosial dan budaya dan karena itu dapat dipertimbangkan setara dengan proses penting lainnya sosial dan budaya transformatif modernitas tinggi, termasuk individualisasi, urbanisasi, globalisasi dan sekularisasi. Ini juga sangat saling tergantung dengan proses ini; misalnya kenaikan dan penyebaran Media komunikasi telah dalam beberapa hal menjadi prasyarat untuk globalisasi budaya dan perdagangan, tetapi melalui putus dari sistem media nasional globalisasi juga telah mengubah cara media diproduksi, didistribusikan dan digunakan. Media mungkin memiliki banyak dan variabel pengaruh agama tergantung pada jenis praktik keagamaan dan keyakinan yang bersangkutan dan di sosial umum dan konteks budaya. Kondisi mediatisasi merupakan kondisi dimana relasi agama dan media terbangun karena adanya mutualisme. Media membingkai dan menghadirkan agama dalam profan ruang-ruang media yang kebanyakan dikomersialisasikan tapi sakralitas dan kesuciannya tergadaikan. Mediatisation mungkin paling terlihat sangat jelas dalam praktik agama di media massa atau internet. Dalam internet, lembaga keagamaan tradisional membangun kehadiran agama secara online yang menawarkan lingkungan agama interaktif di mana pengalaman individu dan pemahaman agama bisa ditukar. Namun, teori mediatisation menempati posisi ketiga dan skeptis paradigma ini, karena keduanya membuat konsep media sebagai sesuatu yang terpisah dari budaya dan masyarakat. Paradigma efek menunjukkan bahwa media merupakan faktor independen yang dapat membawa perubahan baik masyarakat atau individu aktor. Paradigma kedua sering melibatkan pandangan voluntaristik budaya dan masyarakat di mana aktor sosial bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan media untuk mereka sendiri tujuan. Sebaliknya, teori mediatisation menekankan interaksi dan transaksi antara aktor dan struktur: 'mediatization melampaui logika kausal sederhana membagi dunia menjadi variabel dependen dan independen. Dengan demikian, mediatization sebagai sebuah konsep baik mengatasi dan termasuk efek media '(Schulz 2004, 90). Dalam buku Stig Hjvard mediatisasi agama bukan fenomena universal yang menjadi ciri khas semua budaya dan masyarakat. Hal ini terutama pembangunan yang telah dipercepat terutama selama dekade 142
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
terakhir abad kedua puluh di modern, sangat industri dan terutama Western masyarakat. Sifat pengembangan ini membutuhkan banyak bentuk dan memiliki berbagai konsekuensi yang tergantung pada agama tertentu, secara umum mediatisation memerlukan transformasi tiga aspek agama (Hjarvard 2008a): 1) Media menjadi sumber utama informasi yang penting tentang isu-isu agama. media massa baik produsen dan distributor pengalaman religius, dan media interaktif dapat menyediakan platform untuk ekspresi dan sirkulasi keyakinan individu. 2) Informasi Keagamaan dan pengalaman, dibentuk sesuai dengan tuntutan genre media populer. Ada simbol-simbol agama, praktek dan keyakinan menjadi bahan baku untuk media narasi sendiri, tentang cerita kedua isu sekuler dan sakral. 3) Sebagai lingkungan budaya dan sosial media telah mengambil alih banyak fungsi budaya dan sosial dari agama-agama yang dilembagakan dan memberikan bimbingan spiritual, orientasi moral, dan ayat-ayat (Hjarvard, 2011: 119 — 135). Menurut teori mediatisation, Media telah menjadi terintegrasi hampir ke dalam semua jenis lembaga sosial pada waktu yang sama karena mereka telah bertanggung jawab untuk menunjukkan bahwa mediatisation membawa empat jenis perubahan. Dalam kasus agama, siaran televisi memperluas jangkauan khotbah untuk di hadirin masyarakat. penerimaan penonton fiksi di media menjadi populer pada acara-acara keagamaan, dari media berita merupakan sebagai titik kontemporer perbandingan, wacana berita digabung dengan wacana keagamaan. Akhirnya, lembaga-lembaga keagamaan didorong untuk mengakomodasi tuntutan media berita (kriteria berita misalnya, format presentasi dan sebagainya) agar mampu memproyeksikan suara mereka ke ruang publik media. Mediatisation ditandai dengan pembangunan dua sisi. Pertama, media telah berkembang menjadi lembaga independen lebih otonom dalam masyarakat. Sebelumnya, media sering dalam pelayanan lembaga sosial lain. Pada bagian pertama bagian dari abad kedua puluh, pers politik bertugas di banyak negara sebagai corong politik tertentu uk untuk kepentingan, partai dan gerakan. Dampak Mediatisasi Agama Stig Hjarvard menyatakan jika mediatisasi menyebabkan tranformasi agama ke dalam tiga bentuk: 1) Agama menjadi sumber utama media. 2) Media menentukan informasi dan pengalaman keagamaan dalam kaitannya dengan genre media. 3) Media menjadi lingkungan sosial dan Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
143
Nisa Nur Aulia
budaya yang mengambil alih banyak fungsi keagamaan yang terlembagakan seperti menyediakan petunjuk moral dan spiritual (Granholm, Kennet, Marcus Moberg, and Sofia Sjo, ed. 2014. Religion, Media, and Social Change. New York: Routledge, h.81-2 ). Jadi, mediatisasi adalah kekhususan media dalam menghubungkan pembangunan keagamaan dengan proses modernisasi yang lebih luas. Agama berubah karena proses mediatisasi yang menggejala. Mediatisasi itu melampui konsep media sebagai “intermediary”. 1 Contoh mediatisasi agama pada beberapa waktu yang lampau diselenggarakan seminar membicarakan “Agama dan Media” di kota Qom dan Tehran. Dalam seminar itu, para pakar di bidang agama dan media berkumpul membicarakan kemampuan media dalam mendakwahkan agama sekaligus sejumlah kendala dalam berdakwah menggunakan media. Hal yang membuat penyelenggaraan seminar semacam ini menjadi keharusan kembali pada kebutuhan manusia saat ini demi mengetahui lebih banyak tentang budaya dan ajaran agama, khususnya agama Islam, Kini pelbagai kemajuan yang diraih umat manusia dari sisi materi dan pelbagai keistimewaan lainnya membuatnya merasa lebih membutuhkan spiritual dan ajaran agama. Kekosongan spiritual di Barat telah menyeret masyarakat pada kenihilan dan memperluas pelbagai macam keruwetan dan kerusakan moral. Di sini para peserta seminar “Agama dan Media” meyakini dakwah agama yang benar lewat media yang efektif mampu melipatgandakan pengaruh pesan agung agama dan lebih banyak orang yang akan memanfaatkan pelbagai tuntunan spiritual agama. Hojjatul Islam Wal Muslimin Sadeghi, tentang kekuatan media, “Media saat ini menjadi pilar terpenting kekuatan lunak yang mempengaruhi diplomasi, politik dan ekonomi. Pada dasarnya media menjadi pilar terpenting kekuatan setiap masyarakat. Di sini kekuatan media menjadikan pemanfaatannya menjadi keharusan dalam mendakwahkan agama.” Namun ada faktor-faktor lain yang mendorong para pakar memanfaatkan lebih banyak media massa demi menyebarkan nilai-nilai agama. Hojjatul Islam Wal Muslimin Bayat, seorang pakar dakwah agama Islam dalam artikel yang disampaikan dalam seminar Agama dan Media, menilai sebagian dari keharusan berdakwah lewat media massa terkait dengan agama Islam. Seraya menyinggung perintah dan ajaran agama 1
Hjarvard, Stig(2011) 'The mediatisation of religion: Theorising religion, media and social change', Culture and Religion, 12: 2, 119 — 135 144
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
Islam terkait seluruh bidang kehidupan manusia, terlebih lagi mayoritas ajaran-ajaran ini substansial politik dan sosial. Oleh karena itu ia menyebut agama Islam sebagai agama komunikasi. Dari penjelasan ini, Hojjatullah Bayat mengambil kesimpulan, demi menyampaikan pesanpesan transenden Islam, sudah seharusnya umat Islam memanfaatkan semaksimalnya media massa demi menyebarkan agama Islam. Memanfaatkan media untuk mendakwahkan agama akan semakin menunjukkan urgensinya saat kita tahu betapa kekuatan-kekuatan besar Barat memanfaatkan seluas-luasnya media massa untuk menguasai dunia. Saat ini media-media massa di negara-negara Barat menjadi besar dan berpengaruh bila menayangkan dan memuat iklan. Mayoritas media semacam ini dikuasai oleh para pemilik kekuasaan dan orang-orang kaya. Mereka memanfaatkan media demi menjamin keserakahan politik dan ekonominya. Penyebaran faham materialistik, seks bebas, kekerasan dan pelbagai kebejatan moral termasuk tujuan asli media Barat. Kini, sudah saatnya memanfaatkan media secara benar guna menyebarkan spiritualitas, moral dan penyembahan kepada Allah demi mengantarkan manusia kepada kesempurnaan. Membela nilai-nilai Islam dan kehormatan umat Islam merupakan masalah lain yang membuat pemanfaatan media menjadi satu keharusan. Al-Quran meminta umat Islam mempersiapkan dirinya dengan kemampuan terbaik militer guna menghadapi serangan musuh. Kini mesin perang asli dalam konflik ini adalah media. Hojjatul Islam Wal Muslimin Bayat dalam makalahnya menulis, “Beberapa abad sebelumnya, masalah jaminan keamanan bagi bahaya global lebih ditekankan pada bidang militer. Namun saat ini, media dan bentuk aktivitasnya di tengahtengah masyarakat mengubah bentuk pengertian akan perang, keamanan dan bela diri. Mencermati berbagai bentuk pertahanan dan penyerangan di mana media kini menjadi alat paling penting, sudah selayaknya untuk mengadakan keperluan membela diri sesuai dengan kondisi masa.” Sekalipun demikian, dengan mengamati begitu luasnya sikap permusuhan terhadap Islam yang kebanyakan diorganisasi lewat mediamedia Barat, dapat dipahami betapa hanya dengan memanfaatkan media massa serangan media massa Barat itu dapat digagalkan. Upaya menjawab segala bentuk tuduhan dan fitnah yang disebarkan mediamedia Barat hanya dapat ditepis dengan memanfaatkan media secara benar dan lihai. Secara ideal, paling tidak agama bisa memanfaatkan media untuk menyampaikan simbol dan nilai agama kepada khalayak yang multikultural seperti; Menyampaikan berbagai informasi dan pembahasan Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
145
Nisa Nur Aulia
mengenai moral dan etika serta hal – hal yang bersifat religi kepada masyarakat; Menampilkan nilai – nilai etika moralitas agama pada media; Merubah kondisi psikologis seseorang untuk selalu konsisten melakukan hal – hal yang bernilai positif sesuai ajaran agamanya. Dalam konteks nyatanya, media banyak sekali membantu dan memberikan ruang-ruangnya bagi hadirnya agama. Beberapa hal yang menjadi bentuk mutualisme agama terhadap media dan sebaliknya mungkin bisa direpresentasikan dengan kasus berikut: Banyaknya tayangan TV yang menyuguhkan tayangan religi merupakan bentuk kompromi yang saling menguntungkan antara media dan agama. Di indonesia sendiri, semua stasiun TV nasional tidak mau meluputkan dirinya dari tayangan religi. Beberapa tayangan religi dalam televisi di tanah air mungkin bisa dikategorikan dalam beberapa bentuk, diantaranya: Talkshow Religi, Acara semacam ini menyuguhkan diskusi-diskusi keagamaan mulai dari pemikiran keagamaan sampai praktek ritual ibadah dalam kemasan yang didesain media. Tayangan Sinetron Religi, yang menayangkan kehidupan sosial agama dengan plot dan alur cerita sesuai desain media. Reality show, yang menayangkan kehidupan nyata umat beragama, situs agama, maupun figur pemuka agama. Ketika Media berperan lebih objektif maka akan berdampak sangat positif. Banyak media yang senantiasa mengedepankan unsur objektifitas dengan meliput dari beberapa sudut pandang yang berbeda, proporsional, berimbang, serta mematuhi kode etik pers. Media-media seperti ini tentunya banyak membantu rekonsiliasi masyarakat, mengubah kesalahan persepsi, dan memperbesar saling pengertian tentang sebab dan akibat konflik. Selain itu, juga selalu mendukung inisiatif integrasi sosial antar umat lintas agama. Menurut seorang wartawan senior Poso Post, Samsu Yadi, netralitas media selama masa konflik dianggap cukup baik, walau diakui pula masih banyak media yang tidak netral. Pola interrelasi seluruh wartawan yang meliput konflik Poso cukup kuat. Mereka memiliki kesadaran yang penuh bahwa media bisa menyuplai energi konflik atau bahkan dapat menghentikan bara api yang menyala itu. Jaringan dan perkumpulan wartawan di Poso berbeda dengan di Ambon yang masih terkotak-kotak dan tidak bersatu (Abu Bakar, 2001). Sementara di Kalimantan, terdapat media elektronik, Global TV, yang masih berupaya menjaga terjadinya integrasi sosial di masyarakat dengan tidak memberitakan beberapa berita yang dianggap akan mengakibatkan disintegrasi sosial. Global TV sebenarnya telah memiliki 146
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
gambar pemberitaan peristiwa Gang 17, tetapi akhirnya tidak jadi ditayangkan karena editor mereka berpendapat bahwa jika peristiwa ini ditayangkan bisa mengakibatkan sentimen atau tindakan rasialis anti Cina yang makin meluas di wilayah lain di Indonesia. Namun demikian, hampir bisa dipastikan tidak ada satu pun media yang terbit di Poso yang secara penuh bisa dikatakan independen dan mengabadikan karya-karya jurnalistiknya untuk mendorong suasana damai dan integrasi sosial. Yang ada hanya penggalan-penggalan informasi atau berita yang netral sehingga tidak memicu atau memperparah konflik dan integrasi sosial (Eriyanto, 2003). Selain pemberitaan yang dilakukan secara objektif dari tempattempat konflik, peran media khususnya media TV dalam menayangkan diskusi-diskusi tokoh agama dan masyarakat yang melakukan komunikasi persuasif untuk meredam konflik juga menjadi hal penting bagaimana media berperan dalam rekonsisliasi konflik agama. Misalnya pada peristiwa penyerangan warga syiah oleh warga NU di Jawa Timur. Salah satu yang mampu meredam konflik tersebut adalah komunikasi persuasif yang dilakukan para pemuka agama khususnya MUI dan NU melalui siaran beberapa TV dan radio. Siaran tentang konflik agama selain bentuk klarifikasi atas kebenaran sebuah realitas konflik, siaran tersebut juga merupakan informasi yang sensitif yang membuat khalayak terdorong untuk mengetahui dan dan meresponnya. Artinya media memerankan fungsi gandanya yaitu secara idealis mereka membantu dalam rekonsiliasi dengan klarifikasi kebenarannya, di lain sisi dia tidak mau kehilangan komoditi siarannya yang menguntungkan secara materi. Munculnya Media yang merepresentasikan sebuah agama atau sekte agama. Dewasa ini kita seringkali menjumpai media baru yang merepresentasikan sebuah agama atau sekte agama baik secara implisit maupun ekplisit. Beberapa media TV misalnya, kita sudah tak asing lagi dengan Aswaja TV yang merepresentasikan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Rodja TV yang mewakili kaum wahabi Indonesia, TVMU yang representasi Muhamadiyah, dan masih banyak lagi media TV lain yang merepresentasikan idiologi dan ajaran keyakinannya masing-masing. Salah satu hal penting yang melatar belakangi kehadiran mediamedia di atas adalah sikap penolakan mereka terhadap mediatiside agama oleh media sebagai komoditas yang dikomersialisasikan dengan mendangkalkan keskralan dan kesuciannya. Dalam konteks ini media Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
147
Nisa Nur Aulia
bukan lagi menjadi pihak lain yang saling menarik keuntungan melainkan media sudah menjadi institusi agama. Contoh mediatisasi agama seperti yang pernah di tulis oleh Moch Fakhruroji dalam penelitiannya yaitu tentang Agama dalam pesan pendek: mediatisasi dan komodifikasi agama dalam SMS tauhid. SMS Tauhid merupakan salah satu fenomena pertarungan logika agama dan logika media yang dalam berbagai kondisi telah memperlihatkan bukti bahwa logika media lebih dominan. SMS Tauhiid tidak hanya merupakan salah satu bentuk agama yang termediasi, tetapi juga telah mengalami mediatisasi yang ditandai dengan tindakan adopsi dan internalisasi logika media dalam praktik tausiah sebagai salah salah satu praktik sosial agama. pada dasarnya praktik mediatisasi dalam konteks media baru telah membuka tantangan tersendiri terhadap teori mediatisasi karena konsep mediatisasi berkenaan dengan logika media yang bersifat institusional padahal media baru dapat berbentuk non-institusional. Dalam banyak hal, mediatisasi agama juga merupakan fenomena virtualisasi agama mengingat praktik mediatisasi mempersyaratkan konteks kebudayaan yang termediasi. Penutup Mediatisation agama bukan fenomena universal yang menjadi ciri khas semua budaya dan masyarakat. Hal ini terutama pembangunan yang telah dipercepat terutama selama dekade terakhir abad kedua puluh di modern, sangat industri dan terutama Western masyarakat. Sifat pengembangan ini membutuhkan banyak bentuk dan memiliki berbagai konsekuensi yang tergantung pada agama tertentu, secara umum menurut Hjarvard mediatisation memerlukan transformasi tiga aspek agama: pertama, media menjadi sumber utama informasi yang penting tentang isu-isu agama. media massa baik produsen dan distributor pengalaman religius, dan media interaktif dapat menyediakan platform untuk ekspresi dan sirkulasi keyakinan individu. Kedua, informasi Keagamaan dan pengalaman, dibentuk sesuai dengan tuntutan genre media populer. Ada simbol-simbol agama, praktek dan keyakinan menjadi bahan baku untuk media narasi sendiri, tentang cerita kedua isu sekuler dan sakral. Ketiga, sebagai lingkungan budaya dan sosial media telah mengambil alih banyak fungsi budaya dan sosial dari agama-agama yang dilembagakan dan memberikan bimbingan spiritual, orientasi moral, dan ayat-ayat. Dalam mediatisasi agama mereka tidak percaya media mengambang atau tidak memiliki nilai, ada keterlibatan ideologis yang 148
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
Islam dan Mediatisasi Agama
turut membentuk pikiran masyarakat. Contoh yang paling sederhana surat kabar antara 1 surat kabar dengan surat kabar yang lain berbeda. Sehingga itu semua dapat memunculkan kenapa tv-tv islam muncul. Mediatisasi tidak hanya berkaitan dengan agama tapi juga dengan budaya, politik, dan sosial. Ketika dahulu kita ada di era sekuler, agama itu terlihat tidak menarik. Ketika sekuler pada akhirnya dalam keadaan titik terakhirnya membutuhkan agama lalu kemudia media mengkemas agama menjadi menarik lagi. Contohnya: media mulai banyak membuat tayangan-tayangan dakwah yang menarik. Zaman sekarang kita tidak bisa semenit saja tanpa media, dalam mediatisasi media sebenarnya memiliki siklus sama seperti fashion. Broadcast: Informasi/ pesan yang disampaikan langsung menjangkau ke berbagai orang/ masyarakat. Sedangkan Nerocast: pesan /informasi yang akan disampaikan langsung ke arah orangnya langsung. Media membingkai dan menghadirkan agama dalam profan ruangruang media yang kebanyakan dikomersialisasikan tapi sakralitas dan kesuciannya tergadaikan. Mediatisation mungkin paling terlihat sangat jelas dalam praktik agama di media massa atau internet. Dalam internet, lembaga keagamaan tradisional membangun kehadiran agama secara online yang menawarkan lingkungan agama interaktif di mana pengalaman individu dan pemahaman agama bisa ditukar. Media dan agama merupakan dua hal yang sangat penting. Walaupun pada kenyataannya buat saya media tidak lebih penting dari agama. Sebagai umat beragama tidak bijak kalau kita meluputkan diri dari peran media. Media dengan kekuasaannya yang sangat perkasa hendaknya mampu ditarik kendalinya sehingga tidak menghianati tujuan idealisnya. Media bukanlah sekumpulan benda mati yang bergerak dan melaju dengan sendirinya, melainkan yang terpenting adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki kuasa padanya. Substansi agama hendaknya hadir di tengah-tengah mereka dan mampu menjadi pemandu mereka untuk berpijak pada kebenaran agama. Daftar Pustaka Abubakar, I., & Muchtadlirin (ed). (2001). Media dan Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah. Eriyanto. (2001). Analisis wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS. Eriyanto. (2003). Media dan Konflik Ambon. Jakarta: KBR68H Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017
149
Nisa Nur Aulia
Hjarvard, Stig(2011) 'The mediatisation of Religion: Theorising Religion, Media and Social Change', Culture and Religion Moch. Fakhruroji (2011) Islam Digital: Ekspresi Islam di Internet, Sajad Publishing https://islamicculturalcenter.co.id. Anonim, Agama adalah Media, diakses tanggal 20 Agustus 2017 dari http://www.kompasiana.com/agama-dan-adalah-media
150
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi , Volume 1, Nomor 1 | Januari - Juli 2017